Hand Out Bahan Kajian : Individu dan Masyarakat, Diferensiasi

advertisement
Hand Out
Bahan Kajian
: Individu dan Masyarakat, Diferensiasi Sosial dan
Stratifikasi Sosial
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:1
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
1. Mahasiswa mampu menjelaskan individu dan masyarakat
2. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep diferensiasi sosial dan stratifikasi
sosial
Materi
INDIVIDU DAN MASYARAKAT
1. Pengertian individu dan masyarakat
2. Kelompok sosial dalam masyarakat
3. Diferensiasi sosial dan stratifikasi sosial
Pengantar
Mata kuliah hubungan antar sukubangsa merupakan mata kuliah yang
penting diajarkan kepada mahasiswa, mengingat keragaman penduduk Indonesia
yang sangat luar biasa. Keragaman berasal dari perbedaan kelompok etnis atau
sukubangsa dan kebudayaan yang terdapat di Indonesia, perbedaan agama,
perbedaan ideologi, perbedaan ras dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di
tengah-tengah kelompok masyarakat yang dapat menimbulkan stereotipe,
prasangka dan konflik, yang sering dipicu oleh masalah ketimpangan ekonomi di
antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Pengenalan terhadap
perbedaan-perbedaan kelompok ini seharusnya memberikan pengertian dan saling
mengenal yang akan mengurangi dan bahkan mereduksi konflik tersebut sampai
1
ke titik nadir. Untuk itulah kuliah ini diberikan dalam rangka pengenalan
perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia yang besar ini. Di dalam
ajaran agama Islam, Allah mengatakan manusia diciptakan berbeda-beda adalah
untuk saling mengenal antara satu dengan lainnya, bukan untuk saling memecah
belah di antara sesamanya (ummat manusia) tersebut. Oleh karena itu sangat baik
mahasiswa dapat mengukuti dan mempelajari Hubungan Antar Sukubangsa,1 ini
dengan sungguh-sungguh.
Pada pertemuan pertama mata kuliah HASB akan diperkenalkan konsep
individu dan masyarakat serta konsep-konsep penting yang menjelaskan
kelompok-kelompok yang terdapat di dalam masyarakat dan ...
Individu
Individu, merupakan konsep yang berasal dari bahasa Latin yaitu
individum yang berarti yang tidak terbagi (individed). Tidak terbagi maksudnya
adalah sebagai satuan makhluk hidup memiliki jiwa dan raga, fisik dan psikis.
“Individu dapat digunakan untuk menunjuk seseorang manusia untuk dapat
dibedakan dengan individu lainnya. Konsep individu berlaku umum, sebagai ganti
menyatakan satu orang. Di dalam bahasa Inggris terdapat konsep person, berarti
seseorang atau pribadi, karena person itulah yang memiliki personality atau
kepribadian. Inilah yang membedakan seorang individu sebagai person dengan
person lainnya. Individu sebagai person inilah di dalam konteks mata kuliah ini
dijelaskan sebagai satuan person, bagian terkecil atau anggota masyarakat.
Keluarga adalah kelompok sosial yang paling penting oleh seorang
individu. Keluarga yang paling kecil disebut dengan keluarga inti, keluarga batih
(somah) atau nuclear family, yang terdiri dari seorang laki-laki (ayah), seorang
perempuan (ibu) dan anak yang belum menikah. Kelompok yang lebih besar
adalah keluarga luas, extended family, yaitu kelompok orang yang terikat
hubungan perkawinan dan garis keturunan yang lebih besar dari keluarga inti.
Kelompok ini bisa berasal dari keluarga inti maupun tidak. Keluarga luas yang
berasal dari keluarga inti apabila terjadi perkawinan dari anak-anak yang telah
1
Selanjutnya di dalam handout ini disingkat dengan HASB saja.
2
dewasa dan masih menetap bersama suami atau isteri dengan orang tuanya.
Keluarga luas yang tidak berasal dari hasil perkawinan adalah karena keluarga inti
tersebut bertambah keanggotaannya dengan datangnya anggota baru masuk
menjadi anggota keluarga tersebut, misalnya sebagai pembantu rumah tangga,
sopir keluarga dan lain sebagainya.
Menurut Parsudi Suparlan, para ahli antropologi melihat keluarga sebagai
suatu satuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa sebuah keluarga adalah suatu
kesatuan kekerabatan yang juga merupakan suatu tempat tinggal yang ditandai
oleh adanya kerjasama ekonomi dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak,
mensosialisasi dan mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah
khususnya merawat orang-orang tua mereka yang telah jompo.2
Keluarga inti maupun keluarga luas memiliki fungsi-fungsi yang sama.
Secara tradisional peran keluarga luas lebih dominan dibanding keluarga inti,
karena adanya fungsi kerjasama secara ekonomi yang lebih luas, dalam pengertian
adanya kesatuan komunal dengan kepemilikian dan ekonomi komunal pula.3
Namun seiring dengan perkembangan masyarakat ke dalam masyarakat industri,
keluarga inti menjadi lebih penting, karena keluarga inti menjadi satuan ekonomi
yang penting sebagai pengganti keluarga luas dalam konteks komunal seperti
cara-cara keluarga luas tradisional.
Di dalam sistem kekerabatan, perkembangan dari keluarga inti dan
keluarga luas adalah terbentuknya kelompok keturunan yang disebut dengan
lineage, seperti kaum pada orang Minangkabau. Selanjutnya kelompok keturunan
yang terbesar secara antropologi disebut dengan clan atau klen, seperti suku pada
orang Minangkabau dan Mentawai, atau marga pada orang Batak. Kelompok
keturunan – secara matrilineal, patrilineal atau gabungan keduanya (bilineal) - ini
masih kuat menjadi rujukan dalam pembentukan identitas individu dan kelompok
di dalam satu sukubangsa. Oleh karena itu orang Batak pada umumnya
2
3
Parsudi Suparlan. 1986. “Keluarga dan Kekerabatan,” dalam A.W.Widjaja (editor) Manusia
Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo. Hal.96-104.
Di dalam banyak sukubangsa di Indonesia dengan sistem mata pencaharian agraris, sawah dan
ladang dimiliki secara komunal dan diolah untuk menunjang hidup keluarga luas secara
komunal.
3
menambahkan nama marga di belakang namanya. Klen menjadi identitas ketiga
setelah nama sukubangsa dan sebagai orang Indonesia.
Identitas sebagai orang Indonesia adalah identitas yang terbentuk sebagai
warga negara. Identitas ini melebihi identitas kesukubangsaan, identitas sebagai
warga negara. Dikatakan melebihi karena melingkupi banyak sukubangsa yang
ada di Indonesia. Keragaman kesukubangsaan inilah yang pokok persoalan dalam
hubungan antar sukubangsa. Di dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat
beragam kesukubangsaan ini bisa menimbulkan konflik karena saling tidak
mengenal dari banyak sukubangsa yang berbeda tersebut. Perbedaan (diversity)
masih ditambah dengan perbedaan agama dan ideologi yang bisa saja
menimbulkan pandangan stereotipe dan menimbulkan stratifikasi sosial yang
tajam di dalam masyarakat.
Masyarakat
Sebelum menjelaskan lebih jauh, labih baik jelas apa yang dimaksud
dengan masyarakat (society) yang sering dibicarakan dalam hand out ini. Konsep
society berasal dari bahasa Latin socious yang berarti teman atau kawan. Konsep
ini mengindikasikan bahwa yang namanya teman pastilah ada proses interaksi di
antara orang atau person yang berteman tersebut. Konsep masyarakat di dalam
bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syaraka yang artinya berkumpul. Di
dalam konsep tersebut dapat dimengerti bahwa di dalam berkumpul tersebut pasti
juga terjadi interaksi antar person yang berkumpul tersebut. Inilah ciri dasar
manusia sebagai makhluk sosial, yang selalu membutuhkan dan adanya saling
ketergantungan sesamanya di dalam suatu kelompok. Kelompok yang saling
berinteraksi yang dapat disebut sebagai masyarakat apabila memiliki rasa identitas
bersama sebagai bagian dari kelompok tersebut. Satu poin lagi dari sebuah
masyarakat adalah wilayah dimana kelompok tersebut menetap. Itulah beberapa
karakteristik dari kelompok manusia yang bisa dikatakan sebagai masyarakat
(society). Identitas kelompok suatu masyarakat tertentu dapat tumbuh apabila
individu-individu di dalamnya telah berinteraksi dalam waktu yang lama di
wilayah tertentu dan membentuk kesadaran sebagai bagian dari kelompok
masyarakat tersebut.
4
Dalam kehidupan bermasyarakat sekarang kita dihadapkan bertemunya
anggota masyarakat yang berbeda-beda sukubangsa dan kebudayaan. Kehidupan
masyarakat yang semakin terbuka tidak membatasi orang dari berbagai
sukubangsa dan kebudayaan untuk migrasi ke daerah manapun di Indonesia. Di
daerah pedesaan saja telah masuk berbagai sukubangsa yang awalnya karena
pekerjaan yang mengharuskannya masuk ke daerah tersebut dan akhirnya menetap
sebagai warga desa tertentu. Apalagi di daerah perkotaan, kehidupan masyarakat
yang sangat kompleks mengharuskan terjadinya hubungan antar sukubangsa, baik
secara pribadi maupun kelompok. Payung Bangun sudah menggambarkan
hubungan antar sukubangsa di kota Medan,4 berdasarkan hasil penelitian sendiri
dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Edward Bruner.
Berbagai sukubangsa masuk ke kota untuk mendapat pendidikan dan
pekerjaan, sehingga keragaman kesukubangsaan, kebudayaan, agama dan ideologi
lebih terasa di daerah perkotaan dibanding daerah pedesaan. Kota memiliki daya
tarik yang kuat bagi penduduk untuk beradatangan dan menetap. Inilah yang
kemudian memperlihatkan keragaman yang langsung dirasakan oleh penduduk
kota. Oleh karena itu dapat diasumsikan, semakin maju sebuah kota, semakin
beragam penduduknya. Maka kota-kota yang tumbuh di Indonesia merupakan
wilayah yang menjadi incaran dari berbagai sukubangsa, terutama yang dekat
wilayahnya dengan kota tersebut. Maka jadilah kota sebagai wilayah dengan
corak keragaman dan memperlihatkan hubungan antar sukubangsa.
Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial
Diferensiasi sosial dan stratifikasi sosial merupakan dua konsep dalam
ilmu sosial terutama sosiologi yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang
terdapat di dalam masyarakat. Konsep diferensiasi menekankan perbedaanperbedaan yang terdapat di antara berbagai kelompok sosial. Perbedaan tersebut
dapat berupa perbedaan kesukubangsaan atau etnisitas, perbedaan agama, mata
pencaharian atau pekerjaan, ras, ideologi dan lain sebagainya. Diferensiasi pada
4
Payung Bangun. 1978. “Hubungan Antar Sukubangsa di kota Medan,” dalam Berita Antropologi
Th. X No.34 Maret. Hal.19-27.
5
prinsipnya merupakan cara pandang yang menekankan perbedaan-perbedaan dari
berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat tanpa melihat adanya
kelompok yang lebih tinggi atau lebih rendah.
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial atau jenjang sosial pada sisi lain
juga merupakan cara pandang terhadap kelompok-kelompok yang berbeda di
dalam masyarakat dengan penekanan kepada adanya perbedaan atas lebih tinggi
atau lebih rendah dari berbagai kelompok sosial. Cara pandang yang membedakan
atas strata tersebut sering berdasakan kepada perbedaan secara ekonomi atau
terhadap memiliki atau tidak memiliki. Karl Marx yang terkenal dengan konsep
‘kelas’ yang terdiri dari borjuis dan proletar karena perbedaan atas memiliki atau
tidak memiliki faktor-faktor ekonomi dan alat produksi yang menyebabkan
munculnya eksploitasi dari kelas borjuis terhadap proletar, yang menjadi sumber
konflik. Di dalam agama Hindu juga dikenal adanya stratifikasi berdasarkan
kepada penggolongan orang yang justru didasari oleh agama sehingga adanya
penggolongan orang, tinggi dan lebih rendah. Cara pandang yang menempatkan
mata pencaharian tertentu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya dengan
sendirinya menciptakan stratifikasi di dalam masyarakat. Departemen Pendidikan
di masa Orde Baru dan setelah Reformasi juga menciptakan cara pandang yang
menganggap pilihan peminatan kelompok mata pelajaran ilmu eksak lebih tinggi
dari mata pelajaran ilmu sosial. Sehingga siswa yang juara di kelasa
dikelompokkan ke dalam kelompok ilmu eksak atau IPA. Di dalam kurikulum
2013 pandangan stratifikasi ini coba dihilangkan dengan mensetarakan ilmu eksak
dengan ilmu sosial dan humaniora. Pilihan siswa adalah berdasarkan keinginan
atau peminatan. Jadi stratifikasi sosial diciptakan di dalam masyarakat atau
perbedaan-perbedaan yang diciptakan masyarakat itu sendiri. Koentjaraningrat
menyatakan,
Di dalam hampir semua masyarakat di dunia baik yang amat
sederhana maupun yang amat kompleks sifatnya, dalam pergaulan
antar individunya, ada pembedaan kedudukan dan derajat (status).
Dalam masyarakat-masyarakat yang kecil dan sederhana biasanya
pembedaan kedudukan dan derajat itu bersifat minimum, karena
warganya sedikit dan individu-individu yang dianggap tinggi juga
tidak banyak macam dan jumlahnya. Dalam masyarakat-masyarakat
yang kompleks biasanya pembedaaan kedudukan dan derajat juga
6
bersifat kompleks, karena warganya banyak dan individu yang
dianggap tinggi juga banyak macam dan jumlahnya. Pembedaan
kedudukan dan derajat terhadap individu-individu di dalam
masyarakat itulah yang menjadi dasar dan pangkal bagi gejala
pelapisan sosial atau social stratification yang ada dalam hampir
semua masyarakat di dunia.5
Cara pandang diferensiasi dan stratifikasi sosial ini jika tidak diapresiasi
dengan baik juga bisa menjadi pemicu konflik sebagaimana yang dinyatakan Karl
Marx, sebagai empu teoritisi konflik. Inilah yang penting diperhatikan di dalam
melihat hubungan antar sukubangsa di Indonesia, di samping masalah-masalah
keragaman lainnya yang akan diulas dalam tema-tema kuliah selanjutnya.
5
Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:Dian Rakyat. Hal.180.
7
Hand Out
Bahan Kajian
: Sukubangsa (Ethnic Groups) dan Etnisitas
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:2
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan konsep sukubangsa (ethnic group) dan
kesukubangsaan (ethnicity)
Materi
SUKUBANGSA DAN KESUKUBANGSAAN
1. Pengertian sukubangsa
2. Ciri-Ciri Sukubangsa
3. Pengertian kesukubangsaan
4. Identitas sukubangsa dan solidaritas sukubangsa
Konsep Sukubangsa (Ethnic Groups)
Konsep sukubangsa atau kelompok etnik (ethnic groups) merupakan
konsep yang sudah melekat di dalam antropologi, karena sejak lahirnya
antropologi, para ahlinya sudah bekerja menggali kebudayaan kelompok etnik
atau sukubangsa dari berbagai belahan dunia ini. Para antropolog barat sejak awal
abad keduapuluh sudah bertebaran di muka bumi untuk menggali dan
mendeskripsikan berbagai kelompok etnik yang ribuan jumlahnya. Hasil-hasil
penelitian ini dikumpulkan di dalam ‘ensiklopedi’ yang diberi judul Human
Relation Area Files (HRAF), yang merupakan sebuah lembaga di Yale University
di Amerika Serikat. Awalnya dengan mengungkap sukubangsa yang masih hidup
sederhana dengan kebudayaannya atau struktur sosialnya, kemudian mulai beralih
8
untuk mengenal kebudayaan berbagai sukubangsa yang sudah mulai maju dan
yang sudah maju, seperti berbagai kebudayaan di Eropa dan Amerika. Penelitianpenelitian secara wholistic dilakukan untuk mengungkap ‘rahasia tersembunyi’ di
balik kebudayaan manusia yang berbeda di berbagai belahan dunia.
Di dalam buku-buku antropologi seperti yang dideskripsikan oleh Narroll,
kelompok etnik dijelaskan sebagai populasi yang (1) secara biologis mampu
berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan
sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan
komunikasi dan interaksi sendiri, dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri
yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi
lain.6 Koentjaraningrat menyatakan sukubangsa sebagai kelompok sosial atau
kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang
mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang
mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri.
Sedangkan ahli lain seperti Tumin menyatakan kelompok etnik adalah suatu
kelompok sosial yang berada dalam sesbuah sistem sosial dan kebudayaan yang
lebih besar dan mendasarkan pengelompokkan diri mereka pada status sosial
khusus karena suatu penurunan ciri etnik bawaan yang dianggap ada. Abner
Cohen menyatakan kelompok etnik adalah kesatuan orang-orang yang secara
bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan
yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksi
dalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti negara.7 Oleh Parsudi
Suparlan sukubangsa adalah kategori atau golongan sosial. Sebagai golongan
sosial, sukubangsa adalah golongan sosial yang khusus yaitu askriptif, yaitu
golongan sosial yang didapat begitu saja. Sukubangsa itu ada dan dikenal karena
adanya interaksi dengan sukubangsa lainnya dan melalui adanya interaksi ini ada
pengakuan mengenai keberadaan dan ciri-cirinya yang saling berbeda. Di antara
ciri-ciri sukubangsa sebagai golongan sosial, yang terpenting yang membedakan
sukubangsa dan golongan sosial lainnya adalah ciri-cirinya yang aksriptif yang
6
Fredrik Barth.1988. kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press. Hal.11.
Zulyani Hidayah.. 1997. Konsep-konsep Dasar Kesukubangsaan, dalam Ensiklopedi Suku
Bangsa di Indonesia. Jakarta:LP3ES. Hal.xix-xxvii.
7
9
mincul dan lestari di dalam interaksi yang menghasilkan pengakuan, atau saling
mengakui dan diakui.8 Selanjutnya Suparlan menyatakan ciri-ciri sukubangsa
sebagai berikut: (1) Sebuah satuan kehidupan yang secara biologi mampu
berkembang biak dan lestari; (2) Mempunyai kebudayaan serta pranata-pranata
yang mereka miliki bersama, yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka,
yang secara umum berbeda dari yang dipunyai oleh kelompok atau masyarakat
sukubangsa lainnya; (3) Keanggotaan dalam sukubangsa yang bercorak aksriptif,
yaitu keanggotaan yang didapat oleh seseorang dengan begitu saja, bersamaan
dengan kelahirannya yang mengacu kepada kesukubangsaan orang tua yang
melahirkannya dan/atau daerah asal tempat kelahiran dan dibesarkannya hingga
dewasa.9
Dari beberapa defenisi tersebut sukubangsa (ethnic group) dapat dilihat
dari beberapa ciri seperti bahasa, garis keturunan, rasa identitas, kebudayaan,
mengaku dan diakui,
dan daerah asal. Bahasa memang menjadi ciri yang
menonjol, tetapi orang lain di luar sukubangsa yang bersangkutan bisa saja
memiliki kemampuan berbahasa yang luar biasa. Siapapun dapat belajar bahasa
Inggris dan dapat menjadi fasih seperti orang Eropa atau Amerika berbahasa,
tetapi penampilan fisik yang berbeda ras jelas dapat membedakan. Untuk banyak
sukubangsa di Indonesia yang memiliki penampilan fisik yang tidak jauh berbeda
bisa juga meragukan apabila seseorang dapat menguasai bahasa sukubangsa lain
yang telah dipelajarinya dengan baik. Tetapi penguasaan aturan kebudayaan
dengan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya mungkin menjadi pembeda karena
tidak dapat dikuasai sepenuhnya jika tidak hidup lama di kebudayaan sukubangsa
tersebut. Maka cara-cara bertindak yang baik atau tidak baik menurut kebudayaan
sukubangsa tertentu bisa saja berbeda dengan kebudayaan sukubangsa lain.
Sukubangsa bisa diketahui dari bahasa yang sama dari masing-masing
anggota sukubangsa tersebut. Oleh karena itu bahasa menjadi indikator yang
penting, sehingga orang lain dapat mengakui bahwa seseorang atau person
tersebut dapat diakui sebagai anggota dari sukubangsa tertentu. Kesamaan
identitas ini dapat tumbuh jika seseorang dilahirkan dan dibesarkan di dalam
8
9
Parsudi Suparlan.2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.18.
ibid. Hal. 19-20.
10
kelompok sukubangsa atau lingkungan sosialnya dimana dia dibesarkan.
Pengenalan bahasa yang diajarkan sejak lahir itu sekaligus merupakan pengenalan
terhadap kebudayaan sukubangsa bersangkutan. Bahasa sebagai indikator atau ciri
yang utama dari sebuah sukubangsa. Bahasa juga dapat dipelajari oleh orang dari
kebudayaan yang berbeda sampai menguasai bahasa tersebut dengan fasih.
Persoalannya adalah pada pemaknaan dan penguasaan kebudayaan oleh individu
tersebut.
Penguasaan dan pemaknaan kebudayaan sukubangsa sebenarnya juga
dimiliki oleh seseorang apabila individu tersebut hidup lama di dalam masyarakat
pendukung kebudayaan tersebut, sehingga dia juga mengenal dan dapat
menggunakan simbol-simbol kebudayaan tersebut. Lalu, apa bedanya dengan
individu yang memang pendukung atau bagian dari kebudayaan yang
bersangkutan? Bedanya adalah seseorang yang bukan pendukung atau bagian dari
sukubangsa itu tidak memiliki rasa identitas yang sama dengan pendukung
sukubangsa tersebut. Rasa identitas ini tumbuh dari proses sosialisasi kebudayaan
yang panjang sejak masa bayi dan dibesarkan di dalam lingkungan kebudayaan
sukubangsa tersebut, yang menginternalisasi ke dalam diri setiap individu. Proses
ini menjadi penting sejak individu bayi dan balita, karena pada masa inilah
terbentuknya kepribadian seseorang dan menjadi bagian dari kebudayaan
sukubangsa.
Oleh karena itu jika seseorang yang sudah dewasa masuk ke dalam
sukubangsa tertentu dan mempelajari bahasa serta kebudayaan sukubangsa
tersebut, tetapi rasa kesukubangsaan yang dimilikinya adalah dari sukubangsa
asalnya sejak bayi dan balita. Pada masa bayi dan balita inilah kepribadian dan
pembentukan diri seseorang tumbuh, yang sangat dipengaruhi oleh orang-orang di
sekitarnya, termasuk menjadi anggota sukubangsa dengan kebudayaannya.
Sebuah kasus unik pernah terjadi, seorang pemuda yang ‘berdarah’ Amerika
(kaukasoid), asal Indiana, tetapi tidak bisa berbicara sepatah katapun dalam
bahasa Inggris dan ia jelas merasa bingung dengan cara-cara orang di Amerika.
Sejak bayi, ia yatim piatu dan dibesarkan oleh keluarga Cina di sebuah desa
karena orang tuanya menjadi misionaris ke Cina. Semua orang yang berjumpa
dengannya melihatnya lebih bersifat Cina daripada Amerika. Matanya yang biru
11
dan rambutnya yang pirang kurang menarik, gaya jalannya seperti gaya jalan
orang Cina, gerakan tangan dan lengan seperti orang Cina, ekspresi wajah seperti
orang Cina, dan cara berfikir Cina. Warisan biologi adalah Amerika, tetapi
pendidikan kebudayaannya adalah Cina. Akhirnya ia kembali ke Cina.10
Jadi sukubangsa dalam hal ini lebih dinilai dari ciri-ciri atau simbol-simbol
kebudayaan dari sukubangsaan tersebut. Inilah yang menjadi ciri askriptif, yang
terbentuk begitu saja di tengah-tengah masyarakat melalui proses sosialisasi yang
panjang, yang dimulai dari masa bayi dan balita sebagai masa awal pembentukan
kepribadian dan sukubangsa seseorang, bukan melalui proses bawaan secara
genetik seperti bentuk tubuh, atau diwariskan oleh orang tua. Satu poin ini yang
menjadi ciri yang berbeda dari apa yang dinyatakan oleh Parsudi Suparlan.
Etnisitas
Etnisitas atau kesukubangsaan oleh Parsudi Suparlan adalah identitas atau
jatidiri sukubangsa yang dipunyai oleh seseorang, yaitu karena seseorang tersebut
mengaku sebagai termasuk dalam sesuatu golongan sukubangsa dan diakui oleh
orang lain yang termasuk sebagai golongan sukubangsa lainnya. 11 Kottak
menyatakan ethnicity is based on common cultural traditions – not mainly on
biological features, as race is.12 (Kesukubangsaan didasarkan atas tradisi-tradisi
kebudayaan, bukan oleh bawaan biologis seperti ras). Etnisitas ini muncul di
dalam proses interaksi oleh para pelaku, karena dalam interaksi seseorang akan
memperlihatkan ciri-ciri atau atribut kesukubangsaannya. Seseorang bisa
memiliki beberapa identitas atau jatidiri. Seorang Minangkabau berinteraksi
dengan orang Aceh dia akan menidentifikasikan jatidirinya sebagai orang Minang,
tetapi apabila dia berinteraksi dengan sesama orang Minang lainnya maka dia
akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Pariaman atau Batusangkar.
Menurut Suparlan, di antara jatidiri yang dipunyai oleh seseorang, jatidiri
sukubangsa adalah jatidiri yang askriptif yang tidak bisa dibuang dan atau diganti
10
Clyde Kluckhon. 1984. ‘Cermin bagi Manusia’ dalam Parsudi Suparlan (editor) Manusia,
Kebudayaan dan Lingkungannya. (Ter.). Jakarta:Rajawali Pers. Hal.69-109.
11
Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.35.
12
Conrad Phillip Kottak. 2002. Anthropology. The Exploration of Human Diversity. Ninth Edition.
Boston: McGraw Hill.
12
begitu saja oleh jatidiri lainnya, karena jatidiri tersebut menempel pada dirinya
bersama dengan kelahirannya yang didapat dengan mengacu pada asal muasal
orang tua dan/ atau daerah asalnya. Walaupun tidak dapat dibuang dari dirinya
atau diganti begitu sajaoleh jatidiri sukubangsa lainnya atau jatidiri lainnya,
jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan itu dapat disimpan atau tidak digunakan
dalam interaksi bila jatidiri sukubangsa tersebut dianggap tidak perlu atau tidak
relevan.13
Pada bagian lain Suparlan menyatakan kesukubangsaan dapat dilihat
sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial di antara
sesama anggota sukubangsa. Kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan
sebagai solidaritas sosial yang berkekuatan paksa diberlakukannya suatu
kebijakan politik atau ekonomi, memenangkan persaingan memperebutkan
sumberdaya, atau menghancurkan kelompok sukubangsa lain yang menjadi
lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau
diremehkan (non negotiable) pada saat terwujud sebagai sebuah solidaritas
sosial.14
13
Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.35.
Parsudi Suparlan. 2003. ‘Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk
Indonesia,’ dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Th.XXVII, No.71 Mei-Agustus 2003. Hal.23-33.
14
13
Hand Out
Bahan Kajian
: Kebudayaan
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:3
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mengenalkan konsep kebudayaan (culture) sebagai konsep yang
penting dalam melihat hubungan antar sukubangsa.
Materi
1. Kebudayaan secara garis besar.
2. Pengenalan kebudayaan dari berbagai perspektif yang berbeda dan
implikasinya di dalam memahami realitas.
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan merupakan konsep utama di dalam ilmu antropologi,
terutama antropologi budaya. Telah banyak defenisi yang diberikan terhadap
konsep kebudayaan ini. Dari kata asalnya kebudayaan dalam bahasa Inggris
culture berasal dari colere15 yang berarti mengolah, telah menimbulkan polemik
di kalangan antropolog Indonesia tentang cara mendefenisikannya ke dalam
konsep atau istilah Indonesia.16 Secara konseptual dalam tulisan-tulisan atau
pembicaraan para ahli, wartawan atau orang awam sering dijumpai penggunaan
konsep yang berbeda-beda, di antaranya kebudayaan, budaya, kultur atau kulturil.
Perbedaan penggunaan konsep kebudayaan yang merupakan proses me-
15
Lihat Koentjaraningrat 1989.
Lihat Marzali 1998, 1999; Suparlan 1999; Ahimsa-Putra 1999; Masinambow
1999.
16
14
Indonesia-kan konsep culture tersebut itulah yang menjadi polemik para
antropolog Indonesia.
Perbedaan pemahaman konsep culture ini juga disebabkan pemahaman
yang berbeda yang sering dijumpai dan kadang salah kaprah di dalam
pembicaraan atau media massa, seperti yang dapat kita lihat berikut ini. Dalam
bahasa atau jargon biologi sering disebut “mengkultur bakteri”, yang berarti
membiakkan sekumpulan bakteri di dalam tabung-tabung test laboratorium.
“Orang itu tidak berbudaya.” Kalimat itu kadang terdengar dari kalangan “kelas
atas” untuk menyebut atau menghina perilaku orang yang tidak sesuai dengan
perilaku yang “halus” atau “terhormat”. Dalam media massa juga sering
ditemukan penggunaan istilah budaya atau kebudayaan untuk menyebut sebuah
masyarakat,
seperti
“kebudayaan
Minangkabau”,
“Kebudayaan
Mesir”,
“Kebudayaan Cina” dan lain sebagainya. Di kalangan ilmu arkeologi sering
disebut “peninggalan kebudayaan Hindu kuno” untuk menyebut semua produk
atau artefak yang dibuat manusia zaman lampau. Oleh seniman kebudayaan
dimaksudkan sebagai semua hal yang indah-indah, seperti konsep “budayawan”
atau “pameran kebudayaan Asmat”, dan lain sebagainya. Di dalam bidang
pertanian, budaya (budidaya) dimaksudkan sebagai jenis tanaman yang dijinakkan
atau didomestifikasi atau dikembangkan, contoh; “pembudidayaan kelapa sawit di
lahan gambut”.
Dalam antropologi konsep culture diterjemahkan pertama kali oleh
Edward Bernett Tylor pada tahun 1871 dalam bukunya Primitive Culture, sebagai
....is that complex whole which include knowledge, beliefs, arts, morals, law,
cusstom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of
society.
Dalam pengertian ini kebudayaan adalah that complex whole
(keseluruhan yang kompleks), yang terdiri dari any capabilities and habits
(banyak kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan) manusia yang terdiri dari
knowledge (pengetahuan), kepercayaan-kepercayaan (beliefs), kesenian, moral,
adat istiadat dan lain sebagainya, yang dimiliki manusia sebagai anggota dari
suatu masyarakat. Ini merupakan sebuah defenisi yang umum atau tidak memihak
dalam pengertian telah banyaknya defenisi yang diberikan berdasarkan kepada
15
latar belakang atau perspektif yang berbeda – beda dari para ahli sesuai dengan
aliran pemikiran atau pendekatan teoritis (paradigma) yang dianutnya.
Kebudayaan inilah yang secara sederhana membedakan manusia dari
binatang.
Manusia
sejak
dari
peradaban
awal
umat
manusia
telah
mengembangkan kebudayaannya sebagai bentuk proses adaptasinya dengan
lingkungan di mana mereka tingggal dan dalam rangka untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Pada sejarah awal evolusi kebudayaan atau peradaban
manusia – peradaban dalam hal ini tidak dibedakan dengan kebudayaan, tetapi
cenderung dipakai untuk menunjukkan kebudayaan yang menonjol pada satu
masa tertentu – orang baru menggunakan akal fikirannya untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dari sumber-sumber daya alam berupa makanan dari tumbuhtumbuhan yang kemudian diolah dengan menggunakan api. Penemuan api sudah
merupakan satu kemajuan fikiran manusia yang membedakannya dari binatang.
Semakin maju cara berfikir dan dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hidupnya, manusia telah semakin kompleks menemukan dan mengembangkan
alat-alat yang dapat dipakai dalam mempermudah dan semakin menyenangkan
kehidupan manusia itu. Kemampuan menemukan dan menciptakan segala sesuatu
itulah yang disebut dengan sistem pemikiran atau kebudayaan manusia. Jadi
dalam hal ini kebudayaan adalah berupa keseluruhan pengetahuan yang dipunyai
manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat modelmodel pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan
menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan
menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya,17 yang diperoleh manusia
dari proses belajar dan dijadikan milik dirinya sebagaimana individu-individu
lainnya di dalam kelompok sosialnya.
2.1. Ciri Kebudayaan.
Untuk pemahaman lebih jauh dapat dikatakan bahwa kebudayaan memiliki
beberapa ciri, di antaranya:
17
Suparlan 1986
16
1.
Culture is learned. Semua makhluk , binatang ataupun manusia belajar dari
situasi dan lingkungan untuk survive. Pada manusia, yang terjadi adalah
“cultural learning”, yaitu kapasitas manusia untuk mempelajari makna
kultural dari simbol dan signal, yang seringkali tidak punya hubungan
alamiah dengan benda yang diwakilinya.
2.
Culture is symbolic. Kebudayaan atau kemanusiaan dari satu makhluk
menucul ketika makhluk itu mempunyai kemampuan untuk menyimbolkan.
Simbol adalah segala sesuatu yang bersifat verbal maupun non verbal dalam
sebuah bahasa yang memiliki makna menurut satu kebudayaan tertentu.
Hubungan antara simbol dengan yang disimbolkan (makna) adalah bersifat
arbitrari, konvensional dan hubungan itu tidak perlu natural. Sebagai contoh,
penilaian air atas suci atau tidak suci, warna merah bagi orang Cina dan lain
sebagaimnya.
3.
Culture Seizes Nature. Manusia harus makan untuk hidup, ini adalah hal yang
alamiah. Tapi, apa jenis barang yang boleh dimakan, kapan barang itu boleh
dimakan dan bagaimana memakanannya? Ini adalah ajaran kultural. Orang
Islam tidak boleh makan babi, tidak boleh makan pada siang hari di bulan
puasa walaupun lapar.
4.
Culture is shared. Budaya adalah sebuah ciri-ciri dari seorang individu.
Namun bukan ciri-ciri individu sebagai seorang individu, tetapi individu
sebagai angota dari seorang anggota masyarakat, satu kelompok suku bangsa,
satu golongan agama, dan sebagainya. Culture ditransmisikan di dalam
masyarakat, oleh karena itu kepercayaan, nilai, memories, cara berfikir, dan
semua unsur kebudayaan lain di dalam masyarakat tersebut dimiliki bersama
oleh seluruh anggota masyarakat. Ayah-ayah Minangkabau sekarang adalah
anak-anak Minangkabau beberapa tahun yang lalu. Mereka tumbuh dalam
kebudayaan Minangkabau, dalam bahasa Minangkabau dan menyerap nilainilai dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang telah diturunkan selama
beberapa generasi.
5.
Culture is patterned. Kebudayaan terdiri dari sekumpulan adat, nilai,
kepercayaan, pandangan hidup (world view), makna dari simbol, sikap
mental, pola pikir dan lain-lain. Semua itu terikat, terintegrasi atau terpola
17
dalam suatu sistem tertentu. Integrasinya disebut dengan istilah ‘logico
meaningful integration’. Jika satu unsur berubah, maka unsur lain akan
terkena imbasnya dan pola integrasi berubah, lalu pola makna kultural jadi
berubah, lalu pola integrasi kultural jadi berubah, pada akhirnya kebudayaan
secara keseluruhan berubah.
6.
Culture is adaptive. Sekelompok penduduk membangun hubungan yang
berhasil dengan lingkungan alamnya sedemikian rupa, sehingga kelompok
penduduk tersebut berhasil survive dan berkembang biak. Mereka
menjalankan ini dalam satu proses yang disebut dengan adaptasi. Unsur-unsur
biologis dan kultural yang berperan besar dalam proses adaptasi ini disebut
dengan unsur yang adaptif. Alam telah menyeleksi unsur-unsur biologis dan
pola perilaku simbolik yang adaptif dalam lingkungan tertentu. Namun
demikian dalam kenyataannya banyak juga pola-pola tingkah laku manusia
yang ‘maladaptif’, dalam jangka panjang.18
Banyak defenisi yang telah diberikan terhadap konsep culture ini.
Kroeber dan Kluckhohn pada tahun 1952 telah pernah menerbitkan sebuah
buku yang mengumpulkan sebanyak 160 defenisi kebudayaan, dengan analisa
kritis dan mencoba mengklasifikasikannya. Sekarang diperkirakan mungkin
sudah ratusan tambahan defenisi yang diberikan terhadap konsep kebudayaan
ini. Beberapa di antaranya dikutip di bawah ini untuk memperlihatkan
perbedaan defenisi yang diberikan para ahli dari perspektif yang berbeda.
R. Linton (1940) memberikan defenisi culture:
Culture is some total of knowledge, attitudes and habitual behavior pattern
shared and transmitted by the members of a particular society”.
Kroeber and Kluchohn (1952):
“Culture is pattern, explicit and implicit,of and for behavior acquired and
transmitted by symbols, constututing the distinctive achievement of human
group, including their embodiment in artifact”.
18
Amri Marzali, .....
18
Defenisi culture juga diberikan berbeda menurut aliran yang berkembang
di dalam ilmu antropologi, sebagai berikut:
Aliran cultural materialism (Leslie A. White 1959):
“Culture is a class of things and event, dependent upon symboling,
considered in an extrasomatic context”.
(Budaya adalah nyata, substansial, hal yang dapat diobservasi, misalnya:
satu ucapan, sebudah kapak batu, susu bayi, doa, dan semacam itu).
Aliran cultural ecology/cultural materialism (Marvin Harris 1968):
“The culture concept comes down to behavior patterns associated with
particular groups of peoples, that to “ custom” or to a people’s ‘way of
life”.
Aliran cultural ecology (Plog; Jolly; and Bates 1976):
“Culture is the system of shared meanings they learn from their societytu
use in interacting with their surrounding, communicating with others, and
coping with their world “.
Aliran Semiotic (Geertz 1973):
“Culture consists of socially established structures of meaning interms of
witch people do such things as signal conspiracies ang join them or
perceive insults and answer them, (it is not)... a psycological phenomenon
or cognitive structure...”.
Culture is the fabric of meaning in terms of which human beings interpret
their experience and guide their action; structure social is the form the
action takes, the actually existing network of social relations. Culture and
social structure are then but different abtractions from the same phenomena
(Geertz 1973:145).
19
Aliran cognitive anthropology (Goodenough 1961).
“ A society ‘s culture consists of whatever it is one has to know or believe
in order to operate in a manner acceptable to its members. Culture is not a
material phenomenon: it does not consists of things, people. Behavior, or
emotions. It is rather an organization of these things. It is the form of things
that people have in mind, their models for perceiving, and otherwise
interpreting them”.
“Culture..... consists of standars for deciding what to do about it, and.... for
diciding haow to go about doing it”.
Aliran cognitive anthropology (Spradley 1973)
“Culture is acquired knowledge people use to interpret experience and
generate behavior”.
Spradley dan McCurdy (1987:3) memberi defenisi culture is thus the
system of knowledge by which people design their own actions and interpret the
behavior of other.
Aliran Structuralis Perancis (Claude Levi-Strauss 1963)
“Culture is share symbols system that are commulative creations of mind”.
Di samping itu W.A. Haviland (1990) memberikan defenisi yang cukup
moderat, terlepas dari berbagai aliran yang berkembang di dalam ilmu
antropologi, mendefenisikan culture sebagai:
“ Culture is a set of standars shareds y members of a society, which when
acted upon by the members, produce behavior that falls within a range of
variation the members consider proper and acceptable.”
Beberapa defenisi kebudayaan di atas memperlihatkan perbedaan
pendekatan atau paradigma di dalam memahami dan menjelaskan kebudayaan.
Atau dari sudut pandang sebaliknya perbedaan defenisi justru berasal dari
perbedaan paradigma ahli antropologi yang mendefenisikan kebudayaan tersebut.
Tetapi terdapat juga defenisi yang bersifat umum seperti yang yang pertama
ditulis oleh E.B. Tylor maupun oleh Haviland. Defenisi oleh Linton, Kroeber dan
20
Kluckhon walau belum dikelompokkan ke dalam aliran tertentu tetapi sudah dapat
dikatakan mewakili aliran tersendiri. Linton menyatakan kebudayaan pada sistem
ide dan tindakan sekaligus. Kroeber dan Kluckhon menyatakan kebudayaan dari
simbol-simbol kelakuan baik yang langsung tampak maupun tidak.
21
Hand Out
Bahan Kajian
: Hubungan antar Sukubangsa
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:4
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk hubungan antara sukubangsa
Materi
BENTUK HUBUNGAN ANTAR SUKUBANGSA
1. Kerjasama
2. Persaingan
3. konflik
Sukubangsa dan Kebudayaan
Sukubangsa sebagai golongan sosial aksriptif, yaitu yang diperoleh
melalui garis keturunan, secara matrilinial, patrilineal ataupun matri-patrilineal
(bilineal), menghasilkan garis keturunan secara fisik (genetik biologis) –
walaupun tidak mutlak – yang rata-rata sama dari generasi sebelumnya dan
keturunan secara sosial budaya yang meneruskan nilai-nilai dan perilaku yang
rata-rata sama dengan generasi sebelumnya. Inilah yang kemudian disebut dengan
tradisi, nilai dan prilaku yang tampak yang masih dipertahankan oleh golongan
sosial akriptif yang disebut dengan sukubangsa. Sukubangsa merupakan
kelompok sosial yang dapat dikatakan terbesar dan sekaligus terkecil. Terbesar
apabila jumlahnya mencapai jutaan dan puluhan juta, terkecil karena sukubangsa
terdapat pada kelompok sosial terkecil yaitu keluarga inti. Kelompok terkecil ini
22
menjadi dasar terbentuknya masyarakat yang lebih luas, karena setiap keluarga
inti pasti akan menghubungkan keluarga tersebut dengan keluarga atau kelompok
lainnya. Biasanya dari jaringan kekerabatan yang terdekat menurut aturan garis
keturunan, apakah patrilineal, matrilineal atau bilineal.
Keluarga inti (nuclear family) yang merupakan satuan kehidupan terkecil
juga merupakan satu kelompok sukubangsa, karena di dalamnya terdiri dari
individu-individu yang merupakan bagian terkecil dari satuan sukubangsa. Pada
umumnya setiap sukubangsa anggotanya lebih banyak yang menikah sesama
sukubangsa yang sama. Artinya keluarga merupakan wadah atau lembaga untuk
pewarisan nilai-nilai kebudayaan sukubangsa dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Di dalam pedesaan dengan kecenderungan masyarakat yang homogen
persoalan-persoalan dalam hubungan antar sukubangsa tidak akan ditemui.
Persoalan baru muncul apabila ada seseorang atau kelompok orang yang berbeda
sukubangsa hidup di tengah-tengah kelompok sukubangsa yang sama. Maka
timbul sikap atau rasa ke-aku-an, kamu atau anda, dia atau mereka. Dalam
kelompok terkecil seperti keluarga inti sikap atau rasa yang sama bisa muncul
apabila suami isteri dan anak-anak tidak dapat meredam persoalan yang
mencakup sentimen kesukubangsaan. Tetapi persoalan menjadi berbeda jika
perkawinan yang terjadi antar sukubangsa (amalgamasi) tersebut sudah
didominasi oleh satu kebudayaan sukubangsa tertentu.
Dominasi kebudayaan sukubangsa tertentu di dalam satu keluarga bisa
terjadi apabila salah satu anggota keluarga senior [ayah/ ibu (fa/ mo)] adalah
individu yang dominan. Kedua, keluarga inti tersebut berada di dalam masyarakat
yang mendominasi kebudayaan salah seorang anggota keluarga senior [ayah/ ibu
(fa/ mo)]. Kebudayaan yang dominan di dalam masyarakat yang sama dengan
kebudayaan ayah atau ibu itulah yang akan menjadi kebudayaan sukubangsa
anak-anak dari kelurga inti yang bersangakutan. Tetapi apabila perkawinan
amalgamasi ini berada di dalam masyarakat yang didominasi oleh kebudayaan
sukubangsa yang berbeda dengan kedua suami isteri ini maka kecenderungannya
adalah kebudayaan yang lebih dominan dari suami atau isteri yang akan menjadi
kebudayaan dan sukubangsa anak. Asumsi ini diberikan berdasarkan pengamatan
terhadap kasus-kasus keluarga amalgamasi. Parsudi Suparlan justru menyatakan
23
dalam kasus seperti ini akan menghasilkan kekacauan dalam jati diri anak-anak.19
Ini diduga juga baru sebuah asumsi, karena setiap individu sadar atau tidak pasti
akan menidentifikasikan diri kepada salah satu kelompok sosial terdekat
dengannya. Maka pilihan akan identitas diri sejak dini pasti sudah dilakukan.
Di dalam masyarakat yang lebih luas dari masyarakat desa atau nagari di
Sumatera Barat seperti masyarakat kota, kompleksitas masyarakatnya tidak dapat
dihindari, karena masyarakat yang semakin terbuka maka mobilisasi atau migrasi
penduduk karena kebutuhan pendidikan dan mencari kerja atau karena
perpindahan daerah kerja yang terjadi menciptakan keragaman di dalam
masyarakat dengan sukubangsa dan kebudayaan. Maka, siapa saya, anda dan
mereka berlaku karena terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat dirasakan.
Hubungan antar sukubangsa dengan demikian lebih terasa di daerah perkotaan.
Maka,
individu-individu
dengan
kebudayaan
kesukubangsaannya
akan
memandang individu lainnya yang berbeda sukubangsa dengan perpektif
kesukubangsaanya. Maka pandangan negatif dan subjektif akan muncul dari sisi
kesukubangsaan atau disebut juga etnosentrisme.
Dengan
demikian
akan
muncul
dan
berkembang
pengetahuan
kesukubangsaan yang cenderung etnosentris karena saliang tidak mengenal di
antara individu dan kelompok-kelompok sosial berdasarkan kesukubangsaan. Di
samping itu akan muncul pandangan negatif mengenai ciri-ciri individu atau
kelompok dari sugkubangsa lainnya yang dinilai benar secara subjektif dari satu
individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Akibat dari
pandangan negatif yang dianggap benar ini adalah munculnya steretip (stereotype)
yang kemudian menjadi prasangka (prejudice). Stereotype menurut Parsudi
Suparlan berisikan sangkaan-sangkaan mengeonai sifat-sifat jelek yang dipunyai
oleh anggota-anggota suatu sukubangsa tersebut.20 Stereotipe diungkapkan
dengan kata-kata yang menjelekkan sukubangsa tertentu atau memberi label yang
merendahkan tertentu tertentu terthadap kelompok etnik tertentu yang belum pasti
kebenarannya. Prejudis muncul apabila sangkaan tersebut sudah menjadi
anggapan yang tidak baik terhadap kelompok sukubangsa lain, artinya sudah tidak
19
20
Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.24
Ibid. Hal.26.
24
ada lagi sisi baik sukubangsa yang diberi label negatif tesebut. Ujung-ujungnya
adalah konflik antar kelompok atau konflik antar sukubangsa.
Ini artinya kelompok sukubangsa yang membentuk dan memberikan
stereotipe ke kelompok sukubangsa lainnya itu menggunakan kebudayaan sebagai
jati diri sukubangsa tersebut yang dilakukan dengan mengaktifkan satu atau
sejumlah unsur kebudayaan yang dipunyai yang dipertentangkan satu atau
sejumlah unsur kebudayaan sukubangsa lainnya. Unsur-unsur kebudayaan
tersebut menjadi simbol-simbol (gejala-gejala yang mempunyai makna menurut
kebudayaan yang bersangkutan) yang digunakan sebagai atribut-atribut atau
tanda-tanda untuk menunjukkan jati diri sukubangsanya.21
Oleh karena itu dalam hubungan antar sukubangsa masalah kecil bisa
menjadi besar dan konflik apabila dilihat dari sudut pandang etnosentris.
Stereotipe, prasangka dan diskriminasi akan muncul sebagai pendahulu konflik
antar sukubangsa. Jadi masalah akan banyak muncul dalam konteks hubungan
antar sukubangsa sepanjang tidak saling memahami dan mengerti di antara
individu dan kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda-beda.
Sumber: Parsudi Suparlan. 2005. Stereotip, Atribut, dan Hubungan AntarSukubangsa
dalam
Sukubangsa
dan
Hubungan
Antar-Sukubangsa.
Jakarta:YPKIK
21
Ibid.
25
Hand Out
Bahan Kajian
: Stereotip, Atribut dan Hubungan antar Sukubangsa
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:5
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan stereotype, atribut dan hubungan antar
sukubangsa
Materi
1. Pengertian stereotipe dan atribut
2. Stereotipe dan atribut dalam hubungan antar sukubangsa
Stereotipe
Dalam sebuah masyarakat yang bersukubangsa banyak, kebudayaan dari
masing-masing sukubangsa juga berisikan konsep-konsep mengenai berbagai
sukubangsa yang hidup bersama di dalam masyarakat tersebut. Apa saja yang
tercakup di dslam konsep-konsep kebudayaan tsebut adalah sifat-sifat atau
karakter dari masing-masing sukubangsa tersebut. Isi dari konsep-konsep atau
pengetahuan yang ada dalam kebudayaan dari masing-masing sukubangsa adalah
pengetahuan mengenai diri atau sukubangsa mereka masing-masing, sebagai
pertentangan atau lawan dari sukubangsa-sukubangsa lainnya. Ini dilakukan untuk
memunculkan keberadaan sukubangsa atau kesukubangsaan dalam interaksi antar
anggota sukubangsa yang berbeda.
Konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan mengenai sukubangsanaya
dan mengenai sukubangsa-sukubangsa lainnya yang hidup bersama di dalam
26
sebuah masyarakat adalaha pengetahuan yang penuh dengan keyakinan-keyakinan
mengenai kebenarannya yang subjektif. Kebenaran subjektif ini mengenai ciri-ciri
sukubangsanya dan sukubangsa-sukubangsa lainnya. Pengetahuan mengenai
sesuatu sukubangsa lain yang ada dalam kebudayaan sesuatu sukubangsa tertentu
adalah konsep-konsep yang seringkali juga digunakan sebagai acuan bertindak
dalam menghadapi sukubangsa lain tersebut, walaupun tidak selalu demikian
adanya dalam perwujudan tindakan-tindakan dari para pelakunya. Konsep-konsep
yang subjektif yang ada dalam kebudayaan tersebut dinamakan stereotip, dan
stereotip dapat berkembang menjadi prasangka.
Sebuah atribut mengenai sesuatu sukubangsa itu muncul dari pengalaman
seseorang atau sejumlah orang yang menjadi anggota sebuah sukubangsa dalam
berhubungan dengan para pelaku dari sesuatu sukubangsa tersebut. Dari sejumlah
pengalaman yang terbatas, yang dipahami dan mengacu pada kebudayaannya,
maka pengalaman tersebut menjadi pengetahuan. Sebagai pengetahuan yang
berulang diafirmasi dan dimantapkan melalui pengalaman-pengalaman yang
secara berulang terjadi dengan anggota-anggota sesuatu sukubangsa tersebut,
maka pengetahuan yang berisi ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut menjadi
konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan yang diyakini kebenarannya. Melalui
berbagai jaringan sosial yang dipunyai oleh seorang pelaku, pengetahuan
kebudayaan mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut disebarluaskan kepada
sesama warga masyarakat sukubangsanya. Pengetahuan kebudayaan yang
bercorak stereotip, yaitu mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa menjadi
pengetahuan yang berlaku umum dalam kebudayaan dari masyarakat tersebut dan
diyakini kebenarannya.
Atribut Sukubangsa
Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi, baik disengaja maupun
tidak, yang dikaitkan dengan dan untuk kegunaannya bagi mengenali identitas
atau jatidiri seseorang atau suatu gejala. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang
menyolok dari benda atau tubuh orang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan,
atau bahasa yang digunakan. Oleh karena itu atribut bisa diberikan kepada
sukubangsa maupun kepada diri seseorang atau pada tingkat individual.
27
Jatidiri
Identitas atau jatidiri adalah pengenalan atau pengakuan terhadap
seseorang sebagai termauk ke dalam sesuatu golongan yang dilakukan atas
serangkaian ciri-cirinya yang merupakan satu satuan yang bulat dana menyeluruh,
yang menandainya sebagai yang termasuk dalam golongan tersebut. Contohnya,
tentara atau TNI mempunyai ciri-ciri, yang ciri-ciri tersebut merupakan sebuah
satuan yang bulat dan menyeluruh yang meneyebabkan seseorang dengan ciri-ciri
tersebut digolongkan sebagai tentara atau TNI. Bila seseorang tersebut
mempunyai atau memakaikan ciri-ciri tentara pada tubuhnya, tetapi ciri tersebut
tidak lengkap sebagai ciri-ciri tentara maka jatidiri seseorang tersebut sebagai
tentara diragukan kebenarannya, dan biasanya orang tersebut diidentifikasi atau
dikenal sebagai tentara gadungan.
Identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. Interaksi adalah
kenyataan empirik yang berupa antar-tindakan para pelaku yang menandakan
adanya hubungan di antara para pelaku tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa
identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. Seseorang mempunyai
sesuatu jatidiri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang atau orang-orang
lain dalam suatu hubungan yang berlaku. Sedangkan dalam suatu hubungan yang
lain, yang melihatkan pelaku atau pelaku-pelaku yang lain yang berbeda dari
pelaku-pelaku yang semula, jatidirinya bisa berbeda dari yang semula, sesuai
dengan corak hubungan dan sesuai dengan saling pengakuan mengenai jatidirinya
oleh para pelaku dalam hubungan yang lain tersebut.
Penekanan pada pengakuan orang-orang lain dalam hal keberadaan dan
kelestarian sesuatu jatidiri yang dimiliki oleh seseorang itu menjadi penting untuk
diperhatikan, karena dalsm keasendiriannya yang absolut seseorang tersebut tidak
mempunyai jatidiri. Orang-orang lain yang berada dalam interaksi dengan dirinya
adalah penentu jatidirinya, sehingga orang-orang lain tesebut dapat dilihat sebagai
cermin bagi dirinya. Karena dengan hanya melalui cermin itulah seseorang itu
dapat melihat dan mengenali seperti apa dirinya. Walaupun demikian, jatidiri juga
dapat muncul dan ada dalam sesuatu kesendirian, dimana di pelaku berada dalam
suatu hubungan dengan suatu satuan gaib yang dibayangkan sebagai suatu
kebenaran yang tidak dapat dibantah. Seseorang Islam yang sedang berhubungan
28
dengan Tuhannya melalui kegiatan sembahyang akan membayangkan dirinya
sebagai
hamba
Allah,
sebagaimana
terwujud
dalam
tindakan-tindakan
bersembahyangnya.
Untuk apakah seseorang itu memerlukan jatidiri? Jatidiri diperlukan untuk
digunakan dalam interaksi. Karena di dalam setiap interaksi setiap pelaku
mengambil sesuatu posisi dan berdasarkan atas posisi tersebut si pelaku si pelaku
menjalankan peranaxn-peranannya sesuai dengan corak atau struktur interaksi
yang berlangsung. Sebuah interaksi mewujudkan adanya struktur dimana masingmasing pelaku yang terlibat di dalamnya berada dalam suatu hubungan peranan.
Di lain pihak dan pada waktu yang sama, corak yang dilajankan oleh masingmasing pelaku tersebut tergantung pada corak atau macam struktur interaksi yang
berlaku. Contoh, seseorang dalam sebuah keluarga dipanggil bapak oleh anakanaknya. Ddalam keadaan tersebut maka hubungan yang ada antara anak dengan
bapak adalah hubungan peranaan anak – bapak merupakan sebuah struktur
hubungan yang baku dengan berbagai norma dan nilai yang menjadi pedoman
bertindak bagi masing-masing pelaku, sehingga hubungan antara anak bapak
adalah sebuhah hubungan peranan anak – bapak. Jadi berbeda dari dan bukan
merupakan hubungan peranan antara suami – isteri. Begitu juga struktur
hubungan anak – bapak bisa berbeda coraknya antara satu keluarga dengan
keluarga lain, dan berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya.
Corak hubungan anak – bapak yang terwujud dsalam interaksi anak –
bapak, adalah berbeda dengan corak hubungan antara si bapak pada waktu dia
harus berperan sebagai suami dalam interaksinya dengan isterinya. Setiap orang,
karena itu mempunyai lebih dari satu jatidiri. Semakin banyak peranan yang
dijalankannya dalam kehidupan sosial dan masyarakatnya maka akan semakin
banyak pula jatidiri yang dipunyainya.
Hubungan antar Sukubangsa
Hubungan antar sukubangsa terwujud melalui hubungan-hubungan yang
dilakukan ileh para pelaku yang menjadi warga dari sukubangsa-sukubangsa yang
berbeda.
Sukubangsa-sukubangsa
tersebut
biasanya
adalah
sukubangsa-
sukubangsa yang saling hidup bertetangga atau yang secara bersama-sama
29
membentuk terwujudnya sebuah masyarakat yang lebih luas daripada masingmasing masyarakat sukubangsanya.
Dalam hubungan antar sukubangsa masing-masing sukubangsa tersebut
menciptakan dana memantapkan batas-batas sosial dan budaya, atau batas-batas
sukubangsa. Artinya, berdasarkan batas-batas sukubangsa tersebut mereka
membedakan diri atas saya dari dia yang berbeda, dan menggolongkan sejumlah
orang yang tergolong kami dari satu sukubangsa yang sama yang dibedakan dari
mereka yang tergolong bukan sukubangsa yang sama. Batas-batas sosial ini
berguna dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam satu
sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam sukubangsa yang
lain, yaitu yang berbeda sukubangsanya. Melalui batas-batas sukubangsa ini
stereotip yang dipunyai oleh masing-masing sukubangsa mengenai satu sama
lainnya menjadi lestari, karena melalui dan di dalam stereotip inilah perbedaanpebedaan sukubangsa yang berbeda itu terwujudkan. Dalan interaksi yang terjadi
di antara warga yang berbeda sukubangsanya, tidak selamanya stereotip yang
mereka punyai masing-masing itu digunakan sebagai acuan dalam sling
berhubungan. Interaksi antar sukubangsa yang seperti ini biasanya terwujud dalam
suatu interaksi dimana masing-masing pihak saling membutuhkan, memperoleh
manfaat dan keuntungan, dan hubungan teqrsebut bersifat sebagai hubungan
komplementer atau hubungan yang simbiotik, yang saling melengkapi
kepentingan-kepentingan masing-masing.
Dalam hubungan di antara warga yang berbeda sukubangsanya, yang
terjalin sebagai hubungan yang saling menguntungkan, sebenarnya mereka ini
telah membuat jembatan penghubung di atas batas-batas sukubangsa tersebut.
Jembatan ini berupa hubungan pribadi yang terwujud sebagai persahabatan
ataupun perkawinan yang terwujud sebagai hubungan sosial, hubungan kerja atau
ekonomi, dadn bubungan politik. Jembatan penghubung ini, yang terwujud
sebagai situasi-situasi dimana interaksi itu berlangsung, atau biasa disebut sebagai
arena-arena
interaksi,
sebenarnya
telah
menapikan
perbedaan-perbedaan
sukubangsa yang berlaku. Di satu pihak arena-arena interaksi tersebut berisikan
unsur-unsur kebudayaan dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda dan saling
berhubungan, dan di lain pihak arena-arena interaksi teaebut berisikan hasil
30
perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan sukubangsa-sukubangsa yang berbeda
tersebut yang terwujud sebagai kebudayaan yang baru. Melalui dan dengan
menggunai perpaduan kebudayaan mereka atau hasil akulturasi kebudayaan inilah
interaksi di antara warga yang berbeda sukubangsa itu berlangsung, dan karena
kebudayaan yang digunakan tersebut tidak menciptakan batas-batas sukubangsa
maka perbedaan kesukubangsaan di antara mereka dalam dan melalui interaksi
tersebut tidak berlaku. Walaupun telah merka ciptakan jembatan yang
menghubungkan perbedaan-perrbedaan di antara dua sukubangsa yang berbeda
atau lebih, tetapi tidak berarti bahwa perbedaan sukubangsa tersebut lalu hilang
dengan sendirinya. Perbedaan sukubangsa yang mereka punyai, di dalam dan
selama interaksi tersebut sedang berlangsung, disimpan oleh masing-masing
pelakunya, tetapi akan tetap berlanjut dan digunakan sebagai acuan dalam situasisituasi atau arena-arna interaksi lainnya.
Dalam hubungan-hubungan sosial di antara mereka yang berbeda
sukubangsanya tanda-tanda dan simbol-simbol yang diseleksi dan diaktifkan oleh
masing-masing pelaku untuk menunjukkan perbedaan sukubangsa atau untuk
menapikan perbedaan sukubangsa tersebut tergantung pada tujuan interaksi yang
dilakukan dan pada situasi atau arena dimana interaksi tersebut berlangsung.
Karena pada dasarnya sukubangsa itu sama dengan kedudukan atau status dari
pelaku, maka hubungan antar sukubangsa itu sebenarnya telah mewujudkan
adanya struktur interaksi yang coraknya tergantung pada sejarah hubungan di
antara sukubangsa-sukubangsa yang bersangkutan. Sebuah interaksi di antara
mereka yang berbeda sukubangsa yang menapikan perbedaan status hubungan
sukubangsa di antara para pelakunya biasanya tewujud dalam bentuk
persahabatan, pengangkatan saudara atau perkawinan. Sedangkan berbagai bentuk
interaksi lainnya yang juga menapikan berbagai perbedaan status dalam hubung
antar sukubangsa adalsh interaksi yang terwujud dalam arena-arena interaksi
dalam sistem nasional Indonesia. Sistem nasional Indonesia berada di atas sistemsistem sukubangsa maupun sistem-sistem kehidupan di tempat umum, yang
berlaku setempat-setempat di seluruh wilayah Indonesia.
Sistem nasional menciptakan status-status yang bercorak horizontal
maupun vertikal yang mendominasi berbagai hubungan-hubungan status yang
31
tercakup dalam sistem tersebut. Status ini diduduki oleh pejabat atau petugas dari
berbagai
sukubangsa,
yang
harus
menanggalkan
atau
menyimpan
kesukubangsaannya dalam interaksi-interaksi yang berlangsaung dalam situasisituasi nasional untuk kepentingan nasional. Dalam situasi kesukubangsaan yang
terwujud melalui hubungan-hubungan pribadi atau untuk kepentiangan pribadi
dan sosial, kesungbangsaan terwujud dengan mengaktifkan simbol-simbol
kebudayaan sukubangss para pelaku yang bersangkutan. Situasi sukubangsa dan
kesukubangsaan bisa saja terwujud pada sistem nasional pada saat kepentingan
pribadi atau sosial dari pelaku lebih penting daripada kepentingan dan tujuan
nasional. Ini bisa terwujud karena sukubangsa, secara universal, adalah golongan
sosial yang paling mendasar dan umum bagi jatidiri dalam kehidupan manusia.
Ciri-ciri ini sering kali dinasmakan sifat-sifat primordial atau yang utama dan
pertama, yang universal dalam kehidupan manusia.
Karena itu tidaklah mengherankan bahwa sentimen kesukubangsaan
dengan mudah diaktifkan oleh para pelaku untuk menciptakan suatu solidaritas
sosial yang melibatkan waraga sukubangsanya untuk dipertentangkan dengan
sukubangsa lainnya, pada saat terjadi persaingan untuk memperbutkan sumbersumber rezeki dan pengalokasian pendistribusiannya, atau untuk mempertahankan
atau memperjuangkan kehormatan kesukubangsaannya. Dadlam kehidupan
msyarakat dimana terjadi persaingan atas sumber-sumber daya atau pengalokasian
pendistribusiannya biasanya batas-batas sukubangsa menjadi jelas dan tajam,
terwujud dalam bentuk monopoli bidang-bidang ketja atau kegiatan ekonomi dan
politik oleh kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda. Pada saat perbedaan
penguasaan bidang-bidang kegiatan ekonomi dan politik tersebut mewujudkan
adanya saling ketergantungan di antara kelompok-kelompok sukubangsa yang
berbeda di dalam masyarakat tsebut maka hubungan baik di antara kelompokkelompok yang Berbeda skan tercipta, dan arena-arena ineraksi yang
menjembatani hubungan antar sukubangsa menjadi mantap dan bahkan
berkembang sehingga potensi-potensi konflik yang terjadi dapat diredam.
Sebaliknya, bila penguasaan atas bidang-bidang ekonomi dan politik serta
pengalokasian pendistribusiannya oleh kelompok-kelompok sukubangsa itu
terwujud sebagai persaingan untuk bidang-bidang yang sama serta menghasilkan
32
adanya penguasaan atau dominasi oleh satu kelompok sukubangsa atau golongan
sosial tetentu terhadap sumber-sumber daya yang ada, yang dapat diartikan sama
dengan pendominasian oleh satu sukubangsa atau golongan sosial tertentu
terhadap sukubangsa lainnya, maka yang terwujud adalah adanya potensi-potensi
konflik di dalam kehidupan masyarakat tersebut, yang sewaktu-waktu dapat
meledak sebagai konflik antar sukubangsa. Konflik antar sukubangsa juga dapat
meledak sebagai suatu akibat dari rentetan-rentetan perasaan yang diderita oleh
suatu kelompok sukubangsa yang meras direndahkana atau berada dalam
kedudukan terhina oleh perbuatan-perbuatan dari warga suatu kelompok
sukubangsa lainnya. Penderitaan yang berkepanjangan ini fapat menyebabkan
adanya frustrasi sosial yang mendalam yang diderita oleh sesuatu sukubangsa
yang kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya didominasi oleh sesuatu
sukubangsa yang lain. Konflik sukubangsa yang semacam ini biasanya dimulai
oleh mereka yang merasa kehilangan kehormatan oleh perbuatan warga sesuatu
sukubangsa lainnya, dan perasaan kehilangan kehormatan kesukubangsaan ini
biasanya dipicu oleh sesuatu perbuatan yang dianggap oleh sukubangsa yang
bersangkutan sebagi puncak dari kehinaan serta ketidakadilan yang selama ini
mereka derita.
Sumber: Parsudi Suparlan. 2005. ‘Stereotip, Atribut, dan Hubungan AntarSukubangsa’ dalam sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa.
Jakarta:YPKIK
33
Hand Out
Bahan Kajian
: Diferensiasi Sukubangsa dan Kebudayaan
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:6
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan diferensiasi etnik dan kebudayaan
Materi
1. Pengertian diferensiasi etnik
2. Kebudayaan dan diferensiasi etnik
3. Diferensiasi etnik dan hubungan antar sukubangsa
Diferensiasi Sukubangsa di Indonesia
Indonesia sangat terkenal dengan keragaman (diversity) dan perbedaanperbedaan (diferensiasi) sukubangsa. Di dalam Ensiklopedi Sukubangsa di
Indonesia terdapat enam ratus enam puluh dua sukubangsa yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke. Para ahli berbeda dalam melihat keragaman dan
perbedaan sukubangsa ini, seperti oleh Clifford Geertz, Hildred Geertz, J.B.P de
Josselin de Jong, Van Vollenhoven, dan B.N.Z ter Haar. Clifford Geertz mencoba
menyederhanakan
keragaman
dan
perbedaan
sukubangsa
ini
dengan
menyederhanakannya ke dalam dua tipe yang berbeda berdasarkan ekosistemnya.
Pertama, kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam,”
meliputi pulau Jawa, Madura dan Bali. Kedua, kebudayaan-kebudayaan yang
berkembang di “Indonesia luar,” yaitu di luar pulau Jawa dan Bali.
Kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam” ditandai oleh
tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur, telah menggunakan sistem
pengairan, dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di sawah. Dengan
34
demikian, kebudayaan-kebudayaan di Jawa yang menggunakan tenaga kerja
manusia dalam jumalh besar, disertai peralatan yang relatif lebih kompleks itu
merupakan perwujudan upaya manusia yang secara lebih berani mengubah
ekosistemnya untuk kepentingan masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu
kebudayaan di luar Jawa, kecuali di sekitar danau Toba, dataran tinggi Sumatera
dan Sulawesi Barat Daya, berkembang atas dasar pertanian perladangan. Ditandai
pula oleh jarangnya penduduk, dan umumnya baru beranjak dari kebiasaan hidup
berburu ke arah pertanian. Oleh karena itu mereka cenderung menyesuaikan diri
mereka dengan ekosistem yang ada, dengan sedikit upaya untuk menguasainya
demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan.
Hildred Geertz mengklasifikasikan kebudayaan sukubangsa ke dalam tiga
kategori, yaitu kebudayaan masyarakat petani beririgasi, kebudayaan petani yang
diwarnai kebudayaan Islam, dan kebudayaan masyarakat peladang serta pemburu
yang masih sering berpindah tempat. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan
petani berpengairan itu ialah apa yang berkembang di pulau Jawa dan Bali. Sama
halnya denga apa yang dikemukakan oleh C. Geertz, kebudayaan pertanian
beririgasi berkembang atas dasar pertanian yang sifatnya padat karya di daerah
yang paling padat penduduknya. Hildred Geertz menambahkan bahwa
kebudayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hinduisme, dimana masyarakatnya
sangat kuat berorientasi kepada status, mengembangkan kesenian yang sangat
tinggi terutama di pusat-pusat kekuasaan (kraton) yang sekaligus merupakan pusat
peradaban pada masa itu. Selanjutnya kebudayaan pertanian di pulau Jawa mulai
mengalami pergeseran, terutama sejak masuknya pengaruh kebudayaan Islam
kemudian disusul dengan perkembangan yang terjadi pada masa penjajahan
Belanda.
Kategori kebudayan pantai ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat
serta kegiatan dagang yang menonjol. Kebudayaan tersebut berkembang di
sepanjang pantai Sumatera dan Kalimantan yang didukung oleh orang-orang
Melayu, dan orang-orang Makasar dari Sulawesi Selatan. Oleh karena kegiatan
berdagang, mereka menduduki pusat-pusat pedagangan sepanjang pantai bersamasama dengan para pedagang yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia.
Mereka mengembangkan kebudayaan yang berorientasi pada perdagangan dan
35
sangat
mengutamakan
pendidikan
agama
dan
hukum
Islam,
serta
mengambangkan bentuk tari, musik dan kesusasteraan sebagai unsur pemersatu
utamanya. Beberapa pusat perdagangan di luar pulau Jawa berkembang menjadi
pusat-pusat kekuasaan dengan sistem pemerintahan yang relatif modern, ditunjang
pula oleh meningkatnya kemajemukan penduduk yang berasal dari berbagai
sukubangsa, maupun mereka yang mempunyai lapangan keahlian yang khusus.
Bentuk kebudayaan kategori ketiga mencakup aneka ragam kebudayaan
yang tidak termasuk ke dalam dua kategori terdahulu. Kategori ketiga ini meliputi
kebudayaan orang Toraja di Sulawesi Selatan, orang Dayak di pedalaman
Kalimantan, orang Halmahera, suku-suku bangsa di pedalaman pulau Seram,
suku-suku bangsa di kepulauan Sunda Kecil, orang Gayo di Aceh, orang Rejang
di Bengkulu dan orang Pasemah di Sumatera Selatan. Pada umumnya kebudayaan
mereka berkembang di atas sistem pencaharian perladangan ataupun penanaman
pada ladang, sagu, jagung, maupun akar-akaran. Dengan demikian kategori
tersebut sesuai dengan apa yang oleh Clifford Geertz digolongkan sebagai
kebudayaan tipe “Indonesia luar” yang merupakan perwujudan kecerdikan
masyarakat menyesuaikan diri dengan ekosistemnya.22
Van Vollenhoven membagi atau menggolongkan berbagai sukubangsa di
Indonesia didasarkan pada sistem lingkaran hukum adat, dengan perspektif
culture area seperti yang dinyatakan oleh Clark Wissler ke dalam sembilan belas
daerah hukum adat, sebagai berikut.
1. Aceh
9. Gorontalo
2. Gayo Alas dan Batak
10. Toraja
2.a. Nias dan Batu
11. Sulawesi Selatan
3. Minangkabau
12. Ternate
4. Sumatera Selatan
13. Ambon Maluku
4.a. Enggano
14. Irian
5. Melayu
15. Timor
6. Bangka dan Biliton
16. Bali dan Lombok
22
Budhisantoso. 1997. ‘Kata Pengantar.’ dalam Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Sukubangsa di
Indonesia. Jakarta:LP3ES. Hal.ix-xvii.
36
7. Kalimantan
17. Jawa Tengah dan Jawa Timur
8. Minahasa
18. Surakarta dan Yogyakarta
8.a Sangir-Talaud
19. Jawa Barat23
Demikian juga dengan B.Z.N ter Haar dalam bukunya yang berjudul
Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1946) menyederhanakan lingkungan
kebudayaan di Indonesia ke dalam 19 rechtskringen. Apa yang dimaksud dengan
lingkungan hukum adat itu tidak berbeda dengan pengertian lingkungan
kebudayaan yang pernah dikembangkan oleh Clark Wissler, yaitu kesatuan
lingkungan kebudayaan dan geografis.24
Satu poin lain yang patut dicatat bahwa peran ekologi (lingkungan) dan
sosial dalam situasi budaya yang dalam banyak hal mirip dengan maasyarakat
polietnik, yaitu kelompok-kelompok masyarakat setempat yang budayanya
berbeda, yang saling tergantung karena berbedanya ekologi tempat tinggal
mereka. Tetapi pada masyarakat polietnik, interaksi dari unit-unitnya tetap
memperlihatkan batas, sebab masing-masing tetap memperlihatkan ciri-ciri etnik
dan perbedaannya sendiri, sehingga hubungan hanya terjadi dalam bentuk-bentuk
tertentu dan tidak secara pribadi.25
Upaya untuk mencari yang sama dari kebudayaan sukubangsa yang
berbeda dengan melihat unsur-unsur kebudayaan yang sama dan dikelompokkan
ke dalam satuan culture area
atau daerah kebudayaan adalah usaha untuk
mengurangi perbedaan atau diferensiasi yang sebenarnya tidak dapat dihilangkan
sama sekali. Perbedaan kebudayaan sukubangsa yang luar biasa di Indonesia ini
merupakan potensi keragaman kekayaan kebudayaan dan sekaligus memiliki
potensi konflik apabila di antara sukubangsa-sukubangsa yang banyak tersebut
saling tidak mengenal dan hanya memandang dari sudut pandang kebudayaannya.
23
Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jilid 1.Jakarta:Rineka Cipta. Hal. 193-194.
Budhisantoso. 1997. ‘Kata Pengantar.’ dalam Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Sukubangsa di
Indonesia. Jakarta:LP3ES. Hal.ix-xvii.
25
Jan-Petter Blom. 1988. ‘Diferensiasi Etnik dan Budaya,’ dalam Fredrik Barth (editor),
Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta:UI-Press. Hal.79-89.
24
37
Hand Out
Bahan Kajian
: Masyarakat dan Sukubangsa, Monoetnik, Homogen
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:7
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan masyarakat dan sukubangsa: mono etnik dan
masyarakat homogen
Materi
1. Pengertian monoetnik dan masyarakat homogen
2. Masyarakat homogen dan perubahan
Masyarakat dan Sukubangsa, Monoetnik dan Homogen
Studi awal antropologi seperti yang dikerjakan oleh Malinowski yang
memandang kelompok etnik atau sukubangsa seabagai suatu kesatuan budaya dan
teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam sebuah peta
etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well-defined
boundaries), memisahkan satu kelompok etnik dengan lainnya. Secara de facto
masing-masing kelompok itu memiliki budaya yang padu (cultural homogenity).
Menurutnya satu kelompok etnik dapat dibedakan dengan yang lain baik dalam
organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi
(hukum), maupun pola hubungan antar kelompok etnik, termasuk dalam
pertukaran jasa dan pelayanan.
Atas dasar kajian ini, Malinowski mengembangkan asumsi bahwa
kelompok etnik merupakan prototipe ‘bangsa’ (nation). Dia menegaskan bahwa
batas-batas suatu bangsa dapat dituangkan ke dalam sebuah peta etnografi.
Apabila asumsi Malinowski ini dapat diterima maka batas-batas suatu bangsa
38
akan dapat ditentukan dengan sangat jelas (well-defined boundaries), karena
masing-masing bangsa di samping memiliki batas-batas administrasi teritorial,
juga memiliki batas-batas ‘de facto’ budaya dan keturunan (ras). Sebab itu pula,
suatu bangsa dengan bangsa lain menurut kajian Malinowski ini, tidak hanya
dapat dibedakan dari batas-batas teritorial, tetapi juga dari karakteristik budaya
seperti organisasi sosial, bahasa, agama, sistem kepercayaan, ekonomi, hukum
dan pola kerjasama dengan bangsa lain. Seperti kelompok etnik, menurut
Malinowski, maka bangsa merupakan suatu satuan keturunan atau ras yang padu
(homogen).26
Cara pandang Malinowski ini dalam konteks kehidupan kebangsaan
sekarang perlu dikritik. Ini merupakan penggambaran etnografi lama yang melihat
sebuah kebudayaan sebagai satu kesatuan yang utuh termasuk batasan-batasan
wilayah ekologis. Tetapi cara pandang yang menunjukkan homogenitas
sukubangsa dan kebudayaan ini sekarang tidak hilang begitu saja jika seseorang
sebagai bagian dari satu sukubangsa yang menjadi identitas budayanya, maka jika
dia berfikir dan bertindak di dalam masyarakat yang sesungguhnya tidak homogen
secara kesukubangsaan maka akan menunjukkan sifat-sifat homogen di dalam
masyarakat yang kompleks. Sifat-sifat homogen ini menjadi cara fikir dan
bertindak yang akan mengabaikan individu dan kelompok sukubangsa lainnya.
Sebagaimana
dinyatakan
oleh
Effendi
sifat
homogen
biasanya
tergambarkan dalam pola kehidupan di masyarakat desa melalui penandaan aspek
kekerabatan, kesukuan dan asal usul nenek moyang yang membentuk jalinan
sosial yang erat dari generasi ke generasi. Sifat homogen ini dipersatukan dalam
suatu entitas sosial setingkat desa yang sangat lokal sifatnya, seperti desa di Aceh
disebut gampong, desa di Batak disebut huta, desa di Minangkabau disebut
nagari, desa di Palembang (daerah Lahat) disebut marga, desa di Bali disebu
banjar, di Minahasa disebut puak, atau juga kawanua, di suku daya Panyadu,
Kalimantan Barat, desa disebut bandong, dan lain sebagainya. Sifat homogen
masyarakat desa terutama dikuatkan dengan modal sosial berbasis genealogis.
26
Usman Pelly. 1998.’Masalah Batas-batas Bangsa,’ dalam Jurnal Antropologi Indonesia.
No.54,XII. Hal. 24-37.
39
Biasanya pada level suku dan kekerabatan, identitas sosial mudah dikenali dari
perwujudan perilaku dan nilai budaya yang dianut.27
Perspektif atau cara pandang seperti ini akan berdampak luas tetapi dengan
pandangan yang sempit, jika dimiliki oleh pengambil kebijakan di tengah-tengah
masyarakat yang beragam. Dengan otonomi daerah kota dan kabupaten setelah
reformasi di Sumatera Barat muncul konsep ‘kembali ke nagari.’ Konsep ini
seperti mengabaikan keragaman sukubangsa dan budaya yang terdapat di
Sumatera Barat. Barangkali ini berangkat dari otonomi daerah yang kemudian
ingin menonjolkan kebudayaan Minangkabau dengan perspektif lokalitas ‘nagari’
sebagai kampung orang Minang dalam perspektif homogenitas kebudayaan
Minangkabau yang kuat.
Akibatnya cara pandang monoetnik atau homogen ini akan mengabaikan
keragaman yang terdapat di dalam masyarakat. Perkembangan setiap daerah
sampai ke pedesaan sekarang ini semakin terbuka dengan masuknya beragam
orang dari berbagai sukubangsa di Indonesia karena mobilitas yang disebabkan
pekerjaan, atau meningkatkan pendidikan sehingga harus berpindah dan menetap
di daerah kota atau desa yang bukan kota atau desa asal individu yang
bersangkutan. Maka, semakin lama kehidupan sosial budaya di tengah-tengah
masyarakat semakin lama semakin kompleks dengan keragaman sukubangsa dan
kebudayaan yang tinggi. Di dalam masyarakat yang kompleks seperti ini cara
pandang monoetnik atau homogen ini hanya akan menciptakan masyarakat
majemuk (plural society), seperti yang dinyatakan Furnivall yaitu masyarakat
yang terdiri dari “dua atau lebih elemen atau tatasan sosial yang hidup
berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit politik.”28 Selanjutnya
akan tambah berbahaya jika dilekatkan agama ke dalam sukubangsa, karena
27
Nusyirwan Effendi. 2013. ‘Kearifan Lokal Menuju Penguatan Karakter Sosial: Suatu Tantangan
dari Kemajemukan Budaya di Sumatera Barat (Isu dalam Ilmu-ilmu Sosial),’ makalah yang
disampaikan pada Workshop Internalisasi Nilai Budaya pada Komunitas Remaja oleh Direktorat
Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Ditjen Kebudayaan Kemendikbud RI berkejasama
dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang di The Hill Hotel, Bukittinggi, 15-17
Desember 2013, yang disampaikan kembali pada Senimar dan Rapat Tahunan BKS-PTN Ilmu
Sosial Wilayah Barat 20-22 November 2014 yang diselenggarakan oleh Unimed di Medan.
28
Robert W. Hefner.2007. ‘Pendahuluan: Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia,
Singapura, dan Indonesia,’ dalam Robert W. Hefner, Politik Multikulturalisme.
Yogyakarta:Impuls-Kanisius. Hal.16.
40
“sejarah berkali-kali menunjukkan bahwa asosiasi-asosiasi warga negara bisa
diorganisir dengan cara yang konsisten dengan kotak-kotak etnoreligius yang
sudah ada dalam masyarakat. Sejarah juga menunjukkan bahwa daripada
bertindak sebagai modal sosial bagi demokrasi, kadang-kadang kotak-kotak itu
bisa memunculkan persaingan-persaingan sosial yang merugikan, memperlemah,
dan bukannya memperkuat prospek-prospek kepantasan warga negara.”
29
Demikian dinyatakan oleh Robert W. Hefner yang menyebut cara pandang
homogen yang ditambahkan aspek agama dengan kotak-kotak religius yang justru
merugikan terhadap demokratisasi dalam keragaman penduduk.
29
Ibid. Hal.25.
41
Hand Out
Bahan Kajian
: Masyarakat dan Sukubangsa: Polietnik dan
Heterogen, Nation State
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
:8
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar suku bangsa: polietnik,
masyarakat heterogen dan nation state
Materi
1. Pengertian polietnik dan masyarakat heterogen dan nation state
2. Polietnik, Masyarakat heterogen dan nation state
Polietnik, Masyarakat Heterogen dan Nation State
Masyarakat Indonesia sebagaimana dinyatakan sebelumnya terdiri dari
enam ratus enam puluh dua sukubangsa yang berbeda, yang tersebar dari Sabang
sampai ke Merauke, atau dari wilayah Barat ke wilayah Timur Indonesia, dengan
bentang wilayah yang sangat luas, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia,
dengan total luas wilayah darat dan laut, seluas 5.180.053 km2. Wilayah yang
sangat luas dengan sukubangsa dan kebudayaan yang sangat kompleks dengan
keragamannya.
Sebagaimana diberikan di kuliah sebelumnya, cara pandang monoetnik
yang dapat merugikan dan memperlemah dalam konteks kehidupan bernegara,
maka apakah dengan cara pandang polietnik dan heterogen dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara akankah lebih baik? Jawabannya diberikan dalam
penjelasan berikut ini.
42
Masyarakat heterogen atau budaya heterogen adalah secara relatif berbeda
antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Heterogenitas ini bisa dilihat
apabila sudah mulai masuk ke dalam masyarakat yang lebih luas dan adanya
keragaman penduduk di dalamnya. Keragaman yang terdapat di dalam masyarakat
bisa dilihat secara horizontal (diferensiasi) maupun vertikal (stratifikasi). Menurut
Effendi karakter heterogen ini bisa dilihat di dalam sebuah daerah kabupaten,
seperti dinyatakannya, “bergerak ke tingkat yang lebih luas, setaraf wilayah
kabupaten atau kota, maka karakter masyarakat tak terelakkan akan bersifat
heterogen. Komposisi masyarakat yang bervariasi pada level ini, seperti
perbedaan asal usul, perbedaan strata ekonomi dan pendidikan, penguasaan
property dan sebagainya, telah menyumbang gagasan tentang kompleksitas
karakter sosial. Sifat masyarakat yang heterogen ini memberikan ruang bagi
terciptanya perbedaan kepentingan, orientasi nilai dan gaya hidup yang semakin
diverjen (terbelah) dan berpotensi ekstrim. Tantangan yang terbesar di dalam
masyarakat heterogen ini adalah, pada satu sisi, konflik sosial, dan, di sisi lain,
tuntutan terhadap terwujudnya integrasi sosial (conflict an confirmity). Perbedaan
sukubangsa, ras dan agama adalah isu yang acapkali diketengahkan dalam
berbagai diskusi tentang asal penyebab terjadinya konflik.” 30
Selain masyarakat di wilayah kabupaten, ...masyarakat kota juga tepat
disebut sebagai masyarakat heterogen, sepanjang meskipun mereka berasal dari
latar belakang SARA (sukubangsa, agama, ras, atau pun aliran/golongangolongan) yang berbeda, tetapi mereka tidak mengelompok berdasarkan SARA
tersebut. Heterogen lawan dari kondisi yang disebut homogen. Disebut homogen
kalau anggota masyarakat berasal dari SARA yang secara relatif sama. Disebut
heterogen kalau berasal dari SARA yang saling berbeda, namun –sekali lagi–
mereka tidak mengelompok (tersegmentasi) berdasarkan SARA tersebut.31
Dalam masyarakat yang heterogen atau polietnis yang terjadi adalah
bentuk masyarakat majemuk dimana tidak adanya satu kebudayaan yang dominan
atau adanya satu kebudayaan dominan. Hasil penelitian Bruner di Bandung dan
30
31
Nusyirwan Effendi. 2013.Ibid.
Budiono Kusumohamidjoyo. 2004. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia, Suatu Problematik
Filsafat Kebudayaan. Jakarta: PT Grasindo. Hal 45.
43
Medan menunjukkan kegunaan hipotesis kebudayaan dominan yang dibuatnya
sebagai model analisis. Dalam hipotesis kebudayaan yang dominan tercakup tiga
unsur yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi satu sama lain saling
berhubungan, dan menentukan corak kesukubangsaan atau produk dari hubungan
antar sukubangsa yang terjadi. Unsur-unsur tersebut adalah:
1. Demografi sosial
yang mencakup rasio
populasi dan corak
heterogenitas serta tingkat pencampuran hubungan di antara suku-suku
bangsa yang ada dalam sebuah konteks latar tertentu;
2. Kemanatapan atau dominasi kebudayaan sukubangsa setempat, bila
ada, dan cara-cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-anggota
kelompok-kelompok sukubangsa pendatang dalam hubungan sukusukubangsa setempat dan penggunaan kebudayaan masing-masing
serta pengartikulasiannya;
3. Keberadaan dari kekuatan sosial dan pendistribusiannya di antara
berbagai kelompok sukubangsa yang hidup dalam konteks latar
tersebut.
Dengan menggunakan model ini Bruner memperbandingkan Bandung dan
Medan. Orang Sunda di Bandung adalah mayoritas dan dominan, yaitu mereka
menetapkan patokan-patokan bagi kelakuan yang layak yang harus ditunjukkan di
tempat-tempat umum; dan, hampir semua pranata perkotaan Bandung
dikendalikan oleh orang Sunda dan beroperasi menurut pola-pola kebudayaan
Sunda. Mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam struktur kekuatan kota – dari
jabatan gubernur, wali kota, rektor-rektor universitas setempat, sampai dengan
jabatan-jabatan kepala-kepala kantor wilayah. Sebaliknya, di Medan tidak ada
satu sukubangsa pun yang dominan seperti yang terdapat di Bandung. Orang Jawa
yang merupakan mayoritas di Medan bukanlah kelompok dominan, karena
mereka ini golongan kelas sosial rendah yang tidak mempunyai kekuatan sosial,
ekonomi, dan politik. Karena itu, kebudayaannya tidak merupakan model
kebudayaan dominan bagi kelompok-kelompok sukubangsa lainnya. Masingmasing sukubangsa mempertahankan kebudayaan dan kesukubangsaannya, hidup
mengelompok di antara sesama sukubangsanya. Kesukubangsaan dan agama
44
sukubangsa menjadi acuan utama dalam penggolongan di antara warga penduduk
Medan.
Bila para migran di bandung mengambil posisi masing-masing dalam
sistem perkotaan yang mengacu kepada kebudayaan dominan, maka para migran
di Medan mengelompok bersama dengan warga sukubangsanya dan memperkuat
posisi kelompok sukubangsanya dalam hubungan antar sukubangsa dan dalam
bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan. Bila
kehidupan sosial di bandung ditandai oleh adanya keteraturan karena para migran
yang bukan Sunda mengadaptasi diri dengan kebudayaan Sunda dan cenderung
menjadi seperti Sunda, sementara itu, di Medan, masing-masing kelompok
sukubangsa menciptakan keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan
sukubangsanya. Tawar menawar kekuatan dalam bentuk konflik atau kerja sama
di antara kelompok-kelompok sukubangsa dalam memenangkan persaingan
menyebabkan corak kesukubangsaan di Medan berbeda dengan yang terdapat di
Bandung.32
Nation State
Nation state atau negara bangsa adalah merupakan bentuk ‘penemuan
baru’ setelah Perang Dunia II, yang muncul dari gerakan kemerdekaan kelompokkelompok etnik. ‘Kebetulan’ kelompok-kelompok etnik ini disatukan dalam satu
kesatuan administrasi kolonial (tanpa kemauan mereka), sebelum mereka
memperoleh kemerdekaan. – Nasionalisme Indonesia pada tingkat-tingkat
pertama, merujuk kepada nasionalisme sempit bersifat lokal, kedaerahan dan
kesukuan seperti serikat Ambon, Roekoen Minahasa, Pasoendan, Soematra, Jawa
dan lain-lain. – Pada waktu mereka memproklamirkan kemerdekaan atau ‘diberi’
status kemerdekaan oleh bekas penjajah mereka, maka batas-batas bangsa yang
dinyatakan merdeka itu adalah bekas wilayah kesatuan administratif kolonial tadi.
Oleh karena itu, batas-batas objektif bangsa itu adalah batas-batas historis satuan
wilayah kolonial.
32
Parsudi Suparlan.1999. ‘Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan,’
dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Thn.XXIII. No.58. hal.13-20.
45
Nasionalisme Indonesia, seperti juga negara-negara Asia Tenggara lainnya
mempunyai basis historis pada kolonialisme seperti dinyatakan Kartodirdjo.
Memang, pendirian berbagai ‘nation-state’ pasca Perang Dunia II banyak yang
bersifat arbiter, rekayasa ekstern dan imajiner (Anderson 1991). Banyak
kelompok-kelompok etnik yang memisahkan diri sebelum atau sesudah nationstate itu diproklamirkan, mungkin karena tidak meras tepat atau betah untuk turut
dalam nation-state itu.33
Dalam beberapa kasus negara-bangsa seperti Indonesia, perasaan
kebangsaan (nationalism) sebagai ‘state of mind’ (Koln), telah lahir jauh sebelum
negaranya (state) diproklamirkan. Ada dua momen politik, pertama ‘Manifesto
Politik’ oleh Perhimpunan Indonesia (PI) yang dicetuskan di Belanda dan Sumpah
Pemuda 1928, yang mengembangkan ‘a sense of belongingness semua kelompok
etnik terhadap kepentingan bangsa yang dilahirkan. Maka berbahaya apabila
perasaan etnosentrisme sukubangsa atau primordialisme menjadi ukuran.
Kebhinekaan entitas etnik baik dari segi agama, bahasa dan budaya merupak aset
yang berharga untuk meningkatkan kreatifitas dan dinamika. Kebhinekaan tidak
akan mengancam kesatuan bangsa, sepanjang mereka mendapat ‘tempat’ dan
perlakuan dengan aturan main yang tidak diskriminatif.34
33
34
Usman Pelly. Ibid.
Ibid.
46
Hand Out
Bahan Kajian
: Hubungan Antar Sukubangsa: Mayoritas-Minoritas,
Dominan Minoritas
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
: 10
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar suku bangsa: mayoritasminoritas, dominan-minoritas
Materi
MAYORITAS-MINORITAS & DOMINAN-MINORITAS DALAM
HUBUNGAN ANTAR SUKUBANGSA
1. Pengertian mayoritas-minoritas dan dominan -minoritas
2. Hubungan antar sukubangsa pada masyarakat mayoritas-minoritas,
dan kebudayaan dominan
Mayoritas, Minoritas dan Dominan
Mayoritas, dominan dan minoritas merupakan konsep-konsep yang umum
digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan ciri-ciri sesuatu golongan
sosial yang dapat diacu untuk menunjukkan jatidiri seseorang atau sesuatu
kelompok dalam hubungannya dengan jatidiri seseorang lainnya atau sesuatu
kelompok lainnya. Mayoritas mengacu pada pengertian sesuatu golongan sosial
dengan jumlah populasi yang besar dibandingkan dengan minoritas atau sesuatu
golongan sosial lainnya yang kecil jumlah populasinya. Jadi, pengertian mayoritas
dan minoritas mengacu pada ciri utamanya yang menunjukkan jumlah populasi
yang tercakup dalam masing-masing golongan sosial tersebut dan dalam
47
perbandingan antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain konsep mayoritas
selalu digunakan dalam kaitan perbandingannya dengan konsep minoritas.
Konsep mayoritas dan minoritas juga selalu digunakan sebagai acuan untuk
mengidentifikasi sesuatu kelompok dalam perbandingannya dengan kelompok
lainnya, berdasarkan pada jumlah populasi yang menjadi ciri utamanya.
Dominan adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya ciri utama dari
sesuatu golongan yang mempunyai kekuatan yang berlebih atau besar
dibandingkan dengan atau tidak terkalahkan oleh ciri utama dari sesuatu golongan
lainnya yang biasanya dinamakan sebagai golongan minoritas. Konsep dominan
selalu ditandai oleh ciri utamanya yaitu kekuatan berlebih atau besar dari atau
tidak terkalahkan oleh yang lainnya. Sebagai golongan, konsep dominan diacu
untuk mengidentifikasi corak jatidiri seseorang atau sesuatu kelompok dalam
kaitan hubungannya dengan corak jatidiri dari seseorang atau kelompok lainnya,
dalam perspektif hubungan kekuatan.
Golongan minoritas, sebagai sebuah golongan sosial yang lemah kekuatan
sosialnya, mencakup ciri-cirinya yang khusus yang berbeda dan ciri-ciri golongan
sosial lainnya yang lemah muatan kekuatan sosialnya. Louis Wirth telah
mendefenisikan ciri-ciri golongan minoritas sebagai sebuah kelompok, sebagai
berikut. Sebagai sebuah kelompok yang diasingkan dari kehidupan dalam
masyarakat luas dan diperlukan secara berbeda dan direndahkan derajatnya karena
ciri-ciri fisik tubuhnya atau ciri-ciri budayanya, dan mereka merasakannya
sebagai sasaran-sasaran diskriminasi kolektif dari masyarakat luas tersebut. Yang
tergolong minoritas bukan hanya orang asing tetapi juga kelompok sosial dari
masyarakat setempat, yang karena tergolong minoritas maka dianggap dan
diperlakukan sebagai orang luar. Keberadaan golongan minoritas selalu dalam
kaitan hubungannya dengan keberadaan dari kelompok dominan yang menikmati
status sosial yang lebih tinggi dan berbagai kewistimewaan yang lebih besar.
Secara objektif mereka yang terrgolong sebagai minoritas mempunyai
posisi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat. Berbeda dengan mereka
yang tergolong sebagai kelompok yang dominan, mereka yang minoritas tidak
diberi kesempatan-kesempatan ekonomi, sosial dan politik. Anggota-anggota
kelompok minoritas digolongkan sebagai berderajat rendah, sasaran penghinaan,
48
kebencian, olok-olok, dan kekerasan. Secara sosial mereka itu terisolasi, dan
secara spasial nereka itu dipisahkan dalam ruang-ruang kehidupan mereka sendiri.
Posisi subordinasi mereka tercermin dalam akses yang terbatas dalam hal
kesempatan memperoleh pendidikasn sekolah dan pembatasan-pembatasan dalam
jenjang pekerjaan dan profesi.
Menurut Blumer individu-individu yang tegolong sebagai mayoritas
(golongan dominan) mengembangkan perasaan-perasaan penuh prasangka
terhadap mereka yang tergolong minoritas. Prangka-prasangka ini muncul dan
berkembang bersamaan dengan adanya individu-individu yang berasal dari
kelompok-kelompok dan posisi-posisi sosial yang berbeda dan saling berinteraksi
satu dengan lainnya. Prasangka-prsangka tersebut dapat bererubah bila sitem
hubungan-hubungan antar kekuatan sosial yang mengatur ketentuan-ketentuan
interaksi-interaksi tersebut berubah. Perasaan-perasaan penuh prasangka tersebut
mencakup: (1) Perasaan bahwa diri mereka superior, (2) Perasaan bahwa
kelompok subordinasi pada daarnya adalah orang asing, (3) Perasaan bahwa
adalah wajar apabila diri mereka itu mempunyai hak atas berbagai fasilitas dan
keistimewaan sosial, dan (4) Kekhawatiran bahwa kelompok subordinasi ingin
mengambil alih fasilitas-fasilitas dan keistimewaan-keistimewaan sosial yang
mereka punyai sebagai kelompok dominan.
Dalam melihat hubungan antara dominan – minoritas ada dua unsur yang
penting yang patut diperhatikan, yaitu (1) Struktur kekuatan yang mendefenisikan
hubungan antara individu-individu dari berbagai sukubangsa dalam sebuah
lingkungan sosial tertentu, dan (2) Adanya struktur mental dari individu-individu
anggota
berbagai
sukubangsa
dalam
lingkungan
sosial
tertentu
yang
menterjemahkan dan memberikan tanggapan terhadap sistem hubungan kekuatan
yang terdefenisikan dan sebagaimana mereka itu mengaktifkan dan menggunakan
kategori-kategori sukubangsa yang ada yang mereka gunakan sebagai sistemsistem acuan kesukubangsaan mereka.
Dominan Minoritas
Dalam pembahasan mengenai hubungan diminan minoritas, konsep
mayoritas menjadi tidak relevan, jumlah populasi besar atau mayoritas bisa
49
dominan atau bisa juga menjadi minoritas dalam hubungannya dengan kelompok
lainnya dalam masyarakat setempat. Begitu juga kelompok minoritas bisa saha
tergolong dominan atau minoritas, tergantung pada posisinya dalam struktur
masyarakat setempat. Kelompok yang dominan dalam sebuah masyarakat
biasanya adalah kelompok minoritas, atau kelompok yang jumlah populasinya
kecil dibandingkan dengan jumlah populasi dari kelompok atau kelompokkelompok lainnya dalam masyarakat setempat. Orang Belanda pada zaman
penjajahan Hindia Belanda misalnya, adalah kelompok minoritas tetapi dominan
dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda.
Sumber: Parsudi Suparlan. 2005. ‘Mayoritas, Dominan, dan Minoritas.’ Dalam
Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK
50
Hand Out
Bahan Kajian
: Hubungan Antar Sukubangsa: Kemajemukan
Kebudayaan, Kebudayaan Heterogen
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
: 11
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan masyarakat majemuk dan kebudayaan
heterogen
Materi
MASYARAKAT MAJEMUK DAN KEBUDAYAAN HETEROGEN
1. Pengertian masyarakat majemuk dan kebudayaan heterogen
2. Hubungan antar sukubangsa dalam masyarakat majemuk
3. Masyarakat majemuk Indonesia
A. Pengertian masyarakat majemuk dan kebudayaan heterogen
Istilah masyarakat majemuk atau plural society pertama kali dikemukakan
oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada mas Hindia
Belanda. Menurut J.S. Furnivall, masyarakat majemuk merupakan masyarakat
yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya
pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik (Nasikun, 1993:29).
Masyarakat Indonesia pada era itu dikuasa oleh tiga ras, orang Eropa yang
berkulit putih berjumlah sedikit akan tetapi memiliki kekuasaan yang paling tinggi
dibandingkan ras lainnya, Orang Timur asing seperti Arab, India Dan Cina,
menempatai urutan kedua dan terakhir adalah pribumi yang berada pada tingkatan
51
yang paling bawah. Orang pribumi memiliki jumlah yang paling besar, namun
dijajah oleh orang Eropah.
Suatu masyarakat, adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut
secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat
ini ditandai dengan kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang
disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, dengan demikian sering terjadi
konflik dan masyarakat kurang terintegrasi dan saling ketergantungan diantara
kesatuan sosial yang menjadi bagiannya.
Pierre van de Berghe, mengemukakan beberapa karakteristik masyarakat
majemuk sebagai berikut (Nasikun, 1993: 33)
1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai
kebudayaan, tepatnya subkebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya.
2. Memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang
bersifat non-komplementer.
3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat
mengenai nilai-nilai sosial yang bersifat dasar.
4. Secara relatif, sering terjadi konflik antarkelompok.
5. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan
ketergantungan ekonomi.
6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompokkelompok lain.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia majemuk
yaitu, (1) keadaan geografis Indonesia, faktor letak bangsa Indonesia antara dua
samudera dan dua benua. Letak yang strategis yang menyebabkan muncul
keberagaman budaya dan agama. (2) faktor sejarah perkembangan bangsa
Indonesia yang beragam, begitu juga adanya akulturasi dalam kebudayaan yang
berbeda. (3). adaptasi masyarakat yang berbeda terhadap lingkungan alam dan
sosial yang berbeda.
52
Nasikun, menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu
masyarakat yang menganut sistem nilai yang berbeda di antara berbagai kesatuan
sosial yang menjadi anggotanya. Para anggota masyarakat tersebut kurang
memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang
memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar untuk
mengembangkan sikap saling memahami.
Senada dengan itu, Clifford Geertz, berpendapat bahwa masyarakat
majemuk adalah masyarakat yang terbagi atas subsistem-subsistem yang lebih
kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial.
Jenis-Jenis Masyarakat Majemuk
Menurut konfigurasi dari komunitas etnisnya, masyarakat majemuk dapat
dibedakan menjadi empat katagori sebagai berikut.
1. Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, yaitu masyarakat
majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis yang
memiliki kekuatan kompetitif seimbang.
2. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, yaitu masyarakat
majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis yang
kekuatan kompetitip tidak seimbang.
3. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, yaitu masyarakat yang
antara komunitas atau kelompok etnisnya terdapat kelompok minoritas,
tetapi mempunyai kekuatan kompetitip di atas yang lain, sehingga
mendominasi politik dan ekonomi.
Masyarakat majemuk dengan fragmentasi, yaitu masyarakat yang terdiri atas
sejumlah besar komunitas atau kelompok etnis, dan tidak ada satu kelompok pun
yang mempunyai posisi politik atau ekonomi yang dominan.
53
Kebudayaan Heterogen
Kebudayaan heterogen dimaksudkan kebudayaan yang beragam, berbedaberbeda. Perbedaan kebudayaan dapat dilihat dari pranata kebudayaan yang
berbeda. Perbedaan kebudayaan dilihat baik secara materi, perilaku dan yang
utama adalah kebudayaa ideal atau sistem nilai budaya. Kebudayaan ideal yang
abstrak, menjadi acuan dalam berperilaku oleh masyarakat pendukung
kebudayaan. Orang Minang yang beragama Islam, mewujudkan perilaku yang
sesuai dengan ajaran Islam dan diterima oleh masyarakat Minang. Dalam
masyarakat yang berbeda sukubangsa, berbeda budaya, agama dan bahasa,
perbedaan budaya akan terlihat atas perbedaan benda material, perbedaan
perilaku, perbedan upacara, dan dilandaskan atas perbedaan sistem pengetahuan
dan nilai budaya yang berbeda.
Dalam suatu sukubangsa yang secara kasat mata dapat dilihat homogen
pada
kenyataanya
pun
sebenaranya
terdapat
ciri
heterogenitas
dalam
kebudayaannya masing-masing. Orang Minangkabau memiliki ciri budaya yang
berbeda diantara sesama orang Minangkabau berdasarkan lokalitas masingmasing. Budaya orang Minangkabau yang berasal dari Pariaman berbeda dengan
orang Minang di daerah Payakumbuh. Contohnya dalam upacara perkawinan.
Orang Pariaman, penganten laki-laki dijemput oleg keluarga pihak penganten
perempuan dengan pemberian uang atau barang sebagai penghargaan terhadap
keluarga pihak penganten laki-laki. Berbeda dengan orang Minangkabau di
Payakumbuh, ketika upacara perkawinan, pihak penganten laki-laki harus
menyiapkan sasuduik,
berupa pemberian dari pihak keluarga pihak laki-laki
kepada penganten perempuan dengan mencukupi kebutuhan calom penganten
perempuan terutama adalah mengisi seluruh perabot kamar penganten perempuan.
Begitu juga perbedaan dalam kebudayaan Jawa. kebudayaan Jawa di daerah
Pesisiran berbeda dengan kebudayaan di daerah kraton, Yogyakarta dan Solo.
B. Masyarakat Majemuk Indonesia
Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki beragam sukubangsa yang
menempati wilayah Indonesia. Sukubangsa yang ada di Indonesia menurt Zulyani
54
Hidayah dalam bukunya Ensiklopedi Sukubangsa, berjumlah 662 sukubangsa,
yang dibedakan atas dasar perbedaan bahasa.
Sukubangsa-sukubangsa telah
menempati wilayah Indonesia secara turun temurun sebelum kemerdekaan bangsa
Indonesia. Masing-masing sukubangsa mengembangkan corak kebudayaan
mereka sendiri sesuai dengan potensi sumber daya dalam lingkungan hidup
masing-masing.
Perbedaan kebudayaan antara satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya
bukan hanya terwujud secara horizontal, tetapi juga dapat dilihat secara vertikal.
Perbedaan secara horizontal yaitu perbedaan sukubangsa, agama dan ras.
Sedangkan perbedaan vertikal yaitu perbedaan kekuatan politik dan ekonomi.
Sukubangsa-sukubangsa di Indonesia dalam masyarakat dalam kenyataan
tidak lah setara atau horizontal. Sukubangsa tertentu memiliki kekuasaan untuk
mendominasi
kebudayaan
lainnya.
Kebudayaan
dominan
menyebabkan
kebudayaan yang tidak dominan harus melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk
tetapi dapat eksis dalam kehidupan masyarakat. seperti kajian Bruner, sukubangsa
Batak yang tinggal di Bandung, di bandung kebudayaan Sunda adalah Dominan di
dalam masyarakat, dengan demikian orang Batak menyesuaikan diri dengan
kebudayaan Sunda yang dominan. Atribut dan simbol-simbol Batak mereka tidak
akan banyak diwujudkandalam ruang-ruang publik di Bandung. Begitu juga di
Minangkabau, kebudayaan Jawa yang datang ke daerah Pasaman terutama di
daerah transmigrasi, melakukan adaptasi-adaptasi tertentu dalam kebudayaannya
sehingga mereka dapat tetap eksis. Eksistensi diri sebagai suatu kelompok
sukubangsa menjadi bagian penting dari identitas sukubangsa. Tari rongeng di
daerah Pasaman, dimainkan oleh laki-laki dan berbeda di daerah asalnya di Jawa,
tari ronggeng yang dimainkan oleh perempuan.
Hubungan antar sukubangsa yang dominan dan tidak dominan dapat
memunculkan konflik, terutama terjadinya penguasaan sumber daya dan
kepentingan ekonomi. Solidaritas kesukubangsaan bisa diaktifkan oleh warganya
untuk bersatu untuk menjatuhkan kelompok sukubangsa lainnya. Kondisi ini
dapat memunculkan konflik. Kondisi ini akan dipertajam oleh adanya ketidak
adilan hukum dan pemerataan ekomomi.
55
Hand Out
Bahan Kajian
: Hubungan Antar Sukubangsa: Batas-batas
Sukubangsa, Prasangka, Kompetisi, Manipulasi
Simbol-simbol
sks
: 3 (tiga)
Prodi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke-
: 12
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar suku bangsa: batas-batas
sukubangsa, prasangka, kompetisi, & manipulasi simbol-simbol
Materi
BATAS-BATAS SUKUBANGSA, PRASANGKA, KOMPETISI DAN
MANIPULASI SIMBOL-SIMBOL
1. Pengertian dari batas-batas sukubangsa.
2.
Pengertian simbol dan manipulasi simbol
3. Batas-batas sukubangsa, prasangka, kompetisi dan manipulasi
simbol
A. Pengertian dari batas-batas sukubangsa.
Suatu
masyarakat
terdiri
dari
berbagai
macam
golongan,
yang
dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri yang menyolok, yang bertujuan untuk
membedakan suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Seperti penggolongan
berdasarkan usia masyarakat dapat membedakan berdasarkan ciri-ciri yang
tampak, misalnya anak-anak dilihat dari usia, sikap dan tingkah laku dan
56
kepribadian. Penggolongan lainnya misalnya penggolongan berdasarkan agama,
jenis kelamin, dan juga sukubangsa.
Kategori sukubangsa dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri seperti ciri-ciri
fisik, kepribadian, bahasa, dan kebudayaannya. Sukubangsa merupakan golongan
sosial yang bersifat askriptif, yaitu keanggotaan yang didapat oleh seseorang
bersamaan dengan kelahirannya, yang mengacu kepada asal orang tua yang
melahirkan atau daerah asal tempat kelahirannya. Misalnya seorang Ibu berasal
dari Agam, suatu daerah di Sumatera Barat dan merupakan sukubangsa
Minangkabau,
maka
anak-anak
dari
perkawinannya
merupakan
orang
Minangkabau.
Ciri-ciri yang melekat pada seseorang sebagai anggota suatu kelompok
sukubangsa mendapatkan pengakuan atau diakui oleh anggota kelompok
sukubangsanya. Dengan demikian golongan sukubangsanya menjadi jatidiri dari
anggota masyarakat tersebut sebagai bahagian dari kelompok sukubangsanya.
Menurut Parsudi Suparlan (2005: 23) unsur-unsur kebudayaan sukubangsa yang
sering dijadikan acuan jati diri suatu sukubangsa yaitu:
(1) Kebudayaan material
(2) Bahasa
(3) Mimik muka dan gerakan tubuh
(4) Nilai budaya
Dalam suatu masyarakat yang berbeda sukubangsa, saling berinteraksi,
dan mengenal beragam ciri-ciri atribut sukubangsa sebagai pembeda antar satu
kelompok sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Dalam masyarakat muncul
stereotipe tentang sukubangsa lainnya yang diketahui karena proses interaksi antar
kelompok sukubangsa. Dalam Interaksi antar sukubangsa juga muncul salaing
pengaruh mempengaruhi, secara timbal balik baik tradisi-tradisi atau kebudayaan
yang dimilliki oleh masing-masing kemajemukan anggota yang berinteraksi.
Meskipun dalam kemajemukan, masing-masing sukubangsa masih mempunyai
bata-batas etnisnya. Frederict Barth (1969:10) menunjukkan bahwa batas-batas
etnis tetap ada walaupun terjadi proses saling penetrasi kebudayaan diantara dua
kelompok etnis yang berbeda. Perbedaan etnis secara kategori
juga tidak
tergantung pada ada atau tidak ada kontak fisik diantara kelompok-kelompok etnis
57
atau tergantung pada diterima atau
tidak diterimanya interaksi etnis antar
kelompok etnis.
Batas-batas etnis yang terwujud diantara kelompok-kelompok etnis
cenderung untuk tetap dipertahankan melalui ciri-ciri kebudayaan yang nampak.
Lebih lanjut Barth mengatakan bahwa kelompok etnis harusnya dilihat etnis
sebagai sebuah organisasi sosial karena dengan demikian maka ciri-ciri yang
penting dari suatu kelompok akan nampak yaitu: karakteristik dari diri sendiri dan
pengakuan dari orang lain.
Dengen demikian batas-batas sukubangsa, diartikan pada karakteristik dari
suatu kelompok sukubangsa yang menjadi jati diri atau identitas suatu sukubangsa
yang tampak dan juga mendapat pengakuan dari orang lain.
B.
Pengertian simbol, prasangka dan kompetisi
Simbol menurut Clifford Geertz dipakai untuk menunjukkan objek,
tindakan, peristiwa, atau relasi yang berlaku sebagai sebuah wahana untuk sebuah
kosep-konsep. Simbol adalah seperangkat rumusan-rumusan yang kelihatan dari
pandangan, abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat
diindrai, perwujudan konkret dari gagasan, sikap-sikap, putusan-putusan atau
keyakinan-keyakinan (1992: 6). Simbol dapat berupa sikap, perilaku, bendabenda, tanda, bahasa, upacara-upacara, ritual dan sebagainya yang tampak dan
bisa diamati.
Suatu kelompok sukubangsa dapat diketahui dari ciri-ciri kelompok
sukubangsa yang menjadi simbol dan identitas sukubangsa. Misalnya orang
Minangkabau memiliki simbol bahasa yang membedakan dengan sukubangsa
lainnya. Orang Minangkabau memiliki simbol berupa warna misalnya jika ada
kematian maka bendera hitam didirikan di dekat rumah yang kemalangan,
sehingga warga masyarakat mengetahui bahwa ada kematian. Orang Minangkabu
memiliki simbol pakaian ketika upacara perkawinan, dan masih banyak lagi yang
menjadi simbol. Simbol menurut Geetz hendaklah dipahami makna yang ada
dibalik simbol tersebut. Makna simbol dipahami menurut pemahaman masyarakat
yang menjadi pemilik kebudayaan (emik).
58
Prasangka atau prejudice, berarti penilaian atau pendapat yang diberikan
oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Prasangka dapat
berupa suatu sikap negatif terhadap kelompok lainnya (Baron dan Graziano,
1991). Prasangka dapat dipengaruhi oleh pola interaksi antar kelompok yang
berbeda. Pada level kognitif, membuat perbandingan antara ingroup dan
outgroup, dapat meningkatkan prasangka. Prasangka tidak hanya di level kognitif
akan tetapi terwujud dalam sikap dan tingkah laku ketika berinteraksi.
Kompetisi atau persaingan dalam diartikan sebagai suatu proses sosial
dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan
melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat
perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam
prasangkan yang telah ada tanpa menggunakan kekerasan atau ancaman.
Persaingan dapat bersifat pribadi dan bersifat tidak pribadi (antar kelompok).
Persaingan juga dapat disebabkan, persaingan ekonomi, persaingan budaya,
persaingan kedudukan dan peranan (Soemarjan, 1986).
C.
Batas-batas sukubangsa, prasangka, kompetisi dan manipulasi simbol
dalam hubungan antar sukubangsa
Interaksi antar sukubangsa memiliki banyak variasi di dalam masyarakat.
Relasi antar sukubangsa dapat menciptakan hubungan yang harmonis, persaingan
dan bahkan juga konflik. Kelompok yang berbeda sukubangsanya memberikan
makna terhadap sukubangsa lainnya melalui simbol-simbol yang diakui sebagai
milik dari suatu kelompok sukubangsa tertentu. Simbol-simbol tertentu menjadi
pembeda terhadap sukubangsa lainnya. Batas-batas sukubangsa yang tampak
melalui simbol, dipahami dalam interaksi yang merupakan prasangka yang belum
tentu jelas kebenarannya. Namun menjadi acuan ketika berinteraksi dengan
sukubangsa lainnya. Misalnya masyarakat Minangkabau memiliki pengetahuan
bahwa orang Jawa memiliki kepribadian yang nrimo dan suku bekerj keras, maka
ketika berinteraksi dengan orang Jawa, seorang Minangkabau akan menggunakan
pengetahuan tersebut dalam berinteraksi dengan orang Jawa, dan bahkan
pengetahuan ini (menjadi prasangka) dijadikan acuan dalam kompetisi dengan
orang Jawa.
59
Dalam interaksi sukubangsa, persaingan atau kompetisi terhadap sesuatu
yang diperebutkan dan pada umumnya adalah sumber-sumber daya ekonomi.
Kompetisi terkadang terjadi secara tidak seimbang. Misalnya antara kebudayaan
yang dominan dengan kebudayaan yang tidak dominan. Persaingan seperti ini
tentu sulit dimenangkan oleh kebudayaan yang tidak dominan. Persaingan yang
terbuka dan menurut jalur yang masih dapat diterima oleh masyarakat, akan terus
berlaku di dalam masyarakat. biasanya persaingan yang adil dan tidak
menundukkan kelompok lain. Akan tetapi persaingan yang sudah melewati batasbatas toleransi akan berkembang menjadi konflik.
Dalam konflik, dua kelompok yang bertikai mengembangkan simbolsimbol baru yang diaktifkan untuk menjatuhkan pihak lawan. Simbol-simbol
dimanipasi melalaui penciptaan stereotipe-stereotipe dan disebarkan kepada
kelompok pendukung yang jelas untuk tujuan memenangkan persaingan ataupun
konflik.
Konflik antar sukubangsa Melayu dan Madura di Sambas, Kalimantan
Barat, orang Melayu selalu mengalah dalam menghadapi orang Madura. Orang
Melayu memiliki pengetahuan untuk selalu menghindari konflik dengan
sukubangsa lain, mereka (orang Melayu) ingin hidup harmonis dan damai. Namun
orang Madura yang menjadi pesaing mengembangkan isu yang kemudian menjadi
stereotipe yang dikenakan kepada orang Melayu, yaitu orang Melayu penakut dan
besar mulut tetapi keropos seperti kerupuk, Sebaliknya orang Melayu
mengembangkan isu tentang orang Madura sebagai preman, bahkan orang
Madura yang haji juga disebut preman, dan oleh sebab itu perlu diberantas
(Suparlan, 2005:54). Isu-isu yang dikembangkan merupakan upaya dalam
memanipulasi simbol dan bertujuan untuk memenangkan persaingan.
60
Hand Out
Bahan Kajian
: Hubungan Antar Sukubangsa: Simbol-simbol
Keagamaan dan Keyakinan Agama
sks
: 3 (tiga)
Program Studi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke
: 13
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar sukubangsa: simbolsimbol keagamaan, & keyakinan agama
Materi:
SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN & KEYAKINAN AGAMA
A.
Pengertian agama sebagai budaya
Agama merupakan keyakinan yang dimiliki oleh penganutnya, yang
berisikan ajaran-ajaran, yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku, yang
memberikan arahan mengenai kehidupan manusia, baik kehidupan di dunia dan
kehidupan setelah mati. Agama bagi penganutnya diyakini kebenarannya sebagai
suatu yang hakiki dan tidak terbantahkan walaupun agama tidak bisa dikaitkan
dengan rasionalitas manusia.
Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama.
Durkheim menyatakan agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and
practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden –
beliefs ang practices which unite into one single moral community called a
church, all those to adhare to them (agama adalah kesatuan kepercayaan dan
61
praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan
dan terlarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang
yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral
yang disebut gereja).35 Defenisi ini boleh dikatakan dilihat hanya dari sisi satu
kelompok penganut agama tertentu saja. Namun defenisi ini telah memberikan
beberapa poin penting dari sebuah agama berupa praktek atau aktivitas sakral atau
dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu serta dilakukan di dalam
kelompok.
Geertz menyatakan agama adalah..(1) a system of symbols which acts to
(2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men
by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing
this conceptions wiuth such an aura of factuality that (5) the moods and
motivations seen uniquely realistic36 [(1) sebuah sistem simbol-simbol yang (2)
menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan
yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini
dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasimotivasi itu tampak khas realistis]. Defenisi ini menjelaskan agama dari perlakuan
manusia melalui seperangkat simbol yang merupakan ekspresi dari motivasi dan
suasana hati
Dari beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa agama
merupakan seperangkat aturan yang dijalankan untuk mengatur kehidupan
manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, yang menjadi petunjuk
mengenai kehidupan manusia dan penjelasan akan sesuatu yang dianggap sakral.
Oleh karena adanya petunjuk yang sakral maka juga terdapat pantangan dan
larangan yang diberikan kepada manusia. Di dalam banyak masyarakat agama
memberikan argumentasi religius mengenai asal usul manusia, bagaimana dan
untuk apa hidup di dunia, masa depan yang akan dihadapi dan kemana manusia
setelah kematiannya. Penjelasan-penjelasan inilah yang berupa aturan atau
petunjuk dan sekaligus sebagai larangan yang tidak bisa dibantah.
35
36
Durkhiem, The Elementary Forms of the Religious Life. 2011.Hal.80.
Geertz, The Interpretation of Culture. 1973. Hal.90.
62
Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai agama,
penjelasan dari ciri-cirinya seperti yang pernah diberikan oleh Durkheim yang
kemudian juga dipakai oleh Koentjaraningrat dikutip di sini sebagai berikut.
Dalam penjelasan ini agama terdiri dari empat komponen, sebagai berikut.
1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religieus;
2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib
(supernatural); serta segala nilai, norma serta ajaran dari religi yang
bersangkutan.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk
mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk
halus yang mendiami alam gaib;
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut
dalam sub 2, dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut
di dalam sub 3.37
Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini masih perlu
ditambahkan satu lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya
mengajarkan kebenaran yang suci, karena dengan kebenaran yang suci ini
melahirkan keyakinan yang kuat dari kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/
jamaah/ jemaat/ pengikut dari suatu agama tersebut. Dengan keyakinan inilah
suatu agama bisa bertahan karena diyakini kebenaran yang diajarkan di dalam
agama tersebut kepada pengikutnya. Keyakinan kepada kebenaran yang diajarkan
inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama atau pervasif
seperti dinyatakan oleh Geertz.
Umumnya antropolog menyatakan bahwa agama (religion) merupakan
sebuah pranata seperti banyak pranata lainnya di dalam sebuah kebudayaan atau
suatu masyarakat. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan, berikut ini penjelasannya.
Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah
keyakinan yang menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu
aturan yang digunakan untuk mengatur manusia dalam rangka pemenuhan
37
Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Hal. 145.
63
kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan manusia dibagi menjadi tiga oleh
Malinowski, yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan adap-integratif. Agama atau
religi sebagai pranata adalah dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan
psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk menjelaskan segala sesuatu
dengan keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau oleh akal
manusia.38 Agama yang dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius
yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fenomena religius yang mana? Jawaban
pertanyaan ini mengacu kepada semua fenomena atau aktivitas religius yang
terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di dari fenomena agama
tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet, voodoo,
penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di
Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik
maupun Hindu yang khas di daerah tertentu.
Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan, dijalankan
atau dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Ini berbeda dengan agama di
dalam teks sucinya atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur atau kitab
Weda, Tripitaka yang sudah dituliskan di dalam agama-agama tradisi besar di
dunia. Teks-teks suci ini diyakini oleh penganut agama tersebut sebagai sebuah
kebenaran yang tidak bisa dibantah, yang berasal dari Tuhan. Kitab-kitab ini
bukanlah produk kebudayaan, bukan pranata. Agama menjadi pranta adalah
agama yang diyakini, dijalankan atau dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara
satu masyarakat dengan masyarakat lainnya walaupun masing-masing sama
menganut agama yang sama. Artinya orang Betawi di Jawa bisa mempraktekkan
atau menjalankan agama Islam secara berbeda dengan orang Minangkabau yang
juga Islam. Bahkan, di daerah tertentu di Sumatera Barat saja, praktek agama
Islam bisa berbeda-beda.
B.
Agama dan simbol
Kebudayaan dan agama menurut perspektif simbolik adalah berkenaan
dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik.
38
Dalam hal ini, teori keterbatasan akal manusia dari Frazer menjadi relevan untuk menjelaskan
agama sebagai pranata.
64
Dalam hal ini Clifford Geertz adalah tokoh yang menyatakan “agama merupakan
bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan
bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan
untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan tersebut.”39 Geertz yang
menyatakan agama sebagai suatu sistem simbol... dan seterusnya,40 juga
menyatakan agama sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan, suatu
pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional,
kognitif, subjektif dan individual.41 Menurut Geertz kebudayaan adalah pola dari
pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbolsimbol yang ditransmisikan secara historis suatu sistem mengenai konsepsikonsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara
tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan
dan sikap mereka terhadap kehidupan.42
“Simbol-simbol adalah garis penghubung antara pemikiran manusia
dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu
berhubungan atau berhadapan dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat
dilihat sebagai (menurut Geertz) ‘suatu sistem lalu lintas dalam bentuk simbolsimbol yang signifikan.’ Dengan demikian simbol-simbol itu pada hakekatnya ada
dua, yaitu; (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataankenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud
melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbolsimbol menjadi dasar dari perwujudan model dari dan model bagi dari sistemsistem konsepsi dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama
mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk suatu sistem sosial.”43
Simbol-simbol di dalam agama dan kebudayaan selalu menunjukkan
kebaikan dan keburukan/ kejahatan. Di dalam kebudayaan simbol-simbol
digunakan di dalam proses interaksi di dalam kehidupan sehari-hari di tengahtengah masyarakat. Simbol-simbol di dalam agama menunjukkan kesucian atau
39
Suparlan, 1982.
Sebagaimana telah dikutip pada bagian sebelumnya.
41
Suparlan, 1982.
42
Geertz, ibid. Hal.89.
43
Suparlan, 1982.
40
65
kesakralan dan kejahatan/ keburukan/ sesuatu yang biasa-biasa saja, atau disebut
juga yang sakral (sacré) dan yang profan.
Teori strukturalisme dari Lévi-Strauss yang memandang segala sesuatu
secara binnary opposition sangat relevan di dalam melihat simbol-simbol di dalam
kebudayaan dan keagamaan. Baik-buruk, benar-salah, sorga-neraka adalah dua
perspektif yang selalu terhubung antara satu dengan lainnya, dengan perilaku di
dunia dan konsekuensi yang diterima di akhirat. Oleh karena itu simbol-simbol
yang digunakan di dalam kebudayaan dan agama juga menunjukkan simbolsimbol kebaikan-kejahatan, benar-salah, atau suci dan tidak suci. Di dalam agama
Islam warna putih sering dipakai oleh para ulama dalam berpakaian untuk
menunjukkan simbol kebaikan atau mendekati ke kesucian, yang dilawankan
dengan warna hitam sebagai simbol kejahatan. Sorga selalu diletakkan di posisi di
atas, neraka selalu diletakkan pada posisi di bawah.
C.
Hubungan antar sukubangsa dalam variasi simbol agama
Masing-masing sukubangsa mempunyai kebudayaan sebagai pedoman
bagi kehidupan warga sukubangsanya. Pranata agama menjadi bagian khusus dari
aktivitas warga sukubangsa. Agama sebagai inti dari kebudayaan. Kuat dan
lemahnya posisi agama dalam kebudayaan tergantung kepada hasil interpretasi
atas agama tersebut
oleh warga masyarakat bersangkutan. Ungkapan adat
bersandikan adat, syara bersendikan kitabullah, pada sukubangsa Minangkabau
merupakan contoh hasil interpretasi dan pemahaman orang Minangkabau terhadap
agama. Dengan demikian, ketika agama tradisi besal menjadi agama sukubangsa
atau lokal, maka terdapat variasi mengenai posisi agama yang dipeluk masyarakat
tersebut, fungsinya yaitu sebagai pedoman bagi kehidupan sukubangsa itu.
Kebudayaan Islam Minangkabau akan berbeda dengan kebudayaan Islam orang
Betawi.
Dalam hubungan sukubangsa, simbol-simbol agama terlihat dalam
interaksi antar sukubangsa. Agama juga dijadikan simbol dari identitas
sukubangsa. Orang Islam dengan mesjidnya dan orang Kristen dengan gerejanya.
Begitu juga agama lain seperti Hindu dan Budha. Simbol-simbol juga terlihat dari
cara berpakaian, seperti orang Islam bagi perempuan menggunakan jilbab.
66
Perayaan-perayaan hari besar agama seperti Natal bagi umat Kristen atau hari
Raya Idul Fitri bagi penganut agama Islam, juga menjadi bagian dari simbol
perilaku masyarakat yang dilakukan oleh penganutnya.
Dalam hubungan antar sukubangsa, pengaktifan emosi keagamaan dapat
menjadi pengikat solidaritas sosial antar sukubangsa yang sama agamanya. Dalam
hubungan sukubangsa yang berada dalam agama yang sama, biasanya sukubangsa
lebih cepat dan mudah diterima dibandingkan dengan kelompok sukubangsa yang
berbeda agamanya. Keefektifan solidaritas antar umat yang seagama diperkuat
oleh adanya tokoh-tokoh dan guru agama yang selalu mengingatkan solidaritas
keagamaan tersebut.
Disamping pengikat solidaritas antar sukubangsa yang seagama, isu-isu
agama juga menjadi unsur penyebab konflik antar umat beragama. Konflik
Ambon, yang meletus pada tahun 1999, dimulai dari konflik pendatang ButonBugis-Makassar yang Islam dengan orang Ambon yang Kristen, yang telah
bergeser menjadi konflik antara orang Ambon yang Islam dengan orang Ambon
yang Kristen yang melibatkan seluruh penduduk pulau Ambon dan pulau-pulau
lainnya. Kerusuhan ini terjadi karena adanya isu agama yang beredar bahwa
mesjid Al Fatah di Kota Ambon telah dibakar oleh orang Kristen. Isu ini telah
membangkitkan kemarahan orang Ambon yang Islam yang merasa jati diri
merekaa sebagai umat Islam telah diinjak-injak oleh orang Kristen.
Keyakinan keagaaman yang dimiliki oleh sukubangsa juga menjadikan
salah satu faktor penting, kerusuhan terjadi. Bagi umat Islam ada konsep jihad
yang dilakukan untuk menhancurkan orang-orang yang berbeda agama. Begitu
juga agama Kristen mereka memiliki sejarah perang Salib, dalam menegakkan
agama mereka. Ketika kerusuhan di Sampit. Orang Dayak melakukan upacara
nayau yang sebenarnya adalah dewa petir atau dewa perang dalam agama Hindu
Kahaningan (agama asli nenek moyang Dayak). Orang dayak mengadukan nasib
mereka kepada dewa mereka yang diundang masuk ke dalam tubuh orang-orang
Dayak tertentu yang mau berperang melawan orang-orang Madura untuk
mengusir dan membersihkan polusi atau kotoran wilayah kehidupan mereka
9Suparlan, 2005: 298). Bagi orang Melayu di Sambas, perang melawan orang
67
madura merupakan perang suci, yaitu melawan kebathilan dan kejahatan orang
Madura yang selama ini menganggu kehidupan mereka.
Sumber Rujukan:
1.
2.
3.
4.
Durkhiem, Emile. 2011. The Elementary Forms of the Religious Life.
Yogyakarta: IRCiSoD.
Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
......................... 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic
Book, Inc., Publisher.
......................... 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
68
Hand Out
Bahan Kajian
sks
Program Studi
Fakultas
Minggu ke
: Masyarakat Majemuk dan Konflik
: 3 (tiga)
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
: Ilmu Sosial
: 14
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan masyarakat majemuk
dan konflik antar sukubangsa
Materi :
MASYARAKAT MAJEMUK DAN KONFLIK
A.
Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa latin configere yang bermakna saling
memukul. Konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara membuatnya tidak
berdaya. Konflik dapat terjadi karena ada perbedaan ide , pendapat, paham, dan
kepentingan diantara kedua pihak tersebut. Konflik itu bisa berupa konflik fisik
dan non fisik. Konflik fisik bisa berupa pukulan, tendangan, tamparan, dan
kekerasan fisik lainnya. Sedangkan konflik non fisik bisa berupa perang mulut
(bertengkar), perang dingin (tidak saling menyapa), sindiran dan lain sebagainya.
Sedangkan konflik sosial menurut Fisher konflik bisa terjadi karena
hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok), yang memiliki
atau merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan. Pada dasarnya konflik
akan selalu ada selama masyarakat masih memiliki kepentingan secara kelompok
atau berhubungan dengan yang lain. Penyebab timbulnya konflik karena adanya
perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, norma, dan lainnya.
Menurut Robert M.Z. Lawang konflik adalah perjuangan memperoleh status,
69
nilai, kekuasaan, dimana tujuan mereka yang berkonflik tidak hanya keuntungan,
tetapi juga menundukkan saingannya.
B.
Masyarakat Majemuk dan Konflik
Masyarakat majemuk menurut Furnivall yaitu sebuah masyarakat yang
terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tapi
tidak menyatu. Masing-masing kelompok memiliki agama, budaya dan bahasa,
dan cara hidup mereka masing-masing. Sebagai individu mereka saling bertemu,
tetapi hanya di pasar. Masyarakat terdiri atas bagian-bagian yang merupakan
komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik. Mereka
itu sebuah masyarakat yang disatukan secara paksa, tidak karena secara
sukarela.44
Furnivall mengembangkan konsep masyarakat majemuk ketika meneliti
masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Orang pribumi
Indonesia dijajah oleh Belanda. Secara jumlah penduduk asli sangat banyak akan
tetapi tidak berkuasa atau berada dibawah pengaruh dari pemerintah jajahan yang
jumlahnya sedikit. Pemerintahan jajahan menguasai Indonesia untuk mendapatkan
sumberdaya yang ada di Indonesia, dan untuk memantapkan ekonomi. Sedangkan
orang pribumi Indonesia sebagai pemilih tanah air tidak memperoleh kewenangan
atas tanahnya. Supaya terus berkuasa, Belanda menggunakan kekuasan yang
otoriter dan kekuatan militer untuk melawan orang pribumi yang hendak melawan
pemerintah Belanda.
Setelah Indonesia merdeka kondisi ini tidak jauh berbeda di era Belanda
tersebut. Masyarakat Indonesia terdiri dari beragam sukubangsa dari Sabang
sampai Merauke, bersama mewujudkan diri sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa
Indonesia. Hubungan antar sukubangsa yang terwujud menunjukkan ciri
masyarakat majemuk. Sistem Nasional lebih
berkuasa atau dominan
dibandingkan dengan sistem sukubangsa. Pemerintah memaksakan keinginannya
terhadap sukubangsa lain yang ada di Indonesia, bahkan seperti meniadakan
pranata sukubangsa lain. Sebagai contoh, negara mengatur mengenai kebudayan
44
Suparlan, 2005: 183.
70
nasional Indonesia, Kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak dari
kebudayaan daerah. Hal ini seperti memberikan konsep baru yaitu kebudayaan
daerah, yang jelas tidak berakar pada kebudayaan yang sudah ada. Kebudayaan
daerah adalah sama dengan kebudayaan yang ada dalam wilayah propinsi.
Wilayah propinsi merupakan produk dari sistem nasional yang dibuat untuk
kepentingan administrasi nasional dan bukan produk sistem sukubangsa.
Negara mengatur kehidupan beragama masyarakatnya, memberikan
kebebasan kepada warga negara untuk memilih agama yang menurut mereka
cocok dengan keyakinannya. Akan tetapi agama yang diakui negara hanyalah
agama tradisi besar seperti kristen, Islam, Hindu dan Budha yang jelas merupakan
agama yang datang dari luar bumi Indonesia. Sedangkan agama tradisi lokal,
agama sukubangsa yang sudah ada di wilayah Indonesia jauh sebelum Indonesia
merdeka, dan sudah dipraktekkan oleh sukubangsa-sukubangsa sejak lama tidak
mendapat pengakuan dari negara. Seperti agama Arat Sabulungan orang
Mentawai, agama orang Sunda yaitu sunda wiwitan dan masih banyak lagi yang
diyakini oleh sukubangsa di Indonesia sejak lama.
Negara menguasai seluruh sumber daya alam yang ada di Indonesia untuk
kepantingan masyarakat Indonesia. Hanya saja dalam penguasaan sumber-sumber
ekonomi negara tidak memberikan keadilan terhadap masyarakat yang marginal.
Seperti penguasaan lahan oleh pihak-pihak perusahaan perkebunan. Tanah dan
hutan yang merupakan milik masyarakat secara adat tidak mendapat pengakuan
oleh negara, atau terkadang diakui hanya saja harus diserahkan dengan alasan
untuk kepentingan negara. Pemerintah mendapat keuntungan dari penguasaan
lahan rakyat, bekerja sama dengan perusahaan mengambil hasil hutan dan
mengolahnya. Kehidupan masyarakat yang sangat tergantung kepada alam seperti
dicabut dari akarnya. Seperti orang Mentawai yang sejak nenek moyang mereka
hidup dari hasil hutan, atau orang Sakai dan orang Rimbo yang mengantungkan
hidupnya dari alam, mereka hidup dari hutan, namun hutan mereka yang menjadi
rumah mereka diambil oleh penguasa bahkan dengan cara paksa, dengan
menggunakan kekuatan militer.
71
Kondisi-kondisi perbedaan kepentingan dan tidak adanya pengakuan oleh
penguasa terhadap kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sukubangsa
menjadi faktor memunculkan konflik.
Konflik antar sukubangsa karena adanya hubungan antra sukubangsa.
Bentuk dari hubungan antara sukubangsa menjadi penentu terjadinya konflik antar
suku bangsa. Dari kasus-kasus konflik antar sukubangsa di Ambon, Poso,
Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lain di Indonesia dapat disimpulkan
bahwa konflik antar sukubangsa muncul dari kompetisi untuk memperebutkan
sumber daya setempat yang dilakukan oleh individu yang merupakan anggota
komuniti sukubangsa setempat dengan sukubangsa pendatang. Konflik antar
individu berkembang menjadi konflik antar sukubangsa karena salah satu pihak
mengaktifkan kesukubangsaan untuk solidaritas kelompoknya guna mengalahkan
pihak lainnya sehingga pihak lainnya tersebut mau tidak mau akan harus
mengimbanginya dengan mengaktifkan kesukubangsaannya juga.45
Orang Madura di Kabupaten Sambas
Konflik antara sukubangsa Madura dan orang Melayu di Kabupaten
Sambas telah berlangsung selama 11 kali sejak tahun 1962 yang berakhir ada
tahun 1999. Orang madura merupakan pendatang di Kalimantan Barat sejak tahun
1929-an. Sebelum perang Dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi
di Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Jumlah orang Madura tidak
banyak (minoritas) dan posisi sosial mereka juga rendah, pada umumnya adalah
buruh kasar. Orang Madura hidup hampir di seluruh wilayah Kabupaten Sambas,
baik di desa dan kota. Orang Madura hidup mengelompok diantara sesama orang
Madura, sama sekali terpisah dari orang dayak dan orang Melayu.
Hubungan orang Madura dengan orang Melayu tidak berlangsung secara
harmonis, begitu juga hubungan orang Madura dengan orang Dayak. Hubungan
diantara kedua sukubangsa ini penuh dengan stereotipe, dan prasangka. Dalam
stereotipenya, orang Melayu melihat orang Madura sebagai sama dengan
golongan hewan, yaitu anjing yang tidak bisa dipercayai, pencuri, pemalak, dan
45
Suparlan, 2005:22.
72
perampok. Sebaliknya orang Madura melihat orang Melayu sebagi penakut, dan
kebanyakan bicara. Sedangkan orang Dayak melihat orang Madura sebagai hama
dan hewan buruan yang rakus, yaitu babi hutan. Sebaliknya orang Madura melihat
orang Dayak sebagai kafir dan makhluk yang terbelakang. Konflik antar individu
yang menghasilkan kerusuhan antar sukubangsa dan terwujud sebagai kkerasan
berdarah sebenarnya dapat dipahami dengan mengacu kepada stereotipe
sukubangsa yang mereka punyai masing-masing yang digunakan untuk
memperlakukan pihak lawan (Suparlan, 2005: 235).
Hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner (Koentjaraningrat, 1990: 6-7)
juga dapat dijadikan kajian untuk membahas masalah konflik antara orang
Madura dengan sukubangsa Melayu dan Dayak di Sambas Kalimantan Tengah.
Kebudayaan Melayu di Pantai Barat Kalimantan, tertama di Kabupaten Sambas
adalah kebudayaan dominan. Orang Melayu di Sambas telah mengembangkan
pranata politik yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, sedangkan orang Dayak
yang hidup dipedalaman tidak mengembangkannya. Orang Melayu menjadikan
agama Islam sebagai agama sukubangsanya. Sebaliknya orang Dayak menganut
agama tradisi lokal, dan kemudian mengganti agamanya menjadi beragama islam
atau “masuk Islam”. Orang Dayak dalam perkembangan kebudayaannya
kemudian banyak mengadopsi kebudayaan Melayu atau disebut “masuk Melayu”.
Di Kalimantan berkembang dua kebudayaan dominan dengan penguasaan
wilayah yang berbeda. Orang Melayu di di daerah pantai barat dan orang Dayak
di pedalaman. Kedua sukubangsa menyadari keberadaan dan dominasi
kebudayaan sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan saling
menghormatinya. Dengan demikian hubungan antara kedua sukubangsa relatif
harmonis. Jika terjadi konflik diantar dua sukubangsa ini maka yang muncul
adalah konflik individu.
Berbeda dengan orang Madura di Sambas, mereka hidup tersebar dan
mengelompok sebagai orang Madura. Orang Madura sangat menonjol dalam
penggunaan atribut kesukubangsaannnya. Orang Madura juga membangun
solidaritas antara sesama orang Madura. Sehingga jika ada permasalahan
diselesaikan
secara
Madura.
Orang
Madura
memiliki
kecenderungan
menyelesaikan masalah dengan cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disarai semua
73
anggota sukubangsa yang ada Melayu, Dayak, orang madura telah menjadi
kebudayaan dominan. Corak hubungan antara orang Madura dengan suku bangsa
lain bercorak kekerasan. Sehingga ketika terjadi konflik antar orang Madura
dengan Orang dayak dilawan dengan kekerasan.
Faktor penyebab lainnya dari konflik di Sambas, yaitu ketimpangan dalam
penguasan sumber-sumber ekonomi. Orang Madura sebagai pendatang dapat
menguasaai sunber saya ekonomi yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh orang
Melayu, dengan demikian secara ekonomi orang Madura menjadi kuat secara
ekonomi. Orang Madura juga memiliki karakter melaksanakan keinginannya
dengan segala cara termasuk dengan kekerasan dan kompromi dengan pejabat dan
hukum. Dengan demikian konflik antara orang Melayu dan Madura juga dipicu
oleh adanya penguasaan ekonomi tersebut.
Meredam Konflik
Menurut Parsudi Suparlan, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk
meredam konflik yaitu menegakkan keadilan hukum dan adanya penegak hukum
yang berlaku adil. Polisi dapat bertugas mengayomi masyarakat dan bertindak adil
dalam menegakkan hukum maka kerusuhan atau konflik dapat dicegah.
Kerusuhan di Madura juga disebbakan karena pihak kepolisan lemah dalam
menegakkan hukum. Polisi tidak berani menahan pencuri yang berasal dari etnis
Madura yang mencuri motor orang Melayu.
Upaya lainnya yaitu dengan memberikan pendidikan kepada generasi
muda bahwa perlu adanya toleransi dan saling menghargai antar sukubangsa yang
berbeda. Stereotipe dan prasangka antara sukubangsa perlu dihapuskan dan
diganti dengan prasangka yang lebih baik.
Sumber rujukan:
Parsudi, Suparlan. Hubungan Antar sukubangsa.
Koentjaraningra, Teori Antropologi Jilid 2
74
Hand Out
Bahan Kajian
: Masyarakat Multikultural
sks
: 3 (tiga)
Program Studi
: Pendidikan Sosiologi-Antropologi
Fakultas
: Ilmu Sosial
Minggu ke
: 15
Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran)
Mahasiswa mampu menjelaskan konsep
masyarakat multikultural
Materi Pokok:
MASYARAKAT MULTIKULTURAL
A.
Pengertian Masyarakat Multikultural
Pada masa ini, suatu masyarakat khususnya di kota-kota besar tidak lagi
terdiri dari satu kebudayaan yang homogen. Anggota masyarakat berinteraksi
dengan beragam kebudayaan sukubangsa. Misalnya masyarakat Indonesia, terdiri
dari lebih kurang 700 sukubangsa dan masing-masing sukubangsa itu memiliki
keunikannya masing-masing. Keberagaman sukubangsa dalam ruang geografis
yang sama dengan demikian tidak lagi menjadi suatu hal yang luar biasa untuk
kondisi kekinian. Kota Padang sebagai wilayah geografis didiami oleh penduduk
dengan latar belakang budaya yang beragam seperti: orang Minangkabau, Batak,
Jawa, Nias, Mentawai, Melayu, India, Tionghoa dan sebagainya, dengan jumlah
yang bervariasi. Selain itu juga memiliki keberagamaan agama, ada yang
menganut
agama
Islam,
Kristen, Budha
dan Konghucu.
Begitu pula
keberagamanan bahasa, teknologi, ekonomi dan aturan adat-istiadat. Dengan
demikian apakah masyarakat sudah multikultural ? untuk menjawab ini perlu
kajian lebih dalam lagi, masyarakat multikultural tidak cukup jika hanya diartikan
sebagai masyarakat dengan memiliki beragam kebudayaan yang tetap eksis.
75
Namun multikuturalisme merujuk pada jenis kebijakan yang bertujuan untuk
melindungi keanekaragaman budaya.
Konsep multikulturalisme berkembang pada tahun 1950 di Kanada Istilah
ini diderivasi dari kata multicultural yang dipopulerkan surat kabar-surat kabar di
Kanada, yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat
multikultural dan multilingual.
C.W. Watson mendefenisikan multikulturalisme sebagai “sebuah ideologi
yang
mengagungkan
perbedaan
dalam
kesederajatan
(Watson,
2000).
Keberagaman dalam hal sukubangsa, agama, bahasa, aturan adat istiadat, ekonomi
dan teknologi, baik perbedaan berada dalam tingkat individu maupun dalam
kelompok dalam masyarakat. Multikulturalisme menurut Parsudi Suparlan (2005:
123) menjadi acuan keyakinan untuk terwujudnya pluralisme budaya, dan
terutama memperjuangkan kesamaan hak dan berbagai kalangan minoritas baik
secara hukum maupun sosial. Dalam perjuangan ini multikulturalisme merupakan
acuan yang paling dapat diterima dalam masyarakat yang demokratis karena yang
diperjuangkan oleh pendukung multikulturalisme adalah sejalan dengan
perjuangan para penganut demokrasi.
Dalam model multikulturalisme ini, menurut Reed (Suparlan, 2005: 280)
sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku
umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti mosaik. Di dalam mosaik
tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang
membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai
kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut.
Kesederajatan dipandang dalam hal ini keberagaman kebudayaan, dan
sukubangsa dari anggota masyarakat, namun masing-masing perbedaan tersebut
tidak memunculkan diskriminasi terhadap yang lain. Setiap Individu dan
masyarakat memiliki kedudukan yang sama, sederajat di dalam masyarakat, baik
secara hukum dan sosial, tidak ada yang menaggap kebudayaan lebih dominan,
lebih
maju
dari
yang
lain.
Dengan
demikian,
paham
atau
ideologi
multikulturalisme menjadi semacam gerakan, yang perlu diperjuangkan terhadap
sikap dan perilaku masyarakat dan hukum yang tidak adil dan bijaksana dalam
melihat perbedaan. Ideologi multikulturalisme juga dipandang sebagai alat yang
76
ampuh untuk meredam konflik yang terjadi di dalam masyarakat yang
dilandaskan atas perbedaan sukubangsa, agama, bahasa, adat, ekonomi, gender
dan sebagainya.
Dalam bahasan ini, perlu dibedakan antara masyarakat majemuk dengan
masyarakat multikultural.
Masyarakat Majemuk
Masyarakat Multikultural
Beragam budaya, etnik, bahasa, adatistiadat, agama, ekonomi, teknologi,
gender
Masyarakat beragam kebudayaan
namun
terpisah-pisah,
tidak
tergabung dalam kesatuan politik
interaksi antar sukubangsa sangat
kurang
Kurang adanya toleransi kebudayaan
lain, relasi timpang
Beragam budaya, etnik, bahasa, adat-istiadat,
agama, ekonomi, teknologi, gender
Masyarakat beragam kebudayaan namun dapat
berinteraksi dengan intensif
Toleransi antar budaya cukup tinggi, relasi
sederajat, menghargai perbedaan, merayakan
perbedaan
Konflik antar budaya berbeda sering Konflik dapat diredam karena saling
terjadi, disintegrasi bangsa
menghargai perbedaan, integrasi bangsa
Pluralisme budaya
(cultural pluralisme) merupakan model
yang
berkembang dalam kajian masyarakat majemuk. berkembang pada tahun 1970-an.
Menurut Horace Kallen (dalam Usman Pelly, 2005) salah seorang pelopor konsep
pluralisme kebudayaan, menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis atau ras
yang berbeda harus didorong untuk mengembangkan sistem mereka sendiri dalam
kebersamaan, memperkaya kehidupan masyarakat majemuk mereka (Jurnal
Antropologi Sosial Budaya, Jurnal Etnovisi. Vol 1 No 2 Oktober 2005). Dalam
konsep pluralisme budaya negara atau pemerintah melalui kebijakannya dapat
membuat peraturan
atau perundangan yang harus menghargai perbedaan-
perbedaan budaya yang merupakan produk sejarah yang berlaku dalam
masyarakat setempat dan pemerintah harus secara nasional harus menjamin
kesamaan derajat diantara mereka. Pluralisme budaya merupakan ideologi yang
secara langsung atau tidak langsung mendasari munculnya multikulturalisme
77
B.
Bentuk masyarakat multikultural
Bhikhu Parekh seorang Profesor dari filsafat politik membedakan atas
lima model multikulturalisme:
1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok
kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi
minimal satu sama lain.
2.
Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur
dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu
bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan
menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang
sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum
minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan
mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3.
Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompokkelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality)
dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam
kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok
kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang
memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang
kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang
semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang
kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan
kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif
yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka.
78
5. Multikultural Kosmopolitan, masyarakat plural yang berusaha menghapus
batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat
tempat setiap individu tidak lagi terikat dengan kepada budaya tertentu,
sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan interkultural dan dan
sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.46
Selain multikulturalisme deskriptif, menurut Heywood sebetulnya ada lagi
multikulturalisme normatif, yaitu suatu dukungan positif, bahkan perayaan atas
keragaman komunal, yang secara tipikal didasarkan atas hal dari kelompokkelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui , atau atas keuntungankeuntungan yang bisa diperoleh atas tatanan masyarakat yang lebih luas
keragaman moral dan kulturalnya.47 Multikulturalisme normatif
melibatkan
kebijakan sadar, terarah dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat
untuk mewujudkan multikulturalisme.
Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni
kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas
itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan cara
pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari
aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan
manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka
multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural
sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara.
Setidaknya ada tiga model kebijakan multikultural negara untuk
menghadapi realitas pluralitas kebudayaan. Pertama, model yang mengedepankan
nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa
memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas
bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang— bukan
kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini
dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar
pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model
46
47
Azra, 2007.
Ibid.
79
kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan
otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional
berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.
Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik
yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para
pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri
nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar
yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional
akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.
Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak
warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas
yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga
negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak
hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas,
dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena
ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus
menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan
negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif
sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflikkonflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara
itu sendiri.
Sampai saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menentukan
secara normatif model multikulturalisme macam apa yang harus diterapkan di
negeri ini. Selain membutuhkan kajian-kajian antropologis yang lebih mendalam,
tampaknya juga diperlukan kajian filosofis terhadap multikulturalisme itu sendiri
sebagai sebuah ideologi. Berbeda dari yang dipahami orang awam, ternyata
multikulturalisme mengandung asumsi-asumsi problematis yang harus sebaiknya
dikenali, diakui sepenuhnya atau direvisi sesuai realitas khas setiap negeri,
sebelum pemerintah dan masyarakat dapat memutuskan apakah akan memeluk
ideologi multikulturalisme dan selanjutnya menormatifkannya.
80
C.
Menciptakan masyarakat multikultural
Multikultural dipandang sebagai suatu paham atau ideologi yang dapat
mengubah dan memperbaiki kehidupan masyarakat yang terdiri dari beragam
sukubangsa.
Multikulturalisme
sebagai
sebuah
ideologi
yang
harus
dikonstruksikan di dalam masyarakat, diciptakan dan diperjuangkan untuk
keberlanjutan suatu bangsa. Dengan demikian diperlukan upaya-upaya terarah dan
terencana supaya masyarakat multikultural yang dicita-citakan dapat tercapai.
Menurut P. James Spradley dan David W.Mc Curdy (1987,9-10). Terdapat tiga
persyaratan yang harus dipenuhi untuk menciptakan masyarakat multikultural.
Pertama, daripada memberangus keragaman budaya melalui pemaksaan
proses asimilasi ke dalam kebudayaan mainstream, justru akan lebih baik jika
mengakui kenyataan bahwa kebudayaan adalah pluralistik atau beragam dan
berbeda.
Kedua, tidak bersifat etnosentris kepada kebudayaan lain, tidak
menggunakan standar nilai kebudayaan sendiri untuk mengukur kebudayaan lain.
Ketiga, mulai belajar drai perilaku yang egosentri dan etnosentris kepada
homosentris. Menciptakan sikap toleransi, penuh rasa hormat, dan kooperatif.
Dalam lingkup yang lebih luas akan selalu terjadi perebutan keperntingan
antara kebutuhan akan pengakuan keragaman (diversity)dengan kesatuan (unity).
Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu menyeimbangkan
antara kedua kepentingan tersebut. Menurut Bhikhu Parekh dalam bukunya yang
berjudul A Comitment to Cultural Pluralism , masyarakat multikultural perlu
menemukan suatu cara yang praktis dan diterima secara kolektif untuk
merekonsiliasikan antara dua tuntutan: kesatuan dan keragaman.
Menurut Parsudi Suparlan upaya yang dapat dilakukan dalam menciptakan
masyarakat multikultural di Indonesia yaitu, pertama, memantapkan ideologi
bhineka tunggal ika yang multikultural. Kedua, melakukan pembenahan terhadap
nilai budaya dan etos, etika dan pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum
yang adil. Upaya dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika yang berlatar
multikultural. Acuan yang disetujui oleh pemerintah dan elit masyarakat, sehingga
tidak hanya menjadi wacana akan tetapi dapat dijalankan ditengah-tengah
masyarakat. Keempat, memajukan pendidikan multikultural dari sekolah dasar
81
sampai perguruan tinggi. Dengan demikian sikap toleransi dan penghargaan
terhadap perbedaan akan tercipta dan integrasi bangsa dapat tetap dipertahankan.
Sumber Rujukan:
Azra,
Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun
Multikulturalisme
Indonesia”,http://www.kongresbud.budpar.go.id/58%20ayyumardi%20azra.
htm.
Lubis, B. Zulkifli, Dari Masyarakat Plural ke Masyarakat Multikultural: Menuju
Optimalisasi Keanekaragaman Budaya Sebagai Aset Bersama.
http://www.academia.edu/5650747/D
Spradley, P. James & David W. Mc. Curdy. 1987. Conformity and Conflict:
Reading in Cultural Anthropology. 7 edition. Boston: Little, Brown and
Company.
Hefner, Robert W. 2007. Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas
Kebangsaan. Yogyakarta: Impulse-Kanisius.
Parsudi,
Suparlan.
2005.
Sukubangsa
sukubangsa.Jakarta:YPKIK
dan
Hubungan
Antar
82
Download