UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI MEDAN ANALISIS PENGARUH UTANG LUAR NEGERI TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Oleh: DESMAWATI SIHOMBING 060501048 EKONOMI PEMBANGUNAN Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Medan 2010 1 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI MEDAN PENANGGUNG JAWAB SKRIPSI Nama : Desmawati Sihombing NIM : 060501048 Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tanggal,_______________________ Pembimbing, (Kasyful Mahalli, SE, MSi) NIP. 19671111 200212 1 001 2 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI MEDAN BERITA ACARA UJIAN Hari : Tanggal : Nama : NIM : Departemen : Konsentrasi : Judul Skripsi : Selasa 23 Maret 2010 Desmawati Sihombing 060501048 Ekonomi Pembangunan Perbankan Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Ketua Departemen Pembimbing Skripsi (Wahyu Ario Pratomo, SE, ME.c) (Kasyful Mahalli, SE, MSi) NIP. 19730408 1998021 1 001 NIP. 19671111 200212 1 001 Penguji I Penguji II (Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD) (Ilyda Sudardjat, Ssi, MSi) NIP. 19710503 200312 1 003 NIP . 19730325 200801 2 007 3 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI MEDAN PERSETUJUAN ADMINISTRASI AKADEMIK Nama : Desmawati Sihombing NIM : 060501048 Departemen : Ekonomi Pembangunan Konsentrasi : Perbankan Judul Skripsi : Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tanggal, _______________________ Ketua Departemen (Wahyu Ario Pratomo, SE,ME.c) NIP. 19730408 1998021 1 001 Tanggal, _______________________ Dekan (Drs. Jhon Tafbu Ritonga,ME.c) NIP. 19550810 198303 1 004 4 ABSTRACT Economic conditions in one country can be changed in every time. The economic crisis has changed the economic conditions of Indonesia. Before the 1997 financial crisis, the economy has increased economic growth every year, because we are entering foreign debt in sufficient quantities. But after the financial crisis that occurred Indonesia's foreign debt increased to U.S. $ 25.125 in 1998. This condition makes Indonesia fall into the trap of debt and debt interest is very high. In the short run, foreign debt is helping the Indonesian government in an effort to close the budget deficit and state budget revenues, due to routine financing and development expenditures are quite large. Thus, the rate of economic growth can be stimulated in accordance with its predetermined yag. But in the long run, it turns out that foreign debt can cause a variety of economic problems in Indonesia. In times of crisis, Indonesia's foreign debt including government and private debt has increased dramatically in a matter of dollars. Causing the Indonesian government to increase foreign debt just to pay the old foreign debt who was due. Accumulation of foreign debt and the interest will be paid by RI State Budget for the government debt by installments in each fiscal year. This causes reduction in the prosperity and welfare of the people in the future, so obviously it will burden the people, tax payer, especially Indonesia. Estimation results show that economic growth before and after the crisis had R-squared of 0.79485, or 0.79, meaning that the independent variables (external debt) can explain the bound variable (economic growth) of 0.79%, while the other 21% is explained by other variables that is not in the model. T-statistics for foreign debt is bigger than the t-table (4.95>2.89), meaning that the foreign debt variable has an obvious and significant impact on economic growth at α = 1%. T-statistics for the dummy variable is greater than t-table (5100> 2.89), which means the economic crisis variable (dummy) has a significant influence and economic growth at α = 1%. Based on the Granger Causality analysis, both variables have a relationship with one another (reciprocal). While analize Cointegration based test, which the two variables of foreign debt and economic growth has a stationary relationship to the second distinction I (2), means there is a long-term relationship between foreign debt and economic growth. Keywords: foreign debt, economic growth, financial crisis, dummy, kointegrasi tests, Granger Causality test. 5 ABSTRAK Kondisi ekonomi dalam satu negara dapat berubah dalam setiap waktu. Krisis ekonomi sudah mengubah kondisi perekonomian Indonesia. Sebelum adanya krisis keuangan 1997 perekonomian memiliki pertumbuhan ekonomi yang meningkat setiap tahunnya, karena kita memasukkan utang luar negeri dalam jumlah yang cukup. Tetapi setelah krisis keuangan itu terjadi utang luar negeri Indonesia meningkat sampai US$ 25125 paada tahun 1998. Kondisi ini membuat Indonesia jatuh ke dalam perangkap utang dan bunga utang yang sangat tinggi. Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan belanja negara, akibat pembiyaan rutin dan pengeluaran pembangunan yang cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan target yag telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang luar negeri tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di Indonesia. Pada masa krisis, utang luar negeri Indonesia termasuk didalamnya utang pemerintah dan swasta telah meningkat drastis dalam hitungan rupiah. Sehingga menyebabkan pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk membayar urtang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melauli APBN RI untuk utang pemerintah dengan cara mencicilnya pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat, khususnya wajib pajak Indonesia Hasil estimasi menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis memiliki R-squared sebesar 0.79485 atau 0.79, artinya bahwa variabel independen ( utang lua negeri) dapat menjelaskan variabel terikat (pertumbuhan ekonomi) sebesar 0.79%, sedangkan 21% lainnya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat pada model. T-statistik untuk utang luar negeri lebih besar dari pada t-tabelnya ( 4.95 > 2.89), artinya bahwa variabel utang luar negeri memilki pengaruh nyata dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%. T-statistik untuk variabel dummy lebih besar daripada t-tabelnya (5.100>2.89), yang artinya variabel krisis ekonomi (dummy) memiliki pengaruh dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada α=1%. Berdasarkan pada analisis Granger Causality, kedua variabel memiliki hubungan satu sama lain (timbal balik). Sedangkan berdasarkan anailsis Kointegration test, kedua variabel yaitu utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan stasioner pada pembedaan kedua I (2), artinya ada hubungan jangka panjang antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Kata kunci : utang luar negeri, pertumbuhan ekonomi, krisis keuangan, dummy, kointegrasi tes, uji kausalitas granger. 6 KATA PENGANTAR Segala puji penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan karunia dan pertolongan-Nya, yang selalu menyertai penulis dalam melakukan segala aktivitas penulis hingga sampai pada penyelesaian skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berjudul “Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, baik berupa dorongan semangat, materil, maupun sumbangan pemikiran. Oleh sebab itu pula pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih penulis yang sedalam-dalamnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan yang mendukung penyelesaian skripsi ini terutama kepada: 1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec, Selaku Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, sebagai sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan FE USU. 4. Bapak Kasyful Mahalli, SE, MSi selaku Dosen pembimbing penulis yang telah memberikan bantuan bimbingan, saran, masukan, kritikan dan petunjuk kepada penulis hingga terselesainya skripsi ini. 7 5. Bapak Irsyad Lubis, SE, M.Soc.Sc, PhD, selaku Dosen Penguji I yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis. 6. Bapak Wallad Altsani, MEc selaku Dosen Penguji II yang telah banyak memberikan petunjuk, saran dan kritik yang membangun pada penulis. 7. Raina Linda Sari selaku Dosen wali yang telah banyak membantu penulis selama perkuliahan. Serta seluruh Staff Pengajar dan Staff Administrasi Fakultas Ekonomi USU yang selama ini telah mendidik dan membimbing penulis dengan baik. 8. Kedua Orangtua tercinta penulis Ayahanda Leonard Sihombing (alm) dan Ibunda Timoria Siburian, beserta abang-abang penulis Jess Fernando Sihombing dan Jerry Monardi, Dengan penghargaan dan kasih sayang yang sedalam-dalamnya, terimakasih buat dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik dukungan materil maupun semangat dan doa yang tak ternilai harganya. 13. Buat teman-teman terdekat penulis, Lenika Manurung, Imaniuri Silaban, Selani Sihotang dan Krisman Pasaribu beserta seluruh teman-teman dari Ekonomi Pembangunan 2006 selaku teman yang mendukung penulis dalam keadaan apapun. Terimakasih untuk kehadiran kalian sebagai teman-teman terbaik disetiap harinya yang begitu berkesan bagi penulis. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan ataupun kelemahan dan keterbatasan dalam penyusunanya oleh sebab itu penulis menerima segala masukan yang konstruktif dari para pembaca guna penyempurnaan isi maupun teknik penulisan yang benar. Akhir kata, semoga penelitian ini bermanfaat bagi para pembaca, terimakasih. Hormat Saya 8 ( Desmawati Sihombing ) DAFTAR ISI Halaman ABSTRACT ............................................................................................................i ABSTRAK .............................................................................................................ii KATA PENGANTAR.......................................................................................... iii DAFTAR ISI..........................................................................................................vi DAFTAR TABEL .................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR..............................................................................................x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................xi BAB I: PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................................1 1.2 Perumusan Masalah ....................................................................................8 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................9 1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................9 BAB II: URAIAN TEORITIS 2.1 Pertumbuhan Ekonomi..............................................................................10 2.2 Krisis Moneter ..........................................................................................15 2.2.1 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya…………………...17 2.3 Utang Luar Negeri ( foreign Debt) ...........................................................24 2.3.1 Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri .............................28 2.3.2 Teori Utang Luar Negeri................................................................31 2.3.3 Beban Cician dan Bunga Utang terhadap Perekonomian ..............35 2.4 Kerangka Konseptual dan Hipotesis.........................................................39 2.4.1 Hipotesis Penelitian ......................................................................40 BAB III: METODE PENELITIAN 3.1 Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................41 3.2 Jenis dan Sumber Data..............................................................................41 3.3 Metode Analisis ........................................................................................41 3.3.1 Uji Akar Unit (Unit Root-Test) .....................................................42 3.3.2 Uji Derajat Integrasi.......................................................................43 3.3.3 Uji Granger Causalitas ( Granger Causality Test) .........................43 3.3.4 Uji Kointegrasi ( cointegration Test) .............................................44 3.3.5 Uji OLS ( Ordinari Least Square)…...............................................45 3.4 Test of Goodness of Fit (uji Kesesuaian) .................................................46 3.4.1 Koefisien Determinasi (R-squre) ..................................................46 9 3.4.2 Uji t-Statistik (Uji Parsial) .............................................................46 3.5 Uji penyimpangan Asumsi Klasik ............................................................48 3.5.1 Multikolinearity .............................................................................48 3.5.2 Autocorrelation (LM-Test) ...........................................................49 3.6 Defenisi Variabel Operasional ..................................................................51 BAB IV: ANALISA DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Deskriptif ...................................................................................52 4.1.1 Perkembangan Kondisi Makroekonomi Indonesia......................52 4.2 Pertumbuhan ekonomi Indonesia.............................................................53 4.3 Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia ..........................................61 4.4 Hasil Evaluasi dan Interpretasi ................................................................66 4.4.1 Hasil Uji Akar-akar Unit dan Derajat Integrasi .............................66 4.4.2 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger ......................................... 68 4.4.3 Hasil Uji Kointegrasi .....................................................................69 4.4.4 Hasil Uji OLS .............................................................................. 70 4.4.5 Test of Goodnes of Fit ...................................................................71 4.4.6 Koefisien Determinasi .................................................................. 71 4.4.7 Uji t-Statistik...................................................................................72 4.4.8 Uji Penyimpangan Asumsi Klasik..................................................74 4.4.8.1 Multikolinearitas..................................................................74 4.4.8.2 Autokorelasi........................................................................75 4.4.9 Test of Goodnes of Fit Model Baru................................................77 4.4.10 Koefisien Determinasi...................................................................77 4.4.11Uji t-Statistik..................................................................................78 BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ...............................................................................................81 5.2 Saran .........................................................................................................82 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN SURAT PERNYATAAN 10 DAFTAR TABEL No. 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 4.8 4.9 4.10 Judul Halaman : Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia............................................54 : Indikator Perekonomian Indonesia ..................................................58 : Beban Utang Luar Negeri Indonesia (%) ........................................65 : Hasil Estimasi ADF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit....67 : Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger ............................................68 : Hasil Estimasi Uji Kointegrasi ........................................................69 : Hasil Estimasi Uji OLS....................................................................70 : Hasil Regresi Multikoinearity..........................................................74 : Estimasi Uji DW dengan variabel AR.............................................76 : Hasil Estimasi OLS dengan Variabel AR........................................77 11 DAFTAR GAMBAR No. 4.1 4.2 4.3 4.4 4.5 4.6 4.7 Judul Halaman : Pertumbuhan Ekonomi Indonesia....................................................59 : Grafik Utang Luar Negeri Indonesia ...............................................62 : Kurva Uji T-statistik Utang Luar Negeri.........................................72 : Kurva Uji T-Statistik Variabel Dummy...........................................73 : Kurva Uji DW...................................................................................75 : Kurva Uji T-statistik Utang Luar Negeri Model Baru.....................78 : Kurva Uji T-statistik Variabel Dummy Model Baru .......................79 12 DAFTAR LAMPIRAN No. Lampiran 1 : Data variabel Regresi 2 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Pertumbuhan Ekonomi (Y) 3 : Hasil regres AdF Dan Derajat Integrasi Untuk Uji Akar Unit pada Utang Luar Negeri (X1) 4 : Hasil Regres Granger Causality Test pada Lag 1 5 : Hasil regres Uji Kointegrasi 6 : Hasil Regres OLS 7 : Hasil Regres Multikolienaritas 8 : Hasil Regres OLS dengan variabel AR 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara membangun yang perekonomiannya masih bersifat terbuka, yang artinya masih rentan terhadap pengaruh dari luar. Oleh karena itu perlu adanya fundasi yang kokoh yang dapat membentengi suatu negara agar tidak sepenuhnya dapat terpengaruh dari dunia luar, Seperti apa yang terjadi pada 10 tahun yang silam Ketika negara Thailand mulai menunjukkan gejala krisis, orang umumnya percaya bahwa Indonesia tidak akan bernasib sama. Fundamental ekonomi Indonesia dipercaya cukup kuat untuk menahan kejut eksternal (external shock) akibat kejatuhan ekonomi Thailand. Tetapi ternyata guncangan keuangan yang sangat hebat dari negara Thailand ini berimbas kepada perekonomian Indonesia, kekacauan dalam perekonomian ini menjadi awal dan salah satu faktor penyebab runtuhnya perekonomian Indonesia termasuk terjebaknya Indonesia ke dalam dilema utang luar negeri. Selain faktor dari luar, salah satu penyebab krisis yang terjadi di Indonesia juga berasal dari dalam negeri, yaitu proses integrasi perkonomian Indonesia ke dalam perekonomian global yang berlangsung dengan cepat dan kelemahan fundamental mikroekonomi yang tercermin dari kerentanan (fragility) sektor keuangan nasional, khususnya sektor perbankan, dan masih banyak faktor-faktor lainnya yang berperan menciptakan krisis di Indonesia (Syahril, 2003:4). Krisis keuangan di Thailand menyebar secara cepat ke Negara-negara Asia, termasuk Indonesia, karena pasar keuangan global, maka pasar keuangan domestik juga dengan cepat telah ikut terpengaruh krisis keuangan global yang terjadi pada saat itu. Krisis ekonomi telah membawa dampak yang serius terhadap perekonomian Indonesia, yang menimbulkan stagflasi dan instabilisasi perekonomian, menurunnya tingkat produksi secara drastis sebagai akibat 14 tingginya ketergantungan produsen domestik terhadap barang dan jasa impor, laju inflasi yang tinggi, pemutusan hubungan tenaga kerja, menurunnya pendapatan masyarakat mengaibatkan turunnya daya beli masyarakat. Awal-awal menjelang Krisis ekonomi, pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik, yang artinya tidak ada tanda-tanda yang terlalu merisaukan atau memberi tanda krisis yang serius akan menerpa. Sejak akhir dasawarsa 1980-an pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sekitar 8% per tahun pada pertengahan 1997 tumbuh dengan laju tahunan 7,4% (Boediono, 2008:81). Justru kepanikan terjadi karena adanya peningkatan harga yang sangat tajam barang-barang dan jasa akibatnya melemahnya kurs rupiah terhadap dollar. Salah satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak, Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga menjadi beban yang terus 15 menerus harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya. Pertengahan tahun 1997 Indonesia telah mengalami krisis moneter yang disebabkan oleh berbagai faktor diantaranya besarnya jumlah hutang swasta jangka pendek dan menengah serta utang-utang pemerintah yang menyebabkan nilai tukar Rupiah tertekan, kebijakan fiskal dan moneter yang tidak konsisten, membesarnya defisit neraca berjalan dan terdepresiasinya mata uang Bath dan berimbas pada nilai dollar. Di Indonesia hal ini juga membuat terjadinya krisis kepercayaan masyarakat terhadap Rupiah sehingga masyarakat menyerbu Dollar untuk mengamankan kekayaanya. Dengan adanya krisis ekonomi tersebut kinerja perbankan Indonesia terus menunjukkan perkembangan yang memburuk. Hal ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan masyarakat dengan terjadinya penarikan besar-besaran (Rush). Berdasarkan data Bank Indonesia, Jumlah pinjaman luar negeri pasca krisis pun meningkat yaitu pada tahun 2000 dalam juta dollar sebesar US$ 133.073,00 padahal sebelumnya pada tahun 1998 dan 1999 jumlah utang luar negeri Indonesia adalah US$ 20.567,00 dan US$ 110.934,00. Pasca awal terjadinya krisis, yaitu tahun 1999 pemerintah sudah mengambil langkah seribu untuk menambah jumlah hutang atau pun pinjaman dari pihak asing. Meningkatnya jumlah pinjaman pada tahun 2000 yakni sebesar US$ 133.073,00 terjadi karena adanya tindakan pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah terhadap mata uang asing sehingga hal ini membutuhkan cadangan devisa yang sangat besar, sementara cadangan devisa sebelumnya sudah terkuras untuk menghadapi kepanikan masyarajat yang secara beramai-ramai membeli dollar secara besar-besaran dengan asumsi dollar akan naik lagi. 16 Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, yang didahului oleh krisis moneter di Asia Tenggara, telah banyak merusakkan sendi-sendi perekonomian negara yang telah banyak dibangun selama PJP I dan awal PJP II. Penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di Indonesia, juga sebagian negara-negara di ASEAN, adalah ketimpangan neraca pembayaran internasional. Defisit current account ditutup dengan surplus capital account, terutama dengan modal yang bersifat jangka pendek (portofolio invesment), yang relatif fluktuatif. Sehingga, apabila terjadi rush akan mengancam posisi cadangan devisa negara, akhirnya akan mengakibatkan terjadinya krisis nilai tukar mata uang nasional terhadap valuta asing. Hal inilah yang menyebabkan beban utang luar negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah, bertambah berat bila dihitung berdasarkan mata uang rupiah (Adwin, 2000:93). Sebelum terjadinya krisis hampir semua indikator-indikator kinerja ekonomi Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik. Ada sementara hubungan terutama kalangan bank sentral yang mengkhawatirkan bahwa ekonomi mulai kepanasan (overheating),tetapi tidak ada tanda-tanda yang terlalu merisaukan tau pemberi tanda bahwa krisis yang serius akan menerpa.Salah satu indikatonya adalah pertumbuhan ekonomi yang mana sejak akhir dasawarsa 1980-an ekonomi tumbuh rata-rata sekitar 8% per tahun dan pada pertengahan 1997 tumbuh dengan laju tahunan 7,4%, (McLeod,1998 dalam Budiono 2008:81). Indonesia sebenarnya pernah memiliki suatu kondisi perekonomian yang cukup menjanjikan pada awal dekade 1980-an sampai pertengahan dekade 1990-an. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 1986 sampai tahun 1989 terus mengalami peningkatan, yakni masing-masing 5,9% di tahun 1986, kemudian 6,9% di tahun 1988 dan menjadi 7,5% di tahun 1989. Namun pada tahun 1990 dan 1991 pertumbuhan 17 ekonomi Indonesia mencatat angka yang sama yakni sebesar 7,0%, kemudian tahun 1992, 1993, 1994, 1995, dan 1996, masing-masing tingkat pertumbuhan ekonominya adalah sebesar 6,2%, 5,8%, 7,2%, 6,8%, dan 5,8%. Angka inflasi yang stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun, pada satu titik tertentu, perekonomian Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang melanda secara global di seluruh dunia. Ini ditandai dengan tingginya angka inflasi, nilai kurs Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran seiring dengan kecilnya kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin membesarnya jumlah utang luar negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin melemah karena utang luar negeri Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar. Adanya kerapuhan Indonesia tersebut disebabkan dengan tidak adanya dukungan mikro ekonomi yang kuat. Permasalahan yang masih tidak dapat diselesaikan sampai saat ini adalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang terlalu tinggi di Indonesia, sumber daya manusia Indonesia kurang kompetitif, jiwa entrepreneurship yang kurang, dan sebagainya. Berdasarkan uraian tersebut di atas tidak dapat dipungkiri bahwa berbagai komponen dalam neraca pembayaran yang dalam hal ini adalah utang luar negeri (foreign debt) turut mempengaruhi keadaan perekonomian di suatu negara. Negara-negara yang umumnya merupakan negara yang sedang berkembang masih terus berusaha untuk menyempurnakan ekonomi internasionalnya, (Boediono, 1999:22). Pertumbuhan ekonomi (growth) merupakan salah satu indikator perekonomian yang dipengaruh oleh berbagai macam variabel, salah satunya adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Utang luar negeri (foreign debt) adalah variabel yang bisa saja mendorong perekonomian 18 sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi. Mendorong perekonomian maksudnya,jika hutang-hutang tersebut digunakan untuk membuka lapangan kerja dan investasi dibidang pembangunan yang pada akhirnya dapat mendorong suatu perekonomian,sedangkan menghambat pertumbuhan apabila utang-utang tersebut tidak dipergunakan secara maksimal karena masih kurangnya fungsi pengawasan dan integritas atas penanggung jawab utang-utang itu sendiri.Saat ini sudah banyak kasus penyalahgunaan dana pemerintah yang berasal dari utang luar negeri Indonesia seperti yang terjadi pada jaman orde baru. Kebijakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai instrumen fiskal pemerintah senantiasa diarahkan untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas ekonomi makro serta sekaligus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ekonomi di Indonesia ditopang dari sumber-sumber dana dari dalam negeri dan luar negeri. Sumber pembiayaan dalam negeri berasal dari tabungan pemerintah, tabungan masyarakat serta utang domestik. Sedangkan pembiayaan dari luar negeri berasal dari penanaman modal asing dan utang yang diperoleh dari lembaga-lembaga internasional dan negara-negara sahabat baik dalam rangka bilateral maupun multilateral. Indonesia selama ini menempatkan utang sebagai salah satu tiang penyangga pembangunan, sebagai komponen penutup kekurangan. Saat Indonesia mendapat rejeki berlimpah dari oil boom, utang luar negeri tetap saja menjadi komponen utama pemasukan di dalam angaran belanja pemerintah. Bahkan saat Indonesia telah mulai menganut sistem anggaran defisit/surplus sejak tahun 2005, komponen pembiayaan utang luar negeri cukup besar. Padahal di dalam kebijakan ekonominya pemerintah selalu mengatakan bahwa utang luar negeri hanya menjadi pelengkap belaka (Boediono,2008:82). Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 19 447/KMK.06/2005 tentang Strategi Pengelolaan Utang Negara tahun 2005-2009 menyebutkan sampai saat ini, utang masih merupakan sumber utama pembiayaan APBN untuk menutup defisit maupun untuk pembayaran kembali pokok utang yang telah jatuh tempo (refinancing).adanya utang luar negeri juga membuat pemerintah tidak serius mengumpulkan pendapatan dari dalam negeri. Beberapa kekurangan yang terjadi di dalam penyusunan RAPBN dianggap oleh pemerintah dapat ditutup dari perolehan pinjaman luar negeri. Dampak utang luar negeri (foreign debt) pemerintah dalam pertumbuhan ekonomi banyak dipertanyakan orang. Beberapa pengalaman dan bukti empiris juga telah menunjukkan bahwa sejumlah negara yang memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk melaksanakan pembangunannya dapat berhasil dengan baik. Dalam berbagai model analisis regresi, jarang ditemukan dampak positif utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi. Bahkan dengan model tertentu, terlihat bahwa utang luar negeri justru berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Bagi negara berkembang termasuk Indonesia, pesatnya aliran modal merupakan kesempatan yang bagus guna memperoleh pembiayaan pembangunan ekonomi. Dimana pembangunan ekonomi yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia merupakan suatu usaha berkelanjutan yang diharapkan dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945, sehingga untuk dapat mencapai tujuan itu maka pembangunan nasional dipusatkan pada pertumbuhan ekonomi. Namun karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki (tercermin pada tabungan nasional yang masih sedikit) sedangkan kebutuhan dana untuk pembangunaan ekonomi sangat besar. Maka cara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi itu adalah dengan berusaha meningkatkan investasi.Investasi ini tidak jarang berasal dari luar negeri 20 maupun dari pemerintah dengan mengandalkan hutang-hutang. Tulisan-tulisan mengenai hutang luar negeri sudah banyak sebelumnya oleh para kalangan baik sebagai ekonom,pengamat atau khususnya kalangan ilmuwan.Akan tetapi yang ditulis itu sudah tidak lagi relevan karena perkembangan ekonomi yang begitu cepat baik dalam keadaan semakin buruk maupun semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan diatas, Penulis mencoba untuk membahas masalah pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam hubungannya dengan utang luar negeri (foreign debt) dengan mengangkat judul “ Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia ”. 1.2 Perumusan Masalah Dari latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka ada beberapa rumusan masalah yang dapat dijadikan sebagai dasar kajian dalam penelitian yang akan dilakukan dengan tujuan untuk mempermudah penulisan skripsi ini. Selain itu, perumusan masalah ini diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan di akhir penulisan skripsi. Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Apakah terdapat hubungan timbal balik antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia? 2. Apakah terdapat hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia? 3. Bagaimana hubungan antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi ? 21 1.3 Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui hubungan timbal balik antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia 2. Untuk mengetahui hubungan keseimbangan jangka panjang antara utang luar negeri dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia 3. Untuk mengetahui pengaruh Utang luar negeri (foreign debt) terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter 1.4 Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah atau instansi yang terkait. 2. Sebagai bahan studi dan literature bagi mahasiswa/i Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara terutama bagi mahasiswa/i Departemen Ekonomi Pembangunan yang ingin melakukan penelitian selanjutnya dalam cabang ilmu ekonomi makro. 3. Sebagai bahan referensi dan informasi bagi penelitian selanjutnya, sekaligus untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi penulis. 4. Sebagai bahan tambahan dan pelengkap terhadap penelitian yang sudah ada sebelumnya. 22 5. Sebagai masukan bagi masyarakat Indonesia agar dapat mengetahui kondisi perekonomian Indonesia yang berhubungan dengan utang luar negeri dan kurs sebelum dan sesudah krisis. BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi adalah proses dimana terjadi kenaikan produk nasional bruto riil atau pendapatan nasional riil. Jadi perekonomian dikatakan tumbuh atau berkembang bila terjadi pertumbuhan output riil. Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang (Boediono, 1981:2). Suatu perekonomian dapat dikatakan mengalami pertumbuhan ekonomi jika jumlah barang dan jasa meningkat. Jumlah barang dan jasa dalam perekonomian suatu negara dapat diartikan sebagai nilai dari Produk Domestik Bruto (PDB). Nilai PDB ini digunakan dalam mengukur persentase pertumbuhan ekonomi Suatu negara. Perubahan nilai PDB akan menunjukkan perubahan jumlah kuantitas barang dan jasa yang dihasilkan selama periode tertentu. Selain PDB, dalam suatu negara juga dikenal ukuran PNB (Produk Nasional Bruto ) serta Pendapatan Nasional (National Income). Defenisi PDB 23 yaitu seluruh nilai tambah yang dihasilkan oleh berbagai sektor atau lapangan usaha yang melakukan kegiatan usahanya di suatu domestik atau agregat. Salah satu kegunaan penting dari data-data pendapatan Nasional adalah untuk menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi yang dicapai suatu negara dari tahun ke tahun. Dalam penghitungan pendapatan nasional berdasarkan pada harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut.Apabila menggunakan harga berlaku ,maka nilai pendapatan nasional menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Perubahan tersebut dikarenakan oleh pertambahan barang dan jasa dalam perekonomian serta adanya kenaikan-kenaikan harga yang berlaku dari waktu ke waktu. Pendapatan nasional berdasarkan harga tetap yakni perhitungan pendapatan nasional dengan menggunakan harga yang berlaku pada satu tahun (tahun dasar) yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun beriutnya. Nilai pendapatan nasional yang diperoleh secara harga tetap ini dinamakan pendapatan nasional riil. Perhitungan pertumbuhan ekonomi biasanya menggunakan data PDB triwulan dan tahunan. Adapun konsep perhitungan pertumbuhan ekonomi dalam satu periode (Rahardja 2000:178), yaitu: % Di mana : Gt = Pertumbuhan ekonomi periode t (triwulan atau tahunan) PDBRt = Produk Domestik Bruto Riil periode t (berdasarkan harga konstan ) PDBRt-1 = PDBR satu periode sebelumnya 24 Jika interval waktu lebih dari satu periode maka perhitungan pertumbuhan ekonomi dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan eksponensial : PDBRt = PDBRo (1+r Dimana : PDBRt = PDBR periode t PDBRo = PDBR periode 0 r = Tingkat pertumbuhan t = Jarak periode Perhitungan PDB dibagi menjadi dua bentuk,yaitu : a) PDB menurut harga berlaku Dimana PDB faktor inflasi yang masih terkandung di dalamnya. b) PDB menurut harga konstan Dimana PDB dengan meniadakan faktor inflasi.Artinya pengaruh perubahanharga telah dihilangkan. Menurut Bodiono (1981), Teori pertumbuhan ekonomi merupakan sebagai penjelasan mengenai faktor-faktor apa yang menentukan kenaikan output per kapita dalam jangka panjang,dan penjelasan mengenai bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain,sehingga terjadi proses pertumbuhan.Jadi,teori pertumbuhan ekonomi tidak lain adalah suatu “caritera” (yang logis) mengenai bagaimana proses pertumbuhan terjadi. 25 1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Teori ini dikembangkan oleh Abramovitz dan Solow yang mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi tergantung pada perkembangan faktor-faktor produksi. Teori ini pada hakekatnya menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi tergantung pada faktor-faktor berikut, yakni : Pertambahan modal dan produktifitas marginal Pertambahan tenaga kerja dan produktifitas tenaga kerja margina Perkembangan tekhnologi Pandangan ini dinyatakan dalam persamaan : G = m.∂K + b. ∂L + ∂T Dimana : g adalah tingkat pertumbuhan ekonomi, ∂K adalah pertambahan barang modal, ∂L adlah tingkat pertambahan tenaga kerja, ∂T dalah tingkat pertambahan tekhnologi, m adalah produktifitas modal tenaga kerja, b adalah produktifitas marginal tenaga kerja. Teori pertumbuhan ekonomi klasik di pelopori oleh beebrapa tokoh yaitu, Adam Smith, David Ricardo, dan Arthur Lewis. 2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik Pada bagian ini akan dijabarkan teori pertumbuhan yang diakui oleh ekonomikawan modern, atau lebih dikenal dengan teori pertumbuhan neo klasik. Kita akan melihat tahapan demi tahapan atas penjelasan terhadap teori pertumbuhan ekonomi tersebut. Teori ini juga merupakan teori yang mendasari penelitian ini yaitu teori Harrod-Domar dan Sollow-Swan yang membahas 26 tentang bagaimana capital, output, dan tekhnologi dapat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Untuk lebih jelasnya maka teori-teori tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : ¾ TEORI HARROD-DOMAR Teori Harrod – Domar adalah perkembangan langsung dari teori makro Keynes jangka pendek menjadi suatu teori makro jangka panjang. Aspek utama yang dikembangkan dari teori Keynes adalah aspek yang menyangkut peranan investasi (I) dalam jangka panjang. Dalam teori Keynes, pengeluaran investasi (I) mempengaruhi permintaan agregat (Z) tetapi tidak mempengaruhi penawaran agregat (S). Harrod-Domar melihat pengaruh investasi dalam perspektif waktu yang lebih panjang. Menurut kedua ekonom ini, pengeluaran investasi (I) tidak hanya mempunyai pengaruh (lewat proses multiplier) terhadap permintaan agregat (Z), tetapi juga terhadap penawaran agregat (S) melalui pengaruhnya terhadap kapasitas produksi. Dalam perspektif waktu yang lebih panjang ini, I menambah stok kapital (misalnya, pabrik-pabrik, jalan-jalan dan sebagainya). Jadi I = ∆K, dimana K adalah stok kapital dalam masyarakat. Ini berarti pula peningkatan kapasitas produksi masyarakat, dan selanjutnya berarti bergesernya kurva S ke kanan ( Boediono, 1981:7-47). ¾ TEORI SOLLOW – SWAN Robert Sollow dari MIT da Treovor Swan dari Australian National University secara sendirisendiri mengembangkan model pertumbuhan ekonomi yang sekarang sering disebut dengan namanya Harrod – Domar, model Solow-Swan memusatkan perhatiannya pada bagaimana pertumbuhan penduduk, akumulasi kapital, kemajuan teknologi dan output saling berinteraksi dalam proses pertumbuhan ekonomi. Walaupun kerangka umum dari model Sollo-Swan mirip dengan model Harrod-Domar, tetapi model Sollow-Swan (dari satu segi) lebih “luwes” karena : 27 a. Menghindari masalah “ketidakstabilan” yang merupakan ciri warranted rate of growth dalam model Harrod-Domar, b. Bisa lebih luwes digunakan untuk menjelaskan masalah-masalah distribusi pendapatan. Keluwesan ini terutama disebabkan oleh karena Sollow dan Swan menggunakan bentuk fungsi yang lebih mudah dimanipulasi secara aljabar. Dalam model Harrod-Domar, output dan kapital serta tenaga kerja masing-masing dihubungkan oleh suatu “fungsi produksi” dengan koefisien yang tidak bisa berubah, yaitu QP = hK dan Qn = nN. Dalam model neo-klasik dari Sollow dan Swan dipergunakan suatu fungsi produksi yang lebih umum, yang bisa menampung berbagai kemungkinanan subtitusi antara kapital (K) dan tenaga kerja (L) . Bentuk fungsi produksi ini adalah : Q = F ( K,L ) Yang memungkinkan berbagai kombinasi penggunaan K dan L untuk mendapatkan suatu tin gkat output. Funfsi produksi semacam ini (yang sering dijumpai dalam teori ekonomi mikro) disebut fungsi produksi Neo-Klasik. Dengan menggunakan fungsi semacam nilah maka Sollow dan Swan bisa menghindari masalh “ketidakstabilan” dan mengambil kesimpulan-kesimpulan baru mengenai distribusi pendapatan dalam proses pertumbuhan (seperti halnya kaum klasik). Dengan digunakannya funsi produksi Neo Klasik tersebut, ada satu konsekuensi lain yang penting. Konsekuensi ini adalah bahwa seluruh faktor yang tersedia, baik berupa K maupun berupa L akan selalu terpakai atau digunakan secara penuh dalam proses produksi. Ini disebabkan karena dengan fungsi produksi Neo Klasik tersebut, berapapun K dan L yang tersedia akan bisa dikombinasikan untuk proses produksi, sehingga tidak lagi ada kemungkinan “kelebihan” atau “kekurangan” faktor produksi seperti dalam model misalnya, Harrod-Domar atau Lewis. Posisi full employment ini membedakan model Neo klasik dengan model Keynesian 28 (Harod-Domar) maupun model klasik. Jadi jelas bahwa penggunaan fungsi produksi Neo Klasik sehingga selalu terdapat fullemployment merupakan ciri utama yang membedakan model ini dengan model-model pertumbuhan lain. 2.2 Krisis Moneter Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak awal juli 1997 selama kurun waktu setahun telah berubah menjadi krisis ekonomi yakni melumpuhnya kegiatan ekonomi karena semakin banyak perusahaan yang tutup dan meningkatnya jumlah pekerja yang menganggur. Memang krisis ini tidak seluruhnya disebabkan karena terjadinya krisis moneter saja, karena sebagian diperberat oleh berbagai musibah nasional yang datang secara bertubi-tubi di tengah kesulitan ekonomi seperti kegagalan panen padi di banyak tempat karena musim kering yang panjang dan terparah sepanjang 50 tahun terakhir, hama, kebakaran hutan secara besar-besaran di Kalimantan dan peristiwa kerusuhan yang melanda banyak kota pada pertengahan Mei 1998 lalu dan kelanjuannya. Krisis moneter ini terjadi, meskipun fundamental ekonomi Indonesia di masa lalu dipandang cukup kuat yang tercermin dari pertumbuhan yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, tingkat pengangguran relatif rendah, neraca pembayaran secara keseluruhan masih surplus meskipun defisit neraca berjalan cenderung membesar namun jumlahnya masih terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus. Namun di balik ini terdapat beberapa kelemahan struktural seperti peraturan perdagangan domestik yang kaku dan berlarut-larut, monopoli impor yang menyebabkan kegiatan ekonomi tidak efisien dan kompetitif. Pada saat yang bersamaan kurangnya transparansi dan kurangnya data menimbulkan ketidakpastian sehingga masuk dana 29 luar negeri dalam jumlah besar melalui sistem perbankan yang lemah. Sektor swasta banyak meminjam dana luar negeri yang sebagian besar tidak di hedge. Dengan terjadinya krisis moneter, terjadi juga krisis kepercayaan. Namun semua kelemahan ini masih mempu ditampung oleh perekonomian nasional. Sebagian konsekuensi dari krisis moneter ini, Bank Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1997 terpaksa membebaskan nilai tukar terhadap valuta asing, Khususnya dollar AS, dan membiarkannya berfluktuasi secara bebas (free floating) menggantikan sistem managed floating yang dianut pemerintah sejak devaliasi oktober 1978. Dengan demikian Bank Indonesia tidak lagi melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menopang nilai tukar rupiah, sehinggan nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar semata. Nilai tukar rupiah kemudian merosot dengan cepat dan tajam dari rata-rata Rp 2.450 per dollar AS juni 1997 menjadi Rp 13.513 akhir januari1998, namun kemudian menguat kembali menjadi sekitar Rp 8.000 awal Mei 1999. 2.2.1 Krisis Moneter dan Faktor-Faktor Penyebabnya Penyebab dari krisis ini bukanlah fundamental Indonesia yang selama ini lemah, tetapi terutama karena utang swasta luar negeri yang telah mencapai jumlah yang besar. Yang jebol bukanlah sektor rupiah dalam negeri, melakukan sektor luar negeri, khususnya nilai tukar dollar AS yang mengalami overshooting yang sangat jauh dari nilai nyatanya. Krisis yang berkepanjangan ini adalah krisis merosotnya nilai tukar rupiah yang sangat tajam, akibat dari serbuan yang mendadak dan secara bertubi-tubi terhadap dollar AS (spekulasi) dan jatuh temponya utang swasta luar negeri dalam jumlah besar.Seandainya tidak ada serbuan terhadap dollar AS ini, meskipun terdapat banyak distorsi pada tingkat ekonomi mikro, ekonomi Indonesia tidak akan mengalami krisis. Dengan kata lain,walaupun distorsi pada tingkat ekonomi 30 mikro ini diperbaiki, tetapi bila tetap ada gempuran terhadap mata uang rupiah, maka krisis akan terjadi juga, karena cadangan devisa yang tidak ada dan todak cukup kuat untuk menahan gempuran ini. Krisis ini diperparah lagi dengan akumulasi dari berbagai faktor penyebab lainnya yang datangnya saling bersusulan.Analisis faktor-faktor penyebab ini penting, karena penembuhannya tentunya tergantung dari ketepatan diagnosa (Kristanto, 1998). Anwar Nasution melihat besarnya defisit neraca berjalan dan utang luar negeri, ditambah dengan lemahnya sistem perbankan nasional sebagai akar dari terjadinya krisis finansial. Bank Dunia melihat adanya empat sebab utama yang bersama-sama membuat krisis menuju ke arah kebangkrutan. Yang pertama adalah akumulasi utang swasta luar negeri yang cepat dari tahun 1992 hingga Juli 1997, sehingga 95% dari total kenaikan utang luar negeri berasal dari sektor swasta ini, dan jatuh tempo rata-ratanya hanyalah 18 bulan. Bahkan selama empat tahun terakhir utang luar negeri pemerintah jumlahnya menurun. Sebab yang kedua adalah kelemahan spada sistem perbankan. Ketiga adalah masalah governance, termasuk kemampuan pemerintah menangani dan mengatasi krisis, yang kemudian menjelma menjadi krisis kepercayaan dan keengganan donor untuk menawarkan bantuan finansial dengan cepat. Yang keempat adalah ketidakpastian poltik menghadapi pemilu yang lalu dan pertanyaan mengenai kesehatan Presiden Soeharto pada waktu itu. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang berkepanjangan ini adalah merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang sangat tajam, meskipun ini bukan faktor satu-satnya, tetapi ada banyak faktor lainnya yang berbeda menuru sisi pandang masing-masing pengamat. Berikut ini diberikan rangkuman dari berbagai faktor tersebut menurut urutan kejadiannya : 1) Dianutnya sistem devisa yang terlalu bebas tanpa adanya pengawasan yang memadai, memungkinkan arus modal dan valas dapat mengalir keluar-masuk secara bebas 31 berapapun jumlahnya. Kondisi di atas dimungkinkan, karena Indonesia menganut rezim devisa bebas dengan rupiah yang konvertibel,sehingga membuka peluang yang sebesar-besarnya untuk orang bermain di pasar valas. Masyarakat bebas membuka rekening valas di dalam negeri atau di luar negeri. Valas diperdagangkan di dalam negeri, sementara rupiah juga bebas diperdagangkan di pusat-pusat keuangan di luar negeri. 2) Tingkat deoresiasi rupiah yang relatif rendah, berkisar antara 2.4% hingga 5.8% antara tahun 1988 hinggan 1996, yang berada di bawah nilai tukar nyatanya, menyebabkan nilai rupiah secara komulatif sangat overvalued. Ditambah dengan kenaikan pendapatan penduduk dalam nilai US dollar yang naiknya relatif lebih cepat dari kenaikan pendapatan nyata dalam Rupiah, dan dan produk dalam negeri yang semakin lama semakin kalah bersaing dengan produk dalam negeri relatif mahal, sehingga masyarakat memilih barang impor yang kualitasnya lebih baik. Akibatnya produksi dalam negeri tidak berkembang, ekspor menjadi kurang kompetitif dan impor meningkat. Niali rupiah yang sangat overvalued ini sangat rentan terhadap serangan dan permainan spekulan, karena tidak mencerminkan nilai tukar yang nyata. 3) Akar dari segala permasalahan adalah utang luar negeri swasta jangka pendek dan menengah sehingga nilai tukar rupiah mendapat tekanan berat karena tidak tersedianya devisa yang cukup untuk membayar utang yang jatuh tempo beserta bunganya, ditambah sistem perbankan nasional yang lemah. Akumulasi utang swasta luar negeri yang sejak awal tahun 1990-an telah mencapai jumlah yang sangat besar, bahkan sudah jauh melampaui utang resmi pemerintah yang beberapa tahun terakhir 32 malah sedikit berkurang (outstanding official debt). Ada tiga pihak yang bersalah yaitu pemerintah, kreditur da debitur. Kesalahan pmerintah adalah, karena memberi signal yang salah kepada pelaku ekonomi dengan membuat nilai rupiah teru-menerus overvalued dan suku bunga rupiah yang tinggi, sehingga pinjaman dalam rupiah mjenjadi relati mahal dan pinjaman dalam mata uang asing menjadi relatif lebih murah. Sebalikya, tingkat bungan di dalam negeri dibiarkan tinggi untuk menahan pelarian dana ke luar negeri dan agar masyaraka mau mendepositokan dananya dalam rupiah. Pada awal Mei 1998 besarnya utang luar negeri swasta dari 1.800 perusahaan diperkirakan berkisar antara US$ 64 milyar, sementara utang pemeritah US$ 53.5 milyar. Sebagian besar dari pinjaman luar negeri swasta ini tidak di hedge.Sebagian orang Indonesia malah bisa hidup mewah dengan menikmati selisih biaya bunga antara dalam negeri dan luar negeri, misalnya bank-bank. Maka beban pembayaran utang luar negeri beserta bunganya menjadi tambah besar yang dibarengi oleh kinerja ekspor yang melemah. Ditambah lagi dengan kemerosotan nilai tukar rupiah yang tajam yang membuat utang dalam nilai rupiah membengkak dan menyulitkan pembayaran kembalinya. 4) Permainan yang dilakukan oleh spekulan asing yang dikenal sebagai hedge funds tidak mungkin dapat dibendung dengan melepas cadangan devisa yang dimiliki Indonesia pada saat itu, karena praktek margin trading, yang memungkinkan dengan modal relatif kecil bermain dalam jumlah besar. Dewasa ini mata uang sendiri sudah menjadi komoditi perdagangan, lepas dari sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistem perbankan unyuk sektor riil. Para spekulan ini juga meminjam dari sistem perbankan untuk memperbesar pertaruhan mereka. Itu sebabnya mengapa 33 Bank Indonesia memutuskan untuk tidak intervensi di pasar valas karena tidak akan ada gunanya. Meskipun paa awalnya spekulan asing ikut berperan, tetapi mereka tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas pecahnya krisis moneter ini. Sebagian dari mereka ini justru sekarang menderita kerugian, karena mereka membeli ripiah dalam jumlah cukup besar ketika kurs masih di bawah Rp 4.000 per dollar AS dengan pengharapan ini adalah kurs tertinggi dan rupiah akan balik menguat, dan pada saat itu mereka akan menukarkan kembali rupiah dengan dollar AS. Namun pemicu adalah krisis moneter kiriman yang berawal dari Thailand antara Maret sampai Juni 1997, yang diserang terlebih dahulu oleh spekulan dan kemudian menyebar ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia Krisis Moneter yang terjadi sudah saling kaitmengkait di kawasan Asia Timur dan tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya. 5) Kebijakan fiskal dan moneter tidak konsisten dalam suatu sistem nilai tukar dengan pita batas intervensi. Sistem ini menyebabkan apresiasi nyata dari nilai tukar rupiah dan mengundang tindakan spekulasi ketika sistem batas intervensi ini dihapus pada tanggal 14 Agustus 1997. Terkesan tidak adanya kebijakan pemerintah yang jelas dan terperinci tentang bagaimana mengatasi krisis dan keadaan ini masih berlangsung hingga saat ini. Ketidakmampuan pemerintah menangani krisis menimbulkan krisis kepercayaan dan mengurangi kesediaan investor asing untuk memberi bantuan finansial dengan cepat. 6) Defisit neraca berjalan yang semakin membesar yang disebabkan karena laju peningkatan impor barang dan jasa lebih besar dari ekspor dan melonjaknya pembayaran bunga pinjaman. Sebab utama adalah nilai tukar rupiah yang sangat 34 overvalued, yang membuat harga barang-barang impor menjadi relatif murah dibandingkan dengan produk dalam negeri. 7) IMF tidak membantu sepenuh hati dan terus menunda penguncuran dana bantuan yang dijanjikannya dengan alasan pemerintah tidak melaksanakan 50 butir kesepakatan dengan baik. Negara-negara sahabat yang menjanjikan akan membantu Indonesia juga menunda menguncurkan bantuannya menunggu sinal dari IMF, padahal keadaan perekonomian Indonesia makin lama makin tambah terpuruk. Brunei Darusalam yang menjanjikan US$ 1 milyar baru akan mencairkan dananya sebagai yang terakhir setelah semua pihak lain yang berjanji akan membantu telah mencairkan dananya dan telah habis terpakai. IMF sendiri dinilai banyak pihak telah gagal menerapkan program reformasinya di Indonesia dan malah telah mempertajam dan memperpanjang krisis. 8) Terjadi krisis kepercayaan dan kepanikan yang menyebabkan masyarakat luas menyerbu membeli dollar AS agar nilai kekayaan tidak merosot dan malah bisa menarik keuntungan dari merosotnya nilai tukar rupiah. Terjadilah snowball effect, dimana serbuan terhadap dollar AS makin lama makin besar. Orang-orang kaya Indonesia, baik pejabat pribumi dan etnis Cina, sudah sejak tahun lalu bersiap-siap menyelamatkan harta kekayaannya ke luar negeri mengantisipasi ketidakstabilan politik dalam negeri. Sejak awal Desember 1997 hingga Mei 1998 telah terjadi pelarian modal besar-besaran ke luar negeri karena ketidakstabilan politik seperti isu sakitnya Presiden dan Pemilu. Kerusuhan besar-basaran peda pertengahan Mei yang lalu yang ditujukan terhadap etnis Cina telah menggoyahkan kepercayaan masyarakat 35 ini akan keamanan harta, jiwa dan martabat mereka. Padahal mereka menguasai sebagian besar modal dan kegiatan ekonomi Indonesia dengan akibat mereka membawa keluar harta kekayaan mereka dan untuk sementara tidak melakukan investasi baru. Dalam menghadapi tekanan depresiatif yang kuat pada kurs rupiah sejak bulan Juli 1997, beberapa kebijakan bank sentral telah digulirkan seperti pelebaran kisaran intervensi dan pengetatan likuiditas perbankan dengan menaikkan tingkat diskonto SBI. Dengan semakin meningkatnya tekanan kepada kurs rupiah, pada pertengahan Agustus 1997, telah diambil kebijakan penentuan kurs berdasar pada sistem mengambang bebas. Seiring dengan kebijaksanaan moneter yang ketat yang diarahkan untuk mengurangi tekanan permintaan terhadap devisa, ditempuh kebijaksanaan fiskal yang juga bersifa kontraktif. Sejumlah proyek-proyek pembangunan untuk TA 1997/98 dijadwalkan kembali pelaksanaanya. Di samping itu juga dilakukan penghematan terhadap pengeluaran yang bersifat non fisik. Perlakuan khusus berupa bantuan keuangan dan fasilitas kredi untuk industri strategis tertentu juga ditiadakan. Namun nilai tukar rupiah terus merosot, demikian pula dengan kondisi keuangan dan perekonomian. Untuk mengatasi masalah tersebut, pada akhir Oktober 1997, disusun kebijaksanaan dan program penyehatan ekonomi dan keuangan, yang didukung oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dan negara-negara sahabat. Program ini meliputi penyehatan sektor keuangan dan stabilitas moneter termasuk kurs mata uang. Penyehatan sektor/lembaga keuangan mencakup perbankan, lembaga pembiyaan, asuransi, dana pensiun dan lembaga-lembaga di pasar modal. 36 Program reformasi dan restrukturisasi ekonomi dan keuangan diperkuat lagi pada pertengahan Januari 1998, dan dibentuk Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPK-EKU) guna mengendalikan dan mengawasi pelaksanaan program tersebut. Pada bulan Januari pula, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dibentuk untuk memperbaiki kepercayaan terhadap perbankan nasional. Dengan terjadinya krisis politik pada bulan Mei 1998 dan meluasnya krisis ekonomi, Memorandum tambahan tersebut disempurnakan pada bulan Juni 1998. Untuk memperkuat pengendalian moneter, sistem penentuan suku bunga SBI diubah dari penentuan secara administratif menjadi sistem lelang mulai bulan Juli 1998. Di bidang keuangan negara, sebagai akibat situasi perekonomian yang terus memburuk tersebut, pemerintah bersama-sama DPR pada bulan Juni 1998 melakukan revisi APBN 1998/1999 yang disesuaikan dengan perkembangan terakhir. Di tengah situasi perekonomian yang semakin memburuk, revisi APBN ini dititik beratkan pada pemanfaatan anggaran negara untuk memperkuat jaring pengaman sosial (social safety net), memperbesar enyerapan tenaga kerfja dan meningkatkan produksi pangan. 2.3 Utang Luar Negeri (Foreign Debt) Utang luar negeri merupakan bantuan luar negeri (loan) yang diberikan oleh pemerintah negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman semacam itu dengan kewajiban untuk membayar kembali dan membayar bunga pinjaman tersebut (Zulkarnain, 1996 : 19). Adapun bentuk-bentuk bantuan luar negeri dapat dibedakan atas : 1. Pinjaman dengan syarat pengembalian 37 a. Hadiah/Grant: yaitu bantuan luar negeri yang tidak bersyarat pengembalian atau pelunasannya kembali. b. Pinjaman Lunak : yaitu pinjaman dengan syarat yang sangat ringan, dimana jangka waktu pengembaliannya antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun dan tingkat bunga antara 0 sampai dengan 4,5 persen per tahun. c. Pinjaman/Kredit Ekspor : yaitu kredit yang diberikan oleh negara pengekspor dengan jaminan tertentu untuk meningkatkan ekspor. Jangka waktu pembayarannya adalah 7 tahun sampai dengan 15 tahun da tingkat bunga antara 4 persen sampai dengan 8,5 persen per tahun. d. Kredit Komersial : yaitu kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan tingkat bunga dan lain-lain sesuai perkembangan pasar internasional. 2. Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral a. Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara CGI. b. Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kreditndari peserta IBRD, IDA, UNDP, ADB, dan lain-lain. Jangka waktu dan syarat pengembalian bantuan/kredit bilateral/multilateral adalah berdasarkan perjanjian pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan/kredit. 3. Pinjaman/Bantuan menurut kategori ekonomi, barang/jasa 38 antara a. Bantuan program: yaitu berupa pangan, misalnya dalam rangka PL 480 atau dalam bentuk devisa kredit. b. Bantuan Proyek: yaitu bentuan yang diperoleh untuk pembiyaan dan pengadaan barang/jasa pada proyek-proyek pembangunan. c. Bantuan Tekhnik: yaitu berupa pengiriman tenaga ahli dari luar negeri atau tenaatenaga Indonesia yang dilatih di luar negeri. Sumber-sumber pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia dalam setiap tahun anggaran yang berupa pinjaman bersumber dari: 1. Pinjaman Multilateral Pinjaman multilateral sebagian besar diberikan dalam satu paket pinjaman yang telah ditentukan, artinya satu naskah perjanjian luar negeri antara pemerintah dengan lembaga keuangan internasional untuk membina beberapa pembangunan proyek pinjaman multilateral ini kebanyakan diperoleh dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam (IDB), dan beberapa lembaga keuangan regional dan internasional. 2. Pinjaman Bilateral Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah negara – negara yang tergabung dalam negara anggota Consultative Group On Indonesia (CGI) sebagai lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI. 39 Pinjaman bilateral ini diberikan kepada pemerintah Indonesia yang bersumber dari: a. Pinjaman Lunak, yaitu suatu pinjaman yang diberikan berdasarkan hasil sidang CGI. b. Pinjaman dalam bentuk Kredit Ekspor (Eksport Kredit) yaitu pinjaman yang diberikan oleh negara-negara pengekspor dengan jaminan tertentu dari pemerintah negara-negara tersebut untuk meningkatkan ekspornya. c. Pinjaman dalam bentuk Kredit Komersial, yaitu kredit yang diberikan oleh bank-bank luar negeri dengan persyaratan sesuaib dengan perkembangan pasar internasional, misalnya LIBOR (London Interbank Offered Rate) dan SIBOR (Singapore Interbank Offered Rate) untuk masing-masing jenis mata uang yang dipinjam. d. Pinjaman dalam bentuk installment Sale Financing, yaitu pinjaman yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan leasing suatu negara tertentu untuk membiayai kontrak-kontrak antara pemerintah dengan suplier luar negeri, karena kontrak-kontrak pembangunan tersebut tidak dapat dibiayai dari fasilitas kredit ekspor. e. Pinjaman obligasi, yaitu pinjaman yang dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan surat tanda berhutang dari peminjam (borrower) dengan tingkat bunga tetap, yang pembayaran bunganya dilaksanakan secara teratur dan pengembalian pinjaman (hutang pokok) pada jangka waktu 40 yang telah ditetapkan. Dalam melakukan pinjaman melalui obligasi dikenal 2 (dua) jenis obligasi yang dapat diterbitkan/dikeluarkan dalam pasar modal, yaitu : 1. Public issues (Penerbitan Obligasi Umum) Penerbitan obligasi dilaksanakan melalui sekelompok bank-bank yang menjamin (underwriter) dan menjual obligasi tersebut kepada masyarakat di bursa (stock exchange). 2. Private Placement Penerbitan obligasi secara private placement bersifat terbatas, tidak diumumkan kepada masyarakat. Dalam hal ini suatu penjualan obligasi dilaksanakan oleh emiten (issuer) kepada sejumlah bank dan investor institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan bantuan sejumlah bank dan investor institusional (perusahaan-perusahaan asuransi dan dana-dana pensiun) dengan bantuan sejumlah penjamin emini (underwriter) yang terbatas. f. Pinjaman dalam bentuk Stearling Acceptance Facility, yaitu suatu pinjaman yang penarikannya dengan Bill of Exchange.Sistem pinjaman ini terdapat di Inggris sejak abad ke-17. Pada tahap permulaan sistem ini digunakan ini digunakan untuk memperoleh kredit jangka pendek berdasarkan transaksi perdagangan yang dilakukan. Bill of Change ini 41 dapat diperjualbelikan di pasar stearling acceptance, dengan demikian dapat diperoleh dana sebelum Bill of Exchange jatuh tempo. 2.3.1 Latar Belakang Timbulnya Utang Luar Negeri Dari perspektif negara donor setidaknya ada dua hal penting yang dianggap memotivasi dan melandasi bantuan luar negeri ke negara-negara debitor. Kedua hal tersebut adalah motivasi politik (political motivation) dan motivasi ekonomi (economi motivation), dimana keduanya mempunyai keterkaitan yang sangat erat yang satu dengan yang lainnya (Basri, 2003 : 101). Motivasi pertama inilah yang kemudian menjadi acuan bagi AS untuk menguncurkan dana bantuan dalam merekonstruksi kembali perekonomian Eropa Barat setelah hancur saat PD II, dan program ini dikenal dengan nama Marshall Plan (Todaro,1985 : 89). Kesimpulan kita cukup sederhana, yaitu bahwa bantuan luar negeri pertama-tama harus dilihat sebagai tanga panjang kepentingan negara-negara donor. Motivasinya condong berbeda tergantung situasi nasional, dan bukan semata-mata dikaitkan dengan kebutuhan negara penerima yang secara potesial berbeda-beda antara negara yang satu dengan negara yang lainnya. Sedangkan motivasi ekonomi sebagai landasan kedua yang digunakan dalam memberikan bantuan, setidak-tidaknya tercermin dari 4 argumen penting : • Argumen pertama didasari oleh two gap model dimana negara-negara penerima bantuan khususnya negara-negara berkembang mengalami kekurangan dalam mengakumulasi tabungan domestik sehingga tabungan-tabungan yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan akan tingkat investasi yang dibutuhkan dalam proses memicu pertumbuhan ekonomi. Dan pada sisi lain adalah kekurangan yang dialami oleh negara-negara yang 42 bersangkutan dalam memenuhi nilai tukar asing (foreign exchange) untuk membiayai kebutuhan impor. Dengan demikian untuk menutupi kedua kekurangan tersebut maka andalannya adalah bantuan luar negeri. • Kedua adalah memfasilitasi dan mempercepat proses pembangunan dengan cara meningkatkan pertambahan tabungan domestik sebagai akibat dari pertumbuhan yang lebih tinggi (growth and saving). Karena tinggunya pertumbuhan di negara-negara berkembang akan turut meningkatlkan atau berkorelasi positif terhadap kenaikan keuntungan yang bisa dinikmati di negara-negara maju. • Ketiga adalah technical assistance, yang merupakan pendamping dari bantuan keuangan yang bentuknya adalah transfer sumber daya manusia tingkat tinggi kepada negaranegara penerima bantuan. Hali ini harus dilakukan untuk menjamin bajhwa aliran dana yang masuk dapat digunakan dengan sangat efisien dalam proses memicu kenaikan pertum buhan ekonomi. • Keempat adalah absorptive capacity, yakni dalam bentuk apa dana tersebut akan digunakan. Terlepas dari faktor-faktor yang dikemukakan di atas ada satu hal lagi yang perlu diingat bahwa faktor pendorong da faktor penarik (push and pull factor) adala dua kata yang menentukan terjadinya perpindahan modal ke negara-negara berkembang. Faktor-faktor ini tentu saja perpaduan antar motif ekonomi dan politik yang menjadi pertimbangan utama bagi investor yang rasional. Sebagai negara berkembang yang tetap konsisten dalam mempergunakan utang luar negeri dalam politik pembangunannya, Indonesia untuk masa mendatang masih tergantung pada 43 komponen ini. Seberapa besar ketergantungannya tentu banyak faktor yang mempengaruhinya. Apapun argumennya, untuk saat ini mengalirnya dana dari luar negeri merupakan kebutuhan yang sangat penting bagi Indinesia untuk menginjeksi dana pembangunannya. Di era globalisasi dam dengan tingkat persaingan yang begitu besar, di samping pemerintah, pihak swasta juga memerlukan dana, akan mengakibatkan perburuan pinjaman yang bersyarat lunak akan meningkat dan tentunya akan semakin sulit diperoleh. Melihat kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan dalam pinjaman komersial seiring dengan meningkatnya peran pohak swasta dan langkahnya pinjaman resmi yang bersyarat nlunak. Oleh karena itu, tidaklah heran untuk masa perspektif utang luar negeri Indonesia dicirikan pada meningkatnya pinjaman yang bersifat komersial. Banyak pihak yang mengkhwatirkan kondisi pinjaman luar negeri pemerintah maupun pinjaman swata cukup beralasan. Angka statistik pinjaman luar negeri Indonesia, baik pemerintah maupun swasta memang masih menunjukkan tingginya kewajiban Indonesia dalam membayar kembali pokok dan bunga pinjaman luar negeri. Beberapa indikator dalam mengukur beban utang, seperti : • Debt service Ratio (DSR) yang merupakan perbandingan antara kewajiban membayar untang dan cicilan untang luar negeri dengan devisa hasil ekspor. Ambang batas aman angka DSR lazimnya menurut para ahli ekonomi adalah 20%. Lebih dari itu, utang sudah dianggap mengundang cukup banyak kerawanan. • Debt to Export Ratio yang merupakan rasio utang terhadap ekspor. Bank dunia menetapkan bahwa suatu negara dikategorikan sebagai negara pengutang berat, jika negara yang bersangkutan memiliki Debt to Export Ratio yang lebih besar dari 220% 44 • Debt to GDP Ratio yang merupakan rasio utang terhadap PDB. Rasio utang terhadap PDB dapat dilihat sebagai kriteria mengecek kesehatan keuangan suatu negara, dimana rasio di atas 50% menunjukka bahwa pinjaman luar negeri Indonesia membenahi lebih dari 50% Pendapatan Nasional (Basri, 2003:201) Pinjaman luar negeri tersebut tidak semua diberikan dalam bentuk rupiah atau tepatnya mata uang asing tertentu tetapi dalam bentuk bantuan proyek dan bantuan program. Bantuan proyek diberikan dalam bentuk pinjaman berupa peralatan-peralatan, barang-barang ataupun jasa (konsultan asing), sedangkan bantuan program diberikan dalam bentuk bantuan tunai. 2.3.2. Teori Utang Luar Negeri Meskipun demikian perannan dana bantuan luar negeri dan modal asing terhadap kemajuan, pertumbuan dan pembangunan ekonomi negera berkembang telah lama menjadi perdebatan hangat diantara kelompok-kelompok perdagangan dunia. Sekelompok ekonom pada tahun 1950-an dan 1960-an berpendapat dan meyakini bahwa bantuan luar negeri mempunyai dampak yang positif terhadap pembangunan ekonomi suatu negera tanpa menimbulkan gangguan pada masa sesudahnya bagi negara-negara debitor tersebut. Pengalaman keberhasilan pembangunan kembali perekonomian negara-negara Eropa Barat melalui Marshal Plan seperti telah disinggung, menjadi dasar kelompok tersebut menganjurkannya diterapkan dinegara-negara berkembang. Asumsi yang mereka gunakan dalam proses penganjurannya adalah bantuan luar negeri akan menambah sumber-sumber produktif tanpa menimbulkan dampak substitusi terhadap hubunga domesti, dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap alokasi dan efisiensi sumber daya terutama tingkat efisiensi dalam penggunaan modal. 45 Pengalaman seperti yang diuraikan di atas juga mengilhami teoriyang dikembangkan oleh Sir Roy Harrod (Inggris) dan kemudian dikenal dengan teori Harrod-Domar. Teori yang berbicara tentang penggunaan bantuan luar negeri dalam pembiayaan pembangunan selanjutnya dikembangkan oleh beberapa ekonom seperti Hollis Chenery, Alan Strout, dan lain-lain pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an. Pemikiran mereka seperti yang diungkapkan oleh Chenery dan Carter (1973) dapat dikelompokkan ke dalam empat pemikiran mendasar. Pertama, sumber dana eksternal (modal asing) dapat dimanfaatkan oleh negara sedang berkembang sebagai suatu dasar yang signifikan untuk memacu kenaikan investasi serta pertumbuhan ekonomi. Kedua, untuk menjaga dan mempertahankan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi diperlukan perubahan dan perombakan yang subtansial dalam struktur produksi dan perdagangan. Ketiga, modal asing dapat berperan penting mobilisasi sumber dana dan transformasi struktural. Keempat, kebutuhan akan modal sing akan menjadi menurun setelah perubahan struktural terjadi. Pemikiran di atas sedemikian kuatnya mempengaruhi proses perencanaan pembangunan di negara-negara sedang berkembang yang semata-mata hanya mengandalkan upaya proses pembangunannya pada sumber-sumber daya domestik. Malahan porsi bantuan luar negeri tidak lagi diperlakukan sebagai faktor pelengkap (complementary factor), tapi telah menjadi sumber utama dalam pembiyaan pembangunan (Basri, 2003:104). Pertimbangan suatu negara atau perusahaan melakukan pinjaman luar negeri dipengaruhi oleh beberapa hal, yang dapat dikategorikan dalam 2 faktor pendorong masuknya dana ke dalam negeri (push factors) dan faktor internal yang menarik dana masuk (pull factors). Yang merupakan push faktor antara lain adalah : 46 a. Perbedaan tingkat suku bunga US (Dollar Amerika Serikat dan negara-negara maju) pada pertengahan tahun 1990-an menyebabkan gap suku bunga dengan negara emerging market semkain besar sehingga mendorong para investor luar negeri mengalihkan investasi mereka dari negara-negara maju ke emerging countries. Tingkat suku bunga US (antara lain 3 month treasury bill) mengalami penurunan drastis dari 9% pada tahun 1989 dan mencapai titik terendah pada tahun 1992-1994 pada kisaran 2-3 %. Pada akhir tahun 1997 misalnya, suku bunga kredi bank domestik masih berada dalam kisaran ratarata 15-19 % sedangkan suku bunga pinjaman bank internasional mencapai rata-rata 5%. Dengan perbedaan yang sangat besar ini, meskipun sesudah ditambahkan dengan country risk premium Indonesia yang cukup tinggi dan biaya lindung nilai, meminjam dari bank di luar negeri masih dirasakan menguntungkan perusahaan Indonesia. b. Capital market yang terintegrasi Semakin terintegrasinya capital market dunia memberikan kemudahan apa akses pasar serta keleluasaan untuk memegang dan bertransaksi untuk memegang mata uang asing. Perekonomian tanpa batas, baik melalui perdagangan maupun melalui modus lainnya mendorong pergerakan modal secara lebih leluasa ke berbagai negara. Hal ini didukung pula dengan terbentuknya lembaga-lembaga keuangan internasional seperti WTO, IMF, dan World Bank. Dua hal tersebut mendukung perkembangan terms of trade dan siklus bisnis internasional yang menjadi pemicu mengalirnya modal ke negara-negara emerging markets. c. Kelebihan likuiditas di pasar internasional 47 Kreditur luar negeri yang pada masa itu berada dalam kondisi kelebihan likuiditas memberikan penilaian yang berlebihan terhadap kinerja fundamental perekonomian dan kemampuan mengembalikan pinjaman luar negeri Indonesia. Perilaku yang menunjukkan keyakinan terhadap kemampuan Indonesia tersebut berakibat pada meningkatnya keberanian dalam mengambil resiko yang berdampak meningkatnya jumlah pinjaman luar negeri swasta Indonesia. d. Variasi produk financing Bervariasi produk pembiayaan yang disediakan oleh perbankan dan pasar modal luar negeri mampu menawarkan fasilitas kredit yang lebh menarik. Kuatnya dukungan finansial perbankan di luar negeri memungkinkan mereka memberikan kredit dalam jangka waktu yang lebih panjang. Hal ini tidak dapat dilakukan oleh kebanyakan bank domestik yang pendek. Dengan struktur jangka waktu sumber dana perbankan domestik yang pendek, maka sulit bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan dana jangka menengah dan panjang dari berbagai perusahaan di dalam negeri. e. Keterbatasan kemampuan bank untuk menyediakan kredit berjangka menengah penjang sebabkan oleh masing sangat rendahnya sumber dana perbankan Indonesia yang berjangka panjang. Angka pada akhir 2007 menunjukkan bahwa sebagian besar atau sumber dana perbankan berjangka waktu satu (1) bulan. Hanya 0,6% sumber dana bank yang berjangka waktu antara 1-2 tahun. Dengan struktur pendanaan ini, kemampuan perbankan domestik dalam memberikan kredit dalam jangka panjang menjadi sangat terbatas. Akibatnya, industri perbankan lebih banyak memfokukan penyaluran dananya ke kredit konsumsi dengan jumlah yang relatif kecil. 48 f. Persyaratan dan prosedur pinjaman yang mudah Salah satu hambatan swasta meminjam dari bank domestikadalah persyaratan yang dipandang berbelit-belit. Masalah agunan, misalnya, hingga saat ini masih menjadi syarat utama bagi pengusaha untuk mndapatkan pinjaman bank domestik. Terlalu beratnya persyaratan kredit dari perbankan domestik ini juga disebabkan karena adanya informasi yang asimetris. Kelemahan ini akhirnya direfleksikan pada keengganan perbankan domestik untuk membiayai banyak proyek perusahaan yang sesungguhnya sangat potensial. g. Kompentensi dan reputasi bank asing di luar negeri Bank asing di luar negeri sering dinilai lebih kompeten dan memiliki reputasi yang lebih baik sehingga lebih dipercaya oleh pelaku bisnis Indonesia. Disamping itu, dengan jaringan yang luas internasional dan penguasaan teknologi yang lebih baik, bank-bank internasional dapat memenuhi kebutuhan para debitur lebih yang berorientasi ekspor 2.3.3 Beban Cicilan dan Bunga Utang terhadap Perekonomian serta Peranan Pinjaman Luar Negeri Terhadap Pembiyaan Pembangunan Beban pembayaran cicilan dan bunga utang pemerintah berdampak pada beban APBN yang semakin berat dan arus modal keluar semakin deras menurun, diimbangi peningkatan laju ekspor. Lebih jauh lagi, investasi pemerintah (belanja pembangunan) semakin tertekan karena alokasi dana untuk membayar cicilan utang dan bunganya.Beban cicilan dan bunga utang pemerintah yang semakin besar menggeser alokasi dana-dana untuk pengeluaran pos lain. Secara 49 tidak langsung, masyarakat terkena dampaknya dengan berkurangnya proporsi pengeluaran untuk pos-spos yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat ( Faisal H.Basri, 2002:254). Krisis yang terjadi sejak 1997 telah menyebabkan beban APBN dalam utang publik mencapai lebih dari 110 persen terhadap PDB. Beban utang politik ini separuhnya adalah utang dalam negeri (obligasi) yang nilainya mencapai RP 650 triliun untuk perbaikan sektor perbankan, serta utang luar negeri yang jumlahnya mencapai US$ 75 milyar ( Mulyani, 2001, dalam Eddy Suandi Hamid, 2001:154). Walaupun perekonomian nasional terus menanggung beban pembayaran bunga dan cicilan utang masa lalu itu, pada saat yang sama pemerintah juga terus membuat utang-utang baru. Pemerintah terus meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi defisit anggaran belanjanya (APBN). Pinjaman pemerintah tersebut bukan hanya untuk membiayai pengeluaran pembangunan, bahkan pernah digunakan untuk menutupi defisit pengeluaran rutinnya. Pemerintah telah pula mengikatkan diri dengan IMF untuk mengatasi krisis yang terjadi dengan meminjam secara bertahap senilai US$ 43 milliar, disamping terus meminjam dari CGI dengan angka berkisar US$ 5 milyar per tahun. Sektor swasta yang sebelumnya secara tidak terkontrol utang luar negerinya, dan sangat terpuruk akibat krisis tersebut, telah pula mulai lagi “mendapat kepercayaan” dari luar negeri, dan kembali memuat komitmen dengan mitra bisnisnya di luar. Masuknya arus utang luar negeri di tengah utang lama belum mampu di bayar, dan juga terus dinegosiasikan untuk menjadwalkan kembali (reschedulling) kontrak yang sudah dibuat sebelumnya, menjadi sesuatu hal yang tak terelakkan. Dari sisi pemerintah, dana segar berupa valuta asing dari luar negeri tersebut bukan saja sangat penting untuk menutup defisit fiskal yang terjadi dalam APBN-nya, melainkan juga untuk mencegah terus merosotnya nilai mata uang rupiah terhadap mata uang lainnya. Sementar itu, sektor swasta membutuhkan dana tersebut 50 untuk dapat mempertahankan aktivitasnyam, baik itu meneruskan investasi yang sudah terlanjur dilakukan atau untuk menjaga pasarnya yang sudah dikuasainya. Dengan kata lain, di tengah krisis ekonomi dan usaha untuk krisis ini, Indonesia semakin terjerat dalam jebakan utang (debt trap). Hal ini bisa menimbulkan persoalan yang sama dalam jangka panjang, yaitu ekonomi mengalami krisis kembali, karena pada saat jatuh tempo nantinya semua kewajiban tersebut tetap harus dibayar. Oleh karena itu, walaupun Indonesia sangat membutuhkan valuta asing tersebut, manajemen utang harus sudah di desain dengan melihat kemampuan membayar jangka panjang. Jika Investasi dari luar negeri ini benar-benar terarah pada sektor prodktif dan dapat menghasilkan devisa pada masa yang akan datang, maka masalah pembayaran utang tersebut akan dapat diatasi. Namun jika kita mengulangi kesalahan pada masa yang lalu, maka sejarah akan kembali terulang. Sebab, baik dari sisi manajemen utang luar negeri pemerintah maupun swasta pada masa lalu sangat potensial melahirkan ketidakmampuan untuk membayar kembali kewajiban utangnya. Pembangunan ekonomi pada dasarnya diartikan sebagai suatu proses di mana Produk Domestik Bruto (PDB) riil maupun pendapat riil per kapita meningkat dalam jangka waktu tertentu secara terus-menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita (D. Salvatore dan E.T. Dowling, 1997). Sasaran yang berupa kenaikan tingkat produksi riil (pendapatan per kapita) tersebut merupakan tujuan utama yang perlu dicapai dengan menyediakan dan mengerahkan sumber-sumber produksi untuk itu. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan peningkatan output dan pendapatan riil per kapita itu bukanlah satu-satunya sasaran kebijakan pembangunan di negara-negara berkembang. Namun demikian kebijakan pembangunan ekonomi dalam upaya menaikkan tingkat pertumbuhan output itu merupakan bagian utama dari rencana pembangunan pda kebanyakan 51 negara berkembang. Hal ini disebabkan karena: (1) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai suatu syarat yang sangat diperlukan untuk perbaikan dalam kesejahteraan masyarakat, dan (2) pertumbuhan ekonomi dipandang sebagai prasyarat untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan lainnya, seperti: penyediaan dan perluasan kesempatan kerja, redisribusi pendapatan dan kekayaan dalam masyarakat, serta penyediaan fasilitas atau sarana sosial di bidang-bidang perumahan, pendidikan, kesehatan, dan fasilitas sosial lainnya. Pertumbuhan ekonomi membutuhkan penyediaan atas pengalokasian sumber-sumber produksi untuk ditujukan pada proses produksi barang-barang modal yang tidak dipakai untuk konsumsi langsung, tetapi akan digunakan untuk proses produksi selanjutnya guna menghasilkan barang dan jasa. Dengan demikian perlu tersedia modal atau dana pembiyaan untuk pembangunan nasional yang pada dasarnya berasal dari: (1) sumber dana modal dari dalam negeri dan (2) sumber daya modal dari luar negeri. Sumber modal dari dalam negeri adalah berupa tabungan yang diciptakan dan dihimpun dengan cara mengehmat atau menekan konsumsi sekarang, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta dan masyarakat. Sedangkan sumber modal dari luar negeri adalah berupa hibah (grant), bantuan atau pinjaman luar negeri dan penanaman modal asing. Untuk memperkirakan berapa besarnya kebutuhan modal atau dana yang diperlukan guna meningkatkan target pertumbuhan ekonomi tertentu, maka penyusunan rencana pembangunan sering kali mendasarkannya pada konsep Harrold-Domar tentang incremental capital output ratio atau ICOR. Dalam hubungan ini dipakai rumus k = s/g, di mana k = ICOR, s = saving ratio (S/Y) dan g = target pertumbuhan ekonomi (∆Y/Y). Dan rumus dasar ini dapat diubah menjadi g = s/k. Untuk memperoleh laju pertumbuhan pendapatan riil per kapita adalah d = s/k-r. Dengan menggunakan rumus ini dapat ditentukan atau diperkirakan secara makro berapa 52 besarnya kebutuhan tabungan (saving) dan modal yang perlu diakumulasi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tertentu baik secara nasional total maupun secara rata-rata per kapita. Karena bantuan luar negri itu diberikan dengan disertai pemberian konsesi (concessional) berupa tungkat bunga yang lebih rendah daripada bunga psar (bunga komersial), maka pada umumnya pinjaman itu disebut sebagai bantuan luar negeri. Jadi bantuan luar negeri itu mengandung unsur hibah (grant element), di mana nilai hibah dari bantuan grant yang tidak mengikat adalah sebesar harga nominalnya (face value), sedangkan nilai hibah dari pinjaman adalah selisih nilai nominal semula dari pinjaman dengan nilai diskonto sekarang dari pembayaran pinjaman sebagai presentase dari nilai nominal semula. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan bahwa unsur hiba suatu bantuan akan semakin besar bilamana tingkat bunga bantuan itu semakin rendah serta masa tenggang waktu ataupun jangka waktu pelunasannya kembali lebih lama (Kamaluddin, 1998). 2.4. Kerangka Konseptual Penelitian dan Hipotesis Pada penlisan skripsi ini, penulis menjelaskan variabel- variabel yang saling mempengaruhi dalam bentuk gambar kerangka konseptual dan variabel – variabel lain yang mempengaruhi variabel-variabel lain yang saling mempengaruhi tersebut. Dimana gambar terlihat adanya hubungan dua arah antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. PERTUMBUHAN EKONOMI (Y) UTANG LUAR NEGERI (x) 53 2.4.1 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris. Berdasarkan permasalahan, maka hipotesis penelitiannya adalah sebagai berikut : 1. Utang luar negeri ( foreign debt ) memiliki hubungan dua arah yang signifikan dengan pertumbuhan ekonomi, ceteris paribus. 2. Utang luar negeri memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, ceteris paribus. 3. Utang luar negeri memilki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis ekonomi, ceteris paribus. 54 BAB III METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah langkah dan prosedur yang dilakukan dalam mengumpulkan informasi guna memecahkan masalah dan menguji hipotesis dari sebuah penelitian. 3.1 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengaruh utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter. 3.2 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series yang bersifat kuantitatif yaitu berupa data tahunan dalam bentuk angka dalam kurun waktu 1988-2008 (21 tahun). Sumber data diperoleh dari Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS), jurnal-jurnal dan hasil penelitian serta sumber bacaan lainnya yang berkaitan dengan variabel-variabel yang digunakan untuk keperluan penelitian ini. 3.3 Model Analisis Data 55 Metode analisis dalam penelitian ini adalah Cointegration Test dan Granger Causality Test. Analisis Cointegration test bertujuan untuk melihat hubungan antara utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dalam jangka panjang. Sedangkan analisis Granger test adalah untuk melihat hubungan timbal balik (kausal) antara utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitannya dengan metode tersebut maka pengujian perilaku data runtun waktu (time series) dan integrasinya dapat dipandang sebagai uji prasyarat bagi digunakannya metode cointegrasi test dan Granger causality test. Sebelum dilakukan estimasi kedua model tersebut, maka terlebih dahulu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut : 3.3.1 Uji Akar Unit ( Unit Root Test ) Pengujian ini merupakan uji stasioneritas, Prinsip dari uji akar unit ini adalah untuk mengamati atau mendeteksi stasioneritas data Time series yang diteliti. Adapun formula dari uji Augmented Dickey Fuller (ADF) yang ditaksir dengan OLS seperti persamaan berikut : DXt = B Xt + bi Bi DXt................................................( 1 ) DXt = Co + C1T + C2BXt + di Bi DXt.............................................. ( 2 ) DXt = Xt – Xt-1 BX = Xt-1 Dimana : T = Trend waktu Xt = Variabel yang diamati pada periode tertentu B = Operasi kelambatan waktu ke hulu ( Backward Lag Variabel ) D = Perbedaan atau differensi Kemudian dari hasil regresi persamaan di atas diperoleh nilai statistik ADF ( Augment Dickey Fuller ). Dengan melihat nilai statistik dan koefisien BXt pada persamaan ( 1 ) dan 56 dibandingkan dengan nilai tabel ADF ( nilai kritis dari Mackinno ) dapat diambil sebuah kesimpulan jika nilai statistik dari koefisien BXt lebih besar dari nilai tabel ADF maka data tersebut stasioner. Dan apabila data tersebut tidak stasioner maka harus diciptakan variabel baru dengan cara First difference. Lalu dilakukan kembali uji akar unit . Uji ini bertujuan untuk melihat validitas data, dan bila data sudah stasioner maka dapat dilihat kausalitasnya dengan uji Granger. 3.3.2 Uji Derajat Integrasi Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pada derajat atau order differensi keberapa data yang akan diamati akan stasioner. Pengujian ini dilakukan bila pada uji akar unit ( langkah pertama di atas ) dari data yang diamati tidak stsioner. Pengujian ini merupakan perluasan dari akar-akar unit yang ditaksir dengan model autoregresif dengan OLS sebagai berikut : D2Xt = e0 + e1 BDXt + fi Bi D2 Xt .............................................. ( 3 ) D2Xt = g0 + g1 T + g2 BDXt + hi Bi D2 Xt .................................... ( 4 ) Dimana : D2Xt = DXt – D Xt-1 BDX t = DXt-1 Kemudian dari hasil regresi persamaan di atas diperoleh nilai statistyik ADF, dengan melihat nilai statistik dari koefisien BDXt pada persamaan ( 3 ) dan ( 4 ) dan dibandingkan dengan tabel ADF ( nilai kritis dari Mackinnon ) dapat diambil kesimpulan. Jika nilai statistik dari koefisien BDXt lebih besar dari nilai tabel ADF maka data tersebut stasioner pada derajat 57 satu. Dalam kaitannya dengan uji kointegrasi, jika variabel X belum stasioner paad derajat satu, maka perlu dilanjutkan hingga diperoleh satu kondisi stasioner sampai pada derajat kedua, ketiga , dan seterusnya. 3.3.3 Uji Granger Causalitas ( Granger Causality Test ) Pengujian ini dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi, sehingga dapat diketahui kedua variabel tersebut saling memperngaruhi ( hubungan dua arah ), memiliki hubungan searah atau sama sekali tidak ada hubungan ( tidak saling mempengaruhi ), berikut ini metode yang digunakan untuk menguji Granger Causality Test , yaitu : Xt = i Bi D2 Xt Yt = Ci Xt-i + Xt-i + bj Yt-j + µt .........................( 5 ) di Yt-j + Vt ........................................( 6 ) Dimana µt dan Vt adalah error terms yang di asumsikan tidak mengandung korelasi serial dan m = n = r = s. Berdasarkan hadil regresi adri kedua bentuk model regresi linier di atas akan menghasilkan empat kemungkinan mengenai nilai koefisien – koefisien regresi dari persamaan ( 5 ) dan ( 6 ) sebagai berikut : ( 1 ) Jika bj ≠ 0 dan dj = 0 , maka terdapat kausalitas satu arah dari Pertumbuhan ekonomi kepada Utang luar negri 58 ( 2 ) Jika bj = 0 dan dj ≠ 0, maka terdapat kausalitas satu arah dari utang luar negeri kepada pertumbuhan ekonomi ( 3 ) Jika bj = 0 dan dj = 0, maka utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi bebas antara satu dengan yang lainnya. ( 4 ) Jika bj ≠ 0 dan dj ≠ 0, maka terdapat kausalitas dua arah antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. 3.3.4 Uji Kointegrasi ( Cointegration Test ) Kadangkala dijumpai dua variabel random yang masing – masing random walk (tidak stasioner), tetapi kombinasi linier antar dua variabel tersebut merupakan data time series yang stasioner. Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi. Uji ini dapat dilakukan dengan uji Engle – Granger atau uji Augmented Engle – Granger. Uji ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan uji DF – ADF. Adapun langkah – langkah yang diperlukan untuk melakukan pengujian AEG ( Augmented Engle – Granger ) ini adalah : • Lakukan estimasi model • Dapatkan residual dari model tersebut • Uji apakah residual tersebut sudah stasioner • Apabila residualnya telah stasioner, berarti ada kointegrasi 59 3.3.5 Uji OLS ( Ordinary Least Square ) Dalam menganalisis data yang diperoleh untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel tidak bebas digunakan model ekonometrika dengan meregresikan variabel-vaiabel yang ada dengan menggunakan metode Kuadrat Kecil Biasa atau Ordinary Least Square (OLS). Data yang digunakan dianalisa secara kuantitatif dengan menggunakan analisa statistik yaitu persamaan regresi linier sederhana. Fungsi persamaanya adalah,sebagai berikut : Y = F ( X1,D )..........................................(1) Kemudian fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan linier sebagai berikut : Y = α + β1X1+ β2D + µ......................(2) Untuk menghitung dan mengetahui seberapa besar pengaruh varibael independen (utang luar negeri) terhadap variabel dependen (Pertumbuhan ekonomi) maka, model diatas ditransformasikan ke dalam bentuk persamaan berikut ini : Log Y = α + β1 LogX1 + β2 D + µ......................(2) Keterangan : Y = Pertumbuhan ekonomi yang diproxi dengan data PDB Indonesia atas dasar harga berlaku X1 = Jumlah utang luar negeri Indonesia D = Variable Dummy (Krisis moneter) D = 1 = Tahun setelah krisis moneter (1988-2008) D = 0 = Tahun sebelum krisis moneter (1988-1996) 60 β1,β2 = Koefisien regresi µ = Tingkat kesalahan atau erorr term Bentuk matematis hipotesis tersebut adalah sebagai berikut : > 0, artinya jika X1 (Utang Luar Negeri) meningkat maka Y (pertumbuhan ekonomi ) akan mengalami kenaikan, ceteris paribus. 3.4 Test of Goodness of Fit (Uji kesesuaian) Untuk melihat Goodnes of Fit hipotesis tersebut maka perlu dilakukan uji statistik terhadap data yang telah diolah dengan menggunakan program E-views 5.1 melalui pengujian sebagai berikut : 3.4.1 Koefisien Determinasi ( R-Squared ) Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersama-saman memberi penjelasan terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan.Dimana R-squared ( ) berada diantara 0 sampai 1 atau non negatif (0 ≤ R2 ≤ 1 ). 3.4.2 Uji t-statistik Uji t-statistik adalah merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lainnya konstan.Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut : 61 Ho : bi = 0 ,Ho diterima (Tidak signifikan) Ho : bi Dimana bi adalah koefisien variabel independen ke-i nilai parameter hipotesis,artinya tidak ada pengaruh variabel X1 terhadap Y. Bila t-hitung > t-tabel,maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho ditolak ini artinya bahwa variabel independen yang diuji berpengaruh secara nyata (signifikan) terhadap variabel dependen.Dan bila t-hitung < t-tabel maka pada tingkat kepercayaan tertentu Ho diterima,ini artinya bahwa variabel independen yang diuji dalam hal ini adalah Utang luar negeri tidak berpengaruh nyata terhadap variabel dependen. ¾ Untuk t-hitung bernilai positif : t-hitung > t-tabel,Ha diterima t-hitung < t-tabel,Ho diterima ¾ Untuk t-hitung bernilai negatif : t-hitung > t-tabel,Ho diterima t-hitung < t-tabel,Ha diterima Nilai t-hitung dapat diperoleh dengan rumus : t-hitung = Dimana : bi = Koefisien variabel Independen ke-i b = Nilai hipotesis nol Sbi = Simpangan baku dari variabel Independen ke-i 62 Gambar : Gambar Grafik Uji t-Statistik 3.5. Uji Penyimpanan Asumsi Klasik 3.5.1 Multikolinearitas Multikolinierity adalah alat untuk mengetahui suatu kondisi, apakah terdapat korelasi variabel independen di antara satu sama lainnya. Adanya multikolinerity ditandai dengan standard erorr tidak terhingga, tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α = 5%, α = 1%, terjadi perubahan tanda atau tidak sesuai dengan teori, sangat tinggi. Adanya multikolinearitas ditandai dengan : 1. Tanda atau arah dari koefisien regresi berlawanan dengan teori atau hipotesis 2. Nilai standar errornya memiliki nilai yang cukup besar atau tak terhingga 3. Nilai koefisien korelasi antar variabel bebas cukup tinggi atau > 0.8 ( r > 0.8 ) 4. Tidak ada satupun t-statistik yang signifikan pada α = 5%, α = 10%, α = 1% 5. sangat tinggi 63 3.5.2 Autokorelasi (Serial Korelasi) Autokorelasi didefenisikan sebagai korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut waktu atau ruang. Autokorelasi terjadi bila error term (µ) dari periode waktu yang berbeda (observasi data cross section) berkorelasi atau dapat juga dikatakan adanya hubungan atau korelasi antara residual yang sekarang dengan masa lalu.Dikatakan bahwa error term berkorelasi atau mengalami korelasi serial apabila variabel dengan masa lalu.Dikatakan bahwa error term berkorelasi atau mengalami korelasi serial apabila variabel (εi, εj) ;untuk i ,dalam hal ini dikatakan memiliki masalah autokorelasi. Terdapat beberapa cara untuk menguji keberadaan autokorelasi, yaitu : 1. Dengan menggunakan atau memplot grafik 2. Dengan D-W Test ( Uji Durbin Watson ) Uji D-W ini dirumuskan sebagai berikut : D-hitung = Dengan hipotesis sebagai berikut : Ho : ρ = 0, artinya tidak ada autokorelasi Ha : ρ ≠ 0, artinya ada autokorelasi Dengan jumlah sampel tertentu dan jumlah variabel independen tertentu diperoleh nilai kritis dl dan du dalam tabel distribusi Durbin-Watson untuk berbangai nilai α. Hipotesis yang digunakan adalah sebangai berikut: 64 Gambar Kurva Uji D. W Statistik Dimana : Ho : Tidak ada autokorelasi Dw < dl : Tolak Ho ( ada korelasi positif ) Dw > 4-dl : Tolak Ho ( ada korelasi negatif ) du < DW < 4-du :Terima Ho ( ada korelasi ) dl ≤ DW < 4-du : Pengujian tidak bisa disimpulkan ( inclonclusive ) ( 4-du ) ≤ DW < 4-du: Pengujian tidak dapat disimpulkan. 3.6 Defenisi Operasional Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel atau konstrak dengan cara memberikan arti, atau menspesifikasi kegiatan, ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur konstrak atau variabel tersebut. (Moh. Nazir, 2005:126). 1. Pertumbuhan ekonomi adalah persentase PDB Indonesia terhadap PDB tahun sebelumnya yang dihitung tiap tahunnya dalam persen. 65 2. Utang luar negeri merupakan bantuan luar negeri (loan) yang diberikan oleh pemerintah negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk untuk memberikan pinjaman semacam itu dengan kewajiban untuk membayar kembali dan membayar bunga pinjaman tersebut dalam juta dollar. BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN 66 4.1 Analisis Deskriptif 4.1.1 Perkembangan Kondisi Makroekonomi Indonesia Perekonomian Indonesia sebelum dan sesudah krisis moneter menunujukkan perkembangan yang cukup menarik. Pertumbuhan ekonomi Pada awal tahun 1995 tercatat 4.70% kemudian naik menjadi 7.82% pada tahun 1996 dan disusul dengan penurunan akibat krisis moneter pada tahun 1997 denganpertumbuhan PDB sebesar 4.70. Penurunan pertumbuhan PDB ini berturut-turut terjadi pada sampai tahun 1999 dengan penurunan yang sangat drastis yaitu sebesar 0.79%. Hal ini dapat dimaklumi karena dampak dari krisis moneter yang melanda Negara ini sangat signifikan. Banyaknya Perusahaan yang gulung tikar, bahkan industri perbankan sekalipun tidak luput dari terjangan krisis ini. Sehingga terjadi penurunan PDB yang signifikan. Hanya beberapa saja yang biasa bertahan yaitu pengusaha UKM yang sedikit mengandalkan perbankan dalam permodalannya, sehingga pengaruh krisis tidak terlalu besar pada sektor ini. Sedangkan tahun 2005 perekonomian Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Kondisi perekonomian global yang kurang menguntungkan, terutama meningkatnya harga minyak dunia dan strukutr pengetatan kebijakan moneter global menyebabkan upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan stabilitas ekonomi makro ekjonomi menjadi kendala. Ketergantungan kegiatan ekonomi domestik pada impor menyebabkan kondisi perekonomian secara struktural cukup rentan terhadap perubahan kondisi eksternal. Ekspansi ekonomi menjadi lebih lambat ketika kegiatan investasi terkendala oleh meningkatnya biaya produksi akibat kenaikan harga BBM dan belum tuntasnya berbagai peraturan-peraturan di bidang investasi dan pembangunan infrastruktur. Sementara itu, kegiatan konsumsi juga 67 mengalami penurunan karena melemahnya daya beli mesyarakat dan mulai meningkatkan suku bunga . Di sisi lain, kinerja ekspor juga belum begitu menggembirakan seiring dengan kondisi permintaan global yang menurun dan melemahnya daya saing. Untuk keseluruhan tahun 2005, Bank Indonesia memperkirakan bahwa perekonomian dapat tumbuh sekitar 5,3% - 5,6%. Dari stabilitas makro ekonomi, gejolak eksternal harga minyak dunia dan siklus pengetatan moneter global sangat berpengaruh pada kestabilan makroekonomi Indonesia. Kenaikan harga minyak dunia telah mengakibatkan lonjakan kenaikan permintaaan valuta asing di pasar domestik. Kondisi ini diperberat oleh penyesuaian portofolio investor asing yang dengan cepat merespon perubahan suku bunga luar negeri dan masih terbatasnya penanaman modal asing . Dalam pasar volatilitas nilai rupiah yang cukup tajam. Depresiasi nilai tukar dan kenaikan harga BBM pada akhirnya telah menyebabkab peningkatanb inflasi secara signifikan. Dengan perkembangan ini lahju inflasi pada tahun 2005 mencapai sekitar 18%. Sementara pada akhir inflasi inti mencapai 9,5%. 4.2 Pertumbuhan ekonomi Indonesia Sebelum dan Sesudah Krisis Moneter Gejolak ekonomi yang terjadi membawa arus pertumbuhan ekonomi yang bergelombang, mengingat banyaknya fenomena yang terjadi dalam dekade terakhir. Pertumbuhan ekonomi di ukur dari Produk Domestik Bruto yang dihitung pertumbuhannya dari tahun ke tahun berdasarkan atas dasar harga konstan. Besar pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh besar PDB tiap tahunnya, tentu saja factor-faktor yang dapat mempengaruhi besar PDB sudah pasti akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Pada awal tahun penelitian yaitu tahun 1989 kondisi stabilitas moneter pada saat itu sangat baik, hal ini ditandai dengan indicator ketiadaan ancaman devaluasi, cadangan devisa yang cukup tinggi tingkat inflasi yang rendah dan terkendali, suku 68 bunga yang cenderung menurun, serta kurs rupiah yang relative stabil. Kondisi ini membawa perekonomian Indonesia kea rah yang sangat baik. Terlihat dengan besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu yaitu 7,46%. Pada tahun 1989/1990 upaya pemerintah untuk memperkecil angka pengangguran cukup tinggi, untuk itu pemerintah berhasil memobilisasi dana dalam rangka mendorong investasi, dengan perangkat kebijaksanaan deregulasi. ( Tony Prasetiantono, 2005:65). Angka pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya dapat dilihat pada table berikut ini : TAHUN 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 LAJU 5.78 7.46 7.24 6.95 6.46 6.49 7.59 4.7 7.82 4.7 -13.13 Tabel 4.1 Laju Pertumbuhan Ekonomi Indonesia TAHUN LAJU 1999 0.79 2000 4.92 2001 3.45 2002 4.38 2003 4.78 2004 5.03 2005 5.69 2006 5.5 2007 6.28 2008 6.06 Sumber : BPS ( Badan Pusat Statistik ), diolah Dari data table di atas maka dapat dilihat bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung naik pada saat sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia. Seperti yang terjadi pada awal tahuh 1988 yaitu pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,78 dan terus naik sampai 1990. Meski turun sebesar 0,92% pada tahun 1991 namun penurunan tersebut masih dapat dimaklumi karena pada tahun 1990-an pemerintah orde baru berusaha untuk mewujudkan repelita dan tujuan pembangunan di mana pemerintah masih mengahadapi banyak kendala dari masyarakat yang masih kurang siap menerima pembangunan, pengangguran dimana, sistem pendidikan dan 69 fasilitas-fasilitas umum yang masih kurang memadai membuat smua terlihat kompleks. Pada tahun 80-an hingga 90-an masyarakat Indonesia mayoritas bekerja di sektor pertanian, oleh karena itu sektor pertanian menjadi penyumbang utama bagi PDB Indonesia pada masa itu. Seiring berjalannya waktu tren itu juga berubah, lambat laun sektor pertanian digeser oleh sektor-sektor lain. Walaupun pada jaman itu sektor pertanian lebih dominan namun sektor tersebut cukup konsisten dalam meningkatkan PDB Indonesia. Pemerintah saat itu sangat mendukung sektor pertanian dengan menggalakkan swasembada pangan dan masih banyak kebijakan-kebijakan yang pemerintah lakukan untuk mendukung sektor pertanian menjadi sektor yang unggulan. Setelah perekonomian Indonesia pulih kembali kesehatannya sejak 1998, pertumbuhan mulai tampak lebih tingggi dari pertumbuhan dalam periode 1982-1987. Dampak periode 19831987 (masa lesu dan sulit) pertumbuhan PDB idak lebih dari 5% rata-rata per tahun , sedangkan pertumbuhan pada periode 1988-1991 adalah 9% rata-rata pertahun, suatu sektor pertumbuhan paling tinggi dalam dasawarsa 1990. Selanjutnya, pertumbuhan pada tahun-tahun berikutnya dalam dasawarsa 1990 adalah 7,3% rata-rata pertahun dalam periode 1991-1994, 8,2% untuk 1995 dan 7,8% untuk 1996, sedangkan pertumbuhan 1997 menjadi lebih rendah dari yang terjadi dalam 1996, yakni sebesar 7,2% karena terjadi depresi rupiah terhadap dollar AS yang amat dahsyat, sedangkan untuk 1998 pertumbuhan diperkirakan 4%. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa terjadi ekspansi ekonomi dalam dasawrsa 1990 hal ini ditandai dengan ekspor komoditi yang di dalam perkembangannya terus menanjak. Menurut data BPS otal ekspor komoditi ( migas dan non migas) terus meningkat yakni US$ 52,2 milyar , tetapi terhambat pada tahun 1997, hal ini karena terjadinya krisis ekonomi yang melanda perekonomian Indonesia akibat gejolak kurs rupiah yang tidak dapat dihindari. Kesimpulannya, dasawarsa 1990 bagi 70 perekonomian Indonesia adalah dasawarsa untuk mempertahankan pembangunan yang berkesinambungan terus (sustainable development) dan sekaligus sebaai dasawarsa di dalam menyongsong abad ke-21. Pembangunan yang berkesinambungan atau berkelanjutan diperlukan agar perekonomian Indonesia tidak terperosok pada resesi ekonomi yang mendalam seperti dialami pada dasawarsa 1980. Syarat keberhasilan sustainable development adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi, terciptanya pemerataan-keadilan dan lingkungan hidup yang lestari dan terlindungi. Pada paruh kedua dasawarsa 1990 krisis ekonomi yang sangat dahsyat melanda perekonomian Indonesia sumbernya dibagi dalam 3 kelompok yaitu : 1. Faktor Eksternal Faktor eksternal dipandang sebagai pemicu terjadinya krisis ekonomi dalam negeri secara luas. Devaluasi Baht dalam bulan juli 1997 telah memicu kegoncangan kurs mata uang ASEAN dan Negara-negara Asia Timur. Indonesia terkena devaluasi terparah dari devaluasi Baht. Kegoncangan kurs mata uang di kawasan Asia Tenggara dan Timur adalah cermin krisis keuangan di Asia Timur terutema sebagai akibat pergeseran kapital internasional jangka pendek uang sulit dikendalikan kebijakan ekonomi masing-masing Negara di Asia Timur. Kurs mata uang yang terus-menerus melemah akan meyebabkan pelarian capital ( Capital Flight). 2. Faktor Internal 71 Melemahnya kurs rupiah terus menerus selama 18 bulan ( sejak juli 1997) telah membuka tabir kelemahan perekonomian Indonesia. Ganasnya tindakan KKN di Indonesia yang semakin tidak terkendali ,kegiatan perekonomian semakin tidak efisien di sektor public maupun di sektor swasta. Inefisiensi dimana-mana (pemerintah ,BUMN dan perusahaan swasta) menandakan adanya salah urus ( mismanagenment) disebagian besar dunia bisnis dan pemerintah. Akibatnya utang luar negeri pemerintah maupun swasta semakin banyak bertumpuk dan terutama swasta semaki tidak mampu melunasi utang dan bunganya. 3. Krisis Kepercayaan Krisis kepercayaan telah memperkuat krisis yang sudah ada. Akibatnya investor asing secara mendadak memindahkan kepitalnya ke luar negeridan modal dalam negeri juga banyak dilarikan ke luar negeri. Sebab apabila risiko di dalam negeri (kerawanan dan ketegangan) semakin tinggi, tidak mustahil arus modal yang tadinya banyak masuk, secara mendadak berbalik lari ke luar negeri (akibatnya akan memperlemah kurs rupiah). Iklim bisnis yang sehat dan kompetitif kyrang tampak pada rejim orde baru. Praktik diskriminasi dalam bisnis menyolok sekali. Banyak konsensi diberikan kepada gru-grup bisnis tertentu (termasuk bisnis keluarga) dan pemberiannya tidak transparan seperti konsesi kehutanan, telepon, dan infrastruktur lainnya. Proteksi khusus diberikan untuk melindungi industry mobil, pesawat terbang, kapal laut, petrokimia, dan lain sebagainya. Ketidakpercayaan masyarakat dan bahkan dendam rakyat kepada rejim orde baru yang tampak pada saat itu mengharuskan pemerintah segera melakukan reformasi hukum , politik, dan ekonomi. ( Sofyan, 2000:69). 72 Tabel 4.2 Indikator Perekonomian Indonesia Sejak Krisis 1998 Indikator 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Pertumbuhan PDB rii (%) 13,1 0,8 4,9 3,8 4,3 4,9 5,1 5,7 5,5 6,3 PDB Nominal (miliar US$ ) 96 140 166 164 200 239 258 287 364 433 PDB per kapita ( US $) 977 694 742 697 984 1117 1191 1308 1641 1925 Pertumbuhan Ekspor ( %) -8,6 -0,4 27,7 -9,3 5,0 8,4 12,0 19,7 17,7 13,2 Pertumbuhan impor ( % ) 34,4 12,2 39,6 -7,6 15,1 10,9 27,8 24,0 5,8 22,0 Neraca Perdagangan (milliarUS$) 21,5 24,7 28,6 25,4 23,5 24,6 21,2 28,0 39,7 39,6 Transaksi Berjalan (% PDB) 4,3 4,1 4,8 4,2 3,9 3,4 1,1 0,1 3,0 2,5 Sumber : Perekonomian Indonesia (Tulus, 2000: 32) 2008 6,0 497 2183 7,0 12,0 39,1 1,6 Dari tabel di atas dapat kita lihat Indikator-indikator ekonomi makro yang mengalami perbaikan setelah masa krisis terlewati meskipun masih harus kerja keras lagi karena hasil ini masih belum memuaskan. Terlihat sekali bahwa pertumbuhan PDB riil pada tahun 1998 adalah negatif yaitu -13,1 namun hal ini dapat dimaklumi karena pada tahun sebelumnya yaitu tepatnya pertengahan 1997 Indonesia mendapat goncangan yang sangat dahsyat dalam perekonomiannya yang berdampak pada semua system yang di Indonesia. Namun selanjutnya pada tahun 1999 pertumbuhan naik menjadi 0,8%. 73 Gambar 4.1 Grafik Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan pada tahun 1999 masih sangat lambat karena pengaruh krisis masih sangat terasa pada saat itu, dimana sendi-sendi penggerak perekonomian tumbang dan perlu waktu untuk memulihkannya kembali. Namun demikian pada tahun 2002 kinerja ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, paling tidak dilihat dari laju pertumbuhan PDB. Seperti yang ditunjukkan oleh tabel 4.2 pada tahun 2002 PDB Indonesia tumbuh 4,3 % dibanding 3,8% pada tahun sebelumnya, dan kemajuan ini berlangsung terus hingga akhir periode tahun 2004 mencapai 5,1%. PDB nominal meningkat dari 164 miliar dolar AS tahun 2001 menjadi 258 miliar dolar AS pada tahun 2004. Demikian juga pendapatan per kapita meningkat dengan presentase yang cukup besar dari 697 dolar AS ke 1.191 dolar AS dari 2002 hingga akhir 2004. Kinerja ekspor juga membaik dengan pertumbuhan 5% tahun 2002 dibanding -9,3% tahun 2001, dan terus naik hingga mencapai 12% tahun 2004. Namun demikian, neraca perdagangan (NP), yakni saldo ekspor (X) – impor (M) barang, maupun transaksi berjalan (TB), sebaai presentase dari PDB mengalami penurunan. 74 Perkembangan perekonomian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor politik, pada bulan- bulan pertama pemerintahan SBY dan demokrasi, rakyat Indonesia, pelaku usaha luar dan dalam negeri maupun Negara-negara donor serta lembaga-lembaga dunia seperti IMF, Bank Dunia dan ADB sempat optimis bahwa kinerja ekonomi Indonesia 5 tahun ke depannya akan jauh lebih baik disbanding masa pemerintahan sebelumnya. Dan hal tersebut terbukti dengan adanya peningkatan pertumbuhan PDB dari tahun ke tahun hingga tahun 2008, diikuti dengan peningkatan indikator lainnya seperti pertumbuhan ekspor, impor, neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Namun pada tahun 2005 neraca perdagangan mengalami penurunan sebesar 1% pada tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan adanya kenaikan harga BBM di pasar internasional dari 45 dolar AS per barrel awal tahun 2005 menjadi 70 dolar per barrel awal Agustus 2005 yang sangat tidak menguntungkan Indonesia. Tingginya impor BBM menguras cadangan devisa Indonesia apalagi dengan harga yang melambung tinggi akibatnya pemerintah membuat suatu keputusan yang sangat tidak populis yakni mengurangi subsidi BBM, yang membuat harga BBM di pasar meningkat tajam.Tentu saja dampaknya sangat terasa oleh masyarakat kecil dan industry rumah tangga yang mengandalkan banyak BBM dalam produksinya dan kemudian Harga-harga barang menjadi mahal. Namun hal itu tidak membat perekonomian menjadi terpuruk, buktinya pada tahun 2006 dan 2007 TB mengalami kenaikan yaitu masing-masing 3,0 dan 2,5. Namun pada tahun 2008 dunia dilanda krisis global yang bermula dari Amerika Serikat yang berdampak pula bagi pereknomian Indonesia meskipun diprediksi idak separah krisis yang terjadi 10 tahun yang lalu, akibatnya pertumbuhan ekonomi turun sebesar 0,3% dan Transaksi berjalan turun sebesar -36% menjadi 1,6% dari 2,5% pada tahun 2007 (Tulus tambunan, 2009 :32). 75 4.3 Perkembangan Utang Luar Negeri Indonesia Pada dasarnya dalam proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala umum yang wajar. Hal tersebut disebabkan tanbungan dalam negeri yang rendah sehingga tidak memungkinkan dilakukannya investasi yang memadai, sehingga jalan alternative lainnya ialah dengan menarik dana atau pinjaman luar negeri. Utang luar negeri (foreign debt) mulai berkembang di Indonesia sejak pemerintahan Indonesia menganut sistem devisa bebas. Sejak bulan agustus 1971, sistem devisa bebas mulai diterapkan di Indonesia. Pemerintah tidak lagi membatasi modal yang akan dibawa masuk atau ke luar negeri. Semua masyarakat boleh memakai mata uang lain baik di dalam maupun luar negeri, untuk keperluan eksport maupun individual. Utang luar negeri sudah ada sejak masa orde lama, pada saat itu perekonomian Indonesia masih jauh dari kesejateraan di samping itu, adanya kondisi politik yang sangat tidak stabil sehingga pemerintah membutuhkan dana untuk membiayai perlawanan terhadap pemberontakan maupun pertahanan Negara. Sumber-sumber pendapatan nasional yang masih belum cukup untuk membiayai 76 Gambar 4.2 Grafik Utang Luar Negeri Indonesia Utang luar negeri ( foreign debt ) pada dasarnya memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga merupakan salah satu penyebab utama keterpurukan ekonomi Indonesia. Ini disebabkan karena semakin besarnya beban utang luar negeri Indonesia baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta asing harus yang ditanggung. Tanpa adanya keringanan utang (debt relief), terutama berupa penghapusan sebagian beban utang luar negeri, Indonesia diramalkan akan menjerumus ke dalam krisis yang lebih besar. Dari gambar grafik 4.2 dapat kita lihat gelombang masuknya utang luar negeri baik utang pemerintah maupun swasta sebelum dan sesudah krisis moneter. Pada awal tahun 1988, gelombang utang swasta terlihat menurun sampai tahun 1990, selanjutnya naik secara perlahan mulai tahun 1991 hingga pada puncaknya tahun 1998 setelah terjadi krisis moneter. Utang luar negeri swasta menunjukkan gelombang yang sangat tinggi pada masa itu, hal ini karena 77 keterpurukan perekonomian Indonesia yang tidak stabil. Perlahan utang luar negeri swasta menunjukkan penurunan grafik pada tahun 2000 dan stabil hingga tahun 2002. Mulai tahun 2003 sampai 2008 gelombang utang luar negeri mulai naik kembali, hal ini disebabkan karena pada peretengahan tahun 2004 terjadi kenaikan harga minyak dunia yang menguras devisa Negara untuk menutupi subsidi BBM, sehingga pemerintah mengambil langkah untuk melakukan pinjaman luar negeri. Kemudian pada tahun 2008 terjadi krisis global yang berawal dari bangkrutnya perusahaan raksasa Amerika yang berimbas pada semua Negara di dunia tidak terkecuali Indonesia, meski tidak terlalu signifikan tetapi krisis ini cukup menguras devisa Negara untuk menstabilkan nilai rupiah agar tetap stabil. Namun krisis yang dialami Indonesia pada tahun 2008 tidak separah krisis yang dialami pada tahun 1998, hal ini dikarenakan fundasi perekonomian Indonesia yang sudah lebih kokoh disbanding tahun 1998. Pada pertengahan dasawarsa 1990-an sebetulnya sudah tampak terjadinya penurunan utang luar negeri Indonesia meskipun terkadang naik secara perlahan. Namun demikian tren penurunan tersebut akhirnya berbalik menjadi suatu lonjakan tajam pada tahun 1997 yaitu sebesar 25.015 juta US dolar, hal ini disebabkan karena terjadinya krisis ekonomi di Indonesia. Tetapi pada tahun 1999 terjadi penurunan sedikit lalu meningkat pada tahun berikutnya pada posisi utang pemerintah. Pada tahun 1997 utang pemerintah adalah 7.368 kemudian meningkat 73,3% pada tahun 2008 yaitu sebesar 12.767. Tahun 1998 terjadi kenaikan yang sangat drastic pada posisi utang pemerintah, hal ini disebabkan karena adanya upaya pemerintah untuk menstabilkan nilai rupiah dan perekonomian, sebab cadangan devisa Indonesia pada saat itu sangat tidak cukup untuk menopang perekonomian dan menstanilkan nilai rupiah apalagi untuk berjaga-jaga adanya kemungkinan dampak krisis yang lebih hebat. Penurunan dan 78 perkembangan yang cukup stabil kembali terjadi setelah tahun 2002 seiring pemulihan perekonomian Indonesia. Kemudian mulai tahun 1999 hingga 2004 utang pemerintah mengalami penurunan yaitu 4.750 juta US dolar pada tahun 1999, tahun 2000 4750 juta US dolar, tahun 2001turun menjadi 2.878 juta US dolar, 3.714 juta US dolar pada tahun 2002, 3.796 juta US dolar pada tahun 2003 dan 3.221 juta US dolar pada tahun 2004. Sedangkan utang luar negeri swasta mengalami gelombak naik turun selama periode itu bahkan yang paling mengejutkan adalah jumlah utang luar negeri swasta pada tahun 2004 yang meningkat drastic pada tahun sebelumnya yaitu sebesar 12.316 juta US dolar meningkat sebesar 47,7% dari tahun sebelumnya. Maka tidak heran jumlah utang luar negeri pada tahun 2004 juga meningkat drastic yaitu sebesar 15.537 juta US dolar. Hal ini disebabkan karena pada tahun 2004 yaitu pada masa awal pemerintahan reformasi terjadi lonjakan harga minyak yang sangat signifikan. Hal ini berdampak negative pada pengusahapengusaha yang mengandalkan BBM dalam usahanya. Pihak swasta harus menerima kenyataan naiknya harga BBM menuntut mereka harus mengeluarkan uang lebih untuk produksi barang dan jasanya, sehingga untuk menutupi itu pihak swasta melakukan penarikan pinjaman utang luar negeri agar proses produksi tetap berjalan, meski tidak sedikit perusahaan yang gulung tikar akibat kenaikan tersebut. Pada tahun 2008 terjadi kenaikan yang masih dapat di toleransi baik di sisi utang pemerintah dan utang swasta, yaitu masing-masing meningkat sebesar 66,2% dan 33,22% dengan jumlah utang luar negeri secara keseluruhan meningkat sebesar 46.102 juta US dolar. Kenaikan pada tahun 2008 diakibatkan karena gejolak krisis global yang melanda seluruh negara di dunia. Indonesia juga terkena dampak krisis global yang berawal dari kebangkrutan perusahaan yang bergerak di bidang bisnis perumahan GP Morgan yang membawa pengaruh 79 terhadap perekonomian Indonesia, untuk itu pihak swasta dan pemerintah mengambil tindakan untuk menarik utang luar negeri untuk menstabilkan nilai rupiah yang ikut melemah pada tahun 2008. Indonesia sebagai salah satu negara pengutang terbesar, masalah utang, baik peranannya dalam pembangunan, implikasi dan kemauan melakukan pembayaran bunga dan cicilan utang merupakan hal yang perlu dikaji lebih lanjut. Dengan mengamati ketahanan ekonomi Indonesia saat ini, sangat sulit mengatakan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap utang luar negeri akan berkurang untuk setidak-tidaknya sepuluh tahun ke depan. Hal ini disebabkan karena masalah utang luar negeri yang dihadapi Indonesia telah mencapai tahap yang demikian kompleks sehinga sulit untuk diupayakan pemecahan dalam waktu yang defenitif. Periode 1997 sampai 2001 misalnya, rasio pembayaran utang ( debt service ratio ) Indonesia sudah mencapai angka di atas 40 persen. Karena itu cara-cara konvensional, yaitu “gali lubang tutup lubang “ dalam mengatasi masalah utang luar negeri seperti yang selama ini dilakukan oleh pemerintah hanya akan memperburk dan memperpanjang krisis ini. Sebenarnya, penjadwalan kembali utang ( debt rescheduling) lewat moratorium pun hanya akan menunda proses kebangkrutan dan bukan solusi jangka menengah apalagi jangka panjang atas masalah pembiayaan ekonomi Indonesia Tabel 4.3 Beban Utang Luar Negeri Indonesia ( % ) Indikator 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 DSR 44.5 57.9 56.8 44.8 41.4 33.1 33.8 Posisi utang Luar Negeri/PDB 62.2 146.3 103.3 84.3 87.1 71.6 67.2 Sumber : Bank Indonesia, Laporan tahunan Bank Indonesia, berbagai penerbitan Nisbah DSR, nisbah total utang terhadap ekspor dan total utang terhadap PDB pada tahun 2000 menunjukkan angka yang relative membaik dari tahun sebelumnya, yakni 103,3 persen di 80 tahun 1999 menjadi 84,3 persen di tahun 2000. Namun demikian angkanya masih relative tinggi dan cukup berbahaya, karena telah jauh melebihi angka 10%-20%. Angka nisbah tersebut mencerminkan letergantungan perekonomian Indonesia yang tinggi terhadap utang luar negeri. Ratio utang terhadap PDB dapat dilihat sebagai criteria untuk mengecek kesehatan keuangan suatu negara, dimana rasio di atas 50 persen menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri Indonesia sudah membebani lebih dari 50 persen pendapatan nasional. Beberapa penelitian bahkan menyatakan, kontribusi utang terhadap pertumbuhan ekonomi akan menjadi negatif apabila ratio utang terhadap PDB telah melampaui 50 persen. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila negara-negara sedang berkembang banyak yang member standar rasio utang terhadap PDB di atas 60 persen sebagai lampu kuning. Pemerintah Indonesia juga memiliki motivasi dan komitmen yang kuat untuk membawa rasio utang terhadap PDB di bawah 50 persen di taun 2006, mengingat institusi-institusi Indonesia sebagai negara berkembang belum kuat negara maju. Jumlah utang luar negeri Indonesia yang besar pada akhirnya harus dibandingkan dengan asst-asset kekayaan yang ada di Indonesia. Selain asset BUMN, pemerintah masih memiliki kekayaan yang sangat besar dalam bentuk sumber daya alam yang belum di eksploitasi dengan baik. Dalam hal ini ketergantungan neraca pembayaran maupun APBN pada hasil sumber daya alam masih sangat tinggi sehingga seharusnya dapat mengurangi beban utang luar negeri Indonesia yang masih sangat besar. 4.4 Hasil Evaluasi dan Interpretasi 4.4.1 Hasil Uji Akar-akar Unit ( Unit Roots Test ) dan Derajat Integrasi Dasar teoritis yang digunakan untuk menguji perilaku data atas data time series yaitu, variabel Utang luar negeri dan Pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah uji akar-akar unit (unit 81 root test) dan uji derajat integrasi yang dikembangkan oleh Dickey dan Fuller, 1979 (Insukindro, 1993) pengujian valitas data ini harus dilakukan untuk menghindari model lancing atau bias (tidak efisien), uji akar-akar unit dan derajat integrasi ini menggunakan Augmented DickeyFuller ( ADF ) statistic untuk kurun waktu 1988-2008. Tabel 4.4 Hasil Estimasi ADF dan Derajat Integrasi untuk Uji Akar Unit Uji Akar Unit Variabel ADF Derajat Integrasi Critical Value Stasioner -4.994473 -3.886751*** I(2) Luar -4.641806 -3.857386*** I(0) Pertumbuhan Ekonomi Utang Negeri Keterangan : *** = Signifikan pada α = 1% Sumber : Lampiran 2 Berdasarkan tabel diatas menunjukkan bahwa hasil Uji Akar Unit (Unit Root Test) pada variabel pertumbuhan ekonomi diperoleh informasi bahwa angka ADF statistik yang cukup tinggi yakni sebesar -4.994473 . Nilai ini melewati nilai kritis pada tingkat signifikansi sebesar 1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data runtun waktu variabel pertumbuhan ekonomi telah stasioner dengan melakukan pembedaan kedua atau I(2) atau disebut juga dengan second difference. Variabel utang luar negeri dapat diperoleh informasi bahwa angka ADF statistik yang cukup tinggi juga yakni sebesar -4.641806. Nilai ini melewati nilai kritis pada tingkat signifikansi sebesar 1%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa data runtun waktu variabel nilai tukar 82 rupiahutang luar negeri telah stasioner dengan melakukan pembedaan kedua atau I(2) atau disebut juga dengan second difference. 4.4.2 Hasil Estimasi Uji Kausalitas Granger Untuk melihat bagaimana hubungan utang luar negeri terhadap pertumbuhan ekonomi akan diuji dengan menggunakan uji kausalitas Granger. Pengujian didasarkan pada uji F-statistik pada tingkat kepercayaan 1 – 10%. Jika nilai F-statistik adalah signifikan, maka hitpotesa nol yang menyatakan tidak ada hubungan dapat ditolak, begitu juga sebaliknya jika nilai F-statistik tidak signifikan maka hipotesa nol diterima yang artinya kedua variabel yaitu utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi saling mempengaruhi jika nilai f-statistik signifikan. Berikut hasil uji kausalitas Granger untuk utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi : Tabel 4.5 Hasil Uji Kausalitas Granger Pairwise Granger Causality Tests Date: 03/03/10 Time: 16:32 Sample: 1988 2008 Lags: 1 Null Hypothesis: Y does not Granger Cause ULN ULN does not Granger Cause Y Obs F-Statistic Probability 20 11.8494 3.16924 0.00311 0.09292 Sumber : data diolah dengan eviews 5.1 ( lampiran 3) Dari table hasil pengujian Granger di atas, dapat dilihat bahwa utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi saling berhubungan ( feed back ) ,Hal ini dapat dilihat dari nilai F-statistik dari pertumbuhan ekonomi signifikan pada α = 1% dan F-statistik utang luar negeri signifikan pada α = 5%. Keduanya secara statistik saling mempengaruhi satu sama lain, tetapi hal ini sudah sesuai dengan hipotesis yang ada yang menyebutkan utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan dua arah. 83 4.4.3 Hasil uji Kointegrasi Uji kointegrasi bertujuan untuk mengetahui hubungan keseimbangan dalam jangka panjang antara utang luar negeri dengan Pertumbuhan ekonomi Indonesia. Uji ini dapat dilakukan dengan Uji Engle-Granger atau Uji Augmented Engle-Granger. Uji ini dilakukan dengan memanfaatkan Uji DF - ADF. Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pengujian AEG test ini adalah : a Lakukan estimasi model. b Dapatkan residual dari model tersebut c Uji apakah residual tersebut sudah stasioner. Apabila residualnya telah stasioner, berarti ada kointegrasi Berikut ini hasil Uji Kointegrasi dengan Uji Augmented Engle - Granger Tabel 4.6 Hasil Estimasi Uji Kointegrasi Uji Akar Unit Variabel RESID ADF -2.940951 Derajat Integrasi Critical Value Stasioner -2.692358*** I(1) Keterangan: (***) = signifikan pada α = 1% Sumber : Lampiran 4 Berdasarkan hasil ADF statistik pada perbedaan pertama ( first different) yang diperoleh untuk residual sebesar -2.940951, sedangkan nilai kritis untuk tingkat signifikansi 1 % sebesar 2.692358 dan untuk tingkat signifikansi 5% sebesar -1.960171 dan untuk tingkat signifikansi 10% sebesar -1.607051. Hasil ini menunjukkan nilai ADF yang lebih besar dari nilai kritisnya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa residual telah stasioner, dengan kata lain bahwa adanya kointegrasi antara variabel independenutang (luar negeri ) terhadap variabel dependent (pertumbuhan ekonomi). 84 4.4.4 Hasil Uji OLS ( Ordinary Least Square ) Analisis pembahasan ini dimaksud untuk mengetahui korelasi antara kedua variabel, yaitu variabel dependen Pertumbuhan ekonomi ) dan variabel independen ( utang luar negeri dan variabel dummy ). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian di Bank Indonesia dan Badan Pusat Statistik ( BPS ) tahun 1988 – 2008, dan telah diolah menggunakan bantuan computer dengan menggunakan eviews 5.1 dapat dilihat hasilnya dari table dibawah. Tabel 4.7 Hasil Estimasi OLS LY = 8.538527 + 0.555901LX1 + 0.601808D Standar Error = t-Statistik ( 0.112196 ) = R2 = 0.794815 ( 4.954748 ) *** ( 0.117992 ) ( 5.100413 )*** DW-stat = 0.803011 F-Statistik = 34.86289 Keterangan: (***) = signifikan pada α = 1% Sumber : Lampiran 5 4.4.4 Interpretasi model Model persamaan sebagai berikut : LY = f ( LX1,D )…………………………………………………………( 1 ) Kemudian fungsi tersebut ditransformasikan ke dalam bentuk multiple regression sebagai berikuty : LY = α + β1 LogX1 + β2 D + µ....................................................................(2) Keterangan : Y = Pertumbuhan ekonomi yang diproxi dengan data PDB Indonesia atas dasar harga berlaku X1 = Jumlah utang luar negeri Indonesia D = Variable Dummy (Krisis moneter) 85 D = 1 = Tahun setelah krisis moneter (1988-2008) D = 0 = Tahun sebelum krisis moneter (1988-1996) β1,β2 = Koefisien regresi µ = Tingkat kesalahan atau erorr term Berdasarkan hasil regres dapat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut :\ LY = 8.538527 + 0.555901LX1 + 0.601808D Dari hasil estimasi di atas dapat dijelaskan pengaruh variabel independen yaitu sebagai berikut : 1. Utang luar negeri memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah moneter. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien utang luar negeri yaitu sebesar 0.55. Artinya setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 1% maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.55%, ceteris paribus. 2. Krisis ekonomi ( variabel Dummy ) mempunyai hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien variabel dummy adalah 0.60. Artinya apabila terjadi krisis moneter maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.60%. 4.4.5 Test of Goodness of Fit 4.4.6 Koefisien Determinasi Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersamaan dapat member penjelasan terhadap variabel dependen. Dari hasil regresi diperoleh nilai R2 = 0.79, yang artinya bahwa variabel pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen mampu dijelaskan oleh variabel independen yaitu utang luar negeri dan 86 variabel dummy sebesar 0.79% dan sisanya 0.21% lagi dijelaskan oleh variabel lain di luar model. 4.4.7 Uji t-statistik ( uji parsial) Uji t-statistik merupakan suatu pengujian yang bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing koefisien regresi signifikan atau tidak terhadap variabel denpenden dengan variabel lainnya konstan. Dalam uji ini digunakan hipotesis sebagai berikut : Ho : bi = 0 ( tidak signifikan ) Ha : bi ≠ 0 ( signifikan) I. Variabel Utang Luar Negeri ( X1) Dari hasil analisa diketahui t-hitung = 4.954748 α = 1% 1/2α = 0.005 Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t- tabel = 2.898 Ha diterima Serial Corelation -2.898 2.898 4.95 Gambar 4.3 Kurva uji t-statistik Utang luar negeri Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa utang luar negeri signifikan pada α = 1% dengan t-hitung > t-tabel (4.954 > 2.898). Dengan demikian Ha diterima, artinya variabel 87 utang luar negeri berpengaruh nyata dan signifikan terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 99%. Hasil dari uji t di atas utang luar negeri berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sudah sesuai dengan hipotesis dan signifikan secara statistik. Artinya adalah apabila utang luar negeri mengalami peningkatan sebesar 1% maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 4.954%. Hal ini terjadi karena makin besar utang luar negeri semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia per tahunnya. II. Variabel Dummy ( Krisis Moneter ) Dari hasil analisa diketahui t-hitung = 5.100413 α = 1% 1 / 2α = 0.005, Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t-tabel = 2.898 Ha diterima Serial Corelation -2.898 2.898 5.100 Gambar 4.4 Kurva uji t-statistik variable Dummy (krisis moneter) Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa variabel dummy ( krisis moneter ) signifikan pada α = 1% dengan t-hitung > t-tabel ( 5.100 > 2.898 ), maka Ha diterima artinya variabel dummy ( krisis moneter ) berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 99%. 88 Hasil dari uji t di atas variabel dummy berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tidak sesuai dengan hipotesis dan signifikan secara statistik. Sehingga dapat dinyatakan bahwa variabel dummy berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa jika terjadi krisis moneter maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Meskipun tidak sesuai dengan hipotesis, hal ini wajar karena pada dasarnya apabila terjadi krisis maka utang luar negeri akan meningkat maka meningkat pula lah pertumbuhan ekonomi, maka hasil analisis data ini masih dapat diterima meskipun tidak sesuai dengan hipotesis. 4.4.8 Uji Penyimpangan Klasik 4.4.8.1 Multikolinearitas Pengujian ini bertujuan untuk mengukur hubungan antar variabel penjelas sehingga dapat dikatakan ada tidaknya gejala multikolinearitas di antara variabel penjelas. Untuk menguji ada tidaknya gejala multikolinearitas digunakan metode Klien’s Rule Thumb. Hasil regresi multikolinearitas, dapat dilihat pada table sebagai berikut : Tabel 4.8 Hasil Regresi Uji Multikolinearity Variabel LX1 DUMMY LX1 1.000000 0.075562 DUMMY 0.075562 1.000000 Keterangan : 1. Data diolah 2.Sumber : program Eviews – metode OLS (lampiran 7) R-squared hasil regres sebelumnya adalah R2 = 0.794815 1) R2 ( Log X1 dan Dummy ) = 0.794815 R2 ( Log X1 dan Dummy ) < R2 artinya tidak ada gejala multikolinearitas antara utang luar negeri dan variabel dummy ( krisis moneter ). 89 4.4.8.2 Autokorelasi (Serial correlation) 1. Hipotesis : Ho : ρ = 0, artinya tidak ada autokorelasi Ho : ρ ≠ 0, artinya ada autokorelasi 1. DW-hitung = 0.803011 2. α = 5%, k = 3, n = 21 DWL = 1.046 DWU = 1.535 4 – DWL = 2.465 4 – DWU = 2.954 Kesimpulan yang diambil adalah DW< du. Hal ini berarti model estimasi bergejala autokorelasi. Autocorelation 1.064 1.535 4 Gambar 4.5 Kurva Uji DW 90 2.954 2.465 Untuk mengobati persamaan agar tidak bergejala autokorelasi maka dilakukan cara-cara dengan mengubah model persamaan dan memasukkan variabel AR menjadi persamaan sebagai berikut: LYt = α0 + αi LX1 + αiiD + µt Di mana : µt = ρµt-1 + vt Selanjutnya model persamaan menjadi : LYt = α0 + αi LXit + αiiD + ρµt-1 + vt Dimana : µt = error term yang menandung autokorelasi ρ = koefisien autokorelasi vt = error term yang memenuhi asumsi klasik Dari persamaan di atas, maka didapat hasil estimasi sebagai berikut : Tabel 4.9 Estimasi uji DW dengan variabel AR Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test: F-statistic Obs*R-squared 5.072285 8.403187 Probability Probability 0.022037 0.014972 Keterangan : 1. Data diolah 2.Sumber : program Eviews – metode OLS (lampiran 8) Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai Obs*R-Squared bernilai 8.4031 dengan probabilitas Chi-Squared adalah 0.014972. Hasil ini menunjukkan bahwa nilai probabilitasnya yang cukup besar yaitu 0.05 atau 5%, sehingga kita tidak menolak hipotesa nol yaitu tidak ada autokorelasi. Dapat juga melihat probabilitas chi-squares sebesar 0.014972 pada kelambanan 2 kita menerima hipotesa nul karena tingkat signifikasi α lebih besar dari 1% yaitu 0.0149%. Dari analisis diatas dapat disimpulkan model tidak mengandung autokorelasi. 91 Maka, dari hasil regres diatas hasil estimasi untuk ketiga variabel tersebut adalah : Tabel 4.10 Hasil Estimasi OLS dengan Variabel AR LYt = 362153.6 - 0.015359LX1 - 0.021576D Standar Error = (0.065266) (0.077376) t-Statistik (-0.235331)* (-0.278850)* = R2 = 0.420159 F-Statistik = 2.028913 DW-stat = 1.747149 Keterangan: (*) = signifikan pada α = 10% Sumber : Lampiran8 Berdasarkan hasil regres dapat diperoleh hasil estimasi sebagai berikut : LYt = 362153.6 - 0.015359LX1 - 0.021576D Dari hasil estimasi di atas dapat dijelaskan pengaruh variabel independen yaitu sebagai berikut : 3. Utang luar negeri memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sebelum dan sesudah moneter. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien utang luar negeri yaitu sebesar 0.015. Artinya setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 1% maka akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0.015%, ceteris paribus. 4. Krisis ekonomi ( variabel Dummy ) mempunyai hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi dengan koefisien variabel dummy adalah 0.0215. Artinya apabila terjadi krisis moneter maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.021%. 4.4.9 Test of Goodness of Fit Model Baru 4.4.10 Koefisien Determinasi Koefisien determinasi dilakukan untuk melihat seberapa besar kemampuan variabel independen secara bersamaan dapat member penjelasan terhadap variabel dependen. Dari hasil 92 regresi diperoleh nilai R2 = 0.42, yang artinya bahwa variabel pertumbuhan ekonomi sebagai variabel dependen mampu dijelaskan oleh variabel independen yaitu utang luar negeri dan variabel dummy sebesar 0.42% dan sisanya 0.58% lagi dijelaskan oleh variabel lain di luar model. 4.4.11Uji t-statistik ( uji parsial) Variabel Utang Luar Negeri ( X1) Dari hasil analisa diketahui t-hitung = (-0.235331) α = 1% 1/2α = 0.005 Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t-tabel = -1.333 Ha diterima Hoditerima Serial Corelation -1.333 -0.235 1.333 Gambar 4.6 Kurva uji t-statistik Utang luar negeri Model Baru Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa utang luar negeri signifikan pada α = 10% dengan t-hitung > t-tabel (-0.235 > -1.333). Dengan demikian Ho diterima, artinya variabel utang luar negeri tidak berpengaruh nyata dan tidak signifikan terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 90%. 93 Hasil dari uji t di atas utang luar negeri berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi sudah sesuai dengan hipotesis dan tidak signifikan secara statistik. Artinya adalah apabila utang luar negeri mengalami peningkatan sebesar 1% maka jumlah pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 4.954%. Hal ini terjadi karena makin besar utang luar negeri semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi di Indonesia per tahunnya. III. Variabel Dummy ( Krisis Moneter ) Dari hasil analisa diketahui t-hitung = -0.278850 α = 1% 1 / 2α = 0.005, Df = n-k-1 = 21-3-1 = 17 t-tabel = -1.333 Ha diterima Ho diterima Serial Corelation -1.333 -0.278 1.333 Gambar 4.7 Kurva uji t-statistik Variable Dummy (krisis moneter) Model Baru Dari hasil estimasi di atas dapat diketahui bahwa variabel dummy ( krisis moneter ) signifikan pada α = 10% dengan t-hitung > t-tabel (-0.278 > -1.333), maka Ho diterima artinya variabel dummy ( krisis moneter ) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel pertumbuhan ekonomi pada tingkat kepercayaan 90%. Hasil dari uji t di atas variabel dummy berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi, tidak sesuai dengan hipotesis dan signifikan secara statistik. Sehingga dapat 94 dinyatakan bahwa variabel dummy berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Hal ini berarti bahwa jika terjadi krisis moneter maka akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Berdasarkan hasil analisis di atas, penulis tetap berpegang pada hasil regres yang pertama yaitu utang luar negeri berpengaruh positif dan signifikan pada α = 1% terhadap utang luar negeri, karena hal tersebut sudah sesuai dengan hipotesis makalah ini. 95 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 4.4 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai pengaruh utang luar negeri dan variabel dumm (krisis moneter) terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia dan hubungan kausalitas antara utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi , maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Dari hasil estimasi Granger Causality Test, hubungan antara kedua variabel yaitu iutang luar negeri dan pertumbuhan ekonomi memiliki hubungan 2 arah atau feedback, artinya kedua variabel tersebut saling mempengaruhi satu sama lainnya. 2. Berdasarkan hasil uji kointegrasi menunjukkan bahwa kedua variabel utang luar negeri dan pertumbuhan ekonomu memiliki hubungan stasioner pada tingkat second difference yang berarti bahwa terdapat hubungan jangka panjang antara utang luar negeri dan pertmbuhan ekonomi Indonesia. 3. Utang luar negeri memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah krisis moneter. Hal ini ditunjukkan oleh koefisien utang luar negeri yaitu sebesar 0.555. Artinya setiap kenaikan utang luar negeri sebesar 1% maka pertumbuhan ekonomi akan naik sebesar 0.555%, ceteris paribus. 96 5.2 Saran 1. Perkembangan utang luar negeri harus diperhatikan agar tetap berada pada posisi normal dan menguntungkan pembangunan ekonomi bukan untuk menambah beban perekonomian di Indonesia. Sebab dalam jangka panjang utang luar negeri dapat merugikan perekonomian karena risikonya lebih besar. Kondisi perekonomian Indonesia yang masih rentan terhadap pengaruh dari luar, nilai kurs yang rupiah yang masih belum stabil menjadi alasan yang sangat penting dan harus dipertimbangkan oleh pemerintah dalam mengambil langkah melakukan pinjaman luar negeri. 2. Perkembangan pertumbuhan ekonomi tiap tahunnya harus diperhatikan agar tetap stabil peningkatannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Para pengamat ekonomi Indonesia harus lebih jeli melihat peluang-peluang dalam rangka meningkatkan PDB dengan cara memperluas lapangan kerja sehingga dapat merangsang pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya meningkatan kesejahteraan rakyat. 3. Krisis ekonomi harus tetap diwaspadai karena dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan sendi-sendi perekonomian yang pada akhirnya dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi. 97 DAFTAR PUSTAKA Surya, Adwin. 2001, “Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia: Perkembangan dan Dampaknya”, Pusat Pendidikan Petra, Jakarta Basri, Faisal. 2002, “Perekonomian Indonesia“, Erlangga, Jakarta Boediono. 2008, “Ekonomi Indonesia, Mau Kemana “, Gramedia Pustaka, Jakarta -------------, 1981, “Pengantar Ilmu Eknomi “, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Yogyakarta, Yogyakarta Gujarati, Damodar. 2006, “Dasar-dasar Ekonometrika “, Erlangga, Jakarta Hamid, Edy Suandi. 2001, “Sistem Ekonomi Utang Luar Negeri, dan Isyu-isyu Ekonomi Politik Indonesia “, Ekonisia, Yogyakarta Hill, Hall. 2001, “Ekonomi Indonesia“, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta Kamaluddin Rustian. 1998, Pengantar Ekonomi Pembangunan: Dilengkapi dengan Analisis Beberapa Aspek Kebijakan Pembangunan Nasional, Lembaga Penerbit FEUI,Jakarta Nazir, Moh. 2005, “Metsode Penelitian”, Ghalia Indonesia, Bogor Pratomo, Wahyu Ario dan Paidi Hidayat. 2007, “Pedoman Praktis Pengunaan Eview dalam Ekonometrika“, USU Press, Medan Sabirin, Syahril. 2003, “Perjuangan Keluar dari Krisis “, BPFE Yogyakarta, Yogyakarta Saleh, Sofyan. 2000,” Perekonomian Indonesia dalam perspektif waktu”, PT Pamator, Jakarta Sumodiningrat. Gunawan. 1994, “Ekonometrik Pengantar “, BPFE Yogyakarta Badan Penerbit Ekonomi Indonesia, Jakarta Sukirno, Sadono. 2006, “Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan “, Kencana Prenada Media Group, Jakarta Tambunan Tulus. 2009, “Perekonomian Indonesia”, Ghalia Indonesia, Bogor Wibisono, Kristanto.1998, “Menelusuri Akar-akar Krisis Indonesia“, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta www.bps.go.id SURAT PERNYATAAN 98 Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Desmawati Sihombing NIM : 060501048 Departemen : Ekonomi Pembangunan Fakultas : Ekonomi Adalah benar telah membuat skripsi dengan judul “Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya. Medan, Yang membuat pernyataan (Desmawati Sihombing) NIP. 060501048 99 100