BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Hak

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Hak Atas Kekayaan Intelektual berasal dari istilah asing yaitu Intelectual
Property Right. Istilah Hak Atas Kekayaan Intelektual biasa disingkat dengan
beberapa ejaan diantaranya HAKI atau HaKI serta ada juga yang menggunakan
istilah HKI, tetapi istilah yang resmi digunakan oleh Direktorat Jenderal adalah
HKI (Hak Kekayaan Intelektual). Menurut David I Bainbridge, Hak Kekayaan
Intelektual adalah hak atas kekayaan yang berasal dari karya intelektual
manusia,yaitu hak yang berasal dari hasil kreatif yaitu kemampuan daya pikir
manusia yang diekspresikan dalam berbagai bentuk karya yang bermanfaat serta
berguna untuk menunjang kehidupan manusia dan mempunyai nilai ekonomi.1
Pemahaman mengenai Hak Kekayaan Intelektual (selanjutnya disingkat
dengan HKI) adalah mengenai hak atas kekayaan yang timbul atau lahir dari
kemampuan intelektual manusia. HKI dapat dikategorikan dalam 2 kelompok
yaitu Hak Cipta (Copy Rights) dan Hak milik Perindustrian (Industrial Property
Rights) yang terdiri dari Paten (Patent), Merek (Trademark), Desain Industri
(Industrial Design), Rahasia Dagang (Trade Secret) dan Desain Tata Letak Sirkuit
Terpadu (Integrated Circuit Lay Out Design).
1
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah,2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah Teori dan
Prakteknya di Indonesia), PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, h.16.
1
Permasalahan mengenai HKI saat ini menjadi bahan pengkajian dan
sorotan yang mendapat perhatian dari berbagai pihak. HKI sangat penting
terutama di bidang industri dan perdagangan baik nasional maupun internasional.2
HKI tidak berkaitan dengan hukum saja melainkan erat hubungannya dengan
masalah perdagangan, ekonomi dan pengembangan teknologi serta menjadi
landasan bagi usaha untuk memajukan cultural bangsa dan masyarakat pada
umumnya.
HKI pada awalnya berasal dari negara maju di Eropa dan Amerika, tetapi
negara berkembang saat ini mulai memberikan perhatian lebih pada bidang HKI,
karena dapat berpengaruh besar pada pendapatan suatu negara seperti melalui
pajak dari barang atau jasa yang menjadi konsumsi masyarakat. Di Indonesia
bidang HKI mendapat perhatian lebih, hal ini dibuktikan dengan tergabungnya
Indonesia dalam berbagai organisasi internasional di bidang HKI, diantaranya
WIPO (organisasi HKI se-dunia), GATT (perjanjian umum tentang tarif dan
perdagangan) dan WTO (organisasi perdagangan sedunia) yang menggantikan
GATT. Disamping itu Indonesia juga tergabung sebagai anggota dari Paris
Convention for the Protection of Industrial Property (Paris Convention) yang
kemudian diratifikasi melalui Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997.
Selain tergabung di
dalam organisasi
tersebut,
Indonesia juga
menandatangani beberapa perjanjian / agreement, salah satunya yang terbaru
adalah TRIPs Agreement yang merupakan perjanjian yang paling komprehensif
dalam bidang HKI, dimana semua negara anggota WTO terikat oleh TRIPs
2
Dwi Rezki Sri Astarini, 2009, Penghapusan Merek Terdaftar, Alumni, Bandung, h.1.
2
Agreement tersebut. Dalam perjanjian tersebut semua negara anggota diwajibkan
menyesuaikan hukum domestik agar sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam
TRIPs Agreement.3 Indonesia juga turut meratifikasi TRIPs Agreement melalui
Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1997.
Dengan diratifikasinya Paris Convention dan TRIPs Agreement oleh
Indonesia maka memuat kewajiban untuk menyesuaikan undang-undang yang ada
dengan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian internasional tersebut. Disamping
itu dengan meratifikasi perjanjian internasional di bidang merek merupakan
kesadaran bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bagian dari pergaulan dunia dan
kebutuhan yang diharapkan memberi manfaat lebih baik bagi perkembangan
perdagangan secara khusus dan perekonomian nasional pada umumnya.
Di Indonesia HKI sudah diatur secara nasional dalam peraturan
perUndang-Undangan, salah satunya pengaturan tentang merek yaitu dengan
dikeluarkannya
Undang-Undang (selanjutnya
disingkat
UU)
Hak
Milik
Perindustrian yaitu dalam Reglement Industrieele Eigendom Kolonien Stb 545
Tahun 1912. Kemudian UU ini diganti dengan UU Merek No.21 Tahun 1961.
Setelah itu UU Merek terus mengalami revisi berkali-kali diantaranya menjadi
UU No.19 Th 1992, UU No.14 Tahun 1997 dan yang terbaru adalah UU No. 15
Th 2001.4 Jadi jika dicermati maka bidang HKI dimana merek merupakan salah
3
Suyud Margono dan Longginus Hadi, 2003, Pembaharuan Perlindungan Hukum Merek,
CV.Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta h.14
4
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Op.cit, h.18
3
satu bagiannya, di Indonesia sudah mendapat perhatian sejak zaman sebelum
Indonesia merdeka.
Merek digunakan sebagai tanda pembeda antara produk yang dihasilkan
oleh seseorang atau badan hukum dengan produk yang dihasilkan oleh pihak lain.5
Merek merupakan sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasikan suatu produk atau perusahaan di pasaran. Sebuah merek
dapat menjadi kekayaan yang sangat berharga secara komersial. Merek suatu
perusahaan seringkali lebih bernilai dibandingkan dengan aset riil perusahaan
tersebut.6 Saat ini banyak dijumpai merek-merek terkenal baik yang berasal dari
dalam negeri maupun luar negeri seperti: Blackberry,Apple, Honda, Aqua, Lea,
Tomkins, J.Co, Marie Claire, Surfer Girl, Sony, Samsung, Bvlgari, Calvin Klein
dan sebagainya.
Dalam prakteknya hampir di berbagai kawasan dunia dapat dijumpai
pelanggaran-pelanggaran merek terkenal. Hal ini dapat merugikan pemilik merek
tersebut karena telah mengambil ketenaran dari suatu barang yang dimiliki oleh
mereka dengan sengaja ataupun tanpa sengaja menggunakan nama yang sama
tanpa ijin. Pelanggaran terhadap merek motivasinya adalah untuk mendapatkan
keuntungan
pribadi
secara
mudah
tanpa
mengeluarkan
biaya
untuk
5
Julius Rizaldi, 2009, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap Persaingan
Curang, Alumni, Bandung, h.1
6
Tim Lindsey Et.al, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law Group Pty
Ltd bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung, h.151.
4
memperkenalkan merek tersebut dengan mencoba atau melakukan tindakan
meniru atau memalsukan merek-merek yang sudah terkenal di masyarakat.7
Di Indonesia pun banyak dijumpai kasus pelanggaran terhadap merek
terkenal. Salah satu satu kasus pelanggaran merek yang muncul beberapa tahun
yang lalu yaitu kasus antara produsen sepatu Aerosoles International Inc dengan
produsen lokal PT Matahari Duta Prima, kasus antara perusahaan produsen
makanan AS Nabisco Inc (Nabisco) dengan produsen lokal PT Perusahaan
Dagang dan Industri Ceres (Ceres), kasus perseteruan antara PT Astra Honda
Motor (AHM) produsen sepeda motor Honda dengan PT Tossa Shakti produsen
sepeda motor Tossa dan lain-lain8
Pelanggaran terhadap merek terkenal pada akhirnya dapat menurunkan
kepercayaan konsumen terhadap merek tersebut, karena konsumen menganggap
bahwa merek yang dulu dipercaya memiliki mutu yang baik ternyata sudah mulai
turun kualitasnya. Disamping itu juga dapat merugikan konsumen karena
konsumen akan memperoleh barang atau jasa yang mutunya lebih rendah
dibandingkan dengan merek asli yang sudah terkenal tersebut serta dapat juga
membahayakan kesehatan dan jiwa konsumen.
Kebijakan keputusan yang melatarbelakangi perlindungan merek yang
mencakup perlindungan terhadap pembajakan merek telah mendunia sebagaimana
dapat disimpulkan dari pernyataan Mccarthy yang menyatakan bahwa Policies of
7
Ibid,hal.356
Tim Redaksi Tata Nusa, 2004, Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga dalam
Perkara Merek PT.Tatanusa, Jakarta, h.319
8
5
consumer protection, property rights, economic efficiency and unusual concepts
of justice underlie the law of trademarks. 9
Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No 15 tahun 2001 telah
mengatur mengenai sistem perlindungan merek terkenal, namun pada prakteknya
masih banyak terjadi pelanggaran terhadap merek terkenal di Indonesia. Oleh
karena itu maka penulis mengangkat permasalahan diatas di dalam tesis yang
berjudul: “PELANGGARAN MEREK TERKENAL DAN PERLINDUNGAN
HUKUM
BAGI
PEMEGANG
HAK
DALAM
PERSPEKTIF
PARIS
CONVENTION , TRIPS AGREEMENT DAN UU NO. 15 TAHUN 2001”
1.2.Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme perlindungan hukum bagi pemilik merek
terkenal dalam relevansinya dengan hak prioritas
dalam hal terjadi
pelanggaran berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU
No.15 Tahun 2001?
2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat ditempuh serta sanksi yang
diberikan
berkaitan dengan pelanggaran hak atas merek terkenal
berdasarkan Paris Convention, Trips Agreement dan UU No. 15 Tahun
2001?
9
Adrian Sutedi, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika,Jakarta, h.92
6
I.3. Ruang Lingkup Masalah.
Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok
permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu
mengadakan pembatasan sehingga dalam pembahasan selanjutnya dapat terfokus
pada pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya.
Pada penelitian ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan
dibatasi hanya pada perlindungan hukum terhadap pemegang hak merek terkenal
dalam relevansinya dengan hak prioritas dan upaya hukum yang dapat ditempuh
serta sanksi terhadap pelanggaran merek terkenal yang dilakukan oleh oknum
yang tidak bertanggung jawab menurut ketentuan Paris Convention, TRIPs
Agreement dan UU 15 Tahun 2001.
1.4.Tujuan Penelitian
1.4.1.Tujuan Umum.
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum,
terutama konsentrasi hukum bisnis yang berkaitan dengan perlindungan hukum
terhadap pemegang hak serta upaya hukum atas pelanggaran merek terkenal.
1.4.2. Tujuan Khusus.
1. Untuk mengetahui dan menganalisis mekanisme perlindungan hukum bagi
pemilik merek terkenal dalam relevansinya dengan hak prioritas dalam
hal terjadi pelanggaran berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement
dan UU No.15 Tahun 2001.
7
2. Untuk mengetahui dan menganalisis upaya hukum yang dapat ditempuh
serta sanksi yang diberikan berkaitan dengan pelanggaran hak atas merek
terkenal berdasarkan Paris Convention, Trips Agreement dan UU No. 15
Tahun 2001
1.5. Manfaat Penelitian.
1.5.1. Manfaat Teoritis
Bermanfaat bagi pengembangan wawasan keilmuan peneliti, masukan
bagi pengembangan ilmu hukum dan pengembangan bacaan bagi pendidikan
hukum terutama konsentrasi hukum bisnis.
1.5.2. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan pemikiran terutama bagi aparat penegak hukum
dan praktisi hukum mengenai perlindungan hukum bagi pemegang hak dan upaya
hukum serta sanksi yang dapat diberikan dalam hal terjadi pelanggaran merek
terkenal menurut perspektif Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU 15
Tahun 2001.
1.6. Orisinalitas Penelitian.
Permasalahan mengenai HKI (Hak Kekayaan Intelektual) khususnya
tentang merek terkenal menarik banyak peneliti untuk menjadikannya sebagai
objek kajian penelitian. Dari hasil penelusuran yang dilakukan ditemukan
beberapa tulisan atau hasil penelitian yang berkaitan dengan merek terkenal
tetapi memiliki substansi yang berbeda antara lain, sebagai berikut:
8
1. Perlindungan Hukum Terhadap Merek Terkenal Dalam Sistem Hukum
Hak Kekayaan Intelektual oleh Made Diah Sekar Mayang Sari, Tesis
dibuat pada tahun 2010, pada Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum
Universitas Udayana dengan rumusan masalah: (1) Bagaimana pengaturan
merek terkenal dalam sistem hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual? (2)
Bagaimana bentuk perlindungan hukum yang diperlukan terhadap merek
terkenal di Indonesia?
2. Sikap Pengadilan Terhadap Penyelesaian Sengketa Atas Merek Dagang
Terkenal (Studi Pada Putusan Pengadilan Niaga Medan) oleh D.
Shahreiza, Tesis dibuat pada tahun 2011, pada Program Studi Magister
Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara dengan rumusan
masalah: (1)Apakah faktor-faktor yang menjadi penyebab banyaknya
terjadi sengketa merek dagang terkenal? (2) Bagaimanakah upaya-upaya
hukum dalam melindungi merek dagang terkenal dan cara penyelesaian
atas sengketa merek dagang terkenal.
1.7.Landasan Teoritis
Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang
berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide yang memadatkan dan
mengorganisasi pengetahuan tentang dunia.10 Landasan teoritis adalah upaya
untuk mengidentifikasi teori hukum umum/khusus, konsep-konsep hukum, asasasas hukum, norma dan lain-lain, yang akan dipakai landasan untuk membahas
10
Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), Refika Utama, Bandung, h. 22
9
permasalahan penelitian.11 Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam
penelitian ini akan digunakan berupa teori, konsep dan pandangan para ahli
sebagai landasan teoritis.
Di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat berbagai macam norma yang
mempengaruhi tata cara berperilaku atau bertindak, contohnya seperti norma
agama, norma adat, norma moral dan norma hukum. Norma adalah suatu ukuran
yang harus dipatuhi oleh seseorang dalam hubungannya dengan sesamanya
ataupun dengan lingkungannya. Indonesia yang terdiri dari berbagai pulau dan
suku bangsa menyebabkan berlakunya suatu norma hukum adalah bersifat mutlak,
artinya bahwa setiap norma hukum berlaku bagi seluruh warga negara dimanapun
dia berada tanpa kecuali. Dalam kaitannya dengan hirarkhi suatu norma hukum,
Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang Norma Hukum (Stufen
Theory), berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapislapis. Dalam suatu hierarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah
berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian
seterusnya sampai pada hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Groundnorm).12
Grotius salah satu tokoh Hukum Alam memaparkan ada empat norma
dasar yang terkandung dalam hukum alam, yakni13:
1. Kita harus menjauhkan diri dari harta benda kepunyaan orang lain
11
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan Penelitian
Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum, Denpasar, h. 31
12
Arief Sidharta, 1993, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h 26
13
W. Friedman., 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Rajawali Press, Jakarta, h.49.
10
2. Kita harus mengembalikan harta kepunyaan orang lain yang berada
ditangan kita beserta hasil dari benda orang lain yang sudah kita nikmati.
3. Kita harus menepati janji-janji yang kita buat.
4. Kita harus mengganti kerugian yang disebabkan oleh kesalahan kita, lagi
pula kita harus dihukum apabila perbuatan kita pantas disalahkan.
Teoritis HKI, biasanya menggunakan teori Hukum Alam sebagai dasar
pijakan. Teori Hukum Alam yang terpenting dan pasti yaitu yang diilhami oleh
gagasan, yakni gagasan perihal tatanan universal yang mengatur seluruh umat
manusia dan gagasan tentang hak-hak dasar individu.14 Gagasan dasarnya adalah
bahwa kekayaan intelektual merupakan milik sang creator, karena HKI
melindungi orang-orang yang kreatif. Doktrin tersebut oleh lembaga HKI diadopsi
untuk memberikan landasan guna memberikan perlindungan bagi individu
pemilik HKI, agar hak-haknya tidak dilanggar oleh orang lain. Doktrin hukum
alam menekankan pada faktor manusia dan penggunaan akal.
John Locke seorang filsuf Inggris abad 18 mengemukakan bahwa hukum
hak kekayaan intelektual memberikan hak milik eksklusif kepada hasil karya
seseorang. Hukum Alam (Natural Law) meminta individu untuk mengawasi hasil
karyanya dan secara adil dikontribusikan kepada masyarakat. Kemudian Locke
menyatakan bahwa hak atas milik pribadi bermula dari kerja manusia dan dengan
kerja inilah manusia memperbaiki dunia ini demi kehidupan yang layak tidak
hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain.15
14
Ibid
John Locke, 1997, “Summa Theologiae”,dalam Sonny Keraf, Hukum Kodrat dan Teori Hak
Milik Pribadi, Kanisius, Jogjakarta, hal. 77
15
11
Locke memberikan solusi terhadap masalah hak-hak umum pemberian
Tuhan dan pengambilan hak milik pribadi dimulai dengan asumsi bahwa, “every
man has a property in his own person” . Asumsi ini mengantar Locke pada suatu
pemikiran bahwa kerja individu juga menjadi milik individu.16
Locke berpendapat bahwa hak milik merupakan imbalan yang adil untuk
orang-orang yang rajin. Kerja pada individu menambah nilai pada sebuah produk
dan memberikan kemanfaatan sosial pada umumnya. Argumentasi ini menjadi
titik awal dari justifikasi utilitarianism dalam hal perlindungan hak-hak kekayaan
tidak berwujud termasuk hak kekayaan yang tersembunyi dalam hak eksklusif
atas merek. Berdasarkan prinsip-prinsip ekonomi pendekatan utilitarianism
membela undang-undang merek sebagai suatu sistem insentif bagi pemilik dan
pencipta merek.17
Dikaitkan dengan jaminan perlindungan merek dan barang produksinya,
Robert S. Smith mengemukakan suatu teori dengan menyatakan bahwa suatu
merek memberikan fungsi perlindungan sebagai investasi dari pemilik merek
dengan itikad baik dan melayani konsumen dengan suatu merek dan menjamin
kualitas merek. Selain itu, jaminan keaslian barang-barang produksi dari pemilik
merek yang beritikad baik merupakan suatu promosi untuk menghilangkan
keraguan konsumen. Dengan demikian perlindungan merek menjadi fungsi utama
dan sekaligus melindungi konsumen dari barang palsu.18
16
Marshall Leaffer, Understanding Copyright Law, Oxford Legal Publisher, h.20
Ibid
18
Robert.S. Smith, 1992, The Unresolved Tension Between Trademark Protection and Free
Movement of Goods in the European Community, Duke Journal of Comparative and
International Law: Volume 3, No. 1, h. 112
17
12
Perlindungan hukum atas merek terkenal memang wajar mengingat
terciptanya karya-karya intelektual tersebut juga atas dasar pengorbanan yang
tidak sedikit baik biaya maupun tenaga dari pemiliknya, sehingga perlu diberikan
penghargaan guna mendorong seseorang untuk berkarya dan berkreativitas. Hal
ini didukung oleh teori-teori dari Robert M. Sherwood terkait dengan konsepsi
perlindungan hukum hak kekayaan intelektual. Teori-teori yang relevan disini
adalah: Reward Theory, Recovery Theory, dan Incentive Theory, yang selanjutnya
dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Reward Theory adalah berupa pengakuan terhadap karya intelektual
yang dihasilkan oleh seseorang sehingga
kepada penemu/pencipta
atas pendesain harus diberikan penghargaan sebagai imbalan atas
upaya-upaya kreatif dalam menciptakan karya-karya intelektual
tersebut.
2. Recovery Theory adalah berupa pengembalian terhadap apa yang telah
dikeluarkan penemu/pencipta/pendesain yaitu biaya, waktu dan tenaga
dalam proses menghasilkan suatu karya.
3. Incentive Theory adalah berupa insentif yang diberikan kepada
penemu/ pencipta/ pendesain untuk mengembangkan kreativitas dan
mengupayakan terpacunya kegiatan penelitian yang berguna.19
Hak merek dalam ruang lingkup HKI merupakan bagian dari Hak Milik
Perindustrian. Secara etimologis istilah “merek” berasal dari bahasa Belanda
19
Ranti Fauza Mayana, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era
Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta, h. 35
13
sedangkan dalam bahasa daerah Jawa disebut ciri atau tengger. Dalam bahasa
Belanda dikenal juga dengan Mark, atau Brand dalam bahasa Inggris. 20
Secara yuridis pengertian merek tercantum dalam pasal 1 ayat (1) UU No.
15 tahun 2001 yang berbunyi: “merek adalah tanda yang berupa gambar,
nama,kata,huruf-huruf,angka-angka,susunan warna atau kombinasi dari unsureunsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan
perdagangan barang dan jasa.”
Di dalam Pasal 2 UU Merek 2001, merek dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu:
1. Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama –
sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang – barang
sejenis lainnya.
2. Merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama – sama atau badan
hukum untuk membedakan dengan jasa – jasa sejenis lainnya.
Selain itu pula dikenal juga dengan merek kolektif yaitu merek yang
digunakan pada barang dan / atau jasa dengan karakteristik yang sama yang
diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama – sama
untuk membedakan dengan barang dan / atau jasa sejenis lainnya (Pasal 1 ayat 4)
20
Pipin Syarifin dan Dedah Jubaedah, 2004, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual di
Indonesia, Citra Utama, Bandung, h. 166.
14
Ada juga yang disebut dengan istilah merek terkenal. Istilah merek
terkenal ini ditinjau dari reputasi (reputation) dan kemahsyuran (renown) suatu
merek, yang di mana merek terkenal ini mempunyai reputasi tinggi yang
menimbulkan sentuhan keakraban (familiar attachement) dan ikatan mitos
(mysthical context) kepada seluruh lapisan konsumennya. Penentuan suatu merek
sebagai merek terkenal, tidaklah hanya terkenal di manca negara yang dimiliki
oleh pihak asing tetapi juga merek – merek lokal yang dimiliki oleh para
pengusaha lokal yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat
pada umumnya. 21
Sampai saat ini, sebenarnya belum ada definisi merek terkenal yang dapat
diterima secara luas. Upaya-upaya untuk mengiventarisasi unsur-unsur yang
membentuk pengertian tersebut sampai saat ini belum memperoleh kesepakatan.
Oleh karena itu, jika ada pihak yang selalu mendesakkan pengertian yang
dimilikinya atau diakuinya terhadap pihak lain, hal itu hanyalah semata-mata
karena adanya kepentingan pemilik merek yang bersangkutan. Selama
perundingan Putaran Uruguay di bidang TRIPs berlangsung sampai berakhir dan
ditandatanganinya Persetujuan Pembentukan WTO, tidak satu negarapun mampu
membuat dan mengusulkan definisi merek terkenal tersebut.22
21
Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, 2005, Hak kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 82
22
Kesowo, Bambang, 1998, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Makalah
Disampaikan dalam sambutan arahan Seminar Nasional Perlindungan Merek Terkenal di
Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan, Bandung 26 September, h 8
15
Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement berhasil membuat kriteria sifat
keterkenalan suatu merek, yaitu dengan memperhatikan faktor pengetahuan
tentang merek dikalangan tertentu dalam masyarakat, termasuk pengetahuan
negara peserta tentang kondisi merek yang bersangkutan yang diperoleh dari hasil
promosi merek tersebut.
Di Indonesia ketentuan merek terkenal dapat dijumpai antara lain dalam
Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor: M-02-HC.01.01
Tahun 1987. Dalam Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia
Nomor: M-02-HC.01.01 Tahun 1987 merek terkenal didefinisikan sebagai merek
dagang yang telah lama dikenal dan dipakai di wilayah Indonesia oleh seseorang
atau badan untuk jenis barang tertentu. Keputusan Menteri Kehakiman tersebut
pada Tahun 1991 diperbaharui dengan dengan Keputusan Menteri Kehakiman RI
Nomor: M.03-HC.02.01 Tahun 1991 Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman
tersebut mendefinisikan merek terkenal sebagai „merek‟ dagang yang secara
umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang
atau badan baik di wilayah Indonesia maupun di luar negeri. Selanjutnya dalam
UU Nomor 15 tahun 2001 tidak dapat ditemukan definisi merek terkenal (tidak
ada definisi merek terkenal).
Ketentuan Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement tersebut kemudian diadopsi
oleh Penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001
yaitu kriteria untuk menentukan bahwa suatu merek barang atau jasa sudah masuk
dalam kategori merek terkenal (well known mark) adalah dilihat dari:
16
1. Dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat tentang merek
tersebut.
2. Dengan memperhatikan reputasi merek terkenal yang diperoleh karena
promosi yang gencar dan besar-besaran.
3. Investasi di beberapa negara didunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan
disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Apabila hal-hal di atas dianggap belum cukup, maka hakim dapat
memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri (independent) untuk melakukan
survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang
bersangkutan.
Persoalan pelanggaran merek terkenal dan upaya perlindungan hukumnya
bukanlah hal baru. Persoalan itu hampir seumur dengan perjalanan sejarah Paris
Convention for the Protection of Indutstrial Property tahun 1983 (disebut Paris
Convention). Perlindungan merek terkenal di dalam Paris Convention telah
dimuat di dalam amandemen Paris Convention , yaitu ketika dilakukan konferensi
diplomatik tentang amandemen dan revisi Paris Convention di Den Haag pada
tahun 1925.23
Setelah beberapa kali mengalami revisi, rumusan Pasal 6 bis Paris
Convention adalah sebagai berikut.
23
Dube, Bharat, 2000, Assesing Trademark Law on Well-Known Marks Counterfeiting,
Paper Presented at Advanced Seminar, Prospect and Implementation of Indonesian Copyrights,
Patent and Trademark Laws, Borobudur Hotel, Jakarta 31 Juli – 1 Agustus, h.2
17
1. Negara anggota Union secara ex officio jika legislasinya mengizinkan atau atas
permintaan pihak yang berkepentingan, menolak atau membatalkan pendaftaran
dan melarang penggunaan merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau
terjemahan yang dapat menciptakan kebingungan atas satu merek yang menurut
pihak berwenang dari negara pendaftar atau pengguna sebagai merek terkenal di
negara tersebut sebagaimana yang secara sah diberikan kepada orang yang berhak
berdasarkan konvensi ini dan digunakan untuk barang identik atau mirip. Ketentuan
ini juga berlaku apabila bagian esensial dari merek terkenal atau imitasi yang dapat
menciptakan kebingungan.
2. Jangka waktu permintaan pembatalan setidaknya lima tahun terhitung sejak
tanggal pendaftaran (merek yang menyerupai merek terkenal tersebut).
3. Kalau pendaftaran dilakukan dengan itikad buruk, tidak ada batas waktu untuk
memintakan pembatalan.
Pada
ketentuan
Pasal
4
Paris
Convention
negara
memberikan
perlindungan terhadap merek terkenal dengan hak prioritas. Ini berarti bahwa
berdasarkan permohonan yang yang dilakukan di satu negara anggota, pemohon
dalam jangka waktu tertentu yaitu 6 bulan untuk merek dapat mengajukan
permohonan perlindungan yang serupa di negara lain. Hak Prioritas adalah hak
pemohon untuk mengajukan permohonan yang berasal dari negara yang
tergabung dalam Paris Convention untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal
penerimaan (filling date) di negara asal merupakan tanggal prioritas (priority
18
date) di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian
tersebut.24
Pasal 6 bis Paris Convention tersebut kemudian diadopsi Pasal 16 ayat (2) dan (3)
TRIPs Agreement:
(2) Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku pula terhadap jasa. Dalam
menentukan bahwa suatu merek dagang merupakan merek terkenal, perlu
dipertimbangkan pengetahuan akan merek dagang tersebut pada sektor yang
terkait dalam masyarakat, termasuk pengetahuan yang diperoleh Anggota dari
kegiatan promosi merek dagang yang bersangkutan.
(3) Pasal 6bis dari Konvensi Paris berlaku pula terhadap barang atau jasa yang
tidak mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan,
sepanjang penggunaan dari merek dagang yang bersangkutan untuk barang atau
jasa dimaksud secara tidak wajar akan memberikan indikasi adanya hubungan
antara barang atau jasa tersebut dengan pemilik dari merek dagang terdaftar yang
bersangkutan.
Perlindungan merek terkenal, menurut TRIPs Agreement disebutkan dalam
Pasal 16 perjanjian tersebut, bahwa pemilik merek terdaftar mendapat
perlindungan apabila mereknya didaftarkan di wilayah negara peserta, sehingga
pemilik merek bersangkutan mempunyai hak eksklusif dari negara peserta untuk
melarang pihak lain untuk melakukan peniruan atau pemalsuan terhadap merek
tersebut. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang ikut serta dalam TRIPs
24
Suyud Margono dan amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum
Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, h. 168
19
Agreement harus melaksanakan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam perjanjian
tersebut.
Perlindungan hukum terhadap merek terkenal yang telah ditentukan dalam
Pasal 16 TRIPs Agreement ini telah diterapkan dalam Pasal 3 UU No. 15 Tahun 2001
bahwa hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada
pemilik merek yang terdaftar dalam daftar umum merek untuk jangka waktu tertentu,
dengan menggunakan sendiri merek tersebut atau memberikan ijin kepada pihak lain
untuk menggunakannya. Dengan demikian perlindungan hukum atas merek hanya
akan berlangsung apabila merek tersebut didaftarkan dan pendaftarannya harus dengan
itikad baik sesuai dengan Pasal 4 UU No. 15 Tahun 2001.
Permohonan harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut
mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek yang sudah
terkenal milik pihak lain untuk barang dan/jasa sejenis (Pasal 6 ayat (1) huruf b UU
No. 15 Tahun 2001). Ketentuan tersebut dapat pula diberlakukan terhadap barang
dan/atau jasa yang tidak sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan
diterapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (pasal 6 ayat (2) UU No. 15
Tahun 2001).
Permohonan perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal, apabila merek
tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan merek
terkenal milik orang lain dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2) (Pasal 37 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001).
20
Pendaftaran merek menurut
UU No. 15 Tahun 2001 tentang merek
adalah mutlak dilaksanakannya untuk terciptanya hak atas merek. Salah satu
unsur sesuatu dapat didaftarkan sebagai merek adalah adanya tanda, yaitu apabila
tanda atau sign yang dipakai mempunyai daya pembeda yang cukup. UU No.15
Tahun 2001 menganut sistem pendaftaran konstitutif yaitu,hak atas merek timbul
setelah adanya pendaftaran terlebih dahulu. Dalam hal ini barang siapa yang
pertama kali mendaftarkan dialah yang berhak atas merek tersebut dan secara
eksklusif dapat memakai merek tersebut,sedangkan pihak lain tidak dapat
memakainya kecuali dengan izin atau lisensi.25 Kelebihan dari sistem konstitutif
ini adalah memberi kepastian hukum sehingga lebih memudahkan dalam
pembuktian.26
Disamping itu Pasal 11 UU No.15 Tahun 2001 mengatur mengenai
permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas. Permohonan pendaftaran
merek dengan menggunakan hak prioritas harus diajukan dalam waktu paling
lama 6 (enam) bulan sejak tanggal penerimaan permohonan pendaftaran merek
yang pertama kali diterima di negara lain, yang merupakan anggota Paris
Convention for the Protection of Industrial Property atau anggota Agreement
Establishing the World Trade Organization.
Perlindungan hukum terhadap merek terkenal sejauh ini mengacu pada
ketentuan Pasal 6 bis Paris Convention dan Pasal 16 TRIPs Agreement. Ketentuan
25
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah, Op.Cit, h.366.
26
Nurwidiatmo, 2003, Analisis Yuridis Penerapan Hukum Merek di Indonesia, Jurnal
Penelitian Hukum: Vol.4.No.1, h. 115
21
tersebut telah diadopsi oleh banyak negara dalam peraturan perundang-undangan
nasionalnya, termasuk Indonesia. Perlindungan merek terkenal di Indonesia
didasarkan pada ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6 ayat (1) huruf b dan ayat (2)
serta Pasal 37 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001.
Jadi konsep perlindungan hukum terhadap hak merek tersebut mengacu
pada sifat hak merek yang bersifat khusus (exclusive).27 Hak eksklusif juga
dapat merupakan jaminan kepada masyarakat umum akan kualitas dari barang
yang dibubuhi merek tersebut. Klasifikasi internasional barang dan jasa suatu
merek berdasarkan Nice Classification terdiri dari kelas 1 sampai dengan kelas 45.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 menentukan mengenai jangka
waktu perlindungan merek baik bagi merek lokal maupun merek asing. Di dalam
Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, disebutkan jangka waktu
perlindungan merek adalah 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal penerimaan dan
jangka waktu perlindungan itu dapat diperpanjang. Jangka waktu perlindungan di
dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 di atas melampaui jangka
waktu 7 (tujuh) tahun yang ditentukan dalam Pasal 18 dari TRIPs Agreement. Oleh
karena itu, jangka waktu yang telah ditetapkan dalam TRIPs Agreement ini telah
dipenuhi oleh undang-undang merek Indonesia.
Pelanggaran terhadap hak merek bertujuan
untuk mendapatkan
keuntungan yang mudah dengan cara meniru maupun memalsukan merek yang
sudah terkenal di masyarakat.
Tindakan tersebut sangat merugikan pemilik
27
Anne Fitzgeral dan Brian Fitgerald, 2004, Intellectual Property in Principle, Law Book
Co., Sydney, h. 363.
22
merek terkenal tersebut maupun pihak konsumen.
Didalam ketentuan Pasal 9 dan pasal 10ter Paris Convention
menyebutkan upaya hukum yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran merek
terkenal. Semua barang yang secara tidak sah membawa merek dagang atau
nama dagang harus disita pada pemasukan barang impor ke dalam negara
persatuan dimana merek atau nama dagang tersebut berhak atas perlindungan
hukum. Penyitaan harus juga dilaksanakan di negara mana afiksasi melanggar
hukum terjadi atau di negara mana barang tersebut diimpor. Penyitaan akan
dilakukan atas permintaan jaksa penuntut umum, atau pejabat yang berwenang
lainnya, atau setiap pihak yang berkepentingan, baik orang pribadi atau badan
hukum, sesuai dengan undang-undang dalam negeri masing masing negara.Pihak
berwenang tidak terikat untuk melaksanakan penyitaan barang dalam perjalanan.
Jika undang-undang suatu negara tidak mengizinkan penyitaan atas impor,
penyitaan harus diganti dengan larangan impor atau penyitaan di dalam negeri.
Jika undang-undang suatu negara memungkinkan penyitaan baik pada impor
atau larangan impor atau penyitaan di dalam negeri, maka sampai waktu
perubahan suatu undang-undang
telah disesuaikan, tindakan tersebut harus
diganti dengan tindakan dan upaya yang tersedia dalam kasus tersebut kepada
warga negara berdasarkan hukum negara tersebut (Pasal 9 Paris Convention)
Negara-negara persatuan menjamin warga negara dari negara persatuan
lain
menjalankan solusi hukum yang tepat efektif untuk menekan semua
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis. Mereka dapat
melakukan, lebih lanjut, memberikan langkah-langkah untuk mengizinkan
23
federasi dan asosiasi yang mewakili kepentingan pengusaha, produsen, atau
pedagang, asalkan keberadaan federasi dan asosiasi tersebut tidak bertentangan
dengan hukum negara mereka, untuk mengambil tindakan di pengadilan atau
sebelum otoritas administratif, dengan maksud untuk menekan
perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis, sejauh hukum negara di
mana perlindungan diklaim memungkinkan tindakan tersebut oleh federasi dan
asosiasi negara tersebut (Pasal 10ter Paris Convention ).
Di dalam TRIPs Agreement diatur mengenai penegakan hukum untuk
mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran di bidang HKI (khususnya
merek terkenal) yang terjadi di negara-negara anggota.
Anggota wajib menyediakan prosedur peradilan perdata bagi pemegang
hak sehubungan dengan penegakan hukum atas HKI yang dicakup oleh
persetujuan ini. Tergugat berhak untuk memperoleh dalam waktu singkat
pemberitahuan tertulis yang memuat secara cukup detail mengenai gugatan,
termasuk mengenai dasar gugatan. Para pihak diperkenankan untuk diwakili oleh
penasehat hukum yang dipilihnya sendiri, dan prosedur yang berlaku tidak boleh
membebankan persyaratan yang terlalu berat sehubungan dengan kewajiban untuk
hadir sendiri di pengadilan. Semua pihak dalam prosedur yang bersangkutan
berhak untuk mempertahankan kebenaran gugatannya dan mengajukan buktibukti yang relevan. Prosedur yang bersangkutan harus menyediakan sarana untuk
mengidentifikasikan dan melindungi informasi yang dirahasiakan, kecuali apabila
hal tersebut bertentangan dengan persyaratan konstitusional yang berlaku (Pasal
42 TRIPs Agreement).
24
Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang
melakukan pelanggaran untuk membayar ganti rugi yang memadai kepada
pemegang hak sehubungan dengan kerugian yang diderita oleh yang bersangkutan
karena pelanggaran atas HKI-nya oleh pihak lain yang mengetahui atau patut
mengetahui bahwa dia terlibat dalam kegiatan pelanggaran. Badan peradilan juga
mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang melakukan pelanggaran
untuk membayar ganti rugi untuk biaya yang dikeluarkan oleh pemegang hak,
termasuk biaya yang dikeluarkan untuk jasa penasehat hukum. Dalam hal-hal
tertentu, Anggota dapat memberikan wewenang kepada badan peradilan untuk
memerintahkan pembayaran ganti rugi berupa pengembalian kembali keuntungan
dan/ atau pembayaran meskipun pihak yang melakukan pelanggaran tidak
mengetahui atau tidak mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa dia telah
terlibat dalam kegiatan pelanggaran. (pasal 45 TRIPs Agreement)
Dalam hal suatu upaya perdata dapat ditetapkan atas dasar prosedur
administrasi mengenai pokok suatu perkara, prosedur yang bersangkutan harus
sesuai dengan prinsip-prinsip yang sama dengan prinsip-prinsip yang diuraikan
dalam Bagian ini (Pasal 49 TRIPs Agreement).
Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau
dunia usaha yang sangat terkait erat dengan ekonomi dan perdagangan, oleh
karenanya penyelesaian sengketa merek menjadi kewenangan badan peradilan
khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa perdata di bidang
merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Pemilik merek memiliki
upaya perlindungan hukum terhadap mereknya dengan mengajukan permohonan
25
kepada Pengadilan Niaga agar dapat dikeluarkan “penetapan sementara
pengadilan” untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
Penetapan sementara pengadilan ini disebut provisional measures, yang
juga umum dikenal dalam peraturan arbitrase, maupun konvensi tentang
penyelesaian sengketa tentang penanaman modal.28 Didalam TRIPs Agreement
mengenai provisional measures diatur dalam Pasal 50 ayat 1, sebagai berikut:
1.Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan diambilnya
tindakan sementara yang cepat dan efektif:
(a) untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap HAKI, dan terutama untuk
mencegah masuknya barang-barang kedalam arus perdagangan di dalam wilayah
hukum mereka, termasuk barang-barang impor segera setelah dilepas oleh beacukai;
(b) untuk melindungi bukti-bukti yang berkaitan dengan tuduhan pelanggaran.
Pengaturan-pengaturan mengenai penegakan hukum ini secara garis besar
memuat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan, badan
administrasi (Pabean) dan pemegang Hak Kekayaan Intelektual bila terjadi
pelanggaran yang menyangkut Hak Kekayaan Intelektual. Prinsip-prinsip pokok
dalam penegakan hukum apabila terjadi pelanggaran dan/atau adanya indikasi
pelanggaran diatur dalam TRIPs Agreement Bagian Ke-empat yang mengatur
tentang “Special Requirements Related to Boarder Measures”. Anggota wajib,
sesuai
dengan
ketentuan-ketentuan
28
yang
diuraikan
dibawah,untuk
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, 2002,Undang-undang Merek Baru Tahun 2001,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 189
26
menyelenggarakan prosedur yang memungkinkan pemegang hak, yang memiliki
dasar sah bahwa akan terjadi pengimporan barang yang bermerek dagang palsu
atau barang hasil pembajakan, untuk mengajukan permohonan tertulis kepada
pihak yang berwenang, administrasi maupun badan peradilan, untuk menunda
dilepaskannya oleh pabean barang-barang tersebut ke dalam arus perdagangan.
Anggota dapat memungkinkan pengajuan permohonan seperti itu terhadap
barang-barang yang melibatkan pelanggaran lain terhadap HKI, sepanjang
persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Bagian ini terpenuhi. Anggota dapat
juga menetapkan prosedur yang sama untuk barang-barang yang akan diekspor
(Pasal 51 TRIPs Agreement).
Setiap pemegang hak yang memanfaatkan prosedur yang dimaksud dalam
Pasal 51 wajib menyediakan bukti-bukti yang memadai untuk meyakinkan pihak
yang berwenang, berdasarkan hukum negara dimana pengimporan dilakukan,
bahwa prima facie telah terjadi pelanggaran terhadap HAKI-nya dan memberikan
keterangan rinci secara cukup mengenai barang-barang yang bersangkutan agar
mudah
dikenali
oleh
pabean.
Pihak
yang
berwenang
memberitahukan pemohon tentang telah diterimanya
wajib
permohonan
segera
yang
bersangkutan dan, apabila telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, kapan
saatnya pabean akan memulai mengambil tindakan (Pasal 52 TRIPs Agreement).
Mengenai
upaya ketentuan pidana diatur dalam bagian 5 mengenai
prosedur kriminal yaitu pasal 61 : Anggota wajib menetapkan prosedur dan
sanksi kriminal untuk diterapkan dalam perkara-perkara yang melibatkan
pemalsuan merek dagang atau pembajakan hak cipta yang dilakukan dengan
27
sengaja. Upaya yang tersedia termasuk pidana penjara dan/atau denda yang cukup
untuk membuat jera pelanggaran, sepadan dengan tingkat hukuman yang berlaku
terhadap kejahatan yang mempunyai kadar yang sama. Dalam perkara-perkara
tertentu, upaya yang tersedia termasuk juga pensitaan, pengambilalihan dan
pemusnahan dari barang hasil pelanggaran dan semua bahan dan alat yang
dipergunakan dalam tindak kejahatan. Anggota dapat menetapkan prosedur dan
sanksi kriminal untuk diterapkan dalam perkara lain pelanggaran terhadap HAKI,
terutama dimana tindak pidana dilakukan dengan sengaja dan untuk tujuan
komersial.
Di Indonesia pelanggaran atas HAKI dalam hal ini menyangkut
mengenai merek terkenal dapat dimasukkan ke dalam kasus kriminal (pidana)
maupun perdata. Berdasarkan ketentuan Pasal 76 UU No.15 Tahun 2001, pemilik
merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain yang secara tanpa
hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya untuk barang atau jasa yang sejenis berupa gugatan ganti rugi
dan penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek
tersebut. Gugatan ini diajukan melalui Pengadilan Niaga.
Gugatan atas pelanggaran merek terdaftar sebagaimana dimaksud dalam
pasal 76 dapat pula diajukan oleh penerima lisensi merek terdaftar baik secara
sendiri maupun bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan. (Pasal
77 UU No. 15 tahun 2001).
Selama masih dalam pemeriksaan dan untuk
mencegah kerugian yang lebih besar atas permohonan pemilik merek atau
28
penerima lisensi selaku penggugat, hakim dapat memerintahkan tergugat untuk
menghentikan produksi, peredaran dan perdagangan barang atau jasa yang
menggunakan merek tersebut secara tanpa hak. Dalam hal tergugat dituntut juga
menyerahkan barang yang menggunakan merek secara tanpa hak, hakim dapat
memerintahkan bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan
setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap. (Pasal 78 UU No.
15 Tahun 2001). Namun hal tersebut belum sampai pada perintah untuk
pemusnahan barang bersangkutan seperti yang telah dicantumkan dalam Pasal 46
TRIPs Agreement. Pemusnahan barang harus dilakukan dengen komplit sehingga
dalam hal pemalsuan merek tidak hanya etiket merek yang ditempelkan saja yang
harus dibuang, bahkan seluruh barang bersangkutan harus dimusnahkan.
Berdasarkan bukti yang cukup, pihak yang haknya dirugikan
dapat
meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara
tentang pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak
merek dan penyimpanan alat bukti yang berkaitan dengan pelanggaran merek
tersebut. (Pasal 85 UU No. 15 Tahun 2001)
Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85
telah dilaksanakan, Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang
dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk
didengar keterangannya (Pasal 86 ayat 2 UU No.15 Tahun 2001). Hakim
Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa tersebut harus memutuskan untuk
mengubah, membatalkan atau menguatkan penetapan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 85 dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak
29
dikeluarkannya penetapan sementara tersebut (Pasal 87 UU No. 15 tahun 2001).
Apabila penetapan sementara dikuatkan uang jaminan yang telah
dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon
penetapan dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76.
Akan tetapi, apabila penetapan sementara dibatalkan uang jaminan yang telah
dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai
ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut. (Pasal 88 UU No.15
Tahun 2001).
Hak untuk mengajukan gugatan ini tidak mengurangi hak negara untuk
melakukan tuntutan tindak pidana di bidang merek. Kasus yang merupakan tindak
pidana merek dapat diajukan ke Pengadilan Negeri.
Menurut ketentuan pasal 89 ayat (1), selain Penyidik Pejabat Polri, Pejabat
Pegawai Negeri Sipil (PNS) tertentu di Direktorat Jenderal diberi wewenang
khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No. 8 tahun 1981
tentang KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang merek.
Penyidik Pejabat Pegawai Negeri (PPNS) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasil penyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polri. Penyidik
Pejabat Pegawai Negeri (PPNS) menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polri dengan mengingat ketentuan
pasal 107 KUHAP (Pasal 89 ayat (3) dan ayat (4) UU No. 15 Tahun 2001)
Apabila tindak pidana pelanggaran merek terbukti, maka pelaku tindak pidana
tersebut diancam dengan pidana penjara dan denda.
30
Ketentuan pidana terhadap pelanggaran merek, diatur dalam Pasal
90,Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 Undang-undang Nomor 15 Tahun
2001. Sanksi pidana tersebut berkisar antara empat sampai lima tahun hukuman
pidana penjara dan denda Rp.200.000.000 sampai dengan Rp.1.000.000.000.
Dalam Pasal 95 UU No.15 Tahun 2001 disebutkan bahwa pelanggaran terhadap
Pasal 90 sampai dengan Pasal 93 itu adalah delik aduan.Artinya, hanya dengan
adanya laporan dari pemilik merek bersangkutan, baru dapat dituntut dan
dikenakan sanksi
tersebut
atau
dia dakan
penyidikan. Tanpa adanya
pengaduan dari pihak yang merasa dirinya dirugikan, maka tidak akan ada
penyidikan.
Selain dengan cara diatas, penyelesaian sengketa merek juga dapat dilakukan
melalui cara non litigasi, yaitu melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR/
Alternative Dispute Resolution) dan arbitrase yang diatur dalam pasal 84 UndangUndang No. 15 tahun 2001.
1.8.Metode Penelitian
Dalam rangka memperoleh, kemudian mengumpulkan serta menganalisa
setiap bahan hukum maupun informasi yang bersifat ilmiah, tentunya dibutuhkan
suatu metode dengan tujuan agar suatu karya tulis ilmiah mempunyai susunan
yang sistematis, terarah dan konsisten. Adapun metode penulisan ini adalah
sebagai berikut:
1.8.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif (normative legal research) yaitu hukum dikonsepkan sebagai apa
31
yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum
dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku
manusia yang dianggap pantas.
29
Penelitian hukum normatif adalah penelitian
hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori,
sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi,
konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas dan kekuatan
mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan tetapi tidak
mengkaji aspek terapan atau implementasinya.30
1.8.2. Jenis Pendekatan.
Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus
(case
approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan perbandingan
(comparative approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).
31
Dalam penelitian ini mempergunakan pendekatan undang-undang (statute
approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach)
yaitu
membahas perbandingan antara, Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No.
15 Tahun 2001 (UU Merek Indonesia) mengenai perlindungan merek terkenal.
29
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, h 118.
30
Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, h.101-102
31
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta, h 93
32
1.8.3. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dalam penelitian hukum normatif dapat diklasifikasikan
menjadi 3 (tiga) golongan yaitu :
1. Bahan hukum primer (primary law material) yaitu bahan hukum yang
mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau
mempunyai
kekuatan
mengikat
bagi
pihak
(kontrak,konvensi,dokumen hukum dan putusan hakim).
berkepentingan
32
Dalam hal ini
bahan hukum primer yang diteliti adalah peraturan tentang merek yang
berlaku di Indonesia yaitu UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek; Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana; serta konvensi internasional
seperti TRIP’s Agreement dan Paris Convention.
2. Bahan hukum sekunder (secondary law material), yaitu memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer (buku ilmu hukum,jurnal
hukum,laporan hukum dan media cetak atau elektronik).33 Dalam
penelitian ini digunakan buku literatur yang terkait dengan permasalahan
yang dibahas,yaitu buku literature tentang HKI khususnya mengenai
merek.
3. Bahan hukum tertier (tertiary law material), yaitu bahan hukum yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.34
32
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, h. 82
Ibid
34
Ibid
33
33
1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi dokumen. Bahan
hukum yang diperoleh akan diinventarisasi dan diidentifikasikan serta kemudian
dikaji dan ditelaah.
1.8.5. Teknik Analisis
Penafsiran hukum adalah mencari dan menetapkan pengertian atas dalildalil yang tercantum dalam undang-undang sesuai dengan yang di kehendaki serta
yang dimaksud oleh pembuat undang-undang. Interpretasi atau penafsiran hukum
ini
merupakan salah satu metode dalam penemuan hukum (rechtsvinding).
Penemuan hukum berkenaan dengan hal menemukan penyelesaian-penyelesaian
dan jawaban-jawaban berdasarkan kaidah-kaidah hukum.35 Penafsiran dan
penemuan hukum ini kemudian diuraikan berdasarkan kualitas bahan hukum baik
bahan hukum primer, sekunder dan tersier dengan tehnik analisis kualitatif yaitu
menguraikan bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang baik dan
benar (teratur), logis, sistematis, dan tidak tumpang tindih serta efektif sehingga
memudahkan interpretasi bahan-bahan hukum dan pemahaman hasil analisa.
35
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty Yogyakarta,
hal. 26
34
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PARIS CONVENTION, TRIPS
AGREEMENT DAN UU NO. 15 TAHUN 2001
2.1. Tinjauan Umum Tentang Paris Convention dan TRIPs Agreement
2.1.1. Sejarah Paris Convention dan TRIPs Agreement
Pada tahun 1873 diselenggarakan konferensi pertama yang membicarakan
perlindungan bagi inventor yang dilakukan di Wina. Kemudian konferensi ini
dilanjutkan pada tahun 1878 di Paris yang dihadiri sekitar 500 peserta termasuk 11
negara, 48 wakil kamar dagang dan industri serta masyarakat industri dan tehnik
yang tinggal di Paris. Dalam konferensi tersebut dibentuk sebuah komisi yang
menyiapkan draft convention (rancangan konvensi) pada tahun itu. Rancangan
konvensi tersebut dikirimkan ke berbagai negara. Kemudian diadakan konferensi
berikutnya di Paris
pada tahun 1880 dengan dihadiri wakil dari 19 negara.
Rancangan konvensi tersebut diterima dengan beberapa perubahan dan rancangan
yang telah diubah ini dikirim kembali ke beberapa negara untuk mendapatkan
tanggapan.Rancangan ini
mengandung ketentuan
mengenai bagian industrial
property yang lain di samping paten serta pembentukan organisasi bernama
International Bureau for the Protection of Industrial Property. Kemudian satu
konferensi lagi diadakan pada tahun 1883 untuk menyetujui rancangan konvensi
menjadi konvensi. Pertukaran ratifikasi dilakukan dan pada tahun
35
1884
International Union for the Protection of Industrial Property resmi dibentuk
dengan 11 Negara sebagai anggota pertama sedangkan 29 negara menyusul.36
Setelah tahun 1883 Paris Convention mengalami beberapa revisi yaitu:37
1. Di Brussel tanggal 14 Desember 1900
2. Di Washington tanggal 2 Juni 1911
3. Di Den Haag tanggal 6 November 1925
4. Di London tanggal 2 Juni 1934
5. Di Lissabon tanggal 31 Oktober 1958
6. Di Stockholm tanggal 14 Juli 1967
7. Di Jeneva tanggal 28 September 1979
8. Di Stockholm tanggal 2 Oktober 1986
Saat ini Paris Convention beranggotakan 163 negara per 15 juli 2002.
Indonesia turut serta dengan meratifikasi konvensi ini tanggal 18 Desember 1979
dan juga menjadi anggota Paris Union.38 Pembentukan Paris Convention bertujuan
sebagai suatu uniform untuk melindungi hak-hak para penemu atas karya-karya
cipta di bidang milik perindustrian.39
36
Frederick Abbott et al, 2003, The International Intellectual Property System: Commentary
and Materials, Dalam: Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs,
Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung, h. 637
37
Abdulkadir Muhammad, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 31.
38
Achmad Zen Umar Purba, 2005,Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan 1, PT,
Alumni, Bandung, h. 30.
39
Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h.9
36
TRIPs (Trade Related Aspecs of Intellectual Property Rights) Agreement
merupakan salah satu instrumen hukum internasional. Berdasarkan statuta of
International Court of Justice (ICJ) atau Statuta Mahkamah Internasional,
perjanjian merupakan salah satu sumber pokok hukum internasional.40 TRIPs
Agreement lahir dari Putaran Uruguay (GATT) sebagai dampak dari kondisi
perdagangan dan ekonomi internasional yang semakin mengglobal dan tidak lagi
mengenal batas-batas negara. Persetujuan ini awalnya terbentuk atas antisipasi
negara Amerika (juga beberapa negara Eropa) yang menilai bahwa WIPO (World
Inntelectual Property Organization) yang bernaung di bawah PBB tidak mampu
melindungi HKI di pasar internasional yang mengakibatkan neraca perdagangan
mereka menjadi negatif. Argumentasi atau pendapat mereka mengenai kelemahan
WIPO antara lain:
1. WIPO merupakan suatu organisasi yang anggotanya terbatas,sehingga
ketentuan-ketentuannya tidak dapat diberlakukan terhadap non anggota;
2. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menghukum dan menyelesaikan
setiap pelanggaran yamg terjadi di bidang HKI;
3. WIPO dianggap tidak mampu mengadaptasi perubahan tingkat inovasi
teknologi dan perubahan struktur perdagangan internasional. 41
Berdasarkan hal-hal diatas maka sejak tahun 1982 Amerika berusaha untuk
memasukkan permasalahan HKI ini ke forum perdagangan GATT.
40
Frederick Abbott, Op.Cit, hal. 487.
Fidel S. Djaman, 1995, Beberapa Aturan dan Kebijakan Penting di Bidang Hak Milik
Intelektual, Varia Peradilan Nomor 106, Ikatan Hakim Indonesia, Jakarta, hal 136
41
37
Pada tanggal 1 Januari 1995 TRIPs Agreement mulai diberlakukan. TRIPs
Agreement merupakan perjanjian internasional yang paling komprehensif dalam
bidang HKI. Ciri-ciri pokok TRIPs Agreement ini berpola pada tiga hal, yaitu:
1. TRIPs Agreement lebih berpola pada norma-norma dan standar-standar
yang berbeda dari persetujuan-persetujuan internasional lain, terutama
perjanjian di bidang perdagangan barang (trade in goods), yang lebih
banyak berpola pada aspek-aspek yang konkrit seperti akses ke pasar dan
tarif;
2. Sebagai persyaratan minimal, TRIPs Agreement menetapkan sebagai salah
satu cirinya, yaitu full compliance terhadap beberapa perjanjian
internasional di bidang HKI;
3. TRIPs Agreement memuat ketentuan-ketentuan mengenai penegakan
hukum yang ketat berikut mekanisme penyelesaian sengketa yang diberi
sarana berupa hak bagi negara yang dirugikan untuk mengambil tindakantindakan balasan di bidang perdagangan secara silang (cross-retaliation)42
Disamping itu ada tiga unsur yang terkandung dalam TRIPs Agreement
yang perlu diperhatikan dan dicermati oleh negara-negara yang bermaksud untuk
menyesuaikan perundang-undangan nasionalnya di bidang HKI. Ketiga unsur
tersebut adalah unsur-unsur yang berupa, standar-standar yang lebih tinggi, normanorma baru dan penegakan hukum yang ketat.43
42
Eddy Damian, 2002, Hukum Hak Cipta Menurut beberapa Konvensi Internasional,
Undang-undang hak Cipta 1997 dan Perlindungannya Terhadap Buku serta Perjanjian
Penerbitannya, Alumni, Bandung, h.88
43
Ibid, hal. 89
38
Setiap negara anggota World Trade Organitation (WTO) terikat oleh TRIPs
Agreement tanpa terkecuali, walaupun diberikan waktu tambahan kepada negaranegara berkembang untuk menyesuaikan hukum domestik agar sesuai dengan
persyaratan-persyaratan dalam TRIPs Agreement. TRIPs Agreement mulai berlaku
di Australia pada tanggal 1 januari 1996 sedangkan di Indonesia TRIPs Agreement
mulai berlaku tanggal 1 Januari 2000. Hal ini berarti bahwa Australia dan Indonesia
harus mengubah hukum HKInya agar sesuai dengan TRIPs Agreement. 44
Keikutsertaan Indonesia dalam TRIPs Agreement mewajibkan Indonesia
untuk melakukan penyesuaian legislasi nasional yang mengatur mengenai HKI.
Berbagai norma-norma standar pengaturan dan perlindungan HKI yang termuat
dalam TRIPs Agreement sesegera mungkin wajib dinasionalisasikan kedalam
perundang-undangan HKI Indonesia sehingga tercipta harmonisasi pengaturan dan
perlindungan HKI di Indonesia dengan yang berlaku di negara lain.
Tujuan-tujuan dari
TRIPs Agreement diatur dalam Pasal 7 TRIPs
Agreement, yaitu: Perlindungan dan pelaksanaan hak-hak atas kekayaan intelektual
harus memberikan sumbangan bagi kemajuan inovasi teknologi serta pengalihan
dan penyebaran teknologi dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan
antara produsen dan pengguna dari pengetahuan teknologi serta dengan cara yang
kondusif bagi kesejahteraan masyarakat dan ekonomi dan keseimbangan antara
HKI dan kewajiban.
44
Suyud Margono dan Longginus Hadi, Op.Cit, Jakarta, hal.17
39
2.1.2. Pengaturan dan jenis-jenis HKI dalam Paris Convention dan TRIPs
Agreement
Paris Convention ini terbuka untuk semua negara dan bila ingin menjadi
anggota harus melalui WIPO. Pada tanggal 5 Agustus 1948 Indonesia telah
mengadopsi Paris Convention
1883 yaitu sebagian Act of London 1934
dan
kemudian sebagian Act of Stockholm 1967, yang diratifikasi adalah pasal-pasal
administratif saja. Kemudian Indonesia meratifikasi Paris Convention melalui
Keputusan Presiden No. 24 tahun 1979 pada tanggal 18 Desember 1979 namun
masih mereservasi pasal 1 sampai dengan pasal 12 dan pasal 28 ayat (1). Pada
Tahun 1997 melalui Keputusan Presiden No. 15 Tahun 1997 Indonesia mencabut
reservasi pasal 1 sampai dengan pasal 12 akan tetapi masih tetap mereservasi Pasal
28 ayat (1) tentang dispute settlement.
Paris Convention terdiri dari 30 pasal dan terdiri dari 2 (dua) kelompok
aturan penting yaitu:
1. Ketentuan dasar substansial (the basic substantive rules)
2. Ketentuan dasar prosedural (the basic rules of procedure)
Paris Convention mengatur mengenai perlindungan hak milik perindustrian
yang meliputi:
1. Paten (Inventions)
2. Merek (Trademarks),
3. Desain Industri (Industrial Designs),
4. Model dan Rancang Bangun (Utility Model)
5. Nama Dagang (Trade Names)
40
6. Indikasi Geografis (Geographical Indications)
7. Pencegahan Persaingan Curang (The Repression of Unfair
Competition).
Isi dari Paris Convention ini terdiri dari tiga bagian penting yaitu: perihal
prosedur, prinsip-prinsip yang dijadikan pedoman wajib bagi negara-negara
anggota dan ketentuan-ketentuan perihal patennya sendiri. Paris Convention
menentukan bahwa setiap negara dapat menjadi peserta atau pihak pada Paris
Convention dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai hal
itu, sehingga negara yang bersangkutan dapat memberlakukan semua atau sebagian
isi dari Paris Convention. Bahkan, negara peserta atau pihak yang menjadi Paris
Convention mempunyai hak untuk membuat secara terpisah antara diri mereka
sendiri perjanjian khusus untuk perlindungan hak kepemilikan industri, sepanjang
tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Paris
Convention ini.45
Pengaturan dan perlindungan hak milik perindustrian yang diberikan Paris
Convention didasarkan pada prinsip national treatment atau assimilation
sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan Pasal 3 Paris Convention. Prinsip ini
memberikan perlindungan hukum yang sama terhadap hak milik perindustrian
warga negara lain yang menjadi peserta atau pihak dalam Paris Convention sama
seperti melindungi warganegaranya sendiri. Menurut Pasal 3 Paris Convention
bahwa perlakuan yang demikian diberikan pula kepada warganegara dari negaranegara diluar peserta yang berdomisili atau yang memiliki pendirian industri atau
45
Rachmadi Usman, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan dan Dimensi
Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, h. 9
41
komersial yang nyata dan efektif dalam wilayah satu negara yang menjadi peserta
atau pihak dalam Paris Convention.
Dalam Paris Convention juga dikenal prinsip right of priority (hak
prioritas) sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Paris Convention yaitu bahwa
seseorang berhak mendapatkan hak paten atas hasil invensi termasuk utility models,
merek dan desain industri yang juga diajukan orang lain di negara lain dan orang
yang mengajukan terlebih dahulu mendapatkan hak prioritas untuk jangka waktu
tertentu.
Adapun hal-hal yang diatur dalam persetujuan TRIPs Agreement meliputi:
Bab I
: Ketentuan Umum dan Prinsip-prinsip Dasar
Bab II
: Standar mengenai Pemberian Hak, Lingkup dan Penggunaan HKI
1. Hak Cipta dan Hak-hak yang berkaitan dengan Hak Cipta (Copy
Rights and Related Rights)
2. Merek Dagang (Trademark)
3. Indikasi Geografis (Geographical Indication)
4. Desain Industri (Industrial Design)
5. Paten (Patent)
6. Tata Letak Sirkuit Terpadu (Layout Design (Topographies) of
Integrated Circuits)
7. Perlindungan
Terhadap
Informasi
(Protection of Undisclosed Information)
42
Yang
Dirahasiakan
8. Pengendalian terhadap Praktik-Praktik Persaingan Curang dalam
Perjanjian Lisensi (Control of Anti Competitive Practices in
Contractual Licences)
Bab III
: Penegakan Hukum di Bidang HKI
1. Kewajiban-kewajiban Umum;
2. Acara
Perdata
dan
Administratif
dan
Sarana
Untuk
Mempertahankan Hak;
3. Tindakan
sementara
sebagai
Sarana
Penegakan
Hukum
Tambahan;
4. Persyaratan Khusus yang terkait dengan Tindakan di Perbatasan
Negara atau Wilayah pabean;
5. Acara Pidana.
Bab IV
: Prosedur Untuk Memperoleh dan Mempertahankan HKI serta
Prosedur Inter-Partes terkait.
Bab V
: Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa
Bab VI
: Ketentuan Peralihan
Bab VII
: Ketentuan Kelembagaan; Ketentuan Penutup.
Pada dasarnya TRIPs Agreement ini memuat tiga pokok persoalan. Pertama,
memuat peraturan-peraturan umum dan prinsip-prinsip dasar yang menjadi
pedoman negara-negara anggota WTO. Kedua, memuat standar mengenai
pemberian, penggunaan dan ruang lingkup dari masing-masing HKI yang
disebutkan dalam TRIPs Agreement tersebut. Ketiga, memuat ketentuan-ketentuan
43
yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban negara anggota WTO untuk
melakukan penegakan hukum di bidang HKI dan upaya hukum yang dapat
ditempuh dalam rangka melindungi dan mempertahankan HKI.46
TRIPs Agreement sebagai suatu kesepakatan internasional memiliki
relevansi dengan perjanjian dan konvensi-konvensi internasional lainnya di bidang
HKI. TRIPs
Agreement
merupakan kaidah penunjuk berlakunya ketentuan-
ketentuan perjanjian di bidang HKI.Setiap negara anggota harus mematuhi
ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam ketentuan TRIPs Agreement.47
2.1.3. Penggolongan Merek Berdasarkan Paris Convention dan TRIPs
Agreement
Dalam Paris Convention ketentuan mengenai merek diatur dalam pasal 6 –
pasal 12. Merek dapat digolongkan menjadi merek dagang, merek terkenal, merek
jasa dan merek kolektif.
Merek dagang adalah merek yang digunakan untuk membedakan barangbarang tertentu yang diproduksi oleh perusahaan tertentu.
48
Dalam pasal 6 diatur
mengenai ketentuan merek dagang yaitu persyaratan pengajuan dan pendaftaran
merek dagang ditentukan oleh undang-undang setempat masing-masing negara
anggota. Hal ini bertujuan agar masing-masing negara anggota dapat menggunakan
patokan-patokan sendiri sebagaimana ditetapkan dalam undang-undangnya untuk
46
Rachmadi Usman, Op. Cit, h.42
Achmad Ramli, 2001, Perlindungan Rahasia Dagang, Jurnal Hukum Bisnis: Volume 13,
No. 5., Jakarta, h.21
48
WIPO, 2013, Membuat Sebuah Merek: Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan
Menengah, Publikasi WIPO Nomor 900, http://www.wipo.int/expor..on/making_a_mark_Indo.pdf,
Diakses 26 Desember 2013, h. 15
47
44
menetapkan masa berlaku suatu merek dagang. Akan tetapi, permohonan
pendaftaran tidak boleh ditolak (atau dibatalkan) oleh sebuah negara anggota hanya
semata-mata karena belum didaftar di negara asal.
Merek terkenal diatur dalam pasal 6 bis yaitu negara anggota Union secara
ex officio jika legislasinya mengizinkan atau atas permintaan pihak yang
berkepentingan, menolak atau membatalkan pendaftaran dan melarang penggunaan
merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau terjemahan yang dapat
menciptakan kebingungan atas satu merek yang menurut pihak berwenang dari
negara pendaftar atau pengguna sebagai merek terkenal di negara tersebut
sebagaimana yang secara sah diberikan kepada orang yang berhak berdasarkan
konvensi ini dan digunakan untuk barang identik atau mirip. Ketentuan ini juga
berlaku apabila bagian esensial dari merek terkenal atau imitasi yang dapat
menciptakan kebingungan.
Merek jasa adalah merek yang digunakan untuk membedakan jasa
tertentu yang digunakan oleh perusahaan tertentu.
49
Merek jasa diatur dalam
pasal 6 sexies yaitu negara anggota Union berusaha untuk melindungi merek jasa.
Mereka tidak diwajibkan untuk menyediakan pendaftaran merek tersebut.
Ketentuan ini menetapkan tentang perlindungan terhadap merek jasa. Sistem WTO
(World Trade Organization) sendiri mengakomodasi hak ini dengan pengaturan
General Agreement on Trade in Services (GATS) yang merupakan Annex 1B
WTO Agreement.
49
Ibid
45
Merek jasa sifatnya sangat mirip dengan merek. Keduanya merupakan
tanda yang berbeda. Merek dagang membedakan barang-barang yang dihasilkan
oleh suatu perusahaan dengan perusahaan yang lainnya sedangkan merek jasa
memenuhi fungsi yang sama dan berkaitan dengan jasa. Jasa tersebut berasal dari
berbagai macam bidang seperti bidang keuangan, perjalanan, katering
(penyediaan makanan)., perbankan atau periklanan. Merek jasa dapat didaftarkan,
diperpanjang, dibatalkan, dibagi dan dilisensikan dengan persyaratan yang sama
dengan merek dagang.50
Merek kolektif adalah merek yang digunakan untuk membedakan barang
dan jasa yang dihasilkan dan digunakan oleh anggota dari suatu asosiasi. 51 Dalam
Pasal 7 bis terdapat ketentuan mengenai merek kolektif yaitu negara-negara
anggota Union dapat menerima pendaftaran dan melindungi merek kolektif yang
dimiliki oleh asosiasi yang tidak bertentangan dengan hukum negara asal, walaupun
asosiasi tersebut tidak memiliki status badan komersial atau industrial.
Sebuah merek kolektif biasanya dimiliki oleh sebuah asosiasi atau
perusahaan yang anggotanya dapat menggunakan merek kolektif tersebut untuk
memasarkan produk-produk yang mereka miliki. Asosiasi tersebut
biasanya
menetapkan beberapa kriteria untuk menggunakan merek kolektif tersebut
(misalnya standar kualitas) dan memungkinkan perusahaan secara individu untuk
menggunakan merek tersebut jika mengikuti standar-standar yang ditetapkan.
Merek kolektif merupakan cara yang efektif untuk memasarkan secara bersama
50
51
Ibid
Ibid
46
produk-produk yang dihasilkan oleh satu kelompok perusahaan yang mungkin
merasa kesulitan untuk mendapatkan pengakuan konsumen dan atau kepercayaan
para penyalur utama atas produknya apabila menggunakan merek sendiri. Contoh:
merek kolektif Melinda digunakan oleh 5200 anggota 16 perusahaan penghasil apel
yang beroperasi di Valle di Non dan Valle di Sole (Italia) yang mendirikan
konsorsium Melinda pada tahun 1989.52
Ketentuan mengenai merek dapat dilihat dalam Article 15 – Article 21
TRIPS Agreement. Jenis-jenis merek menurut TRIPS Agreement yaitu merek
dagang (Pasal 15) dan merek terkenal (Pasal 16 ayat 2)
Merek dagang adalah setiap tanda atau kombinasi dari tanda yang mampu
membedakan barang atau jasa dari dari satu badan ke badan usaha lain. Tanda
tersebut meliputi kata, termasuk nama perorangan, surat, angka, unsur-unsur
figuratif dan kombinasi warna, juga kombinasi tanda. Negara-negara anggota juga
dapat menetapkan pendaftaran berdasarkan perbedaan melalui penggunaan dalam
hal tanda-tanda tersebut tidak cukup menimbulkan perbedaan barang-barang atau
jasa tertentu.Bahkan negara-negara anggota dapat mensyaratkan bahwa tanda-tanda
tersebut “be visually perceptible” (Pasal 15 ayat 1). Ketentuan ini menyebabkan
dimungkinkannya pendaftaran bentuk (shapes) bahkan aroma (smells) sebagai
merek dagang. 53
52
Ibid h. 15-16
Michael, Blakeney 1996, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights: A Concise
Guide To The TRIPS Agreement. Dalam: Purba, Achmad Zen Umar, Hak Kekayaan Intelektual
Pasca TRIPs, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung, h.54
53
47
Pasal 16 ayat (2) TRIPs Agreement menyatakan Pasal 6bis dari Konvensi
Paris (1967) berlaku pula terhadap jasa. Dalam menentukan bahwa suatu merek
dagang merupakan merek terkenal, perlu dipertimbangkan pengetahuan akan
merek dagang tersebut pada sektor yang terkait dalam masyarakat, termasuk
pengetahuan yang diperoleh Anggota dari kegiatan promosi dari merek dagang
yang bersangkutan.
2.2. Tinjauan Umum Tentang Merek Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001
2.2.1. Sejarah UU No. 15 Tahun 2001
Dalam sejarah perundang-undangan merek di Indonesia dapat dicatat bahwa
pada masa kolonial Belanda berlaku Reglement Industriele Eigendom (RIE) yang
dimuat dalam Stb. 1912 No.545 Jo. Stb. 1913 No. 214. Setelah Indonesia merdeka
peraturan ini juga dinyatakan terus berlaku berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan
UUD 1945. Ketentuan ini masih terus berlaku, hingga akhirnya sampai pada tahun
1961 ketentuan tersebut diganti dengan UU No. 21 Tahun 1961 tentang merek
perusahaan dan merek perniagaan yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961
dan dimuat dalam lembaran negara RI No. 290 dan penjelasannya dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara RI No. 2341 yang mulai berlaku pada bulan
November 1961.54 Lahirnya UU No. 21 Tahun 1961 bertujuan untuk melindungi
khalayak ramai dari tiruan barang-barang yang memakai suatu merek yang sudah
dikenalnya sebagai merek barang-barang yang bermutu baik. Disamping itu UU
54
H. OK. Saidin, 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Rights,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 331
48
No. 21 tahun 1961 juga bermaksud melindungi pemakai pertama dari suatu merek
di Indonesia.
UU No. 21 Tahun 1961 ini berlaku kurang lebih selama 31 tahun.
Kemudian dengan berbagai pertimbangan UU ini harus dicabut dan digantikan
dengan UU No. 19 Tahun 1992 tentang merek yang diundangkan dalam Lembaran
Negara RI Tahun 1992 No. 81 dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan
Lembaran Negara No. 3490, pada tanggal 28 Agustus 1992. UU ini berlaku sejak 1
April 1993. Dengan berlakunya UU No. 19 Tahun 1992 maka UU No. 21 Tahun
1961 dinyatakan tidak berlaku lagi. UU No. 19 Tahun 1992 Pada prinsipnya telah
melakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
merek, guna disesuaikan dengan Paris Convention.
UU
No.
19
tahun
1992
kemudian
mengalami
perubahan
dan
penyempurnaan yang dituangkan dalam UU No. 14 Tahun 1997 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 19 tahun 1992 tentang Merek. Perubahan pada dasarnya
bertujuan untuk menyesuaikan dengan Paris Convention dan penyempurnaan
terhadap kekurangan atas beberapa ketentuan yang tidak sesuai dengan kebutuhan
dan praktik-praktik internasional, termasuk penyesuaian dengan persetujuan TRIPs
Agreement.
Pengaturan mengenai ketentuan merek ini kemudian mengalami perubahan
yang menyeluruh, yaitu dengan disahkannya UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
yang diundangkan dalam Lembaran Negara Tahun 2001 No. 110, tambahan
Lembaran Negara No. 4131 yang mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2001.
49
Perubahan menyeluruh ini selain dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan
transportasi dan teknologi informasi yang telah menjadikan kegiatan di sektor
perdagangan semakin meningkat secara pesat serta menempatkan dunia sebagai
pasar tunggal bersama serta iklim persaingan usaha yang sehat, juga dimaksudkan
untuk menampung beberapa aspek atau ketentuan dalam TRIPS Agreement yang
belum diatur dalam UU No. 14 Tahun 1997.
Terdapat 3 (tiga) dasar pertimbangan yang merupakan latar belakang dan
tujuan yang mengiringi pembentukan UU No. 15 tahun 2001, yakni:55
1. Bahwa di dalam era perdagangan global, sejalan dengan konvensikonvensi Internasional yang telah diratifikasi Indonesia, peranan merek
menjadi sangat penting, terutama dalam menjaga persaingan usaha yang
sehat;
2. Bahwa untuk hal tersebut di atas, diperlukan pengaturan yang memadai
tentang merek guna memberikan peningkatan layanan bagi masyarakat;
3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud di atas serta
memperhatikan pengalaman dalam melaksanakan Undang-undang Merek
yang ada dipandang perlu untuk mengganti UU No. 19 tahun 1992
tentang Merek sebagaimana telah diubah dengan UU No. 14 tahun 1997
tentang Perubahan atas UU No. 19 tahun 1992 tentang Merek.
Dengan dibentuknya UU No. 15 tahun 2001 maka terciptalah pengaturan
merek dalam satu naskah (single text) sehingga masyarakat lebih mudah
55
Rachmadi Usman, Op.Cit, h. 314-315
50
menggunakannya.56 Dalam hal ini ketentuan-ketentuan di dalam Undang-undang
merek sebelumnya, yang substantifnya tidak diubah, dituangkan kembali didalam
Undang-undang ini.
2.2.2.Penggolongan Merek Berdasarkan UU No. 15 Tahun 2001
UU No. 15 Tahun 2001 mengatur mengenai jenis-jenis merek yang
tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3) yaitu merek dagang dan merek jasa.
Merek dagang adalah Merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang
yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum untuk membedakan dengan barang-barang sejenis lainnya
(Pasal 1 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001). Contoh merek dagang adalah Jazz
untuk mobil yang diproduksi oleh perusahaan mobil Honda, Lux untuk sabun
mandi yang diproduksi oleh PT. Unilever Indonesia dan lain-lain. Sedangkan
merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh
seseorang atau beberapa orang secara bersama- sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan jasa-jasa sejenis lainnya (Pasal 1 ayat 3 UU No. 15 Tahun
2001). Contoh merek jasa adalah Johny Andrean untuk jasa kecantikan, Garuda
untuk jasa angkutan udara dan lain-lain.
Khusus untuk merek kolektif sebenarnya tidak dapat dikatakan sebagai
jenis merek yang baru karena merek kolektif ini sebenarnya juga terdiri dari
merek dagang dan jasa. Hanya saja merek kolektif ini pemakaiannya digunakan
56
Hery Firmansyah, 2011, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Panduan Memahami
Dasar Hukum Penggunaan dan Perlindungan Merek, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, h. 36
51
secara kolektif.57 Dalam Pasal 1 ayat 4 dirumuskan mengenai pengertian merek
kolektif yaitu merek yang digunakan pada barang dan/ atau jasa dengan
karakteristik yang sama yang diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan
hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/ atau jasa
sejenis lainnya.
Disamping itu terdapat istilah merek terkenal. Suatu merek ditentukan
sebagai merek terkenal, tidak hanya terkenal di manca negara yang dimiliki oleh
pihak asing tetapi juga merek- merek lokal yang dimiliki oleh para pengusaha
lokal yang dianggap terkenal untuk kalangan tertentu, atau masyarakat pada
umumnya. Di Indonesia banyak dijumpai merek terkenal yang dimiliki oleh
pengusaha lokal yaitu: Aqua, Lea, Tomkins, J.Co Donuts and Coffee, Maspion,
Polygon, Polytron, Essenza, Exelco, Edward Forrer, Nexian, dll. Disamping itu
juga ada merek-merek terkenal yang berasal dari luar negeri seperti:
Blackberry,Apple, Aerosoles, Honda, Marie Claire, Surfer Girl, Sony, Samsung,
Nike, Adidas, Bvlgari, Calvin Klein dan sebagainya.
Dalam UU No. 15 Tahun 2001 tidak ditemukan mengenai definisi merek
terkenal. Namun definisi mengenai merek terkenal dapat ditemukan pada Pasal 1
Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 02HC.01 Tahun 1987 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang
Mempunyai Persamaan Dengan Merek Terkenal Milik Orang lain.
57
H. OK. Saidin, Op.Cit, h. 346
52
Dalam Kepmen tersebut terdapat beberapa
alasan yang menjadi
pertimbangan dikeluarkannya keputusan tersebut, yaitu:
1. Karena pemakaian merek terkenal milik orang lain akan menyesatkan
masyarakat tentang asal-usul serta kualitas barang; dan
2. Untuk melindungi masyarakat dari kekeliruan memilih barang yang
bermutu baik, maka permohonan pendaftaran merek yang mempunyai
persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek
terkenal milik orang lain akan ditolak dalam Daftar Umum Merek.
Pengertian merek terkenal menurut Pasal 1 Kepmen 1987 yaitu merek
terkenal adalah merek dagang yang telah lama dikenal dan dipakai di wilayah
Indonesia oleh seseorang atau badan
untuk jenis barang tertentu.Dari pasal
tersebut dapat diuraikan bahwa unsur yang dapat mengakibatkan suatu merek
dengan jenis barang tertentu menjadi merek terkenal yaitu telah lama dikenal dan
dipakai di Indonesia.
Suatu merek tidak dapat dianggap merek terkenal jika hanya diiklankan
atau dipromosikan melalui media cetak atau media elektronik tetapi tidak dipakai
di Indonesia. Apabila merek tersebut hanya dipromosikan dalam waktu relatif
singkat tidak dapat menyatakan sebagai pemilik merek terkenal karena unsur telah
lama dikenal belum dipenuhi.
Karena dianggap masih terdapat kekurangan maka diterbitkanlah
Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman RI No. M.03-HC.02.01 Tahun
53
1991 Tanggal 2 Mei 1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek
Terkenal atau Merek yang Mirip Merek Terkenal Milik Orang Lain. Kepmen ini
memberikan perlindungan merek terkenal dengan cakupan yang luas, yang
meliputi barang sejenis maupun barang tidak sejenis.
Menurut Kepmen 1991, definisi dari merek terkenal adalah merek dagang
yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau badan serta digunakan di Indonesia maupun di Luar negeri.
Berdasarkan Kepmen 1991 jangkauan merek terkenal lebih luas yaitu
tidak hanya terkenal di Indonesia tetapi juga merek terkenal di luar negeri. Hal ini
mengindikasikan bahwa merek terkenal tersebut umumnya adalah merek-merek
asing (perusahaan asing) yang memasarkan produknya di seluruh dunia termasuk
Indonesia.
Merek terkenal adalah merek yang sudah dikenal dalam jangka waktu
yang cukup lama dan dianggap terkenal oleh pemegang otoritas yang
berkompeten dari sebuah negara yang dimintakan perlindungan untuk merek
tersebut. Merek terkenal sangat diuntungkan dengan adanya perlindungan HKI
yang baik. Misalnya merek terkenal dapat dilindungi walaupun merek tersebut
tidak didaftarkan (atau belum pernah digunakan) pada kawasan tertentu.
Selain itu jika merek secara umum dilindungi dari penggunaan untuk
produk yang identik atau mirip dan serupa yang menyebabkan kerancuan, maka
merek terkenal dilindungi dari penggunaan merek yang serupa untuk produk yang
54
tidak mirip sama sekali, pada kondisi tertentu. Tujuan dari pemberian
perlindungan yang lebih ketat adalah untu mencegah perusahaan-perusahaan lain
dengan seenaknya membonceng reputasi yang dimiliki oleh merek terkenal
dan/atau mengakibatkan rusaknya reputasi atau nama baik merek terkenal
tersebut. Contoh: misalnya Nike merupakan merek terkenal dari sebuah sepatu.
Maka perusahaan Nike akan mendapatkan keuntungan dari perlindungan otomatis
di negara-negara yang memberikan perlindungan yang ketat terhadap merek
terkenal untuk produk sepatu semacam itu. Perlindungan juga diperoleh oleh
barang-barang dan jasa yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan produk
sepatu. Intinya jika perusahaan lain memutuskan untuk memasarkan produk lain,
mulai dari T-shirts, tas, sampai kacamata dengan menggunakan merek Nike maka
harus meminta izin terlebih dahulu dari perusahaan Nike atau beresiko dapat
dituntut atas pelanggaran terhadap merek yang dimiliki oleh pihak lain.
Merek terkenal adalah merek yang menjadi simbol kebanggaan yang dapat
diandalkan oleh konsumen walaupun konsumen tidak mengetahui atau tidak
menyadari siapa pemilik merek tersebut.58 Selain pengertian merek terkenal yang
telah disebutkan di atas, perlu juga diketahui pengertian dari merek dagang
terkenal yang bersifat internasional. Merek dagang terkenal yang bersifat
internasional adalah merek yang sudah dikenal luas oleh masyarakat didasarkan
58
James. E. Inman, 1993, Gray Marketing of Imported Trademark Goods: Tarrif and
Trademark Issues, American Business Law Journal, Vol. 31, No. 1, h. 83
55
pada reputasi yang diperolehnya karena promosi yang terus menerus oleh
pemiliknya yang diikuti dengan bukti pendaftaran merek di berbagai negara.59
Disamping itu suatu merek dinyatakan terkenal apabila telah didaftarkan
di dalam dan di luar negeri, digunakan di negara yang bersangkutan serta dikenal
luas oleh anggota masyarakat. Persyaratan diatas telah meliputi suatu proses sebab
dan akibat, sehingga merek itu menjadi dan dinyatakan sebagai merek terkenal.60
Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa merek terkenal adalah merek
dagang yang secara umum telah dikenal dan dipakai pada barang yang
diperdagangkan oleh seseorang atau badan, baik di wilayah Indonesia maupun di
luar negeri. Dengan pengertian bahwa bila masyarakat menyukai suatu merek
bukan berarti yang disukai itu hanya mereknya saja namun barang yang
menggunakan merek tersebut diyakini barang yang bermutu tinggi yang sesuai
dengan selera masyarakat.61
Dapat disimpulkan bahwa
merek terkenal adalah merek yang
mencerminkan kualitas dan memiliki reputasi yang tinggi serta secara umum telah
dikenal oleh masyarakat baik di Indonesia maupun di luar negeri dalam jangka
waktu yang cukup lama melalui promosi secara terus menerus baik melalui media
cetak maupun media elektronik serta didaftarkan di berbagai negara.
59
Iman Sjahputra, Heri Herjandono dan Parjio, 1997, Hukum Merek Baru Indonesia,
Harvarindo,Jakarta, h. 20
60
Leden Marpaung, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar
Grafika, Jakarta, h. 182-183
61
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit, h. 230
56
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEMILIK MEREK TERKENAL
DALAM HAL TERJADI PELANGGARAN BERDASARKAN PARIS
CONVENTION, TRIPS AGREEMENT DAN UU NO. 15 TAHUN 2001
3.1.Kriteria Merek Terkenal Menurut Paris Convention, TRIPs Agreement dan
UU No. 15 Tahun 2001
Merek terkenal adalah merek yang memiliki reputasi tinggi. Merek
terkenal merupakan identitas barang bermutu atau merek terkenal adalah lambang
mutu. Dalam praktek dapat disaksikan dalam perkara-perkara di pengadilan
bahwa untuk membuktikan dalil pemohon mempunyai merek terkenal, maka salah
satu alat pembuktian yang hingga kini ampuh adalah untuk menyerahkan kepada
pengadilan bukti-bukti pendaftaran ini secara “worldwide”.62
Annete Kur telah membagi merek terkenal atas dua konsep yaitu: “Mashur”
(renown) dan “reputasi” (reputation) . Konsep mashur dianggapnya sebagai konsep
hukum merek secara tradisional. Dalam konsep ini kriteria yang esensi adalah
“kuantitas”. Suatu merek mempunyai tingkat kemashuran dinyatakan dalam
prosentase sejauh mana masyarakat atau kelompok tertentu akrab dengan merek
tertentu. Kekurangan konsep ini adalah apabila konsep ini terlalu kaku diterapkan,
misalnya apabila ditentukan tingkat minimum untuk suatu tingkat kemashuran itu,
ternyata tidak dipenuhi. Selain itu konsep “kemashuran” ini dapat menimbulkan
62
M. Yahya Harahap, 1996, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di Indonesia,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 82
57
salah pengertian pada masyarakat umum apabila digunakan oleh pihak yang tidak
berwenang. Konsep lain adalah “mempunyai/mendapat reputasi” (having
reputation) yang dianggap modern dan pendekatannya lebih luwes. Reputasi suatu
merek berarti “independent attractiveness” yang juga dapat digambarkan sebagai
suatu “advertising value”. Jadi kriteria utama prinsip ini adalah “kualitas”. Berarti
kriteria itu mengacu pada suatu kualitas tertentu suatu merek daripada suatu
kuantitas. Dalam interpretasi ini, dihubungkan dengan perlindungan merek yang
lebih luas maka pendekatan kualitas merupakan pendekatan yang lebih realistis. 63
Dalam Paris Convention tidak diatur mengenai kriteria baku mengenai
merek terkenal. Hal ini diserahkan kepada masing-masing negara anggota Paris
Convention.
Kriteria Merek terkenal diatur dalam Article 16 ayat (2) TRIPs Agreement
yang berbunyi: Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku
secara mutatis
mutandis terhadap jasa. Untuk menentukan bahwa suatu merek dagang merupakan
merek terkenal, Negara peserta harus memperhatikan pengetahuan tentang merek
dagang tersebut pada sektor yang terkait dalam masyarakat, termasuk mengenai
pengetahuan dari Negara peserta yang diperoleh dari hasil kegiatan promosi merek
dagang tersebut.
Jadi Kriteria merek terkenal menurut TRIPs Agreement adalah:
1.Dengan memperhatikan pengetahuan masyarakat tentang merek terkenal
tersebut.
63
Insan Budi Maulana,2000, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Insan Budi Maulana I), h. 40
58
2. Dengan memperhatikan pengetahuan suatu negara terhadap suatu merek
terkenal yang diperoleh dari kegiatan promosi merek tersebut.
Penjelasan Pasal 6 ayat 1 huruf b UU No.15 Tahun 2001 mengatur
mengenai kriteria untuk menentukan bahwa suatu merek barang atau jasa sudah
masuk dalam kategori merek terkenal (well known mark) adalah dilihat dari:
1. Dengan memperhatikan pengetahuan umum masyarakat tentang merek
tersebut.
2. Dengan memperhatikan reputasi merek terkenal yang diperoleh karena
promosi yang gencar dan besar-besaran.
3. Investasi di beberapa negara didunia yang dilakukan oleh pemiliknya dan
disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara.
Apabila hal-hal di atas dianggap belum cukup, maka hakim dapat
memerintahkan lembaga yang bersifat mandiri (independent) untuk melakukan
survei guna memperoleh kesimpulan mengenai terkenal atau tidaknya merek yang
bersangkutan.
Yurisprudensi Mahkamah agung RI No. 1486 K/Pdt/1991 tanggal 28
November 1995, secara tegas telah memberikan kriteria sebagai berikut: “suatu
merek termasuk dalam pengertian Well-Known Marks pada prinsipnya diartikan
bahwa merek tersebut telah beredar keluar dari batas-batas regional, malahan
sampai kepada batas-batas transnasional, karenanya apabila terbukti suatu merek
59
telah didaftar dibanyak negara didunia, maka dikwalifisir sebagai merek terkenal
karena telah beredar sampai ke batas-batas diluar negara asalnya.
Disamping kriteria yang telah disebutkan di atas para ahli juga
memberikan kriteria-kriteria mengenai merek terkenal. Menurut Wiston ada
sembilan kriteria yang dapat dijadikan ukuran untuk menentukan keterkenalan
merek yakni:
1. The degree of recognation of the mark;
2. The extent to which the mark is used ad the duration of the used;
3. The extent and duration of advertising and publicity accorded to the mark;
4. Factors which may determine the mark's geographical reach locally,
regionally and worlwide;
5. The degree of inherent or acquired distintiveness of the mark;
6. The degree of exclusivity of the mark and the nature and extent of use
of the same or similar mark by third ponies;
7. The nature of the goods or services and the chanels of trade for the goods or
services which bear the mark;
8. The degree to which the reputation of the mark symbolises quality
goods;
9. The extent of the commercial value attributed to the mark.64
Menurut Insan Budi Maulana terdapat beberapa hal utama dalam
64
Wiston, Keny, 1999, Famous and Well-Know Trade Mark Versus Domain Names, Jurnal
Hukum Bisnis: Vol. 9, No.3, h. 68
60
menentukan suatu merek terkenal yaitu:65
1. Pengetahuan masyarakat yang relevan terhadap merek tersebut.
2. Pengetahuan masyarakat mengenai promosi merek tersebut.
3. Perlindungan terhadap merek terkenal diberikan pula terhadap barang atau
jasa yang tidak tidak sejenis apabila dapat menimbulkan kesan memiliki
hubungan dan pemilik merek terdaftar itu dirugikan atas penggunaannya.
Keterkenalan suatu merek dapat diukur dari beberapa parameter. Pertama,
derajat pengakuan merek oleh konsumen. Derajat ini
diperoleh dengan
melakukan survey terhadap konsumen merek yang bersangkutan. Jika suatu
merek banyak dipergunakan oleh pihak lain melalui perjanjian lisensi diberbagai
negara akan membuat suatu merek menjadi terkenal.66 Kedua, luasnya masyarakat
yang menggunakan suatu merek dan berapa lama masyarakat menggunakan suatu
merek. Ketiga, lama waktu publisitas atau pengiklanan suatu merek. Dalam hal ini
iklan dipandang sebagai elemen yang memungkinkan suatu merek dikenal luas
oleh masyarakat.67
65
Insan Budi Maulana, 2005, Bunga Rampai: Pandangan 21 Wanita terhadap Hak dan
Kekayaan Intelektual, Yayasan Klinik Hak dan Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas
Krina Dwi, Jakarta (Selanjutnya disebut Insan Budi Maulana II), h. 208
66
67
Ibid
Subroto, 2001, Mengukur Kinerja Merek, Swasembada:,Vol 17. No. 04.,h. 34.
61
3.2. Jenis-jenis Pelanggaran Merek Terkenal Menurut Paris Convention,
TRIPs Agreement dan UU No. 15 tahun 2001
Keinginan untuk memperoleh keuntungan yang besar dalam waktu singkat
merupakan penyebab seseorang untuk melakukan pelanggaran terhadap merek
terkenal. Perdagangan barang yang menggunakan merek terkenal cepat laku di
pasaran. Akibatnya timbul kecenderungan bagi pedagang atau pengusaha tertentu
untuk ikut memperoleh keuntungan dengan membonceng suatu merek terkenal
tetapi dengan cara melanggar hukum. Pelanggaran di bidang merek adalah
pemakaian merek terkenal tanpa izin atau peniruan terhadap merek terkenal
dengan tujuan untuk mempermudah pemasaran. Hal ini dilakukan untuk
kepentingan sesaat namun sangat merugikan konsumen.
Pelanggaran atas merek
menimbulkan kerugian bagi pemilik merek
terkenal. Produk bajakan yang dijual tersebut akan berpengaruh bagi pemilik
merek yang dapat mengurangi omzet penjualan barang tersebut. Masyarakat yang
membeli produk tersebut akan mengira bahwa barang atau jasa yang dibeli berasal
dari pemilik merek terkenal. Terlebih lagi apabila pihak yang melakukan
pelanggaran merek menjual produknya dengan harga yang lebih murah dengan
kualitas yang kurang baik, tentu akan sangat merugikan pemilik merek yang
bersangkutan.
Dalam Pasal 10 bis Paris Convention menyebutkan bahwa negara-negara
peserta Uni Paris terikat untuk untuk memberikan perlindungan yang efektif agar
tidak terjadi persaingan yang tidak jujur. Selanjutnya ditentukan bahwa tiap
perbuatan yang bertentangan dengan honest practices industrial and commercial
62
matters dianggap sebagai perbuatan persaingan tidak jujur. Juga disebutkan
bahwa dilarang semua perbuatan yang dapat menciptakan kekeliruan dengan cara
apapun berkenaan dengan asal-usul barang atau berkenaan dengan usaha-usaha
industrial dan komersial dari seorang pengusaha yang bersaing. Juga ditentang
semua tindakan-tindakan dan indikasi-indikasi yang dapat mengacaukan publik
berkenaan dengan sifat dan asal-usul dari suatu barang.
Jenis pelanggaran merek diatur dalam pasal 16 ayat (1) dan ayat (3) serta
pasal 51 TRIPs Agreement. Pemilik dari merek dagang yang terdaftar mempunyai
hak eksklusif untuk mencegah pihak ketiga yang tidak memperoleh ijinnya untuk
menggunakan merek dagang tersebut untuk usaha yang sejenis atau menggunakan
lambang yang mirip untuk barang atau jasa yang sejenis atau mirip dengan barang
atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan, dimana penggunaan
tersebut dapat menyebabkan ketidakpastian. Dalam hal penggunaan suatu
lambang yang sama untuk barang atau jasa yang sejenis, kemungkinan timbulnya
ketidakpastian tersebut dianggap telah terjadi. Hak yang diuraikan diatas tidak
mengurangi keabsahan hak yang sudah ada, dan tidak mengurangi kemungkinan
bagi Anggota untuk menetapkan bahwa pemberian hak tersebut tergantung dari
penggunaannya (Pasal 16 ayat 1)
Pasal 6bis dari Konvensi Paris berlaku pula terhadap barang atau jasa yang
tidak mirip dengan barang atau jasa untuk mana suatu merek dagang didaftarkan,
sepanjang penggunaan dari merek dagang yang bersangkutan untuk barang atau
jasa dimaksud secara tidak wajar akan memberikan indikasi adanya hubungan
63
antara barang atau jasa tersebut dengan pemilik dari merek dagang terdaftar yang
bersangkutan. (Pasal 16 ayat 3)
Anggota wajib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diuraikan
dibawah,untuk menyelenggarakan prosedur yang memungkinkan pemegang hak,
yang memiliki dasar sah bahwa akan terjadi pengimporan barang yang bermerek
dagang palsu atau barang hasil pembajakan, untuk mengajukan permohonan
tertulis kepada pihak yang berwenang, administrasi maupun badan peradilan,
untuk menunda dilepaskannya oleh pabean barang-barang tersebut ke dalam arus
perdagangan. Anggota dapat memungkinkan pengajuan permohonan seperti itu
terhadap barang-barang yang melibatkan pelanggaran lain terhadap HAKI,
sepanjang persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Bagian ini terpenuhi.
Anggota dapat juga menetapkan prosedur yang sama untuk barang-barang yang
akan diekspor (Pasal 51).
Yang dimaksud dengan barang bermerek dagang palsu adalah barang,
termasuk pengemasannya, yang memuat tanpa ijin merek dagang yang sama
dengan merek dagang yang secara sah terdaftar untuk barang yang bersangkutan,
atau memuat merek dagang yang yang bagian-bagian pentingnya tidak berbeda
dengan merek dagang yang sah tersebut, dan karenanya melanggar hak dari
pemilik merek dagang yang bersangkutan sesuai hukum dari negara importir.
Pelanggaran merek terkenal
di Indonesia dapat dibedakan menjadi
pelanggaran merek terkenal dalam hukum pidana dan pelanggaran merek terkenal
dalam hukum perdata. Yang termasuk dalam pelanggaran merek terkenal dalam
hukum pidana adalah pelanggaran dengan melakukan pemalsuan merek terkenal.
64
Pemalsuan merek terkenal disini dilakukan dengan memalsukan merek terkenal
yang sudah ada, yang dapat menimbulkan kesan pada masyarakat seakan-akan
barang yang dipalsukan tersebut sama dengan barang aslinya yang menggunakan
merek terkenal. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
pemalsuan merek yang dimaksud di atas diatur dalam Bab XI tentang pemalsuan
meterai dan merek pada pasal 257 yang menyatakan bahwa:
Barang siapa dengan sengaja memakai, menjual, menawarkan,
menyerahkan, mempunyai persediaan untuk dijual atau memasukkan ke
Indonesia meterai, tanda atau merek yang tidak tulen, dipalsu atau dibikin
secara melawan hukum, ataupun benda-benda dimana merek itu
dibubuhkannya secara melawan hukum, seolah-olah meterai, tanda atau
merek itu tulen, tidak dipalsu dan dibikin secara melawan hukum; ataupun
tidak dibubuhkan secara melawan hukum pada benda-benda itu, diancam
dengan pidana penjara sama dengan yang ditentukan pada pasal 253-256,
menurut perbedaan yang ditentukan dalam pasal-pasal hukum.
Sedangkan yang termasuk dalam pelanggaran merek terkenal dalam hukum
perdata yaitu pelanggaran merek yang tercantum dalam UU No. 15 Tahun 2001
yang dikategorikan sebagai Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatigedaad) dan
pelanggaran yang menyangkut perjanjian lisensi yang dikategorikan sebagai
peristiwa wanprestasi.
Perbuatan melawan hukum diatur dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPerdata) yang berbunyi sebagai berikut: “Tiap perbuatan
yang melawan hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti
kerugian tersebut.”
Ketentuan pasal 1365 KUHPerdata ini memiliki unsur-unsur sebagai
berikut:
65
1. Ada perbuatan melawan hukum
2. Ada kesalahan
3. Ada kerugian
4. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan perbuatan.68
Wanprestasi pada merek artinya tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
yang ditetapkan dalam perjanjian lisensi merek baik untuk sebagian atau
keseluruhan isi perjanjian lisensi tersebut. Ada 4 (empat) keadaan wanprestasi
yaitu:
1. Tidak memenuhi prestasi
2. Terlambat memenuhi prestasi
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.69
Berdasarkan ketentuan UU No.15 Tahun 2001 terdapat beberapa jenis
pelanggaran merek, yaitu sebagai berikut:
a. Menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek yang
terdaftar milik pihak lain untuk barang yang sama dan/atau jasa yang sejenis
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 90 UU No.15 Tahun 2001);
b. Menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan
merek yang sudah terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis
yang diproduksi dan/atau diperdagangkan (Pasal 91 UU Merek);
68
Djaja S. Meliala, 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan Hukum
Perikatan, CV. Nuansa Aulia, Bandung, h. 111
69
Ibid, hal.100
66
c. Memperdagangkan barang dan/atau jasa yang diketahui atau patut diketahui
bahwa barang dan/atau jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran. (Pasal 94 ayat
1 UU Merek).
M. Yahya Harahap menyatakan bahwa: “persamaan pada keseluruhan
adalah persamaan seluruh elemen. Persamaan yang demikian sesuai dengan
doktrin entires similar atau sama keseluruhan elemen”.70 Merek yang dimintakan
pendaftarannya merupakan copy atau reproduksi merek orang lain. Suatu merek
dapat disebut copy
atau reproduksi jika mengandung persamaan secara
keseluruhan paling tidak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Terdapat persamaan elemen secara keseluruhan.
2. Persamaan jenis atau produksi kelas barang dan jasa.
3. Persamaan wilayah dan segmen pasar.
4. Persamaan pelaku pemakaian.
5. Persamaan cara pemeliharaan.71
Secara sederhana kriteria persamaan secara keseluruhan ada, jika tanda
yang memiliki persamaan secara keseluruhan tersebut diterapkan untuk produk
sejenis yang telah dilindungi lebih dahulu. Perbuatan ini dapat dikatakan
pemalsuan.72
70
M. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 105
71
Ibid
72
Rahmi Jened, 2007, Hak Kekayaan Intelektual, Penyalahgunaan Hak Eksklusif, Airlangga
University Press, Surabaya, h. 181.
67
Sedangkan yang dimaksud persamaan pada pokoknya dapat dilihat pada
penjelasan pasal 6 UU No. 15 Tahun 2001,yaitu kemiripan yang disebabkan oleh
adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek yang satu dengan merek yang
lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk,
cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun
persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek tersebut.
Persamaan pada pokoknya dianggap terwujud apabila merek hampir mirip
dengan merek orang lain yang didasarkan pada:73
1. Kemiripan penampilan, misalnya dari sisi gambar, peneraan hurufnya
dan lain-lain, misalnya Jarum v. Jago (produk rokok)
2. Kemiripan bunyi, misalnya Salonplas v. Sanoplas
3. Kemiripan arti, misalnya, Cap Mangkok Merah v. Juanlo (bahasa
Korea artinya mangkok)
Disamping itu suatu merek dianggap mempunyai persamaan pada
pokoknya dengan merek pihak lain ditentukan berdasarkan patokan yang lebih
lentur dibanding dengan doktrin entire similar. Persamaan ini pada pokoknya
dianggap berwujud apabila merek tersebut memiliki kemiripan atau serupa
(identical), hampir mirip (nearly resembles) dengan merek orang lain. Kemiripan
tersebut dapat didasarkan pada:74
1) kemiripan persamaan gambar;
73
74
Ibid
M. Yahya Harahap, Op. Cit, h. 417
68
2) hampir mirip atau hampir sama susunan kata, warna, atau bunyi;
3) faktor yang paling penting dalam doktrin ini, pemakaian merek menimbulkan
kebingungan (actual confusion) atau menyesatkan (device) masyarakat/
konsumen. Seolah-olah merek tersebut dianggap sama sumber produksi dari
sumber asal geografis dengan barang milik orang lain (likelyhood confusion).
Pada
merek
yang
mempunyai
persamaan
pada
keseluruhannya,
perbuatannya dapat dilakukan dengan peniruan atau pemalsuan merek tersebut.
Sedangkan pada merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya ada bagian
esensial dari merek tersebut yang sama dengan merek terdaftar milik orang lain. 75
Dalam hal ini pemakaian merek menimbulkan kesan membingungkan atau
semacam kesan bahwa terdapat asosiasi antara merek tersebut dengan produsen
yang terkait , sehingga berpotensi menyesatkan masyarakat. Persamaan pada
keseluruhan atau pada pokoknya itu bertujuan untuk menarik perhatian konsumen
agar membeli barang yang menggunakan merek tersebut seolah-olah
merek
terkenal yang sebenarnya.
Salah satu kasus pelanggaran merek terkenal yaitu AEROSOLES
INTERNATIONAL, INC (Penggugat) melawan PT. MATAHARI PUTRA
PRIMA (Tergugat). Merek "AEROSOLES" milik Tergugat jelas mempunyai
persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya untuk barang yang sejenis
dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat, baik mengenai bentuk, cara
penempatan, cara penulisan, kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan
75
Abdulkadir Muhammad, 2003, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Kedua Revisi, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung (selanjutnya disingkat Abdulkadir Muhammad III), h. 237
69
bunyi ucapannya. apabila kedua merek tersebut digunakan secara bersamaan
dalam perdagangan, sudah pasti akan menimbulkan kondisi persaingan curang,
mengecoh, atau menyesatkan masyarakat luas sebagai konsumen yang akan
menganggap bahwa barang-barang yang berasal dari Tergugat dan menggunakan
merek "AEROSOLES" adalah barang-barang yang berasal dari Penggugat dan hal
ini tentu akan sangat merugikan Penggugat. Hal tersebut di atas jelas telah
membuktikan adanya itikad tidak baik dari pihak Tergugat untuk mengambil-alih
merek "AEROSOLES" milik Penggugat dan atau membonceng, meniru, serta
menjiplak ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat yang telah terkenal
di dunia internasional.
3.3. Mekanisme Perlindungan Hukum Bagi Pemilik Merek Terkenal Dalam
Relevansinya Dengan Hak Prioritas Menurut Paris Convention, TRIPs
Agreement dan UU No. 15 tahun 2001
Merek telah lama digunakan sebagai alat untuk membedakan barang dan
jasa yang diproduksi oleh suatu perusahaan dari barang dan/atau jasa produksi
perusahaan lain yang sejenis. Merek memiliki peranan yang sangat penting bagi
pemilik suatu produk dalam kedudukannya untuk memperkenalkan produksi suatu
perusahaan . Hal ini disebabkan oleh fungsi merek itu sendiri untuk membedakan
dalam memperkenalkan suatu barang dan/atau jasa dengan barang dan/atau jasa
lainnya yang mempunyai kriteria dalam kelas barang dan/atau jasa sejenis yang
diproduksi oleh perusahaan yang berbeda.
70
Menurut P.D.D. Dermawan, fungsi merek ada tiga yaitu:
1. Fungsi indikator sumber, artinya merek berfungsi untuk menunjukkan
bahwa suatu produk bersumber secara sah pada suatu unit usaha dan
karenanya juga berfungsi untuk memberikan indikasi bahwa produk itu
dibuat secara professional;
2. Fungsi indikator kualitas, artinya merek berfungsi sebagai jaminan
kualitas khususnya dalam kaitan dengan produk-produk bergengsi;
3. Fungsi sugestif, artinya merek memberikan kesan akan menjadi kolektor
produk tersebut.76
Tiga fungsi merek tersebut menyebabkan perlindungan hukum terhadap
merek menjadi begitu sangat penting. Sesuai dengan fungsi merek sebagai tanda
pembeda, maka seyogyanya antara merek yang dimiliki oleh seseorang tidak
boleh sama dengan merek yang dimiliki oleh orang lain.
Dalam HKI terdapat kepentingan dari pihak pemilik HKI tersebut yaitu
kepentingan untuk dilindungi haknya dari pihak-pihak yang tidak berhak serta
kepentingan untuk memperoleh suatu perlindungan hukum terkait dengan status
kepemilikan dari HKI tersebut. Dalam hal ini perlindungan hukum merupakan
suatu upaya yang diberikan pemerintah melalui Undang-undang untuk menangani
terjadinya pelanggaran terhadap kepentingan manusia. Jika terjadi pelanggaran
76
Saidin.H.OK, op.cit, h.359.
71
maka pelakunya harus diproses secara hukum dan dijatuhi hukuman sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
Perlindungan merek terkenal telah dimuat di dalam amandemen Paris
Convention, yaitu ketika dilakukan konferensi diplomatik tentang amandemen
dan revisi Paris Convention di Den Haag pada tahun 1925.77
Setelah beberapa kali mengalami revisi, rumusan Pasal 6 bis Konvensi
Paris adalah sebagai berikut.
1. Negara anggota Union secara ex officio jika legislasinya mengizinkan atau atas
permintaan pihak yang berkepentingan, menolak atau membatalkan pendaftaran
dan melarang penggunaan merek yang merupakan reproduksi, imitasi atau
terjemahan yang dapat menciptakan kebingungan atas satu merek yang menurut
pihak berwenang dari negara pendaftar atau pengguna sebagai merek terkenal di
negara tersebut sebagaimana yang secara sah diberikan kepada orang yang berhak
berdasarkan konvensi ini dan digunakan untuk barang identik atau mirip. Ketentuan
ini juga berlaku apabila bagian esensial dari merek terkenal atau imitasi yang dapat
menciptakan kebingungan.
2. Jangka waktu permintaan pembatalan setidaknya lima tahun terhitung sejak
tanggal pendaftaran (merek yang menyerupai merek terkenal tersebut).
77
Bharat Dube 2000, Assesing Trademark Law on Well-Known Marks Counterfeiting,
Paper Presented at Advanced Seminar, Prospect and Implementation of Indonesian Copyrights,
Patent and Trademark Laws, Jakarta 31 Juli – 1 Agustus, h.2
72
3. Kalau pendaftaran dilakukan dengan itikad buruk, tidak ada batas waktu untuk
memintakan pembatalan.
Menurut pasal 6 Paris Convention disebutkan bahwa persyaratan
pengajuan dan pendaftaran merek ditentukan oleh Undang-undang setempat
masing-masing negara anggota. Permohonan pendaftaran merek tidak dapat
ditolak atau dibatalkan oleh sebuah negara anggota hanya karena semata-mata
merek tersebut belum didaftar di negara asalnya. Di lain pihak, jika suatu merek
dagang telah didaftarkan di negara asal, maka pendaftaran harus diterima di
negara anggota tersebut walaupun merek tersebut tidak memenuhi kriteria merek
dagang di negara setempat anggota tersebut (pasal 6 quinqics). Contohnya:
Perancis dan benelux termasuk dalam anggota Paris Convention. Bunga tulip
terdaftar sebagai merek yang sah di Benelux, sedangkan Undang-undang nasional
Perancis tidak mengakui bentuk-bentuk bunga sebagai merek dagang.
Berdasarkan ketentuan Pasal 6 Paris Convention, meskipun merek dagang
tersebut tidak didaftarkan sebagai merek di negara asal, Perancis wajib menerima
merek dagang tersebut secara sah apabila dianggap sah di negara asal (Benelux),
kecuali Perancis dapat membenarkan penolakan yang menyatakan bahwa merek
dagang tersebut harus dianggap bertentangan dengan ketertiban umum dan
kekurangan daya pembeda atau melanggar hak-hak dagang pihak lain. 78
Perlindungan terhadap merek terkenal diatur dalam Pasal 6 bis Paris
Convention yang mewajibkan seluruh anggotanya untuk melindungi merek
78
H. OK. Saidin, Op.Cit, h. 340
73
terkenal warga negara lainnya untuk barang yang menyerupai (similar) atau sama
(identical). Hal ini berhubungan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Paris Convention
yang menentukan bahwa setiap anggota Paris Convention tidak boleh bertindak
non-diskriminatif terhadap sesama anggota. Ditambahkan lagi dalam Pasal 4A
Ayat (1) mengenai hak prioritas yang menentukan bahwa merek terkenal harus
mendapat perlindungan hukum di negara yang termasuk dalam anggota Paris
Convention sejak merek tersebut didaftar di negara asal atau salah satu negara
peserta Paris Convention. Permohonan pendaftaran merek ini harus ditolak,
dibatalkan oleh negara anggota secara ex officio sesuai dengan peraturan
perundang-undangan negara yang bersangkutan dan mengabulkan permohonan
pembatalan dari pihak lain yang berkepentingan.
Berdasarkan permohonan yang dilakukan di satu negara anggota,
pemohon dalam jangka waktu tertentu yaitu 6 (enam) bulan dapat mengajukan
permohonan perlindungan yang serupa di negara anggota lain. Prinsip hak
prioritas sangat erat dengan prinsip bahwa hak kekayaan intektual adalah kreasi
dari hasil olah pikir manusia diperuntukkan bagi segenap anggota masyarakat,
sehingga negara manapun seyogyanya memberikan kepada pembuat/penciptanya
hak eksklusif untuk jangka waktu tertentu guna mencegah pemanfaatan oleh pihak
lain secara tidak sah.
Berdasarkan ketentuan di atas Paris Convention memuat beberapa
ketentuan mengenai hak prioritas yaitu sebagai berikut:
74
1. Jangka waktu untuk mengajukan permohonan pendaftaran merek dengan
menggunakan hak prioritas adalah 6 (enam) bulan;
2. Jangka waktu 6 (enam bulan) tersebut sejak tanggal pengajuan
permohonan pertama di negara asal atau salah satu negara anggota Paris
Convention;
3. Tanggal pengajuan tidak termasuk dalam perhitungan jangka waktu 6
(enam) bulan;
4. Dalam hal jangka waktu terakhir adalah hari libur atau hari pada saat
Kantor Pendaftaran Merek tutup, pengajuan permohonan pendaftaran
merek dimana perlindungan dimohonkan, jangka waktu diperpanjang
sampai pada permulaan hari kerja berikutnya.
Jadi perlindungan terhadap merek terkenal yang diberikan oleh ketentuan
ini adalah perlindungan atas merek terkenal warga negara asing untuk barang
yang menyerupai (similar) atau sama (identical). Ketentuan ini kemudian
memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan
mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing dengan
berpedoman pada ketentuan yang terdapat dalam pasal 6 bis Paris Convention.
Namun Pasal 6 bis Paris Convention ini tidak memberikan penjelasan lebih lanjut
apakah perlindungan yang diberikan hanya kepada barang sejenis atau tidak.
Dalam Paris Convention, suatu perlindungan dapat ditolak apabila:
1.
Registrasi atau pendaftaran di negara yang bersangkutan melanggar hak
pihak ketiga terdahulu,
75
2. Merek yang bersangkutan tidak memiliki karakter pembeda atau secara
eksklusif mengandung syarat-syarat deskriptif
3. Merek tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip moralitas atau
ketertiban umum yang diterima masyarakat.79
TRIPs Agreement merupakan salah satu lampiran dari Perjanjian
Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang memberikan perlindungan terhadap
merek terkenal diluar prinsip menyerupai (similarity).80 Pengaturan mengenai
merek terkenal dalam TRIPs Agreement merupakan lanjutan dari pengaturan
tentang merek terkenal dari Paris Convention.
Pasal 6 bis Paris Convention tersebut kemudian diadopsi Pasal 16 ayat (2)
dan (3) TRIPs Agreement:
(2) Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku
secara mutatis mutandis
terhadap jasa. Untuk menentukan bahwa suatu merek dagang merupakan merek
terkenal, Negara peserta harus memperhatikan pengetahuan tentang
merek
dagang tersebut pada sektor yang terkait dalam masyarakat, termasuk mengenai
pengetahuan dari Negara peserta yang diperoleh dari hasil kegiatan promosi
merek dagang tersebut.
(3) Pasal 6bis dari Konvensi Paris (1967) berlaku secara mutatis mutandis
terhadap barang atau jasa yang tidak sejenis dengan barang atau jasa yang
79
Cita Citrawinda, 2007, Sekilas Tentang Tindak Pidana Dalam Bidang Merek, http:
//lib.law.ugm.ac.id/ojs/index.php/jli/article/view/654, Diakses 26 Desember 2013, h.1-2
80
Daniel R. Bereskin, 1995, The Protection of Famous Foreign Trade in Canada. Dalam:
Rando Purba, Analisa Yuridis Terhadap Pemboncengan Ketenaran Merek Asing, (Tesis) Program
Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.188
76
dilindungi oleh merek terdaftar asalkan penggunaan atas merek tersebut
mengindikasikan suatu hubungan antara barang atau jasa dengan pemilik merek
terdaftar dan asalkan kepentingan pemilik merek terdaftar kemungkinan dirugikan
oleh penggunaan merek tersebut.
Pasal ini menentukan bahwa perlindungan merek terkenal diperluas tidak
hanya mencakup barang sejenis saja melainkan juga terhadap barang-barang yang
tidak sejenis. Tindakan pemboncengan terhadap merek terkenal tersebut termasuk
perbuatan yang melanggar hukum sesuai dengan aturan ini. Namun pengertian
tidak sejenis disini tidak disebutkan apakah mencakup barang-barang yang
berbeda kelas. Demikian juga terhadap ketentuan lebih lanjut mengenai
perlindungan hukum merek terkenal juga diserahkan kepada masing-masing
negara anggota WTO.
Menurut Pasal 16 ayat (3) TRIPs Agreement perlindungan merek terhadap
barang yang tidak sejenis diberikan apabila:81
1. Penggunaan merek atau jasa tidak sejenis itu menunjukkan hubungan
dengan pemilik merek terdaftar
2. Kepentingan
merek
terdaftar
seolah-olah
dirusak/dirugikan
oleh
penggunaan merek tersebut.
Perlindungan merek terkenal, menurut TRIPs Agreement disebutkan dalam
Pasal 16 perjanjian tersebut, bahwa pemilik merek terdaftar mendapat
perlindungan apabila mereknya didaftarkan di wilayah negara peserta, sehingga
pemilik merek bersangkutan mempunyai hak eksklusif dari negara peserta untuk
81
Bharat Dube, Loc. Cit
77
melarang pihak lain untuk melakukan peniruan atau pemalsuan terhadap merek
tersebut. Dalam hal pemberian hak prioritas hal ini mengacu kepada Paris
Convention.
TRIPs Agreement, khususnya Pasal 15 ayat (1) mengatur tentang definisi
merek. Hal terpenting dalam mendefinisikan merek yang dikemukakan dalam
Pasal 15 ayat (1) TRIPs Agreement adalah penekanan mengenai “unsur pembeda”.
Menurut
TRIPs Agreement, pembedaan (seringkali disebut dengan “daya
pembeda“) merupakan satu-satunya kondisi substantif bagi perlindungan merek.
Penolakan terhadap pendaftaran suatu merek menurut Pasal 15 Ayat (1) TRIPs
Agreement berdasarkan alasan-alasan tidak adanya daya pembeda tersebut. Dalam
hal penolakan perlindungan atas merek diperbolehkan pula sepanjang tidak
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Paris Convention.
Ketentuan untuk melindungi merek terkenal diatas berlaku bagi seluruh
negara anggota Paris Convention dan penandatangan TRIPs Agreement termasuk
Indonesia yang juga turut meratifikasi kedua treaty tersebut masing-masing
melalui Keppres No. 15 Tahun 1997 dan Keppres No. 7 Tahun 1997. Dengan
diratifikasinya Paris Convention dan TRIPs Agreement tersebut oleh Indonesia
maka memuat kewajiban untuk menyesuaikan Undang-undang merek yang ada
dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam perjanjian internasional tersebut.82
Pemilik merek dapat menggunakan mereknya pada perdagangan barang
atau jasa apabila ia memiliki hak atas merek yang merupakan hak eksklusif yang
82
Yuslisar Ningsih, 2003, Perlindungan dan Penegakan Hukum Merek di Indonesia Menurut
Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek, Makalah disampaikan pada Penataran
Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Mataram 20-23 Juli, h.26
78
diberikan oleh negara. Hal ini diatur dalam pasal 3 UU No.15 Tahun 2001 yang
berbunyi:
Hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada
pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu
tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin
kepada pihak lain untuk menggunakannya.
Secara umum hak eksklusif adalah hak yang memberi jaminan
perlindungan hukum kepada pemilik merek dan merupakan pemilik satu-satunya
yang berhak atas merek tersebut serta melarang siapa saja untuk memiliki dan
mempergunakannya. Hak eksklusif memuat dua hal, yaitu menggunakan sendiri
merek tersebut dan memberi ijin kepada pihak lain untuk menggunakan merek
tersebut. Pemilik merek yang memiliki hak eksklusif tersebut
berhak secara
eksklusif untuk mengeksploitasi keuntungan dari penggunaan merek tersebut
dalam perdagangan barang dan jasa.
Pemilik merek dalam hal ini dapat terdiri dari satu orang atau beberapa
orang secara bersama-sama atau badan hukum. Hak eksklusif yang berfungsi
seperti suatu monopoli hanya berlaku untuk barang atau jasa tertentu. Hak
eksklusif bukan merupakan monopoli yang dilarang sebagai persaingan tidak
sehat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, tetapi merupakan hak yang
bersifat khusus dalam rangka memberi penghormatan dan insentif pengembangan
daya intelektual untuk sebuah persaingan sehat dan kesejahteraan masyarakat.
79
Hak eksklusif tersebut bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Hak yang sifatnya monopoli tersebut hanya dapat diterobos dengan izin dari
pemilik merek. Dalam praktek izin tersebut berupa pemberian lisensi melalui
perjanjian lisensi ( licencing agreement ).83
Hak itu dapat dipertahankan terhadap siapapun karena suatu merek
memberi hak khusus atau hak mutlak pada yang bersangkutan. Hak atas merek
diberikan kepada pemilik merek yang beritikad baik. Agar hak eksklusif itu dapat
diberikan, pemilik merek wajib mendaftarkan mereknya. Pendaftaran merek
dilakukan berdasarkan permintaan dari pemilik merek atau yang berhak atas
merek atau melalui kuasanya.84
Pendaftaran
merek
bertujuan
untuk
memperoleh
kepastian
dan
perlindungan hukum mengenai hak atas merek. Dalam pendaftaran merek terdapat
dua sistem yaitu sistem deklaratif dan sistem konstitutif. Sistem pendaftaran
deklaratif adalah suatu sistem pendaftaran yang hanya akan menimbulkan dugaan
saja akan adanya hak sebagai pemakai pertama pada merek yang bersangkutan.
Dalam sistem deklaratif ini seseorang memperoleh hak atas merek
karena
pemakaian pertama walaupun tidak didaftarkan (first to use principle). Sistem ini
menitikberatkan pada pemakaian pertama. Jadi siapa yang pertama kali memakai
suatu merek maka dialah yang dianggap berhak menurut hukum terhadap merek
yang bersangkutan.85 Dalam hal ini pendaftaran tidak merupakan suatu kewajiban/
83
Agung Sudjatmiko, 2000, Perlindungan Hukum Hak Atas Merek, Yuridika: Vol. 15. No.5.,
h. 349
84
85
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h. 121.
H. OK. Saidin, Loc. Cit
80
keharusan serta tidak merupakan syarat mutlak bagi pemilik merek untuk
mendaftarkan mereknya.Kemudian dalam perkembangannya sistem deklaratif
dianggap kurang menjamin kepastian hukum serta
dianggap menimbulkan
persoalan dan hambatan dalam bidang usaha karena perlindungan hukumnya
hanya berdasarkan pemakai merek pertama.86
Sistem pendaftaran konstitutif adalah suatu sistem pendaftaran yang akan
menimbulkan suatu hak sebagai pemakai pertama pada merek yaitu berdasarkan
pada pendaftar pertama (first to file principle).Dalam hal ini siapa yang pertama
kali mendaftarkan mereknya maka dia yang berhak atas merek tersebut. Dengan
adanya pendaftaran maka dapat terwujud suatu kepastian hukum. Jadi pendaftaran
adalah mutlak untuk terjadinya hak atas merek. Tanpa pendaftaran tidak ada hak
atas merek serta tidak ada perlindungan.Tetapi jika suatu merek telah didaftarkan
dan memperoleh sertifikat merek maka ia akan dilindungi dan orang lain tidak
dapat memakai merek yang sama dengan merek yang telah didaftarkan.87
Pendaftaran akan memberikan perlindungan terhadap suatu merek.
Meskipun demikian bagi merek yang tidak terdaftar tetapi luas pemakaiannya
dalam perdagangan yaitu merek terkenal juga diberikan perlindungan terhadapnya
terutama dari tindakan persaingan yang tidak sehat.
Menurut Emmy Pangaribuan Simanjuntak,mengemukakan bahwa:
Pemakaian sistem konstitutif ini akan memberikan kepastian hukum mengenai
hak atas merek kepada orang yang mendaftarkan. Kepastian hukum harus
diupayakan untuk dirasakan oleh masyarakat pada umumnya dan khususnya
86
87
H. OK. Saidin.,Op.Cit, h.363.
Muhammad Djumhana dan R.Djubaedillah,op.cit, h.366.
81
oleh para pengusaha dalam hal ini yang menggunakan suatu merek untuk
barang hasil perusahaanya/produksinya. Bagi pengusaha yang ingin
memperoleh kepastian hukum mengenai
hak atas merek diharuskan
mendaftarkan merek tersebut dan dengan demikian akan memperoleh hak atas
merek yang didaftarkan tersebut. Sehingga sejak merek tersebut didaftarkan ia
merasa dilindungi oleh hukum untuk mendapatkan kepastian hukumnya
bahwa dirinya berhak atas merek tersebut. Dan bagi orang lain yang mencoba
menggunakan merk tersebut dalam barang-barang sejenis dengan mengetahui
bahwa barang tersebut sudah terdaftar atas nama orang lain akan
mengundurkan niatnya mempergunakan merek tersebut. Demikian menurut
beliau akan mengurangi perselisihan akan hak atas merek.88
Sistem pendaftaran konstitutif merupakan suatu penyempurnaan atas
kelemahan dari sistem pendaftaran deklaratif. Tujuannya adalah untuk
memberikan kepastian hukum bagi pemegang merek melalui mekanisme
administrasi yaitu pendaftaran sehingga dalam sistem konstitutif dikenal istilah
tidak ada hak atas merek tanpa pendaftaran. Dalam hal ini pendaftaran
dimaksudkan untuk memudahkan mengkontrol merek-merek yang sudah terdaftar
agar bila nanti ada pendaftar baru maka pengecekan atas merek tersebut akan
menjadi lebih mudah.
UU No.15 tahun 2001 dalam system pendaftarannya menganut sistem
konstitutif (first to file) dimana sistem ini lebih menekankan pada pemberian
jaminan perlindungan hukum. Undang-undang sebelumnya yakni UU No.19
Tahun1992 dan UU No.14 Tahun 1997 juga menganut sistem yang sama. Hal ini
merupakan perubahan yang mendasar dalam Undang-undang Merek Indonesia
yang semula menganut sistem deklaratif (UU No.21 Tahun 1961).89 Menurut
88
I Gusti Gede Getas, 1996, Peranan Merek Dalam Dunia Usaha, Upada Sastra,
Denpasar,h.16.
89
Ibid, h.362.
82
sistem konstitutif ini yang berhak atas suatu merek adalah pihak yang telah
mendaftarkan mereknya dan pihak ketiga harus menghormati
hak eksklusif
tersebut. Jadi pendaftaran itu menciptakan suatu hak atas merek tersebut.
Pendaftaran merek dilakukan pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual Departemen Kehakiman (selanjutnya disebut Direktorat Jenderal).
Direktorat Jenderal adalah instansi pendaftaran merek yang ditugaskan untuk
mendaftarkan merek yang dimohonkan pendaftarannya oleh pemilik merek.90
Untuk melakukan pendaftaran merek perlu dimohonkan pendaftaran lebih dahulu
berdasarkan syarat-syarat dan prosedur yang ditentukan oleh UU No. 15 Tahun
2001.
Persyaratan dan tata cara permohonan pendaftaran merek diatur dalam
pasal 7 sampai dengan pasal 17 UU No.15 tahun 2001.Permohonan pendaftaran
merek diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada Direktorat Jenderal
HKI dengan mencantumkan :
a. Tanggal,bulan, dan tahun;
b. Nama lengkap,kewarganegaraan dan alamt pemohon;
c. Nama lengkap dan alamat kuasa apabila permohonan diajukan melalui
kuasa;
d. Warna-warna
apabila
merek
menggunakan unsur-unsur warna;
90
Abdulkadir Muhammad, Op.Cit, h.219.
83
yang
dimohonkan
pendaftarannya
e. Nama negara dan tanggal permohonan merek yang pertama kali dalam hal
permohonan diajukan dengan hak prioritas (pasal 7 ayat (1) UU no.15
tahun 2001).
Permohonan ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya. Pemohon
tersebut dapat terdiri dari 1 (satu) orang atau beberapa orang secara bersama-sama
atau badan hukum. Permohonan dilampiri dengan bukti pembayaran biaya. Dalam
hal permohonan diajukan lebih dari 1 (satu) pemohon yang secara bersama-sama
berhak atas merek tersebut, semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih
salah satu alamat sebagai alamat mereka. Permohonan tersebut ditandatangani
oleh salah satu dari pemohon yang secara bersama-sama berhak atas merek
tersebut,semua nama pemohon dicantumkan dengan memilih salah satu alamat
sebagai alamat mereka. Permohonan tersebut ditandatangani oleh salah satu dari
pemohon yang berhak atas merek tersebut dengan melampirkan persetujuan
tertulis dari para pemohon yang mewakilkan. Dalam hal permohonan diajukan
melalui kuasa,surat kuasa untuk itu ditandatangani oleh semua pihak yang berhak
atas merek tersebut. Kuasa yang dimaksud adalah konsultan hak kekayaan
intelektual (Pasal 7 UU No.15 Tahun 2001).
Apabila pemilik merek mengajukan permohonan pendaftaran merek, maka
pengajuan permohonan 2 (dua) atau lebih kelas barang dan atau jasa dapat
dilakukan dengan 1 (satu) permohonan. Permohonan harus menyebutkan jenis
barang dan atau jasa yang termasuk dalam kelas yang dimohonkan
pendaftarannya. (Pasal 8 UU No.15 Tahun 2001)
Setiap permohonan pendaftaran merek juga harus dilengkapi dengan:
84
1. Surat pernyataan yang secara jelas dan tegas menyebutkan bahwa merek
yang dimintakan pendaftarannya adalah miliknya dan tidak meniru merek
orang lain. Surat pernyataan tersebut ditandatangani oleh pemilik merek
dan diberi meterei cukup. Bila surat pernyataan ini tidak menggunakan
bahasa Indonesia, harus disertai terjemahannya dalam bahasa Indonesia.
2. 20 (dua puluh) helai etiket merek yang bersangkutan. Etiket merek
dimaksud berukuran maksimal 9 x 9 cm atau minimal 2 x 2 cm. Etiket
merek yang berwarna, harus disertai pula satu lembar etiket yang tidak
berwarna ( hitam putih). Bila etiket merek menggunakan bahasa selain
bahasa Indonesia, harus pula disertai terjemahannya dalam bahasa
Indonesia. Demikian pula etiket merek yang menggunakan huruf selain
huruf latin, harus pula disertai dengan huruf latin.
3. Tambahan Berita Negara yang memuat akta pendirian badan hukum atau
salinan yang sah akta pendirian badan hukum, apabila pemilik merek
adalah badan hukum Indonesia.
4. Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran merek diajukan
melalui kuasa yang merupakan konsultan HKI. Surat kuasa khusus ini
adalah surat kuasa khusus untuk mengajukan permohonan pendaftaran
merek
dengan
menyebutkan
merek
yang
akan
dimohonkan
pendaftarannya.
5. Bukti pembayaran biaya dalam rangka permohonan pendaftaran merek,
yang besarnya ditetapkan Pemerintah.
85
6. Bukti penerimaan permintaan pendaftaran yang pertama kali yang
menimbulkan hak prioritas dengan disertai terjemahannya dalam bahasa
Indonesia, apabila permohonan pendaftaran merek diajukan dengan
menggunakan hak prioritas.
7. Salinan peraturan penggunaan merek kolektif, apabila permohonan
pendaftaran merek dagang atau jasa akan digunakan sebagai merek
kolektif. 91
Pasal 10 UU No.15 tahun 2001 mengatur pemohon yang berkedudukan
diluar
wilayah
Negara
republik
Indonesia.
Menurut
ketentuan
pasal
tersebut,permohonan yang diajukan oleh pemohon yang bertempat tinggal atau
berkedudukan tetap diluar wilayah Negara Republik Indonesia wajib diajukan
melalui kuasanya di Indonesia.Pemohon tersebut wajib menyatakan dan memilih
tempat tinggal kuasanya sebagai domisili hukumnya di Indonesia.
Untuk merek terkenal, Departemen Kehakiman RI mengeluarkan
Keputusan Menteri Kehakiman RI No. M.03.HC.020.1 tahun 1991, tentang
penolakan permohonan pendaftaran merek terkenal atau merek yang mirip dengan
merek terkenal milik orang lain atau milik badan lain. Peraturan ini dapat
dianggap sebagai penetapan prinsip dari pasal 4 ayat 1
Paris Convention
mengenai Principle Right of Priority (hak prioritas).
UU No.15 Tahun 2001 mengatur mengenai permohonan pendaftaran
merek dengan hak prioritas. Hak Prioritas adalah hak pemohon untuk mengajukan
permohonan yang berasal dari negara yang tergabung dalam Paris Convention for
91
Rachmadi Usman,Op.Cit, h.335.
86
the Protection of Industrial Property atau Agreement Establishing the World
Trade Organization untuk memperoleh pengakuan bahwa tanggal penerimaan di
negara asal (filling date) merupakan tanggal prioritas (priority date) di negara
tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian tersebut selama
pengajuan tersebut dilakukan dalam kurun waktu yang telah ditentukan
berdasarkan Paris Convention for the Protection of Industrial Property.92
Permohonan dengan menggunakan Hak Prioritas harus diajukan dalam
waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan
permohonan pendaftaran Merek yang pertama kali diterima di negara lain, yang
merupakan anggota Paris Convention for the Protection of Industrial Property
atau anggota Agreement Establishing the World Trade Organization (Pasal 11 UU
No. 15 Tahun 2001).
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menampung kepentingan negara yang
hanya menjadi salah satu anggota dari Paris Convention atau Agreement
Establishing the World Trade Organization.
Selain harus memenuhi ketentuan persyaratan permohonan pendaftaran
merek, permohonan dengan menggunakan hak prioritas ini wajib dilengkapi
dengan bukti tentang penerimaan permohonan pendaftaran merek yang pertama
kali yang menimbulkan hak prioritas tersebut, yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia yang dilakukan oleh penerjemah yang disumpah. Bukti hak
prioritas berupa surat permohonan pendaftaran beserta tanda penerimaan
92
Suyud Margono dan amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek Hukum
Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta, h. 168
87
permohonan tersebut yang juga memberikan penegasan tentang tanggal
penerimaan permohonan. Bila yang disampaikan berupa salinan atau fotokopi
surat atau penerimaan, pengesahan atas salinan atau fotokopi surat atau tanda
penerimaan tersebut diberikan oleh Direktorat Jenderal HKI apabila permohonan
diajukan untuk pertama kali. Seandainya ketentuan diatas tidak dipenuhi dalam
waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya hak mengajukan
permohonan dengan menggunakan hak prioritas, permohonan tersebut tetap
diproses, tetapi tanpa menggunakan hak prioritas.
Setelah itu, Direktorat Jenderal HKI akan melakukan pemeriksaan
terhadap kelengkapan persyaratan pendaftaran merek yang dimohonkan didaftar.
Bila dalam pemeriksaan tersebut terdapat kekurangan dalam kelengkapan
persyaratan permohonan pendaftaran merek, Direktorat Jenderal HKI meminta
agar kelengkapan persyaratan tersebut dipenuhi dalam waktu paling lama 2 (dua)
bulan terhitung sejak tanggal pengiriman surat permintaan untuk memenuhi
kelengkapan persyaratan tersebut. Khusus dalam hal kekurangan menyangkut
persyaratan permohonan pendaftaran merek dengan hak prioritas, jangka waktu
pemenuhan kekurangan persyaratan tersebut paling lama 3 (tiga) bulan terhitung
sejak berakhirnya jangka waktu pengajuan permohonan dengan menggunakan hak
prioritas.
Permohonan
pendaftaran
merek
dianggap
ditarik
kembali
bila
kelengkapan persyaratan yang diinginkan ternyata tidak dipenuhi dalam jangka
waktu yang telah ditentuka sebagaimana disebutkan diatas. Terhadap hal ini,
Direktorat Jenderal HKI akan memberitahukan secara tertulis kepada pemohon
88
atau kuasanya. Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal
tidak dapat ditarik kembali, walaupun pemohon atau kuasanya membatalkan
rencana untuk mendaftarkan mereknya.
Sebaliknya jika seluruh persyaratan administratif telah dipenuhi, terhadap
permohonan tersebut diberikan tanggal penerimaan (filling date), yang akan
dicatat oleh Direktorat Jenderal HKI. Tanggal penerimaan mungkin sama dengan
tanggal pengajuan permohonan pendaftaran merek apabila seluruh persyaratan
dipenuhi pada saat pengajuan permohonan pendaftaran merek. Jika pemenuhan
kelengkapan persyaratan baru terjadi pada tanggal lain sesudah tanggal pengajuan
permohonan pendaftaran merek, tanggal lain tersebut ditetapkan sebagai tanggal
penerimaan.
Permohonan pendaftaran merek yang telah diajukan masih dapat diubah
oleh pemohon atau kuasanya. Namun harus diingat perubahan atas permohonan
pendaftaran merek dimaksud hanya diperbolehkan terhadap pengantian nama
dan/atau alamat pemohon atau kuasanya. Tidak itu saja, permohonan pendaftaran
merek ternyata dapat ditarik kembali oleh pemohon atau kuasanya, selama belum
memperoleh keputusan dari Direktorat Jenderal HKI. Bila penarikan kembali
permohonan pendaftaran merek dimaksud dilakukan oleh kuasanya, penarikan itu
harus dilakukan berdasarkan surat kuasa khusus untuk keperluan penarikan
kembali tersebut. Segala biaya yang telah dibayarkan kepada Direktorat Jenderal
HKI tidak dapat ditarik kembali.
Dapat disimpulkan bahwa hak prioritas adalah suatu upaya dari pemegang
hak atas merek yang merupakan anggota konvensi internasional perlindungan
89
merek, untuk mendaftarkan mereknya tersebut di Indonesia (melalui Direktorat
Jenderal HKI). Tujuan utama pemberian hak prioritas kepada pemilik orang asing
memperoleh pendaftaran, yaitu melindungi merek orang asing di Indonesia dari
pembajakan atau pemboncengan. Perlindungan tersebut hanya bisa efektif dengan
jalan memberi hak prioritas kepada pemilik merek orang asing tersebut. Dengan
demikian, dalam hal terjadi persaingan untuk memperoleh pendaftaran antara
pemilik merek orang asing dan pemilik merek domestik mengenai merek dari
jenis barang dan kelas yang sama maka harus diutamakan kepada orang asing. Hal
ini dikarenakan Indonesia terikat dengan ketentuan-ketentuan Paris Convention
dan TRIPs Agreement dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggota
World Trade Organization (WTO). Atas hal ini, maka pemohon yang merupakan
Anggota dari organisasi sebagaimana dimaksud memiliki hak untuk mendaftarkan
mereknya secara utama/prioritas sejak terdaftar pada lembaga internasional
dimaksud.
UU No. 15 Tahun 2001 secara tegas mengatur pendaftaran merek dengan
hak prioritas (pasal 11 s-d pasal 12). Dengan demikian acuan penerapan
pendaftaran merek dengan hak prioritas adalah antara lain:
a. Perlakuan pemberian perlindungan hukum yang sama.
Hukum merek suatu negara harus memberi perlindungan yang sama terhadap
pemilik merek orang asing, sebagaimana perlakuan perlindungan yang
diberikan kepada pemilik merek warga negara sendiri.
b. Berdasarkan asas Resiprositas.
90
Menegakkan asas pemberian perlakuan yang sama atas hak prioritas, artinya
kesediaan, kerelaan memberi perlindungan yang sama terhadap pelayanan
permintaan pendaftaran dengan hak prioritas terhadap pemilik merek orang
asing harus berdasarkan asas timbal balik.
Asas Resiprositas dengan sendirinya bercorak multilateral terhadap semua
negara anggota peserta Konevensi Paris, artinya jika pemohon bukan dari negara
anggota peserta Paris Convention, kantor mereka harus menolak pendaftaran
dengan alasan tidak ditegakkan asas Resiprositas
Namun terdapat kemungkinan merek yang dimohonkan pendaftarannya itu
tidak dapat didaftar atau permohonan itu ditolak oleh Direktorat Jenderal. Pasal 5
UU No.15 tahun 2001 menentukan, merek tidak dapat didaftar apabila merek
tersebut mengandung salah satu unsur dibawah ini:
1.
Bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku,moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum;
2. Tidak memiliki daya pembeda;
3. Telah menjadi milik umum,atau;
4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya.
Unsur – unsur di atas tidak boleh dilanggar bagi si pemohon merek agar
mereknya dapat diterima pendaftarannya. Unsur di atas dapat diuraikan satu
persatu yaitu:
1.
Bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.
91
Tanda- tanda yang bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
tidak dapat diterima sebagai merek. Dalam merek bersangkutan tidak boleh
terdapat kata-kata atau lukisan-lukisan yang dapat menyinggung perasaan,
kesopanan, ketentraman atau keagamaan baik dari khalayak umum atau dari
golongan masyarakat tertentu.93
2.
Tanda-tanda yang tidak mempunyai daya pembedaan
Tanda-tanda yang dianggap kurang kuat dalam pembedaannya dan yang
tidak memiliki daya pembeda tidak dapat dianggap sebagai merek.94 Apabila
tanda tersebut terlalu sederhana, seperti 1 (satu) tanda garis atau 1 (satu) tanda
titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas maka tanda dianggap tidak
memiliki daya pembeda
3.
Tanda Milik Umum
Tanda- tanda yang
telah dipakai dan dikenal secara luas dikalangan
masyarakat tidak dapat dipakai sebagai tanda pengenal bagi keperluan pribadi dari
orang-orang tertentu. Contoh merek yang telah menjadi milik umum adalah tanda
tengkorak di atas 2 (dua) tulang bersilang yang secara umum telah diketahui
sebagai tanda bahaya. Oleh karena itu, tanda tersebut tidak dapat digunakan
sebagai merek.
93
Sudargo Gautama, 2004, Hukum Merek Indonesia, Dalam: H. OK. Saidin, Aspek Hukum
Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Cetakan Keempat, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h.349 – 350.
94
Ibid, h.350
92
4. Merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang dimintakan
pendaftaran.
Yang dimaksud dengan merupakan keterangan atau berkaitan dengan
barang atau jasa yang dimintakan pendaftaran seperti merek “kopi atau gambar
kopi” untuk produk kopi.
Disamping itu menurut pasal 6 ayat (1) UU No.15 Tahun 2001,permohonan
harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
1. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/jasa
yang sejenis;
2. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/jasa sejenis;
3. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan
indikasi geografis yang sudah dikenal.
Menurut ketentuan pasal 6 ayat (3) UU No.15 Tahun 2001,permohonan
juga harus ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila merek tersebut:
1. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal,foto atau nama badan
hukum yang dimiliki orang lain,kecuali atas persetujuan tertulis dari yang
berhak.
2. Merupakan
tiruan
atau
menyerupai
nama
atau
singkatan
nama,bendera,lambang atau symbol atau emblem negara atau lembaga
93
nasional maupun internasional,kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak
yang berwenang.
3. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang
digunakan oleh negara atau lembaga Pemerintah,kecuali atas persetujuan
tertulis dari pihak yang berwenang.
UU No. 15 Tahun 2001 khususnya pasal 6 ayat (2) juga mengatur
mengenai perlindungan merek terkenal terhadap barang dan/atau jasa yang tidak
sejenis sepanjang memenuhi persyaratan tertentu yang akan ditetapkan lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Namun hingga saat ini Peraturan pemerintah
yang dimaksud belum disahkan oleh pemerintah.
Salah satu kasus pelanggaran merek yaitu Aerosoles International Inc
(Penggugat) melawan PT. Matahari Putra Prima (Tergugat). Menurut Putusan
Nomor 06/Merek/2004/PN. Niaga. Jkt. Pst "AEROSOLES" telah melakukan
pendaftaran di berbagai negara yaitu:
1. Uni Eropa, kelas 18, 25, 35, No. 000520908, tanggal 23 Oktober 1998;
2. Jerman, kelas, 25, No. 397 15 222, tanggal 07 April 1997;
3. Yunani, kelas 25, No. 121085, tanggal 17 Oktober 1995;
4. Jepang, kelas 25, No. 4170720, tanggal 24 Juli 1998;
5. Taiwan, kelas 25, No. 743693, tanggal 1 Januari 1997;
6. Inggris, kelas 25, No. 1547748, tanggal 5 Januari 1996;
7. Amerika Serikat, kelas 18, No. 2.190.746, tanggal 22 September 1998;
94
8. Amerika Serikat, kelas 25, 35, No. 2.144.257, tanggal 17 Maret 1998.
Disamping merek "AEROSOLES" telah terdaftar di berbagai negara
seperti tersebut di atas, "AEROSOLES" telah mengajukan permintaan pendaftaran
merek ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman
&
HAM
R.I.
pada
tanggal
11
Juni
2003
dengan
No.
Agenda
DOO.2003.14490.14618 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam
kelas 25 (Bukti P-10) dan pada tanggal 13 Oktober 2003 dengan No. Agenda
DOO.2003.28663.28940 untuk melindungi barang-barang yang termasuk dalam
kelas 18.
Dengan diajukannya pendaftaran merek "AEROSOLES" maka Penggugat
adalah satu-satunya pemilik dan pemakai pertama atas merek " AEROSOLES"
yang telah terkenal di dunia internasional, sehingga Penggugat mendapat
perlindungan hukum dan mempunyai hak eksklusif untuk menggunakan merek
AEROSOLES tersebut dan melarang pihak lain untuk menggunakannya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Paris Convention, TRIPs Agreement
dan UU No.15 Tahun 2001.
3.4.Jangka Waktu Perlindungan Merek Terkenal Menurut Paris Convention,
TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001
Dalam Paris Convention tidak ditentukan mengenai jangka waktu
perlindungan terhadap merek terkenal. Hal ini disesuaikan dengan ketentuan
masing-masing negara anggota.
95
Menurut TRIPS Agreement masa perlindungan merek terkenal adalah
selama 7 tahun diatur dalam Pasal 18 yang berbunyi: Pendaftaran suatu merek
dagang untuk pertama kali berikut perpanjangannya, berlaku untuk jangka waktu
tidak kurang dari 7 (tujuh) tahun. Perpanjangan pendaftaran suatu merek dagang
dapat dilakukan tanpa batas.
Di Indonesia merek terkenal mendapat perlindungan hukum untuk jangka
waktu 10 (sepuluh) tahun sejak Tanggal Penerimaan dan jangka waktu
perlindungan itu dapat diperpanjang (Pasal 28 UU No. 15 tahun 2001). Pemilik
merek terkenal
dapat mengajukan permohonan perpanjangan untuk jangka waktu
yang sama. Permohonan perpanjangan diajukan secara tertulis oleh pemilik merek
atau kuasanya dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebelum berakhirnya
jangka waktu perlindungan bagi merek terdaftar tersebut.
Permintaan perpanjangan pendaftaran merek dilakukan dengan mengisi
formulir permohonan perpanjangan pendaftaran merek dengan disertai penyertaan
dari pemilik merek, bahwa merek yang bersangkutan adalah pemilik hak atau
pemegang hak merek terdaftar masih menggunakan barang atau jasa sebagaimana
disebut dalam sertifikat merek, barang dan jasa tersebut masih diproduksikan dan
diperdagangkan. Permohonan perpanjangan tersebut diajukan kepada Direktorat
Jenderal. (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2001).
Selanjutnya Pasal 36 UU No. 15 Tahun 2001 juga menentukan persyaratan
untuk persetujuan permintaan perpanjangan jangka waktu perlindungan Merek
terdaftar. Persyaratannya meliputi:
96
a. Merek yang bersangkutan masih digunakan pada barang atau jasa
sebagaimana disebut dalam Sertifikat Merek tersebut; dan
b. Barang atau jasa sebagaimana dimaksud dalam huruf a masih diproduksi
dan diperdagangkan.
Dalam pasal 37 UU No.15 Tahun 2001 diatur mengenai permohonan
perpanjangan ditolak oleh Direktorat Jenderal apabila permohonan tersebut tidak
memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 dan pasal 36.
Permohonan perpanjangan merek terdaftar dapat ditolak oleh Kantor
Direktorat Jenderal apabila, sebagai berikut :
1.
Merek atas barang dan/atau jasa sebagaimana disebut dalam sertifikat
merek sudah tidak digunakan, tidak diproduksikan dan tidak diperdagangkan;
2. Apabila merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya dengan merek terkenal (well—known trademark) milik
orang lain.
Penolakan permohonan perpanjangan diberitahukan secara tertulis kepada
pemilik merek atau kuasanya dengan menyebutkan alasannya. Keberatan terhadap
penolakan permohonan perpanjangan
dapat diajukan ke Pengadilan Niaga.
Terhadap putusan Pengadilan Niaga tersebut hanya dapat diajukan kasasi.
Perpanjangan jangka waktu perlindungan merek terdaftar dicatat dalam
Daftar Umum Merek dan diumumkan dalam Berita Resmi Merek. Perpanjangan
jangka waktu perlindungan merek terdaftardiberitahukan kepada pemilik merek
atau kuasanya (Pasal 38 UU No. 15 Tahun 2001).
97
Atas perubahan nama dan/atau alamat pemilik merek terdaftar harus
diajukan permohonan kepada Direktorat Jenderal. Pencatatan perubahan nama
dan/atau alamat pemilik merek terdaftar dikenai biaya pencatatan untuk dicatat
dalam Daftar Umum Merek dengan disertai salinan yang sah mengenai bukti
pencatatan yang untuk selanjutnya diumumkan dalam Berita Resmi Merek.
98
BAB IV
UPAYA HUKUM DAN SANKSI ATAS PELANGGARAN MEREK
TERKENAL BERDASARKAN PARIS CONVENTION, TRIPS AGREEMENT
DAN UU NO.15 TAHUN 2001
4.1. Upaya Hukum Bagi Pemilik Merek Terkenal Berkaitan Dengan
Pelanggaran Berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No.
15 Tahun 2001
Merek merupakan identitas suatu barang yang membedakan kualitas dan
mutu dari barang yang satu dengan yang lainnya. Usaha pemerintah untuk
menciptakan suatu kondisi persaingan sehat dalam bidang merek dengan
membentuk Undang-undang merek yang baru belum dapat diterapkan secara
sempurna. Keinginan manusia untuk memperoleh keuntungan yang besar
menyebabkan manusia cenderung akan melanggar aturan yang ada.
Pada hak atas merek melekat keuntungan ekonomi.
Hal ini selalu
dimanfaatkan bukan hanya oleh pemilik merek melainkan juga oleh pihak atau
oknum yang ingin menarik keuntungan dengan menggunakan ketenaran merek
terkenal serta memanfaatkan promosi merek terkenal untuk kepentingan dirinya
sendiri dengan cara melakukan peniruan atau pemalsuan merek terkenal tersebut.
Hal ini sangat merugikan pemilik merek terkenal karena menyebabkan menurunnya
omzet penjualan sehingga mengurangi keuntungan yang sangat diharapkan dari
mereknya yang sudah terkenal tersebut serta merusak citra dari merek terkenal
tersebut. Konsumen dalam hal ini merupakan pihak yang juga dirugikan karena
99
konsumen akan memperoleh barang-barang atau jasa yang bermutu lebih rendah
apabila dibandingkan dengan merek asli yang sudah terkenal tersebut. Selain itu
pemerintah (negara) juga dirugikan karena minimnya devisa negara dan pajak yang
masuk akibat dari pemalsuan merek terkenal tersebut. Jadi pelanggaran merek
terkenal dsini tidak hanya merugikan pemilik merek tetapi memiliki dampak negatif
yang luas bagi pihak lain dalam hal ini konsumen dan negara.
Ketentuan Pasal 9 dan pasal 10ter Paris Convention menyebutkan upaya
hukum yang dapat dilakukan terhadap pelanggaran merek terkenal. Semua
barang yang secara tidak sah membawa merek dagang atau nama dagang harus
disita pada pemasukan barang import ke dalam negara persatuan dimana merek
atau nama dagang tersebut berhak atas perlindungan hukum. Penyitaan harus
juga dilaksanakan di negara mana afiksasi melanggar hukum terjadi atau di
negara mana barang tersebut diimpor. Penyitaan akan dilakukan atas permintaan
jaksa penuntut umum, atau pejabat yang berwenang lainnya, atau setiap pihak
yang berkepentingan, baik orang pribadi atau badan hukum, sesuai dengan
undang-undang dalam negeri masing masing negara. Pihak berwenang tidak
terikat
untuk
melaksanakan
penyitaan
barang
dalam
perjalanan.
Jika undang-undang suatu negara tidak mengizinkan penyitaan atas impor,
penyitaan harus diganti dengan larangan impor atau penyitaan di dalam negeri.
Jika undang-undang suatu negara memungkinkan penyitaan baik pada impor
atau larangan impor atau penyitaan di dalam negeri, maka sampai waktu
perubahan suatu undang-undang
telah disesuaikan, tindakan tersebut harus
diganti dengan tindakan dan upaya yang tersedia dalam kasus tersebut kepada
100
warga negara berdasarkan hukum negara tersebut (Pasal 9 Paris Convention)
Negara-negara persatuan menjamin warga negara dari negara persatuan
lain
menjalankan solusi hukum yang tepat efektif untuk menekan semua
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis. Mereka dapat
melakukan, lebih lanjut, memberikan langkah-langkah untuk mengizinkan
federasi dan asosiasi yang mewakili kepentingan pengusaha, produsen, atau
pedagang, asalkan keberadaan federasi dan asosiasi tersebut tidak bertentangan
dengan hukum negara mereka, untuk mengambil tindakan di pengadilan atau
sebelum otoritas administratif, dengan maksud untuk menekan
perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, 10, dan 10bis, sejauh hukum negara di
mana perlindungan diklaim memungkinkan tindakan tersebut oleh federasi dan
asosiasi negara tersebut (Pasal 10ter Paris Convention)
Di dalam TRIPs Agreement diatur mengenai penegakan hukum untuk
mencegah dan mengatasi terjadinya pelanggaran di bidang HKI (khususnya
merek terkenal) yang terjadi di negara-negara anggota.
Anggota wajib menyediakan prosedur peradilan perdata bagi pemegang
hak sehubungan dengan penegakan hukum atas HKI yang dicakup oleh
persetujuan ini. Tergugat berhak untuk memperoleh dalam waktu singkat
pemberitahuan tertulis yang memuat secara cukup detail mengenai gugatan,
termasuk mengenai dasar gugatan. Para pihak diperkenankan untuk diwakili oleh
penasehat hukum yang dipilihnya sendiri, dan prosedur yang berlaku tidak boleh
membebankan persyaratan yang terlalu berat sehubungan dengan kewajiban untuk
hadir sendiri di pengadilan. Semua pihak dalam prosedur yang bersangkutan
101
berhak untuk mempertahankan kebenaran gugatannya dan mengajukan buktibukti yang relevan. Prosedur yang bersangkutan harus menyediakan sarana untuk
mengidentifikasikan dan melindungi informasi yang dirahasiakan, kecuali apabila
hal tersebut bertentangan dengan persyaratan konstitusional yang berlaku (Pasal
42 TRIPs Agreement).
Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang
melakukan pelanggaran untuk membayar ganti rugi yang memadai kepada
pemegang hak sehubungan dengan kerugian yang diderita oleh yang bersangkutan
karena pelanggaran atas HKI-nya oleh pihak lain yang mengetahui atau patut
mengetahui bahwa dia terlibat dalam kegiatan pelanggaran.Badan peradilan juga
mempunyai wewenang untuk memerintahkan pihak yang melakukan pelanggaran
untuk membayar ganti rugi untuk biaya yang dikeluarkan oleh pemegang hak,
termasuk biaya yang dikeluarkan untuk jasa penasehat hukum. Dalam hal-hal
tertentu, Anggota dapat memberikan wewenang kepada badan peradilan untuk
memerintahkan pembayaran ganti rugi berupa pengembalian kembali keuntungan
dan/ atau pembayaran meskipun pihak yang melakukan pelanggaran tidak
mengetahui atau tidak mempunyai alasan untuk mengetahui bahwa dia telah
terlibat dalam kegiatan pelanggaran. (pasal 45 TRIPs Agreement)
Dalam hal suatu upaya perdata dapat ditetapkan atas dasar prosedur
administrasi mengenai pokok suatu perkara, prosedur yang bersangkutan harus
sesuai dengan prinsip-prinsip yang sama dengan prinsip-prinsip yang diuraikan
dalam Bagian ini. (Pasal 49 TRIPs Agreement)
102
Mengingat merek merupakan bagian dari kegiatan perekonomian atau
dunia usaha yang sangat terkait erat dengan ekonomi dan perdagangan, oleh
karenanya penyelesaian sengketa merek menjadi kewenangan badan peradilan
khusus, yaitu Pengadilan Niaga, sehingga diharapkan sengketa perdata di bidang
merek dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat. Pemilik merek memiliki
upaya perlindungan hukum terhadap mereknya dengan mengajukan permohonan
kepada Pengadilan Niaga agar dapat dikeluarkan “penetapan sementara
pengadilan” untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
Penetapan sementara pengadilan ini disebut provisional measures, yang
juga umum dikenal dalam peraturan arbitrase, maupun konvensi tentang
penyelesaian sengketa tentang penanaman modal.95 Didalam TRIPs Agreement
mengenai provisional measures diatur dalam Pasal 50 ayat 1, sebagai berikut:
1. Badan peradilan mempunyai wewenang untuk memerintahkan diambilnya
tindakan sementara yang cepat dan efektif:
(a) untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap HKI, dan terutama untuk
mencegah masuknya barang-barang kedalam arus perdagangan di dalam wilayah
hukum mereka, termasuk barang-barang impor segera setelah dilepas oleh beacukai;
(b) untuk melindungi bukti-bukti yang berkaitan dengan tuduhan pelanggaran.
Pengaturan-pengaturan mengenai penegakan hukum ini secara garis besar
memuat kewenangan-kewenangan yang diberikan kepada badan peradilan, badan
95
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata,Op. Cit, h. 189
103
administrasi (Pabean) dan pemegang HKI bila terjadi pelanggaran yang
menyangkut HKI. Prinsip-prinsip pokok dalam penegakan hukum apabila terjadi
pelanggaran dan/atau adanya indikasi pelanggaran diatur dalam TRIPs Bagian
Ke-empat yang mengatur tentang “Special Requirements Related to Boarder
Measures”. Anggota wajib, sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diuraikan
dibawah,untuk menyelenggarakan prosedur yang memungkinkan pemegang hak,
yang memiliki dasar sah bahwa akan terjadi pengimporan barang yang bermerek
dagang palsu atau barang hasil pembajakan, untuk mengajukan permohonan
tertulis kepada pihak yang berwenang, administrasi maupun badan peradilan,
untuk menunda dilepaskannya oleh pabean barang-barang tersebut ke dalam arus
perdagangan. Anggota dapat memungkinkan pengajuan permohonan seperti itu
terhadap barang-barang yang melibatkan pelanggaran lain terhadap HAKI,
sepanjang persyaratan-persyaratan yang diatur dalam Bagian ini terpenuhi.
Anggota dapat juga menetapkan prosedur yang sama untuk barang-barang yang
akan diekspor (Pasal 51 TRIPs Agreement)
Setiap pemegang hak yang memanfaatkan prosedur yang dimaksud dalam
Pasal 51 wajib menyediakan bukti-bukti yang memadai untuk meyakinkan pihak
yang berwenang, berdasarkan hukum negara dimana pengimporan dilakukan,
bahwa prima facie telah terjadi pelanggaran terhadap HKI-nya dan memberikan
keterangan rinci secara cukup mengenai barang-barang yang bersangkutan agar
mudah
dikenali
oleh
pabean.
Pihak
yang
berwenang
memberitahukan pemohon tentang telah diterimanya
104
wajib
permohonan
segera
yang
bersangkutan dan, apabila telah ditetapkan oleh pihak yang berwenang, kapan
saatnya pabean akan memulai mengambil tindakan (Pasal 52 TRIPs Agreement).
Disamping upaya penyelesaian sengketa secara litigasi, dalam TRIPs
Agreement juga diatur penyelesaian sengketa secara non litigasi. Hal ini tertuang
dalam pasal 64 ayat (1) yaitu: Ketentuan dalam Pasal XXII dan XXIII GATT
1994 sebagaimana dijabarkan dan diterapkan berdasarkan Kesepakatan tentang
Aturan dan Prosedur mengenai Penyelesaian Sengketa berlaku terhadap proses
konsultasi dan penyelesaian sengketa yang timbul berdasarkan persetujuan ini
kecuali apabila secara khusus telah disediakan tersendiri.
Menurut UU No. 15 tahun 2001 untuk mencegah pelanggaran merek
terkenal serta melindungi hak-hak yang dimiliki pemilik merek terkenal dapat
dilakukan upaya hukum
dengan dengan cara litigasi (pengadilan) maupun non
litigasi (di luar pengadilan) yaitu Alternatif Penyelesaian Sengketa atau Arbitrase
1.Secara litigasi
Upaya hukum melalui jalur litigasi dapat dilakukan secara perdata dan
pidana. Secara perdata penyelesaian sengketa merek diatur dalam pasal 76 UU
No. 15 Tahun 2001 yaitu
Berdasarkan ketentuan pasal 76 UU No.15 Tahun 2001 yaitu:
1) pemilik merek terdaftar dapat mengajukan gugatan terhadap pihak lain
yang secara tanpa hak menggunakan merek yang mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang dan/atau jasa yang
sejenis berupa:
105
a.Gugatan ganti rugi;dan/atau
b.Penghentian semua perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek
tersebut.
2) Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan pada Pengadilan
Niaga.
Ganti rugi dapat berupa ganti rugi materiil dan immateriil. Ganti rugi
materiil yaitu yaitu berupa kerugian yang nyata dan dapat dinilai dengan uang.
Sedangkan ganti rugi immateriil yaitu berupa tuntutan ganti rugi yang disebabkan
oleh pemakaian merek dengan tanpa hak sehingga pihak yang berhak menderita
kerugian secara moril.
Pasal 77 UU No.15 Tahun 2001 menentukan bahwa gugatan atau
pelanggaran merek terdaftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 76 dapat pula
dilakukan oleh penerima lisensi merek terdaftar,baik secara sendiri maupun
bersama-sama dengan pemilik merek yang bersangkutan.
Atas permohonan pemilik merek dan/atau penerima lisensi merek terdaftar
selaku penggugat,selama masih dalam pemeriksaan dan untuk mencegah kerugian
yang lebih besar,hakim dapat memerintahkan tergugat untuk menghentikan
produksi,peredaran dan/atau perdagangan barang atau jasa yang menggunakan
merek tersebut secara tanpa hak. Dalam hal tergugat dituntut pula menyerahkan
barang yang menggunakan merek secara tanpa hak,hakim dapat memerintahkan
bahwa penyerahan barang atau nilai barang tersebut dilaksanakan setelah putusan
pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 78 UU No.15 Tahun 2001).
106
Selain itu pemilik merek terkenal juga dapat menuntut suatu pembatalan
terhadap pendaftaran merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
pada keseluruhannya dengan merek terkenal milik orang lain. Hal ini diatur dalam
Pasal 68 ayat (2) yang apabila disimpulkan menyatakan bahwa pemilik merek
tidak terdaftar dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran merek
berdasarkan alasan dalam Pasal 4, 5, dan 6 setelah mengajukan permohonan
kepada Direktorat Jenderal. Dalam artian bahwa gugatan pembatalan merek
terdaftar dapat diajukan, asalkan penggugat terlebih dahulu telah mengajukan
permohonan pendaftaran mereknya pada Direktorat Jenderal. Dengan pengajuan
permohonan, pemilik merek terkenal dianggap memiliki etikad baik untuk
mengikuti peraturan yang berlaku dengan mendaftarkan dan memakai mereknya
di Indonesia.
Gugatan pembatalan merek ini hanya dapat diajukan dalam jangka waktu
5 tahun sejak tanggal pendaftaran merek. Gugatan pembatalan dapat diajukan
tanpa batas waktu apabila
merek yang bersangkutan bertentangan dengan
moralitas agama, kesusilaan atau ketertiban umum maka jangka waktunya tidak
dibatasi. (Pasal 69 UU No.15 Tahun 2001)
Tata cara gugatan pada Pengadilan Niaga diatur dalam ketentuan Pasal 80
UU No. 15 Tahun 2001 :
(1) Gugatan
pembatalan
pendaftaran
merek
diajukan
kepada
Ketua
Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili
tergugat.
107
(2) Dalam hal tergugat bertempat tinggal di luar wilayah Indonesia,gugatan
tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
(3) Panitera
mendaftarkan
gugatan
pembatalan
pada
tanggal
yang
bersangkutan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima
tertulis yang ditandatangani panitera dengan tanggal yang sama dengan
tanggal pendaftaran gugatan.
(4) Panitera menyampaikan gugatan pembatalan kepada Ketua Pengadilan
Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari terhitung sejak
gugatan didaftarkan.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak tanggal
gugatan pembatalan didaftarkan,Pengadilan Niaga mempelajari gugatan
dan menetapkan hari sidang.
(6) Sidang pemeriksaan atas gugatan pembatalan diselenggarakan dalam
jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan
didaftarkan.
(7) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari
setelah gugatan pembatalan didaftarkan.
(8) Putusan atas gugatan pembatalan harus diucapkan paling lama 90
(sembilan puluh) hari setelah gugatan didaftarkan dan dapat diperpanjang
paling lama 30 (tiga puluh) hari atas persetujuan Ketua Mahkamah
Agung.
(9) Putusan atas gugatan pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (8)
yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari
108
putusan tersebut harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan
dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut
diajukan suatu upaya hukum.
(10) Isi putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib
disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas)
hari setelah putusan atas gugatan pembatalan diucapkan.
Terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud dalam pasal
80 ayat (8) UU No.15 Tahun 2001,hanya dapat diajukan kasasi. Tata cara
permohonan kasasi ini menentukan tanggal permohonan harus diajukan dan
diwajibkan mengirimkan permohonan kasasi maupun memori kasasi ini kepada
Mahkamah Agung. Baik permohonan kasasi dan memori kasasinya serta kontra
memori kasasi kepada Mahkamah Agung yang diwajibkan mempelajari berkas
perkara kasasi dan menetapkan hari sidang selambatnya 2 (dua) hari setelah
tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung,setelah permohonan
kasasi oleh Mahkamah Agung lengkap dengan pertimbangan hukum putusan ini
dapat diucapkan. Kemudian Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi
putusan selambatnya 3 (tiga) hari setelah tanggal putusan permohonan kasasi dan
juru sita wajib menyampaikan putusan kasasi setelah putusan kasasi diterima.96
Berdasarkan bukti yang cukup pihak yang haknya dirugikan dapat
meminta hakim Pengadilan Niaga untuk menerbitkan surat penetapan sementara
tentang:
96
Sudargo Gautama dan Rizawanto Winata, Op. Cit, ,h.186.
109
1. Pencegahan masuknya barang yang berkaitan dengan pelanggaran hak
merek;
2. Penyimpanan alat bukti yang berkatan dengan pelanggaran merek tersebut
(pasal 85 UU No.15 tahun 2001).
Permohonan penetapan sementara diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan Niaga dengan persyaratan sebagai berikut:
1. Melampirkan bukti kepemilikan merek;
2. Melampirkan bukti adanya petunjuk awal yang kuat atas terjadinya
pelanggaran merek;
3. Keterangan yang jelas mengenai barang dan/atau dokumen yang
diminta,dicari,dikumpulkan dan diamankan untuk keperluan pembuktian;
4. Adanya kekhawatiran bahwa pihak yang diduga melakukan pelanggaran
merek akan dapat dengan mudah menghilangkan barang bukti;dan
5. Membayar jaminan berupa uang tunai atau jaminan bank (pasal 86 ayat (1)
UU No.15 Tahun 2001).
Dalam hal penetapan sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 85
telah dilaksanakan,Pengadilan Niaga segera memberitahukan kepada pihak yang
dikenai tindakan dan memberikan kesempatan kepada pihak tersebut untuk
didengar keterangannya.Hakim Pengadilan Niaga yang memeriksa sengketa
tersebut harus memutuskan untuk mengubah,membatalkan atau menguatkan
penetapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 85 dalam waktu paling lama 30
(tiga puluh) hari sejak dikeluarkannya penetapan sementara tersebut.
110
Apabila penetapan sementara dikuatkan,uang jaminan yang telah
dibayarkan harus dikembalikan kepada pemohon penetapan dan pemohon
penetapan dapat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal
76.Akan tetapi apabila penetapan sementara dibatalkan,uang jaminan yang telah
dibayarkan harus segera diserahkan kepada pihak yang dikenai tindakan sebagai
ganti rugi akibat adanya penetapan sementara tersebut.
Pada kasus pelanggaran merek “AEROSOLES”, Tergugat
tanpa
persetujuan Penggugat telah mendaftarkan merek "AEROSOLES" di bawah No.
Pendaftaran 415578, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenisjenis barang yang termasuk dalam kelas barang 25 (Bukti P-12) dan di bawah No.
Pendaftaran 415594, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenisjenis barang yang termasuk dalam kelas barang 18.
Penggugat sangat keberatan atas pendaftaran merek "AEROSOLES" di
bawah No.Pendaftaran 415578 dan 415594 yang dilakukan oleh Tergugat (Vide
Bukti P-12 dan P-13), karena merek "AEROSOLES" milik Tergugat jelas
mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya untuk barang
yang sejenis dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat. Hal tersebut di atas
jelas telah membuktikan adanya itikad tidak baik dari pihak Tergugat untuk
mengambil alih merek "AEROSOLES" milik Penggugat dan atau membonceng,
meniru, serta menjiplak ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat yang
telah terkenal di dunia internasional dan telah terdaftar di berbagai negara,
sehingga pendaftaran merek "AEROSOLES" yang dilakukan oleh Tergugat
tersebut dapat dikategorikan sebagai pendaftaran yang beritikad tidak baik, dan
111
oleh karenanya tidak patut untuk mendapat perlindungan hukum, sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 4 jo. Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b UU. No. 15 Tahun
2001 tentang Merek.
Penggugat kemudian mengajukan gugatan pembatalan merek Aerosoles
milik tergugat berdasarkan bukti-bukti yang ada. Hal tersebut kemudian
dikabulkan
oleh
Pengadilan
Niaga
dalam
Putusan
Nomor
06/Merek/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst.
Putusan tersebut menurut penulis telah sesuai dengan ketentuan Paris
Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001. Dalam hal ini Paris
Convention dan UU No. 15 Tahun 2001 menganut asas identical sign of Identical
good or services dan untuk merek terkenal dimana perlakuan untuk barang tidak
sejenis oleh Undang-undang No. 15 Tahun 2001 akan diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah (vide Pasal 6 ayat (2) Undang-undang No. 15 Tahun 2001).
Di dalam Pasal16 ayat (3) TRIPs Agreement menentukan bahwa secara mutatis
mutandis Pasal 6 bis Paris Convention akan berlaku untuk barang-barang atau
jasa yang tidak sejenis (not smiliar goods of service) dengan ketentuan bahwa
pemakaian merek atas benda-benda atau jasa-jasa yang bersangkutan akan
memberi indikasi adanya suatu hubungan antara barang-barang atau jasa-jasa
dengan pemilik merek terkenal dari pemilik merek tersebut akan cenderung
mendapatkan kerugian akibat pemakaian merek tersebut.
Merek “AEROSOLES” milik Penggugat dan merek “AEROSOLES”
milik Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya untuk barang sejenis dan
112
tidak sejenis (not similar goods) dan penggunaan merek AEROSOLES oleh
Tergugat tersebut dapat memberikan kesan seolah-olah barang-barang yang
diproduksi Tergugat dengan menggunakan merek AEROSOLES milik Penggugat
mempunyai hubungan atau berasal dari penggugat sehingga akan menyesatkan
atau membingungkan masyarakat (like hood of confusion) dan ternyata
penggunaan merek AEROSOLES oleh Penggugat telah dimulai sejak tahun 1989
di beberapa Negara, khususnya Amerika Serikat sebagai negara asal.
Sedangkan upaya
hukum yang dapat dilakukan oleh pemilik merek
terkenal secara pidana adalah dengan melaporkan pelanggaran tersebut kepada
pihak kepolisian. Pada merek berlaku delik aduan, maka setelah pelanggaran
merek terkenal tersebut dilaporkan oleh pemilik merek terkenal kepada pihak
kepolisian maka baru akan dilakukan penyidikan oleh penyidik Polri. Hal ini
diatur dalam pasal 89 UU No.15 tahun 2001 yaitu tentang penyidikan. Menurut
ketentuan Pasal 89 ayat (1),selain Penyidik Pejabat Polri, Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) tertentu di Direktorat Jenderal HKI diberi wewenang khusus
sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang
KUHAP untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang merek.97
Dalam Pasal 89 ayat (2) ditentukan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) tersebut berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang merek;
97
Abdulkadir Muhammad,Op.Cit,h.240
113
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana di bidang merek;
c. Meminta keterangan dan barang bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan tindak pidana di bidang merek;
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan,catatan dan dokumen lainnya
yang berkenaan dengan tindak pidana dibidang merek;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang
bukti,pembukuan, catatan dan dokumen lain serta melakukan penyitaan
terhadap barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam
perkara tindak pidana di bidang merek; dan
f. Meminta bantuan ahli dalam pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana
di bidang merek.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasil penyelidikannya kepada Penyidik Pejabat Polri. Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) menyampaikan hasil penyidikannya kepada
Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polri dengan mengingat ketentuan
Pasal 107 KUHAP (Pasal 89 ayat (3) dan ayat (4) UU No.15 Tahun 2001).
Setelah dilakukan penyidikan lalu dilakukan penangkapan dan penahanan,
selanjutnya dilakukan penyitaan dan penggeledahan. Setelah itu dilanjutkan
dengan penuntutan yang dilakukan oleh jaksa yang kemudian dilanjutkan dengan
pemeriksaan perkara di sidang pengadilan dan pemeriksaan alat-alat bukti atau
barang bukti.Apabila terbukti bersalah,maka pelaku pelanggaran merek terkenal
tersebut dapat dijatuhi hukuman pidana berupa penjara dan denda.
114
Penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan (litigasi) memiliki beberapa
keunggulan yaitu sebagai berikut:
a. Putusan dikenal dan diakui oleh semua pihak;
b. Putusan otomatis terdaftar di Lembaran Negara;
c. Putusan otomatis memiliki kemampuan mengikat dan memaksa;98
d. Putusan pengadilan, yang disebut putusan hakim (a judgement),
menunjukkan kekuasaan dari negara dan mempunyai kekuasaan
eksekutorial.99
Di samping memiliki keunggulan, penyelesaian sengketa dengan
menggunakan jalur peradilan (litigasi) juga memiliki kelemahan yaitu: lamban
dan membuang waktu , biaya mahal, kurang tanggap terhadap kepentingan
umum,serta terlampau formalistic dan teknis.100
2.Non Litigasi
Selain dengan cara diatas,penyelesaian sengketa merek dapat juga
dilakukan melalui cara non-litigasi,yaitu melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa
(ADR/ Alternative Dispute Resolution) dan Arbitrase yang terdapat dalam pasal
84 UU No.15 Tahun 2001.
98
Adrianus Meliala, 2008, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi dan Potensinya di
Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Jakarta
99
I Made Widnyana, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia Business Law
Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani Djemat & Partners, Jakarta, h.71.
100
Budhy Budiman,Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap Praktik
Peradilan Perdata dan Undang-Undang Bomor 30 Tahun 1999, http: //www.uikabogor.ac.id/jur05.htm, Diakses 10 September 2013, h.2
115
Alternatif Penyelesaian Sengketa menurut pasal 1 angka 10 UU No.30
Tahun 1999 adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak,yakni penyelesaian diluar pengadilan dengan
cara konsultasi,negosiasi,mediasi,konsiliasi atau penilaian ahli.
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat personal antara suatu pihak
tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak
konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan kebutuhan dan
keperluan kliennya.101
Negosiasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang bersengketa atau kuasanya secara langsung pada
saat negosiasi dilakukan, tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah. Para
pihak yang bersengketa secara langsung melakukan perundingan atau tawar
menawar sehingga menghasilkan suatu kesepakatan bersama. Para pihak yang
bersengketa berdiskusi atau bermusyawarah sedemikian rupa agar kepentingankepentingan dan hak-haknya terakomodir menjadi kepentingan atau kebutuhan
bersama para pihak yang bersengketa. Pada umumnya kesepakatan bersama
tersebut dituangkan secara tertulis.102 Disamping itu Michael Wheeler
menyatakan bahwa negotiation is a dynamic, interactive process. Conventional
101
Frans Hendra Winata, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika, Jakarta, h. 7
102
Rachmadi Usman, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra
Adiya Bakti, Bandung (Selanjutnya disebut Rachmadi Usman II), h.55
116
negotiation theory implicitly assumes a static environment by focusing on the
individual decision maker instead of the interaction of the parties.103
Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui
perundingan yang melibatkan phak ketiga yang bersikap netral (non intervensi)
dan tidak berpihak (impartial) kepada pihak-pihak yang bersengketa serta
diterima kehadirannya oleh pihak-pihak yang bersengketa. Pihak ketiga tersebut
disebut “mediator” atau “penengah” yang tugasnya hanya membantu pihak-pihak
yang bersengketa dalam menyelesaikan masalahnya dan tidak mempunyai
kewenangan untuk mengambil keputusan. Dengan kata lain mediator disini hanya
bertindak sebagai fasilitator saja. Dengan mediasi diharapkan dicapai titik temu
penyelesaian masalah atau sengketa yang dihadapi para pihak, yang selanjutnya
akan dituangkan sebagai ksespakatan bersama. Pengambilan keputusan tidak
berada di tangan mediator, tetapi di tangan para pihak yang bersengketa.104
Konsiliasi adalah usaha mempertemukan keinginan pihak yang berselisih
dengan melibatkan pihak ketiga untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian
sengketa. Konsiliator dalam proses konsiliasi harus memiliki peran yang cukup
berarti. Oleh karena itu konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan pendapatpendapat mengenai duduk persoalannya. Dalam menyelesaikan perselisihan,
konsiliator memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapat secara
terbuka dan tidak memihak kepada pihak yang bersengketa. Selain itu konsiliator
103
Michael Wheeler, 2013, The Art of Negotiation How to Improvise Agreement in a Chaotic
World, Simon and Schuster Inc, New York, h. 257-258
104
Ibid h. 82
117
tidak berhak untuk membuat putusan dalam sengketa untuk dan atas nama para
pihak sehingga keputusan akhir merupakan prosese konsiliasi yang diambil
sepenuhnya oleh para pihak dalam sengketa yang dituangkan dalam bentuk
kesepakatan diantara mereka.105
Penilaian ahli adalah suatu proses yang menghasilkan suatu pendapat
objektif, independent dan tidak memihak atas fakta-fakta atau isu-isu yang
dipersengketakan oleh seorang ahli yang ditunjuk oleh para pihak yang
bersengketa.di dalam melakukan prosese ini dibutuhkan persetujuan dari para
pihak untuk memberikan dan mempresentasikan fakta dan pendapat dari para
pihak kepada ahli. Ahli tersebut kemudian akan melakukan penyelidikan dan
pencarian fakta guna mendapatkan informasi lebih lanjut dari para pihak dan akan
membuat keputusan sebagai ahli bukan arbiter.106
Arbitrase adalah cara penyelesaiaan sengketa diluar lembaga litigasi atau
peradilan yang diadakan oleh para pihak yang bersengketa atas dasar perjanjian
atau kontrak yang telah mereka adakan sebelumnya atau sesudah terjadinya
sengketa. Para pemutus atau arbiternya dipilih dan ditentukan oleh para pihak
yang bersengketa dengan tugas menyelesaikan persengketaan yang terjadi di
anatara mereka. Pemilihan arbiter seyogyanya didasarkan pada kemampuan dan
keahliannya dalam bidang tertentu dan dapat bertindak secara netral.107UU No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa memberikan
batasan arbitrase secara otentik yaitu pada Pasal 1 angka 1 UU No.30 tahun 1999
105
Ibid h. 86
Ibid h 88
107
Ibid, h 110
106
118
arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa.
Di antara keenam cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan tersebut,
hanya penyelesaian sengketa melalui arbitrase yang menghasilkan putusan
memaksa yang dijatuhkan oleh pihak ketiga, yaitu arbiter atau majelis arbiter,
sedangkan cara penyelesaian lainnya yang tergolong dalam alternatif penyelesaian
sengketa, penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak, paling tidak hanya
mendapat saran dari pihak ketiga yang memfasilitasi perundingan antara pihak.108
Secara umum ada beberapa keuntungan yang diperoleh masyarakat apabila
menggunakan proses ADR dalam menyelesaikan sengketa yang dihadapinya
sebagai berikut:
a. Proses lebih cepat artinya penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dalam
hitungan hari, minggu atau bulan, tidak seperti halnya penyelesaian lewat
jalur pengadilan yang memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan tahunan;
b. Biaya lebih murah dibandingkan penyelesaian sengketa/ konflik melalui
jalur litigasi;
c. Sifatnya informal karena segala sesuatunya dapat ditentukan oleh para
pihak yang bersengketa seperti menentukan jadwal pertemuan, tempat
pertemuan, ketentuan-ketentuan yang mengatur pertemuan mereka, dan
sebagainya;
108
Ahmadi Miru, 2005, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang – Undang Merek,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.101 – 102
119
d. Kerahasiaan terjamin, artinya materi yang dibicarakan hanya diketahui
oleh kalangan terbatas, seperti para pihak termasuk Pihak Ketiga sehingga
kerahasiaan dapat terjamin dan tidak tersebar luas atau terpublikasikan;
e. Adanya kebebasan memilih pihak ketiga, artinya para pihak dapat memilih
pihak ketiga yang netral yang mereka hormati dan percaya serta
mempunyai keahlian dibidangnya;
f. Dapat menjaga hubungan baik persahabatan, sebab dalam proses yang
informal para pihak berusaha keras dan berjuang untuk mencapai
penyelesaian sengketa secara kooperatif sehingga mereka tetap dapat
menjaga hubungan baik;
g. Lebih
mudah
mengadakan
perbaikan-perbaikan,
artinya
apabila
menggunakan jalur ADR akan lebih mudah mengadakan perbaikan
terhadap kesepakatan yang telah dicapai seperti menegosiasikan kembali
suatu kontrak baik mengenai substansi maupun pertimbangan yang
menjadi landasannya termasuk konsiderans yang sifatnya non hukum;
h. Bersifat final, artinya keputusan yang diambil oleh para pihak adalah final
sesuai kesepakatan yang telah dituangkan di dalam kontrak;
i. Pelaksanaan tatap muka yang pasti, artinya para pihaklah yang
menentukan secara pasti baik mengenai waktu, tempat dan agenda untuk
mendiskusikan dan mencari jalan keluar sengketa yang dihadapi;
j. Tata cara penyelesaian sengketa diatur sendiri oleh para pihak, sebab tidak
terikat oleh peraturan-peraturan yang berlaku.109
109
I Made Widnyana, Op.Cit, h.23.
120
Dalam penjelasan Umum UU No.30 tahun 1999 disebutkan proses
penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase mempunyai kelebihan yaitu:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. Waktu pasti, artinya dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan
karena hal-hal prosedural dan administrative;
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai
pengetahuan, kejujuran, pengalaman serta latar belakang cukup mengenai
masalah yang disengketakan;
d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalah termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e. Putusan arbiter mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara
(prosedur) sederhana saja atau langsung dapat dilaksanakan
Disamping keuntungan penyelesaian sengketa melalui jalur diluar pengadilan
(non litigasi) seperti yang telah dipaparkan diatas,juga memiliki kelemahan yaitu
sebagai berikut:
a. Dapat timbul situasi pemahaman yang tidak merata, demikian pula
ekspektasi berbeda, antar para pihak;
b. Membutuhkan upaya bersama antar para pihak guna merealisir mekanisme
yang disepakati;
c. Tidak dikenal legal precedent; karenanya sulit fleksibel;
d. Tidak selalu bisa memberikan jawaban definitif terhadap semua jenis
sengketa hukum;
e. Untuk sebagian, keputusan masih harus didaftarkan di pengadilan;
121
f. Untuk sebagian, sulit mencari pihak ketiga yang dipercayai;
g. Tidak semua arbitrase atau mediator asing diakui;
h. Untuk mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan
membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah.110
4.2. Sanksi yang dapat diberikan berdasarkan Paris Convention, TRIPs
Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001
Pelanggaran terhadap merek terkenal banyak dijumpai baik di Indonesia
maupun di luar negeri. Banyak pihak atau oknum yang tidak bertanggung jawab
yang melakukan berbagai cara untuk mendapatkan keuntungan terhadap merek
terkenal yang pastinya sangat merugikan pemilik merek terkenal. Pemerintah telah
melakukan berbagai upaya hukum untuk mencegah pelanggaran terhadap merek
terkenal. Disamping melakukan upaya hukum untuk melindungi kepentingan
pemilik merek terkenal yang sah pemerintah juga memberikan sanksi kepada
pelaku pelanggaran yang diharapkan bertujuan untuk memberikan efek jera
sehingga dapat mengurangi pelanggaran merek terkenal yang terjadi di masyarakat.
Paris Convention tidak mengatur mengenai sanksi pidana apabila terjadi
pelanggaran terhadap merek terkenal. Mengenai ketentuan pidana dalam TRIPs
Agreement diatur dalam bagian 5 mengenai prosedur kriminal yaitu pasal 61 :
Anggota wajib menetapkan prosedur dan sanksi kriminal untuk diterapkan dalam
perkara-perkara yang melibatkan pemalsuan merek dagang atau pembajakan hak
cipta yang dilakukan dengan sengaja. Upaya yang tersedia termasuk pidana
110
Adrianus Meliala, op.cit, h.14.
122
penjara dan/atau denda yang cukup untuk membuat jera pelanggaran, sepadan
dengan tingkat hukuman yang berlaku terhadap kejahatan yang mempunyai kadar
yang sama. Dalam perkara-perkara tertentu, upaya yang tersedia termasuk juga
pensitaan, pengambilalihan dan pemusnahan dari barang hasil pelanggaran dan
semua bahan dan alat yang dipergunakan dalam tindak kejahatan. Anggota dapat
menetapkan prosedur dan sanksi kriminal untuk diterapkan dalam perkara lain
pelanggaran terhadap HKI, terutama dimana tindak pidana dilakukan dengan
sengaja dan untuk tujuan komersial.
Berdasarkan ketentuan diatas baik Paris Convention maupun TRIPs
Agreement tidak menetapkan jumlah denda atau ganti rugi yang harus dibayar
maupun jangka waktu pidana penjara bagi pihak yang melakukan pelanggaran.
Hal ini disesuaikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan masing-masing
negara peserta.
Adapun ancaman pidana yang dimaksud tersebut,termuat dalam pasal 90
UU No.15 Tahun 2001,sebagai berikut: “Barangsiapa yang dengan sengaja dan
tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek
terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis diproduksi atau
diperdagangkan,dipidana dengan pidana penjara 5 (lima) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”. Ini sesuai dengan sistem
yang dianut UU No.15 Tahun 2001,yaitu system konstitutif yang menentukan
bahwa hak atas merek diberikan kepada pemilik merek terdaftar bukan kepada
merek tidak terdaftar. Sedangkan yang dimaksud dengan barang atau jasa sejenis
123
dalam pasal 90 adalah kelompok jenis barang atau jasa yang mempunyai
persamaan dalam sifat,cara pembuatan dan tujuan penggunaannya.111
Pasal 91: “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak menggunakan
merek yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk
barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan,dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp.800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah)”.
Harus diperhatikan pula bahwa ancaman pidana itu bersifat kumulatif
bukan alternatif. Jadi disamping dikenakan ancaman pidana penjara kepada
pelaku juga dikenakan ancaman hukuman berupa denda. Sebab jika hanya denda
Rp.1.000.000.000,00 atau Rp.800.000.000,00 barangkali para pelaku tidak
berkeberatan tetapi ancaman penjara dan tuntutan ganti rugi perdata dimaksudkan
pula untuk membuat pelaku menjadi jera dan orang lain tidak mengikuti
perbuatannya tersebut.112
Untuk delik yang dikategorikan dalam delik pelanggaran dimuat pada
pasal 94,dalam hal ini barang siapa memperdagangkan barang atau jasa yang
diketahui bahwa barang dan jasa tersebut merupakan hasil pelanggaran
sebagaimana dimaksud dalam pasal 90 dan pasal 91 dipidana dengan pidana
kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah). Ancaman hukuman yang dimuat dalam pasal ini bersifat
alternatif,dapat berupa hukuman kurungan saja atau membayar denda saja.
111
112
Ibid,h.112
H.OK.Saidin, Op.Cit, h.403.
124
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
1. Konsep perlindungan hukum terhadap pemegang hak merek terkenal
berdasarkan Paris Convention, TRIPs Agreement dan UU No. 15 Tahun 2001
mendapat
keistimewaan
dalam
perlindungan
hukum
apabila
terjadi
pelanggaran. Dalam hal ini walaupun pemegang hak belum mendaftarkan
mereknya disuatu negara namun tetap dapat mempertahankan hak
eksklusifnya dengan menggunakan hak prioritas yaitu hak untuk memperoleh
pengakuan bahwa tanggal penerimaan di negara asal merupakan tanggal
prioritas di negara tujuan yang juga anggota salah satu dari kedua perjanjian
internasional tersebut.
2. Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh pemegang merek terkenal terhadap
pelanggaran merek terkenal menurut Paris Convention, Trips Agreement dan
UU No.15 Tahun 2001 dapat dilakukan secara litigasi dan non litigasi. Sanksi
hukum berupa pembayaran ganti rugi dan pidana kurungan, penentuannya
diserahkan kepada masing-masing Negara anggota namun tetap mengacu pada
ketentuan Paris Convention dan TRIPs Agreement. Sedangkan Indonesia
melalui UU No.15 tahun 2001 mengatur lebih detail mengenai sanksi yang
dapat dikenakan kepada pelaku pelanggaran yaitu berupa hukuman atau
pidana penjara berkisar antara 4 (empat) sampai 5 (lima) tahun dan pidana
denda sebesar Rp. 800.000.000,- sampai dengan Rp. 1.000.000.000,-
125
5.2.Saran
1. Berkaitan dengan perlindungan terhadap merek terkenal, pendaftaran
hendaknya dilakukan juga dengan menggunakan cyber system. Disamping itu
agar segera disahkan Peraturan Pemerintah tentang persyaratan penolakan
permohonan pendaftaran merek terkenal untuk barang dan atau jasa yang tidak
sejenis seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2001
sehingga cakupan perlindungan merek terkenal di Indonesia semakin luas.
2. Diharapkan kepada pelaku usaha dan masyarakat selaku konsumen agar lebih
aktif ikut serta dalam menanggulangi pelanggaran merek terkenal dengan cara
melaporkan kepada pihak berwenang setiap kali terjadi pelanggaran terhadap
merek terkenal. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam hukum merek yang
menganut delik aduan. Karena jika pelanggaran tersebut tidak dilaporkan
maka akan sangat merugikan pemilik merek terkenal, pelaku usaha, konsumen
dan negara. Disamping itu agar pemerintah secara terus menerus
mensosialisasikan kepada masyarakat mengenai pentingnya perlindungan dan
penegakan hukum di bidang merek.
126
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Abbott, Frederick et al, 2003, The International Intellectual Property System:
Commentary and Materials, Dalam: Purba, Achmad Zen Umar, Hak
Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan Kesatu, Alumni, Bandung
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta
Astarini, Dwi Rezki Sri, 2009, Penghapusan Merek Terdaftar, Alumni, Bandung
Blakeney, Michael, 1996, Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights:
A Concise Guide To The TRIPS Agreement. Dalam: Purba, Achmad Zen
Umar, Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs, Cetakan Kesatu, Alumni,
Bandung
Damian, Eddy, 2002, Hukum Hak Cipta Menurut beberapa Konvensi
Internasional, Undang-undang hak Cipta 1997 dan Perlindungannya
Terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya, Alumni, Bandung
Daritan, Prastasius, 2004, Hukum Merek dan Persengketaan Merek di Indonesia,
Cetakan Keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Djumhana, Muhammad dan R.Djubaedillah,2003, Hak Milik Intelektual (Sejarah
Teori dan Prakteknya di Indonesia),PT.Citra Aditya Bakti, Bandung
Djaman, Fidel S., 1995, Beberapa Aturan dan Kebijakan Penting di Bidang Hak
Milik Intelektual, Varia Peradilan Nomor 106, Ikatan Hakim Indonesia,
Jakarta
Fauza Mayana, Ranti, 2004, Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam
Era Perdagangan Bebas, Grasindo, Jakarta
Firmansyah, Hery,2011, Perlindungan Hukum Terhadap Merek, Panduan
Memahami Dasar Hukum Penggunaan dan Perlindungan Merek, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta
Fitzgeral, Anne dan Fitgerald,Brian, 2004, Intellectual Property in Principle,
Law Book Co., Sydney
127
Friedman.W, 1990, Teori dan Filsafat Hukum, Dalam: H. OK. Saidin, Aspek
Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right), Cetakan
Keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Gautama, Sudargo dan Winata, Rizawanto, 2002, Undang-undang Merek Baru
Tahun 2001, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Gautama, Sudargo, 2004, Hukum Merek Indonesia, Dalam: H. OK. Saidin,
Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right),
Cetakan Keempat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Getas, I Gusti Gede, 1996, Peranan Merek Dalam Dunia Usaha, Upada Sastra,
Denpasar
Hadjon,Philipus. M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT.
Bina Ilmu, Surabaya
Harahap, M. Yahya, 1996, Tinjauan Merek Secara Umum dan Hukum Merek di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Jened, Rahmi, 2007, Hak Kekayaan Intelektual, Penyalahgunaan Hak Eksklusif,
Airlangga University Press, Surabaya
Leaffer, Marshall, Understanding Copyright Law, Oxford Legal Publisher
Lindsey, Tim Et.al, 2005, Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar, Asian Law
Group Pty Ltd bekerjasama dengan PT. Alumni, Bandung
Locke, John, 1997, Summa Theologiae .Dalam: Keraf, Hukum Kodrat dan Teori
Hak Milik Pribadi, Kanisius, Jogjakarta
Marzuki, Peter Mahmud, 2007, Penelitian Hukum, Prenada Media Group, Jakarta
Maulana, Insan Budi, 2000, Sukses Bisnis Melalui Merek, Paten dan Hak Cipta,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
Maulana, Insan Budi, 2005, Bunga Rampai: Pandangan 21 Wanita terhadap Hak
dan Kekayaan Intelektual, Yayasan Klinik Hak dan Kekayaan Intelektual
Fakultas Hukum Universitas Krina Dwi, Jakarta
Margono, Suyud dan Amir Angkasa, 2002, Komersialisasi Aset Intelektual Aspek
Hukum Bisnis, PT. Gramedia Widyasarana Indonesia, Jakarta
128
Margono, Suyud dan Longginus Hadi, 2003, Pembaharuan Perlindungan Hukum
Merek, CV.Novindo Pustaka Mandiri, Jakarta
Marpaung, Leden, 1995, Tindak Pidana Terhadap Hak Atas Kekayaan
Intelektual, Sinar Grafika, Jakarta
Meliala, Adrianus, 2008, Penyelesaian Sengketa Alternatif: Posisi dan Potensinya
di Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
Jakarta
Meliala, Djaja S., 2007, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda dan
Hukum Perikatan, CV. Nuansa Aulia, Bandung
Mertokusumo, Sudikno, 2001, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Liberty
Yogyakarta
Miru,Ahmadi, 2005, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang – Undang
Merek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Muhammad, Abdulkadir, 2001, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan
Intelektual, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung
_________, 2003, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan Kedua Revisi, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung
________, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung
Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 2013, Pedoman Penulisan Usulan
Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2) Ilmu
Hukum, Denpasar
Purba, Achmad Zen Umar, 2005,Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs,
Cetakan 1, PT, Alumni, Bandung
Riswandi, Budi Agus dan Syamsudin.M., 2005, Hak kekayaan Intelektual dan
Budaya Hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta
Rizaldi, Julius, 2009, Perlindungan Kemasan Produk Merek Terkenal Terhadap
Persaingan Curang, Alumni, Bandung
Salman. S. Otje dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Utama, Bandung
Saidin, H. OK., 2004, Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual
Property Rights), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
129
Sidharta, Arief, 1993, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung
Sjahputra, Iman, Dkk., 1997, Hukum Merek Baru Indonesia, Harvarindo, Jakarta
Sutedi, Adrian, 2009, Hak Atas Kekayaan Intelektual, Sinar Grafika,Jakarta
Syarifin,Pipin dan Jubaedah,Dedah, 2004, Peraturan Hak Kekayaan Intelektual
di Indonesia, Citra Utama, Bandung
Tim Redaksi Tata Nusa, 2004, Himpunan Putusan-putusan Pengadilan Niaga
dalam Perkara Merek PT.Tatanusa, Jakarta
Usman, Rachmadi, 2003, Hukum Hak atas Kekayaan Intelektual Perlindungan
dan Dimensi Hukumnya di Indonesia, PT. Alumni, Bandung
_______, 2003, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, PT. Citra
Adiya Bakti, Bandung
Michael Wheeler, 2013, The Art of Negotiation How to Improvise Agreement in a
Chaotic World, Simon and Schuster Inc, New York
Widnyana, I Made, 2007, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR), Indonesia
Business Law Center (IBLC) bekerja sama dengan Kantor Hukum Gani
Djemat & Partners, Jakarta
Winata, Frans Hendra, 2012, Hukum Penyelesaian Sengketa, Sinar Grafika,
Jakarta
2.Jurnal dan Makalah
Dube, Bharat, 2000,
Assesing Trademark Law on Well-Known Marks
Counterfeiting, Paper Presented at Advanced Seminar, Prospect and
Implementation of Indonesian Copyrights, Patent and Trademark Laws,
Jakarta 31 Juli – 1 Agustus.
James. E. Inman, 1993, Gray Marketing of Imported Trademark Goods: Tarrif
and Trademark Issues, American Business Law Journal, Vol. 31, No. 1
Kesowo, Bambang, 1998, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia, Makalah
Disampaikan dalam sambutan arahan Seminar Nasional Perlindungan
Merek Terkenal di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Parahiyangan,
Bandung 26 September
130
Ningsih, Yuslisar, 2003, Perlindungan dan Penegakan Hukum Merek di
Indonesia Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek,
Makalah disampaikan pada Penataran Hak Kekayaan Intelektual (HKI),
Mataram 20-23 Juli
Nurwidiatmo, 2003, Analisis Yuridis Penerapan Hukum Merek di Indonesia,
Jurnal Penelitian Hukum: Vol.4.No.1., Jakarta
Ramli, Ahmad, 2001, Perlindungan Rahasia Dagang, Jurnal Hukum Bisnis:
Volume 13, No. 5., Jakarta
Smith, Robert.S., 1992, The Unresolved Tension Between Trademark Protection
and Free Movement of Goods in the European Community, Duke Journal of
Comparative and International Law: Volume 3, No. 1
Subroto, 2001, Mengukur Kinerja Merek, Swasembada:,Vol 17. No. 04
Sudjatmiko, Agung, 2000, Perlindungan Hukum Hak Atas Merek, Yuridika: Vol.
15. No.5
Wiston, Keny, 1999, Famous and Well-Know Trade Mark Versus Domain Names,
Jurnal Hukum Bisnis: Vol. 9, No.3
3.Internet
Budhy Budiman,Mencari Model Ideal Penyelesaian Sengketa, Kajian Terhadap
Praktik Peradilan Perdata dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, http:
//www.uika-bogor.ac.id/jur05.htm, Diakses 10 September 2013
Citrawinda, Cita, 2007, Sekilas Tentang Tindak Pidana Dalam Bidang Merek,
http: //lib.law.ugm.ac.id/ojs/index.php/jli/article/view/654, Diakses 29
Oktober 2013
WIPO, 2013, Membuat Sebuah Merek: Pengantar Merek untuk Usaha Kecil dan
Menengah,
Publikasi
WIPO
Nomor
900,
http://www.wipo.int/expor..on/making_a_mark_Indo.pdf,
Diakses
26
Desember 2013
4.Perundang-Undangan
Moeljatno, 2001,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),Bumi Aksara,
Jakarta
131
Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 02HC.01 Tahun 1987 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek yang
Mempunyai Persamaan Dengan Merek Terkenal Milik Orang lain.
Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri Kehakiman RI No. M.03-HC.02.01 Tahun
1991 tentang Penolakan Permohonan Pendaftaran Merek Terkenal atau
Merek yang Mirip Dengan Merek Terkenal Milik Orang Lain atau Milik
Badan Lain
Konvensi Paris (Paris Convention for the Protection of Industrial Property)
Subekti dan R. Tjitrosudibyo, 1983, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Pradnya Paramita, Jakarta
TRIPS Agreement (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights)
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek
132
LAMPIRAN
PUTUSAN
Nomor 06/Merek/2004/PN.Niaga.Jkt.Pst.
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA.
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkaraperkara perdata Niaga telah menjatuhkan Putusan sebagai berikut dalam perkara
antara :
AEROSOLES INTERNATIONAL, INC., suatu perseroan menurut UndangUndang Negara Amerika Serikat, berkedudukan di Edison, NJ 088181916, Amerika Serikat, dalam hal ini diwakili oleh kuasanya Fahmi
Assegaf, S.H., M.H. dan Damar Swarno Dwipo, S.H., dari PACIFIC
PATENT, berdomisili di Graha Niaga, Lt. 11, JI. Jend. Sudirman Kav. 58,
Jakarta 12190, berdasarkan surat kuasa khusus tertanggal 05 Juni 2003,
selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT;
LAWAN:
PT. MATAHARI PUTRA PRIMA, berkedudukan di Jalan H. Samanhudi No.8
Jakarta 10710, selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT ;
PENGADILAN NIAGA Tersebut;
Telah membaca berkas perkara yang bersangkutan ;
Telah mendengar pihak yang berperkara ;
133
TENTANG DUDUKNYA PERKARA:
Menimbang, bahwa Penggugat melalui surat gugatan tertanggal 01 Maret
2004 yang diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat
pada tanggal 01 Maret 2004 dibawah Register Perkara Nomor
06/Merek/2004/PN.JKT.PST, telah mengemukakan gugatan yang pada pokoknya
sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Bahwa Penggugat adalah perusahaan terkenal dari Amerika Serikat dan
juga sebagai satu-satunya pemilik serta pemakai pertama atas merek
“AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia internasional.
Bahwa keberadaan merek terkenal "AEROSOLES" milik Penggugat telah
dilindungi oleh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia,
khususnya Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek maupun
konvensi-konvensi internasional, khususnya TRIPs Agreement dan Paris
Convention yang telah diratifikasi oleh Indonesia, sehingga penggugat
jelas memiliki hak tunggal untuk menggunakan merek “AEROSOLES" di
Indonesia, yang berfungsi untuk membedakan hasil produksi Penggugat
dengan hasil produksi pihak lain.
Bahwa kata “AEROSOLES" adalah merupakan ciptaan penggugat yang
sengaja dijadikan merek dagang oleh Penggugat, dengan tujuan agar
konsumen atau masyarakat luas dapat membedakan hasil produksi
Penggugat yang berasal dari negara Amerika Serikat dan telah terkenal di
dunia internasional dengan hasil produksi pihak lain.
Bahwa penggugat telah mendaftarkan merek "AEROSOLES" diberbagai
negara, antara lain:
1.
Uni Eropa, kelas 18, 25, 35, No. 000520908, tanggal 23 Oktober
1998 (Bukti P-1);
2.
Jerman, kelas, 25, No. 397 15 222, tanggal 07 April 1997 (Bukti P2) ;
3.
Yunani, kelas 25, No. 121085, tanggal 17 Oktober 1995 (Bukti P3);
4.
Jepang, kelas 25, No. 4170720, tanggal 24 Juli 1998 (Bukti P-4);
5.
Taiwan, kelas 25, No. 743693, tanggal 1 Januari 1997 (Bukti P-5);
6.
Inggris, kelas 25, No. 1547748, tanggal 5 Januari 1996 (Bukti P-6);
134
7.
Amerika Serikat, kelas 18, No. 2.190.746, tanggal 22 September
1998 (Bukti P-7);
8.
Amerika Serikat, kelas 25, 35, No. 2.144.257, tanggal 17 Maret
1998 (Bukti P-8).
5.
Bahwa merek "AEROSOLES" milik Penggugat telah dapat dikategorikan
sebagai merek terkenal di dunia internasional, karena selain telah terdaftar
di beberapa negara seperti tersebut di atas, merek "AEROSOLES" milik
Penggugat juga telah terdaftar di negara-negara lain, yaitu : Andorra,
Australia, Austria, Benelux, Brazil, Kanada, Chili, Republik Rakyat Cina,
Denmark, Uni Eropa, Finlandia, Perancis, Hong Kong, Irlandia, Italia,
Malaysia, Meksiko, Norwegia, Philipina, Portugal, Arab Saudi, Korea
Selatan, Spanyol, Swedia, Switzerland, Venezuela (Bukti P-9).
6.
Bahwa di samping merek "AEROSOLES" yang telah terdaftar di berbagai
negara seperti tersebut di atas, klien kami juga telah mengajukan
permintaan pendaftaran merek "AEROSOLES" ke Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM R.I. pada
tanggal11 Juni 2003 dengan No. Agenda DOO.2003.14490.14618 untuk
melindungi barang-barang yang termasuk dalam kelas 25 (Bukti P-10) dan
pada
tanggal
13
Oktober
2003
dengan
No.
Agenda
DOO.2003.28663.28940 untuk melindungi barang-barang yang termasuk
dalam kelas 18 (Bukti P-11).
7.
Bahwa diketahui oleh Penggugat, ternyata Tergugat tanpa persetujuan
Penggugat telah mendaftarkan merek "AEROSOLES" di bawah No.
Pendaftaran 415578, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi
jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas barang 25 (Bukti P-12) dan
di bawah No. Pendaftaran 415594, Tanggal Pendaftaran 27 April 1998
untuk melindungi jenis-jenis barang yang termasuk dalam kelas barang 18
(Bukti P-13).
8.
Bahwa Penggugat sangat keberatan atas pendaftaran merek
"AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 yang
dilakukan oleh Tergugat (Vide Bukti P-12 dan P-13), karena merek
"AEROSOLES" milik Tergugat jelas mempunyai persamaan pada
pokoknya maupun keseluruhannya untuk barang yang sejenis dengan
merek "AEROSOLES" milik Penggugat, baik mengenai bentuk, cara
penempatan, cara penulisan, kombinasi antara unsur-unsur ataupun
persamaan bunyi ucapannya. Hal tersebut di atas jelas telah membuktikan
adanya itikad tidak baik dari pihak Tergugat untuk mengambil-alih merek
135
"AEROSOLES" milik Penggugat dan atau membonceng, meniru, serta
menjiplak ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat yang telah
terkenal di dunia internasional dan telah terdaftar di berbagai negara,
sehingga pendaftaran merek "AEROSOLES" yang dilakukan oleh
Tergugat tersebut dapat dikategorikan sebagai pendaftaran yang beritikad
tidak baik, dan oleh karenanya tidak patut untuk mendapat perlindungan
hukum, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 (berikut
penjelasannya) jo. Pasal 6 ayat (1) huruf a dan b (berikut penjelasannya)
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
9.
Bahwa mengingat merek "AEROSOLES" milik Tergugat mempunyai
persamaan yang sangat mirip dengan merek “AEROSOLES" milik
Penggugat, maka apabila kedua merek tersebut digunakan secara
bersamaan dalam perdagangan, sudah pasti akan menimbulkan kondisi
persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan masyarakat luas sebagai
konsumen yang akan menganggap bahwa barang-barang yang berasal dari
Tergugat dan menggunakan merek "AEROSOLES" adalah barang-barang
yang berasal dari Penggugat dan hal ini tentu akan sangat merugikan
Penggugat.
10.
Bahwa sulit untuk membayangkan niat lain dari Tergugat dengan
mendaftarkan merek "AEROSOLES" yang jelas mempunyai persamaan
pada pokoknya maupun keseluruhannya dengan merek “AEROSOLES"
milik Penggugat, kecuali hanya niat untuk membonceng, meniru,
menjiplak, dan mengambil keuntungan secara sepihak dari ketenaran
merek “AEROSOLES" milik Penggugat yang telah dengan susah payah
dibangun oleh Penggugat selama bertahun-tahun dengan biaya yang besar,
termasuk diantaranya biaya untuk memperoleh perlindungan hukum
terhadap merek "AEROSOLES" di berbagai negara dan biaya untuk
promosi/iklan dalam rangka memperkenalkan produk-produknya di
seluruh dunia (Bukti P-14).
11.
Bahwa mengingat Penggugat adalah sebagai satu-satunya pemilik dan
pemakai pertama alas merek “AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia
internasional dan juga penggugat telah mengajukan permintaan
pendaftaran merek “AEROSOLES" ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan
Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM R.I. pada tanggal 11 Juni
2003 dengan No. Agenda 000. 2003. 14490. 14618 untuk melindungi
barang-barang yang termasuk dalam kelas 25 dan pada tanggal 13 Oktober
2003 dengan No. Agenda 000.2003.28663.28940 untuk melindungi
barang-barang yang termasuk dalam kelas 18 (Vide Bukti P-10 dan P-11),
136
maka Penggugat sangat mempunyai dasar hukum untuk mengajukan
gugatan pembatalan merek "AEROSOLES" di bawah No.Pendaftaran
415578 dan 415594 alas nama Tergugat, sebagaimana yang dimaksud
dalam Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 4 dan Pasal 6 ayat (1) huruf a
dan b Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek.
12.
Bahwa mengingat ketenaran merek "AEROSOLES" milik Penggugat dan
juga mengingat bahwa merek "AEROSOLES" milik Tergugat mempunyai
persamaan yang sangat mirip dengan merek "AEROSOLES" milik
Penggugat. maka patut diyakini bahwa apabila kedua merek tersebut
digunakan secara bersamaan dalam perdagangan, sudah pasti akan
menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan
masyarakat luas sebagai konsumen yang akan menganggap bahwa barangbarang yang berasal dari Tergugat dan menggunakan merek
"AEROSOLES" adalah barang-barang yang berasal dari Penggugat dan
hal ini tentu akan sangat merugikan Penggugat. Berdasarkan hal tersebut
di alas, maka Penggugat adalah juga sangat beralasan untuk menuntut
pembatalan merek "AEROSOLES" dibawah No.Pendaftaran 415578 dan
415594 atas nama Tergugat.
13.
Bahwa Penggugat memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat untuk berkenan memerintahkan kepada Direktorat Jenderal
Hak Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM RI, agar
membatalkan pendaftaran merek "AEROSOLES" di bawah No.
Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dari Daftar Umum
Merek, dan selanjutnya mengumumkan pembatalan pendaftaran merek
tersebut dalam Berita Resmi Merek, sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 70 ayat 3 jo. Pasal 71 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang
Merek.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka Penggugat memohon kepada
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, agar berkenan memutuskan
sebagai berikut :
1.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2.
Menyatakan Penggugat adalah sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai
pertama atas merek “AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia
internasional, sehingga Penggugat mempunyai hak tunggal untuk
menggunakan merek “AEROSOLES" tersebut;
137
3.
Menyatakan merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578
dan 415594 atas nama Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya
maupun keseluruhannya dengan merek “AEROSOLES" milik penggugat;
4.
Menyatakan batal menurut hukum pendaftaran merek “AEROSOLES" di
bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dengan
segala akibat hukumnya;
5.
Memerintahkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Departemen Kehakiman & HAM R.I., untuk membatalkan pendaftaran
merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas
nama Tergugat dari Daftar Umum Merek, dan selanjutnya mengumumkan
pembatalan pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek.
6.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.Atau, apabila
Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat berpendapat lain, mohon
putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Penggugat
datang menghadap diwakili kuasanya bernama : Fahmy Assegaf, SH. MH dan
Damar Swarno Dwipo, SH., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 05 Juni
2003, sedangkan Tergugat tidak datang menghadap dan juga tidak menunjuk
kuasa/wakilnya meskipun kepadanya telah dilakukan pemanggilan secara sesuai
relaas panggilan tertanggal 05 Maret 2004, dan melalui Iklan surat khabar harian
Rakyat Merdeka 18 Maret 2004 dan 12 April 2004;
Menimbang, bahwa Majelis Hakim telah berusaha menyarankan supaya
Penggugat damai dengan Tergugat tetapi tidak berhasil, kemudian dibacakan surat
gugatan dan setelah pembacaan mana Penggugat menyatakan tetap pada
gugatannya;
Menimbang, bahwa alas gugatan penggugat tersebut, Tergugat tidak
mengajukan jawaban dikarenakan tidak hadir dalam persidangan walaupun telah
dipanggil
dengan
patut
yaitu
dengan
surat
panggilan
No.
06/Merek/2004/PN/Niaga.Jkt.Pst. tanggal 05 Maret 2004 serta didalam surat
khabar harian Rakyat Merdeka masing-masing tanggal 18 Maret 2004 dan 12
April 2004; dan diberi kesempatan untuk menggunakan haknya namun Tergugat
atau lawannya tetap tidak hadir, sehingga acara pemeriksaan perkara ini tetap
dilanjutkan sebagaimana ditentukan dalam hukum acara pemeriksaan Perdata
Niaga .
Menimbang, bahwa Penggugat untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya
telah mengajukan bukti-bukti berupa Foto copy surat-surat
138
yang bermaterai cukup dan sesuai dengan aslinya yang diberi
tanda :
1.
Bukti P-1
:
Fotokopi sesuai dengan asli sertifikat merek Penggugat
di Uni Eropa daftar No. 000520908.
2.
Bukti P-2
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat Penggugat di
Jerman, daftar No 397 15 222.
3.
Bukti P-3
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek
penggugat di Yunani daftar No. 121085.
4.
Bukti P-4
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek
Penggugat di Jepang daftar No. 4170720.
5.
Bukti P-5
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek
Penggugat di Taiwan daftar No. 743693.
6.
Bukti P-6
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek
penggugat di Inggris daftar No. 1547748.
7.
Bukti P- 7
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek
Penggugat di Amerika Serikat, daftar No.2.190.746.
8.
Bukti P-8
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya sertifikat merek
Penggugat di Amerika Serikat, daftar No.2.144.257.
9.
Bukti P-9
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya, daftar pendaftaran
merek Penggugat, diberbagai negara di dunia.
10.
Bukti P-10
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya permintaan pendaftaran
merek penggugat No. Agenda D00.2003.14490.14618
untuk kelas barang 25.
11.
Bukti P-11
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya permintaan pendaftaran
merek Penggugat No. Agenda D00.2003.28663.28940
untuk kelas barang 18.
12.
Bukti P-12
:
Fotokopi sesuai dengan, aslinya pendaftaran merek
Tergugat daftar No. 415578 untuk kelas barang 25.
13.
Bukti P-13
:
Fotokopi sesuai dengan aslinya pendaftaran merek
Tergugat daftar No. 415594 untuk kelas barang 18.
139
14.
Bukti P-14
: Brosur/iklan asli produk-produk merek "AEROSOLES"
milik Penggugat.
Menimbang, bahwa penggugat tidak mengajukan saksi dan pada akhirnya
mohon putusan;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian Putusan ini selanjutnya
menunjuk pada hal-hal yang termuat dalam Berita Acara persidangan ;
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan Penggugat adalah
sebagaimana terurai diatas.
Menimbang, bahwa sebelum Majelis mempertimbangkan substansi dari
gugatan ini terlebih dahulu akan dipertimbangkan apakah formalitas dari
pengajuan gugatan ini telah dipenuhi ;
Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang
No. 15 Tahun 2001 tentang Merek menyebutkan bahwa gugatan pembatalan
merek hanya dapat diajukan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal
pendaftaran Merek;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti yang diajukan oleh Penggugat
yakni P-12, dan P-13, ternyata Tergugat telah mendaftarkan Merek AEROSOLES
dibawah No. 415578, tanggal pendaftaran 27 April 1998 untuk melindungi jenisjenis barang yang termasuk dalam kelas barang 25 dan dibawah No. 415594,
tanggal 27 April 1998 untuk melindungi jenis-jenis barang yang termasuk dalam
kelas barang 18, sedangkan gugatan Penggugat ini diajukan Penggugat pad a
tanggal 01 Maret 2004, dengan demikian jangka waktu 5 (lima) tahun sejak
tanggal pendaftaran merek telah terlewati;
Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 69 ayat (2) Undang-Undang No. 15
Tahun 2001, menyebutkan gugatan pembatalan dapat diajukan tanpa batas apabila
merek yang bersangkutan bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan, atau
ketertiban umum;
Menimbang, bahwa didalam Penjelasan Pasal 69 ayat (2) menyebutkan
bahwa pengertian yang bertentangan dengan moralitas agama, kesusilaan atau
ketertiban umum adalah sama dengan pengertian sebagaimana yang terdapat
140
dalam penjelasan Pasal 5 huruf a termasuk pula pengertian yang bertentangan
dengan ketertiban urn urn adalah adanya iktikad tidak baik ;
Menimbang, bahwa untuk rnenentukan apakah pendaftaran Merek
AEROSOLES oleh Tergugat dilakukan dengan iktikad tidak baik, akan
dipertimbangkan bersarna dengan substansi dari gugatan ini.
Menimbang, bahwa gugatan Penggugat pada pokoknya adalah Pembatalan
merek AEROSOLES atas nama Tergugat terdaftar di Direktorat Jenderal Hak
Kekayaan Intelektual, Departemen Kehakiman & HAM RI No. 415578 dan No.
415595, yang mempunyai persamaan pada pokoknya maupun keseluruhannya
dengan Merek AEROSOLES milik Penggugat ;
Menimbang, bahwa karena ternyata Tergugat meskipun telah dipanggil
dengan patut, tidak datang menghadap lagi pula ternyata bahwa tidak datangnya
disebabkan suatu halangan yang sah sehingga Tergugat harus dinyatakan tidak
hadir;
Menimbang, bahwa walaupun Tergugat tidak hadir, sehingga Tergugat
dianggap tidak menggunakan hak-haknya untuk menyangkal, namun bukan
berarti petitum gugatan Penggugat harus dikabulkan begitu saja, melain harus
tetap dipertimbangkan apakah gugatan Penggugat tidak melawan hak dan
beralasan hukum ;
Menimbang, bahwa yang menjadi pokok persoalan/perselisihan dalam
perkara ini dan oleh karena itu perlu diberi alasan serta dipertimbangkan lebih
lanjut adalah :
-
Apakah pendaftaran Merek AEROSOLES oleh Tergugat didasari adanya
iktikad buruk karena mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
AERSOLES milik Penggugat sehingga dapat menyesatkan konsumen atau
pendaftaran merek oleh Tergugat tersebut telah didasari oleh adanya
iktikad baik karena tidak mempunyai persamaan pada pokoknya dengan
merek Penggugat ;
Menimbang, bahwa Penggugat untuk menentukan adanya iktikad buruk
serta adanya persamaan pada pokoknya telah mengajukan bukti tertulis P-1
sampai dengan P-14 tanpa mengajukan saksi;
Menimbang, bahwa berdasarkan pasal 68 Undang-Undang Nomor 15
Tahun 2001 gugatan pembatalan merek dapat didasarkan atas alasan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4, 5 atau 6 yang artinya bahwa gugatan dapat
menggunakan alasan tersebut secara alternatif atau komulasi;
141
Bahwa penggunaan alasan gugatan dari ketiga pasal tersebut mempunyai
konsekwensi yang berbeda karena apabila gugatan didasarkan pada pasal 6 maka
hal tersebut selain terbatas oleh adanya limit atau tenggang waktu 5 (lima) tahun
sejak terdaftar sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 (1) juga terbatas pada kelas
barang yang sejenis namun pembuktiannya lebih mudah, sedangkan gugatan atas
dasar pasal 4 atau 5 selain tidak terbatas oleh tenggang waktu 5 (lima) tahun juga
tidak terbatas pada benda yang sejenis hanya saja bahwa pembuktiannya akan
lebih sulit dibanding dengan pembuktian pasal 6 ;
Menimbang, bahwa oleh karena Penggugat dalam posita gugatannya telah
secara tegas menunjuk pada pasal 4 dan 6 sebagai dasar gugatannya sedangkan
dalam petitum gugatannya hanya mohon agar merek AEROSOLES milik
Tergugat dinyatakan mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek
AEROSOLES milik penggugat maka konsekwensi juridis dari gugatan seperti ini
adalah bahwa penggugat harus membuktikan adanya pelanggaran kedua pasal
terse but dan oleh karena itu Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah
dalam pendaftaran merek AEROSOLES oleh Tergugat telah melanggar pasal 4
dan pasal 6 Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 atau dengan kata lain apakah :
1.
Apakah Merek milik Penggugat telah terdaftar di Indonesia;
2.
Apakah Merek Milik Penggugat telah termasuk Merek terkenal ;
3.
Pendaftaran merek AEROSOLES oleh Tergugat didasari iktikad tidak
baik;
4.
Apakah merek AEROSOLES milik Penggugat dan merek AEROSOLES
milik Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya;
Ad.1
Menimbang, bahwa terdaftarnya merek menurut Pasal 3 dan Pasal 28
Undang-undang Merek No. 15 Tahun 2001 adalah Merek tersebut terdaftar dalam
daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu dan dapat diperpanjang;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-10 sid P-11, terbukti penggugat
telah mendaftarkan merek AEROSOLES di Indonesia yang termasuk dalam kelas
25 dan 18 :
Menimbang, bahwa dengan demikian Penggugat adalah pemilik merek
"AEROSOLES” yang merupakan Perusahaan Penggugat yang telah terdaftar di
Indonesia;
Ad.2.
142
Dalam bahasa Indonesia kata asing "Well Known" diterjemahkan menjadi
terkenal begitu juga kata "Famous" sehingga pengertian "merek terkenal" tidak
membedakan arti atau tidak menentukan tingkatan arti "Famous mark" (Iihat. G.
Schlicker) dan "Well Known Mark" begitu juga putusan-putusan dalam kasuskasus merek terkenal Hakim senantiasa mengacu "merek terkenal" pada "Well
Known Mark" yang mengaitkan pada pasal 6 bis Konvensi Paris (Insan Budi
Maulana, Perlindungan Merek Terkenal di Indonesia dari Masa ke masa, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1999 hal 22-23);
Menimbang, bahwa pengertian merek terkenal menurut penjelasan Pasal 6
ayat 1 Undang-undang No. 15 Tahun 2001 adalah pengetahuan umum
menyangkut tentang sesuatu merek dibidang usaha yang bersangkutan, reputasi
suatu merek yang diperoleh dengan promosi yang gencar dan besar-besaran,
diberbagai negara dan disertai dengan bukti pendaftaran merek diberbagai negara
;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-1, sId P-9 Merek AEROSOLES
milik Penggugat telah terbukti terdaftar dibeberapa Negara seperti Uni Eropa,
Jerman, Yunani, Jepang, Taiwan, Inggris, Amerika Serikat ;
Menimbang, bahwa berdasarkan bukti P-14, telah terbukti Penggugat telah
mempromosikan dan memperiklankan mereknya. Dengan demikian telah terbukti
bahwa merek AEROSOLES adalah milik penggugat sebagai merek terkenal ;
Ad.3.
Menimbang, bahwa berdasarkan penjelasan pasal 4 "Pemohon yang
beriktikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara layak dan
jujur tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru atau menjiplak ketenaran
merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak
lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau
menyesatkan konsumen”;
Menimbang, bahwa dari penjelasan pasal 4 tersebut menurut Majelis
Hakim terdapat hal pokok untuk menentukan adanya iktikad tidak baik yaitu :
-
Adanya niat untuk kepentingan usaha pendaftaran sekaligus merugikan
pihak lain;
-
Melalui cara penyesatan konsumen atau perbuatan persaingan curang, atau
menjiplak atau menumpang ketenaran merek orang lain;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan adanya suatu niat harus
dibuktikan dengan adanya suatu perbuatan permulaan yang dalam kasus merek
143
harus nyata dengan adanya pendaftaran dan atau adanya penggunaan suatu merek
;
Menimbang, bahwa dari fakta persidangan (bukti P-12 dan P-13) telah
terbukti bahwa Tergugat telah mendaftarkan merek AEROSOLES sehingga yang
perlu dipertimbangkan lebih lanjut adalah apakah pendaftaran tersebut
dimaksudkan agar usaha Tergugat dapat memperoleh keuntungan sekaligus
merugikan pihak lain;
Menimbang, bahwa peniruan dari merek terkenal milik orang lain, pada
dasarnya dilandasi oleh iktikad tidak baik yaitu terutama untuk mengambil
kesempatan dan keuntungan dari ketenaran merek orang lain; oleh karena itu
maka tidak seharusnya iktikad tidak baik ini diberikan perlindungan hukum. (Prof.
Mr. Dr. Sudargo Gautama, Pembaharuan Ikatan Hukum Indonesia, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1997. Hal. 44)
Menimbang, bahwa oleh karena itu sesuai dengan Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 485 PK/PDT/1992, tanggal 20
September 1995, No. 487 PK/PDT/1992 tanggal 30 Maret 1995 dan No. 1445
PK/PDT/1995 tanggal 16 Juli 1996 telah memberikan perlindungan terhadap
merek terkenal yang dimiliki oleh yang sebenarnya atau yang berhak, ;
Menimbang, bahwa perlindungan yang diberikan oleh Undang-undang
Merek terhadap merek terkenal merupakan pengakuan terhadap keberhasilan
pemilik merek dalam menciptakan image eksklusif dari produknya yang diperoleh
melalui pengiklanan atau penjualan produk-produknya secara langsung. Teori
mengenai Pencemaran Merek terkenal (dilition theory) tidak mensyaratkan
adanya bukti telah terjadi kekeliruan dalam menilai sebuah pelanggaran merek
terkenal. Perlindungan didasarkan pada nilai komersial atau nilai jual dari merek
dengan cara melarang pemalsuan yang dapat mencemarkan nilai eksklusif dari
merek atau menodai daya tarik merek terkenal tersebut. (Hak Kekayaan
Intellectual suatu Pengantar, Editor Prof. Tim Lindsey, BA, LLB, Blitt, Phd. PT.
Alumni, Bandung, cetakan ke 1 hal, 151) ;
Menimbang, bahwa untuk mengetahui apakah pendaftaran merek
AEROSOLES oleh Tergugat dapat menguntungkan Tergugat serta merugikan
Penggugat sebagai pemilik merek AEROSOLES maupun konsumen, sangat erat
kaitannya dengan apakah masyarakat konsumen produk dengan merek
AEROSOLES dapat disesatkan atau terkecoh oleh produk dengan merek
AEROSOLES dari Tergugat ;
144
Menimbang, bahwa menurut Majelis Hakim penyesatan konsumen dapat
terjadi karena :
-
Penyesatan tentang asal suatu produk. Hal ini biasa terjadi karena merek
dari suatu produk menggunakan merek luar negeri atau ciri khas suatu
daerah yang sebenarnya merek tersebut bukan berasal dari luar negeri atau
dari suatu daerah yang mempunyai ciri khas khusus tersebut ;
-
Penyesatan karena produsen. Penyesatan dalam bentuk ini dapat terjadi
karena masyarakat konsumen yang telah mengetahui dengan baik mutu
atau kwalitas suatu produk, lalu kemudian dipasaran menemukan suatu
produk dengan merek yang mirip atau menyerupai merek yang ia sudah
kenai sebelumnya ;
-
Penyesatan melalui penglihatan. Penyesatan ini dapat terjadi karena
kesamaan atau kemiripan dari merek yang bersangkutan ;
-
Penyesatan melalui pendengaran. Hal ini sering terjadi bagi konsumen
yang hanya mendengar atau mengetahui suatu produk dari pemberitahuan
orang lain;
Menimbang, bahwa merek AEROSOLES penggugat dan Merek
AEROSOLES yang didaftarkan oleh Tergugat keduanya terdiri dari kata dengan
huruf latin tulisan tegak
Menimbang, bahwa dengan adanya persamaan kata AEROSOLES dengan
tulisan huruf jelas dapat menyesatkan konsumen karena para konsumen akan
mengira bahwa produk dengan merek AEROSOLES adalah produk yang sama
dengan produk AEROSOLES milik Penggugat paling tidak masyarakat konsumen
mengira bahwa AEROSOLES adalah produk dari group AEROSOLES milik
Penggugat;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
Majelis Hakim berpendapat bahwa pendaftaran merek AEROSOLES oleh
Tergugat mengandung suatu niat untuk menyesatkan konsumen agar produk milik
Tergugat dengan merek AEROSOLES dapat laku dipasaran karena masyarakat
konsumen telah mengenal sebelumnya produk dengan merek AEROSOLES hal
mana jelas dapat merugikan pemilik merek AEROSOLES Penggugat serta
masyarakat konsumen ;
Ad.4.
Menimbang, bahwa berdasarkan penjelasan pasal 6 Undang-Undang No.
15 Tahun 2001, yang dimaksud dengan adanya persamaan pada pokoknya adalah
145
kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek
yang satu dengan merek yang lain, yang dapat menimbulkan kesan adanya
persamaan baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau
kombinasi antara unsur-unsur ataupun persamaan bunyi ucapan yang terdapat
dalam merek-merek tersebut ;
Menimbang, bahwa Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya
berpendapat bahwa untuk menentukan persamaan pada pokoknya harus dilihat
secara keseluruhan atas unsur-unsur dari merek tersebut vide Putusan Mahkamah
Agung No. 2355 K/Pdt/1999 tanggal 26 Juni 2000, Putusan Nomor 110
K/Pdtl1999 ;
Menimbang, bahwa hal tersebut sesuai pula dengan pendapat Ahli hukum
Merek dan Yurisprudensi Indonesia bahwa persamaan pada pokoknya ada, kalau
merek yang digugat baik karena bentuknya maupun karena susunannya atau
bunyinya bagi masyarakat akan atau telah menimbulkan kesan sehingga
mengingatkan pada merek yang sudah ada sebelumnya ;
Menimbang, bahwa berdasarkan yurisprudensi tetap Mahkamah Agung
maupun doktrin maka pengertian "Persamaan" akan menimbulkan "kesan" yang
sama terhadap merek terkenal yang ada di masyarakat (vide Putusan Mahkamah
Agung No.1053 K/Sp/1982, tanggal 22 Desember 1982, No. 127 K/ Sp/1972,
tanggal 30 Oktober 1972, dan No. 178 K/Sp/1973, tanggal 9 April 1973;
Menimbang, bahwa ketentuan pasal 6 beserta penjelasannya, Putusan
Mahkamah Agung serta doktrin, menurut Majelis Hakim persamaan pada
pokoknya dapat ditentukan dengan cara memperhatikan :
-
Adanya persamaan bunyi atau ucapan ;
-
Cara penulisan huruf/kata ;
-
Penempatan unsur-unsur pokok ;
-
Menimbulkan kesan yang dapat membingungkan masyarakat serta
mengingatkan pada merek lain yang sudah dikenalluas dalam masyarakat;
-
Untuk barang sejenis.
Menimbang, bahwa sesungguhnya apa yang merupakan persamaan pada
pokok atau keseluruhan ada suatu penilaian faktual dan apakah termaksud barang
atau jasa yang sejenis. Kedua masalah ini dalam praktek akan ditentukan oleh
instansi Peradilan. Apabila diajukan permasalahannya kehadapan Pengadilan,
maka kriteria yang berlaku untuk dipandang sebagai adanya persamaan pada
146
pokoknya adalah "apabila suatu merek bersangkutan akan menimbulkan
kekeliruan pada khalayak ramai, jika dipakai bagi barang-barang sejenis". Dan
yang menentukan ada atau tidaknya persamaan pada pokoknya adalah "Kesan dari
Merek bersangkutan pada khalayak ramai";
Menimbang, bahwa untuk menentukan apakah ada persamaan pada
pokoknya atau tidak, merek-merek bersangkutan harus dipandang secara
keseluruhannya, yaitu tidak dapat diadakan pemecahan pada bagian-bagian merek
bersangkutan dan berdasarkan perbedaan dalam bagian-bagian ditarik suatu
kesimpulan bahwa ada cukup perbedaan untuk keseluruhannya. Sebaliknya juga
berdasarkan persamaan dari bagian-bagian merek tidak dapat segera dianggap
secara keseluruhan sudah ada persamaan antara merek-merek bersangkutan. Yang
dalam hal ini harus diperhatikan adalah titik-titik persamaan dari pada titik-titik
perbedaan. Kesan keseluruhan dari merek-merek bersangkutan kepada khalayak
ramai itulah yang dikedepankan untuk diperhatikan apakah ada persamaan atau
tidak. Jadi pertama-tama harus dilihat pada tingkat lahiriah dari merek
bersangkutan, kesan dari merek itu jika dipandang oleh khalayak ramai yang
menentukan apakah terdapat persamaan dalam suara atau arti sesuatu merek (Prof.
Mr. Dr. Sudargo Gautama, Undang-Undang Merek Baru Tahun 2001, Cet 1, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal 56);
Menimbang, bahwa apabila perbandingan merek AEROSOLES Penggugat
dan merek AEROSOLES milik Tergugat ternyata bahwa baik bunyi ucapan, cara
penulisan dengan huruf latin terdapat persamaan dan sebagaimana telah
dipertimbangkan pada bagian ad.3 bahwa merek AEROSOLES jelas dapat
menyesatkan konsumen, maka menurut Majelis Hakim, merek AEROSOLES
mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek AEROSOLES penggugat;
Menimbang, bahwa dipandang perlu untuk menegaskan bahwa yang
dianggap sebagai "Merek Terkenal" bukan hanya membatasi peniruan oleh pihak
lain terhadap pemakaian "barang-barang sejenis" tetapi dicakup pula dalam
perumusan ini "barang-barang yang tidak sejenis" dengan lain perkataan, apabila
suatu merek dipandang sebagai merek terkenal, maka tidak dapat dipergunakan
merek itu juga untuk barang-barang yang tidak sejenis (Prof. Mr. Dr. Sudargo
Gautama, Pembaharuan Hukum Merek Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997 halo 41);
Menimbang, bahwa Undang-undang No. 15 Tahun 2001 dan Konvensi
Paris menganut azas identical sign of Identical good of cervices; dan untuk merek
terkenal, maka perlakuan untuk barang tidak sejenis oleh Undang-undang No. 15
Tahun 2001 akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah (vide Pasal 6
ayat (2) Undang-undang No. 15 Tahun 2001 ;
147
Menimbang, bahwa perjanjian-perjanjian tentang aspek-aspek Dagang
Hak Atas Kekayaan Intelektual (Agreement On Trade Related Aspects On
Intellectual Property Right (Trips) yang merupakan bahwa bagian dari Perjanjian
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World
Trade Organization) telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-undang No.7
Tahun 1994;
Menimbang, bahwa Pasal16 ayat (3) Trips menentukan bahwa secara
mutatis mutandis Pasal 6 bis Paris Convention akan berlaku untuk barang-barang
atau jasa yang tidak sejenis (not smiliar goods of service) dengan ketentuan bahwa
pemakaian merek atas benda-benda atau jasa-jasa yang bersangkutan akan
memberi indikasi adanya suatu hubungan antara barang-barang atau jasa-jasa
dengan pemilik merek terkenal (Indicated a connection between those goods or
service) dari pemilik merek tersebut akan cenderung mendapatkan kerugian akibat
pemakaian merek tersebut (likely to be demaged by such use);
Menimbang, bahwa meskipun Undang-undang No. 15 tahun 2001
menganut Azas Identical Sign of Identical good or Service, akan tetapi untuk
mengisi kekosongan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat 2 Undangundang No. 15 Tahun 2001, maka tidak ada salahnya Pasal 16 TRIPS tersebut
diatas diterapkan dalam kasus ini; Oleh karena itu meskipun merek AEROSOLES
milik Penggugat dan merek AEROSOLES milik Tergugat mempunyai persamaan
pada pokoknya untuk sejenis barang dan tidak sejenis (not similar goods) akan
tetapi penggunaan merek AEROSOLES oleh Tergugat tersebut dapat memberikan
kesan seolah-olah barang-barang yang diproduksi Tergugat dengan menggunakan
merek AEROSOLES milik Penggugat mempunyai hubungan atau berasal dari
penggugat sehingga akan menyesatkan atau membingungkan masyarakat (like
hood of confusion) dan ternyata penggunaan merek AEROSOLES oleh
Penggugat telah dimulai sejak tahun 1989 di beberapa Negara, khususnya
Amerika Serikat sebagai negara asal (Bukti P-1 sId P-9); oleh karena itu
penggunaan merek oleh Tergugat, adalah untuk membonceng ketenaran merek
milik Penggugat tersebut; dan Dengan demikian pula merek AEROSOLES milik
Tergugat tersebut harus dibatalkan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut,
Majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil
gugatannya tersebut tentang adanya iktikad buruk yaitu adanya persamaan pada
pokoknya, oleh karena itu Penggugat harus dikabulkan dan pendaftaran merek
AEROSOLES oleh Tergugat harus dibatalkan, dan berdasarkan pasal 70 (3)
Direktorat Merek wajib untuk melaksanakan pembatalan tersebut setelah putusan
ini mempunyai kekuatan kekuatan hukum yang tetap;
148
Menimbang, bahwa oleh karena gugatan penggugat harus dikabulkan dan
dengan demikian Tergugat sebagai pihak yang kalah, maka Tergugat harus
dihukum untuk membayar biaya perkara;
Memperhatikan pasal 4, pasal 6, pasal 68 serta pasal-pasal lain dari
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 serta peraturan lain yang bersangkutan ;
MENGADILI
1.
Menyatakan bahwa Tergugat telah dipanggil dengan patut tidak datang
menghadap, tidak hadir ;
2.
Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dengan verstek ;
3.
Menyatakan Penggugat adalah sebagai satu-satunya pemilik dan pemakai
pertama atas merek " AEROSOLES" yang telah terkenal di dunia
internasional, sehingga Penggugat mempunyai hak tunggal untuk
menggunakan merek "AEROSOLES" tersebut;
4.
Menyatakan merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578
dan 415594 atas nama Tergugat mempunyai persamaan pada pokoknya
maupun keseluruhannya dengan merek "AEROSOLES" milik Penggugat;
5.
Menyatakan batal menurut hukum pendaftaran merek "AEROSOLES" di
bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas nama Tergugat dengan
segala akibat hukumnya;
6.
Memerintahkan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual,
Departemen Kehakiman & HAM R.I., untuk membatalkan pendaftaran
merek "AEROSOLES" di bawah No. Pendaftaran 415578 dan 415594 atas
nama Tergugat dari Daftar Umum Merek, dan selanjutnya mengumumkan
pembatalan pendaftaran merek tersebut dalam Berita Resmi Merek.
7.
Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara ini sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat Majelis Hakim pada hari RABU,
TANGGAL 14 April 2004 dengan H. HERRI SWANTORO, SH. MH., Sebagai
Hakim Ketua Majelis, H. DWIARSO BUDI SANTIARTO, SH dan AGUS
SUBROTO, SH. M.Hum., masing-masing sebagai Hakim Anggota Majelis
Putusan mana pada hari JUM'AT, TANGGAL 16 April 2004 diucapkan dimuka
persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua dengan dihadiri oleh
Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu oleh H. Y ANWITRA, SH. MH.
Panitera Pengganti dihadiri oleh kuasa Penggugat, tanpa dihadiri Tergugat ;
149
HAKIM-HAKIM ANGGOTA,
HAKIM KETUA,
ttd.
ttd.
H. DWIARSO BUDI
H. HERRI SWANTORO, SH.MH.
SANTIARTO, SH.
ttd.
AGUS SUBROTO, SH. M.Hum.
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
H. Y ANWITRA, SH.MH.
150
Download