BAB III - Bappenas

advertisement
BAB 12
PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN
PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN
DAN PELINDUNGAN ANAK
Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan sangat
diperlukan karena kualitas kehidupan perempuan masih jauh lebih
rendah daripada laki-laki. Demikian pula halnya dengan anak, yang
merupakan generasi penerus, perlu ditingkatkan kesejahteraan dan
pelindungannya. Secara umum, pembangunan pemberdayaan
perempuan dan pelindungan anak telah menunjukkan hasil yang
menggembirakan, tetapi berbagai permasalahan masih dihadapi,
seperti masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan
anak, serta masih adanya kesenjangan pencapaian hasil pembangunan
antara perempuan dan laki-laki, yang tercermin dari masih terbatasnya
akses sebagian besar perempuan ke layanan kesehatan yang lebih
baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan
publik yang lebih luas. Selain itu, juga masih banyaknya hukum dan
peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif
terhadap perempuan, dan belum peduli anak. Masalah lain adalah
masih
lemahnya
kapasitas
kelembagaan
dan
jaringan
pengarusutamaan gender dan anak, terutama di tingkat kabupaten/
kota. Untuk itu, perlu diambil langkah-langkah kebijakan untuk
mengatasinya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan
peran perempuan serta kesejahteraan dan pelindungan anak.
I.
Permasalahan yang Dihadapi
A.
Rendahnya Kualitas Hidup dan Peran Perempuan
Masalah utama dalam pembangunan pemberdayaan perempuan
adalah rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terutama
di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Data
Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004
menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas
yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat
penduduk laki-laki (10,90 persen berbanding 4,92 persen).
Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta aksara
11,71 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta aksara
5,34 persen. Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang
buta aksara di daerah perdesaan jauh lebih besar daripada
perkotaan (15,42 persen berbanding 6,99 persen). Angka
partisipasi sekolah (APS) perempuan usia 7–12 tahun, 13–15
tahun, dan 16–18 tahun di daerah perdesaan lebih rendah
daripada perkotaan. Selanjutnya, angka kematian ibu
melahirkan masih tertinggi di ASEAN, yaitu 307 per 100.000
kelahiran hidup (SDKI tahun 2002–2003). Berdasarkan Survei
Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2004, tingkat
partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih relatif
rendah, yaitu 49,23 persen, jika dibandingkan dengan laki-laki,
yaitu 86,03 persen. Di bidang politik, data Komisi Pemilihan
Umum (KPU) tahun 2004 menunjukkan bahwa keterwakilan
perempuan di lembaga legislatif masih rendah. Keterwakilan
perempuan di DPR RI sekitar 11,6 persen dan di DPD sekitar
19,8 persen. Keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, yang
dapat dilihat dari persentase perempuan pegawai negeri sipil
(PNS) yang menjabat sebagai Eselon I, II, dan III juga masih
rendah, yaitu 12 persen (data BKN tahun 2003). Sementara itu,
peran perempuan pada lembaga judikatif juga masih rendah,
masing-masing sebesar 20 persen sebagai hakim, dan 18 persen
sebagai hakim agung pada tahun 2004.
12 - 2
B.
Tingginya Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan
salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun
banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain
penyusunan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan
terhadap Perempuan (RAN-PKTP), pembangunan pusat-pusat
krisis terpadu di rumah sakit, pembangunan ruang pelayanan
khusus (RPK) di Polda, Polres, dan di pusat pelayanan terpadu
pemberdayaan perempuan (P2TP2) di daerah, serta penyebaran
informasi dan kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan
anak, semua upaya tersebut belum cukup untuk menekan
tingginya tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan
dan anak. Data yang akurat belum tersedia karena banyak kasus
kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak yang
tidak dilaporkan, dengan anggapan bahwa masalah tersebut
adalah masalah domestik keluarga yang tidak perlu diketahui
orang lain. Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RS Cipto
Mangunkusumo yang didirikan pada tahun 2000 menunjukkan
bahwa jumlah kasus kekerasan terus meningkat dari 226 kasus
pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun 2003. Dari
jumlah kasus tersebut, hampir 50 persen adalah korban
kekerasan seksual, sekitar 47 persen korban adalah anak-anak
(di bawah usia 18 tahun), dan sekitar 74 persen korban
berpendidikan SD hingga SLTA.
C.
Rendahnya Kesejahteraan dan Pelindungan Anak
Upaya pemerintah yang telah dilakukan selama ini belum
sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan
pelindungan anak. Di bidang pendidikan (Susenas tahun 2004),
angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 7–12 tahun, 13–15
tahun, dan 16–18 tahun masing-masing 96,77 persen, 83,49
persen, dan 53,48 persen. Pada tahun 2003, anak usia 3–4 tahun
dan 5–6 tahun yang mengikuti pendidikan anak usia dini
masing-masing hanya sekitar 12,78 persen dan 32,39 persen. Di
samping itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anakanak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial,
dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa belum
12 - 3
tersedia secara memadai. Di bidang kesehatan, angka kematian
bayi, angka kematian balita, prevalensi gizi kurang pada anak
balita, dan prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium
(GAKY) pada anak SD masih tinggi. Hasil Survei Konsumsi
Garam Yodium Rumah Tangga tahun 2003, menyebutkan
bahwa status gizi balita buruk di daerah perdesaan sebesar 9,46
persen, lebih tinggi daripada daerah perkotaan (7,16 persen).
Berdasarkan Susenas tahun 2004, persentase penolong
persalinan bayi oleh tenaga kesehatan di daerah perdesaan, yaitu
50,8 persen, jauh lebih rendah daripada di daerah perkotaan,
yaitu 82,7 persen. Masalah lain adalah masalah pelindungan
anak, yang antara lain dapat dilihat dari masih banyaknya
pekerja anak. Meskipun selama tahun 2001–2003 jumlah
pekerja anak mengalami penurunan dari sekitar 949 ribu jiwa
menjadi 567 ribu jiwa, tetapi angka tersebut masih tinggi.
Penurunan jumlah pekerja anak terjadi di daerah perkotaan dan
perdesaan, baik pada anak laki-laki maupun pada anak
perempuan (Sakernas tahun 2001–2003). Berdasarkan Sakernas
tahun 2003, persentase anak yang bekerja sekitar 5,6 persen dari
jumlah anak umur 10–14 tahun; sebagian terbesar dari mereka
(73,1 persen) bekerja lebih dari 35 jam/minggu, dan bekerja di
sektor pertanian (72,0 persen). Masalah lain adalah masih
terdapat sekitar 58 persen anak yang tidak memiliki akta
kelahiran (Susenas tahun 2004).
D.
Kesenjangan Pencapaian
Perempuan dan Laki-Laki
Hasil
Pembangunan
antara
Berdasarkan laporan Human Development Report Indonesia
2004, angka Human Development Index (HDI) Indonesia 65,8,
angka Gender-related Development Index (GDI) 59,2, dan
angka Gender Empowerment Measurement (GEM) 54,6.
Tingginya angka HDI, jika dibandingkan dengan angka GDI,
menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan sumber daya
manusia secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti dengan
keberhasilan pembangunan gender, atau masih terdapat
kesenjangan gender, terutama di bidang kesehatan, pendidikan,
dan ketenagakerjaan. Sementara itu, rendahnya angka GEM
menunjukkan bahwa partisipasi dan kesempatan perempuan
12 - 4
masih rendah di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan
keputusan.
E.
Banyaknya Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang
Bias Gender, Diskriminatif terhadap Perempuan, dan Belum
Peduli Anak
Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih banyak
yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap perempuan.
Perangkat hukum pidana yang ada belum cukup lengkap dalam
melindungi setiap individu, terutama dari tindak kekerasan
dalam rumah tangga. Di samping itu, peraturan perundangundangan yang ada juga belum dilaksanakan secara konsekuen
untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan dan anak,
termasuk memberikan pelindungan bagi perempuan dan anak
dari tindak kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi.
F.
Lemahnya Kelembagaan dan Jaringan Pengarusutamaan
Gender dan Anak, Termasuk Ketersediaan Data dan Rendahnya
Partisipasi Masyarakat
Sejalan dengan penguatan desentralisasi, timbul masalah
kelembagaan dan jaringan di daerah (provinsi dan kabupaten/
kota) yang menangani masalah-masalah pemberdayaan
perempuan dan anak. Program-program pembangunan
pemberdayaan perempuan dan anak merupakan program lintas
bidang sehingga diperlukan koordinasi di tingkat nasional dan
daerah, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan
evaluasi, termasuk dalam pemenuhan komitmen internasional,
seperti Convention on the Elimination of All Forms of
Discriminations against Women (CEDAW), Beijing Platform for
Action (BPFA), Convention on the Rights of the Child (CRC),
World Fit for Children (WFC), dan Millennium Development
Goals (MDGs). Masalah lain adalah masih terbatasnya data
pembangunan yang terpilah menurut jenis kelamin sehingga
sulit menemukenali masalah-masalah gender yang ada. Selain
itu, partisipasi masyarakat belum maksimal dalam
meningkatkan kualitas hidup perempuan dan meningkatkan
kesejahteraan dan pelindungan anak.
12 - 5
II.
Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai
Untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelindungan
perempuan, langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1)
meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui aksi afirmasi,
terutama di bidang pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan,
sosial, politik, lingkungan hidup, dan ekonomi; (2) meningkatkan
upaya pelindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan,
eksploitasi dan diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan
penanggulangannya; (3) mengembangkan dan menyempurnakan
perangkat hukum dan kebijakan peningkatan kualitas hidup dan
pelindungan perempuan di berbagai bidang pembangunan di tingkat
nasional dan daerah; (4) melaksanakan komunikasi, informasi, dan
edukasi (KIE) peningkatan kualitas hidup dan pelindungan perempuan
di tingkat nasional dan daerah; (5) menyusun sistem pencatatan dan
pelaporan, sistem penanganan dan penyelesaian kasus tindak
kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan; (6)
membangun pusat pelayanan terpadu berbasis rumah sakit dan
berbasis masyarakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai
sarana pelindungan perempuan korban kekerasan, termasuk
perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga; dan (7)
meningkatkan peran masyarakat dan media dalam penanggulangan
pornografi dan pornoaksi.
Hasil-hasil yang telah dicapai dapat diuraikan sebagai berikut.
Di bidang pendidikan, hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1)
penyelenggaraan koordinasi dan kerja sama pendidikan bagi
perempuan yang buta aksara melalui Surat Kesepakatan Bersama
(SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Nasional, dan
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tentang Pemberantasan
Buta Aksara Perempuan (PBAP); (2) pelaksanaan pendidikan
kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam keluarga, bekerja sama
dengan organisasi perempuan, organisasi keagamaan, dan perguruan
tinggi di Provinsi Jawa Timur, Bali, Bangka Belitung, dan Sumatra
Utara; dan (3) pelaksanaan sosialisasi pedoman pendidikan bagi
pekerja rumah tangga (PRT) perempuan yang putus sekolah di
Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung.
Di bidang kesehatan, hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain,
ialah (1) revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI) di tingkat kecamatan
12 - 6
melalui pemberian bantuan dana stimulan untuk pembentukan model
kecamatan GSI di beberapa kabupaten, seperti Tanah Datar,
Gorontalo, Bangka, Bontang, dan Muaro; (2) pelaksanaan Peringatan
Hari AIDS Sedunia Tahun 2004 dan Pekan ASI Sedunia Tahun 2004;
dan (3) fasilitasi penanganan permasalahan gizi buruk (busung lapar),
yang dialami oleh anak-anak Indonesia di beberapa provinsi.
Di bidang ekonomi, hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain,
ialah (1) penyusunan kebijakan peningkatan produktivitas ekonomi
perempuan (PPEP), sebagai hasil konsolidasi dengan tujuh belas
instansi terkait, termasuk lembaga keuangan dan LSM; kebijakan
PPEP disepakati menjadi landasan pelaksanaan koordinasi dan sinergi
program dan kegiatan pembangunan dari instansi terkait, yang
memiliki aktivitas pemberdayaan ekonomi perempuan dan
penanggulangan kemiskinan; (2) pembentukan Forum PPEP, yang
merupakan wadah kegiatan untuk berkoordinasi, bersinergi dan
menghimpun berbagai masukan untuk mempercepat upaya
penanggulangan kemiskinan melalui berbagai kegiatan ekonomi
produktif bagi perempuan; (3) pengembangan Model Desa Prima
(Perempuan Indonesia Maju Mandiri) dan penyusunan Pedoman
Umum Model Desa Prima; Model Desa Prima merupakan penjabaran
kebijakan PPEP dalam menyinergikan program-program sektor dalam
satu wilayah; dan (4) revitalisasi program Peningkatan Peranan
Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), melalui
pengaktifan kembali kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan di
tingkat lokal di berbagai bidang pembangunan untuk meningkatkan
kesejahteraan keluarga.
Di bidang hukum, hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain,
ialah (1) penyiapan RUU tentang Antipornografi dan Antipornoaksi;
(2) penandatanganan Kesepakatan Bersama oleh empat menteri, yaitu
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Agama, Menteri
Negara Pemuda dan Olah Raga, serta Menteri Komunikasi dan
Informasi, untuk mengimplementasikan Gerakan Nasional Bersih
Pornografi dan Pornoaksi (GN-BPP) di tingkat nasional dan daerah,
yang telah dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 24 Juni 2005;
dan (3) penyusunan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang.
12 - 7
Di bidang sosial dan politik, hasil-hasil yang telah dicapai,
antara lain, ialah (1) penanganan masalah perempuan dan anak di
daerah bencana pascatsunami di Provinsi NAD dan Sumatra Utara; (2)
penyiapan program pendidikan politik perempuan; (3) penyusunan
modul-modul kepemimpinan perempuan; (4) peningkatan kerja sama
dengan perguruan tinggi, organisasi perempuan, dan institusi terkait
dalam hal pendidikan politik bagi perempuan; (5) pelaksanaan
Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015, antara lain
berupa pembentukan Forum Indonesia yang Layak bagi Anak,
pendistribusian Panduan PNBAI ke seluruh provinsi dan
kabupaten/kota, dan penyusunan modul dan pelatihan bagi pelatih
(TOT) PNBAI; serta (6) implementasi Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A), antara
lain berupa penetapan Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Gugus Tugas RANP3A) yang terdiri dari berbagai kementerian/lembaga terkait.
Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, antara lain, ialah (a)
penyusunan Pedoman Pemulangan Korban Perdagangan Orang; (b)
penyusunan modul pelatihan bagi Pengelola Program di Debarkasi/
Pusat Transit dan Modul Pelatihan bagi Pengelola Program
Embarkasi; dan (c) peluncuran produk kampanye dan iklan layanan
masyarakat tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak.
Selanjutnya,
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
dan
pelindungan anak, langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1)
mengembangkan berbagai kebijakan dan peraturan perundangundangan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak, terutama di bidang
pendidikan, kesehatan, sosial, hukum, dan ketenagakerjaan di tingkat
nasional dan daerah; (2) melaksanakan komunikasi, informasi, dan
edukasi peningkatan kesejahteraan dan pelindungan anak; (3)
melaksanakan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk
menjamin dan melindungi hak-hak anak; (4) meningkatkan upaya
pemenuhan hak-hak anak, seperti penyediaan akta kelahiran dan
penyediaan ruang publik yang aman untuk bermain; (5)
mengembangkan mekanisme pelindungan bagi anak dalam kondisi
khusus, seperti bencana alam dan sosial (termasuk konflik); (6)
mengembangkan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah
anak, termasuk peningkatan upaya pelindungan khusus kepada anak
dalam situasi darurat, konflik dengan hukum, eksploitasi, perdagangan
12 - 8
(trafficking), dan perlakuan salah yang lain; (7) membentuk wadahwadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan
anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan; dan
(8) melaksanakan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan peraturan
perundang-undangan tentang anak di tingkat nasional dan daerah.
Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, adalah (1)
penyusunan Buku Panduan Pola Pengasuhan Anak yang berlandaskan
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, dan
pendistribusiannya ke daerah; (2) pelaksanaan kampanye pemberian
akta kelahiran gratis bagi anak Indonesia sebagai pelaksanaan UU No.
23 Tahun 2002 di tingkat nasional dan daerah; (3) pelaksanaan
Konsultasi Anak di empat belas provinsi dan Konsultasi Anak
Nasional, dalam rangka penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN)
Penghapusan Kekerasan terhadap Anak; (4) pembentukan Pusat
Advokasi dan Fasilitasi Kesejahteraan dan Pelindungan Anak di dua
puluh provinsi; (5) penyusunan prosedur operasional standar
(standard operational procedure/SOP) pemulangan korban
perdagangan perempuan dan anak; (6) penyusunan Profil Anak di dua
puluh provinsi; dan (7) pembentukan jejaring kerja penegak hukum
dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum.
Sementara
itu,
untuk
memperkuat
kelembagaan
pengarusutamaan gender dan anak, langkah kebijakan yang dilakukan
adalah (1) mengembangkan materi dan pelaksanaan komunikasi,
informasi, dan edukasi tentang kesetaraan dan keadilan gender, serta
kesejahteraan dan pelindungan anak; (2) meningkatkan kapasitas dan
jaringan kelembagaan pemberdayaan perempuan dan anak di tingkat
provinsi dan kabupaten/kota, termasuk Pusat Studi Wanita/Gender,
dan lembaga-lembaga penelitian, pemerhati dan pemberdayaan anak;
(3) menyusun berbagai kebijakan dalam rangka penguatan
kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan
anak (PUA) di tingkat nasional dan daerah; dan (4) menyusun
mekanisme perencanaan, pemantauan, dan evaluasi PUG dan PUA di
tingkat nasional dan daerah.
Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, adalah (1)
penyusunan profil gender untuk mengidentifikasi faktor-faktor
kesenjangan gender di 250 kabupaten/ kota; (2) pembentukan unit
kerja yang menangani pemberdayaan perempuan dan anak di 27
12 - 9
provinsi, yang dikoordinasikan oleh pejabat setingkat eselon II dan III;
(3) pemberian penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya kepada tiga
provinsi (Jawa Timur, Lampung, dan Sumatra Utara) dan tiga
Kabupaten (Temanggung, Wonosobo, dan Sidoarjo), yang dinilai
berhasil dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender; (4) penyusunan
buku panduan dan pengkajian tentang pengembangan kelembagaan
anak di lima provinsi (Banten, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Jawa
Tengah, dan NTB); (5) penyusunan dan penyebarluasan Buku
Panduan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Model Kesejahteraan
dan Pelindungan Anak (KPA) ke 30 provinsi dan 321 kabupaten/kota;
(6) pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan
(P2TP2) di tujuh provinsi; (7) penyusunan Indikator Kesetaraan dan
Keadilan Gender (IKKG) dan pemetaan wilayah IKKG; dan (8)
partisipasi dalam berbagai kegiatan (event) tingkat internasional,
seperti Sidang ke-49 Commission on the Status of Women di New
York, Amerika Serikat, ESCAP Meeting ke-61 di Bangkok, dan
Asian-African Workshop on Women and Youth di Jakarta.
Selanjutnya, untuk menyerasikan kebijakan peningkatan
kualitas anak dan perempuan, langkah kebijakan yang dilakukan
adalah (1) menganalisis dan merevisi peraturan perundang-undangan
yang diskriminatif terhadap perempuan, bias gender, dan belum peduli
anak; (2) menyusun kebijakan dan peraturan perundang-undangan
yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan
melindungi perempuan dan hak-hak anak; (3) melaksanakan
komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kebijakan dan peraturan
perundang-undangan tentang perempuan dan anak; serta (4)
melakukan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi kebijakan peraturan perundang-undangan, dan program
pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesejahteraan dan
pelindungan anak, di tingkat nasional dan daerah.
Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1) pelaksanaan
sosialisasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah tangga (KDRT) dan Rencana Aksi Nasional (RAN)
Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di tingkat nasional
dan 11 kabupaten/kota; (2) penyusunan sistem dan mekanisme
kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak,
termasuk data gender dan profil anak; (3) penyusunan Sistem
12 - 10
Pelindungan Perempuan terhadap Tindak Kekerasan; (4) penyusunan
materi advokasi UU No. 23 Tahun 2004 dan RPP tentang
Penghapusan KDRT; dan (5) pelaksanaan kampanye publik tentang
penghapusan perdagangan perempuan dan anak, melalui media massa.
III.
Tindak Lanjut yang Diperlukan
Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang masih akan
dihadapi di masa datang, tindak lanjut yang diperlukan adalah
meneruskan berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini, yang
ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelindungan
perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi,
politik, pengambilan putusan, serta lingkungan hidup dan sosial
budaya, khususnya di tingkat kabupaten/kota.
Untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelindungan anak,
tindak lanjut yang diperlukan adalah pemenuhan hak-hak anak di
berbagai bidang, yaitu tumbuh-kembang anak, pelindungan anak,
partisipasi anak, hak sipil dan kebebasan, serta penciptaan lingkungan
yang ramah anak.
Sementara
itu,
untuk
memperkuat
kelembagaan
pengarusutamaan gender dan anak, tindak lanjut yang diperlukan,
antara lain, ialah meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan lembaga
masyarakat dan swasta, melaksanakan pengarusutamaan gender
terutama pada tahap perencanaan, dan memperkuat kelembagaan anak
di tingkat nasional dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Tindak
lanjut yang lain adalah melakukan penyerasian berbagai kebijakan dan
peraturan perundang-undangan yang mendukung peningkatan kualitas
anak dan perempuan.
12 - 11
Download