BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1. Permasalahan Ada beberapa pendapat dalam metafisika. Salah satu pendapat metafisik yang menyusun suatu sistem adalah pendapat yang menerima suatu prinsip pertama di belakang gejala-gejala, prinsip-prinsip inilah yang memberi makna dan hukum kenyataan. Prinsip azali, dalam hal ini dianggap sebagai kenyataan yang sesungguhnya, pada umumnya di ambil dari skema tradisional. Prinsip pertama atau azali ini ada yang-material, ada yang-hidup, ada yang-rohani dan ada yang-ilahi (Siswanto, 1998: 4). Manusia, menurut asumsi ini pasti memiliki pandangan ontologis tertentu, walaupun masih dalam bentuk yang paling sederhana. Filsafat pada tataran non-akademis (ordinary philosophy) juga berbicara tentang persoalan-persoalan yang serupa dengan filsafat pada tataran akademis. Hal ini menyiratkan bahwa manusia senantiasa haus akan penjelasan-penjelasan yang mengatasi kenyataan yang dijalaninya sehari-hari. Titus (1984: 5-11) menjelaskan suatu fakta bahwa manusia yang mempertanyakan persoalan-persoalan yang luar biasa jauh dalam scope-nya dan persepsinya menunjukkan rasa kehausan bagi tiap manusia untuk mendapatkan penjelasan, hal tersebut menunjukkan bahwa setiap orang telah berfilsafat walaupun dengan sebuah pertanyaan yang paling sederhana. Setiap 1 orang memiliki filsafat walaupun orang mungkin tidak sadar akan hal tersebut. “In general sense, a person’s philosophy is the sum of his fundamental beliefs and convictions. In this sense every one has a philosophy, even though he does nort realize it. All people have some ideas concerning physical objects, man, the meaning of life, nature, death, God, right and wrong, and beauty and ugliness. Of course, these ideas are acquired in variety of ways (Titus, 1964: 5)”. Manusia membutuhkan a unified view of things, yakni metafisika. Manusia dan kebudayaannya berdiri di atas ajaran ontologi tertentu yang mendasari segala aspek kehidupannya, baik pada aspek sosial, moral, sistem kebudayaan, budaya, ritual dan sebagainya (Ulumi, 2004: 1). Whiteley mengatakan bahwa: “...there are wide differences of opinion, especially between the professional philoshopher and the intellegent man in the street. The latter, when he turns to philosophy, usually expects it to provide him with an enlightening and satisfying interpretation of the universe. He wants to be instructed as to ‘the meaning of life’ and ‘the nature of ultimate reality’. He wants a firm basis for his thinking and his scheme of living, a unified view of things which will make him feel at home in the world (Whiteley, 1950: 1)”. Provinsi Banten menentukan bentuknya yang sekarang melalui perkembangan sejarah yang panjang, berbagai pengaruh telah ikut mewarnai kehidupan dan budaya masyarakat, mulai dari pola kepercayaan, teknologi sampai kepada berbagai jenis seni dan budaya yang muncul dan berkembang di berbagai wilayah yang ada di Banten. Seni dan budaya Banten, dalam perkembangannya ada yang khas mencerminkan kepercayaan dan budaya masyarakat setempat seperti: Angklung Buhun, Dogdog Lojor dan Bendrong Lesung. Seni khas masyarakat 2 Banten di sisi lain ada yang merupakan penetrasi dari keyakinan agama seperti Debus, Rudat, Silat Patingtung dan Beluk. Berbagai jenis seni dan budaya lain tumbuh merupakan warisan agama Islam yang kental mewarnai masyarakat Banten dan memang awalnya disiapkan sebagai wahana penyebaran agama Islam seperti: Dzikir Saman, terebang Gede, Seni Beduk, Qasidahan, Yalail dan Marhabaan. Ada juga seni dan budaya masyarakat Banten yang merupakan hasil akulturasi dari budaya luar dan berkembang di wilayah tertentu dalam bentuk asalnya, seperti: Topeng Banjet, Gambang Kromong, Cokek dan Tayuban. Semua seni dan budaya tersebut merupakan bagian dari identitas daerah yang masih perlu dikembangkan dan dikaji lagi untuk menemukan makna dan esensi terdalam dari masing-masing seni atau kebudayaan. Debus pada awalnya hanya dimiliki oleh sekumpulan orang Banten yang tergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan—Islam, yakni Tarekat Qadiriyah dan Tarekat Rifaiyah. Kehadiran dan perkembangan kedua tarekat ini berhubungan dengan munculnya fenomena debus di daerah Banten. Debus, dalam hubungan itu tampak bahwa debus dan tarekat merupakan dua hal yang saling berkaitan. Terdapat seorang pimpinan di dalam tarekat yang biasa dikenal dengan sebutan syeikh atau kiyai. Ketiga hal tersebut, yaitu debus, Islam dan kiyai merupakan persoalan yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian ontologi tesis ini, dengan memfokuskan pada studi kasus di Walantaka, Kota Serang, Propinsi Banten. 3 Tarekat-tarekat yang populer ini sering kali disertai dengan praktikpraktik magis, sehingga Banten merupakan daerah yang terkenal dengan praktik-praktik magis. Masyarakat Banten yang gemar mengamalkan berbagai macam praktik ilmu magis sering menggunakan cara-cara dan doadoa yang diambil dari berbagai tarekat yang telah dikenal, walaupun secara dangkal. Banten mempunyai bersemayamnya ilmu-ilmu reputasi gaib, tidak yang kokoh sebagai sedikit orang Banten tempat yang memanfaatkan reputasi ini dengan bertindak sebagai juru ramal, pengusir setan, pengendali roh, pemulih patah tulang, tukang pijat dan tabib, pelancar usaha untuk mendapatkan kekayaan, kedudukan dan perlindungan supernatural serta kedamaian jiwa (Hudaeri, 2010: 3). Teknik-teknik yang berkaitan dengan tarekat hanyalah salah satu bagian dari debus, sebab para guru debus tidak lazim dikenal juga sebagai guru tarekat. Sebagian dari para guru debus memang memimpin wiridan berjamaah yang sejenis dengan tarekat, tetapi tidak seorang pun dari para guru debus yang merupakan pemimpin tarekat yang sebenarnya. Sebagian lainnya pada umumnya adalah guru-guru silat dan sama sekali tidak dikenal sebagai dzikir dan ratib. Bacaan-bacaan Islam yang digunakan agar menjadi efektif juga harus “diisi” atau “dibayar” dengan berpuasa. Hasil yang sama terkadang dapat dicapai dengan cara yang berbeda-beda, misalnya seseorang mungkin membaca suatu formula yang “dibayar” terlebih dahulu, membaca jimat yang sudah “diisi” sementara “meminjam” kekuatan gurunya yang dipindahkan melalui sebuah praktik jiyad (Hudaeri, 2010: 4). 4 Debus, mengacu pada persoalan di atas, mengandung beberapa pandangan ontologis, debus mengandung kuat unsur religi karena sangat berhubungan dengan Yang-Transendental, pada setiap pertunjukkan selalu ada ritual-ritual tertentu yang menandakan bahwa pelaksanaan debus tidak dapat terlepaskan dari peran Yang Transendental, ada prinsip keyakinan bagi para pelaku debus dan beberapa persoalan dalam kajian ontologi yang juga terkandung di dalam debus. Ada beberapa alasan mengapa debus Banten menjadi objek material dalam penelitian ini. Pertama, debus bagi orang Banten mengandung unsur magi sehingga menjadi hal yang tidak terpisahkan dari agama, karena agama (Islam) bagi orang Banten merupakan hal yang wajib diimani tanpa syarat, dijalani, mampu menuntun hidup manusia dan membawa konsekuensikonsekuensi (manfaat) praktis (Tihami, 1992: 119 dalam Ulumi, 2004: 3). “Kebanyakan keahlian magis yang berkembang di Banten secara dekat berhubungan dengan keahlian bermain silat dan dunia kejawaraan. Debus yang merupakan praktik penanaman kekebalan tubuh terhadap api dan benda-benda tajam adalah bagian yang sangat mencolok dari teknik-teknik ini. Para guru debus umumnya menggunakan semua jenis praktik magis. Teknik-teknik debus merupakan campuran eklektik dari magi Islam dan tradisi lokal yang berasal dari kepercayaan pra-Islam. Bacaan-bacaan saktinya yang terdiri dari doa-doa Islam yang berbahasa Arab disamping bacaan-bacaan berbahasa Jawa dan Sunda (Hudaeri, 2010: 3)”. Kedua, debus dan kesenian lain yang hidup di daerah Banten sebagian besar mengandung unsur kebatinan, misalnya seni beladiri Pencak Silat, seni pertunjukkan kebatinan seperti Taraje (tangga) Golok, Taraje Cau Ambon, tarian mistik dan magis Syaman, Patingtung, Gatele dan sebagainya. Debus, dalam hal ini merupakan salah satu seni pertunjukkan kebatinan. Ketiga, 5 debus Banten masih berlaku dan lestari hingga saat ini. Debus dilestarikan oleh Jawara (ahli beladiri kebatinan) dan beberapa Padepokan Debus di berbagai daerah di Banten. Keempat, debus merupakan salah satu kebudayaan yang melekat dan tidak dapat terpisahkan bagi masyarakat Banten. Alasan lain yang mendorong penelitian ini menggunakan objek material debus adalah karena hingga saat ini, sejauh penelusuran penulis belum ada kajian filosofis terhadap debus, khususnya pada dimensi ontologis. Tulisantulisan yang pernah ada tentang debus hanya berkisar pada kajian budaya, ilmu antropologi dan religi—tetap masih bersifat antropologis—yang lebih difokuskan pada persoalan ritual-ritual. Kajian tentang debus, meskipun juga ada kajian yang mengandung unsur filosofis debus, namun hanya dibahas dalam kerangka filsafat kebudayaan, sehingga belum menyentuh aspek ontologis. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam sistem debus maupun di luar lingkungan debus yang disebabkan karena perkembangan zaman dan arus globalisasi juga merupakan salah satu persoalan ontologis yang perlu dikaji lebih dalam. Globalisasi mengimplikasikan bahwa telah terjadi pergeseran makna di seluruh bidang kehidupan, termasuk juga seni dan budaya debus di Banten, sehingga mempengaruhi makna esensial dari identitas budaya masyarakat Banten secara keseluruhan. Krisis identitas budaya, seiring dengan perkembangan yang terjadi di daerah Banten menjadi persoalan ontologis karena menyinggung struktur manusia yang paling dasar, sehingga masih sangat relevan bila dikaji secara ontologis. 6 2. Rumusan Masalah Penelitian yang berjudul Dimensi Ontologis Debus; Sumbangannya Bagi Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di Walantaka, Kota Serang, Propinsi Banten), objek materialnya adalah debus dan problema utama tentang makna hakikat debus dengan objek formalnya Ontologi. Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan sekaligus mengungkapkan hakikat yang ada dalam debus. Fokus utama penelitian ini adalah konsep tentang hakikat debus dilihat dari perspektif Ontologi. Objek material dan objek formal yang dikemukakan di atas, membawa konsekuensi permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut: a. Apa hakikat debus Banten? b. Apa dimensi ontologis debus Banten? c. Bagaimana sumbangan ontologi debus bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten? 3. Keaslian Penelitian Makmun Muzakki R dalam skripsinya yang berjudul Tarekat dan Debus Rifa’iyah di Banten tahun 1990 yang ditemukan di perpustakaan Universitas Indonesia meneliti dan menyelidiki keberadaan dari perkembangan serta pengaruh Tarekat Rifa’iyah dan debus tersebut. Tarekat Rifa’iyah dan debusnya, dalam skripsi ini dijelaskan bahwa keduanya tidak begitu banyak berkembang dibanding dengan aliran tarekat yang lain seperti misalnya tarekat Qadiriyah. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tarekat Rifa’iyah telah berkembang menjadi tiga versi. Pertama tetap sebagai Tarekat 7 dan yang kedua menjadi seni debus dan yang terakhir wirid-wirid dan amalan yang sedianya dipakai untuk tarekat, dikembangkan menjadi tradisi kekebalan (kesaktian). Isman Pratama Nasution dalam tesisnya yang ada di perpustakaan Universitas Indonesia dengan judul Debus, Islam dan Kiyai: studi kasus di Desa Tegal Sari, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang, Jawa Barat tahun 1995 merupakan penelitian kualitatif bidang antropologi yang memfokuskan penelitiannya tentang keterkaitan antara debus, Islam dan kiyai serta perkembangannya di daerah Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Peneltitian ini dilakukan sebelum terbentuknya Provinsi Banten sekitar tahun 1990an. Soraya Muhammad Syamlan dalam skripsinya di perpustakaan IAIN Sunan Maulana Hasanudin Banten, Serang tahun 2001 dengan judul Seni Debus Surosowan Banten dalam Perspektif Sejarah di Serang Abad XXI. Skripsi ini menjelaskan secara spesifik tentang gambaran umum Debus Surosoan Banten, dilengkapi dengan sejarah perkembangannya dalam lingkup kajian sejarah. Kajian tentang debus, sebagai salah satu jenis budaya kebatinan Banten yang masih bertahan dan terus dilestarikan pernah diteliti oleh Tim Peneliti dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten. Penelitian tentang debus tersebut dituangkan dalam bentuk Laporan Penelitian yang berjudul Debus di Masyarakat Banten pada tahun 2004. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah Studi Budaya. Debus, dalam laporan 8 penelitian tersebut dikupas mulai dari sejarah, formula-formula pendukung hingga prosesi dan tata panggung pagelaran. Laporan penelitian tersebut di dalamnya tidak terdapat pembahasan tentang aspek ontologis dari debus. Helmy Faizi Bahrul Ulumi dalam tesisnya yang berjudul Magi Orang Banten dalam Perspektif Ontologi (Studi Kasus di Kecamatan Ciomas Serang-Banten) tahun 2004 menyelidiki ontologi yang terkandung dalam magi Orang Banten. Pengungkapan ontologi yang terlandung di dalamnya dibatasi pada persoalan-persoalan ontologi dalam magi. Meskipun magi merupakan salah satu unsur yang terkandung di dalam debus, tetapi Ulumi tidak sedikitpun menyinggung persoalan tentang debus. Penelitian dengan judul Dimensi Ontologis Debus; Sumbangannya Bagi Pembentukkan Identitas Budaya Masyarakat Banten (Studi Kasus di Walantaka, Kota Serang, Provinsi Banten), jika dilihat dari objek formalnya, yakni ontologi, ini orisinil sehingga dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. Bahkan jika objek material dalam penelitian ini diperluas lagi— hanya persoalan tentang debus, penelitian ini dapat dikatakan baru, karena penulis belum menemukan satu karya pun yang membahas tentang dimensi ontologis debus. 4. Manfaat Penelitian a. Bagi Ilmu Pengetahuan Penelitian ini berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan, yaitu proses perkembangan debus sebagai salah satu budaya daerah Banten yang 9 bersentuhan secara langsung dengan kehidupan masyarakat dalam perspektif filosofis, yakni ontologi. b. Bagi Perkembangan Filsafat Penelitian ini sangat bermanfaat bagi pengembangan studi, khususnya pemikiran ontologi yang terkait dengan pengembangan wacana baru dalam menelaah hakikat debus yang ada di sekitar kehidupan masyarakat Banten khususnya dan masyarakat Indonesia secara umum, sehingga dapat memperkaya pembendaharaan informasi tentang kajian ontologi di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Sumbangan bagi perkembangan filsafat bahwa masih banyak sumber kajian filosofis yang dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah dalam kehidupan. c. Bagi Masyarakat Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, karena disaat kehidupan manusia dikuasai oleh gaya hidup globalisasi yang cenderung melupakan kelestarian budaya, maka pemahaman atas ontologi debus merupakan kebutuhan intelektualitas sekaligus spiritualitas untuk mengisi kekosongan jiwa manusia. d. Bagi Pembangunan Bangsa Indonesia Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan bangsa dan negara, karena penelitian ini dapat memperkaya khazanah filosofis sehingga mampu menganalisis persoalan ontologi dalam debus pada kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh, berbangsa dan bernegara. 10 B. Tujuan Penelitian Penelitian ini berobjek material debus Banten, sedangkan objek formalnya adalah ontologi, dan tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengungkap dan mendeskripsikan hakikat debus Banten. 2. Menemukan dimensi ontologis dalam debus Banten. 3. Merefleksikan dan menemukan secara kritis dan heuristik sumbangan ontologi debus bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten. C. Tinjauan Pustaka Kesenian tradisional yang berkembang pesat di Serang maupun di Banten secara umum erat kaitannya dengan penyebaran agama. Jika di kalangan masyarakat Tionghoa dikenal kesenian Barongsay, maka di kalangan penduduk yang beragama Islam mengenal bermacam-macam kesenian daerah. Tercatat sekitar 35 jenis kesenian rakyat yang sebagian besar masih bertahan di daerah Serang, Banten, seperti: Debus, Saman, Angklung Buhun, Ubrug, Beluk, Terebang Gede, Wawacan Syekh dan sebagainya (Hakim, 2006: 209). Kesenian tradisional yang ada di Banten pada umumnya berkembang secara turun temurun yang tidak terlepas dari nafas keagamaan yang ada di daerah Banten (Aminudin, 1993: 3). Kesenian tradisional debus tidak terlepas dari perkembangan agama Islam di pulau Jawa khususnya di Banten. Pertumbuhan debus di Banten bersamaan dengan bangkitnya perlawanan masyarakat Banten terhadap kekuasaan Belanda yang ingin menguasai Banten pada abad ke-16 (Hadiningrat, 1982: 9). 11 Debus merupakan salah satu kesenian yang ada di Banten yang hingga saat ini masih ada dan dilestarikan serta sudah sangat dikenal di seluruh nusantara bahkan di mancanegara. Pengertian debus pada awalnya sesuai dengan asal kata dari bahasa Arab dabbus yang berarti “jarum”. Pengertian ini muncul dilihat dari alat yang digunakan pada saat permainan debus dilakukan yang berbentuk seperti jarum besar, yang kemudian disebut gada dengan alat pemukulnya yang terbuat dari kayu yang berbentuk palu. Permainan debus awalnya memang hanya berkisar pada permainan gada tersebut, tetapi debus dari masa ke masa terus berkembang dan debus pada masa sekarang ini sudah terdapat puluhan macam perguruan yang terdiri dari berbagai aliran. Semua aliran itu mengatasnamakan debus (Ibrahim, kutipan konferensi pers tentang debus pada 19 Agustus 2009). Meskipun kata debus sangat akrab dan populer dikalangan penduduk Banten, bahkan Indonesia, namun asal-usul dan arti dasar dari kata debus tidak dikenal secara luas. Bahkan para pemain debus sendiri banyak yang tidak mengetahui artinya, sehingga pemberian arti debus banyak dilakukan secara serampangan dan tidak diketahui secara pasti. Debus berdasarkan dari penuturan responden dan beberapa referensi yang ada sering dimaknai sebagai “tembus”, “ora tembus” dan “dada tembus”, bahkan ada yang mengatakan bahwa debus itu kependekan dari “Dzikiran, Batin dan Shalawat” (Hudaeri, 2010: 12). Kesenian debus merupakan salah satu seni kekebalan pada diri seseorang terhadap sepotong besi tajam untuk melukai diri sendiri. Makna kata debus, 12 oleh sebagian ahli berasal dari bahasa Arab yang berarti sepotong besi tajam (Arifin, 1993: 1). Ada beberapa pendapat yang berbeda tentang debus. Pertama, debus merupakan pencak silat yang berhubungan dengan ilmu kekebalan sebagai refleksi sikap masyarakat Banten untuk mempertahankan diri. Debus sejenis kekebalan yang dimiliki oleh seseorang terhadap benda tajam. Kedua, debus merupakan kekuatan gaib atau ajaib yang tahan terhadap benda tajam, tusukan, pukulan dan dibakar oleh api. Ketiga, ada orang yang berpendapat bahwa debus sama dengan permainan sulap, yaitu karena kepandaian pemain debus dalam melakukan trik-trik untuk mengelabui penonton terhadap atraksi orang yang ditusuk tidak mengakibatkan luka (Tim Penyusun, 2002: 7). Beberapa literatur yang ditulis oleh orang asing seperti Vredenbregt (1973), Bruinesseen (1984, 1995) dan yang ditulis oleh orang Indonesia seperti Aminuddin (1993) dan Tim Studi Pengembangan Kesenian Tradisional Serang (1989), memperlihatkan bahwa debus adalah suatu permainan yang telah berkembang sejak masa Kesultanan Banten Sultan Ageng Tirtayasa (abad 17), dengan tujuan membangkitkan semangat juang pasukan Banten dalam melawan penjajah Belanda. Kesenian debus Banten tercipta pada masa Kesultanan Maulana Hasanudin Banten. Debus, pada masa itu dimanfaatkan untuk alat berdakwah dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat Banten yang kala itu masih menganut agama Hindu dan Budha atau bahkan masih banyak yang menganut kepercayaan-kepercayaan tradisional (Mashuri, 1998: 15). 13 Ibrahim (1997: 156) menuliskan hal senada bahwa debus pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa pada abad ke-17 (1651-1652) difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu kesenian debus lebih bersifat kesenian beladiri dan pemupukan rasa percaya diri. Sultan Ageng Tirtayasa, dalam rangka mempertebal semangat prajurit dan pejuang-pejuang Banten, memberikan suatu pengetahuan tentang ilmu kekebalan tubuh kepada para pengikutnya dengan memberikan pelajaran ayat-ayat suci Al-Quran. Ayatayat tersebut dihafalkan dan diresapi secara mendalam sehingga dapat mempertebal semangat moral dalam melawan penjajah Belanda. Oleh karena itu lahirnya debus di daerah Banten adalah sebagai akibat adanya perlawanan rakyat Banten terhadap Belanda yang dilandasi oleh ajaran agama Islam sebagai pembentuk semangat dan keyakinan dalam melakukan perjuangan. Pengaruh Islam cukup kuat dalam masa kesultanan Banten, sehingga berpengaruh dalam perkembangan kesenian tradisional di Serang, Banten. Kesenian tradisional Banten sedikit demi sedikit disisipkan ajaran Islam, hal ini karena merupakan salah satu sarana yang cukup potensial dalam kesenian tradisional. Debus merupakan kesenian yang tumbuh dan berkembang di sebagian besar wilayah Banten, seperti Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang dan Lebak. Debus, khusus di Kabupaten Serang berkembang di wilayah Kecamatan Walantaka, Kecamatan Cikeusal, Kecamatan Cikande dan Kecamatan Ciruas (Aminudin, 1993: 3). 14 Debus sekarang ini telah menjadi hiburan rakyat yang menjadi tontonan pada acara-acara tertentu seperti resepsi pernikahan dan khitanan. Debus kini seolah menjadi simbol dari kesenian rakyat Banten, yang sering dipertunjukkan pada acara-acara formal pemerintah Banten, seperti pada penyambutan tamu-tamu penting dari dalam maupun luar negeri (Hudaeri, 2010: 5). D. Landasan Teori Maksud ontologi adalah menyatukan seluruh kenyataan dalam satu visi menyeluruh, menurut intinya yang paling mutlak (Bakker, 1992: 15). Ontologi atau metafisika, dalam bahasa yang lain menurut Bakker adalah cabang filsafat yang menyelidiki dan menggelar gambaran umum tentang struktur realitas yang berlaku mutlak dan umum (Siswanto, 2004: 2-7). Untuk sampai kepada pemahaman yang demikian, maka berpikir secara ontologis menurut Taylor ( 1874) harus menghindari sikap yang arbitarianisme dan dogmatisme terhadap problem-problem dasar yang fundamental. Oleh karena itu untuk menemukan suatu visi yang menyeluruh harus dihindari suatu pemikiran yang menjurus kepada bentuk ekstrimitas (Siswanto, 2010: 6). Ontologi merupakan dasar filsafat, oleh karena itu ontologi mempertanyakan prinsip-prinsip pertama. Seseorang harus menjaga dua sikap sekaligus apabila manusia menginginkan untuk bermetafisika, yaitu mencoba menjawab pertanyaan itu sendiri, kemudian menemukan beberapa asumsi tersembunyi dibalik pertanyaan tersebut (Sontag, 2002: 1-15). 15 Ada tiga persoalan yang merujuk pada hal yang sama, yaitu filsafat pertama, metafisika umum dan ontologi. Filsafat pertama menyelidiki pengandaian-pengandaian paling mendalam dan paling akhir dalam pengetahuan manusia, yang mendasari segala macam pengetahuan dan segala usaha filsafat lainnya. Metafisika umum adalah usaha untuk menyatukan seluruh kenyataan ke dalam satu visi menyeluruh menurut intinya yang paling mutlak. Ontologi adalah usaha mengkaji ”yang-ada sebagai yang-ada, dengan seada-adanya” (a being as being, pengada sekedar pengada). Ketiga term ini dapat digunakan tanpa dibedakan, kecuali sejauh ingin ditunjukkan dengan tepat salah satu segi tertentu (Bakker: 1992: 14-16). Christian Wolff, salah satu tokoh penting rasionalisme pada abad ke-17, memperkenalkan istilah ontologi. Wolff membagi metafisika kedalam dua cabang besar. Pertama, metafisika umum yang kemudian disebut ontologi. Metafisika dalam hal ini menyelidiki “yang-ada sebagai yang-ada” (being just that-being) dengan perspektif yang lebih luas, oleh karena itu kemudian disebut dengan metafisika umum. Kedua, metafisika khusus yang terdiri atas kosmologi metafisik, psikologi rasional dan teologi natural (Siswanto, 2004:5). Crusius menegaskan bahwa metafisika menyangkut kebenaran yang niscaya. Crusius mengecualikan filsafat praktis dari metafisika karena dalam filsafat praktis tidak begitu dipisahkan antara kebenaran niscaya dan kebenaran yang bersifat kontingen. Crusius mengikuti pembagian Wolff, tetapi dengan urutan yang sedikit berbeda, yakni ontologi, teologi, kosmologi 16 dan pneumatologi. Metafisika dapat dikatakan sebagai sebuah usaha sistematis, reflektif dalam mencari hal yang ada dibelakang hal-hal yang fisik dan bersifat partikular. Itu berarti usaha mencari prinsip dasar yang mencakup semua hal. Yang-ada merupakan prinsip dasar yang dapat ditemukan pada semua hal. Metafisika adalah ilmu tentang yang-ada yang bersifat universal atau ilmu tentang yang-ada qua yang-ada (Bagus, 1991: 20). Ontologi bergerak diantara dua kutub, yakni kutub pengalaman akan kenyataan konkrit dan kutub pra-pengertian “mengada” yang paling umum. Pra-pengetahuan itu timbul karena kemustahilan akan ketidak-dapatdipertanyakan-nya segala sesuatu, dengan kata lain, jika suatu (kenyataan konkrit) itu sama sekali tidak dikenal, maka mustahil ia akan dipertanyakan. Kedua kutub tersebut, dalam refleksi ontologis saling menjelaskan. Atas dasar pengalaman tentang kenyataan akan semakin disadari dan dieksplisitasikan arti dan hakikat “mengada”. Sebaliknya, pra-pemahaman tentang cakrawala “mengada” akan semakin menyoroti pengalaman konkrit itu dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh (Bakker, 1992: 21). Bakker (1992) dalam bukunya yang berjudul Ontologi atau Metafisika Umum menjelaskan bahwa ontologi atau metafisika sebagai filsafat pengada atau dasar-dasar kenyataan. Metafisika tetap dianggap sebagai filsafat tentang yang-ada atau pengada. Persoalan dasar pengada diantaranya adalah apakah pengada itu banyak atau satu? Apakah pengada memiliki ciri homogal yang bersifat transendental? Apakah pengada memiliki permanensi atau kebaharuan? Apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani? Apakah 17 kehadiran pengada itu bernilai atau tidak? Apakah dalam pengada ditemukan norma ontologis transendental yang berlaku untuk semua? (Siswanto, 2004: 23). Dimensi ontologis debus akan dikupas berdasarkan fokus persoalanpersoalan ontologi dari Bakker, namun tidak semua persoalan bisa digunakan, karena dalam penelitian ini hanya akan dipaparkan beberapa persoalan ontologi yang relevan dengan debus. E. Metode Penelitian 1. Bahan atau Materi Penelitian Penelitian ini merupakan bentuk penelitian kualitatif bidang filsafat yang bersumber dari data pustaka. Bahan dan materi penelitian ini akan diperoleh melalui penelusuran pustaka yaitu dari buku-buku yang berkaitan dengan debus Banten dan ontologi. Setelah diperoleh data pustaka, kemudian pustaka terbagi menjadi dua yaitu pustaka primer dan pustaka sekunder. a. Bahan Primer Kepustakaan primer merupakan sumber-sumber utama dari bahan dan objek material penelitian. Pustaka primer yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Buku karya Mohamad Hudaeri dengan judul Debus dalam Tradisi Masyarakat Banten. 2010. FUD Press. Banten 2) Buku karya K.Hadiningrat dengan judul Kesenian Tradisional Debus. 1981. Depdikbud. Jakarta 3) Buku Karya Lukman Hakim dengan judul Banten dalam Perjalanan Jurnalistik. 2006. Banten Heritage. Banten 18 4) Data yang diperoleh dari penelitian lapangan b. Bahan Sekunder Kepustakaan sekunder merupakan sumber-sumber tambahan yang berhubungan dengan tema dalam penelitian ini. Kepustakaan sekunder berasal dari data yang diperoleh dari penelitian lapangan dan berbagai informasi terkait dari beberapa media yang mencakup, buku, majalah, jurnal, dokumen, data internet dan sumber-sumber lainnya yang penulis temukan dalam proses penelitian tesis ini. Data sekunder berupa pustaka buku adalah sebagai berikut: 1) Buku karya Anton Bakker yang berjudul Ontologi atau Metafisika Umum; Filsafat Pengada dan Dasar-Dasar Kenyataan. 1992. Kanisius. Yogyakarta 2) Buku karya Federick Sontag yang berjudul Problems of Metaphysics. 1970. Chandler Publishing Company. Pennsylvania 3) Buku karya C.H. Whiteley, M.A yang berjudul An Introduction to Metaphysics. 1950. Methuen & CO. Ltd. London 4) Buku karya Lorens Bagus yang berjudul Metafisika. 1991. Gramedia. Jakarta 5) Buku karya W.H. Walsh yang berjudul Metaphysics. Hutchinson University Library. London 6) Buku karya Alan R. White yang berjudul Methods of Metaphysics. Croom Helm. London 19 2. Jalannya Penelitian Penulis dalam penelitian ini mencoba untuk memahami objek materi baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian penulis akan menganalisisnya menggunakan objek formal dan menyampaikannya kembali. Langkah yang diambil dalam penelitian ini berjalan berdasarkan tahap demi tahap yaitu sebagai berikut: a. Inventarisasi Data Inventarisasi data; data tentang ontologi dan debus Banten yang telah dikumpulkan dari penelitian kepustakaan dan lapangan itu kemudian diseleksi dan direduksi untuk mendapatkan maknanya yang esensial sesuai dengan ciri objek material debus dan ciri objek formal ontologi. b. Sistematisasi Data Data yang telah diinventarisasi kemudian disistematisasi berdasarkan sifat dan kedalaman materi yang berhubungan dengan objek materi dan objek formal agar penggunaan data bisa lebih efektif dan efisien. c. Klasifikasi Data Klasifikasi data; yaitu setelah dilakukan reduksi data kemudian data dikelompokkan berdasarkan objek formal penelitian berupa landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis ontologi, serta objek material penelitian berupa hakikat debus. 20 d. Analisis Data Data yang telah diklasifikasikan mulai dianalisis sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian. e. Penyajian Data Memaparkan hasil analisis secara sistematis dan teratur berdasarkan sub-sub bab yang telah ditentukan sebelumnya. Penyajian data diawali dari pokok-pokok pikiran atau unsur-unsur yang paling mendasar dan sederhana, kemudian menuju pokok pembahasan yang lebih kompleks. 3. Analisis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode dan unsur-unsur metodis yang mengacu pada buku yang ditulis oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair (1990:114-119), yaitu sebagai berikut: a. Metode hermeneutika, yakni proses interpretasi dilanjutkan dengan proses analisis hermeneutika untuk menangkap makna esensial dengan melakukan penafsiran terhadap debus sehingga esensi dan hakikat dalam debus dapat dipahami sesuai dengan waktu dan konteks keadaan sekarang dengan unsur-unsur metodis sebagai berikut: 1) Deskripsi, penulis melakukan deskripsi dan penguraian secara rinci tentang debus mulai dari pengertian, sejarah, komponen, unsur-unsur dan nilai-nilai yang terangkum dalam praktik pagelaran debus sehingga didapatkan pemahaman tentang hakikat debus secara jelas. 21 2) Analisis, usaha menguraikan fenomena umum dalam debus untuk mengetahui unsur-unsur yang lebih bersifat khusus sehingga diperoleh pengertian tentang hakikat debus yang komprehensif. 3) Refleksi, data yang telah dikomparasikan kemudian diberi interpretasi baru sehingga memunculkan pemahaman baru tentang debus Banten dari aspek ontologi. b. Metode heuristika, metode ini digunakan untuk menemukan suatu paradigma baru dari persoalan seni debus Banten yang kemudian diharapkan dapat berperan bagi budaya kontemporer yang semakin kompleks dan heterogenitas di Indonesia F. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini akan dilaporkan dalam enam bab, yaitu sebagai berikut: Bab pertama berisi tentang latar belakang dilakukannya penelitian ini, rumusan masalah yang hendak dijawab, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan terhadap pustaka sebelumnya, landasan teori dan metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini. Bab kedua berisi tentang lingkup kajian ontologi lengkap dengan pembahasan terperinci tentang konsep dasar tentang istilah filsafat pertama, ontologi dan metafisika, terminologi ontologi dan metafisika, penjelasan tentang ontologi; sebuah kajian tentang hakikat, pemaparan persoalan-persoalan dalam ontologi menurut pandangan Anton Bakker dan pandangan Frederick Sontag, Aliran-aliran utama ontologi seperti Monisme, Pluralisme, Idealisme, Realisme, Materialisme, Vitalisme, Pragmatisme dan Eksistensialisme. 22 Bab ketiga berisi tentang uraian tentang lingkup kebudayaan dan kesenian debus Banten yang disertai pembahasan secara terperinci tentang dimulainya uraian singkat dan sistematis tentang sejarah Banten, pengertian debus, sejarah perkembangan debus, unsur-unsur dalam debus seperti religiusitas debus, prinsip keyakinan dalam debus, instrumen, tahapan-tahapan dalam proses ritual pada pelaksanaan debus Banten dan keanggotaan debus dan bab ini diakhiri dengan pemaparan tentang jenis-jenis atraksi pada pagelaran debus Banten. Bab keempat merupakan uraian dan inti pembahasan dalam penelitian serta analisis kritis yang diawali tentang identitas budaya masyarakat Banten, pandangan pemain debus tentang Tuhan, manusia dan alam, pokok-pokok Ontologi dalam debus Banten, seperti persoalan prinsip pertama menurut pandangan pemain debus, kuantitas pengada, apakah pengada memiliki permanensi atau kebaruan?, apakah pengada berdimensi jasmani atau rohani?, norma ontologis dalam debus, tinjauan kritis yang berisi pembahasan tentang, ontologi debus; yang-ada berhubungan dengan yang-transenden, debus sebagai suatu bentuk kekuatan supernatural atau kekuatan manusia dan prinsip keyakinan sebagai landasan kekebalan dalam ontologi debus dan diakhiri dengan kritik ontologis terhadap debus. Analisis kritis akan berusaha ditampilkan seperti yang diharapkan dalam analisis hasil, yaitu deskripsi, analisis, kesinambungan historis, refleksi dan hermeneutika. Bab kelima berisi tentang relevansi ontologi debus Banten dengan pembentukan identitas budaya masyarakat Banten, dengan pembahasan lebih rinci yang diawali dengan krisis identitas budaya masyarakat Banten di era globalisasi, 23 kesenian dan kebudayaan debus dalam pembentukan identitas budaya masyarakat Banten, fungsi pandangan ontologis debus dalam kehidupan masyarakat Banten, peran dan posisi ontologi debus bagi perkembangan seni dan budaya debus di Banten. Bab keenam berisi tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dan analisis singkat atas fenomena dalam debus yang mengacu pada rumusan masalah dan tujuan penelitian, sehingga sedapat mungkin akan ditemukan kesesuaian antara rumusan masalah, tujuan, analisis pembahasan dan hasilnya serta untuk melihat benang merah hakikat debus dalam perspektif ontologi dan relevansinya bagi pembentukkan identitas budaya masyarakat Banten. 24