BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kreativitas menjadi nyawa dalam sebuah iklan. Sebagai industri kreatif, iklan merepresentasikan sebuah ekspresi, kreasi dan inovasi. Iklan bukan lagi sekadar kegiatan memberi informasi atau promosi akan suatu hal, namun mampu menjadi sarana penyajian kreativitas. Kendati demikian, iklan bukanlah produk kreativitas yang bebas bereksplorasi dan berekspresi. Iklan adalah sebuah karya seni yang terbatas pada aturanaturan tertentu. Produk rokok menjadi salah satu yang sangat dibatasi dalam beriklan. Ada peraturan yang khusus mengatur kegiatan promosi produk rokok. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan pasal 17 menyebutkan, Materi iklan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dilarang1 : 1. merangsang atau menyarankan orang untuk merokok; 2. menggambarkan atau menyarankan bahwa merokok memberikan manfaat bagi kesehatan; 3. memperagakan atau menggambarkan dalam bentuk gambar, tulisan atau gabungan keduanya, bungkus rokok, rokok atau orang sedang merokok atau mengarah pada orang yang sedang merokok; 4. ditujukan terhadap atau menampilkan dalam bentuk gambar atau tulisan atau gabungan keduanya, anak, remaja, atau wanita hamil; 5. mencantumkan nama produk yang bersangkutan adalah rokok; 6. bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Aturan tersebut membuat produsen rokok dan kreator iklannya memutar otak guna mengkreasi iklan tanpa melanggar kode etik pariwara. Faktanya selama ini justru produk rokok mampu membuat iklan dengan bervariatif dan sarat makna dengan 1 Alkatiri, Ali. 2008. PP No. 19 Tahun 2003 tentang PENGAMANAN ROKOK BAGI KESEHATAN. http://www.ilunifk83.com/t288-pp-no-19-tahun-2003-tentang-pengamanan-rokok-bagikesehatan diakses pada 4 Agustus 2015 pukul 19.00 WIB. 1 kemasan yang kreatif. Batasan-batasan dari regulasi justru membuat produsen rokok dan kreator iklan menghasilkan pandangan baru dalam beriklan, tidak bertumpu pada produk yang dijual. Terlepas dari pro kontra penyiaran iklan produk rokok di televisi, sampai saat ini iklan yang tayang dalam televisi memiliki kreativitas dalam menjawab sebuah batas. Iklan dari produk rokok justru sarat makna dan memiliki pesan yang bernilai tinggi. Pesan yang disampaikan terkadang persuasif akan suatu hal, kritik, dan juga cermin kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah pesan untuk terus mencintai negeri sendiri. PT HM Sampoerna Tbk sebagai perusahaan rokok juga melakukan hal yang sama dalam mengiklankan produknya. Dji Sam Soe 234 sebagai salah satu produknya mengangkat tema nasionalisme dalam komunikasi pemasarannya. Iklan dan slogan sarat makna yang mengajak masyarakat Indonesia untuk terus mencintai negeri ini di tengah derasnya laju modernisasi. Dji Sam Soe bukanlah satu-satunya yang mengangkat tema nasionalisme. Hingga saat ini ada beberapa iklan yang menggunakan pesan untuk terus mencintai negeri sendiri. Djarum Super dan Gudang Garam merupakan produk rokok yang juga menggunakan tema seperti itu. Iklan sarat makna yang mengajak masyarakat Indonesia untuk terus mencintai negeri ini di tengah derasnya laju modernisasi. Penggunaan tema nasionalisme seperti memang bukanlah yang pertama. Produsen rokok Bentoel menjadi pelopor penggunaan tema nasionalisme dalam iklan pada tahun 1994 berjudul I Love the Blue of Indonesia. Kemudian bermunculan iklan-iklan dengan ide nasionalisme atau ke-Indonesia-an seperti Dji Sam Soe 234 dengan Mahakarya Indonesia, Djarum Super dengan My Great Adventure, ada lagi Gudang Garam dengan Rumahku Indonesiaku dan lainnya. Pada iklan-iklan tersebut tema nasionalisme terlihat kasat mata adalah gambar pemandangan, tari-tarian, pakaian daerahnya, hingga musik dasar dan bahasanya.2 2 Rachdian, Rizky. 2012. Tesis “Indonesia, Nasionalisme, dan Iklan”. Jakarta: Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. 2 Tema-tema tersebut erat kaitannya dengan unsur Indonesia. Indonesia adalah sebuah negara yang heterogen, artinya Indonesia terdiri atas berbagai unsur yang berbeda, beraneka ragam (Alwi dkk, 2001: 397). Banyaknya keanekaragaman yang terdiri atas perbedaan etnik atau suku, adat, budaya, dan agama yang kadang hal tersebut dapat membuat Indonesia menjadi indah, namun juga dapat membuat Indonesia sangat rentan dengan adanya konflik. Untuk menanggulanginya dibutuhkan rasa cinta terhadap tanah air atau sering disebut nasionalisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), nasionalisme adalah semangat kebangsaan untuk mencintai bangsa dan tanah air. Mencintai negara sendiri adalah sebuah prioritas yang tidak bisa dilunturkan. Mencintai bangsa dan tanah air dalam paham nasionalisme lebih merujuk pada paham yang percaya perbedaan dalam sebuah bangsa harus disatukan. Mencintai dengan cara bersatu dalam setiap perbedaan. Indonesia adalah negara yang plural. Begitu banyak budaya yang ada di negeri ini. Terlebih globalisasi membawa kultur baru ke dalam Indonesia. Karena itulah rasa nasionalisme harus terus ditumbuhkan agar negara ini tetap berdiri kokoh di atas terpaan ombak globalisasi. Negara ini lahir dari perjuangan jiwa nasionalisme yang tinggi. Persatuan dan kecintaan terhadap tanah air menjadi kekuatan utama dalam perubahan sejarah kelam penjajahan. Dalam masa perjuangan nasionalisme menjadi harga mati. Hanya untuk mendapat tujuan yang satu, menjadi Indonesia seutuhnya. Negeri indah dengan bendera merah putih berkibar bebas. Setelah Indonesia merdeka tak henti-hentinya berbagai pihak menyerukan ajakan mencintai negeri ini. Dewasa ini globalisasi dan modernisasi menjadi hal yang berbahaya jika tidak diimbangi dengan rasa cinta pada tanah air. Jika nasionalisme luntur, negeri ini akan kehilangan karakter akan budayanya. Karena itulah perasaan cinta tanah air merupakan harga mati. Jiwa mencintai tanah air dalam satu persatuan sangat dibutuhkan di tengah multikultur yang ada. Dalam beberapa kejadian, permasalahan atau insiden yang bersumber pada perbedaan terjadi. Memang multikultur akan menjadi rentan terhadap konflik. Tidak dapat dipungkiri, konflik-konflik atas perbedaan banyak muncul di 3 Indonesia. Baik karena budaya, agama, suku, ras, maupun faktor lain. Intoleransi perbedaan merebak di lapisan masyarakat Indonesia. Akankah Indonesia tetap berdiri kokoh di atas perbedaan? PT HM Sampoerna Tbk melalui produk Dji Sam Soe 234 kembali menyerukan rasa nasionalisme terhadap negeri Indonesia. Dengan versi Mahakarya Indonesia, Dji Sam Soe 234 ingin menyegarkan kembali semangat nasional dengan menunjukkan apa yang menjadi jiwa Indonesia. Iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia (yang juga menjadi slogan) memiliki pesan mendalam tentang arti nasionalisme. Mahakarya Indonesia ingin menyebarkan pesan bahwa kualitas negara Indonesia bersumber pada kualitas rakyatnya. Kualitas masyarakat yang memiliki karakter dan terus mengingat dari mana dia berasal. Dji Sam Soe 234 memberikan nasionalisme yang lebih fundamental. Djarum Super dan Gudang Garam membawa pesan nasionalis melalui keragaman yang dimiliki Indonesia baik dari segi budaya maupun alam. Sedangkan Dji Sam Soe membawa pesan lebih jauh bahwa keragaman budaya yang dimiliki Indonesia akan sangat berarti dan kuat jika semua bersatu. Peneliti berasumsi pesan yang ditunjukkan tidak sebatas mengajak mencintai keragaman Indonesia, namun juga mengajak untuk bersatu guna mencapai Indonesia yang seutuhnya. PT Djarum dengan produk Djarum Super menyerukan pesan mencintai negara Indonesia melalui kekayaan alam yang dimiliki Indonesia. Indonesia memiliki rentang alam yang sangat tak terbatas untuk dijelajah. Sedangkan Gudang Garam mengeluarkan Rumahku Indonesiaku yang menunjukkan jati diri Indonesia terdapat pada kekayaan budaya dan alam. Bahwa Indonesia beserta isinya adalah rumah yang sesungguhnya yang sudah selayaknya dijaga agar tidak jatuh ke tangan orang lain. Sebagai produk kontroversial, nyatanya rokok mampu membawa pesan fundamental untuk mengokohkan negeri ini. Pesan yang mendorong setiap audiens untuk lebih mencintai Indonesia. Selain itu, sejarah juga menggambarkan relasi yang intim antara produk rokok dan persatuan rakyat melawan penjajah di masa lampau. Sebuah perjuangan panjang melawan penjajah melalui sektor ekonomi. 4 Menarik kemudian untuk melihat bagaimana nasionalisme yang dibawa iklan rokok tersebut dimaknai lebih dalam oleh audiens, dengan latar belakang yang beranekaragam. Audiens bukan lagi pasif namun juga memiliki peran aktif dalam memaknai sebuah pesan. Karenanya, penelitian ini berfokus pada bagaimana khalayak memaknai pesan yang terkandung dalam iklan-iklan ini. Pesan yang eksplisit tentu akan menghasilkan bentuk makna yang berbeda-beda tiap orang. Khalayak akan secara aktif memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam melihat iklan ini. Resepsi dipilih untuk mengetahui sejauh mana audiens membangun pesan dari iklan ini. Akan diketahui apakah pesan nasionalis yang terkandung dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia, serta Djarum Super My Great Adventure dan Gudang Garam Rumahku Indonesiaku sampai ke audiens. Melalui penelitian ini akan diketahui apakah pesan yang diterima khalayak sesuai dengan yang dimaksudkan pembuat iklan, atau khalayak memiliki alternatif pemaknaan tersendiri. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana audiens memaknai pesan nasionalisme dalam iklan rokok Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah 1. Untuk mengetahui secara mendalam bagaimana audiens memaknai nasionalisme yang terkandung dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang membangun pemaknaan audiens terhadap nasionalisme dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia. 5 1.4 Manfaat Penelitian Beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini: 1. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai iklan televisi sebagai sarana penyampaian pesan sosial. 2. Sebagai bahan pembelajaran akademisi di bidang komunikasi mengenai pesan sosial dalam iklan televisi. 3. Sebagai referensi penelitian selanjutnya yang sejenis. 1.5 Kerangka Pemikiran 1.5.1 Iklan dan Iklan Televisi Menurut Kotler & Keller yang dialih bahasakan oleh Benyamin Molan (2007:244) Iklan adalah segala bentuk presentasi nonpribadi dan promosi gagasan, barang, atau jasa oleh sponsor tertentu yang harus dibayar. Iklan merupakan salah satu proses komunikasi. Sedangkan menurut Klepper (1986), iklan berasal dari bahasa latin “ad-vere” yang berarti mengoperasikan pikiran dan gagasan kepada pihak lain. Menurut Liliweri (1992) iklan merupakan suatu proses komunikasi yang mempunyai kekuatan sangat penting sebagai alat pemasaran yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif. Menurut Littlefield definisi iklan adalah “advertising is mass communication of meaning intended to persuade” (Littlefield, 1970: 139). Dalam bahasa Indonesia berarti “iklan adalah komunikasi massa yang diharapkan mampu mempengaruhi”. Littlefield juga menjelaskan adanya tiga alasan yang melandasi mengapa iklan dianggap sebagai bentuk komunikasi massa. Pertama, komunikasi massa mengacu pada lawan komunikasi personal; kedua, kita semua membicarakan makna dan bukan hanya sekedar menyampaikan informasi; ketiga, mempersuasi yang artinya mempengaruhi orang untuk membeli atau bertindak sesuai dengan keinginan kita (Littlefield, 1970: 139). 6 Menurut Dharmasita (2008:370) periklanan dapat dibedakan ke dalam dua golongan. Jenis periklanan tersebut adalah: 1. Pull Demand Advertising ` Pull demand advertising adalah periklanan yang ditujukan kepada pembeli akhir agar permintaan produk bersangkutan meningkat. Biasanya produsen menyarankan kepada para konsumen untuk membeli produknya ke penjual terdekat. Pull demand advertising juga disebut consumer advertising. 2. Push Demand Advertising Push demand advertising adalah periklanan yang ditujukan kepada para penyalur. Maksudnya agar para penyalur bersedia meningkatkan permintaan produk bersangkutan dengan menjualkan sebanyakbanyaknya ke pembeli/pengecer. Barang yang diiklankan biasanya berupa barang industri. Push demand advertising juga disebut trade advertising. Tujuan iklan menurut Terence A.Shimp (2000:261), terbagi atas: a. Informing (memberikan informasi), periklanan membuat konsumen sadar akan merek-merek baru, mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta memfasilitasi penciptaan citra merek yang positif. b. Persuading (mempersuasi), iklan yang efektif akan mampu membujuk konsumen untuk mencoba produk dan jasa yang diiklankan. c. Reminding (mengingatkan), iklan menjaga agar merek perusahaan tetap segar dalam ingatan para konssumen. d. Adding Value (memberikan nilai tambah), periklanan memberikan nilai tambah dengan cara penyempurnaan kualitas dan inovasi pada merek dengan mempengaruhi persepsi konsumen. e. Assisting (mendampingi), peranan periklanan adalah sebagai pendamping yang menfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi pemasaran. 7 Iklan harus dibuat semenarik mungkin agar mendapat perhatian yang lebih dari pemirsa. Orang pertama yang memperkaya informasi iklan dengan menambah ilustrasi sehingga efek iklan semakin kuat adalah Benyamin Franklin (Darmawan, 2005: 103-114). Untuk dapat menjalankan beberapa fungsi tersebut, iklan harus dihasilkan dengan matang. Beberapa aspek yang harus diperhatikan antara lain strategi, kreativitas, dan konsistensi. a. Strategi periklanan Strategi merupakan hal vital dalam sebuah iklan. Strategi mewakili jiwa sebuah merek dan menjadi elemen penting untuk keberhasilan (Roman, Maas & Nisenholtz, 2005). Pesan apa yang akan dikatakan dan bagaimana pesan itu akan disampaikan harus benar-benar diperhatikan dalam pembuatan sebuah iklan (Wells, 1989:329). b. Kreativitas Kreativitas dalam hal ini menyangkup keseluruhan dalam iklan yang mencakup tagline, visualisasi, pemilihan kata, backsound, setting, alur cerita, serta teknik pengambilan gambar (dalam konteks ini adalah iklan televisi). c. Konsistensi Citra suatu produk harus bisa didapatkan. Dalam konteks ini konsisten yang dimaksud adalah konsisten dengan cara yang dipilih dalam penyampaian pesan. Iklan versi satu dengan lainnya (dalam produk yang sama) harus memiliki ciri yang sama. Karakter yang dipilih serius, kocak, atau datar. Menurut Effendy (1994:21) yang dimaksud dengan televisi adalah media dari jaringan komunikasi dengan ciri-ciri yang dimiliki komunikasi massa, yang berlangsung satu arah, komunikatornya melembaga, pesannya bersifat umum, Sasarannya menimbulkan keserempakan, dan komunikasinya bersifat heterogen. Televisi mampu menyalurkan pesan dengan jangkauan yang luas. Menjadikan televisi sebagai kanal komunikasi pemasaran yang favorit untuk menyebarkan sebuah pesan. Televisi pun menjadi sasaran kanal pemasaran dalam bentuk iklan televisi. 8 “TV is a unique and powerful advertising medium because it contains the elements of sight, sound, and motion, which can be combined to create a variety of advertising appeals and executions.” (George E Belch & Michael A Belch, 2003) Al Ries dan Jack Trout (2002:12) mengungkapkan bahwa komunikasi yang disampaikan media televisi sangat mengagumkan dan tak menutup kemungkinan nantinya menimbulkan kecanduan bagi siapapun yang menontonnya. Televisi yang menyajikan kombinasi motion dan dramatic imaginery mengagumkan bahkan memberikan stopping power bagi siapapun yang menyaksikan. Berger (Fowles, 1996:38) menyebutkan fenomena ini dengan ungkapan “seeing comes before words” yang mengacu pada seni dan pandangan (vision). Ia berasumsi bahwa komunikasi iklan televisi cenderung memanfaatkan daya tarik penglihatan dan imajinasi visual sehingga membuka kesempatan bagi pengiklan untuk membujuk penonton secara multisensoris. Dengan keistimewaannya, iklan dengan media televisi menjadi primadona dalam dunia periklanan. Definisi iklan televisi menurut Charles Dirksen adalah pesan penjualan yang disiarkan oleh pengiklan pada program yang telah disponsori atau selama jeda pada saat acara sedang berlangsung (Dirkens&Kroeger, 1995:478). Menurut Larry Elin dan Alan Lapides dalam bukunya “Designing and Producing Television Commercial” (2004) menyebutkan bahwa iklan televisi merupakan sebuah film persuasif yang sangat singkat, yang dapat ditayangkan pada jeda waktu antar program televisi atau di tengah-tengah penayangan sebuah program televisi. Umumnya iklan televisi terdiri atas iklan sponsorship, iklan layanan masyarakat, iklan spot (Bovee, 1995: 405), Promo Ad, dan iklan politik. (Bungin, 2008: 111-112): a. Iklan Sponsorship atau juga dimaksudkan dengan iklan konsumen merupakan dominasi utama dalam iklan televisi. Bersifat konsumtif, karena pada perkembangannya didukung dengan dana yang besar dan kreativitas yang mumpuni. 9 b. Iklan layanan masyarakat, penayangan iklan di televisi dapat bekerjasama dengan pihak-pihak lembaga nonkomersial atau divisi non komersial dari perusahaan komersial. Iklan ini dimaksudkan memberikan edukasi dan informasi kepada masyarakat luas. c. Iklan Spot, sebuah iklan televisi hanya menampilkan gambar-gambar yang tidak bergerak dengan latar suara tertentu sebagai dukungan utama terhadap gambar tersebut. Iklan semacam ini juga dapat dikatakan sebagai iklan kecil. d. Promo Ad, iklan ini penayangannya untuk mendukung acara tertentu yang diharapkan dapat meraih banyak pemirsa. Biasanya iklan Promo Ad ini sebelumnya menayangkan lead acara tertentu atau film disepanjang waktu dan sekiranya tayangan lead ini dapat disisipkan. Iklan ini bertujuan untuk meningkatkan rating terhadap suatu acara tersebut guna meraih sponsor yang banyak. e. Iklan Politik, media televisi telah digunakan sebagai media iklan untuk kepentingan politik.Terutama pada waktu-waktu menjelang pemilihan umum. Iklan politik pada umumnya berupaya mengkonstruksi pemirsa yang juga adalah segmen politik sebuah partai pada saat pemilihan umum partai tersebut Pemilihan televisi sebagai sarana pemasaran masih banyak dilakukan karena mampu mengomunikasikan produk/jasa melalui audio, visual, dan gerakan. Tujuan iklan televisi menurut Kotler (Durianto. 2003:3) dijabarkan menjadi tiga poin meliputi: 1. Iklan untuk memberi informasi (informing) Iklan televisi bertujuan menginformasikan kepada khalayak mengenai keberadaan produk, cara pemakaian, meluruskan kesan yang keliru tentang produk serta membangun citra positif perusahaan dalam masyarakat. 10 2. Iklan untuk mempersuasi (persuading) Iklan televisi dapat digunakan untuk membujuk para pemirsanya dalam tujuan membentuk permintaan selektif produk tertentu. Ia secara otomatis membentuk pilihan produk, mengalihkan penonton pada pilihan produk tertentu, mengubah persepsi sekaligus mendorong mereka kepada aktivitas pembelian. 3. Iklan untuk mengingatkan (reminding) Iklan berfungsi untuk mengingatkan pelanggan tentang produk dan menjaga merk agar tetap segar di ingatan para pemirsa iklan. Iklan ini sangat penting untuk produk yang telah mapan agar loyalitas konsumen. Di Indonesia dengan banyaknya stasiun televisi, menjadi ladang dalam beriklan. Adstensity, sebuah modul platform atau program pengukur tayangan iklan di stasiunstasiun televisi nasional mencatat bahwa dalam enam bulan pertama tahun 2015 belanja iklan di televisi Indonesia telah mencapai Rp 32,919 triliun (Amrozi, 2015). Sedangkan berdasarkan hasil survei Nielsen Advertising Information Service yang dirilis Nielsen Indonesia, total belanja iklan di Indonesia untuk semua media selama semester pertama 2015 sekitar Rp 57,1 triliun dan kue iklan paling banyak didapat oleh media televisi yakni sekitar Rp41,03 triliun atau sebanyak 71,7%. Pertumbuhan ini meningkat 9% dibandingkan dengan tahun 2014. Ditinjau dari persentasenya, pertumbuhan belanja iklan pada televisi ini menunjukkan tren perlambatan. Pada semester I 2012, iklan TV masih mampu bertumbuh 24% dan kembali bertumbuh 30% pada semester I 2013. Namun mulai tahun 2014, pertumbuhannya melambat menjadi 17%. Sementara di media cetak, baik koran dan majalah ataupun tabloid, belanja iklan yang diterima sepanjang Januari-Juni 2015 hanya 28,2% atau sekitar Rp16,12 triliun. (Wn, 2015). Iklan digital menurut data eMarketer porsi belanja iklan digital tahun 2015 diperkirakan akan mencapai $950 juta (sekitar Rp 12 triliun). Nilai ini masih belum menembus angka psikologis $1 miliar, meskipun terjadi peningkatan 80% ketimbang tahun sebelumnya. Tercatat angka tersebut mengambil porsi 7,3% dari total belanja iklan (Amir, 2015). 11 Berikut ini adalah data lengkap prediksi eMarketer tentang pertumbuhan belanja iklan di Indonesia3: Gambar 1.1 Pertumbuhan Belanja Iklan di Indonesia Terkait fakta tersebut banyaknya pengiklan mendorong mereka untuk menciptakan materi iklan semenarik mungkin. Secara umum, pengiklan melakukan perancangan isi mengacu pada dua pendekatan, yakni (Widyatama, 2011:229): 1. Rational Appeal Pendekatan rational appeal berfokus pada pemberian informasi berdasar fakta-fakta yang sifatnya rasional, mengedepankan keuntungan fungsional dari suatu produk dan terdapat add value yang nyata. Iklan dengan pendekatan ini biasanya menggambarkan mutu, nilai ekonomis, 3 Karimuddin, Amir. 2015. Prediksi Belanja Iklan Digital di Indonesia Tahun 2015. https://dailysocial.net/post/prediksi-belanja-iklan-digital-di-indonesia-tahun-2015 diakses pada 12 Oktober 2015 pukul 13.15 WIB. 12 dan kinerja produk barang dan jasa serta menekankan fitur manfaat atau alasan untuk memiliki produk yang bersangkutan. 2. Emotional Appeal Pendekatan emotional appeal berorientasi pada upaya untuk menggelitik aspek emosi dan perasaan (feeling) pelanggan. Emotional appeal mengedepankan nilai prestise, kebutuhan psikologis/sosial akan suatu produk serta mengasosiakan produk dengan gengsi tertentu. Dalam perkembangannya setiap produsen sudah melakukan pendekatanpendekatan itu dalam iklannya. Untuk mendapat perhatian yang lebih dari pengiklan lain di[erlukan kemasan iklan yang lebih kreatif. Gaya pendekatan iklan yang kreatif yang coba ditawarkan oleh Terence A. Shimp (2007) yaitu: 1. Unique Selling Propotion (USP) adalah suatu cara yang membuat sebuah iklan dari brand atau produk terlihat unik dibandingkan para pesaingnya. 2. Brand Image Creative Style: gaya dan citra dari sebuah brand itu harus mencakup didalamnya unsur psikososial dibandingkan difrensiasi secara fisik. Simbol dalam masyarakat menjadi sangat penting dalam pendekatan ini. Lalu membuat perbedaan secara jelas terhadap identitas dan personaliti akan lebih membuat brand atau produk bisa menjadi lebih mengena ke masyarakat atau konsumen yang disasar. Lalu yang paling penting, sebuah iklan dari brand itu harus transformasional, dan bukan lagi informasional belaka. Ini menjadi penting karena konsumen akan mengasosiasikan pengalaman mereka kedalam brand atau iklan yang mereka lihat jika iklan tersebut menggunakan pendekatan secara transformasional. 3. Resonance Creative Style: mengandung pengertian bahwa sebuah iklan itu bukan fokus kepada produknya melainkan fokus kepada menampilkan kembali situasi yang dialami sehari-hari oleh konsumen tersebut yang merupakan bentuk perlawanan dari situasi real atau situasi yang mereka imajinasikan. 4. Emotional Creative Style: pendekatan jenis ini mencoba memasukkan pendekatan perasaan emosional yang kita alami sehari-hari dalam iklan 13 yang dibuat. Emosional itu diantaranya humor, romansa, kebahagiaan, kesenangan, sex, ketakutan, perasaan bersalah dan lain sebagainya. 5. Generic Style: pendekatan iklan yang berusaha menampilkan sesungguhnya keunggulan sebuah produk atau brand dibandingkan produk atau brand yang sudah ada sebelumnya. 6. Pre-emptive style: pendekatan terakhir ini berusaha untuk menampilkan iklan di mana produk akan dikesankan sebagai sesuatu hal yang harus dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan, penyakit, musibah, dan lain sebagainya. 1.5.2 Nasionalisme Indonesia Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, nasionalisme diartikan sebagai (1) paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; politik untuk membela pemerintahan sendiri; sifat kenasionalan; (2) kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang potensial atau actual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.4 Hans Kohn (1984:11) berpendapat nasionalisme adalah suatu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan. Sementara menurut Sartono Kartodirjo (1999:60), bahwa nasionalisme memuat tentang kesatuan (unity), kebebasan (liberty), kesamaan (equality), demokrasi, kepribadian nasional serta prestasi kolektif. Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme karena kolonialisme dan imperialisme inilah yang menghilangkan harga diri manusia (the human dignity)5. Substansi Nasionalisme Indonesia mempunyai dua unsur: Pertama, kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang 4 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II. Jakarta: Balai Pustaka. Hal.610. 5 Suhartono. 1994. Sejarah Pergerakan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. hal 7. 14 terdiri atas banyak suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia dalam menghapuskan segala bentuk penjajahan dan penindasan dari bumi Indonesia6. Verdoom (Kansil, 1993:17) mengatakan bahwa nasionalisme di Indonesia tujuannya ialah melenyapkan tiap-tiap bentuk kekuasaan penjajahan dan mencapai suatu keadaan yang merdeka. Nasionalisme merupakan salah satu unsur penting dalam pembinaan kebangsaan, dimana masyarakat bangsa dibentuk agar berwawasan kebangsaan serta berpola tata laku secara khas yang mencerminkan budaya maupun ideologi (Ichlasulamal dan Armawi, 1998: 12). Menurut Soekarno (Purwoko, 2002: 52) nasionalisme merupakan perwujudan dari rasa cinta tanah air yang dijabarkan dalam bentuk keindahan dan kedamaian. Indikator yang mengarah kepada cinta tanah air adalah rasa cinta terhadap bangsa dan bahasa sendiri, cinta terhadap sejarah bangsa yang gilang gemilang, cinta kepada kemerdekaan dan benci terhadap penjajahan. Masih menurut Soekarno, nasioanlisme adalah cinta sepenuh hati kepada bangsa dan rasa bangga terhadap bangsa, merjupakan suatu rasa persatuan di antara orang-orang yang sedemikian berbeda, yang terbangun dalam sejarah penderitaan karena penjajahan dan perjuangan pembebasan bersama selama ratusan tahun (Suseno, 2006: 185). Hal ini sepadan dengan pendapat Guibernau (Komalasari dan Syaifullah, 2009: 134) dalam bukunya The Nation-State and Nationlism in The Twentieth Century yang mengemukakan bahwa nasionalisme adalah sentimen yang menganggap diri sebagai bagian dari suatu komunitas yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan diri dengan seperangkat simbol yang dimiliki kemauan untuk menentukan nasib atau takdir politik bersama‟. Presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno menyebut paham nasionalisme Indonesia dengan sosio-nasionalisme. Dalam artikel yang beliau tulis tahun 1932, Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi menyebutkan bahwa (Darmayana, 2012): 6 Redaksi Great publisher. 2009. Buku Pintar Politik: Sejarah, Pemerintahan, dan Ketatanegaraan. Yogyakarta: Galang Press. Hal 64. 15 “Nasionalis yang sejati, yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas susunan ekonomi-dunia dan riwayat, dan bukan semata-mata timbul dari kesombongan bangsa belaka. Nasionalis yang bukan chauvinis, tidak boleh tidak, haruslah menolak segala paham pengecualian yang sempit budi itu. Nasionalis yang sejati yang nasionalismenya itu bukan semata-mata suatu copy atau tiruan dari nasionalisme Barat, akan tetapi timbul dari rasa cinta akan manusia dan kemanusiaan, nasionalis yang menerima rasa nasionalismenya itu sebagai suatu wahyu dan melaksanakan rasa itu sebagai suatu bakti. Baginya, maka rasa cinta bangsa itu adalah lebar dan luas, dengan memberi tempat pada segenap sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.” (Soekarno, 1964). Menurut Ir. Soekarno (Hartono, 2012), nasionalisme eropa adalah suatu nasionalisme yang bersifat serang-menyerang, suatu nasionalisme yang mengejar keperluan sendiri, suatu nasionalisme perdagangan yang untung atau rugi. Sedangkan nasionalisme timur (termasuk Indonesia) lahir karena eksploitasi kolonial. Bagi borjuis di eropa, negara nasional tak lain sebagai peralatan mereka untuk menopang proses akumulasi, yaitu perluasan pasar, pencarian bahan mentah, tenaga kerja murah, dan pencarian sirkuit baru bagi akumulasi kapital. Kemudian Ir. Soekarno menyebut nasionalisme Indoesia sebagai sosionasionalisme. Ir. Soekarno mendefenisikan sosio-nasionalisme sebagai nasionalisme massa-rakyat, yaitu nasionalisme yang mencari selamatnya massa-rakyat. Cita-cita sosionasionalisme adalah memperbaiki keadaan-keadaan di dalam masyarakat, sehingga masyarakat yang kini pincang itu menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada lagi kaum tertindas, tidak ada kaum yang celaka, dan tidak ada lagi kaum yang papa-sengsara.7 7 Hartono, Rudi. 2012. Mengenal Sosio-Nasionalisme Bung Karno. http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20121013/mengenal-sosio-nasionalismebung-karno.html#ixzz3l2CZfvUK diakses pada 7 September 2015 pukul 14.00 WIB. 16 Sosio-nasionalisme bisa disederhanakan sebagai berikut: (1) sosio-nasionalisme merupakan ajaran politik yang memperjuangkan masyarakat tanpa klas alias masyarakat adil dan makmur; (2) sosio-nasionalisme memberi kerangka pada revolusi Indonesia agar tak berhenti pada revolusi nasional semata, tetapi harus berlanjut pada transisi menuju sosialisme; (3) Sosio-nasionalisme meletakkan semangat kebangsaan negeri terjajah berjalan seiring dengan cita-cita internasionalisme8. Bahasan nasionalisme dipersempit pada pokok permasalahan bahwa kita harus mengakui bahwa rakyat Indonesia hidup dalam perbedaan dan kita paham untuk butuh menyatukannya. Rakyat Indonesia haruslah paham bahwa perbedaan dan keberagaman kita mampu menjadi sebuah mozaik indah yang membentuk negeri ini dalam rangkai bhinneka tunggal ika. Sesuai dengan pendapat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Lyman Tower sebagaimana dikutip Hamidi dan Lutfi (2010:169) bahwa Nasionalisme adalah suatu ungkapan perasaan yang kuat dan merupakan usaha pembelaan daerah atau bangsa melawan penguasa luar. Identitas yang menjadi ciri khasnya adalah menempatkan diri dalam suatu tradisi (sebagai suatu proses peleburan, perpaduan) dari suatu daerah, sejarah, bangsa dan agama. Secara konseptual, nasionalisme adalah “state of mind” atau “sikap kejiwaan” yang mengikat semua rakyat penduduk suatu negara dalam “keinginan untuk terus bersama”, dengan tali pengikat “nasib bersama”, baik dimasa lampau maupun dimasa sekarang (Abdulgani,1998:121). Menurut penulis Otto Bauer dari Australia, rasa kebersamaan demikian menumbuhkan suatu persatuan dan kesatuan bangsa. Bangsa menurut beliau adalah suatu “character gemeinschaft”, suatu persamaan watak. Dan persamaan watak itu tumbuh karena ada sesuatu “schicksal gemeinschaft” yaitu suatu persamaan nasib yang telah dialami bersama (Abdulgani, 1998:122). Pesan seperti ini menjadi hal yang cukup penting untuk ditumbuhkan dalam benak setiap orang di Indonesia. Konflik yang terus terjadi di Indonesia berdasar pada perbedaan justru semakin merebak. Di daerah-daerah tertentu, masalah etnis menjadi 8 Hartono, Rudi. 2012. Mengenal Sosio-Nasionalisme Bung Karno. http://www.berdikarionline.com/bung-karnoisme/20121013/mengenal-sosio-nasionalismebung-karno.html#ixzz3l2CZfvUK diakses pada 7 September 2015 pukul 14.00 WIB. 17 sumber konflik utama. Tak jarang nyawa menjadi taruhan dalam sebuah konflik. Di kota besar dengan tingkat heterogenitas tinggi pun turut memiliki konflik. Perbedaan kelas sosial justru menjadi perusak rasa sosial. Indonesia dengan pluralitasnya justru menjadi rentan akan konflik. Maka perlu adanya ajakan untuk terus bersatu walau jurang pembeda sangat dalam. Sebagai produk kontroversial dan batasan dalam berpromosi, rokok mampu menjadi medium dalam penyampaian sebuah pesan. Kendati produk kontroversial, rokok justru mencoba menumbuhkan kembali semangat nasionalisme melalui iklannya. 1.5.3 Resepsi Audiens terhadap Iklan Televisi Audiens atau khalayak menurut Wilbur Schramm (dalam Mcquail) merupakan istilah kolektif untuk penerima pesan (receiver) dalam proses komunikasi massa (McQuail, 1997:1). Ardianto dan Komala menyatakan terdapat beberapa karakteristik khalayak, antara lain: 1. Khalayak pada umumnya terdiri atas individu-individu yang memiliki pengalaman yang sama dan terpengaruh oleh hubungan sosial dan interpersonal yang sama. Individu tersebut memilih media yang digunakan berdasarkan kebiasaan dan kesadaran sendiri. 2. Khalayak memiliki jumlah yang besar. Karenanya mampu dijangkau media dengan relatif cepat, namun tidak mampu diraih dengan komunikasi tatap muka atau interpersonal. 3. Khalayak bersifat heterogen. Individu-individu dalam khalayak mewakili berbagai kategori sosial. 4. Khalayak bersifat anonim. Meskipun institusi media mengetahui karakteristik khalayak yang dituju, namun tidak diketahui secara pasti identitas khalayak tersebut. 5. Khalayak bersifat tersebar, baik dalam konteks ruang dan waktu. Audiens tidak lagi bersifat pasif. Seiring berjalannya waktu, audiens secara aktif memiliki cara sendiri untuk membangun sebuah makna tentang pesan yang disampaikan. 18 Muncullah gagasan mengenai khalayak aktif. Menurut Croteau dan Hoynes dalam buku Media Society (1996:264) terdapat tiga poin di mana media khalayak dapat disebut aktif yaitu melalui interpretasi individu mengenai produk smedia (interpretation of media products), melalui interpretasi kolektif dari media (collective interpretation of media) dan melalui aksi politis yang kolektif (collective political action). 1. Interpretasi Individual: Makna dalam suatu teks media tidak sepenuhnya tetap. Di dalamnya terdapat makna ganda dan dikenal dengan istilah polisemi. Pesan media dapat dimaknai lain oleh khalayak. Khalayak secara individual mengambil kesenangan, kenyamanan, kegembiraan, atau jajaran luas simulasi intelektual maupun emosional. Khalayak menggunakan aktivitas interpretatif dalam derajat tertentu setiap bertemu dengan teks media. 2. Interpretasi dalam konteks sosial: Khalayak secara aktif menafsirkan pesan media secara sosial. Dalam kehidupan sosial, media turut serta dalam memberi pengalamanpengalaman akan suatu pesan di dalam kegiatan komunikasi. 3. Aksi Kolektif Khalayak tidak selalu setuju dengan pesan media. Khalayak yang menolak pesan media seringkali berusaha mengubah pesan media untuk ke depannya. Tidak jarang khalayak melakukan aksi public, boikot terhadap produk media yang spesifik, kampanye publisitas, kemarahan khalayak luas, menekan pengiklan untuk menarik dukungan finansial, serta melakukan lobbying kongres untuk aksi pemerintah dalam menolak pesan media (Croteau, 2012:258-259). Pada teori pemaknaan (reception theory) Stuart Hall (Citra Dinanti, 2010: 12-13) menjelaskan, bahwa analisis resepsi mengacu pada studi tentang makna, produksi dan pengalaman khalayak dalam hubungannya berinteraksi dengan teks media. Fokus dari teori ini ialah proses decoding, interpretasi, serta pemahaman inti dari konsep analisis reception. Pada ilmu komunikasi massa, proses komunikasi dikonseptualisasikan sebagai sirkuit atau loop. 19 Denis Mcquail dalam bukunya Audience Analysis (1997:19) menyatakan analisis resepsi termasuk dalam studi kultural yang menekankan pada penggunaan media (media use) sebagai suatu refleksi dari konteks sosiokultural dan sebagai suatu proses pemaknaan pesan pada produk budaya beserta pengalaman-pengalaman. Selanjutnya McQuail juga mengatakan bahwa resepsi merupakan bagian dari studi budaya modern yang menekankan pada studi mendalam terhadap khalayak sebagai bagian dari interpretative communities. Konsep teoritik terpenting dari analisis resepsi adalah makna teks media tidak melekat pada teks media tersebut, namun diciptakan dalam interaksi antara khalayak dengan teks (Ido, 2008). Jensen dalam karyanya A Handbook of Media and Communication Research berasumsi bahwa analisis resepsi dapat diartikan sebagai perbandingan tekstual dari sudut pandang media dengan sudut pandang khalayak yang menghasilkan suatu pengertian tegas pada suatu konteks (Jensen, 2002: 162). Pada resepsi terdapat proses decoding atau pemaknaan pesan oleh audiens. Dalam proses decoding, akan terbentuk makna yang berbeda-beda. Latar belakang dan lingkungan menjadi faktor yang membuat bentukan makna berbeda-beda. Audiens akan secara aktif dalam memaknai pesan yang disampaikan media. Analisis resepsi memandang bahwa khalayak mampu selektif memaknai dan memilih makna dari sebuah teks berdasar posisi sosial dan budaya yang mereka miliki (Bertrand & Hughes, 2005:39). Menurut Hadi (2009: 1-2) resepsi mencoba memberikan sebuah makna atas pemahaman teks media dengan memahami bagaimana karakter teks media dibaca oleh khalayak. Stuart Hall (2010) mengatakan bahwa struktur arti pesan yang dibuat oleh pembuat pesan tidak selamanya sama dengan struktur arti pesan dari khalayak. Ini yang oleh Hall disebut sebagai proses encoding-decoding. Menurut Hall, encoding diartikan sebagai proses analisa dari konteks sosial politik dimana konten di produksi dan decoding adalah proses konsumsi dari suatu konten media. Dalam proses decoding, pemaknaan khalayak terhadap tayangan, baik film, iklan, maupun program televisi, akan berbedabeda tergantung dengan konteks sosial budaya, pengalaman, keluarga, maupun banyak faktor yang melatarbelakanginya. Sesuai dengan posisi pemaknaan yang diajukan oleh 20 Stuart Hall, bahwa ada tiga posisi pemaknaan yang akan ditangkap oleh khalayak saat melihat tayangan visual televisi, yaitu (Hall, dalam Storey, 2010): a. Dominant-hegemonic reading Posisi pembaca dominan adalah saat khalayak memaknai tayangan sesuai dengan makna pembacaan utama. Dengan kata lain, khalayak akan men-decode berdasarkan kode acuan yang di encode oleh pembuat tayangan iklan atau produsen, sehingga khalayak akan memaknai teks sejalan dengan makna utama yang dikehendaki oleh media. b. Negotiated reading Dalam posisi yang kedua ini khalayak sebenarnya mengetahui akan makna pembacaan yang dikehendaki oleh media atau produsen atau pembuat iklan, namun mereka mencoba bernegosiasi dengan adanya maksud-maksud lain dibalik makna utama yang dibuat oleh media, produsen atau pembuat iklan. c. Oppositional reading Di posisi ini, khalayak melakukan pemaknaan yang berlawanan dari makna utama yang coba di buat oleh media, produsen atau pembuat iklan tersebut. Dalam model ini, khalayak sebenarnya sadar akan pembacaan makna utama yang ada dalam sebuah tayangan televisual namun mereka mencoba memaknai dengan berlawanan dan menawarkan pemaknaan alternatif terhadap tayangan tersebut. Kendati media baru telah menjadi saluran komunikasi yang efektif, kenyataannya televisi sebagai media elektronik konvensional masih memiliki pengguna dengan jumlah besar. Walau negara kita memiliki sekitar 41,3 juta pengguna smartphone dan enam juta pemilik tablet, lebih dari 90 persen penduduk Indonesia (225 juta) memiliki akses ke sebuah TV9. Lebih jauh data Nielsen menyebutkan bahwa Televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio 9 Lukman, Enricko.2014. Seberapa efektifkah iklan di TV Indonesia? https://id.techinasia.com/seberapa-efektifkah-iklan-di-tv-indonesia diakses pada 2 September 2015 pukul10.00 WIB. 21 (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%)10. Menurut hasil survei perusahaan konsultan brand Millward Brown, selain memiliki jumlah pengguna yang jauh lebih banyak, para pemirsa Indonesia juga lebih peka terhadap iklan-iklan di TV dibanding perangkat teknologi lainnya11. Fakta tersebut membuktikan bahwa iklan di televisi menjadi sarana komunikasi paling banyak menyerap atensi audiens daripada media lain. Televisi merupakan media yang dianggap potensial bagi para pemilik brand untuk melakukan komunikasi pemasaran dalam bentuk iklan. Seperti yang disebut di atas bahwa kepekaan audiens terhadap iklan televisi lebih tinggi di banding media lain. Namun dalam proses pembentukan makna atas pesan yang disampaikan tentu akan bervariasi. Melalui penelitian ini peneliti ingin mengetahui pemaknaan individu mengenai pesan iklan, terutama yang terkait dengan nasionalisme dalam iklan Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia. Peneliti juga akan mencari kohesi antara latar belakang sosial dan faktor lain seperti pendidikan, ras, gender, dan pengalaman dalam mempengaruhi aktivitas interpretasi pesan atau proses pembentukan makna tersebut. 1.6 Kerangka Konsep Mengacu pada ciri-ciri komunikasi massa menurut McQuail (1987), iklan televisi termasuk dalam komunikasi massa. Iklan televisi berasal dari sebuah organisasi maupun perusahaan formal; pesan yang disampaikan melalui iklan televisi beragam antara iklan satu dengan yang lain; dan yang paling utama bahwa penerima terpaan iklan televisi merupakan khalayak luas di mana kontak dilakukan secara serentak dari satu pengirim ke banyak penerima. 10 Nielsen. 2014. Nielsen: Konsumsi Media Lebih Tinggi di Luar Jawa. http://www.nielsen.com/id/en/press-room/2014/nielsen-konsumsi-media-lebih-tinggi-di-luarjawa.html diakses pada 2 September 2015 pukul10.00 WIB. 11 Lukman, Enricko.2014. Seberapa efektifkah iklan di TV Indonesia? https://id.techinasia.com/seberapa-efektifkah-iklan-di-tv-indonesia diakses pada 2 September 2015 pukul10.00 WIB. 22 Keterkaitan iklan televisi dengan komunikasi massa dijelaskan oleh Dunn dan Barban (1978:11): “Advertising is paid, non-personal communication through various media by business firms, non-profit organizations, and individuals who are in some way identified in the advertising message and who hope to inform or persuade members of a particular audience.” “Periklanan adalah komunikasi non-personal melalui beragam media yang dibayar oleh perusahaan, organisasi non-profit dan individu-individu dengan menggunakan pesan iklan yang diharapkan dapat menginformasikan atau membujuk kalangan tertentu yang membaca pesan tersebut.”) Iklan televisi merupakan bentuk pesan yang dikomunikasikan dalam media massa televisi kepada sejumlah besar orang seperti pendapat Bitnerr (Rahmat, 2005:188). Pesan yang disampaikan oleh iklan televisi Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia; Djarum Super My Great Adventure; dan Gudang Garam Rumahku Indonesiaku merupakan hal yang dibutuhkan demi terciptanya masyarakat harmonis, yakni nasionalisme. Pesan nasionalisme menjadi menarik karena produk yang beriklan merupakan produk kontroversial dalam segi kesehatan. Menurut peneliti, indikator nasionalisme dapat terlihat dari dua hal yakni secara kasat mata dan secara tak kasat mata. Secara kasat mata nasionalisme terlihat dari: (1) visualisasi, visual yang mencerminkan kecintaan Indonesia seperti keanekaragaman alam, budaya, simbol-simbol ke-Indonesia-an; (2) narasi/copy iklan; (3) musik; (4) dan sound effect. Kemudian secara tak kasat mata dapat diteliti dari konsep iklan yang dibawa, mencangkup bahasa, kearifan lokal, sopan santun, atau norma-norma. Penelitian ini akan mencari tahu pendapat audiens dalam menangkap pesan nasionalisme dari iklan televisi Dji Sam Soe 234 versi Mahakarya Indonesia. Iklan Djarum Super My Great Adventure dan iklan Gudang Garam Rumahku Indonesiaku kemudian akan digunakan sebagai pembanding. Peneliti mengacu pada pendapat Stuart Hall (2010) bahwa struktur arti pesan yang dibuat oleh pembuat pesan tidak selamanya sama dengan struktur arti pesan dari khalayak. Masih menurut Stuart Hall, dalam proses decoding 23 pemaknaan khalayak terhadap iklan akan berbeda-beda tergantung dengan konteks sosial budaya, pengalaman, keluarga, maupun banyak faktor yang melatarbelakanginya. Kemudian peneliti mengategorikan hasil resepsi informan ke dalam tiga posisi pemaknaan yang dicetuskan Stuart Hall (Hall, dalam Storey, 2010) yaitu dominant-hegemonic, negotiated, atau oppositional reading. 1.7 Metodologi Penelitian 1.7.1 Metode penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif yakni suatu pendekatan dalam penelitian ilmiah yang berdasarkan pada informasi yang di dapat di lapangan atau kualitas. Creswell, J.W. dalam bukunya yang berjudul “Research Design: Qualitative and Quantitative Approaches” (1994) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah suatu proses penelitian untuk memahami masalah- masalah manusia atau social dengan menciptakan gambaran menyeluruh dan kompleks yang disajikan dengan kata-kata, melaporkan pandangan terinci yang diperoleh dari para sumber informasi, serta dilakukan dalam latar (setting) yang alamiah. “Research that is guided by the qualitative paradigm is defined as: “an inquiry process of understanding a social or human problem based on building a complex, holistic, picture, formed with words, reporting detailed view of informants, and conducted in a natural” (Creswell, 1994) Metode yang digunakan adalah analisis resepsi untuk memahami khalayak dalam memaknai teks. Analisis resepsi menurut Jensen (1986) merupakan bentuk studi kualitatif yang berada pada domain riset audiens khususnya berkaitan dengan resepsi audiens. Metode ini memiliki tiga elemen utama meliputi pengumpulan data, analisis data, dan interpretasi data resepsi (Jensen, 2002:136). 24 Analisis resepsi ini akan akan memfokuskan pada pertemuan antara media penyampai pesan (iklan televisi) dan khalayak. Dengan demikian diharapkan agar penelitian ini mencapai tujuan memperoleh hasil penelitian yang dinamis dan mendalam. 1.7.2 Subjek Penelitian (Informan) Subjek dalam penelitian ini adalah orang-orang yang penulis pilih berdasarkan purposive sampling, yaitu teknik pengambilan sampel tidak secara acak namun dipilih secara sengaja pada informan yang memenuhi kriteria sesuai dengan kebijaksanaan peneliti (Patton, 2012). Penulis memilih informan berdasarkan kriteria-kriteria yang dianggap dapat menjadi dasar utama dalam melakukan pemilihan informan. Kategori usia: 17-25 tahun. Kategori usia ini dipilih dengan alasan generasi inilah yang paling kencang diterpa globalisasi dan modernisasi. Tingkat pendidikan, mahasiswa dalam tingkat sarjana. Berpengetahuan atau berpendidikan akan memungkinkan setiap informan untuk memaknai setiap iklan-iklan tersebut dan pertanyaan lainnya secara lebih komprehensif dan holistik berdasarkan skema pengetahuan yang telah didapatkan. Secara khusus adalah mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Pernah atau aktif mengikuti organisasi/komunitas. Peneliti berasumsi dengan keikutsertaannya dalam komunitas, calon informan akan berpengetahuan lebih luas. Hal ini berguna bagi jawaban-jawab yang nanti diberikan. Secara khusus, akan dipilih mahasiswa yang aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa di tingkat Fakultas. UGM membagi fakultas-fakultas ke dalam empat kluster, yakni Agro, Humaniora, Saintek, dan Kesehatan. Hal itu akan mendasari peneliti untuk memilih satu orang yang aktif di BEM Fakultas mewakili 1 kluster. Total akan ada 4 orang dari 4 kluster. Hal ini berdasar asumsi peneliti bahwa perbedaan kluster akan membawa perbedaan pola pikir mahasiswa. Peduli dengan nasionalisme. Kriteria ini diketahui melalui 25 pertanyaan-pertanyaan pembuka mengenai nasionalisme. Dari jawaban calon informan akan diketahui tingkat kepedulian mereka mengenai nasionalisme. Peneliti hanya memilih calon informan yang peduli mengenai nasionalisme dan bisa menceritakan aksi nyatanya. Pernah melihat iklan Dji Sam Soe 234 setidaknya 3 kali. Pemilihan informan akan diawali dengan penyaringan melalui kuesioner kepada sejumlah calon informan. Mereka akan diberi pertanyaan sesuai dengan kriteria yang telah peneliti sebutkan di atas. Calon informan yang tersaring kemudian akan dijadikan subyek dalam penelitian ini dengan harapan dapat memberikan informasi yang mendalam dan komprehensif mengenai tema penelitian yang peneliti sedang lakukan. 1.7.3 Teknik Pengumpulan Data Dalam praktiknya, pencarian informasi guna mendapatkan data-data yang diperlukan, akan dilakukan beberapa teknik, antara lain: 1. Wawancara Wawancara dilakukan dalam bentuk tanya jawab secara lisan dan mendalam (in depth-interview). Berger (2000:111) mendefinisikan wawancara sebagai percakapan antara peneliti (seseorang yang ingin memperoleh informasi tentang subjek penelitian) dan seorang informan (seseorang yang diasumsikan memiliki informasi atau keterkaitan dengan subjek atau suatu hal dalam penelitian). Proses wawancara akan didasarkan pada daftar pertanyaan (interview guide) yang telah disusun sebelumnya maupun improvisasi dari daftar tersebut. 2. Observasi Partisipan Peneliti akan melakukan observasi terhadap informan untuk mendapatkan informasi mengenai latar belakang sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Pengamatan akan dilakukan dengan mendatangi subjek di tempat di mana biasa berada dan juga mengamati perilaku dalam kesehariannya. 26 3. Studi Pustaka Teknik ini bertujuan untuk mengumpulkan data sekunder yang diperoleh dengan cara mengumpulkan dan mempelajari literatur, dokumen tertulis, dan media-media lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Datadata pendukung ini akan digunakan untuk memperkuat konsep dan kerangka pemikiran yang akan dibuktikan dan diterapkan dalam penelitian. 1.7.4 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan cara mengintepretasikan data yang ada dan dihubungkan satu dengan yang lain. Strateginya adalah dengan mengamati, mengategorikan, menyusun, dan menggabungkan data-data yang sudah dikumpulkan. 27