BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Kajian teori ini merupakan uraian pendapat dari para ahli yang mendukung penelitian. Beberapa teori dari para ahli tersebut mengkaji objek yang sama yang mempunyai pandagan dan pendapat yang berbeda-beda. Pembahasan kajian teori dalam penelitian ini berisi tentang hakikat pembelajaran, hakikat IPA, hakikat pembelajaran IPA, model pembelajaran Make a Match, media gambar dan hasil belajar. 2.1.1. Hakikat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar Pada hakikatnya istilah belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak asing lagi bagi kehidupan manusia, semua manusia pernah mengalaminya. Peristiwa tersebut baik disadari maupun tidak oleh manusia pernah terjadi di dalam kehidupannya. Manusia memang melakukan kedua hal tersebut tetapi tidak banyak yang memahami apa hakikat dari dua istilah tersebut. Menurut Knowles (dalam Putra, 2013:15), pembelajaran merupakan cara pengorganisasian siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Suprijono (2012:13), menambahkan bahwa pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Lebih jelasnya ia menerangkan bahwa pembelajaran adalah cara yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru melalui interaksinya dengan lingkungan. Selanjutnya Warsita (dalam Rusman, 2013:93), mendefinisikan “pembelajaran merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh guru untuk membuat siswa belajar”, dengan kata lain pembelajaran merupakan merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Siswa membangun dengan sendiri konsep pengetahuannya dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Jadi pengetahuan itu bukan dari guru ke siswa, akan tetapi siswa sendiri yang membangun pengetahuannya. 9 10 Hamalik (dalam Putra, 2013:17), menambahkan bahwa pembelajaran ialah suatu kombinasi yang tersusun dari unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran. Sejalan dengan pendapat di atas Usman (dalam Ahmad, 2012:8) mengartikan pembelajaran sebagai suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa definisi pembelajaran menurut para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran adalah serangkaian cara atau proses interaksi yang dilakukan oleh guru dan siswa sebagai upaya guru untuk membantu siswa membangun pengetahuannya sendiri dalam situasi yang edukatif melalui interaksinya dengan berbagai sumber belajar termasuk lingkungan sehingga tercapai tujuan belajar yang telah ditetapkan. Salah satu pembelajaran yang ada di Sekolah Dasar, yang pada proses dan materi pelajarannya dekat dengan lingkungan ialah pembelajaran IPA. Menurut Samantowa (2010:1), IPA merupakan terjemahan kata dalam bahasa Inggris yaitu natural science. Natural artinya alamiah, berhubungan dengan alam. Science berarti ilmu pengetahuan. Jadi IPA atau natural science secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tentang alam, ilmu yang mempelajari peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam. Darmojo (dalam Samantowa, 2010:2), secara singkat menambahkan bahwa IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta dengan segala isinya. Selaras dengan pendapat tersebut Webster’s (dalam Samantowa, 2010:2) menyatakan bahwa IPA adalah pengetahuan tentang alam dan gejala-gejalanya. IPA adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam. Putra (2013:51), menyebutkan IPA atau sains adalah pengetahuan yang mempelajari, menjelaskan, serta menginvestigasi fenomena alam dengan segala aspeknya yang bersifat empiris. Sejalan dengan pendapat tersebut Fowler (dalam Trianto, 2012:136) mengemukakan bahwa IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan, yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas 11 pengamatan dan deduksi. Wahyana (dalam Trianto, 2012:136) mengatakan bahwa “IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, dalam penggunaanya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam”. Selanjutnya Trianto (2012:137), menyimpulkan bahwa hakikat IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen berupa konsep, prinsip dan teori yang berlaku secara universal. Sementara itu dalam Depdiknas (2006:161), ilmu pengetahuan alam adalah ilmu alam yang berhubungan dengan cara mencari tahu alam secara sistematis. Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala alam semesta dan segala isinya, yang dilakukan melalui berbagai cara yaitu mengamati, menginvestigasi, dan menjelaskan gejala-gejala alam yang ada sehingga menghasilkan produk ilmiah dalam bentuk konsep, prinsip dan teori yang dapat teruji kebenarannya. Pembelajaran IPA yang berkaitan dengan alam hakikatnya bermanfaat bagi siswa dalam memahami realitas kehidupan sehari-hari yang ada disekitar mereka, bukan mengenai pemahaman konsep IPA oleh tetapi yang lebih penting ialah apa dari IPA yang perlu diajarkan dan dengan cara bagaimana, supaya siswa dapat memahami konsep IPA dengan baik dan terampil untuk mengaplikasikannya secara logis konsep tersebut pada situasi lain yang relevan dengan pengalamannya sehari-hari. Siswa SD belajar dengan cara mengkonstruksikan hal yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya, bukan menerima suatu hal dengan pasif. Adapun IPA untuk Sekolah Dasar dalam Samantowa (2010:12) didefinisikan oleh Paolo dan Marten yaitu sebagai berikut: mengamati apa yang terjadi, mencoba apa yang diamati, mempergunakan pengetahuan baru untuk meramalkan apa yang terjadi, menguji bahwa ramalan-ramalan itu benar. Selanjutnya menurut Sulistyorini (2007:8), pembelajaran IPA harus melibatkan keaktifan anak secara penuh (active learning) dengan cara guru dapat merealisasikan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan pada siswa untuk 12 melakukan keterampilan proses meliputi: mencari, menemukan, menyimpulkan mengkomunikasikan sendiri berbagai pengetahuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dibutuhkan. Menurut De Vito, et al. (dalam Samantowa, 2010:146), pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan kehidupan sehari-hari siswa, oleh guru siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan untuk membangkitkan ide-ide siswa, membangun rasa ingin tahu tentang segala hal yang ada di lingkungannya, membangun keterampilan (skill) yang diperlukan, dan menimbulkan kesadaran bagi siswa bahwa IPA menjadi sangat penting untuk dipelajari. Apabila demikian halnya, selama enam tahun siswa akan mempunyai pengalaman belajar yang bermakna sehingga pada tahap ini siswa mampu mengembangkan sikap dan nilai-nilai dari pembelajaran IPA. Siswa yang berminat dengan IPA akan merasakan bahwa belajar IPA merupakan proses yang menyenangkan sehingga akan siswa akan antusias mengenai bagaimana pelajaran IPA berimbas pada pengalaman kesehariannya. Nilai-nilai IPA yang ditanamkan dalam pembelajaran IPA menurut Laksmi (Trianto, 2012:142) antara lain sebagai berikut: 1) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis menurut langkah-langkah metode ilmiah. 2) Ketrampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan, mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan masalah. 3) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun dalam kehidupan. Laksmi (Trianto, 2012:142) mengungkapkan bahwa pembelajaran IPA di sekolah mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu: 1) Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat hidup dan bagaimana bersikap. 2) Menanamkan sikap hidup ilmiah. 3) Memberikan ketrampilan untuk melakukan pengamatan 4) Mendidik siswa untuk mengenal, mengetahui cara kerja serta menghargai para ilmuwan penemunya. 5) Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam memecahkan permasalahan. Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah 13 pembelajaran IPA adalah aktivitas belajar yang tidak hanya sekedar pemberian materi secara keseluruhan tetapi lebih penting daripada itu adalah bagaimana seorang siswa dapat mengerti mengenai konsep yang ada di dalam IPA melalui apa yang mereka dengar dan mereka lihat, sehingga hasil yang diperoleh siswa setelah belajar IPA akan bermanfaat bagi pengalaman hidupnya. 2.1.1.1.Tujuan Pendidikan IPA di Sekolah Dasar Tujuan pembelajaran IPA dijelaskan dalam Depdiknas (2006:62), agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam ciptaan-Nya. 2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. 3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat. 4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan 5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam. 6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan. 7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs. Tujuan mata pelajaran IPA secara umum yaitu menciptakan ketaqwaan terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta, memahami berbagai macam gelaja alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan rasa ingin tahu mengenai pengaruh IPA dengan lingkungan, menumbuhkan kemampuan berpikir ilmiah, meningkatkan kesadaran dalam menjaga lingkungan alam, meningkatkan keterampilan untuk bekal pendidikan ke jenjang selanjutnya. Dalam penelitian ini tujuan mata pelajaran IPA adalah untuk melatih siswa dalam mempelajari konsep IPA melalui aktivitas belajar yang mereka lakukan sendiri, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar IPA yang bermakna bagi siswa melalui model pembelajaran Make a Match. 14 2.1.1.2.Ruang Lingkup Pembelajaran IPA Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut ini, Depdiknas (2006:62): 1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan, tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta kesehatan. 2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat dan gas. 3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet, listrik, cahaya dan tanah. 4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan benda-benda langit lainnya. Dalam penelitian ini aspek IPA yang digunakan yaitu bumi dan alam semesta yang terfokus pada pokok bahasan tanah yang meliputi jenis-jenis batuan, proses pembentukan tanah melalui pelapukan dan jenis serta struktur tanah. 2.1.2. Hasil Belajar Dalam melakukan kegiatan belajar terjadi proses berpikir yang melibatkan kegiatan mental yang mengakibatkan timbulnya sebuah pemahaman terhadap suatu materi yang diajarkan. Pemahaman tersebut didapat setelah melalui proses belajar mengajar, oleh karena itu terjadi perubahan dari yang tidak diketahui menjadi diketahui, dari yang tidak paham menjadi paham. Perubahan inilah yang disebut dengan hasil belajar. Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang membentuknya yaitu “hasil” dan “belajar”. Hasil merujuk pada suatu perolehan akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya input secara fungsional. Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya perubahan perilaku pada individu yang belajar (Purwanto, 2013:44-45). Sudjana (2011:22), menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengamalan belajar. Menurut Suprijono (2012:5), Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan-keterampilan. Selanjutnya Kingsley (dalam Sudjana, 2011:45) membagi tiga macam 15 hasil belajar yaitu: (1) keterampilan dan kebiasaan, (2) pengetahuan dan pengarahan, (3) sikap dan cita-cita. Gagne (dalam Suprijono, 2012:5-6) membagi kategori tipe hasil belajar ke dalam: 1) Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk bahasa, baik lisan maupun tertulis. 2) Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dalam lambang. Meliputi kemampuan mengklasifikasi, kemampuan analisis-sintesis fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan. 3) Strategi kognitif yaitu kecapakan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas kognitifnya sendiri, antara lain penggunaan konsep dan kaidah dalam memecahkan masalah. 4) Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak jasmani. 5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi dan eksternalisasi nilai-nilai. Sementara itu Bloom berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang hendak dicapai digolongkan atau dibedakan menjadi tiga bidang, yaitu (1) bidang kognitif, (2) afektif, dan (3) bidang psikomotor (Sudjana, 2011:46). Lindgren dalam Suprijono (2012:6) menyatakan hasil belajar meliputi kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono (2009:3) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh seseorang setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar tampak dari perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam bentuk perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan. Hasil belajar merupakan hasil proses belajar atau proses pembelajaran. Hasil belajar dapat di tinjau dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru, dari sisi siswa hasil belajar merupakan “tingkat perkembangan mental” yang lebih baik bila dibandingkan pada saat pra-belajar. Sementara bila ditinjau dari sisi guru, 16 hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran (Dimyati dan Mudjiono, 2009:250). Rusman (2013:123), menambahkan hasil belajar adalah sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar merupakan perubahan perilaku secara menyeluruh dari berbagai aspek mencakup ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang disebabkan oleh adanya proses pembelajaran. Hasil belajar dapat diukur, biasanya berupa nilai, angka, atau huruf. Semakin tinggi nilai atau angka atau huruf maka semakin tinggi juga hasil dari belajar siswa. 2.1.2.1.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa. Slameto (2010:54), menerangkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar adalah: 1) Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu (intern), yang meliputi: a. Faktor biologis meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran dan penglihatan. Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil prestasi belajar. b. Faktor psikologis, meliputi: intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian ingatan berpikir. c. Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta mengantuk. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan sesuatu akan hilang. 2) Faktor yang ada pada luar diri individu yang disebut dengan faktor ekstern, yang meliputi: a. Faktor keluarga, keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan 17 terutama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar. b. Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah. c. Faktor masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk lebih giat belajar. Sejalan dengan pendapat di atas Clark (dalam Sudjana, 2011:39), menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70% dipengaruhi oleh kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Disamping faktor kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi, faktor fisik dan psikis. Selain faktor dari dalam diri siswa faktor yang berada diluar siswa juga menentukan dan mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Salah satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di sekolah adalah kualitas pengajaran artinya tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Caroll (dalam Sudjana 2011:40), bahwa hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh 5 faktor yakni (1) bakat belajar, (2) waktu yang tersedia untuk belajar, (3) waktu yang diperlukan untuk menjelaskan pelajaran, (4) kualitas pengajaran, dan (5) kemampuan individu. Empat faktor yang disebut di atas (1, 2, 3, 5) berkenaan dengan kemampuan individu dan faktor (4) adalah faktor luar individu. Kedua faktor di atas (kemampuan siswa dan kualitas pengajaran) mempunyai hubungan berbanding lurus dengan hasil belajar. Artinya, makin tinggi kemampuan siswa dan kualitas pengajaran, makin tinggi pula hasil belajar yang diperoleh siswa. Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil yang diperoleh siswa dalam proses pembelajaran bergantung kepada beberapa faktor yang mendasar, faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam individu siswa sendiri, seperti minat, motivasi, bakat serta faktor yang berasal dari luar 18 siswa seperti kualitas guru dalam mengajar, faktor ini penting di dalam upaya pencapaian hasil belajar yang optimal yaitu terkait bagaimana seorang guru tersebut mampu menciptakan sebuah pembelajaran yang dapat merangsang siswa sehingga siswa menjadi berminat, motivasi belajar siswa juga tumbuh serta dapat menumbuhkan kebiasaan baik siswa dalam belajar, hal tersebut penting sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar artinya, semakin tinggi kualitas guru dalam memberikan pembelajaran bagi siswa maka semakin tinggi hasil belajar yang akan diperoleh siswa. 2.1.3. Model Pembelajaran Make a Match Banyak jenis model pembelajaran yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran kooperatif, contohnya ialah model pembelajaran Make a Match. Model belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match) dikembangkan oleh Curran. Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Tujuan dari model ini antara lain: 1) Pendalaman materi; 2) Penggalian materi; dan 3) edutainment, (Huda, 2013:251). Lie (2004:55) menerangkan bahwa Make a Match adalah model belajar siswa, dimana siswa mencari pasangan (pasangan kartu soal dan kartu jawaban) sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan. Model pembelajaran ini dapat digunakan pada semua mata pelajaran dan semua tingkatan usia. Pada penerapan model pembelajaran Make a Match, masalah yang ada akan dipecahkan siswa bersama-sama, peran guru dalam penerapan model pembelajaran ini hanya sebatas fasilitator yang mengarahkan siswa untuk mencapai tujuan belajar. Pada interaksi siswa terjadi kesepakatan, diskusi, menyampaikan pendapat dari gagasan pokok bahasan, saling mengingatkan dari kesalahan konsep yang disimpulkan, membuat kesimpulan bersama. Interaksi belajar yang terjadi benar-benar interaksi dominan siswa dengan siswa. Selama kegiatan belajar kooperatif Make a Match benar-benar memberdayakan potensi siswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan keterampilannya. 19 Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran Make a Match adalah sebuah model pembelajaran dengan mencari pasangan dimana setiap siswa mendapatkan satu kartu, baik itu kartu soal ataupun kartu jawaban untuk dicari pasangannya, dalam hal ini siswa akan terlibat dalam sebuah kegiatan belajar penemuan konsep materi dalam suasana yang menyenangkan, interaksi yang muncul dalam penerapan model pembelajaran ini adalah interaksi dominan antara siswa dengan siswa dimulai dari siswa berdiskusi menemukan pasangan kartu yang cocok, kemudian siswa menyampaikan ide-ide dari pokok bahasan, yang terakhir siswa bersama-sama membuat kesimpulan atas pokok bahasan tersebut. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator agar kegiatan belajar yang berlangsung tetap fokus dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sebelumnya. 2.1.3.1.Langkah-langkah Model Pembelajaran Make a Match Menurut Suprijono (2012:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartukartu tersebut terdiri dari kartu berisi soal dan kartu lainnya berisi jawaban dari soal-soal tersebut. Guru harus membuat kartu-kartu baik kartu soal maupun kartu jawaban sesuai dengan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Selanjutnya guru juga wajib mempersiapkan aturan-aturan dalam pelaksanaan pembelajaran Make a Match, aturan tersebut meliputi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan sanksi bagi siswa yang gagal dalam menemukan pasangan kartunya. Guru dapat melibatkan siswa dalam pembuatan aturan ini, sehingga antara guru dan siswa tercipta kesepakatan yang baik untuk proses pembelajaran. Selanjutnya ialah langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran Make a Match. Menurut Huda (2013:252-253) langkah-langkah penerapan tipe Make a Match sebagai berikut: 1) Guru menyampaikan materi atau memberi tugas kepada siswa untuk mempelajarari materi di rumah. 2) Siswa dibagi ke dalam dua kelompok, misalnya kelompok A dan kelompok B. Kedua kelompok diminta untuk berhadaphadapan. 20 3) Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan kartu jawaban kepada kelompok B. 4) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus mencari atau mencocokkan akrtu yang dipegang dengan kelompok lain. Guru juga perlu menyampaikan batasan maksimum waktu yang diberikan kepada mereka. 5) Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari pasangan di kelompok B. Jika mereka sudah menemukan pasangannya masing-masing, guru meminta mereka melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat siswa yang telah berhasil menyelesaikan tugas pada kertas yang sudah dipersiapkan. 6) Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu sudah habis. Siswa yang belum menemukan pasangan diminta untuk berkumpul tersediri. 7) Guru memanggil salah satu pasangan untuk presentasi. Pasangan lain dan siswa yang tidak mendapatkan pasangan memperhatikan dan memberi tanggapan apakah pasangan itu cocok atau tidak. 8) Terakhir, guru memberikan konfirmasi tetang kebenaran dan kecocokan pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang memberikan presentasi. 9) Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnya sampai seluruh pasangan melakukan presentasi. 10) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas waktu diberi poin. 11) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian seterusnya. 12) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang memegang kartu yang cocok. 13) Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan terhadap materi pelajaran. Sedangkan menurut Suprijono (2012:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah: 1) Mempersiapkan kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari kartu pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu lainnya berisi jawaban. 2) Guru membagi kelas menjadi 3 kelompok, kelompok pertama merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan, kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu berisi jawaban, selanjutnya kelompok ketiga ialah kelompok penilai. 3) Guru mengatur posisi kelompok tersebut berbentuk huruf U, upayakan kelompok pertama dan kelompok kedua saling berhadapan. 21 4) Jika masing-masing kelompok berada di posisi yang telah ditentukan maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertama maupun kedua saling bergerak mencari pasngan pertanyaan dan jawaban yang cocok. 5) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi. 6) Hasil diskusi ditandai oleh pasangan-pasangan antara anggota kelompok pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok pembawa kartu jawaban. 7) Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan pertanyaan dan jawaban kepada kelompok penilai. 8) Kelompok penilai kemudian membacakan apakah pasangan pertanyaan dan jawaban itu cocok. 9) Setelah penilaian dilakukan, guru mengatur sedemikian rupa kelompok pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian memposisikan dirinya menjadi kelompok penilai. Sementara, kelompok penilai pada sesi pertama tersebut di atasdipecah menjadi dua, sebagian anggota memgang kartu pertanyaan sebagian lagi memegang kartu jawaban. Posisikan mereka dalam bentuk huruf U. 10) Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok pemegang kartu pertanyaan dan jawaban bergerak mencari, mencocokan, mendiskusikan pertanyaan dan jawaban. Selanjutnya menurut Asmani (2011:45) langkah-langkah penerapan model pembelajaran mencari pasangan (Make a Match) adalah sebagai berikut: 1) Guru menyiapkan kartu soal dan kartu jawaban. 2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu. 3) Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang dipegang. 4) Setiap siswa yang dapat mencocokan kartunya sebelum batas waktu akan diberi poin. 5) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya. 6) Demikian seterusnya. 7) Kesimpulan atau penutup. 2.1.3.2.Keunggulan dan kelemahan Model Pembelajaran Make a Match Ada beberapa keunggulan dari model pembelajaran Make a Match (Huda, 2013:253-254): 1) Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik, 2) Karena ada unsur permainan, model pembelajaran ini menyenangkan, 22 3) Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa, 4) Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi, 5) Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar. Di samping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif model Make a Match mempunyai beberapa kelemahan yaitu: 1) Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang terbuang, 2) Pada awal-awal penerapan model pembelajaran ini, banyak siswa yang akan malu berpasangan dengan lawan jenisnya, 3) Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan, 4) Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu. 5) Penerapan model pembelajaran Make a Match secara terus menerus akan menimbulkan kebosanan. 6) Pada kelas yang gemuk (> 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali. Tentu saja kondisi ini akan menganggu ketenangan belajar kelas di kiri dan kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal tersebut dapat diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan siswa sebelum “permainan” Make a Match dimulai. 2.1.3.3.Solusi Kelemahan Model Pembelajaran Make a Match Pada hakikatnya sebaik-baiknya sebuah model pembelajaran pastilah mempunyai kelebihan dan kekurangan. begitu pula pada model pembelajaran Make a Match. Untuk itu guru sebagai perencana dan pelaksana pembelajaran haruslah pandai di dalam mengupayakan setiap pembelajaran yang dilakukan dapat meminimalisir kekurangan dari model pembelajaran yang digunakan. Dalam hal ini upaya yang dapat ditempuh oleh guru untuk mengatasi kelemahan dari model pembelajaran Make a Match adalah (1) sebelum memulai 23 pembelajaran ada baiknya guru memberikan instruksi yang jelas tentang penerapan model pembelajaran Make a Match, sehingga dengan hal tersebut siswa tidak dipusingkan lagi dalam melakukan langkah-langkah pembelajaran Make a Match, (2) berikan pemahaman terhadap siswa bahwa penerapan model Make a Match ini sifatnya hanya membantu siswa untuk mempelajari materi pelajaran melalui cara yang baru, unik dan menyenangkan, sehingga dalam prakteknya siswa tidak perlu malu apabila mendapati pasangan teman yang berlawanan jenis, (3) sebelum proses pembelajaran berlangsung, guru bersama siswa harus menyepakati beberapa kesepakatan mengenai peraturan-peraturan dan hukuman yang dapat diterapkan kepada siswa bila siswa gaduh, tidak mendengarkan apa yang guru atau siswa lain sampaikan saat presentasi kelompok berlangsung, (4) guru sebagai pelaksana pembelajaran haruslah pandai-pandai menerapkan model pembelajaran Make a Match sehingga siswa tidak bosan, dalam penelitian ini guru menggunakan kartu soal bergambar sehingga siswa merasa antusias terus menerus ketika permainan kartu. 2.1.4. Hakikat Media Pembelajaran Media Pembelajaran dibentuk oleh dua kata yaitu media dan pembelajaran. Menurut Boyke (dalam Sanaky, 2009:3), Media adalah sebuah alat yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan. Selanjutnya Gerlach dan Ely (dalam Arsyad, 2011:3), mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap. Sementara itu pembelajaran adalah proses komunikasi antara siswa, guru, dan bahan ajar. Sebuah pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar bila tanpa bantuan sarana untuk menyampaikan pesan (Sanaky, 2009:3). Gagne (dalam Sanaky, 2009:3), menambahkan media adalah berbagai jenis komponen atau sumber belajar dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang siswa untuk belajar. Selanjutnya Miarso (dalam Sanaky 2009:4), menyatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemajuan siswa sehingga dapat 24 mendorong terjadinya proses belajar pada diri pembelajarnya. Media disebut sebagai alat bantu dikarena sifatnya yang dapat membantu guru dalam menyampaikan sebuah materi pembelajaran, dengan penggunaan media dalam sebuah proses pembelajaran tidak hanya guru tapi siswa juga mendapatkan kemudahan dalam memahami materi yang sulit dipahami dengan menggunakan kata-kata, guru juga akan cenderung mengurangi kebiasaan berceramah, sehingga pemanfaatan sebuah media dalam pembelajaran dirasa merupakan suatu hal penting untuk menciptakan sebuah pembelajaran yang efektif. Media dapat menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit dan realistis. Media juga membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar. Media memberikan pengalaman yang integral dari yang konkrit sampai dengan yang abstrak (Sadiman, 2007:55). Dari pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran merupakan sarana atau alat yang dapat digunakan oleh guru untuk menyampaikan pesan dalam sebuah proses pembelajaran, yang dimaksud dengan pesan itu sendiri ialah materi pembelajaran, dengan adanya alat bantu atau media tersebut diharapkan dapat memudahkan guru untuk menyampaikan materi kepada siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemajuan siswa sehingga akan menciptakan sebuah proses belajar dalam diri siswa. Menurut Arsyad (2011:15) fungsi utama media pembelajaran adalah sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Sanaky (2009:4) menyebutkan bahwa tujuan penggunaan media pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Mempermudah proses pembelajaran di kelas 2) Meningkatkan efisiensi proses pembelajaran 3) Menjaga relevansi antara materi pelajaran dengan tujuan belajar 4) Membantu konsentrasi siswa dalam proses pembelajaran. Sanaky (2009:5), menambahkan manfaat dari penggunaan media yaitu: 1) Pengajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan motivasi belajar, 25 2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga dapat lebih dipahami siswa, serta memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran dengan baik, 3) Metode pembelajaran bervariasi, tidak semata-mata hanya berkomunikasi verbal melalui penuturan kata-kata lisan guru, siswa tidak bosan dan guru tidak kehabisan tenaga, 4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya mendengarkan penjelasan dari guru saja, tetapi juga aktivitas lain yang dilakukan seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain. Sudjana (dalam Sanaky, 2009: 5) Jadi dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan media dalam sebuah proses pembelajaran merupakan satu hal yang penting untuk memudahkan guru dan siswa. Guru dimudahkan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa sementara siswa akan lebih jelas dan konkret ketika memahami sebuah konsep materi yang diajarkan oleh guru. Siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan dari apa yang guru sampaikan tetapi siwa juga melakukan aktivitas lain seperti melihat dan mengamati. 2.1.4.1.Hakikat Media Gambar Menurut Sanaky (2009:69), Gambar adalah media yang paling umum digunakan orang, karena media ini mudah dimengerti dan dapat dinikmati, mudah didapatkan dan dijumpai dimana-mana, serta banyak memberikan penjelasan bila dibandingkan dengan verbal. Gambar merupakan segala sesuatu yang diwujudkan secara visual dalam bentuk dua dimensi dan sebagai curahan perasaan dan pikiran. Penyajian materi pelajaran dengan menggunakan gambar, tentu merupakan daya tarik tersendiri bagi siswa. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan. Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi visual. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses penyampaian pesan dapat berhasil dan efisien. Menurut Sudjana (2010:70) Gambar merupakan alat visual yang penting dan mudah didapat, penting sebab dapat memberi penggambaran visual yang konkrit tentang masalah yang digambarkan. Dalam sebuah proses pembelajaran, 26 gambar yang digunakan diharapkan mampu membantu guru di dalam menyampaikan suatu konsep, memiliki kualitas yang baik, dalam arti memiliki tujuan yang relevan, jelas, mengandung kebenaran, autentik, aktual, lengkap, sederhana, menarik, dan memberikan sugesti terhadap kebenaran itu sendiri. Pike (dalam Sibermen 2012:25), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan penggunaan visual atau gambar pada sebuah pembelajaran akan menaikan ingatan dari 14%-38%, penelitian tersebut juga menunjukkan bila kosakata diajarkan menggunakan alat visual menunjukkan perbaikan sampai 200% di dalam sebuah pembelajaran, disebutkan juga bahwa waktu yang digunakan untuk menyampaikan sebuah konsep berkurang 40% ketika visual digunakan untuk menambah presentasi verbal, sebuah gambar mungkin tidak bernilai ribuan kata, namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja. Menurut Sadiman (dalam Sanaky, 2009:71), ada enam syarat yang perlu dipenuhi oleh gambar/foto yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai media pembelajaran: 1) Autentik. Gambar tersebut secara jujur melukiskan situasi seperti kalau orang melihat benda sebenarnya. 2) Sederhana. Komponen gambar hendaknya cukup jelas dan menunjukkan poin-poin pokok pembelajaran. 3) Ukuran relatif. Gambar dapat memperbesar atau memperkecil obyek/benda sebenarnya. 4) Gambar/foto sebaiknya mengandung gerak atau perbuatan. 5) Gambar yang bagus belum tentu baik untuk mencapai tujuan pembelajaran. Walaupun dari segi mutu kurang, gambar/foto karya siswa sering sekali lebih baik. 6) Tidak semua gambar yang bagus adalah media yang baik. Gambar hendaknya bagus dari sudut seni dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Kelebihan penggunaan media gambar dalam sebuah pembelajaran adalah sebagai berikut: 1) Sifatnya Konket, lebih realis menunjukkan pada pokok masalah bila dibandingkan dengan verbal semata, 2) Gambar dapat mengatasi ruang dan waktu, artinya tidak semua benda, objek, peristiwa dapat dibawa ke kelas, dan siswa tidak dapat di bawa ke objek tersebut. 27 3) Gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan panca indera, 4) Memperjelas suatu sajian masalah dalam bidang apa saja dan untuk tingkat usia berapa saja, 5) Media ini lebih murah harganya, mudah didapatkan dan digunakan tanpa memerlukan peralatan khusus. Jadi kesimpulannya media gambar adalah suatu alat perantara dalam menyampaikan sebuah materi pelajaran, berbentuk dua dimensi yang di dalam proses pembelajaran dimanfaatkan guru untuk memudahkan guru dalam penyampaian materi pelajaran kepada siswa, sehingga siswa lebih memahami materi yang diajarkan oleh guru. Siswa tidak hanya mendengar apa yang guru sampaikan secara verbal melalui kata-kata tetapi siswa dapat melihat langsung obyek kajian yang guru sampaikan melalui gambar sebagai media atau perantaranya. Dengan demikian siswa dapat memperoleh penggambaran visual yang konkrit tentang masalah yang disampaikan oleh guru. 2.2. Implementasi Model Pembelajaran Make a Match berbantuan Media Gambar dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam Pada penelitian ini penggunaan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA. Model Make a Match merupakan salah satu model pembelajaran dalam pembelajaran kooperatif dengan pendekatan informatif yang sifatnya membantu siswa memahami materi IPA dalam kondisi yang menyenangkan. Kondisi menyenangkan tersebut dapat terlihat ketika permainan Make a Match (pasang kartu) yang dilakukan oleh siswa, konsep belajar yang demikian mampu merangsang siswa untuk berpikir secara aktif dalam mencari pasangan kartu yang di dalamnya berisi tentang materi yang sedang dipelajari oleh siswa. Kegiatan yang dilakukan guru dalam penerapan model pembelajaran Make a Match merupakan upaya guru untuk menarik perhatian dan antusias siswa, bila tingkat perhatian siswa tinggi di dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar maka pada akhirnya diharapkan hasil belajar dapat meningkat. Pemanfaatan media 28 gambar dalam penelitian ini juga dirasa penting untuk mengurangi tingkat verbalisme yang bisa saja dilakukan oleh guru di dalam menerangkan materi pelajaran. Sebuah gambar mungkin tidak bernilai ribuan kata, namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja. Oleh karena itu, pada akhirnya diharapkan penerapan model dan media pembelajaran yang variatif ini mampu meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA. Mengacu dari beberapa pendapat para tokoh mengenai langkah-langkah pembelajaran Make a Match yang telah diuraikan di atas, langkah-langkah pembelajaran yang penulis terapkan dalam penelitian ini untuk pokok bahasan proses pembentukan tanah mata pelajaran IPA adalah sebagai berikut: 1) Siswa melalukan eksplorasi berbagai sumber bacaan mengenai materi tanah, kemudian mengamati gambar dan bertanya jawab dengan guru. 2) Guru menyiapkan kartu-kartu yang berisi tentang konsep-konsep yang dipelajari, sebagian merupakan kartu pertanyaan dan sebagian merupakan kartu jawaban. 3) Siswa dibagi menjadi 2 kelompok besar (kelompok pertanyaan dan kelompok jawaban) upayakan kelompok pertanyaan berhadapan dengan kelompok jawaban. Masing-masing siswa menerima kartu yang berisi pertanyaan dan jawaban. 4) Setelah menerima kartu, siswa mendiskusikan jawaban/ pertanyaan yang sesuai dengan kartu yang diperolehnya. 5) Guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertanyaan maupun kelompok jawaban saling bergerak bertemu mencari pertanyaan-jawaban yang cocok dengan batas waktu yang telah ditentukan sekitar 20 detik. Bagi siswa yang dapat mencari pasangannya dengan cepat, maju ke depan dan menempelkan kartunya, apabila benar akan diberi poin. 6) Setelah waktu habis guru membahas pasangan kartu mana yang tepat antar kartu pertanyaan dan kartu jawaban. 7) Guru memberikan penguatan terhadap jawaban siswa. 8) Menyusun kesimpulan (guru dan siswa). 29 2.3. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irianti S., Noviana dengan judul penelitian: “Penerapan Model Pembelajaran Make-A Match (Mencari Pasangan) untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara” terlihat adanya peningkatan keaktifan dan hasil belajar untuk mata pelajaran Matematika Kelas V Semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012, dibuktikan dengan adanya peningkatan hasil belajar. Pada kondisi awal skor rata-rata nilai siswa 57,5, siklus I dengan rata-rata nilai 66,2, siklus II 78,5. Peningkatan hasil belajar pada kondisi awal ke siklus I sebesar 61,5% dan dari siklus I ke siklus II 88,5%. Penelitian oleh Ria Yuni Astuti dengan judul: “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match Siswa kelas V SD Negeri 1 Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Semester Genap Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil penelitian ini juga menunjukkan hasil yang serupa bahwa setelah menggunakan model pembelajaran Make a Match diketahui terdapat peningkatan hasil belajar, hasil analisis data yang menunjukkan pada kondisi awal nilai rata-rata siswa hanya 66,3, pada siklus I nilai rata-rata naik menjadi 77,3, siklus II 83,3. Besarnya persentase siswa yang tuntas pada kondisi awal 41,7%, siklus I naik menjadi 75%, dan pada siklus II ketuntasan siswa mencapai 100%. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lilis Setianingsih dengan judul: “Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Melalui Model Pembelajaran Make A Match Siswa Kelas IV di SD Negeri Kaliwungu 04 Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini nampak ada peningkatan ketuntasan belajar, yakni dari 40% sebelum siklus, meningkat menjadi 71,67% pada siklus I dan 100% pada siklus II. Peningkatan nilai terendah dari 40 sebelum tindakan, menjadi 55 pada siklus I, dan menjadi 70 pada siklus II. Peningkatan nilai tertinggi dari 85 sebelum tindakan, menjadi 90 pada siklus I, dan menjadi 100 pada siklus II. Terjadi peningkatan rata-rata kelas dari 63,33 sebelum tindakan, meningkat menjadi 71,67 pada siklus I dan menjadi 84 pada siklus II. 30 Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran Make a Match dapat meningkatkan hasil belajar IPA. Namun demikian, perlu dibuktikan lagi pada penelitian tindakan kelas ini. Dengan analisis tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan menerapkan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA pada siswa kelas 5 SDN Patemon 01. Persamaan penelitian yang peneliti lakukan dengan beberapa penelitian di atas ialah sama-sama mengukur hasil belajar, selain itu instrumen yang digunakan peneliti untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa juga berupa tes dan non tes. Sedangkan untuk perbedaannya terletak pada objek yang akan diteliti, masalah, tujuan, tindakan, variabel, dan pemanfaatan media di dalam proses tindakan yang dilakukan. 2.4. Kerangka Berpikir Paradigma siswa yang menganggap bahwa pelajaran IPA merupakan pelajaran yang sulit untuk dimengerti menjadikan siswa malas dalam belajar IPA, hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan hasil belajar mata pelajaran IPA yang diperoleh siswa rendah. Selain itu faktor guru yang cenderung masih menerapkan pembelajaran yang konvensional menjadikan proses belajar IPA menjadi membosankan. Siswa menjadi kurang antusias dalam belajar IPA, untuk itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang lebih variatif dan inovatif, salah satunya ialah model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar. Pada awalnya proses pembelajaran yang diterapkan oleh guru hanya mengandalkan cara belajar konvensional (ceramah) sehingga yang terjadi siswa menjadi bosan, jenuh dan sering kali mengabaikan proses belajar mengajar di kelas, sehingga mengapa model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar, karena penerapan model ini berkonsep pada sebuah permainan yang membelajarkan 31 siswa, penggunaan model pembelajaran ini dapat membuat siswa lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga siswa dengan mudah memahami materi yang diajarkan oleh guru melalui cara yang menyenangkan. Dalam penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar guru hanya sebatas sebagai fasilitator, sementara kegiatan belajar mengajar dominan melalui interaksi antara siswa dengan siswa. Siswa belajar menemukan pasangan kartu yang cocok melalui aktivitas permainan yang menarik, pasangan kartu yang dicocokkan oleh siswa tersebut berisi tentang materi yang tengah dipelajari oleh siswa. Kemudian siswa saling memberikan tanggapan dan gagasannya terhadap kartu yang telah dipasangkan tersebut. Melalui upaya tersebut diharapkan dapat menimbulkan manfaat seperti siswa mampu berpikir kreatif, siswa lebih aktif baik dalam kegiatan kelompok maupun mandiri, memudahkan pemahaman siswa sehingga kualitas pembelajaran meningkat serta hasil belajar yang diperoleh siswa akan tercapai secara maksimal. Adapun kerangka berpikir mengenai penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar pada mata pelajaran IPA dapat ditunjukkan melalui peta konsep sebagai berikut: 32 PEMBELAJARAN IPA Guru menyampaikan materi dengan ceramah Pembelajaran Konvensional Siswa malas, bosan, jenuh, materi tidak dikuasai Guru sebagai fasilitator Model Make a Match berbantuan media gambar Proses berpikir ABSTRAK KONKRET Proses berpikir KONKRET ABSTRAK Permainan Pasang Kartu (Make a Match) Tingkat pemahaman siswa kurang, hasil belajar < KKM Siswa membangun konsep materi sendiri Tingkat pemahaman siswa naik, hasil belajar > KKM Gambar 2.1 Peta Konsep Kerangka Berpikir 2.5. Hipotesis Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis proses dan hasil tindakan sebagai berikut: 1) Penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar 33 dalam pembelajaran IPA pokok bahasan proses pembentukan tanah dapat meningkatkan aktivitas guru dan aktivitas siswa pada siswa kelas 5 semester II SDN Patemon 01 tahun pelajaran 2013/2014 secara signifikan minimal 10 %. 2) Penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar dapat meningkatkan hasil belajar IPA pokok bahasan proses pembentukan tanah pada siswa kelas 5 semester II SDN Patemon 01 tahun pelajaran 2013/2014 secara signifikan mengalami ketuntasan belajar individual dengan nilai hasil belajar IPA ≥ 75 dan mengalami ketuntasan belajar secara klasikal dengan nilai rata-rata hasil belajar IPA meningkat minimal 7 nilai dari KKM ≥ 75 yang ditentukan oleh sekolah atau ketuntasan belajar secara klasikal sebesar ≥ 80% dari 20 siswa (kriteria baik).