Untitled - sapa indonesia

advertisement
1
ii
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
KATA PENGANTAR
Pelaksanaan desentralisasi fiskal yang dimulai sejak tahun 2001
menunjukkan fakta bahwa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus meningkat.
Alokasi dana dimaksud diharapkan dapat meningkatkan kinerja daerah dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan termasuk penyediaan layanan publik
yang memadai. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah
dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan output/
pelayanan publik yang optimal.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan instrumen
kebijakan fiskal yang utama bagi pemerintah daerah. Anggaran Belanja
Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan potret pemerintah
daerah dalam menentukan skala prioritas terkait program dan kegiatan
yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran. Penetapan prioritasprioritas tersebut beserta upaya pencapaiannya merupakan konsekuensi
dari meningkatnya peran dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam
mengelola pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya.
Dengan demikian, daerah harus memastikan dana tersebut benar-benar
dimanfaatkan untuk program dan kegiatan yang memiliki nilai tambah besar
bagi masyarakat.
Dengan jumlah daerah yang telah mencapai 539 pemerintah daerah saat
ini, maka informasi mengenai APBD secara nasional sangat diperlukan guna
menunjang ketepatan pengambilan kebijakan di bidang hubungan keuangan
antara pusat dan daerah. Dalam konteks itulah perlu diperoleh gambaran
tentang kondisi fiskal atau keuangan seluruh daerah berdasarkan data yang
berasal dari APBD Tahun Anggaran 2014 dari seluruh pemerintah provinsi,
Kata Pengantar
iii
kabupaten dan kota. Buku ini akan menyajikan berbagai rasio keuangan
aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit dan pembiayaan daerahnya yang
dapat dilihat baik secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota),
per provinsi, kabupaten dan kota per provinsi maupun berdasarkan wilayah
(Sumatera, Jawa Bali, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Maluku Papua).
Kami mengharapkan agar buku Deskripsi dan Analisis APBD 2014 ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak-pihak yang berkepentingan baik di pusat
maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan
yang terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Jakarta,
Juni 2014
Plt. Direktur Evaluasi Pendanaan
dan Informasi Keuangan Daerah
Rukijo
NIP 19670210 199310 1 001
iv
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
RINGKASAN EKSEKUTIF
• Secara agregat, rata-rata pajak yang bisa dipungut oleh pemerintah
daerah, baik provinsi maupun kabupaten dan kota hanya 2,1% dari
PDRB non migas. Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio pajak tertinggi
yaitu sebesar 9,4%. Hal ini tentunya didukung oleh posisi DKI Jakarta
sebagai pusat pemerintahan dan perekonomian, sehingga perkembangan
ekonominya jauh lebih maju dan kemungkinan menggali pajak jauh
lebih besar karena basis pajak yang ada di DKI Jakarta cukup banyak.
Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah
Provinsi Papua Barat yaitu sebesar 0,4%.
• Mengingat bahwa kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk
memungut pajak daerah bersifat terbatas (closed list) dan sumber
penerimaan pajak daerah yang berlaku saat ini cenderung bias ke daerah
yang tingkat urbanisasinya tinggi (urban-biased), seperti Pajak Hotel,
Pajak Restoran, dan Pajak Kendaraan Bermotor, hal ini menyebabkan
untuk daerah yang unsur kekotaannya tidak terlalu tinggi, potensi
penerimaan pajaknya menjadi kecil.
• Provinsi Kalimantan Timur mempunyai ruang fiskal tertinggi yaitu
mencapai 61,7%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi Kalimantan Timur
tentunya didukung oleh penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil yang
cukup besar yaitu mencapai 60,6% dari total Pendapatan Daerah.
Meskipun Belanja Pegawai di Provinsi Kalimantan Timur mencapai
34,3% dari total pendapatan, namun masih menyisakan ruang fiskal
yang besar sehingga porsi Belanja Modalnya pun mencapai 58,4% dari
total pendapatannya.
• Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu 22,2%.
Porsi Belanja Pegawai pemerintah daerah se-Provinsi Aceh sangat besar
Ringkasan Eksekutif
5
yaitu 42,5% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang
tersisa sangat kecil. Dengan demikian Provinsi Aceh harus memanfaatkan
ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah yang tepat
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
• Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan alokasi transfer
oleh Pemerintah dengan penetapan dalam APBD, secara umum untuk
alokasi Dana Perimbangan yang penyampaian informasinya ke publik
dilakukan segera setelah pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat
dimanfaatkan dengan baik oleh daerah dalam menyusun APBD. Adapun
untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan lebih lambat dari DAU
dan DAK (sekitar Desember hingga Januari) atau setelah APBD ditetapkan
oleh daerah, nampak terjadi deviasi yang relatif tinggi antara penetapan
alokasi dari Pusat dengan penetapan dalam APBD.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja
Pegawai terhadap total Belanja Daerah adalah 42,78%. Rasio ini lebih
rendah dari tahun anggaran sebelumnya yang mencapai rata-rata 44,7%.
Penurunan rasio belanja pegawai secara konsisten dalam beberapa tahun
terakhir, meskipun penurunannya relatif kecil namun menunjukkan upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah.
• Terdapat 5 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai lebih dari 50 %,
yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat, Provinsi Bengkulu, Provinsi Sumatera
Barat, Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsiprovinsi tersebut hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk
jenis-jenis belanja selain Belanja Pegawainya. Hal ini akan menyebabkan
keterbatasan program dan kegiatan daerah di luar Belanja Pegawai yang
bisa didanai, khususnya dalam mendukung pemenuhan layanan publik.
• Sulawesi adalah wilayah yang memiliki rasio Belanja Pegawai tertinggi,
yaitu sebesar 48,65% sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio
yang terendah dengan angka sebesar 33,37%. Rasio Belanja Pegawai
6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
per wilayah terhadap total Belanja Daerahnya masih di bawah 50,0%.
Dengan demikian, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah
Belanja Daerahnya untuk membayar Belanja Pegawai dan memiliki lebih
sedikit porsi Belanja Daerah yang dapat digunakan untuk mendanai
program/kegiatan non pegawai jika dibandingkan dengan wilayah lainnya.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru
terhadap total PNSD adalah 49,41%. Rasio ini mengalami peningkatan
dari tahun sebelumnya yang mencapai 47,6%. Peningkatan rasio jumlah
guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara
keseluruhan, sekali lagi menunjukkan bahwa daerah telah menjadi lebih
rasional dalam alokasi belanja pegawainya dengan semakin menurunkan
porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS yang bekerja di
bidang administrasi.
• Rata-rata rasio Belanja Modal terhadap total belanja secara agregat
provinsi, kabupaten dan kota sebesar 24,81%. Tahun 2012, rata-rata
porsi belanja modal menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah yaitu
sebesar 23,4%. Dengan demikian telah terjadi shifting dari penurunan
porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal. Hal ini
merupakan indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur belanja
daerah. Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dengan angka sebesar 12,59% sedangkan rasio
tertinggi terdapat pada Provinsi Kalimantan Timur, yaitu sebesar 44,08%.
• Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata pengeluaran daerah
untuk Belanja Bantuan Sosial adalah 1,05%. Meskipun relatif kecil,
namun belanja bantuan sosial ini perlu dicermati karena mempunyai
potensi untuk tumpang tindih dengan belanja yang seharusnya menjadi
tanggung jawab SKPD. Selain itu, jenis belanja ini juga cukup rentan
terhadap isu politik yang seringkali membuat dispute antara eksekutif dan
legislative. Terdapat 9 provinsi yang angka rasionya melebihi angka ratarata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Daerah yang memiliki rasio
terbesar secara agregat adalah Provinsi Kepulauan Riau, yaitu sebesar
Ringkasan Eksekutif
7
3,71%, diikuti oleh DKI Jakarta, Papua. Papua Barat dan Aceh. Hal ini
perlu dicermati mengingat Aceh yang mempunyai Ruang Fiskal terkecil
di Indonesia, rasio Belanja Modal kedua terendah di Indonesia, namun
mempunyai rasio bantuan sosial yang relatif tinggi dibandingkan daerah
lainnya.
• Data APBD menunjukkan bahwa adanya kecenderungan daerah untuk
menganggarkan defisit dalam APBD-nya. Hal ini terlihat dari 491
kabupaten/kota dan 33 provinsi di Indonesia pada Tahun Anggaran
(TA) 2013 sebanyak 457 daerah menganggarkan defisit dalam APBDnya, meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 447 daerah yang
menganggarkan defisit. Kecenderungan daerah menganggarkan defisit
tersebut karena adanya SiLPA dalam APBD mereka, artinya sebenarnya
secara umum daerah tidak sedang dalam kondisi defisit secara riil, tetapi
mereka menganggarkan defisit karena untuk menyerap SiLPA tahun
sebelumnya. Hal lain yang juga menarik untuk dicermati adalah bahwa
pada umumnya daerah terbukti mengalami surplus pada saat realisasi.
• Rata-rata rasio defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten,
dan kota) adalah 7,5% dengan kontribusi SiLPA untuk menutup defisit
tersebut sekitar 91,3% sedangkan kontribusi penerimaan pinjaman dan
obligasi daerah 5,9%. Provinsi Kalimantan Timur merupakan daerah
dengan rasio defisit terbesar di mana faktor utama penyebab hal tersebut
adalah untuk mengakomodasi SiLPA tahun sebelumnya yang jumlahnya
cukup besar agar bisa digunakan dalam belanja publik.
• Dalam APBD kabupaten, kota dan provinsi terdapat beberapa daerah yang
besaran defisit yang dianggarkan tidak bisa ditutup dengan pembiayaan,
sehingga defisit ditambah pembiayaan masih bernilai minus. Kabupaten
Sarmi merupakan daerah dengan nilai Defisit APBD yang tidak ter-cover
oleh pembiayaan terbesar yaitu sebesar Rp80 miliar. Hal ini harus menjadi
perhatian Pemerintah Pusat sebagai otoritas yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan pembinaan di bidang pengelolaan keuangan, karena
fenomena di atas menunjukkan bahwa terdapat daerah-daerah yang
8
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
akan menganggarkan belanja tanpa adanya kepastian sumber dananya.
Hal ini secara normatif tidak layak untuk dilakukan karena menimbulkan
ketidakpastian dalam alokasi belanja publik.
• Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah tertinggi ada di wilayah Kalimantan
(15,62%), rata-rata nasional untuk rasio ini adalah sebesar 7,75%,
semakin besar rasio menunjukkan semakin besar dana idle yang tidak
dapat dimanfaatkan pada tahun 2012, sedangkan rasio terendah SiLPA
terhadap belanja terjadi di wilayah Sulawesi (2,93%).
• Rasio pinjaman terhadap pendapatan APBD secara rata-rata adalah
sebesar 0,7%. Nilai tersebut masih jauh lebih kecil dibanding batas
pinjaman yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/
PMK.07/2012, yaitu 6% dari total Pendapatan Daerah untuk masingmasing pemerintah daerah. Secara agregat provinsi, kabupaten, dan
kota tidak tampak daerah yang melampaui batas yang ditentukan, ini
disebabkan pemerintah telah menaikkan batas ketentuan yaitu dari 3,5%
di TA 2011 (Peraturan Menteri Keuangan Nomor 149/PMK07/2010
menjadi 5% di TA 2012 dan TA 2013). Rasio pinjaman tertinggi adalah
Sulawesi Tenggara (4,3%).
• Pergerakan dana pemda di perbankan pada bulan Desember merupakan
titik terendah dalam tiap tahunnya dan kembali meningkat pada awal
tahun berikutnya. Besaran dana pemda di perbankan Desember 2012
lebih besar dibanding dengan Desember 2011, hal tersebut menunjukkan
adanya peningkatan besaran SiLPA tahun berkenaan tahun 2012.
Ringkasan Eksekutif
9
Daftar Isi
KATA PENGANTAR...................................................................................iii
RINGKASAN EKSEKUTIF............................................................................v
Daftar Isi...............................................................................................x
Daftar Tabel.......................................................................................xiii
Daftar Grafik..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang...........................................................................1
B. Gambaran Umum APBD 2014....................................................2
1. Pendapatan Daerah..................................................................5
2. Belanja Daerah.........................................................................7
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah...................................9
C. Trend APBD (2010 – 2014).......................................................11
BAB II ANALISIS PENDAPATAN DAERAH................................................. 21
A. Rasio Pajak (Tax Ratio)..............................................................24
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................25
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi ..........................26
3. Pemerintah Provinsi...............................................................28
4. Per Wilayah............................................................................29
B. Pajak per Kapita (Tax per Capita)..............................................29
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................30
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................31
3. Pemerintah Provinsi................................................................32
4. Per Wilayah............................................................................33
C. Ruang Fiskal (Fiscal Space).......................................................34
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................35
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................36
3. Pemerintah Provinsi................................................................38
x
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
4. Per Wilayah............................................................................40
D. Rasio Ketergantungan Daerah..................................................41
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................41
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................43
3. Pemerintah Provinsi................................................................44
4. Per Wilayah...........................................................................45
E. Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD.........................46
1. Dana Bagi Hasil (DBH)............................................................48
2. Dana Alokasi Umum (DAU)....................................................50
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)....................................................51
BAB III ANALISIS BELANJA DAERAH...................................................... 54
A. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah .............56
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................57
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................59
3. Pemerintah Provinsi................................................................61
4. Per Wilayah............................................................................62
B. Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah.................64
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota...................................65
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...........................66
3. Pemerintah Provinsi ...............................................................67
4. Per Wilayah............................................................................68
C. Rasio Belanja Modal terhadap Jumlah Penduduk......................69
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................70
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................71
3. Pemerintah Provinsi................................................................72
4. Per Wilayah............................................................................73
D. Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Daerah.....74
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................75
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ..........................76
3. Pemerintah Provinsi................................................................77
4. Per Wilayah............................................................................78
BAB IV ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............ 80
Daftar Isi
xi
A. Defisit......................................................................................80
1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota...................................81
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi...........................82
3. Pemerintah Provinsi................................................................83
4. Per Wilayah............................................................................84
5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh
pembiayaan...........................................................................85
B. Pembiayaan Daerah.................................................................88
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran...........................................91
C. Penerimaan Pembiayaan yang berasal dari Pinjaman................95
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota....................................96
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi............................97
3. Pemerintah Provinsi................................................................97
4. Per Wilayah............................................................................98
5. Daerah yang Melampaui Batas Maksimal Defisit yang Dibiayai
Pinjaman...............................................................................99
D.Dana Idle............................................................................... 101
BAB V REALISASI BELANJA DAERAH APBD 2014 SAMPAI DENGAN
BULAN MEI 2014................................................................................. 104
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 110
UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... 111
xii
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)......................2
Tabel 1.2 Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)...............................5
Tabel 1.3 Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA Per Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................19
Tabel 2.1
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH
Tertinggi....................................................................................48
Tabel 2.2
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH
Tertinggi....................................................................................49
Tabel 2.3 Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif
Tertinggi....................................................................................50
Tabel 2.4
Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi.....51
Tabel 2.5
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK
Tertinggi....................................................................................52
Tabel 2.6 Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK
Tertinggi....................................................................................53
Tabel 4.1
Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh
Pembiayaan................................................................................85
Tabel 4.2
Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan.................86
Tabel 4.3
Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan..........100
Daftar Tabel
xiii
Daftar Grafik
Grafik 1.1 Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014....................................4
Grafik 1.2 Komposisi Belanja Daerah APBD 2014...........................................4
Grafik 1.3 Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah.........................6
Grafik 1.4 Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah................................7
Grafik 1.5 Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah.............................................9
Grafik 1.6 Trend APBD TA 2010 – 2014.......................................................11
Grafik 1.7 Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 ................12
Grafik 1.8 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Pendapatan Daerah per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota..................................14
Grafik 1.9 Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014........................................15
Grafik 1.10 Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota ..................................17
Grafik 2.1 Perkembangan Pendapatan Asli Daerah.......................................22
Grafik 2.2 Perkembangan Transfer ke Daerah..............................................23
Grafik 2.3 Rasio Pajak Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota......................26
Grafik 2.4 Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi .............27
Grafik 2.5 Rasio Pajak Pemerintah Provinsi...................................................28
Grafik 2.6 Rasio Pajak per Wilayah..............................................................29
Grafik 2.7 Rasio Pajak per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota......31
Grafik 2.8 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Kabupaten dan kota
se-Provinsi..................................................................................32
Grafik 2.9 Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi.....................................33
Grafik 2.10 Rasio Tax per Kapita Per Wilayah.................................................34
xiv
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.11 Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota....................36
Grafik 2.12 Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi ..........38
Grafik 2.13 Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi................................................38
Grafik 2.14 Ruang Fiskal Per Wilayah............................................................40
Grafik 2.15 Rasio Ketergantungan Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota......42
Grafik 2.16 Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota
Se-Provinsi ................................................................................43
Grafik 2.17 Rasio Ketergantungan Pemerintah Provinsi..................................44
Grafik 2.18 Rasio Ketergantungan Per Wilayah..............................................45
Grafik 3.1 Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota........................................58
Grafik 3.2 Rasio Jumlah Guru terhadap Total PNSD Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota...................................................................59
Grafik 3.3 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................60
Grafik 3.4 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi ..................................................................61
Grafik 3.5 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Provinsi......................................................................................62
Grafik 3.6 Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah........63
Grafik 3.7 Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah...................64
Grafik 3.8 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota...................................................................66
Grafik 3.9 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................67
Grafik 3.10 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah
Provinsi......................................................................................68
Grafik 3.11 Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah..........69
Daftar Grafik
xv
Grafik 3.12 Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................70
Grafik 3.13 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Kabupaten dan Kota
se-Provinsi .................................................................................72
Grafik 3.14 Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi ...................73
Grafik 3.15 Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah ...............................74
Grafik 3.16 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota.....................................................76
Grafik 3.17 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi ...............................77
Grafik 3.18 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi ..................................................................78
Grafik 3.19 Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
per Wilayah ...............................................................................79
Grafik 4.1 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan, Agregat Provinsi,
Kabupaten, dan Kota..................................................................81
Grafik 4.2 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Kabupaten
dan Kota se-Provinsi ..................................................................82
Grafik 4.3 Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi....83
Grafik 4.4 Rasio Defisit terhadap Pendapatan Per Wilayah............................84
Grafik 4.5 Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota...........................88
Grafik 4.6 Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................88
Grafik 4.7 Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota................90
Grafik 4.8 Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan
Pembiayaan................................................................................90
Grafik 4.9 Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota...........................................................................................92
xvi
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 4.10 Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota seProvinsi......................................................................................93
Grafik 4.11 Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi.............94
Grafik 4.12 Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah ...................................95
Grafik 4.13 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi,
Kabupaten dan Kota...................................................................96
Grafik 4.14 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah
Kabupaten dan Kota se-Provinsi .................................................97
Grafik 4.15 Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi...........98
Grafik 4.16 Rasio pinjaman/pendapatan per wilayah ....................................99
Grafik 4.17 Dana Pemda di Perbankan per Bulan (Bulan Desember).............102
Grafik 4.18 Dana Pemda di Perbankan Agregat Kab/kota/Provinsi................103
Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)..............................106
Grafik 5.2 Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota)
Bulan Mei 2014 (triliun rupiah) ................................................107
Grafik 5.3 Realisasi Belanja Daerah Secara Agregat Provinsi, Kabupaten, dan
Kota Per Provinsi Bulan Mei 2014 (%)........................................108
Daftar Grafik
xvii
xviii
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Dalam rangka melaksanakan pelayanan publik di daerah, instrumen
utama yang digunakan dalam kebijakan fiskal adalah melalui APBD.
Pelaksanaan APBD dimaksud diharapkan dapat mendorong pertumbuhan
ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pembangunan di
berbagai sektor. APBD yang direncanakan setiap tahun dengan mendapatkan
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) pada dasarnya
menunjukkan sumber-sumber pendapatan daerah, berapa besar alokasi
belanja untuk melaksanakan program/kegiatan, serta pembiayaan yang
muncul apabila terjadi surplus atau defisit. Pendapatan daerah bersumber
dari penerimaan pajak daerah, retribusi daerah, dana transfer dari pemerintah
pusat, serta dari lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Perwujudan pelayanan publik di daerah berkorelasi erat dengan kebijakan
belanja daerah. Belanja daerah merupakan seluruh pengeluaran yang
dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan
yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan publik
di daerah. Dalam pelaksanaan penganggaran dapat terjadi selisih antara
pendapatan dan belanja daerah (surplus/defisit), dan untuk selanjutnya
ditutup dengan kebijakan pembiayaan daerah. Apabila terjadi surplus, daerah
harus menganggarkan untuk pengeluaran pembiayaan tertentu, misalnya
untuk investasi, atau dapat juga dengan mengoptimalisasi dana tersebut guna
mendanai belanja kegiatan yang telah direncanakan. Sebaliknya apabila terjadi
defisit, daerah perlu mencari alternatif pembiayaan berupa pinjaman daerah,
Pendahuluan
1
penggunaan SiLPA, atau dapat pula melakukan penghematan anggaran
dengan melakukan penyisiran kegiatan yang tidak perlu dilaksanakan atau
ditunda pelaksanannya.
Untuk melihat gambaran secara komprehensif atas anggaran daerah
pada tahun 2014, diperlukan suatu telaah ringkas mengenai APBD 2014
secara agregatif, maupun terpisah antara provinsi dengan kabupaten/kota.
Analisis ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang kondisi fiskal
atau keuangan seluruh daerah di Indonesia, berdasarkan data yang berasal
dari APBD TA 2014 dari seluruh Pemerintah Provinsi, Kabupaten, dan Kota.
Analisis APBD dilakukan dari aspek pendapatan, belanja, surplus/defisit,
dan pembiayaan. Dalam analisis ini juga digunakan beberapa data sekunder
lainnya berupa data anggaran sebelum APBD 2014, realisasi APBD tahuntahun sebelumnya, hingga data pendukung lainnya yang digunakan untuk
melakukan analisis time-series. Alat analisis utamanya adalah rasio keuangan
yang dilakukan secara nasional (agregat provinsi, kabupaten dan kota), per
provinsi, kabupaten dan kota dan berdasarkan wilayah (Sumatera, Jawa dan
Bali, Kalimantan, Sulawesi, serta Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua).
B.Gambaran Umum APBD 2014
Gambaran umum APBD 2014 secara nasional (konsolidasi) dapat dilihat
pada Tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1
Ringkasan APBD 2014 secara Nasional (Konsolidasi)
Uraian
Nasional
(Juta Rupiah)
Pendapatan
759.476.113
PAD
180.347.447
Dana Perimbangan
482.221.122
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Belanja
2
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
96.907.544
817.674.081
Uraian
Nasional
(Juta Rupiah)
Belanja Barang dan jasa
182.522.886
Belanja Modal
213.669.585
Belanja Pegawai
326.736.914
Belanja Lain-lain
Surplus/defisit
94.744.696
(58.197.968)
Pembiayaan Netto
59.197.160
Penerimaan Pembiayaan
74.617.064
SiLPA TA sebelumnya
70.686.810
Pencairan dana cadangan
579.179
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
65.621
Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah
2.192.461
Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman
Pengeluaran Pembiayaan
Pembentukan Dana Cadangan
Penyertaan Modal (Investasi) Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pemberian Pinjaman Daerah
Pembayaran Kegiatan Lanjutan
Pengeluaran Perhitungan Pihak Ketiga
1.092.993
15.419.903
582.866
12.136.858
2.296.522
220.896
15.985
166.777
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
Dari Tabel 1.1. di atas, komposisi Pendapatan Daerah dalam APBD 2014
terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah. Sementara itu, besarnya jumlah dana dan
persentase dari masing-masing komposisi Pendapatan Daerah terhadap total
dapat dilihat pada Grafik 1.1 di bawah ini. Dari Grafik 1.1 tersebut dapat
dilihat bahwa Dana Perimbangan yang bersumber transfer dari pusat masih
mendominasi sumber Pendapatan Daerah, yaitu mencapai sebesar Rp482,22
triliun (63,49%). Sementara itu PAD dan Lain-lain Pendapatan Daerah yang
Sah masing-masing hanya mencapai sebesar Rp180,35 triliun (23,75%) dan
sebesar Rp96,91 triliun (12,76%).
Pendahuluan
3
Grafik 1.1
Komposisi Pendapatan Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
96.907.544
12,76%
180.347.447
23,75%
PAD
Dana Perimbangan
482.221.122
63,49%
Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
Grafik 1.2
Komposisi Belanja Daerah APBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
131.995.827
15,44%
182.522.886
21,35%
Belanja Barang dan jasa
326.736.914
38,22%
diolah)
213.669.585
24,99%
Belanja Modal
Belanja Pegawai
Belanja Lain-lain
Grafik 1.2
Komposisi Belanja DaerahAPBD 2014 (Dalam Juta Rupiah)
Sumber: APBD 2014 (data diolah)
4
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Sumber: APBD 2014
Grafik 1.2 menunjukkan komposisi Belanja Daerah secara nasional yang
mencapai Rp817,67 triliun. Dari jumlah tersebut, porsi Belanja Pegawai
masih mendominasi, yaitu mencapai sebesar Rp326,74 triliun (38,22%),
sedangkan Belanja Modal, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Lainnya
masing-masing mencapai sebesar Rp213,67 triliun (24,99%), sebesar
Rp182,52 triliun (21,35%), dan sebesar Rp131,96 triliun (15,44%).
Dari defisit APBD 2014 secara nasional yang mencapai Rp58,20
triliun, memerlukan Pembiayaan sebesar Rp59,20 triliun, yang terdiri dari
Penerimaan Pembiayaan (SiLPA, Pinjaman dan lain-lain) sebesar Rp74,62
triliun dan Pengeluaran Pembiayaan sebesar Rp15,42 triliun. Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 1.2.
Tabel 1.2
Pembiayaan Daerah APBD 2014 (Juta Rupiah)
Pembiayaan
59.197.160
Penerimaan Pembiayaan
74.617.063
Pengeluaran Pembiayaan
(15.419.903)
Sumber: APBD 2014 (diolah)
Selanjutnya, rincian komposisi APBD Tahun 2014 untuk provinsi,
kabupaten, dan kota dapat dikelompokkan sesuai dengan wilayah pulaunya
masing-masing. Pengelompokan daerah berdasarkan pulau terdiri dari daerahdaerah di Pulau Jawa dan Bali, daerah-daerah di deretan pulau di timur
Indonesia antara lain Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, daerah-daerah di
pulau Sumatera, pulau Kalimantan, dan pulau Sulawesi.
1. Pendapatan Daerah
Potret rasio Pendapatan Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 pada kabupaten, kota, dan provinsi di beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
Pendahuluan
5
Grafik 1.3
Rasio Pendapatan Daerah APBD 2014 Per Wilayah
80%
70%
60%
Persentase
50%
40%
30%
20%
10%
0%
PAD/Total Pendapatan
Dana Perimbangan/Total
Pendapatan
Lain-lain Pend. Daerah yang
sah/Total Pendapatan
Sumatera
15,66%
71,43%
12,91%
Jawa-Bali
37,36%
50,19%
12,45%
Kalimantan
18,83%
73,51%
7,66%
Sulawesi
14,14%
74,55%
11,31%
NT-Maluku-Papua
7,08%
73,14%
19,78%
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Dari Grafik 1.3 di atas, dapat dilihat bahwa daerah yang mempunyai rasio
PAD dibandingkan dengan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah
daerah-daerah di wilayah Jawa dan Bali, yaitu mencapai 37,36%. Sementara
itu daerah-daerah yang mempunyai rasio terendah berada di wilayah pulau
Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua, yaitu hanya 7,08%. Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat kemandirian seluruh daerah yang berada di wilayah Jawa dan
Bali relatif lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya.
Dalam kaitannya dengan rasio Dana Perimbangan apabila dibandingkan
dengan total Pendapatan Daerah, dapat dilihat bahwa secara agregat daerahdaerah di wilayah pulau Jawa dan Bali hanya memiliki ketergantungan
terhadap Dana Perimbangan paling rendah, yaitu 50,19%. Adapun wilayah
yang memiliki tingkat ketergantungan tertinggi terhadap Dana Perimbangan
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
adalah di wilayah Sulawesi yang mencapai 74,55% persen. Sementara itu
6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
untuk rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang sah terhadap total Pendapatan
Daerah dapat disampaikan bahwa wilayah di pulau Nusa Tenggara, Maluku,
dan Papua masih yang tertinggi hingga mencapai 19,78%, sedangkan
wilayah Sumatera memiliki rasio sebesar 12,91%. Untuk wilayah Kalimantan
memiliki rasio yang paling rendah, yaitu sebesar 7,66%. Salah satu faktor
penyebab dua wilayah yaitu pulau Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua serta
pulau Sumatera memiliki rasio lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang
relatif tinggi terutama adanya dana Otonomi Khusus di wilayah tersebut, yaitu
di Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Aceh.
2. Belanja Daerah
Potret rasio Belanja Daerah berdasarkan data konsolidasi APBD Tahun
2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada beberapa wilayah secara agregat
menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.4
Rasio Belanja Daerah APBD 2014 Per Wilayah
50%
Persentase
40%
30%
20%
10%
0%
Bel. Pegawai/Tot. Belanja
Bel. Modal/Tot. Belanja
Bel. Barang & Jasa/Tot. Belanja
Sumatera
41,06%
26,56%
22,73%
Jawa-Bali
41,10%
23,86%
21,97%
Kalimantan
32,29%
35,19%
22,94%
Sulawesi
47,52%
22,77%
21,39%
NT-Maluku-Papua
35,75%
25,60%
22,40%
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Pendahuluan
7
Dari Grafik 1.4. dapat dilihat bahwa Belanja Pegawai masih menempati
porsi terbesar dalam Belanja Daerah APBD Tahun 2014, yang selanjutnya
diikuti oleh Belanja Modal, serta Belanja Barang dan Jasa.
Di wilayah Sulawesi, Belanja Pegawai mencapai 47,52%, atau terbesar
apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, sedangkan porsi Belanja
Pegawai di wilayah Kalimantan menempati posisi yang terendah, yaitu
32,29%. Sementara itu, apabila dilihat dari rasio jumlah pegawai terhadap
total jumlah penduduk di wilayah Sulawesi dan wilayah Kalimantan
secara berturut-turut adalah 1:83 dan 1:94. Hal ini berarti bahwa 1 (satu)
orang PNSD di wilayah Sulawesi memberikan layanan publik kepada 83
orang penduduk. Sedangkan di wilayah Kalimantan 1 (satu) orang PNSD
memberikan layanan publik kepada 94 orang penduduk.
Sebagai perbandingan, rasio PNSD dan penduduk di wilayah Jawa dan
Bali adalah 1:196. Hal ini dapat diartikan bahwa jumlah PNSD di wilayah
Jawa masih sedikit karena total penduduknya sangat banyak, sehingga
rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja juga besar, yaitu 41,10%.
Berbagai pengeluaran kegiatan yang terangkum dalam akun Belanja Modal
di wilayah Jawa dan Bali sangat kecil, yaitu hanya 23,86%. Hal ini dapat
memunculkan 2 (dua) pendapat, yaitu kebutuhan infrastruktur di wilayah
Jawa dan Bali relatif rendah sehingga setiap daerah di wilayah tersebut tidak
perlu menganggarkan terlalu banyak Belanja Modal, atau atau memang APBD
di semua daerah di wilayah Jawa dan Bali dirasakan cukup berat untuk
diarahkan dalam pemberian pelayanan publik yang dicerminkan dari besarnya
jumlah pegawai dan rasio Belanja Pegawai per Total Belanjanya yang juga
besar.
Untuk daerah-daerah di wilayah Kalimantan menunjukkan perkembangan
pembangunan infrastruktur yang paling signifikan. Hal ini tercermin dari rasio
Belanja Modalnya yang mencapai 35,19%, demikian pula rasio Belanja
Barang dan Jasanya yang juga relatif tinggi yaitu 22,94%.
8
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
3. Surplus, Defisit, dan Pembiayaan Daerah
Potret beberapa rasio yang terkait Pembiayaan Daerah berdasarkan
data konsolidasi APBD Tahun 2014 di kabupaten, kota, dan provinsi pada
beberapa wilayah secara agregat menunjukkan fakta sebagai berikut:
Grafik 1.5
Pembiayaan APBD 2014 Per Wilayah
NT-Maluku-Papua
Sulawesi
Kalimantan
Jawa-Bali
Sumatera
-25%
Pinjaman/Pendapatan
-20% -15% -10%
-5%
0%
5%
Sumatera
Jawa-Bali
Kalimantan
0,29%
0,14%
0,16%
10%
15%
20%
25%
Sulawesi
NT-Maluku-Papua
0,89%
0,43%
SiLPA/Pendapatan
9,02%
8,85%
21,48%
3,78%
4,56%
Defisit/Pendapatan
-8,18%
-5,99%
-20,52%
-3,83%
-3,79%
Sumber: Data Konsolidasi APBD 2014 (Diolah)
Besarnya defisit APBD Tahun 2014 yang paling tinggi terjadi di wilayah
Kalimantan, yaitu mencapai 20,52%. Untuk menutup defisit tersebut,
seluruh daerah di wilayah Kalimantan bisa menggunakan SiLPA tahun lalu
dikarenakan persentase SiLPA sudah melampaui defisit tersebut. Namun
demikian, bila dilihat dari rasio pinjaman daerah sekitar 0,16%, maka bisa
ditengarai bahwa tidak seluruh daerah itu mempunyai SiLPA yang besar
untuk menutup defisit anggarannya. Hal ini berarti bahwa bisa juga sebagian
Pendahuluan
9
daerah tersebut mengandalkan penerimaan pembiayaan dari pinjaman untuk
menutup defisit anggaran daerahnya.
Potret nilai agregat defisit anggaran yang secara langsung bisa ditutup
dengan SiLPA tahun sebelumnya juga terlihat di wilayah Sumatera, wilayah
Jawa dan Bali, dan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Di wilayah
Sulawesi terlihat sedikit berbeda, dimana secara agregat rasio defisitnya
sebesar -3,83% akan tetapi SiLPA-nya hanya 3,78%, sehingga secara agregat
pinjaman daerah di wilayah tersebut mencapai 0,89%. Hal ini ditengarai
bahwa sebagian besar daerah memutuskan untuk melakukan pinjamam
sebagai upaya antisipasi apabila proyeksi pendapatan daerahnya tidak
tercapai. Di sisi yang lain sebagian daerah juga membuat kebijakan ekspansi
pembangunan dengan mengandalkan sumber pembiayaan berupa pinjaman
daerah.
Melihat dari besarnya ketergantungan daerah atas dana Transfer ke
Daerah serta besarnya resiko fiskal yang ditanggung oleh APBN, maka daerah
seyogyanya juga harus memasukkan berbagai resiko fiskal yang terkait dalam
proyeksi pendapatan maupun belanja daerah. Porsi Belanja Pegawai yang
masih tinggi berdampak terhadap berkurangnya alternatif untuk melakukan
efisiensi belanja daerah. Hal ini berarti daerah harus melakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan PADnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Upaya optimalisasi pajak daerah dan retribusi daerah berdasarkan UU No. 28
Tahun 2009 lebih mengedepankan pada perluasan objek pajak, penambahan
jenis pajak baru secara limitatif, serta optimalisasi tarif pajak yang akan
dipungut berdasarkan diskresi masing-masing daerah.
Perkembangan anggaran pajak daerah dan retribusi daerah setiap
tahunnya menunjukkan trend peningkatan yang cukup besar. Apabila pada
tahun 2010 total pajak daerah secara nasional hanya sebesar Rp47,68
triliun, maka sejak diberlakukannya UU tersebut seluruh pemerintah daerah
pada tahun 2014 telah menganggarkan penerimaan dari pajak daerah sebesar
Rp132,93 triliun atau meningkat sebesar 178,80 persen. Begitu juga dengan
10
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
retribusi daerah di mana pada tahun 2010 hanya sebesar Rp8,03 triliun lalu
mengalami peningkatan terus setiap tahunnya hingga di tahun 2014 menjadi
sebesar Rp13,21 triliun atau meningkat sebesar 64,51%.
C.Tren APBD (2010 – 2014)
Tren APBD Tahun 2010-2014 yang telah dikonsolidasikan dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Grafik 1.6
Trend APBD TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
1.000.000
Milyar Rupiah
800.000
600.000
400.000
200.000
0
(200.000)
Pendapatan
2010
2011
2012
2013
2014
386.338
459.893
551.946
653.512
759.476
Belanja
426.857
495.274
592.660
707.890
817.674
Surplus/defisit
(40.519)
(35.381)
(40.714)
(54.378)
(58.198)
Pembiayaan Netto
40.791
36.119
41.120
54.814
59.197
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (diolah)
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 20102014, pendapatan daerah setiap tahunnya meningkat rata-rata sebesar
18,42%. Pendapatan Daerah di tahun 2014 menjadi 759,48 triliun, atau
meningkat sebesar Rp105,97 triliun (16,21%) dari tahun sebelumnya
Rp653,51 triliun. Dalam periode yang sama, trend anggaran belanja daerah
Pendahuluan
11
juga mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rata-rata peningkatan
17,66%. Apabila Belanja Daerah pada tahun 2013 sebesar Rp707,89
triliun, maka pada tahun 2014 meningkat menjadi sebesar Rp817,67 triliun
(15,51%).
Dari Grafik 1.6 di atas dapat diketahui bahwa dalam kurun waktu 2010-2014, pendapatan daerah setiap tahunnya
meningkat Selanjutnya,
rata-rata sebesar trend
18,42%. defisit
Pendapatan
Daerah
di tahun 2014 menjadi
triliun, ataufluktuatif.
meningkat sebesar
yang
dianggarkan
daerah759,48
cenderung
Rp105,97
triliun (16,21%)
dari tahun2010-2011
sebelumnya Rp653,51
triliun. Dalam penurunan,
periode yang sama,maka
trend anggaran
belanja
Apabila
dalam tahun
mengalami
setelah
itudaerah
juga hingga
mengalamitahun
peningkatan
setiap terus
tahunnyamengalami
dengan rata-ratapeningkatan,
peningkatan 17,66%.
Daerah
pada tahun 2013
2014
di Apabila
manaBelanja
defisit
anggaran
sebesar
Rp707,89
triliun, maka
pada tahun 2014
meningkat Trend
menjadi sebesar
Rp817,67 triliunpembiayaan
(15,51%).
tahun
2014
meningkat
7,02%.
peningkatan
netto
trend defisit
yang dianggarkan
cenderung
fluktuatif.
Apabila
dalam tahun
2010-2011 mengalami
jugaSelanjutnya,
relatif sama
polanya
setiapdaerah
tahun
dengan
trend
defisit.
Sementara
itu
penurunan,
maka
setelah
itu
hingga
tahun
2014
terus
mengalami
peningkatan,
dimana
defisit
anggaran
tahun
2014
meningkat
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun
7,02%.
Trend peningkatan pembiayaan netto juga relatif sama polanya setiap tahun dengan trend defisit. Sementara itu
sebelumnya.
persentase pembiayaan netto pada tahun 2014 meningkat 8,00% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.7
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TAGrafik
2010
1.7 – 2014 (dalam miliar rupiah)
Trend Komposisi Pendapatan Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
500.000
Milyar Rupiah
400.000
300.000
200.000
100.000
0
2010
2011
2012
2013
2014
PAD
71.852
90.393
112.745
140.328
180.347
Dana Perimbangan
292.281
327.368
380.984
433.213
482.221
Lain-lain Pend. Daerah yang Sah
22.205
42.132
58.218
79.971
96.908
Sumber:
Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada Grafik 1.7 diatas. Secara nasional porsi
Dana Perimbangan masih dominan setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila dibandingkan dengan
12
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka pada
Komposisi setiap jenis Pendapatan Daerah beserta trend-nya terlihat pada
Grafik 1.7 di atas. Secara nasional porsi Dana Perimbangan masih dominan
setiap tahunnya, akan tetapi laju peningkatannya lebih rendah apabila
dibandingkan dengan laju peningkatan PAD. Apabila PAD PAD seluruh
daerah secara nasional di tahun 2010 mencapai Rp71,85 miliar, maka
pada tahun 2014 meningkat menjadi Rp180,35 miliar rupiah. Secara ratarata, peningkatan PAD tahun 2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan
terbesar terjadi dari tahun 2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 28,52%.
Untuk Dana Perimbangan, secara nasional setiap tahunnya juga
mengalami peningkatan. Apabila Dana Perimbangan tahun 2010 baru
mencapai sebesar Rp292,28 triliun, maka pada tahun 2014 meningkat
menjadi Rp482,22. Secara rata-rata, peningkatan Dana Perimbangan tahun
2010 s.d. 2014 adalah 25,88%. Peningkatan terbesar terjadi dari tahun
2013 ke tahun 2014, yaitu meningkat 11,31%.
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga
menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara nasional Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21 triliun,
maka dalam kurun waktu 5 tahun hingga tahun 2014 terdapat peningkatan
rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah
mencapai Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang
Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
Pendahuluan
13
Selanjutnya, untuk Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah juga menunjukkan tren yang meningkat. Apabila secara
nasional Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah tahun 2010 masih di kisaran Rp22,21triliun, maka dalam kurun waktu 5 tahun
hingga tahun 2014 terdapat peningkatan rata-rata per tahunnya sebesar 46,62%, sehingga pada tahun 2014 sudah mencapai
Rp96,91 triliun. Hal ini berarti bahwa Lain-lain Pendapatan yang Sah tahun 2014 meningkat 21,18% dari tahun sebelumnya.
Grafik 1.8
Grafik 1.8
Rata-rata Pertumbuhan
(2010
– Pendapatan
2014) Daerah
Pendapatan Daerah
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014)
per Agregat
Provinsi, Kabupaten
dan Kota
per Agregat
Provinsi,
Kabupaten
dan Kota
30%
PAD
Dana Perimbangan
25%
20%
15%
10%
0%
Bengkulu
Papua
Malut
Sultra
Kalteng
Maluku
Sumbar
Babel
Sumsel
Aceh
Riau
Kep. Riau
Kaltim
Jambi
Papua Barat
Sulsel
NTB
DI Yogyakarta
Sulbar
Jawa Tengah
NTT
Jawa Timur
Gorontalo
Sulteng
Sumut
Bali
Sulut
Kalsel
Lampung
Kalbar
Jawa Barat
DKI Jakarta
Banten
5%
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan data trend tahun 2010-2014, juga dapat dilihat gambaran
Berdasarkan
data trend tahun
2010-2014,
juga dapat dilihat
gambaranbeserta
tingkat pertumbuhan
total Pendapatan
Daerah
tingkat
pertumbuhan
total
Pendapatan
Daerah
komponen
utamanya,
beserta
komponen
utamanya,
yaitu
PAD
dan
Dana
Perimbangan.
Secara
agregat
pendapatan
seluruh
daerah
per
provinsi
dapat
yaitu PAD dan Dana Perimbangan. Secara agregat pendapatan seluruh daerah
per provinsi dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan
Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu diikuti
oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara
itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan Daerah yang terendah adalah di
Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%),
dan Provinsi Maluku (11,98%).
Apabila dilihat dari rata-rata pertumbuhan PAD tahun 2010-2014,
Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata PADnya paling tinggi,
yaitu mencapai 26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang
mencapai 25,74%, dan Provinsi Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk
daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi
14
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan total Pendapatan Daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (22,98%), lalu
diikuti oleh Provinsi Banten (19,08%) dan Provinsi Jawa Barat (16,45%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Pendapatan
Daerah yang terendah adalah di Provinsi Kalimantan Timur (9,03%), Provinsi Kalimantan Tengah (11,53%), dan Provinsi
Maluku (11,98%).
Bengkulu
yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi
Apabila
dilihatUtara
dari rata-rata
pertumbuhan
PAD 6,83%.
tahun 2010-2014, Provinsi Banten merupakan provinsi yang rata-rata
Maluku
dengan
capaian
PADnya paling tinggi, yaitu mencapai26,69%. Selanjutnya diikuti oleh Provinsi DKI Jakarta yang mencapai 25,74%, dan Provinsi
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014
cenderung lebih merata dan tidak berfluktuasi terlalu tajam, serta berada
yang hanya mencapai 5,70%, Provinsi Papua 6,31%, dan Provinsi Maluku Utara dengan capaian 6,83%.
dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana
Di sisi lain, rata-rata pertumbuhan Dana Perimbangan tahun 2010-2014 cenderung lebih merata dan tidak
Perimbangan tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah
berfluktuasi terlalu tajam, serta berada dalam rentang 5,52% s.d. 14,99%. Daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan
dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi Kalimantan
tertinggi adalah Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan daerah dengan peningkatan Dana Perimbangan terendah adalah Provinsi
Timur.
Jawa Barat yang mencapai 22,33%. Untuk daerah yang rata-rata pertumbuhan PADnya paling rendah adalah Provinsi Bengkulu
Kalimantan Timur.
Grafik 1.9
Trend
1.9 – 2014 (dalam
Belanja Daerah TAGrafik
2010
Trend Belanja Daerah TA 2010 – 2014 (dalam miliar rupiah)
miliar rupiah)
350.000
300.000
Milyar Rupiah
250.000
200.000
150.000
100.000
50.000
0
2010
2011
2012
2013
2014
Belanja Pegawai
198.562
229.081
261.358
296.818
326.737
Belanja Barang dan jasa
82.007
104.116
122.422
148.171
182.523
Belanja Modal
96.179
113.523
137.525
175.808
213.670
Belanja Lain-lain
50.110
48.554
71.355
87.093
94.745
Sumber:
Data
APBD
Konsolidasi
Sumber: Data
APBD Konsolidasi
2010
- 2014 (Diolah)
2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.9 maka dapat dilihat porsi tiap jenis Belanja Daerah
setiap tahun dan trend kenaikan/penurunannya antar tahun. Apabila dicermati
Belanja Pegawai (langsung dan tidak langsung) secara nasional cenderung
Pendahuluan
15
terus meningkat dari tahun 2010 hingga tahun 2014. Total Belanja Pegawai
secara nasional tahun 2010 sebesar Rp198,56 miliar, meningkat menjadi
Rp326,74 miliar di tahun 2014, dengan rata-rata peningkatan Belanja
Pegawai mencapai 13,28%. Namun apabila dilihat dari persentasenya,
terdapat penurunan jumlah belanja pegawai sejak tahun 2011 hingga tahun
2014, secara berturut-turut dari yaitu 15,37%, 14,09%, 13,57%, dan
10,08%.
Sementara itu, besarnya Belanja Barang dan Jasa juga terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Jika pada tahun 2010 total Belanja Barang
dan Jasa secara nasional di kisaran Rp82,01 miliar, maka pada tahun 2014
meningkat menjadi Rp182,52 miliar rupiah. Peningkatan Belanja Barang dan
Jasa secara rata-rata dari tahun 2010 hingga 2014 adalah sebesar 22,19%.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, maka peningkatan
Belanja Barang dan Jasa secara agregat provinsi, kabupaten/kota cenderung
lebih fluktuatif. Jika pada tahun 2011 meningkat 26,96% dari tahun
sebelumnya, namun pada tahun 2012 menurun 17,58%, dan meningkat
kembali pada tahun 2013 sebesar 21,03%. Pada tahun 2014, persentase
peningkatan porsi Belanja Barang dan Jasa juga meningkat 23,18%, yang
berarti berada di atas rata-rata peningkatan dalam 5 tahun terakhir sebesar
22,19%.
Hal yang sama juga terjadi pada pos Belanja Modal. Dapat kita lihat,
dari trend Belanja Modal tahun 2010 hingga 2014. Jika Belanja Modal
pada pada tahun 2010 mencapai Rp96,18 miliar, maka pada tahun 2014
sudah mencapai Rp213,67 miliar, yang berarti secara rata-rata mengalami
peningkatan 22,14%. Namun demikian, apabila dilihat dari persentasenya,
peningkatan Belanja Modal lebih fluktuatif. Jika total Belanja Modal di tahun
2011 meningkat 18,03%, dan meningkat lagi tahun 2013 sebesar 27,84%,
namun pada tahun 2014 mengalami penurunan sebesar 21,54%.
Dalam periode yang sama, Belanja Lain-Lain juga cenderung fluktuatif.
Pada tahun 2010 Belanja Lain-Lain secara total mencapai Rp50,11 miliar, dan
16
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
mengalami penurunan menjadi Rp48,55 miliar di tahun 2011. Selanjutnya
pada tahun 2012, 2013, dan 2014 mengalami kenaikan sehingga masingmasing menjadi Rp71,36 miliar, Rp87,09 miliar, dan Rp94,75 miliar. Secara
rata-rata peningkatan total Belanja Barang dan Jasa pada tahun 2010 hingga
2014 adalah sebesar 18,67%.
Grafik 1.10
Rata-rata Pertumbuhan (2010 – 2014) Belanja Daerah
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
35%
Belanja Pegawai
Belanja Barang dan jasa
Belanja Modal
30%
25%
20%
15%
10%
0%
Kaltim
Kalteng
Babel
Sumbar
Maluku
Bengkulu
Malut
Sultra
Sulut
Aceh
Papua
Kep. Riau
NTT
Gorontalo
NTB
Kalbar
Kalsel
Sulteng
Sulsel
Sumut
Sulbar
Papua Barat
Jambi
Riau
Jawa Timur
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Bali
Sumsel
Lampung
Banten
DKI Jakarta
5%
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat pertumbuhan total Belanja Daerah beserta
komponen utamanya yaitu Belanja Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010 – 2014. Secara
Berdasarkan Grafik 1.7 dapat dilihat mengenai gambaran rata-rata tingkat
pertumbuhan total Belanja Daerah beserta komponen utamanya yaitu Belanja
Provinsi Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan belanja daerah yang terendah
Pegawai, Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja Modal dari tahun 2010
terdapat di Provinsi Kalimantan Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka Belitung (10,77%).
– 2014. Secara agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang
Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per tahunnya, maka secara berurutan yang
tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh Provinsi
tertinggi adalah Provinsi Maluku Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi Sulawesi Tengah
Banten (19,14%) dan Provinsi Lampung (16,20%). Sementara itu rata-rata
(12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi
pertumbuhan
daerah
yang terendah
terdapat
Provinsi Kalimantan
Kalimantan
Timur (6,87%),belanja
Provinsi Kepulauan
Riau (9,08%),
dan Provinsi Sumatera
Selatandi
(10,07%).
agregat, rata-rata pertumbuhan total belanja daerah yang tertinggi adalah di Provinsi DKI Jakarta (21,50%), lalu diikuti oleh
Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi
Bali (23,59%), dan Provinsi Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang
terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara
Pendahuluan
17
(13,42%).
Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu
diikuti oleh Provinsi DI Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, rata-rata pertumbuhan Belanja
Timur (8,77%), Provinsi Kalimantan Tengah (10,67%), dan Provinsi Bangka
Belitung (10,77%).
Apabila dilihat berdasarkan rata-rata pertumbuhan Belanja Pegawai per
tahunnya, maka secara berurutan yang tertinggi adalah Provinsi Maluku
Utara (13,16%), lalu diikuti oleh Provinsi Maluku (12,94%), dan Provinsi
Sulawesi Tengah (12,91%). Sementara itu rata-rata pertumbuhan Belanja
Pegawai yang terendah secara berurutan terdapat di Provinsi Kalimantan
Timur (6,87%), Provinsi Kepulauan Riau (9,08%), dan Provinsi Sumatera
Selatan (10,07%).
Untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang dan Jasa yang tertinggi
terdapat di Provinsi Banten (24,48%), Provinsi Bali (23,59%), dan Provinsi
Lampung (21,63%), sedangkan untuk rata-rata pertumbuhan Belanja Barang
dan Jasa yang terendah terdapat di Provinsi Maluku (11,96%), Provinsi
Kalimantan Timur (12,45%), dan Provinsi Sulawesi Tenggara (13,42%).
Secara berurutan rata-rata pertumbuhan Belanja Modal yang tertinggi
terdapat di Provinsi DKI Jakarta (29,64%), lalu diikuti oleh Provinsi DI
Yogyakarta (25,97%), dan Provinsi Banten (25,07%). Sementara itu, ratarata pertumbuhan Belanja Modal yang terendah terdapat di Provinsi Bangka
Belitung (5,39%), Provinsi Kalimantan Timur (7,55%), dan Provinsi Aceh
(7,80%). Khusus untuk belanja modal di Provinsi Aceh relatif terus menurun
mengingat pembangunan infrastruktur sejak terjadinya tsunami di Provinsi
Aceh lebih didominasi dari bantuan hibah yang masuk pada kelompok Lainlain Pendapatan Daerah yang sah.
18
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Tabel 1.3
Rata-rata pertumbuhan (2010 – 2014) SiLPA
Per Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
No
Se-Provinsi
SiLPA (%)
No
Se-Provinsi
SiLPA (%)
1
Prov. Bangka Belitung
-20,47%
18
Prov. Sulawesi Tengah
5,56%
2
Prov. Sumatera Barat
-20,38%
19
Prov. Jawa Timur
5,68%
3
Prov. Lampung
-18,65%
20
Prov. Bengkulu
8,20%
4
Prov. Nusa Tenggara Timur
-15,74%
21
Prov. Sulawesi Utara
9,91%
5
Prov. Sulawesi Tenggara
-15,48%
22
Prov. Maluku Utara
10,57%
6
Prov. Papua
-9,13%
23
Prov. Kalimantan Timur
10,66%
7
Prov. Aceh
-9,09%
24
Prov. Jawa Tengah
11,68%
8
Prov. Sumatera Utara
-7,34%
25
Prov. Kalimantan Selatan
12,61%
9
Prov. Kepulauan Riau
-5,62%
26
Prov. Sumatera Selatan
13,91%
10
Prov. Sulawesi Selatan
-4,53%
27
Prov. Jambi
14,53%
11
Prov. Nusa Tenggara Barat
-4,37%
28
Prov. Maluku
15,35%
12
Prov. Jawa Barat
-3,54%
29
Prov. Bali
15,88%
13
Prov. Kalimantan Tengah
-0,13%
30
Prov. Banten
21,00%
14
Prov. DI Yogyakarta
1,80%
31
Prov. Riau
22,78%
15
Prov. Papua Barat
1,93%
32
Prov. DKI Jakarta
28,99%
16
Prov. Gorontalo
3,29%
33
Prov. Sulawesi Barat
41,73%
17
Prov. Kalimantan Barat
5,37%
34
Prov. Kalimantan Utara
n/a
Sumber: Data APBD Konsolidasi 2010 - 2014 (Diolah)
Di sisi Pembiayaan Daerah, bisa dilihat gambaran mengenai rata-rata
pertumbuhan SiLPA Daerah agregat provinsi, kabupaten dan kota dalam
kurun waktu 2010-2014. Rata-rata pertumbuhan SiLPA yang terendah
terdapat di Provinsi Bangka Belitung yaitu (-20,47%), yang diikuti oleh
Provinsi Sumatera Barat (-20,38%), dan Provinsi Lampung (-18,65%).
Kecenderungan pertumbuhan SiLPA yang negatif setiap tahunnya bisa
diartikan bahwa dalam proses perencanaan anggaran secara keseluruhan,
Pemerintah Daerah di provinsi tersebut lebih mengedepankan prinsip kehatiPendahuluan
19
hatian dalam melakukan estimasi terhadap sumber pendanaan yang akan
diterima pada saat anggaran tahun berjalan atau mengindikasikan daerah
tersebut sudah semakin mengoptimalkan pos SiLPAnya dalam anggaran.
Sementara itu, daerah dengan rata-rata pertumbuhan SiLPA tertinggi
adalah Provinsi Sulawesi Barat (41,73%), Provinsi DKI Jakarta (28,99%),
dan Provinsi Riau (22,78%). Kecenderungan ini bisa diartikan bahwa
pemerintah daerah di provinsi tersebut lebih optimis terhadap estimasi dana
yang akan diterima pada tahun anggaran berjalan, namun tidak berani
mengalokasikannya dalam jenis belanja untuk mendanai kegiatan layanan
publik di dalam APBD-nya.
Di sisi lain, pinjaman daerah belum mempunyai peran yang cukup kuat
dalam pembiayaan daerah. Hal ini disebabkan karena SiLPA di daerah relatif
masih cukup tinggi, sehingga daerah cenderung akan menutup defisit dari
SiLPA, yang notabene merupakan dana dari internal yang bersifat jangka
pendek. Selain itu, masih kompleksnya pengajuan dan administrasi pinjaman
daerah juga menjadi salah satu faktor belum berkembangnya pinjaman daerah
dalam mendanai APBD.
20
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
BAB II
ANALISIS PENDAPATAN DAERAH
Desentralisasi fiskal di Indonesia pada dasarnya menekankan pada
expenditure assignment, yang ditandai dengan pembagian urusan pada
berbagai tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang
terdiri dari urusan wajib dan pilihan. Dalam mendanai pelaksanaan urusan
tersebut, terdapat dua sumber pendanaan utama, yaitu Pendapatan Asli
Daerah dan Transfer ke Daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-lain PAD. Perkembangan
PAD dari sebelum pelaksanaan desentralisasi fiskal tahun 2001 hingga tahun
2014 dapat dilihat pada grafik 2.1. Jika pada tahun pertama pelaksanaan
desentralisasi fiskal PAD meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi Rp15,2
triliun dari sebelumnya Rp5,5 triliun, maka pada tahun 2014 sudah
mencapai Rp180,3 triliun, yang berarti meningkat hampir 12 kali lipat. Dari
keempat komponen PAD tersebut, peran Pajak Daerah sangat signifikan,
terlihat dari total Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah
mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD. Peningkatan
PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan
perpajakan daerah, pertumbuhan ekonomi, upaya penggalian PAD oleh
daerah, dan jumlah daerah.
Analisa Pendapatan Daerah
21
Pajak Daerah tahun 2014 untuk seluruh pemerintah daerah mencapai sebesar Rp132,9 triliun, atau 73,7% dari total PAD.
Peningkatan PAD ini didorong antara lain oleh adanya kebijakan penguatan kewenangan perpajakan daerah, pertumbuhan
ekonomi, upaya penggalian PAD oleh daerah, dan jumlah daerah.
Sebelum Desentralisasi Fiskal
UU 34/2000
UU 28/2009
131,8
140,3
109,2
2014
2013
2012
2011
2010
67,6
2009
2004
64,7
2008
2003
38,1
52,2
2007
26,7
2006
26
44,7
2005
21,5
2002
5,5
15,2
2001
81,2
7,1
Sumber:
Sumber:
DJPK, DJPK,
(diolah)
180,3
Desentralisasi Fiskal
2000
200
180
160
140
120
100
80
60
40
20
0
1999/2000
Rp Triliun
Grafik
2.1
Grafik 2.1
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
Perkembangan Pendapatan Asli Daerah
(diolah)
Dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah, penguatan perpajakan daerah dilakukan, antara lain melalui
pemberian diskresi penetapan tarif dan pendaerahan beberapa jenis pajak
baru seperti Pajak Rokok, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan – Perkotaan dan Pedesaan (PBB-P2).
Outcome dari perubahan kebijakan penguatan perpajakan daerah tersebut
terlihat dari peningkatan PAD mulai tahun 2010 sampai dengan 2014 yang
mencapai 22,1% secara rata-rata.
Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai
dengan prinsip money follows function, pemerintah pusat setiap tahunnya
mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring
dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana
yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya, terakhir pada
tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah
dalam APBD diklasifikasikan ke dalam Dana Perimbangan untuk Dana Bagi
Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK),
serta Lain-Lain Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana
22
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan kewenangan/urusan dan sesuai dengan prinsip money follows function,
pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah kepada pemerintah daerah. Seiring dengan
pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN, jumlah dana yang ditransfer ke daerah selalu meningkat setiap tahunnya,
terakhir pada tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp592,5 triliun. Dana Transfer ke Daerah dalam APBD diklasifikasikan kedalam
Dana Perimbangan untuk Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), serta Lain-Lain
Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke Daerah dari
Pendapatan yang Sah untuk Dana Otonomi Khusus, Dana Keistimewaan, dan Dana Penyesuaian. Perkembangan Transfer ke
sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat
Daerah dari sebelum pelaksanaan desentralisasi sampai dengan tahun 2014 dapat dilihat pada grafik 2.2 di bawah ini.
pada grafik 2.2 di bawah ini.
Grafik 2.2
Grafik
2.2
Perkembangan Transfer ke Daerah
Perkembangan Transfer ke Daerah
Desentralisasi Fiskal
Sebelum Desentralisasi Fiskal
700
292,4 308,6
344,7
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
98,5 116,9
2006
33,9
2000
0
82,4
22,9
1999/2000
100
226,2
253,3
130 149,58
2005
200
2004
300
2003
400
478,8
411,3
2002
500
592,5
529,4
2001
Rp triliun
600
Sumber: DJPK,DJPK,
(diolah) (diolah)
Sumber:
Jika dilihat dari proporsi antara besaran PAD dan Transfer ke Daerah, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah daerah
dilihat dari
antarapusat,
besaran
Transfer
ke potensi
Daerah,
maka
relatif Jika
masih tergantung
kepadaproporsi
dana dari pemerintah
kecuali PAD
beberapadan
daerah
yang memiliki
PAD yang
besar
seperti DKIdikatakan
Jakarta. Data APBD
Tahun 2014
menunjukkan rata-rata
secara
agregat komposisi
transfer dalamkepada
pendapatan
dapat
bahwa
pemerintah
daerah
relatif
masih dana
tergantung
daerah mencapai
81,6%. Fenomena ini
perlu dikaji,
karena jika
dilihat berdasarkan
data yang
ada, potensi
ekonomi potensi
yang dimiliki
dana
dari pemerintah
pusat,
kecuali
beberapa
daerah
yang
memiliki
PAD yang besar seperti DKI Jakarta. Data APBD Tahun 2014 menunjukkan
rata-rata secara agregat komposisi dana transfer dalam pendapatan daerah
mencapai 81,6%. Fenomena ini perlu dikaji, karena jika dilihat berdasarkan
data yang ada, potensi ekonomi yang dimiliki daerah untuk mengembangkan
PAD masih cukup besar, namun potensi-potensi tersebut belum dapat
dimanfaatkan dengan baik.
Dalam tulisan ini akan dicoba untuk memberikan gambaran kondisi
pendapatan daerah yang tercermin dalam APBD. Beberapa indikator yang
akan digunakan dalam analisis ini yaitu rasio pajak daerah, rasio pajak per
kapita, rasio ruang fiskal daerah, dan rasio ketergantungan daerah. Setiap
Analisa Pendapatan Daerah
23
perhitungan rasio akan dibagi ke dalam 5 jenis, yaitu perhitungan rasio
secara nasional (agregat pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, dan
pemerintah kota), rasio seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah
kota dalam satu provinsi, rasio pemerintah provinsi, dan rasio per wilayah
(pembagian 5 wilayah yaitu Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, Papua). Untuk rasio pajak terhadap PDRB,
mengingat terdapat keterbatasan data untuk Provinsi Kalimantan Utara maka
penghitungan masih digabungkan dengan provinsi induknya yaitu Provinsi
Kalimantan Timur. Selanjutnya, pada bagian terakhir analisis ini, juga akan
dibahas mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU,
dan DAK) yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana
Perimbangan sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan untuk
melihat sejauh mana informasi transfer ke daerah yang disampaikan oleh
pemerintah pusat diakomodir dalam APBD.
A.Rasio Pajak (Tax Ratio)
Kebijakan pajak daerah yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menerapkan closed list system
untuk jenis pajak daerah yang dapat dikelola oleh pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten dan kota. Pemerintah provinsi diberi kewenangan
untuk memungut 5 jenis pajak dan pemerintah kabupaten dan kota diberi
kewenangan untuk memungut 11 jenis pajak. Salah satu kebijakan baru
dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 adalah adanya PBB-P2 dan BPHTB dari
pusat ke daerah. Dengan adanya pengalihan kewenangan pemungutan kedua
pajak tersebut kepada daerah, diharapkan akan menambah peluang bagi
daerah untuk melakukan pemungutan secara lebih optimal.
Rasio pajak (tax ratio) merupakan rasio yang menggambarkan
perbandingan jumlah penerimaan pajak dengan Produk Domestik Bruto (PDB)
suatu negara dalam satu tahun. Di tingkat daerah, rasio pajak merupakan
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak daerah dengan PDRB. Rasio
24
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
pajak dapat digunakan untuk mengukur tingkat kepatuhan masyarakat dalam
membayar pajak, mengukur kinerja perpajakan, dan melihat potensi pajak
yang dimiliki.
PDRB sangat erat kaitannya dengan pajak daerah karena dapat
menggambarkan kegiatan ekonomi masyarakat. Jika pertumbuhan ekonomi
daerah baik tentunya akan menjadi potensi penerimaan pajak di wilayah
tersebut. PDRB yang akan digunakan dalam analisis ini adalah PDRB atas
dasar harga berlaku yang merupakan nilai tambah barang dan jasa yang
dihitung dengan menggunakan harga pada setiap tahun. Nilai PDRB ini pada
umumnya digunakan untuk melihat pergeseran struktur ekonomi yang terjadi
di suatu wilayah.
Perhitungan rasio pajak di berbagai wilayah di Indonesia akan memberikan
gambaran hubungan antara penerimaan pajak daerah di wilayah tersebut
dengan PDRB-nya, menilai kondisi suatu daerah, dan membandingkannya
dengan daerah lain.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.3 menunjukkan rasio pajak secara agregat provinsi, kabupaten
dan kota pada 33 provinsi seluruh Indonesia. Secara agregat, rata-rata pajak
yang bisa dipungut oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten
dan kota hanya 1,9% dari PDRB non migas.
Provinsi Bali memiliki rasio pajak tertinggi, yaitu sebesar 5,3%.
Pencapaian tersebut terutama karena didukung oleh posisi Bali sebagai daerah
tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang
terkait dengan hotel, restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu,
provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan
Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak
daerah memang terbatas (closed list). Sumber penerimaan pajak daerah yang
Analisa Pendapatan Daerah
25
posisi Bali sebagai daerah tujuan wisata, sehingga memiliki basis pajak yang cukup besar terutama yang terkait dengan hotel,
restoran dan sarana hiburan lainnya. Sementara itu, provinsi yang memiliki rasio pajak paling rendah adalah Provinsi Riau dan
Provinsi Papua Barat, yaitu masing-masing hanya 0,5%.
Kewenangan yang diberikan kepada daerah untuk memungut pajak daerah memang terbatas (closed list). Sumber
berlaku pajak
saatdaerah
ini yang
cenderung
bias
ke daerah
yang
urbanisasinya
tinggi
penerimaan
berlaku saat ini
cenderung
bias ke daerah
yangtingkat
tingkat urbanisasinya
tinggi (urban-biased),
(urban-biased),
seperti
Pajak
Hotel,
Pajak
seperti
Pajak Hotel, Pajak Restoran,
dan Pajak
Kendaraan
Bermotor.
Restoran, dan Pajak Kendaraan
Bermotor.
Grafik
2.3
Grafik 2.3
Rasio Pajak Agregat
Provinsi,Kabupaten,
Kabupaten, dan Kota dan Kota
Rasio Pajak Agregat
Provinsi,
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah), (*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
(*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran
bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara nasional adalah 1,9%. Provinsi
yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi
sebagaimana terlihat pada grafik diatas.
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten
dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi. Rata-rata pajak yang bisa
dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota di Indonesia sebesar 0,53%
dari PDRB non migasnya. Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang
hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek
26
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Berdasarkan data rasio pajak di seluruh provinsi, diperoleh gambaran bahwa rata-rata rasio pajak daerah secara
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU
nasional adalah1,9%. Provinsi yang memiliki rasio pajak diatas rata-rata nasional sebanyak 12 provinsi sebagaimana terlihat
28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif kepada penguatan perpajakan
pada grafik diatas.
daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali
menunjukkan
angka yang paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor
Grafik 2.4 memperlihatkan rasio pajak per pemerintah kabupaten dan kota untuk masing-masing wilayah provinsi.
pariwisata
Pajak
Hotel, kabupaten
Pajak Restoran,
dan sebesar
Pajak0,53%
Hiburan,
Rata-rata
pajak yangseperti
bisa dipungut
oleh pemerintah
dan kota di Indonesia
dari PDRB sehingga
non migasnya.
potensi
penerimaan
pajaknya
menjadi
lebih
tinggi
dibanding
daerah
lain.
Rasio ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 0,37%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya perluasan objek
pajak dan pengalihan beberapa jenis pajak ke daerah yang diatur dalam UU 28 Tahun 2009 telah memberikan efek positif
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten
dan kota se-Provinsi Papua Barat dan Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%.
paling tinggi, yaitu sebesar 3,4%. Sebagai daerah tujuan wisata, sumber penerimaan pajak daerah di Bali berasal dari sektor
Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan
pariwisata seperti Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan, sehingga potensi penerimaan pajaknya menjadi lebih tinggi
pajak daerah kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi
dibanding daerah lain.
Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang merupakan
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat pada pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Papua Barat dan
sumber penerimaan Negara, dan selanjutnya akan menjadi sumber
Provinsi Riau, yaitu sebesar 0,1%. Rendahnya angka tersebut disebabkan oleh rendahnya potensi penerimaan pajak daerah
pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH SDA) yang dalam rasio ini
kabupaten dan kota. Potensi penerimaan yang tinggi di Provinsi Papua Barat dan Riau adalah dari sektor pertambangan, yang
tidak dihitung.
merupakan
sumber penerimaan Negara,dan selanjutnya akan menjadi sumber pendapatan bagi hasil sumber daya alam (DBH
kepada penguatan perpajakan daerah. Rasio pajak pemerintah kabupaten dan kota se-Provinsi Bali menunjukkan angka yang
SDA) yang dalam rasio ini tidak dihitung.
Grafik 2.4
Grafik 2.4
Rasio Pajak Pemerintah
Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
Rasio Pajak Pemerintah Kabupaten dan KotaSe-Provinsi *)
*
Sumber:
APBD 2014
(Diolah),2014
Tidak termasuk
DKI Jakarta,Tidak
*)termasuk
Provinsi Kalimantan
Sumber:
APBD
(Diolah),
termasuk
DKIUtara
Jakarta
*) termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Analisa Pendapatan Daerah
27
3. Pemerintah Provinsi
3.
Pemerintah Provinsi
Grafik
Grafik 2.5
2.5
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
Rasio Pajak Pemerintah Provinsi
*
Sumber: APBD 2014 (Diolah)*)termasuk Provinsi Kalimantan Utara
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 2.5
memperlihatkan
rata-rata Utara
pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi sebesar 1,4% dari PDRB non
*)termasuk
Provinsi
Kalimantan
migas. Untuk seluruh pemerintah provinsi di Indonesia, rasio pajak tertinggi dicapai oleh Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu
2.5 memperlihatkan
rata-rata
pajak
yanguntuk
dipungut
oleh pemerintah
sebesar Grafik
3,1%. Tingginya
rasio pajak provinsi Kalimantan
Selatan
ini menarik
dikaji, mengingat
rasio pajak Provinsi
Kalimantan
tahun 2014
mampu melampaui
Provinsi DKI
Jakarta.
provinsiSelatan
sebesar
1,4%
dari PDRB
non
migas.
Untuk seluruh pemerintah
provinsi
di
Indonesia,
rasio
pajak
tertinggi
dicapai
oleh Riau
Provinsi
Kalimantan
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat dan Provinsi
(0,4%). Hasil
ini menunjukkan
bahwa
kemampuan
untuk sebesar
meningkatkan 3,1%.
penerimaan Tingginya
pajak daerah di kedua
tersebut
belum optimal
mengingat jumlah
Selatan,
yaitu
rasioprovinsi
pajak
provinsi
Kalimantan
pajak
yang bisaini
dipungut
dari potensi
basis pajak
yang ada
masih rendah. rasio pajak Provinsi Kalimantan
Selatan
menarik
untuk
dikaji,
mengingat
Selatan tahun 2014 mampu melampaui Provinsi DKI Jakarta.
4.
Per Wilayah
Sementara itu, rasio pajak terendah terdapat di Provinsi Papua Barat
dan Provinsi Riau (0,4%). Hasil ini menunjukkan bahwa kemampuan untuk
mengeluarkan Provinsi DKI Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan wilayah yang rasio
meningkatkan penerimaan pajak daerah di kedua provinsi tersebut belum
pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah
optimal mengingat jumlah pajak yang bisa dipungut dari potensi basis pajak
sebesar 1,37% terdapat di wilayah Sumatera.
yang ada masih rendah.
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
28
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
4. Per Wilayah
Berdasarkan pembagian 5 wilayah di Indonesia, secara rata-rata rasio
pajak per wilayah sebesar 1,97%. Dengan mengeluarkan Provinsi DKI
Jakarta dalam perhitungan, rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali merupakan
wilayah yang rasio pajaknya paling tinggi dibandingkan 4 wilayah lainnya,
yaitu sebesar 2,6%, sedangkan wilayah dengan rasio pajak terendah sebesar
1,37% terdapat di wilayah Sumatera.
Grafik 2.6
Rasio Pajak per Wilayah*)
Sumber: APBD 2014 (Diolah),
Sumber: APBD 2014
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
B.Pajak per Kapita (Tax per Capita)
Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam
menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai sumber Pendapatan Daerah.
Pajak per kapita (tax per capita) belum banyak digunakan dalam menghitung tingkat keberhasilan pajak sebagai
Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam
sumber Pendapatan Daerah.Namun begitu, pajak per kapita dapat digunakan sebagai alternatif dalam menghitung efektifitas
menghitung efektifitas pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan
pemungutan pajak daerah. Pajak per kapita merupakan perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak yang dihasilkan suatu daerah
daerah dengan jumlah penduduknya, yang berarti pula menunjukkan kontribusi setiap penduduk pada pajak daerah.
dengan jumlah penduduknya,
yang berarti pula menunjukkan kontribusi
Menurut Gregory N. Mankiw1, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang paling umum digunakan. Namun demikian,
setiap penduduk pada pajak daerah.
semakin tinggi tingkat persentase pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran tersebut dapat
B.
Pajak per Kapita (Tax perCapita)
terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan.
Pajak per kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita, sehingga diperoleh pajak/PDRB x
PDRB/personal=pajak / personal.
1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Analisa Pendapatan Daerah
29
Menurut Gregory N. Mankiw, rasio pajak per PDB merupakan ukuran yang
paling umum digunakan. Namun demikian, semakin tinggi tingkat persentase
pajak akan semakin menurunkan PDB penduduk setempat sehingga ukuran
tersebut dapat terlihat bias. Untuk tujuan tertentu (misalnya statistik yang
lebih baik), pajak per kapita (tax per personal) dapat digunakan. Pajak per
kapita dihitung dengan mengalikan rasio pajak dengan PDRB per kapita,
sehingga diperoleh pajak/PDRB x PDRB/personal=pajak / personal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rata-rata rasio pajak per kapita secara nasional (agregat provinsi,
kabupaten dan kota) sebesar Rp496.217,00. Provinsi DKI Jakarta memiliki
rasio pajak per kapita tertinggi, yaitu sebesar Rp3.189.570,00, yang berarti
bahwa secara rata-rata setiap penduduk yang ada di Provinsi DKI Jakarta
memberikan kontribusi melebihi Rp3,1 juta untuk Pendapatan Daerah melalui
pajak daerah.
Sementara itu, Provinsi Kalimantan Utara sebagai daerah otonom baru
memiliki rasio pajak per kapita sebesar Rp70.189,00, dan merupakan yang
terendah dibandingkan dengan 33 provinsi lainnya di Indonesia. Selanjutnya,
pada grafik 2.7, terlihat masih banyak daerah yang rasio pajak per kapitanya
berada di bawah rata-rata nasional. Hanya 7 (tujuh) provinsi yang rasio pajak
per kapitanya berada di atas rata-rata nasional, yaitu Provinsi DKI Jakarta,
Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi
Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.
30
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Bali, Provinsi Kalimantan Timur, Provinsi Kalimantan Selatan, Provinsi Kepulauan Riau, dan Provinsi Banten.
Grafik 2.7
Grafik 2.7
Pajak perAgregat
Kapita Agregat
Provinsi, Kabupaten
dan Kota
Rasio Pajak perRasio
Kapita
Provinsi,
Kabupaten
dan Kota
Sumber:
APBD 2014
(Diolah) 2014
Sumber:
APBD
2.
(Diolah)
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
2. Rasio
Pemerintah
Kabupaten
dan
Kota
pajak per kapita pemerintah
kabupaten dan
pemerintah
kota se-Provinsi
dalam satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8.
Rasio tersebut menunjukkan nilai total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam satu provinsi
Rasio pajak per kapita pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
satu provinsi dapat dilihat pada grafik 2.8. Rasio tersebut menunjukkan nilai
Rasio pajak per kapita tertinggi terdapat di Provinsi Bali, yaitu sebesar Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa
total pajak daerah seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota dalam
Tenggara Timur memiliki rasio terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada basis pajak yang
satu provinsi dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam
dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di daerah tersebut.
perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
dibagi dengan total seluruh penduduk di provinsi tersebut. Dalam perhitungan rasio ini, Provinsi DKI Jakarta tidak diikutsertakan.
2.8
Rasio pajak per kapita tertinggiGrafikterdapat
di Provinsi Bali, yaitu sebesar
Rp683.557,00. Sementara itu, Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki rasio
terendah yaitu sebesar Rp37.548,00. Besaran nilai rasio tergantung pada
basis pajak yang dimiliki masing-masing daerah, serta jumlah penduduk di
daerah tersebut.
Analisa Pendapatan Daerah
31
Grafik 2.8
Tax perPemerintah
Kapita Pemerintah Kabupaten
Kabupaten dan kotadan
se-Provinsi
Rasio Tax per Rasio
Kapita
kota*) se-Provinsi *)
Sumber:
APBD 2014APBD
(Diolah),Tidak
termasuk
DKI Jakarta
Sumber:
2014
(Diolah)
3.
*)Tidak termasuk DKI Jakarta
Pemerintah Provinsi
Pajak per kapita pada seluruh pemerintah provinsi sebagaimana pada grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI
3.merupakan
Pemerintah
Jakarta
daerah yang Provinsi
memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita pada agregat provinsi,
kabupatenPajak
dan kotaper
yaitu kapita
sebesar Rp3.189.570,00
per kapita.
Sementara ituprovinsi
dua provinsisebagaimana
yang memiliki rasiopada
per kapita
pada seluruh
pemerintah
terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014
grafik 2.9 menunjukkan bahwa Provinsi DKI Jakarta merupakan daerah
yang memiliki pajak per kapita terbesar, sama dengan pajak per kapita
ketimpangan yang cukup besar antara rasio yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah provinsi
pada agregat provinsi, kabupaten dan kota yaitu sebesar Rp3.189.570,00
sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi,
per kapita. Sementara itu dua provinsi yang memiliki rasio per kapita
terdapat 28 provinsi yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6 provinsi yang berada di atas
terendah yaitu Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar Rp105.087,00, dan
rata-rata nasional.
Provinsi Kalimantan Utara yang sampai tahun 2014 belum menganggarkan
penerimaan dari pajak daerah, sehingga
rasio pajak per kapita masih nol.
Grafik 2.9
Kondisi tersebut menunjukkan
yang
cukup besar antara rasio
Rasioketimpangan
Tax per Kapita Pemerintah
Provinsi
yang tertinggi dan terendah. Rata-rata rasio pajak per kapita pemerintah
provinsi sebesar Rp380.522,00, dimana sebagian besar diantaranya berada
di bawah rata-rata nasional. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 28 provinsi
yang memiliki rasio pajak per kapita di bawah rata-rata nasional, dan hanya 6
provinsi yang berada di atas rata-rata nasional.
belum menganggarkan penerimaan dari pajak daerah, sehingga rasio pajak per kapita masih nol. Kondisi tersebut menunjukkan
32
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 2.9
Rasio Tax per Kapita Pemerintah Provinsi
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)
Sumber:
APBD
4.
2014 (Diolah)
Per Wilayah
4. Per
Wilayah
Grafik 2.10
memperlihatkan rasio pajak per kapita per wilayah, dengan rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan
yang mencapai
sebesar
Rp616.227
per kapita, dan rasio terendah
di berada wilayah
Nusa Tenggara,
dan Papua
sebesar
Grafik
2.10
memperlihatkan
rasio pajak
per kapita
per Maluku,
wilayah,
dengan
Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
rasio tertinggi berada di wilayah Kalimantan yang mencapai sebesar
Rp616.227 per kapita, dan rasio terendah di berada wilayah Nusa Tenggara,
Jika memasukkan Provinsi DKI Jakarta ke dalam perhitungan, maka rasio pajak di wilayah Jawa dan Bali menjadi Rp934.351 per
Maluku, dan Papua sebesar Rp224.888 per kapita. Sementara itu, rata-rata
kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah penduduk
rasio pajak per kapita per wilayah sebesar Rp423.495, dan hanya wilayah
yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh
Kalimantan yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Untuk wilayah
banyaknya jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah penduduk.
Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481. Jika memasukkan
Grafik 2.10
Provinsi DKI Jakarta ke dalam Rasio
perhitungan,
maka rasio pajak di wilayah Jawa
Tax per Kapita Per Wilayah*)
dan Bali menjadi Rp934.351 per kapita. Terkait dengan tingginya rasio pajak
per kapita di Kalimantan, hal ini disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah
penduduk yang menjadi pembagi rasio tersebut. Sementara itu, besarnya
rasio pajak per kapita di wilayah Jawa dan Bali disebabkan oleh banyaknya
jumlah penerimaan pajak daerah yang diimbangi dengan banyaknya jumlah
penduduk.
Kalimantan yang memiliki rasio diatas rata-rata nasional. Untuk wilayah Jawa dan Bali hanya memiliki rasio sebesar Rp558.481.
Analisa Pendapatan Daerah
33
Grafik 2.10
Rasio Tax per Kapita Per Wilayah*)
Sumber:
APBD 2014(Diolah),
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sumber:
APBD 2014(Diolah),
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
C.
Ruang Fiskal (Fiscal Space)
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah
C.Ruang
Fiskal
(Fiscal
Space)
dalam
mengalokasikan APBD
untuk membiayai
kegiatan yang
menjadi prioritas daerah. Semakin besar ruang fiskal yang dimiliki
suatu daerah, maka akan semakin besar pula fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
Ruang fiskal (fiscal space) merupakan suatu konsep untuk mengukur
fleksibilitas yang dimiliki pemerintah daerah dalam mengalokasikan APBD
fiskal daerah diperoleh
dengan
menghitung
total Pendapatan
Daerah
dikurangi Semakin
dengan pendapatan
hibah,
untukRuang
membiayai
kegiatan
yang
menjadi
prioritas
daerah.
besar
pendapatan yang sudah ditentukan penggunaannya (earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian serta
ruang fiskal yang dimiliki suatu daerah, maka akan semakin besar pula
Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya mengikat, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi dengan
fleksibilitas yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengalokasikan
total pendapatannya.
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar anggaran digunakan untuk belanja rutin
pembangunan
infrastruktur daerah.
belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas daerah, seperti pembangunan infrastruktur daerah.
(Belanja Pegawai). Memperbesar ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi stimulus
Ruang
daerah
dengan
menghitung
total
Pendapatan
perekonomian
daerah.fiskal
Untuk itu,
Pemerintahdiperoleh
Daerah diharapkan
dapat membuat
kebijakan yang
mampu
menciptakan iklim
Daerah yang
dikurangi
dengan
pendapatan
hibah, anggaran
pendapatan
yang
perekonomian
kondusif. Selain
itu, efektifitas
dan efisiensi penggunaan
di daerah juga
dapatsudah
mendukung
ditentukan
penggunaannya
terciptanya
ruang fiskal.
(earmarked) yaitu DAK, Dana Otonomi Khusus
dan
Dana
Penyesuaian
serta
Dana Darurat, dan belanja yang sifatnya
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
mengikat,
yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bunga, dan selanjutnya dibagi
Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi,
dengan
totalmempunyai
pendapatannya.
Provinsi
DKI Jakarta
ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di Provinsi DKI Jakarta
karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai 61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja
modal yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total anggaran belanja daerah.
34
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Ruang fiskal daerah saat ini masih sangat terbatas karena sebagian besar
anggaran digunakan untuk belanja rutin (Belanja Pegawai). Memperbesar
ruang fiskal daerah untuk Belanja Modal sangat penting karena dapat menjadi
stimulus perekonomian daerah. Untuk itu, Pemerintah Daerah diharapkan
dapat membuat kebijakan yang mampu menciptakan iklim perekonomian
yang kondusif. Selain itu, efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran di
daerah juga dapat mendukung terciptanya ruang fiskal.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.11 menunjukkan ruang fiskal secara agregat provinsi, kabupaten
dan kota. Dari keseluruhan 34 provinsi, Provinsi DKI Jakarta mempunyai
ruang fiskal tertinggi yaitu mencapai 60,64%. Tingginya ruang fiskal di
Provinsi DKI Jakarta karena didukung oleh tingginya PAD yang mencapai
61,13% dari total pendapatan. Dengan ruang fiskal sebesar itu, belanja modal
yang dianggarkan pada APBD cukup besar yaitu mencapai 44,75% dari total
anggaran belanja daerah.
Sementara itu, Provinsi Aceh memiliki ruang fiskal terendah yaitu
21,63%. Rendahnya ruang fiskal di Provinsi Aceh karena porsi Pendapatan
dari Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian pemerintah daerah se
Provinsi Aceh cukup besar, yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah,
sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut
telah dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus
memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan Belanja Daerah
yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Analisa Pendapatan Daerah
35
yaitu 31,24% dari total Pendapatan Daerah, sehingga ruang fiskal yang tersisa sangat kecil karena pendapatan tersebut telah
dibatasi penggunaannya. Dengan demikian, Provinsi Aceh harus memanfaatkan ruang fiskal yang ada dengan merencanakan
Belanja Daerah yang tepat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerahnya.
Grafik
2.11
Grafik
2.11
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Ruang Fiskal Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
70%
Ruang Fiskal
60%
Rata2
50%
40%
30%
20%
0%
Prov. Aceh
Prov. Jawa Tengah
Prov. Sumatera Barat
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Lampung
Prov. Bengkulu
Prov. Gorontalo
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Maluku
Prov. Papua
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Bali
Prov. Jawa Barat
Prov. Papua Barat
Prov. Jambi
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Maluku Utara
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Bangka Belitung
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Banten
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Riau
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Kalimantan Timur
Prov. DKI Jakarta
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di
Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi
terdapat 14 provinsi dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional.
dengan ruang fiskal yang berada di atas rata-rata nasional.
Secara agregat, rata-rata ruang fiskal seluruh pemerintah daerah di Indonesia sebesar 39,31%. Dari rata-rata tersebut,
2.
Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
2.Pemerintah
Pemerintah
Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada satu provinsi digambarkan pada grafik 2.12.
Ruang fiskal seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota pada
satu
provinsi
digambarkan
2.12.
rata-rata,
pemerintah
Dari
rata-rata
tersebut, terdapat
18 daerah yangpada
memiliki grafik
ruang fiskal
di bawahSecara
rata-rata dan
15 daerah lainnya
di atas ratakabupaten
dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82%
rata
nasional.
dari Ruang
total fiskal
pendapatannya.
Daridanrata-rata
terdapat
tertinggi untuk kabupaten
kota terdapattersebut,
di Provinsi Kalimantan
Utara18
yangdaerah
mencapai yang
sebesar
memiliki
ruang
fiskal
di
bawah
rata-rata
dan
15
daerah
lainnya
di
atas
rata55,41%.Tingginya angka ini dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang didominasi oleh sektor
rata nasional.
Secara rata-rata, pemerintah kabupaten dan pemerintah kota memiliki ruang fiskal sebesar 34,82% dari total pendapatannya.
Ruang fiskal tertinggi untuk kabupaten dan kota terdapat di Provinsi
Kalimantan Utara yang mencapai sebesar 55,41%. Tingginya angka ini
dapat disebabkan oleh pendapatan yang tidak dibatasi penggunaannya, yang
didominasi oleh sektor pertambangan dan migas, serta sektor kehutanan.
Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi oleh transfer pemerintah
pusat berupa DBH yang mencapai 50% dari total pendapatan. Sebagai daerah
36
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
otonom baru, besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan
Utara diikuti dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang mencapai
71% dari total anggaran belanja tahun 2014.
Kabupaten dan Kota yang berada di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Provinsi Jawa Tengah memiliki ruang fiskal terendah, yaitu sebesar
21,19%. Ruang fiskal kedua provinsi tersebut rendah karena porsi Belanja
Pegawai kabupaten/kota di kedua provinsi tersebut mencapai lebih dari
55% dari total pendapatan. Sementara itu, komposisi Pendapatan Daerah
pemerintah kabupaten dan kota di kedua provinsi tersebut masih didominasi
oleh transfer dari pemerintah pusat terutama dari DAU yang mencapai lebih
dari 60% dari total Pendapatan Daerah. Persentase PAD terhadap total
Pendapatan Daerah Provinsi Jawa Tengah hanya sebesar 12,06%, dimana
pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 4,39% dari total
Pendapatan Daerah. Kondisi yang sama juga dialami oleh Provinsi NTB yang
memiliki persentase PAD hanya sebesar 8,74% terhadap total pendapatan,
dimana pajak daerah hanya memberikan kontribusi sebesar 2,68% terhadap
total pendapatan. Hal ini dapat memberikan gambaran bahwa pemerintah
daerah di Provinsi NTB dan Jawa Tengah belum mengoptimalkan pemungutan
pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
Analisa Pendapatan Daerah
37
50%
0%
3.
90%
80%
70%
60%
50%
40%
30%
20%
10%
0%
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Jawa Tengah
Prov. Sumatera Barat
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Lampung
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Gorontalo
Prov. Bengkulu
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Jawa Timur
Prov. Sumatera Utara
Prov. Maluku
Prov. Jawa Barat
Prov. Aceh
Prov. Bali
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Bangka Belitung
Prov. Jambi
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Maluku Utara
Prov. Papua Barat
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Banten
Prov. Papua
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Riau
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Kalimantan Utara
60%
Prov. Aceh
Prov. Papua
Prov. Jawa Tengah
Prov. Papua Barat
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Bengkulu
Prov. Maluku
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Gorontalo
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Maluku Utara
Prov. Bangka Belitung
Prov. Sumatera Barat
Prov. Jambi
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Lampung
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Bali
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Timur
Prov. Jawa Barat
Prov. Riau
Prov. DKI Jakarta
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Banten
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Kalimantan Utara
mengoptimalkan pemungutan pajak dari basis pajak yang dimilikinya.
Grafik
2.12
Grafik
2.12
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Ruang Fiskal Pemerintah Kabupaten dan kota Se-Provinsi *)
Ruang Fiskal
Ruang Fiskal
Rata2
40%
30%
20%
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3. Pemerintah Provinsi
Pemerintah Provinsi
Grafik 2.13
Grafik
2.13
Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Ruang Fiskal Pemerintah Provinsi
Rata2
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
provinsi memiliki ruang fiskal sebesar 60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang memiliki ruang
menggambarkan
ruang fiskal
pada2014
masing-masing pemerintah provinsi. Secara rata-rata pemerintah
Deskripsi
dan Analisis
APBD
38Grafik 2.13
fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Grafik 2.13 menggambarkan ruang fiskal pada masing-masing pemerintah
provinsi. Secara rata-rata pemerintah provinsi memiliki ruang fiskal sebesar
60,60% dari total pendapatannya. Dalam hal ini, terdapat 19 daerah yang
memiliki ruang fiskal di bawah rata-rata nasional, dan 15 daerah memiliki
ruang fiskal di atas rata-rata nasional.
Ruang fiskal tertinggi terdapat di Provinsi Kalimantan Utara yang mencapai
sebesar 81,94%. Tingginya angka ini karena adanya pendapatan yang tidak
dibatasi penggunaannya yang didominasi oleh sektor pertambangan dan migas,
serta sektor kehutanan. Pendapatan Provinsi Kalimantan Utara didominasi
oleh transfer pemerintah pusat berupa DBH yang mencapai 65,77% dari total
pendapatan. Sebagai daerah otonom baru hasil pembentukan tahun 2013,
besarnya ruang fiskal yang dimiliki oleh Provinsi Kalimantan Utara perlu diikuti
dengan kebijakan penganggaran belanja modal yang lebih ekspansif untuk
membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh masyarakat. Namun
demikian, Provinsi Kalimantan Utara baru menganggarkan sekitar 22% dari
pendapatannya untuk belanja modal pada tahun 2014 ini.
Selain itu, Pemda Provinsi Kalimantan Timur juga memiliki ruang fiskal
yang tinggi yaitu sebesar 74,51%. Hal ini didukung dari penerimaan DBH
dan penerimaan pajak daerah yang cukup besar. Sementara itu porsi Belanja
Pegawai jumlahnya tidak terlalu besar sehingga ruang fiskal yang tersedia
masih besar. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur perlu
memanfaatkan ruang fiskal yang tinggi tersebut untuk kegiatan yang dapat
memacu pembangunan di daerahnya untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.
Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu
sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena kontribusi terbesar pada
Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi
khusus yang sudah dibatasi penggunaannya.
Analisa Pendapatan Daerah
39
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang dapat meningkatkan potensi penerimaan pajak daerah.
Sementara itu ,Provinsi Aceh mempunyai ruang fiskal terendah yaitu sebesar 20,22%. Hal ini disebabkan karena
kontribusi terbesar pada Pendapatan Daerah Provinsi Aceh adalah pendapatan dari dana otonomi khusus yang sudah dibatasi
penggunaannya.
4. Per Wilayah
4.
PerWilayah
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah
provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per wilayah di Indonesia. Terlihat
wilayah di Indonesia. Terlihat bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar 46,49%. Hal ini
bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal tertinggi yaitu sebesar
menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
46,49%. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah Kalimantan memiliki ruang
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi
fiskal yang cukup untuk melakukan belanja pemerintah dalam rangka
pertumbuhan ekonomi di daerahnya.
pembangunan daerahnya. Percepatan pembangunan di daerah tentunya
diharapkan dapat memberikan multiplier effect bagi pertumbuhan ekonomi
di daerahnya.
Grafik 2.14 memperlihatkan ruang fiskal yang dimiliki agregat pemerintah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia per
2.14
GrafikGrafik
2.14
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
Ruang Fiskal Per Wilayah*)
50%
Ruang Fiskal
Rata2
46,49%
40%
35,56%
36,30%
Papua-Maluku-Nusa
Tenggara
Sumatera
30%
20%
27,29%
30,16%
10%
0%
Sulawesi
Jawa-Bali
Kalimantan
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah), *) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa
Sementara itu, wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal terendah yaitu
sebesar 26,66%. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar daerah di
rangka pembangunan di daerahnya.Dengan ruang fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah diwilayah Sulawesi dapat
wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan
belanja pemerintah dalam rangka pembangunan di daerahnya. Dengan ruang
fiskal yang tersedia, diharapkan pemerintah daerah di wilayah Sulawesi dapat
mengalokasikan belanjanya pada kegiatan-kegiatan yang menjadi prioritas
daerah dan mempunyai daya ungkit (leverage) yang tinggi bagi perekonomian
daerahnya.
sebagian besar daerah di wilayah Sulawesi memiliki ruang fiskal yang terbatas untuk melakukan belanja pemerintah dalam
40
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
D.Rasio Ketergantungan Daerah
Rasio ketergantungan daerah menggambarkan tingkat ketergantungan
suatu daerah terhadap bantuan pihak eksternal, baik yang bersumber dari
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah lain. Rasio ini ditunjukkan
oleh rasio PAD terhadap total pendapatan dan rasio dana transfer terhadap
total pendapatan. Rasio PAD terhadap total pendapatan memiliki arti
yang berkebalikan dengan rasio dana transfer terhadap total pendapatan.
Semakin besar angka rasio PAD maka ketergantungan daerah semakin kecil.
Sebaliknya, semakin besar angka rasio dana transfer, maka semakin besar
tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal. Dengan
demikian, daerah yang memiliki tingkat ketergantungan yang rendah adalah
daerah yang memiliki rasio PAD yang tinggi, sekaligus rasio dana transfer
yang rendah.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 2.15 menggambarkan potret rasio PAD dan dana transfer
terhadap pendapatan seluruh pemda yang dikelompokkan menurut provinsi.
Perhitungan dilakukan dengan menjumlahkan PAD seluruh pemda pada
satu provinsi, dan untuk selanjutnya dibagi dengan total pendapatan untuk
wilayah yang sama. Hal yang sama juga berlaku untuk rasio Dana Transfer,
yang terdiri dari Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan Dana
Penyesuaian, yang kemudian dibandingkan dengan total pendapatan daerah
tersebut. Secara agregat (provinsi, kabupaten, dan kota), rata-rata rasio PAD
terhadap pendapatan sebesar 18,08% dan rata-rata rasio Dana Transfer
terhadap Pendapatan sebesar 80,52%.
Berdasarkan hasil analisis, Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio PAD yang
paling tinggi, yaitu sebesar 61,13%, sekaligus rasio dana transfer terendah
yaitu sebesar 31,15%. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
rasio PAD terendah sebesar 3,62% sekaligus rasio dana transfer tertinggi
yaitu sebesar 95,96%. Hal ini menunjukkan bahwa, Provinsi DKI Jakarta
Analisa Pendapatan Daerah
41
memiliki ketergantungan daerah yang paling rendah dibandingkan provinsiprovinsi yang lain. Sebaliknya, Provinsi Papua Barat menunjukkan tingkat
ketergantungan yang paling tinggi, baik dari sisi PAD yang dihasilkan maupun
dari sisi dana transfer yang diterima dari pusat.
Grafik 2.15
Ketergantungan
Rasio Rasio
Ketergantungan
AgregatAgregat
Provinsi,Prov/Kab/Kota
Kabupaten dan Kota
120%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
100%
80%
60%
40%
0%
Prov. Papua Barat
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Papua
Prov. Maluku
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Maluku Utara
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Aceh
Prov. Bengkulu
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Gorontalo
Prov. Jambi
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Bangka Belitung
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Sumatera Barat
Prov. Riau
Prov. Lampung
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Sumatera Utara
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Jawa Tengah
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Jawa Timur
Prov. Jawa Barat
Prov. Bali
Prov. Banten
Prov. DKI Jakarta
20%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD
Rendahnya tingkat ketergantungan di Provinsi DKI Jakarta tersebut
khususnya dari pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak yang menempatkan
disebabkan oleh tingginya sumber-sumber PAD khususnya dari pajak daerah
DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki
dan retribusi daerah. Hal ini sejalan dengan analisis pada bagian rasio pajak
tingkat ketergantungan tertinggi disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak daerah dan retribusi daerah di wilayah
yang menempatkan DKI Jakarta pada posisi pertama dibandingkan dengan
tersebut, dan tingginya dana transfer yang diterima.
provinsi-provinsi lainnya. Sementara itu, Provinsi Papua Barat memiliki tingkat
disebabkan oleh rendahnya PAD, khususnya pajak
2. ketergantungan
Pemerintah Kabupatentertinggi
dan Kota Se-Provinsi
daerah
dan
retribusi
daerah
di wilayah tersebut, dan tingginya dana transfer
Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata
yang
rasio
dana diterima.
transfer terhadap Pendapatan Daerahmencapai91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana transfer masih sangat tinggi.
Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di
Provinsi Bali yang mencapai 31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi
Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.
42
Deskripsi dan Analisis
APBD 2014Grafik 2.16
Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan kota Se-Provinsi *)
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Pada Grafik 2.16 terlihat bahwa rata-rata rasio PAD terhadap Pendapatan
Daerah adalah 8,5%, sedangkan rata-rata rasio dana transfer terhadap
Pendapatan Daerah mencapai 91,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
ketergantungan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota terhadap dana
transfer masih sangat tinggi.
Rasio PAD terhadap pendapatan tertinggi terdapat pada seluruh
pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali yang mencapai
31,6%, sedangkan yang terendah adalah di pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota di Provinsi Papua Barat yaitu hanya sebesar 2,4%.
Grafik 2.16
Rasio Ketergantungan Kab/Kota
Rasio KetergantunganPemerintahKabupatendan
kota Se-Provinsi *)
100%
80%
60%
40%
0%
Prov. Papua
Prov. Maluku
Prov. Papua Barat
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Bengkulu
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Aceh
Prov. Jambi
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Maluku Utara
Prov. Lampung
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Sumatera Selatan
Prov. Sumatera Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Riau
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Gorontalo
Prov. Bangka Belitung
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Tengah
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Jawa Timur
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Jawa Barat
Prov. Banten
Prov. Bali
20%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
*) Tidak
termasuk
DKI
Jakarta
Sumber:
APBD 2013
(Diolah), *) Tidak
termasuk
DKI Jakarta
Sementara itu, rasio dana transfer terhadap pendapatan yang tertinggi terdapat di pemerintah kabupaten dan
Sementara
dana
terhadap
pendapatan
tertinggi
pemerintah
kota di Provinsiitu,
Papuarasio
dan Provinsi
Papuatransfer
Barat yang mencapai
sebesar
97,4%, sedangkanyang
yang terendah
adalah
terdapat
di pemerintah
dan
pemerintah
kota
pemerintah
kabupaten
dan pemerintah kotakabupaten
di Provinsi Bali yang
mencapai
sebesar 68,4%.
di Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat yang mencapai sebesar 97,4%, sedangkan yang
adalah
3.terendah
Pemerintah
Provinsi pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Bali
yangUntuk
mencapai
sebesar
68,4%.
tingkat pemerintah
provinsi,
rata-rata rasio PAD terhadap pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio
dana transfer terhadap pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18 pemerintah provinsi yang memiliki
rasio PAD terhadap pendapatan di atas rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana transfer
Analisa Pendapatan Daerah
43
terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat
bergantung bantuan dana dari pihak eksternal.
Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%,
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat pemerintah provinsi, rata-rata rasio PAD terhadap
pendapatan adalah sebesar 37,5% dan untuk rasio dana transfer terhadap
pendapatan sebesar 60,79%. Dari keseluruhan provinsi, terdapat 18
pemerintah provinsi yang memiliki rasio PAD terhadap pendapatan di atas
rata-rata nasional, dan 16 pemerintah provinsi yang memiliki rasio dana
transfer terhadap pendapatan di atas rata-rata-rata secara nasional. Kondisi ini
menunjukkan bahwa masih banyak daerah yang sangat bergantung bantuan
dana dari pihak eksternal.
Pemerintah Provinsi Banten memiliki rasio PAD terhadap pendapatan yang
paling tinggi, yaitu sebesar 67,97%, sedangkan Pemerintah Provinsi Papua
Barat memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 3,87%. Sebaliknya, rasio
dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di Provinsi
Papua Barat sebesar 96,13%, sedangkan yang terendah terdapat di Provinsi
DKI Jakarta, yaitu sebesar 31,15%.
Grafik 2.17
Ketergantungan
Provinsi
RasioRasio
Ketergantungan
Pemerintah
Provinsi
120%
100%
80%
60%
40%
0%
Prov. Kalimantan Utara
Prov. Papua Barat
Prov. Papua
Prov. Aceh
Prov. Maluku Utara
Prov. Sulawesi Barat
Prov. Gorontalo
Prov. Maluku
Prov. Nusa Tenggara Timur
Prov. Sulawesi Tenggara
Prov. Bangka Belitung
Prov. Kepulauan Riau
Prov. Bengkulu
Prov. Sulawesi Tengah
Prov. Jambi
Prov. Sumatera Selatan
Prov. DI Yogyakarta
Prov. Riau
Prov. Nusa Tenggara Barat
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Kalimantan Tengah
Prov. Kalimantan Barat
Prov. Sumatera Barat
Prov. Kalimantan Timur
Prov. Lampung
Prov. Sulawesi Selatan
Prov. Bali
Prov. Sumatera Utara
Prov. Jawa Tengah
Prov. DKI Jakarta
Prov. Kalimantan Selatan
Prov. Jawa Timur
Prov. Jawa Barat
Prov. Banten
20%
PAD/Pdptn
Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rata2 PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
4.
Per Wilayah
44
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ketergantungan daerah pada 5 kelompok wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Transfer/Pdptn
Rata2 PAD/Pdptn
Prov.
Pr
Prov
Prov. N
Pr
Prov.
Prov
Pr
Prov.
Prov.
Pro
Prov. Nu
Prov.
Pro
Pr
Pr
Prov
PAD/Pdptn
Rata2 Transfer/Pdptn
Sumber: APBD 2013 (Diolah)
4. Per Wilayah
4.
Per Wilayah
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan
untuk menunjukkan
seberapa
besar
ketergantungan
daerah pada 5 kelompok
wilayah yang
memilikiketergantungan
karakteristik pendapatandaerah
yang sama.pada 5 kelompok
wilayah yang memiliki karakteristik pendapatan yang sama.
Analisis rasio ketergantungan daerah berdasarkan wilayah dimaksudkan untuk menunjukkan seberapa besar
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan Per Wilayah*)
Grafik 2.18
Rasio Ketergantungan
Per Wilayah*)Per Wilayah
Rasio Ketergantungan
Agregat Prov/Kab/Kota
100%
80%
60%
40%
20%
0%
Papua-Maluku-Nusa
Tenggara
PAD/Pdptn
Kalimantan
TRANSFER/Pdptn
Sulawesi
Sumatera
RATA2 PAD/Pdptn
Jawa-Bali
RATA2 TRANSFER/Pdptn
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Berdasarkan pembagian 5 wilayah, secara rata-rata rasio PAD terhadap
total pendapatan hanya sebesar 9,04%, sedangkan rata-rata rasio dana
transfer terhadap total pendapatan mencapai sebesar 84,01%. Rasio PAD
terhadap total pendapatan di wilayah Jawa dan Bali mempunyai rasio yang
paling tinggi dibandingkan dengan 4 wilayah lainnya, yaitu sebesar 27,6%.
Hal ini membuktikan bahwa kemampuan pemerintah daerah di wilayah Jawa
dan Bali dalam menghasilkan sumber-sumber PAD relatif cukup tinggi. Hal ini
berbeda dengan wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang rasio PAD
terhadap total pendapatannya sangat rendah, yang hanya mencapai 4,63%.
Namun demikian, secara umum ke-5 wilayah tersebut masih memiliki
rasio PAD terhadap total pendapatan rata-rata di bawah 50% (sekitar 16%),
yang berarti masih memiliki ketergantungan yang cukup besar terhadap Pusat.
Analisa Pendapatan Daerah
45
Berdasarkan analisis terhadap rasio dana transfer terhadap pendapatan,
wilayah Jawa dan Bali memiliki angka yang paling rendah, yaitu 73,14%.
Walaupun angka tersebut masih besar, namun apabila dibandingkan dengan
wilayah lainnya, rasio ini menunjukkan bahwa wilayah Jawa dan Bali memiliki
tingkat ketergantungan dengan dana transfer yang paling rendah. Sementara
itu, rasio dana transfer terhadap total pendapatan yang tertinggi terdapat di
wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua yang mencapai sebesar 92,97%.
Ini berarti wilayah tersebut memiliki rasio ketergantungan daerah yang tinggi.
E.Deviasi Alokasi Transfer ke Daerah pada APBD
Salah satu permasalahan yang sering disampaikan oleh daerah dalam
penyusunan APBD adalah terlambatnya informasi alokasi dana Transfer ke
Daerah yang ditetapkan dalam APBN setiap tahunnya. Terlambatnya informasi
alokasi Transfer ke Daerah dari Kementerian Keuangan yang diterima oleh
daerah mempengaruhi perencanaan APBD, terutama dari sisi pendapatan.
Kepastian jumlah pendapatan akan mempengaruhi besaran belanja yang
akan direncanakan oleh pemerintah daerah.
Sebagai gambaran, alokasi dana transfer tahun 2014 dalam UU APBN
yang disahkan tanggal 14 November 2013 mencapai Rp592,5 triliun,
terdiri dari alokasi Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan
Penyesuaian. Berdasarkan UU APBN tersebut, alokasi Dana Alokasi Khusus
per daerah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
180/PMK.07/2013 tanggal 13 Desember 2013. Selain itu, informasi alokasi
Dana Alokasi Umum (DAU) per daerah ditetapkan melalui Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 2 Tahun 2014 telah dipublikasikan pada tanggal 27
Januari 2014, sedangkan informasi alokasi DBH tahun 2014 yang dimuat
dalam PMK baru dapat diterbitkan pada bulan Mei 2014. Namun demikian,
untuk mempercepat penyampaian informasi alokasi yang diterima oleh
setiap daerah, Kementerian Keuangan telah mengunggah informasi tersebut
46
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ke website www.djpk.depkeu.go.id setelah UU APBN disahkan pada rapat
raripurna DPR pada tanggal 14 November 2013.
Untuk melihat apakah keterlambatan informasi alokasi masih menjadi
permasalahan dalam penetapan APBD, pada bagian ini akan disajikan
mengenai deviasi antara besaran Dana Perimbangan (DBH, DAU, dan DAK)
yang dicantumkan dalam APBD dengan besaran alokasi Dana Perimbangan
sebagaimana ditetapkan oleh Kementerian Keuangan. Deviasi negatif
diperoleh jika besaran alokasi dalam APBD lebih kecil daripada alokasi dari
Kementerian Keuangan. Hal ini juga berarti pemerintah daerah bersikap
pesimistis terhadap alokasi yang akan diterima tahun berikutnya. Sebaliknya,
deviasi positif diperoleh ketika pemerintah daerah bersikap optimis.
Dari hasil telaah pembandingan deviasi antara penetapan Pemerintah
dengan penetapan dalam APBD, secara umum dapat disimpulkan bahwa
pengumuman alokasi Dana Perimbangan yang dilakukan segera setelah
pengesahan UU APBN oleh DPR RI dapat dimanfaatkan oleh daerah dalam
menyusun APBD. Hal ini terbukti dari banyaknya daerah yang mengalokasikan
DAU dan DAK pada APBD sama besar dengan penetapan pemerintah pusat.
Adapun untuk DBH yang informasi alokasinya diumumkan terlambat, yaitu
pada Mei 2014 atau setelah APBD ditetapkan oleh daerah, menunjukkan
gambaran bahwa seluruh daerah mengalokasikan berbeda dengan alokasi
dalam PMK.
Berdasarkan hal di atas, dapat disampaikan bahwa peranan kecepatan
informasi transfer mempunyai peran penting dalam menekan rendahnya
deviasi alokasi transfer pada APBD. Satu hal yang perlu dicermati bahwa
deviasi yang terlalu besar, akan mengakibatkan eksekusi APBD menjadi
terkendala. Dalam hal dianggarkan jauh terlalu rendah dalam APBD
maka akan terjadi potensi pelampauan pendapatan yang lebih lanjut akan
berpotensi pada terbentuknya dana idle daerah yang tidak dapat digunakan
untuk mendanai belanja publik. Di sisi lain, apabila dianggarkan oleh daerah
jauh terlalu tinggi juga akan mengganggu ketersediaan dana untuk mendanai
Analisa Pendapatan Daerah
47
belanja yang telah direncanakan, sehingga kegiatan yang didanai dari APBD
dapat mengalami keterlambatan, atau bahkan tidak dapat diselesaikan.
1. Dana Bagi Hasil (DBH)
Dalam APBN tahun 2014, DBH yang ditetapkan dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2013 tentang APBN adalah sebesar Rp113,71 triliun,
yang terdiri dari DBH Pajak sebesar Rp51,78 triliun dan DBH SDA sebesar
Rp61,92 triliun. Sementara, dalam beberapa Peraturan Menteri Keuangan
yang mengatur tentang alokasi DBH per daerah (bersifat perkiraan), jumlah
yang dialokasikan adalah sebesar Rp104,228 triliun. Adapun total alokasi
DBH dalam APBD 2014 adalah sebesar Rp108,042 triliun, yang sedikit lebih
besar daripada jumlah alokasi dalam PMK.
Secara total, deviasi alokasi antara APBD dan PMK hanya 3,66%,
tetapi apabila dilihat per daerah, deviasi tertinggi dalam nominal mencapai
Rp5,69 triliun dan dalam persentase mencapai 202,16%. Jumlah daerah
dengan deviasi positif (alokasi DBH dalam APBD lebih besar daripada alokasi
PMK) lebih sedikit daripada jumlah daerah dengan deviasi negatif, dengan
perbandingan 190:349. Berikut disajikan daerah-daerah dengan persentase
deviasi tertinggi.
Tabel 2.1
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DBH Tertinggi
Daerah
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
(354,938,727,913)
-92.78%
31 Dec 2013
Kab. Sabu Raijua
(5,187,440,704)
-91.72%
11 Dec 2013
Kab. Sumba Tengah
(8,489,243,739)
-80.07%
24 Dec 2013
Kab. Tambrauw
(26,989,158,311)
-77.34%
27 Dec 2013
Kab. Landak
(28,145,062,644)
-72.69%
30 Dec 2013
Kab. Mahakam Ulu
Deviasi Alokasi (Rp)
Sumber: DJPK (2014), data diolah
48
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Tabel 2.1 di atas menunjukkan lima daerah yang memiliki persentase
deviasi negatif tertinggi. Persentase deviasi yang diperoleh dari lima pemerintah
daerah tersebut seluruhnya merupakan pemerintah daerah kabupaten yang
berada pada wilayah Kalimantan, serta Nusa Tenggara dan Papua. Kelima
daerah tersebut menganggarkan pendapatan DBH pada APBD terlalu pesimis
hingga sekitar 90% di bawah alokasi yang akan diterimanya.
Tabel 2.2
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DBH Tertinggi
Daerah
Deviasi Alokasi (Rp)
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Mamuju
28.146.732.024
101,05%
31 Des 2013
Kab. Nagan Raya
27.128.958.019
101,67%
30 Des 2013
Kab. Tanah Karo
19.178.771.472
101,72%
-
Kab. Labuhanbatu Selatan
30.187.140.867
109,61%
03 Mar 2014
121.884.664.177
202,16%
27 Des 2013
Kab. Raja Ampat
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Daerah yang melakukan penganggaran dengan optimis akan mengalami
deviasi yang positif atas alokasinya. Kabupaten Raja Ampat menganggarkan
DBH pada APBD dua kali lebih tinggi daripada alokasi DBH pada PMK
alokasi. Dengan persentase tersebut, Kabupaten Raja Ampat memiliki deviasi
penganggaran DBH tertinggi. Kabupaten Labuhanbatu Selatan yang cukup
lambat dalam penetapan perda APBD mengalami deviasi positif anggaran
DBH tertinggi kedua.
Secara umum, deviasi antara alokasi DBH pada APBD dan PMK terjadi
pada seluruh daerah. Hal ini terjadi karena informasi alokasi DBH belum
ditetapkan sampai saat APBD ditetapkan.
Analisa Pendapatan Daerah
49
2. Dana Alokasi Umum (DAU)
Dana Alokasi Umum (DAU) tahun 2014 dialokasikan sebesar Rp341,2
triliun. Peraturan Presiden yang mengatur alokasi per daerah telah ditetapkan
pada tanggal 27 Januari 2014. Sementara itu, DAU dalam APBD dialokasikan
sebesar Rp341,34 triliun atau relatif sama besar dengan alokasi dari
pemerintah pusat, sehingga secara total deviasi antara APBD dan Perpres
relatif tidak signifikan (Rp120,69 juta).
Jika dilihat per daerah, sebanyak 490 daerah mengalokasikan DAU sama
dengan yang ditetapkan pemerintah pusat, dimana 32 daerah mengalokasikan
DAU dengan rentang deviasi +1%, serta 17 daerah dengan deviasi lebih dari
+1%. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengumuman informasi
alokasi yang dilakukan beberapa saat setelah rapat paripurna DPR RI yang
mengesahkan RUU APBN 2014 menjadi UU telah diterima dengan baik oleh
sebagian besar pemerintah daerah.
Walaupun begitu, masih terdapat beberapa daerah yang memiliki deviasi
cukup besar walaupun informasi alokasi untuk daerah mereka masingmasing telah dipublikasikan. Tabel 2.3 berikut ini menunjukkan lima daerah
dengan persentase deviasi alokasi DAU negatif tertinggi. Kabupaten Bengkalis
merupakan daerah dengan persentase deviasi negatif tertinggi dan paling
lambat dalam menetapkan APBD dibandingkan 4 daerah lain. Keempat
daerah lainnya yang memiliki deviasi negatif dibawah 27% menetapkan
APBD sebelum Perpres Alokasi DAU ditetapkan.
Tabel 2.3
Daerah dengan Persentase Deviasi Alokasi DAU Negatif Tertinggi
Daerah
Kab. Bengkalis
Kab. Sumba Tengah
Kab. Kepulauan Sitaro
50
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
(50.961.070.569)
-59,41%
20 Mar 2014
(111.548.944.000)
-26,97%
24 Des 2013
(60.442.761.000)
-15,09%
20 Jan 2014
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Balangan
(31.589.190.000)
-9,90%
17 Des 2013
Kab. Aceh Barat
(42.832.065.000)
-7,78%
16 Des 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Sementara itu, Kabupaten Banggai Kepulauan merupakan daerah dengan
persentase deviasi positif tertinggi meskipun perda APBD ditetapkan setelah
Perpres Alokasi DAU ditetapkan. Seluruh daerah yang menganggarkan
DAU terlalu optimis menetapkan perda APBD setelah Perpres Alokasi DAU
ditetapkan kecuali Kota Bandar Lampung yang memiliki deviasi positif sebesar
10,48% dibandingkan alokasi DAU yang diperolehnya.
Tabel 2.4
Daftar Daerah Persentase Deviasi Positif Alokasi DAU Tertinggi
Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kota Dumai
17.250.322.831
4,79%
17 Apr 2014
Kota Bandar Lampung
96.611.339.010
10,48%
27 Sep 2013
Kab. Minahasa Tenggara
60.579.834.000
17,81%
05 Feb 2014
Kab. Sumba Barat Daya
111.548.944.000
36,93%
04 Feb 2014
Kab. Banggai Kepulauan
140.679.186.419
40,54%
04 Apr 2014
Sumber: DJPK (2014), data diolah
3. Dana Alokasi Khusus (DAK)
Pada APBN 2013, pemerintah pusat mengalokasikan DAK sebesar
Rp31,7 triliun yang terdiri dari Rp29,7 triliun dialokasikan untuk 19 bidang
dan bagi seluruh pemerintah daerah, serta Rp2 triliun yang dialokasikan
untuk infrastruktur jalan dan pendidikan bagi 183 daerah tertinggal. Dari
539 daerah, terdapat 11 daerah yang tidak mendapatkan alokasi DAK dan
seluruh daerah tersebut tidak menganggarkan DAK pada APBD. PMK alokasi
Analisa Pendapatan Daerah
51
DAK ditetapkan lebih awal dibandingkan alokasi DAU yaitu pada tanggal 13
Desember 2013.
Sementara itu, alokasi DAK pada APBD mencapai sebesar Rp33 triliun
dan anggaran DAK pada APBD 539 daerah berjumlah Rp32,83 triliun.
Dibandingkan dengan total DAK yang ditetapkan pemerintah pusat, deviasi
yang terjadi tidak signifikan, yaitu hanya -0,49%. Jika dibandingkan per
daerah, pola yang sama dengan DAU terjadi pada DAK, yaitu 490 daerah
mengalokasikan sama besar dengan DAK yang ditetapkan pemerintah pusat,
32 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi dalam rentang +1%, serta
17 daerah mengalokasikan DAK dengan deviasi diatas rentang +1%.
Dari tabel 2.8 di atas dapat dilihat bahwa masih terdapat daerah yang
tidak menganggarkan DAK pada APBD sehingga mengakibatkan deviasi
daerah tersebut menjadi sebesar 100%. Kab Bekasi menjadi daerah yang
memiliki deviasi dengan nominal terbesar sekaligus persentase terbesar.
Lima daerah yang memiliki persentase deviasi negatif tertinggi sebagaimana
terlihat pada tabel di bawah ini disebabkan karena daerah tersebut tidak
menganggarkan DAK pada APBD-nya. Jika dilihat dari penetapan APBD
kelima daerah tersebut, seharusnya informasi DAK yang mereka peroleh
sudah dapat ditampung dalam APBD.
Tabel 2.5
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Negatif Alokasi DAK Tertinggi
Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kab. Bekasi
(111.171.910.000)
-100,00%
24 Jan 2014
Kab. Mappi
(97.101.660.000)
-100,00%
06 Jun 2014
Kota Tarakan
(3.786.510.000)
-100,00%
31 Des 2013
Kab. Bengkalis
(24.753.430.096)
-69,26%
20 Mar 2014
Prov. Kalimantan Selatan
(29.189.940.000)
-53,87%
27 Des 2013
Sumber: DJPK (2014), data diolah
52
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Kabupaten Kepulauan Meranti menjadi daerah yang menganggarkan
DAK tahun 2014 terlalu optimis, dengan persentase deviasi hingga mencapai
900%, Kabupaten Kepulauan Meranti mengalami deviasi penganggaran
DAK sebesar Rp17,9 Miliar. Kabupaten tersebut menganggarkan DAK terlalu
optimis meskipun tanggal penetapan APBD jauh setelah PMK alokasi DAK
ditetapkan. Kecuali Kota Bandar Lampung, daerah yang mengalami deviasi
DAK terbesar ini menetapkan perda APBD setelah informasi alokasi DAK
dapat diperoleh daerah.
Tabel 2.6
Daftar Daerah dengan Persentase Deviasi Positif Alokasi DAK Tertinggi
Daerah
Deviasi Alokasi
Persentase Deviasi
Tanggal Perda
Kota Singkawang
19.657.451.132
41,07%
23 Mei 2014
Kota Bandar Lampung
22.186.410.000
51,79%
27 Sep 2013
Kab. Rokan Hulu
10.076.807.960
95,22%
22 Mei 2014
2.075.221.402
115,14%
10 Apr 2014
17.963.795.695
923,69%
02 Apr 2014
Kab. Tanjung Jabung Barat
Kab. Kepulauan Meranti
Sumber: DJPK (2014), data diolah
Analisa Belanja Daerah
53
BAB III
ANALISIS BELANJA DAERAH
Dalam dua belas tahun pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia,
titik beratnya diletakkan pada desentralisasi di sisi pengeluaran (expenditure
assignment) yang ditandai dengan adanya pembagian urusan pada berbagai
tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah memiliki 31 urusan yang terdiri
dari urusan wajib dan pilihan. Sebagai konsekuensi logis dari penyerahan
kewenangan/urusan tersebut dan sesuai dengan prinsip money follow function,
pemerintah pusat setiap tahunnya mengalokasikan dana Transfer ke Daerah
kepada pemerintah daerah. Jumlah Transfer ke Daerah memiliki tren yang
meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan APBN.
Dalam APBN tahun 2014, alokasi Transfer ke Daerah mencapai sebesar
Rp592,5 triliun, yang berarti sekitar 32% dari total belanja APBN telah
diserahkan pengelolaannya kepada daerah yang diikuti dengan adanya diskresi
yang sangat besar. Hal tersebut diharapkan dapat mempengaruhi pola belanja
di daerah yang mampu mendorong adanya peningkatan kinerja pelayanan
publik di daerah. Tantangan utama yang dihadapi oleh pemerintah daerah
dalam melaksanakan tugasnya tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan melalui kebijakan perencanaan dan penganggaran
yang sejalan dengan prioritas dan kebutuhan di daerah.
Implementasi atas kebijakan perencanaan dan penganggaran tersebut
adalah melalui Belanja Daerah pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD). Anggaran Belanja Daerah akan mempunyai peran riil dalam
peningkatan kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi
perekonomian daerah apabila dapat direalisasikan dengan baik. Dengan
demikian, Belanja Daerah seharusnya dapat menjadi komponen yang
54
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
penting dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap sumber-sumber
daya ekonomi yang bermanfaat bagi kesejahteraan masyarakat, yang pada
gilirannya diharapkan akan memberikan dampak nyata pada perekonomian
daerah secara luas.
Anggaran Belanja Daerah yang tercantum dalam APBD mencerminkan
potret pemerintah daerah dalam menentukan skala prioritas terkait
program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam satu tahun anggaran.
Penyusunan anggaran Belanja Daerah dapat menunjukkan apakah suatu
daerah pro poor, growth, and jobs. Pada komponen Belanja Daerah juga
nampak seberapa besar porsi belanja langsung yang dapat mendorong
pertumbuhan perekonomian daerah dan terkait langsung dalam pemenuhan
pelayanan kepada masyarakat.
Untuk menggambarkan seberapa besar belanja pemerintah daerah yang
digunakan dalam upaya untuk menyejahterakan penduduk di suatu daerah,
dapat digunakan berbagai macam tool, misalnya dengan pengukuran rasio
Belanja Daerah terhadap jumlah penduduk (Belanja Daerah per kapita).
Semakin besar nilai rasio Belanja Daerah per kapita, semakin besar belanja
yang dikeluarkan untuk menyejahterakan satu orang penduduk wilayah
tersebut sehingga semakin besar kemungkinan tercapainya. Sebaliknya,
semakin kecil angka rasionya, semakin kecil dana yang disediakan pemda
untuk menyejahterakan penduduknya.
Namun demikian, rasio ini juga dirinci lagi menjadi per jenis belanja
sehingga akan lebih menggambarkan kontribusi dari setiap jenis belanja
sebagai faktor yang mendorong peningkatan kualitas layanan publik. Berbagai
macam pengukuran rasio belanja akan disajikan pada bab ini. Pada prinsipnya,
dalam tataran kebijakan, untuk menuju pelaksanaan Belanja Daerah yang
berdampak positif kepada masyarakat perlu diupayakan agar pemerintah
daerah mempercepat realisasi belanjanya dan menjalankan kebijakan belanja
yang baik, antara lain dengan mendorong agar proses penetapan Perda APBD
dapat dilakukan secara tepat waktu, menetapkan anggaran Belanja Modal
Analisa Belanja Daerah
55
yang lebih besar dan tepat sasaran, mempertajam penggunaan anggaran
Belanja Pegawai, dan sebagainya.
A.Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja
Daerah
Mengingat bahwa proporsi belanja pegawai menempati porsi terbesar
dalam APBD, perlu kita hitung rasio belanja pegawai terhadap total belanja
daerah. Tujuan penghitungan rasio Belanja Pegawai terhadap total Belanja
Daerah adalah untuk mengetahui proporsi Belanja Pegawai terhadap total
Belanja Daerah. Data Belanja Pegawai di sini adalah penjumlahan dari
Belanja Pegawai langsung dan Belanja Pegawai tidak langsung. Rasio ini
menggambarkan bahwa semakin tinggi angka rasionya maka semakin
besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai. Begitu pula
sebaliknya, semakin kecil angka rasio Belanja Pegawai maka semakin kecil
proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Pegawai APBD.
Mengingat jumlah guru mendominasi jumlah keseluruhan dari Pegawai
Negeri Sipil Daerah (PNSD), maka menjadi penting untuk melihat proporsi
jumlah guru terhadap total PNSD di suatu daerah. Selama ini banyak pihak
yang menyoroti dan mengkritisi mengenai jumlah Belanja Pegawai yang dinilai
terlalu besar dalam APBD. Kritik tersebut didasarkan pada argumen bahwa
hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya alokasi untuk Belanja Modal
yang nota bene dipandang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pemenuhan pelayanan publik kepada masyarakat.
Namun demikian, dalam peraturan perundangan disebutkan bahwa
Belanja Daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya dengan prioritas kepada pelaksanaan urusan
daerah yang sifatnya wajib. Salah satu urusan wajib adalah bidang pendidikan,
sehingga belanja untuk gaji guru sebenarnya dilakukan dalam rangka untuk
mendukung pelaksanaan urusan daerah yang sifatnya wajib.
56
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio Belanja
Pegawai terhadap total Belanja Daerah sebesar 40,87%. Rasio ini lebih
rendah apabila dibandingkan dengan tahun anggaran sebelumnya yang
mencapai rata-rata 42,78% pada tahun 2013 dan sebesar 44,7% pada
tahun 2012. Meskipun relatif kecil, penurunan rasio belanja pegawai secara
konsisten dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan adanya upaya
rasionalisasi terhadap struktur belanja daerah. Rasio belanja pegawai agregat
provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan bahwa 15
provinsi rasionya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 19 provinsi
yang lain memiliki rasio belanja pegawai yang melebihi rata-rata nasional.
Provinsi yang memiliki rasio belanja pegawai paling kecil adalah Provinsi DKI
Jakarta, yaitu sebesar 22,79%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio
yang paling besar adalah Provinsi Jawa Tengah dengan rasio yang mencapai
sebesar 51,62%.
Grafik 3.1 menunjukkan adanya 3 provinsi yang memiliki rasio belanja
pegawai lebih dari 50%, yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, dan Provinsi Jawa Tengah, meskipun rasionya masih lebih rendah jika
dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian,
karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut hanya menganggarkan
sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.
Dengan kata lain, kondisi tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya
sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan
kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
Analisa Belanja Daerah
57
dibandingkan dengan tahun lalu. Kondisi ini tentu harus menjadi perhatian, karena secara implisit provinsi-provinsi tersebut
hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja di luar belanja pegawai.Dengan kata lain, kondisi
tersebut akan menyebabkan semakin terbatasnya sumber pendanaan yang dapat digunakan untuk mendanai program dan
kegiatan yang dapat mendukung pemenuhan layanan publik.
Grafik
Grafik 3.13.1
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Rasio Belanja
Pegawai
terhadap
Total
Agregat Provinsi, Kabupaten dan
Kota Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
60%
51,62%
50%
40,87%
40%
30%
22,79%
20%
0%
DKI Jakarta
Kalimantan Utara
Papua Barat
Kalimantan Timur
Papua
Kepulauan Riau
Riau
Banten
Sumatera Selatan
Kalimantan Tengah
Aceh
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Bangka Belitung
Kalimantan Barat
Jambi
Jawa Barat
Sulawesi Barat
Bali
Maluku
Sulawesi Tenggara
Jawa Timur
Sulawesi Tengah
Lampung
Gorontalo
Sulawesi Utara
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
DI Yogyakarta
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Barat
Jawa Tengah
10%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio
Jumlah
Guru
b.b. Rasio
Jumlah
Guru Terhadap
PNSDTerhadap
PNSD
Secara agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih
Secara
agregat provinsi, kabupaten dan kota, rata-rata rasio jumlah
guru terhadap total PNSD adalah 51,0%, lebih tinggi dibandingkan dengan
rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi
semakin rasional dalam alokasi belanja pegawainya yang ditunjukkan dengan semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun
sebelumnya, peningkatan rasio jumlah guru yang diiringi dengan penurunan
besaran belanja untuk PNS yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat provinsi,
rasio belanja pegawai secara keseluruhan menunjukkan bahwa daerah
kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata
semakin
rasional
dalam
alokasi
belanja
yang yang
ditunjukkan
dengan
nasional,
sedangkan
14 provinsi
yang lain
memiliki rasio
di atas pegawainya
rata-rata nasional. Provinsi
memiliki rasio paling
kecil
semakin menurunnya porsi jumlah PNS maupun besaran belanja untuk PNS
yang bekerja di bidang administrasi. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk setiap provinsi menunjukkan
adanya 20 provinsi mempunyai rasio lebih rendah dari rata-rata nasional,
sedangkan 14 provinsi yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional.
Provinsi yang memiliki rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah,
yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang
paling besar adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.
tinggi dibandingkan dengan rasio tahun sebelumnya yang mencapai 49,41%. Sama seperti deskripsi sebelumnya, peningkatan
58
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 43,6%, sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar
adalah Provinsi DKI Jakarta dengan rasio sebesar 64,0%.
Grafik
3.2
Grafik 3.2
Rasio Jumlah
Guru terhadap
Total PNSD
Rasio Jumlah
Guru
terhadap
Total PNSD
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
70%
64,0%
60%
50%
51,0%
43,6%
40%
30%
20%
0%
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tenggara
Aceh
Sulawesi Tengah
Bengkulu
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Selatan
Bali
Kalimantan Timur
Papua
Maluku Utara
Kepulauan Riau
Gorontalo
Sulawesi Barat
Riau
Sulawesi Utara
Kalimantan Barat
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Selatan
Jawa Timur
Papua Barat
Jambi
Lampung
Jawa Barat
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Sumatera Barat
Sumatera Utara
Banten
Kalimantan Utara
Maluku
DKI Jakarta
10%
Sumber:
DJPK
Sumber:
DJPK (Data
Diolah)(Data
Diolah)
2.2. Pemerintah
Pemerintah Kabupaten Kabupaten
dan Kota se-Provinsi
a.
dan Kota se-Provinsi
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
a. Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
Grafik 3.3 memperlihatkan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap
total belanjanya.
tersebut terlihat bahwa semua
belanja pegawai
pemerintah
kabupaten dan pemerintah
kota
Grafik Dari
3.3grafik
memperlihatkan
rasiorasio
belanja
pegawai
pemerintah
kabupaten
se-provinsi
memiliki rasio di atas
30%, kecuali
Provinsi Kalimantan
Utara (25,94%)
Provinsi Kalimantan Dari
Timur (29,72%).
dan pemerintah
kota
se-provinsi
terhadap
totaldanbelanjanya.
grafik
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi terhadap total
tersebut terlihat bahwa semua rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi memiliki rasio di atas 30%, kecuali Provinsi
2013 yaitu sebesar 49,26% dan tahun 2012 yang mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan
Kalimantan Utara (25,94%) dan Provinsi Kalimantan Timur (29,72%).
pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari
Sementara itu, rata-rata rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan
angka rata-rata tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih rendah, dan 19 provinsi memiliki
pemerintah
kota
terhadap
total
pada APBD
2014
rasio
belanja pegawai
yang se-provinsi
lebih besar. Pemerintah
kabupaten
dan belanjanya
pemerintah kota se-Provinsi
Daerah Istimewa
adalah sebesar
48,61%,
yangyaituberarti
lebih sedangkan
rendahpemerintah
apabila
dibandingkan
Yogyakartamemiliki
rasio belanja
pegawai terbesar,
sebesar 59,42%,
kabupaten
dan pemerintah
kota
se-Provinsi
Kalimantan Utara
memiliki
rasio belanja
pegawai
terhadap belanja
daerah terkecil,
sebesar
25,94%.yang
dengan
rata-rata
tahun
2013
yaitu
sebesar
49,26%
dan yaitu
tahun
2012
mencapai 50,9%. Dengan demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota se-provinsi mengalokasikan hampir setengah belanja
daerahnya untuk membayar belanja pegawai daerah. Dari angka rata-rata
tersebut, terdapat 14 provinsi yang memiliki rasio Belanja Pegawai yang lebih
belanjanya pada APBD 2014 adalah sebesar 48,61%, yang berarti lebih rendah apabila dibandingkan dengan rata-rata tahun
Analisa Belanja Daerah
59
rendah, dan 19 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih besar.
Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta memiliki rasio belanja pegawai terbesar, yaitu sebesar 59,42%,
sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-Provinsi Kalimantan
Utara memiliki rasio belanja pegawai terhadap belanja daerah terkecil, yaitu
sebesar 25,94%.
Grafik 3.3
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
35%
30,08%
30%
25%
20%
17,65%
15%
10%
8,21%
0%
Papua Barat
Jawa Barat
Papua
Banten
Kalimantan Timur
Aceh
Kalimantan Utara
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Riau
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
Lampung
Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Jambi
Bali
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
DKI Jakarta
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Bengkulu
5%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
4.
a.b.
Per Wilayah
Rasio
Jumlah
PNSD
Rasio Belanja
PegawaiGuru
terhadapTerhadap
Total Belanja Daerah
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja daerah. Berdasarkan grafik
Grafik
3.4 memperlihatkan rasio jumlah guru pemerintah kabupaten dan
pemerintah kota se-provinsi terhadap total PNSD-nya. Dari grafik tersebut
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
terlihat bahwa semua rasio jumlah guru terhadap total PNSD kabupaten
belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi
dan kota se-provinsi di atas 45%, dengan rata-rata sebesar 54,7%. Dengan
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
demikian, rata-rata pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawai daerahnya untuk
Grafik 3.6
membayar gaji guru daerah.
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
60
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Rasio jumlah guru terhadap total PNSD agregat kabupaten dan kota untuk
setiap provinsi menunjukkan bahwa 19 provinsi rasio jumlah guru terhadap
total PNSD-nya lebih rendah dari rata-rata nasional, sedangkan 14 provinsi
yang lain memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Provinsi yang memiliki
rasio paling kecil adalah Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu sebesar 46,9%,
sedangkan provinsi yang memiliki angka rasio yang paling besar adalah
Provinsi Maluku yang mencapai sebesar 62,9%.
Grafik 3.4
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
70%
62,9%
54,7%
60%
50%
46,9%
40%
30%
20%
0%
Kalimantan Tengah
Sulawesi Tenggara
Aceh
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Bali
Kalimantan Selatan
Bengkulu
Papua
Kalimantan Timur
Kepulauan Riau
Maluku Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Sulawesi Utara
Riau
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Gorontalo
Jawa Barat
Papua Barat
Kalimantan Utara
Jawa Tengah
Lampung
Jambi
Banten
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Maluku
10%
Sumber: DJPK (Data Diolah)
2013
*)Sumber:
Tidak termasukDJPK
DKI Jakarta
(Data Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
a.
Pemerintah Provinsi
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
3. Pemerintah Provinsi
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh Indonesia memiliki persentase rata-rata
sebesar
17,65%, yang
berarti lebih
rendah apabila
dibandingkan
denganBelanja
rasionya di Daerah
tahun 2013, yaitu sebesar 19,33% dan
a. Rasio
Belanja
Pegawai
terhadap
Total
tahun 2012 yang hanya mencapai sebesar 21%. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang
Pada tahun 2014, rasio belanja pegawai pemerintah provinsi di seluruh
Indonesiabahwa
memiliki
persentase
rata-rata
sebesar
berarti
lebih
memperlihatkan
pemerintah
provinsi yang memiliki
rasio belanja
pegawai17,65%,
terbesar adalahyang
Pemerintah
ProvinsiBengkulu
rendah
apabila
dibandingkan
dengan
rasionya
di tahun
2013,
yaitu
dengan
rasio sebesar
30,08%,
sedangkan pemerintah
provinsi yang
memiliki rasio
belanja pegawai
terkecil
adalahsebesar
Pemerintah
19,33%Barat
danyaitutahun
2012Grafik
yang
hanya
mencapai
21%.
Dariprovinsi
jumlah
ProvinsiPapua
sebesar 8,21%.
tersebut
menunjukkan
bahwa rasiosebesar
belanja pegawai
pemerintah
relatif
lebih rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5
lebih rendah jika dibandingkan dengan rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.
Analisa Belanja Daerah
61
tersebut, sebanyak 17 provinsi memiliki rasio belanja pegawai yang lebih
rendah dibandingkan rata-rata rasio tersebut, sedangkan 17 provinsi memiliki
rasio di atas rata-rata. Grafik 3.5 memperlihatkan bahwa pemerintah provinsi
yang memiliki rasio belanja pegawai terbesar adalah Pemerintah Provinsi
Bengkulu dengan rasio sebesar 30,08%, sedangkan pemerintah provinsi yang
memiliki rasio belanja pegawai terkecil adalah Pemerintah Provinsi Papua
Barat yaitu sebesar 8,21%. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rasio belanja
pegawai pemerintah provinsi relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan
rasio belanja pegawai pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi.
Grafik 3.5
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
35%
30,08%
30%
25%
20%
17,65%
15%
10%
8,21%
0%
Papua Barat
Jawa Barat
Papua
Banten
Kalimantan Timur
Aceh
Kalimantan Utara
Kepulauan Riau
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Riau
Jawa Timur
Kalimantan Tengah
Lampung
Jawa Tengah
Sulawesi Barat
Kalimantan Selatan
Sulawesi Selatan
Bangka Belitung
DI Yogyakarta
Kalimantan Barat
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Jambi
Bali
Sulawesi Tengah
Nusa Tenggara Barat
DKI Jakarta
Gorontalo
Sulawesi Utara
Maluku
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Bengkulu
5%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
(Diolah)
Per Wilayah
4. Per
Wilayah
4.
a.
Rasio Belanja Pegawai terhadap Total Belanja Daerah
a. Rasio
Belanja
Pegawai
terhadap
Total
Daerah
Grafik 3.6
memperlihatkan
rasio belanja
pegawai per
wilayahBelanja
terhadap total
belanja daerah.
Berdasarkan grafik
tersebut, dapat diketahui bahwa wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar 47,52%, sedangkan
Grafik 3.6 memperlihatkan rasio belanja pegawai per wilayah terhadap
total belanja daerah. Berdasarkan grafik tersebut, dapat diketahui bahwa
belanja daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi
wilayah Sulawesi memiliki rasio belanja pegawai tertinggi, yaitu sebesar
wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total
mengalokasikan hampir setengah belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih sedikit porsi belanja
daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/kegiatan non pegawai.
62
Grafik 3.6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
47,52%, sedangkan wilayah Kalimantan memiliki rasio yang terendah yaitu
sebesar 32,29%. Rasio belanja pegawai per wilayah terhadap total belanja
daerah masih di bawah 50,0%. Dengan demikian, apabila dibandingkan
dengan wilayah lainnya, wilayah Sulawesi mengalokasikan hampir setengah
belanja daerahnya untuk membayar belanja pegawai dan memiliki lebih
sedikit porsi belanja daerah yang dapat digunakan untuk mendanai program/
kegiatan non pegawai.
Grafik 3.6
Rasio Belanja Pegawai Terhadap Belanja Daerah per Wilayah
47,52%
50%
41,10%
41,06%
40%
39,54%
32,29%
35,75%
30%
20%
10%
0%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD 2014
2014 (Diolah)
Sumber:
APBD
(Diolah)
b.
b.Rasio
Rasio
Guru
JumlahJumlah
Guru Terhadap
PNSD Terhadap PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD
Grafik 3.7 menggambarkan rasio jumlah guru terhadap total PNSD per
wilayah. Rasio jumlah guru terhadap total PNSD per wilayah di Indonesia
Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi, yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja
dilihat bahwa untuk wilayah Jawa dan Bali memiliki rasio jumlah guru tertinggi,
pegawainya untuk membayar belanja pegawai bagi guru daerah.
yaitu sebesar 54,19%, sedangkan untuk wilayah Kalimantan memiliki rasio
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja
yang terendah yaitu sebesar 47,66%. Dengan demikian, wilayah Jawa dan
per wilayah di Indonesia memiliki persentase rata-rata sebesar 50,41%. Dari grafik tersebut dapat dilihat bahwa untuk wilayah
Pegawai tertinggi, namun di sisi yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan bahwa di wilayah
Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di
Indonesia. Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif inilah yang menjadi
sorotan masyarakat karena dinilai terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Analisa Belanja Daerah
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
63
Bali mengalokasikan lebih dari setengah belanja pegawainya untuk membayar
belanja pegawai bagi guru daerah.
Di wilayah Sulawesi terdapat fakta yang cukup menarik, di satu sisi dalam
dua tahun terakhir mengalokasikan Belanja Pegawai tertinggi, namun di sisi
yang lain jumlah guru di wilayah Sulawesi adalah rendah. Hal ini menunjukkan
bahwa di wilayah Sulawesi alokasi belanja pegawai yang bersifat administratif
jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Terhadap hal ini, terdapat pandangan bahwa alokasi belanja pegawai yang
bersifat administratif inilah yang menjadi sorotan masyarakat karena dinilai
terlalu “gemuk” dan tidak efisien.
Grafik 3.7
Rasio Jumlah Guru Terhadap Total PNSD per Wilayah*)
56%
54,19%
54%
51,99%
52%
50,41%
50%
48,22%
48%
50,00%
47,66%
46%
44%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber: DJPK
(Data Diolah)
Sumber:
DJPK
2014 (Data Diolah)
B.
Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja Daerah
B.Rasio Belanja Modal Terhadap Total Belanja
Porsi belanja modal dalam APBD merupakan komponen belanja yang sangat penting karena realisasi belanja modal
Daerah
akan memiliki multiplier effect dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin tinggi angka rasionya,
diharapkan akan
semakin
baik pengaruhnya
ekonomi. Sebaliknya,
semakin rendah
angkanya,
semakin
Porsi
belanja
modal terhadap
dalam pertumbuhan
APBD merupakan
komponen
belanja
yang
berkurang
pengaruhnya
terhadap
pertumbuhan
ekonomi.belanja
sangat
penting
karena
realisasi
modal akan memiliki multiplier effect
Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi belanja daerah yang dibelanjakan untuk
membiayai Belanja Modal. Belanja Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah daerah yang
64
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah
tangga, dan luar negeri.
dalam menggerakkan roda perekonomian daerah. Oleh karena itu, semakin
tinggi angka rasionya, diharapkan akan semakin baik pengaruhnya terhadap
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, semakin rendah angkanya, semakin
berkurang pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Alokasi Belanja Modal terhadap Total Belanja Daerah mencerminkan porsi
belanja daerah yang dibelanjakan untuk membiayai Belanja Modal. Belanja
Modal ditambah Belanja Barang dan Jasa merupakan belanja pemerintah
daerah yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi
suatu daerah, di samping pengaruh dari sektor swasta, rumah tangga, dan
luar negeri.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.8 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja secara
agregat provinsi, kabupaten dan kota. Rata-rata rasio belanja modal terhadap
total belanja secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar
25,86%, lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio belanja modal pada
APBD 2013 sebesar 24,81%. Sementara itu, rata-rata porsi belanja modal
dalam APBD 2012 menunjukkan angka yang sedikit lebih rendah, yaitu
sebesar 23,4%. Hal ini menunjukkan adanya shifting atau pergeseran dari
penurunan porsi belanja pegawai kepada peningkatan belanja modal, yang
berarti dapat menjadi indikasi positif terhadap perbaikan kualitas struktur
belanja daerah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 18 provinsi masih memiliki
rasio belanja modal di bawah rata-rata, sedangkan 16 provinsi lainnya berada
di atas rata-rata.
Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi
yang memiliki rasio terendah adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta,
yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio
tertinggi, yaitu sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian
besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal dengan
proporsi yang kecil, yaitu di bawah 25%.
Analisa Belanja Daerah
65
Dari keseluruhan agregat provinsi, kabupaten, dan kota tersebut, provinsi yang memiliki rasio terendah adalah
ProvinsiDaerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 15,30%, sedangkan Provinsi DKI Jakartamemiliki rasio tertinggi, yaitu
sebesar 44,75%. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi di Indonesia masih menganggarkan belanja modal
dengan proporsi yang kecil, yaitu dibawah 25%.
Grafik
3.8
Grafik 3.8
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Rasio Belanja
Modal
Terhadap
Belanja Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
50%
44,75%
40%
25,86%
30%
20%
15,30%
0%
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Bali
Jawa Barat
Jawa Timur
Nusa Tenggara Barat
Sulawesi Tengah
Sulawesi Selatan
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
Gorontalo
Maluku
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
Lampung
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Aceh
Kalimantan Barat
Kepulauan Riau
Papua
Maluku Utara
Sulawesi Tenggara
Papua Barat
Kalimantan Tengah
Sumatera Selatan
Banten
Jambi
Kalimantan Selatan
Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
DKI Jakarta
10%
Sumber
APBD
Sumber
: APBD :2014
(Diolah) 2014
2.2.
(Diolah)
Pemerintah KabupatenKabupaten
dan Kota se-Provinsidan Kota se-Provinsi
Pemerintah
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada grafik 3.9 memperlihatkan bahwa secara rata-
Rasio belanja modal terhadap belanja daerah yang ditunjukkan pada
grafikrata-ratanya
3.9 memperlihatkan
secara
nasional,
belanja
dengan
pada tahun 2013 sebesar bahwa
25,36%, serta
tahun 2012rata-rata
sebesar 24,1%.Dari
rata-rata rasio
tersebut,terdapat
14
modal
belanja
sebesar
26,14%,
yang
berarti
lebih
tinggi
provinsi
yangterhadap
memiliki rasio belanja
modal daerah
lebih besar dari
rata-rata, sedangkan
19 provinsi
memiliki
rasio yang
lebih kecil
dari
rata-rata.
Pemerintah
kabupaten dandengan
pemerintah rata-ratanya
kota di Provinsi Kalimantan
memiliki
rasio belanja
modal 25,36%,
yang terbesar
apabila
dibandingkan
padaUtara
tahun
2013
sebesar
yaitu
sebesar
45,82%,
sedangkan
pemerintahkabupaten
pemerintah
kota ditersebut,
Provinsi Daerahterdapat
Istimewa Yogyakarta
memiliki
serta
tahun
2012
sebesar
24,1%. dan
Dari
rata-rata
14 provinsi
rasio
terkecil
yaitu
15,73%.
yang memiliki rasio belanja modal lebih besar dari rata-rata, sedangkan 19
Grafik 3.9
provinsi memiliki rasio yang
lebihModal
kecil
dari
rata-rata.
Pemerintah kabupaten
Rasio Belanja
Terhadap
Belanja
Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
dan pemerintah kota di Provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio belanja
modal yang terbesar yaitu sebesar 45,82%, sedangkan pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki rasio
terkecil yaitu 15,73%.
rata nasional, rasio belanja modal terhadap belanja daerah sebesar 26,14%, yang berarti lebih tinggi apabila dibandingkan
66
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.9
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
50%
45,82%
40%
30%
26,14%
20% 15,73%
0%
DI Yogyakarta
Jawa Tengah
Bali
Sumatera Barat
Nusa Tenggara Barat
Jawa Barat
Jawa Timur
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
Maluku
Lampung
Bengkulu
Sumatera Utara
Bangka Belitung
Aceh
Kepulauan Riau
Sulawesi Tenggara
Maluku Utara
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Banten
Jambi
Kalimantan Selatan
Papua
Papua Barat
Sumatera Selatan
Riau
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
10%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah) 2014
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi
Gambaran mengenai rasio
belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja daerah dapat dilihat pada Grafik
3. Pemerintah
Provinsi
3.10. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap total belanja
Gambaran mengenai rasio belanja modal pemerintah provinsi terhadap
total2012belanja
daerah
3.10.
tahun
sebesar 17,4%.
Dilihat dari dapat
rata-ratanya,dilihat
terdapat 20pada
pemerintahGrafik
provinsi yang
memiliki Grafik
rasio belanjatersebut
modal lebih
menunjukkan
bahwa
rata-rata
rasio
belanja
modal
pemerintah
provinsi
besar dari rata-rata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata.
Dari keseluruhan
provinsi, Provinsi
Jawa Barat
memilikisebesar
rata-rata rasio
belanja modalpemerintah
provinsiterhadap
terhadap
total belanja
daerah
adalah
19,56%,
yang berarti
lebih
belanja
daerahyang
terendah
yaitu
sebesar
6,56%,
sedangkan
Provinsi
DKI
Jakarta
memiliki
rasio
belanja
modalpemerintah
tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%,
provinsiterhadap
belanja
daerah tertinggi
yaitu sebesar
44,75%.Dilihat dari rata-ratanya, terdapat 20
serta tahun
2012
sebesar
17,4%.
Grafik 3.10
pemerintah provinsiRasio
yang
rasio
modal
Belanjamemiliki
Modal Terhadap
Belanja belanja
Daerah Pemerintah
Provinsilebih besar dari ratarata, sedangkan 14 provinsi lainnya lebih kecil dari rata-rata.
daerahadalah sebesar 19,56%, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio pada tahun 2013 sebesar 18,85%, serta
Dari keseluruhan provinsi, Provinsi Jawa Barat memiliki rata-rata rasio
belanja modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah yang terendah
yaitu sebesar 6,56%, sedangkan Provinsi DKI Jakarta memiliki rasio belanja
Analisa Belanja Daerah
67
modal pemerintah provinsi terhadap belanja daerah tertinggi yaitu sebesar
44,75%.
Grafik 3.10
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
50%
44,75%
40%
30%
19,56%
20%
0%
6,56%
Jawa Barat
Jawa Timur
Bali
Jawa Tengah
Sulawesi Tengah
DI Yogyakarta
Sulawesi Selatan
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Nusa Tenggara Timur
Bengkulu
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
Maluku
Lampung
Kalimantan Utara
Papua
Sulawesi Utara
Riau
Gorontalo
Sulawesi Barat
Aceh
Bangka Belitung
Sumatera Barat
Banten
Kepulauan Riau
Kalimantan Tengah
Papua Barat
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Jambi
Maluku Utara
Sulawesi Tenggara
DKI Jakarta
10%
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah) 2014
(Diolah)
4.4. Per
Per Wilayah
Wilayah
Grafik 3.11 menunjukkan rasio belanja modal terhadap total belanja daerah di 5 wilayah yaitu Sumatera, Jawa dan
Grafik Sulawesi,
3.11 serta
menunjukkan
belanja
modal
totalrata-rata
belanja
Bali, Kalimantan,
dan Nusa Tenggara,rasio
Maluku, dan
Papua. Grafik
tersebutterhadap
menunjukkanbahwa
rasio
daerah
5 wilayah
Sumatera,
Jawaadalah
dansebesar
Bali,26,80%,
Kalimantan,
Sulawesi,
belanja
modaldi
terhadap
total belanjayaitu
daerahdi5
wilayah di Indonesia
yang berarti lebih
tinggi jika
serta dan
Nusa
Tenggara,
Maluku,
dan25,85%.
Papua.
Grafik
tersebut
dibandingkan
dengan
rata-rata
rasio pada tahun
2013 sebesar
Dari grafik
tersebut
juga dapatmenunjukkan
dilihat bahwa rasio
belanja
modal rata-rata
terhadap total belanja
di 4 wilayah
yaitu Jawa
dan Bali, Sumatera,
serta daerah
dan Nusa Tenggara,
bahwa
rasiodaerah
belanja
modal
terhadap
total Sulawesi,
belanja
di 5
Maluku,
dan
Papuamemiliki
rasio
lebih
rendah
dibandingkan
dengan
rata-rata
rasio
secara
nasional.
Sementara
itu,
wilayah di Indonesia adalah sebesar 26,80%, yang berarti lebih tinggi untuk
jika
wilayah
Kalimantan
memiliki
rasio
lebih
besar
darirata-rata
rasionya
secara
nasional.
Adapun
Belanja
Modal
yang
tertinggi
dibandingkan dengan rata-rata rasio pada tahun 2013 sebesar 25,85%.
terdapat di wilayah Kalimantan, yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu sebesar 22,77%.
Dari grafik tersebut juga dapat dilihat bahwa rasio belanja modal terhadap
total belanja daerah di 4 wilayah yaitu Jawa dan Bali, Sumatera, Sulawesi,
serta dan Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua memiliki rasio lebih rendah
dibandingkan dengan rata-rata rasio secara nasional. Sementara itu, untuk
wilayah Kalimantan memiliki rasio lebih besar dari rata-rata rasionya secara
nasional. Adapun Belanja Modal yang tertinggi terdapat di wilayah Kalimantan,
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
68
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
yaitu sebesar 35,19%, dan yang terkecil terdapat di wilayah Sulawesi, yaitu
sebesar 22,77%.
Grafik 3.11
Rasio Belanja Modal Terhadap Belanja Daerah per Wilayah*)
40%
35,19%
30%
26,56%
26,80%
22,77%
20%
25,60%
23,86%
10%
0%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)
Sumber:
APBD
2014
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak
termasuk DKI Jakarta
C.
Rasio Belanja Modal
terhadap Jumlah
Penduduk terhadap Jumlah Penduduk
C.Rasio
Belanja
Modal
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan infrastruktur
Untuk mengetahui seberapa besar belanja modal yang dialokasikan
pemerintah untuk pembangunan infrastruktur daerah per penduduk, dalam
agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat
sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita,
dengan pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis belanja pemerintah yang menjadi
baik secara nasional, agregat provinsi, agregat kabupaten/kota, maupun per
pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
wilayah. Rasio belanja modal per kapita memiliki hubungan yang erat dengan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan untuk pembangunan infrastruktur.
pertumbuhan ekonomi mengingat belanja modal merupakan salah satu jenis
belanja pemerintah yang menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Rasio ini
1.
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
bermanfaat untuk menunjukkan perhatian pemerintah dalam meningkatkan
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi (agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan
perekonomian penduduknya yang dilihat dari alokasi belanja yang dikeluarkan
memperlihatkan rata-rata rasio belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti lebih tinggi jika
untuk pembangunan infrastruktur.
daerah per penduduk, dalam sub bab ini akan digambarkan mengenai rasio belanja modal per kapita, baik secara nasional,
dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki
rasio belanja modal perkapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24 provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal
perkapita lebih rendah dari rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita
Analisaadalah
Belanja
Daerah
69
tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah
Provinsi
Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 3.12 menunjukkan rasio belanja modal per kapita seluruh provinsi
(agregat provinsi, kabupaten dan kota), dan memperlihatkan rata-rata rasio
belanja modal per kapita tahun 2014 sebesar Rp1,586 juta, yang berarti
lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam tahun 2013 sebesar
Rp1,25 juta. Dari data tersebut, hanya 10 provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita lebih besar dari rata-rata nasional, sedangkan 24
provinsi lainnya memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari
rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi yang memiliki rasio
belanja modal per kapita tertinggi adalah Provinsi Kalimantan Utara sebesar
Rp7,836 juta, sedangkan yang terendah adalah Provinsi Jawa Barat sebesar
Rp0,302 juta.
Grafik 3.12
Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rasio Belanja Modal per Kapita Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
9.000.000
7.836.252
8.000.000
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
1.586.001
2.000.000
-
302.451
Jawa Barat
Jawa Tengah
Jawa Timur
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Barat
Banten
Lampung
Bali
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Barat
Sulawesi Barat
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Gorontalo
Bengkulu
Sumatera Selatan
Sulawesi Utara
Maluku
Jambi
Bangka Belitung
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Kepulauan Riau
Aceh
Riau
Kalimantan Tengah
Maluku Utara
DKI Jakarta
Papua
Kalimantan Timur
Papua Barat
Kalimantan Utara
1.000.000
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
2.
(Diolah)
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal perkapita kabupaten dan kota se-provinsi menggambarkan besaran belanja modal yang
dibelanjakan untuk pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap provinsi. Dari data APBD dapat
dilihat bahwa provinsi-provinsi yang menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata nasional
adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah
dandariAnalisis
APBD
2014 Khusus.
70 besar dariDeskripsi
yang
pusat terutama
DBH SDA dan
Dana Otonomi
Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapitapemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi.
Secara nasional, rata-rata rasio belanja modalper kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah Rp1,248 juta, atau
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
Rasio belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi
menggambarkan besaran belanja modal yang dibelanjakan untuk
pembangunan infrastruktur kabupaten dan kota per penduduk di setiap
provinsi. Dari data APBD dapat dilihat bahwa provinsi-provinsi yang
menganggarkan APBD untuk belanja modal yang besar atau di atas rata-rata
nasional adalah provinsi yang memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang
besar, dan atau memperoleh alokasi Transfer ke Daerah yang besar dari pusat
terutama dari DBH SDA dan Dana Otonomi Khusus.
Grafik 3.13 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi. Secara nasional, rata-rata rasio
belanja modal per kapita kabupaten dan kota se-provinsi tahun 2014 adalah
Rp1,248 juta, atau lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-ratanya dalam
tahun 2013 sebesar Rp0,97 juta. Pemerintah kabupaten dan pemerintah kota
se-provinsi yang memiliki rasio belanja modal per kapita lebih rendah dari
rata-rata sebanyak 25 provinsi, sedangkan yang di atas rata-rata sebanyak
8 provinsi. Kabupaten dan kota se-provinsi Kalimantan Utara memiliki rasio
belanja modal per kapita tertinggi yaitu sebesar Rp7,216 juta, sedangkan
kabupaten dan kota se-Provinsi Jawa Barat memiliki rasio yang terendah yaitu
sebesar Rp0,271 juta.
Analisa Belanja Daerah
71
Grafik 3.13
Rasio Belanja Modal per Kapita
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
8.000.000
7.216.717
7.000.000
6.000.000
5.000.000
4.000.000
3.000.000
2.000.000
-
1.248.389
271.755
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Banten
Nusa Tenggara Barat
Lampung
Bali
Sumatera Utara
Sulawesi Selatan
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Barat
Sumatera Barat
Sulawesi Tengah
Gorontalo
Kalimantan Barat
Bengkulu
Bangka Belitung
Sulawesi Utara
Sumatera Selatan
Jambi
Maluku
Aceh
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Kepulauan Riau
Riau
Maluku Utara
Kalimantan Tengah
Papua
Papua Barat
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
1.000.000
Sumber:
2014 (Diolah)
Sumber: APBD APBD
2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi
3. Pemerintah
Provinsi
Grafik 3.14 menunjukkan
rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal
per kapita pemerintah provinsi tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata
Grafik 3.14 menunjukkan rasio belanja modal per kapita pemerintah
provinsi. Rata-rata nasional rasio belanja modal per kapita pemerintah provinsi
penduduk di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8 provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata
tahun 2014 sebesar Rp0,374 juta, yang berarti lebih tinggi jika dibandingkan
nasional. Pemerintah provinsi yang memiliki rasio belanja modal perkapita tertinggi adalah Pemerintah Provinsi DKI Jakarta,
dengan rata-rata tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar
yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.
pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah penduduk
di bawah rata-rata nasional, yaitu sebanyak 26 provinsi, serta hanya 8
provinsi yang memiliki rasio di atas rata-rata nasional. Pemerintah provinsi
yang memiliki rasio belanja modalGrafikper
3.14 kapita tertinggi adalah Pemerintah
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
Provinsi DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp2,916 juta sedangkan yang terendah
adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yaitu sebesar Rp0,031 juta.
tahun sebelumnya sebesar Rp0,28 juta. Sebagian besar pemerintah provinsi memiliki rasio belanja modal terhadap jumlah
72
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.14
Rasio Belanja Modal per Kapita Pemerintah Provinsi
3.200.000
2.916.738
2.800.000
2.400.000
2.000.000
1.600.000
1.200.000
800.000
-
374.329
30.696
Jawa Barat
Jawa Timur
Jawa Tengah
Nusa Tenggara Timur
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tengah
Bali
Sumatera Utara
Nusa Tenggara Barat
Lampung
DI Yogyakarta
Sumatera Selatan
Kalimantan Barat
Banten
Sumatera Barat
Bengkulu
Maluku
Sulawesi Utara
Sulawesi Barat
Gorontalo
Sulawesi Tenggara
Jambi
Riau
Kalimantan Tengah
Bangka Belitung
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Kepulauan Riau
Aceh
Kalimantan Utara
Papua
Kalimantan Timur
Papua Barat
DKI Jakarta
400.000
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
4. Per Wilayah
4.
Per Wilayah
Rasio belanja modal per kapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik
belanja modal perkapita per wilayah yang ditunjukkan pada grafik 3.15 memperlihatkan bahwa rasio rata-rata
3.15Rasio
memperlihatkan
bahwa rasio rata-rata belanja modal per kapita adalah
belanja modal perkapita adalah sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal perkapita tertinggi berada di wilayah Kalimantan,
sebesar Rp1,31 juta. Rasio belanja modal per kapita tertinggi berada di
yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di
wilayah Kalimantan, yaitu sebesar Rp2,48 juta. Hal ini menandakan bahwa
wilayah Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu, rasio belanja modal perkapita terendah adalah
anggaran belanja modal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah
di wilayah Jawa dan Bali, yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Kalimantan lebih tinggi di bandingkan dengan daerah lain. Sementara itu,
rasio belanja modal per kapita terendah adalah di wilayah Jawa dan Bali,
yaitu sebesar Rp0,55 juta.
Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
Analisa Belanja Daerah
73
Grafik 3.15
Rasio Belanja Modal per Kapita per Wilayah *)
3.000.000
2.482.181
2.500.000
2.000.000
1.550.466
1.500.000
1.309.836
1.000.000
1.057.273
913.355
Sumatera
Sulawesi
545.903
500.000
Jawa Bali
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD
2014
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
D.
Rasio Belanja Bantuan SosialTerhadap Total Belanja Daerah
Belanja Bantuan
Sosial merupakan
salah satu pos dalam
belanja tidak
langsung. Secara Total
definisi, bantuan sosial
D.Rasio
Belanja
Bantuan
Sosial
Terhadap
Belanja Daerah
adalah pemberian bantuan yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif dalam bentuk uang/barang kepada masyarakat
atau organisasi profesi yang bertujuan untuk kepentingan umum. Dalam bantuan sosial ini termasuk di dalamnya antara lain
Belanja
Bantuan
Sosial
merupakan
salah
yaitu bantuan
partai politik
sesuai dengan
peraturan
perundang-undangan.
satu pos dalam belanja tidak
langsung.
Secara
definisi,
bantuan
sosial
adalah
pemberian
bantuan
yang
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan tumpang
tindih kegiatan
dengan kegiatan
sifatnya
tidak
terusdaerah
menerus
dan keduanya
selektifmenggunakan
dalam bentuk
uang/barang
yang
dilakukan oleh
satuansecara
kerja perangkat
(SKPD) mengingat
dana dari APBD.
Sebagai contoh,
kepada
organisasi
profesi
yangbantuan
bertujuan
untuk
kepentingan
bantuan
sosial masyarakat
kepada masyarakatatau
di lingkungan
kumuh, pondok
pesantren,
untuk bidang
sanitasi,
serta penyediaan
umum.
bantuan
sosialolehiniSKPD.
termasuk
di pemantauan
dalamnya
antara
yaitu
akses
air bersih,Dalam
yang dalam
juga dilaksanakan
Oleh karena itu,
terhadap
jumlah lain
anggaran
yang
dialokasikan
Belanjapolitik
Bantuan sesuai
Sosial perlu
dilakukan peraturan
pemantauan dalam
pelaksanaannya. Agar pengelolaan Belanja
bantuanuntuk
partai
dengan
perundang-undangan.
Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Dari sisi pemerintah daerah, bantuan sosial ini berpotensi menimbulkan
tumpang tindih kegiatan dengan kegiatan yang dilakukan oleh satuan kerja
Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
perangkat daerah (SKPD) mengingat keduanya menggunakan dana dari
Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan
APBD.
Sebagai contoh, bantuan sosial kepada masyarakat di lingkungan
untuk Belanja Bantuan Sosial. Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang dialokasikan untuk
kumuh,
pesantren,
bantuan
untuk
bidang
serta
penyediaan
Belanja Bantuanpondok
Sosial, demikian
juga sebaliknya
semakin kecil
angka rasio
Belanjasanitasi,
Bantuan Sosial
maka semakin
kecil pula
akses
air
bersih,
yang
dalam
juga
dilaksanakan
oleh
SKPD.
Oleh
karena
itu,
proporsi APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial.
pemantauan terhadap jumlah anggaran yang dialokasikan untuk Belanja
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran
74
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Bantuan Sosial perlu dilakukan pemantauan dalam pelaksanaannya. Agar
pengelolaan Belanja Bantuan Sosial dilaksanakan secara transparan dan
akuntabel, saat ini Pemerintah telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan
Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 39 Tahun 2012.
Rasio Belanja Bantuan Sosial terhadap total Belanja Daerah mencerminkan
porsi Belanja Daerah yang dibelanjakan untuk Belanja Bantuan Sosial.
Semakin tinggi angka rasionya maka semakin besar proporsi APBD yang
dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial, demikian juga sebaliknya semakin
kecil angka rasio Belanja Bantuan Sosial maka semakin kecil pula proporsi
APBD yang dialokasikan untuk Belanja Bantuan Sosial.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Rata-rata pengeluaran daerah untuk belanja bantuan sosial pada APBD
2014 secara agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah sebesar 0,92%,
yang berarti lebih rendah jika dibandingkan dengan rata-rata pada tahun
2013 sebesar 1,05%. Dari 34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka
rasio di bawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah
26 provinsi, dan sisanya sebanyak 8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih
besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota. Provinsi
Sumatera Selatan memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja
daerah yang terkecil, yaitu sebesar 0,17%, sedangkan daerah yang memiliki
rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara
agregat adalah Provinsi Papua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat
dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
Analisa Belanja Daerah
75
34 provinsi di Indonesia, yang memiliki angka rasio dibawah angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten dan kota adalah 26
provinsi, dan sisanya sebanyak8 provinsi memiliki angka rasio yang lebih besar dari angka rata-rata agregat provinsi, kabupaten
dan kota. Provinsi Sumatera Selatanmemiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah yang terkecil, yaitu
sebesar0,17%, sedangkan daerah yang memiliki rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah terbesar secara
agregat adalah ProvinsiPapua, yaitu sebesar 3,06%. Gambaran ini dapat dilihat pada Grafik 3.16 di bawah ini.
Grafik 3.16
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Total Belanja
Grafik 3.16
Rasio Belanja
Bantuan Sosial
Terhadap Total Belanja
Agregat
Provinsi,
Kabupaten
dan Kota
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
3,50%
3,06%
3,00%
2,50%
2,00%
1,50%
1,00%
0,50%
0,92%
0,17%
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Barat
Sulawesi Tengah
Riau
Lampung
Maluku
Kalimantan Selatan
Bangka Belitung
Kalimantan Timur
Jawa Barat
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Sulawesi Utara
Sumatera Barat
Maluku Utara
Jawa Timur
Gorontalo
Kalimantan Utara
Nusa Tenggara Timur
Kalimantan Tengah
Jambi
Banten
Sulawesi Barat
DI Yogyakarta
Bali
Nusa Tenggara Barat
DKI Jakarta
Aceh
Bengkulu
Kepulauan Riau
Papua Barat
Papua
0,00%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
2. Pemerintah
dan
Kota
se-Provinsi
Rata-rata rasio belanjaKabupaten
bantuan sosial terhadap
total belanja
daerah
dalam APBD 2014 pada pemerintah kabupaten
dan pemerintah kota se-provinsi adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika dibandingkan
Rata-rata rasio belanja bantuan sosial terhadap total belanja daerah dalam
APBD 2014 pada pemerintah kabupaten dan pemerintah kota se-provinsi
belanja bantuan sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio yang lebih besar dari rata-rata.
adalah sebesar 0,87% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiPapuaBarat memiliki rasio belanja
dibandingkan dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah kabupaten dan pemerintah kota di ProvinsiSumatera
0,93%.
hal tersebut,
sebanyak
26 provinsi memiliki rasio belanja bantuan
Selatan
memilikiDari
rasio terendah,
yaitu sebesar
0,20%.
sosial yang lebih kecil dari rata-rata, dan sebanyak 7 provinsi memiliki rasio
yang lebih besar dari rata-rata. Dari Grafik 3.17 terlihat bahwa pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Papua Barat memiliki rasio belanja
bantuan sosial yang tertinggi, yaitu sebesar 4,03%, sedangkan pemerintah
kabupaten dan pemerintah kota di Provinsi Sumatera Selatan memiliki rasio
terendah, yaitu sebesar 0,20%.
dengan rasio pada APBD tahun anggaran sebelumnya sebesar 0,93%. Dari hal tersebut, sebanyak 26 provinsi memiliki rasio
76
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik
3.17
Grafik 3.17
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Rasio BelanjaPemerintah
Bantuan
Sosial
Terhadap
Kabupaten dan Kota
se-Provinsi *)Belanja Daerah
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
4,50%
4,03%
4,00%
3,50%
3,00%
2,50%
2,00%
1,50%
0,87%
1,00%
0,00%
0,20%
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Sulawesi Tengah
Kalimantan Barat
Riau
Maluku
Lampung
Kalimantan Tengah
Bengkulu
Kalimantan Selatan
Maluku Utara
Bali
Sulawesi Utara
Bangka Belitung
Banten
Jawa Barat
Kalimantan Timur
Nusa Tenggara Timur
Sumatera Utara
Jawa Tengah
Jambi
Sumatera Barat
Jawa Timur
Sulawesi Barat
Kalimantan Utara
Gorontalo
DI Yogyakarta
Aceh
Nusa Tenggara Barat
Kepulauan Riau
Papua
Papua Barat
0,50%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
3.
Pemerintah Provinsi
Dalam APBD 2014, rasio belanja bantuan sosial terhadap belanja daerah pemerintah provinsi memperlihatkan bahwa
3. Pemerintah Provinsi
secara rata-rata rasio belanja bantuan sosial adalah sebesar 1,05% dari total belanja daerah, yang berarti lebih rendah jika
Dalam
rasio
bantuan
sosial
daerah
dibandingkan
denganAPBD
rasio pada2014,
APBD 2013
sebesarbelanja
1,06%. Berdasarkan
angka
rata-rataterhadap
rasio belanja belanja
bantuan sosial
tersebut,
terdapat
22 provinsi yang
memiliki rasio
lebih kecil dari angka rata-rata,
sedangkan
12 provinsi
lainnya memiliki
yang lebih
pemerintah
provinsi
memperlihatkan
bahwa
secara
rata-rata
rasiorasiobelanja
besar
dari angkasosial
rata-rata.Dari
kondisisebesar
tersebut, terdapat
3 provinsi
tidak menganggarkan
belanja bantuan
dalam
bantuan
adalah
1,05%
dariyangtotal
belanja daerah,
yangsosial
berarti
APBD
2014,rendah
yaitu Provinsi
Barat, Provinsidengan
Sulawesi Selatan,
ProvinsiAPBD
Sulawesi 2013
Tenggara. sebesar
Grafik 3.18
lebih
jikaSumatera
dibandingkan
rasio danpada
menunjukkan
Pemerintah ProvinsiBengkulu
memiliki rasio
belanjabelanja
bantuan social
tertinggi dalam
APBDtersebut,
2014, yaitu
1,06%.bahwa
Berdasarkan
angka rata-rata
rasio
bantuan
sosial
sebesar 7,86% dari total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak menganggarkan belanja bantuan
terdapat 22 provinsi yang memiliki rasio lebih kecil dari angka rata-rata,
sedangkan 12 provinsi lainnya memiliki rasio yang lebih besar dari angka
0,0002% dari total belanja daerah.
rata-rata. Dari kondisi tersebut, terdapat 3 provinsi yang tidak menganggarkan
belanja bantuan sosial dalam APBD
2014, yaitu Provinsi Sumatera Barat,
Grafik 3.18
Rasio Belanja
BantuanProvinsi
Sosial Terhadap
Belanja Daerah Tenggara. Grafik 3.18
Provinsi Sulawesi Selatan,
dan
Sulawesi
Pemerintah Provinsi
menunjukkan bahwa Pemerintah Provinsi Bengkulu memiliki rasio belanja
bantuan sosial tertinggi dalam APBD 2014, yaitu sebesar 7,86% dari
total belanja daerah, namun dalam APBD 2013 Provinsi Bengkulu tidak
sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio terendah adalah Pemerintah ProvinsiKalimantan Selatan yang memiliki rasio sebesar
Analisa Belanja Daerah
77
menganggarkan belanja bantuan sosial. Adapun Provinsi yang memiliki rasio
terendah adalah Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan yang memiliki rasio
sebesar 0,0002% dari total belanja daerah.
Grafik 3.18
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah
Pemerintah Provinsi
7,86%
1,05%
0,00%
Sumatera Barat
Sulawesi Selatan
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Sumatera Selatan
Sumatera Utara
Kalimantan Barat
Lampung
Kalimantan Timur
Bangka Belitung
Jawa Timur
Jawa Barat
Gorontalo
Sulawesi Tengah
Riau
Jawa Tengah
Kalimantan Utara
Maluku
DI Yogyakarta
Papua Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Barat
Jambi
Maluku Utara
Banten
Kepulauan Riau
Nusa Tenggara Timur
Papua
DKI Jakarta
Nusa Tenggara Barat
Kalimantan Tengah
Aceh
Bali
Bengkulu
8%
7%
6%
5%
4%
3%
2%
1%
0%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Wilayah
4.4. Per
Per Wilayah
Untuk memetakan
rasio belanjarasio
bantuan belanja
sosial terhadap
total belanja sosial
daerah berdasarkan
clustering
wilayah,
daerah
Untuk
memetakan
bantuan
terhadap
total
belanja
didaerah
Indonesia dibagi
menjadi 5 wilayah.
Grafik 3.19 memperlihatkan
rasio di
belanja
bantuan sosialdibagi
terhadap menjadi
total belanja
berdasarkan
clustering
wilayah, bahwa
daerah
Indonesia
daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
5 wilayah. Grafik 3.19 memperlihatkan bahwa rasio belanja bantuan sosial
terhadap total belanja daerah per wilayah di Indonesia memiliki rata-rata
belanja bantuan sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.
rasio sebesar 0,93%. Dengan perhitungan rasio ini, dapat diketahui bahwa
Grafik 3.19
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan
Papua memiliki rasio tertinggi yaitu
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)
sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio belanja bantuan
sosial terendah adalah Sulawesi yaitu sebesar 0,39%.
wilayah Nusa Tenggara, Maluku dan Papua memiliki rasio tertinggi yaitu sebesar 2,02%, sedangkan wilayah yang memiliki rasio
78
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik 3.19
Rasio Belanja Bantuan Sosial Terhadap Belanja Daerah per Wilayah *)
2,50%
2,02%
2,00%
1,50%
1,00%
0,93%
0,92%
0,82%
0,50%
0,39%
0,52%
0,00%
Jawa Bali
Sumatera
Sulawesi
Kalimantan
NT Maluku Papua
Sumber:
APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD
2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk
DKI
*) Tidak Jakarta
termasuk DKI Jakarta
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
79
BAB IV
ANALISIS SURPLUS/DEFISIT DAN
PEMBIAYAAN DAERAH
APBD disusun sebagai suatu perencanaan terkait pendapatan dan belanja.
Dalam anggaran, apabila pendapatan lebih besar daripada belanja, maka akan
terjadi surplus, dan sebaliknya jika belanja lebih besar daripada pendapatan,
maka akan terjadi defisit. Apabila dalam APBD direncanakan akan terdapat
surplus/defisit, maka APBD tersebut wajib mencantumkan pos pembiayaan
yang meliputi anggaran Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan
sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara. Pos Penerimaan Pembiayaan berfungsi untuk
menutupi defisit, sedangkan pos Pengeluaran Pembiayaan berfungsi untuk
menyalurkan dana surplus. Dari data APBD 2014 yang diterima dari daerah
dapat diketahui bahwa sebagian besar pemerintah daerah menyusun APBDnya defisit.
A.Defisit
Sejak pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang
diterapkan tahun 2001, daerah diberikan keleluasaan dalam penyusunan
APBD apakah menerapkan pola anggaran berimbang, surplus, ataupun defisit.
Berdasarkan data APBD TA 2014 diketahui jumlah daerah otonom adalah
sebanyak 505 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Daerah yang menerapkan
anggaran defisit sebanyak 472 daerah, meningkat dari tahun sebelumnya
sebanyak 447 daerah. Sementara itu, daerah yang menerapkan anggaran
surplus sebanyak 51 daerah, lebih sedikit apabila dibandingkan dengan tahun
80
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
sebelumnya sebanyak 68 daerah, sedangkan sisanya sebanyak 16 daerah
menerapkan pola anggaran berimbang.
Banyaknya daerah yang menerapkan pola anggaran defisit selain ditujukan
untuk menutupi kebutuhan anggaran belanja yang dibiayai dari pinjaman
daerah, juga ditujukan untuk menampung SiLPA tahun anggaran sebelumnya.
Berdasarkan data realisasi APBD-nya, daerah-daerah yang berpola anggaran
defisit tersebut justru mengalami surplus pada saat realisasi anggaran. Kondisi
tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan dalam hal kesiapan daerah
dalam melakukan perencanaan dan penganggaran di APBD.
Di bawah ini akan disajikan rasio defisit terhadap pendapatan, yang
berarti semakin besar persentase rasionya, maka semakin besar pula
Penerimaan Pembiayaannya (SiLPA dan Pinjaman Daerah) yang diperlukan
untuk menutupi anggaran belanjanya.
1. Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (agregat propinsi, kabupaten,
dan kota) dapat dilihat pada grafik 4.1. di bawah ini.
-20%
-40%
-60%
-48,6%
-30,3%
-21,2%
-16,4%
-15,3%
-11,9%
-11,6%
-10,9%
-9,9%
-9,8%
-7,7%
-7,5%
-6,9%
-6,8%
-6,4%
-6,2%
-5,5%
-4,9%
-4,7%
-4,5%
-4,3%
-4,3%
-4,1%
-3,7%
-3,7%
-3,5%
-3,4%
-3,2%
-2,9%
-2,9%
-2,8%
-1,9%
-1,1%
-0,3%
0%
Kaltara
Kaltim
Riau
Kalsel
Kepri
Bali
Banten
Babel
Jambi
Aceh
Jabar
Sumbar
Kalteng
DIY
Jatim
Jateng
Sultra
Bengkulu
Papbar
Sulut
Gorontalo
Kalbar
Papua
Sulsel
Lampung
NTT
Maluku
Sulbar
Malut
NTB
Sumut
Sulteng
Sumsel
Jakarta
Grafik 4.1
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan,
Rasio Surplus/defisit
Pendapatan,
Agregat Provinsi, Kabupaten
dan Kota
Agregat terhadap
Provinsi,
Kabupaten,
dan Kota
-7,7%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional (agregat provinsi, kabupaten, dan kota)
adalah sebesar 7,7%, di mana defisit tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7% dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
81
pembiayaan terbesar kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat kecil yaitu hanya sebesar 2,94%
dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar adalah
Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%) dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara ,
Grafik 4.1. di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit secara nasional
(agregat provinsi, kabupaten, dan kota) adalah sebesar 7,7%, di mana defisit
tersebut akan ditutup dengan menggunakan pembiayaan. Sumber penerimaan
pembiayaan terbesar berasal dari SiLPA, dengan kontribusi sebesar 94,7%
dari penerimaan pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan terbesar
kedua adalah berasal dari pinjaman daerah, namun kontribusinya sangat
kecil yaitu hanya sebesar 2,94% dari penerimaan pembiayaan. Dari grafik
di atas terlihat bahwa daerah yang menduduki posisi rasio defisit terbesar
adalah Kalimantan Utara (48,6%). Secara rasio, Kalimantan Timur (30,3%)
dan Riau (21,2%) lebih rendah dari Kalimantan Utara, namun secara nilai,
Kalimantan Timur (Rp.9,3 triliun) dan Riau (Rp.5,9 triliun) lebih tinggi dari
Kalimantan Utara (Rp.3,8 triliun).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah kabupaten dan
kota se-provinsi) dapat dilihat pada grafik di bawah ini.
Kaltara
Kaltim
Riau
Kalsel
Kepri
Banten
Jambi
Babel
Bali
Sumbar
Jabar
Jatim
Jateng
Kalteng
DIY
Sultra
Kalbar
Bengkulu
Malut
Lampung
Sumsel
Sulut
NTB
NTT
Maluku
Sulsel
Gorontalo
Sumut
Papua
Aceh
Sulbar
Sulteng
Papbar
Grafik 4.2
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *)
-21,9%
-16,4%
-14,1%
-12,4%
-9,6%
-8,8%
-8,6%
-8,3%
-7,5%
-7,1%
-6,9%
-6,6%
-6,1%
-5,2%
-5,1%
-4,8%
-4,7%
-4,4%
-4,3%
-4,2%
-4,0%
-4,0%
-3,3%
-3,3%
-3,2%
-3,2%
-3,0%
-2,8%
-2,0%
-1,7%
-0,9%
00%
-40%
-55,0%
-33,9%
-20%
-08%
-60%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber:
*)
Tidak termasukAPBD
DKI Jakarta2014
(Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah kabupaten dan kota sepropinsi adalah 8,4%. Daerah yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota di wilayah
Kalimantan Utara
(55,0%), dan
kemudian
diikuti kabupaten
dan kota di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di
Deskripsi
Analisis
APBD 2014
82
wilayah Riau (21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%). Karena sebagian besar defisit daerah
ditutup dengan menggunakan SiLPA maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula SiLPA daerah yang
bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi
Grafik 4.2 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan pemerintah kabupaten dan kota se-propinsi adalah 8,4%. Daerah
yang mempunyai persentase rasio defisit terbesar adalah kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Utara (55,0%), kemudian diikuti kabupaten dan kota
di wilayah Kalimantan Timur (33,9%), kabupaten dan kota di wilayah Riau
(21,9%), dan kabupaten dan kota di wilayah Kalimantan Selatan (16,4%).
Karena sebagian besar defisit daerah ditutup dengan menggunakan SiLPA
maka semakin besar defisit daerah mengindikasikan semakin besar pula
SiLPA daerah yang bersangkutan. Provinsi yang anggaran defisitnya paling
kecil (terbaik) adalah Provinsi Papua Barat (0,9%), Provinsi Sulawesi Tengah
(1,7%), dan Provinsi Sulawesi Barat (2,0%).
3. Pemerintah Provinsi
Rasio suplus/defisit terhadap Pendapatan (pemerintah provinsi) dapat
dilihat pada grafik di bawah ini.
Grafik 4.3
Rasio Surplus/defisit terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
8,9%
15%
1,0%
3,2%
10%
5%
-10%
-15%
-20%
-25%
Aceh -19,7%
Kepri -16,5%
Riau -16,1%
-14,8%
Babel
-13,8%
Kaltim
-13,4%
Bali
-12,0%
Kalsel
-11,8%
Kaltara
-11,4%
Papbar
-9,5%
Jambi
-7,6%
Gorontalo
-7,4%
DIY
-6,9%
Banten
-6,8%
Papua
-6,5%
Jabar
-6,4%
Sulbar
-6,3%
Sultra
-5,8%
Kalteng
-5,3%
Sulut
-5,0%
Bengkulu
-4,4%
Sulsel
-3,6%
Maluku
-3,2%
Sumbar
-2,6%
Sulteng
-2,4%
Jatim
-1,9%
Jateng
-0,7%
Kalbar
-0,6%
NTT
-0,5%
Lampung
-0,4%
Sumut
-0,3%
Jakarta
NTB
Malut
Sumsel
0%
-5%
-05%
Sumber: APBD 2014(Diolah)
Sumber:
APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
4,9%. Sementara itu, pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturut-turut dari yang tertinggi adalah
Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Provinsi Papua Barat (11,4%).
4.
Per Wilayah
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
83
-15%
-20%
-25%
Aceh -19,7%
Kepri -16,5%
Riau -16,1%
Babel
-14,8%
Kaltim
-13,8%
Bali
-13,4%
Kalsel
-12,0%
Kaltara
-11,8%
Papbar
-11,4%
Jambi
-9,5%
Gorontalo
-7,6%
DIY
-7,4%
Banten
-6,9
Papua
-6,8
Jabar
-6,5
Sulbar
-6,4
Sultra
-6,3
Kalteng
-5,8
-5,
Sulut
Bengkulu
-5,
-4
Sulsel
Maluku
Sumbar
Sulteng
Jatim
Jateng
Kalbar
NTT
Lampung
Sumut
Jakarta
NTB
Malut
Sumsel
-10%
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar 4,9%. Sementara itu,
pemerintah provinsi yang mempunyai rasio di atas 10,0% secara berturutSumber: APBD 2014(Diolah)
turut dari yang tertinggi adalah Provinsi Aceh (19,7%), Provinsi Kepulauan
Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%),
Grafik 4.3 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap pendapatan pemerintah provinsi adalah sebesar
Provinsi
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi
4,9%. Sementara
itu,
pemerintah
provinsi
yang mempunyai
rasioKalimantan
di atas 10,0% secara
yangProvinsi
tertinggi adalah
Kalimantan Selatan
(12,0%),
Provinsi
Utaraberturut-turut
(11,8%)dari
dan
Provinsi Papua
Aceh (19,7%),
Provinsi
Kepulauan Riau (16,5%), Provinsi Riau (16,11%), Provinsi Bangka Belitung (14,8%), Provinsi
Barat
(11,4%).
Kalimantan Timur (13,8%), Provinsi Bali (13,4%), Provinsi Kalimantan Selatan (12,0%), Provinsi Kalimantan Utara (11,8%) dan
Provinsi 4.
PapuaPer
Barat (11,4%).
Wilayah
4.
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik
dibawah ini.
Per Wilayah
Rasio Defisit terhadap Pendapatan (per Wilayah) dapat dilihat pada grafik dibawah ini.
Grafik
Grafik 4.44.4
Rasio Defisit
terhadap Pendapatan
Per Wilayah*)
Rasio Defisit
terhadap
Pendapatan
Per Wilayah*)
Kalimantan
Sumatera
Jawa_Bali
NT Maluku Papua
Sulawesi
0%
-5%
-3,9%
-7,8%
-10%
-3,7%
-08%
-6,9%
-15%
-20%
-18,8%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Grafik 4.4 di atas menggambarkan rasio rata-rata defisit terhadap
pendapatan per wilayah yang mencapai sebesar 8%. Selanjutnya, wilayah
yang memiliki rasio rata-rata defisit tertinggi adalah wilayah Kalimantan
(18,8%), sedangkan yang paling rendah adalah wilayah Sulawesi (3,7%).
Semakin besar persentase rasio defisit berarti semakin besar pula anggaran
84
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
belanja yang tidak dapat ditutupi oleh Pendapatan Daerah. Dengan demikian,
daerah harus mencari sumber-sumber penerimaan lain sebagai pembiayaan,
antara lain yaitu SiLPA, Pinjaman Daerah, Penerimaan kembali dana yang
dipinjamkan, serta Pencairan Dana Cadangan.
Jika dilihat sumber Penerimaan Pembiayaan terbesar anggaran defisit
adalah berasal dari SiLPA, maka terlihat bahwa wilayah Kalimantan dan
wilayah Sumatera merupakan wilayah dengan SiLPA yang paling besar
dibandingkan dengan tiga wilayah lainnya.
5. Daerah dengan Defisit yang tidak dapat ditutup oleh
pembiayaan
Tabel 4.1. di bawah merupakan gambaran daerah yang menerapkan
pola penganggaran defisit, akan tetapi penerimaan pembiayaannya belum
seluruhnya dapat menutupi defisit yang dianggarkan, sehingga apabila
diakumulasikan antara besaran defisit dengan besaran pembiayaan masih
mempunyai nilai minus.
Tabel 4.1
Daerah dengan Besaran Defisit yang tidak dapat ditutup oleh Pembiayaan
No
Nama Daerah
Surplus/Defisit
(Juta Rupiah)
Pembiayaan
(Juta Rupiah)
Surplus/Defisit +
Pembiayaan
(Juta Rupiah)
1
Kab. Halmahera Utara
-13.882,9
-5.000,0
-18.882,9
2
Kab. Yahukimo
-37.258,0
22.615,2
-14.642,9
3
Kab. Sukamara
-35.117,9
34.740,0
-377,9
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari tabel 4.1. di atas dapat dilihat bahwa Kabupaten Halmahera
Utara mempunyai nilai defisit anggaran terbesar yang tidak dapat ditutup
melalui pembiayaan, yaitu sebesar Rp18,88 miliar. Daerah yang APBD-nya
dianggarkan defisit namun penerimaan pembiayaannya tidak seluruhnya
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
85
dapat menutupi defisit, berangsur-angsur berkurang dari 20 daerah di tahun
2012, menjadi 15 daerah di tahun 2013, dan pada tahun anggaran 2014
menjadi 3 daerah. Melihat kondisi tersebut, diharapkan pada tahun-tahun
mendatang tidak ada lagi daerah yang menganggarkan APBD-nya defisit
tanpa ada kejelasan sumber pembiayaan untuk menutupi defisit. Untuk itu,
pembinaan daerah dibidang pengelolaan keuangan perlu terus dilakukan
agar daerah dapat menerapkan pola penganggaran yang lebih realistis.
Secara normatif, anggaran defisit yang tidak dapat ditutupi seluruhnya oleh
pembiayaan tidak layak dilakukan karena akan menimbulkan ketidakpastian
dalam alokasi belanja publik.
Sementara itu pada sisi yang lain terdapat daerah yang tidak
memanfaatkan seluruh dana yang dimilikinya untuk membiayai anggaran
belanja maupun pengeluaran pembiayaan dalam APBD-nya. Daerah-daerah
tersebut justru menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan di akhir tahun 2014.
Beberapa daerah yang menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan disajikan
dalam tabel 4.2 berikut.
Tabel 4.2
Daerah yang Menganggarkan SILPA Tahun Berkenaan
No
Nama Daerah
Surplus/ Defisit
Pembiyaan
Daerah
SILPA tahun
Berkenaan
(miliar Rupiah)
(1)
(2)
(3)
(2)+(3)
1
Prov. Jawa Timur
-417,4
651,3
233,9
2
Kab. Siak
-585,3
711,3
126,0
3
Kab. Mamasa
4
Prov. Maluku Utara
5
Kab. Barito Utara
6
Prov. Sumatera Barat
7
Kab. Lamandau
8
Kab. Indragiri Hilir
86
2,0
93,0
94,9
52,5
27,5
80,0
-32,6
110,0
77,3
-111,6
171,1
59,5
-26,8
83,9
57,1
-376,3
430,9
54,6
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
No
9
Nama Daerah
Surplus/ Defisit
Pembiyaan
Daerah
SILPA tahun
Berkenaan
(miliar Rupiah)
(1)
(2)
(3)
(2)+(3)
Kab. Rokan Hilir
-96,2
132,1
35,9
-36,9
72,2
35,2
21,2
11,5
32,7
-77,6
109,1
31,4
13 Kab. Tanah Laut
-419,1
445,0
25,9
14 Prov. Jawa Barat
-1.286,4
1.305,2
18,8
-58,0
70,9
12,9
10 Kab. Barito Selatan
11 Kab. Buru
12 Kab. Kepulauan Aru
15 Kab. Kotawaringin Barat
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Kemungkinan alasan mengapa daerah melakukan hal tersebut,
diantaranya adalah untuk keperluan pembayaran gaji pegawai di awal tahun,
yang diindikasikan dari penerimaan DAU yang lebih kecil dari belanja pegawai
khususnya belanja pegawai tidak langsung, seperti halnya Provinsi Jawa
Timur, Kabupaten Siak, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Tanah Laut.
Namun demikian, adanya penganggaran SILPA pada tahun berkenaan dirasa
kurang sesuai dengan peran pemerintah daerah sebagai penyedia layanan
dasar kepada masyarakat, sehingga dana yang ada seyogianya digunakan
untuk kepentingan rakyat, bukan untuk disimpan.
B.Pembiayaan Daerah
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran
diperkirakan defisit, maka daerah harus menetapkan sumber-sumber
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila
anggaran diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan
surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan bagian terbesar
untuk menutupi defisit APBD 2014 berasal dari SiLPA, sedangkan yang
terkecil berasal dari Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan. Untuk
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
87
B.
Pembiayaan Daerah
Grafik 4.5
Penerimaan Pembiayaan Provinsi dan Kab/Kota
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menyebutkan apabila anggaran diperkirakan defisit, maka daerah harus
menetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dan demikian sebaliknya apabila anggaran
diperkirakan surplus, maka daerah harus menetapkan penggunaaan surplus tersebut. Penerimaan pembiayaan yang merupakan
penerimaan
maupun
pengeluaran
pembiayaan,
bagianmanampung
terbesar untuk menutupi
defisit APBD pembiayaan
2014 berasal dari SiLPA,
sedangkan
yang terkecil berasal
dari Hasil Penjualan
maka
dalam
APBD terdapat
pos penerimaan
pembiayaan
yangmaupun
bertujuan
untuk
menutup
Kekayaan
Daerah
yang Dipisahkan.
Untuk manampung
pembiayaan
pengeluaran
pembiayaan,
maka dalam
4.5. untuk
danmenutup
grafikdefisit
4.6.
berikut
APBDdefisit
terdapat anggaran.
pos pembiayaan Grafik
yang bertujuan
anggaran.
Grafik menggambarkan
4.5. dan grafik 4.6. berikut
penerimaan
pembiayaan
provinsi
dan kabupaten/kota.
menggambarkan
penerimaan
pembiayaan provinsi
dan kabupaten/kota.
Grafik
4.5
Grafik 4.5
Penerimaan
Pembiayaan Provinsi
dan Kab/Kota
Penerimaan
Pembiayaan
Provinsi
dan Kab/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik 4.6
Persentase Penerimaan Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaa
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Provinsi
Kabupat
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Grafik
4.6
Grafik 4.6
Persentase
Persentase Penerimaan
Pembiayaanterhadap
terhadap total Penerimaan
Pembiayaan
Penerimaan
Pembiayaan
total Penerimaan
Provinsi
Provinsi
0,33% 2,61% 1,04%
0,00%
SiLPA TA sebelumnya
Pembiayaan
Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
0,97%
0,13%
3,08%
1,65%
Pencairan dana
cadangan
96,02%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Hasil Penjualan
Kekayaan Daerah yang
Dipisahkan
Penerimaan Pinjaman
Daerah dan Obligasi
Daerah
94,18
%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi,
penerimaan pembiayaan mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%, sebagaimana tampak pada
Deskripsi
dan
Analisis
2014
grafik 4.688di atas. Besarnya
porsi
SiLPA
dalam APBD
penerimaan
pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja
pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber
pembiayaan lainnya untuk menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai sebesar 2,61% untuk
Penerimaan pembiayaan baik provinsi, kabupaten, maupun kota
didominasi oleh SiLPA. Di tingkat provinsi, penerimaan pembiayaan
mencapai 96,02%, sedangkan tingkat kabupaten/ kota mencapai 94,18%,
sebagaimana tampak pada grafik 4.6 di atas. Besarnya porsi SiLPA dalam
penerimaan pembiayaan APBD mengindikasikan adanya penyerapan belanja
pada tahun anggaran sebelumnya kurang optimal, sehingga terdapat sisa
anggaran yang terakumulasi dalam SiLPA. Sumber pembiayaan lainnya untuk
menutup defisit adalah Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah, yang mencapai
sebesar 2,61% untuk provinsi, sebesar 3,08 untuk kabupaten/kota. Sumbersumber lain penerimaan pembiayaan di luar SiLPA dan Pinjaman Daerah
adalah Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan dan Penerimaan
Kembali Pinjaman yang jumlahnya relatif kecil, yakni di bawah 1%.
Secara umum, pengeluaran pembiayaan terbesar dalam APBD adalah
untuk Penyertaan Modal Pemerintah daerah pada badan-badan usaha milik
daerah yang merupakan bagian dari Kekayaan Daerah yang Dipisahkan.
Secara nominal, besaran Penyertaan Modal Pemerintah provinsi lebih besar
daripada Penyertaan Modal Pemerintah kabupaten/kota. Hal tersebut diduga
terjadi karena ruang fiskal pemerintah provinsi lebih besar dibandingkan
dengan ruang fiskal pemerintah kabupaten/kota. Selain itu, pembayaran
pokok pinjaman kabupaten/kota yang jauh lebih besar daripada pokok utang
provinsi menunjukkan adanya beban pemerintah kabupaten/kota yang jauh
lebih besar apabila dibandingkan dengan pemerintah provinsi. Selanjutnya,
rincian Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/kota dapat dilihat
pada grafik 4.7 di bawah ini.
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
89
Grafik 4.7
Pengeluaran Pembiayaan Provinsi dan Kabupaten/Kota
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber:
APBD
Sumber:
APBD 2014
(Diolah)2014
(Diolah)
Grafik
4.8
Grafik 4.8
Grafik 4.8
Persentase Pengeluaran
Pembiayaan
terhadap
Penerimaan
Persentase Pengeluaran
Pembiayaan
terhadap totaltotal
Penerimaan
Pembiayaan Pembiayaan
Persentase Pengeluaran Pembiayaan terhadap total Penerimaan Pembiayaan
Provinsi
Provinsi
Provinsi
0,49%
7,69% 0,49%
7,69%
Kabupaten/Kota
Kabupaten/Kota
1,12%
1,12%
Pembentukan
Dana Dana
Pembentukan
Cadangan
Cadangan
Kabupaten/Kota
0,30% 0,30%3,12%
3,20% 3,20%
8,81%
3,12%
8,81%
Penyertaan Modal
Penyertaan Modal
(Investasi) Daerah
(Investasi) Daerah
Pembayaran Pokok Utang
Pembayaran Pokok Utang 28,49%
28,49%
Pemberian Pinjaman
Pemberian Pinjaman
Daerah
90,70%
90,70%
Daerah Kegiatan
Pembayaran
Lanjutan
Pembayaran Kegiatan
56,06%
56,06%
Pengeluaran
LanjutanPerhitungan
Pihak Ketiga
Pengeluaran Perhitungan
Pihak
Ketiga
Sumber:
APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/kota mempunyai kemiripan, namun berbeda
Secara persentase, pola Penerimaan Pembiayaan provinsi dan kabupaten/
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
Secara
persentase, pola
Penerimaan Pembiayaan
dan kabupaten/kota
mempunyai
kemiripan,
kota mempunyai
kemiripan,
namunprovinsi
berbeda
halnya jika
dilihat
darinamun
sisi berbeda
halnya jika dilihat dari sisi Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya didominasi oleh
90
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Pengeluaran Pembiayaan. Pengeluaran Pembiayaan tingkat provinsi hanya
didominasi oleh Penyertaan Modal Pemerintah Daerah, sedangkan pada
kabupaten/kota terdapat 2 (dua) komponen yang dominan, yaitu (i) Penyertaan
Modal Pemerintah Daerah, dan (ii) Pembayaran Pokok Utang. Pembayaran
Pokok Utang terbesar untuk tingkat kabupaten/kota ditempati oleh Kabupaten
Ogan Ilir (Rp119,5 Miliar), dan untuk Penyertaan Modal Pemerintah Daerah
terbesar ditempati oleh Kabupaten Muara Enim (Rp124,3 miliar). Sementara
itu untuk tingkat provinsi, daerah yang menganggarkan penyertaan modal
terbesar ditempati oleh Provinsi DKI Jakarta (Rp7,1 triliun). Selanjutnya,
penjelasan lebih detil mengenai pembiayaan dapat dijelaskan pada bahasan
di bawah ini.
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
Selisih pengurangan pendapatan terhadap belanja pada realisasi APBD
merupakan sisa dana yang dapat bernilai minus ataupun positif. Apabila
sisa dana tersebut bernilai minus disebut defisit, dan jika positif disebut
surplus, yang dalam APBD dinamakan Sisa Lebih Perhitungan Anggaran
(SiLPA). Besaran SiLPA yang tercantum dalam APBD tahun anggaran 2014
merupakan perkiraan besaran SiLPA yang akan terjadi pada akhir tahun
anggaran berkenaan. Apabila terdapat nilai SiLPA yang sangat besar, hal ini
mengindikasikan adanya kekurangcermatan dalam penyusunan anggaran
maupun terdapat kendala dalam pelaksanaannya, sehingga penyerapan
anggaran belanja berpotensi kurang optimal. Anggaran belanja yang sudah
dialokasikan semestinya dapat terserap pada tahun anggaran berkenaan.
Penyerapan yang kurang optimal akan mengakibatkan adanya saldo (SiLPA)
yang merupakan dana idle yang belum dimanfaatkan. Di bawah ini akan
dijelaskan mengenai rasio SiLPA terhadap belanja yang merupakan persentase
porsi belanja yang tidak terserap atau tertunda. Rasio tersebut dapat dilihat
dalam grafik 4.9 berikut :
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
91
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 4.9
25%
20%
15%
10%
5%
0%
09%
Malut
Sulteng
Gorontalo
Sumut
NTB
Sulsel
Lampung
NTT
Sultra
Papua
Sulut
Kalbar
Sumsel
Sulbar
Bengkulu
Maluku
Papbar
Jateng
Jatim
DIY
Sumbar
Jabar
Kalteng
Aceh
Jambi
Babel
Jakarta
Bali
Banten
Kepri
Kalsel
Riau
Kaltim
Kaltara
30%
1,9%
2,0%
2,4%
2,6%
2,8%
3,4%
3,5%
4,2%
4,4%
4,8%
4,8%
5,1%
5,1%
5,2%
5,3%
5,3%
5,6%
6,3%
6,7%
7,6%
7,7%
8,1%
9,1%
9,2%
9,7%
10,3%
10,8%
11,3%
11,9%
13,1%
14,4%
17,8%
23,8%
32,5%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
35%
Sumber: APBD
2014 (Diolah)
Sumber:
APBD
2014 (Diolah)
Rasio
rata-rata
SiLPAbelanja
terhadap
belanja
daerah
secara
agregat
provinsi,
Rasio rata-rata
SiLPA terhadap
daerah secara
agregat provinsi,
kabupaten
dan kota
adalah sebesar
8,6%,
kabupaten
dan kota
adalah
sebesarsebesar
8,6%,
yang
berarti
naik sebesar
1,2%
dari
yang
berarti naik sebesar
1,2% dari
tahun sebelumnya
7,4%.
Sementara
itu, pemegang
posisi tertinggi
rasio SiLPA
terhadap
belanja
daerah
adalah
Provinsi
Kalimantan
Utara
(32,5%),
dan
diikuti
oleh
Provinsi
Kalimantan
Timur
(23,8%).
tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi
Selanjjutnya
untuk rasioterhadap
terendah (terbaik)
adalah Provinsi
Maluku adalah
Utara (1,9%),Provinsi
yang diikuti oleh
Provinsi Sulawesi Utara
Tengah
rasio SiLPA
belanja
daerah
Kalimantan
(2,0%).
(32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%). Selanjjutnya
untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang
2.diikutiPemerintah
KabupatenSulawesi
dan Kota Se-Provinsi
oleh Provinsi
Tengah (2,0%).
Grafik 4.10
35,8%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
25,7%
40%
10%
0%
Gorontalo
Sulteng
Malut
Papbar
Sumut
Aceh
NTB
Papua
Sulsel
Sultra
Lampung
NTT
Sulut
Sulbar
Sumsel
Bengkulu
Maluku
Kalbar
DIY
Jatim
Jateng
Jabar
Sumbar
Bali
Babel
Kalteng
Jambi
Banten
Kepri
Kalsel
Riau
Kaltim
Kaltara
20%
1,6%
1,8%
1,9%
2,1%
3,0%
3,2%
3,4%
3,7%
3,7%
4,2%
4,2%
4,2%
4,4%
4,8%
5,1%
5,2%
5,5%
5,5%
6,7%
6,8%
7,0%
7,6%
7,9%
8,5%
8,8%
9,0%
9,7%
11,4%
12,5%
15,3%
18,4%
30%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
92
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
08%
yang berarti naik sebesar 1,2% dari tahun sebelumnya sebesar 7,4%. Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA
terhadap belanja daerah adalah Provinsi Kalimantan Utara (32,5%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (23,8%).
Selanjjutnya untuk rasio terendah (terbaik) adalah Provinsi Maluku Utara (1,9%), yang diikuti oleh Provinsi Sulawesi Tengah
(2,0%).
2. Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota Se-Provinsi
Grafik 4.10
Grafik 4.10
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi*)
35,8%
Rasio SiLPA terhadap Belanja Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
25,7%
40%
10%
0%
08%
Gorontalo
Sulteng
Malut
Papbar
Sumut
Aceh
NTB
Papua
Sulsel
Sultra
Lampung
NTT
Sulut
Sulbar
Sumsel
Bengkulu
Maluku
Kalbar
DIY
Jatim
Jateng
Jabar
Sumbar
Bali
Babel
Kalteng
Jambi
Banten
Kepri
Kalsel
Riau
Kaltim
Kaltara
20%
1,6%
1,8%
1,9%
2,1%
3,0%
3,2%
3,4%
3,7%
3,7%
4,2%
4,2%
4,2%
4,4%
4,8%
5,1%
5,2%
5,5%
5,5%
6,7%
6,8%
7,0%
7,6%
7,9%
8,5%
8,8%
9,0%
9,7%
11,4%
12,5%
15,3%
18,4%
30%
Sumber:
APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota
se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4% dari tahun lalu sebesar
6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah
kabupaten dan kota se-provinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%),
dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh
Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
93
* Tidak termasuk DKI Jakarta
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah 8,2%, yang berarti naik 1,4%
dari tahun lalu sebesar 6,8%. Pemegang posisi tertinggi rasio SiLPA terhadap belanja pemerintah kabupaten dan kota seprovinsi adalah Provinsi Kalimantan Utara (35,8%), dan diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur (25,7%). Sementara itu, yang
terendah (terbaik) adalah adalah Provinsi Gorontalo (1,6%), dan diikuti olrh Provinsi Sulawesi Tengah (1,8%)
3. Pemerintah Provinsi
3.
Pemerintah Provinsi
Grafik
4.11
Grafik 4.11
16%
12%
8%
4%
0%
08%
NTB
Sumut
Lampung
Sulsel
Malut
Jateng
Kalbar
Sulteng
NTT
Sumsel
Maluku
Jatim
Gorontalo
Sultra
Bengkulu
Sulut
Sulbar
Sumbar
Kalteng
Papua
Jabar
Kalsel
DIY
Jambi
Banten
Jakarta
Papbar
Babel
Kepri
Kaltim
Riau
Kaltara
Aceh
Bali
20%
0,4%
0,4%
0,6%
1,5%
1,9%
2,1%
2,7%
2,8%
3,3%
4,3%
4,6%
4,6%
4,6%
5,1%
5,5%
6,0%
6,2%
6,2%
7,3%
7,4%
7,5%
8,2%
8,4%
8,7%
10,3%
10,8%
11,1%
12,9%
13,0%
13,0%
13,9%
15,8%
16,5%
16,7%
Rasio SiLPA terhadap
Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
Rasio SiLPA terhadap Belanja Daerah Pemerintah Provinsi
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja daerah pemerintah provinsi
Rasio
rata-rataatau
SiLPA terhadap
belanja daerah
adalah 8,4%6,6%.
atau naik 1,8%
dari tahun lalu
sebesar
adalah
8,4%
naik 1,8%
daripemerintah
tahun provinsi
lalu sebesar
Pemegang
posisi
6,6%. Pemegang
posisi tertinggi
SiLPA terhadap
belanja pemerintah
provinsi adalah
Provinsi Bali
(16,7%), dan
diikuti oleh
tertinggi
rasio
SiLPArasio
terhadap
belanja
pemerintah
provinsi
adalah
Provinsi
Provinsi
Aceh
(16,5%).
Sementara
itu,
yang
terendah
(terbaik)
adalah
Provinsi
Nusa
Tenggara
Barat
(0,4%),
dan
diikuti
oleh
Bali (16,7%), dan diikuti oleh Provinsi Aceh (16,5%). Sementara itu, yang
Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
terendah (terbaik) adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (0,4%), dan diikuti
oleh Provinsi Sumatera Utara (0,4%).
4.
Per Wilayah
rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau naik 0,3% dari sebelumnya sebesar 7,75%.
4. PerRasio
Wilayah
Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera (8,0%). Sementara
Rasio rata-rata SiLPA terhadap belanja per wilayah adalah 8,1%, atau
naik
0,3%
darirata-rata
sebelumnya
sebesar
posisi
tertinggi rasio
Secara lebih
detil, rasio
SiLPA antar wilayah
tersebut7,75%.
dapat dilihatPemegang
pada grafik dibawah
ini.
ini adalah wilayah Kalimantan (16,7%), dan diikuti oleh wilayah Sumatera
(8,0%). Sementara itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi
(3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
Secara lebih detil, rasio rata-rata SiLPA antar wilayah tersebut dapat dilihat
pada grafik dibawah ini.
itu, yang terendah (terbaik) adalah wilayah Sulawesi (3,5%), dan diikuti oleh wilayah Nusa Tenggara Maluku Papua (4,5%).
94
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Grafik
Grafik 4.12
4.12
Rasio SiLPA
terhadap
Belanja
per Wilayah *)
Rasio SiLPA terhadap Belanja per Wilayah *
20%
16,7%
15%
10%
8,1%
5%
3,5%
7,3%
8,0%
Jawa_Bali
Sumatera
4,5%
0%
Sulawesi
NT Maluku Papua
Kalimantan
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
* Tidak termasuk DKI Jakarta
C.
Penerimaan Pembiayaan yangPembiayaan
berasal dari Pinjaman yang berasal dari
C.Penerimaan
Pos pembiayaan
dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu (i) Penerimaan
Pinjaman
Pembiayaan, dan
(ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA dan Pinjaman
Pos pembiayaan dalam struktur APBD dibagi menjadi 2 (dua) bagian,
yaitu (i) Penerimaan Pembiayaan, dan (ii) Pengeluaran Pembiayaan. Untuk
Daerah. Pinjaman Daerah sangat diperlukan untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman Daerah dapat bersumber dari Pemerintah,
Penerimaan Pembiayaan, sumber dana yang paling dominan adalah SiLPA
Penerusan Pinjaman melalui Pemerintah, Pemerintah daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga keuangan bukan bank,
dan Pinjaman Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah
maupun Obligasi
Daerah. Berikut
disajikan rasio Pinjaman
Pendapatan Daerah dilihat
dari pembagian
lima wilayah,
Penyertaan
Modalini Pemerintah
Daerahterhadap
dan Pengembalian
Pinjaman
Daerah.
pemerintah
kabupaten dan
kota se-provinsi,
pemerintah provinsi.
Pinjaman
Daerah
sangat dan
diperlukan
untuk menutupi defisit APBD. Pinjaman
Daerah dapat bersumber dari Pemerintah, Penerusan Pinjaman melalui
Pemerintah,
daerah lain, Lembaga keuangan bank, Lembaga
1.
Agregat Provinsi, Pemerintah
Kabupaten dan Kota
keuangan bukan bank, maupun Obligasi Daerah. Berikut ini disajikan rasio
Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah dilihat dari pembagian lima wilayah,
pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi, dan pemerintah provinsi.
Daerah, sedangkan untuk Pengeluaran Pembiayaan adalah Penyertaan Modal Pemerintah Daerah dan Pengembalian Pinjaman
Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
95
1. Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
Grafik 4.13
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota
2,5%
3,0%
1,5%
1,0%
0,5%
0,0%
0,3%
Jambi
DIY
Sulut
Banten
Babel
Kepri
Kaltara
Bali
NTT
Jabar
Aceh
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Maluku
Jatim
Jateng
Sumut
Papbar
Sulbar
Papua
Sumsel
Sumbar
Riau
Jakarta
Sulteng
Bengkulu
Kalbar
Sulsel
Lampung
NTB
Malut
Sultra
Gorontalo
2,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,3%
0,3%
0,3%
0,4%
0,4%
0,4%
0,5%
0,6%
0,6%
0,9%
1,0%
1,3%
1,5%
1,7%
2,5%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan kota adalah sebesar 0,3%.
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
dalam
Nomor
125/PMK.07/2013,
dan
kalau
adalah
grafik
di atasPMK
juga dapat
dilihat terdapat
10 wilayah provinsi dari 33
wilayah
provinsi dirata-ratakan
tidak menganggarkan penerimaan
sebesar
4,31%.
pinjaman
dalam
APBD-nya. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah yang
melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio
2.ini adalah
Pemerintah
KabupatenGorontalo
dan Kota se-Provinsi
Provinsi
(2,5%.) Dari grafik di atas juga dapat dilihat
Grafikwilayah
4.14
terdapat 10 wilayah provinsi dari 33
provinsi tidak menganggarkan
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi *
penerimaan pinjaman dalam APBD-nya.
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
1,2%
1,3%
1,6%
1,9%
2,1%
2,5%
2,0%
0,5%
0,0%
96
00%
Jambi
DIY
Sulut
Banten
Babel
Kepri
Kaltara
Bali
NTT
Jabar
Aceh
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Sulsel
Maluku
Jatim
Jateng
Sumut
Papbar
Sulbar
Sumsel
Papua
Sumbar
Riau
Sulteng
Kalbar
Bengkulu
Lampung
Sultra
NTB
Malut
Gorontalo
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,2%
0,2%
0,4%
0,4%
0,5%
0,5%
0,5%
0,6%
0,7%
0,7%
1,5%
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Dari grafik 4.13 di atas terlihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap pendapatan agregat provinsi, kabupaten, dan
kota adalah sebesar 0,3%. Nilai tersebut jauh lebih kecil dibandingkan dengan nilai yang ditetapkan dalam PMK Nomor
125/PMK.07/2013, dan kalau dirata-ratakan adalah sebesar 4,31%. Dari grafik di atas juga terlihat bahwa tidak ada daerah
yang melampaui batas rasio yang telah ditentukan. Pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi Gorontalo (2,5%.) Dari
grafik di atas juga dapat dilihat terdapat 10 wilayah provinsi dari 33 wilayah provinsi tidak menganggarkan penerimaan
2.
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
pinjaman dalam APBD-nya.
2.
Grafik 4.14
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Daerah
Grafik 4.14
Kabupaten
dan Kota
se-Provinsi
*) *
RasioPemerintah
Pinjaman terhadap Pendapatan
Daerah Pemerintah
Kabupaten
dan Kota se-Provinsi
Pemerintah Kabupaten dan Kota se-Provinsi
1,2%
1,3%
1,6%
1,9%
2,1%
2,5%
2,0%
0,5%
0,0%
00%
Jambi
DIY
Sulut
Banten
Babel
Kepri
Kaltara
Bali
NTT
Jabar
Aceh
Kalsel
Kaltim
Kalteng
Sulsel
Maluku
Jatim
Jateng
Sumut
Papbar
Sulbar
Sumsel
Papua
Sumbar
Riau
Sulteng
Kalbar
Bengkulu
Lampung
Sultra
NTB
Malut
Gorontalo
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,1%
0,2%
0,2%
0,2%
0,4%
0,4%
0,5%
0,5%
0,5%
0,6%
0,7%
0,7%
1,5%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa rasio rata-rata pinjaman terhadap
pendapatan daerah pemerintah kabupaten dan kota se-provinsi adalah sebesar
0,3%, Sementara itu, pemegang posisi tertinggi rasio ini adalah Provinsi
Gorontalo (2,1%), yang diikuti oleh Provinsi Maluku Urata (1,9%).Dalam hal
ini terdapat 13 daerah yang rasio pinjamannya di atas nilai rata-rata.
3. Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan
pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana dapat dilihat dalam grafik 4.15.
Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan
(3,7%), Provinsi Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan
Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka Provinsi
DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerah dengan pemegang posisi
nilai terbesar.
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
97
3.
Pemerintah Provinsi
Untuk tingkat Provinsi terdapat 4 pemerintah provinsi yang menganggarkan pinjaman dalam APBD-nya, sebagaimana
dapat dilihat dalam grafik 4.15. Keempat Pemerintah provinsi tersebut adalah Provinsi Sulawesi Selatan (3,7%), Provinsi
Gorontalo (3,5%), Provinsi Sulawesi Tenggara (3,4%), dan Provinsi DKI Jakarta (0,4%). Jika berdasarkan nilai pinjaman, maka
4.15 posisi nilai terbesar.
Provinsi DKI Jakarta (Rp269,4 miliar) merupakan daerahGrafik
dengan pemegang
4.15
Rasio Pinjaman terhadap Grafik
Pendapatan
Pemerintah Provinsi
3,4%
3,5%
3,7%
Rasio Pinjaman terhadap Pendapatan Pemerintah Provinsi
4,0%
3,0%
0,0%
0,2%
Aceh
Sumut
Sumbar
Riau
Jambi
Sumsel
Bengkulu
Lampung
Jabar
Jateng
DIY
Jatim
Kalbar
Kalteng
Kalsel
Kaltim
Sulut
Sulteng
Bali
NTB
NTT
Maluku
Papua
Malut
Banten
Babel
Kepri
Papbar
Sulbar
Kaltara
Jakarta
Sultra
Gorontalo
Sulsel
1,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,0%
0,4%
2,0%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu daerah yang melampaui batas maksimal
Dari grafik di atas terlihat Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah
satu daerah yang melampaui batas maksimal pinjaman sesuai ketentuan
terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah
PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan
sedangkan batasan yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas fiskalnya, yaitu 3,5% dari pendapatan daerah.
pelampauan defisit terlebih dahulu dari Menteri Keuangan. Besaran pinjaman
Provinsi Sulawesi Selatan mencapai 3,7% dari pendapatan daerah sedangkan
4.
Per Wilayah
batasan
yang ditetapkan dalam PMK tersebut adalah sesuai kapasitas
Secara
total, daerah
di wilayah
Tenggara, Maluku,daerah.
dan Papua mempunyai
rasio pinjaman terhadap pendapatan
fiskalnya, yaitu
3,5%
dariNusa
pendapatan
pinjaman sesuai ketentuan PMK Nomor 125/PMK.07/2013, sehingga wajib mendapatkan persetujuan pelampauan defisit
per wilayah tertinggi (0,4%), atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan rasio pinjaman terendah
4. Per Wilayah
Secara total, daerah di wilayah Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua
mempunyai rasio pinjaman terhadap pendapatan per wilayah tertinggi (0,4%),
atau sedikit di atas rasio rata-rata (0,3%). Sementara itu, wilayah dengan
rasio pinjaman terendah adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya,
rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.
98
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
adalah wilayah Kalimantan (0,1%). Selanjutnya, rasio per-wilayah dan penyebarannya dapat dilihat pada grafik 4.16 di bawah
ini.
Grafik
4.16
Grafik 4.16
Rasio pinjaman/pendapatan
wilayah
*)
Rasio pinjaman/pendapatan per per
wilayah
*
0,50%
0,39%
0,40%
0,30%
0,20%
0,29%
0,32%
0,26%
0,12%
0,15%
0,10%
0,00%
Kalimantan
Sulawesi
Jawa_Bali
Sumatera
NT Maluku Papua
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
*) Tidak termasuk DKI Jakarta
* Tidak termasuk DKI Jakarta
Defisit yang
Dibiayai
Pinjaman
Dalam tahun 2014, pembatasan maksimal defisit yang dapat dibiayai dari pinjaman diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan
5.
Daerah
Melampaui
Batas Melampaui
Maksimal Defisit yang
DibiayaiMaksimal
Pinjaman
5. yang
Daerah
yang
Batas
Nomor 125/PMK.07/2013
tentang Batas
Maksimal
Kumulatif Defisit
APBD, Batas
Maksimal
Defisit
APBD dan
Batas Maksimal
Dalam tahun
2014,
pembatasan
maksimal
defisit
yang
dapat
dibiayai
Kumulatif dari
Pinjaman
Daerah Tahun
Anggaran
2014. Dalam
PMK tersebut
ditetapkan
batas maksimal
kumulatif
defisit APBD
pinjaman
diatur
melalui
Peraturan
Menteri
Keuangan
Nomor
125/
tentangadalah
Batas
Kumulatif
Defisithalnya,
APBD,
(nasional)PMK.07/2013
yang dibiayai dari pinjaman
sebesarMaksimal
0,3% dari proyeksi
PDB. Demikian
batas Batas
maksimal defisit
Maksimal
dan Batas
Maksimal
Kumulatif
Daerah
Tahunyaitu 6,5%
masing-masing
daerah Defisit
terhadap APBD
pendapatannya
juga tidak
boleh terlampaui
sesuaiPinjaman
kategori kapasitas
fiskalnya
Anggaran
Dalam
tersebut
kumulatif
untuk kategori
kapasitas2014.
fiskal sangat
tinggi;PMK
5,5% untuk
kategoriditetapkan
kapasitas fiskalbatas
tinggi; maksimal
4,5% untuk kategori
kapasitas fiskal
defisit
APBD
(nasional)
yangrendah.
dibiayai
adalah
sebesar
0,3%
sedang; dan
3,5% untuk
kategori
kapasitas fiskal
Apabiladari
APBD pinjaman
melampaui batas
defisit yang
ditentukan,
maka daerah
daridahulu
proyeksi
PDB.persetujuan
Demikian
halnya,defisit
batas
defisit
harus terlebih
mendapatkan
pelampauan
darimaksimal
Menteri Keuangan
c.q. masing-masing
Dirjen Perimbangan Keuangan.
daerah terhadap pendapatannya juga tidak boleh terlampaui sesuai kategori
kapasitas fiskalnya yaitu 6,5% untuk kategori kapasitas fiskal sangat tinggi;
terlampaui.
5,5% untuk kategori kapasitas fiskal tinggi; 4,5% untuk kategori kapasitas
Tabel 4.3
fiskal sedang; dan 3,5% untuk kategori kapasitas fiskal rendah. Apabila
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
APBD melampaui batas defisit yang ditentukan, maka daerah harus terlebih
Dari
tabel dimendapatkan
atas dapat dilihat persetujuan
adanya 19 daerah
yang pinjamannya
melampaui
yang ditentukan.
Untuk posisi
dahulu
pelampauan
defisit
dari batas
Menteri
Keuangan
tertinggi adalah
KabupatenPerimbangan
Buton (11,4%). Apabila
daerah Tabel
yang defisit
akanini
ditutup
dengan pinjaman telah
c.q. Dirjen
Keuangan.
4.3.anggarannya
di bawah
menunjukkan
Tabel 4.3. di bawah ini menunjukkan beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya telah
melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
99
beberapa pemda yang batas persentase pinjaman untuk menutup defisitnya
telah terlampaui.
Tabel 4.3
Daerah dengan % Pinjaman diatas Batas yang ditetapkan
No Nama Daerah
Batas
Sesuai
Pendapatan
dengan
(miliar
PMK 125
rupiah)
tahun 2013
Pinjaman
Daerah dan
Obligasi
(miliar
rupiah)
%
Pinjaman
1
Kab. Buton
3,5%
878,8
100,0
11,4%
2
Kab. Halmahera Selatan
5,5%
701,
77,8
11,1%
3
Kab. Boalemo
3,5%
540,4
51,0
9,4%
4
Kab. Keerom
5,5%
750,5
60,0
8,0%
5
Kab. Lombok Barat
3,5%
1.133,6
90,0
7,9%
6
Kab. Mukomuko
3,5%
648,4
47,5
7,3%
7
Kab. Lampung Selatan
3,5%
1.263,4
91,0
7,2%
8
Kab. Temanggung
3,5%
1.094,3
76,5
7,0%
9
Kab. Morowali
4,5%
516,6
33,3
6,5%
10 Kota Mataram
3,5%
961,1
60,0
6,2%
11 Kab. Bangkalan
3,5%
1.417,4
87,5
6,2%
12 Kab. Muara Enim
4,5%
1.730,3
97,3
5,6%
13 Kab. Puncak
4,5%
1.075,3
60,0
5,6%
14 Kab. Pesawaran
3,5%
902,
50,0
5,5%
15 Kab. Kampar
4,5%
2.157,3
113,0
5,2%
16 Kab. Sambas
3,5%
1.171,7
48,6
4,1%
17 Prov. Sulawesi Selatan
3,5%
5.593,9
207,5
3,7%
18 Kab. Sidenreng Rappang
3,5%
822,7
30,0
3,6%
19 Kota Gorontalo
3,5%
789,3
28,5
3,6%
Sumber: APBD 2014 (Diolah)
Dari tabel di atas dapat dilihat adanya 19 daerah yang pinjamannya
melampaui batas yang ditentukan. Untuk posisi tertinggi adalah Kabupaten
100
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
Buton (11,4%). Apabila daerah yang defisit anggarannya akan ditutup dengan
pinjaman telah melampaui batas yang ditentukan, maka daerah tersebut
harus terlebih dahulu meminta ijin pelampauan defisit untuk mendapatkan
persetujuan dari Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan. Dari 19 daerah tersebut di atas, baru Kabupaten Bualemo yang
telah mengajukan ijin pelampauan defisit.
D.Dana Idle
Rekening kas umum daerah merupakan rekening daerah untuk
menampung uang masuk maupun uang keluar yang dibuka pada bank umum
dan BPR. Seiring dengan pelaksanaan anggaran, pergerakan arus uang masuk
dan uang keluar milik daerah dapat diketahui melalui bank sentral yaitu
Bank Indonesia. Apabila arus uang masuk lebih besar daripada arus uang
keluar, maka akan terjadi penumpukan dana (idle). Dana idle ini merupakan
akumulasi dari penerimaan berupa pendapatan, transfer dana perimbangan,
penerimaan pembiayaan setelah dikurangi belanja. Dana Idle terjadi antara
lain karena pemerintah daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga
apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu
besar dan ditahan terlalu lama justru akan menghambat kegiatan pemberian
layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat
dalam grafik 4.17 berikut :
Analisis Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah
101
daerah menahan dana untuk tujuan berjaga-jaga apabila terdapat kegiatan yang membutuhkan pendanaan segera, sementara
arus uang masuk belum dapat diprediksi. Akan tetapi, jika dana idle terlalu besar dan ditahan terlalu lama justru akan
menghambat kegiatan pemberian layanan masyarakat. Pergerakan dana pemda di perbankan dapat dilihat dalam grafik 4.17
berikut :
Grafik
Grafik4.17
4.17
Dana Pemda
Perbankan
Bulan
(Bulan
Desember)
DanadiPemda
di Perbankanper
per Bulan
(Bulan
Desember)
120.000
99.240
100.000
94.313
miliar rupiah
80.446
80.000
66.905
62.088
66.881
51.927
60.000
38.743
40.000
28.519
32.336
2011
2012
27.432
23.345
20.000
0
2010
Nasional
Sumber:
Bank (Diolah)
Indonesia
Sumber:
Bank Indonesia
Provinsi
2013
Kota/kabupaten
(Diolah)
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu
Besaran simpanan pemda di perbankan setiap bulannya selalu
berfluktuasi dan pada 4 tahun terakhir ini selalu mencapai titik terendah
tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru
pada posisi bulan Desember tersebut digunakan sebagai acuan besaran dana
pemda yang menganggur (idle). Dari grafik di atas terlihat besaran dana idle
provinsi pada tahun 2013 mengalami penurunan jika dibanding dengan
tahun 2012, namun untuk kabupaten/kota justru mengalami peningkatan.
Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per
provinsi dapat dilihat pada grafik 4.18 di bawah ini.
mencapai titik terendah pada bulan Desember. Dengan demikian, data dana pemda di perbankan pada posisi bulan Desember
102
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
mengalami peningkatan. Dana pemda di perbankan secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota per provinsi dapat dilihat pada
grafik 4.18 di bawah ini.
Grafik 4.18
Grafik 4.18
Dana Pemda
di
Perbankan
Kab/kota/Provinsi
Dana Pemda di Perbankan AgregatAgregat
Kab/kota/Provinsi
14.000
Miliar Rupiah
12.000
10.000
8.000
6.000
4.000
GORONTALO
MALUT
SULBAR
MALUKU
NTB
SULTENG
LAMPUNG
BENGKULU
BABEL
KALBAR
SULUT
SULTRA
KEPRI
DIY
SULSEL
JAMBI
SUMSEL
NTT
SUMBAR
KALTENG
SUMUT
Papua Barat
PAPUA
BALI
ACEH
BANTEN
KALSEL
RIAU
JATIM
JABAR
JAKARTA
JATENG
KALTIM
2.000
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Sumber: Bank Indonesia (Diolah)
Daerah yang menduduki posisi tertinggi simpanan pemda di perbankan agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan
DesemberDaerah
2013 adalahyang
Provinsi menduduki
Kalimantan Timur, kemudian
oleh Provinsi
Jawa Tengah,pemda
dan Provinsidi
DKIperbankan
Jakarta.
posisidisusul
tertinggi
simpanan
Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai
agregat provinsi, kabupaten, dan kota bulan Desember 2013 adalah Provinsi
Kalimantan Timur, kemudian disusul oleh Provinsi Jawa Tengah, dan Provinsi
besaran nilai APBD terhadap besaran nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
DKI Jakarta. Secara sekilas urutan tersebut berkaitan dengan besaran nilai
APBD daerah yang bersangkutan artinya semakin besar nilai APBD suatu
daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank
umum dan BPR. Adapun nilai korelasi besaran nilai APBD terhadap besaran
nilai simpanan pemda di bank umum dan BPR adalah sebesar 83,7%.
APBD suatu daerah, maka semakin besar pula nilai simpanan daerah tersebut di bank umum dan BPR. Adapun nilai korelasi
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
103
BAB V
REALISASI BELANJA DAERAH
APBD 2014 SAMPAI DENGAN
BULAN MEI 2014
Guna merespon tuntutan yang tinggi atas kecepatan informasi
penyerapan belanja daerah yang bersifat periodik dengan interval waktu yang
relatif singkat, telah dibuat sebuah instrumen yang dapat digunakan untuk
memonitor besarnya penyerapan belanja APBD secara bulanan. Instrumen ini
didasarkan pada data-data sekunder untuk dapat membuat proxy penyerapan
belanja daerah per bulan per provinsi, yang merupakan agregasi penyerapan
pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam satu wilayah provinsi.
Dengan cakupan informasi penyerapan belanja yang lebih luas, diharapkan
dapat memberikan bahan masukan yang lebih baik bagi Pemerintah Pusat
untuk mendesain kebijakan keuangan ke daerah.
Pendekatan ini merupakan proxy dengan menggunakan data dana
pemerintah daerah di perbankan per bulan dari Bank Indonesia, data realisasi
transfer per bulan dan proxy realisasi PAD. Laporan estimasi penyerapan
bulanan ini mempunyai lag time kurang dari 20 hari setelah akhir bulan
yang bersangkutan. Lag time ini terjadi karena salah satu sumber informasi
utama yang dijadikan sebagai basis estimasi adalah informasi dana pemda di
Bank Umum per provinsi yang baru dapat diterima setelah 15 hingga 20 hari
setelah berakhirnya bulan yang diobservasi (sumber dari Bank Indonesia).
Dalam analisis ini, data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Dana pemerintah daerah di perbankan per bulan (sumber : Bank
Indonesia);
104
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
2. Realisasi transfer per bulan (sumber : Ditjen Perimbangan Keuangan);
3. Laporan realisasi PAD per triwulan (sumber: Ditjen Perimbangan
Keuangan).
Adapun cara perhitungan yang dipakai menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Langkah Pertama
- Menghitung total realisasi dana transfer yang disalurkan ke daerah
berdasarkan nomor SP2D per provinsi;
- Mengestimasi realisasi PAD yang berasal dari laporan realisasi APBD
per triwulan, dibedakan antara realisasi PAD Kabupaten/Kota/Provinsi.
2. Langkah Kedua
- Menghitung realisasi belanja dengan rumus sebagai berikut :
Belanja = DPdP(t-1)+DT(t)+PAD(t)-DPdP(t)
Keterangan :
DPdP = Dana Pemerintah Daerah di Perbankan
DT = Dana Transfer
PAD = Estimasi Penerimaan dari PAD
t = bulan ke t
3. Langkah Ketiga
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
% Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD
Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
1. Hanya dapat membuat estimasi realisasi belanja pemerintah daerah
secara agregat provinsi, kabupaten, dan kota untuk masing-masing
provinsi.
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total,
tidak per jenis belanja.
3. Masih terdapat lag 15 - 20 hari untuk dapat menyajikan laporan
realisasi bulanan per provinsi.
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
105
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
% Belanja = estimasi belanja / anggaran belanja APBD
Analisis ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
1. Hanya dapat
membuat
belanja
pemerintah
daerah secara
agregat
provinsi,
dan
kota untuk
2013 yaitu
sebesarestimasi
4,1% danrealisasi
tahun 2012
yaitu sebesar
4,9%. Sedangkan
pada akhir
triwulan
I tahun kabupaten,
2014, estimasi
realisasi
Atasbelanja
dasar
metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei
masing-masing
provinsi.
daerah
adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2014
2013, yaitu sebesar
13,6% dan tahun
2012 yaitu sebesar
13,3%. Realisasi
bulan Mei
2014diperkirakan
sebesar 24,6%,
lebih
dapat
diketahui
bahwa
realisasi
belanja
daerah
adalah
sebesar
24,6%.
Hal
ini
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja secara total, tidak per jenis belanja.
rendah jikadibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
bisa
dilihat
pada
5.1menyajikan
berikut.
3. Masih
terdapat lag
15 - 20Grafik
hari untuk dapat
laporan realisasi bulanan per provinsi.
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
Atas
dasar metode
proxydibandingkan
tersebut didengan
atas,periode
sampai
dengan
bulan Mei sebelumnya.
2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja
diperkirakan
lebih rendah
yang
sama tahun-tahun
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada GrafikGrafik
5.1 berikut.5.1
Grafik 5.2
2011, 2012, 2013 dan
Grafik 5.1 Perbandingan Realisasi APBD
Realisasi
Belanja
Daerah
(Agregat
Kabupaten
Perbandingan
Realisasi
APBD
2011,
2012,Provinsi,
2013 dan
2014 dan Kota)
(Agregat
Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
Bulan Mei 2014 (triliun
rupiah)
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
100
2014
800.000
700.000
80
Miliar Rupiah
600.000
%
60
500.000
400.000
40
Anggaran
(Milyar)
300.000
200.661
20
151.986
200.000
100.000
0
2014
2013
2012
2011
Jan 4,0
32.600
Feb
63.235
Mar
95.441
815.907
Apr
Mei
7,8
11,7 Maret
18,6
Januari Februari
24,6
April
Jun
Mei
Jul
Juni
Agt
Juli
Agustus
Sep
Okt
Nov
Des
Septem
Novemb Desemb
Oktober
ber
er
er
4,1 2014 8,4
13,6 95.440
20,5 151.98
26,9 200.66
34,3
44,8
50,6
57,6
66,6
75,5
96,1
32.600 63.235
4,9 2013 8,3
13,3 96.144
20,2 145.35
26,3 190.85
34,6 242.6642,8317.30 50,8
75,5 680.84
96,2
28.838 59.534
358.55 58,7
407.72 66,6
472.02 534.68
29.024 49.297
301.56 58,8
348.25 67,1
395.34 448.10
4,8 2012 8,4
14,0 78.875
20,3 119.89
26,8 155.99
33,1 205.0842,4253.98 54,4
76,1 570.72
98,8
Anggaran
708.214
(Milyar)
593.506
815.907
495.274
708.214
593.506
495.274
2011 23.650 41.927 69.545 100.64 132.85 164.16 210.62 269.92 291.52 332.77 377.68 490.44
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber
: Bank
Indonesia
dan Ditjen
Sumber : Bank Indonesia
dan Ditjen
Perimbangan Keuangan
(data diolah)Perimbangan Keuangan (data diolah)
Realisasi penyerapan
belanja secara
persentase
menunjukkan
perbandingan
besaran
realisasi
penyerapan
Grafik 2 menggambarkan
realisasibelanja
daerah
yang menunjukkan
perkiraanantara
penyerapan
belanja
daerah hingga
penyerapan
secara
persentase
menunjukkan
denganRealisasi
anggaran
belanja
persentase,
penyerapan
belanja pada
bulan
Januari
sebesar
4,0% dari
bulan Mei
2014.(konsolidasi).
Secara nominalSecara
realisasi
bulanbelanja
Mei tahun
2014diperkirakan
sebesar
200,66
triliunadalah
(total belanja
daerah
sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun
perbandingan
antara besaran realisasi penyerapan dengan anggaran belanja
(konsolidasi). Secara persentase, penyerapan belanja pada bulan Januari
adalah sebesar 4,0% dari total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun),
lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan
pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi belanja daerah adalah
sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada
periode yang sama tahun 2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu
sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014 diperkirakan sebesar 24,6%,
lebih rendah jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
106
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
PAD
= Estimasi Penerimaan dari PAD
total anggaran belanja daerah (Rp815,91 triliun), lebih rendah dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
t
= bulan ke t
2013 yaitu sebesar 4,1% dan tahun 2012 yaitu sebesar 4,9%. Sedangkan pada akhir triwulan I tahun 2014, estimasi realisasi
3. Langkah Ketiga
belanja daerah adalah sebesar 11,7%, masih lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun
Menghitung prosentase belanja dengan rumus sebagai berikut :
2013, yaitu sebesar 13,6% dan tahun 2012 yaitu sebesar 13,3%. Realisasi bulan Mei 2014diperkirakan sebesar 24,6%, lebih
Pada %Grafik
5.1 belanja
terlihat
bahwa
selama 5 bulan sejak Januari
Belanjadengan
= estimasi
anggaran
belanja
rendah jikadibandingkan
periode yang/sama
tahun
2013APBD
yaitu sebesar 26,9% dan tahun 2012 yaitu sebesar 26,3%.
s.d.
Mei 2014,Analisis
estimasi
realisasi
belanja
daerah
diperkirakan
lebih
rendah
ini memiliki beberapa kelemahan yaitu :
Pada Grafik 5.1 terlihat bahwa selama 5 bulan sejak Januari s.d. Mei 2014, estimasi realisasi belanja daerah
1.
Hanya
dapat
membuat
estimasi
realisasi
belanja
daerah
secara
agregat provinsi,
kabupaten, dan kota untuk
dibandingkan
dengan
periode
yang
sama
tahun-tahun
sebelumnya.
diperkirakan lebih rendah dibandingkan
dengan
periode
yang pemerintah
sama
tahun-tahun
sebelumnya.
masing-masing provinsi.
2. Realisasi belanja yang diperoleh adalah realisasi belanja
secara total, tidak per jenis belanja.
Grafik
Grafik
5.2 5.2
3.
Masih
terdapat
lag
15
20
hari
untuk
dapat
menyajikan
laporan
Realisasi Belanja Daerah (Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) realisasi bulanan per provinsi.
Realisasi Belanja Daerah
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) Bulan Mei 2014 (triliun rupiah)
Bulan Mei 2014 (triliun
rupiah)
Atas dasar
metode proxy tersebut di atas, sampai dengan bulan Mei 2014 dapat diketahui bahwa realisasi belanja
daerah adalah sebesar 24,6%. Hal ini bisa dilihat pada Grafik 5.1 berikut.
800.000
Grafik 5.1
700.000
Perbandingan Realisasi APBD 2011, 2012, 2013 dan 2014
(Agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota) (%)
100
500.000
400.000
80
300.000
60
200.661
%
Miliar Rupiah
600.000
200.000
100.000
2014
2013
2012
2011
151.986
40
32.600
20
63.235
95.441
Septem
Januari
Februari Maret
April
Mei
Juni
Juli Agustus
0
ber
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
32.600
63.235 7,895.44011,7151.9818,6200.66
2014 4,0
24,6
28.838
59.534 8,496.14413,6145.3520,5190.85
2013 4,1
26,9 242.66
34,3 317.30
44,8 358.55
50,6 407.72
57,6
29.024
49.297 8,378.87513,3119.8920,2155.99
2012 4,9
26,3 205.08
34,6 253.98
42,8 301.56
50,8 348.25
58,7
23.650
41.927 8,469.54514,0100.6420,3132.85
2011 4,8
26,8 164.16
33,1 210.62
42,4 269.92
54,4 291.52
58,8
Anggaran
(Milyar)
Oktober
Okt
Novemb Desemb
er
er
Nov
Des
472.02
680.84
66,6 534.68
75,5
96,1
395.34
570.72
66,6 448.10
75,5
96,2
332.77
490.44
67,1 377.68
76,1
98,8
Anggaran
(Milyar)
815.907
708.214
815.907
593.506
708.214
495.274
593.506
495.274
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
penyerapan
belanja secaradaerah
persentase
antara besaran
realisasi
Grafik 2Realisasi
menggambarkan
realisasibelanja
yang menunjukkan
menunjukkanperbandingan
perkiraan penyerapan
belanja
daerahpenyerapan
hingga
Grafik
2 menggambarkan
realisasi
belanjapadadaerah
yangsebesar
menunjukkan
dengan
Secara
penyerapan belanja
bulan Januari
bulan Mei
2014.anggaran
Secara belanja
nominal(konsolidasi).
realisasi bulan
Meipersentase,
tahun 2014diperkirakan
sebesar 200,66
triliun adalah
(total belanja 4,0%
daerahdari
perkiraan
penyerapan
belanja
daerah
hingga
bulan
Mei
2014.
Secara
sebesar 815,91 triliun), lebih tinggijika dibandingkan dengan estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahunnominal
realisasi bulan Mei tahun 2014 diperkirakan sebesar 200,66 triliun (total
belanja daerah sebesar 815,91 triliun), lebih tinggi jika dibandingkan dengan
estimasi realisasi belanja daerah pada periode yang sama tahun 2013 yaitu
sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012
yaitu sebesar 155,99 triliun (total belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja
daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu lebih tinggi jika dibandingkan
dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali
Realisasi Belanja Daerah APBD 2014 sampai dengan bulan Mei 2014
107
2013 yaitu sebesar 190,85 (total belanja daerah sebesar 708,21 triliun) dan tahun 2012 yaitu sebesar 155,99 triliun (total
belanja daerah sebesar 593,51 triliun).
realisasi belanja daerah pada akhir triwulan I tahun 2014 yang diperkirakan
Pada Grafik 5.2 terlihat bahwa secara nominal, estimasi realisasi belanja daerah dari Januari s.d. Mei 2014 selalu
hanya
sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan realisasi
lebih tinggi jika dibandingkan dengan realisasi pada periode yang sama tahun-tahun sebelumnya, kecuali realisasi belanja
belanja
daerah
pada
tahunhanya
sebelumnya.
daerah pada
akhir triwulan
I tahunbeberapa
2014 yang diperkirakan
sebesar 95,44 triliun, lebih rendah jika dibandingkan dengan
realisasi belanja daerah pada beberapa tahun sebelumnya.
Grafik 5.3
Realisasi Belanja
Grafik 5.3Daerah Secara
Realisasi
Belanja
Daerah
Secara
Agregat
Provinsi,
Kabupaten,
danProvinsi
Kota Per Provinsi
Bulan Mei
20142014
(%)
Agregat Provinsi, Kabupaten, dan Kota
Per
Bulan
Mei
(%)
40,0
34,4
35,0
30,0
%
25,0
24,6
20,0
15,0
10,0
5,0
9,6
Kalimantan Utara
Kalimantan Timur
Riau
Aceh
Kalimantan Selatan
Papua
Papua Barat
Kalimantan Barat
Bangka Belitung
Jambi
DI Yogyakarta
Nusa Tenggara Timur
Banten
DKI Jakarta
Kepulauan Riau
Bengkulu
Sumatera Barat
Sulawesi Tenggara
Bali
Sumatera Selatan
Jawa Tengah
Jawa Timur
Sulawesi Tengah
Sumatera Utara
Kalimantan Tengah
Maluku
Jawa Barat
Nusa Tenggara Barat
Lampung
Sulawesi Selatan
Gorontalo
Sulawesi Barat
Sulawesi Utara
0,0
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Sumber : Bank Indonesia dan Ditjen Perimbangan Keuangan (data diolah)
Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat
Grafik 5.3 menunjukkan persentase penyerapan belanja secara agregat Provinsi, Kabupaten dan Kota di provinsi yang
Provinsi,
Kabupaten dan Kota di provinsi yang sama sampai dengan bulan
sama sampai dengan bulan Mei 2014. Rata-rata realisasi belanja daerahbulan Mei 2014 agregat per provinsi diperkirakan
Mei
2014.
Rata-rata
belanja
daerah
adalah
sebesar 24,6
%, lebih rendahrealisasi
jika dibandingkan
dengan periode
yang sama bulan
tahun 2013 Mei
sebesar 2014
26,9%. agregat per
provinsiSementara
diperkirakan
adalah
sebesar
24,6 belanja
%, lebih
dibandingkan
itu, terdapat 13
daerah yang
mempunyai realisasi
di bawah rendah
rata-rata danjika
21 daerah
mempunyai
realisasi belanja
di atasyang
rata-rata.
Yang menarik
adalah
beberapa
daerah di Jawa
yang meliputi Provinsi Banten dan DI
dengan
periode
sama
tahun
2013
sebesar
26,9%.
Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah rata-rata.
Sementara itu, terdapat 13 daerah yang mempunyai realisasi belanja di
bawah rata-rata dan 21 daerah mempunyai realisasi belanja di atas rata-rata.
Yang menarik adalah beberapa daerah di Jawa yang meliputi Provinsi Banten
dan DI Yogyakarta memiliki rata-rata realisasi belanja daerah di bawah ratarata.
Provinsi Sulawesi Utara memiliki realisasi belanja pemerintah daerah
secara agregat yang paling baik dibandingkan dengan provinsi lainnya. Hal
108
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
ini dapat dilihat dari Grafik 5.3, di mana penyerapan belanja daerahnya pada
bulan Mei 2014 sebesar 34,4%.
Adapun Provinsi Kalimantan Utara memiliki realisasi belanja daerah yang
paling rendah jika dibandingkan dengan provinsi lainnya, dimana realisasi
penyerapan belanja Pemda di Provinsi Kalimantan Utara hanya sebesar 9,6%,
yang berarti jauh di bawah standar belanja yang ideal.
Daftar Pustaka
109
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
__________, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2011 tentang
Pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Yang Bersumber Dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2012.
__________, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2013 tentang
Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah, Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah Tahun Anggaran 2014.
__________ , Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.
__________ , Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah.
__________ , Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara.
__________ , Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara.
__________ , Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah.
__________ , Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Bank Indonesia, Dana Pemerintah Daerah di Perbankan.
Mankiw, Gregory, http://gregmankiw.blogspot.com/2010/03/taxes-per-person.
html.
110
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
UCAPAN TERIMA KASIH
Penyusunan buku “Deskripsi dan Analisis APBD 2014” dilaksanakan
dengan teamwork yang solid dan tidak akan mungkin terselesaikan tanpa
kontribusi dan kerjasama dari seluruh pihak yang berperan. Oleh karena itu
apresiasi dan penghargaan yang setinggi-tingginya diejawantahkan dalam
ucapan berikut ini:
-
Ucapan terima kasih ditujukan kepada Direktur Jenderal Perimbangan
Keuangan – Dr. Boediarso Teguh Widodo, M.E. – dan Plt. Direktur
Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Rukijo, S.E., M.M.
– yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga diselesaikannya
penyusunan buku ini.
-
Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data
Keuangan Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan
Daerah yang telah menyediakan data Ringkasan APBD 2014 melalui
Sistem Informasi Keuangan Daerah.
-
Tak lupa kami juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada
Subdirektorat Dana Alokasi Umum, Subdirektorat Pelaksanaan Transfer I
dan Subdirektorat Pelaksanaan Transfer II - Direktorat Dana Perimbangan,
yang telah menyediakan data guru, PNSD, dan realisasi transfer
pemerintah daerah.
-
Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana
Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, S.E.,
M.M.; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt.; Prasetyo Indro S., SE, ME;
Armansyah Sinaga, S.E.; Faisal, S.E., Ak.; Edi Soeprijono, S.Sos; Nanag
Garendra Timur, S.Si; Maryadi, S.E., M.Si.; Chrisliana Tri Ferayanti, SE,
ME; Radies Kusprihanto Purbo, S.E., M.Sc., Ganjar Prihatmoko, S.E.;
Desain Kristian Gulo, S.E.; Virgin Marthalia, A.Md. dan Lukman Adi
Ucapan Terima kasih
111
Santoso, S.E., M.E.; yang telah melakukan pengolahan data dan sekaligus
mendukung penulisan buku, melakukan editing hingga melakukan setting
layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
112
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
113
114
Deskripsi dan Analisis APBD 2014
115
Download