II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Industrialisasi dan Transformasi Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja Pembahasan yang sistematis mengenai perubahan struktur produksi dan struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi di mulai oleh Fisher (1935) yang mengatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi biasanya disertai dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder dan akhirnya bergeser lagi ke sektor tersier. Pergeseran tersebut akan mengakibatkan terjadinya perubahan dalam struktur produksi yang sesuai dengan pergeseran dalam permintaannya, yaitu melalui pergeseran dalam kesempatan kerja dan alokasi dana dari sektor primer, ke sektor sekunder dan akhirnya ke sektor tersier. Hal serupa juga terungkap dari hasil studi Kuznets, bahwa peran industri di negaranegara maju secara umum sudah melebihi 30 persen dari produk nasional. Proses pertumbuhan industri itu disertai oleh penyerapan 35 persen dari angkatan kerja. Sedangkan angkatan kerja yang masih tergantung di sektor pertanian hanya meliputi 5 hingga 10 persen. Guna menguji ke absahan hipotesis Fisher tersebut, Noor (1991) meneliti mengenai perubahan struktur produksi yang menyertai pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Noor, mengkaji perubahan yang terjadi antara daerah provinsi dengan menggunakan model yang pernah digunakan Chanary dan Syrquin (1975) ketika mereka melakukan penelitian di sejumlah negara berkembang mengenai pergeseran struktur ekonominya selama kurun waktu 1950-1970. Model tersebut diduga dengan multiple regression analysis. Noor, menyimpulkan bahwa hanya sebagian daerah Provinsi di Indonesia yang menerima hipotesis Fisher, yaitu terdapat hubungan yang negatif antara pergeseran sektor primer dengan pertumbuhan pendapatan nasional atau pendapatan perkapita, (Juanda, 2001). Tampaknya pergeseran struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang menyertai proses industrialisasi di Indonesia menunjukkan trend berbeda dengan pergeseran ala Fisher dan Kuznets. Transformasi struktural yang tejadi di Indonesia ditunjukkan trend peningkatan yang tajam kontribusi sektor industri dalam struktur ekonomi nasional, tetapi tidak disertai peningkatan yang signifikan dalam struktur tenaga kerja nasional. Pada tahun 1980 sektor industri pengolahan 14 memberikan kontribusi sebesar 11.6 persen meningkat menjadi 26.1 persen tahun 2003, atau secara total kelompok industri (termasuk sektor pertambangan dan bangunan) memberikan kontribusi sekitar 41.3 persen, akan tetapi penyerapan tenaga kerjanya yang pada tahun 1980 sebesar 12.1 persen hanya meningkat tipis yakni kurang dari 20 persen pada periode sebelum krisis ekonomi, bahk an pada tahun 2003 hanya menyerap sekitar 12.8 persen. Sementara sektor pertanian pada tahun yang sama (2003) dengan kontribusi sekitar 15.8 persen dalam PDB harus menampun tenaga kerja sekitar 46.3 persen dalam strktur tenaga kerja nasional. Gambaran dari transformasi struktural yang menyertai proses industrialisasi di Indnesia, secara implisit memperlihatkan ketimpangan dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat, jika dibiarkan akan semakin memperbesar kesenjangan. Selain itu, Margono (2005) menyebutkan bahwa perubahan struktural yang berlangsung di Indonesia memperlihatkan ketidakmatangan transformasi, karena prosesnya terlalu dipercepat sehingga menyebabkan sektor industri nasional tidak berkembang dengan baik. Perkembangan industri banyak dilakukan melalui proteksi-proteksi oleh pemerintah terhadap sektor industri. Menurutnya, walaupun perkembangan sektor industri, yang dipacu oleh kebijakan pemerintah, cukup tinggi, namun bukan bersumber dari fundamental perekonomian yang kuat. Sektor tersebut sangat tergantung pada impor, khususnya barang modal, input antara, dan bahan baku, demikian pula terlalu tergantung kepada kapital dan teknologi dari luar, akibanyanya sangat rentang terhadap perubahan ekonomi global yang berubah secara dinamik. Aziz (1990) pernah mengkaji perubahan struktural dalam perekonomian Indonesia di masa lalu dengan menggunakan pendekatan yang di dasarkan pada perubahan struktural menurut 3 jenis proses, yaitu proses alokasi, akumulasi serta demograsi dan distribusi; selain itu juga diperhitungkan masalah penyusutan sumberdaya alam. Namun analisa kuantitatif yang digunakan untuk mengamati proses perubahan tiap peubah hanya melalui dimensi waktu sehingga perkiraan perubahan struktural di masa depan hanya merupakan hasil dari pendekatan model proyeksi, bukan model perencanaan. Mengenai kaitan pertumbuhan ekonomi dengan ketenaga kerjaan di Indonesia, Ninasapti (2005) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang 15 tinggi di Indonesia pada periode 1990-1996 menghasilkan tambahan lapangan kerja yang tidak jauh berbeda dengan pada saat pertumbuhan ekonomi rendah dalam periode 2000-2002. Temuan ini menurutnya berbeda dengan berbagai pernyataan yang merupakan ”mitos” dalam perekonomian bahwa jika pertumbuhan ekonomi cukup tinggi maka akan terjadi penciptaan lapangan kerja yang tinggi pula. Menurutnya sumber pertumbuhan pekerja akan sangat tergantung kepada jenis usaha yang dikembangkan. Pengembangan sektor usaha padat modal akan mengakibatkan penyerapan pekerja yang lebih kecil daripada pengembangan sektor usaha yang padat karya, walaupun dari sisi pertumbuhan PDB akan lebih tinggi. Selanjutnya Ikhsan (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan pada analisis I-O dan seri pendapatan nasional, secara jelas menunjukkan adanya penurunan dalam pangsa industri padat karya. Pangsa industri padat karya mengalami penurunan dari 16.9 persen pada tahun 1995 menjadi 13.4 persen pada tahun 2000. Diantara industri padat karya tersebut penurunan terbesar terjadi pada industri tekstil dan pakaian jadi yang menurun dari 4.2 persen menjadi 2.8 persen pada tahun 2000. Sebaliknya pangsa industri permesinan mengalami peningkatan dari 16.0 persen (1995) menjadi 20.8 persen (2000). Pertanyaan yang harus dijawab, menurut Ik hsan, adalah apakah trend ini memang merefleksikan pola normal dalam perubahan struktural atau sebaliknya mencerminkan distorsi dalam pasar faktor produksi atau pasar output yang kemudian menimbulkan disalokasi sumberdaya. Jika yang terakhir terjadi, maka gejala akselerasi pertumbuhan yang sudah mulai ini tidak akan berumur panjang dan dalam waktu tidak begitu lama akan terjadi perlambata laju pertumbuhan ekonomi dan kemudian mendorong proses ”deindustrialisasi” di Indonesia. Oleh karena itu, dalam rangka pemulihan ekonomi dan upaya penyesuaian struktural perekonomian nasional, maka strategi pembangangunan di Indonesia ke depan, tentunya tidak lagi hanya sekedar mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi diharapkan pertumbuhan ekonomi nasional dapat berkualitas dan berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai apabila pertumbuhan ekonomi nasional bersumber dari fundamental ekonomi yang kuat, sehingga dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai penyerapan tenaga kerja yang tinggi 16 pula. Oleh karena itu stud i ini yang akan mengkaji sumber-sumber pertumbuhan disertai kajian aspek pasar tenaga kerja dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perluasan kesempatan kerja di anggap relevan dengan upaya proses penyesuaian struktural yang dimaksud. 2.2. Model-Model Pertumbuhan Ekonomi Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebaga i “kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan ideologis yang diperlukannya”. Lebih lanjut Kuznets menunjukkan enam ciri dari pertumbuhan modern. Dari ke enam ciri tersebut dua diantaranya adalah kuantitatif yang berhubungan dengan pertumbuhan produk nasional dan pertumbuhan penduduk, kemudian dua yang berhubungan dengan peralihan structural dan dua yang berkaitan dengan penyebaran internasional, (Jhingan, 1999). Menurut Mankiw (2003) untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para ekonom menggunakan data produk domestic bruto (GDP), yang mengukur output barang dan jasa total suatu negara dan pendapatan total setiap orang dalam perekonomian. Pada bagian lain Mankiw, menyebutkan output barang dan jasa suatu perekonomian (GDP) bergantung pada (1) jumlah input, yang disebut factor- faktor produksi, (2) kemampuan untuk mengubah input menjadi output. GDP yang di tentukan dari kedua factor tersebut disebutkannya sebagai sisi penawaran dari pendapatan nasional (GDP). Selanjutnya output atau GDP dari sisi penggunaannya terdiri dari konsumsi (C) , Investasi (I), Pembelian pemerintah (G) dan Ekspor netto (NX). GDP dari sisi penggunaannya disebut sebagai sisi permintaan dari pendapatan nasional. Teori pertumbuhan ekonomi, telah diuraiakan oleh banyak ahli dengan cara pengklasifikasian yang berbeda-beda. Rasidi, 1991 dalam Hadi (2001) menyebutkan bahwa terdapat tiga kategori dalam perkembangan teori pertumbuhan ekonomi. Kategori pertama, menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah proses pertumbuhan seluruh masyarakat, tidak hanya bidang 17 ekonomi, tetapi termasuk pertumbuhan bidang sosial, politik, psikologi masyarakat. Kategori kedua menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah termasuk dalam teori ekonomi pembangunan, khususnya dalam mengatasi permasalahan pembangunan ekonomi negara-negara sedang berkembang. Sedangkan kategori ketiga disebut sebagai tori modern dalam pertumbuhan ekonomi, yaitu termasuk ke dalam model Keynesian. Tidak seperti ke dua kategori sebelumnya maka model keynesian bisa disebutkan sebagai murni teori ekonomi. Sedangkan Kasliwal (1995) membagi dua kategori teori pertumbuhan yakni (1) model pertumbuhan clasik (Classical Growth Models) dan (2) model pertumbuhan modern (Modern Growth Models). Yang termasuk dalam model klasik adalah pertumbuhan Ricardian (Ricardian growth) dan model Lewis (The Lewis Model), sedangkan yang tergolong dalam teori pertumbuhan modern adalah Model Harrod-Domar, Pertumbuhan Model Solow, Pertumbuhan endogenous. Terlepas dari berbagai pengklasifikasian teori pertumbuhan tersebut, maka berikut ini diuraikan beberapa model pertumbuhan sebagai berikut. 2.2.1. Pertumbuhan Ricardian Model pertumbuhan Ricardian (Ricardian Growth) adalah model teoritis yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh David Ricardo, Tho mas Malthus, dan Adam Smith di akhir abad kedelapanbelas. Model klasik ini mempunyai dua unsur penting, yakni : (1) Sumber daya alam dianggap sebagai constraint utama untuk pertumbuhan. Teori ini menganggap bahwa produktivitas marjinal tenaga kerja merosot ketika lebih banyak lahan digunakan dalam produksi. (2) Unsur utama lainnya di dasarkan pada gagasan Malthusian bahwa populasi meningkat secara endogen dengan output. Apabila output tumbuh, populasi juga akan meningkat sampai rata-rata konsumsi turun pada tingkat yang subsisten. Implikasi utama dari model pertumbuhan klasik bahwa dari waktu ke waktu, ekspansi output melambat karena produktivitas marjinal yang menurun dari tenaga kerja pada lahan tertentu. Semakin banyak tenaga kerja yang dipekerjakan, maka tambahan output (extra output) akan terus meningkat hingga mencapai tingkat subsistensi. Akhirnya keuntungan juga tertekan, dengan 18 demikian investasi berhenti. Kondisi ini kemudian disebutkannya sebagai keadaan stationer (stationary state), di mana garis konsumsi subsisten dan garis output berpotongan. Ekonomi klasik menganggap bahwa sekalipun kemajuan teknologi berlangsung, perekonomian akan tetap mencapai keadaan stasioner (stationary state). Dengan asumsi itu, model Ricardian mempunyai implikasi bahwa dalam jangka panjang, konsumsi per kapita tenaga kerja akan kembali pada tingkat yang subsisten. Ketika permintaan untuk makanan naik bersama populasi, harga pangan akan naik secara relatif untuk harga barang-barang pabrik. Dan karena upah subsisten harus dibelanjakan makanan, laba pabrikasi akan ditekan sampai investasi berhenti. Salah satu kemungkinan untuk keluar dari stagnasi klasik adalah jika pangan dapat diimport pada suatu harga tertentu, sehingga sektor industri dapat berkembang secara esensial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa, pada hakekatnya, aplikasi model Ricardian hanya untuk perekonomian tertutup, atau bahkan lebih baik, perekonomian besar di mana pengaruh dunia dipastikan kecil. Cara penting lainnya untuk melepaskan tingkat subsistensi dari keadaan stationary adalah menumbuhkan produktivitas pertanian secara terus menerus pada suatu tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dari pertumbuhan populasi. Menurut Kasliwal (1995) bahwa model ini menuai banyak kritik dari banyak ahli, terutama pada asumsi Malthusian, bahwa populasi tumbuh secara endogen dengan output. Populasi tidak secara otomatis tumbuh sebagai konsekwensi dari pertumbuhan pendapatan. Selain itu dianggap mengabaikan pengaruh teknologi, karena menganggap bahwa kemajuan seperti itu tidak bisa melebihi langkah perluasan populasi pada jangka panjang. 2.2.2. Model Lewis Menurut Kasliwal (1995) model Lewis tentang surplus tenaga kerja dikenal sejak tahun 1950an, dan dipandang memberikan kontribusi penting dalam pengembangan teori ekonomi pembangunan, terutama karena elaborasinya mengenai ekonomi dua sektor (dual economy) yang terdiri (1) sektor tradisional dan (2) sektor modern. Lewis membuat asumsi bahwa lahan yang terbatas 19 menyebabkan produk marjinal tenaga kerja pertanian menurun. Tetapi membuang asumsi Malthusian bahwa populasi akan tumbuh secara endogen. Model Lewis (1954) percaya bahwa sebagian besar negara-negara berkembang memiliki banyak tenaga kerja yang setengah menganggur (underemployed) dengan tingkat upah sekedar cukup untuk hidup (subsisten). Tenaga kerja tersebut dapat di tempatkan untuk bekerja dalam suatu sektor baru yang dinamis untuk menghasilkan pertumbuhan. Lewis mencatat bahwa sektor pertanian mempunyai banyak surplus tenaga kerja seperti itu. Ketika pekerja marginal ditransfer dari pertanian ke sektor industri yang lebih produktif, output agregat mengalami loncatan peningkatan. Beberapa implikasi dalam Model Lewis dapat dilihat di Gambar 4. Gambar ini dibangun dengan memutar balik kurva tenaga kerja pertanian dan memasang di sisi sebelah kanan kurva sektor industri. Kita dapat lihat bagaimana tenaga kerja dipekerjakan di industri L1 , dan tenaga kerja pertanian LA menambahkan sampai kepada total angkatan kerja. Ketika industri berkembang, upah tetap konstan sampai semua surplus tenaga kerja diserap; baru setelah itu upah mulai naik secara keseluruhan. Sumber : Kasliwal, (1995) Gambar 4. Model Lewis Model itu menyiratkan adanya akumulasi modal yang terus menerus, paling tidak sampai surplus tenaga kerja dihabiskan. Sepanjang tingkat upah tetap rendah, ratio modal/tenaga kerja yang digunakan di dalam industri juga tetap konstant. Jadi tingkat pengembalian (rate of return) atas modal tetap tinggi, 20 dengan demikian memberi harapan investasi terus berlanjut. Implikasi kebijakan yang cukup kuat dari Model Lewis adalah : (1) Sektor industri harus di dorong khusus, mungkin merangsang ketertarikan kapitalis asing yang ingin menginvestasikan modalnya karena adanya tingkat upah yang rendah. Sebagai alternative pemerintah dapat melakukan intervensi untuk merangsang (stimulate) industri domestic yang pada awalnya dilindungi dari kompetisi import. Dengan kata lain, industri dapat dimulai dengan industri substitusi impor (import-substituting- industrialization). (2) Tabungan yang tersedia untuk investasi bagi para pemodal (capitalists), harus di dorong khusus. Rangsangan yang penting adalah menjamin suatu tingkat keuntungan industri yang lebih tinggi dengan memastikan bahwa upah tentu saja tetap rendah, sampai pada akhirnya semua surplus tenaga kerja dihabiskan. Pada garis besarnya hal ini dilakukan dengan perpajakan atau harga pangan yang murah dan mengalihaknnya ke industri. (3) Tingkat pertumbuhan populasi (dan pertumbuhan angkatan kerja) harus dikendalikan agar lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja (employment) yang diciptakan oleh perluasan industri. Jika tenaga kerja (labor) tumbuh lebih cepat dari penyerapan potensi nya ke dalam industri, penentuan titik peningkatan upah atau pengurangan pengangguran tidak pernah dicapai. Model Lewis dikritik karena berbagai kegagalan dalam pengalaman pembangunan di Negara berkembang. Kenyataannya upah industri terus meningkat bahkan sebelum banyak surplus tenaga kerja pedesaan diserap. Sementara penciptaan lapangan kerja industri mengecewakan, tenaga kerja migrasi dari pedesaan ke wilayah perkotaan terus berlanjut. Urbanisasi yang berlebihan ini telah mendorong suatu permasalah baru di Negara berkembang. Suatu kritik yang lebih serius diarahkan pada model ini adalah implikasinya yang bias terhadap pertanian dan lebih menyokong industri. Kebijakan yang bias seperti itu kelihatannya telah menekan pertumbuhan perekonomiana secara keseluruhan di banyak Negara berkembang. Model Lewis, juga mengabaikan kemungkinan 21 kemajuan teknologi dalam pertanian. Lewis tidak membayankan kesuksen yang spektakuler seperti kesuksean Revolusi Hijau. Revolusi Hijau yang tak diduga di sekitar 1970an telah meningkatkan produktivitas marjinal tenaga kerja pertanian seperti ditunjukkan pada Gambar-5. Peningkatan tingkat upah ini secara independent dari aktivitas industri. Teknologi baru secara efektif mengurangi kendala lahan yang terbatas. Model Lewis telah mendorong suatu sikap yang pengabaian pertanian yang ramah (benign). Bahkan yang lebih buruk adalah mendorong kebijakan yang bias terhadap pertanian dengan mendorong perpajakan dari sektor ini dan terus mentransfer ke sektor industri. Pelajaran baru dari revolusi hijau adalah bahwa pembangunan pertanian itu tidak bisa diabaikan. Keadaan pertanian yang tangguh nampaknya menjadi suatu prasyarat penting untuk pembangunan industri. Sumber : Kasliwal, 1995 Gambar 5. Model Lewis Dinamis Secara historis pertumbuhan industri menunjukkan bahwa setelah dua generasi dari pembangunan sektor ini belum secara signifikan menghabiskan surplus tenaga kerja yang tersedia di Negara berkembang. Penduduk yang bermigrasi ke kota seperti disiratkan oleh model Lewis, tetapi tidak semua tertampung pada pekerjaan industri di sana. Tingkat penyerapan tenaga kerja dalam aktivitas produksi lain tidak memadai bagi tenaga kerja yang dilepas dari pertanian. Penyebab utamanya mungkin dari penggunaan metode teknologi yang hemat tenaga kerja (labor saving) karena berbagai alasan. Seperti pemerintah 22 yang bertujuan untuk mendorong industri, mereka sering melebih- lebihkan insentif untuk investasi. Modal yang dibuat jadi murah (artificially-cheapened) telah merangsan perusahaan untuk menggunakan teknik padat modal yang berlebihan. Lebih dari itu, industri tergantung pada teknologi import dari negara maju yang pada umumnya hemat tenaga kerja dan tidak sesuai bagi negara berkembang dengan surplus tenaga kerja. Selain itu Model Lewis dianggap dapat memperburuk distribusi pendapatan yang saat ini semakin dipandang sebagai suatu masalah serius untuk pembangunan di negara berkembang. Model Lewis mengasumsikan bahwa upah industri akan (dan perlu) tetap sedikit lebih tinggi dibanding upah subsisten di pertanian. Perbedaan upah ini diperlukan untuk mengimbangi biaya hidup yang lebih tinggi di perkotaan, terutama karena migrant kehilangan semua pekerjaan penyokong yang tersedia di pedesaan. Tetapi dalam kenyataan empiris, kesenjangan upah telah bervariasi secara dramatis dari waktu ke waktu dan pada semua negara. Sepanjang tahun 1960an dan awal 1970an, upah industri membumbung tinggi dalam hubungannya dengan upah pertanian pada sebagian besar negara berkembang, sehingga kesenjangan upah dilebarkan dengan baik sebelum full employment dicapai. 2.2.3. Model Harrod-Domar Menurut Kasliwal (1995) bahwa Model Harrod-Domar menganggap bahwa, lahan dan pertanian mulai kehilangan peran ekonomi utamanya setelah pertumbuhan pertanian terdesak oleh pertumbuhan populasi secara meyakinkan. Sejak era revolusi industri, ketika industri mengalami pertumbuhan pesat berdasarkan akumulasi modal dibandingkan berdasarkan sumber daya alam yang terbatas, suatu pandangan baru telah berkembang menyangkut faktor penentu pertumbuhan ekonomi, dimana modal dianggap input yang paling significant untuk peningkatan output. Model Harrod Domar merumuskan dua asumsi yang krusial : 1. Produksi tergantung pada modal (Production depends on capital). ∆Y = 1 ∆K v 23 v= dimana ∆K = Incremental capital output ratio (ICOR) ∆Y 2. Akumulasi modal tergantung pada pendapatan (Capital accumulation depends on income) Tabungan S = s . Y, Dimana s = Kecenderungan tabungan (savings propensity) Persamaan pertama menunjukkan bahwa pertambahan (increment) dalam stok modal K menghasilkan suatu pertambahan output tertentu. Efektivitas modal tercermin di dalam parameter ICOR v. Tercatat bahwa peranan tenaga kerja tidaklah dinyatakan karena dianggap bukan sebagai kendala yang membatasi. Persamaan yang kedua menyatakan bahwa modal itu terakumulasi melalui tabungan domestik, yang secara sederhana merupakan fraksi (fraction) tertentu, s, dari output. Penyederhanaan asumsi bahwa investasi dibiayai semata- mata oleh uang tabungan domestik menyiratkan : S = I = ∆K dengan mensubstitusi faktor ini dalam persamaan pertama kita lihat bahwa v∆y = s.Y Jadi, Tingkat pertumbuhan GNP adalah ∆Y s = Y v Persamaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat tabungan, maka semakin tinggi tingkat pertumbuhan output yang dihasilkan oleh investasi produktif. Nilai v yang kecil berarti bahwa negara itu menggunakan modal secara efisien. Beberapa implikasi dari Model Harrod-Domar nampak bertentangan dengan bukti empiris dunia nyata. Salah satunya adalah implikasinya bahwa output harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan modal dalam jangka panjang. Ini terlihat dari hubungan yang konstan antara output dan modal : Y = 1 v K . Ratio modal/output yang konstan menyiratkan bahwa persentase perubahan persediaan modal dan output harus sama. Studi yang dilakukan dengan menghitung pertumbuhan negara-negara berkembang menemukan bahwa pertumbuhan pendapatan lebih tinggi dari pertumbuhan modal bersih (Yˆ > Kˆ ). Oleh karena itu adalah tidak benar bagi Harrod-Domar untuk berasumsi bahwa 24 peningkatan modal menjadi satu-satunya sumber, atau sumber utama, pertumbuhan. Denga n jelas sumber pertumbuhan yang penting lainnya digolongkan dalam parameter v, seperti pertambahan tenaga kerja produktif, ketrampilan, peningkatan teknologi, dan lainnya. Model Harrod-Domar yang mengasumsikan ratio K/L yang tetap, juga dikritik sebab pertumbuhan yang disiratkannya dilihat seperti tidak stabil pembawaannya. Ketidakstabilan ini muncul dari ketidak cocokan (mismatch) antara tingkat pertumbuhan modal dan angkatan kerja. Tidak ada alasan bagi tingkat pertumbuhan tenaga kerja akan sama pertumbuhan output (asumsi pertumbuhan modern : tenaga kerja independent terhadap pertumbuhan output), kecuali oleh kejadian yang kebetulan. Jadi pertumbuhan L harus pula berbeda dengan pertumbuhan K, dengan demikian akan menyebabkan salah satu dari dua hal berikut terjadi: (1) pengangguran, atau (2) perubahan dalam perbandingan modal/tenaga kerja. Kondisi pertumbuhan yang tidak sehat seperti itu akan menyebabkan siklus yang kronis. Pertumbuhan model Harrod-Domar dilukiskan pada Gambar-6. Sumbu vertikal dapat ditafsirkan sebagai output per pekerja dan sumbu horisontal sebagai persediaan modal per pekerja : yakni ratio K/L. Fungsi produksi menunjukkan output meningkat secara linier dengan K. Secara implisit hal ini mengasumsikan bahwa terdapat tenaga kerja yang menganggur yang terletak di bawah titik tenaga kerja penuh (full employment). Tingkat output yang diproduksi seperti ditunjukkan oleh garis yang benkok OY dan tabungan yang merupakan pecahan sisa dari output seperti itu ditunjukkan oleh garis putus-putus OS. Ini digambar secara proporsional di bawah kurva output menurut tingkat tabungan. Mengingat bahwa model pertumbuhan modern itu berasumsi bahwa tenaga kerja tumbuh- secara exogenous pada suatu tingkat output n% per tahun. Untuk pertumbuhan berimbang (balanced growth), ratio K/L harus tetap konstan, juga pertumbuhan persediaan modal harus tidak melebihi pertumbuhan angkatan kerja. Modal juga harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan n, sehingga investasi harus K = I = n K seperti ditandai oleh garis lurus I = nK, sepanjang mana ratio K/L tetap konstan. Juga, untuk keseimbangan (equilibrium) kita harus mempunyai tabungan yang sama dengan investasi. Pertumbuhan berimbang 25 seperti itu hanya dapat terjadi pada titik 0 atau B. Ketika 0 menandai tidak adanya output (zero output), keseimbangan pada B juga tidak masuk akal (implausible) karena berada di luar F. Jika tabungan berada di bawah investasi yang diperlukan, ekonomi akan bergerak ke arah keseimbangan lain pada 0, yang tidak masuk akal. Sumber : Kasliwal, 1995 Gambar 6 Model Harrod-Domar Model Harrod-Domar menyiratkan bahwa proses pertumbuhan pasti tidak stabil secara terus menerus (chronically), tetapi dalam pengalaman kita seperti crises tidaklah endemik walaupun pertumbuhan tenaga kerja dan modal berjalan pada tingkat yang sungguh berbeda. 2.2.4. Mode l Perumbuhan Solow Model pertumbuhan neoklasikal pertama dirumuskan oleh Solow pada tahun 1950an. Model ini menekankan bahwa banyak input dapat dengan bebas disubstitusikan satu sama lain dalam suatu fungsi produksi untuk meningkatkan output. Persediaan secara relatif dari faktor- faktor akan berubah bersama pertumbuhan ekonomi yang mendorong ke arah suatu perubahan dalam harga relatifnnya. Sebagai reaksi, produsen mensubstitusi antara berbagai input. Jadi ratio K/L dianggap tidak konstan dalam model neoklasikal. Model neoklasikal Solow terdiri dari unsur- unsur berikut . Y = F( K, L) 26 Fungsi produksi menggambarkan kondisi penawaran (supply), di mana output adalah suatu fungsi dari berbagai input. Fungsi ini mempunyai produksi marginal (MP) yang menurun (diminishing) dari tiap faktor produksinya dF d2F > 0, <0 dX dX 2 di mana X mewakili masing- masing faktor K, L Terlihat bahwa keduanya tenaga kerja dan modal dapat digunakan untuk menghasilkan output. Jika tenaga kerja menjadi berlimpah, teknik produksi berubah untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja dalam hubungan dengan penggunaa modal. Model neoklasikal menekankan bahwa kemampuan memsubstitusi (substitutability) faktor berlangsung dalam merespon perubahan harga factor relatif, Pk / PL. Model pertumbuhan neoklasikal membuat asumsi bahwa tingkat pertumbuhan tenaga kerja L ditentukan secara exogenous. Jika persediaan modal tumbuh pada tingkat yang lebih cepat, ratio K/L akan cenderung meningkat. Tetapi ketika peningkatan jumlah modal yang digunakan oleh masing- masing pekerja, produk marjinal modal akan menurun. Sebagai konsekwensinya pertumbuhan output akan lambat, dan akumulasi modal juga akan merosot. Suatu implikasi penting dari Model Solow adalah bahwa dengan mengabaikan tingka tabungan, pertumbuhan output pada akhirnya akan hanya sama tingkat pertumbuhan tenaga kerja. Pendapatan per kapita akan tetap konstan seperti akan ratio K/L. Ini adalah suatu kondisi pertumbuhan yang mapan (steady state) di mana K dan L tumbuh pada tingkat yang sama. Kˆ = Lˆ = Yˆ Gambar-7 menggambarkan elemen-elemen proses pertumbuhan itu. Sumbu datar merupakan ratio K/L sebagai k. Pada sumbu yang lain dilukiskan bagaimana output per kapita Y/L bereaksi dengan perubahan k. Ketika intensitas modal meningkat, output tumbuh, tetapi pada tingkat yang semakin menurun karena kemerosotan MPK. Pertumbuhan tabungan juga lambat, seperti ditunjukkan oleh garis putus-putus. Garis ini ditarik di bawah output pada suatu proporsi tertentu yang menjadi tingkat tabunga n s. Garis ke tiga, yang lurus, ditarik untuk menunjukkan kenaikan K yang diperlukan untuk menjaga ratio K/L yang konstan. Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan sampai pada titik B, di mana tingkatan 27 tabungan sama dengan tingkat investasi, kondisi ini dis ebutkannya sebagai kondisi mapan (steady state). Pertumbuhan kondisi mapan (steady state) berlanjut tanpa pengangguran baik K ataupun L karena pemakaian dari faktor ini melakukan penyesuaian dengan lebih ketat, karena itu pertumbuhan stabil memungkinkan dalam model Solow. Pada pertumbuhan kondisi mapan (steady state growth), k = L sehingga ratio K/L stabil. Ratio ini disebut teknik produksi. Penggunaan teknik berubah sebagai respon atas perubahan endogin dalam harga faktor relatif, yang, pada gilirannya, mencerminkan perubahan kelangkaan relatif faktor itu. Sekalipun begitu model neoklasikal mempunyai suatu implikasi yang tidak masuk akal (implausible): Dengan mengabaikan tingkat seving, ekonomi pada akhirnya berada (settle) pada suatu tingkat pendapatan per kapita yang konstan. Sehingga peningkatan tingkat tabungan hanya akan mempercepat pertumbuhan yang bersipat sementara. Kesimpulan ini muncul karena semakin banyak akumulasi modal, percepatan menyebabkan produksi marjinal modal yang semakin menurun (diminishing marginal product of capital). Model Solow menyiratkan pertumbuhan cepat hanya dalam kasus di mana persediaan modal kecil. Sementara data empiris menunjukkan bahwa bagi negara-negara termiskin justru memiliki pertumbuhan yang paling lambat pula. Sumber : Kasliwal, 1995 Gambar 7. Model pertumbuhan neoklasik 28 Model Solow telah dikritik seperti tidak sesuainya bagi konteks pembangunan karena didasarkan pada asumsi neoklasikal yang bersandar pada efisiensi pasar. Ahli ekonomi structuralist (seperti Lance Taylor di MIT dan Hollis Chenery di Harvard) menunjukkan berbagai kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang: (1) Harga tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga yang terjadi. Kegagalan pasar telah tersebar luas dan berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Apapun sumber kegagalan pasar mereka, hal itu pasti benar bahwa factor distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Barangkali yang paling kritis adalah ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja tersebar luas di mana tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar bebasnya. Model pertumbuhan neoklasikal juga dikritik pada penekanannya atas keseimbangan ketika pemakaian faktor diasumsikan untuk berubah secara perlahan dalam merespon perubahan harga faktor. Pada kenyataannya ketakseimbangan yang dinamis mungkin jauh lebih penting. Pertumbuhan ekonomi yang lebih masuk akal ditandai ketika proses kemajuan teknologi yang tersentak-sentak oleh adaptasi dan penemuan. Proses ini diatur terutama sekali oleh insentif innova tor dan usahawan, yang, pada gilirannya, merupakan suatu fungsi kendala yang melekat dalam kerangka kelembagaan masyarakat. Kemajuan teknologi dilukiskan sebagai pergeseran yang menaik dari keseluruhan fungsi produksi. 2.2.5. Model Pertumbuhan Endogenous Model pertumbuhan endogen modern bertujuan untuk menghilangkan asumsi exogen dari kemajuan teknologi. Dimana kemajuan teknologi ini di lambangkan sebagai peningkatan produktivitas Y/L. Kasliwal (1995) menyatakan tiga versi model yang berkaitan peningkatan produktivitas dengan alasan yang 29 berbeda: (1) spillovers, (2) difusi, dan (3) investasi sumberdaya manusia (human capital investment) Sebagai permulaan model Romer mengungkapkan keseluruhan kemajuan tehnis yang terjadi disebabkan karena adanya limpahan (spillover) pengetahuan dari peningkatan stock modal. Jadi investasi individu - atau pengeluaran riset (research expenditures) – menghasilkan suatu eksternalitas positif sebagai dorongan secara teknis terhadap keseluruhan perekonomian. Investasi seperti itu menyebabkan pergeseran keluar fungsi produksi agregat. Barro dan Martin (1992) dalam Kasliwal (1995) dengan jelas menyatakan bahwa teknologi itu tidaklah serupa untuk semua negara-negara. Dengan Gap Teknologi yang ada suatu difusi pengetahuan yang lambat berlangsung dari negara-negara maju kepada negaranegara yang terkebelakang, mendorong ke arah suatu convergensi yang lambat. Model ketiga dapat juga menghilangkan efek MPK yang semakin berkurang di negara maju. Mankiw, Romer dan Weil (1992) membantah bahwa factor modal manusia menyediakan dorongan secara terpisah terhadap pertumbuhan di dalam suatu fungsi produksi. Pertumbuhan yang terjadi secara endogen seperti negara maju cenderung untuk mengakumulasi modal manusia pada tingkat yang lebih tinggi. Bahkan jika modal phisik bersipat mobile ke arah bidang yang memberikan hasil lebih tinggi (produktivitas), Kurangnya modal manusia di daerah miskin akan memuat sesuatu kecenderungan ke arah convergensi. Margono (2005) menyebutkan bahwa model ini menekankan pentingnya peningkatan tabungan, perubahan teknologi, peningkatan barang modal dan investasi sumberdaya manusia. Persamaan berikut merupakan persamaan sederhana dari model pertumbuhan endogen. Y = AK Dalam persamaan tersebut, A mewakili factor- faktor yang mempengaruhi teknologi, sedangkan K melambangkan modal fisik dan modal manusia. Dalam rumusan tersebut ditekankan adanya kemungkinan bahwa investasi modal fisik dan modal sumberdaya manusia yang dapat menciptakan eksternalitas positif dan pengkatan produktivitas yang melampaui keuntungan pihak swasta yang melakukan investasi itu, dan hasilnya cukup untuk mengimbangi skala penurunan hasil. 30 2.3. Total Factor Productivity Total factor productivity (TFP), merupakan ukuran yang sering digunakan untuk menggambarkan kemajuan teknologi. TFP diukur secara tidak langsung (indirect accounting), karena tidak dapat diamati langsug (Mankiw, 2000). TFP ditunjukkan dari pertumbuhan nilai tambah setelah pertumbuhan tenaga kerja dan capital dikeluarkan. Menurut Pressman (2004) bahwa model yang digunakan untuk mengukur TFP di dasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas: Y = ALα K β Model fungsi produksi Cobb-Douglas yang digunakan adalah memperhitungkan dua faktor produksi terukur yakni tenga kerja (L) dan modal (K). Nilai A pada fungsi produksi tersebut diartikan sebagai total factor productivity (TFP). Untuk keperluan perhitungan TFP, maka dilakukan transformasi logaritma terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan tahapan sebagai berikut: Y2 − Y1 = A2 Lα2 K 2β − A1 Lα1 K1β Y2 − Y1 A2 L2 = Y1 A1 L1 α K2 K1 Y2 − Y1 A L + 1 = 2 2 Y1 A1 L1 Y2 A2 L2 = Y1 A1 L1 Y ln 2 Y1 α A = ln 2 A1 K2 K1 α β − 1 K2 K1 β β L + α ln 2 L1 K + β ln 2 K1 At * = Yt * − α Lt * − βK t * At * = Yt * − αLt * − (1 − α ) K t * At * = TFP Keterangan: Yt * = Pertumbuhan output tahun-t Lt * = Pertumbuhan tenaga kerja (labor) tahun-t 31 K t * = Pertumbuhan modal (capital) pada tahun-t At * = Pertumbuhan total factor productivity (TFP) tahun-t Nilai α pada persamaan di atas menunjukkan bagian (share) tenaga kerja dari total output atau (MPL x L)/Y, di mana MPL (produk marginal tenaga kerja) tidak lain adalah upah riil tenaga kerja. 2.4. Pasar Tenaga Kerja Keseimbangan pasar tenaga kerja, mencerminkan adanya kesesuaian dari interaksi antara penawaran tenaga kerja (labor supply) dan permintaan tenaga kerja (labor demand). Dinamika pasar tenaga kerja ditentukan perubahanperubahan yang terjadi pada kedua sisi dari pasar tenaga kerja tersebut. Secara umum pasar tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan penduduk atau angkatan kerja, migrasi, inflasi, pengangguran, pendapatan masyarakat (PDB/PDRB) dan lain sebagainya. Teori dari berbagai komponen pasar tenaga kerja tersebut akan diuraikan satu per satu sebaga i berikut. 2.4.1. Penawaran Tenaga kerja Menurut Ruby (2003) bahwa model dari penawaran tenaga kerja dimulai dengan asumsi bahwa pekerja akan memilih kombinasi jam-kerja dan pendapatan dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) meraka dengan kendala jumlah jam yang tersedia dalam sehari. Model penawaran tenaga kerja menganggap bahwa jam bekerja adalah merupakan barang yang tidak disukai, tetapi dengan bekerja akan memberikan pendapatan. Sedangkan jam tidak bekerja atau yang disebut waktu luang (leisure time) meruapakan barang yang disukai. Dengan demikian maksimisasi kepuasan akan ditentukan dari pendapatan dan waktu luang : Maximaze U = f (pendapatan, waktu luang). Dengan menggunakan analisa kurva indeferen (indifference curve) kita dapat menguj i efek dari perubahan tingkat upah terhadap jumlah penawaran jam kerja, yang dilukiskan pada gambar-8. Dimana kurva indiferen (IC) menggambarkan berbagai titik kombinasi antara pendapatan dan waktu luang yang menghasilkan tingkat kepuasan sama. Selanjutnya garis pendapatan (budget constraint) seperti garis XY, menggambarkan tingkat pendapatan berdasarkan jumlah jam bekerja dalam 32 sehari. Semakin banyak jam bekerja (semakin kecil waktu senggang) yang digunakan maka semakin tinggi pendapatan. Kepuasan maksimal terjadi apabila kurva indeferen bersentuhan dengan garis pendapatan. Kombina optimal tersebut akan berubah apabila tingkat upah mengalami perubahan, seperti ditunjukkan bahwa peningkatan upah merubah slop dari garis anggaran menjadi X’Y, sehingga kombinasi optimal berubah dari titik R ke titik T, yang mencerminakan perubahan jam kerja yang ditawarkan. Gambar 8-a. Peningkatan upah (Efek substitusi lebih kuat) Gambar 8-b Kurva penawaran tenaga terja Pendapatan (L x W) Tingkat Upah (W) X’ $196 SLabor X $160 T $12 T R $120 $10 IC1 80 R IC0 Y 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 2 Waktu Senggan lebih banyak 4 6 8 10 12 14 16 Tenaga Kerja (Jam) Jam Kerja lebih banyak Waktu (Jam) Sumber : Ruby, 2003. Gambar 8 Penentuan kurva penawaran tenaga kerja Menurut Bellente dan Jacson (1990) besarnya waktu yang disediakan atau dialokasikan untuk bekerja merupakan fungsi tingkat upah tertentu. Setelah mencapai tingkat upah tertentu pertamb ahan upah justru akan mengurangi waktu yang disediakan untuk bekerja, penomena ini akan menghasilkan apa yang disebut backward-bending supply curve, atau kurva penawaran yang berbelok. Kasliwal (1995) mengatakan phenomena tersebut banyak terjadi terutama pada kelompok perempuan dari keluarga kaya, sementara sesungguhnya mereka tergolong dalam angkatan kerja (labor force), sehingga tentu memiliki relevansi dengan pembangunan. 33 Pengaruh tingkat upah terhadap penawaran tenaga kerja sesungguhnya ditentukan oleh dua kekuatan yang saling berlawanan yakni pengaruh efek pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect). Apabila efek pendapatan yang positif terhadap tingkat upah lebih kecil dari kekuatan efek substitusi yang negatif, maka efek total akan menjadi negatif yang berarti bahwa pekerja akan mengurangi konsumsi waktu luang (leisure) dan menambah waktu jam kerjanya sehingga kurva penawaran akan memiliki kemiringan positif (upward sloping). Sebaliknya jika efek total positif maka akan terjadi “bacwardbending” pada kurva penawaran tenaga kerja yang berarti bahwa pekerja justru akan mengurangi jam kerjanya dengan peningkatan upah (McConnell dan Brue, 1995). Selanjutnya Ruby (2003) mengatakan bahwa dalam analisa agregat, penawaran tenaga kerja, selain ditentukan oleh tingkat upah, juga sangat dipengaruhi oleh perubahan populasi, tingat partisipasi angkatan kerja (demographic changes) dan arus immigrasi (immigration flows). 2.4.2. Permintaan Tenaga Kerja Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan produsen (pengusaha) terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka untuk membantu memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Apabila permintaan konsumen terhadap barang atau jasa yang diproduksi meningkat, maka, pengusaha terdorong untuk meningkatkan produksinya melalui penambahan input, termasuk input tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan produksi tersebut lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input. Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja, tergantung dari pertambahan permintaan konsumen dari barang dan jasa yang dihasilkannya. Oleh karena itu permintaan tenaga kerja merupakan permintaan turunan (derived demand) dari permintaan konsumen. Hal ini mengindikasikan bahwa kekuatan permintaan untuk tenaga kerja akan tergantung pada : (1) tingkat produktifitas tenaga kerja dalam membantu menghasilkan barang atau jasa, dan (2) nilai pasar dari barang atau jasa tersebut. (Swastika dan Kuastiari, 2000). 34 Menurut Ruby (2003), bahwa permintaan tenaga kerja di turunkan dari fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K). Fungsi produksinya adalah sebagai berikut : TP (Y) = f(L,K) Dimana : TP = Produksi total (output) L = Tenaga kerja K = Modal Dengan asumsi bahwa pengusaha senangtiasa ingin memaksimumkan pendapatannya, maka dalam jangka pendek, produksi optimal (profit maximizing) terjadi pada saat produktivitas marginal tenaga kerja (MPL) sama dengan ratio upah (wt ) terhadap harga produk (wt /Px ) atau kondisi dimana nilai produk marginal tenaga kerja (VMPL) = wt . Upah (wt ) tidak lain adalah jumlah tambahan biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan tambahan seorang pekerja. Apabila MPL lebih besar dari wt /Px , maka perusahaan akan menambah permintaan tenaga kerjanya. Secara umum, dalam jangka pendek permintaan tenaga kerja berkorelasi negatif dengan tingkat upah (wt ). Akan tetapi terdapat hubungan positif antara harga produk (Px ) dengan permintaan tenaga kerja jangka pendek, karena kurva MPL (kurva permintaan tenaga kerja), akan bergeser keluar (outwards) jika harga output menjadi lebih mahal (Borjas, 1996). Output (Y) Tingkat Upah Riil (W/P) Profit 2 Profit 1 Y=f*(L,K) d Y2 Y=f(L,K) Y1 W P b d Produksi optimal yg baru b MPL * = D* MPL = D 0 L1 L2 Labor (L) 0 L1 L2 (L) Sumber : Ruby, 2003. Gambar 9. Penentuan kurva permintaan tenaga terja Dalam jangka panjang, semua faktor produksi akan mengalami perubahan. Penentuan faktor produksi mana yang digunakan di dasarkan pada daya substitusi 35 (marginal rate of technical substitution) dari faktor produksi tersebut. Perusahaan akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika tenaga kerja relatif lebih murah dibandingkan dengan modal. Dikatakan tenaga kerja lebih murah secara relatif dibandingkan modal, jika produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dari produktivitas modal. Menurut Ruby (2003) bahwa peningkatan produktifitas tenaga kerja ini dapat disebabkan oleh penambahan kemajuan teknologi atau penambahan modal per tenaga kerja. Peningkatan produktifitas ini akan menyebabkan bergesernya fungsi produksi ke atas (output per tenaga kerja lebih tinggi) dan menggeser keluar kurva MPL, yang mencirikan permintaan tenaga kerja bertambah. Atau dengan kata lain peningkatan produktivitas tenaga kerja, bukan hanya meningkatkan output, tetapi juga mendorong perluasan kesempatan kerja. 2.4.3. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja Keseimbangan pasar tenaga kerja adalah kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kesesuaian tersebut bukan hanya dalam jumlah dan tingkat upah, tetapi juga implisit di dalamnya mengenai berbagai karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan pasar, seperti keterampilan, pendidikan dan lain- lain. Dalam kondisi dimana mekanisme pasar dapat bekerja secara sempurna, tidak ada satu atau beberapa kons umen maupun produsen yang memiliki kekuatan yang cukukp untuk memaksakan kehendaknya guna mempengaruhi harga- harga input dan harga output barang dan jasa, sehingga tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat upah di tentukan secara bersamaan oleh segenap harga output dan faktor- faktor produksi dalam suatu perekonomian melalui perimbangan kekuatan-kekuatan permintaan dan penawaran. Kondisi keseimbangan dalam pasar tenaga kerja, memiliki makna yang sangat berarti dalam suatu perekonomian, karena kondisi tersebut mencirikan tidak adanya faktor produksi tenaga kerja yang menganggur atau yang sering disebut sebagai kondisi full employment. Akan tetapi pengangguran senangtiasa wujud dalam perekonomian, hal mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja sulit untuk mencapai keseimbangan atau terjadi kegagalan pasar tenaga kerja. Kegagalan pasar tenaga kerja menuju titik keseimbangan ditentukan oleh banyak 36 faktor. Diantaranya karena sektor-sektor produksi memiliki daya serap (permintaan) tenaga kerja yang rendah, sementara penawaran tenaga kerja bertambah terus karena adanya pertambahan angkatan kerja dan migrasi. Faktor lain penyebab kegagalan pasar tenaga kerja adalah tidak singkronnya spesifikasi tenaga kerja yang diinginkan oleh pengusaha dengan karakteristik tenaga kerja yang tersedia, seperti perbedaan keterampilan, pendidikan, pengalaman dan lainlain. Selain itu faktor informasi yang tidak sempurna juga memberikan kontribusi yang signifkan terhadap kegagalan pasar tenaga kerja. Kondisi keseimbangan pasar tenaga kerja ditunjukkan pada titik equilibrum pada gambar 10. Tingkat Upah SL Employment W2 Excess Supply Unemployment W0 E = Kondisi keseimbangan W1 MPL = DL Penyerapan Tenaga Kerja 0 L0 L Sumber : Nicholson, 1998 dan Kasliwal 1995. Gambar 10. Keseimbangan pasar tenaga kerja dan pengangguran Pada gambar 10 memperlihatkan keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai pada jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan oleh individu sama dengan besarnya yang diminta oleh pengusaha yaitu pada tingka upah W0 . Pada tingkat upah yang lebih tinggi (W2 ) penawaran tenaga kerja lebih tinggi dari jumlah yang diminta. Perbedaan dari jumlah penawaran dan permintaan tenaga kerja ini merupakan kelompok tenaga kerja yang mencari kerja (menganggur) dari angkatan kerja (L), selebihnya adalah kelompok tenaga kerja yang terserap dalam pasar tenaga kerja (employment). Semakin besar angka pengangguran, maka semakin ketat persaingan diantara mereka untuk memperebutkan lowongan kerja yang tersedia sehingga dapat mendorong upah akan turun ke arah titik 37 keseimbangan. Penomena dimana banyaknya pencari kerja bersedia bekerja walau dengan tingkat upah yang rendah akan mendorong semakin banyaknya disquised unemployment. 2.4.4. Pengangguran, Upah Kaku dan Distorsi Pasar Tenaga Kerja Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keseimbangan pasar tenaga kerja mengacu pada kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang berarti pula bahwa tidak terdapat pengangguran dalam perekonomian, karena setiap tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan dengan segera mendapatkan pekerjaan baru. Akan tetapi Menurut Mankiw (2003) pada kenyataannya para pekerja mempunyai preferensi dan kemampuan yang berbeda dan pekerjaan memerlukan spesifikasi keahlian yang berda serta upah yang berbeda. Selain itu, karena adanya informasi tentang calon karyawan dan lowongan kerja yang tidak sempurna, dan mobilitas geografis pekerja tidak instant, sehingga calon karyawan dalam mencari pekerjaan yang tepat membutuhkan waktu dan usaha dan hal ini tentu mengurangi tingkat penemuan pekerjaan. Karena setiap calon karyawan membutuhkan waktu untuk mencari pekerjaan, maka pengangguran pasti selalu terjadi. Pengangguran yang disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mencari pekerjaan di sebut sebagai pengangguran friksional. Lebih lanjut Mankiw (2003) menjelaskan bahwa pengangguran friksional selalu terjadi pada perekonomian yang selalu berubah. Ketika terjadi perubahan pada komponen permintaan masyarakat akan berdampak pada perubahan struktur produksi (pergeseran sektoral) pula sehingga juga mempengaruhi permintaan tenaga kerja. Pergeseran sektoral ini mencirikan bahwa ada sektor produksi lama yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan, tetapi ada pula sektor produksi baru yang muncul dan berkembang. Dalam kondisi seperti itu, maka selalu ada pemutusan hubungan kerja dan ada pula lowongan kerja baru, karena informasi tidak sempurna sehingga pencari kerja selalu membutuhkan waktu untuk menemukan pekerjaan yang sesuai, karena itu pengangguran friksional selalu terjadi. 38 Alasan kedua untuk pengangguran menurut Mankiw (2003) adalah karena kekakuan upah (wage rigidity) yakni gagalnya upah melakukan penyesuaian sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Upah tidak selalu fleksibel menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, kadangkadang upah riil tertahan di atas tingkat kliring-pasar. Ketika upah riil di atas tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan, jumlah tenaga kerja yang ditawarkan melebih jumlah yang diminta sehingga terjadi pengangguran. Hal senada juga diungkapkan oleh ahli ekonomi structuralist (seperti Taylor dan Chenery) ketika mengkritik teori pertumbuhan Solow yang mengatakan bahwa ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja terjadi secara kritis di negara berkembang yang ditunjukkan bahwa tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar bebasnya (Kasliwal, 1995), atau dengan kata lain PM L < w / p (upah riil lebih tinggi dari produksi marginal tenaga kerja). Menurut Taylor dan Chenery, bahwa kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang ini berkaitan dengan: (1) Harga (upah) tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga (upah) yang terjadi. Dengan demikian pandangan ini sudah sejalan dengan pendapat Mankiw tentang kekakuan upah (wage rigidity) atau gagalnya upah melakukan penyesuaian ke arah keseimbangan pasar ketika terjadi shock (perubahan) pada sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga kerja. Menurut Kasliwal (1995) bahwa kegagalan pasar yang telah tersebar luas berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Karena itu distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Sedangkan menurut Mankiw (2003) bahwa hal yang menyebabkan kekakuan upah adalah undangundang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan efisiensi upah. Karena itu semakin kuat faktor-faktor tersebut berpengaruh maka tentu upah semakin kakuh dan agen ekonomi semakin lamban merespon perubahan upah, yang berarti pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian, demikian pula semakin lama waktu yang dibutuhkan 39 oleh agen ekonomi untuk merespon perubahan upah. Dengan demikian lamanya waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian serta waktu yang dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon perubahan upah dapat dijadikan indikator tingkat distorsi pasar tena ga kerja. 2.5. Tinjauan Studi Terdahulu 2.5.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Struktural Juanda (2001) dalam studinya mengenai pertumbuhan ekonomi dan pegeseran struktural dalam industrialisasi di Indonesia dengan pendekatan model dual-economy. Dalam studi tersebut menggunakan pemodelan makroekonometrika. Beberapa kesimpulan dari studi tersebut, khususnya yang berkaitan ketenaga kerjaan dan perubahan struktural adalah sebagai berikut (1) bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia menyerupai supply-side determined employment, suatu karakteristik yang biasa ditemukan di negara-negara berkembang. Pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan tenaga kerja menyerupai pola trend yang sangat mirip karena surplus tenaga kerja diserap ke dalam pekerjaan ”pengganti sementara”. Sangat sedikit pencari kerja yang mampu bertahan menganggur meskipun untuk periode waktu sebentar saja sehingga banyak yang menerima pekerjaan yang produktifitasnya rendah. Menurutnya dinamika pasar kerja ini menunjukkan bahwa masalah sumberdaya manusia di Indonesia adalah bukan penciptaan kesempatan kerja per se, tapi penciptaan pekerjaan yang lebih produktif. (2) Dugaan koefisien model makroekonometrika yang digunakan mengindikasikan bahwa fenomena surplus tenaga kerja terjadi di sektor pertanian, dan pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan tidak hanya dengan meningkatkan input agregat tetapi juga dengan realokasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian. Studi ini merekomendasikan bahwa jalan keluar untuk meningkatkan pertumbuhan ekono mi yang diiringi perbaikan pergeseran struktural sehingga terjadi pemerataan hasil- hasil pembangunan ekonomi, adalah pembanguna agroindustri, karena agroindustri sangat berpotensi dapat dikembangkan untuk menarik sektor pertanian ke dalam proses industrialisasi karena beberapa aspek yang menguntungkan bagi sektor ini, yaitu penyerapan tenaga kerja, pasar untuk 40 komoditi-komoditi pertanian, kemampuan ekspor, dan relatif sedikit komponen bahan baku impornya. Dasril (1993) dalam Juanda (2001) menganalisis sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan dan perubahan keterkaitan antar sektor, baik dalam kebijakan subsidi impor (1971-1985) maupun orientasi ekspor (1985-1990), dengan menggunakan Tabel Input-Output Indonesia. Dasril menggunakan metode dekomposisi sumber pertumbuhan untuk mengukur sumber-sumber pertumbuhan yang terdiri atas permintaan dalam negeri, perdagangan internasional dan perubahan teknologi. Noor (1991) meneliti mengenai perubahan struktur produksi yang menyertai pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Noor, mengkaji perubahan yang terjadi antara daerah provinsi dengan menggunakan model yang pernah digunakan Chanary dan Syrquin (1975) ketika mereka melakukan penelitian di sejumlah negara berkembang mengenai pergeseran struktur ekonominya selama kurun waktu 1950-1970. Model tersebut diduga dengan multiple regression analysis. Noor, menyimpulkan bahwa hanya sebagian daerah provinsi di Indonesia yang menerima hipotesis Fisher, yaitu terdapat hubungan yang negatif antara pergeseran sektor primer dengan pertumbuhan pendapatan nasional atau pendapatan perkapita. 2.5.2. Total Factor Productivity Margono (2005) dalam studinya mengenai Analisis kritis terhadap masalah ketenaga kerjaan suatu pendekatan makro- mikro ekonomi, dimana salah satu tujuan utamanya adalah menghitung total factor productivity (TFP) Indonesia, TFP sektor pertanian, industri dan sektor jasa di Indonesia. Metode yang digunakan dalam menghitung TFP adalah direct accounting. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa TFP Indonesia sebesar -0.53. TFP sektor pertanian dan industri sejak tahun 1972 – 2002 juga bertanda minus yakni masing -2.56 untuk pertanian dan -1.47 untuk industri, sedangkan TFP sektor jasa positif yakni 0.48. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemajuan teknologi di Indonesaia selama periode analisis tidak banyak bermakna dalam peningkatan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. 41 Mathias (2004) yang mengkaji mengenai tingkat upah dan produktivitas tenaga kerja di Provinsi DKI Jakarta. Telah menghitung TFP DKI juga dengang menggunakan metode direct accounting yang diturunkan dari fungsi CobbDouglas. Menyimpulkan bahwa TFP untuk DKI selama periode 1997-2003 bernilai sebesar -0.39. Rendahnya TFP untuk DKI pada periode tersebut menurutnya karena dampak krisis ekonomi yang masih terus melanda DKI Jakarta sampai dengan tahun 2003. 2.5.3. Pasar Tenaga Kerja Sukwika (2003) yang meneliti mengenai pasar tenaga kerja dan migrasi di Kabupaten Bogor dikaitkan dengan perubahan struktur dan perkembangan wilayah. Analisa pasar tenaga kerja yang dilakukan dengan menggunakan persamaan sumultan dengan disagregasi terhadap tenaga kerja terdidik dan tidak terdidi. Studi ini kemudian melanjutkan dengan menggunakan analisa komponen utama (Pricipal Component Analysis) dan analisa gerombol (Cluster Analysis) untuk menduga model perwilayah struktur ekonomi. Dari hasil studi ini disimpulkan bahwa peningkatan ankatan kerja terdidik dan tidak terdidik lebih responsif terhadap pertumbuhan penduduk, sedangkan kesempatan kerja lebih responsif terhadap investasi, pendapatan regional dan jumlah pengangguran, baik di sektor pertanian maupun disektor industri. Disimpulkan pula bahwa otonomi daerah tidak menurunkan pengangguran di Kabupaten Bogor. Hadi (2002) mengkaji mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi di Indonesia. Studi ini juga menggunakan persamaan simultan yang diduga dengan menggunakan Two Stage Least Square (2SLS). Studi ini menyimpulkan bahwa peningkatan partisipasi kerja berdasarkan tingkat pendidikan, jenis kelamin dan wilayah responsif terhadap jumlah penduduk baik pada uasia produktif maupun pada usia belum produktif dan tingkat partisipasi kerja, upah bukan merupakan faktor utama yang mendorong peningkatan partisipasi angkatan kerja. Sedangkan kesempatan kerja sektoral ditentukan oleh perubahan pendapatan regional sektoral, program dana pembangunan. Kombinasi peningkatan Program Dana Padat Karya, Program Dana Pembangunan, Konsumsi Kalori dan Investasi 42 Sektoral memberikan dampak paling baik terhadap keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi di Indonesia. Studi mengenai ketenaga kerjaan di Sulawesi Selatan, diteliti oleh Fudjaja (2002). Studi ini mengkaji dinamika kesempatan kerja sektor pertanian dan industri di Sulawesi Selatan. Model analisisnya juga menggunakan persamaan simultan yang diduga dengan metode 2SLS. Studi ini menyimpulkan bahwa kebijakan pemerintah dan perubahan faktor ekonomi berpengaruh terhadap dinamika kesempatan kerja sektor pertanian dan industri di Sulawesi Selatan. Peningkatan upah memberi dampak positif terhadap kesempatan kerja demikian pula terhadap PDRB sektoral. Peningkatan investasi sektoral berdampak negatif terhadap kesempatan kerja sektor indus tri, akan tetapi berdampak positif terhadap PDRB sektoral. Sebaliknya penurunan investasi sektoral memberikan dampak negatif terhadap PDRB sektoral, baik peningkatan maupun penurunannya tidak memberikan pengaruh terhadap kesempatan kerja.