TESIS LAMA RAWAT INAP DAN LAMA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA NOSOKOMIAL PADA ANAK DI RSUP SANGLAH DEBORAH MELATI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS LAMA RAWAT INAP DAN LAMA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA NOSOKOMIAL PADA ANAK DI RSUP SANGLAH DEBORAH MELATI NIM 0914018203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 LAMA RAWAT INAP DAN LAMA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA NOSOKOMIAL PADA ANAK DI RSUP SANGLAH Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana DEBORAH MELATI NIM 0914018203 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 3 APRIL 2014 Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ni Putu Siadi Purniti, Sp.A(K) NIP. 196211091988032000 Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH NIP.194712111976021001 Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.Dr.dr.Wimpie Pangkahila,Sp.And,FAACS Prof.Dr.dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 194612131971071001 NIP. 195902151985102001 Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 3 April 2014 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No 753/UN.14.4/HK/2014 tertanggal 21 Maret 2014 Ketua : dr. Ni Putu Siadi Purniti, Sp.A(K) Sekretaris : Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH Anggota : 1. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp.And 2. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 3. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp. MK., M.Kes UCAPAN TERIMA KASIH Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas karunia-Nya maka tesis yang berjudul “Lama Rawat Inap Dan Lama Penggunaan Antibiotik Sebagai Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial Pada Anak Di RSUP Sanglah” dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan, pengarahan, sumbangan pikiran, dorongan semangat dan bantuan lainnya yang sangat berharga dari semua pihak, tesis ini tidak akan terlaksana dengan baik dan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang setulus-tulusnya dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas pada penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr Raka Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk menjadi mahasiswa program pasca sarjana, program studi kekhususan kedokteran klinik (combined degree). 3. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree), Prof. Dr. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.,FAACS, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree). 4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. A.A.A Saraswati, M.Kes atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk melanjutkan pendidikan di Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak dan melakukan penelitian di RSUP Sanglah Denpasar. 5. Kepala Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. Bagus Ngurah Putu Arhana, Sp.A(K) yang telah memberikan kesempatan penulis untuk mengikuti program pendidikan dokter spesialis I di bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNUD/RSUP Sanglah dan telah memberikan dukungan, semangat serta masukan selama pembuatan tesis. 6. Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I (KPS PPDS-I) Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah, dr. Ketut Suarta, Sp.A(K) yang telah memberikan kesempatan, bimbingan dan dukungan sejak awal sampai akhir pendidikan penulis. Terima kasih karena telah menjadi orang tua yang senantiasa mengarahkan, membimbing dan memberikan dukungan selama penulis menjalani pendidikan PPDS I IKA. 7. Dr. Ni Putu Siadi Purniti, Sp.A(K) selaku pembimbing pertama yang telah banyak memberikan dorongan, semangat serta meluangkan waktu dan pemikiran dalam penyusunan tesis ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik. 8. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH selaku pembimbing kedua atas bimbingan dan saran selama penyusunan tesis ini. 9. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, M.Sc., Sp. And, Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D, dan Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp. MK., M. Kes, selaku penguji yang telah memberikan banyak masukan dalam penyusunan dan penulisan tesis ini. 10. Seluruh staf Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah atas segala bimbingan yang diberikan selama penulis menempuh pendidikan. 11. Suami tercinta yang selalu setia mendampingi, senantiasa sabar, dan memberikan dukungan dengan penuh kasih sayang, tak lupa juga untuk kedua putra tercinta yang selalu menghadirkan tawa sebagai hiburan disaat lelah, yang rela membagi waktu mereka demi kesempurnaan penelitian ini. Terimakasih. 12. Kedua orang tua dan mertua yang telah dengan penuh kasih sayang dan penuh cinta membesarkan, mendidik, dan mendukung sepenuhnya sehingga tesis ini dapat terselesaikan.Tak lupa juga terima kasih untuk kakak-kakakku, baik kakak kandung maupun kakak ipar, dan adikku tersayang beserta keluarga, yang senantiasa menemani dan berbagi suka duka selama pendidikan ini. 13. Kepada semua pihak, keluarga, guru-guru, sahabat, rekan PPDS, rekan paramedis dan non paramedis yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu di sini, atas seluruh dukungan dan bantuan yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan PPDS I IKA. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari sempurna. Dengan segala kerendahan hati, penulis mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan tesis ini. Penulis berhadap agar hasil yang tertuang dalam tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan. Denpasar, April 2014 Deborah Melati ABSTRAK LAMA RAWAT INAP DAN LAMA PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBAGAI FAKTOR RISIKO PNEUMONIA NOSOKOMIAL PADA ANAK DI RSUP SANGLAH Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia adalah pneumonia yang didapat saat menjalani rawat inap di rumah sakit. Pneumonia nosokomial menduduki peringkat ketiga tersering dari seluruh infeksi nosokomial pada pasien anak. Pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas sebab pasien yang terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial rentan terhadap mikroorganisme yang berbeda dengan pneumonia komunitas dan kemungkinan besar resisten berbagai antibiotik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui obat antikejang, penggunaan pipa nasogastrik, riwayat perawatan di ruang intensif sebelumnya, penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu, dan rawat inap lebih dari 3 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan anak RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini dikerjakan selama 4 bulan yaitu bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. Penelitian dikerjakan secara observasional analitik dengan desain kasus kontrol. Faktor risiko yang diteliti ditelusuri secara retrospektif pada kedua kelompok yang dianalisis. Masing-masing faktor risiko pneumonia nosokomial dianalisis dengan uji Chi-square atau uji Fisher-exact. Besarnya risiko dinyatakan dalam rasio odds (RO). Dilakukan analisis multivariat pada faktor risiko dengan nilai p<0,25 pada analisis bivariat. Terdapat perbedaan bermakna antara rawat inap lebih dari 3 minggu pada kelompok dengan kejadian pneumonia nosokomial dibandingkan dengan kontrol (adjusted RO 2,814; IK 95% 1,099-7,201; p=0,031), dan pada penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu (adjusted RO 5,875; IK 95% 2,085-16,553; p=0,001). Terdapat peningkatan lama rawat inap 3 kali lipat pada kelompok dengan pneumonia nosokomial dibandingkan dengan kontrol (p<0,001). Rawat inap lebih dari 3 minggu dan penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu sebagai faktor risiko pneumonia nosokomial. Perawatan pasien diharapkan selalu berpedoman pada clinical pathway masing-masing diagnosis penyakit sehingga tidak memperpanjang lama rawat inap. Pengambilan kultur darah dilakukan sebelum pemberian antibiotik dengan teknik aseptik dan terapi antibiotik definitif disesuaikan dengan hasil kultur darah. Kata kunci: antibiotik, lama rawat inap, pneumonia nosokomial, anak ABSTRACT DURATION OF HOSPITALIZATION AND PROLONG USE OF ANTIBIOTIC AS A RISK FACTOR OF NOSOCOMIAL PNEUMONIA IN CHILDREN AT SANGLAH HOSPITAL Nosocomial pneumonia or hospital acquired pneumonia is defined as pneumonia occurring at or beyond 48 hours after admission to hospital. Nosocomial pneumonia accounts for the third of all most common nosocomial infections in children. It is important to distinguish between nosocomial pneumonia and community acquired pneumonia since the first mentioned has susceptibility caused by multi drug resistant antibiotics. The aim of this study was to found antiseizure drug, nasogastric tube use, history of previous intensive care unit hospitalization, antibiotic use for more than 2 weeks, hospitalization more than 3 weeks as a risk factors for developing nosocomial pneumonia in children at pediatric ward Sanglah hospital. This study was conducted in Pediatric ward at Sanglah Hospital of Denpasar, from October 2013 to January 2014, using the case-control observational analytic design. All of the risk factors studied retrospectively in both groups. Relationship between risk factor and nosocomial pneumonia were analyzed with Chi-square test or Fisher exact test. The risk of nosocomial pneumonia was expressed in odds ratio (OR). Multivariate analysis performed in risk factors that had p<0,25 on bivariate analysis. There were significant differences in hospitalization more than 3 weeks (adjusted OR 2.814; 95% CI 1.099-7.201; p=0.031) and in antibiotic use more than 2 weeks (adjusted OR 5.875; 95% CI 2.085-16.553; p=0.001) on nosocomial pneumonia group compared to control group. There is a 3 times fold increase of hospitalization duration among nosocomial pneumonia patiens (p<0.001). Hospitalization for more than 3 weeks and antibiotic use for more 2 weeks are risk factors for nosocomial pneumonia in children. Consideration use in treating patients based on clinical pathway. Empirical antibiotic should consider microbial susceptibility pattern and epidemiological disease. Blood culture should performed before administer antibiotic using aseptic method and definite antibiotic treatment based on blood culture result. engambilan kultur darah dilakukan sebelum pemberian antibiotik dengan Keywords: antibiotic, hospitalization duration, nosocomial pneumonia, children DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM……………………………………………………. i PRASYARAT GELAR………………………………………………... ii LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI…………………………………… Iv UCAPAN TERIMAKASIH…………………………………………… v ABSTRAK……………………………………………………………… viii ABSTRACT……………………………………………………………. ix DAFTAR ISI…………………………………………………………… x DAFTAR GAMBAR…………………………………………………… xiv DAFTAR TABEL……………………………………………………… xv DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG…………………………… xvi DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………… xviii BAB I PENDAHULUAN……………………………………………… 1 1.1 Latar Belakang…………………………………………………….. 1 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………….. 5 1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………… 5 1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………. 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………….. 7 2.1 Pneumonia Nosokomial……………………………………………. 7 2.1.1 Definisi…………………………………………………………… 7 2.1.2 Klasifikasi………………………………………………………… 7 2.1.2.1 Pneumonia nosokomial onset awal…………………………….. 8 2.1.2.2 Pneumonia nosokomial onset lanjut……………………………. 8 2.1.3 Etiologi…………………………………………………………… 9 2.1.4 Patogenesis……………………………………………………….. 10 2.1.4.1 Aspirasi ………………………………………………………… 13 2.1.4.2 inhalasi …………………………………………………………. 14 2.1.4.3 Hematogen……………………………………………………… 15 2.1.4.4 Translokasi……………………………………………………… 15 2.1.5 Faktor-Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial…………………… 15 2.1.5.1 Kolonisasi mikroorganisme di orofaring, nasal, sinus, dan lambung…………………………………………………………………. 16 2.1.5.2 Aspirasi dari flora orofaring, nasal, sinus, dan lambung……….. 18 2.1.5.3 Penggunaan ventilasi mekanik………………………………….. 19 2.1.5.4 Inhalasi mikroorganisme langsung menuju paru……………….. 20 2.1.5.5 Faktor host……………………………………………………… 21 2.1.6 Manifestasi Klinis………………………………………………… 22 2.1.6.1 Anamnesis………………………………………………………. 22 2.1.6.2 Pemeriksaan fisik……………………………………………….. 23 2.1.7 Diagnosis………………………………………………………….. 24 2.1.8 Diagnosis Banding………………………………………………... 26 2.1.9 Penatalaksanaan…………………………………………………... 27 2.1.9.1 Terapi empiris pada pneumonia nosokomial…………………… 27 2.1.9.2 Pneumonia nosokomial onset awal……………………………... 28 2.1.9.3 Pneumonia nosokomial onset lanjut……………………………. 28 BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN…………………………………………………………… 30 3.1 Kerangka Berpikir…………………………………………………... 30 3.2 Kerangka Konsep…………………………………………………… 31 3.3 Hipotesis Penelitian…………………………………………………. 32 BAB IV METODE PENELITIAN…………………………………….. 33 4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………….. 33 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian………………………………………. 34 4.3 Penentuan Sumber Data……………………………………………. 34 4.3.1 Populasi Penelitian……………………………………………….. 34 4.3.2 Sampel Penelitian…………………………………………………. 34 4.3.2.1 Kriteria eligibilitas………………………………………………. 35 4.3.2.2 Perhitungan besar sampel………………………………………. 36 4.4 Variabel Penelitian………………………………………………….. 37 4.4.1 Identifikasi Variabel………………………………………………. 37 4.4.2 Definisi Operasional Variabel…………………………………….. 37 4.5 Instrumen Penelitian………………………………………………… 41 4.6 Prosedur Penelitian…………………………………………………. 42 4.6.1 Cara Penelitian……………………………………………………. 42 4.6.2 Alur Penelitian……………………………………………………. 44 4.6.3 Prosedur Pengumpulan Data……………………………………… 44 4.6.3.1 Data pneumonia nosokomial……………………………………. 44 4.6.3.2 Data faktor risiko pneumonia nosokomial……………………… 45 4.7 Analisis Data………………………………………………………... 45 4.8 Etika Penelitian………………………………………………........... 47 BAB V HASIL PENELITIAN………………………………………… 48 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian…………………………………….. 48 5.2 Karakteristik Kasus dengan Pneumonia Nosokomial………………. 49 5.3 Perbandingan Variabel Penelitian Terhadap Pneumonia 50 Nosokomial BAB VI PEMBAHASAN………………………………………………. 54 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian…………………………………….. 54 6.2 Penggunaan Obat Antikejang dengan Pneumonia Nosokomial…….. 56 6.3 Penggunaan Pipa Nasogastrik dengan Pneumonia Nosokomial……. 57 6.4 Riwayat Perawatan di Ruang Intensif Sebelumnya dengan Pneumonia Nosokomial………………………………………………… 58 6.5 Penggunaan Antibiotik lebih dari Dari Dua Minggu dengan Pneumonia Nosokomial………………………………………………… 59 6.6 Rawat Inap Lebih Dari Tiga Minggu dengan Pneumonia Nosokomial…………………………………………………………….. 59 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN………………………………….. 62 7.1 Simpulan……………………………………………………………. 62 7.2 Saran………………………………………………………………… 62 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………... 64 LAMPIRAN…………………………………………………………….. 69 DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Patogenesis pneumonia nosokomial …………………………….. 12 2.2 Faktor risiko pneumonia nosokomial……………………………… 16 3.1 Skema kerangka konsep penelitian………………………………… 31 4.1 Skema rancangan penelitian……………………………………….. 33 4.2 Skema alur penelitian……………………………………………… 44 DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial………………... 10 2.2 Kriteria WHO untuk takipneu……………………………………… 23 2.3 Klasifikasi klinis pneumonia menurut WHO………………………. 25 2.4 Terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial onset awal... 28 2.5 Terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial onset lanjut.. 29 5.1 Karakteristik subjek penelitian…………………………………….. 49 5.2 karakteristik kasus pneumonia nosokomial………………………… 50 5.3 Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap pneumonia nosokomial………………………………………………………………. 51 5.4 hasil analisis multivariat terhadap faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial………………………………………………….. 53 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG SINGKATAN BAL : Broncho alveolar lavage BB : Berat badan CAP : Community acquired pneumonia CDC : Centers for Disease Control and Prevention ESBL : Extended spectrum beta lactamases HAP : Hospital acquired pneumonia ICU : Intensive care unit IgG : Imunoglobulin G IgM : Imunoglobulin M IK : Interval kepercayaan MRSA : Methicillin-resistant Staphylococcus aureus MSSA : Methicillin-sensitive Staphylococcus aureus OR : Odd ratio PICU : Pediatric intensive care unit PPDS : Program pendidikan dokter spesialis PSB : Protected specimen brush RO : Rasio odd RSUP : Rumah sakit umum pusat Spp. : Species TB : Tinggi badan VAP : Ventilator associated pneumonia WHO : World Health Organization LAMBANG ≥ : Lebih dari sama dengan < : Kurang dari DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Penjelasan penelitian……………………………………... 69 Lampiran 2. Surat penjelasan penelitian…………………………..…… 72 Lampiran 3. Kuesioner penelitian……………………………………… 73 Lampiran 4. Keterangan kelaikan etik…………………………………. 76 Lampiran 5. Surat ijin………………………………………………... 77 Lampiran 6. Hasil analisis statistik…………………………………….. 78 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pneumonia nosokomial atau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang didapat saat menjalani rawat inap di rumah sakit. Pneumonia nosokomial menduduki peringkat ketiga tersering dari seluruh infeksi nosokomial pada pasien anak. Pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas sebab pasien yang terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial rentan terhadap mikroorganisme yang berbeda dengan pneumonia komunitas dan kemungkinan besar resisten berbagai antibiotik. Insiden pneumonia nosokomial di dunia bervariasi dari 15% hingga 29% pada pasien anak yang menjalani perawatan di rumah sakit. Perbedaan insiden pneumonia nosokomial akibat dari perbedaan metodologi penelitian, populasi pasien, maupun lokasi penelitian (Cotton dan Zar, 2002). Di Indonesia, angka kejadian sebenarnya dari pneumonia nosokomial pada anak tidak diketahui dengan pasti disebabkan antara lain tidak terdapat data nasional dan data yang ada hanya berasal dari beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah serta angkanya sangat bervariasi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003). Secara umum, pneumonia nosokomial ditemukan pada 15% dari pasien anak dengan infeksi nosokomial. Meskipun insidennya kecil, pneumonia nosokomial merupakan infeksi nosokomial yang mengancam nyawa dengan angka kematian berkisar 20% hingga 70% (Cotton dan Zar, 2002). 1 Beberapa faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien anak misalnya penggunaan obat antikejang, penggunaan pipa nasogastrik, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu, dan rawat inap lebih dari 3 minggu (Tablan dkk., 2004). Penggunaan antikejang berefek sedatif sehingga menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh lokal pada saluran pernapasan, sehingga mempermudah mikroorganisme untuk melekat dan berkolonisasi pada permukaan mukosa saluran napas bagian atas. Kondisi ini meningkatkan risiko aspirasi yang merupakan patogenesis utama terjadinya pneumonia nosokomial. Penelitian oleh Mansour dan Bendary (2012) mendapatkan penggunaan obat antikejang sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak (rasio odd (RO) = 4,3; IK 95% 1,6–11,7; p<0,01). Penggunaan pipa nasogastrik merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial sebab memfasilitasi refluks gastro esofageal dengan menurunkan fungsi sfingter esofagus bagian bawah. Penelitian oleh Mansour dan Bendary (2012) pada pasien anak di ruang perawatan intensif melaporkan penggunaan pipa nasogastrik sebagai faktor risiko pneumonia nosokomial (RO = 7,1; IK 95% 2,6– 19,6; p<0,001). Penelitian lainnya pada orang dewasa mendapatkan hasil serupa yaitu dengan peningkatan risiko sebesar 5 kali terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 5,00; p=0,0002) (Porto dkk., 2012). Riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya meningkatkan risiko terjadinya pneumonia nosokomial sebab memaparkan pasien terhadap infeksi bakteri yang lebih virulen dan seringkali resisten terhadap berbagai antibiotik. Mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial seperti bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus banyak ditemukan di lingkungan ruang intensif, dengan transmisi mikroorganisme akibat tangan petugas pelayanan kesehatan yang terkontaminasi (Inglis dkk., 1993). Pengaruh penggunaan antibiotik terhadap pneumonia nosokomial bersifat tergantung waktu. Penggunaan antibiotik bersifat protektif terhadap timbulnya pneumonia nosokomial onset awal (timbul sebelum hari kelima perawatan di rumah sakit), akan tetapi jika penggunaannya berkepanjangan maka bersifat sebagai faktor risiko timbulnya pneumonia nosokomial onset lanjut (Torres dkk., 2006). Penelitian oleh Kollef (1993) pada orang dewasa mendapatkan hasil bahwa penggunaan antibiotik berkepanjangan berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia nosokomial onset lambat (RO = 3,1; IK 95% 1,4-6,9). Semakin lama pasien dirawat di rumah sakit maka semakin besar peluang terjadinya pneumonia nosokomial. Penelitian oleh Fattah (2008) pada pasien anak di ruang intensif mendapatkan hasil bahwa rawat inap lebih dari 3 minggu secara bermakna meningkatkan risiko terkena pneumonia nosokomial dibandingkan rawat inap kurang dari 1 minggu (RO = 2,18; IK 95% 1,24-3,29). Penelitian-penelitian mengenai pneumonia nosokomial pada pasien anak saat ini sebagian besar membahas pneumonia nosokomial di Ruang Rawat Intensif, atau ventilator associated pneumonia, sedangkan pneumonia nosokomial di ruang perawatan biasa sangat jarang. Menurut Bradley (2010) dan Gomez dkk. (1995) jarangnya penelitian mengenai pneumonia nosokomial pada anak di luar Ruang Rawat Intensif disebabkan karena kesulitan dalam menentukan teknik diagnostik pada pasien anak. Sebagian besar penelitian mengenai pneumonia nosokomial pada pasien anak dilakukan di negara maju yang memiliki angka resistensi antibiotik yang rendah dan pola kepekaan bakteri yang jauh berbeda dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia (Song dan HAP Asian Working Group, 2008). Meskipun kasus pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak jarang ditemui, tetapi dampak yang diakibatkan sangat kompleks mulai dari meningkatkan angka kesakitan dan kematian, memperpanjang lama rawat inap serta biaya yang dikeluarkan. Penelitian oleh Mansour dan Bendary (2012) pada pasien anak di Ruang Rawat Intensif melaporkan pneumonia nosokomial memperpanjang durasi rawat inap 2 kali lipat dibandingkan pasien tanpa pneumonia nosokomial. Meningkatnya durasi rawat inap di samping memaparkan pasien terhadap kemungkinan infeksi berulang, juga meningkatkan biaya perawatan di rumah sakit. Identifikasi terhadap faktor-faktor risiko penyebab pneumonia nosokomial penting diketahui untuk mengurangi kejadian pneumonia nosokomial dan dampak yang diakibatkan. Sampai saat ini belum terdapat data mengenai faktor-faktor risiko yang menyebabkan terjadinya pneumonia nosokomial sehingga penelitian ini bermaksud untuk menelaah lebih dalam mengenai faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien yang dirawat di ruang perawatan anak. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka permasalahan yang dapat dirumuskan adalah: 1. Apakah penggunaan obat antikejang sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak? 2. Apakah penggunaan pipa nasogastrik sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak? 3. Apakah riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak? 4. Apakah penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak? 5. Apakah rawat inap lebih dari 3 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak? 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui penggunaan obat antikejang sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 2. Mengetahui penggunaan pipa nasogastrik sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 3. Mengetahui riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 4. Mengetahui penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 5. Mengetahui rawat inap lebih dari 3 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat praktis Identifikasi terhadap faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial dapat menjadi pertimbangan untuk memperkirakan munculnya pneumonia nosokomial pada pasien yang menjalani rawat inap, sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan penyakit yang lebih dini. Identifikasi risiko pneumonia nosokomial lebih dini diharapkan dapat mengurangi prevalensi dan komplikasi pneumonia nosokomial serta mengurangi lama dan biaya rawat inap. 2. Manfaat akademik Hasil dari penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi masukan bagi sejawat dokter spesialis anak, dokter umum dan pihak manajemen agar senantiasa melakukan upaya pencegahan terhadap penyakit pneumonia nosokomial sehingga dampak negatif yang menyertai seperti peningkatan kesakitan, kematian maupun lama dan biaya rawat inap dapat dicegah. Selanjutnya diharapkan penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian lebih lanjut. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pneumonia Nosokomial 2.1.1 Definisi Pneumonia nosokomial adalah suatu peradangan pada parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi yang berkembang setelah 48 jam setelah masuk rumah sakit dan tidak terjadi atau tidak terinkubasi pada saat masuk rumah sakit (Tablan dkk., 2004). Pneumonia nosokomial menduduki peringkat ketiga dari seluruh infeksi nosokomial, setelah infeksi saluran kemih, dan infeksi kulit. Pneumonia nosokomial pada anak ditandai dengan gejala dan tanda klinis (misalnya batuk, retraksi, demam, peningkatan frekuensi napas dan penemuan rales pada auskultasi paru), hasil pemeriksaan penunjang (foto dada) dan ditunjang hasil pemeriksaan laboratorium (pemeriksaan mikrobiologi sputum pada saluran napas, pemeriksaan biakan darah, dan penanda inflamasi seperti sel darah putih atau C-reaktif protein (Mahabee-Gittens, 2002). 2.1.2 Klasifikasi Berdasarkan onset terjadinya pneumonia nosokomial dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia nosokomial onset awal dan pneumonia nosokomial onset lanjut (American Thoracic Society, 1995). 7 2.1.2.1 Pneumonia nosokomial onset awal Pneumonia nosokomial onset awal adalah pneumonia yang terjadi sebelum hari ke lima rawat inap (American Thoracic Society, 1995). Pneumonia nosokomial onset awal dibagi menjadi tanpa pemberian antibiotik sebelumnya dan dengan pemberian antibiotik sebelumnya. Pneumonia nosokomial onset awal tanpa pemberian antibiotik sebelumnya kemungkinan besar berasal dari mikroorganisme yang sama dengan pneumonia komunitas dan disebabkan oleh mikroorganisme bukan resisten berbagai mikroorganisme seperti Streptococcus pneumonia, Enterobacteraciea, Haemophilus influenzae, dan methicillin-sensitif Staphyloccous aureus (Trouillet dkk., 1998). Pada pneumonia nosokomial onset awal dengan pemberian antibiotik jangka pendek sebelumnya umumnya juga disebabkan oleh mikroorganisme yang sama dengan pneumonia komunitas ditambah dengan sedikit penyebab bakteri gram negatif. 2.1.2.2 Pneumonia nosokomial onset lanjut Pneumonia nosokomial onset lanjut adalah pneumonia nosokomial yang terjadi pada hari rawat kelima atau lebih. Pneumonia nosokomial onset lanjut dibagi menjadi tanpa pemberian antibiotik sebelumnya dan dengan pemberian antibiotik sebelumnya. Pneumonia nosokomial onset lanjut tanpa pemberian antibiotik sebelumnya umumnya yang berasal dari mikroorganisme yang serupa dengan mikroorganisme pada pneumonia nosokomial onset awal ditambah dengan bakteri gram negatif yang resisten terhadap cephalosporin generasi pertama. Sedangkan pneumonia nosokomial onset lanjut dengan pemberian antibiotik sebelumnya sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik, misalnya Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, dan gram positif seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Kieninger dan Lipsett, 2009). 2.1.3 Etiologi Patogen penyebab pneumonia nosokomial berbeda dengan pneumonia komunitas. Pneumonia nosokomial seringkali disebabkan oleh bakteri gram negatif dan sedikit disebabkan oleh bakteri gram positif. Mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial bervariasi tergantung pada onset terjadinya. Pada pneumonia nosokomial onset awal biasanya disebabkan oleh mikroorganisme yang sensitif terhadap berbagai antibiotik dan serupa dengan mikroorganisme penyebab pada pneumonia komunitas, sedangkan pada pneumonia nosokomial onset lanjut, seringkali disebabkan oleh mikroorganisme yang resisten terhadap berbagai antibiotik. Pneumonia nosokomial yang disebabkan jamur, bakteri anaerob dan virus jarang terjadi (American Thoracic Society, 1995). Torres dkk. (2006) membagi mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial menjadi dua yaitu mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial onset awal dan onset lanjut, seperti yang terdapat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1 Mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial Pneumonia onset awal (pasien tanpa faktor risiko untuk mikroorganisme resisten berbagai antibiotik) Streptococcus pneumonia Haemophilus influenza Methicillin-sensitif Staphylococcus aureus (MSSA) Bakteri gram negatif enteral: Escherichia coli Klebsiella pneumonia Enterbacter spp. Proteus spp Serratia marcescens Pneumonia onset lanjut (pasien dengan faktor risiko untuk mikroorganisme resisten berbagai antibiotik) Seperti pada kelompok pneumonia onset awal ditambah: Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumonia (extended spektrum b-lactamase/ESBL) Acinetobacter spp. Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Legionella pneumophila (Torres dkk., 2006) Persentase bakteri yang resisten berbagai antibiotik lebih banyak ditemukan pada pneumonia nosokomial onset lanjut seperti methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ditemukan sebesar 12%-60% pada onset lanjut, sedangkan pada onset awal sebesar 6% - 30%, sedangkan Pseudomonas aeruginosa ditemukan pada pneumonia nosokomial onset lanjut sebesar 1,5% 30% sementara pada onset awal sebesar 0 - 10% (Lagamayo, 2008). 2.1.4 Patogenesis Patogenesis pneumonia nosokomial terjadi apabila mikroorganisme masuk ke saluran napas bagian bawah. Sistem pernapasan manusia memiliki berbagai mekanisme pertahanan tubuh seperti barier anatomi, refleks batuk, sistem imunitas humoral dan seluler yang diperantarai oleh sel seperti fagosit, baik itu makrofag alveolar maupun neutrofil. Interaksi antara faktor host dan faktor risiko akan menyebabkan kolonisasi bakteri patogen di saluran napas bagian atas atau di lambung. Kolonisasi di saluran napas bagian atas sebagai titik awal yang berperan penting dalam terjadinya pneumonia nosokomial. Apabila bakteri dalam jumlah besar berhasil masuk ke dalam saluran napas bagian bawah yang steril, maka pertahanan host yang gagal membersihkan inokulum dapat menimbulkan proliferasi dan inflamasi sehingga terjadi pneumonia (Craven dan Steger, 1997). Penyebab pneumonia nosokomial bersumber dari mikroorganisme yang berasal dari dalam tubuh (endogen) maupun yang berasal dari luar tubuh (eksogen). Penyebab tersering pneumonia nosokomial adalah mikroorganisme endogen (Craven dan Steger, 1997). Beberapa patogenesis terjadinya pneumonia nosokomial melalui empat rute yaitu (Torres dkk., 2006): 1. Aspirasi, berasal dari flora orofaring, nasal, sinus, dan lambung. 2. Inhalasi, misalnya kontaminasi pada alat-alat bantu napas yang digunakan pasien ventilator, bronkhoskopi, alat penghisap dan nebulizer. 3. Hematogen, penyebaran melalui darah dari organ tubuh yang jauh dari paru. 4. Translokasi langsung dari sisi tubuh yang dekat dari paru. Asal mikroorganisme penyebab dan pathogenesis pneumonia nosokomial dapat dilihat pada Gambar 2.2. Asal organisme penyebab pneumonia nosokomial Endogen Orofaring Nasal Sinus Cairan lambung Hematogen Eksogen Aspirasi Inhalasi Pneumonia nosokomial Petugas kesehatan Nebulizer Translokasi Gambar 2.1.Patogenesis pneumonia nosokomial (Craven dkk., 1990) Patogenesis pneumonia nosokomial tersering diawali oleh kolonisasi mikroorganisme terutama bakteri gram negatif di saluran pernapasan bagian atas (orofaring, nasal, dan sinus) atau di lambung dan selanjutnya bakteri tersebut teraspirasi ke dalam saluran napas bagian bawah. Kolonisasi tersebut diawali dengan perlekatan mikroorganisme pada sel-sel epitel akibat pengaruh virulensi bakteri (vili, silia, kapsul, atau produksi elastase atau musinase), akibat pengaruh faktor host (gangguan mekanisme pembersihan mukosilier akibat gizi buruk, penurunan kesadaran, atau sakit kritis), dan pengaruh faktor lingkungan (peningkatan pH lambung dan adanya musin dalam sekresi pernapasan) (Craven dan Steger, 1997). Pada orang normal, bakteri gram negatif juga ditemukan berkolonisasi pada saluran napas bagian atas dalam jumlah sedikit sehingga mekanisme tubuh dapat mengeliminasi bakteri tersebut, akan tetapi pada orang dalam penurunan kesadaran atau sakit kritis akibat disfungsi barrier pertahanan tubuh lokal maka terjadi peningkatan kolonisasi mikroorganisme tersebut (Craven dan Steger, 1997). 2.1.4.1 Aspirasi Aspirasi sekresi orofaring, nasal, sinus, dan lambung berperan besar dalam terjadinya pneumonia nosokomial. Dalam keadaan normal sekitar 45% orang sehat akan mengalami aspirasi saat tidur, akan tetapi pada pasien dengan penurunan kekebalan tubuh dan gangguan pembersihan mukosilier, adanya aspirasi menyebabkan terjadinya pneumonia nosokomial (Kieninger dan Lipsett, 2009). Aspirasi juga merupakan faktor risiko terpenting terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien dalam keadaan terintubasi atau mendapatkan ventilasi mekanik, oleh karena mekanisme pertahanan tubuh alami antara orofaring dan saluran pernapasan bagian bawah tidak berfungsi dengan baik dan diperberat oleh faktor predisposisi lainnya seperti kemampuan menelan yang abnormal, penurunan refleks, keterlambatan pengosongan lambung, dan penurunan motilitas saluran cerna (Celis dkk., 1988). Lambung juga berperan sebagai reservoir mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial, hal ini terutama pada pasien yang menggunakan pipa nasogastrik atau penggunaan obat-obatan yang meningkatkan asam lambung. Pada orang sehat, bakteri yang memasuki lambung tidak mampu bertahan pada pH < 2 karena adanya asam klorida, akan tetapi penggunaan antasida maupun penghambat H2 reseptor yang meningkatkan pH lambung menjadi ≥ 4 menyebabkan mikroorganisme patogen dapat berkembang biak dengan konsentrasi tinggi di lambung (Inglis dkk., 1993). 2.1.4.2 Inhalasi Mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial dapat berasal dari sumber eksogen (diperoleh dari lingkungan rumah sakit), misalnya akibat kontaminasi alat bantu napas yang digunakan pasien meskipun hal ini jarang didapatkan dan umumnya terjadi pada pneumonia onset lanjut atau yang sebelumnya mendapatkan perawatan di ICU (Inglis dkk., 1993). Petugas maupun peralatan medis dapat menjadi sumber penularan mikroorganisme oleh karena kolonisasi mikroorganisme langsung pada paru. Mikroorganisme dapat masuk secara langsung ke saluran pernapasan bagian bawah melalui inhalasi aerosol akibat kontaminasi peralatan medis seperti peralatan nebulizer, alat pengisap, ventilator, bronkhoskopi, atau peralatan anestesi. Saat cairan dalam reservoir nebulizer terkontaminasi bakteri, aerosol yang dihasilkan mengandung bakteri dengan konsentrasi tinggi yang kemudian terdistribusi ke dalam saluran pernapasan bagian bawah. Inhalasi aerosol yang terkontaminasi ini terutama berbahaya bagi pasien terintubasi karena pipa endotrakeal menyediakan akses langsung ke saluran pernapasan bagian bawah (Kieninger dan Lipsett, 2009). 2.1.4.3 Hematogen Rute penyebaran pneumonia nosokomial lainnya adalah melalui hematogen yaitu bakteri penyebab berasal dari bagian tubuh yang jauh dan menyebar secara hematogen seperti akibat flebitis atau infeksi saluran kemih (Craven dkk., 1990). 2.1.4.4 Translokasi Translokasi bakteri dapat berasal dari sisi tubuh yang dekat dengan paru misalnya saluran pencernaan, jantung maupun pleura melalui epitel mukosa ke kelenjar getah bening mesenterika menuju ke paru. Translokasi diperkirakan terjadi pada pasien dengan imunosupresi, seperti pada pasien dengan keganasan atau luka bakar, namun hipotesis tersebut belum dapat dibuktikan pada manusia (Tablan dkk., 2004). 2.1.5 Faktor-Faktor Risiko Pneumonia Nosokomial Beberapa faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial dikelompokkan menurut Tablan dkk. (2004) dalam Guidelines for Preventing Health Care Associated Pneumonia, yaitu sebagai berikut: kolonisasi mikroorganisme di orofaring, nasal, sinus, atau lambung; aspirasi dari flora orofaring dan lambung ke dalam paru; penggunaan ventilasi mekanik jangka panjang; inhalasi mikroorganisme menuju paru; dan faktor host. Gambar 2.2. menunjukkan faktor risiko pneumonia nosokomial (Tablan dkk., 2004). Faktor host Antibiotik dan berbagai obat Pembedahan Peralatan pernapasan yang terkontaminasi, peralatan anestesi Peralatan invasif Disinfeksi/sterilisasi peralatan yang inadekuat Air yang terkontaminasi Kolonisasi gaster Kolonisasi orofaring Generator aerosol terkontaminasi Aspirasi Bakteremia Kontaminasi silang (tangan, sarung tangan) Inhalasi Penurunan daya tahan paru Translokasi bakteri Pneumonia nosokomial Gambar 2.2. Faktor risiko pneumonia nosokomial (Tablan dkk., 2004) 2.1.5.1 Kolonisasi mikroorganisme di orofaring, nasal, sinus, dan lambung Kolonisasi mikroorganisme baik di orofaring, nasal, sinus maupun di lambung dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotik berkepanjangan, lama dirawat inap di rumah sakit, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, dan penggunaan antasida atau penghambat H2 reseptor (Baughman dkk., 1999). Peranan antibiotik pada pneumonia nosokomial melalui dua mekanisme. Penggunaan antibiotik bersifat protektif (RO = 0,37) menghalangi terjadinya pneumonia nosokomial onset awal, terutama yang disebabkan oleh flora endogen, akan tetapi bersifat sebagai faktor risiko jika penggunaannya berkepanjangan sehingga meningkatkan kolonisasi mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik, seperti pada pneumonia nosokomial onset lanjut (Torres dkk., 2006). Sebuah penelitian prospektif menunjukkan peningkatan risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien dengan pemberian antibiotik sebelumnya (RO = 3,1), dengan peningkatan risiko yang lebih tinggi pada pasien dengan antibiotik spektrum luas sebelumnya (Torres dkk., 2006). Penelitian tersebut juga menunjukkan peningkatan RO dari waktu ke waktu. Menurut Ibrahim dkk. (2000) pada pasien pneumonia nosokomial onset awal didapatkan 183 pasien (77,9%) memperoleh antibiotik sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial, sedangkan pneumonia nosokomial onset lanjut, 162 pasien (87,6%) memperoleh antibiotik sebelumnya (p=0,01). Lama rawat inap di rumah sakit menjadi faktor risiko timbulnya pneumonia nosokomial, sebab semakin lama menjalani rawat inap maka semakin besar kemungkinan untuk terpapar mikroorganisme patogen yang jarang ditemukan di masyarakat untuk berkolonisasi di saluran napas bagian atas atau di mukosa lambung. Hal ini berkaitan erat dengan penggunaan antibiotik spektrum luas yang berkepanjangan sehingga menimbulkan infeksi dari mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik (Falcone dkk., 2011). Penelitian oleh Fattah (2008) mendapatkan hasil bahwa rawat inap lebih dari 3 minggu secara bermakna meningkatkan risiko terkena pneumonia nosokomial dibandingkan rawat inap kurang dari 1 minggu dengan (RO = 2,18; IK 95% 1,24-3,29). Riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya juga meningkatkan risiko terjadinya pneumonia nosokomial sebab memaparkan pasien terhadap terkenanya bakteri yang lebih virulen dan seringkali resisten terhadap berbagai antibiotik. Mikroorganisme penyebab pneumonia nosokomial seperti bakteri gram negatif dan Staphylococcus aureus banyak ditemukan di lingkungan pelayanan kesehatan terutama di ruang ICU, dimana transmisi mikroorganisme ini sering terjadi melalui tangan petugas pelayanan kesehatan yang terkontaminasi (Inglis dkk., 1993). Kolonisasi mikroorganisme pada lambung dapat disebabkan oleh penggunaan antasida maupun penghambat H2 reseptor. Dalam keadaan normal lambung memiliki pH kurang dari 6 sehingga mikroorganisme sulit untuk berkembang biak karena asam hidroklorida yang disekresi oleh lambung bersifat bakterisidal. Penggunaan obat-obatan penghambat sekresi asam lambung seperti penghambat H2 reseptor atau yang membuat suasana basa pada lambung akan meningkatkan kolonisasi bakteri dan berisiko untuk terjadinya tanslokasi bakteri dari lambung ke orofaring dan trakea, terutama pada pasien dalam posisi supinasi (Beaulieu dkk. 2008). 2.1.5.2 Aspirasi dari flora orofaring, nasal, sinus, dan lambung Faktor risiko aspirasi dari flora orofaring, nasal, sinus dan lambung terutama terjadi pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran, penggunaan obat antikejang, dan penggunaan pipa nasogastrik. Penggunaan pipa nasogastrik merupakan faktor risiko penting sebab memfasilitasi refluks gastro esofageal karena dapat menurunkan fungsi dari sfingter esofagus bagian bawah (Draculovic dkk.,1999). Penelitian oleh Mansour dan Bendary (2012) pada pasien anak di ruang perawatan intensif memberikan hasil yaitu penggunaan pipa nasogastrik merupakan faktor risiko bermakna terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 7,1; IK 95% 2,6–19,6; p<0,001). Pasien yang menggunakan obat antikejang atau dengan penurunan kesadaran mengalami gangguan sistem pertahanan tubuh lokal pada saluran napas, sehingga mempermudah mikroorgnisme untuk melekat dan berkolonisasi pada permukaan mukosa saluran napas baguan atas. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya aspirasi yang merupakan patogenesis utama berkembangnya pneumonia nosokomial pada pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Penelitian oleh Mansour dan Bendary tahun 2012 mengenai pneumonia nosokomial pada anak menunjukkan penggunaan obat antikejang seperti golongan benzodiazepin dan golongan opioid sebagai faktor risiko bermakna terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 4,3; IK 95% 1,6–11,7; p<0,01). Penelitian di Arab Saudi mendapatkan hasil bahwa penurunan kesadaran merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 3,99; IK 95%: 2,87–17,03) (Fattah, 2008). 2.1.5.3 Penggunaan ventilasi mekanik Penggunaan ventilasi mekanik dilaporkan dapat meningkatkan risiko 3 hingga 10 kali lipat terjadinya pneumonia nosokomial. Penelitian oleh Fattah (2008) pada tiga rumah sakit besar di Arab Saudi mendapatkan peningkatan risiko sebesar 6 kali lipat terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 6,27; 95% IK: 2,22–9,52). Penggunaan ventilasi mekanik meningkatkan risiko terjadinya pneumonia nosokomial melalui perpindahan mikroorganisme orofaring ke trakea melalui pipa endotrakeal selama intubasi dan penurunan daya tahan tubuh host akibat penyakit dasar yang berat. Di samping itu, bakteri dapat menginvasi dan membentuk agregat ke permukaan pipa endotrakeal sepanjang waktu dan membentuk glycocalyx (semacam biofilm) yang melindungi bakteri dari antibiotik atau pertahanan tubuh host. Di samping itu penggunaan pipa endotrakeal menyebabkan gangguan kelembaban dan temperatur udara dalam nasofaring serta berperan sebagai benda asing yang dapat menyebabkan trauma pada epitel mukosa faring dan trakea sehingga menyebabkan gangguan mekanisme pembersihan silia. Selanjutnya, penggunaan pipa endotrakeal akan menyebabkan kesulitan menelan dan menghambat fungsi sfingter esofagus bagian bawah, stagnasi sekresi orofaring, peningkatan reluks dengan hasil akhir mempermudah migrasi bakteri dari lambung (Inglis dkk., 1993). 2.1.5.4. Inhalasi mikroorganisme langsung menuju paru Peralatan yang digunakan terapi saluran napas misalnya nebulizer, pipa endotrakeal, bronkhoskopi dan spirometri, serta pemberian obat anestesi merupakan reservoir mikroorganisme infeksius. Penularan dapat terjadi melalui perangkat pasien dari satu pasien ke pasien yang lain, atau dari suatu bagian tubuh ke saluran napas bawah pasien yang sama melalui kontaminasi tangan atau alat. Reservoir yang terkontaminasi oleh produk aerosol seperti nebulizer, dapat menjadi media pertumbuhan bakteri hidrofilik yang berpotensi terinhalasi menuju paru pada saat digunakan. Bakteri gram negatif seperti Pseudomonas spp., Flavobacterium spp. atau Legionella spp. dapat berkembang biak dengan konsentrasi yang tinggi dalam cairan nebulizer sehingga meningkatkan resiko terkena pneumonia bagi pengguna alat tersebut (Cadwallader dkk., 1990). Prosedur perawatan yang dikerjakan pada pasien dengan bantuan ventilasi mekanik misalnya pengisapan trakea dan manipulasi sirkuit ventilator atau pipa endotrakeal meningkatkan risiko terjadinya kontaminasi silang. Agregasi bakteri dapat terlepas akibat aliran ventilasi, manipulasi tabung, atau proses pengisapan yang kemudian bergerak ke saluran pernapasan bagian bawah sehingga menjadi fokal infeksi di paru menjadi penyebab pneumonia (Inglis dkk., 1993). Terjadinya kontaminasi silang juga dapat terjadi jika petugas tidak mengganti sarung tangan setelah kontak dengan satu pasien, atau petugas tidak menggunakan teknik aspetik sebelum dan setelah melakukan tindakan medis (Cadwallader dkk., 1990). 2.1.5.5 Faktor host Beberapa faktor host juga berperan dalam terjadinya pneumonia nosokomial seperti umur kurang dari 1 tahun, penyakit yang mendasari, serta gizi buruk. Penyakit yang mendasari pasien untuk dirawat di rumah sakit memaparkan pasien untuk terkena segala jenis infeksi nosokomial. Gangguan terhadap imunitas tubuh memudahkan bakteri patogen untuk menyebabkan infeksi berat yang jarang terjadi pada individu sehat. Di samping itu banyak pasien yang menjalani rawat inap dengan status gizi buruk sehingga meningkatkan risiko untuk terkena infeksi nosokomial terutama pneumonia nosokomial (Kieninger dan Lipsett, 2009). Patra dkk. (2007) melaporkan umur dibawah 1 tahun sebagai faktor risiko bermakna terjadinya pneumonia nosokomial. Penelitian tersebut mendapatkan 11 (34,4%) dari pasien dengan pneumonia nosokomial berumur kurang dari 1 tahun dan perbedaan ini bermakna jika dibandingkan pasien tanpa pneumonia nosokomial, hal ini menunjukkan bahwa pengaruh umur yang ekstrim (sangat muda ataupun sangat tua) berisiko tinggi terjadinya infeksi karena imaturitas relatif dari sistem imunologis. Gizi buruk ditemukan pada 36% anak umur kurang dari lima tahun di negara berkembang dan telah diketahui sebagai faktor risiko pneumonia di Asia (Anonim, 2003). Anak dengan gizi buruk mengalami gangguan respon imunologis sehingga jika terkena infeksi maka lebih parah dibandingkan dengan anak dengan gizi baik. Gizi buruk secara bermakna terbukti sebagai faktor risiko terjadinya infeksi nosokomial termasuk pneumonia nosokomial (Schneider dkk., 2004). 2.1.6 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis dari pneumonia nosokomial tidak spesifik dan tidak berbeda dengan pneumonia komunitas (community acquired pneumonia/CAP) (Craven dan Steger, 1997.). Penelitian oleh Shah dan Stille (1995) mendapatkan hasil bahwa demam ditemukan pada 82% pasien, nyeri dada ditemukan pada 46% pasien sementara itu batuk dan peningkatan produksi sputum ditemukan pada 85% pasien, dispneu 72% dan konsolidasi paru 64%. 2.1.6.1 Anamnesis Pasien dengan pneumonia seringkali mengalami panas badan dan takipneu. Gejala ini biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan demam ringan dan batuk serta pilek. Pada bayi di atas umur satu bulan, sebagian besar anak dengan pneumonia memiliki riwayat batuk. Beberapa gejala yang mendukung diagnosis pneumonia termasuk sesak napas, napas berbunyi, kesulitan makan, gelisah, dan tidak dapat beristirahat (Margolis dan Gadomski, 1998). Gejala tidak spesifik lainnya meliputi nyeri abdomen dan sakit kepala (Margolis dan Gadomski, 1998). 2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik harus mencakup seluruh penampilan anak, dimulai dengan pemeriksaan tanda vital seperti suhu tubuh, denyut nadi dan saturasi oksigen serta penilaian frekuensi napas, adanya peningkatan usaha napas, dan penemuan rales pada auskultasi paru. Dalam pengukuran frekuensi napas pada pasien anak berdasarkan kriteria World Health Organization (WHO) yaitu menghitung frekuensi napas dalam 60 detik pada saat pasien dalam keadaan tenang dan berdasarkan umur. Kriteria takipneu menurut umur oleh WHO ditampilkan pada Tabel 2.2. Tabel 2.2 Kriteria WHO untuk takipneu Umur Frekuensi napas normal Batasan takipneu (napas/menit) berdasarkan WHO (napas/menit) 2 – 12 bulan 25 – 40 50 1 – 5 tahun 20 – 30 40 > 5 tahun 15 – 25 20 (World Health Organization, 1999) Takipneu merupakan tanda klinis yang spesifik terhadap pneumonia. Dalam penelitian oleh Leventhal (1982) tidak adanya takipneu dapat bermanfaat untuk menyingkirkan pneumonia (negatif likelihood rasio 0,32; IK 95% 0,1–0,7) dan adanya takipneu meningkatkan kemungkinan pneumonia (positive likelihood rasio 2,03; IK 95% 1,5–2,7). Leventhal (1982) melaporkan jika tidak ditemukan takipneu, rhonki dan penurunan suara napas maka 100% dapat mengeksklusi pneumonia. Meskipun jarang didapatkan, sianosis merupakan tanda penting terjadinya pertukaran gas yang inadekuat dan menandakan terjadinya hipoksia berat. Gejala demam pada pneumonia tidak bersifat spesifik, akan tetapi jika tidak ditemukan demam maka memiliki negatif likelihood ratio sebesar 97% untuk adanya infeksi bakteri pada anak (Mahabbe-Gittens, 2002). 2.1.7 Diagnosis Standar baku diagnosis pneumonia nosokomial adalah identifikasi mikroorganisme penyebab pada alveoli parenkim paru. Spesimen saluran napas bawah yaitu pada alveoli parenkim paru sulit diperoleh pada pasien anak karena pada anak kurang dari 7 tahun sulit untuk mengeluarkan sputum, bersifat invasif, dan sering terkontaminasi kolonisasi bakteri dari saluran napas bagian atas. Adanya kesulitan dalam mengambil spesimen pada anak menyebabkan sebagian besar definisi pneumonia nosokomial menggabungkan kriteria klinis dan laboratorium (Langley dan Bradley, 2005). Diagnosis pneumonia nosokomial yang digunakan tergantung pada teknik diagnostik yang tersedia maupun sumber daya rumah sakit setempat. Penegakan diagnosis pneumonia nosokomial perlu mempertimbangkan beberapa hal sebelum memilih perangkat diagnostik yang sesuai seperti sensitivitas dan spesifisitas, kemampuan untuk meningkatkan luaran pasien, efek samping yang mungkin ditimbulkan, ketersediaan tes, dan keahlian tenaga lokal dalam melakukan pemeriksaan, persetujuan orangtua serta biaya yang dikeluarkan (Rotstein dkk., 2008; Chawla, 2008). Diagnosis pneumonia nosokomial yang dipergunakan di RS Sanglah dengan menggunakan kriteria diagnosis pneumonia berdasarkan World Health Organization (WHO) tahun 2005 dengan klasifikasi mulai dari pneumonia, pneumonia berat dan pneumonia sangat berat. Tabel 2.3 menjelaskan kriteria WHO untuk pneumonia. Tabel 2.3 Klasifikasi klinis pneumonia menurut WHO Klasifikasi Pneumonia Gejala dan Tanda Batuk atau kesulitan bernapas dan takipneu, dikatakan takipneu apabila: ï‚· ≥ 60 kali/menit pada anak umur < 2 bulan ï‚· ≥ 50 kali/menit pada anak umur 2-11 bulan ï‚· ≥ 40 kali/menit pada anak umur 1-5 tahun ï‚· ≥ 30 kali/menit pada anak umur > 5 tahun Pada auskultasi paru ditemukan tanda pneumonia seperti: ï‚· Rhonki basah (crackles) ï‚· Suara pernapasan menurun ï‚· Suara napas bronkial Pneumonia berat Gejala dan tanda pada pneumonia disertai minimal salah satu dari hal berikut: ï‚· Retraksi dinding dada bagian bawah ï‚· Napas cuping hidung ï‚· Suara merintih (grunting) pada bayi Pada foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat, konsolidasi dan lain-lain) Pneumonia sangat berat Gejala dan tanda pada pneumonia berat disertai salah satu dibawah ini: ï‚· Sianosis sentral ï‚· Tidak mampu minum ï‚· Muntah ï‚· Kejang, letargi atau penurunan kesadaran ï‚· Distres pernapasan berat (World Health Organization, 2005) Beberapa praktisi klinis di negara-negara maju menyarankan penggunaan standar diagnostik dengan bronchoalveolar lavage (BAL) atau protected specimen brush (PSB) yang masing-masing memiliki sensitivitas 86-100% dan 80-90% serta spesifisitas 95% dan 95-100%. Saat ini kedua metode tersebut tidak dapat dipergunakan secara luas oleh karena keterbatasan fasilitas yang tersedia di rumah sakit, terutama negara berkembang seperti Indonesia. Bronkoskopi adalah suatu teknik invasif, mahal dan jarang tersedia, sehingga beberapa praktisi menyarankan aspirasi endotrakeal kuantitatif sebagai alternatif metode diagnostik yang mudah, murah dan memperoleh hasil yang mirip dengan pemeriksaan bronkhoskopi (Craven dan Steger, 1997). Biakan darah dapat dipergunakan dalam membantu menegakkan diagnosis pneumonia nosokomial pada anak, memiliki spesifisitas yang tinggi akan tetapi sensitivitanya rendah yaitu kurang dari 15% (Chawla, 2008). 2.1.8 Diagnosis Banding Gejala klinis yang umumnya ditemukan pada pasien dengan pneumonia seperti demam, sesak napas, nyeri dada, peningkatan produksi sputum, dan leukositosis bukan merupakan suatu tanda patognomomik melainkan dapat menyerupai beberapa penyakit lainnya seperti gagal jantung, untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang seperti foto dada untuk mengkonfirmasi adanya infiltart paru dalam menegakkan diagnosis pneumonia nosokomial (Fagon dkk., 1993; Chawla, 2008). 2.1.9 Penatalaksanaan Berdasarkan panduan dari WHO pada tahun 2001 bahwa penatalaksanaan pneumonia nosokomial tergantung dari mikroorganisme yang terdapat di negara serta rumah sakit masung-masing. Rekomendasi untuk terapi empiris tergantung dari data epidemiologis dan kepekaan mikroorganisme di daerah tersebut. Song dan Asian HAP Working Group (2008) menyatakan bahwa kejadian pneumonia nosokomial lebih sering ditemukan di negara-negara Asia dibandingkan di negara maju, hal ini berkaitan dengan prevalensi mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik, sehingga strategi penatalaksanaan pneumonia nosokomial dengan pendekatan sebagai berikut: 2.1.9.1 Terapi empiris pada pneumonia nosokomial Pendekatan terhadap terapi empiris membagi pasien ke dalam dua kelompok yaitu kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal dan kelompok dengan pneumonia nosokomial onset lanjut. Kelompok dengan pneumonia nosokomial onset awal tidak berisiko terhadap mikroorganisme resisten berbagai antibiotik sehingga tidak memerlukan terapi antibiotik spektrum luas, sedangkan kelompok dengan pneumonia nosokomial onset lanjut berisiko terinfeksi mikroorganisme yang resisten terhadap berbagai antibiotik dan berhubungan dengan peningkatan angka kesakitan dan kematian. Terapi antibiotik empiris dipilih dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti pola kepekaan kuman, ketersediaan antibiotik dan biaya yang dikeluarkan (Song dan Asian HAP Working Group, 2008). 2.1.9.2 Pneumonia nosokomial onset awal Pengobatan terhadap pneumonia nosokomial onset awal menggunakan satu macam antibiotik. Antibiotik tunggal yang direkomendasikan adalah cephalosporin generasi ke tiga, fluoroquinolon, kombinasi inhibitor β-laktam/laktamase, dan ertapenem. Tabel 2.5 menunjukkan terapi empiris antibiotik pada pneumonia nosokomial onset awal (Song dan Asian HAP Working Group, 2008). Tabel 2.4 Terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial onset awal Mikroorganisme penyebab Streptococcus pneumonia Haemophilus influenzae Methicillin-sensitif Staphylococcus aureus Escherichia coli Klebsiella pneumonia Proteus species Seratia marcences Terapi yang direkomendasikan* Cephalosporin generasi ke tiga (ceftriaxone, cefotaxime) Atau Fluoroquinolon (moxifloxacin, levofloxacin) Atau Inhibitor β – laktam/ β - laktamase (amoxicillin/clavulanic acid, ampicillin/sulbaktam) Atau Carbapenem (ertapenem) Atau Cephalosporin generasi ke tiga ditambah makrolid Atau Monobactam dan clindamycin (untuk pasien alergi β –laktam) *Pilihan anibiotik tergantung dari pola epidemiologis lokal (Song dan Asian HAP Working Group, 2008) 2.1.9.3 Pneumonia nosokomial onset lanjut Pengobatan pada pneumonia nosokomial onset lanjut menggunakan golongan cephalosporin generasi ke tiga atau ke empat, golongan carbapenem anti pseudomonas, atau piperacillin/ tazobactam dikombinasikan dengan fluoroquinolon atau aminoglikosida saja atau ditambah dengan glikopeptid seperti vancomycin atau teicoplanin atau linezolid. Seperti pada pneumonia onset awal, pengobatan pada pneumonia onset lanjut harus disesuaikan dengan pola kepekaan kuman di daerah masing-masing. Tabel 2.5 menunjukkan terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial onset lanjut. Tabel 2.5 Terapi antibiotik empiris pada pneumonia nosokomial onset lanjut Mikroorganisme penyebab Mirkoorganisme seperti pada tabel 2.5 ditambah mikroorganisme resisten berbagai antibiotik seperti Pseudomonas aeruginosa Klebsiella pneumoniae (ESBL) MRSA Legionella pneumophila Terapi yang direkomendasikan Cefepime Atau Carbepenem antipseudomonas Inhibitor β-laktam/-laktamase (piperacillin-tazobactam) +/Fluoroquinolon (cipro/levofloxacin) Atau aminoglikosida (amikacin, gentamicin/ tobramycin) Atau linezolid atau vancomycin (Song dan Asian HAP Working Group, 2008) Terapi empiris dengan linezolid atau glycopeptide tidak direkomendasikan sebab pada sekitar 20% pasien pneumonia nosokomial onset lanjut disebabkan oleh Acinetobacter spp. sehingga penggunaan antibiotik yang secara langsung melawan mikroorganisme ini akan meningkatkan munculnya Staphylococcus aureus atau Enterococcus spp. yang resisten terhadap vancomycin. Jika mikroorganisme penyebab adalah Acinetobacter spp. maka pemilihan antibiotik yang dianjurkan adalah levofloxacin, moxifloxacin, atau gatifloxacin dibandingkan ciprofloxacin (Song dan Asian HAP Working Group, 2008). BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Berdasarkan rute masuknya mikroorganisme patogen ke dalam paru menurut asalnya dibedakan menjadi mikroorganisme endogen dan eksogen. Mikroorganisme endogen sebagai penyebab tersering pneumonia nosokomial. Masuknya mikroorganisme patogen diawali dengan kolonisasi mikroorganisme tersebut di orofaring, nasal, sinus dan/atau lambung. Faktor-faktor risiko yang meningkatkan kolonisasi mikroorganisme di saluran napas bagian atas dan lambung misalnya penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu, penggunaan antibiotik lebih dari 1 minggu, rawat inap lebih dari 3 minggu, dan riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, serta penggunaan antijamur. Aspirasi flora orofaring, nasal, sinus, dan lambung merupakan patogenesis tersering untuk terjadinya pneumonia nosokomial. Faktor-faktor risiko yang meningkatkan terjadinya aspirasi seperti penggunaan obat antikejang, penurunan kesadaran, dan penggunaan pipa nasogastrik. Faktor host juga berperan dalam terjadinya pneumonia nosokomial, misalnya umur kurang dari 12 bulan, status gizi buruk, dan penyakit yang mendasari. Faktor risiko penggunaan ventilasi mekanik jangka panjang tidak dicari sebab sampel penelitian tidak menggunakan ventilasi mekanik. Faktor risiko inhalasi mikroorganisme langsung menuju paru juga tidak dicari dalam penelitian ini sebab pasien-pasien yang menggunakan peralatan paru (nebulizer, spirometri) telah dieksklusi dalam penelitian ini. 30 3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan uraian faktor risiko pneumonia nosokomial, maka dapat dibuat kerangka konsep penelitian sebagai berikut: Kolonisasi mikroorganisme di orofaring, nasal, sinus, dan lambung ï‚· Penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu ï‚· Rawat inap lebih dari 3 minggu ï‚· Riwayat perawatan di Ruang R awat Intensif sebelumnya Aspirasi flora orofaring, nasal, sinus, dan lambung ï‚· Penggunaan pipa nasogastrik ï‚· Penggunaan obat antikejang Pneumonia nosokomial ï‚· Penggunaan ventilasi mekanik jangka panjang ï‚· Inhalasi mikroorganisme langsung ke paru ï‚· Umur kurang 12 bulan ï‚· Status gizi buruk ï‚· Penyakit yang mendasari ï‚· Penggunaan antijamur ï‚· Penggunaan antibiotik lebih dari 1 minggu ï‚· Penurunan kesadaran Gambar 3.1 Skema kerangka konsep penelitian Keterangan: : Variabel tergantung : Variabel yang diteliti : variabel yang di adjusted by design : variabel yang di adjusted by analysis 3.3 Hipotesis Penelitian Adapun hipotesis pada penelitian ini meliputi: 1. Penggunaan obat antikejang sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 2. Penggunaan pipa nasogastrik sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 3. Riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 4. Penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 5. Rawat inap lebih dari 3 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian observasional analitik dengan desain kasus kontrol. Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi subjek dengan pneumonia nosokomial sebagai Kelompok Kasus dan mencari subjek tanpa pneumonia nosokomial sebagai Kelompok Kontrol (Gambar 4.1). Penelusuran Faktor Risiko Pemilihan Sampel Dengan faktor risiko KASUS Pneumonia nosokomial Tanpa faktor risiko Dengan faktor risiko KONTROL Bukan Pneumonia nosokomial Tanpa faktor risiko Gambar 4.1 Skema rancangan penelitian Faktor risiko yang diteliti ditelusuri secara retrospektif pada kedua kelompok yang dianalisis. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah penggunaan obat antikejang, penggunaan pipa nasogastrik, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu, dan lama rawat lebih dari 3 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di 33 ruang perawatan anak RSUP Sanglah. Pada saat pengambilan kontrol dilakukan secara random. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang perawatan anak (Ruang Jempiring dan Pudak) RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian ini dikerjakan selama 4 bulan yaitu bulan Oktober 2013 hingga Januari 2014. 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Penelitian Populasi target pada penelitian ini adalah anak berumur satu bulan hingga 12 tahun yang dirawat inap di rumah sakit. Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah anak berumur satu bulan hingga 12 tahun yang dirawat di ruang Jempiring dan Pudak di RSUP Sanglah sampai dengan bulan Januari 2014. 4.3.2 Sampel Penelitian Sampel penelitian ini adalah bagian dari populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik consecutive sampling atau sampai dengan jumlah sampel terpenuhi. Sampel pada Kelompok Kasus adalah anak berumur satu bulan hingga 12 tahun yang dirawat di ruang Jempiring dan Pudak di RSUP Sanglah dari bulan Mei 2013 sampai dengan bulan Januari 2014 yang menderita pneumonia nosokomial sesuai dengan kriteria klinis pneumonia berdasarkan WHO tahun 2005 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel yang dikehendaki untuk kontrol adalah anak berumur satu bulan hingga 12 tahun yang dirawat di ruang Jempiring dan Pudak di RSUP Sanglah dari bulan Mei 2013 sampai dengan bulan Januari 2014 yang tidak menderita pneumonia nosokomial selama perawatan dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, pemilihan sampel kontrol dilakukan secara random sampling. 4.3.2.1 Kriteria eligibilitas Kriteria inklusi Kelompok Kasus: 1. Anak berumur satu bulan hingga 12 tahun yang dirawat di ruang Jempiring dan Pudak RSUP Sanglah selama lebih dari 48 jam dan terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial. Kriteria inklusi Kelompok Kontrol: 1. Anak berumur satu bulan hingga 12 tahun yang dirawat di ruang Jempiring dan Pudak RSUP Sanglah selama lebih dari 48 jam dan tidak terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah: 1. Anak yang masuk rumah sakit oleh karena penyakit paru (pneumonia, bronkhiolitis, asma, laringitis, efusi pleura, tuberkulosis dan lain-lain). 2. Pasien pindah ke ruang rawat selain ruang Jempiring dan Pudak selama perawatan sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial. 3. Data rekam medik yang tidak lengkap. Pada Kelompok Kasus maupun kontrol yang data-datanya diperoleh selama menjalani perawatan di rumah sakit maka diperlukan tanda-tangan orangtua atau wali pada surat penjelasan penelitian agar dapat menjadi sampel penelitian. Pada Kelompok Kasus maupun Kontrol yang diperoleh melalui data rekam medik maka tidak diperlukan penjelasan penelitian. 4.3.2.2 Perhitungan besar sampel Sesuai dengan rancangan penelitian yaitu kasus kontrol, maka besar sampel dihitung dengan rumus besar sampel untuk penelitian kasus kontrol sebagai berikut berdasarkan besar sampel minimal (Schlesselman dan Stolley, 1982) : n1=n2= { √ ) √ 2 2 p’= (p1 + c po) (1+c) q’= 1 – p’ p1 = po (OR) [1+ po (OR – 1)] Dengan perkiraan proporsi paparan pada kasus (po) sebesar 15% (Cotton dan Zar, 2002), Rasio odd (RO) yang dianggap bermakna= 3, besarnya kesalahan tipe I (α) adalah 5% (α=0,05), maka nilai Zα adalah 1,96. Besarnya kesalahan tipe II (β) adalah 20% (β=0,2) sehingga nilai Zβ=0,842. Mengingat prevalensi kasus pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak RSUP Sanglah sangat sedikit maka peneliti menggunakan rumus untuk satu kasus pneumonia nosokomial terdapat tiga kontrol dengan rumus: Jumlah kasus = (c+1) n 2c c = jumlah kontrol n = jumlah sampel Berdasarkan perhitungan rumus di atas maka jumlah sampel minimal pada penelitian ini sebesar 29 orang kasus dan 87 orang kontrol, sehingga jumlah kasus dan kontrol minimal secara keseluruhan sebesar 116. Pada penelitian ini ditambahkan 10% dari jumlah sampel minimal sehingga diperoleh total 128 jumlah sampel, yaitu 32 orang Kelompok Kasus dan 96 orang Kelompok Kontrol. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Identifikasi Variabel Variabel bebas : penggunaan pipa nasogastrik, rawat inap lebih dari 3 minggu, penggunaan obat antikejang, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, dan penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu. Variabel tergantung : pneumonia nosokomial. Variabel kendali : penyakit yang mendasari, umur, status gizi buruk, penggunaan antibiotik lebih dari 1 minggu, penggunaan antijamur. 4.4.2 Definisi Operasional Variabel 1. Pneumonia nosokomial adalah pneumonia yang didapat/muncul setelah 48 jam rawat inap di rumah sakit dan tidak terinkubasi saat masuk rumah sakit. Diagnosis pneumonia dengan berbagai derajat (misalnya pneumonia, pneumonia berat, pneumonia sangat berat) berdasarkan kriteria klinis pneumonia menurut WHO tahun 2005, yaitu pneumonia jika ditemukan: batuk, takipneu menurut umur, dan abnormalitas auskultasi paru (rhonki basah, suara napas menurun, suara napas bronkial). Pneumonia berat jika kriteria pneumonia tersebut ditambahkan salah satu dari: retraksi dinding dada, napas cuping hidung, grunting, serta pada foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat, konsolidasi dan lain-lain). Pneumonia sangat berat jika kriteria pneumonia berat tersebut ditambah salah satu dari: sianosis, tidak mampu minum, muntah, kejang/letargi/penurunan kesadaran, distres napas berat. Dibedakan menjadi dua yaitu pneumonia nosokomial dan tidak. 2. Umur adalah interval waktu dari lahir sampai masuk rumah sakit, umur dinyatakan dalam bulan. 3. Lama rawat inap adalah durasi perawatan di rumah sakit, dinyatakan dalam hari. 4. Rawat inap lebih dari 3 minggu adalah interval waktu (dihitung dalam hari) selama pasien mulai masuk rumah sakit sampai didiagnosis dengan pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus atau sampai dengan pasien diperbolehkan pulang pada Kelompok Kontrol. Dibedakan menjadi dua tingkatan: kurang atau sama dengan 3 minggu dan lebih dari 3 minggu. 4. Penggunaan pipa nasogastrik adalah penggunaan pipa nasogastrik dengan ukuran sesuai umur pasien, yang terpasang dari hidung menuju ke lambung dan dipergunakan sebagai metode pemberian makanan enteral yang optimal bagi pasien sebelum terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus dan selama menjalani rawat inap pada Kelompok Kontrol. Dibedakan menjadi ya dan tidak. 5. Penggunaan antibiotik lebih dari 1 minggu adalah pemberian antibiotik yang diberikan selama 8 hingga 14 hari sebelum diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan pada Kelompok Kasus atau selama pasien menjalani rawat inap pada Kelompok Kontrol (Sopena dan Sabria, 2005). Dibedakan menjadi ya dan tidak. 6. Penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu adalah pemberian antibiotik yang diberikan lebih dari 14 hari sebelum diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan pada Kelompok Kasus atau selama pasien menjalani rawat inap pada Kelompok Kontrol (Sopena dan Sabria, 2005). Dibedakan menjadi ya dan tidak. 7. Penurunan kesadaran adalah menurunnya status kesadaran pasien berdasarkan kriteria pediatric Glasgow coma scale berdasarkan umur sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus atau selama menjalani perawatan pada Kelompok Kontrol. Kriteria pediatric Glasgow coma scale yaitu kurang dari 9 pada anak umur 1-6 bulan, kurang dari 11 pada umur >6 bulan-12 bulan, kurang dari 12 pada anak umur 1-3 tahun, dan kurang dari 13 pada anak umur 3 tahun-5 tahun, dan kurang dari 14 pada anak di atas umur 5 tahun (Davis, 1987). Dibedakan menjadi ya dan tidak. 8. Penggunaan obat antikejang adalah penggunaan obat-obatan golongan benzodiazepin, barbiturat atau golongan opioid untuk mengatasi kejang sebelum terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus dan selama menjalani perawatan di rumah sakit pada Kelompok Kontrol (Mansour dan Bendary 2012). Dibedakan menjadi ya dan tidak. 9. Status gizi adalah keadaan gizi anak yang diukur berdasarkan perbandingan berat badan per tinggi badan dibandingkan dengan berat badan ideal sesuai dengan rumus Waterlow. Status gizi dibedakan menjadi gizi buruk perbandingan berat badan aktual dibandingkan dengan berat badan ideal adalah kurang dari 70%, gizi kurang jika di antara 70% hingga kurang dari 90%, dan gizi baik jika di antara 90% hingga kurang dari 110%, dan gizi lebih jika di antara 110% hingga kurang dari 120%, dan obesitas jika lebih dari 120%. Pada anak kurang dari 5 tahun perhitungan antropometri (berat badan dan tinggi badan) dan berat badan ideal menggunakan standar WHO 2005 sesuai jenis kelamin dengan metode Z-score dan dihitung menggunakan sofware WHO Anthro 2005. Pada anak lebih dari 5 tahun kurva standar yang digunakan adalah kurva pertumbuhan menurut Center for Disease Control and Prevention tahun 2000 (Sondik dkk., 2000; World Health Organization, 2006). 10. Riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya adalah menjalani perawatan di Ruang Rawat Intensif baik saat di rumah sakit sanglah atau sebelumnya mengalami perwatan di Ruang Rawat Intensif, sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus dan selama menjalani perawatan pada Kelompok Kontrol. Dibedakan menjadi ya dan tidak. 11. Penyakit yang mendasari adalah penyakit yang membuat pasien dirawat di rumah sakit pada Kelompok Kontrol dan merupakan penyakit yang diderita sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus. Pengelompokan penyakit ini dibedakan menjadi: penyakit keganasan, pembedahan, penyakit infeksi, penyakit non infeksi, penyakit jantung bawaan, infeksi sistem saraf pusat, gizi buruk, imunodefisiensi sekunder, dan penyakit hematologi lainnya. 12. Penggunaan antijamur adalah penggunaan obat antijamur sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus dan selama menjalani perawatan di rumah sakit pada Kelompok Kontrol. Dibedakan menjadi ya dan tidak. 4.5 Instrumen Penelitian 1. Surat penjelasan penelitian Surat ini sebagai bukti tertulis bahwa sampel penelitian bersedia untuk mengikuti penelitian dengan memperbolehkan melihat data catatan medis sampel kepada peneliti. 2. Kuesioner Berisi identitas lengkap pasien dan data objektif mengenai keadaan pasien saat masuk rumah sakit, diagnosis saat pasien masuk rumah sakit, pengukuran antropometri, penggunaan antibiotik, lama penggunaan antibiotik, penggunaan obat antikejang, penggunaan antijamur, penurunan kesadaran, penggunaan pipa nasogastrik, lama rawat inap di rumah sakit, perawatan sebelumnya di ruang perawatan intensif, waktu onset terjadinya pneumonia nosokomial. Pada Kelompok Kasus dilakukan juga pencatatan terhadap hasil pemeriksaan penunjang seperti bacaan rontgen dada dan pencatatan pilihan antibiotik pneumonia nosokomial. Untuk kasus, kuesioner dilengkapi saat pasien terdiagnosis pneumonia nosokomial dan untuk kontrol dicari secara random. Pengisian kuesioner dilakukan oleh peneliti dan bekerjasama dengan rekan-rekan PPDS di sub bagian respirologi. 4.6 Prosedur Penelitian 4.6.1 Cara Penelitian 1. Pemilihan subjek penelitian berdasarkan kasus pneumonia nosokomial yang didapatkan di ruang perawatan anak di Jempiring atau Pudak selama bulan Oktober 2013 hingga januari 2014 dan ditambahkan dengan data retrospektif dari rekam medis karena diperkirakan jumlah kasus sedikit. Penegakan diagnosis pneumonia nosokomial jika ditemukan gejala dan tanda pneumonia sesuai dengan kriteria WHO tahun 2005 pada anak yang dirawat lebih dari 48 jam di rumah sakit. Diagnosis pneumonia nosokomial dilakukan oleh dokter spesialis anak sub bagian respirologi. Pasien yang terdiagnosis dengan pneumonia nosokomial kemudian menjadi kasus dalam sampel penelitian. 2. Pemilihan subjek kontrol penelitian berupa pasien yang dirawat inap lebih dari 48 jam dan selama perawatan tidak menderita pneumonia nosokomial. Pemilihan subjek kontrol didapatkan secara random berdasarkan tanggal saat terdiagnosis pneumonia nosokomial dari Kelompok Kasus, jika kasus didapatkan melalui rekam medik maka Kontrol juga dicari melalui rekam medik. 3. Dilakukan informasi/penjelasan penelitian kepada orangtua/wali pasien pada kasus maupun kontrol yang diperoleh datanya selama menjalani rawat inap di rumah sakit dalam jangka waktu Oktober 2013 hingga Januari 2014. Data yang diperoleh melalui rekam medis tidak memerlukan surat penjelasan penelitian. 4. Dilakukan pengisian identitas lengkap pasien serta faktor-faktor risiko yang berperan dalam terjadinya pneumonia nosokomial sesuai dengan kuesioner. 5. Setiap satu kasus dengan diagnosis pneumonia nosokomial diperlukan 3 kontrol diambil secara random dan dirawat di ruang perawatan anak (ruang jempiring atau pudak) selama lebih dari 48 jam. 6. Subjek dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok dengan pneumonia nosokomial sebagai Kelompok Kasus dan bukan pneumonia nosokomial sebagai Kelompok Kontrol. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan menggunakan program SPSS seri 17. 4.6.2 Alur Penelitian Pasien umur satu bulan hingga 12 tahun yang menjalani rawat inap di ruang Jempiring dan Pudak sampai dengan bulan Januari 2014 Kriteria inklusi 1.Dirawat di ruang Jempiring atau Pudak selama lebih dari 48 jam Kriteria eksklusi 1.Menderita penyakit paru saat masuk rumah sakit 2.Anak yang pindah ruang perawatan sebelum diagnosis pneumonia nosokomial ditegakkan (kasus) atau sebelum diperbolehkan pulang (kontrol) 3.Data rekam medik tidak lengkap Sampel penelitian Kasus Kontrol Pengisian kuesioner mengenai faktor risiko, penelusuran catatan medis (penggunaan antibiotik empiris, lama rawat inap, status gizi, pengobatan antikejang, penggunaan pipa nasogastrik, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya) Analisis statistik Gambar 4.2 Skema alur penelitian 4.6.3 Prosedur Pengumpulan Data 4.6.3.1 Data pneumonia nosokomial Penelitian dimulai dengan didapatkannya sampel penelitian sebagai kasus. Diagnosis pneumonia nosokomial adalah berdasarkan kriteria klinis pneumonia berdasarkan WHO tahun 2005. Setelah mendapatkan kasus dengan pneumonia nosokomial maka dicari 3 subjek kontrol untuk masing-masing 1 subjek kasus. Pada sampel Kelompok Kasus maupun Kelompok Kontrol ditelusuri faktor-faktor risiko yang dipercaya memfasilitasi terjadinya penyakit pneumonia nososkomial. Dilakukan pula pencatatan terhadap waktu terjadinya pneumonia nosokomial, lama menjalani rawat inap, pilihan antibiotik sebagai terapi pneumonia nosokomial, dan hasil bacaan rontgen dada. Pada data yang diperoleh saat pasien menjalani rawat inap, pencatatan kuesioner penelitian dilakukan setelah orangtua/wali menandatangani penjelasan penelitian. 4.6.3.2 Data faktor risiko pneumonia nosokomial Data mengenai faktor risiko pneumonia nosokomial dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi faktor risiko yang dibedakan menjadi faktor yang berhubungan dengan keadaan pasien (jenis kelamin, umur, status gizi, dan penyakit yang mendasari), faktor yang berhubungan dengan kolonisasi mikroorganisme (penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu, penggunaan antibiotik lebih dari 1 minggu, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, rawat inap lebih dari 3 minggu, dan pengobatan antijamur), dan faktor yang berhubungan dengan aspirasi orofaring (penggunaan pipa nasogastrik, penurunan kesadaran dan pengobatan antikejang). 4.7 Analisis Data Pada seluruh data yang diperoleh, dilakukan entry dan dianalisis dengan program komputer (SPSS 17.0 for windows). Analisis data dilakukan dalam beberapa tahap: 1. Analisis deskriptif untuk mengetahui karakteristik sampel penelitian. Data yang dianalisis secara deskriptif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi, tabulasi silang, persentase, nilai tengah, dan minimum, serta maksimum. 2. Untuk data yang dianalisis secara analitik dilakukan dengan: a. Data mengenai perbedaan karakteristik sampel penelitian yaitu antara Kelompok Kasus dan Kontrol kemudian dilakukan uji statistik Chi-square untuk skala nominal atau alternatifnya yaitu uji Kolmogorov-Smirnov. Pada data berskala numerik dilakukan uji statistik non parametrik yaitu uji Mann-Whitney. Perbedaan karakteristik penelitian dinyatakan dengan tingkat kemaknaan p<0,05. b. Analisis statistik mengenai faktor risiko dilakukan dengan uji statistik Chisquare atau alternatifnya yaitu uji Fisher exact untuk data skala nominal yaitu penggunaan pipa nasogastrik, riwayat perawatan di ruang intensif sebelumnya, penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu, penggunaan antikejang, dan lama rawat inap lebih dari 3 minggu. Presisi RO dinyatakan dengan interval kepercayaan 95% dan tingkat kemaknaan p<0,05. c. Data mengenai variabel pengganggu dilakukan control by analysis dengan menggunakan uji statistik Chi-square atau alternatifnya yaitu uji Fisher exact, data-data tersebut meliputi penggunaan antijamur, penurunan kesadaran, dan status gizi buruk. Presisi RO dinyatakan dengan interval kepercayaan 95% dan tingkat kemaknaan p<0,05. d. Dilakukan analisis multivariat terhadap variabel pada analisis bivariat mempunyai nilai p<0,25. Analisis multivariat yang digunakan adalah regresi logistik sehingga diperoleh faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya pneumonia nosokomial. 4.8 Etika Penelitian Penelitian ini telah mendapatkan kelaikan etik (ethical clearance) dari Unit Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah No: 906/UN.14.2/Litbang/2013. Penelitian ini juga telah mendapatkan ijin dari Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, RSUP Sanglah No: LB..02.01/II.C5.DIII/16301/2013. BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Karakteristik Sampel Penelitian Selama kurun waktu penelitian dari bulan Oktober 2013 hingga bulan Januari 2014 didapatkan 128 orang subjek yang terdiri dari 32 kasus dan 96 kontrol. Uji normalitas dilakukan terlebih dahulu sebelum melakukan analisis data penelitian dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov diperoleh p<0,05 yang berarti data mempunyai distribusi tidak normal meskipun telah dilakukan transformasi data. Karakteristik subjek penelitian tampak pada Tabel 5.1. Tabel 5.1. menunjukan bahwa sebagian karakteristik subjek pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna yaitu antara jenis kelamin setelah dilakukan uji Chi-square. Pada status gizi dan diagnosis pasien saat rawat inap, setelah dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov tidak berbeda bermakna pada kedua kelompok. Pada karakteristik umur juga tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok berdasarkan uji Mann-whitney, sedangkan pada karakteristik lama rawat inap didapatkan perbedaan bermakna antara kedua kelompok berdasarkan uji Mann-Whitney (p=0,001). 48 Tabel 5.1 Karakteristik subjek penelitian Karakteristik Jenis kelamin, laki-laki, n(%)* Status gizi, n(%)# Gizi baik Gizi kurang Gizi buruk Gizi lebih Obesitas Diagnosis pasien, n(%)# Keganasan Penyakit bedah Penyakit infeksi Penyakit non infeksi Penyakit jantung bawaan Infeksi sistem saraf pusat Gizi buruk Imunodefisiensi sekunder Penyakit hematologi lain Umur dalam bulan, nilai tengah (minimum,maksimum) × Lama rawat inap, nilai tengah (minimum,maksimum)× * Analisis dengan uji Chi-square # Analisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov × Analisis dengan uji Mann-Whitney 5.2 Kasus Kontrol p n = 32 n = 96 19(59,4) 56(58,3) 0,917 10(31,3) 15(46,9) 7(21,9) 0 0 32(33,3) 41(42,7) 16(16,7) 4(4,2) 3(3,1) 0,357 8(25) 1(3,1) 6(18,8) 2(6,2) 3(9,4) 2(6,3) 7(21,9) 2(6,3) 1(3,1) 21(21,9) 1(1) 28(29,2) 11(11,4) 9(9,4) 5(5,2) 10(10,4) 7(7,3) 4(4,2) 0,765 36(2,124) 39(6,94) 33,5(1,128) 10,5(3,84) 0,978 0,001 Karakteristik Kasus dengan Pneumonia Nosokomial Karakteristik terhadap Kelompok Kasus pneumonia nosokomial pada Tabel 5.2. Empat kasus pneumonia nosokomial berulang, masing-masing dua episode. Tabel 5.2. Karakteristik kasus pneumonia nosokomial Karakteristik Kasus n = 32 Hari terjadinya pneumonia nosokomial, nilai tengah (minimum, maksimum) Onset terjadinya pneumonia, n(%) Onset awal (< 5 hari) Onset lanjut (≥ 5 hari) Kelompok umur, n(%) Kurang dari 12 bulan 12 bulan sampai dengan 60 bulan Di atas 60 bulan Hasil foto rontgen dada, n(%) Infiltrat terlokalisir Infiltrat difus/patchy Efusi pleura Terapi antibiotik terhadap pneumonia nosokomial, n(%) Cephalosporin generasi ke-3 Cephalosporin generasi ke-3 dan aminoglikosida Carbapenem Carbapenem dan aminoglikosida 25,5 (4,86) 3(9,4) 27(90,6) 11(34,4) 11(34,4) 10(31,3) 18(56,3) 10(31,3) 4(12,5) 20(62,5) 7(21,9) 4(12,5) 1(3,1) 5.3 Perbandingan Variabel Penelitian Terhadap Pneumonia Nosokomial Analisis bivariat antara masing-masing faktor risiko dengan pneumonia nosokomial disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Hasil uji analisis bivariat variabel penelitian terhadap pneumonia nosokomial Variabel yang diteliti Penggunaan pipa nasogastrik* Ya Tidak Riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya# Ya Tidak Penggunaan obat antikejang# Ya Tidak Kasus Kontrol p RO IK 95% (n = 32) (n = 96) 12 20 20 76 0,06 2,28 0,956-5,436 7 25 8 88 0,05 3,08 1,018-9,321 3 29 9 87 1 1 0,253-3,945 21 75 0,001 4,59 1,963-10,740 31 65 0,001 4,00 1,718-9,325 9 87 0,001 8,52 3,213-22,641 6 90 0,018 4,2 1,284-13,628 17 79 0,205 1,81 0,716-4,618 5 91 0,004 6,06 1,819-20,232 Rawat inap lebih dari 3 minggu* Ya 18 Tidak 14 Pemberian antibiotik lebih dari 1 minggu* Ya 21 Tidak 11 Pemberian antibiotik lebih dari 2 minggu* Ya 15 Tidak 17 Penurunan kesadaran# Ya 7 Tidak 25 Status gizi buruk* Ya 9 Tidak 23 # Penggunaan antijamur Ya 8 Tidak 24 # Analisis menggunakan uji Fisher exact *Analisis menggunakan uji Chi-square Tabel 5.3 menunjukan beberapa faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial baik yang ditemukan pada kasus maupun pada kontrol. Berdasarkan analisis bivariat diperoleh hasil bahwa rawat inap lebih dari 3 minggu, pemberian antibiotik lebih dari 1 minggu, pemberian antibiotik lebih dari 2 minggu, penurunan kesadaran, dan penggunaan antijamur memiliki perbedaan yang bermakna antara kasus dan kontrol dalam terjadinya pneumonia nosokomial hal ini ditunjukkan dengan nilai p<0,05. Untuk mengetahui hubungan antara masingmasing faktor risiko dengan kejadian pneumonia nosokomial maka dilakukan uji Chi-Square, akan tetapi jika tidak memenuhi persyaratan uji Chi-Square dengan jumlah sel yang nilai expected kurang dari lima ada lebih dari 20% jumlah sel, sehingga dilakukan uji alternatifnya yaitu uji Fisher exact. Berdasarkan analisis bivariat pada Tabel 5.3, variabel-variabel yang dianalisis multivariat adalah variabel dengan nilai p<0,25 yaitu penggunaan pipa nasogastrik, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, rawat inap lebih dari 3 minggu, penggunaan antibiotik lebih dari 1 minggu, penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu, penurunan kesadaran, status gizi buruk, dan penggunaan antijamur untuk menyingkirkan bias terhadap hasil penelitian ini. Analisis multivariat variabel yang berhubungan dengan pneumonia nosokomial disajikan dalam Tabel 5.4. Tabel 5.4 Hasil analisis multivariat terhadap faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial* Variabel B ï‚· Penggunaan antibiotik lebih dari 1,771 2 minggu ï‚· Rawat inap lebih dari 3 minggu 1,034 P 0,001 RO 5,875 IK 95% 2,085-16,553 0,031 2,814 1,099-7,201 ï‚· Penggunaan antibiotik lebih dari 0,156 1 minggu 0,474 Penurunan kesadaran 0,800 1,169 0,349-3,915 0,497 1,606 0,410-6,299 0,653 1,437 0,295-6,989 ï‚· Riwayat perawatan di Ruang 0,363 Rawat Intensif sebelumnya -0,502 Penggunaan NGT 0,433 0,605 0,173-2,120 ï‚· Penggunaan antijamur 0,141 0,857 1,151 0,250-5,298 ï‚· Status gizi buruk 0,064 0,934 1,066 0,236-4,808 ï‚· Konstanta -1,925 0,000 0,146 ï‚· ï‚· *Uji regresi logistik Tabel 5.3 menunjukan hasil analisis multivariat dengan regresi logistik metode backward LR. Hasil uji regresi logistik menunjukan hubungan antara rawat inap lebih dari 3 minggu terhadap kejadian pneumonia nosokomial dengan nilai rasio odds (RO) 2,814 (1,099-7,201), dan hubungan antara penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu terhadap kejadian pneumonia nosokomial dengan RO 5,875 (IK 95% 2,085-16,553). BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Sampel Penelitian Pada Kelompok Kasus pneumonia nosokomial dalam penelitian ini memiliki dua sub kelompok umur terbanyak yaitu kurang dari 12 bulan dan kelompok umur 12 bulan sampai 60 bulan, masing-masing sebanyak 11 subjek (34,4%). Berdasarkan uji Mann-Whitney tidak didapatkan perbedaan bermakna terhadap distribusi umur pada Kelompok Kasus dan Kontrol. Hasil penelitian ini berbeda dengan Patra dkk. (2007) melaporkan 11 (34,4%) dari pasien dengan pneumonia nosokomial berumur kurang dari 1 tahun dan perbedaan ini bermakna dibandingkan pasien tanpa pneumonia nosokomial. Perbedaan ini disebabkan karena penelitian ini dilakukan pada ruang perawatan biasa dengan tingkat keparahan penyakit dasar yang bervariasi dari ringan hingga berat, sedangkan pada penelitian Patra dkk. (2007) bertempat di ruang PICU dengan tingkat keparahan pasien yang berat sehingga berpengaruh besar terhadap sistem imunologis yang imatur pada pasien anak dengan umur kurang dari 1 tahun. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa diagnosis awal penyakit pada Kelompok Kasus sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial terbanyak adalah keganasan (25%) dan gizi buruk (21,4%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian oleh Mansour dan Bendary (2012) yang mendapatkan hasil bahwa kelompok diagnosis penyakit terbanyak yang mengalami pneumonia nosokomial 54 adalah penyakit neurologis (48%). Perbedaan ini juga berhubungan dengan lokasi penelitian yaitu pada penelitian oleh Mansour dan Bendary dilakukan di PICU dengan indikasi perawatan ruang intensif berupa status epileptikus refrakter, acute flaccid paralysis yang progresif, koma atau edema otak berat sehingga sebagian besar pasien yang dirawat adalah pasien dengan kelainan neurologis, sedangkan penelitian ini bertempat di ruang perawatan anak biasa dengan jenis penyakit yang lebih beragam. Sebagian besar kasus (90,6%) pada penelitian ini merupakan pneumonia nosokomial onset lanjut, yang merupakan faktor risiko disebabkan oleh bakteri yang resisten berbagai mikroorganisme. Penelitian ini juga memperoleh hasil 4 subjek mengalami pneumonia nosokomial berulang, yaitu masing-masing dua episode selama menjalani rawat inap. Pilihan pengobatan pada pneumonia nosokomial onset lanjut adalah beta laktamase anti pseudomonas seperti piperacillin/tazobactam, cephalosporin anti pseudomonas, atau golongan carbapenem ditambahkan dengan aminoglikosida atau fluoroquinolon (Song dan Asian HAP Working Group, 2008). Pada penelitian ini sebagian besar (62,5%) kasus diobati dengan cephalosporin generasi 3 terutama ceftazidime dan ceftriaxone, diikuti dengan kombinasi cefalosposporin generasi 3 ditambah dengan aminoglikosida, golongan carbapenem anti pseudomonas, dan kombinasi golongan carbapenem dan aminoglikosida. Keterbatasan dalam pemilihan antibiotik karena penelitian dilakukan di ruang perawatan anak yang sebagian besar merupakan pasien kelas 3 sehingga keputusan untuk penggunaan antibiotik empiris adalah berdasarkan pola kepekaan kuman, sedangkan antibiotik golongan tertentu seperti carbapenem, cephalosporin generasi 4, maupun golongan beta laktamase tidak dapat diberikan tanpa ada hasil pemeriksaan penunjang yang mendukung (kultur darah maupun kultur sekresi trakea). 6.2 Penggunaan Obat Antikejang dengan Pneumonia Nosokomial Penelitian ini tidak berhasil membuktikan hubungan antara penggunaan antikejang dengan kejadian pneumonia nosokomial pada anak. Penelitian sebelumnya oleh Mansour dan Bendary (2012) pada anak di PICU memperoleh hasil penggunaan antikejang meningkatkan risiko pneumonia nosokomial (RO = 4,3; IK 95% 1,6-11,7). Perbedaan hasil penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Mansour dan Bendary disamping karena perbedaan lokasi penelitian juga pengaruh faktor host. Penggunaan obat antikejang pada pasien dengan sakit kritis di Ruang Rawat Intensif menurunkan kekebalan host sehingga terjadi gangguan pembersihan mukosilier, hal ini penting sebab dengan adanya gangguan pertahanan tubuh lokal menyebabkan kolonisasi mikroorganisme patogen di saluran napas bagian atas. Aspirasi merupakan patogenesis tersering terjadinya pneumonia nosokomial, hal ini difasilitasi dengan penggunaan ventilasi mekanik, penggunaan pipa nasogastric, dan berbaring lama dengan posisi supinasi pada pasien-pasien sakit kritis di Ruang Rawat Intensif (Celis dkk., 1988). Dengan adanya kedua faktor risiko tersebut (kolonisasi mikroorganisme dan aspirasi) maka memiliki efek sinergis atau saling menguatkan terhadap terjadinya pneumonia nosokomial, sedangkan ketiadaan salah satu atau lebih faktor seperti penggunaan ventilasi mekanik atau posisi supinasi pada penelitian ini membuat faktor risiko lainnya yaitu penggunaan antikejang dan pipa nasogastrik tidak bermakna terhadap kejadian pneumonia nosokomial. 6.3 Penggunaan Pipa Nasogastrik dengan Pneumonia Nosokomial Penelitian ini mendapatkan hasil penggunaan pipa nasogastrik bukan sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian dari Mansour dan Bendary (2012) yang mendapatkan hasil penggunaan pipa nasogastric meningkatkan risiko terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 7.1; IK 95% 2,6–19,6; p< 0.001). Perbedaan hasil penelitian ini juga disebabkan oleh lokasi penelitian dan faktor host. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan hubungan penggunaan pipa nasogastrik dengan kejadian pneumonia nosokomial sebab lambung diyakini berperan sebagai reservoir mikroorganisme patogen. Pada pasien-pasien anak yang dirawat di ruang Jempiring dan Pudak RSUP Sanglah dan menggunakan pipa nasogastrik, penggantian pipa nasogastrik secara rutin dikerjakan setiap 2 minggu dengan menuliskan tanggal pemasangan pipa nasogastrik pada plester perekat. Kebijakan ini dapat mengurangi pengaruh lambung sebagai reservoir mikroorganisme. Disamping itu penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan pengaruh penggunaan obat-obatan yang meningkatkan asam lambung seperti penghambat H-2 reseptor atau antasida, yang rutin diberikan untuk mengurangi refluks pada pasien di Ruang Rawat intensif dengan bantuan ventilator. Penggunaan penghambat H-2 reseptor atau antasida meningkatkan pH lambung dan menyebabkan kolonisasi mikroorganisme patogen dapat berkembang biak dengan konsentrasi tinggi di lambung (Inglis dkk., 1993). Penggunaan pipa nasogastrik ditambah dengan penghambat H-2 reseptor atau antasida bersama-sama menimbulkan efek sinergis sehingga membuktikan pengaruh penggunaan pipa nasogastrik terhadap pneumonia nosokomial. Sebaliknya, ketiadaan salah satu faktor pada penelitian ini, seperti penggunaan pipa nasogastrik ditambah dengan penghambat H-2 reseptor) yang jarang diberikan pada pasien anak di ruang perawatan anak di luar Ruang Rawat Intensif menyebabkan pengaruh pipa nasogastrik tidak bermakna terhadap kejadian pneumonia nosokomial. 6.4 Riwayat Perawatan di Ruang Rawat Intensif Sebelumnya dengan Pneumonia Nosokomial Penelitian ini tidak berhasil menunjukkan hubungan antara riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya dengan kejadian pneumonia nosokomial. Mendapatkan perawatan di Ruang Rawat Intensif menunjukkan kondisi pasien dengan penyakit dasar yang berat, kemungkinan pemakaian peralatan invasif seperti ventilator atau pemakaian central venous catether, tetapi juga memaparkan pasien pada infeksi mikroorganisme yang patogen dan resisten berbagai antibiotik. Kategorisasi dengan “riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya” pada penelitian ini bersifat umum, tidak menunjukkan lamanya pasien mendapatkan perawatan di Ruang Rawat Intensif, atau lamanya penggunaan peralatan invasif yang lebih spesifik untuk mengetahui hubungan antara peran Ruang Rawat Intensif dengan kejadian pneumonia nosokomial pada anak. 6.5 Penggunaan Antibiotik Lebih dari Dua Minggu dengan Pneumonia Nosokomial Penelitian ini menunjukkan penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu meningkatkan risiko pneumonia nosokomial dengan RO 5,875 (IK 95% 2,08516,553). Penggunaan antibiotik berkepanjangan dapat memicu pertumbuhan mikroorganisme resisten terhadap berbagai antibiotik atau mikroorganisme virulen. Penelitian oleh Porto dkk. (2012) melaporkan penggunaan antibiotik lebih dari 7 hari (RO = 7,89; p=0,0004) sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial. Kollef (1993) berpendapat bahwa penggunaan antibiotik sebelumnya dengan durasi kurang dari 7 hari bersifat protektif terhadap timbulnya pneumonia nosokomial onset awal, namun jika antibiotik dipergunakan secara berkepanjangan maka akan menimbulkan efek sebaliknya yaitu meningkatkan risiko mikroorganisme resisten berbagai antibiotik. Risiko yang lebih besar didapatkan pada penelitian Porto dkk. disebabkan penelitian tersebut dilakukan di Ruang Rawat Intensif dengan tingkat keparahan penyakit yang berat dan paparan terhadap mikroorganisme yang lebih virulen sehingga penggunaan antibiotik lebih lama semakin meningkatkan risiko pneumonia nosokomial. 6.6 Rawat Inap Lebih Dari Tiga Minggu dengan Pneumonia Nosokomial Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa lama rawat inap lebih dari 3 minggu merupakan faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial (RO = 2,814; IK 95% 1,099-7,201), dengan nilai tengah terjadinya pneumonia nosokomial pada Kelompok Kasus adalah pada hari ke 25 perawatan di rumah sakit. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus merupakan pneumonia nosokomial onset lanjut dengan riwayat penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu sehingga berpotensi terinfeksi bakteri yang resisten terhadap berbagai antibiotik. Penelitian oleh Fattah (2008) juga menunjukkan hubungan rawat inap lebih dari 3 minggu secara bermakna meningkatkan risiko terkena pneumonia nosokomial dibandingkan rawat inap kurang dari 1 minggu (RO = 2,18; IK 95% 1,24-3,29). Rawat inap di rumah sakit menjadi faktor risiko timbulnya pneumonia nosokomial, sebab semakin lama menjalani rawat inap maka semakin besar kemungkinan untuk terpapar mikroorganisme patogen yang jarang ditemukan di masyarakat untuk berkolonisasi di saluran napas bagian atas atau di mukosa lambung. Hal ini berkaitan erat dengan penggunaan antibiotik spektrum luas yang berkepanjangan sehingga menimbulkan infeksi dari mikroorganisme yang resisten berbagai antibiotik (Falcone dkk., 2011). Menurut Chastre (2003) sebanyak 40% pasien dengan pneumonia nosokomial onset lanjut terkena bakteri yang resisten terhadap berbagai antibiotik seperti Pseudomonas aeruginosa, Acinetobacter baumannii, dan methicillin-resistant Staphylococcus aureus. Penelitian ini mendapatkan hasil pneumonia nosokomial memperpanjang lama rawat inap 3 kali lipat dibandingkan Kelompok Kontrol, hal ini serupa dengan penelitian oleh Mansour dan Bendary (2012) yang mendapatkan hasil lama rawat inap meningkat 2 kali lipat dengan adanya pneumonia nosokomial. Peningkatan durasi rawat inap di samping memaparkan pasien terhadap kemungkinan infeksi berulang, juga meningkatkan biaya perawatan. Perbedaan perpanjangan lama rawat inap pada penelitian ini dibandingkan dengan penelitian Mansour dan Bendary disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kecepatan dan keakuratan alat untuk mendeteksi mikroorganisme pada kultur darah, serta teknik deteksi mikroorganisme yang digunakan sehingga berpengaruh terhadap keputusan klinis menghentikan antibiotik pada pasien yang mengalami pneumonia nosokomial. Disamping itu faktor lainnya adalah ketersediaan antibiotik yang sesuai dengan pola kepekaan bakteri berdasarkan hasil kultur darah, hambatan dalam ketersediaan antibiotik ini dipengaruhi oleh faktor biaya dan jaminan kesehatan yang digunakan pasien. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Penggunaan obat antikejang tidak terbukti sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak. 2. Penggunaan pipa nasogastrik tidak terbukti sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak. 3. Riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya tidak terbukti sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak. 4. Rawat inap lebih dari 3 minggu sebagai faktro risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak. Risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak yang dirawat selama lebih dari 3 minggu sebesar 2,8 kali. 5. Penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak. Risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada anak yang memakai antibiotik lebih dari 2 minggu sebesar 5,8 kali. 7.2 Saran 1. Dalam perawatan pasien diharapkan berpedoman pada clinical pathway masing-masing diagnosis penyakit sehingga tidak memperpanjang lama rawat inap. 62 0 2. Penggunaan antibiotik empiris disesuaikan dengan pola kepekaan bakteri di RSUP Sanglah. Pengambilan kultur darah dilakukan sebelum pemberian antibiotik dengan teknik aseptik dan terapi antibiotik definitif disesuaikan dengan hasil kultur darah. DAFTAR PUSTAKA American Thoracic Society. 1995. Hospital-acquired pneumonia in adults: diagnosis, assessment of severity, initial antimicrobial therapy, and preventive strategies. A consensus statement. Am J Respir Crit Care Med, 153:1711–25. Anonim. 2003. State of the world’s children. UNICEF. [cited 2010 Oct. 21]. Available at: http://www.unicef.org/sowc03/contents/index.html Baughman, R.P., Tapson, V., McIvor, A. 1999. Diagnosis and treatment challenges in nosocomial pneumonia. Diagn Microbiol Infect Dis, 33:1319. Beaulieu, M., Williamson, D., Sirois, C., Lachaine, J. 2008. Do proton-pump inhibitors increase the risk for nosocomial pneumonia in a medical intensive care unit?. J Crit Care, 23:513–8. Bradley, J.S. 2010. Considerations unique to pediatrics for clinical trial design in hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated pneumonia. Clin Infect Dis, 51(S1):136–43. Cadwallader, H.L., Bradley, C.R., Ayliffe, G.A.J. 1990. Bacterial contamination and frequency of changing ventilator circuitry. J Hosp Infect, 15(1):65-72. Celis, R., Torres, A., Gatell, J.M., Almela, M., Rodriguez-Roisin, R., AgustinVidal, A. 1988. Nosocomial pneumonia: a multivariate analysis of risk and prognosis. Chest, 93:318-24. Chastre, J. 2003. Antimicrobial treatment of hospital-acquired pneumonia. Infect Dis Clin North Am,17:727–37. Chawla, R. 2008. Epidemiology, etiology, and diagnosis of hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated pneumonia in Asian countries. Am J Infect Control, 36:93-100. Cotton, M.F., Zar, H.J. 2002. Nosocomial pneumonia in pediatric patients: practical problems and rational solutions. Pediatr Drugs, 4:73-83. Craven, D.E., Steger, K.A. 1997. Practical healthcare epidemiology hospitalacquired pneumonia: perspectives for the healthcare epidemiologist. Infect Control Hosp Epidemiol, 18(11):783-95. Craven, D.E, Barber, T.W., Steger, K.A., Montecalvo, M.A. 1990. Nosocomial pneumonia in the 1990s: update of epidemiology and risk factors. Semin Respir Infect, 5:157-72. Davis, R.J. 1987. Head and spinal cord injury. In: Rogers, M.C., editor. Textbook of Pediatric Intensive Care. Baltimore: Williams & Wilkins.p. 802. Draculovic, M.B., Torres, A., Bauer, T.T., Nicolas, J.M., Nogué, S., Ferrer, M. 1999. Supine body position as a risk factor for nosocomial pneumonia in mechanically ventilated patients: a randomised trial. Lancet, 354:1851–8. Fagon, J.Y., Chastre, J., Hance, A.J., Domart, Y., Trouillet, J.L., Gibert, C. 1993. Evaluation of clinical judgment in the identification and treatment of nosocomial pneumonia in ventilated patients. Chest, 103:547-53. Falcone, M., Venditti, M., Shindo, Y., Kollef, M.H.2011. Healthcare-associated pneumonia: diagnostic criteria and distinction from community-acquired pneumonia. International journal of Infect Diseases. 15:545–50. Fattah, A.M.M. 2008. Nosocomial pneumonia: risk factors, rates and trends. Eastern Mediterranean Health Journal, 14:546-55. Gomez, J., Esquinas, A., Agudo, M.D. 1995. Retrospective analysis of risk factors and prognosis in non-ventilated patients with nosocomial pneumonia. Eur J Clin Microbiol Infect Dis, 14:176–81. Ibrahim, E.H., Ward, S., Sherman, G., Kollef, M.H. 2000. A comparative analysis of patients with early-onset vs late-onset nosocomial pneumonia in the icu setting. Chest, 117:1434–42. Inglis, T.J.J., Sherratt, M.J., Sproat, L.J., Gibson, J.S., Hawkey, P.M. 1993. Gastro-duodenal dysfunction and bacterial colonisation of the ventilated lung. Lancet, 341:911-913. Kieninger, A.N,. Lipsett, P.A. 2009. Hospital acquired pneumonia: pathophysiology, diagnosis, and treatment, Surg Clin N Am, 89:439–461. Kollef MH. 1993. Ventilator-associated pneumonia: a multivariate analysis. JAMA, 270:1965–70. Lagamayo, E.N. 2008. Antimicrobial resistance in major patogens of hospitalacquired pneumonia in Asian countries. Am J Infect Control, 36:101-8. Langley, J.M., Bradley, J.S. 2005. Defining pneumonia in critically ill infants and children. Pediatr Crit Care Med, 6:9-13. Leventhal, J.M. 1982. Clinical predictors of pneumonia as a guide to ordering chest roentgenograms. Clin Pediatr, 21:730–734. Mahabee-Gittens, M.E. 2002. Pediatric Pneumonia. Clin Ped Emerg Med, 3:20014. Mansour, M.G.E., Bendary, S. 2012. Hospital-acquired pneumonia in critically ill children:Incidence, risk factors, outcome and diagnosis with insight on the novel diagnostic technique of multiplex polymerase chain reaction. The Egyptian Journal of Med Human Gen. 13: 99–105. Margolis, P., Gadomski, A. 1998. Does this infant have pneumonia?. JAMA, 279: 308–13. Patra, P.K., Jayashree, M., Singhi, S., Saxena, A.K. 2007. Nosocomial pneumonia in a pediatric intensive care unit. Indian Pediatr, 44:511-8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pneumonia nosokomial: pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. (serial online), [cited 2014 Jan. 28]. Available at: URL: http://www.Klikpdpi.com/konsensus/ pnenosokomial / pnenosokomial.pdf Porto, J. P., Mantese, O.C., Arantes, A., Freitas, C., Filho, P.P.G. 2012. Nosocomial infections in a pediatric intensive care unit of a developing country: NHSN surveillance. Rev Soc Bras Med Trop, 45(4):475-9. Rotstein, C., Evans, G., Born, A., Grossman, R., Light, B., Magder, S., et al. 2008. Clinical practice guidelines for hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated pneumonia in adults. Can J Infect Dis Med Microbiol, 19(1):19–53. Schlesselman, J.J., Stolley, P.D.1982. Case-control studies: design, conduct, analysis. Oxford university press. p.150-1. Schneider, S.M., Veyres, P., Soummer, A-M., Jambou, P. Filippi, J., Obberghen e., et al. 2004. Malnutrition is an independent factor associated with nosocomial infections. Br J Nutr, 92(1):105-11. Shah, P.M., Stille, W. 1995. Cefotaxime versus ceftriaxone for the treatment of nosocomial pneumonia. Results of a multicenter study. Diagn Microbiol Infect Dis, 22:171-2. Sondik, J.E., Anderson, J.R., Madans, J.H., Cox, L.H., Hunter, E.L., Zinn, D.L., et al. 2000. 2000 CDC Growth Charts for the United States: Methods and Development. Vital and Health Stats, 246:1-203. Song, J-H., Asian HAP Working Group.2008. Treatment recommendations of hospital-acquired pneumonia in Asian countries: first consensus report by the Asian HAP Working Group. AJIC, 36(Suppl.4):83-92. Sopena, N., Sabria, M. 2005. Multicenter study of hospital-acquired pneumonia in non-icu patients. Chest, 127:213-9. Tablan, O. C., Anderson, L. J., Besser, R., Bridges, C., Hajjeh, R. 2004. Guidelines for preventing health-care-associated pneumonia, 2003: recommendations of CDC and the healthcare infection control practices advisory committe. MMWR Recomm Rep, 53:1–36 . Torres, A., Aspa, J., Rajas, O., Rodriguez, F., Huertas, M.C., Borderı, L. et al. 2006. Impact of initial antibiotic choice on mortality from pneumococcal pneumonia. Eur Respir J, 27:1010–19. Trouillet, J.L., Chastre, J., Vuagnat, A. 1998. Ventilator-associated pneumonia caused by potentially drug-resistant bacteria. Am J Respir Crit Care Med. 157:531–9. World Health Organization. 2006. WHO Child Growth Standards: Length/Heightfor-Age, Weight-for-Age, Weight-for-Lenght, Weight-for-Height and Body Mass Index-for-Age: Methods and Development. Geneva, [cited 2014 Feb. 18]. Available at: http://www.who.int/childgrowth/standards/en/ World Health Organization.2005. Pocket book of hospital care for children: guidelines for the management of common illness with limited resources.. WHO Press. p.72-3. World Health Organization. 2001. WHO model prescribing information drugs used in bacterial infections. [cited 2010 October 21]. Available at: http://apps.who.int/medicinedocs/pdf/s5406e/s5406e.pdf World Health Organization. 1999. The management of acute respiratory infections in children: Practical guidelines for outpatient care. [cited 2010 November 20]. Available at: http://www.theecentre.net/toolkit/Resource%20 Catalogue/H%20-%20CD/%28H 11%29.pdf Lampiran 1 PENJELASAN PENELITIAN JUDUL PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR RISIKO TERJADINYA PNEUMONIA NOSOKOMIAL DI RUANG PERAWATAN ANAK RSUP SANGLAH Peneliti: dr. Deborah Melati LATAR BELAKANG (Informasikan keterangan-keterangan di bawah ini kepada orang tua/ wali pasien yang akan diminta kesediaannya untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Jika orang tua/ wali tidak dapat membaca ataupun menulis, maka harus ada saksi yang mendampinginya selama anda memberikan informasi ini) Pneumonia nosokomial adalah infeksi paru (pneumonia) yang terjadi lebih dari 48 jam setelah rawat inap di rumah sakit. Pneumonia nosokomial pada pasien anak sebagai masalah kesehatan yang penting oleh karena menimbulkan masalah yang kompleks mulai dari memperpanjang lama rawat inap, meningkatkan biaya perawatan dan meningkatkan kesakitan serta kematian. Studi mengenai pneumonia nosokomial pada pasien anak tanpa bantuan ventilasi mekanik sangat jarang dilakukan ddan perlu mendapat perhatian. Pasien dengan pneumonia seringkali mengalami panas badan, peningkatan laju napas dan batuk. Gejala ini biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan bagian atas dengan demam, batuk serta pilek. Beberapa gejala yang mendukung diagnosis pneumonia termasuk kesulitan bernapas, napas bersuara, kesulitan makan, napas cepat, gelisah, tidak dapat beristirahat. Gejala tidak spesifik lainnya meliputi nyeri perut dan sakit kepala. Penelitian-penelitian sebelumnya memperoleh hasil bahwa faktor risiko signifikan terjadinya pneumonia nosokomial pada anak meliputi penggunaan obat anti kejang, penggunaan pipa nasogastrik dan penggunaan antibiotik berkepanjangan, riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya, dan perawatan lama di rumah sakit. Meskipun kasus pneumonia nosokomial jarang ditemui di ruang perawatan anak, akan tetapi kejadiannya dapat menimbulkan permasalahan yang kompleks dan sampai dapat menimbulkan saat ini belum ada data mengenai faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial padahal hal ini sangat bermanfaat dalam rangka pencegahan dan penatalaksanaan pasien. Penelitian ini merupakan penelitian kasus kontrol untuk menelaah lebih dalam mengenai faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien yang dirawat di ruang perawatan anak. Tujuan Penelitian ini memiliki lima tujuan yaitu: 1. Mengetahui apakah penggunaan obat anti kejang sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 2. Mengetahui apakah penggunaan pipa nasogastrik sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 3. Mengetahui apakah rawat inap lebih dari 3 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 4. Mengetahui apakah riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. 5. Mengetahui apakah penggunaan antibiotik lebih dari 2 minggu sebagai faktor risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah bahwa dengan mengetahui faktro risiko terjadinya pneumonia nosokomial pada pasien anak di ruang perawatan RSUP Sanglah, maka dapat dilakukan upaya pencegahan timbulnya pneumonia nosokomial. PROSEDUR PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian untuk mengetahui faktor-faktro risiko terjadinya pneumonia nosokomial di ruang perawatan anak RSUP Sanglah. Data yang diperoleh berasal dari catatan medis anak berupa identitas lengkap pasien dan data mengenai diagnosis saat pasien masuk rumah sakit, pengukuran antropometri, penggunaan antibiotik, lama penggunaan antibiotik, penggunaan obat antikejang, penggunaan antijamur, penurunan kesadaran, penggunaan pipa nasogastrik, lama rawat inap di rumah sakit, perawatan sebelumnya di ruang perawatan intensif, waktu onset terjadinya pneumonia nosokomial. Pada Kelompok Kasus dilakukan juga pencatatan terhadap hasil pemeriksaan penunjang seperti bacaan rontgen dada dan pencatatan terhadap pemilihan antibiotik terhadap pneumonia nosokomial. Kami mengharapkan kesediaan anda, selaku orang tua dari pasien diikut sertakan dalam penelitian ini, yaitu bersedia untuk diperbolehkan melihat catatan medis anak dalam rangka pengisian kuesioner penelitian. EFEK SAMPING Penelitian tidak memberikan efek samping baik secara langsung maupun tidak langsung pada pasien. Demikian penjelasan kami, jika bapak/ibu/orangtua/wali bersedia mengikuti penelitian mohon mengisi lembaran kesediaan menjadi responden. Lampiran 2. Surat penjelasan penelitian Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama :…………………………………………………………….. Umur :……………………………………………………………. Jenis kelamin :……………………………………………………………. Alamat :……………………………………………………………. Orangtua/wali dari anak Nama :…………………………………………………………..... Tanggal lahir :……………………………………………………………. Umur :…….tahun……bulan No. RM :……………………………………………………………. Bersedia dengan sukarela anak saya tersebut ikut dalam subjek peneliian dengan judul “Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Pneumonia Nosokomial Di Ruang Perawatan Anak Rsup Sanglah”, setelah mendengar penjelasan mengenai manfaat dan kerugian yang mungkin terjadi dalam penelitian ini. Demikiam pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada tekanan dari pihak manapun. Denpasar,……………. Peneliti (Deborah Melati) Yang membuat pernyataan (……………………………) Tanda tangan, nama terang Lampiran 3 KUESIONER PENELITIAN Faktor-Faktor Risiko Terjaninya Pneumonia Nosokomial di Ruang Perawatan Anak RSUP Sanglah IDENTITAS PASIEN Nama : …………………………………………………………… Tanggal lahir :……………………………………………………………. Usia : …………..tahun……….bulan Jenis kelamin :……………………………………………………………. Alamat :……………………………………………………………. No CM :……………………………………………………………. Nama orang tua :……………………………………………………………. Berat badan :……………………………………………………………. Tinggi badan :……………………………………………………………. Berat badan Ideal :……………………………………………………………. Status Gizi :………………………………………………………….… KUESIONER PENELITIAN 1. Apakah diagnosis lengkap pasien ketika masuk rumah sakit? .............................................................................................................................. ....................................................................................................................... 2. Apakah pasien menggunakan pipa nasogastrik selama perawatan (kontrol) atau sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial (kasus)? a) Ya b) Tidak 3. Apakah pasien menggunakan obat antikejang selama perawatan (kontrol) atau sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial (kasus)? a) Ya b) Tidak 4. Apakah pasien pernah mengalami penurunan kesadaran selama perawatan (kontrol) atau sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial (kasus)? a) Ya b) Tidak 5. Untuk penyakit yang diderita, apakah pasien sebelumnya mendapatkan perawatan di Ruang Rawat Intensif (PICU) (kontrol) atau sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial? a) Ya b) Tidak 6. Apakah pasien pernah menggunakan antibiotik selama perawatan (kontrol) atau sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial (kasus)? a) Ya, nama antibiotik: …………………………., lama pemberian antibiotik:………………………… b) Tidak 7. Apakah pasien mendapat pengobatan antijamur selama perawatan (kontrol) atau sebelum terdiagnosis pneumonia nosokomial (kasus)? a) Ya b) Tidak 8. Berapa lama pasien menjalani rawat inap? ………… hari 9. Untuk Kelompok Kasus, sebutkan waktu terdiagnosis pneumonia nosokomial? ……………………………………………………………………………. 10. Bacaan hasil dada saat terdiagnosis pneumonia nosokomial: a) Infiltrat patchy/difus b) Efusi pleura c) Infiltrat terlokalisir d) Abses/bula/pneumatokel e) Atelektasis f) Lainnya, sebutkan………………………………………………………… 11. Sebutkan terapi antibiotik yang diberikan untuk mengobati pneumonia nosokomial dan lama pemberian? ………………………………………………………………………………… 12. Sebutkan luaran pasien? a) Hidup b) Meninggal Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Hasil Analisis Statistik Uji Normalitas Case Processing Summary Cases Valid Diagnos is HAP umur dlm bulan Lama rawat inap N Missing Percent N Total Percent N Percent Ya 32 100.0% 0 .0% 32 100.0% Tidak 96 100.0% 0 .0% 96 100.0% Ya 32 100.0% 0 .0% 32 100.0% Tidak 96 100.0% 0 .0% 96 100.0% Descriptives Diagnosis HAP umur dlm bulan Ya Statistic Mean 95% Confidence Interval for Mean 49.31 Lower Bound 32.53 Upper Bound 66.09 5% Trimmed Mean 47.83 Median 36.00 Variance 46.543 Minimum 2 Maximum 124 Range 122 Interquartile Range 96 Skewness Kurtosis Mean 95% Confidence Interval for Mean 8.228 2166.222 Std. Deviation Tidak Std. Error .553 .414 -1.306 .809 49.29 4.736 Lower Bound 39.89 Upper Bound 58.69 5% Trimmed Mean 47.63 Median 33.50 Variance 2152.967 Std. Deviation 46.400 Minimum 1 Maximum 128 Range 127 Interquartile Range 83 Skewness Kurtosis Lama rawat inap Ya Mean .246 -1.310 .488 42.41 4.082 95% Confidence Interval for Lower Bound 34.08 Mean Upper Bound 50.73 5% Trimmed Mean 41.81 Median 39.00 Variance 533.152 Std. Deviation 23.090 Minimum 6 Maximum 94 Range 88 Interquartile Range 42 Skewness Tidak .518 .498 .414 Kurtosis -.546 .809 Mean 15.72 1.534 95% Confidence Interval for Lower Bound 12.67 Mean Upper Bound 18.76 5% Trimmed Mean 13.71 Median 10.50 Variance Std. Deviation 225.931 15.031 Minimum 3 Maximum 84 Range 81 Interquartile Range 16 Skewness 2.366 .246 Kurtosis 7.142 .488 Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov Diagnos is HAP umur dlm bulan Statistic a df Shapiro-Wilk Sig. Statistic df Sig. Ya .183 32 .008 .832 32 .000 Tidak .177 96 .000 .841 96 .000 a. Lilliefors Significance Correction Transformasi data Case Processing Summary Cases Valid N tran_age Missing Percent 128 N Total Percent 100.0% 0 N Percent .0% 128 100.0% Tests of Normality Kolmogorov-Smirnov Statistic tran_age .150 Df a Shapiro-Wilk Sig. 128 Statistic .000 df Sig. .890 128 .000 a. Lilliefors Significance Correction Karakteristik subjek Case Processing Summary Cases Valid N jenis kelamin pasien * Missing Percent N Total Percent N Percent 128 100.0% 0 .0% 128 100.0% 128 100.0% 0 .0% 128 100.0% 128 100.0% 0 .0% 128 100.0% Diagnosis HAP Status gizi pasien * Diagnosis HAP Diagnosis saat MRS * Diagnosis HAP Crosstab Diagnosis HAP ya jenis kelamin pasien laki-laki Count 56 75 18.8 56.3 75.0 % within jenis kelamin pasien 25.3% 74.7% 100.0% % within Diagnosis HAP 59.4% 58.3% 58.6% 13 40 53 13.3 39.8 53.0 % within jenis kelamin pasien 24.5% 75.5% 100.0% % within Diagnosis HAP 40.6% 41.7% 41.4% 32 96 128 32.0 96.0 128.0 25.0% 75.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Count Expected Count Total Total 19 Expected Count perempuan Tidak Count Expected Count % within jenis kelamin pasien % within Diagnosis HAP Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) a 1 .917 .000 1 1.000 .011 1 .917 .011 b Df Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test 1.000 N of Valid Cases 128 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.25. b. Computed only for a 2x2 table Diagnosis saat MRS * Diagnosis HAP Crosstabulation .544 Diagnosis HAP ya Diagnosis saat MRS keganasan pembedahan Count 21 29 % within Diagnosis saat MRS 27.6% 72.4% 100.0% % within Diagnosis HAP 25.0% 21.9% 22.7% 1 1 2 50.0% 50.0% 100.0% 3.1% 1.0% 1.6% 2 11 13 15.4% 84.6% 100.0% 6.3% 11.5% 10.2% 3 9 12 25.0% 75.0% 100.0% 9.4% 9.4% 9.4% 2 5 7 28.6% 71.4% 100.0% 6.3% 5.2% 5.5% 7 10 17 % within Diagnosis saat MRS 41.2% 58.8% 100.0% % within Diagnosis HAP 21.9% 10.4% 13.3% 1 4 5 20.0% 80.0% 100.0% 3.1% 4.2% 3.9% 6 28 34 % within Diagnosis saat MRS 17.6% 82.4% 100.0% % within Diagnosis HAP 18.8% 29.2% 26.6% 2 7 9 22.2% 77.8% 100.0% 6.3% 7.3% 7.0% 32 96 128 Count % within Diagnosis HAP lain Count % within Diagnosis saat MRS % within Diagnosis HAP PJB Count % within Diagnosis saat MRS % within Diagnosis HAP infeksi SSP Count % within Diagnosis saat MRS % within Diagnosis HAP gizi buruk peny hematologi lain Count Count % within Diagnosis saat MRS % within Diagnosis HAP peny infeksi lain imunodefisiensi sekunder Count Count % within Diagnosis saat MRS % within Diagnosis HAP Total Total 8 % within Diagnosis saat MRS peny non infeksi Tidak Count % within Diagnosis saat MRS % within Diagnosis HAP 25.0% 75.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Df a 10 .642 7.885 10 .640 7.867 Likelihood Ratio N of Valid Cases sided) 128 a. 13 cells (59.1%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .25. Frequencies HAP Diagnosis saat MRS N ya 32 tidak 96 Total 128 Test Statistics a Diagnosis saat MRS Most Extreme Differences Absolute .156 Positive .000 Negative -.156 Kolmogorov-Smirnov Z .765 Asymp. Sig. (2-tailed) .601 a. Grouping Variable: HAP untuk non parametrik test Crosstab Diagnosis HAP ya tidak Total Status gizi pasien gizi baik Count 10 32 42 10.5 31.5 42.0 % within Status gizi pasien 23.8% 76.2% 100.0% % within Diagnosis HAP 31.3% 33.3% 32.8% 15 41 56 14.0 42.0 56.0 % within Status gizi pasien 26.8% 73.2% 100.0% % within Diagnosis HAP 46.9% 42.7% 43.8% 7 16 23 5.8 17.3 23.0 % within Status gizi pasien 30.4% 69.6% 100.0% % within Diagnosis HAP 21.9% 16.7% 18.0% 0 4 4 1.0 3.0 4.0 % within Status gizi pasien .0% 100.0% 100.0% % within Diagnosis HAP .0% 4.2% 3.1% Count 0 3 3 Expected Count .8 2.3 3.0 % within Status gizi pasien .0% 100.0% 100.0% % within Diagnosis HAP .0% 3.1% 2.3% 32 96 128 32.0 96.0 128.0 25.0% 75.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% Expected Count gizi kurang Count Expected Count gizi buruk Count Expected Count gizi lebih Count Expected Count obesitas Total Count Expected Count % within Status gizi pasien % within Diagnosis HAP Chi-Square Tests Asymp. Sig. (2Value Pearson Chi-Square Likelihood Ratio N of Valid Cases Df sided) a 4 .588 4.500 4 .343 2.823 128 a. 4 cells (40.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .75. Frequencies HAP Status gizi pasien N ya 32 tidak 96 Total 128 Test Statistics a Status gizi pasien Most Extreme Differences Absolute .073 Positive .021 Negative -.073 Kolmogorov-Smirnov Z .357 Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000 a. Grouping Variable: HAP untuk non parametrik test Perbedaan umur dan lama rawat antara kasus dan kontrol Ranks HAP mann whitney umur dlm bulan Lama rawat inap N Mean Rank Sum of Ranks ya 32 64.66 2069.00 tidak 96 64.45 6187.00 Total 128 ya 32 99.27 3176.50 tidak 96 52.91 5079.50 Total 128 Test Statistics a umur dlm bulan Lama rawat inap Mann-Whitney U 1531.000 423.500 Wilcoxon W 6187.000 5079.500 Z -.028 -6.133 .978 .000 Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: HAP mann whitney Karakteristik Kasus kategori umur dalam bulan Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent < 12 bulan 11 34.4 34.4 34.4 12 bulan sampai 5 tahun 11 34.4 34.4 68.8 5 tahun sampai 10 tahun 7 21.9 21.9 90.6 lebih dari 10 tahun 3 9.4 9.4 100.0 32 100.0 100.0 Total kategori HAP Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent onset awal 3 9.4 9.4 9.4 onset lanjut 29 90.6 90.6 100.0 Total 32 100.0 100.0 Case Processing Summary Cases Valid N Missing Percent N Total Percent N Percent hari terkena HAP 32 100.0% 0 .0% 32 100.0% lama perawatan 32 100.0% 0 .0% 32 100.0% Descriptives Statistic hari terkena HAP Mean 95% Confidence Interval for Mean 28.8438 Lower Bound 21.0948 Upper Bound 36.5927 5% Trimmed Mean 27.4653 Median 25.5000 Variance 461.943 Std. Deviation lama perawatan Std. Error 3.79943 21.49285 Minimum 4.00 Maximum 86.00 Range 82.00 Interquartile Range 32.00 Skewness .882 .414 Kurtosis .118 .809 42.4063 4.08179 Mean 95% Confidence Interval for Lower Bound 34.0814 Mean Upper Bound 50.7311 5% Trimmed Mean 41.8125 Median 39.0000 Variance 533.152 Std. Deviation 23.09009 Minimum 6.00 Maximum 94.00 Range 88.00 Interquartile Range 42.00 Skewness Kurtosis .498 .414 -.546 .809 hasil dada AP * diagnosis HAP Crosstabulation diagnosis HAP hap hasil dada AP inflitrat terlokalisir difus/patchy infiltrat efusi pleura Total Count Total 18 18 % within hasil dada AP 100.0% 100.0% % within diagnosis HAP 56.3% 56.3% 10 10 % within hasil dada AP 100.0% 100.0% % within diagnosis HAP 31.3% 31.3% 4 4 % within hasil dada AP 100.0% 100.0% % within diagnosis HAP 12.5% 12.5% 32 32 % within hasil dada AP 100.0% 100.0% % within diagnosis HAP 100.0% 100.0% Count Count Count antibiotik untuk Hap Cumulative Frequency Valid cepalosporin gen 3 Percent Valid Percent Percent 20 62.5 62.5 62.5 7 21.9 21.9 84.4 carbapenem 4 12.5 12.5 96.9 carbapenem+aminoglikosida 1 3.1 3.1 100.0 32 100.0 100.0 cepalosporin gen 3 + aminoglikosida Total Analisis Bivariat Penggunaan NGT Crosstab Diagnosis HAP ya Penggunaan NGT/ogt ya tidak Total Count 12 20 32 Expected Count 8.0 24.0 32.0 Count 20 76 96 24.0 72.0 96.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total tidak Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 .059 2.722 1 .099 3.364 1 .067 3.556 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .097 N of Valid Cases 128 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8.00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Penggunaan Lower Upper 2.280 .956 5.436 1.800 .994 3.258 NGT/ogt (ya / tidak) For cohort Diagnosis HAP = ya .052 For cohort Diagnosis HAP = .789 .592 1.052 tidak N of Valid Cases 128 Penggunaan Antikejang Crosstab Diagnosis HAP ya Penggunaan antikejang ya tidak Count tidak 3 9 12 Expected Count 3.0 9.0 12.0 Count 29 87 116 29.0 87.0 116.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total Total Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 1.000 .000 1 1.000 .000 1 1.000 .000 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test 1.000 N of Valid Cases 128 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Penggunaan Lower Upper 1.000 .253 3.945 1.000 .357 2.799 antikejang (ya / tidak) For cohort Diagnosis HAP = ya .652 For cohort Diagnosis HAP = 1.000 .710 1.409 tidak N of Valid Cases 128 Riwayat perawatan di Ruang Rawat Intensif sebelumnya Crosstab Diagnosis HAP ya Perawatan PICU sblmnya ya tidak Count tidak 7 8 15 Expected Count 3.8 11.3 15.0 Count 25 88 113 28.3 84.8 113.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total Total Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 .039 3.046 1 .081 3.796 1 .051 4.254 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .055 N of Valid Cases 128 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.75. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Perawatan PICU sblmnya (ya / tidak) 3.080 Lower 1.018 Upper 9.321 .046 For cohort Diagnosis HAP = 2.109 1.110 4.009 .685 .422 1.111 ya For cohort Diagnosis HAP = tidak N of Valid Cases 128 Penggunaan antibiotik sebelumnya Crosstab Diagnosis HAP ya Penggunaan antibiotik ya tidak Count sblmnya Expected Count tidak 28 48 76 19.0 57.0 76.0 4 48 52 13.0 39.0 52.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Count Expected Count Total Count Expected Count Total Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 .000 12.480 1 .000 15.721 1 .000 13.992 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .000 N of Valid Cases 128 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Penggunaan antibiotik sblmnya (ya / tidak) 7.000 Lower 2.281 Upper 21.485 .000 For cohort Diagnosis HAP = 4.789 1.786 12.844 .684 .567 .826 ya For cohort Diagnosis HAP = tidak N of Valid Cases 128 Penggunaan Antibiotik lebih dari 1 minggu Crosstab Diagnosis HAP ya penggunaan AB > 1 minggu AB lebih dari 7 hari tidak Count Expected Count AB kurang atau sama 21 31 52 13.0 39.0 52.0 11 65 76 19.0 57.0 76.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Count dengan 7 hari Expected Count Total Count Expected Count Total Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 .001 9.717 1 .002 10.958 1 .001 11.055 b Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .002 N of Valid Cases 128 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for penggunaan AB > 1 minggu (AB lebih dari 7 hari / AB kurang atau sama dengan 7 hari) 4.003 Lower 1.718 Upper 9.325 .001 For cohort Diagnosis HAP = 2.790 1.473 5.284 .697 .547 .888 ya For cohort Diagnosis HAP = tidak N of Valid Cases 128 Penggunaan Antibiotik lebih dari 2 minggu Crosstab Diagnosis HAP ya penggunaan AB . 14 hari AB > 14 hari AB kurang dari atau sama dgn 14 hari Total Count 15 9 24 Expected Count 6.0 18.0 24.0 Count 17 87 104 26.0 78.0 104.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total tidak Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 .000 19.761 1 .000 19.567 1 .000 22.154 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .000 N of Valid Cases 128 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.00. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper .000 Odds Ratio for penggunaan 8.529 3.213 22.641 3.824 2.242 6.521 .448 .266 .757 AB . 14 hari (AB > 14 hari / AB kurang dari atau sama dgn 14 hari) For cohort Diagnosis HAP = ya For cohort Diagnosis HAP = tidak N of Valid Cases 128 Rawat inap lebih dari 3 minggu Rawat inap 3 minggu sblm diagnosis HAP * Diagnosis HAP Crosstabulation Diagnosis HAP HAP Rawat inap 3 minggu sblm > 3 minggu diagnosis HAP < 3 minggu Total Count 18 21 39 Expected Count 9.8 29.3 39.0 Count 14 75 89 22.3 66.8 89.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total Tidak HAP Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 .000 11.813 1 .001 12.663 1 .000 13.386 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .001 N of Valid Cases 128 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9.75. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Lower Upper .000 Odds Ratio for Rawat inap 3 4.592 1.963 10.740 2.934 1.629 5.284 .639 .471 .866 minggu sblm diagnosis HAP (> 3 minggu / < 3 minggu) For cohort Diagnosis HAP = HAP For cohort Diagnosis HAP = Tidak HAP N of Valid Cases 128 Status Gizi Buruk Crosstab Diagnosis HAP ya Status gizi buruk ya tidak Count Total 9 17 26 Expected Count 6.5 19.5 26.0 Count 23 79 102 25.5 76.5 102.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total Tidak Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (1- sided) sided) sided) 1 .205 1.030 1 .310 1.527 1 .217 Fisher's Exact Test N of Valid Cases Exact Sig. (2- a 1.609 b df Asymp. Sig. (2- .213 128 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6.50. .155 Crosstab Diagnosis HAP ya Status gizi buruk ya Count tidak Total 9 17 26 Expected Count 6.5 19.5 26.0 Count 23 79 102 25.5 76.5 102.0 32 96 128 Expected Count Total Tidak Count b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Status gizi Lower Upper 1.818 .716 4.618 1.535 .810 2.909 .844 .626 1.138 buruk (ya / tidak) For cohort Diagnosis HAP = ya For cohort Diagnosis HAP = tidak N of Valid Cases 128 Penurunan kesadaran Crosstab Diagnosis HAP ya Penurunan kesadaran ya tidak Count Total 7 6 13 Expected Count 3.3 9.8 13.0 Count 25 90 115 28.8 86.3 115.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total tidak Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) Df a 1 .011 4.823 1 .028 5.588 1 .018 6.421 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .018 N of Valid Cases .018 128 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.25. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Penurunan Lower Upper 4.200 1.294 13.628 2.477 1.344 4.564 .590 .325 1.069 kesadaran (ya / tidak) For cohort Diagnosis HAP = ya For cohort Diagnosis HAP = tidak N of Valid Cases 128 Penggunaan Antijamur Penggunaan antijamur sblmnya * Diagnosis HAP Crosstabulation Diagnosis HAP ya Penggunaan antijamur ya sblmnya tidak Count Total 8 5 13 Expected Count 3.3 9.8 13.0 Count 24 91 115 28.8 86.3 115.0 32 96 128 32.0 96.0 128.0 Expected Count Total tidak Count Expected Count Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df a 1 .001 8.248 1 .004 8.823 1 .003 10.303 b Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test .004 N of Valid Cases 128 a. 1 cells (25.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 3.25. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for Penggunaan Lower Upper 6.067 1.819 20.232 2.949 1.688 5.152 .486 .243 .973 antijamur sblmnya (ya / tidak) For cohort Diagnosis HAP = ya For cohort Diagnosis HAP = tidak N of Valid Cases 128 .004 Analisis Multivariat Variables in the Equation 95% C.I.for EXP(B) B Step 1 a NGT(1) Upper .567 .114 2.829 .374 .838 .199 1 .655 1.453 .281 7.505 1.099 .601 3.343 1 .067 3.001 .924 9.747 MingguAB(1) .165 .622 .071 1 .791 1.180 .349 3.991 Minggu2AB(1) 1.575 .672 5.489 1 .019 4.831 1.294 18.045 PenurunanGCS(1) .507 .936 .293 1 .588 1.660 .265 10.398 Giziburuk(1) .064 .769 .007 1 .934 1.066 .236 4.808 Antijamur(1) .134 .783 .029 1 .864 1.143 .246 5.307 -1.962 .353 30.819 1 .000 .141 -.525 .642 .669 1 .414 .592 .168 2.082 .354 .803 .194 1 .660 1.425 .295 6.878 1.099 .601 3.339 1 .068 3.000 .923 9.746 MingguAB(1) .168 .621 .074 1 .786 1.183 .351 3.994 Minggu2AB(1) 1.581 .669 5.583 1 .018 4.859 1.309 18.031 PenurunanGCS(1) .488 .909 .289 1 .591 1.630 .274 9.675 Antijamur(1) .141 .779 .033 1 .857 1.151 .250 5.298 -1.959 .351 31.209 1 .000 .141 -.530 .640 .686 1 .407 .588 .168 2.063 .362 .804 .203 1 .652 1.436 .297 6.938 1.136 .564 4.060 1 .044 3.115 1.031 9.410 MingguAB(1) .156 .617 .064 1 .800 1.169 .349 3.915 Minggu2AB(1) 1.627 .620 6.873 1 .009 5.087 1.508 17.166 .489 .910 .288 1 .591 1.630 .274 9.696 -1.960 .351 31.245 1 .000 .141 -.519 .643 .652 1 .419 .595 .169 2.097 .363 .807 .202 1 .653 1.437 .295 6.989 1.183 .536 4.878 1 .027 3.264 1.142 9.325 NGT(1) Constant NGT(1) RawatPICU(1) Rawat3minggu(1) PenurunanGCS(1) Constant a Lower .489 Rawat3minggu(1) Step 4 Exp(B) 1 RawatPICU(1) Step 3 Sig. .478 Constant a df .820 Rawat3minggu(1) Step 2 Wald -.567 RawatPICU(1) a S.E. NGT(1) RawatPICU(1) Rawat3minggu(1) Minggu2AB(1) 1.695 .562 9.099 1 .003 5.447 1.811 16.389 .531 .900 .348 1 .555 1.701 .291 9.927 -1.928 .324 35.341 1 .000 .145 NGT(1) -.502 .639 .616 1 .433 .605 .173 2.120 Rawat3minggu(1) 1.185 .533 4.943 1 .026 3.272 1.151 9.302 Minggu2AB(1) 1.702 .560 9.239 1 .002 5.483 1.830 16.426 .728 .782 .867 1 .352 2.072 .447 9.600 -1.913 .322 35.272 1 .000 .148 Rawat3minggu(1) 1.008 .482 4.385 1 .036 2.741 1.067 7.045 Minggu2AB(1) 1.657 .552 9.025 1 .003 5.243 1.779 15.454 .474 .697 .462 1 .497 1.606 .410 6.299 -1.948 .320 37.052 1 .000 .142 Rawat3minggu(1) 1.034 .480 4.654 1 .031 2.814 1.099 7.201 Minggu2AB(1) 1.771 .529 11.225 1 .001 5.875 2.085 16.553 -1.925 .317 37.001 1 .000 .146 PenurunanGCS(1) Constant Step 5 a PenurunanGCS(1) Constant Step 6 a PenurunanGCS(1) Constant Step 7 a Constant a. Variable(s) entered on step 1: NGT, RawatPICU, Rawat3minggu, MingguAB, Minggu2AB, PenurunanGCS, Giziburuk, Antijamur.