i TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap

advertisement
TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT )
Oleh :
RIA LIANA
E1A007407
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2013
i
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI
TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT )
Oleh :
RIA LIANA
E1A007407
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Diterima dan Disahkan
Pada tanggal : Februari 2013
Pembimbing I,
Haryanto Dwiatmodjo,SH.M.Hum
NIP. 19570225 198702 1 001
Penguji,
Dr.Budiyono, S.H,M.Hum
NIP. 19631107 198901 1 001
Pembimbing II,
Sunaryo,SH.,M.Hum.
NIP. 19531224 198601 1 001
Mengetahui
Dekan Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman
Dr. Angkasa, S.H., M.Hum
NIP. 19640923 1989011 001
ii
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap
Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT )
Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta
informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa
kebenarannya.
Apabila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk
pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh.
Purwokerto, Februari 2013
RIA LIANA
NIM. E1A007407
iii
MOTTO
“Yang selalu tampak indah tidak selamanya baik untuk kita”
“What dou you think is what happen to you ”
Hidup itu mudah kalau kita tidak membuatnya sulit
iv
PERSEMBAHAN
Karya Kecilku ini khusus kupersembahkan teruntuk :
Ayahku tercinta
Ridwan
Yang selalu memberikan perhatian, semangat, menerima keluh kesahku dan
selalu mengingatkanku selalu untuk tetap berdoa, dan berusaha…..
Ada cinta yang kadang terabaikan, bukan karena tak berarti besar
tetapi karena cara pengungkapan yang berbeda
v
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya
dengan seluruh rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul TINDAK PIDANA EKSPLOITASI
SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/
2011/PN.PWT ).
Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak
terhingga atas motivasi dan dukungan, baik langsung maupun tidak langsung
yaitu kepada :
1. Allah SWT atas bimbingan hidup yang diberikanNya kepada Penulis ;
2. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan
seluruh jajarannya ;
3. Haryanto Dwiatmodjo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan
Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman Purwokerto ;
4. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II ;
5. Dr. Budiyono,S.H,M.Hum, selaku dosen Penguji pada seminar skripsi dan
Pendadaran ;
6. Tedi Sudrajat, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik yang
memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan ;
vi
7. Budi Setyawan, S.H,MH.selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto
atas kesediannya meluangkan waktu dan membantu memberikan data
yang Penulis butuhkan dalam proses penulisan skripsi ini ;
8. Rafita Sadya Putra, yang telah memberikan warna tersendiri dalam hidup
Penulis serta memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan motivasi
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ;
9. Kakak-kakak dan adik-adiku Eko Supriyatno, Ani Tri Mulyani, Yoni
Panca Nugraha, Rafita Sadya Putri, Fitri Indrisari, Risdayanti, M.Rehan
Alfazri, dan Giandika Estri Shefrina, Ibnulfaizin Najmul Falah yang telah
banyak memberikan saran dan kritik yang membangun untuk penulis
10. Keluarga Besar Ibunda Watini Tukiman, Ibunda Linda, Ibunda Esti
Widiyani yang telah memberikan semangat, doa, perhatian, bimbingan,
serta kasih sayang kepada penulis
11. Keluarga Besar Kakek M. Damiri dan Keluarga besar Alm. Datuk Nurdin
yang tak henti-hentinya memberikan doa untuk penulis beserta seluruh
keluarga
12. Sahabat terbaikku Desi Pratimi (Desi), Friska Mahardika (Friska), Alviana
N (Alvi). Semoga impian kita untuk sukses bersama bisa terwujud.
13. Temen-temen KKN ’11 Desa Pengarasan, Kusuma Hadi, Betha Tri
Wulandari,Alwi Putra, Asri Mawardiani, Tita Diniar Sekar Tanjung,Teguh
Priatna, Titi Murwati serta Pak Joko dan Bu Baroroh beserta keluarga ;
14. Teman-teman Fakultas Hukum, Avianita (Tata), M. Zaenudin Mustofa
(Yeyen), Juriko Wibisono (Juriko), Gehan Fajrin (Gehan), Anggya
vii
(Anggy), Septianingsih F.U (Septy), Khaerul Syakir (Syakir), Dwinanda
(Nanda), Bimo Prakoso (Bimo), Erick, Lainun Shabrina (Shasa), Emilia
(Emil), Arindika, Dika Sando, Ranggi, Adina Yustianingsih, Yuliana
(ana), Bang Basri, Lilis, L.A Yuris, Arinal,Alif Angga, Oki, Tanti, Kurnia
Hadi (Jikun), Adit, Ari, Erlinda (Elin), Friska Faullina,Wiji Rahayu,
Gangga
Pujangkara,
Ayu
Nah’diatuhzahra
kalian
memberikan
pengalaman yang tidak terlupakan dalam berproses di Kampus Merah ;
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini kurang sempurna
mengingat keterbatasan Penulis, walaupun demikian Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik teori
maupun aplikasi.
Purwokerto,
Februari 2013
Penulis,
viii
ABSTRAK
TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK
( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT )
Disusun Oleh :
Ria Liana
Penelitian ini berjudul “TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL
ANAK”(Studi Kasus Dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42
/PID.Sus/ 2011 /PN.PWT )”. Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Klas IB
Purwokerto. Tujuan Penelitian untuk mengetahui penerapan unsur-unsur tindak
pidana eksploitasi seksual anak serta untuk mengetahui dasar hukum
pertimbangan hakim dalam memutus perkara eksploiasi seksual anak-anak pada
perkara Nomor: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT
Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan yang
digunakan adalah yuridis normatif. Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian
ini adalah deskriptif analitis.Data yang digunakan dalam penelitian adalah data
primer dan data sekunder.Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam
dan intensif dengan informan sedangkan data sekunder diperoleh yaitu dengan
mempelajari peraturan perundang-undangan, literature, hasil penelitian serta
dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan obyek penelitian.
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Unsur-unsur dari
tindak pidana Eksploitasi seksual anak adalah :
a. Setiap Orang, yaitu terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning
binti Kasmuri
b. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual, yaitu terdakwa
menerima saksi korban untuk berkerja sebagai Pekerja Seks
Komersial
c. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu
membagi dua imbalan yang korban peroleh masing-masing Rp
50.000
Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Perkara Eksploitasi
Seksual Anak Di Pengadilan Negeri Purwokerto Dalam Perkara Nomor
:42/PID.Sus/2011/PN.PWT telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak, sebab
pelaku dinyatakan oleh Hakim bersalah telah melanggar Pasal 88 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Kata kunci : Eksploitasi seksual, anak
ix
ABSTRACT
CRIMINAL CHILD SEXUAL EXPLOITATION (case studies Court Verdict
number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT).
By :
Ria Liana
This study, entitled of CRIMINAL CHILD SEXUAL EXPLOITATION
(CRIMINAL CHILD SEXUAL EXPLOITATION (case studies Court Verdict
number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT). Research conducted in the District Court
Klas IB Purwokerto. The purpose of Research to determine the application of
elements of criminal acts of child sexual exploitation as well as to know the legal
basis for the consideration of the judge in the case ruled the sexual eksploiasi of
children on case number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT.
Using qualitative research methods Research. The approach used is the
juridical normative. Specifications used in this research is descriptive analytic.The
Data used in this research is the primary data and secondary data.Primary Data
obtained from the results of in-depth and intensive interviews with informants
while secondary data obtained by studying the legislation, literature, research
results and official documents relating to the object of research. Based on Based
on the results of the study it can be concluded that the elements of the criminal
acts of child sexual exploitation are:
a. any person, i.e. the defendant Daning Tianingsih aka Mami Ning Bint
Kasmuri
b. who exploit economic or sexual, i.e. the defendant received the witness
the victim to work as commercial sex workers with the intention of
favouring
c. yourself or someone else, namely split two rewards that victims get their
respective consideration of Rp 50,000
Judges in Legal Cases sever its child sexual exploitation In Purwokerto District
Court in the case number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT were in accordance with the
principle of child protection, as stated by judge convicted offender has violated
Article 88 Act No. 23 of 2002 on child protection.
Key words: child, sexual exploitation
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………..
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………………………
SURAT PERNYATAAN ……………………………………………………...
HALAMAN MOTTO ………………………………………………………….
HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………….
KATA PENGANTAR …………………………………………………………
ABSTRAK ……………………………………………………………………..
ABSTRACT …………………………………………………………………….
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ………………………………………………………………...1
B. Perumusan Masalah ……………..…………………………………………......7
C. Tujuan Penelitian ………………..…………………………………….……….8
D. Kegunaan Penelitian …………….……………………………………………..8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Pidana
1. Pengertian hukum pidana ……..………………………………………........9
2. Asas-asas Hukum Pidana ....……………………………………….............13
B. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana..........................................................................22
2. Istilah Tindak Pidana.................................................................................24
xi
3. Syarat-syarat dapat dipidana......................................................................27
4. Teori dan Tujuan Pemidanaan...................................................................28
C. Eksploitasi Seksual Anak
1. Pengertian Anak..........................................................................................33
2. Pengertian Eksploitasi..................................................................................35
3. Unsur-unsur Pengeksploitasian Seksual Anak.............................................36
BAB III METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian.............................................................................................38
B. Spesifikasi Penelitian........................................................................................38
C. Lokasi Penelitian...............................................................................................39
D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum......................................................................39
E. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.................................................................39
F. Teknik Penyajian Bahan Hukum.......................................................................39
G. Teknik Analisis Bahan Hukum.........................................................................39
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian..................................................................................................41
B. Pembahasan.......................................................................................................49
BAB V PENUTUP
A. Simpulan............................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan sebagai alat
untuk menjaga ketertiban di masyarakat sangat dibutuhkan dalam mencegah,
menanggulangi, membatasi. Hukum merupakan suatu aturan yang hidup
dimasyarakat yang oleh masyarakat harus dipatuhi dan dijalankan. Unsur-unsur
hukum sendiri menurut para sarjana hukum Indonesia adalah :
a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat
b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib
c. Peraturan itu bersifat memaksa
d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu adalah tegas.1
Unsur diatas mengharuskan masyarakat untuk bertindak berdasarkan hukum
yang berlaku agar tercipta ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum dan nantinya
timbul kesejahteraan di masyarakat yang merupakan tujuan dan dambaan dari
adanya hukum itu sendiri.
Pengertian tentang hukum sendiri menurut Prof. Mr Dr L.J Van Apeldoorn
dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht
bahwa
hukum
sulit
untuk
didefinisikan
bahkan
tidak
mungkin
untuk
mendefinisikannya karena luasnya gambaran tentang hukum dan untuk memberikan
batasan tentang hukum sangat sulit dan tidak memberi kepuasan.
Pembagian tentang macam-macam hukum terbagi menjadi berbagai macam
golongan diantaranya dilihat dari isinya. Hukum dilihat dari isinya dibedakan
1
C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
Hal. 39.
1
menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang
mengatur kepentingan umum, hubungan antara negara dengan perseorangan.
Kemudian hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubungan-hubungan
antara orang yang satu dengan yang lain, yang menitik beratkan kepada kepentingan
perseorangan.2
Salah satu bentuk hukum publik adalah hukum pidana yang dibagi menjadi
dua yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil
di Indonesia diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang
merupakan salah satu bentuk kodifikasi hukum di Indonesia yang mengambil dari
Wetboek van Sraftrecht (Wvs) dari Belanda atas asas konkordansi yang mulai
berlaku secara resmi menjadi undang-undang dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946. KUHP sendiri merupakan induk dari peraturan
hukum pidana di Indonesia, selain itu peraturan hukum pidana juga tersebar diluar
KUHP salah satunya yaitu Undang-undang Perlindungan Anak.
Anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai arti penting bagi
pembangunan Nasional dalam menjalankan kehidupan bangsa dan bernegara.Anakanak berhak mendapat perlindungan tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi
untuk melaksanakan pembangunan Nasional seperti halnya manusia dewasa.Agar
setiap anak dapat dan berkembang secara baik dipelukan perlindungan terhadap anak
dari tindak kekerasan fisik, psikis, diskriminasi, pengeksploitasian seksual anak,hak
sipil dan kebebasan. Dengan adanya perlindungan anak, keberadaan anak yang
menjadi tanggung jawab bangsa diharapkan dapat menyonsong masa depan secara
baik dalam kehidupan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
2
Ibid, Hal.75.
2
Kekerasan,pelecehan dan pengeksploitasi seksual bukan hanya menimpa
perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong dibawah umur (anakanak).Kejahatan seksual juga biasanya sering berlangsung di lingkungan perusahaan,
perkantoran atau ditempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia
berlainan jenis dapat saling berkomunikasi bahkan terjadi dilingkungan keluarga.
Hal yang cukup memprihatinkan adalah kecenderungan makin maraknya kejahatan
seksual yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tapi juga menimpa anakanak dibawah umur.Anak-anak perempuan ini sebagai objek komoditas
(perdagangan) atau pemuas nafsu bejat (animalistic) dari seseorang dan kelompok
tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna keuntungan ekonomi berlipa ganda.3
Anak seharusnya mendapatkan perlindungan, kasih sayang, dan pengawasan
dari kedua orang tuanya, dijaga, dirawat serta diasuh ataupun didik secara baik
melalui ciri-ciri yang dimiliki oleh anak pada umumnya agar tidak terwujudnya
tindak pidana terhadap anak.Anak-anak tidak sepatutnya bersandar pada dirinya
sendiri tanpa ada yang memberikan perhatian maupun perlindungan.Orang tua
sangat berperan aktif untuk mencegah terjadinya kekerasan, pelecehan dan
eksploitasi anak.
Pengeksploitasian terhadap anak adalah salah satu bentuknya berupa
pengeksploitasian seksual. Alasan mereka menjadi korban orang-orang yang tidak
bertanggung jawab memperkerjakan dan melayani para pria hidung belang adalah
demi mendapatkan keuntungan sebagai mata pencahariannya.
Mereka sering
dijadikan objek kepuasan dan kebiadaban individu yang dapat merenggut hak asasi
anak sebagai pekerja seks komersial. Misalnya eksploitasi anak di bawah umur 18
tahun sebagai pekerja seks.
Berbagai informasi yang valid dan akurat menyangkut eksploitasi anak
untuk tujuan seksual komersiil mengenai penggunaaan anak untuk produksi bahan
pornografi, dan para korban dari eksploitasi seksual komersiil itu pada umumnya
3
Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, 2001,Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual,
Bandung: Refika aditama.hlm.7-8.
3
rata-rata pada umumnya berusia 16 tahun dimana bukan hanya anak perempuan saja
tetapi juga nak laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut.
Tindak pidana pengeksploitasian semakin terjadi di kehidupan masyarakat.
Pengeksploitasianseksual terhadap anak adalah salah satu bentuknya. Anak menjadi
korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab memperkerjakan dan melayani
para pria hidung belang adalah demi mendapatkan keuntungan sebagai mata
pencahariannya. Eksploitasi Seksual Komersial Anak dimana didalamnya ada tiga
bentuk yaitu pornografi, prostitusi/pelacuran, dan perdagangan anak untuk tujuan
seksual.
Perlindungan hukum terhadap anak dalam hukum pidana diatur dalam
undang-undang khusus yaitu Undang-undang perlindungan anak dan Undangundang yang mengatur tentang anak. Dalam Undang-undang Perlindungan Anak
Pasal 13 ayat (1) No. 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa Setiap anak selama dalam
pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yangbertanggung jawab atas
pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f.
perlakuan salah lainnya.
Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan. Dan yang dimaksud dengan Perlindungan Anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
4
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan
martabat
kemanusiaan, serta
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi.
Sesuai dengan pengertian anak pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor
23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Unsur unsur tindak pidana
pengeksploitasian seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 88
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 adalah :
a. Setiap orang;
b. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak;
c. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Dengan
meluas dan berlangsungnya wisata sex atas anak akan secara
langsung menyebabkan terjadinya perdagangan anak. Di Indonesia sekalipun banyak
gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil
wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10
tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks
dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. Semenjak krisis ekonomi,
fenomena yang muncul adalah meningkatnya prostitusi. Pekerja prostitusi tidak
hanya wanita dewasa, tetapi juga anak-anak dibawah usia 18 tahun.4
Hitungan itu bertambah besar jika ditambahkan pada anak-anak perempuan
yang melakukan kegiatannya di mal, diskotek, rumah bordil dan lokalisasi liar.
Sedangkan mengenai perkiraan jumlah pelacuran anak di Indonesia ada sekitar 40
s/d 150 ribu anak perempuan. Faktor penyebab pelacuran anak sangat kompleks
4
http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/04/dar29.htm.Suara Merdeka, diunduh tanggal 4 Juli
2002
5
tetapi dapat digolongkan menjadi empat yaitu terjerat sindikat germo, karena tidak
perawan lagi, ingin mendapatkan uang yang lebih besar dan kecanduan pil.
Untuk faktor pendorong meliputi, kondisi ekonomi khususnya pedesaan
yang terjadi penggerusan di sektor pertanian, urbanisasi dan tumbuhnya industri di
perkotaan, disintegrasi keluarga, pertumbuhan jumlah anak gelandangan, tidak ada
kesempatan pendidikan dan meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak
terpaksa masuk keperdagangan seks. Sedangkan faktor penarik, meliputi jaringan
kriminal yang mengorganisasi industri seks dan merekrut anak-anak, pihak
berwenang yang korup sehingga terlibat perdagangan seks anak, permintaan dari
wisatawan seks dan fedofil, ketakutan terhadap AIDS sehingga membuat pelanggan
menginginkan pelacur yang lebih muda dan permintaan pekerja migran5.
Putusan di Pengadilan Purwokerto terdapat suatu kasus yaitu mengenai
Eksploitasi seksual anak, dimana terdakwa tetap memperkerjakan anak dibawah
umur dan anak yang dieksploitasi masih berumur kurang lebih 16 tahun tetapi
bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial ( PSK ) yaitu menerima tamu untuk
melayani hubungan seks setiap 1,5 jam atau shoot time dan mendapat jasa berupa
uang sebesar Rp. 100.000,- ( seratus ribu rupiah ), dari hasil pendapatan yang
diterima PSK tersebut dibagi dua dengan terdakwa , dan sejak bulan Desember 2010
memperkerjakan anak tersebut sebagai Pekerja Seks Komersial ( PSK ) yang setiap
harinya melayani 3 orang tamu dan maksimal 8 orang tamu dimana tamu ada yang
datang sendiri kerumah kontrakan terdakwa, ada yang melalui penghubung dan ada
juga yang membawa pergi ke hotel.
5
http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/04/dar29.htm,diunduh tanggal 4 Juli 2002
6
Meskipun terdakwa pada awalnya terdakwa ragu-ragu akan umur korban
tetapi terdakwa tetap memperkerjakan korban sebagai PSK dengan tugas melayani
tamu untuk melakukan hubungan seks atau menemani karaoke dengan imbalan Rp.
100.000,- untuk setiap melakukan tugas secara shoot time (sekitar 1,5 jam) dan
pendapatan tersebut dibagi dua dengan terdakwa dan hal tersebut telah dilakukan
dari bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Januari 2011.
Berdasarkan uraian tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian
yang berjudul :
TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap
Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT )
B.
PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil
pokok permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana penerapan unsur-unsur Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak
dalam Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.sus/2011/PN.PWT ?
2. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana dalam
Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.sus/2011/PN.PWT ?
7
C.
TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur tindak pidana eksploitasi seksual anak
terhadap Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT
2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana
terhadap Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.sus/2011/PN.PWT
D. KEGUNAAN PENELITIAN
1. Kegunaan teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan
hukum dalam bidang hukum pidana terutama dalam penerapan unsur-unsur
tindak pidana eksploitasi seksual anak dan dasar pertimbangan hukum hakim
dalam
menjatuhkan
pidana
terhadap
putusan
perkara
Nomor
42/Pid.Sus/2011.PN.PWT
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitiaan ini dapat digunakan sebagai wacana bagi pembaca untuk
menulis judul skripsi ataupun memberikan pengetahuan baru tentang hukum
pidana dan juga berguna bagi masyarakat pada umumnya.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian dan Asas-asas Hukum Pidana
1.
Pengertian Hukum Pidana
Hukum
Pidana
adalah
keseluruhan
dari
peraturan-peraturan
yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya.
Sedangkan sebagaimana dikutip dari bukunya Titik Triwulan Tutik, pada
prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan
pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan
pidana yang merupakan suatu penderitaan.
Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum
sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan
untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama
dan kesusilaan.
Adapun Asas-Asas Hukum Pidana yaitu :
1) Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas
kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah
ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP).Jika
sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-
9
Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya
bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP)
2) Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada
orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada
unsur kesalahan pada diri orang tersebut .
3) Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas
semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah
teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal
berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan
dan konsul Indonesia di negara asing.
4) Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku
bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada.
5) Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku
bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara Indonesia
Van Bemmelen secara eksplisit mengartikan hukum pidana dalam dua hal,
yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Menurutnya hukum pidana
materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum
yang dapat diterapkan perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap
perbuatan itu, sedangkan hukum pidana formal adalah mengatur cara bagaimana
acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus
diperhatikan pada kesempatan itu.6
6
Mr.J.M van Bemmelen, 1987,Hukum Pidana I, Bina Cipta, Bandung,hlm 2-3
10
Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian hukum pidana ke dalam
hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Menurutnya isi hukum pidana
materiil adalah penunjukan dan penggambaran dari perbuatan-perbuatan yang
diancam dengan hukum pidana; penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar
perbuatan itu merupakan perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya
dapat dihukum pidana; penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya
dapat dihukum pidana; dan penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat
dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal (hukum acara pidana) berhubungan
erat dengan diadakannya hukum pidana materiil, oleh karena merupakan suatu
rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang
berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna
mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.7
Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk :8
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan,
yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu
bagi siapa saja yang melanggarnya.
2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah
melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi
pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
7
Wirjono Prodjodikoro,1962,Hukum Acara Pidana di Indonesia,Sumur,Bandung,hlm.13
Moeljatno,2008, Asas-asas Hukum pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Renika Cipta,
Jakarta,hlm 1
8
11
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan
tersebut.
Sudarto, ahli hukum pidana lain, mendefinisikan hukum pidana sebagai
hukum yang memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatanperbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat pidana. Sejalan dengan hal
ini, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat dua hal pokok,
yaitu :
1) Memuat
pelukisan-pelukisan
dari
perbuatan-perbuatan
yang
diancam pidana, yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan
pidana. Jadi disini seolah-olah negara menyatakan kepada umum
dan juga kepada para penegak hukum, perbuatan-perbuatan apa yang
dilarang dan siapa yang dapat dipidana.
2) KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan
diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang itu. Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya
berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan,
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatanperbuatan yang merugikannya.9
Pengertian yang dikemukakan oleh Sudarto lebih sempit dari pengertian
yang diuraikan oleh Moeljatno, van Bemmelen, dan Wirjono Prodjodikoro. Karena
Sudarto hanya mengartikan hukum pidana sebagai hukum pidana materiil, yakni
berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.
9
Sudarto,1977, Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung,hlm 100-101
12
2.
Asas-asas Hukum Pidana
Berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat sangat
penting eksistensinya untuk menjawab pertanyaan, sampai di mana berlakunya
undang-undang hukum pidana dari suatu negara dan kapan negara berhak
melakukan penuntutan terhadap suatu perbuatan seseorang yang dikategorikan
sebagai tindak pidana? Oleh karena itu, berlakunya hukum pidana yang dibatasi
oleh tempat menjadi urgen diatur untuk menghindari pertentangan yuridiksi dengan
negara lain dan menghindari lepasnya suatu tindakan pidana dari tuntutan hukum.
Karena penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana
berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan,10 maka dalam hukum
pidana kemudian dikenal asas-asas tentang batas berlakunya hukum pidana
menurut waktu dan tempat. Berkaitan dengan berlakunya hukum pidana menurut
waktu, asas yang berlaku di dalamnya adalah asas yang terkenal dengan sebutan
asas legalitas (principle of legality)
Berlakunya perundang-undangan pidana menurut tempat secara teoritis
berkaitan erat dengan asas-asas yang secara eksplisit tercantum dalam KUHP, yaitu
asas teritorial, asas nasionalitas aktif, asas nasionalitas pasif, asas universal. Asasasas tersebut diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP. Di bawah ini
akan dijelaskan masing-masing asas tersebut.
a)
Asas Teritorial
Asas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa
aturan pidana dalam perundangan-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
10
Andi Hamzah,1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.27.
13
orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia. Titik berat asas ini
adalah pada tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini
menitikberatkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah suatu negara,
dengan mengesampingkan siapa saja yang melakukannya. Dengan rumusan
setiap orang mengandung pengertian siapa saja, baik warga negara Indonesia
sendiri maupun warga negara asing. Dengan demikian, berdasarkan asas
teritorial ini maka setiap orang, baik orang Indonesia maupun orang asing yang
melakukan tindak pidana di dalam wilayah atau teritorial Indonesia, harus
tunduk pada aturan pidana Indonesia.11
Adapun yang dimaksud wilayah atau teritorial Indonesia adalah
mencakup; (1) seluruh kepulauan maupun daratan bekas Hindia Belanda; (2)
seluruh perairan teritorial Indonesia serta perairan menurut Zona Ekonomi
Eksklusif hasil Konvensi Laut Internasional, yaitu wilayah perairan Indonesia
ditambah 200 meter menjorok ke depan dari batas wilayah perairan semula; (3)
seluruh berlayar di luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KUHP.12
b)
Asas Nasionalitas Aktif
Asas
nasionalitas
aktif
yang
dikenal
juga
dengan
asas
personalitasmengandung suatu pengertian bahwa peraturan perundang-undang
pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan
tindak pidana diluar wilayah Indonesia. Asas ini tercantum dalam Pasal 5
KUHP yang menyatakan:
11
Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,UMM
Perss,Malang,hlm.78
12
M. Abdul Kholiq,2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta,hlm.78
14
1) “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi
warga negara yang di luar Indonesia melakukan
Ke-1.Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua
dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451;
Ke-2.Salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan
sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana
perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana.
2) Penuntutan perkara sebagai dimaksud dalam ke-2 dapat dilakukan
juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan
perbuatan.:
Titik tolak diadakannya asas nasionalitas aktif adalah kewarganegaraan
pembuat delik. Asas yang tercantum dalam Pasal 5 KUHP di atas mengandung
sistem (pandangan), bahwa hukum pidana Indonesia mengikuti warga
negaranya ke luar Indonesia.13 Asas tersebutdiadakan dilatarbelakangi oleh
pemikiran bahwa undang-undang dari negara berdaulat senantiasa mengikuti
warga negaranya. Adanya konsep kedaulatan negara yang mengajarkan bahwa
setiap negara berdaulat juga dapat mengharapkan kepada setiap warga
negaranya untuk tunduk patuh pada undang-undang negaranya di manapun ia
berada.14
Moeljatno mengatakan bahwa ketentuan Pasal 5 KUHP mengandung
dua makna. Pertama,pemberlakuan aturan hukum pidana Indonesia terhadap
13
A. Zainal Abidin Farid,2007 , Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,hlm. 155
14
M. Abdul Kholiq, op.cit.,hlm. 85
15
warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia
hanyalah berkaitan dengan pasal-pasal tertentu saja, yang subsransinya
melindungi kepentingan nasional. Kedua, diadakannya Pasal 5 Ke-2 KUHP
bertujuan untuk mencegah agar warga negara Indonesia di luar Indonesia tidak
melakukan tindak pidana. Jika ketentuan tersebut tidak ada, maka warga negara
Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia bisa menghindar dari
penuntutan pidana di negara tersebut.15
c)
Asas Nasionalitas Pasif
Asas nasionalitas pasif mengandung prinsip, bahwa peraturan hukum
pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan
hukum negara Indonesia, baik dilakukan oleh warga negara Indonesia atau yang
tidak dilakukan di luar Indonesia. Asas ini tercantum di dalam Pasal 4 KUHP
yang berbunyi :
Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap
orang yang di luar Indonesia melakukan:
Ke-1.salah satu kejahatan tersebut Pasal-Pasal 104, 106, 107, 108, 110,
111 bis ke-1, 127, dan 131.
Ke-2. suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh
negara atau bank, ataupun mengenai materai
yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah
Indonesia.
Ke-3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat utang atas tanggungan
Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah
Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda
15
Moeljatno,Asas....op.cit., hlm. 50-51
16
bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang
dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut;atau menggunakan
surat-surat tersebut diatas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah
tulen dan tidak palsu;
Ke-4. salah satu kejahatan tersebut Pasal-Pasal 438, 444-446 mengenai
pembajakan laut dan tersebut Pasal 447 mengenai penyerahan
kapal dalam kekuasaan bajak laut.16
Asas nasionalitas pasif disebut juga dngan asas perlindungan murni yang
bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang besar, dan tidak ditujukan
pada kepentingan individual.17 Asas ini diadakan dengan bertitik tolak pada
kepentingan hukum negara Indonesia, oleh negara locus delicti (negara tempat
di mana tindak pidana terjadi) seringkali tidak dianggap sebagai perbuatan yang
harus dilarang dan diancam dengan pidana, sehingga orang yang melakukan
perbuatan yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional
Indonesia akan luput dari penuntutan. Justru agar setiap perbuatan orang yang
merugikan kepentingan hukum Indonesia tetap dapat diadili berdasarkan pidana
Indonesia, sekalipun perbuatan pidana itu dilakukan di luar Indonesia, maka
diadakanlah asas ini.18
16
Pasal 4 angka 4 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, sehingga berbunyi
sebagai berikut: Ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444-446,
tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan
bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum,
Pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan
sipil.
17
A. Zainal Abidin Farid, Hukum....op.cit.,hlm. 157
18
Tongat, Dasar....op.cit.,hlm.81
17
d)
Asas Universal
Persoalan pokok yang dikaji dalam asas universal adalah jenis perbuatan
(pidana) yang sedemikian rupa sifatnya sehingga setiap negara berkewajiban
untuk menerapkan hukum pidana, tanpa memandang siapa yang berbuat delik,
di mana dan terhadap kepentingan siapa pelaku delik melakukannya. Asas
tersebut merupakan pengecualian terhadap hukum pidana yang egosentris. Asas
universal diatur di dalam Pasal 4 sub 2 dan Pasal 4 sub 4 KUHP yang berbunyi :
Ke-2. suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang
dikeluarkan oleh
negara atau bank, ataupun mengenai materai
yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah
Indonesia.
Ke-4. salah satu kejahatan tersebut Pasal-Pasal 438, 444-446 mengenai
pembajakan laut dan tersebut Pasal 447 mengenai penyerahan
kapal dalam kekuasaan bajak laut.
Berdasarkan ketentuan Pasal di atas dimensi internasional dalam asas
universal akan tampak dalam dua hal. Pertama, dalam ketentuan Pasal 4 sub 2
KUHP kejahatan mengenai mata uang yang dikeluarkan oleh negara atau bank
tertentu, dalam arti tidak merujuk pada suatu negara, Indonesia misalnya.
Dengan demikian, setiap orang yang melakukan kejahatan mata uang di luar
teritorial Indonesia dapat diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia apabila
tertangkap oleh aparat penegak hukum Indonesia. Kedua, kejahatan-kejahatan
yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 sub 4 pada hakikatnya merupakan
kejahatan yang telah dikualifikasikan sebagai kejahatan Internasional, di mana
setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki kewenangan untuk mengadili.
Kejahatan-kejahatan yang diatur di dalam ketentuan Pasal tersebut merupakan
18
kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi
kewenangan melakukan penangkapan , penahanan, dan peradilan atas
pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada yuridiksi kriminal negara yang
berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut. Kejahatan yang
diatur dalam Pasal 4 sub 4 KUHP secara umum terbagi ke dalam dua jenis
kejahatan, yaitu pembajakan laut (piracy) dan pembajakan udara (aircraft
hijacking), keduanya dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Dengan
demikian, apabila ada seseorang baikm itu warga negara Indonesia maupun
warga negara asing melakukan pembajakan laut, maka terhadap orang itu dapat
diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia.19
e)
Asas Legalitas
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat
fundamental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk
menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap
tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan
dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan
yang telah ada tersebut dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang
terjadi.20 Singkatnya, asas legalitas berkaitan dengan waktu berlakunya hukum
pidana.
Dalam hukum pidana asas legalitas mengandung pengertian bahwa,
“tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam
perundang-undangan
yang
telah
ada,
sebelum
perbuatan
19
Tongat,op.cit, hlm 88-89
20
A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan Kedua, UMM Press,
Malang,hlm.9.
19
dilakukan”.Ketentuan ini, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 1
KUHP, adalah pengertian baku dari asas legalitas. Asas ini dalam bahasa latin
dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tiada delik, tidak
ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu).
Moeljatno, mengatakan bahwa asas legalitas mengandung tiga makna.
Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau
hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi. Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. 21
Makna asas legalitas menurut Wirjono Prodjodikoroadalah, bahwa
sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-undang dan ketentuan
pidana tidak boleh berlaku surut.22 Mirip dengan pendapat Wirjono adalah
pendapat Sudarto. Dia mengemukakan adanya dua hal yang terkandung dalam
asas legalitas. Pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada
sebelum terjadinya tindak pidana.
Sudarto kemudian menambahkan bahwa dari makna yang pertama
terdapat dua konsekuensi, yaitu perbuatan seseorang tidak tercantum dalam
undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan adanya
larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu
tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Sedangkan
21
Moeljatno, 2008 , Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta,
Jakarta,hlm. 27-28
22
Wirjono Prodjodikoro,2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung,
hlm.42.
20
konsekuensi dari makna yang kedua adalah tidak boleh berlaku surutnya hukum
pidana.23
Makna
asas
legalitas
juga
dikemukakan
oleh
Komariah
EmongSapardjaja yang mengutip pendapat Groenhuijsen, yaitu terdapat empat
makna yang terkandung dalam asas ini. Dua dari pertama ditujukan kepada
pembuat undang-undang dan dua yang lainnya merupakan pedoman hakim.
Pertama, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan
pidana berlaku mundur. Kedua, semua perbuatan yang dilarang harus dimuat
dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan
bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak
tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana
dilarang menerapkan analogi.24
Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa di dalam
asas legalitas terkandung tiga makna. Pertama, ketentuan pidana yang berisi
perbuatan pidana yang disertai dengan ancaman pidana harus tertulis dalam
perundang-undangan. Kedua, seseorang tidak dapat dipidana sebelum ada
ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketiga, pembentuk undang-undang tidak
boleh memberlakukan surut suatu ketentuan pidana.
23
Sudarto, 1990 , Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
Semarang, hlm.22-24.
24
Komariah Emong Supardjaja, 2002 , Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum
Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi), Alumni, Bandung, hlm.5-6
21
B.
Tindak Pidana
1.
Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana.
Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah
“perbuatan jahat: atau “kejahatan” yang bisa diartikan secara yuridis (hukum)
atau secara kriminologis.
Pembentuk Undang-Undang telah menggunakan istilah “strafbaar feit”
untuk menyebut apa yang disebut sebagai “tindak pidana” di dalam KUHAP
tanpa memberikan suatu penjelasan tentang apa yang disebut sebagai “strafbaar
feit” tersebut. Oleh karena itu timbulah beberapa doktrin mengenai pendapat
tentang strafbaar feit tersebut. Mengenai pengertian tindak pidana tidak ada
kesatuan pendapat para sarjana, berikut ini adalah pendapat para sarjana
mengenai penjelasan dari istilah “strafbaar feit” tersebut.25
Tindak pidana menurut Simons,26 unsur-unsur tindak pidana adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
Adanya perbuatan manusia;
Diancam dengan pidana;
Melawan hukum;
Dilakukan dengan kesalahan,
Oleh orang yang mampu bertanggung jawab
Sedangkan menurut E. Merger,27 tindak pidana adalah keseluruhan syarat
untuk adanya pidana, maka dengan demikian unsur-unsur tindak pidana adalah:
1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau
membiarkan);
2. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif);
3. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;
4. Diancam dengan pidana.
25
P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 9-10.
26
Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto: Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, hal.5.
27
Ibid, hal. 41.
22
Simons dan Merger menyebutkan adanya dua unsur dalam tindak
pidana tersebut, yaitu unsur objektif dan subjektif. Unsur objektif
adalah perbuatan orang dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan
orang tersebut, sedangkan unsur subjektif adalah kemampuan
bertanggung jawab dari orang tersebut. Dan adanya unsur kesalahan
(dolus dan culpa) dari perbuatan orang tersebut.28
Menurut Van Hamel29 tindak pidana sebagai perbuatan manusia yang
diuraikan oleh Undang-Undang, melawan hukum, bernilai pidana, dan dapat
dicela karena kesalahan.
Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas
Hukum Pidana Indonesia” menyebutkan: “Hukum merupakan rangkaian
peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota
masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan
keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat”.30
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian
rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah
melakukan
perbuatan
tertentu.
Perumusan
tindak pidana
formil
tidak
memperhatikan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari
perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata
pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian untuk selesainya pencurian
digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil.
Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materiil, inti larangan adalah
pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan
akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Tentang
28
Ibid, hal..41-42.
Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 224.
30
Wirjono Prodjodikoro,2002,Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung,
halaman 14
29
23
bagaimana wujud perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang itu tidak penting.
Misalnya pada pembunuhan inti larangan adalah pada menimbulkan kematian
orang, dan bukan pada wujud menembak, membacok, atau memukul untuk
selesainya tindak pidana digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada
selesainya wujud perbuatan.
Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materiil tidak bergantung
pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya
digantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. misalnya wujud
membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu
belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat
hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan.
2. Istilah Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah “tindak pidana”
sebagai pengganti dari perkataan “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu
penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar
feit” tersebut.
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “strafbaar feit” merupakan
perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana.
Menurut Mezger yang dikutip oleh Sudarto mengatakan hukum pidana dapat
di definisikan sebagai aturan hukum,yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang
memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.31
Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan
perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian
31
Sudarto,1990,Pokok-Pokok Hukum
Khusus,Bogor:Politea.Hlm.5.
Pidana
Peraturan
Umum
Dan
Delik-Delik
24
pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau
disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime). Oleh karana dalam perbuatan
jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan
tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang
melanggar larangan itu.
Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda, dipakai dua istilah, yaitu kadangkadang dipakai istilah “strafbaar feit” kadang-kadang dipakai istilah “delict”. Dalam
bahasa Indonesia ada beberapa terjemahan seperti “peristiwa pidana” dan ada juga
terjemahan seperti “perbuatan yang dapat dihukum”.
Mengenai istilah istilah tindak pidana para ahli hukum memberikan
pengertian yang berbeda-beda, diantaranya :
a. Utrecht
Memakai istilah “Peristiwa Pidana” dengan alsan istilah “peristiwa”
meliputi sesuatu perbuatan (handelen) atau doen positif atau suatu kelalaian (niet
doen negatif) maupun akibatnya.32
b. Vos
Pengertian tindak pidana manusia yang oleh peraturan perundangundangan diberi hukuman. Menurut Vos sama dengan peristiwa pidana, yaitu
adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat anasir-anasir sebagai
berikut:
1) Suatu kelakuan manusia.
2) Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat
dipaskan yang satu dari yang lain.
32
Utrecht, 1986, Hukum pidana 1, Surabaya, Pustaka Tinta Mas.Hlm.252.
25
3) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundangundangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP) dilarang umum dan diancam
dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang
dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan
manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu
peristiwa pidana.33
c. Moeljatno
Menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” dengan pertimbangan bahwa
perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang
dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada akibatnya maupun yang
menimbulkan akibat.34
Moeljatno bahwa “dihukum berarti “diterapi hukum” baik hukum pidana
maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum
tadi yang maknanya lebih luas dari pada pidana, sebab mencakup juga keputusan
hakim dalam lapangan hukum perdata.35
d. Sudarto
Menggunakan istilah “Tindak Pidana” dengan pertimbangan bahwa
istilah ini sudah dapat diterima oleh masyarakat.36
e. Prodjodikoro
Mempergunakan istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda
strafbaar feit.
33
Ibid.Hlm.252.
Moeljatno,1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Yogyakarta:
Bina Aksara.Hlm.37
35
Muladi
dan
Barda
Nawawi
Arief,1992.
Teori-teori
Dan
Kebijakan
Pidana,Bandung:Alumni.Hlm.1
36
Sudarto,1990.Hukum Pidana I. Bahan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah.Hlm.35
34
26
Istilah tindak pidana yang berbeda dapat dijumpai dalam UndangUndang di Indonesia antara lain :
1. “Peristiwa Pidana” dipakai dalam Undang-Undang Dasar Sementara
1950.
2. “Perbuatan Pidana” dipakai dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1951.
3. “Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum” dipakai Undang-Undang
Darurat No. 2 Tahun 1951.
4. “Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman” dipakai Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun
1951.
5. Undang-Undang Darurat No 7 Tahun 1953 tentang pemilihan umum
pada pasal 129 memakai “tindak pidana”.
6. “Tindak Pidana” Undang-Undang Darurat No.7 tahun 1955 tentang
penyusutan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
3. Syarat-syarat Dapat Dipidana
Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan
keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan
hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syaratsyarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang
yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig.
Dengan cara di atas kita dapat merangkum pengertian tindak pidana dan
pengertian ini dalam dirinya sendiri sudah memadai. Meskipun demikian, dengan
tujuan merumuskan tindak pidana sebagaimana dimengerti dalam sistem hukum
pidana
27
4. Teori dan Tujuan Pemidanaan
Teori pemidanaan yang dijelaskan disini adalah teori pemidaan yang
lazim dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu teori absolut, teori
relatif, dan teori gabungan. Pembagian teori pemidanaan yang demikian berebeda
dengan teori pemidanaan yang dikenal di dalam sistem hukum Anglo Saxon, yaitu
teori retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitasi.37
a). Teori Absolut
Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik
masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Menurut
Andi Hamzah, teori ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa
pengaruhnya pada zaman modern.38 Pendekatan teori absolut meletakkan
gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan
karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya, sudah seharusnya dia
menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya.39 Dari sini sudah terlihat
bahwa dasar utama pendekatan absolut adalah balas dendam terhadap pelaku,
atau dengan kata lain, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau
terjadinya kejahatan itu sendiri.40
37
Mengenai teori pemidanaan di dalam sistem hukum Anglo Saxon, baca selengkapnya Salman
Luthan,2007, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Diserrtasi,
Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
38
Andi Hamzah,1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 29
39
Herbert L. Packer,1968, The Limit of Criminal Sanction, Stanford University Press,
California,hlm. 37
40
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
hlm. 11
28
Menurut Johannes Andenaes tujuan (primair) dari pidana menurut teori
absolut adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of
justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah
sekunder.41 Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas
dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai
berikut :42
“....Pidana tidak pernah melaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk
mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi pelaku sendiri maupun
bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena
orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan
walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan
dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara
harus dipidana mati sebagai resolusi/keputusan pembubaran masyarakat
itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya
menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak
boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian
mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian
dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan
umum”.
Neger Walker memberikan tiga pengertian mengenai pembalasan
(retribution), yaitu:43
a. Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan
suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang
mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan
yang dilakukannya;
41
Muhammad Taufik Makarao,2005, Pembaharuan Hukum Pidana: Studi tentang Bentuk-Bentuk
Pidana Khususnya Pidana Cambuk sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana,
Yogyakarta,hlm.39
42
Ibid, hlm. 39-40
43
J.E Sahetapy,1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap
Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta,hlm.199
29
b. Distributive retribution, yaitu pembatasan terhadap bentukbentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka
yang telah melakukan kejahatan;
c. Quantitative retribution, yaitu pembatasan terhadap bentukbentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan
sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu
tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang
dilakukan.
Sementara itu, Karl O. Christiansen mengidentifikasikan lina ciri pokok
dari teori absolut, yakni:44
a. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan;
b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung
sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat;
c. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan;
d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku;
e. Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan
bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasikan si
pelaku.
b). Teori Relatif
Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan
pelaksanaannya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana
(special prevention)dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa
mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general
prevention)dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang
telah dilakukan terpidana maupun lainnya. Semua orientasi pemidanaan tersebut
44
M. Sholehuddin,2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track system dan
Implementasinya, Grafindo Persada, Jakarta, hlm.35.
30
adalah dalam rangka menciptakan dan mempertahankan tata tertib hukum
dalam kehidupan masyarakat.45
Teori ini memang sangat menekankan pada kemampuan pemidanaan
sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime)
khususnya bagi terpidana. Oleh karena itu, implikasinya dalam praktik
pelaksanaan pidana sering kali bersifat out of control sehingga sering terjadi
kasus-kasus penyiksaan terpidana secara berlebihan oleh aparat dalam rangka
menjadikan terpidana jera untuk selanjutnya tidak melakukan kejahatan lagi.46
Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif sebagai
berikut:47
a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention);
b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya
sebagai sarana
untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan
masyarakat;
c. Hanya
pelanggaran-pelanggaran
hukum
yang
dapat
dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau
culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana;
d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk
pencegahan kejahatan;
e. Pidana melihat ke depan (bersifat prospektif); pidana dapat
mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan
maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak
membantu
pencegahan
kejahatan
untuk
kepentingan
kesejahteraan masyarakat.
45
E. Utrecht,1986, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 185
46
M. Abdul Kholiq, AF, Reformasi Sistem Pemasyarakatan dalam Rangka Optimalisasi
Pencapaian Tujuan Pemidanaan, Jurnal Hukum, Vol.6 No. 11, tahun 1999, hlm.60.
47
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung,
1992, hlm.17.
31
c). Teori Gabungan
Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan
pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Di samping
mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan
pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali
ke masyarakat. Munculnya teori gabungan pada dasarnya merupakan respon
terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori
relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada
upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk
mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi
yang merugikan dan meresahkan masyarakat.
Selain teori pemidanaan, hal yang tidak kalah penting adalah tujuan
pemidanaan. Di Indonesia sendiri hukum pidana positif belum pernah
merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan
tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian,
konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54, yaitu:48
1. Pemidanaan bertujuan
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan
norma hukum demi pengayoman masyarakat;
48
Konsep KUHP Edisi 2005. Adapun kajian yang secara kritis menganalisis tentang tujuan
pemidanaan dalm Rancangan KUHP Nasional di atas , lihat Mudzakkir, “Kajian terhadap
Ketentuan Pemidanaan dalam Draft RUU KUHP”. Makalah disampaikan pada Sosialisasi
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diselenggarakan oleh Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 29 Juli
2004, hlm.6-11.
32
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaan
sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat ; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan
martabat manusia.
Berdasarkan tujuan pemidanaan di atas perumus Konsep KUHP tidak
sekadar mendalami bahan pustaka Barat dan melakukan transfer konsep-konsep
pemidanaan dari negeri seberang (Barat), tetapi memperhatikan pula kekayaan
domestik yang dikandung dalam hukum adat dari berbagai daerah dengan
agama yang beraneka ragam. Hal ini menurut Harkristuti Harkrisnowo
tergambar misalnya dari tujuan pemidanaan butir c, yakni “menyelesaikan
konflik dan memulihkan keseimbangan”, yang hampir tidak ditemukan dalam
westren literature.49
3. Eksploitasi Seksual Anak
a. Pengertian Anak
Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan dapat dilihat
sebagai berikut :
Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
49
Harkristuti Harkrisnowo,8 Maret 2008, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suattu Gugatan
terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, disampaikan pada Upacara
Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, hlm.17.
33
Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Pada prakteknya terdapat kesulitan untuk menentukan usia anak karena tidak
semua orang mempunyai akta kelahiran atau surat lahir. Akibatnya adakalanya
untuk menentukan usia ini dipergunakan raport, surat baptis ataupun surat
keterangan dari kepala desa atau lurah saja. Karenanya kadang kala terdapat
kejanggalan, ada anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya, tetapi
menurut keterangan usia anak itu masih muda. Malah kadangkala ada orang yang
terlibat kasus pidana dan membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak,
sementara usianya sudah dewasa dan sudah kawin.
Anak tidak hanya menjadi korban tindak pidana tetapi juga dapat menjadi
pelaku tindak pidana. Perilaku anak/ remaja yang cenderung kriminal umumnya
disebabkan oleh renggangnya interaksi atau kurangnya perhatian orang tua. Di sisi
lain anak berinteraksi sangat erat dengan teman-temannya. Interaksi intensif di
lingkungan yang kurang mendukung tumbuh kembangnya pola pikir sehat
menyebabkan dia cenderung bertindak menyimpang, termasuk dari norma hukum.
Di Indonesia, regulasi perlindungan tentang hak anak cukup memadai, misalnya
ada yang menyangkutkan dengan kesejahteraan anak, keppres tentang penetapan
berlakunya konvensi hak-hak anak, undang-undang yang terkait dengan pengadilan
anak dan perlindungan anak. Penanganan kasus pidana dengan pelaku anak pun
dilakukan secara khusus, antara lain umur anak yang boleh disidang adalah 8-18
tahun, dan masalahnya dibatasi menyangkut anak nakal. Penanganannya pun
dilakukan oleh pejabat khusus; dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga
pengadilan. Pemeriksaan juga dilakukan dalam suasana kekeluargaan dan di ruang
34
tertutup, diperiksa oleh hakim tunggal, serta vonis yang dijatuhkan lebih ringan dan
maksimal hukuman 10 tahun.50
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas minimal usia anak yang bisa
dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Sebelumnya, usia anak yang
dapat diberikan tanggungjawab secara pidana sesuai dengan UU No 3 Tahun 1997
Tentang Pengadilan Anak yakni usia 8 tahun. Mahkamah menilai perlu
menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak,
terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh kembang. Bahwa
penetapan usia maksimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban
hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian Negara.
b. Pengertian Eksploitasi
Pengertian eksploitasi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21
tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah
sebagai berikut:
“Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan,
pemanfatatan fisik,seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
atau transplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga
atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materil maupun immateriil.”
Salah satu tindakan eksploitasi ialah eksploitasi seksual anak yang
didefinisikan sebagai kegiatan yang melibatkan anak laki-laki maupun perempuan,
demi uang, keuntungan atau pertimbangan lain atau karena paksaan atau pengaruh
50
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/20/174353/hukuman-anakbermasalah, diakses tanggal 23 April 2012.
35
orang dewasa, sendikat atau kelompok, terkait dengan hubungan seksual atau
perilaku yang menimbulkan birahi.” Ada 3 kegiatan yang termasuk dalam kategori
eksploitasi seksual adalah : Prostitusi anak, Perdagangan anak dan Pornografi
anak.51
Sangat sedikit anak
perempuan yang telah terjerumus dalam dunia
pelacuran bisa keluar dengan mudah dari pekerja yang mereka lakukan. Hal ini
dikarenakan karena stigma masyarakat asal daerah kebanyakan mempengaruhi
anak perempuan melakukan seperti itu. Yang menjerumuskan mereka menjadi
pekerja seks komersiil adalah orang dekat korban sendiri. Pada umumnya mereka
diperanti oleh orang-orang dekat dengan korban, atau bahkan kenal baik dengan
korban.bentuk-bentuk elsploitasi seksual yang dialami pelacur anak itu bisa dari
berbagai pihak diantaranya pihak germo, makelar, atau pelanggan.52
c. Unsur-Unsur Pengeksploitasian Seksual Anak
Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak
telah menjelaskan secara tegas mengenai pengeksploitasian seksual anak. Pasal
dengan pemberatan pidana dimana perbuatan pengeksploitasian seksual dilakukan
dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan korban dari
tindak pidana tersebut masih dibawar umur yang seharusnya dilindungi serta
djauhkan dari kegiatan bertentangan dengan harkat seorang anak, meskipun ada
anak secara diam-diam masuk dalam kegiatan prostitusi. Unsur-unsur Pasal 88
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu:
51
Nining S. Mutamar, 2007, Makalah Eksploitasi Seksual Komersiil Anak dalam Pengalaman
Pen dampingan di Surakarta, http:/www.eska.or.id/, eksploitasi seksual komersiil anak.html,
diakses tanggal 04 Maret 2012.
52
http:// www.wordpress.com/2011/penyidikan -tindak-pidana-eksploitasi-seksual-anakdilokalisasi-pelacuran-dollly-surabaya, diakses pada tanggal 04 Maret 2012
36
a) Setiap orang;
Orang merupakan unsur subyektif yakni pelaku melakukan
perbuatan tindak pidana yang mampu dipertanggungjawabkan secara
hukum atas perbuatan pidana yang ia lakukan tersebut.
b) Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak;
Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak yaitu
memperkerjakan atau memperdagangkan anak dalam bidang seksual
untuk mendapatkan keuntungan.
c) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
Seorang yang mengeksploitasi seksual anak mempunyai maksud
dan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan
melakukan tindak pidana eksploitasi terhadap seksual anak yang mana
seorang anak harus mendapat perlindungan dan di jauhkan dari kegiatan
prostitusi yang bertentangan dengan harkatnya.
37
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis .
Konsep ini memandang hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang
dibuat dan diundangkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang. Selain itu
konsepsi tersebut melihat hukum dari suatu sistem normatif yang bersifat otonom,
terlepas dari kehidupan masyarakat.53
Dalam hal ini juga dilakukan wawancara terhadap hakim dalam mengungkap
pertimbangan yang digunakan oleh hakim pada proses peradilan perkara
eksploitasi seksual anak
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu
penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan
yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan
untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi
ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya54 spesifikasi
penelitian secara deskriptif dimaksudkan untik memperoleh gambaran suatu
realitas yang terjadi di lapangan yaitu tentang pada kesesuaian pertimbangan
hukum hakim terhadaptindak pidana eksploitasi seksual anak dalam perkara
nomor: 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
53
54
Ronny Hanitijo, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.11
Bambang Sunggono,2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 38
38
3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kantor Pengadilan NegeriPurwokerto.
4. Jenis dan Sumber BahanHukum
a. Data primer
Data Primer adalah data hasil cara wawancara oleh Hakim
Pengadilan Negeri Purwokerto yang menangani obyek perkara yang
diteliti.
b. Data sekunder
Data Sekunder adalah data hasil dari mempelajari peraturan
perundang-undangan, Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor
42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt
buku-buku literatur, dan dokumen-dokumen
lain yang berkaitan dengan permasalahan untuk selanjutnya dipelajari
sebagai pedoman untuk penyusunan data.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
a. Wawancara atau interview yaitu proses tanya jawab secara lisan kepada
dengan Hakim di Wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto.
b. Sumber data diperoleh dengan melakukan studi pustaka terhadap
peraturan perundang - undangan, buku-buku, literature, Yurisprudensi,
doktrin yang berhubungan dengan penelitian.
6. Teknik Penyajian
Data yang disajikan berbentuk uraian yang disusun secara sistematis, dan
didalam penyusunannya dibuat secara singkat dan jelas, sehingga
penyusunan data dapat dipahami dan mudah dipelajari.
7. Teknik Analisis
39
Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis
normative kualitative yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan
pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada
norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti.
40
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Kelas IB
Purwokerto dengan Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, pada tanggal 27 Januari 2011
tentang tindak pidana pengeksploitasian seksual anak yang diatur dalam Pasal 88
Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,dan oleh karena itu
perlu dijelaskan terlebih dahulu data-data dari putusan tersebut, sebagai berikut :
a. Identitas Terdakwa
a.
Nama lengkap
: Daning Tianingsih alias Mami Ning
binti Kasmuri
b.
Tempat Lahir
: Pemalang
c.
Umur/tanggal lahir
: 32 Tahun/ 22Februari 1979
d.
Jenis kelamin
: Perempuan
e.
Kebangsaan
: Indonesia
f.
Tempat tinggal
:Desa
Semaya
Rt.06/01,Kec.
Randudongkal, Kab, Pemalang
b.
g.
Agama
: Islam
h.
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
i.
Pendidikan
: SD
Duduk Perkara
Terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri pada hari dan
tanggal yang sudah tidak diingat lagi di bulan Desember 2010 atau setidak-tidaknya di
tahun 2010, bertempat di Gg. Sadar II Desa KarangTengah Rt.7 Rw.2 Kecamatan
Baturaden Kabupaten Banyumas, atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih
termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang untuk
memeriksa dan mengadili perkara ini, mengesploitasi seksual anak dengan maksud
41
untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
Pada bulan Desember 2010 saksi Dwi Meina Sari alias Nuke dikenalkan oleh Sdr.
Agus kepada terdakwa Daningtias alias Mami Ning di rumah kontrakan terdakwa Gg.
Sadar II Desa Karangtengah Rt.7 Rw.2 Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas,
setelah kenal terdakwa memberitahu saksi Dwi Meina Sari kalau pekerjaanya sebagai
PSK yaitu menerima tamu untuk melayani hubungan seks setiap 1,5 jam atau shoot time
dan setiap pekerja PSK yang diperkerjakan oleh terdakwa akan mendapat jasa berupa
uang sebesar Rp. 1000.000 dari hasil pendapatan yang diterima PSK tersebut dibagi
dengan terdakwa masing-masing Rp. 50.000 untuk saksi Dwi Meina Sari dan sejak
bulan Desember 2010 terdakwa memperkerjakan saksi Dwi Meina Sari yang masih
berumur 16 tahun lahir pada tanggal 23 Mei 1994 di rumah kontrakan terdakwa Gg.
Sadar II Desa Karangtengah Rt.7 Rw.2 Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas
sebagai PSK, setiap harinya saksi Dwi Meina Sari minimal melayani 3 orang tamu
maksimal 8 orang, dimana tamu ada yang datang sendiri ke rumah kontrakan terdakwa,
ada pula yang melalui penghubung dengan memberitahukan kepada terdakwa kalau ada
tamu yang ingin membawa saksi Dwi Meina Sari ke hotel daerah Baturaden untuk
melakukan hubungan seks atau sekedar menemani karoke untuk 1,5 jam atau shoot time
membayar Rp. 1000.000 dan setelah selesai menemani tamu dan mendapatkan uang
dari tamu, saksi Dwi Meina Sari memberikan Rp. 50.000 kepada terdakwa. Jika tamu
melalui penghubung maka terdakwa memberikan jasa kepada penghubung sebesar
Rp.10.000 setiap 1,5 jam atau shoot time dan selama terdakwa memperkerjakan saksi
Dwi Meina Sari sebagai PSK, terdakwa mendapatkan untung sekitar Rp. 2.000.000.
c. Dakwaan
Terdakwa Daning Tias alias Mamih Ning didakwa oleh Penunutut umum dengan
dakwaan yang disusun secara Alternatif yaitu:
KESATU: Melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;atau
42
KEDUA : Melanggar Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak;atau
KETIGA : Melanggar Pasal 296 KUHP.
d. Pembuktian
Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya telah mengajukan alat bukti
berupa
1.
Alat bukti saksi yaitu :
a. Saksi Dwi Meina Sari
b. Saksi Tafsir
c. Saksi Sukirno Sukirwan
d. Saksi Suranto Puji Asmoro
Menimbang, bahwa Terdakwa melalui Penasehat Hukumnya mengajukan
2 (dua) orang saksi yang meringankan (a de charge) bagi dirinya yang
telah disumpah sebagai berikut:
a. Saksi Titi Widya Astuti
b. Saksi Siswono
2.
Alat Bukti Surat
-
1 satu buah absen anak
-
1 satu lembar Surat Akte Kelahiran An. Dwi Meina Sari
-
1 satu lembar Kartu Keluarga No. KK : 33.0709.210108.4393,
Nama Kepala Keluarga: Sukarman, Alamat: Sumberan Selatan Rt.
04/Rw. 003 Kel. Wonosobo, Kec. Wonosobo. Kab. Wonosobo.
3.
Keterangan Terdakwa, dipersidangan telah didengar pula keterangan dari
terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut :
43
Terdakwa mulai bekerja di Gang Sadar Baturaden sejak bulan Agustus
2010 dengan mengontrak rumah disana. Terdakwa membenarkan bahwa
saksi Dwi Meina Sari alias Nuke adalah anak buahnya yang dibawa oleh
Agus dan dikenalkan Terdakwa pada saat berada di Gang Sadar. Ketika
Agus membawa saksi Dwi Meina alias Nuke, Agus mengatakan kalu ada
cewek mau kerja, “mau tidak Mi” kemudian cewek tersebut (Nuke)
disuruh istirahat oleh Terdakwa dan bertanya kamu umurnya berapa?dan
dijawab umurnya 19 tahun, lalu Terdakwa bilang kalau kerjanya adalah
sebagai PSK dan Nuke menjawab “sudah tahu”. Terdakwa juga
menanyakan KTP untuk dikasihkan kepadanya tetapi Nuke mengatakan
KTPnya nanti. Seminggu kemudian tetap saja saksi Nuke tidak
menyerahkan KTP lalu Terdakwa menyuruh pulang untuk membuat KTP
dan semnggu berikutnya saksi Nuke datang kembali ke tempat Terdakwa
dan bilang kalau KTP nya baru dibuat lalu saksi Nuke bercerita kalau
sudah mempunyai anak dan membutuhkan uang untuk membeli susu.
Anak buah (PSK) Terdakwa yang dibawa oleh tamu harus membayar
Rp.100.000 dimana yang Rp.50.000 untuk Terdakwa dan yang Rp.50.000
untuk anak buah Terdakwa. Terdakwa menerima bersih Rp.33.000 karena
Terdakwa harus membayar uang jimpitan paguyuban Rp.7.000 dan
membayar penghubung Rp.10.000. dalam sebulan saksi Nuke bisa
mendapatkan uang sebesar Rp.2.000.000. Terdakwa merasa curiga
dengan muka Nuke yang masih anak-anak, sehingga terdakwa mengajak
Nuke untuk pulang kerumahnya di Wonosobo mengambil KTP. Agus
menelepon Terdakwa dan bilang kalau KTP nya belum jadi. Nuke dibawa
kepolisian pada tanggal 12 Januari 2011 sekitar jam 12.00 WIB. Ada
44
persyaratan untuk bisa mejadi PSK di tempat Terdakwa yaitu mereka
harus berumur diatas 18 tahun. Terdakwa tadinya tidak mengetahui
bahwa Nuke sudah mempunyai anak, tetapi setelah saksi Nuke kembali
dari Wonosobo dengan menunjukkan poto anaknya di handphone. Saksi
Nuke yang sedang di booking oleh tamu harus seijin Terdakwa jika ada
ditempat tetai jika tidak ada
dapat memberitahukan kepada teman
lainnya atau mencatat buku tamu. Anak buah Terdakwa yang dibawa
keluar Gang Sadar oleh tamu selalu dicatat di Pos yang ada di Gang
Sadar. Terdakwa berkeyakinan jika dilihat dari wajah saksi Nuke sudah
mempunyai anak, karena ada beberapa anak buah Terdakwa yang wajah
nya masih muda tetapi sudah mempunyai anak. Terdakwa mengarahkan
anak buahnya unuk lebih baik dimana Terdakwa kalau sedang curhat
dengan anak buah Terdakwa, Terdakwa menyuruh mereka supaya
menabung dan jika uang tabungan sudah banyak mengarahkan untuk
berhenti menjadi PSK dan membuka usaha sendiri seperti jual beli Bad
Cover. Terdakwa selalu menasehati saksi Nuke agar jangan sampai ikutikutan minum-minum dan main judi karena Terdakwa merasa kasihan
dengannya.
e. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa telah terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tahun
2002 tentang Perlindungan Anak dalm dakwaan kedua, maka Jaksa Penuntut Umum
menuntut supaya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan
sebagai berikut :
45
1. Menyatakan Terdakwa Daning Tianingsih alias Mamih Ning Binti Kasmuri
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“MENGEKSPLOITASI SEKSUAL ANAK”. Sebagaimana dalam dakwaan Kedua
melanggar Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tentang Perlindungan Anak;
2. Menyatakan pidana terhadap Terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara
selama 3 tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah
agar terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 200.000.000 Subsidair 4 bulan
kurungan;
3. 1 (satu) buah absen Menyatakan barang bukti berupa:
-
1 (satu) buah buku absen anak dirampas untuk dimusnahkan;
-
1 (satu) lembar Surat Akte Kelahiran An. Dwi Meina Sari, dikembalikan
kepada pemiliknya Dwi Meina Sari;
4. Membebankan biaya perkara Terdakwa sebesar Rp.2.500 (dua ribu lima ratus
rupiah);
f. Pertimbangan Hakim
Hakim dalam memutus perkara mendasarkan pada dakwaan yang kedua
melanggar Pasal 88 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Adapun unsur-unsurnya sebagai berikut:
1.
Setiap orang;
2.
Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak;
3.
Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain;
Barang bukti berupa: 1 satu buah absen anak buah di persidangan telah
terbukti milik terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning Binti Kasmuri
yang digunakan untuk daftar hadir atau absen bagi anak buahnya maka
dikembalikan kepada twrdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning Binti
46
Kamuri, sedangkan barang bukti berupa: 1 satu lembar Surat Akte Kelahiran
An. Dwi Meina Sari dan 1 satu lembar Kartu keluarga No. KK:
33.0709.210108.4393, Nama Kepala keluarga: Sukarman, alamat: Sumberan
Selatan Rt. 004/Rw. 003, Kel.Wonosobo Barat, Kec.Wonosobo, Kab.
Wonosobo di persidangan telah terbukti milik saksi Dwi Meina Sari maka
dikembalikan kepada saksi Dwi Meina Sari;
- Oleh karena terdakwa dipidana maka terdakwa dibebani pula untuk
membayar biaya perkara ini;
- Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana atas diri terdakwa, perlu
dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan:
Hal-hal yang memberatkan:
a. Perbuatan terdakwa sangat merendahkan martabat kaum wanita:
Hal-hal yang meringankan:
a.Terdakwa bersikap sopan dan berterus terang, sehingga memperlancar
jalannya persidangan;
b. Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali atas perbuatannya;
c. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga;
d. Terdakwa belum pernah dihukum;
- Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka penjatuhan
pidana atas diri terdakwa sebagaimana tercantum dalam amar putusan
dibawah menurut Majelis adalah yang memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat maupun hukum yang berlaku;
47
-
Mengingat Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP serta Pasalpasal yang berhubungan dengan perkara ini:
g. Putusan
-
Menyatakan terdakwa DANING TIANINGSIH aliasMAMI NINGBinti
KASMURI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “Mengeksploitasi Seksual Anak” ;
-
Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas dengan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dan denda sebesar
Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan denda tersebut tidak
dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan;
-
Menyatakan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana
yang dijatuhkan;
-
Memerintahkan terdakwa tetap ditahan;
-
Memerintahkan barang bukti berupa:
a. 1(satu) buah buku absen anak buah tetap terlampir dalam berka
perkara;
b. 1 (satu) lembar Surat Akte Kelahiran An. Dwi Meina Sari dan 1
(satu) lembar Kartu Keluarga No. KK: 33.0709.210108.4393,
Nama Kepala Keluarga: Sukarman, Alamat: Sumberan Selatan
Rt. 004/Rw.003 Kel. Wonosobo Barat , Kec. Wonosobo, Kab.
Wonosobo dikembalikan kepada DWI MEINA SARI;
-
Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000
(seribu rupiah).
48
B. Pembahasan
a. Data Sekunder
1. Penerapan Unsur-unsur Pasal 88
Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 dalam Putusan Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT.
Menurut Soerjono Soekanto, fungsi hukum pidana adalah sebagai suatu
mekanisme pengendalian sosial. Mekanisme pengendalian sosial ini berupa
suatu proses yang telah direncanakan lebih dahulu dan bertujuan untuk
menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau memaksa anggota-anggota
masyarakat agar supaya mematuhi norma-norma hukum atau tata tertib
hukum yang sedang berlaku.55
Dalam menegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan
yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian hukum
merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang
yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan
lebih tertib.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam melaksanakan atau
penegakan hukum, karena hukum adalah untuk manusia dan penegakan
hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan
sampai justru karena hukum ditegakan atau dilaksanakan timbul keresahan
di dalam masyarakat. Sedangkan unsur keadilan, masyarakat sangat
berkepentingan dalam pelaksaan atau penegakan hukum harus adil karena
hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan.
55
Soemitro,1994, Hlm.4
49
Dari uraian di atas dapat diketahui pengertian dan konsep penegakan
hukum adalah mengajak, menyuruh atau memaksa anggota masyarakat untuk
mematuhi norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang sedang berlaku.
Korban tindak pidana tidak hanya menimpa oleh orang dewasa tetapi
juga anak yang masih di bawah umur dapat menjadi korban. Korban adalah
mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan
orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain
yang
bertentangan
dengan
kepentingan
dan
hak
asasi
yang
menderita.56Dalam kasus eksploitasi, asusila ataupun perdagangan sering
terjadi korbannya adalah anak.
Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalamrangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dasosialnya.
Perlindungan anak itu sendiri adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hal ini sesuai
dengan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Pengertian eksploitasi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor
21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
adalah sebagai berikut:
“Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang
meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa,
perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan,
pemanfatatan fisik,seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum
atau transplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga
56
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,2008, Urgensi Perlindungan KorbanKejahatan
Antara Norma dan Realita, PT .Raja Grafindo Persada,Jakarta, hal.27.
50
atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan
baik materil maupun immateriil.”
Salah satu tindakan eksploitasi ialah eksploitasi seksual anak yang
didefinisikan sebagai kegiatan yang melibatkan anak laki-laki maupun
perempuan, demi uang, keuntungan atau pertimbangan lain atau karena
paksaan atau pengaruh orang dewasa, sendikat atau kelompok, terkait dengan
hubungan seksual atau perilaku yang menimbulkan birahi.” Ada 3 kegiatan
yang termasuk dalam kategori eksploitasi seksual adalah : Prostitusi anak,
Perdagangan anak dan Pornografi anak.57
Sangat sedikit anak
perempuan yang telah terjerumus dalam dunia
pelacuran bisa keluar dengan mudah dari pekerja yang mereka lakukan. Hal
ini dikarenakan karena stigma masyarakat asal daerah kebanyakan
mempengaruhi anak perempuan melakukan seperti itu. Yang menjerumuskan
mereka menjadi pekerja seks komersiil adalah orang dekat korban sendiri.
Pada umumnya mereka diperanti oleh orang-orang dekat dengan korban, atau
bahkan kenal baik dengan korban.bentuk-bentuk elsploitasi seksual yang
dialami pelacur anak itu bisa dari berbagai pihak diantaranya pihak germo,
makelar, atau pelanggan.58
Untuk menjawab permasalahan yang pertama maka penulis akan meneliti
unsur-unsur Pasal 88 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 terhadap faktafakta yang ada dalam putusan Pengadilan Negari Purwokerto Nomor :
42/Pid.Sus/2011/PN.PWT.
57
Nining S. Mutamar, 2007, Makalah Eksploitasi Seksual Komersiil
Anak
dalam
PengalamanPendampingan di Surakarta, http:/www.eska.or.id/, eksploitasi seksual komersiil
anak.html, diakses tanggal 04 Maret 2012.
58
http:// www.wordpress.com/2011/penyidikan -tindak-pidana-eksploitasi-seksual-anakdilokalisasi-pelacuran-dollly-surabaya, diakses pada tanggal 04 Maret 2012
51
Tindak pidana Eksploitasi Seksual Anak yang dirumuskan dalam Pasal
88 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yaitu:
Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak :
Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelarantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan;dan
f. perlakuan salah lainnya.
Menurut Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak :
Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) .
Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu mengenai tindak pidana
eksploitasi seksual anak, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut :
a. Unsur Setiap Orang
Mengenai unsur setiap orang atau barang siapa, dari hasil penelitian
dapat diiketahui bahwa unsur barang siapa disini adalah barang siapa
menurut undang-undang hukum pidana yang menunjuk pada subjek dari
tindak pidana, yang berarti siapa saja, baik laki-laki ataupun perempuan tanpa
kecuali, sehat jasmani dan rohani dapat bertindak sebagai pelaku tindak
pidana. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarto, yang menyatakan sebagai
berikut :
52
Pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana ialah manusia
(naturlijk personen). Pengertian barangsiapa adalah menunjukan pengertian
seseorang sebagai subyek hukum penanggung hak dan kewajiban. Unsur
barangsiapa pada dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak adalah menunjuk pada orang yang melakukan
tindak pidana dan ini menunjukan perbuatan manusia. Dengan kata lain,
unsur barangsiapa adalah menunjukan bahwa pelakunya adalah orang yang
memenuhi semua unsur tindak pidana oleh karena itu unsur barangsiapa
dalam hal ini tidak boleh diartikan lain kecuali manusia.59
Sedangkan unsur “barangsiapa” menurut Lamintang, adalah menunjuk
pada orang yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak pidana
yang terdapat di dalam rumusan undang-undang, maka ia bisa disebut pelaku
(dader) dari tindak pidana bersangkutan.60
Pengertian barang siapa ialah siapa saja sebagai subyek hukum selaku
pelaku dari tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 88 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam pasal ini
menunjukan manusia.
Dengan demikian mengenai unsur “barangsiapa” apabila dikaitkan
dengan
putusan
Pengadilan
Negeri
Purwokerto
Nomor
:
42/Pid.Sus/2011/PN.PWT, dikaitkan dengan teori tersebut diatas, maka dapat
diketahui bahwa unsur “barangsiapa” yaitu pelaku atau subyek tindak pidana
dalam perkara tersebut
berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap di
persidangan, tidak dapat diartikan lain daripada orang dan manusia, yaitu
dalam hal ini adalah Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri, umur
59
Sudarto, 1989, Hukum Pidana 1, Bahan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah, Semarang:Fakultas
Hukum Diponegoro. Hlm.10
60
Ibid,1979, Hlm.107
53
32 tahun, jenis kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, agama islam,
pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal
Desa Semaya Rt 06/01,
Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak
pidana eksploitasi seksual anak dengan fakta yang terungkap di persidangan
dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga terdakwa adalah
merupakan subyek hukum dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
pengertian “barangsiapa”. Dengan demikian unsur “barangsiapa” dalam
putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT.
telah terpenuhi.
b. Unsur yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak
Yang
mengeksploitasi
ekonomi
atau
seksual
anak
yaitu
memperkerjakan atau memperdagangkan anak dalam bidang seksual untuk
mendapatkan keuntungan.
Elemen-elemen dalam unsur Pasal ini bersifat alternatif, sehingga
apabila salah satu elemen dari Pasal ini sudah terbukti maka unsur inipun
dinyatakan terbukti, bahwa untuk pengertian dari eksploitasi maka akan
merujuk pada ketentuan umum Paal 1 ayat (7) No. 21 tahun 2007 yaitu
tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi terbatas pada
pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa
perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau tranplantasi
organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan
seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil
maupun immateriil. Dimaksud dengan pengertian anak sesuai ketentuan
54
umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 tahun 2002 adalah
seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun termasuk anak masih
dalam kandungan, bahwa saksi korban Dwi Meina Sari alias Nuke binti
Suparman yang lahir pada tanggal 23 Mei 1995 yang pada saat ini masih
berumur 16 tahun sehingga korban masih termasuk kategori anak.
Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dari
keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan
barang bukti yang diajukan di persidangan diketahui bahwa Terdakwa pada
bulan Desember 2010 telah dikenalkan oleh orang yang bernama Agus
kepada saksi korban Dwi meina Sari alias Nuke di rumah kontrakan
Terdakwa di Gg. Sadar II Desa Karangtengah RT.7 TRW.2 Kec.Baturaden,
Kab. Banyumas dan saat itu Terdakwa menerima saksi korban untuk
dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), dimana meskipun
pada awalnya Terdakwa ragu-ragu akan umur saksi korban akan tetapi
tetap memperkerjakan saksi korban sebagai PSK dengan tugas melayani
tamu untuk melakukan hubungann seks atau menemani karoke dengan
imbalan Rp. 100.000 untuk setiap melakukan tugas secara short time dan
pendapatan tersebut dibagi dua antara saksi korban dengan Terdakwa
masing-masing Rp. 50.000 dan hal tersebut telah dilakukan dari bulan
Desember 2010 sampai dengan bulan Januari 2011.
Terdakwa telah mengeksploitasi saksi korban yang masih anak-anak
dalam bidang seksual sehingga dengan demikian unsur kedua telah
terpenuhi.
c.
Unsur maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain
55
Fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dari keterangan saksisaksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti
yang diajukan di persidangan diketahui bahwa Terdakwa menerima saksi
korban untuk dipekerjakan sebagai PSK, dimana meskipun pada awalnya
Terdakwa ragu-ragu akan umur saksi korban tetapi Terdakwa tetap
memperkerjakan saksi korban sebagai PSK dengan tugas melayani tamu
untuk melakukan hubungan seks atau menemani karoke dengan imbalan
Rp. 100.000 untuk setiap melakukan tugas secara short time dan
pendapatan tersebut dibagi dua antara saksi korban dengan Terdakwa
masing-masing Rp.50.000 dan hal tersebut telah dilakukan dari bulan
Desember sampai dengan bulan Januari 2011.
Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
sudah dijelaskan bahwa seorang anak berhak untuk dapat hidup
berkembang dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Dengan menelaah materi mengenai kewajiban kepada negara dan
masyarakat untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap anak
sebagaimana sebagaimana terurai dalam Pasal 59 dan Pasal 66 UndangUndang no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka meskipun
dalam keadaan di masyarakat seorang anak ada yang secara diam-diam
masuk dalam kegiatan prostitusi tetapi harus tetap dipandang sebagai anak
yang harus dilindungi dan dijauhkan dari kegiatan yang bertentangan
dengan harkat seorang anak. Terdakwa telah menerima uang dari hasil
memperkerjakan saksi korban sehingga unsur ketiga ini telah terpenuhi
oleh perbuatan terdakwa
56
2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam
Putusan Perkara Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT
Eksploitasi seksual anak merupakan bentuk paksaan dan kekerasan
terhadap anak dan sejumlah tenaga kerja paksa dan merupakan perbudakan
modern. Sebuah pernyataan dari Kongres Dunia untuk melawan eksploitasi
seksual anak yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1996,
mendefinisikan eksploitasi seksual sebagai :
“pelecehan seksual oleh orang dewasa dan remunerasi tunai atau
barang kepada anak atau orang ketiga atau orang lain. Anak diperlakukan
sebagai objek seksual dan komersial.”
Eksploitasi seksual anak termasuk pelacuran anak, pornografi anak,
pariwisata seks anak dan bentuk lain dari transaksional seksual dimana
seorang anak terlibat dalam kegiatan seksual untuk dapat memiliki
kebutuhan utama yang terpenuhi, seperti makanan, tempat tinggal, akses
kependidikan. Ini termasuk bentuk transaksional dimana seksual dimana
kekerasan seksual terhadap anak tidak dihentikan atau dilaporkan oleh
pihak keluarga, karena manfaat yang diperoleh oleh keluarga dari pelaku.
Eksploitasi seksual anak juga berpotensi mencakup perjodohan anak
dibawah usia 18 tahun, dimana anak belum belum bebas menyetujui
pernikahan dan dimana anak mengalami pelecehan seksual.
Pelacuran anak dibawah usia 18 tahun, pornografi anak dan
penjualan anak (sering terkait) dan perdagangan anak-anak sering dianggap
sebagai tindak kejahatan kekerasan terhadap anak. Itu dianggap bentuk
eksploitasi ekonomi mirip dengan kerja paksa atau perbudakan. Anak-anak
tersebut sering mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap
57
kesehatan fisik dan mental mereka ,mereka menghadapi penyakit awal
kehamilan dan resiko penyakit menular seksual khususnya AIDS.
Perdagangan anak terkadang saling tumpang tindih dengan
eksploitasi seksual. Disatu sisi anak-anak yang diperdagangkan sering
diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual anak, namun tidak semua
anak yang diperdagangkan oleh para pelaku perdagangan anak
diperdagangkan untuk tujuan ini. Selanjutnya bahkan jika beberapa dari
anak-anak diperdagangkan untuk bentuk-bentuk pekerjaan lain yang
kemudian mengalami pelecehan seksual ditempat kerja, ini tidak selalu
eksploitasi seksual anak.
Eksploitasi seksual anak merupakan bagian dari tapi berbeda dari
pelecehan anak atau bahkan pelecehan seksual anak, pemerkosaan anak
misalnya biasanya tidak akan merupakan eksploitasi seksual anak begitu
juga pula Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Meskipun eksploitasi seksual
anak dianggap sebagai perburuhan anak dan memang salah satu pekerjaan
terburuk untuk anak dalam hal legislasi eksploitasi seksual anak sering
dianggap sebagai bentuk pelecehan anak atau kejahatan.
Penyebab dari eksploitasi seksual anak ini terdapat faktor berupa
kemiskinan parah, kemungkinan pendapatan yang relatif tinggi, nilai
rendah yang melekat pada pendidikan, disfungsi keluarga, kewajiban
budaya untuk membantu mendukung keluarga atau kebutuhan untuk
mendapatkan uang untuk sekedar bertahan hidup, semua faktor yang
membuat anak rentan terhadap eksploitasi seksual anak. Dalam rangka
untuk membuat anak-anak hidup dijual kedalam perdagangan seks untuk
58
menyediakan makanan dan tempat tinggal dan dalam beberapa kasus uang
untuk memuaskan kecanduan anggota keluarga atau diri mereka sendiri.
Selain dari faktor ekonomi, anak-anak yang paling beresiko menjadi
korban eksploitasi seksual anak adalah mereka yang sebelumnya telah
mengalami pelecehan fisik atau seksual. Sebuah lingkungan keluarga
dengan sedikit perlindungan dimana pengasuh tidak ada atau dimana ada
tingkat kekerasan yang tinggi atau tingginya konsumsi obat atau alkohol,
menyebabkan anak laki-laki dan perempuan pergi dari rumah, membuat
mereka sangat rentan terhadap tindak pelecehan. Diskriminasi gender dan
tingkat pendidikan pengasuh yang rendah, kemiskinan ekstrim dan
keluarga terpinggirkan jugaa menjadi resiko anak untuk menjadi korban
eksploitasi seksual anak.
Disisi permintaan, faktor-faktor tertentu dapat memperburuk
masalah misalnya wisatawan seks adalah sumber permintaan untuk
prostitusi. Pilihan pelanggan untuk anak-anak muda, terutama dalam
konteks dari epidemi HIV/AIDS, menangkap anak tambahan, selain itu
perkembangan internet telah memfasilitasi pertumbuhan pornografi anak.
Pengalaman telah menunjukan bahwa beberapa karakteristik sosial
ekonomi seperti kepadatan penduduk, konsentrasi hiburan malam (bar dan
diskotik), kemiskinan yang tinggi, dan tingkat pengangguran, pergerakan
orang dan akses ke jalan raya juga terkait dengan eksploitasi seksual anak.
Dasar hukum Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk jaminan
terpenuhinya hak-hak agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta
59
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya
anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Selanjutnya perwujudan Hak Asasi Manusia anak dirinci dalam
berbagai kondisi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 23 tahun
2002 Pasal 4-11, 13, 15, 16.
Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor :
42/Pid.Sus/2010/PN.Pwt Menyatakan terdakwa DANING TIANINGSIH
alias MAMI NING Binti KASMURI telah terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengeksploitasi Seksual
Anak”. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dan denda sebesar
Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan denda tersebut tidak
dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan. Dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak mengatur sebagai berikut :
”Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan/atau denda
paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) .”
Eksploitasi seksual anak oleh Daning Tianingsih alias Mami Ning
binti Kasmuri, kasus ini didasarkan pada berbagai alasan yang mendorong
terlaksananya eksploitasi seksual anak. Tindak pidana eksploitasi seksual
anak menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu yang
peningkatannya cukup signifikan maka dengan adanya sanksi pidana ini
60
dapat mengurangi tingkat kejahatan atau tindak pidana eksploitasi seksual
anak.
Dasar pertimbangan hukum apa yang digunakan oleh hakim dalam
menjatuhkan putusan pidana eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh
Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri. Berdasarkan hasil
penelitian dasar pertimbangan yang digunakan hakim dalam menjatuhkan
pidana eksploitasi seksual anak. Dalam memberikan suatu putusan hakim
memakai pandangan hukum dan mengacu pada Pasal 88 Undang-Undang
No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak karena dalam pasal-pasal ini
terdapat unsur-unsur yang memenuhi terjadinya suatu tindak pidana
eksploitasi seksual anak, dimana seorang anak yaitu korban menyetujui atau
menghendaki dirinya untuk menjadi pekerja seks komersial berbeda dengan
perdagangan orang karena untuk perdagangan orang terdapat modus
pengelabuan atau penipuan bahwa korban tidak tahu akan dieksploitasi,
penjatuhan pidana ini dimaksudkan untuk dapat membuat orang jera untuk
melakukan tindak pidana eksploitasi seksual anak, selain Undang-Undang
Perlindungan Anak dalam menjatuhkan suatu tindak pidana pertimbangan
yang digunakan hakim adalah alat bukti dan saksi-saksi, serta hal yang
meringankan dan hal yang memberatkan dan fakta-fakta yang terungkap
dipersidangan sehingga hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan alat
bukti yang ada dan sesuai dengan pasal yang di dakwakan.
Pertimbangan subyektif hakim mengapa memilih Undang-undang
No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dikarenakan undang-undang
ini lebih tepat dibandingkan dengan Undang-undang Traficking. Maka dari
itu memakai Undang-undang perlindungan anak, karena meskipun anak itu
61
tahu atau tidak tahu, bahwa anak itu menghendaki sendiri dan peran orang
tua yang mendukung anak tersebut untuk menjadi pekerja seks komersial
sehingga semua kesalahan tidak bisa dilimpahkan seluruhnya kepada
terdakwa. Hakim mempertimbangkan dari sisi viktimologinya sehingga
putusan yang diberikan lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Hal
ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam putusan.
b. Data Primer
Data
primer
diperoleh
dari
wawancara
dengan
Budi
Setyawan,SH.MH.(Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto) pada tanggal 07
November 2012.
Tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu :
1. Tindak pidana materiil
2. Tindak pidana formal
Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang
dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat
tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu.
Sedangkan pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana
yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat
yang disebabkan oleh perbuatan itu.Anak yang menjadi korban suatu tindak
pidana diberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang diberikan
berupa perlindungan umum dan khusus berdasarkan Undang-Undang No. 23
tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak adalah segala
kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknyaagar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuaidengan harkat dan
martabat
kemanusiaan,
serta
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
62
dandiskriminasi.Pengertian
perlindungan khusus adalah perlindungan yang
diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan
hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak diexploitasi secara
ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza),
anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik
fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran, hal ini terdapat dalam Pasal 1 butir 15 Undang-undang
No 23 Tahun 2002.
Alasan majelis hakim lebih memilih Undang-Undang No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak bukan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan
Tindak
42/Pid.Sus/2011/PN.PWT,
Pidana
Perdagangan
seperti
yang
Orang
pada
disampaikan
putusan
oleh
No
Budi
Setyawan,SH.MH
“Hakim tidak memberikan pertimbangan dalam putusan karena
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan karena adanya
kemauan dari anak ini untuk dieksploitasi, dan apabila trackfiking yaitu
perdagangan manusia terdapat modus pengelabuan atau penipuan,
tertutupi bahwa korban tidak tahu bahwa akan diperdagangkan, maka dari
itu memakai Undang-undang Perlindungan Anak, karena meskipun anak
itu tahu atau tidak tahu, bahwa anak itu menghendaki sendiri. Anak itu
butuh perlindungan, meskipun anak itu tau bahwa ia dieksploitasi yang
disalahkan bukan anak tersebuut melainkan orangnya,orang tua yang
sudah tau tapi ia menjerumuskan.”
Selanjutnya mengenai pengertian anak yang diatur oleh Undang-undang
No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Dapat diketahui bahwa korban disini adalah anak yang masih berumur 16
(enam belas) tahun tetapi korban telah memiliki anak diluar pernikahan,hal ini
yang dijadikan pledoi oleh pelaku, namun hakim tetap menganggap korban
63
sebagai anak yang sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang No 23 Tahun
2002, hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Budi Setyawan, SH.MH
“Anak-anak itu apabila sudah diluar rumah, memakai baju bebas,
sehingga tidak dapat diketahui anak itu umur berapa, pelaku atau
terdakwa tetap bisa disalahkan bahwa ia tidak tau anak tersebut umur
berapa, semua orang dianggap tau undang-undang, dalam perlindungan
anak yang disebut anak adalah anak-anak dibawah umur 18 (delapan
belas) tahun. Anak itu harus ditanya umurnya berapa. Karena ketentuan
undang-undang yang disebut anak itu yang belum berumur 18 (delapan
belas) tahun dan belum menikah meskipun anak itu sudah punya anak
tapi kan tidak terikat pernikahan atau kawin, kawin disini yaitu menikah
secara agama maupun dengan ketentuan hukum negara sehingga menurut
pengertian tersebut korban memang belum menikah dan masih anakanak, dan karena tidak ada bukti bahwa ia telah menikah maka hakim
menganggap korban masih anak-anak sesuai dengan ketentuan undangundang.”
Ancaman dari Pasal 88 Undang-undang No 23 Tahun 2002 adalah pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
200.000.000 (dua ratus juta rupiah) namun putusan yang diberikan oleh hakim
jauh lebih ringan dari ancaman tersebut, yaitu 1 (satu) tahun dan 8 (delapan)
bulan penjara dan denda sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). Setiap
putusan ada hal yang meringankan dan yang memberatkan dan hal itu yang
menjadi pertimbangan hakim dalam memutus, dan menentukan lamanya pidana
yang dijatuhkan tiak semata-semata memutus berat. Berikut adalah pemaparan
dari Budi Setyawan, SH.MH :
“Secara normatif putusan tersebut sudah benar karena tidak berlaku
ancaman minimal khusus, sehingga hakim memutus tidak menyalaih
aturan. Tetapi ya harus sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan yang jadi
pertimbangan hakim, dilihat dari sisi viktimologinya, korban berperan
atau tidak, disini kan korban berperan karena ia sendiri yang
menghendaki, ia sendiri yang mau, tidak ada paksaan pada dirinya itu kan
tidak dapat dijadikan untuk memberatkan pelaku. Itu harus dilihat sebagai
yang meringankan meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam putusan.
Kemudian perbuatan yang dilakukan anak tidak murni mutlak
dibebankan pada anak, lah ini kemana orang tuanya? Ternyata kan orang
tuanya ikut andil juga terhadap korban, sehingga tidak boleh semata-mata
dibebankan kepada pelaku meskipun pelaku bekerja sebagai germo atau
mucikari tapi ternyata orang tua mengabaikan korban, kalo anaknya pergi
64
kenapa tidak dicari?apakah adil apabila semuanya dibebankan kepada
pelaku?”
Secara normatif tidak ada penyimpangan pada ketentuan-ketentuan
undang-undangnya, dan secara sosiologis didasarkan pada fakta yang terungkap
dipersidangan ternyata dari kajian ini dapat dilihat dari keterangan saksi dan
pertimbangan hukumnya. Meskipun pelakuragu-ragu pada umur korban berarti
pelaku tahu korban masih anak-anak. Dari Undang-undang No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, anak tidak bisa murni disalahkan dalam hal ini anak
juga turut menjadi korban. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto ini
menjelaskan tentang unsur-unsur dari Pasal 88 Undang-undang No 23 Tahun
2002 :
“Kemudian unsur-unsurnya bisa kita ketahui yaitu unsur setiap
orang,unsur yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak,dan yang ketiga
unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,unsur
yang satu harus saling berhubungan dengan unsur yang lain sekarang kita lihat
dari unsur yang pertama, setiap orang adalah seseorang atau subyek hukum,
pelaku adalah orang dewasa yang sehat jasmani dan rohani, dan cakap berbuat
hukum, selama pemeriksaan tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar
sehingga unsur ini terpenuhi, kemudian dari unsur yang kedua dilihat dari
pengertian eksploitasi Pasal 1 ayat 7 Undang-undang 21 Tahun 2007 yaitu
tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban disini dalam hal pelacuran dan
seksual sehingga terpenuhi juga kan, terus unsur yang ketiga disini sudah jelas
bahwa pelaku mengambil keuntungan dari korban yaitu membagi dua
penghasilannya dari setiap transaksi, jadi sudah pas pasal ini yang digunakan oleh
hakim.”
Perkara ini berhubungan juga tindakan pelacuran, pelacuran diatur dalam
KUHP secara normatif, secara agama diharamkan, dan secara sosial tidak pantas
maka secara umum dapat dikatakan sebagai tindak pidana, hanya saja pada
perkara No 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT korban masih dibawah umur. Putusan
dalam perkara ini sudah tepat karena tidak ada pembatalan dari hakim yang lebih
tinggi, putusan ini didasarkan pada dakwaan yang telah dibuat karena hakim tidak
65
boleh memutus diluar dari surat dakwaan, dan juga unsur-unsur dari tindak
pidana eksploitasi seksual terpenuhi.
66
BAB V
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang tindak pidana
eksploitasi seksual anak dalam putusan Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT, dapat
disimpulkan bahwa :
1. Penerapan unsur-unsur Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia No.23
Tahun 2002 yaitu tentang Perlindungan Anak dalam putusan Nomor :
42/Pid.Sus/2011/PN.PWT telah sesuai, dimana perbuatan terdakwa telah
terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur Pasal 88 UndangUndang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 yaitu tentang Perlindungan
Anak.
a. Setiap Orang, yaitu terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning binti
Kasmuri.
b. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak, yaitu terdakwa
menerima saksi korban untuk bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial
c. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu
membagi dua imbalan yang korban peroleh masing-masing Rp 50.000
2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Perkara Eksploitasi Seksual
Anak Di
Pengadilan Negeri Purwokerto Dalam Perkara Nomor
:42/Pid.Sus/2011/PN.PWT dilihat dari sisi viktimologi korban berperan
karena korban sendiri menghendaki, tidak ada paksaan pada dirinya serta
peran orang tua yang turut menikmati hasil pekerjaan
korban, dari sisi
yuridisnya bahwa Pasal 88 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 lebih tepat
digunakan untuk memutus perkara ini dikarenakan anak yang menjadi korban
dan unsur-unsur Pasal 88 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 terpenuhi.
67
Daftar Pustaka
A. Literatur
Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan
Seksual, Bandung: Refika aditama
A.Fuad Usfa dan Tongat,2004, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Malang:
UMM Press
Andi Hamzah,1991, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta: Rineka Cipta.
Arief, Barda Nawawi dan Muladi,1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, hlm. 11
Farid, Zainal Abidin,2007 , Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Jakarta:Sinar Grafika
Herbert L. Packer,1968, The Limit of Criminal Sanction,California : Stanford University
Press
Kansil,C.S.T.1989.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka
Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
M. Abdul Kholiq.2002.Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Yogyakarta: Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia
Moeljatno,1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana.
Yogyakarta: Bina Aksara.
--------, 2008,Asas-asas Hukum pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Jakarta:Renika
Cipta
Prodjodikoro,Wirjono.1962.Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur
Prodjodikoro,Wirjono.2002. Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: Rafika
Aditama
Soemitro, Ronny Hanitijo.1983.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia
Sudarto,1977 , Hukum dan Hukum Pidana,Bandung:Alumni
----------,1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto,Semarang:Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro
-----------,1990,Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik
Khusus,Bogor:Politea
68
Sugandhi,R.1980.KUHP Dan Penjelasannya.Surabaya : Usaha Nasional
Sumiarni,E.2003.Perlindungan Hukum Terhadap
Yogyakarta:Universitas Atma Jaya
Anak
dalam
Hukum
Pidana.
Supardjaja,Komariah Emong,2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum
Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam
Yurisprudensi), Bandung:Alumni
Tongat,2008,
Dasar-Dasar
Hukum
Pembaharuan,Malang:UMM Perss
Pidana
Indonesia
dalam
Perspektif
Utrecht, 1986, Hukum pidana I, Surabaya:Pustaka Tinta Mas.
Van Bemmelen,Mr.J.M.1987.Hukum Pidana I. Bandung: Bina Cipta
B.
Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia,Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Republik
Indonesia.
Indonesia, Undang-UndangNomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang
C.
Sumber Lain
DepartemenPendidikan Dan Kebudayaan, 2002,KamusBesarBahasa Indonesia. Jakarta:
BalaiPustaka,
Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt.
D.
Internet
www.eska.or.id/[email protected]( Pusat Data dan Informasi Eksploitasi
Seksual Komersial Anak )
http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/04/dar29.htmdiakses tanggal 04 Juli 2012
http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/20/174353/hukuman-anakbermasalah, diakses tanggal 23 April 2012
Nining S. Mutamar, 2007, Makalah Eksploitasi Seksual Komersiil Anak dalam
Pengalaman Pen dampingan di Surakarta, http:/www.eska.or.id/, eksploitasi
seksual komersiil anak.html, diakses tanggal 04 Maret 2012
http:// www.wordpress.com/2011/penyidikan -tindak-pidana-eksploitasi-seksual-anakdilokalisasi-pelacuran-dollly-surabaya, diakses pada tanggal 04 Maret 2012
69
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Eksploitasi-seksual-anak, diakses pada tanggal 01
November 2012
70
Download