BAB II MUSIK SERIOSA INDONESIA 2.1 Sejarah Singkat Musik Seriosa Musik seriosa merupakan salah satu jenis musik klasik Indonesia yang berasal dari jenis musik lied di Jeman. Musik seriosa mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 1950-an sejalan dengan penyelenggaraan pemilihan Bintang Radio dan Televisi (BRTV). Komposisi dan penyajian musik seriosa persis dengan jenis lied bahwa lagu dan musik iringannya telah menyatu. Pada awalnya, lagu-lagu seriosa diiringi oleh piano namun seiring perkembangan musik iringan lagu-lagu seriosa diaransir dalam bentuk ensambel atau orkes. Untuk dapat membawakan lagu-lagu seriosa dengan baik, dibutuhkan suatu persyaratan yang mencakup kemampuan teknik vokal yang baik karena lagu-lagu seriosa merupakan adaptasi dari jenis lagu lied di Jerman. Musik seriosa merupakan bentuk nyanyian tunggal dengan iringan piano, yang dapat dinyanyikan dengan baik setelah terlebih dahulu menguasai teknik-teknik vokal. Teknik-teknik vokal tersebut mencakup, teknik produksi suara yang membahas berbagai hal yang erat kaitannya dengan organ-organ tubuh. Hal-hal yang berkaitan dengan produksi suara adalah: pernafasan, sumber bunyi, gema suara, dan artikulasi. Lagu-lagu seriosa Indonesia berdasarkan tema syairnya dapat dikelompokkan dalam tiga bagian, yaitu: 20 20 Pranadjaya dalam Kumpulan Lagu-Lagu Seriosa Universitas Sumatera Utara 1. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Keindahan Alam”. Beberapa lagulagu seriosa yang bertemakan keindahan alam adalah: “Irama Desa” (karya Iskandar), “Senja di Pelabuhan Perahu”(karya Mochtar Embut), dan lain sebagainya. 2. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Percintaan”. Beberapa lagu-lagu seriosa yang bertemakan percintaan adalah: “Cintaku Jauh Di Pulau” (F.X. Soetopo), “Embun” (G.R.W Sinsoe), “Kisah Sandiwara”, “Srikandi”, dan “Gadis Bernyanyi di Cerah Hari” (karya Mochtar Embut), “Lumpur Bermutiara”(karya Surni Wakirman), “Bagi Kekasih” (karya Binsar Sitompul), “O, Angin” (karya Cornel Simanjuntak), “Kisah Mawar di Malam Hari”, dan “Lagu Pujaan” (karya Iskandar), dan lain sebagainya. 3. Musik seriosa dengan tema “Mengisahkan Patriotisme (Kepahlawanan)”. Beberapa lagu-lagu seriosa yang bertemakan patriotisme adalah: “Lagu Untuk Pahlawan” (Karya FA. Warsono), “Fajar Harapan” (karya Ismail Marzuki), “Melati di Tapal Batas” (karya Ismail Marzuki), “Bukit Kemenangan” (Karya Djuhari), dan sebagainya. 2.2 Komponis Seriosa Indonesia Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa komponis seriosa. Penulis menyadari tidak mampu memberikan gambaran tentang seluruh komponis-komponis musik seriosa secara lengkap dan menyeluruh diakibatkan data-data tentang komponis musik seriosa Indonesia yang sulit ditemukan. Dari beberapa data-data yang penulis dapatkan mengenai biografi komponis musik Universitas Sumatera Utara seriosa Indonesia adalah: Cornel Simanjuntak; Mochtar Embut; Iskandar; F.X. Soetopo; dan Binsar Sitompul, Djuhari, G.R.W Sinsoe. 2.2.1 Komponis Cornel Simanjuntak Cornel Simanjuntak lahir di Pematang Siantar, Sumatera Utara tahun1921. Ia memperoleh pendidikan teori dan praktek musik dari Yesuit J. Schouten semasa bersekolah guru di HIK Xaverius College di Muntilan, Jawa Tengah. Tak banyak karya yang ditinggalkan, diantaranya adalah terutama lagu-lagu yang semuanya menunjukkan daya cipta indah dan kecakapan musiknya yang kuat. Melodinya indah, seperti pada Mekar Melati dan Mari Berdendang. Lagu Kemuning dan 0, Angin selain liriknya yang hangat mengharukan, juga mengandung cita rasa dramatik. Dari rencana gubahan operanya yang berjudul Madah Kelana, hanya sebagian kecil dapat diselesaikan, akan tetapi lagu-lagu mars perjuangan dan lagu-lagu patriotik gubahannya yang dinyanyikan di seluruh Indonesia, memegang peranan sangat penting dalam menggerakkan semangat perjuangan semasa revolusi fisik. Beberapa lagu jenis ini termasuk Maju Tak Gentar, Tanah Tumpah Darah, Padamu Pahlawan, Teguh Kukuh Berlapis Baja, Indonesia Tetap Merdeka yang lebih terkenal sebagai Sorak-Sorak Bergembira. Secara umum, lagu-lagu ini digubahnya ketika ia dirawat di Sanatorium Pakem, Yogyakarta. Pada masa pendudukan Jepang, ketika ia bekerja di Keimin Bunka Shidosho, ia menciptakan banyak lagu berbau propaganda, tetapi mempunyai arti penting sebagai latihan penciptaan bagi dirinya dan pendidikan musik untuk Universitas Sumatera Utara rakyat. Diantaranya adalah Menanam Kapas, Menabung, Bekerja, Bikin Kapal, Hancurkanlah Musuh Kita yang lebih dikenal sebagai Awaslah Inggris dan Amerika. Karya-karyanya yang lain: Citra, O Ale Alogo, Kupinta Lagi, Andigan ma, Di na laho Maridi. Cornel meninggal pada tanggal 15 September 1946 akibat penyakit paruparu yang dideritanya dan disebabkan kehidupan tak teratur selama masa perjuangan kemerdekaan, bahwa ia ikut ambil bagian secara aktif. Secara anumerta, dianugerahi Satya Lencana Kebudayaan oleh Pemerintah RI tahun 1961. Kerangka jenazahnya tanggal 10 November 1980 dipindahkan dari pemakaman umum ke Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara, Yogyakarta. 2.2.2 Komponis Mochtar Embut Mochtar Embut lahir pada tahun 1934 dari seorang ayah yang berasal dari Medan dan ibu berasal dari Ngawi, Jawa Timur. Ketika berusia tiga tahun ia sudah mengenal musik dari orang tuanya. Pada usia 12 tahun, ia menjadi pianis dan anggota orkes Kesejahteraan Angkatan Darat Territorium VII. Setelah tamat SMA di Makasar, ia pindah ke Jakarta dan bekerja di RRI sebagai penggubah lagu. Lagu-lagu gubahannya antara lain Di Wajahmu Kulihat Bulan, Di Sudut Bibirmu, Mars Pemilihan Umum, Mars Keluarga Berencana, Swa Bhuwana Paksa. Mochtar Embut seorang komponis yang kreatif dan produktif. Sepanjang hidupnya ia menggubah tidak kurang dari 100 lagu, baik pop, seriosa, maupun keroncong. Ia juga mengaransir lagu-lagu untuk orkes besar. Ia dikenal sebagai salah seorang tokoh seni musik Indonesia. Pada tahun 1971 ia pergi ke Tokyo Universitas Sumatera Utara untuk mengikuti festival lagu pop sedunia, dan pada kesempatan itu ia membawakan lagunya yang berjudul With the Deepest Love from Jakarta yang dibawakan oleh Elly Srie Kudus. Sampai akhir hayatnya Mochtar Embut tidak berkeluarga, ia menderita sakit kanker hati. Akibat penyakitnya ini, yang pada awalnya dirawat di Jakarta kemudian dipindahkan ke Bandung. Pada tahun 1973 Mochtar Embut meningal dunia dan dimakamkan di Jakarta. 2.2.3 Komponis Iskandar Iskandar lahir tanggal 7 September 1920 di Plaju. Ayahnya, K. Suwandi, bekerja sebagai pegawai pada perusahaan minyak. Sejak kecil ia sudah menunjukkan kegemarannya pada musik dengan menyanyi dan menari. Namun dalam usia 23 tahun, ia benar-benar terjun secara penuh menjadi pemain musik dengan bergabung pada Orkes Keroncong pimpinan M. Sagi, kemudian bergabung dengan Orkes Studio Radio Pendudukan Jepang (1943). Tahun 1945 setelah proklamasi kemerdekaan RI, terbentuklah RRI Studio Jakarta, ia ditunjuk langsung sebagai pemimpin Orkes Studio RRI (Radio Republik Indonesia) Jakarta. Iskandar juga mendirikan dan memimpin Orkes Putra Indonesia dan Orkes Empat Sekawan. Tanggal 5 Oktober 1948, ia mendirikan dan memimpin Orkes Puspa Kencana yang pemainnya kebanyakan terdiri dari para pemain Orkes Studio RRI Jakarta. Di tahun ini juga, ia mulai mencipta lagu-lagu, yang umumnya berupa lagu-lagu "semi klasik". Universitas Sumatera Utara Pergumulannya dengan musik mempertemukannya dengan seorang gadis penyanyi yang tenar di zamannya, Coryati yang kemudian menjadi istrinya. Tahun 1953, tampil memimpin Orkes Tjandra Kirana, yang terdiri dari 16 pemain. Karirnya di RRl terus menanjak, tahun 1972 diangkat menjadi Kepala Pembinaan Orkes-Orkes Studio sampai 1975. Tiga tahun kemudian, Januari 1978, tampil untuk pertama kalinya memimpin Orkes Telerama di layar TV (Televisi), dengan acara siaran tetap sekali sebulan. Beberapa dari ratusan karya-karya lagu yang telah diciptakan, sebagian besar lagu-lagu itu berhasil memasyarakat pada zamannya, malah merupakan karya monumental. Lagu-lagu ciptaannya beragam jenisnya, ada Seriosa (Dahaga, Karam, Lagu Pujaan, Dewi Anggraeni), Keroncong (Bandar Jakarta, syairnya oleh Ismail Marzuki), Hiburan (Sabda Alam), Mars (Pemilihan Umum dan Keluarga Berencana) dan Hymne (Gita Jaya). Dalam musik pop, ia punya perhatian tersendiri pada Andi Meriem Mattalata asal Ujung Pandang, dengan menciptakan lagu khusus di antaranya Mutiara Dari Selatan, Mohon Pamit, Sebutir Mutiara, Sadarlah Sayang, Mesedih, Tiada Bulan Di Wajah Rawan dan lain-lain. Perhatian khusus pernah pula ia berikan kepada banyak penyanyi sebelumnya, antara lain Bing Slamet, Ade Ticoalu, Norma Sanger, Titiek Puspa, dan anak sulungnya sendiri, Diah Iskandar. Sebagai tanda bakti kepada ayahnya, dengan bantuan TVRI (Televisi Republik Indonesia), Diah mempersembahkan Orkes Chandra Kirana, yang ia resmikan bertepatan dengan hari ulang tahun Iskandar tanggal 7 September 1979. Universitas Sumatera Utara 2.2.4 Komponis Binsar Sitompul Binsar Sitompul lahir di Pahae Tarutung tanggal 5 Maret 1923. Ia menamatkan Sekolah Dasar (Hollands – Inlandsche School) pada tahun 1939, lalu melanjutkan pendidikan sekolah pendidikan guru (Hollands-Indische Kweekschool Katolik) di Muntilan. Sekolah di Muntilan itu memberikan kesempatan pertama baginya untuk berkenalan secara serius dengan musik klasik dalam berbagai bentuk penampilan, antara lain dalam bentuk orkes simfoni. Selama pendudukan Jepang, ia berkonsentrasi dalam permainan biola dan mendalami teori musik. Binsar Sitompul menjadi pemasaran untuk bidang musik saat kongres Kebudayaan I tahun 1948 di Magelang. Ia juga menjadi anggota Panitia Indonesia Raya tahun 1948 di Yogyakarta, yang antara lain membahas lagu kebangsaan dari segi pemyempurnaan bentuk dan penggunaannya secara protokoler. Pada tahun 1950, ia mendapat kesempatan belajar di Belanda selama beberapa tahun dan sekembalinya ke tanah air, ia bekerja di RRI Jakarta dan menjadi dosen untuk teori harmoni di IKIP (Institut Keguruan Ilmu Pendidikan) Jakarta, sekarang Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Pada tahun 1957, ia mendirikan dan membina Paduan Suara RRI, serta menjadi pengajar sejarah musik di sekolah musik Yayasan Pendidikan Musik (YPM). Beberapa karyanya terpilih sebagai lagu wajib dalam lomba paduan suara tingkat nasional dan propinsi. Karya-karya seriosanya adalah “T’rima Salamku”, “Tembang Ria”, “Doa”, “Saudade”, “Renungan di Makam Pahlawan”, Monolog Pak Jaya di Makam Pahlawan”, dan “Bagi Kekasih”. Universitas Sumatera Utara 2.2.5 Komponis F.X. Soetopo F.X. Soetopo lahir di Jombang, 26 April 1937. Ia memperoleh pendidikan formal dalam bidang musik di Sekolah Menengah Musik Indonesia Yogyakarta pada tahun 1957. Kemudian ia melanjutkan studinya di Akademi Musik Indonesia dan ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta dan berguru kepada beberapa musisi dari luar negeri seperti Willy Piel, Bodmer dan G. Kenney. Pertama kali menciptakan lagu sekitar tahun 1951 saat aktif dalam gerakan kepaduan. Selain berprofesi sebagai pemusik, ia juga berdinas di TNI Angkatan Darat dengan pangkat terakhir sebagai kolonel. Ia mengajar di ISI Yogyakarta (2001-2006). Ia juga pernah bertugas di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sebagai Direktur Kesenian, serta sering memimpin aubade dalam acara Kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara (1971-1988). Sebagai konduktor paduan suara dan orkes simfoni, ia tercatat pernah memimpin Orkes Simfoni Jakarta dan Orkes ISI Yogyakarta serta mengiringi musisi Adidarma, Iravati M. Sudiarso dan Kuei Pin Yeo. Tahun 1985, ia mewakili Indonesia menjadi konduktor dalam ASEAN (Assosiation Of South East Nation) Youth Music Camp di Malaysia. Beberapa komposisi vokal ciptaannya adalah “Mars Wajib Belajar 9 Tahun”, “Himne ASEAN”, “Himne Kodam Trikora”, Himne Universitas Widya Mandala Surabaya”. Karya musik seriosanya adalah “Cintaku Jauh Di Pulau”, “Bukit Hitam”, “Puisi Rumah Bambu” dan “Gersang”. Universitas Sumatera Utara 2.2.6 Komponis Djuhari Djuhari lahir di Garut 6 Juni Tahun 1924 dan mempunyai bakat seni sejak kecil secara otodidak. Diwarisi oleh ayahnya yang juga pemain musik dan ibunya yang menyenangi seni Sunda. Tidak heran sejak duduk di bangku kelas VI (Lagere School) ia telah mampu mencipta lagu. Kariernya lama dijalani di RRI Bandung hingga Tahun 1972, kemudian ia mendapat tugas sebagai Kepsta RRI Bogor sampai akhir Tahun 1975. Pekerjaan di RRI mendorong berkembangnya bakat beliau. Sejak itu dari tangannya tercipta lebih dari 400 buah karya lagu. Jenis lagu yang ia ciptakan sangat beragam seperti; lagu-lagu jenis hiburan, keroncong, seriosa, pop, lagu anak-anak, qasidah, hingga dangdut dan pop Sunda pun ia pernah ciptakan. Salah satu kenangan beliau dalam menciptakan lagu, seperti seringkali diceriterakan kepada anaknya; ialah pada saat diminta oleh pimpinan Studio Jakarta Iskandar dan Mochtar Embut, untuk menciptakan lagu seriosa yang akan dipergunakan dalam Pemilihan Bintang Radio. Saat itu beliau belum pernah menciptakan jenis seriosa. Namun akhirnya ia mencobanya, maka lahirlah dua buah lagu berjudul Bukit Kemenangan dan Hati Penuh Kerinduan. Lagu itu dijadikan lagu wajib Pemilihan Bintang Radio Tahun 1960-an hingga beberapa tahun kemudian. Lagu lain yang yang selalu menjadi kenangan beliau ialah lagu Seuntai Manikam. Saat itu tahun 1960, RRI mengadakan sayembara mengarang lagu. Djuhari mencipatakan lagu tersebut selain dorongan kesenimanannya namun konon saat itu beliau sedang menghadapi kesulitan dana untuk menghadapi Universitas Sumatera Utara kelahiran putranya. Dan ternyata lagu Seuntai Manikam pemenangnya. Uang hadiah langsung ia bayarkan untuk biaya kelahiran putra kedua yang lahir tepat saat pemenangnya diumumkan. Lagu-lagu beliau banyak dinyanyikan para Bintang Radio/TV, seperti: Sam Saimun, Bing Slamet, Donny Saleh, Dedy Damhudi, Tatty Saleh, Group Patria, dll. Beliau juga salah seorang Dewan Juri baik provinsi maupun tingkat Nasional setiap kegiatan Pemilihan Bintang Radio/TV hingga tahun terakhir. Di bidang penulisan naskah dan penyutradaraan Sandiwara Radio, beliau adalah pakarnya. Tahun 1993 pernah membawa RRI Bandung menjadi juara Swara Kencana. Ratusan naskah sandiwara dan oratorium ia pun ciptakan. Salah satu diantaranya ialah Oratorium Penyiaran Teks Naskah Proklamasi Kemerdekaan RRI oleh para pejuang radio di Bandung yang pernah mendapat penghargaan dari Menteri Penerangan, Harmoko. Perjalanan hidupnya ia curahkan hampir sepenuhnya untuk musik dan RRI. Sederatan Piagam Penghargaan tak terhitung jumlahnya. Mulai dari Gubernur Jawa Barat bahkan pernah menerima Piagam Penghargaan dari Persiden RI (1982). Karya-karya almarhum yang populer antara lain: Lagu Pop: Senja di Priangan, Seuntai Manikam, Balada Dwikora, Tangkuban Perahu, Kepada Guru, Kepada Pak Tani, Kepada Pak Sopir, Kepada Para Medis. Lagu Seriosa: Bukit Kemenangan, Hati Penuh Kerinduan, Bunga Yang Gersang, Permata Hijau. Lagu Keroncong: Di Remang Petang, Pulang, Gita Persada, Api Kasih. Hymne: Hymne IKOPIN, Hymne Siliwangi (Dari Bumi dan Hati Tumbuhlah). Universitas Sumatera Utara Lagu Pop Sunda: Hariring Kuring, Ngabungbang, Panineungan, Harianeun, Teu Nyana, Ngalamun, Pasosore, Mapag Rayagung. Lagu anak-anak: Mobil Butut, Ayun-Ayunan, Cika-cika, Hayu Mulang, Ucing jeung Anjing, Caang Bulan. Lagu Qasidah: Balada Maha Pencipta, Pemuda Alam Semesta, Allah Maha Besar, Maha Pemurah, Do'a Syukur, Gita Idul Fitri, Bulan Suci Telah Tiba, Yerusalem, dll. Naskah Sandiwara Radio: Pengorbanan, Jalan Buntu, Menguak Tirai Kegelapan, Bukit Kemenangan, Sebuah Berita, Melati Berduri, Anak-anak yang Terbuang, Dr. Mira, dll. Tak cukup ruang dan waktu untuk menulis berjuta jasa dan kenangan almarhum. Hanya do'a yang mengiringi kepergian Bapak. Selamat jalan Maestro RRI, musisi legendaris, sesepuh kami, beristiratlah di sisi Tuhan. Kami mengiringi dengan do'a dan air mata, karena belum bisa membalas jasa budi baikmu. (Iik Setiawan RRI Bandung ) . 2.2.7 Komponis George Rudolf Willems Sinsoe George Rudolf Willems Sinsoe lahir di Tahuna, Sangihe, 12 November 1912 dan meninggal pada 9 Juli 1974 di Bogor, Jawa Barat, dalam usia 62 tahun. Menyelesaikan pendidikannya di AMS semacam SLA sampai kelas II pada tahun 1932. Ia mahir memainkan gitar yang dipelajari dari ibunya. Ia tertarik pada biola karena terkesan oleh permainan biola Joe Fenaty dalam Film King of Jazz. Bakat musiknya menurun dari ibunya, yang pandai bermain biola dan mandolin serta pintar menyanyi. Tahun 1935 ia mendapat kontrak untuk main di Singapura dan kemudian keliling Semenanjung Malaka. Tahun 1937 ia gagal memasuki Universitas Sumatera Utara Hongkong, karena Jepang telah memasuki Cina. Di Jawa ia mendirikan orkes Hawaiian Syncopeters yang merupakan satu dari lima besar dunia. Pada masa pendudukan Jepang ia ditarik main dalam orkes symphoni Hosho Kyoku. Dalam masa itulah lahir karya-karyanya yang terkenal seperti Surya Wisesa, Embun. Penataan musik untuk film dimulainya sejak Darah dan Doa (1950), karya Usmar Ismail. Dan karyanya untuk Harimau Tjampa (1954) berhasil memenangkan hadiah dari FFA di Singapura 1955. Pada awal 1930-an, mendirikan Hawaiian Syncopators di Jakarta. Pada 1950-an, ia bermain di Hotel Des Indes bersama Nick Mamahit (piano), Bart Risakotta (drums) sedangkan dirinya memainkan bass. Ketika TIM baru berdiri pada akhir tahun 1960-an, ia menyelenggarakan pertunjukan musik dalam bentuk big band. Acara itu sempat berlangsung secara rutin setiap tiga bulan. Dalam Expo 1970 di Osaka, Jepang, bergabung dengan Indonesia Enam, pimpinan Mus Mualim, bersama Sadikin Zuchra, Idris Sardi, Maryono, dan Benny Mustapha. Selain bermusik, tahun 1950-an, pernah main film berjudul Krisis. Awal tahun 1970-an namanya kembali muncul di dunia musik dengan rombongan Big Bandnya, yang memanggil kembali perhatian orang pada musik Jazz. Sejak tahun 1964 tiba-tiba ia muncul sebagai pelukis abstrak. Pernah pameran di TIM. 2.3 Penyanyi Seriosa Indonesia Pada bagian ini, penulis akan membahas beberapa penyanyi seriosa yang sudah memberikan konstribusi di dalam perkembangan musik seriosa pada masanya masing-masing. Sangat sulit memperoleh data-data menyangkut Universitas Sumatera Utara penyanyi-penyanyi seriosa Indonesia, oleh karena itu penulis tidak mungkin memberikan gambaran tentang seluruh penyanyi seriosa Indonesia dalam penelitian ini dikarenakan data tentang biografi mereka belum dituliskan. Berikut ini adalah beberapa penyanyi seriosa Indonesia: Pranawengrum Katamsi, Aning Katamsi, Pranadjaya, Rose Pandanwagi, Christopher Abimanyu. 2.3.1 Pranawengrum Katamsi Pranawengrum Katamsi (sapaan akrab dengan nama Rum) lahir tanggal 28 Maret 1943, ia merupakan putri kelima dari enam bersaudara dari pasangan RM Surachmad Padmorahardjo dan Oemi Salamah. Bakat seni yang mengalir dalam dirinya didapat dari sang ayah. Ayahnya yang berprofesi sebagai pegawai swasta memiliki kemampuan bermain biola. Dengan latar belakang yang dimiliki oleh orang tuanya, maka perhatian yang penuh diberikan kepada Rum dalam mengembangkan bakat bernyanyi yang dimiliki. Ditengah proses tersebut, ia harus menerima kenyataan bahwa ayahnya meninggal dunia disaat ia masih berusia tujuh tahun. Dalam situasi ini, posisi ayah yang selalu mendukung perkembangan bakat musik bernyanyi Rum digantikan oleh ibunya. 21 Saat menempuh pendidikan di SMA (Sekolah Menengah Atas), Rum mendapatkan kesempatan dari Nathanael Daldjoeni (kepala sekolah) yang juga berprofesi sebagai penggubah lagu dan pemerhati musik. Nathanael salah satu orang yang berjasa dalam memperkenalkan lagu seriosa kepadanya. Lambat laun Rum mulai mencintai lagu seriosa dan belajar musik ini dengan serius. 21 http://www.tokoh Indonesia Universitas Sumatera Utara Di tengah upayanya memperkenalkan musik seriosa, Rum tak memungkiri masih adanya pandangan keliru dari segelintir kalangan yang menganggap bahwa musik seriosa hanya untuk konsumsi ''orang berstatus tinggi'' dengan pemahaman musik di atas rata-rata. Padahal, musik seriosa sendiri tak pernah membatasi diri. Bahkan pada 1950-an, seriosa menjadi musik yang sering dinyanyikan kaum remaja. Pada 1960, Rum mengikuti lomba seriosa di Pekan Kesenian Jakarta mewakili sekolahnya. Rum yang ketika itu masih berusia 16 tahun berhasil meraih juara II. Setahun berselang, ia mengikuti ajang Bintang Radio Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta tingkat nasional, ia mampu mendapatkan gelar juara harapan. Rum secara terus menerus menimba ilmu kepada banyak guru vokal, seperti R Suwandi, Suthasoma, Kusbini, Binsar Sitompul, Sari Indrawati, EL Pohan, dan N Simanungkalit. Salah satu di antara guru vokal yang mendidik Rum yaitu, N. Simanungkalit memiliki keyakinan bahwa Rum akan tumbuh menjadi penyanyi seriosa yang terkenal di Indonesia. Saat masih menjadi mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, ia tampil sebagai juara pertama dalam Pekan Kesenian Mahasiswa seluruh Indonesia di Denpasar Bali. Prestasinya yang paling membanggakan adalah saat ia berhasil keluar sebagai jawara sebanyak tujuh kali dalam perlombaan Bintang Radio dan televisi tingkat nasional jenis seriosa yakni pada tahun 1964, 1965, 1966, 1968, 1974, dan 1980. Atas prestasi itu, Rum Universitas Sumatera Utara berhak mendapat Piala W.R Supratman, sebuah penghargaan tertinggi dalam ajang tersebut. Pada 27 Januari 1964, Rum menikah dengan Amoroso Katamsi, seorang aktor, dokter, dan perwira Angkatan Laut. Sebagai istri seorang prajurit, Rum kerap menemani suaminya bertugas, seperti saat aktor pemeran Presiden Republik Indonesia Kedua (1966-1988) Soeharto dalam film G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia) itu ditugaskan ke Cilacap pada tahun 1969 hingga 1973. Selama kurun waktu tersebut, Pranawengrum absen dari kompetisi bintang radio dan televisi. Setelah menikah, Rum dan keluarga bermukim di Jakarta. Status barunya sebagai ibu rumah tangga tak menghalangi hasratnya untuk terus berkecimpung di dunia olah vokal. Dengan dukungan penuh dari sang suami, Rum kian giat berlatih di bawah bimbingan Pranadjaja, FX Sutopo, Sunarto Sunaryo, dan Anette Frambach. Ia bahkan tak hanya eksis berkarya sebagai penyanyi tetapi juga turut berusaha mengembangkan genre seriosa di Indonesia. Misalnya Rum mengumpulkan rekan seprofesinya untuk memperkenalkan musik seriosa kepada masyarakat awam. Upaya lain yang dilakukannya adalah membuat rekaman bersama pianis Soewanto Soewandi, di bawah label Irama Master, namun sayangnya album tersebut kurang mendapat sambutan hangat. Rum pernah mendapat undangan untuk tampil dalam Pentas Paduan Suara Mahasiswa Nommensen Medan membawakan Oratorium The Messiah (Handel) sebagai solois tamu. Selain secara solo, ia juga kerap berkolaborasi dengan sejumlah musisi lain seperti rombongan La Grande Opera, Twilite Orchestra, Universitas Sumatera Utara Orkes Remaja Bina Musika, Orkes Simponi Jakarta, Orkes mahasiswa Institut Seni Indonesia Wakil Presiden Republik Indonesia (1972-1978) Yogyakarta pimpinan Ed van Ness, Konduktor, komposer, dan produser konduktor Richard Haskin dari Orkes PPIA, pemimpin koor N Simanungkalit, Max Rukmarata, dan FX Sutopo. Kemampuannya berolah vokal membawakan lagu-lagu seriosa juga ia tularkan kepada calon-calon penyanyi masa depan dengan menjadi pelatih dan pembina sejumlah paduan suara. Pada tahun 1970, ia pernah mendirikan dan memimpin Paduan Suara Wijayakusuma di Cilacap, Jawa Tengah, kemudian membina Paduan Suara Gita Nusantara, Paduan Suara Anak-anak Radio Republik Indonesia (RRI), dan Paduan Suara Lihat wanita di Jakarta bersama Binsar Sitompul. Sadar bahwa usahanya melakukan regenerasi tak berjalan sesuai harapan, Pranawengrum tak patah arang. Baginya yang penting, ia sudah berusaha melestarikan karya seni Indonesia. Kekecewaan Rum mulai terobati ketika ketiga buah hatinya, Ratna, Doddy, dan Aning mengikuti jejaknya. Ratna yang kini menjadi guru piano dan sejarah musik di Yayasan Pendidikan Musik (YPM) Jakarta, mengawali kariernya sejak usia 11 tahun, di bawah bimbingan Chairi dan Sunarto Sunario. Selain mengajar, Ratna juga sering tampil sebagai pengiring berbagai konser dan lomba musik seriosa. Sesekali Ratna juga tampil mengiringi ibunya dalam sejumlah pementasan. Ratna yang merupakan sarjana biologi lulusan UI ini mempelajari piano dari pianis terkenal Iravati M Sudiarso, serta beberapa pianis mancanegara, antara Universitas Sumatera Utara lain Reynaldo Reyes dan Walter Hautzig. Sementara, Doddy, satu-satunya anak lelaki Pranawengrum, lebih memilih menjadi penyanyi rock yang sering membawakan lagu-lagu Deep Purple. "Ibu tak melarang saya nyanyi rock. Dia justru yang ngajari saya teknik vokal seriosa untuk diaplikasikan ke rock," kata mantan personil grup musik Elpamas Surabaya seperti dikutip dari situs kompas.com. Sedangkan si bungsu, Aning yang kini dikenal sebagai penyanyi seriosa mendapat bimbingan vokal awal dari sang ibu yang kemudian berlanjut di bawah bimbingan Catharina W. Leimena. Lulusan Jurusan Fisika, Fakultas MIPA, Universitas Indonesia ini sebenarnya pernah mendapat tawaran mengajar di almamaternya, namun Aning lebih memilih mengajar vokal dan piano di YPM. Di mata anak-anaknya, Rum dikenal sebagai ibu yang siap berkorban bagi keluarga. Ratna mengisahkan, ibunya rela meninggalkan bangku kuliah di UGM (Universitas Gajah Mada), demi berkonsentrasi mengasuh anak-anaknya. Bahkan, ketika mengikuti rombongan paduan suara Kodam VII Pemimpin Perang Diponegoro ke Bandung dan Jakarta di tahun 1965, Rum mengajak serta putri sulungnya, Ratna, yang ketika itu baru berumur dua bulan. Rum meninggal dunia pada Senin 4 September 2006 pukul 13.50 di RSAL (Rumah Sakit Angkatan Laut) Mintohardjo, Jakarta, dalam usia 63 tahun. Sebelum wafat, Rum yang diketahui mengidap penyakit gagal ginjal yang mengalami komplikasi ke paru-paru dan jantung itu sempat menjalani perawatan selama satu bulan. Sebelum dimakamkan, jenazahnya disemayamkan di Jalan Kamper 9, Kompleks Angkatan Laut Pangkalan Jati, Jakarta Selatan. Keesokan Universitas Sumatera Utara harinya, Selasa 5 September 2006, Rum dikebumikan di pemakaman Pangkalan Jati. Hampir separuh hidupnya didedikasikan untuk dunia musik, bahkan ketika terbaring di rumah sakit, ia masih membicarakan seriosa. Cita-citanya sederhana saja, yakni ingin kaum muda gemar menyanyi seriosa dengan dasar yang benar. Meskipun punya prestasi dan nama besar, ia tetap seorang yang rendah hati dan bersahaja. Kebersahajaan itu yang membuat dirinya luwes dalam bergaul. Rekan-rekannya mengenang wanita Jawa ini sebagai sosok guru yang selalu memberikan keteladanan. Ia pun senantiasa mensyukuri garis hidupnya sebagai seniman musik. Pemusik Suka Hardjana bahkan menilai kesetiaan Rum pada seriosa pantas dicontoh seniman lain. Hardjana juga menghargai konsistensi dan kedisiplinan Rum pada pilihannya itu. Komponis penggubah lagu Hari Merdeka, H Mutahar, bahkan memberikan Rum julukan "Ibu Seriosa Indonesia". 2.3.2 Aning Katamsi Aning Katamsi lahir di Cilacap, 3 Juni 1969 adalah seorang penyanyi seriosa Indonesia. Ia memiliki karakter vokal sopran. Aning adalah putri dari Pranawengrum Katamsi, yang juga seorang penyanyi seriosa. Aning pernah belajar vokal kepada Catharina Leimena, yang juga adalah penyanyi seriosa Indonesia yang pernah menuntut ilmu di Conservatorio di musica “Giuseppe Verdi”, Milan, Italia. Saat ini, Aning adalah salah satu pelatih Paduan Suara Mahasiswa Universitas Indonesia Paragita. Selain bernyanyi, Aning juga adalah seorang pemain piano handal. Ia pernah belajar pada Lee Alison Sibley dan Universitas Sumatera Utara master class dari Ruth Drucker, Andrea Ehrenreich, Adib Fazah dan Rudolf Jansen. 2.3.3 Pranadjaya Pranadjaya lahir di Yogyakarta 11 Desember 1929 dan meninggal di Jakarta 2 November 1997. Ia lahir dari keluarga Soepratman Djojodinoto, dan menikah dengan Sri Soerniatoen. Pranadjaya pernah menempuh Kursus Kementerian Dalam Negeri di Malang dan melanjutkan pendidikan pada Kursus Ilmu Kepegawaian di Universitas Gadjah mada (FISIPOL-UGM), namun tidak sampai selesai karena dorongan bermusiknya yang tinggi. Ia belajar menyanyi pada Djaelan D Hasan, seorang guru lulusan Jepang, kemudian melanjutkan belajar pada Prof. Nakayama di Universitas Kesenian Tokyo di Jepang, selain itu juga belajar pada Prof. DR. Gerhard Heisch. Prestasinya dimulai ketika mengikuti lomba menyanyi seriosa yang diselenggarakan oleh FISIPOL UGM Yogyakarta dan meraih juara pertama. Berturut-turut tahun 1955, 1956 dan 1957 ia terpilih sebagai juara I Bintang Radio. Tahun 1958 ia pindah bekerja ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Kesenian, yang sebelumnya tahun 1952-1958 ia bekerja sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri. Tanggal 11 Desember 1972 dengan dorongan istrinya ia mendirikan sebuah lembaga pendidikan musik "Bina Vokalia" di bilangan Jl. Radio Dalam IV NO.4 Jakarta Selatan. Ia memperoleh berbagai penghargaan dalam bidang seni diantaranya The Order Of Rising Sun dan Gold and Silver Rays. Pranadjaya meninggal tanggal 2 Universitas Sumatera Utara November 1997, setelah ia selesai memimpin pertunjukan paduan suaranya di gedung Sekolah Jakarta Japanese School di Bintaro Jakarta Selatan. 2.3.4 Christopher Abimanyu Sastrodiharjo Christopher Abimanyu Sastrodiharjo lahir di Bandung sekitar tahun 1970. Sejak tahun 1985, pria yang juga mahir memberi terapi akupuntur ini mulai menekuni profesinya sebagai penyanyi seriosa. Christopher Abimanyu untuk pertama kalinya mendapat ilmu vokal dari Ir. Sudaryanto. Selain itu, dia juga melatih vokalnya pada penyanyi sopran Marijke ten Kate dan Avip Priyatna. Untuk semakin mengasah kemampuannya dalam bernyanyi seriosa, Christopher Abimanyu sampai harus pergi ke Austria untuk menimba ilmu pada Prof Richard Miller di Mozarteum, Salzburg. Setelah merasa cukup memiliki bekal, Christopher Abimanyu memberanikan dirinya untuk mengikuti Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat dan nasional di tahun 1985. Di ajang tersebut, Christopher Abimanyu berhasil meraih juara I untuk kategori penyanyi seriosa. Dua tahun kemudian, dia kembali menorehkan prestasi dengan menjadi jawara dalam Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat dan Nasional kategori seriosa. Setelah momen sukses menjuarai ajang bergengsi tersebut, Christopher Abimanyu kemudian mulai berduet bersama pianis Ine Lopulisa. Dengan duet ini, Christopher Abimanyu bersama Ine sering diminta tampil dalam berbagai pagelaran konser di sejumlah kota besar di Pulau Jawa, mulai dari kota kelahirannya, Bandung, ibukota Jakarta, hingga kota Pahlawan Surabaya. Mereka berdua banyak sekali mengadakan berbagai konser dengan berbagai tema yang bervariasi, mulai dari sacred song, broadway musical Universitas Sumatera Utara sampai seriosa Indonesia. Abimanyu bahkan juga sempat membuat album seriosa Indonesia berjudul Sebutir Mutiara bersama Ine Lopulisa. Selain bersama Ine, Christopher Abimanyu juga sering tampil bersama berbagai orkes-orkes dan paduan-paduan suara, serta sejumlah konduktor di Indonesia, salah satunya Addie MS. Bersama pimpinan Twilight Orchestra itu, dia membawakan beragam repertoir mulai lagu-lagu Indonesia, opera, hingga broadway. Bersama Twilite pula, Abimanyu pernah menjadi solis pada Symphony No. 9 Beethoven dan disaksikan langsung oleh Presiden saat itu, Abdurrahman Wahid dan beberapa kali tampil di depan Ibu Megawati Sukarnoputri dalam acara-acara rutin Bimasena. Abimanyu bersama pianis Lendi Sudarno juga tampil dalam Art Song Series, salah satunya pernah menampilkan siklus “Die Schone Mullerin” karya dari F. Schubert secara lengkap. Beberapa penghargaan dalam Perlombaaan Seriosa yang pernah beliau raih adalah sebagai berikut; (1) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Nasional kategori seriosa (1987); (2) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat kategori seriosa (1987); (3) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Nasional kategori seriosa (1985); dan (4) Juara I Festival Bintang Radio dan Televisi tingkat Jawa Barat kategori seriosa (1985). 2.3.5 Rose Pandanwangi Rose Pandanwangi lahir di Makasar tanggal 26 Juni 1930, ayahnya keturunan Jerman dan ibunya berdarah campuran Manado Spanyol. Nama Rose Pandanwangi diberikan oleh S. Sudjojono suaminya yang menelusuri hidupnya di jalur seni lukis. Pasangan ini dikaruniai enam orang anak yang telah menjadi Universitas Sumatera Utara orang sukses semua. Masing-masing anaknya mempunyai kesan sendirisendiri terhadap lagu yang dibawakan ibunya. Misalnya Wicky lebih terkesan dengan lagu Be Still and Listen, (lagu Negro Spiritual) lagu ini sering dilantunkan ibunya sewaktu kecil, sehingga setiap lagu ini dinyanyikan selalu mengingatkan pada nasihat-nasihat ibunya waktu masih kanak-kanak. Pandan putri sulungnya lebih terkesan dengan lagu Untuk Anakku, karya Syaiful Bachri. Perjalanan karir Rose Pandanwangi dalam dunia seriosa diawali ketika bertemu dengan guru menyanyi Jepang Miakira. Oleh Miakira, Rose diperkenalkan dengan serombongan orkes dari Jepang yang mengadakan tour keliling di Ujung Pandang. Bakat dan warna suara Rose ternyata cocok dengan selera orkes tersebut maka ia diikutkan pada orkes tersebut. Sukses sebagai penyanyi solo orkes, oleh ayahnya pada tahun 1947 dikirim ke Eropa untuk memperdalam musik. Di Eropa inilah bakat Rose dibidang tarik suara khususnya seriosa dapat berkembang. Tahun 1952 ia pulang ke Indonesia. Tahun 1958 untuk pertama kalinya mengikuti lomba bintang radio jenis seriosa dan merebut juara III. Tahun 1959 ia mengikuti lomba lagi, dan berhasil mengalahkan penyanyi legendaris seriosa Indonesia Norma Sanger. Prestasinya diulang lagi ketika tampil menjadi juara nasional di Senayan tahun 1981. Sejak tahun 1958 sampai 1965, ia telah mengumpulkan 14 piala kemenangan baik untuk tingkat DKI (Daerah Khusus Ibukota) maupun tingkat nasional. Semenjak tahun 1965 Rose tidak aktif mengikuti lomba-lomba bintang radio untuk memberi kesempatan kepada pendatang baru. Ia lebih aktif sebagai juri untuk lagu-lagu Universitas Sumatera Utara seriosa dan aktif mengadakan pentas di berbagai acara hiburan maupun gerejagereja. Prestasinya tidak terbatas di dalam negeri, tetapi juga ke mancanegara. Tahun 1953 ia mengikuti festival lagu klasik yang diadakan di Bucharest, Rumania dan berhasil sebagai juara III. Selain itu juga aktif pentas panggung hiburan antara lain di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, dan Lembaga Indonesia Amerika. Model suaranya untuk tahun-tahun berikut hingga kini, dianggap sebagai contoh paling baik untuk seriosa. Nama wangi baru dikenal tahun 1958, sebelum itu ia memakai nama Rose Sumabrata, dan dengan nama ini ia telah pula menyanyi di beberapa negeri di luar Indonesia. Sepeninggal suaminya ia merawat galeri yang terletak di Pasar Minggu. 2.3.6 Catharina Wiriadinata Leimena Catharina Wiriadinata Leimena lebih akrab dengan panggilan Catharina Leimena. Lahir pada tanggal 12 September 1942. Sejak kecil bakat suaranya telah tampak oleh guru seni suara pada saat itu, ibu Nel Hakim, yang kemudian menjadi guru pianonya. Ia sering ditampilkan sebagai solist pada beberapa pagelaran paduan suara dan oratorium, dengan pembina vokal privatnya seorang guru vokal berkebangsaan Jerman, Madame Botterberg Schimieden. Sewaktu mahasiswa ia memenangkan juara I untuk kategori seriosa dan mendapat beasiswa dari pemerintah Italia untuk memperdalam seni vokal dan opera. Dengan bimbingan dari Professora Anzeloti Zurlo (pangajar di Academia di Santa Cecilia) selama satu tahun di kota Roma, ia diterima di Kenservatorium Musik ”Guiseppe Verdi” Universitas Sumatera Utara Milano dibawah bimbingan professora Clotilde Ronchi dan mempelajari seni opera di bawah bimbingan Professora Carla Castelanni. Pada tahun 1965 lulus dengan meraih. Pada tahun 1965 lulus dengan meraih ”diploma per il canto artistico” dan berhak turut dalam pagelaran-pagelaran yang diselenggarakan oleh Konservatorium tersebut, antara lain dalam pagelaran karya-karya Monteverdi dengan dirigen muda Riccardo Muti di hadapan Sri Paus Paulus VI di Vatican dan Theatre Lugano di Swiss. Peran-peran opera yang pernah diperankan Catharina antara lain, sebagai La Cleca dalam Opera La Gioconda karya komponis Ponchiello; Azucena dalam Opera Il Trevatore karya Guiseppe Verdi; Mama Lucia dalam Opera Cavaleria Rusticana karya Pietro Mascagni, Adalgisa dalam Opera La Norma karya V. Bellini. Sekembalinya ke Indonesia, Catharina mengadakan resital-resital tunggal dengan pianis Iravati M. Sudiarso di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Yogyakarta. Untuk memberikan apresiasi seni opera di Indonesia, Catharina membentuk sanggar Opera ”Susvara”, dengan bekerjasama dengan beberapa grup paduan suara, ballet, dan teater sempat mementaskan beberapa opera di Jakarta dan Bandung. Pada tahun 1981 ia mendapat penghargaan dari ”Instituto Antonio Pigafetta” dalam keberhasilannya memberi apresiasi untuk seni tersebut, dan Duta Besar Italia mendatangkan dua kali grup opera dari Italia dengan pementasan ”Il Barbieri di Siviglia” karya Rossini dan ”La Boheme” karya Giacomo Puccini, di Jakarta. Catharina juga bermain dalam berbagai opera dan menyanyi solis dalam berbagai konser, menjadi bintang tamu dalam pagelaran Mozart Night, produksi Universitas Sumatera Utara Studio Cantorum dan Bandung Choral Society. Menjadi salah satu penyanyi dalam Night of Miracles yang diadakan oleh Rotary Club Jakarta di Hotel Dharmawangsa. Terakhir pada 22 Agustus 2003. Ia tampil dalam resital tunggal ”Konser Vokal Emas” dalam rangkaian acara 50 tahun Yayasan Pendidikan Musik. Selain bernyanyi ia juga aktif menjado peserta ”International Choral Symposium” di Rotterdam, Netherland. Menjadi pengamat pada Choir Olympic II di Busan, Korea, menjadi peserta dalam Internatioanal Choral Symposium for East-Asia di Singapura, memberikan beberapa materi dalam Church Choral Symposium yang diadakan oleh Banding Choral Society pada bulan Juli 2003. Saat ini aktif menjabat sebagai dosen di Sekolah Musik YPM dan Institut Kesenian Jakarta, mengajar secara privat serta menjadi juri dalam berbagai kompetisi dan festival paduan suara. 2.3.7 Christine Theodosia Lubis Lahir pada tanggal 1 Desember 1981 di Tanjung Balai. Nama lengkapnya adalah Christine Theodosia Lubis. Mengenal musik sejak usia 5 tahun dari keluarganya, khususnya ibunya sendiri R.Hutauruk. Tahun 1996 masuk Sekolah Menengah Musik Negeri Medan dibawah bimbingan ibu Juliana Hutagalung. Ia memperdalam pengetahuan musik vokalnya di Institut Kesenian Jakarta hingga tahun 2003 dibawah bimbingan ibu Catharina Leimena. Mengikuti beberapa master class vocal dari Italia dan Portugal sejak tahun 2001, antara lain arahan dari Nunzia Santodirocco dan Massimilano Damato (Soprano-Tenor) dari Italia, Universitas Sumatera Utara Tenore dan Soprano dari Portugal dan Italia serta terakhir adalah dengan Monica Bozzo dan Guiseppe Belancca (soprano-tenore) dari Italia di sekolah Musik YPM Jakarta, pada April 2007. Memiliki pengalaman sebagai penyanyi solis soprano, diantaranya: Jak@rta Performance bersama Trisutji Kamal dan Catharina Leimena di Geding Kesenian Jakarta pada Juni 2004; mendapat peran Donna Elvira, Dorabella dan Pamina dalam pagelaran ”Catch A Glimpse of Mozart’s Opera” (Le Nozze di Figaro, Don Giovanni, Cosi fan Tutte, Die Zauberflote) di GoetheHaus Jakarta pada Januari 2007; sebagai solis menyanyikan beberapa cuplikan oratorium pada pagelaran bertajuk ”The Seven Last Words Of Christ” karya T.Dubois, produksi Susvara Opera Company di Gedung Kesenian Jakarta tahun 2008; Juara Bintang Radio se-DKI Jakarta; Juara Bintang Radio Tingkat Nasional di Makassar pada November 2009; menjadi solis soprano dalam pra konser ”One Voice, One heart” bersama Cherubim Choir GII Hok Im tong di YMCA Auditorium Singapore pada Oktober 2011; pembicara dalam seminar “Vocalizing and Choral Workshop Program” dalam rangka Aldersgate Gereja Methodist Indonesia di Medan pada November 2011; menjadi salah satu solist soprano dan vocal director dalam “Victorious Journey” premiere concert Cantiamo La Verita di auditorium RRI, Jakarta 20 Mei 2013. Di awal September 2013 mendapat kepercayaan menjadi solist soprano mewakili Indonesia dalam misi kebudayaan ASEAN yang bertajuk “Business of Asia Traditional Music” di Seoul, Korea Selatan. Universitas Sumatera Utara 2.4 Musik Klasik di Indonesia Pada bagian Pendahuluan sudah memaparkan bagaimana proses panjang dan sentuhan awal masuknya musik klasik barat di Indonesia. Awal masuknya musik diatonis barat di Indonesia tidak terlepas dari kedatangan orang-orang barat dengan tujuan utama untuk perdagangan dan politik. Tahun 1511 merupakan titik awal pengaruh barat di Indonesia, ditandai dengan datangnya sebuah kapal Portugis yang dipimpin oleh Alfonso d'Albuquerque ke pulau Maluku. Setelah kedatangan Portugis, negara-negara barat lainnya juga berdatangan ke Indonesia untuk berdagang, diantaranya; bangsa Belanda datang pada tahun 1596, bangsa Spanyol datang pada tahun 1906, dan bangsa Inggris datang pada tahun 1619. Kedatangan orang barat ke Indonesia pada waktu itu untuk berdagang memberi dampak bukan hanya kepada bidang ekonomi akan tetapi membuka ruang untuk memahami budaya masing-masing. Kebiasaan budaya di barat tentunya akan tetap dibawa masyarakatnya dimanapun mereka berada. Inilah keyataan yang terjadi pada era kedatangan bangsa barat ke Indonesia, mereka membawa kebiasaan-kebiasaan budayanya seperti halnya pesta dan musik. Proses ini dapat dipahami sebagai cikal bakal terjadinya akulturasi budaya dan adanya kesempatan untuk belajar budaya luar. Pada masa penjajahan,orang Barat mulai mempekerjakan orang pribumi sebagai penghibur. Sebagai penghibur dalam hal bermain musik, berarti orang indonesia sudah mendapatkan sentuhan awal mengenai pendidikan musik barat terlepas apakah pengetahuan musiknya dipelajari dengan metode yang sebenarnya ataupun tidak. Universitas Sumatera Utara Pada tahun 1574, Portugis menjadikan bentuk pertunjukan musik sebagai cara untuk melakukan kerjasama-kerjasama dalam berbagai hal. Orang-orang pribumi sudah ikut terjun dalam kelompok ansambel tersebut. Hal ini dikuatkan tulisan Smith (1968:117) yang mengatakan bahwa ia telah membuat kelompok musisi di kapalnya yang bertujuan untuk menghibur raja-raja lokal. Dr. F de Haan menulis bahwa seorang pejabat Belanda yang bernama Cornelis de Bevere tahun 1689 sudah mengambil tiga budak asli (orang pribumi) sebagai musisi yang ditugaskan untuk memainkan instrumen seperti kontra bas, biola, dan kecapi. Sejak abad ke-17 perkembangan awal musik barat di Jawa telah berada di bawah administrasi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Belanda di Indonesia. Menurut Raden, bahwa Perusahaan Hindia Belanda pada tahun 1957 telah membuat rencana untuk mendirikan organisasi seni yang memungkinkan dilakukannya kegiatan pertunjukan musik. Berg dalam bukunya Het Tooneel te Batavia di Vroegeretijd menyebutkan bahwa repertoar musik mereka adalah musik vokal atau instrumental. Musik yang dimainkan sama dengan apa yang dipelajari di negara barat. Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa musik barat di Indonesia tetap mengalami perkembangan sampai pada tahap pada orang-orang Indonesia mampu berkarya dalam menciptakan musik dengan pendekatan teori musik barat baik dalam musik instrumental maupun dalam musik vokal. Pada tahun 1950-an lahirlah komponis-komponis musik klasik Indonesia seperti: Amir Pasaribu, Moctar Embut dan Cornel Simanjuntak. Karya-karya komposisi yang diciptakan masih dalam tulisan tangan. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.1. Partitur Lagu “Si Bongkok dengan Sulingnya” Sumber: Manuskrip Karya Piano Amir Pasaribu Geliat perkembangan musik klasik Barat di Indonesia sangat terasa pada tahun 1950-an ditandai dengan semakin banyaknya orang pribumi yang mampu bermain musik barat dan menciptakan musik dengan pendekatan konsep komposisi barat. Salah satu pelopor musik klasik barat di Indonesia adalah Amir Pasaribu. Pada tahun 1940 Amir Pasaribu sudah mempunyai skill permainan yang Universitas Sumatera Utara tinggi untuk instrumen cello. Ia lolos audisi untuk menempati posisi pemain cello dalam Orkes Radio van Batavia. Amir Pasaribu juga banyak bermain musik di berbagai orkes simfoni dan perkumpulan-perkumpulan yang lebih kecil (sering disebut kunstkring). Kunstkring adalah salah satu organisasi musik yang memiliki program mendatangkan grup-grup musik klasik dari luar negeri. 22 Perang Dunia II tahun 1942, Jepang menghadapi Amerika Serikat, Inggris, Belanda. Akhirnya, Jepang mengalahkan Belanda dan Jepang berhasil masuk ke Indonesia. Pemerintahan Belanda digantikan oleh pemerintahan Jepang. Awal pemerintahan Jepang, ada dua hal yang menjadi prioritas di Indonesia, yaitu memobilisasi rakyat Indonesia untuk kepentingan dan menghapus pengaruhpengaruh barat di Indonesia. Kedatangan Jepang ke Indonesia membawa perubahan di dalam kehidupan musik, yaitu didirikannya Kulturkammer (Keimin Bunka Shidoso) sebagai bentuk peraturan dalam berkesenian. Jepang melarang segala seni yang bukan berasal dari Indonesia, terkecuali musik klasik, dan memuja-muja ketimuran. Selain musik klasik, musik keroncong juga diperbolehkan, akan tetapi untuk syair nyanyian yang berbau barat harus dibuang. Salah satu cara yang dilakukan Jepang dalam mengurangi pengaruh Barat dan menciptakan Asia Raya adalah dengan melarang pemakaian bahasa Belanda dan Inggris. Bukan hanya melarang pemakaian bahasa, Jepang juga melakukan pelarangan peredaran buku-buku dalam bahasa Belanda. 22 Eitha Rohana Sitourus, 2009. Amir Pasaribu-Komponis, Pendidik & Perintis Musik Klasik Indonesia. Media Kreatif., hal.33-34 Universitas Sumatera Utara Kehidupan musik pada masa pemerintahan Jepang tetap berjalan seperti biasanya terlihat dengan adanya bentuk orkes musik yang pada waktu disebut Hoshio Kyioku Kangen gakku (Orkes Tiup Radio) yang dipimpin konduktor Jepang, Nobuo Ida dan Nikolai Farvolomeyef dari Rusia. Amir Pasaribu juga ikut dalam orkes ini sebagai pemain cello. Amir Pasaribu, Cornel Simanjuntak dan Binsar Sitompul sama-sama bekerja di Keimin Bunka Shidos (Pusat Kebudayaan) sebagai pengarang lagu-lagu propaganda. Musik yang mereka ciptakan kemudian diputar di Radio Republik Jakarta. Dalam kondisi semua aktivitas telah dibatasi dalam berkarya, semua karya musik tidak boleh lagi mencerminkan musik barat maka timbul kesadaran para komponis Indonesia untuk berkarya dengan memasukkan idiom nusantara dalam karya mereka. Selain itu, penggunaan syair dalam bahasa Indonesia dalam konsep teori barat dijadikan sebagai sarana dalam membangkitkan rasa nasionalisme. Lagu-lagu yang diciptakan banyak yang bertemakan perjuangan. Musik vokal berkembang dan hidup pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Kecenderungan penciptaan karya komposisi vokal dengan kerjasama antara penyair dan komposer, yaitu syair terlebih dahulu dibuat, kemudian iringan musiknya dalam kesatuan emosi dan ekspresi oleh komposer. Penyair-penyair Indonesia pada saat itu adalah Sanusi Pane, Armijn Pane, Umar Ismail dan pengarang lagu adalah Cornel Simanjuntak, Kusbini dan Tjoh Shinsu. Konsep komposisi pada saat itu memberikan jalan bagi lahirnya musik seriosa yang dikenal seperti saat ini. Pelopor musik seriosa yang diprakarsai oleh Cornel Simanjuntak telah memberikan lahirnya genre baru musik Indonesia. Universitas Sumatera Utara Konsep komposisi dengan pendekatan teori barat dan syair dalam Bahasa Indonesia adalah ciri khas dari musik seriosa. Pembelajaran tentang musik barat di Indonesia dalam wadah informal baru terbentuk tahun 1952 yaitu, berdirinya Sekolah Musik Indonesia (SMIND). Akan tetapi perlu dipahami bahwa sebelum terbentuknya sekolah informal ini, pembelajaran musik secara informal (privat) terus berjalan. Pendapat ini diperkuat oleh Surtihadi dalam artikelnya yang berjudul Peranan Tan Thiam Dalam Musik Barat Di Indonesia. Tulisannya ini menunjukkan bahwa Tan Tham Kwie sudah memperoleh pendidikan musik tahun 1920-an. Sebelum terbentuknya SMIND tahun 1952, terlebih dahulu dibentuk panitia untuk pembukaan Sekolah Tinggi Kesenian pada tanggal 7 Agustus 1952. Panitianya terdiri dari (1) Koentjara Poerbopranoto sebagai Penasehat Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K, sekaligus merangkap Ketua; (2) Soedarsono, Kepala Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K. merangkap Sekretaris; (3) Prof. Mr. Poerbotjaroko, guru besar Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia; (4) Prof. Mr. Djikosoetono, guru besar Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia; (5) Katamsi, Direktur Akademi Seni Rupa Indonesia; (6) Soemardja, pimpinan Akademi Seni Rupa Indonesia; (7) Pangeran Soejohamidjojo, pimpinan konservatori Karawitan Indonesia; (8) Indro Soegondo, Kepala Bagian Kesenian, Jawatan Kebudayaan Kementerian P.P dan K; (9) Ki Hadjar Dewantara, Anggota DPR; dan (10) Lumban Tobing (violis, Etnomusikologi). 23 23 Ibid., Sitorus., hal. 85-86 Universitas Sumatera Utara Lokasi untuk mendirikan sekolah musik pertama di Indonesia sempat menjadi polemik, ada yang menginginkan dibuat di Jakarta dan di Yogyakarta. Pertimbangan pemilihan lokasi di Jakarta menurut Amir Pasaribu dikarenakan pada masa penjajahan Belanda, pertunjukan musik orkes dan kamar sudah berada di Jakarta. Dipihak lain, ada yang berpendapat bahwa musik klasik Indonesia seperti karawitan sudah terbentuk di Yogyakarta sehingga tenaga pengajar musik lebih memungkinkan. Walaupun polemik terjadi, pada akhirnya pada bulan Januari 1952 sebuah sekolah musik pertama di Indonesia didirikan di Yogyakarta. Direktur pertama yang memimpin SMIND adalah Ir. S. Prawironegoro. 24 Suka Hardjana dalam Surtihadi mengatakan bahwa gagasan untuk membuka Sekolah Musik Indonesia di Yogyakarta pada tahun 1952 dikemukakan oleh dua tokah nasional Moh. Yamin dan Sultan Hamengku Buwana IX. Tokoh musik berkebangsaan Belanda Henk te Strake pada waktu itu masih menjabat dirigen Orkes Radio Djakarta (ORD) dan bersedia hijrah ke Yogyakarta untuk turut memikirkan gagasan Sekolah Musik Indonesia. Ketika Sekolah Musik Indonesia berdiri tahun 1952, tercatat hanya lima orang tenaga guru pribumi dan satu keturunan Tionghoa, yakni: Soewandi dan Tan Thiam Kwie (violin), Djoned Sastro Puspito (trombone), Pradjawaditra (flute), dan Soekimin (klarinet). Sebahagian besar tenaga guru adalah orang asing yang memang para pemain orkes besar yang ada pada waktu itu, termasuk Henk te Strake. 24 Ibid., Sitorus., hal.87-88 Universitas Sumatera Utara Perkembangan pendidikan musik Indonesia untuk level konservatori adalah didirikannya Akademi Musik Indonesia yang dikemudian hari menjadi bagian dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Pengajar musik di AMI juga berasal dari luar negeri disamping itu juga masih ada tenaga guru pengajar Indonesia seperti Than Thiam Kwie. Than termasuk salah satu pelopor pendidikan musik Barat yang dipercaya saat itu. Peranannya di dua institusi musik SMIND dan AMI sangatlah besar. Peranan itu terutama di dalam spesialisasinya pada pembelajaran metode dan praktik instrumen violin. Perkembangan pendidikan seni dalam jenjang perguruan tinggi di Indonesia tersebar di berbagai daerah seperti; Institut Kesenian Jakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Surakarta, Institut Seni Indonesia Padangpanjang, Institut Seni Indonesia Denpasar, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung, Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW) Surabaya. Pendidikan Tinggi Seni di Sumatera Utara yang menawarkan kurikulum musik dan Pengkajian Seni dalam musik Barat seperti: Prodi (Program Studi) Magister Pengkajian dan Penciptaan Seni dan Jurusan Etnomusikoli di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Prodi Seni Musik Fakultas Bahasa dan Seni Universitas HKBP Nommensen dan Prodi Seni Musik Universitas Negeri Medan. Untuk tingkat menengah kejuruan, terdapat SMK 11 Medan. Persebaran musik Barat (baik instrumental dan vokal) dapat dikatakan cukup tersebar di banyak daerah di nusantara, terbukti dengan banyaknya Universitas Sumatera Utara pendidikan seni yang bermunculan di tanah air. Persebaran musik barat dapat dilihat dengan banyaknya lembaga musik informal yang menawarkan pendidikan musik barat diseluruh Indonesia. Universitas Sumatera Utara