7 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS
A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Keterampilan Berbicara
a. Pengertian Keterampilan
Keterampilan merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan
tindakan secara baik. Subana dan Sunarti (2011: 36) berpendapat
keterampilan
mengandung
beberapa
unsur
kemampuan
yaitu
kemampuan psikis (daya pikir) dan kemampuan fisik (perbuatan).
Subana dan Sunarti menyatakan kegiatan yang berkaitan dengan
kemampuan berpikir dan bernalar merupakan suatu keterampilan.
Sukmadinata
(2012:
kemampuan
seseorang
184)
dalam
berpendapat
menerapkan
keterampilan
atau
adalah
menggunakan
pengetahuan yang dikuasainya dalam sesuatu bidang kehidupan.
Sedangkan Reber dalam Jauhari (2013: 121) berpendapat bahwa
keterampilan adalah kegiatan melakukan pola-pola tingkah laku yang
kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan
untuk mencapai hasil tertentu. Sejalan dengan pendapat di atas Ichsan
dan Nursanto (2013: 29) berpendapat bahwa keterampilan adalah
kegiatan mental dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki
bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung dari awal hingga akhir.
Dari pendapat beberapa ahli di atas disimpulkan bahwa
keterampilan adalah kemampuan menyelesaikan sesuatu sesuai dengan
bidangnya diwujudkan dalam pola tingkah laku yang kompleks dan
tersusun rapi.
7
8
Keterampilan
dapat
diartikan
sebagai
kegiatan
melatih
pengetahuan yang dikuasai sehingga dapat sesuai dengan hasil yang
diharapkan.
b. Pengertian Berbicara
Salah satu standar kompetensi bahan kajian pembelajaran Bahasa
Indonesia adalah berbicara secara efektif dan efisien untuk
mengungkapkan gagasan, pendapat, kritikan, perasaan, dalam
berbagai bentuk kepada berbagai mitra bicara sesuai dengan
pembicaraan serta berapresiasi sastra dalam berbagai jenis dan
bentuk melalui kegiatan melisankan hasil sastra.
Berbicara merupakan kegiatan menyampaikan pesan melalui
bahasa lisan. Menurut Abidin (2013: 125) berbicara adalah
kemampuan seseorang untuk mengeluarkan ide, gagasan ataupun
pikirannya kepada orang lain melalui media bahasa lisan.
Berdasarkan pengertian ini berbicara tidak sekadar menyampaikan
pesan tetapi proses melahirkan pean itu sendiri. Menurut
Nurgiantoro (2014: 399) berbicara merupakan aktivitas berbahasa
kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa setelah
mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya
itulah kemudian manusia belajar mengucapkan an akhirnya mampu
berbicara.
Sejalan dengan pendapat di atas, Ngalimun dan Alfulaila (2014:
55) mengungkapkan bahwa berbicara merupakan sarana utama untuk
membina saling pengertian, komunikasi saling timbal balik, dengan
menggunakan bahasa sebagai medianya. Selain itu, dijelaskan juga
berbicara mempunyai aspek dua arah, yakni antara pembicara
dengan pendengarnya secara timbal balik.
Menurut Poerwanti (2013: 43), berbicara adalah suatu proses
berkomunikasi dengan mempergunakan suara yang dihasilkan oleh
9
ucap manusia yang didalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu
sumber ke tempat yang lain.
Berdasarkan pengertian di atas disimpulkan bahwa berbicara
merupakan suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan
yang telah disusun melalui media bahasa lisan.
Berbicara merupakan salah satu alat yang digunakan dalam
kegiatan sehari-hari dalam bentuk media lisan. Berbicara merupakan
sarana utama untuk berkomunikasi dengan lawan bicara.
c. Hakikat Keterampilan Berbicara
Empat aspek keterampilan berbahasa yang mencakup dalam
pembelajaran bahasa, yaitu: 1) keterampilan menyimak; 2)
keterampilan berbicara; 3) keterampilan membaca; 4) keterampilan
menulis. Keterampilan tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Keterampilan berbicara menduduki tempat utama dalam memberi
dan menerima informasi serta memajukan hidup dalam peradaban
dunia
modern.
berpendapat
Sunendar
bahwa
dan
keterampilan
Iskandarwassid
berbicara
(2015:
pada
123)
hakikatnya
merupakan kegiatan mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk
menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan
kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang
merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk
memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan nada,
kesenyapan dan lagu bicara.
Dari pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
pengertian keterampilan berbicara adalah kemampuan seseorang
untuk mengungkapkan gagasan, ide, atau pikirannya kepada lawan
bicaranya secara lisan.
10
d. Tujuan Berbicara
Tujuan berbicara merupakan hal yang sangat penting untuk
ditentukan sebelum seorang pembicara memaparkan gagasannya.
Menurut Abidin (2013: 129) mengemukakan tujuan berbicara
sebagai berikut:
1) Informatif. Tujuan informatif merupakan tujuan berbicara yang
dipilih pembicara ketika ia bermaksud menyampaikan gagasan
untuk membangun pengetahuan pendengar.
2) Rekreatif. Tujuan rekreatif merupakan tujuan berbicara untuk
memberikan kesan menyenangkan bagi diri pembicara dan
pendengar. Jenis tujuan ini adalah untuk menghibur pendengar
sehingga pendengar menjadi merasa terhibur dengan adanya
pembicara.
3) Persuasif. Tujuan persuasif merupakan tujuan pembicaraan yang
menekankan daya bujuk sebagai kekuatannya. Hal ini berarti
tujuan
pembicaraan
ini
lebih
menekankan
pada
usaha
memengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa
yang diharapkan pembicara.
4) Argumentatif.
Tujuan
ini
bertujuan
untuk
meyakinkan
pendengar atas gagasan yang disampaikan oleh pembicara.
Menurut Tarigan dalam Cahyani dan Hodijah (2007: 60)
mengemukakan tujuan berbicara sebagai berikut: 1) tujuan
berbicara yang menghibur berarti pembicaraan yang menarik
perhatian pendengar dengan berbagai cara, seperti humor,
spontanitas,
kisah-kisah
jenaka,
dan
sebagainya
untuk
menimbulkan suasana gembira pada pendengarnya; 2) berbicara
untuk tujuan menginformasikan, untuk melaporkan, dilaksanakan
bila
seseorang
ingin
menjelaskan
sesuatu
atau
memberi
pengetahuan; 3) berbicara untuk menstimulasi pendengar jauh lebih
kompleks sebab berbicara harus dapat mempengaruhi atau
11
meyakinkan
menggerakkan
pendengarnya;
diperlukan
4)
dalam
pembicara
berbicara
yang
pintar
untuk
dalam
menyampaikan pendapat dan penguasaannya terhadap ilmu
sehingga pembicara dapat menggerakkan pendengarnya.
Menurut Slamet dan Saddhono (2012: 66-67), tujuan utama
berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan
pikiran,
gagasan,
perasaan,
dan
kemauan
secara
efektif,
seyogyanya pembicaramemahami makna segala sesuatu yang ingin
dikomunikasikan:
dia
harus
mampu
mengevaluasi
efek
komunikasinya terhadap pendengarnya, dan lain sebagainya dapat
dimanfaatkan untuk mengontrol diri, apakah sudah mempunyai
kesanggupan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dengn tepat,
mengungkapkan fakta-fakta dengan spontan, dan menerapkan
kaidah-kaidah bahasa yang benar secara otomatis.
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa
tujuan utama dalam berbicara adalah untuk berkomunikasi.
Pembicara harus memahami makna segala sesuatu yang ingin
disampaikan agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif.
e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dalam Berbicara
Untuk menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara harus
menguasai masalah yang sedang dibicarakan, dan harus berbicara
dengan jelas dan tepat. Beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh
seorang pembicara menurut Abidin (2013: 127) yaitu:
1) Kepekaan dalam fenomena. Faktor ini berhubungan dengan
kemampuan pembicara untuk menjadikan sebuah fenomena
sebagai sebuah sumber ide. Seorang pembicara yang baik
mampu menjadikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya
sebagai sumber ide.
12
2) Kemampuan
kognisi
atau
imajinasi.
Kemampuan
ini
berhubungan dengan daya dukung kognisi dan imajinasi
pembicara. Kemampuan penggunaan kognisi atau imajinasi ini
akan sangat berhubungan dengan tujuan pembicaraan yang akan
ia lakukan.
3) Kemampuan bahasa. Kemampuan ini merupakan kemampuan
pembicara mengemas ide dengan bahasa yang baik dan benar.
Selain itu, kemampuan ini juga berhubungan dengan organ
berbicara seseorang.
4) Kemampuan psikologis. Kemampuan psikologis berhubungan
dnegan kejiwaan pembicara misalnya keberanian, ketenangan,
dan daya adaptasi psikologis ketika berbicara.
5) Kemampuan performa. Kemampuan ini berhubungan dengan
praktik
berbicara.
Seorang
pembicara
yang
baik
akan
menggunakan berbagai gaya yang sesuai dengan situasi, kondisi,
dan tujuan pembicaraannya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Arsjad dan Mukti U.S. (2005:
17) bahwa pembicara perlu memperhatikan faktor kebahasaan dan
nonkebahasaan.
Faktor kebahasaan yang menunjang keefektifan berbicara,
meliputi: a) ketepatan ucapan, b) penempatan tekanan, c) nada
sandi, d) durasi yang sesuai, e) pilihan kata, f) ketepatan sasaran
kebahasaan, g) struktur kalimat, h) pilihan ungkapan.
Faktor-faktor nonkebahasaan antara lain: a) sikap yang wajar,
tenang, dan tidak kaku, b) pandangan harus diarahkan pada lawan
bicara, c) kesediaan menghargai pendapat orang lain, d) gerakgerik dan mimik yang tepat, e) kenyaringan suara, kelancaran,
relevansi atau penalaran, f) ketepatan topik.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan
faktor-faktor yang menunjang keefektifan berbicara adalah
kemampuan berbahasa seperti tataran linguistik dari fonem hingga
13
semantik-pragmatik
dan
kemampuan
pembicara
dalam
menyampaikan topik pembicaraan dengan lawan bicaranya.
f. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Sekolah Dasar
Anak adalah produk lingkungan. Bila lingkungan sering mengajak
bicara, dan segala pertanyaan anak dijawab dan diperhatikan, serta
lingkungan menyediakan kesempatan untuk belajar dan berlatih
berbicara, tidak memberi kesempatan perkembangan anak, anak
tersebut akan terampil berbicara. Sebaliknya, bila orang tua, anggota
keluarga, dan masyarakat tidak memberi kesempatan perkembangan
anak maka anak akan mengalami kesulitan belajar berbicara.
Zulela (2012: 4), pembelajaran bahasa Indonesia di SD diarahkan
untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi
dengan baik, baik secara lisan maupun tulisan. Pada kelas rendah,
siswa sudah memperoleh keterampilan berbicara pada lingungan
keluarga
yang
masih
menggunakan
bahasa
ibu,
kemudian
dikembangkan secara sistematis melalui pembelajaran melalui media
lisan. Untuk kelas tinggi, siswa diarahkan untuk memahami bicara
orang lain baik secara langsung maupun lewat media. Sehingga
kemampuan mereka dalam berkomunikasi dapat meningkat.
Keterampilan berbicara harus dikuasai oleh peserta didik sekolah
dasar karena keterampilan ini berkaitan dengan seluruh proses belajar
peserta didik di sekolah dasar. Peserta didik yang tidak mampu
berbicara degan baik dan benar akan mengalami kesulitan dalam
proses belajarnya.
14
Tabel 2. 1 Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas V Semester 2
Standar Kompetensi
6. Mengungkapkan pikiran
dan persaan secara lisan
dalam diskusi dan bermain
drama
Kompensi Dasar
6.1
Mengomentari
persoalan faktual disertai
alasan yang mendukung
dengan
memperhatikan
pilihan late dan santun
berbahasa
(Silabus Bahasa Indonesia Kelas V Sekolah Dasar)
g. Penilaian Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Penilaian hasil pembelajaran merupakan bagian dari kurikulum,
bagian dari pelaksanaan pendidikan secara keseluruhan. Penilaian
memiliki posisi yang strategis dalam usaha peningkatan kualitas
pembelajaran dan lulusan pendidikan pada tiap jenjang sekolah.
Penilaian dapat menyediakan informasi yang sangat berguna untuk
tujuan peningkatan pembelajaran dan hasil peserta didik, termasuk
dalam bidang kebahasaan khususnya keterampilan berbicara.
Keberhasilan
suatu
kegiatan
tentu
memerlukan
penilaian.
Pengajaran keterampilan berbicara merupakan salah satu kegiatan di
dalam pengajaran Bahasa Indonesia yang memerlukan penilaian
tersendiri.
Berikut ini terdapat beberapa hal yang akan dipaparkan mengenai
kriteria penilaian dalam pengajaran keterampilan berbicara. Suhendar
dalam Cahyani dan Hodijah (2007: 64) mengemukakan bahwa bila
akan menilai kemampuan berbicara seseorang sekurang-kurangnya
ada enam hal yang harus diperhatikan, yaitu:
1) Lafal;
2) Struktur;
3) Kosakata;
4) Kefasihan;
15
5) Isi pembicaraan;
6) Pemahaman.
Menilai keterampilan berbicara siswa bukanlah hal yang mudah
untuk dilakukan. Menurut Lee dalam Slamet dan Saddhono (2012:
106) mengungkapkan bahwa alat penilaian (tes) itu harus dapat
menilai kemampuan mengomunikasikan gagasan yang tentu saja
mencakup kemampuan menggunakan kata, kalimat, dan wacana, yang
sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan psikomotorik.
Senadan dengan pendapat Akhadiah dalam Slamet dan Saddhono
(2012:
107)
yang
menilai
keterampilan
berbicara
dengan
menggunakan prosedur penilaian yang mencakup: tekanan, tata
bahasa, kosakata, kelancaran, dan pemahaman. Masing-masing aspek
tersebut akan memiliki bobot atau skala nilai.
Hurlock (2013: 185) mengatakan bahwa belajar berbicara
mencakup tiga proses tepisah tetapi saling terhubung satu sama lain,
yakni: belajar mengucapkan kata, membangun kosa kata, dan
membentuk kalimat. Seperti yang diungkapkan Ampa, Basri, dan
Andriani (2013), “Many people do not pay attention to pronunciation,
structure, and vocabulary when teaching ‘speaking skills’. But in fact,
many cases of misunderstanding in communication were caused by
the mispronouncing of words, misusing of vocabulary, and
disordering words and sentences”. Kebanyakan orang kurang
memperhatikan pengucapan, struktur kalimat, dan kosa kata saat
mereka mengajarkan keterampilan berbicara. Padahal faktanya,
banyak
kasus
kesalahpahaman
dalam
berkomunikasi,
seperti
kesalahan pengucapan kata, kesalahan penggunaan kosa kata, serta
kekacauan kata dan kalimat.
Berdasarkan pendapat ahli tentang ukuran penilaian keterampilan
berbicara di atas, maka dapat disusun indikator penilaian setiap aspek
sebagai berikut:
16
1) Ketepatan kata
Jika anak mampu memilih dan menggunakan kata dengan
bervariasi, tepat arti, dan artikulasi jelas.
2) Ketepatan kalimat
Jika anak mampu menyusun kalimat sederhana dengan jelas, tata
bahasa benar, dan dapat dipahami oleh orang lain tanpa bantuan
guru
3) Kesesuaian dengan tema
Jika anak berani dan mampu berbicara sesuai tema yang disajikan
dengan runtut dan jelas
4) Kelancaran
Jika anak berani dan mampu berbicara dengan lancar, tidak
terputus-putus, dan tidak terlalu lama dalam berbicara tanpa
bantuan guru
Dari definisi yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan
bahwa hakikat keterampilan berbicara adalah suatu kegiatan
mengucapkan
bunyi-bunyi
artikulasi
atau
kata-kata
untuk
mengekspresikan, menyampaikan kehendak, perasaan, kemauan,
ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan komunikasi baik
berhadapan secara langsung ataupun dengan jarak jauh.
2. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif tipe Time Token
a. Pengertian Model
Menurut Suyadi (2013: 14) model adalah gambaran kecil atau
miniatur dari sebuah konsep besar. Sedangkan Majid (2013: 13)
mengemukakan model adalah sebagai kerangka konseptual yang
digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.
Mills dalam Suprijono (2014: 45) menyatakan bahwa model adalah
bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang menungkinkan
seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan
17
model itu. Model merupakan interpretasi terhadap hasil observasi dan
pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem.
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan model yaitu
gambaran sederhana yang dapat menjelaskan objek, sistem atau suatu
konsep. Model merupakan kerangka dari sebuah konsep yang
dijadikan sebagai acuan.
b. Pengertian Pembelajaran
Menurut Khanifatul (2013: 14) pembelajaran adalah usaha sadar
yang dilakukan oleh guru atau pendidik untuk membuat siswa atau
peserta didik belajar (mengubah tingkah laku untuk mendapatkan
kemampuan baru) yang berisi suatu sistem atau rancangan untuk
mencapai suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat di atas Sagala (2011:
61) menyatakan bahwa pembelajaran ialah membelajarkan siswa
menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan
penentu utama keberhasilan pendidikan.
Sedangkan menurut Hamalik (2014: 57) menyatakan bahwa
pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsurunsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang
saling
mempengaruhi
mencapai
tujuan
pembelajaran.
Suprihatiningrum (2013: 75) berpendapat bahwa pembelajaran adalah
serangkaian kegiatan yang melibatkan informasi dan lingkungan yang
disusun secara terencana untuk memudahkan siswa dalam belajar.
Pembelajaran merupakan proses utama yang diselenggarakan
dalam kehidupan sekolah sehingga antara guru yang mengajar dan
anak didik yang belajar dituntut profit tertentu.
Berdasarkan pengertian di atas disimpulkan bahwa pembelajaran
adalah upaya yang dilakukan oleh pendidik untuk membantu siswa
agar dapat menerima pengetahuan yang diberikan dan membantu
memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran.
18
c. Pengertian Model Pembelajaran
Joyce dalam Hamruni (2012: 5) menyatakan bahwa model
pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang
digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di
kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan
perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku,
film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Setiap model pembelajaran
mengarah kepada desain pembelajaran untuk membantu peserta didik
sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai.
Suyadi (2013: 14) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah
suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam
merencanakan pembelajaran. Menurut Majid (2013: 13) model
pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi
oleh beragam muatan mata pelajaran, sesuai dengan karakteristik
kerangka dasarnya.
Menurut Suprijono (2014: 46) model pembelajaran dapat
didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk
mencapai tujuan belajar. Sejalan dengan pendapat di atas, menurut
Arends dalam Suprijono (2014: 46) menyatakan bahwa model
pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan,
termasuk didalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam
kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan
kelas.
Joyce dan Weill dalam Huda (2014: 73) mendeskripsikan model
pengajaran sebagai rencana atau pola yang dapat digunakan untuk
membentuk kurikulum, mendesain materi-materi instruksional dan
memadu proses pengajaran di ruang kelas atau di setting yang berbeda.
19
Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan model
pembelajaran merupakan suatu pola yang sistematis yang digunakan
oleh guru sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran.
d. Jenis-jenis Model Pembelajaran
Menurut Sugiyanto (2009: 3) jenis-jenis model pembelajaran di
antaranya 1) model pembelajaran kontekstual; 2) model pembelajaran
kooperatif; 3) model pembelajaran kuantum; 4) model pembelajaran
terpadu; 5) model pembelajaran berbasis masalah.
1) Model pembelajaran kontekstual
Pembelajaran kontekstual yaitu konsep pembelajaran yang
mendorong guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan
dan situasi dunia nyata siswa selain itu juga mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
2) Model pembelajaran kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang
berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja
sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai
tujuan belajar.
3) Model pembelajaran kuantum
Prinsip kuantum adalah semua berbicara-bermakna, semua
mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi
reward. Strategi kuantum adalah tumbuhkan minat dengan
AMBAK (Apa Manfaat Bagiku), alami dengan dunia realitas
siswa, namai, buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan
melalui presentasi, komunikasi, ulangi dengan tanya jawab,
latihan, rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyumtawa-ramah-sejuk-nilai-harapan.
20
4) Model pembelajaran terpadu
Pengajaran terpadu pada dasarnya sebagai kegiatan
mengajar dengan memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu
tema. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar
dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa
materi pelajaran disajikan tiap pertemuan.
5) Model pembelajaran berbasis masalah
Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu
pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan
yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan
mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir
tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya
diri.
Berdasarkan jenis-jenis model pembelajaran di atas, penelitian ini
menggunakan model pembelajaran kooperatif yang merupakan
model pembelajaran berbasis kelompok-kelompok kecil yang
saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama.
e. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran
yang
menekankan
pada
aktivitas
kerja
kelompok.
Menurut
Hamdayama (2014: 64) model pembelajaran kooperatif merupakan
model
pembelajaran
dengan
menggunakan
sistem
pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang
yang memiliki latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras
atau suku yang berbeda.
Menurut Isjoni (2014: 15) model pembelajaran kooperatif suatu
model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif
sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar.
21
Menurut Shoimin (2014: 45) model pembelajaran kooperatif
merupakan suatu model pembelajaran yang mana siswa belajar dalam
kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda.
Menurut Rukayah (2012: 18) model pembelajaran kooperatif
merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama di
antara siswa dalam kelompok, yang anggota kelompoknya terdiri dari
beberapa siswa yang memiliki kemampuan yang tidak sama
(homogen) untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Sedangkan menurut Felder dan Brent dalam Laguador (2014: 46)
menyatakan “The term cooperative learning (CL) refers to students
working in teams on an assignment or project under conditions in
which certain criteria are satisfied, including that the team members
be held individually accountable for the complete content of the
assignment or project”. Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa
pembelajaran kooperatif mengacu pada siswa untuk bekerja dalam
kelompok untuk menyelesaikan tugas atau proyek dan bertanggung
jawab secara individu atas tugas yang diberikan kepadanya.
Bertolak pada pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang
berbentuk kerjasama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai
tujuan belajar.
f. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak perbedaan dengan
model pembelajaran yang lainnya. Pembelajaran kooperatif tidak
hanya memacu siswa mempunyai kemampuan dalam bidang
akademik, tetapi secara lebih jauh telah mengajarkan siswa bagaimana
cara bekerjasama dengan siswa yang lain, menerima kekurangan dan
menimba kelebihan siswa yang lainnya.
22
Hartono (2013: 104) menyebutkan beberapa karakteristik mendasar
dari model pembelajaran kooperatif yaitu (1) pembelajaran secara tim;
(2) berlandaskan manajemen kooperatif; (3) hasrat bekerja sama; (4)
keterampilan bekerja sama.
Rukayah
(2012:
18)
menyebutkan
elemen-elemen
dalam
pembelajaran kooperatif yaitu (1) belajar bersama dengan teman; (2)
selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman; (3) saling
mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok; (4) belajar dari
teman sendiri dalam kelompok; (5) belajar dalam kelompok kecil; (6)
produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat; (7)
keputusan tergantung pada siswa sendiri; (8) siswa aktif.
Beberapa ciri cooperative learning juga disebutkan oleh Isjoni
(2014: 20)
yaitu (1) setiap anggota memiliki peran, (2) terjadi
hubungan interaksi langsung diantara siswa, (3) setiap anggota
kelompok bertanggung jawab atas atas belajarnya dan juga temanteman
sekelompoknya,
(4)
guru
membantu
mengembangkan
keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya
berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan.
Selain itu, Stahl dalam Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2014:
59) juga menyebutkan ciri-ciri dari model pembelajaran kooperatif
sabagai berikut: (1) belajar dengan teman; (2) selama proses belajar
terjadi tatap muka antar teman; (3) saling mendengarkan pendapat di
antara anggota kelompok; (4) belajar dari teman sendiri dalam
kelompok; (5) belajar dalam kelompok kecil; (6) produktif berbicara
atau saling mengemukakan pendapat; (7) keputusan tergantung dari
mahasiswa sendiri; (8) mahasiswa aktif.
Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan karakteristik
dari pembelajaran kooperatif adalah belajar secara tim, bekerjasama,
tanggung jawab terhadap teman-teman sekelompok, dan saling
berinteraksi antaranggota kelompok.
23
g. Langkah-langkah dalam Model Pembelajaran Kooperatif
Dalam pembelajaran kooperatif memiliki langkah-langkah yang
sistematis. Sugiyanto (2009: 6) menyebutkan ada lima tahapan dalam
pembelajaran kooperatif yaitu (1) mengklarifikasi tujuan dan
estlablishing
set;
(2)
mempresentasikan
informasi
atau
mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar; (3)
membantu kerja kelompok belajar; (4) mengujikan berbagai materi; (6)
memberikan pengakuan.
Sedangkan menurut Hartono (2013: 110) ada beberapa langkah
untuk
memulai
proses
pemebelajaran
kooperatif,
mulai
dari
menjelaskan materi, membuat siswa belajar dalam kelompok,
membuat penilaian, dan memberikan penghargaan.
Berbeda dengan Suyadi (2013 : 70) yang mengungkapkan tahapan
pelaksanaan cooperative learning yaitu (1) menyampaikan tujuan dan
motivasi
peserta
didik,
(2)
menyajikan
informasi,
(3)
mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok
belajar, (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar, (5) evaluasi,
(6) memberikan penghargaan.
Rukayah (2012: 21) menyebutkan langkah-langkah pembelajaran
kooperatif secara umum yang tersaji dalam tabel di bawah ini:
24
Tabel 2. 2 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif secara Umum
(Sumber Rukayah, 2013: 70)
FASE-FASE
PERILAKU GURU
Fase 1: present goals and set
Menyampaikan
tujuan
Menjelaskan tujuan pembelajaran dan
dan
mempersiapkan peserta didik
mempersiapkan peserta didik siap
belajar.
Fase 2: present information
Mempresentasikan informasi kepada
Menyajikan informasi
peserta didik secara verbal.
Fase 3: organize students into learning
teams
Memberikan
penjelasan
kepada
peserta didik tentang tata cara
Mengorganisir peserta didik ke dalam
tim-tim belajar
pembentukan
tim
belajar
dan
membantu kelompok melakukan
transisi yang efisien.
Fase 4: assist team work and study
Membantu tim-tim belajar selama
Membantu kerja tim dan belajar
peserta
didik
mengerjakan
tugasnya.
Fase 5: test on materials
Menguji pengetahuan peserta didik
Mengevaluasi
mengenai
pembelajaran
berbagai
atau
materi
kelompok-
kelompok mempresentasikan hasil
kerjanya.
Fase 6: provide recognition
Memberikan
pengakuan
Mempersiapkan cara untuk mengakui
atau
penghargaan
usaha
dan
prestasi
individu
maupun kelompok.
h. Jenis-jenis Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif terdiri dari berbagai jenis model
tergantung kekhususan masing-masing. Menurut Suprijono (2010: 89)
ada beberapa jenis model pembelajaran kooperatif, yaitu: 1) Student
25
Achievement Divisions (STAD); 2) Jigsaw; 3) Group Investigation; 4)
Metode Struktural; 5) Team Games Tournaments; 6) Number Head
Together
(NHT);
7)
Cooperative
Integrated
Reading
and
Compossition (CIRC); 8) Team Accelerated Instruction (TAI); 9)
Rotating Trio Excharger; 10) Group Review; 11) Time token; 12)
Think Talk Write (TTW).
Jenis-jenis model pembelajaran kooperatif di atas memiliki
kelebihan dan kelemahannya masing-masing sehingga pada hakikatnya
model pembelajaran yang paling tepat untuk digunakan pada setiap
mata pelajaran ditentukan berdasarkan kecocokan materi yang akan
disampaikan dengan struktur model yang ada. Berdasarkan hal itu,
model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran
kooperatif tipe time token. Model pembelajaran ini menekankan pada
kegiatan berkelompok dan masing-masing individu dalam kelompok
harus berpartisipasi/ berbicara di dalam diskusi.
i. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif tipe Time Token
Pembelajaran kooperatif time token merupakan sebuah model
pembelajaran yang dilaksanakan pada kelompok-kelompok. Setiap
anggota kelompok diharapkan untuk berpartisipasi untuk berbicara/
berpendapat dengan membawa kupon berbicara yang telah diberi oleh
guru. Model pembelajaran time token sangat tepat untuk pembelajaran
struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan
berbicara. Sekaligus menghindari siswa yang mendominasi dalam
berbicara atau siswa yang diam sama sekali.
Model pembelajaran time token merupakan model pembelajaran
yang bertujuan agar masing-masing anggota kelompok diskusi
mendapatkan kesempatan yang sama. Kesempatan yang diberikan
untuk berkontribusi dan mendengarkan pendapat dari anggota yang
lain.
26
Eliyana dalam Shoimin (2014: 216), model pembelajaran time
token adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif. Siswa dibentuk
ke dalam kelompok belajar, yang dalam pembelajaran ini mengajarkan
keterampilan
sosial
untuk
menghaindari
siswa
mendominasi
pembicaraan atau siswa yang diam sama sekali dalam berdiskusi. Guru
memberikan materi pembelajaran dan selanjutnya siswa bekerja dalam
kelompok masing-masing untuk memastikan semua anggota kelompok
telah menguasai materi pembelajaran yang diberikan. Kemuadian
siswa melaksanakan tes atas materi yang telah diberikan dan mereka
harus mengerjakannya sendiri tanpa bantuan teman.
Menurut Rahmat dalam Shoimin (2014: 216) mengatakan bahwa
model pembelajaran time token sangat tepat untuk pembelajaran
struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial.
Model pembelajaran ini mengajak siswa aktif sehingga tepat
digunakan dalam pembelajaran berbicara di mana pembelajaran ini
benar-benar mengajak siswa untuk aktif dan belajar berbicara di depan
umum, mengungkapkan pendapatnya tanpa harus merasa takut dan
malu.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa model
pembelajaran kooperatif tipe time token adalah model pembelajaran
kooperatif yang menuntut partisipasi atau kontribusi siswa. Partisipasi
ini dilaksanakan dalam kelompok untuk berbicara (mengeluarkan ide/
pendapat) dengan diberi kupon berbicara. Sehingga semua siswa harus
berlatih untuk berbicara. Dengan demikian siswa tidak ada yang
mendominasi dalam pelaksanaan pembelajaran.
j. Pelaksanaan Model Time Token dalam Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Time Token membantu guru mengatasi masalah pada
siswa yang mengalami kesulitan dalam berbicara (malu) atau
mendominasi dalam pembicaraan. Time Token dapat membantu
27
mendistribusikan partisipasi dengan lebih merata. Masing-masing
siswa diberi token (kupon) seharga 30 detik waktu berbicara. Seorang
siswa memantau interaksinya dan meminta si pembicara untuk
menyerahkan sekeping token (kupon) bila mereka melebihi batas
waktu yang telah ditetapkan. Bila token yang dipegang siswa sudah
habis, siswa tersebut tidak boleh berbicara lagi. Kesempatan ini
digunakan bagi mereka yang masih memegang token untuk ikut
berkontribusi dalam pembelajaran tersebut.
k. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif tipe Time
Token dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara
Menurut
Shoimin
(2013:
216)
langkah-langkah
model
pembelajaran kooperatif tipe time token yaitu:
1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran.
2) Guru mengondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi
(Cooperative Learning).
3) Guru memberi tugas kepada siswa.
4) Guru memberi sejumlah kupon berbicara dengan waktu ± 30
detik per kupon pada tiap siswa.
5) Guru meminta siswa menyerahkan kupon terlebih dahulu
sebelum berbicara atau berpendapat. Setiap tampil berbicara
satu kupon. Siswa dapat tampil lagi setelah bergiliran dengan
siswa lainnya. Siswa yang telah habis kuponnya tak boleh
berbicara lagi. Siswa yang masih memegang kupon harus
berbicara sampai kupon yang dipegang habis.
6) Demikian seterusnya hingga semua anak menyampaikan
pendapatnya.
7) Guru memberi sejumlah nilai sesuai waktu yang digunakan tiap
siswa.
28
Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat
model pembelajaran kooperatif tipe time token adalah suatu
kegiatan pembelajaran secara berkelompok dengan tujuan agar
siswa ikut berpartipasi dalam kegiatan kelompok melalui kupon
berbicara. Pembelajaran ini dapat meningkatkan keterampilan
sosial
dan
menghindari
siswa
yang
mendominasi
dalam
pembicaraan. Dalam pembelajaran siswa diberi kupon berbicara
dengan waktu ± 30 detik per kupon pada tiap siswa. Dengan
demikian masing-masing siswa memiliki kesempatan dalam
berbicara/ mengemukakan pendapat.
l. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif tipe
Time Token
1) Kelebihan
Setiap model pembelajaran tentu ada kelemahan dan
kelebihannya. Adapun
kelebihan dari model
pembelajaran
kooperatif tipe time token menurut Shoimin (2014: 216) sebagai
berikut: a) mendorong siswa untuk meningkatkan inisiatif dan
partisipasi; b) siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam
sama sekali; c) siswa menjadi aktif dalam kegiatan pembelajaran;
d) meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi (aspek
berbicara); e) melatih siswa mengungkapkan pendapatnya; f)
menumbuhkan kebiasaan pada siswa untuk saling mendengarkan,
berbagi, memberi masukan, dan keterbukaan terhadap kritik; g)
mengajarkan siswa untuk menghargai pendapat orang lain; h) guru
dapat berperan untuk mengajak siswa mencari solusi bersama
terhadap masalah yang ditemui; i) tidak memerlukan banyak
media.
Kelebihan yang disampaikan oleh Shoimin dapat tercapai
apabila pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Time
29
Token berjalan dengan baik dan lancar. Sesuai dengan pendapat di
atas bahwa kelebihan yang diperoleh apabila menerapkan model
pembelajaran kooperatif tipe Time Token ini adalah dapat
mendorong siswa untuk meningkatkan inisiatif dan partisipasi,
dapat
melatih
siswa
untuk
berkomunikasi,
melatih
siswa
mengungkapkan pendapatnya, dan membiasakan siswa untuk
berinteraksi dengan orang lain dan diri sendiri.
2) Kelemahan
Shoimin (2014: 216) mengemukakan kelemahan model
pembelajaran time token yaitu: a) hanya dapat digunakan untuk
mata pelajaran tertentu; b) tidak dapat digunakan pada kelas yang
jumlah siswanya banyak; c) memerlukan banyak waktu untuk
persiapan dan dalam proses pembelajaran karena semua siswa
harus berbicara satu per satu sesuai jumlah kupon yang
dimilikinya; d) siswa yang aktif tidak dapat mendominasi dalam
kegiatan pembelajaran.
Model pembelajaran kooperatif tipe Time Token selain
memiliki keunggulan juga memiliki kekurangan. Permasalahannya
jika kelas yang digunakan dalam jumlah yang banyak maka hanya
akan memerlukan waktu yang banyak untuk menilai siswa satu per
satu, sehingga pembelajaran menjadi tidak efektif dan efisien.
Selain itu berdasarkan pendapat Shoimin di atas, dalam kegiatan
berkelompok adanya siswa yang kehilangan kepercayaan diri
karena didominasi oleh siswa yang mampu saja, sehingga guru
perlu memotivasi setiap siswa agar kepercayaan dirinya tumbuh
dan mampu memanfaatkan kesempatan yang ada agar berani
menyampaikan pendapatnya. Dalam penerapannya, guru harus
melakukan
persiapan
yang
matang
baik
dalam
materi
pembelajarannya, sehingga membutuhkan tenaga dan pikiran yang
lebih banyak.
30
Model pembelajaran kooperatif tipe Time Token ini pernah
diterapkan untuk mengatasi permasalahan pembelajaran yang lain,
sehingga model pembelajaran ini pernah diteliti oleh peneliti
sebelumnya. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain:
Pertama, Arini (2011) dalam penelitiannya yang berjudul
“Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas V SD Melalui
Model Number Heads Together (NHT) Dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SDN Karangbesuki 01 Kota Malang”. Dari penelitian ini
dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Number
Heads Together (NHT) dapat meningkatkan keterampilan berbicara
siswa kelas V SDN Karangbesuki 01 Malang. Hal ini dapat dilihat dari
hasil penilaian dalam setiap siklus tindakan. Keterampilan berbicara
peserta didik pada kondisi awal masih rendah yaitu perolehan nilai
rerata sebesar 60,3 (55,6%) peserta didik yang memperoleh nilai di
atas KKM. Kondisi tersebut dapat ditingkatkan pada siklus I dengan
perolehan ketuntasan siswa sebesar 88,05%. Pada siklus II hasil
penelitian meningkat yaitu ketuntasan siswa sebesar 97,6%. Hal ini
menunjukkan bahwa tindakan pada siklus II dapat dikatakan berhasil.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rochma Arini yaitu
kesamaan variabel terikat, yaitu tentang keterampilan berbicara.
Perbedaannya
pada
menggunakan
model
variabel
bebas.
pembelajaran
Penelitian
Number
Rohma
Heads
Arini
Together
sedangkan penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif
tipe Time Token.
Kedua, Salsabila (2014) dalam penelitiannya yang berjudul
“Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Media Gambar Seri
pada Siswa Kelas V SD Muhammadiyah 11 Mangkuyudan Surakarta
Tahun Ajaran 2013/2014”. Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa penerapan media gambar seri dapat meningkatkan keterampilan
berbicara pada siswa kelas V SD Muhammadiyah 11 Mangkuyudan
31
Surakarta. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian dalam setiap siklus
tindakan. Pemahaman konsep sumber daya alam peserta didik pada
kondisi awal masih rendah yaitu perolehan nilai rerata sebesar 65,5
(39,29%) peserta didik yang memperoleh nilai di atas KKM. Kondisi
tersebut dapat ditingkatkan pada siklus I dengan perolehan rerata
sebesar 72,07 dengan ketuntasan siswa sebesar 67,86%. Pada siklus II
hasil penelitian meningkat yaitu perolehan rerata sebesar 83,71 dengan
ketuntasan siswa sebesar 92,86%. Hal ini menunjukkan bahwa
tindakan pada siklus II dapat dikatakan berhasil.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Zahra Salsabila yaitu
kesamaan variabel terikat, yaitu tentang keterampilan berbicara.
Perbedaannya pada variabel bebas. Penelitian Zahra Salsabila
menggunakan
media
gambar
seri
sedangkan
penelitian
ini
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token.
Ketiga, Deviardiana (2012) dalam penelitiannya yang berjudul
“Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Time Token Arends Untuk
Meningkatkan Keberanian Berpendapat dalam Pembelajaran IPA
Peristiwa Alam pada Siswa Kelas V SD Negeri 1 Bareng Klaten
Tahun Ajaran 2011/2012”. Dari penelitian ini dapat disimpulkan
bahwa penerapan model pembelajaarn kooperatif tipe time token dapat
meningkatkan keberanian berpendapat dalam pembelajaran IPA
peristiwa alam pada siswa kelas V SD Negeri 1 Bareng Klaten. Hal ini
dapat dilihat dari hasil penilaian dalam setiap siklus tindakan.
Keberanian berpendapat dalam pembelajaran IPA peristiwa alam
peserta didik pada kondisi awal masih rendah yaitu perolehan nilai
rerata sebesar 44,70 (30,43%) peserta didik yang memperoleh nilai di
atas KKM. Kondisi tersebut dapat ditingkatkan pada siklus I dengan
perolehan rerata sebesar 59,87 dengan ketuntasan siswa sebesar
47,83%. Pada siklus II hasil penelitian meningkat yaitu perolehan
32
rerata sebesar 70,78 dengan ketuntasan siswa sebesar 86,96%. Hal ini
menunjukkan bahwa tindakan pada siklus II dapat dikatakan berhasil.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Lucia Deshinta
Deviardiana yaitu kesamaan variabel bebas, yaitu model pembelajaran
kooperatif tipe time token. Perbedaannya pada variabel terikat.
Penelitian Lucia Deshinta Deviardiana tentang keberanian berpendapat
dalam pembelajaran IPA peristiwa alam sedangkan penelitian ini
tentang keterampilan berbicara.
B. Kerangka Berpikir
Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas V Sekolah Dasar
Negeri Sondakan No.11 Surakarta yang dilakukan oleh peneliti (kondisi
awal).
Wawancara
tersebut
menunjukkan
bahawa
guru
belum
menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe time token dalam
keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Menurut
pemaparan guru tersebut diidentifikasikan keterampilan berbicara siswa
masih mengalami kesulitan dan tergolong masih rendah. Pembelajaran
keterampilan berbicara yang selama ini dilakukan di dalam kelas masih
mengalami beberapa hambatan yang dapat menyebabkan rendahnya
keterampilan tersebut. Penyebab rendahnya keterampilan berbicara siswa
antara lain sebagai berikut proses pembelajaran keterampilan berbicara
yang diterapkan guru masih menggunakan model pembelajaran teacher
centered atau pembelajaran yang berpusat pada guru sehingga siswa
kurang tertarik dalam mengikuti pembelajaran. Guru jarang memberi
kesempatan siswanya untuk tampil di depan kelas. Pembelajaran yang
berlangsung yaitu pembelajaran satu arah. Kemudian guru juga belum
mengetahui
model-model
pembelajaran
yang
peningkatan dalam proses keterampilan berbicara.
dapat
menunjang
33
Bertolak dari permasalahan tersebut, diperlukan suatu tindakan
pembelajaran dengan menggunakan model yang dapat meningkatkan
keterampilan berbicara siswa (tindakan). Salah satu model yang dapat
digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe time token. Dengan
menggunakan model pembelajaran ini, keterampilan berbicara siswa
diharapkan dapat meningkat karena model ini menyajikan cara yang lebih
efektif dan efisien untuk membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran
berbicara. Model kooperatif time token dikatakan efektif karena dengan
penerapan model ini setiap siswa dapat berbicara sehingga keberhasilan
pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai. Sedangkan dikatakan
efisien karena proses pembelajaran keterampilan berbicara dapat secara
merata dirasakan oleh setiap siswa. Penggunaan kupon berbicara akan
memberikan kesempatan setiap siswa untuk tampil berbicara.
Pada kondisi akhir diharapkan terdapat peningkatan kualitas proses
dan hasil keterampilan berbicara menggunakan model pembelajaran time
token. Peningkatan ini akan ditandai dengan target akhir sebanyak 80%
dari jumlah siswa kelas V yang ada mendapatkan nilai diatas KKM (≥70).
34
Kerangka berpikir dalam penelitian ini divisualisaikan pada gambar
2.1 sebagai berikut:
Guru menggunakan
Kondisi awal
model pembelajaran
Keterampilan berbicara
konvensional dalam
siswa SDN Sondakan
pembelajaran
No.11 masih rendah
keterampilan berbicara
Menggunakan model
Tindakan
pembelajaran
kooperatif tipe time
Siklus I
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
Materi : peritiwa alam
token
3. Pengamatan
4. Refleksi
Melalui model pembelajaran
kooperatif tipe time token
diduga dapat meningkatkan
Kondisi akhir
keterampilan berbicara
pada
siswa kelas V SDN Sondakan
NO.
11
Surakarta
Tahun
Ajaran 2015/2016
Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir
Siklus II
1. Perencanaan
2. Pelaksanaan
Materi : peristiwa sehari-hari
3. Pengamatan
4. Refleksi
35
C. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka
berpikir diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas
sebagai berikut:
Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe time token dapat
meningkatkan hasil pembelajaran keterampilan berbicara pada siswa kelas
V Sekolah Dasar Negeri Sondakan No.11 Surakarta tahun ajaran
2015/2016.
Download