Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan - BPPBAP

advertisement
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
KEMAMPUAN LENDIR IKAN NILA (Tilapia mosambica) MENGHAMBAT PERTUMBUHAN
VIBRIO PATOGEN
Nurhidayah* dan I.A.K. Kadriah
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP), Maros
*e-mail: [email protected]
Abstrak
Akuakultur memiliki peran penting dalam pengembangan dan pemenuhan permintaan protein hewani.
Industri akuakultur secara bertahap berkembang di dunia. Dalam usaha menjaga kesehatan hewan
budidaya maka perlu dijaga hubungan antara hewan budidaya, lingkungan dan patogen. Aktivitas
antibakteri dalam lendir ikan telah dibuktikan dalam beberapa spesies ikan dan aktivitas dapat spesifik
terhadap bakteri tertentu. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kemampuan lendir ikan nila dalam
menghambat pertumbuhan bakteri Vibrio patogen. Perlakuan yang digunakan adalah Kontrol V.
harveyi 107 (A), Kontrol V.harveyi 106 (B), Kontrol V. harveyi 105 (C), V. harveyi 107 + lendir (D), V.
harveyi 106 + lendir (E), V. harveyi 105 + lendir (F), Kontrol V. parahaemolyticus 107 (G), Kontrol V.
parahaemolyticus 106 (H), Kontrol V. parahaemolyticus 105 (I), V. parahaemolyticus 107 + lendir (J), V.
parahaemolyticus 106 + lendir (K), dan V. parahaemolyticus 105 + lendir (L). Pengamatan dilakukan
setiap 24 jam hingga 120 jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan 48 jam lendir
ikan nila mulai memperlihatkan kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri patogen hingga 120
jam pada perlakuan yang menggunakan bakteri Vibrio harveyi dan Vibrio parahaemolyticus yang
dikultur secara bersama baik pada kepadatan 105 CFU/mL, 106 maupun kepadatan 107 CFU/mL.
Pada pengamatan 24 jam belum memperlihatkan kemampuan yang optimal dalam menghambat
pertumbuhan bakteri patogen. Berdasakan hasil yang diperoleh bahwa lendir ikan nila menunjukkan
aktivitas antibakteri yang kuat terhadap bakteri patogen pada lama perlakuan 96 jam.
Kata kunci: pertumbuhan, lendir, ikan nila, V. harveyi, V. parahaemolyticus
Pengantar
Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan ikan air tawar yang termasuk ke dalam famili Cichlidae
dan merupakan ikan asal Afrika (Boyd, 2004). Di Indonesia benih ikan nila secara resmi didatangkan
dari Taiwan oleh Balai Penelitian Perikanan Air Tawar tahun 1969. Jenis ini merupakan ikan konsumsi
air tawar yang banyak dibudidayakan setelah ikan mas (Cyprinus carpio) dan telah dibudidayakan di
lebih dari 85 negara (Dinas Perikanan dan Kelautan Daerah, 2001).
Ikan nila cenderung sangat mudah dikembangbiakkan serta sangat mudah dipasarkan karena
merupakan salah satu jenis ikan yang paling sering dikonsumsi sehari-hari. Dengan teknik dan cara
budidaya ikan nila yang sangat mudah, serta pemasarannya yang cukup luas, menjadikan budidaya
ikan nila ini sebagai peluang usaha yang bagus untuk dilakukan, baik skala rumah tangga maupun
skala besar.
Dalam lingkungan perairan, ikan senantiasa kontak dengan jasad patogen seperti bakteri, jamur, virus
maupun protozoa yang mempuyai kemampuan menginfeksi ikan. Masuknya jasad patogen ini ke
dalam tubuh ikan tergantung dari kondisi lingkungan, ikan dan organisme patogen.
Di lingkungan alam, ikan nila dapat diserang berbagai macam penyakit karena senantiasa kontak
dengan jasad patogen seperti bakteri, jamur, virus maupun protozoa yang mempuyai kemampuan
menginfeksi ikan. Penyakit tersebut dapat menyerang ikan dalam jumlah besar dan menyebabkan
kematian sehingga kerugian yang ditimbulkan sangat besar (Kordi & Ghufran, 2004).
Sumber penyakit yang dapat menyebabkan infeksi pada ikan adalah jasad patogen yang dapat
dikelompokkan menjadi dua golongan yaitu patogen asli (true pathogen) dan patogen potensial
(opportunistic pathogen) (Kordi & Ghufran, 2004). Patogen asli adalah organisme patogen yang selalu
menimbulkan penyakit khas apabila ada kontak dengan ikan sedangkan patogen potensial adalah
Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-07) - 31
PK-07
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
organisme patogen yang dalam keadaan normal hidup damai dengan ikan, akan tetapi jika kondisi
lingkungan menunjang akan menjadi patogen pada ikan (Bennett, 2009).
Secara umum faktor-faktor yang terkait dengan timbulnya penyakit merupakan interaksi dari tiga faktor
yaitu inang, patogen dan lingkungan atau stressor eksternal yaitu perubahan di lingkungan yang tidak
menguntungkan,tingkat higienik yang buruk dan stress (Austin & Austin, 2007).
Perkembangan suatu penyakit dalam akuakultur meliputi suatu interaksi yang kompleks antara tingkat
virulensi patogen, derajat imunitas inang, kondisi fisiologis dan genetik hewan, stress dan padat
tebaran (Irianto, 2004). Mekanisme pertahanan diri organisme inang terhadap organisme patogen
dikenal dengan sistem pertahanan tubuh (Kaufmann & Kabelitz, 2010). Pada ikan sistem pertahanan
itu berupa lendir, sisik, dan kulit (Bruno & Wood, 1999). Menurut Irianto (2004), sistem imun bawaan
antara lain terdiri dari penghalang fisik terhadap infeksi, pertahanan humoral dan sel-sel fagositik.
Secara fisiologis, hewan mempunyai pertahanan tubuh non spesifik terhadap suatu infeksi dengan
memberikan respon secara langsung terhadap agen asing yang masuk. Pertahanan non spesifik
tersebut berupa mukus yang memiliki kemampuan menghambat kolonisasi mikroorganisme pada
kulit, insang dan mukosa. Mukus ikan mengandung immunoglobulin alami, bukan sebagai respon
dari pemaparan terhadap antigen. Immunoglobulin (antibodi) tersebut dapat menghancurkan patogen
yang menginfeksi ikan.
Kendala yang dihadapi oleh pembudidaya ikan dan udang adalah adanya serangan penyakit vibriosis
yang dapat menyebabkan kematian. Bakteri Vibrio menyerang larva udang yaitu pada saat udang
dalam keadaan stress dan lemah, oleh karena itu sering dikatakan termasuk bakteri oportunistik
patogen.
Vibrio harveyi sampai saat ini masih menjadi spesies utama dari bakteri berpendar yang menjadi
agen penyebab penyakit pada budidaya udang yang berakibat kerugian bagi hampir seluruh petani
pembudidaya khususnya di wilayah Asia Tenggara (Lavilla-Pitogo et al., 1990; Karunasagar et al.,
1994; Liu et al., 1999), termasuk bakteri gram negatif, berpendar dan diketahui menjadi salah satu dari
bakteri mikroflora di usus hewan-hewan laut. (O’Brien et al., 1979; Baumann et al., 1980).
Vibrio harveyi merupakan bakteri yang membutuhkan sodium klorida untuk hidupnya, berbentuk curverod dan termasuk dalam kelompok bakteri gram negative yang banyak ditemukan pada lingkungan
perairan (Farmer et al., 2005) serta dapat memendarkan cahaya sendiri pada kondisi tertentu. Spesies
bakteri ini terdistribusi secara luas pada lingkungan akuatik dan diketahui menjadi penyebab utama
penyakit kunang-kunang pada organisme laut maupun payau. Selain sebagai penyebab utama, sering
kali juga bertindak sebagai agen oportunistik pada infeksi sekunder (Saulnier et al., 2000).
Bahan dan Metode
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2014 di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Lingkungan
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau menggunakan erlenmeyer volume 250 ml
pada masing-masing perlakuan.
Perlakuan dan Rancangan
Perlakuan yang digunakan pada penelitian ini masing-masing: A = Kontrol V.harveyi 107, B = Kontrol
V.harveyi 106, C = Kontrol V.harveyi 105, D = V. harveyi 107 + lendir, E = V. harveyi 106 + lendir, F= V.
harveyi 105 + lendir, G = ,Kontrol V. parahaemolyticus 107, H = Kontrol V. parahaemolyticus 106, I =
Kontrol V. parahaemolyticus 105 , J = V. parahaemolyticus 107 + lendir, K = V. parahaemolyticus 106 +
lendir, dan L = V. parahaemolyticus 105 + lendir. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam hingga 120 jam.
Prosedur Penelitian
Stok isolat bakteri Vibrio pathogen yang digunakan dikeluarkan dari -80°C dan distabilkan pada suhu
ruangan. Masing-masing isolat bakteri diambil sebanyak 100 µl dan ditanam ke dalam media Nutrien
Broth (NB) volume 50 ml. Diinkubasi bergoyang (shaker) selama 24 jam. Media kultur bakteri patogen
diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan ke dalam NB volume 100 ml sesuai perlakuan (A,B,C,H,I dan
32 - Semnaskan_UGM / Nurhidayah dan I.A.K. Kadriah
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
J). Pada perlakuan D,E,F,K,L dan M ditambahkan lendir ikan nila sebanyak 0,5 ml, diinkubasi sambil
dishaker selama 4 jam. Sampling dilakukan setiap 24 jam hingga 120 jam pada masing perlakuan
dengan cara: diambil 1 ml media kultur bakteri pada masing-masing perlakuan, dimasukkan ke dalam
larutan fisiologis volume 9 ml. Dilakukan pengenceran secara bertingkat mulai dari 0-106 atau sesuai
kondisi kekeruhan sampel. Sampel yang telah diencerkan ditanam pada media TCBSA sebanyak
0,1 ml pada masing-masing perlakuan dan diinkubasi selama 24 jam. Populasi bakteri yang tumbuh
dihitung berdasarkan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada masing-masing cawan petri.
Sampling dan Pengamatan
Pengamatan dan sampling populasi bakteri dilakukan setiap 24 jam hingga 120 jam pada masingmasing perlakuan.
Hasil dan Pembahasan
Hasil
Waktu Pengamatan (jam)
Gambar 1. Kurva pertumbuhan bakteri patogen pada media uji. Kontrol V. harveyi 107 (A), Kontrol
V. harveyi 106 (B), Kontrol V. harveyi 105 (C), V. harveyi 107 + lendir (D), V. harveyi 106
+ lendir (E), V. harveyi 105 + lendir (F), Kontrol V. parahaemolyticus 107 (G), Kontrol V.
parahaemolyticus 106 (H), Kontrol V. parahaemolyticus 105 (I), V. parahaemolyticus 107 +
lendir (J), V. parahaemolyticus 106 + lendir (K), dan V. parahaemolyticus 105 + lendir (L)
Dari hasil yang diperoleh diketahui bahwa dengan penambahan 0,5 % lendir ikan nila pada kultur
bakteri dapat menurunkan populasi bakteri patogen. Pada perlakuan 96 dan 120 jam terlihat perbedaan
populasi bakteri yang cukup signifikan antara perlakuan kontrol (tanpa penambahan lendir) dengan
perlakuan penambahan lendir ikan nila. Hasil yang sama diperoleh baik untuk perlakuan dengan V.
harveyi maupun dengan V. parahaemolyticus. Pada perlakuan 24 – 72 jam belum terlihat adanya
perbedaan populasi bakteri yang cukup signifikan antara perlakuan kontrol (tanpa penambahan lendir)
dengan perlakuan penambahan lendir ikan nila.
Tiga mekanisme utama antagonisme mikroba flora normal terhadap patogen yaitu kompetesi
dalam menempati situs perlekatan atau kolonisasi, antagonisme spesifik melalui produksi senyawa
penghambat berupa protein spesifik (bakteriosin) dan antagonisme non-spesifik dengan memproduksi
berbagai metabolit atau produk akhir yang menghambat mikroba patogen antara lain berupa
asam-asam organik dan peroksidase (Irianto,2004). Penelitian yang dilakukan oleh Kasai (2010)
menunjukkan adanya protein bioaktif yang ditemukan pada lapisan lendir dari ikan flounder (Platichthys
stellatus), yang menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Staphylococcus epidermidis, S. aureus
dan methicillin-resistant S. aureus.
Penelitian Eissa et al. (2011) mengungkapkan bahwa sampel lendir dari ikan nila (O. niloticus) dan
ikan lele (C. gariepinus) menghambat pertumbuhan bakteri baik bakteri Gram positif atau bakteri Gram
Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-07) - 33
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
negatif. Lendir Lele (C.gariepinus) sangat efektif selama perlakuan 6 jam pertama dan terus teramati
selama 12 sampai 24 jam. Aktivitas ini hampir sama terhadap tiga strain bakteri, sedangkan lendir
O. niloticus tidak efektif pada perlkuan 6 jam pertama. Setelah 6 jam pertama aktivitas anti bakteri di
lendir nila bekerja dalam menghambat pertumbuhan bakteri untuk semua strain bakteri patogen yang
diujikan.
Sistem kekebalan tubuh bawaan, terutama permukaan tubuh eksternal, memainkan peran dalam
melindungi ikan budidaya yang dibudidayakan secara intensif dan yang dibudidayakan pada suhu
rendah. Sistem kekebalan ini akan melindungi dari infeksi karena tidak memadainya respon imun
adaptif. Penelitian Palaksha et al. (2008) menunjukkan kemampuan komponen immunitas yang
terdapat pada lendir ikan budidaya ekonomis penting, Olive Flounder (Paralichthys olivaceus) dengan
mengevaluasi komponen immun dari lendir kulitnya. Pada lendir kulit ikan Olive Flounder terdeteksi
enzim lisozim, tripsin-like protease, alkaline phosphatase dan esterase. Lendir kulit menunjukkan
aktivitas antibakteri yang kuat terhadap bakteri patogen. Komponen kekebalan utama dari lendir kulit
yang diidentifikasi, terlibat dalam kekebalan non-spesifik dari ikan Olive Flounder.
Kesimpulan
Lendir ikan nila menunjukkan aktivitas antibakteri yang kuat terhadap bakteri patogen pada lama
perlakuan 96 hingga 120 jam.
Daftar Pustaka
Austin, B. & D. Austin. 2007. Bacterial fish pathogens disease of farmed and wild fish, fourth edition.
Praxis Publishing. United Kingdom. Hal : 83,161.
Bruno, D.W. & B.P. Wood. 1999. Saprolegnia and other oomycetes. In: Woo, P.T.K. & D.W. Brun, editors:
Fish diseases and disorder vol.3, viral, bacterial and fungal infections. CABI Publishing.
Wallingford. Owon. United Kingdom: 560-569.
Boyd, C.E. 2004. Farm level issues in aquaculture certification: tilapia. WWF-US Auburn. Alabama.
Dinas Kelautan dan Perikanan Daerah. 2001. Petunjuk teknis pembenihan dan pembesaran ikan nila
(Oreochromis niloticus). Propinsi Sulawesi Tengah.
Farmer, J. J. & F.W. Hickman-Brenner. 1992. The genera Vibrio and Photobacterium. P:2952–3011.
In Balows, A. (Ed). The prokaryotes – a handbook on the biology of bacteria: ecophysiology,
isolation, identification, applications. Springer. New York.
Lavilla-Pitogo, C.R., M.C.L. Baticados, E.R. Cruz-Lacierda & L.D. Pena. (1990). Occurrence of luminous
bacterial disease of Penaeus monodon larvae in the philippines. Aquaculture 91:1–13.
Liu, C. & K.K. Lee. 1999. Cysteine protease is a major exotoxin of pathogenic luminous Vibro harveyi
in the tiger prawn, Penaeus monodon. Lett. Appl. Microbiol. 28:428–430.
Irianto, A. 2005. Patologi ikan teleostei. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
O’Brien, M.G., A.J. Taylor & N.H. Poulter. 1991. Improved enzymatic assay for cyanogenics in fresh
and processed cassava. J.Sci. Food. Agric. 56 pp 277-89.
Palaksha, K.J., G.W. Shin, Y.R. Kim & T.S. Jung. Evaluation of non-specific immune components
from the skin mucus of olive flounder (Paralichthys olivaceus). Fish & Shellfish Immunology
Volume 24, Issue 4, April 2008, Pages 479-488.
Kordi, K. & M. Ghufran. 2004. Penanggulangan hama dan penyakit ikan, Cetakan Pertama. PT Rineka
Cipta. Jakarta.
34 - Semnaskan_UGM / Nurhidayah dan I.A.K. Kadriah
Seminar Nasional Tahunan XI Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan, 30 Agustus 2014
Kasai, K., T. Ishikawa, T. Komata, K. Fukuchi, M. Chiba, H. Nozaka, T. Nakamura, T. Sato & T. Miura.
2010. Novel l-amino acid oxidase with antibacterial activity against methicillin-resistant
Staphylococcus aureus isolated from epidermal mucus of the flounder Platichthys stellatus.
FEBS Journal. 277: 2, 453-465. 41 ref. Karunasagar, I, Pai, R, Malathi, GR.
Karunasagar, I. 1994. Mass mortality of Penaeus monodon larvae due to antibiotic-resistant Vibrio
harveyi infection. Aquaculture 128: 203–209.
Saulnier, D., P. Haffner, C. Goarant, P. Levy & D. Ansquer. 2000. Experimental Infection Models for
Shrimp Vibriosis Studies: A Review. Aquaculture 191:133–144.
Tanya Jawab
Pertanyaan : Bahan aktif apa yang terkandung pada lendir?
Jawaban : Belum mengkaji bahan aktif yang terkandung pada lendir.
Semnaskan_UGM / Penyakit Ikan dan Kesehatan Lingkungan (PK-07) - 35
Download