BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Keterampilan Berbicara a. Pengertian Keterampilan Keterampilan merupakan kemampuan seseorang untuk melakukan tindakan secara baik. Subana dan Sunarti (2011: 36) berpendapat keterampilan mengandung beberapa unsur kemampuan yaitu kemampuan psikis (daya pikir) dan kemampuan fisik (perbuatan). Subana dan Sunarti menyatakan kegiatan yang berkaitan dengan kemampuan berpikir dan bernalar merupakan suatu keterampilan. Sukmadinata (2012: kemampuan seseorang 184) dalam berpendapat menerapkan keterampilan atau adalah menggunakan pengetahuan yang dikuasainya dalam sesuatu bidang kehidupan. Sedangkan Reber dalam Jauhari (2013: 121) berpendapat bahwa keterampilan adalah kegiatan melakukan pola-pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi secara mulus dan sesuai dengan keadaan untuk mencapai hasil tertentu. Sejalan dengan pendapat di atas Ichsan dan Nursanto (2013: 29) berpendapat bahwa keterampilan adalah kegiatan mental dan atau fisik yang terorganisasi serta memiliki bagian-bagian kegiatan yang saling bergantung dari awal hingga akhir. Dari pendapat beberapa ahli di atas disimpulkan bahwa keterampilan adalah kemampuan menyelesaikan sesuatu sesuai dengan bidangnya diwujudkan dalam pola tingkah laku yang kompleks dan tersusun rapi. 7 8 Keterampilan dapat diartikan sebagai kegiatan melatih pengetahuan yang dikuasai sehingga dapat sesuai dengan hasil yang diharapkan. b. Pengertian Berbicara Salah satu standar kompetensi bahan kajian pembelajaran Bahasa Indonesia adalah berbicara secara efektif dan efisien untuk mengungkapkan gagasan, pendapat, kritikan, perasaan, dalam berbagai bentuk kepada berbagai mitra bicara sesuai dengan pembicaraan serta berapresiasi sastra dalam berbagai jenis dan bentuk melalui kegiatan melisankan hasil sastra. Berbicara merupakan kegiatan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan. Menurut Abidin (2013: 125) berbicara adalah kemampuan seseorang untuk mengeluarkan ide, gagasan ataupun pikirannya kepada orang lain melalui media bahasa lisan. Berdasarkan pengertian ini berbicara tidak sekadar menyampaikan pesan tetapi proses melahirkan pean itu sendiri. Menurut Nurgiantoro (2014: 399) berbicara merupakan aktivitas berbahasa kedua yang dilakukan manusia dalam kehidupan bahasa setelah mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi (bahasa) yang didengarnya itulah kemudian manusia belajar mengucapkan an akhirnya mampu berbicara. Sejalan dengan pendapat di atas, Ngalimun dan Alfulaila (2014: 55) mengungkapkan bahwa berbicara merupakan sarana utama untuk membina saling pengertian, komunikasi saling timbal balik, dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Selain itu, dijelaskan juga berbicara mempunyai aspek dua arah, yakni antara pembicara dengan pendengarnya secara timbal balik. Menurut Poerwanti (2013: 43), berbicara adalah suatu proses berkomunikasi dengan mempergunakan suara yang dihasilkan oleh 9 ucap manusia yang didalamnya terjadi pemindahan pesan dari suatu sumber ke tempat yang lain. Berdasarkan pengertian di atas disimpulkan bahwa berbicara merupakan suatu alat untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang telah disusun melalui media bahasa lisan. Berbicara merupakan salah satu alat yang digunakan dalam kegiatan sehari-hari dalam bentuk media lisan. Berbicara merupakan sarana utama untuk berkomunikasi dengan lawan bicara. c. Hakikat Keterampilan Berbicara Empat aspek keterampilan berbahasa yang mencakup dalam pembelajaran bahasa, yaitu: 1) keterampilan menyimak; 2) keterampilan berbicara; 3) keterampilan membaca; 4) keterampilan menulis. Keterampilan tersebut saling berhubungan satu sama lain. Keterampilan berbicara menduduki tempat utama dalam memberi dan menerima informasi serta memajukan hidup dalam peradaban dunia modern. berpendapat Sunendar bahwa dan keterampilan Iskandarwassid berbicara (2015: pada 123) hakikatnya merupakan kegiatan mereproduksi arus sistem bunyi artikulasi untuk menyampaikan kehendak, kebutuhan perasaan, dan keinginan kepada orang lain. Dalam hal ini, kelengkapan alat ucap seseorang merupakan persyaratan alamiah yang memungkinkannya untuk memproduksi suatu ragam yang luas bunyi artikulasi, tekanan nada, kesenyapan dan lagu bicara. Dari pendapat ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian keterampilan berbicara adalah kemampuan seseorang untuk mengungkapkan gagasan, ide, atau pikirannya kepada lawan bicaranya secara lisan. 10 d. Tujuan Berbicara Tujuan berbicara merupakan hal yang sangat penting untuk ditentukan sebelum seorang pembicara memaparkan gagasannya. Menurut Abidin (2013: 129) mengemukakan tujuan berbicara sebagai berikut: 1) Informatif. Tujuan informatif merupakan tujuan berbicara yang dipilih pembicara ketika ia bermaksud menyampaikan gagasan untuk membangun pengetahuan pendengar. 2) Rekreatif. Tujuan rekreatif merupakan tujuan berbicara untuk memberikan kesan menyenangkan bagi diri pembicara dan pendengar. Jenis tujuan ini adalah untuk menghibur pendengar sehingga pendengar menjadi merasa terhibur dengan adanya pembicara. 3) Persuasif. Tujuan persuasif merupakan tujuan pembicaraan yang menekankan daya bujuk sebagai kekuatannya. Hal ini berarti tujuan pembicaraan ini lebih menekankan pada usaha memengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan pembicara. 4) Argumentatif. Tujuan ini bertujuan untuk meyakinkan pendengar atas gagasan yang disampaikan oleh pembicara. Menurut Tarigan dalam Cahyani dan Hodijah (2007: 60) mengemukakan tujuan berbicara sebagai berikut: 1) tujuan berbicara yang menghibur berarti pembicaraan yang menarik perhatian pendengar dengan berbagai cara, seperti humor, spontanitas, kisah-kisah jenaka, dan sebagainya untuk menimbulkan suasana gembira pada pendengarnya; 2) berbicara untuk tujuan menginformasikan, untuk melaporkan, dilaksanakan bila seseorang ingin menjelaskan sesuatu atau memberi pengetahuan; 3) berbicara untuk menstimulasi pendengar jauh lebih kompleks sebab berbicara harus dapat mempengaruhi atau 11 meyakinkan menggerakkan pendengarnya; diperlukan 4) dalam pembicara berbicara yang pintar untuk dalam menyampaikan pendapat dan penguasaannya terhadap ilmu sehingga pembicara dapat menggerakkan pendengarnya. Menurut Slamet dan Saddhono (2012: 66-67), tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran, gagasan, perasaan, dan kemauan secara efektif, seyogyanya pembicaramemahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan: dia harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengarnya, dan lain sebagainya dapat dimanfaatkan untuk mengontrol diri, apakah sudah mempunyai kesanggupan mengucapkan bunyi-bunyi bahasa dengn tepat, mengungkapkan fakta-fakta dengan spontan, dan menerapkan kaidah-kaidah bahasa yang benar secara otomatis. Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama dalam berbicara adalah untuk berkomunikasi. Pembicara harus memahami makna segala sesuatu yang ingin disampaikan agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif. e. Faktor-faktor yang Mempengaruhi dalam Berbicara Untuk menjadi pembicara yang baik, seorang pembicara harus menguasai masalah yang sedang dibicarakan, dan harus berbicara dengan jelas dan tepat. Beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh seorang pembicara menurut Abidin (2013: 127) yaitu: 1) Kepekaan dalam fenomena. Faktor ini berhubungan dengan kemampuan pembicara untuk menjadikan sebuah fenomena sebagai sebuah sumber ide. Seorang pembicara yang baik mampu menjadikan segala sesuatu yang ada di sekitarnya sebagai sumber ide. 12 2) Kemampuan kognisi atau imajinasi. Kemampuan ini berhubungan dengan daya dukung kognisi dan imajinasi pembicara. Kemampuan penggunaan kognisi atau imajinasi ini akan sangat berhubungan dengan tujuan pembicaraan yang akan ia lakukan. 3) Kemampuan bahasa. Kemampuan ini merupakan kemampuan pembicara mengemas ide dengan bahasa yang baik dan benar. Selain itu, kemampuan ini juga berhubungan dengan organ berbicara seseorang. 4) Kemampuan psikologis. Kemampuan psikologis berhubungan dnegan kejiwaan pembicara misalnya keberanian, ketenangan, dan daya adaptasi psikologis ketika berbicara. 5) Kemampuan performa. Kemampuan ini berhubungan dengan praktik berbicara. Seorang pembicara yang baik akan menggunakan berbagai gaya yang sesuai dengan situasi, kondisi, dan tujuan pembicaraannya. Sebagaimana diungkapkan oleh Arsjad dan Mukti U.S. (2005: 17) bahwa pembicara perlu memperhatikan faktor kebahasaan dan nonkebahasaan. Faktor kebahasaan yang menunjang keefektifan berbicara, meliputi: a) ketepatan ucapan, b) penempatan tekanan, c) nada sandi, d) durasi yang sesuai, e) pilihan kata, f) ketepatan sasaran kebahasaan, g) struktur kalimat, h) pilihan ungkapan. Faktor-faktor nonkebahasaan antara lain: a) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku, b) pandangan harus diarahkan pada lawan bicara, c) kesediaan menghargai pendapat orang lain, d) gerakgerik dan mimik yang tepat, e) kenyaringan suara, kelancaran, relevansi atau penalaran, f) ketepatan topik. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan faktor-faktor yang menunjang keefektifan berbicara adalah kemampuan berbahasa seperti tataran linguistik dari fonem hingga 13 semantik-pragmatik dan kemampuan pembicara dalam menyampaikan topik pembicaraan dengan lawan bicaranya. f. Pembelajaran Keterampilan Berbicara di Sekolah Dasar Anak adalah produk lingkungan. Bila lingkungan sering mengajak bicara, dan segala pertanyaan anak dijawab dan diperhatikan, serta lingkungan menyediakan kesempatan untuk belajar dan berlatih berbicara, tidak memberi kesempatan perkembangan anak, anak tersebut akan terampil berbicara. Sebaliknya, bila orang tua, anggota keluarga, dan masyarakat tidak memberi kesempatan perkembangan anak maka anak akan mengalami kesulitan belajar berbicara. Zulela (2012: 4), pembelajaran bahasa Indonesia di SD diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan baik, baik secara lisan maupun tulisan. Pada kelas rendah, siswa sudah memperoleh keterampilan berbicara pada lingungan keluarga yang masih menggunakan bahasa ibu, kemudian dikembangkan secara sistematis melalui pembelajaran melalui media lisan. Untuk kelas tinggi, siswa diarahkan untuk memahami bicara orang lain baik secara langsung maupun lewat media. Sehingga kemampuan mereka dalam berkomunikasi dapat meningkat. Keterampilan berbicara harus dikuasai oleh peserta didik sekolah dasar karena keterampilan ini berkaitan dengan seluruh proses belajar peserta didik di sekolah dasar. Peserta didik yang tidak mampu berbicara degan baik dan benar akan mengalami kesulitan dalam proses belajarnya. 14 Tabel 2. 1 Kompetensi dan Kompetensi Dasar Kelas V Semester 2 Standar Kompetensi 6. Mengungkapkan pikiran dan persaan secara lisan dalam diskusi dan bermain drama Kompensi Dasar 6.1 Mengomentari persoalan faktual disertai alasan yang mendukung dengan memperhatikan pilihan late dan santun berbahasa (Silabus Bahasa Indonesia Kelas V Sekolah Dasar) g. Penilaian Pembelajaran Keterampilan Berbicara Penilaian hasil pembelajaran merupakan bagian dari kurikulum, bagian dari pelaksanaan pendidikan secara keseluruhan. Penilaian memiliki posisi yang strategis dalam usaha peningkatan kualitas pembelajaran dan lulusan pendidikan pada tiap jenjang sekolah. Penilaian dapat menyediakan informasi yang sangat berguna untuk tujuan peningkatan pembelajaran dan hasil peserta didik, termasuk dalam bidang kebahasaan khususnya keterampilan berbicara. Keberhasilan suatu kegiatan tentu memerlukan penilaian. Pengajaran keterampilan berbicara merupakan salah satu kegiatan di dalam pengajaran Bahasa Indonesia yang memerlukan penilaian tersendiri. Berikut ini terdapat beberapa hal yang akan dipaparkan mengenai kriteria penilaian dalam pengajaran keterampilan berbicara. Suhendar dalam Cahyani dan Hodijah (2007: 64) mengemukakan bahwa bila akan menilai kemampuan berbicara seseorang sekurang-kurangnya ada enam hal yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Lafal; 2) Struktur; 3) Kosakata; 4) Kefasihan; 15 5) Isi pembicaraan; 6) Pemahaman. Menilai keterampilan berbicara siswa bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Menurut Lee dalam Slamet dan Saddhono (2012: 106) mengungkapkan bahwa alat penilaian (tes) itu harus dapat menilai kemampuan mengomunikasikan gagasan yang tentu saja mencakup kemampuan menggunakan kata, kalimat, dan wacana, yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan psikomotorik. Senadan dengan pendapat Akhadiah dalam Slamet dan Saddhono (2012: 107) yang menilai keterampilan berbicara dengan menggunakan prosedur penilaian yang mencakup: tekanan, tata bahasa, kosakata, kelancaran, dan pemahaman. Masing-masing aspek tersebut akan memiliki bobot atau skala nilai. Hurlock (2013: 185) mengatakan bahwa belajar berbicara mencakup tiga proses tepisah tetapi saling terhubung satu sama lain, yakni: belajar mengucapkan kata, membangun kosa kata, dan membentuk kalimat. Seperti yang diungkapkan Ampa, Basri, dan Andriani (2013), “Many people do not pay attention to pronunciation, structure, and vocabulary when teaching ‘speaking skills’. But in fact, many cases of misunderstanding in communication were caused by the mispronouncing of words, misusing of vocabulary, and disordering words and sentences”. Kebanyakan orang kurang memperhatikan pengucapan, struktur kalimat, dan kosa kata saat mereka mengajarkan keterampilan berbicara. Padahal faktanya, banyak kasus kesalahpahaman dalam berkomunikasi, seperti kesalahan pengucapan kata, kesalahan penggunaan kosa kata, serta kekacauan kata dan kalimat. Berdasarkan pendapat ahli tentang ukuran penilaian keterampilan berbicara di atas, maka dapat disusun indikator penilaian setiap aspek sebagai berikut: 16 1) Ketepatan kata Jika anak mampu memilih dan menggunakan kata dengan bervariasi, tepat arti, dan artikulasi jelas. 2) Ketepatan kalimat Jika anak mampu menyusun kalimat sederhana dengan jelas, tata bahasa benar, dan dapat dipahami oleh orang lain tanpa bantuan guru 3) Kesesuaian dengan tema Jika anak berani dan mampu berbicara sesuai tema yang disajikan dengan runtut dan jelas 4) Kelancaran Jika anak berani dan mampu berbicara dengan lancar, tidak terputus-putus, dan tidak terlalu lama dalam berbicara tanpa bantuan guru Dari definisi yang telah dijabarkan di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat keterampilan berbicara adalah suatu kegiatan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyampaikan kehendak, perasaan, kemauan, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan komunikasi baik berhadapan secara langsung ataupun dengan jarak jauh. 2. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif tipe Time Token a. Pengertian Model Menurut Suyadi (2013: 14) model adalah gambaran kecil atau miniatur dari sebuah konsep besar. Sedangkan Majid (2013: 13) mengemukakan model adalah sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Mills dalam Suprijono (2014: 45) menyatakan bahwa model adalah bentuk representasi akurat sebagai proses aktual yang menungkinkan seseorang atau sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan 17 model itu. Model merupakan interpretasi terhadap hasil observasi dan pengukuran yang diperoleh dari beberapa sistem. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan model yaitu gambaran sederhana yang dapat menjelaskan objek, sistem atau suatu konsep. Model merupakan kerangka dari sebuah konsep yang dijadikan sebagai acuan. b. Pengertian Pembelajaran Menurut Khanifatul (2013: 14) pembelajaran adalah usaha sadar yang dilakukan oleh guru atau pendidik untuk membuat siswa atau peserta didik belajar (mengubah tingkah laku untuk mendapatkan kemampuan baru) yang berisi suatu sistem atau rancangan untuk mencapai suatu tujuan. Sejalan dengan pendapat di atas Sagala (2011: 61) menyatakan bahwa pembelajaran ialah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan. Sedangkan menurut Hamalik (2014: 57) menyatakan bahwa pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsurunsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Suprihatiningrum (2013: 75) berpendapat bahwa pembelajaran adalah serangkaian kegiatan yang melibatkan informasi dan lingkungan yang disusun secara terencana untuk memudahkan siswa dalam belajar. Pembelajaran merupakan proses utama yang diselenggarakan dalam kehidupan sekolah sehingga antara guru yang mengajar dan anak didik yang belajar dituntut profit tertentu. Berdasarkan pengertian di atas disimpulkan bahwa pembelajaran adalah upaya yang dilakukan oleh pendidik untuk membantu siswa agar dapat menerima pengetahuan yang diberikan dan membantu memudahkan pencapaian tujuan pembelajaran. 18 c. Pengertian Model Pembelajaran Joyce dalam Hamruni (2012: 5) menyatakan bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran termasuk didalamnya buku-buku, film, komputer, kurikulum, dan lain-lain. Setiap model pembelajaran mengarah kepada desain pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Suyadi (2013: 14) berpendapat bahwa model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran. Menurut Majid (2013: 13) model pembelajaran merupakan kerangka dasar pembelajaran yang dapat diisi oleh beragam muatan mata pelajaran, sesuai dengan karakteristik kerangka dasarnya. Menurut Suprijono (2014: 46) model pembelajaran dapat didefinisikan sebagai kerangka konseptual yang melukiskan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar. Sejalan dengan pendapat di atas, menurut Arends dalam Suprijono (2014: 46) menyatakan bahwa model pembelajaran mengacu pada pendekatan yang akan digunakan, termasuk didalamnya tujuan-tujuan pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran, lingkungan pembelajaran, dan pengelolaan kelas. Joyce dan Weill dalam Huda (2014: 73) mendeskripsikan model pengajaran sebagai rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum, mendesain materi-materi instruksional dan memadu proses pengajaran di ruang kelas atau di setting yang berbeda. 19 Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan model pembelajaran merupakan suatu pola yang sistematis yang digunakan oleh guru sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran. d. Jenis-jenis Model Pembelajaran Menurut Sugiyanto (2009: 3) jenis-jenis model pembelajaran di antaranya 1) model pembelajaran kontekstual; 2) model pembelajaran kooperatif; 3) model pembelajaran kuantum; 4) model pembelajaran terpadu; 5) model pembelajaran berbasis masalah. 1) Model pembelajaran kontekstual Pembelajaran kontekstual yaitu konsep pembelajaran yang mendorong guru untuk mengaitkan antara materi yang diajarkan dan situasi dunia nyata siswa selain itu juga mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. 2) Model pembelajaran kooperatif Pembelajaran kooperatif merupakan pembelajaran yang berfokus pada penggunaan kelompok kecil siswa untuk bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar. 3) Model pembelajaran kuantum Prinsip kuantum adalah semua berbicara-bermakna, semua mempunyai tujuan, konsep harus dialami, tiap usaha siswa diberi reward. Strategi kuantum adalah tumbuhkan minat dengan AMBAK (Apa Manfaat Bagiku), alami dengan dunia realitas siswa, namai, buat generalisasi sampai konsep, demonstrasikan melalui presentasi, komunikasi, ulangi dengan tanya jawab, latihan, rangkuman, dan rayakan dengan reward dengan senyumtawa-ramah-sejuk-nilai-harapan. 20 4) Model pembelajaran terpadu Pengajaran terpadu pada dasarnya sebagai kegiatan mengajar dengan memadukan beberapa mata pelajaran dalam satu tema. Dengan demikian, pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar dengan cara ini dapat dilakukan dengan mengajarkan beberapa materi pelajaran disajikan tiap pertemuan. 5) Model pembelajaran berbasis masalah Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri. Berdasarkan jenis-jenis model pembelajaran di atas, penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif yang merupakan model pembelajaran berbasis kelompok-kelompok kecil yang saling bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama. e. Hakikat Model Pembelajaran Kooperatif Model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas kerja kelompok. Menurut Hamdayama (2014: 64) model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang memiliki latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda. Menurut Isjoni (2014: 15) model pembelajaran kooperatif suatu model pembelajaran dimana sistem belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil yang berjumlah 4-6 orang secara kolaboratif sehingga dapat merangsang siswa lebih bergairah dalam belajar. 21 Menurut Shoimin (2014: 45) model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Menurut Rukayah (2012: 18) model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang mengutamakan kerjasama di antara siswa dalam kelompok, yang anggota kelompoknya terdiri dari beberapa siswa yang memiliki kemampuan yang tidak sama (homogen) untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan menurut Felder dan Brent dalam Laguador (2014: 46) menyatakan “The term cooperative learning (CL) refers to students working in teams on an assignment or project under conditions in which certain criteria are satisfied, including that the team members be held individually accountable for the complete content of the assignment or project”. Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa pembelajaran kooperatif mengacu pada siswa untuk bekerja dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas atau proyek dan bertanggung jawab secara individu atas tugas yang diberikan kepadanya. Bertolak pada pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran yang berbentuk kerjasama dalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan belajar. f. Karakteristik Model Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif mempunyai banyak perbedaan dengan model pembelajaran yang lainnya. Pembelajaran kooperatif tidak hanya memacu siswa mempunyai kemampuan dalam bidang akademik, tetapi secara lebih jauh telah mengajarkan siswa bagaimana cara bekerjasama dengan siswa yang lain, menerima kekurangan dan menimba kelebihan siswa yang lainnya. 22 Hartono (2013: 104) menyebutkan beberapa karakteristik mendasar dari model pembelajaran kooperatif yaitu (1) pembelajaran secara tim; (2) berlandaskan manajemen kooperatif; (3) hasrat bekerja sama; (4) keterampilan bekerja sama. Rukayah (2012: 18) menyebutkan elemen-elemen dalam pembelajaran kooperatif yaitu (1) belajar bersama dengan teman; (2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman; (3) saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok; (4) belajar dari teman sendiri dalam kelompok; (5) belajar dalam kelompok kecil; (6) produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat; (7) keputusan tergantung pada siswa sendiri; (8) siswa aktif. Beberapa ciri cooperative learning juga disebutkan oleh Isjoni (2014: 20) yaitu (1) setiap anggota memiliki peran, (2) terjadi hubungan interaksi langsung diantara siswa, (3) setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas atas belajarnya dan juga temanteman sekelompoknya, (4) guru membantu mengembangkan keterampilan-keterampilan interpersonal kelompok, dan (5) guru hanya berinteraksi dengan kelompok saat diperlukan. Selain itu, Stahl dalam Taniredja, Faridli, dan Harmianto (2014: 59) juga menyebutkan ciri-ciri dari model pembelajaran kooperatif sabagai berikut: (1) belajar dengan teman; (2) selama proses belajar terjadi tatap muka antar teman; (3) saling mendengarkan pendapat di antara anggota kelompok; (4) belajar dari teman sendiri dalam kelompok; (5) belajar dalam kelompok kecil; (6) produktif berbicara atau saling mengemukakan pendapat; (7) keputusan tergantung dari mahasiswa sendiri; (8) mahasiswa aktif. Dari berbagai penjelasan di atas dapat disimpulkan karakteristik dari pembelajaran kooperatif adalah belajar secara tim, bekerjasama, tanggung jawab terhadap teman-teman sekelompok, dan saling berinteraksi antaranggota kelompok. 23 g. Langkah-langkah dalam Model Pembelajaran Kooperatif Dalam pembelajaran kooperatif memiliki langkah-langkah yang sistematis. Sugiyanto (2009: 6) menyebutkan ada lima tahapan dalam pembelajaran kooperatif yaitu (1) mengklarifikasi tujuan dan estlablishing set; (2) mempresentasikan informasi atau mengorganisasikan siswa dalam kelompok-kelompok belajar; (3) membantu kerja kelompok belajar; (4) mengujikan berbagai materi; (6) memberikan pengakuan. Sedangkan menurut Hartono (2013: 110) ada beberapa langkah untuk memulai proses pemebelajaran kooperatif, mulai dari menjelaskan materi, membuat siswa belajar dalam kelompok, membuat penilaian, dan memberikan penghargaan. Berbeda dengan Suyadi (2013 : 70) yang mengungkapkan tahapan pelaksanaan cooperative learning yaitu (1) menyampaikan tujuan dan motivasi peserta didik, (2) menyajikan informasi, (3) mengorganisasikan peserta didik ke dalam kelompok-kelompok belajar, (4) membimbing kelompok bekerja dan belajar, (5) evaluasi, (6) memberikan penghargaan. Rukayah (2012: 21) menyebutkan langkah-langkah pembelajaran kooperatif secara umum yang tersaji dalam tabel di bawah ini: 24 Tabel 2. 2 Langkah-langkah Pembelajaran Kooperatif secara Umum (Sumber Rukayah, 2013: 70) FASE-FASE PERILAKU GURU Fase 1: present goals and set Menyampaikan tujuan Menjelaskan tujuan pembelajaran dan dan mempersiapkan peserta didik mempersiapkan peserta didik siap belajar. Fase 2: present information Mempresentasikan informasi kepada Menyajikan informasi peserta didik secara verbal. Fase 3: organize students into learning teams Memberikan penjelasan kepada peserta didik tentang tata cara Mengorganisir peserta didik ke dalam tim-tim belajar pembentukan tim belajar dan membantu kelompok melakukan transisi yang efisien. Fase 4: assist team work and study Membantu tim-tim belajar selama Membantu kerja tim dan belajar peserta didik mengerjakan tugasnya. Fase 5: test on materials Menguji pengetahuan peserta didik Mengevaluasi mengenai pembelajaran berbagai atau materi kelompok- kelompok mempresentasikan hasil kerjanya. Fase 6: provide recognition Memberikan pengakuan Mempersiapkan cara untuk mengakui atau penghargaan usaha dan prestasi individu maupun kelompok. h. Jenis-jenis Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran kooperatif terdiri dari berbagai jenis model tergantung kekhususan masing-masing. Menurut Suprijono (2010: 89) ada beberapa jenis model pembelajaran kooperatif, yaitu: 1) Student 25 Achievement Divisions (STAD); 2) Jigsaw; 3) Group Investigation; 4) Metode Struktural; 5) Team Games Tournaments; 6) Number Head Together (NHT); 7) Cooperative Integrated Reading and Compossition (CIRC); 8) Team Accelerated Instruction (TAI); 9) Rotating Trio Excharger; 10) Group Review; 11) Time token; 12) Think Talk Write (TTW). Jenis-jenis model pembelajaran kooperatif di atas memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing sehingga pada hakikatnya model pembelajaran yang paling tepat untuk digunakan pada setiap mata pelajaran ditentukan berdasarkan kecocokan materi yang akan disampaikan dengan struktur model yang ada. Berdasarkan hal itu, model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran kooperatif tipe time token. Model pembelajaran ini menekankan pada kegiatan berkelompok dan masing-masing individu dalam kelompok harus berpartisipasi/ berbicara di dalam diskusi. i. Pengertian Model Pembelajaran Kooperatif tipe Time Token Pembelajaran kooperatif time token merupakan sebuah model pembelajaran yang dilaksanakan pada kelompok-kelompok. Setiap anggota kelompok diharapkan untuk berpartisipasi untuk berbicara/ berpendapat dengan membawa kupon berbicara yang telah diberi oleh guru. Model pembelajaran time token sangat tepat untuk pembelajaran struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan berbicara. Sekaligus menghindari siswa yang mendominasi dalam berbicara atau siswa yang diam sama sekali. Model pembelajaran time token merupakan model pembelajaran yang bertujuan agar masing-masing anggota kelompok diskusi mendapatkan kesempatan yang sama. Kesempatan yang diberikan untuk berkontribusi dan mendengarkan pendapat dari anggota yang lain. 26 Eliyana dalam Shoimin (2014: 216), model pembelajaran time token adalah salah satu tipe pembelajaran kooperatif. Siswa dibentuk ke dalam kelompok belajar, yang dalam pembelajaran ini mengajarkan keterampilan sosial untuk menghaindari siswa mendominasi pembicaraan atau siswa yang diam sama sekali dalam berdiskusi. Guru memberikan materi pembelajaran dan selanjutnya siswa bekerja dalam kelompok masing-masing untuk memastikan semua anggota kelompok telah menguasai materi pembelajaran yang diberikan. Kemuadian siswa melaksanakan tes atas materi yang telah diberikan dan mereka harus mengerjakannya sendiri tanpa bantuan teman. Menurut Rahmat dalam Shoimin (2014: 216) mengatakan bahwa model pembelajaran time token sangat tepat untuk pembelajaran struktur yang dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial. Model pembelajaran ini mengajak siswa aktif sehingga tepat digunakan dalam pembelajaran berbicara di mana pembelajaran ini benar-benar mengajak siswa untuk aktif dan belajar berbicara di depan umum, mengungkapkan pendapatnya tanpa harus merasa takut dan malu. Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe time token adalah model pembelajaran kooperatif yang menuntut partisipasi atau kontribusi siswa. Partisipasi ini dilaksanakan dalam kelompok untuk berbicara (mengeluarkan ide/ pendapat) dengan diberi kupon berbicara. Sehingga semua siswa harus berlatih untuk berbicara. Dengan demikian siswa tidak ada yang mendominasi dalam pelaksanaan pembelajaran. j. Pelaksanaan Model Time Token dalam Pembelajaran Kooperatif Pembelajaran Time Token membantu guru mengatasi masalah pada siswa yang mengalami kesulitan dalam berbicara (malu) atau mendominasi dalam pembicaraan. Time Token dapat membantu 27 mendistribusikan partisipasi dengan lebih merata. Masing-masing siswa diberi token (kupon) seharga 30 detik waktu berbicara. Seorang siswa memantau interaksinya dan meminta si pembicara untuk menyerahkan sekeping token (kupon) bila mereka melebihi batas waktu yang telah ditetapkan. Bila token yang dipegang siswa sudah habis, siswa tersebut tidak boleh berbicara lagi. Kesempatan ini digunakan bagi mereka yang masih memegang token untuk ikut berkontribusi dalam pembelajaran tersebut. k. Langkah-langkah Model Pembelajaran Kooperatif tipe Time Token dalam Pembelajaran Keterampilan Berbicara Menurut Shoimin (2013: 216) langkah-langkah model pembelajaran kooperatif tipe time token yaitu: 1) Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. 2) Guru mengondisikan kelas untuk melaksanakan diskusi (Cooperative Learning). 3) Guru memberi tugas kepada siswa. 4) Guru memberi sejumlah kupon berbicara dengan waktu ± 30 detik per kupon pada tiap siswa. 5) Guru meminta siswa menyerahkan kupon terlebih dahulu sebelum berbicara atau berpendapat. Setiap tampil berbicara satu kupon. Siswa dapat tampil lagi setelah bergiliran dengan siswa lainnya. Siswa yang telah habis kuponnya tak boleh berbicara lagi. Siswa yang masih memegang kupon harus berbicara sampai kupon yang dipegang habis. 6) Demikian seterusnya hingga semua anak menyampaikan pendapatnya. 7) Guru memberi sejumlah nilai sesuai waktu yang digunakan tiap siswa. 28 Dari pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hakikat model pembelajaran kooperatif tipe time token adalah suatu kegiatan pembelajaran secara berkelompok dengan tujuan agar siswa ikut berpartipasi dalam kegiatan kelompok melalui kupon berbicara. Pembelajaran ini dapat meningkatkan keterampilan sosial dan menghindari siswa yang mendominasi dalam pembicaraan. Dalam pembelajaran siswa diberi kupon berbicara dengan waktu ± 30 detik per kupon pada tiap siswa. Dengan demikian masing-masing siswa memiliki kesempatan dalam berbicara/ mengemukakan pendapat. l. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Kooperatif tipe Time Token 1) Kelebihan Setiap model pembelajaran tentu ada kelemahan dan kelebihannya. Adapun kelebihan dari model pembelajaran kooperatif tipe time token menurut Shoimin (2014: 216) sebagai berikut: a) mendorong siswa untuk meningkatkan inisiatif dan partisipasi; b) siswa tidak mendominasi pembicaraan atau diam sama sekali; c) siswa menjadi aktif dalam kegiatan pembelajaran; d) meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi (aspek berbicara); e) melatih siswa mengungkapkan pendapatnya; f) menumbuhkan kebiasaan pada siswa untuk saling mendengarkan, berbagi, memberi masukan, dan keterbukaan terhadap kritik; g) mengajarkan siswa untuk menghargai pendapat orang lain; h) guru dapat berperan untuk mengajak siswa mencari solusi bersama terhadap masalah yang ditemui; i) tidak memerlukan banyak media. Kelebihan yang disampaikan oleh Shoimin dapat tercapai apabila pelaksanaan model pembelajaran kooperatif tipe Time 29 Token berjalan dengan baik dan lancar. Sesuai dengan pendapat di atas bahwa kelebihan yang diperoleh apabila menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token ini adalah dapat mendorong siswa untuk meningkatkan inisiatif dan partisipasi, dapat melatih siswa untuk berkomunikasi, melatih siswa mengungkapkan pendapatnya, dan membiasakan siswa untuk berinteraksi dengan orang lain dan diri sendiri. 2) Kelemahan Shoimin (2014: 216) mengemukakan kelemahan model pembelajaran time token yaitu: a) hanya dapat digunakan untuk mata pelajaran tertentu; b) tidak dapat digunakan pada kelas yang jumlah siswanya banyak; c) memerlukan banyak waktu untuk persiapan dan dalam proses pembelajaran karena semua siswa harus berbicara satu per satu sesuai jumlah kupon yang dimilikinya; d) siswa yang aktif tidak dapat mendominasi dalam kegiatan pembelajaran. Model pembelajaran kooperatif tipe Time Token selain memiliki keunggulan juga memiliki kekurangan. Permasalahannya jika kelas yang digunakan dalam jumlah yang banyak maka hanya akan memerlukan waktu yang banyak untuk menilai siswa satu per satu, sehingga pembelajaran menjadi tidak efektif dan efisien. Selain itu berdasarkan pendapat Shoimin di atas, dalam kegiatan berkelompok adanya siswa yang kehilangan kepercayaan diri karena didominasi oleh siswa yang mampu saja, sehingga guru perlu memotivasi setiap siswa agar kepercayaan dirinya tumbuh dan mampu memanfaatkan kesempatan yang ada agar berani menyampaikan pendapatnya. Dalam penerapannya, guru harus melakukan persiapan yang matang baik dalam materi pembelajarannya, sehingga membutuhkan tenaga dan pikiran yang lebih banyak. 30 Model pembelajaran kooperatif tipe Time Token ini pernah diterapkan untuk mengatasi permasalahan pembelajaran yang lain, sehingga model pembelajaran ini pernah diteliti oleh peneliti sebelumnya. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini antara lain: Pertama, Arini (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Kelas V SD Melalui Model Number Heads Together (NHT) Dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SDN Karangbesuki 01 Kota Malang”. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran Number Heads Together (NHT) dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V SDN Karangbesuki 01 Malang. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian dalam setiap siklus tindakan. Keterampilan berbicara peserta didik pada kondisi awal masih rendah yaitu perolehan nilai rerata sebesar 60,3 (55,6%) peserta didik yang memperoleh nilai di atas KKM. Kondisi tersebut dapat ditingkatkan pada siklus I dengan perolehan ketuntasan siswa sebesar 88,05%. Pada siklus II hasil penelitian meningkat yaitu ketuntasan siswa sebesar 97,6%. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pada siklus II dapat dikatakan berhasil. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Rochma Arini yaitu kesamaan variabel terikat, yaitu tentang keterampilan berbicara. Perbedaannya pada menggunakan model variabel bebas. pembelajaran Penelitian Number Rohma Heads Arini Together sedangkan penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token. Kedua, Salsabila (2014) dalam penelitiannya yang berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara Melalui Media Gambar Seri pada Siswa Kelas V SD Muhammadiyah 11 Mangkuyudan Surakarta Tahun Ajaran 2013/2014”. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan media gambar seri dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas V SD Muhammadiyah 11 Mangkuyudan 31 Surakarta. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian dalam setiap siklus tindakan. Pemahaman konsep sumber daya alam peserta didik pada kondisi awal masih rendah yaitu perolehan nilai rerata sebesar 65,5 (39,29%) peserta didik yang memperoleh nilai di atas KKM. Kondisi tersebut dapat ditingkatkan pada siklus I dengan perolehan rerata sebesar 72,07 dengan ketuntasan siswa sebesar 67,86%. Pada siklus II hasil penelitian meningkat yaitu perolehan rerata sebesar 83,71 dengan ketuntasan siswa sebesar 92,86%. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pada siklus II dapat dikatakan berhasil. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Zahra Salsabila yaitu kesamaan variabel terikat, yaitu tentang keterampilan berbicara. Perbedaannya pada variabel bebas. Penelitian Zahra Salsabila menggunakan media gambar seri sedangkan penelitian ini menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Time Token. Ketiga, Deviardiana (2012) dalam penelitiannya yang berjudul “Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Time Token Arends Untuk Meningkatkan Keberanian Berpendapat dalam Pembelajaran IPA Peristiwa Alam pada Siswa Kelas V SD Negeri 1 Bareng Klaten Tahun Ajaran 2011/2012”. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaarn kooperatif tipe time token dapat meningkatkan keberanian berpendapat dalam pembelajaran IPA peristiwa alam pada siswa kelas V SD Negeri 1 Bareng Klaten. Hal ini dapat dilihat dari hasil penilaian dalam setiap siklus tindakan. Keberanian berpendapat dalam pembelajaran IPA peristiwa alam peserta didik pada kondisi awal masih rendah yaitu perolehan nilai rerata sebesar 44,70 (30,43%) peserta didik yang memperoleh nilai di atas KKM. Kondisi tersebut dapat ditingkatkan pada siklus I dengan perolehan rerata sebesar 59,87 dengan ketuntasan siswa sebesar 47,83%. Pada siklus II hasil penelitian meningkat yaitu perolehan 32 rerata sebesar 70,78 dengan ketuntasan siswa sebesar 86,96%. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pada siklus II dapat dikatakan berhasil. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Lucia Deshinta Deviardiana yaitu kesamaan variabel bebas, yaitu model pembelajaran kooperatif tipe time token. Perbedaannya pada variabel terikat. Penelitian Lucia Deshinta Deviardiana tentang keberanian berpendapat dalam pembelajaran IPA peristiwa alam sedangkan penelitian ini tentang keterampilan berbicara. B. Kerangka Berpikir Berdasarkan hasil wawancara dengan guru kelas V Sekolah Dasar Negeri Sondakan No.11 Surakarta yang dilakukan oleh peneliti (kondisi awal). Wawancara tersebut menunjukkan bahawa guru belum menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe time token dalam keterampilan berbicara pada mata pelajaran Bahasa Indonesia. Menurut pemaparan guru tersebut diidentifikasikan keterampilan berbicara siswa masih mengalami kesulitan dan tergolong masih rendah. Pembelajaran keterampilan berbicara yang selama ini dilakukan di dalam kelas masih mengalami beberapa hambatan yang dapat menyebabkan rendahnya keterampilan tersebut. Penyebab rendahnya keterampilan berbicara siswa antara lain sebagai berikut proses pembelajaran keterampilan berbicara yang diterapkan guru masih menggunakan model pembelajaran teacher centered atau pembelajaran yang berpusat pada guru sehingga siswa kurang tertarik dalam mengikuti pembelajaran. Guru jarang memberi kesempatan siswanya untuk tampil di depan kelas. Pembelajaran yang berlangsung yaitu pembelajaran satu arah. Kemudian guru juga belum mengetahui model-model pembelajaran yang peningkatan dalam proses keterampilan berbicara. dapat menunjang 33 Bertolak dari permasalahan tersebut, diperlukan suatu tindakan pembelajaran dengan menggunakan model yang dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa (tindakan). Salah satu model yang dapat digunakan adalah model pembelajaran kooperatif tipe time token. Dengan menggunakan model pembelajaran ini, keterampilan berbicara siswa diharapkan dapat meningkat karena model ini menyajikan cara yang lebih efektif dan efisien untuk membantu siswa dalam mengikuti pembelajaran berbicara. Model kooperatif time token dikatakan efektif karena dengan penerapan model ini setiap siswa dapat berbicara sehingga keberhasilan pembelajaran keterampilan berbicara dapat tercapai. Sedangkan dikatakan efisien karena proses pembelajaran keterampilan berbicara dapat secara merata dirasakan oleh setiap siswa. Penggunaan kupon berbicara akan memberikan kesempatan setiap siswa untuk tampil berbicara. Pada kondisi akhir diharapkan terdapat peningkatan kualitas proses dan hasil keterampilan berbicara menggunakan model pembelajaran time token. Peningkatan ini akan ditandai dengan target akhir sebanyak 80% dari jumlah siswa kelas V yang ada mendapatkan nilai diatas KKM (≥70). 34 Kerangka berpikir dalam penelitian ini divisualisaikan pada gambar 2.1 sebagai berikut: Guru menggunakan Kondisi awal model pembelajaran Keterampilan berbicara konvensional dalam siswa SDN Sondakan pembelajaran No.11 masih rendah keterampilan berbicara Menggunakan model Tindakan pembelajaran kooperatif tipe time Siklus I 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan Materi : peritiwa alam token 3. Pengamatan 4. Refleksi Melalui model pembelajaran kooperatif tipe time token diduga dapat meningkatkan Kondisi akhir keterampilan berbicara pada siswa kelas V SDN Sondakan NO. 11 Surakarta Tahun Ajaran 2015/2016 Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir Siklus II 1. Perencanaan 2. Pelaksanaan Materi : peristiwa sehari-hari 3. Pengamatan 4. Refleksi 35 C. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori, penelitian yang relevan, dan kerangka berpikir diatas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas sebagai berikut: Penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe time token dapat meningkatkan hasil pembelajaran keterampilan berbicara pada siswa kelas V Sekolah Dasar Negeri Sondakan No.11 Surakarta tahun ajaran 2015/2016.