BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daun jati Tanaman jati yang tumbuh di Indonesia berasal dari India, Tanaman yang mempunyai nama ilmiah Tectona grandis linn. F. secara historis, nama tectona berasal dari bahasa portugis (tekton) yang berarti tumbuhan yang memiliki kualitas tinggi. Di Negara asalnya, tanaman jati ini dikenal dengan banyak nama daerah, seperti ching-jagu (di wilayah Asam), saigun (Bengali), tekku (Bombay), dan kyun (Burma). Tanaman ini dalam bahasa jerman dikenal dengan nama teck atau teakbun, sedangkan di Inggris dikenal dengan nama teak (Sumarna, 2003), Secara morfologis, tanaman jati memiliki tinggi yang dapat mencapai sekitar 30-45 m dengan pemangkasan, batang yg bebas cabang dapat mencapai antara 15–20 cm. Diameter batang dapat mencapai 220 cm. Kulit kayu berwarna kecoklatan atau abu-abu yang mudah terkelupas. Pangkal batang berakar papan pendek dan bercabang sekitar 4. Daun berbentuk jantung membulat dengan ujung meruncing, berukuran panjang 20-50 cm dan lebar 15–40 cm, permukaannya berbulu. Daun muda (petiola) berwarna hijau kecoklatan, sedangkan daun tua berwarna hijau tua keabu-abuan. Tanaman jati tergolong tanaman yang menggugurkan daun pada saat musim kemarau, antara bulan nopember hingga januari. Setelah gugur, daun akan tumbuh lagi pada bulan januari atau maret. Tumbuhnya daun ini juga secara umum ditentukan oleh kondisi musim. Daun jati muda memiliki kandungan pigmen alami yang terdiri dari pheophiptin, βkaroten, pelargonidin 3-glukosida, pelargonidin 3,7-diglukosida, klorofil dan dua pigmen lain yang belum diidentifikasi (Ati, 2006). Pelargonidin merupakan golongan pigmen antosianidin, yaitu aglikon antosianin yang terbentuk bila antosianin dihidrolisis dengan asam. Kandungan ini 4 berfungsi sebagai pembentuk warna (pemberi pigmen) yang menyebabkan ekstrak daun jati berwarna merah darah. Antosianin adalah pigmen larut dalam air yang secara alami terdapat pada berbagai jenis tumbuhan. Sesuai namanya, pigmen inilah yang memberikan warna pada bunga, buah dan daun tumbuhan hijau. Pigmen ini telah banyak digunakan sebagai pewarna alami pada berbagai produk pangan dan berbagai aplikasi lainnya (Suardi, 2005). Saat ini, penggunaan antosianin sebagai pewarna makanan merupakan topik yang penting. Antosianin sebagai pewarna bahan pangan, penggunaannya menunjukkan keuntungan dan manfaat yang besar jika dibandingkan dengan pewarna makanan sintesis (Duangmal et al., 2004) . Tidak hanya kontribusi pentingnya pada campuran bahan pangan saja, antosianin juga memberikan efek positif bagi kesehatan karena mampu memiliki potensi sebagai senyawa antioksidan (Tsai et al., 2002). Hartati et., al (2007) menyatakan ekstrak daun jati juga mengandung senyawa antioksidan dimana hasil penapisan fitokimia ekstrak etanol daun jati menunjukan adanya golongan senyawa flavonoid, saponin, tanin galat, tanin katekat, kuinon, dan steroid/niterpenoid. Senyawa – senyawa flavonoid dilaporkan mempunyai perananan sebagai antioksidan ( Barus 2009). Flavonoid merupakan pigmen tanaman yang dapat berperan melindungi tubuh terhadap serangan radikal bebas yang merusak. Pigmen kelompok plavonoid diketahui memiliki sifat larut dalam air (Pitojo dan Sumiati, 2009). Menurut Suharmiati dan Herti (2003) daun jati memiliki tanin dan musilago. Tanin bersifat sebagai astringen dan musilago bersifat sangat hidrofilik dan mampu menangkap air untuk membentuk gel. 2.2 Kulit Kaki Ayam 5 Kaki ayam merupakan hasil ikutan pemotongan ayam yang pemanfaatannya terbatas karena kandungan dagingnya sedikit dan tinggi kandungan kulit serta tulangnya. Kulit dan tulang tersusun dari jaringan ikat padat yang kaya akan kolagen. Kaki ayam adalah bagian tubuh ayam yang termasuk golongan non karkas. Berat rata-rata kaki ayam diperkirakan 2-3% dari berat badan seekor ayam. Susunan utama kaki ayam adalah asam amino yaitu komponen dasar pada protein. Protein pada kaki ayam terdapat pada bagian kulit, otot, tulang dan kolagen. Apabila ditinjau dari komposisi kimianya, kulit kaki ayam tidak jauh berbeda dengan komposisi kimiawi kulit ternak lainnya. Secara kimiawi persentase jumlah protein pada ceker adalah 22,98%, lemak 5,6%, kadar air 65,9%, kadar abu 3,49%, dan zat lain 2,03% (Purnomo, 1995). Tingginya kandungan protein pada kulit kaki ayam khususnya protein kolagen dapat di ektrasi menjadi produk gelatin (Brown et al., 1997). Kebanyakan kulit kaki ayam digunakan sebagai bahan penyamakan dan sedikit yang menggunakannya untuk bahan pangan, dengan alasan tersebut pengolahan kulit kaki ayam sebagai gelatin sangat bermanfaat bagi dunia industry. Nilai tambah dari produk gelatin cukup tinggi mengingat selama ini Indonesia mengimpor gelatin ribuan ton per tahun dengan harga jual di pasar dalam negeri berkisar antara Rp 60.000 hingga Rp 70.000 setiap kilogramnya. 2.3 Gelatin Gelatin berasal dari bahasa latin gelatos yang berarti pembekuan. Gelatin merupakan senyawa turunan yang diperoleh dari hidrolisis parsial serabut kolagen yang berasal dari kulit, jaringan ikat dan tulang hewan dengan menggunakan asam atau basa (Suryani et al., 2009). Adapun reaksi pada saat ekstraksi gelatin adalah sebagai berikut (Gambar 1) : C102H149N31O38 + H2O Kolagen C102H151N31O39 Gelatin 6 Gambar 1. Reaksi ekstraksi gelatin (Miwada dan Simpen, 2007) Susunan asam amino gelatin hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan merupakan 2/3 dari seluruh asam amino yang menyusunnya, 1/3 asam amino yang tersisa diisi oleh prolin dan hidroksiprolin (Chaplin, 2005). Asam-asam amino saling terikat melalui ikatan peptida membentuk gelatin. Gambar 2. Struktur kimia gelatin (Grobben et al., 2004) Pada Gambar 2 dapat dilihat susunan asam amino gelatin berupa Gly-X-Y dimana X umumnya asam amino prolin dan Y umumnya asam amino hidroksiprolin. Tidak terdapatnya triptofan pada gelatin menyebabkan gelatin tidak dapat digolongkan sebagai protein lengkap (Grobben et al., 2004). Gelatin merupakan polipeptida dengan bobot molekul antara 20.000 g/mol-250.000 g/mol. Gelatin menyerap air 5-10 kali beratnya (Suryani et al., 2009). Kandungan protein gelatin sekitar 85–92%, sedangkan sisanya berupa garam mineral dan air (Schieber dan Gareis, 2007). Gelatin memiliki sifat fisikokimia seperti larut dalam air, transparan, tidak berbau dan tidak memiliki rasa, memiliki sifat reversible dari bentuk sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam air dingin, mempengaruhi viskositas suatu bahan, membentuk film serta dapat melindungi sistem koloid. Asam amino prolin dan hidroksiprolin memberi peran penting terhadap efek gel pada gelatin. Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glycol, sorbitol dan manitol, tetapi tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan pelarut organic lainnya (Guillen et al., 2011; Junianto et al., 2006). 7 Secara umum kandungan unsur-unsur mineral tertentu dalam gelatin dapat digunakan untuk menilai mutunya. Adapun standar mutu gelatin menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Standar mutu gelatin menurut SNI No. 06-3735-1995 Karakteristik Syarat Warna Tidak Berwarna Bau, Rasa Normal (dapat diterima konsumen) Kadar Air Maksimum 16% Kadar Abu Maksimum 3,25% Logam Berat Maksimum 50 mg/kg Arsen Maksimum 2 mg/kg Tembaga Maksimum 30 mg/kg Seng Maksimum 100 mg/kg Sulfit Maksimum 1000 mg/kg Sumber : Dewan Standardisasi Nasional (1995). Menurut Saleh (2004), gelatin adalah salah satu hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai gelling, bahan pengental atau penstabil. Gelatin berbeda dengan hidrokoloid lain, karena kebanyakan hidrokoloid adalah polisakarida seperti karagenan dan pektin, sedangkan gelatin merupakan protein mudah dicerna. Berdasarkan sifat bahan dasarnya pembuatan gelatin dapat dilakukan dengan 2 prinsip dasar yaitu cara alkali dan cara asam. Cara alkali atau basa dilakukan untuk memperoleh gelatin tipe B, yaitu bahan dasarnya berasal dari kulit tua (keras, liat) maupun tulang. Mula-mula bahan diperlakukan dengan proses perendaman, melalui perendaman beberapa minggu dalam larutan kalsium hidroksida, sehingga jaringan kolagen akan mengembang dan terpisah. Bahan kemudian dinetralkan dengan asam, selanjutnya dicuci dengan air dan diekstraksi melalui pemanasan (Sutrisno 2009). Cara pengasaman dilakukan untuk menghasilkan gelatin tipe A (asam). Gelatin tipe A umumnya diperoleh dari kulit babi, dan tidak memerlukan perendaman yang lama dengan asam,karena jaringan belum kuat terikat sehingga cukup dengan asam yang encer selama beberapa hari, kemudian dinetralkan dan dicuci berulang-ulang untuk menghilangkan asam dan 8 garamnya. Semua gelatin mempunyai sifat fungsional yang sama, hanya perbedaan tipe antara gelatin tipe A dan tipe B. Perbedaan sifat fisik gelatin selengkapnya disajikan pada Tabel 2.2 (Munda, 2013). Sifat Kekuatan Gel (bloom) pH Titik Isoeletrik Viskositas (mps) Kadar Abu (%) Tabel 2.2. Sifat-sifat gelatin Tipe A Tipe B 50-300 50-300 3,8-5,5 4,7-5,4 7-9 4,7-5,4 15-75 20-75 0,3-2 0,5-2 Sumber : (GMIA, 2012) Proses utama pembuatan gelatin dibagi menjadi tiga tahap. Tahap pertama adalah tahap persiapan bahan baku, yaitu penghilangan komponen non kolagen dari bahan baku dengan atau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen. Tahap kedua merupakan konversi kolagen menjadi gelatin. Tahap ketiga adalah pemurnian dan perolehan gelatin dalam bentuk kering (Ward dan Courts, 1977). Gelatin merupakan bahan hidrokoloid yang dapat digunakan sebagai bahan edible coating.Secara umum, edible coating dan edible film dari bahan protein mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk melindungi produk terhadap oksigen serta memiliki sifat mekanis yang diinginkan dan meningkatkan kesatuan struktural produk dibandingkan edible coating dari lipid (Syamsir,2008). Aplikasi edible coating dan edible film dari gelatin ini antara lain melindungi produk pada ikan segar, produk daging dan susu, menunda kerusakan karena mikrobia pada produk kering, memperbaiki sifat mekanik selama penanganan dan penyimpanan serta mengurangi kerusakan pada makanan. Demikian juga memperbaiki penampakan pada permen, memperbaiki warna, aroma, flavor pada makanan keju dan mencegah perpindahan zat terlarut, pigmen dan aroma pada makanan tertentu, yaitu produk segar dan beku (Krochta,1997). 9 2.4 Edible Film Pengemasan telah berkembang sejak lama, sebelum manusia membuat kemasan alam sendiri telah menyajikan kemasan misalnya jagung terbungkus daun atau yang disebut selundang, buah – buahan terbungkus kulitnya. Fungsi dari pengemasan pada bahan pangan adalah mencegah atau mengurangi kerusakan. Dengan adanya persyaratan bahwa kemasan yang digunakan harus ramah lingkungan maka penggunaan edible film adalah suatu yang sangat menjanjikan, baik yang terbuat dari lipida, karbohidrat, protein maupun campuran ketiganya. Edible film sangat potensial digunakan sebagai pembungkus dan pelapis produk – produk pangan industri pertanian segar . Secara umum edible film dapat didefenisikan sebagai lapis tipis yang melapisi suatu bahan pangan dan layak dimakan, digunakan pada makanan dengan cara pembungkusan atau diletakkan diantara komponen makanan yang dapat digunakan untuk memperbaiki kualitas makanan, memperpanjang masa simpan, meningkatkan efisiensi ekonomis, menghambat perpindahan uap air (Krochta, 1992). Menurut Bourtoom (2008) Edible film merupakan lapisan tipis yang dapat dikonsumsi dan sering digunakan sebagai pelapis makanan. Menurut Sothornvit and Krochta, (2000) Beberapa keunggulan edible film dibandingkan dengan bahan pengemas lain yaitu: 1. Meningkatkan retensi warna, asam , gula, dan komponen flavor. 2. Mengurangi kehilangan berat 3. Mempertahankan kualitas saat pengiriman dan penyimpanan. 4. Mengurangi kerusakan akibat penyimpanan 5. Memperpanjang umur simpan 6. Mengurangi pengemas sintetik 10 Salah satu fungsi utama dari edible film adalah kemampuan mereka dalam peranannya sebagai penghalang, baik gas, minyak, atau yang lebih utama air. Kadar air makanan merupakan titik penting untuk menjaga kesegaran, mengontrol pertumbuhan mikroba, dan tektur yang baik, edible film dapat mengontrol Aw (water activity) melalui pelepasan atau penerimaan air (Hui,2006). Edible film dapat dibedakan dalam tiga kategori berdasarkan bahan baku yang digunakan yaitu hidrokoloid, lemak dan campuran keduanya. Golongan hidrokoloid dapat dibuat dari polisakarida (selulosa, modifikasi selulosa, pati, agar, alginat, pektin, dekstrin), protein (kolagen, gelatin, putih telur), termasuk golongan lipid. Edible film campuran terdiri dari campuran lipid dan hidrokoloid serta mampu menutupi kelemahan masing-masing (Guilbert,1986). Edible film dapat disintesis dari bahan makromolekul termasuk protein-protein, protein dengan molekul lain (protein dengan polisakarida, lemak, atau karbohidrat), ataupun polisakarida, lemak, atau karbohidrat (de-Carvalho dan Grosso, 2006). Selama ini bahan baku edible film yang banyak digunakan adalah dari karbohidrat (zat pati), sedangkan golongan protein dari ternak masih sangat jarang digunakan padahal sintesis dari bahan baku tersebut sangat menjanjikan. Salah satu bahan baku edible film dari golongan protein asal ternak yang memiliki sifat-sifat yang baik dan berpotensi untuk digunakan sebagai bahan baku adalah gelatin (de-Carvalho dan Grosso, 2006) Berdasarkan sifat sifat fisik edible film yaitu : a. Ketebalan edible film Ketebalan merupakan sifat fisik edible film yang besarnya dipengaruhi oleh konsentrasi hidrokoloid pembentuk edible film dan ukuran plat kaca pencetak. Ketebalan edible film mempengaruhi laju uap air, gas dan senyawa volatil lainnya. Sebagai kemasan, semakin tebal edible film, maka kemampuan penahannya akan semakin besar atau semakin 11 sulit dilewati uap air, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang (Mc. Hugh., et al1994). Kepaduan dari edible film atau lapisan pada umumnya meningkat secara proporsional dengan ketebalan (Guilbert and Biquet, 1990). b. Transmisi uap air edible film Cuq et al.(1996) lebih lanjut mendefinisikan transmisi uap air sebagai kecepatan perpindahan uap air melalui suatu unit area dari material dengan ketebalan tertentu, pada kondisi yang spesifik. c. Warna edible film Perubahan warna edible film dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi bahan pembentuk edible film dan suhu pengeringan . Warna edible film akan mempengaruhi penampakan produk sehingga lebih menarik (Gontard et al., 1993). d. Perpanjangan edible film atau elongasi Perpanjangan edible film atau elongasi merupakan kemampuan perpanjangan bahan saat diberikan gaya tarik. Nilai elongasi edible film menunjukkan kemampuan rentangnya (Gontard et al., 1993). e. Kekuatan peregangan edible film atau tensile strength Kekuatan peregangan edible film merupakan kemampuan bahan dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada dalam regangan maksimumnya. Kekuatan peregangan menggambarkan tekanan maksimum yang dapat diterima oleh bahan atau sampel (Gontard et al., 1993). 12 13