PERKEMBANGAN MORAL PADA MASA REMAJA Menurut Santrock (1999), moral development adalah tahap perkembangan yang menekankan pada aturan dan nilai-nilai tentang apa yang harus dilakukan oleh individu pada saat individu berinteraksi dengan orang lain. Untuk memahami perkembangan moral ini, terdapat 3 hal penting yang harus diperhatikan, yaitu : a. Bagaimana remaja berpikir atau berpendapat mengenai aturan-aturan yang dikenakan pada suatu perilaku dimana sebenarnya perilaku tersebut tidak etis, akan tetapi pada situasi tertentu, perilaku tersebut menjadi etis. Contoh : remaja dimintai pendapat mengenai apakah perlu atau tidak remaja mencontek pada saat ujian karena telah terdesak oleh waktu. b. Bagaimana remaja harus berperilaku dalam lingkungan yang penuh dengan moralitas. Contohnya : apakah remaja akan mencontek pada saat ia sedang menghadapi ujian yang sesungguhnya. c. Bagaimana remaja akan merasakan berkenaan dengan masalah-masalah moral yang ada di lingkungannya. Contohnya : apa yang diarasakan oleh remaja saat ia melakukan perilaku mencontek. Ketiga hal ini tidak berdiri sendiri, melainkan berhubungan satu dengan yang lain. Selain ketiga hal di atas, hal lain yang juga harus diperhatikan dalam perkembangan moral adalah dimensi interpersonal (dimensi yang melibatkan hak-hak dan kesejahteraan orang lain) dan dimensi intrapersonal (dimensi yang menekankan pada nilai-nilai dasar serta sense of self yang dimiliki oleh individu) (Walker, 1996; Walker & Hennig in press). Dimensi interpersonal mengatur hal-hal yang berhubungan dengan interaksi sosial dan usaha untuk mengatasi konflik. Dimensi intrapersonal mengatur hal-hal tentang aktivitas individu saat individu tersebut terikat dalam suatu interaksi. Secara garis besar komponen dalam perkembangan moral menyangkut 3 hal, yaitu : moral thought, moral feelings, and moral behavior. MORAL TOUGHT Pada awalnya, munculnya ketertarikan mengenai isu pola pikir moral yang ada pada anak dan remaja, dimulai oleh Piaget (1932) yang secara ekstensif mengobservasi dan mewawancara anak usia 4-12 tahun pada saat mereka sedang bermain. Piaget tertarik mengenai bagaimana anak menggunakan dan berpikir tentang aturan-aturan main yang berlaku. Piaget juga menanyakan masalah mencuri, berbohong, hukuman serta keadilan. Ternyata anak-anak menjawab dengan cara yang berbeda-beda. Secara garis besar terdapat dua jawaban. Fakta ini menunjukkan bahwa perkembangan moral sangat tergantung pada kematangan perkembangan yang dicapai. Tahap perkembangan moral Piaget adalah heteronomous morality (4-7 tahun). Pada tahap ini keadilan dan aturan merupakan hal yang diyakini tidak dapat diubah, sifatnya tetap dan dipegang oleh orang yang berkuasa. Tahap kedua adalah autonomous morality (10 tahun ke atas). Pada tahap ini, anak mulai menyadari bahwa aturan dan hukum adalah buatan manusia, untuk itu dalam penerapan aturan dan hukuman bagi tiap individu perlu kiranya melihat terlebih dahulu intensitas dan konsekuensi dari suatu perilaku. Kelompok heteronomous morality juga mempercayai apa yang disebut dengan immanent justice, yaitu konsep yang dikemukakan oleh Piaget, bahwa jika suatu aturan dilanggar maka hukuman harus diberikan segera. Masih menurut Piaget, seiring dengan perkembangan manusia, anak menjadi lebih tertarik untuk berpikir tentang hal-hal sosial, terutama yang berkaitan dengan berbagai macam kemungkinan dan syarat dalam suatu kerjasama. Perkembangan sosial ini terbentuk dari adanya interaksi mutual (adanya take and give) antara anak dengan peer-nya. Sebaliknya pada remaja, seiring dengan perkembangan kognitifnya, remaja mulai menampakkan kemampuannya untuk membandingkan antara ideal self dengan real self, remaja juga mulai mampu untuk membuat suatu konsep-konsep yang bertentangan berkaitan dengan fakta yang ada di lapangan, mampu untuk menghubungkan antara masa lalu dengan masa sekarang, mulai memahami tentang peran remaja dalam lingkungan sosialnya, dalam sejarah, serta dalam dunia, remaja dapat melakukan konseptualisasi pikiran dan berpendapat bahwa konstruksi mental mereka adalah sebuah objek. Ide dari Piaget ini, mendorong Martin Hoffman (1980) mencetuskan teorinya yaitu cognitive disequilibrium theory yaitu teori yang menyatakan bahwa masa remaja adalah masa yang penting bagi perkembangan moral, khususnya saat remaja pindah dari lingkungan yang homogen (sekolah tingkat SMP) ke lingkungan yang heterogen (sekolah tingkat SMA atau universitas). Pada saat ini remaja mulai menghadapi berbagai macam konsep moral yang kontradiksi yaitu antara apa yang dimiliki oleh remaja dengan apa yang dialami remaja di luar lingkungan keluarganya. Selain itu, ahli lain yang merumuskan masalah perkembangan moral adalah Kolhberg. Menurut Kolhberg, ada 3 tingkatan perkembangan moral dimana masing-masing tingkatan ada 2 sub tingkatan. Adapun konsep teori perkembangan menurut Kohlberg adalah sebagai berikut: a. Proconventional reasoning Yaitu tingkatan terendah yang ditandai dengan belum adanya internalisasi nilai dan pemahaman moral yang dimiliki masih dikendalikan oleh faktor eksternal (hadiah dan hukuman). 1. Punishment and obidience Konsep pemikiran moral masih berdasarkan pada hukuman. Contohnya adalah anak dan remaja mematuhi orangtua karena mereka disuruh untuk patuh. 2. Individualism and purpose Pemikiran moral didasarkan pada hadiah dan minat yang ada dalam diri individu. Misalnya anak atau remaja akan patuh jika mereka ingin patuh dan sesuai dengan keinginan atau minatnya untuk patuh. Sesuatu yang dianggap benar adalah yang mendatangkan perasaan nyaman dan yang mendatangkan hadiah. b. Conventional reasoning Adalah tahap intermediate dimana pada masa ini sudah ada internalisasi nilai (meski belum maksimal). Individu terkadang tidak menyukai standar tertentu yang mereka miliki (internal) namun standar yang mereka buat berasal dari eksternal (orangtua atau masyarakat). 1. Interpersonal norms Pada tahap ketiga ini, nilai terhadap trust, caring and loyality terhadap orang lain adalah merupakan dasar dari moral judgments yang mereka miliki. Anak dan remaja mengadopsi standar moral dari orangtua dan pada tahap ini mereka ingin mendapatkan label atau sebutan sebagai anak baik dari orangtua mereka. 2. Social system morality Pada tahap keempat, penilaian dan pemahaman moral mereka sudah didasarkan pada pemahaman tentang aturan sosial yang ada, berdasarkan hukum dan konsep keadilan yang berlaku di masyarakat. Contohnya seorang remaja akan dapat mengatakan bahwa masyarakat dapat bekerja secara efektif jika dilindungi oleh hukum dan ditaati oleh seluruh anggotanya. c. Postconventional reasoning Tahap ini adalah tahap perkembangan moral tertinggi. Pada tahap ini selurih nilai sudah secara lengkap terinternalisasi ke dalam diri individu. Selain itu, konsep moral yang ada tidak lagi berdasarkan standar dari oranglain atau pihak luar. Individu sudah mengenali alternatif-alternatif pembelajaran moral, mampu mengeksplorasi pilihan-pilihan moral dan dapat mengambil keputusan atas dasar kode moral yang dimiliki. 1. Community rights vs individual rights Individu sudah dapat memahami bahwa nilai dan hukum adalah bersifat relatif dan standar nilai serta hukum sifatnya bervariasi pada tiap individu. Artinya bahwa individu paham bahwa hukum adalah hal yang penting bagi suatu masyarakat dan individu juga memahami bahwa hukum dapat diubah. Adalah hal wajar jika seseoeang meyakini bahwa kebebasan merupakan hal yang paling penting daripada hukum. 2. Universal ethical principles Pada tahap ini, individu dapat mengembangkan konsep moralanya berdasarkan hak asasi manusia secara universal. Saat individu menghadapi konflik antara hukum dan kata hati maka mereka akan cenderung mengikuti kata hati meskipun keputusan mereka tersebut mengandung risiko. MORAL BEHAVIOR Basic Processes Proses dasar munculnya perilaku yang berbeda-beda antara individu adalah berkaitan dengan hadiah, hukuman dan imitasi. Sama halnya dengan hukum belajar sosial, dimana dinyatakan bahwa apabila suatu perilaku mendapatkan hadiah maka perilaku yang sama cenderung akan diulangi. Saat model berperilaku yang baik maka akan cenderung untuk ditiru, apabila suatu perilaku mendapatkan hukuman maka perilaku tersebut akan “dihilangkan”. Agar proses pembentukan perilaku dapat berhasil maka pemberian hukuman dan hadiah haruslah efektif. Efektivitas pemberian hukuman dan hadiah ini terletak pada konsistensi dan jadwal pemberian hukuman dan hadiah. Sedangkan efektivitas proses imitasi terletak pada ciri yang dimiliki oleh model, (misalnya model memiliki kekuatan, kekuasaan, kehangatan, keunikan, dll) yang disertai dengan proses kognitif individu (misalnya adanya kode-kode simbolik dan imagery untuk menyimpan perilaku model dalam memori dimana perilaku tersebut kemudian ditiru). Terkadang/seringkali terjadi gap antara moral thought dengan moral action. Hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yang sifatnya sangat situasional. Fakta tersebut ditunjukkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Hugh Hartshorne dan Mark May, dimana mereka mengobservasi 11.000 anak dan remaja dalam kondisi situasi yang telah ditentukan. Anak dan remaja tersebut diminta untuk memberikan respon moral pada situasi-situasi tertentu, misalnya anak dan remaja diperbolehkan untuk berbohong, mencuri atau berbuat curang dimana saja. Ternyata hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada anak dan remaja yang dapat dinilai benar-benar tidak jujur atau benar-benar jujur. Perilaku yang muncul sangat dipengaruhi oleh situasi lingkungan pada saat itu. Cognitive Social Learning Theory of Moral Development Teori ini menyatakan bahwa ada perbedaan antara moral competence remaja (yaitu kemampuan yang menghasilkan suatu perilaku moral) dan moral performance (yaitu munculnya perilaku moral pada suatu situasi tertentu) (Mischel & Mischel, 1975). Pembentukan perilaku moral (moral competence) ini sangat tergantung pada proses kognitif-sensori, dimana yang termasuk di dalam kemampuan ini adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu, apa yang diketahui, keahlian, kesadaran moral dan regulasi diri serta kemampuan kognitif untuk membangun suatu perilaku. Sedangkan moral performance sangat ditentukan oleh motivasi, hadiah dan insentif yang didapat sebagai konsekuensi dari suatu perilaku. Bandura (1991) juga percaya bahwa perkembangan moral dapat dipahami dengan baik apabila kita melihat perkembangan tersebut dari proses interaksi antara faktor sosial dengan kognitif, terutama yang melibatkan proses kontrol diri. MORAL FEELINGS Segala sesuatu mengenai moral feeling dapat dijelaskan melalui teori berikut ini : Teori Psikoanalisa Dalam pribadi manusia terdapat 3 struktur utama pembentuk kepribadian yaitu id, ego dan super ego. Super ego berkembang pada awal masa kanak dan saat anak menyelesaikan masa oedipus complex serta anak mulai melakukan identifikasi diri dengan orangtua yang sama jenis kelaminnya. Anak dapat menyelesaikan oedipus complex karena adanya rasa takut dalam diri anak akan kehilangan cinta orangtua dan akan mendapatkan hukuman dari orangtua karena adanya keinginan seks yang tidak dapat diterima secara nilai moral. Untuk menghilangkan rasa cemasnya dan untuk menghindari hukuman, serta untuk tetap menjaga kasih sayang dari orangtua, anak mulai membentuk super ego dengan cara melakukan identifikasi pada orangtua yang berjenis kelamin yang sama. Melalui ini, anak mulai melakukan internalisasi standar nilai benar dan salah dari orangtua. Kemudian anak juga mulai memendam rasa irinya pada orangtua yang berjenis kelamin sama. Jika rasa iri ini berkembang maka akan muncul rasa bersalah yang pada akhirnya akan muncul pula keinginan untuk menghukum dirinya sendiri. Pada masa perkembangan super ego ini, kontrol orangtua yang biasanya diterima oleh remaja mulai digantikan dengan kontrol diri remaja itu sendiri. Di dalam super ego terdapat dua komponen, yaitu ego ideal dan conscience yang membantu perkembangan perasaan moral remaja. Ego ideal melibatkan standar nilai dan perilaku ideal yang telah disetujui oleh orangtua, sedangkan conscience melibatkan standar nilai dan perilaku yang tidak disetujui oleh orangtua. Ego ideal dapat memberikan penguatan positif pada remaja saat remaja menggunakan ego tersebut. Penguatan positif yang didapat oleh remaja berupa adanya rasa bangga dan terbentuknya nilai-nilai pribadi yang positif saat remaja berperilaku sesuai dengan standar moral. Sebaliknya conscience dapat memberikan penguatan negatif pada remaja saat remaja memunculkan perilaku yang menyimpang dengan cara munculnya rasa bersalah, atau tidak berharga. Child Rearing Techniques and Moral Development Piaget dan Kohlberg yakin bahwa orangtua bertanggung jawab untuk menciptakan general role-taking opportunities dan konflik kognitif pada remaja. Orangtua juga memegang peranan penting dalam perkembangan moral remaja (sedangkan teman sebaya tidak memegang peranan penting dalam perkembangan moral remaja). Sedangkan menurut Freud, pola pengasuhan anak dapat mendukung perkembangan moral karena adanya rasa takut terhadap hukuman dan takut kehilangan kasih sayang dari orangtua. Apabila kita berbicara mengenai masalah pengasuhan yang dikaitkan dengan kasih sayang maka tampaknya hal ini berkaitan dengan masalah kedisiplinan. Ada tiga bentuk kedisiplinan yang dikembangkan oleh orangtua yaitu : a. Love withdrawal : yaitu orangtua yang tidak memberikan perhatian dan kasih sayang pada anak. Misalnya orangtua yang tidak mau berbicara dengan anaknya. Hal ini dapat menyebabkan munculnya kecemasan dalam diri remaja. b. Power assertion : yaitu orangtua yang berusaha untuk mengendalikan anak/misalnya orangtua yang selalu mengancam anak atau mengambil hak anak. Hal ini dapat menyebabkan munculnya hostility (sikap bermusuhan) pada anak. c. Induction : yaitu orangtua yang menggunakan alasan dan penjelasan tentang konsekuensi yang akan muncul jika anak melakukan suatu tindakan tertentu. Pada pola kedisiplinan a dan b akan menimbulkan akibat adanya arousal yang tinggi pada anak, dan meskipun orangtua menyertainya dengan penjelasan, maka penjelasan tersebut tidak akan dihiraukan oleh anak/remaja. Pola pendisiplinan a dan b ini menunjukkan bahwa orangtua tidak memiliki kontrol diri. Akibat yang lebih parah dapat muncul dari pola pendisiplinan ini adalah perilaku orangtua cenderung akan ditiru oleh anak/remaja terutama pada saat mereka sedang berada dalam situasi yang menekan. Sebaliknya untuk pola c, akibat yang ditimbulkan lebih positif dibandingkan dengan kedua pola sebelumnya. The Contemporary Perspective on the Role of Emotions in Moral Dvelopmental Jika psikoanalisa berpendapat bahwa perkembangan moral terjadi karena faktor adanya rasa bersalah yang tidak disadari, atau teori lain yang mengatakan bahwa perkembangan moral terjadi karena peran dari empati (yaitu adanya reaksi emosi terhadap perasaan orang lain dimana reaksi tersebut sama dengan yang dilakukan oleh orang lain), maka pada masa ini banyak ahli percaya bahwa baik perasaan positif (empati, simpati, admiration, dan self esteem) maupun negatif (marah, murka, malu dan rasa bersalah) berperanan dalam perkembangan moral remaja (Damon, 1988; Eisenberg, 1997). Ditambah pula dengan pengalaman yang ada, maka bentuk emosi-emosi ini akan mempengaruhi perilaku remaja yang didasarkan pada keyakinan akan benar dan salah. Moral feeling lainnya yang mulai terbentuk pada masa remaja adalah altruism, yaitu adanya keinginan atau minat untuk menolong orang lain. Apabila sebelumnya, remaja digambarkan sebagai individu yang egosentris dan egois, adapula remaja yang mengembangkan perilaku altruisme ini. Misalnya remaja mengadakan kegiatan untuk mengumpulkan dana agar dapat membantu orang-orang yang kelaparan. Perilaku altriusme muncul karena adanya reciprocity dan exchange (Brown, 1986), self other interactions dan relationship (Eisenberg & others, 1995).