KLIPING WACANA REKONSILIASI 2001 Forum Rektor Indonesia

advertisement
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
1
KLIPING WACANA REKONSILIASI 2001
==========================================================================
Kompas, Senin, 22 Jan 2001 Halaman: 6 Penulis: son; p04 Ukuran: 2780
Forum Rektor Indonesia: Rekonsiliasi Konflik Mendesak Dilakukan
kli
pin
gE
LS
AM
Semarang, Kompas Forum Rektor Indonesia (FRI) menilai rekonsiliasi konflik, untuk memperbaharui
komitmen baik di lapisan atas maupun lapisan bawah sudah mendesak dilaksanakan, demi kepentingan
bangsa dan negara. Ini harus segera dilakukan, supaya proses demokrasi di Indonesia tidak menjadi messy
democracy (demokrasi yang kotor dan penuh carut marut). Demikian petikan Refleksi Akhir Tahun 2000
FRI yang diserahkan Ketua FRI Prof Ir Eko Budihardjo MSc kepada Presiden Abdurrahman Wahid, Jumat
(19/1) pada Acara Diskusi "Tindak Lanjut Quo Vadis Reformasi Indonesia" di Wisma Perdamaian
Semarang. Refleksi tersebut merupakan hasil Seminar Nasional "Quo Vadis Reformasi Indonesia" yang
dilaksanakan FRI bekerja sama Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (LLMI) akhir tahun 2000. Forum
Rektor juga mengimbau semua pihak untuk mengedepankan kedewasaan, kearifan dan kebijaksanaan
(wisdom) dengan hati nurani, dalam setiap pengambilan keputusan dan tindakan. Selain itu, sikap yang
beradab, santun dan manusiawi perlu dibudayakan, dengan kesadaran yang tinggi atas kemajemukan. "Para
tokoh puncak kekuasaan agar mampu membatasi dan menahan diri dalam melontarkan pernyataan, dengan
pemilihan yang jelas antara public dengan private domain sesuai dengan kewenangan masing-masing," ujar
Eko. Setiap pihak hendaknya menyadari, memahami dan mengemban tugas masing-masing berdasarkan
aturan hukum (rule of law) yang berlaku, dan bukan hukum penguasa (law of the ruler). Ini penting untuk
menghindari pertarungan kekuasaan dan perseteruan yang tidak perlu terjadi, hanya karena dilanggarnya
batas kewenangan. "Pembenahan sistem hukum dan penegakan supremasi hukum, supaya diprioritaskan,
termasuk penegakkan wibawa aparat hukum," katanya. FRI juga meminta agar upaya untuk mencegah
disintegrasi bangsa supaya dilakukan dengan konstisten dan berkesinambungan, melalui pendekatan
budaya dan kemanusiaan. Menyangkut otonomi daerah, FRI menilai perlu ada kejelasan aturan mengenai
pelaksanaan otonomi daerah, terutama sosialisasi kepada pihak masyarakat dan pihak terkait, untuk
menghindari penafsiran sempit yang bisa membawa benih perpecahan antar daerah. Pada bagian akhir, FRI
juga mengharapkan kampus sebagai sumber kekuatan moral dan intelektual, serta pusat budaya, agar lebih
gencar berkiprah. "Jangan hanya sekadar berkutat seputar teori, gagasan dan ide, tetapi harus ikut berkarya
dan memperbaiki keadaan bangsa dan negara," ujar Eko. Warga kampus hendaknya ikut berperan aktif
dalam pembentukkan good governance dan clean government, yang diharapkan rakyat Indonesia. (son/p04)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
2
KOMPAS - Rabu, 24 Jan 2001 Halaman: 4 Penulis: Musakabe, Herman Ukuran: 8310
2001, Tahun Rekonsiliasi atau Disintegrasi?
Oleh Herman Musakabe
kli
pin
gE
LS
AM
BANYAK perkiraan dan ramalan tentang apa yang akan terjadi di tahun 2001 sebagai awal abad ke-21.
Bangsa Indonesia memasuki tahun 2001 dengan penuh kecemasan karena krisis multidimensi-ekonomi,
politik, hukum, kepercayaan dan moral-masih melanda, ditambah bahaya disintegrasi bangsa yang terjadi
di Aceh dan Irian Jaya. Selain itu, tidak boleh diabaikan, perubahan yang terjadi dari abad ke-20 sebagai
gambaran masa lalu, ke abad ke-21 sebagai masa depan umat manusia yang akan mempengaruhi ketahanan
organisasi, baik organisasi bisnis maupun pemerintahan dan negara. Dalam bidang kepemimpinan akan
terjadi perubahan, dari kepemimpinan dari atas (leadership from the top) menjadi kepemimpinan semua
pihak (leadership from everybody). Dari kebiasaan menunggu perintah dan "mohon petunjuk" pada masa
lalu, para pemimpin dituntut memiliki keberanian dan mengambil keputusan sesuai wewenang dan
tanggung jawabnya. Pelaksanaan otonomi daerah yang dimulai awal 2001 merupakan ujian bagi para
pemimpin di daerah yang pada masa lalu sangat didominasi pemerintah pusat. Dalam bidang kondisi sosial,
kita menghadapi perubahan dari stabilitas dan kondisi mudah diramalkan (stability, predictability) menjadi
perubahan tidak menentu (discontinous change) serta dari kebutuhan atas kepastian (need for certainty)
menjadi toleransi terhadap ketidakpastian (tolerance of ambignity). Peristiwa kerusuhan di Maluku dan
Maluku Utara, tuntutan Aceh dan Papua (Irian Jaya) untuk merdeka, ketegangan politik antara Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan DPR, serta rangkaian peledakkan bom yang terjadi di tahun 2000
merupakan peringatan, hal serupa bisa terjadi lagi pada tahun 2001 ini. Dalam bidang usaha/bisnis kita
menghadapi perubahan dari kemandirian usaha (corporate independence) menjadi interdependensi usaha
(corporate interdependence) serta persaingan untuk merebut pasar hari ini (competing for today's market)
menjadi menciptakan pasar masa depan (creating tommorow market). Kalau dunia usaha tidak
mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi, maka dunia usaha kita akan makin terpuruk ditambah
pengaruh negatif instabilitas politik dan keamanan. Terlepas dari semua perubahan yang akan terjadi, faktor
yang paling mengkhawatirkan adalah ketegangan hubungan antara eksekutif dan legislatif, atau lebih
khusus lagi ketegangan politik antara Presiden Gus Dur dengan DPR yang akhir-akhir ini telah menjurus
kepada perseteruan politik. Apakah tahun 2001 akan menjadi tahun rekonsiliasi atau disintegrasi?
Rekonsiliasi atau disintegrasi? Perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif yang seharusnya
merupakan hal biasa dalam alam demokrasi, ternyata tidak dapat diselesaikan dengan baik dan telah
berkembang menjadi ketegangan politik yang menjurus pada perseteruan. Masing-masing pihak, baik
Presiden Abdurrahman Wahid maupun para anggota DPR yang berseberangan pendapat, memiliki
argumentasi yang melandasi pendapatnya. Selama tahun 2000 masyarakat dapat mengikuti beberapa
peristiwa politik yang tidak dapat diselesaikan dengan tuntas dan menyebabkan hubungan antara Presiden
dan DPR makin tidak harmonis. Ketidakpuasan DPR dimulai sejak penjelasan Presiden tentang
pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, disusul kasus Buloggate dan Bruneigate,
pemberhentian dua menteri Jusuf Kalla dan Laksamana Sukardi, gagasan pencabutan Ketetapan (Tap)
MPRS Nomor XXV/MPRS/ 1966, kasus buron Tommy Soeharto dan penolakan Presiden terhadap dua
calon Ketua Mahkamah Agung yang diajukan DPR. Sebaliknya Presiden menganggap, krisis politik telah
berakhir dan menuding segelintir anggota DPR berniat menjatuhkannya dengan empat kelompok ekstrem.
Melalui Ketua DPR Akbar Tandjung, Presiden mendesak DPR untuk meminta maaf atas perlakuan
anggotanya kepadanya pada rapat konsultasi yang lalu. Desakan itu disusul ancaman Presiden untuk
menghentikan rapat konsultasi dengan DPR. Perseteruan politik antara Presiden dan DPR berimbas pada
lapisan bawah dengan pengerahan massa pendukung dan demo kontra Presiden yang bisa memperuncing
situasi ke arah konflik massa lebih luas. Sementara itu kasus peledakan bom pada malam Natal lalu di
beberapa kota dan penemuan granat di rel kereta api, mengingatkan kita, terorisme dan sabotase telah
menjadi modus operandi baru untuk menciptakan instabilitas di Indonesia. Selain itu otonomi daerah yang
mulai diberlakukan awal tahun 2001, merupakan suatu taruhan bagi kepemimpinan Presiden Abdurrahman
Wahid di tengah saling tuding apakah pemerintah pusat atau daerah belum siap melaksanakan otonomi
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
3
kli
pin
gE
LS
AM
daerah. Apabila otonomi daerah gagal, misalnya, terjadi kekacauan atau stagnasi dalam pemerintahan di
daerah, maka hal itu bisa menjadi beban baru bagi Presiden karena dianggap gagal melaksanakan Tap MPR
No IV/1999 dan setiap daerah akan membuat peraturan daerahnya sendiri-sendiri yang kemungkinan akan
menimbulkan konflik baru di daerah dan situasi chaos yang meluas. Solusi Solusi untuk mengatasi agar
situasi tidak memburuk adalah dengan mengadakan rekonsiliasi yaitu upaya perdamaian dan perukunan
kembali antara Presiden, DPR, dan elite politik. Namun, rekonsiliasi ini akan menghadapi hambatan terus
karena beberapa faktor. Pertama, institusi atau lembaga mana yang bisa menjadi mediator untuk
terlaksananya rekonsiliasi itu? MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki hambatan psikologis,
karena Ketua MPR Amien Rais selama ini sering berseberangan pendapat dengan Presiden dan anggota
DPR juga anggota MPR sehingga tidak dalam posisi netral. Mahkamah Agung (MA) yang seharusnya bisa
menjadi mediator dengan mengeluarkan fatwa hukum dalam mengatasi sengketa pendapat, sampai saat ini
belum memiliki Ketua. Lembaga lain seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan DPA atau pribadi seperti
Prof Nurcholis Madjid merupakan alternatif mediator rekonsiliasi asal diberi kesempatan dan diterima
kedua pihak. Masalahnya, siapa yang harus memulai atau berinisiatif untuk rekonsiliasi ini? Kedua, untuk
mengadakan suatu rekonsiliasi yang efektif, kedua pihak-eksekutif maupun legislatif-harus dapat
meninggalkan (untuk sementara) prinsip yang berbeda untuk suatu kepentingan yang lebih besar, yaitu
menghindari perpecahan atau disintegrasi bangsa. Bila masing-masing pihak tetap berpegang pada prinsip
kebenaran pendapatnya, maka rekonsiliasi tidak akan menghasilkan apa-apa. Apabila rekonsiliasi gagal,
maka kemungkinan dapat terjadi dua skenario, yaitu DPR mengajukan untuk menggelar Sidang Istimewa
(SI) kepada MPR atau terjadi pengerahan massa pro dan kontra Presiden yang akan saling berbenturan
secara fisik. Kinerja pemerintahan yang buruk, kasus Buloggate dan Bruneigate atau kemungkinan otonomi
daerah yang gagal, dapat dijadikan alasan DPR bahwa Presiden melanggar Tap MPR atau UUD.
Sedangkan kemungkinan Presiden mundur atas kemauan sendiri sudah ditepis Gus Dur dengan pernyataan
akan bertahan sampai tahun 2004. Bentrok fisik antara kelompok pro dan kontra Presiden Gus Dur, dengan
atau tanpa SI MPR, akan memberi peluang bagi pihak ketiga yang menggunakan aksi teror dan sabotase
untuk mencapai tujuannya yaitu disintegrasi bangsa dan skenario politik yang lebih besar. Apabila
disintegrasi bangsa terjadi, maka pada suatu waktu anak cucu kita akan bercerita, "Dulu pernah ada suatu
bangsa besar bernama Indonesia dan Negara Republik Indonesia yang luas wilayahnya dari Sabang sampai
Merauke dan dari Sangir Talaud sampai pulau Rote. Tetapi, kini ia sudah pecah berkeping-keping menjadi
negara-negara kecil yang hidup enggan mati tak mau. Pecahnya bangsa dan negara besar itu adalah karena
gagal dalam menjalankan demokrasi dan reformasi. Para pemimpinnya tidak ada yang mau mengalah dan
lebih mementingkan egoisme dan egosentrisme pribadi dan golongan daripada kepentingan nasional yang
lebih luas". Semoga cerita rekaan itu tidak menjadi kenyataan. * Herman Musakabe, Mayor Jenderal
Purnawirawan, Gubernur Nusa Tenggara Timur 1993-1998.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
4
KOMPAS - Senin, 29 Jan 2001 Halaman: 7 Penulis: - Ukuran: 1934
PETINGGI INDONESIA TERLALU PEMAAF BAGI PELANGGAR
HAM
kli
pin
gE
LS
AM
Semarang, Antara Rektor Universitas Diponego-ro (Undip) Prof Ir Eko Budihardjo MSc menilai, dalam
menghadapi kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama ini petinggi Indonesia sering mengambil
sikap melupakan dan memaafkan (forget and forgive). Dengan sikap seperti itu, katanya ketika memberi
sambutan wisuda mahasiswa Undip di Semarang hari Sabtu (27/1), maka tidak ada pengadilan bagi
pelanggar HAM dan bahkan dilupakan begitu saja. Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) itu berpendapat,
seharusnya pemerintah merintis jalan bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM dengan pendekatan
"tidak melupakan" dan "tidak memaafkan" terlebih dahulu. Dengan sikap tersebut berarti pemerintah
mengambil jalan mengadili para pelanggar HAM, langkah berikut adalah tidak pernah melupakan tetapi
memaafkan. "Jadi, pelanggar HAM tetap diadili namun bisa diberi ampun," katanya. Langkah lain yang
ditawarkan Eko, pemerintah bisa melupakan tetapi tidak pernah memaafkan pelanggar HAM. Hal ini sama
saja pelanggar HAM tidak pernah diadili tetapi mereka dikutuk untuk selamanya. Namun, mestinya para
pelanggar HAM, yang berat atau ringan ancaman hukumannya, tersebut diadili lebih dahulu setelah itu
baru dimaafkan. Menurut Eko, langkah penyelesaian bagi pelanggar HAM tersebut bisa ditempuh sebagai
salah satu tahap rekonsiliasi nasional. Dalam kaitan ini FRI berjanji akan mengampanyekan gagasan
tersebut. "Berbagai persoalan yang sekarang muncul, saya kira muaranya adalah perasaan ketidakadilan
yang pernah dialami sebagian masyarakat di masa lalu," katanya. Ia menyebutkan kasus pelanggaran HAM
di Aceh, peristiwa Tanjung Priok, Maluku, dan pelanggaran HAM lain yang merupakan kejadian yang
tidak bisa dilupakan begitu saja dan tidak bisa pula pelakunya dibiarkan tanpa proses peradilan. *
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
5
KOMPAS - Selasa, 13 Feb 2001 Halaman: 6 Penulis: bur Ukuran: 2177
Sjamsuddin Haris: Perlu Rekonsiliasi
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Sjamsuddin Haris
berpendapat, masyarakat dan elite politik sudah terjebak pada lingkaran setan masalah yang memang tidak
pernah disepakati sejak awal, yaitu tidak punya agenda reformasi yang jelas. Oleh karena itu, diperlukan
upaya rekonsiliasi untuk membahas apakah akan dibuat garis yang tegas antara masa lalu dan masa depan
atau tidak. "Yang punya agenda itu mahasiswa. Di sisi lain segenap elite politik kita tidak pernah benarbenar sepakat apakah agenda yang disodorkan mahasiswa menjadi acuan atau tidak. Ini penting sebab ada
hubungannya dengan di mana posisi Partai Golkar di situ. Sebab kalau tidak, selamanya tidak jelas,"
katanya. Sjamsuddin mengatakan sebetulnya sekarang tidak jelas siapa yang punya referensi moral untuk
melanjutkan reformasi. Padahal itu bisa diklasifikasi. Namun, dilemanya adalah bahwa elite politik yang
bukan berasal dari Partai Golkar juga terjebak menjadikan reformasi sebagai momentum sirkulasi
kesempatan untuk berkuasa. "Dengan demikian, siapa pun apakah dari PAN, PKB, PDI-P, atau partai yang
bukan Golkar lain, terjebak pada oportunisme politik, seperti yang dulu dilakukan Golkar. Akibatnya lamakelamaan mereka tidak memiliki hak moral untuk mengklaim kelompoknya sebagai kelompok yang
reformis," katanya. Dalam hubungan dengan kasus yang menyangkut Presiden, kata dia, sebetulnya paling
pokok adalah semacam klarifikasi, pada level apa atau sejauh mana tingkat keterlibatan Presiden dalam
kasus dana Yayasan Bina Sejahtera Badan Urusan Logistik (Yanatera Bulog) dan kasus dana bantuan
Sultan Brunei. "Kalau beliau menganggap tidak bersalah, mungkin juga butuh penjelasan, tidak
bersalahnya di mana," ujarnya. Meski demikian, Sjamsuddin melihat masih ada jalan keluar untuk
mengatasi campur aduknya masalah ini. Caranya dengan mewujudkan apa yang tertunda selama ini yaitu
upaya rekonsiliasi. Dalam konteks rekonsiliasi itu dibicarakan apakah memang mesti dibuat garis yang
tegas antara masa lalu dan masa depan. (bur)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
6
KOMPAS - Minggu, 18 Feb 2001 Halaman: 11 Penulis: p27 Ukuran: 3956
Mahfud Tawarkan Dua Tahap Rekonsiliasi di Tingkat Elite
kli
pin
gE
LS
AM
Yogyakarta, Kompas - Masyarakat dan elite politik perlu melakukan dua tahap rekonsiliasi untuk
membenahi negara secara bersama-sama. Masyarakat hendaknya tidak hanya menyelesaikan masalah
dengan risiko hitam atau putih, turun atau terusnya Presiden Abdurrahman Wahid. Demikian Menteri
Pertahanan Mahfud MD kepada wartawan di Yogyakarta, Sabtu (17/2). Pendapat Mahfud ini terkait dengan
sejumlah pemberitaan tentang situasi Indonesia yang sampai kini diliputi suasana pro dan kontra Presiden
Abdurrahman Wahid. Menurut Mahfud, situasi itu sudah sangat serius. Artinya, kelompok yang kontra atau
anti Presiden sudah sangat kuat. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan yang muncul setiap hari. "Sebab
risikonya, kalau Gus Dur turun, saya kira akan menjadi masalah besar juga melihat reaksi yang muncul dari
pendukung Gus Dur. Begitu pula sebaliknya, jika Gus Dur terus. Semua ini sama-sama berat masalahnya,"
kata Mahfud. Rekonsiliasi dan kompromi Karena itulah, kata Mahfud, diperlukan rekonsiliasi dengan pola
kompromi. Sebab, akan sangat berat bagi bangsa ini kalau hanya memilih salah satu, terus maju atau
mundur. "Rekonsiliasi pola kompromi itu adalah dengan redistribusi kekuasaan. Caranya adalah dengan
dikocok ulang, diberikan kepada kekuatan-kekuatan politik yang bisa menjamin stabilitas," jelasnya. Ia
mengatakan, paling tidak semua ini terletak di tangan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P),
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Golongan Karya (Golkar) yang menguasai parlemen sebesar
62 persen. Kemudian, kalau mau Fraksi Reformasi dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjadi
partai oposisi sekalian. Jadi jelas, format politik itu ada penguasa, koalisi penguasa, dan oposisi. Bahkan
kalau perlu, lanjutnya, dalam rangka rekonsiliasi itu PAN dan PPP masuk dalam kabinet. "Kalau kedua
partai ini maunya oposisi, selalu membuat garis keras, ya tidak apa-apa. Itu bagus untuk pembangunan
politik. Hal ini mungkin bisa menyelamatkan muka kedua-duanya," katanya. "Saya melihat pada para elite
inilah kuncinya. Kalau misalnya Pak Amien Rais, Gus Dur, Mbak Mega, dan Akbar Tandjung ketemu,
saya sangat yakin (kelompok) di bawah akan selesai. Oleh sebab itu, perlu rekonsiliasi di antara mereka,"
tegasnya. Rekonsiliasi tahap kedua, jelas Mahfud, adalah rekonsiliasi antara pemerintah dengan Orde Baru.
Menurut Mahfud, dari sudut politik maupun sudut teknis hukum, bangsa ini tidak mungkin menyelesaikan
kasus-kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) Orde Baru. Ia mengajak masyarakat melihat dari sudut
politiknya. Pelaku KKN zaman Orde Baru, sampai sekarang ini jaringannya masih banyak di tubuh
pemerintah. Paling banyak di aparat-aparat penegak hukum, sehingga mereka selalu saja menemukan cara
untuk menyembunyikan, bagaimana cara untuk menghambat pejabat Orde Baru itu ke pengadilan.
Akibatnya, lanjut Mahfud, selalu saja dikatakan alasan formal bahwa kasus-kasus tersebut belum cukup
bukti. "Sekarang hal ini menjadi masalah besar, karena Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
tindak pidana korupsi itu bisa menyelamatkan pelaku-pelaku KKN zaman Orde Baru," jelasnya. Menurut
Mahfud, undang-undang ini memang memuat ancaman yang berat bagi pelaku KKN. Bahkan, katanya,
lebih berat dari Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971. Tetapi di UU itu disebutkan bahwa dengan
berlakunya UU Nomor 31 Tahun 1999, maka UU Nomor 3 Tahun 1971 menjadi tidak berlaku lagi.
"Akibatnya, mereka yang melakukan KKN selama Orde Baru sebelum tahun 1999 itu tidak ada hukumnya.
Karena UU Nomor 3 Tahun 1971 itu sudah dihapus," katanya. Oleh sebab itu, proses pembentukan komisi
rekonsiliasi dan kebenaran sebagaimana dicantumkan di dalam Undang-Undang Pengadilan HAM perlu
segera direalisasikan. (p27)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
7
KOMPAS - Selasa, 20 Feb 2001 Halaman: 7 Penulis: ryi Ukuran: 3810
Pilihan Terbaik: Rekonsiliasi untuk Atasi Kemelut Bangsa
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Di tengah carut-marut kondisi bangsa Indonesia yang serba krisis dan kritis, tidak ada
pilihan yang lebih baik selain kita berupaya bersama menggalang energi untuk melakukan rekonsiliasi dan
mempertegas kembali komitmen bersama yakni mempertahankan bangsa dan negara. Para pemimpin
nasional harus segera duduk bersama untuk berunding, memikirkan bersama-sama pula tentang hal-hal
mana saja yang secara feasible bisa dilakukan. Pandangan itu disampaikan tokoh pers Jakob Oetama di
depan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang mencari masukan untuk masalah "Upaya
Menyelamatkan Bangsa dan Negara" di Kantor DPA Jakarta, Senin (19/2) kemarin. Selain Jakob juga
memberikan masukan mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie, anggota DPR Ade Komarudin dan Alvin Lie,
serta ahli bedah saraf RSUD Dr Soetomo, Surabaya, Prof Dr Umar Kasan. "Apakah itu akan meniru proses
rekonsiliasi model Afrika Selatan atau lainnya, itulah yang harus kita pikirkan. Yang pasti, di antara
mereka itu harus ada terlebih dahulu saling pengertian disertai penegasan kembali atas komitmen bersama
untuk tetap mempertahankan negara dan bangsa Indonesia ini," ungkap Jakob Oetama. Desakan itu
dikemukakan, demikian Jakob, karena sekarang ini negara Indonesia-kalau bisa diibaratkan sebuah rumah
bagi bangsa Indonesia-tengah dilanda kebakaran hebat. "Marilah pertama-tama kita segera bertindak yakni
memadamkan bersama-sama rumah bangsa kita yang tengah terbakar ini," ungkap Jakob menje-laskan
raison d'etre (alasan adanya) pemikiran tentang pentingnya para pemimpin nasional itu untuk mau duduk
bersama mencari solusi damai serta memperbarui komitmen bersama yakni membangun kembali
keindonesiaan kita. Rekonsiliasi, menurut Jakob, harus tetap dilakukan sesuai dengan guidance yang
sebagai ke-rangka bersama telah kita setujui bersama. "Apakah itu dilakukan berdasarkan asas penegakan
hukum, demi terciptanya keadilan sosial, terselenggara-nya praktik perekonomian sosial demi keadilan
bersama, pengakuan atas fakta pluralisme, dan tentunya juga demi tetap tegaknya persatuan bangsa dan
negara kita," tambahnya. Sementara mantan Menko Ekuin Kwik Kian Gie berpendapat, ide soal
rekonsiliasi itu perlu dikumandangkan lagi. Namun, kalau harus mengikuti gaya rekonsiliasi model Afrika
Selatan dengan prinsip forgive and forget-nya (mengampuni para pelaku kejahatan dan melupakan sejarah
hitam masa lalu) itu, demikian argumen Kwik, apakah kita bisa meyakinkan masyarakat bahwa hal itu bisa
diterima. "Yakni, rekonsiliasi dengan se-jumlah kompromi?" tanya Kwik. Perekat nasional Situasi carutmarut bangsa dan negara Indoesia saat ini, kata Ade Komarudin, karena seka-rang ini bangsa kita tidak
punya konsensus baru yang sebagai perekat nasional bisa menyatukan visi dan persepsi semua elemen
masyarakat. Reformasi pun ternyata juga belum sampai mengarah ke situ. Faktor perekat bangsa itu kini
bisa saja berupa prinsip menghormati HAM, penegakan supremasi hukum dan keadilan sosial, serta
ideologi pembangunan (governmentalism). Menyinggung kinerja Presiden Abdurrahmah Wahid, Ade
berpendapat Presiden tidak sungguh-sungguh menjalankan agenda reformasi secara benar. Terbitnya
memorandum DPR semakin menjadi jelas Presiden sebenarnya telah kehilangan legitimasi politik. Melihat
kondisi riil politik multipartai sekarang ini, tidak ada jalan lain kecuali dibentuk pemerintahan baru dengan
kabinet yang sifatnya quasi- presidensiil. Sementara anggota DPR Alvin Lie dari Fraksi Reformasi
berpendapat, demi baiknya bangsa dan negara ini sudah selayaknya bila Presiden Abdurrahman Wahid
segera mengundurkan diri. (ryi)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
8
KOMPAS - Sabtu, 24 Feb 2001 Halaman: 8 Penulis: gun Ukuran: 1837
Menko Polsoskam: Rekonsiliasi Harus Diawali Para Elite Politik
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Menko Politik Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono, mengatakan
rekonsiliasi nasional harus diawali dan diprakarsai para elite politik. Rekonsiliasi nasional, yang merupakan
salah satu amanat MPR, sekarang tinggal dibicarakan secara baik-baik dengan mengajak semua elemen
masyarakat. Yudhoyono mengatakan hal itu menjawab pertanyaan pers setelah sidang kabinet di Bina
Graha Jakarta, Kamis (22/2). Menurut Menko Polsoskam, upaya untuk melakukan rekonsiliasi nasional
harus diletakkan dalam kerangka dan konteks yang benar. "Jangan parsial, situasional dan jangan bersifat
ad hoc (sementara)," katanya. Persoalan ini, lanjut Yudhoyono, sudah pernah disampaikan dalam sebuah
sidang kabinet beberapa waktu lalu karena hal ini merupakan amanah MPR yang mempunyai kerangka
waktu sampai tahun 2004. Untuk itu harus lebih dimatangkan lebih lanjut. Perlunya mengajak semua
elemen masyarakat dalam membicarakan rekonsiliasi nasional, kata Menko Polsoskam, untuk membahas
tentang model rekonsiliasi seperti apa yang diinginkan dan dengan tahapan seperti apa. "Kira-kira
bagaimana proses atau kerangka waktu yang hendak kita tempuh untuk itu," tambahnya. Dijelaskan oleh
Menko Polsoskam, banyak orang mengatakan model rekonsiliasi nasional itu bisa mengikuti model seperti
di Afrika Selatan, Kamboja atau seperti reunifikasi Jerman Barat dan Jerman Timur. "Bagaimana
pascakonflik pihak-pihak yang berseberangan atau berhadapan melaksanakan rekonsiliasi nasional. Itu
sangat diperlancar apabila di antara elite sendiri sudah membangun suatu komitmen dan kesadaran dan
apalagi konsensus atas desain, kerangka dan model rekonsiliasi itu," kata Menko Polsoskam. (gun)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
9
KOMPAS - Senin, 26 Feb 2001 Halaman: 19 Penulis: sig; ans Ukuran: 4281
Menko Polsoskam: Proses Rekonsiliasi Tak Boleh Dicampuri Pihak
Luar
kli
pin
gE
LS
AM
Kuta, Kompas Proses rekonsiliasi antara warga Timor Timur (Timtim) harus terus dibahas dan
dikembangkan antara mereka sendiri, terutama antara pro-integrasi Uni Timor Aswain (Untas) dan
prokemerdekaan CNRT yang kini menguasai Timor Leste. "Hanya Untas dan CNRT yang berhak berbicara
mengenai jalannya rekonsiliasi, mau apa, bagaimana tahapannya, perkara apa yang disetujui, apa yang
perlu dikonsensuskan. Tidak boleh ada pihak luar yang mencampuri, entah itu Indonesia, Australia,
Portugal, bahkan PBB yang diwakili UNTAET (Pemerintahan Transisi Perserikatan Bangsa- Bangsa di
Timtim-Red), karena mereka yang mengetahui masa depan Timor Timur," ungkap Menteri Koordinator
Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono seusai perundingan
tertutup dengan Untas di Kuta, Sabtu (24/2). Proses rekonsiliasi, lanjutnya, dapat dikatakan sebagai proses
politik ke arah masa depan dalam konteks nation building dan state building. Pemerintah Indonesia akan
mendorong dan memberikan fasilitas bagi berlangsungnya proses rekonsiliasi. Pertemuan tahap kedua
antara Untas dan CNRT (Dewan Pertahanan Nasional Rakyat Timtim) akan dilakukan April mendatang.
Indonesia berharap tempat itu kondusif sehingga pelaksanaan pertemuan dapat berlangsung tanpa tekanan
dan jaminan keamanan yang baik. "Sampai sekarang masih belum dapat dipastikan tempat pertemuan itu,
jika dilakukan di Indonesia, kita akan jamin keamanan untuk seluruh peserta. Kalaupun di luar Indonesia,
misalnya di Timor Timor, hal yang sama harus dapat dilakukan untuk anggota Untas," katanya.
Menyinggung soal pemulangan pengungsi Timtim di Nusa Tenggara Timur (NTT), Pemerintah Indonesia
tidak akan bersikap hitam putih, tetapi akan menghormati hak asasi pengungsi. "Jika dalam pendataan
ulang pengungsi memilih tetap tinggal di Indonesia, pemerintah siap melakukan pemukiman kembali
secara manusiawi dan jaminan sosial yang lebih baik," katanya. Namun, dalam kesempatan terpisah mantan
Gubernur Timtim Jose Abilio Soares di Kuta, Bali, menyatakan pesimis rekonsiliasi dapat terwujud.
Menurut dia, perundingan rekonsiliasi April mendatang sulit mendapatkan hasil yang baik karena masih
banyak pihak yang melakukan tekanan. "Rekonsiliasi seharusnya dilakukan sebelum proses penentuan
pendapat dilaksanakan karena tidak semua masyarakat Timtim setuju penentuan pendapat yang
mempertajam perang saudara," katanya. Dikatakan, terwujudnya rekonsiliasi yang kini tengah diupayakan
Pemerintah Indonesia akan sulit tercapai mengingat masyarakat Timtim sudah mengalami trauma
berkepanjangan dalam setiap proses penyelesaian konflik yang senantiasa diwarnai pertumpahan darah.
Siap mendampingi Dari Kupang dilaporkan, dukungan tokoh pengungsi atau mantan komandan milisi
Timtim terhadap tim bersama Pemerintah RI, UNTAET dan pihak lainnya dalam upaya pemulangan
pengungsi, tidak hanya sebatas pernyataan. Mereka juga siap aktif melibatkan diri turun ke kamp bersama
tim tersebut. "Kehadiran tim bersama menangani pemulangan pengungsi sudah ditunggu dan malah
diperjuangkan sejak lama. Kalau dilibatkan, kami siap membantu sepenuhnya bahkan siap terlibat aktif
hingga tempat penampungan guna meyakinkan pengungsi," tegas Cancio Lopez de Carvalho SH, di
Kupang, Sabtu lalu. Pernyataan senada dilontarkan Nemecio Lopez, juga mantan komandan milisi asal eks
Kabupaten Ainaro (Timtim). "Saya optimis upaya pemulangan pengungsi akan mencapai hasil maksimal
jika ditangani tim bersama seperti itu," tuturnya. Untuk meyakinkan dukungannya, Carvalho menantang
tim bersama itu mendatangi dulu sejumlah tempat penampungan yang menjadi basis dukungan tokoh
pengungsi ini. Pengungsi dimaksud tersebar di sekitar Kota Atambua dan Betun di Kabupaten Belu,
kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah bagian barat Timtim. "Kalau diajak, saya siap
mendampingi tim bersama itu," kata Carvalho. Mantan komandan milisi ini sejak tahun lalu sering
membantu wartawan asing yang melakukan peliputan hingga tempat penampungan yang 'kurang
bersahabat'. (sig/ans)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
10
KOMPAS - Jumat, 09 Mar 2001 Halaman: 1 Penulis: tra Ukuran: 6304
Islah Kasus priok Bisa Jadi Model Penyelesaian
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Islah (perdamaian) yang dilakukan korban Tragedi Tanjung Priok dengan mantan
Panglima Daerah Militer (Kodam) Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno, dan aparat lainnya, dapat menjadi
model penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, sepanjang dilakukan secara tulus
dan tak ada paksaan. Akan tetapi, islah itu harus dikukuhkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
dan disertai dengan pengungkapan kebenaran. Tanpa pengakuan dari KKR, islah tidak memiliki efek
publik dan kekuatan yuridis untuk menghentikan proses hukum yang dilakukan kejaksaan. Demikian
dikemukakan Ketua Yayasan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Abdul Hakim Garuda
Nusantara kepada Kompas hari Kamis (8/3). "Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 1999 tentang
Pengadilan HAM juga mengakui kemungkinan menyelesaikan pelanggaran HAM di masa lalu tidak
melalui pengadilan, tetapi lewat KKR. Namun, sampai sekarang kita belum mempunyai UU KKR,"
jelasnya. Sementara Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)
Hendardi menandaskan, islah yang dilakukan keluarga korban Tragedi Tanjung Priok tak meniadakan hak
publik untuk menuntut pengungkapan kasus itu melalui pengadilan. "Korban atau keluarganya bisa saja
memaafkan dan berdamai dengan pelaku pelanggaran HAM. Tetapi, hak kolektif masyarakat untuk
memperoleh kebenaran dari kasus itu tidak bisa diabaikan begitu saja," tandasnya. Senada, staf ahli
Institute for Democracy and Human Rights The Habibie Center Rudi M Rizki LLM mempertanyakan,
apakah islah yang dilakukan Try Sutrisno serta korban Tragedi Tanjung Priok itu sudah disetujui seluruh
korban dan keluarganya. Jika belum, korban atau keluarganya yang keberatan tetap bisa menuntut keadilan
melalui Pengadilan HAM. Apalagi, islah bukan penyelesaian pelanggaran HAM yang diakui hukum positif
maupun hukum internasional. Bahkan, islah bisa dilihat sebagai upaya menghidupkan lagi impunity.
"Dengan islah itu kan, tertuduh tak perlu diadili. Padahal, sesuai dengan hukum internasional, pelaku
pelanggaran HAM harus diselidiki dan diadili. Pelanggaran HAM adalah tanggung jawab pribadi. Karena
itu, hati-hati dengan islah. Kalau islah itu dalam kerangka KKR, ya, tidak soal. Tetapi, ini harus diatur lebih
dahulu," tandas pengajar Hukum Internasional dan HAM pada Universitas Padjadjaran (Unpad), Bandung
tersebut. Efek publik Abdul Hakim menuturkan, Pasal 47 UU Pengadilan HAM memungkinkan
penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui KKR. Akan tetapi, KKR belum terbentuk.
Draf RUU KKR pun saat ini belum selesai dan rencananya baru akan diserahkan kepada DPR bulan depan.
Dalam draf RUU KKR, penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu melalui islah memang
dimungkinkan. "Draf RUU KKR antara lain menyebutkan, dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran
HAM berat yang terjadi di masa lalu telah saling memaafkan dan melakukan perdamaian, maka KKR wajib
memberikan rekomendasi pemberian amnesti kepada pelaku. Pernyataan perdamaian itu wajib dituangkan
dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani kedua belah pihak dan diketahui Ketua Komisi," papar Wakil
Ketua Tim Penyusun Draf RUU KKR tersebut. Diungkapkan Abdul Hakim, karena islah antara Try
Sutrisno dan korban Tragedi Tanjung Priok belum diketahui KKR-sebab komisi itu belum terbentuk-maka
hal itu tidak mempunyai kekuatan yuridis maupun efek publik. Jika sudah ada KKR, dapat saja
direkomendasikan pelaku pelanggaran HAM mendapatkan amnesti dan tidak perlu diadili. Akan tetapi,
karena belum ada KKR, jaksa tetap harus melanjutkan penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku Tragedi
Tanjung Priok. "Islah itu sekarang masih dalam situasi yang rawan. Kejaksaan masih bisa menuntut dan
korban Tragedi Tanjung Priok lain pun tetap terbuka peluangnya menuntut keadilan. Dalam draf RUU
KKR, islah atau perdamaian itu wajib dilaporkan. Kalau memang KKR melihat tak ada paksaan dan tulus,
islah tersebut dapat diterima dan pelakunya direkomendasikan untuk diampuni. Korban dan keluarganya
juga dapat kompensasi dari negara," papar Abdul Hakim. Diingatkan Abdul Hakim, islah yang dapat
diterima KKR adalah yang disertai dengan pengungkapan kebenaran. Artinya, harus ada pengungkapan
siapa yang jadi pelaku dan penanggung jawab pelanggaran HAM tersebut. Tanpa pengungkapan
kebenaran, KKR tidak mungkin menerima islah tersebut, sehingga proses hukumnya tetap harus
dilanjutkan. Hak publik Terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu, Hendardi mengakui, ada tiga hak
yang harus diberikan oleh negara. Ketiganya adalah hak masyarakat untuk mengetahui perkara itu (right to
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
11
kli
pin
gE
LS
AM
know), hak untuk mendapatkan keadilan dari korban dan masyarakat (right to justice), serta hak
mendapatkan perbaikan hidup dan ganti rugi dari korban dan keluarganya. Artinya, pengungkapan
kebenaran dalam kasus pelanggaran HAM berat bukan sekadar hak individu, namun juga menjadi hak
publik. "Korban dan keluarganya bisa saja memaafkan dan berdamai dengan pelaku pelanggaran HAM di
masa lalu. Tetapi itu tidak bisa menghapus hak publik untuk mengetahui peristiwa itu melalui pengadilan.
Jangan dilihat tuntutan publik itu sebagai upaya balas dendam, tetapi lebih pada pengungkapan sejarah
sehingga tragedi itu tidak terulang lagi di masa mendatang dan menimpa orang lain," paparnya. Islah pun,
lanjut Hendardi, tak bisa menghentikan proses hukum. "Proses hukum terhadap pelanggaran HAM bukan
hak individu, tetapi juga menyangkut hak publik. Tidak betul juga islah berada di atas hukum. Justru yang
betul adalah hak publik di atas hak individu," urainya lagi. Hendardi pun mengutarakan, islah dapat
menjadi preseden buruk bagi penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu bila tanpa pengungkapan
kebenaran melalui pengadilan. Sebab, pelaku pelanggaran HAM tidak perlu dihukum asalkan dapat
membayar. Bagi kepentingan masa depan bangsa, hal itu kurang menguntungkan pula karena mendorong
melupakan kasus tersebut. Ini membuka peluang kasus serupa terjadi lagi di kemudian hari dengan korban
yang lain. (tra)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
12
KOMPAS - Jumat, 09 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: - Ukuran: 6008
Tajuk: Pesan Moral dari Islah Try Sutrisno dan Korban Kasus
Tanjung Priok
kli
pin
gE
LS
AM
MANTAN Panglima Kodam Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno bersama pejabat lainnya, yang bertugas saat
terjadinya kasus Tanjung Priok pada tanggal 12 September 1984, sepakat berdamai (islah) dengan korban
dan keluarga korban Priok. Islah muncul dari lubuk hati paling dalam, atas dasar keikhlasan dan kesadaran
kedua pihak tanpa paksaan dari pihak mana pun. Kita mencatat peristiwa itu sebagai peristiwa bersejarah.
Peristiwanya terjadi 15 tahun lebih. Korban manusia tidak hanya mereka yang terbantai di tempat kejadian,
tetapi juga mereka yang kemudian diadili dan dihukum, dan mereka yang menderita cacat seumur hidup.
Sempat tenggelam seolah-olah tak bakal diungkit sampai rezim Orde Baru tumbang, kasus itu muncul
kembali. Ia muncul bersamaan terangkatnya berbagai persoalan yang sebelumnya dibiarkan "hilang".
Konteks soalnya berkaitan dengan represi kekuasaan dan pelanggaran HAM yang banyak terjadi pada 30
tahun lebih pemerintahan Orde Baru. PERNYATAAN Safwan Sulaeman, salah seorang korban,
menyentuh hati kita. Memberikan sambutan dalam peristiwa penandatanganan, ia menyatakan tidak ingin
masa kelam yang mengakibatkan penderitaan lahir dan batin diungkit-ungkit kembali. Apalagi, katanya,
bila hal itu hanya digunakan sebagai komoditas politik. Peristiwa Rabu itu lebih bermakna dengan
kehadiran cendekiawan Nurcholish Madjid. Sosok cendekiawan itu menyiratkan sinar kedamaian yang
menyejukkan. Apalagi dia memberi makna mendalam di tataran wacana agama, bahwa islah itu perintah
agama. Kita kutip di antaranya, "...pada prinsipnya islah itu jalan tengah antara menegakkan hukum dan
mengungkapkan kasih sayang." PEMERINTAHAN Abdurrahman Wahid (sekarang sedang dikritik habishabisan dan konon tak bisa diperhitungkan lagi), membawa serta warisan buruk pemerintahan sebelumnya.
Keburukan itu terbawa serta (carry over) dalam pemerintahan transisi. Satu dari sisa itu adalah akibat
pertikaian masa lalu, yang terjadi entah karena perbedaan visi, perebutan kekuasaan maupun represi
penguasa. Kasus Tanjung Priok adalah satu di antaranya, menyisakan persoalan bagaimana harus
diselesaikan secara baik dalam arti diterima semua pihak. PERDAMAIAN, rekonsiliasi, islah memang
pilihan terbaik. Dalam keadaan semua persoalan terbawa serta, kita semua saling curiga. Tidak ada
platform yang sama. Padahal untuk memulai sesuatu diperlukan kesamaan dasar yang sama. Diperlukan
titik berangkat yang sama. Untuk itu perlu ada perdamaian menyangkut berbagai persoalan krusial, di
antara mereka yang bertikai, di antara mereka yang menjadi korban represi kekuasaan. Berdamai dengan
sesama adalah perintah agama. Perintah itu pun amat manusiawi. Damai di bumi, bukan hanya kosa kata
agama, tetapi juga harapan terdalam setiap makhluk. Pernyataan Cak Nur, mengingatkan makna luhur
perdamaian. Islah adalah jalan tengah sekaligus pilihan hidup kemanusiaan. Keberadaan manusia tidak
sekadar "eksis" tetapi juga "ko-eksis" (eksis bersama). MARILAH pemikiran di atas kita terapkan dalam
real politik kehidupan aktual. Secara hukum kesalahan tidak selesai dengan islah dan saling meminta maaf.
Pernyataan bersalah-mungkin juga pernyataan merasa saling bersalah-menuntut silih. Dalam konteks
hukum, silih adalah hukuman yang harus ditanggung. Dalam konteks itu islah seolah-olah bertentangan
dengan penegakan hukum. Demi keadilan dan penegakan hukum, proses peradilan harus diselenggarakan.
Menyangkut kasus Tanjung Priok, upaya penegakan hukum dicoba dilakukan. Prosesnya dimulai dari
gugatan para korban dengan menempatkannya sebagai kasus pelanggaran HAM. Kalau proses itu jalan
terus, sesuai prosedur hukum, akan terbuka siapakah yang bertanggung jawab dan siapakah yang akan
menanggung silih? Apa yang dilakukan Komnas HAM dalam Kasus Priok adalah upaya membuka kasus
ke publik. Dan itu sudah dilakukan, secara terbuka-meskipun dalam versi aparat dan versi korban masingmasing-tergambar apa yang terjadi dan bagaimana duduknya perkara. Akan tetapi, lagi-lagi dalam konteks
semua persoalan rezim kemarin terbawa serta, terbuka maksud untuk menyelesaikannya dalam konteks
kepentingan praktis, yang dibenarkan secara agama maupun cara hidup bersama sesama makhluk.
Bagaimana caranya? Masih mencoba mengadopsi tuntutan prosedur hukum dan kemungkinan terbaik, kita
perlu menengok apa yang dilakukan Afrika Selatan. Pemerintahan Mandela menyelesaikan rekonsiliasi
dengan membawanya ke meja hukum, membukanya secara publik, kemudian memberikan pengampunan.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
13
kli
pin
gE
LS
AM
Jalan secara hukum ditempuh, selanjutnya dilakukan penyelesaian secara politik. CARA penyelesaian
Kasus Priok, apakah bisa diperlakukan untuk kasus-kasus lain yang serupa? Harus dilihat kasus per kasus.
Untuk kasus-kasus besar (cause celebre) yang kaitannya kompleks dan berdampak luas, islah mungkin cara
yang baik. Tetapi untuk kasus-kasus kecil dan sederhana, semacam kasus-kasus korupsi yang sekarang
gencar ditangani Jaksa Agung, islah justru menafikan prinsip keadilan. Untuk kasus-kasus KKN, proses
peradilan harus dilakukan. Pesan moral yang disampaikan islah Kasus Priok ialah, dalam keadaan
pemerintahan transisi seperti sekarang, banyak kasus bisa diselesaikan lewat jalan tengah. Yakni, antara
proses peradilan hukum dan proses rekonsiliasi. Tujuannya, persoalan-persoalan yang terbawa serta dari
pemerintahan sebelumnya tidak menjadi beban soal tambahan yang memperumit keadaan. Sebaliknya
jangan sampai kita terjebak segera memberlakukan islah dengan pertimbangan belas kasihan. Sebab setiap
perbuatan haruslah dipertanggungjawabkan. Apalagi kalau perbuatan itu merusak sendi-sendi kehidupan
warga-bangsa-negara yang menjunjung tinggi asas hukum.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
14
KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: - Ukuran: 7171
Tajuk: Agar Rekonsiliasi Berhasil, Apa Saja Syarat-syaratnya?
kli
pin
gE
LS
AM
PERTEMUAN Presiden dan Wakil Presiden sambil sarapan di kediaman Wapres Megawati Soekarnoputri
menghasilkan kesepakatan positif. Yakni perlunya rekonsiliasi nasional "untuk memungkinkan bangsa ini
menghadapi berbagai persoalan besar". Sejak semula kita menyarankan semangat dan pendekatan itu.
Maka kita sambut baik kesepakatan itu. Lagi pula, jika dalam sistem parlementer, pemerintah ini sudah
jatuh. Kerusuhan etnis di Kalimantan Tengah memberikan pukulan telak. Pengaruhnya segera ke ekonomi,
semakin kedodorannya pemerintahan, semakin terancamnya disintegrasi bangsa dan negara, semakin
merosotnya kepercayaan internasional. Karena hal-hal itu semua, pemerintah dalam sosoknya sekarang,
semakin tidak mampu menyelenggarakan pemerintahan, apalagi pemerintahan untuk menangani gejolak
dan huru-hara pergolakan bangsa dan negara. TIDAK ada jalan lain kecuali jalan rekonsiliasi. Melanjutkan
persiasatan polarisasi seperti yang akhir-akhir ini dicoba dengan setiap kali memprovokasi munculnya
polarisasi-polarisasi baru, kecuali antiperadaban demokrasi juga hanya akan mempercepat kehancuran
bangsa dan negara. REKONSILIASI memerlukan sejumlah persyaratan. Salah satu persyaratan itu sikap
tahu diri. Sikap tahu diri inilah yang amat miskin. Mau benar sendiri, mau menang sendiri, nekat. Sikap
tahu diri, berarti melihat kelemahan dan kekurangan diri, di samping melihat kelebihannya. Karena
mengakui kekurangan dan kelemahannya, lantas mau bekerja sama. Sejak bekerja sama ditinggalkan,
kondisi semakin terpuruk hampir dalam segala bidang. Keadaan selama satu setengah tahun tidak
bertambah baik, justru bertambah buruk. Semula orang masih mencoba membela, itulah ongkos yang harus
dibayar dari transisi otokrasi ke demokrasi. Kini semakin terdengar suara yang menggugat, penderitaan
rakyat seperti yang didemonstrasikan di Kalteng itu ongkos atau korban, cost atau victims. Bukan hanya
otokrasi yang menjadi tirani, demokrasi liar juga bisa menjadi tirani, mungkin bukan untuk elite, tetapi
pasti untuk rakyat banyak. SYARAT lain untuk rekonsiliasi ialah pemahaman yang sama perihal kondisi
masyarakat, bangsa, dan negara. Pemahaman itu dibuat mudah oleh berlakunya masa transisi. Masa transisi
berarti masa cair, mengalir, belum jadi. Yang belum jadi atau yang masih cair dan mengalir itu di antaranya
ialah pola, pengendapan, konsolidasi, serta sosok baru yang kita dambakan bersama. Transisi itu pada kita,
Indonesia, oleh karena berbagai faktor, menurut kenyataannya disertai munculnya berbagai aspirasi,
tuntutan, pergolakan, gerak dinamika, dan eksplosi ke banyak arah. Terngiang lagi ungkapan Bung Karno:
many revolutions in one generation. Ingin kita terjemahkan secara aktual menjadi, perubahan serba
serentak dalam masa yang padat. Biarpun berlaku sistem demokrasi hasil pemilihan umum, seharusnya
yang dihadapi bersama membuat masa transisi dijalani secara selamat, sehingga tercapai konsolidasi.
Ditanamkan dan dimasyarakatkan visi, prinsip, nilai, peradaban politik baru, sehingga sistem dan budaya
demokrasi lebih mantap. Ternyata, kebajikan dan kenegarawanan itu tidak ada. Yang segera tampak dan
terasa, kembali lekatnya kekuasaan dan karena itu semangat dan arah untuk konsolidasi kekuasaan. Sejak
itulah, keadaan semakin amburadul. Mau tidak mau akan bisa kembali lagi ungkapan power tends to
corrupt. Agar rekonsiliasi lancar, salah kaprah itu harus dikoreksi. Semua kekuatan politik dan para
eksponen serta pemimpinnya, Presiden dan Wapres, agar membuka hati untuk rekonsiliasi dengan
menegaskan: masa transisi sekarang ini, harus kita hadapi bersama. Tunda dulu persaingan politik partisan
yang wajar dan lazim dalam demokrasi. Tunda dulu pasang kuda-kuda untuk konsolidasi serta melestarikan
kekuasaan masing-masing. REKONSILIASI berarti mencari titik temu baru. Masa lalu menjadi perhatian
dan diminta pertanggungjawabannya. Tidak berlaku impunity, tetapi juga jangan membiarkan vendetta,
rancune, dendam dan balas-membalas. Bagaimana keluar dari beban dan tanggung jawab masa lampau
sebagai pengalaman dan pelajaran membangun masa depan. Harus ada rasa keadilan dan
pertanggungjawaban. Tetapi juga jiwa besar, visi, dan terutama ketulusan kenegarawanan. Omong kosong
visi besar, jika tidak disertai jiwa besar dan kenegarawanan, jika tidak diterjemahkan menjadi arah dan
kebijakan yang fungsional. Syarat ini krusial untuk bangsa kita, di antaranya, karena telah terkejar oleh
perkembangan dan pergolakan baru. Juga dikejar oleh dihidup-hidupkannya dendam lama terutama untuk
alat perpolitikan. Bukankah gejala itu yang akhir-akhir ini marak, tindakan hukum bernuansa balasmembalas, bahkan bernuansa black mail politik, pemerasan politik. Jangan salah paham. Asas dan proses
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
15
kli
pin
gE
LS
AM
hukum harus ditegakkan terhadap siapa pun yang bersalah, tetapi agar kredibel dan berdampak positif,
bersihkan dari nuansa perpolitikan. REKONSILIASI untuk apa? Untuk menyelamatkan rezim atau untuk
menyelamatkan bangsa dan negara? Untuk menyelamatkan bangsa dan negara. Dan tentu saja disertai
kearifan. Kearifan itu di antaranya mengamanatkan agar dipilih jalan dan cara yang paling kecil ongkos
sosialnya. Setiap kali, kita diingatkan oleh semacam hukum besi politik. Dalam politik, amat jarang pilihan
adalah antara yang baik dan yang buruk. Kebanyakan bahkan hampir merupakan regularitasnya pilihan
adalah, antara yang buruk dan yang kurang buruk. Minus malum. Jika prinsip itu diterapkan pada kondisi
riil Indonesia dewasa ini, pilihan minus malum bisa menjadi kombinasi pilihan yang bijak, riil, fisibel, dan
efektif antara regularitas konstitusional dengan kelemahan figur-figur dan tuntutan rekonsiliasi serta
efektivitas pemerintahan. SIAPA peserta dalam proses dan forum rekonsiliasi itu? Semua komponen
strategis dan komponen riil bangsa. Lagipula mereka semua, kita semua, telah memberikan komitmen kita
terhadap reformasi. Hanya pengertian reformasi itu sendiri yang karena sejak semula tidak memiliki
kristalisasi visi, arah, dan semangat yang membangkitkan motivasi, inspirasi, sosialisasi serta program
bertahap tetapi konsisten, akhirnya cair bahkan akhirnya dijadikan lahan perpecahan, persaingan, dan
permusuhan. Lewat rekonsiliasi, agar dihimpun kembali jajaran dan forum yang berantakan itu. Berantakan
kekuatannya, berantakan pula visi, arah, program, langkah serta kebersamaannya. SEMENTARA itu, sekali
lagi, setiap hari perikehidupan nyata dalam segala bidang mengingatkan dan mendesak, kita berkejaran
dengan waktu dan permasalahan. Apa pula syarat terpenting rekonsiliasi? Kesediaan dan keikhlasan para
pemimpin termasuk Presiden dan Wakil Presiden untuk berkorban. Rujukan dan nilai tertinggi bukan
pribadi dan kelompoknya, tetapi sebesar-besarnya keselamatan dan kesejahteraan seluruh rakyat, bangsa,
dan negara.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
16
KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 19 Penulis: Hudijono, anwar Ukuran: 5392
MENUJU REKONSILIASI NU
kli
pin
gE
LS
AM
TAK pelak lagi pertemuan Presiden Abdurrahman Wahid dengan KH
Alawy Muhammad, Sabtu (10/3) di Pondok Pesantren Attaroqi Sampang (Madura) yang diasuh KH Alawy
membawa harapan sangat besar. Walau hanya berlangsung sekitar 10 menit, pertemuan diharapkan
berimplikasi besar berupa islah kedua tokoh itu. Sekaligus merupakan titik awal untuk proses rekonsiliasi
di tubuh Nahdlatul Ulama (NU). Kedua tokoh ini berada pada rekahan polarisasi dengan nganga yang
lebar. Bermula pada Muktamar NU Situbondo tahun 1984 di mana NU menyatakan kembali ke Khittah
1926. Berarti NU tidak berpolitik dan menjadi tidak lagi merupakan bagian Partai Persatuan Pembangunan
(PPP). NU menjaga jarak yang sama dengan seluruh organisasi politik. NU kembali menjadi gerakan
kultural. Pendukung gagasan ini disebut faksi "NU Khittah" dengan tokohnya KH Abdurrahman Wahid. Di
sisi lain, masih banyak tokoh NU yang menginginkan agar NU tidak meninggalkan gelanggang politik.
Rumah politik NU adalah PPP. Tanpa ketegasan sikap politik, NU hanya akan menjadi kekuatan
oportunistik yang dipinang saat pemilu, yaitu untuk mendongkrak perolehan suara. Tidak ikut proses
strategis dalam penentuan arah pergerakan bangsa. NU berada di posisi marginal. Pandangan demikian
kemudian disebut faksi "NU Politik", di mana KH Alawy merupakan salah satu tokohnya. Dari polarisasi
ini muncul sempalan faksi ketiga yaitu "Khittah Plus" yang merupakan gagasan KH Yusuf Hasyim, H
Mahbub Djunaidi, dan KH As'ad Syamsul Arifin. Faksi ini mencoba mencari jalan kompromi di mana NU
kembali ke khittah 1926, tetapi tetap berpolitik. Bahkan suatu saat NU harus kembali menjadi partai politik
seperti tahun 1952 setelah NU keluar dari Masyumi. Dalam perkembangannya, polarisasi semakin
mengutub pada NU Khittah dan NU Politik. Pada pemilu tahun 1997 Abdurrahman Wahid terlibat intensif
dalam aksi penggembosan terhadap PPP dengan terbungkus jargon NU kembali ke Khittah 1926 dan
menjadi gerakan kultural. KH Alawy yang mengorbit namanya sejak kasus Nipah tahun 1993, melawan
aksi Abdurrahman Wahid ini. Ia tidak percaya gerakan Abdurrahman itu murni kultural karena dalam
melakukan aksinya runtang-runtung bersama Ketua DPP Golkar Ny Siti Hardiyanti Rukmana alias Tutut.
Sasaran sebenarnya jelas yaitu untuk menggembosi PPP dan menggelembungkan Golkar. Keduanya lalu
terlibat polemik yang kusut dan tajam. *** MENJELANG Pemilu 1999, NU menfasilitasi kelahiran Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) dan sebagai deklaratornya Abdurrahman Wahid. Para pengurus teras PBNU
menyatakan, PKB sebagai wadah politik satu-satunya warga NU. KH Alawy menolak bergabung ke PKB.
Bahkan menuding pendirian PKB itu merupakan langkah yang salah karena sebenarnya rumah politik
warga NU itu PPP. Sebab PPP merupakan fusi beberapa partai Islam antara lain NU, Parmusi, PSII, Perti
pada tahun 1974. Warna polarisasi NU bergeser dari NU Khittah dengan NU Politik menjadi "NU Anak
Emas" dengan "NU Anak Tiri". PKB adalah anak emas itu, sedang partai warga NU di luar PKB seperti
PPP, Partai Kebangkitan Umat (PKU), Partai Nahdaltul Ummat (PNU) dan Partai Sunni merupakan anak
tiri. PKB benar-benar merajelela di Jawa Timur, tempat konsentrasi warga NU paling besar atau sekitar 1215 juta jiwa dari total penduduk Jatim sekitar 32 juta jiwa. Hanya PPP Sampang dengan simbolnya KH
Alawy yang melakukan perlawanan paling gigih, seperti ketika melakukan perlawanan terhadap
Golkarisasi di Pemilu 1997. Hasilnya lumayan. Kalau di daerah lain PPP luluh-lantak, di Sam-pang PPP
masih mengantungi 12 kursi DPRD, sedang PKB 18 kursi. Pada tahap ini kubu Abdurrahman Wahid
unggul dengan skor 1-0. Pertempuran tidak selesai di situ. Pada Juli tahun 2000 dilakukan pemilihan Bupati
Sampang periode 2000-2005. Dengan dipelopori politisi kawakan kader Alawy seperti Hasan Asy'ari, PPP
berhasil mengegolkan jagonya, Komisaris Besar Polisi Fadhilah Budiono dengan mengalahkan jago PKB
dengan sekor selisih satu suara. Pertempuran dilanjutkan. Abdurrahman Wahid sebagai Presiden menolak
pelantikan Fadhilah Budiono dengan alasan menunggu penyelesain proses hukum Fadhilah dalam kasus
penggelapan beras bantuan. Kubu Alawy menentang karena proses pemilihan bupati adalah proses politik,
sedang kasus beras adalah proses hukum. Massa pendukung Fadhilah melakukan aksi pelumpuhan pasar
dan terminal, serta penarikan retribusi pasar. Muncul harapan besar pertemuan Abdurrahman Wahid
dengan Alawy segera dapat menyelesaikan kasus bupati ini, yang kondisinya seperti bisul yang sudah siap
meletus. Apalagi dalam pertemuan itu diikuti Fadhilah Budiono. Janganlah kesengsaraan puluhan ribu
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
17
kli
pin
gE
LS
AM
warga Sampang yang tertimpa kasus Sampit dan Palangkaraya, akan ditambah dengan benturan massal di
Sampang. Lebih dari itu, pertemuan ini diharapkan merupakan titik awal proses rekonsiliasi NU. Tantangan
besar NU pasca Abdurrahman Wahid adalah konsolidasi jam'iyah dengan melakukan rekonsilisasi berbagai
faksi yang berada pada bongkahan-bongkahan dengan nga-nga rekahan yang lebar, seperti NU Jawa
dengan luar Jawa, NU Anak Emas dengan NU Anak Tiri, NU Pasca-Khittah dengan NU yang tetap setia di
Khittah. (Anwar Hudijono)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
18
KOMPAS - Senin, 12 Mar 2001 Halaman: 41 Penulis: Hartiningsih, Maria Ukuran: 12686 Foto: 1
MENATAP KECACATAN BANGSA MELALUI KENYATAAN
HIDUP KORBAN SIAPAKAH
kli
pin
gE
LS
AM
Korban? Lebih satu juta orang saat ini tersebar di tempat-tempat pengungsian,lebih 70 persen di antaranya
adalah perempuan, anak-anak, dan orangtua. Mereka adalah penduduk suatu wilayah tertentu yang dipaksa
oleh satu situasi tertentu untuk keluar dari kampung halamannya, meninggalkan segala sesuatu yang
menyangga kehidupan mereka selama ini. SEBAGIAN besar dari mereka hanya bisa lari dengan membawa
apa yang melekat di badan. Seluruh rencana yang pernah dibuat untuk masa depan mereka beserta anakanaknya hancur lebur dalam sekejap. Hidup keseharian di pengungsian adalah perwujudan dari penderitaan
dan kesengsaraan, termasuk hilangnya rasa aman dalam arti luas. Mereka mengalami kembali menjadi
korban, dan dengan sendirinya dehumanisasi karena konsep pemberian bantuan selama ini hanya
didasarkan bahwa korban adalah manusia tidak berdaya dan hanya membutuhkan belas kasihan; oleh
karena itu mereka tidak berhak menuntut sesuatu yang lebih baik. Mereka harus cukup puas dengan
pemberian bantuan dua atau tiga bungkus mi instan per minggu dengan beras dua kilogram untuk tiap
keluarga dan harus merelakan anak-anak menderita kekurangan gizi, atau meninggal oleh berbagai
penyakit tanpa mampu melakukan upaya yang berarti agar peristiwa itu tak perlu terjadi. Namun,
penderitaan yang tak kalah mematikan secara psikologis adalah perasaan tidak dimanusiakan itu. Harus
diakui, berbagai jenis kekerasan selalu bersifat bias jender. Seperti dikemukakan Ketua Komnas
Perempuan Prof Dr Saparinah Sadli dalam orasi bertema "Penetapan Tahun 2001 sebagai Tahun Penegakan
Hak-hak Korban dan Keterlibatan Media massa" menyambut Hari Perempuan Internasional (International
Women's Day) di Jakarta, pekan lalu, para perempuan pengungsi harus menghadapi kenyataan akan
banyaknya pihak yang siap memanfaatkan situasi serba kacau itu untuk menjadikan mereka obyek
eksploitasi seksual. "Sementara mereka yang menjadi korban, justru mengalami stigmatisasi dan
pengucilan oleh komunitasnya sendiri karena dianggap 'ternoda' dan bertanggung jawab atas serangan
seksual yang dialaminya," tambah Wakil Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), Kamala Chandrakirana, yang dihubungi sebelum acara itu. Menurut Kamala, sampai
saat ini tidak ada kebijakan nasional yang komprehensif dalam penanganan pengungsi berdasarkan
perspektif keberdayaan pengungsi. "Padahal mereka adalah warganegara yang memiliki aspirasi dan hak
untuk menentukan masa depannya," ujarnya. "Termasuk hak untuk berperan aktif dalam segenap proses
rekonsiliasi dan rekonstruksi di komunitasnya sendiri," tambah Prof Saparinah. *** SIAPAKAH Korban?
Mereka yang menjadi korban penyiksaan dan mereka yang anggota keluarganya "dihilangkan" atau tewas
oleh kekerasan negara harus berjuang sendiri karena masyarakat menganggap korban adalah pemberontak
yang harus bertanggung jawab sendiri atas kemalangan yang mereka alami. Ny Sumarsih, ibu dari Wawan,
mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya yang meninggal dalam peristiwa Semanggi I,
November 1998, mengalaminya berulang kali. Di lingkungan kerjanya, hanya beberapa hari setelah
peristiwa tragis itu terjadi, ia mendengar bisik-bisik yang menyalahkan anaknya dan mempertanyakan
kemampuannya sebagai orangtua. Ia dianggap tidak mengawasi apa yang dilakukan anak-nya. "Anak saya
adalah anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang meninggal saat menolong temannya yang terluka.
Selama hidupnya, Wawan banyak bekerja untuk hal-hal yang bersifat kemanusiaan. Ia memang amat peka
terhadap ketidakadilan dan menginginkan perubahan. Mengapa kami harus mengawasinya? Bukankah ia
sudah dewasa dan tahu apa yang ia lakukan, karena kami memang mendidiknya agar peka terhadap
penderitaan orang lain," ujar Ny Sumarsih, dalam beberapa kali pertemuan. Dukungan masyarakat bagi
para korban dan keluarganya masih bersifat sporadik, sementara pemerintah masih tidak menanggapi
urgensi penanganan tuntas kasus-kasus seperti ini. "Itu bisa dilihat dari penanganan kasus-kasus seperti
Trisakti, Semanggi I dan II, dan kasus-kasus lain sebelumnya," ujar Kamala, seraya menambahkan,
persoalan orang hilang pun tak jelas penanganannya sampai saat ini. Menurut Prof Saparinah, para korban
pelanggaran hak-hak asasi manusia di daerah-daerah yang mengalami konflik bersenjata berkepanjangan,
seperti Aceh, mengeluh lelah dan frustrasi karena dibawa ke mana-mana untuk melakukan testimoni
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
19
kli
pin
gE
LS
AM
mengenai pengalaman traumatisnya di depan publik tanpa adanya perbaikan atas kesakitan dan nasib yang
mereka alami. Seperti dikemukakan Judith Herman MD, dalam bukunya Trauma and Recovery, The
aftermath of violence-from domestic abuse to political terror (1992), testimoni merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari serangkaian proses penyembuhan melalui mekanisme yang jelas, baik secara medis
psikologis maupun secara hukum untuk mendapatkan kebenaran dan keadilan. "Sayangnya kapasitas untuk
memberikan pelayanan dan advokasi yang lebih profesional, belum ada," ujar Kamala. Para aktivis bahkan
masih terjebak pada retorika besar dari kerangka kerja teori yang bersifat makro, namun tidak masuk ke
dalam nilai-nilai personal dan etika menyangkut pengalaman sangat personal dalam diri seseorang.
Akibatnya, seperti ditandaskan Saparinah, niat baik para aktivis untuk mengadvokasikan masalah HAM
sering tidak terlepas dari kecenderungan yang-secara tidak sengaja-mengakibatkan korban menjadi korban
kembali karena harus mengalami kesengsaraan baru yang membuat timbunan beban penderitaannya
teronggok dan membusuk tanpa penyelesaian. Padahal, kalau mau jujur, proses rekonsiliasi yang
sebenarnya menyangkut pergulatan psikologis yang bersifat amat personal; bukan sekadar persoalan ganti
rugi yang bersifat material. Ini dikemukakan Dr Nani Nurachman-Sutojo, putri almarhum Mayjen
(Purnawirawan) Sutojo, korban peristiwa G30S tahun 1965. Nani, psikolog, ibu dua anak, membutuhkan
waktu sangat panjang dalam prosesnya menjadi survivor: berdamai dengan diri sendiri disertai tanggung
jawab moral (baca: kehendak politik) untuk tidak menurunkan rasa benci dan dendam kepada anakanaknya, kemudian juga kepada masyarakat luas. Ia pun membutuhkan waktu panjang untuk sampai pada
kesimpulan bahwa pencarian nilai moral suatu tragedi merupakan kecenderungan universal; dan dari
renungan terhadap trauma tragedi itulah harkat kemanusiaan yang sesungguhnya lebih mungkin untuk
diangkat dan dirumuskan. Baru pada tahun 2000, Nani mengungkapkan proses di dalam dirinya kepada
publik yang terbatas, sebelum kemudian melakukan rekonsiliasi "ke luar diri". *** SIAPAKAH Korban?
Mengutip Deklarasi Prinsip-prinsip Dasar Keadilan bagi Korban Kejahatan dan Penyalahgunaan
Kekuasaan (Resolusi Sidang Umum PBB Nomor 40/43 tanggal 29 November 1985, korban adalah orangorang yang secara pribadi atau kolektif telah menderita kerugian, termasuk luka fisik atau mental,
penderitaan emosional, kerugian ekonomi atau perusakan besar atas hak-hak dasarnya, melalui tindakan
atau kelalaian yang bertentangan dengan hukum pidana yang berlaku di negara-negara anggota termasuk
hukum yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Seseorang dapat dianggap korban berdasarkan
Deklarasi ini tanpa menghiraukan pelaku kejahatannya dikenali, ditahan, diajukan atau dihukum, dan tanpa
menghiraukan hubungan kekeluargaan antara pelaku kejahatan dan korban. Istilah "korban" juga termasuk
keluarga dekat; atau tanggungan korban langsung, orang-orang yang telah menderita kerugian karena
membantu korban atau mencegah jatuhnya korban. Ketentuan ini berlaku bagi semua tanpa perbedaan ras,
warna kulit, jenis kelamin, umur, bahasa, agama, kekayaan, status kelahiran atau keluarga, asal-usul etnis
atau so-sial, dan ketidakmampuan. Hak korban mencakup hak atas kebenaran, keadilan, perlindungan dan
dukungan, hak korban atas pemulihan (restitusi, rehabilitasi, dan kompensasi) serta hak korban untuk
berperan aktif dalam rekonsiliasi dan rekonstruksi sosial. "Kita telah memasuki tahun ketiga dari apa yang
disebut sebagai 'masa reformasi', tetapi masih belum ada tanda-tanda pemihakan yang tegas terhadap
kebutuhan dan kepentingan korban pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk
perempuan," tegas Saparinah. Memang selama ini sudah ada langkah-langkah yang berkaitan dengan hak
korban. UU Pengadilan HAM telah disahkan November 2000, RUU Perlindungan Saksi dan Korban, RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsi- liasi, serta Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kompensasi, Restitusi,
dan Rehabilitasi. "Sayangnya segala upaya ini berjalan secara terkotak-kotak dan tidak konsisten, sehingga
malah membingungkan korban daripada memberikan mereka kepastian tentang nasibnya," ujar Prof
Saparinah, yang secara implisit menyatakan saratnya kepentingan politik dan tidak ada kerangka kerja
besar yang mengatur mekanisme di "bengkel- bengkel" masyarakat untuk menjadi satu bagian yang utuh,
berorientasi pada satu hal: hak korban. "Diskusi pada tahun-tahun terakhir ini tentang rekonsiliasi tanpa
proses pengungkapan kebenaran justru menyalahi hak korban," tegas Prof Saparinah, "Tidak dapat
dipungkiri bahwa ada saja pihak-pihak yang berkepentingan agar pelanggaran HAM di masa lalu tidak
diutak-atik." Di sinilah kontroversi itu. Pendekatan proses rekonsiliasi tanpa pengungkapan kebenaran akan
menyulitkan penyelesaian tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM baru maupun lama, karena pada
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
20
kli
pin
gE
LS
AM
kenyataannya korban malah dijadikan alat politik oportunistik. Sedangkan pihak organisasi nonpemerintah
yakin, rekonsiliasi hanya mungkin dicapai dengan pengungkapan kebenaran, kemudian pemaafan,
pemulihan, rekonsiliasi dan perdamaian; di samping proses hukum untuk menghentikan impunity yang
telah lama berlangsung tanpa gugatan. Proses seperti ini juga terjadi di Afrika Selatan. *** DALAM hal
ini, apa kepentingan perempuan sebagai agent of change? "Kami berpendapat, penegakan hak korban sudah
menjadi urgensi tersendiri dan tidak bisa ditawar lagi bagi bangsa ini," tandas Prof Saparinah. Ia mengajak
media bekerja bersama menyosialisasikan upaya-upaya penegakan hak korban, termasuk perdamaian. Ini
berarti ada segmen perempuan yang merupakan lebih 50 persen pembaca dan pemirsa tidak puas lagi
terhadap penyajian berita di media massa yang selama ini bias jender, ras, kelas sosial, dan praktik-praktik
jurnalisme yang tidak mendukung perdamaian dalam pemberitaan masalah konflik. "Di tengah
keberingasan konflik, tetap ada cerita tentang perjuangan menolak dominasi wacana kekerasan, tentang
persaudaraan yang melintasi batas-batas permusuhan, dan pasti ada orang-orang yang terus bersusah payah
mencari peluang-peluang damai sekecil apa pun," ujar Prof Saparinah. "Singkat kata, di tengah cerita
tentang pembantaian, ada saja pilihan untuk memuat berita yang tidak menjebak kita ke dalam lingkaran
kekerasan, untuk membuat analisis-analisis yang membongkar akar permasalahan, serta membuka jalan
menuju perdamaian. Pilihan berada di tangan kita sendiri," sambungnya. Ia mengingatkan, masa transisi
merupakan pertaruhan. Masa ini merupakan titik kritis dalam sejarah bangsa. Tanpa pemihakan pada para
korban kesewenangan masa lalu dan masa kini, pintu kepada masyarakat adil dan demokratis akan cepat
tertutup kembali "Kita baru benar-benar bisa menatap kecacatan bangsa kita melalui kenyataan hidup yang
harus dialami para korban," kata Prof Saparinah. "Kita baru bisa melahirkan institusi-institusi yang
demokratis dan adil jika pemulihan para korban dan komunitasnya dijadikan tolok ukur." Dengan
mencermati bagaimana selama ini media massa menampilkan korban, menurut Prof Saparinah,
sesungguhnya fungsi dan tanggung jawab media sebagai agen perubahan telah gagal dipenuhi. Benarkah
demikian? (Maria Hartiningsih) Teksfoto: Associated Press/daniel cooney KASUS SAMPIT - Pengungsi
Madura berdesakan di atas truk untuk dievakuasi dari wilayah konflik di Sampit. Saat ini lebih dari satu
juta orang tersebar di tempat-tempat pengungsian, 70 persen di antaranya adalah perempuan, anak-anak,
dan orangtua. Sampai saat ini, para pengungsi belum diperhatikan hak-haknya dan justru mengalami
reviktimisasi
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
21
KOMPAS - Jumat, 16 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Wahid, A Yani Ukuran: 9091
ISLAH, RESOLUSI KONFLIK UNTUK REKONSILIASI
Oleh A Yani Wahid
kli
pin
gE
LS
AM
BARU-baru ini mantan Panglima Kodam Jaya Try Sutrisno dan para korban peristiwa Tanjung Priok
dengan didampingi tokoh-tokoh bijak antara lain Nurcholish Madjid menggelar konferensi pers tentang
tercapainya persetujuan menempuh pilihan untuk islah (perdamaian). Kesepakatan ini menarik karena hal
yang sama pernah ditempuh bagi penyelesaian kasus Lampung tahun 1987 antara para mantan narapidana
kasus Lampung dengan mantan Komandan Korem Garuda Hitam, AM Hendropriyono. Terlepas dari prokontra atas pilihan islah bagi penyelesaian kasus-kasus masa lalu, adalah mendesak bagi bangsa ini untuk
sebanyak mungkin menemukan alternatif-alternatif yang dapat memperkaya wacana dan model
rekonsiliasi. Sebagaimana dimaklumi, kebutuhan rekonsiliasi nasional telah diserukan banyak kalangan
atas dasar makin beratnya beban politik, sosial dan ekonomi yang telah menuju ke titik hampir tak
tertahankan, terlebih dengan makin beratnya pertikaian sosial yang mengarah pada disintegrasi bangsa.
Banyak kalangan telah berusaha mengadopsi model rekonsiliasi yang dilakukan oleh Nelson Mandela di
Afrika Selatan. Dalam model rekonsiliasi Nelson Mandela, dibentuk lembaga Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) yang diberi wewenang untuk pengusutan dan menentukan klarifikasi terhadap
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa semasa politik apartheid. Para pihak yang diduga terlibat
digiring untuk melakukan "pertobatan" di depan komisi itu dan selanjutnya komisi merekomendasikan
penyelesaian dua tingkat yaitu pengadilan dan atau pemaafan. Mereka yang dianggap "berdosa besar"
dilimpahkan ke pengadilan dan lainnya diberi pemaafan. Model ini cocok di Afrika Selatan yang memang
tidak asing dengan kultur "pengaduan dosa". Selain itu juga tepat karena adanya faktor Nelson Mandela
yang muncul sebagai pemimpin yang punya legitimasi moral dan historis dalam perjuangan antikebijakan
politik apartheid oleh pemerintahan sebelumnya. Mandela sendiri adalah master dari korban itu sendiri.
Oleh karena itu, model "rekonsiliasi Afrika Selatan" sangat tidak mungkin untuk begitu saja diterapkan di
Indonesia. Pertama, kemenangan reformasi di Indonesia tidak untuk menghapus politik apartheid seperti di
Afrika Selatan. Kedua, kemenangan reformasi di Indonesia tidak melahirkan kepemimpinan yang kuat dan
punya legitimasi moral sebagai master pihak korban. Ketiga, budaya masyarakat Indonesia yang mayoritas
Muslim tidak mengenal "pengakuan dosa" di depan seseorang ataupun sesuatu lembaga. Oleh karena itu
masih perlu dicari alternatif-alternatif lain sebagai model rekonsiliasi. Dalam kaitan ini, maka tindakan
penyelesaian dengan cara ishlah dapat kita letakkan sebagai salah sat model untuk resolusi konflik yang
sedang mendera bangsa sekarang ini. Perluasan pendekatan humaniter Dalam situasi transisi "dari
reformasi ke konsolidasi demokrasi," bangsa ini sekaligus dibebani kenyataan belum tuntasnya pengusutan
berbagai tragedi humaniter masa lalu, terutama yang terkait dengan kekerasan TNI dalam menumpas
perlawanan politik sebagian masyarakat terhadap rezim Orde Baru. Iklim politik terbuka yang dihasilkan
oleh reformasi, telah mendorong lahirnya banyak LSM yang memilik fokus pada pengusutan peristiwa
masa lalu atas nama penegakan HAM yang memang sedang menjadi trend internasional. DPR/MPR juga
tak kalah semangat untuk mengikuti trend internasional itu untuk melahirkan sejumlah ketetapan
perundang-undangan yang mendukung dilakukannya pengadilan HAM. Akan tetapi, sejauh ini belum satu
pun perkara masa lalu yang mampu dituntaskan melalui proses pengadilan. Dengan demikian klarifikasi
yang diharapkan melalui proses pengadilan mungkin tidak akan pernah tercapai. Apalagi pengadilan kita
bukanlah lembaga politik yang bisa mengklarifikasi persoalan-persoalan konflik politik yang timbul di
masa lalu maupun di masa sekarang. Andaikata pengadilan HAM dapat digelar juga sangat sulit diharapkan
untuk dapat mencapai tingkat rekonsiliasi yang merekatkan kembali perdamaian, bahkan bisa menjadi
wahana baru bagi tumbuhnya dendam dan permusuhan. Keprihatinan terhadap persoalan kemanusiaan
sudah seharusnya menjadi perhatian kita semua. Yang kita perlukan adalah model pendekatan humaniter
yang tidak menjebak kita pada simplikasi penyelesaian melalui pengadilan. Pendekatan humaniter harus
mewakili sesuatu yang signifikan dalam proses penyembuhan luka kemanusiaan. Banyak sekali contoh,
bahwa penyelesaian melalui ruang pengadilan justru menimbulkan kezaliman baru yang diabsahkan, tanpa
kita pernah mampu meluruskannya kembali. Banyak liku-liku hukum yang tersesat dan menyesatkan
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
22
kli
pin
gE
LS
AM
sehingga tidak selalu yang lahir dari ruang pengadilan adalah keadilan yang dicari. Sangat banyak kasus di
pengadilan yang dapat diatur-atur dan berakhir dengan tanda tanya. Penyembuhan luka kemanusiaan yang
dituju akhirnya terdampar dalam ketidakjelasan. Salah satu unsur penting dalam pendekatan humaniter
adalah kebutuhan adanya klarifikasi persoalan. Terhadap kebutuhan ini, klarifikasi perlu ditransformasikan
untuk menambah kapasitas masyarakat mengembangkan memori kolektif terhadap sejarah masa lalunya.
Klarifikasi harus diletakkan sebagai "peristiwa sejarah" yang kemudian akan dapat menentukan
kelangsungan hidup tradisi kemajemukan Indonesia sebagai bangsa. Untuk itu akan lebih bermanfaat
secara nasional apabila klarifikasi yang dilakukan dapat mengarah terhadap sebab-sebab yang
menimbulkan tragedi pelanggaran HAM itu. Peran TNI masa lalu yang berlebihan sudah disadari secara
internal dalam tubuh TNI sendiri. Peran TNI bukan bersifat perorangan, melainkan sangat terkait dengan
kebijakan politik nasional-betapa pun tidak populernya kebijakan itu. Sederet kebijakan yang memicu
konflik seperti kebijakan NKK/BKK yang bersentuhan dengan masyarakat kampus, kebijakan P4 dan asas
tunggal Pancasila yang bersentuhan dengan masyarakat Islam dan lain sebagainya yang menimbulkan
banyak tragedi pelanggaran HAM adalah kebijakan politik yang memakan korban. Sebab-sebab inilah yang
harus diklarifikasi sebagai kecelakaan kebijakan negara dan diletakkan dalam konteks sejarah masa lalu
bangsa. Dengan demikian langkah klarifikasi tidak perlu menimbulkan kontoversi baru yang memperbesar
konflik, khususnya antara negara dan masyarakat. Pilihan Islah Dalam konteks ini "pilihan islah" oleh para
korban peristiwa Tanjung Priok, Lampung, dan lainnya dapat kita letakkan sebagai model pendekatan
humaniter yang hakikatnya merupakan warisan religius untuk resolusi konflik dalam tragedi kemanusiaan.
Ia memiliki landasan filosofis dan teologis yang mengarah kepada pemulihan harkat dan martabat semua
pihak yang terlibat, mengganti suasana konflik dengan perdamaian (asas silaturahmi), menghapus hujatmenghujat dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan (asas saling
memaafkan dan memohon ampunan kepada Tuhan). Klarifikasi yang diinginkan tidak melalui meja
pengadilan, melainkan melalui meja perdamaian dan perundingan (asas musyawarah). Pilihan ini akan
lebih jelas arahnya karena bertumpu pada nilai-nilai serta semangat untuk mereformasi peraturan serta
kebijakan politik yang mengabaikan harkat dan martabat kemanusiaan. Yang lebih penting dari itu adalah
para pihak yang terlibat secara bersama-sama. Kembali pada semangat silaturahmi dan pemaafan untuk
saling mengobati dan mengembangkan keteladanan dalam kesabaran dan berkasih sayang (tawashau bisshabri wa tawashau bil-marhamah). Pemaafan adalah kata kunci dalam model rekonsiliasi mana pun. Bila
seseorang telah memaafkan, bisa dikatakan ia telah melakukan rekonsiliasi individual. Ia menyangkut
pengalaman yang sangat personal, yang menyentuh kemanusiaan korban dan kemampuan untuk
berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri dan orang lain. Korban mengalami suatu pengalaman
spiritual pada saat memohonkan pengampunan bagi mereka yang telah menghancurkan hidupnya.
Memaafkan memang bukan melupakan, dalam arti tidak mengingat sama sekali, akan tetapi mengingat
masa lalu dengan cara yang baru. Ingatan mengenai sesuatu yang paling pahit, yang pernah dialami dalam
hidup, segera ditransformasikan ke ruang keteladanan dan keluhuran kemanusiaan. Dengan demikian
korban dan para pelaku yang menyatakan maaf, bersama-sama mengalami pergumulan eksistensial yang
menyembuhkan: "sama-sama tidak membiarkan ingatan akan kejadian masa lalu menguasai hidupnya masa
kini". Akhirnya, pilihan islah oleh para korban kejadian masa lalu, harus kita hormati sebagaimana
penghormatan yang diberikan oleh tokoh sekaliber Nurcholish Madjid yang melihat mereka sebagai orangorang sederhana yang menyejukkan dan berjiwa besar. * A Yani Wahid, mantan narapidana politik kasus
Imran/Woyla.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
23
KOMPAS - Jumat, 16 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Arinanto, Satya Ukuran: 6555
Islah dalam Perspektif Keadilan Transisional
Oleh Satya Arinanto
kli
pin
gE
LS
AM
PADA beberapa dekade terakhir, masyarakat di berbagai penjuru dunia-dari Amerika Latin, Eropa Timur,
bekas Uni Soviet, hingga ke Afrika-telah menggulingkan kediktatoran militer dan rezim totaliter, dan
menggantinya dengan rezim yang bebas dan demokratis. Pada era dewasa ini, ketika muncul gerakangerakan politik besar-besaran dari pemerintahan yang non liberal, muncul satu permasalahan utama:
bagaimanakah masyarakat memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa yang lalu?
Pertanyaan yang semacam ini juga muncul di Indonesia, terutama berkaitan dengan adanya harapan
terhadap rezim Presiden Abdurrahman Wahid yang terbentuk pada akhir tahun 1999 untuk menuntaskan
berbagai masalah pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu. Pada awalnya tampak ada semacam
political and legal will dari pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid untuk menuntaskan masalah itu, di
antaranya melalui penyelesaian Undang-Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak
Asasi Manusia (HAM) dan penyiapan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Berkaitan dengan hal tersebut, pada proses pembentukan UU No 26/2000 tersebut, di
Indonesia-sebagaimana juga terjadi di berbagai belahan dunia lainnya-timbul suatu wacana tentang politik
hukum HAM yang akan diterapkan apakah akan menerapkan penghukuman (punishment), ataukah
pembebasan dari hukuman (impunity), terlepas dari apakah memang ada suatu kewajiban untuk melakukan
penghukuman dalam suatu proses transisi yang demokratis. Berkaitan dengan hal ini, patut untuk dicatat
bahwa semenjak awal tahun 1980-an, di dunia internasional telah berkembang suatu perdebatan mengenai
implikasi dari keadilan transisional. *** MENURUT Ruti G Teitel, guru besar perbandingan hukum pada
New York Law School, Amerika Serikat (AS), yang akhir tahun lalu menerbitkan kumpulan tulisannya
dalam buku Transitional Justice, permasalahan "keadilan transisional" tersebut terkait dengan masalah
perlakuan terhadap masa lalu suatu negara terhadap masa depannya, yang memunculkan beberapa hal
sebagai berikut: (1) Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim baru mengenai
aturan-aturan hukum yang dilakukannya?; (2) Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki
signifikansi transformasi?; (3) Apakah-jika ada kaitan antara pertanggungjawaban suatu negara terhadap
masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?; dan
(4) Hukum-hukum apakah yang potensial untuk memberikan arah dalam liberalisasi? Berdasarkan
permasalahan-permasalahan tersebut, diskursus tentang keadilan transisional dibentuk oleh dalil-dalil
normatif bahwa berbagai respon hukum harus dievaluasi dengan dasar prospek mereka terhadap demokrasi.
Dalam kaitan ini, kita dapat mempertanyakan bagaimana persepsi (masyarakat) Indonesia sendiri terhadap
keadilan transisional. *** SEBAGAIMANA diberitakan media massa, pada hari Rabu (7/3) terjadi suatu
kesepakatan untuk berdamai (islah) antara mantan Panglima Kodam Jaya Jenderal (Purn) Try Sutrisno yang
didampingi para pejabat keamanan lainnya yang bertugas saat kasus Tanjung Priok meletus 1 September
1984 dengan pihak keluarga korban kasus Priok. Media massa pun kemudian juga memberitakan pro dan
kontra di sekitar masalah tersebut (Kompas, 8-9/3/2001). Menurut cacatan penulis, kasus Priok merupakan
salah satu kasus pelanggar berat HAM masa lalu yang harus dituntaskan penyelesaiannya oleh rezim
Presiden Abdurrahman Wahid. Dan adanya kasus-kasus tersebut sekaligus membuat Indonesia harus segera
merumuskan konsep atau model keadilan transisionalnya. Salah satu keputusan piagam islah yang
ditandatangani di hadapan notaris tersebut menyatakan bahwa keputusan islah tidak dapat diganggu gugat
oleh siapa pun dan pihak mana pun, karena ia muncul dari lubuk hati paling dalam, atas dasar keikhlasan
dan kesadaran dua pihak tanpa paksaan dari pihak mana pun. Benarkah demikian? Bersamaan dengan
terjadinya islah tersebut, memang sempat muncul "isu" mengenai kemungkinan adanya "sesuatu latar
belakang" yang mendorong terjadinya kesepakatan tersebut. Pada saat ini KKR memang belum terbentuk
di negara kita. Walaupun secara institusional belum terbentuk, namun berdasarkan pengalaman
pelaksanaan rekonsiliasi di Afrika Selatan, misalnya, proses perdamaian tersebut paling tidak mengandung
unsur-unsur sebagai berikut: Confess your crimes, apply for amnesty and you will go free. If you don't
come forward, you will be prosecuted (The new York Times, 8 November 1998). Berdasarkan ukuran-
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
24
kli
pin
gE
LS
AM
ukuran minimal tersebut, tampak bahwa islah tersebut belum mengandung unsur pengakuan terhadap
kejahatan- kejahatan yang pernah dilakukan, dan belum ada upaya untuk meminta pengampunan atas
kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan (dalam kasus Priok). Dalam konteks ini, penulis juga tidak
setuju dengan pandangan bahwa kasus ini bisa jadi model penyelesaian. Berdasarkan hal tersebut, paling
tidak dari segi etika dan moral, bisakah diterima adanya klausul bahwa keputusan islah itu tidak dapat
diganggu gugat oleh siapa pun dan pihak mana pun? Dalam rangka meluruskan konsesi keadilan
transisional di Indonesia, sebaiknya proses hukum terhadap kasus Priok tetap dilanjutkan. Pasal 43 ayat (1)
dan (2) UU No 26/2000 menyatakan bahwa pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum
diundangkannya UU ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan tersebut dibentuk
atas usul DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (Keppres). Berdasarkan
ketentuan tersebut-untuk sementara waktu-di tangan DPR-lah kasus ini akan ditentukan. Sebelum ini kita
mencatat adanya berbagai penyelidikan yang telah dilakukan oleh berbagai lembaga yang kesemuanya
menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat pada kasus Priok. Sebagai
pelaksanaan salah satu amanat reformasi, ada baiknya DPR segera memproses penyelesaian kasus ini, dan
mengajukan pembentukan pengadilan ad hock kepada Presiden, agar tidak menimbulkan tuduhan bahwa
DPR berpotensi menjadi lembaga impunity yang baru. * Satya Arinanto, staf pengajar Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
25
KOMPAS - Sabtu, 17 Mar 2001 Halaman: 4 Penulis: Musakabe, Herman Ukuran: 7795
SIAPA MEDIATOR REKONSILIASI NASIONAL?
Oleh Herman Musakabe
kli
pin
gE
LS
AM
BERBAGAI upaya yang ditempuh untuk mempertemukan empat pemimpin nasional yaitu Presiden
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Wapres Megawati Soekarnoputri, Ketua MPR Amien Rais, dan Ketua
DPR Akbar Tandjung, untuk meredam konflik politik pascamemorandum DPR tampaknya belum
membuahkan hasil. Upaya terakhir oleh Lembaga Kebudayaan Betawi dengan inisiatif kiai sejuta umat KH
Zainuddin MZ hanya dihadiri oleh Presiden Abdurrahman Wahid tanpa tiga tokoh lainnya, setelah
sebelumnya tokoh-tokoh Cipayung juga gagal mempertemukan keempat tokoh itu. Apa yang salah dengan
semua itu? Apakah mediator atau Mak Comblang-nya yang kurang berbobot, apakah karena tanpa disertai
konsep yang jelas sebelumnya atau karena tokoh-tokoh itu sudah tidak mau dipertemukan lagi? Dalam
tulisan di harian ini berjudul, 2001, Tahun Rekonsiliasi atau Disintegrasi? (24/1), saya menggambarkan
upaya rekonsiliasi nasional adalah untuk menyelamatkan bangsa ini dari disintegrasi. Tetapi, masalahnya
adalah siapa yang akan bisa menjadi mediatornya? Gejala disintegrasi telah mulai nyata di antara para elite
dengan saling mempertahankan kebenaran pendapatnya, menempuh jalur hukum dengan saling menggugat
dan bahkan mengeluarkan jurus buku putih untuk menggugat keabsahan memorandum DPR. Sementara
pada tingkat grass root terjadi aksi massa pro dan kontra Gus Dur serta tindakan anarki di beberapa daerah
yang menjurus pada perusakan fasilitas umum, sarana pendidikan dan Kantor Partai Golkar. Kalau konflik
ini terus berlanjut, maka proses disintegrasi bangsa tidak hanya terjadi secara teritorial di Aceh atau Irian
Jaya yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, akan terjadi
juga di Jakarta dan daerah- daerah di Pulau Jawa yaitu disintegrasi politik antara kelompok pendukung dan
kontra Presiden Abdurrahman Wahid. Dengan semangat berpikir positif dan keyakinan bahwa cara damai
dengan rekonsiliasi adalah lebih baik dari pada konflik massa secara fisik untuk menyelesaikan masalah
bangsa, maka dalam waktu tersisa ini masih bisa diupayakan suatu rekonsiliasi dengan kemungkinan siapa
bisa menjadi mediatornya. Alternatif mediator Ada beberapa alternatif untuk menentukan mediator dalam
proses rekonsiliasi nasional, dengan persyaratan utama harus dalam posisi netral (tidak memihak) sehingga
bisa diterima oleh semua pihak, memiliki kredibilitas yang bisa dipertanggungjawabkan secara nasional
dan memiliki komitmen untuk menjalankan reformasi. Beberapa pihak yang mungkin bisa menjadi
mediator rekonsiliasi adalah sebagai berikut. Pertama, lembaga tinggi dan tertinggi negara yang
memungkinkan untuk bertindak sebagai mediator adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Sayangnya MPR sebagai lembaga tertinggi negara memiliki beban
psikologis yang tidak netral karena Ketua MPR Amien Rais selama ini berada pada posisi politik yang
berseberangan dengan Presiden Abdurrahman Wahid sehingga tidak memungkinkan untuk itu. Sedangkan
DPA sebagai lembaga tinggi negara lebih berpeluang untuk menjadi mediator, walaupun DPA baru-baru
ini telah memberikan pertimbangan kepada Presiden Abdurrahman Wahid, antara lain tentang pemisahan
kepala negara yang dijabat Presiden Abdurrahman Wahid dan kepala pemerintahan yang dijabat Megawati
Soekarnoputri. Dengan demikian kedua lembaga tersebut kurang memungkinkan untuk bertindak sebagai
mediator rekonsiliasi nasional. Kedua, kemungkinan lain adalah lembaga nonpemerintahan seperti
organisasi keagamaan yang memiliki basis kuat dan lembaga perguruan tinggi yang independen.
Kemungkinan organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah sangat kecil
karena kedua organisasi tersebut merupakan basis kekuatan Presiden Abdurrahman Wahid dan Ketua MPR
yang justru sedang berkonflik. Kemungkinan salah satu perguruan tinggi terkemuka atau Forum Rektor
untuk menjadi mediator dapat diupayakan, hanya saja bisa menimbulkan reaksi dari para mahasiswa yang
ingin tetap sebagai kekuatan moral dan menegakkan reformasi. Ketiga, kemungkinan mediasi bisa datang
dari pribadi atau perorangan seperti Prof Dr Nurcholish Madjid, tokoh intelektual yang dianggap sebagai
guru bangsa, bersama dengan tokoh-tokoh intelektual dan tokoh-tokoh agama. Cara ini mungkin bisa lebih
efektif karena mereka umumnya netral dan mempunyai kualitas moral yang tidak diragukan, asal para
tokoh itu diminta kesediaannya untuk menjadi mediator. Keempat, kemungkinan TNI menjadi mediator
untuk rekonsiliasi nasional. Kemungkinan ini mungkin agak melawan arus, namun bukan mustahil bisa
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
26
kli
pin
gE
LS
AM
dilakukan. Di tengah hujatan dan tudingan TNI selalu dianggap berada di belakang kekuasaan, kita
menyaksikan sikap Fraksi TNI/Polri DPR yang mengejutkan yaitu menerima hasil Pansus Buloggate dan
Bruneigate. Atau bagaimana seorang KSAD Jenderal Endriartono Sutarto dalam suatu sidang kabinet
menolak gagasan untuk dilaksanakan suatu keadaan darurat yang bisa mengarah pada pembubaran
parlemen. Barangkali kejadian tersebut bisa memberikan suatu pandangan baru bahwa TNI telah
menjalankan suatu reformasi internal dan bersikap obyektif. Lagi pula siapa pun yang bertindak sebagai
mediator, ia hanya menjadi "moderator" yang menjalankan tugas untuk mempertemukan perbedaanperbedaan pendapat dari peserta rekonsiliasi tersebut. Sedangkan yang berperan aktif adalah para pemimpin
nasional yang berbeda pendapat tersebut. Tahap rekonsiliasi Pertemuan Yogyakarta yang diprakarsai Sri
Sultan Hamengku Buwono X berhasil mempertemukan para pemimpin nasional, tetapi tidak membuahkan
hasil apa-apa, antara lain karena kurang disiapkan materi apa yang akan dibahas. Demikian pula upaya
mempertemukan para tokoh dalam suatu forum atau acara massal, maksimal hanya akan mempertemukan
secara fisik para tokoh tanpa mempertemukan ide atau pemikiran para tokoh itu. Barangkali untuk
menghasilkan suatu rekonsiliasi yang efektif dan efisien perlu diadakan pentahapan yang bisa dilakukan
sebagai berikut ini. Pertama, pihak mediator mengundang keempat tokoh nasional dengan agenda
pembahasan yang sudah disiapkan sebelumnya, misalnya, menyatukan persepsi untuk mengatasi perbedaan
pendapat dan mencegah konflik politik serta konflik massa sebagai prioritas utama. Pembahasan ini bisa
beberapa kali, apabila tidak dapat diselesaikan dalam satu kali pertemuan dan bila perlu diadakan secara
tertutup untuk lebih memberi kebebasan para peserta tanpa intervensi dari luar. Kedua, apabila pertemuan
terbatas telah dapat menghasilkan komitmen bersama, maka pertemuan tahap berikutnya dapat diperluas,
misalnya dengan mengundang para ketua parpol seperti Ketua PPP Hamsah Haz dan parpol lainnya, atau
tokoh-tokoh masyarakat dan agama. Pertemuan ini adalah untuk mensosialisasikan komitmen yang telah
dicapai serta kemungkinan sharing kekuasaan dalam pemerintah atau kabinet sebagai hasil pertemuan
pertama. Ketiga, setelah pertemuan terbatas tersebut, barulah diadakan suatu acara secara terbuka dan
massal untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa rekonsiliasi nasional telah menghasilkan kerukunan
atau perdamaian nasional di tingkat pemimpin nasional dengan harapan konflik fisik tingkat massa dapat
diakhiri. Akan tetapi, semua terpulang kembali kepada para pemimpin nasional, apakah mereka bersedia
untuk mengalah selangkah dan memberi kesempatan pada rekonsiliasi untuk mencegah disintegrasi
nasional. * Herman Musakabe, pemerhati masalah sosial politik.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
27
KOMPAS - Minggu, 18 Mar 2001 Halaman: 30 Penulis: Wendyartaka, Anung; Litbang Kompas
Ukuran: 7487
Jajak Pendapat Kompas: Rekonsiliasi Mutlak Dilakukan * Fokus
kli
pin
gE
LS
AM
REKONSILIASI para elite politik menjadi prioritas utama yang harus dilakukan untuk mengatasi krisis
politik yang sedang dihadapi bangsa Indonesia saat ini. Pendapat itu terungkap dari hasil jajak pendapat
Kompas di 13 kota di Indonesia 14-15 Maret lalu. MENURUT responden, jalan keluar mengatasi persoalan
bangsa saat ini tidak bisa lain, adalah menggelar rekonsiliasi antar-elite politik. Para elite tersebut
diharapkan berhenti bertikai dan mau duduk bersama untuk mencoba berbicara membahas penyelesaian
persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa. Pertikaian antar-elite politik yang terjadi seperti saat ini diyakini
justru semakin memperburuk situasi. Berbagai persoalan yang mendesak untuk diatasi dan agenda-agenda
bangsa lain yang menjadi tuntutan rakyat di era reformasi terbengkalai, gara-gara para elite baik itu
presiden maupun wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR justru sibuk bertikai. Padahal, harapan yang sangat
besar dari rakyat untuk membebaskan bangsa ini dari krisis multi dimensional ada di pundak mereka.
Pemilihan umum yang diakui sangat demokratis dan menghasilkan pemerintahan yang mempunyai
legitimasi yang tinggi di mata rakyat, seakan tidak ada artinya saat ini. Kondisi yang terjadi justru
sebaliknya, situasi ekonomi, politik, dan keamanan Indonesia malah semakin memburuk. Situasi seperti ini
selain disebabkan kinerja pemerintahan Abdurraman Wahid yang buruk, juga tidak bisa dielakkan
merupakan buah dari pertikaian antar-elite politik yang tidak kunjung usai hingga kini. Akibatnya,
sepanjang hampir dua tahun pemerintahan Abdurrahman Wahid dipenuhi dengan gejolak politik yang
berdampak negatif terhadap kondisi keamanan dan memburuknya ekonomi bangsa. Buruknya kinerja
pemerintahan saat ini bisa dilihat dari hasil jajak pendapat Kompas selama satu setengah tahun terakhir ini
(lihat kronologi). Dari situ terlihat, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah saat ini dari
waktu ke waktu semakin turun. Parahnya, ketidakpuasan masyarakat itu ternyata ada pada semua bidang,
baik itu ekonomi, sosial, politik, maupun keamanan. Oleh karena itu, tidak mengherankan popularitas
Presiden Abdurrahman Wahid pun semakin turun. Dari segi ekonomi, misalnya, rupiah yang sempat
menguat di awal pemerintahan Abdurrahman Wahid, saat ini semakin terperosok menembus angka Rp
10.000 per dollar AS. Konflik-konflik antarkelompok masyarakat di berbagai wilayah seperti di Ambon,
Aceh, dan terakhir di Sampit semakin memperburuk situasi keamanan, sehingga banyak investor yang
enggan menanamkan modalnya di Indonesia. Di bidang politik, aksi massa pro dan kontra menuntut
Presiden Abdurrahman Wahid mundur dari jabatannya yang marak belakangan ini juga membuat situasi
menjadi semakin runyam. Betapa tidak. Aksi unjuk rasa puluhan ribu massa yang dimotori aktivis
mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI) dari berbagai perguruan tinggi yang mengepung Istana Presiden ini pekan lalu kendati tidak
meluas, namun dampaknya cukup besar terhadap perekonomian. Hal ini ditandai dengan merosotnya nilai
tukar rupiah hingga menembus angka Rp 11.550 per dollar AS dan turunnya Indeks Harga Saham
Gabungan di Bursa Efek Jakarta. Terlepas dari aksi unjuk rasa mahasiswa yang menuntutnya mundur,
posisi Presiden Abdurrahman Wahid saat ini memang berada di ujung tanduk. Selain kinerja kabinetnya
dinilai semakin buruk, mantan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama ini juga dihadapkan berbagai
persoalan pribadi dan tuduhan-tuduhan mengenai keterlibatan dirinya pada beberapa skandal, seperti kasus
penyalahgunaan uang milik Yanatera Bulog atau yang lebih dikenal dengan skandal Buloggate. Goyangan
terhadap Presiden Abdurrahman Wahid yang tidak kalah hebatnya juga dilakukan oleh para elite politik di
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Bahkan, ada usaha-usaha
dari para anggota Dewan maupun Majelis untuk menggelar Sidang Istimewa MPR dalam waktu dekat. Tak
ayal menumpuknya persoalan yang dihadapi Presiden Abdurrahman Wahid berakibat legitimasinya di
hadapan publik semakin merosot. Berjuta harapan masyarakat yang ditumpukan pada Presiden
Abdurrahman Wahid di awal pemerintahannya untuk bisa membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik,
seakan sirna. Kondisi ekonomi, politik, dan keamanan bangsa bukannya membaik tetapi justru semakin
terpuruk. Melihat kondisi seperti ini, tidak heran publik mulai melirik alternatif pimpinan nasional lain
dengan harapan membawa Indonesia ke situasi yang lebih baik. Jajak pendapat yang dilakukan Kompas
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
28
kli
pin
gE
LS
AM
mencoba menjawab hal itu. Kurang lebih 55 persen responden memandang perlu diadakan kompromi di
tingkat pimpinan nasional. Kalau memungkinkan dan dirasakan perlu, mengapa tidak juga dilakukan
pergantian Presiden. Yang diingini masyarakat, bagaimana kepastian itu bisa lebih cepat agar
ketidakpastian, yang memperparah perekonomian nasional ini, segera berakhir. Mereka yang berpandangan
perlunya pergantian Presiden, meyakini pergantian Presiden akan membawa Indonesia ke keadaan yang
lebih baik. "Pemerintahan Gus Dur baru berjalan belum nyampai dua tahun aja situasi sudah tambah buruk,
ganti Presiden setidaknya akan membawa harapan baru," tutur seorang responden yang berdomisili di
Jakarta Timur. "Ganti Presiden, otomatis akan ada jalan baru untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
bangsa ini," kata seorang responden dari Bekasi. Alasan utama responden menginginkan pergantian
pimpinan nasional saat ini, karena mereka menilai kinerja pemerintahan Abdurrahman Wahid buruk. Di
samping itu, mereka juga berpendapat Presiden Abdurrahman kurang cocok sebagai presiden, selain tidak
bisa memimpin juga dipandang tidak punya sense of crisis. Kalau ditinjau lebih jauh berdasarkan partainya,
mereka yang menginginkan Presiden Abdurrahman Wahid mundur dari jabatannya, kebanyakan berasal
dari pendukung partai yang tergabung dalam Poros Tengah dan Partai Golkar. Sementara responden
pendukung Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagian besar bersikap untuk mempertahankan Presiden
Abdurrahman Wahid hingga akhir jabatannya. (Anung Wendyartaka/Litbang Kompas). METODE JAJAK
PENDAPAT Pengumpulan pendapat melalui telepon ini diselenggarakan oleh Litbang Kompas, 14-15
Maret 2001, di 13 kota di Indonesia. Sebanyak 1.060 responden berusia di atas tujuh belas tahun ke atas
dipilih secara acak menggunakan metode systematic sampling. Responden berdomisili di Jakarta,
Yogyakarta, Surabaya, Medan, Pekanbaru, Lampung, Denpasar, Samarinda, Makassar, Manado, Pontianak,
Banjarmasin, dan Jayapura. Jumlah responden di setiap kota ditentukan secara proporsional. Menggunakan
metode ini, pada tingkat kepercayaan persen, sampling error penelitian ini +/- 3,0 persen. Meskipun
demikian non sampling error masih dimungkiinkan terjadi.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
29
KOMPAS - Selasa, 20 Mar 2001 Halaman: 5 Penulis: Asy'arie, Musa Ukuran: 9723
REKONSILIASI BANGUN SPIRITUALITAS BARU
Oleh Musa Asy'arie
kli
pin
gE
LS
AM
SUARA dan gema perlunya rekonsiliasi masih saja nyaring terdengar, dan terus-menerus disuarakan oleh
berbagai kalangan, termasuk para elite politik sendiri yang terlibat dalam konflik yang terus berlanjut tanpa
ada kepastian kapan akan berakhir. Rekonsiliasi mengandaikan bersatunya kembali kepingan-kepingan
yang retak oleh benturan dan konflik kekerasan yang terjadi dalam suatu perjalanan dari kehidupan
berbangsa dan bernegara. Benturan dan konflik kekerasan politik kekuasaan, ikut menyeret berbagai aspek
kehidupan masyarakat, baik sosial, politik, ekonomi, budaya, hukum maupun agama. Dengan dibumbui
oleh mencoloknya tingkat kesenjangan kehidupan sosial ekonomi, maka akibatnya tindakan anarkis makin
meluas, dan luka sosial yang ditimbulkannya pun makin menghujam dalam. Dalamnya luka sosial yang
diperparah oleh tikaman krisis multidimensi, mengakibatkan komunikasi politik mengalami kebuntuan
total. Karena itu, usaha rekonsiliasi akan menjadi sesuatu yang sia- sia, bahkan mustahil dapat
diselenggarakan dengan baik, jika persoalan-persoalan yang membuat terjadinya kebuntuan komunikasi
politik itu tidak dapat diuraikan secara jelas. Uraian itu bukan untuk memperpanjang masalah dan
mengungkit- ungkit dendam di masa lalu, tetapi untuk memahami di mana titik-titik kebuntuan itu terjadi,
sebagai dasar untuk menyusun dan berkelanjutan, sehingga rekonsiliasi tidak akan berhenti pada dataran
seremonial saja, dan berbau basa-basi. Hakikat rekonsiliasi Dalam sejarah kehidupan bangsa-bangsa di
dunia ini, selalu diwarnai oleh konflik dan pertumpahan darah, karena watak dan hakikat kehidupan itu
adalah pergerakan, perubahan, pergeseran, dan konflik, di mana pun masyarakat itu berada, baik di Barat
seperti Jerman, Inggris, dan Perancis, dan juga di Timur, seperti di Arab, Cina, dan India sama saja. Bahkan
sejarah agama yang konon bersumber kepada Tuhan juga tidak sepi dari konflik berdarah, seperti Perang
Salib yang berlangsung ratusan tahun, bahkan di Palestina dan Bosnia dewasa ini. Melalui krisis
multidimensi, yang sering kali diwarnai dengan pertumpahan darah, maka terjadilah proses jatuh bangun
dan pergeseran puncak-puncak kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa di dunia. Puncak kebudayaan
dan peradaban pernah dicapai oleh Yunani, kemudian jatuh, dan bergeser ke Timur di kawasan Timur
Tengah, yaitu pada puncak kebudayaan dan peradaban Islam, dan kemudian mengalami kejatuhan pula,
lantas puncak peradaban bergeser dan berpindah ke Barat hingga dewasa ini, dengan bertumpu pada
penguasaan ilmu dan teknologi. Kejatuhan puncak-puncak kebudayaan dan peradaban, biasanya dimulai
dari krisis politik, dan kemudian menyeret berbagai aspek kehidupan masyarakat dalam krisis moralitas.
Dalam krisis moral itu, setiap kelompok yang terlibat dalam konflik, mempunyai standar moralitasnya
sendiri, sehingga masing-masing menetapkan standar dan legitimasi moralnya sendiri-sendiri. Kebaikan
pada kelompok yang satu akan dianggap keburukan oleh kelompok yang lainnya, masing-masing dengan
argumentasinya yang rasional. Kekacauan standar moralitas melahirkan kekacauan dalam tata kehidupan
masyarakat, dan dengan sendirinya akan makin mempersulit adanya pemecahan masalah, sebab tidak ada
standard moral yang diakui bersama sebagai platformnya. Terjadinya kekacauan standar moralitas dalam
kehidupan masyarakat akan menimbulkan anomali dan anarki, sebab tidak ada lagi nilai yang menjadi
rujukan dan dasar legitimasi yang dapat dipegang dan diakui bersama-sama oleh masing-masing kelompok.
Kekacauan sistem nilai moralitas membuat masyarakat bingung, frustrasi dan jatuh bersamaan dengan
porak-porandanya sistem nilai penyangga kehidupan secara total, dan menjadi awal jatuhnya kebudayaan
dan peradaban suatu bangsa. Kejatuhan kebudayaan dan peradaban telah menghancurkan harkat dan
martabat suatu bangsa secara keseluruhan, dan pemulihannya memerlukan waktu yang amat panjang.
Jatuhnya puncak kebudayaan dan peradaban Yunani tidak datang dan kembali lagi, demikian juga halnya
jatuhnya puncak kebudayaan dan peradaban Islam, hingga saat ini masih belum kembali, dan sekarang
tinggal peninggalan sejarah di masa lalu. Mungkin setiap bangsa telah mempunyai jadwalnya sendirisendiri. Rekonsiliasi sebagai upaya untuk merajut kembali sobekan-sobekan yang terkoyak-koyak oleh
konflik dan kekerasan, pada hakikatnya merupakan wujud dari kesadaran moralitas kemanusiaan yang
baru, yang ingin menatap dan membangun masa depan kehidupan baru yang lebih baik. Akan tetapi, usaha
rekonsiliasi bukan usaha yang mudah. Karena itu, rekonsiliasi hanya mungkin dilakukan jika semua
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
30
kli
pin
gE
LS
AM
kelompok masyarakat yang terlibat dalam pertikaian dan konflik kekerasan itu, secara ikhlas bersedia
memotong sejarah dan mengubur masa lalunya, untuk kemudian menatap ke depan membangun kehidupan
baru dengan semangat dan spiritualitas yang baru, dan didasarkan agenda kerja yang baru pula. Keikhlasan
memotong sejarah kelabu Keikhlasan adalah suatu kata yang mudah diucapkan, tetapi amat sangat sulit
dilakukan, apalagi bagi seseorang yang merasa dirugikan, disengsarakan, dan dihancurkan harga diri dan
martabat sosialnya. Keikhlasan tidak dapat dipaksakan, sebab keikhlasan muncul dari kesadaran hati nurani
yang paling dalam, di mana egoisme pribadi sudah dapat dikalahkannya. Jika egoisme belum bisa
ditaklukkan oleh kesadaran hati nuraninya, mustahil keikhlasan itu dapat muncul dan mendasari setiap
perbuatannya. Egoisme ibaratnya sebuah bungkus, jika hati nurani telah terbungkus oleh egoisme, maka
yang ada adalah kegelapan, dan akan menghalangi ketajaman mata hatinya untuk melihat, memahami dan
menyadari makna kebenaran, keadilan, kemanusiaan, dan nilai-nilai moralitas lainnya. Persoalannya
sekarang adalah apakah elite politik dan massa pendukungnya yang terlibat dalam konflik kekerasan
memperebutkan kekuasaan itu, bersedia dengan ikhlas memotong sejarahnya sendiri. Selama masing-masing kelompok mewariskan dan melalukan sosialisasi terus-menerus mengenai luka sejarahnya masingmasing, maka bara api pertikaian dan konflik kekerasan akan terus menyala, dan hanya oleh persoalan
sepele saja dapat memicu munculnya konflik kekerasan membara kembali. Yang lebih sulit lagi adalah jika
para elite politik itu merasa berkepentingan untuk menghidup-hidupkan semangat masa lalunya, karena
melalui cara itu, mereka dapat mempertahankan eksistensi dan pengaruhnya dalam kehidupan
masyarakatnya. Usaha memotong sejarah masa lalu, mungkin akan dianggap sebagai usaha mengubur
kepahlawanan para elite politik dan para tokoh, karena mereka amat membanggakan peranan dirinya di
masa lalu itu, dan pada umumnya merekalah yang amat sulit dan tidak ikhlas untuk memotong dan
mengubur sejarah kelabu masa lalunya. Tetapi usaha memotong sejarah kelabu itu, harus dilakukan sebagai
bagian dari penyadaran terhadap rakyat betapa mereka telah melalukan kebodohan dan pemiskinan budaya,
sehingga rekonsiliasi dapat diletakkan dalam perspektif sejarah mereka sendiri tanpa rasa marah, untuk
tidak mengulangi kebodohannya di masa lalu. Dengan demikian bangkitnya kesadaran rakyat, akan
memberdayakan dirinya untuk mengatakan "tidak" kepada para pemimpinnya, melalui suatu proses
pendidikan dan penyadaran politik yang memakan waktu. Dan proses itu harus segera dimulai dari
kalangan para cendekiawan dan rohaniwan yang jujur, ikhlas, bebas politisasi apa pun, dan berada di
tengah-tengah kehidupan rakyatnya, untuk melalukan pendidikan dan penyadaran politik kepada rakyatnya,
dengan membuka dialog, komunikasi dan sosialisasi nilai-nilai kebenaran dan kemanusiaan, sebagai wujud
tanggung jawab moralnya mengkritik dan menjaga jarak dengan kekuasaan, sehingga menjadi kekuatan
penekan terwujudnya rekonsi-liasi yang manusiawi dan produktif. Spiritualitas baru Kebutuhan atas
spiritualitas baru bagi usaha rekonsiliasi adalah mutlak, untuk membangkitkan semangat baru menolak
setiap kepentingan politik praktis dari pusat kekuasaan yang ada, dan mengawalnya untuk memasuki
kehidupan baru yang lebih baik. Bangkitnya spiritualitas baru merupakan proses dialektika kesadaran
dalam kehidupan masyarakat sendiri, yang berjalan secara alamiah, dan merupakan wujud penjelmaan dan
keinginannya yang besar untuk segera keluar dari krisis multidimensi yang sudah memporak-porandakan
sendi-sendi kehidupannya. Spiritualitas baru diperlukan sebagai dasar pijakan moral dan ideologi, untuk
membuka kebuntuan politik dan membangun komunikasi politik baru yang mencerahkan, dengan
menawarkan harapan-harapan yang didasarkan para prinsip keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat
berdasarkan supremasi hukum, dan ketiganya menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Akhirnya rekonsiliasi menjadi tuntutan rakyat yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan dihalang-halangi oleh
siapapun, karena kekuatan rakyat akan mengalahkan segala kekuatan apa pun. Rakyat sudah lelah dan
muak terhadap konflik kekerasan. Jika elite politik menolak tuntutan rekonsiliasi, maka rakyat akan
meninggalkannya. Rakyat Indonesia bersatulah, untuk melawan egoisme politik kekuasan dan menegaskan
komitmennya pada rekonsiliasi untuk mencapai Indonesia Baru yang adil bersatu, damai, dan sejahtera.
Spiritualitas baru yes! kekerasan no! * Musa Asy'arie, guru besar filsafat Islam IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
31
KOMPAS - Sabtu, 24 Mar 2001 Halaman: 1 Penulis: Santeri, Raka Ukuran: 5967
NYEPI DAN REKONSILIASI NASIONAL
kli
pin
gE
LS
AM
Oleh Raka Santeri
MASYARAKAT Bali amat percaya dengan adagium yang mengatakan: "Bhuta ya, Dewa ya." Maknanya
secara bebas: kesulitan adalah pangkal kesempatan; penderitaan adalah pangkal kebahagiaan; kekacauan
adalah pangkal kedamaian. Kesulitan, penderitaan, kekacauan adalah Bhuta (yang melambangkan
kegelapan dan keguncangan). Sedangkan kesempatan, kedamaian, dan kebahagiaan adalah Dewa (yang
melambangkan terang dan keseimbangan). Agar kegelapan menjadi terang, keguncangan menjadi
keseimbangan (Bhuta ya, Dewa ya), diperlukan usaha dan pengorbanan. Masyarakat Bali antara lain
mewujudkannya dalam simbol ritual yang bernama caru atau tawur. Inilah simbol usaha dan pengorbanan
untuk mengubah yang disebut jelek menjadi baik. Meski sesungguhnya diakui, kedua sisi itu tetap ada
dalam satu kesatuan, ibarat sekeping mata uang. Kebijakan para tetua di Bali mengajarkan pula, untuk
menjadi baik bukan dengan cara mengalahkan yang jelek. Pagi hari muncul bukan karena malam hari telah
dikalahkan. Keduanya akan tetap ada. Hanya yang satu surut, untuk memberi kesempatan kepada yang
lainnya muncul. Muncul dan surut selalu terjadi dalam kehidupan, sebagai akibat perubahan ruang, waktu,
dan keadaan (desa, kala, dan patra). Dengan semangat "tidak mengalahkan" itulah masyarakat Bali
melakukan perubahan, dan dengan semangat yang sama pula mereka menyongsong perubahan selanjutnya.
Pada tingkat "sepi diri" ternyata tidak ada yang sepenuhnya baik, seperti pula tidak ada yang sepenuhnya
jelek. Bahkan, konflik pun seperti menyelimuti bangsa kita sekarang ini dan tidak sepenuhnya berarti
bahaya, tidak selalu bersifat merusak, bila kita mau mengelolanya dengan bijak. Bukankah perubahan tidak
pernah terjadi tanpa konflik? Dewa dan Bhuta pada hakikatnya sama. SECARA kebetulan, bertepatan
dengan datangnya Tahun Baru Isaka 1923 tanggal 25 Maret 2001, pemerintah juga sedang berusaha
melaksanakan rekonsiliasi nasional dalam mengelola konflik yang terjadi sekarang. Tujuannya tentu untuk
mengubah nasib bangsa yang terpuruk ini, agar mampu bangkit kembali menemukan jalan ke arah cita-cita
kemerdekaannya. Rekonsiliasi nasional, atau apa pun nanti istilahnya, adalah ibarat sebuah ritual, yaitu
"ritual politik". Karena itu, harus pula diisi dengan semangat pengorbanan, ketulusan hati, dan tidak untuk
saling mengalahkan. Setiap pihak yang terlibat harus bersedia untuk "surut" sedikit, guna memberi
kesempatan kepada pihak lain "muncul" demi keselamatan bangsa secara keseluruhan. Dalam terminologi
Bali, tidak ada yang boleh sepenuhnya menyebut diri sebagai "dewa", dan tidak pula ada yang sepenuhnya
bisa dituding sebagai "bhuta". Karena sesungguhnya yang sedang menjadi bhuta sekarang ini adalah
suasana, keadaan bangsa yang akan kita ubah bersama-sama menjadi dewa. Inilah saatnya kita menebus
kekeliruan-kekeliruan kita di masa lalu, yang akhirnya telah mencampakkan kita semua ke lembah nista
seperti sekarang. Inilah saatnya kita berbesar hati mengakui segala kekurangan diri, dan menerima
kelebihan pihak lain untuk dipersatukan menjadi sinergi bangsa membangun masa depan yang lebih baik.
Kenyataan pahit yang kita alami sekarang ini, lebih memperkukuh keyakinan kita pada inti kebenaran
setiap agama, bahwa "Tidak mungkin membangun kebahagiaan di atas fondasi kepalsuan". Segala sesuatu
yang diperoleh dengan tipu daya dan kecurangan, pasti tidak kokoh. *** SERUAN Clifford Geertz
(Kompas, 10/3) agar kita waspada menghadapi situasi bangsa sekarang ini, memang amat tepat.
Tampaknya benar, kita semua sedang ada di ambang "zaman edan" seperti dikatakan Ronggowarsito.
Masyarakat Bali sering menyebutnya sebagai zaman kali atau kali yuga. Kita tidak perlu lari ke hal-hal
berbau mistik, apalagi takhayul. Seorang bayi pun akan dapat merasakan suasana tegang yang terjadi di
sekelilingnya. Suasana tegang dan resah yang berlangsung amat lama akibat keterpurukan ekonomi, PHK
massal, manipulasi hukum, main hakim sendiri, perampokan terang-terangan, KKN lama dan baru,
tiadanya kepemimpinan, bentrok antarsuku dan agama, pembantaian etnis dan sebagainya, jelas
mempengaruhi pula psikologi masyarakat. Terjadilah stress sosial, irasionalitas massal, yang kemudian
mempengaruhi pula kalangan elite bangsa. Bukankah ini yang namanya zaman edan atau kaliyuga? Setelah
"daftar luka hati" yang cukup panjang, kini tiba saatnya bagi bangsa ini untuk merenungkan diri sedalamdalamnya. Tiba saatnya bangsa ini untuk "nyepi" sejenak, mengosongkan diri dari keangkuhan individu
dan kelompok; melepaskan diri dari ikatan kekuasaan; lalu bangkit sebagai anak bangsa yang masih punya
harga diri dan rasa malu melihat dirinya tetap terbenam dalam lumpur keterbelakangan. Apakah terlalu
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
kli
pin
gE
LS
AM
ideal kalau kita kini berseru: mari kita songsong fajar kedamaian? Martin Luther King Jr pernah
mengatakan: "Kita harus menyadari bahwa perdamaian melambangkan musik yang indah, suatu melodi
surgawi yang jauh lebih indah daripada gemuruh peperangan." (Duta Wacana University Press, 1999).
Akan tetapi, jika kesempatan emas ini kita sia-siakan, maka mungkin kita akan terpaksa menyongsong
buah karma selanjutnya yang lebih mengerikan. Secara teoretis, dalam siklus konflik tanpa pengelolaan,
setelah daftar luka hati yang panjang, maka akan timbul perang. Padahal "Kekerasan sama sekali tidak
bermoral karena kekerasan tumbuh dari rasa benci, bukan dari rasa kasih. Kekerasan menghancurkan
masyarakat dan mematikan rasa persaudaraan. Kekerasan berakhir dengan kekalahan diri sendiri,
meninggalkan kepahitan bagi yang selamat, dan kebrutalan pada pihak si perusak." (ibid). Inikah takdir
bangsa kita? Semoga tidak. * Raka Santeri, wartawan tinggal di Denpasar
32
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
33
KOMPAS - Selasa, 24 Apr 2001 Halaman : 6 Penulis: osd Ukuran: 2324
PGI USULKAN PERTOBATAN DAN REKONSILIASI NASIONAL
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Presiden Abdurrahman Wahid dan para pimpinan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
(PGI) sependapat bahwa Indonesia saat ini sedang tertimpa bencana "kebakaran", sehingga perlu segera
dilakukan pemadaman. Hal ini terungkap dalam jumpa pers setelah pertemuan antara para pimpinan PGI
dan Presiden di Bina Graha, Jakarta, Senin (23/4). Kepada wartawan, Ketua Umum PGI, Pendeta Natan
Setiabudi Ph D mengatakan, PGI menyampaikan pesan Paskah kepada Presiden yang antara lain berisi
usulan dilakukan pertobatan dan rekonsiliasi nasional, terutama di kalangan para pemimpin bangsa ini.
Menurut Natan, saat ini Indonesia sebagai rumah bangsa ini sedang mengalami kebakaran. Menghadapi
kebakaran ini, banyak pihak tidak segera melakukan pemadaman atau menyiramnya dengan air, tetapi
saling menuding tentang siapa yang salah. "Bahkan ada yang mencari kesempatan kalau nanti dibangun
kembali, yang berkaitan dapat bagian yang paling besar. Bahkan pula, ada yang ikut bermain. Ini
keprihatinan kami, khususnya menjelang tanggal 30 April ini. Nah, ini harus ada pertobatan betul-betul,"
ujar Natan. Ditanya tentang tanggapan Presiden, Ketua Umum PGI mengatakan, "Presiden sependapat
dengan ini dan beliau mengatakan istigotsah (tanggal 29 April 2001 nanti-Red), bukan gerakan politik, tapi
justru untuk menyejukkan situasi." Ditanya tentang usulan PGI agar diadakan pertobatan dan rekonsiliasi
nasional, Natan mengatakan, tidak ada tanggapan yang spesifik. Katanya, Presiden menerima itu secara
utuh sebagai masukan. Natan yang antara lain didampingi Pendeta Suyapto Tandya Wasesa, mengatakan,
sebelumnya, para pimpinan PGI telah bertemu dengan Ketua DPR Akbar Tandjung dan selanjutnya akan
bertemu pula dengan Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri. Selain itu, kata Natan, dalam pertemuan
dengan para pemimpin bangsa dan negara ini, PGI juga mencari masukan. Dari masukan itu, PGI akan
mengeluarkan siaran pers. "Kami harap siaran pers itu bisa keluar sebelum tanggal 30 April 2001," ujar
Natan. Diungkapkan pula, pimpinan PGI juga mengusulkan agar pada masa transisi ini diadakan
pembagian tugas antara Presiden dan Wakil Presiden. (osd)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
34
KOMPAS - Rabu, 28 Mar 2001 Halaman: 7 Penulis: tra Ukuran: 3424
REKONSILIASI BUTUHKAN DASAR HUKUM YANG KUAT
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Praktisi hukum Dr Todung Mulya Lubis menyatakan, pemerintah tak bisa mengharapkan
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dari inisiatif masyarakat semata. Karena pembentukan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai langkah mewujudkan rekonsiliasi membutuhkan dasar hukum
yang kuat. Tanpa dasar hukum yang kuat, komisi itu tidak akan efektif dalam menjalankan perannya.
"Presiden Abdurrahman Wahid, beberapa waktu lalu berbicara pada saya tentang pentingnya Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi. Namun Presiden berharap inisiatif pembentukan komisi itu berasal dari
masyarakat, dan bukan dari pemerintah," ujar Lubis kepada Kompas di Jakarta hari Senin (26/3).
Sebelumnya, pada sebuah seminar internasional di Jakarta, Kamis lalu, Lubis mengakui, persoalan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi sekarang menjadi topik pembicaraan penting, karena komisi itu diharapkan
bisa mewujudkan perdamaian di Indonesia. Akan tetapi, justru yang diperlihatkan oleh elite politik adalah
perilaku yang antirekonsiliasi. "Sekarang kita justru menyaksikan pertarungan politik, konflik, dan
pembalasan politik di mana pun. Tidak pernah dalam sejarah negeri ini yang dipenuhi dengan beragam
konflik antarpartai politik, etnis, agama, atau militer dan sipil seperti sekarang ini," tandasnya lagi. Dari
pemerintah Lubis mengatakan, pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak bisa diharapkan
tumbuh begitu saja dari masyarakat. Inisiatif pembentukan komisi itu harus didukung pemerintah, sebab
komisi harus mempunyai dasar hukum yang kuat untuk mengatur kewenangannya. Tanpa dasar hukum
yang kuat, tidak seorang pun yang akan peduli kepada komisi tersebut. "Dari pengalaman, pembentukan
tim pencari fakta-pada beragam peristiwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM)-yang tidak didukung
dasar hukum yang kuat ternyata tidak mampu menjalankan fungsinya dengan efektif. Kenapa Komisi
Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM Timor Timur dinilai berhasil dalam menjalankan tugasnya? Jawabnya
adalah, sebab komisi itu memiliki dasar hukum yang kuat, termasuk memberikan kewenangan subpoena
dan melakukan pemeriksaan silang terhadap mereka yang potensial menjadi tersangka, saksi, dan korban,"
jelas mantan Wakil Ketua KPP HAM Timtim tersebut. Lubis mengungkapkan, pemerintah harus
memasilitasi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Dia mengakui, kini Departemen
Kehakiman dan HAM sedang menyiapkan rancangan undang-undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran
dan Rekonsiliasi tersebut. Tetapi, sampai kini RUU itu belum diserahkan dan dibahas bersama DPR.
Padahal, kalau RUU itu tidak segera dibahas, kemungkinan bangsa ini akan kehilangan momentum untuk
melakukan rekonsiliasi. Elite politik, lanjutnya, terlalu sibuk mencari jalan bagaimana segera mengimpeach Presiden. Kalau pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak segera diwujudkan,
barangkali bangsa ini perlu memikirkan ulang pentingnya komisi tersebut. Lubis mengutarakan,
pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bukan untuk menghukum seseorang yang dituduh
melakukan kejahatan HAM di masa lalu. Tetapi, komisi itu berperan penting untuk mengungkapkan sebuah
peristiwa pelanggaran HAM di waktu lalu, sehingga pelanggaran itu tidak terulang kembali di kemudian
hari. (tra)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
35
KOMPAS - Kamis, 10 May 2001 Halaman: 4 Penulis: Hendardi Ukuran: 10875
MENGHADAPI MASA LALU, REKONSILIASI ATAU KEADILAN?
Oleh Hendardi
kli
pin
gE
LS
AM
Bagian pertama dari dua tulisan REKONSILIASI adalah salah satu cara yang ditempuh oleh masyarakat
pada negara-negara yang sedang bertransisi menuju demokrasi, untuk menghadapi masa lalunya yang
tercabik-cabik oleh kekejaman represi politik pemerintah. Kendati banyak orang dapat bersepaham bahwa
suatu "rekonsiliasi nasional" untuk mengakhiri perseteruan politik yang berdarah di masa lalu memang
diperlukan, namun pada saat yang sama, orang masih berdebat tentang bagaimana caranya rekonsiliasi itu
akan dicapai. Perdebatan berlangsung terhadap persoalan ini: Apakah untuk mencapai rekonsiliasi, pelaku
pelanggaran hak-hak asasi manusia harus dihukum-atau sebaiknya dimaafkan? Diperiksa lebih jauh,
manakah yang harus lebih dikedepankan dalam masa transisi, apakah pendekatan hukum (justice) atau
pendekatan politik (reconciliation)? Tema perdebatan ini berada tepat di jantung permasalahan prosesproses rekonsiliasi di berbagai negeri. Namun, sebelum sampai pada pilihan untuk "menghukum" atau
"memaafkan", sebuah masyarakat harus terlebih dulu memutuskan apa sikap yang akan mereka ambil
dalam keharusan untuk menghadapi masa lalunya? Untuk mengatakannya secara persis: apakah kekejaman
yang mereka alami di masa lalu sebaiknya dilupakan, atau sebaliknya, harus terus diingat? Masing-masing
pilihan ini-melupakan atau mengingat- memiliki fungsi sosial-politiknya sendiri-sendiri. Yang harus
ditekankan di sini, pemilihan masing-masing masyarakat terhadap pilihan-pilihan itu akan sangat
ditentukan oleh keadaan- keadaan politik dan kesejarahan yang menghidupi mereka dan tak mungkin saling
diperbandingkan. Dengan demikian, pemilihan suatu masyarakat terhadap pilihan jalan keluar tertentu akan
didasari oleh pertimbangan kecocokan dan keterbaikan bagi mereka sendiri. Namun, pilihan yang sama,
belum tentu cocok dan baik bagi masyarakat yang lain. Hari-hari ini, Indonesia post-otorianisme juga
diperhadapkan pada pilihan-pilihan tersebut. Wacana dan perdebatan tentang pilihan pendekatan hukum
atau pendekatan politik mulai banyak dikedepankan lewat media publik. Bahkan Undang-Undang (UU)
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) telah juga mencantumkan
kemungkinan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat di masa lalu melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR). Kendati begitu, sampai sekarang KKR belum terbentuk. Rancangan Undang-Undang
(RUU) KKR masih dalam proses penyelesaian untuk diajukan ke DPR. Di tengah situasi politik yang tidak
kunjung membaik serta perdebatan atas penyelesaian masa lalu yang masih terus berkembang, pada awal
Maret lalu, Kasus Tanjung Priok 12 September 1984 kembali mencuat menjadi pemberitaan. Ini karena
adanya kesepakatan perdamaian antara sebagian korban/keluarga korban dengan para pejabat keamanan
yang bertugas pada waktu itu (Try Soetrisno dan kawan-kawan) lewat islah, suatu cara dalam hukum Islam
untuk menyelesaikan masalah dengan berdamai. Model penyelesaian berdamai antara korban dan orangorang yang diduga kuat sebagai pelanggar hak asasi manusia ini mengundang silang pendapat di media
massa. Bukan saja Tanjung Priok, sebelumnya sayup-sayup terdengar kasus Way Jepara, Lampung, yang
merebak pada tahun 1989 juga telah dilakukan penyelesaian damai antara sebagian korban dan pihak yang
diduga kuat sebagai pelanggar hak asasi manusia yang hampir serupa dengan model islah kasus Priok.
Hanya kabarnya lebih dipilih cara "diam-diam" yang tampaknya justru tidak mengharapkan publisitas.
Preseden buruk bagi penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan lestarinya
impunity bagi pelaku pelanggaran hak asasi manusia, antara lain menjadi kegalauan para aktivis hak asasi
manusia atas model penyelesaian semacam itu. Di samping kecurigaan kuat hal ini menjadi sarana "cuci
baju kotor" penguasa masa lalu dari sejarah hitam yang mereka torehkan. Melupakan atau mengingat?
Sebuah masyarakat yang memutuskan untuk melupakan masa lalunya untuk dapat sesegera mungkin
memulai kehidupan yang "normal"-akan memilih untuk memaafkan orang-orang yang dulu menindasnya.
Dengan demikian, masalah pengadilan dan penghukuman bagi pelaku kejahatan kemanusiaan tidak jadi hal
yang terlalu penting. Akan tetapi, masyarakat yang memutuskan untuk mengingat masa lalunya, dalam
rangka untuk mencegah agar kejahatan di masa lalu tidak berulang di masa depan, akan harus mendesak
agar para pelaku kejahatan kemanusiaan yang dahulu menyengsarakan mereka untuk diadili. Dan, jika
kemudian terbukti bersalah, dihukum dengan pantas. Di situ, "permaafan" diletakkan secara tegas pada
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
36
kli
pin
gE
LS
AM
wilayah privat. Ia dibedakan dengan jelas dari "tindakan hukum", yang berada pada wilayah publik.
Dengan demikian, pilihan yang satu tidak bisa menggantikan atau menghapuskan yang lain. Asumsi yang
berlaku di sini adalah: hak terhadap tegaknya hukum bukan semata-mata hak individual-tetapi juga hak
kolektif. Si korban boleh saja memaafkan pelaku, tetapi hal itu tidak bisa mencegah orang lain yang
menghendaki agar ia dihukum. Sebab, tegaknya hukum dibutuhkan untuk membangun preseden bagi masa
depan yang demokratik dan adil dalam kehidupan bersama. Rekonsiliasi di Afrika Selatan pascarezim
apartheid adalah contoh tentang bagaimana suatu masyarakat memilih untuk "memaafkan" ketimbang
"menghukum" para pelaku pelanggaran berat hak-hak asasi manusia di masa lalu. Namun, pengalaman
rakyat Afrika Selatan itu belum tentu cocok bagi Indonesia, meski benar bahwa hal itu adalah yang terbaik
bagi mereka. Beberapa catatan yang sepenuhnya merupakan hasil interpretasi saya terhadap hasil-hasil
penelitian mengenai proses rekonsiliasi di Afrika Selatan, perlu dikedepankan di sini. Pertama, proses
rekonsiliasi di Afrika Selatan adalah hasil dari "politik negosiasi" antara rezim apartheid dengan Nelson
Mandela yang ketika itu masih dipenjara. "Rekonsiliasi" di sini harus diartikan sebagai ajakan untuk
"melupakan masa lalu" agar suatu kehidupan "normal" dapat segera dimulai dan lingkaran kekerasan
pembalasan dendam dapat dicegah. Dengan kata lain, fungsi sosial-politik dari "melupakan masa lalu" di
situ sangat dituntun oleh tujuan untuk segera mungkin membangun hidup yang beradab-dalam arti
penghentian permusuhan rasial antara minoritas kulit putih yang berkuasa dengan mayoritas kulit hitam
yang dikuasai. Di sini, ada hal yang mesti digarisbawahi dan diingat. Meski rekonsiliasi sebagai hasil dari
politik negosiasi antara rezim apartheid dengan Mandela kemudian diimbangi oleh usaha pencarian
kebenaran, namun sesungguhnya mandat untuk melakukan truth seeking itu baru muncul belakangan di
konstitusi-demokratik Afrika Selatan. Ia dihasilkan oleh perjuangan kalangan NGO (non-governmental
organization) yang cemas bahwa rekonsiliasi akan diselewengkan maknanya menjadi amnesty umum
terhadap rezim apartheid. Hal lain sebagai implikasi dari rekonsiliasi tersebut adalah benar bahwa
kemudian politik-apartheid bisa diakhiri. Permusuhan rasial berhasil dikikis dan kehidupan normal
kemudian berlangsung. Namun pada kenyataannya yang lain, ekonomi-apartheid tetap berlangsung sampai
hari ini. Dengan kata lain, meski permusuhan rasial berhasil dikikis, namun masalah prasangka rasial tetap
berlangsung dalam kehidupan ekonomi. Kedua, dalam konteks untuk melupakan masa lalu itu, proses
rekonsiliasi diupayakan melalui proses-proses psikologis dan moral seperti truth telling di pihak korban,
dan confession di pihak pelaku kejahatan. Korban difasilitasi untuk mampu menerima kenyataan pahit yang
ia alami dengan cara didorong untuk mengisahkan tuntas kekejaman dan kepedihan yang ia alami.
Sementara itu, para pelaku yang mengakui kesalahan-kesalahannya dan memohon maaf akan dimaafkan.
Dengan cara demikian, perdamaian diharapkan akan dicapai dan pembalasan dendam serta permusuhan
akan dilupakan. Dengan demikian pula, proses hukum terhadap para pelaku kejahatan tidak terlalu
diutamakan. Namun, catatan dari beberapa kasus menunjukkan bahwa si pelaku sesungguhnya tidak benarbenar mengakui perbuatannya sebagai kesalahan dan menyesalinya. Mereka memang meminta "maaf"
kepada korban. Tetapi, bukan karena si pelaku mengakui bahwa ia telah melakukan perbuatan yang keliru,
melainkan semata-mata karena si korban berpikir begitu. Dengan kata lain, permintaan maaf itu diajukan
bukan atas perbuatannya melainkan atas pikiran korban terhadap perbuatannya. Ketiga, proses rekonsiliasi
di Afrika Selatan dengan penekanan pada saling memaafkan memiliki konteks politiknya yang khusus,
yakni adanya perjuangan perlawanan bersenjata terhadap rezim apartheid. Dengan kata lain, pelaku
kekerasan di negeri itu bukan hanya aparat-aparat rezim apartheid melainkan juga sayap bersenjata ANC.
Jadi, untuk meminjam terminologi Milan Kundera, proses rekonsiliasi di Afrika Selatan adalah wujud dari
seni melupakan (the art of forgetting) demi memulai suatu hidup normal-suatu langkah besar yang hanya
mungkin diwujudkan di bawah kepemimpinan figur besar Nelson Mandela. Nah, keadaan-keadaan khusus
demikian tidak kita dapati di Indonesia. Jelas bahwa kekuasaan politik tak pernah dipegang oleh ras
minoritas di Indonesia. Kebalikannya, justru warga minoritas di Indonesia harus mendapatkan
perlindungan. Jelas juga bahwa di Indonesia tidak pernah ada perjuangan bersenjata yang dilakukan
masyarakat untuk melawan kekuasaan tirani Orde Baru. Kebalikannya, justru masyarakat kita terusmenerus menjadi korban dari represi politik yang acap kali ditempuh melalui praktik-praktik mass killings.
Bahkan, kenyataan ini belum juga berhenti meski kekuasaan resmi Soeharto telah diakhiri. Selain itu, lebih
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
37
kli
pin
gE
LS
AM
dari sekadar kebutuhan untuk memiliki hidup yang "normal", kita semua dihadapkan pada kebutuhan untuk
mencegah agar praktik-praktik abuse of power tidak lagi terus berulang. Dengan demikian, apa yang sangat
kita butuhkan adalah tegaknya the rule of law demi memastikan suatu kehidupan demokratis. Kalau itu
kebutuhannya, maka kita tidak boleh melupakan masa lalu - kita justru harus terus mengingatnya kuat-kuat.
Pengalaman pahit yang kita alami di masa lalu harus menjadi referensi bagi kita untuk merumuskan suatu
bentuk kebebasan yang historis bagi hidup kita bersama di masa depan. Maka, kalau yang berlaku di Afrika
Selatan adalah the art of forgetting, kita di Indonesia justru harus mempraktikkan the art of remembering. *
Hendardi Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia Indonesia)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
38
KOMPAS - Jumat, 11 May 2001 Halaman: 4 Penulis: Hendardi Ukuran: 10208
Menghadapi Masa Lalu: Rekonsiliasi atau Keadilan? * Bagian Terakhir dari
Dua Tulisan
Bagian Terakhir dari Dua Tulisan Oleh Hendardi
kli
pin
gE
LS
AM
Rekonsiliasi: Hak korban Namun, apa pun pilihannya, suatu rekonsiliasi yang adil dan kekal hanya bisa
dicapai dengan menitikberatkan perhatian pada hak-hak para korban. Hak-hak ini harus dipenuhi oleh
negara melalui pemerintah yang mewakilinya. Semakin banyak hak para korban dapat dipenuhi, semakin
besar kemungkinan rekonsiliasi yang sejati dapat dicapai. Hubungan antara korban dan negara dalam
pengungkapanpast human rights abusues victim's right state's duty to know = to remember to justice = to
prosecute to reparation = to recognize Sedikit keterangan perlu diberikan tentang hal itu. Setiap usaha
untuk menghadapi masa lalu akan selalu dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan seperti, misalnya, berapa
banyakkah korban yang jatuh oleh suatu praktik kekuasaan teror? Siapa sajakah mereka itu? Mengapa dan
bagaimana mereka menjadi korban? Apakah ada dari mereka yang masih hidup? Kalau masih hidup, di
manakah sekarang mereka berada? Apakah di dalam tahanan mereka mengalami penyiksaan? Kalau sudah
gugur, di manakah jenazah mereka dikebumikan? Sudahkah keluarga mereka diberi tahu? Yang juga harus
dijelaskan. Apa sebabnya praktik-praktik kekuasaan teror itu dilakukan? Apakah tujuannya? Apa yang
kemudian dicapainya? Pada level yang paling konkret, apa motif dari tiap-tiap bentuk kekerasan itu?
Siapakah pelakunya? Apakah ia bertindak atas kehendaknya sendiri atau atas perintah? Tiap-tiap korban
(atau keluarganya) dari past human rights abuses memiliki hak untuk mengetahui jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan seperti tadi. Hal ini perlu, agar ia mendapatkan jalan untuk pada akhirnya bisa
menempatkan masa lalu di belakang (to put the past behind). Tanpa kepastian atas pertanyaan- pertanyaan
itu, korban akan selamanya hidup di masa lalu, dalam trauma yang akan menggagalkan kemampuannya
untuk membuka lembaran hidup baru. Maka, demi memenuhi hak korban untuk mengetahui inilah, kasuskasus past human rights abuses harus dibongkar dan diungkap. Hak pertama dari para korban ini disebut
the victim's right to know. Namun, jenis hak ini sebenarnya bukan hanya hak individual, melainkan juga
hak kolektif. Bukan hanya korban yang berhak untuk tahu. Tetapi, juga masyarakat secara umum. Setiap
masyarakat berhak untuk mengetahui sejarahnya yang benar. Pengungkapan atas past human rights abuses
diperlukan oleh suatu masyarakat untuk menginterpretasikan kembali sejarahnya. Pemenuhan atas hak
korban untuk tahu ini, menimbulkan kewajiban bagi negara untuk selalu mengingat, bahwa pada masa lalu,
kekuasaannya telah disalah-gunakan untuk melanggar hak-hak warganya (state's duty to remember).
Sejarah yang kelam ini tidak boleh dilupakan. Ia justru harus selalu diingat dan diabadikan, misalnya,
dengan cara membangun monumen-monumen kekejaman pemerintah sebelumnya, sebagai peringatan bagi
para pengelola kekuasaan negara selanjutnya. Kewajiban ini juga dapat dipenuhi oleh negara dengan
membiarkan interpretasi bebas dalam penulisan sejarah oleh masyarakat, dan kalau perlu bahkan negara
harus mempelopori suatu penulisan ulang sejarah. Hak korban yang kedua yang harus dipenuhi dari
pengungkapan kejahatan-kejahatan ke-manusiaan di masa lalu adalah the victim's right to justice. Setiap
korban dari past human rights abuses berhak mendapatkan keadilan. Hal ini dapat dipenuhi oleh adanya
suatu proses penyelidikan, pengadilan, dan penghukuman terhadap para pelaku kejahatan yang terbukti
bersalah. Maka menjadi jelas bahwa demi pemenuhan the right to justice ini, negara dibebani kewajiban
untuk melaksanakan proses-proses hukum secara benar pada mereka yang bersalah (state's duty to
prosecute). Perlu ditekankan di sini, bahwa demi rasa keadilan itu, pemberian amnesty pada para pelaku
kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) adalah sepenuh-penuhnya melanggar
hak korban atas keadilan. Di sini harus senantiasa diingat, amnesty yang berasal dari kata amnestia secara
literal berarti "melupakan" (to forget). Dari sisi ini, secara politik, pemberian amnesty kepada para pelaku
kejahatan terhadap kemanusiaan berarti menyalahi "kewajiban negara untuk mengingat" (state duty to
remember). Penting pula untuk diketahui, PBB menetapkan bahwa amnesty tidak boleh diberikan kepada
para pelaku crimes against humanity (lihat misalnya, Principles of international co-operation in the
detection, arrest, extradiction and punishment of persons guilty of war crimes and crimes against humanity,
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
39
kli
pin
gE
LS
AM
General Assembly Resolution, 3 December 1973). The right to justice ini juga memiliki karakter kolektif.
Proses-proses hukum harus diterapkan kepada para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, bukan hanya
demi kepentingan para korban. Tetapi, juga demi kepentingan masyarakat secara umum terhadap
demokrasi dan supremasi hukum. Dalam hal ini, secara spesifik, proses penghukuman memiliki arti sangat
penting. Yakni untuk menunjukkan permakluman publik bahwa praktik-praktik politik teror di masa lalu
adalah keliru dan karena itu tidak boleh dibiarkan. Permakluman demikian sangat penting untuk mencegah
kekejaman yang sama dari kemungkinan berulang di masa datang. Namun, ada catatan menarik dalam soal
ini. Sosialisasi pikiran seperti ini digagalkan pada beberapa kasus di negara-negara Amerika Latin oleh
pemberian amnesty kepada perwira-perwira militer yang terbukti bersalah. Setelah sekian lama menentang,
sebagian masyarakat Argentina, misalnya, akhirnya menganggap bahwa pemberian amnesty kepada
perwira-perwira militer yang melakukan penghilangan paksa adalah bentuk permaafan yang diperlukan
dalam rangka "rekonsiliasi", meski mereka tetap menilai bahwa praktik-praktik kekejaman itu keliru.
Namun, pada kebalikannya, para perwira itu justru menafsirkan bahwa "pemberian maaf" itu adalah bukti
bahwa kekejaman yang mereka lakukan dalam masa dirty war pada dasarnya perlu dan dibenarkan oleh
masyarakat-artinya tidak dapat disalahkan sepanjang dilakukan kepada golongan komunis. Hak terakhir
yang harus dipenuhi oleh pengungkapan past human rights abuses adalah the victim's right to reparation.
Setiap korban kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki hak untuk mendapatkan pemulihan hak-hak dan
perbaikan hidupnya. Tiap-tiap korban berhak untuk direhabilitasi nama baiknya, dipulihkan kembali
haknya atas jabatan atau pekerjaannya (dengan misalnya mendapatkan pembayaran gaji yang menjadi
haknya) dan mendapatkan kompensasi kerugian atas hak kepemilikannya yang dirampas. Untuk memenuhi
hak ini, negara memiliki kewajiban untuk mengakui (state's duty to recognize) dengan misalnya membuat
deklarasi politik (bahwa para korban sebenarnya tidak bersalah, bahwa perlakuan terhadap para korban
adalah sebuah kesalahan dan karena itu negara meminta maaf), membayarkan kembali gaji-gaji mereka dan
mengupayakan kompensasi kerugian bagi para korban dan keluarganya. Namun, dalam soal right to
reparation ini, negara tidak perlu bekerja sendirian. Setiap kekuasaan teror tidak mungkin berlangsung
demikian lama tanpa suatu persetujuan diam-diam dari masyarakat- suatu crime of silence. Karena itu,
demi suatu rekonsiliasi yang sejati, maka masyarakat secara umum harus ikut bertanggung jawab untuk
ikut mengusahakan perbaikan hidup para korban. Harus dicatat, pemenuhan atas right to reparation ini akan
meminta biaya yang sangat besar yang tak mungkin dipikul sendirian oleh negara. Jalan keluar terhadap hal
ini bisa dicari dengan, misalnya, mencontoh pengalaman di Cile. Di sana, masyarakat berpartisipasi dalam
pembentukan public funds untuk meringankan biaya yang harus dikeluarkan oleh negara bagi perbaikan
hidup para korban. Keharusan menentukan sikap Akhirnya, orang-orang Indonesia harus menentukan sikap
dalam keharusannya untuk menghadapi masa lalu. Apabila kita menghendaki supremasi hukum-artinya
juga demokrasi-ditegakkan, demi mencegah agar kekejaman di masa lalu tidak berulang di masa datang,
maka dalam pendapat saya, konsekuensinya kita harus mengingat masa lalu yang kelam itu ketimbang
melupakannya. Ini artinya, yang pertama-tama harus diupayakan oleh kita semua adalah "keadilan" dan
bukan "rekonsiliasi". Saya percaya, rekonsiliasi yang sejati dan kekal hanya dapat dicapai dengan
mempersembahkan keadilan pada para korban. Di sini, rekonsiliasi bukanlah tujuan, melainkan akibat yang
dapat dan harus kita kelola bersama dari usaha pemenuhan hak-hak para korban. Usaha demikian berarti,
setiap kejadian pelanggaran hak-hak asasi manusia di masa lalu harus dibongkar dan diungkap. Para pelaku
langsung dan penanggungjawabnya harus dihadapkan ke depan pengadilan dan, apabila terbukti bersalah,
dihukum secara pantas. Biarlah permaafan tetap menjadi bagian yang teduh dari kehidupan pribadi kita
sendiri-sendiri. Hukum harus ditegakkan. Amnesty tidak boleh diberikan kepada mereka yang terbukti
bersalah-tidak peduli ia seorang bekas presiden atau bekas Panglima ABRI/TNI sekalipun. Bukan saja
karena amnesty akan bertentangan dengan prinsip pemenuhan hak kepada para korban, namun juga karena
itu akan menggagalkan kemampuan kita untuk menarik pelajaran dari sejarah. Namun untuk itu, daya
masyarakat harus dikerahkan ke dalam suatu tekanan politik yang kencang untuk mendorong agar negara
tidak menyelewengkan makna rekonsiliasi menjadi kompromi politik terhadap kekuatan-kekuatan lama
yang, selama lebih dari tiga puluh tahun, telah mencabik-cabik hidup kita semua. Maka di sini juga menjadi
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
kli
pin
gE
LS
AM
jelas: otonomi relatif hukum, kewibawaan hukum yang tak memihak, hanya mungkin diwujudkan oleh
suatu perjuangan politik demokratik.
* Hendardi Ketua PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia Indonesia)
40
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
41
KOMPAS - Kamis, 17 May 2001 Halaman: 4 Penulis: Ruslani Ukuran: 14062
DIALOG DAN REKONSILIASI MESTINYA BERANGKAT DARI
OTOKRITIK
Oleh Ruslani
kli
pin
gE
LS
AM
BILA kita mau jujur, sebenarnya elite politik bangsa ini masih berputar-putar pada persoalan ideologis dan
fanatisme golongan yang bercampur dengan "dendam" politik. Masing-masing elite berusaha merangkul
aliansi sebanyak-banyaknya dalam rangka menjatuhkan pihak lain yang dianggap sebagai lawan kuat,
tetapi kemudian aliansi ini akan berantakan kembali ketika kepentingan-kepentingan kelompok yang
beraliansi tidak terakomodasi lagi. Hal ini tampak jelas pada Sidang Umum MPR Oktober 1999 untuk
menentukan siapa presiden kita. Poros Tengah dengan legowo merangkul Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
untuk dicalonkan menjadi presiden vis-a-vis Megawati Soekarnoputri. Saat itu, mungkin merupakan pilihan
paling logis memilih Gus Dur karena hampir tidak ada tokoh politik lain yang memiliki karisma seperti
Megawati selain Gus Dur. Artinya, Gus Dur dicalonkan sebagai presiden pada saat itu bisa ditafsirkan
sebagai upaya untuk menjegal Megawati agar tidak jadi presiden. Namun, yang terjadi kini sebaliknya:
kelompok-kelompok yang dulunya mendukung Gus Dur sebagai presiden, kini berbalik ingin menjatuhkan
Gus Dur dengan menggunakan justifikasi-justifikasi politis yang sering mengada-ada. Bahkan yang lebih
lucu lagi, pihak- pihak yang dulu ngotot berpendapat bahwa dalam Islam tidak diperbolehkan seorang
perempuan menjadi presiden, kini dengan lantang mengatakan, "kini telah ada perubahan pemikiran
sehingga tidak ada masalah seorang perempuan untuk menjadi presiden." Padahal, perdebatan mengenai
boleh-tidaknya seorang perempuan menjadi presiden, bukan hal yang sangat signifikan karena yang paling
penting adalah komitmen seorang pemimpin terhadap nasib bangsa dan rakyat yang dipimpinnya. Nyaris
dalam setiap komentar maupun ungkapan para elite politik saat ini sarat dengan kepentingan yang ingin
menunjukkan bahwa kelompoknyalah yang paling baik dan mewakili rakyat Indonesia sehingga ia berhak
menentukan segala-galanya. Tidak pernah ada upaya dari para elite untuk berdialog secara terbuka tanpa
membawa prasangka-prasangka sebelumnya untuk mencari sebuah alternatif pemecahan yang disepakati
bersama dan demi kepentingan bangsa. Setiap ucapan elite yang mengatakan "demi bangsa" agaknya sudah
terdistorsi maknanya saat tidak bisa lagi melihat persoalan secara obyektif: mereka cenderung sudah
memiliki penilaian benar-salah sebelum menyelidiki maupun memahami persoalan secara lebih jelas dan
gamblang. Bahkan, yang lebih parah, isu-isu kerusuhan dan konflik sering dijadikan komoditas politik
untuk menjatuhkan lawan-lawan politik. *** PARTAI politik dan golongan-bagi sebagian besar elite
politik dan masyarakat kita-agaknya sudah beralih fungsi menjadi "agama". Karena fanatisme kepada partai
atau golongan tertentu sudah sedemikian hebatnya sehingga bisa diidentikkan dengan fanatisme agama.
Dalam agama, fanatisme itu muncul setidaknya karena tiga hal. Pertama, karena faktor ideologis, yaitu
penafsiran religius terhadap relasi-relasi sosial. Agama menjadi perekat suatu masyarakat atau kelompok
sosial karena memberi kerangka penafsiran dan pemaknaan bagi hubungan-hubungan sosial. Ini juga
berlaku bagi partai dan kelompok politik di Indonesia. Artinya, partai politik sering melakukan penafsiran
politis terhadap relasi-relasi sosial dan menganggap bahwa partai bisa menjadi perekat suatu kelompok
masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dan pemaknaan tertentu bagi hubungan-hubungan sosial.
Kedua, faktor identitas dan relasi sosial. Orang memeluk agama tertentu berarti menjadi milik suatu
kelompok sosial tertentu. Kemudian kepemilikan ini memberikan stabilitas sosial, status, cara berpikir, dan
etos tertentu. Persoalan ini menjadi lebih kuat lagi bila dikaitkan dengan identitas etnis dan kultural suatu
kelompok sosial. Dalam partai, orang menjadi anggota partai berarti ia menjadi "milik" partai
bersangkutan. Seringkali karena pandangan ini, para pemimpin maupun partisan partai dengan "senang
hati" melakukan pertikaian dan konflik dengan partai lain demi partainya. Ketiga, legitimasi etis. Suatu
sistem pemikiran mendapat dukungan agama. Artinya, konsep-konsep atau wacana tertentu yang ada di
masyarakat, misalnya, tentang demokrasi, kesetaraan jender, keadilan sosial, dan lainnya, sering diklaim
sebagai berasal dari agama atau kitab suci agama tertentu. Dengan klaim ini, umat beragama sering lupa,
mungkin umat beragama lain pun memiliki klaim yang sama. Dari pemimpin dan elite partai, kita sudah
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
42
LS
AM
terlalu sering mendengar, "partai kami adalah partai terbuka dan demokratis, kami bersedia dikritik dan di
ini, itu, asal semuanya berdasarkan fakta dan argumentasi yang valid dan dilakukan demi kebaikan
bersama." Namun kenyataannya, jarang sekali ada partai yang benar-benar terbuka. Jarang sekali ada tokoh
partai atau organisasi tertentu yang bisa mengambil jarak dengan partai atau organisasinya. Padahal,
ketidakmampuan mengambil jarak inilah yang menjadi salah satu sumber tumpulnya daya nalar dan daya
kritis kita. Kita sering lupa bahwa kita adalah juga manusia yang sama dengan manusia lain, meski ia tidak
separtai dengan saya. Elite bangsa kita agaknya belum mampu mengadakan dialog terbuka untuk
mengkritisi diri masing-masing kemudian bercermin dengan cermin rakyat kebanyakan: siapakah mereka
sesungguhnya. Cermin yang sering kita gunakan untuk berkaca adalah cermin kita sendiri, cermin
subyektivitas kita, cermin yang tidak mampu menampilkan gambaran diri kita yang sejati. Kalaupun
cermin itu mengungkapkan diri kita yang sejati, jarang di antara kita ada yang mau mengakuinya, bahkan
seringkali kita berusaha untuk menutupinya dengan retorika dan ungkapan-ungkapan canggih yang
membuat rakyat semakin kebingungan.
***
kli
pin
gE
"BAGAIMANAKAH kita bisa mengambil jarak dengan kelompok kita sendiri?," tampaknya merupakan
persoalan yang patut menjadi renungan kita bersama agar proses dialogis bangsa ini bisa berjalan pada
koridor yang semestinya, agar bangsa kita tidak lagi menjadi bangsa yang suka adu otot, tetapi lebih
menjadi bangsa madani yang cerdas, yang lebih banyak menyelesaikan persoalan dengan akal sehat
ketimbang dengan menghancurkan kelompok lain. Dalam hermeneutika Paul Ricoeur, proses distansiasi
atau pengambilan jarak bisa dilakukan melalui tiga hal. Pertama, dekonstruksi. Dengan dekonstruksi kita
akan berusaha membongkar pemahaman-pemahaman lama kita tentang siapa diri kita, apa kelompok kita,
dan siapa orang/kelompok selain kita. Dekonstruksi ini diterapkan ke dalam berbagai realitas, kepentingan
dan ideologi melalui pemisahan hubungan mono-linier antara realitas, kepentingan, atau ideologi tertentu
dengan tafsirnya. Keyakinan bahwa ada hubungan final antara suatu realitas dengan tafsir tertentu harus
dibongkar, karena keyakinan semacam ini akan menimbulkan berbagai dampak negatif. Pertama, fanatisme
terhadap tafsir tertentu serta menolak keabsahan tafsir lain. Kedua, akan menutup kemungkinan terbukanya
realitas terhadap berbagai penafsiran. Dengan tertutupnya keragaman tafsir, maka sebuah realitas akan
mengalami semacam "pembusukan". Ketiga, suatu realitas yang telah dibungkam melalui peresmian satu
tafsir saja, akan menyebabkan realitas itu tak bermakna lagi dalam menghadapi derasnya perubahan sosial
pada zaman modern sekarang ini. Dekonstruksi terhadap pemahaman suatu realitas, berarti membuka
kemungkinan terhadap keragaman tafsir atas realitas. Sebab, hubungan yang linear dan final antara realitas
dengan tafsirnya telah putus. Dekonstruksi juga membawa konsekuensi lain yang lebih bersifat sosiologis,
yakni berusaha menghapus monopoli tafsir pada otoritas tertentu yang berbicara mengenai "kebenaran
tunggal" atas nama Tuhan, negara, dan penguasa, sehingga tafsir menjadi sesuatu yang relatif "demokratis"
dalam pengertian adanya kemungkinan bahwa kebenaran tidaklah menjadi monopoli satu tafsir tertentu.
Kedua, kritik ideologi. Istilah "ideologi" diciptakan Destutt de Tracy untuk mendefinisikan maksudmaksud utama sains yang bertujuan memahami berbagai gagasan, karakteristik-karakteristik dan hukumhukumnya serta hubungannya dengan tanda-tanda yang merepresentasikannya. Ia berupaya
merepresentasikan sebuah dunia yang licik, yang memaksakan pandangan dunia kelas sosial dominan
terhadap kelas-kelas yang lebih rendah. Menurut sudut pandang Ricoeur, adalah mungkin bagi kita untuk
menyadari bahwa ini merupakan pandangan yang sangat picik tentang ideologi yang hanya menekankan
sisi negatifnya. Padahal, ideologi bukan hanya bersifat distortif terhadap realitas sosial, ia juga terkait
dengan kuasa masyarakat dan integrasi, yang dalam kenyataannya mampu mengubah cara pemahaman kita
terhadap dunia. Ideologi adalah sebuah persoalan tanpa akhir dan tak pernah bisa dipecahkan karena tidak
ada ruang non-ideologis yang bisa digunakan untuk memulai diskusi tentang ideologi. Fenomena ideologis
muncul dalam sebuah masyarakat pasca- industrial dalam hal yang berkaitan dengan disimulasi realitas.
Konflik-konflik utama dalam masyarakat itu yang berupaya untuk memberikan jawaban-jawaban bagi
perdebatan nasional merupakan akibat dari kondisi tentang ilusi ini. Di Indonesia, kita telah menyaksikan
konflik-konflik di kalangan elite politik yang disulut ideologi- ideologi yang berusaha menyelamatkan isu
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
43
kli
pin
gE
LS
AM
untuk mempertahankan status masyarakat pasca-industrial. Karena itu, agaknya bangsa kita, terutama elite
politiknya, perlu menengok konsep "rehabilitasi ideologis" dari Ricoeur. Ricoeur berpendapat, ideologi
ternyata bukanlah hal yang negatif sama sekali, ia mulai membahas persoalan ideologi dengan sebuah
makna yang jelas untuk mendeduksi makna fundamental dari ideologi. Ia menekankan adanya tiga fungsi
ideologi: (1), dismulasi realitas; (2) legitimasi berbagai otoritas; dan (3) integrasi sosial. Analisis dalam
konsep Ricoeur dimulai dari Marx, yaitu konsepsi yang paling umum dan paling jelas tentang fenomena
ideologis: disimulasi realitas yang memperhitungkan pertentangan antara ideologi (ideal plan) dan praksis
(real plan). Ia juga mengadopsi konsep pendekatan struktural Althusser mengenai Marxisme yang
menyatakan adanya pertentangan lain, antara sains dan ideologi. Sebagai titik balik atas pencarian ini,
Ricoeur juga memperhitungkan pendekatan Mannhein berkenaan dengan fenomena itu untuk menunjukkan
bahwa tidak ada ruang yang netral ilmiah untuk mendiskusikan konsep ideologi. Karena itu, kita
sebenarnya tidak mampu memisahkan sains dari ideologi dan pengetahuan utama tentang realitas jelas
sekali dipengaruhi oleh ideologi. Dari Weber, Ricoeur berupaya menemukan jalan baru untuk memahami
fenomena ideologis, dengan menunjukkan konsep kedua tentang ideologi: legitimasi otoritas. Ada sebuah
perbedaan antara maksud-maksud dari mereka yang memegang kekuasaan dan legitimasi otoritas, yang
menurut Ricoeur, inilah yang disebut plus-valour politik. Ideologi menyembunyikan perbedaan ini. Dengan
mengikuti analisis Ricoeur, maka sangat penting untuk mengkritisi konsep-konsep ideologi karena alasan
bahwa konsep-konsep ini senantiasa terkait dengan kekuasaan. Setelah melakukan berbagai kritik ideologi,
Ricoeur akhirnya menunjukkan karakteristik ketiga dari ideologi: integrasi masyarakat. Di balik disimulasi
dan letigimasi, ideologi juga memiliki fungsi untuk memelihara identitas dan integrasi kelompok dalam
masyarakat. Menurut Ricoeur, ada sebuah relasi dialektis antara sains-sains dan ideologi, sehingga setiap
upaya untuk memisahkannya adalah sia-sia. Ada juga kaitan antara ideologi dan konflik-konflik
masyarakat kontemporer yang menunjukkan adanya keharusan untuk dilakukannya pendekatan-pendekatan
baru untuk menengahi konflik-konflik itu dalam masyarakat. Dengan memperhatikan ketiga karakteristik
dan fungsi ideologi seperti yang ditunjukkan Ricoeur, semoga elite politik kita bersedia menjadikan
ideologi mereka sebagai upaya untuk menjembatani berbagai konflik kepentingan di antara mereka sendiri
maupun konflik horizontal dalam masyarakat menuju integrasi masyarakat Indonesia. Ketiga, analogi
permainan. Yang dimaksud dengan analogi permainan di sini adalah sebuah permainan yang diadakan
sebagai arena untuk mempertemukan pihak-pihak yang berkonflik dengan terlebih dahulu melepaskan
klaim-klaim primordialnya yang sempit guna mengikuti permainan tertentu yang bebas untuk siapa saja
dan ditonton oleh siapa saja. Karena dalam permainan, orang biasanya bisa melupakan sejenak "identitas
primordialnya" masing-masing. Ia akan lupa apa partainya, apa pangkatnya, apa agamanya, apa sukunya,
dan apa ideologinya. Dengan cara ini, diharapkan ketika kita sudah keluar dari permainan, akan timbul
kesadaran bahwa ternyata kita mampu melepaskan klaim-klaim eksklusif atas diri kita yang membuat kita
seringkali tidak toleran terhadap pihak lain. Dengan kesadaran ini, diharapkan pula bangsa kita bisa
melakukan dialog dan rekonsiliasi tanpa harus membawa kepentingan-kepentingan kelompok atau pribadi
yang memang sudah saatnya disubordinasikan di bawah kepentingan bangsa dan negara yang kini tengah
sekarat menunggu kesadaran kita untuk bangkit bersama-sama bergandengan tangan dalam suasana tenang
dan demokratis, tanpa saling tuduh, tanpa saling curiga, tanpa saling bunuh, dan tanpa saling menjatuhkan.
* Ruslani, editor-in-chief penerbit Qalam, mahasiswa Program Magister Ilmu Religi dan Budaya,
Universitas Sanata Dharma; dan staf pengajar Sekolah Tinggi Seminari St Paulus, Yogyakarta.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
44
KOMPAS - Senin, 28 May 2001 Halaman: 6 Penulis: sah Ukuran: 3864
REKONSILIASI TIDAK BERHASIL KARENA ELITE TAK
MENGINGINKANNYA
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Rekonsiliasi nasional yang diinginkan banyak pihak agar bangsa Indonesia keluar dari
krisis berkepanjangan sulit terealisasi. Di banyak negara lain, rekonsiliasi selalu menjadi usulan pihak elite
yang bersalah (pemerintahan otoriter) akibat tekanan dari korbannya (rakyat). Sebaliknya di Indonesia
adalah kebalikan, para korbanlah yang mengusulkan rekonsiliasi, sementara elite yang bersalah,
menganggap tidak ada persoalan. Demikian disampaikan Munir, Ketua Dewan Pengurus Komisi Untuk
Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pada diskusi berjudul "Menuju Rekonsiliasi Bangsa
: Mengapa Rekonsiliasi Sulit Dilaksanakan di Indonesia". Diskusi yang dilaksanakan Masyarakat Dialog
Antar Agama, Forum Komunikasi Kristen Jakarta, dan World Vision Indonesia ini berlangsung di Jakarta,
Sabtu (26/5). Pengamat sosial politik Dr Daniel Sparingga, pada kesempatan itu menyatakan, para elite
Indonesia yang berkuasa saat ini merasa tidak perlu membicarakan rekonsiliasi. Elite bahkan berharap,
seiring waktu, organisasi nonpemerintah dan rakyat yang menuntut rekonsiliasi akan lupa pada
keinginannya. Rektor Universitas Krida Wacana Jakarta, Dr Judo Poerwowidagdo sebelumnya
mengatakan, rekonsiliasi jauh lebih baik daripada negara ini terus dilanda konflik. Syarat utama
rekonsiliasi, meniru pengalaman Afrika Selatan, adalah memberi pengampunan. Sedangkan Sekretaris
Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Letjen (Purn) Arifin Tarigan mengungkapkan, demokrasi yang
berkembang sekarang ini sudah ada tanda-tanda menyumbat logika dan moral. Padahal, tersumbatnya dua
unsur itu adalah awal kehancuran bangsa ini. "Masih perlukah rekonsiliasi di negara ini? Agenda
rekonsiliasi itu untuk siapa? Apa tidak prematur, kita membicarakan rekonsiliasi?" tanya Munir. Daniel pun
mempertanyakan hal senada. Cuci tangan Menurut Munir, rekonsiliasi semakin sulit karena aktor negara
ikut sebagai bagian dari konflik. Negara masih saja memproduksi kekerasan kepada masyarakat.
Sebaliknya, masyarakat Indonesia sendiri belum cukup kuat membentengi diri untuk tidak terkait dengan
konflik di antara elite. "Masyarakat kita masih menjadi mesin tempur dari kekuatan- kekuatan yang
bertikai. Misalnya, ketika ada usulan sebuah kelompok menuntut pembubaran Golkar sebagai bentuk
pertanggungjawaban kejahatan Orde Baru, di pihak lain muncul perlawanan dengan gerakan antikomunis,"
ujar Munir. Proyeksi keadilan yang dituntut dari rekonsiliasi, tambah Munir, juga tidak pernah jelas.
Institusi formal yang dibentuk untuk mempertanggungjawabkan perbuatan masa lalu, justru dijadikan
"tempat cuci tangan" para pelakunya. "Sekarang ini banyak spanduk di jalan-jalan, yang bunyinya 'Damai
itu Indah' dibuat oleh institusi TNI. Namun, di sisi lain TNI tetap mengirimkan militer ke Aceh. Damai
yang disampaikan hanya retorika. Damai yang dikonstruksikan rezim lama. Seharusnya damai itu
dilakukan lewat pengakuan jujur mengakui kesalahan masa lalu terlebih dahulu," tanda Munir. Daniel
mengatakan, kata rekonsiliasi sudah kehilangan arti. Rekonsiliasi hanya keinginan rakyat yang
menginginkan perubahan di tengah kepasrahan. Rekonsiliasi menjadi pilihan karena instrumen institusi
formal (misalnya pengadilan) dianggap tidak mampu menyelesaikan krisis multidimensional negara ini.
Kalaupun rekonsiliasi mau dilakukan, kata dosen sosial politik Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas
Airlangga Surabaya, ini hanya bisa berhasil bila keadilan dan kebenaran ditegakkan. Ada penegasan bahwa
setiap orang berkedudukan sama di mata hukum, mendahulukan kepentingan para korban serta ada usaha
untuk menyelamatkan masa depan. (sah)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
45
KOMPAS Jawa Timur - Sabtu, 23 Jun 2001 Halaman: 36 Penulis: adp Ukuran: 3606
REKONSILIASI, JALAN TERBAIK BAGI KEBUNTUAN POLITIK
kli
pin
gE
LS
AM
Blitar, Kompas Rekonsiliasi nasional di jajaran elite politik, menurut Pengasuh Pondok Pesantren Tebu
Ireng Jombang, KH Yusuf Hasyim, adalah jalan keluar terbaik bagi kebuntuan politik nasional saat ini.
Dalam pandangan Kiai Yusuf yang akrab dipanggil Pak Ud ini, rekonsiliasi tidak butuh banyak biaya, dan
tidak menimbulkan korban di tingkat masyarakat bawah. Ia mengungkapkan hal itu saat ditemui di Blitar,
usai memimpin pembacaan tahlil dalam rangka haul ke-31 Bung Karno, belum lama ini. Ia merupakan
salah satu pelopor haul BK, dan menjadi tokoh penting di tengah pelaksanaan haul BK pertama pada 1983,
di tengah represivitas Orde Baru. "Kita semua sedang menunggu bagaimana hasil tim lobi yang dibentuk
Presiden. Menurut saya, Presiden telah mengusahakan rekonsiliasi melalui lobi yang dilakukan tim itu.
Semoga berhasil," ujar Pak Ud. Menurutnya, bagaimanapun juga peluang menuju rekonsiliasi harus
dimanfaatkan. Dalam dunia politik, betapa pun kecilnya peluang yang ada, jika salah satu pihak bisa
memanfaatkan dengan baik, tentu akan membuahkan hasil memuaskan. Saat ditanya soal pendapatnya
tentang sejauh mana keberhasilan tim lobi Presiden, Yusuf Hasyim berkata, "Saya tidak tahu soal berhasil
atau tidaknya. Kalau menurut Pak Mahfud (Menteri Pertahanan Mahfud MD-Red), baru 55 persen. Ya, kita
tunggu saja, semoga ada hasil yang melegakan semua pihak," tambahnya. Menyinggung soal peluang
Sidang Istimewa (SI) MPR sebagai solusi bagi masalah politik nasional, ia berpendapat, hal itu belum bisa
diperkirakan dari sekarang. Sebab, munculnya SI sebagai solusi, sangat tergantung kepada bagaimana
keputusan SI itu sendiri. "Keputusan SI bisa membawa implikasi yang berbeda. Bisa saja SI membuat hasil
positif bagi kehidupan bangsa dan negara. Tetapi bisa saja malah membuat masalah baru," lanjutnya.
Terkait dengan masalah itu, ia menyatakan setuju dengan dibahasnya Rancangan Ketetapan (Rantap)
tentang Kompromi Politik. "Kalau kompromi bisa dilahirkan dalam SI, itu bagus sekali," ujar Pak Ud lagi.
Kepada Presiden Abdurrahman Wahid, Kiai Yusuf juga berjanji akan menyampaikan sejumlah saran.
Bukan perpecahan Masih di Blitar, salah seorang istri Ir Soekarno, Ny Ratna Sari Dewi Soekarno
menegaskan, apa yang terjadi antara kakak-beradik Rachmawati dan Megawati, bukanlah simbol
perpecahan dalam keluarga Soekarno. "Pernyataan Rachma akhir-akhir ini, hanya ungkapan kekhawatiran
terhadap Mega. Mega berada di tengah-tengah panggung politik. Sehingga apa yang Rachma bilang, adalah
untuk memproteksi Mega. Saya yakin tidak ada perpecahan. Mereka satu ibu satu ayah, bagaimana bisa
pecah," katanya. Dewi berpendapat, selama ini memang banyak orang yang tidak berpikir tentang
kemampuan Mega. Itu terjadi karena Mega pendiam. Namun, baginya, kemampuan pribadi seseorang tidak
dapat dilihat, hanya dari frekuensi seseorang berbicara di depan publik. Ia ingat, dalam prosesnya, Mega
menjadi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI, kini PDI Perjuangan). Melalui kiprahnya di partai
politik itu, ia menjadi anggota DPR, dan kini menjadi Wakil Presiden (Wapres). "Dia (Mega-Red) selalu di
tengah-tengah panggung politik nasional. Cuma karena orangnya pendiam, banyak orang tidak berpikir dia
akan jadi Wapres. Tetapi saya ingat sekali, 35 tahun lalu, dia sudah omong begitu (maksudnya mempelajari
politik negara-negara Eropa)," ucap Dewi lagi. (adp)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
46
KOMPAS - Minggu, 24 Jun 2001 Halaman: 32 Penulis: Wijayanto, Eko Ukuran: 7501
Membangun Rekonsiliasi Sejati * Tinjauan Buku: Menepis Standar Ganda:
Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen
kli
pin
gE
LS
AM
MEMBANGUN REKONSILIASI SEJATI Judul : Menepis Standar Ganda: Membangun Saling Pengertian
Muslim-Kristen, Penulis : Hugh Goddard, Penerbit: Qalam, Edisi : November 2000, Tebal : (xv + 286)
halaman. SEJARAH agama Islam dan Kristen telah lama terjerumus dalam doktrin mengenai
eksklusivisme: "bahwa hanya agama kitalah yang paling benar, yang lain salah atau telah menyimpang".
DALAM perkembangannya, tingkat saling pengertian antara kedua komunitas agama-yang jumlahnya
sekitar sepertiga populasi penduduk dunia-sangatlah rendah. Dapat dikatakan bahwa saling tidak tahuMenahu jauh lebih besar dibandingkan saling pengertiannya. Hugh Goddard, seorang Kristiani, ahli teologi
Islam di Nottingham University, Inggris, menulis sebuah buku yang cukup menantang, Christians &
Muslims: From Double Standards to Mutual Understanding. Edisi Indonesianya berjudul Menepis Standar
Ganda: Membangun Saling Pengertian Muslim-Kristen, diterbitkan oleh Penerbit Qalam. Dalam buku
tersebut ditunjukkan oleh penulis, bahwa saling tidak tahu-menahu itu dikarenakan kesalahpahaman atau
tidak mau saling belajar. Misalnya, pengalaman seorang Muslim keturunan Inggris (yang lahir dan
menempuh pendidikan di Asia Selatan) menceritakan tentang seorang guru Kristen yang mengejutkan
dirinya dengan bertanya mengapa kaum Muslim menyembah babi (hal. 1-2). Pertanyaan guru itu jelas-jelas
menunjukkan ketidaktahuannya tentang agama Islam. Harus dikatakan, pemahaman yang mendasar tentang
Islam cukup gamblang, bahwa apa pun yang dilakukan oleh kaum Muslim, pasti tidak akan menyembah
babi, karena Islam adalah sebuah kepercayaan yang sangat monoteistik. Dari pembicaraan lebih lanjut
antara guru dan murid tadi akhirnya terungkap apa yang ada di balik pertanyaan si guru. Yakni, si guru itu
mengamati bahwa para warga Hindu di Asia Selatan tidak memakan daging sapi dan menduga bahwa hal
itu disebabkan karena sapi adalah binatang suci sehingga dagingnya tidak boleh dimakan. Ia juga
mengamati bahwa para warga Muslim tidak memakan babi, dan ia secara sempit menduga alasan di balik
itu ialah kepercayaan yang sama, yakni bahwa babi adalah binatang yang dianggap suci dan disembah.
Memang pertanyaan itu memiliki dasar logika, seperti analogi, tetapi jelas-jelas bahwa hal itu didasarkan
atas ketidaktahuan si penanya tentang agama Islam. Sebaliknya, ketidaktahuan yang melanda kebanyakan
umat Islam ialah kepercayaan bahwa orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Pandangan itu dikesankan dan
didasarkan atas interpretasi atas kitab suci Al Quran (misalnya. Q.4:171 dan Q.5:71-72). Bagaimanapun,
pandangan tersebut akan ditolak oleh sebagian besar orang Kristen, dan sesuai dengan keyakinan Kristen
yang sesungguhnya. Maka harus dikatakan bahwa pandangan tersebut didasarkan atas ketidaktahuan.
Saling tidak tahu-menahu adalah rintangan untuk mencari hubungan saling pengertian antara kaum Muslim
dan Kristiani. Namun demikian, masih ada persoalan yang lebih rumit dan kompleks. Persoalan yang
senantiasa muncul dalam sejarah hubungan kaum Muslim dan Kristiani, yakni penerapan standar ganda.
Dalam buku Menepis Standar Ganda yang berisi uraian sejarah dan doktrin ini, Hugh Goddard
menyimpulkan bahwa dalam seluruh sejarah hubungan Kristiani-Islam: apa yang telah membuat hubungan
itu berkembang menjadi kesalahpahaman-bahkan menimbulkan suasana saling menjadi ancaman di antara
keduanya-adalah suatu kondisi adanya "standar ganda" (double standards). Maksudnya, orang-orang
Kristiani maupun Islam selalu menerapkan standar-standar yang berbeda untuk dirinya, yang biasanya
standar yang bersifat ideal dan normatif untuk agama sendiri, sedangkan terhadap agama lain, memakai
standar lain, yang lebih bersifat realistik dan historis (hal. 12). Melalui standar ganda inilah, muncul
prasangka-prasangka teologis, yang selanjutnya memperkeruh suasana hubungan antar umat beragama.
Anggapan ada tidaknya keselamatan dalam agama lain, seringkali ditentukan oleh pandangan mengenai
standar ganda kita. *** DALAM soal teologi, standar yang menimbulkan masalah klaim kebenaran adalah
standar "bahwa agama kita adalah agama yang paling sejati berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain
adalah hanya konstruksi manusia-atau mungkin juga berasal dari Tuhan, tapi telah dirusak, dipalsukan oleh
ulah manusia". Dalam sejarah, standar ganda ini biasanya dipakai untuk menghakimi agama lain dalam
derajat keabsahan teologis di bawah agama kita. Lewat standar ganda inilah muncul perang klaim-klaim
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
47
kli
pin
gE
LS
AM
kebenaran dan janji penyelamatan. Klaim itu kadang berlebihan dari satu agama atas agama lain, dengan
sama sekali mengeluarkan seseorang yang beragama lain dari partisipasi bersama dalam jalan Tuhan.
Paham eksklusif yang menyingkirkan agama lain dalam jalan Tuhan, sudah menjadi ideologi ekspresif
yang membentuk pola keagamaan masyarakat Islam dan Kristen. Walaupun dalam Islam misalnya, sejak
awal sebenarnya sudah ada konsep Ahl al-Kitab yang memberi kedudukan kurang lebih setara kepada
golongan non-Muslim, namun selalu saja ada intepretation away cara menafsirkan yang pada akhirnya
menyatakan sesuatu tidak sesuai lagi dengan bunyi yang dimaksud Kitab Suci. Akibatnya adalah ayat yang
inklusif dibaca secara eksklusif. Contohnya adalah pembacaan ayat berikut: "sesungguhnya agama (yang
diridhai) di sisi Tuhan ialah Islam (Q. 3:19)." Atau, "barang siapa mencari agama selain dari Islam, maka
tidaklah akan diterima, dan di akhirat akan termasuk orang-orang yang merugi." (Q. 3:85). Padahal
menurut Prof Dr Nurcholish Madjid sesungguhnya bila membaca pesan ayat di atas didapati semangat
agama universal (al-din al-jami'). Dengan mengembalikan makna "islam" dalam arti generiknya sebagai
'pasrah sepenuhnya (kepada Allah)' maknanya akan berbeda sekali, yaitu bahwa agama yang diterima di
sisi Allah adalah agama yang membawa kepasrahan kepada Allah. Sehingga dalam membaca Al Quran
surat al-Imran ayat 85 ialah, "barang siapa yang mencari agama selain dari kepasrahan kepada-Nya, maka
tidak akan diterima, dan di akhirat akan termasuk orang yang merugi." *** KITA, kaum Muslim maupun
Kristiani, telah begitu mendalam mewarisi pandangan eksklusif. Sebuah pandangan yang mempunyai
kecenderungan formalistik, fanatik, dogmatis, dan otoriter. Buku ini mencoba mengungkap persoalanpersoalan krusial yang masih menjadi penghambat dalam hubungan kaum Muslim dan Kristiani. Sebuah
buku yang (seharusnya) patut menjadi sarana pemahaman kedua komunitas agama tersebut. Dengan
memahami dan berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang masih menjadi "kendala" kedua
komunitas agama, maka harapan rekonsiliasi sejati akan dapat diwujudkan. Buku ini uraiannya begitu
mendalam dan akan menantang wawasan keagamaan kita selama ini. (Eko Wijayanto, staf Program Studi
Islam Yayasan Paramadina)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
48
KOMPAS - Sabtu, 30 Jun 2001 Halaman: 1 Penulis: tra; bdm Ukuran: 7374
Soal Pelanggaran HAM Masa Lalu MPR Perlu Buat Tap MPR tentang
Komisi Penyelidik Nasional
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus mengambil prakarsa konkret untuk
menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu agar kasus-kasus
tidak terus menjadi komoditas politik. Pada intinya, berbagai kekerasan politik pada era Orde Baru harus
dituntaskan. Untuk itu, diperlukan konsensus di MPR untuk menyepakati model penyelesaian yang
diharapkan. Sebagai langkah awal, MPR harus mengeluarkan Ketetapan (Tap) MPR tentang Pembentukan
Komisi Penyelidik Nasional. Pandangan itu disampaikan ahli hukum Abdul Hakim Garuda Nusantara
dalam percakapan dengan Kompas di Jakarta, Jumat (29/6). Belum jelasnya penanganan kasus pelanggaran
HAM pada masa lalu lebih disebabkan tidak adanya arahan soal model penyelesaian. "Apa pun model
penyelesaian yang dipilih, harus tetap didahului oleh penyelidikan menyeluruh yang dilakukan oleh Komisi
Penyelidik Nasional," ujar Abdul Hakim. Dalam forum Sidang Istimewa (SI) MPR perlu dibuat semacam
konsensus soal siapa yang akan mengemban fungsi sebagai Komisi Penyelidik Nasional dan kasus-kasus
apa yang diduga terjadi crimes againts humanity pada kurun waktu tertentu. Setelah dilakukan penyelidikan
menyeluruh, akan diketahui model penyelesaian yang cocok, apakah itu melalui mekanisme peradilan
militer, peradilan HAM ad hoc, atau model Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. "Lahirnya Tap MPR akan
memperkuat bobot politik dari pemerintah yang mengemban tugas tersebut," kata Abdul Hakim. Bercermin
pada Pansus Trisakti, menurut Abdul Hakim, tampak sekali model penyelesaian apa yang akan disarankan
sangat tergantung pada kepentingan politik fraksi-fraksi di DPR. "Anda bisa lihat konstelasi politik fraksi
yang mendukung pengadilan HAM ad hoc dan memilih mekanisme peradilan militer," ujar Abdul Hakim.
Dukungan terhadap pengadilan HAM ad hoc disuarakan Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi PDKB, dan Fraksi
Kebangkitan Bangsa. Pada intinya penyelesaian menyeluruh terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM
pada masa lalu diperlukan agar bangsa Indonesia mengetahui sistem represif pada masa lalu yang salah.
Setelah itu diketahui, bangsa Indonesia bisa melakukan perbaikan-perbaikan untuk membangun sistem baru
yang lebih demokratis dan melindungi HAM. Rekonsiliasi Dihubungi terpisah, Guru Besar Hukum dari
Universitas Indonesia (UI), Jakarta Prof Dr Sunaryati Hartono mengatakan, SI MPR sebaiknya memang
tidak hanya mengagendakan pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid, tetapi juga memberikan
arahan penyelesaian persoalan bangsa kepada siapa pun yang memimpin negeri ini. Terkait dengan
penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, sebaiknya MPR mengingatkan pentingnya rekonsiliasi nasional.
"SI MPR seharusnya menciptakan suasana rekonsiliasi nasional. Ini penting sehingga bangsa ini bisa
menatap ke muka dan tak cuma menengok ke belakang. Anggota MPR harus ingat, menurunkan Gus Dur
(Abdurrahman Wahid-Red) tak menyelesaikan masalah," paparnya kepada Kompas di Jakarta hari Jumat.
Anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Albert Hasibuan sepakat, SI MPR memang
perlu memberikan arahan kepada siapa pun yang akan memimpin negeri ini, termasuk dalam
menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu. "Sebuah alternatif penyelesaian pelanggaran
HAM masa lalu yang mungkin dilakukan adalah melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Ini
harus dipikirkan wakil rakyat. Sayangnya, sebagian anggota MPR sibuk berpolitik dan memikirkan
kekuasaan saja," tegasnya. Hasibuan mengakui, selama ini, dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang
ditangani Komnas HAM, memang belum ada yang diselesaikan. Padahal, sudah banyak produk hukum
untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang dibuat, seperti Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 1999
tentang HAM dan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. MPR harus mengingatkan kembali
kepada eksekutif dan legislatif supaya lebih memperhatikan penyelesaian pelanggaran HAM tersebut.
"Penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu sebagian tergantung pula kepada DPR. Karena itu, MPR
juga harus mengingatkan DPR supaya memprioritaskan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu,"
ujarnya lagi. Selain memerintahkan penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu, menurut Hasibuan, yang
tidak kalah pentingnya adalah MPR perlu pula mengingatkan eksekutif untuk memberikan tempat yang
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
49
LS
AM
lebih baik pada upaya penegakan HAM dalam setiap kebijakannya. Pemberian tempat yang pantas kepada
upaya pemajuan dan penegakan HAM akan memperbaiki wajah Indonesia di mata internasional.
"Contohnya, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 4 Tahun 2001 yang memberikan arahan tentang
penyelesaian masalah Aceh sama sekali tak memberikan tempat yang memadai pada upaya penegakan
HAM. Inpres itu lebih mengedepankan pendekatan keamanan, penyelesaian politik, serta ekonomi,"
paparnya lagi. Tidak ditinggalkan Sekalipun meminta SI MPR memberikan guidance (arahan) penyelesaian
kasus pelanggaran HAM masa lalu melalui rekonsiliasi, Sunaryati menegaskan bukan berarti tak ada
tindakan terhadap pelaku pelanggaran HAM di masa lalu. Mereka yang cukup terbukti melanggar HAM
pada masa lalu tetap perlu diajukan ke pengadilan HAM. Akan tetapi, MPR perlu memberikan arahan agar
bangsa ini mulai memikirkan masa depannya dan tidak terus-menerus "menengok" ke belakang.
"Penyelesaian pelanggaran HAM melalui pengadilan, seperti yang diamanatkan UU Nomor 26/2000, tidak
ditinggalkan. Namun, SI MPR sebaiknya memberikan arahan sehingga terwujud suasana rekonsiliasi
nasional," tandas mantan Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) tersebut. (tra/bdm)
kli
pin
gE
Kasus Pelanggaran HAM dan Penyelesaiannya
------------------------------------------------------------------- -----------------------------------------------Peristiwa
Model
Keterangan
------------------------------------------------------------------- ------------------------------------------------1. Tanjung Priok
Peradilan HAM "Ad Hoc"
Masih disidik
12 September 1984
2. Kasus Talangsari Lampung, Belum jelas
Oktober 89
3. Penyerbuan kantor PDI
Penyidikan koneksitas
Penyidikan
27 Juli 1996
4. Pelanggaran HAM Timtim
Peradilan HAM "Ad Hoc"
Penyidikan selesai
5. Pembunuhan Teungku
Peradilan Koneksitas
Sudah divonis
Bantaqiah
6. Trisaksi dan Semanggi
Peradilan militer
DPR gelar Pansus
------------------------------------------------------------------- ---------------------------------------------------Kasus Baru
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------7. Penyerangan asrama
Belum jelas
Rekomendasi KPP HAM ke
di Abepura 7 Desember 2000
Ke kejaksaan Agung
8. Insiden 14 Juni di Ambon
Belum jelas
Komnas HAM Ambon bentuk
TPF
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Sumber: Pusat Informasi Kompas
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
50
KOMPAS - Sabtu, 14 Jul 2001 Halaman: 21 Penulis: fr Ukuran: 2894
Kongres Minahasa Raya Dorong Rekonsiliasi Nasional
kli
pin
gE
LS
AM
Manado, Kompas Kongres Minahasa Raya (KMR) 2001 di Bukit Inspirasi Tomohon tanggal 17 Juli 2001
tidak akan terjebak membahas persoalan-persoalan politik praktis. KMR yang direncanakan dibuka
Presiden Abdurrahman Wahid akan menitikberatkan pembahasan yang berkait dengan nilai-nilai
keminahasaan dalam keindonesiaan. Termasuk di dalamnya mendorong terciptanya rekonsiliasi nasional
serta tercapainya kompromi di antara para elite yang bertikai. Demikian benang merah penjelasan Ketua
Panitia Pelaksana KMR 2001, Marhanny Pua kepada wartawan, Jumat (13/7), di Manado. "Kami tidak
akan memasuki wilayah bahasan politik praktis. Apalagi membahas masalah-masalah menyangkut materi
Sidang Istimewa MPR," ujar Marhanny Pua. Menurut dia, pembahasan dari sisi nilai yang menyangkut SI
MPR bisa saja terjadi dalam KMR. Tetapi, para pemandu kongres sudah tahu persis bagaimana
mengendalikan persidangan jika percakapan mulai mengarah ke persoalan-persoalan politik praktis.
Menjawab pertanyaan wartawan, Marhanny Pua mengatakan, ini bukan soal suka atau tidak, takut atau
berani, tetapi lebih pada persoalan etika. "Kan tidak etis bila KMR lalu membahas suka atau tidak kepada
Presiden Abdurrahman Wahid maupun Megawati Soekarnoputri. Lain persoalan, kalau kita berada dalam
suasana Pemilu, suasana harus memilih Presiden. Kan sekarang kita belum berada pada tahapan seperti
itu," ujarnya. Direktur Politeknik Manado ini menjelaskan, KMR II terutama akan lebih tajam membahas
upaya-upaya intensif dari pihak tertentu yang hendak mengganti dasar negara atau menghilangkan
Pancasila sebagai dasar negara. "Bagi orang Minahasa, Pencasila sebagai dasar negara sudah final. Jadi,
jika ada dasar negara di luar itu, berarti merekalah yang menghianati negara kesatuan RI," ujarnya. KMR
kali ini, lanjut Marhanny Pua yang didampingi sekretaris Panitia Pelaksana Christy Manarisip, Bendahara
Conny Rumondor, Ketua Panitia Pengarah Roy Maningkas dan Wakil Ketua Pelaksana Wempie
Kumendong, bakal diikuti sekitar 1.500 tokoh Minahasa dari berbagai unsur, dalam maupun luar negeri.
Roy Maningkas menambahkan, KMR dipastikan bakal melahirkan deklarasi serta sejumlah rekomendasi
yang nantinya akan disampaikan ke SI MPR melalui para wakil Minahasa. "Deklarasi terutama untuk
mengingatkan kepada semua pihak bahwa kita ini adalah bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersamaan, nilai-nilai persahabatan, perdamaian, dan oleh karena itu mestinya konflilk yang terjadi di
antara para elite politik bisa diselesaikan lewat upaya rekonsiliasi dan kompromi," tandas Roy. KMR kali
ini spesifik karena bakal diikuti para undangan dari daerah-daerah tetangga yang kini bertikai, meliputi para
tokoh Ambon, Irian Jaya, Dayak, dan Poso. (fr)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
51
KOMPAS - Jumat, 20 Jul 2001 Halaman: 15 Penulis: ely; tat; dis; tia Ukuran: 5869
Masalah Ekonomi Butuh Rekonsiliasi Politik
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Sidang Istimewa (SI) MPR seyogianya tidak hanya berkutat dalam soal penetapan
kepemimpinan nasional, tetapi juga melahirkan rekonsiliasi politik untuk menyelesaikan persoalan
ekonomi yang dihadapi oleh bangsa ini. Sebab, untuk menyelesaikan masalah perekonomian dibutuhkan
kesepakatan politik baru.Demikian ekonom Sri Mulyani Indrawati dalam diskusi panel ekonomi Kompas di
Jakarta, Kamis (19/7). Selain Sri Mulyani, diskusi yang dipandu oleh M Sadli juga menampilkan
pemakalah Anwar Arsyad, Kwik Kian Gie, Anwar Nasution, Frans Seda, dan Sri Kusyuniati. Sementara
tampil sebagai panelis M Ikhsan, Didik J Rachbini, Anton Supit, dan Tubagus Feridhanusetyawan.
"Idealnya SI MPR mampu menelurkan suatu kesepakatan politik bagi pemulihan ekonomi, khususnya
mengenai penanganan kondisi budget pemerintah," ujar ekonom dari Universitas Indonesia (UI) ini.
Menurut Sri Mulyani, keputusan MPR tersebut diperlukan sebagai "payung" politik bagi semua
penyelenggara negara baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan demikian ada kepastian politik
bagi pengelola negara dalam pengambilan kebijakan yang sulit untuk memperbaiki perekonomian. "Payung
politik perlu karena setiap kebijakan yang tidak mudah dan menyakitkan perlu disepakati secara sadar oleh
semua parpol dan kelompok masyarakat sebagai komitmen untuk membangun Indonesia kembali secara
lebih baik dan adil," katanya. Menurut Sadli, "payung" politik untuk penyelesaian masalah perekonomian
pernah dibuat oleh MPR, melalui Tap MPR No 23/1966. Tap tersebut dibuat sebagai komitmen bersama
untuk menyelesaikan masalah perekonomian yang dihadapi bangsa pada masa itu. "Selain Tap MPR itu,
pada saat itu juga dibuat konsensus politik untuk penyelesaian masalah ekonomi," ungkapnya. Kwik Kian
Gie mengakui bahwa tanpa konsensus politik, sulit untuk melakukan langkah-langkah pencegahan
keterpurukan ekonomi yang lebih dalam, apalagi untuk pemulihan. "Oleh karena itu dilakukan pra kondisi
untuk menuju komitmen bersama dalam penyelesaian masalah yang dihadapi. Koalisi harus dibangun
setidaknya sampai tahun 2004," ujarnya. Ditegaskan, garis kebijakan pemerintahan Presiden Abdurrahman
Wahid dalam mengelola ekonomi makro sebenarnya sudah tepat. "Tetapi, yang kurang benar adalah masih
kentalnya mental dan praktik KKN. Semakin tidak kredibelnya para anggota kabinet yang dipelopori oleh
presidennya sendiri," ungkap Kwik yang mantan Menko Perekonomian. Padahal, untuk menyelesaikan
persoalan yang dihadapi dibutuhkan kepercayaan (confidence) terhadap pemerintah. Kredibilitas
pemerintah sangat menentukan. "Oleh karena itu, tantangan buat pemerintahan mendatang, apakah presiden
yang baru akan mampu membentuk kabinet yang kredibel dan berwibawa. Yaitu mampukah pemerintah
mengelola dirinya sendiri dengan benar, dan setahap demi setahap membersihkan diri dari mental dan
praktik KKN, penegakan hukum yang konsisten, dan hal-hal yang normal-normal saja dalam negara yang
normal," tanya Kwik. Hal yang sama disampaikan oleh Ikhsan. Dikatakan, banyak persoalan ekonomi,
seperti nilai tukar rupiah, dan sebagainya bisa membaik dengan sendirinya karena adanya kepercayaan
pasar terhadap kredibilitas pemerintah, dan kebijakan-kebijakannya. Tetapi, lanjut Ikhsan, ketidakjelasan
arah dan implementasi program pemulihan ekonomi, serta masih terjadinya praktik KKN membuat
kepercayaan itu menyusut, bahkan habis. Untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat dibutuhkan
konsensus nasional dalam politik pemulihan ekonomi, baik melalui perbaikan kepemimpinan nasional
maupun kesepakatan terhadap peran pemerintah dalam pemulihan ekonomi. "Peran utama pemerintah
hanyalah sebagai fasilitator dan regulator saja. Kesepakatan itu diberikan MPR kepada pemerintah dan
semua pihak. Pemerintah mendatang harus menjalankan agenda tersebut dengan kompensasi bahwa DPR
memberikan honeymoon period hingga tahun 2004," tutur Ikhsan. Kwik menegaskan, pertumbuhan
ekonomi sebesar 4,8 persen yang dicapai pada tahun 2000 bukan karena keberhasilan pemerintah, tetapi
karena keberadaan perusahaan-perusahaan yang sehat struktur keuangannya, yang meningkatkan
produksinya ketika pasar mulai marak. "Pengusaha-pengusaha yang bonafide itu tidak membutuhkan apa
pun dari pemerintah, bahkan mereka menghindari bersentuhan dengan aparat birokrasi karena kebiasaan
memeras yang masih melekat pada birokrasi," katanya. Namun, lanjut Kwik, bila pemerintah membuat
"ulah" yang tidak baik, maka para pengusaha itu terkena imbas yang cukup berat. Ini misalnya dalam soal
pengelolaan ekonomi makro, yang berada di luar jangkauan pengusaha. "Kalau nilai tukar melemah drastis,
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
52
kli
pin
gE
LS
AM
pertumbuhan tidak cukup cepat dan berkesinambungan, dan inflasi tinggi, akan berdampak pada omzet
mereka yang menyusut, yang menyeret perusahaan ke dalam kelesuan lagi," ujarnya. Sebab itu, persoalan
ekonomi makro pada jangka menengah akan berkisar pada kemampuan pemerintah baru menciptakan
kedamaian dan menghindarkan diri dari anarki, atau kehidupan dengan hukum rimba. Pengalaman tahun
2000 memberi pelajaran bahwa ekonomi dapat tumbuh asalkan kegiatan produksi dan distribusi diserahkan
kepada swasta. Pemerintah sebaiknya hanya membatasi diri pada penyediaan infrastruktur keras dan lunak.
"Dalam kondisi resesi dan depresi tidak banyak yang bisa dilakukan oleh pemerintah, karena pemerintah
sendiri kekurangan dana untuk memberikan stimulus kepada ekonomi yang sedang merosot. Karena itu, hal
terbaik yang dapat dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan perbaikan-perbaikan lembaga-lembaga
pemerintahan dan menegakkan good governance," tegas Kwik. (ely/tat/dis/tia)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
53
KOMPAS - Selasa, 24 Jul 2001 Halaman: 101 Penulis: fit Ukuran: 6570 Foto: 1
Edisi Khusus
AS Desak Indonesia Lakukan Rekonsiliasi Nasional * SI MPR 2001 - Edisi
Khusus
kli
pin
gE
LS
AM
Washington, Selasa Setelah memberikan dukungan terhadap terpilihnya Megawati Soekarnoputri sebagai
Presiden ke-5 RI, Amerika Serikat mendesak Indonesia untuk menjaga perdamaian dan berupaya untuk
mencapai rekonsiliasi nasional, serta mengakhiri berbagai tindak korupsi. Penegasan dari Departemen Luar
Negeri AS itu dikeluarkan di Washington (AS) Senin (23/7) waktu setempat atau Selasa waktu Indonesia.
Diakui, perubahan politik di Indonesia ini memberikan hal baru bagi AS saat harus membuat kebijakannya
terhadap Jakarta, tetapi situasi sekarang masih dianggap terlalu dini untuk menunjukkan sinyal akan adanya
inisiatif baru dari AS. "Kami mendesak semua pihak di sana bekerja sama untuk menjaga perdamaian,
mendukung konstitusi, dan melakukan rekonsiliasi nasional," kata juru bicara Deplu AS Philip Reeker.
"Kami telah menegaskan selama ini bahwa kami akan mendukung pemecahan konstitusional yang
demokratis dan damai atas krisis kepemimpinan. Sekarang dengan lembaga-lembaga di Indonesia telah
menetapkan Megawati sebagai presiden, kami ingin bertemu dengannya dan pemerintahannya dan sangat
jelas bahwa kami perlu membuat gambaran baru dalam kebijakan AS terhadap Indonesia," tambah Reeker
dalam jumpa pers. Ditambahkan oleh Reeker, sementara para diplomat AS di Jakarta bekerja keras untuk
memperkuat hubungan dengan pemerintah baru, "Agak terlalu prematur untuk memberikan pernyataan
besar tentang langkah kami berikutnya di sana." Namun, Reeker hanya menekankan kembali soal
pandangan AS agar Indonesia terus menunjukkan komitmen menegakkan demokrasi dan aturan
perundangan meski masih harus bergulat dengan banyak persoalan. Sejauh ini, tambah Reeker, tidak ada
tanda-tanda bahwa perubahan kepemimpinan memperburuk ketidakstabilan di Indonesia, kendatipun para
pejabat AS sebelumnya telah khawatir terhadap potensi timbulnya aksi kekerasan. Juru bicara Deplu AS ini
juga mengatakan bahwa masalah yang harus ditangani Indonesia adalah soal korupsi. "Hal itu akan sangat
penting bagi Indonesia, seperti yang dilakukan banyak negara dalam membuat kemajuan di bidang
reformasi demokratis dan reformasi ekonomi," tambah Reeker. Peralihan damai Harapan agar terjadi
peralihan kekuasaan yang damai juga dikemukakan Sekjen PBB Kofi Annan di markas PBB, New York,
hari Senin waktu setempat. "Parlemen telah menetapkan Ibu Megawati sebagai presiden baru, dan kami
mengharapkan ia sukses. Saya berharap bentuk perubahan yang terjadi sekarang akan tetap damai dan
demokratis, dan bahwa bangsa (Indonesia) akan bersama-sama keluar dari kesulitan," ujarnya kepada
wartawan. Setelah sebelumnya juru bicara Komisi Eropa memberikan ucapan selamat, Presiden Uni Eropa
yang kini berada di tangan Belgia juga menyatakan kegembiraan atas peralihan kekuasaan damai di
Indonesia. Diharapkan, hal ini akan meningkatkan stabilitas politik Indonesia. "Uni Eropa mengucapkan
selamat kepada Ibu Megawati Soekarnoputri yang menjadi presiden dan mengungkapkan harapan agar
stabilitas negerinya akan menguat dengan keputusan ini, sehingga otoritas demokratis Indonesia akan bisa
meningkatkan reformasi politik dan ekonomi yang telah dimulai," demikian bunyi pernyataan Presiden Uni
Eropa saat ini, yang juga mengharapkan agar semua pihak menghindari kekerasan. Kegembiraan serupa
diungkapkan Menteri Luar Negeri Cina Tang Jiaxuan menjelang Forum Regional ASEAN (ARF) di Hanoi
(Vietnam). Ia mengharapkan akan ada pemulihan stabilitas di Indonesia. "Stabilitas politik akan membantu
pembangunan ekonomi Indonesia," ujar Tang, seperti dikutip kantor berita Xinhua. Dari Belanda,
Kementerian Luar Negerinya mengeluarkan pernyataan tertulis bahwa pihaknya gembira dengan proses
yang "muncul dalam bentuk damai sampai saat ini". Namun diharapkan, Megawati bisa memberikan
perhatian khusus terhadap masalah di Aceh, Irian Jaya, dan Maluku, serta menyerukan agar semua pihak
berkepentingan "memberi sumbangan pada proses desentralisasi dan otonomi". Howard dan Mahathir
Sementara itu, saat memberikan ucapan selamat kepada Megawati, PM Australia John Howard juga
menyambut baik pemecahan damai atas kemelut politik yang melanda negeri itu. "Presiden Megawati telah
menjadi juara dari hal-hal demokratis," ujarnya dalam pernyataan yang dikeluarkan Senin malam.
"Pemerintah Australia menyambut penyelesaian damai di antara perbedaan-perbedaan politik yang ada di
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
54
kli
pin
gE
LS
AM
antara rakyat Indonesia sesuai dengan konstitusi." Ditambahkan, Indonesia telah masuk dalam transisi ke
demokrasi yang modern, inklusif, dan terdesentralisasi setelah masa 30 tahun pemerintahan yang otokratis
dan sentralistis. "Ini adalah satu dari perubahan yang paling penting dalam periode pasca Perang Dingin,"
ujarnya, seraya mengatakan bahwa, "Kami akan terus memberi dukungan kepada Indonesia dalam
menghadapi berbagai tantangan." Howard juga mengungkapkan simpati terhadap KH Abdurrahman Wahid
yang harus mundur dari kursi kepresidenan, dengan memuji betapa Wahid telah memberikan sumbangan
besar kepada pertumbuhan demokrasi di Indonesia. "Saya bisa merasakan kekecewaannya. Tetapi, nasihat
terbaik yang saya punya adalah proses ini telah benar dan demokratis, Otoritas legal dan hukum tertinggi di
Indonesia juga telah mengatakan demikian," ujarnya. Yang tak kalah menarik adalah sambutan PM
Malaysia Mahathir Mohamad yang tak begitu antusias. Bukannya memberikan ucapan selamat, pemimpin
Malaysia yang baru merayakan 20 tahun kekuasaannya tanggal 16 Juli lalu itu mengharapkan Indonesia
yang stabil. Katanya, ia tidak berada dalam posisi untuk memberikan komentar atas perubahan
kepemimpinan. "Kami punya hubungan dengan pemerintah yang diakui sebagai pemerintah Indonesia.
Kami tidak memutuskan yang mana yang ingin kami akui," ujarnya. "Ini adalah masalah Indonesia dan
kami berharap apa pun yang mereka buat akan membawa kebaikan bagi Indonesia," ujarnya seperti dikutip
oleh kantor berita Bernama. (AP/AFP/Reuters/fit
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
55
Kompas, Kamis, 26 Juli 2001
Jajak Pendapat "Kompas"
Rekonsiliasi Dibutuhkan Publik
pin
gE
LS
AM
PROSES penurunan Abdurrahman Wahid dari tampuk kepresidenan melalui Sidang Istimewa (SI) MPR
disadari telah menimbulkan luka di sebagian masyarakat, terutama para pendukungnya. Untuk itu, Presiden
Megawati Soekarnoputri diharapkan dapat memberikan kebijakan yang menyejukkan dengan menjalin
kembali hubungan dan memberikan tempat terhormat bagi mantan presiden keempat tersebut.
Kesimpulan demikian terangkum dari hasil pengumpulan pendapat masyarakat kota besar melalui telepon
yang diselenggarakan Litbang Kompas, 24 Juli 2001.
Pendapat responden di delapan kota besar: Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Medan, Palembang, Samarinda,
Makassar, dan Manado terhadap kebijakan tersebut diungkapkan oleh bagian terbesar responden (52
persen). Mereka menganggap, sebenarnya selama ini mantan Presiden Wahid memang selalu menimbulkan
kebijakan yang kontroversial. Terakhir kali, ia mengeluarkan Maklumat pembubaran DPR/ MPR yang akan
menurunkannya. Kebijakan itu pun masih menyisakan berbagai pendapat. Bahkan, tak ayal ada pendapat
yang menganjurkan agar presiden diadili karena telah melanggar konstitusi (17 persen). Namun, tampaknya
bagian terbesar responden mempunyai pendapat tersendiri, mereka menginginkan rekonsiliasi ketimbang
memperpanjang persoalan.
Apabila dipilah lebih jauh, pendapat responden ini merata hampir di seluruh kota (Tabel 1). Baik mereka
yang bermukim di Jakarta, Medan, maupun di Manado sama-sama menginginkan perlakuan yang terhormat
bagi mantan presiden. Bagi mereka, penghormatan ini dipandang sangat layak. Betapapun, jasanya dalam
membangun negeri ini tergolong besar. Prestasi yang patut diketengahkan antara lain membangkitkan iklim
demokrasi di negeri ini. Indikatornya, penciptaan kebebasan berpendapat, kebebasan pers, perlindungan
kaum minoritas, debirokratisasi maupun demiliterisasi.
kli
Diadili
Selain perlakuan terhadap Abdurrahman Wahid, jajak pendapat ini juga mengungkap langkah-langkah
yang patut dilakukan Presiden Megawati Soekarnoputri terhadap berbagai kasus-kasus yang selama ini
masih belum tuntas terselesaikan. Dalam hal ini, penyelesaian hukum pengadilan mantan presiden
Soeharto, pengusutan para politisi yang diduga terkait dengan persoalan korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN), maupun proses hukum bagi para pelanggar HAM yang terjadi di berbagai tempat.
Lebih jauh, terhadap mantan presiden Soeharto, responden tetap berharap agar masalahnya segera
dituntaskan. Mayoritas (51 persen) responden berpendapat agar mantan penguasa Orde Baru itu tetap
diadili kembali. Di sisi lain, terdapat 35 persen responden yang berpandangan sebaliknya, Soeharto diberi
pengampunan dengan alasan berbagai hal, mulai dari kondisi kesehatan sampai kepada jasa-jasanya.
Khusus mengenai para politisi dan pengusaha yang di era lalu dianggap melakukan tindakan KKN,
mayoritas responden tetap memilih agar pemerintahan baru tidak memberi kompromi pada mereka. Hampir
94 persen berpandangan sudah sepatutnya mereka diadili tanpa pandang bulu. Sebagian besar responden
menyadari, meskipun tindakan ini akan berbenturan dengan berbagai kepentingan politik, namun inilah
langkah terbaik yang mampu mengangkat pamor upaya penegakan hukum.
Pendapat yang sama pun berlaku pula bagi para perwira-perwira TNI/Polri yang dituding pernah
melakukan pelanggaran HAM di masa lalu. Berkaitan dengan kasus Trisakti, Semanggi, dan Timor Timur,
misalnya, mayoritas responden (90 persen) tetap mengharapkan agar pemerintah baru tidak melupakan
kasus ini. Harapan responden, pemerintah secara serius menyelesaikannya, melalui pengadilan. Upaya ini
diharapkan dapat meretas dan mengembalikan citra TNI/Polri di mata masyarakat.
Terhadap kelompok di daerah konflik yang menuntut kemerdekaan seperti di Aceh dan Irian Jaya,
responden berpendapat bahwa yang melanggar undang-undang harus tetap diadili. Pendapat ini
diungkapkan tidak kurang dari 48 persen responden. Akan tetapi, sebagian responden juga yang
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
56
kli
pin
gE
LS
AM
berpandangan bahwa para pelaku yang ingin memisahkan diri itu harus diberi pengampunan untuk
membuka lembaran baru. Tidak kurang dari sepertiga responden yang menginginkan seperti ini.
Melihat kinerja beberapa pemerintah sebelumnya, berbagai kasus di atas tidak satu pun yang terselesaikan
dengan tuntas. Untuk itu, kali ini mereka berharap pemerintahan yang baru mampu merajut kembali
seluruh elemen bangsa yang sempat terkoyak. ( Tim Litbang Kompas )
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
57
Media Indonesia, Jum'at, 3 Agustus 2001
Islah, Tinggalkan Egoisme Kelompok
JAKARTA (Media): Islah (rekonsiliasi) nasional memang harus dilakukan. Namun, ini akan berhasil jika
semua tokoh yang terlibat meninggalkan egoisme kelompoknya.
"Yang harus diingat oleh kalangan parpol, ormas, LSM, dan sebagainya, mereka harus meninggalkan
egoisme kelompoknya. Jangan sampai mereka terus terjebak pada hal ini," kata Ketua PP Muhammadiyah
Din Syamsuddin kepada Media di kantornya, kemarin.
LS
AM
Menurut Din yang juga Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), selama ini kita selalu terjebak
pada persoalan pembenaran diri. Tapi, meski demikian, Din yakin di tengah-tengah mainstream egoisme,
masih ada figur-figur yang mempunyai kemampuan melakukan mediasi.
Rekonsiliasi, lanjut Din, tidak hanya dilakukan antara kelompok yang pro atau anti-Sidang Istimewa (SI)
yang berdimensi vertikal. Tapi, juga kepada kelompok-kelompok yang bertikai secara horizontal. "Seperti
yang terjadi di Ambon, Poso, Kalbar, Kalteng, Aceh, dan lain-lain. Sebab, kalau konflik-konflik itu
dibiarkan berlangsung akan menimbulkan disintegrasi negara," katanya.
pin
gE
Apakah perlu islah antara warga NU dan Muhammadiyah? Din berpendapat, hal itu tidak perlu dilakukan.
Karena, selama ini Muhammadiyah tidak pernah berkonflik dengan siapa pun. Sewaktu sejumlah aset
Muhammadiyah di Jawa Timur dirusak, katanya, tidak ada reaksi balik dari warga Muhammadiyah.
Pengertian konflik, kata guru besar IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, ketika masing-masing pihak
saling bereaksi.
Gagasan islah muncul dari Wakil Presiden Hamzah Haz dan telah mendapat respons positif dari berbagai
kalangan. Antara lain Ketua PBNU Solahuddin Wahid dan Ketua DPA Achmad Tirto Sudiro (Media, 2/8).
Secara terpisah anggota Komnas HAM Soetandyo Wignyosoebroto berpendapat islah juga harus dimulai
dengan mengungkapkan berbagai kasus pelanggaran HAM. Siapa pun yang bertanggung jawab atas kasus
itu harus dihukum demi memenuhi rasa keadilan korban.
Soetandyo menyatakan pihaknya tidak yakin islah nasional yang digagas Hamzah Haz sejalan dengan
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). "Islah yang dimaksud (Hamzah) hanya untuk kalangan parpol
bukan untuk mengungkap berbagai pelanggaran HAM masa lalu. Yang menentukan siapa yang benar dan
salah ini, ya KKR ini. Memaafkan, tapi tidak melupakan," jelasnya.
kli
Menurut Guru Besar Fisip Unair Surabaya itu, kini RUU KKR justru masih tertahan di Menkeh dan HAM.
Yang aktif membahas dan mensosialisasikan KKR ke masyarakat justru LSM HAM, Elsam (Lembaga
Studi dan Advokasi Masyarakat). Sementara Komnas HAM hanya memberikan masukan saja.
Sementara peneliti Elsam Agung Yudhawiranata menjelaskan, pada draf yang mereka masukkan dalam
RUU KKR ini, terdapat penjelasan batasan waktu pelanggaran HAM masa lalu dimulai sejak 1959. "Sebab,
mulai saat itu kekerasan negara terhadap rakyat terlegitimasi," katanya. (WB/X-3)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
58
Media Indonesia, Senin, 6 Agustus 2001
Islah Dapat Diwujudkan Lewat Pendekatan Hukum
JAKARTA (Media): Islah (rekonsiliasi) nasional yang menjadi salah satu prioritas pemerintahan Megawati
Soekarnoputri-Hamzah Haz bisa terujud jika kedua pemimpin tersebut memperhatikan aspek-aspek hukum.
Dua pakar dan praktisi hukum yang diwawancarai Media, Sabtu (4/8), menekankan pentingnya
penyelesaian hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Prof Achmad Ali, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, menyarankan
pemerintah untuk membentuk sebuah tim independen, yang terdiri dari para pakar hukum, untuk mengkaji,
dan mengevaluasi berbagai kasus, terutama yang besar-besar dan menarik perhatian masyarakat.
LS
AM
Tim tersebut bisa merekomendasikan kasus-kasus apa saja, terutama yang kental unsur politisnya dan
terkesan dipaksakan menjadi delik hukum, yang harus segera dihentikan. "Dalam hal ini tak ada rasa
keadilan masyarakat yang dinafikkan. Itu pilihan cerdas, agar pemerintahan baru bisa berjalan baik tanpa
gangguan berarti," kata Achmad Ali.
Praktisi hukum dan HAM Bara Hasibuan mengatakan rekonsiliasi nasional itu harus terlebih dahulu
melalui konsesus politik di antara elite politik. "Konsesus ini untuk menentukan mekanisme seperti apa
yang disepakati untuk rekonsiliasi itu," katanya.
pin
gE
Bagi Achmad Ali, tujuan penegakan hukum itu sendiri tidak semata soal mencari kepastian hukum. Unsur
keadilan dan kemanfaatan juga harus menjadi pertimbangan matang dalam setiap proses hukum. Jadi, mesti
ada pemahaman bahwa buat apa ada kepastian hukum, kalau ternyata asas manfaatnya tidak terpenuhi.
Untuk apa mengejar kepastian hukum, sementara rasa keadilan tidak terjangkau.
Guru besar ilmu hukum ini mengambil contoh langkah yang diambil almarhum Jaksa Agung Baharuddin
Lopa untuk menuntut mantan Presiden Soeharto secara perdata. Karena, dengan begitu terbuka
kemungkinan keluarga Pak Harto menyerahkan sebagian hartanya untuk digunakan bagi kepentingan
rakyat banyak.
"Jadi, manfaatnya bisa lebih terasa buat masyarakat," kata Achmad Ali, yang menggeluti dunia
kepengacaraan pada 1980-1983.
Karena pada dasarnya, kata dia, tujuan hukum itu--kepastian, keadilan dan kemanfaatan--tergantung
keuntungannya. Dia mempertanyakan keuntungan melakukan tuntutan hukum yang sebenarnya berbau
politis, sementara ledakan bom muncul di mana-mana dan menyebar teror ke masyarakat.
kli
Tetapi, Achmad Ali juga menekankan pentingnya sosok jaksa agung atau menteri kehakiman yang energik,
berwawasan hukum secara paripurna, dan nonpartisan. "Ini penting, agar masyarakat tidak apriori, selain
untuk menghindari adanya salah tafsir, sekaligus mencegah munculnya conflic of interest," katanya.
Bara Hasibuan menyarankan, sebaiknya langkah-langkah menuju rekonsilasi mengacu kepada draf Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi yang disampaikan Elsam ke DPR beberapa waktu lalu. "Sehingga, kita tidak
memulainya dari awal lagi," katanya.
Kasus-kasus HAM, misalnya, bisa diajukan ke Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi setelah ada pengakuan
dari para jenderal yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu pelanggaran berat. Jadi, kata Bara, jangan
sampai sebelum ada pengakuan jenderal-jenderal langsung dihapuskan dosa-dosanya. Sebab, kalau hal ini
terjadi akan menimbulkan rasa ketidakadilan dan melukai hati rakyat, khususnya keluarga korban.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
kli
pin
gE
LS
AM
Perlakukan seperti itu, dia menambahkan, juga sebaiknya berlaku untuk kasus-kasus KKN di masa lalu.
Pelaku-pelakunya boleh diampuni setelah mengakui dosa-dosa mereka melalui Komisi dan
mengembalikan, sebut saja, 75% dari hasil KKN mereka kepada negara. (Naz/Win/X-6)
59
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
60
KOMPAS - Selasa, 07 Aug 2001 Halaman: 11 Penulis: ryi; tra Ukuran: 3459
DPA Prakarsai Rekonsiliasi Nasional
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Dewan Pertimbangan Agung (DPA) ingin memprakarsai rekonsiliasi nasional. Saat ini,
DPA sedang merumuskan bagaimana rekonsiliasi itu bisa dilaksanakan. Rumusan tersebut akan
disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, sehingga dapat dilaksanakan segera. Anggaran
menyiapkan rekonsiliasi nasional itu untuk sementara dari keuangan DPA. Ketua DPA Achmad Tirtosudiro
mengungkapkan hal itu dalam dialog dengan sejumlah pakar dan praktisi, antara lain Dr Daniel Sparringa,
Dr Todung Mulya Lubis, Prof Dr Jimly Asshiddiqie, dan Eep Saefulloh Fatah di Jakarta, Senin (6/8).
"Kami sebenarnya mengajukan anggaran tersendiri untuk persiapan rekonsiliasi ini. Tetapi, selama ini dana
DPA untuk kunjungan ke luar negeri dialihkan dahulu untuk pembiayaan persiapan rekonsiliasi nasional,"
jelasnya. Menurut Tirtosudiro, DPA akan merumuskan secara detail usulan rekonsiliasi nasional itu,
sehingga pemerintah bisa secepatnya menindaklanjuti. Diharapkannya, tidak lebih dari tiga bulan ke depan
usul rekonsiliasi secara konkret dari DPA itu sudah bisa diserahkan. Membuka peluang Eep berpendapat,
dalam rangka upaya rekonsiliasi nasional tetap harus diingat agar bangsa ini memaafkan masa lalu, tetapi
tidak melupakan masa lalu. Selain itu juga agar tidak membuka peluang untuk pengulangan kesalahan masa
lalu itu di masa depan. Belajar dari sejarah rekonsiliasi nasional di Afrika Selatan dan Korea Selatan, kata
staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Indonesia (UI) Jakarta itu, Indonesia
membutuhkan adanya sistem infrastruktur yang mapan agar tidak terjadi peluang bagi pelanggaran
kesalahan masa lalu. Pembentukan infrastruktur baru yang menutup kemungkinan jatuh di lubang
kesalahan yang sama itu mendesak dilakukan. Eep lalu menyebut empat prasyarat agar langkah rekonsiliasi
nasional itu bisa dilakukan. Yakni, kepercayaan minimal terhadap sistem dan pelaku utamanya yang sedang
berjalan itu harus dilakukan; keyakinan bahwa rasa keadilan minimal tidak sedang dicederai; tata tertib
minimal dalam sistem politik; dan terakhir dan penting, adalah kepemimpinan yang otentik. "Ambillah
contoh sekarang. Kalau Mbak Mega yang kini Presiden Indonesia ini ingin memimpin sebuah proses
rekonsiliasi dengan menghapus serius semua praktik KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), dia harus
mampu memperlihatkan ada sejumlah gugatan terhadap dirinya memang bisa diklarifikasi," jelas Eep.
Sparringa mengingatkan, rekonsiliasi memprasyaratkan keinginan yang sungguh-sungguh di antara semua
elemen bangsa, baik yang terdapat di tingkat negara maupun masyarakat. Meskipun demikian, prakarsa
rekonsiliasi ini harus dimulai dari pihak yang mencederai relasi dan kepercayaan. Bukan dari pihak yang
menjadi korban dari hubungan yang tidak adil tersebut. Ini memang tidak selamanya mudah. Tetapi,
kehendak kolektif untuk menyelamatkan bangsa ini dapat menjadi spirit untuk mewujudkan ide rekonsiliasi
tersebut. Sparringa mengakui, pemerintah kini sedang menyiapkan rancangan undang-undang (RUU)
tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Tetapi, yang harus diingatkan dalam rekonsiliasi, yang
pertama-tama bukanlah kebenaran dan keadilan, melainkan menyelamatkan masa depan yang lebih adil dan
sejahtera bagi generasi mendatang bangsa ini. (ryi/tra)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
61
Media Indonesia, Rabu, 8 Agustus 2001
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Memaafkan Masa Lalu tanpa
Melupakannya
"Jangan lagi kita menghujat-hujat masa yang lalu. Semuanya kita tinggalkan. Kita tutup buku masa yang
lalu dan kita buka lembaran yang baru. Kalau kita meratapi masa yang lalu, kita tidak akan maju-maju."
LS
AM
Berselang tiga hari setelah dilantik sebagai wakil presiden ke-9 RI, 26 Juli lalu, Hamzah Haz mengucapkan
kata-kata itu dalam pertemuan di Masjid Al-Barokah Yayasan Abdullah Syafei, Manggarai Selatan,
Jakarta.
Maksud Hamzah tegas, kita sebaiknya melupakan masa lalu. Bahkan, katanya, kita tak perlu menghujat
Orde Baru. Sebab, tanpa orde yang selama 32 tahun dipimpin HM Soeharto itu, Indonesia sudah menjadi
negara komunis. Tokoh NU uang `menyempil` di PPP itu mengajak komponen bangsa untuk melakukan
islah (rekonsiliasi).
Hamzah kemudian mengulangi ide islah itu pada pertemuan dengan Ketua Umum PB NU Hasyim Muzadi
di kantor PB NU di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat. Sejak itu, ide islah terus menggelinding menjadi
perbincangan nasional. Rekonsiliasi itu, kabarnya, akan menjadi agenda pokok pemerintahan MegaHamzah setelah kabinet terbentuk.
pin
gE
Apa yang diinginkan dan digaungkan Hamzah itu tentu bukan barang baru. Sebab, sebelumnya, MPR telah
mengeluarkan Ketetapan (Tap) MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan
Nasional. Salah satu butir penting dalam ketetapan itu adalah perintah kepada eksekutif untuk membentuk
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi--sebut saja KKR. Ihwal tentang komisi itu juga disinggung dalam UU
No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Berdasarkan hal itulah Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia lalu menyiapkan RUU tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Draf itu sudah disiapkan dan dibahas ketika Menkeh & HAM dijabat
Yusril Ihza Mahendra. Menurut Dirjen Perundang-undangan Abdul Gani Abdullah, hingga kini draf itu
sudah 80-90% selesai dan akan diserahkan ke DPR setelah selesai reses.
Sosialisasi tentang draf itu, kata Gani, terus dilakukan Depkeh & HAM serta Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat (Elsam). "Sejauh ini, publik menyambut baik adanya RUU itu," katanya.
kli
Sebelum 23 September 1999
Berbeda dengan imbauan Hamzah, KKR--seperti yang dapat dibaca dalam draf yang disiapkan Menkeh &
HAM--sama sekali tak berkeinginan melupakan masa lalu.
KKR bekerja untuk menyelidiki dan mengklarifikasi pelanggaran HAM yang berat. Bila itu sudah
dilakukan, Komisi akan merekomendasikan amnesti kepada presiden, dan kepada korban pelanggaran
HAM akan diberikan kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi.
Karena itulah, dalam draf yang bakal diajukan ke DPR, KKR terdiri atas tiga subkomisi, yaitu Subkomisi
Penyelidikan dan Klarifikasi Pelanggaran HAM yang Berat, Subkomisi Kompensasi, Restitusi, dan
Rehabilitasi, serta Subkomisi Pertimbangan Amnesti.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
62
Yang akan diselidiki dan diklarifikasi adalah pelanggaran berat HAM sebelum UU No 39/1999 disahkan,
yaitu pada 23 September 1999.
Pelanggaran yang terjadi setelah UU itu ada, akan diproses melalui pengadilan HAM yang akan dibentuk
berdasarkan UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Apa tindakan yang akan diberlakukan terhadap pelanggaran HAM masa lalu itu? Seperti yang tercantum
dalam penjelasan draf RUU, bila pelaku mengakui kesalahan, mengakui kebenaran fakta-fakta, menyatakan
penyesalan atas perbuatannya, dan bersedia meminta maaf kepada korban atau keluarga korban, maka
pelaku dapat mengajukan permohonan amnesti kepada presiden selaku kepala negara.
LS
AM
Bila presiden menerima permohonan itu, kepada korban harus diberikan ganti rugi. Bila amnesti ditolak,
ganti rugi tidak diberikan, dan perkaranya diproses berdasarkan ketentuan UU No 26/2000 tentang
Pengadilan HAM.
Apabila pelaku dan korban saling memaafkan, KKR otomatis memberikan rekomendasi pemberian
amnesti. Bila pelaku mengakui kesalahan dan bersedia minta maaf, tapi korban atau keluarga korban tak
mau memaafkan, KKR memiliki wewenang otonom untuk mengeluarkan rekomendasi amnesti atau tidak.
Terakhir, bila pelaku tak mengakui perbuatannya, ia akan diajukan ke pengadilan HAM.
Bila terhadap pelanggaran HAM sudah diberi putusan oleh KKR, Pengadilan HAM tak berwenang
memberi putusan lagi, kecuali dalam hal permohonan amnesti ditolak presiden.
kli
pin
gE
Jadi, ide tentang KKR itu sama sekali tidak seperti yang dipikirkan Hamzah, bahwa hendaknya masa lalu
dilupakan saja. Yang betul, masa lalu bisa dilupakan sepanjang yang bersangkutan mengakui kesalahannya
dan korban mau memaafkan kesalahan itu. Refly/Silvia/Wisnu/P-4
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
63
KOMPAS - Kamis, 09 Aug 2001 Halaman: 6 Penulis: ryi Ukuran: 3070
Rekonsiliasi Bukan Menafikan "Impunity"
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Gencarnya wacana tentang pentingnya dilakukan islah atau rekonsiliasi antarsemua
elemen bangsa perlu disambut gembira. Namun jangan sampai hal itu melupakan mereka yang pernah
melakukan kesalahan atau pelanggaran-pelanggaran hukum di masa lalu. "Terhadap mereka yang pernah
melakukan kesalahan, pelanggaran hukum, dan pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, ya harus
dihukum. Membangun semangat rekonsiliasi harus terjadi dalam sebuah tataran masyarakat yang semakin
demokratis. Itu berarti tidak boleh juga menafikan impunity atau tak melakukan tindakan hukum apa pun
kepada mereka yang bersalah. Ini sama sekali no way (tidak boleh terjadi)!," kata sejarawan Dr Taufik
Abdullah di forum acara Tukar Pikiran dan Dialog bersama para budayawan dan tokoh agama dengan para
anggota DPA di Jakarta, Selasa (7/8) petang. "Dendam kesumat memang harus ditiadakan, namun tidak
begitu dengan persoalan impunity. Yang bersalah kepada negara dan melakukan pelanggaran-pelanggaran
hukum di masa lalu tetap harus diproses dan ditindak tegas. Melupakan mereka alias membiarkan persoalan
impunity ini didiamkan, itu sama saja membiarkan luka masa lalu itu tidak sembuh-sembuh," jelas Taufik.
Taufik Abdullah juga menyoroti fenomena pasca lengsernya Presiden Soeharto Mei 1998 lalu. Munculnya
kebebasan politik sesudah lengsernya Soeharto, tidak bisa dengan sendirinya langsung melahirkan tatanan
masyarakat yang demokratis. Menurut Taufik, mundurnya Soeharto juga telah memunculkan apa yang
disebutnya kondisi bangsa yang terluka. Itu terjadi manakala negara telah menguasai sepenuhnya tata
kesadaran setiap penduduk dan sekaligus juga ingatan kolektif masyarakat. Kebijakan pemerintah
menjalankan praktik ideologisasi P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) adalah salah satu
contoh di mana negara dan pemerintah ingin "menguasai" kesadaran dan ingatan kolektif masyarakat.
"Orde Baru juga telah menciptakan apa yang disebut state-centered myth atau mitos kebenaran oleh negara
di mana pusat yang menentukan segala-galanya tapi juga menganggap dirinya sebagai pusat segala nilai,"
jelas Taufik. Pada kesempatan sama, budayawan Emha Ainun Nadjib juga mengajak masyarakat agar
jangan begitu saja membuaikan diri dengan wacana indah bernama islah atau rekonsiliasi. "Semangat ini
layak kita tanggapi hati-hati, karena jangan sampai di atas wacana melupakan masa lalu itu lalu
bermunculan sejumlah kompromi 'tahu-sama-tahu' antara pihak-pihak yang ingin saling diuntungkan,"
katanya. Misalnya saja, jelas Emha, jangan sampai rekonsiliasi itu menjadi semacam perundinganperundingan damai' antara para maling uang rakyat atau pelaku kejahatan di masa lalu. "Jadi bukan antara
yang tertindas dengan mereka yang pernah menindasnya," kata Emha. Karena itu, katanya
menggarisbawahi pendapat Taufik Abdullah, rekonsiliasi memang harus berlangsung di tatanan masyarakat
demokratis. (ryi)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
64
KOMPAS - Jumat, 10 Aug 2001 Halaman: 8 Penulis: tra Ukuran: 2952
REKONSILIASI PERLU KONSULTASI PUBLIK
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi merupakan amanat Undang-undang
(UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, proses rekonsiliasi
sebaiknya diawali dengan konsultasi dengan publik (public consultation), terutama dengan korban
pelanggaran HAM di masa lalu atau dengan mereka yang dituduh melakukan pelanggaran HAM masa lalu.
Dengan begitu, dapat ditemukan format rekonsiliasi yang tepat. Demikian dikemukakan Abdul Hakim
Garuda Nusantara, anggota Tim Penyusun Rancangan Undang-undang tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (RUU KKR) kepada Kompas di Jakarta, Rabu (8/8). Dijelaskan, draf RUU KKR itu kini
sudah yang kelimabelas dan diharapkan tahun depan UU KKR sudah dapat diundangkan. Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) kini pun memprakarsai pembahasan rekonsiliasi nasional dengan mengundang
sejumlah pakar untuk memberikan pendapatnya. Menurut Ketua DPA Achmad Tirtosudiro, seusai
pembahasan dengan sejumlah ahli-bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, dan hukum- DPA diharapkan
dapat memberikan masukan konkret kepada Presiden Megawati Soekarnoputri untuk memulai rekonsiliasi.
Sebelum pembahasan Diungkapkan Abdul Hakim, konsultasi dengan publik mengenai rekonsiliasi itu
harus dilaksanakan sebelum RUU KKR mulai dibahas di DPR. "Sesuai UU No 26/2000, tidak semua
perkara pelanggaran HAM di masa lalu akan diselesaikan melalui Pengadilan HAM ad hoc, tetapi melalui
KKR pula. Ini yang membuat pentingnya KKR," jelasnya. Ia menambahkan, rekonsiliasi - dalam proses
KKR - penting dilakukan, terutama untuk korban pelanggaran HAM masa lalu maupun keluarganya.
Karena itu, sebelum merumuskan bentuk rekonsiliasi itu, baik pemerintah maupun DPR harus mau
mendengarkan apa keinginan dari korban pelanggaran HAM tersebut. "Inilah pentingnya konsultasi publik,
terutama dengan korban pelanggaran HAM di masa lalu atau keluarganya dan mereka yang diduga
melakukan pelanggaran HAM masa lalu. Dengan berkonsultasi dengan mereka, setidak-tidaknya diketahui
apa sesungguhnya kemauan mereka untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu tersebut," papar
Abdul Hakim lagi. Dikatakan, Tim Penyusun RUU KKR pun melakukan konsultasi publik dengan
mensosialisasikan RUU itu ke berbagai daerah, terutama kepada korban pelanggaran HAM di masa lalu.
Dengan begitu, diketahui adanya kekurangan dari RUU tersebut. Tetapi, konsultasi publik yang
sesungguhnya sebaiknya dilakukan DPR mau-pun pemerintah bersama-sama. Tentang rekonsiliasi nasional
yang diprakarsai DPA, Abdul Hakim mengatakan, selama ini Tim Penyusun RUU KKR belum pernah
diajak berbicara. Tetapi, DPA boleh saja memberikan masukan kepada Presiden mengenai rekonsiliasi
nasional. Yang harus diingat, rekonsiliasi itu dilakukan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di masa
lalu. (tra
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
65
>Kompas, Jumat, 24 Agustus 2001
Sulit Lakukan Rekonsiliasi
kli
pin
gE
LS
AM
Surabaya, Antara
Ahli sosiologi politik dari Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Daniel T Sparringa
mengatakan, sangat sulit melakukan upaya rekonsiliasi untuk melupakan kesalahan masa lalu yang
dilakukan oleh Orde Baru karena memang banyak hambatannya.
"Salah satu kesulitan melakukan rekonsiliasi itu adalah tidak adanya korban dari perilaku politik penguasa
masa lalu yang diajak bicara untuk membahas masalah tersebut," katanya saat berbicara pada acara "Islah
Masyarakat Jatim: Menjahit Kembali Merah Putih" di Surabaya, Kamis (23/8).
Dalam acara yang digelar Dewan Koordinasi Wilayah (DKW) Garda Bangsa Jatim itu, Daniel memberikan
batasan rekonsiliasi itu sebagai upaya untuk memaafkan masa lalu untuk membangun masa depan yang
lebih baik. Selain itu, katanya, kesulitan itu juga disebabkan tidak adanya seseorang yang disimbolkan dari
korban yang dirugikan, seperti Nelson Mandela, tokoh Apartheid dari Afrika Selatan yang mau memaafkan
rezim masa lalu yang pernah menyakitinya.
"Sebetulnya ada tokoh itu, seperti Pramudya Ananta Toer, yang bisa diajak bicara, tapi dalam wawancara
di televisi, Pram bilang tidak akan memaafkan.*
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
66
KOMPAS - Senin, 13 Aug 2001 Halaman: 25 Penulis: Kuntari, Rien Ukuran: 6880 Foto: 1
Hanya Satu Kata: Maaf
kli
pin
gE
LS
AM
SHELLIE Morris, penyanyi dan penulis lagu Australia itu begitu gembira. Untuk pertama kalinya ia
menemukan titik terang keluarga aslinya. Hari itu, untuk pertama kalinya ia bertemu Annie Isaac, nenek
kecilnya, setelah Shellie memutuskan meninggalkan Sydney, tempat ia dibesarkan dan terbang ke Darwin.
Hilda, saudara perempuan Annie, adalah ibu dari ayah Shellie. "Dalam tradisi Aborigin, Annie juga nenek
saya," ujar Shellie gembira. "Saya katakan padanya (Annie), keluarga saya dari Borroloola, nenek saya
adalah Hilda, dan dia mulai menangis," cerita Shellie. Ayah Shellie sendiri seumur hidupnya berusaha
melacak keberadaan Shellie yang diadopsi keluarga kulit putih sejak bayi dan besar di Sydney. Sayang,
ayah Shellie meninggal hanya 12 bulan sebelum Shellie terbang ke Darwin. Shellie Morris hanyalah salah
satu dari Stolen Generation atau "Generasi yang Tercuri" dalam sejarah perjalanan Aborigin di Australia.
Dari akhir abad 19 hingga sekitar tahun 1960-an, Pemerintah Australia melaksanakan kebijakan mengambil
anak-anak Aborigin campuran dari ibu, orangtua, keluarga, atau komunitas mereka. *** MASALAHNYA,
seperti dituturkan Bruce Elder (Blood on the Wattle), tanpa memperhitungkan keuntungan yang didapat
dari kebijakan itu, yang lebih sering terjadi adalah setelah mengambil dengan cara paksa, kadang mereka
justru menawarkan hal-hal yang sama sekali tidak menguntungkan. Tak jarang wanita atau anak-anak
Aborigin itu harus melalui hari dengan pemerkosaan, penanganan yang salah, dicabut dari komunitas
keluarga sekaligus mematikan akarnya, berteman dengan kekerasan dan tanpa mendapat penghargaan pada
harkat manusianya secara setimpal. John Ah Kit bercerita, sejarah pengambilan paksa hingga muncul
sistem kasta dalam Aborigin ini mirip dengan Afrika Selatan. "Sejarahnya mirip dengan Afsel. Orang
menaruh pensil di kepala. Kalau pensilnya jatuh dari kepala, dia disuruh melangkah ke sini dan kalau tetap
di kepala dia melangkah ke sana. Di masa kolonialisasi banyak warga Aborigin yang akhirnya harus
menjadi kelompok Generasi Tercuri, Stolen Generation. Itu awal mulanya stolen generation," jelasnya. Hal
itu dipertegas Maurie Ryan dari Unit Stolen Generation. Menurut dia, hal itu diawali dengan keinginan
pemerintah untuk memelihara anak-anak keturunan yang diistilahkan sebagai half-cast. Latar belakang
semua kebijakan itu adalah semata-mata anggapan rendah terhadap suku Aborigin. Bruce Elder mencatat,
di saat anak-anak yang tercuri itu mencari orangtuanya, akan dikatakan, orangtua Aborigin jahat, tidak
becus mengurus anak, dan tidak beradab. Ah Kit mengakui, banyaknya pelecehan seksual terhadap wanita
Aborigin. Namun, ia pun mencatat, di antara mereka ada yang lahir karena hubungan yang sebenarnya.
Karena itu banyak di antara anak- anak itu yang berayah polisi atau misionaris. Dan kelompok inilah yang
oleh Ah Kit disebut melahirkan sistem kasta dalam Aborigin. "Selama 40 tahun terakhir kami bekerja keras
dalam meyakinkan tidak ada sistem kasta dalam keluarga Aborigin. Sejauh kamu Aborigin, dengan darah
Aborigin. Kami bekerja keras untuk meyakinkan tidak ada perbedaan, tidak ada kasta dalam sistem
Aborigin, kami cukup bangga menjadi Aborigin," ujarnya. "Dan banyak dari Stolen Generation yang
kemudian kembali ke kakek atau nenek mereka, ke keluarga mereka, ke teman-teman mereka. Ini sangat
menyentuh dan berat, karena mereka telah dibesarkan terlalu lama dalam kultur dan bahasa yang berbeda,
tetapi jauh di lubuk hati mereka, mereka ingin pulang dan bertemu keluarga, setelah sekian lama pergi....
Mereka rata-rata dipindahkan dari rumah mereka di hutan, tetapi kadang lalu mendapatkan perawatan yang
kurang baik." "Ibu saya sendiri berasal dari generasi yang tercuri. Saya tidak tahu siapa kakek dan nenek
saya. Saya tidak bisa berbicara dalam bahasa ibu, ibu sudah meninggal, tapi sebelumnya ibu mengatakan,
kamu harus berperilaku seperti kulit putih, karena begitulah kebijakan pemerintah, kalau ingin bertahan
hidup. Sehingga saya kehilangan semuanya. Saya tidak bisa belajar bahasa saya, negara saya, tradisi saya,
semuanya. Dan begitulah cara hidup yang saya jalani sekarang," jelasnya. *** TAK berlebihan bila
perasaan Ah Kit itu sangat bisa dipahami. Harus diakui, kebijakan pemerintah secara langsung telah
mencabut suku bangsa ini dari akarnya, justru di tanah mereka sendiri. Michael Diorio, tenaga pengajar di
Tandanya National Aborigin Cultural Institute di Adelaide, Australia Selatan menyebutkan, masuknya
Inggris tahun 1788 telah menggeser pola hidup Aborigin, dari menetap ke berpindah-pindah. Kondisi ini
kemudian menghambat sosialisasi nilai-nilai sosial Aborigin. Hal itu masih ditambah dengan gaya dan pola
hidup barat serta kebijakan mengambil anak-anak Aborigin dari induknya. Terlepas diterima atau tidak,
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
67
kli
pin
gE
LS
AM
namun hal itu menjadi faktor penentu hilangnya akar, nilai, norma, tradisi, dan kultur Aborigin pada
generasi selanjutnya. Kondisi itu pula yang justru membuat Aborigin hingga saat ini seolah hanya menjadi
"hiasan" dan bagian kecil dalam kehidupan rakyat Australia seutuhnya. Rekonsiliasi diharapkan bisa
membantu kedua pihak mencapai pengertian dan penerimaan yang lebih baik. Namun, rekonsiliasi saja
ternyata tidak cukup. Menteri Luar Negeri Bayangan Australia Lurrie Brereton menegaskan, Australia
harus menjadikan dirinya sebagai jembatan. Harus meyakinkan bahwa rumah kita adalah juga terbuka bagi
mereka selaras dengan standar internasional. Dan rekonsiliasi itu harus dimulai dengan satu kata, "maaf"
dari pemerintah. PM John Howard memang pernah meminta maaf atas pengingkarannya terhadap adanya
generasi yang tercuri. Namun, kata maaf itu ternyata hanya di bibir, bukan dari hati yang tulus dan bersih.
Bagaimanapun Howard lebih percaya pada laporan tidak adanya generasi yang tercuri tersebut. Seolah ia
tidak peduli pada anak-anak yang telah kehilangan induk, bahkan akar kehidupannya. "Howard tidak perlu
mengeluarkan biaya sedollar pun. Tapi, kalau dia meminta maaf pada kami, itu bisa membuat seluruh
warga Aborigin bahagia," ujar John Ah Kit lirih. Sayang, Howard tetap berpegang pada pendiriannya.
Bahkan ia tidak bersedia melaksanakan rekonsiliasi, jika hal itu harus diawali dengan satu kata, "maaf".
Hanya satu kata, sulitkah? Foto: Land Rights News PENARI-Para penari Kenbi, kelompok khusus
Aborigin, ketika beraksi di Gedung Parlemen, Darwin Northern Territory. Penduduk asli Benua Australia
ini terus menyimpan kisah panjang. Meski mereka hidup di tanah leluhurnya sendiri, tetapi seolah tinggal
di tanah orang lain
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
68
KOMPAS - Kamis, 16 Aug 2001 Halaman: 40 Penulis: Adiwijoyo, Suwarno; Handol ML, John
Ukuran: 14048 Foto: 1
REKONSILIASI DAN SEMANGAT RESTORASI
kli
pin
gE
LS
AM
MEMASUKI tahun ke-56 usia Kemerdekaan RI, kita harus memikirkan dengan sungguh-sungguh
pentingnya mengakomodir potensi kekuatan seluruh komponen bangsa dalam apa yang ingin kami sebut
sebagai "rekonsiliasi nasional yang berlandaskan semangat restorasi". Sejarah membuktikan, dalam banyak
perbedaan sikap dan paham di berbagai bangsa yang dicoba dicarikan jalan keluar (way out)
penyelesaiannya melalui rekonsiliasi umum (ceremonial) atau kultural, pada umumnya tidak dapat bertahan
lama dan optimal. Rekonsiliasi semacam ini, umumnya hanya diwakili kelompok elite yang habitatnya
suka berkonflik, karena itu sifatnya pasif. Pakar komunikasi massa Jenkins menyebutnya sebagai
"rekonsiliasi bodoh". Sebaliknya, Peter Draf (Draf 1998) menawarkan kata rekonsiliasi restorasi yang
disebutnya sebagai "rekonsiliasi cerdas". Semangat restorasi kurang lebih dapat dijabarkan sebagai berikut.
Keinginan untuk bersatu dari satu komunitas yang bermasalah (bangsa atau komponen bangsa) harus
melibatkan semua unsur yang terlibat di dalamnya. Dan sebelum acara seremoni rekonsiliasi dilakukan, ia
harus diuji dalam berbagai perdebatan dan opini dengan batas koridor bahwa dalam prosesi wacana semua
pihak harus terlebih dahulu menyepakati tidak akan ada kekerasan. Lebih luas mengenai prinsip restorasi,
ia mengundang semua orang untuk menunjukkan jatidirinya dan apa maksud-maksudnya. Karena dengan
itu, ia merasa dihargai hak asasi manusia (HAM)-nya, meski dalam konteks makhluk lemah. Rekonsiliasi
juga memberi pesan cerdas dan tidak sekadar memaafkan kebodohan atau keteledoran. Apakah restorasi
berarti zonder hukum? Tidak! Hukum tetap harus jalan dan ditegakkan, namun tidak sepenuhnya harus
menyerahkan nasib orang-orang yang bersalah kepada ahli hukum. Dalam hal ini sikap kami agak berbeda
dengan Hendardi yang memandang proses rekonsiliasi dalam masalah pelanggaran HAM dengan lebih
tegas, bahwa setiap pelanggaran harus ada ganjaran hukumnya kendati itu dilakukan dengan pendekatan
hukum (justice) atau pendekatan politik (reconciliation) (Hendardi, Kompas 2001: Menghadapi Masa Lalu,
Rekonsiliasi Atau Keadilan?). Akan tetapi, agak ambivalent dengan proses rekonsialiasi di Afrika Selatan,
Hendardi juga dapat menerima proses di Afrika Selatan itu sebagai kekecualian, meminjam terminologi
Milan Kundera, proses rekonsiliasi di Afrika Selatan adalah wujud dari seni melupakan (the art of
forgetting) demi memulai suatu hidup normal, suatu hal yang kami setuju dan intinya tidak ada bedanya
dengan rekonsiliasi yang kami maksud tanpa reserve. Restorasi memandang rekonsiliasi dengan relatif
bijak. Jika seseorang telah memaafkan orang lain yang bersalah kepadanya (setelah melalui proses dialog),
maka tindakan hukum tidak selamanya mendidik baginya. Restorasi pada masa rasul-rasul mengajarkan
bahwa kasih dan pemaafan jauh lebih tinggi nilainya daripada sekadar mentaati formalitas hukum.
Pelanggaran Orde Baru Penyelenggaraan negara di bawah rezim politik Orde Baru (1966-1998) yang
bercorak otoritarian telah menyebabkan terjadinya berbagai pelanggaran terhadap norma-norma HAM yang
telah diterima masyarakat internasional. Pelanggaran dilakukan bukan hanya terhadap norma-norma hak
asasi yang bersifat derogable, tetapi juga terhadap norma-norma hak asasi yang bersifat non-derogable.
Umumnya, pelanggaran yang dilakukan tergolong dalam pelanggaran berat HAM (gross violations of
human rights). Terjadinya pelanggaran-pelanggaran ini tidak berdiri sendiri, tetapi amat terkait dengan
watak otoritarian dari negara Orde Baru, sehingga dapat dikatakan negaralah yang telah membuat
pelanggaran itu terjadi (state-sponsored human rights violations). Maka pelanggaran yang terjadi itu amat
eksesif dan menunjukkan suatu pola yang konsisten. Salah satunya hal ini tampak dari mulai pembunuhan
massal 1965-1971 (di berbagai daerah di Indonesia) hingga kepada pembunuhan terhadap para aktivis
mahasiswa proreformasi. Pelanggaran yang berskala berat yang terjadi di bawah rezim Orde Baru itu
hingga kini belum dipertanggungjawabkan secara tuntas. Lalu, kira-kira apa saja jenis pelanggaran berat?
Yaitu "pembunuhan di luar proses hukum dan sumir", "penyiksaan dan penghukuman yang keji",
"penghilangan paksa", "perbudakan", "kekerasan seksual" dan perusakan harta benda/milik adalah
mengacu kepada instrumen-instrumen internasional yang mengatur mengenai hal-hal tersebut.
Pemerintahan hingga kini masih tampak enggan atau menolak melunaskan kewajiban internasionalnya
untuk menyelidiki dan mengadili pelaku pelanggaran-pelanggaran berat HAM itu secara jujur, sehingga
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
69
kli
pin
gE
LS
AM
sampai saat ini para korban atau keluarganya masih belum mendapatkan kepastian mengenai apa yang telah
menyebabkan keluarga mereka terbunuh atau hilang, selain belum mendapatkan restitusi, rehabilitasi, dan
kompensasi atas penderitaan yang mereka alami. Pengabaian atas tanggung jawab ini telah menyebabkan
dalam masyarakat timbulnya berbagai ketidakpuasan, sinisme, apatisme, dan ketidakpercayaan yang besar
terhadap institusi-institusi hukum, dan celakanya negara dianggap memberikan impunity kepada pelaku.
Perlakuan semacam ini bisa akan terus terjadi, karena orang-orang yang merasa bersalah sesungguhnya
tidak siap mental untuk menunjukkan jatidiri mereka. Ironisnya, negara bersikap mendua (split
personality), di satu sisi seperti menunjukkan rasa simpati terhadap korban, tetapi di sisi lain membiarkan
bandit-bandit dan para pembunuh menyimpan dosa-dosa mereka dan tak memberi mereka kesempatan
untuk bertobat melalui jalan rekonsiliasi cerdas (restorasi). Hikmah mencari kebenaran Bahwa merupakan
kesadaran moral bangsa untuk menuntut pencarian atau pengungkapan tentang kebenaran menyangkut
pelanggaran- pelanggaran berat HAM yang meluas dan sistematis yang didasari suatu tujuan politik.
Bahwa pencarian atau pengungkapan kebenaran merupakan satu-satunya cara untuk memulihkan kembali
martabat para korban yang terjadi di masa lalu, dan menciptakan kondisi yang diperlukan bagi terwujudnya
rekonsiliasi nasional yang sejati. Selain itu sesungguhnya merupakan tanggung jawab sistem peradilan kita
untuk menangani setiap kejahatan yang terjadi: menentukan pastinya kejahatan yang dilakukan, siapa
pelakunya, dan memutuskan sanksi hukuman yang tepat; bahwa karakter hukum positif yang ada tidak
memberi jalan yang memungkinkan kepada badan-badan peradilan dalam menangani pelanggaranpelanggaran HAM di masa lalu, sehingga mampu memberi kebenaran menyeluruh kepada rakyat tentang
apa yang telah terjadi; bahwa tuntutan kesadaran moral bangsa mengenai arti penting pengungkapan
kebenaran tidak dapat lagi ditunda pemenuhannya; penundaan hanya akan mengakibatkan kekecewaan
mendalam terhadap masalah ini sehingga dapat merusak kehidupan kita sebagai suatu bangsa; bahwa
sebuah laporan yang jujur yang disiapkan oleh orang-orang yang memiliki otoritas moral yang tinggi dan
sungguh-sungguh dihormati-yang bertugas menerima, mengumpulkan dan menganalisa bukti-bukti yang
diperoleh-akan amat memungkinkan masyarakat mencapai pemahaman yang rasional dan beralasan tentang
apa yang telah terjadi. Adalah menggelikan saat ahli hukum sibuk medebatkan bagaimana seharusnya
penuntasan seluruh kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di negeri ini. Apakah pelanggaran HAM
sejak zaman Majapahit sampai Perang Dunia I dan II serta kasus penjajahan Jepang, Belanda sampai kasus
Tanjung Priok, Trisakti, Semanggi, Aceh, Sambas, Maluku, Banyumas, Ambon, dan lainnya dapat
diselesaikan dengan pengadilan koneksitas. Memang pembatasan secara arif dan logis dalam memilih
persoalan HAM itu penting, karena tidak mungkin seluruh pelanggaran HAM, apalagi yang kejadiannya
sudah terlalu lama untuk bisa diselesaikan lewat pengadilan. Tetapi, simpulnya bukan itu, karena rasanya
mustahil untuk dapat memeriksa seluruh pelaku peristiwa 1 Oktober 1965 untuk menjawab adanya korban
yang menurut catatan resmi mencapai sekitar 600.000 anggota PKI. Sementara untuk mencari satu kalimat
dari tokoh kunci mantan Pangkostrad Jenderal Soeharto saja begitu sulit. Rekonsiliasi secara gamblang
dapat disebut sebagai upaya (yang penting) mencari kebenaran. Artinya diharapkan ada pengakuan jujur
dari pelaku mengenai apa sebenarnya yang terjadi, dan bila pihak korban dapat memaafkannya, maka
pengampunan akan diberikan oleh pemerintah sekaligus memberi rehabilitasi atau kompensasi kepada
korban. Cara seperti ini paling tidak mengajari kita untuk lebih gentleman terhadap apa yang kita lakukan.
Pemerintah bisa membentuk Sub-Komisi dari salah satu sub komisi yang ada misalnya pada badan yang
pernah dipikirkan bernama Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KK)-yang RUU-nya sampai kini macet di
DPR-dapat melakukan pemeriksaan dan hearing langsung dengan pelaku baik secara terbuka (public
hearing) maupun secara terbatas (chamber hearing), dengan begitu rakyat melihat proses yang wajar dan
transparansif. Penyelesaian menyeluruh terhadap pelanggaran-pelanggaran berat HAM di masa lalu perlu
ditangani segera dengan semangat restorasi, karena kita tidak ingin lembaran sejarah kemerdekaan kita
penuh catatan hitam. Ketidakpuasan dan ketegangan politik itu tidak boleh dibiarkan terus berlarut, tanpa
kepastian penyelesaian. Bila keadaan ini terus dibiarkan, berarti membiarkan terjadinya kemerosotan
wibawa hukum di mata publik dan pecahnya disintegrasi bangsa. Menyangkut HAM, mengapa kita
membutuhkan restorasi, karena penyelesaian berbagai pelanggaran itu melalui badan peradilan bukan
merupakan jawaban tepat, mengingat keterbatasan-keterbatasan badan peradilan itu sendiri ditambah masih
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
70
kli
pin
gE
LS
AM
banyaknya tokoh Orde Baru (yang dianggap terlibat) masih memegang peran di pemerintahan. Karena, bila
hukum menjadi andalan masalah ini, tak mustahil penjara kita penuh tokoh yang masih berperan di pentas
politik sekarang. Selain itu, tidak semua kejahatan HAM dapat diajukan ke pengadilan; sebab hal itu
berkaitan dengan keterbatasan barang bukti, saksi, dan kendala- kendala psikologis lainnya. Karena itulah
sebenarnya timbul wacana membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai alternatif dalam usaha
mencari penyelesaian kasus-kasus di masa lalu. Melalui komisi ini kemungkinan untuk mengungkap
kebenaran dapat diwujudkan, karena pelaku dan korban dimungkinkan mengungkap pengalamannya.
Hanya dengan cara ini, jalan menuju rekonsiliasi nasional menjadi lempang. Penyelesaian yang
menyeluruh terhadap pelanggaran-pelanggaran berat HAM di masa lalu dengan demikian amat urgen untuk
ditangani segera. Karena ketidakpuasan dan ketegangan-ketegangan politik itu tidak boleh dibiarkan terus
berlarut, tanpa kepastian penyelesaian. Sebab bila keadaan ini terus-menerus dibiarkan, berarti membiarkan
terjadinya kemerosotan wibawa hukum di mata publik dan pecahnya disintegrasi bangsa. Menjadi tanggung
jawab negara untuk segera mencari penyelesaian terhadap hal ini. Negara Afrika Selatan menjadi salah satu
model yang menarik untuk dipelajari dalam kaitannya dengan sukses rekonsiliasi dan pencarian fakta
pelanggaran secara nasional. Desmon Tutu, penerima nobel perdamaian 1985 dan Ketua KKR Afrika
Selatan, secara terbuka menyatakan, komisi yang dipimpinnya mau melaksanakan keadilan restoratif.
Dalam kata pengantar The Report of the Truth and Reconciliation Commission dikatakan, kritik terhadap
pemberian amnesti sebagai ganti pengungkapan kebenaran oleh pelaku kejahatan didasarkan pada
pemahaman, hanya ada satu aspek keadilan, yakni keadilan sejati. Kemudian ia mengatakan dalam laporan
KKR yang diserahkan kepada Presiden Nelson Mandela Oktober 1998 itu, KKR percaya akan adanya:
"...bentuk lain dari keadilan restoratif yang tidak terlalu banyak berkonsentrasi pada hukum, melainkan
pada perbaikan ketidakseimbangan, restorasi terhadap hubungan yang rusak; penyembuhan, harmoni, dan
rekonsiliasi. Keadilan semacam ini memusatkan pada pengalaman para korban dan dengan demikian
menekan pentingnya reparasi. (The Report of the Truth and Reconciliation Commission. Vol I, Bab I, par
36). Dari penegasan itu, dikemukakan dua konsep keadilan berbeda, yakni "keadilan retributif" dan
"keadilan restoratif". Kedua konsep keadilan ini sebenarnya berdasarkan keprihatinan yang sama untuk
mengadakan restorasi kesamaan antarindividu dalam masyarakat yang dikacaukan oleh perbuatan kriminal.
Perbedaan keduanya baru terlihat pada pilihan strategi untuk mencapai tujuan itu. Dalam kondisi Indonesia
yang belum sepenuhnya pulih dari krisis multi dimensional, rekonsiliasi nasional memiliki sifat signifikan
dalam mempercepat penyelesaian krisis. Selain itu-diakui atau tidak-akhir-akhir ini hubungan antara umat
Islam dan umat Kristiani di Indonesia (sampai batas-batas tertentu) masih mengalami ganjalan akibat
terjadinya konflik yang terjadi di beberapa tempat. Di balik itu, kerja sama antarumat beragama yang
berbeda-beda sebagai bagian komponen bangsa, amat bermakna untuk lebih dikembangkan dalam rangka
mencapai rekonsiliasi secara menyeluruh. Untuk itulah rekonsiliasi dalam konteks restorasi menjadi makin
penting. Artinya, meski dalam urusan agama, saling mengoreksi juga penting, asal tujuannya menuju
kebaikan yang lebih hakiki. * Suwarno Adiwijoyo dan John Handol ML, masing-masingKetua dan Sekjen
Lembaga PAKAR.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
71
KOMPAS - Kamis, 23 Aug 2001 Halaman: 20 Penulis: sto Ukuran: 2222
MALUKU BUTUH KOMISI KEBENARAN RESOLUSI KONFLIK
kli
pin
gE
LS
AM
Kartasura, Kompas Presiden Megawati Soekarnoputri diharapkan mampu membentuk Komisi Kebenaran
Resolusi Konflik di Maluku. Komisi independen ini berfungsi memberikan pegangan informasi secara tepat
kepada masyarakat yang selama ini dilanda pertikaian agama. Gagasan tersebut disampaikan sejumlah
aktivis Kota Ambon dalam "Pelatihan Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi Konflik Etnik dan Agama" yang
diselenggarakan oleh Center for Intercultural Studies and Conflict Resolution (CISCORE) di Kartasura,
Jawa Tengah, Rabu (22/8). Pelatihan itu melibatkan sekitar 30 aktivis dari lembaga swadaya masyarakat
(LSM) yang berkarya di daerah-daerah konflik, seperti Ambon (Maluku), Poso (Sulawesi Tengah),
Pontianak (Kalimantan Barat), Madura, Kupang (Nusa Tenggara Timur), dan Mataram (Nusa Tenggara
Barat). Salah seorang aktivis Ambon, Rio Pelu, mengatakan, Komisi Kebenaran diharapkan sanggup
menunjukkan akar permasalahan daerah konflik secara jernih kepada masyarakat. Selama ini, masyarakat
telah terkooptasi oleh berbagai tindak kekerasan yang diduga malah dilakukan oleh aparat keamanan. Ia
mengatakan, kehadiran komisi ini penting mumpung kerinduan perdamaian kedua belah pihak masih ada.
Mereka sangat membutuhkan motivasi, bukan sekadar bentuk-bentuk represi yang mengatasnamakan demi
keamanan. Apalagi, lewat pengiriman Batalyon Gabungan TNI dan Polri yang justru memperkeruh
suasana. "Tawaran rekonsiliasi melalui Komisi Kebenaran ini harus secara komprehensif, bukan hanya
tawaran-tawaran solusi secara kasuistik," ujarnya. Relawan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) Hendrik Lokra menuturkan, kerinduan perdamaian rakyat Maluku terhalang oleh
sekat-sekat provokasi yang diduga dilakukan oleh para pendatang. Kehadiran LSM pun, ujarnya,
seharusnya mampu menjembatani melalui emergency treatment (penanganan darurat), bukan hanya masuk
dalam proses advokasi semata. Apalagi, hanya bermotivasikan sebuah proyek kemanusiaan. "Sebuah disain
besar bermisi kemanusiaan dan perdamaian harus menjadi ujung tombak harapan masyarakat Ambon,"
tegasnya. (sto)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
72
KOMPAS - Jumat, 24 Aug 2001 Halaman: 7 Penulis: - Ukuran: 1231
SULIT LAKUKAN REKONSILIASI
kli
pin
gE
LS
AM
Surabaya, Antara Ahli sosiologi politik dari Fisip Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Dr Daniel T
Sparringa mengatakan, sangat sulit melakukan upaya rekonsiliasi untuk melupakan kesalahan masa lalu
yang dilakukan oleh Orde Baru karena memang banyak hambatannya. "Salah satu kesulitan melakukan
rekonsiliasi itu adalah tidak adanya korban dari perilaku politik penguasa masa lalu yang diajak bicara
untuk membahas masalah tersebut," katanya saat berbicara pada acara "Islah Masyarakat Jatim: Menjahit
Kembali Merah Putih" di Surabaya, Kamis (23/8). Dalam acara yang digelar Dewan Koordinasi Wilayah
(DKW) Garda Bangsa Jatim itu, Daniel memberikan batasan rekonsiliasi itu sebagai upaya untuk
memaafkan masa lalu untuk membangun masa depan yang lebih baik. Selain itu, katanya, kesulitan itu juga
disebabkan tidak adanya seseorang yang disimbolkan dari korban yang dirugikan, seperti Nelson Mandela,
tokoh Apartheid dari Afrika Selatan yang mau memaafkan rezim masa lalu yang pernah menyakitinya.
"Sebetulnya ada tokoh itu, seperti Pramudya Ananta Toer, yang bisa diajak bicara, tapi dalam wawancara
di televisi, Pram bilang tidak akan memaafkan.*
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
73
KOMPAS - Senin, 27 Aug 2001 Halaman: 5 Penulis: Asy'arie, Musa Ukuran: 8958
REKONSILIASI ANTARA CITA DAN FAKTA
Oleh Musa Asy'arie
kli
pin
gE
LS
AM
MASALAH rekonsiliasi mencuat kembali dan menarik perhatian, setelah Wakil Presiden Hamzah Haz
dalam sambutan pelantikannya menegaskan perlunya kita melakukan hal itu. Sudah berkali-kali
rekonsiliasi dibicarakan dan diupayakan dari berbagai pihak, sebagai bagian usaha mengatasi dan keluar
dari krisis multidimensi yang menimpa bangsa kita. Tetapi, sampai saat ini belum juga dapat dilakukan
dengan baik, bahkan konflik dan kekerasan pun masih terus saja berlangsung. Kini setelah SI MPR usai
dan berhasil memilih serta menetapkan Presiden dan Wakilnya yang baru, sudah selayaknya kita berharap
agar kepemimpinan yang baru dapat menjadikannya sebagai momentum untuk memprakarsai
terselenggaranya rekonsiliasi nasional secara total. Serta membawa kita untuk dapat keluar melepaskan diri
dari krisis konflik berkepanjangan yang telah memakan banyak korban dan melahirkan penderitaan panjang
rakyatnya sendiri. Rekonsiliasi sebagai upaya menciptakan perdamaian hakiki di atas puing-puing
reruntuhan konflik dan kekerasan berkepanjangan yang menoreh luka amat dalam, tidak mungkin
terlaksana baik. Jika tidak ada ketulusan hati untuk memotong jalannya sejarah, dengan menutup lembaran
kehidupan lama menuju lembaran kehidupan baru yang lebih adil, sejahtera dan dapat memberi peluang
berkembangnya potensi- potensi yang dimiliki bangsa secara maksimal. Kepemimpinan nasional yang kuat
Suatu bangsa hanya akan dapat melakukan sesuatu yang besar, seperti rekonsiliasi, bila dalam
kehidupannya ada kepemimpinan yang kuat dan berwibawa, baik secara institusional maupun individual,
yang dapat menjadi teladan hidup bagi rakyatnya, sehingga dapat mengurai dan mengikat kembali retakanretakan konflik yang ada. Jika tidak, maka yang terjadi adalah rekonsiliasi setengah hati. Seperti yang
terjadi akhir-akhir ini betapa banyak pertemuan rekonsiliasi dilakukan para pemuka dan pemimpin
masyarakat yang terlibat konflik kekerasan, tetapi belum kering tinta yang mencatat peristiwanya, ternyata
sudah terjadi konflik kekerasan lagi, seakan-akan ada jarak amat panjang antara kesepakatan pimpinan dan
realitas perilaku masyarakatnya. Sehingga apa yang telah disepakati para pemimpinnya tidak pernah aktual
dalam kehidupan kongkret masyarakat. Karena itu, rekonsiliasi memerlukan kepemimpinan yang kuat
secara moral, hukum dan politik, bukan kepemimpinan yang hanya kuat secara politis dan hanya berbasis
kekuasaan represifnya. Jika kepemimpinan nasional mempunyai cacat sosial, baik secara moral, hukum,
dan politik, maka kepemimpinan itu akan menjadi masalah dan akan bermasalah. Akibatnya setiap usaha
rekonsiliasi akan dicurigai dan dianggap upaya menyelamatkan diri sendiri dari tuntutan hukum. Akibatnya
upaya rekonsiliasi hanya akan diterima setengah hati. Persoalannya, apakah kepemimpinan nasional di
bawah Megawati dan Hamzah Haz dapat mencerminkan kepemimpinan yang kuat secara moral, hukum
dan politik? Karena, masih ada anggapan-seperti dalam pandangan Gus Dur dan pengikutnyakepemimpinan nasional produk SI MPR ini, hanya kuat secara politik, tetapi lemah secara moral dan
hukum. Ini menjadi tantangan tersendiri yang mesti dihadapi dan diselesaikan secara arif oleh
kepemimpinan yang baru, jika mereka ingin memprakarsai diadakannya rekonsiliasi total, tidak setengahsetengah. Karena itu, ketulusan, dedikasi, dan kebersihan diri kepemimpinan nasional dari tindakan KKN
akan menjadi kunci sukses rekonsiliasi itu sendiri. Pembangunan yang adil dan makmur Bila kita
mengamati secara mendalam konflik kekerasan di beberapa daerah, pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan
dari proses pembangunan itu sendiri, yang dalam praktiknya telah melahirkan ketimpangan sosial ekonomi
amat tajam dalam kehidupan masyarakat. Sehingga membuat yang kaya menjadi semakin kaya dan yang
miskin menjadi semakin miskin, dan dalam prosesnya juga telah mengakibatkan rakyat menjadi semakin
terpuruk nasibnya dan terpinggirkan. Karena itu, rekonsiliasi harus berarti adanya niat kuat untuk
melakukan reorientasi dan reaktualisasi pembangunan nasional dengan berdasarkan prinsip keadilan dan
kemakmuran bagi rakyat, seperti ditegaskan UUD '45. Keadilan dalam merumuskan, melaksanakan, dan
menikmati hasil-hasil pembangunan untuk terwujudnya kemakmuran hidup rakyat seluruhnya, bukan
hanya kemakmuran bagi segelintir orang yaitu pejabat dan kelompok elitenya. Pembangunan harus dapat
meletakkan keadilan lebih dahulu, baru kemudian kemakmuran, jika keduanya tidak dapat dicapai secara
bersamaan. Dalam usaha pemulihan ekonomi, dengan arif kita perlu belajar dari kegagalan masa lalu, untuk
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
74
kli
pin
gE
LS
AM
tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan. Karena prioritas pembangunan ekonomi hanya
ditekankan untuk memperbesar kue nasional, telah menciptakan ketidakadilan dan kesenjangan. Ketika kue
telah membesar ternyata amat sulit untuk membaginya, karena telah dikuasai kalangan terbatas, yaitu
pejabat dan konglomerat yang menjadi kroninya yang enggan untuk berbagi. Trickle down effect
pembangunan yang diharapkan dapat menetes ke bawah, tidak pernah terjadi, sebaliknya hanya berhenti
sebagai mitos saja, akibatnya rakyat marah dan menghancurkannya. Format masa depan yang jelas
Rekonsiliasi akan makin mudah dan nyata bila kita mempunyai gambaran jelas tentang masa depan yang
hendak dicapainya, sehingga rekonsiliasi tidak lagi ada di ruang hampa. Karena itu, rekonsiliasi harus dapat
membuka dan memungkinkan terjadinya proses dialektik dalam kehidupan masyarakat, untuk menemukan
rajutan-rajutan baru proses dialektik-sintetik yang lebih mencerdaskan dan memperkaya spiritualitas serta
tetap menjaga berlangsungnya pluralitas. Pada tahapan ini, pemerintah perlu melepas sumbat-sumbat yang
terjadi dalam proses dialog terbuka dari berbagai kalangan dan kelompok masyarakat lintas agama, suku,
budaya, ideologi, dan partai politik. Format masa depan Indonesia harus mencerminkan terjaganya
pluralitas agama, suku, adat istiadat, dan partai politik untuk menjadi kesatuan mozaik yang saling
mengikat dan memperkuat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Realitas konflik pluralitas harus dikelola
secara kreatif menjadi unsur pemersatu, bukan unsur pemecah belah, diikuti ketulusan untuk menutup luka
lama yang amat menyedihkan, untuk tidak dikorek-korek lagi sehingga membangkitkan permusuhan baru
dan dapat diperalat untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Karena itu, pelajaran sejarah sepenuhnya harus
bermuatan akademik dan diajarkan secara rasional obyektif untuk membangun perspektif baru yang lebih
mencerdaskan. Adanya format masa depan yang lebih baik, diikuti dengan program pembangunan yang
berkeadilan dan berkemakmuran yang dijalankan secara konsisten, akan menjadi pijakan kokoh bagi usaha
rekonsiliasi yang hakiki, bagi terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur. Tanpa pijakan kokoh, upaya
rekonsiliasi hanya akan mengambang di permukaan, karena tidak mempunyai landasan kuat, dan sewaktuwaktu muncul konflik baru, masyarakat kehilangan daya tahan meredamnya, untuk mencari solusi yang
kreatif. Akibatnya tentu akan meruntuhkan kembali semangat rekonsiliasi itu sendiri. Karena itu
rekonsiliasi tidak bisa dibicarakan sebagai persoalan yang berdiri sendiri dan bersifat parsial.
Membicarakan rekonsiliasi dengan mengabaikan realitas sosial, ekonomi, dan politik, dalam kehidupan
masyarakat, akan mengakibatkan rekonsiliasi berjalan setengah hati, dan pada gilirannya akan melahirkan
ketidak terhubungan antara kesepakatan formal yang dilahirkan dalam pertemuan para pemimpin
masyarakat itu, dengan realitas perilaku sosial masyarakat itu sendiri. Sehingga, rekonsiliasi akhirnya
hanya ada dalam untaian kata yang indah tetapi tidak ada dalam perbuatan dan praktik hidup masyarakat
sehari-hari. Rasanya rekonsiliasi hanya akan berjalan dan sukses, jika semua pemimpin masyarakat, baik
formal maupun informal, dapat mengosongkan egoisme masing-masing, atau paling tidak dapat menekan
egoismenya ke titik paling rendah. Sehingga, dapat memunculkan kearifan, ketulusan, kerendahan hati, dan
niat baik untuk mengubur pengalaman pahit di masa lalu. Dan berketetapan hati untuk membuangnya jauhjauh guna menyongsong dan memasuki masa depan yang lebih damai, manusiawi, mencerdaskan dan dapat
memperkaya spiritualitas. Rekonsiliasi tidak mungkin berdasarkan egoisme, karena egoisme adalah minyak
bagi api. Egoisme menjadikan konflik sebagai permainan untuk menunjukkan kekuatan dan kekuasaannya.
Egoisme menjadikan konflik berkembang destruktif. * Musa Asy'arie, guru besar IAIN Sunan Kalijaga,
Direktur Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
75
KOMPAS - Selasa, 28 Aug 2001 Halaman: 6 Penulis: gun Ukuran: 1601
WAPRES: ISLAH UNTUK KURANGI KECURIGAAN
kli
pin
gE
LS
AM
Jakarta, Kompas Wapres Hamzah Haz mengatakan, untuk mengurangi kecurigaan sebagian masyarakat
terhadap kemungkinan munculnya negara Islam, perlu diadakan islah atau rekonsiliasi di antara semua
lapisan masyarakat. Ketua Umum Perwalian Umat Budha Indonesia (Walubi) Siti Hartati Murdaya,
mengatakan hal itu mengutip pernyataan Wapres setelah ia bertemu Wapres di Istana Merdeka Selatan
Jakarta, Senin (27/8). Wapres mengatakan, seperti dikutip Murdaya, ada sementara masyarakat yang
mencurigai kemungkinan munculnya negara Islam setelah Hamzah Haz terpilih sebagai Wapres dalam
Sidang Istimewa (SI) MPR tanggal 23 Juli 2001. Kecurigaan sebagian masyarakat tersebut dinilai Wapres
tidak berdasar, karena itu perlu diadakan islah. "Wapres menyebutkan ada kecurigaan akan ada negara
Islam karena Wapresnya dari sebuah parpol Islam," ujar Murdaya. Dalam pertemuan dengan Wapres,
pengurus Walubi menyampaikan keinginan mereka agar di Departemen Agama segera dibentuk Direktorat
Jenderal Budha yang terpisah dari Direktorat Jenderal Hindu dan Budha seperti yang ada sekarang, agar
pembinaan umat Budha dapat dilakukan lebih intensif. Jumlah umat Budha di Tanah Air antara tujuh
sampai delapan juta orang. Setelah pengurus Walubi, Wapres antara lain juga menerima Kepala Polri
Jenderal (Pol) Surojo Bimantoro. Berbeda dengan tamu lain yang bertandang ke Wapres, Kepala Polri
menolak untuk memberikan keterangan kepada wartawan di ruangan yang telah disediakan bagian protokol
Kantor Wapres. (gun)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
76
Suara Pembaruan, 06 Sepember 2001
Rekonsiliasi dan Keadilan Transisional
Oleh AE Priyono
pin
gE
LS
AM
Beberapa waktu lalu, Dewan Pertimbangan Agung menyatakan berniat membuat konsep rekonsiliasi untuk
direkomendasikan kepada pemerintahan Megawati. Kecuali dengan merujuk komentar beberapa pakar
yang diundangnya, belum terlalu jelas betul bagaimana bakal jadinya konsep rekonsiliasi yang akan
diajukan DPA itu.
Kita juga belum tahu bagaimana gagasan tersebut dihubungkan dengan gagasan yang sama dalam RUU
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kini masih dipersiapkan pemerintah.
Eep Saefulloh Fatah dari UI, misalnya, menyarankan agar rekonsiliasi didasarkan pada pemberian maaf
bangsa ini atas apa yang terjadi di masa lalu, seraya tidak melupakannya untuk mencegah terulangnya
kembali kejadian-kejadian yang sama di masa depan. Yang dimaksudkan tentunya adalah menyangkut
kejahatan-kejahatan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru.
Sementara itu Daniel Sparringa dari Unair cenderung membatasi wilayah rekonsiliasi sebatas untuk
memberikan desain bagi keselamatan masa depan. Baginya rekonsiliasi bukan pertama-tama untuk tujuan
kebenaran dan keadilan, tetapi lebih merupakan upaya untuk ''menyelamatkan masa depan yang lebih adil
dan sejahtera bagi generasi mendatang bangsa ini'', katanya seperti dikutip Kompas (7/8/2001)
Sejauh yang bisa ditangkap dari komentar-komentar para pakar itu, wilayah gagasan rekonsiliasi adalah
pemberian maaf --atau dengan kata lain: amnesti - seperti dipikirkan Eep; serta bukan untuk tujuan keadilan
- atau dengan kata lain: non-prosekusi - seperti disebutkan Sparringa. Dengan demikian, amnesti dan nonprosekusi, itulah yang menjadi kata kunci rekonsiliasi.
Benarkah rekonsiliasi akan merupakan hasil langsung dari pemberian maaf; atau secara jangka panjang
menjamin ''masa depan yang lebih adil'' seperti yang diharapkan? Benarkah amnesti dan non-prosekusi
merupakan pilihan satu-satunya untuk mencegah terulangnya kejahatan masa lalu dan untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya? Apa implikasi pilihan itu terhadap skenario legal yang telanjur
sudah dirumuskan melalui rencana pembentukan Pengadilan HAM menurut UU No 26/2000? Apakah
amnesti dan non-prosekusi berhasil menghindarkan efek impunity?
kli
Isu Kontroversial
Mengapa diajukan rekonsiliasi, siapa saja yang menjadi pihak-pihak yang harus melakukan rekonsiliasi,
apa tujuannya, dan bagaimana proses rekonsiliasi dikerjakan, merupakan masalah-masalah yang berkaitan
langsung dengan situasi moral dan politik setiap pemerintahan transisi.
Pada kenyataannya tidak ada model tunggal bagi resep rekonsiliasi. Resep ini bisa muncul dari paduan
berbagai sikap terhadap masa lalu: melupakan dan memaafkan, tidak melupakan tetapi memaafkan, dan
tidak memaafkan tetapi melupakan. Tidak pernah ada rekonsiliasi yang muncul atas dasar sikap tidak
melupakan dan tidak memaafkan.
Berbagai varian sikap terhadap masa lalu itu pernah muncul dalam empat tipe transisi.
Pertama, dalam tipe denazifikasi (denazification), yaitu yang dilakukan Jerman pasca-Hitler dalam rangka
melikuidasi Nazisme, tidak terjadi rekonsiliasi karena pemerintahan baru tidak mau melupakan dan tidak
mau memaafkan Nazisme. Kedua, dalam tipe defasistisasi (defascistization) Italia pasca-Mussolini ketika
dilakukan pembongkaran terhadap Fasisme, tidak juga terjadi rekonsiliasi tetapi dengan dasar sikap yang
berbeda, yaitu tidak memaafkan tetapi melupakan.
Ketiga, dalam tipe dejuntafikasi (dejunctafication), yaitu yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin
ketika mereka berusaha melepaskan diri dari rezim-rezim diktator dukungan militer, rekonsiliasi terjadi
setelah pemerintah baru akhirnya memberi maaf melalui amnesti - meskipun banyak kalangan tidak pernah
mau melupakan kejahatan-kejahatan militer ketika masih berkuasa. Dan keempat, dalam tipe dekomunisasi
(decommunization), khususnya di negara-negara Eropa Timur dan Uni Soviet pasca-Komunisme,
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
77
LS
AM
kecenderungannya seperti yang terjadi terhadap Nazisme, yakni tidak memaafkan dan tidak melupakan,
atau dengan kata lain tidak ada rekonsiliasi.
Kecuali dengan merujuk pada bentuk rekonsiliasi lain yang terjadi di Korea Selatan melalui penerapan
sikap ''tidak memaafkan tetapi melupakan'' dengan pengadilan atas dua presidennya - Park Chung Hee dan
Chun Do Hwan- serta yang terjadi di Afrika Selatan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi melalui
panduan moral Desmond Tutu dan Nelson Mandela, terlihat dari generalisasi kasar di atas bahwa
rekonsiliasi di bawah tipe transisi dejuntafikasi pada dasarnya lebih merupakan negosiasi elitis.
Di bawah tipe dejuntafikasi, Argentina (1983), Uruguay (1985), dan Chili (1990) misalnya, menerapkan
rekonsiliasi ketika pemerintah-pemerintah baru pasca-junta menyadari sulitnya melakukan transisi
demokratis karena harus menghadapi ancaman pembangkangan militer jika kejahatan-kejahatan masa
lalunya dibongkar dan diperiksa di pengadilan.
Sebagai misal, sebuah pakta (1986) antara penguasa sipil baru di Uruguay dengan para jenderal untuk tidak
menggugat tanggung jawab militer atas kejahatan-kejahatan HAM yang mereka lakukan di masa lalu,
mendapat tantangan keras dari para korban dan keluarganya yang menginginkan pengadilan. Menghadapi
tekanan itu militer meminta pemerintah memberlakukan undang-undang amnesti melalui sebuah plebisit.
Amnesti umum akhirnya diberlakukan, dengan akibat tidak ada lagi investigasi terhadap pelanggaran masa
lalu sementara penyelidikan yang masih berjalan harus dibatalkan. Melalui rute amnesti, rekonsiliasi
akhirnya memang bisa ditempuh. Tetapi dengan cara itu pula ketidakadilan dilupakan, kejahatan dibiarkan
tanpa penghukuman, dan para korban sama sekali tidak mendapat kompensasi.
kli
pin
gE
Beradab
Banyak tipe rekonsiliasi yang akhirnya berujung pada impunitas, yaitu peniadaan sanksi atas kejahatan
yang pernah dilakukan. Inilah harga dari pemberian maaf dan non-prosekusi di balik tercapainya
rekonsiliasi. Namun demikian, pengalaman Afrika Selatan memberikan contoh lain bahwa pemberian maaf
dan non-prosekusi itu diimbali dengan pengakuan para tersangka pelanggaran HAM untuk mengungkapkan
detail peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Ini untuk memberi gambaran menyeluruh bahwa
kejahatan-kejahatan memang telah dilakukan dan harus dibeberkan untuk menghindari pengulangannya di
masa depan.
Melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk oleh pemerintah baru, para pelaku pelanggaran
HAM itu membeberkan keterlibatannya dalam tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan secara
sistemik oleh rezim apartheid. Komisi juga menghadirkan para korban, keluarga, maupun kerabatnya. Di
hadapan para korban dan keluarganya ini, para pelaku pelanggaran HAM itu akhirnya secara langsung
mengungkapkan permintaan maaf. Dan atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya
diberikan. Rekonsiliasi, dengan kata lain, didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang secara langsung
berkaitan dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam bentuknya yang seperti ini, rekonsiliasi memang menyentuh langsung kepentingan publik. Ia
mengekspresikan kehendak para pihak yang dinyatakan secara publik di hadapan sebuah lembaga yang
memang memiliki kredibilitas dan legitimasi moral. Lembaga rekonsiliasi pada akhirnya memenuhi
harapan untuk pengungkapan kebenaran atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, untuk
penyesalan dan pertobatan para pelaku kejahatan.
Memang, seperti banyak dikritik, rekonsiliasi model Afrika Selatan tidak bisa memenuhi harapan keadilan
prosedural dan formal sebagaimana yang selama ini ditempuh melalui jalur legal. Inilah suatu bentuk
penerapan keadilan transisional, di luar prosedur-prosedur legal yang normal. Tetapi inilah eksperimen
yang telah diakui sebagai penyelesaian yang beradab dalam periode transisi.
Karena situasi semacam itulah, pemerintahan transisi sering kali diberi semacam dispensasi atau diskresi
oleh hukum HAM internasional untuk mencari cara baru bagi penyelesaian kejahatan-kejahatan HAM berat
yang dilakukan pemerintahan sebelumnya demi pertimbangan stabilisasi demokrasi. Dalam beberapa
kasus, inisiatif-insitiatif pemerintahan transisi untuk menegakkan keadilan-transisional bahkan telah pula
diakui sebagai model-model penyelesaian yang bisa dijadikan referensi secara internasional, dengan cntoh
seperti yang diterapkan di Afrika Selatan itu.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
kli
pin
gE
LS
AM
Sebenarnya Indonesia juga sedang bergerak ke arah penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu
dengan skenario yang sudah cukup jelas: melalui pengadilan HAM, dan melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Kini masih menjadi tanda tanya, apakah gagasan DPA berada di luar skenario itu?
Penulis adalah peneliti pada Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta.
78
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
79
KOMPAS - Senin, 10 Sep 2001 Halaman: 1 Penulis: nmp; mh Ukuran: 6364
REKONSILIASI, BANGUN KEPERCAYAAN
kli
pin
gE
LS
AM
Men easily forget; and tend to forget unpleasant happenings more quickly than pleasant ones. Anthony
Storr, Human Destructiveness (1991) BARANGKALI benar, manusia mempunyai kecenderungan
melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan, apalagi kalau peristiwa itu berhubungan dengan hilangnya
anggota keluarga yang dicintai. Kalau dikontekskan dengan ingatan kolektif, proses pelupaan ini sangat
berbahaya karena membuat suatu bangsa tidak belajar dari sejarah perjalanannya sebagai bangsa. "Ingatan
bangsa kita masih sangat pendek. Ini menyebabkan kesadaran kesejarahan yang kurang baik," ujar Dr Nani
Nurrahman (51), psikolog, putri Mayjen (Anumerta) Sutojo yang tewas dalam peristiwa G30S tahun 1965.
Sejarah sebenarnya tidak pernah mengulang diri, seperti kata filsuf Voltaire, tetapi manusia senantiasa.
Ketika "pemenang" suatu konflik politik mengambil semuanya dengan pendekatan to be or not to be,
"Mereka tenggelam dalam label pemenang dan mendominasi kebenaran. Tindak totalitarian pun berulang,"
tegas Nani, mencontohkan yang terjadi pada Orde Baru. Namun, peristiwa setraumatis apa pun yang terjadi
merupakan realitas bersama yang harus dihadapi sebagai bangsa. "Tinggal bagaimana kita menyikapinya
sebagai warga negara," sambung Nani. Indonesia telah belajar dari model rekonsiliasi di Afrika Selatan dan
beberapa negara lain. Namun, bagi Nani, "Rekonsiliasi hanya mungkin kalau kita masih punya kehendak
untuk hidup bersama sebagai bangsa. Kalau tidak, lupakan saja soal rekonsiliasi." Dasar keyakinannya
mengenai hal ini sederhana saja. Manusia di mana pun membutuhkan rasa aman dan orientasi, rasa nyaman
yang maksimal dan rasa takut yang minimal, kebutuhan mengadakan hubungan dengan orang lain dan
kebutuhan mengaktualisasikan diri. "Friksi dan konflik dalam memenuhi kebutuhan itu kadangkala begitu
keras sehingga menimbulkan gesekan, lalu luka dan dendam," ujar Nani. "Di sini alternatifnya, kalau masih
membutuhkan satu sama lain, maka kita akan mencari jalan supaya bisa berhubungan lagi." *** KALAU
hal ini dikembangkan pada persoalan kelompok dalam konflik-konflik besar, penyelesaian konflik pada
hakikatnya mengacu pada bagai-mana menyambung kembali hubungan antarmanusia. "Itu berarti kita
harus memaafkan. Dengan itu kita menyambung kembali hubungan yang retak meskipun dalam pola yang
berbeda. Dengan memaafkan, kita mengakui hak hidup orang lain dan mengakui keberadaan mereka,"
sambungnya. Untuk sampai pada sikap ini, terentang proses panjang yang membuat Nani memahami
makna penderitaan. Ketika tinggal di AS, ia bertetangga dengan seorang korban holocaust Perang Dunia II
yang mampu menjalani sisa hidupnya dengan realita yang ada, setelah suami dan anak satu-satunya tewas
dalam peristiwa itu. Penampilan Elie Wiesel, survivor dari kamp konsentrasi Auswitz, menyodorkan
kepada Nani kenyataan bahwa seseorang dapat menjadi pribadi yang utuh dari reruntuhan kemanusiaan
tanpa perlu menampilkan amarah dan dendam terhadap mereka yang membuatnya menderita, sekalipun
sulit melupakan semuanya. Kalau ditopang dengan sikap etis, inilah yang disebut Nani-meminjam istilah
Carol Gilligan dalam In a Different Voice (1982) -sebagai the ethic of care. Kendati demikian, menurut
Nani, bukan berarti melupakan the ethic of justice, yang, masih menurut Gilligan, sama pentingnya dengan
the ethic of care. Dalam konteks tragedi akibat konflik politik, memaafkan bukan berarti impunity. keadilan
tetap harus ditegakkan. Secara umum, kondisi kehidupan yang terganggu akibat suatu tragedi tidak bisa
kembali seperti sediakala. Ada yang hilang dan tidak tergantikan. Konflik politik telah melahirkan
kenangan buruk dalam ingatan mereka yang secara langsung terimbas peristiwa itu. "Ingatan seperti ini
yang terus dibawa bisa menimbulkan gangguan-gangguan emosional seperti post-traumatic stress disorder
(PTSD)," lanjutnya. Dalam masyarakat, PTSD ini ditentukan oleh berapa besarnya kelompok (cohort)
remaja dan seberapa jauh peristiwa itu akan tersimpan dalam ingatan kolektif masyarakat. Ahli filsafat Dr
Karlina Leksono pernah mengatakan, ingatan kolektif ini biasanya bersifat rahasia dan mengembara dalam
kesenyapan, melukiskan gambar-gambar retak kesaksian atas suatu peristiwa. Baik pada korban maupun
pada pelaku, gambar itu menumpuk dan membeku, membentuk tembok resistensi yang kian lama kian
kokoh. "Kasus-kasus ini memang tidak bisa digeneralisasi. Akan tetapi, kalau kita hanya berkutat pada
kesulitan, kita tidak akan beranjak ke mana-mana," ujar Nani yang bersama teman-temannya mendirikan
Yayasan Kirti Mahayana beberapa bulan lalu. Cita-cita besar yayasan ini adalah membangun masyarakat
Indonesia baru pascatrauma. "Dengan segenap penghargaan pada kegiatan pendampingan, harus diakui kita
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
80
kli
pin
gE
LS
AM
masih belum memiliki strategi jangka panjang menangani masalah trauma. Padahal, bangsa ini mempunyai
beban trauma yang luar biasa besar. Belum lagi kalau kita bicara soal jutaan internally displaced persons,
termasuk anak-anak akibat konflik tak berujung." *** PENYEMBUHAN luka batin dalam trauma bukan
hal mudah, tercakup dalam spektrum panjang antara psiko-sosial sampai psiko-spiritual. "Setelah ayah
meninggal, banyak orang menghibur saya dengan mengatakan, 'Sudah, jangan dipikir, Bapak sudah tenang
di sana'," kenang Nani. "Saya tidak berpikir bagaimana ayah saya. Saya berpikir gimana sih orang-orang
ini, kok, tidak memahami perasaan saya." Ia melihat budaya Jawa tidak memberi peluang pada anak
mengekspresikan kesedihannya. Kecenderungan menekan kenangan buruk itu memunculkan implikasi lain
dalam bentuk hilangnya kepercayaan terhadap orang lain. Padahal, rekonsiliasi dalam tahap berikutnya
selalu akan melibatkan orang lain. Ini berarti yang lebih dahulu dikedepankan bukan posisi politik. "Tetapi
apakah kita percaya pada orang yang kita ajak bicara. Trauma berarti hancurnya kepercayaan," ujar
Nani."Kalau bicara kepercayaan, kita bicara soal karakter manusia. Padahal, sekarang ini kita mengalami
krisis moral dan karakter." (nmp/mh)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
81
KompasSenin, 10 September 2001
Rekonsiliasi, Bangun Kepercayaan
Men easily forget; and tend to forget unpleasant happenings more quickly than pleasant ones. Anthony
Storr,
Human Destructiveness (1991)
BARANGKALI benar, manusia mempunyai kecenderungan melupakan hal-hal yang tidak menyenangkan,
apalagi kalau peristiwa itu berhubungan dengan hilangnya anggota keluarga yang dicintai. Kalau
dikontekskan dengan ingatan kolektif, proses pelupaan ini sangat berbahaya karena membuat suatu bangsa
tidak belajar dari sejarah perjalanannya sebagai bangsa.
LS
AM
"Ingatan bangsa kita masih sangat pendek. Ini menyebabkan kesadaran kesejarahan yang kurang baik," ujar
Dr Nani Nurrahman (51), psikolog, putri Mayjen (Anumerta) Sutojo yang tewas dalam peristiwa G30S
tahun 1965.
Sejarah sebenarnya tidak pernah mengulang diri, seperti kata filsuf Voltaire, tetapi manusia senantiasa.
Ketika "pemenang" suatu konflik politik mengambil semuanya dengan pendekatan to be or not to be,
"Mereka tenggelam dalam label pemenang dan mendominasi kebenaran. Tindak totalitarian pun berulang,"
tegas Nani, mencontohkan yang terjadi pada Orde Baru.
Namun, peristiwa setraumatis apa pun yang terjadi merupakan realitas bersama yang harus dihadapi
sebagai bangsa. "Tinggal bagaimana kita menyikapinya sebagai warga negara," sambung Nani.
pin
gE
Indonesia telah belajar dari model rekonsiliasi di Afrika Selatan dan beberapa negara lain. Namun, bagi
Nani, "Rekonsiliasi hanya mungkin kalau kita masih punya kehendak untuk hidup bersama sebagai bangsa.
Kalau tidak, lupakan saja soal rekonsiliasi."
Dasar keyakinannya mengenai hal ini sederhana saja. Manusia di mana pun membutuhkan rasa aman dan
orientasi, rasa nyaman yang maksimal dan rasa takut yang minimal, kebutuhan mengadakan hubungan
dengan orang lain dan kebutuhan mengaktualisasikan diri.
"Friksi dan konflik dalam memenuhi kebutuhan itu kadangkala begitu keras sehingga menimbulkan
gesekan, lalu luka dan dendam," ujar Nani. "Di sini alternatifnya, kalau masih membutuhkan satu sama
lain, maka kita akan mencari jalan supaya bisa berhubungan lagi."
KALAU hal ini dikembangkan pada persoalan kelompok dalam konflik-konflik besar, penyelesaian konflik
pada hakikatnya mengacu pada bagai-mana menyambung kembali hubungan antarmanusia.
kli
"Itu berarti kita harus memaafkan. Dengan itu kita menyambung kembali hubungan yang retak meskipun
dalam pola yang berbeda. Dengan memaafkan, kita mengakui hak hidup orang lain dan mengakui
keberadaan mereka," sambungnya.
Untuk sampai pada sikap ini, terentang proses panjang yang membuat Nani memahami makna penderitaan.
Ketika tinggal di AS, ia bertetangga dengan seorang korban holocaust Perang Dunia II yang mampu
menjalani sisa hidupnya dengan realita yang ada, setelah suami dan anak satu-satunya tewas dalam
peristiwa itu.
Penampilan Elie Wiesel, survivor dari kamp konsentrasi Auswitz, menyodorkan kepada Nani kenyataan
bahwa seseorang dapat menjadi pribadi yang utuh dari reruntuhan kemanusiaan tanpa perlu menampilkan
amarah dan dendam terhadap mereka yang membuatnya menderita, sekalipun sulit melupakan semuanya.
Kalau ditopang dengan sikap etis, inilah yang disebut Nani-meminjam istilah Carol Gilligan dalam In a
Different Voice (1982) -sebagai the ethic of care. Kendati demikian, menurut Nani, bukan berarti
melupakan the ethic of justice, yang, masih menurut Gilligan, sama pentingnya dengan the ethic of care.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
82
LS
AM
Dalam konteks tragedi akibat konflik politik, memaafkan bukan berarti impunity. Keadilan tetap harus
ditegakkan.
Secara umum, kondisi kehidupan yang terganggu akibat suatu tragedi tidak bisa kembali seperti sediakala.
Ada yang hilang dan tidak tergantikan. Konflik politik telah melahirkan kenangan buruk dalam ingatan
mereka yang secara langsung terimbas peristiwa itu.
"Ingatan seperti ini yang terus dibawa bisa menimbulkan gangguan-gangguan emosional seperti posttraumatic stress disorder (PTSD)," lanjutnya. Dalam masyarakat, PTSD ini ditentukan oleh berapa
besarnya kelompok (cohort) remaja dan seberapa jauh peristiwa itu akan tersimpan dalam ingatan kolektif
masyarakat.
Ahli filsafat Dr Karlina Leksono pernah mengatakan, ingatan kolektif ini biasanya bersifat rahasia dan
mengembara dalam kesenyapan, melukiskan gambar-gambar retak kesaksian atas suatu peristiwa. Baik
pada korban maupun pada pelaku, gambar itu menumpuk dan membeku, membentuk tembok resistensi
yang kian lama kian kokoh.
"Kasus-kasus ini memang tidak bisa digeneralisasi. Akan tetapi, kalau kita hanya berkutat pada kesulitan,
kita tidak akan beranjak ke mana-mana," ujar Nani yang bersama teman-temannya mendirikan Yayasan
Kirti Mahayana beberapa bulan lalu. Cita-cita besar yayasan ini adalah membangun masyarakat Indonesia
baru pascatrauma.
"Dengan segenap penghargaan pada kegiatan pendampingan, harus diakui kita masih belum memiliki
strategi jangka panjang menangani masalah trauma. Padahal, bangsa ini mempunyai beban trauma yang
luar biasa besar. Belum lagi kalau kita bicara soal jutaan internally displaced persons, termasuk anak-anak
akibat konflik tak berujung."
kli
pin
gE
PENYEMBUHAN luka batin dalam trauma bukan hal mudah, tercakup dalam spektrum panjang antara
psiko-sosial sampai psiko-spiritual.
"Setelah ayah meninggal, banyak orang menghibur saya dengan mengatakan, 'Sudah, jangan dipikir, Bapak
sudah tenang di sana'," kenang Nani. "Saya tidak berpikir bagaimana ayah saya. Saya berpikir gimana sih
orang-orang ini, kok, tidak memahami perasaan saya."
Ia melihat budaya Jawa tidak memberi peluang pada anak mengekspresikan kesedihannya. Kecenderungan
menekan kenangan buruk itu memunculkan implikasi lain dalam bentuk hilangnya kepercayaan terhadap
orang lain. Padahal, rekonsiliasi dalam tahap berikutnya selalu akan melibatkan orang lain.
Ini berarti yang lebih dahulu dikedepankan bukan posisi politik. "Tetapi apakah kita percaya pada orang
yang kita ajak bicara. Trauma berarti hancurnya kepercayaan," ujar Nani."Kalau bicara kepercayaan, kita
bicara soal karakter manusia. Padahal, sekarang ini kita mengalami krisis moral dan karakter." (nmp/mh)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
83
Kompas, Sabtu, 15 September 2001
Megawati Soekarnoputri dan Rekonsiliasi Nasional
Oleh Trimedya Panjaitan
ABDURRAHMAN Wahid turun dari kursi kepresidenan lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Sesuai
mandat yang diterima, tugas mantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) sebagai presiden, baru
berakhir Oktober 2004. Namun, karena kepleset skandal keuangan dana Yayasan Bina Sejahtera Karyawan
Bulog dan sumbangan Sultan Brunei, serta pelantikan Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara
Jabatan Kepala Polri dan terbitnya Dekrit Presiden 23 Juli 2001, secara cepat MPR mengakhiri kekuasaan
Abdurrahman Wahid.
LS
AM
Tidak sampai dua tahun, Abdurrahman Wahid ada di tampuk kekuasaan. Salah satu tugas yang
diperintahkan MPR kepada Abdurrahman Wahid selain pemulihan ekonomi dan pemberantasan korupsi,
kolusi, dan nepotisme (KKN) juga menuntaskan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa
lalu. Tugas itu diperintahkan MPR dalam Ketetapan (Tap) MPR No VIII/MPR/2000 hasil Sidang Tahunan
MPR. MPR memberi tugas kepada Presiden untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Irian
Jaya serta daerah lain.
Banyak orang berharap, Abdurrahman Wahid mampu menuntaskan kasus pelanggaran HAM. Harapan itu
wajar karena ia dinilai lebih punya keberanian dan kekuatan politik untuk menuntaskan kasus yang selama
ini mendapat "proteksi" dari kelompok-kelompok kekuatan lama, termasuk militer, proteksi undangundang, dan proteksi dari parlemen.
pin
gE
Sampai kekuasaannya diakhiri MPR, ternyata baru satu kasus pelanggaran HAM yang bisa diselesaikan,
meski tidak memberi rasa adil bagi korban dan masyarakat. Kasus itu adalah pembunuhan Teungku
Bantaqiah dan pengikutnya di Aceh. Sejumlah prajurit Kostrad dan seorang sipil diadili di peradilan
koneksitas. Peradilan itu tetap menyimpan pernyataan, mengingat seorang perwira intelijen yang memberi
perintah operasi, yakni Kapten Sudjono, menghilang sebelum peradilan itu digelar. Sampai sekarang, tak
ada yang tahu di mana Sudjono berada. Rantai untuk melacak lebih jauh pertanggungjawaban komando
atas pembunuhan Teungku Bantaqiah terputus.
DARI data yang ada, ternyata tidak ada konsep yang jelas untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM
pada masa lalu. Tiap kasus ditangani secara berbeda dan ad hoc. Tampak kesan, respons yang diberikan
hanya sebagai akomodasi politik terhadap sebuah kelompok. Opsi pengusutan melalui jalur hukum dan
opsi rekonsiliasi terus menjadi pergulatan di kalangan elite politik tanpa ada sebuah keputusan politik yang
jelas.
kli
Ada empat kasus besar yang selama ini dituntut kelompok masyarakat untuk dituntaskan, yaitu Kerusuhan
12-15 Mei 1998 yang diawali dengan ditembaknya empat mahasiswa Trisakti yang berbuntut kerusuhan
sosial di Jakarta dan sekitarnya. Semula, pemerintah cukup responsif dengan mengadili sejumlah anggota
Brimob di Mahkamah Militer II-08 atas tewasnya empat mahasiswa Trisakti. Namun, persidangan mereka
hanya terhadap kesalahan tindakan indisipliner yang dilakukan prajurit.
Melalui tekanan politik yang kuat dari keluarga korban, di mana keluarga korban Trisakti, Semanggi I, dan
Semanggi II bergabung, DPR membentuk Panitia Khusus (Pansus) Trisakti dan Semanggi I dan Semanggi
II. Hasil Pansus ternyata menimbulkan kekecewaan karena hasilnya di luar harapan masyarakat. Pansus
DPR menolak tuntutan agar ketiga kasus itu dikategorikan pelanggaran HAM berat lalu diadili melalui
Pengadilan HAM Ad Hoc. DPR hanya merekomendasikan agar ketiga kasus itu diadili dengan peradilan
biasa.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
84
Menjelang disampaikan laporan Pansus ke Sidang Paripurna DPR, Mahkamah Militer menggelar
persidangan terhadap sembilan anggota Patroli Motor (Parmor) Polri atas tuduhan melepaskan tembakan
dari atas jembatan layang dan menewaskan empat mahasiswa Trisakti. Sidang itu masih berlangsung
sampai sekarang.
Sedang kerusuhan sosial yang menewaskan ribuan orang di Jakarta dan sekitarnya sebagai reaksi
kemarahan atas peristiwa itu tetap menjadi misteri. Padahal, dalam kerusuhan sosial terjadi penjarahan,
pembakaran, pemerkosaan, pembunuhan, dan dilakukan secara terpola.
LS
AM
Pemerintahan BJ Habibie sempat membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk meneliti
kerusuhan sosial itu. Rekomendasi telah disampaikan, namun tak ada tindak lanjut atas rekomendasi itu.
Rekomendasi itu masuk laci dan tak pernah ditengok lagi oleh mereka-mereka yang kini memegang
kendali kekuasaan setelah Soeharto jatuh.
Kasus kedua adalah penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro No 58 Jakarta, 27 Juli 1996.
Komnas HAM telah membentuk dan meneliti kejadian perebutan kantor atas pendukung Megawati
Soekarnoputri dengan pendukung Soerjadi yang didukung militer.
Sebagai pihak yang kalah, mereka yang diserbu (Kelompok 124 orang) diadili dan divonis di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik Budiman Sudjatmiko dan sejumlah aktivis
lain dinyatakan harus bertanggung jawab atas penyerbuan itu. Mereka harus mendekam di penjara. Ketua
Umum PDI Megawati Soekarnoputri berulang kali harus diperiksa aparat kepolisian.
pin
gE
Ketika bandul kekuasaan beralih, saat PDI Perjuangan (PDI berubah nama) tampil sebagai pemenang
Pemilu, arus pun berubah. Megawati yang pada era sebelumnya teraniaya, menjadi Wakil Presiden dan
kemudian Presiden. Kepala Polri Jenderal Rusdihardjo membuka ulang penyidikan Kasus 27 Juli. Sejumlah
politisi sipil dari kubu Soerjadi diperiksa dan dinyatakan sebagai tersangka. Ketika proses penyidikan
hampir rampung, kembali terjadi perubahan arah penyidikan. Melalui pertemuan antara sejumlah petinggi
militer dan Kepala Polri dengan parlemen di Senayan, proses penyidikan diubah dari proses penyidikan
biasa di Polri menjadi penyidikan koneksitas di Puspom TNI. Akibatnya, penyidikan di Polri terhenti,
penyidikan di Puspom pun tak jelas juntrungannya. Kenyataannya, upaya meminta pertanggungjawaban
hukum atas Kasus 27 Juli juga terhenti pula sampai sekarang.
Kasus ketiga adalah pembunuhan terhadap sejumlah umat Islam di Tanjung Priok tahun 1984. Tekanan dan
tuntutan masyarakat untuk mengungkapkan kasus itu terus dilakukan keluarga korban. Mereka mendesak
Komnas HAM untuk segera menyelidiki kasus itu. Sebelum menyelidiki kasus itu, Komnas HAM telah
menyelesaikan penyelidikan kasus kejahatan kemanusiaan pascapenentuan pendapat di Timtim.
kli
Komnas HAM pun merespons tuntutan keluarga korban. Dibentuklah Komisi Penyelidik Pelanggaran
HAM Kasus Priok. Sejumlah saksi termasuk petinggi militer saat itu, seperti LB Moerdani dan Try
Soetrisno, telah diperiksa. Hasil penyelidikan di KPP HAM Priok telah diserahkan ke Kejaksaan Agung
dan sampai sekarang terhenti penyelesaiannya.
Pada saat hampir bersamaan terjadi islah antara Try Sutrisno (mantan Pangdam Jaya) dengan sejumlah
keluarga korban Priok. Islah di atas kertas bermaterai dan disaksikan cendekiawan Nurcholish Madjid itu
langsung menurunkan tekanan politik terhadap upaya membongkar kasus itu. Sampai kini, setelah terjadi
islah, penuntasan hukum kasus Priok terhenti.
Kasus keempat adalah terjadinya pelanggaran HAM berat pasca-penentuan pendapat di Timtim tahun 1999.
Reaksi pemerintah patut bisa diduga sebagai jawaban atas tekanan dan kecaman internasional atas
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
85
pembumihangusan Timtim, setelah mayoritas masyarakat Timtim memutuskan untuk melepaskan diri dari
NKRI.
Pemerintahan BJ Habibie bertindak cepat dengan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM yang
diketuai Albert Hasibuan. Pemeriksaan atas sejumlah saksi pun dilakukan. Hasil KPP HAM telah
dilaporkan dan diserahkan kepada Kejaksaan Agung. Menurut KPP HAM, Jenderal Wiranto termasuk
orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Timtim.
LS
AM
Hasil penyidikan Kejaksaan Agung di Timtim pun telah selesai dilakukan. Nama sejumlah tersangka telah
diumumkan, di antaranya mantan Pangdam Udayana Mayjen Adam Damiri dan Gubernur Timtim Abilio
Jose Osorio Soares. Nama Wiranto tak disebut Kejaksaan Agung. Namun, penyidikan itu berhenti pada
tingkat penyidikan karena belum ada lembaga peradilan yang akan menyidangkan.
Sesuai Undang-Undang Peradilan HAM, pembentukan Peradilan HAM Ad Hoc dilakukan setelah DPR
meminta pemerintah untuk membentuknya. Setelah sekian lama, Presiden mengeluarkan Keppres
membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk peristiwa setelah jajak pendapat Timtim. Entah sengaja atau
tidak, yang disidik dan diteliti adalah peristiwa sebelum jajak pendapat. Terjadi ketidakcocokan antara
substansi Keppres dengan materi penyidikan. Akhirnya, sampai sekarang proses peradilan itu belum
terwujud.
pin
gE
POLA dan mekanisme pelanggaran HAM memang beragam. Pilihan opsi yang diambil seperti
rekomendasi Pansus Trisakti jelas bermuatan kepentingan politik dari kelompok-kelompok kepentingan.
Pilihan pengadilan militer dalam pengadilan HAM Ad Hoc mempunyai konsekuensi-konsekuensi yang
berbeda. Pilihan peradilan militer yang lebih tertutup jelas akan lebih menguntungkan militer daripada
pengadilan HAM Ad Hoc yang mempunyai peluang untuk memasukan penyidik sipil ad hoc dan hakim ad
hoc melalui proses yang terbuka.
Abdurrahman Wahid memang belum bisa menyelesaikan tugasnya. Kini beban itu beralih kepada
Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Sosok Megawati adalah sosok korban, sosok teraniaya pada era
Soeharto. Ia mirip Nelson Mandela di Afrika Selatan yang juga sosok korban rezim apartheid.
Dengan munculnya sosok korban sebagai pemimpin bangsa, banyak orang berharap Megawati mampu
memimpin bangsa ini menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Megawati
diharapkan mampu memimpin rekonsiliasi dengan tetap mengutamakan penegakan hukum dan memberi
keadilan. Pilihan langkah apa pun harus diambil agar kasus pelanggaran HAM tidak terus menjadi
komoditas politik yang bakal mengganggu jalannya pemerintahan.
kli
Mampukah Megawati? Hanya Megawati yang akan menjawabnya. Sejarah akan mencatat kiprah Megawati
nantinya. * Trimedya Panjaitan, Ketua Umum Serikat Pengacara Indonesia.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
86
Kompas, Sabtu, 15 September 2001
RUU Kebenaran dan Rekonsiliasi Seharusnya Jadi Prioritas
Jakarta, Kompas
Pemerintah seharusnya memprioritaskan rancangan undang-undang (RUU) tentang Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) disampaikan kepada DPR, sehingga dapat segera dibahas dan diundangkan. Karena,
penyelesaian perkara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) pada masa lalu sebagian terkait dengan
keberadaan KKR. Tanpa keberadaan KKR, dikhawatirkan sejumlah perkara pelanggaran HAM masa lalu
tak bakal pernah diselesaikan dan terus menggantung, membebani masyarakat.
LS
AM
Demikian dikemukakan Project Officer for Human Right Yayasan Tifa, Jakarta, Rachland Nashidik serta
anggota Tim Perumus RUU KKR Abdul Hakim Garuda Nusantara kepada Kompas di Jakarta, hari Jumat
(14/9). "Saat ini, RUU KKR sedang dalam tahap sosialisasi. Namun, memang lebih baik apabila RUU itu
segera disampaikan kepada DPR," tegas Abdul Hakim.
Menurut Rachland Nashidik, kini tumbuh dugaan dalam masyarakat, bahwa pemerintah memang sengaja
mengulur-ulur waktu penyerahan RUU KKR kepada DPR. Apalagi, masyarakat pun mengetahui RUU
tersebut sudah selesai dibahas pemerintah bersama ahli dan aktivis HAM. "Karena itu, pemerintah perlu
secepat mungkin menyerahkan RUU KKR kepada DPR, dan jangan terkesan sengaja menundanya," tandas
mantan Wakil Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) tersebut.
pin
gE
Pemerintah, tambahnya, tidak perlu mengajukan RUU yang sempurna benar. Karena, DPR adalah tempat
untuk menggodok RUU dan mematangkannya. Yang terpenting, pembahasannya di DPR berlangsung
secara terbuka dan dapat diakses oleh partisipasi kritis publik.
"Sebenarnya di Indonesia, model penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu lewat restorative justice
yang menekankan rekonsiliasi dan harmoni sosial seperti dilakukan di Afrika Selatan tak akan berjalan.
Masa depan Indonesia yang demokratis sangat ditentukan oleh penyelesaian terhadap kasus-kasus past
human rights abuses yang ditempuh dengan suatu penekanan yang berani, namun sekaligus berhati-hati,"
ujarnya.
Walaupun demikian, lanjut Rachland Nashidik, pengungkapan kebenaran dari suatu kasus pelanggaran
HAM di masa lalu tetap diperlukan, sehingga masyarakat dapat belajar untuk tak lagi melakukan
pelanggaran HAM di masa depan. "Demi kepentingan penyelidikan serta pengungkapan itulah RUU KKR
harus secepat mungkin diajukan, dibahas, serta diundangkan," tegasnya lagi.
kli
Pengadilan HAM
Abdul Hakim menambahkan, sebenarnya yang ditekankan dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM
pada masa lalu, adalah lewat pengadilan HAM ad hoc. Akan tetapi, untuk membawa pelanggaran HAM
agar bisa disidangkan di pengadilan HAM ad hoc, perlu didukung alat bukti yang baik. Kalau alat buktinya
tak memadai, sebaiknya pelanggaran HAM masa lalu diselesaikan melalui KKR.
"Dalam KKR, yang terpenting, adalah ada pengungkapan kebenaran. Dalam membahas RUU KKR
memang timbul pertanyaan, jika kini sudah ada islah (rekonsiliasi) antara korban dan yang diduga
bertanggung jawab atas suatu pelanggaran HAM di masa lalu, apakah dianggap sah? Secara pribadi, saya
menilai rekonsiliasi bisa dianggap sah, kalau memenuhi persyaratan dalam RUU KKR," jelas mantan
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) tersebut.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
kli
pin
gE
LS
AM
Persyaratan itu adalah adanya pengungkapan kebenaran serta ada pengakuan bersalah dari pelaku dan
meminta maaf. Kalau kepada pelaku akhirnya presiden memberikan amnesti, ganti rugi kepada korban
harus diambilalih oleh negara. Pelaku pun tak dapat digugat secara perdata atau dipidanakan. (tra)
87
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
88
Sinar Harapan, Senin, 24 September 2001
Rekonsiliasi dan Keadilan Transisional
oleh: AE Priyono
kli
pin
gE
LS
AM
Beberapa waktu lalu, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menyatakan berniat membuat konsep
rekonsiliasi untuk direkomendasikan kepada pemerintahan Megawati. Kecuali dengan merujuk komentar
beberapa pakar yang diundangnya, belum terlalu jelas betul bagaimana bakal jadinya konsep rekonsiliasi
yang akan diajukan DPA itu. Kita juga belum tahu bagaimana gagasan tersebut dihubungkan dengan
gagasan yang sama dalam RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang kini masih dipersiapkan
pemerintah. Namun demikian, untuk sekadar memberikan gambaran mengenai seberapa luas wilayah
rekonsiliasi itu didasarkan, beberapa komentar para pakar itu pantas disebutkan di sini.
Eep Saefulloh Fatah dari UI misalnya menyarankan agar rekonsiliasi didasarkan pada pemberian maaf
bangsa ini terhadap apa yang terjadi di masa lalu seraya tidak melupakannya untuk mencegah terulangnya
kembali kejadian-kejadian yang sama di masa depan. Yang dimaksudkan tentunya adalah menyangkut
kejahatan-kejahatan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran HAM yang terjadi pada masa Orde Baru.
Sementara itu Daniel Sparringa dari Unair cenderung membatasi wilayah rekonsiliasi sebatas untuk
memberikan desain bagi keselamatan masa depan. Baginya rekonsiliasi bukan pertama-tama untuk tujuan
kebenaran dan keadilan, tetapi lebih merupakan upaya untuk ”menyelamatkan masa depan yang lebih adil
dan sejahtera bagi generasi mendatang bangsa ini,” katanya seperti dikutip Kompas (7/8/2001)
Sejauh yang bisa ditangkap dari komentar-komentar para pakar itu, wilayah gagasan rekonsiliasi adalah
pemberian maaf – atau dengan kata lain: amnesti – seperti dipikirkan Eep; serta bukan untuk tujuan
keadilan – atau dengan kata lain: non-prosekusi – seperti disebutkan Sparringa. Dengan demi-kian, amnesti
dan non-prosekusi, itulah yang menjadi kata kunci rekonsiliasi.
Benarkah rekonsiliasi akan merupakan hasil langsung dari pemberian maaf; atau secara jangka panjang
menjamin ”masa depan yang lebih adil” seperti yang diharapkan? Benarkah amnesti dan non-prosekusi
merupakan pilihan satu-satunya untuk mencegah terulangnya kejahatan masa lalu dan untuk memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang ditimbulkannya? Apa implikasi pilihan itu terhadap skenario legal yang terlanjur
sudah dirumuskan melalui rencana pembentukan Pengadilan HAM menurut UU No. 26/2000? Apakah
amnesti dan non-prosekusi berhasil menghindarkan efek impunity?
Isu
Kontroversial
Tulisan ini akan membahas gagasan rekonsiliasi sebagai salah satu isu kontroversial yang sering dihadapi
oleh setiap pemerintahan transisi. Mengapa diajukan rekonsiliasi, siapa saja yang menjadi pihak-pihak yang
harus melakukan rekonsiliasi, apa tujuannya, dan bagaimana proses rekonsiliasi dikerjakan, merupakan
masalah-masalah yang berkaitan langsung dengan situasi moral dan politik setiap pemerintahan transisi.
Pada kenyataannya tidak ada model tunggal bagi resep rekonsiliasi. Resep ini bisa muncul dari paduan
berbagai sikap terhadap masa lalu: melupakan dan memaafkan, tidak melupakan tetapi memaafkan, dan
tidak memaafkan tetapi melupakan. Tidak pernah ada rekonsiliasi yang muncul atas dasar sikap tidak
melupakan dan tidak memaafkan. Berbagai varian sikap terhadap masa lalu itu pernah muncul dalam empat
tipe transisi.
Pertama, dalam tipe denazifikasi (denazification), yaitu yang dilakukan Jerman pasca-Hitler dalam rangka
melikuidasi Nazisme, tidak terjadi rekonsiliasi karena pemerintahan baru tidak mau melupakan dan tidak
mau memaafkan Nazisme.
Kedua, dalam tipe defasistisasi (defascistization) Italia pasca-Mussolini ketika dilakukan pembongkaran
terhadap Fasisme, tidak juga terjadi rekonsiliasi tetapi dengan dasar sikap yang berbeda, yaitu tidak
memaafkan tetapi melupakan.
Ketiga, dalam tipe dejuntafikasi (dejunctafication) yaitu yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin
ketika mereka berusaha melepaskan diri dari rezim-rezim diktator dukungan militer, rekonsiliasi terjadi
setelah pemerintah baru akhirnya memberi maaf melalui amnesti – meskipun banyak kalangan tidak pernah
mau melupakan kejahatan-kejahatan militer ketika masih berkuasa.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
89
kli
pin
gE
LS
AM
Dan keempat, dalam tipe dekomunisasi (decommunization), khususnya di negara-negara Eropa Timur dan
Uni Soviet pasca-Komunisme, kecenderungannya seperti yang terjadi terhadap Nazisme, yakni tidak
memaafkan dan tidak melupakan, atau dengan kata lain tidak ada rekonsiliasi.
Kecuali dengan merujuk pada bentuk rekonsiliasi lain yang terjadi di Korea Selatan melalui penerapan
sikap ”tidak memaafkan tetapi melupakan” dengan pengadilan atas dua Presidennya – Park Chung Hee dan
Chun Do Hwan – serta yang terjadi di Afrika Selatan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonisiliasi melalui
panduan moral Desmond Tutu dan Nelson Mandela, terlihat dari generalisasi kasar di atas bahwa
rekonsiliasi di bawah tipe transisi dejuntafikasi pada dasarnya lebih merupakan negosiasi elitis.
Di bawah tipe dejuntafikasi, Argentina (1983), Uruguay (1985), dan Chili (1990) misalnya, menerapkan
rekonsiliasi ketika pemerintah-pemerintah baru pasca junta menyadari sulitnya melakukan transisi
demokratis karena harus menghadapi ancaman pembangkangan militer jika kejahatan-kejahatan masa
lalunya dibongkar dan diperiksa di pengadilan.
Sebagai misal, sebuah pakta (1986) antara penguasa sipil baru di Uruguay dengan para jenderal untuk tidak
menggugat tanggungjawab militer atas kejahatan-kejahatan HAM yang mereka lakukan di masa lalu,
mendapat tantangan keras dari para korban dan keluarganya yang menginginkan pengadilan. Menghadapi
tekanan itu militer meminta pemerintah memberlakukan Undang-undang Amnesti melalui sebuah plebisit.
Amnesti umum akhirnya diberlakukan, dengan akibat tidak ada lagi investigasi terhadap pelanggaran masa
lalu sementara penyelidikan yang masih berjalan harus dibatalkan.
Melalui rute amnesti, rekonsiliasi akhirnya memang bisa ditempuh. Tetapi dengan cara itu pula
ketidakadilan dilupakan, kejahatan dibiarkan tanpa penghukuman, dan para korban sama sekali tidak
mendapat kompensasi. Pemberian maaf berupa amnesti akhirnya sama artinya dengan pemberlakukan
amnesia terhadap kejahatan masa lalu.
Impunitas
Banyak tipe rekonsiliasi yang akhirnya berujung pada impunitas, yaitu peniadaan sanksi atas kejahatan
yang pernah dilakukan. Inilah harga dari pemberian maaf dan non-prosekusi di balik tercapainya
rekonsiliasi. Namun demikian, pengalaman Afrika Selatan memberikan contoh lain bahwa pemberian maaf
dan non-prosekusi itu diimbali dengan pengakuan para tersangka pelanggaran HAM untuk mengungkapkan
detail peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu. Ini untuk memberi gambaran menyeluruh bahwa
kejahatan-kejahatan memang telah dilakukan dan harus dibeberkan untuk menghindari pengulangannya di
masa depan.
Melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk oleh pemerintah baru, para pelaku pelanggaran
HAM itu membeberkan keterlibatannya dalam tindakan-tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan secara
sistemik oleh rezim apartheid. Komisi juga menghadirkan para korban, keluarga, maupun kerabatnya. Di
hadapan para korban dan keluarganya ini, para pelaku pelanggaran HAM itu akhirnya secara langsung
mengungkapkan permintaan maaf.
Dan atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan. Kepada korban yang telah
memberikan maaf, juga ditawarkan reparasi, baik dalam bentuk kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi.
Rekonsiliasi, dengan kata lain, didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang secara langsung berkaitan
dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu.
Dalam bentuknya yang seperti ini, rekonsiliasi memang menyentuh langsung kepentingan publik. Ia
mengekspresikan kehendak para pihak yang dinyatakan secara publik di hadapan sebuah lembaga yang
memang memiliki kredibilitas dan legitimasi moral. Lembaga rekonsiliasi pada akhirnya memenuhi
harapan untuk pengungkapan kebenaran atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lalu, untuk
penyesalan dan pertobatan para pelaku kejahatan, untuk pengobatan (healing) bagi para korban, dan untuk
dimulainya suatu tekad baru menjalani kehidupan bersama yang lebih bermartabat di masa depan.
Memang, seperti banyak dikritik, rekonsiliasi model Afrika Selatan tidak bisa memenuhi harapan keadilan
prosedural dan formal sebagaimana yang selama ini ditempuh melalui jalur legal. Inilah suatu bentuk
penerapan
keadilan
transisional,
di
luar
prosedur-prosedur
legal
yang
normal.
Tetapi inilah eksperimen yang telah diakui sebagai penyelesaian yang beradab dalam periode transisi.
Seperti diketahui, situasi politik transisional memang merupakan wilayah dengan tingkat kerapuhan yang
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
90
kli
pin
gE
LS
AM
tinggi – karena ketidakmampuan pemerintahan baru menegakkan kembali orde moral dan tertib hukum di
tengah-tengah besarnya tuntutan untuk mengadili kejahatan-kejahatan politik dan kekuasaan rezim
sebelumnya.
Karena situasi semacam itulah, pemerintahan transisi seringkali diberi semacam dispensasi atau diskresi
oleh hukum HAM internasional untuk mencari cara baru bagi penyelesaian kejahatan-kejahatan HAM berat
yang dilakukan pemerintahan sebelumnya demi pertimbangan stabilisasi demokrasi. Dalam beberapa
kasus, inisiatif-insitiatif pemerintahan transisi untuk menegakkan keadilan-transisional bahkan telah pula
diakui sebagai model-model penyelesaian yang bisa dijadikan referensi secara internasional, dengan cntoh
seperti yang diterapkan di Afrika Selatan itu.
Sebenarnya Indonesia juga sedang bergerak ke arah penyelesaian kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu
dengan skenario yang sudah cukup jelas: melalui Pengadilan HAM, dan melalui Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Kini masih menjadi tanda tanya, apakah gagasan DPA berada di luar skenario itu?
Penulis adalah peneliti pada Institut Studi Arus Informasi (ISAI), Jakarta
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
91
Kompas, Rabu, 10 Oktober 2001
Perjuangan Berat Menuju Rekonsiliasi yang Santun
Judul: Tiada Masa Depan Tanpa Pengampunan, Judul asli: No Future Without Forgiveness,
Pengarang: Desmond Mpilo Tutu, Editor: Ma'arif Jamuin dan Dwi Muthaha, Penerbit: Ciscore, Januari
2001, Tebal: (xiii + 338) halaman.
pin
gE
LS
AM
SEJARAH tentang Afrika Selatan akhir-akhir ini mulai marak disimak. Bahkan, beberapa kalangan menilai
model rekonsiliasi konflik Afrika Selatan layak diadopsi dan dianggap efektif untuk rekonsiliasi di
Indonesia.Setelah beberapa penerbit menyajikan Revolusi Hitam dan cerita Afrika lainnya, berikutnya,
Ciscore (Center for Intercultural Studies and Conflic Resolution) menerbitkan juga tentang Afrika Selatan
dalam perjuangannya melawan politik apartheid yang mendeskreditkan, menindas, menginjak-injak hakhak manusia yang tidak berkulit putih, terutama yang berkulit hitam.
Desmond Mpilo Tutu menulis buku ini pada tahun 1999. Merupakan sebuah manuskrip tentang
perjalanannya ke beberapa daerah dan negara, di mana dia berjuang dan kampanye untuk sebuah program
penyadaran akan kebutuhan pluralisme di dunia, dan penolakan atas politik apar-theid yang dipraktikkan
oleh Pemerintah Afrika Selatan saat itu.
Buku yang diterjemahkan oleh Triyoga Dharma Utami aktivis Ciscore ini, mulanya adalah merupakan
tulisan tangan yang kemudian disusun menjadi ma-nuskrip oleh asisten pribadi Desmond saat ia menjadi
pengajar tamu pada Candler School of Theology, Universitas Emory.
Buku ini berisi refleksi Desmond tentang berbagai kejadian yang dialami dan diketahuinya atas perjuangan
yang gigih yang dilakukan rakyat kulit hitam Afrika Selatan. Di dalamnya memuat kisah tragedi bagaimana
orang-orang kulit putih yang notabene selalu menggembar-gemborkan nilai-nilai hak asasi manusia,
bertindak di luar perikemanusiaan terhadap masyarakat kulit hitam di Afrika Selatan.
Disemprot gas air mata, dipenjara, digigit anjing polisi, digiring ke pembuangan, dan divonis mati serta
diperlakukan dengan sewenang-wenang, adalah pemandangan sehari-hari yang terjadi dan menimpa orangorang kulit hitam di Afrika Selatan saat rezim apartheid berkuasa. Suara mereka dibungkam, dan tidak
pernah sama sekali diakui kontribusinya oleh pemerintah.
kli
NAMUN demikian, mereka, orang-orang kulit hitam Afrika Selatan, tidak pernah patah asa. Semakin
didera dengan berbagai perlakuan yang tidak manusiawi, semangat mereka semakin berkobar laksana bara
yang ditiup angin. Perjuangan mereka terus berkobar dan berkobar, hingga, pada tangal 27 April 1994
perjuangan mereka menuai keberhasilan yang gemilang.
Realitas ini, kemudian menjadi babak baru dari kehidupan berbangsa dan bernegara bagi kaum kulit hitam.
Hari itu, merupakan saat pertama orang-orang kulit hitam diakui suaranya dalam sebuah pemilihan umum
yang demokratis di tanah kelahirannya sendiri.
Desmond Tutu, saat itu telah berusia 42 tahun, sedangkan Nelson Mandela yang kemudian menjadi
presiden negeri itu, bahkan telah berumur tujuh puluh enam tahun.
Menurut Desmond, yang meraih Nobel Perdamaian tahun 1984, dan juga uskup agung, tanggal 27 April
1994 merupakan sebuah titik balik negerinya; Afrika Selatan yang baru, yang demokratis, dan tidak
membeda-bedakan ras dan jenis kelamin. Tidak akan ada lagi orang yang terluka parah dibiarkan di pinggir
jalan, tidak ada lagi orang yang akan diusir dari rumah mereka untuk dibuang.
Politik apartheid telah dikubur dalam-dalam dan hampir semua orang tidak mengakui mendukungnya (hlm
30).
Buku ini dibagi dalam sebelas bagian. Hampir seluruh bagian dalam buku ini, menceritakan tentang betapa
kejinya rezim apartheid menjalankan roda pemerintahan, di samping ungkapan kebahagiaan atas
keberhasilan dari perjuangan kaum kulit hitam, menuju kesetaraan dan pemanusiaan atas diri mereka.
Puncak kebahagiaan mereka adalah ketika Nelson Mandela dari Partai ANC (Kongres Nasional Afrika)
pada 10 Mei 1994 diangkat menjadi presiden mereka.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
92
kli
pin
gE
LS
AM
Saat itu, dengungan lagu Senzonina?-Isono sethu bubumnyama (apa yang telah kami lakukan?-dosa kami
hanyalah karena kami berkulit hitam), yang merupakan lagu perjuangan kaum kulit hitam Afrika Selatan,
telah mulai lamat-lamat hilang. Pemisahan kantor, pelarangan perkawinan antar-ras, perlakuan yang
diskriminatif di tempat kerja telah tidak ada lagi.
Desmond juga menyoroti tentang usaha-usaha rekonsiliasi yang dilakukan oleh ANC yang berbenturan
dengan beberapa kalangan, disusul oleh bagian keempat yang berisi tentang pemberian amnesti bagi
pelaku-pelaku kejahatan pada saat rezim apartheid berkuasa.
Amnesti ini diberikan kepada mereka yang mengakui kesalahannya dan bertanggung jawab atas berbagai
tindakan mereka di waktu lalu. Di samping itu, dikemukakan juga terjadinya perseteruan antara partai yang
berkuasa (ANC) dengan Partai Pembebasan Inkatha (IFP) yang dipimpin oleh Mangosuthu Buthelezi.
Desmond juga berbicara tentang wacana demokratisasi yang mulai dibangun dengan dibentuknya komisi
kebenaran dan rekonsiliasi serta munculnya berbagai koreksi atas kebijakan ANC.
Dokumentasi tentang langkah-langkah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh ANC, yang berlaku bagi
seluruh warga Afrika Selatan, tak terkecuali anggota ANC sendiri. Bahkan, anggota ANC yang melakukan
kesalahan yang sama seperti yang dilakukan pemerintah apartheid dianggap telah melakukan pelanggaran
HAM yang berat seperti apa yang diatur dalam undang-undang (hlm 116).
Meski tidak secara signifikan, buku ini juga bercerita tentang kejahatan Winnie Madikizale-Mandela, istri
sang presiden, yang memanfaatkan anak-anak klub sepak bola-nya menjadi bodyguard dan algojo Winnie.
Namun kemudian, di sana juga diungkap bahwa Winnie berjasa besar atas perlawanan terhadap apartheid.
Pandangan dunia atas Afrika Selatan yang dinilai sebelah mata, dikemukakan pula dalam buku tersebut.
Tidak hanya itu, Desmond pun bercerita segala lini kehidupan termasuk gereja saat rezim apartheid
berkuasa, tidak berkutik.
Pada bagian terakhir buku ini, Desmond menguraikan proses pemaafan yang dilakukan Pemerintah Afrika
Selatan (yang baru) terhadap rezim apartheid yang seperti ditulis dalam judul buku ini, yakni Tiada Masa
Depan Tanpa Pengampunan.
Usaha pembukaan wacana yang dilakukan oleh Ciscore adalah merupakan langkah baku yang layak
dihormati. Bagaimanapun, buku ini merupakan wacana yang layak direnungkan dan kemudian mungkin
dapat kita jadikan acuan untuk langkah-langkah perbaikan dan rekonsiliasi di Tanah Air.
(Husaini, aktivis pada Relawan Perdamaian dan Kemanusiaan di Pati, Jawa Tengah ).
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
93
Kompas, Kamis, 11 Oktober 2001
Mataram Jadi Model Penyelesaian Konflik
LS
AM
Mataram, Kompas
Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), layak dijadikan kajian dan model bagaimana menyelesaikan
konflik kepentingan yang membawa nama etnis. Itu merujuk kepada peristiwa traumatis 17 Januari 2000
yang bisa diredam dalam waktu relatif singkat dengan pendekatan lebih bijak, sehingga dampak peristiwa
itu tidak berkembang dan berlarut-larut."Secara teknis tidak bisa saya menceritakan. Hanya yang kami
rasakan, bahwa pemerintah yang didukung elemen masyarakat baik yang jadi sasaran maupun yang
tergerakkan oleh provokasi cepat melakukan rekonsiliasi, sehingga turut mempercepat terciptanya
keamanan di Mataram," kata Prima Wira Putra dari Relawan untuk Demokrasi dan Hak-hak Asasi Manusia
(Redham), Rabu (10/10), di Mataram.
Rekonsiliasi yang cepat itu, ujar Prima, terjadi berkat sejumlah pendekatan dialogis dan budaya
antarelemen warga untuk berkomunikasi, di luar fasilitas yang selama ini disediakan pemerintah.
Pendekatan budaya itu ternyata lebih efektif. Juga disadari bersama bahwa peristiwa itu terjadi karena
mereka diprovokasi.
"Walau di NTB terdiri berbagai etnis, namun tidak pernah ada konflik etnis. Kalaupun terjadi, itu adalah
konflik kepentingan yang membawa nama etnis," tutur Prima.
Bukti itu kian terindikasi dewasa ini. Pemeluk Kristen, misalnya, lebih berhati-hati dalam membangun
aktivitas keagamaan, pemeluk Hindu dan keturunan Tionghoa kian aktif mengikuti aksi perdamaian. "Satu
hal yang sangat disadari, bahwa bila kondisi aman, kita bisa makan," ungkap Prima.
kli
pin
gE
Dialog
Berdasarkan kenyataan itu, sejumlah negara yang dilanda konflik menjadikan Mataram sebagai kajian.
Sedikitnya, ada delapan orang asal Kamboja dan Sri Langka (Tamil) selama seminggu (4-11 Oktober)
meninjau beberapa desa, di antaranya Dusun Teratag, Desa Batu Kumbung, Lombok Barat. Dusun ini
terdiri dari etnis Bali (Hindu) yang sejak ratusan silam membangun kehidupan secara harmoni.
Yang lainnya adalah Lingkungan Petemon dan Karang Genteng, Kodya Mataram. Dua lingkungan sempat
perang terbuka hingga meminta korban nyawa manusia. Untuk mengatasi itu, Pemda Kodya Mataram
mendalami persoalan esensi warga masing-masing dusun, kemudian ditemukan solusi sementara yaitu
menumbuhkan keterampilan membuat industri kerajinan dan pembuatan tahu, sekaligus mengalokasikan
modal usaha untuk kegiatan ekonomi produktif.
"Model di Petemon-Karang itu baru sebatas membuat mereka tidak terprovokasi, dan kelak diharapkan ada
suatu penyelesaian tuntas, misalnya upaya melakukan rekonsiliasi," ujar Prima.
Hasil kajian peserta dari Sri Langka dan Kamboja itu akan dipresentasikan lewat acara dialog bertajuk
People to People Exchange Project selama dua hari mulai Jumat (12/10). Hadir juga peserta dari daerah
konflik seperti Aceh, Ambon, Kalimantan Barat, dan Madura. (rul)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
94
Suara Pembaruan, Kamis 11 Oktober 2001
Franz Magnis Suseno SJ
Rekonsiliasi Harus Libatkan
Seluruh Bangsa Indonesia
kli
pin
gE
LS
AM
Ketika menjadi kepala negara, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mendengung-dengungkan
wacana tentang rekonsiliasi nasional. Waktu itu, model rekonsiliasi nasional yang mau ditiru adalah
rekonsiliasi seperti yang dibuat mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela. Tetapi, wacana itu
kemudian terus diperdebatkan dan akhirnya tidak membuahkan hasil. Rekonsiliasi nasional kini tetap
tinggal sebagai wacana dan Gus Dur pun akhirnya dilengserkan dari tampuk kekuasaannya.
Berbagai masalah muncul sejak Presiden Soeharto sampai Presiden Megawati Soekarnoputri dan tidak
kunjung selesai. Misalnya, masalah ketidakadilan, kekerasan, penculikan, dan konflik berbau suku, agama,
ras, dan antargolongan (SARA) di pelbagai daerah. Masing-masing orang dan kelompok sesama warga saling mencurigai.
Setelah DR Hamzah Haz terpilih sebagai wakil presiden, dia kembali mewacanakan isu rekonsiliasi atau
islah nasional. Isu ini terus berkembang bagaimana mencari bentuknya.
Upaya mencari bentuk rekonsiliasi seperti itulah muncul dalam seminar bertajuk "Rekonsiliasi dalam
Perspektif Teologis Ditinjau dari Sudut Pandang Islam dan Kristen" yang diselenggarakan oleh Dewan
Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Fansiskan Indonesia di aula Gereja Katolik Santo Paskalis,
Jakarta Pusat, Kamis (4/10) lalu.
Pada acara itu, bertindak sebagai pembicara Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Prof Dr Franz
Magnis Suseno SJ, dosen IAIN Ciputat Jakarta Dr Masykuri Abdillah MA, dan dosen Sekolah Tinggi
Teologia (STT) Jakarta Dr Robert P Borrong.
Magnis menilai, rekonsiliasi atau islah nasional merupakan tantangan dan harapan yang wajib diusahakan.
Hal itu semakin mendesak justru karena Indonesia adalah negara yang Berketuhanan yang Maha Esa.
Menurut ahli etika politik itu, rekonsiliasi yang benar harus meliputi, baik para korban, maupun para
pelaku. Sebab, setelah masa konflik tidak dapat dipastikan lagi siapa yang menjadi korban dan siapa yang
menjadi pelaku. Hanya, satu hal yang jelas, yakni penderitaan yang nyata. Penderitaan itulah yang harus
diakhiri.
Rekonsiliasi, tambah ahli Marxisme yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-65 ini, harus
melibatkan seluruh warga bangsa Indonesia. Sebab, rekonsiliasi yang hanya dilakukan secara selektif, dengan mengecualikan sebagian bangsa, tidak layak disebut rekonsiliasi, tetapi hanya sebuah kemunafikan.
Esensi rekonsiliasi adalah perdamaian. Maka, berdamai kembali harus mencakup semua yang bersedia
hidup bersama dengan damai, baik yang sudah pernah disingkirkan, dihukum, maupun semua yang pernah
terkena cap politik.
Lebih lanjut dikatakan, rekonsiliasi berarti mencabut diskriminasi, baik dalam hukum, maupun dalam
pergaulan masyarakat, menghilangkan bahasa cap dan ancaman, melupakan atau sekurang-kurangnya tidak
membicarakan lagi tuduhan yang dahulu dilontarkan oleh yang satu terhadap yang lain. Rekonsiliasi, kata
dia, berarti menguburkan masa lampau. Tetapi menguburkan masa lampau tidak sama dengan menganggap
apa yang terjadi pada masa lampau itu seolah-olah tidak ada.
"Rekonsiliasi berarti mengubur masa lampau. Memang bukan dalam arti seakan-akan dianggap tidak ada.
Tetapi, tidak diangkat-angkat lagi. Apa yang pernah terjadi, sudahlah. Tuhan tahu. Kita sedapat-dapatnya
melupakan. Kemampuan untuk melupakan apa yang pernah amat membuat sakit hati adalah unsur pen- ting
dalam membangun kembali perdamaian di antara kita," kata Magnis.
Meskipun demikian, rekonsiliasi juga mengandaikan pengakuan bersalah atau maaf. Artinya, pengakuan
terhadap para korban bahwa mereka diperlakukan dengan tidak wajar dan bahwa hal itu disesali adalah
unsur kunci dalam rekonsiliasi. Para korbanlah yang harus memaafkan. Kalau mereka tidak bersedia
memaafkan para pelaku kejahatan di masa lampau, rekonsiliasi nasional tidak akan berhasil.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
95
Memang disadari bahwa melakukan rekonsiliasi de-ngan pemikiran seperti itu bukanlah sesuatu yang
gampang. Tetapi, kalau berhasil dilaksanakan akan sangat bagus dan bermanfaat bagi kebaikan bangsa ini.
kli
pin
gE
LS
AM
Dibenarkan Agama
Sementara itu, Masykuri Abdillah, yang membahas rekonsiliasi dari perspektif agama Islam dalam seminar
tersebut mengatakan, Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah Islam mengajarkan perdamaian
antarmanusia dan antarkelompok sosial.
Tetapi dalam perjalanan waktu, seiring semakin banyaknya pemeluk agama Islam, muncullah sikap ofensif
dari para pemeluk agama Islam terhadap orang-orang non-Islam (Yahudi). Sebab, orang Islam takut adanya
serangan balas dendam dari pihak mereka yang terpinggirkan di Madinah pada waktu itu. Dalam konteks
itulah, lalu muncul konsep tentang jihad.
Namun, jihad bukan saja sebuah ajaran yang mengatakan bahwa agar mati suci orang harus berperang.
Jihad juga berarti segala aktivitas yang dilakukan dalam kerangka menegakkan kebenaran dan
kesejahteraan dan rasa aman bagi umat manusia.
Sehubungan dengan itu, tambahnya, Islam tidak membenarkan aksi militer dalam kerangka tindakan
ofensif. Sebab, menurut ajaran Islam, lanjutnya, hubungan antarkelompok sosial atau antarbangsa
didasarkan pada perdamaian. Kata Islam itu sendiri saja berarti damai.
Karena itu, rekonsiliasi yang bertujuan untuk menciptakan perdamaian sudah dengan sendirinya dibenarkan
dan sangat didukung ajaran Islam. Rekonsiliasi itu semakin mendesak diupayakan di daerah-daerah
konflik, seperti Ambon, Poso, Sambas, Sampit, dan di daerah-daerah konflik lainnya, terlepas dari apa
motif konflik-konflik tersebut.
Senada dengan itu, Robert P Borrong yang membahas tema rekonsiliasi dari perspektif agama kristen
mengatakan, konsep rekonsiliasi dalam agama Kristen bertitik tolak dari kenyataan keberdosaan manusia.
Allah mengutus Yesus Kristus (Isa Almasih) untuk menebus manusia yang berdosa. Pengurbanan Kristus
itulah yang menjadi dasar rekonsiliasi. Rekonsiliasi pertama-tama berarti pulihnya hubungan antara Allah
dengan manusia (baca: berdamai kembali).
Karena itu, menurut dia, rekonsiliasi adalah sebuah tuntutan. Sebuah tuntutan untuk mewujudkan nilai-nilai
universal seperti keadilan, kasih dan kesejahteraan. Nilai-nilai itu merupakan kondisi ideal yang
dikehendaki Sang Pencipta.
Wacana rekonsiliasi barangkali memang sudah basi. Tetapi belum terlambat untuk segera diwujudkan.
Karena itu, mewujudkan rekonsiliasi nasional, khususnya di daerah-daerah konflik, adalah pekerjaan rumah
bagi Presiden Megawati Soekarnoputri dan Wakil Presiden Hamzah Haz. Akhirnya, selamat berusaha
menyelesaikan pekerjaan rumah tersebut.
Alex Madji
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
96
Kompas, Kamis, 25 Oktober 2001
DPR Harus Bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
LS
AM
Yogyakarta, Kompas
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus segera membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk
menanggulangi masalah-masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Komisi Kebenaran itu perlu
karena tidak semua masalah pelanggaran HAM di Indonesia harus diselesaikan melalui pengadilan ad hoc.
Demikian dikatakan kriminolog Universitas Indonesia (UI) Mulyana W Kusumah dalam seminar nasional
tentang "Meninjau Perangkat Hukum Indonesia bagi Perlindungan HAM" di Hotel Radison, Yogyakarta,
Rabu (24/10). Dalam seminar itu hadir pula Sekjen Komisi Nasional (Komnas) HAM Asmara Nababan dan
Hakim Agung Benjamin Mangkoedilaga sebagai pembicara.
Menurut Mulyana, penyelesaian masalah pelanggaran HAM seharusnya dilihat dari aktualisasi waktu.
Pengadilan ad hoc hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang masih mudah ditemukan
bukti-buktinya misalnya kasus Timor-timur pasca jajak pendapat tahun 1999.
Untuk kasus-kasus pelanggaran yang sudah berlangsung lama, kata Mulyana, penyelesaianya seharusnya
dilakukan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ia mencontohkan pelanggaran HAM tahun 1965
adalah kasus yang harus diselesaikan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Selain membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Mulyana juga meminta DPR memperhatikan
aspirasi politik yang berkembang. DPR harus merekomendasi jika publik meminta pengadilan ad hoc untuk
selanjutnya diadakan melalui Keputusan Presiden.
kli
pin
gE
Tidak menjunjung keadilan
Menanggapi usulan perlunya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, Asmara Nababan mengatakan, institusi
hukum di Indonesia kini memang tidak bisa menjunjung keadilan sebagai tujuan utama. Untuk itu perlu
diciptakan lagi institusi baru yang bisa mereparasi hak-hak korban, memberi ganti rugi (restitusi) kepada
korban, dan mengadakan perubahan kebijaksanaan lembaga agar tidak mengulangi kesalahan masa lalu.
Saat ini Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi telah ada di sekitar 40 negara di dunia. Indonesia sendiri
sebenarnya sudah merintis pembentukan komisi itu melalui Ketetapan MPR tentang persatuan dan kesatuan
bangsa, namun hingga kini komisi itu belum terbentuk.
Ditambahkan Mulyana, komisi itu nantinya akan berperan sebagai badan pengungkap kebenaran, memberi
amnesti terhadap pelaku pelanggaran HAM dan memberikan rehabilitasi terhadap korban pelanggaran
HAM. "Seperti islah, tapi lebih menyeluruh," kata Mulyana. (p06)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
97
Kompas, Kamis, 1 November 2001
Islah dan Peran Elite dalam Perubahan Sosial
Oleh Saurip Kadi
MEMBICARAKAN proses perubahan sosial dalam sebuah negara tidak akan bisa lepas dari peran kaum
elitenya. Dalam konteks Indonesia, reformasi nasional sebagai proses perubahan sosial yang tengah
dilaksanakan sejak awal memang telah menghadapi ganjalan yang amat dahsyat akibat conflict of interest
sesama elite. Maka "semangat" penyelenggara negara dan juga kaum elite lainnya untuk secara jujur
merespons dinamika kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara menjadi sangat mendasar. Dengan
demikian, kita akan terhindar dari hal-hal terburuk yang memang tidak kita inginkan bersama.
LS
AM
Stratifikasi sosial dan proses perubahan
kli
pin
gE
Di banyak negara termasuk di Indonesia istilah elite sering digunakan untuk menyebut pihak yang memiliki
akses untuk laksanakan perubahan sosial dan politik dalam suatu negara. Di sana kemudian rakyat
mengesahkannya sebagai "penyelenggara" pemerintahan dan negara. Elite tadi selanjutnya membentuk
pemerintahan baru. Dari situ lahirlah elite-elite baru yang merupakan turunan dari elite pertama, sebagai
penyelenggara negara. Dalam konteks sosial, dikenal struktur pelapisan yang terdiri dari kelas penguasa
(upper class), kelas bangsawan/aristokrasi (middle class), dan kelas rakyat (lower class). Dan, pada
umumnya terjadi "kerja sama" (kolusi) antara upper dan middle class untuk mengadakan perubahan sosial.
Namun, uniknya yang sering terjadi justru proses perubahan sosial itu banyak di-"motori" oleh kaum
middle class, dengan "mengajak" kaum lower class untuk melakukan pembangkangan terhadap kaum
upper class.
Proses perubahan sosial yang demikian tadi dapat dicermati dalam kasus seperti yang terjadi antara lain di
Filipina, Korea Selatan, dan Iran. Di Filipina umpamanya, sejak ditumbangkannya Ferdinand Marcos dari
posisi presiden, para elite partai oposisi rezim pemerintah beraliansi strategis bersama kaum agamawan dan
petinggi militer kritis. Namun, setelah mereka berhasil melahirkan teladan kepada masyarakat moderat dan
demokratis, para elitenya kemudian memberikan teladan kepada masyarakatnya dengan merelakan
sebagian harta kekayaannya untuk kepentingan dan tujuan bersama. Sedang kaum bangsawan pun segera
kembali pada peran awalnya sebagai perawat sosial masyarakat.
Dalam kasus perubahan sosial di Korea Selatan, para elite penumbang rezim Chun Doo Hwan, mampu
menumbuhkan demokrasi dan law enforcement, bahkan kemudian juga termasuk terhadap dirinya sendiri
atas kesalahan-kesalahannya di masa lalu. Demikian pula yang terjadi di Iran, para mullah yang dipelopori
oleh Ayatollah Khomeini pascapemerintahan aristokrasi Syah Iran, berhasil melahirkan para elite yang
memberi corak tersendiri sebagai Republik Islam Iran.
Lain lagi stratifikasi sosial dalam teori Marxisme. Struktur masyarakat hanya dibagi menjadi dua, yaitu
kelas penguasa (ruling class) dan kelas buruh (proletar). Perubahan sosial dalam teori ini dilakukan dengan
cara "mempertentangkan" kedua kelas sosial tersebut. Elite dalam terminologi Marxisme memang tidak
dikenal, yang ada adalah kaum borjuis (bourjuast), dan itu merupakan golongan yang ditentang oleh kaum
proletar.
Hampir mirip dengan Marxisme, teori sosialismenya Soekarno pun hanya mengenal dua kelas, yaitu kelas
penindas dengan kelas tertindas. Penindas adalah para penguasa yang mengeksploitasi rakyat, sedang kelas
tertindas adalah seluruh rakyat yang "terkena" baik langsung maupun tidak langsung dari proses eksploitasi
kelas penindas. Soekarno mengistilahkan kelas tertindas itu sebagai kaum Marhaen dan ajarannya disebut
sebagai Marhaenisme.
Elite Indonesia
Elite Indonesia terlahir boleh dikatakan sejak sumpah pemuda 1928 di mana kaum pemuda telah berhasil
mengidentifikasi potensi pluralitas bangsanya ke dalam satu wadah, ke-Indonesia-an. Dengan modal dasar
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
98
pin
gE
LS
AM
itu telah pula berhasil melahirkan sebuah negara yang diproklamirkan pada 17-8-1945. Namun, elitisme
para pemuda itu tidak serta merta menjadikan mereka berwatak elitis, artinya "menjauhkan" diri dari
rakyatnya. Masih terlihat "kedekatan" visi dan misi kaum pemuda itu dengan akar rumputnya (grass roots).
Sesungguhnya watak elitis para elite itu baru tampak saat Indonesia di bawah pemerintahan Orde Baru. Hal
itu bisa dibuktikan dari program pembangunan nasional yang bercorak sentralistik dan homogen.
Sentralistik, karena seluruh program pembangunan nasional memusat dan homogen karena seragam (sama)
di seluruh wilayah Indonesia. Formalisme juga berlangsung di era ini,
melalui institusionalisasi lembaga-lembaga adat dan lain-lain. Perubahan makna elite yang demikian itu,
hampir mirip seperti stratifikasi sosial dalam teori middle class, terjadi kolusi antara middle dan upper
class. Termasuk di dalamnya untuk proses lahirnya pendekatan konglomerasi, di mana golongan pelaku
ekonomi nasional yang lahir adalah kroni para penguasa negara.
Perubahan strategi pengelolaan negara pasca-Soeharto, era Habibie, hanya mengubah "obyek" pelaku
stratifikasi sosial, dari swasta kepada institusi formal ekonomi rakyat (koperasi). Perlakuan dengan cara
pemberian fasilitas kepada obyek baru tersebut, sama dahsyatnya, seperti di masa Presiden Soeharto.
Fasilitas dikelola oleh pihak-pihak yang memiliki aksesibilitas terhadap kekuasaan negara. Konglomerasi
"dilawan" dengan ekonomi rakyat yang dibentuk oleh akses pemerintah.
Para elite di masa ini, adalah mereka-mereka yang memiliki aksesibilitas kepada penguasa negara. Dengan
cara masuk menjadi bagian dari sebuah organisasi yang dibentuk oleh unsur elite penguasa negara, melalui
proses institusionalisasi formal. Teori middle class hendak diujicobakan, dengan mengubah pendekatan
yang dipraktikkan semasa pemerintahan Presiden Soeharto. Elite baru hendak dimunculkan dari kalangan
the middle class, khususnya diambil dari golongan Muslim.
Di era pemerintahan Abdurrahman Wahid, pengidentifikasian elite berubah lagi. Meneruskan proses
pembentukan elite (elitisasi) saat pemerintahan Habibie, kaum elite yang lahir umumnya dari kalangan
yang tetap memiliki aksesibilitas kepada penguasa negara. Namun uniknya, corak (style) pemerintahan
yang dijalankan terkesan populis (merakyat). Kondisi demikian itu, mungkin, tidak terlepas dari corak figur
Abdurrahman Wahid.
Elite di era kini, pemerintahan Presiden Megawati, mengambil bentuk yang berbeda lagi. Di masa
"keemasan" partai-partai politik ini, para elite adalah mereka-mereka yang memiliki aksesibilitas kepada
penguasa negara dan kesemuanya "menumpuk" menjadi satu di lembaga perwakilan rakyat. Pihak lain, di
luar pengelompokan itu sejauh tidak bisa memberikan "manfaat" akan tetap menjadi the lower class, dalam
kategori stratifikasi sosial di atas.
Dengan melihat gambaran di atas sebagai bangsa kita yang memang perlu merumuskan format model
pembentukan elite agar kelak anak cucu kita tidak perlu mengulangi keterpurukan yang sama seperti yang
kita alami ini kali.
kli
Rekonsiliasi
sebagai solusi
Untuk lahirnya Indonesia Baru, perubahan sosial melalui proses reformasi nasional adalah sebuah
keniscayaan. Namun, Indonesia memang bukan Filipina, Korea Selatan, maupun Iran. Paling tidak
mestinya kita bisa bercermin kepada mereka, agar kita tidak terjebak pada kondisi tragis seperti yang
dialami Uni Soviet dan Yugoslavia. Di sinilah urgensinya kesadaran kolektif terlebih kaum elitenya
terhadap realita kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara saat ini. Risiko pilihan model perubahan sosial,
belum siapnya pranata sosial sebagaimana tuntutan teori, dan lagi secara kebetulan kita tidak punya
pemimpin yang kuat yang mampu menangani keadaan di saat kita dilanda krisis maka yang terjadi di saat
kita memasuki masa transisi proses dekonstruksi kekuatan dan sendi-sendi kehidupan masyarakat, bangsa,
dan negara bergerak dengan begitu liarnya.
Walaupun sudah lama terlambat, namun kiranya kita masih punya sedikit waktu untuk menyadari hakikat
ancaman aktual yang sedang dihadapi rakyat, bangsa, dan negaranya. Dengan nurani yang jujur
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman===
99
pin
gE
LS
AM
sesungguhnya semua pihak dengan mudah bisa meyakini bahwa kita sebagai bangsa dan negara diambang
kehancuran.
Bukankah cohesiveness kita sebagai bangsa dan negara terlebih untuk daerah tertentu telah luntur. Bahkan
lebih dari itu peradaban bangsa juga barang kali sudah rusak berat. Banyak anggota masyarakat yang begitu
saja bertindak anarkis, namun tidak sedikit pula elite yang memberi teladan untuk melaksanakan kejahatan
tanpa rasa harga diri. Terlalu banyak di antara anak bangsa itu telah jadi korban kekerasan dan fitnah
sesama dengan berbagai dalih dan alasan, tetapi hari ini juga, kita menyaksikan banyak pihak atas nama
negara, hukum, kekuasaan, dan bahkan atas nama agama dan kepentingan kelompok tertentu tengah
melaksanakan kekerasan sosial dan kemanusiaan tanpa kesadaran untuk segera mengakhirinya.
Mafia peradilan sepertinya bukan makin hilang, namun justru makin berkembang. Elite yang cacat
integritasnya bahkan dalam status tindak pidana bukan malu dan mengundurkan diri, tetapi dengan segala
cara terus dicobanya untuk bertahan. Ketidakmampuan untuk memikul tugas negara tidak disikapi dengan
legowo memberi kesempatan kepada mereka yang memang mempunyai kelebihan, yang terjadi mereka
terus beretorika dengan janji-janji palsu serta harapan semu seraya memanfaatkan kesempatan untuk
kepentingan materi dan nafsu kebendaan.
Di antara sesama elite sepertinya akan terus saling menyalahkan tanpa sadar bahwa mungkin dirinya juga
tidak lebih baik dari yang lain. Waktu yang ada banyak dihabiskan untuk mencermati hari kemarin yang
memang kelam tanpa mau tahu bahwa membicarakan hari esok justru jauh lebih penting. Tidak sedikit elite
lama yang kini berteriak lebih nyaring menghujat masa lalu bak pahlawan kesiangan. Dalam saat yang
sama rakyat banyak menertawakan tingkahnya yang tidak sadar bahwa dirinya adalah bagian utama dari
rezim lama.
Barangkali saat ini adalah waktu yang paling tepat sebelum kita sebagai bangsa telanjur melewati titik
luncur disintegrasi yang tak mungkin bisa dihentikan oleh siapa pun dan lembaga negara yang manapun.
Untuk itu kaum elite seyogianya melaksanakan rekonsiliasi nasional untuk saling memaafkan dan duduk
bersama mencari solusi untuk menatap hari depan bangsa dan negara. Di sana nanti kesamaan yang ada
dikedepankan dan untuk sejenak perbedaan, yang memang alami kita miliki, dilupakan.
Dengan demikian, kita segera punya konsep nasional untuk segera mengakhiri krisis dan melanjutkan
reformasi nasional secara benar. Barangkali kesempatan itu juga dipakai untuk membangun komitmen
kenegaraan yang baru, oleh karenanya pemilik saham orisinil republik seperti tokoh/pimpinan masyarakat
adat dan sejenisnya, serta para founding father yang masih hidup atau pewarisnya sebaiknya diikutsertakan
dalam rembug tadi.
Penutup
kli
Sesungguhnya tidak ada kata sulit manakala kita jujur dan bertanggung jawab serta mampu menempatkan
kepentingan negara dan bangsa diatas kepentingan pribadi dan golongan. Bulan suci Ramadhan yang penuh
maghfiroh dan rahmat adalah waktu yang terbaik untuk kita untuk saling memaafkan yang diwujudkan
dalam bentuk islah nasional dan duduk bersama mencari solusi terbaik guna mengatasi krisis nasional yang
makin berlarut.
Dan, kelak melalui perangkat Ketetapan MPR dan perundangan lainnya hasil rembug nasional tersebut bisa
dikuatkan sebagai kontrak sosial baru dari segenap warga bangsa. Barangkali pada saat yang penuh
ketidakpastian seperti kali ini, kita dan utamanya kaum elite kembali eling terhadap wejangan leluhur kita
untuk bergotong royong antara pemerintah dan segenap masyarakat.
Mungkin kaum elite juga perlu segera kembali ke akar rumputnya seperti yang dulu dicontohkan pendahulu
kita di era sebelum Orde Baru. Maka insya Allah "biduk" bangsa ini akan mampu kembali berlayar menuju
"pelabuhan" keadilan dan kesejahteraan sosial, sebagaimana yang dipesankan oleh the founding fathers
bangsa kita.
* Saurip Kadi, Mayor Jenderal, Perwira tinggi di Mabes TNI AD. Pernah jadi anggota DPR dan Asisten
Teritorial KSAD.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 100
Kompas, Kamis, 1 November 2001
Mungkinkah Islah dengan Koruptor Orba?
Neta S Pane
kli
pin
gE
LS
AM
MENGUSUT tuntas kasus korupsi, kolusi dan nepotisme Orde Baru (KKN Orba) merupakan agenda
penting reformasi. Sayangnya, realisasi dari pengusutan tersebut belum berlangsung maksimal. Selalu ada
seribu dalih untuk mengaburkan penggusuran. Tujuannya agar kasus KKN Orba tenggelam, baik oleh isu
global maupun berbagai aksi teror. Akibatnya, muncul asumsi bahwa berbagai aksi teror dan politisasi isu
global belakangan ini adalah bagian dari upaya pihak-pihak tertentu untuk menenggelamkan pengusutan
kasus KKN Orba.
Asumsi ini bukan tanpa dasar. Dalam Anatomi Revolusi (1958), Crane Briton mengungkapkan, runtuhnya
sebuah rezim akan memunculkan kekuasaan ganda. Pemerintahan umum di satu pihak dan struktur
kekuasaan rahasia di lain pihak. Sesudah itu teror. Lalu serangkaian krisis. Struktur kekuasaan rahasia bisa
muncul dari penguasa baru untuk "membersihkan" sisa penguasa lama. Atau sebaliknya, dari sisa penguasa
lama untuk melakukan perlawanan kepada kekuatan baru. Pertarungan kedua kekuatan inilah yang sering
melahirkan teror dan krisis.
Jadi, meskipun yang terjadi di Indonesia hanyalah sebuah reformasi, tetapi Anatomi Revolusi ala Crane
telah jauh merasuki dinamika politik di negeri ini. Situasi diperparah oleh adanya salah pengertian yang
sistematis terhadap reformasi. Publik sering beranggapan, reformasi tahun 1998 merupakan sebuah proses
revolusi, dengan musuh utamanya rezim Orba dan sisa-sisanya. Asumsi ini membuat publik selalu
menuntut bahwa semua yang berbau Orba mesti dilibas. Padahal, reformasi tetaplah reformasi, yang
menekankan sebuah proses perubahan secara gradual, bukan revolusioner.
Reformasi bukanlah aksi main babat dengan kekerasan, yang membuka front ada kawan dan ada lawan.
Reformasi bukan aksi yang main basmi dan membuat daftar orang mati serta tahanan politik menjadi amat
penting. Terbukti, sepanjang reformasi ini hanya Presiden Soeharto yang terguling dari kekuasaannya.
Hanya pengusaha Bob Hasan dan Richardo Gelael yang berhasil digelandang ke dalam penjara.
Selebihnya, sistem politik, mesin hukum, dan para personel Orba masih bercokol di dalam birokrasi
pemerintahan maupun parlemen.
Jika hal ini disebutkan sebagai sebuah kesalahan, ia merupakan contoh klasik dari sebuah gerakan
reformasi (revolusioner) yang spontan. Sebuah gerakan yang mengetahui secara jelas apa yang ditolak,
namun amat kabur tentang apa yang dimaui. Ujung-ujungnya, reformasi 1998 tak lebih dari sebuah bendera
bersama yang dikibar-kibarkan tanpa program yang terpadu ke masa depan. Setiap kekuatan reformasi bisa
tampil dengan kemauannya sendiri. Setiap kelompok bermain dengan kepentingan masing-masing. Ada
yang menuntut penegakan supremasi hukum, saat bersamaan ada "kaum reformis" yang mempermainkan
hukum. Semua dibiarkan beraksi tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat, yang memang menuntut
reformasi konkret.
Wacana islah nasional
Suasana reformasi yang kacau ini pun membuat kekuatan lama melihat adanya sebuah celah peluang.
Bukan mustahil, mereka membentuk aliansi kekuatan rahasia. Mereka melakukan manuver perlawanan,
baik dari sisi politis, sosiologis, maupun psikologis. Semuanya bertujuan untuk mempertahankan sisa-sisa
kepentingannya. Inilah yang disebut Crane sebagai teror yang kemudian membawa serangkaian krisis.
Akibatnya, reformasi membawa berbagai gelombang keruwetan dan krisis multidimensi. Perekonomian
nasional makin amburadul. Rakyat kecil kesulitan menata kehidupan sosialnya. Mereka lalu bertanya,
"Untuk apa reformasi jika hanya membuat keadaan makin kacau, sulit, dan ruwet".
Tragisnya, kesemrawutan reformasi tersebut telah pula berhasil melibas satu kekuasaan presiden yang
legitimate (Abdurrahman Wahid). Meski demikian, tanda-tanda kesemrawutan sosial politik dan sosial
ekonomi belum juga berakhir. Tanda-tanda supremasi hukum akan ditegakkan dan kasus KKN Orba
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 101
pin
gE
LS
AM
dituntaskan, belum juga terlihat. Yang ada justru kasus-kasus korupsi baru bermunculan ke permukaan,
dengan melibatkan tokoh-tokoh penting. Situasi ini seolah menggambarkan bahwa para koruptor dan
pengemplang uang negara bisa bebas menari-nari di mata rakyat yang tengah keletihan berteriak-teriak agar
korupsi diusut tuntas.
Lalu, dengan setengah putus asa kita bertanya pada diri sendiri, masih adakah gunanya rakyat berteriakteriak bahwa kasus "KKN Orba harus diusut tuntas". Seiring dengan rasa putus asa itu muncul gagasan
islah (rekonsiliasi) nasional. Adalah Wakil Presiden Hamzah Haz yang paling gencar menggulirkan
gagasan ini. Mungkin, Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menyadari betapa alotnya
perjalanan reformasi, jika sisa-sisa kekuatan Orba masih terus-menerus diobok-obok. Sementara kalangan
reformis sendiri tidak pernah solid dan cenderung "bermain" dengan kepentingan sendiri-sendiri.
Mengacu pada kemungkinan ini, gagasan islah nasional dari Hamzah Haz tersebut yang digulirkan
mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998 adalah sebuah reformasi dan bukan revolusi. Dengan demikian,
sangatlah wajar jika proses perubahan tersebut berlangsung secara gradual dan bukan revolusioner yang
main hantam. Wajar pula jika dalam iklim reformasi tersebut digalang rekonsiliasi (islah) menuju
konsolidasi nasional. Yang terpenting lagi, tujuan reformasi ialah mengubah kehidupan rakyat menuju
perbaikan. Bukan reformasi yang penuh teror, pertumpahan darah, pencabutan nyawa, dan menyengsarakan
rakyat.
Hanya saja, perlu dipertanyakan, jika islah nasional itu terjadi, bisakah rakyat memanfaatkan aksi KKN
Orba dan aksi pengemplangan uang negara oleh para konglomerat? Sebab, bagaimanapun islah nasional itu
tidak bisa dilakukan sepotong-sepotong, melainkan dengan utuh demi keutuhan bangsa dan kepentingan
rakyat. Untuk itu, format islah harus menyentuh keberadaan para koruptor Orba dan konglomerat
pengemplang uang rakyat. Dengan demikian, wacana islah yang digulirkan Hamzah Haz ini tidak bisa
berdiri sendiri. Ia perlu bersatu padu dengan dekrit dari presiden. Misalnya, Presiden Megawati
menguatkan islah nasional dengan Dekrit Darurat Ekonomi atau Dekrit Darurat Korupsi. Melalui dekrit ini
para koruptor dan konglomerat "dipaksa" mengembalikan 50 persen kekayaannya kepada negara untuk
kepentingan rakyat. Selain itu, berjanji tidak mengulangi perbuatannya. Baru setelah itu mereka melakukan
islah untuk dimanfaatkan rakyat.
Dalam penghitungan kekayaannya, pemerintah tentunya perlu melibatkan lembaga akuntan internasional
yang mau secara sukarela membantu proses pendataan. Begitu juga dalam pengembalian dan
penghimpunan dana para koruptor, lembaga internasional yang independen harus dilibatkan. Dalam hal ini
ada beberapa pola yang bisa diterapkan. Di antaranya, para koruptor mengembalikan secara kontan. Atau,
para konglomerat pengemplang uang negara diwajibkan membiayai pembangunan infrastruktur dan basisbasis perekonomian rakyat di suatu daerah dari 50 persen kekayaannya. Dengan prinsip, semuanya
dilakukan secara transparan dan diawasi secara ketat oleh lembaga independen internasional.
Kesadaran elite politik
kli
Filosofis dari islah nasional ini, terutama islah bagi koruptor dan konglomerat pengemplang uang rakyat,
ialah segala sesuatunya dilupakan dan dimaafkan demi membuahkan sesuatu yang lebih baik. Yakni,
Indonesia yang gemilang dan bersatu padu sehingga perjalanan sejarah di negeri ini tidak akan selalu
mengerikan. Rakyat kecil tidak selalu mencurigai para pejabat maupun konglomerat sebagai pencoleng
uang negara. Sebab, kecurigaan hanya akan menimbulkan penindasan, sedangkan penindasan hanya akan
melanggengkan permusuhan. Jika rasa permusuhan terus-menerus berkecamuk, apa artinya reformasi dan
kapan negeri ini akan bisa damai tenteram?
Melihat kondisi yang ada, wacana islah nasional yang digulirkan Hamzah Haz memang patut dicermati.
Wacana ini bisa pula dilihat dengan alasan-alasan nasional yang mempertimbangkan untung rugi.
Contohnya, apa untungnya rakyat Indonesia jika para konglomerat itu dipenjara. Bukankah itu hanya
mengakomodasi kepuasan batin dari sikap balas dendam? Coba bayangkan, jika mereka sepakat islah dan
mengembalikan 50 persen kekayaannya untuk membangun negeri ini! Tentu rakyat juga yang merasakan
manfaatnya.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 102
kli
pin
gE
LS
AM
Dalam teori Immanuel Kant disebutkan, berdasarkan alasan-alasan rasional-di samping mempertimbangkan
untung rugi-manusia biasanya bisa mengadakan semacam perjanjian sosial politik. Dari sini kemudian
lahirlah hukum yang memungkinkan untuk memperdamaikan kesewenang-wenangan orang satu dengan
kesewenang-wenangan orang lain. Lalu, terbentuklah suatu sistem yang sanggup mengakhiri konflik. Dari
teorinya ini Kant yakin, sikap rasional akhirnya akan menang. Soalnya, fajar rasio akan selalu memperluas
kehidupan psikososial.
Apa yang diyakini Kant ini ada benarnya. Soalnya, ada keyakinan, manusia yang pada awal mulanya
serakah dan jahat bisa berkembang menuju perubahan yang signifikan menuju ke sesuatu yang teratur,
asalkan negaranya memang benar-benar mau menuju ke suatu negara yang teratur. Dengan kata lain,
peluang untuk perdamaian abadi di suatu negara baru akan terealisasi secara baik, jika sebuah negara
benar-benar diperintah secara demokratis. Rakyat, pimpinan, dan elite politiknya mau berdamai dengan
masa lalu yang pahit. Bagaimanapun, perluasan kesadaran psikososial tetap mampu memajukan
perkembangan umat manusia. Sebab, pada dasarnya setiap manusia selalu memiliki kemungkinan untuk
tumbuh ke arah humanisme, persatuan, hidup persaudaraan, dan perdamaian abadi.
Namun, kemungkinan ini perlu terus-menerus dirangsang, terutama oleh para pemimpin di negeri ini. Salah
satunya dengan cara merealisasikan islah nasional yang berorientasi pada penataan perekonomian nasional
yang kian morat-marit. Sayangnya, sekarang ini kesadaran itu belum tumbuh dengan maksimal. Sebagian
besar elite politik masih melihat kekuasaan lebih penting dari hukum. Dengan teori kekuasaan mereka lebih
mengorientasikan diri untuk merebut posisi yang kuat. Akibatnya, pertikaian demi pertikaian tidak dapat
dielakkan. Hal itulah yang membuat di antara manusia Indonesia sering timbul suatu keadaan tegang.
Kelompok lawan kelompok. Klan bertikai dengan klan. Sempitnya keasaran para elite politik membuat
mereka sulit untuk mengakui keberadaan orang lain sebagai saudara sesama satu bangsa. Jika itu terus
terjadi, rakyat akan bertanya, "Untuk apa reformasi toh, KKN Orba tak pernah dituntaskan, keamanan
terancam, dan keadaan sosial ekonomi kian morat-marit?" Untuk itulah wacana islah nasional perlu
direnungkan.
* Neta S Pane, Ketua Presidium Indonesia Police Watch.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 103
Koran Tempo, Jumat, 2 November 2001
Kasus Pelanggaran HAM
kli
pin
gE
LS
AM
Islah Tanpa Proses Hukum adalah Impunity
JAKARTA - Islah (perdamaian) yang meniadakan proses hukum dalam kasus pelanggaran HAM berat
dapat dikategorikan sebagai impunity (pemberian kekebalan hukum) bagi para pelakunya. Bentuk
penyelesaian perkara semacam itu paling ditentang dunia internasional.
Mantan Menteri Kehakiman dan anggota Komnas HAM Muladi mengatakan hal itu di dalam diskusi panel
tentang RUU KUHP di Hotel Acacia, Jakarta, kemarin. "Nggak bisa hanya dibayar, terus perkara selesai,
itu impunity ," ujarnya.
Dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat, menurut Mulari, ada yang menggunakan metode islah
untuk menyelesaikannya. Konkretnya, pelaku memberikan sejumlah uang atau pekerjaan kepada para
korban, dengan harapan agar kasus itu tidak diusut dan diadili melalui pengadilan HAM. Dia menilai, islah
bukan berarti haram dilakukan. Islah, katanya, bisa saja dilakukan tanpa menghentikan proses hukumnya,
yaitu dengan menjadikannya pertimbangan yang meringankan terdakwa dalam persidangan.
Mengenai penanganan kasus Talangsari, Lampung, yang diduga terhambat karena islah antara mantan
Danrem Garuda Hitam Hendropriyono dengan para korban, Muladi meminta itu perlu diklarifikasi. "Untuk
setiap tuduhan pelanggaran HAM, rakyat harus tahu apa yang terjadi," katanya. Komnas HAM, katanya,
masih bisa mengungkap semua kasus setiap saat selama belum kedaluwarsa.
Komnas HAM belum mengambil sikap tegas terhadap penanganan kasus Lampung. Komisi ini belum
menetapkan, apakah perlu membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran (KPP) HAM atau tidak. Padahal,
dalam rapat pleno Komnas pada 5 Juni lalu sudah disepakati membentuk KPP HAM. Anggota Komnas
HAM Koesparmono Irsan ditunjuk untuk memimpin pengusutan kasus itu.
Beberapa waktu lalu, Ketua Komnas HAM H.R. Djoko Soegianto mengatakan subkomisi pemantauan
masih melakukan penelitian terhadap kasus itu. Hambatan penanganan kasus Lampung, katanya, karena
para korban yang telah menerima islah sekaligus dana bantuan, belum sepakat apakah kasus itu akan
dilanjutkan ke pengadilan HAM. Ia khawatir apabila Komnas memaksakan membentuk KPP, akan terjadi
konflik horisontal di antara korban.
Sedangkan Koesparmono Irsan menuturkan, tim pemantauan sudah menyerahkan hasil kerjanya kepada
pimpinan Komnas, awal September lalu. Selanjutnya, ia menyerahkan kepada keputusan pleno apakah akan
membentuk KPP atau tim pemantau.
Namun, Koesparmono menolak menyebut apakah ditemukan dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus
itu. "Biar pleno yang menentukan hal itu," katanya kepada Koran Tempo saat dihubungi di Jakarta,
semalam.Ia mengaku tidak tahu mengapa Komnas belum menentukan pembentukan KPP HAM.l jobpie
sugiharto
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 104
Media Indonesia, Selasa, 6 November 2001
Pentingnya Rekonsiliasi Nasional [Bag. I]
Oleh Saurip Kadi, Mantan anggota DPR dan Aster Kasad (Bagian 1 dari 2 tulisan)
LS
AM
BELUM lagi krisis nasional bisa kita atasi, dunia sepertinya sedang bergerak menuju
resesi. Karena kita tidak mungkin menghindar dampak yang ditimbulkannya, maka sudah
barang tentu hal ini akan lebih memperpuruk perekonomian kita. Dan, selanjutnya,
perekonomian yang makin terpuruk akan membuat kehidupan sosial menjadi lebih
memprihatinkan. Begitu terus saling berkaitan sampai pada saatnya perekonomian kita
menjadi kolaps karena di ambang 'kebangkrutan'.
Tugas kita sebagai bangsa, terlebih kaum elitenya, adalah bagaimana mencari solusi
bersama agar krisis yang terus berkepanjangan segera dapat diakhiri. Sehingga
disintegrasi yang dipicu akibat kolapsnya perekonomian seperti yang terjadi di beberapa
negara di Asia Timur beberapa waktu yang lalu tidak menimpa kita.
pin
gE
Dunia saat ini sedang berproses mencari tatanan yang baru. Hal ini sejalan dengan teori
manajemen bahwa sistem apa pun pada saatnya akan mencapai titik jenuh dan setelah itu
akan 'bergejolak' (in-equilibrium) dan bergerak menuju keseimbangan baru (equilibrium).
Ada atau tidak adanya kasus penabrakan pesawat terbang terhadap World Trade Center
(WTC) oleh teroris pada 11 September 2001 yang lalu, berbagai bentuk krisis dipastikan
akan timbul. Karena, tatanan dunia dengan hegemoni pihak-pihak tertentu, utamanya di
bidang perekonomian, tidak lagi mampu menghadirkan rasa keadilan bagi sesama warga
masyarakat dunia.
kli
Dalam kondisi bahwa ekses dan dampak negatif dari suatu sistem yang ditimbulkan tidak
bisa lagi diakomodasi sebagai feet back, maka terjadinya resesi dunia sesungguhnya
hanya persoalan waktu. Tanda-tanda ini sebetulnya telah muncul beberapa tahun silam,
bahwa di kawasan Asia Tenggara muncul krisis moneter. Terlebih dengan terjadinya
kasus penabrakan gedung WTC 11 September yang lalu dan reaksi Amerika beserta
sekutunya yang serta-merta menggempur Afghanistan yang dianggap sebagai sarang dan
produsen terorisme internasional. Maka proses resesi dunia sudah pasti akan lebih cepat
lagi. Dampak langsung yang saat ini sudah dirasakan adalah terganggunya secara serius
industri, perdagangan, dan juga kegiatan pariwisata internasional utamanya bagi sejumlah
negara, termasuk Indonesia.
Kondisi ini akan menjadi lebih parah manakala pemerintahan Taliban yang berkuasa di
Afghanistan saat ini tidak segera jatuh dan atau karena Amerika dan sekutunya tidak
segera berhasil membentuk pemerintahan koalisi yang bisa mengakomodasi kepentingan
banyak pihak. Karena hal ini berarti serangan militer Amerika dan sekutunya akan
memakan waktu yang lebih panjang lagi. Maka Industri dunia dan terlebih Indonesia
dalam waktu dekat akan mengalami penurunan dan bahkan sebagian akan menjadi
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 105
bangkrut. Hal yang tidak bisa dihindari adalah maraknya PHK, baik dari sektor industri
dan juga pariwisata dengan segala kaitannya dalam jumlah yang lebih besar lagi dari
sebelumnya.
Realita kehidupan sosial
LS
AM
Begitu juga efek domino lainnya, seperti menurunnya harga migas di pasaran
internasional tidak mungkin bisa dihindari. Menurunnya kapasitas kebutuhan minyak
dunia sebagai konsekuensi menurunnya kegiatan industri dan sektor pariwisata otomatis
akan membuat harga migas turun. Dan, ini bagi kita berarti pemasukan APBN dari sektor
migas menjadi menurun pula yang sudah barang tentu akan sulit dicarikan penggantinya.
Hal yang demikian ini akan membuat keterpurukan perekonomian negara kita lebih
dalam lagi.
pin
gE
Tidak dikandung maksud untuk menilai siapa pun, sesungguhnya kalau mau jujur
kerusakan tata kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara sudah begitu parahnya. Di
bidang ekonomi, umpamanya, RAPBN tahun 2001 dengan struktur kurang lebih 33%
dari jumlah keseluruhan anggaran untuk membayar cicilan dan bunga pinjaman luar
negeri dan obligasi, maka negara kita harus mengeluarkan dana sebesar Rp77 triliun,
suatu jumlah yang tidak kecil. Keadaan ini akan terus berlanjut dalam jangka waktu yang
sangat panjang. Dan, bahkan di masa depan beban tersebut justru akan meningkat karena
tambahan utang baru pemerintahan pasca-Soeharto dan banyaknya pinjaman yang akan
segera jatuh tempo. Dengan kata lain, kondisi ini tidaklah mungkin segera bisa diakhiri
tanpa tindakan 'operasi amputasi' terhadap sumber dan akar masalah yang menjadi
penyebab. Kompleksitas yang telah membuat perekonomian kita terus terpuruk tidaklah
mungkin bisa 'diobati' hanya dengan pendekatan sektoral dalam hal ini sudut ekonomi
belaka.
kli
Dalam kondisi kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara yang terbebani begitu berat
oleh pinjaman luar negeri begitu besar dengan segala ekses yang ditimbulkannya, memori
kolektif mencatat bahwa utang pokok pinjaman luar negeri dan obligasi tersebut dalam
jumlah yang begitu besar 'lenyap' melalui kasus KKN, kredit macet, BLBI, dan KLBI.
Uang haram tersebut sampai hari ini masih disimpan, dimiliki, dikuasai, dinikmati dan
sangat mungkin sebagian dari mereka menggunakannya untuk kepentingan politiknya
termasuk tindakan yang justru memperkeruh keadaan.
Begitu pula kondisi polkam, bisa jadi dalam waktu yang tidak lama lagi kita akan
memasuki masa yang makin parah. Karena sumber dan atau akar masalah yang memicu
terjadinya booming kerusuhan sosial, unjuk rasa dengan kekerasan, demonstrasi damai,
tapi tuntutannya penuh kekerasan, dan sejenisnya memang belum tertangani sebagaimana
mestinya. Kondisi yang demikian tadi akan bersinergi dengan pengaruh resesi dunia yang
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 106
membuat perekonomian kita menjadi makin lebih sulit. Dampak ikutannya akan semakin
menimbulkan berbagai masalah sosial dan kemanusiaan yang lebih parah lagi.
pin
gE
LS
AM
Semakin hari kita juga semakin terbiasa melihat anak bangsa seenaknya berbuat
kekerasan dan anarkistis. Norma sosial dan hukum begitu saja dilanggar, tapi sangat
disayangkan di saat yang sama kita dapat menyaksikan sejumlah elite justru memberi
contoh berbuat kejahatan yang lebih besar. Sepertinya mereka tidak lagi mempunyai
harga diri. Sementara itu atas nama negara aparat penegak hukum bertindak tegas dan
bahkan tergolong 'keras' terhadap setiap pelaku pelanggaran hukum. Termasuk terhadap
mereka yang unjuk rasa tanpa mengindahkan prosedur. Tapi di saat yang sama pula,
rakyat melihat dengan jelas bahwa mereka kaum penegak hukum di Republik tercinta ini
membiarkan begitu saja para pelaku tindak kejahatan berat dan besar, karena kebetulan
mereka adalah bagian dari elite bangsa. Sejumlah pengelola negara yang statusnya
sebagai tersangka tindak pidana pun sepertinya tidak lagi punya rasa malu dan kemudian
menyikapinya dengan mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka malah terus berkelit
dengan memainkan kelemahan hukum yang ada ataupun terus memainkan 'kekurangan'
dari prosedur dan aturan main kelembagaan agar bisa bertahan pada jabatannya. Mafia
peradilan terasa bukan makin mengecil, tapi justru sebaliknya makin besar dalam jumlah
dan mutunya. Karena kedua belah pihak sama-sama berkepentingan memanfaatkan
peluang yang ada sesuai kepentingan masing-masing.
Berbagai fenomena sosial di atas seharusnyalah menjadi kepedulian kita bersama terlebih
kaum elite lainnya untuk disikapinya dengan tepat, baik dan benar. Bila tidak, maka yang
terjadi kepercayaan pasar dan juga kepercayaan publik dalam dan luar negeri akan
merosot. Karena tidak tampak kesungguhan dalam mengatasi krisis, menegakkan
supremasi hukum, dan membangun kembali akhlak bangsa serta menjalankan agenda
reformasi lainnya.
kli
Di samping itu para investor akan merasa tidak mendapatkan pelindungan serta jaminan
keamanan dan ketenangan dalam usaha. Sudah barang tentu kondisi kehidupan sosial
yang demikian tadi pada gilirannya akan berdampak serius terhadap perekonomian yang
memang sudah terpuruk. Dan, seterusnya berangkai saling mempengaruhi dan
dipengaruhi di antara keduanya yang pada saatnya akan sampai pada titik kritis. Sehingga
perekonomian negara, dalam hal ini pemerintah, kolaps, dan tidak mungkin bisa
diperbaiki dengan cara apa pun, karena sesungguhnya telah 'bangkrut'.
Dalam kondisi yang demikian maka usaha apa pun untuk mencegah kemauan sejumlah
daerah yang ingin memisahkan diri dari Republik tercinta dipastikan tidak efektif, dan
bisa jadi kelak biaya politik yang harus dibayarnya sangatlah tinggi. Maka kasus seperti
Uni Soviet dan Yugoslavia tidak bisa kita dihindari. Dan, ini berarti kita mengulang
sejarah nenek moyang kita seperti Sriwijaya, Majapahit, dan juga lainnya yang silih
berganti menjadi punah, hancur berantakan.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 107
Media Indonesia, Rabu, 7 November 2001
Pentingnya Rekonsiliasi Nasional
Oleh Saurip Kadi, Mantan anggota DPR dan Aster KSAD (Bagian 2 selesai)
Rekonsiliasi sebagai solusi
LS
AM
DALAM tulisan bagian pertama telah diulas bagaimana gambaran pengaruh global
terhadap perekonomian nasional dan sekilas potret tentang kehidupan sosial yang tengah
berkembang dalam masyarakat, bangsa, dan negara kita. Guliran yang saling mengait
antara dampak ekonomi dan kehidupan sosial yang saling mempengaruhi akan membuat
perekonomian negara menjadi kolaps, karena di ambang kebangkrutan. Di sinilah
pentingnya kesadaran kita sebagai bangsa terlebih kaum elitenya untuk mencari solusi
bersama agar krisis yang telah berlarut hampir empat tahun segera diakhiri.
kli
pin
gE
Dari sejumlah teori dan afeksi manajemen menyimpulkan bahwa sesungguhnya
eksistensi sebuah lembaga apa pun, termasuk dalam hal ini negara dan bangsa kita, akan
sangat ditentukan oleh dua faktor utama, penampilan tatanan/sistem dan atau
pemimpinnya. Bagi kita perubahan sistem yang kali ini ditempuh melalui reformasi
adalah sebuah keharusan manakala kita menghendaki hadirnya sebuah Indonesia baru.
Dalam kaitan ini kita memang tidak mungkin melanjutkan sistem lama begitu saja,
karena sistem yang ada terbukti tidak mampu mengakomodasi aspirasi dan dinamika
masyarakat, serta tuntutan dan pengaruh global yang tengah terjadi. Bahkan telah
mengantar bangsa menjadi terjerumus dalam krisis yang berkepanjangan. Sangat
disayangkan dalam kondisi krisis sejak awal reformasi dan sampai hari ini kita juga
belum menemukan pemimpin yang kuat. Pemimpin yang kuat yang dimaksud sama
sekali bukan berarti pemimpin tangan besi (otoriter). Pemimpin yang dibutuhkan adalah
pemimpin dengan integritas pribadi tinggi, mempunyai kapabilitas yang memadai dan
mampu menempatkan kepentingan negara dan bangsa di atas kepentingan pribadi dan
golongan. Sudah barang tentu pemimpin yang kuat juga ia yang mempunyai akhlak dan
moral tinggi serta mampu menekan nafsu kebendaan untuk tegaknya kebenaran dan
keadilan. Di samping itu ia cakap untuk mengelola keadaan yang serbakrisis dan kritis.
Kelangkaan ini dapat dimaklumi, karena Pak Harto memang tidak memberi kesempatan
lahirnya pemimpin yang kuat. Pola rekrutmen kader yang ditempuh terlebih dalam fase
akhir kepemimpinannya justru sangat tertutup dan kental dengan nuansa nepotisme.
Dengan demikian, jelas tidaklah mungkin lahir pemimpin sejati. Karena pemimpin sejati
hanya akan lahir dari pola rekrutmen yang terbuka dan seleksi kader terjadi sejak dini.
Dengan demikian kader yang cacat serta integritasnya dan kapabilitasnya rendah sudah
jatuh sejak dari awal. Dan, sebaliknya dengan pola rekrutmen kader model tertutup, siapa
pun dan dalam kualitas yang bagaimanapun ia akan bisa tampil pada tingkatan yang
mana pun sepanjang ia mempunyai akses dengan pengambil keputusan. Maka yang
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 108
terjadi tampilnya pemimpin dengan akhlak dan etika moralnya rendah hampir di semua
lapisan seperti kenyataan selama ini.
LS
AM
Begitu pula model pembentukan kelas menengah dalam kaitan teori sosial. Pak Harto
mencoba membangun kelas menengah dengan pola client-patroon secara terkendali yang
memberi fasilitas dan kemudahan lainnya. Pak Harto bahkan membangun konglomerasi,
dan sudah barang tentu mereka akan senantiasa loyal, jauh dari kemungkinan berani
melaksanakan pembangkangan bersama lower class, 'melawan' Pak Harto untuk sebuah
perubahan. Boleh jadi ada di antara mereka yang tempo hari bergabung dengan kekuatan
mahasiswa dengan berbagai pola hubungan. Tapi sangatlah tidak beralasan kalau
motivasi dan latar belakangnya murni untuk perubahan sosial demi kepentingan masa
depan bangsa. Karena saat itu mereka menjadi besar berkat fasilitas dan kemudahan dari
Pak Harto sendiri. Dengan kata lain, kalau toh ada 'pencilan' di antara mereka yang betulbetul mempunyai kesamaan idealisme dengan kekuatan mahasiswa bergabung untuk
reformasi dapat dipastikan jumlahnya sangat terbatas.
kli
pin
gE
Sebuah kenyataan pula bahwa dalam melaksanakan perubahan sosial melalui reformasi
bertepatan dengan terjadinya krisis moneter di kawasan Asia Tenggara dan kemudian
disusul oleh resesi dunia. Sangat disayangkan pilihan model yang diambil oleh elite
(dalam pengertian semua pihak yang secara kuat mempunyai akses untuk mengadakan
perubahan sosial) saat itu tidak memisahkan secara tegas antara tanggung jawab masa
lalu dengan tanggung jawab ke depan. Maka kekuatan lama dengan cara, wajah dan
bahkan muka barunya, melalui atau tidak melalui partai dan wadah baru mereka tetap
tampil sebagai elite. Atau paling tidak dapat mengendalikan sebagian elite yang ada
dengan kekuatan finansial ataupun model simbiose lainnya. Dan, bahkan dalam kaitan
birokrasi pemerintahan negara boleh dikatakan mereka yang sesungguhnya bermasalah
dan paling bertanggung jawab atas terjadinya krisis yang berkepanjangan ini dalam
keadaan 'utuh' (di luar Pak Harto dan yang lengser karena aturan formal lainnya) mereka
tetap menduduki posisi sebagai penyelenggara negara. Maka yang terjadi adalah conflict
of interest di antara sesama elite yang lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan materi,
kekuasaan dan nafsu kebendaan belaka.
Pemerintahan yang berkuasa pasca-Orde Baru pun kemudian tidak mencoba
mendekonstruksi kekuatan lama dan justru membiarkan mereka tetap eksis dalam
berbagai bentuk dan turunannya. Memang banyak dalih dan alasan yang dijadikan
pertimbangan, tapi barangkali juga tidak lepas dari faktor kepentingan sesaat. Rendahnya
sense of crisis, ikatan masa lalu yang begitu kuat, dan besarnya kepentingan politik
kelompok, serta menonjolnya kepentingan pribadi juga menjadi penyebab mengapa krisis
makin berlarut. Inilah pentingnya kesadaran kolektif dari segenap bangsa dan terlebih
para penyelenggara negara serta elite bangsa lainnya untuk mencarikan solusi bersama
agar krisis nasional yang makin berlarut segera bisa diakhiri. Untuk itu, sebagai bangsa,
melalui para elitenya kita perlu segera menyelenggarakan rekonsiliasi nasional untuk
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 109
pin
gE
LS
AM
saling memaafkan dan mencari pemecahan bersama demi masa depan dan nasib rakyat,
bangsa, dan negara. Kesempatan itu juga sekaligus dimanfaatkan untuk membangun
komitmen kenegaraan yang baru dengan memberi jaminan dilaksanakannya reformasi
nasional menyongsong hadirnya Indonesia baru yang lebih demokratis. Untuk itu sangat
diperlukan kehadiran para pemegang saham orisinal Republik yaitu para tokoh dan
pemimpin masyarakat adat dan sejenisnya yang keberadaannya jauh lebih dulu daripada
lahirnya Indonesia sebagai negara. Mereka terbukti memilih ikut bersatu padu dan
bergabung dalam wadah Indonesia mempertahankan kemerdekaan yang hendak direbut
kembali oleh penjajah. Pertemuan tersebut juga perlu mengikutsertakan founding father
yang masih hidup ataupun ahli waris yang ditunjuk untuk mewakilinya. Dengan demikian
forum tersebut sekaligus untuk membuat kontrak sosial baru tentang Indonesia ke depan.
Sebagai bangsa yang besar kita harus mampu melupakan masa lampau kita yang kelam,
tanpa dibarengi maksud mengesahkan kembalinya rezim lama dan kroninya. Oleh karena
itu dalam rembuk tadi hendaknya dapat memberi pedoman dasar yang terukur dalam
masalah apa dan bagaimana sebuah kasus diselesaikan cukup dengan kebijakan politik,
dan dalam norma yang bagaimana sebuah kasus ditangani melalui proses hukum.
Rekonsiliasi juga untuk memberi jaminan sosial masa depan yang sepadan terhadap
mereka yang menjadi korban kekerasan negara atau ahli warisnya. Dengan demikian
proses maaf-memaafkan menjadi tuntas lahir batin, dunia akhirat, baik antarperson
maupun antara negara dan person.
Rekonsiliasi juga harus menjamin kembalinya secara optimal uang negara yang mereka
ambil dengan cara melanggar hukum dan norma-norma kepatutan. Dengan demikian
rekonsiliasi juga harus menjamin masa depan bangsa dan negara. Anak-cucu generasi
mendatang 'terbebas' secara optimal dari pinjaman luar negeri yang uangnya nyata-nyata
diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu. Dan, yang mutlak menjadi agenda rembuk
tersebut adalah perlunya pemisahan tanggung jawab masa lalu dan tanggung jawab masa
depan. Tanpa ketegasan pemisahan tanggung jawab tersebut pemerintahan yang mana
pun akan sulit untuk mampu mengatasi krisis yang melanda kita. Bahkan barangkali
perlu dibikin sejumlah komisi untuk menangani residu masa lalu.
kli
Catatan penutup
Di bulan suci Ramadan yang penuh magfirah terlebih bagi umat Islam adalah waktu yang
paling tepat untuk saling memberi maaf. Sekecil apa pun andil kita dalam rekonsiliasi
nasional di bulan puasa yang penuh rahmat, sepanjang kita berangkat dari hati dan nurani
yang bersih serta jujur, insya Allah akan mampu mengantar bangsa dan negara kembali
bersatu padu menyongsong zaman keemasan yang segera tiba setelah kita berhasil keluar
dari krisis. Kelak melalui proses kenegaraan hasil rekonsiliasi dapat diberi kekuatan
hukum formal melalui Ketetapan MPR. Bisa jadi kelak sejumlah pihak harus mundur dari
jabatan guna memberikan kesempatan kepada mereka yang lebih berhak. Dapat
dipastikan di antara kita juga harus mengembalikan uang negara yang dulu diperoleh
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 110
kli
pin
gE
LS
AM
melalui cara-cara yang menurut nilai kekinian sangatlah tidak patut. Namun semua itu
menjadi penting, demi kepentingan bersama yang jauh lebih besar yaitu lahirnya
kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara segera kembali menjadi tata tentrem kerta
raharja, gemah ripah lohjinawi dalam tata pergaulan internasional yang penuh harga diri
sebagai negara besar, Indonesia Raya.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 111
Republlika, Kamis, 08 Nopember 2001
Memaafkan Masa Lalu
Saurip Kadi
Mayjen TNI, Bekas Anggota
DPR/MPR dan Aster KSAD
LS
AM
Sebentar lagi kita bersama akan memasuki bulan Ramadhan 1422 H. Inilah bulan yang penuh maghfirah
dan rahmat, sekaligus bulan untuk membersihkan diri. Disebut bulan pengampunan dan membersihkan diri
karena di bulan itu Tuhan membukakan pintu taubat selebar-lebarnya bagi makhluk-Nya yang mau
bertaubat. Dengan berpuasa sebulan penuh, kita juga akan ''dilahirkan'' kembali pada 1 Syawal, seperti
halnya bayi yang baru lahir.
Hikmah Ramadhan yang demikian itu, bagi kita bangsa Indonesia, amat perlu diimplementasikan dalam
konteks kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara. Apalagi sekarang kita sedang menghadapi
persoalan krusial di seluruh sendi kehidupan, atau disebut krisis multidimensi. Cara tepat untuk
mengapresiasinya adalah dengan sama merasakan krisis multidimensi ini dengan mengurangi bermewahmewah, boros, mau menang sendiri serta meremehkan orang lain, tidak mau memaafkan kesalahan, dan
banyak sifat buruk lainnya bagi lingkungan sosial.
pin
gE
Tanpa itu semua, kita mungkin akan lebih terpuruk lagi. Inilah inti pidato Presiden Megawati -- saat
memberikan amanat dalam rangka hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2001, di Cibubur, Jakarta -- bahwa ''...
Jika keadaan tersebut berlanjut dan tidak segera dihentikan, sudah dapat dipastikan keberadaan Indonesia
sebagai satu bangsa akan lenyap dalam waktu tidak terlalu lama.''
Memahami masa lalu
Sebuah kredo yang bisa digunakan untuk sense of crisis di bulan Ramadhan adalah bahwa manusia tempat
kesalahan, tiada yang sempurna. Dalam konteks kebangsaan kita, kredo itu menjadi overview bagi setiap
warganegara memahami eksistensinya. Bagaimana ia memandang persoalan kekinian, masa lalu, dan masa
datang. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan berbagai problematika yang sedang berlangsung.
Persoalan kekinian memang terkait dengan persoalan masa lalu, ibarat benang kusut. Berbagai usaha dan
upaya telah pula pernah dilakukan, namun hasilnya masih belum terlihat bahkan semakin menjauh dari
penyelesaian masalah. Belum lagi ditambah dengan banyak persoalan baru, yang tidak kalah rumitnya. Apa
yang mesti dilakukan?
kli
Bermodalkan faktor kredo itu, kita semua memandang persoalan masa lalu. Bahwa masa lalu adalah sebuah
proses dari perjalanan kita sebagai bangsa, di mana semua kesalahan harus dilihat sebagai kesalahan
bersama komunitas bangsa. Ini karena kesalahan itu terjadi akibat interaksi sosial seluruh elemen bangsa,
bukan sekelompok orang tertentu. Kata ''maaf'' menjadi kunci menyelesaikan masalah.
Sebut saja dalam setiap fase kepemimpinan nasional kita -- sejak Republik Indonesia berdiri -- ada
''plesetan'' yang cukup populer yang dilekatkan pada kegagalan setiap rezim pemerintahan: Presiden
Soekarno ''gagal'' karena persoalan sila I dari Pancasila (Nasakom), Presiden Soeharto ''gagal'' karena sila II
(kesalahan-kesalahan atas manusia), Presiden Habibie ''gagal'' akibat sila III (lepasnya Timtim), Presiden
Abdurrahman Wahid pun ''gagal'' karena sila IV (''berseteru'' dengan DPR/MPR). Tinggal sekarang, apakah
Presiden Megawati juga akan ''gagal'' karena sila V (masalah keadilan).
Menyongsong masa depan
Masa depan adalah kehidupan berikutnya dari perjalanan individu manusia dan bangsa, gambaran tentang
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 112
harapan positif dari masa kini. Untuk itu, masa depan seharusnya menjadi imajinasi subjektif seluruh
elemen bangsa, tanpa terkecuali. Persoalannya, bagaimana kita menyongsong hal itu?
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, masa depan juga harus dipahami sebagai kelanjutan kehidupan
bersama dalam konteks bangsa, setelah kita secara benar memahami masa lalu dan sekarang dengan kata
kunci ''maaf''. Agar lebih operasional melihat masa depan itu, sebuah kondisi obyektif harus muncul saat
ini. Misalnya menumbuhkan situasi saling percaya antarelemen bangsa, menghilangkan syak wasangka,
memunculkan sense of crisis di setiap individu khususnya di tingkatan elit, membangun political will bagi
demokratisasi dan perlindungan HAM, dan seterusnya. Dari sini diharapkan terjadi rekonsiliasi nasional di
antara seluruh elemen anak bangsa.
LS
AM
Kepercayaan adalah faktor utama dalam interaksi dan kontrak sosial. Seseorang yang telah mempercayai
orang lain, maupun sebaliknya, akan membangun suatu kontrak sosial. Dari situ kemudian mereka
menyusun pranata (struktur) sosial berdasarkan faktor-faktor obyektif (rasional), dan terkadang melibatkan
faktor subyektif (kharisma).
Struktur sosial demikian akan melahirkan dinamika masyarakat yang kondusif serta mampu melahirkan
aturan-aturan bersama yang akan dipatuhi pula secara kolektif, antara yang dipimpin dan yang memimpin.
Pemimpin memiliki sense of crisis yang tinggi jika terjadi permasalahan pada mereka yang dipimpin.
pin
gE
Pemimpin demikian secara bersungguh-sungguh akan berusaha agar permasalahan itu segera diselesaikan.
Ciri lain pemimpin yang baik adalah tidak menunda-nunda menyelesaikan persoalan, baik yang
berlangsung di masa lalu maupun masa kini. Berbagai solusinya cenderung win-win solution bagi
keseluruhan pihak.
Hal lain yang masih terkait dengan format struktur sosial di atas adalah adanya komitmen yang kuat
(political will) dari kedua pihak untuk mewujudkan demokratisasi, penegakan HAM, law enforcement, dan
seterusnya dalam konteks civil society. Keinginan politik yang kuat di antara keduanya akan bersinergi dan
dapat mempercepat proses seperti yang diidealisasikan.
kli
Demokratisasi akan menjadi suatu proses pelembagaan sistem politik, sosial, ekonomi, dan seterusnya di
tingkat kognitif di kedua pihak. Selanjutnya proses perlindungan HAM dan law enforcement otomatis
included di dalamnya serta meminggirkan penggunaan cara-cara kekerasan dan lain-lain yang bersifat
merusak, atau violence. Konflik sosial dapat diminimalisasi tanpa harus mendatangkan sejumlah besar
pasukan keamanan dan pertahanan. Kohesivitas di antara yang dipimpin dan yang memimpin sangat kuat.
Syarat terakhir yang dikehendaki berdasar skenario masa depan di atas adalah berlangsungnya rekonsiliasi
di antara sesama elemen masyarakat, tanpa terkecuali. Bahwa permasalahan yang terjadi merupakan
kesalahan bersama yang harus disikapi secara benar, serta melibatkan seluruh elemen masyarakat.
Pemimpin hanya bertindak selaku inisiator dan fasilitator bagi maksud itu, bahkan mungkin sesekali
ditoleransi untuk menggunakan otoritasnya agar maksud itu segera bisa diwujudkan.
Jika permasalahan terjadi di tingkat para pemimpin, maka rekonsiliasi dilakukan tanpa proses bargaining
position dan lebih menyentuh inti permasalahan bila permasalahan itu bukan hasil rekayasa untuk suatu
maksud dan tujuan tertentu di antara para pemimpin.
Rekonsilitasi cara demikian akan menjadi suatu keniscayaan bagi penyelesaian masalah yang mungkin
akan berdampak positif pada realitas sosial masyarakat.
Itulah beberapa faktor yang bisa diusulkan untuk menyelesaikan masalah kekinian sekaligus persiapan
menyusun skenario masa depan. Bisakah hal ini kita kerjakan bersamaan saat kita melakukan ibadah
puasa? (Jawabannya kembali kepada kita bersama). 
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 113
The Habibie Center, 16 Nopember 2000
BREAKFAST CHAT-IDH
Menyongsong Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di
Indonesia
Latar Belakang
pin
gE
LS
AM
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan salah satu alternatif penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) masa lalu yang sering dipraktekkan
oleh negara-negara yang berada pada masa transisi, dari pemerintahan yang otoriter menuju ke
pemerintahan yang demokratis. Alternatif ini merupakan kompromi antara kecenderungan untuk mengadili
dan menghukum pelaku pelanggaran HAM dengan kecenderungan untuk memaafkan mereka. Hal ini
didasari oleh kenyataan situasi politik pada masa transisi yang sulit untuk memberikan keadilan
sepenuhnya sebagaimana dikehendaki dalam suatu negara berdasarkan hukum. Dengan demikian keadilan
yang hendak ditegakkan melalui KKR ini adalah keadilan transisional (transitional justice), dengan
mengungkapkan kebenaran sejujur-jujurnya tentang kejadian masa lalu.Upaya ini sudah dilakukan oleh
lebih dari 20 negara, dan beberapa diantaranya telah cukup berhasil untuk mencapai rekonsisliasi nasional.
Berguru kepada pengalaman negara-negara lain, Indonesia kini tengah mempersiapkan Rancangan
Undang-undang (RUU) tentang KKR yang tampaknya sudah mendekati tahap akhir. RUU ini didasari oleh
UU No. 39 tentang HAM dan UU tentang Pengadilan HAM. Berbagai diskusi, seminar dan debat publik
telah dilakukan oleh berbagai kalangan untuk merumuskan, mensosialisasikan dan mendapatkan masukan
untuk penyempurnaannya. THC sendiri memberikan perhatian yang besar terhadap pembentukan KKR ini,
terbukti dari penyelenggaraan seminar dalam rangka Inauguration of the Habibie Center pada bulan Mei
yang lalu, dimana salah satu topiknya adalah mengenai Rekonsiliasi Nasional dengan sub-topik tentang
KKR. Pada kesempatan tersebut didatangkan seorang anggota KKR PBB untuk El Salvador, disamping
Menteri Negara HAM dan seorang tokoh intelektual muslim untuk mengemukakan pemikirannya mengenai
KKR.
Untuk melanjutkan komitmen THC dalam membentuk KKR guna menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
berat HAM masa lalu, IDH-THC bermaksud mengadakan diskusi dengan topik Menyongsong
Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Indonesia. Serta untuk mengetahui sampai sejauh
mana perkembangan pembentukan RUU KKR, disamping untuk mensosialisasikan dan mendapatkan
masukkan untuk penyempurnaannya, IDH-THC bermaksud mengadakan diskusi yang akan diikuti oleh
para aktivis LSM, KOMNAS HAM, TNI-POLRI, Media, DPR serta aktivis mahasiswa.
kli
Waktu Penyelenggaraan:
Acara ini diselenggarakan pada
Hari/tanggal :Kamis, 16 November 2000
Jam :09.00 – 11.00 WIB
Tempat Penyelenggaraan:
THC Building Jl. Kemang Selatan No. 98
Jakarta Selatan 12560
Telp: 021 – 781 7211, Fax: 781 7212
Contact Person : Chitra Puspita ( [email protected] )
Pembicara:
- Dr. Karlina Leksono
- Ifdhal Kasim, SH
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 114
Republlika, Senin, 19 Nopember 2001
Rekonsiliasi dan Pers Investigatif
Oleh: Mad Ridwan
Manajer Investigasi pada Indonesian
Institute for Investigative Journalism
Proses legislasi RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) kini memasuki tahap pematangan. Tim
perumus, yang melibatkan pakar Kementerian Hukum dan Perundang-udangan bersama beberapa aktivis
LSM, aktif menggodok masukan dari berbagai kalangan untuk menyempurnakan draf.
LS
AM
Partisipasi aktif segenap komponen bangsa sangat dibutuhkan untuk melahirkan KKR yang mampu
memenuhi harapan masyarakat akan keadilan, khususnya yang terkait dengan penyelesaian kasus
pelanggaran berat HAM. Harapan kepada KKR kian besar bila dihubungkan dengan kondisi krusial bangsa
yang kini menghadapi ancaman disintegrasi akibat, antara lain, ketidakjelasan upaya penyembuhan
(healing) luka rakyat atas kejahatan HAM masa lalu.
pin
gE
Persoalannya, fenomena transisi yang dihadapi pemerintahan Megawati untuk menyelesaikan kasus-kasus
HAM tak memberi ruang yang cukup lapang guna bertindak cepat dan jitu. Seperti halnya kondisi yang
dihadapi negara-negara lain yang berada dalam fase transisi, tuntutan masyarakat atas kejahatan HAM
(gross violation of human rights) akan berhadapan dengan sisa kekuatan rezim otoriter sebelumnya. Untuk
Indonesia, rezim itu adalah pemerintahan Soeharto. Kekuatan yang menghadang pun bukan cuma kalangan
militer --yang ditengarai kuat sebagai pelaku langsung pelanggaran HAM selama ini -- namun juga orangorang rezim lama masih banyak di dalam pemerintahan, legislatif, dan mungkin badan yudikatif.
Pengalaman Argentina, Uganda, Cili, dan beberapa negara Amerika Latin lain menunjukkan
"ketidakberdayaan" pemerintahan pascajunta menghadapi kekuatan militer lama yang menolak pengusutan
kejahatan HAM. Akhirnya, proses dejuntafikasi dilakukan sebagai proses rekonsiliasi yang berakhir dengan
pemberian amnesti kepada tokoh-tokoh pemerintahan diktator, termasuk kalangan militer, meski sebagian
besar rakyat tak pernah bersedia melupakan kejahatan militer masa lalu.
kli
Kini, ada sekitar 20 KKR terbentuk di berbagai negara, dengan nama, mandat, dan wewenang yang
berbeda. KKR di Cili dan Argentina, misalnya, beroleh mandat investigasi yang terbatas pada kasus
eksekusi di luar proses hukum (extrajudicial executions) dan penghilangan paksa (disappearances),
terlepas pelakunya negara maupun kelompok perlawanan bersenjata. Namun, mandat mereka berbeda
dengan mandat KKR di El Salvador, Guetemala, dan Afrika Selatan yang amat luas melingkupi sebagian
besar tipe pelanggaran berat HAM.
Walau berbeda, komisi-komisi itu memiliki karakteristik umum, yakni memfokuskan investigasi pada
kejahatan masa lalu. Sasarannya adalah memperoleh gambaran atau pola selengkap mungkin tentang sebab,
hakikat, dan keluasan pelanggaran berat HAM yang terjadi.
Kata kunci target KKR, seperti diketahui umum, adalah rekonsiliasi. Melalui rekonsiliasi diharap luka
rakyat terobati. Rekonsiliasi tidak dilakukan untuk membuka borok sejarah guna pembalasan dendam,
melainkan dengan pemulihan hak korban, keluarga, dan kerabatnya, bahkan rakyat secara keseluruhan,
tercipta perdamaian menuju masa depan yang lebih cerah.
Rekonsiliasi memang masih merupakan jawaban eksperimentatif atas fenomena transisi. Tapi, ia
tampaknya membuka peluang lebih lebar untuk menyumbangkan solusi dibanding bila pihak-pihak terkait
bertahan pada keteguhan pendirian soal cara penyelesaian pelanggaran HAM. Korban menghendaki
pengusutan, sedangkan pelaku berupaya dengan segala cara mencegah berlangsungnya investigasi.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 115
Rekonsiliasi harus diakui bukan jalan mulus, melainkan penuh kerikil. Proses pembentukan KKR sendiri,
termasuk di Indonesia, tidaklah mudah dan cepat. Khusus di Indonesia, untuk kali pertamanya proses
legislasi (drafting RUU KKR) diprakarsai organisasi nonpemerintah.
Tantangan lain, tugas KKR nantinya dipastikan bertemu banyak aral berat. Misalnya ketakutan saksi
memberi informasi akibat ancaman langsung maupun tidak langsung dari pelaku. Di sisi lain tersangka
pelanggar HAM enggan mengutarakan pengakuan, terlebih bila dilakukan di depan publik, seperti yang
ditempuh KKR Afrika Selatan.
LS
AM
Bukan cuma kendala psikologis-teknis yang dihadapi, ancaman fisik bahkan pembunuhan juga potensial
terarah pada anggota KKR. Di Uganda, anggota KKR dikejar-kejar untuk dibunuh, sehingga ada yang
terpaksa mengasingkan diri ke luar negeri. Di Cili, terjadi setidaknya tiga kasus pembunuhan politik tak
lama setelah KKR mengumumkan temuannya. Kalau KKR di Indonesia terbentuk, ancaman seperti itu
kemungkinan tak terjadi. Tapi, tidak ada yang menjamin risiko dengan kadar berbeda akan merebak,
khususnya di daerah, misalnya di Aceh, Papua, dan Maluku.
Karena itu, mengapa tidak lingkup tugas KKR mulai sekarang dijalankan oleh pers investigatif? Tawaran
ini cukup beralasan karena proses pembentukan KKR tidaklah mudah. Semangat KKR sendiri sama dengan
pers investigatif: membongkar!
pin
gE
Peran yang paling segera dapat disumbangkan pers investigatif adalah menumbuhkan common mind set
(pemikiran bersama) tentang perlunya KKR menuju rekonsiliasi. Afrika Selatan mampu berpaling dari
masa lalu kelam untuk menyongsong masa depannya, setelah terbangun pemikiran bersama di seluruh
rakyat, khususnya para elit politik, untuk bersama-sama keluar dari masa transisi dan konflik
berkepanjangan.
Mengapa pers investigatif? Jawabnya karena hanya pers yang menerapkan jurnalistik investigasilah yang
mampu mengungkap kasus-kasus berat, termasuk pelanggaran HAM masa lalu, yang ditutup rapat -- oleh
negara, kelompok, maupun pribadi. Inti jurnalisme investigasi adalah membongkar. Jurnalis senior
Goenawan Mohamad menyebutnya sebagai "jurnalistik membongkar kejahatan."
Tawaran ini tentu sulit diutarakan pada era Soeharto. Namun, di era keterbukaan sekarang tidak ada alasan
bagi pers Indonesia untuk ragu menerapkan jurnalisme investigasi. Sebenarnya, pers sebagai agen
perubahan hanya menjadi stempel semata bila tak memiliki komitmen menjadikan investigasi sebagai nafas
jurnalistiknya.
kli
Pemimpin Redaksi Media Indonesia, Saur Hutabarat, dalam pelatihan jurnalistik investigasi skala nasional
yang digelar Indonesian Institute for Investigative Journalism (IIIJ), bekerjasama dengan National
Democratic Institute (NDI), beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa setidaknya terdapat dua alasan bagi
pers untuk membumikan jurnalisme investigasi.
Pertama, keyakinan akan pentingnya asas akuntabilitas. Segala sesuatu yang menyangkut kepentingan
publik harus dapat dipertanggungjawabkan. Siapa yang ragu bahwa pengungkapan kasus pelanggaran berat
HAM adalah kepentingan publik? Kedua, keyakinan bahwa pers adalah katalisator perubahan. Dalam
konteks pembentukan KKR, sajian pers investigatif dapat mendorong percepatan rekonsiliasi.
Susanto Pudjomartono, pemimpin Redaksi The Jakarta Post, pada kesempatan yang sama mengutarakan
beberapa syarat pokok bagi tumbuhnya jurnalistik investigasi yang serius dan profesional. Pertama,
kebebasan pers. Kedua, ketersediaan SDM wartawan andal. Ketiga, adanya sikap dan persepsi yang
kondusif terhadap jurnalisme investigasi.
Ketiga syarat di atas relatif dimiliki pers Indonesia. Persoalannya tinggal bagaimana memulai dengan
memanfaatkan "bahan baku" investigasi yang bertebaran untuk mengungkap fakta berikut
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 116
penangggungjawab suatu kejahatan. Indonesia bukan hanya cocok untuk tumbuhan beraneka ragam, tapi
pun kini sebagai ladang sangat subur bagi jurnalisme investigasi. Kalaupun seluruh media, cetak, dan
elektronik, mulai hari ini serempak melakukan investigasi khusus terhadap kejahatan HAM masa lalu,
maka dapat dipastikan berita itu tidak akan habis hingga lima tahun mendatang.
kli
pin
gE
LS
AM
Dengan begitu, penegakan kebenaran sebagai bagian dari the right to know korban pelanggaran HAM dapat
dimulai tanpa menunggu KKR terbentuk. Pada saatnya KKR akan bergandengan tangan untuk
mengungkap lebih banyak kebenaran atas kejahatan HAM seperti yang dituntut korban, keluarga, dan
kerabat, serta rakyat keseluruhan.

Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 117
Forum Keadilan, Edisi No. 33 Tahun X, 19 November 2001
TNI dan Islah
Mayjen TNI Saurip Kadi Mantan Aster KSAD
LS
AM
Melalui proses di DPR/MPR, Tentara Nasional Indonesia (TNI) pernah berdwifungsi saat mereka terlibat
aktif di kancah politik praktis. Bahkan, undang-undang yang mengatur ukuran atau alasan sosial
keterlibatan TNI itu juga sangat elastis. Tentu saja, keputusan politik kenegaraan yang dibikin melalui
proses interaksi sosial tersebut adalah tanggung jawab bersama dan tak bisa dilimpahkan kepada pihak
mana pun. Tidak juga kepada TNI.
Konsekuensi logis akibat kebijakan politik nasional seperti itu adalah TNI (ABRI) banyak dilibatkan dalam
upaya menghadapi rakyat dengan kekerasan. Akibatnya, banyak jatuh korban, baik yang cacat fisik,
mental, maupun yang meninggal dunia. Banyaknya kasus orang hilang juga tak bisa dihindari. Yang
terpenting bagi kita bukan lagi mempersoalkan mengapa itu terjadi dan siapa yang harus bertanggung
jawab. Penyelesaian kasus jauh lebih penting.
Ada contoh teladan dari Rasulullah yang jelas, gamblang, dan tidak multiintepretasi. Alkisah, Khalid bin
Walid mendapat tugas memerangi suatu daerah yang penduduknya masih murtad. Di saat pertempuran
berlangsung dengan sengit, terdengarlah azan. Tapi, Khalid tetap memerintahkan tentaranya agar terus
berperang. Ia beralasan bahwa suara azan itu hanyalah taktik musuh untuk menggagalkan rencana
pengepungan yang telah disusunnya.
pin
gE
Saat de briefing (brifing evaluasi seusai tugas), kasus itu dilaporkan oleh sejumlah sahabat kepada
Rasulullah. Namun, selaku Panglima Tertinggi Tentara, Rasulullah sama sekali tidak menghukum Khalid
bin Walid yang menjabat sebagai panglima atau komandan pasukan. Apalagi, terhadap prajurit
bawahannya. Tindakan yang diambil Rasulullah adalah mengirim tim penyelidik yang kemudian disusul
pula dengan tim islah. Tim itu diberi tugas mengganti semua kerugian yang ditimbulkan oleh peperangan
tersebut. Termasuk ganti rugi atas gigi-gigi yang rontok.
Jadi, jelas di sini bahwa prajurit yang melaksanakan tugas kenegaraan dibebaskan dari tanggung jawab atas
jatuhnya korban. Apalagi, harus dibawa ke pengadilan. Syaratnya: sepanjang mereka tidak menyalahi etika,
prosedur, dan tidak keluar dari batas-batas kepatutan. Persoalan memang menjadi lain kalau sang prajurit
telah melanggar hukum, etika, prosedur, norma, dan batas-batas kepatutan.
kli
Lantas, siapa yang harus bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa
lalu, seperti terjadi di Aceh dan Irianjaya? Atau pada kasus Tanjungpriok, kasus Lampung, dan lain
sebagainya? Jawabannya jelas: negara. Tapi, persoalannya, adakah norma, aturan, dan prosedur yang
dilanggar oleh prajurit? Adakah tindakan prajurit yang di luar batas-batas kepatutan? Lantas, siapa yang
bertanggung jawab atas nasib dan masa depan korban atau keluarganya yang ditinggalkan?
Kalau saja kita mau berpegang teguh pada referensi yang dicontohkan Rasulullah ataupun merujuk pada
prinsip-prinsip hukum kita--sebagaimana termuat dalam KUHPT dan KUHP--sesungguhnya siapa pun
yang melaksanakan tugas negara maka ia dibebaskan dari tanggung jawab atas risiko yang ditimbulkannya.
Hal ini juga sejalan dengan falsafah hidup dan keyakinan yang ditanamkan kepada setiap prajurit TNI,
yakni tugas negara ditempatkan sebagai tugas suci dan kematian dalam menjalankan tugas negara diyakini
sebagai mati syahid.
Memang, dalam beberapa kasus telah terjadi islah, seperti pada kasus Lampung dan Tanjungpriok. Tapi,
sayang, bukan dilakukan oleh negara atau lembaga TNI, melainkan oleh orang per orang, yaitu para
pemimpin TNI setempat saat kasus itu terjadi. Sebenarnya, turun tangannya negara dalam islah akan
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 118
menimbulkan ketulusan untuk saling memaafkan. Dan, kesepakatan lainnya pun menjadi permanen, tak
bisa lagi diungkit-ungkit kembali oleh pihak mana pun untuk selamanya.
Persoalan yang kemudian timbul adalah bagaimana agar rasa keadilan ditegakkan terhadap para pelaku.
Terutama para komandan atau panglima yang bertanggung jawab atas peristiwa itu. Mereka harus bisa
membuktikan bahwa dirinya menggunakan momen aksi militer semata-mata demi kepentingan negara dan
bangsa. Tidak ada kepentingan pribadi di dalamnya. Jadi, mereka tidak boleh dihukum dengan alasan apa
pun. Dengan demikian, tidak ada lagi prajurit bawahan yang tampil menjadi tumbal atau bumper
atasan/mantan atasannya. Sebab, hal-hal yang demikian sangat buruk bagi kehidupan tentara.
LS
AM
Islah adalah kewajiban negara. Untuk itu, negara haruslah mengambil inisiatif untuk melaksanakannya.
Negara, bersama para korban atau keluarga korban, bisa membentuk Komisi Islah yang terdiri dari figurfigur yang integritasnya tinggi. Komisi itu hendaknya mampu menjaga dan menghadirkan transparansi,
public accountability, sehingga muncul ketulusan untuk memaafkan. Juga, adanya jaminan sosial, masa
depan, serta ditingkatkannya derajat dan martabat para korban atau keluarga yang ditinggalkan.
kli
pin
gE
Dengan demikian, kita sebagai bangsa akan segera memasuki babak kehidupan baru yang terlepas dari
dendam kesumat, saling benci, saling cakar, dan saling tidak percaya. Selanjutnya, kita membangun
kembali peradaban bangsa yang dilandasi nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur peninggalan nenek moyang
kita. Percayalah, zaman keemasan itu segera tiba. Insya Allah.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 119
Pikiran Rakyat, 26 November 2001
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
Oleh RUSLAN, SH
kli
pin
gE
LS
AM
PERMASALAHAN yang dihadapi bangsa kita harus secara bertahap satu persatu dapat diatasi, termasuk
permasalahan akibat pelanggaran HAM masa lalu. Tanpa usaha pemecahan dan penyelesaian akan makin
menambah beban serta selanjutnya dapat menghambat seluruh upaya penyelamatan, pemulihan,
pemantapan dan pengembangan pembangunan nasional.
Sarana yang dipersiapkan untuk pemecahan masalah HAM antara lain adalah dengan pembentukan
Pengadilan HAM melalui UU No 26 Th 2000, yang diharapkan sebagai pengadilan khusus terhadap semua
pelanggran HAM berat.
Selain Pengadilan HAM sarana alternatif lain adalah apa yang disebut dengan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Berdasakan UU No 26 Th 2000 dimungkinkan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum
berlakunya UU ini dapat juga diselesaikan melalui komisi ini. UU No 26 Th 2000 dinyatakan berlaku pada
tanggal 23 Nopember 2000.
Sesuai dengan Tap MPR-RI No V/MPR/2000 tentang pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang akan dibentuk dengan UU dimaksudkan sebagai lembaga ekstra
yudicial yang bertugas untuk menegakkan kebenaran dengan mengungkapkan penyalahgunaan kekuasaan
dan pelanggaran HAM pada masa lampau sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku dan
melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif kepentingan bersama sebagai satu bangsa.
Dibandingkan dengan Pengadilan HAM, maka Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan lebih banyak
melibatkan partisipasi masyarakat baik yang bersifat perorangan maupun kelompok, organisasi politik,
LSM atau lembaga kemasyarakatan lainnya.
Dengan demikian sangat diharapkan kedua badan tersebut dapat diterima saluran pemecah masalah yang
berkaitan dengan pelanggaran HAM di tanah air, terutama yang terjadi pada masa lalu.
Namun yang dirasakan sekarang masih jauh, permasalahan pelanggaran HAM masa lalu tetap menjadi
sumber konflik yang mengancam persatuan dan berpotensi untuk melahirkan permasalahan yang baru.
Seakan masih terus dicari jalan keluar yang dianggap baik dan seakan-akan kurang mempedulikan sarana
pemecahan yang telah disediakan. Bila kita kaji hal tersebut bukan semata kesalahan masyarakat namun
antara lain dikarenakan sarana tersebut di atas saat sekarang masih terus berlangsung polemik tentang
masalah Aceh, Tanjung Priok, Sampit, Ambon, Timtim, Papua dan lain sebagainya, seakan tidak berujung
tanpa kepastian.
Memang melalui Pengadilan HAM akan segera disediakan melalui proses penegakan hukum kasus Timtim,
Tanjung Priok dan Papua, namun perhatian dan sambutan masyarakat sebagai bentuk partisipasi terasa
kurang dengan tingkat peduli yang terasa rendah.
Rendahnya perhatian dan sambutan terhadap pelaksanaan Pengadilan HAM tidak dapat serta merta
diartikan masyarakat memilih penyelesaian melalaui Komisi Kebenaran dan Rekonsoliasi, mengingat UU
yang menjadi dasar pembentukan komisi ini belum lahir dan masyarakat pun nampaknya masih belum
banyak tahu tentang RUU ini.
Ekstra yudicial dan persiapan kondisi
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagai alternatif dari Pengadilan HAM sebaiknya sudah ada
bersamaan dengan kelahiran Pengadilan HAM atau setidak-tidaknya dalam waktu dekat setelah itu. Dengan
demikian kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No 26 Th 2000 pihakpihak terkait dapat memilih apakah akan diselesaikan melalui pengadilan atau di luar pengadilan yaitu
melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Ternyata hak untuk memilih tersebut sementara tidak dapat dilakukan karena UU tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi sampai saat ini belum lahir disamping masyarakat pun kurang dipersiapkan
untuk dapat berpartisipasi.
Sejak dini seharusnya dipersiapkan kondisi yang memungkinkan wadah komisi ini nantinya menjadi
harapan dan kepercayaan untuk oleh semua pihak dapat diterima sebagai upaya penyelesaian HAM berat
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 120
kli
pin
gE
LS
AM
masa lalu. Bila tidak maka kelahiran komisi ini tidak mampu menjadi pilihan dan selanjutnya membiarkan
penyelesaian kasus hanya menurut proses perkara dengan aktifitas dan inisiatif ada di tangan aparatur.
Penciptaan kondisi harus ditempuh bukan hanya pada pengenalan materi RUU tetapi juga upaya
membangun suatu kesiapan mental masyarakat untuk bersedia secara ikhlas dan jujur saling memanfaatkan
demi terwujudnya persatuan dan kerukunan nasional.
Penciptaan kondisi sosial tersebut tidak mudah dan memerlukan waktu mengingat masalah pelanggaran
HAM masa lalu yang harus diselesaikan dilatar belakangi berbagai perbedaan politik SARA dan kekhilafan
pelaksanaan tugas aparat yang kadang berakibat dendam panjang yang dalam.
Kondisi umum yang ada tampaknya telah terbiasa dengan cara penyelesaian menang-kalah disertai di sana
sini timbul naluri semacam balas dendam dan harga diri yang mahal. Rasa kebangsaan yang kadarnya
cenderung meluntur ikut menjadi penghambat penyelesaian permasalahan yang seharusnya
mengedepankan persatuan dan kerukunan nasional.
Oleh karena itu sebaiknya pembahasan RUU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang terasa
berjalan lambat segera dapat dipercepat guna memberi peluang alternatif penyelesaian masalah HAM berat
sebagaimana telah diatur dalam UU No 26 Th 2000, di samping itu perlu lebih keterbukaan dalam
pembahasan guna persiapan dan sosialisasinya.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menyelesaikan masalah HAM berat juga pernah dibentuk di
beberapa negara yang memiliki masalah HAM yang sama. Negara yang pernah membentuk antara lain
Argentina, Chili, Uganda dan Afrika Selatan, dalam bentuk dan fungsi masing-masing yang tidak sama.
Rencana pembentukannya di Indonesia bermaksud menelusuri pelanggaran HAM berat yang terjadi pada
masa yang lalu, pada masa Orde Lama dan Orde Baru guna mencari dan mengungkapkan kebenaran serta
menegakkan keadilan dan selanjutnya berusaha membentuk budaya menghargai HAM sehingga dapat
diwujudkan persatuan dan rekonsiliasi nasional.
Diharapkan komisi tersebut menganut azas kemandirian, bebas tidak memihak, adil, jujur, keterbukaan dan
perdamaian.
Guna mengungkapkan kebenaran atas terjadinya pelanggaran HAM berat dan selanjutnya melaksanakan
rekonsiliasi komisi diberi tugas menerima pengaduan atau laporan baik dari pelaku maupun dari korban
atau keluarga korban dan selanjutnya dilakukan penyelidikan dan klarifikasi.
Hasil dari penyelidikan dan klarifikasi memungkinkan lahirnya beberapa rekomendasi antara lain kepada
Presiden dalam hal permohonan amnesti dan kepada pemerintah dalam hal pemberian kompemsasi,
restitusi atau rehabilitasi.
Dalam hal antara pelaku dan korban pelanggaran HAM berat maka oleh komisi dapat dipertimbangkan
pemberian rekomendasi kepada Presiden untuk dapat diberikan amnesti. Dengan kewenangan tersebut
memungkinkan "islah" yang sudah dilakukan dapat diberi peluang hukum positif untuk ditindaklanjuti.
Sesuai dengan pengertian amnesti maka kepada pelaku pelanggaran HAM masa lalu yang memperolehnya
tidak dapat lagi dapat dilakukan tuntutan baik pidana maupun perdata.
Terdapat beberapa pembatasan yang berkaitan dengan kewenangan komisi seperti untuk perkara HAM
berat yang telah terdaftar di Pengadilan HAM, maka permohonan kompensasi, restitusi, rehabilitasi atau
amnesti tidak dapat diterima. Komisi ini bersifat temporal hanya diberi waktu tugas terbatas yaitu
direncanakan hanya 3 tahun dan dapat diperpanjang selama satu tahun.
Sebaliknya bila suatu permasalahan HAM berat telah diselesaikan oleh komisi, maka Pengadilan HAM
tidak lagi berwenang untuk menyelesaikannya.
Dari pokok-pokok materi tersebut di atas dibandingkan dengan penyelesaian melalui Pengadilan HAM
yang formalistik, maka penyelesaian melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi terasa lebih "sejuk"
karena menyentuh budaya saling memaafkan sebagai satu keluarga bangsa yang mengutamakan keadilan,
kejujuran dan perdamaian.
Meski demikian tetap patut dipertimbangkan kelebihan penggunaan jalan pengadilan yaitu proses waktunya
yang dibatasi dan pembuktian kesalahan yang jelas. Sebagai Pengadilan Adhok Pengadilan HAM mengikut
sertakan unsur masyarakat sehingga lebih menjamin objektifitasnya, disamping tetap dijunjung tinggi azas
legalitas.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 121
kli
pin
gE
LS
AM
Kesimpulan dan pendapat
Berdasakan uraian singkat tersebut di atas dengan ini disampaikan kesimpulan dan pendapat sementara
sebagai berikut:
1. Perlu diperkenalkan secara luas tentang adanya dua pilihan alternatif penyelesaian masalah HAM berat
masa lalu yaitu melalui Pengadilan HAM atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
2. Pembentukan UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang lambat dan persiapan serta
sosialisasinya yang kurang membuat komisi tersebut kurang dikenal. Bila hal tersebut berlarut-larut
menjadikan penyelesaian HAM berat masa lalu akhirnya diserahkan begitu saja pada Pengadiilan HAM
dimana aktifitas penyelesaian sepenuhnya di tangan kewenangan aparat.
3. Tanpa bermaksud mengecilkan peranan dan fungsi Pengadilan HAM, bila dikaji Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi dalam menyelesaikan masalah HAM cenderung dapat lebih mendasar mengingat penyelesaian
mengutamakan keutuhan dan perdamaian.
Permasalahan pelanggaran HAM berat masa lalu tidak semata masalah hukum tetapi lebih luas dan
komplek yang menyangkut hati nurani, dendam masa lalu dan tanggung jawab ke depan.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 122
Suara Pembaruan, Jumat 30 November, 2001
Ramadhan dan Semangat Rekonsiliasi
Oleh Mun'im A. Sirry
LS
AM
Salah satu pesan perennial bulan suci Ramadhan yang perlu senantiasa disegarkan adalah semangat
rekonsiliasi. Bagi kaum muslim, bulan Ramadhan diyakini punya nilai khusus. Selain perintah puasa dan
diturunkannya Al Quran, Ramadhan adalah bulan yang penuh rahmah (kasih sayang) dan maghfirah
(saling memberi maaf).
Semangat rekonsiliasi itu tampak dalam beberapa hal. Pertama, menghindari kekerasan. Nabi Muhammad
SAW selalu mewanti-wanti agar seseorang tidak melakukan tindak kekerasan dalam menyelesaikan
pertikaian. Ada hadits yang menyebutkan, kalau ada orang mencaci maki dan memusuhi, kita diimbau agar
tidak melawan, melainkan berkata, "Saya sedang berpuasa." Kedua, membangkitkan rasa solidaritas
kemanusiaan. Syari'at puasa tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk kesalehan individual, tetapi yang
lebih penting adalah kesalehan sosial. Artinya, dengan merasakan lapar dan dahaga, kaum muslim dituntut
merefleksikan semangatnya untuk mengentaskan kemiskinan, terutama dalam situasi krisis berkepanjangan
seperti yang sedang mendera bangsa ini.
Ketiga, menumbuhkan semangat reformasi atau yang sekarang populer dalam khazanah perpolitikan
nasional, islah. Kata islah acap kali diterjemahkan sebagai rekonsiliasi, padahal kata itu bisa juga berarti
reformasi dalam segala bidang kehidupan, yakni mengembalikan segala sesuatu pada jalurnya yang benar.
Setelah tiga tahun jatuhnya Orde Baru, semangat reformasi itu kian melemah karena negara tak kunjung
keluar dari krisis ekonomi dan politik. Seiring dengan itu, perilaku para elite politik kita semakin jauh dari
harapan untuk mengantarkan negeri ini menuju Indonesia baru yang lebih demokratis, stabil, dan
bermartabat.
kli
pin
gE
Keharusan Rekonsiliasi
Perbincangan tentang rekonsiliasi bukan wacana baru. Berbagai argumen telah dikemukakan untuk
menunjukkan pentingnya rekonsiliasi nasional, termasuk yang belakangan kembali digulirkan oleh Wakil
Presiden Hamzah Haz.
Persoalannya, kenapa wacana rekonsiliasi bersifat temporal, situasional, dan timbul tenggelam tanpa
menemukan wujud konkretnya? Harus kita akui, perbincangan tentang rekonsiliasi mengemuka dan
menghangat pada waktu-waktu tertentu, misalnya ketika sedang disiapkan draf RUU tentang Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi atau ketika terjadi perseteruan antara mantan Presiden KH Abdurrahman
Wahid dan DPR. Setelah itu, ia tenggelam ditelan isu-isu lain.
Padahal, semua kalangan sepakat betapa pentingnya rekonsiliasi untuk membangun masa depan Indonesia
baru. Sebagai bangsa yang sedang berada dalam transisi, Indonesia dihantui berbagai persoalan masa lalu
yang kompleks dan masa depan yang penuh ketidakpastian. Untuk itu, kita perlu segera menyelenggarakan
rekonsiliasi nasional untuk mencari pemecahan bersama demi masa depan dan nasib rakyat, bangsa, dan
negara, termasuk desain kelembagaan politik yang belum dituntaskan pada Sidang Tahunan MPR 2001.
Kesempatan itu juga sekaligus bisa dimanfaatkan untuk membangun komitmen kenegaraan yang baru
dengan memberi jaminan dilaksanakannya reformasi nasional menyongsong hadirnya Indonesia baru yang
lebih demokratis.
Perlu ditambahkan, rekonsiliasi dimaksud bukan hanya bersifat formal antara lembaga dan lembaga, tapi
juga kultural. Sebab, rekonsiliasi formal hanya menyentuh persoalan pada tingkat atas dan tidak menyentuh
masyarakat akar rumput. Lagi pula, rekonsiliasi formal cenderung hanya basa-basi. Sebagai alternatif
pencegahan meluasnya kekerasan di berbagai daerah, diperlukan rekonsiliasi kultural.
Namun, apa pun model rekonsiliasi yang hendak dikembangkan, tidak akan terwujud tanpa adanya
kesadaran dan semangat rekonsiliatif pada setiap komponen bangsa. Semangat rekonsiliatif itu tercermin
dalam budaya berpikir yang mengandung nilai-nilai toleransi terhadap pluralisme gagasan, perbedaan, dan
kritik.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 123
Kita harus meninggalkan cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang mengedepankan restriksi serta represi
se-bagai metode untuk menghadapi ide dan pendapat yang berlainan serta kritik rasional. Sebagai gantinya
adalah pemikiran, sikap, dan langkah untuk membangun dialog guna mencapai konsensus nasional yang
realistik dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
Suatu kesadaran harus dibangun bahwa sampai kapan pun, perbedaan pendapat itu tetap suatu hal yang
terpuji dan merupakan hal yang alamiah jika tidak sempat terjadi ijma' atau konsensus. Jangankan dalam
politik, dalam agama pun yang memiliki pegangan Kitab Suci yang sama, tak selalu ulama itu mencapai
konsensus dalam suatu masalah. Yang tidak terpuji bukanlah pada kenyataan adanya perbedaan pendapat,
tetapi pada etika dalam menangani perbedaan pendapat, misalnya hilangnya rasa saling hormat yang diikuti
dengan buruknya budaya silaturrahmi.
kli
pin
gE
LS
AM
Kerja Sama Agama-agama
Rekonsiliasi merupakan kebutuhan masyarakat karena Indonesia sedang berada dalam tahap mengatur
kembali dirinya. Dalam kaitan itu, organisasi sosial keagamaan perlu merumuskan langkah bersama untuk
mengupayakan terwujudnya masyarakat tanpa kekerasan.
Dalam masyarakat beragama seperti Indonesia, rekonsiliasi memiliki dimensi sosial dan spiritual.
Lembaga-lembaga politik bertugas untuk menyelenggarakan dimensi sosial, sedangkan lembaga agama
mengembangkan dimensi spiritual. Keduanya mempunyai jati diri masing-masing yang berbeda, tetapi
saling melengkapi.
Dalam konteks yang disebut terakhir, agama-agama yang dianut masyarakat Indonesia sedang mengalami
ujian yang amat berat. Sejumlah pertanyaan patut dijawab, masih mampukah agama-agama menolong
bangsa keluar dari keterpurukan? Masih mampukah nilai-nilai luhur yang diajarkan oleh setiap agama
menjadi landasan, sumber motivasi, serta penuntun yang efektif bagi semua orang untuk membangun
budaya perdamaian?
Ada beberapa hal yang bisa dikontribusikan oleh para pemuka agama untuk mewujudkan rekonsiliasi.
Pertama, kerja sama antarpemuka agama dalam mencari dasar-dasar pengampunan dan hidup baru. Kedua,
pengampunan tidak terjadi tanpa kebenaran. Agama-agama dapat membantu mengungkapkan kebenaran
supaya ampunan dari Allah tidak disalahgunakan sebagai kesempatan untuk mencuci diri dan kemudian
dengan tenang tetap melakukan dosa, berlawanan dengan kerukunan.
Ketiga, mencari model-model rekonsiliasi dan melaksanakannya dalam komunitas agama sambil mencari
bagaimana pengalaman rekonsiliasi itu dapat dikembangkan sebagai kegiatan antaragama.
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pernah menyerukan perlunya rekonsiliasi yang didahului
pertobatan seluruh bangsa dan pimpinan negara. "Dalam keadaan bangsa sekarang ini kita perlu
mengadakan rekonsiliasi yang didahului pertobatan. Pertobatan itu harus dilakukan oleh seluruh bangsa dan
semua pimpinan,'' demikian Pdt Natan Setiabudi (Kompas, 16/04/2001).
Seruan di atas sangat relevan karena memang sudah saatnya kita menjadikan prinsip antikekerasan sebagai
dasar kebijakan dalam segala bidang. Berbagai persoalan bangsa tidak bisa diselesaikan melalui kekerasan
dan balas dendam. Memang, kebenaran dan keadilan harus ditegakkan, tapi caranya tanpa kekerasan.
Kearifan Demokrasi
Dengan semangat antikekerasan itu, kita menatap masa depan, yakni bagaimana bangsa ini dapat
merestrukturisasi kehidupan politiknya sehingga konsolidasi dan tujuan demokrasi dapat berlangsung.
Menilik hiruk-pikuk kekuasaan masa lalu, yang kita perlukan dalam merestrukturisasi kehidupan politik
adalah soal etika politik.
Hal itu berarti diperlukan suatu pengertian yang benar mengenai cara-cara berpolitik secara beradab dan
menurut dalil bernegara yang benar. Tidak dibenarkan merekayasa dukungan masif-destruktif untuk
mengegolkan tujuan-tujuan politik yang sebenarnya bisa diselesaikan secara kelembagaan politik.
Yang perlu dikembangkan adalah proporsionalitas fungsi pranata penyelenggara kekuasaan negara
sehingga tidak menekankan pada dimensi state control (pengendalian negara) serta mobilisasi dukungan
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 124
kli
pin
gE
LS
AM
melalui rekayasa sosial. Semua itu harus dititikberatkan pada fungsi pelayanan publik serta membangun
kondisi bagi partisipasi sosial politik rakyat.
Dengan kearifan berdemokrasi se- perti itu akan terbuka tempat bagi wacana dan praksis pemberdayaan
rakyat dalam bidang politik, ekonomi, dan sosial sebagai cara mengurangi kesenjangan dalam masyarakat.
Penulis adalah staf pengajar Universitas Muhammadiyah Jakarta, alumnus pascasarjana International
Islamic University, Pakistan.
Last modified: 11/30/01
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 125
Majalah Gama, No. 43, 12 –18 Desember 2001
Komisi Kebenarna dan Rekonsiliasi Sebuah Jalan Keluar
Antara Masa Silam dan Masa Depan *.
Bagaimana jalan terbaik menyelesaikan kasus pelanggaran HAM? Satu pertanyaan ini mengundang
belasan jawaban sekaligus perdebatan. Melalui berbagai bentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,
sejumlah negara berhasil mengurai benang kusut masa lalunya. Bagaimana di Indonesia?
LS
AM
Invasi Amerika Serikat ke Afghanistan yang merenggut ratusan nyawa penduduk sipil --termasuk anakanak, tampaknya untuk sementara mengalihkan perhatian kita pada beberapa persoalan akut bangsa.
Ancaman disintegrasi di Aceh dan Papua, serta konflik di Maluku nyaris terlupakan. Bahkan, Majelis
Permusyawatan Rakyat yang menggelar Sidang Tahunan belum lama ini lebih memilih ''tawuran'' sesama
anggota daripada membahas aspek krusial bangsa tersebut.
Padahal, ancaman itu amat riil karena ketika tuntutan masyarakat terhadap keadilan, khususnya yang terkait
dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM), tak kunjung ditangani serius, maka masing-masing
komponen bangsa yang terkait mencari jalan pemecahan sendiri. Inilah tahapan awal yang kuat menuju
disintegrasi.
pin
gE
Pemecahan tuntutan masyarakat atas pelanggaran HAM berat (gross violation of human right) memang
bukan pekerjaan mudah. Pemerintahan baru Megawati yang hendak dibangun di atas landasan demokrasi
menghadapi masalah pelik dalam upaya menjawab kebutuhan rakyatnya akan pengusutan pelanggaran
HAM yang dilakukan rezim otoriter Soeharto, sebelumnya.
Kerepotan yang sama menimpa pemerintahan serupa di belahan dunia lain. Pemerintahan transisi akhirnya
berusaha menyelesaikan kejahatan berat HAM dengan berupaya mendamaikan kecederungan menghukum
dan memberi maaf atau amnesti. Tak heran bila usaha mereka sebatas upaya memberi ''keadilan
transisional'', yang tentu tak sepenuhnya memuaskan.
Pendekatan hukum dapat dipastikan sulit berhasil. Penyebabnya perangkat hukum yang ada sebagian besar
hasil rezim lama yang tak memadai, secara administratif dan substantif. Mau tidak mau proses legal reform
menjadi prasyarat tegaknya hukum. Namun, belum lagi proses dimaksud berbuah, tuntutan penyelesaian
pelanggaran HAM perlu mendapat prioritas penanganan demi kredibilitas eksistensi bangsa.
kli
Berdasar kondisi tersebut, dibutuhkan sebuah tatanan hukum ''sementara'' yang hanya diterapkan selama
masa transisi. Di sini prinsip hukum yang kaku ''dilunakkan'' sebagai konsekuensi logis kondisi obyektif
yang ada. Dalam konteks inilah wacana pembentukan sebuah komisi khusus yang bertugas mencari
kebenaran dan mengupayakan rekonsiliasi menjadi isu sentral.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) mesti dipandang dalam konteks persoalan di atas. Tidaklah
keliru kalau dikatakan bahwa ia jawaban eksperimentatif atas situasi transisi politik.
Namun Farid Esack, salah seorang tokoh rekonsiliasi nasional Afrika Selatan yang menjadi pengajar
Universitas Western Cape, Afsel, dan sejumlah universitas di berbagai belahan dunia --antara lain Oxford,
Cambridge, Harvard-- berpendapat bulat bahwa Indonesia termasuk negara yang membutuhkan KKR.
Penegasannya itu dikemukakan dalam kunjungannya ke Jakarta beberapa waktu lalu, setelah bertemu
*.
Supleman KKR ini Kerjasama antara Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat [Elsam] dengan Majalah Gamma.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 126
dengan tokoh politik di Senayan dan kalangan akademisi. ''Negeri ini membutuhkan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi,'' tandasnya.
Di Afsel, ulasnya, KKR sangat berhasil mengungkap sekian banyak kebenaran. Meski begitu Esack tak
memastikan apakah KKR di negerinya telah benar-benar berhasil mewujudkan rekonsiliasi. Namun,
selanya, ''Sampai tingkat tertentu komisi ini memang sangat efektif.''
APAKAH KOMISI KEBENARAN ITU?
Tidak ada satu definisi KKR yang diterima secara umum. Hal pasti, komisi ini dibentuk dalam situasi
transisi politik dalam rangka menangani pelanggaran berat atau kejahatan HAM.
LS
AM
Mencermati keberadaan komisi dimaksud di berbagai negara, terlihat jelas masing-masing memiliki nama,
mandat, dan kewenangan yang berbeda terhadap tipe kejahatan HAM yang diusutnya. Namun, meski
begitu, komisi-komisi itu dipertautkan satu karakteristik umum.
Terdapat setidaknya empat elemen umum yang dimiliki berbagai KKR di dunia sejauh ini. Pertama, fokus
penyelidikannya pada kejatan masa lalu. Kedua, tujuannya untuk mendapatkan gambaran yang
komprehensif mengenai kejahatan HAM dan pelanggaran hukum internasional pada kurun waktu tertentu,
serta tidak terfokus pada satu kasus saja. Ketiga, masa bakti terbatas --biasanya berakhir setelah
perampungan laporan. Keempat, memiliki kewenangan mengakses informasi ke lembaga apapun, dan
mengajukan perlindungan hukum terhadap saksi.
pin
gE
Mandat KKR di Chili dan Argentina terbatas pada penyelidikan atas kasus-kasus eksekusi di luar proses
hukum (extrajudicial executions) dan penghilangan paksa (disappearances) --tanpa pengecualian apakah
pelakunya negara maupun kelompok perlawanan bersenjata. Sementara KKR di Afrika Selatan, Guatemala,
dan El Salvador mengusung mandat yang sangat luas menjangkau hampir semua tipe pelanggaran berat
HAM.
Di Indonesia, proses pembentukan KKR dimandatkan melalui TAP MPR no.VI tahun 2000 tentang
Persatuan Nasional yang memastikan penyusunan legislasi tentang komisi kebenaran tersebut. Mandat ini
juga ditegaskan kembali dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam Pasal 43 UU no.26/2000
dijelaskan bahwa kasus pelanggaran berat HAM yang tidak dapat diselesaikan melalui pengadilan HAM ad
hoc akan ditangani oleh KKR.
kli
Wacana perlunya KKR di Indonesia muncul tak lama Soeharto jatuh pada Mei 1998, khususnya di
kalangan ornop. ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), salah satu di antaranya, yang intensif
mengkajinya. Catatan akhir tahun 1998 ELSAM, memuat pentingnya KKR untuk pengusutan pelanggaran
HAM rezim terdahulu dan rekonsiliasi untuk mengakhiri konflik.
Gagasan KKR sempat dibahas serius pemerintahan BJ Habibie. Dalam pertemuan Komnas HAM dengan
Presiden BJ Habibie, terungkap keinginan pemerintah untuk segera membentuk KKR. Tetapi, rencana ini
belakangan raib begitu saja. Tersingkap kabar, pihak militer menolak alias keberatan. Dan, Habibie
mengakomodasinya.
Langkah konkrit upaya pembentukan KKR tercapai ketika Menteri Hukum dan Perundang-undangan
Yusril Ihza Mahendra bertemu dengan kalangan ornop dalam sebuah seminar, beberapa waktu lalu. Ketika
kalangan ornop mengemukakan gagasan tentang urgensi KKR bagi Indonesia, Yusril "menantang" agar
mengajukan draf RUU-nya. ELSAM menjawab tantangan ini. Perkembangan terakhir, draf RUU KKR
dikabarkan telah masuk ke Sekretariat Negara pada awal November 2001.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 127
KKR, terlepas siapa yang membentuknya, dipandang sebagai komisi yang sukses jika berhasil menerbitkan
laporan yang komprehensif mengenai pelanggaran HAM masa lalu, dimana masyarakat menerima dan
mempercayainya, dan memandang usaha komisi tulus merekonstruksi peristiwa dalam konteks kasus-kasus
kejahatan hak asasi manusia yang terpola dan sistematis.
LS
AM
Suatu KKR dianggap berfungsi baik bila memenuhi aspek kebenaran. Komisi ini wajib mengungkap fakta,
bukan sekadar rekaan atas fakta. Mereka memberikan laporan yang sesuai norma hukum atau moral
internasional. Boleh menyatakan suatu pembunuhan sebagai kejahatan, namun tidak menyejajarkan
pembunuhan dengan pemecatan seseorang karana alasan politik. Dan, yang tak kalah penting, KKR harus
memaparkan temuannya secara benar dan jujur. Mereka tak dibenarkan menutup-nutupi sebagian isu yang
sensitif atau mengaburkan penanggungjawab utamanya, karena tindakan itu akan merusak kepercayaan
masyarakat kepadanya.
Dibentuk pertama di Argentina dan Uganda pada 1980-an, KKR kemudian menjadi fenomena
internasional. Sekitar 20 negara memilih jalan mendirikan komisi ini sebagai cara
mempertanggungjawabkan kejahatan HAM masa lalu. Sejumlah komisi membukukan keberhasilan, namun
beberapa negara menelan kegagalan.
Cetusan ide pembentukan KKR di Indonesia sedikit banyak diilhami pengalaman negara-negara yang
berhasil mewujudkan rekonsiliasi atas pertentangan hebat dalam penyelesaian luka HAM yang terjadi.
Sebut saja pengalaman Afrika Selatan. Adalah Nelson Mandela yang korban politik apartheid di negerinya
yang menggagas pembentukan The Truth and Reconciliation Commission.
pin
gE
Pemerintahan BJ Habibie --yang menerima estafet rezim Soeharto-- telah menggelar agenda pembentukan
komisi yang dirancang untuk misi mengungkap kasus-kasus kejahatan kemanusiaan pendahulunya. Tapi,
Habibie jelas bukan Mandela atau Presiden Korea Selatan Kim Dae Jung. Kedua tokoh dunia yang disebut
terakhir itu adalah korban langsung kejahatan kemanusiaan. Kenyataannya, tidak mudah memulihkan
kepercayaan rakyat yang melihat pemerintahan Habibie sebagai serial baru Orde Baru. Inilah tantangan
awal kehendak melahirkan KKR. ''Taruhlah pemerintahan Habibie itu musuh, tapi kita harus tetap duduk
dan bicara dulu,'' ajak praktisi hukum Buyung Nasution menanggapi pesimisme masyarakat.
Memang, seperti pendapat para analis demokratisasi (diantaranya Huntington, Diamont, dan O'Donnel),
proses demokrasi senantiasa berhadapan dengan persoalan sisa-sisa rezim lama. Mereka adalah aktor
(pejabat) yang masih menduduki pos-pos strategis.
kli
Terhadap para "orang kuat" tersebut, setidaknya terdapat dua jurus yang dapat disodorkan. Pertama, jurus
ekstrim mengikuti nasihat yang pernah dikemukakan Machiavelli pada salah satu penguasa di Italia,
Lorenzo De Medici. Yakni, membunuh semua sisa rezim lama, bahkan sampai generasinya yang paling
belia untuk menghindari kemungkinan balas dendam. Kedua, rekonsiliasi.
Perlu digarisbawahi rekonsiliasi yang wujudnya ''memaafkan tanpa melupakan'' itu mengharuskan adanya
standar yang proporsional batas "dosa" aktor rezim lama yang layak dimaafkan, dan atau tidak termaafkan.
Bagi yang tak termaafkan, perlu dikelompokkan lagi sesuai dengan kualitas kesalahannya.
Bagaimana cara menentukan kriteria itu, dan siapa yang berwenang melakukannya? KKR inilah yang
diberi kewenangan untuk menentukan siapa di antara aktor rezim lama yang layak dan atau tidak layak
diampuni/dimaafkan. Mereka yang tidak layak diampuni dihadapkan pada mahkamah, sipil maupun
militer, baik di dalam negeri maupun internasional.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 128
Pasca rezim Soeharto, sudah banyak kalangan, antara lain Nurcholish Madjid, yang mengusulkan
dilakukannya rekonsiliasi nasional, atau --memakai istilah yang lebih bernuansa religius: ishlah nasional.
Sayangnya, usulan itu justru lebih banyak direspons kalangan mantan pejabat Orde Baru. Tentu target
mereka sangat mudah ditebak, yakni menghindarkan diri dari pertanggungjawaban dosa kemanusiaan yang
pernah dikerjakannya. Seperti dalam kasus islah Peristiwa Tanjung Priok dan Peristiwa Lampung. Usulan
rekonsiliasi menjadi kontraproduktif bagi demokratisasi. Salah satu ekses lainnya adalah perpecahan di
kalangan korban dan keluarganya. Kalau saja, saran rekonsiliasi nasional itu direspons positif, misalnya
dengan membentuk KKR, mungkin ceritanya akan berbeda.
LS
AM
Wakil Presiden Hamzah Haz dalam beberapa kali kesempatan menyuarakan urgensi rekonsiliasi atau islah
nasional. Cuma, dalam setiap uraian Ketua Umum PPP itu, tersirat maupun tersurat, terselip kesan --atau
jangan-jangan pesan?-- untuk memaafkan dan melupakan dosa-dosa Orde Baru. patut disayangkan
tentunya.
Untuk merajut masa depan Indonesia baru, rekonsiliasi dinilai mampu mengobati luka rakyat. Rekonsiliasi
bukan berarti membuka luka masa lampau dengan melakukan pembalasan dendam, melainkan dengan
pemulihan hak korban atau keluarga korban sehingga tercipta perdamaian dalam kehidupan masyarakat dan
bangsa.
pin
gE
Pemulihan hak korban dan keluarganya korban bisa terlaksana dengan pengungkapan kebenaran berbagai
peristiwa. ''Pengungkapan ini tidak semata-mata mengadili pelakunya, tetapi yang tidak kalah pentingnya
adalah diperolehnya pengetahuan yang benar tentang pola pelanggaran HAM di masa lampau, sehingga
dapat dilakukan perubahan kebijakan dan institusional. Dengan perubahan ini dicegah terulangnya
pelanggaran yang sama di masa depan,'' kata Asmara Nababan dari Komnas HAM.
Tentu tidak mudah untuk mengantongi harapan itu semua. Pengalaman di negara lain yang sudah
membentuk KKR bahwa acknowledging the truth bukan saja sukar, tapi juga penuh risiko. Dikhawatirkan
muncul aksi balas balas dendam.
Tersangka pelaku pelanggaran HAM umumnya tertekan kecemasan ketika dimintai keterangan, apalagi di
depan publik seperti di Afrika Selatan. Tapi pemberian keterangan secara terbuka melalui media massa
wujud proses acknowledging the truth, tentu dengan segala risikonya. Di El Salvador, pemberian
keterangan itu dilakukan tertutup. Latarbelakangnya agar yang bersangkutan merasa bebas dan aman
menyampaikan keterangan dan pengakuannya. Kelemahannya, mudah muncul kecurigaan masyarakat
karena terbuka peluang lebar terjadinya manipulasi, atau paling tidak biasnya tim komisi.
kli
Apa pun metode yang dipilih, risiko tetap saja ada. Ancaman dan pembunuhan terjadi terhadap berbagai
pihak yang terlibat KKR. Di Uganda, misalnya, ada anggota KKR yang dikejar-kejar, dibunuh, atau
mengasingkan diri ke luar negeri. Di Chili, beberapa pekan setelah KKR mengumumkan hasil kerjanya,
setidaknya terjadi tiga pembunuhan politik. Di antaranya terhadap seorang senator terkemuka. Pembunuhan
politik tersebut melahirkan ketakutan masyarakat luas (culture of fear). Targetnya, masyarakat berhenti
membicarakan proses dan hasil kerja KKR. Agaknya, dalam kadar yang berbeda, risiko ini terjadi di manamana, tak terkecuali di Indonesia.
Tetapi misi pengusutan kejahatan HAM tak boleh menyusut. Pasalnya, untuk melalui masa transisi dan
melangkah ke masa depan cerah, seluruh komponen bangsa ini memerlukan suatu proses penyembuhan.
Hal ini hanya akan terjadi jika penyakit itu diketahui, didiagnosis, dan diobati. Tujuan proses ini intinya
membawa pelaku mengakui kesalahan sejarahnya.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 129
Apabila tahapan ini berhasil dilakukan, meski dengan risiko yang besar, diyakini bahwa sumbangannya
kepada proses rekonsiliasi sangat berharga. Kita semua tentu tak menghendaki selamanya tenggelam dalam
bangkai luka sejarah yang ujung-ujungnya menggiring banyak kalangan, khususnya masyarakat biasa tak
henti berkubang dalam deretan pertentangan dan kekerasan yang berdarah-darah.
REKONSILIASI SEBAGAI TUJUAN
Rekonsiliasi memang merupakan kata kunci pembentukan KKR. Aspek ini belakangan menciptakan
kontroversi mengenai peran komisi. Apa sesungguhnya rekonsiliasi itu?
LS
AM
Kini rekonsiliasi lebih bermakna psikologi sosial-politik. Demi menjamin agar masyarakat terhindar dari
kekerasan politik berkelanjutan --bahkan untuk tujuan akhir itu berarti individu, kelompok, dan negara
harus menanggung ketidakadilan yang memilukan, maka pintu maaf tetap dibuka kepada pelaku.
Rekonsiliasi dengan demikian adalah kesediaan memaafkan atau melupakan sejarah pahit demi penciptaan
tatanan politik yang lebih baik di masa depan. Singkatnya, rekonsiliasi lebih menekankan pencapaian
tujuan akhir itu daripada penuntutan pidana.
pin
gE
Mengutip Carlos S. Nino, penasihat kebijakan HAM Presiden Argentina Alfonsin, tentu ada konsekuensi
berharga dari penghukuman --misalnya mencegah kejahatan yang sama terulang dengan menunjukkan
tidak seorangpun kebal hukum, atau untuk mengonsolidasi demokrasi dengan penegakan the rule of law.
''Tetapi tuntutan pidana mungkin mempunyai beberapa keterbatasan yang harus diimbangi dengan tujuan
untuk mempertahankan sistem demokrasi.... Sekali kita menyadari bahwa pelestarian sistem demokrasi
merupakan syarat mutlak bagi dimungkinkannya penuntutan, maka hancurnya sistem demokrasi
merupakan hal yang mendahului pelanggaran besar-besaran terhadap HAM,'' tulis Nino dalam bukunya
''The Duty to Punish Past Abuse of Human Right Put Into Context: The Case of Argentina''.
Apapun kelemahan KKR, nilai akhir stabilitas demokrasi dan perdamaian tidak pantas diabaikan. Gencatan
senjata mungkin tidak akan memperbaiki semua kesalahan atau menyembuhkan semua luka, namun yang
pasti dapat menyelamatkan banyak jiwa. Bila keamanan telah dicapai, ruang pertanggungjawaban justru
akan berkembang dengan kesadaran kemanusiaan.
Karena kerangka itulah, bagi pihak yang menolak, KKR dipandang sebagai gerakan politik untuk
menyelamatkan penjahat-penjahat HAM. Sedangkan bagi mereka yang menerima, KKR dinilai sebagai
penyelesaian yang realistik di tengan era transisi.
kli
Mereka yang menolak KKR tidak sepenuhnya keliru. Mereka dapat dibenarkan berdasar tiga alasan yang
cukup kuat. Pertama, hukum internasional mewajibkan negara mengadili kejahatan serius. Pengadilan
HAM Inter-Amerika, antara lain, menyatakan berkali-kali bahwa amnesti tidak dapat diterima bila
fungsinya hanya menyelubungi kejahatan.
Kedua, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pejabat tinggi negara kini dapat digelandang ke meja
hijau. Contoh kasusnya hasil kerja peradilan ad hoc di bekas Yugoslavia dan Rwanda, usaha pendirian
Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Keberhasilan penerapan ''yurisdiksi universal'' yang paling
spektakuler adalah penangkapan Jenderal Pinochet di London.
Ketiga, rekonsiliasi yang ditawarkan KKR sulit diterima kalangan korban. Rekonsiliasi belum tentu
menjadi penyembuh atas kepedihan yang diderita akibat kejahatan tersebut.
Kalangan yang setuju KKR pun memiliki landasan kuat. Dengan mengetahui kenyataan yang sebenarnya,
suatu bangsa dapat memperdebatkan secara jujur mengapa dan bagaimana kejahatan memilukan dimaksud
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 130
terjadi. Pengacara HAM andal Aryeh Neier mengemukakan, identifikasi orang-orang yang
bertanggungjawab sekaligus menunjukkan kejahatannya telah menjadi hukuman.
Dalam praktik riil, mengapa satu negara memilih penyelesaian masalah lalunya dengan KKR dan yang lain
tidak, pada akhirnya ditentukan oleh percaturan politik, sifat proses demokratisasi itu, dan distribusi
kekuasaan politik selama transisi dan sesudahnya. Pertimbangan moral dan hukum tak banyak
berpengaruh. Namun, fakta berbicara bahwa di antara negeri-negeri yang menjadi demokratis sebelum
1999, tercatat hanya Yunani yang pengadilannya mampu menjatuhkan hukuman yang berarti terhadap
cukup banyak pejabat otoriter. Sebagian besar negeri menjatuhkan pilihannya ke KKR.
LS
AM
Akan sangat berguna bagi Indonesia bila banyak pihak menyadari bahwa KKR salah satu ikhtiar
melangkah ke gerbang rekonsiliasi dan penghormatan HAM. KKR, bagaimanapun, haruslah berbarengan
dengan perbaikan-perbaikan sistem hukum, politik, dan militer, yang pada gilirannya mengurangi
pelanggaran berat HAM ke depan. KKR, ulas praktisi hukum Todung Mulya Lubis, janganlah dilihat
sebagai satu-satunya obat mujarab untuk menyembuhkan luka masa silam.
BUKAN PENGADILAN BARU
Ada pandangan keliru yang melihat KKR sebagai lembaga pengadilan baru. Padahal keduanya jauh
berbeda. KKR bukanlah badan peradilan karena tidak berfungsi untuk memvonis pertanggungjawaban
pidana terhadap seseorang. Peran itu tetap di tangan pengadilan. KKR lebih berkonsentrasi pada pencarian
pola umum kasus-kasus kejahatan HAM berat dalam kurun waktu tertentu. Selanjutnya KKR memberi
rekomendasi kebijakan kepada pemerintah untuk memulihkan demokrasi.
pin
gE
Jelas proses di KKR dan pengadilan merupakan dua strategi yang sangat berbeda. Namun, mereka dapat
saling melengkapi, walau sebab perbedaan tujuan dan prosesnya, kadang-kadang keduanya saling
bertentangan. Kedua strategi ini sama-sama diperlukan. Pengadilan dibutuhkan untuk melengkapi apa yang
tidak dapat dilakukan oleh KKR. Yakni dalam hal mendorong penyelesaian hukum atas kejahatan HAM
serta penerapan hukuman. Dengan demikian, pengadilanpun dapat memberi kontribusi kepada ''keadilan
transisional'' melalui penuntutan pidana dan pemutusan rantai impunity, serta memberi andil terciptanya
kepastian hukum.
Berbeda dengan KKR, pengadilan memiliki keterbatasan --terlebih dalam fase transisi. Dia hanya mampu
menangani sejumlah kecil kasus. Begitu pula dalam pengungkapan isu. Penyebabnya, pengadilan
membutuhkan biaya besar. Diketahui umum, pengadilan memerlukan penyelidikan yang amat teliti. Untuk
memberi contoh pelaksanaan kepastian hukum, mutlak dilalui pemrosesan segera dan penghargaan hak-hak
tertuduh. Persoalan muncul ketika si tertuduh adalah seorang penguasa, atau memiliki koneksi kuat.
kli
Di sini penuntut sulit menang karena untuk berhasil dibutuhkan bukti yang sulit dibantah. Masalahnya,
pelaku seringkali menghilangkan atau menutup-nutupi fakta. Contohnya, perintah komandan di kalangan
militer sering hanya berupa lisan. Mereka pun dengan mudah melukukan intimidasi kepada saksi untuk
merusak proses hukum.
Kendala lain berkaitan dengan kemauan politik (political will). Selama masa transisi kesempatan bagi
pengusutan pelanggaran HAM memang terbuka. Tapi, biasanya kadarnya berkurang seiring perjalanan
waktu. Penentangan dari kalangan yang merasa dirugikan, misalnya militer, akan menguat ketika beberapa
anggotanya dihukum.
Kelemahan lain proses pengadilan adalah pemeriksaannya yang terpusat pada tindak pidana suatu kasus.
Peradilan hanya mampu mempertimbangkan apakah seseorang melakukan tindak pidana tertentu terhadap
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 131
korbannya, dengan pembuktian eksak. Tak mengherankan bila pertanyaan yang lebih luas, seperti pola-pola
pelanggaran sistematik berikut latarbelakang kejadiannya, sulit diungkap.
Pengadilan pun hanya mampu menangani sedikit korban, terbatas pada korban insiden tertentu yang sedang
diproses dari sedikit pelaku kejahatan. Sementara pelanggaran yang dialami sebagian besar korban tak
terjangkau.
Biasanya KKR bekerja untuk satu periode tertentu. Waktu yang relatif pendek ini tentu tak cukup untuk
menyelidiki semua pelanggaran berat HAM. Karenanya, biasanya KKR berfokus pada beberapa kasus
berat, kemudian menjadikannya dasar penilaian umum.
LS
AM
Agaknya, KKR yang akan dibentuk di Indonesia dipaksa oleh keterbatasan tersebut sehingga harus mampu
menyeleksi kasus seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi
Manusia, dan setidaknya setiap daerah akan terwakili dalam penyelidikan KKR.
kli
pin
gE
Jelas banyak yang tak puas dengan metode ini. Tapi waktu mengejar. Bangsa ini tak bisa terus-menerus
menangisi masa silam dan mengabaikan masa depan. Nasib anak-cucu generasi sekarang dan mendatang
ditentukan oleh kesediaan kita berdamai dengan masa silam.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 132
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
Sukses Afrika Selatan Berkat Pengakuan Tulus
''Kalau bukan karena kunjungan-kunjunganmu, surat-suratmu yang indah, serta cintamu, aku sudah hancur
bertahun-tahun lalu,'' tulis berbunga-bunga Nelson Mandela, pejuang antiapartheid Afrika Selatan, pada
kekasihnya Winnie Madakisela dari dalam bui.
Kini, kalimat indah Mandela tak mungkin lagi dilayangkan kepada Winnie, bukan saja karena perempuan
itu tak lagi sebagai istri. Namun, si Delilah itu sekarang benar-benar dalam keadaan terpuruk. Padahal,
sepanjang 1980-an ia menjadi ''the untouchable woman'' di negara yang kini demokratis itu.
LS
AM
Winnie yang sempat memupuk ambisinya menjadi deputi Kongres Afrika (ANC) yang dapat membawanya
ke kursi wakil presiden, menghadapi berbagai tuduhan seru. Ia kini digambarkan sebagai egomaniak yang
berdiri di belakang pembunuhan, penyerangan, dan penculikan terhadap pengikutnya sendiri di Stadion
Persatuan Sepakbola pendukung Mandela.
Begitulah kesaksian seorang mantan pendukungnya dan beberapa polisi, yang terungkap di depan Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (The Commission of Truth and Reconciliation). Selain itu mengemuka kabar
perselingkungan Winnie dengan antivis antiapartheid, Themba Mabotha.
pin
gE
Sedikit banyak Winnie tak menyangka perjuangan Mandela membentuk KKR dalam rangka menyelesaikan
kemelut sejarah Afsel bakal ''mematuknya''. Bahkan mungkin pula Mendela sendiri. Boleh jadi, bila ''ekses''
buruk KKR pada dirinya, Winnie yang selalu memakai wig itu mungkin sejak awal mempengaruhi
suaminya, Mandela, agar tidak mengupayakan rekonsiliasi nasional Afsel.
Begitulah kiprah KKR Afsel. Komisi ini berhasil membongkar pelanggaran berat HAM yang sebelumnya
tak dibayangkan akibat kuatnya cengkeraman kekuasaan absolut rezim Apartheid. Dan, gebrakan KKR
belum akan berakhir dalam mengungkap kebobrokan rezim.
Di bawah kepemimpinan Uskup Desmond Tutu, Komisi bertugas membuat peta selengkap mungkin
tentang hakikat dan keluasan pelanggaran akut HAM selama 34 tahun rezim Apartheid berkuasa.
kli
KKR Afsel tiga subkomisi. Pertama, Subkomisi Pelanggaran HAM yang bertanggungjawab memberi status
korban kepada individu-individu. Penetapan kriteria korban itu tinggal mencomot aturan yang terdapat
dalam Undang-Undang Pelanggaran Berat HAM. Komisi ini menerima kedatangan pihak-pihak terkait
untuk membuat pernyataan. Juga bertugas menerima dan memeriksa kesaksian publik, mengenai sejumlah
kasus.
Kedua, Subkomisi Amnesti yang bertanggungjawab memberi amnesti, pada para pelaku yang terbukti
membuat tindakan, kesalahan, dan kejahatan politis.
Ketiga, Subkomisi Reparasi dan Rehabilitasi. Komisi ini bertugas membuat rekomendasi ketatapan reparasi
dan rehabilitasi para korban. Di samping itu termasuk rekomendasi pencegahan pelanggaran di masa depan.
Dalam kurun waktu April 1996 - Juni 1997, KKR memberi kesempatan kepada para korban menceritakan
pengalaman kekerasan yang mereka derita. Pada pertengahan 1997, berdasar informasi yang terkumpul,
KKR berusaha memahami motif personal dan institusional, yang memunculkan pelanggaran HAM.
Akhirnya, pada Oktiber 1998, KKR menerbitkan laporan yang berjudul ''The Report of the Truth and
Reconciliations Commision'' yang terdiri atas lima jilid.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 133
Menurut mantan sekretaris eksekutif KKR Afrika Selatan Paul Van Zyl, sukses tidaknya KKR banyak
ditentukan oleh tujuan pendiriannya. Tergantung apakah hanya untuk mencari kebenaran atas kejahatan di
masa lalu? Atau apakah juga mencari penyebab lebih jauh, mengapa kejahatan itu terjadi? Apakah juga
disertai tujuan untuk memberikan keadilan kepada para korban, dengan menghukum para pelaku
kejahatan? Dan, bagaimana rekonsiliasi bias diwujudkan?
Soal yang sangat perlu diperhitungkan secara hati-hati, Van Zyl berpendapat, melihat apakah proses
transformasi menuju demokrasi sudah berjalan. Ini sangat penting untuk menilai sejauh mana pihak militer,
yang diduga sebagai pelaku utama kejahatan HAM pada masa lalu, memberikan dukungan terhadap
pembentukan komisi semacam itu.
LS
AM
Mantan Presiden Afsel VW De Clerk, Wapres PW Botha, Kepala Angkatan Bersenjata Afsel Magnus
Malan, serta bekas petinggi rezim apartheid lainnya tak urung menjadi sasaran pengusutan KKR. Setelah
mengumpulkan bahan yang sangat lengkap, komisi menyerahkan laporan ke Presiden Mandela waktu itu
agar menindaklanjuti temuan dengan mengadili petinggi tersebut.
Afsel memilih tipe rekonsiliasi yang berujung pada impunitas -- peniadaan sanksi atas kejahatan yang
terjadi. Tipe yang menuntut harga atas pemberian maaf dan non-prosekusi setelah tercapai rekonsiliasi.
Meski begitu, rakyat Afsel cukup puas dengan memperoleh pengakuan tulus terbuka para tersangka
pelanggaran HAM. Para korban, keluarga, dan kerabatnya mendengar langsung cerita pelanggaran HAM
dari pelaku sekaligus permintaan maafnya.
pin
gE
Atas dasar pemberian maaf dari korban itulah, amnesti akhirnya diberikan. Sementara korban ditawarkan
reparasi, dalam bentuk kompensasi, restitusi, maupun rehabilitasi. Di sini rekonsiliasi bermakna sebagai
suatu kesepakatan pihak-pihak yang secara langsung berkaitan dalam peristiwa pelanggaran HAM masa
lalu.
KKR di Afsel boleh jadi berhasil baik karena mampu memenuhi kepentingan korban dan keluarga
besarnya, serta publik luas. Dan, tak kalah pentingnya adalah prosesnya berlangsung di hadapan komisi
yang memiliki kredibilitas tinggi dan legitimasi moral. KKR Afsel menjadi tempat pengungkapan
penyesalan para pelaku kejahatan yang menjadi wahana pengobatan (healing) para korban.
kli
Harus diakui, model rekonsiliasi Afsel tak lepas dari kritik, karena tidak dapat memenuhi keadilan
prosedural dan formal sebagaimana bila jalur legal yang ditempuh. Tapi inilah wujud kepiawaian Mandela
membaca situasi politik transisional yang terjadi di negerinya. Mandela sangat sadar akan beratnya upaya
menegakkan orde moral dan tertib hukum di tengah sangat kuatnya tuntutan rakyat agar negara mengadili
penjahat-penjahat politik penguasa rezin sebelumnya.
Kini, Afsel menjadi kiblat utama bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM. Abdurrahman Wahid
termasuk salah seorang presiden yang belajar langsung ke Afsel untuk mengetahui tatakerja KKR di sana,
khususnya dalam upaya mewujudkan rekonsiliasi pascarezim Apartheid 1994.
Sukses besar Mandela menyelamatkan bangsa dan rakyatnya, bukan berarti Afsel benar-benar tanpa
masalah ke depan. Salah satu potensi ''masalah'' ke depan adalah bagaimana rakyat Afsel mampu menarik
garis demarkasi yang jelas dan ketat dengan masa lalunya? Sekarang Mandela turun tahta, tapi hingga kini
di benar sebagaian rakyat Afsel masih menempatkan tokoh yang kenyang di penjara itu sebagai pemimpin
negeri. Sementara pada saat yang sama Afsel tak lagi dipimpin tokoh rekonsiliasi itu.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 134
kli
pin
gE
LS
AM
Farid Esack, salah seorang tokoh muda yang terlibat perwujudan rekonsiliasi Afsel, optimis bahwa potensi
kemunculan problem tersebut dapat diatasi melalui tersusunnya konstitusi di negara itu. Dia dengan berani
menilai kontitusi Afsel terbaik di dunia. ''Sungguh, negara kami memiliki konstitusi paling baik di dunia.
Saya tak malu mengatakan hal ini,'' katanya. Persoalannya, sambung Esack, konstitusi bukan sekadar baik
di atas kertas saja, tetapi persoalan terpenting adalah pengaktualisasiannya. Bagaimana di Indonesia?***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 135
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
PENGALAMAN NEGARA-NEGARA LAIN
ARGENTINA
Inilah komisi kebenaran pertama yang mendapatkan perhatian internasional yang luas. Dibentuk tahun
1983, setelah mundurnya militer dari kekuasaan, Argentina saat itu sedang memulai transisi cepat menuju
pemerintahan demokratis.
LS
AM
Diberi nama Komisi Nasional untuk Orang Hilang (Comision Nacional Para La Desaparacion de Personas,
CONADEP). Komisi ini dibentuk oleh Presiden Raul Alfonsin melalui sebuah dekrit presiden,
beranggotakan 10 orang yang dipilih karena sikapnya yang konsisten dalam membela HAM, serta
mewakili lapisan masyarakat yang beragam, ditambah tiga orang wakil dari Kongres. Komisi ini dipimpin
oleh seorang sastrawan terkemuka dan kharismatis, Ernesto Sabato.
Komisi ini berhasil memastikan bahwa penculikan digunakan sebagai metode represi yang kemudian
mengarah pada kudeta militer, 24 Maret 1976. Sejak itulah penculikan demi penculikan bermotif politik
dilakukan, dan berhasil ditemukan 340 tempat penyekapan rahasia.
CONADEP menunjuk ratusan pejabat militer sebagai orang yang bertanggung jawab. Namun pada proses
pengadilan militer, hanya 365 orang yang dijatuhi hukuman karena banyak bukti telah dilenyapkan oleh
pihak militer. Meskipun demikian, laporan akhir CONADEP yang diberi judul "nunca mas" (Tidak lagi),
menjadi bahan referensi tidak saja bagi seluruh rakyat Argentina, melainkan juga bagi berbagai KKR di
seluruh penjuru dunia yang menyusulnya.
pin
gE
CHILI
September 1973, Jenderal Augusto Pinochet menggulingkan pemerintahan sipil Cili. Dengan merepresi
lawan politiknya secara brutal, ia memerintah Chili selama 17 tahun. Rezim ini memiliki kebijakan
antikomunis yang fanatik untuk menjustifikasi represinya, mencakup penangkapan massal, penyiksaan,
pembunuhan, dan penghilangan paksa.
kli
Meski rezim Pinochet amat brutal, sebagian warga Chili tetap mendukung penguasa, khususnya elemenelemen kanan. Ketika Pinochet melakukan plebisit pada 1988, ia harus meninggalkan tahta dengan
kekalahan tipis. Penggantinya, Patricio Aylwin resmi menjabat pada Maret 1999 di bawah batasan-batasan
demokrasi. Soalnya, Pinochet telah mengubah konstitusi pada 1980 untuk menjamin kekuasaaannya,
mempertahankan otonomi dan pengaruh politik militer; termasuk melanggengkan posisinya sebagai
panglima tertinggi militer hingga 1998, dan kemudian menjadi senator seumur hidup.
Amnesti tersebut mengerangkeng pilihan Aylwin dalam merespon pelanggaran penguasa Pinochet.
Menyadari sulitnya membatalkan amnesti, Presiden Chili memerintahkan investigasi untuk menemukan
kebenaran pelanggaran masa lalu.
Hanya enam pekan setelah pelantikan dirinya, Aylwin membentuk Komisi Nasional dan Rekonsiliasi
melalui keputusan presiden. Ia menunjuk delapan orang sebagai anggota Komisi. Empat di antaranya
pendukung Pinochet, dan lainnya oposan. Formasi ini menghindarkan persepsi mengenai bias kerja Komisi
yang diketuai mantan senator Raul Rettig.
Komisi mempunyai waktu kerja sembilan bulan. Komisi sangat terbantu oleh peran ornop dan catatan detil
ribuan kasus pelanggaran HAM yang dibawa ke pengadilan pada rezim militer berkuasa.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 136
Komisi menyelesaikan tugasnya pada Februari 1991 dengan menghasilkan laporan setebal 1.800 halaman.
Usai membaca laporan selama beberapa pekan, Presiden Aylwin mengumumkan ke rakyatnya. Secara
emosional ia tampil di televisi nasional, dan berbicara atas nama negara, Alywim memohon maaf pada
korban dengan menekankan perlunya maaf dan rekonsiliasi, sekaligus meminta militer ''menunjukkan
pemahaman pada luka yang ditimbulkan''.
Laporan Komisi Nasional dan rekonsiliasi Chili lenyap dari perhatian publik setelah sebulan kemudian,
berganti berita penyerangan kelompok kiri bersenjata terhadap elit politik kanan. Usaha rekonsiliasi
akhirnya buyar.
EL SALVADOR
LS
AM
Dengan bantuan militer dan lain-lain senilai 4,5 miliar dolar dari Amerika Serikat pada dekade 1980-an,
pemerintah El Salvador melakukan perang selama 12 tahun melawan gerilyawan kiri Farabundo Marti
(1980-1991). Perang ini diwarnai kasus puluhan ribu pembunuhan politik dan penghilangan orang, juga
pembantaian massal penduduk sipil tidak bersenjata. Diperkirakan 1,4 persen penduduk El Salvador tewas
dalam konflik ini.
Salah satu kasus yang paling menonjol adalah pembunuhan enam pastor Yesuit pada 1989. Ini memperkuat
tekanan internasional agar perang dihentikan.
pin
gE
Sebuah komitmen mengenai pembentukan Komisi Kebenaran untuk El Salvador dicantumkan dalam
kesepakatan damai antara pemerintah El Salvador dengan Farabundo Marti National Liberation Front
(FMLN) pada bulan April 1991. Para penandatangan membahas spesifikasi kasus yang harus diselidiki
Komisi, namun tidak dicapai kesepakatan pada kasus penting. Akhirnya Komisi ini dibentuk dan dikelola
langsung oleh PBB.
Komisi memperoleh waktu enam bulan untuk menyelesaikan tugas, dengan perpanjangan dua bulan untuk
investigasi dan penyelesaian laporan. Anggota Komisi diangkat oleh Sekjen PBB atas persetujuan kedua
belah pihak. Komisi diperkuat 20 staf yang bertugas mengumpulkan kesaksian dan investigasi, ditambah 25
staf sementara pada bulan-bulan terakhir guna mempercepat proses data entry dan proses informasi. Karena
alasan objektivitas, tidak ada warga El Salvador yang direkrut menjadi staf. Mandat Komisi ini menyelidiki
tindak kekerasan serius yang terjadi sejak tahun 1980, yang karena dampaknya kepada masyarakat
menuntut agar masyarakat mengetahuinya.
kli
Komisi mengumpulkan kesaksian kurang-lebih 20 ribu korban dan saksi. Juga melaporkan lebih 7.000
kasus pembunuhan, penghilangan, penyiksaan, perkosaan, dan pembantaian. Komisi menyelidiki beberapa
puluh kasus menonjol atau representatif, dan mendatangkan tim antropolog dari Argentina untuk menggali
kembali sisa pembantai massal di kota El Mozote --yang menjadi pusat kontroversi internasional.
Meskipun mendapat tekanan militer, Komisi membukukan kesimpulan kuat bahwa penanggungjawab
puluhan kasus kontroversial adalah orang penting di tubuh angkatan bersenjata. Disebutkan lebih 40
perwira tinggi militer, hakim, dan oposisi bersenjata sebagai penanggungjawab aksi kekerasan.
Disimpulkan bahwa 95 persen pelanggaran HAM dilakukan pihak pemerintah dan militer.
Dengan judul ''Dari Kegilaan ke Harapan'', aktivis dan organisasi HAM setempat dan Amerika Serikat
menerima baik laporan KKR El Salvador. Namun, ia dikritik karena tidak melaporkan secara lengkap
beberapa aspek penting kekerasan, misalnya operasi ''komando pembunuh'' dan peran AS mendukung
pasukan pemerintah.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 137
Militer menjawab laporan itu secara emosional. Menteri Pertahanan, yang juga tertuduh sebagai pelanggar
HAM, tampil di televisi pemerintah dengan mengutuk laporan Komisi sebagai ''tidak adil, tidak lengkap,
ilegal, tidak etis, bias, dan kurang ajar.'' Militer pun mengeluh karena Komisi tidak memasukkan ke dalam
laporannya, sifat dan sumber serangan komunis terhadap El Salvador.
Presiden sipil Alfredo Cristiani kepada pers menyatakan, laporan Komisi gagal memenuhi keinginan rakyat
El Salvador menuju rekonsiliasi nasional, yaitu untuk ''memaafkan dan melupakan masa lalu yang sangat
pedih.'' Lima hari setelah laporan diterbitkan, amnesti umum disahkan oleh legislatif sehingga tidak ada
tindakan legal terhadap para pelaku, yang berakibat menekan ketertarikan publik pada hasil kerja Komisi.
GUATEMALA
LS
AM
Perang saudara di negeri ini melibatkan pemerintah antikomunis dengan Unidad Revolucianaria Nacional
Euatemalca (UNRG). Berlangsung lebih 30 tahun, sekitar 200 ribu orang dinyatakan tewas dan hilang.
Strategi kontra-insurgensi yang dilakukan negara amat brutal, yakni dengan pem-bumihangus-an ratusan
desa dan pembunuhan puluhan ribu penduduk sipil. Perang berlanjut pada tingkat yang lebih rendah hingga
dekade 1990-an, hingga negosiasi yang dimotori PBB akhirnya menghentikan peperangan.
Salah satu soal krusial dalam negosiasi mengenai bagaimana pelanggaran HAM disikapi dalam masa
transisi ke perdamaian. Negosiasi sudah dimulai ketika laporan komisi kebenaran El Salvador diterbitkan
pada awal 1993, dan contoh ini menjadi titik awal referensi Guatemala dalam mempertimbangkan
pembentukan komisi kebenaran.
pin
gE
Kesepakatan membentuk komisi kebenaran dengan nama Komisi untuk Klarifikasi Pelanggaran Hak Asasi
dan Tindakan Kekerasan yang Berakibat Penderitaan Rakyat Guatemala, ditandatangani di Oslo, Norwegia,
pada Juni 1994 oleh pemerintah dan URNG. Namun, dibutuhkan tiga tahun lagi menuju kesepakatan damai
untuk penandatanganan kesepakatan komisi mulai bekerja.
kli
Kesimpulan penting Komisi Klarifikasi, berdasar pola kekerasan di empat wilayah negeri yang paling
parah mengalami kekerasan, ''agen negara Guatemala dalam kerangka operasi kontrainsurgensi selama
1981-1983, melakukan tindak genosida terhadap kelompok bangsa Maya.'' Meskipun tidak menyebut
nama, ia menyimpulkan bahwa ''mayoritas pelanggaran HAM terjadi dengan sepengetahuan atau atas
perintah otoritas tertinggi negara.''***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 138
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
Agar Masalah Bangsa Selesai
==========
LS
AM
Nama
: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M
Tempat, tanggal lahir
: Cianjur, 1 Agustus 1944
Agama
: Islam
Istri
: Ny. Hanny Hanurawati, S.H., CN
Anak
: 5 putra
Sarjana Hukum
: Universitas Padjadjaran, Bandung (1969)
Master Hukum
: University of California, Berkeley (1981)
Doktor Ilmu Hukum
: Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (1996)
Koordinator/anggota Tim Pakar Hukum Departemen Kehakiman (1998-1999)
Mengetuai beberapa Tim Perumus RUU
Mengetuai beberapa delegasi RI dalam pertemuan internasional tentang hukum
==============
Nyaris seluruh karyawan Departemen Kehakiman dan HAM telah meninggalkan kantor. Namun di salah
satu ruang, Dirjen Administrasi Hukum Umum Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LL.M betah
melanjutkan tugasnya usai berbuka puasa di sela menerima sebuah delegasi dari Australia. Setelah
wawancara dengan penulis pada Jumat, 23 November, sekitar pukul 20.30 WIB, Romli kembali memeriksa
setumpuk berkas di mejanya. ''Saya sudah terbiasa bekerja hingga larut malam di sini,'' ujarnya.
pin
gE
Prof. Romli merupakan salah seorang yang terlibat sejak awal dalam proses drafting RUU tentang KKR.
Bagaimana latarbelakang dan proses upaya pembentukan KKR? Benarkah militer tak menghendaki
pembentukan KKR? Bagaimana peran tokoh agama dalam upaya perwujudan rekonsiliasi atas konflik
berkempanjangan sehubungan penyelesaian kasus kejahatan HAM? Berikut petikan penjelasan Romli
selaku Ketua Tim Perumus RUU KKR.
=============
T: Bagaimana proses awal munculnya wacana KKR?
Munculnya gagasan Komisi Kebenaran sebetulnya diilhami oleh gerakan di Afrika Selatan yang
melahirkan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Pada saat yang bersamaan, kita sedang menyusun UU No
26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menanggapi UU No 26 itu mencuat aspirasi masyarakat yang
mempertanyakan bagaimana penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Mau diapakan? Kita semua
tahu bahwa UU tidak berlaku surut. UU sifatnya permanen, yakni ke depan.
kli
Pada saat itu, segenap penyusun setelah berdiskusi panjang lebar menyimpulkan bahwa diperlukan sebuah
pengadilan ad hoc yang dapat menangani berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu. Di sini dibutuhkan
persetujuan DPR, sebelum pemerintah membentuknya.
Pada saat itu juga kita menyadari bahwa katakanlah pengadilan ad hoc berlaku surut, tetapi penanganan
kasus pelanggaran HAM masa lalu tidaklah semudah penyelesaian kasus yang sama sekarang dan masa
mendatang. Sebut saja masalahnya, yakni sulitnya mengumpulkan bukti, saksi yang bertebaran, belum lagi
soal biaya.
Oleh karena itu, muncul pertanyaan mengenai sarana lain penyelesaian kasus kejahatan berat HAM masa
lalu di luar peradilan yang menawarkan solusi. Karena, bila jalan mencapai solusi hukum itu buntu, apakah
masih perlu SP3. Masalahnya tentu SP3 untuk pelanggaran berat HAM tidak sama untuk kasus
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 139
pembunuhan biasa. Nah, kalau itu disamakan pasti akan menimbulkan dampak buruk di tengah masyarakat.
Di sinilah dibutuhkan sebuah solusi, yakni rekonsiliasi yang mempertemukan korban dan pelaku
pelanggaran HAM
T: Lalu?
Untuk itu dibutuhkan sebuah wadah. Apa wadahnya? Yakni Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
T: Namanya mengadopsi lengkap komisi yang sama di Afsel?
Ya, memang sama persis. Namun, pola kerjanya jauh berbeda karena ada penyesuaian dengan perundangundangan yang berlaku di Indonesia --terutama tentang UU Amnesti, Rehabilitasi, dan Abolisi.
LS
AM
T: Bagaimana pola kerja lembaga peradilan HAM dengan KKR?
Bila RUU KKR nantinya diundang-undangkan, maka terdapat dua perangkat hukum yang berjalan
bersama-sama dalam menangani kasus pelanggaran berat HAM. Pelanggaran masa lalu sudah ada jalan
keluarnya, bisa in court system dan dapat pula out court system bila terjadi kemandekan. Tetapi untuk
pelanggaran HAM ke depan, setelah UU Pengadilan HAM berlaku, penyelesaiannya tetap in court system,
tidak mungkin out court system.
Nah, penentuan kasus masa lalu yang hendak ditangani, prosesnya di DPR. Batasannya berdasar kejadian,
waktu dan lokasi tertentu. Ada pembatasan. Sama dengan pengadilan HAM ad hoc, Komisi Kebenaran pun
bersifat ad hoc. Jadi, pola penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia dua macam. Yakni,
in court system dan out court system.
pin
gE
T: Apa kelebihannya?
Selain yang saya kemukakan tadi, pola yang dianut Australia dan Kanada, misalnya, menunjukkan bahwa
kita sebenarnya lebih keras terdapat perkara pelanggaran HAM. Di kedua negara ini, pelanggaran berat
HAM dalam salah satu bentunya pembunuhan, disamakan dengan pembunuhan biasa. Menurut saya, ini
aneh. Kok, kedua negara yang disebut-sebut sangat menjunjung tinggi HAM tetapi memperlakukan
pembunuhan dalam kejahatan kemanusiaan sama dengan pembunuhan biasa yang diatur dalam UU
Pidananya. Padahal, unsur kejahahatan HAM berbeda dengan pidana biasa.
Nah, kita membuat UU khusus untuk kasus HAM. Jadi, susungguhnya kita lebih keras terhadap pelanggar
HAM. Tapi, sejarahlah yang nanti menilai, kita lebih maju atau memang di belakang mereka.
kli
T: Bukankah sebagian kalangan tidak sepenuhnya setuju pada usaha pembentukan KKR?
Begini. Terjadi salah penafsiran segelintir orang terhadap KKR karena di lembaga ini diatur soal sangat
krusial, yakni amnesti. Mereka melihatnya akan sama dengan di Afsel, KKR menjadi lembaga pemberi
maaf. Padahal, sebenarnya, dalam rancangannya KKR tidak berwenang memberikan amnesti. Melainkan
hanya memberi pertimbangan atau rekomendasi kepada presiden. Selanjutnya presiden yang mengeluarkan
amnesti.
T: Gagasan KKR telah terdengar sejak Soeharto jatuh. Pemerintahan BJ Habibie dan
Abdurrahman Wahid kabarnya hendak membentuk KKR. Semuanya tak berhasil. Ada pihak yang
tak menghendaki KKR lahir?
Sebenarnya, semua serba kebetulan. Bukan karena ada faktor Soeharto atau lainnya. Ketika Pak Harto
turun masalah pelanggaran HAM mencuat. Kita berpengalaman menanganinya. KUHP jelas tidak biasa.
Lalu ketika kita bersepakat untuk memakai UU khusus, lalu sarananya apa? Disepakati Komnas HAM.
Tapi, bagaimana terhadap kasus masa lalu. Mencuatlah KKR.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 140
Belakangan menjadi persoalan karena di dalamnya ada penonjolan amnesti. Muncullah kesan bahwa KKR
hendak dibentuk karena pemerintah ingin rezim Soeharto dapat pengampunan. Padahal yang berkeras KKR
dibentuk kan bukan pemerintah, melainkan ELSAM. Karenanya agar pemerintah tetap elegan, dalam
penyusunan draf RUU KKR ELSAM dipersilakan membuatnya lebih dahulu.
T: Jadi, selama ini pemerintah sama sekali tak berniat membentuk KKR?
Tidak. Karena pemerintah berfikir bagaimana penanganan pelanggaran HAM setelah wadah peradilan
HAM terbentuk. Lahirlah UU-nya. Belakangan aspirasi masyarakat tentang perlunya pengusutan
pelanggaran HAM masa lalu sangat kuat. Pemerintah menangkap hal ini dengan menangkap isyarat dari
ELSAM.
LS
AM
T: Target pemerintah, kapan RUU KKR dibahas untuk menjadi UU?
Pemerintah berharap secepatnya. Mengapa? Karena pengadilan HAM ad hoc mulai berjalan. Padahal kasus
yang ditangani kebanyakan masa lalu. Kalau salurannya tertutup, bagaimana penyelesaiannya bila KKR
tidak ada. Bisa-bisa konflik baru muncul.
T: Di negara lain, militer mencegah pembentukan KKR? Di Indonesia?
Ini aneh. Pemerintah melihat KKR itu sebagai sesuatu yang tidak diharapkan, tapi ada dan menawarkan
suatu jalan keluar bagi masalah bangsa ini. Mudah-mudahan KKR nantinya mampu menyelesaikan satu
persoalan bangsa yang selama ini tak terselesaikan. Ini bisa dicapai kalau KKR nantinya diisi oleh figurfigur negarawan.
pin
gE
T: Anda melihat pihak militer nantinya bersedia memberi keterangan sehubungan dugaan
pelanggaran HAM yang dilakukannya, di muka KKR?
Kita harus melihat psikologinya. Orang umumnya mau memberi sebuah pengakuan bila berada di tempat
yang layak. Tidak mungkin mereka memberi pengakuan kepada koran. KKR adalah tempat yang tepat bagi
orang-orang yang hendak mengakui kesalahan masa lalunya. Di sana pengakuannya didengar dan
diformalkan.
Sejauh saya terlibat menyusun RUU KKR, belum ada pihak militer yang secara resmi menyatakan
ketidaksetujuan pada KKR. Bahkan mereka menyambut baik setelah kami menjelaskan duduk persoalan
KKR. Kebenaran yang hendak kita ungkapkan ini adalah untuk generasi bangsa di masa depan.
kli
Sama halnya ketika RUU Pengadilan HAM dibahas, pihak militer sempat tidak setuju pada beberapa hal.
Pemerintah lalu menjelaskan secara tegas, dalam hal ini bukan cuma kasus per kasus yang hendak
diselesaikan. Penyelesaian masalah HAM pada dasarnya untuk penuntasan masalah bangsa.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 141
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
MISTERI 30 SEPTEMBER PERLU DIKUAK
Cat hijau mendominasi dekorasi hampir seluruh ruangan. Tapi siapa nyana, di rumah itu seminggu
sebelum meninggal, Herbeith Feith sempat tidur hampir dua malam. "Dia ingin merasakan berdesakdesakan dengan rakyat jelata." Hardoyo, mantan Ketua Umum CGMI periode 1960-1963, mengungkapkan
hal itu di kediamannya, pekan lalu. Bahkan, ia menyatakan hampir semua indonesianist, seperti Ben
Andersen, sering lesehan di rumahnya. Berikut penuturan Hardoyo seputar peristiwa G30S dan soal
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang ditulis dalam dua bagian.
LS
AM
Peristiwa G30S sebuah misteri, bagi saya. Tiba-tiba terjadi penangkapan masal dan tuduhan-tuduhan tanpa
sumber hukum yang jelas, tanpa pembuktian, tanpa apapun. Itulah yang terjadi.
Jadi memahami peristiwa G30S itu harus dibagi dua. Pertama, penculikan para jenderal. Itu harus dibuka
secara tuntas siapa yang terlibat. Andaikata ada beberapa orang PKI yang terlibat juga harus dibuka.
Kedua, peristiwa setelah 1 Oktober, saat terjadi penangkapan dan pembunuhan massal dan pengucilan
secara turun-temurun. Itu kan kejahatan kemanusiaan. Itu yang harus dibongkar, diselesaikan. Kalau bisa
melalui KKR ini.
pin
gE
Mungkin kita sekarang agak terbantu dengan adanya dokumen CIA yang menghebohkan itu. Saya
cenderung sependapat dengan Bung Karno bahwa G30S terjadi karena tiga sebab. Pertama, keblinger-nya
pimpinan PKI. Kedua, adanya pimpinan tentara yang tidak bener. Ketiga, kelihaian CIA. Penjelasan ini ada
di Nawaksara. Memang ada oknum-oknum PKI yang terlibat. Tapi partai secara institusional tidak terlibat.
Banyak orang dari CC PKI tidak tahu menahu kejadian itu.
Soal kekerasan kasus tanah di Jawa Timur oleh PKI sebelum 1 Oktober adalah masalah lama. Masalah UU
Pokok Agraria dan Bagi Hasil. Di sana BTI meminta agar itu dilaksanakan. Maka lahirlah aksi sepihak
untuk melaksanakan UU. Terjadilah banyak ekses di lapangan. Jadi itu sesuatu hal yang terjadi akibat
sesuatu. Ini mesti diteliti lebih jauh. Kalau Anda mengambil contoh itu, kini syarikat sebuah badan di
bawah NU telah membuat pernyataan maaf kepada para korban PKI. Malah seorang sejarawan, Candra,
menulis dalam Kongres Sejarah menyatakan bahwa aksi tanah sebagai puncak radikalisme. Candra
memprediksi, jika dari pihak PKI tidak berlebihan, maka tidak akan terjadi seperti itu.
Lain lagi soal penculikan para jenderal. Ini pun, bagi saya, suatu misteri. Ini harus dibuka. Siapa yang
menculik? Kan antara tentara dan tentara. Bagaimana itu?
kli
Saya tidak bisa mengatakan bagaimana pandangan mayoritas kami mengenai peristiwa-peristiwa itu. Dulu
banyak orang dalam tahanan merasa bahwa PKI kalau mau melewati pemilu pasti menang. Pada tahun
1965 PKI kan sangat kuat. Jadi kalau melalui Pemilu demokrasi parlementer, pasti menang. Ngapain
membunuhi para jenderal? Di sinilah tidak masuk akalnya PKI kalau mengerjakan G30S. Berarti ada orang
lain yang ngerjain. Kalau toh ada satu dua orang PKI kejebak, bisa saja. Tapi kok bodoh banget.
Ini harus dibuka. Ini soal pembuktian dan sejarah. Mungkin untuk membuktikan secara hukum tidak
mudah. Karena telah terjadi sesuatu hal yang terputus-putus pada 1965. Bandrio menduga ini pekerjaan
Soeharto. Tapi kan tidak mudah untuk membuktikan itu. Tapi secara historis-sosiologis untuk mengatakan
Soeharto tidak terlibat, itu juga sulit.
Mengapa? Dialah yang bertanggungjawab atas terbunuhnya jutaan manusia tanpa proses itu. Ini yang
menjadi bukti. Kemudian dihilangkannya saksi-saksi kunci. Misalnya, Aidit dibunuh. Semuanya habis kan?
Mengapa tidak diadili? Kalau memang betul PKI, diadili saja kan? Makanya, saat Ben Anderson mampir
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 142
ke rumah sini dia menyatakan, peristiwa besar yang terjadi di Indonesia selalu oleh karena dua hal.
Pertama, karena operasi intelijen. Kedua, karena disinformasi.
Aidit bisa saja terjebak. Tapi faktanya pimpinan lain tidak tahu menahu. Hanya Aidit dan Biro Khususnya
yang tahu. Sedangkan Biro Khusus itu dalam konstitusi PKI tidak dikenal. Ini badan ilegal. Setelah di
dalam tahanan kita baru tahu lho itu toh yang namanya Syam. Wajahnya saja kita tidak pernah tahu.
Sehingga, saat mereka mengumumkan Dewan Revolusi dan mendemisionerkan kabinet pada 1 Oktober
1965 semua pimpinan dan kader partai dari atas sampai ke bawah terperangah, terkejut, dan nyaris menjadi
limbung.
LS
AM
Dibunuhnya Aidit, ya, untuk menghilangkan saksi. Kalau Aidit sampai berbicara di pengadilan, akan
terbuka semua. Saat peristiwa itu pun sebenarnya ada dua orang saksi kunci lain yang hilang. Pertama Lettu
Dul Arif dan Letnan Jahuro kan hilang. Padahal mereka saksi kunci juga. Dua orang itulah yang paling tahu
kenapa Cakrabirawa sempat dikerahkan. Dia hilang sampai sekarang.
Mengenai kesaksian ALatief yang dekat dengan Soeharto harus di-klir-kan. Sekarang susah Soeharto
sendiri, sudah sulit diadili.***
MEMAAFKAN TAPI TAK MELUPAKAN
pin
gE
T: Bagaimana pandangan Anda terhadap rencana pembentukan KKR?
Semula kita tahu sendiri, bagaimana ragu-ragunya Gus Dur mencari format KKR yang tepat untuk
Indonesia. Kita tidak bisa begitu saja mengadopsi Nelson Mandela. Dia didukung kuat sekali oleh massa.
Kedua, soal budaya. Budaya Indonesia itu susah.
T: Ide dasarnya kan bagus?
Ya, memang bagus. Karena itu saya setuju perjuangan itu harus diteruskan. Saya tahu teman-teman
ELSAM setengah mati bekerja untuk itu. Tapi realitas yang ada, untuk menghapuskan peraturan-peraturan
yang diskriminatif sampai sekarang belum terjadi. KTP saya hanya berlaku tiga tahun, mestinya seumur
hidup. Susah. Mereka bertindak masih sama persis
dengan Orde Baru.
T: Apa kendala KKR untuk menyelesaikan kasus G30S?
Kalau UU ini berhasil disahkan, tentu akan baik. Dan, ini merupakan pendidikan politik yang baik bagi
rakyat. Tapi, menurut saya, ini butuh perjuangan yang berat --terutama para politisi di DPR itu. Apa
mereka punya kepedulian soal ini? Kan jauh sekali.
kli
T: Kenapa?
Bagaimana ya, di sini sepertinya untuk mengembangkan pikiran ke arah demokratisasi dan HAM berat
sekali.
T: Menurut Anda, apa kendala terbesar penerapan KKR untuk kasus G30S?
Kendala terbesarnya adalah kekuatan riil masyarakat sekarang. Sampai sekarang kekuatan Orba masih
berkuasa. Kalau masyarakat memandang KKR itu terbaik. Jadi kekuatan Orba akan menghambat
penerapan KKR. Pemimpin yang berani ya Gus Dur itu. Kita sempat berharap banyak saat itu. Tapi
sekarang Mega hanya diam-diam saja. Apa arti sikap itu, ya kami tidak tahu. Meski begitu saya tetap
optimis. Meski saya menyadari itu perlu jalan yang panjang dan harus sabar.
T: Di komunitas korban Orba, bagaimana persepsi soal KKR?
Mereka tidak mikir soal KKR. Menurut mereka di luar jangkauannya. Apa benar di kalangan elit mau
KKR? Juga di kalangan pemimpin spiritual dan pendidikan. Apa ada komitmen itu? Ini yang menyebabkan
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 143
mereka tidak pernah berpikir jauh soal KKR. Mereka menganggap terlalu jauh soal ini. Di Korsel semua
orang ngomong. Di Korea juga semua politisi dan intelektual bicara juga.
T: Penyelesaian seperti apa yang mereka harapkan?
Ini jawabannya sulit. Gampangannya mereka hanya minta agar tidak lagi ada diskriminasi. Ini yang pokok.
Saat kami dibebaskan kami harus menandatangani tidak akan menuntut ganti rugi atas perlakuan
pemerintah selama dipenjara. Ini kan aturan tahanan politik terbaik di dunia.
LS
AM
T: Lalu, bagaimana sebaiknya KKR diterapkan?
Menurut saya, perlu ada proses dulu sebelum menerapkan soal itu. Pertama harus ada pencerahan.
Bentuknya, terbitkan banyak buku yang lebih obyektif soal G30S. Kedua, ada proses hilangkan trauma
sejarah itu. Sekarang ini masalah trauma besar sekali. Di Jawa Timur ada 460.000 eks Tapol/Napol. Tapi
saat nasib mereka akan diperjuangkan, yang mau hanya 10.000 orang. Mereka takut. Jangan-jangan Orba
menang lagi. Ada juga yang menyatakan cucu saya sudah tenang dan tidak mau mengingat-ingat masa lalu.
Jerman, akibat Nazi mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan AS saat di Vietnam. Tapi semuanya
diselesaikan dulu. Setelah itu harus ada proses saling maaf-memaafkan. Meski begitu proses keadilan harus
juga ditegakkan.
T: Kesimpulannya?
Setelah semua tahapan itu dilalui, baru kita bicara soal KKR. KKR memang cara yang terbaik. Tapi intinya
kami memang ingin memaafkan, tapi kami tidak akan melupakan.
pin
gE
T: Ada kemungkinan meminta ganti rugi?
Ada. Tapi tidak harus dalam bentuk materi. Bisa saja dalam bentuk fasilitas sekolah.
kli
T: Apa sebenarnya yang diminta para korban Orba?
Sebenarnya kami hanya meminta pemerintah mengeluarkan deklarasi untuk memulihkan semua nama baik
korban Orba. Saya kira setelah itu terjadi kita bisa membangun kembali Indonesia yang baru. Tapi yang
terjadi sekarang, perjuangan kami masih dilempar-lempar oleh pemerintah. DPR juga melakukan hal yang
sama. Di Mendagri dan Menkopolkam juga tidak ada sambutan. Bambang Yudhoyono memang pernah
menjanjikan ini, tapi sampai sekarang tidak jelas perkembangannya. Saat zamannya Gus Dur kami sudah
dialog. Tapi zamannya Mega belum. Ada suara-suara Mbak Mega ingin menyelesaikannya setelah
2004.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 144
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
KALAU KKR BIAS, RUGIKAN KORBAN
Raut Arif melukiskan kelelahan panjang pencari keadilan. Karena perjuangannya untuk mengungkap
pelanggaran berat HAM pada peristiwa Semanggi --yang merenggut nyawa putranya-- itulah, ia pernah
digebuk petugas saat demo ke istana. ''Yang tidak waras, mereka berani menendang kami yang orang tua
ini, tanpa ampun. Kalau tidak ada yang menyuruh mana mungkin mereka melakukan itu,'' sendu lelaki
berusia 42. Berikut penuturan Arif Priyadi kepada penulis di CSIS, tempat dia bekerja selama puluhan
tahun.
LS
AM
T: Apa persepsi Anda soal penembakan Irwan?
Khusus kasus Semanggi, menurut saya, jelas merupakan pelanggaran HAM berat. Kesimpulan itu berdasar
bukti-bukti yang kami dapat dari hasil investigasi tim relawan. Tragedi Semanggi jelas sekali direncanakan,
termasuk target-target siapa yang harus dihabisi.
T: Apa buktinya?
Bukti yang saya alami sendiri adalah sepekan sebelum Wawan ketembak, dia gelisah dan menyatakan ke
saya bahwa dia mendapat informasi dari temannya bahwa dia sekarang menjadi salah satu target utama
yang harus dihabisi. Teman wawan yang menginformasikan itu, saudaranya bekerja di BAIS TNI.
Persisnya, menurut Wawan, ada file yang mencantumkan lima nama. Lima nama itu dari Tim Relawan
untuk Kemanusiaan semua.
pin
gE
Wawan sempat hilang cemasnya karena saat itu seorang temannya menyatakan bahwa nama Wawan sudah
terhapus dari target, berkat upaya orang dalam BAIS sendiri. Waktu itu Wawan cerita ke saya. Itu tidak
saya abaikan karena merasa itu tidak mungkin terjadi. Nah, fakta membuktikan dia kemudian tertembak.
Bahkan belakangan saya menemukan puisi yang dia buat, yang meminta agar kedua orang tuanya tabah
apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
T: Kelihatannya perjuangan Anda menemukan keadilan makin rumit?
Saya merasa, kasus ini seperti hendak diburamkan secara sistematis, baik oleh pelaku maupun pihak yang
berwenang menangani kasus ini. Karena sebelum UU tentang Pengadilan HAM terbit, dalam bayangan
kami kasus ini akan segera ditangani pengadilan militer. Tapi ternyata kami harus menelan ludah. Kami
menuai kekecewaan untuk kedua kalinya.
kli
Bahkan Pomdam Jaya menyatakan kepada kami bahwa Kasus Semanggi susah diproses ke pengadilan
karena kurangnya alat bukti dan tidak adanya tersangka. Lho, ini kan aneh. Katanya pelurunya sudah tidak
bisa diidentifikasi, meski sudah diuji balistik sampai ke luar negeri. Tidak bisa diidentifikasi keluar dari
senjata yang mana, apalagi pelaku penembaknya juga sudah susah ditemukan. Kesimpulan saya mereka
memang sengaja ingin memburamkan kasus.
T: Sampai sejauh mana perjuangan Anda mencari keadilan?
Kami sudah mendatangi banyak instansi dengan harapan bisa menekan secara politik agar kasus ini
diangkat dan masuk ke pengadilan. Kami sudah mendatangai semua DPP Partai Politik kecuali Golkar,
juga fraksi-fraksinya. Kami juga mendatangi Perwakilan PBB, Puspom, dan Pomdam Jaya. Ke Komnas
HAM sudah lima kali lebih. Saat ke Dephankam untuk menghadap Wiranto, dia menolak. Waktu itu kami
ingin ke Istana. Saat itu presidennya masih Habibie, tapi tidak pernah berhasil.
T: Atas nama apa Anda melakukan serangkaian kunjungan itu?
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 145
Atas nama Paguyuban Korban dan keluarga korban kasus Semanggi, kasus Mei, dan Tim Relawan untuk
Kemanusiaan. Waktu itu kami dari korban Semanggi bergabung dengan Korban Mei dan Tim Relawan
untuk Kemanusiaan. Dari sana kami membuat Paguyuban.
T: Korban Trisakti tidak bergabung?
Waktu itu belum kontak dengan mereka. Karena Trisakti saat itu ditangani oleh Tim 12, di antaranya Adi
Andojo dan pengacaranya Akbar Lubis. Para korban itu, menurut saya, tidak punya keberanian untuk
bersikap dan bersuara menyatakan secara pribadi. Apalagi setelah terbit UU No 26 Tahun 2000 di mana
sangat dimungkinkan dibentuknya pengadilan ad hoc, tampaknya Trisakti lebih memilih melalui Peradilan
Militer.
LS
AM
T: Apa hasil serangkaian perjuangan Anda itu?
Memang klimaks dari perjuangan kita adalah terbentuknya Pansus DPR. Padahal sebelumnya saat kami
melobi beberapa fraksi, mereka sempat ragu apakah perlu ada Pansus.
T: Menurut Anda, bagaimana hasil kerja Pansus?
Hasilnya memang mengecewakan. Kami dari pihak korban berharap agar kasus ini bisa dibawa ke
Pengadilan HAM ad hoc. Pengadilan ini bisa ada kalau ada usulan dari DPR kepada presiden agar
mengeluarkan Keppres soal pengadilan ad hoc. Nah, ternyata hasil kerja Pansus menyimpulkan bahwa itu
bukan pelanggaran HAM berat bahkan mereka menilai ini sebatas pidana. Dan mereka menyarankan agar
diselesaikan melalui Peradilan Militer. Bagaimana mau diadili secara militer, wong pihak Puspom
menyatakan tidak ada tersangka dan tidak ada alat bukti yang cukup.
pin
gE
T: Selama Pansus Paguyuban memasok data ke Panitia Pansus?
Oh, banyak sekali. Terutama hasil investigasi Tim Relawan. Juga dari keluarga korban. Misalnya, kejadian
penembakan mobil kami yang saat itu mengangkut korban dari Rumah Sakit Jakarta ke RSCM untuk
diotopsi. Informasi seperti itu sudah kami berikan.
T: Sekarang proses pembentukan KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) berjalan, komentar
Anda?
Dalam persepsi saya, komisi ini akan mengungkap kebenaran yang ujung-ujungnya untuk kepentingan
rekonsiliasi. Di situ saya melihat antara mengungkap kebenaran dan rekonsiliasi dijadikan satu paket.
Rekonsiliasi menjadi satu tujuan. Saya khawatir pihak korban akan dirugikan karena terus terang saja
kondisi korban dalam posisi rentan dalam segala hal. Secara ekonomi dan finansial segitu, tidak punya
jaringan yang kuat. Sementara pihak pelaku, mereka kuat --finansial maupun jaringan.
kli
Saya khawatir, kemampuan KKR untuk mengungkap kebenaran saja bukan perkara mudah. Bisa saja
hasilnya bias, berupa kebenaran semu. Tapi saya khawatir, hasilnya dipaksakan yang akhirnya harus
rekonsiliasi. Dengan begitu akan muncul produk rekonsiliasi yang tidak berangkat dari kebenaran sejati.
Dalam posisi seperti ini, kami sulit menerima logika rekonsiliasi. Kalau ini yang terjadi, pihak korban akan
menjadi korban kembali untuk kesekian kalinya. Ini yang berat.
T: Jadi korban berat pada sisi rekonsiliasinya?
Rekonsiliasi, menurut saya, sebenarnya suatu proses yang saling memberi. Ini bisa jalan kalau proses
keadilan melalui jalur hukum sudah lebih dulu diselesaikan. Jadi proses hukum tetap jalan. Dengan begitu
pihak korban pun tidak merasa sangat dipojokkan atau dirugikan. Jadi menurut saya, KKR mestinya perlu
ditambah satu 'K' lagi, menjadi Komisi Kebenaran, Rekonsiliasi, dan Keadilan.
T: Faktor apa yang menyebabkan Anda berat melakukan rekonsiliasi?
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 146
Karena di tingkat pengungkapan fakta sangat mungkin terjadi rekayasa. Apalagi kalau digelindingkan
sekarang, kurang menguntungkan para korban. Mau tidak mau satu komisi itu harus berpihak pada
kepentingan korban. Posisi korban jelas. Tinggal pelakunya yang harus dijelaskan posisinya, dan mereka
harus mau meminta maaf.
Makanya saya kaget ketika membaca RUU KKR kok ada istilah: ''Setelah mereka saling memaafkan....''
Kata saling memaafkan itu kan berarti si korban juga dipinta minta maaf. Lho, kami ini salah apa. Ini yang
menurut saya kurang adil.
T: KKR tetap penting asal keadilan juga dijalankan?
Menurut saya begitu. Dan, keadilan itu harus melalui pengadilan HAM ad hoc, kan sudah ada UU-nya.
LS
AM
T: Ada harapan lain selain dengan KKR?
Kami pernah mendatangi MA, diterima Wakil Ketua MA dan lima hakim yang menangani kasus HAM.
Mereka menyarankan agar kami tidak menggubris hasil Pansus DPR. MA juga menjamin bahwa jika hasil
Pansus masuk ke MA, maka MA tidak akan menggunakan itu. Karena keputusan Pansus itu tidak mengikat
secara hukum apalagi keputusan itu merugikan para korban. Kami cukup lega dengan sikap MA ini.
Kami juga berharap Komnas HAM bisa bekerja secara lurus dengan Komisi yang telah dibentuknya KPP
HAM untuk menyelidiki kasus HAM Trisakti, Semanggi I dan II. Saya berharap, karena yang duduk di
KPP HAM adalah orang-orang yang punya komitmen untuk menegakkan HAM, kami hanya mengingatkan
kepada mereka bahwa banyak kendala yang akan mereka hadapi.
pin
gE
Jujur saja saya pesimis juga. Karena dalam teknis penyelidikan nanti pasti banyak hambatan. Terutama dari
pihak tersangka, dari pihak militer. Mereka sampai sekarang sudah berhasil mengaburkan barang bukti,
bahkan menghilangkan tersangka.
kli
Jika KPP HAM bisa menyimpulkan bahwa kasus-kasus itu merupakan pelanggaran HAM berat, itupun
masih sebatas hasil kerja KPP HAM yang masih perlu dirapatkan dalam Rapat Pleno Komnas HAM. Kita
tahu, sebagian besar anggota Komnas HAM adalah pendukung status quo. Dari 18 anggota 11 orang itu
status quo. Ini yang membuat kami pesimis. Belum lagi posisi DPR yang harus campur tangan dalam
usulan pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Jadi dalam perjuangan ini saya merasakan betul bakal
panjang dan rumit.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 147
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
BUKAN KOMISI PENGAMPUNAN DOSA
Karena memuat soal amnesti, RUU KKR sempat menuai kritik. Sebagian pihak bahkan apriori terhadap
upaya mewujudkan KKR. Padahal KKR sama sekali tak dirancang menjadi lembaga impunitas.
LS
AM
Inilah lembaga impunitas (melindungi pelaku kejahatan) baru, bernama: Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. Begitulah sorotan tajam beberapa pihak. Bukan perorangan saja yang menyodok KKR dengan
penilaian seperti itu. The International Center for Transitional Justice melayangkan kritik yang sama
pedasnya. Di mata LSM yang berpusat di New York ini, KKR Indonesia akan menjadi lembaga impunity
karena memberikan amnesti, seperti tertuang dalam RUU-nya.
Mendapat sorotan tersebut, Ketua Tim Perumus RUU KKR Prof Dr Romli Asmasasmita SH
membantahnya. Meski berbeda dengan Komnas HAM yang penyelidikannya bersifat pro yustisia, dasar
gerak KKR memang pada pertemuan pemikiran antara pelaku dan korban. Namun, tukas Romli,
pembahasan di KKR tidak semudah ishlah. ''Penyataan itu salah,'' komentar ahli hukum internasional dari
Universitas Padjajaran ini.
Entah bagaimana kemunculan penilaian dimaksud. Jelas dalam konstitusi bahwa pemberian amnesti,
rehabilitasi, abolisi adalah hak prerogatif Presiden. KKR dalam hal ini hanya memberi pertimbangan
kepada presiden, yang tidak mengikat. Berarti Presiden bisa menolak. ''Komisi hanya memberikan namanama pelaku yang dianggap layak diberi amnesti yang kemudian direkomendasikan kepada presiden.
Selanjutnya hak presiden untuk memberi amnesti atau tidak,'' lanjut Romli.
pin
gE
Abdul Hakim Garuda Nusantara, SH, LLM yang mantan direktur ELSAM mengutarakan penegasan
senada. Menurutnya, amnesti adalah pengampunan yang diberikan kepada kelompok orang berdasarkan
asas keadilan kepentingan umum. ''Yang memberikan amnesti adalah presiden. KKR hanya memberikan
pertimbangan hukum kepada presiden,'' ujarnya. Ia menolak komisi ini akan menjustifikasi pelanggaran
HAM. ''Itu salah, seolah-olah komisi ini seperti menjual surat pengampunan dosa. Komisi ini justru
mengungkapkan kebenaran sebuah peristiwa.''
kli
Secara historis amnesti bak ''fosil hidup''. Ia peninggalan zaman ketika seorang raja yang maha perkasa
mempunyai kekuasaan untuk menghukum dan mengurangi sanksi senagi tindakan kemurahan hati. Kini,
amnesti berkembang menjadi sebuah ''alat'' politik praktis. Misalnya, digunakan demi kepentingan
mengamankan konsolidasi demokratik dan stabilitas masa depan pemerintahan yang baru merangkak dari
kubangan otoritarian atau totaliter. Meski begitu, amnesti harus disesuaikan dengan aturan hukum yang
berlaku.
Kata 'Amnesti' sendiri berasal dari bahasa Yunani, 'amnestia' yang berarti 'melupakan atau suatu tindakan
melupakan'. Berdasar beberapa pendapat ahli hukum dapat digarisbawahi bahwa amnesti merupakan
kewenangan yang berada di tangan pemegang kekuasaan negara (presiden) untuk membebaskan
tanggungjawab pidana seseorang yang melakukan pelanggaran hukum. Tetapi, kewenangan ini tidak
diterapkan bagi aparatnya sendiri, karena membuka peluang negara mengadili sendiri kasusnya. Di
samping itu, orang yang mendapat amnesti tidak dapat lagi dituntut secara perdata --misalnya oleh sanakkeluarga korban. Alasannya, tanggungjawabnya sudah diambil alih negara.
Hakim menambahkan, amnesti sebagai jalan keluar ketika proses formal tidak bisa diberikan akibat kondisi
objektif 'perangkat hukum transisi'. Kasusnya pun bervariasi. Sedangkan proses menuju permohonan
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 148
amnesti tidaklah mudah, sebab melewati pembahasan dan perdebatan. Kalau presiden tidak memberi
amnesti berarti kasusnya harus ke pengadilan HAM ad hoc.
Bila instrumen hukum amnesti dipilih, maka pertanyaannya sekarang adalah seberapa jauh kesesuaiannya
(compatibility) dengan hukum internasional. Bukankah pemberian amnesti oleh negara kepada aparatnya
sendiri pada dasarnya berwujud pengingkaran terhadap prinsip tanggungjawab negara berdasarkan hukum
internasional?
LS
AM
Hukum HAM internasional secara tegas membebankan kewajiban kepada negara melakukan pengusutan
dan penghukuman terhadap pelanggar berat HAM. Hal ini bukan saja datang bukan saja digariskan oleh
perjanjian-perjanjian multilateral HAM, namun juga berasal dari hukum kebiasaan internasional.
Kewajiban ini bersifat imperatif terhadap negara-negara; negara wajib melaksanakannya.
Di sini terlihat jelas tidak terjadi kompatibilitas antara kewajiban yang dipikul hukum internasional dengan
kebijakan pemberian amnesti. Tak mengherankan bila badan-badan HAM PBB mengecam sederet panjang
pemberian amnesti, termasuk yang dikeluarkan pemerintahan transisi.
Apakah kewajiban internasional dimaksud harus selalu dipahami demikian? Jose Zalaquette, bekas
pengacara HAM Amnesti Internasional berkebangsaan Chili, mengemukakan ketidaksetujuannya pada
pandangan tersebut. Dia tidak sependapat dengan pemberlakuan kewajiban internasional secara kaku.
pin
gE
Menurut Zalaquett, secara prinsip pendekatan itu benar --sejauh berdasar kecenderungan bahwa setiap
langkah yang bertujuan mencairkan tanggungjawab negara dapat memperlemah perlindungan HAM dan
hukum internasional. Namun, ia mengingatkan, penetapan standar terlalu kaku dan tidak praktis, dapat
merusak hukum internasioanl sendiri.
''Dalam situasi transisi, pemerintah seringkali tidak memiliki kekuatan dalam melaksanakan banyak
kewajiban positif.... Haruskah pemerintah berusaha melaksanakan kewajiban itu dengan menanggung
risiko ditumbangkan oleh pihak-pihak yang tanggungjawabnya sedang diselidiki?'' tulis Pepa, sapaan akrab
Zalaquett, dalam sebuah makalahnya yang diterbitkan Aspen Institute (State Crime: Punishment or Pardon,
1989)
''Toleransi'' khusus kepada suatu negara, khususnya yang berada di tengah dilema transisi, dapat
diposisikan dalam konteks ''public emergency'' --sebagaimana diatur pasal 4 Persetujuan Internasional Hakhak Sipil dan Politik. Negara yang sedang menghadapi emergency dibolehkan melakukan pengurangan
(derogation) sebagian kewajiban internasionalnya. Singkatnya, pemberian amnesti tidak harus selalu
dipandang sebagai kebijakan yang inkonsisten dengan hukum internasional.
kli
Pengalaman Afrika Selatan
KKR Afrika Selatan melahirkan aturan pemberian amnesti dari hasil negosiasi politik yang alot antara
kekuatan politik Apartheid dengan anti-Apartheid. Kekuatan politik Apartheid bersedia memuluskan
perjalanan transisi ke demokrasi jika mereka diberi garansi tidak digelandang ke pengadilan.
Begitulah realitas yang dihadapi KKR Afsel. Pencermatan terdapatnya membawa KKR Mandela
mengawinkan pemberian amnesti dengan proses penemuan kebenaran dan pemberian kompensasi pada
korban. Inilah yang membedakan KKR Afsel dengan Chili.
Di Afsel, pemberian amnesti berdasar kemauan pelaku (secara individual) mengakui perbuatannya secara
jujur. Bukan dengan pendekatan kolektif, tanpa pengakuan individual dari si pelaku (blanket amnesty) -seperti yang terjadi di negara-negara Amerika Latin.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 149
Pada kasus Afsel, mereka yang dapat mengajukan amnesti terbatas: (1) anggota suatu organisasi politik
yang telah dikenal secara umum atau anggota gerakan pembebasan; (2) pegawai atau anggota pasukan
keamanan negara yang mencoba membalas atau melawan perjuangan suatu partai politik atau gerakan
pembebasan; (3) pegawai atau anggota pasukan keamanan negara yang terlibat dalam suatu pergulatan
politik melawan negara (atau bekas negara); dan (4) setiap orang yang terlibat dalam usaha kudeta atau
percobaan kudeta. Jadi, hanya orang-orang yang memiliki motif folitik saja yang dipertimbangkan
mendapat amnesti. Pelaku kriminal sama sekali tidak menjadi urusan KKR. Penggodokan amnesti di dapur
Komite Amnesti. Ribuan permohonan amnesti di terima Komite. Sebagian besar ditolak karena alasan
administratif.
LS
AM
Mereka yang permohonannya lolos pemeriksaan administrasi akan menjalanin pemeriksaan untuk menguji
kebenaran pengakuannya. Khusus bagi mereka yang dikategorikan melakukan pelanggaran berat HAM,
pemeriksaan dilakukan secara terbuka melalui panel dengar pendapat (public hearing). Pesertanya paling
tidak tiga orang anggota, dipimpin hakim pengadilan tinggi. Prosedurnya sangat yudisial.
pin
gE
Bukti-bukti pernyataan diperlakukan sebagai subyek untuk pembuktian timbal-balik. Semua pihak yang
dianggap terlibat diundang untuk hadir dan berpartisipasi dalam panel yang terbuka bagi publik dan media
massa. Dalam beberapa kasus tertentu, KKR menyediakan bantuan hukum. Keputusan Komite Konstitusi
berdasar suara mayoritas panel, dan diumumkan kepada publik. Terhadap keputusan Komite, tidak tersedia
mekanisme banding. Namun, keputusan amnesti dapat ditantang melalui Mahkamah Konstitusi. Korban
atau keluarganya yang tidak puas terhadap keputusan amnesti dapat menantang konstitusionalitas suatu
undang-undang dengan mempertanyakan kompatibilitas undang-undang tersebut (UU Komisi Kebenaran)
dengan hukum internasional.
kli
Menurut catatan Nicholas Haysom, penasihat hukum Nelson Mandela selama menjabat presiden (19941999), sekitar 10 ribu orang di Afsel memperoleh amnesti. Mereka pelanggar HAM dari warga kulit putih
maupun hitam.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 150
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
Inikah Prioritas KKR
Tragedi Tanjung Priok
Tragedi ini terjadi pada September 1984. Saat itu hampir tengah malam, tiga orang juru dakwah, Amir
Biki, Syarifin Maloko dan M. Nasir berpidato berapi-api di jalan Sindang Raya, Priok.
Mereka menuntut pembebasan empat pemuda jamaah Mushala As-Sa'adah yang ditangkap petugas Kodim
Jakarta Utara.
LS
AM
Empat pemuda itu digaruk tentara karena membakar sepeda motor Sertu Hermanu. Anggota Babinsa Koja
Selatan itu hampir saja dihajar massa jika tak dicegah oleh seorang tokoh masyarakat di sana.
Ketika itu, 7 September 1984, Hermanu melihat poster ''Agar para wanita memakai pakaian jilbab.' Dia
meminta agar poster itu dicopot.
Tapi para remaja masjid itu menolak. Esoknya Hermanu datang lagi, menghapus poster itu dengan koran
yang dicelup air got. Melihat itu, massa berkerumun, tapi Hermanu sudah pergi. Maka beredarlah desasdesus 'ada sersan masuk mushola tanpa buka sepatu dan mengotorinya.' Massa
rupanya termakan isu itu. Terjadilah pembakaran sepeda motor itu.
Maka, pengurus Musholla pun meminta bantuan Amir Biki, seorang tokoh di sana agar membebaskan
empat pemuda yang ditahan Kodim itu. Tapi ia gagal, dan berang. Ia lantas mengumpulkan massa di
jalan Sindang Raya dan bersama-sama pembicara lain, menyerang pemerintah. Biki dengan mengacungkan
badik, antara lain mengancam RUU Keormasan.
pin
gE
Pembicara lain, seperti Syarifin Maloko, M. Natsir dan Yayan, mengecam Pancasila dan dominasi Cina
atas perekonomian Indonesia. Di akhir pidatonya yang meledak-ledak, Biki pun mengancam, ''akan
menggerakkan massa bila empat pemuda yang ditahan tidak dibebaskan.'' Ia memberi batas
waktu pukul 23.00. Tapi sampai batas waktu itu, empat pemuda tidak juga dibebaskan.
Maka, Biki pun menggerakkan massa. Mereka dibagi dua; kelompok pertama menyerang Kodim.
Kelompok kedua menyerang toko-toko Cina. Bergeraklah dua sampai tiga ribu massa ke Kodim di jalan
Yos
Sudarso, berjarak 1,5 Km dari tempat pengerahan massa.
kli
Biki berjalan di depan. Tapi di tengah jalan, depan Polres Jakarta Utara, mereka dihadang petugas. Mereka
tak mau bubar. Bahkan tak mempedulikan tembakan peringatan. Mereka maju terus,
menurut versi tentara, sambil mengacung-acungkan golok dan celurit.
Masih menurut sumber resmi TNI, Biki kemudian berteriak, Maju...serbu...' dan massa pun menghambur.
Tembakan muntah menghabiskan banyak sekali nyawa. Biki sendiri tewas saat itu juga.
Keterangan resmi pemerintah korban yang mati hanya 28 orang. Tapi dari pihak korban menyebutkan
sekitar tujuh ratus jamaah tewas dalam tragedi itu. Setelah itu, beberapa tokoh yang dinilai terlibat dalam
peristiwa itu ditangkapi; Qodir Djaelani, Tony Ardy, Mawardi Noor, Oesmany Al
Hamidy. Ceramah-ceramah mereka setahun sebelumnya terkenal keras; menyerang kristenisasi,
penggusuran, Asaa Tunggal Pancasila, Pembatasan Izin Dakwah, KB, dan dominasi ekonomi oleh Cina.
Empat belas jam setelah peristiwa itu, Pangkopkamtib LB Moerdani didampingi Harmoko sebagai Menpen
dan Try Sutrisno sebagai Pangdam Jaya memberikan penjelasan pers. Saat itu Benny menyatakan telah
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 151
terjadi penyerbuan oleh massa Islam di pimpin oleh Biki, Maloko dan M. Natsir. Sembilan korban tewas
dan 53 luka-luka, kata Benny.
Wardisi Lampung
Peristiwa ini terjadi di Cihedeung, Dukuh Talangsari III, Desa Rajabasa Lama Kec. Way Jepara Lampung
Tengah pada 7 Februari 1989. Kasus pembantaian ini bermula ketika Danramil 41121 Way
Jepara Kapten Soetiman menerima sepucuk surat dari Camat Zulkifli Maliki. Isinya; Di Dukuh
Cihedeungada yang melakukan kegiatan mencurigakan dengan kedok pengajian. Laporan dari Kepala
Dusun Cihideung, Sukidi, itu kemudian dijadikan oleh Soetiman untuk memanggil tokoh pengajian itu
yang bernama Anwar.
LS
AM
Soetiman meminta agar Anwar selambat-lambatnya 1 Februari 1989 menghadap. Tapi Anwar menolak. Ia
justru malah meminta agar Danramil yang datang ke tempatnya.
Merasa ditolak, giliran Zulkifli sang Camat yang memanggil Anwar. Tapi juga tak diindahkan. Anwar
malah memanggil Muspika agar datang ke tempatnya.
Kemudian pada 5 Februari 1989, sekitar enam pemuda desa Cihideung yang sedang ronda disergap oleh
tentara. Saat itu pihak aparat berhasil menyita 61 pucuk anak panah dan ketapel kayu.
Sehari setelah itu, Kasdim 0411 Lampung Tengah, Mayor E.O Sinaga, mengajak Soetiman, Zulkifli dan
Letkol Hariman S. (Kakansospol) dan beberapa staf CPM ke Cihideung untuk memenuhi undangan Anwar.
Ternyata, sesampainya di sana mereka malah dihujani anak panah. Soetiman tewas.
pin
gE
Pada hari yang sama, di tempat yang lain, sekelompok orang menyerang Pos Polisi yang menjaga hutan
lindung di Gunung Balak. Dua polisi terluka. Kepala Desa Sidorejo, Santoso Arifin dibunuh.
Malam harinya sebuah oplet di jalan Sri Bawono disergap gerombolan. Sopir opelet dibunuh dan
kernet dilukai. Pratu Budi Waluyo yang kebetulan berada di lokasi itu juga tewas.
Maka pada 7 Februari 1989, usai sholat subuh, tiba-tiba terdengan serentetan tembakan. Lalu api menjilatjilat ke bangsal tempat jamaah Wardisi menginap. Suara tembakan itu disambut dengan
takbir,''Allahu akbar....'', berbaur dengan jerit tangis dan histeria.
Serangan fajar itu berasal dari empat peleton tentara dan 40 anggota Brimob di pimpin langsung oleh
Komandan Korem 043 Garuda Hitam (saat itu) Kolonel A.M. Hendropriyono.
kli
Setelah usai suara tembakan itu, jumlah korban versi tentara menyebutkan hanya 27 orang. 'Berapapun
yang tewas, bagi kami itu tetap tragedi kemanusiaan yang tidak bisa didiamkan,'' tandas Fikri Yasin
Koordinator Komite Smalam, sebuah LSM yang getol memperjuangkan nasib korban
pembantaian Lampung.
Bahkan, menurut Yasin, pihaknya mendata korban tewas mencapai 246 orang, belum termasuk yang
hilang. Dari keseluruhan korban itu, 127 diantaranya perempuan.
Kini kasus ini makin kontroversi ketika kubu Hendropriyono menggagas ishlah. Sebagian korban menolak
gagasan itu. Tapi sebagian lain mengikuti langkah Hendro untuk melakukan ishlah. Kabar terbaru
menyebutkan para korban yang mau ishlah telah mencabut pernyataannya dengan alasan, ''Banyak
komitmen Hendro yang diingkari. Makanya kami mencabut ishlah,'' kata Wahid salah satu korban yang
mencabut ishlah itu.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 152
Versi lain mengatakan, peristiwa lampung sendiri meletus setelah tentara merasa gerah dengan gerakan
Warsidi di pesantrennya yang berkembang pesat dan hidup secara eksklusif. Merasa wilayahnya terganggu
oleh kegiatan mereka, Hendro pun berulah dan membuat keributan yang berakhir dengan pembantaian
komunitas Warsidi yang ingin sekedar bisa hidup lebih islami.
Trisakti, Semanggi I dan II
Tragedi Trisakti tanggal 12 Mei 1998 menjadi pemicu kerusuhan sosial yang mencapai klimaksnya pada 14
Mei 1998. Tragedi dipicu oleh menyalaknya senapan aparat yang menewaskan empat mahasiswa Trisakti.
LS
AM
Kerusuhan, menurut laporan Relawan Kemanusiaan, tidak berlangsung begitu saja. Fakta yang aneh,
menurut mereka, setelah terjadi aksi kerusuhan yang sporadis, aparat tampak menghilang, sementara
sebagian kecil saja hanya memandangi aksi penjarahan yang berlangsung didepan mereka.
Masih menurut laporan Relawan, kerusuhan itu tampak direkayasa. Aksi itu dipimpin oleh sekelompok
provokator terlatih yang memahami benar aksi gerilya kota. Secara sporadis mereka mengumpulkan dan
menghasut massa dengan orasi-orasi. Ketika massa mulai terbakar mereka meninggalkan
kerumunan massa dengan truk dan bergerak ke tempat lain untuk melakukan hal yang sama.
Dari lokasi yang baru, kemudian mereka kembali ke lokasi semula dengan ikut membakar, merampon malmal. Sebagian warga yang masih dalam gedung pun ikut terbakar. Data dari Tim Relawan menyebutkan
sekurangnya 1190 orang tewas terbakar dan 27 lainnya tewas oleh senjata.
pin
gE
Tragedi Trisakti kemudian disusul oleh tragedi semanggi I pada 13 November 1998. Dalam tragedi itu,
unjuk rasa mahasiswa yang dituding mau menggagalkan SI MPR harus berhadapan dengan kelompok
Pam Swakarsa yang mendapat sokongan dari petinggi militer.
Dalam tragedi Semanggi I yang menewaskan lima mahasiswa, salah satunya Wawan seorang anggota Tim
Relawan untuk Kemanusiaan ini, tampak tentara begitu agresif memburu dan menembaki mahasiswa.
Militer dan polisi begitu agresif menyerang mahasiswa, seperti ditayangkan oleh sebuah video
dalam Rapat Dengar Pendapat Umum di DPR Selasa 6 Maret 2001.
Rekaman itu memperlihatkan bagaimana polisi dan tentara yang berada di garis depan berhadapan dengan
aksi massa mahasiswa yang tenang. Pasukan AD yang didukung alat berat militer ini melakukan
penembakan bebas ke arah mahasiswa.
kli
Para tentara terus mengambil posisi perang, merangsek, tiarap di sela-sela pohon sambil terus menembaki
mahasiswa yang berada di dalam kampus. Sementara masyarakat melaporkan saat itu dari
atap gedung BRI satu dan dua terlihat bola api kecil-kecil meluncur yang diyakini sejumlah
saksi sebagai sniper. Serbuan tembakan hampir berlangsung selama dua jam.
Satu tahun setelah itu, tragedi Semanggi II terjadi. Dalam kasus ini 10 orang tewas termasuk Yun Hap, 22,
mahasiswa Fakultas Teknik UI, ikut tewas. Insiden ini terjadi di tengah demonstrasi penolakan mahasiswa
terhadap disahkannya RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB).
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 153
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
Dari Tunggul Ametung hingga Trisakti
KKR, dari sudut pandang bangsa transisi, jelas kebutuhan yang tidak bisa ditawar. Lalu peristiwa
kemanusiaan mana saja yang harus ditangani? Apakah Tragedi Tunggul Ametung salah satu kasus yang
harus diungkap?
--------
LS
AM
Belakangan ini memang muncul pendapat bahwa kekerasan yang terjadi di tanah air perlu diungkap dengan
dua tujuan. Pertama, agar kejadian itu tidak terulang. Kedua, terciptanya rekonsiliasi antara kelompok
masyarakat yang menjadi korban dan pelaku kekerasan.Dengan begitu, pengungkapan kebenaran adalah
prasyarat rekonsiliasi. Rekonsiliasi berarti mengungkap kebenaran, mengakui kesalahan dan memaafkan
semua itu. Dengan begitu, omong kosong terjadi rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran. Menteri
Pertahanan Kabinet Gus Dur, Mahfud MD, pernah mengusulkan agar kasus Soeharto ''diputihkan'' saja,
demi menjaga keutuhan bangsa. Gagasan ini tentu bertolak belakang dengan prinsip dasar kebenaran dan
rekonsiliasi. Menteri ini lebih mengedepankan prinsip ''rekonsiliasi tanpa mengungkap kebenaran''. Bila ini
dijalankan, rasa keadilan masyarakat terinjak.
pin
gE
Debat mengenai wilayah dan jangkauan waktu kerja Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) bukan
persoalan gampang. Masalah ini menyangkut soal kewenangan, bahkan kredibilitas KKR. Yang menjadi
pertanyaan kemudian, bagaimana periodisasi peristiwa dalam kerangka penyelesaian kasus kejahatan
HAM? Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam sempat melontarkan pertanyaan itu. Pada wilayah mana KKR
bekerja, tergantung jawaban atas pertanyaan: ''Sejak kapan terjadi pelanggaran HAM di negeri ini?'' Bagi
Asvi, peristiwa politik di Istana Tumapel, dengan tewasnya Tunggul Ametung pada abad XIII bisa masuk
kriteria pelanggaran HAM. ''Karena saat itu pertikaian politik berakhir dengan pembunuhan politik,''
katanya tandas.
Kekerasan, tambah Asvi, juga terjadi di kerajaan lain. Meski perlu pembuktian sejarah lebih lanjut, Asvi
menuturkan bahwa pada tingkat elit, Sultan Iskandar Muda yang memerintah kerajaan Samudra Pasai tahun
1607-1636, di samping memiliki beberapa kehebatan, oleh seorang Laksamana Perancis, Beaulieu,
dikenang sangat kejam. ''Karena sang Sultan tega menyiksa perempuan sampai tiga jam lebih.'' Tapi apakah
kerajaan Tumapel atau Samudra Pasai saat itu sudah merupakan bagian dari negara Indonesia?
kli
Fenomena kekerasan lain bisa dilihat saat Belanda berkuasa di Indonesia. Menurut Profesor Henk Schulte
Nordholt dari Universitas Amsterdam, pemerintah kolonial Belanda berperan besar atas munculnya budaya
kekerasan di Indonesia. Pada 1885-1910 sebanyak 100.000-125.000 orang tewas menjadi korban
pemerintah kolonial Belanda. Korban paling banyak di Aceh. Karena saat itu Belanda mengirimkan
pasukan Marsose (brigade khusus seperti Kopassus) yang menewaskan 75.000 warga sipil Aceh. Tindakan
ini diambil untuk mempertahankan stablitas politik dan keamanan di wilayah jajahan Belanda.
Sementara Asvi menambahkan, KKR memang bisa saja mengusut pelanggaran HAM sampai ke zaman
penjajahan Belanda. Begitupun kekerasan yang terjadi di zaman pendudukan Jepang, kekejaman terhadap
Romusha, maupun terhadap jugun ianfu, perempuan pribumi yang menjadi penghibur tentara Jepang.
Kasus yang terakhir, menurut Asvi, ''Sampai sekarang belum selesai.'' Meski begitu, semua itu tidak ada
kaitannya dengan rekonsiliasi nasional yang kita inginkan, ''karena itu saya berpendapat pengususutan itu
hendaknya dilakukan setelah Indonesia merdeka.''Onghokham mempunyai pandangan lain. Menurutnya,
meski kekerasan yang bersifat sistematis itu bisa dibilang telah dimulai sejak pada masa kolonial Belanda,
korban kekerasan pasca 1965 jauh lebih besar daripada masa sebelum kemerdekaan. Dengan kata lain,
masih pendapat pakar sejarah Indonesia ini, masa 350 tahun keberadaan Belanda di Indonesia memakan
korban lebih sedikit daripada 35 tahun Indonesia saat diperintah oleh bangsa sendiri.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 154
Memang kini muncul pandangan bahwa periodisasi peristiwa yang harus diselidiki KKR adalah 1 Oktober
1965 sampai Oktober 1999. Daniel Dhakidae, salah satu pengamat yang mendukung pandangan itu.
''Peristiwa 1 Oktober 1965 itu merupakan simpul pertama yang menjadi awal segala kekacauan selama ini,''
katanya. Simpul kedua, masil menurut Daniel, adalah ketidakadilan terhadap kelompok Islam, termasuk
Tragedi Tanjung Priok dan Lampung. Sedangkan simpul terakhir adalah semua kasus HAM belakangan,
mulai dari peristiwa penghilangan mahasiswa. ''Juga termasuk kejahatan HAM di Aceh, Timtim, dan
Papua.''
LS
AM
Meski begitu, tegas Asvi, periodisasi yang diusulkan Daniel, rawan protes masyarakat. ''Karena bisa
muncul kesan bahwa KKR melindungi para PKI.'' Karena itu, Asvi pun mengusulkan agar periodisasi itu
diusulkan dimulai dari Juli 1959 sampai Mei 1998.
Tanggal 5 Juli 1959, menurut peneliti LIPI ini, adalah dikeluarkannya Dekrit Presiden Soekarno yang
menandai dimulainya zaman demokrasi terpimpin. Sejarah mencatat, sebelumnya Muhammad Hatta
sebagai Wakil Presiden mengundurkan diri, sehingga Soekarno saat itu menjadi pemegang kekuasaan
tunggal. ''Dengan begitu pada masa itulah kekuasaan mulai memusat pada negara, bukan lagi pada
masyarakat. Dengan demikian, ''Investigasi mencakup dua rezim, rezim Soekarno (dari era demokrasi
terpimpin, 5 Juli 1959 sampai 31 September 1965) dan rezim Soeharto (sepanjang Orde Baru i Oktober
1965 sampai 22 Mei 1998).
pin
gE
Meski begitu, Asvi menyatakan, usulan periodisasi itu tidaklah absolut. Kalaulah pada 1959 tidak
disetujui, bisa saja dipakai acuan mulai 17 Agustus 1945. Menetapkan awal periodisasi lebih mudah
daripada menentukan akhir periodi. Bagi Asvi, investigasi itu cukup sampai 1998. Tapi, mungkin dengan
alasan-alasan tertentu ada pihak lain yang menginginkan sampai kasus Semanggi II pada 1999.
Seperti diketahui, dalam periodisasi itu (1959-1998) terjadi beberapa peristiwa pelanggaran berat HAM
dalam sejarah Indonesia.
kli
Kejadian-kejadian itu antara lain; a. Ekses demokrasi terpimpin berupa aksi sepihak kelompok kiri dan
penangkapan tokoh-tokoh Masyumi/PSI dengan korban terutama dari pihak Islam. b. Pembantaian
1965/1966 dengan korban kelompok Komunis. c. Penahanan politik di kamp pulau Buru (1969-1979)
dengan korban kelompok Komunis. d. Kasus Komando Jihad era 1980-an dengan korban kelompok Islam.
e. Kasus Timor Timur dengan korban warga sipil. f. Kasus Aceh dengan korban sipil. g. Kasus Papua
dengan korban sipil. h. Penembakan misterius dengan korban preman jalanan. i. Kasus Tanjung Priok,
korban kelompok Islam. j. Kasus Lampung, korban kelompok Islam. k. Peristiwa 27 Juli 1996, korban
simpatisan/warga PDI Perjuangan dan kerusuhan Mei 1998, korban masyarakat luas terutama kaum
Tionghoa.
Problem wewenang KKR tidak hanya pada tingkat penetapan periodisasi peristiwa. Tapi, menjadi ''aneh''
bila rekonsiliasi tercapai. Rekonsiliasi itu antara siapa dengan siapa?Dari segi jumlah korban, kekerasan
sebelum 1965 jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan korban pembantaian pasca G30S. Mungkin, masih
ulas Asvi, konflik horizontal antara kelompok masyarakat dapat didamaikan.
Tapi kejahatan negara terhadap masyarakat tetap harus diusut. Termasuk kejahatan negara itu adalah
operasi militer, terutama yang dilakukan di Jawa Tengah dalam rangka membasmi PKI sampai akarakarnya.
Asvi menambahkan, rekonsiliasi itu, kalaulah ada, hendaknya lintas ideologi (antara orang Islam dengan
kelompok eks komunis), lintas etnis (contoh Dayak-Madura, kelompok Bugis-Buton-Madura (BBM)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 155
dengan berbagai suku di Irian Jaya. Di samping itu etnis Tionghoa perlu dilibatkan dalam berbagai sektor
sebagaimana etnis lain di Indonesia), lintas pemeluk agama (Ambon Islam dengan Ambon Kristen).
Tetapi yang paling krusial, tambah Asvi, adalah rekonsiliasi antara sipil dengan militer. Hampir semua
pemberontakan yang terjadi sepanjang sejarah tentu melibatkan kelompok bersenjata (militer atau elit
militer). Semua kekerasan berdarah sejak Indonesia merdeka juga menyangkut pihak militer. Dan, yang
selalu menjadi korban adalah pihak sipil (tentu ditambah sedikit dari militer). Hubungan sipil-militer itu
yang akan menentukan apakah di masa datang masih akan terjadi pelanggaran berat HAM.
kli
pin
gE
LS
AM
Melihat berbagai kerumitan ini, untuk menegakkan keadilan bagi masyarakat, kita memang kelihatannya
harus bersabar untuk menunggu hasil akhir pembahasan RUU KKR oleh para wakil rakyat di Senayan itu.
Apapun sudah selayaknya, semua pihak mendorong agar RUU itu segera bisa selesai. Dengan begitu
harapan akan keadilan, kepuasan, dan mungkin rekonsiliasi bisa terwujud segera.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 156
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
Kontroversi G30S
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi
kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan
para aktivis PKI.
Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan
banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. ''Anggaplah
kasus ini selesai,'' jelasnya. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi
pasca G30S.
LS
AM
Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar
pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit --kecuali Angkatan Bersenjata (AB)
dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai
dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh
koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965.
pin
gE
Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang
memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis.
Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai
dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ''Mereka menggunakan alat pisau
atau golok,'' urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke
tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya,
''Kejadian itu biasanya malam.'' Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi
memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk
massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka
agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam
menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.
kli
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula
menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb,
berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak
dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani
itu memicu kemarahan massa.
Karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara
konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski
memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara
terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai
bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di
tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ''Atau militer setidaknya memberi contoh,''
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 157
ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan
permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin
banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa
dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23
September 2000 dengan tema ''Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah'', secara tegas
menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan
sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern
Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini.
LS
AM
Peritiwa inilah, simpul pertemuan itu, merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak
orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.
Hardoyo, seorang mantan anggota DPRGR/MPRS dari Fraksi Golongan Karya Muda, satu ide dengan hasil
pertemuan Belgia. ''Biar adil mestinya langkah itu yang kita lakukan.''
Mantan tahanan politik 1966-1979 ini kemudian bercerita. "saya pernah mewawancarai seorang putera dari
sepasang suami-isteri guru SD di sebuah kota di Jawa Tengah. Sang ayah yang anggota PGRI itu dibunuh
awal November 1965. Sang ibu yang masih hamil tua sembilan bulan dibiarkan melahirkan putera
terakhirnya, dan tiga hari setelah sang anak lahir ia diambil dari rumah sakit persalinan dan langsung
dibunuh."
pin
gE
Menurut pengakuan sang putera yang pada 1965 berusia 14 tahun, keluarga dari pelaku pembunuhan orang
tuanya itu mengirim pengakuan bahwa mereka itu terpaksa melakukan pembunuhan karena diperintah
atasannya. Sedangkan Ormas tertentu yang menggeroyok dan menangkap orang tuanya mengatakan bahwa
mereka diperintah oleh pimpinannya karena jika tidak merekalah yang akan dibunuh. Pimpinannya itu
kemudian mengakui bahwa mereka hanya meneruskan perintah yang berwajib.
Hardoyo menambahkan: kemudian saya tanya, ''Apakah Anda menyimpan dendam?'' Sang anak menjawab,
''Semula Ya.'' Tapi setelah kami mempelajari masalahnya, dendam saya hilang. ''Mereka hanyalah
pelaksana yang sebenarnya tak tahu menahu masalahnya.'' Mereka, tambah Hardoyo, juga bagian dari
korban sejarah dalam berbagai bentuk dan sisinya.
kli
Bisa jadi memang benar, dalam soal G30S atau soal PKI pada umumnya, peran KKR kelak harus memilah
secara tegas, pasca 1 Oktober versus sebelum 1 Oktober.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 158
Majalah Gamma, No. 43, 12 -18 Desember 2001
Mari Optimis saja
Beragam pendapat soal upaya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Ada yang antusias
menanti, ada yang curiga, dan pesimis. Terekam pula bahwa tak sedikit yang belum mengetahui persis
rancangan KKR yang telah dirumuskan. Ini semua menjadi bahan untuk perumus UU KKR yang terbaik.
LS
AM
Patrialis Akbar (Anggota Komisi II DPR ): Jangan Pesimis Dulu
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi bagian Tap MPR yang meminta pemerintah membuat UU tentang
komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Kalau pemerintah sudah membuat RUU-nya, itu bagus. Apalagi bila
sudah tahap penyelesaian. Kami di DPR akan mendukungnya. Sekarang tinggal menunggu pemerintah
mengajukan RUU itu ke DPR.
Sekarang banyak sekali persoalan kebangsaan yang menjadikan kita satu sama lain agak jauh. Tapi perlu
diingat bahwa rekonsilasi tidak otomatis mengurangi tuntutan hukum. Masalah yang betul-betul merupakan
pelanggaran HAM harus tetap diproses. Kecuali kalau pihak korban memaafkan. Jadi, rekonsiliasi arahnya
ke sana.
Dengan begitu, kita tidak selalu meributkan persoalan-persoalan hukuman. Masalah hukum dan
penyelesaian sosial bagian demokrasi. Tapi, kalau persoalannya memang harus diselesaikan secara hukum,
itu juga bagian dari rekonsiliasi. Penyelesaian secara sosial bisa saja dengan memberikan kompensasi pada
korban.
pin
gE
Akankah KKR akan dimanfaatkan pihak tertentu untuk menghapus dosa masa lalunya? Bagi saya, komisi
itu nanti bukan alat untuk menindas atau penekan orang lain. Makanya, segala sesuatunya, menyangkut
persyaratan dan kemungkinan-kemungkinan lain nanti harus jelas dalam KKR.
Jika KKR terbentuk sebagai amanat UU, semua pihak harus menerima. Tidak ada alasan siapapun,
misalnya militer, untuk menolak. Semua pihak harus menerima karena RUU-nya dibahas bersama. Jadi kita
tidak melihat secara parsial lagi, apakah si A menerima dan si B menolak. Kalau sudah menjadi
kesepakatan bersama harus diterima.
kli
Memang, seringkali aturan hanya baik di atas kertas. Tapi, jangan pesimis dulu terhadap KKR. Sekarang
juga kita sedang bahas Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kalau kita berpikir pesimis untuk
apa kita bentuk itu . Kan sudah ada Kejaksaan Agung yang menangangi korupsi. Tapi kita tetap bentuk
komisi independen. Kalau kita hanya mengandalkan yang sudah ada kita tidak akan melangkah ke depan.
Mari kita optimis saja, dan kita coba.
Teman-teman di DPR, sekarang, belum sampai menyorot soal siapa yang pantas memimpin KKR nantinya.
Tapi spesifikasinya, ketua KKR adalah figur arif, bisa tampil di hadapan masyarakat, selama ini dikenal
independen, dan menunjukan sikap yang tidak memihak pada kelompok manapun, punya integritas tinggi,
bermoral, bertanggungjawab, dan berwibawa. KKR harus dipimpin orang yang //tawadu'//, kuat secara
iman dan kuat mental karena akan selalu berhadapan dengan masalah besar dan akan menghapi banyak caci
maki. Caci maki muncul karena untuk menjadikan masyarakat secara luas sadar, tidak bisa dalam waktu
singkat --pasti banyak yang berbeda pendapat, terutama dari para korban di masa lalu.
KKR sendiri hanya salah satu komponen untuk menyelesaikan betapa banyak masalah yang dihadapi
bangsa. Tentu masalah-masalah yang kita bisa selesaikan secara kekeluargaan tidak perlu kita ributkan
kembali.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 159
Pudin, 31 tahun (Sopir Angkutan Kota, Warga Depok): DPR Hati-hati Bahas KKR
Rencana pemerintah membuat Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran perlu dipertanyakan latarbelakangnya.
Rekonsiliasi seperti apa yang dikejarnya. Apakah rekonsiliasi yang dimaksud pemerintah itu untuk
memaafkan semua kesalahan para pelanggar HAM dan ekonomi di masa lalu, tanpa memberi mereka
hukuman. Enak //bener//.
Jika rekonsiliasnya untuk memaafkan semua kesalahan masa lalu pelanggar HAM atau para Koruptor, saya
tidak setuju. Saya ini putus sekolah karena mereka, para koruptor itu. Tapi kalau rekonsiliasi dengan tetap
menghukum mereka yang bersalah di masa lalu, silakan. Ya, //tho//?
LS
AM
Masa mereka yang membantai umat Islam di Tanjung Priok, di Lampung, dan Aceh dimaafkan begitu saja.
Kapan keadilan ditegakkan bagi pembunuh-pembunuh itu. Atau para pelaku korupsi serta konglomerat
yang membuat ekonomi terpuruk, dimaafkan begitu saja dan utang-utang mereka menjadi tanggungan
negara? Saya yakin kalau itu yang terjadi, kejahatan-kejahatan masa lalu akan terulang kembali di masa
datang karena calon pelaku kejahatan baru melihat tidak ada hukuman apa-apa.
Untuk itu saya mengusulkan sekalipun ada rekonsiliasi, tapi tidak mengurangi upaya menempuh jalur
hukum terhadap pelangar HAM, koruptor, serta konglomerat nakal. Justru, menurut saya, rekonsiliasi baru
ada jika yang bersalah dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Jika tidak para korban justru akan
merasa tidak diperhatikan pemerintah dan melupakan penderitaan mereka.
pin
gE
Saya juga berpendapat, jangan sampai rekonsiliasi dipaksakan. Karena bisa saja nanti dengan dalih
rekonsiliasi para korban dipaksa menyetujui format rekonsiliasi yang dihasilkan pemerintah. Saya tidak
yakin dengan rekonsiliasi masalah-masalah bangsa akan bisa diatasi segera. Bisa-bisa malah menimbulkan
masalah baru karena bisa saja timbul ketidakpuasan korban kejahatan masa lalu. Jangan-jangan para
penjahat HAM masalah itu ingin lepas melalui usaha rekonsiliasi ini. Saya minta agar DPR tidak begitu
saja menerima RUU KKR itu. DPR harus benar-benar berhati-hati agar hasilnya memuaskan rakyat, bukan
untuk orang atau kelompok tertentu.***
Wisnu Sunandar (Ketua Umum BEM Universitas Indonesia): Ungkaplah Kebenaran
Prinsipnya, tidak ada rekonsiliasi tanpa penegakan hukum. Semua persoalan masa lampau harus dibawa ke
pengadilan untuk diadili. Yang bersalah harus dikatakan bersalah. Jika rekonsiliasi terjadi akan membuat
tuntutan hukum menjadi kabur dari substansi masalah. Termasuk kesalahan masa lampau akan kabur
semuanya. Sedangkan masyarakat Indonesia mengharapkan keadilan ditegakkan terhadap pelanggar HAM
masa lampau. Rekonsialiasi dikhawatirkan tidak membantu penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan di
masa lampau.
kli
Ruwet memang penegakan hukum di negeri ini, namun itu tidak bisa dijadikan alaan untuk tidak mengadili
para pelaku kejahatan HAM di masa lampau. Setiap negara yang baru mendapat kebebasan berdemokrasi
past mengalami hal yang sama seperti yang dialami Indonesia saat ini. Di negara lain yang baru merasakan
demokrasi malah dibutuhkan waktu 17 tahun untuk memperbaiki keadaan, termasuk penegakan hukum.
Namun, aparat penegak hukum jangan menjadi alasan bagi Indonesia sekarang untuk potong kompas atas
kejahatan masa lampau.
Harus ada keinginan politk pemerintah sekarang untuk penegakan hukum. Dan, Kejaksaan Agung sebagai
salah satu lembaga penegakan hukum sebaiknya orang-orang lamanya diganti orang baru yang lebih baik
dan bersih dari kepentingan pribadi maupun kelompok. Bagi saya, yang paling diuntungkan adanya KKR
adalah pihak TNI yang selama ini banyak melakukan pelanggranan HAM. Bisa jadi aktor di balik KKR
adalah TNI yang berusaha memperbaiki nama yang sudah babak belur.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 160
Terlepas dari itu, KKR nantinya harus mengungkap kasus masa lampau. Siapa yang salah, siapa yang
benar. Namanya saja komisi kebenaran. Memberikan ganti rugi pada korban boleh-boleh saja. Tapi kalau
hanya sekadar memberi kompensasi tanpa pengadilan tetap tidak akan memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Rekonsiliasi juga jangan dipaksakan. Bisa saja nanti korban tidak diberi pilihan lain, harus rekonsiliasi.***
Prof Azyumardi Azra (Rektor IAIN Syarif Hidayatullah): KKR Selesaikan Masalah Bangsa
Keanggotaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat madani.
Jangan hanya, katakanlah kalangan pemerintahan saja. Pendekatannya kalau seperti itu, dari atas ke
bawah, nanti akan ada penolakan masyarakat. Tokoh seperti Cak Nur atau Ikhlasul Amal, kita coba.
Berhasil atau tidak sebaiknya, kita coba. Intinya, pemerintah harus segera melibatkan tokoh-tokoh publik
supaya KKR itu punya kredibilitas di depan publik.
LS
AM
Dalam memilih kasus yang menjadi sasaran KKR, harus dilihat yang mana saja yang memiliki
kemungkinan bisa diselesaikan secara bertahap. Saya kira kasus-kasus besar di masa Orde Baru salah satu
agenda pokok yang selama ini mengganjal. Tragedi Tanjung Priok, dan sebagainya. Untuk menghilangkan
keraguan KKR akan dimanfaatkan untuk kepentingan perorangan dan kelompok, KKR harus segera
melibatkan tokoh-tokoh masyarakat madani yang punya kredibilitas. Kalau dari pemerintah saja akan
muncul keraguan orang, jangan-jangan cuma alat pemerintah. Kita harus memandang KKR itu secara
positif karena, saya kira, KKR itu akan bisa menyelesaikan masalah bangsa.
kli
pin
gE
Untuk itu, orang-orang yang duduk di KKR adalah tokoh-tokoh masyarakat seperti Nur Cholis Madjid,
Hasyim Muzadi, Syafii Maarif, dan Ikhlasul Amal.***
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 161
Suara Pembaruan, 15 Desember 2001
Membalut Luka Lama, Merajut Langkah Baru
kli
pin
gE
LS
AM
Membalut luka lama, merajut langkah baru adalah agenda untuk membangun perdamaian di bumi. Kita
tahu bahwa lingkaran konflik mengakibatkan terjadinya tindak kekerasan di bumi. Konflik di mulai ketika
ada "perubahan" dalam kehidupan di masyarakat, bangsa dan negara. Spiral konflik (lihat: Mengkaji
konflik dan kekerasan di bumi, Suara Pembaruan, 10/11/2001) menjelaskan setiap perubahan akan
menimbulkan kebingungan sekaligus ketegangan (confusion-tension).
Jika itu dibiarkan begitu saja akan muncul "Role dilema" (tindakan "menyalahkan orang lain''). Dan akan
terus mengalir "mencari daftar kesalahan" dan menimbulkan sederetan daftar luka hati (mengumpulkan
injustice collecting) yang akan dipakai sebagai senjata untuk menghantam lawannya. Situasi berkembang
menjadi buruk. Tahap ini akan mengalir menjadi tahap "konfrontasi''. Karena melihat daftar kejelekan
orang lain dan luka hati, kita akan menempatkan orang lain sebagai lawan, bukan lagi sebagai kawan atau
saudara. Sesudah tahap konfrontasi orang akan "menentukan sikap" (adjustment).
Pemberdayaan untuk rekonsiliasi tidak hanya bertekad meredam konflik yang berkecamuk dengan
pendekatan dari atas (gaya top down) pada level pimpinan, atau ajakan kepada pihak yang bertikai untuk
melupakan luka lama yang terjadi, tetapi harus dimulai dengan satu komitmen, dan tekad untuk
membangun perdamaian. Ada kemauan untuk menemukan titik temu dan mencari solusi yang terbaik bagi
kedua belah pihak yang bertikai. Bukan hanya berhenti untuk melihat masa lalu, tetapi tekad untuk merajut
masa depan.
Melihat masa lalu saja tanpa persepektif ke depan, akan membuat pihak yang bertikai hanya berputar-putar
mencari upaya pembenaran diri sendiri, dan akan menyalahkan pihak lain, atau kita akan melemparkan
kesalahan dengan mencari sosok "kambing hitam" pada pihak lain di luar dirinya.
Tekad untuk membangun perdamaian (commitment to be constructive) merupakan langkah awal yang harus
diciptakan sebagai "agenda utama pasca-konflik''. Model untuk membuat perdamaian di tengah konflik
harus diciptakan atau difasilitasi seseorang (jika perlu), agar supaya kedua pihak yang sedang bertikai mau
menyelesaikan konflik secara positif dan konstruktif serta kooperatif.
Tekad untuk membangun perdamaian bukan sekadar berpikir menang-kalah, atau mencari win-win solution
dalam penyelesaian masalah. Sebab masing-masing pihak akan terjadi tarik ulur kepentingan,
mempertahankan posisi, kedudukan, dan statusnya.
Pengampunan (forgiveness) adalah unsur utama dalam menyelesaikan konflik.
Bukankah pengampunan adalah nilai esensial dalam Injil yang meresapi orang beriman? Pengampunan
adalah tindakan aktif, bukan pasif atau berpura-pura seolah-olah tidak ada masalah. Pengampunan harus
bersifat dua arah. Tidak cukup hanya satu arah dan perlu melibatkan kedua belah pihak. Dalam
"pengampunan dua arah" berarti keduanya berkomitmen untuk melakukan yang terbaik mencari resolusi
damai.
Pengampunan dua arah di dalamnya terkandung kesadaran untuk melakukan tiga hal penting sebagai
berikut.
Pertama, "Mengakui adanya kesalahan dan luka hati" (injustice are recognized) yang dialami oleh kedua
belah pihak yang bertikai. Ada kesalahan yang menimbulkan luka hati pada diri kita, maupun orang lain
yang berimbas pada kelompok. Bukan hanya personal tetapi komunal. Sekarang luka hati harus dipulihkan.
Kedua, dibutuhkan usaha untuk "memulihkan keseimbangan" (equity is restored). Dan ketiga, akhirnya
masing-masing pihak bertekad menjelaskan niat untuk "membangun masa depan" (future intention is
clear).
Ketiga hal itu terangkum upaya bahwa kita ingin membuat segala sesuatu berjalan sebaik mungkin bagi
pihak yang berkonflik, dengan cara yang seobjektif, sejujur, seimbang, dan seadil mungkin tanpa memihak.
Alkitab menggambarkan konflik Yakub dengan saudara kandungnya Esau. Itu adalah realita yang dialami
dalam hidup manusia. Konflik keluarga Yakub yang menimbulkan dendam, tentu akan menoreh luka hati
yang sangat dalam, termasuk diwariskan kepada generasi sesudahnya, karena konflik itu tidak terselesaikan
dan dikelola dengan baik.
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 162
kli
pin
gE
LS
AM
Penyebabnya adalah hak kesulungan yang menjadi hak Esau (sebagai anak sulung), direbut dengan paksa
oleh adiknya dengan cara yang sangat licik; caranya dengan menipu bapaknya dan mengelabuhi dirinya.
Tentu saja kakaknya sangat marah dan geram. Hati Esau menjadi panas dan menaruh dendam. Ia pun
sesumbar akan membunuh adiknya.
Itulah pangkal konflik di dalam keluarga yang menghancurkan relasi dua bersaudara, dan akan
menanamkan bibit perpecahan dan permusuhan kepada anak cucunya (Kejadian/Kej, 27:41).
Niat untuk membangun masa depan bukan hanya berhenti sebagai ucapan mulut, atau janji yang mulukmuluk, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Tekad untuk membangun masa depan bukan hanya
berhenti searah, tetapi dilakukan oleh kedua belah pihak yang menanggapi secara kooperatif. Buktinya,
Esau berlari mendapatkan Yakub, dipeluk lehernya adiknya dan diciumnya, lalu bertangisanlah keduanya
(Kej, 33:4). Itulah rekonsiliasi yang sejati.
Sebelumnya, tentu diawali dengan langkah Yakub yang mau sujud ke tanah (Kej, 33:3).Tanda Yakub mau
merendahkan diri, mengakui adanya luka hati, dan kemudian diikuti dengan tindakan memulihkan
keseimbangan. Memulihkan keseimbangan bukan hanya sekadar minta maaf dan memberikan maaf, lalu
persoalan selesai.
Memulihkan keseimbangan dimulai dari kesediaan untuk memberikan pengampunan yang tulus, kemudian
diikuti dengan satu tekad untuk membangun masa depan, dengan langkah baru.
Alkitab juga menceritakan konflik Yusuf dengan saudaranya pada episode berikutnya. Yusuf bertekad
membangun perdamaian setelah terjadi konflik yang menyakitkan (Kej,45). Merajut masa depan yang baru
dengan langkah baru. Merajut masa depan berarti Yusuf mau memberikan pengampunan kepada
saudaranya yang menyakiti dirinya. Ia pun memberikan hak hidup dan memberikan kehidupan di masa
depan. Sebagai penguasa di Mesir, Yusuf tidak menggunakan kuasanya untuk membalas dendam. Itu- lah
keagungan jiwa Yusuf yang patut diteladani.
Apa maknanya untuk kita? Di tengah bangsa kita yang rentan dengan konflik?. Belajarlah mengelola
konflik dengan baik. Tekad untuk membangun perdamaian adalah langkah awal yang harus ditanamkan
kepada setiap insan bahwa kita hidup di bumi sebagai satu saudara.
Membangun masa depan lebih penting daripada mengingat luka-luka lama dan tenggelam di dalamnya.
Akibatnya, kita akan terseret oleh hidup yang penuh kebencian dan permusuhan.
Menyelaraskan kepentingan adalah agenda selanjutnya yang perlu dilakukan setelah kita bertekad
membangun masa depan, supaya kita dapat mengidentifikasi dan menyelaraskan berbagai kepentingan dan
terciptalah kedamaian di bumi.
Last modified: 15/12/2001
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 163
Media Indonesia, Senin, 31 Desember 2001
REKONSILIASI DAN PENEGAKAN HUKUM:
kli
pin
gE
LS
AM
Agenda rekonsiliasi yang kini diusung oleh beberapa
pihak, dengan dalih keluar dari krisis bangsa Indonesia yang sedang dihadapi, tidak bisa dilakukan tanpa
penegakan hukum, yang merupakan dambaan rakyat. "Bagi saya, jika tanpa penegakan hukum rekonsiliasi
adalah sebuah status quo dan itu jelas diinginkan kalangan Orde Baru," kata Ketua Badan Penasihat
Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Suripto, SH di Jakarta, Sabtu.
Lesperrsi adalah sebuah lembaga kajian yang memfokuskan pada masalah studi konflik, baik di dalam
negeri maupun internasional. Suripto ditanya berkaitan mulai digelindingkannya kembali ide rekonsiliasi,
sehubungan dengan tarik-ulur rencana pemberian abolisi kepada mantan Presiden Soeharto. Ia menilai
bahwa apa pun pijakannya, rekonsiliasi membutuhkan penegakan hukum yang jelas. Ia merujuk pada
proses serupa baik di Afrika Selatan maupun Korea Selatan, pengampunan atau pemberian maaf itu
dilakukan setelah ada putusan hukum yang pasti. "Intinya mesti ada putusan hukum positif dulu, bahwa
kemudian ada keinginan memberikan pengampunan, setelah proses hukum dilalui. Di Korsel itu dua
presiden dijatuhi hukuman dulu," katanya. (Ant/P-2)
Kliping Wacana rekonsiliasi 2001===== halalaman=== 164
Surabaya Post- Jakarta 29-12-2001 (12:19:11)
Rekonsiliasi Tanpa Penegakan Hukum, Status Quo
Surabaya Post- Jakarta
pin
gE
LS
AM
Agenda rekonsiliasi yang kini diusung oleh beberapa pihak, dengan dalih keluar dari krisis bangsa
Indonesia yang sedang dihadapi, tidak bisa dilakukan tanpa penegakan hukum, yang merupakan dambaan
rakyat.
"Bagi saya, jika tanpa penegakan hukum rekonsiliasi adalah sebuah status quo dan itu jelas diinginkan
kalangan orde baru," kata Ketua Badan Penasihat Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia
(Lesperssi), Suripto SH, di Jakarta, Sabtu (29/12).
Lesperssi adalah sebuah lembaga kajian yang memfokuskan pada masalah studi konflik, baik di dalam
negeri maupun internasional.
Diwawancarai sehubungan dengan mulai digelindingkannya kembali ide rekonsiliasi, tarik-ulur pemberian
abolisi kepada Soeharto, dia menilai, apa pun pijakannya, rekonsiliasi membutuhkan penegakan hukum
yang jelas.
Ia merujuk pada proses serupa baik di Afrika Selatan maupun Korea Selatan, di mana pengampunan atau
pemberian maaf itu dilakukan setelah ada putusan hukum yang pasti.
"Intinya mesti ada putusan hukum positif dulu, bahwa kemudian ada keinginan memberikan pengampunan,
setelah proses hukum dilalui. Di Korsel itu dua presiden dijatuhi hukuman dulu," katanya.
Pada kasus mantan presiden Soeharto, dia menilai saat berkuasa puluhan tahun yang bersangkutan telah
melakukan apa yang disebutnya state terorism, yang syarat dengan teror-teror politik kepada lawan politik
atau bahkan hanya dengan kelompok yang berbeda pandangan dengan Soeharto.
Menurut dia, teror politik dengan memberikan stigmatisasi --yang saat itu selalu memakai idiom PKI dan
juga melawan upaya pembangunan-- membuat ketakutan fisik dan psikologis di kalangan masyarakat.
"Jadi dengan kebijakan seperti itu Soeharto dan kroni-kroninya telah melakukan abuse of power dan itu
jelas merupakan kejahatan yang mesti dipertanggungjawabkan melalui proses hukum," tambahnya.
kli
Kematian Perdata
Dalam wujudnya, kata Suripto, terjadinya kasus seperti Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974, Tragedi
Tanjung Priok 1984, bahkan hingga peristiwa 27 Juli 1996 (penyerbuan Markas PDI kubu Megawati),
adalah karena kebijakan state terorism.
"Bahkan di tingkat yang paling ekstrem, pada kasus Petisi 50, yang terjadi adalah menyebabkan orang
mengalami 'kematian perdata'," katanya. Bentuk "kematian perdata" itu, kata dia, jelas telah melanggar hak
paling asasi (HAM) dari manusia.
"Bagaimana mungkin orang yang berbeda pendapat, kemudian 'dimatikan secara perdata' seperti tidak bisa
meminjam uang di bank, tidak boleh bepergian ke negara lain dan semacam itu, ini pelanggaran HAM yang
tidak kalah mengerikannya dengan pelanggaran HAM secara fisik," tambahnya.
Dia mengusulkan, jika hukum positif di Indonesia saat ini tidak bisa mengadili Soeharto dan kroninya,
salah satu jalan keluarnya adalah membentuk peradilan khusus, di mana pada masa sebelumnya pernah
dilakukan.
"Yang saya maksud adalah seperti Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) seperti saat mengadili orangorang yang terlibat G30S/PKI," katanya. (Ant)
Advokasi.com, Minggu 11 November 2001
Beberapa Pemikiran Mengenai Pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
di Indonesia
Douglas Cassel, Priscilla Hayner, Paul Van Zyl
PENGANTAR
LS
AM
Selama kunjungannya ke Indonesia, Douglas Cassel, Priscilla Hayner
dan Paul Van Zyl - konsultan "transitional justice" pada Ford
Foundation, telah bertemu dengan berbagai kalangan di Indonesia
mendiskusikan kemungkinan pembentukan Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) di Indonesia. Mereka mendiskusikan topik ini secara
intensif dengan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) yang mempersiapkan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Tulisan
ini merupakan hasil dari berbagai pertemuan tersebut, kami terbitkan
untuk merangsang diskusi mengenai pembentukan KKR.
pin
gE
Jika Pemerintah Indonesia bermaksud mendirikan sebuah Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), mungkin akan menjadi sebuah
negara terbesar yang pernah mengupayakan gagasan ini. Besarnya
Indonesia keduanya baik dalam jumlah penduduk dan luas geografis
akan berpengaruh pada Komisi Kebenaran Indonesia terutama dalam
rangkaian tantangan logistik dan operasionalnya. Skala dan variasi
sifat pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang akan dihadapi,
bersamaan dengan lamanya periode waktu terjadinya, akan menjadi
masalah yang runyam di kemudian hari.
kli
Komisi kebenaran secara inheren merupakan usaha yang cukup
kompleks yang mengharuskan kehati-hatian, baik dalam hal
konseptualisasi dan eksekusinya. Dokumen ini bermaksud
menawarkan beberapa panduan untuk mereka yang akan membentuk
dan menyusun sebuah Komisi Kebenaran Indonesia, mengusulkan
beberapa jalan praktis tertentu tentang bagaimana Komisi tersebut
bisa dilaksanakan. Gagasan-gagasan yang ditawarkan dalam tulisan ini
dimaksudkan untuk merangsang diskusi dan upaya-upaya fasilitasi
dalam proses pengambilan keputusan di antara mereka yang akan
bertanggung jawab dalam pembentukan KKR, tetapi bukanlah untuk
dipakai sebagai solusi yang baku.
TUJUAN PENTING KOMISI KEBENARAN
Komisi Kebenaran mempunyai keistimewaan dalam cakupan, ukuran,
dan mandatnya, meskipun begitu, banyak Komisi berupaya untuk
mencapai beberapa atau keseluruhan dari tujuan-tujuan di bawah ini:
1. Memberi Arti kepada Suara Korban secara Individu
Komisi Kebenaran (KKR) berupaya untuk mendapatkan pengetahuan
yang resmi dari korban individu dengan mengijinkan mereka untuk
memberikan pernyataan kepada Komisi, atau memberikan kesaksian
di hadapan Komisi dalam sebuah dengar-pendapat (public dengar
pendapat) berkaitan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
yang mereka derita.
LS
AM
2. Pelurusan Sejarah Berkaitan dengan Peristiwa-peristiwa
Besar Pelanggaran HAM
KKR dapat memusatkan perhatiannya pada peristiwa-peristiwa
tertentu, pada saat mana pelanggaran HAM terjadi dalam upaya
melakukan pelurusan sejarah tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Peristiwa-peristiwa ini biasanya disanggah oleh penguasa atau
merupakan sebuah subyek dari pertikaian atau kontroversi. KKR dapat
membantu menyelesaikan masalah dengan membeberkan peristiwa
lalu secara kredibel dan penuh perhitungan data.
pin
gE
3. Pendidikan dan Pengetahuan Publik
KKR memusatkan perhatian publik pada pelanggaran HAM, dengan
begitu meningkatkan kewaspadaan umum berkaitan dengan kerugian
sosial dan individual akibat pelanggaran hak asasi. Proses pendidikan
publik ini juga memberikan sumbangan pada pengetahuan masyarakat
tentang penderitaan korban dan membantu menggerakkan
masyarakat untuk mencegah peristiwa serupa terjadi di masa depan.
kli
4. Memeriksa Pelanggaran HAM Sistematis Menuju Reformasi
Kelembagaan
KKR dapat memeriksa akibat dan sifat dari bentuk pelanggaran HAM
yang melembaga dan sistemik. Sekali Komisi berhasil
mengidentifikasikan pola pelanggaran HAM, atau lembaga yang
bertanggung jawab terhadap pelanggaran ini, maka Komisi dapat
merekomendasikan serangkaian program sosial atau kelembagaan dan
reformasi legislatif yang dirancang untuk mencegah timbulnya kembali
pelanggaran HAM.
5. Memberikan Assesment tentang Akibat Pelanggaran HAM
terhadap Korban
Komisi mengumpulkan informasi yang mendalam tentang pelanggaran
HAM dan akibatnya terhadap diri korban. Komisi kemudian bisa
merekomendasikan beberapa cara untuk membantu korban
menghadapi dan mengatasinya.
6. Pertanggungjawaban Para Pelaku Kejahatan
Komisi bisa juga mengumpulkan informasi yang berkaitan dengan
identitas individu pelaku kejahatan yang melanggar HAM. Komisi
mungkin bisa juga mempromosikan sebuah sense of accountability
untuk penyalahgunaan oleh individu-individu yang secara publik
terindikasi dan lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas
penyalahgunaan itu, memberi rekomedasi bahwa para pelaku
kejahatan perlu diberhentikan dari jabatan-jabatan publik, atau
memberikan fakta-fakta bukti-bukti untuk pengajuan tuntutan ke
pengadilan.
LS
AM
STRATEGI MENCAPAI TUJUAN
pin
gE
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dapat menggunakan strategi yang
bervariasi untuk mencapai tujuan-tujuannya. Dalam bagian ini kami
memberikan sebuah outline untuk sejumlah jalan praktis yang bisa
dipakai Komisi untuk dapat mencapai tujuan-tujuannya, demikian juga
keputusan-keputusan yang mereka harus buat, dan tantangantantangan yang akan mereka hadapi dalam mengerjakannya.
Akhirnya, dalam masing-masing bagian kami menyarankan strategistrategi apa yang barangkali tepat bagi Indonesia.
I. Pengambilan Pernyataan
kli
Tujuan yang dicari:
* Memberikan kesempatan kepada korban untuk bersuara
* Memperkirakan dampak kejahatan terhadap korban
* Penjelasan latar sejarah mengenai insiden-insiden besar tentang
HAM
* Pengujian sistemik tentang penyalahgunaan HAM untuk
mempromosikan reformasi kelembagaan.
Keputusan-keputusan Kunci dan Tantangan-tantangannya
Masalah yang dihadapi Komisi Kebenaran yang terbesar adalah dalam
hal mengumpulkan informasi dan menerima laporan dari Korban atau
saksi-saksi pelanggaran HAM. Korban pun barangkali bisa
dikategorikan "Korban Utama," yaitu orang-orang yang memberikan
informasi tentang pelanggaran HAM di mana secara langsung mereka
telah menjadi korbannya, dan "Korban Sekunder" yaitu orang-orang
yang memberikan informasi tentang pelanggaran HAM yang diderita
oleh orang lain. Kebanyakan Korban Sekunder adalah keluarga dari
orang-orang yang telah meninggal atau "hilang" dan orang-orang yang
sampai saat ini tidak dapat memberikan kesaksian atas nama diri
mereka sendiri. Sebagai tambahan untuk menyediakan kesempatan
kepada individu-individu mencatatkan cerita mereka sendiri,
penerimaan-laporan dapat menolong mengembangkan petunjuk untuk
investigasi, mendukung pembuatan sebuah database yang dapat
mengidentifkasi pola-pola kekerasan dengan maksud untuk perbaikanperbaikan, dan menyediakan informasi yang dapat membantu
membentuk kebijakan reparasi nantinya.
Komisi Kebenaran menghadapi tantangan besar dalam menerima
laporan dari korban pelanggaran HAM:
pin
gE
LS
AM
1. Jumlah
Dalam banyak kasus jumlah total korban pelanggaran HAM jauh
melebihi jumlah laporan yang diterima dan dicatat Komisi Kebenaran.
Hanya dalam beberapa kasus (misalnya di Chile), jumlah total korban
yang termasuk dalam kategori lingkup tugas Komisi relatif lebih kecil,
sedemikian rupa sehingga sebuah Komisi Kebenaran dapat membuat
pernyataan setelah menerima sebagian besar laporan tentang korban.
Dua Komisi Kebenaran terbesar saat ini, di Afrika Selatan dan
Guatemala, hanya bisa mempunyai laporan yang diterima berdasarkan
sejumlah kecil persentase dari total jumlah korban. Padahal
diperkirakan pada masa lalu ada berpuluh ribu korban di Afrika
Selatan dan beratus-ratus ribu korban di Guatemala. Komisi
Kebenaran harus mempunyai cukup sumberdaya untuk membuat
laporan lebih dari 20.000 korban dan bahkan dalam operasionalnya
jumlah yang ada meningkat dengan sangat cepat.
kli
2. Jarak
Tantangan signifikan tidak hanya menerima jumlah laporan /
pernyataan, tetapi "menjemput" laporan-laporan tersebut dari korban
dalam lingkup area yang lebih luas bisa jadi mengecilkan hati. Banyak
korban yang mungkin hidup dalam areal yang terpencil dan kurang
mempunyai akses transportasi dan komunikasi. Sumber daya
diperlukan untuk mengakses korban- korban itu yang tidak boleh
dipandang sebelah mata. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)
Afrika Selatan, yang mana secara komparatif lebih "bersumber daya",
dihadapkan kepada kesulitan yang cukup berarti dalam
mengumpulkan informasi dari korban- korban yang tersebar melintasi
lebih dari satu juta kilometer. Demikian pula anggota- anggota staf
Komisi Guatemala telah melakukan perjalanan berhari-hari dengan
berjalan kaki untuk meraih kampung-kampung di kaki gunung yang
tidak bisa dilalui kendaran untuk mengumpulkan laporan dari
masyarakat lokal.
kli
pin
gE
LS
AM
Rekomendasi:
Jika Komisi Kebenaran Indonesia berupaya untuk mengumpulkan
laporan dari seluruh korban dan orang- orang yang selamat dari
pelangggaran HAM yang berat, potensial dapat dihadapkan dengan
beratus-ratus ribu kasus, khususnya jika periode 1965-1966
dimasukkan dalam penyelidikan. Sumber daya yang pas-pasan dan
jumlah besar korban mungkin akan menyulitkan untuk membuat
laporan, yang lebih banyak berdasarkan prosentase kecil dari total
jumlah korban. Lagi pula, Komisi Indonesia akan menemui tantangan
besar dalam mengupayakan proses pelaporan ke seluruh kepulauan
Indonesia. Jauhnya jarak yang harus ditempuh para pencatat laporan
dan banyaknya wilayah jelas-jelas akan sulit dan mahal untuk diakses.
Oleh karena itu, Komisi Kebenaran Indonesia mesti bekerja lebih baik
untuk menutup biaya yang sangat besar dan kesulitan logistik untuk
menyelesaikan sejumlah besar laporan dari korban dari seluruh
Indonesia. Di beberapa daerah, seperti di Aceh atau Papua, atau di
Maluku jika kondisi keamanan mengijinkan, Komisi akan lebih baik
memilih untuk mengundang sejumlah korban untuk memberikan
kesaksian, khususnya di mana ada sebuah kebutuhan riil atau
keinginan untuk mengidentifikasi secara pasti apakah dampaknya dari
represifitas yang terjadi. Biarpun, untuk beberapa daerah, atau
kaitannya dengan beberapa wilayah atau peristiwa- peristiwa khusus
(misalnya peristiwa 1965-1966), Komisi mesti bekerja lebih baik untuk
menginvestasikan sumber dayanya dalam publik dengar pendapat
dalam melaksanakan riset dan investigasi, dengan maksud untuk
klarifikasi dan pelurusan peristiwa-peristiwa bersejarah. Tujuan kunci
dari pengambilan laporan -yakni memberi kesempatan kepada korban
untuk bersuara dan memperkirakan dampak pelanggaran kepada
korban dan kebutuhan mereka- dapat diselesaikan sekaligus dengan
tujuan yang lainnya, khususnya melalui dengar pendapat dan
mengupayakan target riset.
3. Bukti-bukti yang Menguatkan
Kebanyakan Komisi menganggap laporan-laporan dari korban benar
tanpa bukti-bukti independen yang menguatkan. Di Afrika Selatan,
KKR mencurahkan sumber daya organisasionalnya untuk melakukan
pembuktian yang menguatkan dari masing-masing laporan dan secara
formal menentukan apakah masing-masing laporan itu diterima
kebenarannya. Standar pembuktian diperlukan, jika Komisi harus
memutuskan secara independen laporan-laporan yang menguatkan
dari korban-korban dan saksi-saksi, ini akan berpengaruh kepada level
sumber dayanya yang harus komit pada sebuah proses yang serupa
itu. Sebuah standar pembuktian yang ketat akan meningkatkan
kepercayaan terhadap temuan-temuan, tetapi itu akan membutuhkan
waktu dan energi yang besar yang dihabiskan untuk melokalisasi
fakta-fakta yang menguatkan.
II. Dengar Pendapat
LS
AM
Tujuan yang dicari:
* Memberikan kesempatan kepada korban untuk bersuara
* Penjelasan latar sejarah berkenaan dengan insiden-insiden besar
pelanggaran HAM
* Pendidikan Publik dan Pengakuan
* Pemeriksaan sistematik tentang pelanggaran HAM untuk
mempromosikan pembaharuan Kelembagaan
* Penaksiran Dampak pelanggaran-pelanggaran korban
* Akuntabilitas untuk para pelaku kejahatan
Keputusan-keputusan Kunci dan Tantangannya
pin
gE
1. Publik atau Privat
Sebuah keputusan penting yang akan dihadapi Komisi Kebenaran
adalah menyelenggarakan dengar pendapat selama menjalankan
pekerjaan mereka. Di banyak negara, Komisi Kebenaran telah
menerima informasi dari para korban, para pelaku pelanggaran, dan
yang lainnya hanya secara pribadi. Di banyak negara, kondisi
keamanan telah tidak mengijinkan para korban untuk dihadapkan
dalam dengar pendapat, dan pemeriksaan tematik atau sektoral,
seperti akan digambarkan nanti, baru dikembangkan belakangan.
kli
Berseberangan dari kebanyakan Komisi Kebenaran yang lainnya,
Komisi Afrika Selatan menyelenggarakan ratusan dengar pendapat
karena ancaman oleh pihak keamanan terhadap keselamatan korban
atau pekerjaan Komisi relatif sedikit. Dengar pendapat ini berperan
penting sebagai sarana pendidikan kritis di negeri ini secara
keseluruhan, karena dengar pendapat itu dilaporkan secara luas dan
diliput di media massa dan disaksikan dari dekat oleh pulik, jadi secara
luas meningkatkan kemampuan Komisi untuk mendidik dan mengajak
publik untuk berpikir dan mengevaluasi ulang sejarah negerinya.
Rekomendasi:
Komisi Kebenaran Indonesia untuk memilih salah satu antara dengar
pendapat privat atau menerima kesaksian dalam dengar pendapat
publik. Agaknya, itu dapat dibuat kriteria untuk menentukan apakah
tepat dan kapan tepatnya untuk menyelenggarakan dengar pendapat
publik.Bagaimanapun, Komisi seharusnya mempertimbangkan
kemungkinan dan kesempatan untuk menyelenggarakan dengar
pendapat publik, menggunakan wewenang mereka untuk meraih dan
mendidik publik dengan tentang isu yang sedang dibahas. Jelasnya,
jika ada ancaman terhadap keamanan saksi dan staf Komisi, jika para
korban merasa tidak nyaman untuk bersaksi di depan publik, atau jika
pemaparan informasi di muka publik mungkin beresiko tuntutan atau
mengancam keamanan publik, Komisi seharusnya mengatasinya atau
memodifikasi sesi publik tersebut seperlunya.
LS
AM
2. Tipe-tipe Dengar pendapat
Komisi Kebenaran dapat menyelenggarakan beberapa tipe dengar
pendapat yang mana masing-masing difokuskan pada sebuah tipe
pelanggaran HAM tertentu. Komisi Indonesia mesti
mempertimbangkan tipe-tipe dengar pendapat berikut ini dan
memasukannya dalam konteks Indonesia:
pin
gE
A. Dengar pendapat Korban
Dengar pendapat ini memberi korban perorangan atau keluarga
dekatnya kesempatan untuk bersaksi tentangi dampak pelanggaran
HAM terhadap kehidupan mereka.
Sebagai contoh, seseorang yang telah disiksa dapat bersaksi tentang
pengalamannya atau ibu dari seseorang yang telah dibunuh atau
"dihilangkan" dapat menggambarkan bagaimana hal ini mempengaruhi
hidup dia.
kli
B. Dengar Pendapat Institusional
Dengar pendapat ini berfokus pada peran yang diaminkan oleh
lembaga tertentu dalam melakukan, memfasilitasi, atau membiarkan
pelanggaran HAM. Misalnya, dengar pendapat sebaiknya fokus pada
peran profesi hukum, media massa, atau badan-badan keagamaan
selama waktu yang ditentukan. Bukti bisa didapatkan berkaitan
dengan ketidakmampuan sebuah profesi menyuarakan atau
menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan pelanggaran HAM,
juga dari individu pemberani dalam profesi atau lembaga tersebut
yang telah membantu mencegah pelanggaran HAM.
Rekomendasi A:
Komisi harus menyelenggarakan dengar pendapat dalam jumlah yang
terbatas, terutama bagi korban perorangan di berbagai wilayah di
seluruh negara. Kelompok korban yang representatif yang mengalami
bentuk-bentuk pelanggaran terhadap komunitas tertentu bisa dipilih
untuk bersaksi di masing-masing wilayah. Dengan cara ini korban
tidak hanya didengar suaranya secara personal, tetapi mewakili
pengalaman sejumlah besar korban lainnya.
Rekomendasi B:
pin
gE
LS
AM
Komisi Indonesia harus mengundang bermacam-macam profesi yang
representatif dan lembaga-lembaga untuk bersaksi berkenaan dengan
peran yang mereka mainkan dalam melakukan atau pencegahan
pelanggaran HAM. Individu-individu, yang telah dikorbankan atau
selamat dari penganiayaan sebagai suatu akibat dari tindakan
lembaga, dapat juga diundang untuk bersaksi. Dengar pendapat ini
akan banyak membantu Komisi untuk memformulasikan rekomendasi
berkenaan dengan reformasi yang dapat mencegah pelanggaran HAM
di masa yang akan datang. Komisi mungkin berharap untuk
mempertimbangkan penyelenggaraan dengar pendapat kelembagaan
bagi profesi hukum, media massa, profesi medis, komunitas
keagamaan, komunitas bisnis dan partai-partai politik.
kli
C. Dengar pendapat Berdasarkan Peristiwa
Dengar pendapat ini didasarkan pokok masalah dalam sebuah peristwa
penting dimana pelanggaran HAM yang serius terjadi. Dengar
pendapat kadang-kadang terdiri dari kesaksian peserta dalam
jangkauan yang luas (para korban dan para pelaku kejahatan) seperti
pengamat dan para ahli yang daikaitkan dengan tanggung jawab
dalam peristiwa yang ditanyakan. Peristiwa dengar pendapat
dimaksudkan untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya telah
terjadi. Faktor-faktor apa yang menyebabkan peristiwa itu, identitas
dan jumlah korban, dan bagaimana tanggung jawab dan
pertanggungjawaban dari peristiwa itu terpilah secara adil.
D. Dengar Pendapat Berdasarkan Tema
Dengar pendapat tematis difokuskan pada tema-tema yang terpisah,
bentuk-bentuk pelanggaran HAM, atau kelompok korban yang
dianggap cukup penting untuk diberi perhatian khusus. Dengan
memfokuskan perhatian publik pada kelompok rentan atau pola-pola
pelanggaran yang berkepanjangan, dengar pendapat ini dapat menjadi
sebuah katalisator penting untuk perubahan atau pembekalan orangorang untuk secara efektif melawan pelanggaran-pelaggaran serupa di
masa yang akan datang.
Rekomendasi C:
Rekomendasi D:
LS
AM
Komisi harus memutuskan untuk menyelenggarakan peristiwa dengar
pendapat dalam sejumlah peristiwa, seperti:
· Pembantaian tahun 1965-1966
· Pembantaian di Tanjung Priok pada 1984
· Pelanggaran khusus peristiwa-peristiwa di Aceh dalam tahun-tahun
terakhir
ini
· Pemerkosaan massal tahun 1998
pin
gE
Komisi Indonesia dapat menyelenggarakan sebuah jangkauan dengar
pendapat tematik, seperti dalam kejahatan seksual dan kejahatah
terhadap perempuan yang memungkinkan perempuan untuk bersaksi
tentang pelanggarannya dan difokuskan kepada kekerasan perorangan
dan pelanggaran-pelanggran sistemik dan bersifat massal. Dengar
pendapat tematik lainnya mungkin difokuskan untuk siksaan oleh
aparat keamanan, konflik antar agama, atau dampak dari rembesan
korupsi di masa lalu.
3. Riset dan Investigasi
Tujuan:
* Klarifikasi sejarah berkenaan dengan insiden-insiden besar
Pelanggaran HAM
* Pengujian sistematik pelanggaran HAM untuk mempromosikan
pembaharuan kelembagaan
* Tanggung jawab para pelaku kejahatan
kli
Keputusan-keputusan Kunci dan Tantangan-tantangannya
Fungsi investigasi dan riset adalah menjadi tulang punggung kerja
Komisi Kebenaran. Di mana sebuah Komisi diberikan kewenangan
investigative yang kuat, seperti hak subpoena, mencari dan menyita,
sebagaimana dikonsepkan di Indonesia, maka staf-staf Komisi dapat
dibagi-bagi menjadi unit riset dan unit investigasi yang terpisah,
masing-masing difokuskan dalam sebuah tingkatan informasi atau
fungsi dalam Komisi- yang satu lebih menyediakan latar belakang
informasi, mengandalkan sumber sekunder untuk mendukung dan
memandu kerja-kerja Komisi, sementara yang lainnya menggunakan
wewenang Komisi untuk investigasi peristiwa-peristiwa khusus.
Sekalipun pemisahan ini dimasukkan ke dalam dua unit yang berbeda,
jelas penting bagi unit investigasi dan bagian riset untuk berkoordinasi
dalam aktivitas-aktivitasnya dan pertukaran informasi secara teratur.
Rekomendasi 1-Investigasi:
Rekomendasi 2-Riset:
LS
AM
Sebuah Komisi Indonesia akan menjadi terbantu dengan adanya unit
investigasi. Unit investigasi bertanggung jawab untuk pemanggilan
tertulis untuk menghadap sidang pengadilan, menanyai saksi-saksi,
menemukan asumsi-asumsi dasar dan meminta pengadaan dokumen
dan fakta-fakta. Ini adalah peran dari Unit investigasi untuk
mengumpulkan dan menganalisa sebanyak-banyaknya informasi untuk
mengidentifikasi lembaga-lembaga, dan mungkin orang-orang, yang
harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM. Anggota-anggota
unit investigasi dapat juga membantu dalam mengumpulkan buktibukti yang menguatkan sebagai informasi kunci sebelum Komisi
menyusun penemuan-penemuan secara lebih umum.
kli
pin
gE
Direkomendasikan agar Komisi Kebenaran membentuk sebuah
departemen riset. Pentingnya departemen riset untuk fungsi riset
dalam sebuah Komite Kebenaran tidak perlu ditekankan lagi. Jika
sebuah Komisi akan membuat keputusan-keputusan
menginformasikan tentang dimana mengumpulkan pengaduan/
pernyataan, dengar pendapat macam apa yang akan diadakan, dan
peristiwa-peristiwa dan bentuk-bentuk pelangggaran apa yang akan
dijadikan fokus, itu mestilah dikerjakan dengan kapabilitas riset yang
tangguh. Para periset dapat menyediakan bahan-bahan pendukunga
yang sangat penting untuk pengorganisasian dengar pendapat,
menyediakan informasi penting yang kontestual ketika bekerja dalam
sebuah wilayah tertentu atau bertemu kelompok-kelompok korban.
Para periset dapat membuat paper-paper taklimat (briefing papers)
berkaitan dengan dengar pendapat untuk memungkinkannya
terfokusnya pertanyaan-pertanyaan dan membantu dalam proses
penyusunan temuan-temuan yang akurat. Sebuah survey yang
seksama dari riset sekunder yang relevan berkenaan dengan
pelanggaran-pelanggaran HAM sangat penting untuk
memperhitungkan validitas dan representivitas dari data primer yang
telah dikumpulkan oleh Komisi. Departemen Riset dapat juga
menyediakan informasi kunci pendukung untuk laporan akhir Komisi.
SU-ISU OPERASIONAL YANG LAINNYA
Rekomendasi:
LS
AM
Anggota Komisi
Perlu diambil keputusan yang tepat peran apakah yang seharusnya
dimainkan oleh para anggota Komisi. Dalam beberapa kasus, anggotaanggota Komisi dapat bekerja hanya paruh waktu dan telah
mencurahkan tenaganya untuk memenuhi prioritas utama Komisi,
secara lebih luas mengamati pelaksanaannya, dan mengawasi
penulisan laporan akhir. Para anggota Komisi yang yang memainkan
peran ini bertindak bagai Dewan (board) dalam sebuah perusahaan:
mereka memainkan sebuah peran yang kelihatannya besar dan
melaksanakan wewenang akhir, tetapi tidak terlalu berperan dalam
fungsi Komisi secara keseharian. Manfaat besar dari skenario ini
adalah bahwa itu kejelasan dan penggambaran yang masuk akal
antara proses pembuatan keputusan dan fungsi-fungsi eksekutif dalam
Komisi. Kerugiannya adalah bahwa para anggota Komisi yang bekerja
paruh waktu adalah tidak tersedia untuk terlibat dalam proses dengar
pendapat ketika mereka diperlukan. Jika sebuah Komisi merencanakan
untuk mengadakan dengar pendapat, maka perlu bagi Komisi untuk
bekerja penuh waktu.
kli
pin
gE
Sebuah solusi yang mungkin bisa menggabungkan manfaat kedua
skenario dan mengurangi mudlarat yang mengikutinya adalah: Para
anggota Komisi yang bekerja full time memungkinkan mereka untuk
menyelenggarakan dengar pendapat, tetapi mereka membatasi diri
mereka sendiri untuk memainkan peran hanya pada perumusan policy
dan membantu jalannya organisasi. Para anggota Komisi akan hadir
dalam dengar pendapat, mendengar kesaksian dan merumuskan
penemuan mereka, tetapi tidak memainkan peran dalam menjalankan
kerja sehari-hari masalah-masalah Komisi. Skenario ini merujuk pada
konteks Indonesia sebab tampaknya Komisi akan menginginkan untuk
menginvestasikan tenaga dan sumberdaya yang signifikan dalam
dengar pendapat. Sebuah hasil yang optimal akan tercipta oleh
tersedianya para anggota Komisi bekerja fulltime dalam dengar
pendapat yang berkaitan dengan masalah-masalah dan dengan
adanya manajemen Komisi untuk berkonsentrasi dalam menjalankan
organisasi.
Ketika para anggota Komisi telah bekerja full time, mereka
umummnya akan memenentukan wilayah tanggung jawab dan
memainkan sebuah peran sentral dalam membawakan kerja-kerja
harian Komisi. Para anggota Komisi ini bertindak seperti Dewan dalam
sebuah perusahaan sekaligus eksekutif tingkat atasnya: menjalankan
tanggung jawab utama dalam masalah policy sebaiknya membantu
untuk meng-implementasikan policy tersebut. Kelemahan skenario ini
barangkali adalah bahwa dalam anggota-anggota Komisi yang terlibat
dalam menjalankan organisasi bisa terjadi konflik diantara angggota
Komisi dan staf senior. Seperti ditulis di atas, besarnya manfaat itu
adalah bahwa para anggota Komisi akan bersedia untuk memimpin
dengar pendapat.
PERLINDUNGAN SAKSI
pin
gE
LS
AM
Dengan pertimbangan sensitivitas informasi, Komisi Kebenaran
mungkin dapat mempertimbangkan untuk menyediakan perlindungan
dan keamanan untuk saksi-saksi kunci yang memberikan informasi
kritis. Para korban dan para pelaku kejahatan hanya dapat dirangkul
untuk bekerjasama dengan Komisi dan memberikan informasi kunci
jika Komisi dapat menjamin keamanan mereka. Sumber daya dan
kompleksitas membuat sebuah program perlindungan saksi sangat
diperlukan. Bagaimanapun, banyak Komisi di masa lampau telah
mencoba untuk menyediakan keamanan dengan menerapkan tingkat
kerasahasiaan yang ketat untuk kesaksian, berdasarkan permintaan.
Jika sumberdaya dan kondisinya mengijinkan, sebuah Komisi
Kebenaran dapat mengadakan fungsi perlindungan saksinya sendiri,
atau dikaitkan dengan program yang sudah ada yang dijalankan oleh
pihak yang berwenang.
Rekomendasi:
kli
Mempertimbangkan kebutuhan sumberdaya, itu mungkin tidak bisa
untuk sebuah Komisi Kebenaran di Indonesia untuk membuat sebuah
program perlindungan saksi yang independen. Sebagai gantinya,
seluruh bentuk konfendensialitas dan keamanan seharusnya
dipertimbangkan sehingga bekas para pelanggar kejahatan, korbankorban yang ketakutan, dan yang lainnya akan sepenuhnya yakin
ketika memberikan informasi kepada Komisi.
MANAJEMEN INFORMASI
Komisi Kebenaran harus siap dengan sangat banyak macam jumlah
informasi dari ribuan sumber yang mungkin, dengan sebuah tingkat
akurasi yang jauh dari relevan dengan kebutuhan. Banyak
Komisi Kebenaran telah mengalokasikan sumber-sumber yang
substansial untuk mengurus perangkat keras komputer dan
mengembangkann perangkat lunak demi sebuah sistem informasi
manajemen (SIM), khususnya dimana ribuan kesaksian dikumpulkan
dari para korban dan saksi-saksi. Kredibilitas temuan-temuan sebuah
komisi secara substansial dapat meningkat atau berkurang oleh
kualitas sistem informasi manajemennya.
Rekomendasi:
pin
gE
ISU-ISU REGIONAL
LS
AM
Mengingat ini merupakan sebuah wilayah kerja yang kompleks,
sekarang ada sebuah lembaga penting badan pengetahuan
internasional yang ahli dalam bagaimana mencari jalan terbaik
mengumpulkan, merekam, dan menganalisa sejumlah besar informasi
yang berkaitan dengan kejahatan HAM. Komisi Kebenaran Indonesia
disarankan untuk berkonsultasi dengan dengan ahli-ahli dalam
bidangnya mengingat dalam kebutuhan akan sistem informasi ini.
Kami akan dengan senang hati merujukkan Komisi, atau mereka yang
membantu mendirikan Komisi, pada ahli-ahli yang telah bekerja
dengan Komisi Kebenaran pada masa lampau untuk kasus-kasus ini.
kli
Di negara sebesar dan sekompleks Indonesia, pemikiran yang hati-hati
akan sangat diperlukan dalam bagaimana sebuah Komisi Nasional
dapat merespon dengan baik berbagai isu yang ada di negara ini.
Beberapa Komisi Kebenaran yang lalu, membuka kantor-kantor
wilayah, atau mengirimkan staf mereka ke wilayah tertentu untuk
jangka waktu singkat untuk mengumpulkan kesaksian. Semakin besar
dan semakin lompleks sebuah negara, model yang kurang
tersentralisasi akan semakin penting. Bagaimanapun, sangat
berbahaya jika membentuk berbagai Komisi yang tidak berhubungan
dengan pusat seperti Badan Nasional; karena dapat mengurangi bobot
dari rekomendasi suatu Komisi tertentu, sekaligus kehilangan
kesempatan untuk memusatkan perhatian nasional atas masingmasing isu regional. Akan lebih efektif jika dibentuk sebuah komisi,
dengan sub-komite yang memfokuskan diri pada wilayah tertentu.
Rekomendasi:
Aceh, Papua, maluku, Timor Leste, dan wilayah lainnya sama
memerlukan perhatian yang focus dari Komisi Kebenaran Indonesia.
Akan berguna untuk menyelenggarakan kelompok-kelompok kerja di
dalam Komisi Nasional untuk mengkonsentrasikan perhatian pada
tiap-tiap wilayah tersebut, dan juga wilayah lainnya yang dianggap
kli
pin
gE
LS
AM
perlu (bisa juga ada kelompok kerja yang secara spesifik membahas
tema keseluruhan dari isu yang ada). Struktur ini memungkinkan
saling berbagi informasi antara kelompok-kelompok kerja regional,
sehingga pola nasional yang ada ditiap-tiap wilayah bisa disatukan.
Setiap kelompok kerja, atau sub-komite, harus melibatkan partisipasi
dari anggota Komisi, dan juga barangkali Anggota sub-komite ditunjuk
dari masing-masing wilayah. Komisi juga harus didukung dengan
adanya kantor-kantor wilayah di lokasi-lokasi tersebut paling tidak
selama masa kerja mereka.
Download