Penafsiran Kontrak Menurut Kitab Undang

advertisement
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 207
Penafsiran Kontrak Menurut Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan Maknanya Bagi
Para Pihak yang Bersangkutan
Bambang Sutiyoso
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Jl. Tamansiswa No. 158 Yogyakarta
[email protected]
Abstract
This research purposely is to deeply figure out and understand about the estimation of contract in
accordance with the civil code and the essence of the contract estimation for the concerned parties. A
judicial-normative approach is applied here and the data source used in this research is simply in the
form of secondary data comprising primary, secondary, and tertiary materials. Subsequently, those
legal materials are analyzed using a descriptive-qualitative method. The result of the research shows
that the interpretation of the contract is still needed by considering that indistinctness in the formula of
contract content is often found. The interpretation of the contract is done to match the intentions of all
concerned parties. To this point, there will be no any differences in fulfilling the pretasi in accordance
with what has been regulated in the contract formula. In this case, both concerned parties must find the
essence of a new agreement by interpreting the contract fairly. However, such interpretation is not
simple as each of parties commonly has a high subjectivity that is by interpreting the contract by
considering their own interest and benefit. On the other hand, the interest of other parties sometimes is
not accommodated well.
Key words : Interpretation, contract, civil code
Abstrak
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam tentang penafsiran
kontrak menurut KUH Perdata dan bagaimana maknanya penafsiran kontrak tersebut bagi para pihak
yang bersangkutan. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Sedangkan
sumber data dalam penelitian ini hanya berupa data sekunder, yang berupa bahan hukum primair,
sekunder dan tertier. Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa interpretasi kontrak dalam praktik tetap diperlukan, mengingat dalam
rumusan isi kontrak seringkali dijumpai adanya ketidakjelasan. Interpretasi kontrak dilakukan agar
maksud para pihak dapat dipertemukan, sehingga tidak ada lagi perbedaan dalam pemenuhan pretasi
sesuai dengan yang telah diatur dalam rumusan kontrak. Para pihak harus mencari makna kesepakatan
baru dengan jalan menafsirkan kontrak tersebut secara adil. Penafsiran kontrak secara adil ini tidak
mudah dilakukan oleh para pihak, karena masing-masing pihak umumnya memiliki subyektifitas yang
tinggi, yaitu menafsirkan suatu kontrak dengan melihat kepentingan dan keuntungan pihaknya sendiri.
Sementara itu kepentingan pihak lain sering tidak terakomodir dengan baik.
Kata Kunci : Penafsiran, kontrak, KUH Perdata
208 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
Pendahuluan
Dalam dunia bisnis, kontrak1 sangat banyak dipergunakan orang dalam
melakukan berbagai kerjasama bisnis. Bahkan hampir dalam semua kegiatan bisnis
pada umumnya diawali dengan pembuatan kontrak terlebih dahulu, meskipun
kontrak dalam tampilan yang sangat sederhana sekalipun.2
Dalam praktik bisnis, ternyata masih banyak dijumpai kontrak yang dibuat
isinya tidak jelas, kabur, tumpang tindih dan sebagainya. Hal yang demikian itu
ternyata tidak lepas dari pengamatan pembentuk KUH Perdata yang dalam beberapa
Pasal mengatur mengenai penafsiran dan cara melakukan penafsiran kontrak sebagai
upaya untuk mendapat kejelasan arti atau makna yang terkandung dalam kontrak
tersebut.3 KUH Perdata secara khusus memberikan pengaturan mengenai masalah
penafsiran kontrak / perjanjian dalam Buku Ketiga, Bab Kedua, Bagian Keempat,
yaitu mulai dari ketentuan Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.
Dalam ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa “jika kata-kata
dalam suatu kontrak sudah jelas maka tidak lagi diperkenankan untuk menyimpang
daripadanya dengan jalan penafsiran”. Hal ini mengisyaratkan bahwa apapun
kontrak yang dibuat orang hendaknya jelas isinya sehingga memberi kepastian.
Hal inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin
kejelasan makna (plain meaning rules).4
Idealnya suatu kontrak tidak memerlukan penafsiran apapun, oleh karena itu
kalimat atau kata-kata dalam kontrak seharusnya sudah dengan sendirinya dapat
menjelaskan maksud dari klausula-klausula yang ada. Karena itu, jika semuanya
sudah jelas ditulis dalam kontrak, maka penafsiran kontrak bukan hanya tidak
Istilah kontrak sering disebut dengan istilah “perjanjian”, sebagai terjemahan dari agreement dalam bahasa
Inggris, atau overeenkomst dalam bahasa Belanda. Di samping itu, ada juga istilah yang sepadan dengan istilah kontrak,
yaitu transaksi yang merupakan terjemahan dari istilah Inggris transaction. Namun demikian, istilah kontrak adalah yang
paling modern, luas dan lazim digunakan, terutama pemakaiannya dalam dunia bisnis. Lihat tulisan Munir Fuady,
Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 9.
2
Ibid. Istilah perjanjian (overeenkomst, agreement) menurut Pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Pendapat lainnya menyatakan
bahwa perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Lihat tulisan Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996, hlm. 1.
Pengertian yang hampir sama dikemukakan oleh Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2007, hlm. 2 yang menyatakan kontrak atau perjanjian merupakan suatu peristiwa hukum di mana
seorang berjanji kepada orang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
3
Suhardana, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Universitas Atmajaya Yogyakarta,
Yogyakarta, 2008, hlm. 65.
4
Ibid.
1
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 209
diperlukan, tetapi memang tidak diperbolehkan jika dengan penafsiran tersebut
justru akan mempunyai arti yang menyimpang dari yang tersirat tersebut.5
Berkaitan dengan penafsiran kontrak, pada mulanya para penganut paham
kodifikasi hukum melarang penerapan interpretasi terhadap aturan hukum kontrak,
dalam hubungannya dengan substansi kontrak. Kaisar Justianus pernah
mempidanakan warganya yang berani menafsirkan undang-undang. Hanya atas
dasar persetujuan kaisar kewenangan menafsirkan dapat diberikan.6 Bahkan,
Robespiere menganggap interpretasi sebagai cambuk perusak undang-undang.7
Code Napoleon juga dikenal melarang interpretasi.8
Meskipun demikian, harus diakui pengaturan dalam suatu undang-undang
tidak selalu jelas, tidak mungkin ia dapat memberikan solusi bagi semua persoalan
yang timbul dengan mudah. Terlalu terburu-buru bila menyimpulkan kodifikasi
undang-undang mampu mengakomodir segala problema yang muncul di
masyarakat, apalagi melarang atau menganggap tidak perlu interpretasi. Paul
Scholten menegaskan, sekalipun undang-undang itu dirumuskan dengan cara yang
paling baik, pastilah tetap saja membutuhkan penafsiran.9
Demikian pula, untuk memahami secara baik isi kontrak maupun dokumendokumen bisnis diperlukan penafsiran yang baik pula. Menurut Ulpianus, bahwa
“meskipun peraturan dari sang Praetor jelas sekali, namun penafsirannya tidak boleh
diabaikan”.10 Pendapat ini didukung oleh Celcus, yang menyatakan bahwa “katakata yang jelas sekalipun, tetap harus ditafsirkan menurut maksud orang yang
mengeluarkan peraturan itu”.11
Rumusan kalimat dalam kontrak ada bermacam-macam, ada kontrak yang
panjang terurai, tetapi ada juga kontrak yang singkat padat, bahkan ada kontrak
yang terdiri dari beberapa kalimat saja. Kesemua model kontrak tersebut sah-sah
saja menurut hukum. Karena itu, mengingat keanekaragaman kontrak tersebut,
sangat mungkin akhirnya dibutuhkan kejelasan-kejelasan lebih lanjut, yakni yang
5
Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm.
53.
6
Paul Scholten, Mr. C. Asser Handleiding Tot De Beoefening van Het Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemeen Deel,
(terjemahan Siti Soemarti Hartono), Cet. II, Gadjahmada University Press, Yogyakarta, 1993, hlm. 3.
7
Ibid.
8
Code Napoleon mempengaruhi Burgerlijk Wetboek (BW) Belanda, dan selanjutnya berdasarkan asas konkordansi
maka Burgerlijk Wetboek Belanda diadopsi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) Indonesia.
9
Paul Scholten, Ibid.
10
Ibid., hlm. 52. Praetor adalah Hakim pada zaman Romawi kuno.
11
Ibid., hlm. 53.
210 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
dilakukan lewat berbagai metode penafsiran kontrak. Di samping itu, karena kontrak
merupakan ungkapan hati dari para pihak dengan menggunakan kata-kata yang
pada prinsipnya tidak lepas dari keterbatasan, sehingga pada umumnya hampir
tidak ada kontrak yang tidak memerlukan penafsiran-penafsiran, sepintar apapun
lawyer yang merancang draft dari kontrak tersebut.12
Adanya perbedaan interpretasi dan pemahaman terhadap isi kontrak oleh para
pihak disebabkan di antaranya karena tidak semua kata, istilah, kalimat yang
menunjukkan suatu kaidah hukum, hubungan hukum atau peristiwa hukum yang
dikemukakan secara tertulis dalam suatu kontrak itu sudah jelas dan mudah dipahami.
Terkadang dalam suatu kontrak berisi hal-hal yang terlalu abstrak dan umum, tidak
mengatur secara detail tentang suatu perbuatan atau prestasi tertentu, atau menggunakan
kata-kata atau istilah yang ambigu dan multi interpretasi sehingga ketika kontrak
tersebut hendak dilaksanakan terjadi perbedaan penafsiran di antara para pihak.
Dalam konteks itulah, tulisan ini berupaya membahas beberapa persoalan
terkait dengan penafsiran kontrak khususnya menurut KUH Perdata dan maknanya
bagi para pihak yang bersangkutan. Pembahasan ini diharapkan dapat lebih
memperjelas dan membantu semua pihak yang dalam melakukan kegiatan
bisnisnya banyak memerlukan adanya pembuatan kontrak, agar dalam
perumusannya dapat lebih jelas dan tegas, sebagai antisipasi adanya kemungkinan
perbedaan penafsiran kontrak dalam pelaksanaan hak dan kewajiban nantinya.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang masalah yang sudah dipaparkan
sebelumnya, dapat dirumuskan permasalahan, bagaimanakah penafsiran kontrak
menurut KUH Perdata dan apa maknanya penafsiran kontrak tersebut bagi para
pihak yang bersangkutan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara mendalam
tentang penafsiran kontrak menurut KUH Perdata dan maknanya penafsiran kontrak
tersebut bagi para pihak yang bersangkutan.
12
Munir Fuadi, Hukum Kontrak, Op. Cit., hlm. 53.
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 211
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu
penelitian yang dalam pengkajiannya dengan mengacu dan mendasarkan pada
norma-norma dan kaidah-kaidah hukum, peraturan perundang-undangan yang
berlaku, teori-teori dan doktrin hukum, yurisprudensi dan bahan-bahan kepustakaan
lainnya yang relevan dengan topik penelitian.
Sumber data dalam penelitian ini hanya berupa data sekunder, yang berupa
bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Untuk memperoleh bahan-bahan hukum
yang diperlukan, dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan dan pengkajian
bahan-bahan kepustakaan, peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, karyakarya ilmiah serta dokumen-dokumen tertulis lainnya.
Analisis yang digunakan dalam penelitiian ini adalah deskriptif kualitatif, yaitu
menganalisis bahan hukum penelitian yang dikemukakan responden baik tertulis,
maupun lisan, untuk selanjutnya dikaji secara mendalam dan diinterpretasikan oleh
peneliti untuk mendapatkan kesimpulan yang diharapkan.13
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bagian ini akan dikemukakan uraian tentang penafsiran kontrak menurut
KUH Perdata dan maknanya bagi pihak-pihak yang bersangkutan. Untuk mengawali
pembahasan, terlebih dahulu dikemukakan mengenai urgensi dan metode penafsiran
dalam kontrak. Pembahasan ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang lebih
jelas bagi para pihak maupun masyarakat pada umumnya, terutama ketika terjadi
perselisihan dalam praktik dalam hal bagaimana menafsirkan suatu kontrak nantinya.
Urgensi dan Metode Penafsiran Kontrak
Urgensi adanya penafsiran kontrak dapat dikaitkan dengan kenyataan bahwa
bahasa yang dipergunakan dalam kontrak, sulit untuk mewujudkan pikiran-pikiran
pembentuknya sehingga selalu muncul peristiwa-peristiwa baik seluruhnya
maupun sebagian yang tidak masuk dalam perumusannya. Menurut Vollmar,
melalui interpretasi kita mencari tujuan serta maksud dari kata-kata yang terdapat
Lihat Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta, 2001, hlm. 24. Bandingkan pula
dengan Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hlm. 66-67.
13
212 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
dalam undang-undang, sehingga interpretasi tidak lain adalah untuk menemukan
hukum.14
Penafsiran kontrak merupakan suatu metode yang menunjukkan proses dalam
memberi arti yang sebenarnya kepada bahasa yang digunakan dalam kontrak untuk
selanjutnya dapat ditentukan bagaimana akibat hukum dari kontrak tersebut.
Pengertian kontrak seperti ini yang umum diberikan atau dianut oleh banyak
kalangan ahli hukum kontrak. Karena itu, sebagian ahli hukum kontrak mencoba
membedakan antara istilah penafsiran (interpretation) dengan istilah kontruksi (construction) terhadap suatu kontrak, dengan menyatakan bahwa kata penafsiran lebih
menitikberatkan kepada pemberian arti terhadap bahasa yang digunakan,
sedangkan kata konstruksi dalam hal ini diartikan sebagai penentuan akibat hukum
dari kontrak yang sudah ditafsirkan tersebut.15
Menurut Corbin, penafsiran atau interpretasi kontrak adalah proses di mana
seseorang memberikan makna terhadap suatu simbol dari ekspresi yang digunakan
oleh orang lain. Simbol yang lazim digunakan adalah kata-kata baik satu per satu
maupun kelompok, oral atau tertulis. Suatu perbuatan dapat juga menjadi simbol
yang dapat dilakukan interpretasi.16 Oleh karena itu, interpretasi kontrak harus
dibedakan dengan konstruksi kontrak. Jika akan dibuat pembedaan, maka dapat
dilihat bahasa suatu kontrak dimulai dengan interpretasi bahasa yang digunakan,
proses interpretasi berhenti manakala sampai pada penentuan hukum diantara para
pihak.17 Menurut A. Joanne Kellermann, penafsiran kontrak adalah penentuan makna
yang harus ditetapkan dari pernyataan-pernyataan yang dibuat oleh para pihak
dalam kontrak dan akibat-akibat hukum yang timbul karenanya.18
Dengan demikian menafsirkan suatu kontrak berarti menemukan dan
menentukan arti dari pernyataan kehendak para pihak yang dilakukan untuk
menimbulkan akibat hukum. Pengertian “penafsiran kontrak” sulit dibayangkan
tanpa sekaligus menelaah bagaimana sebenarnya perjanjian terbentuk. Perjanjian
terbentuk karena adanya pernyataan kehendak dari para pihak dan tercapainya kata
H.F.A. Vollmar, Hukum Benda menurut KUH Perdata, terjemahan Chidir Ali, Tarsito, Bandung, 1990, hlm.17.
Munir Fuady, Op. Cit., hlm. 54.
16
Ridwan Khairandy, “PT Pulau Intan Cemerlang dan PT Gunung Berlian v Syafei Juremi, et.al, (Putusan Mahkamah
Agung No: Reg. No. 1851/Pdt./1984): Analisis terhadap Kesalahan Pengadilan dalam Penafsiran Perjanjian dan
Penentuan Kompetensi Absolut Arbitrase”, dalam blog.staff.uii.ac.id., hlm. 4.
17
Lihat Arthur Linton Corbin, Corbin on Contract, West Publishing Co, St. Paul, Minn, 1982, hlm. 487 – 493.
Sebagaimana dikutip Ridwan Khairandy, Ibid.
18
Ibid.
14
15
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 213
sepakat di antara para pihak tersebut. Pernyataan kehendak dapat dilakukan dengan
kata-kata lisan ataupun tertulis, sikap atau tindakan, singkatnya tanda-tanda atau
simbol-simbol. Tanda atau simbol tersebut biasanya berupa kata-kata yang
merupakan alat untuk menyatakan kehendak yang ditujukan untuk terjadinya suatu
akibat hukum.19
Suatu kontrak sendiri terdiri dari serangkaian kata. Oleh karena itu, untuk
menetapkan isi kontrak, perlu dilakukan penafsiran, sehingga dapat diketahui
dengan jelas maksud para pihak dalam kontrak. Jika terjadi suatu sengketa antara
para pihak dan atas sengketa tersebut tidak ada pengaturan yang jelas dalam
perjanjian yang disepakati para pihak, bukan berarti perjanjian belum mengikat
para pihak atau dengan sendirinya batal demi hukum. Karena pengadilan dapat
mengisi kekosongan hukum tersebut melalui penafsiran untuk menemukan
hukumnya yang berlaku bagi para pihak yang membuat perjanjian.
Ajaran interpretasi dalam hukum ini sudah lama dikenal, yang disebut dengan
hermeneutika yuridis.20 Secara umum dalam teori ilmu hukum maupun dalam
praktek peradilan, dikenal beberapa macam metode interpretasi, yang meliputi
beberapa macam, yaitu:21 a) interpretasi subsumptif; b) interpretasi gramatikal; c)
interpretasi sistematis/logis; d) interpretasi historis; e) interpretasi teleologis/
sosiologis; f) interpretasi komparatif; g) interpretasi antisipatif/futuristis; h)
interpretasi restriktif; i) interpretasi ekstensif ; j) interpretasi otentik atau secara resmi;
k) interpretasi interdisipliner; l) interpretasi multidisipliner.
Sedangkan dalam ilmu hukum kontrak, dikenal ada 3 (tiga) metode penafsiran
kontrak, yaitu: metode penafsiran subjektif, metode penafsiran objektif dan metode
penafsiran antara objektif dan subjektif. 22 a. Metode Penafsiran Subjektif. Menurut
metode penafsiran subjektif ini, penafsiran kontrak dilakukan dengan berpegang
seoptimal mungkin pada maksud yang sebenarnya dari para pihak, tanpa terlalu
berpegang kepada kata-kata yang ada dalam kontrak tersebut. Metode ini dianut
juga oleh KUH Perdata, dengan menyebutknnya dalam Pasal 1343 KUH Perdata
19
Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2010, hlm.123.
20
Metode “hermeneutika hukum” menurut Jazim Hamidi merupakan alternatif metode penemuan hukum
baru oleh hakim yang berbasis pada interpretasi teks hukum. Lihat tulisan Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, UII
Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 52.
21
Lihat dalam Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang ..., Ibid., hlm. 14-20; Achmad Ali, Menguak
Tabir Hukum..., Op. Cit., hlm. 164-175; dan Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstrvksi Hukum, Alumni,
Bandung, 2000, hlm. 9-12.
22
Munir Fuady, Hukum Kontrak ..., Op. Cit., hlm. 56-57.
214 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
yang menentukan bahwa penafsiran kontrak dilakukan dengan lebih
mempertimbangkan dan menyelidiki maksud dan tujuan dari kedua belah pihak
dari hanya melihat kepada kata-kata secara gramatikal. b. Metode Penafsiran
Objektif. Berbeda dengan metode penafsiran subjektif, maka metode penafsiran
objektif lebih menekankan pada apa yang tertulis dalam suatu kontrak, daripada
melihat kepada maksud dari para pihak, apalagi jika bahasa yang digunakan dalam
kontrak sudah cukup jelas. Metode penafsiran objektif ini sesuai pula dengan doktrin
“pengetian jelas” yang menyatakan bahwa tidak diperlukan penafsiran jika bahasa
dalam kontrak sudah jelas artinya. Pasal 1342 KUH Perdata juga menyatakan hal
yang senada. c. Metode Penafsiran antara Objektif dan Subjektif. Dalam
perkembangannya, yang banyak terjadi dalam praktik penafsiran perjanjian justru
penafsiran yang bergerak antara metode penafsiran objektif dengan metode
penafsiran subjektif. KUH Perdata juga mengandung banyak Pasal yang bergerak
di tengah-tengah seperti ini. Dengan demikian, metode penafsiran ini berupaya
mengkombinasikan antara kedua metode penafsiran objektif dengan metode
penafsiran subjektif.
Dalam praktik, tidak ada prioritas dalam penggunaan metode interpretasi. Oleh
karena itu metode interpretasi dapat digunakan sendiri-sendiri, dapat pula
disinergikan beberapa metode interpretasi sekaligus secara bersama-sama. Dalam
hal ini hakim mempunyai kebebasan atau tidak terikat harus menggunakan metode
interpretasi tertentu, tetapi yang penting bagi hakim adalah interpretasi yang dipilih
adalah dapat tepat sasaran, yaitu dapat memperjelas ketentuan peraturan
perundang-undangan sehingga dapat secara tepat diterapkan terhadap
peristiwanya.23
Dalam sistem common law seperti yang berlaku di Amerika Serikat, dikenal juga
cara penafsiran perjanjian oleh pengadilan untuk mengisi kekosongan hukum dalam
perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Uniform Commercial Code menyebutkan tiga
cara untuk melakukan interpretasi hukum, yaitu Course of performence, Course of dealing
dan Usage of trade.24
Course of performance, adalah bagaimana para pihak bertindak melaksanakan
perjanjian. Misalnya dalam perjanjian distributor dijelaskan bahwa kualitas produk
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, Cetakan ke3, UII Press, Yogyakarta, 2009, hlm. 103.
24
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 19.
23
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 215
yang disalurkan secara berkesinambungan adalah the highest grade oil. Jika kemudian
terjadi sengketa mengenai kualitas minyak, maka yang menjadi dasar untuk
menentukan kualitas minyak yang diperjanjikan adalah minyak yang diterima pada
pengiriman pertama. Dengan demikian tindakan para pihak dalam melaksanakan
kontrak berlaku sebagai bukti tentang maksud para pihak. Course of Dealing adalah
bagaimana para pihak melaksanakan kontrak yang sebelumnya. Hal ini akan menjadi
acuan untuk menyelesaikan sengketa atas kontrak yang sekarang sedang berlaku
antara mereka. Misalnya dalam kontrak yang sekarang tidak jelas hak dan kewajiban
para pihak. Bukti yang ada hanya selembar kuitansi tanda terima. Akan tetapi,
kontrak sebelumnya jelas mencantumkan bahwa uang tersebut adalah sebagai
setoran modal dalam suatu kontrak agribisnis. Usage of trade adalah praktis bisnis
yang sudah terjadi berulang-ulang menurut pola yang sama. Misalnya dalam
pelaksanaan kontrak sudah menjadi kebiasaan bahwa suatu perusahaan pemasok
barang atau distributor utama mewajibkan distributor menjual barang secara kredit
kepada pelanggan.25
Penafsiran Kontrak Menurut KUH Perdata
Beberapa pedoman dalam penafsiran kontrak sudah dirumuskan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Per), yaitu di Buku Ketiga Bagian Keempat,
yang terdiri dari 10 Pasal, mulai dari Pasal 1342 sampai dengan Pasal 1351.26
Selanjutnya ketentuan dalam Pasal-Pasal tersebut akan dipaparkan lebih lanjut untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang penafsiran kontrak dalam KUH
Perdata.
Pasal 1342 KUH Perdata
Dalam ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata disebutkan bahwa “jika kata-kata
suatu perjanjian jelas, tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya
dengan jalan penafsiran” (indeen de bewordingen eener overeenkomst duidelijk ziujn, mag
men daarvan uitlleging niet afwijken). Misalnya sudah jelas diperjanjikan bahwa
kewajiban pihak pemborong membuat jalan baru, bukan memperbaiki jalan lama
yang sudah ada.27
Steven Emanuel and Steven Knowles, Contract, NY: Emanuel Law Outlines, Inc. Larchmont, 1993.
Sebagaimana dikutip oleh Suharnoko, Ibid., hlm. 20.
26
Lihat Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1992, hlm.
286-287.
27
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 16.
25
216 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
Ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata menjadi landasan dari argumen bahwa jika
kata-kata di dalam perjanjian yang dibuat para pihak telah jelas, para pihak dianggap
terikat meskipun pernyataan kehendak yang telah diberikan ternyata tidak sesuai
dengan maksud dan tujuan semula. Pembuat undang-undang beranjak pada
pendapat bahwa hanya pernyataan yang kurang jelas harus ditafsirkan. Bunyi
ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata haruslah dibaca jika telah ditentukan apa yang
sebenarnya telah dijanjikan oleh para pihak, maka para pihak dan hakim tidak boleh
menyimpang dari apa yang telah dinyatakan tersebut.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1342 KUH Perdata tersebut, maka hakikatnya
penafsiran tidak diperkenankan apabila kata-kata suatu perjanjian telah jelas. Hal
inilah yang dalam ilmu hukum kontrak disebut dengan asas sens clair atau doktrin
kejelasan makna (plain meaning rules). Meskipun demikian, apabila dicermati ada
dua hal yang menarik dalam hal ini, yaitu pada anak kalimat : “kata-kata suatu
perjanjian” dan pada kalimat: “Kalau kata-kata perjanjian sudah jelas, maka tidak
diperkenankan menafsirkan”.28
Apa yang dikemukakan di atas adalah sesuai dengan “Teori Kehendak” sebagai
teori yang paling cocok untuk bagian yang terbesar daripada perjanjian-perjanjian.
Memang dalam peristiwa-peristiwa tertentu yang merupakan penyimpangan, teori
tersebut tidak memberikan penyelesaian yang memuaskan. Pada teori kepercayaan,
di sini memungkinkan orang terikat pada suatu pernyataan yang tidak didasarkan
atas kehendaknya, tetapi didasarkan atas penerimaan pihak lain menurut ukuran
yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dalam menerima pernyataan
seperti itu. Dalam peristiwa seperti itu yang dicari adalah arti yang diberikan oleh
masyarakat terhadap kata atau tanda seperti itu. Memang ada ketentuan yang
memberikan dukungan ke arah pemikiran seperti itu (Pasal 1346). Dengan demikian
tindakan “menafsirkan” ada kalanya adalah lain daripada mencari kehendak para
pihak, sehingga harus ditambah dengan kata-kata “atau mencari arti yang diberikan
oleh masyarakat yang bersangkutan kepada kata-kata atau tanda-tanda seperti yang
dinyatakan oleh yang satu terhadap yang lain”.29
Hal ini menimbulkan kesan bahwa ada kalanya kata-kata suatu perjanjian sudah
jelas, sehingga tidak memerlukan suatu penafsiran. Suatu kesan yang layak timbul
pada setiap orang yang membaca Pasal tersebut. Namun kemudian orang
28
29
J. Satrio, Hukum Perjanjian, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 414.
Ibid., hlm. 414 - 415.
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 217
membuktikan, bahwa perjanjian yang diwujudkan dalam sekumpulan kata-kata
atau tanda-tanda baru mempunyai arti kalau orang memberikan arti kepadanya.
Jadi mau tidak mau menafsirkan kata-kata dan tanda-tanda tersebut. Kesemuanya
sudah tentu dengan memperhatikan keadaan dan tempat di mana perjanjian ditutup,
dan hal itu berarti bahwa orang tidak cukup menafsirkan secara gramatika saja.
Jadi sebenarnya yang dimaksud dengan “kata-kata yang jelas” adalah kata-kata yang
tidak memberikan banyak peluang penafsiran yang berlain-lainan.30
Seperti diketahui bahwa menafsirkan perjanjian adalah mencari kehendak para
pihak yang dinyatakan oleh yang satu kepada pihak yang lain, sementara itu wujud
pernyataan kehendak itu bisa secara tegas atau diam-diam, sedang yang tegas bisa
secara lisan, tertulis maupun dengan melalui tanda-tanda. Berdasarkan hal itu, maka
seolah-olah Pasal 1342 KUH Perdata hanya berlaku bagi pernyataan yang dibuat
secara lisan dan tertulis saja dan tidak berlaku bagi yang diwujudkan dalam bentuk
tanda-tanda. Tetapi ternyata Hooge Raad (H.R.) memberikan penafsiran yang luas,
sehingga meliputi juga apa yang disebut terakhir.31 Jadi di samping pernyataan
yang dibuat secara lisan dan tertulis, termasuk juga yang diwujudkan dalam bentuk
tanda-tanda lainnya, yang digunakan untuk menyampaikan kehendak seseorang.32
Dalam hal ini isi seakan-akan suatu perjanjian sepenuhnya ditentukan oleh
apa yang telah disepakati oleh para pihak. Namun dalam praktik, seringkali
kenyatannya tidak selalu demikian. Para pihak pada waktu membuat perjanjian
tidak sekaligus membayangkan tentang berbagai persoalan yang mungkin muncul
nantinya, misalnya tentang luas, akibat, maupun konsekuensi yang tidak terduga
dari keseluruhan perjanjian. Beranjak dari hal ini, penafsiran perjanjian bukanlah
semata-mata aktivitas hakim, pengacara, ataupun notaris, melainkan juga terutama
oleh para pihak dalam perjanjian. Banyak ahli hukum beranggapan bahwa penafsiran
perjanjian adalah tugas dari Hakim. Sebenarnya para pihak sendiri yang pertama
kali harus menafsirkan perjanjian yang telah mereka buat. Baru kemudian, jika
ternyata para pihak berbeda pendapat, adalah tugas dari Hakim sebagai pihak ketiga
untuk melakukan penafsiran.33
Ketentuan dalam Pasal 1342 KUH Perdata masih mengikuti pandangan lama
yang mengajarkan bahwa penafsiran perjanjian hanya diperlukan untuk sesuatu
Pitlo sebagaimana dikutip J. Satrio, Ibid., hlm. 415.
Rutten sebagaimana dikutip J. Satrio, Ibid., hlm. 414.
32
Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 123.
33
Ibid.
30
31
218 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
yang tidak jelas. Penafsiran tidak diperlukan jika kata-kata dalam perjanjian sudah
jelas.34 Belakangan, orang membuktikan perjanjian yang terdiri dari serangkaian
kata baru memiliki arti kalau orang memberi arti kepada kata-kata itu. Kesemuanya
itu sudah tentu harus memperhatikan keadaan dan tempat di mana perjanjian dibuat.
Hal ini berarti pula bahwa orang tidak cukup menafsirkan kata-kata secara gramatikal
(grammatical) saja. Jadi, sebenarnya yang dimaksud dengan “kata-kata yang jelas
adalah kata-kata yang tidak memberikan banyak peluang penafsiran yang
berlainan.35
Pasal 1343 KUH Perdata
Ragam cara tersedia untuk menafsirkan kata-kata dalam perjanjian. Salah
satunya beranjak dari upaya menyelidiki apa yang menjadi maksud kedua belah
pihak yang membuat perjanjian dan tidak semata-mata berpegang teguh pada makna
kata-kata menurut hurufnya.36
Dalam kaitan ini Pasal 1343 KUH Perdata menyatakan : “ Jika kata-kata suatu
perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran, maka harus diselidiki
maksud kedua belah pihak yang membuat perjanjan”. Misalnya apakah para pihak
sesungguhnya bermaksud membuat perjanjian penitipan barang atau perjanjian
sewa menyewa. Dalam perjanjian penitipan barang, pihak yang menerima titipan
bertanggung jawab terhadap kehilangan barang yang dititipkan, sedangkan dalam
sewa menyewa pihak yang menyewakan tempat tidak bertanggung jawab atas
barang milik penyewa.37
Dengan demikian ketentuan Pasal 1343 KUHPerdata menentukan bahwa jika
kata-kata dalam perjanjian dapat diberikan berbagai tafsir harus dipilih penafsiran
yang meneliti maksud keduabelah pihak yang membuat perjanjian tersebut
daripada sekedar memegang teguh kata-kata tersebut secara literal (letterlijk). Dengan
demikian, perjanjian harus diberi tafsir yang paling sesuai dengan kehendak para
pihak, walaupun artinya menyimpang dari kata-kata yang terdapat dalam
perjanjian.38
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 218.
35
J. Satrio, Op .Cit., hlm 262.
36
Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 125.
37
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 16.
38
Ridwan Khairandy, Op.Cit, hlm 218.
34
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 219
Dari ketentuan Pasal 1343 tersebut terlihat bahwa teori kehendak (histrosispsikologis) dijadikan dasar penafsiran perjanjian. Penafsiran perjanjian menurut
teori ini tidak lain daripada menetapkan kehendak dari orang yang melakukan
tindakan hukum. Dalam kenyataannya, teori ini sulit dilaksanakan dan dapat
menimbulkan berbagai kesulitan. Dikatakan sulit karena kehendak merupakan
gejala psikologis yang tidak dapat dilihat dengan panca indera. Hal ini berlainan
dengan ajaran penafsiran normatif. Titik pandang aliran penafsiran normatif bukan
pada kehendak subjektif para pihak yang menjadi objek penafsiran. Penafsiran
menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata dan menetapkan akibat-akibat
hukum yang timbul karenanya.39
Pasal 1344 KUH Perdata
Pasal 1344 KUH Perdata menyatakan : “Jika suatu janji dapat diberikan dua
macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang memungkinkan janji itu
dilaksanakan daripada pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan”.
Misalnya40, untuk barang tidak bergerak (real property) hukum yang berlaku adalah
hukum di mana benda tidak bergerak itu berada. Jadi, meskipun para pihak
membuat perjanjian adalah warga negara Indonesia, namun harus tunduk pada
hukum di mana real property itu berada, misalnya di negara bagian California, USA.
Pasal 1344 KUH Perdata ini sebagaimana Pasal sebelumnya juga memberikan
patokan, jika suatu perjanjian memungkinkan untuk diberikan lebih dari satu
penafsiran, dan yang satu lebih memungkinkan untuk dilaksanakan. Dalam keadaan
demikian, harus dipilih pengertian yang lebih memungkinkan pelaksanaan janji
yang bersangkutan daripada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan
pelaksanaan perjanjian. Hal itu berarti bahwa perjanjian harus ditafsirkan sedekat
mungkin dengan maksud para pihak baik diukur dari kehendak para pihak maupun
menurut penerimaan masyarakat yang paling memungkinkan untuk pelaksanaan
perjanjian tersebut. Di sini pembuat undang-undang bersikap pragmatis dan
karenanya tidak harus terikat secara ketat baik dengan penafsiran gramatikal
maupun maksud para pihak.41
Ibid., hlm. 219.
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 16.
41
Ridwan Khairandy, Op. Cit., hlm. 218.
39
40
220 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
Pasal 1345 KUH Perdata
Pasal 1345 KUH Perdata menyebutkan : “Jika kata-kata dapat diberikan dua
macam pengertian, maka harus dipilih pengertian yang paling selaras dengan sifat
perjanjian”. Pasal 1345 KUHPerdata juga memberikan pedoman penafsiran
perjanjian. Pasal ini menentukan bahwa perjanjian harus ditafsirkan sedemikian
rupa, sehingga artinya paling selaras dengan sifat kontrak. Dalam hal ini harus
diperhatikan apakah perjanjian itu bersifat konsensuil atau harus memenuhi
formalitas tertentu ataukah harus ada penyerahan barang/uang sebagai syarat
keabsahan perjanjian.42
Setiap jenis perjanjian memiliki ciri-ciri tersendiri. Oleh karena itu, sangat logis
jika perjanjian tertentu ditafsirkan sesuai dengan ciri-ciri perjanjian itu. Semua hal
tersebut dilakukan dengan memperhatikan kaitan janji yang satu dengan yang lain.
Tanpa ketentuan ini pun orang akan melakukan cara kerja seperti itu, karena katakata atau suatu tanda baru kelihatan maksudnya kalau kata atau tanda itu dikaitkan
dengan kata atau tanda yang lain, bahkan dengan keseluruhan isi perjanjian yang
bersangkutan. Suatu kata yang berdiri sendiri dapat memiliki makna yang sangat
berbeda dibanding jika ia merupakan bagian dari suatu rangkaian kata atau tanda.43
Pasal 1346 KUH Perdata
Pasal 1346 KUH Perdata menyebutkan : “Hal-hal yang meragukan harus
ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan di mana perjanjian itu dibuat”.
Oleh karena itu penafsiran perjanjian juga harus dilakukan dengan memperhatikan
kebiasaan setempat. Misalnya, dahulu timbul keraguan apakah para pihak
bermaksud mengadakan perjanjian gadai atau fidusia. Sekarang sudah diakui oleh
yurisprudensi bahwa fidusia adalah hukum kebiasaan yang hidup dalam kalangan
masyarakat bisnis. Bahkan eksistensi dan keabsahan fidusia sudah diakui dalam
UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia.44
Ketentuan Pasal 1346 KUH Perdata digunakan menurut kebiasaan yang berlaku
dan diterapkan dalam lingkungan ahli yang berasal dari satu profesi, bidang
perdagangan umum atau yang khusus, misalnya di dunia asuransi, perbankan dan
lain-lain.45 Dengan demikian, ukuran yang digunakan untuk menafsirkan suatu
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 17.
J. Satrio, Op.Cit., hlm. 289.
44
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 17.
45
Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 126.
42
43
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 221
perjanjiannya, ukurannya tidak hanya didasarkan kepada orang yang
menafsirkannya, tetapi juga pada pandangan masyarakat di mana perjanjian
Pasal 1347 KUH Perdata
Pasal 1347 KUH Perdata menyebutkan: “Hal-hal yang menurut kebiasaan
selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam
perjanjian”. Hal ini sesungguhnya bertentangan dengan pengaturan resiko dalam
BW yang menyatakan bahwa jika barang musnah sebelum dilakukan penyerahan,
maka resiko ditanggung oleh pembeli. Kebiasaan ini dianggap secara diam-diam
telah diperjanjikan oleh para pihak, maka dapat mengenyampingkan hukum yang
bersifat optional, seperti pengaturan risiko dalam BW. Misalnya, di negeri Belanda,
berlaku suatu kebiasaan di antara pedagang sapi bahwa sebelum sapi diserahkan
maka resiko masih di tangan penjual.46
Menurut Asser Rutten, ketentuan Pasl 1347 KUH Perdata sebenarnya harus
dikeluarkan dari Bagian Keempat “Tentang penafsiran suatu perjanjian” dan
dimasukkan ke dalam bagian sebelumnya “Tentang akibat suatu perjanjian”.
Alasannya karena hal tersebut telah di atur di dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (3)
KUH Perdata, yakni bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.47
Pasal 1348 KUH Perdata
Pasal 1348 KUH Perdata menyatakan: “Semua janji yang dibuat dalam suatu
perjanjian harus ditafsirkan dalam hubungan satu sama lain, artinya tiap janji harus
ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya”. Oleh karena itu, janji-janji
tambahan yang dibuat tersendiri harus dilampirkan pada perjanjian asal dan dengan
tegas harus disebutkan bahwa lampiran tersebut merupakan satu kesatuan dengan
perjanjian asal.48
Misalnya, apabila dua orang melakukan kerjasama dan memasukkan modal
untuk suatu usaha perdagangan. Ketika akan diadakan pembagian keuntungan
terjadi sengketa. Dalam perjanjian terdapat klausula bahwa keuangan perusahaan
harus diaudit oleh akuntan publik. Maka sebelum diadakan pembagian keuntungan
harus diadakan audit lebih dahulu.49
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 17.
C. Asser-L.E.H. Rutten II, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten, vierde druk, W.E.J. Tjeenk
Willink, Deventer, 1975, hlm. 208. Sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 126.
48
Ibid., hlm. 127.
49
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 18.
46
47
222 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
Pasal 1349 KUH Perdata
Pasal 1349 KUH Perdata menyebutkan: “Jika atas suatu janji timbul keraguraguan, maka janji tersebut harus ditafsirkan atas kerugian orang yang meminta
diperjanjikan suatu hal (meminta suatu hak) dan atas keuntungan orang yang telah
mengikatkan diri (menyanggupi kewajiban)”.
Ketentuan ini harus diterapkan berdasarkan kepatutan. Kesukaran yang timbul
adalah bahwa in concreto sulit untuk menentukan “orang yang minta
diperjanjikannya sesuatu hal” dan “orang yang mengikatkan dirinya untuk itu”.
Karena pada perjanjian timbal balik justru para pihak saling menjanjikan sesuatu
hal kepada pihak lainnya. Dalam hal demikian, maka tiap beding harus dicermati
dan dimaknai sendiri-sendiri.50
Misalnya dalam suatu perjanjian tidak jelas apakah para debitur bertanggung
jawab secara tanggung renteng kepada kreditur ataukah masing-masing
bertanggung jawab sendiri sebesar uang yang diterimanya. Dalam hal ini, maka
perjanjian ditafsirkan untuk keuntungan debitur yaitu masing-masing
bertanggungjawab sendiri atas jumlah uang yang diterimanya.51
Pasal 1350 KUH Perdata
Pasal 1350 KUH Perdata menyebutkan: “Meskipun kata-kata suatu perjanjian
dirumuskan secara sangat umum, namun perjanjian itu hanya meliputi hal-hal yang
nyata yang dimaksudkan oleh kedua belah pihak”. Jadi bagaimanapun luasnya
lingkup makna kata-kata dalam suatu perjanjian, sebenarnya apa yang lebih penting
ialah hal-hal yang nyata-nyata dimaksudkan oleh para pihak sewaktu perjanjian
dibuat.52
Misalnya kata-kata dalam suatu perjanjian pemberian kuasa untuk membeli
dirumuskan sangat umum, tetapi hal ini tidak berarti bahwa kuasa tersebut termasuk
kuasa untuk menjual.53
Pasal 1351 KUH Perdata
Pasal 1351 KUH Perdata menyatakan bahwa:”Suatu hal yang dinyatakan untuk
menjelaskan suatu perjanjian, tidak dapat digunakan untuk membatasi kekuatan
perjanjian dalam hal-hal yang tidak dinyatakan”. Oleh karena itu jika seseorang
Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 127.
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 18.
52
Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 127.
53
Suharnoko, Op. Cit., hlm. 18-19.
50
51
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 223
dalam suatu perjanjian menyatakan suatu hal untuk menjelaskan perikatan, tak
dapatlah ia dianggap bahwa dengan demikian hendak mengurangi kekuatan
perjanjian menurut hukum dalam hal-hal yang tidak dinyatakan.54
Yurisprudensi menetapkan bahwa dalam hal adanya selisih pendapat mengenai
isi perjanjian di antara para pihak, maka penafsiran perjanjian adalah tugas utama
dari hakim dengan menilai fakta-fakta yang ada. Berdasarkan ketentuan Pasal 1343
KUH Perdata, hakim akan mendahulukan maksud dan tujuan para pihak daripada
memegang teguh kata-kata suatu perjanjian. Namun jika kata-kata pun tidak jelas,
tetap hakim harus menentukan dari kata-kata yang tidak jelas itu apa yang sebenarnya
dimaksudkan oleh para pihak.55 Dengan demikian, para hakim atau para pihak
haruslah memperhatikan tentang cara-cara untuk melakukan penafsiran terhadap
substansi kontrak.56
Ketentuan-ketentuan mengenai pedoman penafsiran di atas, di dalam
KUHPerdata Belanda (Baru) yang mulai berlaku pada 1 Januari 1992 tidak dimuat
lagi. Sekarang dianut paham semua perjanjian harus ditafsirkan sesuai dengan
iktikad baik. 57 Asas itikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran
kontrak. Beberapa sistem hukum, seperti hukum kontrak Jerman memiliki ketentuan
yang mewajibkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Pasal
157 BGB menyatakan bahwa semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad
baik. Dalam beberapa sistem hukum lainnya, seperti hukum kontrak Belanda,
peranan itikad baik dalam penafsiran kontrak dibangun oleh pengadilan.58 Jika
kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi kontrak harus
ditafsirkan secara fair atau patut.
Pada waktu yang lalu dianut pendapat baik dikalangan sarjana maupun
peraturan perundang-undangan bahwa penafsiran kontrak hanya diperlukan untuk
sesuatu yang tidak jelas. Jika isi kontrak telah jelas, maka tidak ada atau tidak
diperlukan penafsiran. Sehubungan dengan hal ini Pasal 1378 BW (lama) Belanda
Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 127.
Ibid., hlm. 128.
56
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 45.
57
Iktikad baik dalam perjanjian memiliki tiga fungsi. Pertama, semua kontrak harus ditafsirkan dengan iktikad
baik. Kedua, melaksanakan perjanjian dengan iktikad baik harus mengacu kepada kerasionalan dan kepatutan, Ketiga,
iktikad juga memiliki fungsi pembatasan. Lihat Ridwan Khairandy, 2009, PT Pulau Intan Cemerlang dan PT Gunung
Berlian v Syafei Juremi, et.al, (Putusan Mahkamah Agung No: Reg. No. 1851/Pdt./1984): Analisis terhadap Kesalahan
Pengadilan dalam Penafsiran Perjanjian dan Penentuan Kompetensi Absolut Arbitrase, dalam blog Ridwan Khairandy
dalam http://www.uii.ac.id.
58
Martin Hesselink, dalam Ridwan Khairandy, Ibid.
54
55
224 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
menentukan bahwa jika kata-kata suatu kontrak telah jelas, tidak diperkenankan
untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran (indeen de bewoordingen
eener overeenkomst duidelijke zijn, mag men daarvan door uitlegging niet afwijken)59. Sekarang
ini dianut paham bahwa dalam penafsiran kontrak tidak lagi dibedakan antara isi
kontrak yang jelas, dan yang tidak jelas, bahkan terhadap kata-kata yang tampak
jelas, dapat dilakukan penafsiran dengan mengarahkannya kepada kehendak para
pihak atau keadaan khusus yang relevan untuk menentukan makna yang mereka
maksud.60
Selain ketentuan di atas, BW (lama) dan KUHPerdata Indonesia masih
memberikan beberapa pedoman lagi dalam menafsirkan suatu kontrak. Misalnya
Pasal 1379 BW (lama) Belanda61 menentukan bahwa jika kata-kata suatu kontrak
dapat diberikan berbagai macam penafsiran, harus dipilih penafsiran yang meneliti
maksud keduabelah pihak yang membuat kontrak itu daripada memegang teguh
kata-kata tersebut secara literal (letterlijk). Dengan demikin, kontrak harus diberikan
penafsiran yang paling sesuai dengan kehendak (historis-psikologis) dijadikan dasar
penafsiran kontrak. Penafsiran kontrak menurut ajaran ini tidak lain daripada
menetapkan kehendak dari orang yang melakukan tindakan hukum. Dalam
kenyataannya ajaran ini menimbulkan berbagai kesulitan. Hal tersebut disebabkan
karena kehendak merupakan gejala psikologis yang tidak dapat dilihat dengan panca
indera. Hal ini berlainan dengan ajaran penafsiran normatif. Titik pandang aliran
ini adalah bukan pada kehendak subjektif para pihak yang menjadi objek penafsiran.
Penafsiran ini menurut aliran ini adalah menetapkan tindakan nyata dan menetapkan
akibat-akibat hukum yang timbul karenanya.
Penafsiran kontrak juga harus dilakukan dengan memperhatikan kebiasaan
setempat. Demikian pedoman yang diberikan oleh Pasal 1382 BW (lama) Belanda.62
Dengan demikian ukuran yang digunakan untuk menafsirkan suatu kontrak,
ukurannya tidak didasarkan hanya kepada orang yang menafsirkannya saja, tetapi
juga pendangan masyarakat dari tempat kontrak itu dibuat.
Berlainan dengan BW (lama), BW (baru) Belanda tidak lagi memuat ketentuanketentuan penafsiran kontrak. Ketentuan-ketentuan penafsiran kontrak yang terdapat
dalam BW (lama) tersebut telah dihilangkan karena sebagian dianggap tidak
Sebangun dengan Pasal 1342 KUHPerdata Indonesia.
A. Joanne Kellermann, dalam Ridwan Khairandy, Ibid.
61
Sebangun dengan Pasal 1343 KUHPerdata Indonesia
62
Sebangun dengan Pasal 1346 KUHPerdata Indonesia
59
60
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 225
diperlukan lagi dan sebagian lagi dianggap terlalu umum rumusannya, sehingga
maknanya tidak tepat.63 Dengan demikian, penafsiran ini seluruhnya diserahkan
kepada dunia peradilan dan ilmu pengetahuan untuk mengembangkan ketentuan
dan asas-asas dalam penafsiran kontrak.
Ada beberapa prinsip umum penafsiran kontrak yang diterima pengadilan di
Belanda sebagai berikut:64 1. maksud para pihak yang harus diuji daripada sekedar
menafsirkan makna literal kata-kata dalam kontrak; 2. ketentuan-ketentuan kontrak
harus dipahami dalam makna in which it would have any effect rather than in a sense in
which it would have no effect; 3. kata-kata kontrak harus diperlakukan sesuai dengan
sifat kontrak;65 4. jika menafsirkan suatu kontrak harus mengingat aspek, regional,
lokal, profesional, dan kebiasaan; 5. in case of uncertainties (general) conditions drawn
up by a profesional party are in principle construed in favor of other party, especially when the
other party is a consumer; 6. persyaratan-persyaratan umum yang tertulis atau ketikan
tambahan yang dicetak mengalahkan persyaratan yang dicetak; 7. suatu argumen a
contrario harus digunakan dengan penuh hati-hati.
Penyebutan prinsip-prinsip tersebut di atas tidak berarti bahwa daftar tersebut
sebagai daftar prinsip penafsiran yang lengkap. Prinsip-prinsip tersebut memberikan
beberapa pedoman umum penafsiran kontrak. Beberapa prinsip-prinsip tersebut
di atas sebenarnya diambil dari ketentuan penafisiran dalam BW (lama).
Cara penafsiran yang demikian itu berbeda dengan yang dianut di Amerika
Serikat. Jika di dalam sistem civil law, hakim dapat langsung menafsirkan kontrak
berdasarkan asas itikad baik, sedangkan dalam sistem common law, penafsiran
kontrak umumnya diarahkan kepada unsur yang mengacu kepada maksud para
pihak (intention the parties).66
Proses untuk menemukan hukum melalui berbagai cara penafsiran juga sudah
sejak lama dikenal dalam lapangan hukum internasional, khususnya berbagai cara
penafsiran dalam pelaksanaan perjanjian-perjanjian in-ternasional, baik yang diatur
dalam Konvensi, pendapat para ahli maupun dari berbagai keputusan pengadilan
(nasional ataupun internasional). Interaksi antara ketentuan hukum nasional dengan
kaidah-kaidah hukum internasional akan semakin bertambah karena berkembangnya
Arthur S. Hartkamp dan Marianne M.M. Tillema, dalam Ridwan Khairandy, Ibid.
Arthur S. Hartkamp dan Marinne M.M. Tillema, dalam Ridwan Khairandy, Ibid.
65
Sifat kontrak yang pada tempat pertama didefinisikan sesuai jenis kontrak yang dimilikinya, misalnya suatu
kontrak jual beli memiliki sifat yang berbeda dengan kontrak kerja. Ibid.
66
Arthur Linton Corbin, dalam Ridwan Khairandy, Ibid.
63
64
226 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
lalu lintas pergaulan hidup internasional. Hubungan kerjasama antarnegara
senantiasa dipelihara dan ditingkatkan. Sebagai salah satu bentuk perwujudannya
dituangkan dalam kegiatan itu sehingga perselisihan yang berkaitan dengan
penafsiran perjanjian juga akan semakin meningkat.67
Di dalam struktur hukum internasional dewasa ini tidak terdapat suatu badan
yang berwenang penuh untuk memberikan penafsiran pada perjanjian internasional
yang dapat mengikat semua negara. Lazimnya penafsiran perjanjian dilakukan oleh
negara masing-masing menurut ketentuan hukum nasionalnya, baik hal ini
dilakukan oleh Pengadilan maupun oleh Pemerintahnya. Hak suatu negara untuk
mengadakan penafsiran sendiri memang diakui dalam hukum internasional
sehingga tidaklah berlebihan apabila dike-mukakan pendapat Mc.Nair sebagaimana
dikutip oleh Yudha Bakti Ardhiwisastra yang menyatakan bahwa: “there is no part of
the Law of Treaties which the writer approaches with more trepidation that the question of
inter-pretation”.68
Makna Penafsiran Kontrak bagi Pihak-Pihak yang Bersangkutan.
Makna penafsiran kontrak bagi pihak-pihak yang terlibat di dalamnya sangat
penting, mengingat perbedaan penafsiran dalam menjalankan isi kontrak dapat
berakibat pemenuhan prestasi sebagaimana telah dirumuskan dalam kontrak
tersebut menjadi berjalan tidak lancar atau terhambat. Karena para pihak umumnya
hanya mau memenuhi pretasi sesuai dengan cara penafsirannya sendiri, yang lebih
menguntungkan posisinya. Konsekuensi logis adanya ketidaklancaran dalam
pemenuhan isi kontrak seperti itu dapat berpotensi mengakibatkan sengketa di
kemudian hari.
Rumusan kontrak yang jelas akan memudahkan para pihak dalam
melaksanakan dan memenuhi prestasi sesuai isi kontrak. Sebaliknya rumusan
kontrak yang tidak jelas akan menyulitkan pemenuhan prestasi dari masing-masing
pihak dan hal ini bisa menjadi potensi sengketa dikemudian hari.
Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kontrak tentunya sangat berkepentingan
agar kontrak yang telah dibuatnya dapat memberikan kejelasan dan kepastian
mengenai hal-hal yang menjadi hak-hak dan kewajibannya dengan pihak lain. Hakhak dan kewajibannya yang telah dicantumkan dalam klausule kontrak dapat
67
68
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 55.
Ibid.
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 227
dijamin pelaksanaannya dengan baik, masing-masing pihak dapat memenuhi
prestasinya sesuai dengan yang telah dirumuskan dalam kontrak.
Dalam hal ini para pihak harus mencari makna kesepakatan baru dengan jalan
menafsirkan kontrak tersebut secara adil. Penafsiran kontrak secara adil ini tidak
mudah dilakukan oleh para pihak, karena masing-masing pihak umumnya memiliki
subyektifitas yang tinggi, yaitu menafsirkan suatu kontrak dengan melihat
kepentingan dan keuntungan pihaknya sendiri. Sementara itu kepentingan pihak
lain sering tidak terakomodir dengan baik.
Peraturan perundang-undangan sendiri tidak mengatur secara tegas mengenai
pemakaian kalimat untuk merumuskan kontrak, apakah kontrak itu harus
dirumuskan dengan kalimat yang panjang atau pendek. Bagi undang-undang, yang
penting adalah kalimat yang digunakan untuk merumuskan kontrak harus jelas
serta memuat atau menggambarkan adanya kesepakatan mengenai esensi kontrak.
Rumusan yang demikian itu sudah cukup untuk bisa diakui sebagai kontrak atau
kontrak itu dianggap telah ada. Dengan demikian sebenarnya untuk merumuskan
kalimat dalam suatu kontrak, undang-undang tidak banyak mengatur, tetapi
diserahkan perumusannya kepada para pihak sesuai dengan yang diinginkan,
sepanjang isinya jelas dan mudah dipahami.69
Dengan demikian selalu ada pernyataan kehendak yang diwujudkan dalam
bentuk penawaran dan penerimaan. Kalau kehendak yang satu dinyatakan dan
diterima dengan jelas bagi pihak yang lain, maka tidak ada masalah mengenai isi
perjanjian bagi bagi para pihak, tetapi kalau isi perjanjian tidak jelas atau diterima
dengan isi yang yang lain oleh lawan janjinya, maka dalam hal ini perlu dicari apa
sebenarnya maksud dari para pihak. Dan yang dimaksud dengan “maksud para
pihak” tidak lain adalah apa yang disepakati para pihak. Karena sepakat adalah
hasil pertemuan kehendak, maka dalam peristiwa itu sebenarnya harus mencari
apa sebenarnya “kehendak” para pihak itu. Perlu ditegaskan di sini, bahwa yang
dicari adalah yang disepakati oleh para pihak, bukan yang dikehendaki oleh salah
satu pihak.70
Hal ini juga sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang didasarkan pada
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Asas
69
70
Suhardana, Op. Cit., hlm. 66.
Ibid.
228 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang
dalam melakukan kontrak.71
Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b.
mengadakan perjanjian dengan siapapun; c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan
dan persyaratanya; d. menentukan bentuknya perjanjian, baik tertulis maupun
lisan.72
Latar individualisme belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah
adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani,
yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat pada zaman
renaisance, melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon
Locke dan Rousseau.73 Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk
memperoleh apa yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak, asas ini diwujudkan
dalam “kebebasan berkontrak”.74
Meskipun demikian dalam praktik sangat mungkin terjadi penyimpanganpenyimpangan, karena bisa saja kontrak yang telah dibuat justru dalam
pelaksanaannya kemudian ditemukan ketidakjelasan-ketidakjelasan maupun
ketidaklengkapan yang dapat berpengaruh terhadap pemenuhan prestasi masingmasing pihak. Oleh karena itu, bagi para pihak tentunya diperlukan kejelasan,
ketegasan dan kepastian dalam menafsirkan isi kontrak.
Dalam hal ini seakan-akan suatu perjanjian sepenuhnya ditentukan oleh apa
yang telah disepakati oleh para pihak. Namun dalam praktik, seringkali kenyatannya
tidak selalu demikian. Para pihak pada waktu membuat perjanjian tidak sekaligus
membayangkan tentang berbagai persoalan yang mungkin muncul nantinya,
misalnya tentang luas, akibat, maupun konsekuensi yang tidak terduga dari
keseluruhan perjanjian. Beranjak dari hal ini, penafsiran perjanjian bukanlah sematamata aktivitas hakim, pengacara, ataupun notaris, melainkan juga terutama oleh
para pihak dalam perjanjian. Banyak ahli hukum beranggapan bahwa penafsiran
perjanjian adalah tugas dari Hakim. Sebenarnya para pihak sendiri yang pertama
kali harus menafsirkan perjanjian yang telah mereka buat. Baru kemudian, jika
Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm. 4.
Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 9.
73
Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan Penjelasannnya, Alumni, Bandung,
1997, hlm. 19-20.
74
Salim H.S., Hukum Kontrak..., Op. Cit., hlm. 9.
71
72
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 229
ternyata para pihak berbeda pendapat, adalah tugas dari hakim atau arbiter sebagai
pihak ketiga untuk melakukan penafsiran.75 Pihak ketiga haruslah dari pihak yang
netral, dimana ia tidak memiliki kepentingan apapun dengan pihak-pihak yang
bersangkutan, baik dari sisi interest keluarga maupun kepentingan ekonomi lainnya.
Jadi, tugas penting dari hakim ialah menyesuaikan undang-undang dengan
hal-hal nyata di masyarakat. Apabila undang-undang tidak dapat dijalankan
menurut arti katanya, hakim harus menafsirkannya. Dengan kata lain, apabila
undang-undangnya tidak jelas, hakim wajib menafsirkannya sehingga ia dapat
membat suatu keputusanyang adil dan sesuai dengan maksud hukum yaitu
mencapai kepastian hukum. Karena itu, orang dapat mengatakan bahwa menafsirkan
undang-undang adalah kewajiban hukum dari hakim.76
Sekalipun penafsiran merupakan kewajiban hukum dari hakim, ada beberapa
pembatasan mengenai kemerdekaan hakim untuk menafsirkan undang-undang itu.
Logeman mengatakan bahwa hakim harus tunduk pada kehendak pembuat undangundang. Dalam hal kehendak itu tidak dapat di baca begitu saja dari kata-kata
peraturan perundangan, hakim harus mencarinya dalam sejarah kata-kata tersebut,
dalam sistem undang-undang atau dalam arti kata-kata seperti itu yang dipakai
dalam pergaulan sehari-hari. Hakim wajib mencari kehendak pembuat undangundang, karena ia tidak boleh membuat tafsiran yang tidak sesuai dengan kehendak
itu. Setiap tafsiran adalah tafsiran yang dibatasi oleh kehendak pembuat undangundang. Karena itu, hakim tidak diperkenankan menafsirkan undang-undang secara
sewenang-wenang. Hakim tidak boleh menafsirkan kaidah yang mengikat, kecuali
hanya penafsiran yang sesuai dengan maksud pembuat undang-undang saja yang
menjadi tafsiran yang tepat.77 Karena itu menurut Polak, cara penafsiran ditentukan
oleh: a. materi peraturan perundangan yang bersangkutan; b. tempat perkara
diajukan; dan c. menurut zamannya.78
Menurut Van Schifgaarde, penafsiran tidaklah terbatas pada persoalan tata
bahasa belaka. Penafsiran yuridis normatif pun penting dan ini menyoal akibat
hukum dari sudut pandang hukum objektif. Ini berarti bahwa penafsiran penafsiran
yuridis normatif dilakukan dengan tujuan memunculkan pengertian yang
Herlien Budiono, Op. Cit., hlm. 123
Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1959, hlm. 250. Sebagaimana dikutip
Yudha Bakti Ardhiwisastra, Op. Cit., hlm. 8.
77
Ibid., hlm. 8-9.
78
Ibid.
75
76
230 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
menyimpang atau berbeda dari tujuan yang diharapkan oleh para pihak, satu dan
lain hal karena maksud dari para pihak ternyata bertentangan dengan hukum
objektif.79
Asas itikad baik memegang peranan penting dalam penafsiran kontrak.
Beberapa sistem hukum, seperti hukum kontrak Jerman memiliki ketentuan yang
mewajibkan bahwa kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik. Pasal 157
BGB menyatakan bahwa semua kontrak harus ditafsirkan sesuai dengan itikad baik.
Dalam beberapa sistem hukum lainnya, seperti hukum kontrak Belanda, peranan
itikad baik dalam penafsiran kontrak dibangun oleh pengadilan.80 Jika kontrak harus
ditafsirkan sesuai dengan itikad baik, maka setiap isi kontrak harus ditafsirkan secara
fair atau patut.
Di samping itu, perjanjian harus ditafsirkan beranjak dari kepatutan dan
kelayakan.81 Di dalam arrest Haviltex (13 Maret 1981, NJ 1981, 635 AA1981, p. 355),
Hoge Raad mengajukan formulasi mendasar yang terus diikuti putusan-putusan
selanjutnya. Hoge Raad dalam yurisprudensi tersebut mempertimbangkan bahwa
“makna ketentuan-ketentuan dalam suatu perjanjian akan ditentukan menurut
pengertian yang saling diberikan oleh para pihak terhadap suatu keadaan tertentu
dan juga atas dasar tersebut menurut apa yang sepatutnya dapat saling mereka
harapkan”. Ditambahkan pula pentingnya “turut mempertimbangkan dari
lingkungan sosial ekonomi masyarakat manakah para pihak berasal dan
pengetahuan hukum apa yang dapat diharapkan dari pihak-pihak yang
bersangkutan.82
Penutup
Interpretasi kontrak dalam praktik tetap diperlukan, mengingat dalam rumusan
isi kontrak seringkali dijumpai adanya ketidakjelasan. Interpretasi kontrak dilakukan
agar maksud para pihak dapat dipertemukan, sehingga tidak ada lagi perbedaan
dalam pemenuhan pretasi sesuai dengan yang telah diatur dalam rumusan kontrak.
Annotatie atas arest Haviltex, Arresten Burgerlijk Recht, dikumpulkan oleh Sterk, W.E.J. Tjeenk-Willink,
Zwolle, 1995, hlm. 332.
80
Martin Hesselink, dalam Ridwan Khairandy, Ibid.
81
C. Asser-A.S. Hartkamp 4-II, Verbintenissenrecht, Algemene leer der overeenkomsten, tiende druk, W.E.J
Tjeenk Willink, Deventer, 1997, nr. 280 sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono, Ibid.
82
Arresten Burgerlijk Recht, dikumpulkan oleh T.A.W. Sterk, W.E.J. Tjeenk-Willink, Zwolle, 1995, hlm. 332
sebagaimana dikutip oleh Herlien Budiono, Ibid.
79
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 231
Beberapa pedoman interpretasi kontrak sesungguhnya sudah diberikan pedoman
dalam KUH Perdata, yaitu dalam Pasal 1342 – 1351 KUH Perdata. Meskipun
demikian, dalam praktik tidak selalu mudah untuk mendapatkan kesepakatan
bersama dalam menafsirkan rumusan isi kontrak.
Oleh karena itu, para pihak harus mencari makna kesepakatan baru dengan
jalan menafsirkan kontrak tersebut secara adil. Penafsiran kontrak secara adil ini
tidak mudah dilakukan oleh para pihak, karena masing-masing pihak umumnya
memiliki subyektivitas yang tinggi, yaitu menafsirkan suatu kontrak dengan melihat
kepentingan dan keuntungan pihaknya sendiri. Sementara itu kepentingan pihak
lain sering tidak terakomodir dengan baik. Dalam keadaan seperti itu, maka
diperlukan intervensi atau bantuan pihak ketiga seperti Hakim yang mempunyai
kemampuan dan ketrampilan untuk menafsirkan rumusan isi kontrak tersebut. Di
samping itu perjanjian semestinya juga harus ditafsirkan berdasarkan pada asas
iktikad baik, kepatutan dan kelayakan sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Dengan demikian penafsiran perjanjian sangat penting maknanya bagi pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya.
Daftar Pustaka
Agustina, Rosa, Perbuatan Melawan Hukum, Program Pasca Sarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 2003.
Ali,Achmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung
Agung Tbk, Jakarta, 2002.
Bhakti Ardhiwisastra, Yudha, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Alumni, Bandung, 2000.
Budiono, Herlien, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010.
Darus Badrulzaman, Mariam, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan dengan
Penjelasannnya, Alumni, Bandung, 1997.
Dirjosisworo, Soedjono, Kontrak Bisnis Menurut Sistem Civil Law, Common Law, dan
Praktek Dagang Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2003.
Fuady, Munir, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2005.
_______, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2007.
Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan,
Liberty,Yogyakarta, 1984.
232 Jurnal Hukum IUS QUIA IUSTUM NO. 2 VOL. 20 APRIL 2013: 207 - 233
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, UII Press, Yogyakarta, 2005.
H.S., Salim, Perkembangan Hukum Kotrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,
2008.
_______, Hukum Kontrak Teori dan Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.
Khairandy, Ridwan, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pasca Sarjana
Universitas Indonesia, Jakarta, 2003.
_______, PT Pulau Intan Cemerlang dan PT Gunung Berlian v Syafei Juremi, et.al, (Putusan
Mahkamah Agung No: Reg. No. 1851/Pdt./1984): Analisis terhadap
Kesalahan Pengadilan dalam Penafsiran Perjanjian dan Penentuan
Kompetensi Absolut Arbitrase, dalam blog Ridwan Kahairandy, dalam
http://www.uii.ac.id., 2009.
Kusumohamidjoyo, Budiono, Panduan Negosiasi Kontrak, Mandar Maju, Bandung, 2007.
Mertokusumo, Sudikno, dan A. Pitlo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya
Bakti, Jakarta, 1993.
Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007.
Rahman, Hasanudin, Contract Drafting Seri Keterampilan Meranang Kontrak Bisnis, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Pandapotan Panggabean, Henry, Peranan Mahkamah Agung Melalui Putusan-Putusan
Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2008.
Rai Widjaya, I.G., Merancang Suatu Kontrak, Kesaint Blanc, Jakarta, 2004.
Satrio, J., Hukum Perjanjian, PT. Citra aditya Bakti, Bandung, 1992.
Sembiring, Sentosa, Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Arbitrase dan Mediasi),
Nuansa Aulia, Bandung, 2008.
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang Undang Hukum Perdata, Pradnya Paramita,
Jakarta, 1992.
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1996.
Suhardana, Contract Drafting: Kerangka Dasar dan Teknik Penyusunan Kontrak, Universitas
Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2008.
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, Prenada Media Group, Jakarta,
2009.
Sutiyoso, Bambang, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media, Yogyakarta, 2006.
_______, Metode Penemuan Hukum: Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan,
UII Press, Yogyakarta, 2009.
S.S., Kusumaningtuti, Peranan Hukum dalam Penyelesaian Krisis Perbankan di Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta, 2009.
Scholten, Paul, Mr. C. Asser Handleiding Tot De Beoefening van Het Nederlandsch Burgerlijk
Recht: Algemeen Deel, Cet. II, terjemahan Siti Soemarti Hartono, Gadjahmada
University Press, Yogyakarta, 1993.
Bambang S. Penafsiran Kontrak Menurut... 233
Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991.
R. Maysuhara, Swasti, Surat Kontrak Dan Pendirian Usaha, Cemerlang Publishing.
Yogyakarta, 2010.
Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, PT. Ichtiar Baru, Jakarta, 1959.
Vollmar, H.F.A., Hukum Benda menurut KUH Perdata, terjemahan Chidir Ali, Tarsito,
Bandung, 1990.
Wijaya, Gunawan, Arbitrase VS. Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak
Pernah Selesai, Prenada Media Group, Jakarta, 2008.
Download