POLA ASUH IBU YANG MEMILIKI ANAK TUNGGAL ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola asuh ibu yang memiliki anak tunggal. Subjek dalam penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak tunggal, usia pernikahan subjek 8 tahun. Fokus penelitian kualitatif pada kedalaman dan proses, maka penelitian kualitatif cenderung dilakukan dengan jumlah sedikit. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara, wawancara adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan informasi langsung dengan mengungkapkan pertanyaan – pertanyaan pada para responden. Dari hasil analisis data yang dilakukan menunjukkan bahwa subjek memahami kebutuhan anaknya, subjek penuh kasih sayang, subjek berdiskusi dengan anaknya dan sangat menghargai peran putrinya namun subjek tidak terlalu memanjakan anaknya, subjek mengarahkan perkembangan sosial anaknya secara positif, tuntutan yang subjek berikan bertujuan agar anaknya menjadi individu yang kompeten secara intelektual maupun sosial, subjek melibatkan batasan dalam pelaksanaan tuntutan yang tegas dan konsisten, membuat harapan – harapan yang tinggi untuk putrinya, subjek tidak terlalu memberi kebebasan kepada putrinya, subjek selalu ingin tahu apa dan bagaimana kegiatan putrinya serta selalu mengontrol kegiatan putrinya disekolah atau dengan siapa ia bermain, subjek selalu menunjukkan ekspresi – ekspresi kehangatan dan kasih sayang terhadap putrinya. Sujata Universitas Gunadarma [email protected] Kata kunci : Pola, Asuh, Ibu, Anak, Tunggal ________ PENDAHULUAN Setiap orang tua tentunya mendambakan kehadiran seorang anak. Mengenai jumlah anak yang dikehendaki, sebagian pasangan menyerahkannya kepada Tuhan, walaupun terdapat juga beberapa pasangan yang memang merencanakan jumlah anak yang akan mereka miliki. Pada dasarnya, sebagian besar pasangan suami isteri akan menerima apa yang telah diberikan Tuhan kepada mereka. Alasan orang tua untuk memiliki anak tunggal dapat bermacammacam, seperti ketidakmampuan untuk memiliki anak lagi, keinginan untuk memberikan kesempatan pendidikan, financial, perhatian dan waktu yang cukup besar pada anak mereka, pengalaman melahirkan yang tidak menyenangkan (Laybourn, 1994). Terdapat empat faktor penyebab orang tua memiliki anak tunggal yakni, pertama, faktor keharusan karena alasan kesehatan; kedua, faktor pilihan dari orang tua yang memang merencanakan memiliki anak tunggal; ketiga, faktor tradisi dimana pada kebudayaan tertentu ada anggapan bahwa memiliki satu anak saja merupakan hal yang sangat baik dan keempat, faktor lainnya yang merupakan anggapan dari orang tua bahwa bulan-bulan pertama masa perkembangan bayi mereka merupakan masa yang tidak menyenangkan sehingga mereka tidak ingin mengulanginya lagi (Laybourn, 1994). Anak tunggal adalah anak yang tidak memiliki saudara kandung. Keadaan anak tunggal yang sendirian inilah yang terkadang membuat masyarakat memandang anak tunggal seperti anak yang lain dari pada yang lain dan menganggap bahwa anak tunggal itu pasti egois sebab dirumah ia tidak harus berbagi dengan siapa-siapa. Anak tunggal memiliki beberapa karakteristik, yakni penuh perencanaan dan akan merasa terganggu bila sesuatu berjalan diluar rencana, sangat memperhatikan waktu, sangat membutuhkan waktu untuk diri sendiri, tidak mau dikoreksi namun masih bersikap lunak terhadap kritik, sangat teratur dan tidak suka diinterupsi. Kemampuan intelegensi dan prestasi di sekolah yang dimiliki anak tunggal lebih baik dibandingkan dengan anak yang tidak tunggal (Isaacson & Radish, 2001). Kunci sukses dalam membesarkan dan mengasuh anak tunggal terletak pada adanya keseimbangan yang sehat antara keterlibatan versus ketidakterlibatan orang tua di dalam kehidupan anak. Orang tua harus mampu membedakan saat mana anak harus dibiarkan berpikir sendiri dan membuat keputusan sendiri, dan saat mana anak membutuhkan keterlibatan orang tuanya, yang harus diperhatikan juga adalah kapan orang tua bersikap sangat melindungi anak dan kapan saat yang tepat untuk membuat anak belajar mandiri. Satu hal yang juga penting adalah pemberian kebebasan pada anak untuk mengekspresikan kemauannya dan kapan anak harus mengikuti aturan yang telah dibuat oleh orang tua. Dari uraian diatas, masalah pola asuh anak seringkali menjadi momok bagi pasangan yang menikah terutama dalam menentukan pola asuh yang bagaimana yang akan diterapkan dalam keluarga, maka dalam prosesnya keputusan yang harus dibuat untuk menentukan pola asuh anak dapat menimbulkan masalah/konflik tersendiri bagi individu yang memiliki anak tunggal. Penulis memilih ibu sebagai subjek penelitian karena ibu sering kali dianggap sebagai orang yang paling bertanggung jawab atas pelaksanaan sistem pola asuh pada anak, dimana peran seorang ibu adalah sebagai berikut (Flaherty, dalam Bornstein, 1995): a. Mengatur, meliputi kegiatan mengatur atau menyusun sumber daya dan aktivitas sehingga terjadi sinkronisasi dengan anggota keluarga dan seluruh kebutuhan mereka. b. Merawat, dimana ibu memberikan perawatan secara langsung kepada anak atau anggota keluarga yang dependen. c. Mengasuh, dimana ibu memberikan dukungan emosional dan cinta kepada anak dan anggota keluarga lainnya. Dalam penelitian ini penulis juga berfokus pada masalah internal yang dialami individu karena ingin menggali penghayatan individu atas masalah yang dialaminya, untuk itu penelitian dilakukan pada individu yang memiliki anak tunggal. Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk meneliti gambaran mengenai ibu yang memiliki anak tunggal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana gambaran pola asuh pada subjek yang merupakan ibu dari anak tunggal, dan faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh tersebut. TINJAUAN PUSTAKA Pengertian pola asuh Kegiatan pengasuhan merupakan kegiatan yang selalu terjadi di dalam kehidupan manusia. Proses yang terjadi di dalamnya juga merupakan proses yang kompleks, antara lain melibatkan kegiatan kelahiran, melindungi anak, merawat anak serta membimbing anak. Pola asuh dianggap sebagai pengalaman yang sangat penting yang dapat merubah individu secara emosional, sosial dan intelektual (Colbert. 1997). Dimensi pola asuh Menurut (Baumrind. 2000) ada dua dimensi besar pola asuh yang menjadi dasar dari kecenderungan jenis kegiatan pengasuhan anak, yaitu : a. Responsiveness atau Responsifitas Dimensi ini berkenaan dengan sikap orang tua yang penuh kasih sayang, memahami dan berorientasi pada kebutuhan anak. Sikap hangat yang ditunjukkan orang tua pada anak sangat berperan penting dalam proses sosialisasi antara orang tua dengan anak. Diskusi sering terjadi pada keluarga yang orang tuanya responsif terhadap anak – anak mereka, selain itu juga sering terjadi proses memberi dan menerima secara verbal diantara kedua belah pihak. Namun pada orang tua yang tidak responsif terhadap anak – anaknya, orang tua bersikap membenci, menolak atau mengabaikan anak. Orang tua dengan sikap tersebut sering menjadi penyebab timbulnya berbagai masalah yang dihadapi anak seperti kesulitan akademis, ketidakseimbangan hubungan dengan orang dewasa dan teman sebaya sampai dengan masalah delikuensi. Menurut (Baumrind.1983) responsiveness atau responsifitas terdiri atas : 1) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), yaitu orang tua meminta pendapat anak yang disertai alasan yang jelas ketika anak menuntut pemenuhan kebutuhannya. 2) Nurturance (upaya pengasuhan), yaitu orang tua menunjukkan ekspresi – ekspresi kehangatan dan kasih sayang terhadap anak dan menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh anak. b. Demandingness atau tuntutan Untuk mengarahkan perkembangan sosial anak secara positif, kasih sayang dari orang tua belumlah cukup. Kontrol dari orang tua dibutuhkan untuk mengembangkan anak agar anak menjadi individu yang kompeten baik secara intelektual maupun sosial. Menurut (Baumrind.1983) demandingness atau tuntutan terdiri atas : 1) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), yaitu orang tua menekankan pada anak untuk mengoptimalkan kemampuannya agar menjadi lebih dewasa dalam segala hal. 2) Control (kontrol), yaitu orang tua berusaha untuk membatasi kebebasan, inisiatif dan tingkah laku anaknya. Dari uraian diatas dimensi pola asuh yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah responsiveness atau responsifitas yang terdiri dari clarity of communication, nurturance dan demandingness atau tuntutan yang terdiri dari demand for maturity, control. Macam – macam pola asuh (Baumrind. 1994) membedakan pola asuh menjadi empat, yakni : a. Pola asuh authoritarian Pada kegiatan pola asuh jenis ini orang tua berlaku sangat ketat dan mengontrol anaknya tetapi kurang memiliki hubungan yang hangat dan komunikatif. Anak diajarkan standart dan tingkah laku mutlak oleh orang tuanya. Pemberian hukuman dan tingkah laku yang patokan mutlak untuk melihat keinginan anak dimana terdapat konflik tingkah laku dan kepercayaan anak dengan apa yang mereka pikir benar. Orang tua sangat menginginkan keseragaman dan kepatuhan. Anak dari pola asuh seperti ini biasanya memiliki kecenderungan moody, murung, ketakutan, kesedihan dan tidak spontan. Anak juga menggambarkan kecemasan dan rasa tidak aman dalam hubungan dengan teman sebaya dan menunjukkan kecenderungan bertindak keras saat tertekan dan memiliki harga diri yang rendah. b. Pola asuh authoritative Orang tua memiliki batasan dan harapan yang jelas terhadap tingkah laku anak. Mereka berusaha untuk menyediakan panduan dengan menggunakan alasan dan aturan, mereka menggunakan ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) yang berhubungan dengan tingkah laku anak secara jelas. Orang tua seperti ini sangat menyadari tanggung jawab mereka sebagai figur otoritas, tetapi mereka juga tangap terhadap kebutuhan dan kemampuan anak. Situasi pola asuh ini biasanya hangat dan penuh penerimaan, mau mendengar dan peka terhadap kebutuhan anak, serta mendorong anak untuk berperan serta dalam mengmbil keputusan keluarga. Anak yang memiliki pola asuh seperti ini tergolong sebagai anak yang ceria, cenderung kompeten secara sosial, enerjik, bersahabat dan memiliki keingintahuan yang besar, dapat mengontrol diri, memiliki harga diri yang tinggi serta memiliki prestasi yang tinggi. c. Pola asuh permissive Pada kegiatan pola asuh ini orang tua hanya membuat sedikit perintah dan jarang menggunakan kekerasan dan kekuasaan untuk mencapai pegasuhan anak. Anak diperbolehkan mengatur tingkah lakunya sendiri, orang tua cenderung memperbolehkan anak remajanya bertingkah laku semaunya. Anak lebih bebas berbuat sekehendaknya dan orang tua dianggap tidak perlu berkuasa dan tidak mendorong anak untuk patuh. Anak dari pola asuh seperti ini tidak dapat mengontrol diri sendiri, tidak mau patuh dan tidak terlibat dengan aktivitas di kelas. d. Pola asuh tidak terlibat Kegiatan pola asuh ini merupakan kegiatan pola asuh yang paling buruk dibandingkan kegiatan pola asuh yang lain dan merupakan tambahan dari ketiga kegiatan pola asuh yang lain. Jenis pola asuh ini tidak memiliki kontrol orang tua sama sekali. Orang tua cenderung menolak keberadaan anak atau tidak memiliki cukup waktu untuk diluangkan bersama anak karena mereka sendiri memiliki banyak masalah. Orang tua sama sekali tidak mengurus anak dan respon anak cenderung sadis. Orang tua merespon anak dengan cara memenuhi kebutuhan anak berupa makanan atau mainan, namun tidak berusaha ke hal – hal yang bersifat jangka panjang, seperti aturan pekerjaan rumah dan standar tingkah laku. Anak dari kegiatan pola asuh seperti ini cenderung terbatas secara akademis dan sosial. Atas dasar penjelasan diatas, penulis berkesimpulan membedakan 4 macam kegiatan pola asuh, yaitu : pola asuh authoritarian dimana orang tua memaksa anak – anak untuk patuh pada nilai – nilai mereka, serta mencoba membentuk tingkah laku sesuai dengan tingkah lakunya serta cenderung mengekang keinginan anak; pola asuh authoritative dimana orang tua memandang sama kewajiban dan hak antara orang tua dan anak; pola asuh permissive dimana orang tua cenderung selalu memberikan kebebasan pada anak tanpa memberikan kontrol sama sekali; dan pola asuh tidak terlibat dimana orang tua sama sekali tidak mengontrol anak – anaknya. Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh Baik secara sadar atau tidak sadar, orang tua menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi orang tua dalam pemilihan tipe pola asuh, yaitu : a. Faktor pola asuh yang diterima orang tua sewaktu masih anak – anak. Menurut (Hurlock. 1991) orang tua memiliki kecenderungan yang benar untuk menerapkan pola asuh yang mereka terima dari orang tua mereka pada anaknya. b. Faktor sosial ekonomi Orang tua yang berasal dari kelas ekonomi menengah lebih bersikap hangat dibandingkan orang tua yang berasal dari kelas sosial ekonomi rendah atau bawah. Orang tua dari golongan ini lebih sering menggunakan hukuman fisik dan menunjukkan kekuatan mereka. Orang tua dari kelas sosial ekonomi menengah lebih menaruh penekanan pada perkembangan keingintahuan anak, kontrol dalam diri anak, kemampuan untuk menunda keinginan, bekerja untuk waktu jangka panjang, dan kepekaan anak dalam berhubungan dengan orang lain. Orang tua dari golongan ini lebih bersikap terbuka terhadap hal – hal baru. Sedangkan dari kelas sosial ekonomi rendah atau bawah, jarang sekali memberi kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan diri, mereka lebih sering memberikan batasan yang ketat dan memberikan penekanan pada rasa hormat dan patuh terhadap tokoh otoritas, terhadap nilai – nilai yang dimiliki oleh orang tua dan cara pemenuhan kebutuhan anak secepat mungkin. Hal ini dapat dimengerti mengingat orang tua dari golongan sosial ekonomi menengah bawah dalam kehidupan sehari – harinya bergelut dengan pemikiran untuk dapat menghidupi anak – anaknya (Adiana. 1988). c. Faktor pendidikan Orang tua dengan latar belakang pendidikan yang tinggi memiliki pengetahuan dan pengertian yang luas terhadap perkembangan anak, sedangkan orang tua dengan latar belakang pendidikan rendah memiliki pengetahuan dan pengertian yang terbatas mengenai perkembangan dan kebutuhan anak (Triwardani. 2001). d. Faktor kepribadian Kepribadian orang tua dapat mempengaruhi penggunaan pola asuh. Orang tua yang berkepribadian tertutup cenderung akan memperlakukan anaknya dengan ketat dan otoriter. Disisi lain, kepribadian anak juga berperan terhadap digunakannya pola asuh tertentu, lain halnya anak yang bersikap terbuka terhadap rangsangan yang datang padanya, dan ini akan mempengaruhi pemilihan pola asuh yang diberikan orang tua padanya (Hurlock. 1990). e. Faktor nilai yang dianut orang tua Dinegara barat, nampaknya orang tua menganut paham equalitarian, dimana kedudukan anak sama dengan orang tua. Namun dinegara timur nampaknya orang tua masih lebih cenderung menghargai kepatuhan anak (Triwardani. 2001). f. Faktor jumlah anak Jumlah anak yang dimiliki juga dapat mempengaruhi dipergunakannya pola asuh tertentu. Orang tua yang memiliki anak hanya satu sampai tiga cenderung mempergunakan pola asuh Authoritative, sedangkan orang tua yang memiliki anak enam atau lebih, cenderung memiliki pola asuh otoriter, dengan digunakannya pola pengasuhan ini orang tua menganggap dapat tercipta ketertiban dalam rumah (Triwardani. 2001). Dampak pola asuh (Baumrind. 2001) dari hasil penelitiannya menemukan bahwa teknik – teknik pola asuh demokratis yang menumbuhkan keyakinan dan kepercayaan diri maupun mendorong tindakan – tindakan mandiri membuat keputusan sendiri akan berakibat munculnya tingkah laku mandiri yang bertanggung jawab. (Meuler. 2001) dalam penelitiannya dengan menemukan hasil bahwa anak – anak yang diasuh oleh orang tua yang otoriter banyak menunjukkan ciri – ciri adanya sikap menunggu dan menyerahkan segala – galanya pada pengasuhnya. (Baldin. 2001) menemukan dalam penelitiannya dengan membandingkan keluarga yang melakukan pola asuh demokratis dengan otoriter terhadap anaknya, bahwa pola asuh dari orang tua demokratis menimbulkan ciri – ciri berinisiatif, berani, lebih giat, dan lebih bertujuan. Sebaliknya, semakin otoriter orang tuanya makin berkurang ketidaktaatan anak, bersikap menunggu, tak dapat merencanakan sesuatu, daya tahan kurang, dan menunjukkan ciri – ciri takut. Jadi setiap kegiatan pola asuh akan berpengaruh terhadap anak dalam perilaku tertentu. Pengertian anak tunggal Anak tunggal dalam keluarga diartikan bahwa dalam suatu keluarga yang terdiri dari suami dan isteri hanya memiliki seorang anak saja, terbentuk situasi anak tunggal disebabkan macam-macam kemungkinan (Gunarsa. 2003). Menurut (Landis. 1977), suatu keluarga dikatakan sebagai keluarga dengan anak tunggal jika didalamnya terdiri dari orang tua (ayah dan ibu) dengan satu orang anak saja. Anak tunggal pada umumnya memiliki kemauan tinggi untuk meraih sukses serta mencapai pendidikan tinggi. Banyak memiliki masalah perilaku, sangat sedikit mempunyai keinginan terikat. Seorang penyendiri dan sering merasa sangat kesepian, apabila dalam keadaan stres sangat membutuhkan teman. Segi positif anak tunggal, mereka memiliki keterampilan serta kemampuan besar untuk melakukan perbaikan dan perubahan terhadap suatu keadaan. Berorientasi pada tugas, cenderung menjadi orang yang disiplin, sangat bertanggung jawab dan dapat diandalkan, menyukai fakta, ide dan informasi yang detail. Oleh karenanya ciri yang khas pada anak tunggal adalah disiplin dan percaya diri (Leman. 2001). Seorang anak disebut anak tunggal, pada umumnya bila ia dibesarkan dalam suatu keluarga tanpa adanya anak lain. Jadi pengasuhan dipusatkan pada anak tersebut secara total. Secara umum biasanya ada keterikatan yang kuat antara anak tunggal dengan orang tua atau siapapun yang mengasuhnya. Hal ini bisa terjadi karena sejak bayi, perhatian bisa terpusat pada satu anak saja. Dan, dalam perkembangan selanjutnya, anak tersebut memiliki semua kesempatan berinteraksi dengan orang tuanya, tanpa adanya saudara lain (Jung. 2002). METODE PENELITIAN Pada penelitian ini tema yang diangkat berada dalam lingkup psikologi di bidang sosial dan perkembangan, yang merupakan cabang dari ilmu psikologi secara umum, seperti diketahui bahwa karakteristik subjek penelitian di dalam bidang psikologi sosial dan perkembangan adalah berada dalam setting sosial maupun perkembangan yang direpresentasikan dengan berbagai lingkungan sosial atau kelompok orang yang memiliki suatu masalah tertentu secara jelas dan dapat diukur dan diobservasi perilakunya yang berkaitan dengan ilmu psikologi. Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah seorang ibu berusia 28 tahun dan memiliki anak tunggal yang berusia 7 tahun. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik observasi non partisipan, karena peneliti tidak berperan serta ikut ambil bagian dalam kehidupan atau kegiatankegiatan orang yang diobservasi. HASIL PEMBAHASAN kontrol yang tinggi (over control) dan harapan yang jelas terhadap tingkah laku anak, orang tua berusaha untuk menyediakan panduan dengan menggunakan alasan dan aturan, menggunakan ganjaran (reward) atau hukuman (punishment) yang berhubungan dengan tingkah laku anak secara jelas. DAN Pola asuh subjek terhadap putrinya adalah authoritative, yaitu orang tua memiliki batasan Tabel 1. Gambaran Dimensi Pola Asuh Subjek 1. Dimensi Pola Asuh Responsiveness (responsifitas). a. Deskripsi Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas). - - - - - b. Nurturance pengasuhan). (upaya - Jika putrinya menginginkan sesuatu maka putri subjek mengatakannya kepada subjek atau kepada suami subjek. Putri subjek sering mengungkapkan perasaan dan keinginannya kepada subjek. Dalam berkomunikasi dengan putrinya subjek menggunakan kata – kata yang sopan, walaupun subjek marah tidak pernah menggunakan kata – kata yang kasar karena subjek tidak ingin putrinya meniru hal – hal yang tidak baik. Subjek sering berdiskusi kadang tentang pelajaran di sekolah putrinya, nilai putrinya, kegiatan les putrinya, kadang juga tentang film kartun favorit putrinya. Subjek memahami prestasi putrinya dan kecerdasan putrinya di sekolah karena subjek selalu ingin mengetahuinya. Jika putrinya mendapat nilai yang tidak terlalu bagus maka subjek memberi semangat kepada putrinya agar dapat lebih berprestasi. Subjek memberikan imbalan berupa hadiah – hadiah jika putrinya berprestasi. Hubungan putri subjek sangat dekat dengan subjek dan suami subjek. Subjek mengharapkan putrinya sehat, suatu hari nanti - 2. - Demandingness (Tuntutan) a. Demand for maturity (menuntut anak - bersikap dewasa) b. Control (kontrol) - - - - - - - - - - menjadi orang yang sukses dalam hidupnya. Jika anak subjek meminta dibelikan mainan maka subjek membelikannya. Subjek memahami hobi putrinya yaitu bermain basket. Sikap subjek tidak memaksa putrinya untuk bersikap dewasa. Jika putrinya melakukan kesalahan atau berprestasi maka subjek memberikan hukuman atau imbalan. Subjek selalu membiarkan putrinya bersikap mandiri, misalnya putrinya harus membersihkan tempat tidurnya sendiri, merapihkan mainannya sendiri, menyusun buku pelajarannya sendiri. Subjek ingin putrinya bertanggung jawab atas sekolahnya. Jika putrinya pergi kemana – mana subjek selalu menemani putrinya karenea merasa kuatir. Subjek membatasi permintaan putrinya, misalnya saat putrinya minta dibelikan HP, subjek melarangnya karena merasa belum waktunya, nanti kalau sudah SMP baru subjek membelikannya. Subjek tidak terlalu memberi kebebasan kepada putrinya, subjek tidak pernah mengizinkan putrinya bepergian kerumah temannya sendirian. Karena merasa hanya memiliki putri satu – satunya subjek dan suami subjek sangat mengkhawatirkan putrinya, sehingga subjek selalu menemani putrinya kemanapun. Subjek tidak pernah mengijinkan putrinya beribur sekolah dengan teman – teman sekolahnya, karena subjek merasa khawatir. Subjek selalu ingin tahu apa dan bagaimana kegiatan putrinya, sehingga subjek juga tahu jadwal kegiatan putrinya dan subjek mengontrol kegiatan putrinya ke sekolah. Subjek juga mengontrol perilaku putrinya dalam menanggapi masukan – masukan dari luar, seperti melarang putrinya mendengarkan lagu – lagu dewasa, mengikuti gaya – gaya orang dewasa, malarang putrinya menonton sinetron dan hanya memperbolehkan putrinya menonton film kartun pada jam – jam tertentu. Kadang subjek takut, sehingga merasa puas kalo ikut menemani putrinya, subjek takut terjadi sesuatu terhadap putrinya, misalnya takut putrinya main api, main pisau… Subjek menuntut anaknya untuk menjadi patuh dan disiplin dalam hal pendidikan, misalnya jika putrinya tidak ingin pergi ke sekolah atau pergi les karena ngantuk atau malas, maka subjek menyuruh anaknya untuk pergi karena dia ingin anaknya jadi pintar dan tidak malas. Subjek mengajarkan kedisiplinan untuk putrinya, jika putrinya tidak melaksanakannya subjek memarahinya, subjek tidak ingin anaknya menjadi manja. Subjek memarahi putrinya jika tidak ingin belajar dan subjek menemani putrinya jika sedang belajar. Tabel 2. Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh Faktor yang mempengaruhi pola asuh Faktor persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua Faktor sosial ekonomi Faktor pendidikan Deskripsi - Subjek cenderung menerapkan pola asuh yang subjek terima dari orang tuanya (bapak subjek) pada waktu masih anak – anak, sehingga subjek cenderung menerapkan kepada putrinya. - Subjek menerapkan kedisiplinan dan tuntutan berprestasi, misalnya subjek ingin anaknya rajin belajar dan tidak bermalas – malasan. Ayah subjek menggunakan sistem hukum/ganjaran sama seperti apa yang subjek lakukan terhadap putrinya. - Subjek berasal dari kelas ekonomi menengah, sehingga memiliki kasih sayang yang cukup hangat terhadap putrinya. - Subjek selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan putrinya dengan memberikan prioritas utama terhadap kebutuhan – kebutuhan anak yang lebih mendesak, terutama kebutuhan dalam hal pendidikan, mainan. - Faktor kepribadian - - Faktor nilai yang dianut orang tua - Faktor jumlah anak - - Harapan Subjek - Latar belakang pendidikan subjek termasuk pada jenjang menengah (SMA). Subjek memiliki pengetahuan yang luas terhadap perkembangan anak. Subjek memiliki kemauan keras untuk mencari tahu/belajar dari berbagai sumber tentang perkembangan anak. Baik subjek maupun putri subjek memiliki kepribadian yang terbuka, sehingga proses pola asuh terjadi dengan optimal. Putri subjek dapat menerima pola asuh subjek dengan baik yang menyebabkan putri subjek menjadi terbuka terhadap lingkungan sekitarnya Subjek memiliki aturan – aturan moral yang tegas yang harus diterima oleh putri subjek. Walaupun dalam pelaksanaan pola asuhnya subjek menerapkan sistem hukuman/ganjaran tetapi putri subjek dapat menerima dan menjalankan aturan – aturan tersebut dengan baik. Walaupun subjek hanya memiliki satu orang anak (anak tunggal) tetapi subjek tidak mendidiknya untuk menjadi anak yang manja. Subjek melaksanakan pola asuh dengan menetapkan aturan – aturan, ganjaran, hukuman dengan tujuan untuk menciptakan kedisiplinan pada diri putrinya. Subjek bersikap hangat dan memahami kebutuhan putrinya. Walaupun subjek memiliki putri tunggal, namun ia sangat mendisiplinkan putrinya. Subjek mengharapkan putrinya disiplin, - Hasil analisis penelitian ini secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut: Gambaran Dimensi Pola Asuh Pola asuh dalam penelitian ini dilihat berdasarkan dimensidimensi pola asuh yaitu: responsiveness yang terdiri dari clarity of communication dan nurturance; demandingness yang terdiri dari demand of maturity dan control.Adapun gambarannya adalah sebagai berikut: 1) Responsiveness (responsifitas) a) Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas). Subjek selalu memberikan kehangatan kepada putrinya sehingga tidak terdapat kesulitan bagi putri subjek untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya, subjek juga sangat mendidik putrinya untuk berkomunikasi dengan baik dan sehat, menjadi orang yang sukses suatu hari nanti. Subjek tidak ingin anaknya menjadi manja. sopan. Subjek sering meminta penjelasan kepada putrinya atas apa yang putrinya lakukan. b) Nurturance (upaya pengasuhan). Subjek selalu menunjukkan perhatian dan kasih sayang terhadap putrinya serta menunjukkan rasa bangga akan prestasi yang diperoleh putrinya, subjek juga selalu memberikan semangat jika putrinya mengalami kegagalan dan memberikan hadiah jika putrinya berprestasi. 2) Demandingness (Tuntutan) a) Demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa) Subjek sangat mengarahkan perkembangan sosial anaknya secara positif, tuntutan yang subjek berikan bertujuan agar putri subjek menjadi individu yang kompeten secara intelektual maupun sosial. Subjek melibatkan batasan dalam pelaksanaan tuntutan yang tegas dan konsisten, dan membuat harapan – harapan yang tinggi untuk putrinya. Awalnya tuntutan subjek ditolak oleh putrinya tetapi subjek berusaha untuk membuat putrinya mengerti dan akhirnya putri subjek dapat menerima hal itu. b) Control (kontrol) Subjek tidak terlalu memberi kebebasan kepada putrinya, dan selalu ingin tahu apa dan bagaimana kegiatan putrinya, subjek juga tidak pernah mengijinkan putrinya bepergian kerumah temannya sendirian, terkadang subjek mengontrol kegiatan putrinya disekolah, subjek sering datang kesekolah putrinya, melihat kegiatannya, dengan siapa saja putrinya berteman dan melihat bagaimana hubungan putrinya dengan guru serta mencari tahu bagaimana pelajaran putrinya disekolah. Subjek sangat mengetahui semua kegiatan putrinya dan selalu mengatur kegiatan tersebut. Subjek juga mengontrol perilaku putrinya dalam menanggapi masukan – masukan dari luar seperti melarang putrinya mendengarkan lagu – lagu dewasa, mengikuti gaya – gaya orang dewasa, melarang putrinya menonton sinetron dan hanya memperbolehkan putrinya menonton film – film kartun pada jam – jam tertentu. Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh Faktor pola asuh yang mempengaruhi subjek dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Faktor persamaan dengan pola asuh yang diterima orang tua. Subjek cenderung menerapkan pola asuh yang subjek terima dari orang tuanya pada waktu masih anak – anak terhadap putri subjek, seperti kedisiplinan dan tuntutan berprestasi, selain itu ayah subjek juga menggunakan sistem hukum/ganjaran sama seperti apa yang subjek lakukan terhadap putrinya. 2) Faktor sosial ekonomi Subjek termasuk berasal dari kelas ekonomi menengah dan subjek selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan putrinya dengan memberikan prioritas utama terhadap kebutuhan – kebutuhan anak yang lebih mendesak, subjek sangat memperhatikan perkembangan keingin tahuan putrinya, subjek juga melakukan kontrol terhadap putrinya. 3) Faktor pendidikan Latar belakang pendidikan subjek termasuk pada jenjang menengah (SMA) tetapi subjek memiliki pengetahuan yang luas terhadap perkembangan anak, hal ini berkat kemauan keras subjek dalam mencari tahu/belajar dari berbagai sumber tentang perkembangan anak. 4) Faktor kepribadian Subjek dan putri subjek memiliki kepribadian yang terbuka, sehingga proses pola asuh terjadi dengan optimal, subjek selalu menunjukkan ekspresi – ekspresi kehangatan dan kasih sayang terhadap putrinya yang menyebabkan putri subjek menjadi terbuka terhadap lingkungan sekitarnya. 5) Faktor nilai yang dianut orang tua Subjek memiliki aturan – aturan yang tegas yang harus diterima oleh putri subjek, subjek berusaha menciptakan kepatuhan pada diri putrinya, walaupun dalam pelaksanaan pola asuhnya subjek menerapkan sistem hukuman/ganjaran tetapi putri subjek dapat menerima dan menjalankan aturan – aturan tersebut dengan baik. 6) Faktor jumlah anak Subjek tidak mendidik putrinya untuk menjadi anak yang manja, subjek melaksanakan pola asuh dengan menetapkan aturan – aturan, ganjaran, hukuman dengan tujuan untuk menciptakan kedisiplinan pada diri putrinya, subjek juga bersikap hangat dan memahami kebutuhan putrinya. 7) Faktor kesehatan Subjek terkadang terlalu over control terhadap putrinya, terlihat terlalu melindunginya, itu semua karena subjek memiliki masalah medis yang menyatakan subjek tidak boleh memiliki anak lagi karena alasan faktor kesehatan subjek. 8) Harapan subjek Subjek mengharapkan putrinya menjadi orang yang disiplin, sehat dan menjadi orang yang sukses suatu hari nanti, subjek tidak ingin anaknya menjadi manja dan malas. KESIMPULAN Pola asuh subjek yang merupakan ibu yang memiliki anak tunggal adalah authoritative, dapat dilihat dari dimensi – dimensi pola asuh dan jenis – jenis pola asuh. Pola asuh memiliki dimensi – dimensi diantaranya; dimensi responsiveness (responsifitas) yang terdiri atas : Clarity of communication (menuntut anak berkomunikasi secara jelas), karena kehangatan yang diberikan oleh subjek, maka tidak terdapat kesulitan bagi putri subjek untuk mengungkapkan perasaan dan keinginannya; Nurturance (upaya pengasuhan), dalam hal pemeliharaan terhadap anak tidak menggunakan baby sitter karena semua diurus oleh subjek, dengan ekspresi – ekspresi kehangatan dan kasih sayang terhadap putrinya. Dimensi demandingness (tuntutan), yang terdiri atas : demand for maturity (menuntut anak bersikap dewasa), subjek mengarahkan perkembangan sosial anaknya secara positif, tuntutan yang subjek berikan bertujuan agar anaknya menjadi individu yang kompeten secara intelektual maupun sosial, subjek melibatkan batasan dalam pelaksanaan tuntutan yang tegas dan konsisten, menurut kepatuhan, membuat harapan – harapan yang tinggi untuk putrinya; control (kontrol), dimana dalam hal ini subjek tidak terlalu memberi kebebasan kepada putrinya, subjek selalu ingin tahu apa dan bagaimana kegiatan putrinya, subjek mengontrol kegiatan putrinya disekolah atau dengan siapa ia bermain. Faktor – faktor yang mempengaruhi pola asuh authoritative yang dilakukan subjek terhadap putrinya diantaranya, faktor pola asuh yang diterima orang tua sewaktu masih anak – anak, dimana dalam hal ini ayah subjek menerapkan kedisiplinan, kontrol dan tuntutan yang tegas terhadap subjek, sehingga sedikit banyak pola asuh yang subjek laksanakan terhadap anak tunggalnya diadopsi dari pola asuh yang telah didapat subjek melalui ayah subjek. Faktor sosial ekonomi, walaupun subjek mampu memenuhi segala kebutuhan putrinya, tetapi subjek memiliki pertimbangan – pertimbangan tertentu dalam hal pemenuhan kebutuhan tersebut. Faktor pendidikan, latar belakang pendidikan subjek termasuk pada jenjang menengah (SMA) tetapi subjek memiliki pengetahuan yang luas terhadap perkembangan anak, hal ini berkat kemauan keras subjek dalam mencari tahu/belajar dari berbagai sumber tentang perkembangan anak. Faktor kepribadian, baik subjek maupun putri subjek memiliki kepribadian yang terbuka, sehingga proses pola asuh terjadi dengan optimal, putri subjek dapat menerima pola asuh subjek dengan baik yang menyebabkan putri subjek menjadi terbuka terhadap lingkungan sekitarnya. Faktor nilai yang dianut orang tua, dalam hal ini subjek memiliki peraturan – peraturan moral yang tegas yang harus diterima oleh putri subjek, walaupun dalam pelaksanaan pola asuhnya subjek menerapkan sistem hukuman/ganjaran tetapi putri subjek dapat menerima dan menjalankan aturan – aturan tersebut dengan baik. Faktor jumlah anak, walaupun subjek hanya memiliki satu orang anak (anak tunggal) tetapi subjek tidak mendidiknya untuk menjadi anak yang manja, subjek melaksanakan pola asuh dengan menetapkan aturan – aturan, ganjaran, hukuman dengan tujuan untuk menciptakan kedisiplinan pada diri putrinya, subjek juga bersikap hangat dan memahami kebutuhan putrinya. Faktor kesehatan ibu, karena faktor kesehatan subjek yang tidak boleh memiliki anak lagi subjek cenderung terlihat melindungi puteri tunggalnya. DAFTAR PUSTAKA Publishing Company, USA Colbert, 1997, Parenting: a lifespan perspective, McGraw-Hill, USA Conger, 1991, Adolescence and youth: psychological development in a changing world. 4th ed, Happer Collins, USA Conroy, 2004, My kid is diving me crazy: 14 realistic expectations that make parenting easier, Celtic Cross Communications, California Heyes, 1988, Pengantar psikologi umum. Edisi Bakwin, 2001, Child and adolescent development for educator, Guilford Press, New York Berk, 1994, Child rd development. 3 ed, Allyn and Bacon, Boston Bornstein, 1995, Handbook of parenting vol.1: children and parenting, Lawrence Erlbaum Associates, New Jersey Brooks, 1987, The process of parenting. 2nd edition, Mayfield SARAN Berdasarkan hasil penelitian, maka penulis ingin menganjurkaN beberapa saran, antara lain : 1. Bagi keluarga yang memiliki anak tunggal. Dengan memahami pola asuh tertentu yang akan diterapkan pada anak tunggal akan dapat mematahkan issue tentang anak tunggal adalah seorang yang manja, egois, sehingga dapat membentuk anak tunggal manjadi pribadi yang lebih baik. 2. Bagi peneliti selanjutnya. Untuk penelitian selanjutnya akan lebih baik jika calon peneliti mengumpulkan literatur mengenai anak tunggal. Diharapkan calon peneliti dapat meneliti hal – hal yang berkaitan dengan anak tunggal diantaranya, jenis kelamin anak tunggal, kemandirian anak tunggal dan sosialisasi anak tunggal. Kedua, Erlangga, Jakarta Hurlock, 1990, Perkembangan anak. Jilid I, Erlangga, Jakarta Hurlock, 1991, Perkembangan anak. Jilid II, Erlangga, Jakarta Hurlock, 2001, Perkembangan anak. Jilid III, Erlangga, Jakarta Jung, 2002, Mother: a book of quotations, Courier Dover Publications, London Laybourn, 1994. The only child: myths and reality, HMSO Bristol Library, Edinburg Leman, 2001, Single parenting that works: six keys to raising happy, healthy children in a singleparent home, Tyndale House Publisher, New York McDonald, 1997, Babies and bosses: reconciling work and family life, OECD Publishing, San Fransisco Moleong, 2004, Metodologi penelitian kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung