BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia sebagai insan ciptaan Tuhan yang hidup di dunia ini selalu mendambakan keadaan yang damai, bukan saja bagi diri atau kelompoknya tetapi seluruh penduduk atau lingkungannya. Dalam rangka mewujudkan perdamaian sebagai bagian dari cita-cita hidupnya diperlukan adanya sumber nilai dan pedoman norma dalam tindakan sosial. Konsep damai membawa konotasi yang positif, hampir tidak ada orang yang menentang perdamaian. Damai memiliki banyak arti: arti kedamaian berubah sesuai dengan hubungannya dengan kalimat. Perdamaian dapat menunjuk ke persetujuan mengakhiri sebuah perang, ketiadaan perang atau ke sebuah periode dimana sebuah angkatan bersenjata tidak memerangi musuh. Damai dapat juga berarti sebuah keadaan tenang seperti yang umum di tempat-tempat yang terpencil, mengijinkan untuk tidur atau meditasi. Damai dapat juga menggambarkan keadaan emosi dalam diri dan akhirnya damai juga dapat berarti kombinasi dari definisi-definisi di atas. Dalam bahasa Indonesia dan Inggris menampilkan definisi kata Damai yang walaupun memiliki banyak persamaan namun juga beda pemahaman. Bahasa Indonesia, memaknai damai sebagai keadaan tanpa permusuhan yang antara lain adalah keadaan tanpa perang (arti pertama dan kedua), hubungan antara pihak-pihak yang pernah bermusuhan menjadi baik kembali (arti ketiga) dan suasana tenteram dan aman dalam suatu masyarakat ( arti keempat).1 Definisi leksikal Bahasa Indonesia dengan demikian menekankan 1 makna damai dalam hubungannya dengan kehidupan Kamus Umum Bahasa Indonesia, (KUBI) (Jakarta: Balai Pustaka, 2006), 259-260. 1 komunal kemasyarakatan baik dari segi internal pada dirinya sendiri maupun relasi antara komunitas-komunitas ke masyarakat. Salah satu kamus Bahasa Inggris yang dipakai secara luas terutama di Australia, yakni The Macquarie Dictionary, mendefinisikan kata Damai (Peace) dengan menitik beratkan pada pengertian “fredom” bebas dari perang, permusuhan, ketidaktertiban, dan ganguan mental), dan “state” (keadaan nyaman, tenang dan sentosa).2 Pengertian kata damai dalam Bahasa Inggris, dengan demikian, tidak hanya menyangkut kehidupan komunal kemasyarakatan, melainkan juga menghubungkan pengertian damai dengan keadaan personal secara psikologis.3 Perdamaian adalah milik semua umat manusia dari segala penjuru dunia. Harapan untuk menciptakan perdamaian dunia adalah cita-cita mulia dari hampir semua negara dunia. Perdamaian memiliki definisi yang cukup bervariasi dari berbagai macam orang dan kelompok sosial. Perdamaian adalah tidak adanya atau berkurangnya segala jenis kekerasan.4 Perdamaian bisa dikatakan sebagai kondisi absennya konflik dalam kehidupan dengan ditandai harmonisasi segala ruang sosial. Perdamaian kadang kala dirasakan sebagai kualitas manusia dalam kehidupan sosial dalam mengelola konflik dengan jalan tanpa menghadirkan kekerasan. Karena pada prinsipnya setiap orang memiliki kemampuan untuk menjadi pembawa strategi perdamaian. 5 Perdamaian bisa dilakukan dengan menjalankan komunikasi intersubjektif antar kebudayaan, menghadirkan pula toleransi antar identitas. Perdamaian dapat dijelaskan dengan berbagai cara, namun yang harus dipahami adalah perdamaian tetaplah sama-sama berangkat dari sebuah niat untuk menciptakan kondisi dan situasi dunia yang tanpa kekerasan. Untuk mencapai Perdamaian, Johan Galtung dalam salah satu karyanya "Three Approaches To Peace: Peacekeeping, Peacemaking, And Peacebuilding" menulis : 2 The Macquarie Dictionary (Dee Why: Macquarie, 1985), 1254. Tony Tampake, dkk., Buku Bacaan Pendidikan Perdamaian (Salatiga: Griya Media, 2011), 29. 4 Johan Galtung, Studi Perdamaian (Surabaya: Pustaka Eureka, 2003), 21. 5 Ibid., 15. 3 2 Peace has a structure different from, perhaps over and above, peacekeeping and ad hoc peacemaking... The mechanisms that peace is based on should be built into the structure and be present as a reservoir for the system itself to draw up... More specifically, structures must be found that remove causes of wars and offer alternatives to war in situations where wars might occur.6 Pada dasarnya salah satu harapan bangsa Indonesia adalah menciptakan perdamaian bagi seluruh penduduknya namun, dalam tataran praktis kerinduan bangsa Indonesia agar semua masyarakatnya bisa hidup damai dan harmonis tidak berjalan dengan mulus. Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa besar secara geografis dan kependudukan. Secara geografis Indonesia terbentang dari ujung barat ke ujung timur dari Sabang hingga ke Merauke dengan masing-masing wilayah memiliki variasi suku, agama, etnis, bahasa serta budaya. Masing-masing varian tersebut membentuk kelompokkelompok, misalnya kelompok suku, kelompok etnis yang kesemuanya itu merupakan detail-detail dari kelompok sosial. Adanya kelompok sosial tersebut merupakan suatu hal yang lumrah yang berangkat dari atau yang dihasilkan oleh pola interaksi sosial sehingga Indonesia yang sangat heterogen dan plural itu menjadi sangat rentan terhadap munculnya konflik baik itu konflik vertikal maupun horisontal. Faktor munculnya konflik pun beragam dari waktu ke waktu dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Konflik merupakan bagian dari kehidupan sebagai komunitas maupun bernegara sehingga diperlukan kemampuan dalam mengelolahnya sebagai sebuah realitas sosial dalam masyarakat. Menurut Lewis. A. Coser, konflik dapat bersifat fungsional secara positif maupun negatif. Fungsional secara mempertahankan atau membentuk kembali positif sistem apabila integrasi konflik dan tersebut kemampuan menyerasikan diri pada kondisi-kondisi yang berubah sedangkan bersifat negatif apabila 6 http://www.peacebuildinginitiative.org/index34ac.html?pageId=1764#one. Lihat juga, Johan Galtung, Three Approaches to Peace: Peacekeeping, Peacemaking, andPeacebuilding, in Peace, War and Defense: Essays in Peace Research,Vol II (Copenhagen: Christian Ejlers, 1976), 297-298. 3 konflik mengakibatkan terjadinya gangguan pada sistem sosial.7 Konflik menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan terganggunya perdamaian menimbulkan ketidaknyamanan dan kerentanan sosial. Salah satu wilayah di Indonesia yang telah mengalami konflik adalah daerah Poso. Poso adalah sebuah kabupaten yang terdapat di Sulawesi Tengah. Kalau dilihat dari keberagaman penduduk, Poso tergolong daerah yang cukup majemuk selain terdapat suku asli yang mendiami Poso, suku-suku pendatang pun banyak berdomisili di Poso seperti dari daerah Sulawesi Utara, Gorontalo, Bugis, Makassar, Toraja, Jawa, Bali, dan lain-lain. Keberagaman inilah yang menjadi salah satu pemantik seringnya terjadi pelbagai konflik yang terjadi di Poso baik itu konflik yang berlatar belakang sosial–budaya ataupun konflik yang berlatar belakang agama, seperti yang diklaim saat kerusuhan Poso tahun 1998, tahun 2000 dan kerusuhan tahun 2001 yang kemudian melunturkan nilai kearifan lokal yang telah lama menjadi pedoman hidup dalam kebersamaan di tanah Poso. Pada hakekatnya, konflik merupakan sebuah peristiwa wajar dalam kehidupan masyarakat majemuk karena perbedaan nilai, persepsi, kebiasaan, dan kepentingan di antara berbagai kelompok masyarakat adalah faktor pemicunya. Sebuah konflik dapat menjadi semakin parah bila perbedaan horisontal (nilai, ideologi, kebiasaan, dan sebagainya) dipertajam oleh perbedaan vertikal (kesenjangan ekonomi dan kekuasaan). Konflik komunal di Poso dibagi dalam tahapan-tahapan yang diistilahkan dengan “Jilid” sesuai dengan tahun terjadinya konflik. Jilid I terjadi 24 – 30 Desember 1998, dipicu oleh penyerangan terhadap Ahmad Ridwan (Islam) yang sedang tidur-tiduran di Masjid oleh beberapa pemuda Kristen yang sedang mabuk. Warga Muslim yang mendengar berita tersebut marah. Peristiwa itu menimbulkan sentimen agama yang kental 7 Soekarto dan Ratih Lestarini, Fungsionalisme Dan Teori Konflik Dalam Perkembangan Sosiologi (Jakarta : Sinar Grafika. 1988), 91-92. 4 karena terjadi saat umat Muslim sedang menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan, yang kemudian mengarah pada perusakan dan pembakaran rumah, kios, serta bangunan sekolah milik warga Kristen dan mengakibatkan pengungsian kalangan Kristen. Peristiwa tersebut kemudian disusul dengan penyerangan oleh massa Herman Parimo (Kristen) ke sejumlah rumah milik warga Muslim dan peristiwa tersebut diakhiri dengan ditangkapnya Herman Primo dan diadili pada awal Januari 1999. 8 Jilid II terjadi 15-21 April 2000. Konflik ini dipicu dari pertikaian pemuda Kristen dan Islam yang saling mengancam menggunakan senjata tajam yang kemudian disusul dengan penyerangan massa Islam ke penduduk Kristen, sehingga membuat massa Kristen terpancing untuk melakukan pembalasan. Pada kerusuhan ini tercatat 37 orang meninggal dunia, 34 luka-luka, sekitar 267 rumah milik warga Kristen dibakar, perusakan dan pembakaran gereja serta bangunan-bangunan yang berbau Kristen. Ribuan jiwa kehilangan tempat tinggal dan mengungsi ke daerah-daerah sekitar yang masih aman.9 Jilid III 16 Mei 2000 - 20 Desember 2001. Peristiwa ini di awali dengan terbunuhnya warga Muslim di desa Taripa, sekitar 100 Km dari kota Poso dan penyerangan kelompok Kristen yang terdiri dari 12 orang dan mengatas namakan “Pasukan Kelelawar” yang kemudian disusul dengan pembalasan oleh massa Islam. Pada Jilid ke III ini adalah konflik terbesar dalam sejarah Poso di mana adanya pembakaran dan perusakan rumah warga, saling serang antar komunitas, pengeboman, penembakan, dan pembunuhan. Bahkan berbeda dengan dua konflik sebelumnya yang umumnya menggunakan batu dan senjata tajam, sejak konflik ketiga pada Mei 2000 mereka telah mempergunakan senjata api, serta beberapa kekerasan sporadis (Pasca Konflik). Peristiwa-peristiwa tersebut memperlihatkan adanya keterkaitan antara satu dengan yang 8 M. Tito karnavian. Dkk, Indonesia top secret : Membongkar Konflik Poso ( Jakarta: PT Gramedia utama Anggota IKAPI), 52-56. 9 Ibid., 57-60. 5 lain, sehingga kerusuhan-kerusuhan harus dicermati dalam konteks jilid satu sampai ketiga. Konflik sudah mengarah pada upaya menghilangkan eksistensi lawan, terlihat dari realitas pembunuhan terhadap siapa pun termasuk perempuan dan anak-anak yang dianggap sebagai bagian lawan.10 Suatu analisa untuk menjelaskan konflik Poso dikemukakan oleh Dr. Thamrin Amal Tamogola. Ia melihat faktor-faktor penyebab konflik Poso sebagai sebuah piramida bertingkat tiga. Pada tingkat dasar terdapat dua transformasi utama yang telah mengubah wilayah Poso secara fundamental. Pada lapisan tengah, beroperasi sejumlah faktor kesukuan dan keagamaan yang berkaitan dengan faktor-faktor politik. Kemudian pada puncak piramida ditemukan faktor-faktor penyulut konflik atau provokator secara stereotip-stereotip labelling psikolog sosial dan dendam yang semakin menguat seiring dengan berkepanjangannya kekerasan. Di lapisan puncak piramida terdapat faktor-faktor pemicu. Perkelahian antar pemuda dari kedua belah pihak merupakan pemicu yang meletup ketegangan dan potensi konflik yang sudah mengendap. Apalagi ditambah dengan kekecewaan institusional yang telah lama menumpuk di pihak umat Kristen. Kegamangan umat Kristen menerima kenyataan baru membuat lempengan-lempengan gunung api mulai bergoyang mengancam keharmonisan hidup di Poso. Ketika korban mulai berjatuhan, roda gila spiral kekerasan pun menjadi lepas kendali. Dendam semakin menumpuk. Hal-hal ini kemudian berulang kali di sulut oleh para provokator akibatnya, kekerasan menjadi bengis dan tak berkesudahan sampai berjilid-jilid. 11 Konflik Poso secara umum telah selesai. Persoalannya kemudian, masyarakat Poso dihadapkan kepada situasi baru pasca konflik yang meninggalkan sejumlah 10 Ibid., 60-69. Thamrin Amal Tomagola, Anatomi Konflik Komunal Di Indonesia Kasus Poso Dan Kalimantan 1998-2002, Dalam Suara Dari Poso, Kerusuhan, Konflik, Dan Resolusi (Jakarta : YAPIKKA, 2003), 23-27. 11 6 pengalaman trauma psikologis yang sulit diukur. Tidak sedikit di antara penduduk di daerah konflik yang mendapat pengalaman traumatik ketika terpaksa menyaksikan pembunuhan, pembantaian, penyiksaan dan penghacuran secara langsung. Konflik yang disebabkan oleh permusuhan antar agama telah merusak persepsi persaudaraan dan melahirkan kecurigaan, prasangka yang buruk terhadap orang yang berbeda agama. Konflik sosial dan kerusuhan yang terjadi di Poso merupakan peristiwa kehidupan yang berpengaruh terhadap perkembangan mental dan psikososial bagi individu yang mengalaminya. Dalam jangka panjang masalah trauma dengan peristiwa masa lalu yang dihadapi akan mempersulit penyesuaian diri dan mengganggu perkembangan sosialnya. Sehubungan dengan hal itu, kesulitan dan penderitaan yang dihadapi membutuhkan penanganan langsung untuk pemulihan ke arah kehidupan yang normal, serta perlu dilakukan upaya-upaya pencegahan untuk terjadinya hambatan psikologis karena faktor psikososial. Permasalahan ini telah membuat kehidupan mereka berada pada situasi “kehilangan” dan “keterasingan manusia” baik individu secara khusus maupun masyarakat secara umum. Situasi seperti ini disebut sebagai “krisis” yang terfokus pada tiga aspek, yakni: ego, benda, dan orang. Krisis mempengaruhi perasaan, pikiran maupun tingkah laku seseorang. Berbagai hal yang mereka hidupi pasca konflik hingga saat ini telah menjadi sebuah sumber “kekecewaan” akan “pengalaman pahit” yang pernah mereka rasakan. Sebuah kepahitan dimasa lalu dapat mempengaruhi realitas kehidupan dimasa kini dan membangkitkan kekuatiran untuk menatap hari esok, sehingga akan merusak perdamaian yang mulai tercipta di Poso. Melihat bahwa Trauma yang berkepajangan ini dapat memicu kembali terjadinya konflik yang baru, maka untuk kembali mendamaikan individu–individu yang mengalami 7 dampak konflik tersebut, penulis teringat akan kearifan lokal yang berada di Poso yaitu Sintuwu maroso. Sintuwu maroso berasal dari dua suku kata yaitu Sintuwu dan Maroso. Istilah Sintuwu berasal dari kata dasar Tuwu yang berarti hidup. Kata Sintuwu berarti hidup bersama atas dasar kesamaan hidup. Hal ini disadari oleh suatu pola kehidupan bersama yang menyebabkan orang berjalan bersama-sama, mengambil jalan yang sama, memperlihatkan diri dengan seperasaan dan sepenanggungan. Sifat Sintuwu ini menampakan wujudnya dalam bentuk kesepakatan untuk mengerjakan sesuatu. Istilah ini kemudian dipakai sebagai Motto daerah kabupaten Poso, yaitu Sintuwu Maroso yang berarti di dalam kebersamaan terletak kekuatan.12 Nilai – nilai yang lahir dari sintuwu maroso telah menjadi jaminan hidup sebagai komunitas dan menjadi warisan turuntemurun yang mengandung makna optimistik untuk menjadi perekat terbangunnya hidup bersama dalam perdamaian. Makna filosofi yang terkandung dalam sintuwu maroso (dalam bahasa Pamona sintuwu maroso secara sederhana berarti : kehidupan yang kuat) mencerminkan adanya keterbukaan menerima keyakinan agama, bahasa, adat istiadat yang berbeda, rasa solidaritas dan kekeluargaan, rasa simpatik dan penghargaan antar sesama. Selain itu juga terkandung makna kepedulian sosial yaitu semangat saling membantu dan bahu membahu. Dalam wujud organisasi kemasyarakatan di Poso, sintuwu maroso adalah mufakat bersama untuk melakukan suatu kegiatan secara bersama-sama. Sintuwu maroso tidak hanya menjadi semboyan daerah, akan tetapi budaya sintuwu maroso ini merupakan salah satu ciri masyarakat Poso secara umum terutama dalam hal pandangan individuindividu dalam kelompok terhadap orang lain dan interaksi sosial. 12 Penjelasan ini dapat dilihat dalam tulisan Pdt. P. Manyonyo, S.Th. Sekelumit Tentang Kekayaan Budaya di Wilayah Pelayanan GKST, Dalam Wajah GKST: Buku Kenangan 100 Tahun Injil Masuk Tanah Poso (Panitia Perayaan 100 Tahun Injil Masuk Ke Tanah Poso: Tentena,1992), 105; lihat juga dalam J. Kruyt, Kabar Keselamatan Di Poso (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 71. 8 Kearifan lokal memiliki akar budaya dalam membangun integrasi sosial melalui penghayatan dan pemahaman yang tinggi akan nilai-nilai kebersamaan dan kemanusiaan. Nilai-nilai itu sangat inklusif karena mengajarkan dan memberi tauladan mengenai bagaimana cara mengatasi konflik, emosi, dan nafsu kepentingan dengan jalan mengubur kekerasan dan api dendam. Atas dasar latar belakang inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Peran Sintuwu Maroso Pasca Konflik Di Poso dalam menciptakan perdamaian” B. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam Penelitian ini adalah: 1. Nilai-nilai apa yang terkandung dalam Sintuwu maroso yang dapat mempersatukan kembali masyarakat Poso yang telah terpecah belah? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan nilai-nilai Sintuwu maroso untuk mempersatukan masyarakat Poso yang telah terpecah belah. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini dapat bersifat teoritis dan praktis. 1. Manfaat teoritis Yakni dapat memberikan sumbangan teoritik untuk dapat menganalisa peran kearifan lokal dalam rekonsiliasi sosial. 2. Manfaat praktis 9 Yakni : (1) untuk memantapkan dan mempererat nilai persatuan antar komunitas yang bertikai demi tercapainya kedamaian dan harmonisasi antar pemeluk agama di Negara Kesatuan Republik Indonesia secara khusus di Poso. (2) untuk mengembalikan rasa percaya diri dari trauma yang diderita oleh individu yang mengalami konflik Poso sehingga menjadi individu yang kreatif dalam mengupayakan kedamaian yang seutuhnya di Poso. E. Metode Penelitian a. Jenis penelitian yang digunakan ialah menggunakan penelitian deskriktif–kualitatif. Pendekatan Kualitatif yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati serta eksplorasi lapangan.13Metode penelitian deskriktif bertujuan untuk membuat deskripsi, yaitu gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antar fenomena yang diselidiki. Metode deskriktif berusaha menggambarkan sifat suatu keadaan yang sementara berjalan pada saat penelitian dan memeriksa sebab-sebab dari gejala tertentu.14 b. Teknik Pengumpulan data dan sumber data Wawancara Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (intervieweer) yang 13 memberikan jawaban atas pertanyaan Robert C Bogdan dan Sari Knopp Biklen, Qualitative Research for Education: An. Introduction to Theory and Methods (Boston: Allyn and Bacon, Inc.1982), 5. 14 Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2003), 136-137. 10 itu.15Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan kepada informan dengan menggunakan pedoman wawancara. Yang menjadi sumber data di sini adalah pemerintah, tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat. Focused Group Discussion (FGD) Dalam buku Metodologi Penelitian Kualitatif tulisan Lexy J. Moleong, FGD di sebut dengan Wawancara kelompok fokus. Wawancara kelompok fokus sebagai sesuatu yang membatasi pada situasi di mana kelompok yang di bangun cukup kecil untuk membangun diskusi antar sesama anggotanya. Unsur kunci dalam hal ini adalah keterlibatan orang-orang di mana pandangannya didorong pada lingkungan yang dibangun. Hal ini dilakukan dengan jalan memperoleh kecenderungan sikap dan persepsi dikembangkan dengan jalan interaksi dengan orang lainnya. Selama diskusi kelompok, individu bisa berubah karena pengaruh tanggapan orang lain. Wawancara fokus dengan sekelompok orang yang mengarah pada Perolehan jawaban yang bervariasi dan menghasilkan landasan yang luas. Anggota kelompok terdiri atas 6-9 orang.16 Yang menjadi sumber data FGD di sini adalah warga yang mengalami konflik Poso secara langsung. Observasi Merupakan observasi yang di dalamnya peneliti langsung turun kelapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas individu-individu dislokasi penelitian. Dalam pengamatan ini peneliti merekam/mencatat, baik dengan cara terstruktur maupun semi struktur misalnya, dengan mengajukan sejumlah pertanyaan yang memang ingin 15 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988 ; Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), 186. 16 Ibid.,226-228. 11 diketahui oleh peneliti.17 Yang di observasi dalam penelitian ini adalah dampak setelah terjadinya konflik, individu dan lingkungannya dalam hubungannya, dan penggunaan sintuwu maroso dalam menciptakan perdamaian. Dokumen – Dokumen Selama proses penelitian peneliti juga mengumpulkan dokumen–dokumen. Dokumendokumen ini bisa berupa dokumen publik (seperti koran, makalah laporan kantor) atau pun dokumen-dokumen privat (seperti buku harian, diary, surat, e-mail).18 Teknik analisis Data Data yang diperoleh melalui wawancara dan pengamatan dilapangan, selanjutnya akan dijelaskan dan diuraikan dalam bentuk deskripsi, dengan menggunakan landasan teori sebagai pisau analisis. Kesimpulan dari analisis merupakan temuan baru dari hasil penelitian ini.19 F. Telaah Kepustakaan Dalam bagian ini, penulis hendak memaparkan tiga penelitian terdahulu mengenai keadaan masyarakat Poso pasca konflik yang memiliki tema keterkaitan dengan tema penelitian ini. Lian Gogali dalam bukunya “ KONFLIK POSO, Suara Perempuan dan Ingatan Menuju Rekonsiliasi Ingatan” menulusuri mengenai aspek tragis dari konflik Poso lewat ingatan-ingatan dan kisah-kisah yang ada dalam kelompok perempuan dan anak-anak. Ingatan-ingatan dan kisah-kisah ini bisa disebut tragis karena dua alasan. Pertama, 17 John W.Creswell, Research Desing : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, Dan Mixed (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), 267. 18 Ibid 19 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1988), 259. 12 berbagai ingatan dan kisah lahir dari peristiwa-peristiwa yang tidak bisa dibayangkan kembali. Kekerasan di sekitar pelecehan seksual dan perjuangan hidup selama pelarian di hutan, misalnya, berada di luar para korban untuk menanggungnya. Kedua, pengalaman itu telah membekas dalam ingatan dan selalu muncul kembali sampai sekarang. Karena dua alasan tersebut, penderitaan yang oleh para korban konflik Poso secara khusus perempuan dan anak-anak tidak berhenti saat berbagai pihak tidak lagi terlibat dalam konflik terbuka. melalui ingatan-ingatan dan kisah-kisah yang ada dalam kelompok perempuan dan anak-anak, Gogali membongkar tiga hal: pertama, menempatkan perempuan sebagai pelaku, aktor dalam konflik Poso, sebagai kepala keluarga hingga menjadi mediator rekonsiliasi sehingga mereka bukan sekedar pecundang. Kedua, mendobrak historiografi para pemenang yang mengabaikan peran, perasaan dan pikiran para korban. Ketiga, mendobrak penggambaran sejarah konflik Poso dengan mengangkat wacana tertindas dari perempuan dan anak. Pengalaman taraumatis dalam hidup perempuan dan anak yang digambarkan oleh Gogali adalah upaya untuk mendengarkan kesunyian batin korban konflik Poso sehingga para korban konflik secara khusus perempuan dan anak-anak menemukan kembali landasan untuk hidup bersama atau untuk mendengarkan nafas para korban perempuan dan anak-anak yang merindukan perdamaian, bukan perdamaian untuk keamanan melainkan demi kehidupan.20 Buku ini adalah sebuah proses perjalanan mengenai pemaknaan konflik yang di alami oleh perempuan dan anak-anak pasca konflik, Sayangnya buku ini tidak menampilkan satu bangunan teori yang mapan untuk sampai pada kesimpulan bagaimana membangun Poso yang damai. Meskipun demikian, sesungguhnya penelitian ini sangat 20 Lian Gogali, Konflik Poso: Suara Perempuan dan Anak Menuju Rekonsiliasi Ingatan (Yogyakarta: Galangpress, 2009), 192. 13 informatif terutama mengenai perasaan-perasaan yang dialami oleh perempuan dan anakanak yang selama ini sebenarnya lebih tertindas pasca konflik Poso. Apresiasi tertinggi diberikan penulis kepada Gogali atas penelitiannya ini, karena Gogali kembali menyadarkan bahwa dalam membangun kata sepakat mengenai perdamaian tidak bisa mengabaikan lingkaran rumit ingatan terutama ingatan yang penuh amarah, kebencian, prasangka dan dendam dalam menata kehidupan masa lalu, masa kini dan harapan damai di masa depan. Tony Tampake dalam bukunya yang berjudul “ Redefinisi Tindakan Sosial dan Rekonstruksi Identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Eli Salom Kele’I di Poso”, membahas mengenai gerakan keagamaan secara khusus Jemaat Eli Salom Kele’i pasca konflik di Poso. Dalam penelitian tersebut Tampake menguraikan mengenai kegelisahan sosial di tengah masyarakat desa Kele’i sejak konflik Poso 1998-2003 telah menyebabkan ketidakpastian nilai-nilai dan norma-norma kehidupan dalam masyarakat di satu pihak konflik mendesak masyarakat untuk melakukan mekanisme pertahanan diri dengan membekali dan melindungi diri melalui ilmu-ilmu hitam. Dengan ilmu tersebut mereka melakukan perlawanan secara fisik dan sosial terhadap kekuatan lain yang mengancam eksistensi mereka. Memori historis dan tradisi yang telah membentuk karakter mereka telah mendukung perilaku perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan ideologis dan sosial yang dipandang sebagai ancaman terhadap kolektifitas mereka. Ketika konflik berakhir, emosi-emosi negatif, sentimensentimen sosial, dan pengalaman-pengalaman traumatis mengendap dalam diri mereka dan ketika tidak dapat tertampung lagi maka semua itu terekspresi dalam bentuk prilaku yang tidak terkendali. Kehidupan sosial menjadi terganggu dan stabilitas keamanan terusik. Latar belakang ini menjadi penting untuk melihat kepercayaan-kepercayaan, 14 nilai-nilai, dan norma-norma yang menjadi komponen-komponen dasar tindakan sosial dan prilaku kolektif mereka.21 Menurut Tampake, Fakta-fakta dan analisa ini melahirkan satu kesimpulan umum yaitu bahwa keberadaan Jemaat Eli Salom Kele’i adalah sebuah hasil dari konstruksi sosial dan konstruksi budaya ditengah kegelisahan sosial akibat konflik Poso. Fakta ini menunjukan dua hal, pertama ketegangan struktural sebagai faktor sosiologis yang utama dalam memunculkan sebuah gerakan sosial keagamaan memunculkan faktor pencetus dan basis mobilisasi prilaku kolektif. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele,i, faktor pencetus dan basis mobilisasi itu adalah pengalaman mistik keagamaan seorang anak bernama Marliana Pulanga. Kedua, pengalaman mistik keagamaan tidak selalu menarik dan memisahkan orang dari dunia sosial. Purifikasi sebagai konsep utama dari mistisisme tidak hanya mempunyai sigi-segi persoalan batiniah. Dalam konteks Jemaat Eli Salom Kele’i, pengalaman mistik dan anjuran untuk bertobat mendorong orang untuk terlibat dalam kehidupan sosial dan menawarkan nilai-nilai serta norma-norma kehidupan kolektif yang berorientasi pada rekonsiliasi dan perdamaian.22 Andriani Tobondo dalam bukunya “Tentena Ceritamu Kini: Studi Hubungan Masyarakat Kristen dan Masyarakat Islam di Tentena Pasca Konflik Poso” membahas mengenai hubungan masyarakat Islam dan Kristen di Tentena kemudian meletakannya sebagai unit terpenting dalam studi pembangunan untuk memahami pentingnya harmonisasi sosial. Usaha ini di tempuh pada usaha-usaha mengabarkan hubungan masyarakat Islam dan masyarakat Kristen pasca konflik Poso dan bagaimana masyarakat Tentena dapat kembali memiliki relasi sosial yang saling membantu baik dalam bidang 21 Tony Tampake, Redefinisi Tindakan Sosial Dan Rekontruksi identitas Pasca Konflik Poso: Studi Sosiologis terhadap Gerakan Jemaat Elim Salon Kele’I di Poso. (Salatiga: Satya Wacana University Prees, 2014), 212-213. 22 Ibid 237-238. 15 sosial dan ekonomi.23 Tobondo menggambarkan bahwa pengalaman-pengalaman setiap kelompok yang diperoleh pada masa konflik Poso, antara lain penderitaan yang timbul akibat konflik misalnya ketidakberdayaan ekonomi ialah salah satu pengalaman hidup masyarakat, dan pengalaman hidup tersebut akan membuat atau mendorong masyarakat untuk menjaga keharmonisan antarsesama. Pengalaman tersebut merupakan salah satu bagian yang menyadarkan masyarakat, atau mengantar pemahaman bagi setiap kelompok bahwa mereka bagian kesatuan sosial yang utuh dalam pengertian memiliki keterikatan serta tujuan yang sama yaitu memperbaiki, serta meningkatkan kualitas hidup baik secara sosial maupun secara ekonomi.24 Ketidakberdayaan ekonomi masyarakat sebagai implikasi dari konflik Poso yang berpengaruh besar dalam hubungan masyarakat Kristen dan masyarakat Islam di Tentena adalah aktivitas ekonomi masyarakat tidak berjalan baik. Pengaruh konflik yang sedemikian besar itu dapat memutuskan hubungan produksi yang berlangsung dalam masyarakat ekonomi, sehingga masing-masing kelompok menjadi tidak berdaya. Sebaliknya, justeru karena ketidakberdayaan ekonomi tersebut, menyadarkan setiap kelompok bahwa memelihara hubungan harmonis akan lebih menguntungkan untuk masa depan ekonomi masing-masing individu atau masa depan ekonomi keluarga dari setiap individu serta masa depan ekonomi masyarakat Tentena. Kebutuhan mengenai ekonomi ini yang akhirnya membuat terbukanya kembali pintu kepada pihak Muslim untuk datang kembali ke Tentena sehingga hubungan silahturahmi yang bersifat personal maupun secara kolektif kembali tercipta. 23 Adrian Garly Adoniram Tobondo, Tentena Ceritamu Kini: Studi Hubungan Masyarakat Kristen dan Masyarakat Islam di Tentena Pasca Konflik Poso (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2015), 13. 24 Ibid 225. 16 Ringkasan mengenai kedua buku di atas memiliki nafas yang sama, meneropong pembangunan perdamaian yang sesungguhnya di tanah Poso. Bedanya tulisan pertama dibangun melalui pendekatan agama dan buku kedua mengenai kebutuhan ekonomi. Hemat penulis, jika dilihat secara makro barangkali dua tulisan itulah yang kurang lebih memiliki spirit yang mendekati kajian yang akan di lakukan dalam penelitian ini. Yang membedakan mungkin ada pada sandaran teoritik, pendekatan serta lingkungan yang digunakan. Sayangnya, kedua buku diatas dalam penelitiannya hanya mengambil satu wilayah di Poso, sehingga keduanya tidak memberikan solusi yang tepat mengenai perdamaian di tanah Poso, dikarenakan hampir secara keseluruhan wilayah yang ada di kabupaten Poso terkena dampak konflik dan wilayah-wilayah tersebut memiliki keadaan serta situasi lingkungan yang berbeda dengan wilayah yang lainnya dan kedua buku tersebut dalan pembahasannya masih kurang banyak dalam hal mengangkat hubungan Islam dan Kristen. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan Tesis ini sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan. Dalam Bab ini akan dipaparkan Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Telaah kepustakaan dan Sistematika penulisan. Bab II : Teori Konflik dan Perdamaian. Landasan teori dalam penelitian ini akan berisi teori yang berhubungan dengan penelitian yakni, Teori Konflik menurut Lewis. A. Coser dan Teori Perdamaian menurut Johan Galtung. Agar bisa menjelaskan landasan teoritik 17 dengan baik, maka akan digunakan keterkaitan antar konsep atau kerangka teoritik. Bab III : Keadaan Masyarakat Pasca Konflik Poso dan Nilai-nilai mengenai Sintuwu Maroso. Pada Bab ini akan dipaparkan hasil penelitian. Hasil penelitian berupa data empiris yang ada dilapangan. Dengan menggunakan metode penelitian yang ada, maka data akan dikumpulkan, diolah dengan cara disaring kemudian disajikan. Bab IV : Persatuan Masyarakat Poso Berdasarkan Nilai-nilai Sintuwu Maroso. Bab IV akan berisi analisa hasil penelitian. Analisa hasil penelitian yang dimaksud adalah proses untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan penelitian. Oleh karena itu, pada bagian ini penelitian harus difokuskan. Proses analisa akan mengikut sertakan teori pada Bab II dan data pada Bab III. Bab V : Penutup Berisi Kesimpulan dan Saran 18