BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Dasar Teori 1. Pepaya Pepaya (Carica papaya, L.) Tanaman pepaya merupakan herba menahun dan tingginya mencapai 8 m. Batang tak berkayu, bulat, berongga, bergetah dan terdapat bekas pangkal daun. Dapat hidup pada ketinggian tempat 1m-1.000m dari permukaan laut dan pada suhu udara 22°C- 26°C. Pada umumnya semua bagian dari tanaman baik akar, batang, daun, biji dan buah dapat dimanfaatkan (Dwi, 2009: 7-8). Menurut Tjitrosoepomo (2004), sistematika tumbuhan pepaya (Carica papaya, L.) berdasarkan taksonominya adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Class : Dicotyledoneae Ordo : Cistales Famili : Caricaceae Genus : Carica Spesies : Carica papaya, L. Nama lokal : Pepaya Tanaman pepaya merupakan salah satu sumber protein nabati. Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman yang berasal dari Amerika tropis. 8 Buah pepaya tergolong buah yang popular dan digemari hampir seluruh penduduk di bumi ini (Amir, 1992: 9). Pepaya (Carica papaya, L.) merupakan tanaman yang cukup banyak dibudidayakan di Indonesia. Di Indonesia, tanaman pepaya dapat tumbuh dari dataran rendah sampai daerah pegunungan 1000 m dpl. Negara penghasil pepaya antara lain kosta Rika, Republik Dominika, Puerto Rika, dan lain-lain. Brazil, India, dan Indonesia merupakan penghasil pepaya yang cukup besar (Dwi, 2009: 7-8). a. Kandungan biji pepaya Senyawa aktif dari tanaman pepaya ternyata banyak diantaranya mengandung alkaloid, steroid, tanin dan minyak atsiri. Biji pepaya mengandung senyawa-senyawa steroid. Kandungan biji dalam buah pepaya kira-kira 14,3 % dari keseluruhan buah pepaya (Satriasa dan Pangkahila, 2010: 37-39). Biji pepaya memiliki kandungan berupa asam lemak tak jenuh yang tinggi, yaitu asam oleat dan palmitat (Yuniwati dan Purwanti, 2008: 7884). Biji pepaya diketahui mengandung senyawa kimia lain seperti golongan fenol, alkaloid, terpenoid dan saponin (Niken N. Paramesti, 2014: 7). Zat-zat aktif yang terkandung dalam biji pepaya tersebut bisa berefek estrogenik (Lohiya, dkk, 2002 dalam Purwoistri, R. F, 2010: 69-70). Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kental etanol biji pepaya diketahui mengandung senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid, flavonoid, alkaloid, dan saponin. Berdasarkan terbentuknya endapan atau intensitas warna yang dihasilkan dengan pereaksi uji fitokimia, diketahui bahwa 9 kandungan senyawa metabolit sekunder golongan triterpenoid merupakan komponen utama biji pepaya (Tika pangesti, dkk., 2013: 158). Niken N. Paramesti (2014: 5) mengatakan bahwa papain dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dari pepaya kecuali akarnya. Enzim protease (pengurai protein) yaitu papain dan kimopapain. Papain merupakan satu dari enzim paling kuat yang dihasilkan oleh seluruh bagian tanaman pepaya. Enzim proteolitik merupakan kelompok hidrolase yang berperan pada hidrolisa sekelompok protein menjadi protein – protein tunggal (Dongoran dan Daniel S, 2004: 31). 2. Fitoestrogen Fitoestrogen adalah senyawa yang terdapat pada kelompok tanaman bibi-bijian, kacang-kacangan, sayuran, dan buah-buahan yang memiliki khasiat hampir sama dengan hormon estrogen endogen atau dapat juga berinteraksi reseptor estrogen endogen. Fitoestrogen memiliki dua gugus hidroksil (OH), sama persis dengan estrogen. Gugus OH inilah yang menjadi struktur pokok suatu substrat agar mempunyai efek estrogenik, sehingga mampu berikatan dengan reseptor estrogen (Achadiat, 2003). Fitoestrogen dapat diserap ke dalam tubuh dan mengalami berbagai perubahan dengan cara diekskresikan atau dipecah menjadi komponen-komponen lain yang berbeda di dalam tubuh dan masih mengandung khasiat seperti estrogen endogen. Aktivitas dari khasiat yang mirip dengan estrogen endogen ini hanya beberapa saat, dan pada umumnya tidak dapat disimpan oleh jaringan tubuh dalam waktu yang lama (Biben, 2012: 1-2). 10 Struktur kimia berupa 2 penilnaptalen yang terdapat pada fitoestrogen menyerupai rumus bangun hormon estrogen endogen. Fitoestrogen, estradiol, dan dietilstilbesrol memiliki gugus OH yang merupakan salah satu persyaratan untuk terjadinya aktivitas estrogenik (Biben, 2012: 2). Fitoestrogen yang terdapat di dalam biji pepaya salah satunya adalah flavonoid, oleh karena itu fitoestrogen tersebut memiliki fungsi estrogenik. Biji pepaya juga terdapat salah satu bentuk fitoestrogen, yaitu flavonoid. Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Flavonoid termasuk dalam golongan senyawa phenolik dengan struktur kimia C6-C3-C6. Kerangka flavonoid terdiri atas satu cincin aromatik A, satu cincin aromatik B, dan cincin tengah berupa heterosiklik yang mengandung oksigen dan bentuk teroksidasi cincin ini dijadikan dasar pembagian flavonoid ke dalam sub-sub kelompoknya. Sistem penomoran digunakan untuk membedakan posisi karbon di sekitar molekulnya (Redha, 2010: 197). Gambar 1. Kerangka C6-C3-C6 Flavonoid (Hardianzah, R. 2009: 43) 11 3. Asam Amino Niken N. Paramesti (2014: 5) mengatakan bahwa papain dapat ditemukan pada hampir seluruh bagian dari pepaya kecuali akarnya. Enzim protease (pengurai protein) yaitu papain dan kimopapain. Papain merupakan satu dari enzim paling kuat yang dihasilkan oleh seluruh bagian tanaman pepaya. Enzim proteolitik merupakan kelompok hidrolase yang berperan pada hidrolisa sekelompok protein menjadi protein – protein tunggal (Dongoran dan Daniel S, 2004: 31). Asam amino dapat diperoleh dari protein yang kita makan atau dari hasil degradasi protein di dalam tubuh kita. Protein yang terdapat dalam makanan di cerna dalam lambung dan usus menjadi asam-asam amino yang diabsorpsi dan di bawa oleh darah ke hati. Asam amino yang terdapat dalam darah berasal dari tiga sumber yaitu absorpsi melalui dinding usus, hasil penguraian protein dalam sel dan hasil sintesis asam amino dalam sel (Tedy Mulyadi, 2015: 1). Asam amino yang berperan dalam pembentukan sel darah diantaranya seperti Isoleusin, Alanin, Arginin, Asam aspartat, Glutamin, Glisin, Histidin, Serin, Treonin. Dari beberapa jenis asam amino tersebut berperan dalam pembentukan sel darah merah, dan pembentukan antibodi (Tedy Mulyadi, 2015: 4). 12 4. Transport Dan Penyimpanan Asam Amino a. Asam Amino Darah Konsentrasi normal asam amino di dalam darah antara 35 dan 65 mg/dl. Konsentrasi ini adalah rata-rata dari sekitar 2 mg/dl untuk setiap 20 asam amino, walaupun pada beberapa orang ditemukan konsentrasi yang lebih besar dari pada orang lain. Karena asam amino adalah asam yang relatif kuat, asam amino terdapat dalam darah terutama dalam bentuk ionisasi dan menambah 2 sampai 3 miliekuivalen ion negatif dalam darah. Distribusi sebenarnya dari berbagai asam amino dalam darah sampai batas tertentu bergantung pada tipe protein yang dicerna, tetapi sedikitnya konsentrasi asam amino tunggal diatur oleh sintesis selektif dalam berbagai sel (Guyton dan Hall, 2007: 1095). 1) Asam Amino Yang Diabsorbsi Dari Saluran Pencernaan Hasil akhir pencernaan protein dan absorbsi protein dalam saluran pencernaan hampir seluruhnya dalam bentuk asam amino dan hanya sedikit skali polipeptida atau seluruh molekul protein diabsorbsi dari saluran pencrnaan masuk ke dalam darah. Segera setelah makan, konsentrasi asam amino dalam darah meningkat, tetapi peningkatan biasanya hanya beberapa mg/dl karena dua alasan: pertama, pencernaan dan absorbsi protein biasanya berlangsung lebih dari 2-3 jam, sehingga hanya sedikit asam amino diabsorbsi pada saat yang sama. Kedua, setelah memasuki darah, kelebihan asam amino diabsorbsi dalam waktu 5-10 menit oleh sel di seluruh tubuh, terutama oleh hati. Oleh karena itu hampir tidak pernah konsentrasi asam 13 amino yang tingi berkumpul dalam darah. Namun, kecepatan penggantian asam amino begitu cepat sehingga banyak gram protein dapat dibawa dari satu bagian tubuh ke tempat lain dalam bentuk asam amino tiap jam (Guyton dan Hall, 2007: 1095). 2) Transport Aktif Asam Amino ke Dalam Sel Pada dasarnya semua molekul asam amino terlalu besar untuk berdifusi melalui pori-pori membran sel. Oleh karena itu jumlah asam amino yang bermakna dapat ditransport melalui membran hanya dengan transpor pasif atau transpor aktif yang menggunakan mekanisme carrier. Namun sifat asli beberapa mekanisme carrier masih sangat sediki yang diketahui (Guyton dan Hall, 2007: 1095). 5. Uterus Uterus merupakan tempat implantasi konseptus (zigot yang telah berkembang menjadi embrio). Uterus selanjutnya mengalami serangkaian perubahan selama birahi (estrus) dan daur reproduksi (Dellmann dan Brown, 1992: 491-496). a. Struktur Anatomi Uterus merupakan salah satu organ reproduksi betina yang berfungsi sebagai penerima dan tempat perkembangan janin. Dinding uterus terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu lapisan endometrium, miometrium dan perimetrium. Lapisan endometrium merupakan lapisan yang responsif terhadap perubahan hormon reproduksi, sehingga perubahan lapisan ini bervariasi sepanjang 14 siklus estrus dan dapat dijadikan indikator terjadinya fluktuasi hormon yang sedang terjadi pada hewan tersebut (Sitasiwi, 2008: 40). Uterus tikus memiliki tiga bagian yang melebar disebut korpus bikormal, di bagian atas berbentuk bulat yang melintang di atas tuba uterina disebut fundus, servik atau leher rahim merupakan bagian bawah yang silindris dan bermuara ke dalam vagina (Soewolo, dkk., 2015: 341- 342). b. Struktur Histologi Dinding uterus terdiri dari tiga lapis, yaitu mukosa-submukosa atau endometrium, tunika muskularis atau miometrium, dan tunika serosa atau perimetrium (Sugiyanto, 1996: 10). Endometrium adalah suatu struktur glandular yang terdiri dari lapisan epitel yang membatasi rongga uterus, lapisan glandular, dan jaringan ikat. Variasi tebal dan vaskularis endometrium tergantung pada perubahanperubahan hormonal ovarial dan kebuntingan (Feradis, 2010: 51). Lapisan endometrium uterus terdiri dari tiga daerah fungsional, yaitu stratum basalis, stratum spongiosum dan stratum kompaktum. Stratum spongiosum dan kompaktum disebut juga stratum fungsional. Stratum fungsional dilapisi oleh epitel berbentuk kubus selapis (tunggal). Stratum fungsional mampu mengalami degenerasi sebagian atau seluruhnya secara periodik selama siklus estrus berlangsung sedangkan stratum basalis relatif akan tetap dan bertindak sebagai pembentuk stratum fungsional yang mengalami degenerasi. Endometrium uterus dilengkapi oleh kelenjar dan pembuluh darah (Sitasiwi, 2009: 4). Kelenjar endometrium merupakan 15 kelenjar yang tersusun atas epitel kolumnar dengan nuklei di bagian bawah. Sel kolumner mengelilingi seluruh permukaan endometrium yang membatasi antara lumen uterus, lapisan kelenjar, dan jaringan ikat longgar (Sugiyanto, 1996: 7). Kelenjar ini melebar dan terbuka pada permukaan endometrium. Terdapat dua pembuluh darah dalam endometrium, yaitu spiral dan lurus. Sepanjang siklus estrus kelenjar dan pembuluh darah mengalami perubahan struktur. Peningkatan hormon estrogen yang terjadi dari fase proestrus sampai fase estrus menyebabkan pertumbuhan serta percabangan kelenjar, sedangkan kenaikan progesteron setelah fase estrus menyebabkan peningkatan aktivitas sekresi kelenjar endometrium. Perkembangan struktur kelenjar sepanjang siklus estrus berjalan seiring dengan pertambahan tebal endometrium uterus. Peningkatan kandungan estrogen dapat merangsang pertumbuhan serta percabangan kelenjar endometrium, tetapi uliran serta ekskresi kelenjar tersebut tidak dapat terjadi sebelum ada rangsangan dari progesteron (Dellmann dan Brown, 1992: 514). Miometrium terdiri dari lapis otot dalam yang tebal umumnya tersusun secara melingkar, dan lapis luar dapat memanjang terdiri dari sel-sel otot polos yang mampu meningkatkan jumlah serta ukurannya selama kebuntingan berlangsung. Di antara kedua lapis tersebut, atau bagian dalam dari lapis dalam, terdapat lapis vascular yang mengandung arteri besar, vena, dan pembuluh limfe. Pembuluh darah tersebut memberikan darah pada endometrium (Dellmann dan Brown, 1992:515). Selama kebuntingan, jumlah 16 jaringan otot yang terdapat pada dinding uterus bertambah banyak karena pembesaran sel dan penambahan jumlah sel (Feradis, 2010: 51). Perimetrium atau tunika serosa, terdiri dari jaringan ikat yang longgar yang dibalut dengan mesotel atau peritoneum. Sel-sel otot polos terdapat pada perimetrium. Pada lapisan ini banyak terdapat pembuluh darah, pembuluh limfe, dan saraf (Dellmann dan Brown, 1992: 515). B Skala 100µm A D C Gambar 2. Struktur Histologi Endometrium,A: kelenjar endometrium; B:edometrium; C: miometrium; D: perimetrium. (Dokumen penelitian: 2017). c. Pengaruh Hormon Pada Endometrium Perubahan secara siklik pada endometrium diatur oleh hormonhormon hipotalamus-hipofisis-gonad. Aktifitas dari hipotalamus tersebut dipengaruhi oleh kadar estrogen di dalam sirkulasi darah dan rangsangan lingkungan luar. 17 Ovarium adalah tempat produksi utama hormon betina. Pada seksualitas betina hormon yang bekerja adalah progesteron dan estrogen. Estrogen bekerja dalam merangsang pertumbuhan miometrium dan endometrium. Peningkatan dalam sintesis reseptor progesteron didalam endometrium dipengaruhi oleh hormon estrogen sehingga progesteron mampu merangsang endometrium tetapi setelah endometrium tersebut dirangsang oleh estrogen. Adanya rangsangan hormon yang disekresikan oleh hipotalamus sehinngga dalam proses tersebut menghasilkan hormon-hormon, yaitu FSH-RF dan LH-RF. FSH-RF (Follicle Stimulating Hormone-Releasing Factor) bertugas untuk merangsang hipofisa dalam mensekresi FSH (Follicle Stimulating Hormon), sedangkan LH-RF (Luteinizing Hormone-Releasing Factor) bertugas untuk merangsang pengeluaran dari LH (Luteinizing Hormon) (Irianto, 2014: 129). Dellman dan Brown (1992: 486) menyatakan bahwa estrogen merupakan salah satu hormon reproduksi pada hewan betina. Hormon ini terutama disekresi oleh sel-sel granulosa penyusun folikel ovarium. Struktur hormon estrogen tersusun atas 18 atom C, gugus –OH fenolik pada C-3, sifat aromatik cincin A dan tidak mempunyai gugus metil pada C-10. Bentuk hormon estrogen dalam tubuh hewan betina berupa estradiol 17-β, estron dan estriol, namun hormon estrogen yang sering dijumpai dengan jumlah yang cukup tinggi dan paling sesuai dalam tubuh adalah estradiol 17-β. 18 Gambar 3. Struktur Kimia Estrogen (Junqueira, 2007: 4) Estrogen terbentuk oleh sel-sel granulosa dalam folikel ovarium melalui serangkaian reaksi enzimatis. Substrat utama sebagai pembentuk estrogen adalah kolesterol. Kolesterol mengalami perubahan secara berurutan menjadi pregnenolon, progesteron, 17α-hidroksi progesteron, androstenedion dan testoteron. Peningkatan sintesis hormon estrogen seiring dengan perkembangan folikel dalam ovarium (Dellman dan Brown, 1992: 486). Kerja estrogen terhadap endometrium yaitu dimulai dari hipotalamus akan menyekresikan hormon gonadotropin. Hormon gonadotropin merangsang kelenjar pituitari untuk menghasilkan hormon FSH. Hormon FSH merangsang pertumbuhan dan pematangan folikel di dalam ovarium. Pematangan folikel ini merangsang kelenjar ovarium mensekresikan hormon estrogen. Hormon estrogen yang berfungsi untuk membantu pembentukan kelamin sekunder, selain itu estrogen juga membantu pertumbuhan lapisan endometrium. Pertumbuhan endometrium memberikan tanda untuk kelenjar pituitari agar menghentikan hormon FSH dan berganti dengan sekresi hormon LH. Oleh stimulasi hormon LH, folikel yang sudah matang pecah menjadi 19 korpus luteum. Saat seperti ini ovum akan keluar dari folikel dan ovarium menuju uterus (terjadi ovulasi). Korpus luteum yang terbentuk segera menyekresikan hormon progesteron. Progesteron berfungsi menjaga pertumbuhan endometrium seperti pembesaran pembuluh darah dan pertumbuhan kelenjar endometrium yang akan menyekresikan cairan bernutrisi bagi janin. Namun apabila ovum pada uterus tidak dibuahi, hormon estrogen akan berhenti. Berikutnya skresi hormon LH oleh kelenjar pituitari juga berhenti. Akibatnya korpus luteum tidak bisa melangsungkan sekresi hormon progesteron. Karena hormon progesteron tidak ada, maka dinding rahim sedikit demi sedikit meluruh bersama darah (Irianto, 2014: 129). d. Mekanisme Intrasel Dasar Dari Kerja Estrogen Efek estrogen pada uterus yaitu mempengaruhi perubahan pada endometrium, estrogen menyebabkan terjadinya poliferasi yang nyata pada stroma endometrium dan sangat meningkatkan perkembangan yang nyata pada kelenjar endometrium, yang nantinya akan membantu memberi nutrisu pada ovum yang berimplantasi (Guyton dan Hall, 2007: 1070). Mekanisme intrasel dasar dari kerja estrogen diawali dari kelenjar ovarium, estrogen memasuki sel ovarium dalam waktu beberapa menit setelah disekresikan. Kemudian kebanyakan estrogen ini seringkali diubah dibawah pengaruh enzim intrasel 5-α-reduktase menjadi estradiol, dan zat ini lalu berikatan dengan sebuah “protein reseptor” di sitoplasma. Kemudian penggabungan ini bermigrasi ke nukleus, tempat terjadinya pengikatan dengan suatu protein dan menginduksi transkripsi DNA-RNA. Dalam waktu 30 menit, RNA- 20 polimerase telah menjadi aktif dan konsentrasi RNA mulai meningkat di sel ovarium, keadaan ini akan diikuti oleh penambahan yang progresif dari protein sel. Setelah beberapa hari, jumlah DNA dikelenjar ovarium juga meningkat dan bersama dengan itu juga terdapat peningkatan jumkah sel-sel ovarium (Guyton dan Hall, 2007: 1058). 6. Komposisi Darah Darah terdiri atas komponen cairan (plasma) dan komponen seluler (sel-sel darah). Sel-sel darah terdiri dari eritrosit (sel darah merah), Lekosit (sel darah putih) dan trombosit (keping darah), yang diedarkan ke seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi tertutup (Muhamad, 2008: 7-8). Sel dan plasma darah mempunyai peranan fisiologis yang sangat penting. a. Plasma Darah Plasma darah adalah suatu cairan jernih yang mengandung mineral terlarut, hasil absorpsi dari pencernaan makanan, buangan hasil metabolisme, serta gas terlarut (Muhamad, 2008: 7-8). b. Sel Darah Merah (Eritrosit) Eritrosit atau disebut juga sel darah merah, di dalam tubuh bergerak melalui sirkulasi atau memiliki gerak pasif. Eritrosit yang normal memiliki bentuk cakram bikonkaf dengan diameter 7,5 μm dengan pinggiran sirkuler dan pusat yang tipis. Bentuk cakram bikonkaf dapat meningkatkan area permukaan eritrosit. Permukaan area yang luas tersebut memperlancar pertukaran gas dari dalam dan dari luar eritrosit. Eritrosit memiliki fungsi yang spesifik untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke jaringan dan 21 mengangkut karbondioksida dari jaringan ke paru-paru (Murray, dkk., 2003: 254). Fungsi ini berlangsung karena adanya kandungan hemoglobin di dalam eritrosit. Eritrosit atau sel darah merah merupakan salah satu komponen sel yang terdapat dalam darah, fungsi utamanya adalah sebagai pengangkut hemoglobin yang akan membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan. Eritrosit merupakan suatu sel yang kompleks, membrannya terdiri dari lipid dan protein, sedangkan bagian dalam sel merupakan mekanisme yang mempertahankan sel selama 120 hari masa hidupnya serta menjaga fungsi hemoglobin selama masa hidup sel tersebut (Muhamad, 2008: 7-8). c. Sel Darah Putih (Lekosit) Lekosit adalah sel darah yang mengandung inti, disebut juga sel darah putih. Rata-rata jumlah lekosit dalam darah manusia normal adalah 50003 3 9000/mm , bila jumlahnya lebih dari 10.000/mm , keadaan ini disebut 3 lekositosis, bila kurang dari 5000/mm disebut leukopenia (Effendi, 2003: 1). Lekosit terdiri dari dua golongan utama, yaitu agranular dan granular. Lekosit agranular mempunyai sitoplasma yang tampak homogen, dan intinya berbentuk bulat atau berbentuk ginjal. Lekosit granular mengandung granula spesifik (yang dalam keadaan hidup berupa tetesan setengah cair) dalam sitoplasmanya dan mempunyai inti yang memperlihatkan banyak variasi dalam bentuknya. Terdapat 2 jenis lekosit agranular yaitu; limfosit yang terdiri dari sel-sel kecil dengan sitoplasma sedikit, dan monosit yang terdiri dari sel-sel yang agak besar dan mengandung sitoplasma lebih banyak. 22 Terdapat 3 jenis lekosit granular yaitu neutrofil, basofil, dan asidofil (eosinofil) (Effendi, 2003: 1). Lekosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral organisme terhadap zat-zat asingan. Lekosit dapat melakukan gerakan amuboid dan melalui proses diapedesis lekosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos antara sel-sel endotel dan menembus kedalam jaringan penyambung. Lekosit dan turunannya merupakan sel dan struktur dalam tubuh manusia yang didistribusikan keseluruh tubuh dengan fungsi utamanya melindungi organisme terhadap invasi dan pengrusakan oleh mikro organisme dan benda asing lainnya (Effendi, 2003: 1). Jumlah lekosit per mikroliter darah, pada orang dewasa normal adalah 3 3 5000-9000/mm , waktu lahir 15000-25000/mm , dan menjelang hari ke empat turun sampai 12000, pada usia 4 tahun sesuai jumlah normal (Effendi, 2003: 1). 1). Jenis-Jenis Sel Darah Putih a). Bergranula (1). Neutrofil Neutrofil (Polimorf), sel ini berdiameter 12–15 μm memilliki inti yang khas padat terdiri atas sitoplasma pucat di antara 2 hingga 5 lobus dengan rangka tidak teratur dan mengandung banyak granula merah jambu (azuropilik) atau merah lembayung. Granula terbagi menjadi granula primer yang muncul pada stadium promielosit, dan sekunder yang muncul pada stadium mielosit dan terbanyak pada neutrofil matang. Kedua granula berasal 23 dari lisosom, yang primer mengandung mieloperoksidase, fosfatase asam dan hidrolase asam lain, yang sekunder mengandung fosfatase lindi dan lisosom (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 2). (2). Eosinofil Sel ini serupa dengan neutrofil kecuali granula sitoplasmanya lebih kasar dan berwarna lebih merah gelap (karena mengandung protein basa) dan jarang terdapat lebih dari tiga lobus inti. Mielosit eosinofil dapat dikenali tetapi stadium sebelumnya tidak dapat dibedakan dari prekursor neutrofil. Waktu perjalanan dalam darah untuk eosinofil lebih lama daripada untuk neutropil. Eosinofil memasuki eksudat peradangan dan nyata memainkan peranan istimewa pada respon alergi, pada pertahanan melawan parasit dan dalam pengeluaran fibrin yang terbentuk selama peradangan (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 2). (3). Basofil Basofil hanya terlihat kadang-kadang dalam darah tepi normal. Diameter basofil lebih kecil dari neutrofil yaitu sekitar 9-10 μm. Jumlahnya 1% dari total sel darah putih. Basofil memiliki banyak granula sitoplasma yang menutupi inti dan mengandung heparin dan histamin. Dalam jaringan, basofil menjadi “mast cells”. Basofil memiliki tempat-tempat perlekatan IgG dan degranulasinya dikaitan dengan pelepasan histamin. Fungsinya berperan dalam respon alergi (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 2). 24 b). Tidak Bergranula (1). Monosit Rupa monosit bermacam-macam, dimana ia biasanya lebih besar daripada lekosit darah tepi yaitu diameter 16-20 μm dan memiliki inti besar di tengah oval atau berlekuk dengan kromatin mengelompok. Sitoplasma yang melimpah berwarna biru pucat dan mengandung banyak vakuola halus sehingga memberi rupa seperti kaca. Granula sitoplasma juga sering ada. Prekursor monosit dalam sumsum tulang (monoblas dan promonosit) sukar dibedakan dari mieloblas dan monosit (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 3). (2). Limfosit Sebagian besar limfosit yang terdapat dalam darah tepi merupakan sel kecil yang berdiameter kecil dari 10μm. Intinya yang gelap berbentuk bundar atau agak berlekuk dengan kelompok kromatin kasar dan tidak berbatas tegas. Nukleoli normal terlihat. Sitoplasmanya berwarna biru-langit dan dalam kebanyakan sel, terlihat seperti bingkai halus sekitar inti. Kira-kira 10% limfosit yang beredar merupakan sel yang lebih besar dengan diameter 1216μm dengan sitoplasma yang banyak yang mengandung sedikit granula azuropilik. Bentuk yang lebih besar ini dipercaya telah dirangsang oleh antigen, misalnya virus atau protein asing (Hoffbrand dan Pettit, 1996 dalam Effendi, 2003: 3). Tubuh manusia memiliki suatu sistem yang disebut sistem imun yang memberikan respon dan melindungi tubuh terhadap unsur-unsur patogen 25 misalnya bakteri, virus, jamur, protozoa, parasit dan radikal bebas yang dapat menyebabkan infeksi pada manusia (Effendi, 2003: 4). Sistem imun terpapar zat yang dianggap asing, maka ada dua jenis respon imun, yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. Respon imun non-spesifik merupakan imunitas alamiah atau bawaan, sedangkan respon imun spesifik merupakan mekanisme pertahanan utama dan pertama pada invasi mikroorganisme. Pada respon imun non-spesifik, mekanisme yang terjadi adalah proses fagositosis mikroorganisme oleh sel fagosit seperti neutrofil, eusinofil, basofil, monosit dan makrofag (Effendi, 2003: 4). Makrofag adalah sel fagosit terpenting dalam sistem imun yang berasal dari sel monosit dewasa yang menetap di jaringan. Makrofag memliki dua fungsi utama yaitu menghancurkan antigen dan menyajikannya kepada limfosit (Effendi, 2003: 5). Proses fagositosis diawali dengan penempelan sel fagosit dengan mikroorganisme atau zat asing. Sebelumnya, makrofag akan bergerak ke arah antigen dimana pergerakan tersebut dimungkinkan berkat dilepaskannya zat atau mediator yang disebut faktor kemotaktik. Selanjutnya, partikel patogen masuk ke dalam sel dengan cara endositosis dan oleh proses pembentukan fagosom ia terperangkap dalam kantung fagosom seolah-olah ditelan untuk kemudian dihancurkan (Effendi, 2003: 5). 26 7. Tikus Putih (Rattus Norvegicus) Tikus merupakan hewan mamalia yang paling umum digunakan sebagai hewan percobaan pada laboratorium, dikarenakan banyak keunggulan yang dimiliki oleh tikus sebagai hewan percobaan, yaitu memiliki kesamaan fisiologis dengan manusia, siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya tinggi dan mudah dalam penanganan (Priyambodo, 1995: 55). Tikus (Rattus norvegicus) memiliki beberapa galur yang merupakan hasil persilangan sesama jenis, namun galur yang akan digunakan untuk penelitian ini adalah Wistar. Rattus norvegicus merupakan salah satu jenis hewan yang biasa digunakan untuk keperluan uji laboratorium. Rattus norvegicus mudah ditemukan secara liar maupun ditangkar. Gambar 4. Tikus Putih Betina (Dokumen Penelitian, 2017). Klasifikasi tikus putih menurut (Priyambodo, 1995: 55) : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Sub Filum : Vertebrata Kelas : Mamalia 27 Sub Kelas : Theria Ordo : Rodentia Sub Ordo : Myomorpha Family : Muridae Genus : Rattus Spesies : Rattus norvegicus 8. Siklus Reproduksi Mamalia Betina a. Siklus Estrus Periode birahi atau estrus adalah suatu periode yang secara psikologis maupun fisologis bersedia menerima pejantan untuk melakukan perkawinan. Siklus estrus adalah suatu periode (masa) dari permulaan periode birahi ke permulaan perode berikutnya sampai akhir periode (Nalbandov, 1990: 140). Tikus dan mencit siklus estrusnya termasuk poliestrus, hanya saja ketika hewan tersebut menyusui maka aktivitas seksual seolah-olah juga berhenti dan pada waktu itu disebut lactational diestrus (Sugiyanto, 1996: 22). Menurut Sugiyanto (1996:22) siklus estrus dapat dibedakan menjadi 4 fase, yaitu : 1) Proestrus : terdapat sel epitel biasa 2) Estrus : terdapat banyak sel epitel menanduk 3) Diestrus : terdapat sel epitel biasa dan banyak lekosit 4) Metestrus : terdapat banyak sel epitel menanduk, sel epitel biasa dan lekosit (Yatim,1982: 103). 28 Perubahan-perubahan yang terjadi dalam ovarium dan vagina ditunjukkan oleh preparat vaginal smear menurut (Priyambodo,1995: 55) adalah sebagi berikut: 1) Proestrus Proestrus adalah fase persiapan dan biasanya berlangsung dalam waktu yang relatif pendek. Pada fase ini juga mulai terlihat perubahan pada alat kelamin betina. B A Gambar 5. Fase proestrus. A; eritrosit. B; epitel (Dellman dan Brown, 1992: 524). 2) Estrus Estrus merupakan fase yang terpenting dalam siklus estrus, karena dalam fase ini hewan betina menunjukkan perilaku mau menerima hewan jantan untuk melakukan kopulasi. Gambaran preparat vaginal smear pada fase ini ditandai dengan ditemukannya banyak sel-sel superfisial. Fase estrus merupakan periode birahi dan kopulasi hanya dimungkinkan padasaat ini. Keadaan ini pada tikus berakhir 9 sampai 15 jam dan ditandai dengan aktifitas berlari-lari yang sangat tinggi. 29 A B Gambar 6. Fase Estrus. A; epitel bertanduk. B; lekosit heterofil (Dellman dan Brown, 1992: 524). 3) Metestrus Metestrus adalah fase dalam siklus estrus yang terjadi segera setelah estrus berakhir. A B Gambar 7. Fase Metestrus. A; epitel. B; lekosit (terdapat banyak lekosit) (Dellman dan Brown, 1992: 524). 4) Diestrus Diestrus adalah fase dalam siklus estrus yang ditandai tidak adanya kebuntingan, tidak adanya aktivitas kelamin dan hewan menjadi tenang. 30 A Gambar 8. Fase Diestrus. A; leksit (terdapat banyak lekosit) (Dellman dan Brown, 1992: 524). 9. Kerangka Berfikir Estrogen alami tidak hanya ditemukan pada hewan maupun manusia, akan tetapi senyawa yang mirip dengan estrogen juga ditemukan pada tanaman salah satunya tanaman pepaya. Biji dari tanaman pepaya ini mengndung senyawa yang disebut flavonoid yang termasuk dalam salah satu jenis fitoestrogen. Estrogen merupakan salah satu hormon yang berperan dalam reproduksi hewan betina, dan organ yang dipengaruhi yaitu uterus dan ovarium. Fitoestrogen di dalam tubuh dapat berikatan dengan reseptor hormon estrogen endogen meskipun memiliki efek yang lebih rendah daripada estrogen endogen. Pemberian fitoestrogen yang memiliki struktur yang mirip dengan estrogen diharapkan mampu memberikan efek yang berbeda pada lapisan endometrium pada organ betina tikus putih. Pengaruh fitoestrogen dapat dilihat pada uterus, karena pada uterus terdapat reseptor estrogen. Efek dari 31 keberadaan fitoestrogen ini dapat dilihat pada jumlah kelenjar yang terdapat di dalam lapisan tersebut. Enzim protease (pengurai protein) yaitu papain dan kimopapain. Papain merupakan satu dari enzim paling kuat yang dihasilkan oleh seluruh bagian tanaman pepaya. Enzim proteolitik merupakan kelompok hidrolase yang berperan pada hidrolisa sekelompok protein menjadi protein–protein tunggal. Papain akan mempercepat penguraian protein dari makanan yang dicerna di dalam sistem pencernaan menjadi asam amino, asam amino diperlukan untuk pembentukan sel termasuk sel darah (Dongoran dan Daniel S, 2004: 31). 32 Biji papaya memiliki kandungan yang bersifat estrogenik (fitoestrogen) Flavonoid Fitoestrogen Organ Reproduksi Betina Strukturnya mirip dengan Estrogen Endogen (yang dapat berkaitan dengan reseptor estrogen endogen) Ovarium Betina Uterus Epitel Vagina Sifat Kelamin Sekunder Jumlah Kelenjar Endometrium Gambar 9. Skema Kerangka Berfikir Pengaruh Ekstrak Biji Pepaya Terhadap Jumlah Kelenjar Endometrium Tikus Putih 33 Enzim papain Biji Papaya (enzim protease (pengurai protein)) Mempercepat pengurai protein menjadi asam amino Asam amino Pembentukan organel sel Untuk produksi pelepasan hormon (arginin) Pembentukan Sel darah Sintesis DNA (glutamin) Dsb. Jumlah eritrosit dan lekosit Gambar 10. Skema Kerangka Berfikir Pengaruh Ekstrak Biji Pepaya Terhadap Jumlah Eritrosit Dan Lekosit Tikus Putih Betina. 10. Hipotesis Ekstrak biji pepaya (Carica pepaya, L.) dapat mempengaruhi jumlah kelenjar endometrium, jumlah eritrosit, dan lekosit tikus putih (Rattus norvegicus) betina. 34