Hand Out Bahan Kajian : Individu dan Masyarakat, Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :1 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) 1. Mahasiswa mampu menjelaskan individu dan masyarakat 2. Mahasiswa mampu menjelaskan konsep diferensiasi sosial dan stratifikasi sosial Materi INDIVIDU DAN MASYARAKAT 1. Pengertian individu dan masyarakat 2. Kelompok sosial dalam masyarakat 3. Diferensiasi sosial dan stratifikasi sosial Pengantar Mata kuliah hubungan antar sukubangsa merupakan mata kuliah yang penting diajarkan kepada mahasiswa, mengingat keragaman penduduk Indonesia yang sangat luar biasa. Keragaman berasal dari perbedaan kelompok etnis atau sukubangsa dan kebudayaan yang terdapat di Indonesia, perbedaan agama, perbedaan ideologi, perbedaan ras dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang di tengah-tengah kelompok masyarakat yang dapat menimbulkan stereotipe, prasangka dan konflik, yang sering dipicu oleh masalah ketimpangan ekonomi di antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Pengenalan terhadap perbedaan-perbedaan kelompok ini seharusnya memberikan pengertian dan saling mengenal yang akan mengurangi dan bahkan mereduksi konflik tersebut sampai 1 ke titik nadir. Untuk itulah kuliah ini diberikan dalam rangka pengenalan perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat Indonesia yang besar ini. Di dalam ajaran agama Islam, Allah mengatakan manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk saling mengenal antara satu dengan lainnya, bukan untuk saling memecah belah di antara sesamanya (ummat manusia) tersebut. Oleh karena itu sangat baik mahasiswa dapat mengukuti dan mempelajari Hubungan Antar Sukubangsa,1 ini dengan sungguh-sungguh. Pada pertemuan pertama mata kuliah HASB akan diperkenalkan konsep individu dan masyarakat serta konsep-konsep penting yang menjelaskan kelompok-kelompok yang terdapat di dalam masyarakat dan ... Individu Individu, merupakan konsep yang berasal dari bahasa Latin yaitu individum yang berarti yang tidak terbagi (individed). Tidak terbagi maksudnya adalah sebagai satuan makhluk hidup memiliki jiwa dan raga, fisik dan psikis. “Individu dapat digunakan untuk menunjuk seseorang manusia untuk dapat dibedakan dengan individu lainnya. Konsep individu berlaku umum, sebagai ganti menyatakan satu orang. Di dalam bahasa Inggris terdapat konsep person, berarti seseorang atau pribadi, karena person itulah yang memiliki personality atau kepribadian. Inilah yang membedakan seorang individu sebagai person dengan person lainnya. Individu sebagai person inilah di dalam konteks mata kuliah ini dijelaskan sebagai satuan person, bagian terkecil atau anggota masyarakat. Keluarga adalah kelompok sosial yang paling penting oleh seorang individu. Keluarga yang paling kecil disebut dengan keluarga inti, keluarga batih (somah) atau nuclear family, yang terdiri dari seorang laki-laki (ayah), seorang perempuan (ibu) dan anak yang belum menikah. Kelompok yang lebih besar adalah keluarga luas, extended family, yaitu kelompok orang yang terikat hubungan perkawinan dan garis keturunan yang lebih besar dari keluarga inti. Kelompok ini bisa berasal dari keluarga inti maupun tidak. Keluarga luas yang berasal dari keluarga inti apabila terjadi perkawinan dari anak-anak yang telah 1 Selanjutnya di dalam handout ini disingkat dengan HASB saja. 2 dewasa dan masih menetap bersama suami atau isteri dengan orang tuanya. Keluarga luas yang tidak berasal dari hasil perkawinan adalah karena keluarga inti tersebut bertambah keanggotaannya dengan datangnya anggota baru masuk menjadi anggota keluarga tersebut, misalnya sebagai pembantu rumah tangga, sopir keluarga dan lain sebagainya. Menurut Parsudi Suparlan, para ahli antropologi melihat keluarga sebagai suatu satuan sosial terkecil yang dipunyai oleh manusia sebagai makhluk sosial. Pendapat ini didasarkan atas kenyataan bahwa sebuah keluarga adalah suatu kesatuan kekerabatan yang juga merupakan suatu tempat tinggal yang ditandai oleh adanya kerjasama ekonomi dan mempunyai fungsi untuk berkembang biak, mensosialisasi dan mendidik anak dan menolong serta melindungi yang lemah khususnya merawat orang-orang tua mereka yang telah jompo.2 Keluarga inti maupun keluarga luas memiliki fungsi-fungsi yang sama. Secara tradisional peran keluarga luas lebih dominan dibanding keluarga inti, karena adanya fungsi kerjasama secara ekonomi yang lebih luas, dalam pengertian adanya kesatuan komunal dengan kepemilikian dan ekonomi komunal pula.3 Namun seiring dengan perkembangan masyarakat ke dalam masyarakat industri, keluarga inti menjadi lebih penting, karena keluarga inti menjadi satuan ekonomi yang penting sebagai pengganti keluarga luas dalam konteks komunal seperti cara-cara keluarga luas tradisional. Di dalam sistem kekerabatan, perkembangan dari keluarga inti dan keluarga luas adalah terbentuknya kelompok keturunan yang disebut dengan lineage, seperti kaum pada orang Minangkabau. Selanjutnya kelompok keturunan yang terbesar secara antropologi disebut dengan clan atau klen, seperti suku pada orang Minangkabau dan Mentawai, atau marga pada orang Batak. Kelompok keturunan – secara matrilineal, patrilineal atau gabungan keduanya (bilineal) - ini masih kuat menjadi rujukan dalam pembentukan identitas individu dan kelompok di dalam satu sukubangsa. Oleh karena itu orang Batak pada umumnya 2 3 Parsudi Suparlan. 1986. “Keluarga dan Kekerabatan,” dalam A.W.Widjaja (editor) Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta: Akademika Pressindo. Hal.96-104. Di dalam banyak sukubangsa di Indonesia dengan sistem mata pencaharian agraris, sawah dan ladang dimiliki secara komunal dan diolah untuk menunjang hidup keluarga luas secara komunal. 3 menambahkan nama marga di belakang namanya. Klen menjadi identitas ketiga setelah nama sukubangsa dan sebagai orang Indonesia. Identitas sebagai orang Indonesia adalah identitas yang terbentuk sebagai warga negara. Identitas ini melebihi identitas kesukubangsaan, identitas sebagai warga negara. Dikatakan melebihi karena melingkupi banyak sukubangsa yang ada di Indonesia. Keragaman kesukubangsaan inilah yang pokok persoalan dalam hubungan antar sukubangsa. Di dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat beragam kesukubangsaan ini bisa menimbulkan konflik karena saling tidak mengenal dari banyak sukubangsa yang berbeda tersebut. Perbedaan (diversity) masih ditambah dengan perbedaan agama dan ideologi yang bisa saja menimbulkan pandangan stereotipe dan menimbulkan stratifikasi sosial yang tajam di dalam masyarakat. Masyarakat Sebelum menjelaskan lebih jauh, labih baik jelas apa yang dimaksud dengan masyarakat (society) yang sering dibicarakan dalam hand out ini. Konsep society berasal dari bahasa Latin socious yang berarti teman atau kawan. Konsep ini mengindikasikan bahwa yang namanya teman pastilah ada proses interaksi di antara orang atau person yang berteman tersebut. Konsep masyarakat di dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab, syaraka yang artinya berkumpul. Di dalam konsep tersebut dapat dimengerti bahwa di dalam berkumpul tersebut pasti juga terjadi interaksi antar person yang berkumpul tersebut. Inilah ciri dasar manusia sebagai makhluk sosial, yang selalu membutuhkan dan adanya saling ketergantungan sesamanya di dalam suatu kelompok. Kelompok yang saling berinteraksi yang dapat disebut sebagai masyarakat apabila memiliki rasa identitas bersama sebagai bagian dari kelompok tersebut. Satu poin lagi dari sebuah masyarakat adalah wilayah dimana kelompok tersebut menetap. Itulah beberapa karakteristik dari kelompok manusia yang bisa dikatakan sebagai masyarakat (society). Identitas kelompok suatu masyarakat tertentu dapat tumbuh apabila individu-individu di dalamnya telah berinteraksi dalam waktu yang lama di wilayah tertentu dan membentuk kesadaran sebagai bagian dari kelompok masyarakat tersebut. 4 Dalam kehidupan bermasyarakat sekarang kita dihadapkan bertemunya anggota masyarakat yang berbeda-beda sukubangsa dan kebudayaan. Kehidupan masyarakat yang semakin terbuka tidak membatasi orang dari berbagai sukubangsa dan kebudayaan untuk migrasi ke daerah manapun di Indonesia. Di daerah pedesaan saja telah masuk berbagai sukubangsa yang awalnya karena pekerjaan yang mengharuskannya masuk ke daerah tersebut dan akhirnya menetap sebagai warga desa tertentu. Apalagi di daerah perkotaan, kehidupan masyarakat yang sangat kompleks mengharuskan terjadinya hubungan antar sukubangsa, baik secara pribadi maupun kelompok. Payung Bangun sudah menggambarkan hubungan antar sukubangsa di kota Medan,4 berdasarkan hasil penelitian sendiri dan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Edward Bruner. Berbagai sukubangsa masuk ke kota untuk mendapat pendidikan dan pekerjaan, sehingga keragaman kesukubangsaan, kebudayaan, agama dan ideologi lebih terasa di daerah perkotaan dibanding daerah pedesaan. Kota memiliki daya tarik yang kuat bagi penduduk untuk beradatangan dan menetap. Inilah yang kemudian memperlihatkan keragaman yang langsung dirasakan oleh penduduk kota. Oleh karena itu dapat diasumsikan, semakin maju sebuah kota, semakin beragam penduduknya. Maka kota-kota yang tumbuh di Indonesia merupakan wilayah yang menjadi incaran dari berbagai sukubangsa, terutama yang dekat wilayahnya dengan kota tersebut. Maka jadilah kota sebagai wilayah dengan corak keragaman dan memperlihatkan hubungan antar sukubangsa. Diferensiasi Sosial dan Stratifikasi Sosial Diferensiasi sosial dan stratifikasi sosial merupakan dua konsep dalam ilmu sosial terutama sosiologi yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang terdapat di dalam masyarakat. Konsep diferensiasi menekankan perbedaanperbedaan yang terdapat di antara berbagai kelompok sosial. Perbedaan tersebut dapat berupa perbedaan kesukubangsaan atau etnisitas, perbedaan agama, mata pencaharian atau pekerjaan, ras, ideologi dan lain sebagainya. Diferensiasi pada 4 Payung Bangun. 1978. “Hubungan Antar Sukubangsa di kota Medan,” dalam Berita Antropologi Th. X No.34 Maret. Hal.19-27. 5 prinsipnya merupakan cara pandang yang menekankan perbedaan-perbedaan dari berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat tanpa melihat adanya kelompok yang lebih tinggi atau lebih rendah. Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial atau jenjang sosial pada sisi lain juga merupakan cara pandang terhadap kelompok-kelompok yang berbeda di dalam masyarakat dengan penekanan kepada adanya perbedaan atas lebih tinggi atau lebih rendah dari berbagai kelompok sosial. Cara pandang yang membedakan atas strata tersebut sering berdasakan kepada perbedaan secara ekonomi atau terhadap memiliki atau tidak memiliki. Karl Marx yang terkenal dengan konsep ‘kelas’ yang terdiri dari borjuis dan proletar karena perbedaan atas memiliki atau tidak memiliki faktor-faktor ekonomi dan alat produksi yang menyebabkan munculnya eksploitasi dari kelas borjuis terhadap proletar, yang menjadi sumber konflik. Di dalam agama Hindu juga dikenal adanya stratifikasi berdasarkan kepada penggolongan orang yang justru didasari oleh agama sehingga adanya penggolongan orang, tinggi dan lebih rendah. Cara pandang yang menempatkan mata pencaharian tertentu lebih tinggi atau lebih rendah dari yang lainnya dengan sendirinya menciptakan stratifikasi di dalam masyarakat. Departemen Pendidikan di masa Orde Baru dan setelah Reformasi juga menciptakan cara pandang yang menganggap pilihan peminatan kelompok mata pelajaran ilmu eksak lebih tinggi dari mata pelajaran ilmu sosial. Sehingga siswa yang juara di kelasa dikelompokkan ke dalam kelompok ilmu eksak atau IPA. Di dalam kurikulum 2013 pandangan stratifikasi ini coba dihilangkan dengan mensetarakan ilmu eksak dengan ilmu sosial dan humaniora. Pilihan siswa adalah berdasarkan keinginan atau peminatan. Jadi stratifikasi sosial diciptakan di dalam masyarakat atau perbedaan-perbedaan yang diciptakan masyarakat itu sendiri. Koentjaraningrat menyatakan, Di dalam hampir semua masyarakat di dunia baik yang amat sederhana maupun yang amat kompleks sifatnya, dalam pergaulan antar individunya, ada pembedaan kedudukan dan derajat (status). Dalam masyarakat-masyarakat yang kecil dan sederhana biasanya pembedaan kedudukan dan derajat itu bersifat minimum, karena warganya sedikit dan individu-individu yang dianggap tinggi juga tidak banyak macam dan jumlahnya. Dalam masyarakat-masyarakat yang kompleks biasanya pembedaaan kedudukan dan derajat juga 6 bersifat kompleks, karena warganya banyak dan individu yang dianggap tinggi juga banyak macam dan jumlahnya. Pembedaan kedudukan dan derajat terhadap individu-individu di dalam masyarakat itulah yang menjadi dasar dan pangkal bagi gejala pelapisan sosial atau social stratification yang ada dalam hampir semua masyarakat di dunia.5 Cara pandang diferensiasi dan stratifikasi sosial ini jika tidak diapresiasi dengan baik juga bisa menjadi pemicu konflik sebagaimana yang dinyatakan Karl Marx, sebagai empu teoritisi konflik. Inilah yang penting diperhatikan di dalam melihat hubungan antar sukubangsa di Indonesia, di samping masalah-masalah keragaman lainnya yang akan diulas dalam tema-tema kuliah selanjutnya. 5 Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:Dian Rakyat. Hal.180. 7 Hand Out Bahan Kajian : Sukubangsa (Ethnic Groups) dan Etnisitas sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :2 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan konsep sukubangsa (ethnic group) dan kesukubangsaan (ethnicity) Materi SUKUBANGSA DAN KESUKUBANGSAAN 1. Pengertian sukubangsa 2. Ciri-Ciri Sukubangsa 3. Pengertian kesukubangsaan 4. Identitas sukubangsa dan solidaritas sukubangsa Konsep Sukubangsa (Ethnic Groups) Konsep sukubangsa atau kelompok etnik (ethnic groups) merupakan konsep yang sudah melekat di dalam antropologi, karena sejak lahirnya antropologi, para ahlinya sudah bekerja menggali kebudayaan kelompok etnik atau sukubangsa dari berbagai belahan dunia ini. Para antropolog barat sejak awal abad keduapuluh sudah bertebaran di muka bumi untuk menggali dan mendeskripsikan berbagai kelompok etnik yang ribuan jumlahnya. Hasil-hasil penelitian ini dikumpulkan di dalam ‘ensiklopedi’ yang diberi judul Human Relation Area Files (HRAF), yang merupakan sebuah lembaga di Yale University di Amerika Serikat. Awalnya dengan mengungkap sukubangsa yang masih hidup sederhana dengan kebudayaannya atau struktur sosialnya, kemudian mulai beralih 8 untuk mengenal kebudayaan berbagai sukubangsa yang sudah mulai maju dan yang sudah maju, seperti berbagai kebudayaan di Eropa dan Amerika. Penelitianpenelitian secara wholistic dilakukan untuk mengungkap ‘rahasia tersembunyi’ di balik kebudayaan manusia yang berbeda di berbagai belahan dunia. Di dalam buku-buku antropologi seperti yang dideskripsikan oleh Narroll, kelompok etnik dijelaskan sebagai populasi yang (1) secara biologis mampu berkembang biak dan bertahan, (2) mempunyai nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu bentuk budaya, (3) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi lain.6 Koentjaraningrat menyatakan sukubangsa sebagai kelompok sosial atau kesatuan hidup manusia yang mempunyai sistem interaksi, sistem norma yang mengatur interaksi tersebut, adanya kontinuitas dan rasa identitas yang mempersatukan semua anggotanya serta memiliki sistem kepemimpinan sendiri. Sedangkan ahli lain seperti Tumin menyatakan kelompok etnik adalah suatu kelompok sosial yang berada dalam sesbuah sistem sosial dan kebudayaan yang lebih besar dan mendasarkan pengelompokkan diri mereka pada status sosial khusus karena suatu penurunan ciri etnik bawaan yang dianggap ada. Abner Cohen menyatakan kelompok etnik adalah kesatuan orang-orang yang secara bersama-sama menjalani pola-pola tingkah laku normatif, atau kebudayaan, dan yang membentuk suatu bagian dari populasi yang lebih besar, saling berinteraksi dalam kerangka suatu sistem sosial bersama, seperti negara.7 Oleh Parsudi Suparlan sukubangsa adalah kategori atau golongan sosial. Sebagai golongan sosial, sukubangsa adalah golongan sosial yang khusus yaitu askriptif, yaitu golongan sosial yang didapat begitu saja. Sukubangsa itu ada dan dikenal karena adanya interaksi dengan sukubangsa lainnya dan melalui adanya interaksi ini ada pengakuan mengenai keberadaan dan ciri-cirinya yang saling berbeda. Di antara ciri-ciri sukubangsa sebagai golongan sosial, yang terpenting yang membedakan sukubangsa dan golongan sosial lainnya adalah ciri-cirinya yang aksriptif yang 6 Fredrik Barth.1988. kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Press. Hal.11. Zulyani Hidayah.. 1997. Konsep-konsep Dasar Kesukubangsaan, dalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta:LP3ES. Hal.xix-xxvii. 7 9 mincul dan lestari di dalam interaksi yang menghasilkan pengakuan, atau saling mengakui dan diakui.8 Selanjutnya Suparlan menyatakan ciri-ciri sukubangsa sebagai berikut: (1) Sebuah satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak dan lestari; (2) Mempunyai kebudayaan serta pranata-pranata yang mereka miliki bersama, yang merupakan pedoman bagi kehidupan mereka, yang secara umum berbeda dari yang dipunyai oleh kelompok atau masyarakat sukubangsa lainnya; (3) Keanggotaan dalam sukubangsa yang bercorak aksriptif, yaitu keanggotaan yang didapat oleh seseorang dengan begitu saja, bersamaan dengan kelahirannya yang mengacu kepada kesukubangsaan orang tua yang melahirkannya dan/atau daerah asal tempat kelahiran dan dibesarkannya hingga dewasa.9 Dari beberapa defenisi tersebut sukubangsa (ethnic group) dapat dilihat dari beberapa ciri seperti bahasa, garis keturunan, rasa identitas, kebudayaan, mengaku dan diakui, dan daerah asal. Bahasa memang menjadi ciri yang menonjol, tetapi orang lain di luar sukubangsa yang bersangkutan bisa saja memiliki kemampuan berbahasa yang luar biasa. Siapapun dapat belajar bahasa Inggris dan dapat menjadi fasih seperti orang Eropa atau Amerika berbahasa, tetapi penampilan fisik yang berbeda ras jelas dapat membedakan. Untuk banyak sukubangsa di Indonesia yang memiliki penampilan fisik yang tidak jauh berbeda bisa juga meragukan apabila seseorang dapat menguasai bahasa sukubangsa lain yang telah dipelajarinya dengan baik. Tetapi penguasaan aturan kebudayaan dengan nilai-nilai yang tercakup di dalamnya mungkin menjadi pembeda karena tidak dapat dikuasai sepenuhnya jika tidak hidup lama di kebudayaan sukubangsa tersebut. Maka cara-cara bertindak yang baik atau tidak baik menurut kebudayaan sukubangsa tertentu bisa saja berbeda dengan kebudayaan sukubangsa lain. Sukubangsa bisa diketahui dari bahasa yang sama dari masing-masing anggota sukubangsa tersebut. Oleh karena itu bahasa menjadi indikator yang penting, sehingga orang lain dapat mengakui bahwa seseorang atau person tersebut dapat diakui sebagai anggota dari sukubangsa tertentu. Kesamaan identitas ini dapat tumbuh jika seseorang dilahirkan dan dibesarkan di dalam 8 9 Parsudi Suparlan.2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.18. ibid. Hal. 19-20. 10 kelompok sukubangsa atau lingkungan sosialnya dimana dia dibesarkan. Pengenalan bahasa yang diajarkan sejak lahir itu sekaligus merupakan pengenalan terhadap kebudayaan sukubangsa bersangkutan. Bahasa sebagai indikator atau ciri yang utama dari sebuah sukubangsa. Bahasa juga dapat dipelajari oleh orang dari kebudayaan yang berbeda sampai menguasai bahasa tersebut dengan fasih. Persoalannya adalah pada pemaknaan dan penguasaan kebudayaan oleh individu tersebut. Penguasaan dan pemaknaan kebudayaan sukubangsa sebenarnya juga dimiliki oleh seseorang apabila individu tersebut hidup lama di dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, sehingga dia juga mengenal dan dapat menggunakan simbol-simbol kebudayaan tersebut. Lalu, apa bedanya dengan individu yang memang pendukung atau bagian dari kebudayaan yang bersangkutan? Bedanya adalah seseorang yang bukan pendukung atau bagian dari sukubangsa itu tidak memiliki rasa identitas yang sama dengan pendukung sukubangsa tersebut. Rasa identitas ini tumbuh dari proses sosialisasi kebudayaan yang panjang sejak masa bayi dan dibesarkan di dalam lingkungan kebudayaan sukubangsa tersebut, yang menginternalisasi ke dalam diri setiap individu. Proses ini menjadi penting sejak individu bayi dan balita, karena pada masa inilah terbentuknya kepribadian seseorang dan menjadi bagian dari kebudayaan sukubangsa. Oleh karena itu jika seseorang yang sudah dewasa masuk ke dalam sukubangsa tertentu dan mempelajari bahasa serta kebudayaan sukubangsa tersebut, tetapi rasa kesukubangsaan yang dimilikinya adalah dari sukubangsa asalnya sejak bayi dan balita. Pada masa bayi dan balita inilah kepribadian dan pembentukan diri seseorang tumbuh, yang sangat dipengaruhi oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk menjadi anggota sukubangsa dengan kebudayaannya. Sebuah kasus unik pernah terjadi, seorang pemuda yang ‘berdarah’ Amerika (kaukasoid), asal Indiana, tetapi tidak bisa berbicara sepatah katapun dalam bahasa Inggris dan ia jelas merasa bingung dengan cara-cara orang di Amerika. Sejak bayi, ia yatim piatu dan dibesarkan oleh keluarga Cina di sebuah desa karena orang tuanya menjadi misionaris ke Cina. Semua orang yang berjumpa dengannya melihatnya lebih bersifat Cina daripada Amerika. Matanya yang biru 11 dan rambutnya yang pirang kurang menarik, gaya jalannya seperti gaya jalan orang Cina, gerakan tangan dan lengan seperti orang Cina, ekspresi wajah seperti orang Cina, dan cara berfikir Cina. Warisan biologi adalah Amerika, tetapi pendidikan kebudayaannya adalah Cina. Akhirnya ia kembali ke Cina.10 Jadi sukubangsa dalam hal ini lebih dinilai dari ciri-ciri atau simbol-simbol kebudayaan dari sukubangsaan tersebut. Inilah yang menjadi ciri askriptif, yang terbentuk begitu saja di tengah-tengah masyarakat melalui proses sosialisasi yang panjang, yang dimulai dari masa bayi dan balita sebagai masa awal pembentukan kepribadian dan sukubangsa seseorang, bukan melalui proses bawaan secara genetik seperti bentuk tubuh, atau diwariskan oleh orang tua. Satu poin ini yang menjadi ciri yang berbeda dari apa yang dinyatakan oleh Parsudi Suparlan. Etnisitas Etnisitas atau kesukubangsaan oleh Parsudi Suparlan adalah identitas atau jatidiri sukubangsa yang dipunyai oleh seseorang, yaitu karena seseorang tersebut mengaku sebagai termasuk dalam sesuatu golongan sukubangsa dan diakui oleh orang lain yang termasuk sebagai golongan sukubangsa lainnya. 11 Kottak menyatakan ethnicity is based on common cultural traditions – not mainly on biological features, as race is.12 (Kesukubangsaan didasarkan atas tradisi-tradisi kebudayaan, bukan oleh bawaan biologis seperti ras). Etnisitas ini muncul di dalam proses interaksi oleh para pelaku, karena dalam interaksi seseorang akan memperlihatkan ciri-ciri atau atribut kesukubangsaannya. Seseorang bisa memiliki beberapa identitas atau jatidiri. Seorang Minangkabau berinteraksi dengan orang Aceh dia akan menidentifikasikan jatidirinya sebagai orang Minang, tetapi apabila dia berinteraksi dengan sesama orang Minang lainnya maka dia akan mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Pariaman atau Batusangkar. Menurut Suparlan, di antara jatidiri yang dipunyai oleh seseorang, jatidiri sukubangsa adalah jatidiri yang askriptif yang tidak bisa dibuang dan atau diganti 10 Clyde Kluckhon. 1984. ‘Cermin bagi Manusia’ dalam Parsudi Suparlan (editor) Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya. (Ter.). Jakarta:Rajawali Pers. Hal.69-109. 11 Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.35. 12 Conrad Phillip Kottak. 2002. Anthropology. The Exploration of Human Diversity. Ninth Edition. Boston: McGraw Hill. 12 begitu saja oleh jatidiri lainnya, karena jatidiri tersebut menempel pada dirinya bersama dengan kelahirannya yang didapat dengan mengacu pada asal muasal orang tua dan/ atau daerah asalnya. Walaupun tidak dapat dibuang dari dirinya atau diganti begitu sajaoleh jatidiri sukubangsa lainnya atau jatidiri lainnya, jatidiri sukubangsa atau kesukubangsaan itu dapat disimpan atau tidak digunakan dalam interaksi bila jatidiri sukubangsa tersebut dianggap tidak perlu atau tidak relevan.13 Pada bagian lain Suparlan menyatakan kesukubangsaan dapat dilihat sebagai kekuatan sosial untuk menciptakan terwujudnya kohesi sosial di antara sesama anggota sukubangsa. Kohesi sosial ini dapat diaktifkan dan diarahkan sebagai solidaritas sosial yang berkekuatan paksa diberlakukannya suatu kebijakan politik atau ekonomi, memenangkan persaingan memperebutkan sumberdaya, atau menghancurkan kelompok sukubangsa lain yang menjadi lawan. Kesukubangsaan sebagai kekuatan sosial tidak dapat ditawar atau diremehkan (non negotiable) pada saat terwujud sebagai sebuah solidaritas sosial.14 13 Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.35. Parsudi Suparlan. 2003. ‘Kesukubangsaan dan Posisi Orang Cina dalam Masyarakat Majemuk Indonesia,’ dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Th.XXVII, No.71 Mei-Agustus 2003. Hal.23-33. 14 13 Hand Out Bahan Kajian : Kebudayaan sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :3 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mengenalkan konsep kebudayaan (culture) sebagai konsep yang penting dalam melihat hubungan antar sukubangsa. Materi 1. Kebudayaan secara garis besar. 2. Pengenalan kebudayaan dari berbagai perspektif yang berbeda dan implikasinya di dalam memahami realitas. Pengertian Kebudayaan Kebudayaan merupakan konsep utama di dalam ilmu antropologi, terutama antropologi budaya. Telah banyak defenisi yang diberikan terhadap konsep kebudayaan ini. Dari kata asalnya kebudayaan dalam bahasa Inggris culture berasal dari colere15 yang berarti mengolah, telah menimbulkan polemik di kalangan antropolog Indonesia tentang cara mendefenisikannya ke dalam konsep atau istilah Indonesia.16 Secara konseptual dalam tulisan-tulisan atau pembicaraan para ahli, wartawan atau orang awam sering dijumpai penggunaan konsep yang berbeda-beda, di antaranya kebudayaan, budaya, kultur atau kulturil. Perbedaan penggunaan konsep kebudayaan yang merupakan proses me- 15 Lihat Koentjaraningrat 1989. Lihat Marzali 1998, 1999; Suparlan 1999; Ahimsa-Putra 1999; Masinambow 1999. 16 14 Indonesia-kan konsep culture tersebut itulah yang menjadi polemik para antropolog Indonesia. Perbedaan pemahaman konsep culture ini juga disebabkan pemahaman yang berbeda yang sering dijumpai dan kadang salah kaprah di dalam pembicaraan atau media massa, seperti yang dapat kita lihat berikut ini. Dalam bahasa atau jargon biologi sering disebut “mengkultur bakteri”, yang berarti membiakkan sekumpulan bakteri di dalam tabung-tabung test laboratorium. “Orang itu tidak berbudaya.” Kalimat itu kadang terdengar dari kalangan “kelas atas” untuk menyebut atau menghina perilaku orang yang tidak sesuai dengan perilaku yang “halus” atau “terhormat”. Dalam media massa juga sering ditemukan penggunaan istilah budaya atau kebudayaan untuk menyebut sebuah masyarakat, seperti “kebudayaan Minangkabau”, “Kebudayaan Mesir”, “Kebudayaan Cina” dan lain sebagainya. Di kalangan ilmu arkeologi sering disebut “peninggalan kebudayaan Hindu kuno” untuk menyebut semua produk atau artefak yang dibuat manusia zaman lampau. Oleh seniman kebudayaan dimaksudkan sebagai semua hal yang indah-indah, seperti konsep “budayawan” atau “pameran kebudayaan Asmat”, dan lain sebagainya. Di dalam bidang pertanian, budaya (budidaya) dimaksudkan sebagai jenis tanaman yang dijinakkan atau didomestifikasi atau dikembangkan, contoh; “pembudidayaan kelapa sawit di lahan gambut”. Dalam antropologi konsep culture diterjemahkan pertama kali oleh Edward Bernett Tylor pada tahun 1871 dalam bukunya Primitive Culture, sebagai ....is that complex whole which include knowledge, beliefs, arts, morals, law, cusstom, and any other capabilities and habits acquired by man as a member of society. Dalam pengertian ini kebudayaan adalah that complex whole (keseluruhan yang kompleks), yang terdiri dari any capabilities and habits (banyak kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan) manusia yang terdiri dari knowledge (pengetahuan), kepercayaan-kepercayaan (beliefs), kesenian, moral, adat istiadat dan lain sebagainya, yang dimiliki manusia sebagai anggota dari suatu masyarakat. Ini merupakan sebuah defenisi yang umum atau tidak memihak dalam pengertian telah banyaknya defenisi yang diberikan berdasarkan kepada 15 latar belakang atau perspektif yang berbeda – beda dari para ahli sesuai dengan aliran pemikiran atau pendekatan teoritis (paradigma) yang dianutnya. Kebudayaan inilah yang secara sederhana membedakan manusia dari binatang. Manusia sejak dari peradaban awal umat manusia telah mengembangkan kebudayaannya sebagai bentuk proses adaptasinya dengan lingkungan di mana mereka tingggal dan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada sejarah awal evolusi kebudayaan atau peradaban manusia – peradaban dalam hal ini tidak dibedakan dengan kebudayaan, tetapi cenderung dipakai untuk menunjukkan kebudayaan yang menonjol pada satu masa tertentu – orang baru menggunakan akal fikirannya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumber-sumber daya alam berupa makanan dari tumbuhtumbuhan yang kemudian diolah dengan menggunakan api. Penemuan api sudah merupakan satu kemajuan fikiran manusia yang membedakannya dari binatang. Semakin maju cara berfikir dan dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya, manusia telah semakin kompleks menemukan dan mengembangkan alat-alat yang dapat dipakai dalam mempermudah dan semakin menyenangkan kehidupan manusia itu. Kemampuan menemukan dan menciptakan segala sesuatu itulah yang disebut dengan sistem pemikiran atau kebudayaan manusia. Jadi dalam hal ini kebudayaan adalah berupa keseluruhan pengetahuan yang dipunyai manusia sebagai makhluk sosial; yang isinya adalah perangkat-perangkat modelmodel pengetahuan yang secara selektif dapat digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan lingkungan yang dihadapi, dan untuk mendorong dan menciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya,17 yang diperoleh manusia dari proses belajar dan dijadikan milik dirinya sebagaimana individu-individu lainnya di dalam kelompok sosialnya. 2.1. Ciri Kebudayaan. Untuk pemahaman lebih jauh dapat dikatakan bahwa kebudayaan memiliki beberapa ciri, di antaranya: 17 Suparlan 1986 16 1. Culture is learned. Semua makhluk , binatang ataupun manusia belajar dari situasi dan lingkungan untuk survive. Pada manusia, yang terjadi adalah “cultural learning”, yaitu kapasitas manusia untuk mempelajari makna kultural dari simbol dan signal, yang seringkali tidak punya hubungan alamiah dengan benda yang diwakilinya. 2. Culture is symbolic. Kebudayaan atau kemanusiaan dari satu makhluk menucul ketika makhluk itu mempunyai kemampuan untuk menyimbolkan. Simbol adalah segala sesuatu yang bersifat verbal maupun non verbal dalam sebuah bahasa yang memiliki makna menurut satu kebudayaan tertentu. Hubungan antara simbol dengan yang disimbolkan (makna) adalah bersifat arbitrari, konvensional dan hubungan itu tidak perlu natural. Sebagai contoh, penilaian air atas suci atau tidak suci, warna merah bagi orang Cina dan lain sebagaimnya. 3. Culture Seizes Nature. Manusia harus makan untuk hidup, ini adalah hal yang alamiah. Tapi, apa jenis barang yang boleh dimakan, kapan barang itu boleh dimakan dan bagaimana memakanannya? Ini adalah ajaran kultural. Orang Islam tidak boleh makan babi, tidak boleh makan pada siang hari di bulan puasa walaupun lapar. 4. Culture is shared. Budaya adalah sebuah ciri-ciri dari seorang individu. Namun bukan ciri-ciri individu sebagai seorang individu, tetapi individu sebagai angota dari seorang anggota masyarakat, satu kelompok suku bangsa, satu golongan agama, dan sebagainya. Culture ditransmisikan di dalam masyarakat, oleh karena itu kepercayaan, nilai, memories, cara berfikir, dan semua unsur kebudayaan lain di dalam masyarakat tersebut dimiliki bersama oleh seluruh anggota masyarakat. Ayah-ayah Minangkabau sekarang adalah anak-anak Minangkabau beberapa tahun yang lalu. Mereka tumbuh dalam kebudayaan Minangkabau, dalam bahasa Minangkabau dan menyerap nilainilai dan kepercayaan-kepercayaan tertentu yang telah diturunkan selama beberapa generasi. 5. Culture is patterned. Kebudayaan terdiri dari sekumpulan adat, nilai, kepercayaan, pandangan hidup (world view), makna dari simbol, sikap mental, pola pikir dan lain-lain. Semua itu terikat, terintegrasi atau terpola 17 dalam suatu sistem tertentu. Integrasinya disebut dengan istilah ‘logico meaningful integration’. Jika satu unsur berubah, maka unsur lain akan terkena imbasnya dan pola integrasi berubah, lalu pola makna kultural jadi berubah, lalu pola integrasi kultural jadi berubah, pada akhirnya kebudayaan secara keseluruhan berubah. 6. Culture is adaptive. Sekelompok penduduk membangun hubungan yang berhasil dengan lingkungan alamnya sedemikian rupa, sehingga kelompok penduduk tersebut berhasil survive dan berkembang biak. Mereka menjalankan ini dalam satu proses yang disebut dengan adaptasi. Unsur-unsur biologis dan kultural yang berperan besar dalam proses adaptasi ini disebut dengan unsur yang adaptif. Alam telah menyeleksi unsur-unsur biologis dan pola perilaku simbolik yang adaptif dalam lingkungan tertentu. Namun demikian dalam kenyataannya banyak juga pola-pola tingkah laku manusia yang ‘maladaptif’, dalam jangka panjang.18 Banyak defenisi yang telah diberikan terhadap konsep culture ini. Kroeber dan Kluckhohn pada tahun 1952 telah pernah menerbitkan sebuah buku yang mengumpulkan sebanyak 160 defenisi kebudayaan, dengan analisa kritis dan mencoba mengklasifikasikannya. Sekarang diperkirakan mungkin sudah ratusan tambahan defenisi yang diberikan terhadap konsep kebudayaan ini. Beberapa di antaranya dikutip di bawah ini untuk memperlihatkan perbedaan defenisi yang diberikan para ahli dari perspektif yang berbeda. R. Linton (1940) memberikan defenisi culture: Culture is some total of knowledge, attitudes and habitual behavior pattern shared and transmitted by the members of a particular society”. Kroeber and Kluchohn (1952): “Culture is pattern, explicit and implicit,of and for behavior acquired and transmitted by symbols, constututing the distinctive achievement of human group, including their embodiment in artifact”. 18 Amri Marzali, ..... 18 Defenisi culture juga diberikan berbeda menurut aliran yang berkembang di dalam ilmu antropologi, sebagai berikut: Aliran cultural materialism (Leslie A. White 1959): “Culture is a class of things and event, dependent upon symboling, considered in an extrasomatic context”. (Budaya adalah nyata, substansial, hal yang dapat diobservasi, misalnya: satu ucapan, sebudah kapak batu, susu bayi, doa, dan semacam itu). Aliran cultural ecology/cultural materialism (Marvin Harris 1968): “The culture concept comes down to behavior patterns associated with particular groups of peoples, that to “ custom” or to a people’s ‘way of life”. Aliran cultural ecology (Plog; Jolly; and Bates 1976): “Culture is the system of shared meanings they learn from their societytu use in interacting with their surrounding, communicating with others, and coping with their world “. Aliran Semiotic (Geertz 1973): “Culture consists of socially established structures of meaning interms of witch people do such things as signal conspiracies ang join them or perceive insults and answer them, (it is not)... a psycological phenomenon or cognitive structure...”. Culture is the fabric of meaning in terms of which human beings interpret their experience and guide their action; structure social is the form the action takes, the actually existing network of social relations. Culture and social structure are then but different abtractions from the same phenomena (Geertz 1973:145). 19 Aliran cognitive anthropology (Goodenough 1961). “ A society ‘s culture consists of whatever it is one has to know or believe in order to operate in a manner acceptable to its members. Culture is not a material phenomenon: it does not consists of things, people. Behavior, or emotions. It is rather an organization of these things. It is the form of things that people have in mind, their models for perceiving, and otherwise interpreting them”. “Culture..... consists of standars for deciding what to do about it, and.... for diciding haow to go about doing it”. Aliran cognitive anthropology (Spradley 1973) “Culture is acquired knowledge people use to interpret experience and generate behavior”. Spradley dan McCurdy (1987:3) memberi defenisi culture is thus the system of knowledge by which people design their own actions and interpret the behavior of other. Aliran Structuralis Perancis (Claude Levi-Strauss 1963) “Culture is share symbols system that are commulative creations of mind”. Di samping itu W.A. Haviland (1990) memberikan defenisi yang cukup moderat, terlepas dari berbagai aliran yang berkembang di dalam ilmu antropologi, mendefenisikan culture sebagai: “ Culture is a set of standars shareds y members of a society, which when acted upon by the members, produce behavior that falls within a range of variation the members consider proper and acceptable.” Beberapa defenisi kebudayaan di atas memperlihatkan perbedaan pendekatan atau paradigma di dalam memahami dan menjelaskan kebudayaan. Atau dari sudut pandang sebaliknya perbedaan defenisi justru berasal dari perbedaan paradigma ahli antropologi yang mendefenisikan kebudayaan tersebut. Tetapi terdapat juga defenisi yang bersifat umum seperti yang yang pertama ditulis oleh E.B. Tylor maupun oleh Haviland. Defenisi oleh Linton, Kroeber dan 20 Kluckhon walau belum dikelompokkan ke dalam aliran tertentu tetapi sudah dapat dikatakan mewakili aliran tersendiri. Linton menyatakan kebudayaan pada sistem ide dan tindakan sekaligus. Kroeber dan Kluckhon menyatakan kebudayaan dari simbol-simbol kelakuan baik yang langsung tampak maupun tidak. 21 Hand Out Bahan Kajian : Hubungan antar Sukubangsa sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :4 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan bentuk hubungan antara sukubangsa Materi BENTUK HUBUNGAN ANTAR SUKUBANGSA 1. Kerjasama 2. Persaingan 3. konflik Sukubangsa dan Kebudayaan Sukubangsa sebagai golongan sosial aksriptif, yaitu yang diperoleh melalui garis keturunan, secara matrilinial, patrilineal ataupun matri-patrilineal (bilineal), menghasilkan garis keturunan secara fisik (genetik biologis) – walaupun tidak mutlak – yang rata-rata sama dari generasi sebelumnya dan keturunan secara sosial budaya yang meneruskan nilai-nilai dan perilaku yang rata-rata sama dengan generasi sebelumnya. Inilah yang kemudian disebut dengan tradisi, nilai dan prilaku yang tampak yang masih dipertahankan oleh golongan sosial akriptif yang disebut dengan sukubangsa. Sukubangsa merupakan kelompok sosial yang dapat dikatakan terbesar dan sekaligus terkecil. Terbesar apabila jumlahnya mencapai jutaan dan puluhan juta, terkecil karena sukubangsa terdapat pada kelompok sosial terkecil yaitu keluarga inti. Kelompok terkecil ini 22 menjadi dasar terbentuknya masyarakat yang lebih luas, karena setiap keluarga inti pasti akan menghubungkan keluarga tersebut dengan keluarga atau kelompok lainnya. Biasanya dari jaringan kekerabatan yang terdekat menurut aturan garis keturunan, apakah patrilineal, matrilineal atau bilineal. Keluarga inti (nuclear family) yang merupakan satuan kehidupan terkecil juga merupakan satu kelompok sukubangsa, karena di dalamnya terdiri dari individu-individu yang merupakan bagian terkecil dari satuan sukubangsa. Pada umumnya setiap sukubangsa anggotanya lebih banyak yang menikah sesama sukubangsa yang sama. Artinya keluarga merupakan wadah atau lembaga untuk pewarisan nilai-nilai kebudayaan sukubangsa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Di dalam pedesaan dengan kecenderungan masyarakat yang homogen persoalan-persoalan dalam hubungan antar sukubangsa tidak akan ditemui. Persoalan baru muncul apabila ada seseorang atau kelompok orang yang berbeda sukubangsa hidup di tengah-tengah kelompok sukubangsa yang sama. Maka timbul sikap atau rasa ke-aku-an, kamu atau anda, dia atau mereka. Dalam kelompok terkecil seperti keluarga inti sikap atau rasa yang sama bisa muncul apabila suami isteri dan anak-anak tidak dapat meredam persoalan yang mencakup sentimen kesukubangsaan. Tetapi persoalan menjadi berbeda jika perkawinan yang terjadi antar sukubangsa (amalgamasi) tersebut sudah didominasi oleh satu kebudayaan sukubangsa tertentu. Dominasi kebudayaan sukubangsa tertentu di dalam satu keluarga bisa terjadi apabila salah satu anggota keluarga senior [ayah/ ibu (fa/ mo)] adalah individu yang dominan. Kedua, keluarga inti tersebut berada di dalam masyarakat yang mendominasi kebudayaan salah seorang anggota keluarga senior [ayah/ ibu (fa/ mo)]. Kebudayaan yang dominan di dalam masyarakat yang sama dengan kebudayaan ayah atau ibu itulah yang akan menjadi kebudayaan sukubangsa anak-anak dari kelurga inti yang bersangakutan. Tetapi apabila perkawinan amalgamasi ini berada di dalam masyarakat yang didominasi oleh kebudayaan sukubangsa yang berbeda dengan kedua suami isteri ini maka kecenderungannya adalah kebudayaan yang lebih dominan dari suami atau isteri yang akan menjadi kebudayaan dan sukubangsa anak. Asumsi ini diberikan berdasarkan pengamatan terhadap kasus-kasus keluarga amalgamasi. Parsudi Suparlan justru menyatakan 23 dalam kasus seperti ini akan menghasilkan kekacauan dalam jati diri anak-anak.19 Ini diduga juga baru sebuah asumsi, karena setiap individu sadar atau tidak pasti akan menidentifikasikan diri kepada salah satu kelompok sosial terdekat dengannya. Maka pilihan akan identitas diri sejak dini pasti sudah dilakukan. Di dalam masyarakat yang lebih luas dari masyarakat desa atau nagari di Sumatera Barat seperti masyarakat kota, kompleksitas masyarakatnya tidak dapat dihindari, karena masyarakat yang semakin terbuka maka mobilisasi atau migrasi penduduk karena kebutuhan pendidikan dan mencari kerja atau karena perpindahan daerah kerja yang terjadi menciptakan keragaman di dalam masyarakat dengan sukubangsa dan kebudayaan. Maka, siapa saya, anda dan mereka berlaku karena terdapat perbedaan-perbedaan yang dapat dirasakan. Hubungan antar sukubangsa dengan demikian lebih terasa di daerah perkotaan. Maka, individu-individu dengan kebudayaan kesukubangsaannya akan memandang individu lainnya yang berbeda sukubangsa dengan perpektif kesukubangsaanya. Maka pandangan negatif dan subjektif akan muncul dari sisi kesukubangsaan atau disebut juga etnosentrisme. Dengan demikian akan muncul dan berkembang pengetahuan kesukubangsaan yang cenderung etnosentris karena saliang tidak mengenal di antara individu dan kelompok-kelompok sosial berdasarkan kesukubangsaan. Di samping itu akan muncul pandangan negatif mengenai ciri-ciri individu atau kelompok dari sugkubangsa lainnya yang dinilai benar secara subjektif dari satu individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Akibat dari pandangan negatif yang dianggap benar ini adalah munculnya steretip (stereotype) yang kemudian menjadi prasangka (prejudice). Stereotype menurut Parsudi Suparlan berisikan sangkaan-sangkaan mengeonai sifat-sifat jelek yang dipunyai oleh anggota-anggota suatu sukubangsa tersebut.20 Stereotipe diungkapkan dengan kata-kata yang menjelekkan sukubangsa tertentu atau memberi label yang merendahkan tertentu tertentu terthadap kelompok etnik tertentu yang belum pasti kebenarannya. Prejudis muncul apabila sangkaan tersebut sudah menjadi anggapan yang tidak baik terhadap kelompok sukubangsa lain, artinya sudah tidak 19 20 Parsudi Suparlan. 2005. Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta:YPKIK. Hal.24 Ibid. Hal.26. 24 ada lagi sisi baik sukubangsa yang diberi label negatif tesebut. Ujung-ujungnya adalah konflik antar kelompok atau konflik antar sukubangsa. Ini artinya kelompok sukubangsa yang membentuk dan memberikan stereotipe ke kelompok sukubangsa lainnya itu menggunakan kebudayaan sebagai jati diri sukubangsa tersebut yang dilakukan dengan mengaktifkan satu atau sejumlah unsur kebudayaan yang dipunyai yang dipertentangkan satu atau sejumlah unsur kebudayaan sukubangsa lainnya. Unsur-unsur kebudayaan tersebut menjadi simbol-simbol (gejala-gejala yang mempunyai makna menurut kebudayaan yang bersangkutan) yang digunakan sebagai atribut-atribut atau tanda-tanda untuk menunjukkan jati diri sukubangsanya.21 Oleh karena itu dalam hubungan antar sukubangsa masalah kecil bisa menjadi besar dan konflik apabila dilihat dari sudut pandang etnosentris. Stereotipe, prasangka dan diskriminasi akan muncul sebagai pendahulu konflik antar sukubangsa. Jadi masalah akan banyak muncul dalam konteks hubungan antar sukubangsa sepanjang tidak saling memahami dan mengerti di antara individu dan kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda-beda. Sumber: Parsudi Suparlan. 2005. Stereotip, Atribut, dan Hubungan AntarSukubangsa dalam Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK 21 Ibid. 25 Hand Out Bahan Kajian : Stereotip, Atribut dan Hubungan antar Sukubangsa sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :5 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan stereotype, atribut dan hubungan antar sukubangsa Materi 1. Pengertian stereotipe dan atribut 2. Stereotipe dan atribut dalam hubungan antar sukubangsa Stereotipe Dalam sebuah masyarakat yang bersukubangsa banyak, kebudayaan dari masing-masing sukubangsa juga berisikan konsep-konsep mengenai berbagai sukubangsa yang hidup bersama di dalam masyarakat tersebut. Apa saja yang tercakup di dslam konsep-konsep kebudayaan tsebut adalah sifat-sifat atau karakter dari masing-masing sukubangsa tersebut. Isi dari konsep-konsep atau pengetahuan yang ada dalam kebudayaan dari masing-masing sukubangsa adalah pengetahuan mengenai diri atau sukubangsa mereka masing-masing, sebagai pertentangan atau lawan dari sukubangsa-sukubangsa lainnya. Ini dilakukan untuk memunculkan keberadaan sukubangsa atau kesukubangsaan dalam interaksi antar anggota sukubangsa yang berbeda. Konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan mengenai sukubangsanaya dan mengenai sukubangsa-sukubangsa lainnya yang hidup bersama di dalam 26 sebuah masyarakat adalaha pengetahuan yang penuh dengan keyakinan-keyakinan mengenai kebenarannya yang subjektif. Kebenaran subjektif ini mengenai ciri-ciri sukubangsanya dan sukubangsa-sukubangsa lainnya. Pengetahuan mengenai sesuatu sukubangsa lain yang ada dalam kebudayaan sesuatu sukubangsa tertentu adalah konsep-konsep yang seringkali juga digunakan sebagai acuan bertindak dalam menghadapi sukubangsa lain tersebut, walaupun tidak selalu demikian adanya dalam perwujudan tindakan-tindakan dari para pelakunya. Konsep-konsep yang subjektif yang ada dalam kebudayaan tersebut dinamakan stereotip, dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka. Sebuah atribut mengenai sesuatu sukubangsa itu muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang yang menjadi anggota sebuah sukubangsa dalam berhubungan dengan para pelaku dari sesuatu sukubangsa tersebut. Dari sejumlah pengalaman yang terbatas, yang dipahami dan mengacu pada kebudayaannya, maka pengalaman tersebut menjadi pengetahuan. Sebagai pengetahuan yang berulang diafirmasi dan dimantapkan melalui pengalaman-pengalaman yang secara berulang terjadi dengan anggota-anggota sesuatu sukubangsa tersebut, maka pengetahuan yang berisi ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut menjadi konsep-konsep yang ada dalam kebudayaan yang diyakini kebenarannya. Melalui berbagai jaringan sosial yang dipunyai oleh seorang pelaku, pengetahuan kebudayaan mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa tersebut disebarluaskan kepada sesama warga masyarakat sukubangsanya. Pengetahuan kebudayaan yang bercorak stereotip, yaitu mengenai ciri-ciri sesuatu sukubangsa menjadi pengetahuan yang berlaku umum dalam kebudayaan dari masyarakat tersebut dan diyakini kebenarannya. Atribut Sukubangsa Atribut adalah segala sesuatu yang terseleksi, baik disengaja maupun tidak, yang dikaitkan dengan dan untuk kegunaannya bagi mengenali identitas atau jatidiri seseorang atau suatu gejala. Atribut ini bisa berupa ciri-ciri yang menyolok dari benda atau tubuh orang, sifat-sifat seseorang, pola-pola tindakan, atau bahasa yang digunakan. Oleh karena itu atribut bisa diberikan kepada sukubangsa maupun kepada diri seseorang atau pada tingkat individual. 27 Jatidiri Identitas atau jatidiri adalah pengenalan atau pengakuan terhadap seseorang sebagai termauk ke dalam sesuatu golongan yang dilakukan atas serangkaian ciri-cirinya yang merupakan satu satuan yang bulat dana menyeluruh, yang menandainya sebagai yang termasuk dalam golongan tersebut. Contohnya, tentara atau TNI mempunyai ciri-ciri, yang ciri-ciri tersebut merupakan sebuah satuan yang bulat dan menyeluruh yang meneyebabkan seseorang dengan ciri-ciri tersebut digolongkan sebagai tentara atau TNI. Bila seseorang tersebut mempunyai atau memakaikan ciri-ciri tentara pada tubuhnya, tetapi ciri tersebut tidak lengkap sebagai ciri-ciri tentara maka jatidiri seseorang tersebut sebagai tentara diragukan kebenarannya, dan biasanya orang tersebut diidentifikasi atau dikenal sebagai tentara gadungan. Identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. Interaksi adalah kenyataan empirik yang berupa antar-tindakan para pelaku yang menandakan adanya hubungan di antara para pelaku tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa identitas atau jatidiri itu muncul dan ada dalam interaksi. Seseorang mempunyai sesuatu jatidiri tertentu karena diakui keberadaannya oleh orang atau orang-orang lain dalam suatu hubungan yang berlaku. Sedangkan dalam suatu hubungan yang lain, yang melihatkan pelaku atau pelaku-pelaku yang lain yang berbeda dari pelaku-pelaku yang semula, jatidirinya bisa berbeda dari yang semula, sesuai dengan corak hubungan dan sesuai dengan saling pengakuan mengenai jatidirinya oleh para pelaku dalam hubungan yang lain tersebut. Penekanan pada pengakuan orang-orang lain dalam hal keberadaan dan kelestarian sesuatu jatidiri yang dimiliki oleh seseorang itu menjadi penting untuk diperhatikan, karena dalsm keasendiriannya yang absolut seseorang tersebut tidak mempunyai jatidiri. Orang-orang lain yang berada dalam interaksi dengan dirinya adalah penentu jatidirinya, sehingga orang-orang lain tesebut dapat dilihat sebagai cermin bagi dirinya. Karena dengan hanya melalui cermin itulah seseorang itu dapat melihat dan mengenali seperti apa dirinya. Walaupun demikian, jatidiri juga dapat muncul dan ada dalam sesuatu kesendirian, dimana di pelaku berada dalam suatu hubungan dengan suatu satuan gaib yang dibayangkan sebagai suatu kebenaran yang tidak dapat dibantah. Seseorang Islam yang sedang berhubungan 28 dengan Tuhannya melalui kegiatan sembahyang akan membayangkan dirinya sebagai hamba Allah, sebagaimana terwujud dalam tindakan-tindakan bersembahyangnya. Untuk apakah seseorang itu memerlukan jatidiri? Jatidiri diperlukan untuk digunakan dalam interaksi. Karena di dalam setiap interaksi setiap pelaku mengambil sesuatu posisi dan berdasarkan atas posisi tersebut si pelaku si pelaku menjalankan peranaxn-peranannya sesuai dengan corak atau struktur interaksi yang berlangsung. Sebuah interaksi mewujudkan adanya struktur dimana masingmasing pelaku yang terlibat di dalamnya berada dalam suatu hubungan peranan. Di lain pihak dan pada waktu yang sama, corak yang dilajankan oleh masingmasing pelaku tersebut tergantung pada corak atau macam struktur interaksi yang berlaku. Contoh, seseorang dalam sebuah keluarga dipanggil bapak oleh anakanaknya. Ddalam keadaan tersebut maka hubungan yang ada antara anak dengan bapak adalah hubungan peranaan anak – bapak merupakan sebuah struktur hubungan yang baku dengan berbagai norma dan nilai yang menjadi pedoman bertindak bagi masing-masing pelaku, sehingga hubungan antara anak bapak adalah sebuhah hubungan peranan anak – bapak. Jadi berbeda dari dan bukan merupakan hubungan peranan antara suami – isteri. Begitu juga struktur hubungan anak – bapak bisa berbeda coraknya antara satu keluarga dengan keluarga lain, dan berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Corak hubungan anak – bapak yang terwujud dsalam interaksi anak – bapak, adalah berbeda dengan corak hubungan antara si bapak pada waktu dia harus berperan sebagai suami dalam interaksinya dengan isterinya. Setiap orang, karena itu mempunyai lebih dari satu jatidiri. Semakin banyak peranan yang dijalankannya dalam kehidupan sosial dan masyarakatnya maka akan semakin banyak pula jatidiri yang dipunyainya. Hubungan antar Sukubangsa Hubungan antar sukubangsa terwujud melalui hubungan-hubungan yang dilakukan ileh para pelaku yang menjadi warga dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda. Sukubangsa-sukubangsa tersebut biasanya adalah sukubangsa- sukubangsa yang saling hidup bertetangga atau yang secara bersama-sama 29 membentuk terwujudnya sebuah masyarakat yang lebih luas daripada masingmasing masyarakat sukubangsanya. Dalam hubungan antar sukubangsa masing-masing sukubangsa tersebut menciptakan dana memantapkan batas-batas sosial dan budaya, atau batas-batas sukubangsa. Artinya, berdasarkan batas-batas sukubangsa tersebut mereka membedakan diri atas saya dari dia yang berbeda, dan menggolongkan sejumlah orang yang tergolong kami dari satu sukubangsa yang sama yang dibedakan dari mereka yang tergolong bukan sukubangsa yang sama. Batas-batas sosial ini berguna dalam menunjukkan perbedaan antara mereka yang tergolong dalam satu sukubangsa yang sama dengan mereka yang tergolong dalam sukubangsa yang lain, yaitu yang berbeda sukubangsanya. Melalui batas-batas sukubangsa ini stereotip yang dipunyai oleh masing-masing sukubangsa mengenai satu sama lainnya menjadi lestari, karena melalui dan di dalam stereotip inilah perbedaanpebedaan sukubangsa yang berbeda itu terwujudkan. Dalan interaksi yang terjadi di antara warga yang berbeda sukubangsanya, tidak selamanya stereotip yang mereka punyai masing-masing itu digunakan sebagai acuan dalam sling berhubungan. Interaksi antar sukubangsa yang seperti ini biasanya terwujud dalam suatu interaksi dimana masing-masing pihak saling membutuhkan, memperoleh manfaat dan keuntungan, dan hubungan teqrsebut bersifat sebagai hubungan komplementer atau hubungan yang simbiotik, yang saling melengkapi kepentingan-kepentingan masing-masing. Dalam hubungan di antara warga yang berbeda sukubangsanya, yang terjalin sebagai hubungan yang saling menguntungkan, sebenarnya mereka ini telah membuat jembatan penghubung di atas batas-batas sukubangsa tersebut. Jembatan ini berupa hubungan pribadi yang terwujud sebagai persahabatan ataupun perkawinan yang terwujud sebagai hubungan sosial, hubungan kerja atau ekonomi, dadn bubungan politik. Jembatan penghubung ini, yang terwujud sebagai situasi-situasi dimana interaksi itu berlangsung, atau biasa disebut sebagai arena-arena interaksi, sebenarnya telah menapikan perbedaan-perbedaan sukubangsa yang berlaku. Di satu pihak arena-arena interaksi tersebut berisikan unsur-unsur kebudayaan dari sukubangsa-sukubangsa yang berbeda dan saling berhubungan, dan di lain pihak arena-arena interaksi teaebut berisikan hasil 30 perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan sukubangsa-sukubangsa yang berbeda tersebut yang terwujud sebagai kebudayaan yang baru. Melalui dan dengan menggunai perpaduan kebudayaan mereka atau hasil akulturasi kebudayaan inilah interaksi di antara warga yang berbeda sukubangsa itu berlangsung, dan karena kebudayaan yang digunakan tersebut tidak menciptakan batas-batas sukubangsa maka perbedaan kesukubangsaan di antara mereka dalam dan melalui interaksi tersebut tidak berlaku. Walaupun telah merka ciptakan jembatan yang menghubungkan perbedaan-perrbedaan di antara dua sukubangsa yang berbeda atau lebih, tetapi tidak berarti bahwa perbedaan sukubangsa tersebut lalu hilang dengan sendirinya. Perbedaan sukubangsa yang mereka punyai, di dalam dan selama interaksi tersebut sedang berlangsung, disimpan oleh masing-masing pelakunya, tetapi akan tetap berlanjut dan digunakan sebagai acuan dalam situasisituasi atau arena-arna interaksi lainnya. Dalam hubungan-hubungan sosial di antara mereka yang berbeda sukubangsanya tanda-tanda dan simbol-simbol yang diseleksi dan diaktifkan oleh masing-masing pelaku untuk menunjukkan perbedaan sukubangsa atau untuk menapikan perbedaan sukubangsa tersebut tergantung pada tujuan interaksi yang dilakukan dan pada situasi atau arena dimana interaksi tersebut berlangsung. Karena pada dasarnya sukubangsa itu sama dengan kedudukan atau status dari pelaku, maka hubungan antar sukubangsa itu sebenarnya telah mewujudkan adanya struktur interaksi yang coraknya tergantung pada sejarah hubungan di antara sukubangsa-sukubangsa yang bersangkutan. Sebuah interaksi di antara mereka yang berbeda sukubangsa yang menapikan perbedaan status hubungan sukubangsa di antara para pelakunya biasanya tewujud dalam bentuk persahabatan, pengangkatan saudara atau perkawinan. Sedangkan berbagai bentuk interaksi lainnya yang juga menapikan berbagai perbedaan status dalam hubung antar sukubangsa adalsh interaksi yang terwujud dalam arena-arena interaksi dalam sistem nasional Indonesia. Sistem nasional Indonesia berada di atas sistemsistem sukubangsa maupun sistem-sistem kehidupan di tempat umum, yang berlaku setempat-setempat di seluruh wilayah Indonesia. Sistem nasional menciptakan status-status yang bercorak horizontal maupun vertikal yang mendominasi berbagai hubungan-hubungan status yang 31 tercakup dalam sistem tersebut. Status ini diduduki oleh pejabat atau petugas dari berbagai sukubangsa, yang harus menanggalkan atau menyimpan kesukubangsaannya dalam interaksi-interaksi yang berlangsaung dalam situasisituasi nasional untuk kepentingan nasional. Dalam situasi kesukubangsaan yang terwujud melalui hubungan-hubungan pribadi atau untuk kepentiangan pribadi dan sosial, kesungbangsaan terwujud dengan mengaktifkan simbol-simbol kebudayaan sukubangss para pelaku yang bersangkutan. Situasi sukubangsa dan kesukubangsaan bisa saja terwujud pada sistem nasional pada saat kepentingan pribadi atau sosial dari pelaku lebih penting daripada kepentingan dan tujuan nasional. Ini bisa terwujud karena sukubangsa, secara universal, adalah golongan sosial yang paling mendasar dan umum bagi jatidiri dalam kehidupan manusia. Ciri-ciri ini sering kali dinasmakan sifat-sifat primordial atau yang utama dan pertama, yang universal dalam kehidupan manusia. Karena itu tidaklah mengherankan bahwa sentimen kesukubangsaan dengan mudah diaktifkan oleh para pelaku untuk menciptakan suatu solidaritas sosial yang melibatkan waraga sukubangsanya untuk dipertentangkan dengan sukubangsa lainnya, pada saat terjadi persaingan untuk memperbutkan sumbersumber rezeki dan pengalokasian pendistribusiannya, atau untuk mempertahankan atau memperjuangkan kehormatan kesukubangsaannya. Dadlam kehidupan msyarakat dimana terjadi persaingan atas sumber-sumber daya atau pengalokasian pendistribusiannya biasanya batas-batas sukubangsa menjadi jelas dan tajam, terwujud dalam bentuk monopoli bidang-bidang ketja atau kegiatan ekonomi dan politik oleh kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda. Pada saat perbedaan penguasaan bidang-bidang kegiatan ekonomi dan politik tersebut mewujudkan adanya saling ketergantungan di antara kelompok-kelompok sukubangsa yang berbeda di dalam masyarakat tsebut maka hubungan baik di antara kelompokkelompok yang Berbeda skan tercipta, dan arena-arena ineraksi yang menjembatani hubungan antar sukubangsa menjadi mantap dan bahkan berkembang sehingga potensi-potensi konflik yang terjadi dapat diredam. Sebaliknya, bila penguasaan atas bidang-bidang ekonomi dan politik serta pengalokasian pendistribusiannya oleh kelompok-kelompok sukubangsa itu terwujud sebagai persaingan untuk bidang-bidang yang sama serta menghasilkan 32 adanya penguasaan atau dominasi oleh satu kelompok sukubangsa atau golongan sosial tetentu terhadap sumber-sumber daya yang ada, yang dapat diartikan sama dengan pendominasian oleh satu sukubangsa atau golongan sosial tertentu terhadap sukubangsa lainnya, maka yang terwujud adalah adanya potensi-potensi konflik di dalam kehidupan masyarakat tersebut, yang sewaktu-waktu dapat meledak sebagai konflik antar sukubangsa. Konflik antar sukubangsa juga dapat meledak sebagai suatu akibat dari rentetan-rentetan perasaan yang diderita oleh suatu kelompok sukubangsa yang meras direndahkana atau berada dalam kedudukan terhina oleh perbuatan-perbuatan dari warga suatu kelompok sukubangsa lainnya. Penderitaan yang berkepanjangan ini fapat menyebabkan adanya frustrasi sosial yang mendalam yang diderita oleh sesuatu sukubangsa yang kehidupan sosial, ekonomi, dan politiknya didominasi oleh sesuatu sukubangsa yang lain. Konflik sukubangsa yang semacam ini biasanya dimulai oleh mereka yang merasa kehilangan kehormatan oleh perbuatan warga sesuatu sukubangsa lainnya, dan perasaan kehilangan kehormatan kesukubangsaan ini biasanya dipicu oleh sesuatu perbuatan yang dianggap oleh sukubangsa yang bersangkutan sebagi puncak dari kehinaan serta ketidakadilan yang selama ini mereka derita. Sumber: Parsudi Suparlan. 2005. ‘Stereotip, Atribut, dan Hubungan AntarSukubangsa’ dalam sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK 33 Hand Out Bahan Kajian : Diferensiasi Sukubangsa dan Kebudayaan sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :6 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan diferensiasi etnik dan kebudayaan Materi 1. Pengertian diferensiasi etnik 2. Kebudayaan dan diferensiasi etnik 3. Diferensiasi etnik dan hubungan antar sukubangsa Diferensiasi Sukubangsa di Indonesia Indonesia sangat terkenal dengan keragaman (diversity) dan perbedaanperbedaan (diferensiasi) sukubangsa. Di dalam Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia terdapat enam ratus enam puluh dua sukubangsa yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Para ahli berbeda dalam melihat keragaman dan perbedaan sukubangsa ini, seperti oleh Clifford Geertz, Hildred Geertz, J.B.P de Josselin de Jong, Van Vollenhoven, dan B.N.Z ter Haar. Clifford Geertz mencoba menyederhanakan keragaman dan perbedaan sukubangsa ini dengan menyederhanakannya ke dalam dua tipe yang berbeda berdasarkan ekosistemnya. Pertama, kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam,” meliputi pulau Jawa, Madura dan Bali. Kedua, kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di “Indonesia luar,” yaitu di luar pulau Jawa dan Bali. Kebudayaan yang berkembang di “Indonesia dalam” ditandai oleh tingginya intensitas pengolahan tanah secara teratur, telah menggunakan sistem pengairan, dan menghasilkan pangan padi yang ditanam di sawah. Dengan 34 demikian, kebudayaan-kebudayaan di Jawa yang menggunakan tenaga kerja manusia dalam jumalh besar, disertai peralatan yang relatif lebih kompleks itu merupakan perwujudan upaya manusia yang secara lebih berani mengubah ekosistemnya untuk kepentingan masyarakat yang bersangkutan. Sementara itu kebudayaan di luar Jawa, kecuali di sekitar danau Toba, dataran tinggi Sumatera dan Sulawesi Barat Daya, berkembang atas dasar pertanian perladangan. Ditandai pula oleh jarangnya penduduk, dan umumnya baru beranjak dari kebiasaan hidup berburu ke arah pertanian. Oleh karena itu mereka cenderung menyesuaikan diri mereka dengan ekosistem yang ada, dengan sedikit upaya untuk menguasainya demi kesejahteraan masyarakat yang bersangkutan. Hildred Geertz mengklasifikasikan kebudayaan sukubangsa ke dalam tiga kategori, yaitu kebudayaan masyarakat petani beririgasi, kebudayaan petani yang diwarnai kebudayaan Islam, dan kebudayaan masyarakat peladang serta pemburu yang masih sering berpindah tempat. Adapun yang dimaksud dengan kebudayaan petani berpengairan itu ialah apa yang berkembang di pulau Jawa dan Bali. Sama halnya denga apa yang dikemukakan oleh C. Geertz, kebudayaan pertanian beririgasi berkembang atas dasar pertanian yang sifatnya padat karya di daerah yang paling padat penduduknya. Hildred Geertz menambahkan bahwa kebudayaan tersebut sangat dipengaruhi oleh Hinduisme, dimana masyarakatnya sangat kuat berorientasi kepada status, mengembangkan kesenian yang sangat tinggi terutama di pusat-pusat kekuasaan (kraton) yang sekaligus merupakan pusat peradaban pada masa itu. Selanjutnya kebudayaan pertanian di pulau Jawa mulai mengalami pergeseran, terutama sejak masuknya pengaruh kebudayaan Islam kemudian disusul dengan perkembangan yang terjadi pada masa penjajahan Belanda. Kategori kebudayan pantai ditandai dengan pengaruh Islam yang kuat serta kegiatan dagang yang menonjol. Kebudayaan tersebut berkembang di sepanjang pantai Sumatera dan Kalimantan yang didukung oleh orang-orang Melayu, dan orang-orang Makasar dari Sulawesi Selatan. Oleh karena kegiatan berdagang, mereka menduduki pusat-pusat pedagangan sepanjang pantai bersamasama dengan para pedagang yang berdatangan dari berbagai penjuru dunia. Mereka mengembangkan kebudayaan yang berorientasi pada perdagangan dan 35 sangat mengutamakan pendidikan agama dan hukum Islam, serta mengambangkan bentuk tari, musik dan kesusasteraan sebagai unsur pemersatu utamanya. Beberapa pusat perdagangan di luar pulau Jawa berkembang menjadi pusat-pusat kekuasaan dengan sistem pemerintahan yang relatif modern, ditunjang pula oleh meningkatnya kemajemukan penduduk yang berasal dari berbagai sukubangsa, maupun mereka yang mempunyai lapangan keahlian yang khusus. Bentuk kebudayaan kategori ketiga mencakup aneka ragam kebudayaan yang tidak termasuk ke dalam dua kategori terdahulu. Kategori ketiga ini meliputi kebudayaan orang Toraja di Sulawesi Selatan, orang Dayak di pedalaman Kalimantan, orang Halmahera, suku-suku bangsa di pedalaman pulau Seram, suku-suku bangsa di kepulauan Sunda Kecil, orang Gayo di Aceh, orang Rejang di Bengkulu dan orang Pasemah di Sumatera Selatan. Pada umumnya kebudayaan mereka berkembang di atas sistem pencaharian perladangan ataupun penanaman pada ladang, sagu, jagung, maupun akar-akaran. Dengan demikian kategori tersebut sesuai dengan apa yang oleh Clifford Geertz digolongkan sebagai kebudayaan tipe “Indonesia luar” yang merupakan perwujudan kecerdikan masyarakat menyesuaikan diri dengan ekosistemnya.22 Van Vollenhoven membagi atau menggolongkan berbagai sukubangsa di Indonesia didasarkan pada sistem lingkaran hukum adat, dengan perspektif culture area seperti yang dinyatakan oleh Clark Wissler ke dalam sembilan belas daerah hukum adat, sebagai berikut. 1. Aceh 9. Gorontalo 2. Gayo Alas dan Batak 10. Toraja 2.a. Nias dan Batu 11. Sulawesi Selatan 3. Minangkabau 12. Ternate 4. Sumatera Selatan 13. Ambon Maluku 4.a. Enggano 14. Irian 5. Melayu 15. Timor 6. Bangka dan Biliton 16. Bali dan Lombok 22 Budhisantoso. 1997. ‘Kata Pengantar.’ dalam Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta:LP3ES. Hal.ix-xvii. 36 7. Kalimantan 17. Jawa Tengah dan Jawa Timur 8. Minahasa 18. Surakarta dan Yogyakarta 8.a Sangir-Talaud 19. Jawa Barat23 Demikian juga dengan B.Z.N ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en Stelsel van het Adatrecht (1946) menyederhanakan lingkungan kebudayaan di Indonesia ke dalam 19 rechtskringen. Apa yang dimaksud dengan lingkungan hukum adat itu tidak berbeda dengan pengertian lingkungan kebudayaan yang pernah dikembangkan oleh Clark Wissler, yaitu kesatuan lingkungan kebudayaan dan geografis.24 Satu poin lain yang patut dicatat bahwa peran ekologi (lingkungan) dan sosial dalam situasi budaya yang dalam banyak hal mirip dengan maasyarakat polietnik, yaitu kelompok-kelompok masyarakat setempat yang budayanya berbeda, yang saling tergantung karena berbedanya ekologi tempat tinggal mereka. Tetapi pada masyarakat polietnik, interaksi dari unit-unitnya tetap memperlihatkan batas, sebab masing-masing tetap memperlihatkan ciri-ciri etnik dan perbedaannya sendiri, sehingga hubungan hanya terjadi dalam bentuk-bentuk tertentu dan tidak secara pribadi.25 Upaya untuk mencari yang sama dari kebudayaan sukubangsa yang berbeda dengan melihat unsur-unsur kebudayaan yang sama dan dikelompokkan ke dalam satuan culture area atau daerah kebudayaan adalah usaha untuk mengurangi perbedaan atau diferensiasi yang sebenarnya tidak dapat dihilangkan sama sekali. Perbedaan kebudayaan sukubangsa yang luar biasa di Indonesia ini merupakan potensi keragaman kekayaan kebudayaan dan sekaligus memiliki potensi konflik apabila di antara sukubangsa-sukubangsa yang banyak tersebut saling tidak mengenal dan hanya memandang dari sudut pandang kebudayaannya. 23 Koentjaraningrat. 1996. Pengantar Antropologi. Jilid 1.Jakarta:Rineka Cipta. Hal. 193-194. Budhisantoso. 1997. ‘Kata Pengantar.’ dalam Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Sukubangsa di Indonesia. Jakarta:LP3ES. Hal.ix-xvii. 25 Jan-Petter Blom. 1988. ‘Diferensiasi Etnik dan Budaya,’ dalam Fredrik Barth (editor), Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta:UI-Press. Hal.79-89. 24 37 Hand Out Bahan Kajian : Masyarakat dan Sukubangsa, Monoetnik, Homogen sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :7 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan masyarakat dan sukubangsa: mono etnik dan masyarakat homogen Materi 1. Pengertian monoetnik dan masyarakat homogen 2. Masyarakat homogen dan perubahan Masyarakat dan Sukubangsa, Monoetnik dan Homogen Studi awal antropologi seperti yang dikerjakan oleh Malinowski yang memandang kelompok etnik atau sukubangsa seabagai suatu kesatuan budaya dan teritorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam sebuah peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas (well-defined boundaries), memisahkan satu kelompok etnik dengan lainnya. Secara de facto masing-masing kelompok itu memiliki budaya yang padu (cultural homogenity). Menurutnya satu kelompok etnik dapat dibedakan dengan yang lain baik dalam organisasi kekerabatan, bahasa, agama (sistem kepercayaan), ekonomi, tradisi (hukum), maupun pola hubungan antar kelompok etnik, termasuk dalam pertukaran jasa dan pelayanan. Atas dasar kajian ini, Malinowski mengembangkan asumsi bahwa kelompok etnik merupakan prototipe ‘bangsa’ (nation). Dia menegaskan bahwa batas-batas suatu bangsa dapat dituangkan ke dalam sebuah peta etnografi. Apabila asumsi Malinowski ini dapat diterima maka batas-batas suatu bangsa 38 akan dapat ditentukan dengan sangat jelas (well-defined boundaries), karena masing-masing bangsa di samping memiliki batas-batas administrasi teritorial, juga memiliki batas-batas ‘de facto’ budaya dan keturunan (ras). Sebab itu pula, suatu bangsa dengan bangsa lain menurut kajian Malinowski ini, tidak hanya dapat dibedakan dari batas-batas teritorial, tetapi juga dari karakteristik budaya seperti organisasi sosial, bahasa, agama, sistem kepercayaan, ekonomi, hukum dan pola kerjasama dengan bangsa lain. Seperti kelompok etnik, menurut Malinowski, maka bangsa merupakan suatu satuan keturunan atau ras yang padu (homogen).26 Cara pandang Malinowski ini dalam konteks kehidupan kebangsaan sekarang perlu dikritik. Ini merupakan penggambaran etnografi lama yang melihat sebuah kebudayaan sebagai satu kesatuan yang utuh termasuk batasan-batasan wilayah ekologis. Tetapi cara pandang yang menunjukkan homogenitas sukubangsa dan kebudayaan ini sekarang tidak hilang begitu saja jika seseorang sebagai bagian dari satu sukubangsa yang menjadi identitas budayanya, maka jika dia berfikir dan bertindak di dalam masyarakat yang sesungguhnya tidak homogen secara kesukubangsaan maka akan menunjukkan sifat-sifat homogen di dalam masyarakat yang kompleks. Sifat-sifat homogen ini menjadi cara fikir dan bertindak yang akan mengabaikan individu dan kelompok sukubangsa lainnya. Sebagaimana dinyatakan oleh Effendi sifat homogen biasanya tergambarkan dalam pola kehidupan di masyarakat desa melalui penandaan aspek kekerabatan, kesukuan dan asal usul nenek moyang yang membentuk jalinan sosial yang erat dari generasi ke generasi. Sifat homogen ini dipersatukan dalam suatu entitas sosial setingkat desa yang sangat lokal sifatnya, seperti desa di Aceh disebut gampong, desa di Batak disebut huta, desa di Minangkabau disebut nagari, desa di Palembang (daerah Lahat) disebut marga, desa di Bali disebu banjar, di Minahasa disebut puak, atau juga kawanua, di suku daya Panyadu, Kalimantan Barat, desa disebut bandong, dan lain sebagainya. Sifat homogen masyarakat desa terutama dikuatkan dengan modal sosial berbasis genealogis. 26 Usman Pelly. 1998.’Masalah Batas-batas Bangsa,’ dalam Jurnal Antropologi Indonesia. No.54,XII. Hal. 24-37. 39 Biasanya pada level suku dan kekerabatan, identitas sosial mudah dikenali dari perwujudan perilaku dan nilai budaya yang dianut.27 Perspektif atau cara pandang seperti ini akan berdampak luas tetapi dengan pandangan yang sempit, jika dimiliki oleh pengambil kebijakan di tengah-tengah masyarakat yang beragam. Dengan otonomi daerah kota dan kabupaten setelah reformasi di Sumatera Barat muncul konsep ‘kembali ke nagari.’ Konsep ini seperti mengabaikan keragaman sukubangsa dan budaya yang terdapat di Sumatera Barat. Barangkali ini berangkat dari otonomi daerah yang kemudian ingin menonjolkan kebudayaan Minangkabau dengan perspektif lokalitas ‘nagari’ sebagai kampung orang Minang dalam perspektif homogenitas kebudayaan Minangkabau yang kuat. Akibatnya cara pandang monoetnik atau homogen ini akan mengabaikan keragaman yang terdapat di dalam masyarakat. Perkembangan setiap daerah sampai ke pedesaan sekarang ini semakin terbuka dengan masuknya beragam orang dari berbagai sukubangsa di Indonesia karena mobilitas yang disebabkan pekerjaan, atau meningkatkan pendidikan sehingga harus berpindah dan menetap di daerah kota atau desa yang bukan kota atau desa asal individu yang bersangkutan. Maka, semakin lama kehidupan sosial budaya di tengah-tengah masyarakat semakin lama semakin kompleks dengan keragaman sukubangsa dan kebudayaan yang tinggi. Di dalam masyarakat yang kompleks seperti ini cara pandang monoetnik atau homogen ini hanya akan menciptakan masyarakat majemuk (plural society), seperti yang dinyatakan Furnivall yaitu masyarakat yang terdiri dari “dua atau lebih elemen atau tatasan sosial yang hidup berdampingan, namun tanpa membaur, dalam satu unit politik.”28 Selanjutnya akan tambah berbahaya jika dilekatkan agama ke dalam sukubangsa, karena 27 Nusyirwan Effendi. 2013. ‘Kearifan Lokal Menuju Penguatan Karakter Sosial: Suatu Tantangan dari Kemajemukan Budaya di Sumatera Barat (Isu dalam Ilmu-ilmu Sosial),’ makalah yang disampaikan pada Workshop Internalisasi Nilai Budaya pada Komunitas Remaja oleh Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Ditjen Kebudayaan Kemendikbud RI berkejasama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang di The Hill Hotel, Bukittinggi, 15-17 Desember 2013, yang disampaikan kembali pada Senimar dan Rapat Tahunan BKS-PTN Ilmu Sosial Wilayah Barat 20-22 November 2014 yang diselenggarakan oleh Unimed di Medan. 28 Robert W. Hefner.2007. ‘Pendahuluan: Multikulturalisme dan Kewarganegaraan di Malaysia, Singapura, dan Indonesia,’ dalam Robert W. Hefner, Politik Multikulturalisme. Yogyakarta:Impuls-Kanisius. Hal.16. 40 “sejarah berkali-kali menunjukkan bahwa asosiasi-asosiasi warga negara bisa diorganisir dengan cara yang konsisten dengan kotak-kotak etnoreligius yang sudah ada dalam masyarakat. Sejarah juga menunjukkan bahwa daripada bertindak sebagai modal sosial bagi demokrasi, kadang-kadang kotak-kotak itu bisa memunculkan persaingan-persaingan sosial yang merugikan, memperlemah, dan bukannya memperkuat prospek-prospek kepantasan warga negara.” 29 Demikian dinyatakan oleh Robert W. Hefner yang menyebut cara pandang homogen yang ditambahkan aspek agama dengan kotak-kotak religius yang justru merugikan terhadap demokratisasi dalam keragaman penduduk. 29 Ibid. Hal.25. 41 Hand Out Bahan Kajian : Masyarakat dan Sukubangsa: Polietnik dan Heterogen, Nation State sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- :8 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar suku bangsa: polietnik, masyarakat heterogen dan nation state Materi 1. Pengertian polietnik dan masyarakat heterogen dan nation state 2. Polietnik, Masyarakat heterogen dan nation state Polietnik, Masyarakat Heterogen dan Nation State Masyarakat Indonesia sebagaimana dinyatakan sebelumnya terdiri dari enam ratus enam puluh dua sukubangsa yang berbeda, yang tersebar dari Sabang sampai ke Merauke, atau dari wilayah Barat ke wilayah Timur Indonesia, dengan bentang wilayah yang sangat luas, merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, dengan total luas wilayah darat dan laut, seluas 5.180.053 km2. Wilayah yang sangat luas dengan sukubangsa dan kebudayaan yang sangat kompleks dengan keragamannya. Sebagaimana diberikan di kuliah sebelumnya, cara pandang monoetnik yang dapat merugikan dan memperlemah dalam konteks kehidupan bernegara, maka apakah dengan cara pandang polietnik dan heterogen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akankah lebih baik? Jawabannya diberikan dalam penjelasan berikut ini. 42 Masyarakat heterogen atau budaya heterogen adalah secara relatif berbeda antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Heterogenitas ini bisa dilihat apabila sudah mulai masuk ke dalam masyarakat yang lebih luas dan adanya keragaman penduduk di dalamnya. Keragaman yang terdapat di dalam masyarakat bisa dilihat secara horizontal (diferensiasi) maupun vertikal (stratifikasi). Menurut Effendi karakter heterogen ini bisa dilihat di dalam sebuah daerah kabupaten, seperti dinyatakannya, “bergerak ke tingkat yang lebih luas, setaraf wilayah kabupaten atau kota, maka karakter masyarakat tak terelakkan akan bersifat heterogen. Komposisi masyarakat yang bervariasi pada level ini, seperti perbedaan asal usul, perbedaan strata ekonomi dan pendidikan, penguasaan property dan sebagainya, telah menyumbang gagasan tentang kompleksitas karakter sosial. Sifat masyarakat yang heterogen ini memberikan ruang bagi terciptanya perbedaan kepentingan, orientasi nilai dan gaya hidup yang semakin diverjen (terbelah) dan berpotensi ekstrim. Tantangan yang terbesar di dalam masyarakat heterogen ini adalah, pada satu sisi, konflik sosial, dan, di sisi lain, tuntutan terhadap terwujudnya integrasi sosial (conflict an confirmity). Perbedaan sukubangsa, ras dan agama adalah isu yang acapkali diketengahkan dalam berbagai diskusi tentang asal penyebab terjadinya konflik.” 30 Selain masyarakat di wilayah kabupaten, ...masyarakat kota juga tepat disebut sebagai masyarakat heterogen, sepanjang meskipun mereka berasal dari latar belakang SARA (sukubangsa, agama, ras, atau pun aliran/golongangolongan) yang berbeda, tetapi mereka tidak mengelompok berdasarkan SARA tersebut. Heterogen lawan dari kondisi yang disebut homogen. Disebut homogen kalau anggota masyarakat berasal dari SARA yang secara relatif sama. Disebut heterogen kalau berasal dari SARA yang saling berbeda, namun –sekali lagi– mereka tidak mengelompok (tersegmentasi) berdasarkan SARA tersebut.31 Dalam masyarakat yang heterogen atau polietnis yang terjadi adalah bentuk masyarakat majemuk dimana tidak adanya satu kebudayaan yang dominan atau adanya satu kebudayaan dominan. Hasil penelitian Bruner di Bandung dan 30 31 Nusyirwan Effendi. 2013.Ibid. Budiono Kusumohamidjoyo. 2004. Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia, Suatu Problematik Filsafat Kebudayaan. Jakarta: PT Grasindo. Hal 45. 43 Medan menunjukkan kegunaan hipotesis kebudayaan dominan yang dibuatnya sebagai model analisis. Dalam hipotesis kebudayaan yang dominan tercakup tiga unsur yang masing-masing berdiri sendiri, tetapi satu sama lain saling berhubungan, dan menentukan corak kesukubangsaan atau produk dari hubungan antar sukubangsa yang terjadi. Unsur-unsur tersebut adalah: 1. Demografi sosial yang mencakup rasio populasi dan corak heterogenitas serta tingkat pencampuran hubungan di antara suku-suku bangsa yang ada dalam sebuah konteks latar tertentu; 2. Kemanatapan atau dominasi kebudayaan sukubangsa setempat, bila ada, dan cara-cara yang biasanya dilakukan oleh anggota-anggota kelompok-kelompok sukubangsa pendatang dalam hubungan sukusukubangsa setempat dan penggunaan kebudayaan masing-masing serta pengartikulasiannya; 3. Keberadaan dari kekuatan sosial dan pendistribusiannya di antara berbagai kelompok sukubangsa yang hidup dalam konteks latar tersebut. Dengan menggunakan model ini Bruner memperbandingkan Bandung dan Medan. Orang Sunda di Bandung adalah mayoritas dan dominan, yaitu mereka menetapkan patokan-patokan bagi kelakuan yang layak yang harus ditunjukkan di tempat-tempat umum; dan, hampir semua pranata perkotaan Bandung dikendalikan oleh orang Sunda dan beroperasi menurut pola-pola kebudayaan Sunda. Mereka menduduki posisi-posisi kunci dalam struktur kekuatan kota – dari jabatan gubernur, wali kota, rektor-rektor universitas setempat, sampai dengan jabatan-jabatan kepala-kepala kantor wilayah. Sebaliknya, di Medan tidak ada satu sukubangsa pun yang dominan seperti yang terdapat di Bandung. Orang Jawa yang merupakan mayoritas di Medan bukanlah kelompok dominan, karena mereka ini golongan kelas sosial rendah yang tidak mempunyai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik. Karena itu, kebudayaannya tidak merupakan model kebudayaan dominan bagi kelompok-kelompok sukubangsa lainnya. Masingmasing sukubangsa mempertahankan kebudayaan dan kesukubangsaannya, hidup mengelompok di antara sesama sukubangsanya. Kesukubangsaan dan agama 44 sukubangsa menjadi acuan utama dalam penggolongan di antara warga penduduk Medan. Bila para migran di bandung mengambil posisi masing-masing dalam sistem perkotaan yang mengacu kepada kebudayaan dominan, maka para migran di Medan mengelompok bersama dengan warga sukubangsanya dan memperkuat posisi kelompok sukubangsanya dalam hubungan antar sukubangsa dan dalam bersaing untuk posisi-posisi yang ada dalam struktur kekuasaan kota Medan. Bila kehidupan sosial di bandung ditandai oleh adanya keteraturan karena para migran yang bukan Sunda mengadaptasi diri dengan kebudayaan Sunda dan cenderung menjadi seperti Sunda, sementara itu, di Medan, masing-masing kelompok sukubangsa menciptakan keteraturan sosial dalam lingkungan kehidupan sukubangsanya. Tawar menawar kekuatan dalam bentuk konflik atau kerja sama di antara kelompok-kelompok sukubangsa dalam memenangkan persaingan menyebabkan corak kesukubangsaan di Medan berbeda dengan yang terdapat di Bandung.32 Nation State Nation state atau negara bangsa adalah merupakan bentuk ‘penemuan baru’ setelah Perang Dunia II, yang muncul dari gerakan kemerdekaan kelompokkelompok etnik. ‘Kebetulan’ kelompok-kelompok etnik ini disatukan dalam satu kesatuan administrasi kolonial (tanpa kemauan mereka), sebelum mereka memperoleh kemerdekaan. – Nasionalisme Indonesia pada tingkat-tingkat pertama, merujuk kepada nasionalisme sempit bersifat lokal, kedaerahan dan kesukuan seperti serikat Ambon, Roekoen Minahasa, Pasoendan, Soematra, Jawa dan lain-lain. – Pada waktu mereka memproklamirkan kemerdekaan atau ‘diberi’ status kemerdekaan oleh bekas penjajah mereka, maka batas-batas bangsa yang dinyatakan merdeka itu adalah bekas wilayah kesatuan administratif kolonial tadi. Oleh karena itu, batas-batas objektif bangsa itu adalah batas-batas historis satuan wilayah kolonial. 32 Parsudi Suparlan.1999. ‘Kemajemukan, Hipotesis Kebudayaan Dominan dan Kesukubangsaan,’ dalam Jurnal Antropologi Indonesia. Thn.XXIII. No.58. hal.13-20. 45 Nasionalisme Indonesia, seperti juga negara-negara Asia Tenggara lainnya mempunyai basis historis pada kolonialisme seperti dinyatakan Kartodirdjo. Memang, pendirian berbagai ‘nation-state’ pasca Perang Dunia II banyak yang bersifat arbiter, rekayasa ekstern dan imajiner (Anderson 1991). Banyak kelompok-kelompok etnik yang memisahkan diri sebelum atau sesudah nationstate itu diproklamirkan, mungkin karena tidak meras tepat atau betah untuk turut dalam nation-state itu.33 Dalam beberapa kasus negara-bangsa seperti Indonesia, perasaan kebangsaan (nationalism) sebagai ‘state of mind’ (Koln), telah lahir jauh sebelum negaranya (state) diproklamirkan. Ada dua momen politik, pertama ‘Manifesto Politik’ oleh Perhimpunan Indonesia (PI) yang dicetuskan di Belanda dan Sumpah Pemuda 1928, yang mengembangkan ‘a sense of belongingness semua kelompok etnik terhadap kepentingan bangsa yang dilahirkan. Maka berbahaya apabila perasaan etnosentrisme sukubangsa atau primordialisme menjadi ukuran. Kebhinekaan entitas etnik baik dari segi agama, bahasa dan budaya merupak aset yang berharga untuk meningkatkan kreatifitas dan dinamika. Kebhinekaan tidak akan mengancam kesatuan bangsa, sepanjang mereka mendapat ‘tempat’ dan perlakuan dengan aturan main yang tidak diskriminatif.34 33 34 Usman Pelly. Ibid. Ibid. 46 Hand Out Bahan Kajian : Hubungan Antar Sukubangsa: Mayoritas-Minoritas, Dominan Minoritas sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- : 10 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar suku bangsa: mayoritasminoritas, dominan-minoritas Materi MAYORITAS-MINORITAS & DOMINAN-MINORITAS DALAM HUBUNGAN ANTAR SUKUBANGSA 1. Pengertian mayoritas-minoritas dan dominan -minoritas 2. Hubungan antar sukubangsa pada masyarakat mayoritas-minoritas, dan kebudayaan dominan Mayoritas, Minoritas dan Dominan Mayoritas, dominan dan minoritas merupakan konsep-konsep yang umum digunakan dalam ilmu-ilmu sosial untuk menunjukkan ciri-ciri sesuatu golongan sosial yang dapat diacu untuk menunjukkan jatidiri seseorang atau sesuatu kelompok dalam hubungannya dengan jatidiri seseorang lainnya atau sesuatu kelompok lainnya. Mayoritas mengacu pada pengertian sesuatu golongan sosial dengan jumlah populasi yang besar dibandingkan dengan minoritas atau sesuatu golongan sosial lainnya yang kecil jumlah populasinya. Jadi, pengertian mayoritas dan minoritas mengacu pada ciri utamanya yang menunjukkan jumlah populasi yang tercakup dalam masing-masing golongan sosial tersebut dan dalam 47 perbandingan antara satu dengan lainnya. Dengan kata lain konsep mayoritas selalu digunakan dalam kaitan perbandingannya dengan konsep minoritas. Konsep mayoritas dan minoritas juga selalu digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi sesuatu kelompok dalam perbandingannya dengan kelompok lainnya, berdasarkan pada jumlah populasi yang menjadi ciri utamanya. Dominan adalah sebuah konsep yang menunjukkan adanya ciri utama dari sesuatu golongan yang mempunyai kekuatan yang berlebih atau besar dibandingkan dengan atau tidak terkalahkan oleh ciri utama dari sesuatu golongan lainnya yang biasanya dinamakan sebagai golongan minoritas. Konsep dominan selalu ditandai oleh ciri utamanya yaitu kekuatan berlebih atau besar dari atau tidak terkalahkan oleh yang lainnya. Sebagai golongan, konsep dominan diacu untuk mengidentifikasi corak jatidiri seseorang atau sesuatu kelompok dalam kaitan hubungannya dengan corak jatidiri dari seseorang atau kelompok lainnya, dalam perspektif hubungan kekuatan. Golongan minoritas, sebagai sebuah golongan sosial yang lemah kekuatan sosialnya, mencakup ciri-cirinya yang khusus yang berbeda dan ciri-ciri golongan sosial lainnya yang lemah muatan kekuatan sosialnya. Louis Wirth telah mendefenisikan ciri-ciri golongan minoritas sebagai sebuah kelompok, sebagai berikut. Sebagai sebuah kelompok yang diasingkan dari kehidupan dalam masyarakat luas dan diperlukan secara berbeda dan direndahkan derajatnya karena ciri-ciri fisik tubuhnya atau ciri-ciri budayanya, dan mereka merasakannya sebagai sasaran-sasaran diskriminasi kolektif dari masyarakat luas tersebut. Yang tergolong minoritas bukan hanya orang asing tetapi juga kelompok sosial dari masyarakat setempat, yang karena tergolong minoritas maka dianggap dan diperlakukan sebagai orang luar. Keberadaan golongan minoritas selalu dalam kaitan hubungannya dengan keberadaan dari kelompok dominan yang menikmati status sosial yang lebih tinggi dan berbagai kewistimewaan yang lebih besar. Secara objektif mereka yang terrgolong sebagai minoritas mempunyai posisi yang tidak menguntungkan dalam masyarakat. Berbeda dengan mereka yang tergolong sebagai kelompok yang dominan, mereka yang minoritas tidak diberi kesempatan-kesempatan ekonomi, sosial dan politik. Anggota-anggota kelompok minoritas digolongkan sebagai berderajat rendah, sasaran penghinaan, 48 kebencian, olok-olok, dan kekerasan. Secara sosial mereka itu terisolasi, dan secara spasial nereka itu dipisahkan dalam ruang-ruang kehidupan mereka sendiri. Posisi subordinasi mereka tercermin dalam akses yang terbatas dalam hal kesempatan memperoleh pendidikasn sekolah dan pembatasan-pembatasan dalam jenjang pekerjaan dan profesi. Menurut Blumer individu-individu yang tegolong sebagai mayoritas (golongan dominan) mengembangkan perasaan-perasaan penuh prasangka terhadap mereka yang tergolong minoritas. Prangka-prasangka ini muncul dan berkembang bersamaan dengan adanya individu-individu yang berasal dari kelompok-kelompok dan posisi-posisi sosial yang berbeda dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Prasangka-prsangka tersebut dapat bererubah bila sitem hubungan-hubungan antar kekuatan sosial yang mengatur ketentuan-ketentuan interaksi-interaksi tersebut berubah. Perasaan-perasaan penuh prasangka tersebut mencakup: (1) Perasaan bahwa diri mereka superior, (2) Perasaan bahwa kelompok subordinasi pada daarnya adalah orang asing, (3) Perasaan bahwa adalah wajar apabila diri mereka itu mempunyai hak atas berbagai fasilitas dan keistimewaan sosial, dan (4) Kekhawatiran bahwa kelompok subordinasi ingin mengambil alih fasilitas-fasilitas dan keistimewaan-keistimewaan sosial yang mereka punyai sebagai kelompok dominan. Dalam melihat hubungan antara dominan – minoritas ada dua unsur yang penting yang patut diperhatikan, yaitu (1) Struktur kekuatan yang mendefenisikan hubungan antara individu-individu dari berbagai sukubangsa dalam sebuah lingkungan sosial tertentu, dan (2) Adanya struktur mental dari individu-individu anggota berbagai sukubangsa dalam lingkungan sosial tertentu yang menterjemahkan dan memberikan tanggapan terhadap sistem hubungan kekuatan yang terdefenisikan dan sebagaimana mereka itu mengaktifkan dan menggunakan kategori-kategori sukubangsa yang ada yang mereka gunakan sebagai sistemsistem acuan kesukubangsaan mereka. Dominan Minoritas Dalam pembahasan mengenai hubungan diminan minoritas, konsep mayoritas menjadi tidak relevan, jumlah populasi besar atau mayoritas bisa 49 dominan atau bisa juga menjadi minoritas dalam hubungannya dengan kelompok lainnya dalam masyarakat setempat. Begitu juga kelompok minoritas bisa saha tergolong dominan atau minoritas, tergantung pada posisinya dalam struktur masyarakat setempat. Kelompok yang dominan dalam sebuah masyarakat biasanya adalah kelompok minoritas, atau kelompok yang jumlah populasinya kecil dibandingkan dengan jumlah populasi dari kelompok atau kelompokkelompok lainnya dalam masyarakat setempat. Orang Belanda pada zaman penjajahan Hindia Belanda misalnya, adalah kelompok minoritas tetapi dominan dalam masyarakat jajahan Hindia Belanda. Sumber: Parsudi Suparlan. 2005. ‘Mayoritas, Dominan, dan Minoritas.’ Dalam Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Jakarta:YPKIK 50 Hand Out Bahan Kajian : Hubungan Antar Sukubangsa: Kemajemukan Kebudayaan, Kebudayaan Heterogen sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- : 11 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan masyarakat majemuk dan kebudayaan heterogen Materi MASYARAKAT MAJEMUK DAN KEBUDAYAAN HETEROGEN 1. Pengertian masyarakat majemuk dan kebudayaan heterogen 2. Hubungan antar sukubangsa dalam masyarakat majemuk 3. Masyarakat majemuk Indonesia A. Pengertian masyarakat majemuk dan kebudayaan heterogen Istilah masyarakat majemuk atau plural society pertama kali dikemukakan oleh Furnivall untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada mas Hindia Belanda. Menurut J.S. Furnivall, masyarakat majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa adanya pembauran satu sama lain di dalam satu kesatuan politik (Nasikun, 1993:29). Masyarakat Indonesia pada era itu dikuasa oleh tiga ras, orang Eropa yang berkulit putih berjumlah sedikit akan tetapi memiliki kekuasaan yang paling tinggi dibandingkan ras lainnya, Orang Timur asing seperti Arab, India Dan Cina, menempatai urutan kedua dan terakhir adalah pribumi yang berada pada tingkatan 51 yang paling bawah. Orang pribumi memiliki jumlah yang paling besar, namun dijajah oleh orang Eropah. Suatu masyarakat, adalah bersifat majemuk sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse. Masyarakat ini ditandai dengan kurang berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat, dengan demikian sering terjadi konflik dan masyarakat kurang terintegrasi dan saling ketergantungan diantara kesatuan sosial yang menjadi bagiannya. Pierre van de Berghe, mengemukakan beberapa karakteristik masyarakat majemuk sebagai berikut (Nasikun, 1993: 33) 1. Terjadinya segmentasi ke dalam kelompok-kelompok yang mempunyai kebudayaan, tepatnya subkebudayaan yang berbeda satu dengan lainnya. 2. Memiliki struktur sosial yang terbagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer. 3. Kurang mengembangkan konsensus di antara para anggota masyarakat mengenai nilai-nilai sosial yang bersifat dasar. 4. Secara relatif, sering terjadi konflik antarkelompok. 5. Secara relatif, integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan ketergantungan ekonomi. 6. Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok terhadap kelompokkelompok lain. Ada beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat Indonesia majemuk yaitu, (1) keadaan geografis Indonesia, faktor letak bangsa Indonesia antara dua samudera dan dua benua. Letak yang strategis yang menyebabkan muncul keberagaman budaya dan agama. (2) faktor sejarah perkembangan bangsa Indonesia yang beragam, begitu juga adanya akulturasi dalam kebudayaan yang berbeda. (3). adaptasi masyarakat yang berbeda terhadap lingkungan alam dan sosial yang berbeda. 52 Nasikun, menyatakan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang menganut sistem nilai yang berbeda di antara berbagai kesatuan sosial yang menjadi anggotanya. Para anggota masyarakat tersebut kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang memiliki dasar untuk mengembangkan sikap saling memahami. Senada dengan itu, Clifford Geertz, berpendapat bahwa masyarakat majemuk adalah masyarakat yang terbagi atas subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial. Jenis-Jenis Masyarakat Majemuk Menurut konfigurasi dari komunitas etnisnya, masyarakat majemuk dapat dibedakan menjadi empat katagori sebagai berikut. 1. Masyarakat majemuk dengan kompetisi seimbang, yaitu masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis yang memiliki kekuatan kompetitif seimbang. 2. Masyarakat majemuk dengan mayoritas dominan, yaitu masyarakat majemuk yang terdiri atas sejumlah komunitas atau kelompok etnis yang kekuatan kompetitip tidak seimbang. 3. Masyarakat majemuk dengan minoritas dominan, yaitu masyarakat yang antara komunitas atau kelompok etnisnya terdapat kelompok minoritas, tetapi mempunyai kekuatan kompetitip di atas yang lain, sehingga mendominasi politik dan ekonomi. Masyarakat majemuk dengan fragmentasi, yaitu masyarakat yang terdiri atas sejumlah besar komunitas atau kelompok etnis, dan tidak ada satu kelompok pun yang mempunyai posisi politik atau ekonomi yang dominan. 53 Kebudayaan Heterogen Kebudayaan heterogen dimaksudkan kebudayaan yang beragam, berbedaberbeda. Perbedaan kebudayaan dapat dilihat dari pranata kebudayaan yang berbeda. Perbedaan kebudayaan dilihat baik secara materi, perilaku dan yang utama adalah kebudayaa ideal atau sistem nilai budaya. Kebudayaan ideal yang abstrak, menjadi acuan dalam berperilaku oleh masyarakat pendukung kebudayaan. Orang Minang yang beragama Islam, mewujudkan perilaku yang sesuai dengan ajaran Islam dan diterima oleh masyarakat Minang. Dalam masyarakat yang berbeda sukubangsa, berbeda budaya, agama dan bahasa, perbedaan budaya akan terlihat atas perbedaan benda material, perbedaan perilaku, perbedan upacara, dan dilandaskan atas perbedaan sistem pengetahuan dan nilai budaya yang berbeda. Dalam suatu sukubangsa yang secara kasat mata dapat dilihat homogen pada kenyataanya pun sebenaranya terdapat ciri heterogenitas dalam kebudayaannya masing-masing. Orang Minangkabau memiliki ciri budaya yang berbeda diantara sesama orang Minangkabau berdasarkan lokalitas masingmasing. Budaya orang Minangkabau yang berasal dari Pariaman berbeda dengan orang Minang di daerah Payakumbuh. Contohnya dalam upacara perkawinan. Orang Pariaman, penganten laki-laki dijemput oleg keluarga pihak penganten perempuan dengan pemberian uang atau barang sebagai penghargaan terhadap keluarga pihak penganten laki-laki. Berbeda dengan orang Minangkabau di Payakumbuh, ketika upacara perkawinan, pihak penganten laki-laki harus menyiapkan sasuduik, berupa pemberian dari pihak keluarga pihak laki-laki kepada penganten perempuan dengan mencukupi kebutuhan calom penganten perempuan terutama adalah mengisi seluruh perabot kamar penganten perempuan. Begitu juga perbedaan dalam kebudayaan Jawa. kebudayaan Jawa di daerah Pesisiran berbeda dengan kebudayaan di daerah kraton, Yogyakarta dan Solo. B. Masyarakat Majemuk Indonesia Indonesia sebagai suatu bangsa memiliki beragam sukubangsa yang menempati wilayah Indonesia. Sukubangsa yang ada di Indonesia menurt Zulyani 54 Hidayah dalam bukunya Ensiklopedi Sukubangsa, berjumlah 662 sukubangsa, yang dibedakan atas dasar perbedaan bahasa. Sukubangsa-sukubangsa telah menempati wilayah Indonesia secara turun temurun sebelum kemerdekaan bangsa Indonesia. Masing-masing sukubangsa mengembangkan corak kebudayaan mereka sendiri sesuai dengan potensi sumber daya dalam lingkungan hidup masing-masing. Perbedaan kebudayaan antara satu sukubangsa dengan sukubangsa lainnya bukan hanya terwujud secara horizontal, tetapi juga dapat dilihat secara vertikal. Perbedaan secara horizontal yaitu perbedaan sukubangsa, agama dan ras. Sedangkan perbedaan vertikal yaitu perbedaan kekuatan politik dan ekonomi. Sukubangsa-sukubangsa di Indonesia dalam masyarakat dalam kenyataan tidak lah setara atau horizontal. Sukubangsa tertentu memiliki kekuasaan untuk mendominasi kebudayaan lainnya. Kebudayaan dominan menyebabkan kebudayaan yang tidak dominan harus melakukan penyesuaian-penyesuaian untuk tetapi dapat eksis dalam kehidupan masyarakat. seperti kajian Bruner, sukubangsa Batak yang tinggal di Bandung, di bandung kebudayaan Sunda adalah Dominan di dalam masyarakat, dengan demikian orang Batak menyesuaikan diri dengan kebudayaan Sunda yang dominan. Atribut dan simbol-simbol Batak mereka tidak akan banyak diwujudkandalam ruang-ruang publik di Bandung. Begitu juga di Minangkabau, kebudayaan Jawa yang datang ke daerah Pasaman terutama di daerah transmigrasi, melakukan adaptasi-adaptasi tertentu dalam kebudayaannya sehingga mereka dapat tetap eksis. Eksistensi diri sebagai suatu kelompok sukubangsa menjadi bagian penting dari identitas sukubangsa. Tari rongeng di daerah Pasaman, dimainkan oleh laki-laki dan berbeda di daerah asalnya di Jawa, tari ronggeng yang dimainkan oleh perempuan. Hubungan antar sukubangsa yang dominan dan tidak dominan dapat memunculkan konflik, terutama terjadinya penguasaan sumber daya dan kepentingan ekonomi. Solidaritas kesukubangsaan bisa diaktifkan oleh warganya untuk bersatu untuk menjatuhkan kelompok sukubangsa lainnya. Kondisi ini dapat memunculkan konflik. Kondisi ini akan dipertajam oleh adanya ketidak adilan hukum dan pemerataan ekomomi. 55 Hand Out Bahan Kajian : Hubungan Antar Sukubangsa: Batas-batas Sukubangsa, Prasangka, Kompetisi, Manipulasi Simbol-simbol sks : 3 (tiga) Prodi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke- : 12 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar suku bangsa: batas-batas sukubangsa, prasangka, kompetisi, & manipulasi simbol-simbol Materi BATAS-BATAS SUKUBANGSA, PRASANGKA, KOMPETISI DAN MANIPULASI SIMBOL-SIMBOL 1. Pengertian dari batas-batas sukubangsa. 2. Pengertian simbol dan manipulasi simbol 3. Batas-batas sukubangsa, prasangka, kompetisi dan manipulasi simbol A. Pengertian dari batas-batas sukubangsa. Suatu masyarakat terdiri dari berbagai macam golongan, yang dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri yang menyolok, yang bertujuan untuk membedakan suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Seperti penggolongan berdasarkan usia masyarakat dapat membedakan berdasarkan ciri-ciri yang tampak, misalnya anak-anak dilihat dari usia, sikap dan tingkah laku dan 56 kepribadian. Penggolongan lainnya misalnya penggolongan berdasarkan agama, jenis kelamin, dan juga sukubangsa. Kategori sukubangsa dikelompokkan berdasarkan ciri-ciri seperti ciri-ciri fisik, kepribadian, bahasa, dan kebudayaannya. Sukubangsa merupakan golongan sosial yang bersifat askriptif, yaitu keanggotaan yang didapat oleh seseorang bersamaan dengan kelahirannya, yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan atau daerah asal tempat kelahirannya. Misalnya seorang Ibu berasal dari Agam, suatu daerah di Sumatera Barat dan merupakan sukubangsa Minangkabau, maka anak-anak dari perkawinannya merupakan orang Minangkabau. Ciri-ciri yang melekat pada seseorang sebagai anggota suatu kelompok sukubangsa mendapatkan pengakuan atau diakui oleh anggota kelompok sukubangsanya. Dengan demikian golongan sukubangsanya menjadi jatidiri dari anggota masyarakat tersebut sebagai bahagian dari kelompok sukubangsanya. Menurut Parsudi Suparlan (2005: 23) unsur-unsur kebudayaan sukubangsa yang sering dijadikan acuan jati diri suatu sukubangsa yaitu: (1) Kebudayaan material (2) Bahasa (3) Mimik muka dan gerakan tubuh (4) Nilai budaya Dalam suatu masyarakat yang berbeda sukubangsa, saling berinteraksi, dan mengenal beragam ciri-ciri atribut sukubangsa sebagai pembeda antar satu kelompok sukubangsa yang satu dengan yang lainnya. Dalam masyarakat muncul stereotipe tentang sukubangsa lainnya yang diketahui karena proses interaksi antar kelompok sukubangsa. Dalam Interaksi antar sukubangsa juga muncul salaing pengaruh mempengaruhi, secara timbal balik baik tradisi-tradisi atau kebudayaan yang dimilliki oleh masing-masing kemajemukan anggota yang berinteraksi. Meskipun dalam kemajemukan, masing-masing sukubangsa masih mempunyai bata-batas etnisnya. Frederict Barth (1969:10) menunjukkan bahwa batas-batas etnis tetap ada walaupun terjadi proses saling penetrasi kebudayaan diantara dua kelompok etnis yang berbeda. Perbedaan etnis secara kategori juga tidak tergantung pada ada atau tidak ada kontak fisik diantara kelompok-kelompok etnis 57 atau tergantung pada diterima atau tidak diterimanya interaksi etnis antar kelompok etnis. Batas-batas etnis yang terwujud diantara kelompok-kelompok etnis cenderung untuk tetap dipertahankan melalui ciri-ciri kebudayaan yang nampak. Lebih lanjut Barth mengatakan bahwa kelompok etnis harusnya dilihat etnis sebagai sebuah organisasi sosial karena dengan demikian maka ciri-ciri yang penting dari suatu kelompok akan nampak yaitu: karakteristik dari diri sendiri dan pengakuan dari orang lain. Dengen demikian batas-batas sukubangsa, diartikan pada karakteristik dari suatu kelompok sukubangsa yang menjadi jati diri atau identitas suatu sukubangsa yang tampak dan juga mendapat pengakuan dari orang lain. B. Pengertian simbol, prasangka dan kompetisi Simbol menurut Clifford Geertz dipakai untuk menunjukkan objek, tindakan, peristiwa, atau relasi yang berlaku sebagai sebuah wahana untuk sebuah kosep-konsep. Simbol adalah seperangkat rumusan-rumusan yang kelihatan dari pandangan, abstraksi dari pengalaman yang ditetapkan dalam bentuk yang dapat diindrai, perwujudan konkret dari gagasan, sikap-sikap, putusan-putusan atau keyakinan-keyakinan (1992: 6). Simbol dapat berupa sikap, perilaku, bendabenda, tanda, bahasa, upacara-upacara, ritual dan sebagainya yang tampak dan bisa diamati. Suatu kelompok sukubangsa dapat diketahui dari ciri-ciri kelompok sukubangsa yang menjadi simbol dan identitas sukubangsa. Misalnya orang Minangkabau memiliki simbol bahasa yang membedakan dengan sukubangsa lainnya. Orang Minangkabau memiliki simbol berupa warna misalnya jika ada kematian maka bendera hitam didirikan di dekat rumah yang kemalangan, sehingga warga masyarakat mengetahui bahwa ada kematian. Orang Minangkabu memiliki simbol pakaian ketika upacara perkawinan, dan masih banyak lagi yang menjadi simbol. Simbol menurut Geetz hendaklah dipahami makna yang ada dibalik simbol tersebut. Makna simbol dipahami menurut pemahaman masyarakat yang menjadi pemilik kebudayaan (emik). 58 Prasangka atau prejudice, berarti penilaian atau pendapat yang diberikan oleh seseorang tanpa melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Prasangka dapat berupa suatu sikap negatif terhadap kelompok lainnya (Baron dan Graziano, 1991). Prasangka dapat dipengaruhi oleh pola interaksi antar kelompok yang berbeda. Pada level kognitif, membuat perbandingan antara ingroup dan outgroup, dapat meningkatkan prasangka. Prasangka tidak hanya di level kognitif akan tetapi terwujud dalam sikap dan tingkah laku ketika berinteraksi. Kompetisi atau persaingan dalam diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangkan yang telah ada tanpa menggunakan kekerasan atau ancaman. Persaingan dapat bersifat pribadi dan bersifat tidak pribadi (antar kelompok). Persaingan juga dapat disebabkan, persaingan ekonomi, persaingan budaya, persaingan kedudukan dan peranan (Soemarjan, 1986). C. Batas-batas sukubangsa, prasangka, kompetisi dan manipulasi simbol dalam hubungan antar sukubangsa Interaksi antar sukubangsa memiliki banyak variasi di dalam masyarakat. Relasi antar sukubangsa dapat menciptakan hubungan yang harmonis, persaingan dan bahkan juga konflik. Kelompok yang berbeda sukubangsanya memberikan makna terhadap sukubangsa lainnya melalui simbol-simbol yang diakui sebagai milik dari suatu kelompok sukubangsa tertentu. Simbol-simbol tertentu menjadi pembeda terhadap sukubangsa lainnya. Batas-batas sukubangsa yang tampak melalui simbol, dipahami dalam interaksi yang merupakan prasangka yang belum tentu jelas kebenarannya. Namun menjadi acuan ketika berinteraksi dengan sukubangsa lainnya. Misalnya masyarakat Minangkabau memiliki pengetahuan bahwa orang Jawa memiliki kepribadian yang nrimo dan suku bekerj keras, maka ketika berinteraksi dengan orang Jawa, seorang Minangkabau akan menggunakan pengetahuan tersebut dalam berinteraksi dengan orang Jawa, dan bahkan pengetahuan ini (menjadi prasangka) dijadikan acuan dalam kompetisi dengan orang Jawa. 59 Dalam interaksi sukubangsa, persaingan atau kompetisi terhadap sesuatu yang diperebutkan dan pada umumnya adalah sumber-sumber daya ekonomi. Kompetisi terkadang terjadi secara tidak seimbang. Misalnya antara kebudayaan yang dominan dengan kebudayaan yang tidak dominan. Persaingan seperti ini tentu sulit dimenangkan oleh kebudayaan yang tidak dominan. Persaingan yang terbuka dan menurut jalur yang masih dapat diterima oleh masyarakat, akan terus berlaku di dalam masyarakat. biasanya persaingan yang adil dan tidak menundukkan kelompok lain. Akan tetapi persaingan yang sudah melewati batasbatas toleransi akan berkembang menjadi konflik. Dalam konflik, dua kelompok yang bertikai mengembangkan simbolsimbol baru yang diaktifkan untuk menjatuhkan pihak lawan. Simbol-simbol dimanipasi melalaui penciptaan stereotipe-stereotipe dan disebarkan kepada kelompok pendukung yang jelas untuk tujuan memenangkan persaingan ataupun konflik. Konflik antar sukubangsa Melayu dan Madura di Sambas, Kalimantan Barat, orang Melayu selalu mengalah dalam menghadapi orang Madura. Orang Melayu memiliki pengetahuan untuk selalu menghindari konflik dengan sukubangsa lain, mereka (orang Melayu) ingin hidup harmonis dan damai. Namun orang Madura yang menjadi pesaing mengembangkan isu yang kemudian menjadi stereotipe yang dikenakan kepada orang Melayu, yaitu orang Melayu penakut dan besar mulut tetapi keropos seperti kerupuk, Sebaliknya orang Melayu mengembangkan isu tentang orang Madura sebagai preman, bahkan orang Madura yang haji juga disebut preman, dan oleh sebab itu perlu diberantas (Suparlan, 2005:54). Isu-isu yang dikembangkan merupakan upaya dalam memanipulasi simbol dan bertujuan untuk memenangkan persaingan. 60 Hand Out Bahan Kajian : Hubungan Antar Sukubangsa: Simbol-simbol Keagamaan dan Keyakinan Agama sks : 3 (tiga) Program Studi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke : 13 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan antar sukubangsa: simbolsimbol keagamaan, & keyakinan agama Materi: SIMBOL-SIMBOL KEAGAMAAN & KEYAKINAN AGAMA A. Pengertian agama sebagai budaya Agama merupakan keyakinan yang dimiliki oleh penganutnya, yang berisikan ajaran-ajaran, yang menjadi pedoman dalam bertingkah laku, yang memberikan arahan mengenai kehidupan manusia, baik kehidupan di dunia dan kehidupan setelah mati. Agama bagi penganutnya diyakini kebenarannya sebagai suatu yang hakiki dan tidak terbantahkan walaupun agama tidak bisa dikaitkan dengan rasionalitas manusia. Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama. Durkheim menyatakan agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden – beliefs ang practices which unite into one single moral community called a church, all those to adhare to them (agama adalah kesatuan kepercayaan dan 61 praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan dan terlarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral yang disebut gereja).35 Defenisi ini boleh dikatakan dilihat hanya dari sisi satu kelompok penganut agama tertentu saja. Namun defenisi ini telah memberikan beberapa poin penting dari sebuah agama berupa praktek atau aktivitas sakral atau dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu serta dilakukan di dalam kelompok. Geertz menyatakan agama adalah..(1) a system of symbols which acts to (2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing this conceptions wiuth such an aura of factuality that (5) the moods and motivations seen uniquely realistic36 [(1) sebuah sistem simbol-simbol yang (2) menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasimotivasi itu tampak khas realistis]. Defenisi ini menjelaskan agama dari perlakuan manusia melalui seperangkat simbol yang merupakan ekspresi dari motivasi dan suasana hati Dari beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa agama merupakan seperangkat aturan yang dijalankan untuk mengatur kehidupan manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, yang menjadi petunjuk mengenai kehidupan manusia dan penjelasan akan sesuatu yang dianggap sakral. Oleh karena adanya petunjuk yang sakral maka juga terdapat pantangan dan larangan yang diberikan kepada manusia. Di dalam banyak masyarakat agama memberikan argumentasi religius mengenai asal usul manusia, bagaimana dan untuk apa hidup di dunia, masa depan yang akan dihadapi dan kemana manusia setelah kematiannya. Penjelasan-penjelasan inilah yang berupa aturan atau petunjuk dan sekaligus sebagai larangan yang tidak bisa dibantah. 35 36 Durkhiem, The Elementary Forms of the Religious Life. 2011.Hal.80. Geertz, The Interpretation of Culture. 1973. Hal.90. 62 Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai agama, penjelasan dari ciri-cirinya seperti yang pernah diberikan oleh Durkheim yang kemudian juga dipakai oleh Koentjaraningrat dikutip di sini sebagai berikut. Dalam penjelasan ini agama terdiri dari empat komponen, sebagai berikut. 1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religieus; 2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural); serta segala nilai, norma serta ajaran dari religi yang bersangkutan. 3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib; 4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut dalam sub 2, dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut di dalam sub 3.37 Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini masih perlu ditambahkan satu lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya mengajarkan kebenaran yang suci, karena dengan kebenaran yang suci ini melahirkan keyakinan yang kuat dari kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/ jamaah/ jemaat/ pengikut dari suatu agama tersebut. Dengan keyakinan inilah suatu agama bisa bertahan karena diyakini kebenaran yang diajarkan di dalam agama tersebut kepada pengikutnya. Keyakinan kepada kebenaran yang diajarkan inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama atau pervasif seperti dinyatakan oleh Geertz. Umumnya antropolog menyatakan bahwa agama (religion) merupakan sebuah pranata seperti banyak pranata lainnya di dalam sebuah kebudayaan atau suatu masyarakat. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan, berikut ini penjelasannya. Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah keyakinan yang menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu aturan yang digunakan untuk mengatur manusia dalam rangka pemenuhan 37 Koentjaraningrat. 1987. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Hal. 145. 63 kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan manusia dibagi menjadi tiga oleh Malinowski, yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan adap-integratif. Agama atau religi sebagai pranata adalah dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk menjelaskan segala sesuatu dengan keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau oleh akal manusia.38 Agama yang dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fenomena religius yang mana? Jawaban pertanyaan ini mengacu kepada semua fenomena atau aktivitas religius yang terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di dari fenomena agama tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet, voodoo, penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik maupun Hindu yang khas di daerah tertentu. Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan, dijalankan atau dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Ini berbeda dengan agama di dalam teks sucinya atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur atau kitab Weda, Tripitaka yang sudah dituliskan di dalam agama-agama tradisi besar di dunia. Teks-teks suci ini diyakini oleh penganut agama tersebut sebagai sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah, yang berasal dari Tuhan. Kitab-kitab ini bukanlah produk kebudayaan, bukan pranata. Agama menjadi pranta adalah agama yang diyakini, dijalankan atau dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya walaupun masing-masing sama menganut agama yang sama. Artinya orang Betawi di Jawa bisa mempraktekkan atau menjalankan agama Islam secara berbeda dengan orang Minangkabau yang juga Islam. Bahkan, di daerah tertentu di Sumatera Barat saja, praktek agama Islam bisa berbeda-beda. B. Agama dan simbol Kebudayaan dan agama menurut perspektif simbolik adalah berkenaan dengan pengkajian antropologi mengenai sistem-sistem kognitif dan simbolik. 38 Dalam hal ini, teori keterbatasan akal manusia dari Frazer menjadi relevan untuk menjelaskan agama sebagai pranata. 64 Dalam hal ini Clifford Geertz adalah tokoh yang menyatakan “agama merupakan bagian dari suatu sistem kebudayaan yang lebih meresap dan menyebar luas, dan bersamaan dengan itu kedudukannya berada dalam suatu hubungan dengan dan untuk menciptakan serta mengembangkan keteraturan tersebut.”39 Geertz yang menyatakan agama sebagai suatu sistem simbol... dan seterusnya,40 juga menyatakan agama sebagai pedoman bagi ketepatan dari kebudayaan, suatu pedoman yang beroperasi melalui sistem-sistem simbol pada tingkat emosional, kognitif, subjektif dan individual.41 Menurut Geertz kebudayaan adalah pola dari pengertian-pengertian atau makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbolsimbol yang ditransmisikan secara historis suatu sistem mengenai konsepsikonsepsi yang diwariskan dalam bentuk-bentuk simbolik yang dengan cara tersebut manusia berkomunikasi, melestarikan, dan mengembangkan pengetahuan dan sikap mereka terhadap kehidupan.42 “Simbol-simbol adalah garis penghubung antara pemikiran manusia dengan kenyataan yang ada di luar, yang dengan mana pemikiran harus selalu berhubungan atau berhadapan dan yang dalam hal ini pemikiran manusia dapat dilihat sebagai (menurut Geertz) ‘suatu sistem lalu lintas dalam bentuk simbolsimbol yang signifikan.’ Dengan demikian simbol-simbol itu pada hakekatnya ada dua, yaitu; (1) yang berasal dari kenyataan luar yang terwujud sebagai kenyataankenyataan sosial dan ekonomi; dan (2) yang berasal dari dalam dan yang terwujud melalui konsepsi-konsepsi dan struktur-struktur sosial. Dalam hal ini simbolsimbol menjadi dasar dari perwujudan model dari dan model bagi dari sistemsistem konsepsi dalam suatu cara yang sama dengan bagaimana agama mencerminkan dan mewujudkan bentuk-bentuk suatu sistem sosial.”43 Simbol-simbol di dalam agama dan kebudayaan selalu menunjukkan kebaikan dan keburukan/ kejahatan. Di dalam kebudayaan simbol-simbol digunakan di dalam proses interaksi di dalam kehidupan sehari-hari di tengahtengah masyarakat. Simbol-simbol di dalam agama menunjukkan kesucian atau 39 Suparlan, 1982. Sebagaimana telah dikutip pada bagian sebelumnya. 41 Suparlan, 1982. 42 Geertz, ibid. Hal.89. 43 Suparlan, 1982. 40 65 kesakralan dan kejahatan/ keburukan/ sesuatu yang biasa-biasa saja, atau disebut juga yang sakral (sacré) dan yang profan. Teori strukturalisme dari Lévi-Strauss yang memandang segala sesuatu secara binnary opposition sangat relevan di dalam melihat simbol-simbol di dalam kebudayaan dan keagamaan. Baik-buruk, benar-salah, sorga-neraka adalah dua perspektif yang selalu terhubung antara satu dengan lainnya, dengan perilaku di dunia dan konsekuensi yang diterima di akhirat. Oleh karena itu simbol-simbol yang digunakan di dalam kebudayaan dan agama juga menunjukkan simbolsimbol kebaikan-kejahatan, benar-salah, atau suci dan tidak suci. Di dalam agama Islam warna putih sering dipakai oleh para ulama dalam berpakaian untuk menunjukkan simbol kebaikan atau mendekati ke kesucian, yang dilawankan dengan warna hitam sebagai simbol kejahatan. Sorga selalu diletakkan di posisi di atas, neraka selalu diletakkan pada posisi di bawah. C. Hubungan antar sukubangsa dalam variasi simbol agama Masing-masing sukubangsa mempunyai kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan warga sukubangsanya. Pranata agama menjadi bagian khusus dari aktivitas warga sukubangsa. Agama sebagai inti dari kebudayaan. Kuat dan lemahnya posisi agama dalam kebudayaan tergantung kepada hasil interpretasi atas agama tersebut oleh warga masyarakat bersangkutan. Ungkapan adat bersandikan adat, syara bersendikan kitabullah, pada sukubangsa Minangkabau merupakan contoh hasil interpretasi dan pemahaman orang Minangkabau terhadap agama. Dengan demikian, ketika agama tradisi besal menjadi agama sukubangsa atau lokal, maka terdapat variasi mengenai posisi agama yang dipeluk masyarakat tersebut, fungsinya yaitu sebagai pedoman bagi kehidupan sukubangsa itu. Kebudayaan Islam Minangkabau akan berbeda dengan kebudayaan Islam orang Betawi. Dalam hubungan sukubangsa, simbol-simbol agama terlihat dalam interaksi antar sukubangsa. Agama juga dijadikan simbol dari identitas sukubangsa. Orang Islam dengan mesjidnya dan orang Kristen dengan gerejanya. Begitu juga agama lain seperti Hindu dan Budha. Simbol-simbol juga terlihat dari cara berpakaian, seperti orang Islam bagi perempuan menggunakan jilbab. 66 Perayaan-perayaan hari besar agama seperti Natal bagi umat Kristen atau hari Raya Idul Fitri bagi penganut agama Islam, juga menjadi bagian dari simbol perilaku masyarakat yang dilakukan oleh penganutnya. Dalam hubungan antar sukubangsa, pengaktifan emosi keagamaan dapat menjadi pengikat solidaritas sosial antar sukubangsa yang sama agamanya. Dalam hubungan sukubangsa yang berada dalam agama yang sama, biasanya sukubangsa lebih cepat dan mudah diterima dibandingkan dengan kelompok sukubangsa yang berbeda agamanya. Keefektifan solidaritas antar umat yang seagama diperkuat oleh adanya tokoh-tokoh dan guru agama yang selalu mengingatkan solidaritas keagamaan tersebut. Disamping pengikat solidaritas antar sukubangsa yang seagama, isu-isu agama juga menjadi unsur penyebab konflik antar umat beragama. Konflik Ambon, yang meletus pada tahun 1999, dimulai dari konflik pendatang ButonBugis-Makassar yang Islam dengan orang Ambon yang Kristen, yang telah bergeser menjadi konflik antara orang Ambon yang Islam dengan orang Ambon yang Kristen yang melibatkan seluruh penduduk pulau Ambon dan pulau-pulau lainnya. Kerusuhan ini terjadi karena adanya isu agama yang beredar bahwa mesjid Al Fatah di Kota Ambon telah dibakar oleh orang Kristen. Isu ini telah membangkitkan kemarahan orang Ambon yang Islam yang merasa jati diri merekaa sebagai umat Islam telah diinjak-injak oleh orang Kristen. Keyakinan keagaaman yang dimiliki oleh sukubangsa juga menjadikan salah satu faktor penting, kerusuhan terjadi. Bagi umat Islam ada konsep jihad yang dilakukan untuk menhancurkan orang-orang yang berbeda agama. Begitu juga agama Kristen mereka memiliki sejarah perang Salib, dalam menegakkan agama mereka. Ketika kerusuhan di Sampit. Orang Dayak melakukan upacara nayau yang sebenarnya adalah dewa petir atau dewa perang dalam agama Hindu Kahaningan (agama asli nenek moyang Dayak). Orang dayak mengadukan nasib mereka kepada dewa mereka yang diundang masuk ke dalam tubuh orang-orang Dayak tertentu yang mau berperang melawan orang-orang Madura untuk mengusir dan membersihkan polusi atau kotoran wilayah kehidupan mereka 9Suparlan, 2005: 298). Bagi orang Melayu di Sambas, perang melawan orang 67 madura merupakan perang suci, yaitu melawan kebathilan dan kejahatan orang Madura yang selama ini menganggu kehidupan mereka. Sumber Rujukan: 1. 2. 3. 4. Durkhiem, Emile. 2011. The Elementary Forms of the Religious Life. Yogyakarta: IRCiSoD. Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. ......................... 1973. The Interpretation of Culture. New York: Basic Book, Inc., Publisher. ......................... 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius. 68 Hand Out Bahan Kajian sks Program Studi Fakultas Minggu ke : Masyarakat Majemuk dan Konflik : 3 (tiga) : Pendidikan Sosiologi-Antropologi : Ilmu Sosial : 14 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan masyarakat majemuk dan konflik antar sukubangsa Materi : MASYARAKAT MAJEMUK DAN KONFLIK A. Pengertian Konflik Konflik berasal dari bahasa latin configere yang bermakna saling memukul. Konflik adalah suatu proses sosial antara dua orang atau lebih, salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara membuatnya tidak berdaya. Konflik dapat terjadi karena ada perbedaan ide , pendapat, paham, dan kepentingan diantara kedua pihak tersebut. Konflik itu bisa berupa konflik fisik dan non fisik. Konflik fisik bisa berupa pukulan, tendangan, tamparan, dan kekerasan fisik lainnya. Sedangkan konflik non fisik bisa berupa perang mulut (bertengkar), perang dingin (tidak saling menyapa), sindiran dan lain sebagainya. Sedangkan konflik sosial menurut Fisher konflik bisa terjadi karena hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok), yang memiliki atau merasa memiliki tujuan-tujuan yang tidak sejalan. Pada dasarnya konflik akan selalu ada selama masyarakat masih memiliki kepentingan secara kelompok atau berhubungan dengan yang lain. Penyebab timbulnya konflik karena adanya perbedaan kemampuan, tujuan, kepentingan, paham, nilai, norma, dan lainnya. Menurut Robert M.Z. Lawang konflik adalah perjuangan memperoleh status, 69 nilai, kekuasaan, dimana tujuan mereka yang berkonflik tidak hanya keuntungan, tetapi juga menundukkan saingannya. B. Masyarakat Majemuk dan Konflik Masyarakat majemuk menurut Furnivall yaitu sebuah masyarakat yang terdiri atas kumpulan orang-orang atau kelompok-kelompok yang berbaur tapi tidak menyatu. Masing-masing kelompok memiliki agama, budaya dan bahasa, dan cara hidup mereka masing-masing. Sebagai individu mereka saling bertemu, tetapi hanya di pasar. Masyarakat terdiri atas bagian-bagian yang merupakan komuniti yang hidup saling berdampingan dalam sebuah satuan politik. Mereka itu sebuah masyarakat yang disatukan secara paksa, tidak karena secara sukarela.44 Furnivall mengembangkan konsep masyarakat majemuk ketika meneliti masyarakat Indonesia pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Orang pribumi Indonesia dijajah oleh Belanda. Secara jumlah penduduk asli sangat banyak akan tetapi tidak berkuasa atau berada dibawah pengaruh dari pemerintah jajahan yang jumlahnya sedikit. Pemerintahan jajahan menguasai Indonesia untuk mendapatkan sumberdaya yang ada di Indonesia, dan untuk memantapkan ekonomi. Sedangkan orang pribumi Indonesia sebagai pemilih tanah air tidak memperoleh kewenangan atas tanahnya. Supaya terus berkuasa, Belanda menggunakan kekuasan yang otoriter dan kekuatan militer untuk melawan orang pribumi yang hendak melawan pemerintah Belanda. Setelah Indonesia merdeka kondisi ini tidak jauh berbeda di era Belanda tersebut. Masyarakat Indonesia terdiri dari beragam sukubangsa dari Sabang sampai Merauke, bersama mewujudkan diri sebagai suatu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. Hubungan antar sukubangsa yang terwujud menunjukkan ciri masyarakat majemuk. Sistem Nasional lebih berkuasa atau dominan dibandingkan dengan sistem sukubangsa. Pemerintah memaksakan keinginannya terhadap sukubangsa lain yang ada di Indonesia, bahkan seperti meniadakan pranata sukubangsa lain. Sebagai contoh, negara mengatur mengenai kebudayan 44 Suparlan, 2005: 183. 70 nasional Indonesia, Kebudayaan nasional Indonesia adalah puncak-puncak dari kebudayaan daerah. Hal ini seperti memberikan konsep baru yaitu kebudayaan daerah, yang jelas tidak berakar pada kebudayaan yang sudah ada. Kebudayaan daerah adalah sama dengan kebudayaan yang ada dalam wilayah propinsi. Wilayah propinsi merupakan produk dari sistem nasional yang dibuat untuk kepentingan administrasi nasional dan bukan produk sistem sukubangsa. Negara mengatur kehidupan beragama masyarakatnya, memberikan kebebasan kepada warga negara untuk memilih agama yang menurut mereka cocok dengan keyakinannya. Akan tetapi agama yang diakui negara hanyalah agama tradisi besar seperti kristen, Islam, Hindu dan Budha yang jelas merupakan agama yang datang dari luar bumi Indonesia. Sedangkan agama tradisi lokal, agama sukubangsa yang sudah ada di wilayah Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka, dan sudah dipraktekkan oleh sukubangsa-sukubangsa sejak lama tidak mendapat pengakuan dari negara. Seperti agama Arat Sabulungan orang Mentawai, agama orang Sunda yaitu sunda wiwitan dan masih banyak lagi yang diyakini oleh sukubangsa di Indonesia sejak lama. Negara menguasai seluruh sumber daya alam yang ada di Indonesia untuk kepantingan masyarakat Indonesia. Hanya saja dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi negara tidak memberikan keadilan terhadap masyarakat yang marginal. Seperti penguasaan lahan oleh pihak-pihak perusahaan perkebunan. Tanah dan hutan yang merupakan milik masyarakat secara adat tidak mendapat pengakuan oleh negara, atau terkadang diakui hanya saja harus diserahkan dengan alasan untuk kepentingan negara. Pemerintah mendapat keuntungan dari penguasaan lahan rakyat, bekerja sama dengan perusahaan mengambil hasil hutan dan mengolahnya. Kehidupan masyarakat yang sangat tergantung kepada alam seperti dicabut dari akarnya. Seperti orang Mentawai yang sejak nenek moyang mereka hidup dari hasil hutan, atau orang Sakai dan orang Rimbo yang mengantungkan hidupnya dari alam, mereka hidup dari hutan, namun hutan mereka yang menjadi rumah mereka diambil oleh penguasa bahkan dengan cara paksa, dengan menggunakan kekuatan militer. 71 Kondisi-kondisi perbedaan kepentingan dan tidak adanya pengakuan oleh penguasa terhadap kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat sukubangsa menjadi faktor memunculkan konflik. Konflik antar sukubangsa karena adanya hubungan antra sukubangsa. Bentuk dari hubungan antara sukubangsa menjadi penentu terjadinya konflik antar suku bangsa. Dari kasus-kasus konflik antar sukubangsa di Ambon, Poso, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lain di Indonesia dapat disimpulkan bahwa konflik antar sukubangsa muncul dari kompetisi untuk memperebutkan sumber daya setempat yang dilakukan oleh individu yang merupakan anggota komuniti sukubangsa setempat dengan sukubangsa pendatang. Konflik antar individu berkembang menjadi konflik antar sukubangsa karena salah satu pihak mengaktifkan kesukubangsaan untuk solidaritas kelompoknya guna mengalahkan pihak lainnya sehingga pihak lainnya tersebut mau tidak mau akan harus mengimbanginya dengan mengaktifkan kesukubangsaannya juga.45 Orang Madura di Kabupaten Sambas Konflik antara sukubangsa Madura dan orang Melayu di Kabupaten Sambas telah berlangsung selama 11 kali sejak tahun 1962 yang berakhir ada tahun 1999. Orang madura merupakan pendatang di Kalimantan Barat sejak tahun 1929-an. Sebelum perang Dunia II, keberadaan mereka secara sosial dan ekonomi di Kalimantan Barat tidak mempunyai arti penting. Jumlah orang Madura tidak banyak (minoritas) dan posisi sosial mereka juga rendah, pada umumnya adalah buruh kasar. Orang Madura hidup hampir di seluruh wilayah Kabupaten Sambas, baik di desa dan kota. Orang Madura hidup mengelompok diantara sesama orang Madura, sama sekali terpisah dari orang dayak dan orang Melayu. Hubungan orang Madura dengan orang Melayu tidak berlangsung secara harmonis, begitu juga hubungan orang Madura dengan orang Dayak. Hubungan diantara kedua sukubangsa ini penuh dengan stereotipe, dan prasangka. Dalam stereotipenya, orang Melayu melihat orang Madura sebagai sama dengan golongan hewan, yaitu anjing yang tidak bisa dipercayai, pencuri, pemalak, dan 45 Suparlan, 2005:22. 72 perampok. Sebaliknya orang Madura melihat orang Melayu sebagi penakut, dan kebanyakan bicara. Sedangkan orang Dayak melihat orang Madura sebagai hama dan hewan buruan yang rakus, yaitu babi hutan. Sebaliknya orang Madura melihat orang Dayak sebagai kafir dan makhluk yang terbelakang. Konflik antar individu yang menghasilkan kerusuhan antar sukubangsa dan terwujud sebagai kkerasan berdarah sebenarnya dapat dipahami dengan mengacu kepada stereotipe sukubangsa yang mereka punyai masing-masing yang digunakan untuk memperlakukan pihak lawan (Suparlan, 2005: 235). Hipotesa kebudayaan dominan dari Bruner (Koentjaraningrat, 1990: 6-7) juga dapat dijadikan kajian untuk membahas masalah konflik antara orang Madura dengan sukubangsa Melayu dan Dayak di Sambas Kalimantan Tengah. Kebudayaan Melayu di Pantai Barat Kalimantan, tertama di Kabupaten Sambas adalah kebudayaan dominan. Orang Melayu di Sambas telah mengembangkan pranata politik yang berbentuk kerajaan atau kesultanan, sedangkan orang Dayak yang hidup dipedalaman tidak mengembangkannya. Orang Melayu menjadikan agama Islam sebagai agama sukubangsanya. Sebaliknya orang Dayak menganut agama tradisi lokal, dan kemudian mengganti agamanya menjadi beragama islam atau “masuk Islam”. Orang Dayak dalam perkembangan kebudayaannya kemudian banyak mengadopsi kebudayaan Melayu atau disebut “masuk Melayu”. Di Kalimantan berkembang dua kebudayaan dominan dengan penguasaan wilayah yang berbeda. Orang Melayu di di daerah pantai barat dan orang Dayak di pedalaman. Kedua sukubangsa menyadari keberadaan dan dominasi kebudayaan sukubangsa di wilayah mereka masing-masing, dan saling menghormatinya. Dengan demikian hubungan antara kedua sukubangsa relatif harmonis. Jika terjadi konflik diantar dua sukubangsa ini maka yang muncul adalah konflik individu. Berbeda dengan orang Madura di Sambas, mereka hidup tersebar dan mengelompok sebagai orang Madura. Orang Madura sangat menonjol dalam penggunaan atribut kesukubangsaannnya. Orang Madura juga membangun solidaritas antara sesama orang Madura. Sehingga jika ada permasalahan diselesaikan secara Madura. Orang Madura memiliki kecenderungan menyelesaikan masalah dengan cara ancaman dan kekerasan. Tanpa disarai semua 73 anggota sukubangsa yang ada Melayu, Dayak, orang madura telah menjadi kebudayaan dominan. Corak hubungan antara orang Madura dengan suku bangsa lain bercorak kekerasan. Sehingga ketika terjadi konflik antar orang Madura dengan Orang dayak dilawan dengan kekerasan. Faktor penyebab lainnya dari konflik di Sambas, yaitu ketimpangan dalam penguasan sumber-sumber ekonomi. Orang Madura sebagai pendatang dapat menguasaai sunber saya ekonomi yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh orang Melayu, dengan demikian secara ekonomi orang Madura menjadi kuat secara ekonomi. Orang Madura juga memiliki karakter melaksanakan keinginannya dengan segala cara termasuk dengan kekerasan dan kompromi dengan pejabat dan hukum. Dengan demikian konflik antara orang Melayu dan Madura juga dipicu oleh adanya penguasaan ekonomi tersebut. Meredam Konflik Menurut Parsudi Suparlan, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meredam konflik yaitu menegakkan keadilan hukum dan adanya penegak hukum yang berlaku adil. Polisi dapat bertugas mengayomi masyarakat dan bertindak adil dalam menegakkan hukum maka kerusuhan atau konflik dapat dicegah. Kerusuhan di Madura juga disebbakan karena pihak kepolisan lemah dalam menegakkan hukum. Polisi tidak berani menahan pencuri yang berasal dari etnis Madura yang mencuri motor orang Melayu. Upaya lainnya yaitu dengan memberikan pendidikan kepada generasi muda bahwa perlu adanya toleransi dan saling menghargai antar sukubangsa yang berbeda. Stereotipe dan prasangka antara sukubangsa perlu dihapuskan dan diganti dengan prasangka yang lebih baik. Sumber rujukan: Parsudi, Suparlan. Hubungan Antar sukubangsa. Koentjaraningra, Teori Antropologi Jilid 2 74 Hand Out Bahan Kajian : Masyarakat Multikultural sks : 3 (tiga) Program Studi : Pendidikan Sosiologi-Antropologi Fakultas : Ilmu Sosial Minggu ke : 15 Learning Outcomes (Capaian Pembelajaran) Mahasiswa mampu menjelaskan konsep masyarakat multikultural Materi Pokok: MASYARAKAT MULTIKULTURAL A. Pengertian Masyarakat Multikultural Pada masa ini, suatu masyarakat khususnya di kota-kota besar tidak lagi terdiri dari satu kebudayaan yang homogen. Anggota masyarakat berinteraksi dengan beragam kebudayaan sukubangsa. Misalnya masyarakat Indonesia, terdiri dari lebih kurang 700 sukubangsa dan masing-masing sukubangsa itu memiliki keunikannya masing-masing. Keberagaman sukubangsa dalam ruang geografis yang sama dengan demikian tidak lagi menjadi suatu hal yang luar biasa untuk kondisi kekinian. Kota Padang sebagai wilayah geografis didiami oleh penduduk dengan latar belakang budaya yang beragam seperti: orang Minangkabau, Batak, Jawa, Nias, Mentawai, Melayu, India, Tionghoa dan sebagainya, dengan jumlah yang bervariasi. Selain itu juga memiliki keberagamaan agama, ada yang menganut agama Islam, Kristen, Budha dan Konghucu. Begitu pula keberagamanan bahasa, teknologi, ekonomi dan aturan adat-istiadat. Dengan demikian apakah masyarakat sudah multikultural ? untuk menjawab ini perlu kajian lebih dalam lagi, masyarakat multikultural tidak cukup jika hanya diartikan sebagai masyarakat dengan memiliki beragam kebudayaan yang tetap eksis. 75 Namun multikuturalisme merujuk pada jenis kebijakan yang bertujuan untuk melindungi keanekaragaman budaya. Konsep multikulturalisme berkembang pada tahun 1950 di Kanada Istilah ini diderivasi dari kata multicultural yang dipopulerkan surat kabar-surat kabar di Kanada, yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual. C.W. Watson mendefenisikan multikulturalisme sebagai “sebuah ideologi yang mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan (Watson, 2000). Keberagaman dalam hal sukubangsa, agama, bahasa, aturan adat istiadat, ekonomi dan teknologi, baik perbedaan berada dalam tingkat individu maupun dalam kelompok dalam masyarakat. Multikulturalisme menurut Parsudi Suparlan (2005: 123) menjadi acuan keyakinan untuk terwujudnya pluralisme budaya, dan terutama memperjuangkan kesamaan hak dan berbagai kalangan minoritas baik secara hukum maupun sosial. Dalam perjuangan ini multikulturalisme merupakan acuan yang paling dapat diterima dalam masyarakat yang demokratis karena yang diperjuangkan oleh pendukung multikulturalisme adalah sejalan dengan perjuangan para penganut demokrasi. Dalam model multikulturalisme ini, menurut Reed (Suparlan, 2005: 280) sebuah masyarakat dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan seperti sebuah mosaik tersebut. Kesederajatan dipandang dalam hal ini keberagaman kebudayaan, dan sukubangsa dari anggota masyarakat, namun masing-masing perbedaan tersebut tidak memunculkan diskriminasi terhadap yang lain. Setiap Individu dan masyarakat memiliki kedudukan yang sama, sederajat di dalam masyarakat, baik secara hukum dan sosial, tidak ada yang menaggap kebudayaan lebih dominan, lebih maju dari yang lain. Dengan demikian, paham atau ideologi multikulturalisme menjadi semacam gerakan, yang perlu diperjuangkan terhadap sikap dan perilaku masyarakat dan hukum yang tidak adil dan bijaksana dalam melihat perbedaan. Ideologi multikulturalisme juga dipandang sebagai alat yang 76 ampuh untuk meredam konflik yang terjadi di dalam masyarakat yang dilandaskan atas perbedaan sukubangsa, agama, bahasa, adat, ekonomi, gender dan sebagainya. Dalam bahasan ini, perlu dibedakan antara masyarakat majemuk dengan masyarakat multikultural. Masyarakat Majemuk Masyarakat Multikultural Beragam budaya, etnik, bahasa, adatistiadat, agama, ekonomi, teknologi, gender Masyarakat beragam kebudayaan namun terpisah-pisah, tidak tergabung dalam kesatuan politik interaksi antar sukubangsa sangat kurang Kurang adanya toleransi kebudayaan lain, relasi timpang Beragam budaya, etnik, bahasa, adat-istiadat, agama, ekonomi, teknologi, gender Masyarakat beragam kebudayaan namun dapat berinteraksi dengan intensif Toleransi antar budaya cukup tinggi, relasi sederajat, menghargai perbedaan, merayakan perbedaan Konflik antar budaya berbeda sering Konflik dapat diredam karena saling terjadi, disintegrasi bangsa menghargai perbedaan, integrasi bangsa Pluralisme budaya (cultural pluralisme) merupakan model yang berkembang dalam kajian masyarakat majemuk. berkembang pada tahun 1970-an. Menurut Horace Kallen (dalam Usman Pelly, 2005) salah seorang pelopor konsep pluralisme kebudayaan, menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnis atau ras yang berbeda harus didorong untuk mengembangkan sistem mereka sendiri dalam kebersamaan, memperkaya kehidupan masyarakat majemuk mereka (Jurnal Antropologi Sosial Budaya, Jurnal Etnovisi. Vol 1 No 2 Oktober 2005). Dalam konsep pluralisme budaya negara atau pemerintah melalui kebijakannya dapat membuat peraturan atau perundangan yang harus menghargai perbedaan- perbedaan budaya yang merupakan produk sejarah yang berlaku dalam masyarakat setempat dan pemerintah harus secara nasional harus menjamin kesamaan derajat diantara mereka. Pluralisme budaya merupakan ideologi yang secara langsung atau tidak langsung mendasari munculnya multikulturalisme 77 B. Bentuk masyarakat multikultural Bhikhu Parekh seorang Profesor dari filsafat politik membedakan atas lima model multikulturalisme: 1. Multikulturalisme isolasionis, yaitu masyarakat yang berbagai kelompok kulturalnya menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi minimal satu sama lain. 2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan mereka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa. 3. Multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat plural yang kelompokkelompok kultural utamanya berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan meng-inginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat yang semua kelompoknya bisa eksis sebagai mitra sejajar. 4. Multikulturalisme kritikal/interaktif, yakni masyarakat plural yang kelompok-kelompok kulturalnya tidak terlalu terfokus (concerned) dengan kehidupan kultural otonom, tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif khas mereka. 78 5. Multikultural Kosmopolitan, masyarakat plural yang berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat tempat setiap individu tidak lagi terikat dengan kepada budaya tertentu, sebaliknya secara bebas terlibat dalam percobaan interkultural dan dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.46 Selain multikulturalisme deskriptif, menurut Heywood sebetulnya ada lagi multikulturalisme normatif, yaitu suatu dukungan positif, bahkan perayaan atas keragaman komunal, yang secara tipikal didasarkan atas hal dari kelompokkelompok yang berbeda untuk dihargai dan diakui , atau atas keuntungankeuntungan yang bisa diperoleh atas tatanan masyarakat yang lebih luas keragaman moral dan kulturalnya.47 Multikulturalisme normatif melibatkan kebijakan sadar, terarah dan terencana dari pemerintah dan elemen masyarakat untuk mewujudkan multikulturalisme. Menurut Parekh (2001), ada tiga komponen multikulturalisme, yakni kebudayaan, pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik, melainkan cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari aneka ragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Setidaknya ada tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi realitas pluralitas kebudayaan. Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang— bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model 46 47 Azra, 2007. Ibid. 79 kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu. Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing. Ketiga, model multikultural-etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflikkonflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri. Sampai saat ini pemerintah dan masyarakat Indonesia belum menentukan secara normatif model multikulturalisme macam apa yang harus diterapkan di negeri ini. Selain membutuhkan kajian-kajian antropologis yang lebih mendalam, tampaknya juga diperlukan kajian filosofis terhadap multikulturalisme itu sendiri sebagai sebuah ideologi. Berbeda dari yang dipahami orang awam, ternyata multikulturalisme mengandung asumsi-asumsi problematis yang harus sebaiknya dikenali, diakui sepenuhnya atau direvisi sesuai realitas khas setiap negeri, sebelum pemerintah dan masyarakat dapat memutuskan apakah akan memeluk ideologi multikulturalisme dan selanjutnya menormatifkannya. 80 C. Menciptakan masyarakat multikultural Multikultural dipandang sebagai suatu paham atau ideologi yang dapat mengubah dan memperbaiki kehidupan masyarakat yang terdiri dari beragam sukubangsa. Multikulturalisme sebagai sebuah ideologi yang harus dikonstruksikan di dalam masyarakat, diciptakan dan diperjuangkan untuk keberlanjutan suatu bangsa. Dengan demikian diperlukan upaya-upaya terarah dan terencana supaya masyarakat multikultural yang dicita-citakan dapat tercapai. Menurut P. James Spradley dan David W.Mc Curdy (1987,9-10). Terdapat tiga persyaratan yang harus dipenuhi untuk menciptakan masyarakat multikultural. Pertama, daripada memberangus keragaman budaya melalui pemaksaan proses asimilasi ke dalam kebudayaan mainstream, justru akan lebih baik jika mengakui kenyataan bahwa kebudayaan adalah pluralistik atau beragam dan berbeda. Kedua, tidak bersifat etnosentris kepada kebudayaan lain, tidak menggunakan standar nilai kebudayaan sendiri untuk mengukur kebudayaan lain. Ketiga, mulai belajar drai perilaku yang egosentri dan etnosentris kepada homosentris. Menciptakan sikap toleransi, penuh rasa hormat, dan kooperatif. Dalam lingkup yang lebih luas akan selalu terjadi perebutan keperntingan antara kebutuhan akan pengakuan keragaman (diversity)dengan kesatuan (unity). Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang mampu menyeimbangkan antara kedua kepentingan tersebut. Menurut Bhikhu Parekh dalam bukunya yang berjudul A Comitment to Cultural Pluralism , masyarakat multikultural perlu menemukan suatu cara yang praktis dan diterima secara kolektif untuk merekonsiliasikan antara dua tuntutan: kesatuan dan keragaman. Menurut Parsudi Suparlan upaya yang dapat dilakukan dalam menciptakan masyarakat multikultural di Indonesia yaitu, pertama, memantapkan ideologi bhineka tunggal ika yang multikultural. Kedua, melakukan pembenahan terhadap nilai budaya dan etos, etika dan pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum yang adil. Upaya dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika yang berlatar multikultural. Acuan yang disetujui oleh pemerintah dan elit masyarakat, sehingga tidak hanya menjadi wacana akan tetapi dapat dijalankan ditengah-tengah masyarakat. Keempat, memajukan pendidikan multikultural dari sekolah dasar 81 sampai perguruan tinggi. Dengan demikian sikap toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan akan tercipta dan integrasi bangsa dapat tetap dipertahankan. Sumber Rujukan: Azra, Azyumardi, 2007. “Identitas dan Krisis Budaya, Membangun Multikulturalisme Indonesia”,http://www.kongresbud.budpar.go.id/58%20ayyumardi%20azra. htm. Lubis, B. Zulkifli, Dari Masyarakat Plural ke Masyarakat Multikultural: Menuju Optimalisasi Keanekaragaman Budaya Sebagai Aset Bersama. http://www.academia.edu/5650747/D Spradley, P. James & David W. Mc. Curdy. 1987. Conformity and Conflict: Reading in Cultural Anthropology. 7 edition. Boston: Little, Brown and Company. Hefner, Robert W. 2007. Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan. Yogyakarta: Impulse-Kanisius. Parsudi, Suparlan. 2005. Sukubangsa sukubangsa.Jakarta:YPKIK dan Hubungan Antar 82