TESIS EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR I PUTU DARMA ADITYA WESTA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 1 2 TESIS EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR I PUTU DARMA ADITYA WESTA NIM. 1192461041 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 3 EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR Tesis untuk memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Udayana I PUTU DARMA ADITYA WESTA NIM. 1192461041 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii 4 Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 6 DESEMBER 2013 Pembimbing I, Pembimbing II, ttd ttd Prof. Dr. Ibrahim R.,SH.,M.Hum NIP.195511281983031003 Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja.,SH.,M.Hum NIP. 195811151986021001 Mengetahui : Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana, ttd Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, ttd Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH.,MH Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP. 19650221 199003 1 005 NIP. 19590215 198510 2 001 iii 5 TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 15 Nopember 2013 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor 3182/UN 14.4/HK/2013 Tanggal 13 Nopember 2013 Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R., SH., M.Hum Anggota 1. Dr. Gede Marhaendra Wija Atmadja, SH., M.Hum 2. Prof. Dr. I Wayan Parsa, SH., M.Hum 3. Dr. I Nyoman Suyatna., SH.,MH 4. Dr. Ni Ketut Supasti Darmawan, SH., MH., LLM 6 PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama : I PUTU DARMA ADITYA WESTA NIM : 1192461041 Program Studi : Kenotariatan Judul Tesis : Efektivitas Pemberian Hak Tanggungan Terhadap Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum Terdaftar Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 07 Nopember 2013 Yang menyatakan, Meterai 6.000 ttd (I Putu Darma Aditya Westa) NIM. 1192461041 iv 7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmatnya penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Adapun judul tesis ini adalah “EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR”. Dalam penulisan tesis ini, penulis menyadari masih terdapat kekurangan, untuk itu besar harapan penulis semoga tesis ini memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat untuk meraih Gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis inipun tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ibrahim R.,SH.,M.Hum. selaku Pembimbing Utama dan Dr. Gede Marhaendra Wija Atmaja.,SH.,M.Hum. selaku Pembimbing Kedua yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan dorongan, semangat, bimbingan dan saran selama penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana beserta staff atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti dan menyelesaikan studi pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana v 8 Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti Program Magister dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, SH., MH selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Udayana. Terima kasih penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar di Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu kepada para mahasiswa termasuk penulis, Bapak dan Ibu seluruh staf dan karyawan di Sekretariat Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah membantu penulis dalam proses administrasi, bapak Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Mahabuana, SH beserta seluruh staf kantor, Dek Oka alias Sentul, Ida Bagus Oka Wijaya, Jik Giri, seluruh teman-teman Bank Mega, dan seluruh teman-teman Angkatan II Magister Kenotariatan Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan maupun semangat dalam penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis tujukan kepada ayah dan ibu tercinta, dr. I Wayan Westa, SpKj dan Ni Putu Darmawati, SH., MH serta adik dan pacar tersayang Ni Made Kusuma Wardani dan Ni Ketut Apriani, yang dengan sabar mendukung penulis untuk dapat menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terimakasih kepada (alm.) Ninik yang telah memberikan inspirasi untuk menuju kesuksesan. Sebagai akhir kata penulis berharap semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan vi 9 kepada kita semua dan semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah kepustakaan di bidang kenotariatan serta berguna bagi masyarakat. Denpasar, 07 Nopember 2013 Penulis vii 10 ABSTRAK EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar sebagaimana pendaftaran tersebut merupakan unsur mutlak dari obyek hak tanggungan, dimungkinkan untuk dibebankan hak tanggungan. Pengecualian itu tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Meskipun terdapat aturan yang memperbolehkan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar untuk dijadikan sebagai agunan dengan di bebankan hak tanggungan, namun terjadi penolakan dari beberapa bank di Kota Denpasar untuk menerima agunan tersebut, seperti yang terjadi di PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, adapun rumusan masalah yang diangkat adalah sebagai berikut : pertama, bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar dan rumusan masalah kedua, apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum empiris atau jenis penelitian sosiolegal research, yang bersifat deskriptif dengan mepergunakan data primer dan data sekunder. Selain itu teknik pengumpulan data dalam penulisan tesis ini mempergunakan teknik studi dokumen dan teknik wawancara. Pengambilan sampel dalam penulisan tesis ini mempergunakan teknik non probability sampling dengan bentuk purposive sampling, dalam pengolahan dan analisis data dipergunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah tidak efektif, hal ini dilihat dari terjadi penolakan dari beberapa bank di kota Denpasar untuk menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar. Efektivitas suatu peraturan dapat dianalisis melalui lima faktor yang menjadi elemen kinerjanya hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan yang terakhir adalah faktor kebudayaan. Kata Kunci : Efektivitas hukum, hak tanggungan, konversi. viii 11 ABSTRACT THE EFFECTIVENESS OF GRANTING MORTGAGE OVER LAND RIGHTS WHICH IS ORIGINATED FROM THE CONVERSION OF UNREGISTERED OLD RIGHTS IN BANKING PRACTICE IN THE CITY OF DENPASAR Land rights is originated from the conversion of unregistered old rights that such registration is an absolute element of the object of mortgage, it is possible to be charged as a mortgage. The exception is listed in Article 10 paragraph ( 3 ) of Law Nomor 4 of 1996 regarding Mortgage of Land including Objects Related to the Land. Although there are rules that allow land rights originated from the conversion of unregistered old rights to be used as the collateral to the mortgage in charge, but there are rejections from some of the banks in the city of Denpasar to accept such collateral, as happened at PT. Bank Mega Tbk Branch of Denpasar and PT. Bukopin, Tbk Branch of Denpasar. This is what underlies the authors to investigate the effectiveness of granting the mortgage over land rights originated from the conversion of unregistered old rights in banking practice in the city of Denpasar. Based on the background of the problem as described above, as for the problem formulations being raised are as follows : first, how is the effectiveness of implementation of granting mortgage over land rights which is originated from the conversion of unregistered old rights in banking practice in the city of Denpasar, and second, what are the factors influencing the effectiveness of granting mortgage over land rights which is originated from the conversion of unregistered old rights in banking practice in the city of Denpasar. The type of research in this thesis writing is using empirical law type of research or sociolegal type of research, which is descriptive in nature by using primary data and secondary data. In addition, data collection technique in this thesis writing is using documentation study technique and interview technique. Sample collection in this thesis writing is using non probability sampling technique with the form of purposive sampling, and in data processing and analysis is using qualitative analysis technique. The result of this study indicates that Article 10 paragraph ( 3 ) of Law Nomor 4 of 1996 on Mortgage of Land including Objects Related to the Land is ineffective, it can be seen by rejections of some banks in the city of Denpasar to accept the collateral in the form of land rights originated from the conversion of unregistered old rights. The effectiveness of a regulation can be analyzed through five factors which constitute the performance elements of the law, that is the law factor itself, the law enforcement factor,the factor of means or facility, the public factor and the last one is the cultural factor . Keywords : Law Effectiveness, mortgage, conversion. ix 12 RINGKASAN Tesis ini menganalisis mengenai efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Bab I menguraikan latar belakang masalah berasal dari adanya kesenjangan antara teori dan kenyataan (das sollen dan das sein) serta alasan pentingnya pengkajian terhadap efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub. bab dalam bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan, tujuan penulisan, manfaat penulisan, landasan teoritis, dan metode penelitian yang digunakan. Bab II menguraikan kajian pustaka, berisi tentang tinjauan umum mengenai hak tanggungan dan tinjauan umum mengenai konversi hak atas tanah serta beberapa pendapat para ahli hukum mengenai hak tanggungan dan konversi hak atas tanah. Bab III pembahasan terhadap permasalahan pertama, yaitu menjelaskan tentang efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Hasil pembahasan dalam bab ini yakni pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar, dalam praktek perbankan di Kota Denpasar belum efektif dilakukan. Bab IV pembahasan terhadap rumusan permasalahan kedua yaitu mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Terdapat lima sub. bab untuk menguraikannya, pertama faktor hukumnya sendiri, kedua faktor penegak hukum, ketiga faktor sarana atau fasilitas, keempat faktor masyarakat dan kelima faktor kebudayaan. Bab V penutup, menguraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun dalam simpulan, pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar, dalam praktek perbankan di Kota Denpasar belum efektif dilakukan. Terdapat lima faktor yang mempengaruhi elemen kinerjanya hukum. Sebagai saran, penulis menyarankan perlunya peningkatan sosialisasi dari pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar tentang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dan Bank sebagai kreditur tetap harus berhati-hati dalam menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar. x 13 DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM...................................................................................... i PRASYARAT GELAR............................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN......................................................................... iii PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT .......................................................... iv UCAPAN TERIMA KASIH....................................................................... v ABSTRAK................................................................................................... viii ABSTRACT ...............................................................................................… ix RINGKASAN.............................................................................................. x DAFTAR ISI ............................................................................................... xi DAFTAR TABEL........................................................................................... xiv BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah...................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah............................................................... 10 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................ 10 1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 11 1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................... 11 Manfaat Penelitian .............................................................. 11 1.4.1 Manfaat Teoritis......................................................... 12 1.4.2 Manfaat Praktis .......................................................... 12 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran ........................ 12 1.5.1 Landasan Teoritis ....................................................... 12 1.5.2 Kerangka Berpikir ...................................................... 27 1.4 1.5 xi 14 1.6 BAB II Metode Penelitian ............................................................... 28 1.6.1 Jenis Penelitian........................................................... 28 1.6.2 Sifat Penelitian ........................................................... 28 1.6.3 Data dan Sumber Data................................................ 29 1.6.4 Teknik Pengumpulan Data ......................................... 31 1.6.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian............................ 33 1.6.6 Pengolahan dan Analisis Data .................................... 34 KAJIAN PUSTAKA...................................................................... 36 2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan......................... 36 2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. ..................................................................... 36 2.1.2 Pengertian Hak Tanggungan.................................... 41 2.1.3 Dasar Hukum Hak Tanggungan............................... 47 2.1.4 Asas-Asas Hak Tanggungan.................................... 48 2.1.5 Subyek Hak Tanggungan......................................... 51 2.1.6 Obyek Hak Tanggungan.......................................... 52 2.1.7 Pemberian Hak Tanggungan Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum Terdaftar……………. ............................................. 58 2.1.8 Tata Cara Pendaftaran Hak Tanggungan.................. 61 Tinjauan Umum Tentang Konversi Hak Atas Tanah Yang Belum Terdaftar Pada Kantor Pertanahan .................. 64 2.2.1 Pengertian Konversi Hak Atas Tanah ...................... 64 2.2.2 Dasar Hukum Konversi Hak Atas Tanah ................. 69 2.2.3 Tujuan Konversi Hak Atas Tanah di Indonesia ........ 69 2.2 xii 15 BAB III 2.2.4 Syarat-Syarat Pendaftaran Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama......................................... 70 EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR ............................................................. 75 3.1 3.2 BAB IV BAB V Pemberian Kredit Dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar .................................................................... 75 Hak Atas Tanah Berasal Dari Konversi Hak Lama Yang Belum Terdaftar Sebagai Agunan Dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar .............................................. 92 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR 124 4.1 Faktor Kaidah atau Aturan Hukum...................................... 130 4.2 Faktor Penegak Hukum....................................................... 141 4.3 Faktor Sarana atau Fasilitas................................................. 147 4.4 Faktor Masyarakat .............................................................. 150 4.5 Faktor Kebudayaan ............................................................. 153 PENUTUP.................................................................................. 156 5.1 Simpulan ............................................................................ 156 5.2 Saran .................................................................................. 157 DAFTAR PUSTAKA..................................................................................... 158 DAFTAR INFORMAN LAMPIRAN xiii 16 DAFTAR TABEL Tabel 1 Pengikatan kredit dan Jaminan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar Tahun 2013............................................ 111 Tabel 2 Pengikatan kredit dan Jaminan pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar Tahun 2013..................................... 111 xiv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bagi manusia tanah mempunyai fungsi yang sangat vital, ini dikarenakan tanah merupakan tempat bagi manusia dalam melangsungkan kehidupannya. Tanah merupakan tempat untuk manusia bertempat tinggal dan tanah juga memberikan penghidupan bagi manusia, karena sangat pentingnya fungsi dari tanah bagi kehidupan manusia, maka diperlukan kaedah-kaedah hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan tanah. Di Indonesia pengaturan tentang tanah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, dalam hukum tanah Indonesia dikenal dua kelompok hak atas tanah atau sering disebut dualisme hukum agraria, antara lain hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum barat, yang lazim disebut hak barat dan hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, yang lazim disebut hak Indonesia. Setiap hak atas tanah yang ada sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria berlaku, baik hak barat maupun hak Indonesia, oleh ketentuan konversi dalam bagian ke II Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan hapus yang kemudian dengan berlandaskan ketentuan-ketentuan konversi, harus dikonversi 1 2 kedalam salah satu hak baru menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria.1 Dengan adanya ketentuan tentang konversi tersebut maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria bukan saja mengadakan unifikasi hukum agraria tetapi juga unifikasi hak-hak atas tanah.2 Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria juga dijelaskan mengenai pendaftaran tanah sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, menyebutkan untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia, menurut ketentuan-ketentuan tersebut akan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Selain ketentuan konversi, di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria juga diatur mengenai berbagai pengaturan tentang tanah. Salah satunya adalah pengaturan mengenai lembaga hak jaminan terhadap hak atas tanah sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, yang berbunyi : Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur 1 John Salindeho, 1994, Manusia, Tanah, Hak Dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4. 2 Boedi Harsono, 1971,UUPA Sejarah Penyusunan Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, (selanjutnya disingkat Boedi Harsono I), hal. 366. 3 dengan Undang-Undang. Sebelumnya ketentuan dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, menyatakan : hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Dalam Pasal 33 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan : hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. Selanjutnya ketentuan dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, berbunyi sebagai berikut : hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.3 Sebagaimana yang dijanjikan dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, bahwa akan disediakan lembaga jaminan yang kuat dapat dibebankan pada hak atas tanah yaitu hak tanggungan, maka setelah menunggu selama 34 tahun sejak Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria menjanjikan akan adanya Undang-Undang tentang hak tanggungan, pada tanggal 9 April 1996 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang telah lama ditunggu-tungu lahirnya oleh masyarakat.4 Sesungguhnya hak tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti lembaga dan ketentuan hypotheek sebagaimana diatur dalam Buku Kedua Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan 3 Rachmadi Usman, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 319. 4 Ibid, hal. 316. 4 Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, yang berdasarkan ketentuan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, diberlakukan hanya untuk sementara waktu sampai menunggu terbentuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, sebagaimana dijanjikan oleh Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria.5 Secara yuridis, perumusan dan pengertian hak tanggungan tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang menyebutkan : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain. Dari penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dijelaskan bahwa pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi obyek hak tanggungan haruslah hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 5 Ibid. 5 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang telah terdaftar dan sifatnya mudah dipindahtangankan. Terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, sebagaimana pendaftaran tersebut merupakan unsur mutlak dari obyek hak tanggungan, Berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dimungkinkan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan. Ketentuan yang tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah tersebut menyebutkan : Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : yang dimaksud hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang 6 harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Meskipun terdapat aturan yang memperbolehkan hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan untuk dijadikan sebagai agunan dengan di bebankan hak tanggungan, namun terjadi penolakan dari pihak bank untuk menerima agunan tersebut. Penolakan penerimaan agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, seperti yang terjadi di PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar. Sekalipun dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan tersebut tidak mengutamakan adanya jaminan tambahan di dalam pemberian kredit, namun pada umumnya dalam rangka mengamankan pemberian kreditnya, bank meminta debitor untuk memberikan jaminan tambahan dalam bentuk agunan. Dikarenakan besarnya risiko yang harus ditanggung oleh bank, maka bank harus benar-benar menerapkan apa yang telah ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur 7 untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Agunan didalam pemberian kredit bank tersebut pada hakikatnya berfungsi untuk menjamin kepastian akan pelunasan utang debitor bila debitor cidera janji atau dinyatakan pailit. Dari hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak Achmad Amara Putra, selaku pimpinan kredit PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, mengatakan tidak semua hak atas tanah dapat diterima sebagai agunan untuk jaminan tambahan dalam rangka penyaluran kredit. Untuk menghindari resiko-resiko yang dapat terjadi dan mengamankan bank sebagai kreditor, apabila agunan yang diajukan debitor berupa hak atas tanah, maka Bank Mega hanya menerima agunan berupa hak atas tanah yang telah terdaftar dan memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Apabila hak atas tanah yang diajukan sebagai agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat, bank tidak menerima hak atas tanah tersebut sebagai agunan. Agar agunan berupa hak atas tanah dapat diterima sebagai agunan untuk jaminan tambahan dalam rangka pemberian kredit, haruslah hak atas tanah tersebut memenuhi kreteria umum dalam perbankan, seperti harus marketable atau mudah dijual sesuai dengan ketentuan yang berlaku, dapat diikat secara sempurna, bebas dari sengketa, dan tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain baik seluruh maupun sebagian. (wawancara tanggal 02 Mei 2013). Dari hasil wawancara dengan pihak debitor, yaitu bapak Ir. I Wayan Suantra, selaku Direktur Utama dari PT. Pesona Dewata, juga menyatakan pernah terjadi 8 penolakan pengajuan agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, di PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Selain PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, bank lain juga tidak menerima agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan sebagai jaminan tambahan dalam rangka pemberian kredit. Namun masalah penolakan agunan tersebut telah di selesaikan dengan cara penggantian agunan baru. (wawancara tanggal 04 Juli 2013). Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka menarik untuk dilakukan penelitian terhadap efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Adapun alasan pemilihan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar sebagai lokasi penelitian utama, dikarenakan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, pernah terjadi penolakan pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar juga memberikan kemudahan dalam memperoleh data-data otentik yang diperlukan, selain dua alasan tersebut, alasan lain pemilihan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, sebagai lokasi utama penelitian, dikarenakan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, juga bersedia memperkenalkan Notaris/PPAT yang telah dipercaya untuk melakukan 9 pengikatan kredit maupun pengikatan jaminan, seperti pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan, sehingga nantinya akan diperoleh data primer yang memang benar-benar otentik baik dari Notaris/PPAT maupun dari PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar sendiri. Disamping itu untuk memperkuat hasil penelitian, juga dilakukan penelitian pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar sebagai data pembanding dengan data-data yang diperoleh dari tempat penelitian sebelumnya. Sedangkan pemilihan Kota Denpasar sebagai lokasi penelitian adalah karena Kota Denpasar adalah domisili penulis pada saat ini. Dalam penelitian ini, telah dilakukan perbandingan dengan beberapa penelitian yang sebelumnya juga membahas tentang pembebanan hak tanggungan oleh bank. Adapun penelitian yang mirip dengan penelitian ini yaitu : a. Penelitian dari Maya Yanuar Murcahyati, S.H, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, 2002, dengan judul ”Penjaminan Tanah Yang Belum Bersertipikat Dengan Hak Tanggungan Di Kota Semarang”, rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu : 1. Apakah penjaminan dengan obyek tanah yang belum bersertipikat sudah cukup memberikan kepastian hukum bagi kreditor ? 2. Apakah akibat hukum bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan apabila penjaminan tidak terbayar (macet) sedangkan sertipikat hak atas tanah belum selesai pengurusannya ? b. Penelitian dari Muas Effendi,S.H, Program Pascasarjana Universitas Sumatra Utara, Medan, 2009, dengan judul ”Peralihan Hak Atas Tanah 10 Yang Belum Bersertipikat Di Kecamatan Medan Johor Dan Pendaftaran Haknya Di Kantor Pertanahan Medan”, rumusan masalah yang terdapat dalam penelitian ini yaitu: 1. Mengapa terjadi ketidak seragaman atas peralihan hak atas tanah yang belum bersertipikat di kecamatan Medan Johor ? 2. Bagaimana bentuk-bentuk surat peralihan hak atas tanah sebagai landasan pengalihan hak atas tanah yang belum bersertipikat ? Dari uraian penelitian diatas tidak ditemukan kesamaan dalam hal ini maupun substansi karya tulis yang telah dimuat sebelumnya, sehingga tingkat orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ? 2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar ? 1.3 Tujuan Penelitian Pada pokoknya tujuan penelitian ini dibagi menjadi 2 (dua) bagian yaitu, sebagai berikut : 11 1.3.1. Tujuan Umum : Secara umum penelitian atas permasalahan yang telah dipaparkan sebelumnya adalah untuk pengembangan ilmu hukum yaitu di bidang hukum jaminan yang berkaitan dengan hak tanggungan dalam praktek perbankan. 1.3.2 Tujuan Khusus : Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik juga diharapkan mampu untuk : a. Untuk mendeskripsikan dan mengkaji efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. b. Untuk mengetahui, mendeskripsikan dan melakukan analisis secara mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. 1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan oleh dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumya dan mempunyai kegunaan praktis pada khususnya. Disamping itu juga, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis yaitu : 12 1.4.1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang hukum jaminan terutama masalah jaminan di dalam perkreditan perbankan. 1.4.2 Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipakai sebagai pedoman, acuan, dan panduan bagi Notaris/PPAT dan kalangan Perbankan, khususnya Analis Kredit, appraisal dan Legal Officer Bank, apabila menerima jaminan berupa hak atas tanah berasal dari konversi yang belum terdaftar. 1.5 Landasan Teoritis dan Kerangka Pemikiran 1.5.1 Landasan Teoritis Landasan Teoritis adalah upaya untuk mengidentifikasi teori hukum umum/teori khusus, konsep-konsep hukum, asas-asas hukum, aturan hukum, norma-norma dan lain-lain yang akan dipakai sebagai landasan untuk membahas permasalahan penelitian. Dalam penelitian ini akan digunakan teori-teori, konsepkonsep, maupun asas-asas hukum yang berpengaruh sebagai landasan pemikiran penelitian. 1.5.1.1 Teori Hukum Untuk menjustifikasi dan mengklarifikasi permasalahan penelitian ini, dipergunakan teori-teori hukum sebagai berikut : 13 1. Teori Sociological Jurisprudence Teori sociological jurisprudence : Pendasar mazhab sociological jurisprudence dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini yang berkembang di amerika : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.6 Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan masyarakat.7 Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungsi hukum sebagai rekayasa sosial, pembentukan hukum yang baik dan cara penerapan hukum.8 Teori Sociological Jurisprudence juga dipergunakan dalam penelitian ini, untuk menjustifikasi bagaimanakah efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. 6 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar Dasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 66. 7 Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, hal. 19. 8 Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra , 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 124. 14 2. Teori Sistem Hukum Lawrence Friedman menyatakan bahwa, Three Elements of Legal System adalah tiga komponen dari system hukum. Ketiga komponen yang dimaksud diantaranya : struktur (structure), substansi (substance), dan kultur (culture) atau budaya. Menurut pendapat Lawrence Friedman mengenai efektivitas hukum dikemukakan bahwa hukum sebagai suatu sistem (sub sistem dari sistem kemasyarakatan) maka hukum mencangkup substansi (substance), struktur (structure), dan kultur/budaya hukum (legal culture).9 Friedmann menyatakan bahwa legal systems are of course not static.10 Sistem hukum selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Teori istem hukum dipergunakan dalam penelitian ini, dikarenakan menurut penulis, Hak Tanggungan merupakan elemen Substansi (substance) di dalam sistem hukum. Bila dikaitkan dengan teori sistem hukum yang dikemukakan Lawrence Friedman ini maka efektif atau tidaknya Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dalam praktek perbankan dapat dijadikan tolok ukur apakah aturan hukum tersebut telah mencangkup substansi (substance), struktur (structure), dan kultur/budaya hukum (legal culture). 9 Lawrence Friedmann, 2004, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Cet V, Raja Grafindo Persada, terjemahan Soerjono Soekanto, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto I), hal. 59. 10 Lawrence Friedmann, 1975, The Legal System A Social Science Persperctive, Russel Sage Foundations, New York, hal.269. 15 Malcolm Walters menyebutkan culture consists of generally shared visions of meaning, value and preference.11 Penegakan hukum sebagai suatu system memerlukan sinergi antara komponen-komponennya (subsistem) tersebut diatas. The union of primary and secondary rules is at the centre of a legal system.12 (sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer sekunder). 3. Teori Keberlakuan Hukum. Teori Keberlakuan Hukum oleh Sudikno Mertokusumo, kekuatan berlakunya Undang-Undang ada tiga macam, diantaranya adalah :13 a. Kekuatan berlaku yuridis (Juristiche Geltung) yang artinya Undang-Undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan material dan formal terbentuknya Undang-Undang itu telah terpenuhi. b. Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung) yang memiliki arti bahwa hukum merupakan kenyataan di masyarakat. Kekuatan berlakunya hukum di dalam masyarakat ada dua macam yaitu : 1.Menurut Teori Kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima atau pun tidak diterima oleh masyarakat. 11 Malcolm Walters, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London, hal.13. 12 Charles Samford, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwell Ltd, UK, hal. 26. 13 Sudikno Mertokusumo, 2005, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo I), hal. 94. 16 2. Menurut Teori Pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat. c. Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung) yang memiliki arti hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi. Untuk memenuhi tuntutan berlaku filosofis maka harus memasukkan unsur ideal. Teori Keberlakuan Hukum dipergunakan dalam penelitian ini, untuk mengklarifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar 4. Teori Efektivitas Hukum Teori Efektivitas Hukum : Menurut Soerjono Sukanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membingbing atau merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.14 Efektif atau tidaknya hukum tertulis atau ketentuan perundangundangan ditentukan oleh lima faktor. Kelima faktor ini secara integrative dan tersistem akan menentukan apakah sebuah aturan itu dapat efektif berlaku dimasyarakat atau tidak. Faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang 14 Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja Karya, Bandung, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto II), hal 80. 17 harus selalu sejalan di dalam pelaksanaannya. Lima faktor yang menjadi elemen kinerjanya hukum, yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan yang terakhir adalah faktor kebudayaan.15 Untuk mengkaji efektivitas pelaksanaan Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dalam praktek perbankan, sangatlah relevan bila dipergunakan lima faktor tersebut diatas sebagai tolok ukur dari efektivitas pelaksanaan hukum tersebut. Robert B. Seidman menyatakan tindakan apapun yang diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undangundang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatankekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturanperaturan yang berlaku menerapkan sanksisanksinya, dan dalam seluruh aktivitas lembaga-lembaga pelaksanaannya.16 Robert B. Seidman juga berpendapat mengenai bekerjanya hukum diantaranya :17 1) Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang pemegang peranan itu diharapkan bertindak. 15 Soerjono Soekanto, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto III), hal 8. 16 Robert B. Seidman, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, terjemahan Esmi Warrasih, Semarang, hal. 11. 17 Ibid, hal. 12. 18 2) Bagaimana seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dan lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatasn sosial, politik dan lainlainnya mengenai dirinya. 3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek ketentuanketentuan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari para pemegang peranan. 4) Bagaimana para pembuat undang-undang itu bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks ketentuan-ketentuan sosial politik, ideologis dan lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang pemegang peranan serta birokrasi. Berlakunya hukum dapat dilihat dari berbagai perspektif, seperti perspektif yuridis normatif, Filosofis, dan sosiologis. Perspektif yuridis normatif, berlakunya hukum jika sesuai dengan kaedah yag lebih tinggi (teori Stufenbau dari Hans Kelsen) atau terbentuknya sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan (teori W. Zevenbergen). Perspektif filosofis, berlakunya hukum jika sesuai dengan cita-cita hukum. Sedangkan berlakunya perspektif sosiologis menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam Amiruddin Dan Zainal Asikin, intinya adalah 19 efektivitas hukum.18 Pada dasarnya berlakunya hukum dari perspektif sosiologis adalah mengenai efektivitas hukum yang akan melihat pengaruh dari kaedah hukum tersebut. Menelaah efektivitas suatu perundang-undangan (berlakunya umum) pada dasarnya membandingkan antara realitas hukum dengan ideal hukum. Dengan di undangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, ini berarti pemberi dan penerima hak tanggungan telah dilindungi secara hukum, namun masih tetap ada keengganan dari pihak bank sebagai kreditor untuk menerima agunan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan. Berdasarkan kajian teori diatas, menjadi relevan jika dikaitkan dengan efektivitas pelaksanaan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dalam praktek perbankan. Ditegakkannya perlindungan hukum terhadap pembebanan hak tanggungan pada objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan oleh bank sebagai pihak kreditor, sangatlah dipengaruhi oleh faktor-faktor apakah pihak bank sebagai kreditor maupun debitor tersebut telah mengetahui perlunya perlindungan hukum 18 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, terjemahan Amiruddin dan Zainal Asikin, Jakarta, hal 135. 20 terhadap pembebanan hak tanggungan tersebut, juga dapat disebabkan oleh seberapa besar pemahaman tentang undang-undang dari pihak bank sebagai kreditor maupun debitor itu sendiri, dan tidak kalah pentingnya apakah ketentuan itu sudah cukup jelas atau tidak, karena hukum hanya bisa berlaku efektif bila selaras dengan kehendak masyarakat. 1.5.1.2 Konsep dan Aturan Hukum Mengenai konsep dan aturan hukum yang dipergunakan dalam mengkaji dan memecahkan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut : a. Konsepsi efektivitas hukum Kata efektivitas secara etemologi, berasal dari kata efektif yaitu terjemahan dari kata effective dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia diartikan berhasil, selain itu dalam bahasa Belanda di kenal dengan kata effectief yang memiliki arti berhasil guna.19 Secara umum, kata efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya sasaran yang telah ditetapkan. Jika hasilnya semakin mendekati sasaran berarti makin tinggi efektivitasnya.20 Menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membimbing ataupun merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku 19 Nurul Hakim, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan Lembaga Peradilan”, Serial Online Mei-Juli, (Cited 2013 Nov. 19), available from : URL : http ://www.badilag.net.. 20 Sondang P. Siagian, 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 24. 21 hukum.21 Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas suatu hukum ditentukan dari taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya, sehingga dikenal suatu asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indicator berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan menghubungi masyarakat dalam pergaulan hidup.22 b. Hak Tanggungan Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah adalah : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditorkreditor lain. Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan hutang, dengan hak mendahulu, dengan obyek 21 Soerjono Soekanto, 1988, Efektivitas Hukum dan Penerapan Sanksi, CV Ramadja Karya, Bandung, hal. 80. 22 Soerjono Soekanto, 1996, Sosiologi: Suatu Pengantar, Rajawali Pres, Bandung, hal. 19. 22 jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau UndangUndang Pokok Agraria.23 Untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, obyek hak tanggungan yang bersangkutan harus memenuhi 4 syarat, yaitu : 1. Dapat dinilai dengan uang; 2. Termasuk hak yang didaftarkan dalam daftar umum; 3. Mempunyai sifat dapat dipindahtangankan; 4. Memerlukan penunjukan oleh Undang-Undang.24 Berdasarkan persyaratan di atas, tidak semua hak atas tanah yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.25 Dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah telah ditunjuk secara tegas objek dari hak Tanggungan tersebut. Pasal 4 UndangUndang tersebut menyatakan : (1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah : a. Hak Milik; b. Hak Guna Usaha; c. Hak Guna Bangunan; 23 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, 2006, Seri Hukum Harta Kekayaan: Hak Tanggungan. Kencana, Jakarta, hal. 13. 24 Purwahid Patrik dan Kashadi, 2008, ”Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT”, Paper pada seminar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, hal. 23. 25 Rachmadi Usman, op.cit. hal. 351. 23 (2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan; (3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah hak milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. (5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberikan kuasa untuk itu olehnya dengan akta autentik. Dalam penjelasan umum dari Pasal 4 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Yang dimaksud dengan hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan adalah hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. hak guna bangunan meliputi hak guna bangunan diatas tanah Negara, di atas tanah hak pengelolaan, maupun di atas tanah hak milik. Sebagaimana telah dikemukakan dalam penjelasan umum ayat (5), dua unsur mutlak dari hak atas tanah yang dapat dijadikan objek hak tanggungan adalah : a. Hak tersebut sesuai ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan dalam daftar umum, dalam hal ini pada kantor pertanahan. Unsur ini berkaitan dengan kedudukan diutamakan (preferent) yang diberikan kepada kreditor pemegang Hak Tanggungan terhadap kreditor lainnya. Untuk itu harus ada catatan mengenai Hak Tanggungan tersebut pada buku-tanah dan sertipikat hak atas tanah yang dibebaninya, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya (asas publisitas), dan 24 b. Hak tersebut menurut sifatnya harus dapat dipindahtangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya. Dari penjelasan umum dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, dijelaskan bahwa pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi obyek hak tanggungan haruslah hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang telah terdaftar dan sifatnya mudah dipindahtangankan. Terhadap hak atas tanah yang belum didaftarkan pada kantor pertanahan dan belum memiliki tanda bukti hak berupa sertipikat sebagaimana merupakan unsur mutlak dari obyek hak tanggungan, berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, dimungkinkan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan. Ketentuan yang tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah tersebut menyebutkan : apabila objek hak tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian hak tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. 25 Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : yang dimaksud hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. c. Hak-Hak Atas Tanah Terkait Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria Konversi hak-hak atas tanah ialah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.26 1.5.1.3 Asas-Asas Hukum Mengenai asas-asas hukum yang dipergunakan dalam mengkaji dan memecahkan permasalahan penelitian adalah sebagai berikut : 26 Effendi Perangin, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta, hal. 145. 26 a. Asas-asas umum dalam kaitannya dengan perjanjian, yaitu : Asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas kepercayaan, asas kekuatan mengikat, asas persamaan hak, asas keseimbangan dan asas kepastian hukum; b. Asas-asas hukum yang mendukung Hak Tanggungan, yaitu : Asas hak didahulukan (preference), asas hak kebendaan, asas spesialitas, asas publisitas, asas mudah dan pasti pelaksanaan eksekusi, asas accessoir, asas itikad baik; c. Asas-asas hukum yang mendukung pendaftaran tanah, yaitu : Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah disebutkan Pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan azas : Azas sederhana, azas aman, azas terjangkau, azas mutakhir dan azas terbuka. 27 1.5.2 Kerangka Berpikir Dalam penelitian ini, teoritical framework dapat disajikan dalam gambar berikut ini: Gambar Kerangka berpikir Pembebanan Hak Tanggungan Dalam Praktek Perbankan Di Kota Denpasar Pembebanan hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat Dasar Hukum : Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah Efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar Teori Sociological Jurisprudence Teori Sistem Hukum Keterangan : Menyebabkan Menganalisis Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar Teori Efektivitas Hukum Teori Keberlakuan Hukum. 28 1.6 Metode Penelitian 1.6.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian dapat dibedakan menjadi dua yaitu, penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.27 Jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum empiris atau jenis penelitian sosiolegal research, yang bersifat deskriptif dengan analisis kualitatif. Penulisan penelitian ini ditunjang dengan diawali data skunder untuk kemudian dilanjutkan dengan data primer. Sehingga dapat diartikan penelitian yuridis empiris atau penelitian sosiolegal research, tetap didasari dengan bertumpu pada premis normatif sehingga definisi operasionalnya dapat diambil dari peraturan perundang-undangan untuk kemudian dilihat pada fakta-fakta yang terdapat di lapangan. Penelitian hukum empiris yang dilakukan dalam penulisan tesis ini lebih banyak dilakukan dengan cara melihat dan meneliti fakta – fakta di lapangan mengenai efektivitas pelaksanaan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah dalam praktek perbankan di kota Denpasar. 1.6.2 Sifat Penelitian Sifat penelitian mengenai efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di kota Denpasar, adalah merupakan penelitian yang bersifat deskriptif 27 Soerjono Soekanto, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Jakarta, (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto IV), hal. 14. 29 yaitu memiliki tujuan untuk menggambarkan apa adanya secara tepat sifat – sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran sutau gejala, atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat.28 1.6.3 Data dan Sumber Data Berdasarkan jenis sumber datanya, maka penelitian ini mempergunakan dua jenis sumber data, yaitu : a. Data primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama, dan sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang lain. Data primer bersumber dari pihak-pihak yang terlibat langsung atau responden yang didapat pada lokasi penelitian, seperti pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar yang pernah melakukan penolakan terhadap pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, selain itu juga diperoleh data primer dari beberapa Notaris/PPAT di Kota Denpasar yang biasa melakukan pengikatan kredit dan jaminan pada bank yang bersangkutan dan pihak kantor pertanahan Kota Denpasar terakhir adalah pihak debitur yang pernah mengalami penolakan pengajuan kredit. 28 Soerjono Soekanto I, Op.cit, hal 8. 30 b. Data Sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dengan melakukan penelitian kepustakaan. Data ini merupakan data yang memiliki kekuatan ke dalam yang terdiri dari : 1. Bahan-bahan Hukum Primer, yaitu : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata); c. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peratiran Dasar Pokok-pokok Agraria; d. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, e. Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan; f. Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997, tentang Pendaftaran Tanah; g. Peraturan Menteri Agraria / Kepala BPN Nomor 3/1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997; h. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Haktanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan; i. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan 31 Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit Kredit Tertentu; j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan. 2. Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan hukum primer yang meliputi literatur-literatur, makalah-makalah atau hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. 3. Bahan-bahan Hukum Tertier, yaitu : Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi : a. Kamus Hukum, b. Kamus Bahasa Indonesia, c. Kamus Bahasa Ingris-Indonesia 1.6.4 Teknik Pengumpulan Data Dikarenakan jenis penelitian dalam penulisan tesis ini adalah menggunakan jenis penelitian hukum empiris atau jenis penelitian sosiolegal research, sehingga dalam teknik pengumpulan data mempergunakan dua teknik yaitu, teknik studi dokumen dan teknik wawancara (interview). 1. Teknik studi dokumen : dalam setiap penelitian hukum baik penelitian hukum empiris maupun penelitian hukum normatif, tetap mempergunakan teknik studi dokumen pada awal penelitian. Ini disebabkan walaupun berbeda 32 namun keduanya adalah penelitian ilmu hukum yang selalu bertolak dari premis normatif. Studi dokumen dilakukan atas bahan – bahan hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. 2. Wawancara (interview) : proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan dengan mana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan secara langsung informasi-informasi atau keteranganketerangan.29 Wawancara dilakukan dengan cara menanyakan langsung kepada narasumber yaitu pimpinan, Staff appraisal dan staff legal dari PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk yang pernah melakukan penolakan terhadap pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, selain itu juga diperoleh dari beberapa Notaris/PPAT yang biasa melakukan pengikatan kredit dan jaminan pada bank yang bersangkutan, pihak Badan Pertanahan Kota Denpasar dan pihak debitor yang pernah mengalami penolakan kredit, ini dilakukan untuk mendapatkan data yang otentik mengenai efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar dan faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah 29 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. H, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 83. 33 berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Perolehan data dalam peneltian dilakukan dengan wawancara dengan pedoman terstruktur dan tidak terstruktur yang dibuat semi terstruktur. Pedoman terstruktur yakni apabila pedoman tersebut disusun secara rinci, sedangkan pedoman tidak terstruktur yakni apabila pedoman tersebut hanya memuat garis besar wawancara. Dalam praktek lebih sering dipergunakan kombinasi antara kedua macam pedoman tersebut yang bentuknya disebut semistructured.30 Dalam hal ini, diadakan wawancara terstruktur kemudian dari beberapa pertanyaan dalam wawancara diperdalam untuk mendapatkan keterangan lebih lanjut. Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban yang lebih lengkap dan mendalam tentang masalah yang diteliti. 1.6.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian Ronny Hanitijo Soemitro didalam bukunya berjudul metode penelitian hukum menyatakan bahwa, pada prinsipnya tidak ada peraturan yang ketat secara mutlak menentukan berapa persen sampel tersebut harus diambil dari populasi.31 Sampel yaitu bagian dari populasi yang dianggap mewakili populasinya.32 Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel mempergunakan teknik non probability sampling, memberikan peran yang sangat besar pada peneliti untuk menentukan pengambilan sampelnya, dengan bentuk purposive sampling dalam 30 Ibid, hal. 32. Ronny Hanitijo Soemitro, 1985, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 47. 32 Burhan Ashshofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta, hal.79. 31 34 hal ini penarikan sampel dilakukan berdasarkan tujuan tertentu, yakni sampel dipilih atau ditentukan sendiri oleh peneliti, yang mana penunjukan dan pemilihan sampel didasarkan pertimbangan bahwa sampel telah memenuhi kriteria dan sifatsifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri utama dari populasinya. Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel secara nonprobability sampling yang mendasarkan pada pertimbangan peneliti dalam menentukan sendiri responden mana yang dianggap mampu mewakili populasi.33 Adapun responden dalam penelitian ini adalah PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar yang pernah melakukan penolakan terhadap pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan sehingga tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. 1.6.6 Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data yang dikumpulkan sehingga siap untuk dianalisis secara kualitatif.34 Selain itu Burhan Ashsofa berpendapat bahwa yang dimaksudkan dengan metode kualitatif yaitu dengan mengangkat fenomena yang terjadi di masyarakat melalui penggalian kasus-kasus konkrit dan keadaan hukum di lapangan yang mana terfokus pada pengkajian terhadap pemikiran, makna dan cara pandang baik masyarakat, ahli hukum maupun penulis 33 Rianto Adi, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta, hal. 112. 34 Bambang Waluyo, 1996 , Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta., hal. 72. 35 sendiri mengenai gejala-gejala yang menjadi objek penelitian.35 Data yang diperoleh lalu diproses dengan pengolahan yang selektif, dan selanjutnya data akan dijabarkan secara secara deskriptif analisis, yaitu dijabarkan dalam bentuk uraian–uraian yang nantinya dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Bambang Sunggono mengemukakan bahwa deskriptif analitis adalah bahwa permasalahan yang ada dipaparkan dalam bentuk uraian-uraian yang berhubungan dengan teori-teori hukum yang ada sehingga memperoleh suatu kesimpulan dan gambaran yang jelas dalam pembahasan masalah.36 Analisis data dilakukan dengan teknik deskripsi yaitu penggunaan uraian apa adanya terhadap suatu situasi dan kondisi tertentu, teknik interprestasi yaitu penggunaan penafsiran dalam ilmu hukum dalam hal ini penafsiran berdasarkan peraturan, teknik evaluasi yaitu penilaian secara konprehensif terhadap rumusan norma yang diteliti, dan teknik argumentasi yaitu terkait dengan teknik evaluasi merupakan penilaian yang harus didasarkan pada opini hukum. 35 Burhan Ashsofa, op.cit, hal. 57. Bambang Sunggono, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 134. 36 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Tentang Hak Tanggungan 2.1.1 Latar Belakang Lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pembebanan hak atas tanah adalah Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berkaitan dengan Hypotheek dan Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190.37 Segi materiilnya mengenai Hypotheek dan Credietverband atas tanah diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190. Yaitu misalnya mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu, mengenai Asas-Asas Hypotheek, mengenai tingkatan-tingkatan Hypotheek, janji-janji Hypotheek dan Credietverband. Sedangkan mengenai formilnya dari Hypotheek dan Credietverband yaitu mengenai cara pendaftaran dan pembukuan tanahnya, cara pembebanannya/pemberian Hypotheek dan Credietverband dan peralihan 37 Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim HS I), hal. 99. 36 37 Hypotheek dan Credietverband harus menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria beserta peraturan-peraturan pelaksanaannya.38 Menurut ketentuan Pasal 1162 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dimaksud dengan Hypotheek ialah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak untuk mengambil penggantian dari padanya untuk pelunasan suatu perutangan/perikatan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hypotheek adalah merupakan hak kebendaan yang dengan sendirinya mengandung ciri-ciri hak kebendaan yaitu dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, dapat diperalihkan dan lain-lain.39 Menurut ketentuan Pasal 1164 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menjadi obyek Hypotheek yang dapat dibebani Hypotheek ialah : 1. Benda-benda tak bergerak yang dapat dipindah tangankan. 2. Hak memungut hasil (Vruchtgebruik). 3. Hak Opstal dan Hak Erfpacht. 4. Bunga tanah. 5. Bunga sepersepuluh. 6. Bazar-bazar atau pasar-pasar yang diakui Pemerintah beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya. 7. Juga kapal-kapal yang didaftarkan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dapat di Hypotheek (Pasal 314 ayat (1) Kitab Undang-Undang 38 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1981, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sri Soedewi Masjchoen Sofwan I) hal. 6. 39 Ibid. 38 Hukum Dagang), hak konsesi pertambangan menurut Pasal 18 Indische Mynwet, hak konversi menurut Staatsblad 1918 No. 21 jo Nomor 20 dapat di hypotheek kan. Mengenai kedudukan Credietverband sebagai hak kebendaan atas tanah setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sebagaimana telah diuraikan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 51 dan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, Credietverband tersebut masih berlaku, sampai hak tanggungan yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria itu diatur dalam Undang-Undang. Tentu saja seperti halnya dalam Hypotheek, mengenai Credietverband ini yang masih berdasarkan ketentuan-ketentuan peraturan lama yaitu Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, itu ialah mengenai segi materiilnya yaitu mengenai hak-hak dan kewajiban yang timbul dari adanya hubungan hukum itu, syarat-syarat umumnya dan lain-lain. Sedangkan mengenai segi formilnya yaitu mengenai cara pembebasan/pemberian Credietverband dan cara pendaftarannya harus menurut ketentuan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, beserta peraturan-peraturan pelaksanaanya yang lain. Menurut Pasal 1 Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190 peraturan tentang Credietverband, yang dimaksud dengan Credietverband ialah hak kebendaan atas benda-benda tak 39 bergerak, yang memberi wewenang kepada yang berhak untuk mengambil penggantian dari benda-benda itu untuk pelunasan bagi pihutangnya.40 Menurut ketentuan-ketentuan Pasal 3 Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, yang dapat dibebani Credietverband, ialah : 1. Hak Milik Adat atas tanah-tanah domein Negara; 2. Hak Usaha di atas tanah-tanah partikelir; 3. Hak Milik masyarakat hukum adat di atas tanah domein Negara, sepanjang tanah-tanah itu tidak dipergunakan untuk kepentingan umum; 4. Hak Milik yang tidak terbagi atas tanah-tanah domein Negara yang dipunyai oleh keluarga-keluarga Indonesia dan Persekutuan Perdata Indonesia; 5. Bangunan-bangunan atau tanam-tanaman yang ada atau yang masih akan dibangun /ditanam di atas tanah yang dipunyai dengan Hak Indonesia. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, mula-mula diadakan pembedaan hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hypotheek dan Credietverband, yaitu Hypotheek dapat dibebani atas hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan yang berasal dari konversi hak-hak barat yaitu konversi dari hak eigendom, hak erfpacht dan hak opstal. Sedangkan Credietverband dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan yang berasal dari konversi hak atas tanah adat. Kemudian setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 tentang 40 Ibid, hal. 62. 40 Pembebanan dan Pendaftaran, Hypotheek dan Credietverband dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan baik berasal dari hak-hak barat maupun hak-hak tanah adat.41 Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, maka Hypotheek yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,dan Credietverband dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, dinyatakan tidak berlaku lagi. Ini dikarenakan ketentuan-ketentuan Hypotheek dan Credietverband sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan di Indonesia. 42 Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat yang dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu hak tanggungan, sebagai pengganti lembaga Hypotheek dan Credietverband.43 Lahirnya Undang-Undang tentang hak tanggungan karena adanya perintah dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Didalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang 41 Ibid, hal. 63. Salim HS I, op.cit. hal. 99. 43 Adrian Sutedi, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3. 42 41 Peraturan Pokok-Pokok Agraria, menyebutkan hak tanggungan yang dapat dibebankan kepada hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, tersebut dalam Pasal 25, 33, 39 diatur dengan Undang-Undang. Sedangkan Didalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, menyebutkan Selama Undang-Undang yang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai Hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190. Perintah Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, baru terwujud setelah menunggu selama 36 tahun. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, ditetapkan pada tanggal 9 April 1996. UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, terdiri atas 11 Bab dan 31 Pasal.44 2.1.2 Pengertian Hak Tanggungan. Djuhaendah Hasan dalam Rachmadi Usman mengatakan istilah hak tanggungan diambil dari istilah lembaga jaminan di dalam hukum adat. Di dalam hukum adat istilah hak tanggungan dikenal di daerah Jawa Barat, juga di beberapa daerah di Jawa Tengah atau Jawa Timur dan dikenal juga dengan istilah jonggolan atau istilah ajeran merupakan lembaga jaminan dalam hukum adat 44 Salim HS I, loc.cit. 42 yang obyeknya biasanya tanah atau rumah.45 Istilah hak tanggungan yang berasal dari hukum adat tersebut, melalui Undang-Undang Pokok Agraria ditingkatkan menjadi istilah lembaga hak jaminan dalam system hukum nasional kita dan hak tanggungan sebagai lembaga hak jaminan bagi tanah tersebut diharapkan menjadi pengganti Hypotheek dari KUHPerdata. Dengan kata lain, lembaga Hypotheek dan Credietverband akan dijadikan satu atau dilebur menjadi hak tanggungan.46 Kamus besar bahasa Indonesia, mengartikan tanggungan sebagai barang yang dijadikan jaminan dan jaminan itu diartikan sebagai tanggungan atau pinjaman yang diterima. Secara yuridis ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan perumusan pengertian Hak Tanggungan sebagai berikut : Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Kemudian ayat 4 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah antara lain menyatakan : Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain. Dalam arti, bahwa jika menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan 45 46 Rachmadi Usman, op.cit. hal. 329. Ibid. 43 peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain. Hak tanggungan itu merupakan lembaga hak jaminan kebendaan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu pemegang hak tanggungan terhadap kreditor lain. Jaminan yang diberikan, yaitu hak yang diutamakan atau mendahulu dari kreditorkreditor lainnya bagi kreditor (pemegang hak tanggungan).47 Dari rumusan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu hak tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang, dengan hak mendahulu, dengan obyek jaminannya berupa hak-hak atas tanah yang diatur dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau Undang-Undang Pokok Agraria.48 Unsur-unsur yang tercantum dalam pengertian hak tanggungan disajikan berikut ini.49 1. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah. Yang dimaksud dengan hak jaminan atas tanah adalah hak penguasaan yang secara khusus dapat diberikan kepada kreditur, yang memberi wewenang kepadanya untuk, jika debitur cedera janji, menjual lelang tanah yang secara khusus pula ditunjuk sebagai agunan piutangnya dan mengambil seluruh atau sebagian hasilnya untuk pelunasan hutangnya 47 Ibid, hal. 332. Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, loc.cit. 49 Salim HS I, op.cit. hal. 96. 48 44 tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain (droit de preference). Selain berkedudukan mendahulu, kreditor pemegang hak jaminan dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, sungguhpun tanah yang bersangkutan sudah dipindahkan kepada pihak lain (droit de suite). 2. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu kesatuan dengan tanah itu. Pada dasarnya, hak tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah semata-mata, tetapi dapat juga hak atas tanah tersebut berikut dengan benda-benda yang ada di atasnya. 3. Untuk pelunasan hutang tertentu, maksudnya untuk pelunasan hutang tertentu adalah hak tanggungan itu dapat membereskan dan selesai dibayar hutang-hutang debitor yang ada pada kreditor. 4. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya, lazimnya disebut droit de preference. Keistimewaan ini di tegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang berbunyi : Apabila debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek yang dijadikan jaminan melalui pelelangan umum menurut peraturan yang berlaku dan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor lain yang bukan pemegang hak tanggungan atau kreditor pemegang hak tanggungan dengan peringkat yang lebih rendah. 45 Hak yang istimewa ini tidak dipunyai oleh kreditor bukan pemegang hak tanggungan.50 Budi Harsono dalam Salim mengartikan hak tanggungan adalah : Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengeanai tanah yang dijadikan agunan. Tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitor cedera janji dan mengambil dari hasilnya seluruhnya atau sebagian sebagai pembayaran lunas hutang debitor kepadanya. Esensi dari defnisi hak tanggungan yang disajikan oleh Budi Harsono adalah pada penguasaan hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah merupakan wewenang untuk menguasai hak atas tanah. Penguasaan hak atas tanah oleh kreditor bukan untuk menguasai secara fisik, namun untuk menjualnya jika debitor cedera janji.51 Menurut Herowati Poesoko yang dimaksud dengan hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah tersebut, terdapat unsur-unsur esensial, yang merupakan sifat dan ciri-ciri dari hak tanggungan, yaitu :52 lembaga hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu, pembebanannya pada hak atas tanah, berikut atau 50 Salim HS, Ibid, hal. 97. Ibid. 52 Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Cet I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, hal. 87. 51 46 tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah dan memberikan kedudukan yang preferent kepada kreditornya. Dari uraian dan paparan diatas, dapatlah dikemukakan ciri hak tanggungan. Ciri hak tanggungan adalah :53 1. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya atau yang dikenal dengan droit de preference; 2. selalu mengikuti objek yang dijamin dalam tangan siapapun benda itu berada atau disebut dengan droit de suit. Keistimewaan ini ditegaskan dalam Pasal 7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Biarpun objek hak tanggungan sudah dipindahkan haknya kepada pihak lain, kreditor pemegang hak tanggungan tetap masih berhak untuk menjualnya melalui pelelangan umum jika debitur cedera janji; 3. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan; 4. mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah memberikan kemudahan dan kepastian kepada kreditur dalam pelaksanaan eksekusi. Selain ciri-ciri diatas, keistimewaan kedudukan hukum kreditor pemegang hak tanggungan juga dijamin melalui ketentuan Pasal 21 Undang-Undang 53 Salim HS I, op.cit. hal. 98. 47 Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Pasal 21 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 berbunyi : apabila pemberi hak tanggungan dinyatakan pailit, obyek hak tanggungan tidak masuk dalam boedel kepailitan pemberi hak tanggungan, sebelum kreditor pemegang hak tanggungan mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan obyek hak tanggungan itu. 2.1.3 Dasar hukum hak tanggungan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, merupakan dasar hukum yang mengatur lembaga hak jaminan atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagai pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria. Sebagai tindak lanjutnya Undang-Undang Hak Tanggungan, berturut-turut lahirnya ketentuan yang mengatur hak tanggungan tersebut, di antaranya: 1) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertifikat Hak Tanggungan; 2) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu; 3) Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Peratanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan; 48 4) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan nasional Nomor 630.1-1826 tertanggal 26 mei 1996 perihal Pembuatan Buku Tanah dan Sertifikat Hak Tanggungan; 5) Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-1544 tertanggal 30 mei 1996 perihal Penyampaian Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan54 2.1.4 Asas-asas hak tanggungan. Di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, terdapat beberapa asas hak tanggungan. Asas-asas tersebut dapat disajikan sebagai berikut : 1. Mempunyai kedudukan yang di utamakan bagi kreditur pemegang Hak Tanggungan. Asas ini terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 2. Tidak dapat di bagi-bagi. Asas ini terdapat pada Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 3. Hanya dibebankan pada hak atas tanah yang telah ada. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 54 Rachmadi Usman, op.cit. hal. 317. 49 4. Dapat dibebankan selain tanah juga berikut benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 5. Dapat dibebankan atas benda lain yang berkaitan dengan tanah yang baru akan ada di kemudian hari. Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dengan syarat diperjanjikan secara tegas; 6. Sifat perjanjiannya adalah tambahan/Accessoir. Asas ini terdapat pada Pasal 10 ayat (1), Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 7. Dapat dijadikan jaminan untuk utang yang baru akan ada. Asas ini terdapat pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 8. Dapat menjamin lebih dari satu utang, asas ini terdapat pada Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 9. Mengikuti objek dalam tangan siapapun objek itu berada. Asas ini terdapat pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 50 10. Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan; 11. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu. Asas ini terdapat pada Pasal 8, Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 12. Wajib didaftarkan. Asas ini terdapat pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; 13. Pelaksanaan eksekusi mudah dan pasti; 14. Dapat dibebankan dengan disertai janji-janji tertentu. Asas ini terdapat pada Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, ditentukan juga suatu asas bahwa objek hak tanggungan tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki oleh pemegang hak tanggungan, bila pemberi hak tanggungan cedera janji. Apabila hal itu dicantumkan, maka perjanjian seperti itu batal demi hukum, artinya bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak ada karena bertentangan dengan substansi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.55 55 Salim HS I, op.cit. hal. 102. 51 2.1.5 Subyek hak tanggungan. Subjek hak tanggungan diatur dalam Pasal 8 sampai dengan Pasal 9 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dalam kedua Pasal itu ditentukan bahwa yang dapat menjadi subjek hukum dalam pembebanan hak tanggungan adalah pemberi hak tanggungan dan pemegang hak tanggungan. Pemberi hak tanggungan dapat perorangan atau badan hukum, yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan. Pemegang hak tanggungan terdiri dari perorangan atau badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak berpiutang.56 1. Pemberi Hak Tanggungan Ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah menyatakan : pemberi hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan yang bersangkutan. Dari bunyi ketentuan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah di atas, dapat diketahui siapa yang menjadi pemberi hak tanggungan dan mengenai persyaratannya sebagai pemberi hak tanggungan. Sebagai pemberi hak tanggungan tersebut, bisa orang perorangan atau badan hukum dan pemberinya pun tidak harus debitor sendiri, bisa saja orang lain atau 56 Salim HS I, op.cit. hal. 103. 52 bersama-sama dengan debitor, dimana bersedia menjamin pelunasan utang debitur. Pada prinsipnya setiap orang perseorangan maupun badan hukum dapat menjadi pemberi hak tanggungan, sepanjang mereka mempunyai kewenangan hukum untuk melakukan perbuatan hukum terhadap hak atas tanah yang akan dijadikan sebagai jaminan bagi pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan. 2. Penerima dan pemegang hak tanggungan Pada dasarnya siapa saja dapat menjadi penerima dan pemegang hak tanggungan, baik orang perseorangan maupun badan hukum, yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Ketentuan dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah menyatakan : pemegang hak tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Menurut Boedi Harsono dalam Rachmadi Usman, mengatakan kreditor berkedudukan sebagai penerima hak tanggungan setelah dibuatnya Akta Pemberian Hak Tanggungan. Setelah dilakukan pembukuan hak tanggungan yang bersangkutan dalam buku tanah hak tanggungan, penerima hak tanggungan menjadi pemegang hak tanggungan.57 2.1.6 Obyek hak tanggungan. Dari pengertian Hak Tanggungan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dapat diketahui bahwa pada dasarnya benda yang 57 Rachmadi Usman op.cit. hal. 397. 53 dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan atau benda yang menjadi obyek dari hak tanggungan itu adalah tanah atau hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Jaminan berupa tanah merupakan obyek jaminan yang paling disukai oleh pihak kreditor, karena dapat memberikan keamanan bagi kreditor dari segi hukumnya maupun dari nilai ekonomisnya yang pada umumnya meningkat terus. Namun, tidak semua hak atas tanah dapat menjadi jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan, hanya hak atas tanah atau benda yang memenuhi persyaratan sebagaimana dibawah ini : 1. hak atas tanah yang hendak dijaminkan dengan utang harus bernilai ekonomis, bahwa hak atas tanah yang dimaksud dapat dinilai dengan uang, sebab utang yang dijamin berupa uang; 2. haruslah hak atas tanah yang menurut peraturan perundang-undangan termasuk hak atas tanah wajib didaftarkan dalam daftar umum sebagai pemenuhan asas publisitas, sehingga setiap orang dapat mengetahuinya; 3. menurut sifatnya, hak-hak atas tanah tersebut dapat dipindahtangankan, sehingga apabila diperlukan dapat segera direalisasi untuk membayar utang yang dijamin pelunasannya; 4. hak atas tanah tersebut ditunjuk atau ditentukan oleh Undang-Undang. Berdasarkan persyaratan di atas, tidak semua hak atas tanah yang dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan.58 58 Ibid, hal 351. 54 Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah telah ditunjuk secara tegas hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan hutang. Ada lima jenis hak atas tanah yang dapat dijaminkan dengan Hak Tanggungan, yaitu : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai baik hak milik maupun hak atas negara dan hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan merupakan hak milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dan dinyatakan di dalam akta pemberian hak atas tanah yang bersangkutan. Penjelasan mengenai hak atas tanah berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, adalah sebagai berikut : 1. Hak milik : Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria : hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6 dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria : hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria : hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria : Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta 55 sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut. Pasal 25 Undang-Undang Pokok Agraria : hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. 2. Hak guna usaha : Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria: Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau perternaka. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria: Hak guna usaha diberikan atas tanah yang luasanya paling sedikit 5 hektar, dengan ketentuan bahwa jika luasnya 25 hektar atau lebih harus memakai investasi modal yang layak dan teknik perusahaan yang baik sesuai dengan perkembangan zaman. Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria: hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria: hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarakan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19. Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria: Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hal-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 33 Undang-Undang Pokok Agraria : Hak guna usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. 56 3. Hak Guna Bangunan : Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria: hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun. Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria : Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Pokok Agraria: hak guna bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. Pasal 38 ayat (1) UndangUndang Pokok Agraria: Hak guna bangunan, termasuk syarat-sayarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19. Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria : Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir. Pasal 39 Undang-Undang Pokok Agraria : hak guna bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan. 4. Hak Pakai : Pasal 41 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria, hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memunguthasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian 57 dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengelolaan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa adan ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria : sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara maka hak pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang. Pasal 43 ayat (2) UndangUndang Pokok Agraria : hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan. Pembebanan hak tanggungan atas tanah hak pakai, dalam ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah memberikan kemungkinan pembebanan hak tanggungan sebagai jaminan utang dengan hak pakai atas tanah dan itupun terbatas kepada hak pakai atas tanah tertentu. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, hak pakai atas tanah yang dapat menjadi objek hak tanggungan adalah hak pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan, dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Jadi, tidak semua hak pakai atas tanah negara dapat dibebani dengan hak tanggungan, hanya hak pakai atas tanah negara yang terdaftar dan karena sifatnya dapat dipindah tangankan yang dapat dibebani hak tanggungan. Terhadap “hak pakai atas tanah milik, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 58 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, pembebanannya dengan hak tanggungan akan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.59 2.1.7 Pemberian hak tanggungan atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar. Pada dasarnya hak atas tanah yang dapat menjadi objek hak tanggungan haruslah hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, yang sudah terdaftar dan sifatnya dapat dipindahtangankan. Namun persyaratan tersebut dapat dikecualikan, terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama dan belum didaftar secara hukum dimungkinkan dijadikan sebagai jaminan pelunasan utang dengan dibebani hak tanggungan. Pengecualian dimaksud ditentukan dalam Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang menyatakan : Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, menyebutkan : Yang dimaksud hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi 59 Ibid, hal. 358. 59 adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, secara hukum dimungkinkan pemberian hak tanggunghan terhadap hak atas tanah yang bersal dari konversi hak lama yang sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan. Jadi tanah-tanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sementara proses administrasinya belum selesai dilaksanakan, dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.60 Demikian dahulu dibawah lembaga Hypotheek dan Credietverband, dimungkinkan juga adanya pemberian Hypotheek dan Credietverband atas tanahtanah hak adat yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 sebagai berikut : Mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha, yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pembebanan Hypotheek dan Credietverband itu dapat dilakukan bersamaan dengan permintaan untuk membukukan tanahnya menurut Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut. 60 Ibid, hal. 405. 60 Dari ketentuan dalam dan penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, diketahui bahwa pemberian hak tanggungan terhadap tanah-tanah hak atas adat yang berasal dari konversi yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan dapat dilakukan asalkan hal itu dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan.61 Dengan ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, berarti pemberian hak tanggungan dan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dilakukan dalam keadaan tanah yang dijadikan Objek hak tanggungan belum bersertipikat. Permohonan pendaftaran atas tanah tersebut diajukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak tanggungan yang bersangkutan. Dengan demikian pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan, tidak perlu menunggu sampai hak atas tanah yang dijadikan jaminan bersertipikat atas nama pemberi hak tanggungan.62 Dalam Penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dinyatakan antara lain, bahwa kemingkinan untuk pemberian hak tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk :63 memberi 61 Ibid. Ibid. 63 Ibid. 62 61 kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat untuk memperoleh kredit dan mendorong pensertipikatan hak atas tanah pada umumnya. Menurut Abdurrahman dalam Rachmadi Usman, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, bukan saja bermaksud untuk memperlancar arus perkreditan, yang berarti juga menunjang misi perbankan, akan tetapi juga menekankan aspek kepastian hukum, yaitu keharusan untuk didaftar dan dengan sendiri juga mempunyai pengaruh untuk lebih mendorong kegiatan pendaftaran tanah di Negara Indonesia.64 2.1.8 Tata cara pendaftaran hak tanggungan. Sebelum dilakukannya pendaftaran hak tanggungan pada kantor Pertanahan, untuk membebankan hak tanggungan pada hak atas tanah sebagai jaminan hutang, terlebih dahulu harus melalui tata cara pemberian hak tanggungan. Pemberian atau pembebanan hak tanggungan tersebut didahului dengan pembuatan perjanjian utang-piutang antara debitur dan kreditor. Dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) dinyatakan bahwa sesuai dengan sifat accesoir pemberiannya harus merupakan ikutan dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang-piutang yang dijamin pelunasannya. Perjanjian yang menimbulkan hubungan utang-piutang ini dapat dibuat dengan akta dibawah tangan atau dibuat dengan akta otentik, tergantung pada kesepakatan pihak kreditor dan debitor yang bersangkutan. 64 Rachmadi Usman, Ibid , hal. 406. 62 Oleh dikarenakan pembebanan hak tanggungan didahului dengan pembuatan perjanjian utang-piutang antara debitor dan kreditor atau hak tanggungan itu lahir dari perjanjian dimana nantinya perjanjian itu akan menimbulkan perikatan diantara pihak-pihak, maka sudah sepantasnya perjanjian utang-piutang antara debitor dan kreditor harus memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur mengenai syarat sahnya perjanjian. Untuk suatu perjanjian yang sah harus terpenuhi empat syarat, yaitu:65 1. Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hak tertentu yang diperjanjikan; 4. Suatu sebab (“oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang. Mengenai tata cara pemberian hak tanggungan ini telah diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang tata cara pemberian hak tanggungan secara langsung, sedangkan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 diatur tentang pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan oleh pemberi hak tanggungan kepada penerima kuasa. Pendaftaran Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Akta Pemberian Hak 65 Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVIII, PT Intermasa, Jakarta, hal 134. 63 tanggungan yang dibuat oleh PPAT wajib didaftarkan. Secara sistematis tata cara pendaftaran dikemukakan sebagai berikut:66 1. Pendaftaran dilakukan di Kantor Pertanahan; 2. PPAT dalam waktu 7 hari setelah ditandatangani pemberian hak tanggungan wajib mengirimkan akta pendaftaran hak tanggungan dan warkah lainnya kepada Kantor Pertanahan serta berkas yang diperlukan; 3. Kantor Pertanahan membuatkan buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan; 4. Tanggal buku tanah hak tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi tanggal hari kerja berikutnya; 5. Hak tanggungan lahir pada hari tanggal buku tanah hak tanggungan dibuatkan (Pasal 13 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996); 6. Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan. Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan. Sertifikat hak tanggungan diberikan kepada pemegang hak tanggungan. 66 Ibid , hal. 179. 64 2.2 Tinjauan Umum Tentang Konversi Hak Atas Tanah Yang Belum Terdaftar Pada Kantor Pertanahan 2.2.1 Pengertian konversi hak atas tanah. Konversi hak-hak atas tanah ialah perubahan hak atas tanah sehubungan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan Dasar Pokok-Pokok Agraria diubah menjadi hak-hak atas tanah yang ditetapkan dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.67 Beberapa ahli hukum memberikan pengertian konversi yaitu : A.P. Parlindungan menyatakan: “Konversi itu sendiri adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria untuk masuk dalam system dari Undang-Undang Pokok Agraria tersebut.68 Boedi Harsono dalam Adrian Sutedi juga berpendapat : konversi adalah perubahan hak yang lama menjadi satu hak yang baru menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.69 Y.W. Sunindhia dan Ninik Widiyanti mengartikan konversi itu adalah perubahan suatu hak tertentu kepada suatu hak lain, jadi ada peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah yang lain.70 67 Effendi Perangin, op.cit. hal. 145. Parlindungan A.P, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet II, Mandar Maju, Bandung, hal. 1. 69 Boedi Harsono dalam Adrian Sutedi, op.cit. hal. 125. 70 Sunindhia Y.W dan Ninik Widiyanti, 1988, Pembaharuan Hukum Agraria. Bina Aksara, Jakarta, hal. 192. 68 65 John Salindeho mengatakan hak-hak atas tanah, baik yang tunduk pada hukum barat maupun hukum Indonesia, dinyatakan hapus, yang kemudian dengan berlandaskan pada ketentuan-ketentuan konversi maka hak-hak itu, ”harus dikonversikan kedalam salah satu hak baru menurut hukum adat dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria”.71 Eko Yulian Isnur memberikan pengertian konversi yakni, ”perubahan status dari hak atas tanah menurut hukum agraria sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, menjadi hak atas tanah menurut ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria”. 72 Dari rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa konversi hak-hak atas tanah adalah penggantian/perubahan hak-hak atas tanah dari status yang lama, yaitu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria menjadi status yang baru, sebagaimana diatur menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria itu sendiri. Adapun yang dimaksud dengan hak-hak atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria adalah hak-hak atas tanah yang diatur dan tunduk pada hukum adat dan hukum barat.73 Sebelum berlaku Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dalam Hukum Tanah dikenal dua kelompok hak atas tanah atau sering disebut dualisme Hukum Agraria yaitu : 71 John Salindeho, op.cit. hal. 4. Eko Yulian Isnur, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,hal. 41. 73 Adrian Sutedi,op.cit hal. 125. 72 66 1. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum barat, yang lazim disebut hak barat. Mengenai tanah yang tunduk kepada hukum barat tersebut banyak macam haknya. Antara lain hak eigendom, hak erfpacht dan hak opstal. 2. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, yang lazim disebut hak Indonesia. Mengenai tanah yang tunduk kepada hukum adat tersebut lebih banyak lagi macam haknya. Antara lain hak eigendom, agrarisch eigendom, hak Milik (adat), jasan, anderbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landderijenbezitrecht,altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, hak gogolan yang bersifat tetap, wewenang nganggo run temurun, Vruchtgebruik, gebruik, grantcontroleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, gogolan yang bersifat tidak tetap, hak eigendom kepunyaan negara-negara asing, jika tanahnya dipergunakan untuk gedung kedutaan atau rumah kepala perwakilannya.74 Selain dua kelompok itu ada lagi yang tunduk kepada hukum yang diciptakan pemerintah Belanda dahulu, tetapi dalam rangka konversi dimasukkan ke dalam kelompok hak Indonesia, yaitu hak agrarisch eigendom, hak erfpact yang altijddurend dan landerijen bezitrecht. Setiap hak atas tanah yang ada sebelum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berlaku, baik hak barat maupun hak Indonesia, oleh ketentuan-ketentuan konversi dalam bagian ke dua 74 Effendi Perangin, op.cit, hal. 147. 67 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang disebut dalam hukum tanah yang baru. Prinsipnya ialah, bahwa hak yang lama diubah menjadi hak yang baru yang sama atau hampir sama wewenang pemegang haknya. Dengan adanya ketentuan tentang konversi pada bagian ke dua maka Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan dasar Pokok-Pokok Agraria bukan saja mengadakan unifikasi hukum agraria, tetapi juga unifikasi hak-hak atas tanah. Seperti disebut diatas hak-hak lama dikonversi menjadi hak baru yang wewenang pemegang haknya sama atau hampir sama. Pada garis besarnya, hak-hak yang memberi wewenang yang sama atau hampir sama dengan hak milik menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dikonversi menjadi hak milik. Menurut Ketentuan-ketentuan konversi dalam bagian ke dua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Hak-hak lama yang dikonversi menjadi : 1. Hak milik : hak eigendom, agrarisch eigendom, hak Milik (adat), jasan, anderbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini, grant Sultan, landderijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak usaha atas bekas tanah partikelir, hak gogolan, pekulen atau sanggahan yang bersifat tetap, wewenang nganggo run temurun. namun apabila hak-hak tersebut kepunyaan orang asing, warga negara yang disamping kewarganegaraan indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah, berdasarkan Pasal 2 ayat (2) ketentuan- 68 ketentuan konversi bagian ke dua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak-hak tersebut diatas akan menjadi hak guna usaha atau hak guna bangunan sesuai dengan peruntukan tanahnya, seperti yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria. 2. Hak Guna Usaha : hak erfpacht untuk perkebunan besar. 3. Hak Guna Bangunan : hak opstal, hak erfpacht untuk perumahan dan hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warga negara disamping kewarganegaraan indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh pemerintah. 4. Hak Pakai : Vruchtgebruik, gebruik, grantcontroleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh, pituwas, gogolan, pekulen atau sanggahan yang bersifat tidak tetap, hak eigendom kepunyaan Pemerintah negara asing, jika tanahnya dipergunakan untuk gedung kedutaan atau rumah kepala perwakilannya. Namun jika ada keraguraguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggahan bersifat tetap atau tidak tetap, berdasarkan Pasal 7 ayat (3) ketentuan-ketentuan konversi bagian ke dua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.75 Kemudian ada pula konversi yang tidak menuju pada satu hak yang tertentu. Misalnya hak agrarisch eigendom yang dipunyai oleh orang asing. Menurut Pasal II ayat 2 Ketentuan-ketentuan konversi dalam bagian ke dua Undang-Undang 75 Suasthawa Dharmayuda, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, CV. Kayu Mas Agung, Denpasar, hal. 35. 69 Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, hak tersebut bisa menjadi hak guna usaha akan tetapi bisa juga menjadi hak guna bangunan, tergantung pada peruntukan tanahnya. Selain dari pada itu tidak semua hak lama di konversi menjadi salah satu hak baru. Hak erfpacht untuk pertanian kecil tidak dikonversi, bahkan dengan Pasal 3 ayat (2) Ketentuan-ketentuan konversi dalam bagian ke dua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dinyatakan hapus. 2.2.2 Dasar hukum konversi hak atas tanah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria mengatur ketentuan konversi dalam bagian ke dua, yaitu Pasal I sampai IX. Ini peraturan pokok. Peraturan pelaksanaannya antara lain : untuk hak barat adalah Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 2 tahun 1960, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 5 tahun 1960, Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 13 tahun 1961, PMDN Nomor 2 tahun 1970, SK MDN Nomor Sk. 53/DDA/1970, dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 7 tahun 1965. Sedangkan untuk Hak Indonesia adalah PMPA Nomor 2 tahun 1962 dan SKMDN Nomor 26 tahun 1970. 2.2.3 Tujuan konversi hak atas tanah di Indonesia. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria yang menganut asas unifikasi hukum agraria, maka hanya ada satu system hukum untuk seluruh wilayah tanah air, oleh karena itu hak-hak atas tanah yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria harus 70 disesuaikan atau dicari padanannya yang terdapat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria melalui lembaga konversi. Jadi, dengan demikian tujuan konversinya hak-hak atas tanah pada hak-hak atas tanah menurut sistem UndangUndang Pokok Agraria disamping untuk terciptanya unifikasi hukum pertanahan di tanah air dengan mengakui hak-hak atas tanah terdahulu untuk disesuaikan menurut ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria dan untuk menjamin kepastian hukum, juga bertujuan agar hak-hak atas tanah itu dapat berfungsi untuk mempercepat terwujudnya masyarakat adil dan makmur sebagaimana yang di cita-citakan oleh Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3).76 2.2.4 Syarat-syarat pendaftaran hak atas tanah berasal dari konversi hak lama. Pendaftaran tanah merupakan hal yang penting sebagai bukti hak yang kuat terhadap hak atas tanah untuk membuktikan sebagai pemilik hak atas tanah secara sah. Pengertian pendaftaran tanah yaitu serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.77 Di samping itu pendaftaran tanah yang ditentukan dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 76 Adrian Sutedi, op.cit, hal. 131. Urip Santoso, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah , Kencana, Jakarta, hal. 13. 77 71 tentang Pokok-Pokok Agraria, merupakan sasaran untuk mengadakan kesederhanaan hukum. Tentang pendaftaran tanah lebih lanjut dijelaskan dalam penjelasan umum angka III alenia terakhir Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Praturan dasar Pokok-Pokok Agraria yang berbunyi : adapun hak-hak yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini, semua akan dikonversikan menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Jadi semua tanah baik yang dimiliki atas nama seseorang atau badan hukum baik hak milik adat atau hak atas tanah menurut buku II KUHPerdata diwajibkan untuk dikonversikan kepada salah satu hak atas tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria dan didaftarkan sehingga terwujud unifikasi dan kesederhanaan hukum dalam hukum pertanahan Indonesia sesuai dengan tujuan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang PokokPokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tidak mungkin lagi diterbitkan hak-hak yang akan tunduk kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun yang akan tunduk kepada hukum adat setempat kecuali menerangkan bahwa hak-hak tersebut merupakan hak adat. Terhadap Kepemilikan hak atas tanah yang belum mempunyai sertifikat dari Badan Pertanahan Nasional berdasarkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka pemilik 72 terkait dapat menempuh mekanisme konversi, untuk kemudian mendapatkan sertipikat atas nama pemilik terkait itu sendiri.78 Syarat-syarat yang diperlukan untuk pendaftaran tanah pertama kali berdasarkan konversi adalah : 1. Surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasa hukumnya; 2. Fotokopi kartu tanda penduduk pemohon yang telah dilegalisir oleh pejabat berwenang; 3. Surat keterangan dari kepala desa/kelurahan, tentang penguasaan dan pemilik hak atas tanah; 4. Bukti kepemilikan hak atas tanah sebelum bersertifikat, dapat berupa salinan Letter C yang diketahui oleh kepala desa; Model D Asli, Model E Asli, serta fotokopi pemeriksaan desa yang diketahui oleh kepala desa terkait; 5. Fotokopi Buku C, memuat tentang identitas tanah yang dimohonkan/didaftarkan ke kantor Pertanahan. Hal ini disebabkan, di Letter C dasar pencatatan adalah pada subjek pemilik hak atas tanah, bukan pada bidang tanahnya. Ini tentunya berbeda dengan pendaftaran tanah di kantor pertanahan, yang menerapkan administrasi kepemilikan hak perbidang tanah; 78 Eko Yulian Isnur, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 42. 73 6. Surat pernyataan yang diketahui oleh kepala desa/kelurahan, yang menjelaskan tentang perihal status yuridis tanah belum bersertifikat, tidak dijadikan jaminan utang, serta tidak dalam sengketa; 7. Surat pernyataan yang diketahui oleh kepala desa/kelurahan tentang pemasangan batas-batas permanen; 8. Surat pernyataan persetujuan dari dan ditandatangani pemilik tanah yang berbatasan langsung, dengan diketahui oleh kepala desa. Memuat tentang perihal luas tanah yang didaftarkan, dan disetujui oleh pemilik tanah yang bersebelahan/berbatasan langsung tersebut; 9. DI. 20 (risalah penelitian data yuridis dan penetapan batas tanah), dibuat perbidang tanah; 10. Bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, atau SPPT PBB tahun berjalan. Apabila bukti kepemilikan sebidang tanah tidak lengkap atau tidak ada, pembuktian kepemilikan atas bidang tanah itu menurut Pasal 76 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 dapat dilakukan dengan bukti lain yang dilengkapi dengan pernyataan yang bersangkutan dan keterangan yang dapat dipercaya dari sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi dari lingkungan masyarakat setempat yang tidak mempunyai hubungan keluarga dengan yang bersangkutan, yang menyatakan bahwa yang bersangkutan adalah benar pemilik bidang tanah tersebut. 74 Dalam hal bukti-bukti mengenai kepemilikan tanah tidak ada sama sekali menurut Pasal 76 ayat (3) Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nomor 3 Tahun 1997 permohonan tersebut harus disertai dengan : 1. Surat pernyataan dari pemohon yang menyatakan hak-hal sebagai berikut : 1) Bahwa pemohon telah menguasai secara nyata tanah yang bersangkutan selama 20 tahun atau lebih secara berturut-turut, atau telah memperoleh penguasaan itu dari pihak atau pihak-pihak lain yang telah menguasainya, sehingga waktu penguasaan pemohon dan pendahulunya tersebut berjumlah 20 tahun atau lebih; 2) Bahwa pengusaan tanah itu telah dilakukan dengan itikad baik; 3) Bahwa penguasaan tanah itu tidak pernah diganggu gugat dan karena itu dianggap diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan; 4) Bahwa tanah tersebut sekarang tidak dalam sengketa; 5) Bahwa apabila pernyataan tersebut memuat hal-hal yang tidak sesuai dengan kenyataan, penandatangan bersedia dituntut di muka Hakim/secara pidana maupun perdata karena memberikan keterangan palsu. 2. Keterangan dari Kepala Desa/Lurah dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang kesaksiannya dapat dipercaya, karena fungsinya sebagai tetua adat setempat dan/atau penduduk yang sudah lama bertempat tinggal di desa/kelurahan letak tanah bersangkutan dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan pemohon, yang membenarkan apa yang dinyatakan oleh pemohon dalam surat pernyataannya. BAB III EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR 3.1 Pemberian Kredit Dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar Secara sederhana bank diartikan sebagai lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana tersebut ke masyarakat serta memberikan jasa-jasa bank lainnya.79 Menurut Jopie Jusuf dalam bukunya berjudul panduan dasar untuk account officer, mengatakan bahwa ”pada dasarnya bank adalah lembaga perantara antara sektor yang kelebihan dana (surplus) dan sektor yang kekurangan dana (minus)”. Bank menerima simpanan dana dari pihak-pihak yang kelebihan dana misal, dalam bentuk tabungan atau deposito dan menyalurkannya ke pihak-pihak yang memerlukan dana dalam bentuk pinjaman.80 Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat 79 Kasmir, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 2. 80 Jopie Jusuf, 2008, Panduan Dasar Untuk Account Officer, Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakaerta, hal. 1. 75 76 dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Disamping itu dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Pasal 1 ayat (3) menyebutkan pengertian Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya member jasa dalam lalu lintas pembayaran. Pengertian usaha perbankan secara konvensional adalah usaha perbankan memberi kredit kepada nasabah baik perorangan maupun perusahaan.81 Dari definisi-definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bank merupakan lembaga keuangan yang kegiatan usahanya adalah82 : 1. Menghimpun dana (uang) dari masyarakat dalam bentuk simpanan, maksudnya dalam hal ini bank sebagai tempat menyimpan uang atau berinvestasi bagi masyarakat; 2. Menyalurkan dana ke masyarakat, maksudnya adalah bank memberikan pinjaman (kredit) kepada masyarakat yang mengajukan permohonan. Dengan kata lain bank menyediakan dana bagi masyarakat yang membutuhkannya; 3. Memberikan jasa-jasa bank lainnya, seperti pengiriman uang (transfer), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari dalam kota (clearing), penagihan surat-surat berharga yang berasal dari luar kota dan luar negeri 81 Sentosa Sembiring, 2008, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung, hal. 3. 82 Kasmir , op.cit, hal. 3. 77 (inkaso), letter of credit (L/C), safe deposit box, bank garansi, bank notes, travelers cheque dan jasa lainnya. Jasa bank lainnya ini merupakan jasa pendukung dari kegiatan pokok bank yaitu menghimpun dan menyalurkan dana. Seperti yang telah di jelaskan diatas bahwa salah satu kegiatan usaha bank adalah menyalurkan dana yang berhasil dihimpun dari masyarakat. Kegiatan menyalurkan dana ini dikenal dengan nama kegiatan lending. Penyaluran dana oleh bank dilakukan melalui pemberian pinjaman yang dalam masyarakat lebih dikenal dengan nama kredit.83 Dalam bahasa latin kredit disebut credere yang artinya percaya. Maksudnya si pemberi kredit percaya kepada penerima kredit, bahwa kredit yang disalurkan pasti akan dikembalikan sesuai perjanjian. Sedangkan bagi si penerima kredit berarti menerima kepercayaan, sehingga mempunyai kewajiban untuk membayar kembali pinjaman tersebut sesuai dengan jangka waktunya.84 Selain itu pengertian kredit yang tercantum dalam kamus besar bahasa Indonesia adalah pinjaman uang dengan pembayaran pengembalian secara mengangsur atau pinjaman sampai batas jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.85 Black’s Law Dictionary memberikan pengertian bahwa kredit adalah: The ability of a businessman to borrow money, or obtain goods on time, in consequence of the favorable opinion held by the particular lender, as to his 83 Ibid, hal. 32. Ibid, hal. 101. 85 Alwi Hasan, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, hal 271. 84 78 solvency and reliability.86 Black mendefinisikan kredit adalah suatu kemampuan seorang pengusaha untuk meminjam uang atau barang pada waktunya, dengan berpegang pada pendapat yang menguntungkan yang diselenggarakan oleh pemberi pinjaman menurut kesanggupan dan kepercayaannya. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan kredit adalah penyediaan uang tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu dengan pemberian bunga. Dari ketentuan dalam Pasal 1 ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana tersebut diatas, Ramlan Ginting berpendapat terdapat beberapa unsur perjanjian kredit yaitu :87 1. Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu; 2. Berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain; 3. Terdapat kewajiban pihak peminjam untuk melunasi utangnya dalam jangka waktru tertentu; 4. Pelunasan utang yang disertai dengan bunga. 86 Henry Campbell Black, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn, West Publishing Co, hal 367. 87 Ramlan Ginting, 2005, “Peraturan Pemberian Kredit Bank Umum”, Paper, pada Diskusi Hukum Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap Pemberian Fasilitas Kredit Dalam Praktek Perbankan di Indonesia, Bandung, Tanggal 6 Agustus. 79 Unsur pertama dari kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, uang di sini seiogianya ditafsirkan sebagai sejumlah dana tunai dan saldo rekening giro baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing. Dalam pengertian penyediaan tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu adalah cerukan atau overdraft, yaitu saldo negatif pada rekening giro nasabah yang tidak dapat dibayar lunas pada akhir hari, pengambilalihan tagihan dalam rangka kegiatan anjak piutang atau factoring dan pengambilalihan atau pembelian kredit atau piutang dari pihak lain seperti negosiasi hasil ekspor. Unsur kedua dari kredit adalah persetujuan atau kesepakatan antara bank dan debitor. Sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata, agar suatu perjanjian menjadi sah diperlukan empat syarat, yaitu kesepakatan para pihak, kecakapan untuk membuat perjanjian, terdapat obyek tertentu dan ada suatu kausa (cause) yang halal. Selain kesepakatan antara debitor dan kreditor juga diperlukan ketiga syarat lain tersebut di atas sebagai dasar untuk menyatakan sahnya suatu perjanjian.88 Unsur ketiga dari kredit adalah adanya kewajiban debitor untuk mengembalikan jumlah keseluruhan kredit yang dipinjam dari kreditor dalam jangka waktu tertentu. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya hubungan pinjam meminjam antara debitor dan kreditor.89 Unsur yang terakhir adalah adanya pengenaan bunga terhadap kredit yang dipinjamkan. Bunga merupakan nilai tambah yang diterima kreditor dari debitor atas sejumlah uang yang dipinjamkan kepada debitor dimaksud.90 88 Ibid. Ibid. 90 Ibid. 89 80 Didalam menyalurkan kreditnya bank sebagai kreditor harus benar-benar yakin bahwa kredit yang disalurkan akan benar-benar kembali sesuai jangka waktu yang telah disepakati. Dalam rangka pemberian kredit tersebut bank sebagai kreditor di haruskan menaati ketentuan-ketentuan yang berlaku, seperti ketentuan yang tercantum dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan : Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Kemudian Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan : Bank Umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Selanjutnya, didalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, dipaparkan bahwa pokokpokok ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia memuat antara lain : a. Pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dibuat dalam bentuk perjanjian tertulis; b. Bank harus memiliki keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitor yang antara lain diperoleh dari penilaian yang seksama 81 terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitor; c. Kewajiban bank untuk menyusun dan menerapkan prosedur pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; d. Kewajiban bank untuk memberikan informasi yang jelas mengenai prosedur dan persyaratan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; e. Larangan bank untuk memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dengan persyaratan yang berbeda kepada Nasabah Debitor dan pihak-pihak terafiliasi; f. Penyelesaian sengketa. Menurut Thomas Suyatno dalam Jopie Jusuf menyatakan suatu kredit terdapat unsur-unsur sebagai berikut :91 1. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu di masa yang akan datang; 2. Objek dari kredit, yaitu uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu; 3. Waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian kredit dengan pembayaran yang akan diterima kembali oleh bank di masa yang akan datang; 91 Thomas Suyatno dalam Jopie Jusuf, op.cit, hal. 119. 82 4. Konsekuensi dari unsur waktu diatas, melekat dalam suatu kredit adalah risiko, yaitu kemungkinan bank tidak dapat menagih kembali kredit yang diberikannya. Penyebabnya, tidak ada satu orang pun yang dapat memastikan keadaan masa depan. Semakin lama kredit yang diberikan, semakin tinggi pula ketidakpastian yang dihadapi oleh bank. Oleh karenanya, semakin tinggi pula risiko kredit yang harus ditanggung. Terdapat kriteria penilaian yang umum dan harus dilakukan oleh bank untuk mendapatkan nasabah yang benar-benar layak untuk diberikan kredit, ini dapat dilakukan dengan analisis 5C. Penilaian dengan analisis 5C adalah sebagai berikut : 92 1. Character : Merupakan sifat atau watak seseorang. Sifat dan watak dari orang-orang yang akan diberikan kredit benar-benar harus dapat dipercaya. Untuk membaca watak atau sifat dari calon debitur dapat dilihat dari latarbelakang si nasabah, baik yang bersifat latarbelakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti : cara hidup atau gaya hidup yang dianutnya, keadaan keluarga, hobi dan jiwa social. Dari sifat dan watak ini dapat dijadikan suatu ukuran tentang kemauan nasabah untuk membayar; 2. Capacity : ini merupakan analisis untuk mengetahui kemampuan nasabah dalam membayar kredit. Dari penilaian ini terlihat kemampuan nasabah dalam mengelola bisnis. Kemampuan ini dihubungkan dengan latar belakang pendidikan dan pengalamannya selama ini dalam mengelola 92 Kasmir , op.cit, hal. 117. 83 usahanya, sehingga akan terlihat kemampuannya dalam mengembalikan kredit yang disalurkan; 3. Capital : Untuk melihat penggunaan modal apakah efektiv atau tidak, dapat dilihat dari laporan keuangan (neraca dan laporan rugi laba) yang disajikan dengan melakukan pengukuran seperti dari segi likuiditas dan solvabilitasnya, rentabilitas dan ukuran lainnya. Analisis capital juga harus menganalisis dari sumber mana saja modal yang ada sekarang ini, termasuk persentase modal yang digunakan untuk membiayai proyek yang akan dijalankan, berapa modal sendiri dan berapa modal pinjaman; 4. Colleteral : Merupakan jaminan yang diberikan calon nasabah baik yang bersifat fisik maupun non fisik. Jaminan hendaknya melebihi jumlah kredit yang diberikan. Jaminan juga harus diteliti keabsahan dan kesempurnaanya, sehingga jika terjadi suatu masalah, maka jaminan yang dititipkan akan dapat dipergunakan secepat mungkin; 5. Condition : Dalam menilai kredit hendaknya juga dinilai kondisi ekonomi, social dan politik yang ada sekarang dan prediksi untuk di masa yang akan datang. Penilaian kondisi atau prospek bidang usaha yang dibiayai hendaknya benar-benar memiliki prospek yang baik, sehingga kemungkinan kredit tersebut bermasalah relative kecil. Terkait dengan praktek perbankan di Kota Denpasar, berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak Miguel Mascarenhas, selaku Area Manager SME PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan bapak Duna Biantara, selaku AO Supervisor PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan PT. 84 Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar sebagai Bank Umum yang berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit, PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip kehati-hatian dan melaksanakan prosedur penyaluran kredit yang sehat. (wawancara tanggal 22 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak Ida Bagus Oka Wijaya, selaku Supervisor Admin Kredit PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, Salah satu jenis layanan perbankan yang diberikan oleh PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar adalah pemberian fasilitas kredit, yaitu : 1. Fasilitas Kredit Usaha Kecil (KUK), yaitu : fasilitas kredit yang jenisnya dapat berupa Fixed Loan untuk modal kerja usaha atau pun Term Loan untuk investasi. Minimal dan maksimal Plafond dari Kredit Usaha Kecil tersebut adalah Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,2. Fasilitas Kredit Usaha Menengah (KUM) , yaitu : fasilitas kredit yang jenisnya dapat berupa Fixed Loan untuk modal kerja usaha atau pun Term Loan untuk investasi. Minimal dan maksimal plafond dari Kredit Usaha Menengah tersebut adalah Rp. 500.000.000,- sampai dengan 5.000.000.000,3. Fasilitas Kredit Modal Kerja (Comercial loan), yaitu : pinjaman yang diberikan kepada pengusaha dalam menjalankan usahanya; 85 4. Fasilitas Kredit Konsumer, yaitu : fasilitas kredit yang diberikan pihak Bank kepada debitor yang memenuhi persyaratan untuk membeli rumah/ruko/apartemen, pembangunan/renovasi rumah, pembelian kendaraan bermotor berupa mobil atau motor, pembelian peralatan baru penunjang kerja khusus dokter dan bidan serta keperluan serbaguna dengan sumber pengembalian bukan berasal dari obyek yang dibiayai. (wawancara tanggal 22 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank Bukopin, yaitu bapak Teguh Adnyana, selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, Salah satu jenis layanan perbankan yang diberikan oleh PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar adalah pemberian fasilitas kredit, yaitu : 1. Fasilitas Kredit Usaha Kecil (Kredit Mikro), yaitu : fasilitas kredit yang dapat berupa modal kerja usaha ataupun untuk Investasi. Minimal dan maksimal plafond dari Kredit Usaha Kecil tersebut adalah Rp. 100.000.000,- sampai dengan Rp. 500.000.000,2. Fasilitas Kredit Usaha Menengah (UKM) , yaitu : fasilitas kredit yang dapat berupa modal kerja usaha ataupun untuk investasi. Minimal dan maksimal plafond dari Kredit Usaha Menengah tersebut adalah Rp. 500.000.000,- sampai dengan 25.000.000.000,3. Fasilitas Kredit Modal Kerja (Comercial loan), yaitu : pinjaman yang diberikan kepada pengusaha dalam menjalankan usahanya; 4. Fasilitas Kredit Konsumer, yaitu : fasilitas kredit yang diberikan pihak Bank kepada debitor yang memenuhi persyaratan untuk membeli 86 rumah/ruko/apartemen, pembangunan/renovasi rumah dan pembelian kendaraan bermotor berupa mobil atau motor. (wawancara tanggal 23 Agustus 2013). Bapak Ida Bagus Oka Wijaya juga menerangkan proses pemberian kredit pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, hampir sama dengan proses pemberian kredit pada Bank Umum lainnya. Tahapan pemberian kredit pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar diawali dari : 1. Pengajuan permohonan kredit dari calon debitur secara tertulis kepada bagian pemasaran yang nantinya ditangani oleh account officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Setelah menerima permohonan kredit account officer akan mulai mengidentifikasi calon debitornya, mengenalkan produk fasilitas kredit, melengkapi formulir aplikasi kredit, meminta kepada calon debiturnya untuk melengkapi dokumen persyaratan kredit dan agunan, dan selanjutnya melakukan verifikasi data dan dokumen calon debiturnya. Apabila menurut analisis awal dari account officer permohonan kredit tersebut tidak layak, maka akan dilakukan pemberitahuan penolakan secara tertulis kepada calon debitornya. 2. Bila permohonan fasilitas kredit tersebut layak untuk diproses, maka account officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar akan melakukan peninjauan dan penilaian agunan yang akan dijadikan jaminan tambahan. Peninjauan dan penilaian agunan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dilakukan oleh bagian taksasi (appraisal) internal bank. 87 3. Data lengkap yang telah didapat dari calon debitur akan dilakukan analisis lebih mendalam oleh credit analyst yang pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar disebut bagian credit officer. Analisis akan dilakukan berpedoman pada konsep 5 C yaitu : 1) Character atau watak calon debitur : dalam mengenal watak calon debitur dapat dilakukan dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang calon debitur seperti dengan melakukan BI checking lewat sistem informasi perkreditan Bank Indonesia, mencari informasi dari supplier mitra dagang calon debitor, dan dapat mencari informasi pada tetangga-tetangga tempat tinggal calon debitor. 2) Capacity : untuk mengetahui kemampuan calon debitur mengoprasikan usahanya guna memperoleh profit, credit officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar akan melakukan kunjungan usaha untuk mengetahui keadaan dan kondisi serta kegiatan yang dijalankan oleh calon debitor dengan cara mengadakan kunjungan langsung ke kantor, pabrik maupun ke lokasi proyek. Kegunaan dari kunjungan usaha ini adalah untuk mengetahui hasil atau keuntungan dari usaha calon debitor dalam kaitannya dengan kemampuan calon debitor untuk mengembalikan kredit secara tepat waktu sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati dalam perjanjian kredit. 88 3) Capital : ini merupakan dana yang dimiliki oleh calon debitor untuk menjalankan dan memelihara kelangsungan usahanya. Dalam Kredit Konsumer Capital dapat dilihat dari uang muka yang disediakan. 4) Collateral : ini adalah barang bergerak ataupun tidak bergerak baik milik debitor ataupun pihak ketiga yang diserahkan dan atau digunakan oleh debitor sebagai agunan kredit kepada bank. Terdapat dua macam jenis jaminan yang ditetapkan oleh PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar yaitu Jaminan dalam bentuk material seperti tanah, bangunan, kendaraan dan jaminan dalam bentuk immaterial seperti jaminan yang tidak menunjuk bendanya secara pasti, tetapi lebih semacam permintaan dari penjamin atas pelunasan hutang debitor. Jaminan immaterial dapat berupa : Personal Guarantee) atau Corporate Guarantee. 5) Conditioan : ini merupakan aspek eksternal yang dapat mempengaruhi kemampuan calon debitor dalam memperoleh profit, seperti faktor ekonomi, kondisi politik, kebijakan peraturanperaturan yang di keluarkan pemerintah. 4. Bila account officer dan credit officer telah mendapatkan kesimpulan bahwa permohonan kredit tersebut layak untuk diajukan berdasarkan analisis yang dilakukan, maka account officer akan melanjutkan dengan penyusunan proposal kredit untuk nantinya diajukan ke komite kredit. Proposal tersebut diajukan ke komite kredit untuk dipelajari. Bila dirasa 89 kurang, komite kredit dapat meminta account officer untuk melengkapi data, melakukan analisis ulang serta memperbaiki kembali proposal yang telah diajukan. Ada kemungkinan permohonan kredit ditolak oleh komite kredit dikarenakan dinilai tidak layak untuk dibiayai oleh bank. Penolakan tersebut dapat disebabkan karna : Usaha tidak layak, jaminan tidak dapat diterima bank, reputasi calon debitor tidak baik atau tidak sesuai dengan kebijakan perkreditan Bank. 5. Apabila proposal kredit telah di setujui komite kredit dan telah dilakukan penandatanganan surat pemberitahuan persetujuan kredit oleh pejabat Bank sebagai kreditor dengan calon debitornya, maka selanjutnya dilakukan pengikatan kredit dan pengikatan jaminan. Pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, pengikatan kredit dilakukan dengan perjanjian kredit di bawah tangan dengan dilegalisasi Notaris atau perjanjian kredit dibuat secara notariil di hadapan Notaris tergantung fasilitas kredit yang diberikan Bank. Namun untuk pengikatan jaminan selalu dibuat dengan akta notariil dihadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Notaris/PPAT. Setelah pengikatan kredit dan pengikatan jaminan selesai maka Notaris/PPAT akan mengeluarkan Covernote yang menerangkan telah dilakukannya perbuatan hukum pengikatan kredit dan pengikatan jaminan. 5. Setelah pengikatan kredit dan pengikatan jaminan dilakukan, maka dilanjutkan dengan proses penatausahaan data debitur dan jenis fasilitas kredit yang dilakukan oleh bagian loan administration kredit, sampai 90 nantinya dilakukan proses pencairan kredit ke rekening calon debitor. (wawancara tanggal 26 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank lain sebagai pembanding, yaitu bapak Teguh Adnyana, selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar dan bapak Gede Saswita, selaku legal officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar menjelaskan pada pokoknya proses pemberian kredit di PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar tahapannya tidak berbeda dengan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Cuma terdapat perbedaan penyebutan nama pada bagian credit analyst dan bagian appraisal. Pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, bagian credit analyst disebut CRA (credit risk akuisisi) dan bagian bagian appraisal disebut CI (credit investigasi). Tahapan dalam pemberian kredit pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar adalah calon debitur yang mengajukan permohonan kredit kepada PT. Bank Bukopin, Tbk diminta untuk mengisi formulir permohonan kredit dan melampirkan dokumen-dokumen persyaratan kredit pada umumnya, berdasarkan permohonan dan dokumen-dokumen yang telah dilampirkan calon debitor, bank selanjutnya melakukan analisa kredit. PT. Bank Bukopin, Tbk melakukan analisa kredit mengacu pada prinsip 5C, yakni menanalisa Character,Capacity, Capital, Colleteral dan Condition Of Economy dari calon debitornya. Selanjutnya apabila bank telah selesai melakukan analisa kredit yang mendalam, barulah pihak bank dapat memberikan keputusan apakah permohonan kredit dari calon debitornya layak atau tidak untuk diberikan fasilitas kredit. Apabila permohonan kredit telah disetujui maka akan dilanjutkan dengan proses pengikatan kredit dan pengikatan 91 jaminan. Apabila proses pengikatan kredit dan pengikatan jaminan telah berhasil dilakukan barulah pihak bank melakukan proses pencairan kredit. (wawancara tanggal 27 Agustus 2013). Dari pemaparan mengenai pengertian, dasar hukum dan tahapan pemberian kredit diatas, dapatlah disimpulkan bahwa kredit merupakan penyediaan uang oleh kreditor yang disalurkan kepada debitornya atas dasar kepercayaan. Dalam hal ini kreditor memiliki keyakinan bahwa pada saat jangka waktu kredit telah berakhir, debitor mampu mengembalikan dana yang telah disalurkan kreditor beserta bunga kredit yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Disamping itu terdapat beberapa unsur-unsur pokok dari kredit, yakni adanya kepercayaan dari kreditor kepada debitornya, terdapat kesepakatan antara kreditor dengan debitor, terdapat prestasi berupa uang, dan terakhir adanya jangka waktu untuk pengembalian uang yang telah disalurkan kreditor. Dikarenakan terdapat jangka waktu dalam pengembalian uang oleh debitor kepada kreditornya maka terdapat risiko yang ditanggung oleh kreditor, dalam hal ini adalah resiko tidak kembalinya atau tidak terbayarnya dana atau uang yang telah disalurkan kepada debitor. Dikarenakan terdapat resiko yang ditanggung kreditor, maka dalam hal pemberian kredit, kreditor harus benar-benar teliti dalam melakukan analisa kredit. Dalam hal analisa kredit, kreditor dapat berpatokan pada analisis 5C sesuai yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yakni menganalisa Character (watak debitor) ,Capacity (kemampuan debitor mengelola usahanya), Capital (modal dasar yang dimiliki debitor), Colleteral (jaminan) dan 92 Condition Of Economy (keadaan ekonomi). Apabila pemberian kredit telah mengacu dengan analisa 5C, maka dapat menjamin mutu kredit yang telah disalurkan sehingga kredit yang disalurkan memiliki tingkat risiko yang rendah. Dalam praktek pemberian kredit yang dilakukan oleh PT. Bank Mega, Tbk dan PT. Bank Bukopin, Tbk, dapat disimpulkan bahwa kedua bank tersebut sebagai bank umum yang melakukan kegiatan usaha yakni menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali kemasyarakat dalam bentuk kredit, telah melakukan prosedur pemberian kredit yang benar, dikarenakan PT. Bank Mega, Tbk dan PT. Bank Bukopin, Tbk dalam pemberian kredit telah mengacu dengan analisa 5C, baik itu menganalisis Character, Capacity, Capital, Colleteral dan Condition Of Economy dari calon debitornya, sehingga kredit yang disalurkan PT. Bank Mega, Tbk dan PT. Bank Bukopin, Tbk adalah kredit-kredit yang bermutu dan rendah terjadi risiko wanpresstasi dari debitornya. 3.2 Hak Atas Tanah Berasal dari Konversi Hak Lama yang Belum Terdaftar Sebagai Jaminan dalam Praktek Perbankan di Kota Denpasar Menurut Mariam Darus Badrulzaman, Jaminan adalah kekayaan yang dapat diikat sebagai jaminan guna kepastian pelunasan di belakang hari kalau penerima kredit tidak melunasi utangnya.93 Selain itu Hartono Hadisaputro memberi pengertian Jaminan adalah sesuatu yang diberikan kredit untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajibannya yang dapat dinilai dengan 93 Mariam Darus Badrulzaman, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung,, hal. 70. 93 uang yang timbul dari perikatan antara kreditor dan debitor.94 Disamping pendapat tersebut diatas, Muchdarsyah Sinungan mengatakan secara umum jaminan kredit diarahkan sebagai penyerahan kekayaan atau pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang.95 Pendapat dari Badriyah Harun mengenai jaminan adalah kebutuhan kreditor untuk memperkecil risiko apabila debitor tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah dikucurkan.96 Badriyah Harun juga menyatakan dasar hukum jaminan dalam pemberian kredit adalah pasal Pasal 8 ayat (1) UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Jaminan pemberian kredit menurut pasal tersebut adalah bahwa keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitor untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitor.97 Adanya jaminan dapat menimbulkan rasa aman bagi kreditor bahwa piutangnya akan dilunasi, apabila debitor melakukan wanprestasi, pailit yaitu dengan cara mengambil pelunasan dari penjualan benda jaminan atau dengan meminta pelunasan kepada penjamin. Adapun jaminan ideal yang diharapkan oleh kreditor, adalah yang berdaya guna dan dapat memberikan 94 Hartono Hadisaputro, 1984, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Perikatan, Liberty, Yogyakarta,hal 50. 95 Mucdarsyah Sinungan, 1990, Kredit Seluk Beluk dan Pengelolaannya, Tograf, Yogyakarta, hal. 12. 96 Badriyah Harun, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, hal. 67. 97 Ibid, hal. 68. 94 kepastian kepada pemberi kredit agar mudah dijual/diuangkan guna menutup atau melunasi utang debitor.98 Berdasarkan pendapat dari beberapa sarjana tersebut diatas, disimpulkan bahwa jaminan perorangan ataupun jaminan kebendaan yang diberikan debitor kepada kreditornya bertujuan untuk menjamin akan dilakukannya pelunasan utang dari debitor kepada kreditornya. Jaminan dapat juga diartikan sebagai alat pengaman yang bersifat tambahan atau accessoir untuk memastikan pelunasan utang dari debitor kepada kreditornya. Walaupun didalam ketentuan dan penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, lazimnya dikenal dengan agunan atau jaminan tambahan, namun jaminan merupakan kebutuhan kreditor untuk memperkecil risiko apabila debitornya tidak mampu menyelesaikan segala kewajiban yang berkenaan dengan kredit yang telah dikucurkan.99 Jaminan adalah sarana perlindungan bagi keamanan kreditor, yaitu kepastian atas pelunasan hutang debitor atau pelaksanaan suatu prestasi oleh debitor atau oleh penjamin debitor.100 Jaminan sebagai langkah antisipatif dalam 98 Kartono, 1977, Hak-hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 12. 99 Badriyah Harun, loc.cit. Johannes Ibrahim, 2004, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian Kredit Bermasalah, Refika Aditama, Bandung, hal 71. 100 95 menarik dana yang telah disalurkan kepada debitor hendaknya dipertimbangkan dua faktor yaitu:101 1. Secured, artinya jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundangundangan. Jika di kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitor maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan eksekusi; 2. Marketable, artinya jaminan tersebut bila hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitor. Dengan mempertimbangkan kedua faktor di atas, jaminan yang diterima oleh Kreditor dapat meminimal risiko dalam penyaluran kredit sesuai dengan prinsip kehati-hatian (prudential banking).102 Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menetapkan bahwa segala hak kebendaan debitor baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun aka nada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatannya. Dengan demikian, segala harta kekayaan debitor secara otomatis menjadi jaminan manakala orang tersebut membuat perjanjian utang meskipun tidak dinyatakan secara tegas sebagai jaminan. Terhadap jaminan ini akan timbul masalah manakala seorang debitor memiliki lebih dari seorang kreditor dimana masing-masing kreditor menginginkan haknya didahulukan. Hukum mengantisipasi keadaan demikian dengan membuat jaminan yang secara khusus diperjanjikan dengan hak-hak istimewa seperti hak tanggungan, Fiducia, gadai, maupun cessie piutang. Kreditor 101 102 Ibid. Ibid, hal. 72. 96 yang memegang hak tersebut memiliki hak utama untuk mendapatkan pembayaran kredit seluruhnya dari hasil penjualan benda jaminan. Apabila terdapat kelebihan dalam penjualan benda jaminan, maka kelebihan tersebut dapat diberikan kepada kreditor lain. Jaminan kredit yang diatur secara khusus dalam praktek perbankan terdiri dari:103 1. Jaminan perorangan Jaminan perorangan dalam Pasal 1820 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai penanggungan utang. Dalam pasal tersebut dikatakan bahwa jaminan perorangan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan pihak kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si debitor manakala orang tersebut tidak memenuhinya. Pelaksanaan perjanjian perorangan selalu dibuat oleh pihak ketiga yang menjamin terpenuhinya kewajiban membayar kredit tersebut, baik diketahui maupun tidak diketahui oleh debitor. dengan adanya pihak ketiga sebagai penjamin, apabila debitor tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pihak ketiga inilah yang akan melaksanakan kewajibannya. Perlindungan hak terhadap pihak ketiga dalam menjalankan kewajibannya tidak terlepas dari ketentuan Pasal 1831 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi : Penanggung tidak wajib membayar kepada kreditor kecuali debitor lalai membayar hutangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitor harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Dalam prakteknya, bank tetap meminta pihak ketiga untuk melepaskan hak tersebut. Sehingga apabila debitor wanprestasi, bank dapat segera melakukan 103 Ibid, hal. 68. 97 penagihan langsung kepada pihak ketiga. Tujuan pelepasan hak tersebut agar pihak bank lebih mudah mendapatkan hak pembayaran kreditnya. Bank juga mengantisipasi kendala penarikan pembayaran yang bias jadi karena harta benda yang dimiliki oleh debitor tidak marketable seperti yang diharapkan.104 Jaminan perorangan dapat diikat dengan akta penangungan (Borgtocht). Bila dilakukan oleh perorangan maka penangungan disebut personal guaranty, sedangkan bila dilakukan oleh perusahaan atau badan hukum maka dinamakan company guaranty. Dasar hukum mengenai penangungan perorangan diatur dalam buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perikatan Bab XVII tentang penangungan utang Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab UndangUndang Hukum Perdata.105 2. Jaminan kebendaan Dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, menyebutkan bahwa : (1) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. (2) Bank umum wajib memiliki dan menerapkan pedoman perkreditan dan pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. Keyakinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sudah merupakan jaminan bagi bank untuk memberikan kredit kepada nasabah 104 105 Ibid, hal. 69. Ibid, hal. 70. 98 debitornya. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, jaminan dan agunan merupakan dua unsur yang berbeda. Jaminan pokok merupakan keyakinan, sedangkan jaminan tambahan adalah sesuatu yang dapat menguatkan keyakinan bank, yaitu agunan. Agunan sebagai jaminan tambahan, secara tegas diungkapkan dalam Pasal 1 ayat (23) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang menyebutkan : agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitor kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Dengan demikian jelas bahwa yang dimaksud dengan agunan atau jaminan kebendaan merupakan jaminan tambahan.106 Di dalam hukum, benda dibedakan menjadi benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak terdiri dari jaminan benda bertubuh dan tidak bertubuh. Sebagai contoh, benda bertubuh adalah kendaraan bermotor, mesin, peralatan kantor barang perhiasan, dan sebagainya. Benda tidak bertubuh seperti contoh adalah wesel, promes, deposito berjangka, sertipikat deposito, piutang dagang, surat saham, obligasi, dan surat berharga sekuritas lainnya. Benda tidak bergerak dalam perjanjian kredit adalah tanah dengan atau tanpa bangunan dan tanaman diatasnya, mesin dan peralatan yang melekat pada tanah atau bangunan dan merupakan satu kesatuan, kapal laut bervolume 20 meter kubik ke atas dan sudah didaftarakan, bangunan rumah susun tanah tempat bangunan didirikan, hak milik atas satuan rumah susun, bangunan rumah susun atau hak milik atas satuan rumah 106 Ibid. 99 susun jika tanahnya berstatus hak pakai atas tanah negara. Pembedaaan jenis benda ini memiliki konsekuensi yuridis yang berbeda, yakni : pembebanan jaminan, pada benda bergerak pembebanan jaminan dilakukan dengan pengikatan fidusia atau gadai. Sedangkan terhadap benda tidak bergerak pembebana jaminan dilakukan dengan pengikatan hak tanggungan.107 Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak Ida Bagus Oka Wijaya, selaku Supervisor Admin Kredit PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, berpendapat implementasi agunan dalam paktek perbankan di Kota Denpasar seperti yang terdapat pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, agunan di fungsikan sebagai second way out atas fasilitas kredit yang diterima apabila debitur wanprestasi atau mengalami gagal bayar. Hal tersebut dimaksudkan untuk lebih mengamankan pengembalian kredit yang diberikan oleh PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar kepada para debiturnya. (wawancara tanggal 27 Agustus 2013). Senada dengan pendapat diatas, dari hasil wawancara dengan bapak Teguh Adnyana, selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan jaminan memiliki kedudukan yang penting dalam pemberian kredit pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar dikarenakan dengan adanya jaminan, bank sebagai kreditor dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat mendapatkan rasa aman dan kepastian akan dilunasinya kredit yang telah di salurkan. 107 Ibid, hal. 72. 100 Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Wayan Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan di dalam menerima suatu agunan pihak bank melakukan prosedur yang cukup ketat. Agunan tersebut terlebih dahulu dilakukan peninjauan dan penilaian ke lapangan oleh bagian appraisal internal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Setelah dilakukan peninjauan dan penilaian ke lokasi agunan maka bagian appraisal internal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, akan memberikan opini penilaian dalam bentuk laporan penilaian jaminan. Agunan yang diajukan calon debitur dapat disimpulkan marketabel ini merupakan opini yang diberikan petugas appraisal terhadap suatu agunan yang layak diterima sebagai agunan atau disimpulkan Tidak marketabel ini merupakan opini penilaian terhadap agunan yang tidak dapat diterima sebagai agunan. (wawancara tanggal 27 Agustus 2013). Bapak I Wayan Wiantara juga menyatakan, kriteria umum agunan yang dapat diterima pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar adalah : 1. Marketable atau mudah dijual sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 2. Dapat diikat secara sempurna; 3. Bebas dari sengketa 4. Tidak sedang dijaminkan kepada pihak lain baik seluruh maupun sebagian. Jenis agunan yang dapat diterima pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar adalah : 1. Agunan barang tidak bergerak seperti : tanah kosong, tanah bangunan, toko/kios/ruko/rukan, rusun dan apartemen. 101 2. Agunan barang bergerak seperti : kendaraan roda empat namun bukan kendaraan niaga dan deposito rupiah di Bank Mega. Dalam hal agunan yang diberikan debitur adalah tanah dan bangunan, terdapat kreteria khusus yang harus dipenuhi, seperti : 1. Status kepemilikan adalah SHM/SHGB/SHGU/Hak Pakai atas Tanah Negara atau Pemerintah Daerah/ Hak atas Rumah Susun. Namun tidak termasuk HGB diatas HPL atau diatas hak lainnya, misalnya hutan lindung; 2. Jangka waktu untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas Tanah Negara atau Pemerintah daerah minimal 3 tahun setelah jatuh tempo kredit; 3. Lokasi agunan berada di dalam kota dengan lingkungan sekitarnya merupakan kawasan perumahan/pemukiman/perdagangan/perkantoran; 4. Letak dan bentuk tanah baik 5. Occupancy rate untuk tingkat hunian/aktivitas perdagangan, perkantoran atau pasar mencapai minimum 50% 6. Memiliki aksesibilitas baik (mempunyai akses jalan menuju lokasi agunan); Kondisi-kondisi tertentu yang tidak bisa diterima Bank Mega sebagai agunan untuk barang tidak bergerak adalah : 1. Lokasi agunan berjarak kurang dari lima puluh meter dari daerah Saluran Tegangan Tinggi (SUTET); 2. Lokasi agunan merupakan peruntukan jalur hijau; 102 3. Lokasi agunan merupakan dan/atau disebelahnya merupakan tanah kuburan; 4. Agunan diperuntukkan untuk sarana umum atau sosial seperti tempat ibadah, sekolah atau rumah sakit; 5. Agunan yang diajukan belum atau tidak atas nama calon debitur/pasangannya/orangtua kandung/anak kandung/saudara kandung dari calon debitur. Selain itu tanah yang belum terdaftar dan belum memiliki tanda bukti hak berupa sertipikat juga tidak dapat di terima sebagai agunan pada Bank Mega. (wawancara tanggal 27 Agustus 2013). Senada dengan pendapat diatas, dari hasil wawancara dengan bapak Teguh Adnyana, selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan, dalam hal penilaian agunan sebagai jaminan tambahan prosedur yang dilakukan pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, tidak jauh berbeda dengan prosedur penilaian agunan yang dilakukan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, perbedaanya hanya pada penyebutan bagiannya saja. Pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar bagian penilaian agunan disebut credit investigasi, dalam hal prosedur yang dilakukan dalam penilaian agunan berupa hak atas tanah adalah sebagai berikut: 1. Persiapan penilaian, sebelum petugas ke lokasi agunan biasanya petugas menyiapkan sertipikat untuk melakukan pengechekan pada kantor pertanahan setempat. Setelah itu petugas akan melakukan penelitian dengan cara mengumpulkan data umum yang diperoleh dari lokasi agunan 103 dan mencari informasi dari warga yang berada di lingkungan lokasi agunan berada; 2. Penilaian on the spot, mencocokkan kebenaran data pada sertipikat dengan fisik agunan. Pengechekan ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahan penilaian Agunan; 3. Pengumpulan data dan sumber harga, pada tahap ini dilakukan minimal dengan tiga sumber yang akurat. Harga atas agunan berupa hak atas tanah dapat diperoleh dari informasi bank lain, kontraktor, developer ataupun masyarakat sekitar lingkungan agunan berada; 4. Selanjutnya dilakukan penilaian agunan, agar mengetahui apakah agunan tersebut dapat dinilai marketable atau tidak. Penilaian ini nantinya dapat dipakai sebagai acuan oleh account officer maupun komite kredit dalam memutuskan kredit yang akan disalurkan kepada debitor; 6. Terakhir adalah penyajian laporan penilaian jaminan. (wawancara tanggal 28 Agustus 2013). Sebelum menerima agunan yang di ajukan calon debitur pihak PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, melakukan pengecekan dokumen agunan tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, pengecekan dokumen pertama kali dilakukan oleh Credit Officer, dengan melakukan pengecekan sebagai berikut : 1. Jenis agunan yang boleh dijadikan jaminan; 2. Usia agunan yang masih bisa diajukan sebagai jaminan; 104 3. Nama pemilik agunan yang masih bisa dijadikan jaminan; 4. Kelengkapan dokumen agunan; Pengecekan keaslian dokumen dan status kepemilikan agunan barang tidak bergerak berupa tanah dilakukan oleh Notaris/PPAT melalui permohonan pengecekan oleh legal officer. Sedangkan pengecekan keaslian dokumen agunan barang bergerak dilakukan oleh appraisal melalui permohonan pengecekan dari credit officer. (wawancara tanggal 28 Agustus 2013). Bapak I Kadek Oka Widiantara juga menyatakan pengecekan dan verifikasi terhadap dokumen agunan barang tidak bergerak berupa tanah dilakukan dengan cara membandingkan seluruh foto copy dokumen dengan aslinya. Hal yang perlu diperhatikan pada saat menerima asli dokumen agunan adalah : nama pemilik, letak/lokasi tanah, luas tanah, hak atas tanah, tanggal diberikan dan berakhirnya hak (kecuali hak milik), tanggal perolehan oleh pemilik terakhir, Gambar Situasi/Surat Ukur, Catatan pembebanan Hak Tanggungan dan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB). (wawancara tanggal 28 Agustus 2013). Apa bila calon debitur mengajukan agunan sebagai jaminan tambahan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, dimungkinkan hak atas tanah tersebut dijadikan jaminan utang dengan di bebani hak tanggungan. Ketentuan tersebut tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang- 105 Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, yang menyatakan : Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : Yang dimaksud hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Dari ketentuan dalam penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah diketahui, bahwa pemberian hak tanggungan terhadap tanah-tanah hak atas adat yang berasal dari konversi yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan dapat dilakukan asalkan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada Kantor Pertanahan. Dalam penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah dinyatakan antara lain, bahwa kemungkinan untuk pemberian Hak Tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk : 106 1. Memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat untuk memperolah kredit, karena tanah dengan hak milik adat pada waktu ini masih banyak; 2. Mendorong persertipikatan hak atas tanah pada umumnya, mengikat tanah yang belum bersertipikat pada waktu ini masih banyak.108 Dalam prakteknya pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, agunan yang di ajukan calon debitur berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Wayan Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan bapak I Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan tidak dapat diterima sebagai agunan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Penolakan penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat yang terjadi pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, juga di benarkan oleh debitur PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan Notaris/PPAT yang biasa menangani pengikatan kredit serta pengikatan jaminan dari PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak debitor, yaitu bapak Ir. I Wayan Suantra, selaku Direktur Utama dari PT. Pesona Dewata, menyatakan pernah 108 Rachmadi Usman, loc.cit. 107 mengajukan permohonan perpanjangan kredit dan penggantian agunan. Agunan milik debitor yang telah terbebani hak tanggungan oleh PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, akan di ganti dengan agunan berupa beberapa hak atas tanah dan bangunan yang telah bersertipikat dan beberapa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Namun hasil keputusan yang diberikan PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, menolak penerimaan pengajuan agunan berupa beberapa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. (wawancara tanggal 29 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak Notaris/PPAT yang yang biasa menangani pengikatan kredit serta pengikatan jaminan dari PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar maupun bank-bank lain di kota Denpasar, yaitu bapak I Gusti Ngurah Mahabuana, SH, membenarkan bahwa PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, tidak pernah mau menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Selain itu menurut beliau bank lain selain PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar yang sering melakukan pengikatan kredit serta pengikatan jaminan ditempat beliau juga enggan menerima hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas 108 tanah berupa sertipikat, sebagai agunan untuk jaminan kredit. (wawancara tanggal 30 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Wayan Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan bagian appraisal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar tidak menerima pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, diantaranya : 1. Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, tidak memiliki tingkat harga yang jelas dan prospek pemasaran; 2. Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, berpengaruh pada nilai ekonominya dan lebih sulit untuk dilakukan penjualan secara cepat sebagai pelunasan utang debitor apabila terjadi wanprestasi; 3. Hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat belum dapat dipastikan mengenai letak, batas-batas dan luas hak atas tanah tersebut, sehingga dapat mengakibatkan resiko kesalahan penilaian agunan. Apabila setelah sertipikat hak atas tanah 109 tersebut diterbitkan, namun letak, batas-batas, dan luas hak atas tanah tersebut berbeda dan lebih kecil, maka akan menimbulkan kerugian bagi bank sebagai pihak penerima agunan. (wawancara tanggal 30 Agustus 2013) Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan terdapat beberapa faktor yang menyebabkan bagian legal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar memberikan saran tidak menerima pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, diantaranya : 1. Terdapat resiko terjadi sengketa antara debitur atau penjamin sebagai pemohon hak atas tanah yang akan di agunkan dengan pihak lain yang merasa memiliki hak atas tanah tersebut atau tidak tercapainya kesepakatan mengenai batas-batas bidang tanah yang di lakukan permohonan pendaftaran dengan pemilik hak atas tanah yang berbatasan; 2. Pembebanan Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, tidak dapat dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan. (wawancara tanggal 28 Agustus 2013) Seperti halnya kebijakan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, yang tidak menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang 110 belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, berdasarkan wawancara dengan pihak PT. Bank Bukopin, Tbk cabang Denpasar yang diwakili oleh bapak Teguh Adnyana selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, juga menyatakan hal yang sama. Dalam hal ini beliau mengatakan kebijakan internal PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, tidak memperbolehkan penerimaan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Ini dikarenakan hak atas tanah tersebut memiliki risiko pembebanan hak tanggungannnya memerlukan waktu yang sangat lama, selain itu hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, belum dapat dipastikan luas, letak dan pemegang hak atas hak atas tanah tersebut. 111 TABEL 1 Pengikatan kredit dan Jaminan pada PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar Tahun 2013 Jumlah Debitur Perjanjian Kredit Jenis Jaminan Januari 7 Pebruari 3 4 Unnotariil 3 Notariil 3 Notariil Maret 4 April Mei Juni Juli Agustus 2 1 1 3 8 September 1 5 SHM 4 BPKB 2 SHM 1 SHGB 2 SHM 1 Deposito 2 SHM 1 SHGB 1 SHM 3 SHM 5 SHM 2 SHGB 1 Deposito 1 SHGB Bulan 3 Unnotariil 1 Notariil 2 Notariil 1 Notariil 1 Notariil 3 Notariil 3 Unnotariil 5 Notariil 1 Notariil Penggunaan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar sebagai jaminan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sumber Data Primer : PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, September 2013 TABEL 2 Pengikatan kredit dan Jaminan pada PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar Tahun 2013 Bulan Jumlah Debitur Perjanjian Kredit Januari 3 Notariil Pebruari Maret April Mei 2 1 1 2 Notariil Notariil Notariil Notariil Juni Juli 1 3 Notariil Notariil Agustus 4 Notariil September 1 Notariil Jenis Jaminan 2 SHM 1 SHGB 2 SHM 1 SHGB 4 BPKB 1 SHM 1 SHGB 1 SHM 1 SHM 2 SHGB 2 SHM 1SHGB 6 BPKB 1 SHM Penggunaan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar sebagai jaminan Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Sumber Data Primer : PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, September 2013 112 Dari pemaparan diatas, bank sebagai kreditor yang memikul risiko yang besar atas penyaluran kredit kepada masyarakat, memanfaatkan jaminan yang diberikan oleh debitornya sebagai second way out atau jalan keluar atas penyelesaian kredit apabila debitornya mengalami wanprestasi. Namun jaminan yang diberikan oleh debitor haruslah memiliki kreteria yang harus dipenuhi, yaitu : Secured dalam hal ini jaminan tersebut secara yuridis dapat dilakukan pengikatan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, dan jaminan tersebut harus marketable agar pada saat jaminan tersebut diperlukan untuk melunasi utang-utang debitor yang mengalami wanprestasi, jaminan tersebut dapat sesegera mungkin diuangkan. Apabila obyek jaminan berupa hak atas tanah, pengikatan maupun pembebanannya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah. Hak atas tanah tersebut bila ingin dimanfaatkan sebagai jaminan setidaknya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, memenuhi asas publisitas dengan cara wajib didaftarkan pada daftar umum dalam hal ini adalah pada kantor pertanahan, memiliki sifat mudah dipindah tangankan atau mudah di uangkan agar dapat direalisasikan untuk membayar utang debitor yang mengalami wanprestasi, dan yang terakhir hak atas tanah tersebut telah ditentukan oleh Undang-Undang yang berlaku. Dalam hal hak atas tanah tersebut hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan 113 dengan Tanah, telah mengatur tatacara pembebanannya sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah. Namun ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, yang memungkinkan pemanfaatan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat sebagai jaminan kredit perbankan didalam praktek perbankan di Kota Denpasar belum dapat di laksanakan, ini dikarenakan terjadi penolakan penerimaan jaminan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, dengan alasan : proses pembebanan hak tanggungannnya memerlukan jangka waktu yang cukup lama dan belum adanya kejelasan mengenai luas, letak, batas-batas dan pemegang hak dari hak atas tanah tersebut yang dapat mengakibatkan kesalahan penilaian jaminan tersebut. Menurut Teori Keberlakuan Hukum oleh Sudikno Mertokusumo, kekuatan berlakunya Undang-Undang ada tiga macam, diantaranya adalah :109 1. Kekuatan berlaku yuridis (Juristiche Geltung) yang artinya UndangUndang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan material dan formal terbentuknya Undang-Undang itu telah terpenuhi. 109 Sudikno Mertokusumo, loc.cit. 114 2. Kekuatan berlaku sosiologis (Soziologische Geltung) yang memiliki arti bahwa hukum merupakan kenyataan di masyarakat. Kekuatan berlakunya hukum di dalam masyarakat ada dua macam yaitu : 1) Menurut Teori Kekuatan (Machtstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku secara sosiologis apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, terlepas dari diterima atau pun tidak diterima oleh masyarakat. 2) Menurut Teori Pengakuan (Anerkennungstheorie) hukum mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat. 3. Kekuatan berlaku filosofis (Filosofische Geltung) yang memiliki arti hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi. Untuk memenuhi tuntutan berlaku filosofis maka harus memasukkan unsur ideal. Lawrence Friedman, menyatakan bahwa, Three Elements of Legal System adalah tiga komponen dari system hukum. ”Ketiga komponen yang dimaksud diantaranya : struktur (structure), substansi (substance), dan kultur (culture) atau budaya”. Menurut pendapat Lawrence M. Friedman mengenai efektivitas hukum dikemukakan bahwa hukum sebagai suatu sistem (sub sistem dari sistem kemasyarakatan) maka hukum mencangkup substansi (substance), struktur (structure), dan kultur/budaya hukum (legal culture).110 Substansi (substance) mencangkup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara untuk 110 Soerjono Soekanto I, loc.cit. 115 menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. (stucture) mencangkup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang umpamanya mencangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Di Indonesia struktur sistem hukum Indonesia termasuk institusiinstitusi penegak hukum seperti hakim, jaksa, polisi, pengacara, konsultan hukum, dan termasuk juga notaris. Kultur/Budaya hukum (legal culture) adalah mencangkup suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau disalah gunakan. Teori sociological jurisprudence : Pendasar mazhab sociological jurisprudence dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen Ehrich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini yang berkembang di amerika : Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sesuai di sini berarti bahwa hukum itu mencerminkan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.111 Mazhab ini mengetengahkan tentang pentingnya Living Law-hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dan kelahirannya menurut beberapa anggapan merupakan suatu sinthese dari thesenya, yaitu positivisme hukum dan antithesenya mazhab sejarah. Dengan demikian sociological jurisprudence beranggapan kepada pentingnya, baik akal maupun pengalaman.112 Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan 111 112 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, loc.cit. Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, op.cit, hal 67. 116 masyarakat.113 Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungsi hukum sebagai rekayasa sosial, pembentukan hukum yang baik dan cara penerapan hukum.114 Teori efektivitas hukum : menurut Soerjono Soekanto, efektif adalah taraf sejauh mana suatu kelompok dapat mencapai tujuannya. Hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membingbing atau merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum.115 Efektif atau tidaknya hukum tertulis atau ketentuan perundang-undangan ditentukan oleh lima faktor. Kelima faktor ini secara integrative dan tersistem akan menentukan apakah sebuah aturan itu dapat efektif berlaku dimasyarakat atau tidak. Berdasarkan uraian dari beberapa ahli hukum diatas, jika dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum pada Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dan ketentuan penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah mengenai pengimplementasiannya dalam praktek perbankan di Kota Denpasar, idealnya ketentuan yang berlaku hendaknya dapat ditaati oleh masyarakat dengan baik, sehingga pelaksanaan suatu aturan akan menjadi efektif. Berkaitan dengan pelaksanaan hukum pemberian hak tanggungan 113 Abdul Manan, loc.cit. Lili Rasjidi dan Ida Bagus Wyasa Putra, loc.cit. 115 Soerjono Soekanto I, loc.cit. 114 117 terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, apabila dilihat dalam ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah tersebut menyebutkan : Apabila objek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan. Dalam penjelasan umum Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah tersebut, dinyatakan bahwa : Yang dimaksud hak lama adalah hak kepemilikan atas tanah menurut hukum adat yang telah ada akan tetapi proses administrasi dalam konversinya belum selesai dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah syarat-syarat yang ditetapkan oleh peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas, dimungkinkan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarkan, tetapi belum selesai didaftarkan. Tanah-tanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sementara proses administrasinya belum selesai dilaksanakan, dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan di bebani hak tanggungan. Sehingga bank sebagai kreditor dengan mengacu ketentuan diatas dapat saja 118 menerima hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, sebagai jaminan utang dengan di bebani hak tanggungan. Demikian dahulu dibawah lembaga Hypotheek dan Credietverband, dimungkinkan juga adanya pemberian Hypotheek dan Credietverband atas tanahtanah hak adat yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, sebagaimana pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Ditentukan dalam Pasal 6 Peraturan Menteri Agraria Nomor 15 Tahun 1961 sebagai berikut : Mengenai tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha, yang belum dibukukan dalam daftar buku tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, pembebanan Hypotheek dan Credietverband itu dapat dilakukan bersamaan dengan permintaan untuk membukukan tanahnya menurut Pasal 18 Peraturan Pemerintah tersebut. Dari ketentuan dalam dan penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, diketahui bahwa pemberian hak tanggungan terhadap tanah-tanah hak atas adat yang berasal dari konversi yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan dapat dilakukan asalkan hal itu dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah tersebut pada kantor pertanahan. Dalam Penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan 119 dengan Tanah, dinyatakan antara lain, bahwa kemingkinan untuk pemberian Hak Tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk : 1. Memberi kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat untuk memperoleh kredit. 2. Mendorong pensertipikatan hak atas tanah pada umumnya. Menurut Abdurrahman dalam Rachmadi Usman Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, bukan saja bermaksud untuk memperlancar arus perkreditan, yang berarti juga menunjang misi perbankan, akan tetapi juga menekankan aspek kepastian hukum, yaitu keharusan untuk didaftar dan dengan sendiri juga mempunyai pengaruh untuk lebih mendorong kegiatan pendaftaran tanah di Negara Indonesia.116 Berdasarkan dari hasi wawancara dengan pihak perbankan di kota Denpasar, yaitu bapak I Wayan Wiantara, selaku Manager appraisal PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar dan bapak I Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar, selain itu hasil wawancara dari pihak PT. Bank Bukopin, Tbk yang diwakili oleh bapak Teguh Adnyana selaku account officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar, menyatakan bahwa terjadi penolakan penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. (wawancara tanggal 26 Agustus 2013). 116 Rachmadi Usman, loc.cit. 120 Terjadinya penolakan penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, juga di benarkan oleh salah seorang debitor yang pernah mengajukan permohonan kredit dengan agunan berupa berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, yaitu bapak Ir. I Wayan Suantra, selaku Direktur Utama dari PT. Pesona Dewata. (wawancara tanggal 23 Agustus 2013). Selain pihak perbankan dan debitur tersebut, salah satu Notaris/PPAT di kota Denpasar yang biasa menangani pengikatan kredit serta pengikatan jaminan perbankan, yaitu bapak I Gusti Ngurah Mahabuana, SH juga membenarkan bila tidak pernah menerima permohonan pengikatan kredit dan jaminan dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Hal ini terjadi dikarenakan terdapat banyak resiko yang akan ditanggung bank sebagai kreditor apabila menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. (wawancara tanggal 30 Agustus 2013). Berdasarkan ketentuan dan penjelasan dari Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, jika dikaitkan dengan penelitian dilapangan yaitu pada perbankan di kota denpasar, dapat dipaparkan dengan penjelasan dari para 121 pihak perbankan di kota Denpasar dan Notaris/PPAT yang biasa menangani pengikatan kredit serta pengikatan jaminan perbankan, terjadi penolakan penerimaan pengajuan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Berdasarkan kenyataan dalam praktek perbankan di Kota Denpasar, dapat dijelaskan secara otomatis pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat yang nantinya di pergunakan untuk agunan dalam praktek perbankan di Kota Denpasar belum pernah terjadi. Dari pemaparan kenyataan yang ada dalam praktek perbankan di Kota Denpasar, dapat dikatakan bahwa implementasi tentang pasal Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, tidak berlaku efektif dalam praktek perbankan di kota Denpasar, karena terdapat banyak resiko yang akan ditanggung bank sebagai kreditor apabila menerima agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat. Dari uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, yang menyebutkan tanahtanah hak adat yang sudah dikonversi menjadi hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, 122 sementara proses administrasinya belum selesai dilaksanakan, dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan di bebani hak tanggungan, belum dapat dikatakan sebagai hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Dari penjelasan dan data yang diberikan beberapa pihak perbankan di Kota Denpasar, dalam hal penerimaan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat belum pernah dilakukan oleh beberapa bank umum di Kota Denpasar. Berdasarkan kenyataan yang terjadi pada praktek perbankan di Kota Denpasar, dapat disimpulkan bahwa implementasi pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, belum dapat dikatakan berlaku efektif, seperti halnya pendapat Soerjono Soekanto yang menyatakan hukum dapat dikatakan efektif jika terdapat dampak hukum yang positif, pada saat itu hukum mencapai sasarannya dalam membingbing atau merubah perilaku manusia sehingga menjadi perilaku hukum. Secara umum Soerjono Soekanto menyatakan bahwa derajat efektivitas suatu hukum ditentukan dari taraf kepatuhan masyarakat terhadap hukum, termasuk oleh para penegak hukumnya, sehingga dikenal suatu asumsi bahwa taraf kepatuhan hukum yang tinggi merupakan suatu indicator berfungsinya suatu sistem hukum. Berfungsinya hukum merupakan pertanda bahwa hukum tersebut telah mencapai tujuan hukum, yaitu berusaha untuk mempertahankan dan menghubungi masyarakat dalam 123 pergaulan hidup.117 Selain itu apabila dikaitkan dengan teori sociological jurisprudence yang menyatakan Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat, implementasi pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan Tanah, belum dapat dikatakan sebagai hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat, dikarenakan masih banyaknya terjadi penolakan penerimaan agunan hak atas tanah tersebut pada paraktek perbankan khususnya praktek perbankan di Kota Denpasar. 117 Soerjono Soekanto I, loc.cit. BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI EFEKTIVITAS PEMBERIAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP HAK ATAS TANAH BERASAL DARI KONVERSI HAK LAMA YANG BELUM TERDAFTAR DALAM PRAKTEK PERBANKAN DI KOTA DENPASAR Mengkaji pelaksanaan hukum dari ketentuan dalam dan penjelasan atas Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dalam praktek perbankan di Kota Denpasar, fokus kajian sebenarnya terletak pada bagaimana ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah diterapkan dalam kaitannya dengan penegakan hukum. Penegakan hukum Hak Tanggungan merupakan suatu sistem yang terdiri dari komponen-komponen atau subsistim sebagai bagian untuk mewujudkan sinergi dalam rangka mencapai tujuan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Robert B. Seidman menyatakan tindakan apapun yang diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun pembuat undangundang selalu berada dalam lingkup kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatankekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturanperaturan yang berlaku menerapkan sanksisanksinya, dan dalam seluruh aktivitas 124 125 lembaga-lembaga pelaksanaannya.118 Robert B. Seidman juga berpendapat mengenai bekerjanya hukum diantaranya :119 1) Setiap peraturan hukum memberitahukan tentang bagaimana seorang pemegang peranan itu diharapkan bertindak. 2) Bagaimana seorang pemegang peranan itu bertindak sebagai suatu respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dan lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatasn sosial, politik dan lainlainnya mengenai dirinya. 3) Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai respon terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan komplek ketentuanketentuan sosial, politik dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang dari para pemegang peranan. 4) Bagaimana para pembuat undang-undang itu bertindak merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks ketentuan-ketentuan sosial politik, ideologis dan lainlainnya yang mengenai diri mereka serta umpan balik yang datang pemegang peranan serta birokrasi. 118 119 Esmi Warrasih, loc.cit. Ibid, hal. 12. 126 Faktor bersifat yuridis normatif, menyangkut peraturan perundang-undangan dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah. Faktor penegakannya, para pihak dan peranan pemerintah sangat berperan serta dalam pelaksanaan efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar. Para pihak dan Peranan Pemerintah diantaranya kantor pertanahan sebagai pelaksana pendaftaran tanah, Termasuk pejabat yang membuat akta pemberian hak tanggungan yaitu Notaris/PPAT. Faktor bersifat yuridis sosiologis, yaitu menyangkut pertimbangan ekonomis serta kultur hukum pelaku bisnis dalam hal ini adalah masyarakat sebagai yang akan memanfaatkan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar untuk dijadikan agunan dan pihak perbankan sebagai kreditor yang akan menyalurkan dana. Faktor-faktor tersebut di atas saling berkaitan, hukum tidak dapat terlepas dari faktor penegakannya dan kultur (masyarakat) agar suatu peraturan dapat 127 dilaksanakan denga baik dan tujuan dari dibuatnya peraturan tersebut dapat tercapai. Efektivitas berfungsinya hukum dalam masyarakat juga tidak terlepas dari kenyataan apakah hukum tersebut benar-benar berlaku atau tidak. Mengenai berlakunya hukum sebagai suatu kaidah dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi; 2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat; 3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya hukum dibenarkan berlaku atas dasar keyakinan filosofis yakni bahwa kaidah hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tinggi.120 Berlakunya suatu kaidah hukum dapat ditinjau dari masing-masing sudut, agar kaidah hukum dapat berfungsi secara efektif, maka kaidah hukum harus mengandung tiga unsur diatas, sebab apabila tidak terpenuhi dapat berakibat pelaksanaan kaidah hukum dalam masyarakat akan mengalami hambatan. Selain mengandung tiga unsur tersebut diatas berfungsinya hukum juga melibatkan banyak faktor yang ikut mendukung pelaksanaan berlakunya suatu 120 Bagir Manan, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung, hal. 22. 128 peraturan. Menurut Soerjono Sukanto, lima faktor yang menjadi elemen kinerjanya hukum, yaitu:121 1. Faktor hukumnya sendiri. 2. Faktor penegak hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas. 4. Faktor masyarakat. 5. Faktor kebudayaan. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena itu merupakan esensi penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari pada efektivitas penegakan hukum.122 Berdasarkan dari pemaparan tentang penegakan hukum diatas, jika dikaitkan dengan ketentuan dan penjelasan dari Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, sebagai realisasi dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Disamping itu perlunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dimaksudkan untuk mendukung penyediaan dana perkreditan dalam peoses pembangunan, sehingga sudah semestinya bila pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapatkan perlindungan 121 Soerjono Soekanto I, loc.cit. Siti Soetami, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rafika Aditama, Bandung, hal. 23. 122 129 hukum melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Ini berarti bunyi pertimbangan konsiderans pertama dan serta dihubungkan dengan ayat 1 Penjelasan Umum atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka pada dasarnya kelahiran Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah tersebut lebih dilatarbelakangi oleh kepentingan pembangunan di bidang ekonomi, terutama dalam rangka menuju kegiatan perkreditan.123 Untuk mencapai tujuan pembangunan nasional Indonesia sehingga mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, perlu dilaksanakan pembangunan disegala bidang, termasuk pembangunan dalam bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi, sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahtraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak 123 Rachmadi Usman, op.cit. hal 32. 130 jaminan yang kuat dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang berkepentingan.124 4.1 Faktor Kaidah atau Aturan Hukum Menurut Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah ukuran efektivitas hukum apabila dilihat dari sisi faktor kaidah atau aturan hukum adalah sebagai berikut:125 1) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sistematis; 2) Peraturan yang ada mengenai bidang-bidang kehidupan tertentu sudah cukup sinkron, secara hierarki dan horizontal tidak ada pertentangan; 3) Secara kualitatif dan kuantitatif peraturan-peraturan yang ada mengatur bidang-bidang kehidupan tertentu sudah mencukupi; 4) Penerbitan peraturan-peraturan tertentu sudah sesuai dengan persyaratan yuridis yang ada. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa undang-undang menjadi salah satu faktor dalam mencapai efektivitas hukum yang ada. Oleh karena itu gangguan dalam penegakan hukum yang berasal dari undang-undang disebabkan beberapa hal yaitu:126 1) Tidak diikutinya asas-asas berlakunya undang-undang; 2) Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan undang-undang; 124 Adrian Sutedi, , op.cit., hal. 3. Soerjono Soekanto,1983, Penegakan Hukum, Binacipta : Bandung (selanjutnya disingkat Soerjono Soekanto V), hal 80. 126 Soerjono Soekanto II, op.cit., hal. 17. 125 131 3) Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam undang-undang yang mengakibatkan kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya. Suatu peraturan perundang-undangan dapat dikeluarkan oleh lembaga tertinggi dalam suatu negara maupun oleh suatu badan yang dalam suatu system politik mempunyai kedudukan yang lebih rendah, peraturan perundang-undangan biasanya merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya. Suatu penelitian terhadap efek suatu peraturan perundang-undangan di dalam suatu masyarakat merupakan salah satu usaha untuk mengetahui apakah hukum tersebut benar-benar berfungsi atau tidak. Suatu peraturan perundang-undangan dikatakan baik apabila hanya memenuhi persyaratan-persyaratan filosofis atau ideologis dan yuridis saja, karena secara sosiologis peraturan tadi juga harus berlaku. Hal ini bukan berarti setiap peraturan perundang-undangan harus segera diganti apabila ada gejala gejala bahwa peraturan tadi tidak hidup.127 Hukum adalah kenyataan sosial, Antony Allot menyebut “Laws or actual legal systems are a social reality.”128 Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam bumi digunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat Indonesia. Ketentuan ini merupakan landasan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang 127 128 Soekanto Soerjono III, op.cit., hal 22. Antony Allot, 1980, The Limit of Law, Butterworth & Co., London, hal. 3. 132 kuat untuk dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan yang bertujuan untuk pengganti lembaga hak jaminan Hypotheek dan Credietverband. Selama 30 tahun lebih sejak mulai berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, lembaga hak tanggungan tersebut belum dapat berfungsi sebagaimana mestinya, karena belum adanya Undang-Undang yang mengaturnya secara lengkap, sebagaimana yang dikehendaki oleh ketentuan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Dalam kurun waktu itu, berdasarkan ketentuan peralihan yang tercantum dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, masih diberlakukan ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab UndangUndang Hukum Perdata dan ketentuan Credietverband tersebut dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, sepanjang mengenai hal-hal yang belum ada ketentuannya dalam atau berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Pada tanggal 9 April 1996 telah disahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Dengan berlakuknya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, ketentuan Hypotheek sebagaimana dimaksud dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan ketentuan Credietverband tersebut dalam 133 Staatsblad 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 Nomor 190, sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yanag berkaitan dengan tanah tidak berlaku lagi. Dengan demikian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, merupakan dasar hukum yang mengatur lembaga jaminan atas tanah, yaitu hak tanggungan sebagaimana pelaksanaan dari Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, berturut-turut lahirnya ketentuan yang mengatur hak tanggungan tersebut, di antaranya : 1. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996 tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Haktanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, dan Sertipikat Hak Tanggungan; 2. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit Kredit Tertentu; 3. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan; 134 Terkait dengan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, dimungkinkan dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Dimungkinkannya pemberian hak tanggungan pada hak atas tanah milik adat dimaksudkan untuk : 1. Memberikan kesempatan kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertipikat memperoleh kredit, karena tanah dengan hak milik adat pada waktu ini masih banyak; 2. Mendorong pensertipikatan hak atas tanah umumnya, mengingat tanah yang belum bersertipikat pada waktu ini masih banyak.129 Dalam hal pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, Undang-Undang memberikan jangka waktu yang lebih panjang pada Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang dipergunakan. Ketentuan tersebut tercantum dalam Pasal 15 ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. 129 Rachmadi Usman, loc.cit. 135 Mengenai pendaftaran hak tanggungan, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, mengatur lebih rinci dengan Peraturan Pelaksananya, yaitu diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pihak Notaris/PPAT yang memiliki wilayah kerja di Kota Denpasar, memberikan tanggapan terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Beberapa tanggapan dari para pihak notaries/PPAT di Kota Denpasar, antara lain : 1. Bapak I Gusti Ngurah Mahabuana, SH berpendapat bahwa UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, tehah terdapat sinkronisasi secara secara hierarki dan horizontal, dikarenakan tidak ada pertentangan antara Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan 136 Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan. (wawancara tanggal 21 Agustus 2013). 2. Bapak Gede Semester Winarno, SH berpendapat bahwa Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan merupakan peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah karena bagaimanapun undang-undang bisa diterapkan atau dijalankan kalau terdapat peraturan pelaksanaannya. (wawancara tanggal 21 Agustus 2013). 3. Ibu Inti Sariwati, SH, berpendapat bahwa didalam Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, telah memberikan kejelasan arti kata-kata dalam Pasal tersebut, kejelasan tersebut dapat menghindarkan terjadinya kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya. (wawancara tanggal 21 Agustus 2013). Dari pemaparan diatas penulis berpendapat faktor hukum sangatlah mempengaruhi efektivitas suatu peraturan penundang-undangan, ini dikarenakan untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran ataupun tumpang tindih peraturan perundang-undangan yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam interpretasi atau kesalahan penafsiran peraturan perundang-undangan oleh penegak hukum. 137 Kesalahan dalam interpretasi atau kesalahan penafsiran Peraturan PerundangUndangan tentunya dapat berdampak pada kesalahan penerapan Peraturan Perundang-Undangan tersebut oleh penegak hukumnya. Apabila dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, dalam substansi hukumnya, ketentuan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, didalam peraturan pelaksanaannya telah mengatur secara lebih jelas mengenai apa yang terkandung dalam undang-undang. Melihat hal tersebut, dari segi faktor kaedah atau aturan hukumnya sudah baik karena Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, telah mengikuti asas-asas berlakunya undangundang, sudah mempunyai Peraturan Pelaksanaan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah jo. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pendaftaran Hak Tanggungan, dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah khususnya pasal 10 ayat (3) telah memiliki kejelasan arti kata-kata yang dapat menghindarkan terjadinya kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya, seperti yang tercantum dalam penjelasan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. 138 Selain hal tersebut diatas tolok ukur untuk menentukan suatu peraturan perundang-undangan dapat dikatakan baik, tentunya harus memenuhi persyaratan keberlakuan hukum, diantaranya adalah Kaidah hukum berlaku secara yuridis, Kaidah hukum berlaku secara sosiologis dan Kaidah hukum berlaku secara filosofis. Pendapat penulis tersebut di dasari oleh pendapat Zainuddin Ali dalam bukunya Filsafat Hukum yang menyebutkan agar hukum itu berfungsi maka hukum harus memenuhi syarat berlakunya hukum sebagai kaidah yakni: 1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan; 2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif. Artinya, kaidah itu dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan) atau kaidah itu berlaku karena adanya pengakuan dari masyarakat; 3. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.130 Sependapat dengan pernyataan Zainuddin Ali yang telah terpapar diatas, Sudikno Mertokusumo juga berpendapat bahwa agar peraturan perundangundangan dapat berlaku efektif dalam masyarakat harus memiliki kekuatan berlaku. Ada tiga macam kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku filosofis, sosiologis dan yuridis. Undang-undang memiliki kekuatan yuridis apabila 130 Zainuddin Ali, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Zainuddin Ali I), hal. 94. 139 persyaratan formal terbentuknya undang-undang telah terpenuhi. Sedangkan undang-undang memiliki kekuatan berlaku secara sosiologis apabila undangundang tersebut berlaku efektif sebagai sebuah aturan-aturan dalam kehidupan masyarakat serta dapat dilaksanakan.131 Berdasarkan uraian dari pendapat beberapa ahli hukum diatas, apabila dihubungkan dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, Undang-Undang telah memenuhi syarat keberlakuan hukum baik secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Ini dikarenakan secara yuridis, lahirnya Undang-Undang tersebut didasarkan amanat yang terkandung pada Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bumi, air, dan kekayaan alam yang ada di dalam bumi digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Ketentuan ini merupakan landasan dari terbentuknya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan PokokPokok Agraria. Dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, sudah disediakan lembaga hak jaminan yang kuat untuk dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu Hak Tanggungan yang bertujuan untuk pengganti lembaga hak jaminan Hypotheek dan Credietverband. Dari amanat yang terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan amanat yang tertuang dalam Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria, 131 Sudikno Mertokusumo, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Sudikno Mertokusumo II), hal. 87. 140 maka dilahirkannya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Hak Tanggungan. Stufenbautheorie yang dikemukakan oleh Hans Kelsen disebutkan bahwa peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma yang berada di puncak piramid, dan semakin ke bawah semakin ragam dan menyebar.132 Sehingga peraturan puncak yakni Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria telah menjadi landasan hukum lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah.133 Selain itu penulis berpendapat undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dibentuk oleh lembaga yang berwenang yakni DPR bersama Presiden, oleh karna itu undang-undang tersebut tidak mengalami cacat yuridis didalam pembentukannya. 132 Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.62 133 Secara hierarki keberadaan Undang-undang ini telah sesuai dengan kaidah yang berada di atasnya. Dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Dengan demikian berdasarkan hierarki ini, setiap undang-undang harus berpedoman dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 141 Dari sudut pandang sosiologisnya penulis berpendapat, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah sangat diperlukan oleh masyarakat, yang bertujuan memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat baik itu pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan dalam rangka penyediaan dan penyaluran kredit untuk mendukung proses pembangunan di Indonesia. Disamping itu lahirnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dapat mewujudkan unifikasi dalam hukum tanah di Indonesia. Secara filosofis, lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam hal ini perlu dilaksanakan pembangunan dalam bidang ekonomi yang dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi, faktor permodalan merupakan salah satu syarat penting. Masyarakat berusaha menunjang pembangunan dengan cara mengembangkan berbagai usaha untuk meningkatkan kesejahtraan kehidupannya. 4.2 Faktor Penegak Hukum Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, 142 menengah dan bawah. Artinya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum, petugas seyogyanya harus memiliki suatu pedoman, diantaranya peraturan tertulis tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya.134 Efektivitas hukum dalam pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah sangat dipengaruhi oleh penegak hukumnya. Hal ini sesuai dengan pemikiran dari Achmad Ali mengatakan bahwa efektif tidaknya suatu aturan hukum secara umum tergantung pada optimal dan profesional tidaknya aparat penegak hukum untuk menegakkan berlakunya aturan hukum tersebut; mulai dari tahap pembuatannya, sosialisasinya, proses penegakan hukumnya yang mencakupi tahapan penemuan hukum (penggunaan penalaran hukum, interpretasi dan konstruksi), dan penerapannya terhadap suatu kasus konkret. Efektif atau tidaknya aturan hukum juga mensyaratkan adanya standar hidup sosio-ekonomi yang minimal di dalam masyarakat. Aparat pelaksana yang bertugas dan memiliki fungsi sebagai penegak hukum menurut penulis adalah pihak kantor pertanahan kota Denpasar, dalam hal ini tugas dan fungsi daripada instansi ini adalah sebagai badan pengawas sekaligus badan penegak hukum dalam rangka menegakkan hukum dalam bidang hukum pertanahan. Hal ini dikarena yang mempunyai wewenang untuk melakukan 134 Zainudin Ali, 2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta (selanjutnya disingkat Zainudin Ali II) , hal. 63. 143 tindakan penegakan hukum terhadap pelanggaran hukum di bidang pertanahan adalah kantor pertanahan Kota Denpasar. Hal-hal yang menyangkut tugas dan fungsi Badan Pertanahan telah diatur dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Pasal 2 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, menyebutkan bahwa Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam pasal 3 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional, menyebutkan Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi : 1. 2. 3. 4. 5. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan; koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan; penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan; 6. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; 7. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah; 8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayahwilayah khusus; 9. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan; 10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; 11. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain; 12. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; 13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan; 14. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan; 15. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; 144 16. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; 17. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan; 18. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan; 19. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan; 20. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; 21. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan hasil wawancara dengan Notaris/PPAT yang juga menjabat sebagai Ketua MPD wilayah Kota Denpasar, yaitu Bapak Gede Semester Winarno, SH, beliau menjelaskan birokrasi dalam penegakan hukum pada kantor pertanahan Kota Denpasar terlalu berbelit-belit selama ini, justru menjadi hambatan bagi penegak hukum untuk melakukan kegiatan pendaftaran tanah maupun pendaftaran hak tanggungan. Sering juga pendaftaran tanah maupun pendaftaran hak tanggungan ditanggapi dengan sikap yang tidak simpatik. Beliau sering mengalami kesulitan ketika melakukan pendaftaran tanah khususnya pendaftaran hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, beliau masih mengeluhkan tentang lamanya proses untuk pendaftaran tanah tersebut yang harus menunggu selama 4 (dua) sampai 6 (tiga) bulan kadang juga biasa mencapai 1 (satu) tahun. Selain itu menurut beliau biaya yang dikeluarkan pemohon juga tidak sedikit, untuk pengurusan pendaftaran tanah-tanah tersebut diperlukan dana hingga jutaan rupiah. (wawancara tanggal 30 Agustus 2013). Sependapat dengan hal diatas berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Budiartha, selaku petugas pendaftaran dari Notaris/PPAT I Gusti Ngurah 145 Mahabuana, SH, juga mengeluhkan bahwa kendala yang ia hadapi saat melakukan pendaftaran tanah khususnya pendaftaran hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat adalah survey lokasi untuk pengumpulan dan pengolahan data fisik yang terdiri dari pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas-batas bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidangbidang tanah dan pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah dan pembuatan surat ukur. ini dilakukan berulang-ulang sehingga memakan waktu dan biaya. Bapak I Wayan Budiartha juga mengatakan bahwa kinerja dari petugas kantor pertanahan kota Denpasar masih agak lambat. (wawancara tanggal 31 Agustus 2013). Selain hal tersebut diatas berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa pihak Notaris/PPAT yang memiliki wilayah kerja di kota Denpasar, yaitu Bapak I Gusti Ngurah Mahabuana, SH, Bapak Semester Winarno, SH dan Ibu Inti Sariwati, SH, mereka sependapat menyatakan bahwa penerapan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, pada praktek perbankan di kota Denpasar, juga dipengaruhi oleh faktor kurang efektifnya sosialisasi tentang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah itu sendiri, baik pada masyarakat umum, pihak perbankan di kota Denpasar, maupun para penegak hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di kota Denpasar dan Pihak kantor pertanahn kota Denpasar. Kenyataan yang ada banyak para penegak hukum yang 146 kurang memahami secara mendalam arti dan tujuan dari keberadaan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya mengenai Pasal 10 ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. (wawancara tanggal 30 Agustus 2013). Berdasarkan kenyataan yang ada dilapangan, bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, bagi masyarakat umum, pihak perbankan di Kota Denpasar, maupun para penegak hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di Kota Denpasar dan Pihak kantor pertanahn kota Denpasar adalah, kurangnya pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya mengenai Pasal 10 ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, walaupun pihak perbankan di Kota Denpasar, maupun para penegak hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di Kota Denpasar dan pihak kantor pertanahan Kota Denpasar, mengetahui adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah akan tetapi secara mendalam belum memahami isi dari Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan 147 Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Selama ini masyarakat Kota Denpasar, pihak perbankan di Kota Denpasar, maupun para penegak hukumnya sendiri yakni pihak Notaris/PPAT di Kota Denpasar, kurang mendapatkan secara khusus mengenai sosialisasi tentang Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. 4.3 Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana dan fasilitas penegakan hukum merupakan faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup dan seterusnya.135 Mengenai sarana dan fasilitas penegakan hukum ini, Prof. Zainuddin Ali berpendapat bahwa: Mungkin ada baiknya bahwa pada waktu hendak menerapkan suatu peraturan secara resmi ataupun memberikan tugas kepada petugas, dipikirkan mengenai fasilitas yang berpatokan kepada; (1) apa yang sudah ada dipelihara terus agar setiap saat berfungsi; (2) apa yang belum ada, perlu diadakan dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya; (3) apa yang kurang perlu dilengkapi; (4) apa yang telah rusak diperbaiki atau diganti; (5) apa yang macet, dilancarkan; (6) apa yang telah mundur, ditingkatkan.136 Sarana atau fasilitas diperlukan untuk memungkinkan efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama 135 136 Soerjono Soekanto II, loc.cit. Zainuddin Ali, I, loc.cit. 148 yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Sarana atau fasilitas mencakup antara lain : 1) sumber daya manusia; 2) organisasi yang baik; 3) peralatan yang memadai. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak I Wayan Budiartha, selaku petugas Notaris/PPAT I Gusti Ngurah Mahabuana, SH, Mengeluhkan mengenai minimnya sarana dan prasarana yang ada pada kantor pertanahan Kota Denpasar , hal itu dikarenakan dalam hal pendaftaran masih menggunakan sistem manual yang akibatnya pengurusan pendaftaran hak tanah maupun pendaftaran hak tanggungan tidak bisa cepat. (wawancara tanggal 31 Agustus 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kantor pertanahan Kota Denpasar, yaitu ibu Ni Made Ardini, selaku kasubsi pendaftaran kantor pertanahan Kota Denpasar, mengakui terdapat keterbatasan pelayanan dari pihak kantor pertanahn Kota Denpasar. Ini dikarenakan kurangnya petugas ahli dan berpengalaman pada kantor pertanahan Kota Denpasar. Kebanyakan petugas yang diberdayakan pada kantor pertanahan Kota Denpasar adalah petugas kontrak yang belum memiliki pengalaman di bidang pertanahan. Terjadi pengadaan alat-alat kantor pertanahan yang terlambat dikirimkan oleh pusat juga menjadi penyebab keterbatasan pelayanan kantor pertanahan Kota Denpasar. Selain itu sarana 149 prasarana transportasi seperti mobil dan motor dinas juga sangat terbatas sehingga menghambat kinerja petugas, terutama petugas lapangan dari kantor pertanahan Kota Denpasar. (wawancara tanggal 02 September 2013). Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kantor pertanahn Kota Denpasar, yaitu bapak I Gede Wita, selaku Kasubsi Pengukuran kantor pertanahan Kota Denpasar, mengakui terdapat keterbatasan sarana dan prasarana seperti terbatasnya alat ukur digital untuk pengukuran tanah, tidak layak pakainya alat ukur yang tersedia pada kantor pertanahn Kota Denpasar, selain itu menurut bapak I Gede Wita mengatakan kurangnya penyediaan dana untuk pemeliharaan peralatan pada kantor pertanahn Kota Denpasar. (wawancara tanggal 02 September 2013). Untuk mendukung keterangan dari pihak kantor pertanahn Kota Denpasar yang menyatakan terdapat keterbatasan sarana dan prasarana yang menyebabkan kurang maksimalnya pelayanan kantor pertanahn Kota Denpasar, dilakukan pula observasi langsung pada kantor pertanahan Kota Denpasar. Menurut Burhan Ashsofa dalam buku pedoman pendidikan program studi magister kenotariatan universitas udayana tahun 2011, menyatakan teknik observasi dapat dibagi menjadi dua yaitu teknik observasi langsung dan teknik observasi tidak langsung. Teknik observasi langsung adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan secara langsung atau tanpa alat terhadap gejala-gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan dilakukan dalam situasi yang sebenarnya maupun dilakukan dalam situasi buatan, yang khusus diadakan. Sedangkan teknik 150 observasi tidak langsung adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala-gejala subyek yang ditelitinya dengan perantaraan sebuah alat. Dari hasil observasi langsung, dapat dipaparkan bahwa memang benar masih banyak petugas yang bekerja pada kantor pertanahan Kota Denpasar bersetatus kontrak dan belum memiliki pengalaman dalam bidang pertanahan. Selain itu alat transportasi dan alat-alat untuk menunjang pengukuran pada kantor pertanahan Kota Denpasara juga masih sangat terbatas. (Observasi tanggal 6 September 2013). Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya yaitu dengan peranan yang aktual. 4.4 Faktor Masyarakat Masyarakat merupakan faktor penting dari berjalannya pelaksanaan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Hukum mengikat bukan karena negara menghendakinya, melainkan karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum masyarakat. Salah satu tujuan hukum adalah untuk menciptakan kedamaian dalam masyarakat, dan penegakan hukum berasal dari masyarakat. Oleh karena itu, maka masyarakat turut mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Hak Tanggungan sendiri lahir karena kebutuhan masyarakat yang 151 menginginkan adanya lembaga jaminan yang kuat untuk di bebankan pada hak atas tanah. Berdasarkan hasil wawancara dengan Notaris/PPAT yang juga menjabat sebagai Sekretasis MPD wilayah Kota Denpasar, yaitu Bapak I Gusti Ngurah Mahabuana, SH, beliau berpendapat, selain dari penegak hukum, Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah belum maksimal dalam pelaksanaannya juga dikarenakan masyarakat sendiri. Karena kebanyakan masyarakat masih belum paham sepenuhnya mengenai Peraturan tersebut. (wawancara tanggal 28 Agustus 2013). Selain itu berdasarkan hasil wawancara dengan pihak bank, yaitu bapak I Kadek Oka Widiantara, selaku legal officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar mengatakan, sering terjadi masyarakat membutuhkan dana dan sebisa mungkin untuk cepat di cairkan pihak bank, namun mereka enggan melengkapi dokumen-dokumen yang di persyaratkan oleh pihak bank dengan alasan terlalu berbelit-belit, menghabiskan waktu, tenaga dan biaya. Dalam hal masyarakat yang ingin memanfaatkan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat sebagai agunan pada Bank namun masyarakat sendiri enggan melengkapi dokumen-dokumen untuk kelengkapan pendaftaran tanahnya tentulah pihak Bank tidak menerimanya dikarenakan menghindari resiko tidak dapat dibebaninya hak tanggungan pada hak atas tanah tersebut. Selain itu, faktor warga sekitar juga sering menjadi hambatan pemberian hak tanggungan terhadap 152 hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan. Dalam pendaftaran hak atas tanah, diperlukan kesepakatan penetapan batas-batas bidang tanah antara pemohon dengan penyandingnya. Kadang warga sekitar yang bersebelahan dengan tanah yang akan di daftarkan atau sering disebut penyanding, mengajukan keberatan atas penetapan batas-batas yang di tunjukkan, sehingga diperlukan waktu lagi untuk menyelesaiakn sengketa tersebut. (wawancara tanggal 27 Agustus 2013). Dengan adanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah diharapkan dapat menampung kebutuhan masyarakat mengenai pengaturan hak tanggungan sebagai salah satu sarana untuk membantu kegiatan usaha dan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan. Masyarakat dalam hal ini adalah seluruh masyarakat Indonesia khususnya pihak yang berkepentingan yaitu pemberi hak tanggungan dalam hal ini adalah debitor dan Penerima hak tanggungan yakni bank sebagai kreditor. Kesadaran masyarakat untuk memanfaatkan hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat sebagai jaminan utang dan kesadaran masyarakat untuk melengkapi berkas-berkas yang diperlukan untuk pendaftaran hak atas tanah maupun pendaftaran hak tanggungan sangat berpengaruh terhadap efektivitas pelaksanaan pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar berdasarkan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 153 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. 4.5 Faktor Kebudayaan Faktor terakhir yang mempengaruhi penerapan Pasal 10 ayat (3) UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah adalah faktor kebudayaan. Menurut Lawrence M Friedman yang dikutip dalam Soerjono Soekanto berpendapat bahwa sebagai suatu system atau subsistem dari kemasyarakatan, maka hukum mencangkup struktur, substansi dan kebudayaan.137 Struktur mencangkup wadah ataupun bentuk dari system tersebut yang umpamanya mencangkup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi hukum mencangkup isi norma-norma hukum beserta perumusannya maupun cara untuk menegakkannnya yang berlaku bagi pelaksanaan hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianut) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.138 137 138 Soerjono Soekanto I, loc.cit. Soerjono Soekanto II, op.cit. hal. 60. 154 Menurut pendapat Purbacaraka dan Soerjono soekanto dalam Bayu Setiawan, Kebudayaan (system) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Pasanagn nilai yang berperan dalam hukum, adalah sebagai berikut:139 1. Nilai ketertiban dan nilai ketentraman. 2. Nilai jasmani/kebendaan dan nilai rohani/keakhlakan. 3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme. Apabila dikaitkan antara faktor kebudayaan dengan masalah efektivitas penerapan Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, ini sangat berkaitan erat. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak debitor yaitu bapak Ir. I Wayan Suantra, selaku Direktur Utama dari PT. Pesona Dewata, dalam hal ini pernah mengalami penolakan pengajuan kredit dengan agunan berupa hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan setempat dan tidak memiliki tanda bukti hak atas tanah berupa sertipikat, pihak perbankan di Kota Denpasar, terlihat bahwa mereka kurang memahami secara mendalam arti dan tujuan dari keberadaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya mengenai Pasal 10 ayat (3) dari Undang-Undang tersebut. 139 Bayu Setiawan, 2011, “Hukum di Indonesia”, Serial Online 08/11/2011, available from : URL: http://www.bayusetiawan15.blogspot.com archive.htm. 155 Permasalahan tersebut disebabkan oleh masih kurang kondusifnya budaya hukum yang diciptakan oleh pihak kantor pertanahn Kota Denpasar. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran hukum relative masih rendah, untuk menegakkan system Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, khususnya mengenai Pasal 10 ayat (3) dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah . (wawancara tanggal 23 Agustus 2013). BAB V PENUTUP 5.1 Simpulan Berdasarkan pemaparan dalam bab-bab terdahulu terutama yang berhubungan dengan permasalahan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pemberian Hak Tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar pada kantor pertanahan, dalam prakteknya belum efektif yang ditunjukkan oleh beberapa Bank Umum Swasta di Kota Denpasar tidak menerima hak atas tanah berasal dari konversi hak lama dan belum terdaftar pada kantor pertanahan sebagai agunan yang natinya akan dibebankan Hak Tanggungan. 2. Faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah berasal dari konversi hak lama yang belum terdaftar dalam praktek perbankan di Kota Denpasar adalah berupa faktor substansi hukum, secara umum pengaturan hak tanggungan di Indonesia telah komprehensif dalam mengatur pemberian maupun pendaftaran hak tanggungan, namun tidak efektifnya aturan tersebut dikarenakan kurangnya sosialisasi dari penegak hukum mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, terbatasnya sarana atau fasilitas yang menunjang penegakan hukum tersebut, kurang perdulinya masyarakat akan pentingnya pendaftaran hak atas tanah dan kurang kondusifnya budaya hukum yang diciptakan oleh pihak kantor pertanahan. 156 157 5.2 Saran 1. Perlunya peningkatan sosialisasi dari pihak kantor pertanahan kota Denpasar mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan, khususnya dalam hal pemberian hak tanggungan terhadap hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang sudah memenuhi persyaratan untuk didaftarka tetapi belum selesai didaftarkan, kepada pihak perbankan di Kota Denpasar, pihak Notaris/PPAT dan masyarakat pada umumnya. 2. Diharapkan adanya penyederhanaan mekanisme pelayanan dibidang pertanahan dari kantor pertanahan kota Denpasar agar memudahkan masyarakat dalam pengurusan pendaftaran hak atas tanah maupun pendaftaran hak tanggungan. Dalam hal sarana atau fasilitas penunjang kinerja dari kantor pertanahan kota Denpasar, perlu adanya pemeliharaan berkala terhadap sarana dan prasarana yang telah dimiliki agar setiap saat dapat difungsikan, melakukan pengadaan sarana dan prasarana yang belum lengkap dengan memperhitungkan jangka waktu pengadaannya, apabila terdapat sarana dan prasarana yang telah rusak agar segera diperbaiki atau diganti. 158 DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Adi, Rianto, 2005, Metode Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta. Ali, Achmad, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Ali, Zainudin, 2005, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. _______, 2010, Filsafat Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Allot, Antony, 1980, The Limit of Law, Butterworth & Co., London. Amiruddin Dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ashshofa, Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ketiga, PT. Rineka Cipta, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, 1983, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung. Black, Henry Campbell, 1990, Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn, West Publishing Co. Dharmayuda, Suasthawa, 1987, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, CV. Kayu Mas Agung, Denpasar. Friedmann, Lawrence, 1975, The Legal System A Social Science Persperctive, Russel Sage Foundations, New York. Hadisaputro, Hartono, 1984, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Perikatan, Liberty, Yogyakarta. Harun, Badriyah, 2010, Penyelesaian Sengketa Kredit Bermasalah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Harsono, Boedi, 1971, UUPA Sejarah Penyusunan Isi Dan Pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta. 158 159 Hasan, Alwi, 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ketiga, Cetakan ketiga, Balai Pustaka, Jakarta. Ibrahim, Johannes, 2004, Cross Default & Cross Collateral Sebagai Upaya Penyelesaian KreditBermasalah, Refika Aditama, Bandung Isnur, Eko Yulian, 2008, Tata Cara Mengurus Surat-Surat Rumah dan Tanah, Pustaka Yustisia, Yogyakarta. Jusuf, Jopie, 2008, Panduan Dasar Untuk Account Officer, Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta. Kartono, 1977, Hak-hak Jaminan Kredit, Pradnya Paramita, Jakarta. Kasmir, 2011, Dasar-Dasar Perbankan, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta. Manan, Abdul, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta. Manan, Bagir, 1995, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, Mandar Maju, Bandung. Mertokusumo, Sudikno, 2005, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta. Muljadi, Kartini, Gunawan Widjaja, 2006, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak Tanggungan, Kencana, Jakarta Narbuko, Cholid, dan H. Abu Achmadi, 2004, Metodologi Penelitian, Bumi Aksara, Jakarta. Parlindungan A.P, 1990, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet II, Mandar Maju, Bandung. Patrik, Purwahid dan Kashadi, 2008, Hukum Jaminan, Edisi Revisi dengan UUHT, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang. Perangin, Effendi, 1989, Hukum Agraria Di Indonesia, Suatu Telaah Dari Sudut Pandang Praktisi Hukum, CV Rajawali, Jakarta. Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Cet I, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta. 160 Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, 2001, DasarDasar Filsafat Dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. Rasjidi, Lili dan Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung. Samford, Charles, 1989, The Disorder Of Law A Critique Of Legal Theory, Basil Blackwell Ltd, UK. Salindeho, John, 1994, Manusia, Tanah, Hak Dan Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Salim HS, 2004, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta Santoso, Urip, 2010, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah , Kencana, Jakarta Sembiring, Sentosa, 2008, Hukum Perbankan, CV. Mandar Maju, Bandung. Siagian, Sondang P., 2002, Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Rineka Cipta, Jakarta. Sinungan, Mucdarsyah, 1990, Kredit Seluk Beluk dan Pengelolaannya, Tograf, Yogyakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1985, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta. Soetami, Siti, 2001, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Rafika Aditama, Bandung. Soekanto, Soerjono, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Bandung. _______, 1988, Efektivitas Hukum Dan Penerapan Sanksi, CV. Ramadja Karya, Bandung. _______, 1988, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, cetakan kelima, PT Raja Grafindo Persada:Jakarta _______, 1990, Penelitian Hukum Normatif, Rajawali Jakarta. _______, 2004, Faktor-faktor yang PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. Mempengaruhi Penegakan Hukum, 161 _______, 2007, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada : Jakarta. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1981, Hukum Perdata : Hak Jaminan Atas Tanah, Liberty, Yogyakarta. _______, 1981, Hukum Perdata : Hukum Benda, Liberty, Yogyakarta. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. XXVIII, PT Intermasa, Jakarta. Sunggono, Bambang, 2006, Metode Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Sunindhia Y.W. dan Ninik Widiyanti, 1988, Pembaharuan Hukum Agraria. Bina Aksara, Jakarta. Sutedi, Adrian, 2012, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta. _______, 1996, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. Usman, Rachmadi, 2008, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1996, Penelitian Hukum dalam Praktek, Cet. II, Sinar, Grafika, Jakarta. Walters, Malcolm, 1994, Modern Sociological Theory, Sage Publications, London. Warrasih, Esmi, 2005, Pranata Hukum sebagai Telaah Sosiologis, PT. Suryandaru Utama, Semarang. 2. Makalah Ginting, Ramlan, 2005, “Peraturan Pemberian Kredit Bank Umum”, Paper, pada Diskusi Hukum Aspek Hukum Perbankan, Perdata, dan Pidana Terhadap Pemberian Fasilitas Kredit Dalam Praktek Perbankan di Indonesia, Bandung 3. Internet Hakim, Nurul, “Efektivitas Pelaksanaan Sistem Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan Lembaga Peradilan”, available from : URL : http ://www.badilag.net. Setiawan, Bayu, 2011, “Hukum di Indonesia”, available from : URL: http://http://bayusetiawan 15.blogspot.com/2011_11 01_archive.html. 162 4. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182). Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696). Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1996, tentang Bentuk Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan, Akta Pemberian Hak Tanggungan, Buku Tanah Hak Tanggungan, Dan Sertipikat Hak Tanggungan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 tahun 1996, tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Kredit-kredit Tertentu Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanhan Nasional Nomor 5 Tahun 1996, tentang Pendaftaran Hak Tanggungan Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/25/PBI/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/8/PBI/2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko Bagi Bank Umum. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 103 DPNP). 163 DAFTAR INFORMAN 1. Nama : Miguel Mascarenhas Alamat : Jalan Tukad Junah Nomor 19 Denpasar Jabatan : Area Manager SME PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar : I Wayan Wiantara Alamat : Jalan Pulau Alor Nomor 46 Denpasar Jabatan : Area Manager Appraisal SME PT. Bank Mega, Tbk 2. Nama Cabang Denpasar 3. Nama : Achmad Amara Putra Alamat : Jalan Ahmad Yani Nomor 106 Denpasar Jabatan : Branch Retail Banking Manager PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar 4. Nama : Ida Bagus Oka Wijaya Alamat : Jalan Nusakambangan, Gang XI Nomor 07 Denpasar Jabatan : Supervisor Admin Kredit PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar 5. Nama : I Kadek Oka Widiantara Alamat : Jalan Sekar Sari Nomor 23 Denpasar Jabatan : Legal Officer PT. Bank Mega, Tbk Cabang Denpasar : Duna Biantara Alamat : Jalan Subita, Gang VI Nomor 21 Denpasar Jabatan : Account Officer Supervisor PT. Bank Bukopin, Tbk 6. Nama Cabang Denpasar 164 7. Nama : Teguh Adnyana Alamat : Jalan Sekar Sari Nomor 63 Denpasar Jabatan : Account Officer SME PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar 8. Nama : Gede Saswita Alamat : Jalan Tukad Buana IV/9 Padang Sambian Kaja, Denpasar Jabatan : Legal Officer PT. Bank Bukopin, Tbk Cabang Denpasar : I Gusti Ngurah Mahabuana, SH Alamat : Jalan Pulau Alor No 2 Denpasar Jabatan : Notaris/PPAT di kota Denpasar : Gede Semester Winarno, SH : BTN Puskopad II, blok C 56, Sanggulan, Kediri, 9. Nama 10. Nama Alamat Tabanan-Bali Jabatan : Notaris/PPAT di kota Denpasar : Inti Sariwati, SH Alamat : Jalan Hayam Wuruk No 251 Denpasar Jabatan : Notaris/PPAT di kota Denpasar : I Wayan Budiartha Alamat : Jalan Pulau Bungin Nomor 531 Denpasar Jabatan : Staf Notaris/PPAT di kota Denpasar : Ni Made Ardini Alamat : Br. Silakarang, Singapadu kaler Sukawati, Gianyar Jabatan : Kasubsi Pendaftaran Badan Pertanahan Nasional 11. Nama 12. Nama 13. Nama Kota Denpasar 165 14. Nama : I Gede Wita Alamat : Jalan Pulau Pinag Gang III Nomor 45 Denpasar Jabatan : Kasubsi Pengukuran Badan Pertanahan Nasional Kota Denpasar 15. Nama : Ir. I Wayan Suantra Alamat : Jalan Suli Gang IX Nomor 32 Denpasar Jabatan : Direktur PT. Pesona Dewata (Pihak Debitur) 166 LAMPIRAN-LAMPIRAN