PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF Bismillahirrahmanirrahim Terlebih dahulu kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan, memperdalam dan memperluas pelayanan kehidupan beragama. Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita yang dipicu oleh krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kesadaran berwakaf menjadi perekat kohesi sosial bangsa kita. Pengelolaan wakaf tidak statis, melainkan selalu berkembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai lebaga yang memiliki tanggungjawab dalam bidang keagamaan, Depertemen Agama berusaha terus memfokuskan perhatian pada upaya pemberdayaan harta benda wakaf secara produktif. Untuk itu, kehadiran buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai” ini diharapkan dapat merubah paradigma lama menjadi paradigma baru wakaf untuk meningkatkan peran sosial wakaf di tanah air kita. Semoga Allah SWT meridhai niat baik dan upaya yang kita lakukan bersama. Amin Wassalam, Jakarta, Juli 2006 Direktur Pemberdayaan Wakaf Dr. Sumuran Harahap, MH, MMNIP. 150 i SAMBUTAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM Bismillahirrahmanirrahim Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmat dan inayah-Nya kita dapat berupaya meningkatkan pelayanan kehidupan beragama dalam bidang perwakafan. Salah satu upaya strategis yang dilakukan Departemen Agama adalah mengembangkan kelembagaan wakaf dan memberdayakan potensinya untuk meningkatkan martabat masyarakat dan bangsa. Kami terus berupaya agar pemberdayaan wakaf secara produktif dijadikan sebagai pemicu semangat dalam membangun masa depan umat yang saat ini sedang terpuruk. Oleh karena itu, sebagai langkah ke depan perlu dikembangkan suatu sistem pengelolaan dan pengembangan wakaf yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan yang terjadi serta garis kebijakan Pemerintah. Pengadaan referensi wakaf yang disusun oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf tak lain merupakan bagian dari upaya mendorong wakaf memiliki peran penting dalam kehidupan umat dan tegaknya fondasi kesejahteraan yang nyata. Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai” ini karena memuat substansi yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga Islam yang mengelola wakaf atau memiliki kepentingan terhadap wakaf. Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap pemberdayaan wakaf lebih meningkat dan terarah sejalan dengan harapan kita bersama. Semoga Allah swt memberkati niat baik dan upaya yang kita lakukan. Amin. Wassalam, Jakarta, Juli 2006 Direktur Jenderal, Prof. Dr. Nasaruddin Umar NIP. 150 ii Daftar Isi Pengantar……..…………………………………………………………….i Sambutan…………………………………………………………………..ii Daftar Isi…………………………………………………………………..iii Bagian Pertama PENDAHULUAN……………………………………………………..1 A. Pengertian Wakaf Tunai………………………………………….1 B. Sejarah Wakaf Tunai……………………………………….……..4 C. Dasar Hukum Wakaf Tunai…………………………………..14 D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)………18 Bagian Kedua WAKAF TUNAI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI…………………………..…….31 A. Membuka Kebuntuan Wakaf………………………………....31 B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi……………...39 C. Wakaf Tunai sebagai Dana Publik…………………………..48 D. Wakaf Tunai sebagai Voluntary Fund…………….………..….63 Bagian Ketiga MANAJEMEN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI…….71 A. Sistim Mobilisasi Dana Wakaf………………………………...71 B. Pengelolaan Dana dan Pembiayaan……………………….…76 C. Manajemen Investasi Dana……………………………………..86 D. Perluasan Pemanfaatan Dana…………………………………..92 iii Bagian Keempat WAKAF TUNAI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM….101 A. Arab Saudi…………………………………………………………..107 B. Mesir…………………………………………………………………..109 C. Turki…………………………………………………………………..111 D. Bangladesh…………………………………………………………..112 E. Yordania..…………………………………………………………….114 Daftar Pustaka…………………………………………………………..120 Lampiran………………………………………………………………….125 iv Bagian Pertama PENDAHULUAN A. Pengertian Wakaf Tunai Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’ (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi. Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai. Imam Al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Iman Az-Zuhri (wafat tahun 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf1. Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan 1 Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu fi Jawazi Waqfi An-Nuqud (Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997), hal. 20-21. 1 bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, karena sudah banyak dilakukan masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks)2. Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, r.a: 8143 “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”. Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang), menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah3 atau mubadha’ah. Sedang keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf 4. 2 DR. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar al-Fikr, 1985, Juz VII), hal. 162. 3 Berdasarkan prinsip Mudharabah, bank Syari’ah akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib ‘pengelola’, sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul maal ‘penyandang dana’. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak. Sedang dengan pengusaha/peminjam dana, bank bertindak sebagai shahibul maal (penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro/ maupun 2 Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh adalah mazhab Syafi’i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi’i tidak membolehkan wakaf tunai, karena dirham dan dinar (baca: uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya5. Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan tidak bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari’ah, dan keuntunganya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf tunai yang diinvestasikan dalam wujud saham dana bank sendiri berupa modal pemegang saham), sedang pengusaha/peminjam bertindak sebagai mudharib ‘pengelola’ karena melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank. Lihat: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal.137. 4 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, Juz x, hal. 7610. 5 Al-Bakri, I’anatu Ath-Thalibin (Kairo: Isa Halabi, tt), hal.157. 3 atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama. B. Sejarah Wakaf Tunai Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang wakaf tunai mulai di kenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir. B.1. Wakaf Secara Umum Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya tempat-tempat ibadah yang dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut. Masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun di atas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat sebelum Islam telah dikenal praktik sosial dan di antara praktikpraktik sosial itu adalah praktik menderma sesuatu dari seseorang demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga. 4 Praktik sejenis wakaf juga dikenal di Mesir, Roma dan Jerman. Di Mesir, Raja Ramses kedua mendermakan tempat ibadah “Abidus” yang arealnya sangat besar. Di dalam tradisi Mesir kuno dikenal bahwa orang yang mengelola harta yang ditinggalkan mayyit (harta waris), hasilnya diberikan kepada keluarganya dan keturunannya, demikian selanjutnya yang mengelola dapat mengambil bagian dari harta tersebut namun harta pokoknya tidak boleh menjadi hak milik siapapun. Pengelolaan harta tersebut dengan cara bergilir dan bergantian dimulai dari anak yang tertua dengan syarat tidak boleh dimiliki. Praktik seperti ini sangat jelas kemiripannya dengan praktik wakaf, karena prinsipnya sama, yaitu pokok harta tetap kekal dan tidak boleh menjadi hak milik siapapun. Tapi hasil dari harta tersebut digunakan untuk kepentingan sosial. Ada aturan di Jerman yang mengatur agar masyarakat mengalokasikan modal kepada keluarganya dalam jangka waktu tertentu untuk dikelolanya, dan harta tersebut menjadi milik keluarga bersama atau kepemilikannya secara bergantian dimulai dari keluarga laki-laki kemudian keluarga perempuan dengan syarat harta tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh dihibahkan. Harta tersebut hendaknya dikelola secara baik dan hasilnya diambil untuk kepentingan bersama. Sedang di Roma, juga telah dipraktikkan sejenis wakaf, bahkan dalam wujud uang. Karena praktik sejenis wakaf yang terjadi pada masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring dengan Islam, yaitu terdistribusinya kekayaan secara adil dan kemudian berujung pada kesejahteraan bersama, maka 5 Islam mengakomodirnya dengan sebutan wakaf. Pada tahun kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, disyari’atkanlah wakaf. Di kalangan fuqaha’ (juris Islam) terdapat dua pendapat siapa yang mempraktikkan Syari’at wakaf. Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad sendiri yang mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid di atasnya. Argumentasi pendapat pertama ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata : “Kami bertanya tentang awal mula wakaf dalam Islam? Menurut orang-orang Muhajirin adalah wakafnya Umar, sedang menurut orang Anshar adalah wakafnya Nabi Muhammad SAW.” (Asy-Syaukani: 129). Nabi Muhammad SAW pada tahun ketiga hijriah juga mewakafkan tujuh kebun Kurma di Madinah, di antaranya ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun lainnya. Kedua, ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang pertama kali mempraktikkan Syari’at wakaf adalah Umar bin Khattab. Argumentasi ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra., ia berkata: 6 : : . . , ( ) Dari Ibnu Umar ra. berkata : “Bahwa sahabat Umar ra. meperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim). Setelah Umar bin Khattab mempraktikkan wakaf, kemudian menyusul sahabat-sahabat yang lain. Di antaranya; Abu Thalhah mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”, Abu Bakar mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah, Usman 7 mewakafkan hartanya di Khaibar dan sahabat- shabat yang lain. Kita tidak dapat menverifikasi kedua pendapat di atas, karena argumentasi yang dibangun keduanya hanya didasarkan kepada hadis, namun tidak disebutkan kapan Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at wakaf. Dan juga tidak disebutkan kapan kedua hadis yang dijadikan dasar argumen kedua pendapat itu disabdakan oleh Nabi Muhammad. Dengan disebutkannya tahun, baik ketika Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at wakaf maupun tahun disabdakannya kedua hadis tersebut, maka dapat diketahui siapa yang pertama kali mempraktikan Syari’at wakaf. Pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah praktik wakaf semakin berkembang. Banyak orang yang ingin mewakafkan hartanya. Wakaf tidak hanya diperuntukkan kepada fakir-miskin, tetapi wakaf juga digunakan sebagai modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Banyaknya masyarakat yang ingin mewakafkan hartanya menarik perhatian negara untuk mengatur dan mengelolanya. Pengaturan dan pengelolaan wakaf yang baik akan berimplikasi tumbuhnya sektor sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan wakaf yang dikelola secara baik, maka masyarakat akan sejahtera. Pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari dinasti Umayyah, yang menjadi hakim di Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadramiy. Al-Hadramiy memiliki perhatian yang besar terhadap pengembangan wakaf, 8 karena itu ia berinisiasi untuk membentuk lembaga pengelola wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya yang berada di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir dan di negara Islam. Pada saat yang bersamaan, hakim al-Hadramiy juga mendirikan lembaga pengelola wakaf di Basrah, Irak. Sejak itulah lembaga pengelola wakaf berada di bawah pengawasan Departemen Kehakiman, sehingga wakaf dapat dikelola secara baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan membutuhkan. Sedang pada masa dinasti Abbasiyah ada lembaga pengelola wakaf yang disebut “Shadr al-Wuquf”. Lembaga ini mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Kemajuan praktik dan pengelolaan wakaf yang terjadi pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah telah mengarah kepada praktik dan pengelolaan wakaf secara modern. Hal ini bisa menjadi inspirasi pengembangan wakaf sesuai dengan perkembangan masyarakat. B.2. Wakaf Tunai Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/572 H, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni, Salahuddin Al-Ayyuby menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada 9 penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang? Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para keturunannya. Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat seperti para ulama, dinasti Ayyubiyah juga memanfaatkan wakaf untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan harta milik negara yang berada di baitul maal sebagai modal untuk diwakafkan demi pengembangan madzhab Sunni untuk menggantikan mazhab Syi’ah yang dibawa dinasti sebelumnya, dinasti Fathimiyah. Salahuddin Al-Ayyuby juga banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab Asy-Syafi’i, madrasah mazhab Maliki, dan mazhab Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’i dan kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil. Mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan Salahuddin Al-Ayyubi boleh. Penguasa sebelum Salahuddin, Nuruddin Asy-Syhaid mewakafkan harta milik negara. Nuruddin mewakafkan harta milik negara, karena ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu, Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz). 10 Argumentasi kebolehannya ialah untuk memelihara dan menjaga kekayaan negara.. Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya. Tetapi yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak) yang diwakafkan untuk merawat lembag-lembaga agama. misalnya mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Usmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid. Dinasti Mamluk memanfaatkan wakaf sebagaimana tujuan wakaf, yaitu wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Wakaf yang digunakan untuk lebih menyemarakkan syi’ar Islam adalah wakaf untuk sarana di Haramain, Mekkah dan Madinah seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Raja Shaleh bin alNasir misalnya membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali. Dinasti Mamluk telah merasa bahwa wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonominya, karena itu mereka memberi perhatin khusus terhadap wakaf. Bahkan mereka mengeluarkan kebijakan dengan mensahkan Undang-undang Wakaf. Undang-undang 11 Wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja Al-Dzahir Bibers Al-Bandaq (1260-1277 M/658-676 H), dimana dengan Undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir memilih hakim untuk mengurusi wakaf dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada masa kekuasaan Al-Dzahir, perwakafan dibagi menjadi tiga kategori: pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf yang membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum. Penyebarluasan peraturan perwakafan semakin intensif dan semakin mudah dilakukan oleh kerajaan Turki Usmani. Hal ini terjadi karena kerajaan Turki Usmani mampu memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih dinasti Usmani ini secara otomatis mempermudah dipraktikkannya Syariat Islam, misalnya peraturan tentang perwakafan. Di antara undangundang yang dikeluarkan pada masa dinasti Usmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administratif dan perundangundangan. Tahun 1287 H juga dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Usmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di 12 negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktikkan hingga kini. Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan juga di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tidak bergerak. Di negara-negara Islam lainnya, wakaf mendapat perhatian yang serius, sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat umum. Wakaf akan terus mengalami perkembangan dengan berbagai inovasi yang signifikan seiring dengan perubahan zaman, semisal bentuk wakaf tunai, wakaf HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan lain-lain. Indonesia juga menaruh perhatian yang serius terhadap wakaf. Hal ini tampak dengan diajukannya Rancangan Undang-undang Wakaf (RUU) yang sudah ditandatangani presiden Megawati Sukarnoputri dan segera diundangkan dalam waktu dekat sebagai upaya pengintegrasian terhadap beberapa peraturan perundang-undangan wakaf yang terpisah. C. Dasar Hukum Wakaf Tunai Wakaf tunai dibolehkan berdasarkan: firman Allah, hadis Nabi dan pendapat Ulama, yaitu: 13 C.1. Firman Allah: 29 “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran [3]: 92). 164 “Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunianya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah : 261). . C.2. Hadis Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang 14 bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim) 8833 8314 1381 4126 "Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik 15 Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i). 8316 "Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i). C.3. Pendapat Ulama Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai. “Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.6 Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi 6 Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz IX, 1994), hal. 379. 16 didasarkan kepada hadis Ibn Umar (seperti yang disebutkan di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf, yaitu: “Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.7 D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif) Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang mewakafkan harta). Wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi empat kriteria sebagai berikut: a. Merdeka Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Budak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya. Namun, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat bahwa budak boleh mewakafkan hartanya 7 Lihat keputusan komisi fatwa MUI yang dikeluarkan tanggal 11 Mei 1881, yang ditandangani K.H. Ma’ruf Amin (sebagai ketua) dan Drs. Hasanuddin, M.Ag. (sebagai sekretaris). 17 apabila mendapatkan izin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. Bahkan ulama Adz-Dzahiri (penganut mazhab Daud Adz-Dzahiri) menetapkan bahwa budak dapat memiliki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris atau tabarru’ (berbuat baik). Kalau budak dapat memiliki sesuatu, berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu. Oleh karena itu, ia boleh mewakafkan, walaupun hanya sebagai tabarru’ saja.8 b. Berakal sehat Wakaf yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal seperti orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakann lainnya. Demikian juga tidak sah wakaf orang yang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya9. c. Dewasa (baligh) Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.10 d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai) 8 9 Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz II), hal. 44. Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj (Kairo: Mushtafa Halabi, Juz II, tt), hal. 377. 10 18 Ibid, hal. 377. Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.11 Namun ada kalanya seseorang yang mawakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan kerelaan orang lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan dengan masalah ini: 1. Hukum Wakaf Orang Berhutang (a) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya, sedang hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para krediturnya12. Apabila mereka merelakannya, maka wakaf dapat terlaksana sebab para kreditur telah menggugurkan hak mereka untuk mencegah atau membatalkan wakaf si debitur, tetapi jika mereka tidak merelakannya, wakaf tidak dapat dilaksanakan. 11 Al-Baijuri, Op. Cit., hal 44. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu (Damaskus: Dar al-Fkr, tt), hal. 7625. 12 19 Apabila hutang si wakif tidak sampai meliputi seluruh harta yang dimiliki, maka wakafnya sah dan dapat terlaksana atas kelebihan harta setelah dikurangi sebagian untuk melunasi barang, sebab perbuatan baiknya tidak merugikan para kreditur yang haknya tergantung pada kemampuan si wakif untuk melunasi piutang mereka. (b) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang, dan mewakafkan atau sebagian hartanya ketika sedang menderita sakit parah, maka hukum wakafnya seperti hukum wakaf orang yang di bawah pengampuan karena hutang, yakni wakafnya sah tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para kreditur. Apabila setelah si wakif meninggal, para kreditur merelakannya, maka wakafnya dapat dilaksanakan. Tetapi jika mereka tidak merelakan, maka wakafnya tidak dapat dilaksanakan. Dan para kreditur berhak menuntut pembatalan semua wakafnya jika hutang si wakif meliputi seluruh harta yang dimiliki, atau membatalkan sebagian wakaf sejumlah yang dapat dipakai untuk melunasi hutang saja, apabila hutangnya tidak meliputi harta yang dimiliki. Pada kedua kasus di atas terdapat persamaan, yaitu unsur ketergantungan hak para kreditur pada tanggungan dan harta si debitur secara bersama. Hanya saja dalam kasus pengampuan, terlaksananya wakaf tergantung pada ada atau tidaknya kerelaan para kreditur saat terjadinya wakaf. Sedangkan dalam kasus 20 kedua, dimana si debitur tidak di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, tidak ada ketergantungan pelaksanaannya pada ada atau tidaknya kerelaan para kreditur kecuali setelah si debitur meninggal dunia. (c) Jika ia tidak di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan, baik hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki atau hanya sebagian saja. Sebab dalam kasus ini, tidak ada hak si debitur, yang ada tergantung hak mereka pada tanggungannya saja. Dan kemungkinan bahwa setelah wakaf terjadi si debitur dapat melunasi semua hutangnya, sebab dia masih sehat. 2. Wakaf Orang Sakit Parah Jika ketika mewakafkan harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik (tabarru’), maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup, sebab selama itu penyakitnya tidak bisa dihukumi sebagai penyakit kematian. Tetapi jika kemudian si wakif meninggal karena penyakit yang diderita tersebut, maka hukum wakafnya sebagai berikut: (a) Jika meninggal sebagai debitur, maka hukum wakafnya seperti yang telah dijelaskan dalam poin 1 di atas. (b) Jika ia meninggal tidak sebagai debitur, maka hukum wakaf yang terjadi ketika ia sedang sakit seperti 21 hukumnya wasiat. Yakni jika yang diberi wakaf bukan ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) hartanya, maka wakaf terlaksana hanya sebatas sepertiga hartanya saja, sedangkan selebihnya tergantung pada kerelaan ahli waris, sebab kelebihan dari sepertiga harta tersebut adalah menjadi hak milik mereka (ahli waris). Jika yang diberi wakaf adalah ahli warisnya, maka pelaksanaan wakafnya tergantung pada kerelaan ahli waris lainnya yang tidak menerima wakaf, baik wakafnya kurang dari sepertiga atau lebih dari harta yang ditinggalkan. Jika yang diberi wakaf adalah sebagian ahli waris dan sebagian bukan ahli waris, maka pelaksanaan wakaf kepada ahli waris tergantung pada kerelaan ahli waris lainnya, adapun yang bukan kepada ahli waris, pelaksanaan wakafnya tidak tergantung kepada kerelaan ahli waris selama harta yang diwakafkan tidak lebih sepertiga hartanya. Maksudnya ialah jika ahli waris (bukan nazhir) merelakan, maka wakaf dapat dilaksanakan dan manfaatnya dapat dibagikan kepada semua mauquf ‘alaih sesuai dengan syarat yang ditetapkan. Tetapi jika mereka tidak merelakan, wakaf tersebut tetap dibagikan kepada para mauquf ‘alaih sesuai dengan syarat yang ditetapkan, hanya saja uang yang menjadi bagian ahli waris kemudian dibagikan kepada seluruh ahli waris (yang menjadi nazhir dan yang bukan) sesuai dengan bagian masing-masing yang sesuai dengan syara’13. 13 22 Tim Depag, Fiqih Wakaf, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal. 24. Menilik persyaratan yang dibebankan kepada wakif, tidak didapatkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang wakif harus mencapai takaran tertentu sehingga ia dapat mewakafkan sebagian hartanya. Karena itu dana wakaf, terutama wakaf tunai dapat dihimpun dari para wakif yang tidak terbatas dari kelompok masyarakat tertentu, melainkan dari seluruh masyarakat yang hendak menyerahkan sebagian hartanya sebagai wakaf. Dalam rangka memberi ruang gerak bagi kegiatan perwakafan dalam era globalisasi, Bank Indonesia menyodorkan definisi wakaf tunai, yaitu sebagai penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan selain untuk kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya14. Oleh karena itu perbankan syari’ah dapat menghimpun dana dari anggota masyarakat yang berpenghasilan tinggi yang akan memberikan wakaf tunainya dengan menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai. Penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai akan membuka peluang penggalangan dana yang cukup besar karena: Lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibandingkan dengan wakaf biasa. Sertifikat wakaf tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan, yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju, yang kira-kira memiliki kesadaran yang tinggi untuk beramal. Misalnya, pecahan 14 Bank Indonesia, Biro Perbankan Syari’ah. 23 Rp. 10.000-, Rp. 25.000-, Rp.50.000-, Rp.100.000-, dan seterusnya. Muslim kelas menengah senyatanya memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal. Namun, karena sarana beramal yang sesuai dengan penghasilan mereka sangat terbatas, maka akhirnya mereka hanya beramal pada sektor-sektor tradisional, seperti masjid, pembangunan mushalla dan lain sebagainya. Dengan sasaran para wakif, wakaf tunai yang tidak terbatas seperti ini maka kita dapat membuat perkiraan perhitungan dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari masyarakat. Pertama, kita asumsikan bahwa muslim kelas menengah memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal, selama ini mereka hanya beramal melalui sektorsektor tradisional. Karena itu jika ada lembaga wakaf yang dikelola secara profesional, maka hal ini akan menjadi lahan baru bagi kelas menengah untuk beramal. Kedua, jumlah muslim kelas menengah diperkirakan sebesar 10 juta jiwa dengan penghasilan rata-rata per-bulan Rp. 500.000 - Rp. 10.000.000-. Ketiga, nilai sertifikat wakaf tunai dibagi ke dalam beberapa besaran nilai mulai Rp. 5000 hingga Rp.100.000 misalnya, sesuai dengan besaran distribusi penghasilan muslim kelas menengah yang ada. Berangkat dari ketiga asumsi itu, maka paling tidak akan didapatkan sekitar 3 triliun per tahun dari wakaf tunai. Angka potensi wakaf tunai akan semakin besar apabila penghitungan penghitungan potensi wakaf tunai tersebut juga menyertakan lembaga-lembaga ekonomi selain muslim kelas menengah. Kegiatan mobilisasi wakaf tunai 24 dari sektor ekonomi lainnya dapat digunakan untuk mengurangi berbagai kebocoran dana akibat in-efesiensi lembaga perpajakan. Sudah menjadi rahasia umum kalau usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan efesiensi lembaga perpajakan yang ada berjalan sangat lamban bahkan mungkin tidak ada kemajuan. Setiap kebijakan peningkatan penerimaan dari pajak diperkirakan selalu menimbulkan berbagai distorsi yang mengganggu jalannya perekonomian dan pada akhirnya konsumen yang harus menanggung ongkosnya. Oleh karena itu, mobilisasi dana masyarakat melalui wakaf tunai diharapkan akan mampu untuk meningkatkan efesiensi kegiatan perekonomian yang ada. Dan juga dana wakaf tunai dapat dihimpun dari Usaha Kecil dan Menengah serta Koperasi (UKMK) misalnya15. Adi Sasono (mantan Menteri Negara Koperasi dan pemberdayaan UKMK, masa pemerintahan presiden B.J. Habibie) memperkirakan, kalau pemerintah mau memberdayakan kegiatan yang berasal dari UKMK, maka kegiatan UKMK akan mampu meningkatkan penerimaan yang dari pajak sebesar Rp. 400 triliun16. Jika tidak seluruh tambahan pendapatan tersebut dijadikan penerimaan negara, tapi 2,5 % darinya dialihkan dalam bentuk wakaf 15 Wakif yang berupa institusi seperti ini memang belum dijelaskan secara panjang lebar di dalam fiqih, tapi realitas menunjukkan bahwa setiap lembaga usaha dapat dipastikan memiliki alokasi budget untuk kegiatan sosial, kalau misalnya budget tersebut digunakan untuk membeli Sertifikat Wakaf Tunai, maka dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari institusi sangat besar jumlahnya. 16 Mahmudi, Mempertegas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan, (Harian Umum Republika, Nopember 2001) 25 tunai, maka akan terkumpul wakaf tunai dari sektor ini sebesar Rp. 10 triliun. Dengan demikian jumlah wakaf tunai yang dapat dihimpun dari 10 juta eksekutif muslim Indonesia serta dari peningkatan kegiatan UKMK adalah sebesar Rp.13 triliun. Analisa di atas dapat dilanjutkan bahwa potensi dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari masyarakat melalui lembaga wakaf profesional sangat besar jumlahnya. Oleh karena pemberdayaan lembaga perwakafan yang merupakan salah satu instrumen finansial dalam sistem ekonomi Islam mendesak untuk direalisasikan. Dan dana wakaf yang terkumpul tersebut hendaknya dimanfaatkan secara produktif agar supaya yang merasakan manfaat dari dana wakaf tersebut seluruh masyarakat tanpa kecuali. Dan pada akhirnya akan tercipta kesejahteraan lahir dan batin. Dana wakaf yang terkumpul tersebut merupakan dana abadi yang seyogyanya harus ada hingga akhir zaman yang akan terus memberi manfaat bagi masyarakat maupun si pemberi wakaf (wakif). Dapat dibayangkan betapa besar dana wakaf yang akan terkumpul secara kumulatif dari tahun ke tahun yang dapat dijadikan sebagai Modal Sosial Abadi17. Untuk merealisasikan gagasan yang baik di atas tentunya membutuhkan langkah-langkah yang sistematis dengan memaksimalkan sumber daya manusia yang ada baik dari pemerintah maupun dari masyarakat 17 Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai: Strategi untuk Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 16.. 26 Bagian Kedua WAKAF TUNAI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI A. Membuka Kebuntuan Wakaf Perbincangan tentang wakaf tunai mulai mengemuka belakangan. Hal ini terjadi seiring berkembangnya sistem perekonomian dan pembangunan yang memunculkan inovasi-inovasi baru. Wakaf tunai sebagai instrumen finasial (finacial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and vuluntary sector banking), menurut M.A. Mannan (2002) memang merupakan suatu produk baru dalam sejarah perekonomian Islam. Instrumen finasial yang dikenal dalam perekonomian Islam selama ini berkisar pada murabahah1 untuk membiayai sektor perdagangan dan mudharabah2 atau musyarakah3 untuk membiayai investasi di bidang industri dan pertanian. Bank juga tidak mau menerima tanah atau aset lain yang merupakan harta wakaf untuk dijadikan jaminan. Karena harta wakaf bukan hak milik, melainkan hak pakai terhadap manfaat harta wakaf itu. 1 Penjualan dengan menggunakan prinsip murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Baca: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah,…..Op. Cit, hal. 101 2 lihat footnote No.3 3 Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Lihat: Syafi’I Antonio, Op.Cit, hal. 90. 31 Selain itu, umat Islam kerap mempersepsikan wakaf sebagai sumbangan berupa aset tetap (property of permanent) oleh seorang muslim dengan tujuan murni ketaqwaan. Konsep wakaf seperti yang dipahami umat Islam ini sangat kurang, sehingga tidak dibahas dalam berbabagi literatur ekonomi Islam. Wakaf hanya disinggung sedikit oleh M. Umer Chappra dalam buku-bukunya termasuk dalam bukunya yang mutakhir, The Future of Islamic Economics, sebuah buku yang paling komprehensif mengenai ekonomi pembangunan. Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan karena berlawanan dengan persepsi umat Islam yang terbentuk bertahun-tahun lamanya. Wakaf tunai bukan merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal yang mengubah definisi atau pengertian mengenai wakaf. Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya teori-teori ekonomi. Untuk mengkonsepsi wakaf tunai sebagai bagian dari konsepsi wakaf, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu; “menahan harta (baik berupa aset tetap maupun aset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bedanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan atau mewariskannya), untuk di salurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.4 4 Lihat Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tertanggal 11 Mei 2002/ 28 Shafar 1423. 32 Kalau kita melihat hadis yang dijadikan dasar argumentasi wakaf, ternyata wakaf itu berbeda dengan zakat atau sadaqah, tapi masih bisa dikategorikan ke dalam konsep infaq. Jadi, infaq mencakup wakaf. Istilah wakaf itu sendiri tidak terdapat dalam Al-Quran, tetapi lahir dari pandangan Nabi Muhammad SAW yang menjawab pertanyaan Umar bin Khattab, ketika ia ingin menginfaqkan sebidang tanahnya yang subur di Khaibar. Nabi pada waktu itu menawarkan, bagaimana jika kebun itu dijadikan “babon” saja dan dipelihara kekekalannya, sedang yang dimanfaatkan adalah hasilnya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, yang implisit, bahwa tanpa mengelola tanah tersebut tidak mungkin dapat memanfaatkan hasilnya. Dengan demikian, jika di atas tanah tersebut langsung dibangun masjid, maka masjid tidak bisa menghasilkan suatu produk yang dimanfaatkan. Tapi jika tanah tersebut digarap dengan dimanfaatkan sebagai kebun kurma misalnya, maka hasilnya dapat dimanfaatkan, termasuk untuk membangun masjid. Kenyataannya, hasil wakaf itu diperuntukkan untuk menyantuni fakir-miskin. Namun sekarang ini, dalam praktiknya wakaf langsung dikonsumsi. Dari praktik pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf. Pertama, wakaf itu umumnya berujud benda tidak bergerak, terutama tanah. Kedua, dalam praktik, di atas tanah wakaf itu biasanya didirikan masjid atau madrasah. Ketiga, penggunaan wakaf didasarkan kepada wasiat pemberi wakaf (wakif). Selain itu, juga terdapat penafsiran bahwa untuk menjaga kekalannya, tanah wakaf itu tidak boleh diperjual 33 belikan. Akibatnya di Indonesia, bank-bank tidak mau menerima tanah wakaf sebagai agunan pinjaman. Padahal jika tanah wakaf bisa digunakan, maka organisasi massa (Ormas) semacam NU, Muhammadiyah dan universitas bisa mendapatkan dana pinjaman yang diputarkan, dan menghasilkan sesuatu. Demikian pula, penggunaan tanah wakaf dari wakif yang berbeda tidak bisa digabungkan, karena seolah-olah aset wakaf telah kehilangan identitas individual wakifnya. Padahal jika beberapa harta wakaf bisa dikelola bersama, maka bisa dihimpun berbagai sektor produksi untuk suatu investasi, kalau perlu dengan menjual suatu aset wakaf untuk dijadikan modal finansial. Penjualan harta wakaf semacam ini, konon telah diperbolehkan di Libya, dengan catatan dana hasil penjualan itu digabungkan dengan harta lain yang statusnya masih merupakan harta tetap. Karena dengan penjualan itu, maka harta wakaf secara bersama-sama dapat menjadi aset produktif (keuntungan, uang) yang dapat dimanfaatkan untuk umat5. Perkembangan ekonomi dan pembangunan yang memacu timbulnya gagasan adanya wakaf di antaranya karena berkembangnya sistem perekonomian Islam. Berkembangnya sistem perekonomian Islam tidak lepas dari “kegagalan” sistem perekonomian konvensional; sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Sistem ekonomi kapitalis gagal menjadikan masyarakat adil dan 5 M. Dawam Rahardjo, Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 7. Tidak Diterbitkan. 34 sejahtera. Sistem ekonomi kapitalis lebih mengutamakan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan membiarkan penumpukan modal di segelintir kelompok tertentu (pemilik modal) dan tidak distribusikan secara adil kepada masyarakat, terutama fakir-miskin. Sistem ekonomi kapitalis mempercayakan transaksi ekonomi ke pasar, menihilkan peran negara dalam regulasi ekonomi, sehingga yang terjadi bukannya persaingan yang sehat, melainkan menyebabkan terjadinya persaingan yang timpang. Pemilik modal besar dapat memainkan pasar, sedang pemilik modal kecil atau konsumen harus tunduk terhadap pasar yang ditentukan oleh pemilik modal besar. Juga, sistem ekonomi kapitalis rentan terhadap berbagai guncangan (untuk tidak mengatakan rentan terhadap krisis). Sebagai contoh adalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Keguncangan yang kerap menghantam sistem ekonomi kapitalis karena segala transaksi ekonomi dipatok dengan standar nilai uang dollar AS. Padahal nilai uang dollar AS fluktuatif tergantung kondisi sosial-politik yang melingkupinya. Ketika kondisi sosial-politik mengalami gonjang-gonjing, maka berimplikasi terhadap gonjangganjingnya nilai dollar AS. Sistem ekonomi sosialis, awalnya sangat menjanjikan kesetaraan dan pemerataan bagi seluruh masyarakat. Tapi ternyata kesetaraan dan pemerataan yang dijanjikan itu utopis belaka. Secara alamiah, manusia memang berbedabeda sesuai dengan status sosial yang melekat pada dirinya, karena itu otupis untuk diciptakan kesetaraan dan pemerataan secara sama. Untuk mewujudkan kesetaraan dan pemerataan yang diinginkan, sistem ekonomi sosialis 35 mengandaikan adanya campur tangan negara terhadap regulasi ekonomi, ternyata campur tangan negara itu bukannya menguntungkan masyarakat banyak, melainkan menguntungkan partai yang menjadi penguasa negara. Akhirnya yang banyak menikmati keuntungan dari sistem ekonomi sosialis bukanlah masyarakat, melainkan sekelompok masyarakat yang berafiliasi dengan partai yang menjadi penguasa. Kalau Cina sekarang mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, walau pemerintahnya menganut komunisme yang lazimnya menganut sistem ekonomi sosialis, karena Cina sekarang mulai membuka diri terhadap model ekonomi kapitalis, misalnya mentolerir transaksi ekonomi ditentukan pasar walau negara masih turut campur. Turut campurnya negara dalam meregulasi transaksi ekonomi tidak lebih untuk melindungi msyarakat, terutama fakir-miskin6. Sedang sistem ekonomi dalam Islam tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi abadi manusia, melainkan juga terkait dengan anjuran Ilahi sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu sistem ekonomi Islam juga mengacu pada meningkatnya output dari setiap jam kerja yang dilakukan. Telah diketahui bahwa output perkapita, disatu pihak tergantung pada sumber daya alam dan di lain pihak tergantung pada perilaku manusia. Tetapi sumber daya alam saja bukan merupakan kondisi yang cukup untuk pembangunan ekonomi, dan bukan sesuatu 6 Untuk mengetahui lebih lanjut perbandingan tentang sistem ekonomi kapitalis, sosialis dan Islam, baca: Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), terutama bagian IV. 36 yang mutlak diperlukan. Perilaku manusia memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera. Namun pembentukan perilaku manusia di negara berkembang, termasuk Indonesia adalah suatu proses yang menyakitkan, karena memerlukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, hukum dan politik. Tidak seperti agama lainnya, Islam mengakui kebutuhan metafisik maupun material dari kehidupan. Karena itu masalah penempaan perilaku manusia di suatu negara Islam tidaklah sesulit di negara-negara sekular. Islam dapat diperlakukan sebagai suatu faktor dalam pembanguan ekonomi. Di sini para ahli ekonomi harus berperan sebagai seorang bidan, yang menolong lahirnya hasil yang sudah berujud dari ide dan kemungkinan terakhir yang dapat dikaitkan dengan faktor religius dan kultural Islam. sekarang ini negara-negara Islam dalam posisi yang lebih baik untuk melakukan usaha pembangunan yang lebih besar, karena dua sebab: 1. Banyak sumber daya yang belum diketahui di abad ke19. Kini telah dapat dicapai oleh negara-negara Islam. Pada tahun 1920 sumber minyak di Timur Tengah ditaksir hanya sebanyak lima persen dari sumber minyak dunia. Sekarang angka itu diperkirakan sejumlah delapan puluh lima persen. 2. Nilai Islam dapat digunakan untuk menyesuaikan lembaga sosio-ekonomik dan sosio-politik yang merugikan, dan untuk membentuk prilaku manusia. Pengalaman pembangunan negara Islam sejak tahun 1950-an (kecuali beberapa negara Islam yang kaya 37 minyak) terutama di negara-negara yang paling tidak berkembang, sangat mengecewakan. Secara relatif dapat dikatakan bahwa negara-negara Islam yang paling tak berkembang itu lebih miskin dari sedia kala. Telah ditekankan bahwa penyediaan tingkat minimum kehidupan seperti, sandang, pangan, dan perumahan harus mendapat perhatian utama negara Islam. Seterusnya, juga telah dikemukakan bahwa eksploitasi sumber daya, untuk keperluan perkembangan dan alih teknologi harus ditekankan. Namun, usaha menyeluruh harus dilakukan untuk memajukan negara-negara Islam, yaitu di bidang pertanian, karena sebagai negara Islam adalah negara agraris dan juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.7 B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi Dalam sistem ekonomi Islam, wakaf belum banyak dieksplorasi semaksimal mungkin, padahal wakaf sangat potensial sebagai salah satu instrumen untuk pemberdayaan ekonomi umat Islam. Karena itu institusi wakaf menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Apalagi wakaf dapat dikategorikan sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak pernah putus, walau yang memberi wakaf telah meninggal dunia. Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan peran yang sangat penting dalam pengembangan kegiatankegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan 7 38 Ibid, hal.394. prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah. Kenyataan menunjukkan, institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah atau kementerian-kementerian khusus, seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Sosial. Terdapat bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa sumbersumber wakaf tidak saja digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk foto copy, pusat seni dan lain-lain. Meskipun sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat muslim, namun kita juga menjumpai berbagai kenyataan bahwa pengelolaan wakaf selain memperlihatkan berbagai kemajuan yang mengagumkan, tapi juga memperlihatkan berbagai penyelewengan. Salah urus (mis-management) kerap kali terjadi. Oleh karenanya, strategi pengelolaan yang baik perlu diciptakan untuk mencapai tujuan di adakannya wakaf8. Wakaf hendaknya dikelola dengan baik dan diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Pengelolan wakaf diserahkan kepada Nazhir, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat9. 8 H.A.R. dan I.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, (KarachiPakistan, South Asian Publication, 1981), hal. 624-628. 9 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah sebagai Pengelola Dana Wakaf (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 4. Tidak Diterbitkan. 39 Tujuan utama dinvestasikannya dana wakaf adalah untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sumber daya insani. Menurut Monzer Kahf (ahli ekonomi Islam)10, gagasan untuk menginvestasikan dana wakaf, misalnya untuk mengkonstruksi harta bergerak yang diwakafkan atau untuk meninggalkan modal harta tetap wakaf tidak dibahas dalam fikih klasik. Kahf membedakan model investasi wakaf ke dalam dua model; model pembiayaan harta wakaf tradisional dan model pembiayaan secara institusional. 1. Model pembiayaan harta wakaf secara tradisional Buku-buku fikih klasik menjelaskan bahwa pembiayaan harta wakaf tradisional terdapat lima model pembiayaan rekonstruksi harta wakaf, yaitu Pinjaman, Hukr (kontrak sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum yang cukup besar dimuka), Al-Ijaritain (sewa dengan dua pembayaran), menambah harta wakaf baru, dan penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima model ini hanya penambahan harta wakaf baru yang menciptakan penambahan pada modal wakaf dan peningkatan kapasitas produksi. Sedang empat model yang lain lebih banyak kepada membiayai operasional dan mengembalikan produktifitas harta wakaf seperti semula. Pinjaman digunakan untuk membiayai operasional dan pemeliharaan harta wakaf. Sebelum harta wakaf dipinjamkan, maka syaratnya harus mendapat izin dari 10 Monzer Kahf, Finacing the Development of Auqaf Properti, (Kuala Lumpur: Irti, 1998), hal. 13-38. 40 dewan pengawas. Di dalam fikih, misalnya kita mendapatkan pembahasan tentang pinjaman yang dilakukan untuk merekonstruksi atau membangun kembali harta wakaf yang telah rusak atau terbakar. Pinjaman dapat diperoleh dari perorangan maupun dari lembaga keuangan. Model hukr diperkenalkan oleh fuqaha’ guna mensiasati larangan menjual harta wakaf. Daripada menjual harta wakaf, maka Nazhir (pengelola wakaf) dapat menjual hak dari harta wakaf dengan cara disewakan dalam jangka waktu yang lama, dan hasil sewa harta wakaf itu dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf. Model Ijaratain menghasilkan sewa dalam waktu yang lama dan terdiri dari dua bagian, yaitu pertama, berupa uang muka lumpsum yang besar untuk merekonstruksi harta wakaf, dan kedua, sewa tahunan. Pembayaran sewa tahunan ini tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara periodik sesuai dengan masa sewa. Model ijaratain ini hampir sama dengan hukr. Tapi titik bedanya, hukr hanya digunakan untuk membiayai pemeliharaan harta wakaf yang bersangkutan, sedang ijaratain hasil sewa dapat dimanfaatkan sesuai dengan kesepakatan sebagaimana tercantum dalam kontrak. Menambah harta baru terhadap wakaf yang lama, misalnya perluasan Masjid Nabi Muhammad SAW di Madinah yang diperluas selama pemerintahan Khalifah Umar, Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Perluasan masjid itu dapat diartikan sebagai penambahan harta baru terhadap harta wakaf yang lama. Model substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf yang satu dengan harta wakaf yang lain. Pertukaran ini 41 dilakukan karena harta wakaf yang awal tidak lagi bermanfaat atau kurang bermanfaat. Secara prinsip pertukaran harta wakaf ini tidak menyebabkan terjadinya peningkatan harta wakaf, hanya dapat memproduktifkan harta wakaf. 2. Model pembiayaan secara institusional. Fikih terus berkembang, karena itu model transaksi keuangan juga berkembang seiring dengan tumbuhberkembangnya lembaga keuangan Islami. Harta wakaf dapat diinvestasikan guna membiayai proyek-proyek tertentu yang menguntungkan. Yang harus diperhatikan dalam menginvestasikan dana wakaf harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip investasi yang Islami, yaitu prinsip berbagi hasil, resiko, jual beli, dan sewa11. Investasi dana wakaf dengan beragam modelnya seyogyanya dilakukan oleh Nazhir profesional. Menurut fikih ada dua pandangan terhadap posisi Nazhir dalam kaitannya dengan masalah wakaf. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Nazhir adalah penerima, penyalur sekaligus pengelola harta (dana) wakaf. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Nazhir hanyalah sebagai penerima dan penyalur harta (dana) wakaf, sedangkan pengelolaan harta (dana) wakaf harus dipisahkan dengan wewenang penerimaan dan penyaluran untuk menghidari adanya kemungkinan negatif (moral hazard). Menilik kedua 11 H. Karnaen A. Pewawataatmadja, S.E, MPA, Alternatif Investasi Dana Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 4. Tidak Diterbitkan. 42 pendapat ini, maka Nazhir yang memungkinkan mengelola wakaf dengan menginvestasikannya di sektor yang menguntungkan adalah pendapat yang pertama, sedang bagi pendapat yang kedua, siapapun yang mengelola harta (dana) wakaf agar produktif tidak dijelaskan. Munculnya bank-bank Syari’ah, terutama yang dimotori oleh bank-bank konvensional seperti BNI Syari’ah, Mandiri Syari’ah, Danamon Syari’ah dan lainnya menimbulkan optimisme di kalangan umat Islam dalam kaitannya dengan pengelolaan harta (dana) wakaf secara produktif. Untuk harta wakaf yang berujud harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, pihak bank Syari’ah bisa menerima jika dijadikan agunan/jaminan kredit sejumlah dana dalam rangka pengembangan harta wakaf yang lain. Sedangkan kalau dalam bentuk wakaf tunai, pihak bank langsung bisa mengelola, mengembangkan dan menyalurkan harta (dana) wakaf yang dipercayakan kepada bank tersebut. Difungsikannnya perbankan Syari’ah sebagai Nazhir setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan operasionalisasi harta (dana) wakaf, yaitu: (1) Memiliki jaringan kantor; (2) Kemampuan sebagai fund manager; (3) Pengalaman, jaringan-jaringan informasi dan peta distribusi; dan (4) Memiliki citra positif. Kantor perbankan Syari’ah lebih luas dibandingkan dengan lembaga keuangan Syari’ah lainnya. Keunggulan ini memaksimalkan peran perbankan Syari’ah dalam mengelola harta (dana) wakaf baik langsung maupun tidak langsung. Menurut catatan Bank Indonesia (2001), perbankan Syari’ah memiliki jaringan kantor diseluruh 43 Indonesia menacapai 174 kantor dan pertumbuhan jumlah kantor Syari’ah perbulan mencapai 2,1 persen. Fenomena ini menjadi faktor penting di dalam mengoptimalkan sosialisasi penggalangan dana wakaf dan penyalurannya. Dengan jaringan kantor yang luas itu, diharap keberadaan produk wakaf tunai akan tersosialisasi secara maksimal, apalagi masyarakat memiliki akses yang tinggi terhadap jasa perbankan. Sebagai implikasi dari maksimalnya sosialisasi wakaf tunai dan jaringan kantor yang luas, maka tahap berikutnya penggalangan dana wakaf tunai juga akan maksimal. Begitu juga dengan aktifitas penyalurannya, karena jaringan kantor yang luas akan sangat membantu efektifitas dan efesiensi penyampaian harta (dana) wakaf kepada mauquf ‘alaih. Pada dasarnya, perbankan merupakan lembaga pengelol dana (masyarakat). Karena itu, lembaga perbankan seyogyanya memiliki kemampuan untuk mengelola dana (fund manager). Terkait dengan wakaf tunai, lembaga perbankan merupakan lembaga pengelola dana wakaf yang patut dipertimbangkan, karena bisa mempertanggungjawabkan pengelolaannya kepada publik, terutama kepada wakif. Dengan memahami bahwa pilihan produk keuangan Syari’ah masih terbatas di pasar dalam negeri, maka pilihan untuk menginvestasikan dana wakaf pada produk-produk Syari’ah di pasar internasional terbuka lebar. Selain itu, penanaman modal di pasar internasional juga dapat dipandang sebagai upaya memperkecil resiko, melalui diversifikasi investasi dana. Untuk itu, efektifitas dan optimalisasi pengelolaan dana perbankan Syari’ah 44 memiliki akses dan sekaligus berperan dalam pasar uang internasional. Pengalaman, jaringan informasi, dan peta distribusi menjadi faktor yang sangat penting bagi perbankan Syari’ah dalam mengoptimalkan pengelolaan dana wakaf tunai. Jaringan informasi serta peta distribusi juga memungkinkan untuk terbentuknya database informasi mengenai sektor usaha maupun debitur yang akan dibiayai termasuk oleh dana eks wakaf. Dalam kaitan dengan wakaf tunai, maka pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga perbankan, tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana wakaf, akan tetapi juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf tunai sesuai dengan yang diinginkan oleh wakif. Selain itu, pengalaman, jaringan informasi, dan peta distribusi merupakan faktor positif bagi lembaga pembankan Syari’ah. Sehingga diharapkan akan menimbulkan citra poisitif terhadap gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada perbankan Syari’ah khususnya. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) terhadap perbankan Syari’ah akan menimbulkan akuntabilitas yang positif dari pengelolaan wakaf tersebut. Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak saja utuk menyukseskan serta mengoptimalkan keberadaan wakaf tunai, akan tetapi juga sebagai upaya untuk menghindari citra yang kurang baik, seperti halnya yang terjadi pada pengelolaan dana pada umumnya12. Dengan melibatkan lembaga keuangan Syari’ah dalam pengelolaan wakaf tunai, maka selain produktif, wakaf akan 12 Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal.52-54. 45 bisa diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi yang menguntungkan. Dengan demikian, masyarakat (mauquf ‘alaihi) yang akan merasakan manfaat dari hasil dana wakaf semakin banyak. Akhirnya, area garapan dana wakaf untuk digunakan memberdayakan umat Islam semakin beragam. Wakaf juga berbeda dengan zakat, tapi keduanya sama-sama instrumen keuangan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam hukum Islam wakaf tidak diwajibkan, melainkan secara suka rela, sedang zakat merupakan kewajiban terhadap seseorang ataupun terhadap harta yang telah mencapai takaran tertentu. Zakat wajib karena merupakan salah satu rukun Islam yang dibebankan kepada harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu. Dalam Al-Qur’an, zakat disebut sebanyak 82 kali (A.M. Saefuddin, 1984: 68) dan selalau dirangkaikan dengan shalat (sembahyang yang merupakan rukun Islam kedua. Hal ini menunjukkan bahwa (lembaga) zakat sangat penting. Sedang shalat merupakan sarana komunikasi utama antara manusia dengan Tuhan. Zakat yang disebut Al-Qur’an setelah shalat, adalah sarana komunikasi utama antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Karena itu lembaga zakat sangat penting dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis. Peranan zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah, dalam pemerataan pendapatan akan lebih kentara kalau dihubungkan dan dilaksanakan bersama dengan nilai instrumental lainnya yakni pelarangan riba13. 13 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), hal.9. 46 Sedang Abdul Mannan, membedakan antara wakaf, sadaqah dan hibah. Dari tata-cara transaksinya wakaf dapat dipandang sebagai salah satu bentuk amal yang mirip dengan sadaqah. Yang membedakannnya adalah dalam sadaqah, baik substansi (asset) maupun hasil/manfaat yang diperoleh dari pengelolaannya, seluruhnya ditransfer (dipindahtangankan) kepada yang berhak menerimanya, sedangkan pada wakaf, yang ditransfer hanya hasil/manfaatnya, sedangkan substansi/assetnya tetap dipertahankan. Sementara itu, perbedaan wakaf dengan hibah adalah, dana hibah, substansi/assetnya dapat dipindahtangankan dari seseorang kepada orang lain tanpa ada persyaratan, sedang pada wakaf ada persyaratan penggunaan yang telah ditentukan wakif. Tujuannya sama-sama dilandasi semangat keagamaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa hasil yang diperoleh dari pengelolaan asset wakaf tidak dapat dianggap sebagai zakat yang hukumnya wajib. Dan penerima zakat telah ditetapkan oleh Al-Qur’an sebanyak 8 golongan.14 Dibandingkan dengan instrumen keuangan lain dalam sistem ekonomi Islam, maka dana wakaf tampak fleksibel untuk digunakan sebagai sarana pemberdayaan terhadap umat Islam. C. Wakaf Tunai sebagai Dana Publik Sejak awal harus disadari bahwa wakaf, tidak terkecuali wakaf tunai merupakan dana publik. Karena dana wakaf 14 Prof. Dr. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D., Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Keuangan Islam (terjemahan), (Jakarta: CIBER dan PKTTI UI, 2002), hal. 16. 47 dihimpun dari masyarakat luas yang dengan suka rela menyisihkan hartanya untuk diwakafkan. Wakaf seyogyanya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas pula. Karena itu, agar pemanfaatkan wakaf untuk kepentingan luas maksimal, pengelolaannya harus dilakukan secara profesional, transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Tiga syarat ini (profesional, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan) tidak bisa ditawar lagi dalam pengelolaan wakaf, lebih-lebih wakaf tunai. Lembaga apapun yang telah memenuhi tiga syarat tersebut, pantas untuk mengelola wakaf tunai. Tiga syarat tersebut menjadi sangat penting dalam pengelolaan wakaf tunai, karena hak wakif (pemberi wakaf) atas asset (wakaf tunai) telah hilang. Tapi wakif sebagai konsumen dari pengelola wakaf memiliki hak, antara lain: 1. Hak untuk mendapatkan informsi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 2. Hak untuk didengar saran dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; dan 3. Hak mendapatkan pembinaan dan bimbingan sebagai konsumen (dari lembaga pengelola wakaf tunai). Hak yang ketiga ini penting terutama bagi mereka yang pengetahuan agamanya tidak memadai. Banyak masyarakat yang ingin mewakafkan hartanya tapi mereka tidak mengetahui teknisnya. Tiga hak wakif sebagai konsumen dari lembaga pengelola wakaf ini dapat dipenuhi, hanya oleh lembaga yang telah memenuhi persyaratan seperti disebutkan di atas. Selain itu, agar wakaf tunai memberikan manfaat yang riil terhadap masayarakat luas, seyogyanyalah lembaga pengelola wakaf tunai menggunakan manajemen yang 48 profesional. Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak, yaitu: (1) Pemberi wakaf (wakif), (2) Pengelola wakaf (Nazhir). Nazhir ini, nantinya juga bertindak sebagai manajer investasi, dan (3) Beneficiary (mauquf alaihi/masyarakat yang diberi wakaf). Wakif akan memberikan uangnya sebagai wakaf kepada lembaga pengelola wakaf dan keuntungannya didistribusikan kepada masyarakat luas yang membutuhkan. Karena itu, lembaga pengelola wakaf tunai seyogyanya memenuhi kriteria sebagai berikut: Memiliki akses yang baik kepada calon wakif Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana wakaf Mampu untuk mendistribusikan hasil/keuntungan dari investasi dana wakaf Memiliki kemampuan untuk mencatat/membukukan segala hal yang berkaitan dengan beneficiary, misalnya rekening dan peruntukannya. Lembaga pengelola wakaf tunai hendaknya dipercaya oleh masyarakat dan kinerjanya dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap lembaga pengelola dana publik.15 Lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dan memenuhi kriteria untuk mengelola wakaf tunai adalah lembagalembaga keuangan Syari’ah. Belakangan banyak tumbuh berkembang lembaga-lembaga keuangan Syari’ah, semisal 15 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah sebagai Pengelola Wakaf, Op. Cit., hal. 7. 49 bank Syari’ah, asuransi Syari’ah, lembaga pembiayaan Syari’ah dan lainnya. Tumbuh-berkembangnya lembaga-lembaga keuangan Syari’ah di Eropa Barat dan beberapa negara Islam, termasuk Indonesia merupakan respon terhadap gejala surplus dolar pada tingkat global. Surplus dolar itu membutuhkan penyaluran yang aman dan lembaga-lembaga keuangan Syari’ah lah yang dianggap tepat untuk menampung surplus dolar tersebut. Sedang dalam konteks Indonesia, tumbuh-berkembangnya lembaga-lembaga keuangan Syari’ah juga merupakan hasil kerjasama antara para ekonom dan profesional muslim, lulusan universitasuniversitas di Barat yang berhasil membuat lembaga yang mampu mengelola modal. Sebagai salah satu contoh dari hasil rekayasa teknokrasi pada tingkat internasional adalah didirikan Islamic Development Bank (IDB) yang berpusat di Jeddah, Saudi Arabia. Modal IDB sebagian besar berasal dari negara-negara penghasil minyak bumi, yang kebanyakan adalah negara-negra Islam yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam (OKI). Lembaga keuangan Syari’ah di Indonesia dalam bentuk bank Syari’ah berdiri berkat upaya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cedekiawan Muslim seIndonesia (ICMI) pada tahun 1992. Bank Syari’ah tersebut adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI) yang nilai assetnya sekarang mencapai lebih 1,5 triliun. BMI menjadi pelopor kehadiran bank-bank Syari’ah dan lembaga keuangan nonbank lainnya. Sekarang hampir semua bank konvensional 50 membuka bank Syari’ah dan juga ada Takaful (asuransi Syari’ah) Indonesia16. Semestinya, lembaga investasi yang bergerak di bidang pasar modal dapat juga menjalankan fungsi Nazhir (pengelola wakaf tunai), namun hingga sekarang pasar modal volatile. Karena itu bank, khususnya bank syariah dianggap tepat untuk difungsikan sebagai kustodian (tempat penitipan uang). Bahwa bank tepat untuk dilibatkan dalam pengelolaan wakaf tunai dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Memiliki akses yang baik kepada calon wakif Calon wakif diasumsikan mereka yang memiliki kelebihan likuiditas (memiliki anggaran keuangan yang lebih), terlepas seberapa besar kelebihan likuiditas tersebut. Kelebihan likuiditas masyarakat sekarang ini disimpan di bank. Calon wakif potensial tentunya dapat diketahui oleh bank, misalnya mengamati jumlah deposito, tabungan atau mutasi giro yang bersangkutan, sehingga akses ke calon wakif lebih mudah dilakukan oleh bank beserta dengan jaringannya. 2. Memiliki kemampuan untuk melakukan investasi Dana wakaf tunai dapat dinvestasikan dalam berbagai jenis investasi, misalnya : Investasi Jangka Pendek: yaitu dalam bentuk mikro kredit. Bank-bank telah mempunyai pengalaman dalam bentuk kerja sama dengan pemerintah untuk 16 Tim Depag, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal.69. 51 menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM (Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro) dari Bank Indonesia (BI). Investasi Jangka Menengah: yaitu industri/usaha kecil. Dalam hal ini bank di Indonesia telah terbiasa dengan adanya beberapa skim kredit program KKPA, KKOP dan KUK (sesuai ketentuan BI). Investasi Jangka Panjang: yaitu untuk industri manufaktur, dan industri besar lainnya. Bank mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi jangka panjang seperti investasi pabrik dan perkebunan. Bank pun mempunyai kemampuan untuk melakukan sindikasi dengan bank lain untuk melakukan investasi besar17. Dalam menginvestasikan dana wakaf, hendaknya dipertimbangan keamanan investasi dan profitabilitas usaha. Karena tanpa mempertimbangkan keamanan investasi dan profitabilitas usaha, dikhawatirkan dana wakaf tidak produktif atau bahkan mengalami penyusutan. Karena itu sebelum melakukan investasi dana wakaf, hendaknya dilakukan beberapa hal sebagai berikut : a. b. c. Analisis sektor investasi yang belum jenuh, melakukan “spreading risk” dan “risk management” terhadap investasi yang akan dilakukan. “Market survey” untuk memastikan jaminan pasar dari output/produk investasi. Analisa kelayakan investasi. 17 52 Muhammad Syafii Antonio, Op.Cit., hal.8 d. e. f. Analisa terhadap pihak yang akan diajak untuk mengelola investasi. Monitoring terhadap proses realisasi investasi, dan Monitoring terhadap tingkat profitabilitas investasi. Lembaga yang memiliki kemampuan seperti yang disebutkan di atas adalah perbankan. Karena sifat bisnis bank adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan investasi maupun modal kerja. 3. Memiliki kemampuan untuk mengadministrasikan rekening beneficiary. Nazhir sebagai pihak yang diberikan amanah oleh wakif untuk mengelola dana wakaf sekaligus memberikan benefitnya kepada beneficiary, harus melakukan administrasi yang baik, sehingga menjamin bahwa setiap beneficiary mendapatkan benefit atas dana wakaf. Dalam rangka merealisasikan pengadministrasian ini dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) dan teknologi yang memadai. SDM dan teknologi yang memadai itu dimiliki oleh bank. Karena bisnisnya bank memang mengelola rekening-rekening nasabah. Lebih dari itu, teknologi perbankan juga mampu menampung data base beneficiary yang akan mendapatkan benefit (manfaat) dari dana wakaf. 4. Bank memiliki kemampuan untuk mendistribusikan hasil investasi dana wakaf. Manfaat atau keuntungan dari hasil investasi dana wakaf harus didistribusikan kepada beneficiary. 53 Pendistribusian ini mengacu kepada persyaratan yang diberikan oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima benefit. Pengelola dana wakaf hendaknya memastikan berapa besaran benefit yang diterima. Hal ini menuntut kemampuan administrasi dan teknologi. Dan yang mempunyai kemampuan tersebut adalah bank. Bank-bank Syari’ah yang berkembang pesat belakangan ini juga sudah mempunyai system profit distribution, baik dengan konsep “pool of fund” maupun “special invesment” (mudharabah muqayyadah) yang tidak dimiliki oleh bank konvensional. Sistem akan mem-back up pengelolaan dana wakaf tunai dengan menggunakan sistem “voluntary pool of fund.” Benefit atas dana wakaf jika diizinkan oleh wakif dapat digunakan sebagai dana bergulir untuk pemberdayaan ekonomi lemah. Hal ini pernah dipraktikkan oleh BMI bekerjasama dengan Depkop dan PKM dalam bentuk program P2KER (Proyek Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat) dengan kelompok binaan berupa Baitul Mal Wat Tamwil (BMT) dan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di berbagai daerah. Pengusaha kecil yang dibina bank diharapkan dapat mengelola usahanya secara profesional dan akhirnya mendapatkan akses permodalan dari bank. 5. Bank memiliki kredibilitas di mata masyarakat, dan dikontrol dengan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga keuangan semisal bank yang dilibatkan dalam pengelolaan wakaf tunai harus memiliki kredibilitas di mata masyarakat karena harus mampu menjalankan amanah untuk melakukan investasi dan mendistribusikan benefit 54 atas investasi dana wakaf. Bank sekarang dikenal luas dan dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga investasi. Secara regulatif, bank jelas merupakan lembaga yang “high regulated” yang diatur secara ketat oleh BI sebagai pemegang otoritas moneter. BI menjadi deposit masyarkat termasuk deposit wakaf. Kalau diperhatikan, bank Syari’ah memiliki kelebihan dibandingkan dengan bank konvensional. Karena bank Syari’ah merupakan lembaga yang “Syari’ah high regulated”, dengan dipantau oleh Dewan Syari’ah Nasional (DSN) dan Dewan Pengawas Syari’ah (DPS). Pemantauan yang dilakukan DSN dan DPS berkaitan dengan; apakah operasional dan produk bank sayari’ah sudah seiring dengan ketentuan Syari’ah atau tidak. Dengan argumentasi seperti ini, tidak dipungkiri bahwa Nazhir yang tepat mengelola wakaf tunai adalah bank, terutama bank Syari’ah. Dalam melakukan “benefit spending/distribution” atas investasi dana wakaf, bank Syari’ah dapat melakukan kerjasama dengan lembagalembaga sosial keagamaan atau lembaga amil zakat (LAZ). Hal ini dilakukan dalam rangka melakukan sinergi guna memberdayakan lembaga-lembaga umat. Jaringan LAZ yang sudah terbangun dapat dioptimalisasikan dan diharapkan meningkatkan efesiensi biaya bank dalam hal “product delivery channel.” Bank syariah di Indonesia telah terbukti mampu melakukan efesiensi dalam hal “product delivery channel.” Difungsikannya bank sebagai lembaga pengelola dana wakaf merupakan manifestasi dari fungsi keharusan untuk mengelola tiga sektor pelanggan/ekonomi. Yaitu corporate, 55 non formal dan voluntary sector. Tiga sektor yang dikelola bank Syari’ah ini berbeda dengan tiga sektor yang harus dikelola oleh bank konvensional; corporate, non formal dan private sector. Pengelolaan tiga sektor pelanggan/ekonomi ini, khususnya yang voluntary sector akan semakin memperluas stake holder yang akan menerima benefit atas usaha perbankan. Stake holder baru yang akan menerima benefit dari dana wakaf adalah beneficiary. Dalam pengelolaan dana wakaf tunai, bank paling tidak memiliki empat tujuan, yaitu: a. Menyediakan jasa layanan perbankan dengan menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai dan memanfaatkan manajemen yang baik dalam pengelolaan dana wakaf tunai tersebut. b. Membantu melakukan mobilisasi tabungan sosial dan melakukan transformasi dari tabungan sosial ke modal. c. Memberikan benefit kepada masyarakat, terutama kepada masyarakat miskin melalui optimalisasi sumber daya masyarakat yang kaya. d. Membantu mengembangkan pasar modal sosial (sosial capital market).18 C.1. Operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai 18 Social Capital Market adalah tempat terjadinya transaksi bagi kegiatan amal, dimana seseorang pada tempat tersebut bisa menentukan arah penggunaan dari amal yang diserahkannya. Misalnya, dalam konteks wakaf ini, Waqif bisa menentukan penggunaan dana wakaf tersebut sesuai dengan kehendaknya. Misalnya, untuk pembangunan jalan, pembangunan sekolah, pembangunan rumah sakit, dsb. 56 Sertifikat Wakaf Tunai, merupakan sebuah inovasi instrumen finansial (Financial Instrument), Keuangan Sosial dan Perbankan Sosial (Social Finance and Voluntary Sector Banking) yang pertama kalinya dalam sejarah. Pada umumnya, Wakaf selama ini dikenal terkait dengan sumbangan berupa asset tetap (property of permanent) oleh seorang Muslim dengan tujuan murni ketaqwaan. Namun belakangan wakaf tunai mendapat perhatian serius, karena ternyata juga memiliki akar yang panjang dalam sejarah Islam. Sedang wakaf tunai sebagai instrumen keuangan sungguh merupakan suatu produk baru dalam sejarah Perbankan Islam. Pemanfaatan Wakaf Tunai dapat dibedakan menjadi dua, yakni pengadaan barang privat (private good) dan barang sosial (social good).19 Karena itu, wakaf tunai membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi dibidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran serfikat wakaf tunai. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan wakaf tunai dapat dibelanjakan untuk berbagi tujuan, misalnya untuk pemeliharaan harta-harat wakaf. Operasionalisasi sertifikat wakaf tunai dapat dijabarkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut : a. Wakaf tunai harus diterima sebagai sumbangan yang sesuai dengan tuntunan Syari’ah. Sedang bank yang bertindak sebagai Nazhir harus mengelola wakaf tersebut atas nama wakif. 19 Prof. Abdul Mannan, MA, PhD., Sertifikat Wakaf Tunai…..Op. Cit., hal. 30. 57 b. c. d. e. f. g. h. i. 58 Wakif memiliki kebebasan memilih; untuk tujuan apa dana hibah yang ia berikan. Wakaf tunai dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan oleh wakif. Wakaf tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari waktu ke waktu. Kualitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh wakif. Bagian keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus. Wakif dapat meminta bank untuk mempergunakan keseluruhan profit untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan. Wakif dapat memberikan wakaf tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan memberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya sebesar (ditentukan kemudian). Deposit-deposit berikutnya juga dapat dilakukan dengan pecahan masing-masing atau kelipatannya. Wakif juga dapat meminta kepada bank untuk merealisasikan wakaf tunai pada jumlah tertentu untuk dipindahkan dari rekening wakif kepada pengelola harta wakaf (Nazhir). Setiap setoran wakaf tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan Sertifikat Wakaf Tunai. j. Prinsip dan dasar-dasar peraturan Syari’ah tentang wakaf tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah. Kegiatan investasi sosial berupa wakaf tunai ini akan dapat menciptakan landasan bagi terselenggaranya pemupukan modal sosial secara permanen dan dapat dimanfaatkan untuk membantu terlaksananya kredit program yang akan memperkokoh bagi terciptanya landasan moral dan sosial bagi terciptanya kesejahteraan masyarakat. Seseorang dapat membeli Sertifikat Wakaf Tunai untuk : Diri sendiri. Orang tua. Ahli waris. Suami/ Istri. Tetangga. Saudara kandung. Peningkatan standar hidup orang miskin. Rehabilitasi orang cacat. Peningkatan standar hidup masyarakat yang berdomisili di daerah kumuh. Membantu pendidikan anak yatim/ piatu. Beasiswa. Pengembangan pendidikan modern. Pengembangan sekolah, madrasah, kursus, akademi dan universitas. Mendanai riset. Membantu pendidikan keperawatan. Riset penyakit tertentu dan membangun pusat riset. 59 Mendirikan rumah sakit dan bank darah. Membantu program riset, pengembangan, dan pendidikan untuk menghormati jasa para pendahulu. Menyelesaikan masalah-masalah sosial non-muslim. Membantu proyek-proyek untuk menciptakan lapangan kerja dalam rangka menghapus kemiskinan dan hal-hal lain yang diperbolehkan Syari’ah20. Pembelian Sertifikat Wakaf Tunai dapat dilakukan dengan maksud untuk memenuhi target investasi, sedikitnya empat bidang, yaitu : 1. Kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi (duniaakhirat). Semua manusia akan kembali ke haribaan Ilahi, karena itu tidaklah berlebihan kalau kita merenungkan sejenak, bahwa pada saat dilahirkan kita dalam keadaan miskin dan pada saat meninggal kita pun akan dalam keadaan miskin. Tidak dapat disangkal lagi bahwa setelah meninggal, semuanya akan berakhir kecuali tiga hal, yaitu : ilmu yang bermanfaat, anak saleh, dan amal jariyah. Wakaf tunai termasuk salah amal jariyah yang terus mengalir pahalanya. Wakaf tunai sebagai sedekah jariyah memainkan peranan penting bagi sesorang untuk mencapai kesejahteraan dunia dan akhirat. 2. Kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia dan akhirat). Sertifikat Wakaf Tunai menawarkan peluang bagi kita untuk dapat mewujudkan tanggung awab kepada orang tua, istri, anak-anak, dan anggota keluarga lainnya. Sertifikat 20 60 Ibid, hal. 41-42. Wakaf Tunai dapat juga dibeli untuk menjamin perbaikan kualitas hidup generasi penerus melalui pelaksanaan program pendidikan, pernikahan dan lain-lain. Sebab bank akan tetap bertanggung jawab untuk mengelola profit dari sertifikat wakaf tunai itu. karena dengan cara pengelolaan program seperti itu, maka wakaf tunai dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan generasi mendatang. 3. Pembangunan sosial Sertifikat wakaf tunai juga manawarkan peluang yang unik untuk membantu masyarakat. Dengan profit dari wakaf tunai, seseorang dapat membantu bantuan yang berharga bagi pendirian ataupun operasionalisasi lembaglembaga pendidikan termasuk masjid, madrasah, rumah sakit, sekolah, kursus, akademi, dan universitas. Pembelian sertifikat ini dapat membantu terlaksananya proyek-proyek pendidikan, riset, keagamaan, kesejahteraan sosial, pengobatan dan perawatan kesehatan untuk orang miskin dan untuk penghapusan kemiskinan. 4. Membangun masyarakat sejahtera Dana yang terhimpun dari wakaf tunai akan diinvestasikan dan hasilnya dapat memberikan jaminan sosial kepada si miskin dan keamanan bagi si kaya. Akhirnya, wakaf tunai akan menjadi wahana bagi terciptanya kepedulian dan kasih sayang antara si kaya dan si miskin, sehingga membantu terciptanya hubungan yang harmonis dan kerjasama yang baik. Tidak berlebihan kiranya kita mengharapkan bahwa melalui Sertifikat Wakaf 61 Tunai akan memperoleh manfaat yang banyak di bidang ekonomi dan sosial bagi masyarakat secara keseluruhan 21. D. Wakaf Tunai sebagai Voluntary Fund Wakaf adalah salah satu lembaga sosial Islam yang sangat di anjurkan untuk digunakan oleh seseorang atau lembaga sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan oleh Allah kepadanya. Wakaf dikategorikan sebagai amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walau si wakif telah meninggal dunia. Karena harta wakaf terus dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Dana wakaf dihimpun dari masyarakat secara sukarela, karena wakaf tidak diwajibkan dalam Syari’at Islam, melainkan hanya dianjurkan. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dipahami sebagai dasar dari dianjurkan wakaf adalah: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di Jalan Allah) sebagian yang baik-baik dari hasil usahamu dan dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk di antaranya yang kamu nafkahkan….” (al-Baqarah, ayat 267). Dana wakaf yang dihimpun dari masyarakat tersebut diharapkan akan jadi modal sosial abadi. Realisasi lembaga wakaf yang profesional mendesak untuk dilakukan karena menurut Prof. Abdul Mannan, ekonom Islam dari Banglades22, menyebutkan bahwa keunggulan nyata sektor voluntary Islam, termasuk wakaf 21 Tim Depag, Perkembangan Pengelolaan Wakaf…., Op.Cit., hal. 163. Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D., Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah…., Op.Cit, hal. 12-15 22 62 terletak pada kenyataan bahwa sektor voluntary Islam meninggalkan warisan sejarah dan budaya yang sarat dengan nilai-nilai keutamaan. Pada saat ini dimana kemajuan teknologi informasi sudah begitu canggih, kegiatan-kegiatan sektor voluntary Islam sebenarnya memiliki potensi yang tinggi untuk dioperasionalisasikan secara global. Dalam proses ini, bank Islam di abad ke-21 dapat memainkan peranan yang sangat penting dalam mengaktifkan dan melembagakan kembali peran institusiinstitusi sosial ekonomi Islam serta bermacam instrumen redistribusi penghasilan (baik wajib maupun sunnah) baik melalui instrumen-instrumen keuangan yang baru maupun managemen fund seperti: Waqf Properties Development Bond, Sertifikat Wakaf Tunai, Sertifikat Zakat, Sertifikat Tabungan Haji,Trust Fund, dan lain-lain. Meskipun Islam memiliki banyak kegiatan di sektor voluntary seperti: zakat, wakaf, masjid, haji, dan yayasanyayasan, namun seluruh kegiatan tersebut tidak diperhitungkan/dimasukkan dalam kalkulasi GNP (Gross National Product). Dalam konteks dimana peluang tantangan yang dihadapi oleh masyarakat muslim saat ini begitu besar, maka perlakuan terhadap kegiatan-kegiatan tersebut selama ini perlu ditelaah dan dianalisa kembali. Dengan semakin gencarnya transformasi hubungan antara Barat dan Timur yang disebabkan oleh: (a) Munculnya blok ekonomi Eropa; (b) Hancurnya komunis; (c) Berdirinya republik-republik muslim di Asia Tengah; (d) Semakin lebarnya kesenjangan Utara-Selatan di bidang ekonomi; (e) Keterbelakangan ekonomi serta belenggu kemiskinan di negara-negara Islam; dan (f) Munculnya militansi etnik dan 63 semakin menggejalanya bahaya yang mengancam minoritas di negara-negara non-muslim; maka sangat perlu menghidupkan dan menumbuhkembangkan kembali kegiatan di sektor voluntary tersebut sesuai dengan filosofi dan semangatnya serta memanfaatkannya secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat muslim dan umat manusia secara keseluruhan. Pertanyaan mendasar terhadap masalah ini adalah bagaimana mengoperasikan dan melembagakan kegiatankegiatan tersebut sehingga dapat terintegrasi ke dalam mainstream aktivitas ekonomi, mobilisasi faktor produksi, tabungan dan investasi, serta pasar modal? Dilihat dari perspektif ini sebenarnya banyak sekali kegunaan dana zakat bagi proyek-proyek mudarabah yang legal yang dapat digunakan senagai partner keungan. Zakat dapat meredistribusikan kekayaan kepada si miskin, meningkatkan produktifitas, realokasi exante saving dengan mengurangi idle-cash dan mendorong produksi melalui alokasi faktor antar sektor. Demikian juga, perkumpulan haji dapat dipandang sebagai salah satu lembaga sosial ekonomi yang penting. Sedangkan masjid, dapat difungsikan sebagai agen pembangunan masyarakat. Dari perspektif historis, wakaf, yang merupakan salah satu elemen sektor voluntary yang paling kuat dalam Islam, telah memainkan peranan penting dalam mengembangkan pendidikan ke-Islam-an, kesehatan dan riset melalui pendirian sekolah-sekolah, rumah sakit, madrasah, masjidmasjid, dan perpustakaan umum. Pada abad ke-21 ini bank-bank Islam harus bekerja untuk melestarikan sektor voluntary Islam. Bahkan sekarang 64 sedang diproses pengorganisasian The Voluntary Capital Market yang bertujuan memobilisasi dana serta sedang mengembangkan instrumen-instrumen keuangan yang menurut Syari’ah memiliki aturan-aturan yang berbeda seperti: a. Waqf Properties Development Bond (Umum dan Khusus) b. Cash Waqf Deposit Certificate (Umum dan Khusus) c. Family Waqf Certificate d. Mosque Properties Development Bond (Umum dan Khusus) e. Mosque Community Share f. Quard-e-Hasana Certivicate (Umum dan Khusus) g. Zakat/Ushar payment Certificate h. Hajj Saving Certivicate i. Non-Muslim Trust Properties Development Bond (Umum dan Khusus) j. Municipal Properties Development Bond (Umum dan Khusus) Nilai dari seluruh obligasi dan sertifikat Quard-eHasana dapat dijamin oleh bank hingga masa pembayaran sertifikat tersebut telah jatuh tempo. Apa yang dipaparkan Prof. Abdul Mannan di atas berangkat dari pengalaman Banglades, tapi tidak berarti tidak memungkinkan untuk diterapkan atau paling tidak di adopsi di Indonesia. Karena kondisi sosial ekonomi Banglades dan Indonesia relatif sama. Bahkan Indonesia merupakan negara non Islam yang rakyatnya paling banyak menganut agama Islam. Selain sebagai voluntry fund, wakaf tunai juga memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana 65 abadi yang digarap melalui tantangan profesionalisme yang amanah dalam fund management-nya di tengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domistik dan sindrom capital flight. Wakaf tunai sangat merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah di samping pertimbangan hikmah rasional ekonomis untuk kesejahteraan sosial. Wakaf tunai juga strategis untuk menciptakan lahan pekerjaan dan mengurangi pengangguran dalam aktifitas produksi yang sangat selektif sesuai dengan kaidah Syari’ah dan kemaslahatan. Wakaf tunai sangat potensial untuk memberdayakan sektor riil dan memperkuat fundamental perekonomian dan sekaligus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran akan solidaritas sosial sehingga tidak berlaku lagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak minoritas (kaum kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak yang mayoritas (kaum miskin). Oleh karena itu, sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir yang salah satunya adalah dengan memberikan kredit mikro. Kredit mikro diberikan melalui mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK) semacam reksadana Syari’ah yang dihimpun dengan Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan akibat krisis berkepanjangan.23 23 66 Tim Depag, Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia, Op.Cit., Ke depan, wakaf sebagai salah satu voluntary fund dalam Islam akan mampu menjadi pengemban amanah Islam, yaitu terciptanya masyarakat yang adil dan sejahtera. Bahkan bisa jadi wakaf akan menjadi instrumen keungan alternatif dari instrumen keuangan konvensional, karena sistem ekonomi konvensional (kapitalis dan sosialis) telah “gagal” mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera hal.142 67 Bagian Ketiga MANAJEMEN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI A. Sistem Mobilisasi Dana Wakaf Wakaf tunai merupakan salah satu usaha yang tengah dikembangkan dalam rangka meningkatkan peran wakaf dalam bidang ekonomi. Karena wakaf tunai memiliki kekuatan yang bersifat umum dimana setiap orang bisa menyumbangkan harta tanpa batas-batas tertentu. Demikian juga fleksibilitas wujud dan pemanfaatannya yang dapat menjangkau seluruh potensi untuk dikembangkan. Mustafa Edwin Nasution pernah membuat asumsi bahwa jumlah penduduk muslim kelas menengah di Indonesia sebanyak 10 juta jiwa dengan penghasilan ratarata antara 0,5 juta – 10 juta per bulan. Dan ini merupakan potensi yang besar. Bayangkan misalnya warga yang berpenghasilan Rp 0,5 juta sebanyak 4 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 60 ribu. Maka setiap tahun akan terkumpul Rp 240 miliar. Jika warga yang berpenghasilan 1-2 juta sebanyak 3 juta jiwa dan setiap tahun masing-masing berwakaf 120 ribu, maka akan terkumpul dana sebesar Rp 360 miliar. Jika warga yang berpenghasilan 2-5 juta sebanyak 2 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf Rp 600 ribu, akan terkumpul dana Rp 1,2 trilyun. Dan jika warga berpenghasilan Rp 5-10 juta berjumlah 1 juta orang dan setiap tahun masing-masing berwakaf 1,2 juta, akan 71 terkumpul dana 1,2 trilyun. Jadi dana yang terkumpul mencapai 3 trilyun setahun.1 Sungguh potensi yang sangat luar biasa. Terutama jika dana itu diserahkan kepada pengelola profesional dan oleh pengelola wakaf itu diinvestasikan di sektor yang produktif. Dijamin jumlahnya tidak akan berkurang, tapi bertambah bahkan bergulir. Misalnya saja dana itu dititipkan di Bank Syari’ah yang katakanlah setiap tahun diberikan bagi hasil sebesar 9 %, maka pada akhir tahun sudah ada dana segar 270 miliar. Tentunya akan sangat banyak yang bisa dilakukan dengan dana sebanyak itu. Karenanya model wakaf tunai sangat tepat memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer. Ia sangat potensial menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan luar negeri. Wakaf tunai sangat relevan memberikan model mutual fund melalui mobilisasi dana abadi yang digarap melalui tantangan profesionalisme yang amanah dalam fund management nya di tengah keraguan terhadap pengelolaan dana wakaf serta kecemasan krisis investasi domestik dan sindrom capital flight. Ia sangat tepat merangsang kembalinya iklim investasi kondusif yang dilatari motivasi emosional teologis berupa niat amal jariyah disamping pertimbangan hikmah rasional ekonomis kesejahteraan sosial.2 1 Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih Wakaf, hal. 92. 2 Ibid., hal. 93. 72 Wakaf tunai juga sangat strategis menciptakan lahan pekerjaan dan mengurangi pengangguran dalam aktifitas produksi yang selektif sesuai kaedah Syari’ah dan kemaslahtan. Ia sangat potensial untuk memberdayakan sektor riil dan memperkuat fundamental ekonomi. Ia seklaigus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran akan solidaritas sosial sehingga tidak berlaku bagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak minoritas (kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak mayoritas (miskin).3 Karena itu, dalam rangka pengembangan secara lebih luas, wakaf tunai harus mendapat perhatian lebih untuk membiayai berbagai proyek sosial melalui pemberdayaan wakaf benda tak bergerak yang selama ini menjadi beban. Atau bisa juga melalui penyaluran kepada lembaga-lembaga pemberdayaan ekonomi. Sebagai salah satu upaya agar penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir, salah satunya dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme Kontrak Investasi Kolektif (KIK) semacam reksadana Syari’ah yang dihimpun melalui Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha dan sedikit demi sedikit bangkit dari kemiskinan dan keterpurukan akibat krisis berkepanjangan. Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik ibarat memberi kail, bukan hanya ikan, kepada rakyat dan diharapkan dapat menciptakan kemandirian. Porsi bagi 3 Ibid., hal. 94. 73 hasil untuk fund manager setelah dikurangi biaya operasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui wasiat wakif (pemegang SWT) ataupun tanpa wasiatnya. Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf tunai telah menjelma nyata dalam implementasi produkproduk funding lembaga keuangan Syari’ah dan Lembaga Amil Zakat seperti Wakaf Tunai Dompet Dhuafa Republika dan Waqtumu (Wakaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitul Muamalat – Bank Muamalat Indonesia. Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, gagasan wakaf tunai melengkapi UU No 12 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang No 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan, di mana zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Di samping juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat No. 38 Tahun 1999.4 Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen pendanaan seperti Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) yang kita kenal sebagai sumber dana untuk membantu kaum dhuafa (fakir miskin) dan korban bencana. Selain instrumen yang telah ada tersebut tentunya sangat mendesak dan krusial, kebutuhan akan suatu pendekatan baru dan inovatif dalam instrumen keuangan sebagai pendamping untuk optimumnya mobilisasi dana umat. Tujuan utamanya adalah bagaimana mencari solusi alternatif pendanaan bagi peningkatan kesejahteraan sosial 4 74 Ibid., hal. 95 segenap rakyat Indonesia yang melengkapi sistem pendanaan yang telah ada selama ini sehingga dapat mengentaskan kemiskinan di Indonesia. Dalam hal ini, Indonesia harus belajar dari Bangladesh, tempat kelahiran instrumen eksperimental melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) yang menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya melalui mekanisme produk funding baru berupa Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Certificate Waqf) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam instrumen keuangan baru ini, Sertifikat Wakaf Tunai merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis serta partisipasi aktif dari seluruh warga negara yang kaya untuk berbagai kebahagiaan dengan saudaranya dalam menikmati pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan sosial lainnya dengan baik. Dangan tidak terlalu menggantungkan diri dengan anggaran pemerintah dan pinjaman asing maka diharapkan penerapan instrumen Sertifikat Wakat Tunai ini mampu menjadi alternatif sumber pendanaan sosial.5 Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini untuk menyediakan dana bagi pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup rakyat Indonesia, maka usaha meningkatkan gerakan wakaf tunai sangat diperlukan. Keberadaan model wakaf tunai melalui SWT dirasakan perlu dan mendesak sebagai instrumen keuangan aternatif yang dapat mengisi kekurangankekurangan badan sosial yang tela ada. Karena itu wakaf 5 Ibid., hal. 96. 75 tunai, saham dan surat berharga lainnya sudah saatnya mendapat porsi yang seimbang dalam rangka memberikan wawasan akan pentingnya sebuah instrumen keuangan dalam rangka ikut serta secara aktif mengentaskan kemiskinan di Indonesia. B. Pengelolaan Dana dan Pembiayaan Untuk menjamin kelanggengan harta wakaf agar dapat terus memberikan pelayanan prima sesuai dengan tujuannya, diperlukan dana pemeliharaan di atas biayabiaya yang telah dikeluarkan. Hal ini berlaku pada proyek penyedia jasa maupun proyek penghasil pendapatan. Sehingga dengan demikian, pada proyek penyedia jasa pun diperlukan persyaratan menghasilkan pendapatan untuk menutup biaya pemeliharaan. Dalam konteks wakaf, maka pembiayaan proyek wakaf bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sumber daya insani.6 Menurut Monzer Kahf, gagasan menyisihkan sebagian pendapatan waqaf untuk merekonstruksi harta gerak wakaf atau untuk meningkatkan modal harta tetap wakaf tidak dibahas dalam fiqih klasik. Oleh karena itu Kahf (March 24, 1998) membedakan pembiayaan proyek wakaf ke dalam 6 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, hal. 97. 76 model pembiayaan harta wakaf tradisional dan model pembiayaan baru harta wakaf secara institusional.7 a. Model-model pembiayaan proyek wakaf tradisional Dalam model pembiayaan harta wakaf tradisional, kitab fiqih klasik mendiskusikan lima model pembiayaan rekonstruksi harta wakaf, yaitu: pinjaman, hukr (kontrak sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum yang cukup besar dimuka), al-Ijaratain (sewa dengan dua pembayaran), menambah harta wakaf baru, dan penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima model ini hanya penambahan harta wakaf baru yang menciptakan penambahan pada modal wakaf dan peningkatan kapasitas produksi. Sedang empat model yang lain lebih banyak membiayai operasional dan mengembalikan produktifitas semula harta wakaf.8 1. Pembiayaan wakaf dengan menciptakan wakaf baru untuk melengkapi harta wakaf yang lama. Sebagai contoh adalah wakaf air minum yang dilakukan oleh Usman bin Affan kepada Rasulullah SAW. Karena dimotivasi oleh Rasululah SAW, Usman mampu membeli sumber air Ruma yang semula hanya diberikan sebagian, tetapi kemudian pemiliknya setuju menjual lagi sebagian yang lain. Contoh lain adalah perluasan masjid Nabawi di Madinah yang diperluas 7 Baca, H. Karnaen A. Pewawaatmaja, S.E., MPA, Alternatif Investasi Dana Wakaf, Makalah disajikan pada Workshop IIIT Indonesia tanggal 8 januari 2002, Batam. 8 Ibid., 77 2. 3. 78 selama periode pemerintahan Khalifah Umar, Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Setiap perluasan memiliki penambahan harta wakaf yang lama. Contoh lain dari penambahan harta wakaf terlihat pada penyediaan fasilitas baru berupa air, listrik, dan sistem pendingin atau pemanas. Pinjaman untuk pembiayaan kebutuhan operasional harta wakaf. Pinjaman ini dilakukan untuk mengembalikan fungsi wakaf semula. Syarat yang biasanya harus dipenuhi sebelumnya untuk dapat melakukan pinjaman adalah mendapat ijin dari Hakim Pengawas. Dalam kitab fikih akan kita jumpai misalnya pembahasan tentang pinjaman untuk membeli benih dan pupuk serta upah pekerja yang diperlukan. Juga tentang pinjaman yang dilakukan untuk merekonstruksikan atau membangun kembali harta wakaf yang telah rusak atau terbakar. Penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Model substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf yang satu dengan yang lain, paling tidak memberikan pelayanan atau pendapatan yang sama tanpa perubahan peruntukan yang ditetapkan pemberi harta wakaf (wakif). Oleh karena itu secara prinsip substitusi tidak menimbulkan peningkatan harta wakaf dalam kondisi pasar normal. Konsekuensinya, substitusi bukanlah model pembiayaan. Namun, karena karakter yang unik dari harta wakaf, maka kadang-kadang substitusi berakhir dengan peningkatan pelayanan yang disediakan. Contohnya adalah pertukaran 4. bangunan sekolah di wilayah yang jarang penduduk dengan bangunan sekolah yang padat penduduk. Model substitusi secara mudah dapat menyediakan dana likuid yang diperlukan untuk kegiatan operasional harta wakaf. Pada kasus tertentu, substitusi juga dapat meningkatkan pelayanan harta wakaf, khususnya bila penggunaan harta wakaf yang baru terjadi karena adanya perubahan teknologi atau demografi. Model pembiayaan hukr (sewa berjangka panjang dengan lump sum pembayaran di muka yang besar). Model pembiayaan ini diciptakan oleh fuqaha (ahli fikih) untuk mensiasati larangan menjual harta wakaf. Dari pada menjual harta wakaf, nazhir (pengelola) dapat menjual hak untuk jangka waktu sewa dengan suatu nilai nominal secara periodik. Hak dijual untuk suatu jumlah lump sum yang besar dibayar di muka. Pembeli dari hak sewa berjangka panjang dapat membangun tanah wakaf dengan menggunakan sumbernya sendiri atas resiko sendiri sepanjang ia membayar sewa secara periodik kepada pengelola. Istilah hukr berarti monopoli secara eksklusif. Hak eksklusif ini mungkin untuk suatu periode yang lama yang biasanya melebihi ukuran hidup normal alami manusia atau mungkin juga bersifat tetap. Ini merupakan salah satu contoh dari hak keuangan yang dapat dipasarkan, misalnya: dijual lagi, diwariskan, dihadiahkan, dan lain-lain. Model pembiayaan hukr bisa mungkin salah apabila harga eksklusif dipergunakan untuk biaya operasional 79 5. 80 karena hukr mengurangi pendapatan wakaf di waktu yang akan datang. Namun demikian, apabila harga lump sum eksklusif dipergunakan untuk membeli harta produktif baru sebagai suatu wakaf, maka aliran pendapatan akan tetap seperti semula atau bahkan meningkat. Dengan kata lain, modelnya sendiri netral sedang aplikasinya dapat memberikan akibat negatif dari sudut pandang tujuan wakaf. Jika model hukr dipergunakan dalam kondisi pasar normal dan jika harga eksklusif dipergunakan sedemikian rupa sehingga mempertahankan semangat keabadian harta wakaf, maka model ini harus dianggap netral dan dapat dipergunakan untuk menjamin perolehan likuiditas yang diperlukan untuk membangun suatu harta wakaf. Karena itu kriteria diterimanya model ini tidak tergantung pada jumlah sewa periodiknya, berapapun kecilnya tetapi pada keadilan dalam praktek dan pemanfaatan akhir dari lump sum yang dihasilkan dengan menjual hak eksklusif. Model pembiayaan ijaratain (sewa dengan dua kali pembayaran). Model ijaratain menghasilkan sewa jangka panjang yang terdiri dari dua bagian, yaitu: bagian pertama, berupa uang muka lump sum yang besar untuk merekonstruksikan harta wakaf yang bersangkutan, dan bagian kedua, berupa sewa tahunan secara periodik selama masa sewa. Model ini hampir serupa dengan hukr. Bedanya, pada ijaratain, uang muka hanya boleh dipergunakan untuk merekonstruksi harta wakaf yang bersangkutan. Pada ijaratain, jelas bahwa harta wakaf dikontrakkan setelah direkonstruksikan sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan dalam kontrak. b. Model-model pembiayaan baru untuk proyek wakaf produktif secara institusional. Ada empat model pembiayaan yang membolehkan pengelola wakaf (produktif) memegang hak eksklusif terhadap pengelolaan., seperti Murabahah, Istisnaa, Ijarah, dan Mudharabah. Sebagai tambahan ada juga yang disebut berbagi kepemilikan atau syari’atul milk, di mana ada beberapa kontraktor yang berbagi manajemen atau menugaskan manajemen proyek pada pihak penyedia pembiayaan atau disebut dengan model berbagi hasil (out put sharing) dan model Hukr atau sewa berjangka panjang.9 a. Model pembiayaan Murabahah. Penerapan pembiayaan murabahah pada harta proyek mengharuskan Pengelola Harta Wakaf (Nazhir) mengambil fungsi sebagai pengusaha (enterprenueur) yang mengendalikan proses investasi yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui surat kontrak Murabahah. Sedangkan pembiayaannya datang dari satu bank Islami. Pengelola harta wakaf menjadi penghutang (debitor) kepada lembaga perbankan untuk harga peralatan dan material yang dibeli ditambah mark up pembiayaannya. 9 Ibid., 81 Hutang ini akan dibayar pengembangan harta wakaf. dari pendapatan hasil b. Model Istisna Model Istisna memungkinkan pengelola harta wakaf untuk memesan pengembangan harta wakaf yang diperlukan kepada lembaga pembiayaan melalui suatu kontrak Istisna. Lembaga pembiayaan atau bank kemudian membuat kontrak dengan kontraktor untuk memenuhi pesanan pengelola harta wakaf atas nama lembaga pembiayaan itu. Menurut Resolusi Islamic Fiqh Akademi dari OKI, Istisna adalah sesuai dengan kontrak Syari’ah dimana pembayaran dapat dilakukan dengan penangguhan atas dasar kesepakatan bersama. Model pembiayaan Istisna juga menimbulkan hutang bagi pengelola harta wakaf (nazhir) dan dapat diselesaikan dari hasil pengelolaan dan pengembangan harta wakaf dan penyedia pembiayaan (investor) tidak mempunyai hak untuk turut campur dalam pengelolaan harta wakaf. c. Model Ijarah Model pembiayaan ini merupakan penerapan Ijarah dimana pengelola harta wakaf tetap memegang kendali penuh atas manajemen proyek. Dalam pelaksanaannya, pengelola harta wakaf memberikan ijin yang berlaku untuk beberapa tahun saja kepada penyedia dana untuk mendirikan sebuah gedung di atas tanah wakaf. Kemudian pengelola harta wakaf menyewakan gedung tersebut untuk jangka waktu yang sama dimana pada periode tersebut dimiliki oleh penyedia dana (financer), dan digunakan 82 untuk tujuan wakaf. Gedung tersebut bisa berupa rumah sakit, sekolah, ruang sewa kantor, atau apartemen. Pengelola harta wakaf menjalankan manajemen dan membayar sewa secara periodik kepada penyedia dana. Jumlah sewa telah ditetapkan sehingga menutup modal pokok dan keuntungan yang dikehendaki penyedia dana. Pada akhir periode yang diijinkan, penyedia dana akan memperoleh kembali modalnya dan keuntungan yang dikehendaki, setelah itu penyedia dana tidak dapat memasuki lagi harta wakaf. Jenis ijarah ini jelas, yaitu kasus khusus ijarah yang berakhir dengan penyewa memiliki bangunan dengan kebaikan menjadi pemilik tanah yang dibangun. Ijin yang diberikan mungkin juga permanen atau sepanjang usia proyek, misalnya sepanjang usia ekonomi dari proyek, pengelola harta wakaf menggunakan sebagian pendapatan jika ini sebuah wakaf investasi untuk membayar sewa kepada penyedia sewa. 4. Mudharabah oleh Pengelola Harta Wakaf dengan Penyedia Dana. Model Mudharabah dapat digunakan oleh pengelola harta wakaf dengan asumsi peranannya sebagai pengusaha (mudharib) dan menerima dana likuid dari lembaga pembiayaan untuk mendirikan bangunan di tanah wakaf atau untuk mengebor sebuah sumur minyak jika tanah wakaf itu menghasilkan minyak. Manajemen akan tetap berada di tangan pengelola harta wakaf secara eksklusif dan tingkat bagi hasil diterapkan sedemikian rupa sehingga 83 menutup biaya usaha untuk manajemen sebagaimana juga penggunaan tanahnya. 5. Model Pembiayaan berbagai kepemilikan. Model pembiayaan kepemilikan dapat dipergunakan apabila dua pihak secara individual dan bebas memiliki dua benda yang berkaitan satu sama lain seperti masing-masing memiliki separoh dari sebidang tanah pertanian tanpa mempunyai perjanjian kemitraan secara formal. Berbagai kepemilikan bukanlah suatu model kemitraan karena di dalam kemitraan kedua pihak secara umum memilki harta di dalam kemitraan sesuai dengan bagian mereka dalam modal pokok. Sedang pada berbagai kepemilikan, kita berhadapan dengan kekayaan berbeda masing-masing dimiliki secara utuh dan individual oleh suatu pihak yang bebas, dan hubungan mereka ditentukan dalam fikih yang disebut syarikat al-milk yang sangat berbeda dengan syarikat al-aqd yang diterapkan dalam kemitraan. Operasionalisasi formal dari berbagi kepemilikan adalah sebagai berikut: Pengelola harta wakaf mengijinkan lembaga pembiayaan untuk mendirikan sebuah gedung atau menggali sebuah sumur minyak dan memasang alat penyuling. Masing-masing pihak memiliki secara bebas dan terpisah kekayaan dan mereka setuju untuk membagi hasil yang diperoleh di antara mereka. Menurut Fikih dan Syarikat al-Milk, masing-masing pihak bertanggung jawab untuk mengelola kekayaannya sendiri. Karena itu, di dalam model pembiayaan ini, pengelola harta wakaf dan lembaga pembiayaan dapat bersepakat berbagi manajemen atau 84 menugaskannya kepada pihak lain. Jelas di dalam menentukan rasio pembagian hasil (output), pihak yang mengelola diberikan tambahan prosentase sebagai kompensasi dari usahanya. Pada model pembiayaan ini, kompensasi manajemen dapat ditetapkan dalam jumlah uang tertentu atau suatu proporsi hasil (output), dan pemilik juga sepakat atas pembagian pendapatan kotor atau bersih di antara mereka secara proporsional dengan kepemilikan mereka. Lebih lanjut, karena lembaga pembiayaan kerap kali menghendaki keluar dari kepemilikannya pada saat tertentu di masa depan, para pihak dapat menyetujui penjualan kekayaan penyedia dana pada wakaf dan menggunakan sebagian dari hasil bagian wakaf sebagai pembayaran untuk harganya. 6. Model bagi hasil (output) Model bagi hasil adalah suatu kontrak di mana satu pihak menyediakan harta tetap seperti tanah untuk yang lain dan berbagi hasil (output) kotor di antara keduanya atas dasar rasio yang disepakati. Model pembiayaan ini didasarkan atas muzara’ah dimana pemilik tanah menyediakan tanah (dan mungkin juga mesin) kepada petani. Dalam bagi hasil, tanah dana manajemen tidak dapat disediakan oleh pihak yang sama. Dalam model pembiayaan bagi hasil, wakaf menyediakan tanah dan harta tetap lainnya yang dimiliki wakaf. Sedang lembaga pembiayaan menyediakan biaya operasional dan manajemen. Lembaga pembiayaan dapat juga menyediakan sebagian atau seluruh mesin sepanjang tanah disediakan oleh pihak non-manajemen sesuai dengan 85 persyaratan muzara’ah. Model ini dengan demikian cocok untuk lembaga pembiayaan yang menghendaki mengambil tanggungjawab manajemen, sedang pengelola harta wakaf mengambil posisi sebagai mitra tidur. Ini menjadi salah satu dari model dimana manjemen secara eksklusif akan berada di tangan lembaga pembiayaan. 7. Model sewa berjangka penjang dan hukr Model ini merupakan salah satu manajemen yang berada di tangan lembaga pembiayaan yang menyewa harta wakaf untuk periode jangka panjang. Penyedia dana mengambil tanggung jawab konstruksi dan manajemen serta membayar sewa secara periodik kepada pengelola harta wakaf. Dalam sub model hukr, suatu ketentuan ditambahkan dalam kontrak atas dasar mana lembaga pembiayaan memberikan suatu pembayaran lump sum tunai sebagai tambahan dari membayar sewa secara periodik. Namun demikian, di bawah kondisi pasar yang adil, nilai total sekarang (total present value) dari hasil (return) kepada wakaf dalam hukr dan dalam sewa berjangka panjang harus kurang lebih sama. C. Manajemen Investasi Dana Pada zaman kejayaan Islam, wakaf sudah pernah mencapai kejayaan meski pengelolaannya masih sangat sederhana. Abad ke-8 dan ke-9 Hijriah dipandang sebagai jaman keemasan perkembangan wakaf. Pada saat itu wakaf meliputi berbagai benda, yakni masjid, mushalla, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, 86 bangunan kantor, gedung pertemuan dan perniagaan, bazaar, pasar, tempat pemandian, tempat pemangkas rambut, gedung beras, pabrik sabun, pabrik penetasan telur dan lain-lain. Dari data di atas jelas bahwa masjid, mushalla, dan sekolah hanyalah sebagian dari benda yang diwakafkan. Kebiasaan berwakaf tersebut diteruskan sampai sekarang di berbagai negara sesuai dengan perkembangan zaman, sehingga sepanjang sejarah Islam, wakaf telah berperan sangat penting dalam pengembangan kegiatankegiatan sosial ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam. Wakaf telah memfasilitasi sarjana dan mahasiswa dengan sarana dan prasarana yang memadai dan mereka bisa melakukan berbagai kegiatan riset dan menyelesaikan studi mereka. Cukup banyak program-program yang didanai dari hasil wakaf seperti penulisan buku, penerjemahan dan kegiatan-kegiatan ilmiah dalam berbagai bidang, termasuk bidang kesehatan. Dilihat dari segi bentuknya, wakaf tampak tidak terbatas pada benda tidak bergerak, tetapi juga benda bergerak.10 Di beberapa negara, seperti Mesir, Yordania, Saudi Arabia, dan Turki, wakaf selain berupa sarana dan pra sarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate, dan lainnya yang semuanya dikelola secara produktif. Dengan demikian 10 Bandingkan misalnya dengan nagara-negara seperti Mesir, Turki, Bangladesh dan sebagainya, lihat, Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih Wakaf, hal 86. 87 hasilnya benar-benar dapat dipergunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat. Di Turki, pengelolaan wakaf tidak hanya dikelola oleh mutawalli, tapi juga oleh lembaga Direktorat Jenderal Wakaf. Direktorat Jenderal Wakaf tidak hanya mengelola wakaf tapi juga memberikan supervisi dan kontrol (auditing) terhadap wakaf yang dikelola oleh mutawalli. Sedangkan sebuah lembaga yang memobilisasi sumber-sumber wakaf untuk membiayai bermacam-macam jenis proyek joint venture adalah Waqf Bank & Finance Corporation. Mesir juga sudah mengelola potensi wakafnya secara produktif. Awalnya, harta wakaf di Mesir juga tidak teratur. Untuk menertibkan hal itu, pemerintah Mesir menempuh langkah menertibkan tanah wakaf dan harta wakaf lainnya, dengan menjaga dan mengawasi serta mengarahkan harta wakaf untuk tujuan-tujuan kebaikan sesuai dengan garis Undang-undang. Pada awalnya, persoalan wakaf ini ditangani oleh sebuah departemen. Namun masalahmasalah terus bermunculan. Sampai pada tahun 1971 dibentuk sebuah Badan Wakaf yang khusus menangani masalah wakaf dan pengembangannya.11 Sesuai dengan Qanun No. 80/1971, Badan wakaf ini bertugas untuk mengusut dan melaksanakan semua perdistribusian, serta semua kegiatan-kegiatan perwakafan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Badan ini selain menguasai pengelolaan wakaf juga diberi kewenangan untuk membelanjakan wakaf dengan sebaik-baiknya. Misalnya, mendistribusikan hasil wakaf setiap bulan dengan diikuti kegiatan di cabang, membangun dan 11 88 Ibid., hal. 87 mengembangkan lembaga wakaf, membuat perencanaan dan melakukan evaluasi akhir dan membuat laporan dan menginformasikannya kepada masyarakat.12 Sejauh ini, ada berbagai macam harta yang telah dikelola Badan Wakaf. Antara lain harta yang dikhususkan pemerintah untuk anggaran umum, barang yang menjadi jaminan utang, hibah, wasiat, dan sedekah, dokumen, uang/harta yang harus dibelanjakan dan benda lain yang berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan harta wakaf. Badan Wakafpun menerapkan beberapa kebijakan. Pertama, menitipkan hasil harta wakaf di bank Islam agar dapat berkembang. Kedua, melalui Wizaratu Auqaf, Badan Wakaf berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam dan mengadakan kerjasama dengan beberapa perusahaan. Ketiga, memanfaatkan tanah-tanah kosong untuk dikelola secara produktif dengan cara mendirikan lembaga-kembaga perekonomian bekerjasama dengan berbagai perusahaan. Keempat, membeli saham dan obligasi perusahaanperusahaan penting. Di Bangladesh lain lagi kondisinya. Negeri miskin ini sesungguhnya memiliki kesamaan kondisi dengan Indonesia. Dalam beberapa kasus, penghasilan dari banyak harta wakaf yang kecil-kecil dan tersebar, amat tidak mencukupi untuk memelihara harta wakaf itu sendiri. Dengan kata lain, harta wakaf di bawah kekuasaan nazhirnazhir tradisional justru menjadi beban umat karena tidak menghasilkan apa-apa. Apalagi wakaf yang dikelola oleh perseorangan yang kurang bertanggungjawab. Kondisi ini kemudian melatarbelakangi dilakukannya reformasi dalam 12 Ibid,. 89 manajemen dan administrasi harta wakaf di negeri tersebut.13 Kemudian dibentuklah lembaga non pemerintah yang menjadi solusi dalam menangani kemiskinan, yaitu Sosial Investment Bank Limited (SIBL). Bank ini menjadi alternatif peningkatan pendapatan bagi jutaan warga miskin, di samping merupakan pilihan yang menguntungkan warga yang kaya untuk investasi, mendapatkan bagi hasil dan hidup dalam lingkungan warga yang lebih baik, aman, dan damai. Caranya adalah SIBL mengintrodusir Sertifikat Wakaf Tunai, sebuah produk baru dalam sejarah perbankan sektor voluntary. Di Dhaka, SIBL membuka peluang untuk membuka rekening deposito wakaf tunai dengan tujuan berbagai sasaran penting jangka panjang. SIBL juga menetapkan sasaran pemanfaatan dana hasil pengelolaan wakaf tunai dengan rigid. Antara lain, peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang cacat, peningkatan standar hidup penduduk hunian kumuh, membantu pendidikan anak yatim piatu, beasiswa, pengembangan pendidikan modern, pengembangan sekolah, kursus-kursus, akademi hingga universitas. Lalu, mendanai riset, mendirikan rumah sakit dan bank darah, menyelesaikan masalah sosial non muslim, membantu proyek penciptaan lapangan kerja dan menghapus kemiskinan. SIBL juga membuka penukaran tabungan orang-orang kaya dengan Cash Waqf Certificate.14 13 14 90 Ibid., hal. 89 Ibid., hal. 90 Namun sayang, cerita kegemilangan pengelolaan harta wakaf di negara-negara muslim ternyata belum terjadi di Indonesia. Padahal kalau dilihat dari jumlahnya, harta wakaf di seluruh tanah air terbilang cukup besar. Sebagian besar wakaf itu berupa atau digunakan untuk rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, pekuburan dan lain-lain yang rata-rata tidak produktif. Karena itu, keberadaan wakaf di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian khusus, karena wakaf yang ada selama ini umumnya berbentuk benda yang tidak bergerak yang sesungguhnya mempunyai potensi yang cukup besar seperti tanah-tanah produktif yang strategis untuk dikelola secara produktif. Harta wakaf tersebut harus dikelola dan diberdayakan dengan manajemen yang baik dan modern. Pemberdayaan harta wakaf ini mutlak diperlukan dalam rangka menjalin kekuatan ekonomi umat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak. Tentu saja pemberdayaan ini membutuhkan kerja sama dari semua pihak, khususnya dunia perbankan yang mempunyai kekuatan dana untuk memberikan pinjaman atau lembaga-lembaga pihak ketiga lainnya yang tertarik dengan pengembangan wakaf. Kerja sama kemitraan ini memerlukan dukungan dan komitmen oleh semua pihak seperti pemerintah, ulama’, kaum profesional, cendekiawan, pengusaha, perbankan dan sebagainya sehingga potensi wakaf akan mempunyai peranan yang cukup penting dalam tatanan ekonomi nasional. 91 D. Perluasan Pemanfaatan Dana Dalam Islam, wakaf sering disebut sebagai sumber aset yang memberi kemanfaatan sepanjang masa. Namun, pengumpulan, pengelolaan dan pendayagunaan harta wakaf produktif di tanah air kita masih sedikit dan ketinggalan dibanding negara lain. Begitupun studi perwakafan di tanah air kita yang masih terfokus pada segi hukum fikih (mu’amalah) dan belum menyentuh manajemen perwakafan. Padahal, semestinya wakaf bisa dijadikan sebagai sumber dana dan aset ekonomi yang senantiasa dapat dikelola secara produktif dan memberi hasil kepada masyarakat. Sehingga dengan demikian harta wakaf benarbenar menjadi sumber dana dari masyarakat untuk masyarakat.15 Di negara lain telah lama tumbuh lembaga perwakafan yang mapan. Bahkan masalah perwakafan diatur dengan peraturan perundang-undangan. Di Indonesia baru ada Peraturan Pemerintah RI No 28 Tahun 1977 yang mengatur tentang perwakafan tanah milik dan sekarang kita telah memiliki undang-undang khusus wakaf, yaitu Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf16. Sebab itu, dapat dikatakan bahwa sampai saat ini potensi wakaf sebagai sarana berbuat kebajikan bagi 15 Drs. H. Tulus, Manajemen Kelembagaan Wakaf, makalah dipresentasikan pada Workshop Internasional tentang “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif “, yang dilaksanakan oleh The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Batam, 7 Januari 2002. 16 Bandingkan misalnya dengan nagara-negara seperti Mesir, Turki, Bangladesh dan sebagainya, lihat, Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Fiqih Wakaf, hal 86-90. 92 kepentingan masyarakat belum dikelola dan diberdayakan secara maksimal dalam ruang lingkup nasional. Padahal, jika potensi wakaf ini diatur dan dikembangkan dengan baik, akan membawa dampak yang begitu besar dalam masyarakat. Beban persoalan sosial yang dihadapi bangsa kita sekarang ini dan di masa mendatang akan terpecahkan secara mendasar dan menyeluruh melalui sistem pengumpulan, pengelolaan, dan pemberdayaan harta wakaf dalam ruang lingkup nasional. Menurut data Departemen Agama Republik Indonesiaterajhir terdapat jumlah tanah wakaf di Indonesia sebanyak 403.845 lokasi dengan luas 1.566.672.406 M2. Apabila jumlah tanah wakaf ini dihubungkan dengan negara yang saat ini sedang menghadapi berbagai krisis khususnya krisis ekonomi, sebenarnya wakaf merupakan salah satu lembaga Islam yang sangat potensial untuk lebih dikembangkan guna membantu masyarakat yang kurang mampu. Sayangnya, wakaf yang jumlahnya begitu banyak, umumnyadigunakan secara konsumtif dan belum dikelola secara produktif. Dengan demikian, lembaga wakaf di Indonesia belum terasa manfaatnya secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan data yang ada dalam masyarakat, pada umumnya, wakaf di Indonesia digunakan untuk masjid, mushalla, sekolah, rumah yatim piatu, makam dan sedikit sekali tanah wakaf yang dikelola secara produktif dalam bentuk suatu usaha yang hasilnya dapat dimanfaatkan bagi pihak-pihak yang memerlukan termasuk fakir miskin. Pemanfaatan tersebut dinilai dari segi sosial khususnya untuk kepentingan keagamaan memang efektif. Tapi 93 dampaknya kurang berpengaruh dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Apabila peruntukan wakaf hanya terbatas pada hal-hal di atas tanpa diimbangi dengan wakaf yang dapat dikelola secara produktif, maka kesejahteraan sosial masyarakat yang diharapkan tidak akan dapat terealisasi secara optimal. Dalam kondisi ekonomi yang memprihatinkan ini, sesungguhnya peranan wakaf, di samping instrumeninstrumen ekonomi Islam lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah dan lain-lainnya dapat dirasakan manfaatnya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat khususnya di bidang ekonomi dengan syarat dikelola sebagaimana mestinya. Peruntukan wakaf di Indonesia yang kurang mengarah kepada pemberdayaan ekonomi umat dan cenderung hanya untuk kepentingan-kepentingan kegiatan ibadah khusus dapat dimaklumi. Karena memang, pada umumnya, ada keterbatasan umat Islam akan pemahaman wakaf baik mengenai harta yang diwakafkan, peruntukan wakaf maupun nazhir wakaf. Pada umumnya umat Islam di Indonesia memahami bahwa peruntukan wakaf hanya terbatas untuk kepentingan peribadatan dan hal-hal yang lazim dilaksanakan di Indonesia seperti untuk masjid, mushalla, sekolah, makam dan sebagainya.17 Agar wakaf di Indonesia dapat memberikan kesejahteraan sosial bagi masyarkat, maka diperlukan pengelolaan wakaf secara optimal oleh para nazhir. Untuk mendorong atau mengoptimalkan wakaf oleh para nazhir perlu ada suatu badan wakaf yang berskala nasional yang berfungsi antara lain memberikan pertimbangan 17 94 Ibid., pengelolaan wakaf. Di samping itu juga badan wakaf tersebut berfungsi sebagai nazhir untuk pengelola wakaf produktif atau wakaf uang. Di sinilah pengelolaan dana wakaf sebagai instrumen investasi bisa menjadi alternatif kebuntuan pengelolaan harta wakaf. Artinya pemanfaatan yang selama ini terkesan ‘jalan di tempat’ bisa diterobos. Pengelolaan model ini cukup menarik karena benefit atas investasi tersebut akan dapat dinikmati oleh masyarakat di mana saja. Hal ini dimungkinkan karena benefit atas investasi tersebut berupa cash yang dapat ditransfer ke beneficiary manapun di seluruh dunia. Sementara investasi atas dana wakaf tersebut dapat dilakukan di manapun tanpa batas negara, mengingat sifat wakaf tunai yang dapat diinvestasikan di negara manapun. 18 Hal inilah yang diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara masyarakat “kaya” dengan masyarakat “miskin”, karena diharapkan terjadi transfer kekayaan (dalam bentuk keuntungan investasi) dari masyarakat kaya kepada masyarakat miskin. Proses ini dapat menjadi efek bola salju ketika benefit atas dana wakaf bisa diinvestasikan kembali dan seterusnya. Selain itu, wakaf model ini dapat memperluas jangkauan pemberi wakaf dan peningkatan produktifitas harta wakaf dengan penjelasan sebagai berikut:19 18 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, hal. 108 19 Ibid., hal. 109 95 1. 2. Wakaf dalam bentuk fixed asset hanya dapat diberikan oleh mereka yang tergolong masyarakat yang mempunyai asset yang berlebih, sehingga kelebihan tersebut dapat diwakafkan. Sedangkan untuk masyarakat yang tidak mempunyai asset berlebih tentunya akan menghadapi kendala untuk melakukan wakaf dalam bentuk fixed asset. Masyarakat tersebut dapat memberikan wakaf dalam bentuk uang tunai, dimana uang tersebut dapat dikumpulkan. Terlebih dahulu oleh seorang pengelola untuk kemudian diinvestasikan, dan benefit atas investasi tersebut dapat didistribusikan kepada benificiary. Wakaf tunai dapat digunakan untuk memproduktifkan asset-asset wakaf yang sekarang tersebar di banyak negeri kaum muslimin. Sebagai contoh di Bangladesh terdapat 150.593 aset wakaf. Dengan demikian, wakaf tunai dapat digunakan sebagai sarana untuk memotivasi dana masyarakat dengan jangkauan lapisan masyarakat yang lebih luas ke dalam bentuk modal investasi produktif dan dapat digunakan untuk memproduktifkan asset wakaf yahg sudah ada. Ke depan, sangat penting untuk memberdayakan wakaf, baik wakaf benda bergerak maupun benda tidak bergerak agar dapat meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumya serta meningkatkan perkembangan Islam di Indonesia. Untuk mencapai sasaran tersebut, perlu adanya paradigma baru antara lain perlu pengembangan wakaf 96 benda bergerak termasuk wakaf uang dan saham. Pengeloalan wakaf dalam bentuk benda bergerak termasuk wakaf uang dan saham dilakukan oleh suatu badan tersendiri. Wakaf benda bergerak itu kemudian dikembangkan melalui lembaga-lembaga perbankan atau badan usaha dalam bentuk investasi. Hasil dari pengembangan wakaf itu kemudian dipergunakan untuk keperluan sosial, seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat, dan bantuan atau pengembangan sarana dan prasarana ibadah. Di samping itu, tidak menutup kemungkinan dipergunakan untuk membantu pihak-pihak yang memerlukan seperti bantuan pendidikan, bantuan penelitian, dan lain-lain. Sementara itu, wakaf yang ada dan sudah berjalan di kalangan masyarakat dalam bentuk wakaf tanah milik, perlu dilakukan pengamanan dan dalam hal benda wakaf yang mempunyai nilai produktif perlu didorong untuk dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Badan wakaf itu dapat membantu baik dalam pembiayaan maupun pembinaan para nazhir untuk dapat melakukan pengelolaan wakaf produktif 97 Bagian Keempat WAKAF TUNAI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM Dalam catatan sejarah Islam, wakaf tunai (cash waqf) ternyata sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah. Sebagaimana dijelaskan oleh M Syafii Antonio yang mengutip hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, dijelaskan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadits (tadwin al-hadits) memfatwakan, dianjurkannya wakaf dinar dan dirham untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf.1 Dari sini kemudian muncullah berbagai analisis tentang pentingnya wakaf tunai yang dewasa ini digalakkan di beberapa negara Islam di dunia. Paling tidak –masih menurut Syafii- ada empat manfaat utama dari wakaf uang dewasa ini. Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas pun bisa memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi tuan tanah (hartawan) terlebih dahulu. Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanahtanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya terkadang kembang-kempis dan menggaji civitas akademika 1 M Syafii Antonio, Republika. Senin, 04 Februari 2002 101 ala kadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas.2 Lebih jauh, Syafii mencoba untuk mengilustrasikan betapa pentingnya penggunaan wakaf tunai. Dalam dunia pendidikan misalnya, ia melihat adanya tiga filosofi dasar yang harus ditekankan ketika kita hendak menerapkan prinsip wakaf tunai dalam dunia pendidikan. Pertama, alokasi cash waqf harus dilihat dalam bingkai ''proyek yang terintegrasi'', bukan bagian-bagian dari biaya yang terpisah pisah. Contohnya adalah anggapan dana wakaf akan ''habis'' bila dipakai untuk membayar gaji guru atau upah bangunan, sementara wakaf harus ''abadi''. Dengan bingkai proyek, sesungguhnya, dana wakaf akan dialokasikan untuk program-program pendidikan dengan segala macam biaya yang terangkum di dalamnya. Kedua, asas kesejahteraan nazhir. Sudah terlalu lama nazhir sering kali diposisikan kerja asal-asalan alias lillahi ta'ala (dalam pengertian sisa-sisa waktu dan bukan perhatian utama) dan wajib ''berpuasa''. Sebagai akibatnya, sering kali kinerja nazhir asal-asalan juga. Sudah saatnya, kita menjadikan nazhir sebagai profesi yang memberikan harapan kepada lulusan terbaik umat dan profesi yang memberikan kesejahteraan, bukan saja di akhirat, tetapi juga di dunia. Di Turki, misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5 persen dari net income wakaf. Angka yang sama juga diterima Kantor 2 102 Ibid. Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The Central Waqf Council India mendapatkan sekitar 6 persen dari net income pengelolaan dana wakaf. Ketiga, asas transparansi (accountability) di mana badan wakaf dan lembaga yang dibantunya harus melaporkan setiap tahun akan proses pengelolaan dana kepada umat dalam bentuk audited financial report (laporan keuangan yang sudah diaudit) termasuk kewajaran dari masing-masing pos biayanya.3 Melihat kecenderungan yang begitu potensial, dan terutama dengan melihat perkembangan pengelolaan wakaf tunai yang ada di negara-negara lain, maka kesempatan yang sama juga sebenarnya bisa diberlakukan di Indonesia. Karena di beberapa negara lain yang notabene berpenduduk mayoritas muslim, wakaf dikembangkan sebagai salah satu alternatif dan instrumen yang cukup memadai untuk menyejahterakan kehidupan umat. Harus diakui pula bahwa secara konseptual dan praktis, penggunaan kata-kata wakaf sampai saat ini cenderung masih dipahami sebagai pemberian sesuatu yang berbentuk benda-benda tidak bergerak, seperti lahan tanah atau bangunan. Pemahaman dan praktik semacam ini telah berlangsung sekian lama, bahkan wakaf yang sudah mulai dikelola oleh negara seperti pada empirium Ottoman (Usmani 1516-1918) pun masih terbatas pada bentuk benda-benda tidak bergerak.4 Sementara bentuk lain dari wakaf yang berupa tunai, 3 Ibid. Michael Dumper, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, (Jakarta: Lentera, 1999), h.1 4 103 seperti investasi belum banyak dikenal di kalangan masyarakat muslim. Seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang cenderung berhadapan dengan kehidupan global, maka hal-hal spesifik pengembangan ekonomi yang menyejahterakan umat menjadi lirikan baru. Dalam Islam, pemberdayaan ekonomi bukan hanya bisa dilakukan melalui zakat, infak, atau shadaqah, melainkan perbankan Syari’ah dan wakaf dinilai sebagai alternatif yang cukup memadai. Pada sekitar abad 19, di beberapa negara muslim seperti Aljazair, misalnya, reformasi pengelolaan wakaf ini dibuktikan dalam bentuk sumbangan tanah sekitar 1/2 dari luas tanah produktif. Pada tahun 1883, Tunisia mengelola wakaf tanah yang mencapai jumlah 1/3, di Turki (1928) mencapai 3/4, di Mesir (1935) mencapai 1/7, dan Iran (1930) mencapai 15%. Akumulasi pemilikan tanah wakaf yang begitu luas telah mendorong beberapa negara melakukan reformasi. Sebagai perbandingan, ternyata bukan hanya negaranegara muslim saja yang telah begitu piawai dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf, Sri Langka, sebuah negara yang notabene bukan tergolong negara muslim, mulai mendirikan lembaga wakaf sejak Islam masuk dan berkembang di negara tersebut. Pada tahun 1801, pemerintah kolonial Inggris mengeluarkan peraturan berkenaan dengan lembaga-lembaga Islam di negara itu. melalui Muhammadan Code 1806, peraturan berupa undang-undang untuk umat Islam dibakukan yang didasarkan pada fiqih Syafii. Lalu pada tahun 1931, pemerintah Sri Langka mengeluarkan Ordonansi Wakaf 104 dan Waris No 31/1931. Menurut ordonansi itu, pengadilan distrik merupakan pengawas perwalian wakaf. Hanya saja, secara de facto, ordonansi itu tidak bisa dilaksanakan karena terdapat banyak hal dalam konsep wakaf yang bertentangan dengan hukum Romawi-Belanda yang sudah diberlakukan lebih dahulu di pengadilan distrik Sri Langka. Benturan antara ordonansi wakaf-waris dengan hukum Romawi-Belanda itu pada akhirnya mampu diatasi berkat perjuangan kaum intelektual muslim di sana. Atas desakan berbagai pihak, pemerintah mengeluarkan UU Wakaf No 51/1956 yang kurang lebih menjelaskan tentang dibentuknya Badan Wakaf yang bertugas mengawasi dan menyelesaikan masalah-masalah wakaf. Perjuangan tidak hanya berhenti di situ, celah-celah (kelemahan) dalam UU itu bisa teratasi setelah dibentuk Kementrian Agama pada 1977. Setelah ada kementrian, barulah dibuat amandemen UU Wakaf dengan peraturan No 33/1982 yang memberi payung hukum bagi pembentukan Pengadilan Syari’ah, suatu pengadilan yang di antaranya menangani masalah wakaf. Setelah itu, dibentuklah Badan Pertimbangan Wakaf yang berwenang memeriksa masalah-masalah wakaf dan mengawasi perwalian wakaf. Fenomena wakaf yang ada di Srilangka dalam beberapa hal memang banyak kemiripannya dengan yang di Indonesia, yaitu banyaknya praktik wakaf yang terbatas pada tanah, bangunan, dan juga kuburan. Secara historis, anjuran dan misi wakaf untuk menciptakan kesejahteraan sosial sebenarnya telah dicontohkan di zaman kejayaan Islam di masa lalu. Di masa 105 Dinasti Abbasiyah, wakaf telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga menjadi sumber pendapatan negara. Ketika itu, wakaf yang pada awalnya meliputi berbagai aset semacam masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan, tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dan lain-lain pada akhirnya bisa diambil manfaatnya sebagai isntrumen pendapatan negara. Kebiasaan di masa Dinasti Abbasiyah itu diteruskan sampai sekarang di beberapa negara Islam sesuai dengan perkembangan zaman. Di negara seperti Malaysia, Saudi Arabia, Mesir, Turki, dan Yordania, lembaga wakaf berkembang sangat maju dan mampu memberi manfaat yang besar, bukan hanya untuk umat di negeri itu, melainkan juga umat di negeri lain karena ternyata ia mampu menjadi sarana pemberdayaan ekonomi yang cukup memadai bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat, seperti pengembangan kegiatan dalam memajukan kebudayaan Islam, pemberian beasiswa, pembiayaan terhadap berbagai kegiatan penelitian, penyediaan fasilitas kesehatan, dan lain-lain. Khususnya di negara-negara tersebut, wakaf tidak hanya berupa tanah atau bangunan, tetapi juga berupa investasi saham, uang, real estate, tanah pertanian, flat, tempat ibadah, dan pendidikan yang kesemuanya dikelola dengan baik dan produktif, sehingga hasilnya dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan umat. A. Arab Saudi 106 Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi Majelis Tinggi Wakaf dengan ketetapan No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan Surat Keputusan Kerajaan No. M/35, tanggal 18 Rajab 1386. Majelis Tinggi Wakaf diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf, yakni Menteri yang mengawasi wakaf dan menguasai permasalahan-permasalahan perwakafan sebelum dibentuk Majelis Tinggi Wakaf. Adapun anggota Majelis Tinggi Wakaf terdiri atas wakil Kementerian Haji dan Wakaf, ahli hukum Islam dari Kementerian Kehakiman, wakil dari Kementerian (Departemen) Keuangan dan Ekonomi, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari kalangan cendekiawan dan wartawan. Majelis Tinggi Wakaf mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan menentukan langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan wakif dan manajemen wakaf. Di samping itu Majelis Tinggi Wakaf juga mempunyai beberapa wewenang, antara lain: (1) melakukan pendataan wakaf serta menentukan cara-cara pengelolaannya; (2) menentukan langkah-langkah umum untuk penanaman modal, pengembangan dan peningkatan harta wakaf; (3) mengetahui kondisi semua wakaf yang ada. Langkah ini dilakukan untuk menguatkan kedudukannya sebagai lembaga yang menguasai permasalahan wakaf serta untuk mencari jalan pemecahannya; (4) membelanjakan harta wakaf untuk kebajikan menurut syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh wakif dan sesuai dengan Syari’at Islam; (5) menetapkan anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan 107 mendistribusikan hasil pengembangan harta wakaf tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu; (6) mengembangkan wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah. Wakaf yang ada di Saudi Arabia bentuknya bermacammacam seperti hotel, tanah, bangunan (rumah) untuk penduduk, toko, kebun, dan tempat ibadah. Dari macammacam harta wakaf tersebut ada yang diwakafkan untuk dua kota suci yakni kota Makkah dan Madinah. Pemanfaatan hasil wakaf yang utama adalah untuk memperbaiki dan membangun wakaf yang ada agar wakaf tersebut kekal dengan tetap melaksanakan syarat-syarat yang diajukan oleh wakif. Sebagai salah satu negara dengan penghasilan aset ekonomi yang melimpah diiringi dengan komitmen untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam, Arab Saudi tergolong yang sangat serius menangani wakaf, di antaranya dengan membantuk Kementrian Haji dan Wakaf. Lembaga (departemen) ini berkewajiban mengembangkan dan mengarahkan wakaf sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan waqif. Untuk mengawal kebijakan perwakafan, pemerintah membentuk Majelis Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri Haji dan Wakaf dengan anggota terdiri atas ahli hukum Islam dari Kementrian Kehakiman, wakil dari Kementrian Ekonomi dan Keuangan, Direktur Kepurbakalaan serta tiga anggota dari cendekiawan dan wartawan. Yang menarik adalah bahwa bentuk wakaf di negara air zam-zam ini bentuknya macam-macam. Ada yang 108 berbentuk hotel, bangunan untuk penduduk, toko, kebun, dan tempat ibadah. Dan di antara wakaf-wakaf itu pula, terdapat ketentuan khusus yang diwakafkan untuk kebutuhan kota suci Mekah dan Madinah. Dengan pengertian lain, bahwa segala manfaat yang diperoleh dari wakaf itu, diperuntukkan bagi pembangunan kedua kota suci itu seperti membangun perumahan penduduk, membangun sejumlah hotel di seputar Masjidil Haram, dan fasilitas lain yang diniatkan untuk melayani kebutuhan jamaah haji. B. Mesir Di negeri ini wakaf telah berkembang dengan menakjubkan karena memang dikelola secara profesional. Pada awalnya, Hakim Mesir di zaman Hisyam bin Abd Malik yang bernama Taubah bin Namirlah yang pertama kali melakukan wakaf yang pada waktu itu berupa tanah untuk bendungan.5 Lalu, beberapa puluh tahun kemudian, wakaf ditangani oleh salah satu departemen dalam pemerintahan. Meski begitu masih juga ada masalah yang muncul dalam pengelolannya, sehingga pemerintah Mesir terus melakukan pengkajian untuk mengembangkan pengelolaan wakaf, dengan tetap berlandaskan pada Syari’ah Islam. Mulanya, masih terdapat bentuk wakaf yang dilakukan oleh dan untuk keluarga atau bahkan pribadi. Tetapi pada tahun 1946 pemerintah Mesir mengeluarkan undangundang yang mengatur dan menegaskan bahwa semua Wakaf Keluarga diubah bersifat sementara. Baru kemudian 5 M Abu Zahra, Muhadharah fi al-Waqfi, (tpn: 1959), h. 11 109 pada tahun 1952, sebuah peraturan baru diluncurkan yang mengatur tentang tidak diperbolehkannya Wakaf Pribadi (wakaf ahli) kecuali untuk tujuan-tujuan derma. Sampai akhirnya pada tahun 1971 pemerintah Mesir membentuk Badan Wakaf yang bertugas melakukan kerjasama dalam memeriksa tujuan peraturan-peraturan dan programprogram pengembangan wakaf. Badan ini juga bertugas mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian wakaf serta semua kegiatan perwakafan agar sesuai dengan tujuantujuan yang telah ditetapkan. Badan ini juga menguasai pengelolaan wakaf dan memiliki wewenang untuk membelanjakan dengan sebaik-baiknya. Untuk mengembangkan dan mengelola harta wakaf secara lebih efektif, Badan Wakaf menitipkan hasil harta wakaf di bank-bank Islam. Di samping itu, Badan Wakaf juga berpartisipasi dalam mendirikan bank-bank Islam, bekerjasama dengan sejumlah perusahaan, membeli saham dan obligasi perusahaan penting dan memanfaatkan lahanlahan kosong agar menjadi produktif sehingga pengembangan wakaf yang dikelola secara profesional sangat bermanfaat untuk membantu kehidupan para kaum dhuafa, fakir-miskin, bahkan sampai penyediaan fasilitas kesehataan berupa rumah sakit dan obat-obatan. Memang, di Mesir sepertinya tidak terlalu mendikotomikan antara wakaf tunai dengan wakaf reguler. Karena Badan Wakaf berwenang untuk mengelola dan mengembangkan keduanya. Tetapi, jika ditilik dari beberapa bentuk wakaf yang dilaksanakan seperti pembolehan kredit bank sebagai subjek wakaf, ini 110 menunjukkan bahwa Mesir memiliki concern yang cukup tinggi dalam pengembangan wakaf tunai. C. Turki Lain lagi apa yang telah berkembang di Turki. Negara yang saat ini dianggap sebagai negara Islam sekular karena beberapa praktik kehidupan masyarakatnya yang lebih dekat dengan Barat ini memiliki sejarah panjang dalam pengelolaan wakaf, yang kalau dirunut sejarahnya dimulai sejak masa Utsmaniyah. “Pada tahun 1925 saja, harta wakafnya mencapai ¾ dari luas lahan produktif di Turki” ujar Mustafa Edwin Nasution, ketua Program Studi Timur Tengah dan Islam, Universitas Indonesia. Pusat Administrasi Wakaf juga berkembang dengan baik. Kini untuk memobilisasi sumber-sumber wakaf dan membiayai bermacam-macam jenis proyek joint-venture telah didirikan Waqf Bank & Finance Corporation. Sebagaimana disinggung pada bab sebelumnya bahwa pengelolaan wakaf di Turki juga dikelola oleh Direktorat Jenderal Wakaf. Sejauh ini ada dua pelayanan yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Wakaf, yaitu pelayanan kesehatan dan pelayanan pendidikan dan sosial. Pelayanan kesehatan diberikan melalui wakaf-wakaf rumah sakit. Peran Dirjen Wakaf di Turki begitu besar dalam pengelolaan wakaf dengan terus mengembangkan harta wakaf secara produktif melalui upaya komersial dan hasilnya untuk kepentingan sosial. Upaya komersial Dirjen Wakaf Turki terhadap harta wakaf adalah dengan melakukan kerjasama dan investasi di berbagai lembaga, antara lain Yvalik and Aydem Olive oil Corporation, 111 Tasdelen Healthy Water Corporation, Auqaf Guraba Hospital, Taksim Hotel (Sheraton), Turkish Is Bank, Ayden Textile Industry dan lain-lain. D. Bangladesh Di samping terkenal sebagai negara miskin, Bangladesh juga merupakan negara terbelakang dengan jumlah penduduk yang besar, yaitu sekitar 120 juta jiwa dengan luas daerah 55.000 mil persegi. Selain itu, kondisi alam yang seringkali kurang menguntungkan karena negara ini termasuk sering tertimpa bencana seperti banjir dan angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh juga cukup padat, yaitu 717 orang per km persegi dan juga termasuk salah satu dari negara yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas. Berbagai dimensi kemiskinan ini antara lain tercermin dari penurunan pendapatan riil sektor pertanian, ketidakmerataan distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan masyarakat perkotaan, perbedaan gaji antarsektor formal dan informal, peningkatan dramatis dalam biaya hidup, mencuatnya beberapa masalah pemenuhan kesehatan masyarakat, pengangguran, dan migrasi internal. Mungkin jika ditilik dari kehidupan ketatanegaraan, Bangladesh sebenarnya hanya membutuhkan manajemen SDM yang lebih baik, agar kehidupan masyarakatnya lebih makmur. Terlepas dari fenomena kehidupan masyarakat yang relatif miskin dan serba kekurangan, di bidang yang lain, terutama dalam pengamalan ajaran keagamaan, masyarakat Bangladesh bisa dianggap begitu antusias dalam hal praktik ajaran keagamaan. Dalam hal yang berkaitan dengan 112 pemahaman ajaran agama dan kebutuhan peningkatan ekonomi, masyarakat Bangladesh sepertinya sadar bahwa mereka membutuhkan alternatif pengembangan ekonomi masyarakat yang berbasis Syari’ah. Dan wakaf tunai, selain juga wakaf regular menjadi sarana pendukung kesejahteraan ekonomi masyarakat. Di Bangladesh wakaf telah dikelola oleh Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Bank ini telah mengembangkan Pasar Modal Sosial (the Voluntary Capital Market). Instrumen-instrumen keuangan Islam yang telah dikembangkan, antara lain: surat obligasi pembangunan perangkat wakaf (Waqf Properties Development Bond), sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Deposit Certificate),6 sertifikat wakaf keluarga (Family Waqf Cetificate), obligasi pembangunan perangkat masjid (Mosque Properties Development Bond), saham komunitas masjid (Mosque Community Share), Quard-e-Hasana Certificate, sertifikat pembayaran zakat (Zakat/Ushar Payment Certificate), 6 Prof. Manan, pakar ekonomi Islam asal Bangladesh mengemukakan bahwa sertifikat wakaf tunai Cash Waqf Certificate (SWT) merupakan upaya inovasi finansial di bidang perwakafan. Bila langkah ini berhasil dijalankan dengan baik, akan mampu memberikan manfaat untuk kesejahateraan umat. Contohnya adalah yang pernah dilakukan di Bangladesh, yang menuai kesuksesan besar. Wakaf Tunai membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari anggota masyarakat berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran SWT. Sedangkan pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan Wakaf Tunai dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda. Di antaranya untuk pemeliharaan harta wakaf sendiri serta pengeluaran lainnya. Jika ada organisasi Lembaga Wakaf yang dikelola secara profesional, maka akan menjadi lahan baru bagi Muslim kelas menengah untuk beramal. Dan itu berarti upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi kecil bukan lagi impian. Lihat www.republika.co.id, Jum’at, 22 Agustus 2003. 113 sertifikat simpanan haji (Hajj Saving Certificate), dan lainlain. Pada sistem fiskal yang kini berlaku di negara-negara muslim, khususnya di Bangladesh, perpajakan dititikberatkan pada Pajak Tidak Langsung yang sifatnya regresif, yaitu pajak yang menerapkan tarif yang semakin rendah dengan semakin tingginya jumlah penghasilan yang kena pajak. Di Bangladesh, terdapat kurang-lebih 85% dari total pendapatan pajak pada 1995-1996 berupa pajak tidak langsung. Sebagian besar pajak langsung dapat dikonversikan sebagai bentuk tanggung-jawab sosial melalui penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai. Sertifikat tersebut dapat menggantikan sebagian atau seluruh pajak penghasilan untuk pembiayaan pembangunan infrastruktur kemanusiaan dan sosial. Dalam konteks ini, Wakaf Tunai dapat dipandang sebagai bentuk gerakan pembangunan masyarakat dalam mengatasi masalah pendidikan, sosial, dan ekonomi. E. Yordania Secara administratif, pelaksanaan pengelolaan wakaf di Kerajaan Yordania didasarkan pada Undang-undang Wakaf Islam No. 25/1947. Dalam UU tersebut disebutkan bahwa yang termasuk dalam urusan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam adalah wakaf masjid, madrasah, lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat pendidikan, lembaga-lembaga Syari’ah, kuburan-kuburan Islam, urusan-urusan haji, dan urusan-urusan fatwa. UU wakaf yang mengatur tentang pengaturan wakaf tersebut kemudian diperkuat oleh Undang-Undang Wakaf No 114 26/1966. Dalam Pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa tujuan Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam antara lain adalah sebagai berikut: 1. Memelihara masjid dan harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusannya; 2. Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhammad SAW dengan mewujudkan pendidikan Islam; 3. Membakar semangat jihad dan menguatkan jiwa Islam serta meningkatkan kualitas keimanan; 4. Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkannya dalam kehidupan kaum Muslimin; 5. Menguatkan semangat Islam dan menggalakkan pendidikan agama dengan mendirikan lembagalembaga dan sekolah untuk menghafal Al-Qur’an; 6. Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan Islam, melahirkan kebudayaan baru Islam dan menumbuhkan kesadaran beragama.7 Secara teknis, Kementerian Wakaf membentuk Majelis Tinggi Wakaf yang diketuai oleh Menteri. Majelis Tinggi Wakaf menetapkan usulan-usulan yang ada di Kementerian yang berasal dari Direktur Keuangan, kemudian Menteri membawanya kepada Dewan Kabinet untuk mendapat pengesahan. Dalam menjalankan tugasnya, Kementerian Wakaf selalu bersandar pada Undang-Undang No. 26/1966. Hal ini mengingat bahwa di dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa yang berwenang mengelola 7 Dr Uswatun Hasanah, ‘Perwakafan di Yordania’, www.modalonline.com, 21 April 2004. 115 harta wakaf dan mengendalikannya adalah Kementerian Wakaf dan Urusan Agama Islam. Selain itu, Kementrian Wakaf juga harus bersandar pada peraturan-peraturan wakaf yang lain. Seperti UU Wakaf Islam No 25/1947 sebagaimana tersebut di atas. Kementerian Wakaf diberi wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf sesuai dengan rencana-rencana yang telah digariskan oleh Direktorat Keuangan. Pada tahun 1984, pendapatan yang dihasilkan dari pengembangan wakaf kurang lebih sebagai berikut: 1. Hasil sewa diperkirakan mencapai 680 ribu dinar Yordania; 2. Pendapatan yang berasal dari tempat-tempat suci mencapai 120 ribu dinar Yordania; 3. Pendapatan pabrik, rumah-rumah yatim dan industri di Yerusalem mencapai kurang lebih 80 ribu dinar Yordania; 4. Pendapatan lain yang bermacam-macam kira-kira mencapai 160 ribu dinar Yordania.8 Dari sekian pendapatan yang diperoleh, pada tahun 1984, terkumpullah sejumlah pendapatan dari pengembangan wakaf yang mencapai 1,030 juta dinar Yordania. Jumlah yang demikian tinggi ini memang tidak dengan mudah dan semena-mena dibelanjakan oleh Kementerian Wakaf. Sehingga untuk memudahkan alokasi pendapatan yang ada, pemerintah mendirikan Direktorat Pembangunan dan Pemeliharaan Wakaf Islam yang 8 116 Ibid. bertugas untuk memelihara, memperbaiki, dan membantu tugas-tugas kementrian wakaf. Selain itu, Direktorat baru ini pun mulai menjalankan beberapa proyek, di antaranya proyek-proyek yang dibangun cukup banyak dan meliputi wilayah Tepi Timur dan Tepi Barat. Adapun proyek yang dilaksanakan di Tepi Timur antara lain adalah pembangunan kantor-kantor wakaf di Amman dengan biaya 80.000 (delapan puluh ribu) dinar Yordania; pembangunan apartemen hunian di Amman dengan biaya 85 ribu dinar, dan beberapa proyek lainnya. Sedangkan proyek yang dilaksanakan di Tepi Barat antara lain adalah kantor-kantor, pertokoan, dan pusat perdagangan di tanah-tanah wakaf. Biaya pembangunan yang dilakukan baik di wilayah Tepi Barat maupun Tepi Timur tersebut diperkirakan menelan biaya 700 ribu dinar. Meskipun demikian, pelaksanaan proyek ini tetap saja membutuhkan lembaga khusus yang menangani masalah studi kelayakan terhadap rencana-rencana pengembangan tanah wakaf dengan tujuan agar proyek dapat berjalan dengan baik. Yang menarik adalah bahwa Wizarat al-Auqaf mampu ikut serta dalam meningkatkan peranan wanita dalam pembangunan. Kementerian Wakaf mengelola wakaf dengan mengutamakan perlengkapan administrasi wakaf yang memadai sesuai saran para ahli. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan Kementerian Wakaf mempergunakan berbagai cara. Adapun cara-cara pengembangan wakaf yang dilakukan Kementerian Wakaf antara lain adalah sebagai berikut: 1. Mengembangkan hasil harta wakaf itu sendiri; 117 2. 3. 4. Menyewakan tanah-tanah wakaf dalam waktu yang lama; Kementerian Wakaf meminjam uang kepada pemerintah untuk membangun proyek-proyek pembangunan tanah wakaf yang ada di kota Amman, Aqabah dan lain-lain; Menanami tanaman-tanaman di tanah pertanian.9 Dari sini semakin jelaslah bahwa wakaf yang dipraktikkan di Yordania maupun negara lain,10 meskipun sepintas lalu, masih menerapkan bentuk wakaf yang konvensional tetapi sesungguhnya pengembangannya sudah dilakukan sedemikian rupa sehingga mampu dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Hal ini tentu saja berbeda dengan yang terjadi di Indonesia dimana wakaf masih dipahami sebagai pemberian cuma-cuma harta benda berupa tanah dan bangunan. Jika melihat pengalaman negara lain, maka sebenarnya lembaga wakaf di Indonesia dapat difungsikan untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Usaha kecil kaum muslimin bisa dikembangkan dengan dana wakaf. Begitu 9 Ibid. Ketua Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Jawa Barat, Uce K Suganda menjelaskan bahwa di Amerika Serikat, negara yang sering bersitegang dengan negara-negara muslim, wakaf telah dikelola secara profesional oleh lembaga keuangan yang bonafid. Di sana lembaga yang mengelola wakaf adalah the Kuwait Awqaf Public Foundation (KAPF) yang bermarkas di New York, dengan Al Manzil Islamic financial Services sebagai advisornya. Berkat kerjasama KAPF dengan AL Manzil ini pula misalnya, telah berhasil dibangun satu apartemen senilai US$85 juta di atas tanah yang dikuasai the Islamic Cultural Center of New York. Lihat www.republika.co.id, Jum’at, 14 Mei 2004. 10 118 pula pemeliharaan masjid dan sekolah juga bisa menggunakan dana dari pengembangan wakaf. Dan khusus untuk wakaf tunai, salah satu tujuan yang ingin diperoleh melalui jalur ini adalah tiadanya lagi pembatasan bagi siapapun yang ingin menginfakkan sebagian hartanya hanya melalui bentuk-bentuk yang kaku. Dengan pengertian lain, bagi siapapun yang ingin mewakafkan hartanya tidak lagi terpaku pada ketentuan yang menitikberatkan pada wakaf berupa tanah dan bangunan karena dengan cara tunai (cash), pembelanjaan harta pun bisa dilakukan. Selain lebih memudahkan, secara Syari’ahpun wakaf tunai ternyata sangat dianjurkan dan memperoleh legitimasi dari ajaran Islam. Dengan demikian, hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar, yang merupakan dialog antara Umar bin Khattab dengan Nabi Muhammad SAW di saat Umar ingin mewakafkan tanahnya di Khaibar, antara lain Nabi SAW bersabda “Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya,” merupakan praktik ibadah yang bisa dilakukan sepanjang ruang dan waktu 119 Daftar Pustaka Abu Zahra, M, Muhadharah fi al-Waqfi, tpn: 1959 Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, Beirut: Dar al-Fikr, Juz II, tt. Al-Bakri, I’anatu Ath-Thalibin, Kairo: Isa Halabi, tt. Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, Beirut: Dar al-Fikr, Juz IX, 1994 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah Sebagai Pengelola Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), Tidak Diterbitkan. _______, Republika. Senin, 04 Februari 2002 _______, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, Kairo: Mushtafa Halabi, Juz II, tt Az-Zuhaili, Wahbah, Dr., Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, tt. _______, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damsyik: Dar alFikr, 1985, Juz VII. 120 Daud Ali, Mohammad, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf, Jakarta: UI Press, 1988. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, 2003, hal. 97. Dumper, Michael, Wakaf Muslimin di Negara Yahudi, Jakarta: Lentera, 1999. H.A.R. Gibs dan I.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam, Karachi-Pakistan, South Asian Publication, 1981. Hasanah, Uswatun, ‘Perwakafan di www.modalonline.com, 21 April 2004. Yordania’, Kahf, Monzer, Finacing the Development of Aqaf Properti, Kuala Lumpur: Irti, 1998. Mahmudi, Mempertegas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan, (Harian Umum Republika, Nopember 2001) Mannan, M. Abdul, Prof., M.A., Ph.D, Teori dan Praktik Ekonomi Islam, (terjamahan), Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997 ______, Sertifikat Wakaf Tunai, Sebuah Inovasi Keuangan Islam (terjemahan), Jakarta: CIBER dan PKTTI UI, 2002. 121 Muhammad, Abu As-Su’ud, Risalatu fi Jawazi Waqfi AnNuqud, Beirut; Dar Ibn-Hazm, 1997 Nasution, Mustafa E., Wakaf Tunai: Strategi untuk Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, (Makalah Workshop Internasional, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), Tidak Diterbitkan. Pewawataatmadja, H. Karnaen A., Alternatif Investasi Dana Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), Tidak Diterbitkan. Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fiqih Wakaf, 2003, hal. 92. Rahardjo, M. Dawam, Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002). Tidak Diterbitkan. Tim Depag, Fiqih Wakaf, Jakarta: Depag RI, 2003. ______, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003. 122 ______, Perkembangan Penelolan Wakaf di Indonesia, Jakarta: Depag RI, 2003. Tulus, H, Manajemen Kelembagaan Wakaf, makalah dipresentasikan pada Workshop Internasional tentang “Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif “, yang dilaksanakan oleh The International Institute of Islamic Thought (IIIT), Batam, 7 Januari 2002. www.republika.co.id, Jum’at, 22 Agustus 2003. ______, Jum’at, 14 Mei 2004 123 Keputusan Fatwa KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Tentang WAKAF UANG Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia setelah MENIMBANG : A. Bahwa bagi mayoritas umat Islam Indonesia, pengertian wakaf yang umum diketahul, antara lain, adalah yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut disalurkan pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada,” (al-Ramli, Nihayah al-Muhtaj ila Syarh aI-Minhaj, [Dar aI-Fikr, 1984], juz V, h. 357; al Khathib a1-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, [ Dar al-Fikr, t,th},juz 11, h.376 atau “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam” dan “Benda wakaf adalah segala benda, baik bergerak atau tidak bergerak, yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut 125 ajaran Islam (Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Bukuk III, Bab I, Pasal 215, (1) dan (4)). sehingga atas dasar pengertian tersebut, bagi mereka hukum wakaf uang (waqf a1-nuqua cash wakaf) adalah tidak sah B. Bahwa wakaf uang memiliki fleksibilitas (keluwesan) dan kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain C. bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia memandang perlu menetapkan fatwa tentang hukum wakaf uang untuk dijadikan pedoman oleh masyarakat MENGINGAT 1. Firman Allah swt: . "Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. All Imran [3]: 92). 2. Firman Allah swt 126 “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap -tiap bulir: seratus biji Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki Dan Allah Maha Luas (kurnia lagi Maha Mengetahui). Orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati” (QS. al-Baqarah [ 261-262). 3. Hadis Nabi saw: 4803 4924 4923 9323 "Diriwayatkan dari Abu Huralrah r.a. bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda; “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shaleh yang mendoakannya” (H.R. Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasa`i, dan Abu Daud.) 127 4. Hadis Nabi saw: 4809 4934 9949 4921 "Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya. Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik 128 Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’). 5. Hadis Nabi saw: 4931 "Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i). 6. Jabir r.a. berkata 497 0 471 9 "Tak ada seorang sahabat Rasulpun yang memiliki kemampuan kecuali berwakaf” (lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h 157; al-Khathib a1-Syarbini Mughni al-Muhtaj, [Beirut: Dar al-Fikr, t.th], juz II, h. 376 129 MEMPERHATIKAN : 1. Pendapat imam al-Zuhri (w. 124 H.) bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan pada mauquf ‘alaih (Abu Su’ud Muhammad, Risalah fi Jawazi Waqf al-Nuqud, [Beirut: Dar Ibn-Hazm, 1997], h. 20-21). 2. Mutaqaddimin dari ulama mazhab Hanafi (lihat Wahbah al Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, [Damsyik: Dar al-Fikr, 1985], juz VIII, h. 162). Membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud r.a 4340 Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk 3. Pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i Abu Tsaur rneriwayatkan dari Imam al-Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)” (al-Mawardi alHawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, [Beirut: Dar al Fikr, 1994], juz IX, h. 379.) 130 4. Pandangan dan pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2002, antara lain tentang perlunya dilakukan peninjauan dan penyempurnaan (pengembangan) definisi wakaf yang telah umum diketahui, dengan memperhatikan maksud hadis, antara lain, riwayat dari Ibnu Umar (lihat konsideran mengingat [nomor 4 dan 3 di atas: 5. Pendapat rapat Komisi Fatwa MUI pada Sabtu, tanggal 11 Mei 2002 tentang rumusan definisi wakaf sebagai berikut yakni “menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada" 6. Surat Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag, (terakhir) nomor Dt.1. III/5/BA.03.2/2772/2002, tanggal 26 April 2002 MEMUTUSKAN Menetapkan : FATWA TENTANG WAKAF UANG Pertama : 1. Wakaf Uang (Cash WakaflWaqf alNuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai 131 2. Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga 3. Wakaf Uang hukumnya jawaz (boleh). Kedua 4. Wakaf Uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal- hal yang dibolehkan secara syar’iy. 5. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. : Fatwa ini berlaku sejak ditetapkan dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya. Ditetapkan di Tanggal Jakarta :28 Shafar 1423 H 11 Mei 2002 M KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA 132 SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM DAN PENYELENGGARAAN HAJI NOMOR D TH 2004 TENTANG PEMBENTUKAN TIM PENYUSUN BUKU “PEDOMAN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI” Pengarah : 1. Dirjen BIPH 2. Direktur Pengembangan Zakat & Wakaf 3. Sekretaris Ditjen BIPH Ketua Wk. Ketua : Drs. H. Achmad Djunaidi : Drs. H. Ma’ruf Sekretaris Anggota : : H. Asrory Abdul Karim, SH, MH. 1. Drs. H. Idham Khalid Baedawi 2. H. Fauzan, BA 3. Thobieb Al-Asyhar, S. Ag. 4. HM. Cholil Nafis, Lc, MA 5. H. Achmad Mu’thi Shofieq, S. Ag. 6. Ahmad Muda Lubis, S.Ag. 7. H. Damiri, BA. Sekretariat : 1. H. Mahmud Fauzi 2. Hj. Hernawati 3. H. Andi Pabenteng 4. HM. Syarifuddin Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal………….9883 an. DIREKTUR JENDERAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN PENYELENGGARAAN HAJI SEKRETARIS, H. Fauzie Amnur, Lc NIP. 150 103 420 133