BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual berasal dari istilah asing yaitu Intelectual Property Right. Istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual biasa disingkat dengan beberapa ejaan diantaranya HAKI atau HaKI serta ada juga yang menggunakan istilah HKI, tetapi istilah yang resmi digunakan oleh Direktorat Jenderal adalah HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Menurut David I Bainbridge, Hak Kekayaan Intelektual adalah hak atas kekayaan yang berasal dari karya intelektual manusia,yaitu hak yang berasal dari hasil kreatif yaitu kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk karya yang bermanfaat serta berguna untuk menunjang kehidupan manusia dan mempunyai nilai ekonomi.1 Pemahaman mengenai Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat dengan HKI) adalah mengenai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual manusia. HKI dapat dikategorikan dalam 2 kelompok yaitu Hak Cipta (Copy Rights) dan Hak milik Perindustrian (Industrial Property Rights) yang terdiri dari Paten (Patent), Merek (Trademark), Desain Industri (Industrial Design), Rahasia Dagang (Trade Secret) dan Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (Integrated Circuit Lay Out Design). 1 Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah,2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.16. 1 Permasalahan mengenai HKI saat ini menjadi bahan pengkajian dan sorotan yang mendapat perhatian dari berbagai pihak. HKI sangat penting terutama di bidang industri dan perdagangan baik nasional maupun internasional.2 HKI tidak berkaitan dengan hukum saja melainkan erat hubungannya dengan masalah perdagangan, ekonomi dan pengembangan teknologi serta menjadi landasan bagi usaha untuk memajukan cultural bangsa dan masyarakat pada umumnya. HKI pada awalnya berasal dari negara maju di Eropa dan Amerika, tetapi negara berkembang saat ini mulai memberikan perhatian lebih pada bidang HKI, karena dapat berpengaruh besar pada pendapatan suatu negara seperti melalui pajak dari barang atau jasa yang menjadi konsumsi masyarakat. Di Indonesia bidang HKI mendapat perhatian lebih, hal ini dibuktikan dengan tergabungnya Indonesia dalam berbagai organisasi internasional di bidang HKI, diantaranya WIPO (organisasi HKI se-dunia), GATT (perjanjian umum tentang tarif dan perdagangan) dan WTO (organisasi perdagangan sedunia) yang menggantikan GATT. Disamping itu Indonesia juga tergabung sebagai anggota dari Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention) yang kemudian diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997. Selain tergabung di dalam organisasi tersebut, Indonesia juga menandatangani beberapa perjanjian / agreement, salah satunya yang terbaru adalah TRIPs Agreement yang merupakan perjanjian yang paling komprehensif dalam bidang HKI, dimana semua negara anggota WTO terikat oleh TRIPs 2 Dwi Rezki Sri Astarini, 2009, Penghapusan Merek Terdaftar, Alumni, Bandung, h.1. 2 Agreement tersebut. Dalam perjanjian tersebut semua negara anggota diwajibkan menyesuaikan hukum domestik agar sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam TRIPs Agreement.3 Indonesia juga turut meratifikasi TRIPs Agreement melalui Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1997. Dengan diratifikasinya Paris Convention dan TRIPs Agreement oleh Indonesia maka memuat kewajiban untuk menyesuaikan undang-undang yang ada dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut. Disamping itu dengan meratifikasi perjanjian internasional di bidang merek merupakan kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bagian dari pergaulan dunia dan kebutuhan yang diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi perkembangan perdagangan secara khusus dan perekonomian nasional pada umumnya. Di Indonesia HKI sudah diatur secara nasional dalam peraturan perUndang-Undangan, salah satunya pengaturan tentang merek yaitu dengan dikeluarkannya Undang-Undang (selanjutnya disingkat UU) Hak Milik Perindustrian yaitu dalam Reglement Industrieele Eigendom Kolonien Stb 545 Tahun 1912. Kemudian UU ini diganti dengan UU Merek No.21 Tahun 1961. Setelah itu UU Merek terus mengalami revisi berkali-kali diantaranya menjadi UU No.19 Th 1992, UU No.14 Tahun 1997 dan yang terbaru adalah UU No. 15 Th 2001.4 Jadi jika dicermati maka bidang HKI dimana merek merupakan salah 3 Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2003, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, CV.Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta h.14 4 Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Op.cit, h.18 3 satu bagiannya, di Indonesia sudah mendapat perhatian sejak zaman sebelum Indonesia merdeka. Merek digunakan sebagai tanda pembeda antara produk yang dihasilkan oleh seseorang atau badan hukum dengan produk yang dihasilkan oleh pihak lain.5 Merek merupakan sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan suatu produk atau perusahaan di pasaran. Sebuah merek dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial. Merek suatu perusahaan seringkali lebih bernilai dibandingkan dengan aset riil perusahaan tersebut.6 Saat ini banyak dijumpai merek-merek terkenal baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri seperti: Blackberry,Apple, Honda, Aqua, Lea, Tomkins, J.Co, Marie Claire, Surfer Girl, Sony, Samsung, Bvlgari, Calvin Klein dan sebagainya. Dalam prakteknya hampir di berbagai kawasan dunia dapat dijumpai pelanggaran-pelanggaran merek terkenal. Hal ini dapat merugikan pemilik merek tersebut karena telah mengambil ketenaran dari suatu barang yang dimiliki oleh mereka dengan sengaja ataupun tanpa sengaja menggunakan nama yang sama tanpa ijin. Pelanggaran terhadap merek motivasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan pribadi secara mudah tanpa mengeluarkan biaya untuk 5 Julius Rizaldi, 2009, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang, Alumni, Bandung, h.1 6 Tim Lindsey Et.al, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pty Ltd bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung, h.151. 4 memperkenalkan merek tersebut dengan mencoba atau melakukan tindakan meniru atau memalsukan merek-merek yang sudah terkenal di masyarakat.7 Di Indonesia pun banyak dijumpai kasus pelanggaran terhadap merek terkenal. Salah satu satu kasus pelanggaran merek yang muncul beberapa tahun yang lalu yaitu kasus antara produsen sepatu Aerosoles International Inc dengan produsen lokal PT Matahari Duta Prima, kasus antara perusahaan produsen makanan AS Nabisco Inc (Nabisco) dengan produsen lokal PT Perusahaan Dagang dan Industri Ceres (Ceres), kasus perseteruan antara PT Astra Honda Motor (AHM) produsen sepeda motor Honda dengan PT Tossa Shakti produsen sepeda motor Tossa dan lain-lain8 Pelanggaran terhadap merek terkenal pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut, karena konsumen menganggap bahwa merek yang dulu dipercaya memiliki mutu yang baik ternyata sudah mulai turun kualitasnya. Disamping itu juga dapat merugikan konsumen karena konsumen akan memperoleh barang atau jasa yang mutunya lebih rendah dibandingkan dengan merek asli yang sudah terkenal tersebut serta dapat juga membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen. Kebijakan keputusan yang melatarbelakangi perlindungan merek yang mencakup perlindungan terhadap pembajakan merek telah mendunia sebagaimana dapat disimpulkan dari pernyataan Mccarthy yang menyatakan bahwa Policies of 7 Ibid,hal.356 Tim Redaksi Tata Nusa, 2004, Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Merek PT.Tatanusa, Jakarta, h.319 8 5 consumer protection, property rights, economic efficiency and unusual concepts of justice underlie the law of trademarks. 9 Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No 15 tahun 2001 telah mengatur mengenai sistem perlindungan merek terkenal, namun pada prakteknya masih banyak terjadi pelanggaran terhadap merek terkenal di Indonesia. Oleh karena itu maka penulis mengangkat permasalahan diatas di dalam tesis yang berjudul: “PELANGGARAN MEREK TERKENAL DAN PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMEGANG HAK DALAM PERSPEKTIF PARIS CONVENTION , TRIPS AGREEMENT DAN UU NO. 15 TAHUN 2001” 1.2.Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah mekanisme perlindungan hukum bagi pemilik merek terkenal dalam relevansinya dengan hak prioritas dalam hal terjadi pelanggaran berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No.15 Tahun 2001? 2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat ditempuh serta sanksi yang diberikan berkaitan dengan pelanggaran hak atas merek terkenal berdasarkan Paris Convention, Trips Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001? 9 Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika,Jakarta, h.92 6 I.3. Ruang Lingkup Masalah. Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu mengadakan pembatasan sehingga dalam pembahasan selanjutnya dapat terfokus pada pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya. Pada penelitian ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan dibatasi hanya pada perlindungan hukum terhadap pemegang hak merek terkenal dalam relevansinya dengan hak prioritas dan upaya hukum yang dapat ditempuh serta sanksi terhadap pelanggaran merek terkenal yang dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab menurut ketentuan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU 15 Tahun 2001. 1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1.Tujuan Umum. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum, terutama konsentrasi hukum bisnis yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pemegang hak serta upaya hukum atas pelanggaran merek terkenal. 1.4.2. Tujuan Khusus. 1. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme perlindungan hukum bagi pemilik merek terkenal dalam relevansinya dengan hak prioritas dalam hal terjadi pelanggaran berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No.15 Tahun 2001. 7 2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dapat ditempuh serta sanksi yang diberikan berkaitan dengan pelanggaran hak atas merek terkenal berdasarkan Paris Convention, Trips Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001 1.5. Manfaat Penelitian. 1.5.1. Manfaat Teoritis Bermanfaat bagi pengembangan wawasan keilmuan peneliti, masukan bagi pengembangan ilmu hukum dan pengembangan bacaan bagi pendidikan hukum terutama konsentrasi hukum bisnis. 1.5.2. Manfaat Praktis Memberikan sumbangan pemikiran terutama bagi aparat penegak hukum dan praktisi hukum mengenai perlindungan hukum bagi pemegang hak dan upaya hukum serta sanksi yang dapat diberikan dalam hal terjadi pelanggaran merek terkenal menurut perspektif Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU 15 Tahun 2001. 1.6. Orisinalitas Penelitian. Permasalahan mengenai HKI (Hak Kekayaan Intelektual) khususnya tentang merek terkenal menarik banyak peneliti untuk menjadikannya sebagai objek kajian penelitian. Dari hasil penelusuran yang dilakukan ditemukan beberapa tulisan atau hasil penelitian yang berkaitan dengan merek terkenal tetapi memiliki substansi yang berbeda antara lain, sebagai berikut: 8 1. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dalam Sistem Hukum Hak Kekayaan Intelektual oleh Made Diah Sekar Mayang Sari, Tesis dibuat pada tahun 2010, pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Udayana dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana pengaturan merek terkenal dalam sistem hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual? (2) Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diperlukan terhadap merek terkenal di Indonesia? 2. Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan) oleh D. Shahreiza, Tesis dibuat pada tahun 2011, pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara dengan rumusan masalah: (1)Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab banyaknya terjadi sengketa merek dagang terkenal? (2) Bagaimanakah upaya-upaya hukum dalam melindungi merek dagang terkenal dan cara penyelesaian atas sengketa merek dagang terkenal. 1.7.Landasan Teoritis Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia.10 Landasan teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asasasas hukum, norma dan lain-lain, yang akan dipakai landasan untuk membahas 10 Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Utama, Bandung, h. 22 9 permasalahan penelitian.11 Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini akan digunakan berupa teori, konsep dan pandangan para ahli sebagai landasan teoritis. Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam norma yang mempengaruhi tata cara berperilaku atau bertindak, contohnya seperti norma agama, norma adat, norma moral dan norma hukum. Norma adalah suatu ukuran yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya ataupun dengan lingkungannya. Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan suku bangsa menyebabkan berlakunya suatu norma hukum adalah bersifat mutlak, artinya bahwa setiap norma hukum berlaku bagi seluruh warga negara dimanapun dia berada tanpa kecuali. Dalam kaitannya dengan hirarkhi suatu norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang Norma Hukum (Stufen Theory), berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapislapis. Dalam suatu hierarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Groundnorm).12 Grotius salah satu tokoh Hukum Alam memaparkan ada empat norma dasar yang terkandung dalam hukum alam, yakni13: 1. Kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain 11 Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Denpasar, h. 31 12 Arief Sidharta, 1993, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h 26 13 W. Friedman., 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h.49. 10 2. Kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada ditangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati. 3. Kita harus menepati janji-janji yang kita buat. 4. Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan. Teoritis HKI, biasanya menggunakan teori Hukum Alam sebagai dasar pijakan. Teori Hukum Alam yang terpenting dan pasti yaitu yang diilhami oleh gagasan, yakni gagasan perihal tatanan universal yang mengatur seluruh umat manusia dan gagasan tentang hak-hak dasar individu.14 Gagasan dasarnya adalah bahwa kekayaan intelektual merupakan milik sang creator, karena HKI melindungi orang-orang yang kreatif. Doktrin tersebut oleh lembaga HKI diadopsi untuk memberikan landasan guna memberikan perlindungan bagi individu pemilik HKI, agar hak-haknya tidak dilanggar oleh orang lain. Doktrin hukum alam menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal. John Locke seorang filsuf Inggris abad 18 mengemukakan bahwa hukum hak kekayaan intelektual memberikan hak milik eksklusif kepada hasil karya seseorang. Hukum Alam (Natural Law) meminta individu untuk mengawasi hasil karyanya dan secara adil dikontribusikan kepada masyarakat. Kemudian Locke menyatakan bahwa hak atas milik pribadi bermula dari kerja manusia dan dengan kerja inilah manusia memperbaiki dunia ini demi kehidupan yang layak tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain.15 14 Ibid John Locke, 1997, “Summa Theologiae”,dalam Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Jogjakarta, hal. 77 15 11 Locke memberikan solusi terhadap masalah hak-hak umum pemberian Tuhan dan pengambilan hak milik pribadi dimulai dengan asumsi bahwa, “every man has a property in his own person” . Asumsi ini mengantar Locke pada suatu pemikiran bahwa kerja individu juga menjadi milik individu.16 Locke berpendapat bahwa hak milik merupakan imbalan yang adil untuk orang-orang yang rajin. Kerja pada individu menambah nilai pada sebuah produk dan memberikan kemanfaatan sosial pada umumnya. Argumentasi ini menjadi titik awal dari justifikasi utilitarianism dalam hal perlindungan hak-hak kekayaan tidak berwujud termasuk hak kekayaan yang tersembunyi dalam hak eksklusif atas merek. Berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi pendekatan utilitarianism membela undang-undang merek sebagai suatu sistem insentif bagi pemilik dan pencipta merek.17 Dikaitkan dengan jaminan perlindungan merek dan barang produksinya, Robert S. Smith mengemukakan suatu teori dengan menyatakan bahwa suatu merek memberikan fungsi perlindungan sebagai investasi dari pemilik merek dengan itikad baik dan melayani konsumen dengan suatu merek dan menjamin kualitas merek. Selain itu, jaminan keaslian barang-barang produksi dari pemilik merek yang beritikad baik merupakan suatu promosi untuk menghilangkan keraguan konsumen. Dengan demikian perlindungan merek menjadi fungsi utama dan sekaligus melindungi konsumen dari barang palsu.18 16 Marshall Leaffer, Understanding Copyright Law, Oxford Legal Publisher, h.20 Ibid 18 Robert.S. Smith, 1992, The Unresolved Tension Between Trademark Protection and Free Movement of Goods in the European Community, Duke Journal of Comparative and International Law: Volume 3, No. 1, h. 112 17 12 Perlindungan hukum atas merek terkenal memang wajar mengingat terciptanya karya-karya intelektual tersebut juga atas dasar pengorbanan yang tidak sedikit baik biaya maupun tenaga dari pemiliknya, sehingga perlu diberikan penghargaan guna mendorong seseorang untuk berkarya dan berkreativitas. Hal ini didukung oleh teori-teori dari Robert M. Sherwood terkait dengan konsepsi perlindungan hukum hak kekayaan intelektual. Teori-teori yang relevan disini adalah: Reward Theory, Recovery Theory, dan Incentive Theory, yang selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Reward Theory adalah berupa pengakuan terhadap karya intelektual yang dihasilkan oleh seseorang sehingga kepada penemu/pencipta atas pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas upaya-upaya kreatif dalam menciptakan karya-karya intelektual tersebut. 2. Recovery Theory adalah berupa pengembalian terhadap apa yang telah dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain yaitu biaya, waktu dan tenaga dalam proses menghasilkan suatu karya. 3. Incentive Theory adalah berupa insentif yang diberikan kepada penemu/ pencipta/ pendesain untuk mengembangkan kreativitas dan mengupayakan terpacunya kegiatan penelitian yang berguna.19 Hak merek dalam ruang lingkup HKI merupakan bagian dari Hak Milik Perindustrian. Secara etimologis istilah “merek” berasal dari bahasa Belanda 19 Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta, h. 35 13 sedangkan dalam bahasa daerah Jawa disebut ciri atau tengger. Dalam bahasa Belanda dikenal juga dengan Mark, atau Brand dalam bahasa Inggris. 20 Secara yuridis pengertian merek tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 15 tahun 2001 yang berbunyi: “merek adalah tanda yang berupa gambar, nama,kata,huruf-huruf,angka-angka,susunan warna atau kombinasi dari unsureunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang dan jasa.” Di dalam Pasal 2 UU Merek 2001, merek dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu: 1. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang – barang sejenis lainnya. 2. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa – jasa sejenis lainnya. Selain itu pula dikenal juga dengan merek kolektif yaitu merek yang digunakan pada barang dan / atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama – sama untuk membedakan dengan barang dan / atau jasa sejenis lainnya (Pasal 1 ayat 4) 20 Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2004, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Citra Utama, Bandung, h. 166. 14 Ada juga yang disebut dengan istilah merek terkenal. Istilah merek terkenal ini ditinjau dari reputasi (reputation) dan kemahsyuran (renown) suatu merek, yang di mana merek terkenal ini mempunyai reputasi tinggi yang menimbulkan sentuhan keakraban (familiar attachement) dan ikatan mitos (mysthical context) kepada seluruh lapisan konsumennya. Penentuan suatu merek sebagai merek terkenal, tidaklah hanya terkenal di manca negara yang dimiliki oleh pihak asing tetapi juga merek – merek lokal yang dimiliki oleh para pengusaha lokal yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat pada umumnya. 21 Sampai saat ini, sebenarnya belum ada definisi merek terkenal yang dapat diterima secara luas. Upaya-upaya untuk mengiventarisasi unsur-unsur yang membentuk pengertian tersebut sampai saat ini belum memperoleh kesepakatan. Oleh karena itu, jika ada pihak yang selalu mendesakkan pengertian yang dimilikinya atau diakuinya terhadap pihak lain, hal itu hanyalah semata-mata karena adanya kepentingan pemilik merek yang bersangkutan. Selama perundingan Putaran Uruguay di bidang TRIPs berlangsung sampai berakhir dan ditandatanganinya Persetujuan Pembentukan WTO, tidak satu negarapun mampu membuat dan mengusulkan definisi merek terkenal tersebut.22 21 Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2005, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 82 22 Kesowo, Bambang, 1998, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Makalah Disampaikan dalam sambutan arahan Seminar Nasional Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan, Bandung 26 September, h 8 15 Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement berhasil membuat kriteria sifat keterkenalan suatu merek, yaitu dengan memperhatikan faktor pengetahuan tentang merek dikalangan tertentu dalam masyarakat, termasuk pengetahuan negara peserta tentang kondisi merek yang bersangkutan yang diperoleh dari hasil promosi merek tersebut. Di Indonesia ketentuan merek terkenal dapat dijumpai antara lain dalam Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M-02-HC.01.01 Tahun 1987. Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M-02-HC.01.01 Tahun 1987 merek terkenal didefinisikan sebagai merek dagang yang telah lama dikenal dan dipakai di wilayah Indonesia oleh seseorang atau badan untuk jenis barang tertentu. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut pada Tahun 1991 diperbaharui dengan dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor: M.03-HC.02.01 Tahun 1991 Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman tersebut mendefinisikan merek terkenal sebagai „merek‟ dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Selanjutnya dalam UU Nomor 15 tahun 2001 tidak dapat ditemukan definisi merek terkenal (tidak ada definisi merek terkenal). Ketentuan Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement tersebut kemudian diadopsi oleh Penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 yaitu kriteria untuk menentukan bahwa suatu merek barang atau jasa sudah masuk dalam kategori merek terkenal (well known mark) adalah dilihat dari: 16 1. Dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat tentang merek tersebut. 2. Dengan memperhatikan reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran. 3. Investasi di beberapa negara didunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas dianggap belum cukup, maka hakim dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri (independent) untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang bersangkutan. Persoalan pelanggaran merek terkenal dan upaya perlindungan hukumnya bukanlah hal baru. Persoalan itu hampir seumur dengan perjalanan sejarah Paris Convention for the Protection of Indutstrial Property tahun 1983 (disebut Paris Convention). Perlindungan merek terkenal di dalam Paris Convention telah dimuat di dalam amandemen Paris Convention , yaitu ketika dilakukan konferensi diplomatik tentang amandemen dan revisi Paris Convention di Den Haag pada tahun 1925.23 Setelah beberapa kali mengalami revisi, rumusan Pasal 6 bis Paris Convention adalah sebagai berikut. 23 Dube, Bharat, 2000, Assesing Trademark Law on Well-Known Marks Counterfeiting, Paper Presented at Advanced Seminar, Prospect and Implementation of Indonesian Copyrights, Patent and Trademark Laws, Borobudur Hotel, Jakarta 31 Juli – 1 Agustus, h.2 17 1. Negara anggota Union secara ex officio jika legislasinya mengizinkan atau atas permintaan pihak yang berkepentingan, menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang penggunaan merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat menciptakan kebingungan atas satu merek yang menurut pihak berwenang dari negara pendaftar atau pengguna sebagai merek terkenal di negara tersebut sebagaimana yang secara sah diberikan kepada orang yang berhak berdasarkan konvensi ini dan digunakan untuk barang identik atau mirip. Ketentuan ini juga berlaku apabila bagian esensial dari merek terkenal atau imitasi yang dapat menciptakan kebingungan. 2. Jangka waktu permintaan pembatalan setidaknya lima tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran (merek yang menyerupai merek terkenal tersebut). 3. Kalau pendaftaran dilakukan dengan itikad buruk, tidak ada batas waktu untuk memintakan pembatalan. Pada ketentuan Pasal 4 Paris Convention negara memberikan perlindungan terhadap merek terkenal dengan hak prioritas. Ini berarti bahwa berdasarkan permohonan yang yang dilakukan di satu negara anggota, pemohon dalam jangka waktu tertentu yaitu 6 bulan untuk merek dapat mengajukan permohonan perlindungan yang serupa di negara lain. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan (filling date) di negara asal merupakan tanggal prioritas (priority 18 date) di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian tersebut.24 Pasal 6 bis Paris Convention tersebut kemudian diadopsi Pasal 16 ayat (2) dan (3) TRIPs Agreement: (2) Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku pula terhadap jasa. Dalam menentukan bahwa suatu merek dagang merupakan merek terkenal, perlu dipertimbangkan pengetahuan akan merek dagang tersebut pada sektor yang terkait dalam masyarakat, termasuk pengetahuan yang diperoleh Anggota dari kegiatan promosi merek dagang yang bersangkutan. (3) Pasal 6bis dari Konvensi Paris berlaku pula terhadap barang atau jasa yang tidak mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, sepanjang penggunaan dari merek dagang yang bersangkutan untuk barang atau jasa dimaksud secara tidak wajar akan memberikan indikasi adanya hubungan antara barang atau jasa tersebut dengan pemilik dari merek dagang terdaftar yang bersangkutan. Perlindungan merek terkenal, menurut TRIPs Agreement disebutkan dalam Pasal 16 perjanjian tersebut, bahwa pemilik merek terdaftar mendapat perlindungan apabila mereknya didaftarkan di wilayah negara peserta, sehingga pemilik merek bersangkutan mempunyai hak eksklusif dari negara peserta untuk melarang pihak lain untuk melakukan peniruan atau pemalsuan terhadap merek tersebut. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang ikut serta dalam TRIPs 24 Suyud Margono dan amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, h. 168 19 Agreement harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian tersebut. Perlindungan hukum terhadap merek terkenal yang telah ditentukan dalam Pasal 16 TRIPs Agreement ini telah diterapkan dalam Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001 bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu, dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Dengan demikian perlindungan hukum atas merek hanya akan berlangsung apabila merek tersebut didaftarkan dan pendaftarannya harus dengan itikad baik sesuai dengan Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001. Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/jasa sejenis (Pasal 6 ayat (1) huruf b UU No. 15 Tahun 2001). Ketentuan tersebut dapat pula diberlakukan terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan diterapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001). Permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek terkenal milik orang lain dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2) (Pasal 37 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001). 20 Pendaftaran merek menurut UU No. 15 Tahun 2001 tentang merek adalah mutlak dilaksanakannya untuk terciptanya hak atas merek. Salah satu unsur sesuatu dapat didaftarkan sebagai merek adalah adanya tanda, yaitu apabila tanda atau sign yang dipakai mempunyai daya pembeda yang cukup. UU No.15 Tahun 2001 menganut sistem pendaftaran konstitutif yaitu,hak atas merek timbul setelah adanya pendaftaran terlebih dahulu. Dalam hal ini barang siapa yang pertama kali mendaftarkan dialah yang berhak atas merek tersebut dan secara eksklusif dapat memakai merek tersebut,sedangkan pihak lain tidak dapat memakainya kecuali dengan izin atau lisensi.25 Kelebihan dari sistem konstitutif ini adalah memberi kepastian hukum sehingga lebih memudahkan dalam pembuktian.26 Disamping itu Pasal 11 UU No.15 Tahun 2001 mengatur mengenai permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas. Permohonan pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali diterima di negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing the World Trade Organization. Perlindungan hukum terhadap merek terkenal sejauh ini mengacu pada ketentuan Pasal 6 bis Paris Convention dan Pasal 16 TRIPs Agreement. Ketentuan 25 Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Op.Cit, h.366. 26 Nurwidiatmo, 2003, Analisis Yuridis Penerapan Hukum Merek di Indonesia, Jurnal Penelitian Hukum: Vol.4.No.1, h. 115 21 tersebut telah diadopsi oleh banyak negara dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya, termasuk Indonesia. Perlindungan merek terkenal di Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2) serta Pasal 37 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001. Jadi konsep perlindungan hukum terhadap hak merek tersebut mengacu pada sifat hak merek yang bersifat khusus (exclusive).27 Hak eksklusif juga dapat merupakan jaminan kepada masyarakat umum akan kualitas dari barang yang dibubuhi merek tersebut. Klasifikasi internasional barang dan jasa suatu merek berdasarkan Nice Classification terdiri dari kelas 1 sampai dengan kelas 45. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menentukan mengenai jangka waktu perlindungan merek baik bagi merek lokal maupun merek asing. Di dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, disebutkan jangka waktu perlindungan merek adalah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Jangka waktu perlindungan di dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 di atas melampaui jangka waktu 7 (tujuh) tahun yang ditentukan dalam Pasal 18 dari TRIPs Agreement. Oleh karena itu, jangka waktu yang telah ditetapkan dalam TRIPs Agreement ini telah dipenuhi oleh undang-undang merek Indonesia. Pelanggaran terhadap hak merek bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang mudah dengan cara meniru maupun memalsukan merek yang sudah terkenal di masyarakat. Tindakan tersebut sangat merugikan pemilik 27 Anne Fitzgeral dan Brian Fitgerald, 2004, Intellectual Property in Principle, Law Book Co., Sydney, h. 363. 22 merek terkenal tersebut maupun pihak konsumen. Didalam ketentuan Pasal 9 dan pasal 10ter Paris Convention menyebutkan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran merek terkenal. Semua barang yang secara tidak sah membawa merek dagang atau nama dagang harus disita pada pemasukan barang impor ke dalam negara persatuan dimana merek atau nama dagang tersebut berhak atas perlindungan hukum. Penyitaan harus juga dilaksanakan di negara mana afiksasi melanggar hukum terjadi atau di negara mana barang tersebut diimpor. Penyitaan akan dilakukan atas permintaan jaksa penuntut umum, atau pejabat yang berwenang lainnya, atau setiap pihak yang berkepentingan, baik orang pribadi atau badan hukum, sesuai dengan undang-undang dalam negeri masing masing negara.Pihak berwenang tidak terikat untuk melaksanakan penyitaan barang dalam perjalanan. Jika undang-undang suatu negara tidak mengizinkan penyitaan atas impor, penyitaan harus diganti dengan larangan impor atau penyitaan di dalam negeri. Jika undang-undang suatu negara memungkinkan penyitaan baik pada impor atau larangan impor atau penyitaan di dalam negeri, maka sampai waktu perubahan suatu undang-undang telah disesuaikan, tindakan tersebut harus diganti dengan tindakan dan upaya yang tersedia dalam kasus tersebut kepada warga negara berdasarkan hukum negara tersebut (Pasal 9 Paris Convention) Negara-negara persatuan menjamin warga negara dari negara persatuan lain menjalankan solusi hukum yang tepat efektif untuk menekan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis. Mereka dapat melakukan, lebih lanjut, memberikan langkah-langkah untuk mengizinkan 23 federasi dan asosiasi yang mewakili kepentingan pengusaha, produsen, atau pedagang, asalkan keberadaan federasi dan asosiasi tersebut tidak bertentangan dengan hukum negara mereka, untuk mengambil tindakan di pengadilan atau sebelum otoritas administratif, dengan maksud untuk menekan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis, sejauh hukum negara di mana perlindungan diklaim memungkinkan tindakan tersebut oleh federasi dan asosiasi negara tersebut (Pasal 10ter Paris Convention ). Di dalam TRIPs Agreement diatur mengenai penegakan hukum untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran di bidang HKI (khususnya merek terkenal) yang terjadi di negara-negara anggota. Anggota wajib menyediakan prosedur peradilan perdata bagi pemegang hak sehubungan dengan penegakan hukum atas HKI yang dicakup oleh persetujuan ini. Tergugat berhak untuk memperoleh dalam waktu singkat pemberitahuan tertulis yang memuat secara cukup detail mengenai gugatan, termasuk mengenai dasar gugatan. Para pihak diperkenankan untuk diwakili oleh penasehat hukum yang dipilihnya sendiri, dan prosedur yang berlaku tidak boleh membebankan persyaratan yang terlalu berat sehubungan dengan kewajiban untuk hadir sendiri di pengadilan. Semua pihak dalam prosedur yang bersangkutan berhak untuk mempertahankan kebenaran gugatannya dan mengajukan buktibukti yang relevan. Prosedur yang bersangkutan harus menyediakan sarana untuk mengidentifikasikan dan melindungi informasi yang dirahasiakan, kecuali apabila hal tersebut bertentangan dengan persyaratan konstitusional yang berlaku (Pasal 42 TRIPs Agreement). 24 Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang melakukan pelanggaran untuk membayar ganti rugi yang memadai kepada pemegang hak sehubungan dengan kerugian yang diderita oleh yang bersangkutan karena pelanggaran atas HKI-nya oleh pihak lain yang mengetahui atau patut mengetahui bahwa dia terlibat dalam kegiatan pelanggaran. Badan peradilan juga mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang melakukan pelanggaran untuk membayar ganti rugi untuk biaya yang dikeluarkan oleh pemegang hak, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk jasa penasehat hukum. Dalam hal-hal tertentu, Anggota dapat memberikan wewenang kepada badan peradilan untuk memerintahkan pembayaran ganti rugi berupa pengembalian kembali keuntungan dan/ atau pembayaran meskipun pihak yang melakukan pelanggaran tidak mengetahui atau tidak mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa dia telah terlibat dalam kegiatan pelanggaran. (pasal 45 TRIPs Agreement) Dalam hal suatu upaya perdata dapat ditetapkan atas dasar prosedur administrasi mengenai pokok suatu perkara, prosedur yang bersangkutan harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang sama dengan prinsip-prinsip yang diuraikan dalam Bagian ini (Pasal 49 TRIPs Agreement). Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau dunia usaha yang sangat terkait erat dengan ekonomi dan perdagangan, oleh karenanya penyelesaian sengketa merek menjadi kewenangan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa perdata di bidang merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Pemilik merek memiliki upaya perlindungan hukum terhadap mereknya dengan mengajukan permohonan 25 kepada Pengadilan Niaga agar dapat dikeluarkan “penetapan sementara pengadilan” untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Penetapan sementara pengadilan ini disebut provisional measures, yang juga umum dikenal dalam peraturan arbitrase, maupun konvensi tentang penyelesaian sengketa tentang penanaman modal.28 Didalam TRIPs Agreement mengenai provisional measures diatur dalam Pasal 50 ayat 1, sebagai berikut: 1.Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan diambilnya tindakan sementara yang cepat dan efektif: (a) untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap HAKI, dan terutama untuk mencegah masuknya barang-barang kedalam arus perdagangan di dalam wilayah hukum mereka, termasuk barang-barang impor segera setelah dilepas oleh beacukai; (b) untuk melindungi bukti-bukti yang berkaitan dengan tuduhan pelanggaran. Pengaturan-pengaturan mengenai penegakan hukum ini secara garis besar memuat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan, badan administrasi (Pabean) dan pemegang Hak Kekayaan Intelektual bila terjadi pelanggaran yang menyangkut Hak Kekayaan Intelektual. Prinsip-prinsip pokok dalam penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran dan/atau adanya indikasi pelanggaran diatur dalam TRIPs Agreement Bagian Ke-empat yang mengatur tentang “Special Requirements Related to Boarder Measures”. Anggota wajib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan 28 yang diuraikan dibawah,untuk Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 2002,Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 189 26 menyelenggarakan prosedur yang memungkinkan pemegang hak, yang memiliki dasar sah bahwa akan terjadi pengimporan barang yang bermerek dagang palsu atau barang hasil pembajakan, untuk mengajukan permohonan tertulis kepada pihak yang berwenang, administrasi maupun badan peradilan, untuk menunda dilepaskannya oleh pabean barang-barang tersebut ke dalam arus perdagangan. Anggota dapat memungkinkan pengajuan permohonan seperti itu terhadap barang-barang yang melibatkan pelanggaran lain terhadap HKI, sepanjang persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Bagian ini terpenuhi. Anggota dapat juga menetapkan prosedur yang sama untuk barang-barang yang akan diekspor (Pasal 51 TRIPs Agreement). Setiap pemegang hak yang memanfaatkan prosedur yang dimaksud dalam Pasal 51 wajib menyediakan bukti-bukti yang memadai untuk meyakinkan pihak yang berwenang, berdasarkan hukum negara dimana pengimporan dilakukan, bahwa prima facie telah terjadi pelanggaran terhadap HAKI-nya dan memberikan keterangan rinci secara cukup mengenai barang-barang yang bersangkutan agar mudah dikenali oleh pabean. Pihak yang berwenang memberitahukan pemohon tentang telah diterimanya wajib permohonan segera yang bersangkutan dan, apabila telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, kapan saatnya pabean akan memulai mengambil tindakan (Pasal 52 TRIPs Agreement). Mengenai upaya ketentuan pidana diatur dalam bagian 5 mengenai prosedur kriminal yaitu pasal 61 : Anggota wajib menetapkan prosedur dan sanksi kriminal untuk diterapkan dalam perkara-perkara yang melibatkan pemalsuan merek dagang atau pembajakan hak cipta yang dilakukan dengan 27 sengaja. Upaya yang tersedia termasuk pidana penjara dan/atau denda yang cukup untuk membuat jera pelanggaran, sepadan dengan tingkat hukuman yang berlaku terhadap kejahatan yang mempunyai kadar yang sama. Dalam perkara-perkara tertentu, upaya yang tersedia termasuk juga pensitaan, pengambilalihan dan pemusnahan dari barang hasil pelanggaran dan semua bahan dan alat yang dipergunakan dalam tindak kejahatan. Anggota dapat menetapkan prosedur dan sanksi kriminal untuk diterapkan dalam perkara lain pelanggaran terhadap HAKI, terutama dimana tindak pidana dilakukan dengan sengaja dan untuk tujuan komersial. Di Indonesia pelanggaran atas HAKI dalam hal ini menyangkut mengenai merek terkenal dapat dimasukkan ke dalam kasus kriminal (pidana) maupun perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 UU No.15 Tahun 2001, pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa gugatan ganti rugi dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. Gugatan ini diajukan melalui Pengadilan Niaga. Gugatan atas pelanggaran merek terdaftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 dapat pula diajukan oleh penerima lisensi merek terdaftar baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan. (Pasal 77 UU No. 15 tahun 2001). Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar atas permohonan pemilik merek atau 28 penerima lisensi selaku penggugat, hakim dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi, peredaran dan perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Dalam hal tergugat dituntut juga menyerahkan barang yang menggunakan merek secara tanpa hak, hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. (Pasal 78 UU No. 15 Tahun 2001). Namun hal tersebut belum sampai pada perintah untuk pemusnahan barang bersangkutan seperti yang telah dicantumkan dalam Pasal 46 TRIPs Agreement. Pemusnahan barang harus dilakukan dengen komplit sehingga dalam hal pemalsuan merek tidak hanya etiket merek yang ditempelkan saja yang harus dibuang, bahkan seluruh barang bersangkutan harus dimusnahkan. Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek dan penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek tersebut. (Pasal 85 UU No. 15 Tahun 2001) Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya (Pasal 86 ayat 2 UU No.15 Tahun 2001). Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah, membatalkan atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak 29 dikeluarkannya penetapan sementara tersebut (Pasal 87 UU No. 15 tahun 2001). Apabila penetapan sementara dikuatkan uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76. Akan tetapi, apabila penetapan sementara dibatalkan uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. (Pasal 88 UU No.15 Tahun 2001). Hak untuk mengajukan gugatan ini tidak mengurangi hak negara untuk melakukan tuntutan tindak pidana di bidang merek. Kasus yang merupakan tindak pidana merek dapat diajukan ke Pengadilan Negeri. Menurut ketentuan pasal 89 ayat (1), selain Penyidik Pejabat Polri, Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu di Direktorat Jenderal diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang merek. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri (PPNS) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polri. Penyidik Pejabat Pegawai Negeri (PPNS) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polri dengan mengingat ketentuan pasal 107 KUHAP (Pasal 89 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 15 Tahun 2001) Apabila tindak pidana pelanggaran merek terbukti, maka pelaku tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara dan denda. 30 Ketentuan pidana terhadap pelanggaran merek, diatur dalam Pasal 90,Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001. Sanksi pidana tersebut berkisar antara empat sampai lima tahun hukuman pidana penjara dan denda Rp.200.000.000 sampai dengan Rp.1.000.000.000. Dalam Pasal 95 UU No.15 Tahun 2001 disebutkan bahwa pelanggaran terhadap Pasal 90 sampai dengan Pasal 93 itu adalah delik aduan.Artinya, hanya dengan adanya laporan dari pemilik merek bersangkutan, baru dapat dituntut dan dikenakan sanksi tersebut atau dia dakan penyidikan. Tanpa adanya pengaduan dari pihak yang merasa dirinya dirugikan, maka tidak akan ada penyidikan. Selain dengan cara diatas, penyelesaian sengketa merek juga dapat dilakukan melalui cara non litigasi, yaitu melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR/ Alternative Dispute Resolution) dan arbitrase yang diatur dalam pasal 84 UndangUndang No. 15 tahun 2001. 1.8.Metode Penelitian Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan serta menganalisa setiap bahan hukum maupun informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah mempunyai susunan yang sistematis, terarah dan konsisten. Adapun metode penulisan ini adalah sebagai berikut: 1.8.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative legal research) yaitu hukum dikonsepkan sebagai apa 31 yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas. 29 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan tetapi tidak mengkaji aspek terapan atau implementasinya.30 1.8.2. Jenis Pendekatan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). 31 Dalam penelitian ini mempergunakan pendekatan undang-undang (statute approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach) yaitu membahas perbandingan antara, Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001 (UU Merek Indonesia) mengenai perlindungan merek terkenal. 29 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h 118. 30 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.101-102 31 Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h 93 32 1.8.3. Sumber Bahan Hukum Bahan hukum dalam penelitian hukum normatif dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu : 1. Bahan hukum primer (primary law material) yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak (kontrak,konvensi,dokumen hukum dan putusan hakim). berkepentingan 32 Dalam hal ini bahan hukum primer yang diteliti adalah peraturan tentang merek yang berlaku di Indonesia yaitu UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana; serta konvensi internasional seperti TRIP’s Agreement dan Paris Convention. 2. Bahan hukum sekunder (secondary law material), yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer (buku ilmu hukum,jurnal hukum,laporan hukum dan media cetak atau elektronik).33 Dalam penelitian ini digunakan buku literatur yang terkait dengan permasalahan yang dibahas,yaitu buku literature tentang HKI khususnya mengenai merek. 3. Bahan hukum tertier (tertiary law material), yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.34 32 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, h. 82 Ibid 34 Ibid 33 33 1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen. Bahan hukum yang diperoleh akan diinventarisasi dan diidentifikasikan serta kemudian dikaji dan ditelaah. 1.8.5. Teknik Analisis Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalildalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Interpretasi atau penafsiran hukum ini merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.35 Penafsiran dan penemuan hukum ini kemudian diuraikan berdasarkan kualitas bahan hukum baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan tehnik analisis kualitatif yaitu menguraikan bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang baik dan benar (teratur), logis, sistematis, dan tidak tumpang tindih serta efektif sehingga memudahkan interpretasi bahan-bahan hukum dan pemahaman hasil analisa. 35 Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta, hal. 26 34 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PARIS CONVENTION, TRIPS AGREEMENT DAN UU NO. 15 TAHUN 2001 2.1. Tinjauan Umum Tentang Paris Convention dan TRIPs Agreement 2.1.1. Sejarah Paris Convention dan TRIPs Agreement Pada tahun 1873 diselenggarakan konferensi pertama yang membicarakan perlindungan bagi inventor yang dilakukan di Wina. Kemudian konferensi ini dilanjutkan pada tahun 1878 di Paris yang dihadiri sekitar 500 peserta termasuk 11 negara, 48 wakil kamar dagang dan industri serta masyarakat industri dan tehnik yang tinggal di Paris. Dalam konferensi tersebut dibentuk sebuah komisi yang menyiapkan draft convention (rancangan konvensi) pada tahun itu. Rancangan konvensi tersebut dikirimkan ke berbagai negara. Kemudian diadakan konferensi berikutnya di Paris pada tahun 1880 dengan dihadiri wakil dari 19 negara. Rancangan konvensi tersebut diterima dengan beberapa perubahan dan rancangan yang telah diubah ini dikirim kembali ke beberapa negara untuk mendapatkan tanggapan.Rancangan ini mengandung ketentuan mengenai bagian industrial property yang lain di samping paten serta pembentukan organisasi bernama International Bureau for the Protection of Industrial Property. Kemudian satu konferensi lagi diadakan pada tahun 1883 untuk menyetujui rancangan konvensi menjadi konvensi. Pertukaran ratifikasi dilakukan dan pada tahun 35 1884 International Union for the Protection of Industrial Property resmi dibentuk dengan 11 Negara sebagai anggota pertama sedangkan 29 negara menyusul.36 Setelah tahun 1883 Paris Convention mengalami beberapa revisi yaitu:37 1. Di Brussel tanggal 14 Desember 1900 2. Di Washington tanggal 2 Juni 1911 3. Di Den Haag tanggal 6 November 1925 4. Di London tanggal 2 Juni 1934 5. Di Lissabon tanggal 31 Oktober 1958 6. Di Stockholm tanggal 14 Juli 1967 7. Di Jeneva tanggal 28 September 1979 8. Di Stockholm tanggal 2 Oktober 1986 Saat ini Paris Convention beranggotakan 163 negara per 15 juli 2002. Indonesia turut serta dengan meratifikasi konvensi ini tanggal 18 Desember 1979 dan juga menjadi anggota Paris Union.38 Pembentukan Paris Convention bertujuan sebagai suatu uniform untuk melindungi hak-hak para penemu atas karya-karya cipta di bidang milik perindustrian.39 36 Frederick Abbott et al, 2003, The International Intellectual Property System: Commentary and Materials, Dalam: Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung, h. 637 37 Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 31. 38 Achmad Zen Umar Purba, 2005,Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan 1, PT, Alumni, Bandung, h. 30. 39 Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h.9 36 TRIPs (Trade Related Aspecs of Intellectual Property Rights) Agreement merupakan salah satu instrumen hukum internasional. Berdasarkan statuta of International Court of Justice (ICJ) atau Statuta Mahkamah Internasional, perjanjian merupakan salah satu sumber pokok hukum internasional.40 TRIPs Agreement lahir dari Putaran Uruguay (GATT) sebagai dampak dari kondisi perdagangan dan ekonomi internasional yang semakin mengglobal dan tidak lagi mengenal batas-batas negara. Persetujuan ini awalnya terbentuk atas antisipasi negara Amerika (juga beberapa negara Eropa) yang menilai bahwa WIPO (World Inntelectual Property Organization) yang bernaung di bawah PBB tidak mampu melindungi HKI di pasar internasional yang mengakibatkan neraca perdagangan mereka menjadi negatif. Argumentasi atau pendapat mereka mengenai kelemahan WIPO antara lain: 1. WIPO merupakan suatu organisasi yang anggotanya terbatas,sehingga ketentuan-ketentuannya tidak dapat diberlakukan terhadap non anggota; 2. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menghukum dan menyelesaikan setiap pelanggaran yamg terjadi di bidang HKI; 3. WIPO dianggap tidak mampu mengadaptasi perubahan tingkat inovasi teknologi dan perubahan struktur perdagangan internasional. 41 Berdasarkan hal-hal diatas maka sejak tahun 1982 Amerika berusaha untuk memasukkan permasalahan HKI ini ke forum perdagangan GATT. 40 Frederick Abbott, Op.Cit, hal. 487. Fidel S. Djaman, 1995, Beberapa Aturan dan Kebijakan Penting di Bidang Hak Milik Intelektual, Varia Peradilan Nomor 106, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, hal 136 41 37 Pada tanggal 1 Januari 1995 TRIPs Agreement mulai diberlakukan. TRIPs Agreement merupakan perjanjian internasional yang paling komprehensif dalam bidang HKI. Ciri-ciri pokok TRIPs Agreement ini berpola pada tiga hal, yaitu: 1. TRIPs Agreement lebih berpola pada norma-norma dan standar-standar yang berbeda dari persetujuan-persetujuan internasional lain, terutama perjanjian di bidang perdagangan barang (trade in goods), yang lebih banyak berpola pada aspek-aspek yang konkrit seperti akses ke pasar dan tarif; 2. Sebagai persyaratan minimal, TRIPs Agreement menetapkan sebagai salah satu cirinya, yaitu full compliance terhadap beberapa perjanjian internasional di bidang HKI; 3. TRIPs Agreement memuat ketentuan-ketentuan mengenai penegakan hukum yang ketat berikut mekanisme penyelesaian sengketa yang diberi sarana berupa hak bagi negara yang dirugikan untuk mengambil tindakantindakan balasan di bidang perdagangan secara silang (cross-retaliation)42 Disamping itu ada tiga unsur yang terkandung dalam TRIPs Agreement yang perlu diperhatikan dan dicermati oleh negara-negara yang bermaksud untuk menyesuaikan perundang-undangan nasionalnya di bidang HKI. Ketiga unsur tersebut adalah unsur-unsur yang berupa, standar-standar yang lebih tinggi, normanorma baru dan penegakan hukum yang ketat.43 42 Eddy Damian, 2002, Hukum Hak Cipta Menurut beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang hak Cipta 1997 dan Perlindungannya Terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Alumni, Bandung, h.88 43 Ibid, hal. 89 38 Setiap negara anggota World Trade Organitation (WTO) terikat oleh TRIPs Agreement tanpa terkecuali, walaupun diberikan waktu tambahan kepada negaranegara berkembang untuk menyesuaikan hukum domestik agar sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam TRIPs Agreement. TRIPs Agreement mulai berlaku di Australia pada tanggal 1 januari 1996 sedangkan di Indonesia TRIPs Agreement mulai berlaku tanggal 1 Januari 2000. Hal ini berarti bahwa Australia dan Indonesia harus mengubah hukum HKInya agar sesuai dengan TRIPs Agreement. 44 Keikutsertaan Indonesia dalam TRIPs Agreement mewajibkan Indonesia untuk melakukan penyesuaian legislasi nasional yang mengatur mengenai HKI. Berbagai norma-norma standar pengaturan dan perlindungan HKI yang termuat dalam TRIPs Agreement sesegera mungkin wajib dinasionalisasikan kedalam perundang-undangan HKI Indonesia sehingga tercipta harmonisasi pengaturan dan perlindungan HKI di Indonesia dengan yang berlaku di negara lain. Tujuan-tujuan dari TRIPs Agreement diatur dalam Pasal 7 TRIPs Agreement, yaitu: Perlindungan dan pelaksanaan hak-hak atas kekayaan intelektual harus memberikan sumbangan bagi kemajuan inovasi teknologi serta pengalihan dan penyebaran teknologi dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan antara produsen dan pengguna dari pengetahuan teknologi serta dengan cara yang kondusif bagi kesejahteraan masyarakat dan ekonomi dan keseimbangan antara HKI dan kewajiban. 44 Suyud Margono dan Longginus Hadi, Op.Cit, Jakarta, hal.17 39 2.1.2. Pengaturan dan jenis-jenis HKI dalam Paris Convention dan TRIPs Agreement Paris Convention ini terbuka untuk semua negara dan bila ingin menjadi anggota harus melalui WIPO. Pada tanggal 5 Agustus 1948 Indonesia telah mengadopsi Paris Convention 1883 yaitu sebagian Act of London 1934 dan kemudian sebagian Act of Stockholm 1967, yang diratifikasi adalah pasal-pasal administratif saja. Kemudian Indonesia meratifikasi Paris Convention melalui Keputusan Presiden No. 24 tahun 1979 pada tanggal 18 Desember 1979 namun masih mereservasi pasal 1 sampai dengan pasal 12 dan pasal 28 ayat (1). Pada Tahun 1997 melalui Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 Indonesia mencabut reservasi pasal 1 sampai dengan pasal 12 akan tetapi masih tetap mereservasi Pasal 28 ayat (1) tentang dispute settlement. Paris Convention terdiri dari 30 pasal dan terdiri dari 2 (dua) kelompok aturan penting yaitu: 1. Ketentuan dasar substansial (the basic substantive rules) 2. Ketentuan dasar prosedural (the basic rules of procedure) Paris Convention mengatur mengenai perlindungan hak milik perindustrian yang meliputi: 1. Paten (Inventions) 2. Merek (Trademarks), 3. Desain Industri (Industrial Designs), 4. Model dan Rancang Bangun (Utility Model) 5. Nama Dagang (Trade Names) 40 6. Indikasi Geografis (Geographical Indications) 7. Pencegahan Persaingan Curang (The Repression of Unfair Competition). Isi dari Paris Convention ini terdiri dari tiga bagian penting yaitu: perihal prosedur, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman wajib bagi negara-negara anggota dan ketentuan-ketentuan perihal patennya sendiri. Paris Convention menentukan bahwa setiap negara dapat menjadi peserta atau pihak pada Paris Convention dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai hal itu, sehingga negara yang bersangkutan dapat memberlakukan semua atau sebagian isi dari Paris Convention. Bahkan, negara peserta atau pihak yang menjadi Paris Convention mempunyai hak untuk membuat secara terpisah antara diri mereka sendiri perjanjian khusus untuk perlindungan hak kepemilikan industri, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Paris Convention ini.45 Pengaturan dan perlindungan hak milik perindustrian yang diberikan Paris Convention didasarkan pada prinsip national treatment atau assimilation sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan Pasal 3 Paris Convention. Prinsip ini memberikan perlindungan hukum yang sama terhadap hak milik perindustrian warga negara lain yang menjadi peserta atau pihak dalam Paris Convention sama seperti melindungi warganegaranya sendiri. Menurut Pasal 3 Paris Convention bahwa perlakuan yang demikian diberikan pula kepada warganegara dari negaranegara diluar peserta yang berdomisili atau yang memiliki pendirian industri atau 45 Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 9 41 komersial yang nyata dan efektif dalam wilayah satu negara yang menjadi peserta atau pihak dalam Paris Convention. Dalam Paris Convention juga dikenal prinsip right of priority (hak prioritas) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Paris Convention yaitu bahwa seseorang berhak mendapatkan hak paten atas hasil invensi termasuk utility models, merek dan desain industri yang juga diajukan orang lain di negara lain dan orang yang mengajukan terlebih dahulu mendapatkan hak prioritas untuk jangka waktu tertentu. Adapun hal-hal yang diatur dalam persetujuan TRIPs Agreement meliputi: Bab I : Ketentuan Umum dan Prinsip-prinsip Dasar Bab II : Standar mengenai Pemberian Hak, Lingkup dan Penggunaan HKI 1. Hak Cipta dan Hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (Copy Rights and Related Rights) 2. Merek Dagang (Trademark) 3. Indikasi Geografis (Geographical Indication) 4. Desain Industri (Industrial Design) 5. Paten (Patent) 6. Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design (Topographies) of Integrated Circuits) 7. Perlindungan Terhadap Informasi (Protection of Undisclosed Information) 42 Yang Dirahasiakan 8. Pengendalian terhadap Praktik-Praktik Persaingan Curang dalam Perjanjian Lisensi (Control of Anti Competitive Practices in Contractual Licences) Bab III : Penegakan Hukum di Bidang HKI 1. Kewajiban-kewajiban Umum; 2. Acara Perdata dan Administratif dan Sarana Untuk Mempertahankan Hak; 3. Tindakan sementara sebagai Sarana Penegakan Hukum Tambahan; 4. Persyaratan Khusus yang terkait dengan Tindakan di Perbatasan Negara atau Wilayah pabean; 5. Acara Pidana. Bab IV : Prosedur Untuk Memperoleh dan Mempertahankan HKI serta Prosedur Inter-Partes terkait. Bab V : Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Bab VI : Ketentuan Peralihan Bab VII : Ketentuan Kelembagaan; Ketentuan Penutup. Pada dasarnya TRIPs Agreement ini memuat tiga pokok persoalan. Pertama, memuat peraturan-peraturan umum dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman negara-negara anggota WTO. Kedua, memuat standar mengenai pemberian, penggunaan dan ruang lingkup dari masing-masing HKI yang disebutkan dalam TRIPs Agreement tersebut. Ketiga, memuat ketentuan-ketentuan 43 yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban negara anggota WTO untuk melakukan penegakan hukum di bidang HKI dan upaya hukum yang dapat ditempuh dalam rangka melindungi dan mempertahankan HKI.46 TRIPs Agreement sebagai suatu kesepakatan internasional memiliki relevansi dengan perjanjian dan konvensi-konvensi internasional lainnya di bidang HKI. TRIPs Agreement merupakan kaidah penunjuk berlakunya ketentuan- ketentuan perjanjian di bidang HKI.Setiap negara anggota harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam ketentuan TRIPs Agreement.47 2.1.3. Penggolongan Merek Berdasarkan Paris Convention dan TRIPs Agreement Dalam Paris Convention ketentuan mengenai merek diatur dalam pasal 6 – pasal 12. Merek dapat digolongkan menjadi merek dagang, merek terkenal, merek jasa dan merek kolektif. Merek dagang adalah merek yang digunakan untuk membedakan barangbarang tertentu yang diproduksi oleh perusahaan tertentu. 48 Dalam pasal 6 diatur mengenai ketentuan merek dagang yaitu persyaratan pengajuan dan pendaftaran merek dagang ditentukan oleh undang-undang setempat masing-masing negara anggota. Hal ini bertujuan agar masing-masing negara anggota dapat menggunakan patokan-patokan sendiri sebagaimana ditetapkan dalam undang-undangnya untuk 46 Rachmadi Usman, Op. Cit, h.42 Achmad Ramli, 2001, Perlindungan Rahasia Dagang, Jurnal Hukum Bisnis: Volume 13, No. 5., Jakarta, h.21 48 WIPO, 2013, Membuat Sebuah Merek: Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan Menengah, Publikasi WIPO Nomor 900, http://www.wipo.int/expor..on/making_a_mark_Indo.pdf, Diakses 26 Desember 2013, h. 15 47 44 menetapkan masa berlaku suatu merek dagang. Akan tetapi, permohonan pendaftaran tidak boleh ditolak (atau dibatalkan) oleh sebuah negara anggota hanya semata-mata karena belum didaftar di negara asal. Merek terkenal diatur dalam pasal 6 bis yaitu negara anggota Union secara ex officio jika legislasinya mengizinkan atau atas permintaan pihak yang berkepentingan, menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang penggunaan merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat menciptakan kebingungan atas satu merek yang menurut pihak berwenang dari negara pendaftar atau pengguna sebagai merek terkenal di negara tersebut sebagaimana yang secara sah diberikan kepada orang yang berhak berdasarkan konvensi ini dan digunakan untuk barang identik atau mirip. Ketentuan ini juga berlaku apabila bagian esensial dari merek terkenal atau imitasi yang dapat menciptakan kebingungan. Merek jasa adalah merek yang digunakan untuk membedakan jasa tertentu yang digunakan oleh perusahaan tertentu. 49 Merek jasa diatur dalam pasal 6 sexies yaitu negara anggota Union berusaha untuk melindungi merek jasa. Mereka tidak diwajibkan untuk menyediakan pendaftaran merek tersebut. Ketentuan ini menetapkan tentang perlindungan terhadap merek jasa. Sistem WTO (World Trade Organization) sendiri mengakomodasi hak ini dengan pengaturan General Agreement on Trade in Services (GATS) yang merupakan Annex 1B WTO Agreement. 49 Ibid 45 Merek jasa sifatnya sangat mirip dengan merek. Keduanya merupakan tanda yang berbeda. Merek dagang membedakan barang-barang yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya sedangkan merek jasa memenuhi fungsi yang sama dan berkaitan dengan jasa. Jasa tersebut berasal dari berbagai macam bidang seperti bidang keuangan, perjalanan, katering (penyediaan makanan)., perbankan atau periklanan. Merek jasa dapat didaftarkan, diperpanjang, dibatalkan, dibagi dan dilisensikan dengan persyaratan yang sama dengan merek dagang.50 Merek kolektif adalah merek yang digunakan untuk membedakan barang dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh anggota dari suatu asosiasi. 51 Dalam Pasal 7 bis terdapat ketentuan mengenai merek kolektif yaitu negara-negara anggota Union dapat menerima pendaftaran dan melindungi merek kolektif yang dimiliki oleh asosiasi yang tidak bertentangan dengan hukum negara asal, walaupun asosiasi tersebut tidak memiliki status badan komersial atau industrial. Sebuah merek kolektif biasanya dimiliki oleh sebuah asosiasi atau perusahaan yang anggotanya dapat menggunakan merek kolektif tersebut untuk memasarkan produk-produk yang mereka miliki. Asosiasi tersebut biasanya menetapkan beberapa kriteria untuk menggunakan merek kolektif tersebut (misalnya standar kualitas) dan memungkinkan perusahaan secara individu untuk menggunakan merek tersebut jika mengikuti standar-standar yang ditetapkan. Merek kolektif merupakan cara yang efektif untuk memasarkan secara bersama 50 51 Ibid Ibid 46 produk-produk yang dihasilkan oleh satu kelompok perusahaan yang mungkin merasa kesulitan untuk mendapatkan pengakuan konsumen dan atau kepercayaan para penyalur utama atas produknya apabila menggunakan merek sendiri. Contoh: merek kolektif Melinda digunakan oleh 5200 anggota 16 perusahaan penghasil apel yang beroperasi di Valle di Non dan Valle di Sole (Italia) yang mendirikan konsorsium Melinda pada tahun 1989.52 Ketentuan mengenai merek dapat dilihat dalam Article 15 – Article 21 TRIPS Agreement. Jenis-jenis merek menurut TRIPS Agreement yaitu merek dagang (Pasal 15) dan merek terkenal (Pasal 16 ayat 2) Merek dagang adalah setiap tanda atau kombinasi dari tanda yang mampu membedakan barang atau jasa dari dari satu badan ke badan usaha lain. Tanda tersebut meliputi kata, termasuk nama perorangan, surat, angka, unsur-unsur figuratif dan kombinasi warna, juga kombinasi tanda. Negara-negara anggota juga dapat menetapkan pendaftaran berdasarkan perbedaan melalui penggunaan dalam hal tanda-tanda tersebut tidak cukup menimbulkan perbedaan barang-barang atau jasa tertentu.Bahkan negara-negara anggota dapat mensyaratkan bahwa tanda-tanda tersebut “be visually perceptible” (Pasal 15 ayat 1). Ketentuan ini menyebabkan dimungkinkannya pendaftaran bentuk (shapes) bahkan aroma (smells) sebagai merek dagang. 53 52 Ibid h. 15-16 Michael, Blakeney 1996, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights: A Concise Guide To The TRIPS Agreement. Dalam: Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung, h.54 53 47 Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement menyatakan Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku pula terhadap jasa. Dalam menentukan bahwa suatu merek dagang merupakan merek terkenal, perlu dipertimbangkan pengetahuan akan merek dagang tersebut pada sektor yang terkait dalam masyarakat, termasuk pengetahuan yang diperoleh Anggota dari kegiatan promosi dari merek dagang yang bersangkutan. 2.2. Tinjauan Umum Tentang Merek Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 2.2.1. Sejarah UU No. 15 Tahun 2001 Dalam sejarah perundang-undangan merek di Indonesia dapat dicatat bahwa pada masa kolonial Belanda berlaku Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang dimuat dalam Stb. 1912 No.545 Jo. Stb. 1913 No. 214. Setelah Indonesia merdeka peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Ketentuan ini masih terus berlaku, hingga akhirnya sampai pada tahun 1961 ketentuan tersebut diganti dengan UU No. 21 Tahun 1961 tentang merek perusahaan dan merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan dimuat dalam lembaran negara RI No. 290 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2341 yang mulai berlaku pada bulan November 1961.54 Lahirnya UU No. 21 Tahun 1961 bertujuan untuk melindungi khalayak ramai dari tiruan barang-barang yang memakai suatu merek yang sudah dikenalnya sebagai merek barang-barang yang bermutu baik. Disamping itu UU 54 H. OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 331 48 No. 21 tahun 1961 juga bermaksud melindungi pemakai pertama dari suatu merek di Indonesia. UU No. 21 Tahun 1961 ini berlaku kurang lebih selama 31 tahun. Kemudian dengan berbagai pertimbangan UU ini harus dicabut dan digantikan dengan UU No. 19 Tahun 1992 tentang merek yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1992 No. 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3490, pada tanggal 28 Agustus 1992. UU ini berlaku sejak 1 April 1993. Dengan berlakunya UU No. 19 Tahun 1992 maka UU No. 21 Tahun 1961 dinyatakan tidak berlaku lagi. UU No. 19 Tahun 1992 Pada prinsipnya telah melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan merek, guna disesuaikan dengan Paris Convention. UU No. 19 tahun 1992 kemudian mengalami perubahan dan penyempurnaan yang dituangkan dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 19 tahun 1992 tentang Merek. Perubahan pada dasarnya bertujuan untuk menyesuaikan dengan Paris Convention dan penyempurnaan terhadap kekurangan atas beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan praktik-praktik internasional, termasuk penyesuaian dengan persetujuan TRIPs Agreement. Pengaturan mengenai ketentuan merek ini kemudian mengalami perubahan yang menyeluruh, yaitu dengan disahkannya UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2001 No. 110, tambahan Lembaran Negara No. 4131 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001. 49 Perubahan menyeluruh ini selain dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan transportasi dan teknologi informasi yang telah menjadikan kegiatan di sektor perdagangan semakin meningkat secara pesat serta menempatkan dunia sebagai pasar tunggal bersama serta iklim persaingan usaha yang sehat, juga dimaksudkan untuk menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam TRIPS Agreement yang belum diatur dalam UU No. 14 Tahun 1997. Terdapat 3 (tiga) dasar pertimbangan yang merupakan latar belakang dan tujuan yang mengiringi pembentukan UU No. 15 tahun 2001, yakni:55 1. Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi Internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang sehat; 2. Bahwa untuk hal tersebut di atas, diperlukan pengaturan yang memadai tentang merek guna memberikan peningkatan layanan bagi masyarakat; 3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas serta memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang-undang Merek yang ada dipandang perlu untuk mengganti UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek sebagaimana telah diubah dengan UU No. 14 tahun 1997 tentang Perubahan atas UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek. Dengan dibentuknya UU No. 15 tahun 2001 maka terciptalah pengaturan merek dalam satu naskah (single text) sehingga masyarakat lebih mudah 55 Rachmadi Usman, Op.Cit, h. 314-315 50 menggunakannya.56 Dalam hal ini ketentuan-ketentuan di dalam Undang-undang merek sebelumnya, yang substantifnya tidak diubah, dituangkan kembali didalam Undang-undang ini. 2.2.2.Penggolongan Merek Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001 UU No. 15 Tahun 2001 mengatur mengenai jenis-jenis merek yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) yaitu merek dagang dan merek jasa. Merek dagang adalah Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya (Pasal 1 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001). Contoh merek dagang adalah Jazz untuk mobil yang diproduksi oleh perusahaan mobil Honda, Lux untuk sabun mandi yang diproduksi oleh PT. Unilever Indonesia dan lain-lain. Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama- sama atau badan hukum untuk membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya (Pasal 1 ayat 3 UU No. 15 Tahun 2001). Contoh merek jasa adalah Johny Andrean untuk jasa kecantikan, Garuda untuk jasa angkutan udara dan lain-lain. Khusus untuk merek kolektif sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai jenis merek yang baru karena merek kolektif ini sebenarnya juga terdiri dari merek dagang dan jasa. Hanya saja merek kolektif ini pemakaiannya digunakan 56 Hery Firmansyah, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Panduan Memahami Dasar Hukum Penggunaan dan Perlindungan Merek, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 36 51 secara kolektif.57 Dalam Pasal 1 ayat 4 dirumuskan mengenai pengertian merek kolektif yaitu merek yang digunakan pada barang dan/ atau jasa dengan karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/ atau jasa sejenis lainnya. Disamping itu terdapat istilah merek terkenal. Suatu merek ditentukan sebagai merek terkenal, tidak hanya terkenal di manca negara yang dimiliki oleh pihak asing tetapi juga merek- merek lokal yang dimiliki oleh para pengusaha lokal yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat pada umumnya. Di Indonesia banyak dijumpai merek terkenal yang dimiliki oleh pengusaha lokal yaitu: Aqua, Lea, Tomkins, J.Co Donuts and Coffee, Maspion, Polygon, Polytron, Essenza, Exelco, Edward Forrer, Nexian, dll. Disamping itu juga ada merek-merek terkenal yang berasal dari luar negeri seperti: Blackberry,Apple, Aerosoles, Honda, Marie Claire, Surfer Girl, Sony, Samsung, Nike, Adidas, Bvlgari, Calvin Klein dan sebagainya. Dalam UU No. 15 Tahun 2001 tidak ditemukan mengenai definisi merek terkenal. Namun definisi mengenai merek terkenal dapat ditemukan pada Pasal 1 Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 02HC.01 Tahun 1987 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang Mempunyai Persamaan Dengan Merek Terkenal Milik Orang lain. 57 H. OK. Saidin, Op.Cit, h. 346 52 Dalam Kepmen tersebut terdapat beberapa alasan yang menjadi pertimbangan dikeluarkannya keputusan tersebut, yaitu: 1. Karena pemakaian merek terkenal milik orang lain akan menyesatkan masyarakat tentang asal-usul serta kualitas barang; dan 2. Untuk melindungi masyarakat dari kekeliruan memilih barang yang bermutu baik, maka permohonan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain akan ditolak dalam Daftar Umum Merek. Pengertian merek terkenal menurut Pasal 1 Kepmen 1987 yaitu merek terkenal adalah merek dagang yang telah lama dikenal dan dipakai di wilayah Indonesia oleh seseorang atau badan untuk jenis barang tertentu.Dari pasal tersebut dapat diuraikan bahwa unsur yang dapat mengakibatkan suatu merek dengan jenis barang tertentu menjadi merek terkenal yaitu telah lama dikenal dan dipakai di Indonesia. Suatu merek tidak dapat dianggap merek terkenal jika hanya diiklankan atau dipromosikan melalui media cetak atau media elektronik tetapi tidak dipakai di Indonesia. Apabila merek tersebut hanya dipromosikan dalam waktu relatif singkat tidak dapat menyatakan sebagai pemilik merek terkenal karena unsur telah lama dikenal belum dipenuhi. Karena dianggap masih terdapat kekurangan maka diterbitkanlah Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman RI No. M.03-HC.02.01 Tahun 53 1991 Tanggal 2 Mei 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau Merek yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain. Kepmen ini memberikan perlindungan merek terkenal dengan cakupan yang luas, yang meliputi barang sejenis maupun barang tidak sejenis. Menurut Kepmen 1991, definisi dari merek terkenal adalah merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan serta digunakan di Indonesia maupun di Luar negeri. Berdasarkan Kepmen 1991 jangkauan merek terkenal lebih luas yaitu tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga merek terkenal di luar negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa merek terkenal tersebut umumnya adalah merek-merek asing (perusahaan asing) yang memasarkan produknya di seluruh dunia termasuk Indonesia. Merek terkenal adalah merek yang sudah dikenal dalam jangka waktu yang cukup lama dan dianggap terkenal oleh pemegang otoritas yang berkompeten dari sebuah negara yang dimintakan perlindungan untuk merek tersebut. Merek terkenal sangat diuntungkan dengan adanya perlindungan HKI yang baik. Misalnya merek terkenal dapat dilindungi walaupun merek tersebut tidak didaftarkan (atau belum pernah digunakan) pada kawasan tertentu. Selain itu jika merek secara umum dilindungi dari penggunaan untuk produk yang identik atau mirip dan serupa yang menyebabkan kerancuan, maka merek terkenal dilindungi dari penggunaan merek yang serupa untuk produk yang 54 tidak mirip sama sekali, pada kondisi tertentu. Tujuan dari pemberian perlindungan yang lebih ketat adalah untu mencegah perusahaan-perusahaan lain dengan seenaknya membonceng reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal dan/atau mengakibatkan rusaknya reputasi atau nama baik merek terkenal tersebut. Contoh: misalnya Nike merupakan merek terkenal dari sebuah sepatu. Maka perusahaan Nike akan mendapatkan keuntungan dari perlindungan otomatis di negara-negara yang memberikan perlindungan yang ketat terhadap merek terkenal untuk produk sepatu semacam itu. Perlindungan juga diperoleh oleh barang-barang dan jasa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan produk sepatu. Intinya jika perusahaan lain memutuskan untuk memasarkan produk lain, mulai dari T-shirts, tas, sampai kacamata dengan menggunakan merek Nike maka harus meminta izin terlebih dahulu dari perusahaan Nike atau beresiko dapat dituntut atas pelanggaran terhadap merek yang dimiliki oleh pihak lain. Merek terkenal adalah merek yang menjadi simbol kebanggaan yang dapat diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak mengetahui atau tidak menyadari siapa pemilik merek tersebut.58 Selain pengertian merek terkenal yang telah disebutkan di atas, perlu juga diketahui pengertian dari merek dagang terkenal yang bersifat internasional. Merek dagang terkenal yang bersifat internasional adalah merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat didasarkan 58 James. E. Inman, 1993, Gray Marketing of Imported Trademark Goods: Tarrif and Trademark Issues, American Business Law Journal, Vol. 31, No. 1, h. 83 55 pada reputasi yang diperolehnya karena promosi yang terus menerus oleh pemiliknya yang diikuti dengan bukti pendaftaran merek di berbagai negara.59 Disamping itu suatu merek dinyatakan terkenal apabila telah didaftarkan di dalam dan di luar negeri, digunakan di negara yang bersangkutan serta dikenal luas oleh anggota masyarakat. Persyaratan diatas telah meliputi suatu proses sebab dan akibat, sehingga merek itu menjadi dan dinyatakan sebagai merek terkenal.60 Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa merek terkenal adalah merek dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Dengan pengertian bahwa bila masyarakat menyukai suatu merek bukan berarti yang disukai itu hanya mereknya saja namun barang yang menggunakan merek tersebut diyakini barang yang bermutu tinggi yang sesuai dengan selera masyarakat.61 Dapat disimpulkan bahwa merek terkenal adalah merek yang mencerminkan kualitas dan memiliki reputasi yang tinggi serta secara umum telah dikenal oleh masyarakat baik di Indonesia maupun di luar negeri dalam jangka waktu yang cukup lama melalui promosi secara terus menerus baik melalui media cetak maupun media elektronik serta didaftarkan di berbagai negara. 59 Iman Sjahputra, Heri Herjandono dan Parjio, 1997, Hukum Merek Baru Indonesia, Harvarindo,Jakarta, h. 20 60 Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta, h. 182-183 61 Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, h. 230 56 BAB III PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK MEREK TERKENAL DALAM HAL TERJADI PELANGGARAN BERDASARKAN PARIS CONVENTION, TRIPS AGREEMENT DAN UU NO. 15 TAHUN 2001 3.1.Kriteria Merek Terkenal Menurut Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001 Merek terkenal adalah merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek terkenal merupakan identitas barang bermutu atau merek terkenal adalah lambang mutu. Dalam praktek dapat disaksikan dalam perkara-perkara di pengadilan bahwa untuk membuktikan dalil pemohon mempunyai merek terkenal, maka salah satu alat pembuktian yang hingga kini ampuh adalah untuk menyerahkan kepada pengadilan bukti-bukti pendaftaran ini secara “worldwide”.62 Annete Kur telah membagi merek terkenal atas dua konsep yaitu: “Mashur” (renown) dan “reputasi” (reputation) . Konsep mashur dianggapnya sebagai konsep hukum merek secara tradisional. Dalam konsep ini kriteria yang esensi adalah “kuantitas”. Suatu merek mempunyai tingkat kemashuran dinyatakan dalam prosentase sejauh mana masyarakat atau kelompok tertentu akrab dengan merek tertentu. Kekurangan konsep ini adalah apabila konsep ini terlalu kaku diterapkan, misalnya apabila ditentukan tingkat minimum untuk suatu tingkat kemashuran itu, ternyata tidak dipenuhi. Selain itu konsep “kemashuran” ini dapat menimbulkan 62 M. Yahya Harahap, 1996, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 82 57 salah pengertian pada masyarakat umum apabila digunakan oleh pihak yang tidak berwenang. Konsep lain adalah “mempunyai/mendapat reputasi” (having reputation) yang dianggap modern dan pendekatannya lebih luwes. Reputasi suatu merek berarti “independent attractiveness” yang juga dapat digambarkan sebagai suatu “advertising value”. Jadi kriteria utama prinsip ini adalah “kualitas”. Berarti kriteria itu mengacu pada suatu kualitas tertentu suatu merek daripada suatu kuantitas. Dalam interpretasi ini, dihubungkan dengan perlindungan merek yang lebih luas maka pendekatan kualitas merupakan pendekatan yang lebih realistis. 63 Dalam Paris Convention tidak diatur mengenai kriteria baku mengenai merek terkenal. Hal ini diserahkan kepada masing-masing negara anggota Paris Convention. Kriteria Merek terkenal diatur dalam Article 16 ayat (2) TRIPs Agreement yang berbunyi: Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku secara mutatis mutandis terhadap jasa. Untuk menentukan bahwa suatu merek dagang merupakan merek terkenal, Negara peserta harus memperhatikan pengetahuan tentang merek dagang tersebut pada sektor yang terkait dalam masyarakat, termasuk mengenai pengetahuan dari Negara peserta yang diperoleh dari hasil kegiatan promosi merek dagang tersebut. Jadi Kriteria merek terkenal menurut TRIPs Agreement adalah: 1.Dengan memperhatikan pengetahuan masyarakat tentang merek terkenal tersebut. 63 Insan Budi Maulana,2000, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Insan Budi Maulana I), h. 40 58 2. Dengan memperhatikan pengetahuan suatu negara terhadap suatu merek terkenal yang diperoleh dari kegiatan promosi merek tersebut. Penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf b UU No.15 Tahun 2001 mengatur mengenai kriteria untuk menentukan bahwa suatu merek barang atau jasa sudah masuk dalam kategori merek terkenal (well known mark) adalah dilihat dari: 1. Dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat tentang merek tersebut. 2. Dengan memperhatikan reputasi merek terkenal yang diperoleh karena promosi yang gencar dan besar-besaran. 3. Investasi di beberapa negara didunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara. Apabila hal-hal di atas dianggap belum cukup, maka hakim dapat memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri (independent) untuk melakukan survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang bersangkutan. Yurisprudensi Mahkamah agung RI No. 1486 K/Pdt/1991 tanggal 28 November 1995, secara tegas telah memberikan kriteria sebagai berikut: “suatu merek termasuk dalam pengertian Well-Known Marks pada prinsipnya diartikan bahwa merek tersebut telah beredar keluar dari batas-batas regional, malahan sampai kepada batas-batas transnasional, karenanya apabila terbukti suatu merek 59 telah didaftar dibanyak negara didunia, maka dikwalifisir sebagai merek terkenal karena telah beredar sampai ke batas-batas diluar negara asalnya. Disamping kriteria yang telah disebutkan di atas para ahli juga memberikan kriteria-kriteria mengenai merek terkenal. Menurut Wiston ada sembilan kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan keterkenalan merek yakni: 1. The degree of recognation of the mark; 2. The extent to which the mark is used ad the duration of the used; 3. The extent and duration of advertising and publicity accorded to the mark; 4. Factors which may determine the mark's geographical reach locally, regionally and worlwide; 5. The degree of inherent or acquired distintiveness of the mark; 6. The degree of exclusivity of the mark and the nature and extent of use of the same or similar mark by third ponies; 7. The nature of the goods or services and the chanels of trade for the goods or services which bear the mark; 8. The degree to which the reputation of the mark symbolises quality goods; 9. The extent of the commercial value attributed to the mark.64 Menurut Insan Budi Maulana terdapat beberapa hal utama dalam 64 Wiston, Keny, 1999, Famous and Well-Know Trade Mark Versus Domain Names, Jurnal Hukum Bisnis: Vol. 9, No.3, h. 68 60 menentukan suatu merek terkenal yaitu:65 1. Pengetahuan masyarakat yang relevan terhadap merek tersebut. 2. Pengetahuan masyarakat mengenai promosi merek tersebut. 3. Perlindungan terhadap merek terkenal diberikan pula terhadap barang atau jasa yang tidak tidak sejenis apabila dapat menimbulkan kesan memiliki hubungan dan pemilik merek terdaftar itu dirugikan atas penggunaannya. Keterkenalan suatu merek dapat diukur dari beberapa parameter. Pertama, derajat pengakuan merek oleh konsumen. Derajat ini diperoleh dengan melakukan survey terhadap konsumen merek yang bersangkutan. Jika suatu merek banyak dipergunakan oleh pihak lain melalui perjanjian lisensi diberbagai negara akan membuat suatu merek menjadi terkenal.66 Kedua, luasnya masyarakat yang menggunakan suatu merek dan berapa lama masyarakat menggunakan suatu merek. Ketiga, lama waktu publisitas atau pengiklanan suatu merek. Dalam hal ini iklan dipandang sebagai elemen yang memungkinkan suatu merek dikenal luas oleh masyarakat.67 65 Insan Budi Maulana, 2005, Bunga Rampai: Pandangan 21 Wanita terhadap Hak dan Kekayaan Intelektual, Yayasan Klinik Hak dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Krina Dwi, Jakarta (Selanjutnya disebut Insan Budi Maulana II), h. 208 66 67 Ibid Subroto, 2001, Mengukur Kinerja Merek, Swasembada:,Vol 17. No. 04.,h. 34. 61 3.2. Jenis-jenis Pelanggaran Merek Terkenal Menurut Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 tahun 2001 Keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam waktu singkat merupakan penyebab seseorang untuk melakukan pelanggaran terhadap merek terkenal. Perdagangan barang yang menggunakan merek terkenal cepat laku di pasaran. Akibatnya timbul kecenderungan bagi pedagang atau pengusaha tertentu untuk ikut memperoleh keuntungan dengan membonceng suatu merek terkenal tetapi dengan cara melanggar hukum. Pelanggaran di bidang merek adalah pemakaian merek terkenal tanpa izin atau peniruan terhadap merek terkenal dengan tujuan untuk mempermudah pemasaran. Hal ini dilakukan untuk kepentingan sesaat namun sangat merugikan konsumen. Pelanggaran atas merek menimbulkan kerugian bagi pemilik merek terkenal. Produk bajakan yang dijual tersebut akan berpengaruh bagi pemilik merek yang dapat mengurangi omzet penjualan barang tersebut. Masyarakat yang membeli produk tersebut akan mengira bahwa barang atau jasa yang dibeli berasal dari pemilik merek terkenal. Terlebih lagi apabila pihak yang melakukan pelanggaran merek menjual produknya dengan harga yang lebih murah dengan kualitas yang kurang baik, tentu akan sangat merugikan pemilik merek yang bersangkutan. Dalam Pasal 10 bis Paris Convention menyebutkan bahwa negara-negara peserta Uni Paris terikat untuk untuk memberikan perlindungan yang efektif agar tidak terjadi persaingan yang tidak jujur. Selanjutnya ditentukan bahwa tiap perbuatan yang bertentangan dengan honest practices industrial and commercial 62 matters dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Juga disebutkan bahwa dilarang semua perbuatan yang dapat menciptakan kekeliruan dengan cara apapun berkenaan dengan asal-usul barang atau berkenaan dengan usaha-usaha industrial dan komersial dari seorang pengusaha yang bersaing. Juga ditentang semua tindakan-tindakan dan indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan sifat dan asal-usul dari suatu barang. Jenis pelanggaran merek diatur dalam pasal 16 ayat (1) dan ayat (3) serta pasal 51 TRIPs Agreement. Pemilik dari merek dagang yang terdaftar mempunyai hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh ijinnya untuk menggunakan merek dagang tersebut untuk usaha yang sejenis atau menggunakan lambang yang mirip untuk barang atau jasa yang sejenis atau mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, dimana penggunaan tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian. Dalam hal penggunaan suatu lambang yang sama untuk barang atau jasa yang sejenis, kemungkinan timbulnya ketidakpastian tersebut dianggap telah terjadi. Hak yang diuraikan diatas tidak mengurangi keabsahan hak yang sudah ada, dan tidak mengurangi kemungkinan bagi Anggota untuk menetapkan bahwa pemberian hak tersebut tergantung dari penggunaannya (Pasal 16 ayat 1) Pasal 6bis dari Konvensi Paris berlaku pula terhadap barang atau jasa yang tidak mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, sepanjang penggunaan dari merek dagang yang bersangkutan untuk barang atau jasa dimaksud secara tidak wajar akan memberikan indikasi adanya hubungan 63 antara barang atau jasa tersebut dengan pemilik dari merek dagang terdaftar yang bersangkutan. (Pasal 16 ayat 3) Anggota wajib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diuraikan dibawah,untuk menyelenggarakan prosedur yang memungkinkan pemegang hak, yang memiliki dasar sah bahwa akan terjadi pengimporan barang yang bermerek dagang palsu atau barang hasil pembajakan, untuk mengajukan permohonan tertulis kepada pihak yang berwenang, administrasi maupun badan peradilan, untuk menunda dilepaskannya oleh pabean barang-barang tersebut ke dalam arus perdagangan. Anggota dapat memungkinkan pengajuan permohonan seperti itu terhadap barang-barang yang melibatkan pelanggaran lain terhadap HAKI, sepanjang persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Bagian ini terpenuhi. Anggota dapat juga menetapkan prosedur yang sama untuk barang-barang yang akan diekspor (Pasal 51). Yang dimaksud dengan barang bermerek dagang palsu adalah barang, termasuk pengemasannya, yang memuat tanpa ijin merek dagang yang sama dengan merek dagang yang secara sah terdaftar untuk barang yang bersangkutan, atau memuat merek dagang yang yang bagian-bagian pentingnya tidak berbeda dengan merek dagang yang sah tersebut, dan karenanya melanggar hak dari pemilik merek dagang yang bersangkutan sesuai hukum dari negara importir. Pelanggaran merek terkenal di Indonesia dapat dibedakan menjadi pelanggaran merek terkenal dalam hukum pidana dan pelanggaran merek terkenal dalam hukum perdata. Yang termasuk dalam pelanggaran merek terkenal dalam hukum pidana adalah pelanggaran dengan melakukan pemalsuan merek terkenal. 64 Pemalsuan merek terkenal disini dilakukan dengan memalsukan merek terkenal yang sudah ada, yang dapat menimbulkan kesan pada masyarakat seakan-akan barang yang dipalsukan tersebut sama dengan barang aslinya yang menggunakan merek terkenal. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), pemalsuan merek yang dimaksud di atas diatur dalam Bab XI tentang pemalsuan meterai dan merek pada pasal 257 yang menyatakan bahwa: Barang siapa dengan sengaja memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukkan ke Indonesia meterai, tanda atau merek yang tidak tulen, dipalsu atau dibikin secara melawan hukum, ataupun benda-benda dimana merek itu dibubuhkannya secara melawan hukum, seolah-olah meterai, tanda atau merek itu tulen, tidak dipalsu dan dibikin secara melawan hukum; ataupun tidak dibubuhkan secara melawan hukum pada benda-benda itu, diancam dengan pidana penjara sama dengan yang ditentukan pada pasal 253-256, menurut perbedaan yang ditentukan dalam pasal-pasal hukum. Sedangkan yang termasuk dalam pelanggaran merek terkenal dalam hukum perdata yaitu pelanggaran merek yang tercantum dalam UU No. 15 Tahun 2001 yang dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) dan pelanggaran yang menyangkut perjanjian lisensi yang dikategorikan sebagai peristiwa wanprestasi. Perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi sebagai berikut: “Tiap perbuatan yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.” Ketentuan pasal 1365 KUHPerdata ini memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 65 1. Ada perbuatan melawan hukum 2. Ada kesalahan 3. Ada kerugian 4. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan perbuatan.68 Wanprestasi pada merek artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana yang ditetapkan dalam perjanjian lisensi merek baik untuk sebagian atau keseluruhan isi perjanjian lisensi tersebut. Ada 4 (empat) keadaan wanprestasi yaitu: 1. Tidak memenuhi prestasi 2. Terlambat memenuhi prestasi 3. Memenuhi prestasi secara tidak baik 4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.69 Berdasarkan ketentuan UU No.15 Tahun 2001 terdapat beberapa jenis pelanggaran merek, yaitu sebagai berikut: a. Menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek yang terdaftar milik pihak lain untuk barang yang sama dan/atau jasa yang sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 90 UU No.15 Tahun 2001); b. Menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek yang sudah terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 91 UU Merek); 68 Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, h. 111 69 Ibid, hal.100 66 c. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran. (Pasal 94 ayat 1 UU Merek). M. Yahya Harahap menyatakan bahwa: “persamaan pada keseluruhan adalah persamaan seluruh elemen. Persamaan yang demikian sesuai dengan doktrin entires similar atau sama keseluruhan elemen”.70 Merek yang dimintakan pendaftarannya merupakan copy atau reproduksi merek orang lain. Suatu merek dapat disebut copy atau reproduksi jika mengandung persamaan secara keseluruhan paling tidak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Terdapat persamaan elemen secara keseluruhan. 2. Persamaan jenis atau produksi kelas barang dan jasa. 3. Persamaan wilayah dan segmen pasar. 4. Persamaan pelaku pemakaian. 5. Persamaan cara pemeliharaan.71 Secara sederhana kriteria persamaan secara keseluruhan ada, jika tanda yang memiliki persamaan secara keseluruhan tersebut diterapkan untuk produk sejenis yang telah dilindungi lebih dahulu. Perbuatan ini dapat dikatakan pemalsuan.72 70 M. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 105 71 Ibid 72 Rahmi Jened, 2007, Hak Kekayaan Intelektual, Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga University Press, Surabaya, h. 181. 67 Sedangkan yang dimaksud persamaan pada pokoknya dapat dilihat pada penjelasan pasal 6 UU No. 15 Tahun 2001,yaitu kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut. Persamaan pada pokoknya dianggap terwujud apabila merek hampir mirip dengan merek orang lain yang didasarkan pada:73 1. Kemiripan penampilan, misalnya dari sisi gambar, peneraan hurufnya dan lain-lain, misalnya Jarum v. Jago (produk rokok) 2. Kemiripan bunyi, misalnya Salonplas v. Sanoplas 3. Kemiripan arti, misalnya, Cap Mangkok Merah v. Juanlo (bahasa Korea artinya mangkok) Disamping itu suatu merek dianggap mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek pihak lain ditentukan berdasarkan patokan yang lebih lentur dibanding dengan doktrin entire similar. Persamaan ini pada pokoknya dianggap berwujud apabila merek tersebut memiliki kemiripan atau serupa (identical), hampir mirip (nearly resembles) dengan merek orang lain. Kemiripan tersebut dapat didasarkan pada:74 1) kemiripan persamaan gambar; 73 74 Ibid M. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 417 68 2) hampir mirip atau hampir sama susunan kata, warna, atau bunyi; 3) faktor yang paling penting dalam doktrin ini, pemakaian merek menimbulkan kebingungan (actual confusion) atau menyesatkan (device) masyarakat/ konsumen. Seolah-olah merek tersebut dianggap sama sumber produksi dari sumber asal geografis dengan barang milik orang lain (likelyhood confusion). Pada merek yang mempunyai persamaan pada keseluruhannya, perbuatannya dapat dilakukan dengan peniruan atau pemalsuan merek tersebut. Sedangkan pada merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya ada bagian esensial dari merek tersebut yang sama dengan merek terdaftar milik orang lain. 75 Dalam hal ini pemakaian merek menimbulkan kesan membingungkan atau semacam kesan bahwa terdapat asosiasi antara merek tersebut dengan produsen yang terkait , sehingga berpotensi menyesatkan masyarakat. Persamaan pada keseluruhan atau pada pokoknya itu bertujuan untuk menarik perhatian konsumen agar membeli barang yang menggunakan merek tersebut seolah-olah merek terkenal yang sebenarnya. Salah satu kasus pelanggaran merek terkenal yaitu AEROSOLES INTERNATIONAL, INC (Penggugat) melawan PT. MATAHARI PUTRA PRIMA (Tergugat). Merek "AEROSOLES" milik Tergugat jelas mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya untuk barang yang sejenis dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan, kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan 75 Abdulkadir Muhammad, 2003, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Kedua Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad III), h. 237 69 bunyi ucapannya. apabila kedua merek tersebut digunakan secara bersamaan dalam perdagangan, sudah pasti akan menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan masyarakat luas sebagai konsumen yang akan menganggap bahwa barang-barang yang berasal dari Tergugat dan menggunakan merek "AEROSOLES" adalah barang-barang yang berasal dari Penggugat dan hal ini tentu akan sangat merugikan Penggugat. Hal tersebut di atas jelas telah membuktikan adanya itikad tidak baik dari pihak Tergugat untuk mengambil-alih merek "AEROSOLES" milik Penggugat dan atau membonceng, meniru, serta menjiplak ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat yang telah terkenal di dunia internasional. 3.3. Mekanisme Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Merek Terkenal Dalam Relevansinya Dengan Hak Prioritas Menurut Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 tahun 2001 Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang dan/atau jasa produksi perusahaan lain yang sejenis. Merek memiliki peranan yang sangat penting bagi pemilik suatu produk dalam kedudukannya untuk memperkenalkan produksi suatu perusahaan . Hal ini disebabkan oleh fungsi merek itu sendiri untuk membedakan dalam memperkenalkan suatu barang dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa lainnya yang mempunyai kriteria dalam kelas barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi oleh perusahaan yang berbeda. 70 Menurut P.D.D. Dermawan, fungsi merek ada tiga yaitu: 1. Fungsi indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan bahwa suatu produk bersumber secara sah pada suatu unit usaha dan karenanya juga berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu dibuat secara professional; 2. Fungsi indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai jaminan kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi; 3. Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi kolektor produk tersebut.76 Tiga fungsi merek tersebut menyebabkan perlindungan hukum terhadap merek menjadi begitu sangat penting. Sesuai dengan fungsi merek sebagai tanda pembeda, maka seyogyanya antara merek yang dimiliki oleh seseorang tidak boleh sama dengan merek yang dimiliki oleh orang lain. Dalam HKI terdapat kepentingan dari pihak pemilik HKI tersebut yaitu kepentingan untuk dilindungi haknya dari pihak-pihak yang tidak berhak serta kepentingan untuk memperoleh suatu perlindungan hukum terkait dengan status kepemilikan dari HKI tersebut. Dalam hal ini perlindungan hukum merupakan suatu upaya yang diberikan pemerintah melalui Undang-undang untuk menangani terjadinya pelanggaran terhadap kepentingan manusia. Jika terjadi pelanggaran 76 Saidin.H.OK, op.cit, h.359. 71 maka pelakunya harus diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Perlindungan merek terkenal telah dimuat di dalam amandemen Paris Convention, yaitu ketika dilakukan konferensi diplomatik tentang amandemen dan revisi Paris Convention di Den Haag pada tahun 1925.77 Setelah beberapa kali mengalami revisi, rumusan Pasal 6 bis Konvensi Paris adalah sebagai berikut. 1. Negara anggota Union secara ex officio jika legislasinya mengizinkan atau atas permintaan pihak yang berkepentingan, menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang penggunaan merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat menciptakan kebingungan atas satu merek yang menurut pihak berwenang dari negara pendaftar atau pengguna sebagai merek terkenal di negara tersebut sebagaimana yang secara sah diberikan kepada orang yang berhak berdasarkan konvensi ini dan digunakan untuk barang identik atau mirip. Ketentuan ini juga berlaku apabila bagian esensial dari merek terkenal atau imitasi yang dapat menciptakan kebingungan. 2. Jangka waktu permintaan pembatalan setidaknya lima tahun terhitung sejak tanggal pendaftaran (merek yang menyerupai merek terkenal tersebut). 77 Bharat Dube 2000, Assesing Trademark Law on Well-Known Marks Counterfeiting, Paper Presented at Advanced Seminar, Prospect and Implementation of Indonesian Copyrights, Patent and Trademark Laws, Jakarta 31 Juli – 1 Agustus, h.2 72 3. Kalau pendaftaran dilakukan dengan itikad buruk, tidak ada batas waktu untuk memintakan pembatalan. Menurut pasal 6 Paris Convention disebutkan bahwa persyaratan pengajuan dan pendaftaran merek ditentukan oleh Undang-undang setempat masing-masing negara anggota. Permohonan pendaftaran merek tidak dapat ditolak atau dibatalkan oleh sebuah negara anggota hanya karena semata-mata merek tersebut belum didaftar di negara asalnya. Di lain pihak, jika suatu merek dagang telah didaftarkan di negara asal, maka pendaftaran harus diterima di negara anggota tersebut walaupun merek tersebut tidak memenuhi kriteria merek dagang di negara setempat anggota tersebut (pasal 6 quinqics). Contohnya: Perancis dan benelux termasuk dalam anggota Paris Convention. Bunga tulip terdaftar sebagai merek yang sah di Benelux, sedangkan Undang-undang nasional Perancis tidak mengakui bentuk-bentuk bunga sebagai merek dagang. Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Paris Convention, meskipun merek dagang tersebut tidak didaftarkan sebagai merek di negara asal, Perancis wajib menerima merek dagang tersebut secara sah apabila dianggap sah di negara asal (Benelux), kecuali Perancis dapat membenarkan penolakan yang menyatakan bahwa merek dagang tersebut harus dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan kekurangan daya pembeda atau melanggar hak-hak dagang pihak lain. 78 Perlindungan terhadap merek terkenal diatur dalam Pasal 6 bis Paris Convention yang mewajibkan seluruh anggotanya untuk melindungi merek 78 H. OK. Saidin, Op.Cit, h. 340 73 terkenal warga negara lainnya untuk barang yang menyerupai (similar) atau sama (identical). Hal ini berhubungan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Paris Convention yang menentukan bahwa setiap anggota Paris Convention tidak boleh bertindak non-diskriminatif terhadap sesama anggota. Ditambahkan lagi dalam Pasal 4A Ayat (1) mengenai hak prioritas yang menentukan bahwa merek terkenal harus mendapat perlindungan hukum di negara yang termasuk dalam anggota Paris Convention sejak merek tersebut didaftar di negara asal atau salah satu negara peserta Paris Convention. Permohonan pendaftaran merek ini harus ditolak, dibatalkan oleh negara anggota secara ex officio sesuai dengan peraturan perundang-undangan negara yang bersangkutan dan mengabulkan permohonan pembatalan dari pihak lain yang berkepentingan. Berdasarkan permohonan yang dilakukan di satu negara anggota, pemohon dalam jangka waktu tertentu yaitu 6 (enam) bulan dapat mengajukan permohonan perlindungan yang serupa di negara anggota lain. Prinsip hak prioritas sangat erat dengan prinsip bahwa hak kekayaan intektual adalah kreasi dari hasil olah pikir manusia diperuntukkan bagi segenap anggota masyarakat, sehingga negara manapun seyogyanya memberikan kepada pembuat/penciptanya hak eksklusif untuk jangka waktu tertentu guna mencegah pemanfaatan oleh pihak lain secara tidak sah. Berdasarkan ketentuan di atas Paris Convention memuat beberapa ketentuan mengenai hak prioritas yaitu sebagai berikut: 74 1. Jangka waktu untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek dengan menggunakan hak prioritas adalah 6 (enam) bulan; 2. Jangka waktu 6 (enam bulan) tersebut sejak tanggal pengajuan permohonan pertama di negara asal atau salah satu negara anggota Paris Convention; 3. Tanggal pengajuan tidak termasuk dalam perhitungan jangka waktu 6 (enam) bulan; 4. Dalam hal jangka waktu terakhir adalah hari libur atau hari pada saat Kantor Pendaftaran Merek tutup, pengajuan permohonan pendaftaran merek dimana perlindungan dimohonkan, jangka waktu diperpanjang sampai pada permulaan hari kerja berikutnya. Jadi perlindungan terhadap merek terkenal yang diberikan oleh ketentuan ini adalah perlindungan atas merek terkenal warga negara asing untuk barang yang menyerupai (similar) atau sama (identical). Ketentuan ini kemudian memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing dengan berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 bis Paris Convention. Namun Pasal 6 bis Paris Convention ini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut apakah perlindungan yang diberikan hanya kepada barang sejenis atau tidak. Dalam Paris Convention, suatu perlindungan dapat ditolak apabila: 1. Registrasi atau pendaftaran di negara yang bersangkutan melanggar hak pihak ketiga terdahulu, 75 2. Merek yang bersangkutan tidak memiliki karakter pembeda atau secara eksklusif mengandung syarat-syarat deskriptif 3. Merek tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas atau ketertiban umum yang diterima masyarakat.79 TRIPs Agreement merupakan salah satu lampiran dari Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang memberikan perlindungan terhadap merek terkenal diluar prinsip menyerupai (similarity).80 Pengaturan mengenai merek terkenal dalam TRIPs Agreement merupakan lanjutan dari pengaturan tentang merek terkenal dari Paris Convention. Pasal 6 bis Paris Convention tersebut kemudian diadopsi Pasal 16 ayat (2) dan (3) TRIPs Agreement: (2) Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku secara mutatis mutandis terhadap jasa. Untuk menentukan bahwa suatu merek dagang merupakan merek terkenal, Negara peserta harus memperhatikan pengetahuan tentang merek dagang tersebut pada sektor yang terkait dalam masyarakat, termasuk mengenai pengetahuan dari Negara peserta yang diperoleh dari hasil kegiatan promosi merek dagang tersebut. (3) Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku secara mutatis mutandis terhadap barang atau jasa yang tidak sejenis dengan barang atau jasa yang 79 Cita Citrawinda, 2007, Sekilas Tentang Tindak Pidana Dalam Bidang Merek, http: //lib.law.ugm.ac.id/ojs/index.php/jli/article/view/654, Diakses 26 Desember 2013, h.1-2 80 Daniel R. Bereskin, 1995, The Protection of Famous Foreign Trade in Canada. Dalam: Rando Purba, Analisa Yuridis Terhadap Pemboncengan Ketenaran Merek Asing, (Tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.188 76 dilindungi oleh merek terdaftar asalkan penggunaan atas merek tersebut mengindikasikan suatu hubungan antara barang atau jasa dengan pemilik merek terdaftar dan asalkan kepentingan pemilik merek terdaftar kemungkinan dirugikan oleh penggunaan merek tersebut. Pasal ini menentukan bahwa perlindungan merek terkenal diperluas tidak hanya mencakup barang sejenis saja melainkan juga terhadap barang-barang yang tidak sejenis. Tindakan pemboncengan terhadap merek terkenal tersebut termasuk perbuatan yang melanggar hukum sesuai dengan aturan ini. Namun pengertian tidak sejenis disini tidak disebutkan apakah mencakup barang-barang yang berbeda kelas. Demikian juga terhadap ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan hukum merek terkenal juga diserahkan kepada masing-masing negara anggota WTO. Menurut Pasal 16 ayat (3) TRIPs Agreement perlindungan merek terhadap barang yang tidak sejenis diberikan apabila:81 1. Penggunaan merek atau jasa tidak sejenis itu menunjukkan hubungan dengan pemilik merek terdaftar 2. Kepentingan merek terdaftar seolah-olah dirusak/dirugikan oleh penggunaan merek tersebut. Perlindungan merek terkenal, menurut TRIPs Agreement disebutkan dalam Pasal 16 perjanjian tersebut, bahwa pemilik merek terdaftar mendapat perlindungan apabila mereknya didaftarkan di wilayah negara peserta, sehingga pemilik merek bersangkutan mempunyai hak eksklusif dari negara peserta untuk 81 Bharat Dube, Loc. Cit 77 melarang pihak lain untuk melakukan peniruan atau pemalsuan terhadap merek tersebut. Dalam hal pemberian hak prioritas hal ini mengacu kepada Paris Convention. TRIPs Agreement, khususnya Pasal 15 ayat (1) mengatur tentang definisi merek. Hal terpenting dalam mendefinisikan merek yang dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreement adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”. Menurut TRIPs Agreement, pembedaan (seringkali disebut dengan “daya pembeda“) merupakan satu-satunya kondisi substantif bagi perlindungan merek. Penolakan terhadap pendaftaran suatu merek menurut Pasal 15 Ayat (1) TRIPs Agreement berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya pembeda tersebut. Dalam hal penolakan perlindungan atas merek diperbolehkan pula sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Paris Convention. Ketentuan untuk melindungi merek terkenal diatas berlaku bagi seluruh negara anggota Paris Convention dan penandatangan TRIPs Agreement termasuk Indonesia yang juga turut meratifikasi kedua treaty tersebut masing-masing melalui Keppres No. 15 Tahun 1997 dan Keppres No. 7 Tahun 1997. Dengan diratifikasinya Paris Convention dan TRIPs Agreement tersebut oleh Indonesia maka memuat kewajiban untuk menyesuaikan Undang-undang merek yang ada dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional tersebut.82 Pemilik merek dapat menggunakan mereknya pada perdagangan barang atau jasa apabila ia memiliki hak atas merek yang merupakan hak eksklusif yang 82 Yuslisar Ningsih, 2003, Perlindungan dan Penegakan Hukum Merek di Indonesia Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Makalah disampaikan pada Penataran Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Mataram 20-23 Juli, h.26 78 diberikan oleh negara. Hal ini diatur dalam pasal 3 UU No.15 Tahun 2001 yang berbunyi: Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya. Secara umum hak eksklusif adalah hak yang memberi jaminan perlindungan hukum kepada pemilik merek dan merupakan pemilik satu-satunya yang berhak atas merek tersebut serta melarang siapa saja untuk memiliki dan mempergunakannya. Hak eksklusif memuat dua hal, yaitu menggunakan sendiri merek tersebut dan memberi ijin kepada pihak lain untuk menggunakan merek tersebut. Pemilik merek yang memiliki hak eksklusif tersebut berhak secara eksklusif untuk mengeksploitasi keuntungan dari penggunaan merek tersebut dalam perdagangan barang dan jasa. Pemilik merek dalam hal ini dapat terdiri dari satu orang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum. Hak eksklusif yang berfungsi seperti suatu monopoli hanya berlaku untuk barang atau jasa tertentu. Hak eksklusif bukan merupakan monopoli yang dilarang sebagai persaingan tidak sehat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, tetapi merupakan hak yang bersifat khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan daya intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat. 79 Hak eksklusif tersebut bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat. Hak yang sifatnya monopoli tersebut hanya dapat diterobos dengan izin dari pemilik merek. Dalam praktek izin tersebut berupa pemberian lisensi melalui perjanjian lisensi ( licencing agreement ).83 Hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun karena suatu merek memberi hak khusus atau hak mutlak pada yang bersangkutan. Hak atas merek diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik. Agar hak eksklusif itu dapat diberikan, pemilik merek wajib mendaftarkan mereknya. Pendaftaran merek dilakukan berdasarkan permintaan dari pemilik merek atau yang berhak atas merek atau melalui kuasanya.84 Pendaftaran merek bertujuan untuk memperoleh kepastian dan perlindungan hukum mengenai hak atas merek. Dalam pendaftaran merek terdapat dua sistem yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif. Sistem pendaftaran deklaratif adalah suatu sistem pendaftaran yang hanya akan menimbulkan dugaan saja akan adanya hak sebagai pemakai pertama pada merek yang bersangkutan. Dalam sistem deklaratif ini seseorang memperoleh hak atas merek karena pemakaian pertama walaupun tidak didaftarkan (first to use principle). Sistem ini menitikberatkan pada pemakaian pertama. Jadi siapa yang pertama kali memakai suatu merek maka dialah yang dianggap berhak menurut hukum terhadap merek yang bersangkutan.85 Dalam hal ini pendaftaran tidak merupakan suatu kewajiban/ 83 Agung Sudjatmiko, 2000, Perlindungan Hukum Hak Atas Merek, Yuridika: Vol. 15. No.5., h. 349 84 85 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 121. H. OK. Saidin, Loc. Cit 80 keharusan serta tidak merupakan syarat mutlak bagi pemilik merek untuk mendaftarkan mereknya.Kemudian dalam perkembangannya sistem deklaratif dianggap kurang menjamin kepastian hukum serta dianggap menimbulkan persoalan dan hambatan dalam bidang usaha karena perlindungan hukumnya hanya berdasarkan pemakai merek pertama.86 Sistem pendaftaran konstitutif adalah suatu sistem pendaftaran yang akan menimbulkan suatu hak sebagai pemakai pertama pada merek yaitu berdasarkan pada pendaftar pertama (first to file principle).Dalam hal ini siapa yang pertama kali mendaftarkan mereknya maka dia yang berhak atas merek tersebut. Dengan adanya pendaftaran maka dapat terwujud suatu kepastian hukum. Jadi pendaftaran adalah mutlak untuk terjadinya hak atas merek. Tanpa pendaftaran tidak ada hak atas merek serta tidak ada perlindungan.Tetapi jika suatu merek telah didaftarkan dan memperoleh sertifikat merek maka ia akan dilindungi dan orang lain tidak dapat memakai merek yang sama dengan merek yang telah didaftarkan.87 Pendaftaran akan memberikan perlindungan terhadap suatu merek. Meskipun demikian bagi merek yang tidak terdaftar tetapi luas pemakaiannya dalam perdagangan yaitu merek terkenal juga diberikan perlindungan terhadapnya terutama dari tindakan persaingan yang tidak sehat. Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak,mengemukakan bahwa: Pemakaian sistem konstitutif ini akan memberikan kepastian hukum mengenai hak atas merek kepada orang yang mendaftarkan. Kepastian hukum harus diupayakan untuk dirasakan oleh masyarakat pada umumnya dan khususnya 86 87 H. OK. Saidin.,Op.Cit, h.363. Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah,op.cit, h.366. 81 oleh para pengusaha dalam hal ini yang menggunakan suatu merek untuk barang hasil perusahaanya/produksinya. Bagi pengusaha yang ingin memperoleh kepastian hukum mengenai hak atas merek diharuskan mendaftarkan merek tersebut dan dengan demikian akan memperoleh hak atas merek yang didaftarkan tersebut. Sehingga sejak merek tersebut didaftarkan ia merasa dilindungi oleh hukum untuk mendapatkan kepastian hukumnya bahwa dirinya berhak atas merek tersebut. Dan bagi orang lain yang mencoba menggunakan merk tersebut dalam barang-barang sejenis dengan mengetahui bahwa barang tersebut sudah terdaftar atas nama orang lain akan mengundurkan niatnya mempergunakan merek tersebut. Demikian menurut beliau akan mengurangi perselisihan akan hak atas merek.88 Sistem pendaftaran konstitutif merupakan suatu penyempurnaan atas kelemahan dari sistem pendaftaran deklaratif. Tujuannya adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang merek melalui mekanisme administrasi yaitu pendaftaran sehingga dalam sistem konstitutif dikenal istilah tidak ada hak atas merek tanpa pendaftaran. Dalam hal ini pendaftaran dimaksudkan untuk memudahkan mengkontrol merek-merek yang sudah terdaftar agar bila nanti ada pendaftar baru maka pengecekan atas merek tersebut akan menjadi lebih mudah. UU No.15 tahun 2001 dalam system pendaftarannya menganut sistem konstitutif (first to file) dimana sistem ini lebih menekankan pada pemberian jaminan perlindungan hukum. Undang-undang sebelumnya yakni UU No.19 Tahun1992 dan UU No.14 Tahun 1997 juga menganut sistem yang sama. Hal ini merupakan perubahan yang mendasar dalam Undang-undang Merek Indonesia yang semula menganut sistem deklaratif (UU No.21 Tahun 1961).89 Menurut 88 I Gusti Gede Getas, 1996, Peranan Merek Dalam Dunia Usaha, Upada Sastra, Denpasar,h.16. 89 Ibid, h.362. 82 sistem konstitutif ini yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah mendaftarkan mereknya dan pihak ketiga harus menghormati hak eksklusif tersebut. Jadi pendaftaran itu menciptakan suatu hak atas merek tersebut. Pendaftaran merek dilakukan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman (selanjutnya disebut Direktorat Jenderal). Direktorat Jenderal adalah instansi pendaftaran merek yang ditugaskan untuk mendaftarkan merek yang dimohonkan pendaftarannya oleh pemilik merek.90 Untuk melakukan pendaftaran merek perlu dimohonkan pendaftaran lebih dahulu berdasarkan syarat-syarat dan prosedur yang ditentukan oleh UU No. 15 Tahun 2001. Persyaratan dan tata cara permohonan pendaftaran merek diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 17 UU No.15 tahun 2001.Permohonan pendaftaran merek diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal HKI dengan mencantumkan : a. Tanggal,bulan, dan tahun; b. Nama lengkap,kewarganegaraan dan alamt pemohon; c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; d. Warna-warna apabila merek menggunakan unsur-unsur warna; 90 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h.219. 83 yang dimohonkan pendaftarannya e. Nama negara dan tanggal permohonan merek yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dengan hak prioritas (pasal 7 ayat (1) UU no.15 tahun 2001). Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. Pemohon tersebut dapat terdiri dari 1 (satu) orang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum. Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. Dalam hal permohonan diajukan lebih dari 1 (satu) pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek tersebut,semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat sebagai alamat mereka. Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Dalam hal permohonan diajukan melalui kuasa,surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak atas merek tersebut. Kuasa yang dimaksud adalah konsultan hak kekayaan intelektual (Pasal 7 UU No.15 Tahun 2001). Apabila pemilik merek mengajukan permohonan pendaftaran merek, maka pengajuan permohonan 2 (dua) atau lebih kelas barang dan atau jasa dapat dilakukan dengan 1 (satu) permohonan. Permohonan harus menyebutkan jenis barang dan atau jasa yang termasuk dalam kelas yang dimohonkan pendaftarannya. (Pasal 8 UU No.15 Tahun 2001) Setiap permohonan pendaftaran merek juga harus dilengkapi dengan: 84 1. Surat pernyataan yang secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa merek yang dimintakan pendaftarannya adalah miliknya dan tidak meniru merek orang lain. Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh pemilik merek dan diberi meterei cukup. Bila surat pernyataan ini tidak menggunakan bahasa Indonesia, harus disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. 2. 20 (dua puluh) helai etiket merek yang bersangkutan. Etiket merek dimaksud berukuran maksimal 9 x 9 cm atau minimal 2 x 2 cm. Etiket merek yang berwarna, harus disertai pula satu lembar etiket yang tidak berwarna ( hitam putih). Bila etiket merek menggunakan bahasa selain bahasa Indonesia, harus pula disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Demikian pula etiket merek yang menggunakan huruf selain huruf latin, harus pula disertai dengan huruf latin. 3. Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hukum atau salinan yang sah akta pendirian badan hukum, apabila pemilik merek adalah badan hukum Indonesia. 4. Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran merek diajukan melalui kuasa yang merupakan konsultan HKI. Surat kuasa khusus ini adalah surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek dengan menyebutkan merek yang akan dimohonkan pendaftarannya. 5. Bukti pembayaran biaya dalam rangka permohonan pendaftaran merek, yang besarnya ditetapkan Pemerintah. 85 6. Bukti penerimaan permintaan pendaftaran yang pertama kali yang menimbulkan hak prioritas dengan disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia, apabila permohonan pendaftaran merek diajukan dengan menggunakan hak prioritas. 7. Salinan peraturan penggunaan merek kolektif, apabila permohonan pendaftaran merek dagang atau jasa akan digunakan sebagai merek kolektif. 91 Pasal 10 UU No.15 tahun 2001 mengatur pemohon yang berkedudukan diluar wilayah Negara republik Indonesia. Menurut ketentuan pasal tersebut,permohonan yang diajukan oleh pemohon yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap diluar wilayah Negara Republik Indonesia wajib diajukan melalui kuasanya di Indonesia.Pemohon tersebut wajib menyatakan dan memilih tempat tinggal kuasanya sebagai domisili hukumnya di Indonesia. Untuk merek terkenal, Departemen Kehakiman RI mengeluarkan Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 tahun 1991, tentang penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan merek terkenal milik orang lain atau milik badan lain. Peraturan ini dapat dianggap sebagai penetapan prinsip dari pasal 4 ayat 1 Paris Convention mengenai Principle Right of Priority (hak prioritas). UU No.15 Tahun 2001 mengatur mengenai permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for 91 Rachmadi Usman,Op.Cit, h.335. 86 the Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal (filling date) merupakan tanggal prioritas (priority date) di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian tersebut selama pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property.92 Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran Merek yang pertama kali diterima di negara lain, yang merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement Establishing the World Trade Organization (Pasal 11 UU No. 15 Tahun 2001). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kepentingan negara yang hanya menjadi salah satu anggota dari Paris Convention atau Agreement Establishing the World Trade Organization. Selain harus memenuhi ketentuan persyaratan permohonan pendaftaran merek, permohonan dengan menggunakan hak prioritas ini wajib dilengkapi dengan bukti tentang penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama kali yang menimbulkan hak prioritas tersebut, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerjemah yang disumpah. Bukti hak prioritas berupa surat permohonan pendaftaran beserta tanda penerimaan 92 Suyud Margono dan amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, h. 168 87 permohonan tersebut yang juga memberikan penegasan tentang tanggal penerimaan permohonan. Bila yang disampaikan berupa salinan atau fotokopi surat atau penerimaan, pengesahan atas salinan atau fotokopi surat atau tanda penerimaan tersebut diberikan oleh Direktorat Jenderal HKI apabila permohonan diajukan untuk pertama kali. Seandainya ketentuan diatas tidak dipenuhi dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya hak mengajukan permohonan dengan menggunakan hak prioritas, permohonan tersebut tetap diproses, tetapi tanpa menggunakan hak prioritas. Setelah itu, Direktorat Jenderal HKI akan melakukan pemeriksaan terhadap kelengkapan persyaratan pendaftaran merek yang dimohonkan didaftar. Bila dalam pemeriksaan tersebut terdapat kekurangan dalam kelengkapan persyaratan permohonan pendaftaran merek, Direktorat Jenderal HKI meminta agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi kelengkapan persyaratan tersebut. Khusus dalam hal kekurangan menyangkut persyaratan permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas, jangka waktu pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan permohonan dengan menggunakan hak prioritas. Permohonan pendaftaran merek dianggap ditarik kembali bila kelengkapan persyaratan yang diinginkan ternyata tidak dipenuhi dalam jangka waktu yang telah ditentuka sebagaimana disebutkan diatas. Terhadap hal ini, Direktorat Jenderal HKI akan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon 88 atau kuasanya. Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal tidak dapat ditarik kembali, walaupun pemohon atau kuasanya membatalkan rencana untuk mendaftarkan mereknya. Sebaliknya jika seluruh persyaratan administratif telah dipenuhi, terhadap permohonan tersebut diberikan tanggal penerimaan (filling date), yang akan dicatat oleh Direktorat Jenderal HKI. Tanggal penerimaan mungkin sama dengan tanggal pengajuan permohonan pendaftaran merek apabila seluruh persyaratan dipenuhi pada saat pengajuan permohonan pendaftaran merek. Jika pemenuhan kelengkapan persyaratan baru terjadi pada tanggal lain sesudah tanggal pengajuan permohonan pendaftaran merek, tanggal lain tersebut ditetapkan sebagai tanggal penerimaan. Permohonan pendaftaran merek yang telah diajukan masih dapat diubah oleh pemohon atau kuasanya. Namun harus diingat perubahan atas permohonan pendaftaran merek dimaksud hanya diperbolehkan terhadap pengantian nama dan/atau alamat pemohon atau kuasanya. Tidak itu saja, permohonan pendaftaran merek ternyata dapat ditarik kembali oleh pemohon atau kuasanya, selama belum memperoleh keputusan dari Direktorat Jenderal HKI. Bila penarikan kembali permohonan pendaftaran merek dimaksud dilakukan oleh kuasanya, penarikan itu harus dilakukan berdasarkan surat kuasa khusus untuk keperluan penarikan kembali tersebut. Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal HKI tidak dapat ditarik kembali. Dapat disimpulkan bahwa hak prioritas adalah suatu upaya dari pemegang hak atas merek yang merupakan anggota konvensi internasional perlindungan 89 merek, untuk mendaftarkan mereknya tersebut di Indonesia (melalui Direktorat Jenderal HKI). Tujuan utama pemberian hak prioritas kepada pemilik orang asing memperoleh pendaftaran, yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia dari pembajakan atau pemboncengan. Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan jalan memberi hak prioritas kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan demikian, dalam hal terjadi persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara pemilik merek orang asing dan pemilik merek domestik mengenai merek dari jenis barang dan kelas yang sama maka harus diutamakan kepada orang asing. Hal ini dikarenakan Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan Paris Convention dan TRIPs Agreement dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggota World Trade Organization (WTO). Atas hal ini, maka pemohon yang merupakan Anggota dari organisasi sebagaimana dimaksud memiliki hak untuk mendaftarkan mereknya secara utama/prioritas sejak terdaftar pada lembaga internasional dimaksud. UU No. 15 Tahun 2001 secara tegas mengatur pendaftaran merek dengan hak prioritas (pasal 11 s-d pasal 12). Dengan demikian acuan penerapan pendaftaran merek dengan hak prioritas adalah antara lain: a. Perlakuan pemberian perlindungan hukum yang sama. Hukum merek suatu negara harus memberi perlindungan yang sama terhadap pemilik merek orang asing, sebagaimana perlakuan perlindungan yang diberikan kepada pemilik merek warga negara sendiri. b. Berdasarkan asas Resiprositas. 90 Menegakkan asas pemberian perlakuan yang sama atas hak prioritas, artinya kesediaan, kerelaan memberi perlindungan yang sama terhadap pelayanan permintaan pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang asing harus berdasarkan asas timbal balik. Asas Resiprositas dengan sendirinya bercorak multilateral terhadap semua negara anggota peserta Konevensi Paris, artinya jika pemohon bukan dari negara anggota peserta Paris Convention, kantor mereka harus menolak pendaftaran dengan alasan tidak ditegakkan asas Resiprositas Namun terdapat kemungkinan merek yang dimohonkan pendaftarannya itu tidak dapat didaftar atau permohonan itu ditolak oleh Direktorat Jenderal. Pasal 5 UU No.15 tahun 2001 menentukan, merek tidak dapat didaftar apabila merek tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini: 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum; 2. Tidak memiliki daya pembeda; 3. Telah menjadi milik umum,atau; 4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Unsur – unsur di atas tidak boleh dilanggar bagi si pemohon merek agar mereknya dapat diterima pendaftarannya. Unsur di atas dapat diuraikan satu persatu yaitu: 1. Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. 91 Tanda- tanda yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum tidak dapat diterima sebagai merek. Dalam merek bersangkutan tidak boleh terdapat kata-kata atau lukisan-lukisan yang dapat menyinggung perasaan, kesopanan, ketentraman atau keagamaan baik dari khalayak umum atau dari golongan masyarakat tertentu.93 2. Tanda-tanda yang tidak mempunyai daya pembedaan Tanda-tanda yang dianggap kurang kuat dalam pembedaannya dan yang tidak memiliki daya pembeda tidak dapat dianggap sebagai merek.94 Apabila tanda tersebut terlalu sederhana, seperti 1 (satu) tanda garis atau 1 (satu) tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas maka tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda 3. Tanda Milik Umum Tanda- tanda yang telah dipakai dan dikenal secara luas dikalangan masyarakat tidak dapat dipakai sebagai tanda pengenal bagi keperluan pribadi dari orang-orang tertentu. Contoh merek yang telah menjadi milik umum adalah tanda tengkorak di atas 2 (dua) tulang bersilang yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya. Oleh karena itu, tanda tersebut tidak dapat digunakan sebagai merek. 93 Sudargo Gautama, 2004, Hukum Merek Indonesia, Dalam: H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Cetakan Keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.349 – 350. 94 Ibid, h.350 92 4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran. Yang dimaksud dengan merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran seperti merek “kopi atau gambar kopi” untuk produk kopi. Disamping itu menurut pasal 6 ayat (1) UU No.15 Tahun 2001,permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut: 1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/jasa yang sejenis; 2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/jasa sejenis; 3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah dikenal. Menurut ketentuan pasal 6 ayat (3) UU No.15 Tahun 2001,permohonan juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut: 1. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal,foto atau nama badan hukum yang dimiliki orang lain,kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak. 2. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama,bendera,lambang atau symbol atau emblem negara atau lembaga 93 nasional maupun internasional,kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. 3. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah,kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang. UU No. 15 Tahun 2001 khususnya pasal 6 ayat (2) juga mengatur mengenai perlindungan merek terkenal terhadap barang dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Namun hingga saat ini Peraturan pemerintah yang dimaksud belum disahkan oleh pemerintah. Salah satu kasus pelanggaran merek yaitu Aerosoles International Inc (Penggugat) melawan PT. Matahari Putra Prima (Tergugat). Menurut Putusan Nomor 06/Merek/2004/PN. Niaga. Jkt. Pst "AEROSOLES" telah melakukan pendaftaran di berbagai negara yaitu: 1. Uni Eropa, kelas 18, 25, 35, No. 000520908, tanggal 23 Oktober 1998; 2. Jerman, kelas, 25, No. 397 15 222, tanggal 07 April 1997; 3. Yunani, kelas 25, No. 121085, tanggal 17 Oktober 1995; 4. Jepang, kelas 25, No. 4170720, tanggal 24 Juli 1998; 5. Taiwan, kelas 25, No. 743693, tanggal 1 Januari 1997; 6. Inggris, kelas 25, No. 1547748, tanggal 5 Januari 1996; 7. Amerika Serikat, kelas 18, No. 2.190.746, tanggal 22 September 1998; 94 8. Amerika Serikat, kelas 25, 35, No. 2.144.257, tanggal 17 Maret 1998. Disamping merek "AEROSOLES" telah terdaftar di berbagai negara seperti tersebut di atas, "AEROSOLES" telah mengajukan permintaan pendaftaran merek ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM R.I. pada tanggal 11 Juni 2003 dengan No. Agenda DOO.2003.14490.14618 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam kelas 25 (Bukti P-10) dan pada tanggal 13 Oktober 2003 dengan No. Agenda DOO.2003.28663.28940 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam kelas 18. Dengan diajukannya pendaftaran merek "AEROSOLES" maka Penggugat adalah satu-satunya pemilik dan pemakai pertama atas merek " AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia internasional, sehingga Penggugat mendapat perlindungan hukum dan mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan merek AEROSOLES tersebut dan melarang pihak lain untuk menggunakannya. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No.15 Tahun 2001. 3.4.Jangka Waktu Perlindungan Merek Terkenal Menurut Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001 Dalam Paris Convention tidak ditentukan mengenai jangka waktu perlindungan terhadap merek terkenal. Hal ini disesuaikan dengan ketentuan masing-masing negara anggota. 95 Menurut TRIPS Agreement masa perlindungan merek terkenal adalah selama 7 tahun diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi: Pendaftaran suatu merek dagang untuk pertama kali berikut perpanjangannya, berlaku untuk jangka waktu tidak kurang dari 7 (tujuh) tahun. Perpanjangan pendaftaran suatu merek dagang dapat dilakukan tanpa batas. Di Indonesia merek terkenal mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang (Pasal 28 UU No. 15 tahun 2001). Pemilik merek terkenal dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu yang sama. Permohonan perpanjangan diajukan secara tertulis oleh pemilik merek atau kuasanya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya jangka waktu perlindungan bagi merek terdaftar tersebut. Permintaan perpanjangan pendaftaran merek dilakukan dengan mengisi formulir permohonan perpanjangan pendaftaran merek dengan disertai penyertaan dari pemilik merek, bahwa merek yang bersangkutan adalah pemilik hak atau pemegang hak merek terdaftar masih menggunakan barang atau jasa sebagaimana disebut dalam sertifikat merek, barang dan jasa tersebut masih diproduksikan dan diperdagangkan. Permohonan perpanjangan tersebut diajukan kepada Direktorat Jenderal. (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2001). Selanjutnya Pasal 36 UU No. 15 Tahun 2001 juga menentukan persyaratan untuk persetujuan permintaan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek terdaftar. Persyaratannya meliputi: 96 a. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek tersebut; dan b. Barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a masih diproduksi dan diperdagangkan. Dalam pasal 37 UU No.15 Tahun 2001 diatur mengenai permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila permohonan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 dan pasal 36. Permohonan perpanjangan merek terdaftar dapat ditolak oleh Kantor Direktorat Jenderal apabila, sebagai berikut : 1. Merek atas barang dan/atau jasa sebagaimana disebut dalam sertifikat merek sudah tidak digunakan, tidak diproduksikan dan tidak diperdagangkan; 2. Apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek terkenal (well—known trademark) milik orang lain. Penolakan permohonan perpanjangan diberitahukan secara tertulis kepada pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Keberatan terhadap penolakan permohonan perpanjangan dapat diajukan ke Pengadilan Niaga. Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut hanya dapat diajukan kasasi. Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar dicatat dalam Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftardiberitahukan kepada pemilik merek atau kuasanya (Pasal 38 UU No. 15 Tahun 2001). 97 Atas perubahan nama dan/atau alamat pemilik merek terdaftar harus diajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal. Pencatatan perubahan nama dan/atau alamat pemilik merek terdaftar dikenai biaya pencatatan untuk dicatat dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti pencatatan yang untuk selanjutnya diumumkan dalam Berita Resmi Merek. 98 BAB IV UPAYA HUKUM DAN SANKSI ATAS PELANGGARAN MEREK TERKENAL BERDASARKAN PARIS CONVENTION, TRIPS AGREEMENT DAN UU NO.15 TAHUN 2001 4.1. Upaya Hukum Bagi Pemilik Merek Terkenal Berkaitan Dengan Pelanggaran Berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001 Merek merupakan identitas suatu barang yang membedakan kualitas dan mutu dari barang yang satu dengan yang lainnya. Usaha pemerintah untuk menciptakan suatu kondisi persaingan sehat dalam bidang merek dengan membentuk Undang-undang merek yang baru belum dapat diterapkan secara sempurna. Keinginan manusia untuk memperoleh keuntungan yang besar menyebabkan manusia cenderung akan melanggar aturan yang ada. Pada hak atas merek melekat keuntungan ekonomi. Hal ini selalu dimanfaatkan bukan hanya oleh pemilik merek melainkan juga oleh pihak atau oknum yang ingin menarik keuntungan dengan menggunakan ketenaran merek terkenal serta memanfaatkan promosi merek terkenal untuk kepentingan dirinya sendiri dengan cara melakukan peniruan atau pemalsuan merek terkenal tersebut. Hal ini sangat merugikan pemilik merek terkenal karena menyebabkan menurunnya omzet penjualan sehingga mengurangi keuntungan yang sangat diharapkan dari mereknya yang sudah terkenal tersebut serta merusak citra dari merek terkenal tersebut. Konsumen dalam hal ini merupakan pihak yang juga dirugikan karena 99 konsumen akan memperoleh barang-barang atau jasa yang bermutu lebih rendah apabila dibandingkan dengan merek asli yang sudah terkenal tersebut. Selain itu pemerintah (negara) juga dirugikan karena minimnya devisa negara dan pajak yang masuk akibat dari pemalsuan merek terkenal tersebut. Jadi pelanggaran merek terkenal dsini tidak hanya merugikan pemilik merek tetapi memiliki dampak negatif yang luas bagi pihak lain dalam hal ini konsumen dan negara. Ketentuan Pasal 9 dan pasal 10ter Paris Convention menyebutkan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran merek terkenal. Semua barang yang secara tidak sah membawa merek dagang atau nama dagang harus disita pada pemasukan barang import ke dalam negara persatuan dimana merek atau nama dagang tersebut berhak atas perlindungan hukum. Penyitaan harus juga dilaksanakan di negara mana afiksasi melanggar hukum terjadi atau di negara mana barang tersebut diimpor. Penyitaan akan dilakukan atas permintaan jaksa penuntut umum, atau pejabat yang berwenang lainnya, atau setiap pihak yang berkepentingan, baik orang pribadi atau badan hukum, sesuai dengan undang-undang dalam negeri masing masing negara. Pihak berwenang tidak terikat untuk melaksanakan penyitaan barang dalam perjalanan. Jika undang-undang suatu negara tidak mengizinkan penyitaan atas impor, penyitaan harus diganti dengan larangan impor atau penyitaan di dalam negeri. Jika undang-undang suatu negara memungkinkan penyitaan baik pada impor atau larangan impor atau penyitaan di dalam negeri, maka sampai waktu perubahan suatu undang-undang telah disesuaikan, tindakan tersebut harus diganti dengan tindakan dan upaya yang tersedia dalam kasus tersebut kepada 100 warga negara berdasarkan hukum negara tersebut (Pasal 9 Paris Convention) Negara-negara persatuan menjamin warga negara dari negara persatuan lain menjalankan solusi hukum yang tepat efektif untuk menekan semua perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis. Mereka dapat melakukan, lebih lanjut, memberikan langkah-langkah untuk mengizinkan federasi dan asosiasi yang mewakili kepentingan pengusaha, produsen, atau pedagang, asalkan keberadaan federasi dan asosiasi tersebut tidak bertentangan dengan hukum negara mereka, untuk mengambil tindakan di pengadilan atau sebelum otoritas administratif, dengan maksud untuk menekan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis, sejauh hukum negara di mana perlindungan diklaim memungkinkan tindakan tersebut oleh federasi dan asosiasi negara tersebut (Pasal 10ter Paris Convention) Di dalam TRIPs Agreement diatur mengenai penegakan hukum untuk mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran di bidang HKI (khususnya merek terkenal) yang terjadi di negara-negara anggota. Anggota wajib menyediakan prosedur peradilan perdata bagi pemegang hak sehubungan dengan penegakan hukum atas HKI yang dicakup oleh persetujuan ini. Tergugat berhak untuk memperoleh dalam waktu singkat pemberitahuan tertulis yang memuat secara cukup detail mengenai gugatan, termasuk mengenai dasar gugatan. Para pihak diperkenankan untuk diwakili oleh penasehat hukum yang dipilihnya sendiri, dan prosedur yang berlaku tidak boleh membebankan persyaratan yang terlalu berat sehubungan dengan kewajiban untuk hadir sendiri di pengadilan. Semua pihak dalam prosedur yang bersangkutan 101 berhak untuk mempertahankan kebenaran gugatannya dan mengajukan buktibukti yang relevan. Prosedur yang bersangkutan harus menyediakan sarana untuk mengidentifikasikan dan melindungi informasi yang dirahasiakan, kecuali apabila hal tersebut bertentangan dengan persyaratan konstitusional yang berlaku (Pasal 42 TRIPs Agreement). Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang melakukan pelanggaran untuk membayar ganti rugi yang memadai kepada pemegang hak sehubungan dengan kerugian yang diderita oleh yang bersangkutan karena pelanggaran atas HKI-nya oleh pihak lain yang mengetahui atau patut mengetahui bahwa dia terlibat dalam kegiatan pelanggaran.Badan peradilan juga mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang melakukan pelanggaran untuk membayar ganti rugi untuk biaya yang dikeluarkan oleh pemegang hak, termasuk biaya yang dikeluarkan untuk jasa penasehat hukum. Dalam hal-hal tertentu, Anggota dapat memberikan wewenang kepada badan peradilan untuk memerintahkan pembayaran ganti rugi berupa pengembalian kembali keuntungan dan/ atau pembayaran meskipun pihak yang melakukan pelanggaran tidak mengetahui atau tidak mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa dia telah terlibat dalam kegiatan pelanggaran. (pasal 45 TRIPs Agreement) Dalam hal suatu upaya perdata dapat ditetapkan atas dasar prosedur administrasi mengenai pokok suatu perkara, prosedur yang bersangkutan harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang sama dengan prinsip-prinsip yang diuraikan dalam Bagian ini. (Pasal 49 TRIPs Agreement) 102 Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau dunia usaha yang sangat terkait erat dengan ekonomi dan perdagangan, oleh karenanya penyelesaian sengketa merek menjadi kewenangan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa perdata di bidang merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Pemilik merek memiliki upaya perlindungan hukum terhadap mereknya dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan Niaga agar dapat dikeluarkan “penetapan sementara pengadilan” untuk mencegah kerugian yang lebih besar. Penetapan sementara pengadilan ini disebut provisional measures, yang juga umum dikenal dalam peraturan arbitrase, maupun konvensi tentang penyelesaian sengketa tentang penanaman modal.95 Didalam TRIPs Agreement mengenai provisional measures diatur dalam Pasal 50 ayat 1, sebagai berikut: 1. Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan diambilnya tindakan sementara yang cepat dan efektif: (a) untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap HKI, dan terutama untuk mencegah masuknya barang-barang kedalam arus perdagangan di dalam wilayah hukum mereka, termasuk barang-barang impor segera setelah dilepas oleh beacukai; (b) untuk melindungi bukti-bukti yang berkaitan dengan tuduhan pelanggaran. Pengaturan-pengaturan mengenai penegakan hukum ini secara garis besar memuat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan, badan 95 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata,Op. Cit, h. 189 103 administrasi (Pabean) dan pemegang HKI bila terjadi pelanggaran yang menyangkut HKI. Prinsip-prinsip pokok dalam penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran dan/atau adanya indikasi pelanggaran diatur dalam TRIPs Bagian Ke-empat yang mengatur tentang “Special Requirements Related to Boarder Measures”. Anggota wajib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diuraikan dibawah,untuk menyelenggarakan prosedur yang memungkinkan pemegang hak, yang memiliki dasar sah bahwa akan terjadi pengimporan barang yang bermerek dagang palsu atau barang hasil pembajakan, untuk mengajukan permohonan tertulis kepada pihak yang berwenang, administrasi maupun badan peradilan, untuk menunda dilepaskannya oleh pabean barang-barang tersebut ke dalam arus perdagangan. Anggota dapat memungkinkan pengajuan permohonan seperti itu terhadap barang-barang yang melibatkan pelanggaran lain terhadap HAKI, sepanjang persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Bagian ini terpenuhi. Anggota dapat juga menetapkan prosedur yang sama untuk barang-barang yang akan diekspor (Pasal 51 TRIPs Agreement) Setiap pemegang hak yang memanfaatkan prosedur yang dimaksud dalam Pasal 51 wajib menyediakan bukti-bukti yang memadai untuk meyakinkan pihak yang berwenang, berdasarkan hukum negara dimana pengimporan dilakukan, bahwa prima facie telah terjadi pelanggaran terhadap HKI-nya dan memberikan keterangan rinci secara cukup mengenai barang-barang yang bersangkutan agar mudah dikenali oleh pabean. Pihak yang berwenang memberitahukan pemohon tentang telah diterimanya 104 wajib permohonan segera yang bersangkutan dan, apabila telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, kapan saatnya pabean akan memulai mengambil tindakan (Pasal 52 TRIPs Agreement). Disamping upaya penyelesaian sengketa secara litigasi, dalam TRIPs Agreement juga diatur penyelesaian sengketa secara non litigasi. Hal ini tertuang dalam pasal 64 ayat (1) yaitu: Ketentuan dalam Pasal XXII dan XXIII GATT 1994 sebagaimana dijabarkan dan diterapkan berdasarkan Kesepakatan tentang Aturan dan Prosedur mengenai Penyelesaian Sengketa berlaku terhadap proses konsultasi dan penyelesaian sengketa yang timbul berdasarkan persetujuan ini kecuali apabila secara khusus telah disediakan tersendiri. Menurut UU No. 15 tahun 2001 untuk mencegah pelanggaran merek terkenal serta melindungi hak-hak yang dimiliki pemilik merek terkenal dapat dilakukan upaya hukum dengan dengan cara litigasi (pengadilan) maupun non litigasi (di luar pengadilan) yaitu Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Arbitrase 1.Secara litigasi Upaya hukum melalui jalur litigasi dapat dilakukan secara perdata dan pidana. Secara perdata penyelesaian sengketa merek diatur dalam pasal 76 UU No. 15 Tahun 2001 yaitu Berdasarkan ketentuan pasal 76 UU No.15 Tahun 2001 yaitu: 1) pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang sejenis berupa: 105 a.Gugatan ganti rugi;dan/atau b.Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut. 2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan pada Pengadilan Niaga. Ganti rugi dapat berupa ganti rugi materiil dan immateriil. Ganti rugi materiil yaitu yaitu berupa kerugian yang nyata dan dapat dinilai dengan uang. Sedangkan ganti rugi immateriil yaitu berupa tuntutan ganti rugi yang disebabkan oleh pemakaian merek dengan tanpa hak sehingga pihak yang berhak menderita kerugian secara moril. Pasal 77 UU No.15 Tahun 2001 menentukan bahwa gugatan atau pelanggaran merek terdaftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 dapat pula dilakukan oleh penerima lisensi merek terdaftar,baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan. Atas permohonan pemilik merek dan/atau penerima lisensi merek terdaftar selaku penggugat,selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian yang lebih besar,hakim dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan produksi,peredaran dan/atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Dalam hal tergugat dituntut pula menyerahkan barang yang menggunakan merek secara tanpa hak,hakim dapat memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 78 UU No.15 Tahun 2001). 106 Selain itu pemilik merek terkenal juga dapat menuntut suatu pembatalan terhadap pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain. Hal ini diatur dalam Pasal 68 ayat (2) yang apabila disimpulkan menyatakan bahwa pemilik merek tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek berdasarkan alasan dalam Pasal 4, 5, dan 6 setelah mengajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal. Dalam artian bahwa gugatan pembatalan merek terdaftar dapat diajukan, asalkan penggugat terlebih dahulu telah mengajukan permohonan pendaftaran mereknya pada Direktorat Jenderal. Dengan pengajuan permohonan, pemilik merek terkenal dianggap memiliki etikad baik untuk mengikuti peraturan yang berlaku dengan mendaftarkan dan memakai mereknya di Indonesia. Gugatan pembatalan merek ini hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 tahun sejak tanggal pendaftaran merek. Gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas waktu apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum maka jangka waktunya tidak dibatasi. (Pasal 69 UU No.15 Tahun 2001) Tata cara gugatan pada Pengadilan Niaga diatur dalam ketentuan Pasal 80 UU No. 15 Tahun 2001 : (1) Gugatan pembatalan pendaftaran merek diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. 107 (2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia,gugatan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. (3) Panitera mendaftarkan gugatan pembatalan pada tanggal yang bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan. (4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. (5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal gugatan pembatalan didaftarkan,Pengadilan Niaga mempelajari gugatan dan menetapkan hari sidang. (6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan. (7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari setelah gugatan pembatalan didaftarkan. (8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90 (sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung. (9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari 108 putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan suatu upaya hukum. (10) Isi putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan. Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (8) UU No.15 Tahun 2001,hanya dapat diajukan kasasi. Tata cara permohonan kasasi ini menentukan tanggal permohonan harus diajukan dan diwajibkan mengirimkan permohonan kasasi maupun memori kasasi ini kepada Mahkamah Agung. Baik permohonan kasasi dan memori kasasinya serta kontra memori kasasi kepada Mahkamah Agung yang diwajibkan mempelajari berkas perkara kasasi dan menetapkan hari sidang selambatnya 2 (dua) hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung,setelah permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung lengkap dengan pertimbangan hukum putusan ini dapat diucapkan. Kemudian Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan selambatnya 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan permohonan kasasi dan juru sita wajib menyampaikan putusan kasasi setelah putusan kasasi diterima.96 Berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara tentang: 96 Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Op. Cit, ,h.186. 109 1. Pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak merek; 2. Penyimpanan alat bukti yang berkatan dengan pelanggaran merek tersebut (pasal 85 UU No.15 tahun 2001). Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut: 1. Melampirkan bukti kepemilikan merek; 2. Melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya pelanggaran merek; 3. Keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang diminta,dicari,dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian; 4. Adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran merek akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti;dan 5. Membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank (pasal 86 ayat (1) UU No.15 Tahun 2001). Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 85 telah dilaksanakan,Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk didengar keterangannya.Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk mengubah,membatalkan atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 85 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya penetapan sementara tersebut. 110 Apabila penetapan sementara dikuatkan,uang jaminan yang telah dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon penetapan dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76.Akan tetapi apabila penetapan sementara dibatalkan,uang jaminan yang telah dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. Pada kasus pelanggaran merek “AEROSOLES”, Tergugat tanpa persetujuan Penggugat telah mendaftarkan merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenisjenis barang yang termasuk dalam kelas barang 25 (Bukti P-12) dan di bawah No. Pendaftaran 415594, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenisjenis barang yang termasuk dalam kelas barang 18. Penggugat sangat keberatan atas pendaftaran merek "AEROSOLES" di bawah No.Pendaftaran 415578 dan 415594 yang dilakukan oleh Tergugat (Vide Bukti P-12 dan P-13), karena merek "AEROSOLES" milik Tergugat jelas mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya untuk barang yang sejenis dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat. Hal tersebut di atas jelas telah membuktikan adanya itikad tidak baik dari pihak Tergugat untuk mengambil alih merek "AEROSOLES" milik Penggugat dan atau membonceng, meniru, serta menjiplak ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat yang telah terkenal di dunia internasional dan telah terdaftar di berbagai negara, sehingga pendaftaran merek "AEROSOLES" yang dilakukan oleh Tergugat tersebut dapat dikategorikan sebagai pendaftaran yang beritikad tidak baik, dan 111 oleh karenanya tidak patut untuk mendapat perlindungan hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 jo. Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b UU. No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Penggugat kemudian mengajukan gugatan pembatalan merek Aerosoles milik tergugat berdasarkan bukti-bukti yang ada. Hal tersebut kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Niaga dalam Putusan Nomor 06/Merek/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst. Putusan tersebut menurut penulis telah sesuai dengan ketentuan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001. Dalam hal ini Paris Convention dan UU No. 15 Tahun 2001 menganut asas identical sign of Identical good or services dan untuk merek terkenal dimana perlakuan untuk barang tidak sejenis oleh Undang-undang No. 15 Tahun 2001 akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (vide Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 15 Tahun 2001). Di dalam Pasal16 ayat (3) TRIPs Agreement menentukan bahwa secara mutatis mutandis Pasal 6 bis Paris Convention akan berlaku untuk barang-barang atau jasa yang tidak sejenis (not smiliar goods of service) dengan ketentuan bahwa pemakaian merek atas benda-benda atau jasa-jasa yang bersangkutan akan memberi indikasi adanya suatu hubungan antara barang-barang atau jasa-jasa dengan pemilik merek terkenal dari pemilik merek tersebut akan cenderung mendapatkan kerugian akibat pemakaian merek tersebut. Merek “AEROSOLES” milik Penggugat dan merek “AEROSOLES” milik Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya untuk barang sejenis dan 112 tidak sejenis (not similar goods) dan penggunaan merek AEROSOLES oleh Tergugat tersebut dapat memberikan kesan seolah-olah barang-barang yang diproduksi Tergugat dengan menggunakan merek AEROSOLES milik Penggugat mempunyai hubungan atau berasal dari penggugat sehingga akan menyesatkan atau membingungkan masyarakat (like hood of confusion) dan ternyata penggunaan merek AEROSOLES oleh Penggugat telah dimulai sejak tahun 1989 di beberapa Negara, khususnya Amerika Serikat sebagai negara asal. Sedangkan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik merek terkenal secara pidana adalah dengan melaporkan pelanggaran tersebut kepada pihak kepolisian. Pada merek berlaku delik aduan, maka setelah pelanggaran merek terkenal tersebut dilaporkan oleh pemilik merek terkenal kepada pihak kepolisian maka baru akan dilakukan penyidikan oleh penyidik Polri. Hal ini diatur dalam pasal 89 UU No.15 tahun 2001 yaitu tentang penyidikan. Menurut ketentuan Pasal 89 ayat (1),selain Penyidik Pejabat Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu di Direktorat Jenderal HKI diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang merek.97 Dalam Pasal 89 ayat (2) ditentukan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tersebut berwenang: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek; 97 Abdulkadir Muhammad,Op.Cit,h.240 113 b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang merek; c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan,catatan dan dokumen lainnya yang berkenaan dengan tindak pidana dibidang merek; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti,pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang merek; dan f. Meminta bantuan ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang merek. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyelidikannya kepada Penyidik Pejabat Polri. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polri dengan mengingat ketentuan Pasal 107 KUHAP (Pasal 89 ayat (3) dan ayat (4) UU No.15 Tahun 2001). Setelah dilakukan penyidikan lalu dilakukan penangkapan dan penahanan, selanjutnya dilakukan penyitaan dan penggeledahan. Setelah itu dilanjutkan dengan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa yang kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dan pemeriksaan alat-alat bukti atau barang bukti.Apabila terbukti bersalah,maka pelaku pelanggaran merek terkenal tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana berupa penjara dan denda. 114 Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (litigasi) memiliki beberapa keunggulan yaitu sebagai berikut: a. Putusan dikenal dan diakui oleh semua pihak; b. Putusan otomatis terdaftar di Lembaran Negara; c. Putusan otomatis memiliki kemampuan mengikat dan memaksa;98 d. Putusan pengadilan, yang disebut putusan hakim (a judgement), menunjukkan kekuasaan dari negara dan mempunyai kekuasaan eksekutorial.99 Di samping memiliki keunggulan, penyelesaian sengketa dengan menggunakan jalur peradilan (litigasi) juga memiliki kelemahan yaitu: lamban dan membuang waktu , biaya mahal, kurang tanggap terhadap kepentingan umum,serta terlampau formalistic dan teknis.100 2.Non Litigasi Selain dengan cara diatas,penyelesaian sengketa merek dapat juga dilakukan melalui cara non-litigasi,yaitu melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR/ Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase yang terdapat dalam pasal 84 UU No.15 Tahun 2001. 98 Adrianus Meliala, 2008, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta 99 I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta, h.71. 100 Budhy Budiman,Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Bomor 30 Tahun 1999, http: //www.uikabogor.ac.id/jur05.htm, Diakses 10 September 2013, h.2 115 Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999 adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan cara konsultasi,negosiasi,mediasi,konsiliasi atau penilaian ahli. Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan kebutuhan dan keperluan kliennya.101 Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada saat negosiasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para pihak yang bersengketa secara langsung melakukan perundingan atau tawar menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang bersengketa berdiskusi atau bermusyawarah sedemikian rupa agar kepentingankepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan atau kebutuhan bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya kesepakatan bersama tersebut dituangkan secara tertulis.102 Disamping itu Michael Wheeler menyatakan bahwa negotiation is a dynamic, interactive process. Conventional 101 Frans Hendra Winata, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, h. 7 102 Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Adiya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Rachmadi Usman II), h.55 116 negotiation theory implicitly assumes a static environment by focusing on the individual decision maker instead of the interaction of the parties.103 Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui perundingan yang melibatkan phak ketiga yang bersikap netral (non intervensi) dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut disebut “mediator” atau “penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan kata lain mediator disini hanya bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya akan dituangkan sebagai ksespakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.104 Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih dengan melibatkan pihak ketiga untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian sengketa. Konsiliator dalam proses konsiliasi harus memiliki peran yang cukup berarti. Oleh karena itu konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan pendapatpendapat mengenai duduk persoalannya. Dalam menyelesaikan perselisihan, konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan tidak memihak kepada pihak yang bersengketa. Selain itu konsiliator 103 Michael Wheeler, 2013, The Art of Negotiation How to Improvise Agreement in a Chaotic World, Simon and Schuster Inc, New York, h. 257-258 104 Ibid h. 82 117 tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para pihak sehingga keputusan akhir merupakan prosese konsiliasi yang diambil sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan diantara mereka.105 Penilaian ahli adalah suatu proses yang menghasilkan suatu pendapat objektif, independent dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang dipersengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang bersengketa.di dalam melakukan prosese ini dibutuhkan persetujuan dari para pihak untuk memberikan dan mempresentasikan fakta dan pendapat dari para pihak kepada ahli. Ahli tersebut kemudian akan melakukan penyelidikan dan pencarian fakta guna mendapatkan informasi lebih lanjut dari para pihak dan akan membuat keputusan sebagai ahli bukan arbiter.106 Arbitrase adalah cara penyelesaiaan sengketa diluar lembaga litigasi atau peradilan yang diadakan oleh para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian atau kontrak yang telah mereka adakan sebelumnya atau sesudah terjadinya sengketa. Para pemutus atau arbiternya dipilih dan ditentukan oleh para pihak yang bersengketa dengan tugas menyelesaikan persengketaan yang terjadi di anatara mereka. Pemilihan arbiter seyogyanya didasarkan pada kemampuan dan keahliannya dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.107UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa memberikan batasan arbitrase secara otentik yaitu pada Pasal 1 angka 1 UU No.30 tahun 1999 105 Ibid h. 86 Ibid h 88 107 Ibid, h 110 106 118 arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Di antara keenam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut, hanya penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang menghasilkan putusan memaksa yang dijatuhkan oleh pihak ketiga, yaitu arbiter atau majelis arbiter, sedangkan cara penyelesaian lainnya yang tergolong dalam alternatif penyelesaian sengketa, penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak, paling tidak hanya mendapat saran dari pihak ketiga yang memfasilitasi perundingan antara pihak.108 Secara umum ada beberapa keuntungan yang diperoleh masyarakat apabila menggunakan proses ADR dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapinya sebagai berikut: a. Proses lebih cepat artinya penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dalam hitungan hari, minggu atau bulan, tidak seperti halnya penyelesaian lewat jalur pengadilan yang memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan; b. Biaya lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa/ konflik melalui jalur litigasi; c. Sifatnya informal karena segala sesuatunya dapat ditentukan oleh para pihak yang bersengketa seperti menentukan jadwal pertemuan, tempat pertemuan, ketentuan-ketentuan yang mengatur pertemuan mereka, dan sebagainya; 108 Ahmadi Miru, 2005, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang – Undang Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.101 – 102 119 d. Kerahasiaan terjamin, artinya materi yang dibicarakan hanya diketahui oleh kalangan terbatas, seperti para pihak termasuk Pihak Ketiga sehingga kerahasiaan dapat terjamin dan tidak tersebar luas atau terpublikasikan; e. Adanya kebebasan memilih pihak ketiga, artinya para pihak dapat memilih pihak ketiga yang netral yang mereka hormati dan percaya serta mempunyai keahlian dibidangnya; f. Dapat menjaga hubungan baik persahabatan, sebab dalam proses yang informal para pihak berusaha keras dan berjuang untuk mencapai penyelesaian sengketa secara kooperatif sehingga mereka tetap dapat menjaga hubungan baik; g. Lebih mudah mengadakan perbaikan-perbaikan, artinya apabila menggunakan jalur ADR akan lebih mudah mengadakan perbaikan terhadap kesepakatan yang telah dicapai seperti menegosiasikan kembali suatu kontrak baik mengenai substansi maupun pertimbangan yang menjadi landasannya termasuk konsiderans yang sifatnya non hukum; h. Bersifat final, artinya keputusan yang diambil oleh para pihak adalah final sesuai kesepakatan yang telah dituangkan di dalam kontrak; i. Pelaksanaan tatap muka yang pasti, artinya para pihaklah yang menentukan secara pasti baik mengenai waktu, tempat dan agenda untuk mendiskusikan dan mencari jalan keluar sengketa yang dihadapi; j. Tata cara penyelesaian sengketa diatur sendiri oleh para pihak, sebab tidak terikat oleh peraturan-peraturan yang berlaku.109 109 I Made Widnyana, Op.Cit, h.23. 120 Dalam penjelasan Umum UU No.30 tahun 1999 disebutkan proses penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase mempunyai kelebihan yaitu: a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. Waktu pasti, artinya dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan karena hal-hal prosedural dan administrative; c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, kejujuran, pengalaman serta latar belakang cukup mengenai masalah yang disengketakan; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalah termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e. Putusan arbiter mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja atau langsung dapat dilaksanakan Disamping keuntungan penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan (non litigasi) seperti yang telah dipaparkan diatas,juga memiliki kelemahan yaitu sebagai berikut: a. Dapat timbul situasi pemahaman yang tidak merata, demikian pula ekspektasi berbeda, antar para pihak; b. Membutuhkan upaya bersama antar para pihak guna merealisir mekanisme yang disepakati; c. Tidak dikenal legal precedent; karenanya sulit fleksibel; d. Tidak selalu bisa memberikan jawaban definitif terhadap semua jenis sengketa hukum; e. Untuk sebagian, keputusan masih harus didaftarkan di pengadilan; 121 f. Untuk sebagian, sulit mencari pihak ketiga yang dipercayai; g. Tidak semua arbitrase atau mediator asing diakui; h. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.110 4.2. Sanksi yang dapat diberikan berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001 Pelanggaran terhadap merek terkenal banyak dijumpai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Banyak pihak atau oknum yang tidak bertanggung jawab yang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan terhadap merek terkenal yang pastinya sangat merugikan pemilik merek terkenal. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya hukum untuk mencegah pelanggaran terhadap merek terkenal. Disamping melakukan upaya hukum untuk melindungi kepentingan pemilik merek terkenal yang sah pemerintah juga memberikan sanksi kepada pelaku pelanggaran yang diharapkan bertujuan untuk memberikan efek jera sehingga dapat mengurangi pelanggaran merek terkenal yang terjadi di masyarakat. Paris Convention tidak mengatur mengenai sanksi pidana apabila terjadi pelanggaran terhadap merek terkenal. Mengenai ketentuan pidana dalam TRIPs Agreement diatur dalam bagian 5 mengenai prosedur kriminal yaitu pasal 61 : Anggota wajib menetapkan prosedur dan sanksi kriminal untuk diterapkan dalam perkara-perkara yang melibatkan pemalsuan merek dagang atau pembajakan hak cipta yang dilakukan dengan sengaja. Upaya yang tersedia termasuk pidana 110 Adrianus Meliala, op.cit, h.14. 122 penjara dan/atau denda yang cukup untuk membuat jera pelanggaran, sepadan dengan tingkat hukuman yang berlaku terhadap kejahatan yang mempunyai kadar yang sama. Dalam perkara-perkara tertentu, upaya yang tersedia termasuk juga pensitaan, pengambilalihan dan pemusnahan dari barang hasil pelanggaran dan semua bahan dan alat yang dipergunakan dalam tindak kejahatan. Anggota dapat menetapkan prosedur dan sanksi kriminal untuk diterapkan dalam perkara lain pelanggaran terhadap HKI, terutama dimana tindak pidana dilakukan dengan sengaja dan untuk tujuan komersial. Berdasarkan ketentuan diatas baik Paris Convention maupun TRIPs Agreement tidak menetapkan jumlah denda atau ganti rugi yang harus dibayar maupun jangka waktu pidana penjara bagi pihak yang melakukan pelanggaran. Hal ini disesuaikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan masing-masing negara peserta. Adapun ancaman pidana yang dimaksud tersebut,termuat dalam pasal 90 UU No.15 Tahun 2001,sebagai berikut: “Barangsiapa yang dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis diproduksi atau diperdagangkan,dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ini sesuai dengan sistem yang dianut UU No.15 Tahun 2001,yaitu system konstitutif yang menentukan bahwa hak atas merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar bukan kepada merek tidak terdaftar. Sedangkan yang dimaksud dengan barang atau jasa sejenis 123 dalam pasal 90 adalah kelompok jenis barang atau jasa yang mempunyai persamaan dalam sifat,cara pembuatan dan tujuan penggunaannya.111 Pasal 91: “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”. Harus diperhatikan pula bahwa ancaman pidana itu bersifat kumulatif bukan alternatif. Jadi disamping dikenakan ancaman pidana penjara kepada pelaku juga dikenakan ancaman hukuman berupa denda. Sebab jika hanya denda Rp.1.000.000.000,00 atau Rp.800.000.000,00 barangkali para pelaku tidak berkeberatan tetapi ancaman penjara dan tuntutan ganti rugi perdata dimaksudkan pula untuk membuat pelaku menjadi jera dan orang lain tidak mengikuti perbuatannya tersebut.112 Untuk delik yang dikategorikan dalam delik pelanggaran dimuat pada pasal 94,dalam hal ini barang siapa memperdagangkan barang atau jasa yang diketahui bahwa barang dan jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 dan pasal 91 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Ancaman hukuman yang dimuat dalam pasal ini bersifat alternatif,dapat berupa hukuman kurungan saja atau membayar denda saja. 111 112 Ibid,h.112 H.OK.Saidin, Op.Cit, h.403. 124 BAB V PENUTUP 5.1. Simpulan 1. Konsep perlindungan hukum terhadap pemegang hak merek terkenal berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001 mendapat keistimewaan dalam perlindungan hukum apabila terjadi pelanggaran. Dalam hal ini walaupun pemegang hak belum mendaftarkan mereknya disuatu negara namun tetap dapat mempertahankan hak eksklusifnya dengan menggunakan hak prioritas yaitu hak untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian internasional tersebut. 2. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemegang merek terkenal terhadap pelanggaran merek terkenal menurut Paris Convention, Trips Agreement dan UU No.15 Tahun 2001 dapat dilakukan secara litigasi dan non litigasi. Sanksi hukum berupa pembayaran ganti rugi dan pidana kurungan, penentuannya diserahkan kepada masing-masing Negara anggota namun tetap mengacu pada ketentuan Paris Convention dan TRIPs Agreement. Sedangkan Indonesia melalui UU No.15 tahun 2001 mengatur lebih detail mengenai sanksi yang dapat dikenakan kepada pelaku pelanggaran yaitu berupa hukuman atau pidana penjara berkisar antara 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 800.000.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000.000,- 125 5.2.Saran 1. Berkaitan dengan perlindungan terhadap merek terkenal, pendaftaran hendaknya dilakukan juga dengan menggunakan cyber system. Disamping itu agar segera disahkan Peraturan Pemerintah tentang persyaratan penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal untuk barang dan atau jasa yang tidak sejenis seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001 sehingga cakupan perlindungan merek terkenal di Indonesia semakin luas. 2. Diharapkan kepada pelaku usaha dan masyarakat selaku konsumen agar lebih aktif ikut serta dalam menanggulangi pelanggaran merek terkenal dengan cara melaporkan kepada pihak berwenang setiap kali terjadi pelanggaran terhadap merek terkenal. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam hukum merek yang menganut delik aduan. Karena jika pelanggaran tersebut tidak dilaporkan maka akan sangat merugikan pemilik merek terkenal, pelaku usaha, konsumen dan negara. Disamping itu agar pemerintah secara terus menerus mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan penegakan hukum di bidang merek. 126 DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Abbott, Frederick et al, 2003, The International Intellectual Property System: Commentary and Materials, Dalam: Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Astarini, Dwi Rezki Sri, 2009, Penghapusan Merek Terdaftar, Alumni, Bandung Blakeney, Michael, 1996, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights: A Concise Guide To The TRIPS Agreement. Dalam: Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung Damian, Eddy, 2002, Hukum Hak Cipta Menurut beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang hak Cipta 1997 dan Perlindungannya Terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Alumni, Bandung Daritan, Prastasius, 2004, Hukum Merek dan Persengketaan Merek di Indonesia, Cetakan Keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Djumhana, Muhammad dan R.Djubaedillah,2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia),PT.Citra Aditya Bakti, Bandung Djaman, Fidel S., 1995, Beberapa Aturan dan Kebijakan Penting di Bidang Hak Milik Intelektual, Varia Peradilan Nomor 106, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta Fauza Mayana, Ranti, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta Firmansyah, Hery,2011, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Panduan Memahami Dasar Hukum Penggunaan dan Perlindungan Merek, Pustaka Yustisia, Yogyakarta Fitzgeral, Anne dan Fitgerald,Brian, 2004, Intellectual Property in Principle, Law Book Co., Sydney 127 Friedman.W, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Dalam: H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Cetakan Keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Gautama, Sudargo dan Winata, Rizawanto, 2002, Undang-undang Merek Baru Tahun 2001, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Gautama, Sudargo, 2004, Hukum Merek Indonesia, Dalam: H. OK. Saidin, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Cetakan Keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Getas, I Gusti Gede, 1996, Peranan Merek Dalam Dunia Usaha, Upada Sastra, Denpasar Hadjon,Philipus. M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya Harahap, M. Yahya, 1996, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Jened, Rahmi, 2007, Hak Kekayaan Intelektual, Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga University Press, Surabaya Leaffer, Marshall, Understanding Copyright Law, Oxford Legal Publisher Lindsey, Tim Et.al, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pty Ltd bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung Locke, John, 1997, Summa Theologiae .Dalam: Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak Milik Pribadi, Kanisius, Jogjakarta Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta Maulana, Insan Budi, 2000, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Maulana, Insan Budi, 2005, Bunga Rampai: Pandangan 21 Wanita terhadap Hak dan Kekayaan Intelektual, Yayasan Klinik Hak dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Krina Dwi, Jakarta Margono, Suyud dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta 128 Margono, Suyud dan Longginus Hadi, 2003, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek, CV.Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta Marpaung, Leden, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta Meliala, Adrianus, 2008, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta Meliala, Djaja S., 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum Perikatan, CV. Nuansa Aulia, Bandung Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta Miru,Ahmadi, 2005, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang – Undang Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta Muhammad, Abdulkadir, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung _________, 2003, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Kedua Revisi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung ________, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Denpasar Purba, Achmad Zen Umar, 2005,Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan 1, PT, Alumni, Bandung Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin.M., 2005, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Rizaldi, Julius, 2009, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan Curang, Alumni, Bandung Salman. S. Otje dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Utama, Bandung Saidin, H. OK., 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 129 Sidharta, Arief, 1993, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung Sjahputra, Iman, Dkk., 1997, Hukum Merek Baru Indonesia, Harvarindo, Jakarta Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika,Jakarta Syarifin,Pipin dan Jubaedah,Dedah, 2004, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Citra Utama, Bandung Tim Redaksi Tata Nusa, 2004, Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga dalam Perkara Merek PT.Tatanusa, Jakarta Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung _______, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra Adiya Bakti, Bandung Michael Wheeler, 2013, The Art of Negotiation How to Improvise Agreement in a Chaotic World, Simon and Schuster Inc, New York Widnyana, I Made, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta Winata, Frans Hendra, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta 2.Jurnal dan Makalah Dube, Bharat, 2000, Assesing Trademark Law on Well-Known Marks Counterfeiting, Paper Presented at Advanced Seminar, Prospect and Implementation of Indonesian Copyrights, Patent and Trademark Laws, Jakarta 31 Juli – 1 Agustus. James. E. Inman, 1993, Gray Marketing of Imported Trademark Goods: Tarrif and Trademark Issues, American Business Law Journal, Vol. 31, No. 1 Kesowo, Bambang, 1998, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Makalah Disampaikan dalam sambutan arahan Seminar Nasional Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan, Bandung 26 September 130 Ningsih, Yuslisar, 2003, Perlindungan dan Penegakan Hukum Merek di Indonesia Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Makalah disampaikan pada Penataran Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Mataram 20-23 Juli Nurwidiatmo, 2003, Analisis Yuridis Penerapan Hukum Merek di Indonesia, Jurnal Penelitian Hukum: Vol.4.No.1., Jakarta Ramli, Ahmad, 2001, Perlindungan Rahasia Dagang, Jurnal Hukum Bisnis: Volume 13, No. 5., Jakarta Smith, Robert.S., 1992, The Unresolved Tension Between Trademark Protection and Free Movement of Goods in the European Community, Duke Journal of Comparative and International Law: Volume 3, No. 1 Subroto, 2001, Mengukur Kinerja Merek, Swasembada:,Vol 17. No. 04 Sudjatmiko, Agung, 2000, Perlindungan Hukum Hak Atas Merek, Yuridika: Vol. 15. No.5 Wiston, Keny, 1999, Famous and Well-Know Trade Mark Versus Domain Names, Jurnal Hukum Bisnis: Vol. 9, No.3 3.Internet Budhy Budiman,Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, http: //www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm, Diakses 10 September 2013 Citrawinda, Cita, 2007, Sekilas Tentang Tindak Pidana Dalam Bidang Merek, http: //lib.law.ugm.ac.id/ojs/index.php/jli/article/view/654, Diakses 29 Oktober 2013 WIPO, 2013, Membuat Sebuah Merek: Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan Menengah, Publikasi WIPO Nomor 900, http://www.wipo.int/expor..on/making_a_mark_Indo.pdf, Diakses 26 Desember 2013 4.Perundang-Undangan Moeljatno, 2001,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Bumi Aksara, Jakarta 131 Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 02HC.01 Tahun 1987 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang Mempunyai Persamaan Dengan Merek Terkenal Milik Orang lain. Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman RI No. M.03-HC.02.01 Tahun 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau Merek yang Mirip Dengan Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik Badan Lain Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) Subekti dan R. Tjitrosudibyo, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta TRIPS Agreement (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek 132 LAMPIRAN PUTUSAN Nomor 06/Merek/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata Niaga telah menjatuhkan Putusan sebagai berikut dalam perkara antara : AEROSOLES INTERNATIONAL, INC., suatu perseroan menurut UndangUndang Negara Amerika Serikat, berkedudukan di Edison, NJ 088181916, Amerika Serikat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Fahmi Assegaf, S.H., M.H. dan Damar Swarno Dwipo, S.H., dari PACIFIC PATENT, berdomisili di Graha Niaga, Lt. 11, JI. Jend. Sudirman Kav. 58, Jakarta 12190, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 05 Juni 2003, selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT; LAWAN: PT. MATAHARI PUTRA PRIMA, berkedudukan di Jalan H. Samanhudi No.8 Jakarta 10710, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT ; PENGADILAN NIAGA Tersebut; Telah membaca berkas perkara yang bersangkutan ; Telah mendengar pihak yang berperkara ; 133 TENTANG DUDUKNYA PERKARA: Menimbang, bahwa Penggugat melalui surat gugatan tertanggal 01 Maret 2004 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 01 Maret 2004 dibawah Register Perkara Nomor 06/Merek/2004/PN.JKT.PST, telah mengemukakan gugatan yang pada pokoknya sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. Bahwa Penggugat adalah perusahaan terkenal dari Amerika Serikat dan juga sebagai satu-satunya pemilik serta pemakai pertama atas merek “AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia internasional. Bahwa keberadaan merek terkenal "AEROSOLES" milik Penggugat telah dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek maupun konvensi-konvensi internasional, khususnya TRIPs Agreement dan Paris Convention yang telah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga penggugat jelas memiliki hak tunggal untuk menggunakan merek “AEROSOLES" di Indonesia, yang berfungsi untuk membedakan hasil produksi Penggugat dengan hasil produksi pihak lain. Bahwa kata “AEROSOLES" adalah merupakan ciptaan penggugat yang sengaja dijadikan merek dagang oleh Penggugat, dengan tujuan agar konsumen atau masyarakat luas dapat membedakan hasil produksi Penggugat yang berasal dari negara Amerika Serikat dan telah terkenal di dunia internasional dengan hasil produksi pihak lain. Bahwa penggugat telah mendaftarkan merek "AEROSOLES" diberbagai negara, antara lain: 1. Uni Eropa, kelas 18, 25, 35, No. 000520908, tanggal 23 Oktober 1998 (Bukti P-1); 2. Jerman, kelas, 25, No. 397 15 222, tanggal 07 April 1997 (Bukti P2) ; 3. Yunani, kelas 25, No. 121085, tanggal 17 Oktober 1995 (Bukti P3); 4. Jepang, kelas 25, No. 4170720, tanggal 24 Juli 1998 (Bukti P-4); 5. Taiwan, kelas 25, No. 743693, tanggal 1 Januari 1997 (Bukti P-5); 6. Inggris, kelas 25, No. 1547748, tanggal 5 Januari 1996 (Bukti P-6); 134 7. Amerika Serikat, kelas 18, No. 2.190.746, tanggal 22 September 1998 (Bukti P-7); 8. Amerika Serikat, kelas 25, 35, No. 2.144.257, tanggal 17 Maret 1998 (Bukti P-8). 5. Bahwa merek "AEROSOLES" milik Penggugat telah dapat dikategorikan sebagai merek terkenal di dunia internasional, karena selain telah terdaftar di beberapa negara seperti tersebut di atas, merek "AEROSOLES" milik Penggugat juga telah terdaftar di negara-negara lain, yaitu : Andorra, Australia, Austria, Benelux, Brazil, Kanada, Chili, Republik Rakyat Cina, Denmark, Uni Eropa, Finlandia, Perancis, Hong Kong, Irlandia, Italia, Malaysia, Meksiko, Norwegia, Philipina, Portugal, Arab Saudi, Korea Selatan, Spanyol, Swedia, Switzerland, Venezuela (Bukti P-9). 6. Bahwa di samping merek "AEROSOLES" yang telah terdaftar di berbagai negara seperti tersebut di atas, klien kami juga telah mengajukan permintaan pendaftaran merek "AEROSOLES" ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM R.I. pada tanggal11 Juni 2003 dengan No. Agenda DOO.2003.14490.14618 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam kelas 25 (Bukti P-10) dan pada tanggal 13 Oktober 2003 dengan No. Agenda DOO.2003.28663.28940 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam kelas 18 (Bukti P-11). 7. Bahwa diketahui oleh Penggugat, ternyata Tergugat tanpa persetujuan Penggugat telah mendaftarkan merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas barang 25 (Bukti P-12) dan di bawah No. Pendaftaran 415594, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas barang 18 (Bukti P-13). 8. Bahwa Penggugat sangat keberatan atas pendaftaran merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 yang dilakukan oleh Tergugat (Vide Bukti P-12 dan P-13), karena merek "AEROSOLES" milik Tergugat jelas mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya untuk barang yang sejenis dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan, kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapannya. Hal tersebut di atas jelas telah membuktikan adanya itikad tidak baik dari pihak Tergugat untuk mengambil-alih merek 135 "AEROSOLES" milik Penggugat dan atau membonceng, meniru, serta menjiplak ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat yang telah terkenal di dunia internasional dan telah terdaftar di berbagai negara, sehingga pendaftaran merek "AEROSOLES" yang dilakukan oleh Tergugat tersebut dapat dikategorikan sebagai pendaftaran yang beritikad tidak baik, dan oleh karenanya tidak patut untuk mendapat perlindungan hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 (berikut penjelasannya) jo. Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b (berikut penjelasannya) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 9. Bahwa mengingat merek "AEROSOLES" milik Tergugat mempunyai persamaan yang sangat mirip dengan merek “AEROSOLES" milik Penggugat, maka apabila kedua merek tersebut digunakan secara bersamaan dalam perdagangan, sudah pasti akan menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan masyarakat luas sebagai konsumen yang akan menganggap bahwa barang-barang yang berasal dari Tergugat dan menggunakan merek "AEROSOLES" adalah barang-barang yang berasal dari Penggugat dan hal ini tentu akan sangat merugikan Penggugat. 10. Bahwa sulit untuk membayangkan niat lain dari Tergugat dengan mendaftarkan merek "AEROSOLES" yang jelas mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek “AEROSOLES" milik Penggugat, kecuali hanya niat untuk membonceng, meniru, menjiplak, dan mengambil keuntungan secara sepihak dari ketenaran merek “AEROSOLES" milik Penggugat yang telah dengan susah payah dibangun oleh Penggugat selama bertahun-tahun dengan biaya yang besar, termasuk diantaranya biaya untuk memperoleh perlindungan hukum terhadap merek "AEROSOLES" di berbagai negara dan biaya untuk promosi/iklan dalam rangka memperkenalkan produk-produknya di seluruh dunia (Bukti P-14). 11. Bahwa mengingat Penggugat adalah sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai pertama alas merek “AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia internasional dan juga penggugat telah mengajukan permintaan pendaftaran merek “AEROSOLES" ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM R.I. pada tanggal 11 Juni 2003 dengan No. Agenda 000. 2003. 14490. 14618 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam kelas 25 dan pada tanggal 13 Oktober 2003 dengan No. Agenda 000.2003.28663.28940 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam kelas 18 (Vide Bukti P-10 dan P-11), 136 maka Penggugat sangat mempunyai dasar hukum untuk mengajukan gugatan pembatalan merek "AEROSOLES" di bawah No.Pendaftaran 415578 dan 415594 alas nama Tergugat, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 12. Bahwa mengingat ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat dan juga mengingat bahwa merek "AEROSOLES" milik Tergugat mempunyai persamaan yang sangat mirip dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat. maka patut diyakini bahwa apabila kedua merek tersebut digunakan secara bersamaan dalam perdagangan, sudah pasti akan menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan masyarakat luas sebagai konsumen yang akan menganggap bahwa barangbarang yang berasal dari Tergugat dan menggunakan merek "AEROSOLES" adalah barang-barang yang berasal dari Penggugat dan hal ini tentu akan sangat merugikan Penggugat. Berdasarkan hal tersebut di alas, maka Penggugat adalah juga sangat beralasan untuk menuntut pembatalan merek "AEROSOLES" dibawah No.Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat. 13. Bahwa Penggugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk berkenan memerintahkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM RI, agar membatalkan pendaftaran merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dari Daftar Umum Merek, dan selanjutnya mengumumkan pembatalan pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 70 ayat 3 jo. Pasal 71 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Penggugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, agar berkenan memutuskan sebagai berikut : 1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan Penggugat adalah sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai pertama atas merek “AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia internasional, sehingga Penggugat mempunyai hak tunggal untuk menggunakan merek “AEROSOLES" tersebut; 137 3. Menyatakan merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek “AEROSOLES" milik penggugat; 4. Menyatakan batal menurut hukum pendaftaran merek “AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dengan segala akibat hukumnya; 5. Memerintahkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM R.I., untuk membatalkan pendaftaran merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dari Daftar Umum Merek, dan selanjutnya mengumumkan pembatalan pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek. 6. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.Atau, apabila Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono). Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Penggugat datang menghadap diwakili kuasanya bernama : Fahmy Assegaf, SH. MH dan Damar Swarno Dwipo, SH., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 05 Juni 2003, sedangkan Tergugat tidak datang menghadap dan juga tidak menunjuk kuasa/wakilnya meskipun kepadanya telah dilakukan pemanggilan secara sesuai relaas panggilan tertanggal 05 Maret 2004, dan melalui Iklan surat khabar harian Rakyat Merdeka 18 Maret 2004 dan 12 April 2004; Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha menyarankan supaya Penggugat damai dengan Tergugat tetapi tidak berhasil, kemudian dibacakan surat gugatan dan setelah pembacaan mana Penggugat menyatakan tetap pada gugatannya; Menimbang, bahwa alas gugatan penggugat tersebut, Tergugat tidak mengajukan jawaban dikarenakan tidak hadir dalam persidangan walaupun telah dipanggil dengan patut yaitu dengan surat panggilan No. 06/Merek/2004/PN/Niaga.Jkt.Pst. tanggal 05 Maret 2004 serta didalam surat khabar harian Rakyat Merdeka masing-masing tanggal 18 Maret 2004 dan 12 April 2004; dan diberi kesempatan untuk menggunakan haknya namun Tergugat atau lawannya tetap tidak hadir, sehingga acara pemeriksaan perkara ini tetap dilanjutkan sebagaimana ditentukan dalam hukum acara pemeriksaan Perdata Niaga . Menimbang, bahwa Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya telah mengajukan bukti-bukti berupa Foto copy surat-surat 138 yang bermaterai cukup dan sesuai dengan aslinya yang diberi tanda : 1. Bukti P-1 : Fotokopi sesuai dengan asli sertifikat merek Penggugat di Uni Eropa daftar No. 000520908. 2. Bukti P-2 : Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat Penggugat di Jerman, daftar No 397 15 222. 3. Bukti P-3 : Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek penggugat di Yunani daftar No. 121085. 4. Bukti P-4 : Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek Penggugat di Jepang daftar No. 4170720. 5. Bukti P-5 : Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek Penggugat di Taiwan daftar No. 743693. 6. Bukti P-6 : Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek penggugat di Inggris daftar No. 1547748. 7. Bukti P- 7 : Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek Penggugat di Amerika Serikat, daftar No.2.190.746. 8. Bukti P-8 : Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek Penggugat di Amerika Serikat, daftar No.2.144.257. 9. Bukti P-9 : Fotokopi sesuai dengan aslinya, daftar pendaftaran merek Penggugat, diberbagai negara di dunia. 10. Bukti P-10 : Fotokopi sesuai dengan aslinya permintaan pendaftaran merek penggugat No. Agenda D00.2003.14490.14618 untuk kelas barang 25. 11. Bukti P-11 : Fotokopi sesuai dengan aslinya permintaan pendaftaran merek Penggugat No. Agenda D00.2003.28663.28940 untuk kelas barang 18. 12. Bukti P-12 : Fotokopi sesuai dengan, aslinya pendaftaran merek Tergugat daftar No. 415578 untuk kelas barang 25. 13. Bukti P-13 : Fotokopi sesuai dengan aslinya pendaftaran merek Tergugat daftar No. 415594 untuk kelas barang 18. 139 14. Bukti P-14 : Brosur/iklan asli produk-produk merek "AEROSOLES" milik Penggugat. Menimbang, bahwa penggugat tidak mengajukan saksi dan pada akhirnya mohon putusan; Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini selanjutnya menunjuk pada hal-hal yang termuat dalam Berita Acara persidangan ; TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah sebagaimana terurai diatas. Menimbang, bahwa sebelum Majelis mempertimbangkan substansi dari gugatan ini terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah formalitas dari pengajuan gugatan ini telah dipenuhi ; Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa gugatan pembatalan merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran Merek; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti yang diajukan oleh Penggugat yakni P-12, dan P-13, ternyata Tergugat telah mendaftarkan Merek AEROSOLES dibawah No. 415578, tanggal pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenisjenis barang yang termasuk dalam kelas barang 25 dan dibawah No. 415594, tanggal 27 April 1998 untuk melindungi jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas barang 18, sedangkan gugatan Penggugat ini diajukan Penggugat pad a tanggal 01 Maret 2004, dengan demikian jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pendaftaran merek telah terlewati; Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, menyebutkan gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas apabila merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; Menimbang, bahwa didalam Penjelasan Pasal 69 ayat (2) menyebutkan bahwa pengertian yang bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum adalah sama dengan pengertian sebagaimana yang terdapat 140 dalam penjelasan Pasal 5 huruf a termasuk pula pengertian yang bertentangan dengan ketertiban urn urn adalah adanya iktikad tidak baik ; Menimbang, bahwa untuk rnenentukan apakah pendaftaran Merek AEROSOLES oleh Tergugat dilakukan dengan iktikad tidak baik, akan dipertimbangkan bersarna dengan substansi dari gugatan ini. Menimbang, bahwa gugatan Penggugat pada pokoknya adalah Pembatalan merek AEROSOLES atas nama Tergugat terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM RI No. 415578 dan No. 415595, yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan Merek AEROSOLES milik Penggugat ; Menimbang, bahwa karena ternyata Tergugat meskipun telah dipanggil dengan patut, tidak datang menghadap lagi pula ternyata bahwa tidak datangnya disebabkan suatu halangan yang sah sehingga Tergugat harus dinyatakan tidak hadir; Menimbang, bahwa walaupun Tergugat tidak hadir, sehingga Tergugat dianggap tidak menggunakan hak-haknya untuk menyangkal, namun bukan berarti petitum gugatan Penggugat harus dikabulkan begitu saja, melain harus tetap dipertimbangkan apakah gugatan Penggugat tidak melawan hak dan beralasan hukum ; Menimbang, bahwa yang menjadi pokok persoalan/perselisihan dalam perkara ini dan oleh karena itu perlu diberi alasan serta dipertimbangkan lebih lanjut adalah : - Apakah pendaftaran Merek AEROSOLES oleh Tergugat didasari adanya iktikad buruk karena mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek AERSOLES milik Penggugat sehingga dapat menyesatkan konsumen atau pendaftaran merek oleh Tergugat tersebut telah didasari oleh adanya iktikad baik karena tidak mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek Penggugat ; Menimbang, bahwa Penggugat untuk menentukan adanya iktikad buruk serta adanya persamaan pada pokoknya telah mengajukan bukti tertulis P-1 sampai dengan P-14 tanpa mengajukan saksi; Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 68 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 gugatan pembatalan merek dapat didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4, 5 atau 6 yang artinya bahwa gugatan dapat menggunakan alasan tersebut secara alternatif atau komulasi; 141 Bahwa penggunaan alasan gugatan dari ketiga pasal tersebut mempunyai konsekwensi yang berbeda karena apabila gugatan didasarkan pada pasal 6 maka hal tersebut selain terbatas oleh adanya limit atau tenggang waktu 5 (lima) tahun sejak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 (1) juga terbatas pada kelas barang yang sejenis namun pembuktiannya lebih mudah, sedangkan gugatan atas dasar pasal 4 atau 5 selain tidak terbatas oleh tenggang waktu 5 (lima) tahun juga tidak terbatas pada benda yang sejenis hanya saja bahwa pembuktiannya akan lebih sulit dibanding dengan pembuktian pasal 6 ; Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat dalam posita gugatannya telah secara tegas menunjuk pada pasal 4 dan 6 sebagai dasar gugatannya sedangkan dalam petitum gugatannya hanya mohon agar merek AEROSOLES milik Tergugat dinyatakan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek AEROSOLES milik penggugat maka konsekwensi juridis dari gugatan seperti ini adalah bahwa penggugat harus membuktikan adanya pelanggaran kedua pasal terse but dan oleh karena itu Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah dalam pendaftaran merek AEROSOLES oleh Tergugat telah melanggar pasal 4 dan pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 atau dengan kata lain apakah : 1. Apakah Merek milik Penggugat telah terdaftar di Indonesia; 2. Apakah Merek Milik Penggugat telah termasuk Merek terkenal ; 3. Pendaftaran merek AEROSOLES oleh Tergugat didasari iktikad tidak baik; 4. Apakah merek AEROSOLES milik Penggugat dan merek AEROSOLES milik Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya; Ad.1 Menimbang, bahwa terdaftarnya merek menurut Pasal 3 dan Pasal 28 Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 adalah Merek tersebut terdaftar dalam daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-10 sid P-11, terbukti penggugat telah mendaftarkan merek AEROSOLES di Indonesia yang termasuk dalam kelas 25 dan 18 : Menimbang, bahwa dengan demikian Penggugat adalah pemilik merek "AEROSOLES” yang merupakan Perusahaan Penggugat yang telah terdaftar di Indonesia; Ad.2. 142 Dalam bahasa Indonesia kata asing "Well Known" diterjemahkan menjadi terkenal begitu juga kata "Famous" sehingga pengertian "merek terkenal" tidak membedakan arti atau tidak menentukan tingkatan arti "Famous mark" (Iihat. G. Schlicker) dan "Well Known Mark" begitu juga putusan-putusan dalam kasuskasus merek terkenal Hakim senantiasa mengacu "merek terkenal" pada "Well Known Mark" yang mengaitkan pada pasal 6 bis Konvensi Paris (Insan Budi Maulana, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999 hal 22-23); Menimbang, bahwa pengertian merek terkenal menurut penjelasan Pasal 6 ayat 1 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 adalah pengetahuan umum menyangkut tentang sesuatu merek dibidang usaha yang bersangkutan, reputasi suatu merek yang diperoleh dengan promosi yang gencar dan besar-besaran, diberbagai negara dan disertai dengan bukti pendaftaran merek diberbagai negara ; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1, sId P-9 Merek AEROSOLES milik Penggugat telah terbukti terdaftar dibeberapa Negara seperti Uni Eropa, Jerman, Yunani, Jepang, Taiwan, Inggris, Amerika Serikat ; Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-14, telah terbukti Penggugat telah mempromosikan dan memperiklankan mereknya. Dengan demikian telah terbukti bahwa merek AEROSOLES adalah milik penggugat sebagai merek terkenal ; Ad.3. Menimbang, bahwa berdasarkan penjelasan pasal 4 "Pemohon yang beriktikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan konsumen”; Menimbang, bahwa dari penjelasan pasal 4 tersebut menurut Majelis Hakim terdapat hal pokok untuk menentukan adanya iktikad tidak baik yaitu : - Adanya niat untuk kepentingan usaha pendaftaran sekaligus merugikan pihak lain; - Melalui cara penyesatan konsumen atau perbuatan persaingan curang, atau menjiplak atau menumpang ketenaran merek orang lain; Menimbang, bahwa untuk membuktikan adanya suatu niat harus dibuktikan dengan adanya suatu perbuatan permulaan yang dalam kasus merek 143 harus nyata dengan adanya pendaftaran dan atau adanya penggunaan suatu merek ; Menimbang, bahwa dari fakta persidangan (bukti P-12 dan P-13) telah terbukti bahwa Tergugat telah mendaftarkan merek AEROSOLES sehingga yang perlu dipertimbangkan lebih lanjut adalah apakah pendaftaran tersebut dimaksudkan agar usaha Tergugat dapat memperoleh keuntungan sekaligus merugikan pihak lain; Menimbang, bahwa peniruan dari merek terkenal milik orang lain, pada dasarnya dilandasi oleh iktikad tidak baik yaitu terutama untuk mengambil kesempatan dan keuntungan dari ketenaran merek orang lain; oleh karena itu maka tidak seharusnya iktikad tidak baik ini diberikan perlindungan hukum. (Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Pembaharuan Ikatan Hukum Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997. Hal. 44) Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 485 PK/PDT/1992, tanggal 20 September 1995, No. 487 PK/PDT/1992 tanggal 30 Maret 1995 dan No. 1445 PK/PDT/1995 tanggal 16 Juli 1996 telah memberikan perlindungan terhadap merek terkenal yang dimiliki oleh yang sebenarnya atau yang berhak, ; Menimbang, bahwa perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang Merek terhadap merek terkenal merupakan pengakuan terhadap keberhasilan pemilik merek dalam menciptakan image eksklusif dari produknya yang diperoleh melalui pengiklanan atau penjualan produk-produknya secara langsung. Teori mengenai Pencemaran Merek terkenal (dilition theory) tidak mensyaratkan adanya bukti telah terjadi kekeliruan dalam menilai sebuah pelanggaran merek terkenal. Perlindungan didasarkan pada nilai komersial atau nilai jual dari merek dengan cara melarang pemalsuan yang dapat mencemarkan nilai eksklusif dari merek atau menodai daya tarik merek terkenal tersebut. (Hak Kekayaan Intellectual suatu Pengantar, Editor Prof. Tim Lindsey, BA, LLB, Blitt, Phd. PT. Alumni, Bandung, cetakan ke 1 hal, 151) ; Menimbang, bahwa untuk mengetahui apakah pendaftaran merek AEROSOLES oleh Tergugat dapat menguntungkan Tergugat serta merugikan Penggugat sebagai pemilik merek AEROSOLES maupun konsumen, sangat erat kaitannya dengan apakah masyarakat konsumen produk dengan merek AEROSOLES dapat disesatkan atau terkecoh oleh produk dengan merek AEROSOLES dari Tergugat ; 144 Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim penyesatan konsumen dapat terjadi karena : - Penyesatan tentang asal suatu produk. Hal ini biasa terjadi karena merek dari suatu produk menggunakan merek luar negeri atau ciri khas suatu daerah yang sebenarnya merek tersebut bukan berasal dari luar negeri atau dari suatu daerah yang mempunyai ciri khas khusus tersebut ; - Penyesatan karena produsen. Penyesatan dalam bentuk ini dapat terjadi karena masyarakat konsumen yang telah mengetahui dengan baik mutu atau kwalitas suatu produk, lalu kemudian dipasaran menemukan suatu produk dengan merek yang mirip atau menyerupai merek yang ia sudah kenai sebelumnya ; - Penyesatan melalui penglihatan. Penyesatan ini dapat terjadi karena kesamaan atau kemiripan dari merek yang bersangkutan ; - Penyesatan melalui pendengaran. Hal ini sering terjadi bagi konsumen yang hanya mendengar atau mengetahui suatu produk dari pemberitahuan orang lain; Menimbang, bahwa merek AEROSOLES penggugat dan Merek AEROSOLES yang didaftarkan oleh Tergugat keduanya terdiri dari kata dengan huruf latin tulisan tegak Menimbang, bahwa dengan adanya persamaan kata AEROSOLES dengan tulisan huruf jelas dapat menyesatkan konsumen karena para konsumen akan mengira bahwa produk dengan merek AEROSOLES adalah produk yang sama dengan produk AEROSOLES milik Penggugat paling tidak masyarakat konsumen mengira bahwa AEROSOLES adalah produk dari group AEROSOLES milik Penggugat; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa pendaftaran merek AEROSOLES oleh Tergugat mengandung suatu niat untuk menyesatkan konsumen agar produk milik Tergugat dengan merek AEROSOLES dapat laku dipasaran karena masyarakat konsumen telah mengenal sebelumnya produk dengan merek AEROSOLES hal mana jelas dapat merugikan pemilik merek AEROSOLES Penggugat serta masyarakat konsumen ; Ad.4. Menimbang, bahwa berdasarkan penjelasan pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001, yang dimaksud dengan adanya persamaan pada pokoknya adalah 145 kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut ; Menimbang, bahwa Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya berpendapat bahwa untuk menentukan persamaan pada pokoknya harus dilihat secara keseluruhan atas unsur-unsur dari merek tersebut vide Putusan Mahkamah Agung No. 2355 K/Pdt/1999 tanggal 26 Juni 2000, Putusan Nomor 110 K/Pdtl1999 ; Menimbang, bahwa hal tersebut sesuai pula dengan pendapat Ahli hukum Merek dan Yurisprudensi Indonesia bahwa persamaan pada pokoknya ada, kalau merek yang digugat baik karena bentuknya maupun karena susunannya atau bunyinya bagi masyarakat akan atau telah menimbulkan kesan sehingga mengingatkan pada merek yang sudah ada sebelumnya ; Menimbang, bahwa berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung maupun doktrin maka pengertian "Persamaan" akan menimbulkan "kesan" yang sama terhadap merek terkenal yang ada di masyarakat (vide Putusan Mahkamah Agung No.1053 K/Sp/1982, tanggal 22 Desember 1982, No. 127 K/ Sp/1972, tanggal 30 Oktober 1972, dan No. 178 K/Sp/1973, tanggal 9 April 1973; Menimbang, bahwa ketentuan pasal 6 beserta penjelasannya, Putusan Mahkamah Agung serta doktrin, menurut Majelis Hakim persamaan pada pokoknya dapat ditentukan dengan cara memperhatikan : - Adanya persamaan bunyi atau ucapan ; - Cara penulisan huruf/kata ; - Penempatan unsur-unsur pokok ; - Menimbulkan kesan yang dapat membingungkan masyarakat serta mengingatkan pada merek lain yang sudah dikenalluas dalam masyarakat; - Untuk barang sejenis. Menimbang, bahwa sesungguhnya apa yang merupakan persamaan pada pokok atau keseluruhan ada suatu penilaian faktual dan apakah termaksud barang atau jasa yang sejenis. Kedua masalah ini dalam praktek akan ditentukan oleh instansi Peradilan. Apabila diajukan permasalahannya kehadapan Pengadilan, maka kriteria yang berlaku untuk dipandang sebagai adanya persamaan pada 146 pokoknya adalah "apabila suatu merek bersangkutan akan menimbulkan kekeliruan pada khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang sejenis". Dan yang menentukan ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya adalah "Kesan dari Merek bersangkutan pada khalayak ramai"; Menimbang, bahwa untuk menentukan apakah ada persamaan pada pokoknya atau tidak, merek-merek bersangkutan harus dipandang secara keseluruhannya, yaitu tidak dapat diadakan pemecahan pada bagian-bagian merek bersangkutan dan berdasarkan perbedaan dalam bagian-bagian ditarik suatu kesimpulan bahwa ada cukup perbedaan untuk keseluruhannya. Sebaliknya juga berdasarkan persamaan dari bagian-bagian merek tidak dapat segera dianggap secara keseluruhan sudah ada persamaan antara merek-merek bersangkutan. Yang dalam hal ini harus diperhatikan adalah titik-titik persamaan dari pada titik-titik perbedaan. Kesan keseluruhan dari merek-merek bersangkutan kepada khalayak ramai itulah yang dikedepankan untuk diperhatikan apakah ada persamaan atau tidak. Jadi pertama-tama harus dilihat pada tingkat lahiriah dari merek bersangkutan, kesan dari merek itu jika dipandang oleh khalayak ramai yang menentukan apakah terdapat persamaan dalam suara atau arti sesuatu merek (Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001, Cet 1, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 56); Menimbang, bahwa apabila perbandingan merek AEROSOLES Penggugat dan merek AEROSOLES milik Tergugat ternyata bahwa baik bunyi ucapan, cara penulisan dengan huruf latin terdapat persamaan dan sebagaimana telah dipertimbangkan pada bagian ad.3 bahwa merek AEROSOLES jelas dapat menyesatkan konsumen, maka menurut Majelis Hakim, merek AEROSOLES mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek AEROSOLES penggugat; Menimbang, bahwa dipandang perlu untuk menegaskan bahwa yang dianggap sebagai "Merek Terkenal" bukan hanya membatasi peniruan oleh pihak lain terhadap pemakaian "barang-barang sejenis" tetapi dicakup pula dalam perumusan ini "barang-barang yang tidak sejenis" dengan lain perkataan, apabila suatu merek dipandang sebagai merek terkenal, maka tidak dapat dipergunakan merek itu juga untuk barang-barang yang tidak sejenis (Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997 halo 41); Menimbang, bahwa Undang-undang No. 15 Tahun 2001 dan Konvensi Paris menganut azas identical sign of Identical good of cervices; dan untuk merek terkenal, maka perlakuan untuk barang tidak sejenis oleh Undang-undang No. 15 Tahun 2001 akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (vide Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 ; 147 Menimbang, bahwa perjanjian-perjanjian tentang aspek-aspek Dagang Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement On Trade Related Aspects On Intellectual Property Right (Trips) yang merupakan bahwa bagian dari Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization) telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang No.7 Tahun 1994; Menimbang, bahwa Pasal16 ayat (3) Trips menentukan bahwa secara mutatis mutandis Pasal 6 bis Paris Convention akan berlaku untuk barang-barang atau jasa yang tidak sejenis (not smiliar goods of service) dengan ketentuan bahwa pemakaian merek atas benda-benda atau jasa-jasa yang bersangkutan akan memberi indikasi adanya suatu hubungan antara barang-barang atau jasa-jasa dengan pemilik merek terkenal (Indicated a connection between those goods or service) dari pemilik merek tersebut akan cenderung mendapatkan kerugian akibat pemakaian merek tersebut (likely to be demaged by such use); Menimbang, bahwa meskipun Undang-undang No. 15 tahun 2001 menganut Azas Identical Sign of Identical good or Service, akan tetapi untuk mengisi kekosongan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 2 Undangundang No. 15 Tahun 2001, maka tidak ada salahnya Pasal 16 TRIPS tersebut diatas diterapkan dalam kasus ini; Oleh karena itu meskipun merek AEROSOLES milik Penggugat dan merek AEROSOLES milik Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya untuk sejenis barang dan tidak sejenis (not similar goods) akan tetapi penggunaan merek AEROSOLES oleh Tergugat tersebut dapat memberikan kesan seolah-olah barang-barang yang diproduksi Tergugat dengan menggunakan merek AEROSOLES milik Penggugat mempunyai hubungan atau berasal dari penggugat sehingga akan menyesatkan atau membingungkan masyarakat (like hood of confusion) dan ternyata penggunaan merek AEROSOLES oleh Penggugat telah dimulai sejak tahun 1989 di beberapa Negara, khususnya Amerika Serikat sebagai negara asal (Bukti P-1 sId P-9); oleh karena itu penggunaan merek oleh Tergugat, adalah untuk membonceng ketenaran merek milik Penggugat tersebut; dan Dengan demikian pula merek AEROSOLES milik Tergugat tersebut harus dibatalkan; Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya tersebut tentang adanya iktikad buruk yaitu adanya persamaan pada pokoknya, oleh karena itu Penggugat harus dikabulkan dan pendaftaran merek AEROSOLES oleh Tergugat harus dibatalkan, dan berdasarkan pasal 70 (3) Direktorat Merek wajib untuk melaksanakan pembatalan tersebut setelah putusan ini mempunyai kekuatan kekuatan hukum yang tetap; 148 Menimbang, bahwa oleh karena gugatan penggugat harus dikabulkan dan dengan demikian Tergugat sebagai pihak yang kalah, maka Tergugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara; Memperhatikan pasal 4, pasal 6, pasal 68 serta pasal-pasal lain dari Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 serta peraturan lain yang bersangkutan ; MENGADILI 1. Menyatakan bahwa Tergugat telah dipanggil dengan patut tidak datang menghadap, tidak hadir ; 2. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dengan verstek ; 3. Menyatakan Penggugat adalah sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai pertama atas merek " AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia internasional, sehingga Penggugat mempunyai hak tunggal untuk menggunakan merek "AEROSOLES" tersebut; 4. Menyatakan merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat; 5. Menyatakan batal menurut hukum pendaftaran merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dengan segala akibat hukumnya; 6. Memerintahkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM R.I., untuk membatalkan pendaftaran merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dari Daftar Umum Merek, dan selanjutnya mengumumkan pembatalan pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek. 7. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ; Demikianlah diputuskan dalam rapat Majelis Hakim pada hari RABU, TANGGAL 14 April 2004 dengan H. HERRI SWANTORO, SH. MH., Sebagai Hakim Ketua Majelis, H. DWIARSO BUDI SANTIARTO, SH dan AGUS SUBROTO, SH. M.Hum., masing-masing sebagai Hakim Anggota Majelis Putusan mana pada hari JUM'AT, TANGGAL 16 April 2004 diucapkan dimuka persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua dengan dihadiri oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh H. Y ANWITRA, SH. MH. Panitera Pengganti dihadiri oleh kuasa Penggugat, tanpa dihadiri Tergugat ; 149 HAKIM-HAKIM ANGGOTA, HAKIM KETUA, ttd. ttd. H. DWIARSO BUDI H. HERRI SWANTORO, SH.MH. SANTIARTO, SH. ttd. AGUS SUBROTO, SH. M.Hum. PANITERA PENGGANTI, ttd. H. Y ANWITRA, SH.MH. 150