METODE DAKWAH KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) Oleh: Budi Santoso NIM: 104051001743 JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1429 H/2008 M LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, September 2008 Budi Santoso PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “METODE DAKWAH KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB” telah diujikan dalam sidang Munaqasah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 19 September 2008. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. Jakarta, 19 September 2008 Sidang Munaqasah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Mahmud Jalal, MA NIP: 150 202 342 Penguji I Rubiyanah, M.A NIP: 150 286 373 Anggota, Dr. Arief Subhan, M.A NIP: 150 262 442 Penguji II Dra. Hj. Asriati Jamil, M.Hum NIP: 150 244 766 Pembimbing, Drs. H. Tarmi M.M NIP: 150 062 569 KATA PENGANTAR j Assalaamu’alaikum Wr. Wb. Segala puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, pemilik semesta alam dan sumber segala ilmu, dan dengan hidayah-Nya selalu tercurah kepada makhluk-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurah pada manusia biasa yang berakhlak luar biasa, manusia agung yang diciptakan oleh Yang Maha Agung, manusia besar yang diciptakan oleh Yang Maha Besar, yaitu baginda Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umatnya dari masa kegelapan (jahiliyah) hingga menuju cahaya terang benderang dengan al-Quran dan as-Sunnahnya. Penulis menyadari benar, bahwa skripsi yang sudah merupakan bagian tak terpisahkan dari penulis, ternyata adalah suatu kebanggaan dan begitu banyaknya orang yang ikut memberikan semua yang dibutuhkan oleh penulis dalam proses penyelesaiannya. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih kepada: 1. Ibu dan Bapak tercinta, Ibu Mudjenah dan Bapak Marsino yang dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang tulus ikhlas mengasuh dan mendidik serta senantiasa mendoakan penulis, sehingga bisa mengenyam pendidikan formal tingkat perguruan tinggi hingga selesai. 2. Bapak Dr. Murodi, M.A., Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. 3. Bapak Dr. Mahmud Jalal, M.A., Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah dan Komunikasi. 4. Bapak Dr. Arief Subhan, M.A., Pembantu Dekan II Fakultas Dakwah dan Komunikasi. 5. Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A., Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam serta pembimbing Kuliah Kerja Nyata (KKN) 2008 penulis. 6. Ibu Umi Musyarofah, M.A., Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 7. Bapak Drs. H. Tarmi, M.M., Pembimbing skripsi ini, yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis dengan bijaksana dan sabar, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. 8. Bapak serta ibu dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi, yang telah memberikan arahan pengembangan intelektualitas penulis selama belajar di kelas, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatunya. 9. Pimpinan Perpustakaan Islam Iman Jama’, Lebak Bulus serta seluruh staf dan karyawannya yang telah melayani dan menyiapkan fasilitas literatur. 10. Pimpinan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta seluruh staf dan karyawannya yang telah melayani dan menyiapkan fasilitas literatur, sampai bisa menyelesaikan studi ini. 11. Bapak Drs. H. Dindin M. Machfudz (Ayahanda Bunga Alkautsar) yang telah membantu memberikan referensi dalam penyelesaian skripsi ini. 12. Pimpinan Perpustakaan Umum Pemda Jakarta Selatan, serta seluruh staf dan karyawannya yang telah melayani dan menyiapkan fasilitas literatur. 13. Para pegawai dan staf Tata Usaha Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan pelayanan yang prima kepada penulis. 14. Kakak-kakak yang penulis sayangi; mbak Retno Sumartini A.M.Keb, mas Agung Mujiharto S.Pd., mbak Tuti Nurbayanti S.Pd.I, yang ikut andil dalam memberikan motivasi pada penulis baik moril maupun materiil, serta kakakkakak iparku bang Dulloh S.E., dan mbak Sri Purwanti S.Pd. 15. Buat keponakanku tersayang; Dinda Hanna Salsabila, Dewi Kharisma Kenji, Dea Aulia Maharani dan Thariq Taufiqurrahman yang menjadi penghibur hati bila penulis mengalami kesulitan dan kesedihan. 16. Teman-teman seperjuangan yang ikut andil dalam memberikan bantuan dan dorongan terutama kelas KPI A angkatan 2004 khususnya; Sofiatun S.Sos.I, Ahmad Zainuri S.Sos.I, Ana Sabhana Azmi S.Sos.I, Pia Khoirotun Nisa S.Sos.I, Asri Rahmita S.Sos.I, Bunga Alkautsar S.Sos.I, Pitriah S.Sos.I, Syarifah Farah S.Sos.I, A. Anwar Syadad, Miftahul Huda, A. Marsaidi, Chaerul Miftah S.Sos.I, dan teman yang lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Dengan hamparan kedua tangan disertai ketulusan, penulis mendoakan semoga bantuan, dukungan, bimbingan dan perhatian yang telah diberikan oleh semua pihak akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT disertai limpahan rahmat, hidayah serta berkah-Nya, Aamiin ya Robbal ‘aalamiin. Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum sepenuhnya dapat menentramkan kegelisahan intelektual serta menyirami dahaga ilmiah, untuk itu penulis sangat berlapang dada menerima masukan-masukan yang bersifat membangun. Semoga skripsi di hadapan anda ini dapat memberikan kontribusi positif, memperluas wawasan keilmuan serta menambah khazanah perpustakaan. Wassalaamu’alaikum Wr. Wb Jakarta, September 2008 Penulis, DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK .............................................................................................................. v KATA PENGANTAR ............................................................................................ vii DAFTAR ISI ........................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 10 D. Metodologi Penelitian ................................................................... 11 E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 13 F. Sistematika Penulisan ................................................................... 14 BAB II TINJAUAN TEORITIS .................................................................... 16 A. Pengertian Metode ........................................................................ 16 B. Pengertian Dakwah ....................................................................... 17 C. Pengertian Metode Dakwah .......................................................... 21 D. Macam-macam Metode Dakwah .................................................. 22 BAB III BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB .............................................. 29 A. Riwayat Hidup Umar Bin Khattab ................................................ 29 B. Umar bin Khattab menjadi Khalifah ............................................. 39 C. Prestasi-prestasi Khalifah Umar bin Khattab ................................ 42 1. Bidang Politik ......................................................................... 42 2. Bidang Ibadah ......................................................................... 45 3. Hubungan dengan Non-muslim .............................................. 47 4. Bidang Militer ......................................................................... 48 5. Bidang Administrasi Negara ................................................... 48 BAB IV ANALISIS METODE DAKWAH KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB ................................................................... 50 A. Metode Dakwah Umar Bin Khattab............................................... 50 1. Al-Hikmah .............................................................................. 51 2. Al-Mauidzatil al-Hasanah ....................................................... 65 B. Relevansi Metode Dakwah Khalifah Umar Bin Khattab Pada Masa Sekarang ..................................................................... 69 BAB V PENUTUP........................................................................................... 79 A. Kesimpulan ................................................................................... 79 B. Saran............................................................................................... 80 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 81 LAMPIRAN ........................................................................................................... 83 ABSTRAK Budi Santoso Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab Pada hakikatnya, dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah harus lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara lebih menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mencapai keberhasilan suatu dakwah sangat ditentukan oleh berbagai unsur-unsur dakwah seperti da’i, mad’u, materi, metode, dan tujuan. Dalam skripsi ini penulis hanya membahas tentang metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Dakwah yang beliau lakukan berlandaskan keadilan, kasih sayang, sabar, ikhlas, saling menghargai, dan sikap peduli terhadap orang lain, baik orang Islam maupun non-Islam. Beliau melakukan dakwah dengan menekankan prinsip keteladanan. Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui dan membandingkan apakah masih sesuai metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab diterapkan pada masa sekarang ini atau diperlukan adanya penyesuaian-penyesuain dengan kondisi aktual. Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah apa metode dakwah yang dilakukan Umar bin Khattab selama menjadi Khalifah dalam mengembangkan dakwah? Kemudian apakah metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab pada masa sekarang ini masih relevan? Oleh karena Khalifah Umar bin Khattab telah wafat, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library reseach) dan menggunakan pendekatan kualitatif. Artinya penulis mencari buku-buku yang berkaitan dengan Khalifah Umar bin Khattab atau yang berhubungan dengan judul yang diteliti di perpustakaan, kemudian data-data yang ditemukan dianalisis dengan metode historis. Dalam hal ini penulis mencoba memaparkan atau menggambarkan tentang bagaimana metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab pada masanya dan relevansinya dengan masa kini. Untuk menganalisis hasil temuan dari buku, penulis menggunakan teoriteori terutama tentang metode dakwah yang terdiri dari metode al-Hikmah, alMau’dzatil hasanah, dan al-Mujadalah bil lati hiya ahsan. Pada ketiga macam metode dakwah inilah yang lebih ditekankan penulis untuk menganalisis metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Dalam dakwahnya, Khalifah Umar bin Khattab menggunakan metode dakwah al-Hikmah, dan al-Mau’dzatil hasanah. Hal ini disebabkan karena pada masa itu, banyak kerajaan yang dipimpin oleh orang musyrik yang tidak mau melakukan perdebatan karena dianggap hanya membuang waktu saja. Sehingga beliau tidak menggunakan metode dakwah al-Mujadalah bil lati hiya ahsan. Selain itu pada masa kekhalifahan Umar, kelompok masyarakatnya terdiri dari berbagai macam agama, tidak semuanya memeluk Islam. Maka kondisi seperti itu tidak berbeda dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Sehingga dapat dikatakan bahwa metode dakwah yang digunakan Khalifah Umar bin Khattab masih relevan untuk diaplikasikan pada masa sekarang. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dien al-Islam merupakan hidayah Allah SWT kepada manusia melalui Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pedoman dalam mengarungi hidup sesama manusia, serta terhadap sang Pencipta. Agama juga merupakan pedoman yang mengendalikan tingkah laku, sikap dan tata cara hidup di tengah-tengah masyarakat. Agama merupakan serangkaian perintah Allah tentang perbuatan dan akhlak yang dibawa oleh para Rasul untuk menjadi pedoman bagi umat manusia.1 ☺ “Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Q.S. Yusuf: 108) Islam adalah agama dakwah. Artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju mundurnya umat Islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang dilakukan.2 1 h.23. 2 Muhammad Husain Thabathaba’i, Inilah Islam (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993), Didin Hafiduddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), h.76. Implikasi dari pernyataan Islam sebagai agama dakwah menuntut umatnya agar selalu menyampaikan dakwah, karena kegiatan ini merupakan aktifitas yang tidak pernah usai selama kehidupan dunia masih berlangsung dan akan terus melekat dalam situasi dan kondisi apa pun bentuk dan coraknya.3 1 Tugas dakwah menegakkan kalimatullah akan menjadi sebuah amalan yang sangat mulia. Namun buah yang agung ini baru akan terwujud jika seseorang telah mengerti akan hakikat dakwah yang sebenarnya.4 Hakikat dakwah adalah menyeru kepada umat manusia untuk menuju kepada jalan kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dalam rangka memperoleh kebahagiaan di dunia dan kesejahteraan di akhirat.5 Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT: ☺ ☺ “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Ali Imran: 104) Merupakan kewajiban bagi sebagian manusia untuk melaksanakan dakwah, mengajak kepada jalan yang ma’ruf dan mencegah segala kemungkaran. Dalam berdakwah memang dibutuhkan ketangguhan dan kekuatan, hingga ajaran agama tidak tersia-siakan dan mencelakakan manusia. 3 Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 5. 4 Said bin Ali bin Wahf al-Qahtani, 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah, Diterjemahkan: Muzaidi Hasbullah, (Solo: Pustaka Arafah, 2001), h. 11. 5 Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung: Balai Setia, 2001), h. 11. Sebab hakikat dakwah adalah membina dan mempersatukan umat manusia, serta menyelamatkan mereka dari kesengsaraan dunia dan akhirat.6 Yakni sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT: ⌧ ⌧ ⌧ “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (Q.S. Ali Imran: 105) Peradaban dan kebudayaan Islam di dunia modern dewasa ini telah melahirkan generasi urakan yang marah, pemberontak-pemberontak yang tidak lagi percaya kepada peradabannya sendiri. Suasana kehidupan ilmiah juga meragukan. Serta di bidang kehidupan sosial yang biasa, krisis itu adalah dalam dan merusakkan. Krisis di dunia dan ancaman-ancaman yang mengancam umat manusia dewasa ini adalah karena umat manusia berada dalam krisis rohani dan kekosongan moral yang menimpa seluruh umat manusia dan kemanusiaan.7 Krisis rohani dan kekosongan moral nampaknya terus menggelembung menjadi gelombang arus yang terus mengikis dan mengakibatkan terjadinya erosi pada sendi-sendi kebudayaan dan peradaban dunia Islam. Kekosongan moral, keresahan dan kelaparan spiritual mengancam manusia yang hidup dalam peradaban modern. Ancaman kelaparan spiritual demikian tidak kalah bahayanya dari kelaparan jasmani. Persoalan yang dihadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku dalam mendapatkan hiburan (entertainment), kepariwisataan dan seni dalam 6 7 h. 168. Ahmad Mudjab Mahalli, Buku Pintar Da’i, (Surabaya: Duta Ilmu, 2005), h. 6. Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), arti luas, yang semakin membuka peluang munculnya kerawanan-kerawanan moral dan etika. Kerawanan moral dan etika itu muncul semakin transparan dalam bentuk kemaksiatan karena disokong oleh kemajuan alat-alat teknologi informasi mutakhir seperti siaran televisi, keping-keping VCD, jaringan internet, dan sebagainya. Tidak asing lagi, akhirnya di negeri Indonesia yang berbudaya, beradat dan beragama ini, kemaksiatan juga mengalami kemajuan, terutama setelah terbukanya turisme internasional di berbagai kawasan, hingga menjamah wilayah yang semakin luas dan menjarah semakin banyak generasi muda yang kehilangan jati diri dan miskin iman dan ilmu. Hampir-hampir tidak ada lagi batas antara kota dan desa, semuanya telah terkontaminasi dalam gemuruh kebebasan yang tak kenal batas. Sesungguhnya perwujudan dakwah bukan sekedar usaha peningkatan pemahaman keagamaan dalam tingkah laku dan pandangan hidup saja, tetapi juga menuju sasaran yang lebih luas. Apalagi pada masa sekarang ini, dakwah harus lebih berperan menuju kepada pelaksanaan ajaran Islam secara lebih menyeluruh dalam berbagai aspek kehidupan. Hendaknya umat Islam tetap sadar dan waspada bahwa adanya informasi atau pemberitaan yang datangnya dari berbagai media itu tidaklah semuanya mengandung kebaikan. Demikian pula halnya dengan perkembangan budaya dari dalam pun tidak semuanya mengandung kebaikan. Dalam keadaan yang tidak menentu inilah kemaksiatan juga semakin meningkat seiring meningkatnya aktivitas dakwah. Mungkin saja keadaan seperti ini akan berjalan terus hingga akhir zaman dan umat Islam tetap dituntut untuk bertanggung jawab sebagai khalifatullah fil ardhi. Ledakan-ledakan informasi dan kemajuan teknologi dalam berbagai bidang itu tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Umat Islam harus berusaha mencegah dan mengantisipasi dengan memperkuat benteng pertahanan aqidah yang berpadukan ilmu dan teknologi. Tidak sedikit korban yang berjatuhan yang membuat kemuliaan Islam semakin terancam dan masa depan generasi muda semakin suram. Apabila tetap lengah dan terbuai oleh kemewahan hidup dengan berbagai fasilitasnya, ketika itu pula secara perlahan mulai meninggalkan petunjuk-petunjuk Allah SWT yang sangat diperlukan bagi hati nurani setiap individu. Di samping itu kelemahan dan ketertinggalan umat Islam dalam mengakses informasi dari waktu ke waktu, pada gilirannya juga akan membuat langkah-langkah dakwah semakin tumpul tak berdaya. Dalam era globalisasi ini, di mana teknologi semakin maju dan berkembang, maka dakwah yang dilakukan masyarakat Indonesia saat ini tidak hanya dilakukan di atas mimbar saja. Berdakwah atau mengajak orang lain menuju kebaikan saat ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan media lain, misalnya media cetak seperti; surat kabar, majalah, bulletin maupun elektronik misalnya; televisi, internet, radio, telepon, dan handphone yang secara rutin informasinya di up date terus. Tetapi dakwah bukanlah sekedar mengajak manusia agar mereka menerima apa yang diserukan juru dakwah, bukan pula kepintaran seseorang berorasi di atas mimbar atau kemampuan menuangkan ide melalui tulisan. Lebih dari itu dakwah merupakan hubungan seseorang secara horizontal dengan sesama yang bersifat saling mempengaruhi. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nahl ayat 44 yang berbunyi: ⌧ “Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”(Q.S. anNahl: 44) Pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq, dakwah pada masa itu mengalami pergolakan. Karena banyak permasalahan dalam negeri yang mengancam eksistensi agama Islam. Terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap, bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Khalifah Abu Bakar memerangi mereka hingga mencapai kemenangan di pihak muslimin. Dakwah Islam pada masa Khalifah Umar bin Khattab mengalami kemajuan yang sangat pesat. Pada masa beliau, pertama kali pasukan Islam melakukan dakwah keluar wilayah Madinah, yaitu ke seluruh kawasan Iraq, Syam, Palestina (al-Quds), Mesir dan Azerbaijan. Keikhlasan Khalifah Umar dan integritasnya yang sering disebut-sebut sebagai teladan kepada umat karena ketegasannya, keadilannya tanpa pandang bulu dan sikapnya yang anti kolusi dan nepotisme. Dakwah yang Khalifah Umar bin Khattab lakukan adalah dakwah yang berlandaskan keadilan, kasih sayang, sabar, ikhlas, saling menghargai, dan sikap peduli terhadap orang lain, baik orang Islam maupun non-Islam. Khalifah Umar sangat menyayangi rakyatnya, beliau belum bisa merasa kenyang perutnya sebelum rakyatnya kenyang dahulu untuk makan. Beliau melakukan dakwah dengan menekankan prinsip keteladanan. Beliau tidak berani menyuruh seseorang melakukan sesuatu sebelum beliau melakukannya dahulu. Adapun keberhasilan dakwah dapat diukur sampai sejauhmana kemampuan masyarakat yang menjadi sasaran (objek) dakwah mampu melaksanakan ajaran agama serta menjauhi hal-hal yang munkar. ☺ ☺ ☺ ☺ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl: 125) Dakwah pada dasarnya menyampaikan risalah Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW. Hakikat dari tujuan dakwah itu sendiri adalah usaha yang diarahkan pada masyarakat luas untuk menyampaikan kebaikan dan mencegah keburukan dalam menciptakan situasi yang baik sesuai dengan ajaran Islam di semua bidang kehidupan. Dalam keadaan demikian itulah dakwah islamiyah dituntut untuk lebih berfungsi dengan metode yang sanggup menyertainya. Kekhawatiran akan menurunnya nilai-nilai qurani dalam proses lahirnya generasi baru dalam masyarakat modern di masa mendatang sangat terasa. Budaya dan peradaban Barat makin mendesak untuk masuk mengkontaminasi budaya dan peradaban masyarakat yang sudah ada, khususnya masyarakat Islam. Kepentingan-kepentingan yang berimbang akan selalu bergejolak di permukaan antara kehidupan dunia dan akhirat. Menonjolnya kepentingan duniawi akan selalu muncul di segala aspek kehidupan tidak terkecuali di bidang dakwah. Budaya meniru dan mengadopsi sistem jahiliyah terus berkembang di kalangan masyakarat modern tanpa pertimbangan sesuai atau tidaknya sistem tersebut. Dakwah hendaklah dikemas dengan metode yang tepat. Dakwah haruslah tampil secara aktual, faktual dan kontekstual. Aktual dalam arti memecahkan masalah yang terkini dan hangat di tengah masyarakat. Faktual dalam arti nyata serta kontekstual dalam arti relevan dan menyangkut masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat.8 Berhasil atau tidaknya sebuah aktivitas sangat ditentukan oleh faktor metode. Sebab dengan adanya metode dapat dikemukakan hasil yang optimal dan maksimal.9 8 9 h. 130. Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, (ed), Op. Cit., h. xiii. Al-Bayanuni, Al-Madkhal ila ‘ilmi Al-Da’wah, (Muassash Al-Risalah, Beirut, 1991), Oleh karena itu, permasalahan dakwah di zaman dulu, dalam hal ini dakwah di zaman Khalifah Umar bin Khattab jika dibandingkan dengan dakwah pada masa kita sekarang ini akan sangat menarik kiranya jika dilakukan penelitian tentang metode dakwah apa yang sesuai untuk kondisi masa sekarang ini. Apakah masih sesuai metode dakwah yang dilakukan Umar bin Khattab terkait dengan eksistensinya sebagai Khalifah kedua diterapkan pada masa sekarang ini atau diperlukan adanya penyesuaian-penyesuaian dengan kondisi aktual. Untuk itulah penulis tertarik untuk meneliti dan menulisnya dalam skripsi dengan judul ”Metode Dakwah Khalifah Umar Bin Khattab.” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Banyak sekali masalah dakwah selama periode Khalifah Umar bin Khattab yang dapat dibahas, seperti; tentang materi dakwah, objek dakwah, sarana dakwah dan lain sebagainya. Sesuai dengan judul skripsi ini, dan supaya pembahasan masalah tetap fokus, maka perlulah kiranya penulis membatasi ruang lingkupnya sehingga tidak melebar dan meluas ke dalam hal-hal yang terlalu menyimpang, apalagi tidak ada kaitannya dengan pembahasan ini. Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah hanya pada metode dakwah apa yang dilakukan oleh Umar bin Khattab selama menjadi Khalifah kedua setelah Abu Bakar Ash Siddiq, yaitu selama 10 tahun (1323 H/634-644 M). 2. Perumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah: a. Apa metode dakwah yang dilakukan Umar bin Khattab selama menjadi Khalifah dalam mengembangkan dakwah? b. Apakah masih relevan metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab pada masa sekarang ini? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a. Metode dakwah yang digunakan oleh Umar bin Khattab selama menjadi Khalifah dalam mengembangkan dakwah. b. Masih relevan atau tidak metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab digunakan pada masa sekarang ini. 2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis 1) Dalam penelitian ini kiranya dapat memberikan informasi kepada semua kalangan yang terkait di dunia dakwah, khususnya Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam dalam upaya meningkatkan mutu dakwah. 2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama tentang metode dakwah. 3) Memberikan wawasan dan pengetahuan dalam upaya mengembangkan studi komunikasi dan dakwah, sehingga pesanpesan dakwah dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan tujuan dakwah. b. Manfaat Praktis 1) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan pemikiran tentang metode dakwah. 2) Sebagai penambahan pustaka yang nantinya diharapkan menambah pemahaman secara mendalam mengenai metode dakwah. 3) Untuk menambah wawasan akademisi dan praktisi dakwah agar mengembangkan metode dakwahnya di lapangan serta dakwah yang disampaikannya mudah dimengerti dan diterima. D. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian Seperti lazimnya karya ilmiah pada sebuah karya tulis. Setiap penulis diharuskan menggunakan metode tertentu dalam penelitiannya. Penulis harus membuat langkah-langkah atau landasan berpijak dalam melakukan penelitian dengan teori-teori yang sudah ada dan yang berkaitan dengan konteks Islam. Pada tahap berikutnya dapat dijelaskan secara sistematis dengan bahasa yang mudah dicerna dan dipahami. Oleh karena itu metode yang digunakan dari hasil penelitian nanti menggunakan metode historis. Metode historis adalah studi tentang masa lalu dengan menggunakan kerangka paparan dan penjelasan. Metode tersebut merupakan studi empiris yang menggunakan berbagai tahap generalisasi untuk memaparkan, menafsirkan, dan menjelaskan data. Metode historis bertujuan merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi, dan menyintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai kongklusi yang dapat dipertahankan. Dengan metode historis, penulis mencoba menjawab masalah-masalah yang dihadapinya.10 Penulis mengambil sumber data dari hasil penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan (library research) adalah cara pengumpulan data dengan berusaha mencari dan pengumpulkan data yang diperlukan, dipakai, digunakan, dan diperhitungkan dalam penelitian. Data sepenuhnya diambil dari penelitian kepustakaan dengan mengandalkan pada bacaan baik buku maupun tulisan yang mempunyai relevansi dengan judul penelitian ini, dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. 2. Subjek dan Objek Penelitian Subjek dari penelitian ini adalah Khalifah Umar bin Khattab, sedangkan yang menjadi objek dari penelitian ini adalah metode dakwah yang digunakan Umar bin Khattab selama menjadi Khalifah yang kedua. 3. Teknik Pengumpulan dan Sumber Data Dengan cara mengumpulkan karya-karya yang berkaitan dengan dakwah Khalifah Umar bin Khattab. a. Data Primer. Sumber primer yang digunakan adalah buku yang berjudul; Jejak Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Umar bin Khattab: Sebuah telaah mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu, al-Quran al-Karim, Keagungan Umar bin 10 Jalaluddin Rakhmat, Metode Penelitian Komunikasi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. ke-7, h. 21-22. Khattab, Umar bin Khattab dalam Perbincangan, dan Umar yang Agung. b. Data Sekunder Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan konsep dakwah Khalifah Umar bin Khattab diantaranya; Tarikh Khulafa’, Sejarah Dakwah Islam, Islam Landasan Administrasi Pembangunan, dan juga dari jurnal, majalah dan lainlain, yang berhubungan dengan pembahasan ini. 4. Teknik Analisis Data Dari data yang dikumpulkan dengan penelusuran melalui literatur kepustakaan, membandingkan, kemudian dan penulis selanjutnya menganalisis, menginterpretasikan menerangkan, data yang terkumpul secara apa adanya kemudian disajikan dalam skripsi ini. Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Cet. ke-2 yang diterbitkan UIN Syarif Hidayatullah. E. Tinjauan Pustaka Dari sekian banyak skripsi yang membahas metode dakwah seorang tokoh, namun tidak satupun penulis menemukan skripsi yang membahas metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Walaupun ada beberapa skripsi yang membahas tentang metode dakwah, tetapi tidak ada satupun skripsi yang membahas tentang metode dakwah pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Skripsi itu diantaranya yang berjudul; ”Metode Dakwah Islam Habiburrahman El Shirazy dalam Novel Islam” yang membahas tentang dakwah bil qalam Habiburrahman yaitu melalui tulisan, atas nama Siti Shobariyatul Irfani, ”Metode Dakwah Yusuf Mansur” yang membahas tentang dakwah bil lisan Yusuf Mansur yaitu melalui ceramah, atas nama Agus Salim Wahid, ”Metode Dakwah dalam surat an-Nahl menurut pandangan DR. Yusuf Qardhawi” yang membahas tentang pandangan Yusuf Qardhawi terhadap metode dakwah surat an-Nahl, atas nama Alamsyah, ”Penafsiran Quraish Shihab terhadap Metode Dakwah dalam surat an-Nahl: 125 pada Tafsir alMisbah” yang membahas tentang analisis isi surat an-Nahl ayat 125, atas nama Fitra Siti Nurmaya Sopa. Oleh karena itu, penulis berusaha membandingkan karya tulis terdahulu dengan skripsi yang penulis kerjakan ini, dalam hal ini tentang metode dakwah. F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan dalam skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab dan dibagi kedalam beberapa sub bab. Agar pembahasan dapat dilakukan secara terarah dan sistematis, maka sistematika penulisan dalam penelitian adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini, penulis menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Pada bagian awal, diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan diakhiri dengan uraian tentang sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN TEORITIS Pada bab ini dibahas tentang metode dakwah. Agar pembahasan ini jelas, maka akan dikemukakan tentang definisi kedua istilah tersebut, baik definisi etimologis maupun terminologinya. Selain itu, penulis juga akan mengemukakan macam-macam metode dakwah. BAB III BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB Bab ini berisikan riwayat hidup Umar bin Khattab, Umar bin Khattab menjadi khalifah dan prestasi-prestasi Khalifah Umar bin Khattab. BAB IV DAKWAH UMAR BIN KHATTAB Bab ini berisikan metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab dan relevansi metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab pada masa sekarang. BAB V PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran untuk mencapai hasil yang lebih baik. BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Metode Metode berasal dari bahasa Inggris: method yang artinya ”cara”, yaitu suatu cara untuk mencapai suatu cita-cita. Metode lebih umum dari teknik yang dalam bahasa Inggrisnya: technique. Dalam The Concise Oxford Dictionary (1995) dinyatakan bahwa method is a special form of procedure esp. In any branch of mental activity, terkandung arti bentuk khusus tentang prosedur kegiatan mental. Sedangkan technique adalah a means or method of achieving one’s purpose, esp. skillfully yang maknanya sesuatu alat atau cara untuk tujuan dengan cekatan atau praktis.11 Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.12 K. Prente, menerjemahkan methodus sebagai cara mengajar. Metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai 11 Wardi Bachtiar, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 59. 12 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi 3, h. 740. 16 maksud.13 Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta (melalui) dan hodos (jalan, cara).14 Sumber yang lain menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa Jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut thariq.15 Dari beberapa definisi tentang metode yang telah dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa metode adalah cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud. B. Pengertian Dakwah Dakwah adalah penyiaran, propaganda, penyiaran agama dan pengembangan di kalangan masyarakat, seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama.16 Ada tiga kata yang digunakan al-Qur’an mengandung arti dakwah, yaitu da’wah, tabligh, dan nida’. Kata da’wah ditemukan dalam al-Quran dalam berbagai bentuknya (fi’l madhi, fi’l mudhari, fi’l amr, mashdar, dan sebagainya) sebanyak 203 kali. Sementara itu, kata tabligh hanya 64 kali dan nida’ sebanyak 46 kali.17 13 Woyo Wasito, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Cy Press, 1974), h. 208. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h. 61. 15 Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35. 16 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Op. Cit., h. 232. 17 Suriani, Manajemen Dakwah dalam Kehidupan Pluralis: Upaya Membumikan Nilainilai Kisah Nabi Hud a.s. dalam al-Qur’an, (Jakarta: The Media of Social Cultural Communication, 2005), h. 18. 14 Secara etimologi, kata dakwah berasal dari bahasa Arab, yaitu dari fi’il madhi: ( )دﻋﺎ– ﻳﺪ ﻋﻮ– دﻋﻮةyang berarti ajakan, panggilan, seruan, menjamu.18 Dalam Ilmu Tata Bahasa Arab, kata dakwah berbentuk sebagai isim masdhar. Kata ini berasal dari fi’il (kata kerja) da’a-yad’u, artinya memanggil mengajak atau menyeru.19 Adapun pengertian dakwah menurut terminologi, dapat dilihat dalam beberapa pendapat berikut ini: 1. Prof. H.M. Toha Yahya Omar Dakwah berasal dari bahasa Arab yang berarti ajakan, seruan, panggilan, undangan. Adapun dakwah di dalam Islam dimaksudkan adalah mengajak dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah Allah SWT, untuk mashalatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan akhirat.20 2. Letjend. H. Soedirman, dalam bukunya Problematika Dakwah Islam di Indonesia. Dakwah adalah usaha untuk merealisasikan ajaran Islam di dalam kenyataan hidup sehari-hari baik kehidupan seseorang, maupun kehidupan masyarakat sebagai keseluruhan tata hidup bersama dalam rangka 18 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973), h. 127. 19 Asmuni Syukir, Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 17. 20 Hasanudin, Manajemen Dakwah, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), h. 40. pembangunan bangsa dan umat, untuk memperoleh keridhoan Allah SWT.21 3. M. Quraish Shihab Dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan atau usaha mengubah situasi kepada yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat.22 Ia melihat bahwa dakwah bukan hanya sekedar amar ma’ruf nahi munkar, tetapi merupakan usaha penyadaran manusia terhadap keberadaan dan keadaan hidup mereka, sehingga bersedia diajak kepada kehidupan yang lebih baik dan lebih sempurna, dengan melaksanakan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan. 4. Amien Rais Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-unsur jahili agar menjadi masyarakat yang islami.23 5. Bakhial Khauli Dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain.24 21 Amrullah Ahmad, dkk., Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah IAIN, (Jakarta: IAIN Jakarta, 1972), h. 13-14. 22 Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 194. 23 Amien Rais, Cakrawala Islam, (Bandung: Mizan, 1996), h. 25-26. 6. H.M.S. Nasarudin Latif Dakwah artinya setiap usaha atau aktivitas dengan lisan atau tulisan yang bersifat menyeru, mengajak, memanggil manusia lainnya untuk beriman dan menaati Allah SWT sesuai dengan garis-garis aqidah dan syari’ah serta akhlak islamiyah.25 7. Drs. Hamzah Yaqub Dakwah adalah mengajak umat manusia dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya.26 8. Mohammad Natsir Dakwah adalah usaha-usaha menyerukan dan menyampaikan kepada perorangan manusia dan seluruh umat, konsepsi Islam tentang pandangan dan tujuan hidup manusia di dunia ini, yang melipui amar ma’ruf nahi munkar, dengan berbagai macam media dan cara yang diperbolehkan akhlak dan membimbing pengalamannya dalam peri kehidupan perseorangan, peri kehidupan berumah tangga (usrah), peri kehidupan bermasyarakat dan peri kehidupan bernegara.27 9. Menurut Syekh Ali Mahfudz Dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka 24 Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah, (Malaysia: Nur Niaga SDN, BHD, 1996), h. 5. 25 Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel, Prinsip dan Strategi Dakwah, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 24. 26 Asmuni Syukir, Op. Cit., h. 19. 27 Mohammad Natsir, Fungsi Da’wah Islam dalam Rangka Perjuangan, (Jakarta: Media Dakwah, 1979), Jilid 1, h. 7. dari perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.28 Dari beberapa pendapat tentang pengertian dakwah yang telah dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa dakwah adalah merupakan proses penyelenggaraan suatu usaha yang dilakukan dengan sadar dan sengaja yang berisi cara-cara dan tuntunan-tuntunan, bagaimana seharusnya menarik perhatian manusia untuk menganut, menyetujui, melaksanakan suatu ideologi pendapat-pendapat pekerjaan yang tertentu untuk mengajak manusia kepada ajaran Allah SWT menuju kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia dan di akhirat. C. Pengertian Metode Dakwah Metode dakwah menurut Abdul Kadir Mansij dalam bukunya Metode Diskusi dalam Dakwah adalah ”cara-cara yang dilakukan seorang da’i untuk mencapai tujuan tertentu atas dasar hikmah dan kasih sayang.” Metode dakwah menyangkut masalah bagaimana caranya dakwah itu harus dilaksanakan. Tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan dakwah yang telah dirumuskan akan efektif bilamana dilaksanakan dengan menggunakan cara-cara yang tepat.29 Metode dakwah artinya adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da’i untuk menyampaikan materi dakwah, yaitu al-Islam atau serentetan kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu. 28 Abdul Kadir Sayid Abd. Rauf, Dirasah Fid Dakwah al-Islamiyah, (Kairo: Dar ElTiba’ah al-Mahmadiyah, 1987), h. 10. 29 Abd. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), h. 72. Dari sumber metode al-hikmah, al-mauidzatil hasanah dan al mujadalah bi lati hiya ahsan tersebut, tumbuh metode-metode yang merupakan operasionalisasinya yaitu dakwah dengan lisan, tulisan, seni dan bil hal. Dakwah dengan lisan berupa ceramah, seminar, simposium, diskusi, khutbah, saresehan, dan lain-lain. Dakwah dengan tulisan berupa buku, majalah, surat kabar, spanduk, pamflet, lukisan, billboard, baleho, lukisan-lukisan dan lainlain. Dakwah bil hal berupa perilaku yang sopan sesuai dengan ajaran Islam, diantaranya adalah memelihara lingkungan, mencari nafkah dengan tekun, ulet, sabar, semangat, kerja keras, menolong sesama manusia. Seni meliputi seni lukis, seni tari, seni suara atau musik dan lain-lain. Dari pengertian di atas, dapat diambil pengertian bahwa metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’i (komunikator) kepada mad’u (objek dakwah) untuk mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.30 Hal ini mengandung arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human oriented yaitu menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia. Metode (uslub) dakwah mencakup seluruh aktivitas kehidupan, karena kaum muslimin dengan kemampuan yang ada pada dirinya bisa menjadikan setiap amal yang diperbuat dan setiap aktivitas yang dilaksanakan sebagai jalan untuk berdakwah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus.31 D. Macam-macam Metode Dakwah 30 Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h. 43. Sayid Muhammad Nuh, Diterjemahkan oleh: Ashfa Afkarina, Dakwah Fardiyah: Pendekatan Personal dalam Dakwah, (Solo: Era Intermedia, 2000), h. 26. 31 Sumber metode dakwah yang terdapat di dalam al-Quran menunjukkan ragam yang banyak, seperti hikmah, nasihat yang benar dan mujadalah atau diskusi atau berbantah dengan cara yang paling baik. Allah SWT berfirman dalam surat an-Nahl ayat 125 yang berbunyi: ☺ ☺ ☺ ☺ ”Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Q.S. an-Nahl: 125) Di bawah ini dijelaskan tentang metode-metode dakwah di atas, yaitu:32 1. Al-Hikmah Perkataan hikmah biasa diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan bijaksana atau kebijaksanaan. Kata hikmah dalam al-Quran disebutkan sebanyak 20 kali baik dalam bentuk nakiroh maupun ma’rifat. Bentuk masdarnya adalah hukman yang diartikan secara makna aslinya adalah mencegah. Jika dikaitkan dengan hukum berarti mencegah dari kezaliman, dan jika dikaitkan dengan dakwah maka berarti menghindari hal-hal yang kurang relevan dalam melaksanakan tugas dakwah. Al-Hikmah diartikan pula sebagai al-’Adl (keadilan), al-Haq (kebenaran), al-Hilm (ketabahan), al-’Ilm (pengetahuan) terakhir anNubuwwah (kenabian). Di samping itu, al-Hikmah juga diartikan sebagai menempatkan sesuatu pada proporsinya. 32 Munzier Suparta, Harjanti Hefni (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), h. 9. Sebagai metode dakwah, al-Hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang, hati yang bersih, menarik perhatian orang kepada agama atau Allah SWT. Menurut al-Ashma’i asal mula didirikan hukumah (pemerintahan) ialah untuk mencegah manusia dari perbuatan zalim. Maka digunakan istilah hikmatul lijam, karena lijam (cambuk atau kekang kuda) itu digunakan untuk mencegah tindakan hewan. Al-Hikmah juga berarti tali kekang pada binatang sebagaimana dijelaskan dalam kitab Mishbahul Munir. Diartikan demikian karena tali kekang itu membuat penunggang kudanya dapat mengendalikan kudanya sehingga si penunggang dapat mengaturnya baik untuk perintah lari atau berhenti. Dari kiasan ini maka orang yang memiliki hikmah berarti orang yang mempunyai kendali diri yang dapat mencegah diri dari hal-hal yang kurang bernilai atau menurut Ahmad bin Munir al-Muqri’ al-Fayumi berarti dapat mencegah dari perbuatan yang hina.33 Para ahli dalam mendefinisikan hikmah ini bermacam-macam, antara lain adalah: Syeikh Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafazh akan tetapi banyak makna.34 Diartikan pula meletakkan sesuatu pada tempat atau semestinya. Dalam Tafsir al-Manar ia juga mengartikan hikmah adalah sebagai ilmu yang shahih (benar dan sehat) yang menggerakkan kemauan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang bermanfaat.35 Prof. DR. Toha Yahya Umar, M.A., mengartikan hikmah adalah meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha menyusun 33 Ahmad bin Muhammad al-Muqrib’ al-Fayumi, al-Misbahul Munir, h. 120. Munzier Suparta, Harjanti Hefni (ed), Op. Cit., h. 9. 35 M. Rosyad Shaleh, Manajemen Dakwah Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), 34 h. 73. dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dengan tidak bertentangan dengan larangan Allah SWT.36 Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa pengertian hikmah yang paling tepat adalah seperti yang dikatakan oleh Mujahid dan Malik yang mendefinisikan bahwa hikmah adalah pengetahuan tentang kebenaran dan pengalamannya, ketepatan dalam perkataan dan pengalamannya.37 Dari beberapa pengertian di atas, penulis dapat menyimpulkan bahwa al-Hikmah adalah merupakan kemampuan da’i dalam memilih, memilah dan menyelaraskan teknik dakwah dengan kondisi objektif mad’u. Di samping itu juga al-Hikmah merupakan kemampuan da’i dalam menjelaskan doktrin-doktrin Islam serta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, alHikmah adalah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam dakwah. Dalam dunia dakwah, hikmah adalah penentu sukses tidaknya dakwah. Dalam menghadapi mad’u yang beragam tingkat pendidikan, strata sosial, dan latar belakang budaya, para da’i memerlukan hikmah, sehingga ajaran Islam mampu memasuki ruang hati para mad’u dengan tepat. Oleh karena itu, para da’i dituntut untuk mampu mengerti dan memahami sekaligus memanfaatkan latar belakangnya, sehingga ide-ide yang diterima dirasakan sebagai sesuatu yang menyentuh menyejukkan qalbunya. 36 37 Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35. Ibnu Qoyyim, At Tafsirul Qoyyim, h. 226. dan Tidak semua orang mampu meraih hikmah, sebab Allah SWT hanya memberikannya untuk orang yang layak mendapatkannya. Barangsiapa mendapatkannya, maka dia telah memperoleh karunia besar dari Allah SWT. Allah SWT berfirman: ☺ ☺ ”Allah menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang al Quran dan as Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).” (Q.S. al-Baqarah : 269) Hikmah adalah bekal da’i menuju sukses. Karunia Allah yang diberikan kepada orang yang mendapatkan hikmah insya Allah juga akan berimbas kepada mad’unya, sehingga mereka termotivasi untuk merubah diri dan mengamalkan apa yang disarankan da’i kepada mereka. Hikmah merupakan pokok awal yang harus dimiliki oleh seorang da’i dalam berdakwah. Karena dari hikmah ini akan lahir kebijaksanaankebijaksanaan dalam menerapkan langkah-langkah dakwah baik secara metodologis maupun praktis. Oleh karena itu, hikmah yang memiliki multidefinisi mengandung arti dan makna yang berbeda tergantung dari sisi mana melihatnya. 2. Al-Mau’idzatil al-Hasanah Secara bahasa, mau’idzah hasanah terdiri dari dua kata, yaitu mau’idzah dan hasanah. Kata mau’idzah berasal dari kata wa’adza-ya ’idzu-wa’dzan-’idzatan yang berarti; nasihat, bimbingan, pendidikan dan peringatan,38 sementara hasanah merupakan kebalikan dari sayyi’ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekan. Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat, antara lain; a. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi yang dikutip oleh H. Hasanuddin, al-Mau’idzatil Hasanah adalah perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan al-Quran.39 b. Menurut Abdul Hamid al-Bilali, al-Mau’izhah al-Hasanah merupakan salah satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar mereka mau berbuat baik.40 Dari pengertian yang dipaparkan di atas, penulis menyimpulkan bahwa mau’idzatil hasanah dapat diartikan sebagai ungkapan yang mengandung unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan, pesan-pesan positif (wasiat) yang bisa dijadikan pedoman dalam kehidupan agar mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. 3. Al-Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan 38 Lois Ma’luf, Munjid fi al-Lughah wa A’lam, (Beirut: Dar Fikr, 1986), h. 907, Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Fikr, 1990), jilid IV, h. 466. 39 Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37. 40 Abdul Hamid al-Bilali, Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Mungkar, (Kuwait: Dar alDakwah, 1989), h. 260. Dari segi etimologi (bahasa) lafazh mujadalah berasal dari kata jadala yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan faa ala, jaa dala dapat bermakan berdebat, dan mujaadalah bermakna perdebatan.41 Kata jadala dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui argumentasi yang disampaikan.42 Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian alMujadalah (al-Hiwar) dari segi istilah. al-Mujadalah (al-Hiwar) berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.43 Sedangkan menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi ialah suatu upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti yang kuat. Dari pengertian di atas, penulis menyimpulkan bahwa, al-mujadalah merupakan tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak secara sinergis, yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. 41 175. 42 Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), h. M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 553. Ali al-Jarisyah, Adab al-Khiwar wa al-Mudhoroh, (Al-Munawaroh: Dar al-Wifa, 1989), h. 19. 43 BAB III BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB A. Riwayat Hidup Umar bin Khattab Umar bin Khattab dilahirkan sesudah tahun gajah. Ini berarti Umar bin Khattab lebih muda dari Nabi Muhammad SAW selisih tiga belas tahun. Tatkala Nabi Muhammad SAW diutus, usia Umar bin Khattab mencapai dua puluh tujuh tahun.44 Selain mempunyai budi pekerti yang luhur, fasih dan adil, dia seorang pemberani dan pribadi yang dikenal keras.45 Umar bin Khattab adalah putra dari Ibunya Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum dengan ayahnya Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Ribah bin Abdullah bin Qurat bin Zurah bin bin ’Adi bin Ka’ab bin Luway bin Fihr bin Malik. Nasabnya bertemu dengan nasab Nabi Muhammad SAW pada Ka’ab bin Luway. Umar bin Khattab adalah orang Quraisy dari bani ’Adi. ’Adi ini saudara Murrah, kakek Nabi yang kedelapan.46 Umar bin Khattab termasuk di lingkungan keluarga yang dipanggil Bani ’Adi di dalam suku besar Quraisy di kota Mekkah. Suku Bani ’Adi ini terkenal sebagai suku yang terpandang mulia, dan berkedudukan tinggi.47 Semasa anak-anak Umar bin Khattab dibesarkan seperti layaknya anakanak Quraisy. Tetapi yang membedakannya dengan anak lain, Umar bin 44 Amru Khalid, Jejak Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, Penerjemah: Farur Mu’is, (Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2007), h. 70. 45 Taufiqurrahman, Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam: Daras Sejarah Peradaban Islam, (Surabaya: Pustaka Islamika, 2003), h. 67. 46 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, diterjemahkan: Ali Audah, (Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2001), h. 8. 47 Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 315. Khattab sempat belajar baca-tulis, hal yang jarang sekali terjadi di kalangan mereka. Dari semua suku Quraisy ketika Nabi Muhammad SAW diutus hanya 17 (tujuh belas) orang yang pandai baca-tulis, itulah yang istimewa di antara teman-teman sebayanya. Orang-orang Arab masa itu tidak menganggap pandai baca-tulis itu suatu keistimewaan, bahkan mereka malah menghindarinya dan menghindarkan anak-anaknya dari belajar. Sesudah beliau beranjak remaja, beliau bekerja sebagai gembala unta ayahnya di Dajnan atau di tempat lain di pinggiran kota Mekkah. Ayahnya sangat keras dan kasar, tidak segan-segan memukul Umar apabila ia lengah mengawasi gembalaannya.48 Beranjak dari masa remaja ke masa pemuda. Sosok tubuh Umar tampak berkembang lebih cepat dibandingkan teman-teman sebayanya, lebih tinggi dan lebih besar. Bila melihatnya berjalan, seolah-olah sedang naik kendaraan. Ketika Auf bin Malik melihat orang banyak berdiri sama tinggi, hanya ada seorang yang tingginya jauh melebihi yang lain sehingga sangat mencolok. Bilamana ia menanyakan siapa orang itu, dijawab: dia Umar bin Khattab. Umar bin Khattab wajahnya putih agak kemerahan, tangannya kidal dengan kaki yang lebar sehingga jalannya cepat sekali, seakan-akan berjalan di tempat yang menurun. Apabila berbicara, semua barisan akan mendengar lantaran suaranya lantang.49 Lengannya berotot dan keras, badannya gemuk dan kepalanya botak. Berbeda dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq yang lebat rambutnya.50 48 Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 12 dan h. 9. Amru Khalid, Op. Cit., h. 74. 50 Amru Khalid, Ibid., h. 73. 49 Sejak mudanya Umar bin Khattab memang mahir dalam berbagai olahraga, diantaranya adalah gulat dan menunggang kuda. Dari berbagai macam olahraga, naik kuda itulah yang paling disukainya sepanjang hidupnya.51 Di samping kemahirannya dalam olahraga berkuda, gulat dan berbagai olahraga lain, apresiasinya terhadap puisi juga tinggi dan suka mengutipnya. Ia suka mendengarkan para penyair membaca puisi di pasar Ukaz52 dan di tempat-tempat lain. Banyak syair yang sudah dihafal dan dibaca kembali mana-mana yang disenanginya, di samping kemampuannya berbicara panjang mengenai penyair-penyair al-Hutai’ah, Hassan bin Sabit, az-Zibriqan53 dan yang lain. Pengetahuannya yang cukup menonjol mengenai silsilah (genealogi) orang-orang Arab yang dipelajari dari ayahnya, sehingga Umar bin Khattab menjadi orang paling terkemuka dalam bidang ini. Retorikanya baik sekali dan pandai berbicara. Karena semua itu beliau sering pergi menjadi utusan Quraisy kepada kabilah-kabilah lain.54 Umar bin Khattab dikenal di kalangan kaumnya sebagai utusan yang mampu berdiskusi, berdialog dan memecahkan berbagai urusan. Dia juga pedagang yang mahir dan tekun dalam perdagangannya. Ia dikenal sebagai 51 Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., h. 12. Nama daerah di Mekkah yang digunakan sebagai tempat berdagang (pasar) yang digelar setiap bulan Zulhijjah, yang sering disebut Pasar Ukaz. 53 Mereka termasuk di antara penyair-penyair mukhadram (masa transisi JahiliyahIslam). 54 Muhammad Husain Haekal, Ibid., h. 13. 52 orang yang mempunyai temperamen kasar, kokoh dalam memegang prinsip dan berkedudukan tinggi.55 Dalam berdagang, beliau tidak hanya melakukan perjalanan ke Yaman dan ke Syam saja, tetapi pergi sampai ke Persia dan Romawi. Dalam perjalanan itu beliau mengutamakan untuk tidak mengutamakan mencerdaskan berdagang, pikirannya tetapi daripada lebih untuk mengembangkan perdagangannya. Dalam perjalanan itu Umar bin Khattab banyak menemui pemuka-pemuka Arab dan bertukar pikiran dengan mereka. Usaha Umar bin Khattab dalam memburu pengetahuan membuatnya sejak muda hanya memikirkan nasib masyarakatnya dan usaha apa yang akan dapat memperbaiki keadaan mereka. Sebelum dan sesudah masuk Islam, Umar bin Khattab terkenal sebagai seorang yang pemberani, tidak mengenal takut dan gentar, serta mempunyai ketabahan dan kemauan yang keras. Hal inilah yang membuatnya bangga, bersikeras dan menjadi fanatik dengan pendapatnya sendiri tentang tujuan yang ingin dicapainya itu. Sesudah masa mudanya mencapai kematangan, Umar terdorong ingin menikah. Kecenderungan banyak kawin ini sudah diwarisi dari masyarakatnya dengan harapan mendapat banyak anak. Umar bin Khattab menikah dengan empat perempuan di Mekkah, dan yang perempuan kelima setelah hijrah ke Madinah.56 Istri yang pertama adalah Zainab saudara perempuan Utsman bin Maz’un. Istri kedua adalah Qaribah, putri Umait al-Makhzumi, saudara perempuan Ummu Salamah (Istri Nabi Muhammad SAW), karena tidak mau memeluk Islam, dicerai oleh Umar pada tahun ke-6 H setelah tercapainya Perjanjian Hudaibiyah. Istri ketiga adalah Malaikah, putri Jarul al-Khuza’i, 55 Abdullatif Ahmad ’Aasyur, 10 Orang Dijamin ke Surga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 44. 56 Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., h. 14. karena tidak mau memeluk Islam, dicerai oleh Umar pada tahun ke-6 H. Istri keempat adalah Jamilah, putri Tsabit bin Abi al-Aflah, kemudian diceraikan. Istri kelima adalah Ummi Kultsum, putri Ali bin Abi Thalib dengan Fathimah az-Zahra. Istri keenam adalah Ummi Hakim, putri al-Harits binti Hisyam alMakhzumi. Istri ketujuh adalah Fukiha Yamania. Istri kedelapan adalah Atikah, putri Zaid bin Amr bin Nafil, dinikahi pada tahun 12 H. Ia menikahi banyak wanita dan memiliki anak yang banyak pula, dan sebagian besar dari istrinya tersebut meninggal.57 Di antara para istrinya yang masyhur, yang beliau nikahi setelah diangkat menjadi Khalifah ialah Ummi Kultsum putri Ali bin Abi Thalib dan Fathimah az-Zahra, yang bersaudara dengan Hasan dan Husein, cucu Nabi Muhammad SAW. Umar ketika itu usianya telah mencapai 52 tahun. Anak-anaknya adalah Hafshah (dari Zainab), Abdullah (dari Zainab), Ubaidillah, ’Asyim (dari Jamilah), Abu Syahma, Abdurrahman, Zaid (dari Ummi Kultsum), Mujir, Ruqayah (dari Ummi Kultsum).58 Akan tetapi, di antara anak-anaknya yang menonjol adalah Abdullah bin Umar dan Ummul Mukminin Hafshah.59 Umar bin Khattab termasuk orang yang paling keras dan kejam serta paling berani menghadapi kaum Sabi’ (orang yang meninggalkan kepercayaan nenek moyang). Sikap kerasnya dan cepat naik darah itulah yang membuatnya sampai berlebihan dalam bertindak keras. Karena waktu itu ia masih muda, hal itulah yang membuatnya begitu fanatik dengan pandangannya sendiri. Dia memerangi mereka yang meninggalkan penyembahan berhala tanpa kenal ampun, juga mereka yang menghina berhala-berhala itu. Pada momentum itulah Allah berkenan, lalu mengutus Muhammad kepada masyarakat agar mengajak mereka ke jalan dan agama yang benar. 57 Rachmat Taufiq Hidayat, 111 Teladan Sang Khalifah: Dari Celah-celah Kehidupan Umar bin Khattab, (Bandung: Mizan, 2000), h. 129-130. 58 Rachmat Taufiq Hidayat, Ibid., h. 130. 59 Muhammad Husain Haekal, Op.Cit., h. 70-71. Sesudah ajaran Tauhid mulai menyebar, penduduk Mekkah yang begitu fanatik terhadap penyembahan berhala mulai menyiksa kaum dhuafa yang masuk Islam, dengan tujuan supaya mereka kembali kepada penyembahan berhala. Umar lah yang paling keras menentang dan memerangi ajaran baru ini, serta berusaha mengancam mereka yang menjadi pengikutnya. Perlawanan Umar bin Khattab terhadap Nabi Muhammad SAW dan dakwahnya bukan karena fanatik atau karena tidak mengerti. Tetapi Umar bin Khattab beranggapan bahwa dengan adanya agama baru yaitu Islam, dapat merusak dan menghancurkan tatanan hidup di Mekkah. Umar beranggapan Islam-lah yang ternyata memecah belah persatuan Quraisy dan menginjakinjak kedudukan tanah suci itu. Membiarkan dakwah ini berarti akan menambah perpecahan di kalangan Quraisy dan kedudukan Mekkah pun akan semakin hina. Melihat jumlah kaum muslimin semakin bertambah, Umar bin Khattab berencana hendak membunuh Nabi Muhammad SAW.60 Pada suatu hari Umar bin Khattab berjalan dengan menyandang pedang menuju tempat berkumpulnya Rasulullah SAW yang pada saat itu sedang di rumah Darul Arqam di Safa. Di antara mereka terdapat paman Umar bin Khattab sendiri, yaitu Hamzah bin Abdul Muthalib, Abu Bakar Ash Siddiq, Ali bin Abi Thalib, dan para sahabatnya yang lain sebanyak kira-kira empat puluh orang.61 Dakwah Islam, pada mulanya adalah lemah dan sangat membutuhkan sokongan dan dukungan yang kuat. Oleh karena itu Rasul sendiri pernah berdo’a: 60 Muhammad Husain Haekal, Ibid., h. 77. Abdullatif Ahmad ’Aasyur, 10 Orang Dijamin Ke Surga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 40. 61 ا َﻟﻠﻬﻢ ا ﻳﺪ ا ﻻ ﺳﺎﻻ م ﺑﺎ ﺑﻰ اﻟﺤﻜﻢ ﺑﻦ هﺸﺎ م ا و ﺑﻌﻤﺮ ﺑﻦ اﻟﺨﻄﺎ ب ”Ya Allah, perkuat Islam dengan Abul Hakam bin Hisyam (Abu Jahal) atau Umar bin al-Khattab.”62 Kisah keislaman Umar bin Khattab bermula dengan dakwah Rasulullah SAW. Sebenarnya, kedua orang tersebut memiliki sifat positif yang berpengaruh. Sebab, sesuatu yang paling utama bagi seorang pembela kebenaran adalah memiliki pengaruh yang positif di masyarakatnya. Karena sesuatu yang paling buruk adalah jika seseorang memiliki sifat negatif, terpengaruh oleh orang di sekitarnya dan ia tidak bisa memberi pengaruh. Yang menyatukan dua orang ini adalah sifat positif tersebut. Do’a Rasulullah ini diperkenankan Allah SWT, dengan masuk Islamnya Umar bin Khattab sesudah lima tahun lamanya Nabi menyeru kepada agama Islam. Islamnya Umar ini adalah suatu kemenangan yang nyata bagi Islam. Begitulah, Allah memuliakan agama-Nya dan menambah kekuatan umatnya melalui masuk Islamnya Umar bin Khattab. Ia mendapat gelar alFaruq.63 Gelar al-Faruq adalah orang yang mampu membedakan antara kebenaran dan kebatilan, diberikan oleh Rasul ketika dia masuk Islam pada tahun kelima kenabian. Sebelum Umar masuk Islam, kaum Muslimin tidak berani untuk melaksanakan shalat secara terang-terangan. Tetapi sejak Umar masuk Islam, kaum muslimin terang-terangan melaksanakan shalat di sekitar Ka’bah meskipun kafir Quraisy melihat mereka. 62 Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 31. Said bin Ali Al Qahthani, Al Hikmatu Fid Da’wah Ilallah Ta’ala, Penterjemah: Masykur Hakim dan Ubaidillah, Da’wah Islam Da’wah Bijak, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h. 170. 63 Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata: ”Kami selalu merasa bangga sejak Umar masuk Islam.”(H.R. Bukhari). Selanjutnya ia menyatakan, ”Islamnya Umar adalah suatu kemenangan, hijrahnya adalah pertolongan, dan kepemimpinannya adalah rahmat. Demi Allah, sebelum Umar masuk Islam kami tidak berani terang-terangan bershalat di sekitar Ka’bah. Namun ketika masuk Islam, ia perangi mereka sehingga mereka tidak lagi mengganggu kami shalat.”64 Umar bin Khattab termasuk sahabat dekat Rasulullah SAW. Umar bin Khattab rela berkorban untuk melindungi Rasulullah SAW dan agama Islam, serta ikut berperang dalam peperangan yang besar di masa Rasulullah SAW. Umar bin Khattab juga dijadikan sebagai tempat rujukan oleh Rasulullah SAW mengenai hal-hal yang penting.65 Sewaktu terjadi perselisihan antara Quraisy dan kaum Muslimin, Umar bin Khattab sangat mengharapkan dia yang akan ditunjuk oleh Rasulullah menjadi penengah, seperti yang biasa dilakukannya sejak nenek moyangnya dulu di zaman jahiliyah jika terjadi perselisihan di antara para kabilah. Tetapi pilihan Rasulullah jatuh kepada Abu Ubaidah, padahal Umar begitu dekat di hatinya. Hal ini membuktikan bahwa Rasulullah menginginkan Umar tetap berada di Madinah. Quraisy tidak puas dengan perdamaian yang ditawarkan Rasulullah agar memberikan kebebasan orang berdakwah demi agama Allah. Mereka bahkan tetap memperlihatkan permusuhan kepada Rasulullah dan sahabat-sahabatnya. Tatkala Rasulullah dengan kekuatan tiga ratus orang Muslimin keluar menyongsong mereka di Badr, dan Rasulullah tahu bahwa di pihak Quraisy yang datang dengan kekuatan lebih dari seribu orang, Rasulullah 64 Said bin Ali Al Qahthani, Ibid., h. 170. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 52. 65 bermusyawarah dengan sahabat-sahabatnya. Umar bin Khattab dan Abu Bakar Ash Siddiq menyarankan untuk menghadapi tentara Quraisy.66 Tentara muslimin menawan tujuh puluh orang Quraisy, kebanyakan pemimpin-pemimpin dan orang-orang berpengaruh di kalangan mereka. Umar bin Khattab termasuk termasuk orang yang paling keras ingin membunuh para tawanan itu. Tetapi para tawanan itu masih ingin hidup dengan jalan penebusan. Tetapi Umar bin Khattab menatap mereka penuh curiga. Dalam hal ini Rasulullah bermusyawarah dengan muslimin dan berakhir dengan menerima tebusan dan Nabi membebaskan mereka. Tetapi tak lama kemudian datang wahyu dengan firman Allah ini: ⌧ ”Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. al- Anfaal:67) Dengan demikian Rasulullah dan kaum muslimin sangat menghargai pendapatnya, kedudukannya makin tinggi di samping Nabi dan di kalangan muslimin umumnya. Ia tidak dapat menyaksikan ketidak-adilan dibiarkan dan ia tidak dapat menyaksikan ketentuan agama dilanggar. Sewaktu tokoh munafik Abdullah bin Ubay meninggal dunia. Rasulullah bermaksud mensholatkan, Umar bin Khattab segera mengingatkan tipu daya dan kejahatan orang itu terhadap Islam, dengan membacakan firman Allah: 66 Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 46. ⌧ ⌧ ”Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah Karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.” (Q.S. at-Taubah: 80) Rasulullah tersenyum melihat semangat Umar bin Khattab demikian rupa menyerang orang yang sudah meninggal seraya katanya: ”Kalau saya tahu dengan menambah lebih dari tujuh puluh dapat diampuni akan kutambah.” Rasulullah mensholatkan juga dan ikut mengantarkan sampai selesai penguburan. Setelah itu datang firman Allah: ⌧ ⌧ ”Dan janganlah kamu sekali-kali mensholatkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (Q.S. At-Taubah: 84) Pada saat Khalifah Abu Bakar meninggal dan kesedihan meliputi penduduk Madinah, maka hal itu wajar. Pada saat ’Aisyah binti Abu Bakar beserta wanita-wanita lainnya itu menangis meratap, dan Umar bin Khattab menasihati mereka itu tetapi diacuhkan. Maka ia memerintahkan Hisyam ibn Walid masuk ke dalam dan membawa ke luar Ummu Farwat binti Abi Kahafah, saudara perempuan dari Khalifah Abu Bakar, lalu mencambuknya dengan cemeti. Mendengar jeritan di luar itu barulah seluruh ratap tangis itu berhenti.67 Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq wafat hari senin petang setelah matahari terbenam 21 Jumadil Akhir tahun ke-13 sesudah hijrah (22 Agustus 832 M). Setelah malam tiba jenazahnya dimandikan dan dibawa ke Masjid di tempat pembaringan yang dulu dipakai Rasulullah, disholatkan dan dibawa ke makam Rasulullah. Pemakaman dilakukan oleh Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah dan Abdurrahman bin Abu Bakar.68 B. Umar bin Khattab Menjadi Khalifah Ketika Abu Bakar wafat, diangkatlah Umar bin Khattab sebagai khalifah sesudahnya. Sewaktu beliau menjabat sebagai khalifah, orang-orang menyangka bahwa ia akan bersikap keras terhadap mereka. Karena itu, orangorangpun merasa takut terhadap Khalifah Umar bin Khattab. Menyadari hal ini, Umar bin Khattab bangkit berkhutbah di hadapan manusia dengan isi khutbah yang menampakkan betapa dalam pemahamannya terhadap agama Islam. Beliau berkata kepada umatnya: ”Orang-orang Arab seperti halnya seekor unta yang keras kepala dan ini akan bertalian dengan pengendara di mana jalan yang akan dilalui, dengan nama Allah, begitulah aku akan menunjukkan kepada kamu ke jalan yang harus engkau lalui.”69 67 Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Khulafa’ur Rasyidin, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), h. 140. 68 Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 90. 69 Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Penterjemah: Djahdan Human, (Yogyakarta: Kota Kembang, 1989), h. 15. Allah SWT telah memberi ilham dan taufik kepada Umar bin Khattab dalam memperkenankan panggilan zaman, menjawab tantangan hidup baru, dan membangun negara Islam.70 Di zaman Khalifah Umar bin Khattab, gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi, ibukota Syria, yaitu Damaskus jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan ’Amr bin ’Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa’ad bin Abi Waqqash. Iskandaria, ibukota Mesir ditaklukan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah ke ibukota Persia, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.71 Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Khalifah Umar bin Khattab segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah provinsi; Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kuffah, Palestina dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan.72 Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Maal membuat mata uang, menciptakan tahun hijriyah dan mengadakan nisbah (pengawasan terhadap pasar, pengontrolan terhadap timbangan dan takaran, penjagaan terhadap tata tertib dan susila, pengawasan terhadap kebersihan jalan dan sebagainya).73 Khalifah Umar bin Khattab bukan saja menciptakan peraturan-peraturan baru, Khalifah Umar bin Khattab juga memperbaiki dan mengadakan 70 A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987), Jilid 1, h. 263. 71 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), 72 Syibli Nu’man, Umar Yang Agung, (Bandung: Penerbit Pustaka, 1981), h. 264-276 dan 324-418. 73 A. Syalabi, Op. Cit., h. 263. perubahan terhadap peraturan-peraturan yang telah ada, bila kelihatan bahwa peraturan itu perlu diperbaiki dan dirubah. Misalnya peraturan yang telah berjalan, yaitu: ”Bahwa kaum Muslimin diberi hak menguasai tanah dan segala sesuatu yang didapat dengan berperang.” Khalifah Umar mengubah peraturan ini, yaitu tanah-tanah itu harus tetap dalam tangan pemiliknya semula, tetapi berkaitan dengan ini diadakan pajak tanah (al-Kharaj). Khalifah Umar bin Khattab juga meninjau kembali bagian-bagian zakat yang diperuntukkan kepada orang-orang yang dijinaki hatinya (al muallafatu qulubum) mengenai syarat-syarat pemberiannya bagi mereka. Nabi Muhammad SAW telah dapat memenuhi dunia ini dengan cahaya agama Islam yang terang benderang. Dengan kesabaran dan ketabahan hati Abu Bakar cahaya yang terang benderang itu dapat dikembalikan lagi. Kemudian datanglah Umar bin Khattab, dihiasinya dunia Islam dengan peraturan-peraturan yang paling baik dan bagus. Hingga sampai sekarang alam islami masih tetap hidup, menikmati cahaya utama yang sebagian terbesar bersumber dari Nabi Muhammad SAW dan dua orang sahabatnya yang besar itu. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi Khalifah.74 Orangorang tersebut adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdurrahman bin ’Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk 74 A. Syalabi, Ibid., h. 263. Utsman bin Affan sebagai Khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib. Beberapa hari kemudian, Khalifah yang agung itu berpulang kerahmatullah, dengan meninggalkan kenang-kenangan yang indah. Perjalanan hidup Umar bin Khattab adalah salah satu dari perjalanan hidup yang paling abadi yang pernah diriwayatkan oleh sejarah. Masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab itu sepuluh tahun enam bulan, yaitu dari tahun 13 H/634 M sampai tahun 23 H/644 M. Ia meninggal dalam usia 63 tahun.75 Ia meninggal karena dibunuh, tragedi ini merupakan pembunuhan politik yang pertama kali terjadi di dalam sejarah Islam. Ia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu’lu’ah. Khalifah Umar bin Khattab menjalankan kekhalifahan dengan mencapai banyak kemajuan. Masa kekhalifahannya lama menjadi salah satu kesempatan baginya untuk mencapai hasil yang jauh lebih besar.76 Umar bin Khattab dimakamkan pada bekas rumah Aisyah binti Abu Bakar, bersebelahan dengan makam Nabi Muhammad SAW dan Abu Bakar Ash Siddiq, yang sekarang ini sudah termasuk ke dalam lingkungan Masjid Nabawi. C. Prestasi-prestasi Khalifah Umar bin Khattab 1. Bidang Politik a) Sebutan Amirul Mukminin 75 76 Joesoef Sou’yb, Op. Cit., h. 141. Amru Khalid, Op. Cit., h. 107. Setelah Abu Bakar Ash Siddiq dijuluki dengan Khalifah Rasulullah manusia kebingungan mengenai julukan untuk Khalifah Umar bin Khattab. Pada saat itu, datanglah Ahmad bin Qais bersama para utusan Irak yang hendak menemui Khalifah. Mereka berkata kepada Amru bin Ash, ”Mintakanlah kami izin untuk menemui Amirul Mukminin.” Amru lantas berkata, ”Siapa?” mereka menjawab, ”Amirul Mukminin! Bukanlah Umar adalah pemimpin kami.” Amru menjawab, ”Ya.” Mereka memastikan lagi, ”Bukankah kami adalah kaum Mukmin?” Amru lagi-lagi menjawab, ”Ya.” Mereka lalu berkata, ”Maka, ia adalah Amirul Mukminin.” Maka, setelah hari itu sebutan Amirul Mukminin dilekatkan pada Khalifah Umar bin Khattab. Dialah orang pertama yang dijuluki dengan sebutan Amirul Mukminin. b) Penanggalan Hijriyah Di tengah-tengah masa kekhalifahan Amirul Mukminin Umar bin Khattab, surat-surat yang sampai padanya tanpa tanggal. Kemudian ia ingin mengatur tulisan-tulisan tersebut untuk dibalas dan hal itu harus mengetahui tanggalnya. Dia merasa bahwa hal itu membutuhkan penggunaan kalender tertentu. Khalifah Umar bin Khattab menginginkan umat ini memiliki penanggalan khusus untuk membedakan dari yang lainnya dalam beberapa hal. Lalu, orang-orang mengusulkan agar penanggalan dimulai dengan kelahiran Rasulullah SAW atau Isra Mi’raj. Tetapi, Khalifah Umar menolaknya. Akhirnya memilih waktu hijriyah sebagai awal penanggalan. Hal ini menunjukkan betapa jauhnya pandangannya terhadap hal itu karena ia melihat bahwa tanggal tersebut merupakan awal permulaan pendirian Negara Islam.77 c) Ronda Malam Umar bin Khattab adalah pemimpin pertama dalam sejarah manusia yang berjalan sehari-hari pada waktu malam dan berkeliling di antara rumah-rumah masyarakat untuk mengetahui keadaan mereka dari dekat. Apabila di sela-sela perjalannyan mendengar ada suatu masalah, beliau akan memberi tanda rumah itu untuk membedakan dengan rumah lainnya. d) Muktamar Tahunan Para Panglima dan Pemimpin Umar bin Khattab selalu mengumpulkan segenap pemimpin, panglima dan siapa saja yang memegang tanggung jawab untuk mengintrospeksi dan mendengarkan pendapat mereka. Muktamar ini dilaksanakan setiap tahun di Mina pada musim haji. e) Dirrah Milik Umar Umar bin Khattab adalah orang pertama kali yang menggunakan dirrah yaitu tongkat kecil yang ia gunakan untuk memberi pelajaran. Beliau berjalan sambil memegang dirrah dan jika ia melihat sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh salah seorang, maka akan menghukumnya dengan dirrah tersebut.78 f) Penentuan Tapal Batas 77 78 Amru Khalid, Ibid., h. 111 Amru Khalid, Ibid., h. 112 Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali membuat perbatasan negeri-negeri. Pada masa kekhalifahannya, telah dibuat perbatasan kota Kuffah. Dialah yang telah memerintahkan untuk menjadikan masjid berada di pusat kota. Dia juga telah membuat perbatasan kota Basrah dan Fusthath. g) Membentangkan Jalan Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali membentangkan jalan dan menghilangkan tikungan tajam dan lubang yang cukup besar. Dialah yang mengatakan kalimat yang terkenal, ”Sekiranya seekor keledai tergelincir di Iraq, niscaya aku akan ditanya Allah SWT tentang pertanggungjawabannya.” Tidak hanya manusia, beliau juga sangat perhatian terhadap binatang. 2. Bidang Ibadah a) Shalat Tarawih Dalam masalah ibadah, Umar bin Khattab pertama kali menyelenggarakan shalat Tarawih pada bulan Ramadhan secara berjamaah. Dengan begitu masji-masjid diramaikan pada malammalam bulan Ramadhan. Diceritakan bahwa Ali bin Abi Thalib, sepeninggal Khalifah Umar menyaksikan setiap masjid yang dilintasinya terang-benderang oleh cahaya pelita pada malam bulan Ramadhan. Lalu iapun berdoa: ”Ya Allah, sinarilah makam Umar, sebagaimana masjid-masjid kami terang-benderang karenanya.”79 b) Shalat Jenazah Rasulullah SAW melaksanakan shalat jenazah dengan empat takbir, lima kali takbir, dan juga pernah mengerjakannya dengan enam kali takbir. Akan tetapi, Umar bin Khattab lebih sering mengerjakan shalat jenazah dengan empat kali takbir. Beliau kemudian menyatukan manusia dengan menetapkan empat kali takbir pada shalat jenazah. c) Perluasan Masjid Nabawi Suatu ketika Umar bin Khattab hendak memperluas Masjid Nabawi. Beliau kemudian hendak menggabungkan rumah Abbas (paman Rasulullah SAW) dengan masjid untuk memperluas masjid tersebut. Akan tetapi, Abbas menolak menyerahkan rumahnya untuk digabungkan dengan masjid. Lalu, keduanya mengajukan perkara tersebut kepada Ali bin Abi Thalib yang ketika itu menjabat sebagai hakim. Kemudian Ali membenarkan tindakan Abbas, sebab Islam menghormati kepemilikan individu. Tatkala sang hakim telah membenarkannya, Abbas berkata, ”Sekarang aku serahkan rumah itu untukmu. Hal ini aku lakukan untuk mengangungkan kehormatan kaum muslimin.” d) Memberikan Hadiah Umar bin Khattab adalah orang pertama kali yang memberikan hadiah kepada para penghafal al-Quran. 79 Amru Khalid, Ibid., 113 e) Memundurkan Maqam Nabi Ibrahim as Yaitu tempat dimana Nabi Ibrahim as berdiri utuk membangun Ka’bah. Pada awalnya maqam tersebut menempel pada Ka’bah. Akibatnya, jika kaum muslimin hendak melakukan thawaf, mereka menjauh dari Ka’bah. Kemudian beliau berinisiatif membuat jarak sedikit sehingga orang-orang dapat melaksanakan thawaf dan memudahkan mereka. 3. Hubungan dengan Non Muslim a) Mengusir Yahudi dari Jazirah Arab Keberadaan orang-orang Yahudi di Jazirah Arab adalah kerugian besar atas kaum muslimin. Dahulu Rasulullah SAW membiarkan orang-orang Yahudi Khaibar berada di Khaibar agar kaum muslimin diperkenankan mengambil setengah hasil dari Khaibar. Rasulullah SAW mengutus Abdurrahman bin Auf untuk menghitung hasil-hasil tersebut. Tiba-tiba salah seorang pemimpin Yahudi datang menemui Abdurrahman untuk menghasut agar mengkorupsi hasil-hasil tersebut dan dibagi-bagi kepada Yahudi. Abdurrahman bin Auf kemudian melepas sepatu lalu memukulkannya ke kepala orang Yahudi tersebut. ”Apakah engkau hendak menyogokku dalam tanggungan Umar bin Khattab dan tanggungan Rasulullah?! Demi Allah, tidak ada yang layak bagimu kecuali sepatu dan sandalku pada wajahmu,” tegas Abdurrahman. Tatkala berita itu sampai kepada Amirul Mukminin, kemudian beliau memerintahkan untuk mengusir mereka dari Jazirah Arab.80 b) Kewajiban Jizyah atas Ahlul Kitab sesuai Kemampuan Kewajiban membayar jizyah atas ahlul kitab sesuai dengan kemampuan pendapatan pribadinya. Dengan demikian, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, jizyah orang fakir berbeda dengan jizyah orang kaya. 80 Amru Khalid, Ibid., h. 115-116. c) Menggugurkan Kewajiban Jizyah bagi Ahlul Kitab yang Fakir dan Lemah Umar bin Khattab pernah melihat seorang Yahudi di Madinah yang sedang meminta-minta. Tatkala Umar bertanya mengenai sebab orang tersebut melakukan hal itu, maka dijawab, ”Untuk membayar jizyah.” Umar bin Khattab kemudian berkata, ”Demi Allah, kalau begitu berarti kami tidak mengasihimu. Kami mengambil jizyah dari kalian saat kalian masih muda dan sudah tua.” 4. Bidang Militer Umar bin Khattab adalah orang yang pertama kali mendirikan kampkamp militer yang permanen, memerintahkan wajib militer, mendirikan pos militer di daerah perbatasan, membatasi waktu seorang suami yang pergi berjihad untuk boleh meninggalkan istrinya. Beliau menetapkan tidak meninggalkan rumahnya melebihi 4 bulan. Khalifah Umar bin Khattab juga yang pertama kali membuat kekuatan cadangan yang terkoordinasi dan mengumpulkan 30.000 kuda untuk kekuatan tersebut. Beliau juga yang pertama kali memerintahkan panglima perang untuk menyerahkan laporan hal-hal yang terperinci tentang prajurit. Beliau pula yang pertama kali membuat buku khusus para tentara untuk mendaftar nama-nama dan gaji mereka, menentukan gaji tetap bagi para tentara. Serta beliau pula yang pertama kali mengkhususkan para dokter, para penerjemah, dan para penasihat untuk menyertai pasukan. Beliau pula yang pertama kali membentuk departemen perbekalan (logistik). 5. Bidang Administrasi Negara Khalifah Umar bin Khattab adalah orang pertama yang mendirikan berbagai departemen, membuat kementerian wakaf, mewajibkan para pekerja dan pejabat untuk melaporkan harta benda, membuat Baitul Maal (perbendaharaan negara). Selain itu Khalifah Umar bin Khattab juga orang pertama yang membuat pecahan uang dirham dan menentukan timbangannya, mengambil zakat kuda, mewajibkan pengeluaran harta bagi suatu bangsa, menentukan nafkah anak jalanan diambil dari Baitul Maal. Beliau juga orang pertama yang mengukur tanah dan membatasi jaraknya, membagi-bagi makanan di berbagai negeri, membuat sebuah rumah untuk tamu guna menyambut para utusan, mendirikan tempat peristirahatan di antara negeri-negeri dan di jalan-jalan. Beliau juga orang pertama yang menghutangkan uang dari Baitul Maal kepada siapa saja yang ingin berdagang, membasmi penimbun makanan, dan membuat tempat yang terlindung untuk menggembala unta dan lembu. BAB IV ANALISIS METODE DAKWAH KHALIFAH UMAR BIN KHATTAB Dalam menguraikan bab IV ini yaitu metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab, penulis akan membaginya dalam beberapa sub bahasan. “Sebagai salah seorang pemimpin pengganti setelah Rasulullah SAW yang paling lama, yaitu 10 tahun, 6 bulan, 4 hari memegang pemerintahan Islam. Beliau menjalankan kekhilafahan dengan mencapai banyak kemajuan.”81 Khalifah Umar mempunyai cara atau metode agar kepemimpinannya tetap eksis menegakkan kalimatullah di muka bumi. Metode dakwah yang beliau gunakan di antaranya adalah al-Hikmah dan al-Mauidzatil al-Hasanah. Penulis tidak menemukan referensi yang menyebutkan secara jelas dan valid bahwa metode dakwah al-Mujadalah digunakan Khalifah Umar dalam berdakwah. Oleh karena itu, penulis hanya membahas dua metode di atas. Selain itu penulis juga menganalisis metode dakwah tersebut, masih relevan atau tidak metode dakwah yang digunakan pada masa Khalifah Umar bin Khattab diterapkan pada masa kini, khususnya pada masyarakat Indonesia. A. Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab Secara fungsional da’i adalah pemimpin, yakni yang memimpin masyarakat dalam menuju ke jalan Allah SWT. Oleh karena itu, seorang da’i harus memiliki sifat-sifat kepemimpinan (leadership). Kepemimpinan bagi 81 Amru Khalid, Jejak Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, (Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2007), Cet. ke-1, h. 107. 50 seorang juru dakwah sebagai seni untuk mempengaruhi manusia, yang merupakan kepandaian mengatur orang lain.82 Pada masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Beliau meneruskan amanah dakwah dari kepemimpinan sebelumnya, yaitu Khalifah Abu Bakar Ash Siddiq. Dalam meneruskan dakwahnya beliau menggunakan metode dakwah, yaitu metode al-Hikmah dan al-Mauidzatil al-Hasanah. 1. Al-Hikmah Dalam metode dakwah al-Hikmah, banyak hal-hal yang dilaksanakan oleh Khalifah Umar agar dakwahnya berjalan sesuai dengan tujuan dakwah, di antaranya: a. Mengenal Strata Mad’u Mengenal Strata Mad’u Sebagai Landasan Normatif Dalam menyampaikan dakwah Khalifah Umar tidak terlalu memperhatikan strata dalam mad’u, karena khalifah berpandangan bahwa setiap manusia kedudukannya adalah sama di mata Allah SWT, yang membedakannya hanyalah taqwa kepada-Nya. Dalam kepemimpinannya, Khalifah Umar sangat memperhatikan keadaan rakyatnya. Beliau terkenal sebagai seorang yang jujur dan adil dalam menegakkan hukum yang berlaku. Siapa saja yang melanggar hukum, tentu mendapatkan hukuman, sekalipun itu anak kandung sendiri. Oleh karena sikap disiplin Khalifah Umar dalam memimpin, maka rakyatpun merasa dapat perlindungan sebagaimana mestinya. 82 Munzier Suparta dan Harjanti Hefni (ed), Metode Dakwah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Cet. ke-1, h. 175-176. Sehingga rasa hormat dan menghormati kepada Khalifah Umar pun tumbuh dengan subur di hati masyarakatnya. Sebagai contoh: Pada pidato pertama kepemimpinannya, Khalifah Umar berkata: “…demi Allah, sungguh jika salah seorang dari orang yang berbuat zalim melampaui batas terhadap orang-orang yang berbuat keadilan dan orang-orang beragama, niscaya aku akan meletakkan pipinya di tanah kemudian kuletakkan kakiku di atas pipinya hingga aku mengambil hak darinya. Setelah itu, akan kuletakkan pipiku di tanah kepada orang-orang yang menjaga kehormatan dan agama hingga mereka meletakkan kaki mereka di atas pipiku sebagai wujud kasih sayang dan kelembutan terhadap mereka. Sesungguhnya, kalian memiliki beberapa urusan yang kuberikan syarat terhadap kalian. Pertama, selamanya aku tidak akan mengambil harta kalian. Tidak untuk diriku ataupun keluargaku. Kedua, aku akan mengembangkan harta dan menambah rezeki untuk kalian. Ketiga, aku tidak berlebihan dalam mengirim kalian (berperang). Jika aku mengirim kalian maka akulah yang akan menjadi penanggung keluarganya. Kalian juga memiliki perkara empat yang harus kalian lakukan terhadapku. Yaitu, jika kalian tidak memerintahkanku dengan kebaikan dan mencegahku dari kemungkaran serta menasihatiku, maka akan kuadukan kalian kepada Allah Azza wa Jalla pada hari kiamat kelak.”83 Perhatian Khalifah Umar kepada rakyat kecilpun sangat mendalam, sehingga beliau sering melakukan ronda malam untuk melihat langsung bagaimana keadaan rakyat yang sebenarnya. Dengan rakyat kecil, Khalifah Umar pun ngobrol secara tatap muka (face to face) dan dari hati ke hati, sehingga apa yang menjadi suara hati mereka dapat tersalurkan dengan baik. Khalifah Umar telah membuktikan akan arti pepatah “duduk sama rendah, berdiri sama tinggi,” yang merupakan pokok dasar ajaran Islam. Rakyat kecil yang sedang berada dalam kesusahan disantuninya dengan penuh kasih sayang. Khalifah Umar sadar, bahwa dia datang dari rakyat jelata, yang setelah berhenti jabatan nantinya akan kembali 83 Amru Khalid, Op. Cit., h. 108 – 109. ke tengah-tengah rakyat pula. Karena sikap tawadlu’ (rendah diri) kepada siapa saja dan rasa kasih sayang tetap tertanam subur dalam sanubarinya. Sesungguhnya kepemimpinan Umar tak mengenal diskriminasi dan dikotomi84 secara dzhalim sebagaimana yang digariskan oleh orang-orang modern saat ini, yang memandang seseorang berdasarkan kebangsaan dan warna kulit. Akan tetapi Islam memandang manusia dengan satu pandangan yang tegak di atas hak-hak manusia, tidak berlaku diskriminasi. Tidak ada dalam sejarah yang lebih menjaga persamaan derajat dan menjaga hak-hak manusia sebagaimana yang telah diberikan oleh Islam. b. Bila Harus Bicara dan Diam 1) Adab Berbicara Dalam berbicara, Khalifah Umar sangat memperhatikan kondisi mad’u yang sedang dihadapinya. Beliau memiliki bahasa yang lugas dan tegas dalam menyampaikan sesuatu, sehingga mad’u yang sedang diajak bicara mengerti dan faham apa yang didengarkan serta apa yang harus dilakukan. Khalifah Umar pernah menyampaikan pidato kepada penduduknya yang menjelaskan bahwa beliau mengangkat para gubernur dan pejabat di setiap wilayah kekuasaan Islam, bukan 84 Dikotomi: pembagian dalam dua bagian yang saling bertentangan. untuk memukuli tubuhmu atau mengambil uangmu, tetapi untuk mendidik dan melayanimu. Adab berbicara yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab merupakan bahasa yang lugas, jelas, tegas dan dapat langsung dimengerti oleh mad’unya. 2) Bila Harus Bicara a) Memilih kata-kata yang baik Kata-kata memiliki kekuatan untuk mempengaruhi dan menggerakkan tingkah laku manusia manakala kata-kata yang disajikan mempunyai daya panggil yang efektif. Dalam kehidupan sehari-harinya, khalifah Umar sangat pandai memilih kata-kata sebelum berbicara. Karena semasa jahiliyah dan sampai menjadi khalifah, beliau sangat senang merangkai kata-kata lalu membuatnya menjadi syair. Apabila Khalifah Umar bertemu dengan seseorang yang melakukan kegiatan positif, beliau bertutur kata dengan baik dan bijaksana. Sebagai contoh: “Pada suatu hari Khalifah Umar bin Khattab sedang berjalan. Kemudian seorang pemuda yang sedang menaiki keledainya melihatnya. Dia melihat Amirul Mukminin berjalan dengan kedua kakinya. Lalu ia berkata, “Wahai Amirul Mukminin, naiklah dan aku akan berjalan.” Beliau kemudian menjawab, “Tidak, demi Allah, lebih baik kita naik bersamasama.” Pemuda itu berkata lagi, “Naiklah engkau di bagian depan dan aku yang akan berada di belakangmu.” Beliau berkata, “Tidak, naiklah engkau di bagian depan di tempat yang rata dan biarlah aku berada di belakang di tempat yang kasar.”85 Tetapi apabila beliau melihat seseorang melakukan kegiatan yang negatif, beliau bertutur kata sangat tegas dan lugas. Sebagai contoh: “Pada suatu hari putra dari Amru bin Ash (gubernur Mesir) berpacu kuda dengan orang-orang Mesir. Tetapi kemudian mereka berselisih dalam menentukan pemenangnya. Putra gubernur Amr marah dan memukul orang Mesir tersebut seraya berkata, “Aku ini putra dua orang yang mulia.” Perbuatan putra Amr itu dilaporkan kepada Khalifah Umar bin Khattab. Beliau lalu memanggil mereka dengan disertai gubernur Amr bin Ash sendiri. Setelah melakukan pengecekan, maka diputuskan orang Mesir tersebut harus membalas pukulan anak gubernur dengan pukulan lagi. Orang itu juga disuruh memukul gubernurnya, dengan demikian putranya tidak akan berani lagi memukul orang secara sembarangan. Hanya karena kekuasaan ayahnya ia berani melakukan hal tersebut. Khalifah Umar bin Khattab lalu berkata kepada gubernur Amr bin Ash dengan nada keras, “Sejak kapan kamu memperbudak manusia padahal mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka dalam keadaan bebas merdeka.” Dengan berbagai alasan yang dapat diterima dan dengan disaksikan orang banyak, gubernur Amr akhirnya dapat terbebas dari hukuman. Karena Khalifah Umar bin Khattab tidak mau membeda-bedakan antara rakyat awam dengan penguasa.”86 Sikap seperti di atas Khalifah Umar lakukan untuk mendidik dan memberi pelajaran kepada masyarakatnya, bahwa Allah SWT akan membalas sikap hamba-Nya yang melakukan suatu kebaikan sekecil apapun, dan sebaliknya Allah akan membalas pula sikap hamba-Nya yang melakukan keburukan sekecil apapun. 85 Amru Khalid, Ibid., h. 133-134. Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang Dijamin Masuk Surga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1991), h. 52-53. 86 b) Meletakkan Pembicaraan Sesuai pada Tempatnya Khalifah Umar mampu menempatkan pembicaraan, dimana dia harus bersikap tegas dalam berbicara dan dimana dia harus bersikap lemah lembut kepada mad’unya. Sebagai contoh: “Setelah menjadi khalifah, Umar bin Khattab berubah menjadi manusia lain. Beliau mengumumkan tentang dirinya dengan ucapannya; “Janganlah kamu mengira sifat kerasku tetap bercokol. Sejak awal ketika aku bersama Rasulullah SAW, aku selalu menjadi keamanan dan ketentraman negeri (menteri dalam negeri). Tetapi kini setelah urusan diserahkan kepadaku, akulah orang yang paling lemah di hadapan yang haq.”87 c) Memilih kata-kata yang akan dibicarakan Khalifah Umar menyadari bahwa lisan dapat menunjukkan suasana hati. Lisan yang fasih, tegas dan penuh percaya diri merupakan gambaran kondisi hati seseorang yang tenang dan bersemangat. Beliau sangat hati-hati memilih katakata yang akan dibicarakan. Sebagai contoh: “Pada masa Khalifah Umar terjadi kemarau panjang yang dahsyat yang dimulai pada akhir musim haji tahun 18 Hijriah sampai awal musim haji tahun 19 Hijriayah. Bumi menjadi kering dan hitam kelabu. Selama hampir setahun, tidak setetes air hujan turun. Untuk mengatasi kemarau panjang tersebut, beliau memulai dari dirinya sendiri. Beliau membatasi diri dan keluarganya makan-makanan yang lezat, seperti; minyak 87 Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, Ibid., h. 48 samin, daging, dan buah-buahan. Beliau menyuruh penata makanan agar menghidangkan roti dan minyak saja. Kelaparan semakin meluas, banyak penduduk terancam mati kelaparan. Musim dingin tiba dan angin kencang pun membahana membawa maut. Peristiwa ini melanda seluruh Jazirah Arab. Penduduk pedalaman yang lapar datang memasuki kota Madinah. Mereka diterima Khalifah Umar dengan memberikan bantuan pangan sepenuhnya. Tapi semakin hari, persediaan makanan semakin menipis. Khalifah Umar kemudian menulis surat ke beberapa gubernur. Isi suratnya kepada gubernur Amru bin Aash berbunyi: “Dari: Hamba Allah Amirul Mukminin Kepada Al’aashi ibnul Aash di tempat salam untukmu. Apakah kamu akan membiarkan aku dan rakyat sekelilingku binasa sedang kamu dan rakyat sekelilingmu hidup berkecukupan? Maka dari itu tolonglah aku, dan tolonglah.” Gubernur Amru bin Aash menjawab surat Khalifah Umar. Inilah isi suratnya: “Amma ba’du. Bantuan dan pertolongan akan segera tiba. Aku akan mengirimkan kafilah-kafilah yang berawal di tempat anda dan berakhir di tempat kami. Wassalam.” Kepada seluruh rakyatnya beliau berseru: “Disediakan makanan secukupnya dan siapa saja dipersilakan makan. Barang siapa hendak mengambil untuk kebutuhannya dan kebutuhan keluarganya, maka dipersilakan ia datang mengambilnya.” 88 Sebenarnya musibah di atas sangat gawat, tetapi Khalifah Umar mampu mengatasinya dengan pikiran dan retorika yang tenang serta berhati besar. Beliau paham sekali, bagaimana harus bersikap dan bertindak sebelum mengambil keputusan. Beliau tidak mau dituduh membunuh kaumnya karena sikap “tegasnya” untuk tidak menerima bantuan dari wilayah-wilayah yang beliau kuasai. Tetapi dengan pemikiran Khalifah Umar yang jernih dan sikap yang tawadhu serta tidak mementingkan 88 Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, Ibid., h. 53-54 diri sendiri, beliau meminta bantuan pangan dan lain sebagainya. 3) Bila Harus Diam a) Diam untuk Menghindari Konfrontasi “Pada suatu hari seorang lelaki datang ke rumah Khalifah Umar bin Khattab hendak mengadukan keburukan akhlak istrinya. Namun setiba di samping rumahnya, ia mendengar istri Khalifah Umar bin Khattab mengeluarkan kata-kata yang keras dan kasar kepada suaminya, sementara Khalifah Umar tidak menjawab sepatah kata pun. Akhirnya orang itu berpikir, sebaiknya dia membatalkan niatnya. Ketika orang itu hendak berbalik pulang, Khalifah Umar baru saja keluar dari pintu rumahnya. Beliau segera berteriak memanggil orang itu. Khalifah langsung berkata kepadanya, “Engkau datang kepadaku tentu hendak membawa suatu berita yang penting!” Orang itu lalu berkata terus terang, “Ya sahabat Umar bin Khattab, aku datang kepadamu hendak mengadukan keburukan akhlak istriku terhadapku. Akan tetapi setelah aku mendengar kelancangan istrimu tadi kepadamu, dan sikap diammu terhadap perbuatannya, aku jadi mengurungkan niatku untuk melaporkan halku itu.” Mendengar perkataan yang jujur itu, Khalifah Umar tersenyum kecil seraya berkata, “Wahai saudaraku, istriku telah memasakkan makanan untukku, dan mengasuh anak-anakku dengan tiada hentinya. Maka apabila ia berbuat satu dua kesalahan, tidaklah layak kita mengenangnya, sedang kebaikan-kebaikannya kita lupakan…” Setelah mendengar penuturan yang sangat bijaksana dan penuh hikmah itu, orang tersebut pergi meninggalkan Khalifah Umar bin Khattab dengan hati gembira dan puas.”89 Sikap Khalifah Umar di atas sangat terpuji. Karena beliau menganggap bahwa apabila berhadapan dengan lawan bicara 89 Safwak Sa’dallah al-Muhktar, Hiburan Orang Mukmin, (Jakarta: Gema Insani Press, 1992), h. 49. yang sedang emosional. Maka sikap yang bijaksana adalah mengalah dan diam, karena sikap itu dilakukan agar tidak terjadi perselisihan (konfrontasi) yang lebih besar. b) Diam di saat Perkataan Tidak Efektif “Pada waktu Khalifah Umar bin Khattab sedang melakukan perjalanan bersama beberapa shahabat. Tiba-tiba ia dihentikan oleh seorang wanita tua. Wanita tersebut berkata, “Kemarilah wahai Umar.” Umar pun lantas menuju ke arahnya. Wanita itu berkata, “Apakah engkau ingat hari di mana engkau dipanggil Umair, tatkala engkau sedang bergelut dengan para pemuda di Mekkah? Dan ketika engkau sudah besar mereka memanggilmu dengan sebutan Umar dan sekarang engkau dipanggil dengan sebutan Amirul Mukminin. Takutlah kepada Allah SWT wahai Umar atau Dia akan mengadzabmu.” Kemudian para shahabat berkata kepada wanita tersebut, “Mengapa engkau berbicara kepada Amirul Mukminin seperti ini?” Umar menyela, “Biarkanlah ia. Apakah kalian tahu siapakah orang ini? Ini adalah wanita yang Allah SWT telah mendengarkan ucapannya dari atas langit tujuh. Hal itu yang dimaksudkan oleh firman Allah SWT: ☺ ☺ ☺ ⌧ “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.”(Q.S. Al-Mujaadilah:1) Wanita tua ini sebenarnya adalah Sayyidah Khaulah binti Tsa’labah. Kemudian Khalifah Umar berkata, “Demi Allah SWT, sekiranya ia menghentikanku selama setahun untuk mencelaku, niscaya aku tidak akan bergerak dari tempatku.”90 Dari peristiwa di atas, sikap diam Khalifah Umar bin Khattab merupakan sikap yang efektif. Khalifah Umar tahu bahwa lawan bicaranya sedang mengalami kondisi emosional yang tidak stabil. Apabila beliau menanggapinya dengan berbicara juga, maka hal itu percuma malah akan menimbulkan mudharat lebih banyak lagi. c. Mencari Titik Temu dalam Dakwah 1) Fungsi Hikmah Bagi Da’i dalam Upaya Mencari Titik Temu “Ada seorang wanita munafik mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab bahwa ia diperkosa oleh seorang lelaki, dan karena ia melawannya maka air mani lelaki itu tumpah di luar dan mengenai kainnya. Ia mengadukan perkara tersebut sambil memperlihatkan tumpahan putih yang ada pada kainnya. Setelah mendengarkan uraian wanita itu, Khalifah Umar tidak segera mengambil keputusan. Beliau meminta pendapat kepada Ali bin Abi Thalib, “Bagaimana pendapatmu, ya Ali?” Ali bin Abi Thalib menjawab, “Kita bawa air panas, sirami kain itu dengan air panas. Bila ia beku dan matang tentu bercakan itu adalah putih telur, tetapi kalau setelah disiram air panas bercak itu hilang, tentu itu air mani.” Maka disiramnyalah kain itu dengan air panas, dan ternyata bercak itu membeku. Maka Khalifah Umar berkata kepada wanita itu, “Takutlah engkau kepada Allah SWT, hai perempuan! Ternyata ini hanya tipuan dan tudukan palsu belaka!”91 Dari peristiwa di atas dapat disimpulkan, bahwa dalam berdakwah untuk mencari titik temu, Khalifah Umar tidak terburuburu dalam mengambil keputusan. Bahkan beliau sampai meminta pendapat sahabatnya yaitu Ali bin Abi Thalib untuk membantu dalam memutuskan perkara. Beliau tidak mau bersikap otoriter 90 91 Amru Khalid, Op. Cit., h. 130-131. Safwak Sa’dallah al-Mukhtar, Op. Cit., h. 63. dalam mengambil keputusan. Prinsip keadilan sudah sangat melekat pada diri Khalifah Umar, beliau tidak mau dituduh rakyatnya tidak adil dalam memutuskan suatu perkara. 2) Memahami Realitas Perbedaan Khalifah Umar bin Khattab menyadari bahwa memeluk agama adalah merupakan hak yang paling asasi setiap individu. Oleh karena itu, Khalifah Umar tidak pernah memaksakan kehendak pada rakyatnya untuk memeluk agama Islam. Khalifah Umar sangat menghormati dan melindungi rakyatnya yang berbeda keyakinan. “Khalifah Umar meneruskan perjanjian dari Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash Siddiq, yaitu akan melindungi dan berbuat adil kepada penduduk yang beragama Nasrani Najran selama mereka memelihara perjanjian itu, beritikad baik dan tidak menjalankan riba. Serta mereka harus membayar jizyah kepada Baitul Maal dan tidak berbuat keburukan kepada penduduk muslim yang lain. Tetapi pada masa kepemimpinannya, Khalifah Umar melakukan pengusiran kepada kaum Nasrani Najran ini dari Semenanjung. Pengusiran itu dilakukan karena kaum Nasrani Najran telah melanggar perjanjian, yaitu melakukan riba kepada penduduk lainnya.”92 Dari penjelasan di atas, bahwa pada masa Rasulullah SAW dan Abu Bakar Ash Siddiq, mereka telah mengadakan perjanjian kepada Nasrani Najran, dikarenakan pada masa itu kesatuan politik di Semenanjung belum ada. Karena letak Najran berdekatan dengan Yaman, yang sejak lama memang hidup dalam paganisme. Namun pada masa Khalifah Umar, kesatuan politik di Semenanjung telah berdiri tegak di sana. 92 Muhammad Husain Haekal, Umar bin Khattab, Diterjemahkan Ali Audah, (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2001), h. 107. Khalifah Umar menganggap apabila ada dua keyakinan dalam satu kedaulatan di satu wilayah, maka hal itu tidaklah efektif. Karena dikhawatirkan keyakinan lain akan melakukan pemberontakan di dalam kedaulatannya. Tetapi Khalifah Umar berlaku adil kepada kaum Nasrani Najran. Kaum tersebut dipindahkan dari dalam Madinah, untuk di tempatkan di luar wilayah Madinah. Khalifah Umar memberikan hak yang sama kepada kaum tersebut seperti sebagaimana mereka tinggal di Madinah. 3) Titik Temu dalam Konteks Metodologi Dakwah “Khalifah Umar bin Khattab pernah mengumpulkan orang banyak. Beliau berkata, “Wahai sekalian manusia, apa yang akan kalian lakukan jika aku condong dengan kepalaku pada dunia seperti ini?” Mendengar perkataannya itu orang-orang hanya diam. Beliau kemudian mengulangnya lagi, dan tidak seorangpun yang berbicara. Beliau kemudian mengulangnya lagi untuk ketiga kalinya. Lalu keluarlah salah seorang dari kerumunan dan berkata kepadanya, “Jika engkau palingkan kepalamu kepada dunia seperti itu, maka kami akan meluruskanmu dengan pedang-pedang kami.” Khalifah Umar bin Khattab lalu berkata, “Segala puji bagi Allah SWT yang telah menjadikan dari umat Muhammad SAW seseorang yang akan meluruskan Umar dengan pedangnya jika Umar bengkok.”93 Dari peristiwa di atas, dapat dikatakan bahwa Khalifah Umar bin Khattab merupakan orang yang terbuka dan gentle. Beliau beranggapan bahwa apabila seorang pemimpin tidak mau menerima masukan dari rakyat ataupun sahabatnya, maka akan timbul suatu pertentangan yang sangat memungkinkan dapat meruntuhkan sendi-sendi akidah Islam dalam pemerintahannya. 93 Amru Khalid, Op. Cit., h. 121. Pada masa kepemimpinannya, Khalifah Umar sangat menekankan prinsip musyawarah dalam berbuat dan bertindak untuk mencapai kesepakatan. Beliau sangat hati-hati, teliti dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah “Tatkala Khalifah Umar bin Khattab melihat seseorang yang mengemis di jalan yang ternyata seorang Yahudi yang mengemis untuk membayar jizyah, dengan penuh belas kasih beliau berkata kepadanya, “Kami telah mengambilnya darimu pada saat kamu masih muda, kemudian kami memaksamu untuk mengemis saat kamu sudah tua. Tidak, demi Allah.” Kemudian Umar berkata kepadanya, “Kembalikanlah kepadanya semua yang telah ia bayarkan sebelumnya.” Kemudian beliau memerintahkan untuk memberikan harta kepada orang tersebut dari Baitul Maal milik kaum muslimin serta memerintahkan seluruh wilayah Islam membelanjakan sebagian harta dari Baitul Maal kaum muslimin untuk orang-orang fakir, anakanak kecil, dan orang-orang yang lemah dari ahlul kitab untuk menafkahi hidup mereka.”94 Dari kejadian di atas, Khalifah Umar bin Khattab merupakan orang yang bijaksana. Beliau tidak membeda-bedakan rakyatnya dalam mendapat perlindungan dan kasih sayang darinya. Beliau tidak bersikap egois lantaran rakyatnya berbeda keyakinan dan memiliki kewajiban membayar jizyah. Oleh karena itu, Khalifah Umar mengambil keputusan bahwa orang-orang yang disebut di atas mendapatkan jaminan dari Baitul Maal. 94 Amru Khalid, Ibid., h. 120-121. e. Uswatun Hasanah Dakwah sangat membutuhkan contoh nyata dan keteladanan. Khalifah Umar bin Khattab telah melakukan hal itu. Beliau sendiri yang menjadi figur dan panutan di medan dakwah. Keteladanan adalah unsur terpenting dalam pemerintahan Islam yang harus direalisasikan dalam perjalanan dakwah. Khususnya keteladanan utuh yang mencerminkan keutuhan Islam yang shahih dan segala ajaran dan tuntunannya tanpa kekeliruan. Uswatun Hasanah sebagai Metode Dakwah Sikap Khalifah Umar bin Khattab menunjukkan kesederhaan. Meskipun beliau adalah seorang Khalifah, namun beliau tetap makan secara sederhana. Demikian juga dalam hal berpakaian, beliau tetap mengenakan pakaian yang serba kasar. Sebagai contoh: “Yarfa’, pelayan Amirul Mukminin berkata, “Kulihat pakaian Khalifah Umar telah dihiasi lebih dari dua puluh satu tambalan. Di antaranya yaitu empat tambalan berada di bahu. Pada suatu hari beliau terlambat menunaikan shalat jum’at kemudian keluar menghadap jamaah naik ke atas mimbar untuk menyampaikan alasan keterlambatannya kepada jamaah. Beliau berkata, “Demi Allah SWT, aku terlambat karena aku hanya memiliki satu baju, dan aku hendak mencucinya. Aku mencucinya sesaat sebelum tiba waktu shalat. Maka maafkanlah aku.”95 f. Dakwah bi Lisan al-Haal Aplikasi Dakwah bi Lisan al-Haal Upaya Khalifah Umar yang pertama untuk mengokohkan agama Islam adalah memantapkan aqidah ke dada seluruh umat Islam melalui 95 Amru Khalid, Ibid., h. 133. metode-metode dakwah yang telah diajarkan Rasulullah SAW dahulu. Penerapan asas hukum ini dilakukan sebagai prioritas utama sebelum asas-asas lainnya. Oleh Karena itu, sikap hidupnya yang serba sederhana merupakan hal yang memperkuat kebijaksanaannya untuk memantapkan aqidah umat. Sebagai pemimpin, beliau bukanlah orang yang rakus dengan kekuasaan yang dimiliki. Walaupun kekuasaan berada di tangannya, beliau tidak pernah menekan rakyat. Beliau sudah merasa cukup dengan kesederhanaan dan apa yang dimiliki. Sebagai contoh: “Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata, “Tidak halal bagiku dari harta Allah, kecuali dua stel pakaian. Pakaian yang satu untuk musim dingin dan yang satu lagi untuk musim panas. Pangan untuk keluargaku adalah seperti untuk seorang dari Quraisy yang bukan ukuran terkaya, lagi pula aku termasuk salah seorang kaum muslimin.” Ketika akan melantik seorang pejabat, beliau menulis surat perjanjian dengan disaksikan oleh beberapa orang kaum Muhajirin. Isi perjanjian tersebut: “Tidak boleh menunggang kuda yang biasa untuk angkut barang, tidak boleh memilih-milih makanan, tidak boleh berpakaian mewah, tidak boleh menutup pintu rumah bagi orang-orang yang berkepentingan.” Kalau melanggar salah satu isi perjanjian ini maka ia akan dikenakan hukuman.96 Dari uraian panjang di atas tentang metode dakwah al-Hikmah yang berkaitan dengan dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Berdasarkan data-data di atas tampak bahwa metode al-Hikmah butir 1 (satu) hanya dilaksanakan tentang mengenal strata mad’u, sedangkan yang tidak ditemukan tentang mengenal rumpun mad’u. Selain itu, yang tidak ditemukan pula adalah asasasas toleransi dan cara berpisah dalam konteks hijrah. Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak hal-hal yang dilakukan khalifah Umar sesuai dengan bagian-bagian yang ada dalam 96 Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, Op. Cit., h. 63. metode al-Hikmah. Tetapi, ada sebagian kecil hal-hal yang tidak dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. 2. Al-Mau’idzatil al-Hasanah Kerja dakwah adalah kerja ”memberi rasa” pada kehidupan umat manusia dengan nilai-nilai iman dan taqwa demi kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Kerja ini tidak pernah berhenti hingga kematian menjemput, selama itu pula manusia berkewajiban menyampaikan risalah Allah SWT dan Rasulnya. 1) Bentuk Wasiat yang Mempunyai Interelasi dengan Dakwah Bentuk Wasiat Ulama Salaf Wasiat ulama salaf merupakan aspek historis dari interpretasi terhadap pesan-pesan al-Quran dan al-Hadits. Para ulama salaf menerapkan wasiat pada level yang tinggi sebagai metode dakwah mereka di waktu itu. Di antara ulama salaf itu adalah Khalifah Umar bin Khattab. “Beliau pernah berwasiat kepada Abu Ubaidah untuk menggantikan Khalid bin Walid sebagai komandan perang di Irak. Beliau berkata: “Hendaklah kamu senantiasa bertaqwa kepada Allah, Rabb yang kekal abadi sedang yang lainnya akan binasa, Dia-lah yang memberi hidayah kepada kami dan Dia-lah yang mengeluarkan kami dari kegelapan ke alam yang terang. Aku angkat engkau untuk menjadi panglima perang pasukan Khalid bin Walid, karena itu kerjakanlah sebaik mungkin semua tugasmu. Jangan kamu korbankan kaum muslimin ke tempattempat yang bakal membinasakan mereka, hanya demi mendapatkan ghanimah. Jangan engkau tempatkan mereka di suatu tempat yang belum kamu ketahui keamanannya, jangan kamu mengutus pasukan kecuali dalam jumlah yang besar. Jangan sampai kamu melemparkan kaum muslimin ke tempat-tempat yang bakal membinasakan mereka. Tutuplah matamu dari kesenangan duniawi dan alihkan hatimu dari merindukannya jangan sampai kamu binasa dikarenakan duniawi, sebagaimana binasanya orang-orang yang sebelumnya dikarenakannya dan aku telah menyaksikan tempat-tempat kebinasaan mereka.”97 Dari contoh wasiat di atas, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya isi wasiat itu merupakan interpretasi dari al-Quran dan alHadits. Suatu hal yang terpenting di sini bahwa Khalifah Umar bin Khattab telah menerapkan wasiat dalam aktivitas dakwahnya sebagai sebuah metode dakwah. 2) Konsepsi Wasiat dalam Metode Dakwah a) Esensi Wasiat dalam Dakwah Esensi wasiat dalam dakwah adalah ucapan seorang da’i berupa pesan penting dalam upaya mengarahkan (taujih) mad’u tentang sesuatu yang bermanfaat dan bermuatan kebaikan. Serta persoalan-persoalan yang disampaikan dalam wasiat berkaitan dengan sesuatu yang belum dan akan terjadi. Sebagai contoh: Khalifah Umar bin Khattab berwasiat kepada Sa’ad bin Abi Waqash untuk berperang melawan Pasukan Persia di Iraq: “Wahai Sa’ad, jangan kamu bangga dikarenakan kamu adalah paman Rasulullah SAW dan pernah menjadi sahabat beliau, sesungguhnya Allah tidak akan menghapus yang buruk dengan keburukan akan tetapi Dia menghapus yang buruk dengan kebaikan, sesungguhnya Allah tidak memandang kepada nasab seseorang, yang termulia di sisi-Nya adalah orang yang paling taat kepada-Nya. Semua manusia, baik yang mulia maupun yang rendah di hadapan Allah akan sama kedudukannya. Allah adalah Rabb mereka dan mereka adalah hamba-hamba Allah. Mereka berbeda-beda di dalam kesehatan dan mereka akan mendapatkan kesenangan yang dijanjikan oleh Allah hanya dengan taat kepada97 Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 101-102. Nya, perhatikanlah agama ini sebagaimana ketika engkau menyakitkannya di masa Rasulullah SAW. Serta peganglah teguh agama ini, sebab ia adalah pangkal kebahagiaan. Sedikit pun jangan kamu remehkan amanah ini agar kamu tidak menjadi orangorang yang rugi.”98 b) Kapan Wasiat diberikan Kepada Mad’u Wasiat merupakan pesan penting seorang da’i kepada mad’u, maka perlu dicari saat yang tepat dalam memberikan wasiat. Wasiat diberikan da’i pada tahap pembentukan dan pembinaan setelah dakwah diterima dan dipahami mad’u. sebagai contoh: “Khalifah Umar bin Khattab berpesan sewaktu pasukan muslimin sedang bersiap-siap berangkat berperang, beliau berkata kepada Abu Ubaid: “Dengarkanlah dari sahabat-sahabat Nabi SAW dan ajaklah mereka bersama-bersama dalam hal ini. Janganlah cepat-cepat berijtihad sebelum anda teliti benar-benar. Ini adalah perang, dan yang cocok untuk perang hanya orang yang tenang, pandai melihat kesempatan dan pandai pula mengelak.”99 Dari contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa Khalifah Umar bin Khattab dalam memberi wasiat kepada Abu Ubaid di waktu yang tepat. Karena Khalifah Umar memberi gambaran yang tepat situasi yang mungkin akan terjadi pada pasukannya. Oleh karena itu, beliau berpesan agar selalu menjaga kebersamaan pada para sahabat yang ikut berperang. Dia tidak boleh mengambil keputusan sendiri dalam menentukan strategi perang. c) Materi Wasiat Materi wasiat yang diberikan kepada mad’u (objek dakwah) adalah materi wasiat yang berdasarkan al-Quran dan al-Hadits. 98 M. Yusuf al-Kandahlawy, Kehidupan Para Sahabat Rasulullah SAW Jilid 2, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993) hal. 141. 99 Muhammad Husain Haekal, Op. Cit., h. 100. Materi secara umum adalah materi yang berupaya menggiring mad’u menuju ketaqwaan. Sebagai contoh: “Khalifah Umar bin Khattab adalah sosok yang banyak bertanya tentang taqwa. Pada suatu ketika beliau memanggil Ubay bin Ka’ab dan berkata kepadanya, “Beritahukanlah kepadaku tentang taqwa.” Ubay lalu berkata, “Wahai Amirul Mukminin, sekirannya engkau berjalan di sebuah kebun yang banyak durinya, apa yang akan engkau lakukan?” Umar menjawab, “Aku akan melewatinya dengan hati-hati dan berusaha dengan sungguhsungguh.” Ubay lalu berkata lagi, “Begitulah taqwa. Engkau melewatinya untuk menaati Allah SWT dan bersungguh-sungguh untuk tidak berbuat maksiat kepada-Nya.”100 d) Efek Wasiat Bagi Mad’u Wasiat adalah salah satu model pesan dalam perspektif komunikasi, maka seorang da’i harus mampu memenej pesan (management impression) mad’u pasca penerimaan seruan dakwahnya. Sehingga wasiat yang diberikan mampu mempunyai efek positif bagi mad’u. Dari uraian panjang di atas tentang metode dakwah al-Mauidzatil Hasanah yang berkaitan dengan dakwah Khalifah Umar bin Khattab. Di atas tampak bahwa metode al-Mauidzatil Hasanah butir terakhir, yaitu kisah tidak dimasukkan oleh penulis dikarenakan penulis tidak menemukan sumber bahwa Khalifah Umar melakukan hal tersebut. Berdasarkan data di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa banyak hal-hal yang dilakukan khalifah Umar sesuai dengan bagian-bagian yang ada dalam metode al-Mauidzatil Hasanah. Tetapi, ada sebagian kecil hal-hal yang tidak dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab. 100 Amru Khalid, Ibid., h. 138. B. Relevansi Metode Dakwah Khalifah Umar bin Khattab pada Masa Sekarang Dalam menjalankan dakwah untuk menegakkan Daulah Islamiyah. Khalifah Umar bin Khattab melaksanakan beberapa metode dakwah yang ada, yaitu al-Hikmah dan al-Mauidzatil Hasanah. Beliau tidak menggunakan metode dakwah al-Mujadalah. Sebagaimana maksud surat an-Nahl ayat 125 yang berbunyi: ☺ ☺ ☺ ☺ “Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Rabb-mu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S. an-Nahl: 125) 1. Al-Hikmah a. Mengenal Strata Mad’u Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab di Madinah ini merupakan bagian dari dakwah bil hikmah karena metode ini menekankan menyampaikan pada penyebaran dakwahnya, ilmu Khalifah pengetahuan. Umar tidak Dalam terlalu mementingkan strata mad’u. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini tidak relevan untuk diterapkan. Hal ini dikarenakan ada banyak perbedaan-perbedaan baik tingkat sosial dan tingkat pendidikan yang harus dihadapi oleh da’i. Tingkat pendidikan mad’u sangat mempengaruhi pemahamannya dalam menerima pesan dakwah dari seorang da’i. Oleh karena itu seorang da’i harus mampu memperhatikan dan menyesuaikan pesan dakwah pada waktu menyampaikan dakwahnya. b. Bila Harus Bicara dan Diam Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini merupakan bagian dari dakwah bil hikmah, karena metode ini menekankan bahwa di mana Khalifah Umar harus bicara dan di mana beliau harus bicara. Dalam menyampaikan dakwahnya, Khalifah Umar selalu memperhatikan kondisi psikologis si mad’u agar dakwahnya dapat dipahami dan dikerjakan. Khalifah Umar mampu memposisikan dirinya, tidak egois dan sombong dalam kehidupan sehari-harinya. Beliau selalu meminta nasihat kepada para sahabat bahkan rakyatnya agar tidak tergelincir ke lembah kekufuran. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini relevan untuk diterapkan pada masa kini. Hal ini dikarenakan banyak da’i yang kurang memperhatikan kondisi psikologis mad’unya, serta tingkat sosial dan tingkat pendidikan yang harus dihadapi oleh da’i. karena hal itu sangat mempengaruhi pemahaman mad’u dalam menerima pesan dakwah dari seorang da’i. c. Mencari Titik Temu dalam Dakwah Metode ini dikategorikan sebagai metode bil hikmah. Sebagaimana diketahui bahwa dakwah berarti aktifitas mengajak manusia ke jalan Allah SWT yang sifatnya mengajak. Dalam mengajak tentunya tidak diperkenankan dengan cara-cara yang memaksa, menghakimi dan sebisa mungkin menghindari konfrontasi yang akan merugikan dan merusak arti dakwah itu sendiri. Namun, realitas menunjukkan banyaknya perbedaan baik dari segi kultural maupun sosial yang tentu menggambarkan perbedaan paradigma dan cara pandang mad’u sehingga disinilah dilemanya. Di satu sisi dakwah tidak boleh keluar dari koridor mengajak. Di sisi lain dakwah merupakan suatu kewajiban yang harus disampaikan kepada umat. Sementara itu seorang da’i harus menyadari adanya benturanbenturan nilai di masyarakat. Maka peranan seorang da’i dituntut untuk membaca mad’u dari berbagai persepsinya sehingga da’i dapat mengetahui darimana dakwah harus dimulai. Dengan kata lain da’i harus mencari titik temu, sehingga dakwah yang disampaikan memiliki gelombang yang sama dengan alam pikiran mad’u. Kegagalan mencari titik temu merupakan awal dari kegagalan berdakwah. Karena ketika pertama kali da’i menyampaikan risalah akan mendapat penolakan jika tidak mengetahui betul kondisi alam pikiran mad’u. Mencari titik temu dalam berdakwah merupakan kunci keberlangsungan untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah. Da’i harus mencari kalimatun sawa’. Kalimat yang sama yang mempertemukan pikiran da’i dengan mad’u. Dalam upaya mencari titik temu ini Khalifah Umar bin Khattab melakukan musyarawah kepada para sahabat untuk memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Beliau tidak gegabah dalam memutuskan suatu perkara. Oleh karena itu beliau selalu menimbang-nimbang suatu perkara dengan seksama agar tidak menimbulkan kemudharatan kepada rakyatnya. d. Toleransi Tanpa Kehilangan Sibghah Hal ini merupakan bagian daripada metode dakwah bil hikmah karena menekankan pentingnya titik temu dalam perbedaan. Titik temu adalah titik tolak di mana perbedaan-perbedaan dapat dipertemukan dalam satu titik persamaan. Dari titik temu inilah, jika diperoleh hal yang sama, maka suatu aktifitas bisa dilanjutkan. Karena secara logika, bila sesuatu dikatakan ada persamaan tentulah terdapat perbedaan di dalamnya, begitu juga sebaliknya, bila ada perbedaan, pastilah ada persamaan. Hal inilah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab kepada mad’unya. Dalam konteks kekinian perbedaan suku dan bangsa menjadi lebur dalam persamaan akidah. Dalam artian Islam menekankan pentingnya persatuan dan persaudaraan. Dalam al-Quran surat alHujuraat ayat 10 yang berbunyi: ☺ ☺ ⌧ “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah antara saudara-saudaramu dan bertaqwalah semoga engkau mendapat rahmat-Nya.” (Q.S. al-Hujuraat: 10) e. Uswatun Hasanah Dakwah sangat membutuhkan contoh nyata dan keteladanan. Khalifah Umar bin Khattab telah melakukan hal itu. Beliau sendiri yang menjadi figur dan panutan di medan dakwah. Kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab adalah penyeru kebenaran, yang senantiasa mengamalkannya, semangat di dalamnya dan bersegera menyambut seruannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang. Allah SWT berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Q.S. ash-Shaff: 2-3) Seorang da’i harus memiliki amal shalih, yang diserukannya kepada Allah SWT dengan lisannya juga dengan perbuatannya. Seorang da’i adalah penyeru dengan lisannya sekaligus dengan perbuatannya. Dengan sikap seperti itu mad’u akan terpengaruh dan terkesan dengan dakwahnya, mau mengambil manfaat dengan menerima dakwahnya. Khalifah Umar telah melakukan hal itu semua. Beliaulah salah satu sahabat Rasulullah SAW yang mampu membedakan antara hak dan yang batil, oleh karena itu Rasulullah SAW menyebut beliau sebagai al-Faruq. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan digunakan pada masa kini. Karena kebanyakan orang-orang awam dan mereka yang berpendidikan rendah yang tidak mempunyai ilmu kecuali hanya sedikit, mad’u seperti mereka hanya bisa mengambil manfaat dari sirah, akhlak yang utama dan amal yang shalih, di mana mereka tidak mampu mengambil manfaat dari perkataan para da’i yang sering tidak mampu mereka pahami. Mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim yang mewarisi keislaman orang tua dan nenek moyang, berikut dengan segala bentuk kotoran; bid’ah penyimpangan dan khurafat. Perasaan lemah, terbelakang, taklid, minder, materialisme, dan persepsi yang keliru tentang kehidupan dunia adalah sikap warisan dari para penjajah di negeri Indonesia. Sementara, medan dakwah pada masa sekarang sangat berbeda dengan masa Khalifah Umar bin Khattab. Objek dakwah pada masa Khalifah Umar adalah kaum musyrikin dan kafir yang diseru untuk memeluk Islam dan berimana kepada Allah SWT dengan harus meninggalkan peribadatan kepada patung. Adapun yang menjadi objek dakwah pada masa sekarang adalah kaum muslimin yang meyakini bahwa apa yang mereka anut sebagai warisan dari generasi sebelumnya adalah Islam yang sesungguhnya, meskipun di dalamnya masih terdapat berbagai kotoran dan penyimpangan. Oleh karena itu keteladanan pada masa sekarang harus muncul dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga terbentuk masyarakat muslim yang menjunjung tinggi al-Quran dan as-Sunnah. f. Dakwah bi Lisan al-Haal Pada kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab, beliau menempatkan dirinya sama dengan rakyat. Beliau tidak berani mengucapkan suatu amalan kepada rakyatnya sebelum dia sendiri melakukan amal tersebut. Misalnya sebelum beliau naik mimbar dan melarang manusia dari mengerjakan sesuatu terlebih dahulu beliau mengumpulkan keluarganya, lalu berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku akan melarang manusia dari ini dan ini dan sesungguhnya manusia itu memandang kalian sebagaimana burung (gagak) memandang daging. Aku bersumpah dengan nama Allah, aku tidak mendapatkan salah seorang da’i dari kalian yang mengerjakan apa yang telah aku larangkan kepada manusia, kecuali adzab akan dilipatkan atasku”101 Dalam konteks dakwah khususnya dakwah bil lisan al-haal, pemahaman tentang kebutuhan sasaran dakwah mutlak diperlukan. Berdakwah di kalangan masyarakat miskin tidak akan efektif dengan hanya berceramah, tetapi akan lebih efektif bila dakwah dilakukan dengan; menyantuni mereka, memberikan makan, pakaian dan sebagainya. Dakwah bil haal ditentukan pada sikap, perilaku dan kegiatankegiatan nyata yang interaktif mendekatkan masyarakat pada kebutuhannya yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempengaruhi peningkatan kualitas keberagamaan sekaligus juga kualitas hidup mad’unya. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Pada masa sekarang mad’u lebih senang melihat perilaku da’i yang baik ketimbang hanya pandai berceramah dan mengumbar janji-janji belaka. Seorang da’i yang baik 101 Said bin Ali bin Wahf al-Qahtani, 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah, (Solo: Pustaka Arafah, 2001), h. 313. adalah da’i yang lebih banyak berdakwah dengan perbuatan daripada hanya berbicara saja. 2. Al-Mau’idzatil al-Hasanah a. Nasihat Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini merupakan bagian dari metode dakwah al-Mau’idzatil al-Hasanah. Khalifah Umar sering memberi nasihat kepada kaum muslimin waktu itu untuk menolong mereka dalam hal kebaikan, dan melarang mereka berbuat keburukan, membimbing kepada petunjuk dan mencegah dengan sekuat tenaga dari kesesatan, mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana beliau mencintainya untuk dirinya sendiri. Hal itu dikarenakan mereka itu semua adalah hamba-hamba Allah SWT, maka haruslah bagi mereka seorang hamba untuk memandang mereka dengan kacamata yang satu yaitu kacamata kebenaran. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini. Memberikan nasihat merupakan salah satu cara seorang da’i dalam menuntun mad’unya menuju kepada jalan yang baik untuk selalu menjauhi larangan-Nya dan melaksanakan segala perintah-Nya dengan seluruh kemampuan yang ada. b. Tabsyir wa Tandzir Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini merupakan bagian dari metode dakwah al-Mau’idzatil al-Hasanah. Bentuk metode ini sangat penting dilakukan, terutama kepada mad’u yang mempunyai latar belakang pendidikan yang rendah dan pemahaman keagamaan yang lemah, sehingga perlu adanya motivasi dan harapan dalam beragama melalui bentuk tabsyir (berita gembira) di satu sisi, memberikan dorongan dalam meningkatkan keimanan dan beribadah. Tetapi, pada sisi lain, perlu adanya tindakan preventif agar mad’u tidak mudah untuk berbuat kemaksiatan, maka mad’u harus diberikan tandzir (peringatan) dan ancaman. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini. Karena mayoritas penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan dan tingkat pendidikan yang masih rendah. Metode tersebut digunakan da’i sebagai penguat keimanan sekaligus sebagai sebuah harapan dan menjadi motivasi dalam beribadah serta beramal shalih bagi mad’u. c. Wasiat Metode dakwah yang dilakukan Khalifah Umar bin Khattab ini merupakan bagian dari metode dakwah al-Mau’idzatil al-Hasanah. Dalam dakwahnya khalifah Umar selalu memberi wasiat kepada mad’unya dan kepada seluruh komandan perang beserta tentaranya beliau tidak lupa selalu memberi wasiatnya. Hal itu beliau lakukan semata-mata hanya untuk memberi motivasi dan meluruskan niat para mad’u dan pasukannya bahwa yang mereka lakukan bukan untuk Khalifah Umar semata, tetapi untuk mereka sendiri dan untuk menegakkan kalimatullah di muka bumi ini. Dalam konteks kekinian metode dakwah ini masih relevan diterapkan pada kondisi masyarakat saat ini. Wasiat diberikan apabila seorang da’i telah mampu membawa mad’u dalam memahami seruannya atau saat memberi kata akhir dalam dakwahnya (tabligh). Hal tersebut dilakukan agar dapat mengarahkan mad’u dalam merealisasikan keterkaitan yang erat antara materi dakwah yang telah disampaikan dengan pengamalan menuju ketakwaan. Dengan metode tersebut seorang da’i dapat memberdayakan daya nalar intelektual mad’u untuk memahami ajaran-ajaran Islam serta membangun daya ingat mad’u secara kontinu, karena ada persoalan agama yang sulit untuk dianalisa. Oleh karena itu da’i dituntut agar dapat membangun nilai-nilai kesabaran, kasih sayang dan kebenaran bagi kehidupan mad’u. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melalui kajian yang relatif panjang tentang metode dakwah Khalifah Umar bin Khattab, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sesuai dengan pembatasan masalah pada skripsi ini yaitu: 1. Metode dakwah yang Khalifah Umar bin Khattab gunakan adalah metode dakwah al-Hikmah menggunakan metode dan al-Mau’idzatil dakwah Hasanah. al-Mujadalah Beliau dalam tidak menjalankan dakwahnya. Hal itu disebabkan karena pada waktu itu banyak kerajaankerajaan kaum musyrik tidak mau melakukan perdebatan-perdebatan yang hanya membuang-buang waktu saja menurut mereka. Oleh karena itu Khalifah Umar memeranginya hingga memperoleh kemenangan yang gemilang. 2. Khalifah Umar bin Khattab telah menjadi figur dan panutan di medan dakwah. Keteladanan adalah unsur terpenting dalam pemerintahan Islam yang harus direalisasikan dalam perjalanan dakwah. Khususnya keteladanan utuh yang mencerminkan keutuhan Islam yang shahih dan segala ajaran dan tuntunannya tanpa kekeliruan. 3. Metode dakwah yang Khalifah Umar bin Khattab gunakan masih relevan digunakan pada masa sekarang saat ini. Hal ini disebabkan karena beliau menggunakan metode-metode ini sebagai upaya mengatur masyarakat baik muslim dan non muslim maupun kelompok lain. Motivasi Khalifah Umar karena pada saat itu kelompok masyarakatnya terdiri dari berbagai agama. 79 Hal itu sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. B. Saran-saran Dengan mengacu pada keseluruhan pembahasan ini, penulis menyarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Merupakan suatu keharusan bagi para da’i agar selalu berpedoman pada sumber-sumber ajaran Islam sebagai tuntunan. 2. Terus mengkaji perjalan para sahabat Rasulullah SAW dan ulama dalam berdakwah dengan metode yang beragam untuk dijadikan sebagai perbandingan dan contoh sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. 3. dakwah tidak terbatas pada ceramah saja, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas cakupannya, bahkan dengan perbuatan merupakan cara efektif dalam berdakwah. 4. Dengan kemajuan teknologi masa kini, para da’i hendaknya mengenal media-media dan dapat memanfaatkannya dalam aktifitas dakwah. DAFTAR PUSTAKA ’Aasyur, Abdullatif Ahmad. 10 Orang Dijamin ke Surga. Jakarta: Gema Insani Press, 1991. Ahmad, Amrullah. dkk. Kurikulum Nasional Fakultas Dakwah IAIN. Jakarta: IAIN Jakarta, 1972. Aqqad, Abbas Mahmud. Keagungan Umar bin Khattab. Solo: Pustaka Mantiq, 1993. Arifin, Muhammad. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991. Bachtiar, Wardi. Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. Al-Bayanuni. al-Madkhal ila ‘ilmi al-Da’wah. Beirut: Muassash Al-Risalah, 1991. Al-Bilali, Abdul Hamid. Fiqh al-Dakwah fi Ingkar al-Mungkar. Kuwait: Dar alDakwah, 1989. Darussalam, Ghazali. Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah. Malaysia: Nur Niaga SDN, BHD, 1996. Hafiduddin, Didin. Dakwah Aktual. Jakarta: Gema Insani Press, 1998. Hasanuddin. Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996. Hasanudin. Manajemen Dakwah. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005. Haekal, Muhammad Husain. Umar bin Khattab Umar bin Khattab: Sebuah telaah mendalam tentang pertumbuhan Islam dan Kedaulatannya Masa Itu. diterjemahkan: Ali Audah, Jakarta: PT. Pustaka Litera AntarNusa, 2001. Hassan, Hassan Ibrahim. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Penterjemah: Djahdan Human, Yogyakarta: Kota Kembang, 1989. Hidayat, Rachmat Taufiq. 111 Teladan Sang Khalifah: Dari Celah-celah Kehidupan Umar bin Khattab. Bandung: Mizan, 2000. Ismail, Faisal. Paradigma Kebudayaan Islam. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996. Al-Jarisyah, Ali. Adab al-Khiwar wa al-Mudhoroh, Al-Munawaroh: Dar al-Wifa, 1989. Al-Kandahlawy, M. Yusuf. Kehidupan81Para Sahabat Rasulullah SAW. Jilid 2, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1993. Khalid, Amru. Jejak Para Khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Penerjemah: Farur Mu’is, Solo: PT. Aqwam Media Profetika, 2007. Ma’luf, Lois. Munjid fi al-Lughah wa A’lam. Beirut: Dar Fikr, 1986. Mandzur, Ibnu. Lisan al-Arab. Beirut: Dar Fikr, 1990, jilid IV. Mahalli, Ahmad Mudjab. Buku Pintar Da’i. Surabaya: Duta Ilmu, 2005. Al-Munawwir, Ahmad Warson. Al-Munawwir, Jakarta: Pustaka Progresif, 1997. Al-Mukhtar, Safwak Sa’dallah. Hiburan Orang Mukmin. Jakarta: Gema Insani Press, 1992. Nuh, Sayid Muhammad. Diterjemahkan oleh: Ashfa Afkarina. Dakwah Fardiyah: Pendekatan Personal dalam Dakwah. Solo: Era Intermedia, 2000. Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press, 1985. Natsir, Mohammad. Fungsi Da’wah Islam dalam Rangka Perjuangan. Jakarta: Media Dakwah, 1979, Jilid 1. Nu’man, Syibli. Umar Yang Agung. Bandung: Penerbit Pustaka, 1981. Al-Qahthani, Said bin Ali. Al Hikmatu Fid Da’wah Ilallah Ta’ala, Penterjemah: Masykur Hakim dan Ubaidillah, Da’wah Islam Da’wah Bijak, Jakarta: Gema Insani Press, 1994. _______. 9 Pilar Keberhasilan Da’i di Medan Dakwah, Diterjemahkan: Muzaidi Hasbullah. Solo: Pustaka Arafah, 2001. Rafi’udin dan Djaliel, Maman Abdul. Prinsip dan Strategi Dakwah. Bandung: Balai Setia, 2001. Rais, Amien. Cakrawala Islam. Bandung: Mizan, 1996. Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007. Rauf, Abdul Kadir Sayid Abd. Dirasah Fid Dakwah al-Islamiyah, Kairo: Dar ElTiba’ah al-Mahmadiyah, 1987. Suparta, Munzier dan Hefni, Harjani, (ed). Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media, 2003. Suriani. Manajemen Dakwah dalam Kehidupan Pluralis: Upaya Membumikan Nilai-nilai Kisah Nabi Hud a.s. dalam al-Qur’an. Jakarta: The Media of Social Cultural Communication, 2005. Shaleh, Abdul Rosyad. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993. Shihab, Quraish M. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 1992. _______. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2000. Sou’yb, Joesoef. Sejarah Daulat Khulafa’ur Rasyidin. Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1987, Jilid 1. Syukir, Asmuni. Dasar-dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983. Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997. Taufiqurrahman. Sejarah Sosial Politik Masyarakat Islam: Daras Sejarah Peradaban Islam. Surabaya: Pustaka Islamika, 2003. Thabathaba’i, Muhammad Husain. Inilah Islam. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, edisi 3. Wasito, Woyo. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Cy Press, 1974. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah/Penafsiran Al-Qur’an, 1973.