Panduan Pengelolaan Tanah Wakaf Tunai

advertisement
PENGANTAR
DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF
Bismillahirrahmanirrahim
Terlebih dahulu kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT,
karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat melakukan berbagai upaya
untuk meningkatkan, memperdalam dan memperluas pelayanan
kehidupan beragama.
Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita yang
dipicu oleh krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting sebagai
salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, kesadaran berwakaf menjadi perekat kohesi sosial bangsa kita.
Pengelolaan wakaf tidak statis, melainkan selalu berkembang sejalan
dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai lebaga yang
memiliki tanggungjawab dalam bidang keagamaan, Depertemen Agama
berusaha terus memfokuskan perhatian pada upaya pemberdayaan harta
benda wakaf secara produktif.
Untuk itu, kehadiran buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai” ini
diharapkan dapat merubah paradigma lama menjadi paradigma baru wakaf
untuk meningkatkan peran sosial wakaf di tanah air kita.
Semoga Allah SWT meridhai niat baik dan upaya yang kita lakukan
bersama. Amin
Wassalam,
Jakarta, Juli 2006
Direktur Pemberdayaan Wakaf
Dr. Sumuran Harahap, MH, MMNIP.
150
i
SAMBUTAN
DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmat
dan inayah-Nya kita dapat berupaya meningkatkan pelayanan kehidupan
beragama dalam bidang perwakafan.
Salah satu upaya strategis yang dilakukan Departemen Agama adalah
mengembangkan kelembagaan wakaf dan memberdayakan potensinya
untuk meningkatkan martabat masyarakat dan bangsa. Kami terus
berupaya agar pemberdayaan wakaf secara produktif dijadikan sebagai
pemicu semangat dalam membangun masa depan umat yang saat ini
sedang terpuruk.
Oleh karena itu, sebagai langkah ke depan perlu dikembangkan suatu
sistem pengelolaan dan pengembangan wakaf yang sesuai dengan tuntutan
dan perkembangan yang terjadi serta garis kebijakan Pemerintah.
Pengadaan referensi wakaf yang disusun oleh Direktorat Pemberdayaan
Wakaf tak lain merupakan bagian dari upaya mendorong wakaf memiliki
peran penting dalam kehidupan umat dan tegaknya fondasi kesejahteraan
yang nyata.
Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku “Pedoman
Pengelolaan Wakaf Tunai” ini karena memuat substansi yang perlu
disosialisasikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga Islam yang
mengelola wakaf atau memiliki kepentingan terhadap wakaf.
Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap
pemberdayaan wakaf lebih meningkat dan terarah sejalan dengan harapan
kita bersama.
Semoga Allah swt memberkati niat baik dan upaya yang kita lakukan.
Amin.
Wassalam,
Jakarta, Juli 2006
Direktur Jenderal,
Prof. Dr. Nasaruddin Umar
NIP. 150
ii
Daftar Isi
Pengantar……..…………………………………………………………….i
Sambutan…………………………………………………………………..ii
Daftar Isi…………………………………………………………………..iii
Bagian Pertama
PENDAHULUAN……………………………………………………..1
A. Pengertian Wakaf Tunai………………………………………….1
B. Sejarah Wakaf Tunai……………………………………….……..4
C. Dasar Hukum Wakaf Tunai…………………………………..14
D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)………18
Bagian Kedua
WAKAF TUNAI DAN
PEMBANGUNAN EKONOMI…………………………..…….31
A. Membuka Kebuntuan Wakaf………………………………....31
B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi……………...39
C. Wakaf Tunai sebagai Dana Publik…………………………..48
D. Wakaf Tunai sebagai Voluntary Fund…………….………..….63
Bagian Ketiga
MANAJEMEN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI…….71
A. Sistim Mobilisasi Dana Wakaf………………………………...71
B. Pengelolaan Dana dan Pembiayaan……………………….…76
C. Manajemen Investasi Dana……………………………………..86
D. Perluasan Pemanfaatan Dana…………………………………..92
iii
Bagian Keempat
WAKAF TUNAI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM….101
A. Arab Saudi…………………………………………………………..107
B. Mesir…………………………………………………………………..109
C. Turki…………………………………………………………………..111
D. Bangladesh…………………………………………………………..112
E. Yordania..…………………………………………………………….114
Daftar Pustaka…………………………………………………………..120
Lampiran………………………………………………………………….125
iv
Bagian Pertama
PENDAHULUAN
A. Pengertian Wakaf Tunai
Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap
diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah,
bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur
untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru
mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak
yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang
dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan
dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya,
yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf
diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah
wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’
(juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf
uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut
mazhab Hanafi.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf
tunai. Imam Al-Bukhari (wafat tahun 2526 H)
mengungkapkan bahwa Iman Az-Zuhri (wafat tahun 124 H)
berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang
berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah
dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal
usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya
sebagai wakaf1. Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan
1
Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu fi Jawazi Waqfi An-Nuqud (Beirut;
Dar Ibn-Hazm, 1997), hal. 20-21.
1
bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai
pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, karena sudah
banyak dilakukan masyarakat. Mazhab Hanafi memang
berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan
‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama
dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks)2.
Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, r.a:
8143
“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam
pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.
Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang),
menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya
modal usaha dengan cara mudharabah3 atau mubadha’ah.
Sedang keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf 4.
2
DR. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar
al-Fikr, 1985, Juz VII), hal. 162.
3
Berdasarkan prinsip Mudharabah, bank Syari’ah akan berfungsi
sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang
meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib
‘pengelola’, sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul maal ‘penyandang
dana’. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan
pembagian
keuntungan
masing-masing
pihak.
Sedang
dengan
pengusaha/peminjam dana, bank bertindak sebagai shahibul maal
(penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro/ maupun
2
Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang
dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat
adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi,
sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan
kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa
wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga
berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh adalah
mazhab Syafi’i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi’i tidak
membolehkan wakaf tunai, karena dirham dan dinar (baca:
uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi
wujudnya5.
Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan
tidak bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujud uang.
Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan,
masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat
menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama?
Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian
yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk
melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang diwakafkan
itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh
mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di
perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan
Syari’ah, dan keuntunganya dapat disalurkan sebagai hasil
wakaf. Wakaf tunai yang diinvestasikan dalam wujud saham
dana bank sendiri berupa modal pemegang saham), sedang
pengusaha/peminjam bertindak sebagai mudharib ‘pengelola’ karena
melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank. Lihat:
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2001), hal.137.
4
Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, Juz x, hal. 7610.
5
Al-Bakri, I’anatu Ath-Thalibin (Kairo: Isa Halabi, tt), hal.157.
3
atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap
terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka
waktu yang lama.
B. Sejarah Wakaf Tunai
Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan
masyarakat sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis
wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik
sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak
terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai
kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang
wakaf tunai mulai di kenal pada masa dinasti Ayyubiyah di
Mesir.
B.1. Wakaf Secara Umum
Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam
dibuktikan dengan adanya tempat-tempat ibadah yang
dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan
hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang
merawat tempat ibadah tersebut. Masjid al-Haram di
Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun di
atas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik
Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan
umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum Islam
telah mempraktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat sebelum
Islam telah dikenal praktik sosial dan di antara praktikpraktik sosial itu adalah praktik menderma sesuatu dari
seseorang demi kepentingan umum atau dari satu orang
untuk semua keluarga.
4
Praktik sejenis wakaf juga dikenal di Mesir, Roma dan
Jerman. Di Mesir, Raja Ramses kedua mendermakan
tempat ibadah “Abidus” yang arealnya sangat besar. Di
dalam tradisi Mesir kuno dikenal bahwa orang yang
mengelola harta yang ditinggalkan mayyit (harta waris),
hasilnya diberikan kepada keluarganya dan keturunannya,
demikian selanjutnya yang mengelola dapat mengambil
bagian dari harta tersebut namun harta pokoknya tidak
boleh menjadi hak milik siapapun. Pengelolaan harta
tersebut dengan cara bergilir dan bergantian dimulai dari
anak yang tertua dengan syarat tidak boleh dimiliki. Praktik
seperti ini sangat jelas kemiripannya dengan praktik wakaf,
karena prinsipnya sama, yaitu pokok harta tetap kekal dan
tidak boleh menjadi hak milik siapapun. Tapi hasil dari
harta tersebut digunakan untuk kepentingan sosial.
Ada aturan di Jerman yang mengatur agar masyarakat
mengalokasikan modal kepada keluarganya dalam jangka
waktu tertentu untuk dikelolanya, dan harta tersebut
menjadi milik keluarga bersama atau kepemilikannya secara
bergantian dimulai dari keluarga laki-laki kemudian
keluarga perempuan dengan syarat harta tersebut tidak
boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh
dihibahkan. Harta tersebut hendaknya dikelola secara baik
dan hasilnya diambil untuk kepentingan bersama. Sedang
di Roma, juga telah dipraktikkan sejenis wakaf, bahkan
dalam wujud uang.
Karena praktik sejenis wakaf yang terjadi pada
masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring
dengan Islam, yaitu terdistribusinya kekayaan secara adil
dan kemudian berujung pada kesejahteraan bersama, maka
5
Islam mengakomodirnya dengan sebutan wakaf. Pada
tahun kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah
dari Mekkah ke Madinah, disyari’atkanlah wakaf. Di
kalangan fuqaha’ (juris Islam) terdapat dua pendapat siapa
yang mempraktikkan Syari’at wakaf. Pertama, sebagian
ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad sendiri yang
mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi
mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid di atasnya.
Argumentasi pendapat pertama ini didasarkan kepada
hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr
bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata:
Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad
bin Muad berkata : “Kami bertanya tentang awal mula wakaf
dalam Islam? Menurut orang-orang Muhajirin adalah wakafnya
Umar, sedang menurut orang Anshar adalah wakafnya Nabi
Muhammad SAW.” (Asy-Syaukani: 129).
Nabi Muhammad SAW pada tahun ketiga hijriah juga
mewakafkan tujuh kebun Kurma di Madinah, di antaranya
ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun
lainnya.
Kedua, ada juga sebagian ulama yang mengatakan
bahwa yang pertama kali mempraktikkan Syari’at wakaf
adalah Umar bin Khattab. Argumentasi ini didasarkan
kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra., ia
berkata:
6
:
:
.
.
,
(
)
Dari Ibnu Umar ra. berkata : “Bahwa sahabat Umar ra.
meperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra.
menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar
berkata: “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah
di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW.
bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu,
dan engkau sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar
menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak
dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang
fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan
tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf
makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau
memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta” (HR. Muslim).
Setelah Umar bin Khattab mempraktikkan wakaf,
kemudian menyusul sahabat-sahabat yang lain. Di
antaranya;
Abu
Thalhah
mewakafkan
kebun
kesayangannya, kebun “Bairaha”, Abu Bakar mewakafkan
sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada
anak keturunannya yang datang ke Mekkah, Usman
7
mewakafkan hartanya di Khaibar dan sahabat- shabat yang
lain.
Kita tidak dapat menverifikasi kedua pendapat di atas,
karena argumentasi yang dibangun keduanya hanya
didasarkan kepada hadis, namun tidak disebutkan kapan
Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at
wakaf. Dan juga tidak disebutkan kapan kedua hadis yang
dijadikan dasar argumen kedua pendapat itu disabdakan
oleh Nabi Muhammad. Dengan disebutkannya tahun, baik
ketika Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan
Syari’at wakaf maupun tahun disabdakannya kedua hadis
tersebut, maka dapat diketahui siapa yang pertama kali
mempraktikan Syari’at wakaf.
Pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah
praktik wakaf semakin berkembang. Banyak orang yang
ingin mewakafkan hartanya. Wakaf tidak hanya
diperuntukkan kepada fakir-miskin, tetapi wakaf juga
digunakan sebagai modal untuk membangun lembaga
pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji
para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa
dan mahasiswanya. Banyaknya masyarakat yang ingin
mewakafkan hartanya menarik perhatian negara untuk
mengatur dan mengelolanya. Pengaturan dan pengelolaan
wakaf yang baik akan berimplikasi tumbuhnya sektor sosial
dan ekonomi masyarakat. Dengan wakaf yang dikelola
secara baik, maka masyarakat akan sejahtera.
Pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari
dinasti Umayyah, yang menjadi hakim di Mesir adalah
Taubah bin Ghar al-Hadramiy. Al-Hadramiy memiliki
perhatian yang besar terhadap pengembangan wakaf,
8
karena itu ia berinisiasi untuk membentuk lembaga
pengelola wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya
yang berada di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf
inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi
wakaf di Mesir dan di negara Islam. Pada saat yang
bersamaan, hakim al-Hadramiy juga mendirikan lembaga
pengelola wakaf di Basrah, Irak. Sejak itulah lembaga
pengelola wakaf berada di bawah pengawasan Departemen
Kehakiman, sehingga wakaf dapat dikelola secara baik dan
hasilnya
disalurkan
kepada
yang
berhak
dan
membutuhkan. Sedang pada masa dinasti Abbasiyah ada
lembaga pengelola wakaf yang disebut “Shadr al-Wuquf”.
Lembaga ini mengurus administrasi dan memilih staf
pengelola lembaga wakaf.
Kemajuan praktik dan pengelolaan wakaf yang terjadi
pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah telah
mengarah kepada praktik dan pengelolaan wakaf secara
modern. Hal ini bisa menjadi inspirasi pengembangan
wakaf sesuai dengan perkembangan masyarakat.
B.2. Wakaf Tunai
Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan
wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak
hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda
bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/572 H,
dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan
misi mazhab Sunni, Salahuddin Al-Ayyuby menetapkan
kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar
untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada
9
penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu
membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang?
Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan
uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan
dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para
keturunannya.
Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan
masyarakat seperti para ulama, dinasti Ayyubiyah juga
memanfaatkan wakaf untuk kepentingan politiknya dan
misi alirannya, yaitu mazhab Sunni dan mempertahankan
kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan harta
milik negara yang berada di baitul maal sebagai modal
untuk diwakafkan demi pengembangan madzhab Sunni
untuk menggantikan mazhab Syi’ah yang dibawa dinasti
sebelumnya, dinasti Fathimiyah.
Salahuddin Al-Ayyuby juga banyak mewakafkan lahan
milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti
mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan
madrasah mazhab Asy-Syafi’i, madrasah mazhab Maliki, dan
mazhab Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan
kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan
madrasah mazhab Syafi’i dan kuburan Imam Syafi’i dengan
cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.
Mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan
Salahuddin Al-Ayyubi boleh. Penguasa sebelum
Salahuddin, Nuruddin Asy-Syhaid mewakafkan harta milik
negara. Nuruddin mewakafkan harta milik negara, karena
ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu, Ibnu
‘Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa
mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz).
10
Argumentasi kebolehannya ialah untuk memelihara dan
menjaga kekayaan negara..
Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan
pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat
diambil manfaatnya. Tetapi yang banyak diwakafkan pada
masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti
gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Juga,
pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak)
yang diwakafkan untuk merawat lembag-lembaga agama.
misalnya mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan
madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa
dinasti Usmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya
yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.
Dinasti Mamluk memanfaatkan wakaf sebagaimana
tujuan wakaf, yaitu wakaf keluarga untuk kepentingan
keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial,
membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk
membantu orang-orang fakir dan miskin. Wakaf yang
digunakan untuk lebih menyemarakkan syi’ar Islam adalah
wakaf untuk sarana di Haramain, Mekkah dan Madinah
seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Raja Shaleh bin alNasir misalnya membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk
membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti
kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun
sekali.
Dinasti Mamluk telah merasa bahwa wakaf telah
menjadi tulang punggung dalam roda ekonominya, karena
itu mereka memberi perhatin khusus terhadap wakaf.
Bahkan mereka mengeluarkan kebijakan dengan
mensahkan Undang-undang Wakaf. Undang-undang
11
Wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja Al-Dzahir
Bibers Al-Bandaq (1260-1277 M/658-676 H), dimana
dengan Undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir memilih
hakim untuk mengurusi wakaf dari masing-masing empat
mazhab Sunni. Pada masa kekuasaan Al-Dzahir, perwakafan
dibagi menjadi tiga kategori: pendapatan negara dari hasil
wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang
yang dianggap berjasa, wakaf yang membantu Haramain
(fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan
masyarakat umum.
Penyebarluasan peraturan perwakafan semakin intensif
dan semakin mudah dilakukan oleh kerajaan Turki
Usmani. Hal ini terjadi karena kerajaan Turki Usmani
mampu memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki
dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab.
Kekuasaan politik yang diraih dinasti Usmani ini secara
otomatis mempermudah dipraktikkannya Syariat Islam,
misalnya peraturan tentang perwakafan. Di antara undangundang yang dikeluarkan pada masa dinasti Usmani ialah
peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang
dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H.
Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan
wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya
mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam
upaya realisasi wakaf dari sisi administratif dan perundangundangan.
Tahun 1287 H juga dikeluarkan undang-undang yang
menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan
Turki Usmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus
wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di
12
negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan
dipraktikkan hingga kini.
Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara Islam
hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak
dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari
agama Islam itu telah diterima (diresepsi) menjadi hukum
adat bangsa Indonesia sendiri. Dan juga di Indonesia
terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak
atau benda tidak bergerak.
Di negara-negara Islam lainnya, wakaf mendapat
perhatian yang serius, sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat
umum. Wakaf akan terus mengalami perkembangan
dengan berbagai inovasi yang signifikan seiring dengan
perubahan zaman, semisal bentuk wakaf tunai, wakaf HAKI
(Hak Kekayaan Intelektual) dan lain-lain. Indonesia juga
menaruh perhatian yang serius terhadap wakaf. Hal ini
tampak dengan diajukannya Rancangan Undang-undang
Wakaf (RUU) yang sudah ditandatangani presiden
Megawati Sukarnoputri dan segera diundangkan dalam
waktu dekat sebagai upaya pengintegrasian terhadap
beberapa peraturan perundang-undangan wakaf yang
terpisah.
C. Dasar Hukum Wakaf Tunai
Wakaf tunai dibolehkan berdasarkan: firman Allah,
hadis Nabi dan pendapat Ulama, yaitu:
13
C.1. Firman Allah:
29
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka
sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran [3]: 92).
164
“Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir
menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran)
bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(Karunianya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah :
261).
.
C.2. Hadis
Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda:
“Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah
amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang
14
bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”.
(HR. Muslim)
8833
8314
1381
4126
"Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab
r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada
Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia
berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr;
yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku
melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku)
mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan
pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.
Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah
tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual,
tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan
(hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang
tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas
orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu
secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain)
tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik
15
Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu
Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa
menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari,
Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i).
8316
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata
kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah,
kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang
lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud
menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya
dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).
C.3. Pendapat Ulama
Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab
Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai.
“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang
dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.6
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga
membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu
dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi
6
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, (Beirut:
Dar al-Fikr, Juz IX, 1994), hal. 379.
16
didasarkan kepada hadis Ibn Umar (seperti yang disebutkan
di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan
definisi (baru) tentang wakaf, yaitu:
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap
bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan
hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau
mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang
mubah (tidak haram) yang ada”.7
D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)
Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang
mewakafkan harta). Wakif disyaratkan memiliki kecakapan
hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal
membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini
meliputi empat kriteria sebagai berikut:
a. Merdeka
Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba
sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak
milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang
lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik.
Budak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan
tuannya. Namun, Abu Zahrah mengatakan bahwa para
fuqaha sepakat bahwa budak boleh mewakafkan hartanya
7
Lihat keputusan komisi fatwa MUI yang dikeluarkan tanggal 11 Mei
1881, yang ditandangani K.H. Ma’ruf Amin (sebagai ketua) dan Drs.
Hasanuddin, M.Ag. (sebagai sekretaris).
17
apabila mendapatkan izin dari tuannya, karena ia sebagai
wakil darinya. Bahkan ulama Adz-Dzahiri (penganut
mazhab Daud Adz-Dzahiri) menetapkan bahwa budak
dapat memiliki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris
atau tabarru’ (berbuat baik). Kalau budak dapat memiliki
sesuatu, berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu.
Oleh karena itu, ia boleh mewakafkan, walaupun hanya
sebagai tabarru’ saja.8
b. Berakal sehat
Wakaf yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal
seperti orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak
berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad
serta tindakann lainnya. Demikian juga tidak sah wakaf
orang yang lemah mental (idiot), berubah akal karena
faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah
karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk
menggugurkan hak miliknya9.
c. Dewasa (baligh)
Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa
(baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak
cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk
menggugurkan hak miliknya.10
d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)
8
9
Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz II), hal. 44.
Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj (Kairo: Mushtafa Halabi, Juz II, tt), hal.
377.
10
18
Ibid, hal. 377.
Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang
tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf
yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan
istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan
terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah.
Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta
wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang
tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi
beban orang lain.11
Namun ada kalanya seseorang yang mawakafkan
hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung terlaksana,
dan pelaksanaannya dikaitkan dengan kerelaan orang lain.
Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan dengan
masalah ini:
1. Hukum Wakaf Orang Berhutang
(a) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang dan
mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya, sedang
hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum
wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya tergantung pada
kerelaan para krediturnya12. Apabila mereka
merelakannya, maka wakaf dapat terlaksana sebab para
kreditur telah menggugurkan hak mereka untuk
mencegah atau membatalkan wakaf si debitur, tetapi
jika mereka tidak merelakannya, wakaf tidak dapat
dilaksanakan.
11
Al-Baijuri, Op. Cit., hal 44.
Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu (Damaskus:
Dar al-Fkr, tt), hal. 7625.
12
19
Apabila hutang si wakif tidak sampai meliputi seluruh
harta yang dimiliki, maka wakafnya sah dan dapat
terlaksana atas kelebihan harta setelah dikurangi
sebagian untuk melunasi barang, sebab perbuatan
baiknya tidak merugikan para kreditur yang haknya
tergantung pada kemampuan si wakif untuk melunasi
piutang mereka.
(b) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang,
dan mewakafkan atau sebagian hartanya ketika sedang
menderita sakit parah, maka hukum wakafnya seperti
hukum wakaf orang yang di bawah pengampuan karena
hutang, yakni wakafnya sah tetapi pelaksanaannya
tergantung pada kerelaan para kreditur. Apabila setelah
si wakif meninggal, para kreditur merelakannya, maka
wakafnya dapat dilaksanakan. Tetapi jika mereka tidak
merelakan, maka wakafnya tidak dapat dilaksanakan.
Dan para kreditur berhak menuntut pembatalan semua
wakafnya jika hutang si wakif meliputi seluruh harta
yang dimiliki, atau membatalkan sebagian wakaf
sejumlah yang dapat dipakai untuk melunasi hutang
saja, apabila hutangnya tidak meliputi harta yang
dimiliki.
Pada kedua kasus di atas terdapat persamaan, yaitu
unsur ketergantungan hak para kreditur pada
tanggungan dan harta si debitur secara bersama. Hanya
saja dalam kasus pengampuan, terlaksananya wakaf
tergantung pada ada atau tidaknya kerelaan para
kreditur saat terjadinya wakaf. Sedangkan dalam kasus
20
kedua, dimana si debitur tidak di bawah pengampuan
karena hutang dan mewakafkan hartanya ketika sedang
sakit parah, tidak ada ketergantungan pelaksanaannya
pada ada atau tidaknya kerelaan para kreditur kecuali
setelah si debitur meninggal dunia.
(c) Jika ia tidak di bawah pengampuan karena hutang dan
mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya ketika
dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan dapat
dilaksanakan, baik hutangnya meliputi seluruh harta
yang dimiliki atau hanya sebagian saja. Sebab dalam
kasus ini, tidak ada hak si debitur, yang ada tergantung
hak mereka pada tanggungannya saja. Dan
kemungkinan bahwa setelah wakaf terjadi si debitur
dapat melunasi semua hutangnya, sebab dia masih
sehat.
2. Wakaf Orang Sakit Parah
Jika ketika mewakafkan harta tersebut dia masih cakap
untuk melakukan perbuatan baik (tabarru’), maka wakafnya
sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup, sebab
selama itu penyakitnya tidak bisa dihukumi sebagai
penyakit kematian. Tetapi jika kemudian si wakif
meninggal karena penyakit yang diderita tersebut, maka
hukum wakafnya sebagai berikut:
(a) Jika meninggal sebagai debitur, maka hukum wakafnya
seperti yang telah dijelaskan dalam poin 1 di atas.
(b) Jika ia meninggal tidak sebagai debitur, maka hukum
wakaf yang terjadi ketika ia sedang sakit seperti
21
hukumnya wasiat. Yakni jika yang diberi wakaf bukan
ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak lebih dari
1/3 (sepertiga) hartanya, maka wakaf terlaksana hanya
sebatas sepertiga hartanya saja, sedangkan selebihnya
tergantung pada kerelaan ahli waris, sebab kelebihan
dari sepertiga harta tersebut adalah menjadi hak milik
mereka (ahli waris).
Jika yang diberi wakaf adalah ahli warisnya, maka
pelaksanaan wakafnya tergantung pada kerelaan ahli
waris lainnya yang tidak menerima wakaf, baik wakafnya
kurang dari sepertiga atau lebih dari harta yang
ditinggalkan. Jika yang diberi wakaf adalah sebagian ahli
waris dan sebagian bukan ahli waris, maka pelaksanaan
wakaf kepada ahli waris tergantung pada kerelaan ahli
waris lainnya, adapun yang bukan kepada ahli waris,
pelaksanaan wakafnya tidak tergantung kepada kerelaan
ahli waris selama harta yang diwakafkan tidak lebih
sepertiga hartanya. Maksudnya ialah jika ahli waris
(bukan nazhir) merelakan, maka wakaf dapat
dilaksanakan dan manfaatnya dapat dibagikan kepada
semua mauquf ‘alaih sesuai dengan syarat yang
ditetapkan. Tetapi jika mereka tidak merelakan, wakaf
tersebut tetap dibagikan kepada para mauquf ‘alaih
sesuai dengan syarat yang ditetapkan, hanya saja uang
yang menjadi bagian ahli waris kemudian dibagikan
kepada seluruh ahli waris (yang menjadi nazhir dan yang
bukan) sesuai dengan bagian masing-masing yang sesuai
dengan syara’13.
13
22
Tim Depag, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal. 24.
Menilik persyaratan yang dibebankan kepada wakif,
tidak didapatkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang
wakif harus mencapai takaran tertentu sehingga ia dapat
mewakafkan sebagian hartanya. Karena itu dana wakaf,
terutama wakaf tunai dapat dihimpun dari para wakif yang
tidak terbatas dari kelompok masyarakat tertentu,
melainkan dari seluruh masyarakat yang hendak
menyerahkan sebagian hartanya sebagai wakaf.
Dalam rangka memberi ruang gerak bagi kegiatan
perwakafan dalam era globalisasi, Bank Indonesia
menyodorkan definisi wakaf tunai, yaitu sebagai
penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat
dipindahtangankan dan dibekukan selain untuk
kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun
menghilangkan jumlah pokoknya14.
Oleh karena itu perbankan syari’ah dapat
menghimpun dana dari anggota masyarakat yang
berpenghasilan tinggi yang akan memberikan wakaf
tunainya dengan menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai.
Penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai akan membuka peluang
penggalangan dana yang cukup besar karena:
 Lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa
menjadi sangat luas dibandingkan dengan wakaf biasa.
 Sertifikat wakaf tunai dapat dibuat dalam berbagai
macam pecahan, yang disesuaikan dengan segmen
muslim yang dituju, yang kira-kira memiliki kesadaran
yang tinggi untuk beramal. Misalnya, pecahan
14
Bank Indonesia, Biro Perbankan Syari’ah.
23
Rp. 10.000-, Rp. 25.000-, Rp.50.000-, Rp.100.000-, dan
seterusnya.
Muslim kelas menengah senyatanya memiliki
kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal. Namun,
karena sarana beramal yang sesuai dengan penghasilan
mereka sangat terbatas, maka akhirnya mereka hanya
beramal pada sektor-sektor tradisional, seperti masjid,
pembangunan mushalla dan lain sebagainya.
Dengan sasaran para wakif, wakaf tunai yang tidak
terbatas seperti ini maka kita dapat membuat perkiraan
perhitungan dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari
masyarakat. Pertama, kita asumsikan bahwa muslim kelas
menengah memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk
beramal, selama ini mereka hanya beramal melalui sektorsektor tradisional. Karena itu jika ada lembaga wakaf yang
dikelola secara profesional, maka hal ini akan menjadi
lahan baru bagi kelas menengah untuk beramal. Kedua,
jumlah muslim kelas menengah diperkirakan sebesar 10
juta jiwa dengan penghasilan rata-rata per-bulan Rp.
500.000 - Rp. 10.000.000-. Ketiga, nilai sertifikat wakaf
tunai dibagi ke dalam beberapa besaran nilai mulai Rp.
5000 hingga Rp.100.000 misalnya, sesuai dengan besaran
distribusi penghasilan muslim kelas menengah yang ada.
Berangkat dari ketiga asumsi itu, maka paling tidak
akan didapatkan sekitar 3 triliun per tahun dari wakaf
tunai. Angka potensi wakaf tunai akan semakin besar
apabila penghitungan penghitungan potensi wakaf tunai
tersebut juga menyertakan lembaga-lembaga ekonomi selain
muslim kelas menengah. Kegiatan mobilisasi wakaf tunai
24
dari sektor ekonomi lainnya dapat digunakan untuk
mengurangi berbagai kebocoran dana akibat in-efesiensi
lembaga perpajakan. Sudah menjadi rahasia umum kalau
usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan efesiensi
lembaga perpajakan yang ada berjalan sangat lamban
bahkan mungkin tidak ada kemajuan. Setiap kebijakan
peningkatan penerimaan dari pajak diperkirakan selalu
menimbulkan berbagai distorsi yang mengganggu jalannya
perekonomian dan pada akhirnya konsumen yang harus
menanggung ongkosnya. Oleh karena itu, mobilisasi dana
masyarakat melalui wakaf tunai diharapkan akan mampu
untuk meningkatkan efesiensi kegiatan perekonomian yang
ada.
Dan juga dana wakaf tunai dapat dihimpun dari Usaha
Kecil dan Menengah serta Koperasi (UKMK) misalnya15.
Adi Sasono (mantan Menteri Negara Koperasi dan
pemberdayaan UKMK, masa pemerintahan presiden B.J.
Habibie) memperkirakan, kalau pemerintah mau
memberdayakan kegiatan yang berasal dari UKMK, maka
kegiatan UKMK akan mampu meningkatkan penerimaan
yang dari pajak sebesar Rp. 400 triliun16. Jika tidak seluruh
tambahan pendapatan tersebut dijadikan penerimaan
negara, tapi 2,5 % darinya dialihkan dalam bentuk wakaf
15
Wakif yang berupa institusi seperti ini memang belum dijelaskan
secara panjang lebar di dalam fiqih, tapi realitas menunjukkan bahwa setiap
lembaga usaha dapat dipastikan memiliki alokasi budget untuk kegiatan sosial,
kalau misalnya budget tersebut digunakan untuk membeli Sertifikat Wakaf
Tunai, maka dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari institusi sangat
besar jumlahnya.
16
Mahmudi, Mempertegas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan, (Harian
Umum Republika, Nopember 2001)
25
tunai, maka akan terkumpul wakaf tunai dari sektor ini
sebesar Rp. 10 triliun.
Dengan demikian jumlah wakaf tunai yang dapat
dihimpun dari 10 juta eksekutif muslim Indonesia serta
dari peningkatan kegiatan UKMK adalah sebesar Rp.13
triliun. Analisa di atas dapat dilanjutkan bahwa potensi
dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari masyarakat
melalui lembaga wakaf profesional sangat besar jumlahnya.
Oleh karena pemberdayaan lembaga perwakafan yang
merupakan salah satu instrumen finansial dalam sistem
ekonomi Islam mendesak untuk direalisasikan. Dan dana
wakaf yang terkumpul tersebut hendaknya dimanfaatkan
secara produktif agar supaya yang merasakan manfaat dari
dana wakaf tersebut seluruh masyarakat tanpa kecuali. Dan
pada akhirnya akan tercipta kesejahteraan lahir dan batin.
Dana wakaf yang terkumpul tersebut merupakan dana
abadi yang seyogyanya harus ada hingga akhir zaman yang
akan terus memberi manfaat bagi masyarakat maupun si
pemberi wakaf (wakif). Dapat dibayangkan betapa besar
dana wakaf yang akan terkumpul secara kumulatif dari
tahun ke tahun yang dapat dijadikan sebagai Modal Sosial
Abadi17.
Untuk merealisasikan gagasan yang baik di atas
tentunya membutuhkan langkah-langkah yang sistematis
dengan memaksimalkan sumber daya manusia yang ada
baik dari pemerintah maupun dari masyarakat
17
Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai: Strategi untuk Menyejahterakan dan
Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, (Makalah Workshop Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji
Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 16..
26
Bagian Kedua
WAKAF TUNAI
DAN PEMBANGUNAN EKONOMI
A. Membuka Kebuntuan Wakaf
Perbincangan tentang wakaf tunai mulai mengemuka
belakangan. Hal ini terjadi seiring berkembangnya sistem
perekonomian dan pembangunan yang memunculkan
inovasi-inovasi baru. Wakaf tunai sebagai instrumen finasial
(finacial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial
(social finance and vuluntary sector banking), menurut M.A.
Mannan (2002) memang merupakan suatu produk baru
dalam sejarah perekonomian Islam. Instrumen finasial yang
dikenal dalam perekonomian Islam selama ini berkisar
pada murabahah1 untuk membiayai sektor perdagangan dan
mudharabah2 atau musyarakah3 untuk membiayai investasi di
bidang industri dan pertanian. Bank juga tidak mau
menerima tanah atau aset lain yang merupakan harta wakaf
untuk dijadikan jaminan. Karena harta wakaf bukan hak
milik, melainkan hak pakai terhadap manfaat harta wakaf
itu.
1
Penjualan dengan menggunakan prinsip murabahah adalah jual beli
barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.
Penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Baca: Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syari’ah,…..Op. Cit, hal. 101
2
lihat footnote No.3
3
Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih
untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan
dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Lihat: Syafi’I
Antonio, Op.Cit, hal. 90.
31
Selain itu, umat Islam kerap mempersepsikan wakaf
sebagai sumbangan berupa aset tetap (property of permanent)
oleh seorang muslim dengan tujuan murni ketaqwaan.
Konsep wakaf seperti yang dipahami umat Islam ini sangat
kurang, sehingga tidak dibahas dalam berbabagi literatur
ekonomi Islam. Wakaf hanya disinggung sedikit oleh M.
Umer Chappra dalam buku-bukunya termasuk dalam
bukunya yang mutakhir, The Future of Islamic Economics,
sebuah buku yang paling komprehensif mengenai ekonomi
pembangunan.
Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan
karena berlawanan dengan persepsi umat Islam yang
terbentuk bertahun-tahun lamanya. Wakaf tunai bukan
merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak bergerak
seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf
tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal
yang mengubah definisi atau pengertian mengenai wakaf.
Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya
teori-teori ekonomi. Untuk mengkonsepsi wakaf tunai
sebagai bagian dari konsepsi wakaf, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang
wakaf, yaitu; “menahan harta (baik berupa aset tetap maupun
aset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bedanya
atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum
terhadap benda tersebut (menjual, memberikan atau
mewariskannya), untuk di salurkan (hasilnya) pada sesuatu yang
mubah (tidak haram) yang ada”.4
4
Lihat Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tertanggal 11
Mei 2002/ 28 Shafar 1423.
32
Kalau kita melihat hadis yang dijadikan dasar
argumentasi wakaf, ternyata wakaf itu berbeda dengan zakat
atau sadaqah, tapi masih bisa dikategorikan ke dalam
konsep infaq. Jadi, infaq mencakup wakaf. Istilah wakaf itu
sendiri tidak terdapat dalam Al-Quran, tetapi lahir dari
pandangan Nabi Muhammad SAW yang menjawab
pertanyaan Umar bin Khattab, ketika ia ingin
menginfaqkan sebidang tanahnya yang subur di Khaibar.
Nabi pada waktu itu menawarkan, bagaimana jika kebun
itu dijadikan “babon” saja dan dipelihara kekekalannya,
sedang yang dimanfaatkan adalah hasilnya. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan, yang implisit, bahwa tanpa mengelola
tanah tersebut tidak mungkin dapat memanfaatkan
hasilnya. Dengan demikian, jika di atas tanah tersebut
langsung dibangun masjid, maka masjid tidak bisa
menghasilkan suatu produk yang dimanfaatkan. Tapi jika
tanah tersebut digarap dengan dimanfaatkan sebagai kebun
kurma misalnya, maka hasilnya dapat dimanfaatkan,
termasuk untuk membangun masjid. Kenyataannya, hasil
wakaf itu diperuntukkan untuk menyantuni fakir-miskin.
Namun sekarang ini, dalam praktiknya wakaf langsung
dikonsumsi.
Dari praktik pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta
suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf. Pertama,
wakaf itu umumnya berujud benda tidak bergerak,
terutama tanah. Kedua, dalam praktik, di atas tanah wakaf
itu biasanya didirikan masjid atau madrasah. Ketiga,
penggunaan wakaf didasarkan kepada wasiat pemberi wakaf
(wakif). Selain itu, juga terdapat penafsiran bahwa untuk
menjaga kekalannya, tanah wakaf itu tidak boleh diperjual
33
belikan. Akibatnya di Indonesia, bank-bank tidak mau
menerima tanah wakaf sebagai agunan pinjaman. Padahal
jika tanah wakaf bisa digunakan, maka organisasi massa
(Ormas) semacam NU, Muhammadiyah dan universitas
bisa mendapatkan dana pinjaman yang diputarkan, dan
menghasilkan sesuatu. Demikian pula, penggunaan tanah
wakaf dari wakif yang berbeda tidak bisa digabungkan,
karena seolah-olah aset wakaf telah kehilangan identitas
individual wakifnya. Padahal jika beberapa harta wakaf bisa
dikelola bersama, maka bisa dihimpun berbagai sektor
produksi untuk suatu investasi, kalau perlu dengan menjual
suatu aset wakaf untuk dijadikan modal finansial.
Penjualan harta wakaf semacam ini, konon telah
diperbolehkan di Libya, dengan catatan dana hasil
penjualan itu digabungkan dengan harta lain yang statusnya
masih merupakan harta tetap. Karena dengan penjualan
itu, maka harta wakaf secara bersama-sama dapat menjadi
aset produktif (keuntungan, uang) yang dapat dimanfaatkan
untuk umat5.
Perkembangan ekonomi dan pembangunan yang
memacu timbulnya gagasan adanya wakaf di antaranya
karena berkembangnya sistem perekonomian Islam.
Berkembangnya sistem perekonomian Islam tidak lepas
dari “kegagalan” sistem perekonomian konvensional; sistem
ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Sistem
ekonomi kapitalis gagal menjadikan masyarakat adil dan
5
M. Dawam Rahardjo, Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam
Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Makalah Workshop Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji
Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 7. Tidak Diterbitkan.
34
sejahtera. Sistem ekonomi kapitalis lebih mengutamakan
keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan membiarkan
penumpukan modal di segelintir kelompok tertentu
(pemilik modal) dan tidak distribusikan secara adil kepada
masyarakat, terutama fakir-miskin. Sistem ekonomi
kapitalis mempercayakan transaksi ekonomi ke pasar,
menihilkan peran negara dalam regulasi ekonomi, sehingga
yang terjadi bukannya persaingan yang sehat, melainkan
menyebabkan terjadinya persaingan yang timpang. Pemilik
modal besar dapat memainkan pasar, sedang pemilik modal
kecil atau konsumen harus tunduk terhadap pasar yang
ditentukan oleh pemilik modal besar. Juga, sistem ekonomi
kapitalis rentan terhadap berbagai guncangan (untuk tidak
mengatakan rentan terhadap krisis). Sebagai contoh adalah
krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997.
Keguncangan yang kerap menghantam sistem ekonomi
kapitalis karena segala transaksi ekonomi dipatok dengan
standar nilai uang dollar AS. Padahal nilai uang dollar AS
fluktuatif
tergantung
kondisi
sosial-politik
yang
melingkupinya. Ketika kondisi sosial-politik mengalami
gonjang-gonjing, maka berimplikasi terhadap gonjangganjingnya nilai dollar AS.
Sistem ekonomi sosialis, awalnya sangat menjanjikan
kesetaraan dan pemerataan bagi seluruh masyarakat. Tapi
ternyata kesetaraan dan pemerataan yang dijanjikan itu
utopis belaka. Secara alamiah, manusia memang berbedabeda sesuai dengan status sosial yang melekat pada dirinya,
karena itu otupis untuk diciptakan kesetaraan dan
pemerataan secara sama. Untuk mewujudkan kesetaraan
dan pemerataan yang diinginkan, sistem ekonomi sosialis
35
mengandaikan adanya campur tangan negara terhadap
regulasi ekonomi, ternyata campur tangan negara itu
bukannya menguntungkan masyarakat banyak, melainkan
menguntungkan partai yang menjadi penguasa negara.
Akhirnya yang banyak menikmati keuntungan dari sistem
ekonomi sosialis bukanlah masyarakat, melainkan
sekelompok masyarakat yang berafiliasi dengan partai yang
menjadi penguasa. Kalau Cina sekarang mengalami
kemajuan ekonomi yang pesat, walau pemerintahnya
menganut komunisme yang lazimnya menganut sistem
ekonomi sosialis, karena Cina sekarang mulai membuka
diri terhadap model ekonomi kapitalis, misalnya mentolerir
transaksi ekonomi ditentukan pasar walau negara masih
turut campur. Turut campurnya negara dalam meregulasi
transaksi ekonomi tidak lebih untuk melindungi msyarakat,
terutama fakir-miskin6.
Sedang sistem ekonomi dalam Islam tidak hanya
terkait dengan masalah ekonomi abadi manusia, melainkan
juga terkait dengan anjuran Ilahi sebagaimana termaktub
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu sistem ekonomi
Islam juga mengacu pada meningkatnya output dari setiap
jam kerja yang dilakukan. Telah diketahui bahwa output
perkapita, disatu pihak tergantung pada sumber daya alam
dan di lain pihak tergantung pada perilaku manusia. Tetapi
sumber daya alam saja bukan merupakan kondisi yang
cukup untuk pembangunan ekonomi, dan bukan sesuatu
6
Untuk mengetahui lebih lanjut perbandingan tentang sistem ekonomi
kapitalis, sosialis dan Islam, baca: Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D, Teori
dan Praktik Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997),
terutama bagian IV.
36
yang mutlak diperlukan. Perilaku manusia memainkan
peranan yang sangat penting dalam pembangunan
ekonomi, sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera.
Namun pembentukan perilaku manusia di negara
berkembang, termasuk Indonesia adalah suatu proses yang
menyakitkan, karena memerlukan penyesuaian dengan
lembaga-lembaga sosial, ekonomi, hukum dan politik.
Tidak seperti agama lainnya, Islam mengakui kebutuhan
metafisik maupun material dari kehidupan. Karena itu
masalah penempaan perilaku manusia di suatu negara
Islam tidaklah sesulit di negara-negara sekular.
Islam dapat diperlakukan sebagai suatu faktor dalam
pembanguan ekonomi. Di sini para ahli ekonomi harus
berperan sebagai seorang bidan, yang menolong lahirnya
hasil yang sudah berujud dari ide dan kemungkinan
terakhir yang dapat dikaitkan dengan faktor religius dan
kultural Islam. sekarang ini negara-negara Islam dalam
posisi yang lebih baik untuk melakukan usaha
pembangunan yang lebih besar, karena dua sebab:
1. Banyak sumber daya yang belum diketahui di abad ke19. Kini telah dapat dicapai oleh negara-negara Islam.
Pada tahun 1920 sumber minyak di Timur Tengah
ditaksir hanya sebanyak lima persen dari sumber minyak
dunia. Sekarang angka itu diperkirakan sejumlah
delapan puluh lima persen.
2. Nilai Islam dapat digunakan untuk menyesuaikan
lembaga sosio-ekonomik dan sosio-politik yang
merugikan, dan untuk membentuk prilaku manusia.
Pengalaman pembangunan negara Islam sejak tahun
1950-an (kecuali beberapa negara Islam yang kaya
37
minyak) terutama di negara-negara yang paling tidak
berkembang, sangat mengecewakan. Secara relatif dapat
dikatakan bahwa negara-negara Islam yang paling tak
berkembang itu lebih miskin dari sedia kala. Telah
ditekankan bahwa penyediaan tingkat minimum
kehidupan seperti, sandang, pangan, dan perumahan
harus mendapat perhatian utama negara Islam.
Seterusnya, juga telah dikemukakan bahwa eksploitasi
sumber daya, untuk keperluan perkembangan dan alih
teknologi harus ditekankan. Namun, usaha menyeluruh
harus dilakukan untuk memajukan negara-negara Islam,
yaitu di bidang pertanian, karena sebagai negara Islam
adalah negara agraris dan juga perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.7
B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi
Dalam sistem ekonomi Islam, wakaf belum banyak
dieksplorasi semaksimal mungkin, padahal wakaf sangat
potensial sebagai salah satu instrumen untuk pemberdayaan
ekonomi umat Islam. Karena itu institusi wakaf menjadi
sangat penting untuk dikembangkan. Apalagi wakaf dapat
dikategorikan sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak
pernah putus, walau yang memberi wakaf telah meninggal
dunia.
Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan
peran yang sangat penting dalam pengembangan kegiatankegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam.
Selain itu keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi
para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan
7
38
Ibid, hal.394.
prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan
pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan
dana pada pemerintah. Kenyataan menunjukkan, institusi
wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas institusi
pemerintah atau kementerian-kementerian khusus, seperti
Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Sosial. Terdapat
bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa sumbersumber wakaf tidak saja digunakan untuk membangun
perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk
membangun perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk
foto copy, pusat seni dan lain-lain.
Meskipun sepanjang sejarah Islam, wakaf telah
memainkan peran yang sangat penting dalam
pembangunan masyarakat muslim, namun kita juga
menjumpai berbagai kenyataan bahwa pengelolaan wakaf
selain memperlihatkan berbagai kemajuan yang
mengagumkan, tapi juga memperlihatkan berbagai
penyelewengan. Salah urus (mis-management) kerap kali
terjadi. Oleh karenanya, strategi pengelolaan yang baik
perlu diciptakan untuk mencapai tujuan di adakannya
wakaf8. Wakaf hendaknya dikelola dengan baik dan
diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi, sehingga
hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan
masyarakat banyak. Pengelolan wakaf diserahkan kepada
Nazhir, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat9.
8
H.A.R. dan I.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (KarachiPakistan, South Asian Publication, 1981), hal. 624-628.
9
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah sebagai Pengelola Dana
Wakaf (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat
Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 4.
Tidak Diterbitkan.
39
Tujuan utama dinvestasikannya dana wakaf adalah
untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai
prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan
kehidupan sumber daya insani. Menurut Monzer Kahf (ahli
ekonomi Islam)10, gagasan untuk menginvestasikan dana
wakaf, misalnya untuk mengkonstruksi harta bergerak yang
diwakafkan atau untuk meninggalkan modal harta tetap
wakaf tidak dibahas dalam fikih klasik. Kahf membedakan
model investasi wakaf ke dalam dua model; model
pembiayaan harta wakaf tradisional dan model pembiayaan
secara institusional.
1.
Model pembiayaan harta wakaf secara tradisional
Buku-buku fikih klasik menjelaskan bahwa
pembiayaan harta wakaf tradisional terdapat lima model
pembiayaan rekonstruksi harta wakaf, yaitu Pinjaman, Hukr
(kontrak sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum
yang cukup besar dimuka), Al-Ijaritain (sewa dengan dua
pembayaran), menambah harta wakaf baru, dan penukaran
pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima model ini
hanya penambahan harta wakaf baru yang menciptakan
penambahan pada modal wakaf dan peningkatan kapasitas
produksi. Sedang empat model yang lain lebih banyak
kepada membiayai operasional dan mengembalikan
produktifitas harta wakaf seperti semula.
Pinjaman digunakan untuk membiayai operasional
dan pemeliharaan harta wakaf. Sebelum harta wakaf
dipinjamkan, maka syaratnya harus mendapat izin dari
10
Monzer Kahf, Finacing the Development of Auqaf Properti, (Kuala
Lumpur: Irti, 1998), hal. 13-38.
40
dewan pengawas. Di dalam fikih, misalnya kita
mendapatkan pembahasan tentang pinjaman yang
dilakukan untuk merekonstruksi atau membangun kembali
harta wakaf yang telah rusak atau terbakar. Pinjaman dapat
diperoleh dari perorangan maupun dari lembaga keuangan.
Model hukr diperkenalkan oleh fuqaha’ guna
mensiasati larangan menjual harta wakaf. Daripada menjual
harta wakaf, maka Nazhir (pengelola wakaf) dapat menjual
hak dari harta wakaf dengan cara disewakan dalam jangka
waktu yang lama, dan hasil sewa harta wakaf itu
dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf.
Model Ijaratain menghasilkan sewa dalam waktu yang
lama dan terdiri dari dua bagian, yaitu pertama, berupa
uang muka lumpsum yang besar untuk merekonstruksi harta
wakaf, dan kedua, sewa tahunan. Pembayaran sewa tahunan
ini tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara periodik
sesuai dengan masa sewa. Model ijaratain ini hampir sama
dengan hukr. Tapi titik bedanya, hukr hanya digunakan
untuk membiayai pemeliharaan harta wakaf yang
bersangkutan, sedang ijaratain hasil sewa dapat
dimanfaatkan sesuai dengan kesepakatan sebagaimana
tercantum dalam kontrak.
Menambah harta baru terhadap wakaf yang lama,
misalnya perluasan Masjid Nabi Muhammad SAW di
Madinah yang diperluas selama pemerintahan Khalifah
Umar, Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah.
Perluasan masjid itu dapat diartikan sebagai penambahan
harta baru terhadap harta wakaf yang lama.
Model substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf
yang satu dengan harta wakaf yang lain. Pertukaran ini
41
dilakukan karena harta wakaf yang awal tidak lagi
bermanfaat atau kurang bermanfaat. Secara prinsip
pertukaran harta wakaf ini tidak menyebabkan terjadinya
peningkatan harta wakaf, hanya dapat memproduktifkan
harta wakaf.
2. Model pembiayaan secara institusional.
Fikih terus berkembang, karena itu model transaksi
keuangan juga berkembang seiring dengan tumbuhberkembangnya lembaga keuangan Islami. Harta wakaf
dapat diinvestasikan guna membiayai proyek-proyek
tertentu yang menguntungkan. Yang harus diperhatikan
dalam menginvestasikan dana wakaf harus berpegang teguh
pada prinsip-prinsip investasi yang Islami, yaitu prinsip
berbagi hasil, resiko, jual beli, dan sewa11.
Investasi dana wakaf dengan beragam modelnya
seyogyanya dilakukan oleh Nazhir profesional. Menurut
fikih ada dua pandangan terhadap posisi Nazhir dalam
kaitannya dengan masalah wakaf. Pertama, pendapat yang
mengatakan bahwa Nazhir adalah penerima, penyalur
sekaligus pengelola harta (dana) wakaf. Kedua, pendapat
yang menyatakan bahwa Nazhir hanyalah sebagai penerima
dan penyalur harta (dana) wakaf, sedangkan pengelolaan
harta (dana) wakaf harus dipisahkan dengan wewenang
penerimaan dan penyaluran untuk menghidari adanya
kemungkinan negatif (moral hazard). Menilik kedua
11
H. Karnaen A. Pewawataatmadja, S.E, MPA, Alternatif Investasi Dana
Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat
Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 4.
Tidak Diterbitkan.
42
pendapat ini, maka Nazhir yang memungkinkan mengelola
wakaf dengan menginvestasikannya di sektor yang
menguntungkan adalah pendapat yang pertama, sedang
bagi pendapat yang kedua, siapapun yang mengelola harta
(dana) wakaf agar produktif tidak dijelaskan.
Munculnya bank-bank Syari’ah, terutama yang
dimotori oleh bank-bank konvensional seperti BNI
Syari’ah, Mandiri Syari’ah, Danamon Syari’ah dan lainnya
menimbulkan optimisme di kalangan umat Islam dalam
kaitannya dengan pengelolaan harta (dana) wakaf secara
produktif. Untuk harta wakaf yang berujud harta tidak
bergerak seperti tanah dan bangunan, pihak bank Syari’ah
bisa menerima jika dijadikan agunan/jaminan kredit
sejumlah dana dalam rangka pengembangan harta wakaf
yang lain. Sedangkan kalau dalam bentuk wakaf tunai,
pihak bank langsung bisa mengelola, mengembangkan dan
menyalurkan harta (dana) wakaf yang dipercayakan kepada
bank tersebut.
Difungsikannnya perbankan Syari’ah sebagai Nazhir
setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan
dapat mengoptimalkan operasionalisasi harta (dana) wakaf,
yaitu: (1) Memiliki jaringan kantor; (2) Kemampuan sebagai
fund manager; (3) Pengalaman, jaringan-jaringan informasi
dan peta distribusi; dan (4) Memiliki citra positif.
Kantor perbankan Syari’ah lebih luas dibandingkan
dengan lembaga keuangan Syari’ah lainnya. Keunggulan ini
memaksimalkan peran perbankan Syari’ah dalam
mengelola harta (dana) wakaf baik langsung maupun tidak
langsung. Menurut catatan Bank Indonesia (2001),
perbankan Syari’ah memiliki jaringan kantor diseluruh
43
Indonesia menacapai 174 kantor dan pertumbuhan jumlah
kantor Syari’ah perbulan mencapai 2,1 persen. Fenomena
ini menjadi faktor penting di dalam mengoptimalkan
sosialisasi penggalangan dana wakaf dan penyalurannya.
Dengan jaringan kantor yang luas itu, diharap
keberadaan produk wakaf tunai akan tersosialisasi secara
maksimal, apalagi masyarakat memiliki akses yang tinggi
terhadap jasa perbankan. Sebagai implikasi dari
maksimalnya sosialisasi wakaf tunai dan jaringan kantor
yang luas, maka tahap berikutnya penggalangan dana wakaf
tunai juga akan maksimal. Begitu juga dengan aktifitas
penyalurannya, karena jaringan kantor yang luas akan
sangat membantu efektifitas dan efesiensi penyampaian
harta (dana) wakaf kepada mauquf ‘alaih.
Pada dasarnya, perbankan merupakan lembaga
pengelol dana (masyarakat). Karena itu, lembaga perbankan
seyogyanya memiliki kemampuan untuk mengelola dana
(fund manager). Terkait dengan wakaf tunai, lembaga
perbankan merupakan lembaga pengelola dana wakaf yang
patut
dipertimbangkan,
karena
bisa
mempertanggungjawabkan pengelolaannya kepada publik,
terutama kepada wakif. Dengan memahami bahwa pilihan
produk keuangan Syari’ah masih terbatas di pasar dalam
negeri, maka pilihan untuk menginvestasikan dana wakaf
pada produk-produk Syari’ah di pasar internasional terbuka
lebar. Selain itu, penanaman modal di pasar internasional
juga dapat dipandang sebagai upaya memperkecil resiko,
melalui diversifikasi investasi dana. Untuk itu, efektifitas
dan optimalisasi pengelolaan dana perbankan Syari’ah
44
memiliki akses dan sekaligus berperan dalam pasar uang
internasional.
Pengalaman, jaringan informasi, dan peta distribusi
menjadi faktor yang sangat penting bagi perbankan Syari’ah
dalam mengoptimalkan pengelolaan dana wakaf tunai.
Jaringan informasi serta peta distribusi juga memungkinkan
untuk terbentuknya database informasi mengenai sektor
usaha maupun debitur yang akan dibiayai termasuk oleh
dana eks wakaf. Dalam kaitan dengan wakaf tunai, maka
pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga perbankan, tidak saja
akan mengoptimalkan pengelolaan dana wakaf, akan tetapi
juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf tunai
sesuai dengan yang diinginkan oleh wakif.
Selain itu, pengalaman, jaringan informasi, dan peta
distribusi merupakan faktor positif bagi lembaga
pembankan Syari’ah. Sehingga diharapkan akan
menimbulkan citra poisitif terhadap gerakan wakaf tunai
itu sendiri maupun pada perbankan Syari’ah khususnya.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI)
terhadap perbankan Syari’ah akan menimbulkan
akuntabilitas yang positif dari pengelolaan wakaf tersebut.
Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak
saja utuk menyukseskan serta mengoptimalkan keberadaan
wakaf tunai, akan tetapi juga sebagai upaya untuk
menghindari citra yang kurang baik, seperti halnya yang
terjadi pada pengelolaan dana pada umumnya12.
Dengan melibatkan lembaga keuangan Syari’ah dalam
pengelolaan wakaf tunai, maka selain produktif, wakaf akan
12
Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal.52-54.
45
bisa diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi yang
menguntungkan. Dengan demikian, masyarakat (mauquf
‘alaihi) yang akan merasakan manfaat dari hasil dana wakaf
semakin banyak. Akhirnya, area garapan dana wakaf untuk
digunakan memberdayakan umat Islam semakin beragam.
Wakaf juga berbeda dengan zakat, tapi keduanya sama-sama
instrumen keuangan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam
hukum Islam wakaf tidak diwajibkan, melainkan secara
suka rela, sedang zakat merupakan kewajiban terhadap
seseorang ataupun terhadap harta yang telah mencapai
takaran tertentu.
Zakat wajib karena merupakan salah satu rukun Islam
yang dibebankan kepada harta kekayaan seseorang menurut
aturan tertentu. Dalam Al-Qur’an, zakat disebut sebanyak
82 kali (A.M. Saefuddin, 1984: 68) dan selalau
dirangkaikan dengan shalat (sembahyang yang merupakan
rukun Islam kedua. Hal ini menunjukkan bahwa (lembaga)
zakat sangat penting. Sedang shalat merupakan sarana
komunikasi utama antara manusia dengan Tuhan. Zakat
yang disebut Al-Qur’an setelah shalat, adalah sarana
komunikasi utama antara manusia dengan manusia lain
dalam masyarakat. Karena itu lembaga zakat sangat penting
dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis.
Peranan zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah, dalam
pemerataan pendapatan akan lebih kentara kalau
dihubungkan dan dilaksanakan bersama dengan nilai
instrumental lainnya yakni pelarangan riba13.
13
Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf,
(Jakarta: UI Press, 1988), hal.9.
46
Sedang Abdul Mannan, membedakan antara wakaf,
sadaqah dan hibah. Dari tata-cara transaksinya wakaf dapat
dipandang sebagai salah satu bentuk amal yang mirip
dengan sadaqah. Yang membedakannnya adalah dalam
sadaqah, baik substansi (asset) maupun hasil/manfaat yang
diperoleh dari pengelolaannya, seluruhnya ditransfer
(dipindahtangankan) kepada yang berhak menerimanya,
sedangkan pada wakaf, yang ditransfer hanya
hasil/manfaatnya, sedangkan substansi/assetnya tetap
dipertahankan.
Sementara itu, perbedaan wakaf dengan hibah adalah,
dana hibah, substansi/assetnya dapat dipindahtangankan
dari seseorang kepada orang lain tanpa ada persyaratan,
sedang pada wakaf ada persyaratan penggunaan yang telah
ditentukan wakif. Tujuannya sama-sama dilandasi semangat
keagamaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa hasil yang
diperoleh dari pengelolaan asset wakaf tidak dapat dianggap
sebagai zakat yang hukumnya wajib. Dan penerima zakat
telah ditetapkan oleh Al-Qur’an sebanyak 8 golongan.14
Dibandingkan dengan instrumen keuangan lain dalam
sistem ekonomi Islam, maka dana wakaf tampak fleksibel
untuk digunakan sebagai sarana pemberdayaan terhadap
umat Islam.
C. Wakaf Tunai sebagai Dana Publik
Sejak awal harus disadari bahwa wakaf, tidak terkecuali
wakaf tunai merupakan dana publik. Karena dana wakaf
14
Prof. Dr. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D., Sertifikat Wakaf Tunai,
Sebuah Inovasi Keuangan Islam (terjemahan), (Jakarta: CIBER dan PKTTI UI,
2002), hal. 16.
47
dihimpun dari masyarakat luas yang dengan suka rela
menyisihkan hartanya untuk diwakafkan. Wakaf seyogyanya
dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas pula.
Karena itu, agar pemanfaatkan wakaf untuk kepentingan
luas maksimal, pengelolaannya harus dilakukan secara
profesional, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tiga syarat ini (profesional, transparan, dan dapat
dipertanggungjawabkan) tidak bisa ditawar lagi dalam
pengelolaan wakaf, lebih-lebih wakaf tunai. Lembaga
apapun yang telah memenuhi tiga syarat tersebut, pantas
untuk mengelola wakaf tunai. Tiga syarat tersebut menjadi
sangat penting dalam pengelolaan wakaf tunai, karena hak
wakif (pemberi wakaf) atas asset (wakaf tunai) telah hilang.
Tapi wakif sebagai konsumen dari pengelola wakaf
memiliki hak, antara lain: 1. Hak untuk mendapatkan
informsi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa; 2. Hak untuk didengar saran
dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
dan 3. Hak mendapatkan pembinaan dan bimbingan
sebagai konsumen (dari lembaga pengelola wakaf tunai).
Hak yang ketiga ini penting terutama bagi mereka yang
pengetahuan agamanya tidak memadai. Banyak masyarakat
yang ingin mewakafkan hartanya tapi mereka tidak
mengetahui teknisnya. Tiga hak wakif sebagai konsumen
dari lembaga pengelola wakaf ini dapat dipenuhi, hanya
oleh lembaga yang telah memenuhi persyaratan seperti
disebutkan di atas.
Selain itu, agar wakaf tunai memberikan manfaat yang
riil terhadap masayarakat luas, seyogyanyalah lembaga
pengelola wakaf tunai menggunakan manajemen yang
48
profesional. Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak,
yaitu: (1) Pemberi wakaf (wakif), (2) Pengelola wakaf
(Nazhir). Nazhir ini, nantinya juga bertindak sebagai
manajer investasi, dan (3) Beneficiary (mauquf
alaihi/masyarakat yang diberi wakaf). Wakif akan
memberikan uangnya sebagai wakaf kepada lembaga
pengelola wakaf dan keuntungannya didistribusikan kepada
masyarakat luas yang membutuhkan. Karena itu, lembaga
pengelola wakaf tunai seyogyanya memenuhi kriteria
sebagai berikut:
 Memiliki akses yang baik kepada calon wakif
 Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana
wakaf
 Mampu untuk mendistribusikan hasil/keuntungan
dari investasi dana wakaf
 Memiliki kemampuan untuk mencatat/membukukan
segala hal yang berkaitan dengan beneficiary, misalnya
rekening dan peruntukannya.
 Lembaga pengelola wakaf tunai hendaknya dipercaya
oleh masyarakat dan kinerjanya dikontrol sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
terhadap lembaga pengelola dana publik.15
Lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dan memenuhi
kriteria untuk mengelola wakaf tunai adalah lembagalembaga keuangan Syari’ah. Belakangan banyak tumbuh
berkembang lembaga-lembaga keuangan Syari’ah, semisal
15
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah sebagai Pengelola Wakaf,
Op. Cit., hal. 7.
49
bank Syari’ah, asuransi Syari’ah, lembaga pembiayaan
Syari’ah dan lainnya.
Tumbuh-berkembangnya lembaga-lembaga keuangan
Syari’ah di Eropa Barat dan beberapa negara Islam,
termasuk Indonesia merupakan respon terhadap gejala
surplus dolar pada tingkat global. Surplus dolar itu
membutuhkan penyaluran yang aman dan lembaga-lembaga
keuangan Syari’ah lah yang dianggap tepat untuk
menampung surplus dolar tersebut. Sedang dalam konteks
Indonesia,
tumbuh-berkembangnya
lembaga-lembaga
keuangan Syari’ah juga merupakan hasil kerjasama antara
para ekonom dan profesional muslim, lulusan universitasuniversitas di Barat yang berhasil membuat lembaga yang
mampu mengelola modal. Sebagai salah satu contoh dari
hasil rekayasa teknokrasi pada tingkat internasional adalah
didirikan Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat
di Jeddah, Saudi Arabia. Modal IDB sebagian besar berasal
dari negara-negara penghasil minyak bumi, yang
kebanyakan adalah negara-negra Islam yang tergabung
dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Lembaga keuangan Syari’ah di Indonesia dalam
bentuk bank Syari’ah berdiri berkat upaya Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan Ikatan Cedekiawan Muslim seIndonesia (ICMI) pada tahun 1992. Bank Syari’ah tersebut
adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang nilai assetnya
sekarang mencapai lebih 1,5 triliun. BMI menjadi pelopor
kehadiran bank-bank Syari’ah dan lembaga keuangan nonbank lainnya. Sekarang hampir semua bank konvensional
50
membuka bank Syari’ah dan juga ada Takaful (asuransi
Syari’ah) Indonesia16.
Semestinya, lembaga investasi yang bergerak di bidang
pasar modal dapat juga menjalankan fungsi Nazhir
(pengelola wakaf tunai), namun hingga sekarang pasar
modal volatile. Karena itu bank, khususnya bank syariah
dianggap tepat untuk difungsikan sebagai kustodian (tempat
penitipan uang). Bahwa bank tepat untuk dilibatkan dalam
pengelolaan wakaf tunai dengan pertimbangan sebagai
berikut:
1. Memiliki akses yang baik kepada calon wakif
Calon wakif diasumsikan mereka yang memiliki
kelebihan likuiditas (memiliki anggaran keuangan yang
lebih), terlepas seberapa besar kelebihan likuiditas tersebut.
Kelebihan likuiditas masyarakat sekarang ini disimpan di
bank. Calon wakif potensial tentunya dapat diketahui oleh
bank, misalnya mengamati jumlah deposito, tabungan atau
mutasi giro yang bersangkutan, sehingga akses ke calon
wakif lebih mudah dilakukan oleh bank beserta dengan
jaringannya.
2. Memiliki kemampuan untuk melakukan investasi
Dana wakaf tunai dapat dinvestasikan dalam berbagai
jenis investasi, misalnya :
 Investasi Jangka Pendek: yaitu dalam bentuk mikro
kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman dalam
bentuk kerja sama dengan pemerintah untuk
16
Tim Depag, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia, (Jakarta:
Depag RI, 2003), hal.69.
51
menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM (Kredit
Pengusaha Kecil dan Mikro) dari Bank Indonesia (BI).
 Investasi Jangka Menengah: yaitu industri/usaha kecil.
Dalam hal ini bank di Indonesia telah terbiasa dengan
adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP
dan KUK (sesuai ketentuan BI).
 Investasi Jangka Panjang: yaitu untuk industri
manufaktur, dan industri besar lainnya. Bank
mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi
jangka panjang seperti investasi pabrik dan perkebunan.
Bank pun mempunyai kemampuan untuk melakukan
sindikasi dengan bank lain untuk melakukan investasi
besar17.
Dalam menginvestasikan dana wakaf, hendaknya
dipertimbangan keamanan investasi dan profitabilitas
usaha. Karena tanpa mempertimbangkan keamanan
investasi dan profitabilitas usaha, dikhawatirkan dana wakaf
tidak produktif atau bahkan mengalami penyusutan.
Karena itu sebelum melakukan investasi dana wakaf,
hendaknya dilakukan beberapa hal sebagai berikut :
a.
b.
c.
Analisis sektor investasi yang belum jenuh, melakukan
“spreading risk” dan “risk management” terhadap investasi
yang akan dilakukan.
“Market survey” untuk memastikan jaminan pasar dari
output/produk investasi.
Analisa kelayakan investasi.
17
52
Muhammad Syafii Antonio, Op.Cit., hal.8
d.
e.
f.
Analisa terhadap pihak yang akan diajak untuk
mengelola investasi.
Monitoring terhadap proses realisasi investasi, dan
Monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi.
Lembaga yang memiliki kemampuan seperti yang
disebutkan di atas adalah perbankan. Karena sifat bisnis
bank adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan,
baik pembiayaan investasi maupun modal kerja.
3.
Memiliki kemampuan untuk mengadministrasikan
rekening beneficiary.
Nazhir sebagai pihak yang diberikan amanah oleh
wakif untuk mengelola dana wakaf sekaligus memberikan
benefitnya kepada beneficiary, harus melakukan administrasi
yang baik, sehingga menjamin bahwa setiap beneficiary
mendapatkan benefit atas dana wakaf. Dalam rangka
merealisasikan pengadministrasian ini dibutuhkan sumber
daya manusia (SDM) dan teknologi yang memadai. SDM
dan teknologi yang memadai itu dimiliki oleh bank. Karena
bisnisnya bank memang mengelola rekening-rekening
nasabah. Lebih dari itu, teknologi perbankan juga mampu
menampung data base beneficiary yang akan mendapatkan
benefit (manfaat) dari dana wakaf.
4.
Bank memiliki kemampuan untuk mendistribusikan
hasil investasi dana wakaf.
Manfaat atau keuntungan dari hasil investasi dana
wakaf
harus
didistribusikan
kepada
beneficiary.
53
Pendistribusian ini mengacu kepada persyaratan yang
diberikan oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima
benefit. Pengelola dana wakaf hendaknya memastikan
berapa besaran benefit yang diterima. Hal ini menuntut
kemampuan administrasi dan teknologi. Dan yang
mempunyai kemampuan tersebut adalah bank.
Bank-bank Syari’ah yang berkembang pesat belakangan
ini juga sudah mempunyai system profit distribution, baik
dengan konsep “pool of fund” maupun “special invesment”
(mudharabah muqayyadah) yang tidak dimiliki oleh bank
konvensional. Sistem akan mem-back up pengelolaan dana
wakaf tunai dengan menggunakan sistem “voluntary pool of
fund.” Benefit atas dana wakaf jika diizinkan oleh wakif
dapat digunakan sebagai dana bergulir untuk
pemberdayaan ekonomi lemah. Hal ini pernah
dipraktikkan oleh BMI bekerjasama dengan Depkop dan
PKM dalam bentuk program P2KER (Proyek
Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat) dengan
kelompok binaan berupa Baitul Mal Wat Tamwil (BMT)
dan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di berbagai
daerah. Pengusaha kecil yang dibina bank diharapkan dapat
mengelola usahanya secara profesional dan akhirnya
mendapatkan akses permodalan dari bank.
5.
Bank memiliki kredibilitas di mata masyarakat, dan
dikontrol dengan perundang-undangan yang berlaku.
Lembaga keuangan semisal bank yang dilibatkan dalam
pengelolaan wakaf tunai harus memiliki kredibilitas di mata
masyarakat karena harus mampu menjalankan amanah
untuk melakukan investasi dan mendistribusikan benefit
54
atas investasi dana wakaf. Bank sekarang dikenal luas dan
dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga investasi. Secara
regulatif, bank jelas merupakan lembaga yang “high
regulated” yang diatur secara ketat oleh BI sebagai
pemegang otoritas moneter. BI menjadi deposit masyarkat
termasuk deposit wakaf. Kalau diperhatikan, bank Syari’ah
memiliki kelebihan dibandingkan dengan bank
konvensional. Karena bank Syari’ah merupakan lembaga
yang “Syari’ah high regulated”, dengan dipantau oleh
Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas
Syari’ah (DPS). Pemantauan yang dilakukan DSN dan DPS
berkaitan dengan; apakah operasional dan produk bank
sayari’ah sudah seiring dengan ketentuan Syari’ah atau
tidak.
Dengan argumentasi seperti ini, tidak dipungkiri
bahwa Nazhir yang tepat mengelola wakaf tunai adalah
bank, terutama bank Syari’ah. Dalam melakukan “benefit
spending/distribution” atas investasi dana wakaf, bank
Syari’ah dapat melakukan kerjasama dengan lembagalembaga sosial keagamaan atau lembaga amil zakat (LAZ).
Hal ini dilakukan dalam rangka melakukan sinergi guna
memberdayakan lembaga-lembaga umat. Jaringan LAZ yang
sudah terbangun dapat dioptimalisasikan dan diharapkan
meningkatkan efesiensi biaya bank dalam hal “product
delivery channel.” Bank syariah di Indonesia telah terbukti
mampu melakukan efesiensi dalam hal “product delivery
channel.”
Difungsikannya bank sebagai lembaga pengelola dana
wakaf merupakan manifestasi dari fungsi keharusan untuk
mengelola tiga sektor pelanggan/ekonomi. Yaitu corporate,
55
non formal dan voluntary sector. Tiga sektor yang dikelola
bank Syari’ah ini berbeda dengan tiga sektor yang harus
dikelola oleh bank konvensional; corporate, non formal dan
private sector. Pengelolaan tiga sektor pelanggan/ekonomi
ini, khususnya yang voluntary sector akan semakin
memperluas stake holder yang akan menerima benefit atas
usaha perbankan. Stake holder baru yang akan menerima
benefit dari dana wakaf adalah beneficiary.
Dalam pengelolaan dana wakaf tunai, bank paling
tidak memiliki empat tujuan, yaitu:
a. Menyediakan jasa layanan perbankan dengan
menerbitkan
Sertifikat
Wakaf
Tunai
dan
memanfaatkan manajemen yang baik dalam
pengelolaan dana wakaf tunai tersebut.
b. Membantu melakukan mobilisasi tabungan sosial dan
melakukan transformasi dari tabungan sosial ke modal.
c. Memberikan benefit kepada masyarakat, terutama
kepada masyarakat miskin melalui optimalisasi sumber
daya masyarakat yang kaya.
d. Membantu mengembangkan pasar modal sosial (sosial
capital market).18
C.1. Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai
18
Social Capital Market adalah tempat terjadinya transaksi bagi kegiatan
amal, dimana seseorang pada tempat tersebut bisa menentukan arah
penggunaan dari amal yang diserahkannya. Misalnya, dalam konteks wakaf
ini, Waqif bisa menentukan penggunaan dana wakaf tersebut sesuai dengan
kehendaknya. Misalnya, untuk pembangunan jalan, pembangunan sekolah,
pembangunan rumah sakit, dsb.
56
Sertifikat Wakaf Tunai, merupakan sebuah inovasi
instrumen finansial (Financial Instrument), Keuangan Sosial
dan Perbankan Sosial (Social Finance and Voluntary Sector
Banking) yang pertama kalinya dalam sejarah. Pada
umumnya, Wakaf selama ini dikenal terkait dengan
sumbangan berupa asset tetap (property of permanent) oleh
seorang Muslim dengan tujuan murni ketaqwaan. Namun
belakangan wakaf tunai mendapat perhatian serius, karena
ternyata juga memiliki akar yang panjang dalam sejarah
Islam. Sedang wakaf tunai sebagai instrumen keuangan
sungguh merupakan suatu produk baru dalam sejarah
Perbankan Islam. Pemanfaatan Wakaf Tunai dapat
dibedakan menjadi dua, yakni pengadaan barang privat
(private good) dan barang sosial (social good).19 Karena itu,
wakaf tunai membuka peluang yang unik bagi penciptaan
investasi dibidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan
sosial. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi
dapat dimanfaatkan melalui penukaran serfikat wakaf
tunai. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari
pengelolaan wakaf tunai dapat dibelanjakan untuk berbagi
tujuan, misalnya untuk pemeliharaan harta-harat wakaf.
Operasionalisasi sertifikat wakaf tunai dapat
dijabarkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut :
a. Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan yang
sesuai dengan tuntunan Syari’ah. Sedang bank yang
bertindak sebagai Nazhir harus mengelola wakaf
tersebut atas nama wakif.
19
Prof. Abdul Mannan, MA, PhD., Sertifikat Wakaf Tunai…..Op. Cit.,
hal. 30.
57
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
58
Wakif memiliki kebebasan memilih; untuk tujuan apa
dana hibah yang ia berikan.
Wakaf tunai dilakukan dengan tanpa batas waktu dan
rekeningnya harus terbuka dengan nama yang
ditentukan oleh wakif.
Wakaf tunai selalu menerima pendapatan dengan
tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari
waktu ke waktu.
Kualitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya
saja yang dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah
ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak
dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada
wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus.
Wakif dapat meminta bank untuk mempergunakan
keseluruhan profit untuk tujuan-tujuan yang telah
ditentukan.
Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali
saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan
sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit
pertama kalinya sebesar (ditentukan kemudian).
Deposit-deposit berikutnya juga dapat dilakukan
dengan pecahan masing-masing atau kelipatannya.
Wakif juga dapat meminta kepada bank untuk
merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk
dipindahkan dari rekening wakif kepada pengelola
harta wakaf (Nazhir).
Setiap setoran wakaf tunai harus diberikan tanda
terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai
jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan Sertifikat
Wakaf Tunai.
j.
Prinsip dan dasar-dasar peraturan Syari’ah tentang
wakaf tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah.
Kegiatan investasi sosial berupa wakaf tunai ini akan
dapat menciptakan landasan bagi terselenggaranya
pemupukan modal sosial secara permanen dan dapat
dimanfaatkan untuk membantu terlaksananya kredit
program yang akan memperkokoh bagi terciptanya
landasan moral dan sosial bagi terciptanya kesejahteraan
masyarakat. Seseorang dapat membeli Sertifikat Wakaf
Tunai untuk :
















Diri sendiri.
Orang tua.
Ahli waris.
Suami/ Istri.
Tetangga.
Saudara kandung.
Peningkatan standar hidup orang miskin.
Rehabilitasi orang cacat.
Peningkatan standar hidup masyarakat yang
berdomisili di daerah kumuh.
Membantu pendidikan anak yatim/ piatu.
Beasiswa.
Pengembangan pendidikan modern.
Pengembangan sekolah, madrasah, kursus, akademi
dan universitas.
Mendanai riset.
Membantu pendidikan keperawatan.
Riset penyakit tertentu dan membangun pusat riset.
59


Mendirikan rumah sakit dan bank darah.
Membantu program riset, pengembangan, dan
pendidikan untuk menghormati jasa para pendahulu.
 Menyelesaikan masalah-masalah sosial non-muslim.
 Membantu proyek-proyek untuk menciptakan
lapangan kerja dalam rangka menghapus kemiskinan
dan hal-hal lain yang diperbolehkan Syari’ah20.
Pembelian Sertifikat Wakaf Tunai dapat dilakukan
dengan maksud untuk memenuhi target investasi,
sedikitnya empat bidang, yaitu :
1. Kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi (duniaakhirat).
Semua manusia akan kembali ke haribaan Ilahi,
karena itu tidaklah berlebihan kalau kita merenungkan
sejenak, bahwa pada saat dilahirkan kita dalam keadaan
miskin dan pada saat meninggal kita pun akan dalam
keadaan miskin. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setelah
meninggal, semuanya akan berakhir kecuali tiga hal, yaitu :
ilmu yang bermanfaat, anak saleh, dan amal jariyah. Wakaf
tunai termasuk salah amal jariyah yang terus mengalir
pahalanya. Wakaf tunai sebagai sedekah jariyah memainkan
peranan penting bagi sesorang untuk mencapai
kesejahteraan dunia dan akhirat.
2.
Kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia dan
akhirat).
Sertifikat Wakaf Tunai menawarkan peluang bagi kita
untuk dapat mewujudkan tanggung awab kepada orang tua,
istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. Sertifikat
20
60
Ibid, hal. 41-42.
Wakaf Tunai dapat juga dibeli untuk menjamin perbaikan
kualitas hidup generasi penerus melalui pelaksanaan
program pendidikan, pernikahan dan lain-lain. Sebab bank
akan tetap bertanggung jawab untuk mengelola profit dari
sertifikat wakaf tunai itu. karena dengan cara pengelolaan
program seperti itu, maka wakaf tunai dapat dimanfaatkan
untuk kesejahteraan generasi mendatang.
3.
Pembangunan sosial
Sertifikat wakaf tunai juga manawarkan peluang yang
unik untuk membantu masyarakat. Dengan profit dari
wakaf tunai, seseorang dapat membantu bantuan yang
berharga bagi pendirian ataupun operasionalisasi lembaglembaga pendidikan termasuk masjid, madrasah, rumah
sakit, sekolah, kursus, akademi, dan universitas. Pembelian
sertifikat ini dapat membantu terlaksananya proyek-proyek
pendidikan, riset, keagamaan, kesejahteraan sosial,
pengobatan dan perawatan kesehatan untuk orang miskin
dan untuk penghapusan kemiskinan.
4.
Membangun masyarakat sejahtera
Dana yang terhimpun dari wakaf tunai akan
diinvestasikan dan hasilnya dapat memberikan jaminan
sosial kepada si miskin dan keamanan bagi si kaya.
Akhirnya, wakaf tunai akan menjadi wahana bagi
terciptanya kepedulian dan kasih sayang antara si kaya dan
si miskin, sehingga membantu terciptanya hubungan yang
harmonis dan kerjasama yang baik. Tidak berlebihan
kiranya kita mengharapkan bahwa melalui Sertifikat Wakaf
61
Tunai akan memperoleh manfaat yang banyak di bidang
ekonomi dan sosial bagi masyarakat secara keseluruhan 21.
D. Wakaf Tunai sebagai Voluntary Fund
Wakaf adalah salah satu lembaga sosial Islam yang
sangat di anjurkan untuk digunakan oleh seseorang atau
lembaga sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan
oleh Allah kepadanya. Wakaf dikategorikan sebagai amal
jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walau si wakif
telah meninggal dunia. Karena harta wakaf terus
dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat
banyak.
Dana wakaf dihimpun dari masyarakat secara sukarela,
karena wakaf tidak diwajibkan dalam Syari’at Islam,
melainkan hanya dianjurkan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang
dipahami sebagai dasar dari dianjurkan wakaf adalah: “Hai
orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di Jalan Allah)
sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan dari apa yang
kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu
memilih yang buruk-buruk di antaranya yang kamu
nafkahkan….” (al-Baqarah, ayat 267). Dana wakaf yang
dihimpun dari masyarakat tersebut diharapkan akan jadi
modal sosial abadi.
Realisasi lembaga wakaf yang profesional mendesak
untuk dilakukan karena menurut Prof. Abdul Mannan,
ekonom Islam dari Banglades22, menyebutkan bahwa
keunggulan nyata sektor voluntary Islam, termasuk wakaf
21
Tim Depag, Perkembangan Pengelolaan Wakaf…., Op.Cit., hal. 163.
Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D., Sertifikat Wakaf Tunai,
Sebuah…., Op.Cit, hal. 12-15
22
62
terletak pada kenyataan bahwa sektor voluntary Islam
meninggalkan warisan sejarah dan budaya yang sarat
dengan nilai-nilai keutamaan. Pada saat ini dimana
kemajuan teknologi informasi sudah begitu canggih,
kegiatan-kegiatan sektor voluntary Islam sebenarnya
memiliki potensi yang tinggi untuk dioperasionalisasikan
secara global. Dalam proses ini, bank Islam di abad ke-21
dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam
mengaktifkan dan melembagakan kembali peran institusiinstitusi sosial ekonomi Islam serta bermacam instrumen
redistribusi penghasilan (baik wajib maupun sunnah) baik
melalui instrumen-instrumen keuangan yang baru maupun
managemen fund seperti: Waqf Properties Development Bond,
Sertifikat Wakaf Tunai, Sertifikat Zakat, Sertifikat Tabungan
Haji,Trust Fund, dan lain-lain.
Meskipun Islam memiliki banyak kegiatan di sektor
voluntary seperti: zakat, wakaf, masjid, haji, dan yayasanyayasan, namun seluruh kegiatan tersebut tidak
diperhitungkan/dimasukkan dalam kalkulasi GNP (Gross
National Product). Dalam konteks dimana peluang
tantangan yang dihadapi oleh masyarakat muslim saat ini
begitu besar, maka perlakuan terhadap kegiatan-kegiatan
tersebut selama ini perlu ditelaah dan dianalisa kembali.
Dengan semakin gencarnya transformasi hubungan antara
Barat dan Timur yang disebabkan oleh: (a) Munculnya blok
ekonomi Eropa; (b) Hancurnya komunis; (c) Berdirinya
republik-republik muslim di Asia Tengah; (d) Semakin
lebarnya kesenjangan Utara-Selatan di bidang ekonomi; (e)
Keterbelakangan ekonomi serta belenggu kemiskinan di
negara-negara Islam; dan (f) Munculnya militansi etnik dan
63
semakin menggejalanya bahaya yang mengancam minoritas
di negara-negara non-muslim; maka sangat perlu
menghidupkan dan menumbuhkembangkan kembali
kegiatan di sektor voluntary tersebut sesuai dengan filosofi
dan semangatnya serta memanfaatkannya secara maksimal
bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi
masyarakat muslim dan umat manusia secara keseluruhan.
Pertanyaan mendasar terhadap masalah ini adalah
bagaimana mengoperasikan dan melembagakan kegiatankegiatan tersebut sehingga dapat terintegrasi ke dalam
mainstream aktivitas ekonomi, mobilisasi faktor produksi,
tabungan dan investasi, serta pasar modal?
Dilihat dari perspektif ini sebenarnya banyak sekali
kegunaan dana zakat bagi proyek-proyek mudarabah yang
legal yang dapat digunakan senagai partner keungan. Zakat
dapat meredistribusikan kekayaan kepada si miskin,
meningkatkan produktifitas, realokasi exante saving dengan
mengurangi idle-cash dan mendorong produksi melalui
alokasi faktor antar sektor. Demikian juga, perkumpulan
haji dapat dipandang sebagai salah satu lembaga sosial
ekonomi yang penting. Sedangkan masjid, dapat
difungsikan sebagai agen pembangunan masyarakat.
Dari perspektif historis, wakaf, yang merupakan salah
satu elemen sektor voluntary yang paling kuat dalam Islam,
telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan
pendidikan ke-Islam-an, kesehatan dan riset melalui
pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, madrasah, masjidmasjid, dan perpustakaan umum.
Pada abad ke-21 ini bank-bank Islam harus bekerja
untuk melestarikan sektor voluntary Islam. Bahkan sekarang
64
sedang diproses pengorganisasian The Voluntary Capital
Market yang bertujuan memobilisasi dana serta sedang
mengembangkan instrumen-instrumen keuangan yang
menurut Syari’ah memiliki aturan-aturan yang berbeda
seperti:
a. Waqf Properties Development Bond (Umum dan Khusus)
b. Cash Waqf Deposit Certificate (Umum dan Khusus)
c. Family Waqf Certificate
d. Mosque Properties Development Bond (Umum dan Khusus)
e. Mosque Community Share
f. Quard-e-Hasana Certivicate (Umum dan Khusus)
g. Zakat/Ushar payment Certificate
h. Hajj Saving Certivicate
i. Non-Muslim Trust Properties Development Bond (Umum
dan Khusus)
j. Municipal Properties Development Bond (Umum dan
Khusus)
Nilai dari seluruh obligasi dan sertifikat Quard-eHasana dapat dijamin oleh bank hingga masa pembayaran
sertifikat tersebut telah jatuh tempo.
Apa yang dipaparkan Prof. Abdul Mannan di atas
berangkat dari pengalaman Banglades, tapi tidak berarti
tidak memungkinkan untuk diterapkan atau paling tidak di
adopsi di Indonesia. Karena kondisi sosial ekonomi
Banglades dan Indonesia relatif sama. Bahkan Indonesia
merupakan negara non Islam yang rakyatnya paling banyak
menganut agama Islam.
Selain sebagai voluntry fund, wakaf tunai juga
memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana
65
abadi yang digarap melalui tantangan profesionalisme yang
amanah dalam fund management-nya di tengah keraguan
terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis
investasi domistik dan sindrom capital flight. Wakaf tunai
sangat merangsang kembalinya iklim investasi kondusif
yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal
jariyah di samping pertimbangan hikmah rasional
ekonomis untuk kesejahteraan sosial. Wakaf tunai juga
strategis untuk menciptakan lahan pekerjaan dan
mengurangi pengangguran dalam aktifitas produksi yang
sangat selektif sesuai dengan kaidah Syari’ah dan
kemaslahatan. Wakaf tunai sangat potensial untuk
memberdayakan sektor riil dan memperkuat fundamental
perekonomian dan sekaligus sebagai tantangan untuk
mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter
moral kesadaran akan solidaritas sosial sehingga tidak
berlaku lagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui
adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak
minoritas (kaum kaya) guna meningkatkan kesejahteraan
pihak yang mayoritas (kaum miskin). Oleh karena itu,
sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir yang salah
satunya adalah dengan memberikan kredit mikro. Kredit
mikro diberikan melalui mekanisme kontrak investasi
kolektif (KIK) semacam reksadana Syari’ah yang dihimpun
dengan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat
menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan
sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan
keterpurukan akibat krisis berkepanjangan.23
23
66
Tim Depag, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Op.Cit.,
Ke depan, wakaf sebagai salah satu voluntary fund dalam
Islam akan mampu menjadi pengemban amanah Islam,
yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera.
Bahkan bisa jadi wakaf akan menjadi instrumen keungan
alternatif dari instrumen keuangan konvensional, karena
sistem ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) telah
“gagal” mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera
hal.142
67
Bagian Ketiga
MANAJEMEN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI
A. Sistem Mobilisasi Dana Wakaf
Wakaf tunai merupakan salah satu usaha yang tengah
dikembangkan dalam rangka meningkatkan peran wakaf
dalam bidang ekonomi. Karena wakaf tunai memiliki
kekuatan yang bersifat umum dimana setiap orang bisa
menyumbangkan harta tanpa batas-batas tertentu.
Demikian juga fleksibilitas wujud dan pemanfaatannya
yang dapat menjangkau seluruh potensi untuk
dikembangkan.
Mustafa Edwin Nasution pernah membuat asumsi
bahwa jumlah penduduk muslim kelas menengah di
Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan penghasilan ratarata antara 0,5 juta – 10 juta per bulan. Dan ini merupakan
potensi yang besar. Bayangkan misalnya warga yang
berpenghasilan Rp 0,5 juta sebanyak 4 juta orang dan
setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 60 ribu. Maka
setiap tahun akan terkumpul Rp 240 miliar. Jika warga
yang berpenghasilan 1-2 juta sebanyak 3 juta jiwa dan setiap
tahun masing-masing berwakaf 120 ribu, maka akan
terkumpul dana sebesar Rp 360 miliar. Jika warga yang
berpenghasilan 2-5 juta sebanyak 2 juta orang dan setiap
tahun masing-masing berwakaf Rp 600 ribu, akan
terkumpul dana Rp 1,2 trilyun.
Dan jika warga
berpenghasilan Rp 5-10 juta berjumlah 1 juta orang dan
setiap tahun masing-masing berwakaf 1,2 juta, akan
71
terkumpul dana 1,2 trilyun. Jadi dana yang terkumpul
mencapai 3 trilyun setahun.1
Sungguh potensi yang sangat luar biasa. Terutama jika
dana itu diserahkan kepada pengelola profesional dan oleh
pengelola wakaf itu diinvestasikan di sektor yang produktif.
Dijamin jumlahnya tidak akan berkurang, tapi bertambah
bahkan bergulir. Misalnya saja dana itu dititipkan di Bank
Syari’ah yang katakanlah setiap tahun diberikan bagi hasil
sebesar 9 %, maka pada akhir tahun sudah ada dana segar
270 miliar. Tentunya akan sangat banyak yang bisa
dilakukan dengan dana sebanyak itu.
Karenanya model wakaf tunai sangat tepat
memberikan
jawaban
yang
menjanjikan
dalam
mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu mengatasi
krisis ekonomi Indonesia kontemporer. Ia sangat potensial
menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa
dari jerat hutang dan ketergantungan luar negeri. Wakaf
tunai sangat relevan memberikan model mutual fund
melalui mobilisasi dana abadi yang digarap melalui
tantangan profesionalisme yang amanah dalam fund
management nya di tengah keraguan terhadap pengelolaan
dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik dan
sindrom capital flight. Ia sangat tepat merangsang
kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatari motivasi
emosional teologis berupa niat amal jariyah disamping
pertimbangan hikmah rasional ekonomis kesejahteraan
sosial.2
1
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam
dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih Wakaf, hal. 92.
2
Ibid., hal. 93.
72
Wakaf tunai juga sangat strategis menciptakan lahan
pekerjaan dan mengurangi pengangguran dalam aktifitas
produksi yang selektif sesuai kaedah Syari’ah dan
kemaslahtan. Ia sangat potensial untuk memberdayakan
sektor riil dan memperkuat fundamental ekonomi. Ia
seklaigus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan
preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran
akan solidaritas sosial sehingga tidak berlaku bagi konsep
pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang
membutuhkan pengorbanan dari pihak minoritas (kaya)
guna meningkatkan kesejahteraan pihak mayoritas
(miskin).3
Karena itu, dalam rangka pengembangan secara lebih
luas, wakaf tunai harus mendapat perhatian lebih untuk
membiayai berbagai proyek sosial melalui pemberdayaan
wakaf benda tak bergerak yang selama ini menjadi beban.
Atau bisa juga melalui penyaluran kepada lembaga-lembaga
pemberdayaan ekonomi. Sebagai salah satu upaya agar
penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke
sektor riil dimobilisir, salah satunya dengan memberikan
kredit mikro melalui mekanisme Kontrak Investasi Kolektif
(KIK) semacam reksadana Syari’ah yang dihimpun melalui
Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat
menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan
sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan
keterpurukan akibat krisis berkepanjangan.
Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik
ibarat memberi kail, bukan hanya ikan, kepada rakyat dan
diharapkan dapat menciptakan kemandirian. Porsi bagi
3
Ibid., hal. 94.
73
hasil untuk fund manager setelah dikurangi biaya
operasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif
dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui
wasiat wakif (pemegang SWT) ataupun tanpa wasiatnya.
Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf
tunai telah menjelma nyata dalam implementasi produkproduk funding lembaga keuangan Syari’ah dan Lembaga
Amil Zakat seperti Wakaf Tunai Dompet Dhuafa
Republika dan Waqtumu (Wakaf Tunai Muamalat) yang
diluncurkan Baitul Muamalat – Bank Muamalat Indonesia.
Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan
optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan
perekonomian, gagasan wakaf tunai melengkapi UU No 12
tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang
No 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, di mana zakat
dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Di samping
juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat
dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat No. 38
Tahun 1999.4
Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen
pendanaan seperti Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) yang
kita kenal sebagai sumber dana untuk membantu kaum
dhuafa (fakir miskin) dan korban bencana. Selain
instrumen yang telah ada tersebut tentunya sangat
mendesak dan krusial, kebutuhan akan suatu pendekatan
baru dan inovatif dalam instrumen keuangan sebagai
pendamping untuk optimumnya mobilisasi dana umat.
Tujuan utamanya adalah bagaimana mencari solusi
alternatif pendanaan bagi peningkatan kesejahteraan sosial
4
74
Ibid., hal. 95
segenap rakyat Indonesia yang melengkapi sistem
pendanaan yang telah ada selama ini sehingga dapat
mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
Dalam hal ini, Indonesia harus belajar dari
Bangladesh, tempat kelahiran instrumen eksperimental
melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) yang
menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan
disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan,
kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya melalui
mekanisme produk funding baru berupa Sertifikat Wakaf
Tunai (Cash Certificate Waqf) yang akan dimiliki oleh
pemberi dana tersebut. Dalam instrumen keuangan baru
ini, Sertifikat Wakaf Tunai merupakan alternatif
pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis serta partisipasi
aktif dari seluruh warga negara yang kaya untuk berbagai
kebahagiaan dengan saudaranya dalam menikmati
pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya
dengan baik. Dangan tidak terlalu menggantungkan diri
dengan anggaran pemerintah dan pinjaman asing maka
diharapkan penerapan instrumen Sertifikat Wakat Tunai
ini mampu menjadi alternatif sumber pendanaan sosial.5
Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini
untuk menyediakan dana bagi pengentasan kemiskinan,
peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat
Indonesia, maka usaha meningkatkan gerakan wakaf tunai
sangat diperlukan. Keberadaan model wakaf tunai melalui
SWT dirasakan perlu dan mendesak sebagai instrumen
keuangan aternatif yang dapat mengisi kekurangankekurangan badan sosial yang tela ada. Karena itu wakaf
5
Ibid., hal. 96.
75
tunai, saham dan surat berharga lainnya sudah saatnya
mendapat porsi yang seimbang dalam rangka memberikan
wawasan akan pentingnya sebuah instrumen keuangan
dalam rangka ikut serta secara aktif mengentaskan
kemiskinan di Indonesia.
B. Pengelolaan Dana dan Pembiayaan
Untuk menjamin kelanggengan harta wakaf agar dapat
terus memberikan pelayanan prima sesuai dengan
tujuannya, diperlukan dana pemeliharaan di atas biayabiaya yang telah dikeluarkan. Hal ini berlaku pada proyek
penyedia jasa maupun proyek penghasil pendapatan.
Sehingga dengan demikian, pada proyek penyedia jasa pun
diperlukan persyaratan menghasilkan pendapatan untuk
menutup biaya pemeliharaan. Dalam konteks wakaf, maka
pembiayaan
proyek
wakaf
bertujuan
untuk
mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana
untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sumber
daya insani.6
Menurut Monzer Kahf, gagasan menyisihkan sebagian
pendapatan waqaf untuk merekonstruksi harta gerak wakaf
atau untuk meningkatkan modal harta tetap wakaf tidak
dibahas dalam fiqih klasik. Oleh karena itu Kahf (March 24, 1998) membedakan pembiayaan proyek wakaf ke dalam
6
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, 2003, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf, hal. 97.
76
model pembiayaan harta wakaf tradisional dan model
pembiayaan baru harta wakaf secara institusional.7
a.
Model-model pembiayaan proyek wakaf tradisional
Dalam model pembiayaan harta wakaf tradisional,
kitab fiqih klasik mendiskusikan lima model pembiayaan
rekonstruksi harta wakaf, yaitu: pinjaman, hukr (kontrak
sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum yang
cukup besar dimuka), al-Ijaratain (sewa dengan dua
pembayaran), menambah harta wakaf baru, dan penukaran
pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima model ini
hanya penambahan harta wakaf baru yang menciptakan
penambahan pada modal wakaf dan peningkatan kapasitas
produksi. Sedang empat model yang lain lebih banyak
membiayai operasional dan mengembalikan produktifitas
semula harta wakaf.8
1.
Pembiayaan wakaf dengan menciptakan wakaf baru
untuk melengkapi harta wakaf yang lama. Sebagai
contoh adalah wakaf air minum yang dilakukan oleh
Usman bin Affan kepada Rasulullah SAW. Karena
dimotivasi oleh Rasululah SAW, Usman mampu
membeli sumber air Ruma yang semula hanya
diberikan sebagian, tetapi kemudian pemiliknya setuju
menjual lagi sebagian yang lain. Contoh lain adalah
perluasan masjid Nabawi di Madinah yang diperluas
7
Baca, H. Karnaen A. Pewawaatmaja, S.E., MPA, Alternatif Investasi
Dana Wakaf, Makalah disajikan pada Workshop IIIT Indonesia tanggal 8
januari 2002, Batam.
8
Ibid.,
77
2.
3.
78
selama periode pemerintahan Khalifah Umar, Usman,
Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Setiap perluasan
memiliki penambahan harta wakaf yang lama. Contoh
lain dari penambahan harta wakaf terlihat pada
penyediaan fasilitas baru berupa air, listrik, dan
sistem pendingin atau pemanas.
Pinjaman untuk pembiayaan kebutuhan operasional
harta wakaf. Pinjaman ini dilakukan untuk
mengembalikan fungsi wakaf semula. Syarat yang
biasanya harus dipenuhi sebelumnya untuk dapat
melakukan pinjaman adalah mendapat ijin dari Hakim
Pengawas. Dalam kitab fikih akan kita jumpai misalnya
pembahasan tentang pinjaman untuk membeli benih
dan pupuk serta upah pekerja yang diperlukan. Juga
tentang
pinjaman
yang
dilakukan
untuk
merekonstruksikan atau membangun kembali harta
wakaf yang telah rusak atau terbakar.
Penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Model
substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf yang
satu dengan yang lain, paling tidak memberikan
pelayanan atau pendapatan yang sama tanpa
perubahan peruntukan yang ditetapkan pemberi harta
wakaf (wakif). Oleh karena itu secara prinsip substitusi
tidak menimbulkan peningkatan harta wakaf dalam
kondisi pasar normal. Konsekuensinya, substitusi
bukanlah model pembiayaan. Namun, karena karakter
yang unik dari harta wakaf, maka kadang-kadang
substitusi berakhir dengan peningkatan pelayanan
yang disediakan. Contohnya adalah pertukaran
4.
bangunan sekolah di wilayah yang jarang penduduk
dengan bangunan sekolah yang padat penduduk.
Model substitusi secara mudah dapat menyediakan
dana likuid yang diperlukan untuk kegiatan
operasional harta wakaf. Pada kasus tertentu, substitusi
juga dapat meningkatkan pelayanan harta wakaf,
khususnya bila penggunaan harta wakaf yang baru
terjadi karena adanya perubahan teknologi atau
demografi.
Model pembiayaan hukr (sewa berjangka panjang
dengan lump sum pembayaran di muka yang besar).
Model pembiayaan ini diciptakan oleh fuqaha (ahli
fikih) untuk mensiasati larangan menjual harta wakaf.
Dari pada menjual harta wakaf, nazhir (pengelola)
dapat menjual hak untuk jangka waktu sewa dengan
suatu nilai nominal secara periodik. Hak dijual untuk
suatu jumlah lump sum yang besar dibayar di muka.
Pembeli dari hak sewa berjangka panjang dapat
membangun tanah wakaf dengan menggunakan
sumbernya sendiri atas resiko sendiri sepanjang ia
membayar sewa secara periodik kepada pengelola.
Istilah hukr berarti monopoli secara eksklusif. Hak
eksklusif ini mungkin untuk suatu periode yang lama
yang biasanya melebihi ukuran hidup normal alami
manusia atau mungkin juga bersifat tetap. Ini
merupakan salah satu contoh dari hak keuangan yang
dapat dipasarkan, misalnya: dijual lagi, diwariskan,
dihadiahkan, dan lain-lain.
Model pembiayaan hukr bisa mungkin salah apabila
harga eksklusif dipergunakan untuk biaya operasional
79
5.
80
karena hukr mengurangi pendapatan wakaf di waktu
yang akan datang. Namun demikian, apabila harga
lump sum eksklusif dipergunakan untuk membeli harta
produktif baru sebagai suatu wakaf, maka aliran
pendapatan akan tetap seperti semula atau bahkan
meningkat. Dengan kata lain, modelnya sendiri netral
sedang aplikasinya dapat memberikan akibat negatif
dari sudut pandang tujuan wakaf.
Jika model hukr dipergunakan dalam kondisi pasar
normal dan jika harga eksklusif dipergunakan
sedemikian rupa sehingga mempertahankan semangat
keabadian harta wakaf, maka model ini harus dianggap
netral dan dapat dipergunakan untuk menjamin
perolehan likuiditas yang diperlukan untuk
membangun suatu harta wakaf. Karena itu kriteria
diterimanya model ini tidak tergantung pada jumlah
sewa periodiknya, berapapun kecilnya tetapi pada
keadilan dalam praktek dan pemanfaatan akhir dari
lump sum yang dihasilkan dengan menjual hak
eksklusif.
Model pembiayaan ijaratain (sewa dengan dua kali
pembayaran).
Model ijaratain menghasilkan sewa jangka panjang
yang terdiri dari dua bagian, yaitu: bagian pertama,
berupa uang muka lump sum yang besar untuk
merekonstruksikan harta wakaf yang bersangkutan,
dan bagian kedua, berupa sewa tahunan secara
periodik selama masa sewa. Model ini hampir serupa
dengan hukr. Bedanya, pada ijaratain, uang muka
hanya boleh dipergunakan untuk merekonstruksi harta
wakaf yang bersangkutan. Pada ijaratain, jelas bahwa
harta wakaf dikontrakkan setelah direkonstruksikan
sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam
kontrak.
b. Model-model pembiayaan baru untuk proyek wakaf
produktif secara institusional.
Ada empat model pembiayaan yang membolehkan
pengelola wakaf (produktif) memegang hak eksklusif
terhadap pengelolaan., seperti Murabahah, Istisnaa, Ijarah,
dan Mudharabah. Sebagai tambahan ada juga yang disebut
berbagi kepemilikan atau syari’atul milk, di mana ada
beberapa kontraktor yang berbagi manajemen atau
menugaskan manajemen proyek pada pihak penyedia
pembiayaan atau disebut dengan model berbagi hasil (out
put sharing) dan model Hukr atau sewa berjangka panjang.9
a.
Model pembiayaan Murabahah.
Penerapan pembiayaan murabahah pada harta proyek
mengharuskan Pengelola Harta Wakaf (Nazhir) mengambil
fungsi
sebagai
pengusaha
(enterprenueur)
yang
mengendalikan proses investasi yang membeli peralatan
dan material yang diperlukan melalui surat kontrak
Murabahah. Sedangkan pembiayaannya datang dari satu
bank Islami. Pengelola harta wakaf menjadi penghutang
(debitor) kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan
dan material yang dibeli ditambah mark up pembiayaannya.
9
Ibid.,
81
Hutang ini akan dibayar
pengembangan harta wakaf.
dari
pendapatan
hasil
b.
Model Istisna
Model Istisna memungkinkan pengelola harta wakaf
untuk memesan pengembangan harta wakaf yang
diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu
kontrak Istisna. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian
membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi
pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga
pembiayaan itu. Menurut Resolusi Islamic Fiqh Akademi
dari OKI, Istisna adalah sesuai dengan kontrak Syari’ah
dimana pembayaran dapat dilakukan dengan penangguhan
atas dasar kesepakatan bersama.
Model pembiayaan Istisna juga menimbulkan hutang
bagi pengelola harta wakaf (nazhir) dan dapat diselesaikan
dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta wakaf dan
penyedia pembiayaan (investor) tidak mempunyai hak
untuk turut campur dalam pengelolaan harta wakaf.
c.
Model Ijarah
Model pembiayaan ini merupakan penerapan Ijarah
dimana pengelola harta wakaf tetap memegang kendali
penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya,
pengelola harta wakaf memberikan ijin yang berlaku untuk
beberapa tahun saja kepada penyedia dana untuk
mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Kemudian
pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut untuk
jangka waktu yang sama dimana pada periode tersebut
dimiliki oleh penyedia dana (financer), dan digunakan
82
untuk tujuan wakaf. Gedung tersebut bisa berupa rumah
sakit, sekolah, ruang sewa kantor, atau apartemen.
Pengelola harta wakaf menjalankan manajemen dan
membayar sewa secara periodik kepada penyedia dana.
Jumlah sewa telah ditetapkan sehingga menutup modal
pokok dan keuntungan yang dikehendaki penyedia dana.
Pada akhir periode yang diijinkan, penyedia dana akan
memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang
dikehendaki, setelah itu penyedia dana tidak dapat
memasuki lagi harta wakaf.
Jenis ijarah ini jelas, yaitu kasus khusus ijarah yang
berakhir dengan penyewa memiliki bangunan dengan
kebaikan menjadi pemilik tanah yang dibangun. Ijin yang
diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia
proyek, misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek,
pengelola harta wakaf menggunakan sebagian pendapatan
jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa
kepada penyedia sewa.
4.
Mudharabah oleh Pengelola Harta Wakaf dengan
Penyedia Dana.
Model Mudharabah dapat digunakan oleh pengelola
harta wakaf dengan asumsi peranannya sebagai pengusaha
(mudharib) dan menerima dana likuid dari lembaga
pembiayaan untuk mendirikan bangunan di tanah wakaf
atau untuk mengebor sebuah sumur minyak jika tanah
wakaf itu menghasilkan minyak. Manajemen akan tetap
berada di tangan pengelola harta wakaf secara eksklusif dan
tingkat bagi hasil diterapkan sedemikian rupa sehingga
83
menutup biaya usaha untuk manajemen sebagaimana juga
penggunaan tanahnya.
5.
Model Pembiayaan berbagai kepemilikan.
Model pembiayaan kepemilikan dapat dipergunakan
apabila dua pihak secara individual dan bebas memiliki dua
benda yang berkaitan satu sama lain seperti masing-masing
memiliki separoh dari sebidang tanah pertanian tanpa
mempunyai perjanjian kemitraan secara formal. Berbagai
kepemilikan bukanlah suatu model kemitraan karena di
dalam kemitraan kedua pihak secara umum memilki harta
di dalam kemitraan sesuai dengan bagian mereka dalam
modal pokok. Sedang pada berbagai kepemilikan, kita
berhadapan dengan kekayaan berbeda masing-masing
dimiliki secara utuh dan individual oleh suatu pihak yang
bebas, dan hubungan mereka ditentukan dalam fikih yang
disebut syarikat al-milk yang sangat berbeda dengan syarikat
al-aqd yang diterapkan dalam kemitraan.
Operasionalisasi formal dari berbagi kepemilikan
adalah sebagai berikut:
Pengelola harta wakaf mengijinkan lembaga
pembiayaan untuk mendirikan sebuah gedung atau
menggali sebuah sumur minyak dan memasang alat
penyuling. Masing-masing pihak memiliki secara bebas dan
terpisah kekayaan dan mereka setuju untuk membagi hasil
yang diperoleh di antara mereka. Menurut Fikih dan
Syarikat al-Milk, masing-masing pihak bertanggung jawab
untuk mengelola kekayaannya sendiri. Karena itu, di dalam
model pembiayaan ini, pengelola harta wakaf dan lembaga
pembiayaan dapat bersepakat berbagi manajemen atau
84
menugaskannya kepada pihak lain. Jelas di dalam
menentukan rasio pembagian hasil (output), pihak yang
mengelola diberikan tambahan prosentase sebagai
kompensasi dari usahanya.
Pada model pembiayaan ini, kompensasi manajemen
dapat ditetapkan dalam jumlah uang tertentu atau suatu
proporsi hasil (output), dan pemilik juga sepakat atas
pembagian pendapatan kotor atau bersih di antara mereka
secara proporsional dengan kepemilikan mereka. Lebih
lanjut, karena lembaga pembiayaan kerap kali menghendaki
keluar dari kepemilikannya pada saat tertentu di masa
depan, para pihak dapat menyetujui penjualan kekayaan
penyedia dana pada wakaf dan menggunakan sebagian dari
hasil bagian wakaf sebagai pembayaran untuk harganya.
6.
Model bagi hasil (output)
Model bagi hasil adalah suatu kontrak di mana satu
pihak menyediakan harta tetap seperti tanah untuk yang
lain dan berbagi hasil (output) kotor di antara keduanya atas
dasar rasio yang disepakati. Model pembiayaan ini
didasarkan atas muzara’ah dimana pemilik tanah
menyediakan tanah (dan mungkin juga mesin) kepada
petani. Dalam bagi hasil, tanah dana manajemen tidak
dapat disediakan oleh pihak yang sama.
Dalam model pembiayaan bagi hasil,
wakaf
menyediakan tanah dan harta tetap lainnya yang dimiliki
wakaf. Sedang lembaga pembiayaan menyediakan biaya
operasional dan manajemen. Lembaga pembiayaan dapat
juga menyediakan sebagian atau seluruh mesin sepanjang
tanah disediakan oleh pihak non-manajemen sesuai dengan
85
persyaratan muzara’ah. Model ini dengan demikian cocok
untuk lembaga pembiayaan yang menghendaki mengambil
tanggungjawab manajemen, sedang pengelola harta wakaf
mengambil posisi sebagai mitra tidur. Ini menjadi salah
satu dari model dimana manjemen secara eksklusif akan
berada di tangan lembaga pembiayaan.
7.
Model sewa berjangka penjang dan hukr
Model ini merupakan salah satu manajemen yang
berada di tangan lembaga pembiayaan yang menyewa harta
wakaf untuk periode jangka panjang. Penyedia dana
mengambil tanggung jawab konstruksi dan manajemen
serta membayar sewa secara periodik kepada pengelola
harta wakaf.
Dalam sub model hukr, suatu ketentuan ditambahkan
dalam kontrak atas dasar mana lembaga pembiayaan
memberikan suatu pembayaran lump sum tunai sebagai
tambahan dari membayar sewa secara periodik. Namun
demikian, di bawah kondisi pasar yang adil, nilai total
sekarang (total present value) dari hasil (return) kepada wakaf
dalam hukr dan dalam sewa berjangka panjang harus kurang
lebih sama.
C. Manajemen Investasi Dana
Pada zaman kejayaan Islam, wakaf sudah pernah
mencapai kejayaan meski pengelolaannya masih sangat
sederhana. Abad ke-8 dan ke-9 Hijriah dipandang sebagai
jaman keemasan perkembangan wakaf. Pada saat itu wakaf
meliputi berbagai benda, yakni masjid, mushalla, sekolah,
tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti,
86
bangunan kantor, gedung pertemuan dan perniagaan,
bazaar, pasar, tempat pemandian, tempat pemangkas
rambut, gedung beras, pabrik sabun, pabrik penetasan telur
dan lain-lain. Dari data di atas jelas bahwa masjid,
mushalla, dan sekolah hanyalah sebagian dari benda yang
diwakafkan.
Kebiasaan berwakaf tersebut diteruskan sampai
sekarang di berbagai negara sesuai dengan perkembangan
zaman, sehingga sepanjang sejarah Islam, wakaf telah
berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatankegiatan sosial ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam.
Wakaf telah memfasilitasi sarjana dan mahasiswa dengan
sarana dan prasarana yang memadai dan mereka bisa
melakukan berbagai kegiatan riset dan menyelesaikan studi
mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari
hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan
kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang, termasuk
bidang kesehatan. Dilihat dari segi bentuknya, wakaf
tampak tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi
juga benda bergerak.10
Di beberapa negara, seperti Mesir, Yordania, Saudi
Arabia, dan Turki, wakaf selain berupa sarana dan pra
sarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian,
perkebunan, flat, uang, saham, real estate, dan lainnya yang
semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian
10
Bandingkan misalnya dengan nagara-negara seperti Mesir, Turki,
Bangladesh dan sebagainya, lihat, Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih
Wakaf, hal 86.
87
hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk
mewujudkan kesejahteraan umat.
Di Turki, pengelolaan wakaf tidak hanya dikelola oleh
mutawalli, tapi juga oleh lembaga Direktorat Jenderal
Wakaf. Direktorat Jenderal Wakaf tidak hanya mengelola
wakaf tapi juga memberikan supervisi dan kontrol (auditing)
terhadap wakaf yang dikelola oleh mutawalli. Sedangkan
sebuah lembaga yang memobilisasi sumber-sumber wakaf
untuk membiayai bermacam-macam jenis proyek joint
venture adalah Waqf Bank & Finance Corporation.
Mesir juga sudah mengelola potensi wakafnya secara
produktif. Awalnya, harta wakaf di Mesir juga tidak teratur.
Untuk menertibkan hal itu, pemerintah Mesir menempuh
langkah menertibkan tanah wakaf dan harta wakaf lainnya,
dengan menjaga dan mengawasi serta mengarahkan harta
wakaf untuk tujuan-tujuan kebaikan sesuai dengan garis
Undang-undang. Pada awalnya, persoalan wakaf ini
ditangani oleh sebuah departemen. Namun masalahmasalah terus bermunculan. Sampai pada tahun 1971
dibentuk sebuah Badan Wakaf yang khusus menangani
masalah wakaf dan pengembangannya.11
Sesuai dengan Qanun No. 80/1971, Badan wakaf ini
bertugas untuk mengusut dan melaksanakan semua
perdistribusian, serta semua kegiatan-kegiatan perwakafan
sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Badan ini selain
menguasai pengelolaan wakaf juga diberi kewenangan
untuk membelanjakan wakaf dengan sebaik-baiknya.
Misalnya, mendistribusikan hasil wakaf setiap bulan dengan
diikuti
kegiatan
di
cabang,
membangun
dan
11
88
Ibid., hal. 87
mengembangkan lembaga wakaf, membuat perencanaan
dan melakukan evaluasi akhir dan membuat laporan dan
menginformasikannya kepada masyarakat.12
Sejauh ini, ada berbagai macam harta yang telah
dikelola Badan Wakaf. Antara lain harta yang dikhususkan
pemerintah untuk anggaran umum, barang yang menjadi
jaminan utang, hibah, wasiat, dan sedekah, dokumen,
uang/harta yang harus dibelanjakan dan benda lain yang
berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan harta
wakaf. Badan Wakafpun menerapkan beberapa kebijakan.
Pertama, menitipkan hasil harta wakaf di bank Islam agar
dapat berkembang. Kedua, melalui Wizaratu Auqaf, Badan
Wakaf berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam
dan mengadakan kerjasama dengan beberapa perusahaan.
Ketiga, memanfaatkan tanah-tanah kosong untuk dikelola
secara produktif dengan cara mendirikan lembaga-kembaga
perekonomian bekerjasama dengan berbagai perusahaan.
Keempat, membeli saham dan obligasi perusahaanperusahaan penting.
Di Bangladesh lain lagi kondisinya. Negeri miskin ini
sesungguhnya memiliki kesamaan kondisi dengan
Indonesia. Dalam beberapa kasus, penghasilan dari banyak
harta wakaf yang kecil-kecil dan tersebar, amat tidak
mencukupi untuk memelihara harta wakaf itu sendiri.
Dengan kata lain, harta wakaf di bawah kekuasaan nazhirnazhir tradisional justru menjadi beban umat karena tidak
menghasilkan apa-apa. Apalagi wakaf yang dikelola oleh
perseorangan yang kurang bertanggungjawab. Kondisi ini
kemudian melatarbelakangi dilakukannya reformasi dalam
12
Ibid,.
89
manajemen dan administrasi harta wakaf di negeri
tersebut.13
Kemudian dibentuklah lembaga non pemerintah yang
menjadi solusi dalam menangani kemiskinan, yaitu Sosial
Investment Bank Limited (SIBL). Bank ini menjadi
alternatif peningkatan pendapatan bagi jutaan warga
miskin,
di
samping
merupakan
pilihan
yang
menguntungkan warga yang kaya untuk investasi,
mendapatkan bagi hasil dan hidup dalam lingkungan warga
yang lebih baik, aman, dan damai. Caranya adalah SIBL
mengintrodusir Sertifikat Wakaf Tunai, sebuah produk
baru dalam sejarah perbankan sektor voluntary. Di Dhaka,
SIBL membuka peluang untuk membuka rekening
deposito wakaf tunai dengan tujuan berbagai sasaran
penting jangka panjang.
SIBL juga menetapkan sasaran pemanfaatan dana hasil
pengelolaan wakaf tunai dengan rigid. Antara lain,
peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang
cacat, peningkatan standar hidup penduduk hunian
kumuh, membantu pendidikan anak yatim piatu, beasiswa,
pengembangan pendidikan modern, pengembangan
sekolah, kursus-kursus, akademi hingga universitas. Lalu,
mendanai riset, mendirikan rumah sakit dan bank darah,
menyelesaikan masalah sosial non muslim, membantu
proyek penciptaan lapangan kerja dan menghapus
kemiskinan. SIBL juga membuka penukaran tabungan
orang-orang kaya dengan Cash Waqf Certificate.14
13
14
90
Ibid., hal. 89
Ibid., hal. 90
Namun sayang, cerita kegemilangan pengelolaan harta
wakaf di negara-negara muslim ternyata belum terjadi di
Indonesia. Padahal kalau dilihat dari jumlahnya, harta
wakaf di seluruh tanah air terbilang cukup besar. Sebagian
besar wakaf itu berupa atau digunakan untuk rumah
ibadah, lembaga pendidikan Islam, pekuburan dan lain-lain
yang rata-rata tidak produktif. Karena itu, keberadaan wakaf
di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian khusus,
karena wakaf yang ada selama ini umumnya berbentuk
benda yang tidak bergerak yang sesungguhnya mempunyai
potensi yang cukup besar seperti tanah-tanah produktif
yang strategis untuk dikelola secara produktif.
Harta wakaf tersebut harus dikelola dan diberdayakan
dengan manajemen yang baik dan modern. Pemberdayaan
harta wakaf ini mutlak diperlukan dalam rangka menjalin
kekuatan ekonomi umat demi meningkatkan kesejahteraan
masyarakat banyak. Tentu saja pemberdayaan ini
membutuhkan kerja sama dari semua pihak, khususnya
dunia perbankan yang mempunyai kekuatan dana untuk
memberikan pinjaman atau lembaga-lembaga pihak ketiga
lainnya yang tertarik dengan pengembangan wakaf. Kerja
sama kemitraan ini memerlukan dukungan dan komitmen
oleh semua pihak seperti pemerintah, ulama’, kaum
profesional, cendekiawan, pengusaha, perbankan dan
sebagainya sehingga potensi wakaf akan mempunyai
peranan yang cukup penting dalam tatanan ekonomi
nasional.
91
D. Perluasan Pemanfaatan Dana
Dalam Islam, wakaf sering disebut sebagai sumber aset
yang memberi kemanfaatan sepanjang masa. Namun,
pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf
produktif di tanah air kita masih sedikit dan ketinggalan
dibanding negara lain. Begitupun studi perwakafan di
tanah air kita yang masih terfokus pada segi hukum fikih
(mu’amalah) dan
belum menyentuh manajemen
perwakafan. Padahal, semestinya wakaf bisa dijadikan
sebagai sumber dana dan aset ekonomi yang senantiasa
dapat dikelola secara produktif dan memberi hasil kepada
masyarakat. Sehingga dengan demikian harta wakaf benarbenar menjadi sumber dana dari masyarakat untuk
masyarakat.15
Di negara lain telah lama tumbuh lembaga perwakafan
yang mapan. Bahkan masalah perwakafan diatur dengan
peraturan perundang-undangan. Di Indonesia baru ada
Peraturan Pemerintah RI No 28 Tahun 1977 yang
mengatur tentang perwakafan tanah milik dan sekarang
kita telah memiliki undang-undang khusus wakaf, yaitu
Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf16.
Sebab itu, dapat dikatakan bahwa sampai saat ini
potensi wakaf sebagai sarana berbuat kebajikan bagi
15
Drs. H. Tulus, Manajemen Kelembagaan Wakaf, makalah
dipresentasikan pada Workshop Internasional tentang “Pemberdayaan
Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif “, yang dilaksanakan
oleh The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Batam, 7 Januari
2002.
16
Bandingkan misalnya dengan nagara-negara seperti Mesir, Turki,
Bangladesh dan sebagainya, lihat, Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf
Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih
Wakaf, hal 86-90.
92
kepentingan masyarakat belum dikelola dan diberdayakan
secara maksimal dalam ruang lingkup nasional. Padahal,
jika potensi wakaf ini diatur dan dikembangkan dengan
baik, akan membawa dampak yang begitu besar dalam
masyarakat. Beban persoalan sosial yang dihadapi bangsa
kita sekarang ini dan di masa mendatang akan terpecahkan
secara mendasar dan menyeluruh melalui sistem
pengumpulan, pengelolaan, dan pemberdayaan harta wakaf
dalam ruang lingkup nasional.
Menurut data Departemen Agama Republik
Indonesiaterajhir terdapat jumlah tanah wakaf di Indonesia
sebanyak 403.845 lokasi dengan luas  1.566.672.406 M2.
Apabila jumlah tanah wakaf ini dihubungkan dengan
negara yang saat ini sedang menghadapi berbagai krisis
khususnya krisis ekonomi, sebenarnya wakaf merupakan
salah satu lembaga Islam yang sangat potensial untuk lebih
dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang
mampu. Sayangnya, wakaf yang jumlahnya begitu banyak,
umumnyadigunakan secara konsumtif dan belum dikelola
secara produktif. Dengan demikian, lembaga wakaf di
Indonesia belum terasa manfaatnya secara optimal bagi
kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan data yang ada dalam masyarakat, pada
umumnya, wakaf di Indonesia digunakan untuk masjid,
mushalla, sekolah, rumah yatim piatu, makam dan sedikit
sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam
bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi
pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin.
Pemanfaatan tersebut dinilai dari segi sosial khususnya
untuk kepentingan keagamaan memang efektif. Tapi
93
dampaknya kurang berpengaruh dalam kehidupan
ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya
terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf
yang dapat dikelola secara produktif, maka kesejahteraan
sosial masyarakat yang diharapkan tidak akan dapat
terealisasi secara optimal.
Dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan ini,
sesungguhnya peranan wakaf, di samping instrumeninstrumen ekonomi Islam lainnya seperti zakat, infaq,
shadaqah dan lain-lainnya dapat dirasakan manfaatnya
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya di
bidang ekonomi dengan syarat dikelola sebagaimana
mestinya. Peruntukan wakaf di Indonesia yang kurang
mengarah kepada pemberdayaan ekonomi umat dan
cenderung hanya untuk kepentingan-kepentingan kegiatan
ibadah khusus dapat dimaklumi. Karena memang, pada
umumnya, ada keterbatasan umat Islam akan pemahaman
wakaf baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan
wakaf maupun nazhir wakaf. Pada umumnya umat Islam di
Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya
terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang
lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk masjid,
mushalla, sekolah, makam dan sebagainya.17
Agar wakaf di Indonesia dapat memberikan
kesejahteraan sosial bagi masyarkat, maka diperlukan
pengelolaan wakaf secara optimal oleh para nazhir. Untuk
mendorong atau mengoptimalkan wakaf oleh para nazhir
perlu ada suatu badan wakaf yang berskala nasional yang
berfungsi antara lain memberikan pertimbangan
17
94
Ibid.,
pengelolaan wakaf. Di samping itu juga badan wakaf
tersebut berfungsi sebagai nazhir untuk pengelola wakaf
produktif atau wakaf uang.
Di sinilah pengelolaan dana wakaf sebagai instrumen
investasi bisa menjadi alternatif kebuntuan pengelolaan
harta wakaf. Artinya pemanfaatan yang selama ini terkesan
‘jalan di tempat’ bisa diterobos. Pengelolaan model ini
cukup menarik karena benefit atas investasi tersebut akan
dapat dinikmati oleh masyarakat di mana saja. Hal ini
dimungkinkan karena benefit atas investasi tersebut berupa
cash yang dapat ditransfer ke beneficiary manapun di seluruh
dunia. Sementara investasi atas dana wakaf tersebut dapat
dilakukan di manapun tanpa batas negara, mengingat sifat
wakaf tunai yang dapat diinvestasikan di negara manapun. 18
Hal inilah yang diharapkan mampu menjembatani
kesenjangan antara masyarakat “kaya” dengan masyarakat
“miskin”, karena diharapkan terjadi transfer kekayaan
(dalam bentuk keuntungan investasi) dari masyarakat kaya
kepada masyarakat miskin. Proses ini dapat menjadi efek
bola salju ketika benefit atas dana wakaf bisa diinvestasikan
kembali dan seterusnya.
Selain itu, wakaf model ini dapat memperluas
jangkauan pemberi wakaf dan peningkatan produktifitas
harta wakaf dengan penjelasan sebagai berikut:19
18
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, 2003, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan
Wakaf, hal. 108
19
Ibid., hal. 109
95
1.
2.
Wakaf dalam bentuk fixed asset hanya dapat diberikan
oleh mereka yang tergolong masyarakat yang
mempunyai asset yang berlebih, sehingga kelebihan
tersebut dapat diwakafkan. Sedangkan untuk
masyarakat yang tidak mempunyai asset berlebih
tentunya akan menghadapi kendala untuk melakukan
wakaf dalam bentuk fixed asset. Masyarakat tersebut
dapat memberikan wakaf dalam bentuk uang tunai,
dimana uang tersebut dapat dikumpulkan. Terlebih
dahulu oleh seorang pengelola untuk kemudian
diinvestasikan, dan benefit atas investasi tersebut dapat
didistribusikan kepada benificiary.
Wakaf
tunai
dapat
digunakan
untuk
memproduktifkan asset-asset wakaf yang sekarang
tersebar di banyak negeri kaum muslimin. Sebagai
contoh di Bangladesh terdapat 150.593 aset wakaf.
Dengan demikian, wakaf tunai dapat digunakan
sebagai sarana untuk memotivasi dana masyarakat
dengan jangkauan lapisan masyarakat yang lebih luas
ke dalam bentuk modal investasi produktif dan dapat
digunakan untuk memproduktifkan asset wakaf yahg
sudah ada.
Ke depan, sangat penting untuk memberdayakan
wakaf, baik wakaf benda bergerak maupun benda tidak
bergerak agar dapat meningkatkan kesejahteraan umat
Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumya serta
meningkatkan perkembangan Islam di Indonesia.
Untuk mencapai sasaran tersebut, perlu adanya
paradigma baru antara lain perlu pengembangan wakaf
96
benda bergerak termasuk wakaf uang dan saham.
Pengeloalan wakaf dalam bentuk benda bergerak termasuk
wakaf uang dan saham dilakukan oleh suatu badan
tersendiri. Wakaf benda bergerak itu kemudian
dikembangkan melalui lembaga-lembaga perbankan atau
badan usaha dalam bentuk investasi. Hasil dari
pengembangan wakaf itu kemudian dipergunakan untuk
keperluan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan
Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan
pemberdayaan ekonomi umat, dan bantuan atau
pengembangan sarana dan prasarana ibadah. Di samping
itu, tidak menutup kemungkinan dipergunakan untuk
membantu pihak-pihak yang memerlukan seperti bantuan
pendidikan, bantuan penelitian, dan lain-lain.
Sementara itu, wakaf yang ada dan sudah berjalan di
kalangan masyarakat dalam bentuk wakaf tanah milik,
perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf
yang mempunyai nilai produktif perlu didorong untuk
dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Badan wakaf
itu dapat membantu baik dalam pembiayaan maupun
pembinaan para nazhir untuk dapat melakukan
pengelolaan wakaf produktif
97
Bagian Keempat
WAKAF TUNAI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM
Dalam catatan sejarah Islam, wakaf tunai (cash waqf)
ternyata sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah.
Sebagaimana dijelaskan oleh M Syafii Antonio yang
mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari,
dijelaskan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H) salah seorang
ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits
(tadwin al-hadits) memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar
dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial,
dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah
dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha
kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.1
Dari sini kemudian muncullah berbagai analisis
tentang pentingnya wakaf tunai yang dewasa ini digalakkan
di beberapa negara Islam di dunia. Paling tidak –masih
menurut Syafii- ada empat manfaat utama dari wakaf uang
dewasa ini. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi
sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas pun bisa
memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu
menjadi tuan tanah (hartawan) terlebih dahulu. Kedua,
melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanahtanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan
pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian.
Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian
lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya
terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika
1
M Syafii Antonio, Republika. Senin, 04 Februari 2002
101
ala kadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat
Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia
pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran
pendidikan negara yang memang semakin lama semakin
terbatas.2
Lebih jauh, Syafii mencoba untuk mengilustrasikan
betapa pentingnya penggunaan wakaf tunai. Dalam dunia
pendidikan misalnya, ia melihat adanya tiga filosofi dasar
yang harus ditekankan ketika kita hendak menerapkan
prinsip wakaf tunai dalam dunia pendidikan. Pertama,
alokasi cash waqf harus dilihat dalam bingkai ''proyek yang
terintegrasi'', bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah
pisah. Contohnya adalah anggapan dana wakaf akan ''habis''
bila dipakai untuk membayar gaji guru atau upah
bangunan, sementara wakaf harus ''abadi''. Dengan bingkai
proyek, sesungguhnya, dana wakaf akan dialokasikan untuk
program-program pendidikan dengan segala macam biaya
yang terangkum di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan
nazhir. Sudah terlalu lama nazhir sering kali diposisikan
kerja asal-asalan alias lillahi ta'ala (dalam pengertian sisa-sisa
waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib ''berpuasa''.
Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nazhir asal-asalan juga.
Sudah saatnya, kita menjadikan nazhir sebagai profesi yang
memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan
profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di
akhirat, tetapi juga di dunia. Di Turki, misalnya, badan
pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5 persen dari net
income wakaf. Angka yang sama juga diterima Kantor
2
102
Ibid.
Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The Central
Waqf Council India mendapatkan sekitar 6 persen dari net
income pengelolaan dana wakaf.
Ketiga, asas transparansi (accountability) di mana badan
wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan
setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat
dalam bentuk audited financial report (laporan keuangan
yang sudah diaudit) termasuk kewajaran dari masing-masing
pos biayanya.3
Melihat kecenderungan yang begitu potensial, dan
terutama dengan melihat perkembangan pengelolaan wakaf
tunai yang ada di negara-negara lain, maka kesempatan
yang sama juga sebenarnya bisa diberlakukan di Indonesia.
Karena di beberapa negara lain yang notabene berpenduduk
mayoritas muslim, wakaf dikembangkan sebagai salah satu
alternatif dan instrumen yang cukup memadai untuk
menyejahterakan kehidupan umat. Harus diakui pula
bahwa secara konseptual dan praktis, penggunaan kata-kata
wakaf sampai saat ini cenderung masih dipahami sebagai
pemberian sesuatu yang berbentuk benda-benda tidak
bergerak, seperti lahan tanah atau bangunan. Pemahaman
dan praktik semacam ini telah berlangsung sekian lama,
bahkan wakaf yang sudah mulai dikelola oleh negara seperti
pada empirium Ottoman (Usmani 1516-1918) pun masih
terbatas pada bentuk benda-benda tidak bergerak.4
Sementara bentuk lain dari wakaf yang berupa tunai,
3
Ibid.
Michael Dumper, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, (Jakarta: Lentera,
1999), h.1
4
103
seperti investasi belum banyak dikenal di kalangan
masyarakat muslim.
Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat
yang cenderung berhadapan dengan kehidupan global,
maka hal-hal spesifik pengembangan ekonomi yang
menyejahterakan umat menjadi lirikan baru. Dalam Islam,
pemberdayaan ekonomi bukan hanya bisa dilakukan
melalui zakat, infak, atau shadaqah, melainkan perbankan
Syari’ah dan wakaf dinilai sebagai alternatif yang cukup
memadai. Pada sekitar abad 19, di beberapa negara muslim
seperti Aljazair, misalnya, reformasi pengelolaan wakaf ini
dibuktikan dalam bentuk sumbangan tanah sekitar 1/2 dari
luas tanah produktif. Pada tahun 1883, Tunisia mengelola
wakaf tanah yang mencapai jumlah 1/3, di Turki (1928)
mencapai 3/4, di Mesir (1935) mencapai 1/7, dan Iran
(1930) mencapai 15%. Akumulasi pemilikan tanah wakaf
yang begitu luas telah mendorong beberapa negara
melakukan reformasi.
Sebagai perbandingan, ternyata bukan hanya negaranegara muslim saja yang telah begitu piawai dalam
pengelolaan dan pengembangan wakaf, Sri Langka, sebuah
negara yang notabene bukan tergolong negara muslim, mulai
mendirikan lembaga wakaf sejak Islam masuk dan
berkembang di negara tersebut. Pada tahun 1801,
pemerintah kolonial Inggris mengeluarkan peraturan
berkenaan dengan lembaga-lembaga Islam di negara itu.
melalui Muhammadan Code 1806, peraturan berupa
undang-undang untuk umat Islam dibakukan yang
didasarkan pada fiqih Syafii. Lalu pada tahun 1931,
pemerintah Sri Langka mengeluarkan Ordonansi Wakaf
104
dan Waris No 31/1931. Menurut ordonansi itu,
pengadilan distrik merupakan pengawas perwalian wakaf.
Hanya saja, secara de facto, ordonansi itu tidak bisa
dilaksanakan karena terdapat banyak hal dalam konsep
wakaf yang bertentangan dengan hukum Romawi-Belanda
yang sudah diberlakukan lebih dahulu di pengadilan distrik
Sri Langka.
Benturan antara ordonansi wakaf-waris dengan hukum
Romawi-Belanda itu pada akhirnya mampu diatasi berkat
perjuangan kaum intelektual muslim di sana. Atas desakan
berbagai pihak, pemerintah mengeluarkan UU Wakaf No
51/1956 yang kurang lebih menjelaskan tentang
dibentuknya Badan Wakaf yang bertugas mengawasi dan
menyelesaikan masalah-masalah wakaf. Perjuangan tidak
hanya berhenti di situ, celah-celah (kelemahan) dalam UU
itu bisa teratasi setelah dibentuk Kementrian Agama pada
1977. Setelah ada kementrian, barulah dibuat amandemen
UU Wakaf dengan peraturan No 33/1982 yang memberi
payung hukum bagi pembentukan Pengadilan Syari’ah,
suatu pengadilan yang di antaranya menangani masalah
wakaf. Setelah itu, dibentuklah Badan Pertimbangan Wakaf
yang berwenang memeriksa masalah-masalah wakaf dan
mengawasi perwalian wakaf. Fenomena wakaf yang ada di
Srilangka dalam beberapa hal memang banyak
kemiripannya dengan yang di Indonesia, yaitu banyaknya
praktik wakaf yang terbatas pada tanah, bangunan, dan juga
kuburan.
Secara historis, anjuran dan misi wakaf untuk
menciptakan kesejahteraan sosial sebenarnya telah
dicontohkan di zaman kejayaan Islam di masa lalu. Di masa
105
Dinasti Abbasiyah, wakaf telah dikembangkan sedemikian
rupa sehingga menjadi sumber pendapatan negara. Ketika
itu, wakaf yang pada awalnya meliputi berbagai aset
semacam masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian,
rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung
pertemuan, tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian,
gudang beras, dan lain-lain pada akhirnya bisa diambil
manfaatnya sebagai isntrumen pendapatan negara.
Kebiasaan di masa Dinasti Abbasiyah itu diteruskan
sampai sekarang di beberapa negara Islam sesuai dengan
perkembangan zaman. Di negara seperti Malaysia, Saudi
Arabia, Mesir, Turki, dan Yordania, lembaga wakaf
berkembang sangat maju dan mampu memberi manfaat
yang besar, bukan hanya untuk umat di negeri itu,
melainkan juga umat di negeri lain karena ternyata ia
mampu menjadi sarana pemberdayaan ekonomi yang
cukup memadai bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat, seperti pengembangan kegiatan dalam
memajukan kebudayaan Islam, pemberian beasiswa,
pembiayaan terhadap berbagai kegiatan penelitian,
penyediaan fasilitas kesehatan, dan lain-lain.
Khususnya di negara-negara tersebut, wakaf tidak
hanya berupa tanah atau bangunan, tetapi juga berupa
investasi saham, uang, real estate, tanah pertanian, flat,
tempat ibadah, dan pendidikan yang kesemuanya dikelola
dengan baik dan produktif, sehingga hasilnya dapat
digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat.
A. Arab Saudi
106
Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan
bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan ketetapan No. 574
tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat Keputusan
Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386. Majelis Tinggi
Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni
Menteri yang mengawasi wakaf dan menguasai
permasalahan-permasalahan perwakafan sebelum dibentuk
Majelis Tinggi Wakaf. Adapun anggota Majelis Tinggi
Wakaf terdiri atas wakil Kementerian Haji dan Wakaf, ahli
hukum Islam dari Kementerian Kehakiman, wakil dari
Kementerian (Departemen) Keuangan dan Ekonomi,
Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari kalangan
cendekiawan dan wartawan.
Majelis Tinggi Wakaf mempunyai wewenang untuk
membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan
menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan
wakaf berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif dan
manajemen wakaf. Di samping itu Majelis Tinggi Wakaf
juga mempunyai beberapa wewenang, antara lain:
(1) melakukan pendataan wakaf serta menentukan
cara-cara pengelolaannya; (2) menentukan langkah-langkah
umum untuk penanaman modal, pengembangan dan
peningkatan harta wakaf; (3) mengetahui kondisi semua
wakaf yang ada. Langkah ini dilakukan untuk menguatkan
kedudukannya sebagai lembaga yang menguasai
permasalahan wakaf serta untuk mencari jalan
pemecahannya; (4) membelanjakan harta wakaf untuk
kebajikan menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh
wakif dan sesuai dengan Syari’at Islam; (5) menetapkan
anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan
107
mendistribusikan hasil pengembangan harta wakaf tersebut
menurut
pertimbangan-pertimbangan
tertentu;
(6)
mengembangkan
wakaf
secara
produktif
dan
mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh
pemerintah.
Wakaf yang ada di Saudi Arabia bentuknya bermacammacam seperti hotel, tanah, bangunan (rumah) untuk
penduduk, toko, kebun, dan tempat ibadah. Dari macammacam harta wakaf tersebut ada yang diwakafkan untuk
dua kota suci yakni kota Makkah dan Madinah.
Pemanfaatan hasil wakaf yang utama adalah untuk
memperbaiki dan membangun wakaf yang ada agar wakaf
tersebut kekal dengan tetap melaksanakan syarat-syarat yang
diajukan oleh wakif.
Sebagai salah satu negara dengan penghasilan aset
ekonomi yang melimpah diiringi dengan komitmen untuk
menjalankan ajaran-ajaran Islam, Arab Saudi tergolong
yang sangat serius menangani wakaf, di antaranya dengan
membantuk Kementrian Haji dan Wakaf. Lembaga
(departemen) ini berkewajiban mengembangkan dan
mengarahkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah
ditetapkan waqif. Untuk mengawal kebijakan perwakafan,
pemerintah membentuk Majelis Tinggi Wakaf yang
diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf dengan anggota
terdiri atas ahli hukum Islam dari Kementrian Kehakiman,
wakil dari Kementrian Ekonomi dan Keuangan, Direktur
Kepurbakalaan serta tiga anggota dari cendekiawan dan
wartawan.
Yang menarik adalah bahwa bentuk wakaf di negara
air zam-zam ini bentuknya macam-macam. Ada yang
108
berbentuk hotel, bangunan untuk penduduk, toko, kebun,
dan tempat ibadah. Dan di antara wakaf-wakaf itu pula,
terdapat ketentuan khusus yang diwakafkan untuk
kebutuhan kota suci Mekah dan Madinah. Dengan
pengertian lain, bahwa segala manfaat yang diperoleh dari
wakaf itu, diperuntukkan bagi pembangunan kedua kota
suci itu seperti membangun perumahan penduduk,
membangun sejumlah hotel di seputar Masjidil Haram, dan
fasilitas lain yang diniatkan untuk melayani kebutuhan
jamaah haji.
B.
Mesir
Di negeri ini wakaf telah berkembang dengan
menakjubkan karena memang dikelola secara profesional.
Pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abd
Malik yang bernama Taubah bin Namirlah yang pertama
kali melakukan wakaf yang pada waktu itu berupa tanah
untuk bendungan.5 Lalu, beberapa puluh tahun kemudian,
wakaf ditangani oleh salah satu departemen dalam
pemerintahan. Meski begitu masih juga ada masalah yang
muncul dalam pengelolannya, sehingga pemerintah Mesir
terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan
pengelolaan wakaf, dengan tetap berlandaskan pada
Syari’ah Islam.
Mulanya, masih terdapat bentuk wakaf yang dilakukan
oleh dan untuk keluarga atau bahkan pribadi. Tetapi pada
tahun 1946 pemerintah Mesir mengeluarkan undangundang yang mengatur dan menegaskan bahwa semua
Wakaf Keluarga diubah bersifat sementara. Baru kemudian
5
M Abu Zahra, Muhadharah fi al-Waqfi, (tpn: 1959), h. 11
109
pada tahun 1952, sebuah peraturan baru diluncurkan yang
mengatur tentang tidak diperbolehkannya Wakaf Pribadi
(wakaf ahli) kecuali untuk tujuan-tujuan derma. Sampai
akhirnya pada tahun 1971 pemerintah Mesir membentuk
Badan Wakaf yang bertugas melakukan kerjasama dalam
memeriksa tujuan peraturan-peraturan dan programprogram pengembangan wakaf. Badan ini juga bertugas
mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf
serta semua kegiatan perwakafan agar sesuai dengan tujuantujuan yang telah ditetapkan. Badan ini juga menguasai
pengelolaan wakaf dan memiliki wewenang untuk
membelanjakan dengan sebaik-baiknya.
Untuk mengembangkan dan mengelola harta wakaf
secara lebih efektif, Badan Wakaf menitipkan hasil harta
wakaf di bank-bank Islam. Di samping itu, Badan Wakaf
juga berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam,
bekerjasama dengan sejumlah perusahaan, membeli saham
dan obligasi perusahaan penting dan memanfaatkan lahanlahan kosong agar menjadi produktif sehingga
pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional
sangat bermanfaat untuk membantu kehidupan para kaum
dhuafa, fakir-miskin, bahkan sampai penyediaan fasilitas
kesehataan berupa rumah sakit dan obat-obatan.
Memang, di Mesir sepertinya tidak terlalu
mendikotomikan antara wakaf tunai dengan wakaf reguler.
Karena Badan Wakaf berwenang untuk mengelola dan
mengembangkan keduanya. Tetapi, jika ditilik dari
beberapa bentuk wakaf yang dilaksanakan seperti
pembolehan kredit bank sebagai subjek wakaf, ini
110
menunjukkan bahwa Mesir memiliki concern yang cukup
tinggi dalam pengembangan wakaf tunai.
C.
Turki
Lain lagi apa yang telah berkembang di Turki. Negara
yang saat ini dianggap sebagai negara Islam sekular karena
beberapa praktik kehidupan masyarakatnya yang lebih
dekat dengan Barat ini memiliki sejarah panjang dalam
pengelolaan wakaf, yang kalau dirunut sejarahnya dimulai
sejak masa Utsmaniyah. “Pada tahun 1925 saja, harta
wakafnya mencapai ¾ dari luas lahan produktif di Turki”
ujar Mustafa Edwin Nasution, ketua Program Studi Timur
Tengah dan Islam, Universitas Indonesia. Pusat
Administrasi Wakaf juga berkembang dengan baik. Kini
untuk memobilisasi sumber-sumber wakaf dan membiayai
bermacam-macam jenis proyek joint-venture telah didirikan
Waqf Bank & Finance Corporation.
Sebagaimana disinggung pada bab sebelumnya bahwa
pengelolaan wakaf di Turki juga dikelola oleh Direktorat
Jenderal Wakaf. Sejauh ini ada dua pelayanan yang
diberikan oleh Direktorat Jenderal Wakaf, yaitu pelayanan
kesehatan dan pelayanan pendidikan dan sosial. Pelayanan
kesehatan diberikan melalui wakaf-wakaf rumah sakit.
Peran Dirjen Wakaf di Turki begitu besar dalam
pengelolaan wakaf dengan terus mengembangkan harta
wakaf secara produktif melalui upaya komersial dan
hasilnya untuk kepentingan sosial. Upaya komersial Dirjen
Wakaf Turki terhadap harta wakaf adalah dengan
melakukan kerjasama dan investasi di berbagai lembaga,
antara lain Yvalik and Aydem Olive oil Corporation,
111
Tasdelen Healthy Water Corporation, Auqaf Guraba
Hospital, Taksim Hotel (Sheraton), Turkish Is Bank, Ayden
Textile Industry dan lain-lain.
D.
Bangladesh
Di samping terkenal sebagai negara miskin,
Bangladesh juga merupakan negara terbelakang dengan
jumlah penduduk yang besar, yaitu sekitar 120 juta jiwa
dengan luas daerah 55.000 mil persegi. Selain itu, kondisi
alam yang seringkali kurang menguntungkan karena negara
ini termasuk sering tertimpa bencana seperti banjir dan
angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh juga cukup
padat, yaitu 717 orang per km persegi dan juga termasuk
salah satu dari negara yang mempunyai sumber daya alam
yang sangat terbatas. Berbagai dimensi kemiskinan ini
antara lain tercermin dari penurunan pendapatan riil
sektor pertanian, ketidakmerataan distribusi pendapatan
yang cenderung menguntungkan masyarakat perkotaan,
perbedaan gaji antarsektor formal dan informal,
peningkatan dramatis dalam biaya hidup, mencuatnya
beberapa masalah pemenuhan kesehatan masyarakat,
pengangguran, dan migrasi internal. Mungkin jika ditilik
dari kehidupan ketatanegaraan, Bangladesh sebenarnya
hanya membutuhkan manajemen SDM yang lebih baik,
agar kehidupan masyarakatnya lebih makmur.
Terlepas dari fenomena kehidupan masyarakat yang
relatif miskin dan serba kekurangan, di bidang yang lain,
terutama dalam pengamalan ajaran keagamaan, masyarakat
Bangladesh bisa dianggap begitu antusias dalam hal praktik
ajaran keagamaan. Dalam hal yang berkaitan dengan
112
pemahaman ajaran agama dan kebutuhan peningkatan
ekonomi, masyarakat Bangladesh sepertinya sadar bahwa
mereka membutuhkan alternatif pengembangan ekonomi
masyarakat yang berbasis Syari’ah. Dan wakaf tunai, selain
juga wakaf regular menjadi sarana pendukung
kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di Bangladesh wakaf
telah dikelola oleh Social Investment Bank Ltd. (SIBL).
Bank ini telah mengembangkan Pasar Modal Sosial (the
Voluntary Capital Market). Instrumen-instrumen keuangan
Islam yang telah dikembangkan, antara lain: surat obligasi
pembangunan perangkat wakaf (Waqf Properties Development
Bond), sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Deposit Certificate),6
sertifikat wakaf keluarga (Family Waqf Cetificate), obligasi
pembangunan perangkat masjid (Mosque Properties
Development Bond), saham komunitas masjid (Mosque
Community Share), Quard-e-Hasana Certificate, sertifikat
pembayaran zakat (Zakat/Ushar Payment Certificate),
6
Prof. Manan, pakar ekonomi Islam asal Bangladesh mengemukakan
bahwa sertifikat wakaf tunai Cash Waqf Certificate (SWT) merupakan upaya
inovasi finansial di bidang perwakafan. Bila langkah ini berhasil dijalankan
dengan baik, akan mampu memberikan manfaat untuk kesejahateraan umat.
Contohnya adalah yang pernah dilakukan di Bangladesh, yang menuai
kesuksesan besar. Wakaf Tunai membuka peluang yang unik bagi penciptaan
investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan
dari anggota masyarakat berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui
penukaran SWT. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan
Wakaf Tunai dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda. Di
antaranya untuk pemeliharaan harta wakaf sendiri serta pengeluaran lainnya.
Jika ada organisasi Lembaga Wakaf yang dikelola secara profesional, maka
akan menjadi lahan baru bagi Muslim kelas menengah untuk beramal. Dan
itu berarti upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi kecil
bukan lagi impian. Lihat www.republika.co.id, Jum’at, 22 Agustus 2003.
113
sertifikat simpanan haji (Hajj Saving Certificate), dan lainlain.
Pada sistem fiskal yang kini berlaku di negara-negara
muslim,
khususnya
di
Bangladesh,
perpajakan
dititikberatkan pada Pajak Tidak Langsung yang sifatnya
regresif, yaitu pajak yang menerapkan tarif yang semakin
rendah dengan semakin tingginya jumlah penghasilan yang
kena pajak. Di Bangladesh, terdapat kurang-lebih 85% dari
total pendapatan pajak pada 1995-1996 berupa pajak tidak
langsung. Sebagian besar pajak langsung dapat
dikonversikan sebagai bentuk tanggung-jawab sosial melalui
penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat tersebut dapat
menggantikan sebagian atau seluruh pajak penghasilan
untuk
pembiayaan
pembangunan
infrastruktur
kemanusiaan dan sosial. Dalam konteks ini, Wakaf Tunai
dapat dipandang sebagai bentuk gerakan pembangunan
masyarakat dalam mengatasi masalah pendidikan, sosial,
dan ekonomi.
E.
Yordania
Secara administratif, pelaksanaan pengelolaan wakaf di
Kerajaan Yordania didasarkan pada Undang-undang Wakaf
Islam No. 25/1947. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa
yang termasuk dalam urusan Kementerian Wakaf dan
Urusan Agama Islam adalah wakaf masjid, madrasah,
lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat
pendidikan, lembaga-lembaga Syari’ah, kuburan-kuburan
Islam, urusan-urusan haji, dan urusan-urusan fatwa. UU
wakaf yang mengatur tentang pengaturan wakaf tersebut
kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Wakaf No
114
26/1966. Dalam Pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa
tujuan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Memelihara masjid dan harta wakaf serta
mengendalikan urusan-urusannya;
2. Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah
Nabi Muhammad SAW dengan mewujudkan
pendidikan Islam;
3. Membakar semangat jihad dan menguatkan jiwa Islam
serta meningkatkan kualitas keimanan;
4. Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkannya
dalam kehidupan kaum Muslimin;
5. Menguatkan semangat Islam dan menggalakkan
pendidikan agama dengan mendirikan lembagalembaga dan sekolah untuk menghafal Al-Qur’an;
6. Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan
Islam, melahirkan kebudayaan baru Islam dan
menumbuhkan kesadaran beragama.7
Secara teknis, Kementerian Wakaf membentuk Majelis
Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri. Majelis Tinggi
Wakaf menetapkan usulan-usulan yang ada di Kementerian
yang berasal dari Direktur Keuangan, kemudian Menteri
membawanya kepada Dewan Kabinet untuk mendapat
pengesahan. Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian
Wakaf selalu bersandar pada Undang-Undang No.
26/1966. Hal ini mengingat bahwa di dalam UU tersebut
secara tegas disebutkan bahwa yang berwenang mengelola
7
Dr Uswatun Hasanah, ‘Perwakafan di Yordania’, www.modalonline.com,
21 April 2004.
115
harta wakaf dan mengendalikannya adalah Kementerian
Wakaf dan Urusan Agama Islam. Selain itu, Kementrian
Wakaf juga harus bersandar pada peraturan-peraturan
wakaf yang lain. Seperti UU Wakaf Islam No 25/1947
sebagaimana tersebut di atas.
Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk
membelanjakan hasil pengembangan wakaf sesuai dengan
rencana-rencana yang telah digariskan oleh Direktorat
Keuangan. Pada tahun 1984, pendapatan yang dihasilkan
dari pengembangan wakaf kurang lebih sebagai berikut:
1. Hasil sewa diperkirakan mencapai 680 ribu dinar
Yordania;
2. Pendapatan yang berasal dari tempat-tempat suci
mencapai 120 ribu dinar Yordania;
3. Pendapatan pabrik, rumah-rumah yatim dan industri
di Yerusalem mencapai kurang lebih 80 ribu dinar
Yordania;
4. Pendapatan lain yang bermacam-macam kira-kira
mencapai 160 ribu dinar Yordania.8
Dari sekian pendapatan yang diperoleh, pada tahun
1984,
terkumpullah
sejumlah
pendapatan
dari
pengembangan wakaf yang mencapai 1,030 juta dinar
Yordania. Jumlah yang demikian tinggi ini memang tidak
dengan mudah dan semena-mena dibelanjakan oleh
Kementerian Wakaf. Sehingga untuk memudahkan alokasi
pendapatan yang ada, pemerintah mendirikan Direktorat
Pembangunan dan Pemeliharaan Wakaf Islam yang
8
116
Ibid.
bertugas untuk memelihara, memperbaiki, dan membantu
tugas-tugas kementrian wakaf.
Selain itu, Direktorat baru ini pun mulai menjalankan
beberapa proyek, di antaranya proyek-proyek yang dibangun
cukup banyak dan meliputi wilayah Tepi Timur dan Tepi
Barat. Adapun proyek yang dilaksanakan di Tepi Timur
antara lain adalah pembangunan kantor-kantor wakaf di
Amman dengan biaya 80.000 (delapan puluh ribu) dinar
Yordania; pembangunan apartemen hunian di Amman
dengan biaya 85 ribu dinar, dan beberapa proyek lainnya.
Sedangkan proyek yang dilaksanakan di Tepi Barat antara
lain adalah kantor-kantor, pertokoan, dan pusat
perdagangan di tanah-tanah wakaf. Biaya pembangunan
yang dilakukan baik di wilayah Tepi Barat maupun Tepi
Timur tersebut diperkirakan menelan biaya 700 ribu dinar.
Meskipun demikian, pelaksanaan proyek ini tetap saja
membutuhkan lembaga khusus yang menangani masalah
studi kelayakan terhadap rencana-rencana pengembangan
tanah wakaf dengan tujuan agar proyek dapat berjalan
dengan baik.
Yang menarik adalah bahwa Wizarat al-Auqaf mampu
ikut serta dalam meningkatkan peranan wanita dalam
pembangunan. Kementerian Wakaf mengelola wakaf
dengan mengutamakan perlengkapan administrasi wakaf
yang memadai sesuai saran para ahli. Untuk mencapai
tujuan
yang
diharapkan
Kementerian
Wakaf
mempergunakan berbagai cara. Adapun cara-cara
pengembangan wakaf yang dilakukan Kementerian Wakaf
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan hasil harta wakaf itu sendiri;
117
2.
3.
4.
Menyewakan tanah-tanah wakaf dalam waktu yang
lama;
Kementerian Wakaf meminjam uang kepada
pemerintah untuk membangun proyek-proyek
pembangunan tanah wakaf yang ada di kota Amman,
Aqabah dan lain-lain;
Menanami tanaman-tanaman di tanah pertanian.9
Dari sini semakin jelaslah bahwa wakaf yang
dipraktikkan di Yordania maupun negara lain,10 meskipun
sepintas lalu, masih menerapkan bentuk wakaf yang
konvensional tetapi sesungguhnya pengembangannya sudah
dilakukan sedemikian rupa sehingga mampu dimanfaatkan
untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu saja berbeda
dengan yang terjadi di Indonesia dimana wakaf masih
dipahami sebagai pemberian cuma-cuma harta benda
berupa tanah dan bangunan.
Jika melihat pengalaman negara lain, maka sebenarnya
lembaga wakaf di Indonesia dapat difungsikan untuk
meningkatkan kesejahteraan umat. Usaha kecil kaum
muslimin bisa dikembangkan dengan dana wakaf. Begitu
9
Ibid.
Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Barat, Uce K
Suganda menjelaskan bahwa di Amerika Serikat, negara yang sering
bersitegang dengan negara-negara muslim, wakaf telah dikelola secara
profesional oleh lembaga keuangan yang bonafid. Di sana lembaga yang
mengelola wakaf adalah the Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF) yang
bermarkas di New York, dengan Al Manzil Islamic financial Services sebagai
advisornya. Berkat kerjasama KAPF dengan AL Manzil ini pula misalnya,
telah berhasil dibangun satu apartemen senilai US$85 juta di atas tanah yang
dikuasai the Islamic Cultural Center of New York. Lihat www.republika.co.id,
Jum’at, 14 Mei 2004.
10
118
pula pemeliharaan masjid dan sekolah juga bisa
menggunakan dana dari pengembangan wakaf. Dan khusus
untuk wakaf tunai, salah satu tujuan yang ingin diperoleh
melalui jalur ini adalah tiadanya lagi pembatasan bagi
siapapun yang ingin menginfakkan sebagian hartanya hanya
melalui bentuk-bentuk yang kaku. Dengan pengertian lain,
bagi siapapun yang ingin mewakafkan hartanya tidak lagi
terpaku pada ketentuan yang menitikberatkan pada wakaf
berupa tanah dan bangunan karena dengan cara tunai
(cash), pembelanjaan harta pun bisa dilakukan. Selain lebih
memudahkan, secara Syari’ahpun wakaf tunai ternyata
sangat dianjurkan dan memperoleh legitimasi dari ajaran
Islam. Dengan demikian, hadits yang diriwayatkan Ibnu
Umar, yang merupakan dialog antara Umar bin Khattab
dengan Nabi Muhammad SAW di saat Umar ingin
mewakafkan tanahnya di Khaibar, antara lain Nabi SAW
bersabda “Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan
sedekahkan hasilnya,” merupakan praktik ibadah yang bisa
dilakukan sepanjang ruang dan waktu
119
Daftar Pustaka
Abu Zahra, M, Muhadharah fi al-Waqfi, tpn: 1959
Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, tt.
Al-Bakri, I’anatu Ath-Thalibin, Kairo: Isa Halabi, tt.
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji,
Beirut: Dar al-Fikr, Juz IX, 1994
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Sebagai Pengelola
Wakaf,
(Makalah
Workshop
Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.
_______, Republika. Senin, 04 Februari 2002
_______, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema
Insani Press, 2001.
Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Kairo: Mushtafa Halabi, Juz
II, tt
Az-Zuhaili, Wahbah, Dr., Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu,
Damaskus: Dar al-Fikr, tt.
_______, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsyik: Dar alFikr, 1985, Juz VII.
120
Daud Ali, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan
Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988.
Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan
Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan
Pengembangan Wakaf, 2003, hal. 97.
Dumper, Michael, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi,
Jakarta: Lentera, 1999.
H.A.R. Gibs dan I.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of
Islam, Karachi-Pakistan, South Asian Publication,
1981.
Hasanah,
Uswatun,
‘Perwakafan
di
www.modalonline.com, 21 April 2004.
Yordania’,
Kahf, Monzer, Finacing the Development of Aqaf Properti,
Kuala Lumpur: Irti, 1998.
Mahmudi, Mempertegas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan,
(Harian Umum Republika, Nopember 2001)
Mannan, M. Abdul, Prof., M.A., Ph.D, Teori dan Praktik
Ekonomi Islam, (terjamahan), Yogyakarta: PT Dana
Bhakti Prima Yasa, 1997
______, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Keuangan
Islam (terjemahan), Jakarta: CIBER dan PKTTI UI,
2002.
121
Muhammad, Abu As-Su’ud, Risalatu fi Jawazi Waqfi AnNuqud, Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997
Nasution, Mustafa E., Wakaf Tunai: Strategi untuk
Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan
Ekonomi,
(Makalah
Workshop
Internasional,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.
Pewawataatmadja, H. Karnaen A., Alternatif Investasi Dana
Wakaf,
(Makalah
Workshop
Internasioanl,
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf
Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002),
Tidak Diterbitkan.
Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal
Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf,
2003, hal. 92.
Rahardjo, M. Dawam, Pengorganisasian Lembaga Wakaf
dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Makalah
Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi
Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji
Batam, 7-8 Januari 2002). Tidak Diterbitkan.
Tim Depag, Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI, 2003.
______, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif
Strategis di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003.
122
______, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia, Jakarta:
Depag RI, 2003.
Tulus, H, Manajemen Kelembagaan Wakaf, makalah
dipresentasikan pada Workshop Internasional tentang
“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan
Wakaf Produktif “, yang dilaksanakan oleh The
International Institute of Islamic Thought (IIIT),
Batam, 7 Januari 2002.
www.republika.co.id, Jum’at, 22 Agustus 2003.
______, Jum’at, 14 Mei 2004
123
Keputusan Fatwa
KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Tentang
WAKAF UANG
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah
MENIMBANG :
A. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian
wakaf yang umum diketahul, antara lain, adalah
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap
bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum
terhadap benda tersebut disalurkan pada sesuatu yang mubah
(tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila
Syarh aI-Minhaj, [Dar aI-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al
Khathib a1-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [ Dar al-Fikr,
t,th},juz 11, h.376
atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau
kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat
atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran
Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik
bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan
yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
125
ajaran Islam (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)).
sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka
hukum wakaf uang (waqf a1-nuqua cash wakaf) adalah
tidak sah
B. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan)
dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda
lain
C. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang
hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh
masyarakat
MENGINGAT
1. Firman Allah swt:
.
"Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna),
sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.
Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya” (QS. All Imran [3]: 92).
2. Firman Allah swt
126
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap -tiap
bulir: seratus biji Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa
yang Dia kehendaki Dan Allah Maha Luas (kurnia lagi Maha
Mengetahui).
Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian
mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan
menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti
(perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [ 261-262).
3. Hadis Nabi saw:
4803
4924
4923
9323
"Diriwayatkan dari Abu Huralrah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w.
bersabda; “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah
(pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah
jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang
mendoakannya” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan
Abu Daud.)
127
4. Hadis Nabi saw:
4809
4934
9949
4921
"Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab
r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada
Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia
berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr;
yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku
melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku)
mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan
pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.
Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah
tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual,
tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan
(hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang
tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas
orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu
secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain)
tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik
128
Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu
Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa
menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari,
Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’).
5. Hadis Nabi saw:
4931
"Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata
kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah,
kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang
lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud
menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya
dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i).
6. Jabir r.a. berkata
497 0
471 9
"Tak ada seorang sahabat Rasulpun yang memiliki kemampuan
kecuali berwakaf” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h
157; al-Khathib a1-Syarbini Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar
al-Fikr, t.th], juz II, h. 376
129
MEMPERHATIKAN :
1. Pendapat imam al-Zuhri (w. 124 H.) bahwa mewakafkan
dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar
tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya
disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad,
Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn-Hazm,
1997], h. 20-21).
2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat
Wahbah al Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu,
[Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162).
Membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai
pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan
atsar Abdullah bin Mas’ud r.a
4340
Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam
pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk
oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun
buruk
3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i
Abu Tsaur rneriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang
kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (al-Mawardi alHawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut:
Dar al Fikr, 1994], juz IX, h. 379.)
130
4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada
hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang
perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan
(pengembangan) definisi wakaf yang telah umum
diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara
lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran
mengingat [nomor 4 dan 3 di atas:
5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal
11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai
berikut
yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa
lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan
tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual,
memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan
(hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada"
6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag,
(terakhir) nomor Dt.1. III/5/BA.03.2/2772/2002,
tanggal 26 April 2002
MEMUTUSKAN
Menetapkan
: FATWA TENTANG WAKAF UANG
Pertama
: 1. Wakaf Uang (Cash WakaflWaqf alNuqud) adalah wakaf yang dilakukan
seseorang, kelompok orang, lembaga
atau badan hukum dalam bentuk
uang tunai
131
2. Termasuk ke dalam pengertian uang
adalah surat-surat berharga
3. Wakaf Uang hukumnya jawaz
(boleh).
Kedua
4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan
dan digunakan untuk hal- hal yang
dibolehkan secara syar’iy.
5. Nilai pokok Wakaf Uang harus
dijamin kelestariannya, tidak boleh
dijual,
dihibahkan,
dan
atau
diwariskan.
: Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan
dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata terdapat kekeliruan,
akan diperbaiki dan disempurnakan
sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di
Tanggal
Jakarta
:28 Shafar 1423 H
11 Mei 2002 M
KOMISI FATWA
MAJELIS ULAMA INDONESIA
132
SURAT KEPUTUSAN
DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM DAN
PENYELENGGARAAN HAJI
NOMOR D
TH 2004
TENTANG
PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN BUKU
“PEDOMAN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI”
Pengarah
: 1. Dirjen BIPH
2. Direktur Pengembangan Zakat & Wakaf
3. Sekretaris Ditjen BIPH
Ketua
Wk. Ketua
: Drs. H. Achmad Djunaidi
: Drs. H. Ma’ruf
Sekretaris
Anggota :
: H. Asrory Abdul Karim, SH, MH.
1. Drs. H. Idham Khalid Baedawi
2. H. Fauzan, BA
3. Thobieb Al-Asyhar, S. Ag.
4. HM. Cholil Nafis, Lc, MA
5. H. Achmad Mu’thi Shofieq, S. Ag.
6. Ahmad Muda Lubis, S.Ag.
7. H. Damiri, BA.
Sekretariat
: 1. H. Mahmud Fauzi
2. Hj. Hernawati
3. H. Andi Pabenteng
4. HM. Syarifuddin
Ditetapkan di Jakarta
Pada Tanggal………….9883
an. DIREKTUR JENDERAL
BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM
DAN PENYELENGGARAAN HAJI
SEKRETARIS,
H. Fauzie Amnur, Lc
NIP. 150 103 420
133
Download