AZHAR NUR FAJAR ALAM-FSH

advertisement
ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN
NASIONALISASI MODAL ASING
(Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Azhar Nur Fajar Alam
NIM: 1111048000083
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015 M
ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN
NASIONALISASI MODAL ASING
(Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh:
Azhar Nur Fajar Alam
NIM: 1111048000083
Pembimbing
Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM,
NIP: 195505051982031012
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/ 2015 M
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02 April 2015
Azhar Nur Fajar Alam
iii
ABSTRAK
Azhar Nur Fajar Alam, NIM 1111048000083, “ASAS KEMANDIRIAN
DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI MODAL ASING
(Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal)”,
Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/2015
M. ix + 83 halaman. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan pemahaman
antara perspektif hukum Indonesia dan perspektif hukum internasional dalam
pengertian nasionalisasi modal asing. Serta untuk mengetahui konsep pemahaman
nasionalisasi modal asing terkait asas kemandirian dalam Undang-Undang No 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan.
Latar belakang penelitian ini adalah pertimbangan hukum ekonomi dan sejarah
hukum untuk realisasi tindakan nasionalisasi terhadap modal asing demi
mewujudkan kesempurnaan kemandirian ekonomi nasional. Penelitian ini
menggunakan tipe penelitian library research, yang mengkaji berbagai dokumen
yang terkait dengan penelitian. Metode Pengolahan dan Analisa Data yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis
(historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Penelitian ini menggunakan tiga bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan non-hukum. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya
keterkaitan pemahaman dan pengakuan aktualisasi nasionalisasi modal asing dalam
dunia hukum internasional dan nasional. Penelitian ini juga menjelaskan bahwa citacita kemandirian ekonomi nasional dalam pasal 33 UUD 1945 masih jauh dari
realita, sehingga kebijakan hukum ekonomi yang diharapkan kendati lebih bersifat
liberalis dan lebih memilih berpihak kepada asing sehingga melahirkan
ketergantungan modal.
Kata Kunci
: Nasionalisasi, kemandirian ekonomi, hukum investasi asing
Pembimbing : Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
Daftar Pustaka : Tahun 1960 s.d Tahun 2015
iv
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb...
Bismillahirrahmanirrahim...
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat,
nikmat, serta anugerah- Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul
“ASAS KEMANDIRIAN DAN KEMANFAATAN TINDAKAN NASIONALISASI
MODAL ASING (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal)”. Salawat serta salam penulis sampaikan kepada tauladan Islam
Nabi Muhammad SAW, yang telah memimpin ummat Islam keluar dari zaman
kegelapan ke zaman yang penuh cahaya Islam. Dalam penyelesaian skripsi ini,
penulis banyak mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak,
sehingga dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak
terhingga kepada:
1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Djawahir Hejazziey, SH., MA., MH, Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Arip Purkon, MA, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3.
Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM, Dosen Pembimbing
yang telah bersedia membimbing penulis dalam penulisan skripsi ini dengan
penuh kesebaran, perhatian dan ketelitian memberikan masukan serta
v
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan kepada penulis hingga
skripsi ini selesai.
4.
Segenap staf perpustakan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, staf perpustakan utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staf
perpustakan Universitas Indonesia yang telah memberikan fasilitas untuk
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
5.
Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
khususnya dosen Program Studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu
pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu pengetahuan yang diajarkan
dapat bermanfaat dan menjadi keberkahan bagi penulis dan semoga Allah SWT
senantiasa membalas jasa-jasa beliau serta menjadikan semua kebaikan ini
sebagai amal jariyah untuk beliau semua.
6.
Kedua orang tua tercinta yaitu ayahanda Drs. H. Uce Supriadi, MH dan Ibunda
Hj. Jamilah, S.Pd.I, terimah kasih atas kasih sayang, motivasi, perhatian, ilmu
pengetahuan, arti kedisiplinan, serta segala hal yang selalu diberikan dengan
tulus tanpa pamrih, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada
jenjang perguruan tinggi negeri. Begitu pula untuk Kakak-kakak tercinta, Elzha
Nur Fadhilah S.KM, Elvid Nur Fitra Mubarok, S.HI, Rusdiana Nur Ridho, S.H
dan adikku Dede Nur Fitriansyah, terimah kasih atas segala kasih sayang,
perhatian, dukungan dan inspirasi yang telah kalian berikan.
7.
Sahabat-sahabat tercinta, especially Ida Rofidah yang selalu mendampingiku
baik suka maupun duka. Sahabat-sahabatku Kiki, Hisyam, Sandi, Zaimi, Novita,
vi
Ummu, Lidia serta juga kawan-kawan seperjungan “Skripwett” ( Ade, Gari,
Ridwan, Anto, Nando, Bustomi, Haryo) yang selalu menemani, memberikan
support dan inspirasi dalam bangku perkuliahan hingga dapat menyelesaikan
skripsi ini.
8.
Senior-senior yang saya hormati, bang Indra, bang Irfan, bang Arif, ka Endah, ka
Riri, ka Hilda, bang Rizky, Bang Wawan, Bang Eko, Bang Andi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan ilmu hukum selama menempuh perkuliahan.
9.
Keluarga besar Program Studi Hukum Bisnis dan Ketatanegaraan angkatan 2011
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberi inspirasi dalam
kebersamaan dan kekompakan.
10. Keluarga besar Himpunan Mahasiswa Program Studi Ilmu Hukum Periode
2013-2014 yang telah memberikan pengalaman berorganisasi dan yang telah
melatih jiwa kepemimpinan serta solidaritas tinggi.
11. Keluarga besar Angkatan Pemuda Peduli Hukum (AMPUH), Business Club
Community (BLC), dan Tim Redaksi Tabloid Justitia atas konsistensi dan
kekompakannya yang telah memberikan wadah untuk saling belajar, berbagi dan
menggali ilmu dalam mengkaji Hukum secara holistik.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca sekalian. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullohi wa barokatuh...
Jakarta, 02 April 2015
Azhar Nur Fajar Alam
vii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING.......................................................................
i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI..............................................................
ii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................
iii
ABSTRAK............................................................................................................
iv
KATA PENGANTAR.........................................................................................
v
DAFTAR ISI........................................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................................
1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah.......................................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..............................................................
6
D. Kerangka Teoretis dan Konseptual........................................................
7
E. Tinjauan Kajian Terdahulu....................................................................
10
F. Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan........................................
11
BAB II KEBIJAKAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA
A. Pengertian Hukum Investasi Asing.......................................................
17
B. Asas-Asas dalam Hukum Investasi Asing.............................................
21
C. Arah Kebijakan Hukum Investasi di Indonesia.....................................
23
D. Tujuan, Manfaat, Serta Dampak Negatif Investasi Asing.....................
26
viii
BAB III NASIONALISASI DAN KOMPENSASI TERHADAP MODAL
ASING
A. Nasionalisasi dalam Perspektif Hukum Nasional..................................
33
B. Nasionalisasi dalam Perspektif Hukum Internasional........................... 37
C. Pemberian Kompensasi Terhadap Milik Asing Sebagai Konsekuensi
Nasionalisasi..........................................................................................
BAB
IV
ANALISA
YURIDIS
KEMANDIRIAN
EKONOMI
43
DAN
PERTIMBANGAN HUKUM NASIONALISASI MODAL ASING
A. Nasionalisasi dalam Pandangan Aliran Pragmatif Kontemporer.........
B. Makna
Kemandirian
Ekonomi
dari
Perspektif
Hukum
49
Ekonomi
Pembangunan.........................................................................................
56
C. Kemanfaatan Nasionalisasi dan Dampak Negatifnya dalam Segi Hukum
Ekonomi Pembangunan.........................................................................
66
D. Pertimbangan dan Hambatan Hukum Aktualisasi Nasionalisasi........... 73
BAB V PENUTUP
A. Saran....................................................................................................... 76
B. Kesimpulan............................................................................................. 77
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................
ix
79
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penanaman modal pada dasarnya, diperlukan untuk mengolah potensi
ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil. Apabila modal yang berasal dari dalam
negeri belum mencukupi, maka suatu negara akan berusaha untuk menarik modal
asing sebagai pelengkap. Kendatipun diniatkan sebagai pelengkap, tetapi modal
asing ini seringkali mempunyai peran sangat penting, sehingga dapat mempercepat
pembangungan dalam perekonomian suatu negara. Dalam konteks ini, ekonomi
global dan negara-negara yang terbuka ekonominya digerakkan oleh modal global,
selain kekuatan internalnya sendiri. Semakin atraktif suatu negara terhadap modal
asing, maka semakin terbuka sistem ekonomi negara tersebut. Modal global berperan
dalam modernisasi ekonomi negara tersebut, serta memajukan sektor-sektor utama
dalam ekonomi, terutama industri, perdagangan, jasa, dan lain-lain.1
Terdapat dua aliran dalam memandang keberadaan penanaman modal asing.
Pertama adalah aliran liberal yang berpendapat bahwa penanaman modal asing
bermanfaat bagi kemakmuran ekonomi Negara penerima, dan kedua adalah aliran
penganut teori ketergantungan (dependencia/dependency theory) yang berpendapat
bahwa penanaman modal asing akan melahirkan dominasi dan ketergantungan pada
1
Didik J. Rachbini, Arsitektur Hukum Investasi Indonesia (Analisis Ekonomi Politik),
(Jakarta: PT Indeks, 2008). h. 62-63.
1
2
perusahaan asing sehingga merugikan masyarakat. Sebagai jalan tengah di antara
kedua aliran itu, Negara-negara penerima penanaman modal asing berusaha menarik
modal asing untuk dimanfaatkan guna mendorong kemajuan ekonomi negara yang
bersangkutan seraya meminimkan dampak negatifnya yang merugikan kepentingan
ekonomi nasional.2
Filosofi yang melatarbelakangi kebijakan dalam penanaman modal asing
adalah bahwa modal asing diperlukan guna melengkapi modal dalam negeri yang
tidak mencukupi untuk memutar roda perekonomian suatu negara. Akan tetapi
manakala modal asing tersebut kemudian menjadi pendorong utama perekonomian
negara, dan bahkan menyebabkan ketergantungan secara ekonomi, sering timbul
sikap permusuhan terhadap penanaman modal asing. Sikap tidak bersahabat ini dapat
diwujudkan dalam suatu keputusan politik hukum untuk menasionalisasi atau
mengambilalih modal asing.
Sejarah mencatat, kegagalan dalam upaya untuk mewujudkan ekonomi
nasional secepatnya pada masa orde lama, sebagian besar ditafsirkan oleh para
pemimpin Indonesia sebagai kegagalan mengatasi dominasi perusahaan-perusahaan
Belanda. Konferensi Meja Bundar yang ditandatangani para pemimpin Republik di
Den Haag pada tahun 1949 memuat jaminan bahwa hak-hak yang diberikan kepada
modal asing akan dihormati. Mengacu kepada konferensi tersebut,
perusahaan-
perusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor-sektor ekonomi yang utama,
2
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, (Jakarta: Penerbit Kuwais, 2012). h. 5.
3
sehingga perkembangan ekonomi pasca penyerahan kedaulatan tidak mengalami
perubahan dari periode kolonial Hindia-Belanda. Hal itu dikarenakan, perusahaanperusahaan Belanda tetap mengendalikan sektor perekonomian utama yang meliputi
kegiatan ekspor dan impor. Ketimpangan ekonomi ini menyebabkan rasa frustasi
bagi sebagian besar pemimpin Indonesia. Upaya untuk mewujudkan ekonomi
nasional akan selalu terhalang selama modal asing, dalam hal ini Belanda, masih
beroperasi di Indonesia.3
Berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1985 Tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Yang Berada Di Wilayah Republik Indonesia
(Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda), membuktikan keinginan
Indonesia untuk lepas dari kekuatan ekonomi kolonial, sehingga melaksanakan
nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di wilayah
Republik Indonesia adalah suatu keniscayaan. Akan tetapi, tindakan nasionalisasi ini
mengakibatkan Indonesia dituntut dalam litigasi internasional di Republik Federasi
Jerman dalam perkara yang dalam kepustakaan hukum internasional disebut kasus
Tembakau Bremen (Bremen Tobacco Case). Dalam perkara ini, Indonesia tetap
berargumen bahwa nasionalisasi merupakan tindakan sah Negara yang berdaulat
dalam rangka perubahan struktur ekonomi dari struktur ekonomi kolonial ke struktur
3
Budiman Ginting, “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing Di Indonesia: Suatu
Tantangan Terhadap Kepastian Hukum Atas Kegiatan Investasi Di Indonesia.”
JURNAL
EQUALITY, Vol. 12 No. 2 (Agustus 2007), h. 104.
4
ekonomi nasional.4 Hal-hal di atas dapat kiranya menjadi pelajaran bagi pemerintah
saat ini untuk berani mengambil tindakan nasionalisasi demi percepatan kemandirian
ekonomi nasional namun juga harus bijak dalam menghadapi setiap resiko hukum
dan ekonomi yang terjadi.
Nasionalisasi modal asing dalam perkembangannya, diatur tersendiri dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA),
tepatnya pada Pasal 21 dan Pasal 22 yang mana pengaturannya lebih generalis dan
tidak terpaku pada tindakan dekoloniasisasi semata terhadap perusahaan milik asing
Belanda seperti yang diatur sebelumya dalam Undang-Undang No 68 Tahun 1958.
Sedangkan di era kekinian, Indonesia telah memiliki Undang-Undang No. 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menentukan bahwa nasionalisasi
atau pengambilalihan hak kepemilikan penanaman modal tidak akan dilakukan
kecuali dengan undang-undang dan disertai dengan kompensasi yang jumlahnya
ditetapkan berdasarkan harga pasar. Apabila tidak tercapai kesepakatan tentang
kompensasi atau ganti rugi, maka akan dilakukan penyelesaian melalui arbitrase.
Sayangnya, tidak dicantumkan alasan hukum apa saja yang menjadi pijakan bagi
Indonesia untuk dapat menasionalisasi aset asing, serta bentuk pasalnya yang bersifat
konstitusional bersyarat dan merupakan bentuk larangan untuk bertindak, sehingga
hal-hal ini semakin memperjelas kecenderungan dan keberpihakan Indonesia
terhadap modal asing.
4
Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing, h. 10.
5
Dalam perkembangan politik hukum ekonomi di Indonesia timbul berbagai
pendapat mengenai kemandirian suatu bangsa dalam membangun perekonomian
yang efesien guna mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pandangan ekstrim pun
berkembang di mana wujud ekonomi nasional yang semakin hari cenderung liberal
dan berpihak kepada asing, harus direalisasikan dengan kemandirian dalam
mengelolah sumber daya alam dan permodalan. Dengan salah satu cara melahirkan
kebijakan hukum menasionalisasi seluruh atau sebagian (secara bertahap atau
sekaligus) aset asing untuk dikuasai dan dikelola semaksimalkan mungkin untuk
hajat hidup bangsa sendiri.
Sehubungan dengan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian lebih mendalami terkait dengan asas kemanfaatan dan keadilan dalam
menasionalisais modal asing yang selalu diusung oleh founding father dalam
perspektif hukum ekonomi pembangungan dan juga apa yang dicantumkan dalam
pasal 33 UUD terkait asas kemandirian dan penguasaan sumber daya alam yang vital
bagi kemakmuran rakyat.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat luasnya cakupan investasi atau penanaman modal, dan juga
melihat luasnya definisi modal asing dalam disiplin Hukum Perdagangan dan
Hukum Penanaman Modal, maka di sini penelitian akan difokuskan pada tindakan
nasionalisasi investasi asing yang berkaitan dengan investasi langsung (direct
6
Investment) dan tinjauan yuridis ambiguitas pemahaman realisasi asas
kemandirian dan kemanfaatan dari sudut hukum ekonomi pembangunan.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan pembatasan masalah, maka rumusan
masalah dalam penulisan ini sebagai berikut:
a. Bagaimana keterkaitan pemahaman antara perspektif hukum Indonesia dan
perspektif hukum internasional dalam pelaksanaan nasionalisasi modal asing?
b. Bagaimana konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas
kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan?
c. Apa saja dampak positif dan negatif serta pertimbangan hukum ekonomi dalam
aktualisasi tindakan nasionalisasi modal asing?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui pengaturan
konsep nasionalisasi modal asing dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 25 Tahun
2007 Tentang Penanaman Modal. Sedangkan secara khusus, penelitian ini
bertujuan untuk:
a. Untuk mengetahui keterkaitan pemahaman antara Perspektif Hukum Indonesia
dan Perspektif Hukum Internasional dalam pengertian nasionalisasi modal
asing.
7
b. Untuk mengetahui konsep pemahaman nasionalisasi modal asing terkait asas
kemandirian dalam Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal dari sudut hukum ekonomi pembangunan.
d. Untuk mengetahui dampak positif dan negatif serta pertimbangan hukum
ekonomi dalam aktualisasi tindakan nasionalisasi modal asing?
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoretis
Secara teoretis diharapkan dapat menambah pengetahuan dan wawasan
dibidang hukum penanaman modal asing khususnya berkaitan dengan konsep
tindakan nasionalisasi modal asing dan pemahaman asas kemandirian dari
perspektif hukum ekonomi pembangunan.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis diharapkan dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam
mengambil kebijakan-kebijakan yang mendukung berjalannya tindakan
nasionalisasi modal asing dalam hukum penanaman modal di Indonesia.
D. Kerangka Teoretis dan Konseptual
Penelitian penulisan ini berangkat dari konsep teoretis mengenai ukuran
Negara sejahtera (welfare state) yang selama ini sering kita dengar, apalagi dalam
konteks Negara yang sedang berkembang. Setiap Negara di dunia ini berusaha untuk
berlomba-lomba menkonsepkan bagaimana seyogyanya sebuah Negara yang
sejahtera secara idealnya. Kendatipun banyak Negara yang berbeda pemahaman
mengenai konsep ini. Ada Negara yang berangkat dari pemikiran bercorak liberalis
8
individualistik, ada juga yang berangkat dari pemikirian sosialis komunalistik, serta
ada juga yang berusaha berangkat dari pemikiran east far ideology, semua itu berhak
untuk mendapatkan peran di semesta ini dalam usaha menciptakan suatu Negara
yang sejahtera.
Indonesia sebagai Negara yang berdikari, seharusnya dapat menentukan
sendiri arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam menciptakan kesejahteraan yang
ideal. Founding Father kita telah menkonsepkan bagaimana sejatinya suatu Negara
dapat menciptakan kesejahteraan bagi rakyatnya yang benar-benar hanya untuk
menyelenggarakan kepentingan umum. Dalam hal ini alinea kedua pembukaan UUD
1945 dengan jelas telah menentukan arah tujuan Negara Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Sedangkan di antara kewajiban pemerintah,
sebagaimana termaktub dalam alinea keempat pembukaan UUD 1945, adalah
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam hal
perekonomian nasional, pasal 33 ayat (2) sebagai pedoman hukum ekonomi
pembangunan, menggariskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sementara itu,
menurut pasal 33 ayat (4) perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas
demokrasi
ekonomi
dengan
prinsip
kebersamaan,
efesiensi,
berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan kesatuan ekonomi nasional.
9
Memperhatikan hal-hal di atas, secara konseptual, tindakan nasionalisasi
merupakan
pengambilalihan
aset
dan
modal
asing
yang
dituntut
untuk
mengembalikan segala aset Negara yang merupakan hajat orang banyak yang selama
ini dikuasai oleh investor asing, namun disisi lain kita juga dituntut untuk mematuhi
prinsip hukum yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum dan keadilan, karena
dalam konstitusi kita dengan jelas tertera bahwa Indonesia adalah Negara Hukum.
Sangat sulit memang bagi Negara Indonesia yang saat ini masih memiliki
ketergantungan oleh barang-barang impor, dan segala bentuk investasi yang dikuasi
asing, untuk berani meminimalisir masuknya modal asing ke negara kita. Dalam
UUPM telah tertera asas kemandirian dimana dijelaskan bahwa asas penanaman
modal yang dilakukan tetap mengedepankan potensi bangsa dan Negara dengan tidak
menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
Asas kemandirian tersebut harus kita selaraskan dengan prinsip berdikari
dibidang ekonomi yang mempunyai makna tidak menggantungkan diri kepada
Negara asing dalam melipatgandakan produksi nasional demi mempertinggi tingkat
hidup Rakyat Indonesia. Dengan demikian seharusnya konsep ketergantungan
terhadap penanaman modal asing ini mesti kita kikis sedikit demi sedikit dengan
menasionalisasikan modal asing dengan tetap mengedepankan asas kepastian hukum
dan keadilan serta memberikan kompensasi yang layak dan pantas.
10
E. Tinjauan Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penilitian ini, penulis akan menyertakan
beberapa hasil penilitian terdahulu sebagai perbandingan tinjauan kajian materi yang
akan dibahas, sebagai berikut:
Buku dengan Judul “Hukum Nasionalisasi Modal Asing,” yang disusun oleh
Rustanto, S.H. LL.M. yang telah diterbitkan oleh Penerbit Kuwais Jakarta 2012.
Buku ini membahas mengenai konsep definisi tindakan nasionalisasi modal asing
dan konsep ranah teoritis kepastian hukum serta konsep keadilan yang berusaha
dirumuskan dalam nasionalisasi khususnya ketika dalam konteks tarik-menarik
kepentingan antara negara-negara maju pengekspor modal dengan negara-negara
berkembang penerima modal.
Skripsi yang disusun oleh Retno Astriningtyas Soejoedono, SH dari Fakultas
Hukum Indonesia, tahun 2002, dengan judul “Nasionalisasi Hak Milik Asing:
Analisa Terhadap Tanggung Jawab Negara Untuk Memberikan Ganti Rugi.”
Penelitian ini difokuskan terhadap pemahaman negara-negara berkembang dan maju
dalam kewajiban pemberian ganti rugi atau kompensasi terhadap nasionalisasi hak
milik asing, serta pemahamannya dalam dunia hukum internasioanal.
Sebagai pertimbangan sekaligus pembeda, penelitian yang akan diangkat
oleh penulis adalah cakupan pembahasan skripsi yang lebih fokus mengenai tinjauan
yuridis ambiguitas pemahaman realisasi asas kemandirian terkait pertimbangan dan
hambatan hukum maupun ekonomi bagi pelaksanaan nasionalisasi modal asing
11
dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 dan Undang-Undang terkait
yang relevan dalam tindakan nasionalisasi modal asing.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa
dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.
Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu; sistematis adalah
berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang
bertentangan dalam suatu kerangka tertentu.5 Sedangkan menurut Peter Mahmud
Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how dalam ilmu
hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar know-about. Sebagai kegiatan
know-how penilitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang
dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah
hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan
kemudian memberikan pemecehan atas masalah tersebut.6
Sedangkan penelitian hukum merupakan kegiatan ilmiah, yang didasarkan
pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya,
untuk
kemudian
mengusahakan
suatu
pemecahan
atas
5
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986), h. 42.
6
Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), h. 60.
12
permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.
Sedangkan sifat dari penelitian ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk
memberikan data yang seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar
dapat membantu dalam memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba
merumuskan teori baru.
2. Pendekatan Yang Dipakai
Sehubungan dengan penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian
normatif maka penulis menggunakan pendekatan undang-undang (statute
approach), pendekatan konsep (conceptual approach), pendekatan historis
(historical approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).
Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang
berkaitan dengan tindakan nasionalisasi dan investasi asing di Indonesia.
Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep nasionalisasi dan
investasi asing sehingga diharapkan penormaan dalam aturan hukum tidak lagi
memungkinkan ada pemahaman yang bermakna ganda. Pendekatan historis
dilakukan untuk mengetahui sejarah tindakan nasionalisasi dan investasi asing di
Indonesia dari berlakunya Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang
Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda dan Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing hingga kini diatur dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pendekatan
perbandingan dilakukan untuk membandingkan konsep nasionalisasi modal asing
13
di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia serta peraturanperaturan lainnya dan asas-asas internasional yang terkait.
3. Bahan dan Sumber Penelitian
a. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer meliputi perundanganundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan, dan putusan-putusan hakim.7 Dalam penelitian ini yang termasuk
dalam bahan hukum primer adalah UUD 1945, Undang-Undang Nomor 86
Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda,
Undang- Undang No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, UndangUndang No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Peraturan Presiden,
Instruksi Presiden, dan Peraturan Kepala BKPM yang berkaitan dengan
nasionalisasi modal asing dan investasi asing.
b. Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi bukubuku teks, kamus hukum, jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan
pengadilan.
c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder yang dipandang perlu8 seperti buku-buku investasi .
4. Metode Pengumpulan Data
7
Ibid, h. 181.
8
Ibid, h. 183.
14
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan
dengan nasionalisasi modal asing, peraturan perundang-undangan dan peraturan
internasional yang terkait dengan tindakan nasionalisasi modal asing. pendapat
sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari
internet.
5. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif
kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang
mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber
kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian
dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang
telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab
permasalahan yang ada.
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan
konkret yang dihadapi.9 Selanjutnya setelah bahan hukum diolah, dilakukan
analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan analisis secara kritis dan
mendalam mengenai tindakan nasionalisasi dalam hukum investasi di indonesia
9
Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet ke-II, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2006) h. 393.
15
serta melakukan studi komparatif terhadap penerapan keabijakan serupa di negara
yan lain.
G. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku “Petunjuk Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012” dengan
sistematika yang terbagi dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri atas beberapa
sub bab sesuai pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai
berikut:
BAB I Pendahuluan; Diuraikan tentang latar Belakang Masalah, dilanjutkan
dengan
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kerangka Teoritis dan Konseptual, Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II Tinjauan umum mengenai hukum penanaman modal asing di
Indonesia; Pada bab ini penulis akan menguraikan mengenai pengertian hukum
investasi asing di Indoneisa, asas-asas hukum investasi, arah kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam investasi asing serta tujuan serta manfaat adanya investasi asing di
Indonesia.
BAB III Tinjauan umum mengenai konsep nasionalisasi modal asing; Dalam
bab ini penulis akan membahas mengenai pengertian Nasionalisasi modal asing serta
pemahamannya dalam ranah hukum nasional dan internasional, serta pemberian
kompensasi (ganti rugi) sebagai konsekuensi nasionalisasi.
16
BAB IV Tinjauan yuridis asas kemandirian terkait pelaksanaan tindakan
nasionalisasi dalam perspektif hukum ekonomi pembangunan; Dalam bab ini penulis
akan membahas mengenai konsep dan pemahaman nasionalisasi dalam pandangan
aliran pragmatis kontemporer, kemanfaatan nasionalisai dalam segi hukum dan
ekonomi, makna dan pemahaman kemandirian ekonomi dari perspektif hukum
ekonomi pembangungan, serta mengemukakan pertimbangan-pertimbangan hukum
serta dampak positif dan negatif pelaksanaan nasionalisasi modal asing baik internal
maupun eksternal.
BAB V Penutup; Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini,
untuk itu penulis menarik beberapa kesimpulan dari hasil penelitian, disamping itu
penulis menengahkan beberapa saran yang dianggap perlu.
BAB II
KEBIJAKAN HUKUM INVESTASI ASING DI INDONESIA
A. Pengertian Hukum Investasi Asing
Investasi menurut Webster berasal dari kata to invest, yang artinya: to use
(money) to make more money out of something that expected to increase in value.1
Dalam kamus istilah keuangan dan investasi digunakan istilah investement yang
mempunyai arti penggunaan modal utuk menciptakan uang, baik melalui sarana yang
menghasilkan pendapatan maupun melalui ventura yang lebih berorientasi ke resiko
yang dirancang untuk mendapatkan modal. Sedangkan dalam kamus hukum ekonomi
digunakan terminologi investment, penanaman modal, adalah investasi yang berarti
penanaman modal yang biasanya dilakukan untuk jangka panjang misalnya berupa
pengadaan aktiva tetap perusahaan atau membeli sekuritas dengan maksud untuk
memperoleh keuntungan.2
Istilah investasi dan penanaman modal merupakan istilah-istilah yang dikenal
baik dalam kegiatan bisnis sehari-hari maupun dalam bahasa perundang-undangan.
Istilah investasi merupakan istilah yang lebih populer dalam dunia usaha, sedangkan
istilah penanaman modal lebih banyak digunakan dalam bahasa perundang-undangan.
Namum demikian, pada dasarnya kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang
sama sehingga kadang-kadang digunakan secara interchangable. Kedua istilah
1
Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2010), h. 356.
2
Hendrik Budi untung, Hukum Investasi ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 1-2.
17
18
tersebut merupakan terjemahan dari kata investment. Di kalangan masyarakat luas,
kata investasi memiliki pengertian yang lebih luas karena dapat mencakup baik
investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung (portofolio
investment),3 sedangkan kata penanaman modal lebih mempunyai konotasi kepada
investasi langsung.4
Dalam perkembangan hukum internasional, terdapat perbedaan batasan ruang
dalam memberikan definisi hukum investasi asing atau hukum penanaman modal
asing. Dalam Draft Text Perjanjian Multilateral mengenai penanaman modal
(Multilateral Investment Agreement) yang dibuat oleh Organization For Economic
Co-operation Development (OECD) memberikan definisi yang sangat luas tentang
penanaman modal asing, termasuk di dalamanya tidak hanya penanaman modal asing
langsung, tetapi juga portofolio investment. Draft text tersebut mengemukakan bahwa
penanaman modal asing adalah:
“Every kind of aset owned or controlled, directly or indirectly, by an investor,
including:
1 An enterprise (being a legal person or any other entity constituted or
organized under the applicable law of the contracting party, whether or not
for profit, and whether private or goverment owned or controlled, and
includes a corporation, trust, partnership, sole proprietorship, branch joint
venture, association or organization);
3
Portofolio Investment adalah investasi tidak langsung dengan kepemilikan portofolio/ bukti
lembaran surat berharga melalui pergerakan modal dengan maksud membeli saham dalam suatu
perusahaan yang berada di luar negeri. Jenis investasi ini dapat juga berupa pembelian jaminan, surat
utang, atau penghimpunan dana/ reksa dana. Karakteristik utama dalam penanaman modal seperti ini
adalah terdapatnya pemisahan antara manajemen perusahaan dengan pengawasaan perusahaan serta
kepemilikannya.
4
Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum & Kebijjakan Investasi Langsung Di
Indonesia (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), h. 1.
19
2 Share, stock or other forms of equaty participation in interprise, and right
derived thereform;
3 Bonds, debentures, loans and other form of debt and rights derived
thereform;
4 Right under contract, including turnkey, construction, management,
production or revenue-sharing contract;
5 Claims to money and claim to performance;
6 Right conferred pursuant to law or contract such as concessions, licenses,
authorizations, and permits;
7 Intellectual property rights,;
8 And other tangible and intangible, moveble and immovable property and
any related proverty rights, such as leases, morgages, liens and pledges”.5
International Monetary Fund (IMF) menggunakan definisi yang sempit
terhadap penanaman modal asing dengan tidak memasukkan portofolio investment ke
dalam definisi penanaman modal asing langsung. Yang dimaksud dengan penanaman
modal asing langsung/ Foreign Direct Investment (FDI) menurut IMF adalah
“Investment that is made to acquaire a lasting interest in an interprise operating in
an economy other than that of an investor, the investor’s purpose being to have an
affective choice in the management of the enterprise”.6
Sedangkan menurut Hukum Nasional, lebih tepatnya diatur dalam ketentuan
Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing
(undang-undang yang lama) disebutkan bahwa:
“Pengertian penanaman modal asing di dalam undang-undang ini hanyalah
meliputi penanaman modal asing secara langsung yang diadakan menurut atau
berdasarkan ketentuan undang-undang ini dan yang digunakan untuk
5
An An Chandrawulan, Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum Perdagangan
Internasional dan Hukum Penanaman Modal (Bandung: PT Alumni, 2011), h. 39.
6
Ibid., h. 40.
20
menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara
langsung menanggung resiko dari penanaman modal tersebut”.
Perumusan sebagaimana tersebut di atas tentang apa yang dimaksudkan
dengan penanaman modal asing pada prinsipnya mengandung beberapa unsur pokok
yakni:
1. Penanaman modal secara langsung (direct investment)
2. Penggunaan modal untuk menjalankan perusahaan di Indonesia
3. Resiko yang langsung ditanggung oleh pemilik modal.
Penjelasan UU No 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing juga
menjelaskan bahwa kredit berbeda dengan penanaman modal asing, yaitu dalam hal
kredit, resiko penggunaan kredit ditanggung oleh peminjam/penerima modal,
sedangkan pada penanaman modal asing resiko penggunaannya ada pada penanam
modal. Berkaitan dengan tanggungan atas resiko ini
pembuat undang-undang
memberikan hak kepada investor asing untuk menentukan direksi perusahaan di
mana modalnya ditanam sebagaimana tersebut dalam pasal 9.7
Melalui Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
sebagai pengganti UU Penanaman Modal Asing yang lama, melalui ketentuan umum
angka (3) telah dirumuskan apa yang dimaksud dengan penanaman modal asing,
yaitu “kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
7
Hilman Panjaitan dan Anner Mangatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing (Jakarta:
CV Indhill Co, 2008), h. 45.
21
Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal
asing8 sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri”.
B. Asas-Asas Dalam Hukum Investasi Asing
Di antara hal-hal yang menarik dengan kehadiran UU Penanaman Modal yang
baru adalah dicantumkannya sejumlah asas yang menjiwai norma yang ada dalam
undang-undang penanaman modal. Tampaknya, pembentuk undang-undang berupaya
untuk menangkap nilai-nilai yang hidup dalam tatanan pergaulan masyarakat baik di
tingkat nasional maupun di dunia internasional. Artinya, dengan keikutsertaan
Indonesia dalam berbagai forum internasional, maka berbagai nilai yang dianggap
telah menjadi norma universal diakomodasikan ke dalam hukum nasional.
Pemerintah selaku stake holders yang mengawasi iklim investasi dalam hal ini
diwakili oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sudah sepatutnya
menerapkan
asas-asas yang sebagian besar diadopsi dari Prinsip utama Good
Corporate Governance, demi terwujudnya kesejateraan rakyat nasional dan
internasional. Tepatnya dalam pasal 3 ayat (1) beserta penjelasannya menyebutkan
sejumlah asas dalam penanaman modal yang dimaksud, yaitu:9
8
Modal asing adalah modal yang dimiliki oleh Negara Asing, perseorangan warga Negara
asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau
seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing. Selanjutnya Sunarhayati Hartono mengemukakan bahwa
yang menjadi ukuran apakah sesuatu itu termasuk modal asing atau bukan adalah: Dalam hal valuta
asing, apakah valuta asing itu merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia atau tidak, dan dalam
hal alat-alat atau keahlian, apakah alat, barang atau keahlian tertentu itu merupakan milik orang asing
atau tidak.
9
Lihat penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal serta, dan bandingkan dengan asas-asas Good Corporate Govarnance.
22
1. Asas kepastian hukum. Adapun maksud asas ini adalah asas dalam negara hukum
yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai
dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal.
2. Asas keterbukaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang terbuka terhadap hak
masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif
tentang kegiatan penanaman modal.
3. Asas akuntabilitas. Adapun maksud asas ini adalah asas yang menentukan bahwa
setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penanaman moodal harus
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang
kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
4. Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara. Adapun maksud
asas ini adalah asas perlakuan pelayanan nondiskriminasi berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan
penanam modal asing dan penanam modal dari negara asing lainnya.
5. Asas kebersamaan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang mendorong peran
seluruh penanam modal secara bersama-sama dalam kegiatan usahanya untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat.
6. Asas efesiensi berkeadilan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang mendasari
pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efesiensi berkeadilan
dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya
saing.
23
7. Asas berkelanjutan. Adapun maksud asas ini adalah asas yang secara terencana
mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk
menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk
masa kini maupun yang akan datang.
8. Asas berwawasan lingkungan. Adapun yang dimaksud dengan asas ini adalah asas
penanaman
modal
yang
dilakukan
dengan
tetap
memperhatikan
dan
mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
9. Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap
mengedapankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada
masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.
10. Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Adapun maksud
asas ini adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi
wilayah dalam kesatuan ekonomi nasional.
C. Arah Kebijakan Hukum Investasi Asing di Indonesia
Program Pembangunan Nasional (propenas) yang menjadi arah kebijaksanaan
investasi asing di Indonesia menetetapkan, bahwa investasi asing dimungkinkan
pelaksanaannya di Indonesia dengan memenuhi berbagai persyaratan tertentu. Bagi
negara-negara berkembang untuk bisa mendatangkan investor setidak-tidaknya
dibutuhkan tiga syarat, yaitu pertama, ada economic opportunity (investasi mampu
memberikan keuntungan secara ekonomis bagi investor; kedua, political stability
24
(investasi akan sangat dipengaruhi stabilitas politik); ketiga, legal certainty atau
kepastian hukum.10
Memperhatikan syarat-syarat di atas, investasi asing juga diarahkan untuk
memperkuat tumbuhnya ekonomi nasional dalam rangka mendukung tercapainya
tujuan pembangunan nasional. Hal ini sejalan dengan uraian Sunarhayati Hartono
bahwa suatu pembahasan mengenai penanaman modal asing tidak dapat dilihat
terlepas dari peranannya dalam pembangungan ekonomi dan rencana pembangunan
(economy planning).11
Selain itu, dalam program pembangunan nasioanal secara tegas disebutkan
bahwa kebijakan dan penyelenggaraan proses investasi asing ditetapkan dan
dilaksanakan oleh pemerintah yang diwujudkan melalui instrumen kebijakan berupa
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan juga Peraturan
Pelaksana yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Seperti lahirnya UU No 1 Tahun 1967 jo. UU No 11 Tahun 1970 Tentang Penanaman
Modal Asing dan UU No 6 Tahun 1968 jo. UU No 12 Tahun 1970 Tentang
Penanaman Modal Dalam Negeri, di mana Undang-Undang ini telah diperbaharui
dengan lahirnya UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Kebijakan pemerintah terhadap penanaman modal dari waktu ke waktu terus
mengalami pasang surut, kadang kala diperlukan kebijaksanaan yang sangat ketat,
10
11
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, h. 48.
Aminuddin Ilmar, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 44
25
guna menjaga keutuhan sumber daya alam dan kasatuan ekonomi yang demokratis.
Seperti mensyaratkan setiap kegiatan investasi asing yang dilakukan di Indonesia
diharuskan dan diwajibkan untuk melakukan kerja sama dalam bentuk usaha
patungan (joint venture)12 dengan modal nasional. Dan juga pemerintah telah
mengeluarkan Peraturan Presiden No 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha
Tertutup dan Terubuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Dalam
Perpres ini pemerintah membagi 3 (tiga) kelompok bidang usaha yaitu bidang usaha
tertutup, bidang usaha terbuka dengan persyaratan yaitu bidang usaha yang
dicadangkan untuk Usaha Kecil Menengah dan Koperasi (UMKM), dan bidang usaha
yang dipersyaratkan dengan kepemilikan modal, lokasi tertentu dan perizinan khusus,
serta bidang usaha yang terbuka.
Arah kebijakan pemerintah terhadap penyelenggaraan penanaman modal
asing haruslah jelas dan konsisten sehingga dalam pelaksanaannya tidak bias dan
tidak mudah berubah sesuai selera pengambil kebijakan. Dengan kata lain kebijakan
yang terarah diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan keuntungan
ekonomi bagi bangsa dan tanah air Indonesia. Sudah sepatutnya setiap arah kebijakan
yang hendak ditetapkan harus berpedoman pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945
khususnya Pasal 33 di mana semua kebijakan akan bermuara pada kesejahteraan dan
kemakmuran milik bangsa Indonesia.
12
Joint venture berarti mencoba berusaha bersama-sama (usaha patungan/ Musyaarokah).
Bentuk kerjasama ini dirumuskan sebagai suatu persetujuan antara dua peserta atau lebih yang
mempersatukan sumber-sumber modal atau jasa-jasanya atau kedua-duanya dalam satu perusahaan
tertentu dengan tanpa membentuk suatu persekutuan yang tersusun.
26
D. Tujuan, Manfaat, Serta Dampak Negatif Investasi Asing
Tujuan utama penyelenggaraan penanaman modal adalah meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional demi kesejahteraan sosial. Tujuan ini merupakan
Keniscayaaan yang tak dapat dihindari karena dampak lansung dari kegiatan
penanaman modal adalah injeksi positif bagi kegiatan ekonomi. Bahkan faktor
penanaman modal menjadi unsur yang paling penting di dalam sistem perekonomian
nasional maupun sistem ekonomi pada umumnya. Hal itu sesuai dengan makna
pembangunan ekonomi menurut GBHN 1999-2004, yaitu:13
“Pembangungan ekonomi mempunyai arti pengolahan kekuatan ekonomi
potensial menjadi kekuatan ekonomi riil melalui penanaman modal,
penggunaan teknologi serta melalui penambahan kemampuan berorganisasi
dan manajemen. Maka selama Indonesia belum memiliki sendiri faktor-faktor
tersebut, dapat dimanfaatkan potensi-potensi modal asing, teknologi, dan
keahlian dari luar negeri sepanjang tidak mengakibatkan ketergantungan yang
terus-menerus serta tidak merugikan kepentingan nasional”.
Dengan demikian tujuan penting terselenggaranya penanaman modal asing
adalah demi terwujudnya pembangunan ekonomi nasioanal di negara-negara
berkembang, termasuk Indonesia. sehingga dapat meningkatkan kesempatan kerja,
meraih teknologi, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi demi kesejahteraan sosial.
Hal ini juga selaras dengan yang disebutkan dalam pasal 3 ayat (2) UU No 25
Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bahwa:
“(2) Tujuan Penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:
13
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal di Indonesia, (Malang: Bayumedia
Publishing, 2004), h. 8
27
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
Menciptakan lapangan kerja;
Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
Meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan
menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari
luar negeri; dan
h. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
Terlepas dari pro kontra terhadap kehadiran investasi asing, namun secara
teoritis kiranya dapat dikemukakan, bahwa kehadiran investor asing di suatu negara
mempunya manfaat yang cukup luas (multiplier effect). Manfaat yang dimaksud,
yakni kehadiran investor asing dapat menyerap tenaga kerja di negara penerima
modal, dapat menciptakan demand bagi produk dalam negeri sebagai bahan baku,
menambah devisa apalagi investor asing yang berorientasi ekspor, dapat menambah
pengahasilan negara dari sektor pajak, adanya alih tekonologi (transfer of technology)
maupun alih pengetahuan (transfer of know how).14
Penanaman modal asing untuk saat ini, masih menjadi salah satu alternatif
penting dalam memperoleh dana, guna melaksanakan pembangunan ekonomi.
Melalui penanaman modal asing, diharapkan investor yang tertarik menanamkan
modal tidak saja membawa modal namun juga ilmu pengetahuan dan teknologi,
keahlian dan keterampilan dalam berbagai bidang termasuk manajemen berorganisasi
dan manajemen pemasaran. Dengan demikian diharapkan tidak saja memajukan
industri ke arah modernisasi industri namun juga meningkatkan devisa,
14
Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, h. 41.
28
meningakatkan pendapatan negara-pemerintah daerah, meningkatkan pertumbuhan
ekonomi dan kegiatan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, terjadinya alih
pengetahuan, alih teknologi, dan sebagainya.
John. W Head juga mengemukakan tujuh keuntungan investasi, khususnya
investasi asing. Ketujuh keuntungan investasi asing itu adalah:15
1. Menciptakan lowongan kerja bagi penduduk negara tuan rumah sehingga mereka
dapat meningkaatkan kualitas penghasilan dan standar hidup mereka;
2. Menciptakan kesempatan penanaman modal bagi penduduk negara tuan rumah
sehingga mereka dapat berbagi dari pendapatan perusahaan-perusahaan baru;
3. Meningkatkan ekspor dari negara tuan rumah, mendatangkan pengahasilan
tambahan dari luar yang dapt dipergunakan untuk berbagai keperluan bagi
kepentingan penduduknya;
4. Menghasilkan pengalihan peralihan pelatihan teknis dan pengetahuan yang dapat
digunakan oleh penduduk untuk mengembangkan perusahaan dan industri lain;
5. Memperluas potensi keswasenbadaan negara taun rumah dengan memproduksi
barang setempat untuk menggantikan barang impor;
6. Menghasilkan pendapatan pajak tambahan yang dapat digunakan untuk berbagai
keperluan, demi kepentingan penduduk negara tuan rumah;
15
Rahayu Hartini, “Analisis yuridis UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal”,
UMM: HUMANITY, Volume IV, No. 1 ( September 2009: 48 – 60): h. 53
29
7. Membuat sumber daya negara tuan rumah baik sumber daya alam maupun
manusia, agar lebih baik dari pemanfaatannya semula.
Kekhawatiran pun mulai diperhitungkan dari banyak sarjana tentang efek
negatif yang dapat ditimbulkan akibat aktivitas penanaman modal asing dalam
membiayai investasi di Indonesia. Antara lain tentang ketergantungan terhadap luar
negeri, nasib penduduk khususnya penduduk yang termasuk angkatan kerja, tentang
tanah dimana penanaman modal itu akan dilaksanakan dan ketentuan devisa yang
berlaku karena pengusaha asing akan memanfaatkan bagian-bagian keuntungan di
negara asalnya.16
Pandangan lain juga mengemukakan, bahwa kehadiran investasi asing di
samping membawa dampat positif, senantiasa dapat membawa dampak negatif
berupa motivasi komersial semata untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya. Hal
ini terungkap dari pemikiran yang dilontarkan oleh Ushaa Dar dan Pratap K Dar:17
“it should, however, be clearly understood from the beginning that the foreign
investor is not motivated by consideration of extendinng aid for development.
The prime motivation is commercial, and expects return from his investment”.
16
G. Kartasapoetra, Kovensi-konvensi Internasional Tentang Paten Dalam Kaitannya
Dengan Alih Tekonologi dan Kepentingan Nasional, (Bandung: Pionir Jaya, 1991), h. 87
17
Hendrik budi Untung, Hukum Investasi, h. 43
30
Berbagai pihak juga berpandangan bahwa kehadiran investor asing tidak bisa
dilepaskan dari dunia bisnis, yakni selalu menempuh cara apapun untuk mencari
keuntungan yang besar . Sebagaimana yang dikemukakan oleh Panjdi Anoraga: 18
“Banyak bukti menunjukan, bahwa betapapun juga, eksplorasi sumber daya
alam adalah jenis industri yang bersifat ekstratif dengan ciri utama pada padat
modal dan berteknologi tinggi. Dengan demikian, penanaman modal asing di
sektor ini juga sangat sulit diharapkan dampak positifnya dalam penyerapan
tenaga kerja yang justru menjadi salah satu tujuan pokok pihak Indonesia
mengundang mereka datang ke negara ini”.
Persoalan lainnya dalam kontra manfaat investasi tersebut adalah dampak
negatif dari investor asing yang notabene hadir dari deretan Perusahaan Multinasional
dan Internasional yang menguasai moda global, yang memberikan efek waspada bagi
kedaulatan negara kita, khususnya dalam penyelenggaraan penanaman modal asing
adalah:19
1. Perusahaan multinasional berdampak negatif bagi perekonomian negara penerima;
2. Perusahaan multinasional melahirkan sengketa dengan negara penerima atau
dengan penduduk asli miskin setempat, khususnya negara yang sedang
berkembang;
3. Perusahaan multinasional dapat mengontrol atau mendominasi perusahaanperusahaan lokal. Sebagai akibatnya, mereka dapat mempengaruhi kebijakankebijakan ekonomi atau bahkan kebijakan politis dari negar penerima;
18
Ibid, h. 44
19
Ibid, h. 53
31
4. Adanya realita perusahaan multinasional yang kegiatan usahanya ternyata telah
merusak lingkungan di sekitar lokasi usahanya, terutama negara-negara yang
sedang berkembang. Pasalnya perusahaan multinasional telah menggunakan zatzat kimia dan menerapkan teknologi yang membahayakan lingkungan lingkungan.
5. Perusahaan multinasional dikritik telah merusak aspek-aspek positif dari
penanaman modal di negara-negara berkembang.
Mengantisipasi dampak-dampak di atas, diperlukan kebijakan pemerintah
yang terencana dengan perangkat hukum yang sempurna sehingga kesimpangsiuran
yang terjadi akibat lemahnya koordinasi antar instasi dalam mengawasi
penyelenggaraan investasi asing ini tidaklah memperburuk dampak negatif yang
dikhawatirkan terjadi. Dan juga peran dan konsistensi pemerintah dalam mencapai
tujuan dan manfaat investasi asing haruslah benar-benar direalisasikan, agar dampak
positif langsung maupun jangka panjang benar adanya dirasakan oleh segenap bangsa
Indonesia.
Sebagaimana terdapat dalam kebijakan pembangunan pemerintah dalam
Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999 di bidang investasi yang menyatakan
bahwa pembangunan investasi diarahkan untuk meningkatkan peran serta
masyarakat, memperkuat sumber dana pembiayaan nasional, memperluas pemerataan
kesempatan berusaha dan peningkatan peran usaha nasional, terutama usaha kecil,
usaha menengah, dan koperasi serta memperluas basis dan peningkatan peran usaha
32
nasional, terutama usaha kecil menengah, dan koperasi serta memperluas basis dan
peningkatan daya saing perekonomian nasioanal menuju kemandirian ekonomi.20
20
Rosyidah Rakhmawati, Hukum Penanaman Modal Di Indonesia, h. 10.
33
BAB III
NASIONALISASI DAN KOMPENSASI TERHADAP MODAL ASING
A. Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Nasional
Nasionalisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai suatu
proses, cara, atau perbuatan menjadikan sesuatu, terutama milik asing menjadi milik
bangsa atau negara, biasanya diikuti dengan penggantian yang merupakan
kompensasi.1 Sedangkan dalam kajian Politik Hukum Ekonomi Nasional, istilah
nasionalisasi
paling
tidak
mencakup
tiga
pengertian
yaitu
“konfiskasi”;
“Onteigening/expropriation” dan “pencabutan hak”. Berbicara nasionalisasi berarti
terkait suatu peraturan di mana pihak penguasa memaksakan semua atau segolongan
tertentu untuk menerima bahwa hak-hak mereka atas semua atau beberapa macam
benda tertentu beralih kepada negara. Dengan demikian nasionalisasi adalah suatu
cara peralihan hak dari pihak pertekelir kepada negara secara paksa (Pencabutan
Hak) dan disertai kompensasi. Dalam artian setiap onteigening dan pencabutan hak
yang dilakukan tidak disertai dengan ganti rugi maka hal itu dapat disebut
konfiskasi.2
1
Bambang Marjihanto, kamus Besar Bahasa Indonesia Populer, (Surabaya: Bintang Timur
Offset, 1996) h. 256. Lihat juga Kamus Besar Bahasa Indoensia online Di akses pada 05/01/2015 dari
http//kbbi.web.id/nasionalisasi
2
Antonio Suhadi, dkk. “Studi Hukum Atas Nasionalisasi Perusahaan Asing; Dasar Hukum
Tindakan Nasionalisasi Untuk Mencapai Kepastian Hukum Penanaman Modal”, Jurnal Ilmu Hukum
dan Kenotariatan (Palembang: FH Universitas Sriwijaya, 2010), h. 155
33
34
Sedangkan
dalam
peraturan
perundang-undangan
Indonesia,
Istilah
Nasionalisasi telah dikenal sejak dikeluarkannya Undang-undang No. 86 Tahun 1958
Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda. Pasal 1 UU No. 86
Tahun 58 menyebutkan bahwa Perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di
wilayah Republik Indonesia yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas Negara
Republik Indonesia. selanjutnya dalam penjelasan umum undang-undang ini
menjelaskan bahwa yang dinasionalisasikan adalah pada dasarnya segala perusahaan
milik Belanda yang berada di dalam wilayah Republik Indonesia, baik ia merupakan
pusatnya maupun cabangnya.
Undang-undang di atas juga tidak dicantumkan secara jelas perihal batasan
definisi dari makna tindakan nasionalisasi. Sehingga tidak hadirnya kepastian hukum
dan tujuan keadilan dalam tindakan nasionalisasi ini. Hanya saja penyusun undangundang ini mengisyaratkan melalui beberapa pasalnya dan penjelasan umumnya
bahwa nasionalisasi adalah tindakan pengembilahan hak secara penuh terhadap
seluruh aset asing berupa perusahaan dan modal asing peninggalan kolonial yakni
Belanda.3
Ambiguitas dalam pendefinisian nasionalisasi di setiap negara berkembang
pasti selalu timbul, begitu pun Indonesia. Dalam penyusunan UU Nasionalisasi ini,
3
Lihat penjelasan umum Undang-undang No. 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda
35
banyak kalangan pejabat dan ahli hukum masa itu berdebat mengenai batasan
definisi dan hak pemberian ganti rugi. Dalam risalah sementara Kabinet Kerja
Republik Indonesia yang telah menyusun UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958 ini
terjadi perbedaan pemahaman mengenai konsep nasionalisasi milik asing. Menteri
Stabilisasi Ekonomi pada saat itu, Kolonel Suprajogi, Tertanggal 7 November 1958
kepada DPR mengatakan pendapatnya:
“Pemerintah memilih tindakan nasionalisasi karena tindakan ini diakui oleh
hukum internasional. syarat sah terpenting adalah ganti kerugian dan ini akan
dilakukan oleh pemerintah. Maka jelaslah bahwa tuduhan seolah-olah
pemerintah telah mensita bahkan dikatakan mencuri adalah tidak benar.”
Tidak hanya Kolonel Suprajogi, Mr. Sujarwo dan Ruslan Abdul Ghani juga
berpendapat demikian bahwa nasionalisasi yang menjadi hak negara berkembang
harus disertai ganti kerugian. Berbeda halnya dengan beberapa anggota DPR seperti
H.A Chamid Widjaja, dan Nungtjik A.R yang berpendapat bahwa :
”Di dalam masyarakat ramai telah berkembang saran-saran dan pernyataan
dari masyarakat luas yang diajukan, agara supaya perusahaan-perusahaan itu
disita saja, dala artian diambil-alih tanpa diberikan ganti kerugian. Sehingga
nasionalisasi yang diinginkan masyarakat luas adalah nasionalisasi tanpa
memberikan ganti kerugian”.4
Dengan demikian, perbedaan pendefenisian dan aktualisasi nasionalisasi
hanyalah berputar dalam hal pengambilalihan dengan pemberian ganti rugi dan
penyitaan tanpa ganti rugi (konfiskasi).
4
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia,
(Jakarta: Penerbitan Universitas, 1960), h. 6-7
36
Selanjutnya pengaturan nasionalisasi terdapat pada Undang-undang No. 1
Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing Pasal 21 dan pasal 22. Pasal 21
berbunyi bahwa Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi/
pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing
atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai dan/atau mengurus
perusahaan yang bersangkutan, kecuali jika dengan Undang-undang dinyatakan
kepentingan Negara menghendaki tindakan demikian. Selanjutnya Pasal 22 (1)
jikalau diadakan tindakan seperti tersebut pada pasal 21 maka Pemerintah wajib
memberikan kompensasi/ ganti rugi yang jumlah, macam dan cara pembayarannya
disetujui oleh kedua belah pihak sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang
berlaku.
Dalam perkembangannya UU No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal
Asing ini dirubah dan digantikan dengan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman modal. Perihal nasionalisasi dalam UU ini diatur dalam pasal 7 bahwa:
“(1) Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undangundang. (2) Dalarn hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau
pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (I),
Pemerintah akan rnemberikan kompensasi yang jurnlahnya ditetapkan
bcrdasarkan harga pasar.5 (3) Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai
kescpakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase”.
5
Lihat penjelasan pasal 7 ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Di
mana harga pasar yang dimaksud dijelaskan sebagai harga yang ditentukan menurut cara yang
digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk olch para pihak.
37
Sekilas tidak ada yang terlalu berbeda antara pengaturan mengenai tindakan
nasionalisasi dalam kedua UU tersebut. Hanya saja pada pasal 7 UU No. 25 Tahun
2007 lebih terdapat penekanan bahwa nasionalisasi tidak akan dilakukan kecuali
dengan undang-undang. Hal ini menunjukan kedudukan pasal ini sebagai
konstitusional bersyarat dimana segala yang terkait dengan panafsiran dan
pelaksanaanya akan diatur dalam undang-undang tersendiri. Dalam naskah akademik
undang-undang ini disebutkan bahwa tindakan nasionalisasi tidak akan dilakukan
kecuali dengan undang-undang adalah semata-mata untuk mewujudkan kepastian
hukum bagi investor asing, sehingga kegiatan investasi yang dilaksanakan tidak
dibayangi rasa takut akan diambilalih atau dinasionalisasi. Begitu pula dengan
pengaturan ganti rugi atau kompensasi yang akan diberikan oleh pemerintah sebagai
konsekuensi dari tindakan nasionalisasi akan ditetapkan sesuai dengan harga pasar
yang diakui oleh hukum internasional. Hal ini adalah wujud dari penerapan asas
keadilan dalam menjamin keamanan aset investor asing selama meninvestasikan
modalnya di Indonesia.
B. Nasionalisasi Dalam Perspektif Hukum Internasional
Setiap negara-negara berkembang berkeinginan untuk melepaskan diri dari
kekangan perusahaan multinasional raksasa yang menguasai perekonomian dan
perpolitikan, hal ini adalah sejalan dengan proses perkembangan pembebasan
daripada apa yang terkenal dengan istilah “underdeveloped countries”. Friedman
0mengemukakan bahwa diwaktu sekarang ini soal nasionalisasi adalah “a most
38
pressing problem”, yang menyebabkan hingga masalah ini merupakan “question of
very real moment” bahwa nasionalisasi adalah bagian “the growth of chauvinis
following the rise of extreme nationalist movements, and the spread of communism in
many countries formely under tutelage of the great powers”.6
Dalam perkembangan Hukum ekonomi internasional istilah nasionalisasi,
ekspropriasi dan konfiskasi sering dipertukarkan dan dianggap mempunyai makna
serupa sebagai tindakan pengambilalihan “taking”, sebenarnya terdapat perbedaan di
antara ketiganya. Nasionalisasi adalah pengambilalihan secara menyeluruh terhadap
perusahaan-perusahaan asing dengan tujuan untuk mengakhiri penanaman modal
asing di dalam ekonomi atau sektor-sektor ekonomi dalam negeri, sedangkan
ekspropriasi mengacu pada pengambilalihan perusahaan tertentu demi kepentingan
umum atau kepentingan ekonomi tertentu. Sementara itu konfiskasi adalah
pengambilalihan hak milik yang dilakukan penguasa demi kepentingan pribadi.
Konfiskasi biasa terjadi dinegara-negara yang dipimpin oleh diktator terhadap para
pedagang-pedagang asing yang merambah antar mancanegara. Perlakuan konfiskasi
ini selalu tidak diiringi dengan ganti rugi atau kompensasi diakibatkan
pengambilalihannya secara paksa. Dengan demikian jelas Sornarajah berpendapat
bahwa ketiga hal ini harus lah dibedakan dalam pendefenisian, pengaturan dan
penerapannya.7
6
7
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi di Indonesia, h. 1
M. Sornarajah, The International Law Of Foreign Invesment, Third edition, (New York:
Cambridge University Press, 2010), h. 364-367
39
Adriaanse sebagaimana telah dikutip oleh Sunarhayati memberikan
perbedaan antara kofiskasi, eksproriasi dan nasionalisasi. Bahwa Confiscation
merupakan “any gevernmental action by which private property is seized without
compensation, no matter in what form or under what name.” Sedangkan
expropriation adalah dipakai dalam arti expropriation for public utility against just
compensation. Sedangkan dalam mengartikan nationalization, andriaanse sepaham
dengan Gillian White bahwa “Nationalization is the term used to describe the
process whereby property, and rights and interest in property are transfered from
private public ownership by agents of the state acting on the authority of a legislative
of executive measure. After transfer, the property remains in the ownership of, and is
exploited by the state.”8
Dalam Hukum Internasional, tindakan nasionalisasi dirasakan sebagai
ancaman bagi setiap penanam modal asing yang sedang mengembangkan bisnisnya.
Akan tetapi wujud nasionalisasi merupakan bukti kedaulatan suatu negara dalam
pembangunan ekonomi dimana hal itu diakui dan dihormati oleh dunia internasional
sebagai wujud kemandirian dan kedaulatan bangsa. Akan tetapi dalam hal ini perlu
diketahui pula, bahwa ada pandangan tradisional yang berpendapat bahwa seorang
pemilik dengan cara dan alasan bagaimanapun juga tidak boleh dicabut hak miliknya
(karena hal ini merupakan suatu hak asasi), sehingga berdasarkan doktrin vested
8
Sunayati Hartono, Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal Asing di
Indonesia, (Bandung: Penerbit Binacipta, 1972), h. 174
40
right hak milik seseorang, baik warga negara maupun orang asing tidak dapat
dinasionalisasi.9
Begitu sakral hak milik seseorang sebagai hak asasi yang tidak dapat diambil
oleh siapapun telah mengalami perubahan sejak ditinggalkannya politik laisez faire10
dan digantikan dengan konsep negara kesejahteraan (walfare state). Maka peranan
pemerintah dalam menentukan dan menyelenggarakan kepentingan masayarakat
sosial menjadi lebih besar. Akibatnya hak milik yang merupakan hak mutlak asasi
baik warga negara maupun asing lambat laun dapat digugat jika hal itu melanggar
ketertiban umum dan memiliki peran untuk melengkapi kepentingan sosial.
Namun di era kekinian dari ketiga istilah pengambilalihan modal asing,
hukum internasional hanya mengenal tindakan nasionalisasi dan ekspropriasi sebagai
perbuatan yang legal jika dipenuhi beberapa persyaratan sesuai customary
international law. Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) secara tegas mengakui sebuah
kedaulatan ekonomi bangsa untuk melakukan tindakan nasionalisasi atau
ekspropriasi sebagai hak negara tuan rumah penerima modal (host country).
Pengakuan ini merupakan penghormatan terhadap kedaulatan negara yang
bersangkutan. (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent
Sovereignty over Natural Reource) menyatakan bahwa:
9
Hilman Panjaitan dan Anner Mangatur Sianipar, Hukum Penanaman Modal Asing, h. 207
10
laisez faire adalah adalah sebuah frasa bahasa Perancis yang berarti "biarkan terjadi"
(secara harfiah "biarkan berbuat"). istilah ini dimengerti sebagai sebuah doktrin ekonomi yang tidak
menginginkan adanya campur tangan pemerintah dalam perekonomian. Laissez-faire berarti bahwa
mahzab pemikiran ekonomi neoklasik memegang pandangan pasar yang murni atau liberal secara
ekonomi: bahwa pasar bebas sebaiknya dibiarkan pada seperti apa adanya.
41
“Nationalization, expropriation or requistioning shall be based on grounds or
reasons of public utility, security or the national interest which are recognized
as overriding purely individual or private interest, both domestic and foreign.
In such cases the owner shall be paid appropriate compensation, in
accordance with the rules in force in the state taking such measures in the
exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any
case where the question of compensation gives rise to a controversy, the
national jurisdiction of the state taking such measures shall be exhausted.
However, upon agreement by sovereignty states and other parties concerned,
settlement of the dispute should be made through arbitration or international
adjudication”.11
Demikian pula halnya dalam UNCTAD Series on issues in international
investment agreements, dijelaskan bahwa pengambilalihan milik asing (taking of
foreign property) telah diakui dalam dunia hukum internasional, dan dapat
bersumber dari tindakan pengambilalihan oleh pemerintah terhadap aset asing di
negara host country, dan pemilik perusahaan terhadap aset-asetnya di negara-negara
penerima investasi dengan alasan penurunan nilai aset, signifikasi aset dan lain
sebagainya. Pengambilalihan milik asing dapat berbentuk secara langsung (direct
taking such nationalization) maupun tidak langsung (indirect taking such creeping
expropriation).12 Hal ini lebih lanjut dijelaskan bahwa:
“The taking of foreign property by a host country has constituted, at least in
the past, one of the most important risks to foreign investment. The taking of
property by Governments can result from legislative or administrative acts that
11
Lihat Paragraf 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang kedaulatan Permanen Atas Sumber
Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United Nations General Assembly Resolutin on Permanent
Sovereignty over Natural Reource)
12
Creeping expropriation adalah suatu kondisi dimana pengambilalihan tidak langsung
dilaksanakan, kondisi di mana serangkaian tindakan langkah demi langkah yang merugikan investor
karena menyebabkan operasi bisnis investor asing merugi. Dalam hal ini tindakan-tindakan ini harus
dilakukan demi kepentingan umum, tidak diskriminatif dan disertai dengan jadwal divestasi yang
dapat diterima serta diiringi dengan pemberian kompensasi.
42
transfer title and physical possession. Takings can also result from official acts
that effectuate the loss of management, use or control, or a significant
depreciation in the value of assets. Generally speaking, the former can be
classified as “direct takings” and the latter as “indirect takings”. Direct
takings are associated with measures that have given rise to the classical
category of takings under international law. They include the outright takings
of all foreign property in all economic sectors, takings on an industry-specific
basis, or takings that are firm-specific. Usually, outright takings in all
economic sectors or on an industry-specific basis have been labeled
“nationalizations”. Some particular types of such takings have been called
“creeping expropriations”, while others may be termed “regulatory takings”.
All such takings may be considered “indirect takings”.Firm specific takings on
the other hand have often been called “expropriations”. Both nationalizations
and expropriations involve the physical taking of property.”13
Dengan demikian terlihat betul bagaimana para pakar hukum internasional
dan kovensi-konvensi internasional membedakan pendefinisian antara konfiskasi,
ekspropriasi, dan nasionalisasi. Sedangkan perihal nasionalisasi merupakan hak
setiap negara yang berdaulat adalah mutlak adanya dan hal itu diakui oleh negaranegara yang beradab dan oleh hukum internasional. Begitu juga halnya dengan
perbedaan pemahaman pemberian kompensasi atau ganti kerugian terhadap aset
milik asing yang dinasionalisasikan, sekiranya telah menjadi syarat yang harus
dipersiapkan oleh negara host country untuk menghormati keberadaan prinsipprinsip negara yang beradab dan berkeadilan.
13
Lihat UNCTAD Series on issues in international investment agreements “Taking
Property”, (New York and Geneva: United Nation publication, 2000), h. 3-4
43
C. Pemberian Ganti Rugi (Kompensasi) Terhadap Milik Asing Sebagai
Konsekuensi Nasionalisasi
Dalam sejarah perkembangan hukum nasional Indonesia, istilah kompensasi
atau pemberian ganti rugi sebagai akibat tindakan nasionalisasi telah dikenal sejak
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi
Perusahaan Belanda. Tepatnya Pasal 2 undang-undang ini menyatakan bahwa,
Kepada pemilik-pemilik perusahaan-perusahaan tersebut dalam pasal 1 (yakni
perusahaan-perusahaan yang dilakukan nasionalisasi) diberi ganti kerugian yang
besarnya ditetapkan oleh sebuah Panitia yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh
Pemerintah. Selanjutnya dalam pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959
Tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan
Belanda menyatakan bahwa, Panitia Penetapan Ganti Kerugian seperti tersebut
dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 86 Tahun 1958 sekurang-kurangnya
terdiri dari : a. Wakil Kementerian Kehakiman sebagai anggota merangkap Ketua; b.
Wakil Kementerian Keuangan sebagai anggota merangkap Wakil Ketua c.Wakil
Kementerian Keuangan sebagai anggota.
Panitia penetapan ganti kerugian di atas memiliki tugas kewajiban yang telah
ditentukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas
kewajiban Panitia Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang
Dikenakan Nasionalisasi dan Cara Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian.
Rumusan Peraturan Pemerintah ini memerintahkan Panitia Penetapan Ganti
Kerugian untuk bertugas mengadakan pemeriksaan seperlunya tentang keadaan
44
perusahaan Belanda yang dikenakan nasionalisasi dan menetapkan besarnya ganti
kerugian yang dapat diberikan. Pemilik perusahaan Belanda yang dikenakan
nasionalisasi dapat melaporkan besaran ganti kerugian kepada Panitia Penetapan
Ganti Kerugian dengan membawa berkas-berkas dan bukti-bukti sah atas
kepemilikan perusahaan beserta asetnya.14
PP ini memiliki perbedaan dengan UU Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal dalam hal siapa yang berwenang dalam menentukan besaran ganti
kerugian. Pasal 7 ayat 2 undang-undang ini tidak secara spesifik menentukan besaran
kompensasi serta pihak siapa yang menjadi panitia penetapan ganti kerugian.
Undang-undang ini menyatakan dalam hal terjadinya nasionalisasi pemerintah akan
memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar. Dalam
penjelasannya, harga pasar yang dimaksud adalah harga yang ditentukan menurut
cara yang digunakan secara internasional oleh panitia independen yang ditunjuk oleh
para pihak. Jadi secara tidak langsung, yang akan menentukan besaran ganti kerugian
adalah pihak ketiga berdasarkan formula yang mereka tetapkan sendiri.15
Terdapat
hal yang baru dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal yang belum dimiliki oleh peraturan-peraturan
14
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1959 Tentang Tugas kewajiban Panitia
Penetapan Ganti Kerugian Perusahaan Milik Belanda yang Dikenakan Nasionalisasi dan Cara
Mengajukan Permintaan Ganti Kerugian. Bandingkan dengan perihal pemberian ganti rugi dalam
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
15
Lihat Pasal 7 Ayat 1,2,3 Undang-Undang No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Selanjutnya dalam Penjelasan Ayat 2, yang dimaksud dengan “Harga Pasar” adalah Harga yang
ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk
oleh para pihak.
45
sebelumnya, yaitu pasal 7 ayat 3 yang menyatakan bahwa perihal apabila di antara
kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan mengenai besaran kompensasi, maka
akan diselesaikan melalui arbitrase.16 Penyelesaian melalui arbitrase ini memberikan
makna tersendiri, dimana putusannya yang bersifat final memberikan kejelasan dan
efesiensi waktu dalam menentukan besaran kompensasi yang adil dan wajar.
Hal di atas berbeda dengan peraturan sebelumnya yaitu Undang-undang No 1
Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing, pasal 22 ayat 1 undang-undang ini
menyatakan jika terjadi nasionalisasi, pemerintah wajib memberikan kompensasi
yang jumlah, macam dan cara pembayarannya disetujui oleh kedua belah pihak
sesuai dengan azas-azas hukum internasional yang berlaku. Dalam penjelasannya,
pasal ini hanya sekedar menegaskan bahwa kompensasi tersebut diberikan sesuai
prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku. Hal ini tentu saja memberikan
kerancuan penafsiran, mengingat dalam dunia hukum internasional mengenal
penerapan dua doktrin yang berbeda yaitu doktrin hull dan doktrin calvo17 dalam hal
kewajiban pemberian ganti kerugian serta besarannya.
16
Arbitrase adalah salah satu jenis alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase tertulis, di mana para pihak menyerahkan
kewenangan penyelesaiannya kepada pihak yang netral yang disebut arbiter. Lihat Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
17
Doktrin Hull dikenal sebagai representative negara-negara maju pemilik modal asing,
sedangkan Doktrin Calvo dikenal sebagai representative negara-negara berkembang penerima modal
asing. Doktrin Hull dipopulerkan dari nama Menteri Luar Negeri Amerika Corden Hull (1930 an),
maksud dari doktrin adalah hak negara untuk melakukan nasionalisasi tunduk pada hukum
internasional. Nasionalisasi harus disertai dengan prompt, adequate, dan Affective compensation.
Sedangkan Doktrin Calvo dipopulerkan dari nama Menteri Luar Negeri Argentina Carlos Calvo,
maksud dari doktrin ini adalah sengketa mengenai penanaman modal asing (PMA) berada di bawah
yurisdiksi pengadilan lokal. Investor asing tidak memerlukan proteksi internasional dan perlindungan
diplomatik negara asalnya. PMA diperlakukan sesuai dengan prinsip national treatment juga dalam
46
Dalam perkembangannya, apabila kita melirik kewajiban pemberian
kompensasi dalam dunia hukum internasional, kita dapat mendapatkannya dalam
Resolusi 1803 / 1962 dan Resolusi 3281/ 1974 Majelis Umum (General Assembly)
Perserikatan Bangsa-Bangsa, memuat ketentuan kewajiban pemberian ganti rugi
terhadap nasionalisasi, hal tersebut diwajibkan agal nasionalisasi dapat dikatakn sah
menurut hukum. Lengkapnya Resolusi itu berbunyi:
“The right of people and nations to permanent sovereignty over their natural
wealth and resources must be exercised in the interest of their national
development and of well-bein of the people of the state concerned.
Nationalization, expropriation or requistioning shall be based on grounds or
reasons of public utility, security or the national interest which are
recognized as overriding purely individual or private interest, both domestic
and foreign. In such cases the owner shall be paid appropriate compensation,
in accordance with the rules in force in the state taking such measures in the
exercise of its sovereignty and in accordance with international law. In any
case where the question of compensation gives rise to a controversy, the
national jurisdiction of the state taking such measures shall be
exhausted...”18
Pernyataan diatas menegaskan bahwa negara mempunyai kedaulatan atas
wilayahnya dan dapat pula melakukan nasionalisasi bila itu diperlukan, namun
nasionalisasi dibatasi dengan kewajiban pembayaran ganti rugi, dalam hal ini harus
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum internasional agar adil dan wajar.
hal nasionalisasi, termasuk kompensasi untuk itu. Lihat Rustanto, Hukum Nasionalisasi Modal Asing,
glosarium, h. 344.
18
Lihat Paragraf 1 dan 4 Resolusi Majelis Umum PBB Tentang kedaulatan Permanen Atas
Sumber Daya Alam, Nomor 1803 Tahun 1962 (United Nations General Assembly Resolutin on
Permanent Sovereignty over Natural Reource)
47
Kewajiban membayar ganti rugi terhadap kepemilikan asing yang
dinasionalisasikan juga ditegaskan dalam Charter of Economics Rights and Duties of
States (Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa 3281/ Tahun 1974).
Lengkapnya pernyataan itu dimuat dalam pasal 2 ayat 2 huruf c bahwa:
“To nationalize, expropriate or transfer ownership of foreign property, in
which case appropriate compensation should be paid by the state adopting
such measures, taking into account its relevant laws and regulations and all
circumstance that the state considers pertinent. In any case where the
question of compensation gives rise to a controversy, it shall be settled under
the domestic law of the nationalizing state and by its tribunals, unless it is
freely and mutually agreed by all states concerned that other peaceful means
be sought on the basis of the sovereignty equality of states and in accordance
with the principle of free choice of means”.19
Beberapa negara maju seperti Belgium, Denmark, West Germany,
Luxembourg, Great Britain and the United States menyatakan bahwa Charter 3281
ini sangat bersifat radikal, dan belum sepenuhnya menganut prinsip-prinsip
tradisional hukum internasional seperti yang dijelaskan dalam Resolusi PBB 1083.
Hal ini disebabkan oleh tercantumnya klausul secara eksplisit bahwa kompensasi
wajib diberikan secara pantas dengan kenyataan yang ada dan sesuai dengan regulasi
yang
berlaku
serta
segala
pertimbangan-pertimbangan
dari
negara
yang
menasionalisasikan. Negara yang melakukan ekspropriasi juga diberikan hak
19
Lihat pasal 2 ayat 2 huruf c, United Nations, Resolution over Charter of Economic Rights
and Duties of The state, General Assembly Resolution 3281 / 12 December 1974
48
eksklusif untuk menentukan berapa banyak jumlah kompensasi yang akan
diberikan.20
Kedua Resolusi dan Charter di atas memiliki kesamaan tipe atau jenis
kompensasi yang diadopsi yaitu konsep appropriate compensation. Konsep ini
menjelaskan bahwa suatu kompensasi atau pemberian ganti rugi harus melihat sisi
kepantasan dan keadilan dari kedua pihak. Konsep ini kurang lebih mirip dengan fair
compensation yang dianut oleh negara-negara berkembang. Kedua konsep ini sangat
bertolak belakang dengan konsep yang dianut oleh negara-negara barat (negaranegara maju pengekspor modal) seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman,
dimana pemberian ganti rugi harus memperhatikan prinsip prompt, adequate dan
effective compensation21 (tepat waktu, cukup dan tetap sasaran).
20
Lee A. O'Connor, The International Law of Expropriation of Foreign-Owned Property:
The Compensation Requirement and the Role of the Taking State, (Los Angeles: Loyola Marymount
University and Loyola Law School, 1983), h. 362.
21
Yang dimaksud dengan adequate compensation adalah ganti rugi secara penuh yang dalam
praktik jarang terjadi, sedangkan effective compensation adalah valuta yang dipergunakan untuk
pembayaran ganti rugi yang umumnya mempergunakan valuta dari Negara yang mengajukan tuntutan,
sedangkan prompt compensation adalah pembayaran ganti rugi yang dilakukan secara seketika dan
sekaligus yang dalam praktik lebih banyak dilakukan secara mencicil.
BAB IV
ANALISA YURIDIS KEMANDIRIAN EKONOMI DAN PERTIMBANGAN
HUKUM NASIONALISASI MODAL ASING
A. Nasionalisasi Dalam Pandangan Aliran Pragmatis Kontemporer
Dalam sejarah Indonesia pro-kontra modal asing mengalami pasang surut.
Kebijakan anti modal asing dimulai dari perjuangan untuk mengembalikan Irian
Barat pada tahun 1958. Dalam sejarah Indonesia merdeka, Pemerintah pernah dua
kali melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing dengan undangundang. Pertama, Pemerintah Indonesia mengambil alih perusahaan-perusahaan
Belanda pada tahun 1958, berkaitan dengan perjuangan mengembalikan Irian Barat
dari Pendudukan Belanda. Perusahaan-perusahaan Belanda yang dinasionalisasi
adalah perkebunan, yang setelah dinasionalisasi menjadi perusahaan negara sampai
sekarang. Berkaitan dengan nasionalisasi, timbul gugatan
Perusahaan tembakau
Belanda di Bremen (Jerman), ketika tembakau dari perkebunan di Deli akan dilelang
pada pasar tembakau di Bremen. Kasus ini terkenal dengan kasus tembakau
Bremen.1
Kedua, Pemerintah melakukan pengambilalihan perusahaan-perusahaan
Inggris dan Amerika, pada waktu Indonesia mengadakan konfrontasi dengan
Malaysia. Pada tahun 1962 Indonesia menganggap Amerika dan Inggris sebagai
1
Erman Rajagukguk “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing”,
Disampaikan pada Diskusi Panel Kritik Atas Arah Kecenderungan Supremasi Hukum, Pasca 1998
Terkait Dengan Modal, diselenggarakan oleh ELSAM. HUMA, SAWIT WATCH, INFID, WALHI,
AMAN, YLBHI, ICEL. Jakarta 5 -7 Agustus 2008. h. 3
49
50
pendukung utama pembentukan Negara Malaysia, yang oleh pemerintahan Sukarno
dianggap neo kolonialisme dan neo imperialisme. Politik luar negeri Indonesia pada
waktu itu anti Barat. Amerika dan Inggris dianggap menjadi pendukung utama neo
kolonialisme dan neo imperialisme.2
Secara sederhana dari awal kemerdekaan pasca reformasi, ada dua arus
pemikiran utama yang berkembang dan sangat mempengaruhi eksistensi investasi
asing. Pertama, pemikiran Hatta dan Soekarno dan para ekonom lainnya seperti
Syafruddin Prawinegara (Gubernur BI 1953-1958) yang berpandangan pragmatis
bahwa kapital dan modal asing masih diperlukan untuk menunjang pertumbuhan
ekonomi. Pandangan ini melahirkan berbagai bentuk kebijakan yang cukup menuai
respon positif, dikarenakan serangan dan konfrontasi baik berbentuk nasionalisasi
maupun ekspropriasi hanya perlu dilakukan kepada kapitalisme jahat yang dilakukan
para imperialis yang mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia. Kedua, pemikiran
Tan Malaka, para ekonom dan politikus sepemahaman, serta kaum serikat buruh
yang berpandangan lebih radikal kontemporer bahwa penyitaan (Nasionalisasi/
ekspropriasi) seluruh kekayaan dan aset-aset asing sajalah yang mampu
membebaskan perekonomian Indonesia dari hambatan-hambatan kaum imperialis
dan kolonialis.3
2
3
Ibid. h. 3-4
Bodan kanumoyoso, Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan
Belanda di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), h. 2-3
51
Di tengah perbedaan pendapat ini pemerintah mengambil kebijakan untuk
tetap melakukan nasionalisasi demi mewujudkan kedaulatan ekonomi Indonesia.
Nasionalisasi yang dilakukan tentunya harus memenuhi prinsip-prinsip hukum
internasional dan menghormati hak milik asing dengan tidak membabi buta dalam
hal nasionalisasi. Kebijakan ini juga diselaraskan dengan tindakan indonesianisasi
yang lebih intensif dalam era Kabinet Ali Satroamidjojo (1953-1955), hal yang
terpenting dari program indonesianisasi ini adalah dengan memberikan bantuan
kepada pengusaha-pengusaha pribumi untuk mengambil bagian yang lebih besar dari
kegiatan ekonomi, seperti perdagangan impor, perbankan, perkapalan, dan
penggilingan beras, yang saat itu masih dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi
Belanda dan Tionghoa.4
Meskipun demikian, para pemimpin nasional Indonesia tersebut memiliki
kesamaan ideologi yang anti kapitalis, neo liberalis, neo imperialis dan neo
kolonialis. Akan tetapi, pandangan pragmatis (Hatta dan Sukarno) menyadari bahwa
modal asing harus tetap dapat ditarik ke Indonesia dan tentunya dikontrol untuk
mengembangkan potensi sumber daya alam yang tersedia dan perindustrian yang
modern. Untuk itu maka pada tahun 1953 pemerintah Indonesia menyusun suatu
rancangan undang-undang penanaman modal asing yang telah disetujui parlemen
pada tahun 1958 disertai berbagai amandemen.5
4
Ibid, h. 41
5
Hill, Hal Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990), h. 15
52
Seiring berkembangannya berbagai kebijakan hukum ekonomi terkait
penanaman modal asing, arus pemikiran baik pragmatis dan radikal kontemporer
kian aktif mengkritisi kebijakan hukum ekonomi terkait penanaman modal asing ini.
Penulis mengamati catatan sejarah yang memicu ledakan amarah untuk lepas dari
neo kolonialisme adalah pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan era
otoritarianisme. Hal-hal ini terlihat ketika Ketergantungan pada asing yang rentan
mencapai klimaknya ketika di Korea dan Malaysia terjadi krisis moneter. Posisi
pemerintah Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto mengalami banyak kesulitan
mengatasi “krisis moneter” yang telah berubah menjadi “krisis multidimensional”.
Presiden selaku kepala pemerintahan Indonesia dipaksa untuk menandatangani
agenda kekuatan politik ekonomi internasional yang diwakili oleh IMF dan Bank
Dunia. Kebijakan ini pun serontak menyebabkan meluasnya arus kapitalisme dan neo
imperialisme sehingga beberapa oknum pengusaha berjiwa kerdil tidak ragu
menggunakan cara yang licik dan kejam. Mereka tidak ragu mengorbankan
kedaulatan rakyat, kedaulatan negara selama kepentingan diri dan kelompoknya
tercapai.6
Situasi ini pun diperparah dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 20
Tahun 1994 Sebagai Peraturan Pelaksana Penanaman Modal Asing yang melahirkan
6
Hariyono, “Kedaulatan Indonesia dalam Perjalanan Sejarah Politik”. Pidato Pengukuhan
Guru Besar, Disampaikan pada Sidang Terbuka Senat Universitas Negeri Malang. (Malang: Fakultas
Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang , Rabu, 14 Desember 2011), h. 34-35
53
kebijakan liberalistik, kapitalistik, neo kolonialistik, dan neo imperialistik.
Diantaranya adalah:
1. Sektor-sektor usaha yang dapat dimasuki investasi asing semakin banyak.
Meluasnya sektor usaha bagi penanaman modal asing akan menambah ruang
gerak Penanaman modal asing. Sektor-sektor modal asing dapat sampai l00%,
antara lain perkebunan, perikanan (usaha perikanan tangkap terpadu dan budi
daya ikan), kehutanan ( usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam dan
pembenihan tanaman hutan), pertambangan (usaha pengeboran minyak dan gas
bumi), perhubungan ( pembangunan dan pengusahaan pelabuhan laut dan udara),
pekerjaan umum (pengolahan dan penyediaan air bersih untuk umum), kesehatan
(Pelayanan medis, meliputi pendirian dan penyelenggaraan rumah sakit, medical
check up, laboratorium klinik, pelayanan rehabilitasi), dan bidang usaha
komunikasi (peralatan jasa dan jaringan telekomunikasi.
2. Liberalisasi dalam pemilikan saham asing. Dengan Peraturan Pemerintah No. 20
Tahun 1994, penanaman modal asing dapat menguasai sepenuhnya saham yang
ada tanpa harus bermitra bisnis dengan pemodal Indonesia. Kesempatan ini,
paling tidak sampai lima beias tahun pertama setelah berproduksi secara
komersial.7
Demikian halnya, apabila kita memperhatikan Pencabutan Peraturan Menteri
Keuangan No. 1055/KMK.013/1989 yang membatasi kepemilikan asing di Pasar
Modal hanya sampai 49%. Peraturan ini dicabut berdasarkan Keputusan Menteri
7
Erman Rajagukguk “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing, h. 8-10
54
Keuangan No. 455/KMK.01/1997. Tidak tunduknya asing pada ketentuan mengenai
pembatasan bidang usaha yang tertutup dan/atau terbuka dengan pembatasan bagi
penanaman modal asing sebagaimana diatur dalam peraturan penanaman modal
menyebabkan pihak asing dapat memasuki bidang usaha yang terbuka bagi
penanaman modal dalam negeri.8 Hal ini semakin mempertegas ketergantungan
terhadap modal asing yang menyetir Bangsa Indonesia dalam naungan neo
kolonialisme.
Pada masa orde baru, nasionalisme kita baru saja terusik ketika aset dan
saham perusahaan Indonesia diborong oleh orang atau perusahaan asing. Di era
reformasi, banyak yang meneliti bahwa tren privatisasi BUMN sekarang direduksi
menjadi “asingisasi”, penjualan saham BUMN kepada investor/perusahaan asing.9
Hal itupun seakan tak menghormati jerih payah Founding Fathers kita yang telah
mendirikan perusahan milik negara (sekarang BUMN) sebagai wujud nasionalisme.
Era reformasi yang banyak memberi kekebasan pada awalnya memberikan
suatu harapan yang besar bagi masyarakat. Dibuai oleh wacana pasar bebas,
perdagangan bebas, pajak yang rendah, privatisasi dan deregulasi masyarakat dan
pemerintah memberi kesempatan pada para pedagang (lokal dan internasional)
bergerak bebas mencari keuntungan. Mereka yang menghalangi dianggap sebagai
musuh peradaban. Negara yang tidak mendukung kebebasan pun dianggap
8
Erman Rajagukguk, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Modul Kuliah 2, Pasal 1 s/d Pasal
10 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal), h. 6
9
Dadang Supardan, Tantangan Nasionalisme Indonesia Dala Era Globalisasi, (Bandung:
Univesitas Pendidikan Indonesia,), h. 17
55
melanggar ”Washington Consensus”.10 Konsekuensinya seiring berjalannya sejarah,
kedaulatan diri, bangsa dan negara justru makin memprihatinkan. Kita terasa menjadi
bangsa yang makin “lembek”. Eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam Indonesia
makin bersifat masif.
Pemikiran ekonom Indonesia yang dominan di era reformasi masih
didominasi oleh pemikir penganut neoklasik. Usaha mencari pinjaman untuk
menopang pembangunan sekaligus mengurangi peran negara makin berjalan cepat.
reformasi usaha mencari pinjaman makin bersemangat. Proses penjualan aset negara
makin gencar dan meriah dipasarkan. Usaha mengurangi peran negara juga makin
meningkat. Pelbagai kebijakan sejak Presiden Habibie (Golkar), Abdurahman Wahid
(PKB), Megawati Sukarnoputri (PDI-P), hingga Susilo Bambang Yudoyono (PD)
banyak yang memberi ruang keterlibatan swasta asing.
Menguatnya kebijakan neoliberal di era reformasi yang sulit dikendalikan
oleh Presiden menurut Kwik Kian Gie disebabkan oleh ”kecerdikan” ekonomi
penganut ideologi neoliberal. Pada masa pemerintahan Abdurahman mereka masuk
pada badan penasehat atau tim asistensi. Pada masa pemerintahan Megawati mereka
mengendalikan eselon 1 dan II dari semua departemen secara rapi. 11 Sedangkan di
akhir era SBY, dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No. 39 Tahun 2014 Tentang
10
Washington Consensus pertama kali dimunculkan oleh Jhon Williamson pada tahun 1989
sebagai simbol dari liberalisasi perdagangan internasional. Istilah Washington merujuk kepada
lembaga keuangan yang berada di Washington DC (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan
AS).
11
Kwik Kian Gie, Membangun Kekuatan Nasional Untuk Kemandirian Bangsa. Dalam I.
Wibowo & F. Wahono. Neoliberalisme. (Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, 2003) h, 331
56
Daftar Negatif Investasi memperkaya kebijakan liberalistik di mana adanya
peningkatan kepemilikian asing di sektor Sumber daya mineral, Perhubungan,
Kesehatan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif. Dalam pembangkit listrik > 10 MW
dan transmisi/ distribusi tenaga listrik misalnya, kepemilikan modal asing adalah
maksimal 100%. Hal ini tentu semakin menyempitkan kesempatan pengusahapengusaha lokal untuk bersaing.12
Kebijakan penanaman modal asing di Indonesia dewasa ini masih belum
mencerminkan hukum dasar perekonomian nasional sebagaimana dituangkan dalam
Pasal 33 UUD RI Tahun 1945. Pasal 33 UUD RI Tahun 1945 harus ditafsirkan
secara jernih dengan memperhatikan aspek historis perumusannya untuk selanjutnya
dipegang teguh sebagai hukum dasar penanaman modal khususnya penanaman
modal asing di Indonesia. Perubahan fundamental melalui nasionalisasi atau
ekspropriasi terhadap perusahaan-perusahaan asing khususnya pengaturan cabangcabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus menjadi
pertimbangan, guna mengembalikan tujuan kemakmuran rakyat dalam pengelolaan
sumber daya alam yang begitu berlimpah di tanah air tercinta ini.
B. Makna Kemandirian Ekonomi Dari Perspektif Hukum Ekonomi Pembangunan
Negara-negara yang sekarang ini disebut negara-negara maju (Developed
Countries) telah menempuh pembangunannya melalui tiga tingkat ; unifikasi,
12
Leks & C0 Law Firm, Artikel “Pemerintah Menerbitkan Daftar Negatif Indonesia Terbaru”
Artikel Diakses Pada 10/02/2015 dari http://hukumpenanamanmodal.com/.
57
industrialisasi, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat pertama yang menjadi masalah
berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan
kesaman nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk ekonomi dan modernisasi
politik. Akhimya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah
melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan pada tahap
sebelumnya, dengan menekankan kesejahteraan masyarakat. Tingkat-tingkat tersebut
dilalui secara berurutan (consecutive) dan memakan waktu yang relatif lama.
Persatuan nasional adalah prasyarat untuk memasuki tahap industrialisasi.
Indusirialisasi merupakan jalan untuk mencapai negara kesejahteraan (Walfare
State).13
Negara-negara berkembang (Developing Countries) memiliki tujuan yang
sama untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi kadang kala timbul
pebedaan pemahaman cara untuk mencapai tujuan mulia tersebut. Pengaruh yang
terbesar dirasakan oleh negara-negara berkembang yaitu ketika mereka dipaksa
mengikuti dan mengadopsi segala sistem politik dan ekonomi hingga budaya melalui
penjajahan kolonialisme untuk mencapai ketiga tingkatan tersebut. Sehingga ketika
mereka ingin mencapai tingkatan industrialisasi pasca kesatuan nasionalisme
(kemerdekaan), hanya tersisa pilihan untuk tetap statis meneruskan sistem
13
Erman Rajagukguk “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi:
Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia”. Pidato pengukuhan diucapkan pada upacara
penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang hukum (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
4 Januari 1997), h. 1
58
kolonialisme atau melaksanakan kedaulatan ekonomi nasional menuju kesejahteraan
sosial sebagai negara yang berdaulat.
Sistem Industrialisasi negara-negara maju yang didominasi negara-negara
bagian barat telah mengenalkan sistem liberalisme dan kapitalisme. Hingga saat ini
Pemikiran neoliberal dapat ditelusuri melalui Adam Smith, seorang filosof yang
menerbitkan buku The Wealth of Nations (1776). Sebagai penganut faham
individualis dan pembela kaum industri, Smith mengharamkan campur tangan
pemerintah dalam mekanisme pasar karena pasar akan mampu membenahi dirinya
sendiri. Tangan-tangan tak terlihat akan menciptakan keseimbangan penawaran dan
permintaan dalam pasar komoditas maupun pasar surat-surat berharga (pasar uang
dan pasar modal). Intinya adalah akumulasi modal dengan keniscayaan memperoleh
keuntungan semaksimal-maksimalnya karena pasar mengatur dirinya sendiri. 14
Puncak dari pergumulan ini adalah perebutan pasar serta sumberdaya enerji
dan produksi. Maka lahirlah Perang Dunia I dan II. Amerika Serikat (AS) tidak lagi
menghendaki Eropa mendominasi perekonomian. Sekaligus diperlukan strategi baru
bagaimana mengatur perekonomian dalam pergaulan internasional. Pemikiran inilah
yang melahirkan apa yang disebut Breton Woods, yakni tiga lembaga ekonomi
(Bank Dunia, IMF, dan GATT yang kemudian menjadi WTO) dan satu lembaga
politik (PBB). Tetapi liberalnya pasar ini menemui kegagalan karena AS terus
14
Ichsanuddin Noorsy, “Kerakyatan Versus Neoliberal”, Artikel diakses pada 10/02/2015
dari www.spi.or.id/wp-content/uploads/PDF/002.pdf , h. 3-4.
59
mengalami defisit anggaran dan defisit perdagangan. Karena itu pada Juli 1971.
Perekonomian Inggris juga mengalami hal yang sama. Dua negara “sekandung” ini
berpendapat, kesejahteraan mereka beralih ke negara lain terutama karena Jepang
dan Jerman telah kembali menancapkan pengaruhnya dalam kancah perekonomian.
Ekonomi industrialisasi berbasis neoliberal sebagaimana dikaji ilmuwan Barat
sendiri telah membuat orang kaya makin kaya dan kaum papa makin ternista.
Neoliberal bahkan telah memposisikan pengusaha berhadapan dengan rakyat.15
Sebagai negara berkembang, Indonesia harus berani mengambil sikap yang
berbeda dengan keadaan liberalisasi dan globalisasi ekonomi yang bukti
kegagalannya
tidak
terbantahkan.
Indonesia
harus
berani
dan
percara
mempertahankan sistem ekonomi kerakyatan yang diusung oleh Founding Father
kita (Mohammad Hatta) guna menuju kemandirian ekonomi nasional. Hatta sebagai
perumus pasal 33 UUD 1945 meyakinkan kepada masyarakat Indonesia bahwa
tujuan kesejahteraan negara tidak melalui sistem kapitalisme, tetapi sosialisme
Indonesia yang diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa (Sosialisme Religius). Politik
Ekonomi Hatta juga mengajak Indonesia untuk menerapkan sistem ekonomi secara
kekeluargaan dan gotong royong, yang saling memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan bersama, sehingga tidak saling menghisap ala neokapitalisme dan neo
15
Ibid, h. 5
60
liberalisme. Hatta sangat memperhatikan tanggung jawab sosial untuk pemerataan,
keadilan dan kemakmuran bersama.16
Secara universal dalam prinsip-prinsip Natural Of Law, setiap individu dalam
artian negara memiliki hak ekonomi dan politik untuk menentukan sendiri sistem dan
kebijakan demi menuju negara sejahtera. Hal itu dipertegas dengan dicantumkan
pasal mengenai hak ekonomi dalam konvensi. Perlu dicatat, dipandang dari segi
sistem politik dan ekonomi, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial,
dan Budaya bersifat netral dan prinsip-prinsipnya tidak dapat secara memadai
digambarkan sebagai didasarkan semata-mata pada kebutuhan dan keinginan akan
sistem sosialis atau kapitalis, atau ekonomi campuran. Hak-hak tersebut dapat
diwujudkan dalam hak ekonomi dan politik yang beragam dan luas, asalkan tidak
berbenturan dan menimbulkan penafsiran ambiguitas dalam penerapan hak asasi
manusia yang diakui dan diterapkan oleh sistem negara tersebut.17
Hak ekonomi tersebut diperkuat bahwa Kedaulatan negara atas kekayaan
alamnya, diakui oleh dunia internasional sebagaimana diatur dalam resolusi Majelis
Umum PBB, 21 Desember 1952 yaitu tentang Prinsip penentuan nasib sendiri
ekonomi setiap negara berkembang (economic self-determination) ditegaskan bahwa
hak setiap negara untuk memanfaatkan kekayaan alamnya. Dalam Covenant on
16
Didik J. Rachbini, Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan, (Jakarta:
Granit, 2004), h. 181-183
17
h. 113
Rhona K.M Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM UII, 2008),
61
Economic, Social and Cultural Right, 16 Desember 1966, pada Pasal 1 ditegaskan
tentang hak suatu negara (peoples) untuk memanfaatkan secara bebas kekayaan
alamnya. Resolusi Majelis Umum PBB tentang Permanent Sovereignty over Natural
Resources tahun 1974 dan Deklarasi tentang pembentukan Tata Ekonomi
Internasional Baru dan Piagam Hak-hak Ekonomi dan Kewajiban Negara (Charter of
Economic Rigahts and Duties of State) tahun 1974, yang menegaskan kembali
kedaulatan negara untuk mengawasi kekayaan alamnya, terutama bagi negara
berkembang.18
Indonesia sebagai negara yang berdaulat telah mengatur sistem perekonomian
yang berpedoman dalam rumusan pasal 33 UUD 1945. Prinsip dan fondasi
penyelenggaraan perekonomian negara diatur dalam Pasal 33 UUD 1945, yaitu
antara lain pada ayat 2: cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara, dan ayat 3: bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Rumusan ini sengaja dibuat para Founding
Fathers untuk membatasi praktik ekonomi pasar liberalistik dan kapitalistik serta
imperialistik yang sayangnya sedang dialami oleh Negara kita sekarang. Hal ini
menjelaskan bahwa sistem industrialisasi ala barat tidak
18
sesuai dengan bangsa
Huala Adolf dalam bukunya, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional,
(Jakarta:Rajawali Pers, 1991), h. 51.
62
Indonesia yang bercirikan kebersamaan, gotong royong, dan kekeluargaan, sehingga
pengkhiatan konstitusi yang sedang berlangsung ini harus segara dihentikan.19
Prinsip kekeluargaan, sosialisme religius, dan kemandirian dalam mengelola
perekonomin, kiranya juga selaras dengan apa yang perintahkan oleh Allah SWT
melalui Firman-Nya dalam Surat an-Nahl Ayat 71:
َّ َ‫للاُُف‬
ُ‫ِّيُر ْسقِ ِه ْم‬
ُ ‫َو‬
ِّ ُ‫قُفَ َماُالَّ ِذ ْيهَ ُف‬
َ ‫ض َلُبَ ْع‬
ِ ‫ْضُفِيُالز ِّْس‬
ِ ‫ضلُىُْاُبِ َزآد‬
ٍ ‫ض ُك ْمُ َعلَيُبَع‬
ْ ‫َعلَيُ َماُ َملَ َك‬
ُُُ}ُُ16ُ:ُ61ُ/‫للاُِ َيجْ َح ُدوْ نَ ُ{ألىّحل‬
ُ ُ‫س َىا ٌءُأَفَ ِبىِ ْع َم ِة‬
َُ ُ‫تُأَ ْي َماوُهُ ْمُفَهُ ْمُفِ ْي ِه‬
Artinya: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam
hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezekinya itu) tidak mau memberikan
rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka (merasakan)
rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni’mat Allah”.
Ayat di atas jelas memposisikan bahwa kehidupan manusia di dunia ini, harus
selalu memperhatikan kondisi ekonomi manusia lainnya, harus saling gotong royong
dengan memegang teguh prinsip kebersamaan dan kekeluargaan sehingga sistem
ekonomi sosialis religius yang telah diusung Bung Hatta dalam konstitusi ekonomi
kita dapat terealisasikan. Allah telah menjelaskan dan memposisikan bahwa segala
prinsip kapitalisme jahat yang hanya mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan
beragam cara adalah sebuah keserakahan yang berakibat kepada keingkaran nikmat
19
Marwan Batubara, Penanaman Modal Asing dan Pengkhianatan Konstitusi, Dalam Fadli
Zon, dkk, Dilema Indonesia, (Jakarta: Institut For Policy Studies, 2007), h. 149
63
Allah. Sehingga apa yang selama ini dipraktekan Perusahaan-perusahaan
multinasional asing yang cenderung hanya meraup dan menghisap sumber daya alam
dan manusia di negara-negara penerima modal dengan tanpa melaksanakan
kewajibannya meningkatkan perekonomian adalah sebuah kebatilan dan penjajahan
gaya baru yang harus dihentikan.
Secara sadar keberadaan Pasal 33 UUD 1945 serta segala peraturan yang
terkait dengan perekonomian adalah cerminan eksistensi Hukum Ekonomi
Pembangunan dan sosial untuk merespons kebutuhan masyarakat dan negara dalam
mencapai kesejahteraan. Dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal disebutkan asas atau landasan dalam sistem perekonomian kita
yakni
asas
kemandirian
ekonomi.
Kemandirian
adalah
satu
sikap
yang
mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah demi
mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan kerjasama
yang saling menguntungkan.
Konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam pembangunan.
Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (self-sufficiency) di
bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di
dalamnya
mengandung
kepercayaan
diri
unsur
penemuan
(sefconfidence).
diri
Kemandirian
(self-discovery)
adalah
satu
berdasarkan
sikap
yang
mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi
64
mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama
yang saling menguntungkan.20
Adanya suatu kondisi yang ditakutkan oleh setiap negara berkembang, adalah
ketika kemandirian yang telah dijalankan dan dijaga ternodai oleh tindakan
ketergantungan terhadap modal asing akibat terlalu membuka diri dengan kerjasamakerjasama internasional yang menjebak. Aliran dependensi yang banyak dianut oleh
negara-negara berkembang berpendapat bahwa aliran modal asing yang masuk hanya
akan memberikan kemakmuran sesaat, karena dibalik itu ada sistem menjajah yang
berusaha ditanamkan selama-lamanya.
Aliran interdependensi (pergeseran makna dependensi) yang dianut negaranegara maju berpandangan lebih liberal, bahwa manusia di planet bumi ini berada
dalam satu perahu yang sama dan struktur ekonomi global yang semakin kompleks
dari pada sekedar dikotomi pusat dan priferi. Kendati demikian, pendapat ini
mengabaikan fakta bahwa penumpang-penumpang dalam perahu yang sama tidak
berpergian pada kelas yang sama, bahkan tidak punya akses yang sama terhadap
pelampung ataupun kapal penyelamat. Sudah jelas bahwa teori interdependensi
merupakan konsep yang ambivelen dan relatif terbatas manfaat teoritisnya.21
Hukum dalam fungsi dasarnya sebagai sarana pemeliharaan ketertiban dan
keamanan, sarana pembangunan, dan sarana penegakan keadilan, harus dapat
20
Mukeri, “Kemandirian Ekonomi Sebagai Solusi Kemajuan Bangsa”, Artikel diakses pada
9/02/20 15, http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article, h. 3.
21
Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan: Masalah Kebijakan dan Politik (Jakarta:
Erlangga, 2010), h. 31
65
mewujudkan kepastian keamanan dan penegakan keadilan dalam tingkatan
industrialisasi. Dalam pembangunan ekonomi, hukum harus dapat menyediakan
pengaturan-pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan
pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia (peningkatan produksi) secara nasional
dan berencana dengan tetap mengedapankan potensi nasional untuk mencapai
kemandirian ekonomi nasional dan kesejahteraan warga dan negara.22
Permasalahan pada era globalisasi ekonomi ini juga memproduksi pengaruh
terhadap globalisasi hukum. Globalisasi ekonomi menimbulkan pengaruh yang besar
pada sistem hukum suatu negara, karena globalisasi ekonomi menyebabkan
terjadinya globalisasi hukum. Globalisasi hukum tersebut tidak hanya didasarkan
kesepakatan internasional antar bangsa, tetapi juga pemahaman tradisi hukum dan
budaya antara barat dan timur. Berjayanya sistem neo liberalis ala negara-negara
maju dalam wujud pasar bebas (WTO, AFTA, AES), seakan mentakdirkan kita
negara-negara berkembang untuk tunduk dan ikut dalam permainan mereka.23
Globalisasi hukum tersebut ditandai dengan saling mempengaruhinya hukum
nasional dan internasional, sehingga dibutuhkan harmonisasi hukum. Dalam proses
harmonisasi hukum, dimana hukum internasional mempengaruhi hukum nasional,
berarti negara nasional harus membuat aturan-aturan nasional yang mendorong
22
Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, (Bandung: Binacipta,
1988), 41
23
Iskandar, Hukum Dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan
Ekonomi dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup, (Bengkulu: Universitas Bengkulu, 2011), h. 7
66
realisasi kesepakatan guna mencapai tujuan bersama. Sebagai contoh dalam bidang
perdagangan internasional, ketentuan perdagangan internasional dalam rangka World
Trade Organization (WTO) telah mendorong masing-masing negara membuat aturan
nasional sebagai tindak lanjut penerapan ketentuan tersebut dalam suasana nasional.
Akan tetapi dalam mengadopsi hukum intenasional dalam kaitannya harmonisasi
hukum, sering kali terlupakan bahwa studi hukum harus memperhatikan bagaimana
hukum yang telah digunakan pada masa lalu secara kondisi sosial, ekonomi dan
psikologis apakah sesuai dengan keadaan negara kita, dan apakah hukum tersebut
sesuai dengan jiwa bangsa dan falsafah bangsa indonesia.24
C. Kemanfaatan Nasionalisasi dan Dampak Negatifnya dalam Segi Hukum
Ekonomi Pembangunan
Nasionalisasi baik yang berbentuk eksproriasi secara langsung maupun
creeping expropriation tentunnya menjadi suatu hal yang sangat tidak diinginkan dan
paling ditakuti oleh investor asing. Nuansa ketakutan tersebut akhirnya mereproduksi
pemikiran pemerintah yang liberal untuk memberikan kepastian hukum kepada para
investor bahwa pemerintah Indonesia tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi
terhadap aset asing yang berada di Indonesia. Hal ini jelas terlihat dalam pasal 7
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Era globalisasi terus menggerogoti ketahanan dan kemandirian ekonomi
nasional kita, tetapi sebagai negara yang berdaulat kita tidak boleh lupa akan jati diri
24
Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1979), h. 149
67
dan niat awal sistem ekonomi nasional. Pengaturan larangan tindakan nasionalisasi
dalam undang-undang penanaman modal yang begitu eksplisit merupakan wajah
liberalisasi pemerintah yang lebih tunduk kepada negara-negara maju. Bila ditelusuri
larangan nasionalisasi tersebut adalah hasil dari Ketentuan-ketentuan yang disusun
berdasarkan praktik perjanjian internasional di bidang promosi dan perlindungan
penanaman modal yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan lebih dari 60 negara
yang telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.
Jika kita cermati ketentuan-ketentuan dari perjanjian bilateral serta konvensikonvensi internasional adanya syarat mutlak sebagai pijakan yang melegalkan
tindakan nasionalisasi tersebut dapat dilakukan yaitu kepentingan publik (public
interest). Namun sayangnya, syarat mutlak tersebut tidak dirumuskan dalam
pengaturan undang-undang penanaman modal. Hal ini semakin memperjelas
kedudukan pemerintah yang begitu tunduk terhadap asing.25
1. Kemanfaatan dan Dampak Positif Nasionalisasi Modal Asing
Tindakan nasionalisasi akan memberikan banyak sekali manfaat baik itu dari
segi hukum, ekonomi, politik dan tentunya sumber daya alam. Jeremy Bentham
melalui teori utilitasnya berpendapat bahwa tugas hukum adalah memelihara
kebaikan dan mencegah kejahatan. Jadi hukum harus memberikan manfaat atau
kegunanaan bagi orang banyak (to serve utility). Konsep utilitas mencoba
25
“Larangan untuk melakukan tindakan nasionalisasi dan pengambilalihan kecuali untuk
kepentingan publik dari negara tuan rumah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Lihat IBR
Supancana, dkk. Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal, (Jakarta: The Indonesia Netherlands National
Legal Reform Program (NLRP), 2010), h. 423.
68
menjelaskan bahwa setiap kebijakan hukum ekonomi haruslah dapat mewujudkan
kebahagiaan ekstra serta kesejahteraan.26
Jika kita kaitkan konsep utilitas dengan teori ketergantungan (dependencia)
yang menyatakan bahwa:
a.
Penanaman Modal Asing dan bantuan luar negeri dalam jangka pendek
memperbesar pertumbuhan ekonomi, namun dalam jangka panjang (5-20 tahun)
menghambat pertumbuhan ekonomi.
b.
Makin banyak negara bergantung pada penanaman modal asing dan bantuan luar
negeri (seperti IMF dan World Bank), makin besar perbedaan penghasilan dan
pada gilirannya tujuan pemerataan tidak tercapai.27
Maka kekayaan sumber daya alam dan kekayaan industri suatu bangsa yang
masih terjajah oleh modal asing tidak akan pernah merasakan kesejahteraan dan
kebahagiaan dalam jangka panjang.
Nasionalisasi dengan berbagai ragam agendanya seperti ekspropriasi
langsung maupun yang tidak langsung seperti divestasi saham kepemilikan28, akan
memberikan banyak manfaat jangka panjang dan dampak positif yang akan
26
Salim. HS, Hukum Divestasi di Indonesia, (Jakarta: Erlangga, 2010), h. 55
27
Mudrajad Kuncoro, Ekonomika Pembangunan: Masalah Kebijakan dan Politik, h. 359.
28
Divestasi adalah pelepasan, pembebasan dan pengurangan modal dari perusahaan satu ke
perusahaan lainnya, di Indonesia tindakan divestasi ini sering dikaitkan dengan divestasi yang
dilakukan oleh perusahaan asing ke pemilik modal lokal/domestik. Melalui Peraturan Pemerintah
Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan ketiga atas PP No. 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiata Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, Perusahaan asing wajib mendivestasikan saham/
kepemilikan modal mereka hingga 51 % kepada pemilik lokal/domestik secara bertahap setelah 5
tahun produksi. Akan tetapi, peraturan tersebut mengalami kelonggaran terhadap perusahaan asing
pertambangan yang telah membangun smelter pemurnian.
69
dirasakan dampaknya oleh masyarakat Indonesia. di antara manfaat nasionalisasi
tersebut diantaranya adalah:
a.
Dari segi hukum, nasionalisasi aset-aset asing baik seluruhnya atau sebagiannya
dapat mengembalikan kembali Arah Kebijakan Hukum Ekonomi kepada
konstitusi
ekonomi
serta
mereaalisasikan
konstitusi
ekonomi
(leaving
contitution/ konstitusi yang hidup) kita yang tercantum dalam Pasal 33 UUD
1945. Bahwa sebagaimana termuat dalam Pasal 33 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5)
UUD 1945 sistem ekonomi Indonesia merupakan demokrasi ekonomi atau
ekonomi kerakyatan, dengan kata lain, dapat disebut sebagai demokrasi ekonomi
kerakyatan. Sistem ekonomi Indonesia bukanlah liberalisme yang kapitalistik,
ataupun sistem ekonomi etatisme yang menerapkan command economy sehingga
peran negara menjadi amat dominan menutup peran rakyatnya.29
b.
Nasionalisasi akan menutup penerapan-penerapan ideologi neo liberalisme dan
neo imperealisme baru yang saat ini menurut para ahli telah mulai leluasa
berkembang melalui kebijakan-kebijakan investasi yang cenderung melindungi
kepentingan asing .30
c.
Menurut para ahli, Nasionalisasi akan menjawab perdebatan renegosiasi kontrak
karya yang hanya berkutat pada masalah bagaimana menaikkan persentase
29
30
Jimly Asshidqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), h. 354
Lihat putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret
2008, Pemohon terdiri dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI).
Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI). Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan LSM
lainnya.
70
pembagian royalti. Di mana kenaikan pembayaran royalti nantinya hanya akan
berdampak positif jangka pendek. 31
d.
Menurut para ahli, nasionalisasi dapat mengembalikan ketahanan dan
kemandirian ekonomi nasional dimana kita yang telah lama terjebak dalam neo
kolonialisme dan neo imperealisme.32
e.
Nasionalisasi dapat memberikan kesempatan yang lebih besar kepada investorinvestor
domestik
untuk
bisa
bersaing
dalam
pangsa
nasional
dan
internasional.33
2.
Dampak Negatif Nasionalisasi Modal Asing dari Segi Hukum Ekonomi
Pembangunan.
Tindakan nasionalisasi merupakan tindakan hukum yang berdimensi politik
dan dorongan faktor kedaulatan ekonomi yang memiliki konsekuensi serius yang
harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Bahkan Hatta sendiri pun ketika
mengomentari desakan para pimpinan politik dan kaum buruh serta ekonomi lainnya
untuk segera menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, berusaha memberi
31
Wayu Eko Yudiatmaja, “Nasionalisasi PT. Freeport Indonesia”, Artikel diakses pada
16/02/2015 dari http://wayuguci.com/Nasionalisasi-PT- Freeport Indonesia, h. 9.
32
Data dari Badan Pertahanan Nasional bahwa konsentrasi kepemilikan aset asing
meningkat: hanya 0,2% penduduk domestik menguasai 56 % aset di tanah air. Data Statistik
Perbankan Indonesia hingga september 2014 menyatakan bahwa aset perbankan asing meningkat dari
12, 37% menjadi 12,88 %. Data diakses dari http://m.republika.co.id/berita/koran/financial/. Pada
16/02/2015.
33
Data investasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat. Pada tahun
2013 investasi asing sebesar USD 28,62 miliar atau setara Rp. 299,2 triliun. Sementara investasi
domestikhanya senilai Rp. 128,15 triliun. Data diakses dari http://www.jurnalparlemen.com/view/.
Pada 16/02.2015
71
pemahaman bahwa nasionalisasi modal asing atau pengambilalihan milik asing
adalah tindakan yang harus betul-betul direncanakan dengan sematang-matangya,
dan bukanlah sebuah tindakan menurut sentimen atau desakan nafsu belaka untuk
terlepas dari belenggu kolonial. Ia mempertegas bahwa tidak ada perjuangan yang
hebat dimulai dengan kelaparan dan dengan menyuruh rakyat lapar sementara.34
Kendati demikian, tindakan nasionalisasi yang merupakan cita-cita bangsa
untuk terlepas dari kontrol asing kapitalistik dan ekonomi liberal niscaya harus
dikonsepkan dengan matang dan penuh pertimbangan. Mengingat disamping
kemanfaatan dan dampak positif yang dirasakan untuk jangka panjang, akan
timbulnya berbagai dampak negatif yang sifatnya lebih dirasakan secara langsung
atau spontanitas namun bersifat jangka pendek. Di antara dampak negatif yang dapat
dirasakan suatu negara pasca nasionalisasi modal asing, antara lain adalah:
a.
Dari segi hukum, suatu negara yang melakukan tindakan nasionaliasi cenderung
akan digugat oleh negara asal modal (home state) atau perusahaan multinasional
(MNC/ Multinational Corporate) milik investor asing ke ICSID (International
Convention on the Settlement of Dispute) bahkan ke mahkamah internasional.
b.
Sebagai negara beradab, host state/ negara penerima modal harus patuh terhadap
kebiasaan hukum internasional, di mana setiap tindakan nasionalisasi yang
dilakukan harus diiringi dengan pemberian ganti rugi yang sepadan dan pantas
(appropriate compensation).
34
Bondan Kanumoyoso, Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi Perusahaan
Belanda di Indonesia, h. 79.
72
c.
Nasionalisasi modal asing berpotensi melanggar asas non diskriminasi dan
prinsip national treatment yang merupakan salah satu prinsip pokok dalam
perjanjian GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), di mana negara
peserta tidak boleh memperkenankan adanya perlakuan berbeda antar negara
investor asing yang satu dengan negara lainnya, dan antar investor asing dengan
investor domestik kecuali yang diatur lain dalam undang-undang yang berlaku.
Prinsip ini sangat berkaitan dengan tindakan nasionalisasi, seperti Indonesia
yang pernah dituntut akibat melakukan diskriminasi melalui nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda.35
d.
Negara yang melakukan tindakan nasionalisasi modal asing, berpotensi untuk
melanggar good faith/ itikad baik yang telah dibangun dengan negara-negara
pemilik modal (home state) dalam bentuk perjanjian bilateral maupun
multilatelar.
e.
Dari segi ekonomi, nasionalisasi modal asing cenderung akan mempengaruhi
stabilitas ekonomi dalam tingkat mikro dan makro. Seperti penurunan produksi
ekspor dan impor yang dialami Indonesia pasca nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda, tingkat inflasi yang cukup tinggi, berkurangnya ahli-ahli
tenaga dan alat-alat produksi, dan fasilitas lainnya.
f.
Dalam
hubungan
internasional,
nasionalisasi
modal
asing
cenderung
mengakibatkan berkurangnya minat investor asing untuk menanamkan kembali
35
Khairul Asyikin, “Kajian Yuridis Terhadap Prinsip Non Diskriminasi Dalam UndangUndang Penanaman Modal Bagi Perlindungan Kepentingan Nasional”. Jurnal Hukum Universitas
Mataram,(Juni: 2013), h. 6.
73
modalnya di negara tesebut, bahkan berpotensi terjadinya capital flight/ pelarian
modal ke luar negeri yang dapat merugikan negara penerima modal.
D. Pertimbangan dan Hambatan Hukum dalam Aktualisasi Nasionalisasi
Dalam pelaksanaan nasionalisasi ataupun ekspropriasi modal asing tentu
harus berani menghadapi konsekuensi dari segi ekonomi, hukum dan politik.
Sehingga patut seyogyannya cita-cita menuju kemandirian ekonomi nasional melalui
nasionalisasi aset asing harus memperhatikan beberapa pertimbangan guna
meringankan resiko dalam situasi nasional dan internasional.
Pertimbangan Hukum yang sangat urgen untuk diperhatikan eksistensinya
adalah pernghormatan hukum terhadap kontrak karya yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak dan belum jatuh tempo (belum berakhir kontraknya).36 Kontrak
Bisnis dilihat dari unsurnya dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama adalah
Kontrak Bisnis Domestik dan kedua adalah Kontrak Bisnis Internasional. Adapun
yang membedakan antara Kontrak Bisnis Domestik dengan Internasional adalah ada
tidaknya unsur internasional yang dapat berupa para pihaknya, substansi yang diatur
dan lain-lain.
36
Hambatan nasionalisasi aset asing (nasionalisasi dilakukan dengan mengakuisisi 58,88%
saham PT Inalum) dapat dilihat dalam nasionalisi PT. Inalum, dimana indonesia baru dapat
menasionalisasi PT Inalum (Indoesia Asahan Alumunium) per 1 November 2013 setelah pemerintah
Indonesia memutuskan untuk melakukan termination agreement (pengakhiran kerjasama) yang
berakhir pada 31 oktober 2013.
74
Sebagai contoh, Indonesia harus memperhatikan dan menghormati dalam hal
Kontrak Bisnis Internasional domain private. Contoh Kontrak Bisnis Internasional
adalah Perjanjian Pendirian Usaha Patungan (Joint Venture Agreement). Sedangkan
kontrak bisnis internasional yang berdimensi publik adalah suatu kontrak bisnis
dimana salah satu pihaknya adalah pemerintah atau aparatnya. Sebagai contoh adalah
Departemen Luar Negeri melakukan pinjam meminjam secara komersial dengan
suatu bank diluar negeri guna pembiayaan gedung kedutaan di luar negeri.
Penghormatan juga berlaku bagi Perjanjian Internasional yang sudah terlanjur
diratifikasi oleh Indonesia seperti Konvensi WTO, Konvensi ICSID, Konvensi Trips
dan Konvensi lainnya terkait investasi asing.
Pertimbangan
Hukum
selain
Kontrak
Bisnis
Internasional
adalah
Pertimbangan pelanggaran prinsip-prinsip hukum internasional terkait investasi asing
seperti Prinsip-prinsip Most Favoured Nation, Transparency, National Treatment,
dan Non - Dicrimination” yang telah menjadi dasar WTO dan blok ekonomi
regional. Manakala globalisasi ekonomi menjadi terintegrasi, harmonisasi hukum
mengikutinya. Terbentuknya WTO (World Trade Organization) telah didahului atau
diikuti oleh terbentuknya blok-blok ekonomi regional seperti Masyarakat Eropah,
NAFTA, AFTA dan APEC. Tidak ada kontradiksi antara regionalisasi dan
globalisasi perdagangan. Sebaliknya, integrasi ekonomi global mengharuskan
terciptanya blok-blok perdagangan baru. Bergabung dengan WTO dan kerjasama
75
ekonomi regional berarti mengembangkan institusi yang demokratis. memperbaharui
mekanisme pasar, dan memfungsikan sistem hukum.37
Sedangakan dari segi ekonominya, jelas yang terpenting adalah menghitung
nilai investasi asing yang hendak dinasionalisasikan sebagai wujud kompensasi
terhadap aset-aset asing. Kompensasi merupakan hal yang mutlak diakui oleh hukum
internasional dan UU Penanaman Modal kita sendiri, bahwa nilai pemberian ganti
rugi akan ditentukan oleh pihak ketig yang independen sesuai dengan harga pasar
yang berlaku. Penetapan besaran ganti rugi ini sering memicu ketidaksepahaman
dalam pelaksanakannya, sehingga mengharuskan kedua belah pihak untuk membawa
perkara ini ke Lembaga Arbitrase Internasional memalui ICSID untuk diselesaikan.
Dari berbagai pertimbangan dan hambatan hukum di atas patut kita sadari
bahwa tindakan nasionalisasi bukanlah perkara mudah seperti perubahan
kepemilikan suatu perusahaan lokal. Akan tetapi, harus kita yakini bahwa niat mulia
mewujudkan kedaulatan dan kemandirian ekonomi nasional melalui nasionalisasi
dan eksproriasi adalah mutlak adanya diakui oleh hukum dan kebiasaan
internasional. Pemerintah
seharusnya memiliki keberanian menegaskan posisi
tawarnya dalam mewujudkan nasionalisasi kepada investor asing sebagaimana yang
telah ditunjukkan negara-negara dunia ketiga lainnya seperti Cili, Bolivia, dan
Venezuela.
37
Erman Rajagukguk “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi:
Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia”, h. 6
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian penelitian yang telah dipaparkan penulis dapat
memberikan kesimpulan, antara lain sebagai berikut:
1. Tindakan nasionalisasi modal asing telah diatur dalam Pasal 7 Undang-undang
Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal. Pasal ini berbentuk
konstitusional bersyarat dalam sebuah larangan, tidak memiliki definisi yang Jelas
dan terlalu multi tafsir. Sehingga pemerintah dan masyarakat tentunya bertanyatanya perihal langkah nasionalisasi yang mana yang akan diambil. Dunia hukum
internasional telah mengakui keabsahan suatu tindakan nasionalisasi atau
ekspropriasi (Resolusi PBB 1803/ Resolusi PBB 3281/ Resolusi PBB Tahun
1952/ UNTACD Tahun 2000) sebagai wujud kedaulatan Negara dalam mengolah
sumber daya kekayaan alamnya dan sebagai wujud kemandirian Negara dalam
menentukan arah kebijakan politik ekonominya. Adapun pemahaman konsekuensi
nasionalisasi modal asing dalam pemberian berupa ganti rugi, masih merupakan
perdebatan. Akan tetapi Indonesia lebih berpandangan bahwa hal itu suatu yang
harus diberikan sebagai penghormatan prinsip-prinsip Negara Beradab yang
tercantum dalam Resolusi PBB.
2. Tindakan nasionalisasi modal asing telah diakui oleh dunia hukum internasional
sebagai cara negara-negara berkembang untuk melepaskan diri dari intervensi
asing (seperti tindakan nasionalisasi Negara Cili, Kuba, Venezuela, Bolivia yang
76
77
baru-baru ini terjadi). Nasionalisasi diyakini sebagai cara ampuh untuk suatu
negara berkembang dapat mencapai ketahanan dan kemandirian ekonomi
nasional. Hatta dan Soekarno telah merumuskan sebuah landasan dan pedoman
bertindak yaitu tercantum dalam Konstitusi Ekonomi Pasal 33 UUD 1945. Akan
tetapi mereka juga sadar akan suatu masa arus globalisasi yang akan datang,
sehingga mustahil suatu bangsa yang tergolong dunia ketiga untuk menolak aliran
modal asing yang masuk ke Indonesia.
3. Tindakan hukum nasionalisasi modal asing memiliki dampak-dampak positif
seperti realisasi kemandirian dan ketahanan ekonomi, reaktualisasi amanat
konstitusi ekonomi, serta revitalisasi ideologi ekonomi yang sesuai dengan amanat
konstitusi. Tindakan ini juga berpotensi menimbulkan dampak negatif seperti
pelanggaran asas non diskriminasi dan national treatment, potensi terjadinya
sengketa antara home state dan host state, serta potensi mempengaruhi stabilitas
ekonomi.
Memperhatikan
dampak-dampak
ini,
pemerintah
harus
mempertimbangkan tindakan nasionalisasi modal asing secara serius, terstruktur,
dan terencana sebagai bentuk tanggung jawab negara beradab dan berdaulat
B. Saran
Berdasarkan uraian-uraian dan hasil penelitian yang telah dipaparkan terkait
nasionalisasi modal asing dan kemandirian ekonomi maka penulis mencoba
memberikan beberapa saran, diantaranya adalah:
1.
Sebagaimana telah diakui oleh dunia hukum internasional bahwa nasionalisasi
aset asing merupakan hak suatu kedaulatan Negara dalam menentukan arah
78
kebijakan kemandirian ekonominya. Maka pemerintah saat ini diharapkan dapat
merevisi kembali pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang
Penanaman Modal yang cenderung berpihak kepada asing dan tidak berpihak
kepada konstitusi ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sehingga
pemerintah harus berani mencantumkan definisi serta cara-cara nasionalisasi
modal asing dalam undang-undang tersebut sebagai teguran dan ancaman bagi
perusahaan-perusahaan multinasional yang melanggar kepentingan publik.
2.
Pemerintah harus berani menarik berbagai peraturan terkait investasi serta
berbagai kebijakan dalam lingkup hukum ekonomi pembangunan (Seperti PP No
39 Tahun 2014 Tentang Daftar Negatif Investasi) yang cenderung berpihak ke
asing. Serta memperhatikan kembali
beberapa kebijakan
yang dapat
menjerumuskan Indonesia terhadap ketergantungan modal asing yang dapat
membawa Indonesia jauh lebih dalam lagi dalam suatu neo kolonialisme, neo
liberalisme dan neo imperialisme.
3.
Berdasarkan pedoman Pasal 33 UUD 1945 Pemerintah dan Legislator saat ini
harus mampu meregulasi suatu kebijakan hukum investasi yang pro rakyat dan
pro kesejahteraan sehingga dalam pelaksanaanya negara dapat mengkontrol
setiap kegiatan investasi perusahaan-perusahaan multinasional. Serta dapat
mengatur dan menguasai cabang-cabang produksi yang harus diperuntukkan
untuk hajat hidup bangsa sendiri. Sehingga kita tidak akan pernah kembali
menjadi "a nation among coolie and coolie among nation" (bangsa kuli atau
menjadi kuli di tengah bangsa-bangsa lain)
79
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adolf, Huala. Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional. Jakarta:Rajawali
Pers, 1991.
Asshidqie, Jimly. Konstitusi Ekonomi, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.
Batubara, Marwan. Penanaman Modal Asing dan Pengkhianatan Konstitusi, Dalam
Fadli Zon, dkk, Dilema Indonesia. Jakarta: Institut For Policy Studies, 2007.
Chandrawulan, An An. Hukum Perusahaan Multinasional, Liberalisasi Hukum
Perdagangan Internasional dan Hukum Penanaman Modal. Bandung: PT
Alumni, 2011.
Gie, Kwik Kian. Membangun Kekuatan Nasional Untuk Kemandirian Bangsa.
Dalam I. Wibowo & F. Wahono. Neoliberalisme. Yogyakarta: Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas, 2003.
Hartono, Sunayati. Beberapa Masalah Transnasional Dalam Penanaman Modal
Asing di Indonesia. Bandung: Penerbit Binacipta, 1972.
Hill. Hal Investasi Asing dan Industrialisasi di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1990.
HS, Salim. Hukum Divestasi di Indonesia. Jakarta: Erlangga, 2010.
Hartono, Sunaryati. Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia. Bandung: Binacipta,
1988.
Iskandar. Hukum Dalam Era Globalisasi dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan
Ekonomi dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup. Bengkulu: Universitas
Bengkulu, 2011.
Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Cet-II. Malang:
Bayumedia Publishing, 2006.
Ilmar, Aminuddin. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
80
Kuncoro, Mudrajad. Ekonomika Pembangunan: Masalah Kebijakan dan Politik.
Jakarta: Erlangga, 2010.
Kartasapoetra, G. Kovensi-konvensi Internasional Tentang Paten Dalam Kaitannya
Dengan Alih Tekonologi dan Kepentingan Nasional. Bandung: Pionir Jaya,
1991.
Kanumoyoso, Bodan.
Menguatnya Peran Ekonomi Negara: Nasionalisasi
Perusahaan Belanda di Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001.
Marzuki, Peter Mahmud. Penilitian Hukum, cet. VIII. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013.
Marjihanto, Bambang. kamus Besar Bahasa Indonesia Populer. Surabaya: Bintang
Timur Offset, 1996.
Majelis Umum PBB. Resolusi kedaulatan Permanen Atas Sumber Daya Alam
(United Nations General Assembly Resolutin on Permanent Sovereignty over
Natural Reource). Nomor 1803 Tahun 1962.
O'Connor, Lee A. The International Law of Expropriation of Foreign-Owned
Property: The Compensation Requirement and the Role of the Taking State.
Los Angeles: Loyola Marymount University and Loyola Law School, 1983.
Panjaitan, Hilman dan Anner Mangatur Sianipar. Hukum Penanaman Modal Asing
Jakarta: CV. INDHILL CO, 2008.
Rachbini, Didik J. Arsitektur Hukum Investasi Indonesia (Analisis Ekonomi Politik).
Jakarta: PT Indeks, 2008.
..............Ekonomi Politik: Kebijakan dan Strategi Pembangunan. Jakarta: Granit,
2004. h. 181-183.
Rustanto. Hukum Nasionalisasi Modal Asing. Jakarta: Penerbit Kuwais, 2012.
Rakhmawati, Rosyidah. Hukum Penanaman Modal Di Indonesia. Malang:
Bayumedia Publishing, 2004.
Rahardjo, Satjipto. Hukum dan Perubahan Sosial: Suatu Tinjauan Teoritis serta
Pengalaman-Pengalaman di Indonesia. Bandung: Alumni, 1979.
81
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.III. Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 1986
Sholihin, Ahmad Ifham. Buku Pintar Ekonomi Syariah. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2010.
Supancana , Ida Bagus Rahmadi. Kerangka Hukum & Kebijjakan Investasi
Langsung Di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.
Siong, Gouw Giok. Segi-Segi Hukum Internasional Pada Nasionalisasi Di
Indonesia. Jakarta: Penerbitan Universitas, 1960.
Sornarajah , M. The International Law Of Foreign Invesment, Third edition. New
York: Cambridge University Press, 2010.
Smith, Rhona K.M, dkk. Hukum Hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PUSHAM UII,
2008.
Supardan , Dadang. Tantangan Nasionalisme Indonesia Dala Era Globalisasi.
Bandung: Univesitas Pendidikan Indonesia, 2008.
Supancana, IBR, dkk. Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal. Jakarta: The
Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP), 2010.
United Nation publication. UNCTAD Series on issues in international investment
agreements “Taking Property”. New York and Geneva: United Nation
publication, 2000.
............. Resolution over Charter of Economic Rights and Duties of The state General
Assembly Resolution 3281: 12 December 1974.
Untung, Hendrik Budi. Hukum Investasi. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar 1945
82
Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi PerusahaanPerusahaan Milik Belanda
Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal
Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2014 Tentang Daftar Bidang Usaha Yang
Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan
Jurnal, Makalah dan Putusan:
Asyikin, Khairul. “Kajian Yuridis Terhadap Prinsip Non Diskriminasi Dalam
Undang-Undang Penanaman Modal Bagi Perlindungan Kepentingan
Nasional”. Jurnal Hukum Universitas Mataram,(Juni: 2013).
Budiman Ginting. “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing Di Indonesia:
Suatu Tantangan Terhadap Kepastian Hukum Atas Kegiatan Investasi Di
Indonesia”. JURNAL EQUALITY Vol. 12, No. 2 (Agustus 2007).
Hartini, Rahayu, “Analisis yuridis UU No 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman
Modal”. UMM: HUMANITY, Volume IV, No. 1 ( September 2009: 48 – 60).
Hariyono, “Kedaulatan Indonesia dalam Perjalanan Sejarah Politik”. Pidato
Pengukuhan Guru Besar, Disampaikan pada Sidang Terbuka Senat
Universitas Negeri Malang. Rabu, 14 Desember 2011.
Suhadi, Antonio, dkk. “Studi Hukum Atas Nasionalisasi Perusahaan Asing; Dasar
Hukum Tindakan Nasionalisasi Untuk Mencapai Kepastian Hukum
Penanaman Modal”. Jurnal Ilmu Hukum dan Kenotariatan (Palembang: FH
Universitas Sriwijaya, 2010).
Rajagukguk, Erman. “Negara Dan Kesejahteraan: Pro dan Kontra Modal Asing”.
Disampaikan pada Diskusi Panel: Kritik Atas Arah Kecenderunga"Supremasi
Hukum". Pasca 1998 Terkait Dengan Modal”, diselenggarakan oleh ELSAM.
HUMA, SAWIT WATCH, INFID, WALHI, AMAN, YLBHI, ICEL. Jakarta:
5 -7 Agustus 2008.
83
.................. “Hukum Investasi dan Pasar Modal”. Modul Kuliah 2 (Pasal 1 s/d Pasal
10 UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal).
.................. “Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi:
Implikasinya Bagi Pendidikan Hukum Di Indonesia”. Pidato pengukuhan
diucapkan pada upacara penerimaan jabatan Guru Besar dalam bidang
hukum. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 4 Januari 1997.
Putusan Mahkamah Konstitusi perkara Nomor 21,22/PUU-V/2007, tanggal 25 Maret
2008.
Dokumen Elektronik dan Internet:
Badan Pertahanan Nasional. “Data konsentrasi kepemilikan aset asing meningkat”
diakses dari http://m.republika.co.id/berita/koran/financial/. Pada 16/02/2015.
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM ). “Data investasi”. Data diakses dari
http://www.jurnalparlemen.com/view/. Pada 16/02.2015.
Kamus Bahasa Indonesia, Di unduh dari http//kbbi.web.id/nasionalisasi pada 5
januari pukul 18.30 WIB
Leks & C0 Law Firm, “Pemerintah Menerbitkan Daftar Negatif Indonesia Terbaru”
Artikel Diunduh dari http://hukumpenanamanmodal.com/. Pada 10/02/2015
Mukeri. “Kemandirian Ekonomi Sebagai Solusi Kemajuan Bangsa”. Artikel diakses
dari http://jurnal.unpand.ac.id/index.php/dinsain/article. Pada 9/02/2015
Noorsy, Ichsanuddin. “Kerakyatan Versus Neoliberal”. Artikel diakses dari
www.spi.or.id/wp-content/uploads/PDF/002.pdf. pada 10/02/2015
Yudiatmaja, Wayu Eko. “Nasionalisasi PT. Freeport Indonesia”. Artikel diakses dari
http://wayuguci.com/Nasionalisasi-PT- Freeport Indonesia. pada 16/02/2015
Download