BAB 12 PENINGKATAN KUALITAS KEHIDUPAN DAN PERAN PEREMPUAN SERTA KESEJAHTERAAN DAN PELINDUNGAN ANAK Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan sangat diperlukan karena kualitas kehidupan perempuan masih jauh lebih rendah daripada laki-laki. Demikian pula halnya dengan anak, yang merupakan generasi penerus, perlu ditingkatkan kesejahteraan dan pelindungannya. Secara umum, pembangunan pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak telah menunjukkan hasil yang menggembirakan, tetapi berbagai permasalahan masih dihadapi, seperti masih tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih adanya kesenjangan pencapaian hasil pembangunan antara perempuan dan laki-laki, yang tercermin dari masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan ke layanan kesehatan yang lebih baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Selain itu, juga masih banyaknya hukum dan peraturan perundang-undangan yang bias gender, diskriminatif terhadap perempuan, dan belum peduli anak. Masalah lain adalah masih lemahnya kapasitas kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, terutama di tingkat kabupaten/ kota. Untuk itu, perlu diambil langkah-langkah kebijakan untuk mengatasinya dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan dan peran perempuan serta kesejahteraan dan pelindungan anak. I. Permasalahan yang Dihadapi A. Rendahnya Kualitas Hidup dan Peran Perempuan Masalah utama dalam pembangunan pemberdayaan perempuan adalah rendahnya kualitas hidup dan peran perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (10,90 persen berbanding 4,92 persen). Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta aksara 11,71 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta aksara 5,34 persen. Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta aksara di daerah perdesaan jauh lebih besar daripada perkotaan (15,42 persen berbanding 6,99 persen). Angka partisipasi sekolah (APS) perempuan usia 7–12 tahun, 13–15 tahun, dan 16–18 tahun di daerah perdesaan lebih rendah daripada perkotaan. Selanjutnya, angka kematian ibu melahirkan masih tertinggi di ASEAN, yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI tahun 2002–2003). Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) tahun 2004, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih relatif rendah, yaitu 49,23 persen, jika dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 86,03 persen. Di bidang politik, data Komisi Pemilihan Umum (KPU) tahun 2004 menunjukkan bahwa keterwakilan perempuan di lembaga legislatif masih rendah. Keterwakilan perempuan di DPR RI sekitar 11,6 persen dan di DPD sekitar 19,8 persen. Keterlibatan perempuan dalam jabatan publik, yang dapat dilihat dari persentase perempuan pegawai negeri sipil (PNS) yang menjabat sebagai Eselon I, II, dan III juga masih rendah, yaitu 12 persen (data BKN tahun 2003). Sementara itu, peran perempuan pada lembaga judikatif juga masih rendah, masing-masing sebesar 20 persen sebagai hakim, dan 18 persen sebagai hakim agung pada tahun 2004. 12 - 2 B. Tingginya Tindak Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak Tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Meskipun banyak upaya telah dilakukan oleh pemerintah, antara lain penyusunan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP), pembangunan pusat-pusat krisis terpadu di rumah sakit, pembangunan ruang pelayanan khusus (RPK) di Polda, Polres, dan di pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan (P2TP2) di daerah, serta penyebaran informasi dan kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan anak, semua upaya tersebut belum cukup untuk menekan tingginya tindak kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak. Data yang akurat belum tersedia karena banyak kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap perempuan dan anak yang tidak dilaporkan, dengan anggapan bahwa masalah tersebut adalah masalah domestik keluarga yang tidak perlu diketahui orang lain. Data Pusat Krisis Terpadu (PKT) RS Cipto Mangunkusumo yang didirikan pada tahun 2000 menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terus meningkat dari 226 kasus pada tahun 2000 menjadi 655 kasus pada tahun 2003. Dari jumlah kasus tersebut, hampir 50 persen adalah korban kekerasan seksual, sekitar 47 persen korban adalah anak-anak (di bawah usia 18 tahun), dan sekitar 74 persen korban berpendidikan SD hingga SLTA. C. Rendahnya Kesejahteraan dan Pelindungan Anak Upaya pemerintah yang telah dilakukan selama ini belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan dan pelindungan anak. Di bidang pendidikan (Susenas tahun 2004), angka partisipasi sekolah (APS) anak usia 7–12 tahun, 13–15 tahun, dan 16–18 tahun masing-masing 96,77 persen, 83,49 persen, dan 53,48 persen. Pada tahun 2003, anak usia 3–4 tahun dan 5–6 tahun yang mengikuti pendidikan anak usia dini masing-masing hanya sekitar 12,78 persen dan 32,39 persen. Di samping itu, fasilitas dan layanan pendidikan khusus bagi anakanak yang mempunyai kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki kecerdasan dan bakat istimewa belum 12 - 3 tersedia secara memadai. Di bidang kesehatan, angka kematian bayi, angka kematian balita, prevalensi gizi kurang pada anak balita, dan prevalensi gangguan akibat kekurangan yodium (GAKY) pada anak SD masih tinggi. Hasil Survei Konsumsi Garam Yodium Rumah Tangga tahun 2003, menyebutkan bahwa status gizi balita buruk di daerah perdesaan sebesar 9,46 persen, lebih tinggi daripada daerah perkotaan (7,16 persen). Berdasarkan Susenas tahun 2004, persentase penolong persalinan bayi oleh tenaga kesehatan di daerah perdesaan, yaitu 50,8 persen, jauh lebih rendah daripada di daerah perkotaan, yaitu 82,7 persen. Masalah lain adalah masalah pelindungan anak, yang antara lain dapat dilihat dari masih banyaknya pekerja anak. Meskipun selama tahun 2001–2003 jumlah pekerja anak mengalami penurunan dari sekitar 949 ribu jiwa menjadi 567 ribu jiwa, tetapi angka tersebut masih tinggi. Penurunan jumlah pekerja anak terjadi di daerah perkotaan dan perdesaan, baik pada anak laki-laki maupun pada anak perempuan (Sakernas tahun 2001–2003). Berdasarkan Sakernas tahun 2003, persentase anak yang bekerja sekitar 5,6 persen dari jumlah anak umur 10–14 tahun; sebagian terbesar dari mereka (73,1 persen) bekerja lebih dari 35 jam/minggu, dan bekerja di sektor pertanian (72,0 persen). Masalah lain adalah masih terdapat sekitar 58 persen anak yang tidak memiliki akta kelahiran (Susenas tahun 2004). D. Kesenjangan Pencapaian Perempuan dan Laki-Laki Hasil Pembangunan antara Berdasarkan laporan Human Development Report Indonesia 2004, angka Human Development Index (HDI) Indonesia 65,8, angka Gender-related Development Index (GDI) 59,2, dan angka Gender Empowerment Measurement (GEM) 54,6. Tingginya angka HDI, jika dibandingkan dengan angka GDI, menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan sumber daya manusia secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti dengan keberhasilan pembangunan gender, atau masih terdapat kesenjangan gender, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. Sementara itu, rendahnya angka GEM menunjukkan bahwa partisipasi dan kesempatan perempuan 12 - 4 masih rendah di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan. E. Banyaknya Hukum dan Peraturan Perundang-undangan yang Bias Gender, Diskriminatif terhadap Perempuan, dan Belum Peduli Anak Peraturan perundang-undangan yang ada saat ini masih banyak yang bias gender dan/atau diskriminatif terhadap perempuan. Perangkat hukum pidana yang ada belum cukup lengkap dalam melindungi setiap individu, terutama dari tindak kekerasan dalam rumah tangga. Di samping itu, peraturan perundangundangan yang ada juga belum dilaksanakan secara konsekuen untuk menjamin dan melindungi hak-hak perempuan dan anak, termasuk memberikan pelindungan bagi perempuan dan anak dari tindak kekerasan, diskriminasi, dan eksploitasi. F. Lemahnya Kelembagaan dan Jaringan Pengarusutamaan Gender dan Anak, Termasuk Ketersediaan Data dan Rendahnya Partisipasi Masyarakat Sejalan dengan penguatan desentralisasi, timbul masalah kelembagaan dan jaringan di daerah (provinsi dan kabupaten/ kota) yang menangani masalah-masalah pemberdayaan perempuan dan anak. Program-program pembangunan pemberdayaan perempuan dan anak merupakan program lintas bidang sehingga diperlukan koordinasi di tingkat nasional dan daerah, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan dan evaluasi, termasuk dalam pemenuhan komitmen internasional, seperti Convention on the Elimination of All Forms of Discriminations against Women (CEDAW), Beijing Platform for Action (BPFA), Convention on the Rights of the Child (CRC), World Fit for Children (WFC), dan Millennium Development Goals (MDGs). Masalah lain adalah masih terbatasnya data pembangunan yang terpilah menurut jenis kelamin sehingga sulit menemukenali masalah-masalah gender yang ada. Selain itu, partisipasi masyarakat belum maksimal dalam meningkatkan kualitas hidup perempuan dan meningkatkan kesejahteraan dan pelindungan anak. 12 - 5 II. Langkah-Langkah Kebijakan dan Hasil-Hasil yang Dicapai Untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelindungan perempuan, langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1) meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui aksi afirmasi, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, hukum, ketenagakerjaan, sosial, politik, lingkungan hidup, dan ekonomi; (2) meningkatkan upaya pelindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi, termasuk upaya pencegahan dan penanggulangannya; (3) mengembangkan dan menyempurnakan perangkat hukum dan kebijakan peningkatan kualitas hidup dan pelindungan perempuan di berbagai bidang pembangunan di tingkat nasional dan daerah; (4) melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) peningkatan kualitas hidup dan pelindungan perempuan di tingkat nasional dan daerah; (5) menyusun sistem pencatatan dan pelaporan, sistem penanganan dan penyelesaian kasus tindak kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi terhadap perempuan; (6) membangun pusat pelayanan terpadu berbasis rumah sakit dan berbasis masyarakat di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagai sarana pelindungan perempuan korban kekerasan, termasuk perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga; dan (7) meningkatkan peran masyarakat dan media dalam penanggulangan pornografi dan pornoaksi. Hasil-hasil yang telah dicapai dapat diuraikan sebagai berikut. Di bidang pendidikan, hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1) penyelenggaraan koordinasi dan kerja sama pendidikan bagi perempuan yang buta aksara melalui Surat Kesepakatan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tentang Pemberantasan Buta Aksara Perempuan (PBAP); (2) pelaksanaan pendidikan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam keluarga, bekerja sama dengan organisasi perempuan, organisasi keagamaan, dan perguruan tinggi di Provinsi Jawa Timur, Bali, Bangka Belitung, dan Sumatra Utara; dan (3) pelaksanaan sosialisasi pedoman pendidikan bagi pekerja rumah tangga (PRT) perempuan yang putus sekolah di Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung. Di bidang kesehatan, hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1) revitalisasi Gerakan Sayang Ibu (GSI) di tingkat kecamatan 12 - 6 melalui pemberian bantuan dana stimulan untuk pembentukan model kecamatan GSI di beberapa kabupaten, seperti Tanah Datar, Gorontalo, Bangka, Bontang, dan Muaro; (2) pelaksanaan Peringatan Hari AIDS Sedunia Tahun 2004 dan Pekan ASI Sedunia Tahun 2004; dan (3) fasilitasi penanganan permasalahan gizi buruk (busung lapar), yang dialami oleh anak-anak Indonesia di beberapa provinsi. Di bidang ekonomi, hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1) penyusunan kebijakan peningkatan produktivitas ekonomi perempuan (PPEP), sebagai hasil konsolidasi dengan tujuh belas instansi terkait, termasuk lembaga keuangan dan LSM; kebijakan PPEP disepakati menjadi landasan pelaksanaan koordinasi dan sinergi program dan kegiatan pembangunan dari instansi terkait, yang memiliki aktivitas pemberdayaan ekonomi perempuan dan penanggulangan kemiskinan; (2) pembentukan Forum PPEP, yang merupakan wadah kegiatan untuk berkoordinasi, bersinergi dan menghimpun berbagai masukan untuk mempercepat upaya penanggulangan kemiskinan melalui berbagai kegiatan ekonomi produktif bagi perempuan; (3) pengembangan Model Desa Prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri) dan penyusunan Pedoman Umum Model Desa Prima; Model Desa Prima merupakan penjabaran kebijakan PPEP dalam menyinergikan program-program sektor dalam satu wilayah; dan (4) revitalisasi program Peningkatan Peranan Wanita menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (P2WKSS), melalui pengaktifan kembali kegiatan-kegiatan pemberdayaan perempuan di tingkat lokal di berbagai bidang pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Di bidang hukum, hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1) penyiapan RUU tentang Antipornografi dan Antipornoaksi; (2) penandatanganan Kesepakatan Bersama oleh empat menteri, yaitu Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Agama, Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga, serta Menteri Komunikasi dan Informasi, untuk mengimplementasikan Gerakan Nasional Bersih Pornografi dan Pornoaksi (GN-BPP) di tingkat nasional dan daerah, yang telah dicanangkan oleh Presiden RI pada tanggal 24 Juni 2005; dan (3) penyusunan RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. 12 - 7 Di bidang sosial dan politik, hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1) penanganan masalah perempuan dan anak di daerah bencana pascatsunami di Provinsi NAD dan Sumatra Utara; (2) penyiapan program pendidikan politik perempuan; (3) penyusunan modul-modul kepemimpinan perempuan; (4) peningkatan kerja sama dengan perguruan tinggi, organisasi perempuan, dan institusi terkait dalam hal pendidikan politik bagi perempuan; (5) pelaksanaan Program Nasional bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015, antara lain berupa pembentukan Forum Indonesia yang Layak bagi Anak, pendistribusian Panduan PNBAI ke seluruh provinsi dan kabupaten/kota, dan penyusunan modul dan pelatihan bagi pelatih (TOT) PNBAI; serta (6) implementasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (RAN-P3A), antara lain berupa penetapan Gugus Tugas Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Gugus Tugas RANP3A) yang terdiri dari berbagai kementerian/lembaga terkait. Kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan, antara lain, ialah (a) penyusunan Pedoman Pemulangan Korban Perdagangan Orang; (b) penyusunan modul pelatihan bagi Pengelola Program di Debarkasi/ Pusat Transit dan Modul Pelatihan bagi Pengelola Program Embarkasi; dan (c) peluncuran produk kampanye dan iklan layanan masyarakat tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak. Selanjutnya, untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelindungan anak, langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1) mengembangkan berbagai kebijakan dan peraturan perundangundangan dalam rangka pemenuhan hak-hak anak, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, hukum, dan ketenagakerjaan di tingkat nasional dan daerah; (2) melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi peningkatan kesejahteraan dan pelindungan anak; (3) melaksanakan kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk menjamin dan melindungi hak-hak anak; (4) meningkatkan upaya pemenuhan hak-hak anak, seperti penyediaan akta kelahiran dan penyediaan ruang publik yang aman untuk bermain; (5) mengembangkan mekanisme pelindungan bagi anak dalam kondisi khusus, seperti bencana alam dan sosial (termasuk konflik); (6) mengembangkan sistem prosedur penanganan hukum yang ramah anak, termasuk peningkatan upaya pelindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, konflik dengan hukum, eksploitasi, perdagangan 12 - 8 (trafficking), dan perlakuan salah yang lain; (7) membentuk wadahwadah guna mendengarkan dan menyuarakan pendapat dan harapan anak sebagai bentuk partisipasi anak dalam proses pembangunan; dan (8) melaksanakan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang anak di tingkat nasional dan daerah. Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, adalah (1) penyusunan Buku Panduan Pola Pengasuhan Anak yang berlandaskan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak, dan pendistribusiannya ke daerah; (2) pelaksanaan kampanye pemberian akta kelahiran gratis bagi anak Indonesia sebagai pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2002 di tingkat nasional dan daerah; (3) pelaksanaan Konsultasi Anak di empat belas provinsi dan Konsultasi Anak Nasional, dalam rangka penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Kekerasan terhadap Anak; (4) pembentukan Pusat Advokasi dan Fasilitasi Kesejahteraan dan Pelindungan Anak di dua puluh provinsi; (5) penyusunan prosedur operasional standar (standard operational procedure/SOP) pemulangan korban perdagangan perempuan dan anak; (6) penyusunan Profil Anak di dua puluh provinsi; dan (7) pembentukan jejaring kerja penegak hukum dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum. Sementara itu, untuk memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1) mengembangkan materi dan pelaksanaan komunikasi, informasi, dan edukasi tentang kesetaraan dan keadilan gender, serta kesejahteraan dan pelindungan anak; (2) meningkatkan kapasitas dan jaringan kelembagaan pemberdayaan perempuan dan anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, termasuk Pusat Studi Wanita/Gender, dan lembaga-lembaga penelitian, pemerhati dan pemberdayaan anak; (3) menyusun berbagai kebijakan dalam rangka penguatan kelembagaan pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan anak (PUA) di tingkat nasional dan daerah; dan (4) menyusun mekanisme perencanaan, pemantauan, dan evaluasi PUG dan PUA di tingkat nasional dan daerah. Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, adalah (1) penyusunan profil gender untuk mengidentifikasi faktor-faktor kesenjangan gender di 250 kabupaten/ kota; (2) pembentukan unit kerja yang menangani pemberdayaan perempuan dan anak di 27 12 - 9 provinsi, yang dikoordinasikan oleh pejabat setingkat eselon II dan III; (3) pemberian penghargaan Anugerah Parahita Ekapraya kepada tiga provinsi (Jawa Timur, Lampung, dan Sumatra Utara) dan tiga Kabupaten (Temanggung, Wonosobo, dan Sidoarjo), yang dinilai berhasil dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender; (4) penyusunan buku panduan dan pengkajian tentang pengembangan kelembagaan anak di lima provinsi (Banten, Sulawesi Selatan, Maluku Utara, Jawa Tengah, dan NTB); (5) penyusunan dan penyebarluasan Buku Panduan Standar Pelayanan Minimum (SPM) Model Kesejahteraan dan Pelindungan Anak (KPA) ke 30 provinsi dan 321 kabupaten/kota; (6) pembentukan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan (P2TP2) di tujuh provinsi; (7) penyusunan Indikator Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG) dan pemetaan wilayah IKKG; dan (8) partisipasi dalam berbagai kegiatan (event) tingkat internasional, seperti Sidang ke-49 Commission on the Status of Women di New York, Amerika Serikat, ESCAP Meeting ke-61 di Bangkok, dan Asian-African Workshop on Women and Youth di Jakarta. Selanjutnya, untuk menyerasikan kebijakan peningkatan kualitas anak dan perempuan, langkah kebijakan yang dilakukan adalah (1) menganalisis dan merevisi peraturan perundang-undangan yang diskriminatif terhadap perempuan, bias gender, dan belum peduli anak; (2) menyusun kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan dan melindungi perempuan dan hak-hak anak; (3) melaksanakan komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang perempuan dan anak; serta (4) melakukan koordinasi perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan peraturan perundang-undangan, dan program pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesejahteraan dan pelindungan anak, di tingkat nasional dan daerah. Hasil-hasil yang telah dicapai, antara lain, ialah (1) pelaksanaan sosialisasi UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah tangga (KDRT) dan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak di tingkat nasional dan 11 kabupaten/kota; (2) penyusunan sistem dan mekanisme kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak, termasuk data gender dan profil anak; (3) penyusunan Sistem 12 - 10 Pelindungan Perempuan terhadap Tindak Kekerasan; (4) penyusunan materi advokasi UU No. 23 Tahun 2004 dan RPP tentang Penghapusan KDRT; dan (5) pelaksanaan kampanye publik tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak, melalui media massa. III. Tindak Lanjut yang Diperlukan Untuk mengatasi berbagai permasalahan yang masih akan dihadapi di masa datang, tindak lanjut yang diperlukan adalah meneruskan berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini, yang ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dan pelindungan perempuan, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik, pengambilan putusan, serta lingkungan hidup dan sosial budaya, khususnya di tingkat kabupaten/kota. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelindungan anak, tindak lanjut yang diperlukan adalah pemenuhan hak-hak anak di berbagai bidang, yaitu tumbuh-kembang anak, pelindungan anak, partisipasi anak, hak sipil dan kebebasan, serta penciptaan lingkungan yang ramah anak. Sementara itu, untuk memperkuat kelembagaan pengarusutamaan gender dan anak, tindak lanjut yang diperlukan, antara lain, ialah meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan lembaga masyarakat dan swasta, melaksanakan pengarusutamaan gender terutama pada tahap perencanaan, dan memperkuat kelembagaan anak di tingkat nasional dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Tindak lanjut yang lain adalah melakukan penyerasian berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mendukung peningkatan kualitas anak dan perempuan. 12 - 11