Upaya Peningkatan Hasil Belajar IPA melalui Model Pembelajaran

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.
Kajian Teori
Kajian teori ini merupakan uraian pendapat dari para ahli yang mendukung
penelitian. Beberapa teori dari para ahli tersebut mengkaji objek yang sama yang
mempunyai pandagan dan pendapat yang berbeda-beda. Pembahasan kajian teori
dalam penelitian ini berisi tentang hakikat pembelajaran, hakikat IPA, hakikat
pembelajaran IPA, model pembelajaran Make a Match, media gambar dan hasil
belajar.
2.1.1. Hakikat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar
Pada hakikatnya istilah belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang
tidak asing lagi bagi kehidupan manusia, semua manusia pernah mengalaminya.
Peristiwa tersebut baik disadari maupun tidak oleh manusia pernah terjadi di
dalam kehidupannya. Manusia memang melakukan kedua hal tersebut tetapi tidak
banyak yang memahami apa hakikat dari dua istilah tersebut.
Menurut Knowles (dalam Putra, 2013:15), pembelajaran merupakan cara
pengorganisasian siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Suprijono
(2012:13), menambahkan bahwa pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti
proses, cara, perbuatan mempelajari. Lebih jelasnya ia menerangkan bahwa
pembelajaran adalah cara yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru melalui interaksinya dengan lingkungan.
Selanjutnya
Warsita
(dalam
Rusman,
2013:93),
mendefinisikan
“pembelajaran merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh guru untuk membuat
siswa belajar”, dengan kata lain pembelajaran merupakan merupakan upaya
menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Siswa membangun dengan
sendiri konsep pengetahuannya dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Jadi
pengetahuan itu bukan dari guru ke siswa, akan tetapi siswa sendiri yang
membangun pengetahuannya.
9
10
Hamalik (dalam Putra, 2013:17), menambahkan bahwa pembelajaran ialah
suatu kombinasi yang tersusun dari unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Sejalan dengan pendapat di atas Usman (dalam Ahmad, 2012:8)
mengartikan pembelajaran sebagai suatu proses yang mengandung serangkaian
perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung
dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa
definisi pembelajaran menurut para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran adalah serangkaian cara atau proses interaksi yang dilakukan oleh
guru dan siswa sebagai upaya guru untuk membantu siswa membangun
pengetahuannya sendiri dalam situasi yang edukatif melalui interaksinya dengan
berbagai sumber belajar termasuk lingkungan sehingga tercapai tujuan belajar
yang telah ditetapkan. Salah satu pembelajaran yang ada di Sekolah Dasar, yang
pada proses dan materi pelajarannya dekat dengan lingkungan ialah pembelajaran
IPA.
Menurut Samantowa (2010:1), IPA merupakan terjemahan kata dalam
bahasa Inggris yaitu natural science. Natural artinya alamiah, berhubungan
dengan alam. Science berarti ilmu pengetahuan. Jadi IPA atau natural science
secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tentang alam, ilmu yang mempelajari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.
Darmojo (dalam Samantowa, 2010:2), secara singkat menambahkan
bahwa IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta
dengan segala isinya. Selaras dengan pendapat tersebut Webster’s (dalam
Samantowa, 2010:2) menyatakan bahwa IPA adalah pengetahuan tentang alam
dan gejala-gejalanya. IPA adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam.
Putra (2013:51), menyebutkan IPA atau sains adalah pengetahuan yang
mempelajari, menjelaskan, serta menginvestigasi fenomena alam dengan segala
aspeknya yang bersifat empiris.
Sejalan dengan pendapat tersebut Fowler (dalam Trianto, 2012:136)
mengemukakan bahwa IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan,
yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas
11
pengamatan dan deduksi. Wahyana (dalam Trianto, 2012:136) mengatakan bahwa
“IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, dalam
penggunaanya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam”. Selanjutnya
Trianto (2012:137), menyimpulkan bahwa hakikat IPA merupakan ilmu
pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang
dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya
terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen berupa konsep,
prinsip dan teori yang berlaku secara universal.
Sementara itu dalam Depdiknas (2006:161), ilmu pengetahuan alam
adalah ilmu alam yang berhubungan dengan cara mencari tahu alam secara
sistematis. Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya
IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala alam semesta
dan segala isinya, yang dilakukan melalui berbagai cara yaitu mengamati,
menginvestigasi, dan menjelaskan gejala-gejala alam yang ada sehingga
menghasilkan produk ilmiah dalam bentuk konsep, prinsip dan teori yang dapat
teruji kebenarannya. Pembelajaran IPA yang berkaitan dengan alam hakikatnya
bermanfaat bagi siswa dalam memahami realitas kehidupan sehari-hari yang ada
disekitar mereka, bukan mengenai pemahaman konsep IPA oleh tetapi yang lebih
penting ialah apa dari IPA yang perlu diajarkan dan dengan cara bagaimana,
supaya siswa dapat memahami konsep IPA dengan baik dan terampil untuk
mengaplikasikannya secara logis konsep tersebut pada situasi lain yang relevan
dengan pengalamannya sehari-hari.
Siswa SD belajar dengan cara mengkonstruksikan hal yang dipelajarinya
berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya, bukan menerima suatu hal dengan
pasif. Adapun IPA untuk Sekolah Dasar dalam Samantowa (2010:12)
didefinisikan oleh Paolo dan Marten yaitu sebagai berikut: mengamati apa yang
terjadi, mencoba apa yang diamati, mempergunakan pengetahuan baru untuk
meramalkan apa yang terjadi, menguji bahwa ramalan-ramalan itu benar.
Selanjutnya menurut Sulistyorini (2007:8), pembelajaran IPA harus melibatkan
keaktifan anak secara penuh (active learning) dengan cara guru dapat
merealisasikan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan pada siswa untuk
12
melakukan keterampilan proses meliputi: mencari, menemukan, menyimpulkan
mengkomunikasikan sendiri berbagai pengetahuan, nilai-nilai, dan pengalaman
yang dibutuhkan. Menurut De Vito, et al. (dalam Samantowa, 2010:146),
pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan kehidupan sehari-hari
siswa, oleh guru siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan untuk
membangkitkan ide-ide siswa, membangun rasa ingin tahu tentang segala hal
yang ada di lingkungannya, membangun keterampilan (skill) yang diperlukan, dan
menimbulkan kesadaran bagi siswa bahwa IPA menjadi sangat penting untuk
dipelajari.
Apabila demikian halnya, selama enam tahun siswa akan mempunyai
pengalaman belajar yang bermakna sehingga pada tahap ini siswa mampu
mengembangkan sikap dan nilai-nilai dari pembelajaran IPA. Siswa yang
berminat dengan IPA akan merasakan bahwa belajar IPA merupakan proses yang
menyenangkan sehingga akan siswa akan antusias mengenai bagaimana pelajaran
IPA berimbas pada pengalaman kesehariannya.
Nilai-nilai IPA yang ditanamkan dalam pembelajaran IPA menurut
Laksmi (Trianto, 2012:142) antara lain sebagai berikut:
1) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis
menurut langkah-langkah metode ilmiah.
2) Ketrampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan,
mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan
masalah.
3) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan
masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun
dalam kehidupan.
Laksmi (Trianto, 2012:142) mengungkapkan bahwa pembelajaran IPA di
sekolah mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu:
1) Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat
hidup dan bagaimana bersikap.
2) Menanamkan sikap hidup ilmiah.
3) Memberikan ketrampilan untuk melakukan pengamatan
4) Mendidik siswa untuk mengenal, mengetahui cara kerja serta
menghargai para ilmuwan penemunya.
5) Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam
memecahkan permasalahan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah
13
pembelajaran IPA adalah aktivitas belajar yang tidak hanya sekedar pemberian
materi secara keseluruhan tetapi lebih penting daripada itu adalah bagaimana
seorang siswa dapat mengerti mengenai konsep yang ada di dalam IPA melalui
apa yang mereka dengar dan mereka lihat, sehingga hasil yang diperoleh siswa
setelah belajar IPA akan bermanfaat bagi pengalaman hidupnya.
2.1.1.1.Tujuan Pendidikan IPA di Sekolah Dasar
Tujuan pembelajaran IPA dijelaskan dalam Depdiknas (2006:62), agar
peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:
1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha
Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam
ciptaan-Nya.
2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep
IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran
tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara
IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.
4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam
sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan
5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam
memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.
6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala
keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.
7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA
sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.
Tujuan mata pelajaran IPA secara umum yaitu menciptakan ketaqwaan
terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta, memahami berbagai macam
gelaja alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan rasa ingin
tahu mengenai pengaruh IPA dengan lingkungan, menumbuhkan kemampuan
berpikir ilmiah, meningkatkan kesadaran dalam menjaga lingkungan alam,
meningkatkan keterampilan untuk bekal pendidikan ke jenjang selanjutnya.
Dalam penelitian ini tujuan mata pelajaran IPA adalah untuk melatih siswa
dalam mempelajari konsep IPA melalui aktivitas belajar yang mereka lakukan
sendiri, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar IPA yang bermakna
bagi siswa melalui model pembelajaran Make a Match.
14
2.1.1.2.Ruang Lingkup Pembelajaran IPA
Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek
berikut ini, Depdiknas (2006:62):
1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,
tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta
kesehatan.
2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat
dan gas.
3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet,
listrik, cahaya dan tanah.
4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan
benda-benda langit lainnya.
Dalam penelitian ini aspek IPA yang digunakan yaitu bumi dan alam
semesta yang terfokus pada pokok bahasan tanah yang meliputi jenis-jenis batuan,
proses pembentukan tanah melalui pelapukan dan jenis serta struktur tanah.
2.1.2. Hasil Belajar
Dalam melakukan kegiatan belajar terjadi proses berpikir yang melibatkan
kegiatan mental yang mengakibatkan timbulnya sebuah pemahaman terhadap
suatu materi yang diajarkan. Pemahaman tersebut didapat setelah melalui proses
belajar mengajar, oleh karena itu terjadi perubahan dari yang tidak diketahui
menjadi diketahui, dari yang tidak paham menjadi paham. Perubahan inilah yang
disebut dengan hasil belajar.
Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang
membentuknya yaitu “hasil” dan “belajar”. Hasil merujuk pada suatu perolehan
akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya
input secara fungsional. Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya
perubahan perilaku pada individu yang belajar (Purwanto, 2013:44-45).
Sudjana (2011:22), menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan
yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengamalan belajar. Menurut
Suprijono (2012:5), Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai,
pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan-keterampilan.
Selanjutnya Kingsley (dalam Sudjana, 2011:45) membagi tiga macam
15
hasil belajar yaitu: (1) keterampilan dan kebiasaan, (2) pengetahuan dan
pengarahan, (3) sikap dan cita-cita. Gagne (dalam Suprijono, 2012:5-6) membagi
kategori tipe hasil belajar ke dalam:
1) Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk
bahasa, baik lisan maupun tertulis.
2) Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dalam
lambang. Meliputi kemampuan mengklasifikasi, kemampuan analisis-sintesis
fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan.
3) Strategi kognitif yaitu kecapakan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas
kognitifnya sendiri, antara lain penggunaan konsep dan kaidah dalam
memecahkan masalah.
4) Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak
jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak
jasmani.
5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan
penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi
dan eksternalisasi nilai-nilai.
Sementara itu Bloom berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang hendak
dicapai digolongkan atau dibedakan menjadi tiga bidang, yaitu (1) bidang
kognitif, (2) afektif, dan (3) bidang psikomotor (Sudjana, 2011:46).
Lindgren dalam Suprijono (2012:6) menyatakan hasil belajar meliputi
kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono
(2009:3) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi
tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh
seseorang setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar tampak dari
perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam
bentuk perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan.
Hasil belajar merupakan hasil proses belajar atau proses pembelajaran.
Hasil belajar dapat di tinjau dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru, dari sisi
siswa hasil belajar merupakan “tingkat perkembangan mental” yang lebih baik
bila dibandingkan pada saat pra-belajar. Sementara bila ditinjau dari sisi guru,
16
hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran (Dimyati dan
Mudjiono, 2009:250). Rusman (2013:123), menambahkan hasil belajar adalah
sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif
dan psikomotor.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan perubahan perilaku secara menyeluruh dari berbagai aspek mencakup
ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang disebabkan oleh adanya proses
pembelajaran. Hasil belajar dapat diukur, biasanya berupa nilai, angka, atau huruf.
Semakin tinggi nilai atau angka atau huruf maka semakin tinggi juga hasil dari
belajar siswa.
2.1.2.1.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar
Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa.
Slameto (2010:54), menerangkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
belajar adalah:
1) Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu
(intern), yang meliputi:
a. Faktor biologis meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran dan penglihatan.
Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil
prestasi belajar.
b. Faktor psikologis, meliputi: intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian
ingatan berpikir.
c. Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan
jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta
mengantuk. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya
kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan
sesuatu akan hilang.
2) Faktor yang ada pada luar diri individu yang disebut dengan faktor ekstern,
yang meliputi:
a. Faktor keluarga, keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan
17
terutama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi
bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar.
b. Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru
dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah.
c. Faktor masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat
mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah
lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk
lebih giat belajar.
Sejalan dengan pendapat di atas Clark (dalam Sudjana, 2011:39),
menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70% dipengaruhi oleh
kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Disamping faktor
kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain seperti motivasi belajar,
minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi,
faktor fisik dan psikis. Selain faktor dari dalam diri siswa faktor yang berada
diluar siswa juga menentukan dan mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Salah
satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di
sekolah adalah kualitas pengajaran artinya tinggi rendahnya atau efektif tidaknya
proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran.
Menurut Caroll (dalam Sudjana 2011:40), bahwa hasil belajar yang
dicapai siswa dipengaruhi oleh 5 faktor yakni (1) bakat belajar, (2) waktu yang
tersedia untuk belajar, (3) waktu yang diperlukan untuk menjelaskan pelajaran, (4)
kualitas pengajaran, dan (5) kemampuan individu. Empat faktor yang disebut di
atas (1, 2, 3, 5) berkenaan dengan kemampuan individu dan faktor (4) adalah
faktor luar individu. Kedua faktor di atas (kemampuan siswa dan kualitas
pengajaran) mempunyai hubungan berbanding lurus dengan hasil belajar. Artinya,
makin tinggi kemampuan siswa dan kualitas pengajaran, makin tinggi pula hasil
belajar yang diperoleh siswa.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil
yang diperoleh siswa dalam proses pembelajaran bergantung kepada beberapa
faktor yang mendasar, faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam individu
siswa sendiri, seperti minat, motivasi, bakat serta faktor yang berasal dari luar
18
siswa seperti kualitas guru dalam mengajar, faktor ini penting di dalam upaya
pencapaian hasil belajar yang optimal yaitu terkait bagaimana seorang guru
tersebut mampu menciptakan sebuah pembelajaran yang dapat merangsang siswa
sehingga siswa menjadi berminat, motivasi belajar siswa juga tumbuh serta dapat
menumbuhkan kebiasaan baik siswa dalam belajar, hal tersebut penting sebagai
upaya untuk meningkatkan hasil belajar artinya, semakin tinggi kualitas guru
dalam memberikan pembelajaran bagi siswa maka semakin tinggi hasil belajar
yang akan diperoleh siswa.
2.1.3. Model Pembelajaran Make a Match
Banyak jenis model pembelajaran yang dapat dikembangkan melalui
pembelajaran kooperatif, contohnya ialah model pembelajaran Make a Match.
Model belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match) dikembangkan oleh
Curran. Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil
belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.
Tujuan dari model ini antara lain: 1) Pendalaman materi; 2) Penggalian materi;
dan 3) edutainment, (Huda, 2013:251).
Lie (2004:55) menerangkan bahwa Make a Match adalah model belajar
siswa, dimana siswa mencari pasangan (pasangan kartu soal dan kartu jawaban)
sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang
menyenangkan. Model pembelajaran ini dapat digunakan pada semua mata
pelajaran dan semua tingkatan usia.
Pada penerapan model pembelajaran Make a Match, masalah yang ada
akan dipecahkan siswa bersama-sama, peran guru dalam penerapan model
pembelajaran ini hanya sebatas fasilitator yang mengarahkan siswa untuk
mencapai tujuan belajar. Pada interaksi siswa terjadi kesepakatan, diskusi,
menyampaikan pendapat dari gagasan pokok bahasan, saling mengingatkan dari
kesalahan konsep yang disimpulkan, membuat kesimpulan bersama. Interaksi
belajar yang terjadi benar-benar interaksi dominan siswa dengan siswa. Selama
kegiatan belajar kooperatif Make a Match benar-benar memberdayakan potensi
siswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan keterampilannya.
19
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran
Make a Match adalah sebuah model pembelajaran dengan mencari pasangan
dimana setiap siswa mendapatkan satu kartu, baik itu kartu soal ataupun kartu
jawaban untuk dicari pasangannya, dalam hal ini siswa akan terlibat dalam sebuah
kegiatan belajar penemuan konsep materi dalam suasana yang menyenangkan,
interaksi yang muncul dalam penerapan model pembelajaran ini adalah interaksi
dominan antara siswa dengan siswa dimulai dari siswa berdiskusi menemukan
pasangan kartu yang cocok, kemudian siswa menyampaikan ide-ide dari pokok
bahasan, yang terakhir siswa bersama-sama membuat kesimpulan atas pokok
bahasan tersebut. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator agar kegiatan belajar
yang berlangsung tetap fokus dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah
ditetapkan sebelumnya.
2.1.3.1.Langkah-langkah Model Pembelajaran Make a Match
Menurut Suprijono (2012:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika
pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartukartu tersebut terdiri dari kartu berisi soal dan kartu lainnya berisi jawaban dari
soal-soal tersebut. Guru harus membuat kartu-kartu baik kartu soal maupun kartu
jawaban sesuai dengan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Selanjutnya guru
juga wajib mempersiapkan aturan-aturan dalam pelaksanaan pembelajaran Make a
Match, aturan tersebut meliputi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan sanksi
bagi siswa yang gagal dalam menemukan pasangan kartunya. Guru dapat
melibatkan siswa dalam pembuatan aturan ini, sehingga antara guru dan siswa
tercipta kesepakatan yang baik untuk proses pembelajaran.
Selanjutnya ialah langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran Make
a Match. Menurut Huda (2013:252-253) langkah-langkah penerapan tipe Make a
Match sebagai berikut:
1) Guru menyampaikan materi atau memberi tugas kepada siswa
untuk mempelajarari materi di rumah.
2) Siswa dibagi ke dalam dua kelompok, misalnya kelompok A
dan kelompok B. Kedua kelompok diminta untuk berhadaphadapan.
20
3) Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan
kartu jawaban kepada kelompok B.
4) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus
mencari atau mencocokkan akrtu yang dipegang dengan
kelompok lain. Guru juga perlu menyampaikan batasan
maksimum waktu yang diberikan kepada mereka.
5) Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari
pasangan di kelompok B. Jika mereka sudah menemukan
pasangannya masing-masing, guru meminta mereka
melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat siswa yang telah
berhasil menyelesaikan tugas pada kertas yang sudah
dipersiapkan.
6) Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu
sudah habis. Siswa yang belum menemukan pasangan diminta
untuk berkumpul tersediri.
7) Guru memanggil salah satu pasangan untuk presentasi.
Pasangan lain dan siswa yang tidak mendapatkan pasangan
memperhatikan dan memberi tanggapan apakah pasangan itu
cocok atau tidak.
8) Terakhir, guru memberikan konfirmasi tetang kebenaran dan
kecocokan pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang
memberikan presentasi.
9) Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnya
sampai seluruh pasangan melakukan presentasi.
10) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas
waktu diberi poin.
11) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa
mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian
seterusnya.
12) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang
memegang kartu yang cocok.
13) Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan
terhadap materi pelajaran.
Sedangkan menurut Suprijono (2012:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan
jika pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah:
1) Mempersiapkan kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari
kartu pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu lainnya berisi
jawaban.
2) Guru membagi kelas menjadi 3 kelompok, kelompok pertama
merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan,
kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu berisi
jawaban, selanjutnya kelompok ketiga ialah kelompok penilai.
3) Guru mengatur posisi kelompok tersebut berbentuk huruf U,
upayakan kelompok pertama dan kelompok kedua saling
berhadapan.
21
4) Jika masing-masing kelompok berada di posisi yang telah
ditentukan maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar
kelompok pertama maupun kedua saling bergerak mencari
pasngan pertanyaan dan jawaban yang cocok.
5) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi.
6) Hasil diskusi ditandai oleh pasangan-pasangan antara anggota
kelompok pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok
pembawa kartu jawaban.
7) Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan
pertanyaan dan jawaban kepada kelompok penilai.
8) Kelompok penilai kemudian membacakan apakah pasangan
pertanyaan dan jawaban itu cocok.
9) Setelah penilaian dilakukan, guru mengatur sedemikian rupa
kelompok pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian
memposisikan dirinya menjadi kelompok penilai. Sementara,
kelompok penilai pada sesi pertama tersebut di atasdipecah
menjadi dua, sebagian anggota memgang kartu pertanyaan
sebagian lagi memegang kartu jawaban. Posisikan mereka
dalam bentuk huruf U.
10) Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok
pemegang kartu pertanyaan dan jawaban bergerak mencari,
mencocokan, mendiskusikan pertanyaan dan jawaban.
Selanjutnya menurut Asmani (2011:45) langkah-langkah penerapan
model pembelajaran mencari pasangan (Make a Match) adalah sebagai berikut:
1) Guru menyiapkan kartu soal dan kartu jawaban.
2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.
3) Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang
dipegang.
4) Setiap siswa yang dapat mencocokan kartunya sebelum batas
waktu akan diberi poin.
5) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat
kartu yang berbeda dari sebelumnya.
6) Demikian seterusnya.
7) Kesimpulan atau penutup.
2.1.3.2.Keunggulan dan kelemahan Model Pembelajaran Make a Match
Ada beberapa keunggulan dari model pembelajaran Make a Match (Huda,
2013:253-254):
1) Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik,
2) Karena ada unsur permainan, model pembelajaran ini menyenangkan,
22
3) Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat
meningkatkan motivasi belajar siswa,
4) Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi,
5) Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.
Di samping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif
model Make a Match mempunyai beberapa kelemahan yaitu:
1) Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang
terbuang,
2) Pada awal-awal penerapan model pembelajaran ini, banyak siswa yang akan
malu berpasangan dengan lawan jenisnya,
3) Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang
kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan,
4) Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang
tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.
5) Penerapan model pembelajaran Make a Match secara terus menerus akan
menimbulkan kebosanan.
6) Pada kelas yang gemuk (> 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang
muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali.
Tentu saja kondisi ini akan menganggu ketenangan belajar kelas di kiri dan
kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal tersebut
dapat diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan
siswa sebelum “permainan” Make a Match dimulai.
2.1.3.3.Solusi Kelemahan Model Pembelajaran Make a Match
Pada hakikatnya sebaik-baiknya sebuah model pembelajaran pastilah
mempunyai kelebihan dan kekurangan. begitu pula pada model pembelajaran
Make a Match. Untuk itu guru sebagai perencana dan pelaksana pembelajaran
haruslah pandai di dalam mengupayakan setiap pembelajaran yang dilakukan
dapat meminimalisir kekurangan dari model pembelajaran yang digunakan.
Dalam hal ini upaya yang dapat ditempuh oleh guru untuk mengatasi kelemahan
dari model pembelajaran Make a Match adalah (1) sebelum memulai
23
pembelajaran ada baiknya guru memberikan instruksi yang jelas tentang
penerapan model pembelajaran Make a Match, sehingga dengan hal tersebut
siswa tidak dipusingkan lagi dalam melakukan langkah-langkah pembelajaran
Make a Match, (2) berikan pemahaman terhadap siswa bahwa penerapan model
Make a Match ini sifatnya hanya membantu siswa untuk mempelajari materi
pelajaran melalui cara yang baru, unik dan menyenangkan, sehingga dalam
prakteknya siswa tidak perlu malu apabila mendapati pasangan teman yang
berlawanan jenis, (3) sebelum proses pembelajaran berlangsung, guru bersama
siswa harus menyepakati beberapa kesepakatan mengenai peraturan-peraturan dan
hukuman yang dapat diterapkan kepada siswa bila siswa gaduh, tidak
mendengarkan apa yang guru atau siswa lain sampaikan saat presentasi kelompok
berlangsung, (4) guru sebagai pelaksana pembelajaran haruslah pandai-pandai
menerapkan model pembelajaran Make a Match sehingga siswa tidak bosan,
dalam penelitian ini guru menggunakan kartu soal bergambar sehingga siswa
merasa antusias terus menerus ketika permainan kartu.
2.1.4. Hakikat Media Pembelajaran
Media Pembelajaran dibentuk oleh dua kata yaitu media dan
pembelajaran. Menurut Boyke (dalam Sanaky, 2009:3), Media adalah sebuah alat
yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan.
Selanjutnya Gerlach dan Ely
(dalam Arsyad, 2011:3), mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis
besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang
membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.
Sementara itu pembelajaran adalah proses komunikasi antara siswa, guru, dan
bahan ajar. Sebuah pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar bila
tanpa bantuan sarana untuk menyampaikan pesan (Sanaky, 2009:3).
Gagne (dalam Sanaky, 2009:3), menambahkan media adalah berbagai
jenis komponen atau sumber belajar dalam lingkungan siswa yang dapat
merangsang siswa untuk belajar. Selanjutnya Miarso (dalam Sanaky 2009:4),
menyatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk
merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemajuan siswa sehingga dapat
24
mendorong terjadinya proses belajar pada diri pembelajarnya. Media disebut
sebagai alat bantu dikarena sifatnya yang dapat membantu guru dalam
menyampaikan sebuah materi pembelajaran, dengan penggunaan media dalam
sebuah proses pembelajaran tidak hanya guru tapi siswa juga mendapatkan
kemudahan dalam memahami materi yang sulit dipahami dengan menggunakan
kata-kata, guru juga akan cenderung mengurangi kebiasaan berceramah, sehingga
pemanfaatan sebuah media dalam pembelajaran dirasa merupakan suatu hal
penting untuk menciptakan sebuah pembelajaran yang efektif. Media dapat
menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit dan realistis. Media juga
membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar. Media memberikan
pengalaman yang integral dari yang konkrit sampai dengan yang abstrak
(Sadiman, 2007:55).
Dari pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa media
pembelajaran merupakan sarana atau alat yang dapat digunakan oleh guru untuk
menyampaikan pesan dalam sebuah proses pembelajaran, yang dimaksud dengan
pesan itu sendiri ialah materi pembelajaran, dengan adanya alat bantu atau media
tersebut diharapkan dapat memudahkan guru untuk menyampaikan materi kepada
siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemajuan
siswa sehingga akan menciptakan sebuah proses belajar dalam diri siswa.
Menurut Arsyad (2011:15) fungsi utama media pembelajaran adalah
sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan
lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Sanaky (2009:4)
menyebutkan bahwa tujuan penggunaan media pembelajaran adalah sebagai
berikut:
1) Mempermudah proses pembelajaran di kelas
2) Meningkatkan efisiensi proses pembelajaran
3) Menjaga relevansi antara materi pelajaran dengan tujuan belajar
4) Membantu konsentrasi siswa dalam proses pembelajaran.
Sanaky (2009:5), menambahkan manfaat dari penggunaan media yaitu:
1) Pengajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan
motivasi belajar,
25
2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga dapat lebih
dipahami siswa, serta memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran
dengan baik,
3) Metode pembelajaran bervariasi, tidak semata-mata hanya berkomunikasi
verbal melalui penuturan kata-kata lisan guru, siswa tidak bosan dan guru
tidak kehabisan tenaga,
4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya
mendengarkan penjelasan dari guru saja, tetapi juga aktivitas lain yang
dilakukan seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain.
Sudjana (dalam Sanaky, 2009: 5)
Jadi dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan media dalam sebuah proses
pembelajaran merupakan satu hal yang penting untuk memudahkan guru dan
siswa. Guru dimudahkan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa
sementara siswa akan lebih jelas dan konkret ketika memahami sebuah konsep
materi yang diajarkan oleh guru. Siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan dari
apa yang guru sampaikan tetapi siwa juga melakukan aktivitas lain seperti melihat
dan mengamati.
2.1.4.1.Hakikat Media Gambar
Menurut Sanaky (2009:69), Gambar adalah media yang paling umum
digunakan orang, karena media ini mudah dimengerti dan dapat dinikmati, mudah
didapatkan dan dijumpai dimana-mana, serta banyak memberikan penjelasan bila
dibandingkan dengan verbal. Gambar merupakan segala sesuatu yang diwujudkan
secara visual dalam bentuk dua dimensi dan sebagai curahan perasaan dan pikiran.
Penyajian materi pelajaran dengan menggunakan gambar, tentu merupakan daya
tarik tersendiri bagi siswa. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan.
Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi
visual. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses
penyampaian pesan dapat berhasil dan efisien.
Menurut Sudjana (2010:70) Gambar merupakan alat visual yang penting
dan mudah didapat, penting sebab dapat memberi penggambaran visual yang
konkrit tentang masalah yang digambarkan. Dalam sebuah proses pembelajaran,
26
gambar yang digunakan diharapkan mampu membantu guru di dalam
menyampaikan suatu konsep, memiliki kualitas yang baik, dalam arti memiliki
tujuan yang relevan, jelas, mengandung kebenaran, autentik, aktual, lengkap,
sederhana, menarik, dan memberikan sugesti terhadap kebenaran itu sendiri. Pike
(dalam Sibermen 2012:25), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan
penggunaan visual atau gambar pada sebuah pembelajaran akan menaikan ingatan
dari 14%-38%, penelitian tersebut juga menunjukkan bila kosakata diajarkan
menggunakan alat visual menunjukkan perbaikan sampai 200% di dalam sebuah
pembelajaran,
disebutkan
juga
bahwa
waktu
yang
digunakan
untuk
menyampaikan sebuah konsep berkurang 40% ketika visual digunakan untuk
menambah presentasi verbal, sebuah gambar mungkin tidak bernilai ribuan kata,
namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja.
Menurut Sadiman (dalam Sanaky, 2009:71), ada enam syarat yang perlu
dipenuhi oleh gambar/foto yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai media
pembelajaran:
1) Autentik. Gambar tersebut secara jujur melukiskan situasi
seperti kalau orang melihat benda sebenarnya.
2) Sederhana. Komponen gambar hendaknya cukup jelas dan
menunjukkan poin-poin pokok pembelajaran.
3) Ukuran relatif. Gambar dapat memperbesar atau memperkecil
obyek/benda sebenarnya.
4) Gambar/foto sebaiknya mengandung gerak atau perbuatan.
5) Gambar yang bagus belum tentu baik untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Walaupun dari segi mutu kurang, gambar/foto
karya siswa sering sekali lebih baik.
6) Tidak semua gambar yang bagus adalah media yang baik.
Gambar hendaknya bagus dari sudut seni dan sesuai dengan
tujuan pembelajaran.
Kelebihan penggunaan media gambar dalam sebuah pembelajaran adalah
sebagai berikut:
1) Sifatnya Konket, lebih realis menunjukkan pada pokok masalah bila
dibandingkan dengan verbal semata,
2) Gambar dapat mengatasi ruang dan waktu, artinya tidak semua benda, objek,
peristiwa dapat dibawa ke kelas, dan siswa tidak dapat di bawa ke objek
tersebut.
27
3) Gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan panca indera,
4) Memperjelas suatu sajian masalah dalam bidang apa saja dan untuk tingkat
usia berapa saja,
5) Media ini lebih murah harganya, mudah didapatkan dan digunakan tanpa
memerlukan peralatan khusus.
Jadi kesimpulannya media gambar adalah suatu alat perantara dalam
menyampaikan sebuah materi pelajaran, berbentuk dua dimensi yang di dalam
proses pembelajaran dimanfaatkan guru untuk memudahkan guru dalam
penyampaian materi pelajaran kepada siswa, sehingga siswa lebih memahami
materi yang diajarkan oleh guru. Siswa tidak hanya mendengar apa yang guru
sampaikan secara verbal melalui kata-kata tetapi siswa dapat melihat langsung
obyek kajian yang guru sampaikan melalui gambar sebagai media atau
perantaranya. Dengan demikian siswa dapat memperoleh penggambaran visual
yang konkrit tentang masalah yang disampaikan oleh guru.
2.2.
Implementasi Model Pembelajaran Make a Match berbantuan Media
Gambar dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
Pada penelitian ini penggunaan model pembelajaran Make a Match
berbantuan media gambar diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar mata
pelajaran IPA. Model Make a Match merupakan salah satu model pembelajaran
dalam pembelajaran kooperatif dengan pendekatan informatif yang sifatnya
membantu siswa memahami materi IPA dalam kondisi yang menyenangkan.
Kondisi menyenangkan tersebut dapat terlihat ketika permainan Make a Match
(pasang kartu) yang dilakukan oleh siswa, konsep belajar yang demikian mampu
merangsang siswa untuk berpikir secara aktif dalam mencari pasangan kartu yang
di dalamnya berisi tentang materi yang sedang dipelajari oleh siswa.
Kegiatan yang dilakukan guru dalam penerapan model pembelajaran Make
a Match merupakan upaya guru untuk menarik perhatian dan antusias siswa, bila
tingkat perhatian siswa tinggi di dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar maka
pada akhirnya diharapkan hasil belajar dapat meningkat. Pemanfaatan media
28
gambar dalam penelitian ini juga dirasa penting untuk mengurangi tingkat
verbalisme yang bisa saja dilakukan oleh guru di dalam menerangkan materi
pelajaran. Sebuah gambar mungkin tidak bernilai ribuan kata, namun tiga kali
lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja. Oleh karena itu, pada akhirnya
diharapkan penerapan model dan media pembelajaran yang variatif ini mampu
meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA.
Mengacu dari beberapa pendapat para tokoh mengenai langkah-langkah
pembelajaran Make a Match yang telah diuraikan di atas, langkah-langkah
pembelajaran yang penulis terapkan dalam penelitian ini untuk pokok bahasan
proses pembentukan tanah mata pelajaran IPA adalah sebagai berikut:
1) Siswa melalukan eksplorasi berbagai sumber bacaan mengenai materi tanah,
kemudian mengamati gambar dan bertanya jawab dengan guru.
2) Guru menyiapkan kartu-kartu yang berisi tentang konsep-konsep yang
dipelajari, sebagian merupakan kartu pertanyaan dan sebagian merupakan
kartu jawaban.
3) Siswa dibagi menjadi 2 kelompok besar (kelompok pertanyaan dan kelompok
jawaban) upayakan kelompok pertanyaan berhadapan dengan kelompok
jawaban. Masing-masing siswa menerima kartu yang berisi pertanyaan dan
jawaban.
4) Setelah menerima kartu, siswa mendiskusikan jawaban/ pertanyaan yang
sesuai dengan kartu yang diperolehnya.
5) Guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertanyaan maupun
kelompok jawaban saling bergerak bertemu mencari pertanyaan-jawaban yang
cocok dengan batas waktu yang telah ditentukan sekitar 20 detik. Bagi siswa
yang dapat mencari pasangannya dengan cepat, maju ke depan dan
menempelkan kartunya, apabila benar akan diberi poin.
6) Setelah waktu habis guru membahas pasangan kartu mana yang tepat antar
kartu pertanyaan dan kartu jawaban.
7) Guru memberikan penguatan terhadap jawaban siswa.
8) Menyusun kesimpulan (guru dan siswa).
29
2.3.
Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irianti S., Noviana
dengan judul penelitian: “Penerapan Model Pembelajaran Make-A Match
(Mencari Pasangan) untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar
Matematika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara”
terlihat adanya peningkatan keaktifan dan hasil belajar untuk mata pelajaran
Matematika Kelas V Semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012, dibuktikan dengan
adanya peningkatan hasil belajar. Pada kondisi awal skor rata-rata nilai siswa
57,5, siklus I dengan rata-rata nilai 66,2, siklus II 78,5. Peningkatan hasil belajar
pada kondisi awal ke siklus I sebesar 61,5% dan dari siklus I ke siklus II 88,5%.
Penelitian oleh Ria Yuni Astuti dengan judul: “Upaya Meningkatkan
Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match
Siswa kelas V SD Negeri 1 Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Semester
Genap Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil penelitian ini juga menunjukkan hasil
yang serupa bahwa setelah menggunakan model pembelajaran Make a Match
diketahui terdapat peningkatan hasil belajar, hasil analisis data yang menunjukkan
pada kondisi awal nilai rata-rata siswa hanya 66,3, pada siklus I nilai rata-rata
naik menjadi 77,3, siklus II 83,3. Besarnya persentase siswa yang tuntas pada
kondisi awal 41,7%, siklus I naik menjadi 75%, dan pada siklus II ketuntasan
siswa mencapai 100%.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lilis Setianingsih dengan judul:
“Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Melalui Model
Pembelajaran Make A Match Siswa Kelas IV di SD Negeri Kaliwungu 04
Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil yang diperoleh dalam penelitian
ini nampak ada peningkatan ketuntasan belajar, yakni dari 40% sebelum siklus,
meningkat menjadi 71,67% pada siklus I dan 100% pada siklus II. Peningkatan
nilai terendah dari 40 sebelum tindakan, menjadi 55 pada siklus I, dan menjadi 70
pada siklus II. Peningkatan nilai tertinggi dari 85 sebelum tindakan, menjadi 90
pada siklus I, dan menjadi 100 pada siklus II. Terjadi peningkatan rata-rata kelas
dari 63,33 sebelum tindakan, meningkat menjadi 71,67 pada siklus I dan menjadi
84 pada siklus II.
30
Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran
dengan menggunakan model pembelajaran Make a Match dapat meningkatkan
hasil belajar IPA. Namun demikian, perlu dibuktikan lagi pada penelitian tindakan
kelas ini. Dengan analisis tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan
menerapkan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar
sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA pada siswa
kelas 5 SDN Patemon 01.
Persamaan penelitian yang peneliti lakukan dengan beberapa penelitian di
atas ialah sama-sama mengukur hasil belajar, selain itu instrumen yang digunakan
peneliti untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa juga berupa tes dan non tes.
Sedangkan untuk perbedaannya terletak pada objek yang akan diteliti, masalah,
tujuan, tindakan, variabel, dan pemanfaatan media di dalam proses tindakan yang
dilakukan.
2.4.
Kerangka Berpikir
Paradigma siswa yang menganggap bahwa pelajaran IPA merupakan
pelajaran yang sulit untuk dimengerti menjadikan siswa malas dalam belajar IPA,
hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan hasil belajar mata
pelajaran IPA yang diperoleh siswa rendah. Selain itu faktor guru yang cenderung
masih menerapkan pembelajaran yang konvensional menjadikan proses belajar
IPA menjadi membosankan. Siswa menjadi kurang antusias dalam belajar IPA,
untuk itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar
mata pelajaran IPA adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang lebih
variatif dan inovatif, salah satunya ialah model pembelajaran Make a Match
berbantuan media gambar.
Pada awalnya proses pembelajaran yang diterapkan oleh guru hanya
mengandalkan cara belajar konvensional (ceramah) sehingga yang terjadi siswa
menjadi bosan, jenuh dan sering kali mengabaikan proses belajar mengajar di
kelas, sehingga mengapa model pembelajaran Make a Match berbantuan media
gambar dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar, karena
penerapan model ini berkonsep pada sebuah permainan yang membelajarkan
31
siswa, penggunaan model pembelajaran ini dapat membuat siswa lebih aktif
dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga siswa dengan mudah memahami
materi yang diajarkan oleh guru melalui cara yang menyenangkan.
Dalam penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media
gambar guru hanya sebatas sebagai fasilitator, sementara kegiatan belajar
mengajar dominan melalui interaksi antara siswa dengan siswa. Siswa belajar
menemukan pasangan kartu yang cocok melalui aktivitas permainan yang
menarik, pasangan kartu yang dicocokkan oleh siswa tersebut berisi tentang
materi yang tengah dipelajari oleh siswa. Kemudian siswa saling memberikan
tanggapan dan gagasannya terhadap kartu yang telah dipasangkan tersebut.
Melalui upaya tersebut diharapkan dapat menimbulkan manfaat seperti siswa
mampu berpikir kreatif, siswa lebih aktif baik dalam kegiatan kelompok maupun
mandiri, memudahkan pemahaman siswa sehingga kualitas pembelajaran
meningkat serta hasil belajar yang diperoleh siswa akan tercapai secara maksimal.
Adapun kerangka berpikir mengenai penerapan model pembelajaran Make
a Match berbantuan media gambar pada mata pelajaran IPA dapat ditunjukkan
melalui peta konsep sebagai berikut:
32
PEMBELAJARAN IPA
Guru
menyampaikan
materi dengan
ceramah
Pembelajaran
Konvensional
Siswa malas,
bosan, jenuh,
materi tidak
dikuasai
Guru sebagai
fasilitator
Model Make a
Match berbantuan
media gambar
Proses berpikir
ABSTRAK  KONKRET
Proses berpikir
KONKRET  ABSTRAK
Permainan Pasang
Kartu (Make a Match)
Tingkat
pemahaman siswa
kurang, hasil
belajar < KKM
Siswa membangun
konsep materi
sendiri
Tingkat pemahaman
siswa naik, hasil
belajar > KKM
Gambar 2.1 Peta Konsep Kerangka Berpikir
2.5.
Hipotesis
Berdasarkan
landasan
teori
dan
kerangka
berpikir
yang
telah
dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis proses dan hasil tindakan sebagai
berikut:
1) Penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar
33
dalam pembelajaran IPA pokok bahasan proses pembentukan tanah dapat
meningkatkan aktivitas guru dan aktivitas siswa pada siswa kelas 5 semester II
SDN Patemon 01 tahun pelajaran 2013/2014 secara signifikan minimal 10 %.
2) Penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar
dapat meningkatkan hasil belajar IPA pokok bahasan proses pembentukan
tanah pada siswa kelas 5 semester II SDN Patemon 01 tahun pelajaran
2013/2014 secara signifikan mengalami ketuntasan belajar individual dengan
nilai hasil belajar IPA ≥ 75 dan mengalami ketuntasan belajar secara klasikal
dengan nilai rata-rata hasil belajar IPA meningkat minimal 7 nilai dari KKM ≥
75 yang ditentukan oleh sekolah atau ketuntasan belajar secara klasikal
sebesar ≥ 80% dari 20 siswa (kriteria baik).
Download