efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas

advertisement
TESIS
EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI
KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR
DALAM PRAKTEK PERBANKAN
DI KOTA DENPASAR
I PUTU DARMA ADITYA WESTA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
1
2
TESIS
EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI
KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR
DALAM PRAKTEK PERBANKAN
DI KOTA DENPASAR
I PUTU DARMA ADITYA WESTA
NIM. 1192461041
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
3
EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI
KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR
DALAM PRAKTEK PERBANKAN
DI KOTA DENPASAR
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister
pada Program Magister, Program Studi Kenotariatan,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I PUTU DARMA ADITYA WESTA
NIM. 1192461041
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KENOTARIATAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2013
ii
4
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 6 DESEMBER 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
ttd
ttd
Prof. Dr. Ibrahim R.,SH.,M.Hum
NIP.195511281983031003
Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja.,SH.,M.Hum
NIP. 195811151986021001
Mengetahui :
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
ttd
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana,
ttd
Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K)
NIP. 19650221 199003 1 005
NIP. 19590215 198510 2 001
iii
5
TESIS INI TELAH DIUJI
PADA TANGGAL : 15 Nopember 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan
Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana
Nomor 3182/UN 14.4/HK/2013
Tanggal 13 Nopember 2013
Ketua
: Prof. Dr. Ibrahim R., SH., M.Hum
Anggota
1. Dr. Gede Marhaendra Wija Atmadja, SH., M.Hum
2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum
3. Dr. I Nyoman Suyatna., SH.,MH
4. Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH., MH., LLM
6
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini :
Nama
: I PUTU DARMA ADITYA WESTA
NIM
: 1192461041
Program Studi
: Kenotariatan
Judul Tesis
: Efektivitas Pemberian Hak Tanggungan Terhadap Hak Atas
Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum
Terdaftar Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila
dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 07 Nopember 2013
Yang menyatakan,
Meterai 6.000
ttd
(I Putu Darma Aditya Westa)
NIM. 1192461041
iv
7
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatnya penulis dapat
menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “EFEKTIVITAS
PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH
BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR
DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR”. Dalam penulisan
tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan
penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih
Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulisan tesis inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan
dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis
ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ibrahim
R.,SH.,M.Hum. selaku Pembimbing Utama dan Dr. Gede Marhaendra Wija
Atmaja.,SH.,M.Hum. selaku Pembimbing Kedua yang telah meluangkan waktunya
untuk memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis
menyelesaikan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut
Suastika, Sp.PD.-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staff atas
kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada
Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana
v
8
Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas
Udayana. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH selaku Dekan
Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis
untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,
MH selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
Terima kasih penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di
Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
yang telah memberikan ilmu kepada para mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan
Ibu seluruh staf dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas
Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi, bapak
Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Mahabuana, SH beserta seluruh staf kantor, Dek
Oka alias Sentul, Ida Bagus Oka Wijaya, Jik Giri, seluruh teman-teman Bank
Mega, dan seluruh teman-teman Angkatan II Magister Kenotariatan Universitas
Udayana yang telah memberikan bantuan maupun semangat dalam penulisan tesis
ini. Terima kasih juga penulis tujukan kepada ayah dan ibu tercinta, dr. I Wayan
Westa, SpKj dan Ni Putu Darmawati, SH., MH serta adik dan pacar tersayang Ni
Made Kusuma Wardani dan Ni Ketut Apriani, yang dengan sabar mendukung
penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada (alm.) Ninik yang telah memberikan inspirasi untuk menuju
kesuksesan.
Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi
Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan
vi
9
kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang kenotariatan serta berguna
bagi masyarakat.
Denpasar, 07 Nopember 2013
Penulis
vii
10
ABSTRAK
EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK
LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN
DI KOTA DENPASAR
Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar
sebagaimana pendaftaran tersebut merupakan unsur mutlak dari obyek hak
tanggungan, dimungkinkan untuk dibebankan hak tanggungan. Pengecualian itu
tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Meskipun terdapat aturan yang memperbolehkan hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar untuk dijadikan sebagai agunan dengan di
bebankan hak tanggungan, namun terjadi penolakan dari beberapa bank di Kota
Denpasar untuk menerima agunan tersebut, seperti yang terjadi di PT. Bank Mega,
Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar. Hal inilah
yang mendasari penulis untuk meneliti efektivitas pemberian hak tanggungan
terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam
praktek perbankan di Kota Denpasar. Berdasarkan latar belakang masalah
sebagaimana diuraikan diatas, adapun rumusan masalah yang diangkat adalah
sebagai berikut : pertama, bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar dan rumusan masalah kedua,
apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan
terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam
praktek perbankan di Kota Denpasar.
Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan jenis penelitian
hukum empiris atau jenis penelitian sosiolegal research, yang bersifat deskriptif
dengan mepergunakan data primer dan data sekunder. Selain itu teknik
pengumpulan data dalam penulisan tesis ini mempergunakan teknik studi dokumen
dan teknik wawancara. Pengambilan sampel dalam penulisan tesis ini
mempergunakan teknik non probability sampling dengan bentuk purposive
sampling, dalam pengolahan dan analisis data dipergunakan analisis kualitatif.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah tidak efektif, hal ini dilihat dari terjadi penolakan
dari beberapa bank di kota Denpasar untuk menerima agunan berupa hak atas
tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar. Efektivitas suatu
peraturan dapat dianalisis melalui lima faktor yang menjadi elemen kinerjanya
hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau
fasilitas, faktor masyarakat dan yang terakhir adalah faktor kebudayaan.
Kata Kunci : Efektivitas hukum, hak tanggungan, konversi.
viii
11
ABSTRACT
THE EFFECTIVENESS OF GRANTING MORTGAGE OVER LAND
RIGHTS WHICH IS ORIGINATED FROM THE CONVERSION OF
UNREGISTERED OLD RIGHTS IN BANKING PRACTICE IN
THE CITY OF DENPASAR
Land rights is originated from the conversion of unregistered old rights that
such registration is an absolute element of the object of mortgage, it is possible to
be charged as a mortgage. The exception is listed in Article 10 paragraph ( 3 ) of
Law Nomor 4 of 1996 regarding Mortgage of Land including Objects Related to
the Land. Although there are rules that allow land rights originated from the
conversion of unregistered old rights to be used as the collateral to the mortgage
in charge, but there are rejections from some of the banks in the city of Denpasar
to accept such collateral, as happened at PT. Bank Mega Tbk Branch of Denpasar
and PT. Bukopin, Tbk Branch of Denpasar. This is what underlies the authors to
investigate the effectiveness of granting the mortgage over land rights originated
from the conversion of unregistered old rights in banking practice in the city of
Denpasar. Based on the background of the problem as described above, as for the
problem formulations being raised are as follows : first, how is the effectiveness of
implementation of granting mortgage over land rights which is originated from the
conversion of unregistered old rights in banking practice in the city of Denpasar,
and second, what are the factors influencing the effectiveness of granting
mortgage over land rights which is originated from the conversion of unregistered
old rights in banking practice in the city of Denpasar.
The type of research in this thesis writing is using empirical law type of
research or sociolegal type of research, which is descriptive in nature by using
primary data and secondary data. In addition, data collection technique in this
thesis writing is using documentation study technique and interview technique.
Sample collection in this thesis writing is using non probability sampling
technique with the form of purposive sampling, and in data processing and
analysis is using qualitative analysis technique.
The result of this study indicates that Article 10 paragraph ( 3 ) of Law Nomor
4 of 1996 on Mortgage of Land including Objects Related to the Land is
ineffective, it can be seen by rejections of some banks in the city of Denpasar to
accept the collateral in the form of land rights originated from the conversion of
unregistered old rights. The effectiveness of a regulation can be analyzed through
five factors which constitute the performance elements of the law, that is the law
factor itself, the law enforcement factor,the factor of means or facility, the public
factor and the last one is the cultural factor .
Keywords : Law Effectiveness, mortgage, conversion.
ix
12
RINGKASAN
Tesis ini menganalisis mengenai efektivitas pemberian hak tanggungan
terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam
praktek perbankan di Kota Denpasar.
Bab I menguraikan latar belakang masalah berasal dari adanya kesenjangan
antara teori dan kenyataan (das sollen dan das sein) serta alasan pentingnya
pengkajian terhadap efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di
Kota Denpasar. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub.
bab dalam bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, landasan teoritis, dan metode penelitian yang digunakan.
Bab II menguraikan kajian pustaka, berisi tentang tinjauan umum mengenai
hak tanggungan dan tinjauan umum mengenai konversi hak atas tanah serta
beberapa pendapat para ahli hukum mengenai hak tanggungan dan konversi hak
atas tanah.
Bab III pembahasan terhadap permasalahan pertama, yaitu menjelaskan
tentang efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di
Kota Denpasar. Hasil pembahasan dalam bab ini yakni pelaksanaan pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar, dalam praktek perbankan di Kota Denpasar belum efektif dilakukan.
Bab IV pembahasan terhadap rumusan permasalahan kedua yaitu mengenai
faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap
hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek
perbankan di Kota Denpasar. Terdapat lima sub. bab untuk menguraikannya,
pertama faktor hukumnya sendiri, kedua faktor penegak hukum, ketiga faktor
sarana atau fasilitas, keempat faktor masyarakat dan kelima faktor kebudayaan.
Bab V penutup, menguraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun dalam
simpulan, pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal
dari konversi hak lama yang belum terdaftar, dalam praktek perbankan di Kota
Denpasar belum efektif dilakukan. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi
elemen kinerjanya hukum. Sebagai saran, penulis menyarankan perlunya
peningkatan sosialisasi dari pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar tentang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dan Bank sebagai kreditur
tetap harus berhati-hati dalam menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar.
x
13
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DEPAN
SAMPUL DALAM......................................................................................
i
PRASYARAT GELAR...............................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN.........................................................................
iii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..........................................................
iv
UCAPAN TERIMA KASIH.......................................................................
v
ABSTRAK...................................................................................................
viii
ABSTRACT ...............................................................................................…
ix
RINGKASAN..............................................................................................
x
DAFTAR ISI ...............................................................................................
xi
DAFTAR TABEL...........................................................................................
xiv
BAB I
PENDAHULUAN ......................................................................
1
1.1
Latar Belakang Masalah......................................................
1
1.2
Rumusan Masalah...............................................................
10
1.3
Tujuan Penelitian ................................................................
10
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................
11
1.3.2 Tujuan Khusus ...........................................................
11
Manfaat Penelitian ..............................................................
11
1.4.1 Manfaat Teoritis.........................................................
12
1.4.2 Manfaat Praktis ..........................................................
12
Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ........................
12
1.5.1 Landasan Teoritis .......................................................
12
1.5.2 Kerangka Berpikir ......................................................
27
1.4
1.5
xi
14
1.6
BAB II
Metode Penelitian ...............................................................
28
1.6.1 Jenis Penelitian...........................................................
28
1.6.2 Sifat Penelitian ...........................................................
28
1.6.3 Data dan Sumber Data................................................
29
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data .........................................
31
1.6.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian............................
33
1.6.6 Pengolahan dan Analisis Data ....................................
34
KAJIAN PUSTAKA......................................................................
36
2.1
Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan.........................
36
2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah. .....................................................................
36
2.1.2 Pengertian Hak Tanggungan....................................
41
2.1.3 Dasar Hukum Hak Tanggungan...............................
47
2.1.4 Asas-Asas Hak Tanggungan....................................
48
2.1.5 Subyek Hak Tanggungan.........................................
51
2.1.6 Obyek Hak Tanggungan..........................................
52
2.1.7 Pemberian Hak Tanggungan Atas Tanah Berasal
Dari Konversi Hak Lama Yang Belum
Terdaftar……………. .............................................
58
2.1.8 Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan..................
61
Tinjauan Umum Tentang Konversi Hak Atas Tanah
Yang Belum Terdaftar Pada Kantor Pertanahan ..................
64
2.2.1 Pengertian Konversi Hak Atas Tanah ......................
64
2.2.2 Dasar Hukum Konversi Hak Atas Tanah .................
69
2.2.3 Tujuan Konversi Hak Atas Tanah di Indonesia ........
69
2.2
xii
15
BAB III
2.2.4 Syarat-Syarat Pendaftaran Hak Atas Tanah Berasal
Dari Konversi Hak Lama.........................................
70
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBERIAN
HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH
BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM
TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN
DI KOTA DENPASAR .............................................................
75
3.1
3.2
BAB IV
BAB V
Pemberian Kredit Dalam Praktek Perbankan di
Kota Denpasar ....................................................................
75
Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang
Belum Terdaftar Sebagai Agunan Dalam Praktek
Perbankan di Kota Denpasar ..............................................
92
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI
KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR
DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR 124
4.1
Faktor Kaidah atau Aturan Hukum...................................... 130
4.2
Faktor Penegak Hukum....................................................... 141
4.3
Faktor Sarana atau Fasilitas................................................. 147
4.4
Faktor Masyarakat .............................................................. 150
4.5
Faktor Kebudayaan ............................................................. 153
PENUTUP.................................................................................. 156
5.1
Simpulan ............................................................................ 156
5.2
Saran .................................................................................. 157
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 158
DAFTAR INFORMAN
LAMPIRAN
xiii
16
DAFTAR TABEL
Tabel 1
Pengikatan kredit dan Jaminan pada PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar Tahun 2013............................................ 111
Tabel 2
Pengikatan kredit dan Jaminan pada PT. Bank Bukopin,
Tbk Cabang Denpasar Tahun 2013..................................... 111
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bagi manusia tanah mempunyai fungsi yang sangat vital, ini dikarenakan
tanah merupakan tempat bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya.
Tanah merupakan tempat untuk manusia bertempat tinggal dan tanah juga
memberikan penghidupan bagi manusia, karena sangat pentingnya fungsi dari
tanah bagi kehidupan manusia, maka diperlukan kaedah-kaedah hukum yang
mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Di Indonesia pengaturan
tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria, dalam hukum tanah Indonesia dikenal dua kelompok hak
atas tanah atau sering disebut dualisme hukum agraria, antara lain hak-hak atas
tanah yang tunduk kepada hukum barat, yang lazim disebut hak barat dan hak-hak
atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, yang lazim disebut hak Indonesia.
Setiap hak atas tanah yang ada sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria berlaku, baik hak barat maupun hak
Indonesia, oleh ketentuan konversi dalam bagian ke II Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan hapus yang
kemudian dengan berlandaskan ketentuan-ketentuan konversi, harus dikonversi
1
2
kedalam salah satu hak baru menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria.1
Dengan adanya ketentuan tentang konversi tersebut maka Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria bukan saja
mengadakan unifikasi hukum agraria tetapi juga unifikasi hak-hak atas tanah.2
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok
Agraria juga dijelaskan mengenai pendaftaran tanah sebagai bukti kepemilikan
hak atas tanah. Dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, menyebutkan untuk menjamin kepastian
hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik
Indonesia, menurut ketentuan-ketentuan tersebut akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Selain ketentuan konversi, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria juga diatur mengenai berbagai
pengaturan tentang tanah. Salah satunya adalah pengaturan mengenai lembaga
hak jaminan terhadap hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam ketentuan
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok
Agraria, yang berbunyi : Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik,
hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur
1
John Salindeho, 1994, Manusia, Tanah, Hak Dan Hukum, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 4.
2
Boedi Harsono, 1971,UUPA Sejarah Penyusunan Isi Dan Pelaksanaanya,
Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono I), hal. 366.
3
dengan Undang-Undang. Sebelumnya ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, menyatakan : hak
milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Dalam
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok
Agraria, dinyatakan : hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebani hak tanggungan. Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, berbunyi sebagai
berikut : hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.3
Sebagaimana yang dijanjikan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, bahwa akan disediakan
lembaga jaminan yang kuat dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak
tanggungan, maka setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria menjanjikan akan
adanya Undang-Undang tentang hak tanggungan, pada tanggal 9 April 1996 telah
disahkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang telah lama
ditunggu-tungu lahirnya oleh masyarakat.4 Sesungguhnya hak tanggungan ini
dimaksudkan sebagai pengganti lembaga dan ketentuan hypotheek sebagaimana
diatur dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
3
Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika,
Jakarta, hal. 319.
4
Ibid, hal. 316.
4
Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah
diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, yang berdasarkan ketentuan Pasal 57
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria,
diberlakukan hanya untuk sementara waktu sampai menunggu terbentuknya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, sebagaimana dijanjikan oleh
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok
Agraria.5
Secara yuridis, perumusan dan pengertian hak tanggungan tercantum dalam
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang
menyebutkan :
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain.
Dari penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah, dijelaskan bahwa pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi obyek
hak tanggungan haruslah hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
5
Ibid.
5
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang telah terdaftar dan
sifatnya mudah dipindahtangankan.
Terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah
memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan,
sebagaimana pendaftaran tersebut merupakan unsur mutlak dari obyek hak
tanggungan, Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, dimungkinkan pemberian hak tanggungan terhadap hak
atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk
didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan. Ketentuan yang
tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
tersebut menyebutkan :
Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan
tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : yang dimaksud hak lama adalah hak
kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses
administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang
6
harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku.
Meskipun terdapat aturan yang memperbolehkan hak atas tanah yang berasal
dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi
pendaftarannya belum dilakukan untuk dijadikan sebagai agunan dengan di
bebankan hak tanggungan, namun terjadi penolakan dari pihak bank untuk
menerima agunan tersebut. Penolakan penerimaan agunan berupa hak atas tanah
yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk
didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, seperti yang terjadi di
PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang
Denpasar.
Sekalipun dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
tersebut tidak mengutamakan adanya jaminan tambahan di dalam pemberian
kredit, namun pada umumnya dalam rangka mengamankan pemberian kreditnya,
bank meminta debitor untuk memberikan jaminan tambahan dalam bentuk
agunan. Dikarenakan besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank, maka
bank harus benar-benar menerapkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
7
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan yang diperjanjikan.
Agunan didalam pemberian kredit bank tersebut pada hakikatnya berfungsi
untuk menjamin kepastian akan pelunasan utang debitor bila debitor cidera janji
atau dinyatakan pailit. Dari hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak
Achmad Amara Putra, selaku pimpinan kredit PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar, mengatakan tidak semua hak atas tanah dapat diterima sebagai agunan
untuk jaminan tambahan dalam rangka penyaluran kredit. Untuk menghindari
resiko-resiko yang dapat terjadi dan mengamankan bank sebagai kreditor, apabila
agunan yang diajukan debitor berupa hak atas tanah, maka Bank Mega hanya
menerima agunan berupa hak atas tanah yang telah terdaftar dan memiliki tanda
bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Apabila hak atas tanah yang diajukan
sebagai agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat, bank tidak menerima hak atas
tanah tersebut sebagai agunan. Agar agunan berupa hak atas tanah dapat diterima
sebagai agunan untuk jaminan tambahan dalam rangka pemberian kredit, haruslah
hak atas tanah tersebut memenuhi kreteria umum dalam perbankan, seperti harus
marketable atau mudah dijual sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat diikat
secara sempurna, bebas dari sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak
lain baik seluruh maupun sebagian. (wawancara tanggal 02 Mei 2013).
Dari hasil wawancara dengan pihak debitor, yaitu bapak Ir. I Wayan Suantra,
selaku Direktur Utama dari PT. Pesona Dewata, juga menyatakan pernah terjadi
8
penolakan pengajuan agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak
lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya
belum dilakukan, di PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Selain PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar, bank lain juga tidak menerima agunan berupa hak
atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk
didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan sebagai jaminan
tambahan dalam rangka pemberian kredit. Namun masalah penolakan agunan
tersebut telah di selesaikan dengan cara penggantian agunan baru. (wawancara
tanggal 04 Juli 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka menarik untuk dilakukan
penelitian terhadap efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di
Kota Denpasar. Adapun alasan pemilihan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar
sebagai lokasi penelitian utama, dikarenakan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar, pernah terjadi penolakan pengajuan kredit dengan agunan berupa hak
atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor
pertanahan sehingga tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat,
PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar juga memberikan kemudahan dalam
memperoleh data-data otentik yang diperlukan, selain dua alasan tersebut, alasan
lain pemilihan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, sebagai lokasi utama
penelitian, dikarenakan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, juga bersedia
memperkenalkan
Notaris/PPAT
yang
telah
dipercaya
untuk
melakukan
9
pengikatan kredit maupun pengikatan jaminan, seperti pembuatan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan, sehingga nantinya akan diperoleh data primer
yang memang benar-benar otentik baik dari Notaris/PPAT maupun dari PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar sendiri. Disamping itu untuk memperkuat hasil
penelitian, juga dilakukan penelitian pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang
Denpasar sebagai data pembanding dengan data-data yang diperoleh dari tempat
penelitian sebelumnya. Sedangkan pemilihan Kota Denpasar sebagai lokasi
penelitian adalah karena Kota Denpasar adalah domisili penulis pada saat ini.
Dalam penelitian ini, telah dilakukan perbandingan dengan beberapa
penelitian yang sebelumnya juga membahas tentang pembebanan hak tanggungan
oleh bank. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini yaitu :
a. Penelitian dari Maya Yanuar Murcahyati, S.H, Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, dengan judul ”Penjaminan Tanah
Yang Belum Bersertipikat Dengan Hak Tanggungan Di Kota Semarang”,
rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu :
1. Apakah penjaminan dengan obyek tanah yang belum bersertipikat
sudah cukup memberikan kepastian hukum bagi kreditor ?
2. Apakah akibat hukum bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan
apabila penjaminan tidak terbayar (macet) sedangkan sertipikat hak
atas tanah belum selesai pengurusannya ?
b. Penelitian dari Muas Effendi,S.H, Program Pascasarjana Universitas
Sumatra Utara, Medan, 2009, dengan judul ”Peralihan Hak Atas Tanah
10
Yang Belum Bersertipikat Di Kecamatan Medan Johor Dan Pendaftaran
Haknya Di Kantor Pertanahan Medan”, rumusan masalah yang terdapat
dalam penelitian ini yaitu:
1. Mengapa terjadi ketidak seragaman atas peralihan hak atas tanah yang
belum bersertipikat di kecamatan Medan Johor ?
2. Bagaimana bentuk-bentuk surat peralihan hak atas tanah sebagai
landasan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat ?
Dari uraian penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan dalam hal ini maupun
substansi karya tulis yang telah dimuat sebelumnya, sehingga tingkat orisinalitas
penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan
terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ?
1.3 Tujuan Penelitian
Pada pokoknya tujuan penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu,
sebagai berikut :
11
1.3.1. Tujuan Umum :
Secara umum penelitian atas permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya
adalah untuk pengembangan ilmu hukum yaitu di bidang hukum jaminan yang
berkaitan dengan hak tanggungan dalam praktek perbankan.
1.3.2 Tujuan Khusus :
Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik juga
diharapkan mampu untuk :
a. Untuk mendeskripsikan dan mengkaji efektivitas pelaksanaan pemberian
hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama
yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.
b. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan melakukan analisis secara
mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi
hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan oleh dapat memberi manfaat bagi pengembangan
ilmu pengetahuan pada umumya dan mempunyai kegunaan praktis pada
khususnya. Disamping itu juga, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat
baik secara teoritis maupun praktis yaitu :
12
1.4.1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
hukum, khususnya dalam bidang hukum jaminan terutama masalah jaminan di
dalam perkreditan perbankan.
1.4.2 Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman, acuan, dan
panduan bagi Notaris/PPAT dan kalangan Perbankan, khususnya Analis Kredit,
appraisal dan Legal Officer Bank, apabila menerima jaminan berupa hak atas
tanah berasal dari konversi yang belum terdaftar.
1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran
1.5.1 Landasan Teoritis
Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum
umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum,
norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas
permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsepkonsep, maupun asas-asas hukum yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran
penelitian.
1.5.1.1 Teori Hukum
Untuk menjustifikasi dan mengklarifikasi permasalahan penelitian ini,
dipergunakan teori-teori hukum sebagai berikut :
13
1. Teori Sociological Jurisprudence
Teori
sociological
jurisprudence
:
Pendasar
mazhab
sociological
jurisprudence dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrich,
Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini yang
berkembang di amerika : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.6 Mazhab ini
mengetengahkan tentang pentingnya Living Law-hukum yang hidup di dalam
masyarakat.
Kenyataan
yang
hidup
dalam
masyarakat
sering
disebut
sebagai “living law and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin
dalam kehidupan masyarakat.7 Sociological Jurisprudence pada kenyataannya
lebih menekankan pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan
tidak tertulis, fungsi hukum sebagai rekayasa sosial, pembentukan hukum yang
baik dan cara penerapan hukum.8
Teori Sociological Jurisprudence juga dipergunakan dalam penelitian ini,
untuk menjustifikasi bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar.
6
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66.
7
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media,
Jakarta, hal. 19.
8
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra , 2003, Hukum Sebagai Suatu
Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 124.
14
2. Teori Sistem Hukum
Lawrence Friedman menyatakan bahwa, Three Elements of Legal System
adalah tiga komponen dari system hukum. Ketiga komponen yang dimaksud
diantaranya : struktur (structure), substansi (substance), dan kultur (culture) atau
budaya. Menurut pendapat Lawrence Friedman mengenai efektivitas hukum
dikemukakan bahwa hukum sebagai suatu sistem (sub sistem dari sistem
kemasyarakatan) maka hukum mencangkup substansi (substance), struktur
(structure), dan kultur/budaya hukum (legal culture).9 Friedmann menyatakan
bahwa legal systems are of course not static.10 Sistem hukum selalu berkembang
sesuai dengan perkembangan masyarakat.
Teori istem hukum dipergunakan dalam penelitian ini, dikarenakan menurut
penulis, Hak Tanggungan merupakan elemen Substansi (substance) di dalam
sistem hukum. Bila dikaitkan dengan teori sistem hukum yang dikemukakan
Lawrence Friedman ini maka efektif atau tidaknya Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dalam praktek perbankan dapat
dijadikan tolok ukur apakah aturan hukum tersebut telah mencangkup substansi
(substance), struktur (structure), dan kultur/budaya hukum (legal culture).
9
Lawrence Friedmann, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, Cet V, Raja Grafindo Persada, terjemahan Soerjono Soekanto, Jakarta,
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal. 59.
10
Lawrence Friedmann, 1975, The Legal System A Social Science
Persperctive, Russel Sage Foundations, New York, hal.269.
15
Malcolm Walters menyebutkan culture consists of generally shared visions of
meaning, value and preference.11 Penegakan hukum sebagai suatu system
memerlukan sinergi antara komponen-komponennya (subsistem) tersebut diatas.
The union of primary and secondary rules is at the centre of a legal system.12
(sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer sekunder).
3. Teori Keberlakuan Hukum.
Teori Keberlakuan Hukum oleh Sudikno Mertokusumo, kekuatan berlakunya
Undang-Undang ada tiga macam, diantaranya adalah :13
a. Kekuatan berlaku yuridis (Juristiche Geltung) yang artinya Undang-Undang
mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan material dan
formal terbentuknya Undang-Undang itu telah terpenuhi.
b. Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung) yang memiliki arti
bahwa hukum merupakan kenyataan di masyarakat. Kekuatan berlakunya
hukum di dalam masyarakat ada dua macam yaitu :
1.Menurut Teori Kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan
berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
terlepas dari diterima atau pun tidak diterima oleh masyarakat.
11
Malcolm Walters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications,
London, hal.13.
12
Charles Samford, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory,
Basil Blackwell
Ltd, UK, hal. 26.
13
Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar,
Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 94.
16
2. Menurut Teori Pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai
kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga
masyarakat.
c. Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung) yang memiliki arti hukum
mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai
dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi.
Untuk memenuhi tuntutan berlaku filosofis maka harus memasukkan unsur
ideal. Teori Keberlakuan Hukum dipergunakan dalam penelitian ini, untuk
mengklarifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan
pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak
lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar
4. Teori Efektivitas Hukum
Teori Efektivitas Hukum : Menurut Soerjono Sukanto, efektif adalah taraf
sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan
efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai
sasarannya dalam membingbing atau merubah perilaku manusia sehingga menjadi
perilaku hukum.14 Efektif atau tidaknya hukum tertulis atau ketentuan perundangundangan ditentukan oleh lima faktor. Kelima faktor ini secara integrative dan
tersistem akan menentukan apakah sebuah aturan itu dapat efektif berlaku
dimasyarakat atau tidak. Faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang
14
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi,
CV. Ramadja Karya, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hal
80.
17
harus selalu sejalan di dalam pelaksanaannya. Lima faktor yang menjadi elemen
kinerjanya hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor
sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan yang terakhir adalah faktor
kebudayaan.15 Untuk mengkaji efektivitas pelaksanaan Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dalam praktek perbankan, sangatlah
relevan bila dipergunakan lima faktor tersebut diatas sebagai tolok ukur dari
efektivitas pelaksanaan hukum tersebut.
Robert B. Seidman menyatakan tindakan apapun yang diambil baik oleh
pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undangundang
selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya,
ekonomi dan politik, dan lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatankekuatan sosial
itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturanperaturan yang berlaku menerapkan sanksisanksinya, dan dalam seluruh aktivitas
lembaga-lembaga pelaksanaannya.16 Robert B. Seidman juga berpendapat
mengenai bekerjanya hukum diantaranya :17
1) Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang
pemegang peranan itu diharapkan bertindak.
15
Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono
Soekanto III), hal 8.
16
Robert B. Seidman, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis,
PT. Suryandaru Utama, terjemahan Esmi Warrasih, Semarang, hal. 11.
17
Ibid, hal. 12.
18
2) Bagaimana seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai suatu respon
terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang
ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dan lembaga-lembaga
pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatasn sosial, politik dan lainlainnya mengenai dirinya.
3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon
terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum
yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek
ketentuanketentuan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri
mereka serta umpan balik yang datang dari para pemegang peranan.
4) Bagaimana para pembuat undang-undang itu bertindak merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan kompleks ketentuan-ketentuan sosial politik, ideologis dan
lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang
pemegang peranan serta birokrasi.
Berlakunya hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif
yuridis normatif, Filosofis, dan sosiologis. Perspektif yuridis normatif, berlakunya
hukum jika sesuai dengan kaedah yag lebih tinggi (teori Stufenbau dari Hans
Kelsen) atau terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan (teori W.
Zevenbergen). Perspektif filosofis, berlakunya hukum jika sesuai dengan cita-cita
hukum. Sedangkan berlakunya perspektif sosiologis menurut Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto dalam Amiruddin Dan Zainal Asikin, intinya adalah
19
efektivitas hukum.18 Pada dasarnya berlakunya hukum dari perspektif sosiologis
adalah mengenai efektivitas hukum yang akan melihat pengaruh dari kaedah
hukum tersebut.
Menelaah efektivitas suatu perundang-undangan (berlakunya umum) pada
dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Dengan di
undangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, ini berarti
pemberi dan penerima hak tanggungan telah dilindungi secara hukum, namun
masih tetap ada keengganan dari pihak bank sebagai kreditor untuk menerima
agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah
memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan.
Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan
efektivitas pelaksanaan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah dalam praktek perbankan. Ditegakkannya perlindungan hukum
terhadap pembebanan hak tanggungan pada objek hak tanggungan berupa hak atas
tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk
didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan oleh bank sebagai pihak
kreditor, sangatlah dipengaruhi oleh faktor-faktor apakah pihak bank sebagai
kreditor maupun debitor tersebut telah mengetahui perlunya perlindungan hukum
18
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 2004, Pengantar Metode
Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, terjemahan Amiruddin dan Zainal
Asikin, Jakarta, hal 135.
20
terhadap pembebanan hak tanggungan tersebut, juga dapat disebabkan oleh
seberapa besar pemahaman tentang undang-undang dari pihak bank sebagai
kreditor maupun debitor itu sendiri, dan tidak kalah pentingnya apakah ketentuan
itu sudah cukup jelas atau tidak, karena hukum hanya bisa berlaku efektif bila
selaras dengan kehendak masyarakat.
1.5.1.2 Konsep dan Aturan Hukum
Mengenai konsep dan aturan hukum yang dipergunakan dalam mengkaji dan
memecahkan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut :
a. Konsepsi efektivitas hukum
Kata efektivitas secara etemologi, berasal dari kata efektif yaitu terjemahan
dari kata effective dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia diartikan
berhasil, selain itu dalam bahasa Belanda di kenal dengan kata effectief yang
memiliki arti berhasil guna.19 Secara umum, kata efektivitas menunjukkan
keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika
hasilnya semakin mendekati sasaran berarti makin tinggi efektivitasnya.20
Menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok
dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak
hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam
membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku
19
Nurul Hakim, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dengan Lembaga Peradilan”, Serial Online Mei-Juli,
(Cited 2013 Nov. 19), available from : URL : http ://www.badilag.net..
20
Sondang P. Siagian, 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka
Cipta, Jakarta, hal. 24.
21
hukum.21 Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas
suatu hukum ditentukan dari taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum,
termasuk oleh para penegak hukumnya, sehingga dikenal suatu asumsi bahwa
taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indicator berfungsinya suatu
sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut
telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan
menghubungi masyarakat dalam pergaulan hidup.22
b. Hak Tanggungan
Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor
4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah adalah :
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain.
Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah
suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahulu, dengan obyek
21
Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV
Ramadja Karya, Bandung, hal. 80.
22
Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pres,
Bandung, hal. 19.
22
jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UndangUndang Pokok Agraria.23
Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek hak tanggungan yang
bersangkutan harus memenuhi 4 syarat, yaitu :
1. Dapat dinilai dengan uang;
2. Termasuk hak yang didaftarkan dalam daftar umum;
3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan;
4. Memerlukan penunjukan oleh Undang-Undang.24
Berdasarkan persyaratan di atas, tidak semua hak atas tanah yang dimaksud
dalam Undang-Undang Pokok Agraria dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebankan hak tanggungan.25
Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah
telah ditunjuk secara tegas objek dari hak Tanggungan tersebut. Pasal 4 UndangUndang tersebut menyatakan :
(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah :
a. Hak Milik;
b. Hak Guna Usaha;
c. Hak Guna Bangunan;
23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2006, Seri Hukum Harta Kekayaan:
Hak Tanggungan. Kencana, Jakarta, hal. 13.
24
Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008, ”Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan
UUHT”, Paper pada seminar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
hal. 23.
25
Rachmadi Usman, op.cit. hal. 351.
23
(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai
atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak
Tanggungan;
(3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah hak milik akan
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut
bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan
milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas
dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak
Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan
penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang
bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberikan kuasa untuk itu olehnya
dengan akta autentik.
Dalam penjelasan umum dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, Yang dimaksud dengan hak milik, hak guna usaha, dan hak guna
bangunan adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. hak
guna bangunan meliputi hak guna bangunan diatas tanah Negara, di atas tanah hak
pengelolaan, maupun di atas tanah hak milik. Sebagaimana telah dikemukakan
dalam penjelasan umum ayat (5), dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat
dijadikan objek hak tanggungan adalah :
a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dalam daftar
umum, dalam hal ini pada kantor pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan
kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada kreditor
pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada
catatan mengenai Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah dan sertipikat
hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat
mengetahuinya (asas publisitas), dan
24
b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan, sehingga
apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang
dijamin pelunasannya.
Dari penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah,
dijelaskan bahwa pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi obyek hak
tanggungan haruslah hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang telah terdaftar dan
sifatnya mudah dipindahtangankan.
Terhadap hak atas tanah yang belum didaftarkan pada kantor pertanahan dan
belum memiliki tanda bukti hak berupa sertipikat sebagaimana merupakan unsur
mutlak dari obyek hak tanggungan, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, dimungkinkan pemberian
hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan.
Ketentuan yang tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengan Tanah tersebut menyebutkan : apabila objek hak tanggungan berupa hak
atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk
didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak
tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah
yang bersangkutan.
25
Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : yang dimaksud hak lama adalah hak
kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses
administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku.
c. Hak-Hak Atas Tanah Terkait Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok
Agraria
Konversi hak-hak atas tanah ialah perubahan hak atas tanah sehubungan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.26
1.5.1.3 Asas-Asas Hukum
Mengenai asas-asas hukum yang dipergunakan dalam mengkaji dan
memecahkan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut :
26
Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari
Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal. 145.
26
a. Asas-asas umum dalam kaitannya dengan perjanjian, yaitu : Asas kebebasan
berkontrak, asas konsensualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat,
asas persamaan hak, asas keseimbangan dan asas kepastian hukum;
b. Asas-asas hukum yang mendukung Hak Tanggungan, yaitu : Asas hak
didahulukan (preference), asas hak kebendaan, asas spesialitas, asas
publisitas, asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi, asas accessoir, asas
itikad baik;
c. Asas-asas hukum yang mendukung pendaftaran tanah, yaitu : Dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
disebutkan Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas : Azas sederhana,
azas aman, azas terjangkau, azas mutakhir dan azas terbuka.
27
1.5.2 Kerangka Berpikir
Dalam penelitian ini, teoritical framework dapat disajikan dalam gambar
berikut ini:
Gambar
Kerangka berpikir
Pembebanan Hak
Tanggungan Dalam
Praktek Perbankan
Di Kota Denpasar
Pembebanan hak
tanggungan terhadap
hak atas tanah yang
berasal dari konversi
hak lama yang telah
memenuhi syarat untuk
didaftarkan akan tetapi
pendaftarannya belum
dilakukan
Hak atas tanah
berasal dari konversi
hak lama yang belum
terdaftar pada
kantor pertanahan
sehingga tidak
memiliki tanda bukti
hak atas tanah
berupa sertipikat
Dasar Hukum : Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengan Tanah
Efektivitas pelaksanaan pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar dalam praktek perbankan
di Kota Denpasar
Teori Sociological Jurisprudence
Teori Sistem Hukum
Keterangan :
Menyebabkan
Menganalisis
Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas
pemberian hak tanggungan terhadap hak atas
tanah berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar dalam praktek perbankan
di Kota Denpasar
Teori Efektivitas Hukum
Teori Keberlakuan Hukum.
28
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu, penelitian hukum
normatif dan penelitian hukum empiris.27 Jenis penelitian dalam penulisan tesis
ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum empiris atau jenis penelitian
sosiolegal research, yang bersifat deskriptif dengan analisis kualitatif. Penulisan
penelitian ini ditunjang dengan diawali data skunder untuk kemudian dilanjutkan
dengan data primer. Sehingga dapat diartikan penelitian yuridis empiris atau
penelitian sosiolegal research, tetap didasari dengan bertumpu pada premis
normatif sehingga definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan
perundang-undangan untuk kemudian dilihat pada fakta-fakta yang terdapat di
lapangan. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dalam penulisan tesis ini
lebih banyak dilakukan dengan cara melihat dan meneliti fakta – fakta di lapangan
mengenai efektivitas pelaksanaan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah dalam praktek perbankan di kota Denpasar.
1.6.2 Sifat Penelitian
Sifat penelitian mengenai efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak
atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek
perbankan di kota Denpasar, adalah merupakan penelitian yang bersifat deskriptif
27
Soerjono Soekanto, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Jakarta,
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV), hal. 14.
29
yaitu memiliki tujuan untuk menggambarkan apa adanya secara tepat sifat – sifat
suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan
penyebaran sutau gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara
suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.28
1.6.3 Data dan Sumber Data
Berdasarkan jenis sumber datanya, maka penelitian ini mempergunakan dua
jenis sumber data, yaitu :
a. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dan
sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang lain.
Data primer bersumber dari pihak-pihak yang terlibat langsung atau
responden yang didapat pada lokasi penelitian, seperti pada PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang
Denpasar yang pernah melakukan penolakan terhadap pengajuan kredit
dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak memiliki tanda bukti
hak atas tanah berupa sertipikat, selain itu juga diperoleh data primer dari
beberapa Notaris/PPAT di Kota Denpasar yang biasa melakukan
pengikatan kredit dan jaminan pada bank yang bersangkutan dan pihak
kantor pertanahan Kota Denpasar terakhir adalah pihak debitur yang pernah
mengalami penolakan pengajuan kredit.
28
Soerjono Soekanto I, Op.cit, hal 8.
30
b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dengan melakukan
penelitian kepustakaan. Data ini merupakan data yang memiliki kekuatan
ke dalam yang terdiri dari :
1. Bahan-bahan Hukum Primer, yaitu :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
c. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peratiran Dasar
Pokok-pokok Agraria;
d. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
e. Undang-Undang
Nomor
10
tahun
1998
tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan;
f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran
Tanah;
g. Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 3/1997, tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997;
h. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan, Akta Pemberian Haktanggungan, Buku Tanah Hak
Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan;
i. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan
31
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin
Pelunasan Kredit Kredit Tertentu;
j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.
2. Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu :
Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan
hukum primer yang meliputi literatur-literatur, makalah-makalah atau
hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.
3. Bahan-bahan Hukum Tertier, yaitu :
Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi :
a. Kamus Hukum,
b. Kamus Bahasa Indonesia,
c. Kamus Bahasa Ingris-Indonesia
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Dikarenakan jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan
jenis penelitian hukum empiris atau jenis penelitian sosiolegal research, sehingga
dalam teknik pengumpulan data mempergunakan dua teknik yaitu, teknik studi
dokumen dan teknik wawancara (interview).
1. Teknik studi dokumen : dalam setiap penelitian hukum baik penelitian
hukum empiris maupun penelitian hukum normatif, tetap mempergunakan
teknik studi dokumen pada awal penelitian. Ini disebabkan walaupun berbeda
32
namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari
premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan – bahan hukum yang
relevan dengan permasalahan penelitian.
2. Wawancara (interview) : proses tanya jawab dalam penelitian yang
berlangsung secara lisan dengan mana dua orang atau lebih bertatap muka
mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keteranganketerangan.29
Wawancara dilakukan dengan cara menanyakan langsung kepada narasumber
yaitu pimpinan, Staff appraisal dan staff legal dari PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk yang pernah melakukan penolakan
terhadap pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak
memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, selain itu juga diperoleh
dari beberapa Notaris/PPAT yang biasa melakukan pengikatan kredit dan jaminan
pada bank yang bersangkutan, pihak Badan Pertanahan Kota Denpasar dan pihak
debitor yang pernah mengalami penolakan kredit, ini dilakukan untuk
mendapatkan data yang otentik mengenai efektivitas pelaksanaan pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar dan faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah
29
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. H, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi
Aksara, Jakarta, hal. 83.
33
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di
Kota Denpasar. Perolehan data dalam peneltian dilakukan dengan wawancara
dengan pedoman terstruktur dan tidak terstruktur yang dibuat semi terstruktur.
Pedoman terstruktur yakni apabila pedoman tersebut disusun secara rinci,
sedangkan pedoman tidak terstruktur yakni apabila pedoman tersebut hanya
memuat garis besar wawancara. Dalam praktek lebih sering dipergunakan
kombinasi antara kedua macam pedoman tersebut yang bentuknya disebut semistructured.30 Dalam hal ini, diadakan wawancara terstruktur kemudian dari
beberapa
pertanyaan dalam
wawancara diperdalam untuk
mendapatkan
keterangan lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban yang
lebih lengkap dan mendalam tentang masalah yang diteliti.
1.6.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Ronny Hanitijo Soemitro didalam bukunya berjudul metode penelitian hukum
menyatakan bahwa, pada prinsipnya tidak ada peraturan yang ketat secara mutlak
menentukan berapa persen sampel tersebut harus diambil dari populasi.31 Sampel
yaitu bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasinya.32
Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel mempergunakan teknik non
probability sampling, memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk
menentukan pengambilan sampelnya, dengan bentuk purposive sampling dalam
30
Ibid, hal. 32.
Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Metode Penelitian Hukum, Ghalia
Indonesia, Jakarta,
hal. 47.
32
Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ketiga, PT.
Rineka Cipta, Jakarta, hal.79.
31
34
hal ini penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yakni sampel
dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan
sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifatsifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya.
Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara nonprobability
sampling yang mendasarkan pada pertimbangan peneliti dalam menentukan
sendiri responden mana yang dianggap mampu mewakili populasi.33 Adapun
responden dalam penelitian ini adalah PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan
PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar yang pernah melakukan penolakan
terhadap pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak
memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat.
1.6.6 Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data yang dikumpulkan sehingga
siap untuk dianalisis secara kualitatif.34 Selain itu Burhan Ashsofa berpendapat
bahwa yang dimaksudkan dengan metode kualitatif yaitu dengan mengangkat
fenomena yang terjadi di masyarakat melalui penggalian kasus-kasus konkrit dan
keadaan hukum di lapangan yang mana terfokus pada pengkajian terhadap
pemikiran, makna dan cara pandang baik masyarakat, ahli hukum maupun penulis
33
Rianto Adi, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta,
hal. 112.
34
Bambang Waluyo, 1996 , Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. II, Sinar
Grafika, Jakarta., hal. 72.
35
sendiri mengenai gejala-gejala yang menjadi objek penelitian.35 Data yang
diperoleh lalu diproses dengan pengolahan yang selektif, dan selanjutnya data
akan dijabarkan secara secara deskriptif analisis, yaitu dijabarkan dalam bentuk
uraian–uraian yang nantinya dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini.
Bambang Sunggono mengemukakan bahwa deskriptif analitis adalah bahwa
permasalahan yang ada dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian yang berhubungan
dengan teori-teori hukum yang ada sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan
gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.36 Analisis data dilakukan
dengan teknik deskripsi yaitu penggunaan uraian apa adanya terhadap suatu
situasi dan kondisi tertentu, teknik interprestasi yaitu penggunaan penafsiran
dalam ilmu hukum dalam hal ini penafsiran berdasarkan peraturan, teknik evaluasi
yaitu penilaian secara konprehensif terhadap rumusan norma yang diteliti, dan
teknik argumentasi yaitu terkait dengan teknik evaluasi merupakan penilaian yang
harus didasarkan pada opini hukum.
35
Burhan Ashsofa, op.cit, hal. 57.
Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, hal. 134.
36
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan
2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan hak
atas tanah adalah Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berkaitan
dengan Hypotheek dan Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542
sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190.37 Segi
materiilnya mengenai Hypotheek dan Credietverband atas tanah diatur
berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan
Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad
1937 Nomor 190. Yaitu misalnya mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul
dari adanya hubungan hukum itu, mengenai Asas-Asas Hypotheek, mengenai
tingkatan-tingkatan Hypotheek, janji-janji Hypotheek dan Credietverband.
Sedangkan mengenai formilnya dari Hypotheek dan Credietverband yaitu
mengenai
cara
pendaftaran
dan
pembukuan
tanahnya,
cara
pembebanannya/pemberian Hypotheek dan Credietverband dan peralihan
37
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia,
PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal. 99.
36
37
Hypotheek dan Credietverband harus menurut ketentuan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria beserta peraturan-peraturan
pelaksanaannya.38
Menurut ketentuan Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang
dimaksud dengan Hypotheek ialah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak
bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya untuk pelunasan suatu
perutangan/perikatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hypotheek
adalah merupakan hak kebendaan yang dengan sendirinya mengandung ciri-ciri
hak kebendaan yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, dapat
diperalihkan dan lain-lain.39
Menurut ketentuan Pasal 1164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
menjadi obyek Hypotheek yang dapat dibebani Hypotheek ialah :
1. Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah tangankan.
2. Hak memungut hasil (Vruchtgebruik).
3. Hak Opstal dan Hak Erfpacht.
4. Bunga tanah.
5. Bunga sepersepuluh.
6. Bazar-bazar atau pasar-pasar yang diakui Pemerintah beserta hak-hak
istimewa yang melekat padanya.
7. Juga kapal-kapal yang didaftarkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang dapat di Hypotheek (Pasal 314 ayat (1) Kitab Undang-Undang
38
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas
Tanah, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan I) hal. 6.
39
Ibid.
38
Hukum Dagang), hak konsesi pertambangan menurut Pasal 18 Indische
Mynwet, hak konversi menurut Staatsblad 1918 No. 21 jo Nomor 20 dapat
di hypotheek kan.
Mengenai kedudukan Credietverband sebagai hak kebendaan atas tanah
setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria, sebagaimana telah diuraikan bahwa berdasarkan ketentuan
Pasal 51 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria, Credietverband tersebut masih berlaku, sampai hak
tanggungan yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria itu diatur dalam Undang-Undang. Tentu saja
seperti halnya dalam Hypotheek, mengenai Credietverband ini yang masih
berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan lama yaitu Staatsblad 1908 Nomor
542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, itu ialah
mengenai segi materiilnya yaitu mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul
dari adanya hubungan hukum itu, syarat-syarat umumnya dan lain-lain.
Sedangkan mengenai segi formilnya yaitu mengenai cara pembebasan/pemberian
Credietverband dan cara pendaftarannya harus menurut ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, beserta peraturan-peraturan pelaksanaanya
yang lain. Menurut Pasal 1 Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah
diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190 peraturan tentang Credietverband,
yang dimaksud dengan Credietverband ialah hak kebendaan atas benda-benda tak
39
bergerak, yang memberi wewenang kepada yang berhak untuk mengambil
penggantian dari benda-benda itu untuk pelunasan bagi pihutangnya.40
Menurut ketentuan-ketentuan Pasal 3 Staatsblad 1908 Nomor 542
sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, yang dapat
dibebani Credietverband, ialah :
1. Hak Milik Adat atas tanah-tanah domein Negara;
2. Hak Usaha di atas tanah-tanah partikelir;
3. Hak Milik masyarakat hukum adat di atas tanah domein Negara, sepanjang
tanah-tanah itu tidak dipergunakan untuk kepentingan umum;
4. Hak Milik yang tidak terbagi atas tanah-tanah domein Negara yang
dipunyai oleh keluarga-keluarga Indonesia dan Persekutuan Perdata
Indonesia;
5. Bangunan-bangunan atau tanam-tanaman yang ada atau yang masih akan
dibangun /ditanam di atas tanah yang dipunyai dengan Hak Indonesia.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria, mula-mula diadakan pembedaan hak-hak atas tanah yang
dapat dibebani Hypotheek dan Credietverband, yaitu Hypotheek dapat dibebani
atas hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan yang berasal dari konversi
hak-hak barat yaitu konversi dari hak eigendom, hak erfpacht dan hak opstal.
Sedangkan Credietverband dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan
hak guna bangunan yang berasal dari konversi hak atas tanah adat. Kemudian
setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang
40
Ibid, hal. 62.
40
Pembebanan dan Pendaftaran, Hypotheek dan Credietverband dapat dibebankan
pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan baik berasal dari hak-hak
barat maupun hak-hak tanah adat.41
Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
maka Hypotheek yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata,dan Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang
telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Ini dikarenakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dan Credietverband sudah tidak
sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. 42
Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses
pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain
yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat
dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang
berkepentingan. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang
kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan, sebagai
pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband.43
Lahirnya Undang-Undang tentang hak tanggungan karena adanya perintah
dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Didalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
41
Ibid, hal. 63.
Salim HS I, op.cit. hal. 99.
43
Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta,
hal. 3.
42
41
Peraturan Pokok-Pokok Agraria, menyebutkan hak tanggungan yang dapat
dibebankan kepada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, tersebut dalam
Pasal 25, 33, 39 diatur dengan Undang-Undang. Sedangkan Didalam Pasal 57
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria,
menyebutkan Selama Undang-Undang yang mengenai hak tanggungan tersebut
dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan
mengenai Hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 Nomor 542
sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190. Perintah
Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok
Agraria, baru terwujud setelah menunggu selama 36 tahun. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah, ditetapkan pada tanggal 9 April 1996. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, terdiri atas 11 Bab dan 31 Pasal.44
2.1.2 Pengertian Hak Tanggungan.
Djuhaendah Hasan dalam Rachmadi Usman mengatakan istilah hak
tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di dalam
hukum adat istilah hak tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat, juga di beberapa
daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal juga dengan istilah
jonggolan atau istilah ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat
44
Salim HS I, loc.cit.
42
yang obyeknya biasanya tanah atau rumah.45 Istilah hak tanggungan yang berasal
dari hukum adat tersebut, melalui Undang-Undang Pokok Agraria ditingkatkan
menjadi istilah lembaga hak jaminan dalam system hukum nasional kita dan hak
tanggungan sebagai lembaga hak jaminan bagi tanah tersebut diharapkan menjadi
pengganti Hypotheek dari KUHPerdata. Dengan kata lain, lembaga Hypotheek dan
Credietverband akan dijadikan satu atau dilebur menjadi hak tanggungan.46
Kamus besar bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang yang
dijadikan jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau pinjaman
yang diterima. Secara yuridis ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan perumusan
pengertian Hak Tanggungan sebagai berikut :
Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan
tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan
yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lain.
Kemudian ayat 4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah antara lain menyatakan :
Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor
tertentu terhadap kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika menjual melalui
pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan
45
46
Rachmadi Usman, op.cit. hal. 329.
Ibid.
43
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu
daripada kreditor-kreditor lain.
Hak tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan
kepada kreditor tertentu pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lain.
Jaminan yang diberikan, yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditorkreditor lainnya bagi kreditor (pemegang hak tanggungan).47
Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak
tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu,
dengan obyek jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau
Undang-Undang Pokok Agraria.48
Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan
berikut ini.49
1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah.
Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan
yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi
wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang
tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan
mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya
47
Ibid, hal. 332.
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, loc.cit.
49
Salim HS I, op.cit. hal. 96.
48
44
tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain (droit de
preference). Selain berkedudukan mendahulu, kreditor pemegang hak
jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan
tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada
pihak lain (droit de suite).
2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang
merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak
tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi
dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di
atasnya.
3. Untuk pelunasan hutang tertentu, maksudnya untuk pelunasan hutang
tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar
hutang-hutang debitor yang ada pada kreditor.
4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu
terhadap kreditor-kreditor lainnya.
Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini
di tegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1)
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang berbunyi :
Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak
untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum
menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari
hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor
lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditor pemegang hak
tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah.
45
Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditor bukan pemegang hak
tanggungan.50 Budi Harsono dalam Salim mengartikan hak tanggungan adalah :
Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu
mengeanai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik
dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitor cedera janji dan
mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas
hutang debitor kepadanya.
Esensi dari defnisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah
pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan wewenang
untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditor bukan
untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya jika debitor cedera janji.51
Menurut Herowati Poesoko yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah
hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan
kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut, terdapat unsur-unsur esensial, yang
merupakan sifat dan ciri-ciri dari hak tanggungan, yaitu :52 lembaga hak jaminan
untuk pelunasan utang tertentu, pembebanannya pada hak atas tanah, berikut atau
50
Salim HS, Ibid, hal. 97.
Ibid.
52
Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan
(Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Cet I,
LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 87.
51
46
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan
memberikan kedudukan yang preferent kepada kreditornya.
Dari uraian dan paparan diatas, dapatlah dikemukakan ciri hak tanggungan.
Ciri hak tanggungan adalah :53
1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada
pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference;
2. selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu
berada atau disebut dengan droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan
dalam Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah. Biarpun objek hak tanggungan sudah
dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditor pemegang hak tanggungan
tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika
debitur cedera janji;
3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak
ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan;
4. mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan
kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi.
Selain ciri-ciri diatas, keistimewaan kedudukan hukum kreditor pemegang
hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang
53
Salim HS I, op.cit. hal. 98.
47
Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Pasal 21 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 berbunyi : apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan
pailit, obyek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak
tanggungan, sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan obyek hak tanggungan itu.
2.1.3 Dasar hukum hak tanggungan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah, merupakan dasar hukum
yang mengatur lembaga hak jaminan atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai
pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria. Sebagai tindak
lanjutnya Undang-Undang Hak Tanggungan, berturut-turut lahirnya ketentuan
yang mengatur hak tanggungan tersebut, di antaranya:
1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak
Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan;
2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan
Kredit-Kredit Tertentu;
3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Peratanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan;
48
4) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor
630.1-1826 tertanggal 26 mei 1996 perihal Pembuatan Buku Tanah dan
Sertifikat Hak Tanggungan;
5) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
110-1544 tertanggal 30 mei 1996 perihal Penyampaian Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996
tentang Pendaftaran Hak Tanggungan54
2.1.4 Asas-asas hak tanggungan.
Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, terdapat
beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas tersebut dapat disajikan sebagai
berikut :
1. Mempunyai kedudukan yang di utamakan bagi kreditur pemegang Hak
Tanggungan. Asas ini terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
2. Tidak dapat di bagi-bagi. Asas ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
3. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada. Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
54
Rachmadi Usman, op.cit. hal. 317.
49
4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang
berkaitan dengan tanah tersebut. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah;
5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru
akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
Yang Berkaitan Dengan Tanah, dengan syarat diperjanjikan secara tegas;
6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan/Accessoir. Asas ini terdapat pada
Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang
Berkaitan Dengan Tanah;
7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada. Asas ini terdapat
pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah;
8. Dapat menjamin lebih dari satu utang, asas ini terdapat pada Pasal 3 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
9. Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada. Asas ini terdapat
pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah;
50
10. Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan;
11. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu. Asas ini terdapat pada Pasal
8, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah;
12. Wajib didaftarkan. Asas ini terdapat pada Pasal 13 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah;
13. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti;
14. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu. Asas ini terdapat
pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan
Tanah;
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, ditentukan juga
suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki
oleh pemegang hak tanggungan, bila pemberi hak tanggungan cedera janji.
Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum,
artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan
dengan substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.55
55
Salim HS I, op.cit. hal. 102.
51
2.1.5 Subyek hak tanggungan.
Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dalam kedua Pasal itu ditentukan
bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembebanan hak tanggungan
adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak
tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan. Pemegang
hak tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan
sebagai pihak berpiutang.56
1. Pemberi Hak Tanggungan
Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah menyatakan : pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan
atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan
hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan.
Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah di atas, dapat diketahui siapa yang menjadi pemberi hak
tanggungan dan mengenai persyaratannya sebagai pemberi hak tanggungan.
Sebagai pemberi hak tanggungan tersebut, bisa orang perorangan atau badan
hukum dan pemberinya pun tidak harus debitor sendiri, bisa saja orang lain atau
56
Salim HS I, op.cit. hal. 103.
52
bersama-sama dengan debitor, dimana bersedia menjamin pelunasan utang
debitur. Pada prinsipnya setiap orang perseorangan maupun badan hukum dapat
menjadi pemberi hak tanggungan, sepanjang mereka mempunyai kewenangan
hukum untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah yang akan
dijadikan sebagai jaminan bagi pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan.
2. Penerima dan pemegang hak tanggungan
Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi penerima dan pemegang hak
tanggungan, baik orang perseorangan maupun badan hukum, yang berkedudukan
sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah menyatakan : pemegang hak tanggungan adalah orang
perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang
berpiutang.
Menurut Boedi Harsono dalam Rachmadi Usman, mengatakan kreditor
berkedudukan sebagai penerima hak tanggungan setelah dibuatnya Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Setelah dilakukan pembukuan hak tanggungan yang
bersangkutan dalam buku tanah hak tanggungan, penerima hak tanggungan
menjadi pemegang hak tanggungan.57
2.1.6 Obyek hak tanggungan.
Dari pengertian Hak Tanggungan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah, dapat diketahui bahwa pada dasarnya benda yang
57
Rachmadi Usman op.cit. hal. 397.
53
dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan atau benda yang
menjadi obyek dari hak tanggungan itu adalah tanah atau hak-hak atas tanah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria.
Jaminan berupa tanah merupakan obyek jaminan yang paling disukai oleh
pihak kreditor, karena dapat memberikan keamanan bagi kreditor dari segi
hukumnya maupun dari nilai ekonomisnya yang pada umumnya meningkat terus.
Namun, tidak semua hak atas tanah dapat menjadi jaminan utang dengan dibebani
hak tanggungan, hanya hak atas tanah atau benda yang memenuhi persyaratan
sebagaimana dibawah ini :
1. hak atas tanah yang hendak dijaminkan dengan utang harus bernilai
ekonomis, bahwa hak atas tanah yang dimaksud dapat dinilai dengan uang,
sebab utang yang dijamin berupa uang;
2. haruslah hak atas tanah yang menurut peraturan perundang-undangan
termasuk hak atas tanah wajib didaftarkan dalam daftar umum sebagai
pemenuhan asas publisitas, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya;
3. menurut sifatnya, hak-hak atas tanah tersebut dapat dipindahtangankan,
sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar
utang yang dijamin pelunasannya;
4. hak atas tanah tersebut ditunjuk atau ditentukan oleh Undang-Undang.
Berdasarkan persyaratan di atas, tidak semua hak atas tanah yang dimaksud
dalam Undang-Undang Pokok Agraria dapat dijadikan jaminan utang dengan
dibebankan hak tanggungan.58
58
Ibid, hal 351.
54
Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan
Tanah telah ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan
jaminan hutang. Ada lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak
Tanggungan, yaitu : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai
baik hak milik maupun hak atas negara dan hak atas tanah berikut bangunan,
tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan
dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang
pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas
tanah yang bersangkutan.
Penjelasan mengenai hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, adalah sebagai
berikut :
1. Hak milik : Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria : hak milik
adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal
20 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria : hak milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Pokok
Agraria : hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan
pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria : Pendaftaran termaksud dalam ayat (1)
merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta
55
sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 25 Undang-Undang
Pokok Agraria : hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani
hak tanggungan.
2. Hak guna usaha : Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria: Hak
guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29,
guna perusahaan pertanian, perikanan atau perternaka. Pasal 28 ayat (2)
Undang-Undang Pokok Agraria: Hak guna usaha diberikan atas tanah
yang luasanya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika
luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak
dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman.
Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria: hak guna usaha dapat
beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Agraria: hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya,
demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus
didaftarakan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria: Pendaftaran termaksud
dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan
serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal-hak itu hapus karena
jangka waktunya berakhir. Pasal 33 Undang-Undang Pokok Agraria : Hak
guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak
tanggungan.
56
3. Hak Guna Bangunan : Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria:
hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun. Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang
Pokok Agraria : Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat
keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut
dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun.
Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria: hak guna bangunan
dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 38 ayat (1) UndangUndang Pokok Agraria: Hak guna bangunan, termasuk syarat-sayarat
pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut
harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19. Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria : Pendaftaran
termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai
hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali
dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 39
Undang-Undang Pokok Agraria : hak guna bangunan dapat dijadikan
jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
4. Hak Pakai : Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, hak pakai
adalah hak untuk menggunakan dan/atau memunguthasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya
oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian
57
dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau
perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa adan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Pokok Agraria : sepanjang mengenai tanah yang
dikuasai oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak
lain dengan izin pejabat yang berwenang. Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Pokok Agraria : hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan
kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang
bersangkutan.
Pembebanan hak tanggungan atas tanah hak pakai, dalam ketentuan Pasal 4
ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah memberikan
kemungkinan pembebanan hak tanggungan sebagai jaminan utang dengan hak
pakai atas tanah dan itupun terbatas kepada hak pakai atas tanah tertentu. Sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, hak pakai atas tanah yang dapat menjadi objek hak tanggungan
adalah hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib
didaftarkan, dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Jadi, tidak semua hak
pakai atas tanah negara dapat dibebani dengan hak tanggungan, hanya hak pakai
atas tanah negara yang terdaftar dan karena sifatnya dapat dipindah tangankan
yang dapat dibebani hak tanggungan. Terhadap “hak pakai atas tanah milik, sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
58
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, pembebanannya dengan hak tanggungan akan diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.59
2.1.7 Pemberian hak tanggungan atas tanah berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar.
Pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi objek hak tanggungan
haruslah hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria, yang sudah terdaftar dan sifatnya dapat
dipindahtangankan. Namun persyaratan tersebut dapat dikecualikan, terhadap hak
atas tanah yang berasal dari konversi hak lama dan belum didaftar secara hukum
dimungkinkan dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak
tanggungan. Pengecualian dimaksud ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang menyatakan :
Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan
tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, menyebutkan : Yang dimaksud hak lama adalah hak kepemilikan
atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi
dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi
59
Ibid, hal. 358.
59
adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, secara hukum dimungkinkan pemberian hak
tanggunghan terhadap hak atas tanah yang bersal dari konversi hak lama yang
sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan.
Jadi tanah-tanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria,
sementara proses administrasinya belum selesai dilaksanakan, dimungkinkan
dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.60
Demikian dahulu dibawah lembaga Hypotheek dan Credietverband,
dimungkinkan juga adanya pemberian Hypotheek dan Credietverband atas tanahtanah hak adat yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 15
Tahun 1961 sebagai berikut :
Mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha,
yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pembebanan Hypotheek dan
Credietverband itu dapat dilakukan bersamaan dengan permintaan untuk
membukukan tanahnya menurut Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut.
60
Ibid, hal. 405.
60
Dari ketentuan dalam dan penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah, diketahui bahwa pemberian hak tanggungan
terhadap tanah-tanah hak atas adat yang berasal dari konversi yang telah
memenuhi syarat untuk didaftarkan dapat dilakukan asalkan hal itu dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor
Pertanahan.61
Dengan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, berarti pemberian hak tanggungan dan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan dapat dilakukan dalam keadaan tanah yang dijadikan Objek hak
tanggungan belum bersertipikat. Permohonan pendaftaran atas tanah tersebut
diajukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak tanggungan yang
bersangkutan. Dengan demikian pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan,
tidak perlu menunggu sampai hak atas tanah yang dijadikan jaminan bersertipikat
atas nama pemberi hak tanggungan.62
Dalam Penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, dinyatakan antara lain, bahwa kemingkinan untuk pemberian hak
tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk :63 memberi
61
Ibid.
Ibid.
63
Ibid.
62
61
kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat untuk
memperoleh kredit dan mendorong pensertipikatan hak atas tanah pada umumnya.
Menurut Abdurrahman dalam Rachmadi Usman, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, bukan saja bermaksud untuk memperlancar arus
perkreditan, yang berarti juga menunjang misi perbankan, akan tetapi juga
menekankan aspek kepastian hukum, yaitu keharusan untuk didaftar dan dengan
sendiri juga mempunyai pengaruh untuk lebih mendorong kegiatan pendaftaran
tanah di Negara Indonesia.64
2.1.8 Tata cara pendaftaran hak tanggungan.
Sebelum dilakukannya pendaftaran hak tanggungan pada kantor Pertanahan,
untuk membebankan hak tanggungan pada hak atas tanah sebagai jaminan hutang,
terlebih dahulu harus melalui tata cara pemberian hak tanggungan. Pemberian atau
pembebanan hak tanggungan tersebut didahului dengan pembuatan perjanjian
utang-piutang antara debitur dan kreditor. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1)
dinyatakan bahwa sesuai dengan sifat accesoir pemberiannya harus merupakan
ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan
hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan
hubungan utang-piutang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dibuat
dengan akta otentik, tergantung pada kesepakatan pihak kreditor dan debitor yang
bersangkutan.
64
Rachmadi Usman, Ibid , hal. 406.
62
Oleh dikarenakan pembebanan hak tanggungan didahului dengan pembuatan
perjanjian utang-piutang antara debitor dan kreditor atau hak tanggungan itu lahir
dari perjanjian dimana nantinya perjanjian itu akan menimbulkan perikatan
diantara pihak-pihak, maka sudah sepantasnya perjanjian utang-piutang antara
debitor dan kreditor harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dalam Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat sahnya
perjanjian.
Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:65
1. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3. Suatu hak tertentu yang diperjanjikan;
4. Suatu sebab (“oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang.
Mengenai tata cara pemberian hak tanggungan ini telah diatur dalam Pasal 10
dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dalam Pasal 10
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata cara pemberian hak
tanggungan secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 diatur tentang pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan oleh
pemberi hak tanggungan kepada penerima kuasa.
Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Akta Pemberian Hak
65
Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVIII, PT Intermasa,
Jakarta, hal 134.
63
tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan. Secara sistematis tata cara
pendaftaran dikemukakan sebagai berikut:66
1. Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan;
2. PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian hak
tanggungan wajib mengirimkan akta pendaftaran hak tanggungan dan
warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan;
3. Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan
mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak
tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan;
4. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah
penerimaan
secara
lengkap
surat-surat
yang
diperlukan
bagi
pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang
bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya;
5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan
dibuatkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996);
6. Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak
Tanggungan memuat irah-irah dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan. Sertifikat
hak tanggungan diberikan kepada pemegang hak tanggungan.
66
Ibid , hal. 179.
64
2.2 Tinjauan Umum Tentang Konversi Hak Atas Tanah Yang Belum
Terdaftar Pada Kantor Pertanahan
2.2.1 Pengertian konversi hak atas tanah.
Konversi hak-hak atas tanah ialah perubahan hak atas tanah sehubungan
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.67
Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu : A.P.
Parlindungan menyatakan: “Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak-hak
tanah yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok Agraria untuk masuk dalam system dari Undang-Undang
Pokok Agraria tersebut.68 Boedi Harsono dalam Adrian Sutedi juga berpendapat :
konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.69 Y.W.
Sunindhia dan Ninik Widiyanti mengartikan konversi itu adalah perubahan suatu
hak tertentu kepada suatu hak lain, jadi ada peralihan atau perubahan dari hak-hak
atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah yang lain.70
67
Effendi Perangin, op.cit. hal. 145.
Parlindungan A.P, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet II, Mandar
Maju, Bandung, hal. 1.
69
Boedi Harsono dalam Adrian Sutedi, op.cit. hal. 125.
70
Sunindhia Y.W dan Ninik Widiyanti, 1988, Pembaharuan Hukum Agraria.
Bina Aksara, Jakarta, hal. 192.
68
65
John Salindeho mengatakan hak-hak atas tanah, baik yang tunduk pada
hukum barat maupun hukum Indonesia, dinyatakan hapus, yang kemudian dengan
berlandaskan pada ketentuan-ketentuan konversi maka hak-hak itu, ”harus
dikonversikan kedalam salah satu hak baru menurut hukum adat dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria”.71 Eko Yulian Isnur
memberikan pengertian konversi yakni, ”perubahan status dari hak atas tanah
menurut hukum agraria sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, menjadi hak atas tanah menurut ketentuan
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria”. 72
Dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah
adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama, yaitu
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria menjadi status yang baru, sebagaimana diatur menurut Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria itu sendiri. Adapun yang
dimaksud dengan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan tunduk pada hukum adat dan
hukum barat.73
Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, dalam Hukum Tanah dikenal dua kelompok hak atas
tanah atau sering disebut dualisme Hukum Agraria yaitu :
71
John Salindeho, op.cit. hal. 4.
Eko Yulian Isnur, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan
Tanah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,hal. 41.
73
Adrian Sutedi,op.cit hal. 125.
72
66
1. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum barat, yang lazim disebut
hak barat. Mengenai tanah yang tunduk kepada hukum barat tersebut
banyak macam haknya. Antara lain hak eigendom, hak erfpacht dan hak
opstal.
2. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, yang lazim disebut
hak Indonesia. Mengenai tanah yang tunduk kepada hukum adat tersebut
lebih banyak lagi macam haknya. Antara lain hak eigendom, agrarisch
eigendom, hak Milik (adat), jasan, anderbeni, hak atas druwe, hak atas
druwe desa, pesini, grant Sultan, landderijenbezitrecht,altijddurende
erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, hak gogolan yang bersifat
tetap, wewenang nganggo run temurun, Vruchtgebruik, gebruik,
grantcontroleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok,
lungguh, pituwas, gogolan yang bersifat tidak tetap, hak eigendom
kepunyaan negara-negara asing, jika tanahnya dipergunakan untuk gedung
kedutaan atau rumah kepala perwakilannya.74
Selain dua kelompok itu ada lagi yang tunduk kepada hukum yang diciptakan
pemerintah Belanda dahulu, tetapi dalam rangka konversi dimasukkan ke dalam
kelompok hak Indonesia, yaitu hak agrarisch eigendom, hak erfpact yang
altijddurend dan landerijen bezitrecht.
Setiap hak atas tanah yang ada sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berlaku, baik hak barat
maupun hak Indonesia, oleh ketentuan-ketentuan konversi dalam bagian ke dua
74
Effendi Perangin, op.cit, hal. 147.
67
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok
Agraria diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang disebut dalam hukum tanah
yang baru. Prinsipnya ialah, bahwa hak yang lama diubah menjadi hak yang baru
yang sama atau hampir sama wewenang pemegang haknya. Dengan adanya
ketentuan tentang konversi pada bagian ke dua maka Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Praturan dasar Pokok-Pokok Agraria bukan saja mengadakan
unifikasi hukum agraria, tetapi juga unifikasi hak-hak atas tanah. Seperti disebut
diatas hak-hak lama dikonversi menjadi hak baru yang wewenang pemegang
haknya sama atau hampir sama. Pada garis besarnya, hak-hak yang memberi
wewenang yang sama atau hampir sama dengan hak milik menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
dikonversi menjadi hak milik.
Menurut Ketentuan-ketentuan konversi dalam bagian ke dua Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak-hak
lama yang dikonversi menjadi :
1. Hak milik : hak eigendom, agrarisch eigendom, hak Milik (adat), jasan,
anderbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan,
landderijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah
partikelir, hak gogolan, pekulen atau sanggahan yang bersifat tetap,
wewenang nganggo run temurun. namun apabila hak-hak tersebut
kepunyaan orang asing, warga negara yang disamping kewarganegaraan
indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang
tidak ditunjuk oleh pemerintah, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) ketentuan-
68
ketentuan konversi bagian ke dua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak-hak tersebut diatas
akan menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan
peruntukan tanahnya, seperti yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh
Menteri Agraria.
2. Hak Guna Usaha : hak erfpacht untuk perkebunan besar.
3. Hak Guna Bangunan : hak opstal, hak erfpacht untuk perumahan dan hak
eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara disamping
kewarganegaraan indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan
badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh pemerintah.
4. Hak Pakai : Vruchtgebruik, gebruik, grantcontroleur, bruikleen, ganggam
bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, gogolan, pekulen atau
sanggahan yang bersifat tidak tetap, hak eigendom kepunyaan Pemerintah
negara asing, jika tanahnya dipergunakan untuk gedung kedutaan atau
rumah kepala perwakilannya. Namun jika ada keraguraguan apakah
sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggahan bersifat tetap atau tidak
tetap, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) ketentuan-ketentuan konversi bagian ke
dua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.75
Kemudian ada pula konversi yang tidak menuju pada satu hak yang tertentu.
Misalnya hak agrarisch eigendom yang dipunyai oleh orang asing. Menurut Pasal
II ayat 2 Ketentuan-ketentuan konversi dalam bagian ke dua Undang-Undang
75
Suasthawa Dharmayuda, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah
Berlakunya UUPA, CV. Kayu Mas Agung, Denpasar, hal. 35.
69
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak tersebut
bisa menjadi hak guna usaha akan tetapi bisa juga menjadi hak guna bangunan,
tergantung pada peruntukan tanahnya. Selain dari pada itu tidak semua hak lama
di konversi menjadi salah satu hak baru. Hak erfpacht untuk pertanian kecil tidak
dikonversi, bahkan dengan Pasal 3 ayat (2) Ketentuan-ketentuan konversi dalam
bagian ke dua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan hapus.
2.2.2 Dasar hukum konversi hak atas tanah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok
Agraria mengatur ketentuan konversi dalam bagian ke dua, yaitu Pasal I sampai
IX. Ini peraturan pokok. Peraturan pelaksanaannya antara lain : untuk hak barat
adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 tahun 1960,
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 5 tahun 1960,
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 13 tahun 1961,
PMDN Nomor 2 tahun 1970, SK MDN Nomor Sk. 53/DDA/1970, dan Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 7 tahun 1965. Sedangkan untuk
Hak Indonesia adalah PMPA Nomor 2 tahun 1962 dan SKMDN Nomor 26 tahun
1970.
2.2.3 Tujuan konversi hak atas tanah di Indonesia.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Pokok-Pokok Agraria yang menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hanya
ada satu system hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak
atas tanah yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria harus
70
disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam Undang-Undang
Pokok Agraria melalui lembaga konversi. Jadi, dengan demikian tujuan
konversinya hak-hak atas tanah pada hak-hak atas tanah menurut sistem UndangUndang Pokok Agraria disamping untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan
di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan
menurut ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan
untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu
dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur
sebagaimana yang di cita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat
(3).76
2.2.4 Syarat-syarat pendaftaran hak atas tanah berasal dari konversi hak lama.
Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat
terhadap hak atas tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara
sah. Pengertian pendaftaran tanah yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh
pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi
pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data
fisik dan yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah
dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi
bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah
susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.77 Di samping itu pendaftaran
tanah yang ditentukan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
76
Adrian Sutedi, op.cit, hal. 131.
Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah , Kencana,
Jakarta, hal. 13.
77
71
tentang
Pokok-Pokok
Agraria,
merupakan
sasaran
untuk
mengadakan
kesederhanaan hukum. Tentang pendaftaran tanah lebih lanjut dijelaskan dalam
penjelasan umum angka III alenia terakhir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Praturan dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi : adapun hak-hak
yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, semua akan dikonversikan
menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Jadi
semua tanah baik yang dimiliki atas nama seseorang atau badan hukum baik hak
milik adat atau hak atas tanah menurut buku II KUHPerdata diwajibkan untuk
dikonversikan kepada salah satu hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan didaftarkan sehingga terwujud
unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan Indonesia sesuai
dengan tujuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok
Agraria.
Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang akan tunduk kepada
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum
adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat.
Terhadap Kepemilikan hak atas tanah yang belum mempunyai sertifikat dari
Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka pemilik
72
terkait dapat menempuh mekanisme konversi, untuk kemudian mendapatkan
sertipikat atas nama pemilik terkait itu sendiri.78
Syarat-syarat yang diperlukan untuk pendaftaran tanah pertama kali
berdasarkan konversi adalah :
1. Surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasa
hukumnya;
2. Fotokopi kartu tanda penduduk pemohon yang telah dilegalisir oleh
pejabat berwenang;
3. Surat keterangan dari kepala desa/kelurahan, tentang penguasaan dan
pemilik hak atas tanah;
4. Bukti kepemilikan hak atas tanah sebelum bersertifikat, dapat berupa
salinan Letter C yang diketahui oleh kepala desa; Model D Asli, Model E
Asli, serta fotokopi pemeriksaan desa yang diketahui oleh kepala desa
terkait;
5. Fotokopi
Buku
C,
memuat
tentang
identitas
tanah
yang
dimohonkan/didaftarkan ke kantor Pertanahan. Hal ini disebabkan, di
Letter C dasar pencatatan adalah pada subjek pemilik hak atas tanah,
bukan pada bidang tanahnya. Ini tentunya berbeda dengan pendaftaran
tanah di kantor pertanahan, yang menerapkan administrasi kepemilikan
hak perbidang tanah;
78
Eko Yulian Isnur, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan
Tanah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 42.
73
6. Surat pernyataan yang diketahui oleh kepala desa/kelurahan, yang
menjelaskan tentang perihal status yuridis tanah belum bersertifikat, tidak
dijadikan jaminan utang, serta tidak dalam sengketa;
7. Surat pernyataan yang diketahui oleh kepala desa/kelurahan tentang
pemasangan batas-batas permanen;
8. Surat pernyataan persetujuan dari dan ditandatangani pemilik tanah yang
berbatasan langsung, dengan diketahui oleh kepala desa. Memuat tentang
perihal luas tanah yang didaftarkan, dan disetujui oleh pemilik tanah yang
bersebelahan/berbatasan langsung tersebut;
9. DI. 20 (risalah penelitian data yuridis dan penetapan batas tanah), dibuat
perbidang tanah;
10. Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, atau SPPT PBB
tahun berjalan.
Apabila bukti kepemilikan sebidang tanah tidak lengkap atau tidak ada,
pembuktian kepemilikan atas bidang tanah itu menurut Pasal 76 ayat (2) Peraturan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 dapat dilakukan
dengan bukti lain yang dilengkapi dengan pernyataan yang bersangkutan dan
keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari
lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga
dengan yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah
benar pemilik bidang tanah tersebut.
74
Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah tidak ada sama sekali
menurut Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nomor 3 Tahun 1997 permohonan tersebut harus disertai dengan :
1. Surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hak-hal sebagai berikut :
1) Bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan
selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh
penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah
menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya
tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih;
2) Bahwa pengusaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik;
3) Bahwa penguasaan tanah itu tidak pernah diganggu gugat dan karena
itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau
desa/kelurahan yang bersangkutan;
4) Bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa;
5) Bahwa apabila pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai
dengan
kenyataan,
penandatangan
bersedia
dituntut
di
muka
Hakim/secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan
palsu.
2. Keterangan dari Kepala Desa/Lurah dan sekurang-kurangnya 2 (dua)
orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai
tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal
di desa/kelurahan letak tanah bersangkutan dan tidak mempunyai
hubungan keluarga dengan pemohon, yang membenarkan apa yang
dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataannya.
BAB III
EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN
TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK
LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN
DI KOTA DENPASAR
3.1 Pemberian Kredit Dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar
Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan
usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.79 Menurut
Jopie Jusuf dalam bukunya berjudul panduan dasar untuk account officer,
mengatakan bahwa ”pada dasarnya bank adalah lembaga perantara antara sektor
yang kelebihan dana (surplus) dan sektor yang kekurangan dana (minus)”. Bank
menerima simpanan dana dari pihak-pihak yang kelebihan dana misal, dalam
bentuk tabungan atau deposito dan menyalurkannya ke pihak-pihak yang
memerlukan dana dalam bentuk pinjaman.80
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
79
Kasmir, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta,
hal. 2.
80
Jopie Jusuf, 2008, Panduan Dasar Untuk Account Officer, Unit Penerbit dan
Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakaerta, hal. 1.
75
76
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan
taraf hidup rakyat banyak.
Disamping itu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat
(3) menyebutkan pengertian Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan
kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang
dalam kegiatannya member jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengertian usaha
perbankan secara konvensional adalah usaha perbankan memberi kredit kepada
nasabah baik perorangan maupun perusahaan.81
Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bank merupakan
lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah82 :
1. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan,
maksudnya dalam hal ini bank sebagai tempat menyimpan uang atau
berinvestasi bagi masyarakat;
2. Menyalurkan dana ke masyarakat, maksudnya adalah bank memberikan
pinjaman (kredit) kepada masyarakat yang mengajukan permohonan.
Dengan kata lain bank menyediakan dana bagi masyarakat yang
membutuhkannya;
3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya, seperti pengiriman uang (transfer),
penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing),
penagihan surat-surat berharga yang berasal dari luar kota dan luar negeri
81
Sentosa Sembiring, 2008, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung,
hal. 3.
82
Kasmir , op.cit, hal. 3.
77
(inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, bank garansi, bank notes,
travelers cheque dan jasa lainnya. Jasa bank lainnya ini merupakan jasa
pendukung dari kegiatan pokok bank yaitu menghimpun dan menyalurkan
dana.
Seperti yang telah di jelaskan diatas bahwa salah satu kegiatan usaha bank
adalah menyalurkan dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat. Kegiatan
menyalurkan dana ini dikenal dengan nama kegiatan lending. Penyaluran dana
oleh bank dilakukan melalui pemberian pinjaman yang dalam masyarakat lebih
dikenal dengan nama kredit.83
Dalam bahasa latin kredit disebut credere yang artinya percaya. Maksudnya
si pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan
pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit
berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar
kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya.84 Selain itu pengertian
kredit yang tercantum dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pinjaman uang
dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas
jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.85
Black’s Law Dictionary memberikan pengertian bahwa kredit adalah: The
ability of a businessman to borrow money, or obtain goods on time, in
consequence of the favorable opinion held by the particular lender, as to his
83
Ibid, hal. 32.
Ibid, hal. 101.
85
Alwi Hasan, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Cetakan
ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal 271.
84
78
solvency and reliability.86 Black mendefinisikan kredit adalah suatu kemampuan
seorang pengusaha untuk meminjam uang atau barang pada waktunya, dengan
berpegang pada pendapat yang menguntungkan yang diselenggarakan oleh
pemberi pinjaman menurut kesanggupan dan kepercayaannya.
Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, menyebutkan kredit adalah penyediaan uang tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga.
Dari ketentuan dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana tersebut diatas, Ramlan Ginting berpendapat terdapat beberapa unsur
perjanjian kredit yaitu :87
1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu;
2. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain;
3. Terdapat kewajiban pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam
jangka waktru tertentu;
4. Pelunasan utang yang disertai dengan bunga.
86
Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition,
St. Paul Minn, West Publishing Co, hal 367.
87
Ramlan Ginting, 2005, “Peraturan Pemberian Kredit Bank Umum”, Paper,
pada Diskusi Hukum Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap
Pemberian Fasilitas Kredit Dalam Praktek Perbankan di Indonesia, Bandung,
Tanggal 6 Agustus.
79
Unsur pertama dari kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, uang di sini seiogianya ditafsirkan sebagai sejumlah
dana tunai dan saldo rekening giro baik dalam mata uang rupiah maupun valuta
asing. Dalam pengertian penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu
adalah cerukan atau overdraft, yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah
yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam
rangka kegiatan anjak piutang atau factoring dan pengambilalihan atau pembelian
kredit atau piutang dari pihak lain seperti negosiasi hasil ekspor.
Unsur kedua dari kredit adalah persetujuan atau kesepakatan antara bank dan
debitor. Sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, agar suatu perjanjian menjadi sah
diperlukan empat syarat, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat
perjanjian, terdapat obyek tertentu dan ada suatu kausa (cause) yang halal. Selain
kesepakatan antara debitor dan kreditor juga diperlukan ketiga syarat lain tersebut
di atas sebagai dasar untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian.88
Unsur ketiga dari kredit
adalah adanya kewajiban debitor untuk
mengembalikan jumlah keseluruhan kredit yang dipinjam dari kreditor dalam
jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya hubungan
pinjam meminjam antara debitor dan kreditor.89
Unsur yang terakhir adalah adanya pengenaan bunga terhadap kredit yang
dipinjamkan. Bunga merupakan nilai tambah yang diterima kreditor dari debitor
atas sejumlah uang yang dipinjamkan kepada debitor dimaksud.90
88
Ibid.
Ibid.
90
Ibid.
89
80
Didalam menyalurkan kreditnya bank sebagai kreditor harus benar-benar
yakin bahwa kredit yang disalurkan akan benar-benar kembali sesuai jangka
waktu yang telah disepakati. Dalam rangka pemberian kredit tersebut bank
sebagai kreditor di haruskan menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku, seperti
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang menyebutkan :
Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah,
bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang
mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur
untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud
sesuai dengan yang diperjanjikan.
Kemudian Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
menyebutkan : Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman
perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya, didalam penjelasan Pasal 8
ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang
Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dipaparkan bahwa pokokpokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain :
a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat
dalam bentuk perjanjian tertulis;
b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
Nasabah Debitor yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama
81
terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari
Nasabah Debitor;
c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian
kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai
prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah;
e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan
Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitor
dan pihak-pihak terafiliasi;
f. Penyelesaian sengketa.
Menurut Thomas Suyatno dalam Jopie Jusuf menyatakan suatu kredit
terdapat unsur-unsur sebagai berikut :91
1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang
diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar
diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan
datang;
2. Objek dari kredit, yaitu uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu;
3. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian kredit
dengan pembayaran yang akan diterima kembali oleh bank di masa yang
akan datang;
91
Thomas Suyatno dalam Jopie Jusuf, op.cit, hal. 119.
82
4. Konsekuensi dari unsur waktu diatas, melekat dalam suatu kredit adalah
risiko, yaitu kemungkinan bank tidak dapat menagih kembali kredit yang
diberikannya. Penyebabnya, tidak ada satu orang pun yang dapat
memastikan keadaan masa depan. Semakin lama kredit yang diberikan,
semakin tinggi pula ketidakpastian yang dihadapi oleh bank. Oleh
karenanya, semakin tinggi pula risiko kredit yang harus ditanggung.
Terdapat kriteria penilaian yang umum dan harus dilakukan oleh bank untuk
mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan kredit, ini dapat
dilakukan dengan analisis 5C. Penilaian dengan analisis 5C adalah sebagai
berikut : 92
1. Character : Merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat dan watak dari
orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar harus dapat dipercaya.
Untuk membaca watak atau sifat dari calon debitur dapat dilihat dari
latarbelakang si nasabah, baik yang bersifat latarbelakang pekerjaan
maupun yang bersifat pribadi seperti : cara hidup atau gaya hidup yang
dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan jiwa social. Dari sifat dan watak ini
dapat dijadikan suatu ukuran tentang kemauan nasabah untuk membayar;
2. Capacity : ini merupakan analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah
dalam membayar kredit. Dari penilaian ini terlihat kemampuan nasabah
dalam mengelola bisnis. Kemampuan ini dihubungkan dengan latar
belakang pendidikan dan pengalamannya selama ini dalam mengelola
92
Kasmir , op.cit, hal. 117.
83
usahanya, sehingga akan terlihat kemampuannya dalam mengembalikan
kredit yang disalurkan;
3. Capital : Untuk melihat penggunaan modal apakah efektiv atau tidak,
dapat dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) yang
disajikan dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas dan
solvabilitasnya, rentabilitas dan ukuran lainnya. Analisis capital juga
harus menganalisis dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini,
termasuk persentase modal yang digunakan untuk membiayai proyek yang
akan dijalankan, berapa modal sendiri dan berapa modal pinjaman;
4. Colleteral : Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang
bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit
yang
diberikan.
Jaminan
juga
harus
diteliti
keabsahan
dan
kesempurnaanya, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang
dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin;
5. Condition : Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi,
social dan politik yang ada sekarang dan prediksi untuk di masa yang akan
datang. Penilaian kondisi atau prospek bidang usaha yang dibiayai
hendaknya
benar-benar
memiliki
prospek
yang
baik,
sehingga
kemungkinan kredit tersebut bermasalah relative kecil.
Terkait dengan praktek perbankan di Kota Denpasar, berdasarkan hasil
wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak Miguel Mascarenhas, selaku Area
Manager SME PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan bapak Duna Biantara,
selaku AO Supervisor PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan PT.
84
Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar
sebagai Bank Umum yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam
bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit,
PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang
Denpasar menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip kehati-hatian dan
melaksanakan prosedur penyaluran kredit yang sehat. (wawancara tanggal 22
Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak Ida Bagus Oka
Wijaya, selaku Supervisor Admin Kredit PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar,
Salah satu jenis layanan perbankan yang diberikan oleh PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar adalah pemberian fasilitas kredit, yaitu :
1. Fasilitas Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu : fasilitas kredit yang jenisnya
dapat berupa Fixed Loan untuk modal kerja usaha atau pun Term Loan
untuk investasi. Minimal dan maksimal Plafond dari Kredit Usaha Kecil
tersebut adalah Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,2. Fasilitas Kredit Usaha Menengah (KUM) , yaitu : fasilitas kredit yang
jenisnya dapat berupa Fixed Loan untuk modal kerja usaha atau pun Term
Loan untuk investasi. Minimal dan maksimal plafond dari Kredit Usaha
Menengah
tersebut
adalah
Rp.
500.000.000,-
sampai
dengan
5.000.000.000,3. Fasilitas Kredit Modal Kerja (Comercial loan), yaitu : pinjaman yang
diberikan kepada pengusaha dalam menjalankan usahanya;
85
4. Fasilitas Kredit Konsumer, yaitu : fasilitas kredit yang diberikan pihak
Bank kepada debitor yang memenuhi persyaratan untuk membeli
rumah/ruko/apartemen,
pembangunan/renovasi
rumah,
pembelian
kendaraan bermotor berupa mobil atau motor, pembelian peralatan baru
penunjang kerja khusus dokter dan bidan serta keperluan serbaguna
dengan sumber pengembalian bukan berasal dari obyek yang dibiayai.
(wawancara tanggal 22 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank Bukopin, yaitu bapak Teguh
Adnyana, selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, Salah
satu jenis layanan perbankan yang diberikan oleh PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang
Denpasar adalah pemberian fasilitas kredit, yaitu :
1. Fasilitas Kredit Usaha Kecil (Kredit Mikro), yaitu : fasilitas kredit yang
dapat berupa modal kerja usaha ataupun untuk Investasi. Minimal dan
maksimal plafond dari Kredit Usaha Kecil tersebut adalah Rp.
100.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,2. Fasilitas Kredit Usaha Menengah (UKM) , yaitu : fasilitas kredit yang
dapat berupa modal kerja usaha ataupun untuk investasi. Minimal dan
maksimal plafond dari Kredit Usaha Menengah tersebut adalah Rp.
500.000.000,- sampai dengan 25.000.000.000,3. Fasilitas Kredit Modal Kerja (Comercial loan), yaitu : pinjaman yang
diberikan kepada pengusaha dalam menjalankan usahanya;
4. Fasilitas Kredit Konsumer, yaitu : fasilitas kredit yang diberikan pihak
Bank kepada debitor yang memenuhi persyaratan untuk membeli
86
rumah/ruko/apartemen, pembangunan/renovasi rumah dan pembelian
kendaraan bermotor berupa mobil atau motor. (wawancara tanggal 23
Agustus 2013).
Bapak Ida Bagus Oka Wijaya juga menerangkan proses pemberian kredit
pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, hampir sama dengan proses
pemberian kredit pada Bank Umum lainnya. Tahapan pemberian kredit pada
PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar diawali dari :
1. Pengajuan permohonan kredit dari calon debitur secara tertulis kepada
bagian pemasaran yang nantinya ditangani oleh account officer PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar. Setelah menerima permohonan kredit
account
officer
akan
mulai
mengidentifikasi
calon
debitornya,
mengenalkan produk fasilitas kredit, melengkapi formulir aplikasi kredit,
meminta kepada calon debiturnya untuk melengkapi dokumen persyaratan
kredit dan agunan, dan selanjutnya melakukan verifikasi data dan
dokumen calon debiturnya. Apabila menurut analisis awal dari account
officer permohonan kredit tersebut tidak layak, maka akan dilakukan
pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada calon debitornya.
2. Bila permohonan fasilitas kredit tersebut layak untuk diproses, maka
account officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar akan melakukan
peninjauan dan penilaian agunan yang akan dijadikan jaminan tambahan.
Peninjauan dan penilaian agunan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar dilakukan oleh bagian taksasi (appraisal) internal bank.
87
3. Data lengkap yang telah didapat dari calon debitur akan dilakukan analisis
lebih mendalam oleh credit analyst yang pada PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar disebut bagian credit officer. Analisis akan dilakukan
berpedoman pada konsep 5 C yaitu :
1) Character atau watak calon debitur : dalam mengenal watak calon
debitur
dapat
dilakukan
dengan
mengumpulkan
informasi
sebanyak mungkin tentang calon debitur seperti dengan melakukan
BI checking lewat sistem informasi perkreditan Bank Indonesia,
mencari informasi dari supplier mitra dagang calon debitor, dan
dapat mencari informasi pada tetangga-tetangga tempat tinggal
calon debitor.
2) Capacity
:
untuk
mengetahui
kemampuan
calon
debitur
mengoprasikan usahanya guna memperoleh profit, credit officer
PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar akan melakukan kunjungan
usaha untuk mengetahui keadaan dan kondisi serta kegiatan yang
dijalankan oleh calon debitor dengan cara mengadakan kunjungan
langsung ke kantor, pabrik maupun ke lokasi proyek. Kegunaan
dari kunjungan usaha ini adalah untuk mengetahui hasil atau
keuntungan dari usaha calon debitor dalam kaitannya dengan
kemampuan calon debitor untuk mengembalikan kredit secara tepat
waktu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati
dalam perjanjian kredit.
88
3) Capital : ini merupakan dana yang dimiliki oleh calon debitor
untuk menjalankan dan memelihara kelangsungan usahanya.
Dalam Kredit Konsumer Capital dapat dilihat dari uang muka yang
disediakan.
4) Collateral : ini adalah barang bergerak ataupun tidak bergerak baik
milik debitor ataupun pihak ketiga yang diserahkan dan atau
digunakan oleh debitor sebagai agunan kredit kepada bank.
Terdapat dua macam jenis jaminan yang ditetapkan oleh PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar yaitu Jaminan dalam bentuk material
seperti tanah, bangunan, kendaraan dan jaminan dalam bentuk
immaterial seperti jaminan yang tidak menunjuk bendanya secara
pasti, tetapi lebih semacam permintaan dari penjamin atas
pelunasan hutang debitor. Jaminan immaterial dapat berupa :
Personal Guarantee) atau Corporate Guarantee.
5) Conditioan : ini merupakan aspek eksternal yang dapat
mempengaruhi kemampuan calon debitor dalam memperoleh
profit, seperti faktor ekonomi, kondisi politik, kebijakan peraturanperaturan yang di keluarkan pemerintah.
4.
Bila account officer dan credit officer telah mendapatkan kesimpulan
bahwa permohonan kredit tersebut layak untuk diajukan berdasarkan
analisis yang dilakukan, maka account officer akan melanjutkan dengan
penyusunan proposal kredit untuk nantinya diajukan ke komite kredit.
Proposal tersebut diajukan ke komite kredit untuk dipelajari. Bila dirasa
89
kurang, komite kredit dapat meminta account officer untuk melengkapi
data, melakukan analisis ulang serta memperbaiki kembali proposal yang
telah diajukan. Ada kemungkinan permohonan kredit ditolak oleh komite
kredit dikarenakan dinilai tidak layak untuk dibiayai oleh bank. Penolakan
tersebut dapat disebabkan karna : Usaha tidak layak, jaminan tidak dapat
diterima bank, reputasi calon debitor tidak baik atau tidak sesuai dengan
kebijakan perkreditan Bank.
5.
Apabila proposal kredit telah di setujui komite kredit dan telah dilakukan
penandatanganan surat pemberitahuan persetujuan kredit oleh pejabat
Bank sebagai kreditor dengan calon debitornya, maka selanjutnya
dilakukan pengikatan kredit dan pengikatan jaminan. Pada PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar, pengikatan kredit dilakukan dengan
perjanjian kredit di bawah tangan dengan dilegalisasi Notaris atau
perjanjian kredit dibuat secara notariil di hadapan Notaris tergantung
fasilitas kredit yang diberikan Bank. Namun untuk pengikatan jaminan
selalu dibuat dengan akta notariil dihadapan pejabat yang berwenang
dalam hal ini adalah Notaris/PPAT. Setelah pengikatan kredit dan
pengikatan jaminan selesai maka Notaris/PPAT akan mengeluarkan
Covernote yang menerangkan telah dilakukannya perbuatan hukum
pengikatan kredit dan pengikatan jaminan.
5. Setelah pengikatan kredit dan pengikatan jaminan dilakukan, maka
dilanjutkan dengan proses penatausahaan data debitur dan jenis fasilitas
kredit yang dilakukan oleh bagian loan administration kredit, sampai
90
nantinya dilakukan proses pencairan kredit ke rekening calon debitor.
(wawancara tanggal 26 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank lain sebagai
pembanding, yaitu bapak Teguh Adnyana, selaku account officer PT. Bank
Bukopin, Tbk Cabang Denpasar dan bapak Gede Saswita, selaku legal officer
PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar menjelaskan pada pokoknya proses
pemberian kredit di PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar tahapannya tidak
berbeda dengan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Cuma terdapat perbedaan
penyebutan nama pada bagian credit analyst dan bagian appraisal. Pada PT. Bank
Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, bagian credit analyst disebut CRA (credit risk
akuisisi) dan bagian bagian appraisal disebut CI (credit investigasi). Tahapan
dalam pemberian kredit pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar adalah
calon debitur yang mengajukan permohonan kredit kepada PT. Bank Bukopin,
Tbk diminta untuk mengisi formulir permohonan kredit dan melampirkan
dokumen-dokumen persyaratan kredit pada umumnya, berdasarkan permohonan
dan dokumen-dokumen yang telah dilampirkan calon debitor, bank selanjutnya
melakukan analisa kredit. PT. Bank Bukopin, Tbk melakukan analisa kredit
mengacu pada prinsip 5C, yakni menanalisa Character,Capacity, Capital,
Colleteral dan Condition Of Economy dari calon debitornya. Selanjutnya apabila
bank telah selesai melakukan analisa kredit yang mendalam, barulah pihak bank
dapat memberikan keputusan apakah permohonan kredit dari calon debitornya
layak atau tidak untuk diberikan fasilitas kredit. Apabila permohonan kredit telah
disetujui maka akan dilanjutkan dengan proses pengikatan kredit dan pengikatan
91
jaminan. Apabila proses pengikatan kredit dan pengikatan jaminan telah berhasil
dilakukan barulah pihak bank melakukan proses pencairan kredit. (wawancara
tanggal 27 Agustus 2013).
Dari pemaparan mengenai pengertian, dasar hukum dan tahapan pemberian
kredit diatas, dapatlah disimpulkan bahwa kredit merupakan penyediaan uang
oleh kreditor yang disalurkan kepada debitornya atas dasar kepercayaan. Dalam
hal ini kreditor memiliki keyakinan bahwa pada saat jangka waktu kredit telah
berakhir, debitor mampu mengembalikan dana yang telah disalurkan kreditor
beserta bunga kredit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Disamping itu
terdapat beberapa unsur-unsur pokok dari kredit, yakni adanya kepercayaan dari
kreditor kepada debitornya, terdapat kesepakatan antara kreditor dengan debitor,
terdapat prestasi berupa uang, dan terakhir adanya jangka waktu untuk
pengembalian uang yang telah disalurkan kreditor. Dikarenakan terdapat jangka
waktu dalam pengembalian uang oleh debitor kepada kreditornya maka terdapat
risiko yang ditanggung oleh kreditor, dalam hal ini adalah resiko tidak kembalinya
atau tidak terbayarnya dana atau uang yang telah disalurkan kepada debitor.
Dikarenakan terdapat resiko yang ditanggung kreditor, maka dalam hal
pemberian kredit, kreditor harus benar-benar teliti dalam melakukan analisa
kredit. Dalam hal analisa kredit, kreditor dapat berpatokan pada analisis 5C sesuai
yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni
menganalisa Character (watak debitor) ,Capacity (kemampuan debitor mengelola
usahanya), Capital (modal dasar yang dimiliki debitor), Colleteral (jaminan) dan
92
Condition Of Economy (keadaan ekonomi). Apabila pemberian kredit telah
mengacu dengan analisa 5C, maka dapat menjamin mutu kredit yang telah
disalurkan sehingga kredit yang disalurkan memiliki tingkat risiko yang rendah.
Dalam praktek pemberian kredit yang dilakukan oleh PT. Bank Mega, Tbk
dan PT. Bank Bukopin, Tbk, dapat disimpulkan bahwa kedua bank tersebut
sebagai bank umum yang melakukan kegiatan usaha yakni menghimpun dana dari
masyarakat dan menyalurkannya kembali kemasyarakat dalam bentuk kredit, telah
melakukan prosedur pemberian kredit yang benar, dikarenakan PT. Bank Mega,
Tbk dan PT. Bank Bukopin, Tbk dalam pemberian kredit telah mengacu dengan
analisa 5C, baik itu menganalisis Character, Capacity, Capital, Colleteral dan
Condition Of Economy dari calon debitornya, sehingga kredit yang disalurkan
PT. Bank Mega, Tbk dan PT. Bank Bukopin, Tbk adalah kredit-kredit yang
bermutu dan rendah terjadi risiko wanpresstasi dari debitornya.
3.2 Hak Atas Tanah Berasal dari Konversi Hak Lama yang Belum Terdaftar
Sebagai Jaminan dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Jaminan adalah kekayaan yang dapat
diikat sebagai jaminan guna kepastian pelunasan di belakang hari kalau penerima
kredit tidak melunasi utangnya.93 Selain itu Hartono Hadisaputro memberi
pengertian Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kredit untuk menimbulkan
keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajibannya yang dapat dinilai dengan
93
Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni,
Bandung,, hal. 70.
93
uang yang timbul dari perikatan antara kreditor dan debitor.94 Disamping pendapat
tersebut diatas, Muchdarsyah Sinungan mengatakan secara umum jaminan kredit
diarahkan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang
untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang.95 Pendapat dari Badriyah
Harun mengenai jaminan adalah kebutuhan kreditor untuk memperkecil risiko
apabila debitor tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan
dengan kredit yang telah dikucurkan.96 Badriyah Harun juga menyatakan dasar
hukum jaminan dalam pemberian kredit adalah pasal Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan. Jaminan pemberian kredit menurut pasal tersebut
adalah bahwa keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk
melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh
keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian
yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha
dari nasabah debitor.97 Adanya jaminan dapat menimbulkan rasa aman bagi
kreditor bahwa piutangnya akan dilunasi, apabila debitor melakukan wanprestasi,
pailit yaitu dengan cara mengambil pelunasan dari penjualan benda jaminan atau
dengan meminta pelunasan kepada penjamin. Adapun jaminan ideal yang
diharapkan oleh kreditor, adalah yang berdaya guna dan dapat memberikan
94
Hartono Hadisaputro, 1984, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Perikatan,
Liberty, Yogyakarta,hal 50.
95
Mucdarsyah Sinungan, 1990, Kredit Seluk Beluk dan Pengelolaannya,
Tograf, Yogyakarta, hal. 12.
96
Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta, hal. 67.
97
Ibid, hal. 68.
94
kepastian kepada pemberi kredit agar mudah dijual/diuangkan guna menutup atau
melunasi utang debitor.98
Berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana tersebut diatas, disimpulkan
bahwa jaminan perorangan ataupun jaminan kebendaan yang diberikan debitor
kepada kreditornya bertujuan untuk menjamin akan dilakukannya pelunasan utang
dari debitor kepada kreditornya. Jaminan dapat juga diartikan sebagai alat
pengaman yang bersifat tambahan atau accessoir untuk memastikan pelunasan
utang dari debitor kepada kreditornya.
Walaupun didalam ketentuan dan penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan, menyebutkan bahwa bank tidak wajib meminta agunan berupa
barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, lazimnya
dikenal dengan agunan atau jaminan tambahan, namun jaminan merupakan
kebutuhan kreditor untuk memperkecil risiko apabila debitornya tidak mampu
menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah
dikucurkan.99 Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditor, yaitu
kepastian atas pelunasan hutang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh
debitor atau oleh penjamin debitor.100 Jaminan sebagai langkah antisipatif dalam
98
Kartono, 1977, Hak-hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta, hal.
12.
99
Badriyah Harun, loc.cit.
Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya
Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, hal 71.
100
95
menarik dana yang telah disalurkan kepada debitor hendaknya dipertimbangkan
dua faktor yaitu:101
1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis
formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangundangan. Jika di
kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitor maka bank memiliki
kekuatan yuridis untuk melakukan eksekusi;
2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera
dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitor. Dengan
mempertimbangkan kedua faktor di atas, jaminan yang diterima oleh
Kreditor dapat meminimal risiko dalam penyaluran kredit sesuai dengan
prinsip kehati-hatian (prudential banking).102
Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitor baik yang
bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun aka nada di
kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dengan demikian,
segala harta kekayaan debitor secara otomatis menjadi jaminan manakala orang
tersebut membuat perjanjian utang meskipun tidak dinyatakan secara tegas
sebagai jaminan. Terhadap jaminan ini akan timbul masalah manakala seorang
debitor memiliki lebih dari seorang kreditor dimana masing-masing kreditor
menginginkan haknya didahulukan. Hukum mengantisipasi keadaan demikian
dengan membuat jaminan yang secara khusus diperjanjikan dengan hak-hak
istimewa seperti hak tanggungan, Fiducia, gadai, maupun cessie piutang. Kreditor
101
102
Ibid.
Ibid, hal. 72.
96
yang memegang hak tersebut memiliki hak utama untuk mendapatkan
pembayaran kredit seluruhnya dari hasil penjualan benda jaminan. Apabila
terdapat kelebihan dalam penjualan benda jaminan, maka kelebihan tersebut dapat
diberikan kepada kreditor lain. Jaminan kredit yang diatur secara khusus dalam
praktek perbankan terdiri dari:103
1. Jaminan perorangan
Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
disebut sebagai penanggungan utang. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa
jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna
kepentingan pihak kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si debitor
manakala orang tersebut tidak memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian perorangan
selalu dibuat oleh pihak ketiga yang menjamin terpenuhinya kewajiban membayar
kredit tersebut, baik diketahui maupun tidak diketahui oleh debitor. dengan
adanya pihak ketiga sebagai penjamin, apabila debitor tidak dapat melaksanakan
kewajibannya, maka pihak ketiga inilah yang akan melaksanakan kewajibannya.
Perlindungan hak terhadap pihak ketiga dalam menjalankan kewajibannya tidak
terlepas dari ketentuan Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang
berbunyi : Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditor kecuali debitor
lalai membayar hutangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitor harus
disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya.
Dalam prakteknya, bank tetap meminta pihak ketiga untuk melepaskan hak
tersebut. Sehingga apabila debitor wanprestasi, bank dapat segera melakukan
103
Ibid, hal. 68.
97
penagihan langsung kepada pihak ketiga. Tujuan pelepasan hak tersebut agar
pihak bank lebih mudah mendapatkan hak pembayaran kreditnya. Bank juga
mengantisipasi kendala penarikan pembayaran yang bias jadi karena harta benda
yang dimiliki oleh debitor tidak marketable seperti yang diharapkan.104
Jaminan perorangan dapat diikat dengan akta penangungan (Borgtocht). Bila
dilakukan oleh perorangan maka penangungan disebut personal guaranty,
sedangkan bila dilakukan oleh perusahaan atau badan hukum maka dinamakan
company guaranty. Dasar hukum mengenai penangungan perorangan diatur dalam
buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan Bab XVII
tentang penangungan utang Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.105
2. Jaminan kebendaan
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa :
(1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis
yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan
nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan
pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.
(2) Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Keyakinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sudah
merupakan jaminan bagi bank untuk memberikan kredit kepada nasabah
104
105
Ibid, hal. 69.
Ibid, hal. 70.
98
debitornya. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, jaminan dan agunan
merupakan dua unsur yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan,
sedangkan jaminan tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan
bank, yaitu agunan. Agunan sebagai jaminan tambahan, secara tegas diungkapkan
dalam Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang
menyebutkan : agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor
kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan
agunan atau jaminan kebendaan merupakan jaminan tambahan.106
Di dalam hukum, benda dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tidak
bergerak. Benda bergerak terdiri dari jaminan benda bertubuh dan tidak bertubuh.
Sebagai contoh, benda bertubuh adalah kendaraan bermotor, mesin, peralatan
kantor barang perhiasan, dan sebagainya. Benda tidak bertubuh seperti contoh
adalah wesel, promes, deposito berjangka, sertipikat deposito, piutang dagang,
surat saham, obligasi, dan surat berharga sekuritas lainnya. Benda tidak bergerak
dalam perjanjian kredit adalah tanah dengan atau tanpa bangunan dan tanaman
diatasnya, mesin dan peralatan yang melekat pada tanah atau bangunan dan
merupakan satu kesatuan, kapal laut bervolume 20 meter kubik ke atas dan sudah
didaftarakan, bangunan rumah susun tanah tempat bangunan didirikan, hak milik
atas satuan rumah susun, bangunan rumah susun atau hak milik atas satuan rumah
106
Ibid.
99
susun jika tanahnya berstatus hak pakai atas tanah negara. Pembedaaan jenis
benda ini memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda, yakni : pembebanan
jaminan, pada benda bergerak pembebanan jaminan dilakukan dengan pengikatan
fidusia atau gadai. Sedangkan terhadap benda tidak bergerak pembebana jaminan
dilakukan dengan pengikatan hak tanggungan.107
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak Ida Bagus Oka
Wijaya, selaku Supervisor Admin Kredit PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar,
berpendapat implementasi agunan dalam paktek perbankan di Kota Denpasar
seperti yang terdapat pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, agunan di
fungsikan sebagai second way out atas fasilitas kredit yang diterima apabila
debitur wanprestasi atau mengalami gagal bayar. Hal tersebut dimaksudkan untuk
lebih mengamankan pengembalian kredit yang diberikan oleh PT. Bank Mega,
Tbk Cabang Denpasar kepada para debiturnya. (wawancara tanggal 27 Agustus
2013).
Senada dengan pendapat diatas, dari hasil wawancara dengan bapak Teguh
Adnyana, selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar,
menyatakan jaminan memiliki kedudukan yang penting dalam pemberian kredit
pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar dikarenakan dengan adanya
jaminan, bank sebagai kreditor dalam rangka menyalurkan dana kepada
masyarakat mendapatkan rasa aman dan kepastian akan dilunasinya kredit yang
telah di salurkan.
107
Ibid, hal. 72.
100
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Wayan
Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar,
menyatakan di dalam menerima suatu agunan pihak bank melakukan prosedur
yang cukup ketat. Agunan tersebut terlebih dahulu dilakukan peninjauan dan
penilaian ke lapangan oleh bagian appraisal internal PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar. Setelah dilakukan peninjauan dan penilaian ke lokasi agunan
maka bagian appraisal internal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, akan
memberikan opini penilaian dalam bentuk laporan penilaian jaminan. Agunan
yang diajukan calon debitur dapat disimpulkan marketabel ini merupakan opini
yang diberikan petugas appraisal terhadap suatu agunan yang layak diterima
sebagai agunan atau disimpulkan Tidak marketabel ini merupakan opini penilaian
terhadap agunan yang tidak dapat diterima sebagai agunan. (wawancara tanggal
27 Agustus 2013).
Bapak I Wayan Wiantara juga menyatakan, kriteria umum agunan yang dapat
diterima pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar adalah :
1. Marketable atau mudah dijual sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
2. Dapat diikat secara sempurna;
3. Bebas dari sengketa
4. Tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain baik seluruh maupun sebagian.
Jenis agunan yang dapat diterima pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar adalah :
1. Agunan barang tidak bergerak seperti : tanah kosong, tanah bangunan,
toko/kios/ruko/rukan, rusun dan apartemen.
101
2. Agunan barang bergerak seperti : kendaraan roda empat namun bukan
kendaraan niaga dan deposito rupiah di Bank Mega.
Dalam hal agunan yang diberikan debitur adalah tanah dan bangunan,
terdapat kreteria khusus yang harus dipenuhi, seperti :
1. Status kepemilikan adalah SHM/SHGB/SHGU/Hak Pakai atas Tanah
Negara atau Pemerintah Daerah/ Hak atas Rumah Susun. Namun tidak
termasuk HGB diatas HPL atau diatas hak lainnya, misalnya hutan
lindung;
2. Jangka waktu untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah
Negara atau Pemerintah daerah minimal 3 tahun setelah jatuh tempo
kredit;
3. Lokasi agunan berada di dalam kota dengan lingkungan sekitarnya
merupakan kawasan perumahan/pemukiman/perdagangan/perkantoran;
4. Letak dan bentuk tanah baik
5. Occupancy rate untuk tingkat hunian/aktivitas perdagangan, perkantoran
atau pasar mencapai minimum 50%
6. Memiliki aksesibilitas baik (mempunyai akses jalan menuju lokasi
agunan);
Kondisi-kondisi tertentu yang tidak bisa diterima Bank Mega sebagai agunan
untuk barang tidak bergerak adalah :
1. Lokasi agunan berjarak kurang dari lima puluh meter dari daerah Saluran
Tegangan Tinggi (SUTET);
2. Lokasi agunan merupakan peruntukan jalur hijau;
102
3. Lokasi agunan merupakan dan/atau disebelahnya merupakan tanah
kuburan;
4. Agunan diperuntukkan untuk sarana umum atau sosial seperti tempat
ibadah, sekolah atau rumah sakit;
5. Agunan
yang
diajukan
belum
atau
tidak
atas
nama
calon
debitur/pasangannya/orangtua kandung/anak kandung/saudara kandung
dari calon debitur. Selain itu tanah yang belum terdaftar dan belum
memiliki tanda bukti hak berupa sertipikat juga tidak dapat di terima
sebagai agunan pada Bank Mega. (wawancara tanggal 27 Agustus 2013).
Senada dengan pendapat diatas, dari hasil wawancara dengan bapak Teguh
Adnyana, selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar,
menyatakan, dalam hal penilaian agunan sebagai jaminan tambahan prosedur
yang dilakukan pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, tidak jauh
berbeda dengan prosedur penilaian agunan yang dilakukan pada PT. Bank Mega,
Tbk Cabang Denpasar, perbedaanya hanya pada penyebutan bagiannya saja. Pada
PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar bagian penilaian agunan disebut credit
investigasi, dalam hal prosedur yang dilakukan dalam penilaian agunan berupa
hak atas tanah adalah sebagai berikut:
1. Persiapan penilaian, sebelum petugas ke lokasi agunan biasanya petugas
menyiapkan sertipikat untuk melakukan pengechekan pada kantor
pertanahan setempat. Setelah itu petugas akan melakukan penelitian
dengan cara mengumpulkan data umum yang diperoleh dari lokasi agunan
103
dan mencari informasi dari warga yang berada di lingkungan lokasi
agunan berada;
2. Penilaian on the spot, mencocokkan kebenaran data pada sertipikat dengan
fisik agunan. Pengechekan ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan
penilaian Agunan;
3. Pengumpulan data dan sumber harga, pada tahap ini dilakukan minimal
dengan tiga sumber yang akurat. Harga atas agunan berupa hak atas tanah
dapat diperoleh dari informasi bank lain, kontraktor, developer ataupun
masyarakat sekitar lingkungan agunan berada;
4. Selanjutnya dilakukan penilaian agunan, agar mengetahui apakah agunan
tersebut dapat dinilai marketable atau tidak. Penilaian ini nantinya dapat
dipakai sebagai acuan oleh account officer maupun komite kredit dalam
memutuskan kredit yang akan disalurkan kepada debitor;
6. Terakhir adalah penyajian laporan penilaian jaminan. (wawancara tanggal
28 Agustus 2013).
Sebelum menerima agunan yang di ajukan calon debitur pihak PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar, melakukan pengecekan dokumen agunan tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Kadek Oka
Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar,
pengecekan dokumen pertama kali dilakukan oleh Credit Officer, dengan
melakukan pengecekan sebagai berikut :
1. Jenis agunan yang boleh dijadikan jaminan;
2. Usia agunan yang masih bisa diajukan sebagai jaminan;
104
3. Nama pemilik agunan yang masih bisa dijadikan jaminan;
4. Kelengkapan dokumen agunan;
Pengecekan keaslian dokumen dan status kepemilikan agunan barang tidak
bergerak berupa tanah dilakukan oleh Notaris/PPAT melalui permohonan
pengecekan oleh legal officer. Sedangkan pengecekan keaslian dokumen agunan
barang bergerak dilakukan oleh appraisal melalui permohonan pengecekan dari
credit officer. (wawancara tanggal 28 Agustus 2013).
Bapak I Kadek Oka Widiantara juga menyatakan pengecekan dan verifikasi
terhadap dokumen agunan barang tidak bergerak berupa tanah dilakukan dengan
cara membandingkan seluruh foto copy dokumen dengan aslinya. Hal yang perlu
diperhatikan pada saat menerima asli dokumen agunan adalah : nama pemilik,
letak/lokasi tanah, luas tanah, hak atas tanah, tanggal diberikan dan berakhirnya
hak (kecuali hak milik), tanggal perolehan oleh pemilik terakhir, Gambar
Situasi/Surat Ukur, Catatan pembebanan Hak Tanggungan dan Nomor Identifikasi
Bidang Tanah (NIB). (wawancara tanggal 28 Agustus 2013).
Apa bila calon debitur mengajukan agunan sebagai jaminan tambahan berupa
hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor
pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa
sertipikat, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
dimungkinkan hak atas tanah tersebut dijadikan jaminan utang dengan di bebani
hak tanggungan. Ketentuan tersebut tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-
105
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang menyatakan :
Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan
tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : Yang dimaksud hak lama adalah hak
kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses
administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku.
Dari ketentuan dalam penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang berkaitan dengan Tanah diketahui, bahwa pemberian hak tanggungan
terhadap tanah-tanah hak atas adat yang berasal dari konversi yang telah
memenuhi syarat untuk didaftarkan dapat dilakukan asalkan bersamaan dengan
permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan. Dalam
penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah
dinyatakan antara lain, bahwa kemungkinan untuk pemberian Hak Tanggungan
pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk :
106
1. Memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum
bersertipikat untuk memperolah kredit, karena tanah dengan hak milik adat
pada waktu ini masih banyak;
2. Mendorong persertipikatan hak atas tanah pada umumnya, mengikat tanah
yang belum bersertipikat pada waktu ini masih banyak.108
Dalam prakteknya pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, agunan yang
di ajukan calon debitur berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti
hak atas tanah berupa sertipikat, Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank,
yaitu bapak I Wayan Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar dan bapak I Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT.
Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan tidak dapat diterima sebagai
agunan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar.
Penolakan penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan
tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat yang terjadi pada PT.
Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, juga di benarkan oleh debitur PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar dan Notaris/PPAT yang biasa menangani
pengikatan kredit serta pengikatan jaminan dari PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak debitor, yaitu bapak Ir. I Wayan
Suantra, selaku Direktur Utama dari PT. Pesona Dewata, menyatakan pernah
108
Rachmadi Usman, loc.cit.
107
mengajukan permohonan perpanjangan kredit dan penggantian agunan. Agunan
milik debitor yang telah terbebani hak tanggungan oleh PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar, akan di ganti dengan agunan berupa beberapa hak atas tanah
dan bangunan yang telah bersertipikat dan beberapa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan
tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Namun hasil
keputusan yang diberikan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, menolak
penerimaan pengajuan agunan berupa beberapa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan
tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. (wawancara tanggal
29 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Notaris/PPAT yang yang biasa
menangani pengikatan kredit serta pengikatan jaminan dari PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar maupun bank-bank lain di kota Denpasar, yaitu bapak I Gusti
Ngurah Mahabuana, SH, membenarkan bahwa PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar, tidak pernah mau menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan
tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Selain itu menurut
beliau bank lain selain PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar yang sering
melakukan pengikatan kredit serta pengikatan jaminan ditempat beliau juga
enggan menerima hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas
108
tanah berupa sertipikat, sebagai agunan untuk jaminan kredit. (wawancara tanggal
30 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Wayan
Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar,
menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan bagian appraisal PT.
Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar tidak menerima pengajuan agunan berupa hak
atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor
pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa
sertipikat, diantaranya :
1. Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada
kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah
berupa sertipikat, tidak memiliki tingkat harga yang jelas dan prospek
pemasaran;
2. Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada
kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah
berupa sertipikat, berpengaruh pada nilai ekonominya dan lebih sulit untuk
dilakukan penjualan secara cepat sebagai pelunasan utang debitor apabila
terjadi wanprestasi;
3. Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada
kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah
berupa sertipikat belum dapat dipastikan mengenai letak, batas-batas dan
luas hak atas tanah tersebut, sehingga dapat mengakibatkan resiko
kesalahan penilaian agunan. Apabila setelah sertipikat hak atas tanah
109
tersebut diterbitkan, namun letak, batas-batas, dan luas hak atas tanah
tersebut berbeda dan lebih kecil, maka akan menimbulkan kerugian bagi
bank sebagai pihak penerima agunan. (wawancara tanggal 30 Agustus
2013)
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Kadek Oka
Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar,
menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan bagian legal PT. Bank
Mega, Tbk Cabang Denpasar memberikan saran tidak menerima pengajuan
agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar
pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah
berupa sertipikat, diantaranya :
1. Terdapat resiko terjadi sengketa antara debitur atau penjamin sebagai
pemohon hak atas tanah yang akan di agunkan dengan pihak lain yang
merasa memiliki hak atas tanah tersebut atau tidak tercapainya
kesepakatan mengenai batas-batas bidang tanah yang di lakukan
permohonan pendaftaran dengan pemilik hak atas tanah yang berbatasan;
2. Pembebanan Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat
dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, tidak dapat
dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
(wawancara tanggal 28 Agustus 2013)
Seperti halnya kebijakan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, yang tidak
menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang
110
belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti
hak atas tanah berupa sertipikat, berdasarkan wawancara dengan pihak PT. Bank
Bukopin, Tbk cabang Denpasar yang diwakili oleh bapak Teguh Adnyana selaku
account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, juga menyatakan hal
yang sama. Dalam hal ini beliau mengatakan kebijakan internal PT. Bank
Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, tidak memperbolehkan penerimaan agunan
berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada
kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa
sertipikat. Ini dikarenakan hak atas tanah tersebut memiliki risiko pembebanan
hak tanggungannnya memerlukan waktu yang sangat lama, selain itu hak atas
tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan
setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, belum
dapat dipastikan luas, letak dan pemegang hak atas hak atas tanah tersebut.
111
TABEL 1
Pengikatan kredit dan Jaminan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar Tahun 2013
Jumlah
Debitur
Perjanjian
Kredit
Jenis
Jaminan
Januari
7
Pebruari
3
4 Unnotariil
3 Notariil
3 Notariil
Maret
4
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
2
1
1
3
8
September
1
5 SHM
4 BPKB
2 SHM
1 SHGB
2 SHM
1 Deposito
2 SHM
1 SHGB
1 SHM
3 SHM
5 SHM
2 SHGB
1 Deposito
1 SHGB
Bulan
3 Unnotariil
1 Notariil
2 Notariil
1 Notariil
1 Notariil
3 Notariil
3 Unnotariil
5 Notariil
1 Notariil
Penggunaan hak atas
tanah berasal dari
konversi hak lama yang
belum terdaftar sebagai
jaminan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sumber Data Primer : PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, September 2013
TABEL 2
Pengikatan kredit dan Jaminan pada
PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar Tahun 2013
Bulan
Jumlah
Debitur
Perjanjian
Kredit
Januari
3
Notariil
Pebruari
Maret
April
Mei
2
1
1
2
Notariil
Notariil
Notariil
Notariil
Juni
Juli
1
3
Notariil
Notariil
Agustus
4
Notariil
September
1
Notariil
Jenis
Jaminan
2 SHM
1 SHGB
2 SHM
1 SHGB
4 BPKB
1 SHM
1 SHGB
1 SHM
1 SHM
2 SHGB
2 SHM
1SHGB
6 BPKB
1 SHM
Penggunaan hak atas
tanah berasal dari
konversi hak lama yang
belum terdaftar sebagai
jaminan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
Sumber Data Primer : PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, September 2013
112
Dari pemaparan diatas, bank sebagai kreditor yang memikul risiko yang besar
atas penyaluran kredit kepada masyarakat, memanfaatkan jaminan yang diberikan
oleh debitornya sebagai second way out atau jalan keluar atas penyelesaian kredit
apabila debitornya mengalami wanprestasi. Namun jaminan yang diberikan oleh
debitor haruslah memiliki kreteria yang harus dipenuhi, yaitu : Secured dalam hal
ini jaminan tersebut secara yuridis dapat dilakukan pengikatan sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, dan jaminan tersebut harus marketable agar pada saat
jaminan tersebut diperlukan untuk melunasi utang-utang debitor yang mengalami
wanprestasi, jaminan tersebut dapat sesegera mungkin diuangkan.
Apabila obyek jaminan berupa hak atas tanah, pengikatan maupun
pembebanannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
Hak atas tanah tersebut bila ingin dimanfaatkan sebagai jaminan setidaknya
memiliki nilai ekonomis yang tinggi, memenuhi asas publisitas dengan cara wajib
didaftarkan pada daftar umum dalam hal ini adalah pada kantor pertanahan,
memiliki sifat mudah dipindah tangankan atau mudah di uangkan agar dapat
direalisasikan untuk membayar utang debitor yang mengalami wanprestasi, dan
yang terakhir hak atas tanah tersebut telah ditentukan oleh Undang-Undang yang
berlaku.
Dalam hal hak atas tanah tersebut hak atas tanah berasal dari konversi hak
lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki
tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
113
dengan Tanah, telah mengatur tatacara pembebanannya sebagaimana yang
tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah.
Namun ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan
dengan Tanah, yang memungkinkan pemanfaatan hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan
tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat sebagai jaminan kredit
perbankan didalam praktek perbankan di Kota Denpasar belum dapat di
laksanakan, ini dikarenakan terjadi penolakan penerimaan jaminan berupa hak
atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor
pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa
sertipikat, dengan alasan : proses pembebanan hak tanggungannnya memerlukan
jangka waktu yang cukup lama dan belum adanya kejelasan mengenai luas, letak,
batas-batas dan pemegang hak dari hak atas tanah tersebut yang dapat
mengakibatkan kesalahan penilaian jaminan tersebut.
Menurut Teori Keberlakuan Hukum oleh Sudikno Mertokusumo,
kekuatan berlakunya Undang-Undang ada tiga macam, diantaranya adalah :109
1. Kekuatan berlaku yuridis (Juristiche Geltung) yang artinya UndangUndang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan material
dan formal terbentuknya Undang-Undang itu telah terpenuhi.
109
Sudikno Mertokusumo, loc.cit.
114
2. Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung) yang memiliki arti
bahwa hukum merupakan kenyataan di masyarakat. Kekuatan berlakunya
hukum di dalam masyarakat ada dua macam yaitu :
1) Menurut Teori Kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan
berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa,
terlepas dari diterima atau pun tidak diterima oleh masyarakat.
2) Menurut Teori Pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai
kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga
masyarakat.
3. Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung) yang memiliki arti
hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum
tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif
yang tertinggi. Untuk memenuhi tuntutan berlaku filosofis maka harus
memasukkan unsur ideal.
Lawrence Friedman, menyatakan bahwa, Three Elements of Legal System
adalah tiga komponen dari system hukum. ”Ketiga komponen yang dimaksud
diantaranya : struktur (structure), substansi (substance), dan kultur (culture) atau
budaya”. Menurut pendapat Lawrence M. Friedman mengenai efektivitas hukum
dikemukakan bahwa hukum sebagai suatu sistem (sub sistem dari sistem
kemasyarakatan) maka hukum mencangkup substansi (substance), struktur
(structure), dan kultur/budaya hukum (legal culture).110 Substansi (substance)
mencangkup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara untuk
110
Soerjono Soekanto I, loc.cit.
115
menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan.
(stucture) mencangkup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang
umpamanya mencangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan
antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan
seterusnya. Di Indonesia struktur sistem hukum Indonesia termasuk institusiinstitusi penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara, konsultan hukum,
dan termasuk juga notaris. Kultur/Budaya hukum (legal culture) adalah
mencangkup suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalah gunakan.
Teori
sociological
jurisprudence
:
Pendasar
mazhab
sociological
jurisprudence dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrich,
Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini yang
berkembang di amerika : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu
mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.111
Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law-hukum yang
hidup di dalam masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan
merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu positivisme hukum dan
antithesenya mazhab sejarah. Dengan demikian sociological jurisprudence
beranggapan kepada pentingnya, baik akal maupun pengalaman.112
Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law
and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan
111
112
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, loc.cit.
Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, op.cit, hal 67.
116
masyarakat.113 Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan
pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungsi
hukum sebagai rekayasa sosial, pembentukan hukum yang baik dan cara
penerapan hukum.114
Teori efektivitas hukum : menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf
sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan
efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai
sasarannya dalam membingbing atau merubah perilaku manusia sehingga menjadi
perilaku hukum.115 Efektif atau tidaknya hukum tertulis atau ketentuan
perundang-undangan ditentukan oleh lima faktor. Kelima faktor ini secara
integrative dan tersistem akan menentukan apakah sebuah aturan itu dapat efektif
berlaku dimasyarakat atau tidak.
Berdasarkan uraian dari beberapa ahli hukum diatas, jika dikaitkan dengan
ketentuan yang tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah dan ketentuan penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah mengenai pengimplementasiannya dalam praktek
perbankan di Kota Denpasar, idealnya ketentuan yang berlaku hendaknya dapat
ditaati oleh masyarakat dengan baik, sehingga pelaksanaan suatu aturan akan
menjadi efektif. Berkaitan dengan pelaksanaan hukum pemberian hak tanggungan
113
Abdul Manan, loc.cit.
Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, loc.cit.
115
Soerjono Soekanto I, loc.cit.
114
117
terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada
kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa
sertipikat, apabila dilihat dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah tersebut menyebutkan :
Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan
tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan
dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang
bersangkutan.
Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : Yang dimaksud hak lama adalah hak
kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses
administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang
harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku.
Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dimungkinkan pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang
sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan.
Tanah-tanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut
ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok
Agraria,
sementara
proses
administrasinya
belum
selesai
dilaksanakan,
dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan di bebani hak tanggungan.
Sehingga bank sebagai kreditor dengan mengacu ketentuan diatas dapat saja
118
menerima hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar
pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah
berupa sertipikat, sebagai jaminan utang dengan di bebani hak tanggungan.
Demikian dahulu dibawah lembaga Hypotheek dan Credietverband,
dimungkinkan juga adanya pemberian Hypotheek dan Credietverband atas tanahtanah hak adat yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 15
Tahun 1961 sebagai berikut :
Mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha,
yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pembebanan Hypotheek dan
Credietverband itu dapat dilakukan bersamaan dengan permintaan untuk
membukukan tanahnya menurut Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut.
Dari ketentuan dalam dan penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah, diketahui bahwa pemberian hak tanggungan
terhadap tanah-tanah hak atas adat yang berasal dari konversi yang telah
memenuhi syarat untuk didaftarkan dapat dilakukan asalkan hal itu dilakukan
bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada kantor
pertanahan.
Dalam Penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
119
dengan Tanah, dinyatakan antara lain, bahwa kemingkinan untuk pemberian Hak
Tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk :
1. Memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum
bersertipikat untuk memperoleh kredit.
2. Mendorong pensertipikatan hak atas tanah pada umumnya.
Menurut Abdurrahman dalam Rachmadi Usman Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, bukan saja bermaksud untuk memperlancar arus
perkreditan, yang berarti juga menunjang misi perbankan, akan tetapi juga
menekankan aspek kepastian hukum, yaitu keharusan untuk didaftar dan dengan
sendiri juga mempunyai pengaruh untuk lebih mendorong kegiatan pendaftaran
tanah di Negara Indonesia.116
Berdasarkan dari hasi wawancara dengan pihak perbankan di kota Denpasar,
yaitu bapak I Wayan Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar dan bapak I Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT.
Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, selain itu hasil wawancara dari pihak PT.
Bank Bukopin, Tbk yang diwakili oleh bapak Teguh Adnyana selaku account
officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan bahwa terjadi
penolakan penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan
tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. (wawancara tanggal
26 Agustus 2013).
116
Rachmadi Usman, loc.cit.
120
Terjadinya penolakan penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan
setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, juga di
benarkan oleh salah seorang debitor yang pernah mengajukan permohonan kredit
dengan agunan berupa berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti
hak atas tanah berupa sertipikat, yaitu bapak Ir. I Wayan Suantra, selaku Direktur
Utama dari PT. Pesona Dewata. (wawancara tanggal 23 Agustus 2013).
Selain pihak perbankan dan debitur tersebut, salah satu Notaris/PPAT di kota
Denpasar yang biasa menangani pengikatan kredit serta pengikatan jaminan
perbankan, yaitu bapak I Gusti Ngurah Mahabuana, SH juga membenarkan bila
tidak pernah menerima permohonan pengikatan kredit dan jaminan dengan
agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar
pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah
berupa sertipikat. Hal ini terjadi dikarenakan terdapat banyak resiko yang akan
ditanggung bank sebagai kreditor apabila menerima agunan berupa hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan
setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat.
(wawancara tanggal 30 Agustus 2013).
Berdasarkan ketentuan dan penjelasan dari Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah, jika dikaitkan dengan penelitian dilapangan yaitu
pada perbankan di kota denpasar, dapat dipaparkan dengan penjelasan dari para
121
pihak perbankan di kota Denpasar dan Notaris/PPAT yang biasa menangani
pengikatan kredit serta pengikatan jaminan perbankan, terjadi penolakan
penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak
lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki
tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat.
Berdasarkan kenyataan dalam praktek perbankan di Kota Denpasar, dapat
dijelaskan secara otomatis pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan
setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat yang
nantinya di pergunakan untuk agunan dalam praktek perbankan di Kota Denpasar
belum pernah terjadi. Dari pemaparan kenyataan yang ada dalam praktek perbankan
di Kota Denpasar, dapat dikatakan bahwa implementasi tentang pasal Pasal 10 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, tidak berlaku efektif dalam
praktek perbankan di kota Denpasar, karena terdapat banyak resiko yang akan
ditanggung bank sebagai kreditor apabila menerima agunan berupa hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan
setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat.
Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang menyebutkan tanahtanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut ketentuan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria,
122
sementara proses administrasinya belum selesai dilaksanakan, dimungkinkan
dijadikan jaminan utang dengan di bebani hak tanggungan, belum dapat dikatakan
sebagai hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dari
penjelasan dan data yang diberikan beberapa pihak perbankan di Kota Denpasar,
dalam hal penerimaan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak
lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki
tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat belum pernah dilakukan oleh beberapa
bank umum di Kota Denpasar. Berdasarkan kenyataan yang terjadi pada praktek
perbankan di Kota Denpasar, dapat disimpulkan bahwa implementasi pemberian
hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang
belum terdaftar sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, belum dapat dikatakan
berlaku efektif, seperti halnya pendapat Soerjono Soekanto yang menyatakan
hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat
itu hukum mencapai sasarannya dalam membingbing atau merubah perilaku
manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Secara umum Soerjono Soekanto
menyatakan bahwa derajat efektivitas suatu hukum ditentukan dari taraf
kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya,
sehingga dikenal suatu asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi
merupakan suatu indicator berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya
hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum,
yaitu berusaha untuk mempertahankan dan menghubungi masyarakat dalam
123
pergaulan hidup.117 Selain itu apabila dikaitkan dengan teori sociological
jurisprudence yang menyatakan Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat, implementasi pemberian hak
tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, belum dapat dikatakan sebagai
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat, dikarenakan
masih banyaknya terjadi penolakan penerimaan agunan hak atas tanah tersebut
pada paraktek perbankan khususnya praktek perbankan di Kota Denpasar.
117
Soerjono Soekanto I, loc.cit.
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS
PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH
BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR
DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR
Mengkaji pelaksanaan hukum dari ketentuan dalam dan penjelasan atas Pasal
10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dalam praktek
perbankan di Kota Denpasar, fokus kajian sebenarnya terletak pada bagaimana
ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
diterapkan dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Penegakan hukum Hak
Tanggungan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen atau
subsistim sebagai bagian untuk mewujudkan sinergi dalam rangka mencapai tujuan
diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Robert B. Seidman menyatakan tindakan apapun yang diambil baik oleh
pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undangundang
selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya,
ekonomi dan politik, dan lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatankekuatan sosial
itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturanperaturan yang berlaku menerapkan sanksisanksinya, dan dalam seluruh aktivitas
124
125
lembaga-lembaga pelaksanaannya.118 Robert B. Seidman juga berpendapat
mengenai bekerjanya hukum diantaranya :119
1) Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang
pemegang peranan itu diharapkan bertindak.
2) Bagaimana seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai suatu respon
terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang
ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dan lembaga-lembaga
pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatasn sosial, politik dan lainlainnya mengenai dirinya.
3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon
terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum
yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek
ketentuanketentuan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri
mereka serta umpan balik yang datang dari para pemegang peranan.
4) Bagaimana para pembuat undang-undang itu bertindak merupakan fungsi
peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan kompleks ketentuan-ketentuan sosial politik, ideologis dan
lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang
pemegang peranan serta birokrasi.
118
119
Esmi Warrasih, loc.cit.
Ibid, hal. 12.
126
Faktor bersifat yuridis normatif, menyangkut peraturan perundang-undangan
dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24
Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang
Pendaftaran Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Faktor
penegakannya, para pihak dan peranan pemerintah sangat berperan serta dalam
pelaksanaan efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas
tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek
perbankan di Kota Denpasar. Para pihak dan Peranan Pemerintah diantaranya
kantor pertanahan sebagai pelaksana pendaftaran tanah, Termasuk pejabat yang
membuat akta pemberian hak tanggungan yaitu Notaris/PPAT. Faktor bersifat
yuridis sosiologis, yaitu menyangkut pertimbangan ekonomis serta kultur hukum
pelaku bisnis dalam hal ini adalah masyarakat sebagai yang akan memanfaatkan
hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar untuk
dijadikan agunan dan pihak perbankan sebagai kreditor yang akan menyalurkan
dana. Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan, hukum tidak dapat terlepas
dari faktor penegakannya dan kultur (masyarakat) agar suatu peraturan dapat
127
dilaksanakan denga baik dan tujuan dari dibuatnya peraturan tersebut dapat
tercapai.
Efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat juga tidak terlepas dari
kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Mengenai
berlakunya hukum sebagai suatu kaidah dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan
atas kaidah yang lebih tinggi;
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif,
artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak
diterima oleh warga masyarakat;
3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya hukum dibenarkan
berlaku atas dasar keyakinan filosofis yakni bahwa kaidah hukum tersebut
sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.120
Berlakunya suatu kaidah hukum dapat ditinjau dari masing-masing sudut,
agar kaidah hukum dapat berfungsi secara efektif, maka kaidah hukum harus
mengandung tiga unsur diatas, sebab apabila tidak terpenuhi dapat berakibat
pelaksanaan kaidah hukum dalam masyarakat akan mengalami hambatan.
Selain mengandung tiga unsur tersebut diatas berfungsinya hukum juga
melibatkan banyak faktor yang ikut mendukung pelaksanaan berlakunya suatu
120
Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu
Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 22.
128
peraturan. Menurut Soerjono Sukanto, lima faktor yang menjadi elemen
kinerjanya hukum, yaitu:121
1. Faktor hukumnya sendiri.
2. Faktor penegak hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas.
4. Faktor masyarakat.
5. Faktor kebudayaan.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena itu
merupakan esensi penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada
efektivitas penegakan hukum.122
Berdasarkan dari pemaparan tentang penegakan hukum diatas, jika dikaitkan
dengan ketentuan dan penjelasan dari Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah, lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
sebagai realisasi dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Disamping itu perlunya Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah dimaksudkan untuk mendukung penyediaan dana
perkreditan dalam peoses pembangunan, sehingga sudah semestinya bila pemberi
dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapatkan perlindungan
121
Soerjono Soekanto I, loc.cit.
Siti Soetami, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rafika Aditama,
Bandung, hal. 23.
122
129
hukum melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula
memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Ini berarti
bunyi pertimbangan konsiderans pertama dan serta dihubungkan dengan ayat 1
Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
maka pada dasarnya kelahiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
tersebut lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan pembangunan di bidang ekonomi,
terutama dalam rangka menuju kegiatan perkreditan.123
Untuk
mencapai
tujuan
pembangunan
nasional
Indonesia
sehingga
mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945, perlu dilaksanakan pembangunan disegala bidang,
termasuk pembangunan dalam bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi, sebagai
bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan kesejahtraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila
dan Undang-Undang 1945. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan,
meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang besar diperoleh melalui
kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut
dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit
serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak
123
Rachmadi Usman, op.cit. hal 32.
130
jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang
berkepentingan.124
4.1 Faktor Kaidah atau Aturan Hukum
Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah ukuran efektivitas hukum
apabila dilihat dari sisi faktor kaidah atau aturan hukum adalah sebagai berikut:125
1) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sistematis;
2) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah
cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan;
3) Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang ada mengatur
bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi;
4) Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan
yuridis yang ada.
Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa undang-undang menjadi salah satu
faktor dalam mencapai efektivitas hukum yang ada. Oleh karena itu gangguan
dalam penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan beberapa
hal yaitu:126
1) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang;
2) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk
menerapkan undang-undang;
124
Adrian Sutedi, , op.cit., hal. 3.
Soerjono Soekanto,1983, Penegakan Hukum, Binacipta : Bandung
(selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto V), hal 80.
126
Soerjono Soekanto II, op.cit., hal. 17.
125
131
3) Ketidakjelasan
arti
kata-kata
di
dalam
undang-undang
yang
mengakibatkan kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya.
Suatu peraturan perundang-undangan dapat dikeluarkan oleh lembaga
tertinggi dalam suatu negara maupun oleh suatu badan yang dalam suatu system
politik mempunyai kedudukan yang lebih rendah, peraturan perundang-undangan
biasanya merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi derajatnya. Suatu penelitian terhadap efek suatu peraturan
perundang-undangan di dalam suatu masyarakat merupakan salah satu usaha
untuk mengetahui apakah hukum tersebut benar-benar berfungsi atau tidak.
Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan baik apabila hanya
memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis atau ideologis dan yuridis saja, karena
secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukan berarti setiap
peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada gejala gejala
bahwa peraturan tadi tidak hidup.127 Hukum adalah kenyataan sosial, Antony Allot
menyebut “Laws or actual legal systems are a social reality.”128
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam bumi digunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat Indonesia. Ketentuan ini merupakan landasan dari
terbentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang
127
128
Soekanto Soerjono III, op.cit., hal 22.
Antony Allot, 1980, The Limit of Law, Butterworth & Co., London, hal. 3.
132
kuat untuk dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan yang
bertujuan untuk pengganti lembaga hak jaminan Hypotheek dan Credietverband.
Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, lembaga hak tanggungan
tersebut belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya
Undang-Undang
yang
mengaturnya
secara
lengkap,
sebagaimana
yang
dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan
ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan
ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan ketentuan Credietverband tersebut dalam Staatsblad
1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor
190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau
berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria.
Pada tanggal 9 April 1996 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah. Dengan berlakuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah, ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dan ketentuan Credietverband tersebut dalam
133
Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad
1937 Nomor 190, sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas
tanah beserta benda-benda yanag berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi.
Dengan demikian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah,
merupakan dasar hukum yang mengatur lembaga jaminan atas tanah, yaitu hak
tanggungan sebagaimana pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Sebagai tindak lanjut dari
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, berturut-turut lahirnya
ketentuan yang mengatur hak tanggungan tersebut, di antaranya :
1. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan, Akta Pemberian Haktanggungan, Buku Tanah Hak
Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan;
2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit
Kredit Tertentu;
3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan;
134
Terkait dengan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas
tanah berupa sertipikat, dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan dibebani
Hak Tanggungan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah.
Dimungkinkannya pemberian hak tanggungan pada hak atas tanah milik adat
dimaksudkan untuk :
1. Memberikan kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum
bersertipikat memperoleh kredit, karena tanah dengan hak milik adat pada
waktu ini masih banyak;
2. Mendorong pensertipikatan hak atas tanah umumnya, mengingat tanah
yang belum bersertipikat pada waktu ini masih banyak.129
Dalam hal pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah berasal dari
konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan
tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, Undang-Undang
memberikan jangka waktu yang lebih panjang pada Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan yang dipergunakan. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal
15 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
129
Rachmadi Usman, loc.cit.
135
Mengenai pendaftaran hak tanggungan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, mengatur lebih rinci dengan Peraturan Pelaksananya, yaitu diatur
dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pihak Notaris/PPAT yang
memiliki wilayah kerja di Kota Denpasar, memberikan tanggapan terhadap
ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
Beberapa tanggapan dari para pihak notaries/PPAT di Kota Denpasar, antara lain :
1. Bapak I Gusti Ngurah Mahabuana, SH berpendapat bahwa UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, tehah terdapat
sinkronisasi secara secara hierarki dan horizontal, dikarenakan tidak ada
pertentangan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan
Tanah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
136
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak
Tanggungan. (wawancara tanggal 21 Agustus 2013).
2. Bapak Gede Semester Winarno, SH berpendapat bahwa Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak
Tanggungan merupakan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah karena bagaimanapun undang-undang bisa
diterapkan atau dijalankan kalau terdapat peraturan pelaksanaannya.
(wawancara tanggal 21 Agustus 2013).
3. Ibu Inti Sariwati, SH, berpendapat bahwa didalam Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, telah
memberikan kejelasan arti kata-kata dalam Pasal tersebut, kejelasan
tersebut dapat menghindarkan terjadinya kesimpang-siuran di dalam
penafsiran serta penerapannya. (wawancara tanggal 21 Agustus 2013).
Dari pemaparan diatas penulis berpendapat faktor
hukum sangatlah
mempengaruhi efektivitas suatu peraturan penundang-undangan, ini dikarenakan
untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran ataupun tumpang tindih peraturan
perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam interpretasi
atau kesalahan penafsiran peraturan perundang-undangan oleh penegak hukum.
137
Kesalahan dalam interpretasi atau kesalahan penafsiran Peraturan PerundangUndangan tentunya dapat berdampak pada kesalahan penerapan Peraturan
Perundang-Undangan tersebut oleh penegak hukumnya. Apabila dikaitkan dengan
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dalam substansi
hukumnya, ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, didalam peraturan pelaksanaannya telah mengatur secara lebih
jelas mengenai apa yang terkandung dalam undang-undang. Melihat hal tersebut,
dari segi faktor kaedah atau aturan hukumnya sudah baik karena Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah, telah mengikuti asas-asas berlakunya undangundang, sudah mempunyai Peraturan Pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran
Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan, dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah khususnya pasal 10 ayat (3) telah memiliki
kejelasan arti kata-kata yang dapat menghindarkan terjadinya kesimpang-siuran di
dalam penafsiran serta penerapannya, seperti yang tercantum dalam penjelasan
atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.
138
Selain hal tersebut diatas tolok ukur untuk menentukan suatu peraturan
perundang-undangan dapat dikatakan baik, tentunya harus memenuhi persyaratan
keberlakuan hukum, diantaranya adalah Kaidah hukum berlaku secara yuridis,
Kaidah hukum berlaku secara sosiologis dan Kaidah hukum berlaku secara
filosofis. Pendapat penulis tersebut di dasari oleh pendapat Zainuddin Ali dalam
bukunya Filsafat Hukum yang menyebutkan agar hukum itu berfungsi maka
hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni:
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan
pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang
telah ditetapkan;
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif.
Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun
tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu
berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat;
3. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.130
Sependapat dengan pernyataan Zainuddin Ali yang telah terpapar diatas,
Sudikno Mertokusumo juga berpendapat bahwa agar peraturan perundangundangan dapat berlaku efektif dalam masyarakat harus memiliki kekuatan
berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku filosofis,
sosiologis dan yuridis. Undang-undang memiliki kekuatan yuridis apabila
130
Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya
disingkat Zainuddin Ali I), hal. 94.
139
persyaratan formal terbentuknya undang-undang telah terpenuhi. Sedangkan
undang-undang memiliki kekuatan berlaku secara sosiologis apabila undangundang tersebut berlaku efektif sebagai sebuah aturan-aturan dalam kehidupan
masyarakat serta dapat dilaksanakan.131
Berdasarkan uraian dari pendapat beberapa ahli hukum diatas, apabila
dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
Undang-Undang telah memenuhi syarat keberlakuan hukum baik secara yuridis,
sosiologis dan filosofis. Ini dikarenakan secara yuridis, lahirnya Undang-Undang
tersebut didasarkan amanat yang terkandung pada Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bumi,
air, dan kekayaan alam yang ada di dalam bumi digunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat Indonesia. Ketentuan ini merupakan landasan dari
terbentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang
kuat untuk dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan yang
bertujuan untuk pengganti lembaga hak jaminan Hypotheek dan Credietverband.
Dari amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan amanat yang tertuang dalam Pasal 51
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria,
131
Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar),
Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 87.
140
maka dilahirkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hak
Tanggungan.
Stufenbautheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen disebutkan bahwa
peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di puncak
piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.132 Sehingga
peraturan puncak yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok
Agraria telah menjadi landasan hukum lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.133 Selain itu penulis berpendapat undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah dibentuk oleh lembaga yang berwenang yakni DPR bersama
Presiden, oleh karna itu undang-undang tersebut tidak mengalami cacat yuridis
didalam pembentukannya.
132
Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori
Peradilan
(JudicialPrudence)
Termasuk
Interpretasi
Undang-undang
(Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.62
133
Secara hierarki keberadaan Undang-undang ini telah sesuai dengan kaidah
yang berada di atasnya. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun
2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan Jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Dengan demikian berdasarkan hierarki ini, setiap undang-undang harus
berpedoman dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
141
Dari sudut pandang sosiologisnya penulis berpendapat, Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah sangat diperlukan oleh masyarakat, yang bertujuan
memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat baik itu pemberi dan
penerima kredit serta pihak lain yang terkait melalui suatu lembaga hak jaminan
yang kuat dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang
berkepentingan dalam rangka penyediaan dan penyaluran kredit untuk
mendukung proses pembangunan di Indonesia. Disamping itu lahirnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dapat mewujudkan unifikasi dalam
hukum tanah di Indonesia.
Secara filosofis, lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan
makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal ini perlu
dilaksanakan pembangunan dalam bidang ekonomi yang dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi, faktor permodalan merupakan salah satu syarat penting.
Masyarakat berusaha menunjang pembangunan dengan cara mengembangkan
berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahtraan kehidupannya.
4.2 Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup
ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas,
142
menengah dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan
hukum, petugas seyogyanya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan
tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.134
Efektivitas hukum dalam pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap
hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek
perbankan di Kota Denpasar berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda
yang Berkaitan dengan Tanah sangat dipengaruhi oleh penegak hukumnya. Hal ini
sesuai dengan pemikiran dari Achmad Ali mengatakan bahwa efektif tidaknya
suatu aturan hukum secara umum tergantung pada optimal dan profesional
tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum
tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan
hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran
hukum, interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus
konkret. Efektif atau tidaknya aturan hukum juga mensyaratkan adanya standar
hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat.
Aparat pelaksana yang bertugas dan memiliki fungsi sebagai penegak hukum
menurut penulis adalah pihak kantor pertanahan kota Denpasar, dalam hal ini
tugas dan fungsi daripada instansi ini adalah sebagai badan pengawas sekaligus
badan penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum dalam bidang hukum
pertanahan. Hal ini dikarena yang mempunyai wewenang untuk melakukan
134
Zainudin Ali, 2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya
disingkat Zainudin Ali II) , hal. 63.
143
tindakan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum di bidang pertanahan
adalah kantor pertanahan Kota Denpasar. Hal-hal yang menyangkut tugas dan
fungsi Badan Pertanahan telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional.
Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional, menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional
mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara
nasional, regional dan sektoral.
Dalam pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional, menyebutkan Dalam melaksanakan tugas
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal
2,
Badan
Pertanahan
Nasional
menyelenggarakan fungsi :
1.
2.
3.
4.
5.
perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahan;
6. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus;
9. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
12. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di
bidang pertanahan;
13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di
bidang pertanahan;
15. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
144
16. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
17. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan;
18. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
19. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan;
20. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku;
21. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Notaris/PPAT yang juga menjabat
sebagai Ketua MPD wilayah Kota Denpasar, yaitu Bapak Gede Semester
Winarno, SH, beliau menjelaskan birokrasi dalam penegakan hukum pada kantor
pertanahan Kota Denpasar terlalu berbelit-belit selama ini, justru menjadi hambatan
bagi penegak hukum untuk melakukan kegiatan pendaftaran tanah maupun
pendaftaran hak tanggungan. Sering juga pendaftaran tanah maupun pendaftaran hak
tanggungan ditanggapi dengan sikap yang tidak simpatik. Beliau sering mengalami
kesulitan ketika melakukan pendaftaran tanah khususnya pendaftaran hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan
setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, beliau
masih mengeluhkan tentang lamanya proses untuk pendaftaran tanah tersebut yang
harus menunggu selama 4 (dua) sampai 6 (tiga) bulan kadang juga biasa mencapai 1
(satu) tahun. Selain itu menurut beliau biaya yang dikeluarkan pemohon juga tidak
sedikit, untuk pengurusan pendaftaran tanah-tanah tersebut diperlukan dana hingga
jutaan rupiah. (wawancara tanggal 30 Agustus 2013).
Sependapat dengan hal diatas berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I
Wayan Budiartha, selaku petugas pendaftaran dari Notaris/PPAT I Gusti Ngurah
145
Mahabuana, SH, juga mengeluhkan bahwa kendala yang ia hadapi saat melakukan
pendaftaran tanah khususnya pendaftaran hak atas tanah berasal dari konversi hak
lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki
tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat adalah survey lokasi untuk
pengumpulan dan pengolahan data fisik yang terdiri dari pembuatan peta dasar
pendaftaran, penetapan batas-batas bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidangbidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah dan
pembuatan surat ukur. ini dilakukan berulang-ulang sehingga memakan waktu dan
biaya. Bapak I Wayan Budiartha juga mengatakan bahwa kinerja dari petugas
kantor pertanahan kota Denpasar masih agak lambat. (wawancara tanggal 31
Agustus 2013).
Selain hal tersebut diatas berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa
pihak Notaris/PPAT yang memiliki wilayah kerja di kota Denpasar, yaitu Bapak I
Gusti Ngurah Mahabuana, SH, Bapak Semester Winarno, SH dan Ibu Inti
Sariwati, SH, mereka sependapat menyatakan bahwa penerapan Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, pada praktek perbankan di
kota Denpasar, juga dipengaruhi oleh faktor kurang efektifnya sosialisasi tentang
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah itu sendiri, baik pada
masyarakat umum, pihak perbankan di kota Denpasar, maupun para penegak
hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di kota Denpasar dan Pihak kantor
pertanahn kota Denpasar. Kenyataan yang ada banyak para penegak hukum yang
146
kurang memahami secara mendalam arti dan tujuan dari keberadaan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya mengenai Pasal 10 ayat (3)
dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. (wawancara tanggal 30
Agustus 2013).
Berdasarkan kenyataan yang ada dilapangan, bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi penerapan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, bagi masyarakat umum, pihak perbankan di Kota Denpasar,
maupun para penegak hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di Kota
Denpasar dan Pihak kantor pertanahn kota Denpasar adalah, kurangnya
pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah,
khususnya mengenai Pasal 10 ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, walaupun pihak perbankan di Kota Denpasar, maupun para
penegak hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di Kota Denpasar dan pihak
kantor pertanahan Kota Denpasar, mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 4
Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang
Berkaitan dengan Tanah akan tetapi secara mendalam belum memahami isi dari
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
147
Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Selama ini
masyarakat Kota Denpasar, pihak perbankan di Kota Denpasar, maupun para penegak
hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di Kota Denpasar, kurang mendapatkan
secara khusus mengenai sosialisasi tentang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.
4.3 Faktor Sarana atau Fasilitas
Sarana dan fasilitas penegakan hukum merupakan faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak
mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas
tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan
seterusnya.135
Mengenai sarana dan fasilitas penegakan hukum ini, Prof. Zainuddin Ali
berpendapat bahwa:
Mungkin ada baiknya bahwa pada waktu hendak menerapkan suatu
peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas,
dipikirkan mengenai fasilitas yang berpatokan kepada; (1) apa yang sudah
ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada,
perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3)
apa yang kurang perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak diperbaiki atau
diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur,
ditingkatkan.136
Sarana atau fasilitas diperlukan untuk memungkinkan efektivitas pelaksanaan
pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama
135
136
Soerjono Soekanto II, loc.cit.
Zainuddin Ali, I, loc.cit.
148
yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar berdasarkan
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Sarana atau
fasilitas mencakup antara lain :
1) sumber daya manusia;
2) organisasi yang baik;
3) peralatan yang memadai.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Budiartha, selaku
petugas Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Mahabuana, SH, Mengeluhkan mengenai
minimnya sarana dan prasarana yang ada pada kantor pertanahan Kota Denpasar ,
hal itu dikarenakan dalam hal pendaftaran masih menggunakan sistem manual
yang akibatnya pengurusan pendaftaran hak tanah maupun pendaftaran hak
tanggungan tidak bisa cepat. (wawancara tanggal 31 Agustus 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kantor pertanahan Kota
Denpasar, yaitu ibu Ni Made Ardini, selaku kasubsi pendaftaran kantor
pertanahan Kota Denpasar, mengakui terdapat keterbatasan pelayanan dari pihak
kantor pertanahn Kota Denpasar. Ini dikarenakan kurangnya petugas ahli dan
berpengalaman pada kantor pertanahan Kota Denpasar. Kebanyakan petugas yang
diberdayakan pada kantor pertanahan Kota Denpasar adalah petugas kontrak yang
belum memiliki pengalaman di bidang pertanahan. Terjadi pengadaan alat-alat
kantor pertanahan yang terlambat dikirimkan oleh pusat juga menjadi penyebab
keterbatasan pelayanan kantor pertanahan Kota Denpasar. Selain itu sarana
149
prasarana transportasi seperti mobil dan motor dinas juga sangat terbatas sehingga
menghambat kinerja petugas, terutama petugas lapangan dari kantor pertanahan
Kota Denpasar. (wawancara tanggal 02 September 2013).
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kantor pertanahn Kota Denpasar,
yaitu bapak I Gede Wita, selaku Kasubsi Pengukuran kantor pertanahan Kota
Denpasar, mengakui terdapat keterbatasan sarana dan prasarana seperti
terbatasnya alat ukur digital untuk pengukuran tanah, tidak layak pakainya alat
ukur yang tersedia pada kantor pertanahn Kota Denpasar, selain itu menurut
bapak I Gede Wita mengatakan kurangnya penyediaan dana untuk pemeliharaan
peralatan pada kantor pertanahn Kota Denpasar. (wawancara tanggal 02
September 2013).
Untuk mendukung keterangan dari pihak kantor pertanahn Kota Denpasar
yang menyatakan terdapat keterbatasan sarana dan prasarana yang menyebabkan
kurang maksimalnya pelayanan kantor pertanahn Kota Denpasar, dilakukan pula
observasi langsung pada kantor pertanahan Kota Denpasar. Menurut Burhan
Ashsofa dalam buku pedoman pendidikan program studi magister kenotariatan
universitas udayana tahun 2011, menyatakan teknik observasi dapat dibagi
menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung.
Teknik observasi langsung adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti
mengadakan pengamatan secara langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala
subyek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi yang sebenarnya
maupun dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan. Sedangkan teknik
150
observasi tidak langsung adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti
mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang ditelitinya dengan
perantaraan sebuah alat.
Dari hasil observasi langsung, dapat dipaparkan bahwa memang benar masih
banyak petugas yang bekerja pada kantor pertanahan Kota Denpasar bersetatus
kontrak dan belum memiliki pengalaman dalam bidang pertanahan. Selain itu alat
transportasi dan alat-alat untuk menunjang pengukuran pada kantor pertanahan
Kota Denpasara juga masih sangat terbatas. (Observasi tanggal 6 September
2013).
Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau fasilitas
mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum
menyerasikan peranan yang seharusnya yaitu dengan peranan yang aktual.
4.4 Faktor Masyarakat
Masyarakat merupakan faktor penting dari berjalannya pelaksanaan Pasal 10 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Hukum mengikat bukan
karena negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari
kesadaran hukum masyarakat. Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan
kedamaian dalam masyarakat, dan penegakan hukum berasal dari masyarakat.
Oleh karena itu, maka masyarakat turut mempengaruhi penegakan hukum
tersebut. Hak Tanggungan sendiri lahir karena kebutuhan masyarakat yang
151
menginginkan adanya lembaga jaminan yang kuat untuk di bebankan pada hak
atas tanah.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Notaris/PPAT yang juga menjabat
sebagai Sekretasis MPD wilayah Kota Denpasar, yaitu Bapak I Gusti Ngurah
Mahabuana, SH, beliau berpendapat, selain dari penegak hukum, Pasal 10 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah belum maksimal dalam
pelaksanaannya juga dikarenakan masyarakat sendiri. Karena kebanyakan masyarakat
masih belum paham sepenuhnya mengenai Peraturan tersebut. (wawancara tanggal
28 Agustus 2013).
Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I
Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang
Denpasar mengatakan, sering terjadi masyarakat membutuhkan dana dan sebisa
mungkin untuk cepat di cairkan pihak bank, namun mereka enggan melengkapi
dokumen-dokumen yang di persyaratkan oleh pihak bank dengan alasan terlalu
berbelit-belit, menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Dalam hal masyarakat yang
ingin memanfaatkan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas
tanah berupa sertipikat sebagai agunan pada Bank namun masyarakat sendiri
enggan melengkapi dokumen-dokumen untuk kelengkapan pendaftaran tanahnya
tentulah pihak Bank tidak menerimanya dikarenakan menghindari resiko tidak
dapat dibebaninya hak tanggungan pada hak atas tanah tersebut. Selain itu, faktor
warga sekitar juga sering menjadi hambatan pemberian hak tanggungan terhadap
152
hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek
perbankan. Dalam pendaftaran hak atas tanah, diperlukan kesepakatan penetapan
batas-batas bidang tanah antara pemohon dengan penyandingnya. Kadang warga
sekitar yang bersebelahan dengan tanah yang akan di daftarkan atau sering disebut
penyanding, mengajukan keberatan atas penetapan batas-batas yang di tunjukkan,
sehingga diperlukan waktu lagi untuk menyelesaiakn sengketa tersebut. (wawancara
tanggal 27 Agustus 2013).
Dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah
diharapkan dapat menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan hak
tanggungan sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk
memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan.
Masyarakat dalam hal ini adalah seluruh masyarakat Indonesia khususnya pihak
yang berkepentingan yaitu pemberi hak tanggungan dalam hal ini adalah debitor
dan Penerima hak tanggungan yakni bank sebagai kreditor. Kesadaran masyarakat
untuk memanfaatkan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar pada kantor pertanahan setempat sebagai jaminan utang dan kesadaran
masyarakat untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran
hak atas tanah maupun pendaftaran hak tanggungan sangat berpengaruh terhadap
efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal
dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota
Denpasar berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
153
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah.
4.5 Faktor Kebudayaan
Faktor terakhir yang mempengaruhi penerapan Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah adalah faktor kebudayaan. Menurut
Lawrence M Friedman yang dikutip dalam Soerjono Soekanto berpendapat bahwa
sebagai suatu system atau subsistem dari kemasyarakatan, maka hukum
mencangkup struktur, substansi dan kebudayaan.137 Struktur mencangkup wadah
ataupun bentuk dari system tersebut yang umpamanya mencangkup tatanan
lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut,
hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi hukum
mencangkup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara untuk
menegakkannnya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari
keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang
mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi
abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang
dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan
pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus
diserasikan.138
137
138
Soerjono Soekanto I, loc.cit.
Soerjono Soekanto II, op.cit. hal. 60.
154
Menurut pendapat Purbacaraka dan Soerjono soekanto dalam Bayu Setiawan,
Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari
hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa
yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:139
1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman.
2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan.
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme.
Apabila dikaitkan antara faktor kebudayaan dengan masalah efektivitas
penerapan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, ini
sangat berkaitan erat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak debitor yaitu bapak Ir. I Wayan
Suantra, selaku Direktur Utama dari PT. Pesona Dewata, dalam hal ini pernah
mengalami penolakan pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah
berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan
setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, pihak
perbankan di Kota Denpasar, terlihat bahwa mereka kurang memahami secara
mendalam arti dan tujuan dari keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan
dengan Tanah, khususnya mengenai Pasal 10 ayat (3) dari Undang-Undang tersebut.
139
Bayu Setiawan, 2011, “Hukum di Indonesia”, Serial Online 08/11/2011,
available from : URL: http://www.bayusetiawan15.blogspot.com archive.htm.
155
Permasalahan tersebut disebabkan oleh masih kurang kondusifnya budaya hukum
yang diciptakan oleh pihak kantor pertanahn Kota Denpasar. Hal ini menunjukkan
bahwa kesadaran hukum relative masih rendah, untuk menegakkan system
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya mengenai Pasal 10
ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah . (wawancara tanggal
23 Agustus 2013).
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan pemaparan dalam bab-bab terdahulu terutama yang berhubungan
dengan permasalahan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pemberian Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah berasal
dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan,
dalam prakteknya belum efektif yang ditunjukkan oleh beberapa Bank
Umum Swasta di Kota Denpasar tidak menerima hak atas tanah berasal
dari konversi hak lama dan belum terdaftar pada kantor pertanahan sebagai
agunan yang natinya akan dibebankan Hak Tanggungan.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan
terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum
terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar adalah berupa faktor
substansi hukum, secara umum pengaturan hak tanggungan di Indonesia
telah komprehensif dalam mengatur pemberian maupun pendaftaran hak
tanggungan, namun tidak efektifnya aturan tersebut
dikarenakan
kurangnya sosialisasi dari penegak hukum mengenai Undang-Undang Hak
Tanggungan, terbatasnya sarana atau fasilitas yang menunjang penegakan
hukum tersebut,
kurang perdulinya
masyarakat
akan pentingnya
pendaftaran hak atas tanah dan kurang kondusifnya budaya hukum yang
diciptakan oleh pihak kantor pertanahan.
156
157
5.2 Saran
1. Perlunya peningkatan sosialisasi dari pihak kantor pertanahan kota Denpasar
mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, khususnya dalam hal
pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari
konversi hak lama yang sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarka
tetapi belum selesai didaftarkan, kepada pihak perbankan di Kota
Denpasar, pihak Notaris/PPAT dan masyarakat pada umumnya.
2. Diharapkan adanya penyederhanaan mekanisme pelayanan dibidang
pertanahan dari kantor pertanahan kota Denpasar agar memudahkan
masyarakat dalam pengurusan pendaftaran hak atas tanah maupun
pendaftaran hak tanggungan. Dalam hal sarana atau fasilitas penunjang
kinerja dari kantor pertanahan kota Denpasar, perlu adanya pemeliharaan
berkala terhadap sarana dan prasarana yang telah dimiliki agar setiap saat
dapat difungsikan, melakukan pengadaan sarana dan prasarana yang belum
lengkap dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya, apabila
terdapat sarana dan prasarana yang telah rusak agar segera diperbaiki atau
diganti.
158
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
Adi, Rianto, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta.
Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence),
Kencana Prenada Media Group, Jakarta.
Ali, Zainudin, 2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
_______, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Allot, Antony, 1980, The Limit of Law, Butterworth & Co., London.
Amiruddin Dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Ashshofa, Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ketiga, PT. Rineka
Cipta, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung.
Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul
Minn, West Publishing Co.
Dharmayuda, Suasthawa, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah
Berlakunya UUPA, CV. Kayu Mas Agung, Denpasar.
Friedmann, Lawrence, 1975, The Legal System A Social Science Persperctive,
Russel Sage Foundations, New York.
Hadisaputro, Hartono, 1984, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Perikatan,
Liberty, Yogyakarta.
Harun, Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka
Yustisia, Yogyakarta.
Harsono, Boedi, 1971, UUPA Sejarah Penyusunan Isi Dan Pelaksanaanya,
Djambatan, Jakarta.
158
159
Hasan, Alwi, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Cetakan ketiga,
Balai Pustaka, Jakarta.
Ibrahim, Johannes, 2004, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya
Penyelesaian KreditBermasalah, Refika Aditama, Bandung
Isnur, Eko Yulian, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah,
Pustaka Yustisia, Yogyakarta.
Jusuf, Jopie, 2008, Panduan Dasar Untuk Account Officer, Unit Penerbit dan
Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta.
Kartono, 1977, Hak-hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta.
Kasmir, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Manan, Abdul, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta.
Manan, Bagir, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara,
Mandar Maju, Bandung.
Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty,
Yogyakarta.
Muljadi, Kartini, Gunawan Widjaja, 2006, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak
Tanggungan, Kencana, Jakarta
Narbuko, Cholid, dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi
Aksara, Jakarta.
Parlindungan A.P, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet II, Mandar Maju,
Bandung.
Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan
UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
Perangin, Effendi, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta.
Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi,
Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Cet I, LaksBang
PRESSindo, Yogyakarta.
160
Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, 2001, DasarDasar Filsafat Dan Teori Hukum,
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem,
CV. Mandar Maju, Bandung.
Samford, Charles, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil
Blackwell Ltd, UK.
Salindeho, John, 1994, Manusia, Tanah, Hak Dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta
Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah , Kencana,
Jakarta
Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung.
Siagian, Sondang P., 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka
Cipta, Jakarta.
Sinungan, Mucdarsyah, 1990, Kredit Seluk Beluk dan Pengelolaannya, Tograf,
Yogyakarta.
Soemitro, Ronny Hanitijo, 1985, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia,
Jakarta.
Soetami, Siti, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rafika Aditama, Bandung.
Soekanto, Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung.
_______, 1988, Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja Karya,
Bandung.
_______, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, cetakan kelima, PT Raja
Grafindo Persada:Jakarta
_______, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Jakarta.
_______, 2004, Faktor-faktor yang
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Mempengaruhi
Penegakan
Hukum,
161
_______, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada : Jakarta.
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1981, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas
Tanah, Liberty, Yogyakarta.
_______, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta.
Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVIII, PT Intermasa, Jakarta.
Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta.
Sunindhia Y.W. dan Ninik Widiyanti, 1988, Pembaharuan Hukum Agraria. Bina
Aksara, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.
_______, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta.
Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta.
Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. II, Sinar,
Grafika, Jakarta.
Walters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications,
London.
Warrasih, Esmi, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru
Utama, Semarang.
2. Makalah
Ginting, Ramlan, 2005, “Peraturan Pemberian Kredit Bank Umum”, Paper, pada
Diskusi Hukum Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap
Pemberian Fasilitas Kredit Dalam Praktek Perbankan di Indonesia, Bandung
3. Internet
Hakim, Nurul, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa dengan Lembaga Peradilan”, available from : URL :
http ://www.badilag.net.
Setiawan, Bayu, 2011, “Hukum di Indonesia”, available from : URL:
http://http://bayusetiawan 15.blogspot.com/2011_11 01_archive.html.
162
4. Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2043);
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182).
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3696).
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1996, tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta
Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, Dan Sertipikat
Hak Tanggungan
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun
1996, tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-kredit Tertentu
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional Nomor 5 Tahun
1996, tentang Pendaftaran Hak Tanggungan
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun
1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen
Risiko Bagi Bank Umum. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 103 DPNP).
163
DAFTAR INFORMAN
1. Nama
:
Miguel Mascarenhas
Alamat
:
Jalan Tukad Junah Nomor 19 Denpasar
Jabatan
:
Area Manager SME PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar
:
I Wayan Wiantara
Alamat
:
Jalan Pulau Alor Nomor 46 Denpasar
Jabatan
:
Area Manager Appraisal SME PT. Bank Mega, Tbk
2. Nama
Cabang Denpasar
3. Nama
:
Achmad Amara Putra
Alamat
:
Jalan Ahmad Yani Nomor 106 Denpasar
Jabatan
:
Branch Retail Banking Manager PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar
4. Nama
:
Ida Bagus Oka Wijaya
Alamat
:
Jalan Nusakambangan, Gang XI Nomor 07 Denpasar
Jabatan
:
Supervisor Admin Kredit PT. Bank Mega, Tbk
Cabang Denpasar
5. Nama
:
I Kadek Oka Widiantara
Alamat
:
Jalan Sekar Sari Nomor 23 Denpasar
Jabatan
:
Legal Officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar
:
Duna Biantara
Alamat
:
Jalan Subita, Gang VI Nomor 21 Denpasar
Jabatan
:
Account Officer Supervisor PT. Bank Bukopin, Tbk
6. Nama
Cabang Denpasar
164
7. Nama
:
Teguh Adnyana
Alamat
:
Jalan Sekar Sari Nomor 63 Denpasar
Jabatan
:
Account Officer SME PT. Bank Bukopin, Tbk
Cabang Denpasar
8. Nama
:
Gede Saswita
Alamat
:
Jalan Tukad Buana IV/9 Padang Sambian Kaja, Denpasar
Jabatan
:
Legal Officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar
:
I Gusti Ngurah Mahabuana, SH
Alamat
:
Jalan Pulau Alor No 2 Denpasar
Jabatan
:
Notaris/PPAT di kota Denpasar
:
Gede Semester Winarno, SH
:
BTN Puskopad II, blok C 56, Sanggulan, Kediri,
9. Nama
10. Nama
Alamat
Tabanan-Bali
Jabatan
:
Notaris/PPAT di kota Denpasar
:
Inti Sariwati, SH
Alamat
:
Jalan Hayam Wuruk No 251 Denpasar
Jabatan
:
Notaris/PPAT di kota Denpasar
:
I Wayan Budiartha
Alamat
:
Jalan Pulau Bungin Nomor 531 Denpasar
Jabatan
:
Staf Notaris/PPAT di kota Denpasar
:
Ni Made Ardini
Alamat
:
Br. Silakarang, Singapadu kaler Sukawati, Gianyar
Jabatan
:
Kasubsi Pendaftaran Badan Pertanahan Nasional
11. Nama
12. Nama
13. Nama
Kota Denpasar
165
14. Nama
:
I Gede Wita
Alamat
:
Jalan Pulau Pinag Gang III Nomor 45 Denpasar
Jabatan
:
Kasubsi Pengukuran Badan Pertanahan Nasional
Kota Denpasar
15. Nama
:
Ir. I Wayan Suantra
Alamat
:
Jalan Suli Gang IX Nomor 32 Denpasar
Jabatan
:
Direktur PT. Pesona Dewata (Pihak Debitur)
166
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Download