Resistensi Gay Laki-Laki terhadap Stigma Masyarakat (Sebuah

advertisement
Resistensi Gay Laki-Laki terhadap Stigma Masyarakat (Sebuah Analisa
dalam Kerangka Counter-Culture dan Cultural Criminology)
Argina Nur Mauludya dan Iqrak Sulhin
Departemen Kriminologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak
Skripsi ini membahas mengenai resistensi gay laki-laki terhadap stigma dari masyarakat. Terdapat budaya yang
dianggap menyimpang dan terstigma dalam hal ini adalah budaya homoseksual. Penelitian ini melakukan proses
dekonstruksi dengan menggunakan konsep cultural criminology dalam ranah culture as crime untuk memberikan
sebuah pemahaman baru mengenai isu homoseksual. Kemudian melakukan sebuah perlawanan dengan
menggunakan konsep counter-culture. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan wawancara
terhadap lima narasumber. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa seluruh narasumber pernah mengalami
distigma oleh masyarakat, lembaga representatif, keluarga, teman, dan diri sendiri. Selanjutnya, untuk melawan
stigma tersebut mereka melakukan usaha counter-culture. Hal yang dilakukan adalah dengan mengakui identitas diri
sebagai gay laki-laki serta bergabung dalam komunitas maupun organisasi sebagai bentuk penyesuaian terhadap
stigma yang menimpa gay laki-laki serta memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa gay laki-laki sama
seperti warga negara lainnya yang ingin diterima sebagai bagian dari warga negara tanpa stigma dan diskriminasi.
Kata kunci:
Budaya; Counter-culture; Cultural Criminology; Gay laki-laki; Konstruksi; Resistensi; Stigma
Resistance of Gay Men towards Stigma Coming from Society (An Analytical Framework
of Counter-Culture and Cultural Criminology)
Abstract
This mini thesis discussed about the resistance of gay men towards stigma coming from society. There is a culture
that is considered deviate and stigmatized, which is homosexual culture. This research does deconstruction process
using cultural criminology concept in the realm of culture as crime, in order to give a new comprehension towards
homosexual issue. Furthermore their resistance is explained using counter-culture. This research uses qualitative
method done by doing interview from five resource person. The result of this research concluded that all resource
person had experienced stigma from society, representative institutions, family, friends, and even from themselves.
In order to fight stigma, they use counter-culture as an effort, by acknowledging themselves as gay men and joining
other community or organization to adjust the stigma given to them. This research also gives a comprehension for
society that gay men just like any citizens from other countries want to be accepted as a citizen without being
stigmatized or discriminated.
Keywords:
Counter-culture; Construction; Culture; Cultural Criminology; Gay men; Resistanc; Stigma.
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Pendahuluan
Fenomena homoseksual telah ada di sepanjang sejarah, di semua jenis masyarakat dan di
antara semua lapisan masyarakat seperti masyarakat kelas atas, menengah dan kelas bawah.
Berbagai respon pun muncul dari berbagai masyarakat akan kehadiran homoseksual. Dalam
peradaban Eropa dan Amerika pandangan terhadap kaum homoseksual lebih dapat diterima
padahal sebelumnya, respon negatif terhadap perilaku homoseksual di Eropa dicerminkan dalam
hukuman yang diberikan kepada homoseksual seperti hukum cambuk, pengebirian, rajam, dan
membakar hidup-hidup, hal itu terjadi dari pertengahan hingga abad ke 18. Pada abad ke 18,
bangsa Eropa mulai meliberalisasi hukum mereka untuk tidak menetapkan hukuman yang berat
kepada homoseksual. Sedangkan Amerika Serikat memberikan sanksi terhadap homoseksual
mulai dari sepuluh tahun penjara hingga yang paling maksimal adalah selama seumur hidup.
Berbeda dengan hukuman yang tetapkan Eropa terhadap homoseksual adalah selama lima tahun
(McCaghy, 1976, p. 365). Meski demikian, sikap masyarakat terhadap homoseksual tetap
membuahkan pandangan negatif. Padahal pada tahun 1973 American Psychiatric Association
(APA) mencabut homoseksual sebagai gangguan mental dari Diagnostic Statistical Manual
(DSM). Namun pencabutan ini tidak menghentikan pertentangan yang timbul dalam masyarakat
luas. Homoseksualitas tetap menjadi perdebatan di sepanjang sejarah di seluruh belahan dunia
(Kali, 2013, pp. 121-122).
Menjadi seorang homoseksual merupakan kebebasan dan pilihan setiap individu. Individu
yang memiliki orientasi atau preferensi homoseksual berhak untuk berada di tengah-tengah
masyarakat dan diakui keberadaannya tanpa perlakuan diskriminasi. Namun pada nyatanya,
masih banyaknya penolakan, stigmatisasi, diskriminasi yang berujung pada kekerasan yang
dilakukan oleh masyarakat kepada homoseksual. Penolakan lingkungan terhadap homoseksual
dibuktikan dengan banyaknya kecaman yang dilakukan oleh berbagai pihak, seperti yang
dilakukan oleh organisasi masyarakat yang berbasis ideologi agama. Contoh kecaman yang
dilakukan adalah pemberian istilah “menyimpang” hingga “sesat”. Istilah ini diberikan sebagai
cara menghakimi homoseksual. Berbagai reaksi negatif tersebut diperlihatkan secara eksplisit dan
cenderung mengarah pada tindak diskriminasi dan kekerasan. Seperti yang terjadi pada kasus
pembubaran kontes waria yang digelar dalam rangka hari AIDS pada bulan Desember tahun
2010 oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Majelis Darul Mustafa Makassar. Kedua organisasi
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
masyarakat tersebut menganggap bahwa kegiatan kontes keluar dari syariat agama dan dianggap
sebagai perbuatan maksiat ( VivaNEWS-1, 2010). Peristiwa lainnya adalah, terjadinya
pembubaran paksa kongres lesbian, gay, dan biseksual (ILGA) pada tahun 2010 oleh Forum
Umat Islam (FUI) di Hotel Oval Surabaya (detikNews-1, 2010). Kedua peristiwa ini merupakan
sebagian kecil yang kemudian menjadi penghalang bagi homoseksual untuk dapat hidup dan
menunjukkan eksistensi di dalam masyarakat serta mendapat hak yang sama layaknya dengan
para heteroseksual.
Tidak hanya itu, dalam sektor formal juga terjadi diskriminasi yang membedakan
perlakuan antara homoseksual dan heteroseksual. Seperti peristiwa pemecatan terhadap anggota
TNI AD di Bandung pada tahun 2013 karena menjadi seorang homoseksual. Hal ini dikuatkan
dengan adanya putusan Majelis Pengadilan Militer II-9 Bandung yang menyatakan homoseks
merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Dinyatakan dalam putusannya bahwa
homoseksual merupakan ancaman bagi pembinaan kekuatan satuan TNI, khususnya pembinaan
personel karena akan berdampak negatif (detikNews-2, 2013). Selanjutnya banyak dari
homoseksual yang mendapatkan intimidasi baik oleh pimpinan maupun rekan kerjanya. Misalnya
yang terjadi di Ciputat. Waria yang bernama Bella selalu mendapat tekanan dari teman-teman
kerja dan atasannya begitupun dengan Budi alias Sinta yang bekerja di sebuah pusat perbelanjaan
di daerah Bogor, Jawa Barat yang mendapatkan tekanan di tempat kerjanya karena berperilaku
feminin. Akibatnya mereka dipaksa harus berperilaku layaknya kaum laki-laki pada umumnya,
karena bila tidak mereka diberhentikan dari pekerjaannya (detikNews-3, 2007). Ini merupakan
bentuk diskriminasi. Padahal tidak ada masalah yang mengganggu pekerjaan mereka. Hal yang
dipersoalkan oleh pemimpin mereka hanya sebatas perilaku feminin yang ditunjukkan keduanya.
Pemerintah ataupun masyarakat tidak melihat potensi homoseksual dalam sudut pandang
kapabilitas dan kemampuan dalam melakukan pekerjaan di sektor formal karena selama ini
masyarakat memandang homoseksual hanya dari orientasi seksualnya saja. Hal itu yang
menyebabkan sedikitnya kesempatan homoseksual untuk bekerja di sektor formal.
Selain dalam bentuk ucapan dan tindakan, diskriminasi yang dialami oleh homoseksual
juga terjadi dalam konteks peraturan, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Saat ini
terdapat peraturan yang justru memojokkan posisi sosial homoseksual, seperti munculnya
peraturan daerah yang mendiskriminasi homoseksual. Peraturan Daerah (perda) Provinsi Sumatra
Selatan nomor 13 tahun 2002, pada pasal 1 ayat 1 tentang pemberantasan maksiat memasukkan
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
kelompok LGBT sebagai bagian dari perbuatan pelacuran. Peraturan Daerah (perda)
kota
Palembang nomor 2 tahun 2004 tentang pemberantasan pelacuran pada pasal 1 dan 2 juga
ditegaskan bahwa homoseksual dikategorikan sebagai perbuatan pelacuran. Pada tingkat
nasional, terdapat Undang-Undang (UU) yang juga mendiskriminasi homoseksual. Di dalam
Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur
bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang heteroseksual.
Sedangkan di dalam UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, pada pasal 4 ayat 1( huruf a)
pada bagian penjelasan disebutkan bahwa homoseksual merupakan persenggamaan yang
menyimpang. Walaupun hanya pada bagian penjelasannya, hal tersebut jelas mendeskreditkan
homoseksual.
Kondisi-kondisi tersebut, juga memperlihatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia
dari individu yang berbeda dari pilihan seksual mayoritas. Seharusnya individu yang memilih
berbeda harus dihormati, karena menjadi homoseksual merupakan suatu orientasi dan preferensi
yang otentik bagi setiap individu. Adanya produk hukum serta respon masyarakat yang
diskriminatif membuat homoseksual semakin kehilangan eksistensi. Kebijakan pemerintah yang
tidak memberikan jaminan perlindungan kebebasan setiap warga negara secara tidak langsung
berdampak pada sudut pandang masyarakat di dalam melihat homoseksual. Masyarakat yang
kurang mengerti dan memiliki sudut pandang yang salah akan memberikan pandangan buruk,
sehingga terjadi perlakuan kasar, stigma, penolakan, pelecehan, pengucilan, prasangka dan
diskriminasi, serta hilangnya hak-hak dasar lainnya seperti hak untuk mendapatkan pekerjaan di
semua sektor bagi homoseksual.
Kondisi ini tentu bertentangan dengan komitmen Indonesia sendiri terhadap perlindungan
hak asasi manusia. Indonesia telah meratifikasi beberapa konvensi International seperti Kovenan
International Hak Sipil dan Politik (UU No. 12 Tahun 2005), Kovenan Hak Ekonomi,Sosial dan
Budaya (UU NO.11 Tahun 2005) dan Konvensi Menentang Penyiksaan (UU No.5 Tahun 1998).
Begitu banyaknya perlakuan masyarakat yang menolak akan kehadiran homoseksual,
tidak membuat mereka putus asa untuk memperjuangkan hak-hak mereka dalam kehidupan
sosial. Mereka terus berjuang untuk menunjukkan eksistensinya di hadapan publik. Hal itu
dibuktikan pada saat ini sudah banyak organisasi atau perkumpulan yang beranggotakan
homoseksual dan perkumpulan itu berusaha membangun relasi dengan masyarakat sebaik
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
mungkin dengan berinteraksi pada individu, kelompok, dan organisasi lain supaya mereka dapat
diterima di dalam masyarakat (Hawkes & Scott, 2005).
Hampir seluruh komunitas atau lembaga tersebut fokus memperjuangkan hak asasi
manusia dan penghapusan segala bentuk diskriminasi. Peran dari organisasi homoseksual
tersebut salah satunya adalah untuk memberi penyuluhan dan berupaya agar homoseksual dapat
diterima di masyarakat serta diakui kebaradaannya. Keberadaan organisasi masyarakat sipil ini
bertujuan mengkampanyekan isu-isu LGBT, serta melakukan advokasi kepada anggota LGBT
yang mengalami tindakan diskriminatif atau penyiksaan. Munculnya organisasi sipil ini dapat
menjadi wadah untuk melindungi homoseksual dari berbagai tindak diskriminasi serta sebagai
bentuk resistensi homoseksual yang mendapatkan stigma maupun diskriminasi dari masyarakat
terhadap homoseksual.
Berdasarkan hal diatas permasalahannya adalah bahwa Fenomena gay laki-laki telah ada
sejak lama dan masih menciptakan respon negatif masyarakat hingga kini. Perlakuan
diskriminatif dari lingkungan sosial, seperti pengucilan, stigmatisasi kerap terjadi bagi mereka
yang sudah mengakui orientasi maupun preferensi seksual berbeda. Meski demikian, gay lakilaki tidak begitu saja menerima semua perlakuan yang diarahkan masyarakat kepada mereka. Gay
laki-laki pun memiliki usaha resistensi berdasarkan perlakuan masyarakat tersebut. Banyak
kemudian lembaga-lembaga atau perkumpulan baik homoseksual saja ataupun LGBT yang
berdiri di Indonesia, yang berfokus untuk memperjuangkan pada penghapusan segala bentukbentuk diskriminasi. Seperti Suara kita (Ourvoice) dan Perkumpulan Arus Pelangi yang
merupakan organisasi massa yang bertujuan untuk mempromosikan dan membela hak-hak dasar
kaum LGBT. Program-program yang dilakukan dalam organisasi tersebut adalah melakukan
kampanye mengenai isu-isu LGBT, seperti hak-hak dasar LGBT dan pelanggaran hak-hak dasar
kaum LGBT. Lalu melakukan advokasi, ada dua macam program advokasi yang dilakukan oleh
Perkumpulan Arus Pelangi, yaitu advokasi kasuistik dan advokasi kebijakan publik. Advokasi
kasuistik merupakan kegiatan penanganan hukum kasus-kasus yang menimpa kaum LGBT, baik
yang bersifat non-litigasi maupun litigasi. Advokasi kebijakan publik merupakan rangkaian
upaya hukum yang dilakukan oleh Perkumpulan Arus Pelangi terhadap semua kebijakan
pemerintah yang diskriminatif terhadap kaum LGBT. Salah satu advokasi kebijakan publik yang
sedang dilakukan oleh Perkumpulan Arus Pelangi adalah advokasi penolakan terhadap
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU-APP) (aruspelangi, 2008).
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Bentuk resistensi gay laki-laki tidak hanya melalui organisasi saja, melainkan banyak gay
laki-laki yang tergabung dalam komunitas. Komunitas tersebut bertujuan agar dapat membantu
sesama dengan situasi yang sama. Resistensi gay laki-laki dalam penelitian ini dilihat melalui
perspektif counter-culture. Counter-culture merupakan gerakan yang bersatu dalam penentangan
homoseksual kepada budaya dominan (Jagose, 1996, p. 34). Gerakan-gerakan ini menciptakan
sebuah kesadaran baru. Namun demikian, mereka menunjukkan bahwa pembebasan gay laki-laki
itu bukan hanya perjuangan akan satu masalah melainkan merupakan sebuah kerangka analitik
yang mampu mengatasi berbagai bentuk penindasan serta memiliki perspektif revolusi
berdasarkan kesatuan semua orang yang tertindas. Resistensi gay laki-laki terhadap stigma dari
masyarakat merupakan perjuangan mendapatkan pengakuan dan penghormatan bahwa gay lakilaki juga merupakan bagian dari masyarakat.
Tinjauan Teoritis
Kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seks dan seksualitas, orientasi seksual dan
preferensi seksual, homoseksual, gay laki-laki, culture, heteroseksism, homofobia, stigma,
konstruksi sosial, counter-culture, resistensi. Sedangkan kerangka berpikir yang peneliti gunakan
adalah counter-culture, queer theory dan cultural criminologi dalam ranah culture as crime.
Secara etimologis seksualitas berasal dari kata benda bahasa Latin sexus, yang berarti
jenis kelamin. Kata sexus sendiri berasal dari kata kerja secare yang berarti memotong, membagi
atau memisahkan. Dengan demikian berdasarkan pengertian kata, seks mengacu pada sifat-sifat
biologi yang mendefinisikan manusia sebagai perempuan atau laki-laki (Kali, 2013, p. 57).
Berbeda dengan
seks,
konsep seksualitas dianggap sama dengan gender dalam wacana
globalisasi yang lebih sering diasumsikan pada heteroseksualitas. Hal ini dibuktikan pada
sebagian besar literatur berfokus pada penelitian mengenai heteroseksual. Namun begitu, selama
15 tahun terakhir studi mengenai gay, lesbian dan queer telah didukung oleh penelitian feminis
tentang seksualitas mereka (Kim-Puri, 2005, p. 141). istilah seksualitas didefinisikan sebagai
suatu aspek inti manusia sepanjang hidupnya dan meliputi seks, identitas gender, orientasi
seksual, dan reproduksi (Kali, 2013). Konsep seks dan seksualitas dalam penelitian ini dapat
digunakan dalam mendukung penjelasan homoseksual. Seks merupakan sesuatu yang bersifat
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
esensial yaitu bawaan dan tetap, jika seksualitas merupakan hasil dari konstruksi sosial. Dalam
konteks ini persoalan homoseksual adalah persoalan konstruksi sosial.
Orientasi seksual merupakan ketertarikan seseorang terhadap sesama jenis, lawan jenis
atau kedua jenis kelamin, dalam hal ini terbagi menjadi tiga yaitu heteroseksual, biseksual dan
homoseksual (lesbian dan gay). Heteroseksual merupakan ketertarikan seseorang pada jenis
kelamin yang berbeda, biseksual merupakan ketertarikan seseorang pada kedua jenis kelamin,
dan homoseksual merupakan ketertarikan seseorang pada jenis kelamin yang sama (Patterson,
2000). Sedangkan preferensi seksual didasarkan pada pilihan individu terhadap jenis kelamin
yang dinginkan (Moon, 2004, p. 54). Homoseksual merupakan salah satu bentuk dari preferensi
seksual seseorang yang bertentangan dengan konstruksi dominasi masyarakat, karena persoalan
homoseksual itu merupakan persoalan konstruksi.
Homoseksual pada umumnya dipahami secara luas untuk menggambarkan ketertarikan
seseorang pada jenis kelamin yang sama. Terdapat dua jenis homoseksualitas, yaitu gay dan
lesbian. Gay adalah individu homoseksual yang berjenis kelamin laki-laki yang tertarik kepada
laki-laki lainnya, sedangkan lesbian adalah individu homoseksual yang berjenis kelamin
perempuan yang tertarik kepada perempuan lainnya (Jagose, 1996, p. 02). Gay laki-laki
merupakan sebutan untuk laki-laki yang menyukai sesama jenis (Wolfson, 2004, p. 102).
Budaya adalah pengakuan bersama terhadap dunia simbol-simbol (dunia homoseksual)
tempat anggota-anggota suatu masyarakat berada, yaitu bahwa mereka memiliki cara hidup yang
sama dalam kehidupan sehari-hari (Ferrell, 1999). Budaya yang peneliti maksud dalam penelitian
ini adalah budaya homoseksual. Homoseksual dapat dikatakan sebuah budaya yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai, memiliki kesepakatan atau kesamaan dalam memaknai simbol-simbol serta
gaya hidup.
Heteroseksism merupakan suatu asumsi baik secara eksplisit maupun implisit bahwa
setiap orang adalah heteroseksual. Jadi dapat dikatakan bahwa terdapat anggapan yang
menyebutkan hubungan sesama jenis atau yang biasa disebut homoseksual itu tidak dianggap ada
(Stewart, 2001, p. 143).
Homofobia merupakan ketakutan yang muncul ditujukan kepada
homoseksual (Wolfson, 2004, p. 182) Kekuatan homofobia dan heteroseksism berusaha untuk
melemahkan dan menentang hubungan sesama jenis (Wolfson, 2004, p. 175) maka dari itu,
ketika gay laki-laki dan lesbian mencoba untuk menerobos heteroseksism dan menjadi terlihat,
maka yang terjadi adalah norma sosial dan institusional kembali menyerang dengan diskriminasi
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
yang secara langsung terlihat. Hal itu dikarenakan Heteroseksism dan homofobia merupakan
akar yang menyebabkan stigma dan diskriminasi terjadi.
Stigma merupakan segala bentuk atribut fisik dan sosial dalam rangka mendiskriditkan
identitas sosial seseorang, serta mendiskualifikasikan seseorang dari penerimaan secara utuh
(Goffman, 1963). Stigma dalam kaitanya dengan penelitian ini adalah bahwa stigma seringkali
dilekatkan pada seseorang yang memiliki perilaku berbeda serta pada kelompok minoritas.
Homoseksual masih dianggap sebagai suatu hal yang melawan kodrat manusia serta tidak sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat dan dianggap sebagai kelompok yang sangat
minoritas. Dengan stigma yang melekat pada homoseksual inilah yang akan menciptakan suatu
resistensi terhadap stigma tersebut.
Menurut Patricia A.Adler dan Peter Adler konstruksi sosial merupakan proses pemberian
definisi, entah itu pada sebuah objek, seseorang atau tindakan (Adler & Adler, 2000).
Homoseksual dianggap berbeda, menyimpang dan diberi stigma merupakan suatu konstruksi
yang diciptakan oleh masyarakat, namun persoalannya di sini adalah homoseksual memiliki hak
untuk diakui keberadaannya.
Counter-culture merupakan pertentangan nilai yang terjadi dengan masyarakat dominan
dengan menyederhanakan suatu kelompok yang percaya bahwa mereka telah menolak nilai-nilai
yang ada dalam suatu budaya (Roberts, 1978, p. 111) . Resistensi merupakan perlawanan dalam
sebuah perjuangan akan hegemonik yang dibawa oleh budaya dominan (Clarke, Hall, Jefferson,
& Roberts, 2003, p. 44). Dalam konteks penelitian ini, resistensi digunakan sebagai bentuk
perlawanan gay laki-laki akan dominasi masyarakat yang hanya mengakui keberadaan
heteroseksual. Bentuk-bentuk resistensi yang dilakukan oleh gay laki-laki ini atas kesadaran diri
mereka untuk melakukan resistensi terkait dengan pemberian stigma yang terus menerus dialami
oleh gay laki-laki.
Queer dilekatkan oleh istilah pemberdayaan dimana queer memiliki tujuan untuk
menciptakan realitas perubahan dari pandangan terhadap homoseksual (Caudwell, 2006). Queer
Theory dalam penelitian ini digunakan untuk menaungi homoseksual dalam upaya counterculture serta sebagai upaya dekonstruksi akan pemahaman masyarakat mengenai seksualitas,
yang mana hal ini juga berkaitan dengan konsep cultural criminology. Karena fenomena
homoseksual merupakan fenomena yang juga di konstruksi secara sosial.
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Cultural criminology merupakan salah satu pemikiran yang dipengaruhi oleh pemikiran
kajian budaya, teori posmodern, teori kritis, dan sosiologi interaksionis. Cultural criminology
sebagai model analisa yang mengintegrasikan hubungan antara kebudayaan dengan kejahatan. Di
satu sisi, kejahatan dapat merupakan kebudayaan, di pihak lain kebudayaan dapat merupakan
kejahatan ketika terjadi interaksi antar budaya (Mustofa, 2010, p. 176). Dalam konteks penelitian
ini, posisi gay laki-laki berada pada culture as crime dimana budaya gay laki-laki seringkali
dianggap menyimpang oleh pandangan masyarakat dominan.
Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kritis pada masalahmasalah sosial, yang mana dalam penelitian ini, realitas sosial dipandang sebagai sesuatu yang
merupakan hasil dari konstruksi, proses sejarah, sosial maupun politik
(Newman, 2007).
Penelitian ini berfokus pada resistensi gay laki-laki terhadap stigma masyarakat. peneliti akan
melakukan wawancara kepada narasumber yang menjadi gay laki-laki. Jawaban dari pertanyaan
tersebut digunakan untuk menjelaskan bagaimana resistensi gay laki-laki terhadap stigma dari
masyarakat.
Waktu yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pada bulan Maret – Mei 2014.
Penelitian ini dilakukan satu waktu tertentu. Penelitian ini hanya digunakan pada waktu yang
tertentu dan tidak akan dilakukan penelitian lain di waktu yang berbeda untuk diperbandingkan.
Dalam jangka waktu 3 bulan tersebut, peneliti bertemu dengan narasumber selama 17 (tujuh
belas) kali dengan lama pertemuan kurang lebih 120 menit.
Narasumber yang dipilih dalam penelitian ini adalah sejumlah 5 orang yang menjadi gay
laki-laki. Tiga dari lima narasumber bergabung dalam komunitas, sedangkan dua narasumber
lainnya bergabung dalam organisasi. Dalam menjaga kualitas data, peneliti mengembalikan
transkrip hasil wawancara dan hasil analisis yang ditulis oleh peneliti kepada narasumber dan
mengajaknya untuk bersama-sama berpikir ke arah perubahan, sesuai dengan tujuan penelitian ini
adalah untuk menciptakan emansipasi dan perubahan sosial. Dengan begitu peneliti mendapatkan
pendalaman data dengan mendapatkan masukan dari narasumber. Hal ini juga bertujuan untuk
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
memastikan kembali apakah hal yang dimaksud oleh peneliti sudah sesuai dengan yang
narasumber maksud.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Hambatan-hambatan yang dialami oleh homoseksual seperti hambatan dari lingkungan,
hambatan dari keluarga, serta hambatan untuk mendapatkan perlindungan merupakan suatu
permasalahan yang dialami oleh homoseksual. Mereka seharusnya bisa mendapatkan hak
layaknya masyarakat pada umumnya. Namun yang terjadi adalah mereka terhalang oleh
hambatan yang justru mempersulit mereka untuk memperoleh haknya sebagai warga negara
dengan perilaku diskriminasi.
Pemberian stigma dari berbagai pihak secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi
kehidupan gay laki-laki di tengah-tengah masyarakat. Motif utama gay laki-laki diperlakukan
dengan sangat tidak menyenangkan adalah faktor kebencian. Selaras dengan yang dijelaskan oleh
Levin dan MacDevitt dalam
dalam penelitian yang berjudul Homophobic Violence, Cultural
Essentialism and Shifting Sexual Identities bahwa kejahatan kebencian menjadi sarana umum
yang mengacu pada kejahatan kekerasan, penyiksaan dan pelecehan yang termotivasi oleh ras,
kelompok etnis, seksual atau agama. Serangan ini ditujukan terhadap kelompok minoritas. Dalam
konteks homoseksualitas digambarkan sebagai kejahatan yang dimotivasi oleh pandangan
homophobic. Homophobic sekarang tampak sebagai masalah besar bagi gay dan lesbian dan jasa
yang berhubungan dengan hal-hal yang berbeda seperti sebagai kesehatan pribadi dan konseling,
hukum dan peradilan pidana, pekerjaan dan pendidikan dan berbagai kegiatan sosial serta
aktivitas lainnya (Tomsen, 2006, p. 392). Gerakan anti-homoseksual, pelecehan, kekerasan
merupakan suatu bukti kebencian terhadap kelompok minoritas. Homophobic sering dipahami
sebagai serangan di ruang publik, bahwa banyak serangan yang diarahkan kepada homoseksual
dan terkadang dilakukan dengan motif, bahkan tanpa motif sekalipun (Tomsen, 2006, p. 392).
Dalam konteks ini, stigmatisasi terhadap gay laki-laki yang dianggap „berbeda‟ dan
„berdosa‟ terjadi karena pemahaman masyarakat tentang orientasi seksual yang masih rendah.
Pemahaman yang muncul bahwa laki-laki harus bersikap maskulin, macho dan pemberani
memunculkan stigma baru ketika laki-laki tersebut bersikap lemah lembut maupun feminin.
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Dapat dikatakan bahwa persoalan stigma ini merupakan hasil dari konstruksi gender yang berasal
dari pemahaman masyarakat yang rendah tentang orientasi seksual dan identitas gender seseorang
serta melembaga dalam kebijakan yang dihasilkan oleh negara. Kebijakan-kebijakan yang tidak
memberikan jaminan perlindungan kebebasan setiap warga negara secara tidak langsung
berdampak pada sudut pandang masyarakat di dalam melihat gay laki-laki. Masyarakat yang
kurang mengerti dan memiliki sudut pandang yang salah akan memberikan pandangan buruk,
sehingga terjadi perlakuan kasar, stigma, penolakan, diskriminasi, pelecehan, pengucilan,
prasangka, diskriminasi bahkan kekerasan, serta hilangnya hak-hak dasar lainnya seperti hak
untuk mendapatkan pekerjaan di semua sektor bagi gay laki-laki.
Kriminologi budaya merupakan sebuah model analisa yang mengintegrasikan hubungan
antara kebudayaan dan kejahatan menurut Ferrell dan Sanders dalam (Presdee, 2005, p. 15)
budaya yang dimaksud yaitu budaya yang didalamnya terkandung makna dimana bentuk-bentuk
budaya
maupun ekspresi budaya tersebut menjadi dianggap jahat.
Dengan menggunakan
kriminologi budaya, dapat membantu untuk lebih memahami keterkaitan antara budaya dan
kejahatan. Pendefinisian jahat dalam ranah kriminologi budaya merupakan sebuah proses
konstruksi yang dibentuk oleh masyarakat yang memiliki kuasa untuk membentuk konsesus
kejahatan dalam lingkungan bermasyarakat (Ferrell, Hayward, & Young, 2008). Dengan begitu,
definisi kejahatan juga tergantung pada budaya yang ada di masyarakat.
Menurut Quinney dalam (Presdee, 2005, p. 16) faktor yang terpenting dalam kriminologi
budaya adalah memeriksa segala sesuatu yang terjadi sebelum kejahatan terjadi, karena
pertanyaan tentang apa yang mendahului kejahatan jauh lebih penting untuk pemahaman dari
tindak pidana itu sendiri. Dalam konteks penelitian ini adalah sebelum gay laki-laki dianggap
sebagai kebudayaan yang dianggap jahat dan terstigma, sebelumnya harus dilihat terlebih dahulu
penyebabnya mengapa gay laki-laki sampai saat ini masih terstigma. Peneliti menemukan bahwa
selain faktor agama, pemahaman masyarakat mengenai gay laki-laki yang dianggap sebagai
penyakit yang menular dan dikategorikan sebagai gangguan jiwa inilah yang memunculkan
stigma terhadap gay laki-laki. Maka dengan menggunakan kriminologi budaya, dapat membantu
mendekonstruksi konstruksi yang telah ada di masyarakat agar muncul pemahaman baru
mengenai gay laki-laki bahwa gay laki-laki tidak tergolong dalam gangguan kejiwaan dan tidak
menular serta gay laki-laki sama seperti warga negara lainnya. Hanya orientasi seksual mereka
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
saja yang berbeda. Tetapi harus diingat bahwa setiap orang memiliki hak untuk memilih orientasi
seksual mereka.
Berdasarkan pembahasan di atas mengenai stigma, jelas terlihat bahwa seluruh
narasumber memiliki pengalaman distigma baik dari lingkungan masyarakat, lembaga
representatif, keluarga, teman, sektor pekerjaan dan dari sendiri. Pada sub bab ini peneliti akan
membahas mengenai stigma sebagai bentuk culture as crime dimana terdapat suatu budaya yang
oleh masyarakat dianggap jahat, menyimpang dan keluar dari norma masyarakat. Padahal definisi
menyimpang atau tidak adalah sesuatu yang dikonstruksikan secara budaya (McKnight, 1997).
Dalam buku yang berjudul Straight Science ? Homosexuality, Evolution and Adaptation
menjelaskan bahwa konstruksi merupakan penafsiran atau makna yang diberikan pada
lingkungan sekitar serta menganggap bahwa sebuah perilaku ditentukan secara sosial, secara
subjektif dan secara budaya. Pemberian stigma, diskriminasi dan kekerasan yang selama ini
melekat pada gay laki-laki membuat mereka secara sadar melakukan tindakan resistensi.
Tindakan resistensi ini selanjutnya dijelaskan melalui kajian counter-culture yang peneliti bagi
menjadi dua bagian yaitu counter-culture individu dan counter-culture organisasi agar terlihat
perbedaan diantara keduanya.
Identitas diri merupakan hal yang sangat mendasar dan penting bagi homoseksual, karena
identitas merupakan salah satu cara untuk menegaskan eksistensi mereka. Identitas diri seseorang
merupakan sebuah pengertian tentang siapa mereka dalam kaitannya dengan orang lain di sekitar
mereka (Howarth, 2011, p. 2). Selain itu, tindakan awal pembebasan gay sebenarnya berawal dari
diri sendiri, dengan berani menyatakan sebagai gay laki-laki sebagai identitas yang diakui secara
terbuka sampai tidak menjadikannya sebagai suatu rahasia yang dianggap memalukan, namun
sebagai suatu hal yang harus diakui secara sah di dunia bahwa homoseksual merupakan sebuah
identitas diri seorang individu (Jagose, 1996, p. 38).
Salah satu cara agar terjadi perubahan mengenai pandangan akan identitas seksual
seseorang seperti menjadi lesbian maupun gay adalah dengan cara „coming out‟ dengan begitu
gay dan lesbian yang masih menutup diri akan merasa bahwa mereka tidak sendiri. Dengan
bersama, homoseksual akan menjadi lebih kuat dan bisa bersama-sama memperjuangkan hakhaknya (Brady, 2011). Penting bagi gay dan lesbian untuk menyuarakan identitasnya di depan
publik, sehingga budaya heteronormatif bukan satu-satunya suara yang terdengar. Itulah mengapa
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
identitas diri seseorang dalam hal ini identitas homoseksual menjadi penting dalam konteks
counter-culture.
Persoalan identitas diri ini didukung dengan konsep queer dimana queer mencerminkan
identitas politik gay dan lesbian dengan maksud untuk membuat agar identitas gay dan lesbian
lebih terlihat karena sebelumnya identitas tersebut ditutup-tutupi bahkan ditolak karena dianggap
tidak sesuai dengan standar dominan yang ada di masyarakat. Maka dari itu queer merupakan
sebuah tantangan yang efektif untuk melawan heteronormatif. Queer juga bertujuan untuk
mendekonstruksi seksualitas serta memberikan kritik terhadap wacana dominan mengenai
heteronormatif.
Selanjutnya peneliti akan memaparkan bentuk resistensi yang dilakukan gay laki-laki
dalam menanggapi stigma yang mengarah kepada gay laki-laki. Resistensi merupakan tindakan
dimana seseorang berdiri melawan penindasan yang dilakukan oleh masyarakat dominan. Hal ini
merupakan jenis perlawanan untuk menciptakan suatu perubahan sosial (Scozzaro, 2011, p. 11).
Fokus utama dari resistensi ini adalah individu menjadi sadar akan penindasan sosial yang
dialaminya dengan tujuan untuk menjamin keadilan sosial. Dalam penelitian ini bentuk-bentuk
resistensi lebih jauh akan dijelaskan dengan menggunakan konsep counter-culture.
Berdasarkan data yang diperoleh, peneliti menemukan bahwa dalam usaha resistensi yang
dijelaskan dalam counter-culture individu, para narasumber bergabung dalam komunitas. Di
dalam komunitas tersebut setiap anggotanya saling memberi dukungan ditengah penolakan serta
stigma yang mereka alami. Selanjutnya mereka berusaha untuk tetap berprestasi dan berkarya,
dengan demikian masyarakat dominan bisa melihat bahwa gay laki-laki sama seperti warga
negara lainnya. Hal yang paling mendasar dalam usaha perlawanan terhadap masyarakat dominan
yang dilakukan oleh narasumber adalah dengan mengakui identitas dirinya sebagai gay. Karena
identitas merupakan cara untuk menegaskan eksistensi gay di tengah-tengah masyarakat.
Munculnya counter-culture bersamaan dengan penolakan kepada anggapan masyarakat bahwa
gay laki-laki dianggap tidak bermoral yang menjadikan tekanan dalam kebebasan seksual. Serta
menghalangi seseorang untuk mengeksplorasi diri yang memilih untuk berhubungan dan
menyayangi sesama jenis (Fejes, 2008, p. 32). Itulah mengapa gay laki-laki melakukan sebuah
perlawanan dengan harapan mendapatkan kesetaraan serta diterima keberadaannya sebagai
bagian dari masyarakat.
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Berbagai upaya dilakukan oleh gay laki-laki untuk mencapai kesetaraan dan pengakuan
bahwa gay laki-laki merupakan bagian dari masyarakat. Pada bagian ini khusus akan dijelaskan
mengenai counter-culture
yang dilakukan oleh organisasi
yang berfokus pada isu
memperjuangkan hak-hak LGBT. Terdapat dua organisasi yang akan di jelaskan selanjutnya
yaitu Perkumpulan Arus Pelangi dan suara kita (Ourvoice).
Perkumpulan Arus Pelangi dapat menjadi mediasi bahkan memberikan advokasi bagi
anggota-anggotanya yang mendapat perlakuan diskriminatif. Berbagai program dilakukan oleh
Perkumpulan Arus Pelangi untuk menumbuhkan pemahaman bagi masyarakat mengenai
homoseksual yang berfokus pada memperjuangkan hak-hak homoseksual. Karena pada dasarnya,
cita-cita para gay adalah eksistensi mereka diakui dan masyarakat dapat memandang orientasi
seksual mereka sebagai suatu pilihan hidup yang hakiki. Perkumpulan Arus Pelangi ini juga
membangun relasi dengan masyarakat sebaik mungkin dengan berinteraksi pada individu,
kelompok maupun organisasi lain supaya mereka dapat di terima di dalam masyarakat (Hawkes
& Scott, 2005) Dengan terjalinnya hubungan organisasi dengan masyarakat politisi dan media
diharapkan bisa memberikan pemahaman mengenai eksistensi homoseksual yang memang ada
sebagai bentuk varian dari masyarakat yang ada di dunia. Selain itu mengajak mereka untuk bisa
memahami bahwa orang-orang yang berbeda juga mempunyai hak yang sama dengan warga
negara lainnya. Dan dengan adanya Perkumpulan Arus Pelangi serta upaya-upaya yang dilakukan
merupakan bentuk counter-culture yang dilakukan terhadap masyarakat terkait pemahaman
mereka terhadap LGBT.
Organisasi Ourvoice ini berfokus pada perjuangan kesetaraan LGBT yang ideologis dan
kritis melalui media informasi. Dan sasarannya lebih banyak untuk pengembangan maupun
pemberdayaan komunitas. Hal ini sesuai dengan konsep queer yang juga dilekatkan oleh istilah
pemberdayaan dimana queer memiliki tujuan untuk menciptakan realitas perubahan dari
pandangan terhadap homoseksual (Caudwell, 2006). Karena menurut penuturan dari Hartoyo
selaku ketua di Ourvoice, bahwa dengan terus mengembangkan pengetahuan merupakan cara
yang dilakukan agar masyarakat perlahan mau melihat homoseksual dari sudut pandang lain dan
tidak lagi terus menerus menghakimi LGBT.
Berbagai organisasi didirikan untuk menjadi wadah aspirasi serta penyaluran advokasi
bagi para gay. Sejauh ini, peran yayasan dan organisasi tersebut masih berada di tingkat
keanggotaan di mana karena keterbatasan jangkauan mereka hanya dapat membantu gay yang
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
menjadi anggota. Para gay yang tidak tergabung dalam suatu organisasi atau yayasan resmi
biasanya membuat perkumpulan yang mereka sebut dengan komunitas.
Organisasi Ourvoice ini berfokus pada perjuangan kesetaraan LGBT yang ideologis dan
kritis melalui media informasi. Dan sasarannya lebih banyak untuk pengembangan maupun
pemberdayaan komunitas. Hal ini sesuai dengan konsep queer yang juga dilekatkan oleh istilah
pemberdayaan dimana queer memiliki tujuan untuk menciptakan realitas perubahan dari
pandangan terhadap homoseksual (Caudwell, 2006). Karena menurut penuturan dari Hartoyo
selaku ketua di Ourvoice, bahwa dengan terus mengembangkan pengetahuan merupakan cara
yang dilakukan agar masyarakat perlahan mau melihat homoseksual dari sudut pandang lain dan
tidak lagi terus menerus menghakimi LGBT.
Berbagai organisasi didirikan untuk menjadi wadah aspirasi serta penyaluran advokasi
bagi para gay. Sejauh ini, peran yayasan dan organisasi tersebut masih berada di tingkat
keanggotaan di mana karena keterbatasan jangkauan mereka hanya dapat membantu gay yang
menjadi anggota. Para gay yang tidak tergabung dalam suatu organisasi atau yayasan resmi
biasanya membuat perkumpulan yang mereka sebut dengan komunitas.
Kesimpulan
Adanya komunitas maupun organisasi gay laki-laki, merupakan salah satu bentuk upaya
pemberian informasi akan eksistensi mereka dan merupakan salah satu opsi yang cukup mewakili
perjuangan penegakan hak mereka. Adapun komunitas dan organisasi tersebut memiliki ragam
yang sangat banyak, baik dari segi konten komunitas, bentuk kegiatan, maupun tujuan dari
diadakannya komunitas dan organisasi tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
bergabungnya gay laki-laki dalam komunitas maupun organisasi merupakan salah satu bentuk
upaya merebutkan tanda eksistensi dari pada gay laki-laki di Indonesia dalam usaha perlawanan
terhadap masyarakat dominan. Selain itu dengan mengakui identitas diri mereka sebagai gay lakilaki juga merupakan bentuk usaha pembebasan gay. Peneliti membagi usaha counter-culture
menjadi dua bagian yaitu counter-culture individu dan counter-culture organisasi. Berikut adalah
penjelasan lebih lanjut:
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Counter-culture individu: berdasarkan temuan data peneliti menemukan bahwa usaha
counter-culture yang dilakukan oleh individu adalah dengan mengakui identitas diri mereka
sebagai gay laki-laki, dengan begitu diharapkan mereka bisa menunjukkan bentuk eksistensi
mereka di tengah masyarat. Dengan mengakui identitas diri ini merupakan usaha pembebasan
gay dalam upaya counter-culture. Selanjutnya dengan berkarya dan berprestasi juga merupakan
usaha-usaha yang dilakukan oleh narasumber untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa gay
laki-laki juga bisa berkarya dan berprestasi sama seperti warga negara lainnya. Dan yang terakhir
adalah dengan bergabung dalam komunitas merupakan bentuk counter-culture sebagai bentuk
penyesuaian gay laki-laki ditengah stigma dari masyarakat. Tetapi perlu ditegaskan kembali
bahwa bukan berarti gay laki-laki diharuskan membangun atau bergabung dalam sebuah
komunitas melainkan bentuk penyesuaian mereka.
Counter-culture organisasi: peneliti menemukan bahwa segala upaya yang dilakukan oleh
organisasi Perkumpulan Arus Pelangi dan Suara Kita (Ourvoice) merupakan bentuk counterculture. Seperti Perkumpulan Arus Pelangi yang melakukan advokasi, kampanye, edukasi,
pengorganisasian. Selajutnya Suara Kita (Ourvoice) juga melakukan upaya diskusi mengenai isuisu LGBT, membangun jaringan dengan kelompok perempuan, kelompok agama, dan
mahasiswa. Berbagai upaya dilakukan oleh organisasi yang bertujuan untuk menumbuhkan
pemahaman bagi masyarakat mengenai homoseksual yang berfokus pada perjuangan hak-hak
homoseksual untuk mendapatkan kesetaraan dan diterima sebagai bagian dari masyarakat.
Selanjutnya peneliti menggunakan queer theory dalam menjelaskan mengenai counter-culture
organisasi dimana dalam teori tersebut menaungi LGBT serta memiliki tujuan emansipasi dan
perubahan sosial.
Peneliti menemukan bahwa individu juga bisa melakukan usaha counter-culture hanya
saja membutuhkan waktu yang sangat panjang dan tingkat keberhasilannya juga tidak lebih
terlihat dibandingkan dengan berkelompok atau dalam organisasi. Aktivitas berkelompok akan
lebih memiliki tingkat keberhasilan yang lebih baik karena jika bersama akan lebih kuat dan
usaha perlawanannya akan lebih terlihat.
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Daftar Referensi
Adler, P. A., & Adler, P. (2000). Constructions of Deviance; Social Power, Context, and
Interaction. United States of America: Eve Howard.
Brady, A. (2011). This is why mainstream America votes against gays, Adam Lambert‟:
contemporary outness and gay celebrity,. Celebrity Studies.
Caudwell, J. (2006). Sport, Sexualities and Queer/Theory. USA and Canada: Taylor & Francis eLibrary.
Clarke, J., Hall, S., Jefferson, T., & Roberts, B. (2003). Subculture, Cultures and Class: A
theoretical overview. Dalam S. Hall, & T. Jefferson, Resistance Through Rituals; Youth
Subcultures in Post-warBritain (p. 288). University of Birmingham: Taylor & Francis eLibrary.
Fejes, F. (2008). Gay Rights and Moral Panic; The Origins of America’s. New York:
PALGRAVE MACMILLAN.
Ferrell, J. (1999). Cultural Criminology. Annual Review of Sociology, 25, 395-418. Retrieved 10
01, 2010, from http://www.jstor.org/stable/223510
Ferrell, J., Hayward, K., & Young, J. (2008). Cultural criminology: an invitation. Los Angeles:
SAGE.
Goffman, E. (1963). Stigma: Notes On The Management of Spoiled Identity. London: Penguin
Group.
Hawkes, G., & Scott, J. (2005). Perspectives In Human Sexuality. Pennsylvania: Oxford
University Press.
Howarth, C. (2011). Chapter 7: Representations, identity and resistance in communication .
Dalam C. Howarth, Representations, identity and resistance in . Dalam: Hook, Derek and
Franks, Bradley and Bauer, Martin W., (eds.) The social psychology of communication.
London, UK: Palgrave Macmillan.
Jagose, A. (1996). Queer Theory an Introduction. New York: Melbourne University Press.
Kali, A. (2013). Diskursus Seksualitas Michel Foucault. Yogyakarta: Ledalero.
Kim-Puri. (2005). Conceptualizing Gender-Sexuality-State-Nation: An Introduction. Gender
Society.
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
McCaghy, C. H. (1976). Deviant Behaviour: Crime Conflict. and Interest Groups. London:
Coller Macmillan.
McKnight, J. (1997). Straight science?Homosexuality, evolution and adaptation. USA and
Canada: Taylor & Francis e-Library.
Moon, J. G. (2004). The Sociology of Sexualities: Queer and Beyond. Annual Review of
Sociology, Vol. 30 (2004).
Mustofa, M. (2010). Kriminologi (edisi kedua); Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas,
Perilaku, Menyimpang dan Pelanggaran Hukum. Bekasi: Sari Ilmu Pratama.
Newman, L. W. (2007). Basic of Social Research: Qualitative and Qualitative Approaches
(second edition). Boston: Pearson Education Inc.
Patterson, C. (2000). Family Relationship of Lesbian and Gay Men. Journal of Marriage and
Family.
Presdee, M. (2005). Cultural Criminology and the Carnival of Crime. USA: Taylor & Francis eLibrary.
Roberts, K. A. (1978). Toward a Generic Concept of Counter-Culture (Vol. 11). Bowling Green
State University: Tailor & Francis. Ltd.
Scozzaro, D. (2011). Youth, Social Networking, and Resistance: A Case Study on a
Multidimensional Approach to Resistance.
Stewart, C. (2001). Homosexuality and the Law : a dictionary. United State: Library of Congress
Cataloging-in-Publication Data.
Tomsen, S. (2006). Homophobic Violence, Cultural Essentialism and Shifting Sexual Identities.
Social & Legal Studies.
Wolfson, E. (2004). Homosexuals Should Be Allowed to Marry. In A. Ojeda, Homosexuality:
Opposing Viewpoints (p. 240). USA: Greenhaven Press. Greenhaven Press is an imprint
of The Gale Group, Inc.,.
aruspelangi. (2008). Retrieved 02 13, 2013, from
http://aruspelangi.pbworks.com/w/page/9723217/Profil
detikNews-1. (2010, 03 26). Retrieved 12 01, 2013, from Gathering Peserta Kongres Gay &
Lesbian Digerebek FUI:
http://news.detik.com/read/2010/03/26/152020/1326195/466/gathering-peserta-kongresgay-lesbian-digerebek-fui?nd771104bcj
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
detikNews-2. (2013, 11 16). Retrieved 12 01, 2013, from Pecat Serda SNF, Pengadilan:
Homoseks Ancaman Pembinaan Kekuataan TNI:
http://news.detik.com/read/2013/11/16/161142/2414918/10/2/pecat-serda-snf-pengadilanhomoseks-ancaman-pembinaan-kekuat
detikNews-3. (2007, 05 03). Retrieved 02 04, 2014, from Emansipasi Waria, Gay dan Lesbian:
http://news.detik.com/read/2007/05/03/093723/775636/159/teraniaya-karena-orientasiseks-beda
VivaNEWS-1. (2010, 12 02). Retrieved 12 04, 2013, from FPI Bubarkan Kontes Waria di
Makassar: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/191698-fpi-bubarkan-kontes-wariadi-makassar.
Resistensi gay..., Argina Nur Mauludya, FISIP UI, 2014
Download