metode dakwah khalifah umar bin khattab

advertisement
METODE DAKWAH
KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
Budi Santoso
NIM: 104051001743
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, September 2008
Budi Santoso
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “METODE DAKWAH KHALIFAH UMAR BIN
KHATTAB” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada
tanggal 19 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) pada Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam.
Jakarta, 19 September 2008
Sidang Munaqasah
Ketua Merangkap
Anggota
Sekretaris Merangkap
Anggota
Drs. Mahmud Jalal, MA
NIP: 150 202 342
Penguji I
Rubiyanah, M.A
NIP: 150 286 373
Anggota,
Dr. Arief Subhan, M.A
NIP: 150 262 442
Penguji II
Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum
NIP: 150 244 766
Pembimbing,
Drs. H. Tarmi M.M
NIP: 150 062 569
KATA PENGANTAR
j
Assalaamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, pemilik
semesta alam dan sumber segala ilmu, dan dengan hidayah-Nya selalu tercurah
kepada makhluk-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah pada manusia biasa yang berakhlak luar
biasa, manusia agung yang diciptakan oleh Yang Maha Agung, manusia besar
yang diciptakan oleh Yang Maha Besar, yaitu baginda Nabi Muhammad SAW
yang telah membimbing umatnya dari masa kegelapan (jahiliyah) hingga menuju
cahaya terang benderang dengan al-Quran dan as-Sunnahnya.
Penulis menyadari benar, bahwa skripsi yang sudah merupakan bagian tak
terpisahkan dari penulis, ternyata adalah suatu kebanggaan dan begitu banyaknya
orang yang ikut memberikan semua yang dibutuhkan oleh penulis dalam proses
penyelesaiannya. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Ibu dan Bapak tercinta, Ibu Mudjenah dan Bapak Marsino yang dengan penuh
rasa cinta dan kasih sayang yang tulus ikhlas mengasuh dan mendidik serta
senantiasa mendoakan penulis, sehingga bisa mengenyam pendidikan formal
tingkat perguruan tinggi hingga selesai.
2. Bapak Dr. Murodi, M.A., Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi.
3. Bapak Dr. Mahmud Jalal, M.A., Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah dan
Komunikasi.
4. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A., Pembantu Dekan II Fakultas Dakwah dan
Komunikasi.
5. Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A., Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam serta pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2008 penulis.
6. Ibu Umi Musyarofah, M.A., Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
7. Bapak Drs. H. Tarmi, M.M., Pembimbing skripsi ini, yang telah memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis dengan bijaksana dan sabar, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
8. Bapak serta ibu dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah
memberikan arahan pengembangan intelektualitas penulis selama belajar di
kelas, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatunya.
9. Pimpinan Perpustakaan Islam Iman Jama’, Lebak Bulus serta seluruh staf dan
karyawannya yang telah melayani dan menyiapkan fasilitas literatur.
10. Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta seluruh
staf dan karyawannya yang telah melayani dan menyiapkan fasilitas literatur,
sampai bisa menyelesaikan studi ini.
11. Bapak Drs. H. Dindin M. Machfudz (Ayahanda Bunga Alkautsar) yang telah
membantu memberikan referensi dalam penyelesaian skripsi ini.
12. Pimpinan Perpustakaan Umum Pemda Jakarta Selatan, serta seluruh staf dan
karyawannya yang telah melayani dan menyiapkan fasilitas literatur.
13. Para pegawai dan staf Tata Usaha Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang
telah memberikan pelayanan yang prima kepada penulis.
14. Kakak-kakak yang penulis sayangi; mbak Retno Sumartini A.M.Keb, mas
Agung Mujiharto S.Pd., mbak Tuti Nurbayanti S.Pd.I, yang ikut andil dalam
memberikan motivasi pada penulis baik moril maupun materiil, serta kakakkakak iparku bang Dulloh S.E., dan mbak Sri Purwanti S.Pd.
15. Buat keponakanku tersayang; Dinda Hanna Salsabila, Dewi Kharisma Kenji,
Dea Aulia Maharani dan Thariq Taufiqurrahman yang menjadi penghibur hati
bila penulis mengalami kesulitan dan kesedihan.
16. Teman-teman seperjuangan yang ikut andil dalam memberikan bantuan dan
dorongan terutama kelas KPI A angkatan 2004 khususnya; Sofiatun S.Sos.I,
Ahmad Zainuri S.Sos.I, Ana Sabhana Azmi S.Sos.I, Pia Khoirotun Nisa
S.Sos.I, Asri Rahmita S.Sos.I, Bunga Alkautsar S.Sos.I, Pitriah S.Sos.I,
Syarifah Farah S.Sos.I, A. Anwar Syadad, Miftahul Huda, A. Marsaidi,
Chaerul Miftah S.Sos.I, dan teman yang lain yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Dengan hamparan kedua tangan disertai ketulusan, penulis mendoakan
semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh
semua pihak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT
disertai limpahan rahmat, hidayah serta berkah-Nya, Aamiin ya Robbal ‘aalamiin.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat
menentramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu
penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan yang bersifat
membangun. Semoga skripsi di hadapan anda ini dapat memberikan kontribusi
positif, memperluas wawasan keilmuan serta menambah khazanah perpustakaan.
Wassalaamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, September 2008
Penulis,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ..............................................................................................................
v
KATA PENGANTAR ............................................................................................
vii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN...............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................
10
D. Metodologi Penelitian ...................................................................
11
E. Tinjauan Pustaka ...........................................................................
13
F. Sistematika Penulisan ...................................................................
14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS ....................................................................
16
A. Pengertian Metode ........................................................................
16
B. Pengertian Dakwah .......................................................................
17
C. Pengertian Metode Dakwah ..........................................................
21
D. Macam-macam Metode Dakwah ..................................................
22
BAB III
BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB ..............................................
29
A. Riwayat Hidup Umar Bin Khattab ................................................
29
B. Umar bin Khattab menjadi Khalifah .............................................
39
C. Prestasi-prestasi Khalifah Umar bin Khattab ................................
42
1. Bidang Politik .........................................................................
42
2. Bidang Ibadah .........................................................................
45
3. Hubungan dengan Non-muslim ..............................................
47
4. Bidang Militer .........................................................................
48
5. Bidang Administrasi Negara ...................................................
48
BAB IV
ANALISIS METODE DAKWAH KHALIFAH
UMAR BIN KHATTAB ...................................................................
50
A. Metode Dakwah Umar Bin Khattab...............................................
50
1. Al-Hikmah ..............................................................................
51
2. Al-Mauidzatil al-Hasanah .......................................................
65
B. Relevansi Metode Dakwah Khalifah Umar Bin Khattab
Pada Masa Sekarang .....................................................................
69
BAB V
PENUTUP...........................................................................................
79
A. Kesimpulan ...................................................................................
79
B. Saran...............................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................
81
LAMPIRAN ...........................................................................................................
83
ABSTRAK
Budi Santoso
Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab
Pada hakikatnya, dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman
keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju
sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah harus lebih
berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara lebih menyeluruh dalam
berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai keberhasilan suatu dakwah sangat
ditentukan oleh berbagai unsur-unsur dakwah seperti da’i, mad’u, materi, metode,
dan tujuan. Dalam skripsi ini penulis hanya membahas tentang metode dakwah
Khalifah Umar bin Khattab. Dakwah yang beliau lakukan berlandaskan keadilan,
kasih sayang, sabar, ikhlas, saling menghargai, dan sikap peduli terhadap orang
lain, baik orang Islam maupun non-Islam. Beliau melakukan dakwah dengan
menekankan prinsip keteladanan.
Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dan
membandingkan apakah masih sesuai metode dakwah yang dilakukan Khalifah
Umar bin Khattab diterapkan pada masa sekarang ini atau diperlukan adanya
penyesuaian-penyesuain dengan kondisi aktual.
Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah apa metode dakwah yang
dilakukan Umar bin Khattab selama menjadi Khalifah dalam mengembangkan
dakwah? Kemudian apakah metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin
Khattab pada masa sekarang ini masih relevan?
Oleh karena Khalifah Umar bin Khattab telah wafat, maka penelitian yang
dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library reseach) dan menggunakan
pendekatan kualitatif. Artinya penulis mencari buku-buku yang berkaitan dengan
Khalifah Umar bin Khattab atau yang berhubungan dengan judul yang diteliti di
perpustakaan, kemudian data-data yang ditemukan dianalisis dengan metode
historis. Dalam hal ini penulis mencoba memaparkan atau menggambarkan
tentang bagaimana metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab pada masanya dan
relevansinya dengan masa kini.
Untuk menganalisis hasil temuan dari buku, penulis menggunakan teoriteori terutama tentang metode dakwah yang terdiri dari metode al-Hikmah, alMau’dzatil hasanah, dan al-Mujadalah bil lati hiya ahsan. Pada ketiga macam
metode dakwah inilah yang lebih ditekankan penulis untuk menganalisis metode
dakwah Khalifah Umar bin Khattab.
Dalam dakwahnya, Khalifah Umar bin Khattab menggunakan metode
dakwah al-Hikmah, dan al-Mau’dzatil hasanah. Hal ini disebabkan karena pada
masa itu, banyak kerajaan yang dipimpin oleh orang musyrik yang tidak mau
melakukan perdebatan karena dianggap hanya membuang waktu saja. Sehingga
beliau tidak menggunakan metode dakwah al-Mujadalah bil lati hiya ahsan.
Selain itu pada masa kekhalifahan Umar, kelompok masyarakatnya terdiri dari
berbagai macam agama, tidak semuanya memeluk Islam. Maka kondisi seperti itu
tidak berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga dapat
dikatakan bahwa metode dakwah yang digunakan Khalifah Umar bin Khattab
masih relevan untuk diaplikasikan pada masa sekarang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dien al-Islam merupakan hidayah Allah SWT kepada manusia melalui
Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman dalam mengarungi hidup
sesama manusia, serta terhadap sang Pencipta. Agama juga merupakan
pedoman yang mengendalikan tingkah laku, sikap dan tata cara hidup di
tengah-tengah masyarakat. Agama merupakan serangkaian perintah Allah
tentang perbuatan dan akhlak yang dibawa oleh para Rasul untuk menjadi
pedoman bagi umat manusia.1
☺
“Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha
Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Q.S. Yusuf:
108)
Islam adalah agama dakwah. Artinya agama yang selalu mendorong
pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju
mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan
dakwah yang dilakukan.2
1
h.23.
2
Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993),
Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h.76.
Implikasi dari pernyataan Islam sebagai agama dakwah menuntut
umatnya agar selalu menyampaikan dakwah, karena kegiatan ini merupakan
aktifitas yang tidak pernah usai selama kehidupan dunia masih berlangsung
dan akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apa pun bentuk dan
coraknya.3
1
Tugas dakwah menegakkan kalimatullah akan menjadi sebuah amalan
yang sangat mulia. Namun buah yang agung ini baru akan terwujud jika
seseorang telah mengerti akan hakikat dakwah yang sebenarnya.4
Hakikat dakwah adalah menyeru kepada umat manusia untuk menuju
kepada jalan kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di
akhirat.5 Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT:
☺
☺
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran: 104)
Merupakan kewajiban bagi sebagian manusia untuk melaksanakan
dakwah, mengajak kepada jalan yang ma’ruf dan mencegah segala
kemungkaran. Dalam berdakwah memang dibutuhkan ketangguhan dan
kekuatan, hingga ajaran agama tidak tersia-siakan dan mencelakakan manusia.
3
Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 5.
4
Said bin Ali bin Wahf al-Qahtani, 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah,
Diterjemahkan: Muzaidi Hasbullah, (Solo: Pustaka Arafah, 2001), h. 11.
5
Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung: Balai
Setia, 2001), h. 11.
Sebab hakikat dakwah adalah membina dan mempersatukan umat manusia,
serta menyelamatkan mereka dari kesengsaraan dunia dan akhirat.6 Yakni
sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT:
⌧
⌧
⌧
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai
dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Q.S. Ali Imran: 105)
Peradaban dan kebudayaan Islam di dunia modern dewasa ini telah
melahirkan generasi urakan yang marah, pemberontak-pemberontak yang
tidak lagi percaya kepada peradabannya sendiri. Suasana kehidupan ilmiah
juga meragukan. Serta di bidang kehidupan sosial yang biasa, krisis itu adalah
dalam dan merusakkan. Krisis di dunia dan ancaman-ancaman yang
mengancam umat manusia dewasa ini adalah karena umat manusia berada
dalam krisis rohani dan kekosongan moral yang menimpa seluruh umat
manusia dan kemanusiaan.7
Krisis rohani dan kekosongan moral nampaknya terus menggelembung
menjadi gelombang arus yang terus mengikis dan mengakibatkan terjadinya
erosi pada sendi-sendi kebudayaan dan peradaban dunia Islam. Kekosongan
moral, keresahan dan kelaparan spiritual mengancam manusia yang hidup
dalam peradaban modern. Ancaman kelaparan spiritual demikian tidak kalah
bahayanya dari kelaparan jasmani.
Persoalan yang dihadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang
semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu
muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku
dalam mendapatkan hiburan (entertainment), kepariwisataan dan seni dalam
6
7
h. 168.
Ahmad Mudjab Mahalli, Buku Pintar Da’i, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), h. 6.
Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996),
arti luas, yang semakin membuka peluang munculnya kerawanan-kerawanan
moral dan etika. Kerawanan moral dan etika itu muncul semakin transparan
dalam bentuk kemaksiatan karena disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi
informasi mutakhir seperti siaran televisi, keping-keping VCD, jaringan
internet, dan sebagainya.
Tidak asing lagi, akhirnya di negeri Indonesia yang berbudaya, beradat
dan beragama ini, kemaksiatan juga mengalami kemajuan, terutama setelah
terbukanya turisme internasional di berbagai kawasan, hingga menjamah
wilayah yang semakin luas dan menjarah semakin banyak generasi muda yang
kehilangan jati diri dan miskin iman dan ilmu. Hampir-hampir tidak ada lagi
batas antara kota dan desa, semuanya telah terkontaminasi dalam gemuruh
kebebasan yang tak kenal batas.
Sesungguhnya perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan
pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi
juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah
harus lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara lebih
menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan.
Hendaknya umat Islam tetap sadar dan waspada bahwa adanya informasi
atau pemberitaan yang datangnya dari berbagai media itu tidaklah semuanya
mengandung kebaikan. Demikian pula halnya dengan perkembangan budaya
dari dalam pun tidak semuanya mengandung kebaikan. Dalam keadaan yang
tidak menentu inilah kemaksiatan juga semakin meningkat seiring
meningkatnya aktivitas dakwah. Mungkin saja keadaan seperti ini akan
berjalan terus hingga akhir zaman dan umat Islam tetap dituntut untuk
bertanggung jawab sebagai khalifatullah fil ardhi.
Ledakan-ledakan informasi dan kemajuan teknologi dalam berbagai
bidang itu tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Umat Islam harus berusaha
mencegah dan mengantisipasi dengan memperkuat benteng pertahanan aqidah
yang berpadukan ilmu dan teknologi. Tidak sedikit korban yang berjatuhan
yang membuat kemuliaan Islam semakin terancam dan masa depan generasi
muda semakin suram. Apabila tetap lengah dan terbuai oleh kemewahan hidup
dengan berbagai fasilitasnya, ketika itu pula secara perlahan mulai
meninggalkan petunjuk-petunjuk Allah SWT yang sangat diperlukan bagi hati
nurani setiap individu. Di samping itu kelemahan dan ketertinggalan umat
Islam dalam mengakses informasi dari waktu ke waktu, pada gilirannya juga
akan membuat langkah-langkah dakwah semakin tumpul tak berdaya.
Dalam era globalisasi ini, di mana teknologi semakin maju dan
berkembang, maka dakwah yang dilakukan masyarakat Indonesia saat ini
tidak hanya dilakukan di atas mimbar saja. Berdakwah atau mengajak orang
lain menuju kebaikan saat ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan
media lain, misalnya media cetak seperti; surat kabar, majalah, bulletin
maupun elektronik misalnya; televisi, internet, radio, telepon, dan handphone
yang secara rutin informasinya di up date terus.
Tetapi dakwah bukanlah sekedar mengajak manusia agar mereka
menerima apa yang diserukan juru dakwah, bukan pula kepintaran seseorang
berorasi di atas mimbar atau kemampuan menuangkan ide melalui tulisan.
Lebih dari itu dakwah merupakan hubungan seseorang secara horizontal
dengan sesama yang bersifat saling mempengaruhi. Allah SWT berfirman
dalam surat an-Nahl ayat 44 yang berbunyi:
⌧
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan
kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang
telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(Q.S. anNahl: 44)
Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq, dakwah pada
masa itu mengalami pergolakan. Karena banyak permasalahan dalam negeri
yang mengancam eksistensi agama Islam. Terutama tantangan yang
ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada
pemerintah Madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat
dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat.
Karena itu mereka menentang Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq. Karena sikap
keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan
pemerintahan, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka hingga mencapai
kemenangan di pihak muslimin.
Dakwah Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab mengalami
kemajuan yang sangat pesat. Pada masa beliau, pertama kali pasukan Islam
melakukan dakwah keluar wilayah Madinah, yaitu ke seluruh kawasan Iraq,
Syam, Palestina (al-Quds), Mesir dan Azerbaijan. Keikhlasan Khalifah Umar
dan integritasnya yang sering disebut-sebut sebagai teladan kepada umat
karena ketegasannya, keadilannya tanpa pandang bulu dan sikapnya yang anti
kolusi dan nepotisme.
Dakwah yang Khalifah Umar bin Khattab lakukan adalah dakwah yang
berlandaskan keadilan, kasih sayang, sabar, ikhlas, saling menghargai, dan
sikap peduli terhadap orang lain, baik orang Islam maupun non-Islam.
Khalifah Umar sangat menyayangi rakyatnya, beliau belum bisa merasa
kenyang perutnya sebelum rakyatnya kenyang dahulu untuk makan. Beliau
melakukan dakwah dengan menekankan prinsip keteladanan. Beliau tidak
berani menyuruh seseorang melakukan sesuatu sebelum beliau melakukannya
dahulu.
Adapun keberhasilan dakwah dapat diukur sampai sejauhmana
kemampuan masyarakat yang menjadi sasaran (objek) dakwah mampu
melaksanakan ajaran agama serta menjauhi hal-hal yang munkar.
☺
☺
☺
☺
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl: 125)
Dakwah pada dasarnya menyampaikan risalah Allah SWT melalui Nabi
Muhammad SAW. Hakikat dari tujuan dakwah itu sendiri adalah usaha yang
diarahkan pada masyarakat luas untuk menyampaikan kebaikan dan mencegah
keburukan dalam menciptakan situasi yang baik sesuai dengan ajaran Islam di
semua bidang kehidupan.
Dalam keadaan demikian itulah dakwah islamiyah dituntut untuk lebih
berfungsi dengan metode yang sanggup menyertainya. Kekhawatiran akan
menurunnya nilai-nilai qurani dalam proses lahirnya generasi baru dalam
masyarakat modern di masa mendatang sangat terasa. Budaya dan peradaban
Barat makin mendesak untuk masuk mengkontaminasi budaya dan peradaban
masyarakat yang sudah ada, khususnya masyarakat Islam.
Kepentingan-kepentingan yang berimbang akan selalu bergejolak di
permukaan antara kehidupan dunia dan akhirat. Menonjolnya kepentingan
duniawi akan selalu muncul di segala aspek kehidupan tidak terkecuali di
bidang dakwah. Budaya meniru dan mengadopsi sistem jahiliyah terus
berkembang di kalangan masyakarat modern tanpa pertimbangan sesuai atau
tidaknya sistem tersebut.
Dakwah hendaklah dikemas dengan metode yang tepat. Dakwah
haruslah tampil secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual dalam arti
memecahkan masalah yang terkini dan hangat di tengah masyarakat. Faktual
dalam arti nyata serta kontekstual dalam arti relevan dan menyangkut masalah
yang sedang dihadapi oleh masyarakat.8
Berhasil atau tidaknya sebuah aktivitas sangat ditentukan oleh faktor
metode. Sebab dengan adanya metode dapat dikemukakan hasil yang optimal
dan maksimal.9
8
9
h. 130.
Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, (ed), Op. Cit., h. xiii.
Al-Bayanuni, Al-Madkhal ila ‘ilmi Al-Da’wah, (Muassash Al-Risalah, Beirut, 1991),
Oleh karena itu, permasalahan dakwah di zaman dulu, dalam hal ini
dakwah di zaman Khalifah Umar bin Khattab jika dibandingkan dengan
dakwah pada masa kita sekarang ini akan sangat menarik kiranya jika
dilakukan penelitian tentang metode dakwah apa yang sesuai untuk kondisi
masa sekarang ini. Apakah masih sesuai metode dakwah yang dilakukan Umar
bin Khattab terkait dengan eksistensinya sebagai Khalifah kedua diterapkan
pada masa sekarang ini atau diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian
dengan kondisi aktual. Untuk itulah penulis tertarik untuk meneliti dan
menulisnya dalam skripsi dengan judul ”Metode Dakwah Khalifah Umar
Bin Khattab.”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Banyak sekali masalah dakwah selama periode Khalifah Umar bin
Khattab yang dapat dibahas, seperti; tentang materi dakwah, objek
dakwah, sarana dakwah dan lain sebagainya. Sesuai dengan judul skripsi
ini, dan supaya pembahasan masalah tetap fokus, maka perlulah kiranya
penulis membatasi ruang lingkupnya sehingga tidak melebar dan meluas
ke dalam hal-hal yang terlalu menyimpang, apalagi tidak ada kaitannya
dengan pembahasan ini.
Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah hanya pada metode
dakwah apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab selama menjadi
Khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash Siddiq, yaitu selama 10 tahun (1323 H/634-644 M).
2. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah:
a. Apa metode dakwah yang dilakukan Umar bin Khattab selama menjadi
Khalifah dalam mengembangkan dakwah?
b. Apakah masih relevan metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar
bin Khattab pada masa sekarang ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:
a. Metode dakwah yang digunakan oleh Umar bin Khattab selama
menjadi Khalifah dalam mengembangkan dakwah.
b. Masih relevan atau tidak metode dakwah yang dilakukan Khalifah
Umar bin Khattab digunakan pada masa sekarang ini.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
1) Dalam penelitian ini kiranya dapat memberikan informasi kepada
semua kalangan yang terkait di dunia dakwah, khususnya Jurusan
Komunikasi Penyiaran Islam dalam upaya meningkatkan mutu
dakwah.
2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, terutama tentang metode
dakwah.
3) Memberikan
wawasan
dan
pengetahuan
dalam
upaya
mengembangkan studi komunikasi dan dakwah, sehingga pesanpesan dakwah dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan tujuan
dakwah.
b. Manfaat Praktis
1) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah
sumbangan pemikiran tentang metode dakwah.
2) Sebagai penambahan pustaka yang nantinya diharapkan menambah
pemahaman secara mendalam mengenai metode dakwah.
3) Untuk menambah wawasan akademisi dan praktisi dakwah agar
mengembangkan metode dakwahnya di lapangan serta dakwah
yang disampaikannya mudah dimengerti dan diterima.
D. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Seperti lazimnya karya ilmiah pada sebuah karya tulis. Setiap penulis
diharuskan menggunakan metode tertentu dalam penelitiannya. Penulis
harus membuat langkah-langkah atau landasan berpijak dalam melakukan
penelitian dengan teori-teori yang sudah ada dan yang berkaitan dengan
konteks Islam. Pada tahap berikutnya dapat dijelaskan secara sistematis
dengan bahasa yang mudah dicerna dan dipahami. Oleh karena itu metode
yang digunakan dari hasil penelitian nanti menggunakan metode historis.
Metode historis adalah studi tentang masa lalu dengan menggunakan
kerangka paparan dan penjelasan. Metode tersebut merupakan studi
empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk
memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan data. Metode historis
bertujuan merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan objektif dengan
mengumpulkan, menilai, memverifikasi, dan menyintesiskan bukti untuk
menetapkan fakta dan mencapai kongklusi yang dapat dipertahankan.
Dengan metode historis, penulis mencoba menjawab masalah-masalah
yang dihadapinya.10
Penulis mengambil sumber data dari hasil penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan (library research) adalah cara
pengumpulan data dengan berusaha mencari dan pengumpulkan data yang
diperlukan, dipakai, digunakan, dan diperhitungkan dalam penelitian.
Data sepenuhnya diambil dari penelitian kepustakaan dengan
mengandalkan pada bacaan baik buku maupun tulisan yang mempunyai
relevansi dengan judul penelitian ini, dan pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
2. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek dari penelitian ini adalah Khalifah Umar bin Khattab,
sedangkan yang menjadi objek dari penelitian ini adalah metode dakwah
yang digunakan Umar bin Khattab selama menjadi Khalifah yang kedua.
3. Teknik Pengumpulan dan Sumber Data
Dengan cara mengumpulkan karya-karya yang berkaitan dengan
dakwah Khalifah Umar bin Khattab.
a. Data Primer.
Sumber primer yang digunakan adalah buku yang berjudul; Jejak
Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Umar bin Khattab:
Sebuah
telaah
mendalam
tentang
pertumbuhan
Islam
dan
Kedaulatannya Masa Itu, al-Quran al-Karim, Keagungan Umar bin
10
Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007), Cet. ke-7, h. 21-22.
Khattab, Umar bin Khattab dalam Perbincangan, dan Umar yang
Agung.
b. Data Sekunder
Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang
berhubungan dengan konsep dakwah Khalifah Umar bin Khattab
diantaranya; Tarikh Khulafa’, Sejarah Dakwah Islam, Islam Landasan
Administrasi Pembangunan, dan juga dari jurnal, majalah dan lainlain, yang berhubungan dengan pembahasan ini.
4. Teknik Analisis Data
Dari data yang dikumpulkan dengan penelusuran melalui literatur
kepustakaan,
membandingkan,
kemudian
dan
penulis
selanjutnya
menganalisis,
menginterpretasikan
menerangkan,
data
yang
terkumpul secara apa adanya kemudian disajikan dalam skripsi ini.
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Cet. ke-2 yang diterbitkan
UIN Syarif Hidayatullah.
E. Tinjauan Pustaka
Dari sekian banyak skripsi yang membahas metode dakwah seorang
tokoh, namun tidak satupun penulis menemukan skripsi yang membahas
metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab.
Walaupun ada beberapa skripsi yang membahas tentang metode dakwah,
tetapi tidak ada satupun skripsi yang membahas tentang metode dakwah pada
masa Khalifah Umar bin Khattab.
Skripsi itu diantaranya yang berjudul; ”Metode Dakwah Islam
Habiburrahman El Shirazy dalam Novel Islam” yang membahas tentang
dakwah bil qalam Habiburrahman yaitu melalui tulisan, atas nama Siti
Shobariyatul Irfani, ”Metode Dakwah Yusuf Mansur” yang membahas tentang
dakwah bil lisan Yusuf Mansur yaitu melalui ceramah, atas nama Agus Salim
Wahid, ”Metode Dakwah dalam surat an-Nahl menurut pandangan DR. Yusuf
Qardhawi” yang membahas tentang pandangan Yusuf Qardhawi terhadap
metode dakwah surat an-Nahl, atas nama Alamsyah, ”Penafsiran Quraish
Shihab terhadap Metode Dakwah dalam surat an-Nahl: 125 pada Tafsir alMisbah” yang membahas tentang analisis isi surat an-Nahl ayat 125, atas
nama Fitra Siti Nurmaya Sopa.
Oleh karena itu, penulis berusaha membandingkan karya tulis terdahulu
dengan skripsi yang penulis kerjakan ini, dalam hal ini tentang metode
dakwah.
F. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab
dan dibagi kedalam beberapa sub bab.
Agar pembahasan dapat dilakukan secara terarah dan sistematis, maka
sistematika penulisan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis menguraikan beberapa hal yang berkaitan
dengan penelitian ini. Pada bagian awal, diuraikan tentang latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan
diakhiri dengan uraian tentang sistematika penulisan.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
Pada bab ini dibahas tentang metode dakwah. Agar pembahasan ini
jelas, maka akan dikemukakan tentang definisi kedua istilah
tersebut, baik definisi etimologis maupun terminologinya. Selain
itu, penulis juga akan mengemukakan macam-macam metode
dakwah.
BAB III
BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB
Bab ini berisikan riwayat hidup Umar bin Khattab, Umar bin
Khattab menjadi khalifah dan prestasi-prestasi Khalifah Umar bin
Khattab.
BAB IV
DAKWAH UMAR BIN KHATTAB
Bab ini berisikan metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab dan
relevansi metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab pada masa
sekarang.
BAB V
PENUTUP
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran untuk mencapai hasil
yang lebih baik.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian Metode
Metode berasal dari bahasa Inggris: method yang artinya ”cara”, yaitu
suatu cara untuk mencapai suatu cita-cita. Metode lebih umum dari teknik
yang dalam bahasa Inggrisnya: technique. Dalam The Concise Oxford
Dictionary (1995) dinyatakan bahwa method is a special form of procedure
esp. In any branch of mental activity, terkandung arti bentuk khusus tentang
prosedur kegiatan mental. Sedangkan technique adalah a means or method of
achieving one’s purpose, esp. skillfully yang maknanya sesuatu alat atau cara
untuk tujuan dengan cekatan atau praktis.11
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan.12
K. Prente, menerjemahkan methodus sebagai cara mengajar. Metode
adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai
11
Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 59.
12
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2005), edisi 3, h. 740.
16
maksud.13 Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta
(melalui) dan hodos (jalan, cara).14
Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa
Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani
metode berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab
disebut thariq.15
Dari beberapa definisi tentang metode yang telah dipaparkan di atas,
penulis menyimpulkan bahwa metode adalah cara yang telah diatur dan
melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.
B. Pengertian Dakwah
Dakwah
adalah
penyiaran,
propaganda,
penyiaran
agama
dan
pengembangan di kalangan masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari,
dan mengamalkan ajaran agama.16
Ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an mengandung arti dakwah, yaitu
da’wah, tabligh, dan nida’. Kata da’wah ditemukan dalam al-Quran dalam
berbagai bentuknya (fi’l madhi, fi’l mudhari, fi’l amr, mashdar, dan
sebagainya) sebanyak 203 kali. Sementara itu, kata tabligh hanya 64 kali dan
nida’ sebanyak 46 kali.17
13
Woyo Wasito, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Cy Press, 1974), h. 208.
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 61.
15
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35.
16
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op. Cit., h. 232.
17
Suriani, Manajemen Dakwah dalam Kehidupan Pluralis: Upaya Membumikan Nilainilai Kisah Nabi Hud a.s. dalam al-Qur’an, (Jakarta: The Media of Social Cultural
Communication, 2005), h. 18.
14
Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari fi’il
madhi:
(‫ )دﻋﺎ– ﻳﺪ ﻋﻮ– دﻋﻮة‬yang berarti ajakan, panggilan, seruan,
menjamu.18
Dalam Ilmu Tata Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk sebagai isim
masdhar. Kata ini berasal dari fi’il (kata kerja) da’a-yad’u, artinya memanggil
mengajak atau menyeru.19
Adapun pengertian dakwah menurut terminologi, dapat dilihat dalam
beberapa pendapat berikut ini:
1. Prof. H.M. Toha Yahya Omar
Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan, seruan,
panggilan, undangan. Adapun dakwah di dalam Islam dimaksudkan adalah
mengajak dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Allah SWT, untuk mashalatan dan kebahagiaan mereka di dunia
dan akhirat.20
2. Letjend. H. Soedirman, dalam bukunya Problematika Dakwah Islam di
Indonesia.
Dakwah adalah usaha untuk merealisasikan ajaran Islam di dalam
kenyataan hidup sehari-hari baik kehidupan seseorang, maupun kehidupan
masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka
18
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973), h. 127.
19
Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h.
17.
20
Hasanudin, Manajemen Dakwah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 40.
pembangunan bangsa dan umat, untuk memperoleh keridhoan Allah
SWT.21
3. M. Quraish Shihab
Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha
mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap
pribadi maupun masyarakat.22
Ia melihat bahwa dakwah bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi
munkar, tetapi merupakan usaha penyadaran manusia terhadap keberadaan
dan keadaan hidup mereka, sehingga bersedia diajak kepada kehidupan
yang lebih baik dan lebih sempurna, dengan melaksanakan ajaran Islam
dalam seluruh aspek kehidupan.
4. Amien Rais
Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih
mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang islami.23
5. Bakhial Khauli
Dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam
dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan
lain.24
21
Amrullah Ahmad, dkk., Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah IAIN, (Jakarta: IAIN
Jakarta, 1972), h. 13-14.
22
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 194.
23
Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 25-26.
6. H.M.S. Nasarudin Latif
Dakwah artinya setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan
yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk
beriman dan menaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis aqidah dan
syari’ah serta akhlak islamiyah.25
7. Drs. Hamzah Yaqub
Dakwah
adalah
mengajak
umat
manusia
dengan
hikmah
kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.26
8. Mohammad Natsir
Dakwah adalah usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada
perorangan manusia dan seluruh umat, konsepsi Islam tentang pandangan
dan tujuan hidup manusia di dunia ini, yang melipui amar ma’ruf nahi
munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan
akhlak
dan
membimbing
pengalamannya
dalam
peri
kehidupan
perseorangan, peri kehidupan berumah tangga (usrah), peri kehidupan
bermasyarakat dan peri kehidupan bernegara.27
9. Menurut Syekh Ali Mahfudz
Dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan
mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka
24
Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah, (Malaysia: Nur Niaga SDN,
BHD, 1996), h. 5.
25
Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung:
Pustaka Setia, 2001), h. 24.
26
Asmuni Syukir, Op. Cit., h. 19.
27
Mohammad Natsir, Fungsi Da’wah Islam dalam Rangka Perjuangan, (Jakarta:
Media Dakwah, 1979), Jilid 1, h. 7.
dari perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan
akhirat.28
Dari beberapa pendapat tentang pengertian dakwah yang telah
dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dakwah adalah merupakan
proses penyelenggaraan suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan sengaja
yang berisi cara-cara dan tuntunan-tuntunan, bagaimana seharusnya menarik
perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu ideologi
pendapat-pendapat pekerjaan yang tertentu untuk mengajak manusia kepada
ajaran Allah SWT menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan
di akhirat.
C. Pengertian Metode Dakwah
Metode dakwah menurut Abdul Kadir Mansij dalam bukunya Metode
Diskusi dalam Dakwah adalah ”cara-cara yang dilakukan seorang da’i untuk
mencapai tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang.”
Metode dakwah menyangkut masalah bagaimana caranya dakwah itu
harus dilaksanakan. Tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan dakwah yang
telah dirumuskan akan efektif bilamana dilaksanakan dengan menggunakan
cara-cara yang tepat.29
Metode dakwah artinya adalah cara-cara yang dipergunakan oleh
seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al-Islam atau
serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.
28
Abdul Kadir Sayid Abd. Rauf, Dirasah Fid Dakwah al-Islamiyah, (Kairo: Dar ElTiba’ah al-Mahmadiyah, 1987), h. 10.
29
Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993),
h. 72.
Dari sumber metode al-hikmah, al-mauidzatil hasanah dan al mujadalah
bi lati hiya ahsan tersebut, tumbuh metode-metode yang merupakan
operasionalisasinya yaitu dakwah dengan lisan, tulisan, seni dan bil hal.
Dakwah dengan lisan berupa ceramah, seminar, simposium, diskusi, khutbah,
saresehan, dan lain-lain. Dakwah dengan tulisan berupa buku, majalah, surat
kabar, spanduk, pamflet, lukisan, billboard, baleho, lukisan-lukisan dan lainlain. Dakwah bil hal berupa perilaku yang sopan sesuai dengan ajaran Islam,
diantaranya adalah memelihara lingkungan, mencari nafkah dengan tekun,
ulet, sabar, semangat, kerja keras, menolong sesama manusia. Seni meliputi
seni lukis, seni tari, seni suara atau musik dan lain-lain.
Dari pengertian di atas, dapat diambil pengertian bahwa metode dakwah
adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator)
kepada mad’u (objek dakwah) untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah
dan kasih sayang.30
Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu
pada suatu pandangan human oriented yaitu menempatkan penghargaan yang
mulia atas diri manusia.
Metode (uslub) dakwah mencakup seluruh aktivitas kehidupan, karena
kaum muslimin dengan kemampuan yang ada pada dirinya bisa menjadikan
setiap amal yang diperbuat dan setiap aktivitas yang dilaksanakan sebagai
jalan untuk berdakwah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus.31
D. Macam-macam Metode Dakwah
30
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 43.
Sayid Muhammad Nuh, Diterjemahkan oleh: Ashfa Afkarina, Dakwah Fardiyah:
Pendekatan Personal dalam Dakwah, (Solo: Era Intermedia, 2000), h. 26.
31
Sumber metode dakwah yang terdapat di dalam al-Quran menunjukkan
ragam yang banyak, seperti hikmah, nasihat yang benar dan mujadalah atau
diskusi atau berbantah dengan cara yang paling baik. Allah SWT berfirman
dalam surat an-Nahl ayat 125 yang berbunyi:
☺
☺
☺
☺
”Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Rabb-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.”(Q.S. an-Nahl: 125)
Di bawah ini dijelaskan tentang metode-metode dakwah di atas, yaitu:32
1. Al-Hikmah
Perkataan hikmah biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan bijaksana atau kebijaksanaan. Kata hikmah dalam al-Quran
disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat.
Bentuk masdarnya adalah hukman yang diartikan secara makna aslinya
adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari
kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari
hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah.
Al-Hikmah diartikan pula sebagai al-’Adl (keadilan), al-Haq
(kebenaran), al-Hilm (ketabahan), al-’Ilm (pengetahuan) terakhir anNubuwwah (kenabian). Di samping itu, al-Hikmah juga diartikan sebagai
menempatkan sesuatu pada proporsinya.
32
Munzier Suparta, Harjanti Hefni (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media,
2003), h. 9.
Sebagai metode dakwah, al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi
yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, menarik perhatian orang
kepada agama atau Allah SWT.
Menurut al-Ashma’i asal mula didirikan hukumah (pemerintahan)
ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan zalim. Maka digunakan
istilah hikmatul lijam, karena lijam (cambuk atau kekang kuda) itu
digunakan untuk mencegah tindakan hewan.
Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang sebagaimana
dijelaskan dalam kitab Mishbahul Munir. Diartikan demikian karena tali
kekang itu membuat penunggang kudanya dapat mengendalikan kudanya
sehingga si penunggang dapat mengaturnya baik untuk perintah lari atau
berhenti. Dari kiasan ini maka orang yang memiliki hikmah berarti orang
yang mempunyai kendali diri yang dapat mencegah diri dari hal-hal yang
kurang bernilai atau menurut Ahmad bin Munir al-Muqri’ al-Fayumi
berarti dapat mencegah dari perbuatan yang hina.33
Para ahli dalam mendefinisikan hikmah ini bermacam-macam, antara
lain adalah:
Syeikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hikmah adalah
mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga
digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafazh akan tetapi banyak
makna.34 Diartikan pula meletakkan sesuatu pada tempat atau semestinya.
Dalam Tafsir al-Manar ia juga mengartikan hikmah adalah sebagai ilmu
yang shahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk
melakukan sesuatu perbuatan yang bermanfaat.35
Prof. DR. Toha Yahya Umar, M.A., mengartikan hikmah adalah
meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha menyusun
33
Ahmad bin Muhammad al-Muqrib’ al-Fayumi, al-Misbahul Munir, h. 120.
Munzier Suparta, Harjanti Hefni (ed), Op. Cit., h. 9.
35
M. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993),
34
h. 73.
dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dengan tidak
bertentangan dengan larangan Allah SWT.36
Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling
tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang
mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan
pengalamannya, ketepatan dalam perkataan dan pengalamannya.37
Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan
bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemampuan da’i dalam memilih,
memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif
mad’u.
Di samping itu juga al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam
menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan
argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, alHikmah adalah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara
kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah.
Dalam dunia dakwah, hikmah adalah penentu sukses tidaknya
dakwah. Dalam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan,
strata sosial, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah,
sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para mad’u dengan
tepat. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan
memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide
yang
diterima
dirasakan
sebagai
sesuatu
yang
menyentuh
menyejukkan qalbunya.
36
37
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35.
Ibnu Qoyyim, At Tafsirul Qoyyim, h. 226.
dan
Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah SWT hanya
memberikannya untuk orang yang layak mendapatkannya. Barangsiapa
mendapatkannya, maka dia telah memperoleh karunia besar dari Allah
SWT. Allah SWT berfirman:
☺
☺
”Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam
tentang al Quran dan as Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya.
dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah
dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Q.S.
al-Baqarah : 269)
Hikmah adalah bekal da’i menuju sukses. Karunia Allah yang
diberikan kepada orang yang mendapatkan hikmah insya Allah juga akan
berimbas kepada mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk merubah
diri dan mengamalkan apa yang disarankan da’i kepada mereka.
Hikmah merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang
da’i dalam berdakwah. Karena dari hikmah ini akan lahir kebijaksanaankebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah baik secara
metodologis maupun praktis. Oleh karena itu, hikmah yang memiliki
multidefinisi mengandung arti dan makna yang berbeda tergantung dari
sisi mana melihatnya.
2. Al-Mau’idzatil al-Hasanah
Secara bahasa, mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu
mau’idzah dan hasanah. Kata mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya
’idzu-wa’dzan-’idzatan yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan
peringatan,38 sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang
artinya kebaikan lawannya kejelekan.
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat, antara lain;
a. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh H.
Hasanuddin, al-Mau’idzatil Hasanah adalah perkataan-perkataan yang
tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat
dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Quran.39
b. Menurut Abdul Hamid al-Bilali, al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan
salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan
Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah
lembut agar mereka mau berbuat baik.40
Dari pengertian yang dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan
bahwa mau’idzatil hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan yang
mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita
gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiat) yang bisa dijadikan
pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan di dunia dan
akhirat.
3. Al-Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan
38
Lois Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Dar Fikr, 1986), h. 907, Ibnu
Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Fikr, 1990), jilid IV, h. 466.
39
Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37.
40
Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Mungkar, (Kuwait: Dar alDakwah, 1989), h. 260.
Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah berasal dari kata
jadala yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada
huruf jim yang mengikuti wazan faa ala, jaa dala dapat bermakan
berdebat, dan mujaadalah bermakna perdebatan.41
Kata jadala dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna
menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan
ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya
melalui argumentasi yang disampaikan.42
Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian alMujadalah (al-Hiwar) dari segi istilah. al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti
upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa
adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara
keduanya.43 Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah
suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan
cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat.
Dari pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa, al-mujadalah
merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis,
yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima
pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang
kuat.
41
175.
42
Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), h.
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 553.
Ali al-Jarisyah, Adab al-Khiwar wa al-Mudhoroh, (Al-Munawaroh: Dar al-Wifa,
1989), h. 19.
43
BAB III
BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB
A. Riwayat Hidup Umar bin Khattab
Umar bin Khattab dilahirkan sesudah tahun gajah. Ini berarti Umar bin
Khattab lebih muda dari Nabi Muhammad SAW selisih tiga belas tahun.
Tatkala Nabi Muhammad SAW diutus, usia Umar bin Khattab mencapai dua
puluh tujuh tahun.44 Selain mempunyai budi pekerti yang luhur, fasih dan adil,
dia seorang pemberani dan pribadi yang dikenal keras.45
Umar bin Khattab adalah putra dari Ibunya Hantamah binti Hasyim bin
al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum dengan ayahnya Khattab
bin Nufail bin Abdul Uzza bin Ribah bin Abdullah bin Qurat bin Zurah bin
bin ’Adi bin Ka’ab bin Luway bin Fihr bin Malik. Nasabnya bertemu dengan
nasab Nabi Muhammad SAW pada Ka’ab bin Luway. Umar bin Khattab
adalah orang Quraisy dari bani ’Adi. ’Adi ini saudara Murrah, kakek Nabi
yang kedelapan.46
Umar bin Khattab termasuk di lingkungan keluarga yang dipanggil Bani
’Adi di dalam suku besar Quraisy di kota Mekkah. Suku Bani ’Adi ini terkenal
sebagai suku yang terpandang mulia, dan berkedudukan tinggi.47
Semasa anak-anak Umar bin Khattab dibesarkan seperti layaknya anakanak Quraisy. Tetapi yang membedakannya dengan anak lain, Umar bin
44
Amru Khalid, Jejak Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Penerjemah:
Farur Mu’is, (Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2007), h. 70.
45
Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam: Daras Sejarah
Peradaban Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003), h. 67.
46
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, diterjemahkan: Ali Audah, (Jakarta:
PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2001), h. 8.
47
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 315.
Khattab sempat belajar baca-tulis, hal yang jarang sekali terjadi di kalangan
mereka. Dari semua suku Quraisy ketika Nabi Muhammad SAW diutus hanya
17 (tujuh belas) orang yang pandai baca-tulis, itulah yang istimewa di antara
teman-teman sebayanya. Orang-orang Arab masa itu tidak menganggap
pandai
baca-tulis
itu
suatu
keistimewaan,
bahkan
mereka
malah
menghindarinya dan menghindarkan anak-anaknya dari belajar.
Sesudah beliau beranjak remaja, beliau bekerja sebagai gembala unta
ayahnya di Dajnan atau di tempat lain di pinggiran kota Mekkah. Ayahnya
sangat keras dan kasar, tidak segan-segan memukul Umar apabila ia lengah
mengawasi gembalaannya.48
Beranjak dari masa remaja ke masa pemuda. Sosok tubuh Umar tampak
berkembang lebih cepat dibandingkan teman-teman sebayanya, lebih tinggi
dan lebih besar. Bila melihatnya berjalan, seolah-olah sedang naik kendaraan.
Ketika Auf bin Malik melihat orang banyak berdiri sama tinggi, hanya ada
seorang yang tingginya jauh melebihi yang lain sehingga sangat mencolok.
Bilamana ia menanyakan siapa orang itu, dijawab: dia Umar bin Khattab.
Umar bin Khattab wajahnya putih agak kemerahan, tangannya kidal
dengan kaki yang lebar sehingga jalannya cepat sekali, seakan-akan berjalan
di tempat yang menurun. Apabila berbicara, semua barisan akan mendengar
lantaran suaranya lantang.49 Lengannya berotot dan keras, badannya gemuk
dan kepalanya botak. Berbeda dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang lebat
rambutnya.50
48
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 12 dan h. 9.
Amru Khalid, Op. Cit., h. 74.
50
Amru Khalid, Ibid., h. 73.
49
Sejak mudanya Umar bin Khattab memang mahir dalam berbagai
olahraga, diantaranya adalah gulat dan menunggang kuda. Dari berbagai
macam olahraga, naik kuda itulah yang paling disukainya sepanjang
hidupnya.51
Di samping kemahirannya dalam olahraga berkuda, gulat dan berbagai
olahraga lain, apresiasinya terhadap puisi juga tinggi dan suka mengutipnya.
Ia suka mendengarkan para penyair membaca puisi di pasar Ukaz52 dan di
tempat-tempat lain. Banyak syair yang sudah dihafal dan dibaca kembali
mana-mana yang disenanginya, di samping kemampuannya berbicara panjang
mengenai penyair-penyair al-Hutai’ah, Hassan bin Sabit, az-Zibriqan53 dan
yang lain.
Pengetahuannya yang cukup menonjol mengenai silsilah (genealogi)
orang-orang Arab yang dipelajari dari ayahnya, sehingga Umar bin Khattab
menjadi orang paling terkemuka dalam bidang ini. Retorikanya baik sekali dan
pandai berbicara. Karena semua itu beliau sering pergi menjadi utusan Quraisy
kepada kabilah-kabilah lain.54
Umar bin Khattab dikenal di kalangan kaumnya sebagai utusan yang
mampu berdiskusi, berdialog dan memecahkan berbagai urusan. Dia juga
pedagang yang mahir dan tekun dalam perdagangannya. Ia dikenal sebagai
51
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., h. 12.
Nama daerah di Mekkah yang digunakan sebagai tempat berdagang (pasar) yang
digelar setiap bulan Zulhijjah, yang sering disebut Pasar Ukaz.
53
Mereka termasuk di antara penyair-penyair mukhadram (masa transisi JahiliyahIslam).
54
Muhammad Husain Haekal, Ibid., h. 13.
52
orang yang mempunyai temperamen kasar, kokoh dalam memegang prinsip
dan berkedudukan tinggi.55
Dalam berdagang, beliau tidak hanya melakukan perjalanan ke Yaman
dan ke Syam saja, tetapi pergi sampai ke Persia dan Romawi. Dalam
perjalanan
itu
beliau
mengutamakan
untuk
tidak
mengutamakan
mencerdaskan
berdagang,
pikirannya
tetapi
daripada
lebih
untuk
mengembangkan perdagangannya. Dalam perjalanan itu Umar bin Khattab
banyak menemui pemuka-pemuka Arab dan bertukar pikiran dengan mereka.
Usaha Umar bin Khattab dalam memburu pengetahuan membuatnya
sejak muda hanya memikirkan nasib masyarakatnya dan usaha apa yang akan
dapat memperbaiki keadaan mereka. Sebelum dan sesudah masuk Islam,
Umar bin Khattab terkenal sebagai seorang yang pemberani, tidak mengenal
takut dan gentar, serta mempunyai ketabahan dan kemauan yang keras. Hal
inilah yang membuatnya bangga, bersikeras dan menjadi fanatik dengan
pendapatnya sendiri tentang tujuan yang ingin dicapainya itu.
Sesudah masa mudanya mencapai kematangan, Umar terdorong ingin
menikah. Kecenderungan banyak kawin ini sudah diwarisi dari masyarakatnya
dengan harapan mendapat banyak anak. Umar bin Khattab menikah dengan
empat perempuan di Mekkah, dan yang perempuan kelima setelah hijrah ke
Madinah.56
Istri yang pertama adalah Zainab saudara perempuan Utsman bin
Maz’un. Istri kedua adalah Qaribah, putri Umait al-Makhzumi, saudara
perempuan Ummu Salamah (Istri Nabi Muhammad SAW), karena tidak mau
memeluk Islam, dicerai oleh Umar pada tahun ke-6 H setelah tercapainya
Perjanjian Hudaibiyah. Istri ketiga adalah Malaikah, putri Jarul al-Khuza’i,
55
Abdullatif Ahmad ’Aasyur, 10 Orang Dijamin ke Surga, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1991), h. 44.
56
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., h. 14.
karena tidak mau memeluk Islam, dicerai oleh Umar pada tahun ke-6 H. Istri
keempat adalah Jamilah, putri Tsabit bin Abi al-Aflah, kemudian diceraikan.
Istri kelima adalah Ummi Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah
az-Zahra. Istri keenam adalah Ummi Hakim, putri al-Harits binti Hisyam alMakhzumi. Istri ketujuh adalah Fukiha Yamania. Istri kedelapan adalah
Atikah, putri Zaid bin Amr bin Nafil, dinikahi pada tahun 12 H. Ia menikahi
banyak wanita dan memiliki anak yang banyak pula, dan sebagian besar dari
istrinya tersebut meninggal.57
Di antara para istrinya yang masyhur, yang beliau nikahi setelah
diangkat menjadi Khalifah ialah Ummi Kultsum putri Ali bin Abi Thalib dan
Fathimah az-Zahra, yang bersaudara dengan Hasan dan Husein, cucu Nabi
Muhammad SAW. Umar ketika itu usianya telah mencapai 52 tahun.
Anak-anaknya adalah Hafshah (dari Zainab), Abdullah (dari Zainab),
Ubaidillah, ’Asyim (dari Jamilah), Abu Syahma, Abdurrahman, Zaid (dari
Ummi Kultsum), Mujir, Ruqayah (dari Ummi Kultsum).58 Akan tetapi, di
antara anak-anaknya yang menonjol adalah Abdullah bin Umar dan Ummul
Mukminin Hafshah.59
Umar bin Khattab termasuk orang yang paling keras dan kejam serta
paling berani menghadapi kaum Sabi’ (orang yang meninggalkan kepercayaan
nenek moyang). Sikap kerasnya dan cepat naik darah itulah yang membuatnya
sampai berlebihan dalam bertindak keras. Karena waktu itu ia masih muda, hal
itulah yang membuatnya begitu fanatik dengan pandangannya sendiri. Dia
memerangi mereka yang meninggalkan penyembahan berhala tanpa kenal
ampun, juga mereka yang menghina berhala-berhala itu.
Pada momentum itulah Allah berkenan, lalu mengutus Muhammad
kepada masyarakat agar mengajak mereka ke jalan dan agama yang benar.
57
Rachmat Taufiq Hidayat, 111 Teladan Sang Khalifah: Dari Celah-celah Kehidupan
Umar bin Khattab, (Bandung: Mizan, 2000), h. 129-130.
58
Rachmat Taufiq Hidayat, Ibid., h. 130.
59
Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., h. 70-71.
Sesudah ajaran Tauhid mulai menyebar, penduduk Mekkah yang begitu
fanatik terhadap penyembahan berhala mulai menyiksa kaum dhuafa yang
masuk Islam, dengan tujuan supaya mereka kembali kepada penyembahan
berhala. Umar lah yang paling keras menentang dan memerangi ajaran baru
ini, serta berusaha mengancam mereka yang menjadi pengikutnya.
Perlawanan Umar bin Khattab terhadap Nabi Muhammad SAW dan
dakwahnya bukan karena fanatik atau karena tidak mengerti. Tetapi Umar bin
Khattab beranggapan bahwa dengan adanya agama baru yaitu Islam, dapat
merusak dan menghancurkan tatanan hidup di Mekkah. Umar beranggapan
Islam-lah yang ternyata memecah belah persatuan Quraisy dan menginjakinjak kedudukan tanah suci itu. Membiarkan dakwah ini berarti akan
menambah perpecahan di kalangan Quraisy dan kedudukan Mekkah pun akan
semakin hina.
Melihat jumlah kaum muslimin semakin bertambah, Umar bin Khattab
berencana hendak membunuh Nabi Muhammad SAW.60 Pada suatu hari Umar
bin
Khattab
berjalan
dengan
menyandang
pedang
menuju
tempat
berkumpulnya Rasulullah SAW yang pada saat itu sedang di rumah Darul
Arqam di Safa. Di antara mereka terdapat paman Umar bin Khattab sendiri,
yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu Bakar Ash Siddiq, Ali bin Abi Thalib,
dan para sahabatnya yang lain sebanyak kira-kira empat puluh orang.61
Dakwah Islam, pada mulanya adalah lemah dan sangat membutuhkan
sokongan dan dukungan yang kuat. Oleh karena itu Rasul sendiri pernah
berdo’a:
60
Muhammad Husain Haekal, Ibid., h. 77.
Abdullatif Ahmad ’Aasyur, 10 Orang Dijamin Ke Surga, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1991), h. 40.
61
‫ا‬
‫َﻟﻠﻬﻢ ا ﻳﺪ ا ﻻ ﺳﺎﻻ م ﺑﺎ ﺑﻰ اﻟﺤﻜﻢ ﺑﻦ هﺸﺎ م ا و‬
‫ﺑﻌﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎ ب‬
”Ya Allah, perkuat Islam dengan Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal)
atau Umar bin al-Khattab.”62
Kisah keislaman Umar bin Khattab bermula dengan dakwah Rasulullah
SAW. Sebenarnya, kedua orang tersebut memiliki sifat positif yang
berpengaruh. Sebab, sesuatu yang paling utama bagi seorang pembela
kebenaran adalah memiliki pengaruh yang positif di masyarakatnya. Karena
sesuatu yang paling buruk adalah jika seseorang memiliki sifat negatif,
terpengaruh oleh orang di sekitarnya dan ia tidak bisa memberi pengaruh.
Yang menyatukan dua orang ini adalah sifat positif tersebut.
Do’a Rasulullah ini diperkenankan Allah SWT, dengan masuk Islamnya
Umar bin Khattab sesudah lima tahun lamanya Nabi menyeru kepada agama
Islam. Islamnya Umar ini adalah suatu kemenangan yang nyata bagi Islam.
Begitulah, Allah memuliakan agama-Nya dan menambah kekuatan
umatnya melalui masuk Islamnya Umar bin Khattab. Ia mendapat gelar alFaruq.63 Gelar al-Faruq adalah orang yang mampu membedakan antara
kebenaran dan kebatilan, diberikan oleh Rasul ketika dia masuk Islam pada
tahun kelima kenabian.
Sebelum Umar masuk Islam, kaum Muslimin tidak berani untuk
melaksanakan shalat secara terang-terangan. Tetapi sejak Umar masuk Islam,
kaum muslimin terang-terangan melaksanakan shalat di sekitar Ka’bah
meskipun kafir Quraisy melihat mereka.
62
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 31.
Said bin Ali Al Qahthani, Al Hikmatu Fid Da’wah Ilallah Ta’ala, Penterjemah:
Masykur Hakim dan Ubaidillah, Da’wah Islam Da’wah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press,
1994), h. 170.
63
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: ”Kami selalu merasa bangga sejak Umar
masuk Islam.”(H.R. Bukhari). Selanjutnya ia menyatakan, ”Islamnya Umar
adalah suatu kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan
kepemimpinannya adalah rahmat. Demi Allah, sebelum Umar masuk Islam
kami tidak berani terang-terangan bershalat di sekitar Ka’bah. Namun ketika
masuk Islam, ia perangi mereka sehingga mereka tidak lagi mengganggu
kami shalat.”64
Umar bin Khattab termasuk sahabat dekat Rasulullah SAW. Umar bin
Khattab rela berkorban untuk melindungi Rasulullah SAW dan agama Islam,
serta ikut berperang dalam peperangan yang besar di masa Rasulullah SAW.
Umar bin Khattab juga dijadikan sebagai tempat rujukan oleh Rasulullah
SAW mengenai hal-hal yang penting.65
Sewaktu terjadi perselisihan antara Quraisy dan kaum Muslimin, Umar
bin Khattab sangat mengharapkan dia yang akan ditunjuk oleh Rasulullah
menjadi penengah, seperti yang biasa dilakukannya sejak nenek moyangnya
dulu di zaman jahiliyah jika terjadi perselisihan di antara para kabilah. Tetapi
pilihan Rasulullah jatuh kepada Abu Ubaidah, padahal Umar begitu dekat di
hatinya. Hal ini membuktikan bahwa Rasulullah menginginkan Umar tetap
berada di Madinah.
Quraisy tidak puas dengan perdamaian yang ditawarkan Rasulullah agar
memberikan kebebasan orang berdakwah demi agama Allah. Mereka bahkan
tetap memperlihatkan permusuhan kepada Rasulullah dan sahabat-sahabatnya.
Tatkala Rasulullah dengan kekuatan tiga ratus orang Muslimin keluar
menyongsong mereka di Badr, dan Rasulullah tahu bahwa di pihak Quraisy
yang datang dengan kekuatan lebih dari seribu orang, Rasulullah
64
Said bin Ali Al Qahthani, Ibid., h. 170.
Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997), h. 52.
65
bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Umar bin Khattab dan Abu Bakar
Ash Siddiq menyarankan untuk menghadapi tentara Quraisy.66
Tentara muslimin menawan tujuh puluh orang Quraisy, kebanyakan
pemimpin-pemimpin dan orang-orang berpengaruh di kalangan mereka. Umar
bin Khattab termasuk termasuk orang yang paling keras ingin membunuh para
tawanan itu. Tetapi para tawanan itu masih ingin hidup dengan jalan
penebusan. Tetapi Umar bin Khattab menatap mereka penuh curiga.
Dalam hal ini Rasulullah bermusyawarah dengan muslimin dan berakhir
dengan menerima tebusan dan Nabi membebaskan mereka. Tetapi tak lama
kemudian datang wahyu dengan firman Allah ini:
⌧
”Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat
melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda
duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al- Anfaal:67)
Dengan demikian Rasulullah dan kaum muslimin sangat menghargai
pendapatnya, kedudukannya makin tinggi di samping Nabi dan di kalangan
muslimin umumnya. Ia tidak dapat menyaksikan ketidak-adilan dibiarkan dan
ia tidak dapat menyaksikan ketentuan agama dilanggar.
Sewaktu tokoh munafik Abdullah bin Ubay meninggal dunia. Rasulullah
bermaksud mensholatkan, Umar bin Khattab segera mengingatkan tipu daya
dan kejahatan orang itu terhadap Islam, dengan membacakan firman Allah:
66
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 46.
⌧
⌧
”Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan
ampun bagi mereka (adalah sama saja). kendatipun kamu memohonkan
ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan
memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah Karena mereka
kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
kaum yang fasik.” (Q.S. at-Taubah: 80)
Rasulullah tersenyum melihat semangat Umar bin Khattab demikian
rupa menyerang orang yang sudah meninggal seraya katanya: ”Kalau saya
tahu dengan menambah lebih dari tujuh puluh dapat diampuni akan
kutambah.” Rasulullah mensholatkan juga dan ikut mengantarkan sampai
selesai penguburan. Setelah itu datang firman Allah:
⌧
⌧
”Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan (jenazah) seorang yang
mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya.
Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka
mati dalam keadaan fasik.” (Q.S. At-Taubah: 84)
Pada saat Khalifah Abu Bakar meninggal dan kesedihan meliputi
penduduk Madinah, maka hal itu wajar. Pada saat ’Aisyah binti Abu Bakar
beserta wanita-wanita lainnya itu menangis meratap, dan Umar bin Khattab
menasihati mereka itu tetapi diacuhkan. Maka ia memerintahkan Hisyam ibn
Walid masuk ke dalam dan membawa ke luar Ummu Farwat binti Abi
Kahafah, saudara perempuan dari Khalifah Abu Bakar, lalu mencambuknya
dengan cemeti. Mendengar jeritan di luar itu barulah seluruh ratap tangis itu
berhenti.67
Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq wafat hari senin petang setelah matahari
terbenam 21 Jumadil Akhir tahun ke-13 sesudah hijrah (22 Agustus 832 M).
Setelah malam tiba jenazahnya dimandikan dan dibawa ke Masjid di tempat
pembaringan yang dulu dipakai Rasulullah, disholatkan dan dibawa ke makam
Rasulullah. Pemakaman dilakukan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan,
Talhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin Abu Bakar.68
B. Umar bin Khattab Menjadi Khalifah
Ketika Abu Bakar wafat, diangkatlah Umar bin Khattab sebagai khalifah
sesudahnya. Sewaktu beliau menjabat sebagai khalifah, orang-orang
menyangka bahwa ia akan bersikap keras terhadap mereka. Karena itu, orangorangpun merasa takut terhadap Khalifah Umar bin Khattab.
Menyadari hal ini, Umar bin Khattab bangkit berkhutbah di hadapan
manusia dengan isi khutbah yang menampakkan betapa dalam pemahamannya
terhadap agama Islam. Beliau berkata kepada umatnya:
”Orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan
ini akan bertalian dengan pengendara di mana jalan yang akan dilalui,
dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukkan kepada kamu ke jalan
yang harus engkau lalui.”69
67
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), h. 140.
68
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 90.
69
Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penterjemah: Djahdan
Human, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 15.
Allah SWT telah memberi ilham dan taufik kepada Umar bin Khattab
dalam memperkenankan panggilan zaman, menjawab tantangan hidup baru,
dan membangun negara Islam.70
Di zaman Khalifah Umar bin Khattab, gelombang ekspansi (perluasan
daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibukota Syria, yaitu Damaskus jatuh tahun
635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran
Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan
memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah
pimpinan ’Amr bin ’Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi
Waqqash. Iskandaria, ibukota Mesir ditaklukan tahun 641 M. Dengan
demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota
dekat Hirah ke ibukota Persia, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada
masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah
Arab, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.71
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Khalifah Umar bin
Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi
yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur
menjadi delapan wilayah provinsi; Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah,
Kuffah, Palestina dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu
didirikan.72
Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan
pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga
yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban,
jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar
juga mendirikan Bait al-Maal membuat mata uang, menciptakan tahun
hijriyah dan mengadakan nisbah (pengawasan terhadap pasar, pengontrolan
terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata tertib dan susila,
pengawasan terhadap kebersihan jalan dan sebagainya).73
Khalifah Umar bin Khattab bukan saja menciptakan peraturan-peraturan
baru, Khalifah Umar bin Khattab juga memperbaiki dan mengadakan
70
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), Jilid
1, h. 263.
71
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985),
72
Syibli Nu’man, Umar Yang Agung, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 264-276
dan 324-418.
73
A. Syalabi, Op. Cit., h. 263.
perubahan terhadap peraturan-peraturan yang telah ada, bila kelihatan bahwa
peraturan itu perlu diperbaiki dan dirubah. Misalnya peraturan yang telah
berjalan, yaitu: ”Bahwa kaum Muslimin diberi hak menguasai tanah dan
segala sesuatu yang didapat dengan berperang.” Khalifah Umar mengubah
peraturan ini, yaitu tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya
semula, tetapi berkaitan dengan ini diadakan pajak tanah (al-Kharaj).
Khalifah Umar bin Khattab juga meninjau kembali bagian-bagian zakat
yang diperuntukkan kepada orang-orang yang dijinaki hatinya (al muallafatu
qulubum) mengenai syarat-syarat pemberiannya bagi mereka.
Nabi Muhammad SAW telah dapat memenuhi dunia ini dengan cahaya
agama Islam yang terang benderang. Dengan kesabaran dan ketabahan hati
Abu Bakar cahaya yang terang benderang itu dapat dikembalikan lagi.
Kemudian datanglah Umar bin Khattab, dihiasinya dunia Islam dengan
peraturan-peraturan yang paling baik dan bagus. Hingga sampai sekarang
alam islami masih tetap hidup, menikmati cahaya utama yang sebagian
terbesar bersumber dari Nabi Muhammad SAW dan dua orang sahabatnya
yang besar itu.
Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang
dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada
mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi Khalifah.74 Orangorang tersebut adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman
bin ’Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk
74
A. Syalabi, Ibid., h. 263.
Utsman bin Affan sebagai Khalifah, melalui persaingan yang agak ketat
dengan Ali bin Abi Thalib.
Beberapa hari kemudian, Khalifah yang agung itu berpulang
kerahmatullah,
dengan
meninggalkan
kenang-kenangan
yang
indah.
Perjalanan hidup Umar bin Khattab adalah salah satu dari perjalanan hidup
yang paling abadi yang pernah diriwayatkan oleh sejarah.
Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab itu sepuluh tahun enam
bulan, yaitu dari tahun 13 H/634 M sampai tahun 23 H/644 M. Ia meninggal
dalam usia 63 tahun.75 Ia meninggal karena dibunuh, tragedi ini merupakan
pembunuhan politik yang pertama kali terjadi di dalam sejarah Islam. Ia
dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah.
Khalifah Umar bin Khattab menjalankan kekhalifahan dengan mencapai
banyak kemajuan. Masa kekhalifahannya lama menjadi salah satu kesempatan
baginya untuk mencapai hasil yang jauh lebih besar.76
Umar bin Khattab dimakamkan pada bekas rumah Aisyah binti Abu
Bakar, bersebelahan dengan makam Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar
Ash Siddiq, yang sekarang ini sudah termasuk ke dalam lingkungan Masjid
Nabawi.
C. Prestasi-prestasi Khalifah Umar bin Khattab
1. Bidang Politik
a) Sebutan Amirul Mukminin
75
76
Joesoef Sou’yb, Op. Cit., h. 141.
Amru Khalid, Op. Cit., h. 107.
Setelah Abu Bakar Ash Siddiq dijuluki dengan Khalifah
Rasulullah manusia kebingungan mengenai julukan untuk Khalifah
Umar bin Khattab. Pada saat itu, datanglah Ahmad bin Qais bersama
para utusan Irak yang hendak menemui Khalifah. Mereka berkata
kepada Amru bin Ash, ”Mintakanlah kami izin untuk menemui Amirul
Mukminin.” Amru lantas berkata, ”Siapa?” mereka menjawab,
”Amirul Mukminin! Bukanlah Umar adalah pemimpin kami.” Amru
menjawab, ”Ya.” Mereka memastikan lagi, ”Bukankah kami adalah
kaum Mukmin?” Amru lagi-lagi menjawab, ”Ya.” Mereka lalu
berkata, ”Maka, ia adalah Amirul Mukminin.”
Maka, setelah hari itu sebutan Amirul Mukminin dilekatkan pada
Khalifah Umar bin Khattab. Dialah orang pertama yang dijuluki
dengan sebutan Amirul Mukminin.
b) Penanggalan Hijriyah
Di tengah-tengah masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar
bin Khattab, surat-surat yang sampai padanya tanpa tanggal. Kemudian
ia ingin mengatur tulisan-tulisan tersebut untuk dibalas dan hal itu
harus mengetahui tanggalnya. Dia merasa bahwa hal itu membutuhkan
penggunaan kalender tertentu.
Khalifah Umar bin Khattab menginginkan umat ini memiliki
penanggalan khusus untuk membedakan dari yang lainnya dalam
beberapa hal. Lalu, orang-orang mengusulkan agar penanggalan
dimulai dengan kelahiran Rasulullah SAW atau Isra Mi’raj. Tetapi,
Khalifah Umar menolaknya. Akhirnya memilih waktu hijriyah sebagai
awal penanggalan. Hal ini menunjukkan betapa jauhnya pandangannya
terhadap hal itu karena ia melihat bahwa tanggal tersebut merupakan
awal permulaan pendirian Negara Islam.77
c) Ronda Malam
Umar bin Khattab adalah pemimpin pertama dalam sejarah
manusia yang berjalan sehari-hari pada waktu malam dan berkeliling
di antara rumah-rumah masyarakat untuk mengetahui keadaan mereka
dari dekat. Apabila di sela-sela perjalannyan mendengar ada suatu
masalah, beliau akan memberi tanda rumah itu untuk membedakan
dengan rumah lainnya.
d) Muktamar Tahunan Para Panglima dan Pemimpin
Umar bin Khattab selalu mengumpulkan segenap pemimpin,
panglima dan siapa saja yang memegang tanggung jawab untuk
mengintrospeksi dan mendengarkan pendapat mereka. Muktamar ini
dilaksanakan setiap tahun di Mina pada musim haji.
e) Dirrah Milik Umar
Umar bin Khattab adalah orang pertama kali yang menggunakan
dirrah yaitu tongkat kecil yang ia gunakan untuk memberi pelajaran.
Beliau berjalan sambil memegang dirrah dan jika ia melihat sebuah
penyimpangan yang dilakukan oleh salah seorang, maka akan
menghukumnya dengan dirrah tersebut.78
f) Penentuan Tapal Batas
77
78
Amru Khalid, Ibid., h. 111
Amru Khalid, Ibid., h. 112
Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali membuat
perbatasan negeri-negeri. Pada masa kekhalifahannya, telah dibuat
perbatasan kota Kuffah. Dialah yang telah memerintahkan untuk
menjadikan masjid berada di pusat kota. Dia juga telah membuat
perbatasan kota Basrah dan Fusthath.
g) Membentangkan Jalan
Umar
bin
Khattab
adalah
orang
yang
pertama
kali
membentangkan jalan dan menghilangkan tikungan tajam dan lubang
yang cukup besar. Dialah yang mengatakan kalimat yang terkenal,
”Sekiranya seekor keledai tergelincir di Iraq, niscaya aku akan ditanya
Allah SWT tentang pertanggungjawabannya.” Tidak hanya manusia,
beliau juga sangat perhatian terhadap binatang.
2. Bidang Ibadah
a) Shalat Tarawih
Dalam masalah ibadah, Umar bin Khattab pertama kali
menyelenggarakan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan secara
berjamaah. Dengan begitu masji-masjid diramaikan pada malammalam bulan Ramadhan.
Diceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepeninggal Khalifah
Umar menyaksikan setiap masjid yang dilintasinya terang-benderang
oleh cahaya pelita pada malam bulan Ramadhan. Lalu iapun berdoa:
”Ya Allah, sinarilah makam Umar, sebagaimana masjid-masjid kami
terang-benderang karenanya.”79
b) Shalat Jenazah
Rasulullah SAW melaksanakan shalat jenazah dengan empat
takbir, lima kali takbir, dan juga pernah mengerjakannya dengan enam
kali takbir. Akan tetapi, Umar bin Khattab lebih sering mengerjakan
shalat jenazah dengan empat kali takbir. Beliau kemudian menyatukan
manusia dengan menetapkan empat kali takbir pada shalat jenazah.
c) Perluasan Masjid Nabawi
Suatu ketika Umar bin Khattab hendak memperluas Masjid
Nabawi. Beliau kemudian hendak menggabungkan rumah Abbas
(paman Rasulullah SAW) dengan masjid untuk memperluas masjid
tersebut. Akan tetapi, Abbas menolak menyerahkan rumahnya untuk
digabungkan dengan masjid. Lalu, keduanya mengajukan perkara
tersebut kepada Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menjabat sebagai
hakim. Kemudian Ali membenarkan tindakan Abbas, sebab Islam
menghormati kepemilikan individu. Tatkala sang hakim telah
membenarkannya, Abbas berkata, ”Sekarang aku serahkan rumah itu
untukmu. Hal ini aku lakukan untuk mengangungkan kehormatan
kaum muslimin.”
d) Memberikan Hadiah
Umar bin Khattab adalah orang pertama kali yang memberikan
hadiah kepada para penghafal al-Quran.
79
Amru Khalid, Ibid., 113
e) Memundurkan Maqam Nabi Ibrahim as
Yaitu tempat dimana Nabi Ibrahim as berdiri utuk membangun
Ka’bah. Pada awalnya maqam tersebut menempel pada Ka’bah.
Akibatnya, jika kaum muslimin hendak melakukan thawaf, mereka
menjauh dari Ka’bah. Kemudian beliau berinisiatif membuat jarak
sedikit sehingga orang-orang dapat melaksanakan thawaf dan
memudahkan mereka.
3. Hubungan dengan Non Muslim
a) Mengusir Yahudi dari Jazirah Arab
Keberadaan orang-orang Yahudi di Jazirah Arab adalah kerugian
besar atas kaum muslimin. Dahulu Rasulullah SAW membiarkan
orang-orang Yahudi Khaibar berada di Khaibar agar kaum muslimin
diperkenankan mengambil setengah hasil dari Khaibar. Rasulullah
SAW mengutus Abdurrahman bin Auf untuk menghitung hasil-hasil
tersebut.
Tiba-tiba salah seorang pemimpin Yahudi datang menemui
Abdurrahman untuk menghasut agar mengkorupsi hasil-hasil tersebut
dan dibagi-bagi kepada Yahudi. Abdurrahman bin Auf kemudian
melepas sepatu lalu memukulkannya ke kepala orang Yahudi tersebut.
”Apakah engkau hendak menyogokku dalam tanggungan Umar bin
Khattab dan tanggungan Rasulullah?! Demi Allah, tidak ada yang
layak bagimu kecuali sepatu dan sandalku pada wajahmu,” tegas
Abdurrahman. Tatkala berita itu sampai kepada Amirul Mukminin,
kemudian beliau memerintahkan untuk mengusir mereka dari Jazirah
Arab.80
b) Kewajiban Jizyah atas Ahlul Kitab sesuai Kemampuan
Kewajiban membayar jizyah atas ahlul kitab sesuai dengan
kemampuan pendapatan pribadinya. Dengan demikian, pada masa
Khalifah Umar bin Khattab, jizyah orang fakir berbeda dengan jizyah
orang kaya.
80
Amru Khalid, Ibid., h. 115-116.
c) Menggugurkan Kewajiban Jizyah bagi Ahlul Kitab yang Fakir dan
Lemah
Umar bin Khattab pernah melihat seorang Yahudi di Madinah
yang sedang meminta-minta. Tatkala Umar bertanya mengenai sebab
orang tersebut melakukan hal itu, maka dijawab, ”Untuk membayar
jizyah.” Umar bin Khattab kemudian berkata, ”Demi Allah, kalau
begitu berarti kami tidak mengasihimu. Kami mengambil jizyah dari
kalian saat kalian masih muda dan sudah tua.”
4. Bidang Militer
Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali mendirikan kampkamp militer yang permanen, memerintahkan wajib militer, mendirikan
pos militer di daerah perbatasan, membatasi waktu seorang suami yang
pergi berjihad untuk boleh meninggalkan istrinya. Beliau menetapkan
tidak meninggalkan rumahnya melebihi 4 bulan. Khalifah Umar bin
Khattab juga yang pertama kali membuat kekuatan cadangan yang
terkoordinasi dan mengumpulkan 30.000 kuda untuk kekuatan tersebut.
Beliau juga yang pertama kali memerintahkan panglima perang untuk
menyerahkan laporan hal-hal yang terperinci tentang prajurit.
Beliau pula yang pertama kali membuat buku khusus para tentara
untuk mendaftar nama-nama dan gaji mereka, menentukan gaji tetap bagi
para tentara. Serta beliau pula yang pertama kali mengkhususkan para
dokter, para penerjemah, dan para penasihat untuk menyertai pasukan.
Beliau pula yang pertama kali membentuk departemen perbekalan
(logistik).
5. Bidang Administrasi Negara
Khalifah Umar bin Khattab adalah orang pertama yang mendirikan
berbagai departemen, membuat kementerian wakaf, mewajibkan para
pekerja dan pejabat untuk melaporkan harta benda, membuat Baitul Maal
(perbendaharaan negara).
Selain itu Khalifah Umar bin Khattab juga orang pertama yang
membuat
pecahan
uang
dirham
dan
menentukan
timbangannya,
mengambil zakat kuda, mewajibkan pengeluaran harta bagi suatu bangsa,
menentukan nafkah anak jalanan diambil dari Baitul Maal.
Beliau juga orang pertama yang mengukur tanah dan membatasi
jaraknya, membagi-bagi makanan di berbagai negeri, membuat sebuah
rumah untuk tamu guna menyambut para utusan, mendirikan tempat
peristirahatan di antara negeri-negeri dan di jalan-jalan.
Beliau juga orang pertama yang menghutangkan uang dari Baitul
Maal kepada siapa saja yang ingin berdagang, membasmi penimbun
makanan, dan membuat tempat yang terlindung untuk menggembala unta
dan lembu.
BAB IV
ANALISIS METODE DAKWAH
KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB
Dalam menguraikan bab IV ini yaitu metode dakwah Khalifah Umar bin
Khattab, penulis akan membaginya dalam beberapa sub bahasan. “Sebagai salah
seorang pemimpin pengganti setelah Rasulullah SAW yang paling lama, yaitu 10
tahun, 6 bulan, 4 hari memegang pemerintahan Islam. Beliau menjalankan
kekhilafahan dengan mencapai banyak kemajuan.”81 Khalifah Umar mempunyai
cara atau metode agar kepemimpinannya tetap eksis menegakkan kalimatullah di
muka bumi. Metode dakwah yang beliau gunakan di antaranya adalah al-Hikmah
dan al-Mauidzatil al-Hasanah.
Penulis tidak menemukan referensi yang menyebutkan secara jelas dan valid
bahwa metode dakwah al-Mujadalah digunakan Khalifah Umar dalam
berdakwah. Oleh karena itu, penulis hanya membahas dua metode di atas. Selain
itu penulis juga menganalisis metode dakwah tersebut, masih relevan atau tidak
metode dakwah yang digunakan pada masa Khalifah Umar bin Khattab diterapkan
pada masa kini, khususnya pada masyarakat Indonesia.
A. Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab
Secara fungsional da’i adalah pemimpin, yakni yang memimpin
masyarakat dalam menuju ke jalan Allah SWT. Oleh karena itu, seorang da’i
harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan bagi
81
Amru Khalid, Jejak Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, (Solo: PT.
Aqwam Media Profetika, 2007), Cet. ke-1, h. 107.
50
seorang juru dakwah sebagai seni untuk mempengaruhi manusia, yang
merupakan kepandaian mengatur orang lain.82
Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Beliau
meneruskan amanah dakwah dari kepemimpinan sebelumnya, yaitu Khalifah
Abu Bakar Ash Siddiq. Dalam meneruskan dakwahnya beliau menggunakan
metode dakwah, yaitu metode al-Hikmah dan al-Mauidzatil al-Hasanah.
1. Al-Hikmah
Dalam metode dakwah al-Hikmah, banyak hal-hal yang dilaksanakan
oleh Khalifah Umar agar dakwahnya berjalan sesuai dengan tujuan
dakwah, di antaranya:
a. Mengenal Strata Mad’u
Mengenal Strata Mad’u Sebagai Landasan Normatif
Dalam menyampaikan dakwah Khalifah Umar tidak terlalu
memperhatikan strata dalam mad’u, karena khalifah berpandangan
bahwa setiap manusia kedudukannya adalah sama di mata Allah SWT,
yang membedakannya hanyalah taqwa kepada-Nya.
Dalam kepemimpinannya, Khalifah Umar sangat memperhatikan
keadaan rakyatnya. Beliau terkenal sebagai seorang yang jujur dan adil
dalam menegakkan hukum yang berlaku. Siapa saja yang melanggar
hukum, tentu mendapatkan hukuman, sekalipun itu anak kandung
sendiri.
Oleh karena sikap disiplin Khalifah Umar dalam memimpin,
maka rakyatpun merasa dapat perlindungan sebagaimana mestinya.
82
Munzier Suparta dan Harjanti Hefni (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media,
2003), Cet. ke-1, h. 175-176.
Sehingga rasa hormat dan menghormati kepada Khalifah Umar pun
tumbuh dengan subur di hati masyarakatnya. Sebagai contoh:
Pada pidato pertama kepemimpinannya, Khalifah Umar berkata:
“…demi Allah, sungguh jika salah seorang dari orang yang berbuat
zalim melampaui batas terhadap orang-orang yang berbuat keadilan
dan orang-orang beragama, niscaya aku akan meletakkan pipinya di
tanah kemudian kuletakkan kakiku di atas pipinya hingga aku
mengambil hak darinya. Setelah itu, akan kuletakkan pipiku di tanah
kepada orang-orang yang menjaga kehormatan dan agama hingga
mereka meletakkan kaki mereka di atas pipiku sebagai wujud kasih
sayang dan kelembutan terhadap mereka.
Sesungguhnya, kalian memiliki beberapa urusan yang kuberikan
syarat terhadap kalian. Pertama, selamanya aku tidak akan mengambil
harta kalian. Tidak untuk diriku ataupun keluargaku. Kedua, aku akan
mengembangkan harta dan menambah rezeki untuk kalian. Ketiga, aku
tidak berlebihan dalam mengirim kalian (berperang). Jika aku
mengirim kalian maka akulah yang akan menjadi penanggung
keluarganya. Kalian juga memiliki perkara empat yang harus kalian
lakukan terhadapku. Yaitu, jika kalian tidak memerintahkanku dengan
kebaikan dan mencegahku dari kemungkaran serta menasihatiku, maka
akan kuadukan kalian kepada Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat
kelak.”83
Perhatian Khalifah Umar kepada rakyat kecilpun sangat
mendalam, sehingga beliau sering melakukan ronda malam untuk
melihat langsung bagaimana keadaan rakyat yang sebenarnya. Dengan
rakyat kecil, Khalifah Umar pun ngobrol secara tatap muka (face to
face) dan dari hati ke hati, sehingga apa yang menjadi suara hati
mereka dapat tersalurkan dengan baik.
Khalifah Umar telah membuktikan akan arti pepatah “duduk
sama rendah, berdiri sama tinggi,” yang merupakan pokok dasar ajaran
Islam. Rakyat kecil yang sedang berada dalam kesusahan disantuninya
dengan penuh kasih sayang. Khalifah Umar sadar, bahwa dia datang
dari rakyat jelata, yang setelah berhenti jabatan nantinya akan kembali
83
Amru Khalid, Op. Cit., h. 108 – 109.
ke tengah-tengah rakyat pula. Karena sikap tawadlu’ (rendah diri)
kepada siapa saja dan rasa kasih sayang tetap tertanam subur dalam
sanubarinya.
Sesungguhnya kepemimpinan Umar tak mengenal diskriminasi
dan dikotomi84 secara dzhalim sebagaimana yang digariskan oleh
orang-orang modern saat ini, yang memandang seseorang berdasarkan
kebangsaan dan warna kulit. Akan tetapi Islam memandang manusia
dengan satu pandangan yang tegak di atas hak-hak manusia, tidak
berlaku diskriminasi. Tidak ada dalam sejarah yang lebih menjaga
persamaan derajat dan menjaga hak-hak manusia sebagaimana yang
telah diberikan oleh Islam.
b. Bila Harus Bicara dan Diam
1) Adab Berbicara
Dalam berbicara, Khalifah Umar sangat memperhatikan
kondisi mad’u yang sedang dihadapinya. Beliau memiliki bahasa
yang lugas dan tegas dalam menyampaikan sesuatu, sehingga
mad’u yang sedang diajak bicara mengerti dan faham apa yang
didengarkan serta apa yang harus dilakukan.
Khalifah Umar pernah menyampaikan pidato kepada
penduduknya yang menjelaskan bahwa beliau mengangkat para
gubernur dan pejabat di setiap wilayah kekuasaan Islam, bukan
84
Dikotomi: pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan.
untuk memukuli tubuhmu atau mengambil uangmu, tetapi untuk
mendidik dan melayanimu.
Adab berbicara yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab
merupakan bahasa yang lugas, jelas, tegas dan dapat langsung
dimengerti oleh mad’unya.
2) Bila Harus Bicara
a) Memilih kata-kata yang baik
Kata-kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan
menggerakkan tingkah laku manusia manakala kata-kata yang
disajikan mempunyai daya panggil yang efektif.
Dalam kehidupan sehari-harinya, khalifah Umar sangat
pandai memilih kata-kata sebelum berbicara. Karena semasa
jahiliyah dan sampai menjadi khalifah, beliau sangat senang
merangkai kata-kata lalu membuatnya menjadi syair.
Apabila Khalifah Umar bertemu dengan seseorang yang
melakukan kegiatan positif, beliau bertutur kata dengan baik
dan bijaksana. Sebagai contoh:
“Pada suatu hari Khalifah Umar bin Khattab sedang
berjalan. Kemudian seorang pemuda yang sedang menaiki
keledainya melihatnya. Dia melihat Amirul Mukminin berjalan
dengan kedua kakinya. Lalu ia berkata, “Wahai Amirul
Mukminin, naiklah dan aku akan berjalan.” Beliau kemudian
menjawab, “Tidak, demi Allah, lebih baik kita naik bersamasama.” Pemuda itu berkata lagi, “Naiklah engkau di bagian
depan dan aku yang akan berada di belakangmu.” Beliau
berkata, “Tidak, naiklah engkau di bagian depan di tempat yang
rata dan biarlah aku berada di belakang di tempat yang
kasar.”85
Tetapi apabila beliau melihat seseorang melakukan
kegiatan yang negatif, beliau bertutur kata sangat tegas dan
lugas. Sebagai contoh:
“Pada suatu hari putra dari Amru bin Ash (gubernur
Mesir) berpacu kuda dengan orang-orang Mesir. Tetapi
kemudian mereka berselisih dalam menentukan pemenangnya.
Putra gubernur Amr marah dan memukul orang Mesir tersebut
seraya berkata, “Aku ini putra dua orang yang mulia.”
Perbuatan putra Amr itu dilaporkan kepada Khalifah
Umar bin Khattab. Beliau lalu memanggil mereka dengan
disertai gubernur Amr bin Ash sendiri. Setelah melakukan
pengecekan, maka diputuskan orang Mesir tersebut harus
membalas pukulan anak gubernur dengan pukulan lagi. Orang
itu juga disuruh memukul gubernurnya, dengan demikian
putranya tidak akan berani lagi memukul orang secara
sembarangan. Hanya karena kekuasaan ayahnya ia berani
melakukan hal tersebut.
Khalifah Umar bin Khattab lalu berkata kepada gubernur
Amr bin Ash dengan nada keras, “Sejak kapan kamu
memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu
mereka dalam keadaan bebas merdeka.”
Dengan berbagai alasan yang dapat diterima dan dengan
disaksikan orang banyak, gubernur Amr akhirnya dapat
terbebas dari hukuman. Karena Khalifah Umar bin Khattab
tidak mau membeda-bedakan antara rakyat awam dengan
penguasa.”86
Sikap seperti di atas Khalifah Umar lakukan untuk
mendidik
dan memberi pelajaran kepada masyarakatnya,
bahwa Allah SWT akan membalas sikap hamba-Nya yang
melakukan suatu kebaikan sekecil apapun, dan sebaliknya
Allah akan membalas pula sikap hamba-Nya yang melakukan
keburukan sekecil apapun.
85
Amru Khalid, Ibid., h. 133-134.
Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang Dijamin Masuk Surga, (Jakarta: Gema Insani
Press, 1991), h. 52-53.
86
b) Meletakkan Pembicaraan Sesuai pada Tempatnya
Khalifah Umar mampu menempatkan pembicaraan,
dimana dia harus bersikap tegas dalam berbicara dan dimana
dia harus bersikap lemah lembut kepada mad’unya. Sebagai
contoh:
“Setelah menjadi khalifah, Umar bin Khattab berubah
menjadi manusia lain. Beliau mengumumkan tentang dirinya
dengan ucapannya; “Janganlah kamu mengira sifat kerasku
tetap bercokol. Sejak awal ketika aku bersama Rasulullah
SAW, aku selalu menjadi keamanan dan ketentraman negeri
(menteri dalam negeri). Tetapi kini setelah urusan diserahkan
kepadaku, akulah orang yang paling lemah di hadapan yang
haq.”87
c) Memilih kata-kata yang akan dibicarakan
Khalifah
Umar
menyadari
bahwa
lisan
dapat
menunjukkan suasana hati. Lisan yang fasih, tegas dan penuh
percaya diri merupakan gambaran kondisi hati seseorang yang
tenang dan bersemangat. Beliau sangat hati-hati memilih katakata yang akan dibicarakan. Sebagai contoh:
“Pada masa Khalifah Umar terjadi kemarau panjang yang
dahsyat yang dimulai pada akhir musim haji tahun 18 Hijriah
sampai awal musim haji tahun 19 Hijriayah. Bumi menjadi
kering dan hitam kelabu. Selama hampir setahun, tidak setetes
air hujan turun.
Untuk mengatasi kemarau panjang tersebut, beliau
memulai dari dirinya sendiri. Beliau membatasi diri dan
keluarganya makan-makanan yang lezat, seperti; minyak
87
Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, Ibid., h. 48
samin, daging, dan buah-buahan. Beliau menyuruh penata
makanan agar menghidangkan roti dan minyak saja.
Kelaparan semakin meluas, banyak penduduk terancam
mati kelaparan. Musim dingin tiba dan angin kencang pun
membahana membawa maut. Peristiwa ini melanda seluruh
Jazirah Arab. Penduduk pedalaman yang lapar datang
memasuki kota Madinah. Mereka diterima Khalifah Umar
dengan memberikan bantuan pangan sepenuhnya. Tapi semakin
hari, persediaan makanan semakin menipis.
Khalifah Umar kemudian menulis surat ke beberapa
gubernur. Isi suratnya kepada gubernur Amru bin Aash
berbunyi:
“Dari: Hamba Allah Amirul Mukminin
Kepada Al’aashi ibnul Aash di tempat salam untukmu. Apakah
kamu akan membiarkan aku dan rakyat sekelilingku binasa
sedang kamu dan rakyat sekelilingmu hidup berkecukupan?
Maka dari itu tolonglah aku, dan tolonglah.”
Gubernur Amru bin Aash menjawab surat Khalifah
Umar. Inilah isi suratnya:
“Amma ba’du.
Bantuan dan pertolongan akan segera tiba. Aku akan
mengirimkan kafilah-kafilah yang berawal di tempat anda dan
berakhir di tempat kami. Wassalam.”
Kepada seluruh rakyatnya beliau berseru:
“Disediakan makanan secukupnya dan siapa saja dipersilakan
makan. Barang siapa hendak mengambil untuk kebutuhannya
dan kebutuhan keluarganya, maka dipersilakan ia datang
mengambilnya.” 88
Sebenarnya musibah di atas sangat gawat, tetapi Khalifah
Umar mampu mengatasinya dengan pikiran dan retorika yang
tenang serta berhati besar. Beliau paham sekali, bagaimana
harus bersikap dan bertindak sebelum mengambil keputusan.
Beliau tidak mau dituduh membunuh kaumnya karena sikap
“tegasnya” untuk tidak menerima bantuan dari wilayah-wilayah
yang beliau kuasai. Tetapi dengan pemikiran Khalifah Umar
yang jernih dan sikap yang tawadhu serta tidak mementingkan
88
Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, Ibid., h. 53-54
diri sendiri, beliau meminta bantuan pangan dan lain
sebagainya.
3) Bila Harus Diam
a) Diam untuk Menghindari Konfrontasi
“Pada suatu hari seorang lelaki datang ke rumah Khalifah
Umar bin Khattab hendak mengadukan keburukan akhlak
istrinya. Namun setiba di samping rumahnya, ia mendengar
istri Khalifah Umar bin Khattab mengeluarkan kata-kata yang
keras dan kasar kepada suaminya, sementara Khalifah Umar
tidak menjawab sepatah kata pun. Akhirnya orang itu berpikir,
sebaiknya dia membatalkan niatnya.
Ketika orang itu hendak berbalik pulang, Khalifah Umar
baru saja keluar dari pintu rumahnya. Beliau segera berteriak
memanggil orang itu. Khalifah langsung berkata kepadanya,
“Engkau datang kepadaku tentu hendak membawa suatu berita
yang penting!”
Orang itu lalu berkata terus terang, “Ya sahabat Umar bin
Khattab, aku datang kepadamu hendak mengadukan keburukan
akhlak istriku terhadapku. Akan tetapi setelah aku mendengar
kelancangan istrimu tadi kepadamu, dan sikap diammu
terhadap perbuatannya, aku jadi mengurungkan niatku untuk
melaporkan halku itu.”
Mendengar perkataan yang jujur itu, Khalifah Umar
tersenyum kecil seraya berkata, “Wahai saudaraku, istriku telah
memasakkan makanan untukku, dan mengasuh anak-anakku
dengan tiada hentinya. Maka apabila ia berbuat satu dua
kesalahan, tidaklah layak kita mengenangnya, sedang
kebaikan-kebaikannya kita lupakan…”
Setelah mendengar penuturan yang sangat bijaksana dan
penuh hikmah itu, orang tersebut pergi meninggalkan Khalifah
Umar bin Khattab dengan hati gembira dan puas.”89
Sikap Khalifah Umar di atas sangat terpuji. Karena beliau
menganggap bahwa apabila berhadapan dengan lawan bicara
89
Safwak Sa’dallah al-Muhktar, Hiburan Orang Mukmin, (Jakarta: Gema Insani Press,
1992), h. 49.
yang sedang emosional. Maka sikap yang bijaksana adalah
mengalah dan diam, karena sikap itu dilakukan agar tidak
terjadi perselisihan (konfrontasi) yang lebih besar.
b) Diam di saat Perkataan Tidak Efektif
“Pada waktu Khalifah Umar bin Khattab sedang
melakukan perjalanan bersama beberapa shahabat. Tiba-tiba ia
dihentikan oleh seorang wanita tua. Wanita tersebut berkata,
“Kemarilah wahai Umar.” Umar pun lantas menuju ke arahnya.
Wanita itu berkata, “Apakah engkau ingat hari di mana engkau
dipanggil Umair, tatkala engkau sedang bergelut dengan para
pemuda di Mekkah? Dan ketika engkau sudah besar mereka
memanggilmu dengan sebutan Umar dan sekarang engkau
dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin. Takutlah kepada
Allah SWT wahai Umar atau Dia akan mengadzabmu.”
Kemudian para shahabat berkata kepada wanita tersebut,
“Mengapa engkau berbicara kepada Amirul Mukminin seperti
ini?” Umar menyela, “Biarkanlah ia. Apakah kalian tahu
siapakah orang ini? Ini adalah wanita yang Allah SWT telah
mendengarkan ucapannya dari atas langit tujuh. Hal itu yang
dimaksudkan oleh firman Allah SWT:
☺
☺
☺
⌧
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita
yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan
mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal
jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha melihat.”(Q.S. Al-Mujaadilah:1)
Wanita tua ini sebenarnya adalah Sayyidah Khaulah binti
Tsa’labah. Kemudian Khalifah Umar berkata, “Demi Allah
SWT, sekiranya ia menghentikanku selama setahun untuk
mencelaku, niscaya aku tidak akan bergerak dari tempatku.”90
Dari peristiwa di atas, sikap diam Khalifah Umar bin
Khattab merupakan sikap yang efektif. Khalifah Umar tahu
bahwa lawan bicaranya sedang mengalami kondisi emosional
yang tidak stabil. Apabila beliau menanggapinya dengan
berbicara juga, maka hal itu percuma malah akan menimbulkan
mudharat lebih banyak lagi.
c. Mencari Titik Temu dalam Dakwah
1) Fungsi Hikmah Bagi Da’i dalam Upaya Mencari Titik Temu
“Ada seorang wanita munafik mengadu kepada Khalifah
Umar bin Khattab bahwa ia diperkosa oleh seorang lelaki, dan
karena ia melawannya maka air mani lelaki itu tumpah di luar dan
mengenai kainnya. Ia mengadukan perkara tersebut sambil
memperlihatkan tumpahan putih yang ada pada kainnya.
Setelah mendengarkan uraian wanita itu, Khalifah Umar tidak
segera mengambil keputusan. Beliau meminta pendapat kepada Ali
bin Abi Thalib, “Bagaimana pendapatmu, ya Ali?” Ali bin Abi
Thalib menjawab, “Kita bawa air panas, sirami kain itu dengan air
panas. Bila ia beku dan matang tentu bercakan itu adalah putih
telur, tetapi kalau setelah disiram air panas bercak itu hilang, tentu
itu air mani.”
Maka disiramnyalah kain itu dengan air panas, dan ternyata
bercak itu membeku. Maka Khalifah Umar berkata kepada wanita
itu, “Takutlah engkau kepada Allah SWT, hai perempuan!
Ternyata ini hanya tipuan dan tudukan palsu belaka!”91
Dari peristiwa di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam
berdakwah untuk mencari titik temu, Khalifah Umar tidak terburuburu dalam mengambil keputusan. Bahkan beliau sampai meminta
pendapat sahabatnya yaitu Ali bin Abi Thalib untuk membantu
dalam memutuskan perkara. Beliau tidak mau bersikap otoriter
90
91
Amru Khalid, Op. Cit., h. 130-131.
Safwak Sa’dallah al-Mukhtar, Op. Cit., h. 63.
dalam mengambil keputusan. Prinsip keadilan sudah sangat
melekat pada diri Khalifah Umar, beliau tidak mau dituduh
rakyatnya tidak adil dalam memutuskan suatu perkara.
2) Memahami Realitas Perbedaan
Khalifah Umar bin Khattab menyadari bahwa memeluk
agama adalah merupakan hak yang paling asasi setiap individu.
Oleh karena itu, Khalifah Umar tidak pernah memaksakan
kehendak pada rakyatnya untuk memeluk agama Islam. Khalifah
Umar sangat menghormati dan melindungi rakyatnya yang berbeda
keyakinan.
“Khalifah Umar meneruskan perjanjian dari Rasulullah SAW
dan Abu Bakar Ash Siddiq, yaitu akan melindungi dan berbuat adil
kepada penduduk yang beragama Nasrani Najran selama mereka
memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan
riba. Serta mereka harus membayar jizyah kepada Baitul Maal dan
tidak berbuat keburukan kepada penduduk muslim yang lain.
Tetapi pada masa kepemimpinannya, Khalifah Umar
melakukan pengusiran kepada kaum Nasrani Najran ini dari
Semenanjung. Pengusiran itu dilakukan karena kaum Nasrani
Najran telah melanggar perjanjian, yaitu melakukan riba kepada
penduduk lainnya.”92
Dari penjelasan di atas, bahwa pada masa Rasulullah SAW
dan Abu Bakar Ash Siddiq, mereka telah mengadakan perjanjian
kepada Nasrani Najran, dikarenakan pada masa itu kesatuan politik
di Semenanjung belum ada. Karena letak Najran berdekatan
dengan Yaman, yang sejak lama memang hidup dalam paganisme.
Namun
pada
masa
Khalifah
Umar,
kesatuan
politik
di
Semenanjung telah berdiri tegak di sana.
92
Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Diterjemahkan Ali Audah, (Bogor:
Pustaka Litera AntarNusa, 2001), h. 107.
Khalifah Umar menganggap apabila ada dua keyakinan
dalam satu kedaulatan di satu wilayah, maka hal itu tidaklah
efektif. Karena dikhawatirkan keyakinan lain akan melakukan
pemberontakan di dalam kedaulatannya. Tetapi Khalifah Umar
berlaku adil kepada kaum Nasrani Najran. Kaum tersebut
dipindahkan dari dalam Madinah, untuk di tempatkan di luar
wilayah Madinah. Khalifah Umar memberikan hak yang sama
kepada kaum tersebut seperti sebagaimana mereka tinggal di
Madinah.
3) Titik Temu dalam Konteks Metodologi Dakwah
“Khalifah Umar bin Khattab pernah mengumpulkan orang
banyak. Beliau berkata, “Wahai sekalian manusia, apa yang akan
kalian lakukan jika aku condong dengan kepalaku pada dunia
seperti ini?” Mendengar perkataannya itu orang-orang hanya diam.
Beliau kemudian mengulangnya lagi, dan tidak seorangpun
yang berbicara. Beliau kemudian mengulangnya lagi untuk ketiga
kalinya. Lalu keluarlah salah seorang dari kerumunan dan berkata
kepadanya, “Jika engkau palingkan kepalamu kepada dunia seperti
itu, maka kami akan meluruskanmu dengan pedang-pedang kami.”
Khalifah Umar bin Khattab lalu berkata, “Segala puji bagi Allah
SWT yang telah menjadikan dari umat Muhammad SAW
seseorang yang akan meluruskan Umar dengan pedangnya jika
Umar bengkok.”93
Dari peristiwa di atas, dapat dikatakan bahwa Khalifah Umar
bin Khattab merupakan orang yang terbuka dan gentle. Beliau
beranggapan bahwa apabila seorang pemimpin tidak mau
menerima masukan dari rakyat ataupun sahabatnya, maka akan
timbul suatu pertentangan yang sangat memungkinkan dapat
meruntuhkan sendi-sendi akidah Islam dalam pemerintahannya.
93
Amru Khalid, Op. Cit., h. 121.
Pada masa kepemimpinannya, Khalifah Umar sangat
menekankan prinsip musyawarah dalam berbuat dan bertindak
untuk mencapai kesepakatan. Beliau sangat hati-hati, teliti dan
tidak gegabah dalam mengambil keputusan.
d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah
“Tatkala Khalifah Umar bin Khattab melihat seseorang yang
mengemis di jalan yang ternyata seorang Yahudi yang mengemis
untuk membayar jizyah, dengan penuh belas kasih beliau berkata
kepadanya, “Kami telah mengambilnya darimu pada saat kamu masih
muda, kemudian kami memaksamu untuk mengemis saat kamu sudah
tua. Tidak, demi Allah.” Kemudian Umar berkata kepadanya,
“Kembalikanlah kepadanya semua yang telah ia bayarkan
sebelumnya.” Kemudian beliau memerintahkan untuk memberikan
harta kepada orang tersebut dari Baitul Maal milik kaum muslimin
serta memerintahkan seluruh wilayah Islam membelanjakan sebagian
harta dari Baitul Maal kaum muslimin untuk orang-orang fakir, anakanak kecil, dan orang-orang yang lemah dari ahlul kitab untuk
menafkahi hidup mereka.”94
Dari kejadian di atas, Khalifah Umar bin Khattab merupakan
orang yang bijaksana. Beliau tidak membeda-bedakan rakyatnya dalam
mendapat perlindungan dan kasih sayang darinya. Beliau tidak
bersikap egois lantaran rakyatnya berbeda keyakinan dan memiliki
kewajiban membayar jizyah. Oleh karena itu, Khalifah Umar
mengambil keputusan bahwa orang-orang yang disebut di atas
mendapatkan jaminan dari Baitul Maal.
94
Amru Khalid, Ibid., h. 120-121.
e. Uswatun Hasanah
Dakwah sangat membutuhkan contoh nyata dan keteladanan.
Khalifah Umar bin Khattab telah melakukan hal itu. Beliau sendiri
yang menjadi figur dan panutan di medan dakwah. Keteladanan adalah
unsur terpenting dalam pemerintahan Islam yang harus direalisasikan
dalam perjalanan dakwah. Khususnya keteladanan utuh yang
mencerminkan keutuhan Islam yang shahih dan segala ajaran dan
tuntunannya tanpa kekeliruan.
Uswatun Hasanah sebagai Metode Dakwah
Sikap Khalifah Umar bin Khattab menunjukkan kesederhaan.
Meskipun beliau adalah seorang Khalifah, namun beliau tetap makan
secara sederhana. Demikian juga dalam hal berpakaian, beliau tetap
mengenakan pakaian yang serba kasar. Sebagai contoh:
“Yarfa’, pelayan Amirul Mukminin berkata, “Kulihat pakaian
Khalifah Umar telah dihiasi lebih dari dua puluh satu tambalan. Di
antaranya yaitu empat tambalan berada di bahu. Pada suatu hari beliau
terlambat menunaikan shalat jum’at kemudian keluar menghadap
jamaah naik ke atas mimbar untuk menyampaikan alasan
keterlambatannya kepada jamaah. Beliau berkata, “Demi Allah SWT,
aku terlambat karena aku hanya memiliki satu baju, dan aku hendak
mencucinya. Aku mencucinya sesaat sebelum tiba waktu shalat. Maka
maafkanlah aku.”95
f. Dakwah bi Lisan al-Haal
Aplikasi Dakwah bi Lisan al-Haal
Upaya Khalifah Umar yang pertama untuk mengokohkan agama
Islam adalah memantapkan aqidah ke dada seluruh umat Islam melalui
95
Amru Khalid, Ibid., h. 133.
metode-metode dakwah yang telah diajarkan Rasulullah SAW dahulu.
Penerapan asas hukum ini dilakukan sebagai prioritas utama sebelum
asas-asas lainnya. Oleh Karena itu, sikap hidupnya yang serba
sederhana merupakan hal yang memperkuat kebijaksanaannya untuk
memantapkan aqidah umat.
Sebagai pemimpin, beliau bukanlah orang yang rakus dengan
kekuasaan yang dimiliki. Walaupun kekuasaan berada di tangannya,
beliau tidak pernah menekan rakyat. Beliau sudah merasa cukup
dengan kesederhanaan dan apa yang dimiliki. Sebagai contoh:
“Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Tidak halal bagiku
dari harta Allah, kecuali dua stel pakaian. Pakaian yang satu untuk
musim dingin dan yang satu lagi untuk musim panas. Pangan untuk
keluargaku adalah seperti untuk seorang dari Quraisy yang bukan
ukuran terkaya, lagi pula aku termasuk salah seorang kaum muslimin.”
Ketika akan melantik seorang pejabat, beliau menulis surat
perjanjian dengan disaksikan oleh beberapa orang kaum Muhajirin. Isi
perjanjian tersebut: “Tidak boleh menunggang kuda yang biasa untuk
angkut barang, tidak boleh memilih-milih makanan, tidak boleh
berpakaian mewah, tidak boleh menutup pintu rumah bagi orang-orang
yang berkepentingan.” Kalau melanggar salah satu isi perjanjian ini
maka ia akan dikenakan hukuman.96
Dari uraian panjang di atas tentang metode dakwah al-Hikmah yang
berkaitan dengan dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Berdasarkan data-data
di atas tampak bahwa metode al-Hikmah butir 1 (satu) hanya dilaksanakan
tentang mengenal strata mad’u, sedangkan yang tidak ditemukan tentang
mengenal rumpun mad’u. Selain itu, yang tidak ditemukan pula adalah asasasas toleransi dan cara berpisah dalam konteks hijrah.
Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak hal-hal
yang dilakukan khalifah Umar sesuai dengan bagian-bagian yang ada dalam
96
Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, Op. Cit., h. 63.
metode al-Hikmah. Tetapi, ada sebagian kecil hal-hal yang tidak dilakukan
oleh Khalifah Umar bin Khattab.
2. Al-Mau’idzatil al-Hasanah
Kerja dakwah adalah kerja ”memberi rasa” pada kehidupan umat
manusia dengan nilai-nilai iman dan taqwa demi kebahagiaan di dunia dan
di akhirat kelak. Kerja ini tidak pernah berhenti hingga kematian
menjemput, selama itu pula manusia berkewajiban menyampaikan risalah
Allah SWT dan Rasulnya.
1) Bentuk Wasiat yang Mempunyai Interelasi dengan Dakwah
Bentuk Wasiat Ulama Salaf
Wasiat ulama salaf merupakan aspek historis dari interpretasi
terhadap pesan-pesan al-Quran dan al-Hadits. Para ulama salaf
menerapkan wasiat pada level yang tinggi sebagai metode dakwah
mereka di waktu itu. Di antara ulama salaf itu adalah Khalifah Umar
bin Khattab.
“Beliau pernah berwasiat kepada Abu Ubaidah untuk
menggantikan Khalid bin Walid sebagai komandan perang di Irak.
Beliau berkata:
“Hendaklah kamu senantiasa bertaqwa kepada Allah, Rabb yang kekal
abadi sedang yang lainnya akan binasa, Dia-lah yang memberi hidayah
kepada kami dan Dia-lah yang mengeluarkan kami dari kegelapan ke
alam yang terang. Aku angkat engkau untuk menjadi panglima perang
pasukan Khalid bin Walid, karena itu kerjakanlah sebaik mungkin
semua tugasmu. Jangan kamu korbankan kaum muslimin ke tempattempat yang bakal membinasakan mereka, hanya demi mendapatkan
ghanimah. Jangan engkau tempatkan mereka di suatu tempat yang
belum kamu ketahui keamanannya, jangan kamu mengutus pasukan
kecuali dalam jumlah yang besar. Jangan sampai kamu melemparkan
kaum muslimin ke tempat-tempat yang bakal membinasakan mereka.
Tutuplah matamu dari kesenangan duniawi dan alihkan hatimu dari
merindukannya jangan sampai kamu binasa dikarenakan duniawi,
sebagaimana binasanya orang-orang yang sebelumnya dikarenakannya
dan aku telah menyaksikan tempat-tempat kebinasaan mereka.”97
Dari contoh wasiat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya isi wasiat itu merupakan interpretasi dari al-Quran dan alHadits. Suatu hal yang terpenting di sini bahwa Khalifah Umar bin
Khattab telah menerapkan wasiat dalam aktivitas dakwahnya sebagai
sebuah metode dakwah.
2) Konsepsi Wasiat dalam Metode Dakwah
a) Esensi Wasiat dalam Dakwah
Esensi wasiat dalam dakwah adalah ucapan seorang da’i
berupa pesan penting dalam upaya mengarahkan (taujih) mad’u
tentang sesuatu yang bermanfaat dan bermuatan kebaikan. Serta
persoalan-persoalan yang disampaikan dalam wasiat berkaitan
dengan sesuatu yang belum dan akan terjadi. Sebagai contoh:
Khalifah Umar bin Khattab berwasiat kepada Sa’ad bin Abi
Waqash untuk berperang melawan Pasukan Persia di Iraq:
“Wahai Sa’ad, jangan kamu bangga dikarenakan kamu adalah
paman Rasulullah SAW dan pernah menjadi sahabat beliau,
sesungguhnya Allah tidak akan menghapus yang buruk dengan
keburukan akan tetapi Dia menghapus yang buruk dengan
kebaikan, sesungguhnya Allah tidak memandang kepada nasab
seseorang, yang termulia di sisi-Nya adalah orang yang paling taat
kepada-Nya. Semua manusia, baik yang mulia maupun yang
rendah di hadapan Allah akan sama kedudukannya. Allah adalah
Rabb mereka dan mereka adalah hamba-hamba Allah. Mereka
berbeda-beda di dalam kesehatan dan mereka akan mendapatkan
kesenangan yang dijanjikan oleh Allah hanya dengan taat kepada97
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 101-102.
Nya, perhatikanlah agama ini sebagaimana ketika engkau
menyakitkannya di masa Rasulullah SAW. Serta peganglah teguh
agama ini, sebab ia adalah pangkal kebahagiaan. Sedikit pun
jangan kamu remehkan amanah ini agar kamu tidak menjadi orangorang yang rugi.”98
b) Kapan Wasiat diberikan Kepada Mad’u
Wasiat merupakan pesan penting seorang da’i kepada mad’u,
maka perlu dicari saat yang tepat dalam memberikan wasiat.
Wasiat diberikan da’i pada tahap pembentukan dan pembinaan
setelah dakwah diterima dan dipahami mad’u. sebagai contoh:
“Khalifah Umar bin Khattab berpesan sewaktu pasukan
muslimin sedang bersiap-siap berangkat berperang, beliau berkata
kepada Abu Ubaid:
“Dengarkanlah dari sahabat-sahabat Nabi SAW dan ajaklah
mereka bersama-bersama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat
berijtihad sebelum anda teliti benar-benar. Ini adalah perang, dan
yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, pandai melihat
kesempatan dan pandai pula mengelak.”99
Dari contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa Khalifah Umar
bin Khattab dalam memberi wasiat kepada Abu Ubaid di waktu
yang tepat. Karena Khalifah Umar memberi gambaran yang tepat
situasi yang mungkin akan terjadi pada pasukannya. Oleh karena
itu, beliau berpesan agar selalu menjaga kebersamaan pada para
sahabat yang ikut berperang. Dia tidak boleh mengambil keputusan
sendiri dalam menentukan strategi perang.
c) Materi Wasiat
Materi wasiat yang diberikan kepada mad’u (objek dakwah)
adalah materi wasiat yang berdasarkan al-Quran dan al-Hadits.
98
M. Yusuf al-Kandahlawy, Kehidupan Para Sahabat Rasulullah SAW Jilid 2,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993) hal. 141.
99
Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 100.
Materi secara umum adalah materi yang berupaya menggiring
mad’u menuju ketaqwaan. Sebagai contoh:
“Khalifah Umar bin Khattab adalah sosok yang banyak
bertanya tentang taqwa. Pada suatu ketika beliau memanggil Ubay
bin Ka’ab dan berkata kepadanya, “Beritahukanlah kepadaku
tentang taqwa.” Ubay lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin,
sekirannya engkau berjalan di sebuah kebun yang banyak durinya,
apa yang akan engkau lakukan?” Umar menjawab, “Aku akan
melewatinya dengan hati-hati dan berusaha dengan sungguhsungguh.” Ubay lalu berkata lagi, “Begitulah taqwa. Engkau
melewatinya untuk menaati Allah SWT dan bersungguh-sungguh
untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya.”100
d) Efek Wasiat Bagi Mad’u
Wasiat adalah salah satu model pesan dalam perspektif
komunikasi, maka seorang da’i harus mampu memenej pesan
(management impression) mad’u pasca penerimaan seruan
dakwahnya. Sehingga wasiat yang diberikan mampu mempunyai
efek positif bagi mad’u.
Dari uraian panjang di atas tentang metode dakwah al-Mauidzatil
Hasanah yang berkaitan dengan dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Di atas
tampak bahwa metode al-Mauidzatil Hasanah butir terakhir, yaitu kisah tidak
dimasukkan oleh penulis dikarenakan penulis tidak menemukan sumber
bahwa Khalifah Umar melakukan hal tersebut.
Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak hal-hal
yang dilakukan khalifah Umar sesuai dengan bagian-bagian yang ada dalam
metode al-Mauidzatil Hasanah. Tetapi, ada sebagian kecil hal-hal yang tidak
dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab.
100
Amru Khalid, Ibid., h. 138.
B. Relevansi Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab pada Masa
Sekarang
Dalam menjalankan dakwah untuk menegakkan Daulah Islamiyah.
Khalifah Umar bin Khattab melaksanakan beberapa metode dakwah yang ada,
yaitu al-Hikmah dan al-Mauidzatil Hasanah. Beliau tidak menggunakan
metode dakwah al-Mujadalah. Sebagaimana maksud surat an-Nahl ayat 125
yang berbunyi:
☺
☺
☺
☺
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang
tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang
mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl: 125)
1. Al-Hikmah
a. Mengenal Strata Mad’u
Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab di
Madinah ini merupakan bagian dari dakwah bil hikmah karena metode
ini
menekankan
menyampaikan
pada
penyebaran
dakwahnya,
ilmu
Khalifah
pengetahuan.
Umar
tidak
Dalam
terlalu
mementingkan strata mad’u.
Dalam konteks kekinian metode dakwah ini tidak relevan untuk
diterapkan. Hal ini dikarenakan ada banyak perbedaan-perbedaan baik
tingkat sosial dan tingkat pendidikan yang harus dihadapi oleh da’i.
Tingkat pendidikan mad’u sangat mempengaruhi pemahamannya
dalam menerima pesan dakwah dari seorang da’i. Oleh karena itu
seorang da’i harus mampu memperhatikan dan menyesuaikan pesan
dakwah pada waktu menyampaikan dakwahnya.
b. Bila Harus Bicara dan Diam
Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini
merupakan bagian dari dakwah bil hikmah, karena metode ini
menekankan bahwa di mana Khalifah Umar harus bicara dan di mana
beliau harus bicara. Dalam menyampaikan dakwahnya, Khalifah Umar
selalu memperhatikan kondisi psikologis si mad’u agar dakwahnya
dapat dipahami dan dikerjakan. Khalifah Umar mampu memposisikan
dirinya, tidak egois dan sombong dalam kehidupan sehari-harinya.
Beliau selalu meminta nasihat kepada para sahabat bahkan rakyatnya
agar tidak tergelincir ke lembah kekufuran.
Dalam konteks kekinian metode dakwah ini relevan untuk
diterapkan pada masa kini. Hal ini dikarenakan banyak da’i yang
kurang memperhatikan kondisi psikologis mad’unya, serta tingkat
sosial dan tingkat pendidikan yang harus dihadapi oleh da’i. karena hal
itu sangat mempengaruhi pemahaman mad’u dalam menerima pesan
dakwah dari seorang da’i.
c. Mencari Titik Temu dalam Dakwah
Metode
ini
dikategorikan
sebagai
metode
bil
hikmah.
Sebagaimana diketahui bahwa dakwah berarti aktifitas mengajak
manusia ke jalan Allah SWT yang sifatnya mengajak. Dalam
mengajak tentunya tidak diperkenankan dengan cara-cara yang
memaksa, menghakimi dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi
yang akan merugikan dan merusak arti dakwah itu sendiri.
Namun, realitas menunjukkan banyaknya perbedaan baik dari
segi kultural maupun sosial yang tentu menggambarkan perbedaan
paradigma dan cara pandang mad’u sehingga disinilah dilemanya. Di
satu sisi dakwah tidak boleh keluar dari koridor mengajak. Di sisi lain
dakwah merupakan suatu kewajiban yang harus disampaikan kepada
umat.
Sementara itu seorang da’i harus menyadari adanya benturanbenturan nilai di masyarakat. Maka peranan seorang da’i dituntut
untuk membaca mad’u dari berbagai persepsinya sehingga da’i dapat
mengetahui darimana dakwah harus dimulai. Dengan kata lain da’i
harus mencari titik temu, sehingga dakwah yang disampaikan memiliki
gelombang yang sama dengan alam pikiran mad’u. Kegagalan mencari
titik temu merupakan awal dari kegagalan berdakwah. Karena ketika
pertama kali da’i menyampaikan risalah akan mendapat penolakan jika
tidak mengetahui betul kondisi alam pikiran mad’u.
Mencari titik temu dalam berdakwah merupakan kunci
keberlangsungan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Da’i
harus
mencari
kalimatun
sawa’.
Kalimat
yang
sama
yang
mempertemukan pikiran da’i dengan mad’u.
Dalam upaya mencari titik temu ini Khalifah Umar bin Khattab
melakukan musyarawah kepada para sahabat untuk memutuskan suatu
perkara yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Beliau tidak
gegabah dalam memutuskan suatu perkara. Oleh karena itu beliau
selalu menimbang-nimbang suatu perkara dengan seksama agar tidak
menimbulkan kemudharatan kepada rakyatnya.
d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah
Hal ini merupakan bagian daripada metode dakwah bil hikmah
karena menekankan pentingnya titik temu dalam perbedaan. Titik temu
adalah titik tolak di mana perbedaan-perbedaan dapat dipertemukan
dalam satu titik persamaan. Dari titik temu inilah, jika diperoleh hal
yang sama, maka suatu aktifitas bisa dilanjutkan. Karena secara logika,
bila sesuatu dikatakan ada persamaan tentulah terdapat perbedaan di
dalamnya, begitu juga sebaliknya, bila ada perbedaan, pastilah ada
persamaan. Hal inilah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab
kepada mad’unya.
Dalam konteks kekinian perbedaan suku dan bangsa menjadi
lebur dalam persamaan akidah. Dalam artian Islam menekankan
pentingnya persatuan dan persaudaraan. Dalam al-Quran surat alHujuraat ayat 10 yang berbunyi:
☺
☺
⌧
“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka
damaikanlah antara saudara-saudaramu dan bertaqwalah semoga
engkau mendapat rahmat-Nya.” (Q.S. al-Hujuraat: 10)
e. Uswatun Hasanah
Dakwah sangat membutuhkan contoh nyata dan keteladanan.
Khalifah Umar bin Khattab telah melakukan hal itu. Beliau sendiri
yang menjadi figur dan panutan di medan dakwah. Kepemimpinan
Khalifah Umar bin Khattab adalah penyeru kebenaran, yang senantiasa
mengamalkannya, semangat di dalamnya dan bersegera menyambut
seruannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Allah
SWT berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian
di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan.” (Q.S. ash-Shaff: 2-3)
Seorang da’i harus memiliki amal shalih, yang diserukannya
kepada Allah SWT dengan lisannya juga dengan perbuatannya.
Seorang da’i adalah penyeru dengan lisannya sekaligus dengan
perbuatannya. Dengan sikap seperti itu mad’u akan terpengaruh dan
terkesan dengan dakwahnya, mau mengambil manfaat dengan
menerima dakwahnya. Khalifah Umar telah melakukan hal itu semua.
Beliaulah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang mampu
membedakan antara hak dan yang batil, oleh karena itu Rasulullah
SAW menyebut beliau sebagai al-Faruq.
Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan
digunakan pada masa kini. Karena kebanyakan orang-orang awam dan
mereka yang berpendidikan rendah yang tidak mempunyai ilmu
kecuali hanya sedikit, mad’u seperti mereka hanya bisa mengambil
manfaat dari sirah, akhlak yang utama dan amal yang shalih, di mana
mereka tidak mampu mengambil manfaat dari perkataan para da’i
yang sering tidak mampu mereka pahami.
Mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim yang mewarisi
keislaman orang tua dan nenek moyang, berikut dengan segala bentuk
kotoran; bid’ah penyimpangan dan khurafat. Perasaan lemah,
terbelakang, taklid, minder, materialisme, dan persepsi yang keliru
tentang kehidupan dunia adalah sikap warisan dari para penjajah di
negeri Indonesia.
Sementara, medan dakwah pada masa sekarang sangat berbeda
dengan masa Khalifah Umar bin Khattab. Objek dakwah pada masa
Khalifah Umar adalah kaum musyrikin dan kafir yang diseru untuk
memeluk Islam dan berimana kepada Allah SWT dengan harus
meninggalkan peribadatan kepada patung. Adapun yang menjadi objek
dakwah pada masa sekarang adalah kaum muslimin yang meyakini
bahwa apa yang mereka anut sebagai warisan dari generasi
sebelumnya adalah Islam yang sesungguhnya, meskipun di dalamnya
masih terdapat berbagai kotoran dan penyimpangan.
Oleh karena itu keteladanan pada masa sekarang harus muncul
dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga terbentuk masyarakat
muslim yang menjunjung tinggi al-Quran dan as-Sunnah.
f. Dakwah bi Lisan al-Haal
Pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, beliau
menempatkan dirinya sama dengan rakyat. Beliau tidak berani
mengucapkan suatu amalan kepada rakyatnya sebelum dia sendiri
melakukan amal tersebut.
Misalnya sebelum beliau naik mimbar dan melarang manusia
dari mengerjakan sesuatu terlebih dahulu beliau mengumpulkan
keluarganya, lalu berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku akan
melarang manusia dari ini dan ini dan sesungguhnya manusia itu
memandang kalian sebagaimana burung (gagak) memandang daging.
Aku bersumpah dengan nama Allah, aku tidak mendapatkan salah
seorang da’i dari kalian yang mengerjakan apa yang telah aku
larangkan kepada manusia, kecuali adzab akan dilipatkan atasku”101
Dalam konteks dakwah khususnya dakwah bil lisan al-haal,
pemahaman tentang kebutuhan sasaran dakwah mutlak diperlukan.
Berdakwah di kalangan masyarakat miskin tidak akan efektif dengan
hanya berceramah, tetapi akan lebih efektif bila dakwah dilakukan
dengan;
menyantuni mereka, memberikan makan, pakaian dan
sebagainya.
Dakwah bil haal ditentukan pada sikap, perilaku dan kegiatankegiatan nyata yang interaktif mendekatkan masyarakat pada
kebutuhannya yang secara langsung atau tidak langsung dapat
mempengaruhi peningkatan kualitas keberagamaan sekaligus juga
kualitas hidup mad’unya.
Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan
dengan kondisi masyarakat saat ini. Pada masa sekarang mad’u lebih
senang melihat perilaku da’i yang baik ketimbang hanya pandai
berceramah dan mengumbar janji-janji belaka. Seorang da’i yang baik
101
Said bin Ali bin Wahf al-Qahtani, 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah,
(Solo: Pustaka Arafah, 2001), h. 313.
adalah da’i yang lebih banyak berdakwah dengan perbuatan daripada
hanya berbicara saja.
2. Al-Mau’idzatil al-Hasanah
a. Nasihat
Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini
merupakan bagian dari metode dakwah al-Mau’idzatil al-Hasanah.
Khalifah Umar sering memberi nasihat kepada kaum muslimin waktu
itu untuk menolong mereka dalam hal kebaikan, dan melarang mereka
berbuat keburukan, membimbing kepada petunjuk dan mencegah
dengan sekuat tenaga dari kesesatan, mencintai kebaikan untuk mereka
sebagaimana beliau mencintainya untuk dirinya sendiri. Hal itu
dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba Allah SWT, maka
haruslah bagi mereka seorang hamba untuk memandang mereka
dengan kacamata yang satu yaitu kacamata kebenaran.
Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan
diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini. Memberikan nasihat
merupakan salah satu cara seorang da’i dalam menuntun mad’unya
menuju kepada jalan yang baik untuk selalu menjauhi larangan-Nya
dan melaksanakan segala perintah-Nya dengan seluruh kemampuan
yang ada.
b. Tabsyir wa Tandzir
Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini
merupakan bagian dari metode dakwah al-Mau’idzatil al-Hasanah.
Bentuk metode ini sangat penting dilakukan, terutama kepada mad’u
yang mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah dan
pemahaman keagamaan yang lemah, sehingga perlu adanya motivasi
dan harapan dalam beragama melalui bentuk tabsyir (berita gembira)
di satu sisi, memberikan dorongan dalam meningkatkan keimanan dan
beribadah. Tetapi, pada sisi lain, perlu adanya tindakan preventif agar
mad’u tidak mudah untuk berbuat kemaksiatan, maka mad’u harus
diberikan tandzir (peringatan) dan ancaman.
Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan
diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini. Karena mayoritas
penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dan tingkat
pendidikan yang masih rendah. Metode tersebut digunakan da’i
sebagai penguat keimanan sekaligus sebagai sebuah harapan dan
menjadi motivasi dalam beribadah serta beramal shalih bagi mad’u.
c. Wasiat
Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini
merupakan bagian dari metode dakwah al-Mau’idzatil al-Hasanah.
Dalam dakwahnya khalifah Umar selalu memberi wasiat kepada
mad’unya dan kepada seluruh komandan perang beserta tentaranya
beliau tidak lupa selalu memberi wasiatnya. Hal itu beliau lakukan
semata-mata hanya untuk memberi motivasi dan meluruskan niat para
mad’u dan pasukannya bahwa yang mereka lakukan bukan untuk
Khalifah Umar semata, tetapi untuk mereka sendiri dan untuk
menegakkan kalimatullah di muka bumi ini.
Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan
diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini. Wasiat diberikan apabila
seorang da’i telah mampu membawa mad’u dalam memahami
seruannya atau saat memberi kata akhir dalam dakwahnya (tabligh).
Hal tersebut dilakukan agar dapat mengarahkan mad’u dalam
merealisasikan keterkaitan yang erat antara materi dakwah yang telah
disampaikan dengan pengamalan menuju ketakwaan.
Dengan metode tersebut seorang da’i dapat memberdayakan
daya nalar intelektual mad’u untuk memahami ajaran-ajaran Islam
serta membangun daya ingat mad’u secara kontinu, karena ada
persoalan agama yang sulit untuk dianalisa. Oleh karena itu da’i
dituntut agar dapat membangun nilai-nilai kesabaran, kasih sayang dan
kebenaran bagi kehidupan mad’u.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melalui kajian yang relatif panjang tentang metode dakwah
Khalifah Umar bin Khattab, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sesuai
dengan pembatasan masalah pada skripsi ini yaitu:
1. Metode dakwah yang Khalifah Umar bin Khattab gunakan adalah metode
dakwah
al-Hikmah
menggunakan
metode
dan
al-Mau’idzatil
dakwah
Hasanah.
al-Mujadalah
Beliau
dalam
tidak
menjalankan
dakwahnya. Hal itu disebabkan karena pada waktu itu banyak kerajaankerajaan kaum musyrik tidak mau melakukan perdebatan-perdebatan yang
hanya membuang-buang waktu saja menurut mereka. Oleh karena itu
Khalifah Umar memeranginya hingga memperoleh kemenangan yang
gemilang.
2. Khalifah Umar bin Khattab telah menjadi figur dan panutan di medan
dakwah. Keteladanan adalah unsur terpenting dalam pemerintahan Islam
yang
harus
direalisasikan
dalam perjalanan
dakwah.
Khususnya
keteladanan utuh yang mencerminkan keutuhan Islam yang shahih dan
segala ajaran dan tuntunannya tanpa kekeliruan.
3. Metode dakwah yang Khalifah Umar bin Khattab gunakan masih relevan
digunakan pada masa sekarang saat ini. Hal ini disebabkan karena beliau
menggunakan metode-metode ini sebagai upaya mengatur masyarakat baik
muslim dan non muslim maupun kelompok lain. Motivasi Khalifah Umar
karena pada saat itu kelompok masyarakatnya terdiri dari berbagai agama.
79
Hal itu sesuai dengan kondisi masyarakat
Indonesia saat ini.
B. Saran-saran
Dengan
mengacu
pada
keseluruhan
pembahasan
ini,
penulis
menyarankan hal-hal sebagai berikut:
1. Merupakan suatu keharusan bagi para da’i agar selalu berpedoman pada
sumber-sumber ajaran Islam sebagai tuntunan.
2. Terus mengkaji perjalan para sahabat Rasulullah SAW dan ulama dalam
berdakwah dengan metode yang beragam untuk dijadikan sebagai
perbandingan dan contoh sehingga dapat mencapai hasil yang optimal.
3. dakwah tidak terbatas pada ceramah saja, tetapi memiliki pengertian yang
lebih luas cakupannya, bahkan dengan perbuatan merupakan cara efektif
dalam berdakwah.
4. Dengan kemajuan teknologi masa kini, para da’i hendaknya mengenal
media-media dan dapat memanfaatkannya dalam aktifitas dakwah.
DAFTAR PUSTAKA
’Aasyur, Abdullatif Ahmad. 10 Orang Dijamin ke Surga. Jakarta: Gema Insani
Press, 1991.
Ahmad, Amrullah. dkk. Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah IAIN. Jakarta:
IAIN Jakarta, 1972.
Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khattab. Solo: Pustaka Mantiq,
1993.
Arifin, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1997.
Al-Bayanuni. al-Madkhal ila ‘ilmi al-Da’wah. Beirut: Muassash Al-Risalah,
1991.
Al-Bilali, Abdul Hamid. Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Mungkar. Kuwait: Dar alDakwah, 1989.
Darussalam, Ghazali. Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah. Malaysia: Nur Niaga
SDN, BHD, 1996.
Hafiduddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani Press, 1998.
Hasanuddin. Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Hasanudin. Manajemen Dakwah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005.
Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab Umar bin Khattab: Sebuah telaah
mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu.
diterjemahkan: Ali Audah, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2001.
Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penterjemah: Djahdan
Human, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989.
Hidayat, Rachmat Taufiq. 111 Teladan Sang Khalifah: Dari Celah-celah
Kehidupan Umar bin Khattab. Bandung: Mizan, 2000.
Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press,
1996.
Al-Jarisyah, Ali. Adab al-Khiwar wa al-Mudhoroh, Al-Munawaroh: Dar al-Wifa,
1989.
Al-Kandahlawy, M. Yusuf. Kehidupan81Para Sahabat Rasulullah SAW. Jilid 2,
Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993.
Khalid, Amru. Jejak Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali.
Penerjemah: Farur Mu’is, Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2007.
Ma’luf, Lois. Munjid fi al-Lughah wa A’lam. Beirut: Dar Fikr, 1986.
Mandzur, Ibnu. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Fikr, 1990, jilid IV.
Mahalli, Ahmad Mudjab. Buku Pintar Da’i. Surabaya: Duta Ilmu, 2005.
Al-Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997.
Al-Mukhtar, Safwak Sa’dallah. Hiburan Orang Mukmin. Jakarta: Gema Insani
Press, 1992.
Nuh, Sayid Muhammad. Diterjemahkan oleh: Ashfa Afkarina. Dakwah Fardiyah:
Pendekatan Personal dalam Dakwah. Solo: Era Intermedia, 2000.
Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985.
Natsir, Mohammad. Fungsi Da’wah Islam dalam Rangka Perjuangan. Jakarta:
Media Dakwah, 1979, Jilid 1.
Nu’man, Syibli. Umar Yang Agung. Bandung: Penerbit Pustaka, 1981.
Al-Qahthani, Said bin Ali. Al Hikmatu Fid Da’wah Ilallah Ta’ala, Penterjemah:
Masykur Hakim dan Ubaidillah, Da’wah Islam Da’wah Bijak, Jakarta:
Gema Insani Press, 1994.
_______. 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah, Diterjemahkan: Muzaidi
Hasbullah. Solo: Pustaka Arafah, 2001.
Rafi’udin dan Djaliel, Maman Abdul. Prinsip dan Strategi Dakwah. Bandung:
Balai Setia, 2001.
Rais, Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1996.
Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2007.
Rauf, Abdul Kadir Sayid Abd. Dirasah Fid Dakwah al-Islamiyah, Kairo: Dar ElTiba’ah al-Mahmadiyah, 1987.
Suparta, Munzier dan Hefni, Harjani, (ed). Metode Dakwah. Jakarta: Prenada
Media, 2003.
Suriani. Manajemen Dakwah dalam Kehidupan Pluralis: Upaya Membumikan
Nilai-nilai Kisah Nabi Hud a.s. dalam al-Qur’an. Jakarta: The Media of
Social Cultural Communication, 2005.
Shaleh, Abdul Rosyad. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang,
1993.
Shihab, Quraish M. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992.
_______. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2000.
Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafa’ur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang,
1979.
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, Jilid
1.
Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.
Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997.
Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam: Daras Sejarah
Peradaban Islam. Surabaya: Pustaka Islamika, 2003.
Thabathaba’i, Muhammad Husain. Inilah Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 2005, edisi 3.
Wasito, Woyo. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Cy Press, 1974.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973.
Download