reef check di perairan krueng raya dan ujong

advertisement
LAPORAN
REEF CHECK DI PERAIRAN KRUENG
RAYA DAN UJONG PANCU
ACEH BESAR
2009-2014
DI SUSUN OLEH
ODC
(Ocean Diving Club)
OCEAN DIVING CLUB
FAKULTAS KELAUTAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2015
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
kesempatan kepada Tim Reef Check Day Ocean Diving Club, Fakultas Kelautan dan
Perikanan, Universitas Syiah Kuala sehingga dapat melakukan pemantauan kondisi
ekosistem terumbu karang di Aceh Besar sejak tahun 2009 sampai 2014.
Pemantauan kondisi ekosistem terumbu karang ini telah dilakukan di tujuh
lokasi dalam wilayah Kabupaten Aceh Besar, yaitu Lhok Mee, Ahmad Rhang
Manyang, Benteng Inong Balee, Pulau Tuan, Lhok Ketapang, Lhok Mata Ie dan
Pulau Batee Timur. Pemantauan dilakukan pada dua kedalaman yaitu dangkal
(shallow) dengan kedalaman 2 hingga 5 m dan dalam (deep) dengan kedalaman 6
hingga 12 m.
Hasil yang diperoleh dari pemantauan secara rutin dari tahun 2009-2014
disajikan dalam satu laporan ini. Sehingga memudahkan pihak-pihak yang bergerak
dalam bidang konservasi untuk menggunakan laporan ini sebagai pedoman melihat
perubahan kondisi ekosistem terumbu karang di Aceh Besar dari tahun ke tahun.
Diharapkan laporan ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang tertarik dan andil
dalam konservasi.
Aceh Besar, November 2015
Ocean Diving Club
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ..............................................................................................i
DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................iii
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................................1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Tujuan ...................................................................................................2
1.3 Manfaat .................................................................................................3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................4
2.1 Dasar Teori ............................................................................................4
BAB III METODOLOGI KERJA..........................................................................6
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................6
3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................6
3.3 Metode Kerja.........................................................................................6
3.4 Analisa Data ..........................................................................................8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................10
4.1 Terumbu Karang ...................................................................................11
4.2 Ikan Karang ...........................................................................................17
BAB V PENUTUP ..................................................................................................24
5.1 Kesimpulan ...........................................................................................24
5.2 Saran ......................................................................................................25
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.2. Alat yang digunakan pada pemantauan kondisi terumbu karang .............6
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.3. Ilustrasi bentangan transek metode reef chek ........................................7
Gambar 4.1.1 Grafik perbandingan tutupan karang tahun 2009-2014 ......................11
Gambar 4.1.2 Grafik perbandingan keanekaragaman karang tahun 2011-2014 ........14
Gambar 4.1.3 Grafik perbandingan dominansi karang tahun 2011-2014 ..................16
Gambar 4.2.1 Grafik perbandingan kelimpahan ikan di Ujong Pancu ......................17
Gambar 4.2.1 Grafik perbandingan kelimpahan ikan di Krueng Raya ......................18
Gambar 4.2.2 Grafik perbandingan keanekaragaman ikan tahun 2009-2014 ............19
Gambar 4.2.3 Grafik perbandingan keseragaman ikan tahun 2009-2014 ..................21
Gambar 4.2.3 Grafik perbandingan dominansi ikan tahun 2009-2014 ......................22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang
sangat luas yang terdiri dari 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.290 km.
Luas wilayah laut Indonesia sekitar 5.176.800 km2. Indonesia juga dikenal sebagai
salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati laut yang terbaik di dunia.
Luas terumbu karang di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 60.000 km2, namun
yang dalam kondisi baik hanya sekitar 6,2 % saja. Aceh adalah Provinsi yang
memiliki wilayah pesisir terbesar di Pulau Sumatera. Aceh dikelilingi tidak kurang
1.865 km garis pantai dan memiliki ± 180 pulau. Sebaran terumbu karang Aceh pada
tahun 2007 ± 274.841 ha membentang dari Sabang, Aceh Besar hingga pantai barat
selatan Aceh. Aceh Besar memiliki panjang garis pantai 344 KM, luas wilayah
perairan laut 2.796 KM2, luas terumbu karang 1.155 Ha.
Terumbu karang sangat mudah terpengaruh oleh kondisi lingkungan
sekitarnya baik secara fisik juga biologis. Akibat kombinasi dampak negatif langsung
dan tidak langsung pada terumbu karang Indonesia, sebagian besar terumbu karang
di wilayah Indonesia saat ini sudah mengalami kerusakan yang sangat parah. Oleh
karena itu sangat perlu dilakukannya monitoring terumbu karang. Monitoring
terumbu karang adalah pengambilan data terumbu karang secara berkelanjutan.
Ekosistem terumbu karang memberi peranan penting dalam kesejahteraan
masyarakat pesisir Aceh Besar, terutama di Krueng Raya dan Ujong Pancu. Oleh
karena itu, kami yang tergabung di dalam sebuah organisasi kemahasiswaan yaitu
ODC (Ocean Diving Club) yang juga termasuk kedalam JKRI (Jaringan Kerja Reef
Check Indonesia) telah melakukan pengambilan data ekosistem terumbu karang
dengan metode Reef Check pada daerah tersebut secara berkelanjutan sejak 6 tahun
terakhir. Krueng Raya (Benteng Inong Balee, Ahmad Rhang Manyang, Lhok Me)
dan Ujong Pancu (Pulau Tuan, Lhok Mata ie, Lhok Ketapang) merupakan lokasi
yang dipilih sebagai tempat monitoring yang berkelanjutan dan telah menjadi lokasi
tetap pemantauan terumbu karang oleh Ocean Diving Club. Pada tahun 2014 Ocean
Diving Club menambah stasiun baru di Ujong Pancu, yaitu Pulau Batee Timur.
Reef Check Day merupakan suatu aksi peduli terhadap terumbu karang.
Pelaksanaan Reef Check Day serentak dilakukan oleh Jaringan Kerja Reef Check
Indonesia di seluruh Indonesia. Metode pemantauan yang di pakai adalah metode
Reef Check yaitu suatu metode yang digunakan untuk melihat kondisi Terumbu
karang di suatu daerah. Metode pemantauan terumbu karang yang digunakan berupa
PIT (Point Intercept Transect), sedangkan pemantauan ikan karang dan invertebrata
digunakan metode Belt transect dengan visual sensus.
Pemantauan dilakukan setiap tahun sejak 2009-2014. Data yang diperoleh
dari pemantauan berupa persen tutupan karang hidup, kelimpahan ikan karang,
indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks
dominansi (D).
1.2.Tujuan
Adapun tujuan kegiatan Reef Check yang telah dilakukan selama 6 tahun
terakhir yaitu :
a. Mendapatkan informasi kondisi ekosistem terumbu karang di daerah
Krueng Raya dan Ujung Pancu setiap tahunnya
b.
Mengetahui perbandingan persentase tutupan karang hidup dari tahun
2009-2014
c. Mengetahui perbedaan kelimpahan ikan karang dan ikan target dari tahun
2009-2014
d. Mengetahui perbedaan tingkat keanekaragaman ikan dan karang di daerah
Krueng Raya dan Ujung Pancu sejak tahun 2009-2014
e. Mengetahui perbedaan tingkat keseragaman ikan dan karang di daerah
Krueng Raya dan Ujung Pancu sejak tahun 2009-2014
f. Mengetahui perbedaan tingkat dominansi ikan dan karang di daerah
Krueng Raya dan Ujung Pancu sejak tahun 2009-2014
1.3.Manfaat
Manfaat yang diperoleh dari kegiatan Reef Check Day 2009-2014 yaitu :
a. Masyarakat mengetahui perbedaan kondisi ekosistem terumbu karang di
Krueng Raya dan Ujung Pancu sejak 2009-2014.
b. Melahirkan
kesadaran
masyarakat
ekosistem terumbu karang.
untuk
menjaga
keseimbangan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori
Terumbu karang memiliki penyebaran yang luas dengan kekayaan sumberdaya
hayati yang mengagumkan dan sangat menunjang kehidupan manusia. Beberapa
hasil penelitian menunjukkan bahwa ekosistem tersebut memiliki produktivitas dan
keragaman hayati (biodiversity) yang tinggi baik jenis ikan maupun non-ikan
(invertebrata). Dalam ekosistem ini juga hampir seluruh filum yang hidup di laut
terwakili dengan bentuk kehidupan dan interaksi organisme yang beragam dan
kompleks (Rani, 2003).
Terumbu karang memberikan beberapa fungsi ekologi terhadap biota laut (ikan
dan invertebrata), yaitu sebagai daerah pemijahan, daerah pembesaran, dan daerah
mencari makan. Terumbu karang yang sehat dengan struktur bio-fisik yang kompleks
akan menyediakan makanan yang maksimal terhadap berbagai organisme,
menyediakan mikrohabitat yang baik untuk berlangsungnya proses-proses reproduksi
dan perlekatan larva, dan memberi perlindungan fisik dari predator (khususnya untuk
larva). Kerusakan terumbu karang akan memberikan pengaruh tidak hanya berupa
penurunan keragaman hayati tetapi juga berdampak sosial-ekonomi bagi masyarakat
pesisir (nelayan). Oleh karena itu, diperlukan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan
usaha-usaha agar dapat membatasi kerusakan tersebut (regulasi), dan melindungi
atau melakukan restorasi terhadap terumbu karang yang rusak. Berdasarkan analisis
terhadap ancaman-ancaman yang potensial bagi terumbu karang akibat aktivitas
manusia (seperti pembangunan daerah pesisir, eksploitasi berlebihan, praktik
perikanan yang merusak, erosi, dan pencemaran), diperkirakan sekitar 27% dari
terumbu karang dunia berada pada tingkat risiko tinggi dan 31% lainnya berada
dalam risiko sedang (Bryant, et al., 1989).
Dampak kerusakan karang (seperti pemutihan) bagi perikanan dapat mengikuti
teori umum interaksi antara habitat ikan dengan terumbu karang. Beberapa faktor
yang memberi sumbangan terhadap komposisi komunitas ikan di terumbu karang,
semuanya berhubungan dengan struktur fisik dan kompleksitas terumbu karang itu
sendiri. (Pet-Soede, 2000).
Indeks
keragaman
digunakan
untuk
mengukur
kelimpahan
komunitas
berdasarkan jumlah jenis dan jumlah individu dari setiap jenis atau marga pada suatu
lokasi. Semakin banyak jumlah jenis, semakin beragam komunitasnya. Indeks ini
juga mengasumsi bila semakin banyak individu dari setiap jenis, semakin besar peran
jenis tersebut dalam komunitas. Walaupun dalam kenyataannya hal tersebut tidak
selalu terjadi. Indeks keanekaragaman (H’) yang umum digunakan adalah indeks
Shannon-Wiener yang sesuai untuk komunitas acak dalam skala luas yang total
jumlah jenisnya diketahui. Indeks kemerataan (E) digunakan untuk melihat
keseimbangan komunitas biota, dengan cara mengukur besarnya keserupaan dari
total individu antar jenis dalam komunitas. Semakin merata penyebaran individu
antar jenis maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Jika E menurun,
maka nilai H’ juga akan menurun, menandakan adanya dominasi suatu jenis terhadap
jenis-jenis lainnya.
Besarnya dominasi akan mengarahkan kondisi komunitas
menjadi labil atau tertekan (Ludwig & Reynolds, 1988).
BAB III
METODOLOGI KERJA
3.1. Waktu dan Tempat
Pemantauan dilakukan sejak tahun 2009-2014 setiap tanggal 22-23 Oktober
di perairan Aceh Besar yaitu: Lhok Mee, Ahmad Rhang Manyang, Benteng Inong
Balee, Lhok Keutapang, Lhok Mata Ie, Pulau Batee Timur, dan Pulau Tuan.
3.2. Alat dan Bahan
Adapun Peralatan yang selalu digunakan dalam kegiatan Reef Check Day
adalah sebagai berikut:
Tabel 3.2. Alat yang digunakan pada pemantauan kondisi terumbu karang
No.
Jenis Peralatan
Jumlah
Keterangan
1.
Alat SCUBA
6
Sebagai perangkat penyelaman
2.
Tabung selam
15
Untuk penyelaman dalam 1 hari
3.
Kompressor
1
Pengisi udara dalam tabung
4.
Boat
2
Alat
transportasi
menuju
lokasi
penyelaman
5.
Rollmeter 100 m
2
Sebagai transect
6.
Alat tulis bawah air
4
Untuk mencatat data
7.
GPS
1
Untuk menentukan titik koordinat
8.
Kamera underwater
1
Untuk mengambil gambar
9.
Thermometer
1
Mengukur suhu perairan
10.
Komputer
1
Entri data dan laporan
3.3. Cara Kerja
Pemantauan dilakukan dengan menggunakan metode Reef Check.
Transek sepanjang 100 m dibentangkan pada dua kedalaman berbeda, masingmasing berada pada kedalaman 3 m dan 7 m. Pengamatan transek sepanjang 100 m
dibagi menjadi 4 buah transek yaitu transek 1, Transek 2, Transek 3 dan transek 4.
Setiap transek panjangnya 20 m dengan interval 5 m. Jumlah maksimal pengambilan
data pada keempat transek tersebut yaitu 80 m. Transek 1 dimulai pada 0 m berakhir
pada 20 m, transek 2 dimulai pada 25 m berakhir pada 45 m, transek 3 dimulai pada
50 m berakhir pada 70 m dan transek 4 dimulai pada 75 m berakhir pada 95 m.
Lokasi pengambilan data dicatat koordinatnya dengan menggunakan GPS (Global
Positioning system).
Untuk mengumpulkan data dilakukan oleh 4 orang penyelam dengan
membagi ke dalam 2 tim menurut kedalaman (3 dan 10 m). Setiap tim mempunyai 2
orang penyelam yang akan diketuai oleh seorang peneliti. Tim pertama akan
melakukan Reef Check pada kedalaman 3 m dan tim satunya lagi akan melakukan
Reef Check pada kedalaman 10 m.
Gambar 3.3. Ilustrasi bentangan transek metode reef check
3.3.1. Terumbu Karang
Pengamatan terumbu karang menggunakan metode Point Intercept Transect
(PIT). Metode pemantauan ini merupakan pengamatan pada titik tertentu di dalam
transek. Pengamatan dilakukan dari titik awal transek dan berulang setiap 50 cm.
Jenis karang yang terdapat di titik tersebut dicatat genus dan Lifeformnya. Jumlah
total pengamatan karang dalam satu kali pemantauan yaitu 160 titik. Setelah
dilakukan pemantauan, selanjutnya di entry data dan di hitung percent cover, indeks
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi karang pada wilayah tersebut.
3.3.2. Ikan Karang
Pengamatan Ikan karang menggunakan metode Belt Transect dengan Visual
Sensus. Pengamatan dilakukan dengan mengamati ikan sejauh 2,5 meter bagian
kanan, 2,5 meter bagian kiri, dan 5 meter bagian atas transek. Setelah dilakukan
pemantauan, data yang diperoleh dientry, lalu dihitung nilai kelimpahan ikan, indeks
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan pada wilayah tersebut.
3.4. Analisa Data
3.4.1. Persentase tutupan karang hidup
Dimana :
Li
= Persentase tutupan karang hidup (%)
ni
= Jumlah panjang tutupan karang hidup (cm)
L
= Panjang transek (cm)
Adapun kriteria kondisi tutupan karang hidup adalah sebagai berikut (Gomez
dkk., 1998):
Tutupan 0 – 24.9%
= buruk
Tutupan 25 – 49.9% = sedang
Tutupan 50 – 74.9% = baik
Tutupan 75 – 100%
= sangat baik
3.4.2. Kelimpahan Ikan Karang
Dimana :
Xi
= Kelimpahan ikan karang (ind/Ha)
ni
= Jumlah total komunitas ikan ke-i (cm)
L
= Luas transek pengamatan (Ha)
3.4.3. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)
∑
Dimana :
H’
= Indeks Keanekaragaman
s
= Jumlah taksa biota
pi
= Proporsi jumlah individu pada suatu biota
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), kriteria indeks keanekaragaman yaitu
keanekaragaman
rendah
(H’
)
dan
keanekaragaman
tinggi
(2<H’<3).
3.4.4. Indeks Keseragaman (E)
Dimana :
E
= Indeks keseragaman
H’
= Indeks keanekaragaman
H’ max= Indeks Keanekaragaman maksimum
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), kisaran indeks kemerataan adalah
komunitas tertekan (0,0 < E ≤ 0,5), komunitas labil (0,5< E ≤ 0,75), dan komunitas
stabil (0,75 < E ≤ 1).
3.4.5. Indeks Dominansi
∑
Dimana :
D
= Indeks dominansi
s
= Jumlah taksa biota
pi
= Proporsi jumlah individu pada suatu biota
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), Indeks dominansi Simpson memiliki kisaran
dominasi rendah (0,0 < D ≤ 0,5), dominasi sedang (0,5 < D ≤ 0,75), dan dominasi
tinggi (0,75 < D ≤ 1).
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Terumbu Karang
4.1.1. Persentase tutupan karang tahun 2009-2014
Terumbu karang di setiap perairan bagian Aceh Besar memiliki struktur
pertumbuhan yang berbeda-beda. Pertumbuhan Terumbu karang dipengaruhi oleh
factor fisika dan kimia perairan. Perubahan faktor fsika dan kimia perairan yang
tidak stabil dapat mengganggu pertumbuhan karang. Perubahan dapat terjadi karena
gejala alam maupun manusia. Meskipun begitu, sebenarnya yang bertanggung jawab
penuh adalah manusia karena kegiatan yag dilakukan di ekositem terumbu karang
merusak atau menghancurkan karang tersebut. Karang yang rusak mengurangi
persentase tutupan karang hidup.
Menurut Gomez dan Yap (1998), kategori kondisi terumbu karang diperoleh
dari jumlah persen tutupan karang hidup yang terdiri dari kategori sangat baik (75%100%), baik (50%-74,9%), sedang (25%-49,9%), rusak/buruk (0%-24,9%). Setiap
tahun, kondisi tutupan terumbu karang memiliki persen yang berbeda-beda. Ini
disebabkan faktor lingkungan yang mempengaruhi wilayah tutupan karang hidup.
Kondisi terumbu karang dari tahun 2009 sampai 2014 dapat dilihat dari grafik
dibawah ini.
Gambar 4.1.1 Grafik perbandingan tutupan karang tahun 2009-2014
Setiap lokasi tutupan karang berbeda-beda setiap tahunnya. Ada beberapa
lokasi yang tidak memiliki data pada tahun-tahun tertentu. Hal ini diakibatkan karena
beberapa faktor pada saat pengambilan data. Berdasarkan grafik tersebut dapat
dilihat kondisi karang di setiap stasiun. Ahmad Rhang Manyang memiliki tutupan
karang terbaik pada tahun 2014 yaitu sebesar 54,375% dan tergolong kategori baik.
Sedangkan karang dengan kondisi buruk terdapat pada tahun 2011 dan 2012, namun
tutupan terburuk terjadi tahun 2012 dengan persen tutupan 17,8%. Lokasi
selanjutnya yaitu Benteng Inong Balee yang memiliki tutupan tertinggi dalam
kategori sedang pada tahun 2012 yaitu 45,625%. Tahun 2013 tutupan karang di
Benteng Inong Balee mengalami penurunan menjadi 17,8% dan tergolong kategori
buruk.
Berbeda dengan dua lokasi diatas, Lhok Keutapang mengalami pertambahan
tutupan karang setiap tahunnya. Pengamatan yang dimulai tahun 2010 menunjukan
karang dalam kondisi sedang (45,3%) dan
terus bertambah hingga tahun 2013
karang dalam kondisi baik dengan persen tutupan 62,8%. Selanjutnya di perairan
Lhok Mata Ie, pengambilan data diawali tahun 2011 dengan persen tutupan 50%,
lalu meningkat menjdai 69,7% pada tahun 2012, dan kembali mengalami penurunan
tahun 2014 menjadi 57,5%. Ini menunjukan karang di Lhok Mata Ie masih dalam
kategori baik.
Lhok Mee merupakan lokasi pemantauan yang mengalami penurunan tutupan
karang setiap tahunnya. Namun hasil pemantauan 2014 menunjukan kondisi tutupan
karang yang mulai membaik. Tahun 2009, tutupan karang di Lhok Mee tergolong
kategori sedang, yaitu 38,1% dan terus menurun setiap tahunnya. Tahun 2013
menunjukan karang di Lhok Mee dalam kondisi yang buruk (14,7%). Berdasarkan
informasi warga, ini disebabkan oleh penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan, sehingga merusak habitat ikan tersebut yaitu terumbu karang.
Masyarakat mulai sadar akan pentingnya terumbu karang dan mulai menjaga baik
habita terumbu karang. Pada tahun 2014 karang kembali membaik, persentase
tutupan karang tergolong kategori sedang dengan persentase 34,1%.
Pulau Tuan merupakan stasiun pemantauan terumbu karang yang dimulai
tahun 2010. Seperti Lhok Mee, Pulau Tuan juga mengalami penurunan tutupan
karang setiap tahunnya. Tahun 2010 tutupan karang sebesar 68,1% menjadi 25,3%
pada tahun 2012. Namun tahun 2013 tutupan karang kembali meningkat menjadi
50%, dan tahun 2014 kembali menurun menjadi 34,7%. Ketidakstabilan kondisi
terumbu karang di wilayah ini juga melibatkan masyarakat lokal Ujong Pancu.
Pemakaian alat tangkap yang merusak di Pulau Tuan merupakan faktor utama yang
berperan dalam penurunan tutupan karang. Masyarakat lokal juga menyadari akibat
buruk yang ditimbulkan oleh penangkapan yang tidak baik tersebut. Sehingga saat
ini masyarakat lokal mulai menjaga wilayah tersebut bersama-bersama.
Perairan Pulau Batee Timur menunjukan tutupan karang yang sangat baik.
Pemantauan di Pulau Batee Timur dimulai tahun 2014 dengan persentase tutupan
karang sebesar 80%. Lokasi Pulau Batee Timur yang jauh dari pemukiman warga
dan untuk menuju lokasi tersebut hanya dapat ditempuh menggunakan transportasi
laut, menjadi salah satu faktor yang membantu dalam menjaga terumbu karang dari
kerusakan akibat aktivitas manusia.
4.1.2. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)
Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), keanekaragaman dalam suatu
komunitas skala luas terdiri dari keanekaragaman rendah
dan keanekaragaman
tinggi. Jika perhitungan menunjukan nilai H’≤2, maka komunitas tersebut memiliki
keanekaragaman yang rendah. Jika nilai perhitungan menunjukan 2<H’<3, maka
komunitas tersebut memiliki keanekaragaman yang tinggi.
Gambar 4.1.2 Grafik perbandingan keanekaragaman karang tahun 2011-2014
Berdasarkan grafik diatas, keanekaragaman tertinggi hanya terdapat di Lhok
Keutapang dengan nilai H’=2,26. Ini menunjukan krang di Lhok Keutapang
memiliki jenis yang beranekaragam. Sedangkan stasiun pengamatan lainnya
menunjukan keanekaragaman yang rendah (H≤2). Stasiun pengamatan yang
memiliki nilai keanekaragaman terendah yaitu di Ahmad Rhang Manyang pada
tahun 2012, dengan nilai H’=0, dimana karang yang ditemukan hanya berjenis
massive. Di stasiun-stasiun ini, karang yang ditemui banyak yang merupakan genus
yang sama.
4.1.3. Indeks Keseragaman (E)
Indeks keseragaman bertujuan untuk melihat suatu keseimbangan suatu
komunitas. Menurut Ludwig dan Reynolds (1988), semakin merata penyebaran
individu antar jenis maka keseimbangan ekosistem akan semakin meningkat. Adapun
kategori dalam indeks keseragaman yaitu bila nilai perhitungan menunjukan 0,0 < E
≤ 0,5, maka komunitas tersebut dalam kondisi tertekan. Jika perhitungan menunjukan
0,5< E ≤ 0,75, maka komunitas tersebut dalam kondisi labil. Sedangkan jika nilai
perhitungan menunjukan 0,75 < E ≤ 1, maka komunitas tersebut dalam kondisi stabil.
Berikut grafik keseragaman terumbu karang di perairan Aceh Besar dari tahun 2011
sampai 2014 :
Gambar 4.1.3 Grafik perbandingan keseragaman karang tahun 2011-2014
Berdasarkan grafik diatas, komunitas karang mengalami kondisi yang
berbeda setiap tahunnya. Karang di perairan Lhok Mee dalam kondisi labil pada
tahun 2011 dan 2013, sedangkan tahun 2012 dan 2014 karang mengalami penurunan
keseragaman dan berada dalam kondisi tertekan. Karang di perairan Ahmad Rhang
Manyang berada dalam kondisi yang tertekan setiap tahunnya.
Tahun 2011 komunitas karang di perairan Ahmad Rhang Manyang
menunjukan kondisi yang labil, namun di setiap tahun berikutnya kondisi komunitas
karang terus berada dalam kondisi tertekan. Bahkan pada tahun 2012 hanya karang
massive yang ditemukan, dimana nilai E=0 yang menunjukan komunitas karang
sangat tertekan. Pulau Tuan menunjukan kondisi komunitas karang yang terus
menurun. Tahun 2012 komunitas berada dalam kondisi labil dengan E=0,7 dan
menurun pada tahun 2013 menjadi E=0,65 hingga tahun 2014 komunitas berada
dalam kondisi tertekan dengan E=0,36.
Lhok Mata Ie menunjukan komunitas terumbu karang berada dalam kondisi
labil (E=67). Pulau Batee Timur memiliki nilai keseragaman yang menunjukan
komunitas karang dalam kondisi tertekan (E=0,18). Berbeda dengan lokasi lainnya,
Lhok Keutapang memiliki nilai E yang paling tinggi, yaitu 0,8. Ini menunjukan
komunitas karang di Lhok Keutapang berada dalam kondisi stabil.
4.1.4. Indeks Dominansi (D)
Keseragaman menurun, maka keanekaragaman juga menurun, menandakan
adanya dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lainnya. Menurut Ludwig dan
Reynolds (1988), besarnya nilai dominansi mengarahkan komunitas berada dalam
kondisi labil atau tertekan. Kategori yang diperoleh dari perhitungan nilai dominansi
yaitu dominasi rendah (0,0 < D ≤ 0,5), dominasi sedang (0,5 < D ≤ 0,75), dan
dominasi tinggi (0,75 < D ≤ 1). Berikut grafik dominansi karang di Aceh Besar tahun
2011 sampai 2014 :
Gambar 4.1.3 Grafik perbandingan dominansi karang tahun 2011-2014
Grafik diatas menunjukan nilai dominansi dari tahun 2011 sampai 2014 di
setiap stasiun pemantauan memiliki perubahan yang berbeda-beda. Perairan Lhok
Mee menunjukan dominansi yang terus meningkat. Tahun 2011 dominansi karang
sedang, dan tahun 2012 hingga 2014 dominansi karang tinggi. Ahmad Rhang
Manyang menunjukan dominansi yang tinggi setiap tahunnya. Tahun 2013
dominansi karang menurun menjadi sedang, namun tahun 2014 dominansi karang
kembali menjadi tinggi. Benteng Inong Balee menunjukan nilai dominansi yang terus
meningkat setiap tahun pemantauan.tahun 2011 dominansi sedang dan tahun 2012
hingga 2014 dominansi karang menjadi tinggi. Pulau Tuan memiliki dominansi
karang yang rendah tahun 2012, dan tahun 2013 hingga 2014 dominansi karang
tinggi. Lhok Mata Ie dan Lhok Keutapang juga memiliki dominansi yang rendah.
Sedangkan di perairan Pulau Batee Timur, komunitas karang memiliki nilai
dominansi yang tinggi.
4.2. Ikan Karang
4.2.1. Kelimpahan Ikan Karang
Kelimpahan Ikan bergantung dengan kondisi habitat dan dipengaruhi oleh
aktivitas penangkapan manusia. Kelimpahan dihitung berdasarkan luas area
pemantauan. Ikan-ikan yang memiliki nilai penting dalam ekosistem yaitu ikan target
dan ikan indikator. Ikan target merupakan ikan yang menjadi tangkapan karena
memiliki nilai ekonomis. Sedangkan ikan indicator menjadi faktor penting yang
mempengaruhi kondisi terumbu karang. Berikut grafik kelimpahan ikan indikator
dan ikan target setiap tahun 2009 sampai 2014 di perairan Ujong Pancu dan Krueng
Raya, Aceh Besar :
Gambar 4.2.1 Grafik perbandingan kelimpahan ikan di Ujong Pancu tahun 20092014
Gambar 4.2.1 Grafik perbandingan kelimpahan ikan di Krueng Raya tahun 20092014
Kedua grafik diatas menunjukan nilai kelimpahan ikan di setiap statiun
pemantauan dari tahun 2009 sampai 2014. Pengamatan di Ujong Pancu dimulai pada
tahun 2010. Pulau Tuan memiliki kelimpahan ikan tertinggi pada tahun 2011 yaitu
428,3 ind/Ha, tetapi kelimpahan ikan mengalami penurunan yang sangat banyak
pada tahun 2014 yaitu menjadi 712,5 ind/Ha. Tahun 2011, Lhok Mata Ie didominasi
oleh ikan indikator, tetapi pada tahun 2012 jumlah ikan indicator dan ikan target
hampir seimbang. Namun tahun 2014, kelimpahan ikan di Lhok Mata Ie kembali
megalami penurunan yaitu dari tahun 2012 yang memiliki kelimpahan ikan 1602,5
ind/Ha menjadi 237,5 ind/Ha. Lhok Keutapang memiliki kelimpahan ikan yang terus
meningkat setiap tahun. Pemantauan di Lhok Keutapang dimulai pada tahun 2010,
hingga tahun 2013 ikan di Lhok Keutapang terus bertambah jumlahnya. Tahun 2010
kelimpahan ikan di Lhok Keutapang yaitu 450 ind/Ha menjadi 4337,5 ind/Ha pada
tahun 2013. Pulau Batee Timur merupakan stasiun pengamatan yang baru dimulai
tahun 2014. Kelimpahan ikan di Pulau Batee Timur yaitu 387,5 ind/Ha.
Perairan Krueng Raya memiliki kelimpahan ikan yang lebih sedikit
dibandingkan peraira kawasan Ujong Pancu. Tahun 2009, perairan Lhok Mee
memiliki kelimpahan ikan tertinggi yaitu 1925 ind/Ha dengan jumah ikan target
terbanyak yaitu 1800 ind/Ha. Namun jumlah kelimpahan ikan terus menurun, pada
tahun 2014 kelimpahan ikan berjumlah 400 ind/Ha. Ahmad Rhang Manyang
memiliki kelimpahan ikan tertinggi pada tahun 201 yaitu 1531,9 ind/Ha dan
kelimpahan terendah terjadi pada tahun 2014 dengan jumlah kelimpahan ikan 287,5
ind/Ha. Kelimpahan ikan di perairan Benteng Inong Balee terbanyak terjadi pada
tahun 2013 yaitu 1894,6 ind/Ha. Namun mengalami penurunan jumlah menjadi
157,5 ind/Ha pada tahun 2014.
4.2.2. Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (H’)
Keanekaragaman ikan karang dihitung berdasarkan kelimpahan ikan di suatu
lokasi. Semakin banyak jenis ikan tersebut, makan semakin tinggi nilai
keanekaragaman yang diperoleh. Indeks ini juga mengasumsikan bahwa semakin
banyak individu dari setiap jenis, maka semakin berperan jenis tersebut dalam suatu
komunitas. Berikut grafik perbandingan keanekaragaman ikan karang di perairan
Aceh Besar setiap tahun 2009-2014.
Gambar 4.2.2 Grafik perbandingan keanekaragaman ikan tahun 2009-2014
Berdasarkan grafik, terdapat keanekaragaman yang tinggi di suatu stasiun
pengamatan untuk beberapa tahun. Perairan Lhok Mee memiliki keanekaragaman
yang rendah pada tahun 2009 dan 2010, namun tahun 2011 hingga 2014 ikan karang
memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman terendah di Lhok Mee
terdapat pada tahun 2009 dengan H’= 0,69 dan tertinggi terjadi pada tahun 2012
dengan nilai H’=2,54.
Ahmad Rhang Manyang memiliki keanekaragaman ikan
terendah pada tahun 2009 dengan nilai H’=0,64 dan terus meningkat pada tahun
2010 hingga 2013 yaitu H’=2,3. Namun tahun 2014 keanekaragaman ikan karang
menjadi rendah kembali dimana H’=1,97. Benteng Inong Balee memiliki
keanekaragam ikan yang terus bertambah jenisnya setiap tahun. Keanekaragaman
terendah terjadi pda tahun 2010 dimana H’=0,68. Namum jenis ikan terus bertambah
hingga mencapai nilai tertinggi pada tahun 2014 dimana H’=2,7. Ini menunjukan
perairan Benteng Inong Balee memiliki keanekaragaman ikan yang tinggi. Pulau
Tuan memiliki nilai keanekaragama terendah pada tahun 2010 yaitu H’=0,8 dan
keanekaragaman tertingi terjadi pada tahun 2012 dimana H’=2,93. Tetapi hingga
tahun berikutnya nilai keanekaragaman kembali mengalami penurunan hingga tahun
2014 nilai H’ menjadi 1,81. Lhok Mata Ie memiliki nilai keanekaragaman yang
rendah tahun 2011 yaitu H’=1,57 dan meningkat menjadi 2,65 pada tahun 2012,
namun tahun 2014 keanekaragaman ikan kembali mengalami penurunan menjadi
1,78. Perairan Lhok Keutapang memiliki keanekaragaman terendah tahun 2010 yaitu
H’=0,75 dan terus meningkat hingga tahun 2012 keanekaragaman tertinggi dimana
H’=2,54. Pulau Batee Timur memiliki keanekaragam ikan yang rendah. Pemantauan
yang baru dilakukan tahun 2014 menunjukan nilai H’=1,89.
4.2.3. Indeks Keseragaman (E)
Keseimbangan komunitas ikan dilihat dengan menggunakan nilai keseragaman
dalam komunitas tersebut. Semakin besar nilai keseragaman dari total individu ikan,
maka semakin stabil komunitas tersebut. Keseragaman ikan di perairan Aceh Besar
setiap tahunnya hampir menunjukan kondisi komunitas ikan yang stabil.
Keseragaman ikan dapat dilihat dari grafik berikut :
Gambar 4.2.3 Grafik perbandingan keseragaman ikan tahun 2009-2014
Perairan Lhok Mee memiliki keseragaman yang menunjukan komunitas ikan
selalu berada dalam kondisi yang stabil setiap tahun. Ahmad Rhang Manyang
memiliki nilai keseragaman terendah tahun 2009 dengan E=0,58 yang menunjukan
komunitas dalam kondisi labil. Namun ditahun berikutnya keseragaman ikan terus
menunjukan komunitas dalam kondisi yang stabil. Benteng Inong Balee komunitas
ikan yang selalu stabil sejak tahun 2009 hingga 2014. Tahun 2010 merupakan
pemantauan pertama di Pulau Tuan yang menunjukan kondisi labil dalam komunitas
ikan dengan nilai E=0,75. Tahun 2011 kondisi komunitas ikan berada dalam kondisi
yang stabil dengan nilai E tertinggi yaitu 0,97. Tetapi tahun selanjutnya nilai E terus
menurun hingga 0,76 pada tahun 2014, namun nilai ini masih menunjukan komunitas
dalam kondisi yang stabil. Lhok Mata Ie juga menunjukan komunitas yang selalu
stabil setiap tahun pengamatan. Lhok Keutapang menunjukan nilai komunitas yang
labil tahun 2010 (E=0,69), namun hingga tahun berikutnya kondisi komunitas terus
membaik dan berada dalam keadaan stabil. Meskipun tetap dalam kondisi stabil,
tetapi nilai kesergaman dari tahun 2011 menurun pada tahun berikutnya, yaitu dari
E=0,9 menjadi E=0,79 pada tahun 2013.
Pulau Batee Timur menunjukan
keseragaman ikan yang tinggi. Komunitas ikan di perairan Pulau Batee Timur berada
dalam kondisi stabil yaitu E=0,76.
4.1.4. Indeks Dominansi (D)
Indeks dominansi Simpson memiliki kisaran dominasi rendah (0,0 < D ≤ 0,5),
dominasi sedang (0,5 < D ≤ 0,75), dan dominasi tinggi (0,75 < D ≤ 1). Indeks
dominansi mempengaruhi dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya. Semakin
rendah nilai dominansi yang diperoleh menunjukan bahwa keanekaragam biota
dalam komunitas tersebut semakin tinggi. Tetapi jika dominansi memiliki nilai yang
tinggi, hal ini menunjukkan bahwa komunitas tersebut kurang beranekaragam. Nilai
keanekaragaman
berbanding
lurus
dengan
keseragaman.
Jadi,
dominansi
mempengaruhi suatu komunitas berada dalam kondisi stabil atau tidak. Berikut
grafik perbandingan nilai dominansi ikan karang di perairan Aceh Besar dari tahun
2009 sampai 2014 :
Gambar 4.2.3 Grafik perbandingan dominansi ikan tahun 2009-2014
Berdasarkan grafik diatas, terlihat bahwa hanya tiga stasiun yang memiliki
dominansi sedang tahun 2010, satu statiun dengan dominansi sedang pada tahun
2009. Selebihnya seluruh stasiun memiliki dominansi yang rendah. Lhok Mee
memiliki dominansi yang rendah setiap tahun pengamatan. Ahmad Rhang Manyang
memiliki dominansi yang sedang tahun 2009 dengan nilai D=0,66, namun di tahun
seterusnya hingga 2014 dominansi ikan berada dalam kategori yang rendah. Benteng
Inong Balee menunjukan dominansi sedang pada tahun 2010 yaitu D=0,51 ,
sedangkan tahun 2009 dan 2011 sampai 2014, dominansi ikan dalam keadaan
rendah. Pulau Tuan memiliki nilai dominansi sedang (D=0,51) pada tahun 2010,
tetapi tahun berikutnya hingga tahun 2014 dominansi ikan terus berada dalam
kategori rendah. Lhok Mata Ie setiap tahun pengamatan berada dalam kategori
dominansi rendah. Lhok Keutapang memiliki nilai dominansi sedang pada awal
pemantauan tahun 2010 dimana nilai D=0,57. Namun nilai dominansi terus
menunjukan nilai dominansi dalam kategori rendah di setiap pemantauan tahun
berikutnya. Pulau Batee Timur memiliki dominansi yang rendah di awal tahun
pemantauannya, yaitu tahun 2014. Pulau Batee Timur menunjukan nila dominasi
sebesar 0,19.
Dari hasil perhitungan indeks dominansi di setiap tahun pengamatan,
menunjukan bahwa hampir semua stasiun setiap tahunnya memiliki nilai dominansi
yang rendah. Nilai dominansi yang rendah, menunjukan komunitas ikan tersebut
berada dalam keadaan yang stabil.
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Adapun beberapan kesimpulan yang terdapat dalam laporan ini, yaitu :
1. Tutupan karang terbaik terdapat di perairan Pulau Batee Timur pada
pengamatan tahun 2014 dengan tutupan sebanyak 80%.
2. Keanekaragaman karang tertinggi terdapat di Lhok Keutapang pada tahun 2013
dengan nilai H’=2,26, sedangkan keanekaragaman terendah terjadi tahun 2012
di Ahmad Rhang Manyang dengan H’=0,0.
3. Komunitas karang dalam kondisi stabil hanya terdapat di Lhok Keutapang pada
tahun pengamatan 2013 dimana E=0,8.
4. Dominansi karang tertinggi terdapat di Ahmad Rhang Manyang pada tahun
2012 dimana D=1, sedangkan dominansi karang terendah terdapat di Lhok
Keutapang pada tahun 2013 dimana D=0,25.
5. Kelimpahan ikan terbanyak berada di Lhok Keutapang tahun pemantauan 2013
dengan Xi= 4337,5 ind/Ha, sedangkan kelimpahan ikan terendah terdapat di
Benteng Inong Balee pada tahun 2014 dengan nilai Xi=157,5 ind/Ha.
6. Kelimpahan ikan setiap tahun mengalami penurunan.
7. Keanekaragaman ikan tertinggi terdapat di Pulau Tuan tahun 2012 dengan
H’=2,94, sedangkan keanekaragaman terendah terdapat di Ahmad Rhang
Manyang tahun 2009 dengan nilai H’=0,63.
8. Komunitas ikan paling stabil terdapat di Lhok Me pada tahun 2009 (E=1),
sedangkan komunitas yang paling labil terdapat di Ahmad Rhang Manyang
pada tahun 2009 (E=0,58).
9. Dominansi ikan tertinggi terdapat di Ahmad Rhang Manyang tahun 2009
dengan kategori sedang (D=0,6), sedangkan dominansi terendah terdapat di
Pulau Tuan tahun 2012 (D=0,07).
5.2. Saran
Beberapa saran dari penulisan laporan ini, yaitu :
1. Diperlukan tindakan lanjut untuk menjaga keseimbangan ekosistem terumbu
karang.
2. Diharapkan masyarakat menjadi lebih kritis dalam menjaga ekosistem terumbu
karang dari dampak kerusakan akibat penangkapan yang tidak ramah
lingkungan.
3. Diharapkan pemerintah lebih mengendalikan penangkapan ikan yang
berlebihan agar ekosistem tetap stabil.
Download