TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT ) Oleh : RIA LIANA E1A007407 SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2013 i LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT ) Oleh : RIA LIANA E1A007407 Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Diterima dan Disahkan Pada tanggal : Februari 2013 Pembimbing I, Haryanto Dwiatmodjo,SH.M.Hum NIP. 19570225 198702 1 001 Penguji, Dr.Budiyono, S.H,M.Hum NIP. 19631107 198901 1 001 Pembimbing II, Sunaryo,SH.,M.Hum. NIP. 19531224 198601 1 001 Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Dr. Angkasa, S.H., M.Hum NIP. 19640923 1989011 001 ii SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul : TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT ) Adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan semua sumber data serta informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Apabila pernyatan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi termasuk pencabutan gelar kesarjanaan yang telah saya peroleh. Purwokerto, Februari 2013 RIA LIANA NIM. E1A007407 iii MOTTO “Yang selalu tampak indah tidak selamanya baik untuk kita” “What dou you think is what happen to you ” Hidup itu mudah kalau kita tidak membuatnya sulit iv PERSEMBAHAN Karya Kecilku ini khusus kupersembahkan teruntuk : Ayahku tercinta Ridwan Yang selalu memberikan perhatian, semangat, menerima keluh kesahku dan selalu mengingatkanku selalu untuk tetap berdoa, dan berusaha….. Ada cinta yang kadang terabaikan, bukan karena tak berarti besar tetapi karena cara pengungkapan yang berbeda v KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan seluruh rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT ). Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga atas motivasi dan dukungan, baik langsung maupun tidak langsung yaitu kepada : 1. Allah SWT atas bimbingan hidup yang diberikanNya kepada Penulis ; 2. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto beserta para Pembantu Dekan dan seluruh jajarannya ; 3. Haryanto Dwiatmodjo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto ; 4. Sunaryo, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II ; 5. Dr. Budiyono,S.H,M.Hum, selaku dosen Penguji pada seminar skripsi dan Pendadaran ; 6. Tedi Sudrajat, S.H., M.H, selaku Pembimbing Akademik yang memberikan bimbingan sejak awal perkuliahan ; vi 7. Budi Setyawan, S.H,MH.selaku Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto atas kesediannya meluangkan waktu dan membantu memberikan data yang Penulis butuhkan dalam proses penulisan skripsi ini ; 8. Rafita Sadya Putra, yang telah memberikan warna tersendiri dalam hidup Penulis serta memberikan dukungan, doa, kasih sayang dan motivasi kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan studi ; 9. Kakak-kakak dan adik-adiku Eko Supriyatno, Ani Tri Mulyani, Yoni Panca Nugraha, Rafita Sadya Putri, Fitri Indrisari, Risdayanti, M.Rehan Alfazri, dan Giandika Estri Shefrina, Ibnulfaizin Najmul Falah yang telah banyak memberikan saran dan kritik yang membangun untuk penulis 10. Keluarga Besar Ibunda Watini Tukiman, Ibunda Linda, Ibunda Esti Widiyani yang telah memberikan semangat, doa, perhatian, bimbingan, serta kasih sayang kepada penulis 11. Keluarga Besar Kakek M. Damiri dan Keluarga besar Alm. Datuk Nurdin yang tak henti-hentinya memberikan doa untuk penulis beserta seluruh keluarga 12. Sahabat terbaikku Desi Pratimi (Desi), Friska Mahardika (Friska), Alviana N (Alvi). Semoga impian kita untuk sukses bersama bisa terwujud. 13. Temen-temen KKN ’11 Desa Pengarasan, Kusuma Hadi, Betha Tri Wulandari,Alwi Putra, Asri Mawardiani, Tita Diniar Sekar Tanjung,Teguh Priatna, Titi Murwati serta Pak Joko dan Bu Baroroh beserta keluarga ; 14. Teman-teman Fakultas Hukum, Avianita (Tata), M. Zaenudin Mustofa (Yeyen), Juriko Wibisono (Juriko), Gehan Fajrin (Gehan), Anggya vii (Anggy), Septianingsih F.U (Septy), Khaerul Syakir (Syakir), Dwinanda (Nanda), Bimo Prakoso (Bimo), Erick, Lainun Shabrina (Shasa), Emilia (Emil), Arindika, Dika Sando, Ranggi, Adina Yustianingsih, Yuliana (ana), Bang Basri, Lilis, L.A Yuris, Arinal,Alif Angga, Oki, Tanti, Kurnia Hadi (Jikun), Adit, Ari, Erlinda (Elin), Friska Faullina,Wiji Rahayu, Gangga Pujangkara, Ayu Nah’diatuhzahra kalian memberikan pengalaman yang tidak terlupakan dalam berproses di Kampus Merah ; Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini kurang sempurna mengingat keterbatasan Penulis, walaupun demikian Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, baik teori maupun aplikasi. Purwokerto, Februari 2013 Penulis, viii ABSTRAK TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT ) Disusun Oleh : Ria Liana Penelitian ini berjudul “TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK”(Studi Kasus Dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42 /PID.Sus/ 2011 /PN.PWT )”. Penelitian dilakukan di Pengadilan Negeri Klas IB Purwokerto. Tujuan Penelitian untuk mengetahui penerapan unsur-unsur tindak pidana eksploitasi seksual anak serta untuk mengetahui dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara eksploiasi seksual anak-anak pada perkara Nomor: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT Penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah yuridis normatif. Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder.Data primer diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan intensif dengan informan sedangkan data sekunder diperoleh yaitu dengan mempelajari peraturan perundang-undangan, literature, hasil penelitian serta dokumen-dokumen resmi yang berkaitan dengan obyek penelitian. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Unsur-unsur dari tindak pidana Eksploitasi seksual anak adalah : a. Setiap Orang, yaitu terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri b. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual, yaitu terdakwa menerima saksi korban untuk berkerja sebagai Pekerja Seks Komersial c. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu membagi dua imbalan yang korban peroleh masing-masing Rp 50.000 Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Perkara Eksploitasi Seksual Anak Di Pengadilan Negeri Purwokerto Dalam Perkara Nomor :42/PID.Sus/2011/PN.PWT telah sesuai dengan prinsip perlindungan anak, sebab pelaku dinyatakan oleh Hakim bersalah telah melanggar Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kata kunci : Eksploitasi seksual, anak ix ABSTRACT CRIMINAL CHILD SEXUAL EXPLOITATION (case studies Court Verdict number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT). By : Ria Liana This study, entitled of CRIMINAL CHILD SEXUAL EXPLOITATION (CRIMINAL CHILD SEXUAL EXPLOITATION (case studies Court Verdict number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT). Research conducted in the District Court Klas IB Purwokerto. The purpose of Research to determine the application of elements of criminal acts of child sexual exploitation as well as to know the legal basis for the consideration of the judge in the case ruled the sexual eksploiasi of children on case number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT. Using qualitative research methods Research. The approach used is the juridical normative. Specifications used in this research is descriptive analytic.The Data used in this research is the primary data and secondary data.Primary Data obtained from the results of in-depth and intensive interviews with informants while secondary data obtained by studying the legislation, literature, research results and official documents relating to the object of research. Based on Based on the results of the study it can be concluded that the elements of the criminal acts of child sexual exploitation are: a. any person, i.e. the defendant Daning Tianingsih aka Mami Ning Bint Kasmuri b. who exploit economic or sexual, i.e. the defendant received the witness the victim to work as commercial sex workers with the intention of favouring c. yourself or someone else, namely split two rewards that victims get their respective consideration of Rp 50,000 Judges in Legal Cases sever its child sexual exploitation In Purwokerto District Court in the case number: 42/PID.Sus/2011/PN.PWT were in accordance with the principle of child protection, as stated by judge convicted offender has violated Article 88 Act No. 23 of 2002 on child protection. Key words: child, sexual exploitation x DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………………….. LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………… SURAT PERNYATAAN ……………………………………………………... HALAMAN MOTTO …………………………………………………………. HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………………. KATA PENGANTAR ………………………………………………………… ABSTRAK …………………………………………………………………….. ABSTRACT ……………………………………………………………………. DAFTAR ISI ………………………………………………………………….. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………………………………………………………………...1 B. Perumusan Masalah ……………..…………………………………………......7 C. Tujuan Penelitian ………………..…………………………………….……….8 D. Kegunaan Penelitian …………….……………………………………………..8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Pidana 1. Pengertian hukum pidana ……..………………………………………........9 2. Asas-asas Hukum Pidana ....……………………………………….............13 B. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana..........................................................................22 2. Istilah Tindak Pidana.................................................................................24 xi 3. Syarat-syarat dapat dipidana......................................................................27 4. Teori dan Tujuan Pemidanaan...................................................................28 C. Eksploitasi Seksual Anak 1. Pengertian Anak..........................................................................................33 2. Pengertian Eksploitasi..................................................................................35 3. Unsur-unsur Pengeksploitasian Seksual Anak.............................................36 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian.............................................................................................38 B. Spesifikasi Penelitian........................................................................................38 C. Lokasi Penelitian...............................................................................................39 D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum......................................................................39 E. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.................................................................39 F. Teknik Penyajian Bahan Hukum.......................................................................39 G. Teknik Analisis Bahan Hukum.........................................................................39 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian..................................................................................................41 B. Pembahasan.......................................................................................................49 BAB V PENUTUP A. Simpulan............................................................................................................67 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum sebagai alat untuk mengatur kehidupan masyarakat dan sebagai alat untuk menjaga ketertiban di masyarakat sangat dibutuhkan dalam mencegah, menanggulangi, membatasi. Hukum merupakan suatu aturan yang hidup dimasyarakat yang oleh masyarakat harus dipatuhi dan dijalankan. Unsur-unsur hukum sendiri menurut para sarjana hukum Indonesia adalah : a. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat b. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib c. Peraturan itu bersifat memaksa d. Sanksi terhadap pelanggaran peraturan itu adalah tegas.1 Unsur diatas mengharuskan masyarakat untuk bertindak berdasarkan hukum yang berlaku agar tercipta ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum dan nantinya timbul kesejahteraan di masyarakat yang merupakan tujuan dan dambaan dari adanya hukum itu sendiri. Pengertian tentang hukum sendiri menurut Prof. Mr Dr L.J Van Apeldoorn dalam bukunya yang berjudul Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht bahwa hukum sulit untuk didefinisikan bahkan tidak mungkin untuk mendefinisikannya karena luasnya gambaran tentang hukum dan untuk memberikan batasan tentang hukum sangat sulit dan tidak memberi kepuasan. Pembagian tentang macam-macam hukum terbagi menjadi berbagai macam golongan diantaranya dilihat dari isinya. Hukum dilihat dari isinya dibedakan 1 C.S.T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, Hal. 39. 1 menjadi hukum publik dan hukum privat. Hukum publik merupakan hukum yang mengatur kepentingan umum, hubungan antara negara dengan perseorangan. Kemudian hukum privat merupakan hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang satu dengan yang lain, yang menitik beratkan kepada kepentingan perseorangan.2 Salah satu bentuk hukum publik adalah hukum pidana yang dibagi menjadi dua yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil di Indonesia diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) yang merupakan salah satu bentuk kodifikasi hukum di Indonesia yang mengambil dari Wetboek van Sraftrecht (Wvs) dari Belanda atas asas konkordansi yang mulai berlaku secara resmi menjadi undang-undang dengan diundangkannya UndangUndang Nomor 1 Tahun 1946. KUHP sendiri merupakan induk dari peraturan hukum pidana di Indonesia, selain itu peraturan hukum pidana juga tersebar diluar KUHP salah satunya yaitu Undang-undang Perlindungan Anak. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang mempunyai arti penting bagi pembangunan Nasional dalam menjalankan kehidupan bangsa dan bernegara.Anakanak berhak mendapat perlindungan tumbuh dan berkembang serta berpartisipasi untuk melaksanakan pembangunan Nasional seperti halnya manusia dewasa.Agar setiap anak dapat dan berkembang secara baik dipelukan perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan fisik, psikis, diskriminasi, pengeksploitasian seksual anak,hak sipil dan kebebasan. Dengan adanya perlindungan anak, keberadaan anak yang menjadi tanggung jawab bangsa diharapkan dapat menyonsong masa depan secara baik dalam kehidupan di lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat. 2 Ibid, Hal.75. 2 Kekerasan,pelecehan dan pengeksploitasi seksual bukan hanya menimpa perempuan dewasa, namun juga perempuan yang tergolong dibawah umur (anakanak).Kejahatan seksual juga biasanya sering berlangsung di lingkungan perusahaan, perkantoran atau ditempat-tempat tertentu yang memberikan peluang manusia berlainan jenis dapat saling berkomunikasi bahkan terjadi dilingkungan keluarga. Hal yang cukup memprihatinkan adalah kecenderungan makin maraknya kejahatan seksual yang tidak hanya menimpa perempuan dewasa, tapi juga menimpa anakanak dibawah umur.Anak-anak perempuan ini sebagai objek komoditas (perdagangan) atau pemuas nafsu bejat (animalistic) dari seseorang dan kelompok tertentu yang menjalankan bisnis seksual guna keuntungan ekonomi berlipa ganda.3 Anak seharusnya mendapatkan perlindungan, kasih sayang, dan pengawasan dari kedua orang tuanya, dijaga, dirawat serta diasuh ataupun didik secara baik melalui ciri-ciri yang dimiliki oleh anak pada umumnya agar tidak terwujudnya tindak pidana terhadap anak.Anak-anak tidak sepatutnya bersandar pada dirinya sendiri tanpa ada yang memberikan perhatian maupun perlindungan.Orang tua sangat berperan aktif untuk mencegah terjadinya kekerasan, pelecehan dan eksploitasi anak. Pengeksploitasian terhadap anak adalah salah satu bentuknya berupa pengeksploitasian seksual. Alasan mereka menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab memperkerjakan dan melayani para pria hidung belang adalah demi mendapatkan keuntungan sebagai mata pencahariannya. Mereka sering dijadikan objek kepuasan dan kebiadaban individu yang dapat merenggut hak asasi anak sebagai pekerja seks komersial. Misalnya eksploitasi anak di bawah umur 18 tahun sebagai pekerja seks. Berbagai informasi yang valid dan akurat menyangkut eksploitasi anak untuk tujuan seksual komersiil mengenai penggunaaan anak untuk produksi bahan pornografi, dan para korban dari eksploitasi seksual komersiil itu pada umumnya 3 Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, 2001,Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika aditama.hlm.7-8. 3 rata-rata pada umumnya berusia 16 tahun dimana bukan hanya anak perempuan saja tetapi juga nak laki-laki yang menjadi korban eksploitasi seksual tersebut. Tindak pidana pengeksploitasian semakin terjadi di kehidupan masyarakat. Pengeksploitasianseksual terhadap anak adalah salah satu bentuknya. Anak menjadi korban orang-orang yang tidak bertanggung jawab memperkerjakan dan melayani para pria hidung belang adalah demi mendapatkan keuntungan sebagai mata pencahariannya. Eksploitasi Seksual Komersial Anak dimana didalamnya ada tiga bentuk yaitu pornografi, prostitusi/pelacuran, dan perdagangan anak untuk tujuan seksual. Perlindungan hukum terhadap anak dalam hukum pidana diatur dalam undang-undang khusus yaitu Undang-undang perlindungan anak dan Undangundang yang mengatur tentang anak. Dalam Undang-undang Perlindungan Anak Pasal 13 ayat (1) No. 23 Tahun 2002 disebutkan bahwa Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yangbertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan; dan f. perlakuan salah lainnya. Anak menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No 23 Tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dan yang dimaksud dengan Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, 4 tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sesuai dengan pengertian anak pada Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Unsur unsur tindak pidana pengeksploitasian seksual terhadap anak sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 adalah : a. Setiap orang; b. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak; c. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Dengan meluas dan berlangsungnya wisata sex atas anak akan secara langsung menyebabkan terjadinya perdagangan anak. Di Indonesia sekalipun banyak gadis yang memalsukan umurnya, diperkirakan 30 persen pekerja seks komersil wanita berumur kurang dari 18 tahun. Bahkan ada beberapa yang masih berumur 10 tahun. Diperkirakan pula ada 40.000-70.000 anak menjadi korban eksploitasi seks dan sekitar 100.000 anak diperdagangkan tiap tahun. Semenjak krisis ekonomi, fenomena yang muncul adalah meningkatnya prostitusi. Pekerja prostitusi tidak hanya wanita dewasa, tetapi juga anak-anak dibawah usia 18 tahun.4 Hitungan itu bertambah besar jika ditambahkan pada anak-anak perempuan yang melakukan kegiatannya di mal, diskotek, rumah bordil dan lokalisasi liar. Sedangkan mengenai perkiraan jumlah pelacuran anak di Indonesia ada sekitar 40 s/d 150 ribu anak perempuan. Faktor penyebab pelacuran anak sangat kompleks 4 http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/04/dar29.htm.Suara Merdeka, diunduh tanggal 4 Juli 2002 5 tetapi dapat digolongkan menjadi empat yaitu terjerat sindikat germo, karena tidak perawan lagi, ingin mendapatkan uang yang lebih besar dan kecanduan pil. Untuk faktor pendorong meliputi, kondisi ekonomi khususnya pedesaan yang terjadi penggerusan di sektor pertanian, urbanisasi dan tumbuhnya industri di perkotaan, disintegrasi keluarga, pertumbuhan jumlah anak gelandangan, tidak ada kesempatan pendidikan dan meninggalnya pencari nafkah keluarga sehingga anak terpaksa masuk keperdagangan seks. Sedangkan faktor penarik, meliputi jaringan kriminal yang mengorganisasi industri seks dan merekrut anak-anak, pihak berwenang yang korup sehingga terlibat perdagangan seks anak, permintaan dari wisatawan seks dan fedofil, ketakutan terhadap AIDS sehingga membuat pelanggan menginginkan pelacur yang lebih muda dan permintaan pekerja migran5. Putusan di Pengadilan Purwokerto terdapat suatu kasus yaitu mengenai Eksploitasi seksual anak, dimana terdakwa tetap memperkerjakan anak dibawah umur dan anak yang dieksploitasi masih berumur kurang lebih 16 tahun tetapi bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial ( PSK ) yaitu menerima tamu untuk melayani hubungan seks setiap 1,5 jam atau shoot time dan mendapat jasa berupa uang sebesar Rp. 100.000,- ( seratus ribu rupiah ), dari hasil pendapatan yang diterima PSK tersebut dibagi dua dengan terdakwa , dan sejak bulan Desember 2010 memperkerjakan anak tersebut sebagai Pekerja Seks Komersial ( PSK ) yang setiap harinya melayani 3 orang tamu dan maksimal 8 orang tamu dimana tamu ada yang datang sendiri kerumah kontrakan terdakwa, ada yang melalui penghubung dan ada juga yang membawa pergi ke hotel. 5 http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/04/dar29.htm,diunduh tanggal 4 Juli 2002 6 Meskipun terdakwa pada awalnya terdakwa ragu-ragu akan umur korban tetapi terdakwa tetap memperkerjakan korban sebagai PSK dengan tugas melayani tamu untuk melakukan hubungan seks atau menemani karaoke dengan imbalan Rp. 100.000,- untuk setiap melakukan tugas secara shoot time (sekitar 1,5 jam) dan pendapatan tersebut dibagi dua dengan terdakwa dan hal tersebut telah dilakukan dari bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Januari 2011. Berdasarkan uraian tersebut mendorong penulis untuk melakukan penelitian yang berjudul : TINDAK PIDANA EKSPLOITASI SEKSUAL ANAK ( Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 42 /PID.Sus/ 2011/PN.PWT ) B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis mengambil pokok permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana penerapan unsur-unsur Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Anak dalam Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.sus/2011/PN.PWT ? 2. Apa dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.sus/2011/PN.PWT ? 7 C. TUJUAN PENELITIAN 1. Untuk mengetahui penerapan unsur-unsur tindak pidana eksploitasi seksual anak terhadap Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT 2. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap Putusan Perkara Nomor : 42/Pid.sus/2011/PN.PWT D. KEGUNAAN PENELITIAN 1. Kegunaan teoritis Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah wacana dan pengetahuan hukum dalam bidang hukum pidana terutama dalam penerapan unsur-unsur tindak pidana eksploitasi seksual anak dan dasar pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap putusan perkara Nomor 42/Pid.Sus/2011.PN.PWT 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitiaan ini dapat digunakan sebagai wacana bagi pembaca untuk menulis judul skripsi ataupun memberikan pengetahuan baru tentang hukum pidana dan juga berguna bagi masyarakat pada umumnya. 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Asas-asas Hukum Pidana 1. Pengertian Hukum Pidana Hukum Pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang melakukannya. Sedangkan sebagaimana dikutip dari bukunya Titik Triwulan Tutik, pada prinsipnya Hukum Pidana adalah yang mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu penderitaan. Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama dan kesusilaan. Adapun Asas-Asas Hukum Pidana yaitu : 1) Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP).Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang- 9 Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP) 2) Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut . 3) Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing. 4) Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada. 5) Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara Indonesia Van Bemmelen secara eksplisit mengartikan hukum pidana dalam dua hal, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Menurutnya hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-turut, peraturan umum yang dapat diterapkan perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu, sedangkan hukum pidana formal adalah mengatur cara bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.6 6 Mr.J.M van Bemmelen, 1987,Hukum Pidana I, Bina Cipta, Bandung,hlm 2-3 10 Wirjono Prodjodikoro memberikan pengertian hukum pidana ke dalam hukum pidana materiil dan hukum pidana formal. Menurutnya isi hukum pidana materiil adalah penunjukan dan penggambaran dari perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukum pidana; penunjukan syarat umum yang harus dipenuhi agar perbuatan itu merupakan perbuatan itu merupakan perbuatan yang pembuatnya dapat dihukum pidana; penunjukan orang atau badan hukum yang pada umumnya dapat dihukum pidana; dan penunjukan jenis hukuman pidana yang dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal (hukum acara pidana) berhubungan erat dengan diadakannya hukum pidana materiil, oleh karena merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.7 Moeljatno mengartikan hukum pidana sebagai bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan untuk :8 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi pidana tertentu bagi siapa saja yang melanggarnya. 2) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melakukan larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 7 Wirjono Prodjodikoro,1962,Hukum Acara Pidana di Indonesia,Sumur,Bandung,hlm.13 Moeljatno,2008, Asas-asas Hukum pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Renika Cipta, Jakarta,hlm 1 8 11 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila orang yang diduga telah melanggar ketentuan tersebut. Sudarto, ahli hukum pidana lain, mendefinisikan hukum pidana sebagai hukum yang memuat aturan-aturan hukum yang mengikatkan kepada perbuatanperbuatan yang memenuhi syarat tertentu suatu akibat pidana. Sejalan dengan hal ini, maka Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memuat dua hal pokok, yaitu : 1) Memuat pelukisan-pelukisan dari perbuatan-perbuatan yang diancam pidana, yang memungkinkan pengadilan menjatuhkan pidana. Jadi disini seolah-olah negara menyatakan kepada umum dan juga kepada para penegak hukum, perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan siapa yang dapat dipidana. 2) KUHP menetapkan dan mengumumkan reaksi apa yang akan diterima oleh orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang itu. Dalam hukum pidana modern reaksi ini tidak hanya berupa pidana akan tetapi juga apa yang disebut dengan tindakan, yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari perbuatanperbuatan yang merugikannya.9 Pengertian yang dikemukakan oleh Sudarto lebih sempit dari pengertian yang diuraikan oleh Moeljatno, van Bemmelen, dan Wirjono Prodjodikoro. Karena Sudarto hanya mengartikan hukum pidana sebagai hukum pidana materiil, yakni berkaitan dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. 9 Sudarto,1977, Hukum dan Hukum Pidana,Alumni, Bandung,hlm 100-101 12 2. Asas-asas Hukum Pidana Berlakunya perundang-undangan hukum pidana menurut tempat sangat penting eksistensinya untuk menjawab pertanyaan, sampai di mana berlakunya undang-undang hukum pidana dari suatu negara dan kapan negara berhak melakukan penuntutan terhadap suatu perbuatan seseorang yang dikategorikan sebagai tindak pidana? Oleh karena itu, berlakunya hukum pidana yang dibatasi oleh tempat menjadi urgen diatur untuk menghindari pertentangan yuridiksi dengan negara lain dan menghindari lepasnya suatu tindakan pidana dari tuntutan hukum. Karena penerapan hukum pidana atau suatu perundang-undangan pidana berkaitan dengan waktu dan tempat perbuatan dilakukan,10 maka dalam hukum pidana kemudian dikenal asas-asas tentang batas berlakunya hukum pidana menurut waktu dan tempat. Berkaitan dengan berlakunya hukum pidana menurut waktu, asas yang berlaku di dalamnya adalah asas yang terkenal dengan sebutan asas legalitas (principle of legality) Berlakunya perundang-undangan pidana menurut tempat secara teoritis berkaitan erat dengan asas-asas yang secara eksplisit tercantum dalam KUHP, yaitu asas teritorial, asas nasionalitas aktif, asas nasionalitas pasif, asas universal. Asasasas tersebut diatur dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 KUHP. Di bawah ini akan dijelaskan masing-masing asas tersebut. a) Asas Teritorial Asas teritorial diatur dalam Pasal 2 KUHP yang menyatakan bahwa aturan pidana dalam perundangan-undangan Indonesia berlaku bagi setiap 10 Andi Hamzah,1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm.27. 13 orang yang melakukan perbuatan pidana di Indonesia. Titik berat asas ini adalah pada tempat atau teritorial terjadinya tindak pidana. Jadi asas ini menitikberatkan pada terjadinya perbuatan di dalam wilayah suatu negara, dengan mengesampingkan siapa saja yang melakukannya. Dengan rumusan setiap orang mengandung pengertian siapa saja, baik warga negara Indonesia sendiri maupun warga negara asing. Dengan demikian, berdasarkan asas teritorial ini maka setiap orang, baik orang Indonesia maupun orang asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah atau teritorial Indonesia, harus tunduk pada aturan pidana Indonesia.11 Adapun yang dimaksud wilayah atau teritorial Indonesia adalah mencakup; (1) seluruh kepulauan maupun daratan bekas Hindia Belanda; (2) seluruh perairan teritorial Indonesia serta perairan menurut Zona Ekonomi Eksklusif hasil Konvensi Laut Internasional, yaitu wilayah perairan Indonesia ditambah 200 meter menjorok ke depan dari batas wilayah perairan semula; (3) seluruh berlayar di luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 3 KUHP.12 b) Asas Nasionalitas Aktif Asas nasionalitas aktif yang dikenal juga dengan asas personalitasmengandung suatu pengertian bahwa peraturan perundang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana diluar wilayah Indonesia. Asas ini tercantum dalam Pasal 5 KUHP yang menyatakan: 11 Tongat, 2008, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan,UMM Perss,Malang,hlm.78 12 M. Abdul Kholiq,2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,hlm.78 14 1) “Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi warga negara yang di luar Indonesia melakukan Ke-1.Salah satu kejahatan tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450, dan 451; Ke-2.Salah satu perbuatan yang oleh suatu aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan sedangkan menurut perundang-undangan negara dimana perbuatan dilakukan, diancam dengan pidana. 2) Penuntutan perkara sebagai dimaksud dalam ke-2 dapat dilakukan juga jika terdakwa menjadi warga negara sesudah melakukan perbuatan.: Titik tolak diadakannya asas nasionalitas aktif adalah kewarganegaraan pembuat delik. Asas yang tercantum dalam Pasal 5 KUHP di atas mengandung sistem (pandangan), bahwa hukum pidana Indonesia mengikuti warga negaranya ke luar Indonesia.13 Asas tersebutdiadakan dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa undang-undang dari negara berdaulat senantiasa mengikuti warga negaranya. Adanya konsep kedaulatan negara yang mengajarkan bahwa setiap negara berdaulat juga dapat mengharapkan kepada setiap warga negaranya untuk tunduk patuh pada undang-undang negaranya di manapun ia berada.14 Moeljatno mengatakan bahwa ketentuan Pasal 5 KUHP mengandung dua makna. Pertama,pemberlakuan aturan hukum pidana Indonesia terhadap 13 A. Zainal Abidin Farid,2007 , Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,hlm. 155 14 M. Abdul Kholiq, op.cit.,hlm. 85 15 warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia hanyalah berkaitan dengan pasal-pasal tertentu saja, yang subsransinya melindungi kepentingan nasional. Kedua, diadakannya Pasal 5 Ke-2 KUHP bertujuan untuk mencegah agar warga negara Indonesia di luar Indonesia tidak melakukan tindak pidana. Jika ketentuan tersebut tidak ada, maka warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana di luar Indonesia bisa menghindar dari penuntutan pidana di negara tersebut.15 c) Asas Nasionalitas Pasif Asas nasionalitas pasif mengandung prinsip, bahwa peraturan hukum pidana Indonesia berlaku terhadap tindak pidana yang menyerang kepentingan hukum negara Indonesia, baik dilakukan oleh warga negara Indonesia atau yang tidak dilakukan di luar Indonesia. Asas ini tercantum di dalam Pasal 4 KUHP yang berbunyi : Aturan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar Indonesia melakukan: Ke-1.salah satu kejahatan tersebut Pasal-Pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127, dan 131. Ke-2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia. Ke-3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat utang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda 15 Moeljatno,Asas....op.cit., hlm. 50-51 16 bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut;atau menggunakan surat-surat tersebut diatas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah tulen dan tidak palsu; Ke-4. salah satu kejahatan tersebut Pasal-Pasal 438, 444-446 mengenai pembajakan laut dan tersebut Pasal 447 mengenai penyerahan kapal dalam kekuasaan bajak laut.16 Asas nasionalitas pasif disebut juga dngan asas perlindungan murni yang bertujuan untuk melindungi kepentingan umum yang besar, dan tidak ditujukan pada kepentingan individual.17 Asas ini diadakan dengan bertitik tolak pada kepentingan hukum negara Indonesia, oleh negara locus delicti (negara tempat di mana tindak pidana terjadi) seringkali tidak dianggap sebagai perbuatan yang harus dilarang dan diancam dengan pidana, sehingga orang yang melakukan perbuatan yang sungguh-sungguh melanggar kepentingan hukum nasional Indonesia akan luput dari penuntutan. Justru agar setiap perbuatan orang yang merugikan kepentingan hukum Indonesia tetap dapat diadili berdasarkan pidana Indonesia, sekalipun perbuatan pidana itu dilakukan di luar Indonesia, maka diadakanlah asas ini.18 16 Pasal 4 angka 4 telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976, sehingga berbunyi sebagai berikut: Ke-4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam Pasal-Pasal 438, 444-446, tentang pembajakan laut dan Pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan Pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, Pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil. 17 A. Zainal Abidin Farid, Hukum....op.cit.,hlm. 157 18 Tongat, Dasar....op.cit.,hlm.81 17 d) Asas Universal Persoalan pokok yang dikaji dalam asas universal adalah jenis perbuatan (pidana) yang sedemikian rupa sifatnya sehingga setiap negara berkewajiban untuk menerapkan hukum pidana, tanpa memandang siapa yang berbuat delik, di mana dan terhadap kepentingan siapa pelaku delik melakukannya. Asas tersebut merupakan pengecualian terhadap hukum pidana yang egosentris. Asas universal diatur di dalam Pasal 4 sub 2 dan Pasal 4 sub 4 KUHP yang berbunyi : Ke-2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia. Ke-4. salah satu kejahatan tersebut Pasal-Pasal 438, 444-446 mengenai pembajakan laut dan tersebut Pasal 447 mengenai penyerahan kapal dalam kekuasaan bajak laut. Berdasarkan ketentuan Pasal di atas dimensi internasional dalam asas universal akan tampak dalam dua hal. Pertama, dalam ketentuan Pasal 4 sub 2 KUHP kejahatan mengenai mata uang yang dikeluarkan oleh negara atau bank tertentu, dalam arti tidak merujuk pada suatu negara, Indonesia misalnya. Dengan demikian, setiap orang yang melakukan kejahatan mata uang di luar teritorial Indonesia dapat diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia apabila tertangkap oleh aparat penegak hukum Indonesia. Kedua, kejahatan-kejahatan yang diatur dalam ketentuan Pasal 4 sub 4 pada hakikatnya merupakan kejahatan yang telah dikualifikasikan sebagai kejahatan Internasional, di mana setiap negara, termasuk Indonesia, memiliki kewenangan untuk mengadili. Kejahatan-kejahatan yang diatur di dalam ketentuan Pasal tersebut merupakan 18 kejahatan yang melanggar kepentingan masyarakat internasional, akan tetapi kewenangan melakukan penangkapan , penahanan, dan peradilan atas pelakunya diserahkan sepenuhnya kepada yuridiksi kriminal negara yang berkepentingan dalam batas-batas teritorial negara tersebut. Kejahatan yang diatur dalam Pasal 4 sub 4 KUHP secara umum terbagi ke dalam dua jenis kejahatan, yaitu pembajakan laut (piracy) dan pembajakan udara (aircraft hijacking), keduanya dikategorikan sebagai kejahatan internasional. Dengan demikian, apabila ada seseorang baikm itu warga negara Indonesia maupun warga negara asing melakukan pembajakan laut, maka terhadap orang itu dapat diadili berdasarkan aturan pidana Indonesia.19 e) Asas Legalitas Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundamental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi.20 Singkatnya, asas legalitas berkaitan dengan waktu berlakunya hukum pidana. Dalam hukum pidana asas legalitas mengandung pengertian bahwa, “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan 19 Tongat,op.cit, hlm 88-89 20 A. Fuad Usfa dan Tongat, 2004, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan Kedua, UMM Press, Malang,hlm.9. 19 dilakukan”.Ketentuan ini, sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, adalah pengertian baku dari asas legalitas. Asas ini dalam bahasa latin dikenal dengan nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tiada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu). Moeljatno, mengatakan bahwa asas legalitas mengandung tiga makna. Pertama, tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang. Kedua, untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi. Ketiga, aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. 21 Makna asas legalitas menurut Wirjono Prodjodikoroadalah, bahwa sanksi pidana hanya dapat ditentukan dengan undang-undang dan ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.22 Mirip dengan pendapat Wirjono adalah pendapat Sudarto. Dia mengemukakan adanya dua hal yang terkandung dalam asas legalitas. Pertama, suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan. Kedua, peraturan perundang-undangan ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana. Sudarto kemudian menambahkan bahwa dari makna yang pertama terdapat dua konsekuensi, yaitu perbuatan seseorang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana tidak dapat dipidana dan adanya larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Sedangkan 21 Moeljatno, 2008 , Asas-asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Rineka Cipta, Jakarta,hlm. 27-28 22 Wirjono Prodjodikoro,2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm.42. 20 konsekuensi dari makna yang kedua adalah tidak boleh berlaku surutnya hukum pidana.23 Makna asas legalitas juga dikemukakan oleh Komariah EmongSapardjaja yang mengutip pendapat Groenhuijsen, yaitu terdapat empat makna yang terkandung dalam asas ini. Dua dari pertama ditujukan kepada pembuat undang-undang dan dua yang lainnya merupakan pedoman hakim. Pertama, pembuat undang-undang tidak boleh memberlakukan suatu ketentuan pidana berlaku mundur. Kedua, semua perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan delik yang sejelas-jelasnya. Ketiga, hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana didasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Keempat, terhadap peraturan hukum pidana dilarang menerapkan analogi.24 Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa di dalam asas legalitas terkandung tiga makna. Pertama, ketentuan pidana yang berisi perbuatan pidana yang disertai dengan ancaman pidana harus tertulis dalam perundang-undangan. Kedua, seseorang tidak dapat dipidana sebelum ada ketentuan pidana terlebih dahulu. Ketiga, pembentuk undang-undang tidak boleh memberlakukan surut suatu ketentuan pidana. 23 Sudarto, 1990 , Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hlm.22-24. 24 Komariah Emong Supardjaja, 2002 , Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Alumni, Bandung, hlm.5-6 21 B. Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Tindak pidana merupakan suatu pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana adalah suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah “perbuatan jahat: atau “kejahatan” yang bisa diartikan secara yuridis (hukum) atau secara kriminologis. Pembentuk Undang-Undang telah menggunakan istilah “strafbaar feit” untuk menyebut apa yang disebut sebagai “tindak pidana” di dalam KUHAP tanpa memberikan suatu penjelasan tentang apa yang disebut sebagai “strafbaar feit” tersebut. Oleh karena itu timbulah beberapa doktrin mengenai pendapat tentang strafbaar feit tersebut. Mengenai pengertian tindak pidana tidak ada kesatuan pendapat para sarjana, berikut ini adalah pendapat para sarjana mengenai penjelasan dari istilah “strafbaar feit” tersebut.25 Tindak pidana menurut Simons,26 unsur-unsur tindak pidana adalah: 1. 2. 3. 4. 5. Adanya perbuatan manusia; Diancam dengan pidana; Melawan hukum; Dilakukan dengan kesalahan, Oleh orang yang mampu bertanggung jawab Sedangkan menurut E. Merger,27 tindak pidana adalah keseluruhan syarat untuk adanya pidana, maka dengan demikian unsur-unsur tindak pidana adalah: 1. Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan); 2. Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif maupun subjektif); 3. Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang; 4. Diancam dengan pidana. 25 P.A.F Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 9-10. 26 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto: Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, hal.5. 27 Ibid, hal. 41. 22 Simons dan Merger menyebutkan adanya dua unsur dalam tindak pidana tersebut, yaitu unsur objektif dan subjektif. Unsur objektif adalah perbuatan orang dan akibat yang ditimbulkan dari perbuatan orang tersebut, sedangkan unsur subjektif adalah kemampuan bertanggung jawab dari orang tersebut. Dan adanya unsur kesalahan (dolus dan culpa) dari perbuatan orang tersebut.28 Menurut Van Hamel29 tindak pidana sebagai perbuatan manusia yang diuraikan oleh Undang-Undang, melawan hukum, bernilai pidana, dan dapat dicela karena kesalahan. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana Indonesia” menyebutkan: “Hukum merupakan rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, sedangkan satu-satunya tujuan dari hukum ialah mengadakan keselamatan, kebahagiaan dan tata tertib dalam masyarakat”.30 Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa, sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan itu adalah melakukan perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak memperhatikan atau tidak memerlukan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian untuk selesainya pencurian digantungkan pada selesainya perbuatan mengambil. Sebaliknya dalam rumusan tindak pidana materiil, inti larangan adalah pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Tentang 28 Ibid, hal..41-42. Zainal Abidin Farid, 2007, Hukum Pidana I, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 224. 30 Wirjono Prodjodikoro,2002,Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, halaman 14 29 23 bagaimana wujud perbuatan yang menimbulkan akibat terlarang itu tidak penting. Misalnya pada pembunuhan inti larangan adalah pada menimbulkan kematian orang, dan bukan pada wujud menembak, membacok, atau memukul untuk selesainya tindak pidana digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada selesainya wujud perbuatan. Begitu juga untuk selesainya tindak pidana materiil tidak bergantung pada sejauh mana wujud perbuatan yang dilakukan, tetapi sepenuhnya digantungkan pada syarat timbulnya akibat terlarang tersebut. misalnya wujud membacok telah selesai dilakukan dalam hal pembunuhan, tetapi pembunuhan itu belum terjadi jika dari perbuatan itu belum atau tidak menimbulkan akibat hilangnya nyawa korban, yang terjadi hanyalah percobaan pembunuhan. 2. Istilah Tindak Pidana Pembentuk undang-undang kita telah menggunakan istilah “tindak pidana” sebagai pengganti dari perkataan “strafbaar feit” tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan perkataan “strafbaar feit” tersebut. Istilah tindak pidana sebagai terjemahan dari “strafbaar feit” merupakan perbuatan yang dilarang oleh undang-undang yang diancam dengan pidana. Menurut Mezger yang dikutip oleh Sudarto mengatakan hukum pidana dapat di definisikan sebagai aturan hukum,yang mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.31 Dengan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu dimaksudkan perbuatan yang dilakukan oleh orang, yang memungkinkan adanya pemberian 31 Sudarto,1990,Pokok-Pokok Hukum Khusus,Bogor:Politea.Hlm.5. Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik 24 pidana. Perbuatan semacam itu dapat disebut perbuatan yang dapat dipidana atau disingkat perbuatan jahat (Verbrechen atau Crime). Oleh karana dalam perbuatan jahat ini harus ada orang yang melakukannya, maka persoalan tentang perbuatan tertentu itu diperinci menjadi dua, ialah perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu. Istilah tindak pidana dalam bahasa Belanda, dipakai dua istilah, yaitu kadangkadang dipakai istilah “strafbaar feit” kadang-kadang dipakai istilah “delict”. Dalam bahasa Indonesia ada beberapa terjemahan seperti “peristiwa pidana” dan ada juga terjemahan seperti “perbuatan yang dapat dihukum”. Mengenai istilah istilah tindak pidana para ahli hukum memberikan pengertian yang berbeda-beda, diantaranya : a. Utrecht Memakai istilah “Peristiwa Pidana” dengan alsan istilah “peristiwa” meliputi sesuatu perbuatan (handelen) atau doen positif atau suatu kelalaian (niet doen negatif) maupun akibatnya.32 b. Vos Pengertian tindak pidana manusia yang oleh peraturan perundangundangan diberi hukuman. Menurut Vos sama dengan peristiwa pidana, yaitu adalah suatu kelakuan. Dalam definisi Vos dapat dilihat anasir-anasir sebagai berikut: 1) Suatu kelakuan manusia. 2) Akibat anasir ini ialah hal peristiwa dan pembuat tidak dapat dipaskan yang satu dari yang lain. 32 Utrecht, 1986, Hukum pidana 1, Surabaya, Pustaka Tinta Mas.Hlm.252. 25 3) Suatu kelakuan manusia yang oleh peraturan perundangundangan (Pasal 1 ayat 1 KUHP) dilarang umum dan diancam dengan hukuman. Kelakuan yang bersangkutan harus dilarang dan diancam dengan hukuman, jadi tidak semua kelakuan manusia yang melanggar ketertiban hukum adalah suatu peristiwa pidana.33 c. Moeljatno Menggunakan istilah “Perbuatan Pidana” dengan pertimbangan bahwa perbuatan itulah keadaan yang dimuat oleh seseorang atau barang sesuatu yang dilakukan dan perbuatan itu menunjuk baik kepada akibatnya maupun yang menimbulkan akibat.34 Moeljatno bahwa “dihukum berarti “diterapi hukum” baik hukum pidana maupun hukum perdata. Hukuman adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang maknanya lebih luas dari pada pidana, sebab mencakup juga keputusan hakim dalam lapangan hukum perdata.35 d. Sudarto Menggunakan istilah “Tindak Pidana” dengan pertimbangan bahwa istilah ini sudah dapat diterima oleh masyarakat.36 e. Prodjodikoro Mempergunakan istilah tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit. 33 Ibid.Hlm.252. Moeljatno,1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Yogyakarta: Bina Aksara.Hlm.37 35 Muladi dan Barda Nawawi Arief,1992. Teori-teori Dan Kebijakan Pidana,Bandung:Alumni.Hlm.1 36 Sudarto,1990.Hukum Pidana I. Bahan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah.Hlm.35 34 26 Istilah tindak pidana yang berbeda dapat dijumpai dalam UndangUndang di Indonesia antara lain : 1. “Peristiwa Pidana” dipakai dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 2. “Perbuatan Pidana” dipakai dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1951. 3. “Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum” dipakai Undang-Undang Darurat No. 2 Tahun 1951. 4. “Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat dikenakan hukuman” dipakai Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1951. 5. Undang-Undang Darurat No 7 Tahun 1953 tentang pemilihan umum pada pasal 129 memakai “tindak pidana”. 6. “Tindak Pidana” Undang-Undang Darurat No.7 tahun 1955 tentang penyusutan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi. 3. Syarat-syarat Dapat Dipidana Untuk dapat menghukum seseorang sekaligus memenuhi tuntutan keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya. Tambahan pada syaratsyarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaar) atau schuldfahig. Dengan cara di atas kita dapat merangkum pengertian tindak pidana dan pengertian ini dalam dirinya sendiri sudah memadai. Meskipun demikian, dengan tujuan merumuskan tindak pidana sebagaimana dimengerti dalam sistem hukum pidana 27 4. Teori dan Tujuan Pemidanaan Teori pemidanaan yang dijelaskan disini adalah teori pemidaan yang lazim dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental, yaitu teori absolut, teori relatif, dan teori gabungan. Pembagian teori pemidanaan yang demikian berebeda dengan teori pemidanaan yang dikenal di dalam sistem hukum Anglo Saxon, yaitu teori retribusi, teori inkapasitasi, teori penangkalan, dan teori rehabilitasi.37 a). Teori Absolut Teori ini bertujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Menurut Andi Hamzah, teori ini bersifat primitif, tetapi kadang-kadang masih terasa pengaruhnya pada zaman modern.38 Pendekatan teori absolut meletakkan gagasannya tentang hak untuk menjatuhkan pidana yang keras, dengan alasan karena seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya, sudah seharusnya dia menerima hukuman yang dijatuhkan kepadanya.39 Dari sini sudah terlihat bahwa dasar utama pendekatan absolut adalah balas dendam terhadap pelaku, atau dengan kata lain, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.40 37 Mengenai teori pemidanaan di dalam sistem hukum Anglo Saxon, baca selengkapnya Salman Luthan,2007, Kebijakan Penal Mengenai Kriminalisasi di Bidang Keuangan, Diserrtasi, Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 38 Andi Hamzah,1994, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Rineka Cipta, Jakarta, hlm 29 39 Herbert L. Packer,1968, The Limit of Criminal Sanction, Stanford University Press, California,hlm. 37 40 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992,Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 11 28 Menurut Johannes Andenaes tujuan (primair) dari pidana menurut teori absolut adalah “untuk memuaskan tuntutan keadilan” (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.41 Tuntutan keadilan yang sifatnya absolut ini terlihat dengan jelas dalam pendapat Immanuel Kant di dalam bukunya “Philosophy of Law” sebagai berikut :42 “....Pidana tidak pernah melaksanakan semata-mata sebagai sarana untuk mempromosikan tujuan/kebaikan lain, baik bagi pelaku sendiri maupun bagi masyarakat, tetapi dalam semua hal harus dikenakan hanya karena orang yang bersangkutan telah melakukan suatu kejahatan. Bahkan walaupun seluruh anggota masyarakat sepakat untuk menghancurkan dirinya sendiri pembunuh terakhir yang masih berada dalam penjara harus dipidana mati sebagai resolusi/keputusan pembubaran masyarakat itu dilaksanakan. Hal ini harus dilakukan karena setiap orang seharusnya menerima ganjaran dari perbuatannya, dan perasaan balas dendam tidak boleh tetap ada pada anggota masyarakat, karena apabila tidak demikian mereka semua dapat dipandang sebagai orang yang ikut ambil bagian dalam pembunuhan itu yang merupakan pelanggaran terhadap keadilan umum”. Neger Walker memberikan tiga pengertian mengenai pembalasan (retribution), yaitu:43 a. Retaliatory retribution, yaitu dengan sengaja membebankan suatu penderitaan yang pantas diderita seorang penjahat dan yang mampu menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya; 41 Muhammad Taufik Makarao,2005, Pembaharuan Hukum Pidana: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, Kreasi Wacana, Yogyakarta,hlm.39 42 Ibid, hlm. 39-40 43 J.E Sahetapy,1982, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati terhadap Pembunuhan Berencana, Rajawali Press, Jakarta,hlm.199 29 b. Distributive retribution, yaitu pembatasan terhadap bentukbentuk pidana yang dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan; c. Quantitative retribution, yaitu pembatasan terhadap bentukbentuk pidana yang mempunyai tujuan lain dari pembalasan sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak melampaui suatu tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang dilakukan. Sementara itu, Karl O. Christiansen mengidentifikasikan lina ciri pokok dari teori absolut, yakni:44 a. Tujuan pidana hanyalah sebagai pembalasan; b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana untuk tujuan lain seperti kesejahteraan masyarakat; c. Kesalahan moral sebagai satu-satunya syarat pemidanaan; d. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelaku; e. Pidana melihat ke belakang, ia sebagai pencelaan yang murni dan bertujuan tidak untuk memperbaiki, mendidik dan meresosialisasikan si pelaku. b). Teori Relatif Secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana (special prevention)dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya (general prevention)dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya. Semua orientasi pemidanaan tersebut 44 M. Sholehuddin,2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track system dan Implementasinya, Grafindo Persada, Jakarta, hlm.35. 30 adalah dalam rangka menciptakan dan mempertahankan tata tertib hukum dalam kehidupan masyarakat.45 Teori ini memang sangat menekankan pada kemampuan pemidanaan sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan (prevention of crime) khususnya bagi terpidana. Oleh karena itu, implikasinya dalam praktik pelaksanaan pidana sering kali bersifat out of control sehingga sering terjadi kasus-kasus penyiksaan terpidana secara berlebihan oleh aparat dalam rangka menjadikan terpidana jera untuk selanjutnya tidak melakukan kejahatan lagi.46 Secara umum ciri-ciri pokok atau karakteristik teori relatif sebagai berikut:47 a. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention); b. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat; c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; d. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; e. Pidana melihat ke depan (bersifat prospektif); pidana dapat mengandung unsur pencelaan, tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 45 E. Utrecht,1986, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hlm. 185 46 M. Abdul Kholiq, AF, Reformasi Sistem Pemasyarakatan dalam Rangka Optimalisasi Pencapaian Tujuan Pemidanaan, Jurnal Hukum, Vol.6 No. 11, tahun 1999, hlm.60. 47 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1992, hlm.17. 31 c). Teori Gabungan Secara teoritis, teori gabungan berusaha untuk menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif. Di samping mengakui bahwa penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat. Munculnya teori gabungan pada dasarnya merupakan respon terhadap kritik yang dilancarkan baik terhadap teori absolut maupun teori relatif. Penjatuhan suatu pidana kepada seseorang tidak hanya berorientasi pada upaya untuk membalas tindakan orang itu, tetapi juga agar ada upaya untuk mendidik atau memperbaiki orang itu sehingga tidak melakukan kejahatan lagi yang merugikan dan meresahkan masyarakat. Selain teori pemidanaan, hal yang tidak kalah penting adalah tujuan pemidanaan. Di Indonesia sendiri hukum pidana positif belum pernah merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun sebagai bahan kajian, konsep KUHP telah menetapkan tujuan pemidanaan pada Pasal 54, yaitu:48 1. Pemidanaan bertujuan a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; 48 Konsep KUHP Edisi 2005. Adapun kajian yang secara kritis menganalisis tentang tujuan pemidanaan dalm Rancangan KUHP Nasional di atas , lihat Mudzakkir, “Kajian terhadap Ketentuan Pemidanaan dalam Draft RUU KUHP”. Makalah disampaikan pada Sosialisasi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 29 Juli 2004, hlm.6-11. 32 b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pemidanaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat ; dan d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Berdasarkan tujuan pemidanaan di atas perumus Konsep KUHP tidak sekadar mendalami bahan pustaka Barat dan melakukan transfer konsep-konsep pemidanaan dari negeri seberang (Barat), tetapi memperhatikan pula kekayaan domestik yang dikandung dalam hukum adat dari berbagai daerah dengan agama yang beraneka ragam. Hal ini menurut Harkristuti Harkrisnowo tergambar misalnya dari tujuan pemidanaan butir c, yakni “menyelesaikan konflik dan memulihkan keseimbangan”, yang hampir tidak ditemukan dalam westren literature.49 3. Eksploitasi Seksual Anak a. Pengertian Anak Pengertian anak menurut peraturan perundang-undangan dapat dilihat sebagai berikut : Anak Menurut UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 49 Harkristuti Harkrisnowo,8 Maret 2008, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suattu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia, disampaikan pada Upacara Pengukuhan Guru Besar tetap dalam Ilmu Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.17. 33 Pengertian anak berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada prakteknya terdapat kesulitan untuk menentukan usia anak karena tidak semua orang mempunyai akta kelahiran atau surat lahir. Akibatnya adakalanya untuk menentukan usia ini dipergunakan raport, surat baptis ataupun surat keterangan dari kepala desa atau lurah saja. Karenanya kadang kala terdapat kejanggalan, ada anak berbadan besar lengkap dengan kumis dan jenggotnya, tetapi menurut keterangan usia anak itu masih muda. Malah kadangkala ada orang yang terlibat kasus pidana dan membuat keterangan bahwa dia masih anak-anak, sementara usianya sudah dewasa dan sudah kawin. Anak tidak hanya menjadi korban tindak pidana tetapi juga dapat menjadi pelaku tindak pidana. Perilaku anak/ remaja yang cenderung kriminal umumnya disebabkan oleh renggangnya interaksi atau kurangnya perhatian orang tua. Di sisi lain anak berinteraksi sangat erat dengan teman-temannya. Interaksi intensif di lingkungan yang kurang mendukung tumbuh kembangnya pola pikir sehat menyebabkan dia cenderung bertindak menyimpang, termasuk dari norma hukum. Di Indonesia, regulasi perlindungan tentang hak anak cukup memadai, misalnya ada yang menyangkutkan dengan kesejahteraan anak, keppres tentang penetapan berlakunya konvensi hak-hak anak, undang-undang yang terkait dengan pengadilan anak dan perlindungan anak. Penanganan kasus pidana dengan pelaku anak pun dilakukan secara khusus, antara lain umur anak yang boleh disidang adalah 8-18 tahun, dan masalahnya dibatasi menyangkut anak nakal. Penanganannya pun dilakukan oleh pejabat khusus; dari tingkat penyidikan, penuntutan, hingga pengadilan. Pemeriksaan juga dilakukan dalam suasana kekeluargaan dan di ruang 34 tertutup, diperiksa oleh hakim tunggal, serta vonis yang dijatuhkan lebih ringan dan maksimal hukuman 10 tahun.50 Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun. Sebelumnya, usia anak yang dapat diberikan tanggungjawab secara pidana sesuai dengan UU No 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yakni usia 8 tahun. Mahkamah menilai perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak, terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh kembang. Bahwa penetapan usia maksimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian Negara. b. Pengertian Eksploitasi Pengertian eksploitasi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut: “Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan, pemanfatatan fisik,seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum atau transplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateriil.” Salah satu tindakan eksploitasi ialah eksploitasi seksual anak yang didefinisikan sebagai kegiatan yang melibatkan anak laki-laki maupun perempuan, demi uang, keuntungan atau pertimbangan lain atau karena paksaan atau pengaruh 50 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/20/174353/hukuman-anakbermasalah, diakses tanggal 23 April 2012. 35 orang dewasa, sendikat atau kelompok, terkait dengan hubungan seksual atau perilaku yang menimbulkan birahi.” Ada 3 kegiatan yang termasuk dalam kategori eksploitasi seksual adalah : Prostitusi anak, Perdagangan anak dan Pornografi anak.51 Sangat sedikit anak perempuan yang telah terjerumus dalam dunia pelacuran bisa keluar dengan mudah dari pekerja yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan karena stigma masyarakat asal daerah kebanyakan mempengaruhi anak perempuan melakukan seperti itu. Yang menjerumuskan mereka menjadi pekerja seks komersiil adalah orang dekat korban sendiri. Pada umumnya mereka diperanti oleh orang-orang dekat dengan korban, atau bahkan kenal baik dengan korban.bentuk-bentuk elsploitasi seksual yang dialami pelacur anak itu bisa dari berbagai pihak diantaranya pihak germo, makelar, atau pelanggan.52 c. Unsur-Unsur Pengeksploitasian Seksual Anak Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Pelindungan Anak telah menjelaskan secara tegas mengenai pengeksploitasian seksual anak. Pasal dengan pemberatan pidana dimana perbuatan pengeksploitasian seksual dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dan korban dari tindak pidana tersebut masih dibawar umur yang seharusnya dilindungi serta djauhkan dari kegiatan bertentangan dengan harkat seorang anak, meskipun ada anak secara diam-diam masuk dalam kegiatan prostitusi. Unsur-unsur Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu: 51 Nining S. Mutamar, 2007, Makalah Eksploitasi Seksual Komersiil Anak dalam Pengalaman Pen dampingan di Surakarta, http:/www.eska.or.id/, eksploitasi seksual komersiil anak.html, diakses tanggal 04 Maret 2012. 52 http:// www.wordpress.com/2011/penyidikan -tindak-pidana-eksploitasi-seksual-anakdilokalisasi-pelacuran-dollly-surabaya, diakses pada tanggal 04 Maret 2012 36 a) Setiap orang; Orang merupakan unsur subyektif yakni pelaku melakukan perbuatan tindak pidana yang mampu dipertanggungjawabkan secara hukum atas perbuatan pidana yang ia lakukan tersebut. b) Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak; Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak yaitu memperkerjakan atau memperdagangkan anak dalam bidang seksual untuk mendapatkan keuntungan. c) Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Seorang yang mengeksploitasi seksual anak mempunyai maksud dan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melakukan tindak pidana eksploitasi terhadap seksual anak yang mana seorang anak harus mendapat perlindungan dan di jauhkan dari kegiatan prostitusi yang bertentangan dengan harkatnya. 37 BAB III METODE PENELITIAN 1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legis positivis . Konsep ini memandang hukum itu identik dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh pejabat atau lembaga yang berwenang. Selain itu konsepsi tersebut melihat hukum dari suatu sistem normatif yang bersifat otonom, terlepas dari kehidupan masyarakat.53 Dalam hal ini juga dilakukan wawancara terhadap hakim dalam mengungkap pertimbangan yang digunakan oleh hakim pada proses peradilan perkara eksploitasi seksual anak 2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang didasarkan atas satu atau dua variabel yang saling berhubungan yang didasarkan pada teori atau konsep yang bersifat umum yang diaplikasikan untuk menjelaskan tentang seperangkat data, atau menunjukkan komparasi ataupun hubungan seperangkat data dengan seperangkat data lainnya54 spesifikasi penelitian secara deskriptif dimaksudkan untik memperoleh gambaran suatu realitas yang terjadi di lapangan yaitu tentang pada kesesuaian pertimbangan hukum hakim terhadaptindak pidana eksploitasi seksual anak dalam perkara nomor: 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. 53 54 Ronny Hanitijo, 1983, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.11 Bambang Sunggono,2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 38 38 3. Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di Kantor Pengadilan NegeriPurwokerto. 4. Jenis dan Sumber BahanHukum a. Data primer Data Primer adalah data hasil cara wawancara oleh Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto yang menangani obyek perkara yang diteliti. b. Data sekunder Data Sekunder adalah data hasil dari mempelajari peraturan perundang-undangan, Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt buku-buku literatur, dan dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan permasalahan untuk selanjutnya dipelajari sebagai pedoman untuk penyusunan data. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum a. Wawancara atau interview yaitu proses tanya jawab secara lisan kepada dengan Hakim di Wilayah Pengadilan Negeri Purwokerto. b. Sumber data diperoleh dengan melakukan studi pustaka terhadap peraturan perundang - undangan, buku-buku, literature, Yurisprudensi, doktrin yang berhubungan dengan penelitian. 6. Teknik Penyajian Data yang disajikan berbentuk uraian yang disusun secara sistematis, dan didalam penyusunannya dibuat secara singkat dan jelas, sehingga penyusunan data dapat dipahami dan mudah dipelajari. 7. Teknik Analisis 39 Metode analisis data dilakukan dengan menggunakan metode analisis normative kualitative yaitu data yang diperoleh akan dianalisis dengan pembahasan dan penjabaran hasil-hasil penelitian dengan mendasarkan pada norma-norma dan doktrin-doktrin yang berkaitan dengan materi yang diteliti. 40 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan terhadap Putusan Perkara Pidana Pengadilan Negeri Kelas IB Purwokerto dengan Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt, pada tanggal 27 Januari 2011 tentang tindak pidana pengeksploitasian seksual anak yang diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,dan oleh karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu data-data dari putusan tersebut, sebagai berikut : a. Identitas Terdakwa a. Nama lengkap : Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri b. Tempat Lahir : Pemalang c. Umur/tanggal lahir : 32 Tahun/ 22Februari 1979 d. Jenis kelamin : Perempuan e. Kebangsaan : Indonesia f. Tempat tinggal :Desa Semaya Rt.06/01,Kec. Randudongkal, Kab, Pemalang b. g. Agama : Islam h. Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga i. Pendidikan : SD Duduk Perkara Terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri pada hari dan tanggal yang sudah tidak diingat lagi di bulan Desember 2010 atau setidak-tidaknya di tahun 2010, bertempat di Gg. Sadar II Desa KarangTengah Rt.7 Rw.2 Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas, atau setidak-tidaknya di tempat lain yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Purwokerto yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili perkara ini, mengesploitasi seksual anak dengan maksud 41 untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yang dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pada bulan Desember 2010 saksi Dwi Meina Sari alias Nuke dikenalkan oleh Sdr. Agus kepada terdakwa Daningtias alias Mami Ning di rumah kontrakan terdakwa Gg. Sadar II Desa Karangtengah Rt.7 Rw.2 Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas, setelah kenal terdakwa memberitahu saksi Dwi Meina Sari kalau pekerjaanya sebagai PSK yaitu menerima tamu untuk melayani hubungan seks setiap 1,5 jam atau shoot time dan setiap pekerja PSK yang diperkerjakan oleh terdakwa akan mendapat jasa berupa uang sebesar Rp. 1000.000 dari hasil pendapatan yang diterima PSK tersebut dibagi dengan terdakwa masing-masing Rp. 50.000 untuk saksi Dwi Meina Sari dan sejak bulan Desember 2010 terdakwa memperkerjakan saksi Dwi Meina Sari yang masih berumur 16 tahun lahir pada tanggal 23 Mei 1994 di rumah kontrakan terdakwa Gg. Sadar II Desa Karangtengah Rt.7 Rw.2 Kecamatan Baturaden Kabupaten Banyumas sebagai PSK, setiap harinya saksi Dwi Meina Sari minimal melayani 3 orang tamu maksimal 8 orang, dimana tamu ada yang datang sendiri ke rumah kontrakan terdakwa, ada pula yang melalui penghubung dengan memberitahukan kepada terdakwa kalau ada tamu yang ingin membawa saksi Dwi Meina Sari ke hotel daerah Baturaden untuk melakukan hubungan seks atau sekedar menemani karoke untuk 1,5 jam atau shoot time membayar Rp. 1000.000 dan setelah selesai menemani tamu dan mendapatkan uang dari tamu, saksi Dwi Meina Sari memberikan Rp. 50.000 kepada terdakwa. Jika tamu melalui penghubung maka terdakwa memberikan jasa kepada penghubung sebesar Rp.10.000 setiap 1,5 jam atau shoot time dan selama terdakwa memperkerjakan saksi Dwi Meina Sari sebagai PSK, terdakwa mendapatkan untung sekitar Rp. 2.000.000. c. Dakwaan Terdakwa Daning Tias alias Mamih Ning didakwa oleh Penunutut umum dengan dakwaan yang disusun secara Alternatif yaitu: KESATU: Melanggar Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang;atau 42 KEDUA : Melanggar Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;atau KETIGA : Melanggar Pasal 296 KUHP. d. Pembuktian Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya telah mengajukan alat bukti berupa 1. Alat bukti saksi yaitu : a. Saksi Dwi Meina Sari b. Saksi Tafsir c. Saksi Sukirno Sukirwan d. Saksi Suranto Puji Asmoro Menimbang, bahwa Terdakwa melalui Penasehat Hukumnya mengajukan 2 (dua) orang saksi yang meringankan (a de charge) bagi dirinya yang telah disumpah sebagai berikut: a. Saksi Titi Widya Astuti b. Saksi Siswono 2. Alat Bukti Surat - 1 satu buah absen anak - 1 satu lembar Surat Akte Kelahiran An. Dwi Meina Sari - 1 satu lembar Kartu Keluarga No. KK : 33.0709.210108.4393, Nama Kepala Keluarga: Sukarman, Alamat: Sumberan Selatan Rt. 04/Rw. 003 Kel. Wonosobo, Kec. Wonosobo. Kab. Wonosobo. 3. Keterangan Terdakwa, dipersidangan telah didengar pula keterangan dari terdakwa yang pada pokoknya sebagai berikut : 43 Terdakwa mulai bekerja di Gang Sadar Baturaden sejak bulan Agustus 2010 dengan mengontrak rumah disana. Terdakwa membenarkan bahwa saksi Dwi Meina Sari alias Nuke adalah anak buahnya yang dibawa oleh Agus dan dikenalkan Terdakwa pada saat berada di Gang Sadar. Ketika Agus membawa saksi Dwi Meina alias Nuke, Agus mengatakan kalu ada cewek mau kerja, “mau tidak Mi” kemudian cewek tersebut (Nuke) disuruh istirahat oleh Terdakwa dan bertanya kamu umurnya berapa?dan dijawab umurnya 19 tahun, lalu Terdakwa bilang kalau kerjanya adalah sebagai PSK dan Nuke menjawab “sudah tahu”. Terdakwa juga menanyakan KTP untuk dikasihkan kepadanya tetapi Nuke mengatakan KTPnya nanti. Seminggu kemudian tetap saja saksi Nuke tidak menyerahkan KTP lalu Terdakwa menyuruh pulang untuk membuat KTP dan semnggu berikutnya saksi Nuke datang kembali ke tempat Terdakwa dan bilang kalau KTP nya baru dibuat lalu saksi Nuke bercerita kalau sudah mempunyai anak dan membutuhkan uang untuk membeli susu. Anak buah (PSK) Terdakwa yang dibawa oleh tamu harus membayar Rp.100.000 dimana yang Rp.50.000 untuk Terdakwa dan yang Rp.50.000 untuk anak buah Terdakwa. Terdakwa menerima bersih Rp.33.000 karena Terdakwa harus membayar uang jimpitan paguyuban Rp.7.000 dan membayar penghubung Rp.10.000. dalam sebulan saksi Nuke bisa mendapatkan uang sebesar Rp.2.000.000. Terdakwa merasa curiga dengan muka Nuke yang masih anak-anak, sehingga terdakwa mengajak Nuke untuk pulang kerumahnya di Wonosobo mengambil KTP. Agus menelepon Terdakwa dan bilang kalau KTP nya belum jadi. Nuke dibawa kepolisian pada tanggal 12 Januari 2011 sekitar jam 12.00 WIB. Ada 44 persyaratan untuk bisa mejadi PSK di tempat Terdakwa yaitu mereka harus berumur diatas 18 tahun. Terdakwa tadinya tidak mengetahui bahwa Nuke sudah mempunyai anak, tetapi setelah saksi Nuke kembali dari Wonosobo dengan menunjukkan poto anaknya di handphone. Saksi Nuke yang sedang di booking oleh tamu harus seijin Terdakwa jika ada ditempat tetai jika tidak ada dapat memberitahukan kepada teman lainnya atau mencatat buku tamu. Anak buah Terdakwa yang dibawa keluar Gang Sadar oleh tamu selalu dicatat di Pos yang ada di Gang Sadar. Terdakwa berkeyakinan jika dilihat dari wajah saksi Nuke sudah mempunyai anak, karena ada beberapa anak buah Terdakwa yang wajah nya masih muda tetapi sudah mempunyai anak. Terdakwa mengarahkan anak buahnya unuk lebih baik dimana Terdakwa kalau sedang curhat dengan anak buah Terdakwa, Terdakwa menyuruh mereka supaya menabung dan jika uang tabungan sudah banyak mengarahkan untuk berhenti menjadi PSK dan membuka usaha sendiri seperti jual beli Bad Cover. Terdakwa selalu menasehati saksi Nuke agar jangan sampai ikutikutan minum-minum dan main judi karena Terdakwa merasa kasihan dengannya. e. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa perbuatan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melanggar Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalm dakwaan kedua, maka Jaksa Penuntut Umum menuntut supaya Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut : 45 1. Menyatakan Terdakwa Daning Tianingsih alias Mamih Ning Binti Kasmuri terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “MENGEKSPLOITASI SEKSUAL ANAK”. Sebagaimana dalam dakwaan Kedua melanggar Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tentang Perlindungan Anak; 2. Menyatakan pidana terhadap Terdakwa tersebut di atas dengan pidana penjara selama 3 tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan dan denda sebesar Rp. 200.000.000 Subsidair 4 bulan kurungan; 3. 1 (satu) buah absen Menyatakan barang bukti berupa: - 1 (satu) buah buku absen anak dirampas untuk dimusnahkan; - 1 (satu) lembar Surat Akte Kelahiran An. Dwi Meina Sari, dikembalikan kepada pemiliknya Dwi Meina Sari; 4. Membebankan biaya perkara Terdakwa sebesar Rp.2.500 (dua ribu lima ratus rupiah); f. Pertimbangan Hakim Hakim dalam memutus perkara mendasarkan pada dakwaan yang kedua melanggar Pasal 88 Undang-Undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun unsur-unsurnya sebagai berikut: 1. Setiap orang; 2. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak; 3. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain; Barang bukti berupa: 1 satu buah absen anak buah di persidangan telah terbukti milik terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning Binti Kasmuri yang digunakan untuk daftar hadir atau absen bagi anak buahnya maka dikembalikan kepada twrdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning Binti 46 Kamuri, sedangkan barang bukti berupa: 1 satu lembar Surat Akte Kelahiran An. Dwi Meina Sari dan 1 satu lembar Kartu keluarga No. KK: 33.0709.210108.4393, Nama Kepala keluarga: Sukarman, alamat: Sumberan Selatan Rt. 004/Rw. 003, Kel.Wonosobo Barat, Kec.Wonosobo, Kab. Wonosobo di persidangan telah terbukti milik saksi Dwi Meina Sari maka dikembalikan kepada saksi Dwi Meina Sari; - Oleh karena terdakwa dipidana maka terdakwa dibebani pula untuk membayar biaya perkara ini; - Sebelum Majelis Hakim menjatuhkan pidana atas diri terdakwa, perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan yang meringankan: Hal-hal yang memberatkan: a. Perbuatan terdakwa sangat merendahkan martabat kaum wanita: Hal-hal yang meringankan: a.Terdakwa bersikap sopan dan berterus terang, sehingga memperlancar jalannya persidangan; b. Terdakwa mengaku bersalah dan menyesali atas perbuatannya; c. Terdakwa mempunyai tanggungan keluarga; d. Terdakwa belum pernah dihukum; - Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka penjatuhan pidana atas diri terdakwa sebagaimana tercantum dalam amar putusan dibawah menurut Majelis adalah yang memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat maupun hukum yang berlaku; 47 - Mengingat Pasal 88 Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP serta Pasalpasal yang berhubungan dengan perkara ini: g. Putusan - Menyatakan terdakwa DANING TIANINGSIH aliasMAMI NINGBinti KASMURI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengeksploitasi Seksual Anak” ; - Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan; - Menyatakan lamanya terdakwa ditahan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; - Memerintahkan terdakwa tetap ditahan; - Memerintahkan barang bukti berupa: a. 1(satu) buah buku absen anak buah tetap terlampir dalam berka perkara; b. 1 (satu) lembar Surat Akte Kelahiran An. Dwi Meina Sari dan 1 (satu) lembar Kartu Keluarga No. KK: 33.0709.210108.4393, Nama Kepala Keluarga: Sukarman, Alamat: Sumberan Selatan Rt. 004/Rw.003 Kel. Wonosobo Barat , Kec. Wonosobo, Kab. Wonosobo dikembalikan kepada DWI MEINA SARI; - Membebankan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000 (seribu rupiah). 48 B. Pembahasan a. Data Sekunder 1. Penerapan Unsur-unsur Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 dalam Putusan Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT. Menurut Soerjono Soekanto, fungsi hukum pidana adalah sebagai suatu mekanisme pengendalian sosial. Mekanisme pengendalian sosial ini berupa suatu proses yang telah direncanakan lebih dahulu dan bertujuan untuk menganjurkan, mengajak, menyuruh, atau memaksa anggota-anggota masyarakat agar supaya mematuhi norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang sedang berlaku.55 Dalam menegakan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam melaksanakan atau penegakan hukum, karena hukum adalah untuk manusia dan penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat, jangan sampai justru karena hukum ditegakan atau dilaksanakan timbul keresahan di dalam masyarakat. Sedangkan unsur keadilan, masyarakat sangat berkepentingan dalam pelaksaan atau penegakan hukum harus adil karena hukum itu bersifat umum mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. 55 Soemitro,1994, Hlm.4 49 Dari uraian di atas dapat diketahui pengertian dan konsep penegakan hukum adalah mengajak, menyuruh atau memaksa anggota masyarakat untuk mematuhi norma-norma hukum atau tata tertib hukum yang sedang berlaku. Korban tindak pidana tidak hanya menimpa oleh orang dewasa tetapi juga anak yang masih di bawah umur dapat menjadi korban. Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.56Dalam kasus eksploitasi, asusila ataupun perdagangan sering terjadi korbannya adalah anak. Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalamrangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dasosialnya. Perlindungan anak itu sendiri adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hal ini sesuai dengan Pasal 1 butir 2 Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pengertian eksploitasi menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah sebagai berikut: “Eksploitasi yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan penindasan, pemerasan, pemanfatatan fisik,seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum atau transplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga 56 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom,2008, Urgensi Perlindungan KorbanKejahatan Antara Norma dan Realita, PT .Raja Grafindo Persada,Jakarta, hal.27. 50 atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materil maupun immateriil.” Salah satu tindakan eksploitasi ialah eksploitasi seksual anak yang didefinisikan sebagai kegiatan yang melibatkan anak laki-laki maupun perempuan, demi uang, keuntungan atau pertimbangan lain atau karena paksaan atau pengaruh orang dewasa, sendikat atau kelompok, terkait dengan hubungan seksual atau perilaku yang menimbulkan birahi.” Ada 3 kegiatan yang termasuk dalam kategori eksploitasi seksual adalah : Prostitusi anak, Perdagangan anak dan Pornografi anak.57 Sangat sedikit anak perempuan yang telah terjerumus dalam dunia pelacuran bisa keluar dengan mudah dari pekerja yang mereka lakukan. Hal ini dikarenakan karena stigma masyarakat asal daerah kebanyakan mempengaruhi anak perempuan melakukan seperti itu. Yang menjerumuskan mereka menjadi pekerja seks komersiil adalah orang dekat korban sendiri. Pada umumnya mereka diperanti oleh orang-orang dekat dengan korban, atau bahkan kenal baik dengan korban.bentuk-bentuk elsploitasi seksual yang dialami pelacur anak itu bisa dari berbagai pihak diantaranya pihak germo, makelar, atau pelanggan.58 Untuk menjawab permasalahan yang pertama maka penulis akan meneliti unsur-unsur Pasal 88 Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 terhadap faktafakta yang ada dalam putusan Pengadilan Negari Purwokerto Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT. 57 Nining S. Mutamar, 2007, Makalah Eksploitasi Seksual Komersiil Anak dalam PengalamanPendampingan di Surakarta, http:/www.eska.or.id/, eksploitasi seksual komersiil anak.html, diakses tanggal 04 Maret 2012. 58 http:// www.wordpress.com/2011/penyidikan -tindak-pidana-eksploitasi-seksual-anakdilokalisasi-pelacuran-dollly-surabaya, diakses pada tanggal 04 Maret 2012 51 Tindak pidana Eksploitasi Seksual Anak yang dirumuskan dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu: Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a. diskriminasi; b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c. penelarantaran; d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. ketidakadilan;dan f. perlakuan salah lainnya. Menurut Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) . Adapun unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu mengenai tindak pidana eksploitasi seksual anak, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : a. Unsur Setiap Orang Mengenai unsur setiap orang atau barang siapa, dari hasil penelitian dapat diiketahui bahwa unsur barang siapa disini adalah barang siapa menurut undang-undang hukum pidana yang menunjuk pada subjek dari tindak pidana, yang berarti siapa saja, baik laki-laki ataupun perempuan tanpa kecuali, sehat jasmani dan rohani dapat bertindak sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarto, yang menyatakan sebagai berikut : 52 Pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana ialah manusia (naturlijk personen). Pengertian barangsiapa adalah menunjukan pengertian seseorang sebagai subyek hukum penanggung hak dan kewajiban. Unsur barangsiapa pada dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah menunjuk pada orang yang melakukan tindak pidana dan ini menunjukan perbuatan manusia. Dengan kata lain, unsur barangsiapa adalah menunjukan bahwa pelakunya adalah orang yang memenuhi semua unsur tindak pidana oleh karena itu unsur barangsiapa dalam hal ini tidak boleh diartikan lain kecuali manusia.59 Sedangkan unsur “barangsiapa” menurut Lamintang, adalah menunjuk pada orang yang apabila orang tersebut memenuhi semua unsur tindak pidana yang terdapat di dalam rumusan undang-undang, maka ia bisa disebut pelaku (dader) dari tindak pidana bersangkutan.60 Pengertian barang siapa ialah siapa saja sebagai subyek hukum selaku pelaku dari tindak pidana yang dirumuskan dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dalam pasal ini menunjukan manusia. Dengan demikian mengenai unsur “barangsiapa” apabila dikaitkan dengan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT, dikaitkan dengan teori tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa unsur “barangsiapa” yaitu pelaku atau subyek tindak pidana dalam perkara tersebut berdasarkan bukti dan fakta yang terungkap di persidangan, tidak dapat diartikan lain daripada orang dan manusia, yaitu dalam hal ini adalah Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri, umur 59 Sudarto, 1989, Hukum Pidana 1, Bahan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah, Semarang:Fakultas Hukum Diponegoro. Hlm.10 60 Ibid,1979, Hlm.107 53 32 tahun, jenis kelamin perempuan, kebangsaan Indonesia, agama islam, pekerjaan ibu rumah tangga, bertempat tinggal Desa Semaya Rt 06/01, Kecamatan Randudongkal, Kabupaten Pemalang. Hal ini dapat disimpulkan bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana eksploitasi seksual anak dengan fakta yang terungkap di persidangan dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, sehingga terdakwa adalah merupakan subyek hukum dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pengertian “barangsiapa”. Dengan demikian unsur “barangsiapa” dalam putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT. telah terpenuhi. b. Unsur yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak yaitu memperkerjakan atau memperdagangkan anak dalam bidang seksual untuk mendapatkan keuntungan. Elemen-elemen dalam unsur Pasal ini bersifat alternatif, sehingga apabila salah satu elemen dari Pasal ini sudah terbukti maka unsur inipun dinyatakan terbukti, bahwa untuk pengertian dari eksploitasi maka akan merujuk pada ketentuan umum Paal 1 ayat (7) No. 21 tahun 2007 yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau tranplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil. Dimaksud dengan pengertian anak sesuai ketentuan 54 umum Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No.23 tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 delapan belas tahun termasuk anak masih dalam kandungan, bahwa saksi korban Dwi Meina Sari alias Nuke binti Suparman yang lahir pada tanggal 23 Mei 1995 yang pada saat ini masih berumur 16 tahun sehingga korban masih termasuk kategori anak. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dari keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan diketahui bahwa Terdakwa pada bulan Desember 2010 telah dikenalkan oleh orang yang bernama Agus kepada saksi korban Dwi meina Sari alias Nuke di rumah kontrakan Terdakwa di Gg. Sadar II Desa Karangtengah RT.7 TRW.2 Kec.Baturaden, Kab. Banyumas dan saat itu Terdakwa menerima saksi korban untuk dipekerjakan sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK), dimana meskipun pada awalnya Terdakwa ragu-ragu akan umur saksi korban akan tetapi tetap memperkerjakan saksi korban sebagai PSK dengan tugas melayani tamu untuk melakukan hubungann seks atau menemani karoke dengan imbalan Rp. 100.000 untuk setiap melakukan tugas secara short time dan pendapatan tersebut dibagi dua antara saksi korban dengan Terdakwa masing-masing Rp. 50.000 dan hal tersebut telah dilakukan dari bulan Desember 2010 sampai dengan bulan Januari 2011. Terdakwa telah mengeksploitasi saksi korban yang masih anak-anak dalam bidang seksual sehingga dengan demikian unsur kedua telah terpenuhi. c. Unsur maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain 55 Fakta-fakta yang terungkap di persidangan, dari keterangan saksisaksi dan keterangan terdakwa serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan di persidangan diketahui bahwa Terdakwa menerima saksi korban untuk dipekerjakan sebagai PSK, dimana meskipun pada awalnya Terdakwa ragu-ragu akan umur saksi korban tetapi Terdakwa tetap memperkerjakan saksi korban sebagai PSK dengan tugas melayani tamu untuk melakukan hubungan seks atau menemani karoke dengan imbalan Rp. 100.000 untuk setiap melakukan tugas secara short time dan pendapatan tersebut dibagi dua antara saksi korban dengan Terdakwa masing-masing Rp.50.000 dan hal tersebut telah dilakukan dari bulan Desember sampai dengan bulan Januari 2011. Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah dijelaskan bahwa seorang anak berhak untuk dapat hidup berkembang dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Dengan menelaah materi mengenai kewajiban kepada negara dan masyarakat untuk benar-benar melakukan perlindungan terhadap anak sebagaimana sebagaimana terurai dalam Pasal 59 dan Pasal 66 UndangUndang no.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka meskipun dalam keadaan di masyarakat seorang anak ada yang secara diam-diam masuk dalam kegiatan prostitusi tetapi harus tetap dipandang sebagai anak yang harus dilindungi dan dijauhkan dari kegiatan yang bertentangan dengan harkat seorang anak. Terdakwa telah menerima uang dari hasil memperkerjakan saksi korban sehingga unsur ketiga ini telah terpenuhi oleh perbuatan terdakwa 56 2. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim dalam menjatuhkan pidana dalam Putusan Perkara Nomor 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT Eksploitasi seksual anak merupakan bentuk paksaan dan kekerasan terhadap anak dan sejumlah tenaga kerja paksa dan merupakan perbudakan modern. Sebuah pernyataan dari Kongres Dunia untuk melawan eksploitasi seksual anak yang diselenggarakan di Stockholm pada tahun 1996, mendefinisikan eksploitasi seksual sebagai : “pelecehan seksual oleh orang dewasa dan remunerasi tunai atau barang kepada anak atau orang ketiga atau orang lain. Anak diperlakukan sebagai objek seksual dan komersial.” Eksploitasi seksual anak termasuk pelacuran anak, pornografi anak, pariwisata seks anak dan bentuk lain dari transaksional seksual dimana seorang anak terlibat dalam kegiatan seksual untuk dapat memiliki kebutuhan utama yang terpenuhi, seperti makanan, tempat tinggal, akses kependidikan. Ini termasuk bentuk transaksional dimana seksual dimana kekerasan seksual terhadap anak tidak dihentikan atau dilaporkan oleh pihak keluarga, karena manfaat yang diperoleh oleh keluarga dari pelaku. Eksploitasi seksual anak juga berpotensi mencakup perjodohan anak dibawah usia 18 tahun, dimana anak belum belum bebas menyetujui pernikahan dan dimana anak mengalami pelecehan seksual. Pelacuran anak dibawah usia 18 tahun, pornografi anak dan penjualan anak (sering terkait) dan perdagangan anak-anak sering dianggap sebagai tindak kejahatan kekerasan terhadap anak. Itu dianggap bentuk eksploitasi ekonomi mirip dengan kerja paksa atau perbudakan. Anak-anak tersebut sering mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki terhadap 57 kesehatan fisik dan mental mereka ,mereka menghadapi penyakit awal kehamilan dan resiko penyakit menular seksual khususnya AIDS. Perdagangan anak terkadang saling tumpang tindih dengan eksploitasi seksual. Disatu sisi anak-anak yang diperdagangkan sering diperdagangkan untuk tujuan eksploitasi seksual anak, namun tidak semua anak yang diperdagangkan oleh para pelaku perdagangan anak diperdagangkan untuk tujuan ini. Selanjutnya bahkan jika beberapa dari anak-anak diperdagangkan untuk bentuk-bentuk pekerjaan lain yang kemudian mengalami pelecehan seksual ditempat kerja, ini tidak selalu eksploitasi seksual anak. Eksploitasi seksual anak merupakan bagian dari tapi berbeda dari pelecehan anak atau bahkan pelecehan seksual anak, pemerkosaan anak misalnya biasanya tidak akan merupakan eksploitasi seksual anak begitu juga pula Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Meskipun eksploitasi seksual anak dianggap sebagai perburuhan anak dan memang salah satu pekerjaan terburuk untuk anak dalam hal legislasi eksploitasi seksual anak sering dianggap sebagai bentuk pelecehan anak atau kejahatan. Penyebab dari eksploitasi seksual anak ini terdapat faktor berupa kemiskinan parah, kemungkinan pendapatan yang relatif tinggi, nilai rendah yang melekat pada pendidikan, disfungsi keluarga, kewajiban budaya untuk membantu mendukung keluarga atau kebutuhan untuk mendapatkan uang untuk sekedar bertahan hidup, semua faktor yang membuat anak rentan terhadap eksploitasi seksual anak. Dalam rangka untuk membuat anak-anak hidup dijual kedalam perdagangan seks untuk 58 menyediakan makanan dan tempat tinggal dan dalam beberapa kasus uang untuk memuaskan kecanduan anggota keluarga atau diri mereka sendiri. Selain dari faktor ekonomi, anak-anak yang paling beresiko menjadi korban eksploitasi seksual anak adalah mereka yang sebelumnya telah mengalami pelecehan fisik atau seksual. Sebuah lingkungan keluarga dengan sedikit perlindungan dimana pengasuh tidak ada atau dimana ada tingkat kekerasan yang tinggi atau tingginya konsumsi obat atau alkohol, menyebabkan anak laki-laki dan perempuan pergi dari rumah, membuat mereka sangat rentan terhadap tindak pelecehan. Diskriminasi gender dan tingkat pendidikan pengasuh yang rendah, kemiskinan ekstrim dan keluarga terpinggirkan jugaa menjadi resiko anak untuk menjadi korban eksploitasi seksual anak. Disisi permintaan, faktor-faktor tertentu dapat memperburuk masalah misalnya wisatawan seks adalah sumber permintaan untuk prostitusi. Pilihan pelanggan untuk anak-anak muda, terutama dalam konteks dari epidemi HIV/AIDS, menangkap anak tambahan, selain itu perkembangan internet telah memfasilitasi pertumbuhan pornografi anak. Pengalaman telah menunjukan bahwa beberapa karakteristik sosial ekonomi seperti kepadatan penduduk, konsentrasi hiburan malam (bar dan diskotik), kemiskinan yang tinggi, dan tingkat pengangguran, pergerakan orang dan akses ke jalan raya juga terkait dengan eksploitasi seksual anak. Dasar hukum Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang bertujuan untuk jaminan terpenuhinya hak-hak agar dapat hidup tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta 59 mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Selanjutnya perwujudan Hak Asasi Manusia anak dirinci dalam berbagai kondisi, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 23 tahun 2002 Pasal 4-11, 13, 15, 16. Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42/Pid.Sus/2010/PN.Pwt Menyatakan terdakwa DANING TIANINGSIH alias MAMI NING Binti KASMURI telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Mengeksploitasi Seksual Anak”. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut diatas dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dan denda sebesar Rp.100.000.000 (seratus juta rupiah) dengan ketentuan denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 (dua) bulan, sebagaimana diatur dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan. Dalam Pasal 88 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengatur sebagai berikut : ”Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh tahun) dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) .” Eksploitasi seksual anak oleh Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri, kasus ini didasarkan pada berbagai alasan yang mendorong terlaksananya eksploitasi seksual anak. Tindak pidana eksploitasi seksual anak menuntut perhatian yang serius dari waktu ke waktu yang peningkatannya cukup signifikan maka dengan adanya sanksi pidana ini 60 dapat mengurangi tingkat kejahatan atau tindak pidana eksploitasi seksual anak. Dasar pertimbangan hukum apa yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan pidana eksploitasi seksual anak yang dilakukan oleh Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri. Berdasarkan hasil penelitian dasar pertimbangan yang digunakan hakim dalam menjatuhkan pidana eksploitasi seksual anak. Dalam memberikan suatu putusan hakim memakai pandangan hukum dan mengacu pada Pasal 88 Undang-Undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak karena dalam pasal-pasal ini terdapat unsur-unsur yang memenuhi terjadinya suatu tindak pidana eksploitasi seksual anak, dimana seorang anak yaitu korban menyetujui atau menghendaki dirinya untuk menjadi pekerja seks komersial berbeda dengan perdagangan orang karena untuk perdagangan orang terdapat modus pengelabuan atau penipuan bahwa korban tidak tahu akan dieksploitasi, penjatuhan pidana ini dimaksudkan untuk dapat membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana eksploitasi seksual anak, selain Undang-Undang Perlindungan Anak dalam menjatuhkan suatu tindak pidana pertimbangan yang digunakan hakim adalah alat bukti dan saksi-saksi, serta hal yang meringankan dan hal yang memberatkan dan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan sehingga hakim dalam mengambil keputusan berdasarkan alat bukti yang ada dan sesuai dengan pasal yang di dakwakan. Pertimbangan subyektif hakim mengapa memilih Undang-undang No 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak dikarenakan undang-undang ini lebih tepat dibandingkan dengan Undang-undang Traficking. Maka dari itu memakai Undang-undang perlindungan anak, karena meskipun anak itu 61 tahu atau tidak tahu, bahwa anak itu menghendaki sendiri dan peran orang tua yang mendukung anak tersebut untuk menjadi pekerja seks komersial sehingga semua kesalahan tidak bisa dilimpahkan seluruhnya kepada terdakwa. Hakim mempertimbangkan dari sisi viktimologinya sehingga putusan yang diberikan lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Hal ini tidak disebutkan secara eksplisit dalam putusan. b. Data Primer Data primer diperoleh dari wawancara dengan Budi Setyawan,SH.MH.(Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto) pada tanggal 07 November 2012. Tindak pidana dapat digolongkan 2 (dua) bagian, yaitu : 1. Tindak pidana materiil 2. Tindak pidana formal Pengertian tindak pidana materil adalah, apabila tindak pidana yang dimaksud dirumuskan sebagai perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa merumuskan wujud dari perbuatan itu. Sedangkan pengertian tindak pidana formal yaitu apabila tindak pidana yang dimaksud, dirumuskan sebagai wujud perbuatan tanpa menyebutkan akibat yang disebabkan oleh perbuatan itu.Anak yang menjadi korban suatu tindak pidana diberikan perlindungan hukum. Perlindungan hukum yang diberikan berupa perlindungan umum dan khusus berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Perlindungan Anak. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknyaagar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuaidengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan 62 dandiskriminasi.Pengertian perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak diexploitasi secara ekonomi dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran, hal ini terdapat dalam Pasal 1 butir 15 Undang-undang No 23 Tahun 2002. Alasan majelis hakim lebih memilih Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bukan Undang-Undang No 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT, Pidana Perdagangan seperti yang Orang pada disampaikan putusan oleh No Budi Setyawan,SH.MH “Hakim tidak memberikan pertimbangan dalam putusan karena berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan dan karena adanya kemauan dari anak ini untuk dieksploitasi, dan apabila trackfiking yaitu perdagangan manusia terdapat modus pengelabuan atau penipuan, tertutupi bahwa korban tidak tahu bahwa akan diperdagangkan, maka dari itu memakai Undang-undang Perlindungan Anak, karena meskipun anak itu tahu atau tidak tahu, bahwa anak itu menghendaki sendiri. Anak itu butuh perlindungan, meskipun anak itu tau bahwa ia dieksploitasi yang disalahkan bukan anak tersebuut melainkan orangnya,orang tua yang sudah tau tapi ia menjerumuskan.” Selanjutnya mengenai pengertian anak yang diatur oleh Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak : “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Dapat diketahui bahwa korban disini adalah anak yang masih berumur 16 (enam belas) tahun tetapi korban telah memiliki anak diluar pernikahan,hal ini yang dijadikan pledoi oleh pelaku, namun hakim tetap menganggap korban 63 sebagai anak yang sebagaimana dimaksud oleh Undang-undang No 23 Tahun 2002, hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Budi Setyawan, SH.MH “Anak-anak itu apabila sudah diluar rumah, memakai baju bebas, sehingga tidak dapat diketahui anak itu umur berapa, pelaku atau terdakwa tetap bisa disalahkan bahwa ia tidak tau anak tersebut umur berapa, semua orang dianggap tau undang-undang, dalam perlindungan anak yang disebut anak adalah anak-anak dibawah umur 18 (delapan belas) tahun. Anak itu harus ditanya umurnya berapa. Karena ketentuan undang-undang yang disebut anak itu yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah meskipun anak itu sudah punya anak tapi kan tidak terikat pernikahan atau kawin, kawin disini yaitu menikah secara agama maupun dengan ketentuan hukum negara sehingga menurut pengertian tersebut korban memang belum menikah dan masih anakanak, dan karena tidak ada bukti bahwa ia telah menikah maka hakim menganggap korban masih anak-anak sesuai dengan ketentuan undangundang.” Ancaman dari Pasal 88 Undang-undang No 23 Tahun 2002 adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) namun putusan yang diberikan oleh hakim jauh lebih ringan dari ancaman tersebut, yaitu 1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan penjara dan denda sebesar Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). Setiap putusan ada hal yang meringankan dan yang memberatkan dan hal itu yang menjadi pertimbangan hakim dalam memutus, dan menentukan lamanya pidana yang dijatuhkan tiak semata-semata memutus berat. Berikut adalah pemaparan dari Budi Setyawan, SH.MH : “Secara normatif putusan tersebut sudah benar karena tidak berlaku ancaman minimal khusus, sehingga hakim memutus tidak menyalaih aturan. Tetapi ya harus sesuai dengan fakta-fakta dipersidangan yang jadi pertimbangan hakim, dilihat dari sisi viktimologinya, korban berperan atau tidak, disini kan korban berperan karena ia sendiri yang menghendaki, ia sendiri yang mau, tidak ada paksaan pada dirinya itu kan tidak dapat dijadikan untuk memberatkan pelaku. Itu harus dilihat sebagai yang meringankan meskipun tidak disebut secara eksplisit dalam putusan. Kemudian perbuatan yang dilakukan anak tidak murni mutlak dibebankan pada anak, lah ini kemana orang tuanya? Ternyata kan orang tuanya ikut andil juga terhadap korban, sehingga tidak boleh semata-mata dibebankan kepada pelaku meskipun pelaku bekerja sebagai germo atau mucikari tapi ternyata orang tua mengabaikan korban, kalo anaknya pergi 64 kenapa tidak dicari?apakah adil apabila semuanya dibebankan kepada pelaku?” Secara normatif tidak ada penyimpangan pada ketentuan-ketentuan undang-undangnya, dan secara sosiologis didasarkan pada fakta yang terungkap dipersidangan ternyata dari kajian ini dapat dilihat dari keterangan saksi dan pertimbangan hukumnya. Meskipun pelakuragu-ragu pada umur korban berarti pelaku tahu korban masih anak-anak. Dari Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak tidak bisa murni disalahkan dalam hal ini anak juga turut menjadi korban. Kemudian Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto ini menjelaskan tentang unsur-unsur dari Pasal 88 Undang-undang No 23 Tahun 2002 : “Kemudian unsur-unsurnya bisa kita ketahui yaitu unsur setiap orang,unsur yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak,dan yang ketiga unsur dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain,unsur yang satu harus saling berhubungan dengan unsur yang lain sekarang kita lihat dari unsur yang pertama, setiap orang adalah seseorang atau subyek hukum, pelaku adalah orang dewasa yang sehat jasmani dan rohani, dan cakap berbuat hukum, selama pemeriksaan tidak ditemukan alasan pemaaf dan pembenar sehingga unsur ini terpenuhi, kemudian dari unsur yang kedua dilihat dari pengertian eksploitasi Pasal 1 ayat 7 Undang-undang 21 Tahun 2007 yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban disini dalam hal pelacuran dan seksual sehingga terpenuhi juga kan, terus unsur yang ketiga disini sudah jelas bahwa pelaku mengambil keuntungan dari korban yaitu membagi dua penghasilannya dari setiap transaksi, jadi sudah pas pasal ini yang digunakan oleh hakim.” Perkara ini berhubungan juga tindakan pelacuran, pelacuran diatur dalam KUHP secara normatif, secara agama diharamkan, dan secara sosial tidak pantas maka secara umum dapat dikatakan sebagai tindak pidana, hanya saja pada perkara No 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT korban masih dibawah umur. Putusan dalam perkara ini sudah tepat karena tidak ada pembatalan dari hakim yang lebih tinggi, putusan ini didasarkan pada dakwaan yang telah dibuat karena hakim tidak 65 boleh memutus diluar dari surat dakwaan, dan juga unsur-unsur dari tindak pidana eksploitasi seksual terpenuhi. 66 BAB V PENUTUP A. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan analisis tentang tindak pidana eksploitasi seksual anak dalam putusan Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT, dapat disimpulkan bahwa : 1. Penerapan unsur-unsur Pasal 88 Undang-Undang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 yaitu tentang Perlindungan Anak dalam putusan Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.PWT telah sesuai, dimana perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur Pasal 88 UndangUndang Republik Indonesia No.23 Tahun 2002 yaitu tentang Perlindungan Anak. a. Setiap Orang, yaitu terdakwa Daning Tianingsih alias Mami Ning binti Kasmuri. b. Yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak, yaitu terdakwa menerima saksi korban untuk bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial c. Dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, yaitu membagi dua imbalan yang korban peroleh masing-masing Rp 50.000 2. Pertimbangan Hukum Hakim Dalam Memutus Perkara Eksploitasi Seksual Anak Di Pengadilan Negeri Purwokerto Dalam Perkara Nomor :42/Pid.Sus/2011/PN.PWT dilihat dari sisi viktimologi korban berperan karena korban sendiri menghendaki, tidak ada paksaan pada dirinya serta peran orang tua yang turut menikmati hasil pekerjaan korban, dari sisi yuridisnya bahwa Pasal 88 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 lebih tepat digunakan untuk memutus perkara ini dikarenakan anak yang menjadi korban dan unsur-unsur Pasal 88 Undang-undang No. 23 Tahun 2002 terpenuhi. 67 Daftar Pustaka A. Literatur Abdul Wahid dan Muhamad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual, Bandung: Refika aditama A.Fuad Usfa dan Tongat,2004, Pengantar Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Malang: UMM Press Andi Hamzah,1991, Asas-Asas Hukum Pidana,Jakarta: Rineka Cipta. Arief, Barda Nawawi dan Muladi,1992, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 11 Farid, Zainal Abidin,2007 , Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Jakarta:Sinar Grafika Herbert L. Packer,1968, The Limit of Criminal Sanction,California : Stanford University Press Kansil,C.S.T.1989.Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, M. Abdul Kholiq.2002.Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Moeljatno,1983, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana. Yogyakarta: Bina Aksara. --------, 2008,Asas-asas Hukum pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, Jakarta:Renika Cipta Prodjodikoro,Wirjono.1962.Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Prodjodikoro,Wirjono.2002. Asas Hukum Pidana Di Indonesia. Bandung: Rafika Aditama Soemitro, Ronny Hanitijo.1983.Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia Sudarto,1977 , Hukum dan Hukum Pidana,Bandung:Alumni ----------,1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto,Semarang:Fakultas Hukum Universitas Diponegoro -----------,1990,Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum Dan Delik-Delik Khusus,Bogor:Politea 68 Sugandhi,R.1980.KUHP Dan Penjelasannya.Surabaya : Usaha Nasional Sumiarni,E.2003.Perlindungan Hukum Terhadap Yogyakarta:Universitas Atma Jaya Anak dalam Hukum Pidana. Supardjaja,Komariah Emong,2002, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil dalam Hukum Pidana Indonesia (Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi), Bandung:Alumni Tongat,2008, Dasar-Dasar Hukum Pembaharuan,Malang:UMM Perss Pidana Indonesia dalam Perspektif Utrecht, 1986, Hukum pidana I, Surabaya:Pustaka Tinta Mas. Van Bemmelen,Mr.J.M.1987.Hukum Pidana I. Bandung: Bina Cipta B. Peraturan Perundang-Undangan Indonesia,Undang-UndangNomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Republik Indonesia. Indonesia, Undang-UndangNomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang C. Sumber Lain DepartemenPendidikan Dan Kebudayaan, 2002,KamusBesarBahasa Indonesia. Jakarta: BalaiPustaka, Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto Nomor : 42/Pid.Sus/2011/PN.Pwt. D. Internet www.eska.or.id/[email protected]( Pusat Data dan Informasi Eksploitasi Seksual Komersial Anak ) http://www.suaramerdeka.com/harian/0207/04/dar29.htmdiakses tanggal 04 Juli 2012 http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/10/20/174353/hukuman-anakbermasalah, diakses tanggal 23 April 2012 Nining S. Mutamar, 2007, Makalah Eksploitasi Seksual Komersiil Anak dalam Pengalaman Pen dampingan di Surakarta, http:/www.eska.or.id/, eksploitasi seksual komersiil anak.html, diakses tanggal 04 Maret 2012 http:// www.wordpress.com/2011/penyidikan -tindak-pidana-eksploitasi-seksual-anakdilokalisasi-pelacuran-dollly-surabaya, diakses pada tanggal 04 Maret 2012 69 http://id.m.wikipedia.org/wiki/Eksploitasi-seksual-anak, diakses pada tanggal 01 November 2012 70