BAB I - USU-IR - Universitas Sumatera Utara

advertisement
BAB II
MUSIK SERIOSA INDONESIA
2.1 Sejarah Singkat Musik Seriosa
Musik seriosa merupakan salah satu jenis musik klasik Indonesia yang
berasal dari jenis musik lied di Jeman. Musik seriosa mulai dikenal di Indonesia
sekitar tahun 1950-an sejalan dengan penyelenggaraan pemilihan Bintang Radio
dan Televisi (BRTV). Komposisi dan penyajian musik seriosa persis dengan jenis
lied bahwa lagu dan musik iringannya telah menyatu. Pada awalnya, lagu-lagu
seriosa diiringi oleh piano namun seiring perkembangan musik iringan lagu-lagu
seriosa diaransir dalam bentuk ensambel atau orkes.
Untuk dapat membawakan lagu-lagu seriosa dengan baik, dibutuhkan
suatu persyaratan yang mencakup kemampuan teknik vokal yang baik karena
lagu-lagu seriosa merupakan adaptasi dari jenis lagu lied di Jerman. Musik seriosa
merupakan bentuk nyanyian tunggal dengan iringan piano, yang dapat
dinyanyikan dengan baik setelah terlebih dahulu menguasai teknik-teknik vokal.
Teknik-teknik vokal tersebut mencakup, teknik produksi suara yang membahas
berbagai hal yang erat kaitannya dengan organ-organ tubuh. Hal-hal yang
berkaitan dengan produksi suara adalah: pernafasan, sumber bunyi, gema suara,
dan artikulasi.
Lagu-lagu seriosa Indonesia berdasarkan tema syairnya dapat dikelompokkan
dalam tiga bagian, yaitu: 20
20
Pranadjaya dalam Kumpulan Lagu-Lagu Seriosa
Universitas Sumatera Utara
1. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Keindahan Alam”. Beberapa lagulagu seriosa yang bertemakan keindahan alam adalah: “Irama Desa” (karya
Iskandar), “Senja di Pelabuhan Perahu”(karya Mochtar Embut), dan lain
sebagainya.
2. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Percintaan”. Beberapa lagu-lagu
seriosa yang bertemakan percintaan adalah: “Cintaku Jauh Di Pulau” (F.X.
Soetopo), “Embun” (G.R.W Sinsoe), “Kisah Sandiwara”, “Srikandi”, dan
“Gadis Bernyanyi di Cerah Hari” (karya Mochtar Embut), “Lumpur
Bermutiara”(karya Surni Wakirman),
“Bagi Kekasih” (karya Binsar
Sitompul), “O, Angin” (karya Cornel Simanjuntak), “Kisah Mawar di Malam
Hari”, dan “Lagu Pujaan” (karya Iskandar), dan lain sebagainya.
3. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Patriotisme (Kepahlawanan)”.
Beberapa lagu-lagu seriosa yang bertemakan patriotisme adalah: “Lagu Untuk
Pahlawan” (Karya FA. Warsono), “Fajar Harapan” (karya Ismail Marzuki),
“Melati di Tapal Batas” (karya Ismail Marzuki), “Bukit Kemenangan” (Karya
Djuhari), dan sebagainya.
2.2 Komponis Seriosa Indonesia
Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa komponis seriosa.
Penulis menyadari tidak mampu memberikan gambaran tentang seluruh
komponis-komponis musik seriosa secara lengkap dan menyeluruh diakibatkan
data-data tentang komponis musik seriosa Indonesia yang sulit ditemukan. Dari
beberapa data-data yang penulis dapatkan mengenai biografi komponis musik
Universitas Sumatera Utara
seriosa Indonesia adalah: Cornel Simanjuntak; Mochtar Embut; Iskandar; F.X.
Soetopo; dan Binsar Sitompul, Djuhari, G.R.W Sinsoe.
2.2.1 Komponis Cornel Simanjuntak
Cornel Simanjuntak lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara tahun1921.
Ia memperoleh pendidikan teori dan praktek musik dari Yesuit J. Schouten
semasa bersekolah guru di HIK Xaverius College di Muntilan, Jawa Tengah. Tak
banyak karya yang ditinggalkan, diantaranya adalah terutama lagu-lagu yang
semuanya menunjukkan daya cipta indah dan kecakapan musiknya yang kuat.
Melodinya indah, seperti pada Mekar Melati dan Mari Berdendang. Lagu
Kemuning dan 0, Angin selain liriknya yang hangat mengharukan, juga
mengandung cita rasa dramatik. Dari rencana gubahan operanya yang berjudul
Madah Kelana, hanya sebagian kecil dapat diselesaikan, akan tetapi lagu-lagu
mars perjuangan dan lagu-lagu patriotik gubahannya yang dinyanyikan di seluruh
Indonesia, memegang peranan sangat penting dalam menggerakkan semangat
perjuangan semasa revolusi fisik. Beberapa lagu jenis ini termasuk Maju Tak
Gentar, Tanah Tumpah Darah, Padamu Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja,
Indonesia Tetap Merdeka yang lebih terkenal sebagai Sorak-Sorak Bergembira.
Secara umum, lagu-lagu ini digubahnya ketika ia dirawat di Sanatorium Pakem,
Yogyakarta.
Pada masa pendudukan Jepang, ketika ia bekerja di Keimin Bunka
Shidosho, ia menciptakan banyak lagu berbau propaganda, tetapi mempunyai arti
penting sebagai latihan penciptaan bagi dirinya dan pendidikan musik untuk
Universitas Sumatera Utara
rakyat. Diantaranya adalah Menanam Kapas, Menabung, Bekerja, Bikin Kapal,
Hancurkanlah Musuh Kita yang lebih dikenal sebagai Awaslah Inggris dan
Amerika. Karya-karyanya yang lain: Citra, O Ale Alogo, Kupinta Lagi, Andigan
ma, Di na laho Maridi.
Cornel meninggal pada tanggal 15 September 1946 akibat penyakit paruparu yang dideritanya dan disebabkan kehidupan tak teratur selama masa
perjuangan kemerdekaan, bahwa ia ikut ambil bagian secara aktif. Secara
anumerta, dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan oleh Pemerintah RI tahun
1961. Kerangka jenazahnya tanggal 10 November 1980 dipindahkan dari
pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta.
2.2.2 Komponis Mochtar Embut
Mochtar Embut lahir pada tahun 1934 dari seorang ayah yang berasal dari
Medan dan ibu berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Ketika berusia tiga tahun ia
sudah mengenal musik dari orang tuanya. Pada usia 12 tahun, ia menjadi pianis
dan anggota orkes Kesejahteraan Angkatan Darat Territorium VII. Setelah tamat
SMA di Makasar, ia pindah ke Jakarta dan bekerja di RRI sebagai penggubah
lagu. Lagu-lagu gubahannya antara lain Di Wajahmu Kulihat Bulan, Di Sudut
Bibirmu, Mars Pemilihan Umum, Mars Keluarga Berencana, Swa Bhuwana
Paksa. Mochtar Embut seorang komponis yang kreatif dan produktif. Sepanjang
hidupnya ia menggubah tidak kurang dari 100 lagu, baik pop, seriosa, maupun
keroncong. Ia juga mengaransir lagu-lagu untuk orkes besar. Ia dikenal sebagai
salah seorang tokoh seni musik Indonesia. Pada tahun 1971 ia pergi ke Tokyo
Universitas Sumatera Utara
untuk mengikuti festival lagu pop sedunia, dan pada kesempatan itu ia
membawakan lagunya yang berjudul With the Deepest Love from Jakarta yang
dibawakan oleh Elly Srie Kudus. Sampai akhir hayatnya Mochtar Embut tidak
berkeluarga, ia menderita sakit kanker hati. Akibat penyakitnya ini, yang pada
awalnya dirawat di Jakarta kemudian dipindahkan ke Bandung. Pada tahun 1973
Mochtar Embut meningal dunia dan dimakamkan di Jakarta.
2.2.3 Komponis Iskandar
Iskandar lahir tanggal 7 September 1920 di Plaju. Ayahnya, K. Suwandi,
bekerja sebagai pegawai pada perusahaan minyak. Sejak kecil ia sudah
menunjukkan kegemarannya pada musik dengan menyanyi dan menari. Namun
dalam usia 23 tahun, ia benar-benar terjun secara penuh menjadi pemain musik
dengan bergabung pada Orkes Keroncong pimpinan M. Sagi, kemudian
bergabung dengan Orkes Studio Radio Pendudukan Jepang (1943).
Tahun 1945 setelah proklamasi kemerdekaan RI, terbentuklah RRI Studio
Jakarta, ia ditunjuk langsung sebagai pemimpin Orkes Studio RRI (Radio
Republik Indonesia) Jakarta. Iskandar juga mendirikan dan memimpin Orkes
Putra Indonesia dan Orkes Empat Sekawan. Tanggal 5 Oktober 1948, ia
mendirikan dan memimpin Orkes Puspa Kencana yang pemainnya kebanyakan
terdiri dari para pemain Orkes Studio RRI Jakarta. Di tahun ini juga, ia mulai
mencipta lagu-lagu, yang umumnya berupa lagu-lagu "semi klasik".
Universitas Sumatera Utara
Pergumulannya dengan musik mempertemukannya dengan seorang gadis
penyanyi yang tenar
di zamannya, Coryati yang kemudian menjadi istrinya.
Tahun 1953, tampil memimpin Orkes Tjandra Kirana, yang terdiri dari 16 pemain.
Karirnya di RRl terus menanjak, tahun 1972 diangkat menjadi Kepala
Pembinaan Orkes-Orkes Studio sampai 1975. Tiga tahun kemudian, Januari 1978,
tampil untuk pertama kalinya memimpin Orkes Telerama di layar TV (Televisi),
dengan acara siaran tetap sekali sebulan.
Beberapa dari ratusan karya-karya lagu yang telah diciptakan, sebagian
besar lagu-lagu itu berhasil memasyarakat pada zamannya, malah merupakan
karya monumental. Lagu-lagu ciptaannya beragam jenisnya, ada Seriosa (Dahaga,
Karam, Lagu Pujaan, Dewi Anggraeni), Keroncong (Bandar Jakarta, syairnya
oleh Ismail Marzuki), Hiburan (Sabda Alam), Mars (Pemilihan Umum dan
Keluarga Berencana) dan Hymne (Gita Jaya).
Dalam musik pop, ia punya perhatian tersendiri pada Andi Meriem
Mattalata asal Ujung Pandang, dengan menciptakan lagu khusus di antaranya
Mutiara Dari Selatan, Mohon Pamit, Sebutir Mutiara, Sadarlah Sayang, Mesedih,
Tiada Bulan Di Wajah Rawan dan lain-lain. Perhatian khusus pernah pula ia
berikan kepada banyak penyanyi sebelumnya, antara lain Bing Slamet, Ade
Ticoalu, Norma Sanger, Titiek Puspa, dan anak sulungnya sendiri, Diah Iskandar.
Sebagai tanda bakti kepada ayahnya, dengan bantuan TVRI (Televisi Republik
Indonesia), Diah mempersembahkan Orkes Chandra Kirana, yang ia resmikan
bertepatan dengan hari ulang tahun Iskandar tanggal 7 September 1979.
Universitas Sumatera Utara
2.2.4 Komponis Binsar Sitompul
Binsar Sitompul lahir di Pahae Tarutung tanggal 5 Maret 1923. Ia
menamatkan Sekolah Dasar (Hollands – Inlandsche School) pada tahun 1939, lalu
melanjutkan
pendidikan
sekolah
pendidikan
guru
(Hollands-Indische
Kweekschool Katolik) di Muntilan. Sekolah di Muntilan itu memberikan
kesempatan pertama baginya untuk berkenalan secara serius dengan musik klasik
dalam berbagai bentuk penampilan, antara lain dalam bentuk orkes simfoni.
Selama pendudukan Jepang, ia berkonsentrasi dalam permainan biola dan
mendalami teori musik.
Binsar Sitompul menjadi pemasaran untuk bidang musik saat kongres
Kebudayaan I tahun 1948 di Magelang. Ia juga menjadi anggota Panitia Indonesia
Raya tahun 1948 di Yogyakarta, yang antara lain membahas lagu kebangsaan dari
segi pemyempurnaan bentuk dan penggunaannya secara protokoler. Pada tahun
1950, ia mendapat kesempatan belajar di Belanda selama beberapa tahun dan
sekembalinya ke tanah air, ia bekerja di RRI Jakarta dan menjadi dosen untuk
teori harmoni di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) Jakarta, sekarang
Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada tahun 1957, ia mendirikan dan membina
Paduan Suara RRI, serta menjadi pengajar sejarah musik di sekolah musik
Yayasan Pendidikan Musik (YPM).
Beberapa karyanya terpilih sebagai lagu wajib dalam lomba paduan suara
tingkat nasional dan propinsi. Karya-karya seriosanya adalah “T’rima Salamku”,
“Tembang Ria”, “Doa”, “Saudade”, “Renungan di Makam Pahlawan”, Monolog
Pak Jaya di Makam Pahlawan”, dan “Bagi Kekasih”.
Universitas Sumatera Utara
2.2.5 Komponis F.X. Soetopo
F.X. Soetopo lahir di Jombang, 26 April 1937. Ia memperoleh pendidikan
formal dalam bidang musik di Sekolah Menengah Musik Indonesia Yogyakarta
pada tahun 1957. Kemudian ia melanjutkan studinya di Akademi Musik Indonesia
dan ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta dan berguru kepada beberapa musisi
dari luar negeri seperti Willy Piel, Bodmer dan G. Kenney.
Pertama kali menciptakan lagu sekitar tahun 1951 saat aktif dalam gerakan
kepaduan. Selain berprofesi sebagai pemusik, ia juga berdinas di TNI Angkatan
Darat dengan pangkat terakhir sebagai kolonel. Ia mengajar di ISI Yogyakarta
(2001-2006). Ia juga pernah bertugas di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
sebagai Direktur Kesenian, serta sering memimpin aubade dalam acara
Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara (1971-1988).
Sebagai konduktor paduan suara dan orkes simfoni, ia tercatat pernah
memimpin Orkes Simfoni Jakarta dan Orkes ISI Yogyakarta serta mengiringi
musisi Adidarma, Iravati M. Sudiarso dan Kuei Pin Yeo. Tahun 1985, ia mewakili
Indonesia menjadi konduktor dalam ASEAN (Assosiation Of South East Nation)
Youth Music Camp di Malaysia.
Beberapa komposisi vokal ciptaannya adalah “Mars Wajib Belajar 9
Tahun”, “Himne ASEAN”, “Himne Kodam Trikora”, Himne Universitas Widya
Mandala Surabaya”. Karya musik seriosanya adalah “Cintaku Jauh Di Pulau”,
“Bukit Hitam”, “Puisi Rumah Bambu” dan “Gersang”.
Universitas Sumatera Utara
2.2.6 Komponis Djuhari
Djuhari lahir di Garut 6 Juni Tahun 1924 dan mempunyai bakat seni sejak
kecil secara otodidak. Diwarisi oleh ayahnya yang juga pemain musik dan ibunya
yang menyenangi seni Sunda. Tidak heran sejak duduk di bangku kelas VI
(Lagere School) ia telah mampu mencipta lagu.
Kariernya lama dijalani di RRI Bandung hingga Tahun 1972, kemudian ia
mendapat tugas sebagai Kepsta RRI Bogor sampai akhir Tahun 1975. Pekerjaan
di RRI mendorong berkembangnya bakat beliau. Sejak itu dari tangannya tercipta
lebih dari 400 buah karya lagu. Jenis lagu yang ia ciptakan sangat beragam
seperti; lagu-lagu jenis hiburan, keroncong, seriosa, pop, lagu anak-anak, qasidah,
hingga dangdut dan pop Sunda pun ia pernah ciptakan.
Salah satu kenangan beliau dalam menciptakan lagu, seperti seringkali
diceriterakan kepada anaknya; ialah pada saat diminta oleh pimpinan Studio
Jakarta Iskandar dan Mochtar Embut, untuk menciptakan lagu seriosa yang akan
dipergunakan dalam Pemilihan Bintang Radio. Saat itu beliau belum pernah
menciptakan jenis seriosa. Namun akhirnya ia mencobanya, maka lahirlah dua
buah lagu berjudul Bukit Kemenangan dan Hati Penuh Kerinduan. Lagu itu
dijadikan lagu wajib Pemilihan Bintang Radio Tahun 1960-an hingga beberapa
tahun kemudian.
Lagu lain yang yang selalu menjadi kenangan beliau ialah lagu Seuntai
Manikam. Saat itu tahun 1960, RRI mengadakan sayembara mengarang lagu.
Djuhari mencipatakan lagu tersebut selain dorongan kesenimanannya namun
konon saat itu beliau sedang menghadapi kesulitan dana untuk menghadapi
Universitas Sumatera Utara
kelahiran putranya. Dan ternyata lagu Seuntai Manikam pemenangnya. Uang
hadiah langsung ia bayarkan untuk biaya kelahiran putra kedua yang lahir tepat
saat pemenangnya diumumkan.
Lagu-lagu beliau banyak dinyanyikan para Bintang Radio/TV, seperti:
Sam Saimun, Bing Slamet, Donny Saleh, Dedy Damhudi, Tatty Saleh, Group
Patria, dll. Beliau juga salah seorang Dewan Juri baik provinsi maupun tingkat
Nasional setiap kegiatan Pemilihan Bintang Radio/TV hingga tahun terakhir. Di
bidang penulisan naskah dan penyutradaraan Sandiwara Radio, beliau adalah
pakarnya. Tahun 1993 pernah membawa RRI Bandung menjadi juara Swara
Kencana. Ratusan naskah sandiwara dan oratorium ia pun ciptakan. Salah satu
diantaranya ialah Oratorium Penyiaran Teks Naskah Proklamasi Kemerdekaan
RRI oleh para pejuang radio di Bandung yang pernah mendapat penghargaan dari
Menteri Penerangan, Harmoko.
Perjalanan hidupnya ia curahkan hampir sepenuhnya untuk musik dan
RRI. Sederatan Piagam Penghargaan tak terhitung jumlahnya. Mulai dari
Gubernur Jawa Barat bahkan pernah menerima Piagam Penghargaan dari Persiden
RI (1982). Karya-karya almarhum yang populer antara lain: Lagu Pop: Senja di
Priangan, Seuntai Manikam, Balada Dwikora, Tangkuban Perahu, Kepada Guru,
Kepada Pak Tani, Kepada Pak Sopir, Kepada Para Medis. Lagu Seriosa: Bukit
Kemenangan, Hati Penuh Kerinduan, Bunga Yang Gersang, Permata Hijau. Lagu
Keroncong: Di Remang Petang, Pulang, Gita Persada, Api Kasih. Hymne: Hymne
IKOPIN, Hymne Siliwangi (Dari Bumi dan Hati Tumbuhlah).
Universitas Sumatera Utara
Lagu Pop Sunda: Hariring Kuring, Ngabungbang, Panineungan,
Harianeun, Teu Nyana, Ngalamun, Pasosore, Mapag Rayagung. Lagu anak-anak:
Mobil Butut, Ayun-Ayunan, Cika-cika, Hayu Mulang, Ucing jeung Anjing, Caang
Bulan. Lagu Qasidah: Balada Maha Pencipta, Pemuda Alam Semesta, Allah Maha
Besar, Maha Pemurah, Do'a Syukur, Gita Idul Fitri, Bulan Suci Telah Tiba,
Yerusalem, dll.
Naskah Sandiwara Radio: Pengorbanan, Jalan Buntu, Menguak Tirai
Kegelapan, Bukit Kemenangan, Sebuah Berita, Melati Berduri, Anak-anak yang
Terbuang, Dr. Mira, dll. Tak cukup ruang dan waktu untuk menulis berjuta jasa
dan kenangan almarhum. Hanya do'a yang mengiringi kepergian Bapak. Selamat
jalan Maestro RRI, musisi legendaris, sesepuh kami, beristiratlah di sisi Tuhan.
Kami mengiringi dengan do'a dan air mata, karena belum bisa membalas jasa budi
baikmu. (Iik Setiawan RRI Bandung ) .
2.2.7 Komponis George Rudolf Willems Sinsoe
George Rudolf Willems Sinsoe lahir di Tahuna, Sangihe, 12 November
1912 dan meninggal pada 9 Juli 1974 di Bogor, Jawa Barat, dalam usia 62 tahun.
Menyelesaikan pendidikannya di AMS semacam SLA sampai kelas II pada tahun
1932. Ia mahir memainkan gitar yang dipelajari dari ibunya. Ia tertarik pada biola
karena terkesan oleh permainan biola Joe Fenaty dalam Film King of Jazz. Bakat
musiknya menurun dari ibunya, yang pandai bermain biola dan mandolin serta
pintar menyanyi. Tahun 1935 ia mendapat kontrak untuk main di Singapura dan
kemudian keliling Semenanjung Malaka. Tahun 1937 ia gagal memasuki
Universitas Sumatera Utara
Hongkong, karena Jepang telah memasuki Cina. Di Jawa ia mendirikan orkes
Hawaiian Syncopeters yang merupakan satu dari lima besar dunia. Pada masa
pendudukan Jepang ia ditarik main dalam orkes symphoni Hosho Kyoku. Dalam
masa itulah lahir karya-karyanya yang terkenal seperti Surya Wisesa, Embun.
Penataan musik untuk film dimulainya sejak Darah dan Doa (1950), karya Usmar
Ismail. Dan karyanya untuk Harimau Tjampa (1954) berhasil memenangkan
hadiah dari FFA di Singapura 1955.
Pada awal 1930-an, mendirikan Hawaiian Syncopators di Jakarta. Pada
1950-an, ia bermain di Hotel Des Indes bersama Nick Mamahit (piano), Bart
Risakotta (drums) sedangkan dirinya memainkan bass. Ketika TIM baru berdiri
pada akhir tahun 1960-an, ia menyelenggarakan pertunjukan musik dalam bentuk
big band. Acara itu sempat berlangsung secara rutin setiap tiga bulan. Dalam
Expo 1970 di Osaka, Jepang, bergabung dengan Indonesia Enam, pimpinan Mus
Mualim, bersama Sadikin Zuchra, Idris Sardi, Maryono, dan Benny Mustapha.
Selain bermusik, tahun 1950-an, pernah main film berjudul Krisis. Awal tahun
1970-an namanya kembali muncul di dunia musik dengan rombongan Big Bandnya, yang memanggil kembali perhatian orang pada musik Jazz. Sejak tahun 1964
tiba-tiba ia muncul sebagai pelukis abstrak. Pernah pameran di TIM.
2.3 Penyanyi Seriosa Indonesia
Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa penyanyi seriosa yang
sudah memberikan konstribusi di dalam perkembangan musik seriosa pada
masanya masing-masing. Sangat sulit memperoleh data-data menyangkut
Universitas Sumatera Utara
penyanyi-penyanyi seriosa Indonesia, oleh karena itu penulis tidak mungkin
memberikan gambaran tentang seluruh penyanyi seriosa Indonesia dalam
penelitian ini dikarenakan data tentang biografi mereka belum dituliskan. Berikut
ini adalah beberapa penyanyi seriosa Indonesia: Pranawengrum Katamsi, Aning
Katamsi, Pranadjaya, Rose Pandanwagi, Christopher Abimanyu.
2.3.1 Pranawengrum Katamsi
Pranawengrum Katamsi (sapaan akrab dengan nama Rum) lahir tanggal 28
Maret 1943, ia merupakan putri kelima dari enam bersaudara dari pasangan RM
Surachmad Padmorahardjo dan Oemi Salamah. Bakat seni yang mengalir dalam
dirinya didapat dari sang ayah. Ayahnya yang berprofesi sebagai pegawai swasta
memiliki kemampuan bermain biola. Dengan latar belakang yang dimiliki oleh
orang tuanya, maka perhatian yang penuh diberikan kepada Rum dalam
mengembangkan bakat bernyanyi yang dimiliki. Ditengah proses tersebut, ia
harus menerima kenyataan bahwa ayahnya meninggal dunia disaat ia masih
berusia tujuh tahun. Dalam situasi ini, posisi ayah yang selalu mendukung
perkembangan bakat musik bernyanyi Rum digantikan oleh ibunya. 21
Saat menempuh pendidikan di SMA (Sekolah Menengah Atas), Rum
mendapatkan kesempatan dari Nathanael Daldjoeni (kepala sekolah) yang juga
berprofesi sebagai penggubah lagu dan pemerhati musik. Nathanael salah satu
orang yang berjasa dalam memperkenalkan lagu seriosa kepadanya. Lambat laun
Rum mulai mencintai lagu seriosa dan belajar musik ini dengan serius.
21
http://www.tokoh Indonesia
Universitas Sumatera Utara
Di tengah upayanya memperkenalkan musik seriosa, Rum tak memungkiri
masih adanya pandangan keliru dari segelintir kalangan yang menganggap bahwa
musik seriosa hanya untuk konsumsi ''orang berstatus tinggi'' dengan pemahaman
musik di atas rata-rata. Padahal, musik seriosa sendiri tak pernah membatasi diri.
Bahkan pada 1950-an, seriosa menjadi musik yang sering dinyanyikan kaum
remaja.
Pada 1960, Rum mengikuti lomba seriosa di Pekan Kesenian Jakarta
mewakili sekolahnya. Rum yang ketika itu masih berusia 16 tahun berhasil meraih
juara II. Setahun berselang, ia mengikuti ajang Bintang Radio Wakil Presiden
Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta tingkat nasional, ia mampu
mendapatkan gelar juara harapan.
Rum secara terus menerus menimba ilmu kepada banyak guru vokal,
seperti R Suwandi, Suthasoma, Kusbini, Binsar Sitompul, Sari Indrawati, EL
Pohan, dan N Simanungkalit. Salah satu di antara guru vokal yang mendidik Rum
yaitu, N. Simanungkalit memiliki keyakinan bahwa Rum akan tumbuh menjadi
penyanyi seriosa yang terkenal di Indonesia.
Saat masih menjadi mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Gajah Mada, ia tampil sebagai juara pertama dalam Pekan Kesenian
Mahasiswa seluruh Indonesia di Denpasar Bali. Prestasinya yang paling
membanggakan adalah saat ia berhasil keluar sebagai jawara sebanyak tujuh kali
dalam perlombaan Bintang Radio dan televisi tingkat nasional jenis seriosa yakni
pada tahun 1964, 1965, 1966, 1968, 1974, dan 1980. Atas prestasi itu, Rum
Universitas Sumatera Utara
berhak mendapat Piala W.R Supratman, sebuah penghargaan tertinggi dalam
ajang tersebut.
Pada 27 Januari 1964, Rum menikah dengan Amoroso Katamsi, seorang
aktor, dokter, dan perwira Angkatan Laut. Sebagai istri seorang prajurit, Rum
kerap menemani suaminya bertugas, seperti saat aktor pemeran Presiden Republik
Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto dalam film G30S/PKI (Gerakan 30
September/Partai Komunis Indonesia) itu ditugaskan ke Cilacap pada tahun 1969
hingga 1973. Selama kurun waktu tersebut, Pranawengrum absen dari kompetisi
bintang radio dan televisi. Setelah menikah, Rum dan keluarga bermukim di
Jakarta. Status barunya sebagai ibu rumah tangga tak menghalangi hasratnya
untuk terus berkecimpung di dunia olah vokal. Dengan dukungan penuh dari sang
suami, Rum kian giat berlatih di bawah bimbingan Pranadjaja, FX Sutopo,
Sunarto Sunaryo, dan Anette Frambach. Ia bahkan tak hanya eksis berkarya
sebagai penyanyi tetapi juga turut berusaha mengembangkan genre seriosa di
Indonesia.
Misalnya
Rum
mengumpulkan
rekan
seprofesinya
untuk
memperkenalkan musik seriosa kepada masyarakat awam. Upaya lain yang
dilakukannya adalah membuat rekaman bersama pianis Soewanto Soewandi, di
bawah label Irama Master, namun sayangnya album tersebut kurang mendapat
sambutan hangat.
Rum pernah mendapat undangan untuk tampil dalam Pentas Paduan Suara
Mahasiswa Nommensen Medan membawakan Oratorium The Messiah (Handel)
sebagai solois tamu. Selain secara solo, ia juga kerap berkolaborasi dengan
sejumlah musisi lain seperti rombongan La Grande Opera, Twilite Orchestra,
Universitas Sumatera Utara
Orkes Remaja Bina Musika, Orkes Simponi Jakarta, Orkes mahasiswa Institut
Seni Indonesia Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta
pimpinan Ed van Ness, Konduktor, komposer, dan produser konduktor Richard
Haskin dari Orkes PPIA, pemimpin koor N Simanungkalit, Max Rukmarata, dan
FX Sutopo.
Kemampuannya berolah vokal membawakan lagu-lagu seriosa juga ia
tularkan kepada calon-calon penyanyi masa depan dengan menjadi pelatih dan
pembina sejumlah paduan suara. Pada tahun 1970, ia pernah mendirikan dan
memimpin Paduan Suara Wijayakusuma di Cilacap, Jawa Tengah, kemudian
membina Paduan Suara Gita Nusantara, Paduan Suara Anak-anak Radio Republik
Indonesia (RRI), dan Paduan Suara Lihat wanita di Jakarta bersama Binsar
Sitompul.
Sadar bahwa usahanya melakukan regenerasi tak berjalan sesuai harapan,
Pranawengrum tak patah arang. Baginya yang penting, ia sudah berusaha
melestarikan karya seni Indonesia. Kekecewaan Rum mulai terobati ketika ketiga
buah hatinya, Ratna, Doddy, dan Aning mengikuti jejaknya. Ratna yang kini
menjadi guru piano dan sejarah musik di Yayasan Pendidikan Musik (YPM)
Jakarta, mengawali kariernya sejak usia 11 tahun, di bawah bimbingan Chairi dan
Sunarto Sunario. Selain mengajar, Ratna juga sering tampil sebagai pengiring
berbagai konser dan lomba musik seriosa. Sesekali Ratna juga tampil mengiringi
ibunya dalam sejumlah pementasan.
Ratna yang merupakan sarjana biologi lulusan UI ini mempelajari piano
dari pianis terkenal Iravati M Sudiarso, serta beberapa pianis mancanegara, antara
Universitas Sumatera Utara
lain Reynaldo Reyes dan Walter Hautzig. Sementara, Doddy, satu-satunya anak
lelaki Pranawengrum, lebih memilih menjadi penyanyi rock yang sering
membawakan lagu-lagu Deep Purple. "Ibu tak melarang saya nyanyi rock. Dia
justru yang ngajari saya teknik vokal seriosa untuk diaplikasikan ke rock," kata
mantan personil grup musik Elpamas Surabaya seperti dikutip dari situs
kompas.com.
Sedangkan si bungsu, Aning yang kini dikenal sebagai penyanyi seriosa
mendapat bimbingan vokal awal dari sang ibu yang kemudian berlanjut di bawah
bimbingan Catharina W. Leimena. Lulusan Jurusan Fisika, Fakultas MIPA,
Universitas Indonesia ini sebenarnya pernah mendapat tawaran mengajar di
almamaternya, namun Aning lebih memilih mengajar vokal dan piano di YPM.
Di mata anak-anaknya, Rum dikenal sebagai ibu yang siap berkorban bagi
keluarga. Ratna mengisahkan, ibunya rela meninggalkan bangku kuliah di UGM
(Universitas Gajah Mada), demi berkonsentrasi mengasuh anak-anaknya. Bahkan,
ketika mengikuti rombongan paduan suara Kodam VII Pemimpin Perang
Diponegoro ke Bandung dan Jakarta di tahun 1965, Rum mengajak serta putri
sulungnya, Ratna, yang ketika itu baru berumur dua bulan.
Rum meninggal dunia pada Senin 4 September 2006 pukul 13.50 di RSAL
(Rumah Sakit Angkatan Laut)
Mintohardjo, Jakarta, dalam usia 63 tahun.
Sebelum wafat, Rum yang diketahui mengidap penyakit gagal ginjal yang
mengalami komplikasi ke paru-paru dan jantung itu sempat menjalani perawatan
selama satu bulan. Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan di Jalan
Kamper 9, Kompleks Angkatan Laut Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Keesokan
Universitas Sumatera Utara
harinya, Selasa 5 September 2006, Rum dikebumikan di pemakaman Pangkalan
Jati.
Hampir separuh hidupnya didedikasikan untuk dunia musik, bahkan ketika
terbaring di rumah sakit, ia masih membicarakan seriosa. Cita-citanya sederhana
saja, yakni ingin kaum muda gemar menyanyi seriosa dengan dasar yang benar.
Meskipun punya prestasi dan nama besar, ia tetap seorang yang rendah hati dan
bersahaja. Kebersahajaan itu yang membuat dirinya luwes dalam bergaul.
Rekan-rekannya mengenang wanita Jawa ini sebagai sosok guru yang
selalu memberikan keteladanan. Ia pun senantiasa mensyukuri garis hidupnya
sebagai seniman musik. Pemusik Suka Hardjana bahkan menilai kesetiaan Rum
pada seriosa pantas dicontoh seniman lain. Hardjana juga menghargai konsistensi
dan kedisiplinan Rum pada pilihannya itu. Komponis penggubah lagu Hari
Merdeka, H Mutahar, bahkan memberikan Rum julukan "Ibu Seriosa Indonesia".
2.3.2 Aning Katamsi
Aning Katamsi lahir di Cilacap, 3 Juni 1969 adalah seorang penyanyi
seriosa Indonesia. Ia memiliki karakter vokal sopran. Aning adalah putri dari
Pranawengrum Katamsi, yang juga seorang penyanyi seriosa. Aning pernah
belajar vokal kepada Catharina Leimena, yang juga adalah penyanyi seriosa
Indonesia yang pernah menuntut ilmu di Conservatorio di musica “Giuseppe
Verdi”, Milan, Italia. Saat ini, Aning adalah salah satu pelatih Paduan Suara
Mahasiswa Universitas Indonesia Paragita. Selain bernyanyi, Aning juga adalah
seorang pemain piano handal. Ia pernah belajar pada Lee Alison Sibley dan
Universitas Sumatera Utara
master class dari Ruth Drucker, Andrea Ehrenreich, Adib Fazah dan Rudolf
Jansen.
2.3.3 Pranadjaya
Pranadjaya lahir di Yogyakarta 11 Desember 1929 dan meninggal di
Jakarta 2 November 1997. Ia lahir dari keluarga Soepratman Djojodinoto, dan
menikah dengan
Sri
Soerniatoen.
Pranadjaya
pernah
menempuh Kursus
Kementerian Dalam Negeri di Malang dan melanjutkan pendidikan pada Kursus
Ilmu Kepegawaian di Universitas Gadjah mada (FISIPOL-UGM), namun
tidak sampai selesai karena dorongan bermusiknya yang tinggi. Ia belajar
menyanyi pada Djaelan D Hasan, seorang guru lulusan Jepang, kemudian
melanjutkan belajar pada Prof. Nakayama di Universitas Kesenian Tokyo
di Jepang, selain itu juga belajar pada Prof. DR. Gerhard Heisch.
Prestasinya dimulai ketika mengikuti lomba menyanyi seriosa yang
diselenggarakan oleh FISIPOL UGM Yogyakarta dan meraih juara pertama.
Berturut-turut tahun 1955, 1956 dan 1957 ia terpilih sebagai juara I Bintang
Radio. Tahun 1958 ia pindah bekerja ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Direktorat Kesenian, yang sebelumnya tahun 1952-1958 ia bekerja sebagai
pegawai
Departemen
Dalam Negeri.
Tanggal
11
Desember
1972
dengan dorongan istrinya ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan musik "Bina
Vokalia" di bilangan Jl. Radio Dalam IV NO.4 Jakarta Selatan.
Ia memperoleh berbagai penghargaan dalam bidang seni diantaranya The
Order Of Rising Sun dan Gold and Silver Rays. Pranadjaya meninggal tanggal 2
Universitas Sumatera Utara
November 1997, setelah ia selesai memimpin pertunjukan paduan suaranya di
gedung Sekolah Jakarta Japanese School di Bintaro Jakarta Selatan.
2.3.4 Christopher Abimanyu Sastrodiharjo
Christopher Abimanyu Sastrodiharjo lahir di Bandung sekitar tahun 1970.
Sejak tahun 1985, pria yang juga mahir memberi terapi akupuntur ini mulai
menekuni profesinya sebagai penyanyi seriosa. Christopher Abimanyu untuk
pertama kalinya mendapat ilmu vokal dari Ir. Sudaryanto. Selain itu, dia juga
melatih vokalnya pada penyanyi sopran Marijke ten Kate dan Avip Priyatna.
Untuk semakin mengasah kemampuannya dalam bernyanyi seriosa, Christopher
Abimanyu sampai harus pergi ke Austria untuk menimba ilmu pada Prof Richard
Miller di Mozarteum, Salzburg. Setelah merasa cukup memiliki bekal,
Christopher Abimanyu memberanikan dirinya untuk mengikuti Festival Bintang
Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat dan nasional di tahun 1985.
Di ajang tersebut, Christopher Abimanyu berhasil meraih juara I untuk
kategori penyanyi seriosa. Dua tahun kemudian, dia kembali menorehkan prestasi
dengan menjadi jawara dalam Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Jawa
Barat dan Nasional kategori seriosa. Setelah momen sukses menjuarai ajang
bergengsi tersebut, Christopher Abimanyu kemudian mulai berduet bersama
pianis Ine Lopulisa. Dengan duet ini, Christopher Abimanyu bersama Ine sering
diminta tampil dalam berbagai pagelaran konser di sejumlah kota besar di Pulau
Jawa, mulai dari kota kelahirannya, Bandung, ibukota Jakarta, hingga kota
Pahlawan Surabaya. Mereka berdua banyak sekali mengadakan berbagai konser
dengan berbagai tema yang bervariasi, mulai dari sacred song, broadway musical
Universitas Sumatera Utara
sampai seriosa Indonesia. Abimanyu bahkan juga sempat membuat album seriosa
Indonesia berjudul Sebutir Mutiara bersama Ine Lopulisa.
Selain bersama Ine, Christopher Abimanyu juga sering tampil bersama
berbagai orkes-orkes dan paduan-paduan suara, serta sejumlah konduktor di
Indonesia, salah satunya Addie MS. Bersama pimpinan Twilight Orchestra itu, dia
membawakan beragam repertoir mulai lagu-lagu Indonesia, opera, hingga
broadway. Bersama Twilite pula, Abimanyu pernah menjadi solis pada Symphony
No. 9 Beethoven dan disaksikan langsung oleh Presiden saat itu, Abdurrahman
Wahid dan beberapa kali tampil di depan Ibu Megawati Sukarnoputri dalam
acara-acara rutin Bimasena. Abimanyu bersama pianis Lendi Sudarno juga tampil
dalam Art Song Series, salah satunya pernah menampilkan siklus “Die Schone
Mullerin” karya dari F. Schubert secara lengkap.
Beberapa penghargaan dalam Perlombaaan Seriosa yang pernah beliau
raih adalah sebagai berikut; (1) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat
Nasional kategori seriosa (1987); (2) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi
tingkat Jawa Barat kategori seriosa (1987); (3) Juara I Festival Bintang Radio dan
Televisi tingkat Nasional kategori seriosa (1985); dan (4) Juara I Festival Bintang
Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat kategori seriosa (1985).
2.3.5 Rose Pandanwangi
Rose Pandanwangi lahir di Makasar tanggal 26 Juni 1930, ayahnya
keturunan Jerman dan ibunya berdarah campuran Manado Spanyol. Nama Rose
Pandanwangi diberikan oleh S. Sudjojono suaminya yang menelusuri hidupnya di
jalur seni lukis. Pasangan ini dikaruniai enam orang anak yang telah menjadi
Universitas Sumatera Utara
orang sukses semua. Masing-masing anaknya mempunyai kesan sendirisendiri terhadap lagu yang dibawakan ibunya. Misalnya Wicky lebih terkesan
dengan lagu Be Still and Listen, (lagu Negro Spiritual) lagu ini sering dilantunkan
ibunya sewaktu kecil, sehingga setiap lagu ini dinyanyikan selalu mengingatkan
pada nasihat-nasihat ibunya waktu masih kanak-kanak. Pandan putri sulungnya
lebih terkesan dengan lagu Untuk Anakku, karya Syaiful Bachri.
Perjalanan karir Rose Pandanwangi dalam dunia seriosa diawali ketika
bertemu dengan
guru
menyanyi
Jepang
Miakira.
Oleh Miakira,
Rose
diperkenalkan dengan serombongan orkes dari Jepang yang mengadakan tour
keliling di Ujung Pandang. Bakat dan warna suara Rose ternyata cocok dengan
selera orkes tersebut maka ia diikutkan pada orkes tersebut. Sukses sebagai
penyanyi solo orkes, oleh ayahnya pada tahun 1947 dikirim ke Eropa untuk
memperdalam musik. Di Eropa inilah bakat Rose dibidang tarik suara khususnya
seriosa dapat berkembang. Tahun 1952 ia pulang ke Indonesia. Tahun 1958
untuk pertama kalinya mengikuti lomba bintang radio jenis seriosa dan merebut
juara III. Tahun 1959 ia mengikuti lomba lagi, dan berhasil mengalahkan
penyanyi legendaris seriosa Indonesia Norma Sanger. Prestasinya diulang lagi
ketika tampil menjadi juara nasional di Senayan tahun 1981. Sejak tahun 1958
sampai 1965, ia telah mengumpulkan 14 piala kemenangan baik untuk tingkat
DKI (Daerah Khusus Ibukota) maupun tingkat nasional. Semenjak tahun 1965
Rose tidak aktif mengikuti lomba-lomba bintang radio untuk memberi
kesempatan kepada pendatang baru. Ia lebih aktif sebagai juri untuk lagu-lagu
Universitas Sumatera Utara
seriosa dan aktif mengadakan pentas di berbagai acara hiburan maupun gerejagereja.
Prestasinya tidak terbatas di dalam negeri, tetapi juga ke mancanegara.
Tahun 1953 ia mengikuti festival lagu klasik yang diadakan di Bucharest,
Rumania dan berhasil sebagai juara III. Selain itu juga aktif pentas panggung
hiburan antara lain di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, dan Lembaga
Indonesia Amerika. Model suaranya untuk tahun-tahun berikut hingga kini,
dianggap sebagai contoh paling baik untuk seriosa. Nama wangi baru
dikenal tahun 1958, sebelum itu ia memakai nama Rose Sumabrata, dan dengan
nama ini ia telah pula menyanyi di beberapa negeri di luar Indonesia. Sepeninggal
suaminya ia merawat galeri yang terletak di Pasar Minggu.
2.3.6 Catharina Wiriadinata Leimena
Catharina Wiriadinata Leimena lebih akrab dengan panggilan Catharina
Leimena. Lahir pada tanggal 12 September 1942. Sejak kecil bakat suaranya telah
tampak oleh guru seni suara pada saat itu, ibu Nel Hakim, yang kemudian menjadi
guru pianonya. Ia sering ditampilkan sebagai solist pada beberapa pagelaran
paduan suara dan oratorium, dengan pembina vokal privatnya seorang guru vokal
berkebangsaan Jerman, Madame Botterberg Schimieden. Sewaktu mahasiswa ia
memenangkan juara I untuk kategori seriosa dan mendapat beasiswa dari
pemerintah Italia untuk memperdalam seni vokal dan opera. Dengan bimbingan
dari Professora Anzeloti Zurlo (pangajar di Academia di Santa Cecilia) selama
satu tahun di kota Roma, ia diterima di Kenservatorium Musik ”Guiseppe Verdi”
Universitas Sumatera Utara
Milano dibawah bimbingan professora Clotilde Ronchi dan mempelajari seni
opera di bawah bimbingan Professora Carla Castelanni. Pada tahun 1965 lulus
dengan meraih. Pada tahun 1965 lulus dengan meraih ”diploma per il canto
artistico” dan berhak turut dalam pagelaran-pagelaran yang diselenggarakan oleh
Konservatorium tersebut, antara lain dalam pagelaran karya-karya Monteverdi
dengan dirigen muda Riccardo Muti di hadapan Sri Paus Paulus VI di Vatican dan
Theatre Lugano di Swiss. Peran-peran opera yang pernah diperankan Catharina
antara lain, sebagai La Cleca dalam Opera La Gioconda karya komponis
Ponchiello; Azucena dalam Opera Il Trevatore karya Guiseppe Verdi; Mama
Lucia dalam Opera Cavaleria Rusticana karya Pietro Mascagni, Adalgisa dalam
Opera La Norma karya V. Bellini.
Sekembalinya ke Indonesia, Catharina mengadakan resital-resital tunggal
dengan pianis Iravati M. Sudiarso di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta.
Untuk memberikan apresiasi seni opera di Indonesia, Catharina membentuk
sanggar Opera ”Susvara”, dengan bekerjasama dengan beberapa grup paduan
suara, ballet, dan teater sempat mementaskan beberapa opera di Jakarta dan
Bandung. Pada tahun 1981 ia mendapat penghargaan dari ”Instituto Antonio
Pigafetta” dalam keberhasilannya memberi apresiasi untuk seni tersebut, dan Duta
Besar Italia mendatangkan dua kali grup opera dari Italia dengan pementasan ”Il
Barbieri di Siviglia” karya Rossini dan ”La Boheme” karya Giacomo Puccini, di
Jakarta.
Catharina juga bermain dalam berbagai opera dan menyanyi solis dalam
berbagai konser, menjadi bintang tamu dalam pagelaran Mozart Night, produksi
Universitas Sumatera Utara
Studio Cantorum dan Bandung Choral Society. Menjadi salah satu penyanyi
dalam Night of Miracles yang diadakan oleh Rotary Club Jakarta di Hotel
Dharmawangsa. Terakhir pada 22 Agustus 2003. Ia tampil dalam resital tunggal
”Konser Vokal Emas” dalam rangkaian acara 50 tahun Yayasan Pendidikan
Musik.
Selain bernyanyi ia juga aktif menjado peserta ”International Choral
Symposium” di Rotterdam, Netherland. Menjadi pengamat pada Choir Olympic II
di Busan, Korea, menjadi peserta dalam Internatioanal Choral Symposium for
East-Asia di Singapura, memberikan beberapa materi dalam Church Choral
Symposium yang diadakan oleh Banding Choral Society pada bulan Juli 2003.
Saat ini aktif menjabat sebagai dosen di Sekolah Musik YPM dan Institut
Kesenian Jakarta, mengajar secara privat serta menjadi juri dalam berbagai
kompetisi dan festival paduan suara.
2.3.7 Christine Theodosia Lubis
Lahir pada tanggal 1 Desember 1981 di Tanjung Balai. Nama lengkapnya
adalah Christine Theodosia Lubis. Mengenal musik sejak usia 5 tahun dari
keluarganya, khususnya ibunya sendiri R.Hutauruk. Tahun 1996 masuk Sekolah
Menengah Musik Negeri Medan dibawah bimbingan ibu Juliana Hutagalung. Ia
memperdalam pengetahuan musik vokalnya di Institut Kesenian Jakarta hingga
tahun 2003 dibawah bimbingan ibu Catharina Leimena. Mengikuti beberapa
master class vocal dari Italia dan Portugal sejak tahun 2001, antara lain arahan
dari Nunzia Santodirocco dan Massimilano Damato (Soprano-Tenor) dari Italia,
Universitas Sumatera Utara
Tenore dan Soprano dari Portugal dan Italia serta terakhir adalah dengan Monica
Bozzo dan Guiseppe Belancca (soprano-tenore) dari Italia di sekolah Musik YPM
Jakarta, pada April 2007.
Memiliki pengalaman sebagai penyanyi solis soprano, diantaranya:
Jak@rta Performance bersama Trisutji Kamal dan Catharina Leimena di Geding
Kesenian Jakarta pada Juni 2004; mendapat peran Donna Elvira, Dorabella dan
Pamina dalam pagelaran ”Catch A Glimpse of Mozart’s Opera” (Le Nozze di
Figaro, Don Giovanni, Cosi fan Tutte, Die Zauberflote) di GoetheHaus Jakarta
pada Januari 2007; sebagai solis menyanyikan beberapa cuplikan oratorium pada
pagelaran bertajuk ”The Seven Last Words Of Christ” karya T.Dubois, produksi
Susvara Opera Company di Gedung Kesenian Jakarta tahun 2008; Juara Bintang
Radio se-DKI Jakarta; Juara Bintang Radio Tingkat Nasional di Makassar pada
November 2009; menjadi solis soprano dalam pra konser ”One Voice, One heart”
bersama Cherubim Choir GII Hok Im tong di YMCA Auditorium Singapore pada
Oktober 2011; pembicara dalam seminar “Vocalizing and Choral Workshop
Program” dalam rangka Aldersgate Gereja Methodist Indonesia di Medan pada
November 2011; menjadi salah satu solist soprano dan vocal director dalam
“Victorious Journey” premiere concert Cantiamo La Verita di auditorium RRI,
Jakarta 20 Mei 2013. Di awal September 2013 mendapat kepercayaan menjadi
solist soprano mewakili Indonesia dalam misi kebudayaan ASEAN yang bertajuk
“Business of Asia Traditional Music” di Seoul, Korea Selatan.
Universitas Sumatera Utara
2.4 Musik Klasik di Indonesia
Pada bagian Pendahuluan sudah memaparkan bagaimana proses panjang
dan sentuhan awal masuknya musik klasik barat di Indonesia. Awal masuknya
musik diatonis barat di Indonesia tidak terlepas dari kedatangan orang-orang barat
dengan tujuan utama untuk perdagangan dan politik. Tahun 1511 merupakan titik
awal pengaruh barat di Indonesia, ditandai dengan datangnya sebuah kapal
Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d'Albuquerque ke pulau Maluku. Setelah
kedatangan Portugis, negara-negara barat lainnya juga berdatangan ke Indonesia
untuk berdagang, diantaranya; bangsa Belanda datang pada tahun 1596, bangsa
Spanyol datang pada tahun 1906, dan bangsa Inggris datang pada tahun 1619.
Kedatangan orang barat ke Indonesia pada waktu itu untuk berdagang
memberi dampak bukan hanya kepada bidang ekonomi akan tetapi membuka
ruang untuk memahami budaya masing-masing. Kebiasaan budaya di barat
tentunya akan tetap dibawa masyarakatnya dimanapun mereka berada. Inilah
keyataan yang terjadi pada era kedatangan bangsa barat ke Indonesia, mereka
membawa kebiasaan-kebiasaan budayanya seperti halnya pesta dan musik.
Proses ini dapat dipahami sebagai cikal bakal terjadinya akulturasi budaya
dan adanya kesempatan untuk belajar budaya luar. Pada masa penjajahan,orang
Barat mulai mempekerjakan orang pribumi sebagai penghibur. Sebagai penghibur
dalam hal bermain musik, berarti orang indonesia sudah mendapatkan sentuhan
awal mengenai pendidikan musik barat terlepas apakah pengetahuan musiknya
dipelajari dengan metode yang sebenarnya ataupun tidak.
Universitas Sumatera Utara
Pada tahun 1574, Portugis menjadikan bentuk pertunjukan musik sebagai
cara untuk melakukan kerjasama-kerjasama dalam berbagai hal. Orang-orang
pribumi sudah ikut terjun dalam kelompok ansambel tersebut. Hal ini dikuatkan
tulisan Smith (1968:117) yang mengatakan bahwa ia telah membuat kelompok
musisi di kapalnya yang bertujuan untuk menghibur raja-raja lokal. Dr. F de Haan
menulis bahwa seorang pejabat Belanda yang bernama Cornelis de Bevere tahun
1689 sudah mengambil tiga budak asli (orang pribumi) sebagai musisi yang
ditugaskan untuk memainkan instrumen seperti kontra bas, biola, dan kecapi.
Sejak abad ke-17 perkembangan awal musik barat di Jawa telah berada di
bawah administrasi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Belanda di
Indonesia. Menurut Raden, bahwa Perusahaan Hindia Belanda pada tahun 1957
telah membuat rencana untuk mendirikan organisasi seni yang memungkinkan
dilakukannya kegiatan pertunjukan musik. Berg dalam bukunya Het Tooneel te
Batavia di Vroegeretijd menyebutkan bahwa repertoar musik mereka adalah
musik vokal atau instrumental. Musik yang dimainkan sama dengan apa yang
dipelajari di negara barat.
Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa musik barat di Indonesia
tetap mengalami perkembangan sampai pada tahap pada orang-orang Indonesia
mampu berkarya dalam menciptakan musik dengan pendekatan teori musik barat
baik dalam musik instrumental maupun dalam musik vokal. Pada tahun 1950-an
lahirlah komponis-komponis musik klasik Indonesia seperti: Amir Pasaribu,
Moctar Embut dan Cornel Simanjuntak. Karya-karya komposisi yang diciptakan
masih dalam tulisan tangan.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1. Partitur Lagu “Si Bongkok dengan Sulingnya”
Sumber: Manuskrip Karya Piano Amir Pasaribu
Geliat perkembangan musik klasik Barat di Indonesia sangat terasa pada
tahun 1950-an ditandai dengan semakin banyaknya orang pribumi yang mampu
bermain musik barat dan menciptakan musik dengan pendekatan konsep
komposisi barat. Salah satu pelopor musik klasik barat di Indonesia adalah Amir
Pasaribu. Pada tahun 1940 Amir Pasaribu sudah mempunyai skill permainan yang
Universitas Sumatera Utara
tinggi untuk instrumen cello. Ia lolos audisi untuk menempati posisi pemain cello
dalam Orkes Radio van Batavia. Amir Pasaribu juga banyak bermain musik di
berbagai orkes simfoni dan perkumpulan-perkumpulan yang lebih kecil (sering
disebut kunstkring). Kunstkring adalah salah satu organisasi musik yang memiliki
program mendatangkan grup-grup musik klasik dari luar negeri. 22
Perang Dunia II tahun 1942, Jepang menghadapi Amerika Serikat, Inggris,
Belanda. Akhirnya, Jepang mengalahkan Belanda dan Jepang berhasil masuk ke
Indonesia. Pemerintahan Belanda digantikan oleh pemerintahan Jepang. Awal
pemerintahan Jepang, ada dua hal yang menjadi prioritas di Indonesia, yaitu
memobilisasi rakyat Indonesia untuk kepentingan dan menghapus pengaruhpengaruh barat di Indonesia.
Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa perubahan di dalam kehidupan
musik, yaitu didirikannya Kulturkammer (Keimin Bunka Shidoso) sebagai bentuk
peraturan dalam berkesenian. Jepang melarang segala seni yang bukan berasal
dari Indonesia, terkecuali musik klasik, dan memuja-muja ketimuran. Selain
musik klasik, musik keroncong juga diperbolehkan, akan tetapi untuk syair
nyanyian yang berbau barat harus dibuang.
Salah satu cara yang dilakukan Jepang dalam mengurangi pengaruh Barat
dan menciptakan Asia Raya adalah dengan melarang pemakaian bahasa Belanda
dan Inggris. Bukan hanya melarang pemakaian bahasa, Jepang juga melakukan
pelarangan peredaran buku-buku dalam bahasa Belanda.
22
Eitha Rohana Sitourus, 2009. Amir Pasaribu-Komponis, Pendidik & Perintis Musik
Klasik Indonesia. Media Kreatif., hal.33-34
Universitas Sumatera Utara
Kehidupan musik pada masa pemerintahan Jepang tetap berjalan seperti
biasanya terlihat dengan adanya bentuk orkes musik yang pada waktu disebut
Hoshio Kyioku Kangen gakku (Orkes Tiup Radio) yang dipimpin konduktor
Jepang, Nobuo Ida dan Nikolai Farvolomeyef dari Rusia. Amir Pasaribu juga ikut
dalam orkes ini sebagai pemain cello.
Amir Pasaribu, Cornel Simanjuntak dan Binsar Sitompul sama-sama
bekerja di Keimin Bunka Shidos (Pusat Kebudayaan) sebagai pengarang lagu-lagu
propaganda. Musik yang mereka ciptakan kemudian diputar di Radio Republik
Jakarta. Dalam kondisi semua aktivitas telah dibatasi dalam berkarya, semua
karya musik tidak boleh lagi mencerminkan musik barat maka timbul kesadaran
para komponis Indonesia untuk berkarya dengan memasukkan idiom nusantara
dalam karya mereka. Selain itu, penggunaan syair dalam bahasa Indonesia dalam
konsep teori barat dijadikan sebagai sarana dalam membangkitkan rasa
nasionalisme. Lagu-lagu yang diciptakan banyak yang bertemakan perjuangan.
Musik vokal berkembang dan hidup pada masa pendudukan Jepang di Indonesia.
Kecenderungan penciptaan karya komposisi vokal dengan kerjasama antara
penyair dan komposer, yaitu syair terlebih dahulu dibuat, kemudian iringan
musiknya dalam kesatuan emosi dan ekspresi oleh komposer. Penyair-penyair
Indonesia pada saat itu adalah Sanusi Pane, Armijn Pane, Umar Ismail dan
pengarang lagu adalah Cornel Simanjuntak, Kusbini dan Tjoh Shinsu.
Konsep komposisi pada saat itu memberikan jalan bagi lahirnya musik
seriosa yang dikenal seperti saat ini. Pelopor musik seriosa yang diprakarsai oleh
Cornel Simanjuntak telah memberikan lahirnya genre baru musik Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Konsep komposisi dengan pendekatan teori barat dan syair dalam Bahasa
Indonesia adalah ciri khas dari musik seriosa.
Pembelajaran tentang musik barat di Indonesia dalam wadah informal baru
terbentuk tahun 1952 yaitu, berdirinya Sekolah Musik Indonesia (SMIND). Akan
tetapi perlu dipahami bahwa sebelum terbentuknya sekolah informal ini,
pembelajaran musik secara informal
(privat) terus berjalan. Pendapat ini
diperkuat oleh Surtihadi dalam artikelnya yang berjudul Peranan Tan Thiam
Dalam Musik Barat Di Indonesia. Tulisannya ini menunjukkan bahwa Tan Tham
Kwie sudah memperoleh pendidikan musik tahun 1920-an.
Sebelum terbentuknya SMIND tahun 1952, terlebih dahulu dibentuk
panitia untuk pembukaan Sekolah Tinggi Kesenian pada tanggal 7 Agustus 1952.
Panitianya terdiri dari (1) Koentjara Poerbopranoto sebagai Penasehat Jawatan
Kebudayaan Kementerian P.P dan K, sekaligus merangkap Ketua; (2)
Soedarsono, Kepala Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K. merangkap
Sekretaris; (3) Prof. Mr. Poerbotjaroko, guru besar Fakultas Sastra dan Filsafat
Universitas Indonesia; (4) Prof. Mr. Djikosoetono, guru besar Fakultas Hukum
dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia; (5) Katamsi, Direktur
Akademi Seni Rupa Indonesia; (6) Soemardja, pimpinan Akademi Seni Rupa
Indonesia; (7) Pangeran Soejohamidjojo, pimpinan konservatori Karawitan
Indonesia; (8) Indro Soegondo, Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan
Kementerian P.P dan K; (9) Ki Hadjar Dewantara, Anggota DPR; dan (10)
Lumban Tobing (violis, Etnomusikologi). 23
23
Ibid., Sitorus., hal. 85-86
Universitas Sumatera Utara
Lokasi untuk mendirikan sekolah musik pertama di Indonesia sempat
menjadi polemik, ada yang menginginkan dibuat di Jakarta dan di Yogyakarta.
Pertimbangan pemilihan lokasi di Jakarta menurut Amir Pasaribu dikarenakan
pada masa penjajahan Belanda, pertunjukan musik orkes dan kamar sudah berada
di Jakarta. Dipihak lain, ada yang berpendapat bahwa musik klasik Indonesia
seperti karawitan sudah terbentuk di Yogyakarta sehingga tenaga pengajar musik
lebih memungkinkan. Walaupun polemik terjadi, pada akhirnya pada bulan
Januari 1952 sebuah sekolah musik pertama di Indonesia didirikan di Yogyakarta.
Direktur pertama yang memimpin SMIND adalah Ir. S. Prawironegoro.
24
Suka Hardjana dalam Surtihadi mengatakan bahwa gagasan untuk
membuka Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1952 dikemukakan
oleh dua tokah nasional Moh. Yamin dan Sultan Hamengku Buwana IX. Tokoh
musik berkebangsaan Belanda Henk te Strake pada waktu itu masih menjabat
dirigen Orkes Radio Djakarta (ORD) dan bersedia hijrah ke Yogyakarta untuk
turut memikirkan gagasan Sekolah Musik Indonesia.
Ketika Sekolah Musik Indonesia berdiri tahun 1952, tercatat hanya lima
orang tenaga guru pribumi dan satu keturunan Tionghoa, yakni: Soewandi dan
Tan Thiam Kwie (violin), Djoned Sastro Puspito (trombone), Pradjawaditra
(flute), dan Soekimin (klarinet). Sebahagian besar tenaga guru adalah orang asing
yang memang para pemain orkes besar yang ada pada waktu itu, termasuk Henk
te Strake.
24
Ibid., Sitorus., hal.87-88
Universitas Sumatera Utara
Perkembangan pendidikan musik Indonesia untuk level konservatori
adalah didirikannya Akademi Musik Indonesia yang dikemudian hari menjadi
bagian dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pengajar musik di AMI juga
berasal dari luar negeri disamping itu juga masih ada tenaga guru pengajar
Indonesia seperti Than Thiam Kwie.
Than termasuk salah satu pelopor pendidikan musik Barat yang dipercaya
saat itu. Peranannya di dua institusi musik SMIND dan AMI sangatlah besar.
Peranan itu terutama di dalam spesialisasinya pada pembelajaran metode dan
praktik instrumen violin.
Perkembangan pendidikan seni dalam jenjang perguruan tinggi di
Indonesia tersebar di berbagai daerah seperti; Institut Kesenian Jakarta, Institut
Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut Seni
Indonesia Padangpanjang, Institut Seni Indonesia Denpasar, Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Bandung, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW)
Surabaya.
Pendidikan Tinggi Seni di Sumatera Utara yang menawarkan
kurikulum musik dan Pengkajian Seni dalam musik Barat seperti: Prodi (Program
Studi) Magister Pengkajian dan Penciptaan Seni dan Jurusan Etnomusikoli di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Prodi Seni Musik Fakultas
Bahasa dan Seni Universitas HKBP Nommensen dan Prodi Seni Musik
Universitas Negeri Medan. Untuk tingkat menengah kejuruan, terdapat SMK 11
Medan.
Persebaran musik Barat (baik instrumental dan vokal) dapat dikatakan
cukup tersebar di banyak daerah di nusantara, terbukti dengan banyaknya
Universitas Sumatera Utara
pendidikan seni yang bermunculan di tanah air. Persebaran musik barat dapat
dilihat dengan banyaknya lembaga musik informal yang menawarkan pendidikan
musik barat diseluruh Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Download