Pasar Saham Sebagai Leading Indikator Terhadap

advertisement
Pasar Saham Sebagai
Leading Indikator Terhadap
Perubahan Aktivitas
Ekonomi
Disusun oleh:
Eric Hariyanto Wijaya
00000022136
Pendahuluan
Pergerakan pasar saham dianggap sebagai indikator atau "predictor" terhadap
pergerakan ekonomi. Adanya penurunan yang drastis pada pasar saham menjadi indikator akan
terjadinya resesi di masa depan, sementara kenaikan drastis pada pasar saham menjadi
indikator adanya pertumbuhan ekonomi di masa depan.
Namun banyak juga kontroversi yang menolak anggapan pasar saham sebagai indikator
terhadap pergerakan ekonomi karena adanya beberapa peristiwa seperti pada tahun 1987
dimana terjadi stock market crash namun diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang kuat di
Amerika. Adanya kontroversi ini menjadikan topik ini menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Secara teoritis, harga saham dianggap dapat memprediksi aktivitas ekonomi karena adanya
model valuasi dari harga saham dan adanya "wealth effect". Model valuasi harga saham
tradisional menggambarkan bahwa harga saham sekarang merepresentasikan ekspektasi
investor terhadap kondisi perusahaan tersebut di masa depan. Pergerakan dari perusahaanperusahaan tersebutlah yang menggerakkan ekonomi secara keseluruhan. Teori "wealth effect"
menyatakan bahwa adanya fenomena psikologis dimana seseorang akan membelanjakan lebih
banyak jika nilai dari aset mereka meningkat. Meningkatnya pembelanjaan masyarakat akan
mendorong adanya pertumbuhan ekonomi.
Brad Comincioli (supervised by Dr. Robert Leekley) melakukan penelitian berjudul
"The Stock Market As A Leading Economic Indicator: An Application of Granger Causality",
melakukan evaluasi harga saham sebagai indikator terhadap aktivitas ekonomi. Time-series
analysis dan gagasan "Granger causality" digunakan untuk memperkirakan hubungan antara
harga saham dan ekonomi, dan mengevaluasi apakah hubungan itu konsisten dengan teori.
Dalam penelitiannya, Brad Comincioli mengeksplotasi beberapa pertanyaan. Pertama, apakah
pasar saham merupakan leading indicator terhadap ekonomi riil, dalam pengertian variasi
dalam value di masa lalu dapat menjelaskan variasi dalam ekonomi riil? Kedua, apakah pasar
saham "Granger-cause" terhadap ekonomi riil, dalam hal harga saham di masa lalu
meningkatkan keakuratan prediksi aktivitas ekonomi di masa depan? Dan ke tiga, apakah
ekonomi riil "Granger-cause" terhadap pasar saham, dalam hal nilai aktivitas ekonomi di masa
lalu dapat meningkatkan keakuratan prediksi pasar saham?
Beberapa pihak yang menentang juga mempunyai alasan bahwa pasar saham tidak
dapat dijadikan indikator terhadap aktivitas ekonomi. Beberapa berargumen bahwa pasar
saham sebelumnya memberikan sinyal yang salah mengenai ekonomi. Oleh karena itu,
pergerakan pasar saham tidak dapat dijadikan sebagai indikator ekonomi. Misalnya pada saat
2
stock market crash tahun 1987, harga saham salah memprediksi kondisi ekonomi. Bukannya
masuk ke kondisi resesi, ekonomi Amerika justru terus bertumbuh sampai awal 1990.
Alasan lain beberapa orang menolak kemampuan pasar saham memprediksi aktivitas
perekonomian adalah karena fluktuasi harga saham di pasar saham disebabkan oleh ekspektasi
investor. Ekspektasi investor terhadap aktivitas ekonomi di masa depan sangat rentan dengan
human error, yang menyebabkan beberapa kali harga saham berbeda dengan kondisi riil
ekonomi. Karena antisipasi investor tidak selalu benar, kadang harga saham bisa naik sebelum
krisis ekonomi dan bisa turun sebelum adanya pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu,
seringkali pasar saham salah memprediksi arah perekonomian.
Lead / Lag Time
Jika harga saham dapat digunakan menjadi indikator pergerakan ekonomi, pertanyaan
selanjutnya adalah berapa lama lead or lag time yang digunakan. Misalnya jika harga saham
jatuh saat ini, apakah ini menjadi sinyal akan adanya resesi dalam kurun waktu 6 bulan, 1 tahun,
2 tahun, atau apakah resesi akan benar terjadi?
3
Dalam studinya, Douglas Pearce (1983) menemukan bahwa harga saham umumnya
mulai turun dua sampai empat kuartal sebelum mulainya resesi. Studi dilakukan untuk data
tahun 1956 - 1983. Pearce juga menemukan bahwa harga saham mulai naik kembali sebelum
mulainya ekspansi ekonomi.
Studi lain menemukan bukti yang menolak harga pasar sebagai indikator ekonomi.
Studi yang dilakukan oleh Peek dan Rosenberg (1988) mengindikasikan antara tahun 1955 dan
1986, dari sebelas kasus Standard and Poor's Composite Index dari 500 saham di Amerika
(S&P500) turun lebih dari 7%, hanya 6 yang diikuti oleh resesi ekonomi. Studi lanjutan
dilakukan oleh Robert J. Barro (1989) menemukan bahwa harga saham salah memprediksi tiga
resesi ekonomi, yaitu pada tahun 1963, 1967, dan 1978.
Landasan Teori
Pertanyaan mengenai apakah pasar saham dapat memprediksi ekonomi sudah banyak
diperdebatkan. Mereka yang mendukung konsep kemampuan pasar untuk memprediksi
berargumen bahwa pelaku pasar saham selalu menggunakan "forward-looking" untuk
melakukan valuasi pada harga saham, sehingga harga saham saat ini sudah mencerminkan
potensi keuntungan di masa depan (profitabilitas) dari perusahaan. Salah satu metode valuasi
yand sering digunakan oleh pelaku pasar saham, antar lain metode Discounted Future Cash
Flow.
Metode-metode Valuasi Saham
Discounted Future Cash Flow adalah metode valuasi yang digunakan untuk melakukan
estimasi terhadap nilai suatu investasi. Analisis DCF menggunakan proyeksi free cash flow di
masa depan dan didiskon untuk mendapatkan estimasi present value, yang digunakan untuk
mengevaluasi potensi dari suatu investasi. Jika nilai yang diperoleh melalui analisa DCF lebih
besar daripada cost yang harus dikeluarkan saat ini untuk investasi tersebut, maka kesempatan
investasi tersebut menjadi menarik bagi investor. DCF sering juga dikenal sebagai Discounted
Cash Flows Model.
4
Metode lain oleh Brealey and Myers (1988) menggunakan expected profitability untuk
menentukan harga saham saat ini. Profitabilitas adalah ekspektasi jumlah pendapatan
perusahaan di masa depan.
Berdasarkan persamaan diatas, harga saham sama dengan present value dari ekspektasi
keuntungan perusahaan di masa depan. Jika profitabilitas perusahaan diprediksi akan
meningkat, maka harga saham juga akan naik. Sebaliknya, jika ekspektasi investor terhadap
profitabilitas perusahaan menurun, maka harga saham akan turun.
Karena profitabilitas perusahaan berkaitan erat dengan ekonomi riil, maka harga saham
dipengaruhi oleh ekspektasi terhadap perekonomian di masa depan. Misalnya jika investor
memperkirakan ekonomi akan mulai masuk resesi, maka ekspektasi terhadap profitabilitas
perusahaan juga akan turun, menyebabkan ada penurunan pada harga saham. Sebaliknya, jika
investor memperkirakan adanya pertumbuhan pesat pada ekonomi, maka ekpektasi
profitabilitas perusahaan juga akan membaik, sehingga harga saham saat ini akan cenderung
naik. Sehingga jika investor berhasil memprediksi ekonomi di masa depan, maka pergerakan
harga saham sekarang akan menjadi indikator yang kuat bagi arah ekonomi di masa depan.
Wealth Effect
Teori wealth effect menyatakan premis bahwa ketika nilai dari portofolio saham naik
karena kenaikan harga saham, investor akan merasa lebih aman terhadap kekayaan mereka.
Hal ini mendorong tingkat pengeluaran untuk konsumsi investor tersebut. Wealth effect
mendorong ekonomi untuk bertumbuh pada saat bull market di pasar saham. Keuntungan pada
portofolio investasi masyarakat akan meningkatkan rasa aman terhadap kekayaan mereka dan
5
pengeluaran mereka, sehingga pengeluaran masyarakat juga meningkat. Peningkatan konsumsi
masyarakat inilah yang mendorong perekonomian untuk bertumbuh lebih pesat lagi.
Namun pada saat bear market pada pasar saham, wealth effect justru bekerja
sebaliknya. Karena kerugian yang diderita masyarakat pada portofolio investasi mereka, maka
mereka akan mulai menarik investasi mereka dari pasar saham dan mengurangi pengeluaran
mereka. Hal inilah yang dapat menyebabkan krisis ekonomi pada saat bear market di pasar
saham.
Menurut Pearce (1983), karena fluktuasi harga saham mempunya efek langsung
terhadap aggregate spending, maka ekonomi dapat diprediksi oleh harga saham. Ketika pasar
saham naik, investor menjadi lebih kaya dan lebih banyak menggunakan kekayaannya (untuk
konsumsi atau investasi), sehingga ekonomi bertumbuh. Sebaliknya, jika harga saham turun,
kekayaan investor berkurang, sehingga investor mengurangi pengeluaran dan investasinya. Ini
mengakibatkan perlambatan ekonomi.
Confidence
Harga saham yang sedang bullish memberikan confidence bagi UKM maupun
korporasi karena mengurangi ketidakpastian akan kondisi ekonomi masa depan. Investasi juga
diuntungkan dengan kenaikan harga saham karena menurunnya cost of equity. Perusahaan yang
terdaftar di pasar saham dapat membiayai investasi mereka dengan lebih murah karena cost of
equity yang lebih rendah.
Tobin's Q
Tobin's Q menghitung rasio dengan membandingkan market value dari ekuitas
perusahaan dengan book value-nya.
Naiknya rasio Tobin's Q ini mendorong perusahaan untuk lebih banyak investasi di saham.
Data
Data sample yang digunakan adalah dalam periode 1970:IQ-1994IIIQ. Variabel yang
digunakan untuk mengukur pergerakan harga saham adalah persentasi perubahan per quarter
pada Standard and Poor's Composite Index dari 500 saham (S&P500). Alasan menggunakan
6
S&P500 dibandingkan dengan indeks saham lainnya karena S&P500 lebih merepresentasikan
keseluruhan pasar saham. Indeks lain seperti Dow Jones Industrial Average hanya mengukur
performa dari 30 perusahaan blue-chip, sehingga kurang representatif. Alasan lain memilih
S&P500 karena index ini berdasarkan "value-weighted", bukan "price-weighted".
Variable yang digunakan untuk mengukur perubahan pada aktivitas ekonomi riil adalah
perubahan Gross Domestic Product (GDP) per quarter.
Test Granger Causality
Prosedur testing statistik sebab akibat antara harga saham dan ekonomi menggunakan
tes "Granger-causality" yang diperkenalkan oleh C. J. Granger pada tahun 1969. Granger
causality banyak digunakan untuk prediksi bahwa masa lalu dapat memprediksi masa depan.
Menurut Granger, X menyebabkan Y jika nilai X di masa lalu dapat digunakan untuk
memprediksi nilai Y dengan lebih akurat daripada menggunakan nilai Y di masa lalu. Jika nilai
X di masa lalu secara statistik dapat meningkatkan keakuratan prediksi terhadap nilai Y, maka
dapat disimpulkan bahwa X "Granger-causes" Y.
Langkah pertama untuk melakukan test "Granger causality" adalah menentukan
apakah ada trend pada sample data yang digunakan. Selama periode 1970 - 1994, Real GDP
dan Index S&P500 sedang dalam trend naik. Untuk mengeliminasi trend, digunakan perubahan
dalam persentasi antara kedua variabel tersebut.
7
Karena kedua variabel tidak menunjukkan adanya tren, maka kesimpulannya adalah persentase
perubahan dianggap stationary dan dapat dilanjutkan dengan Granger test.
Langkah selanjutnya adalah melakukan test apakah ada relasi antara harga saham dan
ekonomi. Untuk menentukan apakah ada relasi antara harga saham dan ekonomi, dilakukan
regresi %GDP terhadap nilai masa lalu dari %SP500 dengan lag 6 kuartal.
Hasil test pada Table 1 menunjukkan bahwa harga saham mempunyai relasi positif
terhadap ekonomi pada lag sampai 3 kuartal. Harga saham yang lag 1 kuartal menunjukkan
relasi positif dan signifikansi statistik pada level .01. Dapat disimpulkan bahwa ada hubungan
antara nilai masa lalu pada harga saham terhadap ekonomi (GDP).
8
Hasil dari regresi tersebut menunjukkan bahwa harga saham di masa lalu
mempengaruhi aktivitas ekonomi, tapi belum menunjukkan bahwa harga saham "Grangercause" ekonomi. Untuk melakukan tes causality antara %SP500 dan %GDP serta arah dari
causality, maka dua persamaan dibawah ini dibuat:
Berdasarkan hasil dari persamaan 1 dan 2, empat kemungkinan dapat mewakilkan
kemungkinan adanya relasi sebab akibat antara %GDP dan %SP500, antara lain.
(1) Harga saham "Granger-causes" aktivitas ekonomi jika harga saham meningkatkan
prediksi ekonomi, dan ekonomi tidak meningkatkan prediksi harga saham (bi ≠ 0 dan di = 0).
9
(2) Ekonomi "Granger-causes" harga saham jika ekonomi meningkatkan prediksi
harga saham dan harga saham tidak meningkatkan prediksi ekonomi (bi = 0 dan di ≠ 0).
(3) Adanya relasi feedback antara harga saham dan ekonomi ketika harga saham
"Granger-cause" ekonomi dan kemudian ekonomi "Granger-cause" harga saham (bi ≠ 0 dan
di ≠ 0).
(4) Independensi diindikasikan jika tidak ada hubungan sebab akibat yang ditemukan
antara harga saham dan ekonomi (bi = 0 dan di = 0).
Hasil
Hasil tes Grange untuk persamaan 1 dan 2 ditunjukkan di tabel berikut.
Dua kolom merepresentasikan hubungan yang sedang di tes. Kolom 1 menunjukkan
hasil tes apakah harga saham dapat memprediksi ekonomi. Kolom 2 menunjukkan hasil tes
apakah ekonomi dapat memprediksi harga saham. Regresi terpisah dilakukan untuk nilai k (1
sampai 6), kemudian F-Statistic dan Prob-value dihitung dari hasilnya. Nilai k
10
merepresentasikan waktu lag yang digunakan dalam regresi. Maksimum waktu lag yang
digunakan adalah 6 kuartal.
Dari tabel di atas ditunjukkan bahwa F-statistics yang digunakan untuk tes causality di
persamaan 1 adalah signifikan untuk lag kuartal 1, 2, dan 3. Hasil ini menunjukkan bahwa
harga saham benar "Granger cause" aktivitas ekonomi ketika lag yang digunakan adalah 1, 2,
dan 3 kuartal. Kesimpulannya adalah nilai masa lalu %SP500 secara signifikan berkontribusi
terhadap prediksi %GDP saat ini, bahkan dengan adanya nilai GDP masa lalu.
Pada persamaan 2, hasilnya menunjukkan bahwa F-statistics tidak cukup untuk
menolak hipotesis null di semua lag kuartal. Nilai masa lalu %GDP tidak berkontribusi secara
signifikan terhadap prediksi %SP500 saat ini. Oleh karena itu, ekonomi tidak "Granger-cause"
pasar saham.
Kesimpulan yang dapat ditarik adalah tes Granger-causality mengindikasikan adanya
hubungan sebab akibat antara harga saham dan ekonomi. Hasil tes menunjukkan bahwa harga
saham "Granger-cause" aktivitas ekonomi, tetapi ekonomi tidak "Granger-cause" harga
saham.
Penjelasan terhadap Hubungan Sebab Akibat
Harga saham menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap ekonomi. Hal ini menjadi
konsisten dengan teori wealth effect. Berdasarkan argumen ini, fluktuasi harga saham
menyebabkan adanya fluktuasi kekayaan masyarakat, yang kemudian mempengaruhi fluktuasi
aggregate consumption. Hasilnya, aktivitas ekonomi dipengaruhi oleh fluktuasi harga saham.
Penjelasan lainnya yang mungkin adalah karena natur pasar saham adalah forwardlooking. Jika investor melakukan valuasi saham dengan forward-looking, maka harga saham
akan merefleksikan ekspektasi terhadap perekonomian di masa depan. Jika investor
mengantisipasi resesi, maka harga saham akan mulai merefleksikan ekspektasi investor
tersebut dengan adanya penurunan harga saham.
Karena hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa pasar saham meningkatkan prediksi
perekonomian, dan asumsi bahwa pasar saham mempunyai natur yang forward-looking, maka
ekspektasi investor terhadap perekonomian di masa depan cukup akurat.
Sebaliknya, karena hasil penelitian menunjukkan bahwa ekonomi (GDP) tidak dapat
memprediksi harga saham, maka ekspektasi terhadap perekonomian di masa depan tidak dapat
dilakukan hanya dengan melihat nilai GDP di masa lalu.
11
Penting untuk diingat bahwa kita tidak tahu bagaimana sebenarnya para investor
membentuk ekspektasi mereka. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi ekspektasi
investor yang tidak diperhitungkan dalam penelitian ini. Tidak diketahui dari hasil penelitian
bahwa investor membentuk ekspektasi mereka dengan melihat trend masa lalu dari variabelvariabel ekonomi untuk membentuk ekspektasi mereka terhadap aktivitas ekonomi di masa
depan.
Kesimpulan
Tes ini dilakukan pada negara United States untuk periode 1970:IQ - 1994IIIQ. Hasil
yang diperoleh mengindikasikan adanya hubungan sebab akibat antara pasar saham dengan
perekonomian. Ditemukan bahwa harga saham Granger-cause aktivitas ekonomi (GDP), dan
tidak berlaku kebalikannya. Lebih jauh, ditemukan bahwa lag yang signifikan secara statistik
adalah 3 kuartal.
Masalah yang belum dapat ditemukan dalam penelitian ini adalah hal yang
menyebabkan hubungan harga saham terhadap perekonomian. Apakah hubungan lebih ini
disebabkan karena wealth effect atau natur pasar saham yang forward-looking, atau keduanya
atau tidak sama sekali tidak diteliti dalam penelitian ini.
Penelitian masa depan yang mungkin dapat dilakukan antara lain untuk mengevaluasi
darimana asal ekspektasi investor terhadap masa depan perekonomian. Dapat juga dilakukan
penelitian serupa untuk mencari hubungan antara pasar saham dan perekonomian di negara
berkembang.
Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah bahwa perubahan harga saham pada indeks
S&P500 (%SP500) dapat digunakan untuk memprediksi perubahan aktivitas ekonomi, dalam
hal ini khususnya perubahan GDP (%GDP).
12
Daftar Pustaka
Brealey, Richard A. and Stewart C. Myers, Principles of Corporate Finance, 1988, pp.
49-55.
Darby, Michael R. (1987). "wealth effect," The New Palgrave: A Dictionary of Economics, v.
4, pp. 883–4.
Pearce, Douglas K., "Stock Prices and the Economy," Federal Reserve Bank of Kansas City
Economic Review, November 1983, pp. 722.
Tobin, James (1969). "A General Equilibrium Approach To Monetary Theory". Journal of
Money, Credit and Banking. 1 (1): 15–29. JSTOR 1991374.
13
Download