Analisis Pasar Tenaga Kerja Dan Pertumbuhan

advertisement
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Industrialisasi dan Transformasi Struktur Ekonomi dan Tenaga Kerja
Pembahasan yang sistematis mengenai perubahan struktur produksi dan
struktur kesempatan kerja yang menyertai pertumbuhan ekonomi di mulai oleh
Fisher (1935) yang mengatakan bahwa, pertumbuhan ekonomi biasanya disertai
dengan pergeseran permintaan dari sektor primer ke sektor sekunder dan akhirnya
bergeser lagi ke sektor tersier. Pergeseran tersebut akan mengakibatkan terjadinya
perubahan dalam struktur produksi yang sesuai dengan pergeseran dalam
permintaannya, yaitu melalui pergeseran dalam kesempatan kerja dan alokasi
dana dari sektor primer, ke sektor sekunder dan akhirnya ke sektor tersier. Hal
serupa juga terungkap dari hasil studi Kuznets, bahwa peran industri di negaranegara maju secara umum sudah melebihi 30 persen dari produk nasional. Proses
pertumbuhan industri itu disertai oleh penyerapan 35 persen dari angkatan kerja.
Sedangkan angkatan kerja yang masih tergantung di sektor pertanian hanya
meliputi 5 hingga 10 persen.
Guna menguji ke absahan hipotesis Fisher tersebut, Noor (1991) meneliti
mengenai perubahan struktur produksi yang menyertai pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Noor, mengkaji perubahan yang terjadi antara daerah provinsi dengan
menggunakan model yang pernah digunakan Chanary dan Syrquin (1975) ketika
mereka melakukan penelitian di sejumlah negara berkembang mengenai
pergeseran struktur ekonominya selama kurun waktu 1950-1970. Model tersebut
diduga dengan multiple regression analysis. Noor, menyimpulkan bahwa hanya
sebagian daerah Provinsi di Indonesia yang menerima hipotesis Fisher, yaitu
terdapat hubungan yang negatif antara pergeseran sektor primer dengan
pertumbuhan pendapatan nasional atau pendapatan perkapita, (Juanda, 2001).
Tampaknya pergeseran struktur ekonomi dan struktur tenaga kerja yang
menyertai proses industrialisasi di Indonesia menunjukkan trend berbeda dengan
pergeseran ala Fisher dan Kuznets. Transformasi struktural yang tejadi di
Indonesia ditunjukkan trend peningkatan yang tajam kontribusi sektor industri
dalam struktur ekonomi nasional, tetapi tidak disertai peningkatan yang signifikan
dalam struktur tenaga kerja nasional. Pada tahun 1980 sektor industri pengolahan
14
memberikan kontribusi sebesar 11.6 persen meningkat menjadi 26.1 persen tahun
2003, atau secara total kelompok industri (termasuk sektor pertambangan dan
bangunan) memberikan kontribusi sekitar 41.3 persen, akan tetapi penyerapan
tenaga kerjanya yang pada tahun 1980 sebesar 12.1 persen hanya meningkat tipis
yakni kurang dari 20 persen pada periode sebelum krisis ekonomi, bahk an pada
tahun 2003 hanya menyerap sekitar 12.8 persen. Sementara sektor pertanian pada
tahun yang sama (2003) dengan kontribusi sekitar 15.8 persen dalam PDB harus
menampun tenaga kerja sekitar 46.3 persen dalam strktur tenaga kerja nasional.
Gambaran dari transformasi struktural yang menyertai proses industrialisasi di
Indnesia, secara implisit memperlihatkan ketimpangan dalam kehidupan sosial
ekonomi masyarakat, jika dibiarkan akan semakin memperbesar kesenjangan.
Selain itu, Margono (2005) menyebutkan bahwa perubahan struktural yang
berlangsung di Indonesia memperlihatkan ketidakmatangan transformasi, karena
prosesnya terlalu dipercepat sehingga menyebabkan sektor industri nasional tidak
berkembang dengan baik. Perkembangan industri banyak dilakukan melalui
proteksi-proteksi oleh pemerintah terhadap sektor industri. Menurutnya, walaupun
perkembangan sektor industri, yang dipacu oleh kebijakan pemerintah, cukup
tinggi, namun bukan bersumber dari fundamental perekonomian yang kuat. Sektor
tersebut sangat tergantung pada impor, khususnya barang modal, input antara, dan
bahan baku, demikian pula terlalu tergantung kepada kapital dan teknologi dari
luar, akibanyanya sangat rentang terhadap perubahan ekonomi global yang
berubah secara dinamik.
Aziz (1990) pernah mengkaji perubahan struktural dalam perekonomian
Indonesia di masa lalu dengan menggunakan pendekatan yang di dasarkan pada
perubahan struktural menurut 3 jenis proses, yaitu proses alokasi, akumulasi serta
demograsi dan distribusi; selain itu juga diperhitungkan masalah penyusutan
sumberdaya alam. Namun analisa kuantitatif yang digunakan untuk mengamati
proses perubahan tiap peubah hanya melalui dimensi waktu sehingga perkiraan
perubahan struktural di masa depan hanya merupakan hasil dari pendekatan model
proyeksi, bukan model perencanaan.
Mengenai kaitan pertumbuhan ekonomi dengan ketenaga kerjaan di
Indonesia, Ninasapti (2005) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang
15
tinggi di Indonesia pada periode 1990-1996 menghasilkan tambahan lapangan
kerja yang tidak jauh berbeda dengan pada saat pertumbuhan ekonomi rendah
dalam periode 2000-2002. Temuan ini menurutnya berbeda dengan berbagai
pernyataan
yang
merupakan
”mitos”
dalam
perekonomian
bahwa
jika
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi maka akan terjadi penciptaan lapangan kerja
yang tinggi pula. Menurutnya sumber pertumbuhan pekerja akan sangat
tergantung kepada jenis usaha yang dikembangkan. Pengembangan sektor usaha
padat modal akan mengakibatkan penyerapan pekerja yang lebih kecil daripada
pengembangan sektor usaha yang padat karya, walaupun dari sisi pertumbuhan
PDB akan lebih tinggi.
Selanjutnya Ikhsan (2005) menunjukkan bahwa berdasarkan pada analisis
I-O dan seri pendapatan nasional, secara jelas menunjukkan adanya penurunan
dalam pangsa industri padat karya. Pangsa industri padat karya mengalami
penurunan dari 16.9 persen pada tahun 1995 menjadi 13.4 persen pada tahun
2000. Diantara industri padat karya tersebut penurunan terbesar terjadi pada
industri tekstil dan pakaian jadi yang menurun dari 4.2 persen menjadi 2.8 persen
pada tahun 2000. Sebaliknya pangsa industri permesinan mengalami peningkatan
dari 16.0 persen (1995) menjadi 20.8 persen (2000). Pertanyaan yang harus
dijawab, menurut Ik hsan, adalah apakah trend ini memang merefleksikan pola
normal dalam perubahan struktural atau sebaliknya mencerminkan distorsi dalam
pasar faktor produksi atau pasar output yang kemudian menimbulkan disalokasi
sumberdaya. Jika yang terakhir terjadi, maka gejala akselerasi pertumbuhan yang
sudah mulai ini tidak akan berumur panjang dan dalam waktu tidak begitu lama
akan terjadi perlambata laju pertumbuhan ekonomi dan kemudian mendorong
proses ”deindustrialisasi” di Indonesia.
Oleh karena itu, dalam rangka pemulihan ekonomi dan upaya penyesuaian
struktural perekonomian nasional, maka strategi pembangangunan di Indonesia ke
depan, tentunya tidak lagi hanya sekedar mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, tetapi diharapkan pertumbuhan ekonomi nasional dapat berkualitas dan
berkelanjutan. Hal ini dapat dicapai apabila pertumbuhan ekonomi nasional
bersumber dari fundamental ekonomi yang kuat, sehingga dapat menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai penyerapan tenaga kerja yang tinggi
16
pula. Oleh karena itu stud i ini yang akan mengkaji sumber-sumber pertumbuhan
disertai kajian aspek pasar tenaga kerja dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi yang tinggi dan perluasan kesempatan kerja di anggap relevan dengan
upaya proses penyesuaian struktural yang dimaksud.
2.2.
Model-Model Pertumbuhan Ekonomi
Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebaga i
“kenaikan jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan
semakin banyak jenis barang-barang ekonomi kepada penduduknya; kemampuan
ini tumbuh sesuai dengan kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan
ideologis yang diperlukannya”. Lebih lanjut Kuznets menunjukkan enam ciri dari
pertumbuhan modern. Dari ke enam ciri tersebut dua diantaranya adalah
kuantitatif yang berhubungan dengan pertumbuhan produk nasional dan
pertumbuhan penduduk, kemudian dua yang berhubungan dengan peralihan
structural dan dua yang berkaitan dengan penyebaran internasional, (Jhingan,
1999).
Menurut Mankiw (2003) untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, para
ekonom menggunakan data produk domestic bruto (GDP), yang mengukur output
barang dan jasa total suatu negara dan pendapatan total setiap orang dalam
perekonomian. Pada bagian lain Mankiw, menyebutkan output barang dan jasa
suatu perekonomian (GDP) bergantung pada (1) jumlah input, yang disebut
factor- faktor produksi, (2) kemampuan untuk mengubah input menjadi output.
GDP yang di tentukan dari kedua factor tersebut disebutkannya sebagai sisi
penawaran dari pendapatan nasional (GDP). Selanjutnya output atau GDP dari sisi
penggunaannya terdiri dari konsumsi (C) , Investasi (I), Pembelian pemerintah
(G) dan Ekspor netto (NX). GDP dari sisi penggunaannya disebut sebagai sisi
permintaan dari pendapatan nasional.
Teori pertumbuhan ekonomi, telah diuraiakan oleh banyak ahli dengan
cara pengklasifikasian yang berbeda-beda. Rasidi, 1991 dalam Hadi (2001)
menyebutkan
bahwa
terdapat
tiga
kategori
dalam
perkembangan
teori
pertumbuhan ekonomi. Kategori pertama, menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi adalah proses pertumbuhan seluruh masyarakat, tidak hanya bidang
17
ekonomi, tetapi termasuk pertumbuhan bidang sosial, politik, psikologi
masyarakat. Kategori kedua menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi adalah
termasuk dalam teori ekonomi pembangunan, khususnya dalam mengatasi
permasalahan
pembangunan
ekonomi
negara-negara sedang berkembang.
Sedangkan kategori ketiga disebut sebagai tori modern dalam pertumbuhan
ekonomi, yaitu termasuk ke dalam model Keynesian. Tidak seperti ke dua
kategori sebelumnya maka model keynesian bisa disebutkan sebagai murni teori
ekonomi. Sedangkan Kasliwal (1995) membagi dua kategori teori pertumbuhan
yakni (1) model pertumbuhan clasik (Classical Growth Models) dan (2) model
pertumbuhan modern (Modern Growth Models). Yang termasuk dalam model
klasik adalah pertumbuhan Ricardian (Ricardian growth) dan model Lewis (The
Lewis Model), sedangkan yang tergolong dalam teori pertumbuhan modern adalah
Model Harrod-Domar, Pertumbuhan Model Solow, Pertumbuhan endogenous.
Terlepas dari berbagai pengklasifikasian teori pertumbuhan tersebut, maka berikut
ini diuraikan beberapa model pertumbuhan sebagai berikut.
2.2.1. Pertumbuhan Ricardian
Model pertumbuhan Ricardian (Ricardian Growth) adalah model teoritis
yang menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang dikembangkan oleh David
Ricardo, Tho mas Malthus, dan Adam Smith di akhir abad kedelapanbelas. Model
klasik ini mempunyai dua unsur penting, yakni : (1) Sumber daya alam dianggap
sebagai constraint utama untuk pertumbuhan. Teori ini menganggap bahwa
produktivitas marjinal tenaga kerja merosot ketika lebih banyak lahan digunakan
dalam produksi. (2) Unsur utama lainnya di dasarkan pada gagasan Malthusian
bahwa populasi meningkat secara endogen dengan output. Apabila output tumbuh,
populasi juga akan meningkat sampai rata-rata konsumsi turun pada tingkat yang
subsisten.
Implikasi utama dari model pertumbuhan klasik bahwa dari waktu ke
waktu, ekspansi output melambat karena produktivitas marjinal yang menurun
dari tenaga kerja pada lahan tertentu. Semakin banyak tenaga kerja yang
dipekerjakan, maka tambahan output (extra output) akan terus meningkat hingga
mencapai tingkat subsistensi. Akhirnya keuntungan juga tertekan, dengan
18
demikian investasi berhenti. Kondisi ini kemudian disebutkannya sebagai keadaan
stationer (stationary state), di mana garis konsumsi subsisten dan garis output
berpotongan.
Ekonomi klasik menganggap bahwa sekalipun kemajuan teknologi
berlangsung, perekonomian akan tetap mencapai keadaan stasioner (stationary
state). Dengan asumsi itu, model Ricardian mempunyai implikasi bahwa dalam
jangka panjang, konsumsi per kapita tenaga kerja akan kembali pada tingkat yang
subsisten. Ketika permintaan untuk makanan naik bersama populasi, harga pangan
akan naik secara relatif untuk harga barang-barang pabrik. Dan karena upah
subsisten harus dibelanjakan makanan, laba pabrikasi akan ditekan sampai
investasi berhenti.
Salah satu kemungkinan untuk keluar dari stagnasi klasik adalah jika
pangan dapat diimport pada suatu harga tertentu, sehingga sektor industri dapat
berkembang secara esensial. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa, pada
hakekatnya, aplikasi model Ricardian hanya untuk perekonomian tertutup, atau
bahkan lebih baik, perekonomian besar di mana pengaruh dunia dipastikan kecil.
Cara penting lainnya untuk melepaskan tingkat subsistensi dari keadaan stationary
adalah menumbuhkan produktivitas pertanian secara terus menerus pada suatu
tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dari pertumbuhan populasi.
Menurut Kasliwal (1995) bahwa model ini menuai banyak kritik dari
banyak ahli, terutama pada asumsi Malthusian, bahwa populasi tumbuh secara
endogen dengan output. Populasi tidak secara otomatis tumbuh sebagai
konsekwensi dari pertumbuhan pendapatan. Selain itu dianggap mengabaikan
pengaruh teknologi, karena menganggap bahwa kemajuan seperti itu tidak bisa
melebihi langkah perluasan populasi pada jangka panjang.
2.2.2. Model Lewis
Menurut Kasliwal (1995) model Lewis tentang surplus tenaga kerja
dikenal sejak tahun 1950an, dan dipandang memberikan kontribusi penting dalam
pengembangan teori ekonomi pembangunan, terutama karena elaborasinya
mengenai ekonomi dua sektor (dual economy) yang terdiri (1) sektor tradisional
dan (2) sektor modern. Lewis membuat asumsi bahwa lahan yang terbatas
19
menyebabkan produk marjinal tenaga kerja pertanian menurun. Tetapi membuang
asumsi Malthusian bahwa populasi akan tumbuh secara endogen.
Model Lewis (1954) percaya bahwa sebagian besar negara-negara
berkembang memiliki banyak tenaga kerja yang setengah menganggur
(underemployed) dengan tingkat upah sekedar cukup untuk hidup (subsisten).
Tenaga kerja tersebut dapat di tempatkan untuk bekerja dalam suatu sektor baru
yang dinamis untuk menghasilkan pertumbuhan. Lewis mencatat bahwa sektor
pertanian mempunyai banyak surplus tenaga kerja seperti itu. Ketika pekerja
marginal ditransfer dari pertanian ke sektor industri yang lebih produktif, output
agregat mengalami loncatan peningkatan.
Beberapa implikasi dalam Model Lewis dapat dilihat di Gambar 4.
Gambar ini dibangun dengan memutar balik kurva tenaga kerja pertanian dan
memasang di sisi sebelah kanan kurva sektor industri. Kita dapat lihat bagaimana
tenaga kerja dipekerjakan di industri L1 , dan tenaga kerja pertanian LA
menambahkan sampai kepada total angkatan kerja. Ketika industri berkembang,
upah tetap konstan sampai semua surplus tenaga kerja diserap; baru setelah itu
upah mulai naik secara keseluruhan.
Sumber : Kasliwal, (1995)
Gambar 4. Model Lewis
Model itu menyiratkan adanya akumulasi modal yang terus menerus,
paling tidak sampai surplus tenaga kerja dihabiskan. Sepanjang tingkat upah tetap
rendah, ratio modal/tenaga kerja yang digunakan di dalam industri juga tetap
konstant. Jadi tingkat pengembalian (rate of return) atas modal tetap tinggi,
20
dengan demikian memberi harapan investasi terus berlanjut. Implikasi kebijakan
yang cukup kuat dari Model Lewis adalah :
(1)
Sektor industri harus di dorong khusus, mungkin merangsang ketertarikan
kapitalis asing yang ingin menginvestasikan modalnya karena adanya
tingkat upah yang rendah. Sebagai alternative pemerintah dapat melakukan
intervensi untuk merangsang (stimulate) industri domestic yang pada
awalnya dilindungi dari kompetisi import. Dengan kata lain, industri dapat
dimulai
dengan
industri
substitusi
impor
(import-substituting-
industrialization).
(2)
Tabungan yang tersedia untuk investasi bagi para pemodal (capitalists),
harus di dorong khusus. Rangsangan yang penting adalah menjamin suatu
tingkat keuntungan industri yang lebih tinggi dengan memastikan bahwa
upah tentu saja tetap rendah, sampai pada akhirnya semua surplus tenaga
kerja dihabiskan. Pada garis besarnya hal ini dilakukan dengan perpajakan
atau harga pangan yang murah dan mengalihaknnya ke industri.
(3)
Tingkat pertumbuhan populasi (dan pertumbuhan angkatan kerja) harus
dikendalikan agar lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga
kerja (employment) yang diciptakan oleh perluasan industri. Jika tenaga
kerja (labor) tumbuh lebih cepat dari penyerapan potensi nya ke dalam
industri, penentuan titik peningkatan upah atau pengurangan pengangguran
tidak pernah dicapai.
Model Lewis dikritik karena berbagai kegagalan dalam pengalaman
pembangunan di Negara berkembang. Kenyataannya upah industri terus
meningkat bahkan sebelum banyak surplus tenaga kerja pedesaan diserap.
Sementara penciptaan lapangan kerja industri mengecewakan, tenaga kerja
migrasi dari pedesaan ke wilayah perkotaan terus berlanjut. Urbanisasi yang
berlebihan ini telah mendorong suatu permasalah baru di Negara berkembang.
Suatu kritik yang lebih serius diarahkan pada model ini adalah implikasinya yang
bias terhadap pertanian dan lebih menyokong industri. Kebijakan yang bias seperti
itu kelihatannya telah menekan pertumbuhan perekonomiana secara keseluruhan
di banyak Negara berkembang. Model Lewis, juga mengabaikan kemungkinan
21
kemajuan teknologi dalam pertanian. Lewis tidak membayankan kesuksen yang
spektakuler seperti kesuksean Revolusi Hijau.
Revolusi Hijau yang tak diduga di sekitar 1970an telah meningkatkan
produktivitas marjinal tenaga kerja pertanian seperti ditunjukkan pada Gambar-5.
Peningkatan tingkat upah ini secara independent dari aktivitas industri. Teknologi
baru secara efektif mengurangi kendala lahan yang terbatas. Model Lewis telah
mendorong suatu sikap yang pengabaian pertanian yang ramah (benign). Bahkan
yang lebih buruk adalah mendorong kebijakan yang bias terhadap pertanian
dengan mendorong perpajakan dari sektor ini dan terus mentransfer ke sektor
industri. Pelajaran baru dari revolusi hijau adalah bahwa pembangunan pertanian
itu tidak bisa diabaikan. Keadaan pertanian yang tangguh nampaknya menjadi
suatu prasyarat penting untuk pembangunan industri.
Sumber : Kasliwal, 1995
Gambar 5. Model Lewis Dinamis
Secara historis pertumbuhan industri menunjukkan bahwa setelah dua
generasi dari pembangunan sektor ini belum secara signifikan menghabiskan
surplus tenaga kerja yang tersedia di Negara berkembang. Penduduk yang
bermigrasi ke kota seperti disiratkan oleh model Lewis, tetapi tidak semua
tertampung pada pekerjaan industri di sana. Tingkat penyerapan tenaga kerja
dalam aktivitas produksi lain tidak memadai bagi tenaga kerja yang dilepas dari
pertanian. Penyebab utamanya mungkin dari penggunaan metode teknologi yang
hemat tenaga kerja (labor saving) karena berbagai alasan. Seperti pemerintah
22
yang bertujuan untuk mendorong industri, mereka sering melebih- lebihkan
insentif untuk investasi. Modal yang dibuat jadi murah (artificially-cheapened)
telah merangsan perusahaan untuk menggunakan teknik padat modal yang
berlebihan. Lebih dari itu, industri tergantung pada teknologi import dari negara
maju yang pada umumnya hemat tenaga kerja dan tidak sesuai bagi negara
berkembang dengan surplus tenaga kerja.
Selain itu Model Lewis dianggap dapat memperburuk distribusi pendapatan
yang saat ini semakin dipandang sebagai suatu masalah serius untuk
pembangunan di negara berkembang. Model Lewis mengasumsikan bahwa upah
industri akan (dan perlu) tetap sedikit lebih tinggi dibanding upah subsisten di
pertanian. Perbedaan upah ini diperlukan untuk mengimbangi biaya hidup yang
lebih tinggi di perkotaan, terutama karena migrant kehilangan semua pekerjaan
penyokong yang tersedia di pedesaan. Tetapi dalam kenyataan empiris,
kesenjangan upah telah bervariasi secara dramatis dari waktu ke waktu dan pada
semua negara. Sepanjang tahun 1960an dan awal 1970an, upah industri
membumbung tinggi dalam hubungannya dengan upah pertanian pada sebagian
besar negara berkembang, sehingga kesenjangan upah dilebarkan dengan baik
sebelum full employment dicapai.
2.2.3. Model Harrod-Domar
Menurut Kasliwal (1995) bahwa Model Harrod-Domar menganggap
bahwa, lahan dan pertanian mulai kehilangan peran ekonomi utamanya setelah
pertumbuhan pertanian terdesak oleh pertumbuhan populasi secara meyakinkan.
Sejak era revolusi industri, ketika industri mengalami pertumbuhan pesat
berdasarkan akumulasi modal dibandingkan berdasarkan sumber daya alam yang
terbatas, suatu pandangan baru telah berkembang menyangkut faktor penentu
pertumbuhan ekonomi, dimana modal dianggap input yang paling significant
untuk peningkatan output. Model Harrod Domar merumuskan dua asumsi yang
krusial :
1. Produksi tergantung pada modal (Production depends on capital).
∆Y =
1
∆K
v
23
v=
dimana
∆K
= Incremental capital output ratio (ICOR)
∆Y
2. Akumulasi modal tergantung pada pendapatan (Capital accumulation depends
on income)
Tabungan
S = s . Y,
Dimana
s = Kecenderungan tabungan (savings propensity)
Persamaan pertama menunjukkan bahwa pertambahan (increment) dalam
stok modal K menghasilkan suatu pertambahan output tertentu. Efektivitas modal
tercermin di dalam parameter ICOR v. Tercatat bahwa peranan tenaga kerja
tidaklah dinyatakan karena dianggap bukan sebagai kendala yang membatasi.
Persamaan yang kedua menyatakan bahwa modal itu terakumulasi melalui
tabungan domestik, yang secara sederhana merupakan fraksi (fraction) tertentu, s,
dari output. Penyederhanaan asumsi bahwa investasi dibiayai semata- mata oleh
uang tabungan domestik menyiratkan : S = I = ∆K dengan mensubstitusi faktor
ini dalam persamaan pertama kita lihat bahwa
v∆y = s.Y
Jadi, Tingkat pertumbuhan GNP adalah
∆Y s
=
Y
v
Persamaan ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat tabungan, maka
semakin tinggi tingkat pertumbuhan output yang dihasilkan oleh investasi
produktif. Nilai v yang kecil berarti bahwa negara itu menggunakan modal secara
efisien.
Beberapa implikasi dari Model Harrod-Domar nampak bertentangan
dengan bukti empiris dunia nyata. Salah satunya adalah implikasinya bahwa
output harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan modal dalam jangka
panjang. Ini terlihat dari hubungan yang konstan antara output dan modal :
Y = 1 v K . Ratio modal/output yang konstan menyiratkan bahwa persentase
perubahan persediaan modal dan output harus sama. Studi yang dilakukan dengan
menghitung pertumbuhan negara-negara berkembang menemukan
bahwa
pertumbuhan pendapatan lebih tinggi dari pertumbuhan modal bersih (Yˆ > Kˆ ).
Oleh karena itu adalah tidak benar bagi Harrod-Domar untuk berasumsi bahwa
24
peningkatan
modal
menjadi
satu-satunya
sumber,
atau
sumber
utama,
pertumbuhan. Denga n jelas sumber pertumbuhan yang penting lainnya
digolongkan dalam parameter v, seperti pertambahan tenaga kerja produktif,
ketrampilan, peningkatan teknologi, dan lainnya.
Model Harrod-Domar yang mengasumsikan ratio K/L yang tetap, juga
dikritik sebab pertumbuhan yang disiratkannya dilihat seperti tidak stabil
pembawaannya. Ketidakstabilan ini muncul dari ketidak cocokan (mismatch)
antara tingkat pertumbuhan modal dan angkatan kerja. Tidak ada alasan bagi
tingkat pertumbuhan tenaga kerja akan sama pertumbuhan output (asumsi
pertumbuhan modern : tenaga kerja independent terhadap pertumbuhan output),
kecuali oleh kejadian yang kebetulan. Jadi pertumbuhan L harus pula berbeda
dengan pertumbuhan K, dengan demikian akan menyebabkan salah satu dari dua
hal berikut terjadi: (1) pengangguran, atau (2) perubahan dalam perbandingan
modal/tenaga kerja. Kondisi pertumbuhan yang tidak sehat seperti itu
akan
menyebabkan siklus yang kronis.
Pertumbuhan model Harrod-Domar dilukiskan pada Gambar-6. Sumbu
vertikal dapat ditafsirkan sebagai output per pekerja dan sumbu horisontal sebagai
persediaan modal per pekerja : yakni ratio K/L. Fungsi produksi menunjukkan
output meningkat secara linier dengan K. Secara implisit hal ini mengasumsikan
bahwa terdapat tenaga kerja yang menganggur yang terletak di bawah titik tenaga
kerja penuh (full employment). Tingkat output yang diproduksi seperti
ditunjukkan oleh garis yang benkok OY dan tabungan yang merupakan pecahan
sisa dari output seperti itu ditunjukkan oleh garis putus-putus OS. Ini digambar
secara proporsional di bawah kurva output menurut tingkat tabungan.
Mengingat bahwa model pertumbuhan modern itu berasumsi bahwa
tenaga kerja tumbuh- secara exogenous pada suatu tingkat output n% per tahun.
Untuk pertumbuhan berimbang (balanced growth), ratio K/L harus tetap konstan,
juga pertumbuhan persediaan modal harus tidak melebihi pertumbuhan angkatan
kerja. Modal juga harus tumbuh pada tingkat yang sama dengan n, sehingga
investasi harus K = I = n K seperti ditandai oleh garis lurus I = nK, sepanjang
mana ratio K/L tetap konstan. Juga, untuk keseimbangan (equilibrium) kita harus
mempunyai tabungan yang sama dengan investasi. Pertumbuhan berimbang
25
seperti itu hanya dapat terjadi pada titik 0 atau B. Ketika 0 menandai tidak adanya
output (zero output), keseimbangan pada B juga tidak masuk akal (implausible)
karena berada di luar F. Jika tabungan berada di bawah investasi yang diperlukan,
ekonomi akan bergerak ke arah keseimbangan lain pada 0, yang tidak masuk akal.
Sumber : Kasliwal, 1995
Gambar 6 Model Harrod-Domar
Model Harrod-Domar menyiratkan bahwa proses pertumbuhan pasti tidak
stabil secara terus menerus (chronically), tetapi dalam pengalaman kita seperti
crises tidaklah endemik walaupun pertumbuhan tenaga kerja dan modal berjalan
pada tingkat yang sungguh berbeda.
2.2.4. Mode l Perumbuhan Solow
Model pertumbuhan neoklasikal pertama dirumuskan oleh Solow pada
tahun 1950an. Model ini menekankan bahwa banyak input dapat dengan bebas
disubstitusikan satu sama lain dalam suatu fungsi produksi untuk meningkatkan
output. Persediaan secara relatif dari faktor- faktor akan berubah bersama
pertumbuhan ekonomi yang mendorong ke arah suatu perubahan dalam harga
relatifnnya. Sebagai reaksi, produsen mensubstitusi antara berbagai input. Jadi
ratio K/L dianggap tidak konstan dalam model neoklasikal. Model neoklasikal
Solow terdiri dari unsur- unsur berikut .
Y = F( K, L)
26
Fungsi produksi menggambarkan kondisi penawaran (supply), di mana output
adalah suatu fungsi dari berbagai input. Fungsi ini mempunyai produksi marginal
(MP) yang menurun (diminishing) dari tiap faktor produksinya
dF
d2F
> 0,
<0
dX
dX 2
di mana X mewakili masing- masing faktor K, L
Terlihat bahwa keduanya tenaga kerja dan modal dapat digunakan untuk
menghasilkan output. Jika tenaga kerja menjadi berlimpah, teknik produksi
berubah untuk menggunakan lebih banyak tenaga kerja dalam hubungan dengan
penggunaa
modal.
Model
neoklasikal
menekankan
bahwa
kemampuan
memsubstitusi (substitutability) faktor berlangsung dalam merespon perubahan
harga factor relatif, Pk / PL.
Model pertumbuhan neoklasikal membuat asumsi bahwa tingkat
pertumbuhan tenaga kerja L ditentukan secara exogenous. Jika persediaan modal
tumbuh pada tingkat yang lebih cepat, ratio K/L akan cenderung meningkat.
Tetapi ketika peningkatan jumlah modal yang digunakan oleh masing- masing
pekerja, produk marjinal modal akan menurun. Sebagai konsekwensinya
pertumbuhan output akan lambat, dan akumulasi modal juga akan merosot. Suatu
implikasi penting dari Model Solow adalah bahwa dengan mengabaikan tingka
tabungan, pertumbuhan output pada akhirnya akan hanya sama tingkat
pertumbuhan tenaga kerja. Pendapatan per kapita akan tetap konstan seperti akan
ratio K/L. Ini adalah suatu kondisi pertumbuhan yang mapan (steady state) di
mana K dan L tumbuh pada tingkat yang sama.
Kˆ = Lˆ = Yˆ
Gambar-7 menggambarkan elemen-elemen proses pertumbuhan itu. Sumbu datar
merupakan ratio K/L sebagai k. Pada sumbu yang lain dilukiskan bagaimana
output per kapita Y/L bereaksi dengan perubahan k. Ketika intensitas modal
meningkat, output tumbuh, tetapi pada tingkat yang semakin menurun karena
kemerosotan MPK. Pertumbuhan tabungan juga lambat, seperti ditunjukkan oleh
garis putus-putus. Garis ini ditarik di bawah output pada suatu proporsi tertentu
yang menjadi tingkat tabunga n s. Garis ke tiga, yang lurus, ditarik untuk
menunjukkan kenaikan K yang diperlukan untuk menjaga ratio K/L yang konstan.
Pertumbuhan ekonomi pada akhirnya akan sampai pada titik B, di mana tingkatan
27
tabungan sama dengan tingkat investasi, kondisi ini dis ebutkannya sebagai
kondisi mapan (steady state). Pertumbuhan kondisi mapan (steady state) berlanjut
tanpa pengangguran baik K ataupun L karena pemakaian dari faktor ini
melakukan penyesuaian dengan lebih ketat, karena itu pertumbuhan stabil
memungkinkan dalam model Solow.
Pada pertumbuhan kondisi mapan (steady state growth), k = L sehingga
ratio K/L stabil. Ratio ini disebut teknik produksi. Penggunaan teknik berubah
sebagai respon atas perubahan endogin dalam harga faktor relatif, yang, pada
gilirannya, mencerminkan perubahan kelangkaan relatif faktor itu.
Sekalipun begitu model neoklasikal mempunyai suatu implikasi yang tidak
masuk akal (implausible): Dengan mengabaikan tingkat seving, ekonomi pada
akhirnya berada (settle) pada suatu tingkat pendapatan per kapita yang konstan.
Sehingga peningkatan tingkat tabungan hanya akan mempercepat pertumbuhan
yang bersipat sementara. Kesimpulan ini muncul karena semakin banyak
akumulasi modal, percepatan menyebabkan produksi marjinal modal yang
semakin menurun (diminishing marginal product of capital). Model Solow
menyiratkan pertumbuhan cepat hanya dalam kasus di mana persediaan modal
kecil. Sementara data empiris menunjukkan bahwa bagi negara-negara termiskin
justru memiliki pertumbuhan yang paling lambat pula.
Sumber : Kasliwal, 1995
Gambar 7. Model pertumbuhan neoklasik
28
Model Solow telah dikritik seperti tidak sesuainya bagi konteks
pembangunan karena didasarkan pada asumsi neoklasikal yang bersandar pada
efisiensi pasar. Ahli ekonomi structuralist (seperti Lance Taylor di MIT dan Hollis
Chenery di Harvard) menunjukkan berbagai kegagalan pasar yang terjadi di
negara berkembang: (1) Harga tidak melakukan penyesuaian secara bebas, dan (2)
agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga yang terjadi.
Kegagalan pasar telah tersebar luas dan berkaitan dengan keterbatasan informasi,
eksternalitas, skala peningkatan hasil yang semakin meningkat, dan cara alokasi
yang tidak melalui pasar (non-market), yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut,
ketika pemerintah campurtangan, mereka sering menciptakan yang bahkan lebih
penyimpangan. Apapun sumber kegagalan pasar mereka, hal itu pasti benar
bahwa factor distorsi pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang.
Barangkali yang paling kritis adalah ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja
tersebar luas di mana tenaga kerja menerima upahnya lebih besar dari upah pasar
bebasnya.
Model pertumbuhan neoklasikal juga dikritik pada penekanannya atas
keseimbangan ketika pemakaian faktor diasumsikan untuk berubah secara
perlahan
dalam
merespon
perubahan
harga
faktor.
Pada
kenyataannya
ketakseimbangan yang dinamis mungkin jauh lebih penting. Pertumbuhan
ekonomi yang lebih masuk akal ditandai ketika proses kemajuan teknologi yang
tersentak-sentak oleh adaptasi dan penemuan. Proses ini diatur terutama sekali
oleh insentif innova tor dan usahawan, yang, pada gilirannya, merupakan suatu
fungsi kendala yang melekat dalam kerangka kelembagaan masyarakat. Kemajuan
teknologi dilukiskan sebagai pergeseran yang menaik dari keseluruhan fungsi
produksi.
2.2.5. Model Pertumbuhan Endogenous
Model pertumbuhan endogen modern bertujuan untuk menghilangkan
asumsi exogen dari kemajuan teknologi. Dimana kemajuan teknologi ini di
lambangkan sebagai peningkatan produktivitas Y/L. Kasliwal (1995) menyatakan
tiga versi model yang berkaitan peningkatan produktivitas dengan alasan yang
29
berbeda: (1) spillovers, (2) difusi, dan (3) investasi sumberdaya manusia (human
capital investment)
Sebagai permulaan model Romer mengungkapkan keseluruhan kemajuan
tehnis yang terjadi disebabkan karena adanya limpahan (spillover) pengetahuan
dari peningkatan stock modal. Jadi investasi individu - atau pengeluaran riset
(research expenditures) – menghasilkan suatu eksternalitas positif sebagai
dorongan secara teknis terhadap keseluruhan perekonomian. Investasi seperti itu
menyebabkan pergeseran keluar fungsi produksi agregat. Barro dan Martin (1992)
dalam Kasliwal (1995) dengan jelas menyatakan bahwa teknologi itu tidaklah
serupa untuk semua negara-negara. Dengan Gap Teknologi yang ada suatu difusi
pengetahuan yang lambat berlangsung dari negara-negara maju kepada negaranegara yang terkebelakang, mendorong ke arah suatu convergensi yang lambat.
Model ketiga dapat juga menghilangkan efek MPK yang semakin berkurang di
negara maju. Mankiw, Romer dan Weil (1992) membantah bahwa factor modal
manusia menyediakan dorongan secara terpisah terhadap pertumbuhan di dalam
suatu fungsi produksi. Pertumbuhan yang terjadi secara endogen seperti negara
maju cenderung untuk mengakumulasi modal manusia pada tingkat yang lebih
tinggi. Bahkan jika modal phisik bersipat mobile ke arah bidang yang
memberikan hasil lebih tinggi (produktivitas), Kurangnya modal manusia di
daerah miskin akan memuat sesuatu kecenderungan ke arah convergensi.
Margono (2005) menyebutkan bahwa model ini menekankan pentingnya
peningkatan tabungan, perubahan teknologi, peningkatan barang modal dan
investasi sumberdaya manusia. Persamaan berikut merupakan persamaan
sederhana dari model pertumbuhan endogen.
Y = AK
Dalam persamaan tersebut, A mewakili factor- faktor yang mempengaruhi
teknologi, sedangkan K melambangkan modal fisik dan modal manusia. Dalam
rumusan tersebut ditekankan adanya kemungkinan bahwa investasi modal fisik
dan modal sumberdaya manusia yang dapat menciptakan eksternalitas positif dan
pengkatan produktivitas yang melampaui keuntungan pihak swasta yang
melakukan investasi itu, dan hasilnya cukup untuk mengimbangi skala penurunan
hasil.
30
2.3. Total Factor Productivity
Total factor productivity (TFP), merupakan ukuran yang sering digunakan
untuk menggambarkan kemajuan teknologi. TFP diukur secara tidak langsung
(indirect accounting), karena tidak dapat diamati langsug (Mankiw, 2000). TFP
ditunjukkan dari pertumbuhan nilai tambah setelah pertumbuhan tenaga kerja dan
capital dikeluarkan. Menurut Pressman (2004) bahwa model yang digunakan
untuk mengukur TFP di dasarkan pada fungsi produksi Cobb-Douglas:
Y = ALα K β
Model
fungsi
produksi
Cobb-Douglas
yang
digunakan
adalah
memperhitungkan dua faktor produksi terukur yakni tenga kerja (L) dan modal
(K). Nilai A pada fungsi produksi tersebut diartikan sebagai total factor
productivity (TFP). Untuk keperluan perhitungan TFP, maka dilakukan
transformasi logaritma terhadap fungsi produksi Cobb-Douglas, dengan tahapan
sebagai berikut:
Y2 − Y1 = A2 Lα2 K 2β − A1 Lα1 K1β
Y2 − Y1 A2  L2

=
Y1
A1  L1
α



 K2

 K1
Y2 − Y1
A L 
+ 1 = 2  2 
Y1
A1  L1 
Y2 A2  L2

=
Y1
A1  L1
Y
ln  2
 Y1
α




A
 = ln  2

 A1
 K2

 K1
α



β

 − 1

 K2 


 K1 
β
β

L
 + α ln  2

 L1

K
 + β ln  2

 K1



At * = Yt * − α Lt * − βK t *
At * = Yt * − αLt * − (1 − α ) K t *
At * = TFP
Keterangan:
Yt *
= Pertumbuhan output tahun-t
Lt *
= Pertumbuhan tenaga kerja (labor) tahun-t
31
K t * = Pertumbuhan modal (capital) pada tahun-t
At * = Pertumbuhan total factor productivity (TFP) tahun-t
Nilai α pada persamaan di atas menunjukkan bagian (share) tenaga kerja
dari total output atau (MPL x L)/Y, di mana MPL (produk marginal tenaga kerja)
tidak lain adalah upah riil tenaga kerja.
2.4.
Pasar Tenaga Kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerja, mencerminkan adanya kesesuaian dari
interaksi antara penawaran tenaga kerja (labor supply) dan permintaan tenaga
kerja (labor demand). Dinamika pasar tenaga kerja ditentukan perubahanperubahan yang terjadi pada kedua sisi dari pasar tenaga kerja tersebut. Secara
umum pasar tenaga kerja dapat dipengaruhi oleh tingkat upah, pertumbuhan
penduduk atau angkatan kerja, migrasi, inflasi, pengangguran, pendapatan
masyarakat (PDB/PDRB) dan lain sebagainya. Teori dari berbagai komponen
pasar tenaga kerja tersebut akan diuraikan satu per satu sebaga i berikut.
2.4.1. Penawaran Tenaga kerja
Menurut Ruby (2003) bahwa model dari penawaran tenaga kerja dimulai
dengan asumsi bahwa pekerja akan memilih kombinasi jam-kerja dan pendapatan
dengan tujuan untuk memaksimumkan kepuasan (utility) meraka dengan kendala
jumlah jam yang tersedia dalam sehari. Model penawaran tenaga kerja
menganggap bahwa jam bekerja adalah merupakan barang yang tidak disukai,
tetapi dengan bekerja akan memberikan pendapatan. Sedangkan jam tidak bekerja
atau yang disebut waktu luang (leisure time) meruapakan barang yang disukai.
Dengan demikian maksimisasi kepuasan akan ditentukan dari pendapatan dan
waktu luang : Maximaze U = f (pendapatan, waktu luang). Dengan menggunakan
analisa kurva indeferen (indifference curve) kita dapat menguj i efek dari
perubahan tingkat upah terhadap jumlah penawaran jam kerja, yang dilukiskan
pada gambar-8. Dimana kurva indiferen (IC) menggambarkan berbagai titik
kombinasi antara pendapatan dan waktu luang yang menghasilkan tingkat
kepuasan sama. Selanjutnya garis pendapatan (budget constraint) seperti garis
XY, menggambarkan tingkat pendapatan berdasarkan jumlah jam bekerja dalam
32
sehari. Semakin banyak jam bekerja (semakin kecil waktu senggang) yang
digunakan maka semakin tinggi pendapatan. Kepuasan maksimal terjadi apabila
kurva indeferen bersentuhan dengan garis pendapatan. Kombina optimal tersebut
akan berubah apabila tingkat upah mengalami perubahan, seperti ditunjukkan
bahwa peningkatan upah merubah slop dari garis anggaran menjadi X’Y, sehingga
kombinasi optimal berubah dari titik R ke titik T, yang mencerminakan perubahan
jam kerja yang ditawarkan.
Gambar 8-a. Peningkatan upah
(Efek substitusi lebih kuat)
Gambar 8-b
Kurva penawaran tenaga terja
Pendapatan (L x W)
Tingkat Upah (W)
X’
$196
SLabor
X
$160
T
$12
T
R
$120
$10
IC1
80
R
IC0
Y
0
2
4
6
8
10
12
14
16
0
2
Waktu Senggan lebih banyak
4
6
8
10
12
14
16
Tenaga Kerja (Jam)
Jam Kerja lebih banyak
Waktu (Jam)
Sumber : Ruby, 2003.
Gambar 8 Penentuan kurva penawaran tenaga kerja
Menurut Bellente dan Jacson (1990) besarnya waktu yang disediakan atau
dialokasikan untuk bekerja merupakan fungsi tingkat upah tertentu. Setelah
mencapai tingkat upah tertentu pertamb ahan upah justru akan mengurangi waktu
yang disediakan untuk bekerja, penomena ini akan menghasilkan apa yang disebut
backward-bending supply curve, atau kurva penawaran yang berbelok. Kasliwal
(1995) mengatakan phenomena tersebut banyak terjadi terutama pada kelompok
perempuan dari keluarga kaya, sementara sesungguhnya mereka tergolong dalam
angkatan kerja (labor force), sehingga tentu memiliki relevansi dengan
pembangunan.
33
Pengaruh tingkat upah terhadap penawaran tenaga kerja sesungguhnya
ditentukan oleh dua kekuatan yang saling berlawanan yakni pengaruh efek
pendapatan (income effect) dan efek substitusi (substitution effect). Apabila efek
pendapatan yang positif terhadap tingkat upah lebih kecil dari kekuatan efek
substitusi yang negatif, maka efek total akan menjadi negatif yang berarti bahwa
pekerja akan mengurangi konsumsi waktu luang (leisure) dan menambah waktu
jam kerjanya sehingga kurva penawaran akan memiliki kemiringan positif
(upward sloping). Sebaliknya jika efek total positif maka akan terjadi “bacwardbending” pada kurva penawaran tenaga kerja yang berarti bahwa pekerja justru
akan mengurangi jam kerjanya dengan peningkatan upah (McConnell dan Brue,
1995). Selanjutnya Ruby (2003) mengatakan bahwa dalam analisa agregat,
penawaran tenaga kerja, selain ditentukan oleh tingkat upah, juga sangat
dipengaruhi oleh perubahan populasi, tingat partisipasi angkatan kerja
(demographic changes) dan arus immigrasi (immigration flows).
2.4.2. Permintaan Tenaga Kerja
Permintaan tenaga kerja di dasarkan dari permintaan
produsen
(pengusaha) terhadap input tenaga kerja sebagai salah satu input dalam proses
produksi. Produsen mempekerjakan seseorang dalam rangka untuk membantu
memproduksi barang atau jasa untuk dijual kepada konsumen. Apabila
permintaan konsumen terhadap barang atau jasa yang diproduksi meningkat,
maka,
pengusaha
terdorong
untuk
meningkatkan
produksinya
melalui
penambahan input, termasuk input tenaga kerja, selama manfaat dari penambahan
produksi tersebut lebih tinggi dari tambahan biaya karena penambahan input.
Dengan kata lain, pertambahan permintaan pengusaha terhadap tenaga kerja,
tergantung dari pertambahan permintaan konsumen dari barang dan jasa yang
dihasilkannya. Oleh karena itu permintaan tenaga kerja merupakan permintaan
turunan (derived demand) dari permintaan konsumen. Hal ini mengindikasikan
bahwa kekuatan permintaan untuk tenaga kerja akan tergantung pada : (1) tingkat
produktifitas tenaga kerja dalam membantu menghasilkan barang atau jasa, dan
(2) nilai pasar dari barang atau jasa tersebut. (Swastika dan Kuastiari, 2000).
34
Menurut Ruby (2003), bahwa permintaan tenaga kerja di turunkan dari
fungsi produksi yang merupakan fungsi dari tenaga kerja (L) dan modal (K).
Fungsi produksinya adalah sebagai berikut :
TP (Y) = f(L,K)
Dimana : TP = Produksi total (output)
L
= Tenaga kerja
K
= Modal
Dengan asumsi bahwa pengusaha senangtiasa ingin memaksimumkan
pendapatannya, maka dalam jangka pendek, produksi optimal (profit maximizing)
terjadi pada saat produktivitas marginal tenaga kerja (MPL) sama dengan ratio
upah (wt ) terhadap harga produk (wt /Px ) atau kondisi dimana nilai produk
marginal tenaga kerja (VMPL) = wt . Upah (wt ) tidak lain adalah jumlah tambahan
biaya yang diperlukan untuk mempekerjakan tambahan seorang pekerja. Apabila
MPL lebih besar dari wt /Px , maka perusahaan akan menambah permintaan tenaga
kerjanya.
Secara umum, dalam jangka pendek permintaan tenaga kerja
berkorelasi negatif dengan tingkat upah (wt ). Akan tetapi terdapat hubungan
positif antara harga produk (Px ) dengan permintaan tenaga kerja jangka pendek,
karena kurva MPL (kurva permintaan tenaga kerja), akan bergeser keluar
(outwards) jika harga output menjadi lebih mahal (Borjas, 1996).
Output (Y)
Tingkat Upah Riil (W/P)
Profit 2
Profit 1
Y=f*(L,K)
d
Y2
Y=f(L,K)
Y1
W
P
b
d
Produksi optimal yg baru
b
MPL * = D*
MPL = D
0
L1
L2
Labor (L)
0
L1
L2
(L)
Sumber : Ruby, 2003.
Gambar 9. Penentuan kurva permintaan tenaga terja
Dalam jangka panjang, semua faktor produksi akan mengalami perubahan.
Penentuan faktor produksi mana yang digunakan di dasarkan pada daya substitusi
35
(marginal rate of technical substitution) dari faktor produksi tersebut. Perusahaan
akan meningkatkan penggunaan tenaga kerja jika tenaga kerja relatif lebih murah
dibandingkan dengan modal. Dikatakan tenaga kerja lebih murah secara relatif
dibandingkan modal, jika produktivitas tenaga kerja lebih tinggi dari produktivitas
modal. Menurut Ruby (2003) bahwa peningkatan produktifitas tenaga kerja ini
dapat disebabkan oleh penambahan kemajuan teknologi atau penambahan modal
per tenaga kerja. Peningkatan produktifitas ini akan menyebabkan bergesernya
fungsi produksi ke atas (output per tenaga kerja lebih tinggi) dan menggeser
keluar kurva MPL, yang mencirikan permintaan tenaga kerja bertambah. Atau
dengan kata lain peningkatan produktivitas tenaga kerja, bukan hanya
meningkatkan output, tetapi juga mendorong perluasan kesempatan kerja.
2.4.3. Keseimbangan Pasar Tenaga Kerja
Keseimbangan pasar tenaga kerja adalah kondisi yang menggambarkan
adanya kesesuaian antara permintaan dan penawaran tenaga kerja. Kesesuaian
tersebut bukan hanya dalam jumlah dan tingkat upah, tetapi juga implisit di
dalamnya mengenai berbagai karakteristik tenaga kerja yang dibutuhkan pasar,
seperti keterampilan, pendidikan dan lain- lain. Dalam kondisi dimana mekanisme
pasar dapat bekerja secara sempurna, tidak ada satu atau beberapa kons umen
maupun produsen yang memiliki kekuatan yang cukukp untuk memaksakan
kehendaknya guna mempengaruhi harga- harga input dan harga output barang dan
jasa, sehingga tingkat penyerapan tenaga kerja dan tingkat upah di tentukan secara
bersamaan oleh segenap harga output dan faktor- faktor produksi dalam suatu
perekonomian
melalui
perimbangan
kekuatan-kekuatan
permintaan
dan
penawaran.
Kondisi keseimbangan dalam pasar tenaga kerja, memiliki makna yang
sangat berarti dalam suatu perekonomian, karena kondisi tersebut mencirikan
tidak adanya faktor produksi tenaga kerja yang menganggur atau yang sering
disebut sebagai kondisi full employment. Akan tetapi pengangguran senangtiasa
wujud dalam perekonomian, hal mengindikasikan bahwa pasar tenaga kerja sulit
untuk mencapai keseimbangan atau terjadi kegagalan pasar tenaga kerja.
Kegagalan pasar tenaga kerja menuju titik keseimbangan ditentukan oleh banyak
36
faktor. Diantaranya karena sektor-sektor produksi memiliki daya serap
(permintaan) tenaga kerja yang rendah, sementara penawaran tenaga kerja
bertambah terus karena adanya pertambahan angkatan kerja dan migrasi. Faktor
lain penyebab kegagalan pasar tenaga kerja adalah tidak singkronnya spesifikasi
tenaga kerja yang diinginkan oleh pengusaha dengan karakteristik tenaga kerja
yang tersedia, seperti perbedaan keterampilan, pendidikan, pengalaman dan lainlain. Selain itu faktor informasi yang tidak sempurna juga memberikan kontribusi
yang signifkan terhadap kegagalan pasar tenaga kerja. Kondisi keseimbangan
pasar tenaga kerja ditunjukkan pada titik equilibrum pada gambar 10.
Tingkat Upah
SL
Employment
W2
Excess Supply
Unemployment
W0
E = Kondisi keseimbangan
W1
MPL = DL
Penyerapan Tenaga Kerja
0
L0
L
Sumber : Nicholson, 1998 dan Kasliwal 1995.
Gambar 10. Keseimbangan pasar tenaga kerja dan pengangguran
Pada gambar 10 memperlihatkan keseimbangan pasar tenaga kerja tercapai
pada jumlah tenaga kerja yang akan ditawarkan oleh individu sama dengan
besarnya yang diminta oleh pengusaha yaitu pada tingka upah W0 . Pada tingkat
upah yang lebih tinggi (W2 ) penawaran tenaga kerja lebih tinggi dari jumlah yang
diminta. Perbedaan dari jumlah penawaran dan permintaan tenaga kerja ini
merupakan kelompok tenaga kerja yang mencari kerja (menganggur) dari
angkatan kerja (L), selebihnya adalah kelompok tenaga kerja yang terserap dalam
pasar tenaga kerja (employment). Semakin besar angka pengangguran, maka
semakin ketat persaingan diantara mereka untuk memperebutkan lowongan kerja
yang tersedia sehingga dapat mendorong upah akan turun ke arah titik
37
keseimbangan. Penomena dimana banyaknya pencari kerja bersedia bekerja walau
dengan tingkat upah yang rendah akan mendorong semakin banyaknya disquised
unemployment.
2.4.4. Pengangguran, Upah Kaku dan Distorsi Pasar Tenaga Kerja
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa keseimbangan pasar
tenaga kerja mengacu pada kondisi yang menggambarkan adanya kesesuaian
antara permintaan dan penawaran tenaga kerja, yang berarti pula bahwa tidak
terdapat pengangguran dalam perekonomian, karena setiap tenaga kerja yang
kehilangan pekerjaan dengan segera mendapatkan pekerjaan baru. Akan tetapi
Menurut Mankiw (2003) pada kenyataannya para pekerja mempunyai preferensi
dan kemampuan yang berbeda dan pekerjaan memerlukan spesifikasi keahlian
yang berda serta upah yang berbeda. Selain itu, karena adanya informasi tentang
calon karyawan dan lowongan kerja yang tidak sempurna, dan mobilitas geografis
pekerja tidak instant, sehingga calon karyawan dalam mencari pekerjaan yang
tepat membutuhkan waktu dan usaha dan hal ini tentu mengurangi tingkat
penemuan pekerjaan. Karena setiap calon karyawan membutuhkan waktu untuk
mencari pekerjaan, maka pengangguran pasti selalu terjadi. Pengangguran yang
disebabkan oleh waktu yang dibutuhkan orang untuk mencari pekerjaan di sebut
sebagai pengangguran friksional.
Lebih lanjut Mankiw (2003) menjelaskan bahwa pengangguran friksional
selalu terjadi pada perekonomian yang selalu berubah. Ketika terjadi perubahan
pada komponen permintaan masyarakat akan berdampak pada perubahan struktur
produksi (pergeseran sektoral) pula sehingga juga mempengaruhi permintaan
tenaga kerja. Pergeseran sektoral ini mencirikan bahwa ada sektor produksi lama
yang mengalami kemunduran dan kebangkrutan, tetapi ada pula sektor produksi
baru yang muncul dan berkembang. Dalam kondisi seperti itu, maka selalu ada
pemutusan hubungan kerja dan ada pula lowongan kerja baru, karena informasi
tidak sempurna sehingga pencari kerja selalu membutuhkan waktu untuk
menemukan pekerjaan yang sesuai, karena itu pengangguran friksional selalu
terjadi.
38
Alasan kedua untuk pengangguran menurut Mankiw (2003) adalah karena
kekakuan upah (wage rigidity) yakni gagalnya upah melakukan penyesuaian
sampai penawaran tenaga kerja sama dengan permintaannya. Upah tidak selalu
fleksibel menyeimbangkan penawaran dan permintaan tenaga kerja, kadangkadang upah riil tertahan di atas tingkat kliring-pasar. Ketika upah riil di atas
tingkat yang menyeimbangkan penawaran dan permintaan, jumlah tenaga kerja
yang ditawarkan melebih jumlah yang diminta sehingga terjadi pengangguran.
Hal senada juga diungkapkan oleh ahli ekonomi structuralist (seperti
Taylor dan Chenery) ketika mengkritik teori pertumbuhan Solow yang
mengatakan bahwa ketidak sempurnaan pasar tenaga kerja terjadi secara kritis di
negara berkembang yang ditunjukkan bahwa tenaga kerja menerima upahnya
lebih besar dari upah pasar bebasnya (Kasliwal, 1995), atau dengan kata lain
PM L < w / p (upah riil lebih tinggi dari produksi marginal tenaga kerja). Menurut
Taylor dan Chenery, bahwa kegagalan pasar yang terjadi di negara berkembang
ini berkaitan dengan: (1) Harga (upah) tidak melakukan penyesuaian secara bebas,
dan (2) agen ekonomi merespon secara lambat terhadap perubahan harga (upah)
yang terjadi. Dengan demikian pandangan ini sudah sejalan dengan pendapat
Mankiw tentang kekakuan upah (wage rigidity) atau gagalnya upah melakukan
penyesuaian ke arah keseimbangan pasar ketika terjadi shock (perubahan) pada
sisi permintaan maupun pada sisi penawaran tenaga kerja.
Menurut Kasliwal (1995) bahwa kegagalan pasar yang telah tersebar luas
berkaitan dengan keterbatasan informasi, eksternalitas, skala peningkatan hasil
yang semakin meningkat, dan cara alokasi yang tidak melalui pasar (non-market),
yang lebih muda diterapkan. Lebih lanjut, ketika pemerintah campurtangan,
mereka sering menciptakan yang bahkan lebih penyimpangan. Karena itu distorsi
pasar dapat terjadi secara serius di negara berkembang. Sedangkan menurut
Mankiw (2003) bahwa hal yang menyebabkan kekakuan upah adalah undangundang upah minimum, kekuatan monopoli serikat pekerja dan efisiensi upah.
Karena itu semakin kuat faktor-faktor tersebut berpengaruh maka tentu upah
semakin kakuh dan agen ekonomi semakin lamban merespon perubahan upah,
yang berarti pula semakin lama waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk
melakukan penyesuaian, demikian pula semakin lama waktu yang dibutuhkan
39
oleh agen ekonomi untuk merespon perubahan upah. Dengan demikian lamanya
waktu yang dibutuhkan oleh upah untuk melakukan penyesuaian serta waktu yang
dibutuhkan agen ekonomi untuk merespon perubahan upah dapat dijadikan
indikator tingkat distorsi pasar tena ga kerja.
2.5.
Tinjauan Studi Terdahulu
2.5.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Perubahan Struktural
Juanda (2001) dalam studinya mengenai pertumbuhan ekonomi dan
pegeseran struktural dalam industrialisasi di Indonesia dengan pendekatan model
dual-economy.
Dalam
studi
tersebut
menggunakan
pemodelan
makroekonometrika. Beberapa kesimpulan dari studi tersebut, khususnya yang
berkaitan ketenaga kerjaan dan perubahan struktural adalah sebagai berikut (1)
bahwa pasar tenaga kerja di Indonesia menyerupai supply-side determined
employment, suatu karakteristik yang biasa ditemukan di negara-negara
berkembang. Pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan tenaga kerja
menyerupai pola trend yang sangat mirip karena surplus tenaga kerja diserap ke
dalam pekerjaan ”pengganti sementara”. Sangat sedikit pencari kerja yang mampu
bertahan menganggur meskipun untuk periode waktu sebentar saja sehingga
banyak yang menerima pekerjaan yang produktifitasnya rendah. Menurutnya
dinamika pasar kerja ini menunjukkan bahwa masalah sumberdaya manusia di
Indonesia adalah bukan penciptaan kesempatan kerja per se, tapi penciptaan
pekerjaan yang lebih produktif. (2) Dugaan koefisien model makroekonometrika
yang digunakan mengindikasikan bahwa fenomena surplus tenaga kerja terjadi di
sektor pertanian, dan pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan tidak hanya
dengan meningkatkan input agregat tetapi juga dengan realokasi tenaga kerja dari
sektor pertanian ke sektor non-pertanian.
Studi ini merekomendasikan bahwa jalan keluar untuk meningkatkan
pertumbuhan ekono mi yang diiringi perbaikan pergeseran struktural sehingga
terjadi pemerataan hasil- hasil pembangunan ekonomi, adalah pembanguna
agroindustri, karena agroindustri sangat berpotensi dapat dikembangkan untuk
menarik sektor pertanian ke dalam proses industrialisasi karena beberapa aspek
yang menguntungkan bagi sektor ini, yaitu penyerapan tenaga kerja, pasar untuk
40
komoditi-komoditi pertanian, kemampuan ekspor, dan relatif sedikit komponen
bahan baku impornya.
Dasril (1993) dalam Juanda (2001) menganalisis sumber-sumber
pertumbuhan ekonomi dari sisi permintaan dan perubahan keterkaitan antar
sektor, baik dalam kebijakan subsidi impor (1971-1985) maupun orientasi ekspor
(1985-1990), dengan menggunakan Tabel Input-Output Indonesia. Dasril
menggunakan metode dekomposisi sumber pertumbuhan untuk mengukur
sumber-sumber pertumbuhan yang terdiri atas permintaan dalam negeri,
perdagangan internasional dan perubahan teknologi.
Noor (1991) meneliti mengenai perubahan struktur produksi yang
menyertai pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Noor, mengkaji perubahan yang
terjadi antara daerah provinsi dengan menggunakan model yang pernah digunakan
Chanary dan Syrquin (1975) ketika mereka melakukan penelitian di sejumlah
negara berkembang mengenai pergeseran struktur ekonominya selama kurun
waktu 1950-1970. Model tersebut diduga dengan multiple regression analysis.
Noor, menyimpulkan bahwa hanya sebagian daerah provinsi di Indonesia yang
menerima hipotesis Fisher, yaitu terdapat hubungan yang negatif antara
pergeseran sektor primer dengan pertumbuhan pendapatan nasional atau
pendapatan perkapita.
2.5.2. Total Factor Productivity
Margono (2005) dalam studinya mengenai Analisis kritis terhadap
masalah ketenaga kerjaan suatu pendekatan makro- mikro ekonomi, dimana salah
satu tujuan utamanya adalah menghitung total factor productivity (TFP)
Indonesia, TFP sektor pertanian, industri dan sektor jasa di Indonesia. Metode
yang digunakan dalam menghitung TFP adalah direct accounting. Dari hasil
perhitungan diperoleh bahwa TFP Indonesia sebesar -0.53. TFP sektor pertanian
dan industri sejak tahun 1972 – 2002 juga bertanda minus yakni masing -2.56
untuk pertanian dan -1.47 untuk industri, sedangkan TFP sektor jasa positif yakni
0.48. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kemajuan teknologi di Indonesaia
selama periode analisis tidak banyak bermakna dalam peningkatan produktivitas
dan pertumbuhan ekonomi.
41
Mathias (2004) yang mengkaji mengenai tingkat upah dan produktivitas
tenaga kerja di Provinsi DKI Jakarta. Telah menghitung TFP DKI juga dengang
menggunakan metode direct accounting yang diturunkan dari fungsi CobbDouglas. Menyimpulkan bahwa TFP untuk DKI selama periode 1997-2003
bernilai sebesar -0.39. Rendahnya TFP untuk DKI pada periode tersebut
menurutnya karena dampak krisis ekonomi yang masih terus melanda DKI Jakarta
sampai dengan tahun 2003.
2.5.3. Pasar Tenaga Kerja
Sukwika (2003) yang meneliti mengenai pasar tenaga kerja dan migrasi di
Kabupaten Bogor dikaitkan dengan perubahan struktur dan perkembangan
wilayah. Analisa pasar tenaga kerja yang dilakukan dengan menggunakan
persamaan sumultan dengan disagregasi terhadap tenaga kerja terdidik dan tidak
terdidi. Studi ini kemudian melanjutkan dengan menggunakan analisa komponen
utama (Pricipal Component Analysis) dan analisa gerombol (Cluster Analysis)
untuk menduga model perwilayah struktur ekonomi. Dari hasil studi ini
disimpulkan bahwa peningkatan ankatan kerja terdidik dan tidak terdidik lebih
responsif terhadap pertumbuhan penduduk, sedangkan kesempatan kerja lebih
responsif terhadap investasi, pendapatan regional dan jumlah pengangguran, baik
di sektor pertanian maupun disektor industri. Disimpulkan pula bahwa otonomi
daerah tidak menurunkan pengangguran di Kabupaten Bogor.
Hadi (2002) mengkaji mengenai dampak kebijakan pemerintah terhadap
keragaan pasar kerja dan migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi
di Indonesia. Studi ini juga menggunakan persamaan simultan yang diduga
dengan menggunakan Two Stage Least Square (2SLS). Studi ini menyimpulkan
bahwa peningkatan partisipasi kerja berdasarkan tingkat pendidikan, jenis kelamin
dan wilayah responsif terhadap jumlah penduduk baik pada uasia produktif
maupun pada usia belum produktif dan tingkat partisipasi kerja, upah bukan
merupakan faktor utama yang mendorong peningkatan partisipasi angkatan kerja.
Sedangkan kesempatan kerja sektoral ditentukan oleh perubahan pendapatan
regional sektoral, program dana pembangunan. Kombinasi peningkatan Program
Dana Padat Karya, Program Dana Pembangunan, Konsumsi Kalori dan Investasi
42
Sektoral memberikan dampak paling baik terhadap keragaan pasar kerja dan
migrasi pada periode krisis dan sebelum krisis ekonomi di Indonesia.
Studi mengenai ketenaga kerjaan di Sulawesi Selatan, diteliti oleh Fudjaja
(2002). Studi ini mengkaji dinamika kesempatan kerja sektor pertanian dan
industri di Sulawesi Selatan. Model analisisnya juga menggunakan persamaan
simultan yang diduga dengan metode 2SLS. Studi ini menyimpulkan bahwa
kebijakan pemerintah dan perubahan faktor ekonomi berpengaruh terhadap
dinamika kesempatan kerja sektor pertanian dan industri di Sulawesi Selatan.
Peningkatan upah memberi dampak positif terhadap kesempatan kerja demikian
pula terhadap PDRB sektoral. Peningkatan investasi sektoral berdampak negatif
terhadap kesempatan kerja sektor indus tri, akan tetapi berdampak positif terhadap
PDRB sektoral. Sebaliknya penurunan investasi sektoral memberikan dampak
negatif terhadap PDRB sektoral, baik peningkatan maupun penurunannya tidak
memberikan pengaruh terhadap kesempatan kerja.
Download