Macaca nemestrina

advertisement
DISTRIBUSI VIRUS DENGUE (DENV) DENGAN TEKNIK
IMUNOHISTOKIMIA DI JARINGAN BERUK (Macaca nemestrina)
PASCA INFEKSI VIRUS DENGUE TIPE 3 (DENV-3)
SILVIA ARIN PRABANDARI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Distribusi Virus Dengue
(DENV) dengan Teknik Imunohistokimia di Jaringan Beruk (Macaca nemestrina)
Pasca Infeksi Virus Dengue Tipe 3 (DENV-3)” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Silvia Arin Prabandari
P053130041
RINGKASAN
SILVIA ARIN PRABANDARI. Distribusi Virus Dengue (DENV) dengan Teknik
Imunohistokimia di Jaringan Beruk (Macaca nemestrina) Pasca Infeksi Virus
Dengue Tipe 3 (DENV-3). Dibimbing oleh JOKO PAMUNGKAS dan DIAH
ISKANDRIATI.
Satwa primata bukan manusia (nonhuman primate) berperan sebagai hewan
model yang sangat diperlukan di penelitian biomedis untuk mempelajari berbagai
masalah kesehatan manusia, penyakit dan gangguan kesehatan, terapi, dan strategi
pencegahan. Dalam penelitian ini, kami menggunakan beruk atau pig-tailed
macaque (Macaca nemestrina) sebagai hewan eksperimental untuk mempelajari
infeksi virus Dengue tipe 3 (DENV-3). Kami melakukan evaluasi mengenai
distribusi dan replikasi DENV-3 pada seluruh jaringan yang dikoleksi
menggunakan teknik imunohistokimia setelah infeksi primer untuk melokalisir
protein virus.
Perubahan makroskopis secara nyata tidak tampak pada seluruh beruk yang
dianalisis, namun perubahan mikroskopis pada pemeriksaan histopatologi terlihat
dengan derajat keparahan bervariasi pada berbagai jaringan: hati, lambung, limpa
dan limfonodus. Protein-protein virus tersebut terlihat pada sel-sel limfoid yang
reaktif pada limpa, timus, limfonodus aksilaris, limfonodus inguinalis, limfonodus
mesenterika dan limfonodus submandibularis. Secara umum, bukti keberadaan
protein virus pada berbagai jaringan setelah infeksi DENV-3 mengungkapkan
bahwa M. nemestrina rentan terhadap infeksi dan dapat menjadi alternatif hewan
model yang baik untuk mengevaluasi replikasi DENV di jaringan.
Kata kunci: DENV-3, Macaca nemestrina, imunohistokimia
SUMMARY
SILVIA ARIN PRABANDARI. Dengue Virus Type 3 (DENV-3) Distribution in
Tissues of Pig-tailed Macaque (Macaca nemestrina) Post Infection Using
Immunohistochemistry Technique. Supervised by JOKO PAMUNGKAS dan
DIAH ISKANDRIATI.
Nonhuman primates play as an indispensable animal model in biomedical
research for studying a variety of human health issues, diseases and disorders,
therapies, and preventive strategies. In this study, we used pigtailed macaques
(Macaca nemestrina) as an experimental animal to study dengue type-3 virus
(DENV-3) infection. We evaluated DENV-3 distribution and replication sites
after a primary infection in all collected tissue by immunohistochemistry to
localize viral protein.
Significant gross lesions were not seen in any of the examined pig-tailed
macaques, however, microscopic lesions were present in variable degrees of
severity in multiple tissues: liver, stomach, spleen and lymph nodes as evaluated
by histopathological analysis. Viral proteins were demonstrated in reactive
lymphoid cells in spleen, thymus, axillary lymph node, inguinal lymph node,
mesenteric lymph node and submandibular lymph node. In general, evidence for
the presence of viral protein in various tissues after DENV-3 infection reveals that
M. nemestrina is susceptible to the infection and could serve as a good alternate
model to evaluate the replication of DENV in tissues.
Keywords: DENV-3, Macaca nemestrina, immunohistochemistry
© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DISTRIBUSI VIRUS DENGUE (DENV) DENGAN TEKNIK
IMUNOHISTOKIMIA DI JARINGAN BERUK (Macaca nemestrina)
PASCA INFEKSI VIRUS DENGUE TIPE 3 (DENV-3)
SILVIA ARIN PRABANDARI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Primatologi
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: drh. Adi Winarto, PhD
Judul Tesis
: Distribusi
Virus
Dengue
(DENV)
dengan
Teknik
Imunohistokimia di Jaringan Beruk (Macaca nemestrina) Pasca
Infeksi Virus Dengue Tipe 3 (DENV-3)
Nama
: Silvia Arin Prabandari
NIM
: P053130041
Program Studi : Primatologi
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr drh Joko Pamungkas, MSc
Ketua
Dr drh Diah Iskandriati
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Primatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof drh Dondin Sajuthi, MST, PhD
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: 30 Agustus 2016
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih
dalam penelitian ini adalah Distribusi virus Dengue (DENV) dengan teknik
Imunohistokimia di jaringan beruk (Macaca nemestrina) pasca infeksi virus
Dengue Tipe 3 (DENV-3).
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr drh Joko Pamungkas dan Dr drh
Diah Iskandriati selaku pembimbing yang telah banyak memberi dukungan
kepada penulis selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan karya ilmiah ini,
drh Adi Winarto, PhD atas arahan sebagai penguji luar komisi, juga kepada Prof
drh Dondin Sajuthi, MST, PhD sebagai ketua program studi Primatologi.
Penghargaan juga penulis sampaikan kepada teman-teman di Laboratorium
Patologi, Pusat Studi Satwa Primata, LPPM-IPB, mbak Lis, Waty, pak Rahmat,
Tika dan Risma yang telah memberi dukungan selama penulis menyelesaikan
studi. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Bapak, Ibu (Alm), dan
Viga, juga mbak Veni, mbak Vera, dik Vita atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Intellego ut credam.
Bogor, Agustus 2016
Silvia Arin Prabandari
P053130041
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiii
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
1
1
3
4
4
2 TINJAUAN PUSTAKA
Macaca nemestrina sebagai hewan model
Virus Dengue (DENV)
Patogenesis infeksi DENV
Temuan histopatologi terkait infeksi DENV fatal pada manusia
4
4
5
6
6
3 METODE
Waktu dan tempat penelitian
Bahan dan alat
Metode penelitian
a. Koleksi jaringan
b. Pembuatan preparat histologi
c. Pewarnaan hematoksilin eosin (HE)
d. Pewarnaan imunohistokimia metode Labeled-Streptavidin Biotin (LSAB)
e. Pemeriksaan mikroskopis
f. Analisis data
7
7
7
7
7
8
8
9
10
10
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
11
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
21
21
21
DAFTAR PUSTAKA
21
RIWAYAT HIDUP
24
DAFTAR TABEL
1 Distribusi protein DENV-3 pada berbagai jaringan organ M. nemestrina
2 Derajat protein DENV-3 pada jaringan organ M. nemestrina
12
19
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Diagram alir penelitian
3
Macaca nemestrina
4
Model struktur DENV
5
Prinsip Imunohistokimia metode Labeled-Streptavidin Biotin (LSAB)
10
Distribusi protein DENV-3 di jaringan organ limpa dan timus dengan
pewarnaan imunohistokimia
13
Distribusi protein DENV-3 di jaringan organ limfonodus aksilaris dan
limfonodus inguinalis dengan pewarnaan imunohistokimia
14
Distribusi protein DENV-3 di jaringan organ limfonodus mesenterika
dan limfonodus submandibularis dengan pewarnaan imunohistokimia
15
Respon negatif pewarnaan imunohistokimia jaringan organ ginjal dan
hati.
16
Infiltrasi sel radang limfosit dan sel plasma pada parenkima hati
17
Infiltrasi histiosit (histiositosis) pada sinusoid parenkima limfonodus
18
Deplesi folikel limfoid pada limpa
18
Dilatasi pembuluh darah (kongesti) pada parenkima limpa
19
Struktur parenkima jaringan organ timus
20
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit
akibat infeksi arbovirus (arthropode-borne viral disease) yang menjadi masalah
pada kesehatan masyarakat terutama di negara-negara tropis dan sub-tropis.
Kondisi iklim di negara-negara tersebut menyebabkan penyakit DBD menjadi
endemik yang muncul sepanjang tahun terutama saat musim hujan ketika nyamuk
dapat berkembang biak secara optimal (CDC 2010). Prevalensi DBD meningkat
tajam secara global dalam beberapa dekade terakhir. Menurut data WHO (2014),
sebelum tahun 1970 hanya sekitar sembilan negara di dunia yang mengalami
wabah penyakit DBD, namun sekarang penyakit tersebut menjadi endemik di
lebih dari 100 negara-negara yang tersebar di Afrika, Amerika, Mediterania Timur,
Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Angka kejadian tertinggi dilaporkan di negaranegara wilayah Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Jumlah kasus yang
terjadi di negara-negara Amerika, Asia Tenggara dan Pasifik Barat telah melewati
1.2 juta kasus pada 2008 dan mencapai lebih dari 2.3 juta kasus pada 2010.
Laporan kejadian pada 2013, penyakit DBD di Amerika mencapai 2.35 juta kasus.
Prevalensi infeksi virus dengue (DENV) di Indonesia yang menyebabkan
wabah DBD menjadi masalah utama dalam bidang kesehatan. Menurut data dari
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI,
sepanjang tahun 2014 sejak Januari hingga Desember, tercatat penderita DBD di
34 propinsi di Indonesia sebanyak 71.668 orang dan 641 orang diantaranya
meninggal dunia. Kurang baiknya sistem pendataan penyakit merupakan salah
satu faktor penghambat untuk mengetahui prevalensi kejadian penyakit ini dengan
tepat. Penyakit DBD pada manusia disebabkan oleh infeksi DENV yang secara
taksonomi termasuk dalam famili Flaviviridae dan genus Flavivirus dengan empat
serotipe (DENV-1, DENV-2, DENV-3, DENV-4) yang sudah berhasil diisolasi.
Keempat serotipe DENV tersebut dilaporkan dapat menyebabkan infeksi pada
manusia dengan gejala klinis penyakit yang sama (Peng et al. 2004), menginfeksi
verterbrata dan umumnya menyebabkan infeksi yang serius bahkan menyebabkan
kematian (letal) pada manusia. Replikasi virus ini bergantung pada nyamuk
sebagai vektor untuk transmisi di antara inang (Zhang et al. 2003). Virus masuk
ke tubuh manusia sebagai inang dengan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor
utama (Onlamoon 2010). Penyakit akibat infeksi DENV ini dianggap sangat
penting secara medis, namun pengetahuan mengenai patogenesis penyakit yang
terkait dengan kepentingan manusia masih sangat kurang sehingga masih terdapat
perbedaan pemahaman tentang patogenesis penyakit tersebut. Oleh karena itu
penelitian terkait penyakit tersebut masih terus dilakukan hingga saat ini.
Secara umum, penelitian in vivo terkait infeksi DENV dan patogenesisnya
masih terbatas karena masih kurangnya hewan model eksperimental yang dapat
memberikan gambaran penyakit secara menyeluruh menyerupai pada manusia
(Yauch et al. 2008). Sebagian besar gambaran histopatologi yang dilaporkan dari
kasus infeksi fatal DENV pada manusia mengindikasikan bahwa hati, limpa dan
limfonodus merupakan target organ dari infeksi DENV ini (Bhamarapravati et al.
1967; Basilio-de-Oliveira et al. 2005; Martina et al. 2009). Lesio yang teramati
2
berupa hemoragi dan kerusakan vaskular pada jaringan organ hati, limpa, paruparu dan ginjal, infiltrasi sel radang mononuklear pada paru-paru dan ginjal
(Basilio-de-Oliveira et al. 2005; Marchiori et al. 2009). Laporan kasus lainnya
menyebutkan infeksi DENV juga menyebabkan lesio pada jaringan organ ginjal,
jantung, dan sistem saraf pusat yaitu adanya hemoragi, edema dan infiltrasi sel-sel
radang (Setlik et al. 2004; Gulati et al. 2007; Kuo et al. 2008; Salgado et al. 2010;
Rao et al. 2013). Lesio berupa pembentukan membran hialin pada paru-paru,
nekrosis tubular akut pada ginjal dan destruksi serabut otot jantung dilaporkan
oleh Povoa et al. (2014).
Pengembangan hewan model yang tepat untuk mempelajari infeksi DENV
dan penyakit yang terkait merupakan tantangan besar karena infeksi virus ini
secara alami pada hewan tidak menunjukkan gejala seperti pada manusia. Hewan
model yang pernah dilaporkan banyak digunakan pada penelitian terkait infeksi
DENV adalah mencit, kelinci dan satwa primata. Secara umum, hewan-hewan
model tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mencit dan
kelinci tidak menunjukkan replikasi DENV yang baik, sedangkan satwa primata
meskipun menunjukkan terjadi replikasi DENV namun tidak menunjukkan gejala
klinis penyakit yang menyerupai infeksi pada manusia (Zompi et al. 2012). Satwa
primata merupakan hewan model yang sangat penting dalam penelitian biomedis
untuk mempelajari berbagai permasalahan kesehatan manusia, terutama terkait
pengobatan dan strategi pencegahannya. Mengingat respon fisiologi dan respon
kebal satwa primata terhadap infeksi virus mirip dengan yang dijumpai pada
manusia, sangat dimungkinkan bahwa pada penelitian infeksi DENV pada satwa
primata dapat membantu pemahaman tentang infeksi virus ini pada manusia.
Beberapa spesies satwa primata yang digunakan sebagai hewan model pada
penelitian terkait infeksi DENV antara lain monyet rhesus (Macaca mulatta)
(Onlamoon et al. 2010; Zompi et al. 2012), baboon (Papio anubis) (Valdes et al.
2013), simpanse (Pan troglodytes), marmoset (Callithrix sp.) (Chan et al. 2015)
dan beruk (Macaca nemestrina) (Widjaja et al. 2010; Pamungkas et al. 2011).
Penelitian mengenai kemampuan replikasi virus pada jaringan hewan model M.
nemestrina yang diinokulasi empat serotipe DENV (Widjaja et al. 2010) dan
analisis diseminasi virus pada berbagai jaringan M. nemestrina setelah infeksi
primer DENV-3 (Pamungkas et al. 2011) merupakan terobosan penelitian terkait
infeksi DENV dengan menggunakan satwa primata endemis Indonesia sebagai
hewan model. Informasi yang diperoleh dari penelitian tersebut memberikan
gambaran tentang replikasi dan diseminasi virus pada darah dan jaringan hewan
model secara molekuler. Namun demikian hingga saat ini masih terdapat
kesenjangan dalam pemahaman mengenai patogenesis penyakit DBD ini. Untuk
memahami patogenesis infeksi DENV dengan baik, penggunaan hewan model
sangat diperlukan untuk mengungkapkan secara lengkap mengenai distribusi virus
pada jaringan dan kerusakan jaringan seperti halnya temuan histopatologi pada
jaringan manusia yang terinfeksi DENV. Informasi tersebut akan bermanfaat
dalam pengembangan hewan model infeksi DENV dengan profil patogenesis yang
menyerupai infeksi pada manusia sehingga dapat digunakan pada tahap uji efikasi
vaksin dan pengembangan senyawa antiviral terhadap dengue.
3
Perumusan Masalah
Mengingat penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue masih
menjadi masalah utama pada kesehatan masyarakat terutama di negara tropis dan
sub-tropis dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, maka sangat
penting untuk mempelajari berbagai aspek yang terkait dengan patogenesis
penyakit tersebut. Hal utama yang perlu dipelajari adalah mengenai perubahan
pada jaringan terkait infeksi virus serta replikasi dan diseminasi virus pada
jaringan hingga tingkat seluler. Penggunaan hewan model satwa primata M.
nemestrina, diharapkan dapat mengungkapkan berbagai aspek yang relevan bagi
kemajuan pengembangan hewan model sehingga dapat digunakan pada tahap uji
efikasi vaksin dan pengembangan senyawa antiviral dengue, dengan tujuan akhir
untuk kesehatan dan kesejahteraan manusia.
Pengamatan jaringan hingga tingkat seluler diperlukan untuk melihat
perubahan jaringan yang ditimbulkan akibat infeksi DENV serta penelusuran
replikasi dan diseminasi DENV pada jaringan yang menginfeksi manusia,
sehingga hampir tidak mungkin langsung dilakukan pada jaringan manusia terkait
sulitnya memperoleh sampel jaringan dari pasien penderita penyakit ini. Oleh
karena itu, pengamatan pada jaringan satwa primata yang sudah diinfeksi DENV
sangat bermanfaat untuk pengembangan penelitian terkait infeksi virus ini dan
untuk uji efikasi vaksin serta pengembangan senyawa antiviral terhadap dengue,
terutama karena satwa tersebut memberikan respon fisiologi dan respon kebal
terhadap infeksi virus mirip dengan yang dijumpai pada manusia. Penelitian ini
merupakan bagian dari penelitian yang dilakukan Pamungkas et al. (2011) dengan
langkah-langkah seperti yang tertera pada diagram alir (Gambar 1) berikut.
Inokulasi virus pada hewan model
Uji viremia dan deteksi antibodi
Pamungkas et al. (2011)
No ACUC: P.09-08-IR
Euthanasia
Koleksi jaringan
Pembuatan preparat histologi
Pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)
Pewarnaan Imunohistokimia
Pemeriksaan mikroskopis - Fotomikroskopis
Analisis data
Gambar 1 Diagram alir penelitian
4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh profil distribusi DENV pada
tingkat seluler dengan teknik imunohistokimia pada M. nemestrina pasca infeksi
virus dengue tipe 3 (DENV-3).
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah dihasilkannya hewan model infeksi
DENV dengan profil patogenesis yang menyerupai manusia sehingga dapat
digunakan pada tahap uji efikasi vaksin dan pengembangan senyawa antiviral
terhadap DENV.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Macaca nemestrina sebagai hewan model
M. nemestrina atau beruk (Gambar 2) merupakan satwa primata endemis di
Indonesia. Penyebaran satwa ini di Indonesia meliputi wilayah pulau Sumatera
dan Kalimantan; diklasifikasikan sebagai satwa primata yang rentan dalam daftar
IUCN, dan dimasukkan ke dalam Appendix II CITES. Ancaman utama
keberadaan satwa primata ini di alam adalah perburuan dan kerusakan habitat
akibat kebakaran hutan atau penebangan hutan secara liar (Supriatna et al. 2000).
Satwa primata ini merupakan salah satu spesies dari genus Macaca yang
sering digunakan sebagai hewan model dalam penelitian biomedis untuk berbagai
penyakit manusia. Salah satu alasannya adalah karena M. nemestrina diketahui
memiliki kedekatan anatomi dan fisiologi dengan manusia dan menunjukkan
kerentanan terhadap agen penyakit infeksius tertentu pada manusia, seperti HIV.
Penelitian yang pernah dilakukan (Nowak 1999, Lang 2009) menunjukkan bahwa
HIV mampu bereplikasi di dalam darah satwa tersebut.
®Entang Iskandar
Gambar 2 Macaca nemestrina
5
Penggunaan M. nemestrina sebagai hewan model pada penelitian terkait infeksi
DENV dilaporkan oleh Widjaja et al. (2010) yang bertujuan menemukan hewan
model yang potensial untuk evaluasi kandidat vaksin dengue. Penelitian terkait
infeksi DENV lainnya melaporkan adanya diseminasi virus di berbagai jaringan
M. nemestrina dengan metode analisis Reverse Transcriptase PCR (RT-PCR)
pada jaringan M. nemestrina setelah infeksi primer DENV-3 (Pamungkas et al.
2011). Sehingga tampak bahwa M. nemestrina memiliki potensi besar dalam
penelitian terkait infeksi DENV sebagai hewan model untuk memahami
patogenesis, uji efikasi vaksin dan pengembangan senyawa antiviral terhadap
dengue.
Virus Dengue (DENV)
DENV termasuk dalam famili Flaviviridae dan genus Flavivirus. Flavivirus
merupakan virus yang memiliki amplop berlipid dan berukuran relatif kecil, yaitu
sekitar 40-50 nm (Gubler 1998). Dalam klasifikasi Baltimore, DENV termasuk
virus kelas IV yang berbentuk ikosahedral dan seperti Flavivirus lainnya, DENV
memiliki materi genetik RNA utas tunggal positif berukuran 10.700 basa. Genom
RNA ini dikelilingi dengan nukleokapsid dan dilindungi oleh amplop yang terdiri
atas lipid dan protein membran. RNA virus ini mengkodekan tiga protein stuktural
dan tujuh protein non-struktural. Tiga protein struktural tersebut adalah C
(nukleokapsid), M (membran), dan E (protein amplop), sedangkan tujuh protein
non-struktural adalah NS1, NS2A, NS2B, NS3, NS4A, NS4B, dan NS5
(Leitmeyer et al. 1999). Virus ini memiliki empat serotipe yang biasa disebut
dengan kode DENV-1, DENV-2, DENV-3,dan DENV-4. Infeksi dari salah satu
serotipe menghasilkan imunitas terhadap serotipe tersebut, namun tidak
memberikan proteksi silang terhadap serotipe lainnya (Pervikov 2000).
Gambar 3 Model struktur DENV (Dengue 2008)
6
Patogenesis Infeksi DENV
Daur hidup DENV melibatkan nyamuk sebagai vektor (Zhang et al. 2003).
Virus ini ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypti betina ke manusia melalui air
liur nyamuk. Selain A. aegypti, spesies Aedes lain juga dapat menjadi vektor
untuk transmisi virus ini, antara lain A. albopictus, A. polynesiensis, dan A.
scutellaris (Seema dan Jain 2005). Virus memasuki tubuh manusia melalui
tusukan probosis nyamuk yang menembus kulit. Setelah mengalami periode
tenang selama kurang lebih empat hari, virus kemudian melakukan replikasi cepat
dalam tubuh manusia. Monosit dan makrofag adalah sel target DENV. Tahapan
replikasi virus meliputi penempelan virus pada sel (attachment), penetrasi dan
uncoating, replikasi RNA dan translasi protein, perakitan virus, dan pelepasan.
Apabila virus sudah mencapai jumlah tertentu yang cukup maka DENV akan
menyebar dalam sirkulasi darah, dan pada saat itu manusia yang terinfeksi akan
menunjukkan gejala klinis demam hingga syok berat (Henchal dan Putnak 1990).
Infeksi virus ini menyebabkan efek luas, mulai demam bersifat akut
(Dengue Fever) hingga dapat berkembang menjadi bentuk yang lebih parah, yaitu
Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) dan Dengue Shock Syndrome (DSS) yang
menimbulkan perubahan pada hemostasis dan permeabilitas vaskular (Guzman et
al. 2002; Leong et al. 2007). Beberapa penelitian melaporkan bahwa kejadian
infeksi sekunder oleh serotipe DENV yang berbeda dengan infeksi primer dapat
meningkatkan resiko kejadian DHF pada pasien (Halstead 1970; Green et al.
2006). Dengue Fever merupakan bentuk yang paling ringan dari penyakit ini,
gejala klinis akut yang terlihat berupa hipertermia yang berlangsung sekitar 4-7
hari, sakit kepala, nyeri di area belakang mata, nyeri pada otot dan sendi, rasa
mual dan muntah. Pasien yang mengalami DHF akan menunjukkan gejala seperti
timbulnya bintik-bintik merah di kulit, muntah yang parah dan dapat
mengakibatkan kematian bila tidak ditangani dengan tepat (Seema dan Jain 2005).
DSS adalah bentuk yang paling berbahaya dimana pasien mengalami syok dan
bahkan mengalami kematian. Gejala lainnya adalah detak jantung cepat dan lemah,
tekanan darah rendah, sakit kepala yang parah, muntah, dan penurunan suhu tubuh
atau hipotermia (CDC 2007).
Temuan Histopatologi terkait Infeksi DENV Fatal pada Manusia
Informasi mengenai distribusi virus pada jaringan organ seperti halnya
temuan histopatologi pada jaringan organ manusia yang terinfeksi DENV sangat
diperlukan untuk membantu memahami patogenesis infeksi DENV dengan baik.
Sayangnya informasi tersebut masih sangat terbatas, mengingat sulit diperolehnya
jaringan organ manusia yang terinfeksi virus tersebut.
Sebagian besar gambaran histopatologi yang dilaporkan dari beberapa
kasus infeksi fatal DENV pada manusia mengindikasikan bahwa hati, limpa dan
limfonodus merupakan target organ dari infeksi DENV ini (Bhamarapravati et al.
1967; Basilio-de-Oliveira et al. 2005; Martina et al. 2009). Lesio yang teramati
berupa hemoragi dan kerusakan vaskular pada jaringan organ hati, limpa, paruparu dan ginjal, infiltrasi sel radang mononuklear pada paru-paru dan ginjal
(Basilio-de-Oliveira et al. 2005; Marchiori et al. (2009). Laporan kasus lainnya
menyebutkan infeksi DENV juga menyebabkan lesio pada jaringan organ ginjal,
7
jantung, dan sistem saraf pusat yaitu adanya hemoragi, edema dan infiltrasi sel-sel
radang (Setlik et al. 2004; Gulati et al. 2007; Kuo et al. 2008; Salgado et al. 2010;
Rao et al. 2013). Perubahan lain berupa pembentukan membran hialin pada paruparu, nekrosis tubular akut pada ginjal dan destruksi serabut otot jantung
dilaporkan oleh Povoa et al. (2014). Gambaran histopatologi tersebut diperoleh
dari jaringan organ penderita yang mengalami kematian akibat infeksi DENV.
3 METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2015 sampai Desember 2015 di
Laboratorium Patologi Pusat Studi Satwa Primata (PSSP), Lembaga Penelitian
dan Pemberdayaan kepada Masyarakat (LPPM) Institut Pertanian Bogor (IPB).
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jaringan organ dari
delapan ekor M. nemestrina jantan dan betina berusia antara empat hingga enam
tahun, terdiri dari hati, ginjal, limpa, timus, paru-paru, pankreas, jantung, kelenjar
adrenal, kelenjar ludah, kelenjar tiroid, testis, kelenjar prostat, seminal vesikel,
uterus, ovarium, kantung kencing, kulit area abdominal, limfonodus (aksilaris,
inguinalis, submandibularis, mesenterika), usus, sumsum tulang dan otak dalam
larutan fiksatif paraformaldehida 4% dan alkohol 70% sebagai stopping point.
Bahan-bahan lainnya adalah alkohol, xylol, parafin, larutan pewarna
hematoksilin-eosin, methanol, (3-aminopropyl) triethoxysilane 3%, H202, buffer
sitrat, phosphate buffer saline (PBS) 0.01 M dengan ph 7.4, hydrophobic marker,
kit Starr Trek Universal HRP Detection System (Biocare Medical ®), anti-DENV
(D1-11): sc 65659 (Santa Cruz Biotechnology, Inc), medium perekat Entellan®
dan akuades.
Alat-alat yang digunakan meliputi pisau pemotong jaringan, kaset jaringan,
gelas obyek, kaca penutup, embedding tissue console, staining jar, timer, pipet
mikro, mikrotom, waterbath, inkubator, oven, mikroskop cahaya yang dilengkapi
kamera (Nikon Eclipse 80i DS Fi1, Jepang), dan komputer.
Metode Penelitian
a. Koleksi jaringan
Spesimen yang digunakan pada penelitian ini merupakan bagian dari
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dengan mengikuti aturan yang telah
dikeluarkan oleh Komisi Pengawas Kesejahteraan dan Penggunaan Hewan
Penelitian (KPKPHP) Pusat Studi Satwa Primata, IPB dengan nomor P.09-08-IR
(Pamungkas et al, 2011). Euthanasia dan nekropsi dilakukan terhadap 8 ekor M.
8
nemestrina (5 ekor jantan dan 3 ekor betina) dengan rentang usia empat hingga
enam tahun yang mewakili empat kelompok perlakuan yaitu subkutan dosis
rendah (104 pfu/ml), subkutan dosis tinggi (107-108 pfu/ml), intravena (107-108
pfu/ml) dan intradermal (107-108 pfu/ml). Masing-masing kelompok perlakuan
diwakili oleh dua ekor hewan yang menunjukkan tingkat viremia tertinggi dan
terendah dari masing-masing kelompok tersebut. Hal ini mengacu pada data yang
diperoleh dari penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa efek viremia
mulai terdeteksi pada hari pertama dan terus meningkat hingga mencapai
puncaknya pada hari kedua selanjutnya mulai menurun pada hari ketiga dan
keempat. Kejadian viremia pada semua hewan model tersebut rata-rata
berlangsung selama empat hari. Jaringan organ yang dikoleksi meliputi hati, ginjal,
limpa, timus, paru-paru, pankreas, jantung, kelenjar adrenal, kelenjar ludah,
kelenjar tiroid, testis, kelenjar prostat, seminal vesikel, uterus, ovarium, kantung
kencing, kulit area abdominal, limfonodus (aksilaris, inguinalis, mandibularis,
mesenterika), usus, sumsum tulang belakang dan otak. Setelah dipotong dengan
ketebalan 0.5 cm, jaringan dimasukkan dalam larutan fiksasi paraformaldehida
4% selama empat hari kemudian dimasukkan dalam larutan alkohol 70% sebagai
stopping point atau jaringan dapat disimpan dalam jangka waktu tidak terbatas.
b. Pembuatan preparat histologi
Prosedur pembuatan preparat histologi mengacu pada metode yang
dilaporkan oleh Kiernan (1990) yang telah dimodifikasi. Proses pembuatan
preparat histologi diawali dengan penarikan air dari jaringan (dehidrasi) dengan
merendam jaringan dalam alkohol dengan konsentrasi bertingkat menaik (70%,
80%, 90%, 95%, dan absolut) masing-masing selama satu jam, dilanjutkan dengan
penjernihan (clearing) dengan larutan xylol sebanyak tiga kali pengulangan,
masing-masing selama satu jam. Infiltrasi parafin ke dalam jaringan dilakukan
dengan memasukkan jaringan dalam parafin cair sebanyak tiga kali pengulangan,
masing-masing selama satu jam, dan dilanjutkan dengan penanaman (embedding)
dalam parafin cair untuk dicetak hingga menjadi blok parafin (blocking).
Selanjutnya blok parafin dipotong (sectioning) dengan ketebalan 5 µm
menggunakan mikrotom dan diletakkan pada gelas obyek untuk kemudian
diwarnai dengan pewarnaan hematoksilin eosin dan diletakkan pada gelas obyek
berperekat 3-aminopropyl triethoxysilane (APTES) 3% dalam methanol untuk
pewarnaan imunohistokimia.
c. Pewarnaan hematoksilin eosin (HE)
Prosedur pewarnaan HE mengacu pada metode Kiernan (1990). Prinsip
pewarnaan HE ini adalah ikatan asam dan basa. Hematoksilin merupakan larutan
bersifat basa yang mempunyai afinitas terhadap asam nukleat dari inti sel
sehingga apabila inti sel berikatan dengan hematoksilin menghasilkan warna biru
gelap, sedangkan eosin merupakan larutan yang bersifat asam dan mempunyai
afinitas terhadap komponen sitoplasma sel sehingga sitoplasma sel mengambil
warna merah muda dari larutan eosin tersebut.
Proses pewarnaan diawali dengan proses deparafinisasi atau penghilangan
parafin dengan menggunakan larutan xylol sebanyak tiga kali pengulangan
9
masing-masing selama sepuluh menit, dilanjutkan dengan pemasukan kembali air
ke dalam jaringan (rehidrasi) dengan merendam jaringan dalam larutan alkohol
dengan konsentrasi bertingkat menurun (absolut, 95%, 90%, 80%, 70%), masingmasing selama lima menit. Pembilasan dilakukan dengan melewatkan preparat
jaringan pada air keran yang mengalir selama 10 menit diikuti dengan pembilasan
menggunakan akuades selama 10 menit. Selanjutnya preparat jaringan direndam
dalam larutan pewarna hematoksilin selama kurang lebih dua menit dan dibilas
kembali dengan menggunakan air keran mengalir (sambil dilakukan pengamatan
menggunakan mikroskop cahaya untuk mengetahui intensitas warna). Selanjutnya
jaringan dimasukkan ke dalam larutan eosin selama dua menit dan diikuti proses
dehidrasi dengan menggunakan alkohol konsentrasi bertingkat menaik. Proses
penjernihan (clearing) dilakukan dengan larutan xylol, dan diakhiri dengan
menutup jaringan menggunakan kaca penutup dan bahan perekat Entellan®
(proses mounting).
d. Pewarnaan Imunohistokimia metode Labeled-Streptavidin Biotin (LSAB)
Pewarnaan imunohistokimia pada penelitian ini mengacu pada metode yang
dikembangkan oleh Hsu et al. (1981) dengan menggunakan metode tidak
langsung Labeled-Streptavidin Biotin (LSAB) (Gambar 4). Deteksi protein
DENV-3 dilakukan dengan menggunakan kit komersial Starr Trek Universal
HRP Detection System (Biocare Medical®). Proses pewarnaan diawali dengan
proses deparafinisasi dan rehidrasi. Setelah proses rehidrasi, pembilasan dilakukan
dengan merendam jaringan dalam akuades kemudian PBS. Jaringan direndam
dalam H202 10% dengan pelarut methanol untuk menghilangkan peroksida
endogen, lalu dibilas dengan PBS. Proses penghambatan protein pada jaringan
(protein blocking) dilakukan dengan merendam jaringan menggunakan larutan
Background Sniper (Biocare Medical®) dan normal serum 10% dalam PBS.
Jaringan selanjutnya direndam dalam larutan tripsin dengan pelarut CaCl2 0.2%
untuk tahapan antigen retrieval kemudian dibilas dengan PBS. Deteksi protein
DENV-3 (protein NS1) dilakukan dengan mengaplikasikan anti-Dengue Virus
(D1-11): sc 65659 (Santa Cruz Biotechnology, Inc) dengan konsentrasi 1:50
menggunakan pelarut PBS, inkubasi selama satu malam (overnight) pada suhu
4oC kemudian dibilas dengan PBS. Antibodi sekunder yang sudah dilabel dengan
biotin/biotinylated secondary antibody yaitu Trekkie Universal Link (Biocare
Medical®), diaplikasikan pada jaringan kemudian inkubasi dilakukan pada suhu
37oC dan selanjutnya dibilas dengan PBS. Setelah itu streptavidin peroksidase
yaitu Trekavidin (Biocare Medical®) diaplikasikan pada suhu 37oC dan dibilas
dengan PBS. Visualisasi antigen pada jaringan, menggunakan kromogen 3,3’Diaminobenzidine/DAB (Biocare Medical®) dengan menambahkan 4 µl DAB
dalam 1000 µl larutan substrat. Setelah itu, jaringan dibilas dengan akuades dan
direndam dalam larutan hematoksilin sebagai counterstain kemudian jaringan
ditutup dengan kaca penutup dan bahan perekat Entellan® (mounting). Hasil
positif (+) apabila terdapat material coklat gelap di dalam sitoplasma sel
(intrasitoplasmik) dan negatif (-) jika warna coklat tidak terlihat.
10
Streptavidin-HRP
TrekAvidin
(Biocare Medical®)
Antibodi sekunder-Biotin
Trekkie Universal Link
(Biocare Medical®)
Antibodi primer
anti-DENV (D1-11)
(Santa Cruz
Biotechnology, Inc)
Protein di jaringan
(DENV-3)
Sumber: www.genecopoeia.com
Gambar 4 Prinsip Imunohistokimia Metode Labeled-Streptavidin Biotin (LSAB)
e. Pemeriksaan mikroskopis
Analisis deskriptif dilakukan dengan pengamatan jaringan menggunakan
mikroskop cahaya dan fotomikroskopi dengan menggunakan mikroskop cahaya
yang dilengkapi kamera (Nikon Eclipse 80i, DS Fi1, Jepang). Pengamatan
jaringan dengan pewarnaan HE bertujuan untuk mengetahui morfologi jaringan
secara umum dan perubahan organ yang disebabkan infeksi DENV-3.
Pemeriksaan mikroskopis pada pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk
menentukan lokasi dan distribusi protein pada jaringan organ M. nemestrina yang
terinfeksi DENV-3 serta derajat keberadaan protein tersebut pada jaringan.
f. Analisis data
Analisis deskriptif dilakukan pada preparat jaringan dengan pewarnaan HE,
sedangkan analisis preparat jaringan dengan pewarnaan imunohistokimia
dilakukan secara semi kuantitatif dengan perangkat lunak ImageJ. Derajat protein
ditentukan berdasarkan jumlah sel yang mengandung protein per satu lapang
pandang dengan magnifikasi 400x pada masing-masing jaringan, dengan
memberikan nilai sebagai berikut: rendah atau + (untuk 1-5 sel berprotein/satu
lapang pandang), sedang atau ++ (untuk 6-10 sel berprotein/satu lapang pandang),
tinggi atau +++ (untuk lebih dari 10 sel berprotein/satu lapang pandang)
(Damayanti et al. 2004).
11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Keberadaan protein DENV-3 di jaringan organ M. nemestrina pada
penelitian ini dideteksi dengan pewarnaan imunohistokimia menggunakan
antibodi monoklonal terhadap DENV serotipe 1, 2, 3 dan 4 yang spesifik terhadap
protein permukaan NS1. Jaringan organ yang menunjukkan reaksi positif (+) pada
pewarnaan imunohistokimia meliputi limpa, timus, limfonodus aksilaris,
limfonodus inguinalis, limfonodus submandibularis, dan limfonodus mesenterika
(Tabel 1) yang seluruhnya merupakan jaringan organ limfoid yang terlibat dalam
sistem pertahanan tubuh yang diduga menjadi target organ infeksi DENV-3.
Pemeriksaan mikroskopis menunjukkan bahwa protein DENV-3 yang terlihat
sebagai material coklat gelap di dalam sitoplasma sel (intrasitoplasmik)
terdistribusi secara acak pada sel-sel di pulpa merah organ limpa (Gambar 5A),
sel-sel di area korteks timus (Gambar 5B), sel-sel limfoid di limfonodus aksilaris
(Gambar 6A), sel-sel limfoid di limfonodus inguinalis (Gambar 6B), sel-sel
limfoid di limfonodus mesenterika (Gambar 7A) dan sel-sel limfoid di limfonodus
submandibularis (Gambar 7B). Jaringan lainnya yaitu kulit area abdominal,
kelenjar air susu, sumsum tulang belakang, paru-paru, usus, otak, pankreas,
kelenjar adrenal, ginjal (Gambar 8A), jantung, kelenjar air liur, tiroid, hati
(Gambar 8B), kelenjar prostat, testis, seminal vesikel, uterus, ovarium dan
kantung kencing tidak menunjukkan adanya distribusi protein virus
intrasitoplasmik atau menunjukkan respon negatif (-) pada pewarnaan
imunohistokimia yang dilakukan.
Penelitian oleh Pamungkas et al. (2011) menyebutkan bahwa ekspresi
DENV-3 dengan analisis RT-PCR terhadap organ M. nemestrina yang diinfeksi
DENV-3 terlihat pada kulit area abdominal, sumsum tulang, limpa, timus,
pankreas, kelenjar adrenal, ginjal, jantung, kelenjar air liur, kelenjar tiroid, hati,
kelenjar prostat, limfonodus aksilaris, limfonodus inguinalis, limfonodus
submandibularis, dan limfonodus mesenterika. Sebagian besar jaringan organ
yang menunjukkan respon positif pada analisis RT-PCR tidak memberikan respon
positif pada pewarnaan imunohistokimia. Hal ini diduga berkaitan dengan proses
replikasi virus di dalam sel yang secara umum meliputi tahap transkripsi dan
translasi. Analisis RT-PCR bertujuan mendeteksi genom virus pada jaringan
organ dimana proses transkripsi sudah terjadi, sedangkan teknik imunohistokimia
mendeteksi keberadaan protein virus pada jaringan organ yang berarti apabila
proses translasi (molekul RNA menjadi protein) sudah terjadi. Apabila proses
translasi belum terjadi maka protein virus tidak ditemukan pada jaringan organ.
Sehingga walaupun virus dapat terdeteksi dengan analisis RT-PCR, namun
pewarnaan imunohistokimia menunjukkan hasil negatif.
Siklus infeksi DENV-3 diawali dengan penempelan virus pada sel target
melalui interaksi antara protein permukaan virus dan molekul reseptor pada
permukaaan sel yang terdapat pada sel-sel dendritik, yang merupakan target utama
dari replikasi DENV-3 secara in vivo (Wu et al. 2000). Setelah penangkapan
antigen di dalam jaringan melalui fagositosis atau endositosis, sel-sel dendritik
kemudian bermigrasi melalui pembuluh darah atau pembuluh limfatik dan
bersirkulasi ke dalam organ limfoid untuk selanjutnya dikenali oleh sel limfosit T.
Kemampuan jaringan untuk mengenali virus tersebut dipengaruhi oleh distribusi
12
dan jumlah reseptor pada permukaan sel (Grove et al. 2011). Hal ini merupakan
informasi penting yang diperlukan untuk pengembangan senyawa antiviral.
Tabel 1 Distribusi protein DENV-3 pada berbagai jaringan organ M. nemestrina
Subkutan dosis
rendah
Jaringan
Subkutan dosis tinggi
Intravena
Intradermal
1.5797(♀)
1.6395(♂)
1.5799(♂)
F9004(♀)
M9008(♂)
1.5808(♂)
1.6087(♂)
1.6136(♀)
PCR
IHK
PCR
IHK
PCR
IHK
PCR
IHK
PCR
IHK
PCR
IHK
PCR
IHK
PCR
IHK
Kelenjar air susu
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
+
-
-
Sumsum tulang
belakang
-
-
-
-
-
-
-
-
+
-
-
-
-
-
-
-
Limpa
Hati
+
+
-
+
+
-
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
+
+
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
TA
TA
+
-
TA
Seminal vesikel
+
+
-
TA
TA
+
-
TA
TA
+
+
+
+
-
+
-
Testis
+
-
+
+
+
+
-
TA
+
+
+
+
+
+
+
+
-
TA
-
-
Prostat
+
-
TA
TA
-
-
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
TA
-
-
-
-
-
TA
TA
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Kulit area abominal
Timus
Paru-paru
Ln. aksilaris
Ln. inguinalis
Ln. submandibularis
Ln. mesenterika
Usus
Otak
Pankreas
Kelenjar adrenal
Ginjal
Jantung
Kelenjar air liur
Tiroid
Uterus
Ovarium
Kantung kencing
Keterangan:
= negatif pewarnaan
+
= positif pewarnaan
Ln
= limfonodus
TA
= tidak ada
IHK
= imunohistokimia
Hasil PCR merujuk dari Pamungkas et al. (2011)
13
A
B
Gambar 5 Distribusi protein DENV-3 di jaringan (panah) organ limpa (A) dan
timus (B) dengan pewarnaan imunohistokimia.
14
A
B
Gambar 6 Distribusi protein DENV-3 di jaringan (panah) organ limfonodus
aksilaris (A) dan limfonodus inguinalis (B) dengan pewarnaan imunohistokimia.
15
A
B
Gambar 7 Distribusi protein DENV-3 di jaringan (panah) organ limfonodus
mesenterika (A) dan limfonodus submandibularis (B) dengan pewarnaan
imunohistokimia.
16
A
B
Gambar 8 Respon negatif pewarnaan imunohistokimia jaringan organ ginjal (A)
dan hati (B).
17
Infeksi DENV pada hewan penelitian M. nemestrina menyebabkan
perubahan berbagai jaringan organ yang terlihat pada gambaran histopatologi
dengan pewarnaan HE yang dilakukan. Infiltrasi sel-sel radang limfosit dan sel
plasma (limfoplasmasitik) tampak pada multifokal area parenkima hati (Gambar
9) dan mukosa lambung. Infiltrasi sejumlah banyak histiosit (histiositosis) tampak
pada sinusoid-sinusoid di parenkima limfonodus (Gambar 10) dengan derajat
keparahan ringan hingga sedang. Deplesi folikel limfoid (Gambar 11) dan dilatasi
pembuluh darah atau kongesti (Gambar 12) dengan derajat keparahan ringan
hingga sedang tampak pada parenkima limpa beberapa hewan penelitian.
Gambar 9 Infiltrasi limfosit dan sel plasma pada parenkima hati (panah).
18
Gambar 10 Infiltrasi histiosit (histiositosis) pada sinusoid parenkima limfonodus
(panah).
*
Gambar 11 Deplesi folikel limfoid pada limpa (asteriks).
19
Gambar 12 Dilatasi pembuluh darah (kongesti) pada parenkima limpa (panah).
Penghitungan semi kuantitatif terhadap jaringan-jaringan organ yang
menunjukkan reaksi positif pada pewarnaan imunohistokimia dilakukan untuk
mengetahui derajat keberadaan protein, sehingga dapat diketahui jumlah sel yang
terinfeksi DENV-3. Penghitungan semi kuantitatif yang disajikan pada Tabel 2
memperlihatkan bahwa derajat keberadaan protein DENV-3 tinggi pada jaringan
organ limpa dan keseluruhan limfonodus dengan nilai positif tiga (+++)
sedangkan timus menunjukkan nilai positif satu (+).
Tabel 2 Derajat protein DENV-3 pada jaringan organ M. nemestrina
Organ
Limpa
Derajat protein DENV-3
Tinggi (+++)
Timus
Rendah (+)
Limfonodus aksilaris
Tinggi (+++)
Limfonodus inguinalis
Tinggi (+++)
Limfonodus mesenterika
Tinggi (+++)
Limfonodus submandibularis
Tinggi (+++)
Keterangan:
+
:1-5 sel berprotein per satu lapang pandang/400x
++
: 6-10 sel berprotein per satu lapang pandang/400x
+++ :>10 sel berprotein per satu lapang pandang/400x
20
Derajat keberadaan protein DENV-3 pada keseluruhan jaringan organ yang
dianalisis menunjukkan nilai yang berbeda-beda. Walaupun keseluruhan jaringan
tersebut merupakan target organ dari infeksi DENV namun jumlah sel yang
terinfeksi virus tidak sama pada masing-masing jaringan organ. Hal ini
diperkirakan dipengaruhi oleh morfologi jaringan tersebut. Pada jaringan organ
limpa, protein DENV-3 banyak ditemukan pada area pulpa merah yang
merupakan struktur dominan di parenkima organ limpa. Makrofag yang
mendominasi pulpa merah merupakan antigen presenting cell, sehingga
keberadaan protein DENV-3 pada jaringan organ limpa menunjukkan derajat yang
tinggi yang terlihat dari banyaknya jumlah sel yang mengandung protein DENV-3
tersebut. Demikian pula dengan jaringan organ limfonodus. Protein DENV-3
tampak terdistribusi secara acak dan menyeluruh pada sel-sel limfoid yang
mendominasi parenkima jaringan limfonodus.
B
A
Gambar 13 Struktur parenkima jaringan organ timus.
Pewarnaan hematoksilin eosin (A) dan distribusi protein DENV-3 pada area
korteks dengan pewarnaan imunohistokimia (B).
Pada jaringan organ timus, protein DENV-3 tampak terdistribusi hanya pada selsel di area korteks parenkima timus (Gambar 13). Hal ini juga dilaporkan Gubler
et al (1997) bahwa protein DENV-3 hanya terlokalisir pada sel-sel di area korteks
timus, tidak terlihat pada area medula. Meskipun organ timus merupakan organ
limfoid primer, namun struktur parenkima timus yang didominasi oleh sel-sel
stroma menyebabkan sedikitnya jumlah sel yang terinfeksi DENV-3 karena sel-sel
stroma tersebut bukan merupakan antigen presenting cell (Goldsby 2001).
21
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Protein DENV-3 dapat dideteksi pada jaringan organ limpa, timus,
limfonodus aksilaris, limfonodus inguinalis, limfonodus submandibularis, dan
limfonodus mesenterika dan kerusakan sel akibat infeksi DENV-3 ini paling
banyak ditemukan pada organ limpa. Distribusi protein DENV-3 dapat ditemukan
hingga tingkat seluler pada M. nemestrina pasca infeksi DENV-3 sehingga M.
nemestrina merupakan hewan model alternatif yang baik untuk mengevaluasi
replikasi DENV di jaringan.
Saran
Penelitian lebih lanjut dengan waktu euthanasia hewan model yang lebih
lama setelah inokulasi virus diperlukan untuk memperoleh gambaran distribusi
protein virus pada jaringan dan kerusakan jaringan untuk melengkapi informasi
yang sudah diperoleh pada penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Basilio-de-Oliveira CA, Aguiar GR, MS Baldanza, Barth OM, Eyer-silva WA,
Paes MV. 2005. Pathologic study of a fatal case of dengue-3 virus infection in
Rio de Janeiro Brazil. Braz J Infect Dis. 9(4):341-347
Bhamarapravati N, Tuchinda P, Boonpucknavik V. 1967. Pathology of Thailand
haemorrhagic fever: a study of 100 autopsy cases. Ann Trop Med Parasitol. 61:
500-510
[CDC] Centers for Disease Control and Prevention. 2010. Dengue and dengue
hemorrhagic fever: information for health care practitioners. [internet]. [diacu
2015 Oktober 8]. Tersedia dari: http://www.cdc.gov/ncidod/dvbid/dengue/
dengue-hcp.html
Chan KWK, Watanabe S, Kavishna R, Alonso S, Vasudevan SG. 2015. Animal
models for studying dengue pathogenesis and therapy. Antiviral Res. 123: 5-14
Damayanti R, Dharmayanti NLPI, Indriani R, Wiyono A, Darminto. 2004.
Deteksi Virus Avian Influenza Subtipe H5N1 pada Organ Ayam yang
Terserang Flu Burung Sangat Patogenik di Jawa Timur dan Jawa Barat dengan
Teknik Imunohistokimia. JITV. 9(3): 197-203
Dengue. 2008. Structure Dengue Virus. [internet]. [diacu 2015 Oktober 2].
Tersedia dari: http://www.scielo.org.pe/img/revistas/rins/v22n3/a09fig02.jpg.
Green S, Rothman A. 2006. Immunopathological mechanisms in dengue and
dengue hemorrhagic fever. Curr Opin Infect Dis. 19: 429-436
Gubler DJ. 1998. Dengue and dengue hemorrhagic fever. Clin Microbiol Rev.
11:480-496
22
Gulati S, Maheshwari A. 2007. Atypical manifestations of dengue. Trop Med Int
Health. 12: 1087–95
Guzman MG, Kourı G. 2002. Dengue: an update. Lancet Infect Dis. 2: 33-42
Halstead SB. 1970. Observations related to pathogensis of dengue hemorrhagic
fever. VI. Hypotheses and discussion. Yale J Biol Med. 42:350-62
Halstead SB. 1989. Antibody, macrophages, dengue virus infection, shock, and
hemorrhage: a pathogenetic cascade. Rev. Infect. Dis. 11:830-839
Henchal EA, Putnak JR. 1990. The dengue viruses. Clin Microbiol Rev 3:376-396
Kiernan JA. 1990. Histological & Histochemical Methods: Theory and Practice.
2nd ed. Oxford: Pergamon Press
Kuo MC, Lu PL, Chang JM, Lin MY, Tsai JJ, Chen YH, Chang K, Chen HC,
Hwang SJ. 2008. Impact of renal failure on the outcome of dengue viral
infection. Clin J Am Soc Nephrol. 3: 1350–6
Lang CK. 2009. Primate Info Net: Library and Information Service: National
Primate Research Center, University of Wisconsin-Madison. Primate
Factsheets: Pigtail macaque (Macaca nemestrina) Taxonomy, Morphology &
Ecology. [internet]. [diacu 2015 Oktober 1]. Tersedia dari:
http://pin.primate.wisc.edu/fact-sheets/entry/pigtail_macaque/taxon.
Leong AS, Wong KT, Leong TY, Tan PH, Wannakraiot P. 2007. The pathology
of dengue hemorrhagic fever. Semin Diagn Pathol. 24: 227–36
Leitmeyer KC et al. 1999. Dengue virus structural differences that correlate with
pathogenesis. J Virol. 73:4738-4747
Martina BE, Koraka P, Osterhaus AD. 2009. Dengue virus pathogenesis: an
integrated view. Clin Microbiol Rev. 22: 564-81
Marchiori E, Ferreira JLN, Bittencourt CN, Neto CAA, Zanetti G, mano CM,
Santos AASD, Vianna AD. 2009. Pulmonary hemorrhage syndrome associated
with dengue fever, High-resolution computed tomography findings: a case
report. Orphanet J Rare Dis. 4(8)
Nowak R. 1999. Walker’s Primates of the World. Baltimore, Maryland: John
Hopkins University Press
Onlamoon N, Noisakran S, Hsiao HM, Duncan A, Villinger F, Ansari AA, Perng
GC. 2010. Dengue virus-induced hemorrhage in a nonhuman primate model.
Blood. 115(9):1823-1834. doi:10.1182/blood-2009-09-241990
Pamungkas J, Iskandriati D, Saepuloh U, Affandi M, Arifin E, Paramastri Y,
Dewi FNA, Sajuthi D. 2011. Dissemination in Pigtailed Macaques after
Primary Infection of Dengue-3 Virus. Microbiol Indones. 5(2):92-96
Peng T, Junlei Zhang, Jing AN. 2004. The animal models for dengue virus
infection. Dengue Bul. 428:168-173
Pervikov Y. 2000. Development of Dengue Vaccine. Dengue Bull. 24:71-76.
Povoa TF, Alves AMB, Oliveira CAB, Nuovo GJ, Chagas VLA, Paes MV. 2014.
Tha Pathology of Severe Dengue in Multiple Organs of Human Fatal Cases:
Histopathology, Ultrastructure and Virus Replication. PLoS ONE 9(4): e83386
Rao S, Kumar M, Gosh S, Gadpayle AK. 2013. A rare case of encephalitis. BMJ
Case Rep. 13: pii: bcr2012008229
Salgado DM, Eltit JM, Mansfield K, Panqueba C, Castro D, Vega MR, Xhaja K,
Schmidt D, Martin KJ, Allen PD, Rodriguez JA, Dinsmore JH, López JR,
Bosch I. 2010. Heart and skeletal muscle are targets of dengue virus infection.
Pediatr Infect Dis J. 29: 238–242
23
Seema, Jain SK. 2005. Molecular mechanism of pathogenesis of dengue virus
entry and fusion with target cell. Indian J Clin Biochem. 20:92-103
Setlik RF, Ouellette D, Morgan J, McAllister CK, Dorsey D, Agan BK, Horvath L,
Zimmerman MK, Purcell B. 2004. Pulmonary hemorrhage syndrome
associated with an autochthonous case of dengue hemorrhagic fever. South.
Med J. 97: 688–691
Supriatna J dan Edy HW. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia
Valdés I, Gil L, Castro J, Odoyo D, Hitler R, Munene E, Romero Y, Ochola L,
Cosme K, Kariuki T, Guillén G, Hermida L. 2013. Olive baboons: a nonhuman primate model for testing dengue virus type 2 replication. Int J of Infect
Dis. 17: e176-e1181
Widjaja S, Winoto I, Sturgis J, Maroef CN, Listiyaningsih E, Tan R, Pamungkas
J, Iskandriati D, Blair PJ, Sajuthi D, Porter KR. 2010. Macaca nemestrina and
dengue virus infectivity: a potential model for evaluating dengue vaccine
candidate. Microbiol Indones. 4(2): 49-54
World Health Organization (WHO). 2014. Dengue and dengue haemorrhagic
fever.
[internet].
[diacu
2015
Oktober
1].
Tersedia
dari:
http://www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs117/en/ index.html.
Yauch LE, Shresta S. 2008. Mouse models of dengue virus infection and disease.
Antiviral Res. 80: 87-93
Zhang Y, Corver J, Chipman PR, Zhang W, Pletnev SV, Sedlak D, Baker TS,
Strauss JH, Kuhn RJ, Rossmann MG. 2003. Structures of immature flavivirus
particles. EMBO J. 22: 2604-2613
Zompi S, Harris E. 2012. Animals Models of Dengue Virus Infections. Viruses. 4:
62-82
24
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Barito Utara, Kalimantan Tengah pada 21 Maret 1979
dari ayah Anastasius Joko Wahyudi dan ibu Elisabeth Suparsih (alm). Pendidikan
Sekolah Lanjutan Pertama ditempuh di SMP Katolik Santo Paulus, Palangkaraya
dan dilanjutkan di SMA Negeri 2 Surakarta, Jawa Tengah. Lulus sebagai Dokter
Hewan dari Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004. Saat ini penulis aktif
sebagai staf peneliti dan patologis di Laboratorium Patologi, Pusat Studi Satwa
Primata, Institut Pertanian Bogor.
Download