bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Kreativitas menjadi nyawa dalam sebuah iklan. Sebagai industri kreatif, iklan
merepresentasikan sebuah ekspresi, kreasi dan inovasi. Iklan bukan lagi sekadar kegiatan
memberi informasi atau promosi akan suatu hal, namun mampu menjadi sarana
penyajian kreativitas. Kendati demikian, iklan bukanlah produk kreativitas yang bebas
bereksplorasi dan berekspresi. Iklan adalah sebuah karya seni yang terbatas pada aturanaturan tertentu.
Produk rokok menjadi salah satu yang sangat dibatasi dalam beriklan. Ada
peraturan yang khusus mengatur kegiatan promosi produk rokok. Dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi
Kesehatan pasal 17 menyebutkan, Materi iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
ayat (2) dilarang1 :
1. merangsang atau menyarankan orang untuk merokok;
2. menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat
bagi kesehatan;
3. memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau
gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok atau orang sedang merokok
atau mengarah pada orang yang sedang merokok;
4. ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan
atau gabungan keduanya, anak, remaja, atau wanita hamil;
5. mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok;
6. bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Aturan tersebut membuat produsen rokok dan kreator iklannya memutar otak
guna mengkreasi iklan tanpa melanggar kode etik pariwara. Faktanya selama ini justru
produk rokok mampu membuat iklan dengan bervariatif dan sarat makna dengan
1
Alkatiri, Ali. 2008. PP No. 19 Tahun 2003 tentang PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN.
http://www.ilunifk83.com/t288-pp-no-19-tahun-2003-tentang-pengamanan-rokok-bagikesehatan diakses pada 4 Agustus 2015 pukul 19.00 WIB.
1
kemasan yang kreatif. Batasan-batasan dari regulasi justru membuat produsen rokok dan
kreator iklan menghasilkan pandangan baru dalam beriklan, tidak bertumpu pada produk
yang dijual.
Terlepas dari pro kontra penyiaran iklan produk rokok di televisi, sampai saat ini
iklan yang tayang dalam televisi memiliki kreativitas dalam menjawab sebuah batas. Iklan
dari produk rokok justru sarat makna dan memiliki pesan yang bernilai tinggi. Pesan yang
disampaikan terkadang persuasif akan suatu hal, kritik, dan juga cermin kehidupan
masyarakat. Salah satunya adalah pesan untuk terus mencintai negeri sendiri.
PT HM Sampoerna Tbk sebagai perusahaan rokok juga melakukan hal yang sama
dalam mengiklankan produknya. Dji Sam Soe 234 sebagai salah satu produknya
mengangkat tema nasionalisme dalam komunikasi pemasarannya. Iklan dan slogan sarat
makna yang mengajak masyarakat Indonesia untuk terus mencintai negeri ini di tengah
derasnya laju modernisasi.
Dji Sam Soe bukanlah satu-satunya yang mengangkat tema nasionalisme. Hingga
saat ini ada beberapa iklan yang menggunakan pesan untuk terus mencintai negeri
sendiri. Djarum Super dan Gudang Garam merupakan produk rokok yang juga
menggunakan tema seperti itu. Iklan sarat makna yang mengajak masyarakat Indonesia
untuk terus mencintai negeri ini di tengah derasnya laju modernisasi.
Penggunaan tema nasionalisme seperti memang bukanlah yang pertama.
Produsen rokok Bentoel menjadi pelopor penggunaan tema nasionalisme dalam iklan
pada tahun 1994 berjudul I Love the Blue of Indonesia. Kemudian bermunculan iklan-iklan
dengan ide nasionalisme atau ke-Indonesia-an seperti Dji Sam Soe 234 dengan
Mahakarya Indonesia, Djarum Super dengan My Great Adventure, ada lagi Gudang Garam
dengan Rumahku Indonesiaku dan lainnya. Pada iklan-iklan tersebut tema nasionalisme
terlihat kasat mata adalah gambar pemandangan, tari-tarian, pakaian daerahnya, hingga
musik dasar dan bahasanya.2
2
Rachdian, Rizky. 2012. Tesis “Indonesia, Nasionalisme, dan Iklan”. Jakarta: Program Pasca Sarjana
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
2
Tema-tema tersebut erat kaitannya dengan unsur Indonesia. Indonesia adalah
sebuah negara yang heterogen, artinya Indonesia terdiri atas berbagai unsur yang
berbeda, beraneka ragam (Alwi dkk, 2001: 397). Banyaknya keanekaragaman yang terdiri
atas perbedaan etnik atau suku, adat, budaya, dan agama yang kadang hal tersebut dapat
membuat Indonesia menjadi indah, namun juga dapat membuat Indonesia sangat rentan
dengan adanya konflik. Untuk menanggulanginya dibutuhkan rasa cinta terhadap tanah
air atau sering disebut nasionalisme.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme adalah semangat
kebangsaan untuk mencintai bangsa dan tanah air. Mencintai negara sendiri adalah
sebuah prioritas yang tidak bisa dilunturkan. Mencintai bangsa dan tanah air dalam
paham nasionalisme lebih merujuk pada paham yang percaya perbedaan dalam sebuah
bangsa harus disatukan. Mencintai dengan cara bersatu dalam setiap perbedaan.
Indonesia adalah negara yang plural. Begitu banyak budaya yang ada di negeri ini. Terlebih
globalisasi membawa kultur baru ke dalam Indonesia. Karena itulah rasa nasionalisme
harus terus ditumbuhkan agar negara ini tetap berdiri kokoh di atas terpaan ombak
globalisasi.
Negara ini lahir dari perjuangan jiwa nasionalisme yang tinggi. Persatuan dan
kecintaan terhadap tanah air menjadi kekuatan utama dalam perubahan sejarah kelam
penjajahan. Dalam masa perjuangan nasionalisme menjadi harga mati. Hanya untuk
mendapat tujuan yang satu, menjadi Indonesia seutuhnya. Negeri indah dengan bendera
merah putih berkibar bebas.
Setelah Indonesia merdeka tak henti-hentinya berbagai pihak menyerukan ajakan
mencintai negeri ini. Dewasa ini globalisasi dan modernisasi menjadi hal yang berbahaya
jika tidak diimbangi dengan rasa cinta pada tanah air. Jika nasionalisme luntur, negeri ini
akan kehilangan karakter akan budayanya. Karena itulah perasaan cinta tanah air
merupakan harga mati.
Jiwa mencintai tanah air dalam satu persatuan sangat dibutuhkan di tengah
multikultur yang ada. Dalam beberapa kejadian, permasalahan atau insiden yang
bersumber pada perbedaan terjadi. Memang multikultur akan menjadi rentan terhadap
konflik. Tidak dapat dipungkiri, konflik-konflik atas perbedaan banyak muncul di
3
Indonesia. Baik karena budaya, agama, suku, ras, maupun faktor lain. Intoleransi
perbedaan merebak di lapisan masyarakat Indonesia. Akankah Indonesia tetap berdiri
kokoh di atas perbedaan?
PT HM Sampoerna Tbk melalui produk Dji Sam Soe 234 kembali menyerukan rasa
nasionalisme terhadap negeri Indonesia. Dengan versi Mahakarya Indonesia, Dji Sam Soe
234 ingin menyegarkan kembali semangat nasional dengan menunjukkan apa yang
menjadi jiwa Indonesia. Iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia (yang juga
menjadi slogan) memiliki pesan mendalam tentang arti nasionalisme. Mahakarya
Indonesia ingin menyebarkan pesan bahwa kualitas negara Indonesia bersumber pada
kualitas rakyatnya. Kualitas masyarakat yang memiliki karakter dan terus mengingat dari
mana dia berasal.
Dji Sam Soe 234 memberikan nasionalisme yang lebih fundamental. Djarum Super
dan Gudang Garam membawa pesan nasionalis melalui keragaman yang dimiliki
Indonesia baik dari segi budaya maupun alam. Sedangkan Dji Sam Soe membawa pesan
lebih jauh bahwa keragaman budaya yang dimiliki Indonesia akan sangat berarti dan kuat
jika semua bersatu. Peneliti berasumsi pesan yang ditunjukkan tidak sebatas mengajak
mencintai keragaman Indonesia, namun juga mengajak untuk bersatu guna mencapai
Indonesia yang seutuhnya.
PT Djarum dengan produk Djarum Super menyerukan pesan mencintai negara
Indonesia melalui kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. Indonesia memiliki rentang
alam yang sangat tak terbatas untuk dijelajah. Sedangkan Gudang Garam mengeluarkan
Rumahku Indonesiaku yang menunjukkan jati diri Indonesia terdapat pada kekayaan
budaya dan alam. Bahwa Indonesia beserta isinya adalah rumah yang sesungguhnya yang
sudah selayaknya dijaga agar tidak jatuh ke tangan orang lain.
Sebagai produk kontroversial, nyatanya rokok mampu membawa pesan
fundamental untuk mengokohkan negeri ini. Pesan yang mendorong setiap audiens untuk
lebih mencintai Indonesia. Selain itu, sejarah juga menggambarkan relasi yang intim
antara produk rokok dan persatuan rakyat melawan penjajah di masa lampau. Sebuah
perjuangan panjang melawan penjajah melalui sektor ekonomi.
4
Menarik kemudian untuk melihat bagaimana nasionalisme yang dibawa iklan
rokok tersebut dimaknai lebih dalam oleh audiens, dengan latar belakang yang
beranekaragam. Audiens bukan lagi pasif namun juga memiliki peran aktif dalam
memaknai sebuah pesan. Karenanya, penelitian ini berfokus pada bagaimana khalayak
memaknai pesan yang terkandung dalam iklan-iklan ini. Pesan yang eksplisit tentu akan
menghasilkan bentuk makna yang berbeda-beda tiap orang. Khalayak akan secara aktif
memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam melihat iklan ini. Resepsi dipilih untuk
mengetahui sejauh mana audiens membangun pesan dari iklan ini. Akan diketahui apakah
pesan nasionalis yang terkandung dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya
Indonesia, serta Djarum Super My Great Adventure dan Gudang Garam Rumahku
Indonesiaku sampai ke audiens. Melalui penelitian ini akan diketahui apakah pesan yang
diterima khalayak sesuai dengan yang dimaksudkan pembuat iklan, atau khalayak
memiliki alternatif pemaknaan tersendiri.
1.2
Rumusan Masalah
Bagaimana audiens memaknai pesan nasionalisme dalam iklan rokok Dji Sam Soe
234 versi Mahakarya Indonesia?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui secara mendalam bagaimana audiens memaknai
nasionalisme yang terkandung dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi
Mahakarya Indonesia.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang membangun pemaknaan audiens
terhadap nasionalisme dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya
Indonesia.
5
1.4
Manfaat Penelitian
Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai iklan televisi sebagai
sarana penyampaian pesan sosial.
2. Sebagai bahan pembelajaran akademisi di bidang komunikasi mengenai
pesan sosial dalam iklan televisi.
3. Sebagai referensi penelitian selanjutnya yang sejenis.
1.5
Kerangka Pemikiran
1.5.1
Iklan dan Iklan Televisi
Menurut Kotler & Keller yang dialih bahasakan oleh Benyamin Molan (2007:244)
Iklan adalah segala bentuk presentasi nonpribadi dan promosi gagasan, barang, atau jasa
oleh sponsor tertentu yang harus dibayar. Iklan merupakan salah satu proses komunikasi.
Sedangkan menurut Klepper (1986), iklan berasal dari bahasa latin “ad-vere” yang berarti
mengoperasikan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Menurut Liliweri (1992) iklan
merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai
alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan
atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif.
Menurut Littlefield definisi iklan adalah “advertising is mass communication of
meaning intended to persuade” (Littlefield, 1970: 139). Dalam bahasa Indonesia berarti
“iklan adalah komunikasi massa yang diharapkan mampu mempengaruhi”. Littlefield juga
menjelaskan adanya tiga alasan yang melandasi mengapa iklan dianggap sebagai bentuk
komunikasi massa.
Pertama, komunikasi massa mengacu pada lawan komunikasi
personal; kedua, kita semua membicarakan makna dan bukan hanya sekedar
menyampaikan informasi; ketiga, mempersuasi yang artinya mempengaruhi orang untuk
membeli atau bertindak sesuai dengan keinginan kita (Littlefield, 1970: 139).
6
Menurut Dharmasita (2008:370) periklanan dapat dibedakan ke dalam dua
golongan. Jenis periklanan tersebut adalah:
1. Pull Demand Advertising
` Pull demand advertising adalah periklanan yang ditujukan kepada
pembeli akhir agar permintaan produk bersangkutan meningkat.
Biasanya produsen menyarankan kepada para konsumen untuk membeli
produknya ke penjual terdekat. Pull demand advertising juga disebut
consumer advertising.
2. Push Demand Advertising
Push demand advertising adalah periklanan yang ditujukan kepada para
penyalur. Maksudnya agar para penyalur bersedia meningkatkan
permintaan produk bersangkutan dengan menjualkan sebanyakbanyaknya ke pembeli/pengecer. Barang yang diiklankan biasanya berupa
barang industri. Push demand advertising juga disebut trade advertising.
Tujuan iklan menurut Terence A.Shimp (2000:261), terbagi atas:
a. Informing (memberikan informasi), periklanan membuat konsumen
sadar akan merek-merek baru, mendidik mereka tentang berbagai fitur
dan manfaat merek, serta memfasilitasi penciptaan citra merek yang
positif.
b. Persuading (mempersuasi), iklan yang efektif akan mampu membujuk
konsumen untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan.
c. Reminding (mengingatkan), iklan menjaga agar merek perusahaan tetap
segar dalam ingatan para konssumen.
d. Adding Value (memberikan nilai tambah), periklanan memberikan nilai
tambah dengan cara penyempurnaan kualitas dan inovasi pada merek
dengan mempengaruhi persepsi konsumen.
e. Assisting
(mendampingi),
peranan
periklanan
adalah
sebagai
pendamping yang menfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam
proses komunikasi pemasaran.
7
Iklan harus dibuat semenarik mungkin agar mendapat perhatian yang lebih dari
pemirsa. Orang pertama yang memperkaya informasi iklan dengan menambah ilustrasi
sehingga efek iklan semakin kuat adalah Benyamin Franklin (Darmawan, 2005: 103-114).
Untuk dapat menjalankan beberapa fungsi tersebut, iklan harus dihasilkan dengan
matang. Beberapa aspek yang harus diperhatikan antara lain strategi, kreativitas, dan
konsistensi.
a. Strategi periklanan
Strategi merupakan hal vital dalam sebuah iklan. Strategi mewakili jiwa
sebuah merek dan menjadi elemen penting untuk keberhasilan (Roman,
Maas & Nisenholtz, 2005). Pesan apa yang akan dikatakan dan bagaimana
pesan itu akan disampaikan harus benar-benar diperhatikan dalam
pembuatan sebuah iklan (Wells, 1989:329).
b. Kreativitas
Kreativitas dalam hal ini menyangkup keseluruhan dalam iklan yang
mencakup tagline, visualisasi, pemilihan kata, backsound, setting, alur
cerita, serta teknik pengambilan gambar (dalam konteks ini adalah iklan
televisi).
c. Konsistensi
Citra suatu produk harus bisa didapatkan. Dalam konteks ini konsisten
yang dimaksud adalah konsisten dengan cara yang dipilih dalam
penyampaian pesan. Iklan versi satu dengan lainnya (dalam produk yang
sama) harus memiliki ciri yang sama. Karakter yang dipilih serius, kocak,
atau datar.
Menurut Effendy (1994:21) yang dimaksud dengan televisi adalah media dari
jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa, yang berlangsung
satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, Sasarannya
menimbulkan keserempakan, dan komunikasinya bersifat heterogen. Televisi mampu
menyalurkan pesan dengan jangkauan yang luas. Menjadikan televisi sebagai kanal
komunikasi pemasaran yang favorit untuk menyebarkan sebuah pesan. Televisi pun
menjadi sasaran kanal pemasaran dalam bentuk iklan televisi.
8
“TV is a unique and powerful advertising medium
because it contains the elements of sight, sound,
and motion, which can be combined to create a
variety of advertising appeals and executions.”
(George E Belch & Michael A Belch, 2003)
Al Ries dan Jack Trout (2002:12) mengungkapkan bahwa komunikasi yang
disampaikan media televisi sangat mengagumkan dan tak menutup kemungkinan
nantinya menimbulkan kecanduan bagi siapapun yang menontonnya. Televisi yang
menyajikan kombinasi motion dan dramatic imaginery mengagumkan bahkan
memberikan stopping power bagi siapapun yang menyaksikan. Berger (Fowles, 1996:38)
menyebutkan fenomena ini dengan ungkapan “seeing comes before words” yang
mengacu pada seni dan pandangan (vision). Ia berasumsi bahwa komunikasi iklan televisi
cenderung memanfaatkan daya tarik penglihatan dan imajinasi visual sehingga membuka
kesempatan bagi pengiklan untuk membujuk penonton secara multisensoris.
Dengan keistimewaannya, iklan dengan media televisi menjadi primadona dalam
dunia periklanan. Definisi iklan televisi menurut Charles Dirksen adalah pesan penjualan
yang disiarkan oleh pengiklan pada program yang telah disponsori atau selama jeda pada
saat acara sedang berlangsung (Dirkens&Kroeger, 1995:478). Menurut Larry Elin dan Alan
Lapides dalam bukunya “Designing and Producing Television Commercial” (2004)
menyebutkan bahwa iklan televisi merupakan sebuah film persuasif yang sangat singkat,
yang dapat ditayangkan pada jeda waktu antar program televisi atau di tengah-tengah
penayangan sebuah program televisi.
Umumnya iklan televisi terdiri atas iklan sponsorship, iklan layanan masyarakat,
iklan spot (Bovee, 1995: 405), Promo Ad, dan iklan politik. (Bungin, 2008: 111-112):
a. Iklan Sponsorship atau juga dimaksudkan dengan iklan konsumen
merupakan dominasi utama dalam iklan televisi. Bersifat konsumtif,
karena pada perkembangannya didukung dengan dana yang besar dan
kreativitas yang mumpuni.
9
b. Iklan layanan masyarakat, penayangan iklan di televisi dapat bekerjasama
dengan pihak-pihak lembaga nonkomersial atau divisi non komersial dari
perusahaan komersial. Iklan ini dimaksudkan memberikan edukasi dan
informasi kepada masyarakat luas.
c. Iklan Spot, sebuah iklan televisi hanya menampilkan gambar-gambar yang
tidak bergerak dengan latar suara tertentu sebagai dukungan utama
terhadap gambar tersebut. Iklan semacam ini juga dapat dikatakan
sebagai iklan kecil.
d. Promo Ad, iklan ini penayangannya untuk mendukung acara tertentu
yang diharapkan dapat meraih banyak pemirsa. Biasanya iklan Promo Ad
ini sebelumnya menayangkan lead acara tertentu atau film disepanjang
waktu dan sekiranya tayangan lead ini dapat disisipkan. Iklan ini bertujuan
untuk meningkatkan rating terhadap suatu acara tersebut guna meraih
sponsor yang banyak.
e. Iklan Politik, media televisi telah digunakan sebagai media iklan untuk
kepentingan politik.Terutama pada waktu-waktu menjelang pemilihan
umum. Iklan politik pada umumnya berupaya mengkonstruksi pemirsa
yang juga adalah segmen politik sebuah partai pada saat pemilihan umum
partai tersebut
Pemilihan televisi sebagai sarana pemasaran masih banyak dilakukan karena
mampu mengomunikasikan produk/jasa melalui audio, visual, dan gerakan. Tujuan iklan
televisi menurut Kotler (Durianto. 2003:3) dijabarkan menjadi tiga poin meliputi:
1. Iklan untuk memberi informasi (informing)
Iklan televisi bertujuan menginformasikan kepada khalayak mengenai
keberadaan produk, cara pemakaian, meluruskan kesan yang keliru
tentang produk serta membangun citra positif perusahaan dalam
masyarakat.
10
2. Iklan untuk mempersuasi (persuading)
Iklan televisi dapat digunakan untuk membujuk para pemirsanya dalam
tujuan membentuk permintaan selektif produk tertentu. Ia secara
otomatis membentuk pilihan produk, mengalihkan penonton pada pilihan
produk tertentu, mengubah persepsi sekaligus mendorong mereka
kepada aktivitas pembelian.
3. Iklan untuk mengingatkan (reminding)
Iklan berfungsi untuk mengingatkan pelanggan tentang produk dan
menjaga merk agar tetap segar di ingatan para pemirsa iklan. Iklan ini
sangat penting untuk produk yang telah mapan agar loyalitas konsumen.
Di Indonesia dengan banyaknya stasiun televisi, menjadi ladang dalam beriklan.
Adstensity, sebuah modul platform atau program pengukur tayangan iklan di stasiunstasiun televisi nasional mencatat bahwa dalam enam bulan pertama tahun 2015 belanja
iklan di televisi Indonesia telah mencapai Rp 32,919 triliun (Amrozi, 2015). Sedangkan
berdasarkan hasil survei Nielsen Advertising Information Service yang dirilis Nielsen
Indonesia, total belanja iklan di Indonesia untuk semua media selama semester pertama
2015 sekitar Rp 57,1 triliun dan kue iklan paling banyak didapat oleh media televisi yakni
sekitar Rp41,03 triliun atau sebanyak 71,7%. Pertumbuhan ini meningkat 9%
dibandingkan dengan tahun 2014. Ditinjau dari persentasenya, pertumbuhan belanja
iklan pada televisi ini menunjukkan tren perlambatan. Pada semester I 2012, iklan TV
masih mampu bertumbuh 24% dan kembali bertumbuh 30% pada semester I 2013.
Namun mulai tahun 2014, pertumbuhannya melambat menjadi 17%. Sementara di media
cetak, baik koran dan majalah ataupun tabloid, belanja iklan yang diterima sepanjang
Januari-Juni 2015 hanya 28,2% atau sekitar Rp16,12 triliun. (Wn, 2015).
Iklan digital menurut data eMarketer porsi belanja iklan digital tahun 2015
diperkirakan akan mencapai $950 juta (sekitar Rp 12 triliun). Nilai ini masih belum
menembus angka psikologis $1 miliar, meskipun terjadi peningkatan 80% ketimbang
tahun sebelumnya. Tercatat angka tersebut mengambil porsi 7,3% dari total belanja iklan
(Amir, 2015).
11
Berikut ini adalah data lengkap prediksi eMarketer tentang pertumbuhan belanja
iklan di Indonesia3:
Gambar 1.1 Pertumbuhan Belanja Iklan di Indonesia
Terkait fakta tersebut banyaknya pengiklan mendorong mereka untuk
menciptakan materi iklan semenarik mungkin. Secara umum, pengiklan melakukan
perancangan isi mengacu pada dua pendekatan, yakni (Widyatama, 2011:229):
1. Rational Appeal
Pendekatan rational appeal berfokus pada pemberian informasi berdasar
fakta-fakta yang sifatnya rasional, mengedepankan keuntungan
fungsional dari suatu produk dan terdapat add value yang nyata. Iklan
dengan pendekatan ini biasanya menggambarkan mutu, nilai ekonomis,
3
Karimuddin, Amir. 2015. Prediksi Belanja Iklan Digital di Indonesia Tahun 2015.
https://dailysocial.net/post/prediksi-belanja-iklan-digital-di-indonesia-tahun-2015 diakses
pada 12 Oktober 2015 pukul 13.15 WIB.
12
dan kinerja produk barang dan jasa serta menekankan fitur manfaat atau
alasan untuk memiliki produk yang bersangkutan.
2. Emotional Appeal
Pendekatan emotional appeal berorientasi pada upaya untuk menggelitik
aspek emosi dan perasaan (feeling) pelanggan. Emotional appeal
mengedepankan nilai prestise, kebutuhan psikologis/sosial akan suatu
produk serta mengasosiakan produk dengan gengsi tertentu.
Dalam perkembangannya setiap produsen sudah melakukan pendekatanpendekatan itu dalam iklannya. Untuk mendapat perhatian yang lebih dari pengiklan lain
di[erlukan kemasan iklan yang lebih kreatif. Gaya pendekatan iklan yang kreatif yang coba
ditawarkan oleh Terence A. Shimp (2007) yaitu:
1. Unique Selling Propotion (USP) adalah suatu cara yang membuat sebuah
iklan dari brand atau produk terlihat unik dibandingkan para pesaingnya.
2. Brand Image Creative Style: gaya dan citra dari sebuah brand itu harus
mencakup didalamnya unsur psikososial dibandingkan difrensiasi secara
fisik. Simbol dalam masyarakat menjadi sangat penting dalam
pendekatan ini. Lalu membuat perbedaan secara jelas terhadap
identitas dan personaliti akan lebih membuat brand atau produk bisa
menjadi lebih mengena ke masyarakat atau konsumen yang disasar. Lalu
yang paling penting, sebuah iklan dari brand itu harus transformasional,
dan bukan lagi informasional belaka. Ini menjadi penting karena
konsumen akan mengasosiasikan pengalaman mereka kedalam brand
atau iklan yang mereka lihat jika iklan tersebut menggunakan
pendekatan secara transformasional.
3. Resonance Creative Style: mengandung pengertian bahwa sebuah iklan
itu bukan fokus kepada produknya melainkan fokus kepada
menampilkan kembali situasi yang dialami sehari-hari oleh konsumen
tersebut yang merupakan bentuk perlawanan dari situasi real atau
situasi yang mereka imajinasikan.
4. Emotional Creative Style: pendekatan jenis ini mencoba memasukkan
pendekatan perasaan emosional yang kita alami sehari-hari dalam iklan
13
yang dibuat. Emosional itu diantaranya humor, romansa, kebahagiaan,
kesenangan, sex, ketakutan, perasaan bersalah dan lain sebagainya.
5. Generic Style: pendekatan iklan yang berusaha
menampilkan
sesungguhnya keunggulan sebuah produk atau brand dibandingkan
produk atau brand yang sudah ada sebelumnya.
6. Pre-emptive style: pendekatan terakhir ini berusaha untuk menampilkan
iklan di mana produk akan dikesankan sebagai sesuatu hal yang harus
dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, penyakit,
musibah, dan lain sebagainya.
1.5.2
Nasionalisme Indonesia
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme diartikan sebagai (1)
paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; politik untuk membela
pemerintahan sendiri; sifat kenasionalan; (2) kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa
yang potensial atau actual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan
mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat
kebangsaan.4 Hans Kohn (1984:11) berpendapat nasionalisme adalah suatu paham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara
kebangsaan. Sementara menurut Sartono Kartodirjo (1999:60), bahwa nasionalisme
memuat tentang kesatuan (unity), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), demokrasi,
kepribadian nasional serta prestasi kolektif.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang sejak awal anti kolonialisme
dan anti imperialisme karena kolonialisme dan imperialisme inilah yang menghilangkan
harga diri manusia (the human dignity)5. Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai
dua unsur: Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang
4
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa
Indonesia Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka. Hal.610.
5
Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal 7.
14
terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia
dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia6.
Verdoom (Kansil, 1993:17) mengatakan bahwa nasionalisme di Indonesia
tujuannya ialah melenyapkan tiap-tiap bentuk kekuasaan penjajahan dan mencapai suatu
keadaan yang merdeka. Nasionalisme merupakan salah satu unsur penting dalam
pembinaan kebangsaan, dimana masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan
kebangsaan serta berpola tata laku secara khas yang mencerminkan budaya maupun
ideologi (Ichlasulamal dan Armawi, 1998: 12).
Menurut Soekarno (Purwoko, 2002: 52) nasionalisme merupakan perwujudan
dari rasa cinta tanah air yang dijabarkan dalam bentuk keindahan dan kedamaian.
Indikator yang mengarah kepada cinta tanah air adalah rasa cinta terhadap bangsa dan
bahasa sendiri, cinta terhadap sejarah bangsa yang gilang gemilang, cinta kepada
kemerdekaan dan benci terhadap penjajahan. Masih menurut Soekarno, nasioanlisme
adalah cinta sepenuh hati kepada bangsa dan rasa bangga terhadap bangsa, merjupakan
suatu rasa persatuan di antara orang-orang yang sedemikian berbeda, yang terbangun
dalam sejarah penderitaan karena penjajahan dan perjuangan pembebasan bersama
selama ratusan tahun (Suseno, 2006: 185). Hal ini sepadan dengan pendapat Guibernau
(Komalasari dan Syaifullah, 2009: 134) dalam bukunya The Nation-State and Nationlism in
The Twentieth Century yang mengemukakan bahwa nasionalisme adalah sentimen yang
menganggap diri sebagai bagian dari suatu komunitas yang anggota-anggotanya
mengidentifikasikan diri dengan seperangkat simbol yang dimiliki kemauan untuk
menentukan nasib atau takdir politik bersama‟.
Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menyebut paham
nasionalisme Indonesia dengan sosio-nasionalisme. Dalam artikel yang beliau tulis tahun
1932, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi menyebutkan bahwa (Darmayana,
2012):
6
Redaksi Great publisher. 2009. Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan
Ketatanegaraan. Yogyakarta: Galang Press. Hal 64.
15
“Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada
pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan
semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis
yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala
paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang
nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari
nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia
dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu
sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti.
Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan
memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya
segala hal yang hidup.”
(Soekarno, 1964).
Menurut Ir. Soekarno (Hartono, 2012), nasionalisme eropa adalah suatu
nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar
keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi. Sedangkan
nasionalisme timur (termasuk Indonesia) lahir karena eksploitasi kolonial. Bagi borjuis di
eropa, negara nasional tak lain sebagai peralatan mereka untuk menopang proses
akumulasi, yaitu perluasan pasar, pencarian bahan mentah, tenaga kerja murah, dan
pencarian sirkuit baru bagi akumulasi kapital.
Kemudian Ir. Soekarno menyebut nasionalisme Indoesia sebagai sosionasionalisme. Ir. Soekarno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme
massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat. Cita-cita sosionasionalisme adalah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga
masyarakat yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada lagi kaum
tertindas, tidak ada kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang papa-sengsara.7
7
Hartono,
Rudi.
2012.
Mengenal
Sosio-Nasionalisme
Bung
Karno.
http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20121013/mengenal-sosio-nasionalismebung-karno.html#ixzz3l2CZfvUK diakses pada 7 September 2015 pukul 14.00 WIB.
16
Sosio-nasionalisme bisa disederhanakan sebagai berikut: (1) sosio-nasionalisme
merupakan ajaran politik yang memperjuangkan masyarakat tanpa klas alias masyarakat
adil dan makmur; (2) sosio-nasionalisme memberi kerangka pada revolusi Indonesia agar
tak berhenti pada revolusi nasional semata, tetapi harus berlanjut pada transisi menuju
sosialisme; (3) Sosio-nasionalisme meletakkan semangat kebangsaan negeri terjajah
berjalan seiring dengan cita-cita internasionalisme8.
Bahasan nasionalisme dipersempit pada pokok permasalahan bahwa kita harus
mengakui bahwa rakyat Indonesia hidup dalam perbedaan dan kita paham untuk butuh
menyatukannya. Rakyat Indonesia haruslah paham bahwa perbedaan dan keberagaman
kita mampu menjadi sebuah mozaik indah yang membentuk negeri ini dalam rangkai
bhinneka tunggal ika. Sesuai dengan pendapat.
Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Lyman Tower sebagaimana dikutip
Hamidi dan Lutfi (2010:169) bahwa Nasionalisme adalah suatu ungkapan perasaan yang
kuat dan merupakan usaha pembelaan daerah atau bangsa melawan penguasa luar.
Identitas yang menjadi ciri khasnya adalah menempatkan diri dalam suatu tradisi (sebagai
suatu proses peleburan, perpaduan) dari suatu daerah, sejarah, bangsa dan agama.
Secara konseptual, nasionalisme adalah “state of mind” atau “sikap kejiwaan”
yang mengikat semua rakyat penduduk suatu negara dalam “keinginan untuk terus
bersama”, dengan tali pengikat “nasib bersama”, baik dimasa lampau maupun dimasa
sekarang (Abdulgani,1998:121). Menurut penulis Otto Bauer dari Australia, rasa
kebersamaan demikian menumbuhkan suatu persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa
menurut beliau adalah suatu “character gemeinschaft”, suatu persamaan watak. Dan
persamaan watak itu tumbuh karena ada sesuatu “schicksal gemeinschaft” yaitu suatu
persamaan nasib yang telah dialami bersama (Abdulgani, 1998:122).
Pesan seperti ini menjadi hal yang cukup penting untuk ditumbuhkan dalam
benak setiap orang di Indonesia. Konflik yang terus terjadi di Indonesia berdasar pada
perbedaan justru semakin merebak. Di daerah-daerah tertentu, masalah etnis menjadi
8
Hartono,
Rudi.
2012.
Mengenal
Sosio-Nasionalisme
Bung
Karno.
http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20121013/mengenal-sosio-nasionalismebung-karno.html#ixzz3l2CZfvUK diakses pada 7 September 2015 pukul 14.00 WIB.
17
sumber konflik utama. Tak jarang nyawa menjadi taruhan dalam sebuah konflik. Di kota
besar dengan tingkat heterogenitas tinggi pun turut memiliki konflik. Perbedaan kelas
sosial justru menjadi perusak rasa sosial. Indonesia dengan pluralitasnya justru menjadi
rentan akan konflik. Maka perlu adanya ajakan untuk terus bersatu walau jurang
pembeda sangat dalam.
Sebagai produk kontroversial dan batasan dalam berpromosi, rokok mampu
menjadi medium dalam penyampaian sebuah pesan. Kendati produk kontroversial, rokok
justru mencoba menumbuhkan kembali semangat nasionalisme melalui iklannya.
1.5.3
Resepsi Audiens terhadap Iklan Televisi
Audiens atau khalayak menurut Wilbur Schramm (dalam Mcquail) merupakan
istilah kolektif untuk penerima pesan (receiver) dalam proses komunikasi massa (McQuail,
1997:1). Ardianto dan Komala menyatakan terdapat beberapa karakteristik khalayak,
antara lain:
1. Khalayak pada umumnya terdiri atas individu-individu yang memiliki
pengalaman yang sama dan terpengaruh oleh hubungan sosial dan
interpersonal yang sama. Individu tersebut memilih media yang
digunakan berdasarkan kebiasaan dan kesadaran sendiri.
2. Khalayak memiliki jumlah yang besar. Karenanya mampu dijangkau media
dengan relatif cepat, namun tidak mampu diraih dengan komunikasi tatap
muka atau interpersonal.
3. Khalayak bersifat heterogen. Individu-individu dalam khalayak mewakili
berbagai kategori sosial.
4. Khalayak bersifat anonim. Meskipun institusi media mengetahui
karakteristik khalayak yang dituju, namun tidak diketahui secara pasti
identitas khalayak tersebut.
5. Khalayak bersifat tersebar, baik dalam konteks ruang dan waktu.
Audiens tidak lagi bersifat pasif. Seiring berjalannya waktu, audiens secara aktif
memiliki cara sendiri untuk membangun sebuah makna tentang pesan yang disampaikan.
18
Muncullah gagasan mengenai khalayak aktif. Menurut Croteau dan Hoynes dalam buku
Media Society (1996:264) terdapat tiga poin di mana media khalayak dapat disebut aktif
yaitu melalui interpretasi individu mengenai produk smedia (interpretation of media
products), melalui interpretasi kolektif dari media (collective interpretation of media) dan
melalui aksi politis yang kolektif (collective political action).
1. Interpretasi Individual:
Makna dalam suatu teks media tidak sepenuhnya tetap. Di dalamnya
terdapat makna ganda dan dikenal dengan istilah polisemi. Pesan media
dapat dimaknai lain oleh khalayak. Khalayak secara individual mengambil
kesenangan, kenyamanan, kegembiraan, atau jajaran luas simulasi
intelektual maupun emosional. Khalayak menggunakan aktivitas
interpretatif dalam derajat tertentu setiap bertemu dengan teks media.
2. Interpretasi dalam konteks sosial:
Khalayak secara aktif menafsirkan pesan media secara sosial. Dalam
kehidupan sosial, media turut serta dalam memberi pengalamanpengalaman akan suatu pesan di dalam kegiatan komunikasi.
3. Aksi Kolektif
Khalayak tidak selalu setuju dengan pesan media. Khalayak yang menolak
pesan media seringkali berusaha mengubah pesan media untuk ke
depannya. Tidak jarang khalayak melakukan aksi public, boikot terhadap
produk media yang spesifik, kampanye publisitas, kemarahan khalayak
luas, menekan pengiklan untuk menarik dukungan finansial, serta
melakukan lobbying kongres untuk aksi pemerintah dalam menolak pesan
media (Croteau, 2012:258-259).
Pada teori pemaknaan (reception theory) Stuart Hall (Citra Dinanti, 2010: 12-13)
menjelaskan, bahwa analisis resepsi mengacu pada studi tentang makna, produksi dan
pengalaman khalayak dalam hubungannya berinteraksi dengan teks media. Fokus dari
teori ini ialah proses decoding, interpretasi, serta pemahaman inti dari konsep analisis
reception. Pada ilmu komunikasi massa, proses komunikasi dikonseptualisasikan sebagai
sirkuit atau loop.
19
Denis Mcquail dalam bukunya Audience Analysis (1997:19) menyatakan analisis
resepsi termasuk dalam studi kultural yang menekankan pada penggunaan media (media
use) sebagai suatu refleksi dari konteks sosiokultural dan sebagai suatu proses
pemaknaan pesan pada produk budaya beserta pengalaman-pengalaman. Selanjutnya
McQuail juga mengatakan bahwa resepsi merupakan bagian dari studi budaya modern
yang menekankan pada studi mendalam terhadap khalayak sebagai bagian dari
interpretative communities. Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah makna
teks media tidak melekat pada teks media tersebut, namun diciptakan dalam interaksi
antara khalayak dengan teks (Ido, 2008).
Jensen dalam karyanya A Handbook of Media and Communication Research
berasumsi bahwa analisis resepsi dapat diartikan sebagai perbandingan tekstual dari
sudut pandang media dengan sudut pandang khalayak yang menghasilkan suatu
pengertian tegas pada suatu konteks (Jensen, 2002: 162). Pada resepsi terdapat proses
decoding atau pemaknaan pesan oleh audiens. Dalam proses decoding, akan terbentuk
makna yang berbeda-beda. Latar belakang dan lingkungan menjadi faktor yang membuat
bentukan makna berbeda-beda.
Audiens akan secara aktif dalam memaknai pesan yang disampaikan media.
Analisis resepsi memandang bahwa khalayak mampu selektif memaknai dan memilih
makna dari sebuah teks berdasar posisi sosial dan budaya yang mereka miliki (Bertrand &
Hughes, 2005:39). Menurut Hadi (2009: 1-2) resepsi mencoba memberikan sebuah makna
atas pemahaman teks media dengan memahami bagaimana karakter teks media dibaca
oleh khalayak.
Stuart Hall (2010) mengatakan bahwa struktur arti pesan yang dibuat oleh
pembuat pesan tidak selamanya sama dengan struktur arti pesan dari khalayak. Ini yang
oleh Hall disebut sebagai proses encoding-decoding. Menurut Hall, encoding diartikan
sebagai proses analisa dari konteks sosial politik dimana konten di produksi dan decoding
adalah proses konsumsi dari suatu konten media. Dalam proses decoding, pemaknaan
khalayak terhadap tayangan, baik film, iklan, maupun program televisi, akan berbedabeda tergantung dengan konteks sosial budaya, pengalaman, keluarga, maupun banyak
faktor yang melatarbelakanginya. Sesuai dengan posisi pemaknaan yang diajukan oleh
20
Stuart Hall, bahwa ada tiga posisi pemaknaan yang akan ditangkap oleh khalayak saat
melihat tayangan visual televisi, yaitu (Hall, dalam Storey, 2010):
a. Dominant-hegemonic reading
Posisi pembaca dominan adalah saat khalayak memaknai tayangan
sesuai dengan makna pembacaan utama. Dengan kata lain, khalayak akan
men-decode berdasarkan kode acuan yang di encode oleh pembuat
tayangan iklan atau produsen, sehingga khalayak akan memaknai teks
sejalan dengan makna utama yang dikehendaki oleh media.
b. Negotiated reading
Dalam posisi yang kedua ini khalayak sebenarnya mengetahui akan
makna pembacaan yang dikehendaki oleh media atau produsen atau
pembuat iklan, namun mereka mencoba bernegosiasi dengan adanya
maksud-maksud lain dibalik makna utama yang dibuat oleh media,
produsen atau pembuat iklan.
c. Oppositional reading
Di posisi ini, khalayak melakukan pemaknaan yang berlawanan dari
makna utama yang coba di buat oleh media, produsen atau pembuat
iklan tersebut. Dalam model ini, khalayak sebenarnya sadar akan
pembacaan makna utama yang ada dalam sebuah tayangan televisual
namun
mereka mencoba
memaknai
dengan berlawanan
dan
menawarkan pemaknaan alternatif terhadap tayangan tersebut.
Kendati media baru telah menjadi saluran komunikasi yang efektif, kenyataannya
televisi sebagai media elektronik konvensional masih memiliki pengguna dengan jumlah
besar. Walau negara kita memiliki sekitar 41,3 juta pengguna smartphone dan enam juta
pemilik tablet, lebih dari 90 persen penduduk Indonesia (225 juta) memiliki akses ke
sebuah TV9. Lebih jauh data Nielsen menyebutkan bahwa Televisi masih menjadi medium
utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio
9
Lukman,
Enricko.2014.
Seberapa
efektifkah
iklan
di
TV
Indonesia?
https://id.techinasia.com/seberapa-efektifkah-iklan-di-tv-indonesia diakses pada 2 September
2015 pukul10.00 WIB.
21
(20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%)10. Menurut hasil survei
perusahaan konsultan brand Millward Brown, selain memiliki jumlah pengguna yang jauh
lebih banyak, para pemirsa Indonesia juga lebih peka terhadap iklan-iklan di TV dibanding
perangkat teknologi lainnya11. Fakta tersebut membuktikan bahwa iklan di televisi
menjadi sarana komunikasi paling banyak menyerap atensi audiens daripada media lain.
Televisi merupakan media yang dianggap potensial bagi para pemilik brand untuk
melakukan komunikasi pemasaran dalam bentuk iklan.
Seperti yang disebut di atas bahwa kepekaan audiens terhadap iklan televisi lebih
tinggi di banding media lain. Namun dalam proses pembentukan makna atas pesan yang
disampaikan tentu akan bervariasi. Melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui
pemaknaan individu mengenai pesan iklan, terutama yang terkait dengan nasionalisme
dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia. Peneliti juga akan mencari kohesi
antara latar belakang sosial dan faktor lain seperti pendidikan, ras, gender, dan
pengalaman dalam mempengaruhi aktivitas interpretasi pesan atau proses pembentukan
makna tersebut.
1.6
Kerangka Konsep
Mengacu pada ciri-ciri komunikasi massa menurut McQuail (1987), iklan televisi
termasuk dalam komunikasi massa. Iklan televisi berasal dari sebuah organisasi maupun
perusahaan formal; pesan yang disampaikan melalui iklan televisi beragam antara iklan
satu dengan yang lain; dan yang paling utama bahwa penerima terpaan iklan televisi
merupakan khalayak luas di mana kontak dilakukan secara serentak dari satu pengirim ke
banyak penerima.
10
Nielsen. 2014. Nielsen: Konsumsi Media Lebih Tinggi di Luar Jawa.
http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luarjawa.html diakses pada 2 September 2015 pukul10.00 WIB.
11
Lukman,
Enricko.2014.
Seberapa
efektifkah
iklan
di
TV
Indonesia?
https://id.techinasia.com/seberapa-efektifkah-iklan-di-tv-indonesia diakses pada 2 September
2015 pukul10.00 WIB.
22
Keterkaitan iklan televisi dengan komunikasi massa dijelaskan oleh Dunn dan
Barban (1978:11):
“Advertising is paid, non-personal communication through various
media by business firms, non-profit organizations, and individuals
who are in some way identified in the advertising message and who
hope to inform or persuade members of a particular audience.”
“Periklanan adalah komunikasi non-personal melalui beragam
media yang dibayar oleh perusahaan, organisasi non-profit dan
individu-individu
dengan
menggunakan
pesan
iklan
yang
diharapkan dapat menginformasikan atau membujuk kalangan
tertentu yang membaca pesan tersebut.”)
Iklan televisi merupakan bentuk pesan yang dikomunikasikan dalam media massa
televisi kepada sejumlah besar orang seperti pendapat Bitnerr (Rahmat, 2005:188). Pesan
yang disampaikan oleh iklan televisi Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia; Djarum
Super My Great Adventure; dan Gudang Garam Rumahku Indonesiaku merupakan hal
yang dibutuhkan demi terciptanya masyarakat harmonis, yakni nasionalisme. Pesan
nasionalisme menjadi menarik karena produk yang beriklan merupakan produk
kontroversial dalam segi kesehatan.
Menurut peneliti, indikator nasionalisme dapat terlihat dari dua hal yakni secara
kasat mata dan secara tak kasat mata. Secara kasat mata nasionalisme terlihat dari: (1)
visualisasi, visual yang mencerminkan kecintaan Indonesia seperti keanekaragaman alam,
budaya, simbol-simbol ke-Indonesia-an; (2) narasi/copy iklan; (3) musik; (4) dan sound
effect. Kemudian secara tak kasat mata dapat diteliti dari konsep iklan yang dibawa,
mencangkup bahasa, kearifan lokal, sopan santun, atau norma-norma.
Penelitian ini akan mencari tahu pendapat audiens dalam menangkap pesan
nasionalisme dari iklan televisi Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia. Iklan Djarum
Super My Great Adventure dan iklan Gudang Garam Rumahku Indonesiaku kemudian akan
digunakan sebagai pembanding. Peneliti mengacu pada pendapat Stuart Hall (2010)
bahwa struktur arti pesan yang dibuat oleh pembuat pesan tidak selamanya sama dengan
struktur arti pesan dari khalayak. Masih menurut Stuart Hall, dalam proses decoding
23
pemaknaan khalayak terhadap iklan akan berbeda-beda tergantung dengan konteks
sosial budaya, pengalaman, keluarga, maupun banyak faktor yang melatarbelakanginya.
Kemudian peneliti mengategorikan hasil resepsi informan ke dalam tiga posisi pemaknaan
yang dicetuskan Stuart Hall (Hall, dalam Storey, 2010) yaitu dominant-hegemonic,
negotiated, atau oppositional reading.
1.7
Metodologi Penelitian
1.7.1
Metode penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif yakni
suatu pendekatan dalam penelitian ilmiah yang berdasarkan pada informasi yang di dapat
di lapangan atau kualitas. Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul “Research Design:
Qualitative and Quantitative Approaches” (1994) mendefinisikan bahwa penelitian
kualitatif adalah suatu proses penelitian untuk memahami masalah- masalah manusia
atau social dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan
dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber
informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah.
“Research that is guided by the qualitative paradigm
is defined as: “an inquiry process of understanding a
social or human problem based on building a
complex, holistic, picture, formed with words,
reporting
detailed
view of informants, and
conducted in a natural” (Creswell, 1994)
Metode yang digunakan adalah analisis resepsi untuk memahami khalayak dalam
memaknai teks. Analisis resepsi menurut Jensen (1986) merupakan bentuk studi kualitatif
yang berada pada domain riset audiens khususnya berkaitan dengan resepsi audiens.
Metode ini memiliki tiga elemen utama meliputi pengumpulan data, analisis data, dan
interpretasi data resepsi (Jensen, 2002:136).
24
Analisis resepsi ini akan akan memfokuskan pada pertemuan antara media
penyampai pesan (iklan televisi) dan khalayak. Dengan demikian diharapkan agar
penelitian ini mencapai tujuan memperoleh hasil penelitian yang dinamis dan mendalam.
1.7.2
Subjek Penelitian (Informan)
Subjek dalam penelitian ini adalah orang-orang yang penulis pilih berdasarkan
purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel tidak secara acak namun dipilih
secara sengaja pada informan yang memenuhi kriteria sesuai dengan kebijaksanaan
peneliti (Patton, 2012). Penulis memilih informan berdasarkan kriteria-kriteria yang
dianggap dapat menjadi dasar utama dalam melakukan pemilihan informan.

Kategori usia: 17-25 tahun. Kategori usia ini dipilih dengan alasan
generasi inilah yang paling kencang diterpa globalisasi dan
modernisasi.

Tingkat
pendidikan,
mahasiswa
dalam
tingkat
sarjana.
Berpengetahuan atau berpendidikan akan memungkinkan setiap
informan untuk memaknai setiap iklan-iklan tersebut dan pertanyaan
lainnya secara lebih komprehensif dan holistik berdasarkan skema
pengetahuan yang telah didapatkan. Secara khusus adalah mahasiswa
Universitas Gadjah Mada.

Pernah atau aktif mengikuti organisasi/komunitas. Peneliti berasumsi
dengan keikutsertaannya dalam komunitas, calon informan akan
berpengetahuan lebih luas. Hal ini berguna bagi jawaban-jawab yang
nanti diberikan. Secara khusus, akan dipilih mahasiswa yang aktif di
Badan Eksekutif Mahasiswa di tingkat Fakultas. UGM membagi
fakultas-fakultas ke dalam empat kluster, yakni Agro, Humaniora,
Saintek, dan Kesehatan. Hal itu akan mendasari peneliti untuk memilih
satu orang yang aktif di BEM Fakultas mewakili 1 kluster. Total akan
ada 4 orang dari 4 kluster. Hal ini berdasar asumsi peneliti bahwa
perbedaan kluster akan membawa perbedaan pola pikir mahasiswa.

Peduli dengan nasionalisme. Kriteria ini diketahui melalui
25

pertanyaan-pertanyaan pembuka mengenai nasionalisme. Dari
jawaban calon informan akan diketahui tingkat kepedulian mereka
mengenai nasionalisme. Peneliti hanya memilih calon informan yang
peduli mengenai nasionalisme dan bisa menceritakan aksi nyatanya.

Pernah melihat iklan Dji Sam Soe 234 setidaknya 3 kali.
Pemilihan informan akan diawali dengan penyaringan melalui kuesioner kepada
sejumlah calon informan. Mereka akan diberi pertanyaan sesuai dengan kriteria yang
telah peneliti sebutkan di atas. Calon informan yang tersaring kemudian akan dijadikan
subyek dalam penelitian ini dengan harapan dapat memberikan informasi yang
mendalam dan komprehensif mengenai tema penelitian yang peneliti sedang lakukan.
1.7.3
Teknik Pengumpulan Data
Dalam praktiknya, pencarian informasi guna mendapatkan data-data yang
diperlukan, akan dilakukan beberapa teknik, antara lain:
1. Wawancara
Wawancara dilakukan dalam bentuk tanya jawab secara lisan dan mendalam
(in depth-interview). Berger (2000:111) mendefinisikan wawancara sebagai
percakapan antara peneliti (seseorang yang ingin memperoleh informasi
tentang subjek penelitian) dan seorang informan (seseorang yang
diasumsikan memiliki informasi atau keterkaitan dengan subjek atau suatu
hal dalam penelitian). Proses wawancara akan didasarkan pada daftar
pertanyaan (interview guide) yang telah disusun sebelumnya maupun
improvisasi dari daftar tersebut.
2. Observasi Partisipan
Peneliti akan melakukan observasi terhadap informan untuk mendapatkan
informasi mengenai latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya.
Pengamatan akan dilakukan dengan mendatangi subjek di tempat di mana
biasa berada dan juga mengamati perilaku dalam kesehariannya.
26
3. Studi Pustaka
Teknik ini bertujuan untuk mengumpulkan data sekunder yang diperoleh
dengan cara mengumpulkan dan mempelajari literatur, dokumen tertulis,
dan media-media lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Datadata pendukung ini akan digunakan untuk memperkuat konsep dan kerangka
pemikiran yang akan dibuktikan dan diterapkan dalam penelitian.
1.7.4
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan cara
mengintepretasikan data yang ada dan dihubungkan satu dengan yang lain. Strateginya
adalah dengan mengamati, mengategorikan, menyusun, dan menggabungkan data-data
yang sudah dikumpulkan.
27
Download