Moral Tanistik

advertisement
Tanistik
1. Pengertian Tanistik
Tanistik merupakan sebuah akronim dari tasawuf nihilistik. Istilah khusus
untuk mistisisme Islam dalam bahasa Arab ialah tasawwuf, orang yang menjalani
laku tasawuf disebut sufi.1 Sementara ‘nihilistik’ dirujuk dari pengertian Nihilisme,
sebuah model filsafat yang dialamatkan kepada Friedrich Wilhelm Nietzsche.
Pada lapisan permukaan, antara Tasawuf dan Nihilisme memang tampak
bertolak belakang pasalnya keduanya merupakan dua kajian yang jauh berbeda,
bahkan berseberangan. Tasawuf sebagai kajian teistik berbeda dengan Nihilisme
yang ateistik, Tasawuf berangkat dari keyakinan kuat terhadap kebenaran al-Qur’an
mengenai eksistensi Tuhan. Nihilisme tidak pernah bersentuhan dengan al-Qur’an,
akan tetapi menolak kebenaran-kebenaran yang diyakini mutlak. Bahkan Nietzsche
sebagai tokoh sentral dalam Nihilisme, terang-terangan mengabarkan kematian
Tuhan. Selain itu Tasawuf sangat menghargai adanya kebenaran mutlak (Tuhan),
yang oleh Nietzsche dikritiknya sebagai omong kosong. Oleh karena itulah Tasawuf
dijunjung tinggi sebagai ilmu ketuhanan (metafisik) alias kehidupan akhirat
sementara Nihilisme hanya membicarakan kehidupan duniawi.
Namun jika kita melacak lebih jauh ke dalam, kita akan menemukan titik
singgung yang mengherankan. Bagaimana mungkin dua kajian yang bertentangan
dapat saling bertemu, aneh bukan? Tidak ada sulap dan tak ada sihir dalam kajian
ilmiah, itulah prasyarat mutlak. Ada titik kunci yang menjadikan keduanya dapat
bertatap-muka, bahkan titik kunci itu telah menjadikan keduanya saling
menguatkan. Tasawuf dan Nihilisme, keduanya muncul berdasarkan wacana kritik
yang sama, yaitu: kekosongan. Tasawuf mengritik kehidupan dunia dan segala isinya
sebagai kehidupan profan, temporal dan tidak bermakna dibandingkan dengan
kehidupan akhirat (kekosongan kehidupan dunia). Nihilisme pun mengritik filsafat
barat karena dinilai hanyalah kesia-siaan yang tak bermakna alias omong kosong
(kekosongan nilai-nilai filsafat modern).
Titik kunci lain yang telah mempertemukan keduanya ialah solusi kritik yang
sama, keduanya sama-sama menganjak ‘kembali pada diri sendiri’. Sebagai
konsekuensi atas wacana kritik yang terlampau pedas, Tasawuf dan Nihilisme
mengajak manusia supaya kembali pada diri sendiri sepenuhnya, tanpa berpurapura. Meski setelah itu, keduanya kembali berbeda pendapat demi memenuhi
kebutuhan masing-masing. Tasawuf menekankan pengendalian diri untuk mendekat
kepada Tuhan, mencapai pencerahan serta menjumpai realitas ketuhanan.
Sedangkan Nihilisme menekankan kemandirian bersikap alias kepercayadirian
berpikir. Dengan kata lain, Tasawuf dan Nihilisme sama-sama mementingkan
eksistensialitas manusia.
1 Menurut Hamka, Tasawuf (mistisisime Islam) merupakan suatu ajaran hidup yang lebih
menekankan pentingnya penyucian jiwa. Tasawuf memiliki sejarah panjang dan tersebar dalam aliran
yang berbagai rupa. Secara umum tasawuf dibagi menjadi 2 macam; (1) Tasawuf sunni, yakni tasawuf
yang didasarkan atas sunnah Nabi Muhammad SAW. Sesuai dengan namanya, tasawuf model ini
sangat menjunjung tinggi syari’at Islam. Tasawuf sunni dialamatkan kepada tasawuf Dzunnun alMisri, al-Ghazali dan Abd Qadir al-Jailani. (2) Tasawuf falsafi, yakni model tasawuf yang banyak
bersentuhan dengan filsafat Yunani, terutama mistik Phytagoras dan Plotinus. Unsur filsafat yang
lebih kental daripada unsur syari’at menjadikan aliran tersebut disebut tasawuf falsafi. Beberapa
tokohnya, antara lain: Ibn ‘Arabi, Abu Yazid al-Bustam, al-Hallaj, Suhrawardi, Mulla Shadra dan lainlain. Singkatnya, tasawuf sunni lebih menekankan etika Islam sementara tasawuf falsafi sangat
mengedepankan pengalaman mistik (penyatuan diri dengan Tuhan).
Nietzsche, meskipun di awal wacana kritiknya berkoar-koar tentang kematian
Tuhan, namun Tuhan tidaklah sungguh-sungguh mati di tangannya sebab tidak lama
sesudah itu, Nietzsche mengumumkan kelahiran Übermensch sebagai Tuhan yang
lebih manusiawi. Dengan ini saya tidak bisa semena-mena turut memahami bahwa
Nietzsche seorang ateis, Tuhan yang telah dibunuhnya ialah Tuhan yang arogan,
namun tidak dengan Tuhan yang manusiawi. Tuhan yang manusiawi ialah manusia
itu sendiri, pasalnya tak ada entitas yang lebih manusiawi selain manusia itu sendiri.
Tuhan yang berubah menjadi manusia jelas berbeda dengan manusia yang menjadi
Tuhan.
“Ya! Nihilisme adalah nama lain untuk tasawuf. Sesuatu yang hampir tak
ditemukan apa-apa adalah tasawuf, yang menyelinap dalam nihilisme.
Nihilisme hampir menyerupai perang melawan segala yang ada, segala yang
mapan. Tasawuf sudah mapan dan harus diperangi. Tasawuf bukan jalan
menuju Tuhan, tetapi jalan menuju egosentrisme. Tuhan tak pernah ada
kecuali yang telah menyelinap dalam kehendak bidjak seseorang.
Orang gila dan orang-orang yang pernah gila, merekalah yang sanggup
memahami kehendaknya. Kehendak untuk menguasai sesuatu, menguasai diri
sendiri. Semua akan kembali pada kekosongan, tak terkecuali kekosongan itu
sendiri. Kekosongan telah menyelinap dalam diriku, ego-ku lebur bersama
kehendak dan memunculkan stagnasi ke-inyong-an. Aku yang stagnan, aku
yang kosong, aku yang merdeka. Seseorang tak akan pernah tahu apa itu
kemerdekaan sampai ia membuangnya jauh-jauh, membuang mimpi-mimpi
kemerdekaannya.
Nihilisme masuk dalam tubuhku, ia akan mencapai puncak ektase setelah
lebur bersama kehendak dan ego-ku. Maka lahirlah apa yang aku sebut
“tasawuf nihilistik”. Sesuatu yang telah lama, laammmmaaaaa sekali,” 2
Selanjutnya bagaimanakah tanistik itu? Tanistik sebagai tasawuf nihilistik
tentu memiliki mainstream yang berbeda dengan tasawuf pada umumnya, tapi
dalam pembahasan ini kita tidak akan membahas lebih jauh mengenai tanistik
sebagai tasawuf nihilistik. Sejauh ini Tanistik, sebagaimana dalam tasawuf alGhazali, sangat kental dengan wacana moral. Moralitas Tanistik merupakan moral
yang tidak menggunakan mainstream atas dan bawah –Tanistik menilai sesuatu
tidak menggunakan penilaian salah-benar dan/ baik-buruk. Atas-bawah, keduanya
bukanlah entitas berbeda yang harus dipertentangkan, keduanya senantiasa berkelitkelindan dan tak dapat dipisahkan. Menilai tindakan dengan tidak menggunakan
penilaian salah-benar dan/ baik-buruk –berlaku pula untuk seluruh istilah
turunannya3—, itulah yang dimaksud morlitas tanistik. Penilaian tersebut bukan
berarti seorang moralis yang enggan menggunakan hak suaranya, bukan juga
seorang moralis yang sedang berpura-pura berpikir non-moral. Tanistik tidak
sedang melarikan diri dari klaim sokmoralis, hanya saja tidak peduli terhadapnya.
Wacana sokmoralitas sulit sekali dihindari ketika manusia masih menjadi manusia,
barangkali dengan melupakan sokmoralitas manusia menjadi dirinya sendiri.
Tanistik tidak mengajak manusia berputus asa melainkan sebaliknya,
mengajarkan kemandirian tingkat tinggi. Manusia mandiri bukanlah manusia yang
mudah dipengaruhi oleh isu-isu tak jelas, kekritisan sangatlah penting. Namun
kekritisan yang netral sulit sekali diusahakan, kekritisan akan terwujud jika
2Lihat Ngutsman Mukromin. Ah, Sok Moralis!. Belum terbit
3 Turunan moral yang berimplikasi atas-bawah antara lain: baik-buruk, salah-benar, halalharam, sunah-makruh, boleh-terlarang, dan sebagainya.
seseorang hanya berpihak pada kekritisan itu sendiri, bukan berpihak pada yang
lain. Ketika seseorang hanya berpihak pada kekritisan itu sendiri, saat itulah ia
terombang-ambing dalam kekritisan akhirnya tak mampu bersikap. Sementara
bersikap ialah menilai, entah dengan penilaian apa. Lalu bagaimana bila menilai
menggunakan salah-benar dan baik-buruk ternyata keliru? Untuk menghindari
kesalahpahaman digunakanlah istilah keliru dengan asumsi bahwa pengertian
“keliru” tidak identik dengan salah ataupun buruk. Orang Jawa menggunakannya
dalam konteks yang lebih sederhana yaitu ketika terjadi ketidaksesuaian pandangan,
bisa jadi pandangan tersebut tidak berkaitan dengan moral (amoral atau non-moral).
Menilai sesuatu dengan tidak menggunakan penilaian salah-benar dan/ baik-buruk,
itulah yang dimaksud penilaian non-moral.
Saya sepakat bahwa manusia sangat sulit meninggalkan analisis salah-benar
dan/ baik-buruk, berlaku pula untuk semua istilah turunannya. Hal itulah yang
mengakibatkan manusia disebut sebagai makhluk bermoral, berbeda dengan hewan
yang tidak mampu mengeksekusi sesuatu dengan salah-benar ataupun baik-buruk.
Namun demikian klaim moral telah mengakibatkan banyak hal yang berujung pada
perselisihan. Artinya jiwa manusia sama-sekali tidak berarti kecuali bila bernaung
bersama mainstream moral mayoritas yang identik dengan kebenaran, karena suara
mayoritas adalah suara Tuhan. Ketika suara mayoritas diartikan sebagai suara
Tuhan maka memungkinkan peluang untuk mengartikan suara minoritas sebagai
suara setan, sementara setan halal darahnya. Itulah etika yang berdiri di atas logika
formal. Etika semacam itu jelas tidak dapat diberlakukan karena bertentangan
dengan semangat Pancasila (Bhinneka Tunggal Ika). Etika Pancasila sendiri
didasarkan atas moral toleransi, setiap perbedaan disambut dengan penghormatan
yang sama. Selain toleransi itu, Pancasila sendiri tidaklah mengusung nilai baru yang
dapat menolak nilai-nilai yang hendak dihormatinya. Pancasila mengakui nilai-nilai
yang bersifat universal, dengan demikian Pancasila dapat menerima segala nilai
moral, termasuk nilai moral yang bersifat relatif alias kondisional.
Ketika menghadapi perbedaan, nalar tanistik bukan hanya bersifat toleran
melainkan juga bersifat open minded, terbuka untuk saran dan kritik dari berbagai
pihak. Tanistik sangat lunak terhadap kondisi, mudah menyesuaikan diri hingga
terkesan tidak berpendirian padahal itulah pendiriannya. Tanistik memang
mementingkan pikiran dan tindakan bidjak, bukan sekedar omong kosong. Penilaian
Tanistik berimplikasi rasional-irasional sekaligus, lintas mainstream dan lintas
metode, kadang berlakulah anything goes. Dan ketika harus menggunakan etika
formal, tanistik tidak berkeberatan.
Mata Tanistik menatap tajam kepada suatu keadaan yang disebut bidjak,
namun bidjak tidaklah bidjak ketika kondisi menuntut seseorang supaya
meninggalkan bidjak. Bila demikian bidjak tidak dapat dimaknai sebagai metode
melainkan tujuan. Sekali lagi, sangatlah sulit memahami bidjak dengan pengertian
formal.
Bila diangkat pada tataran yang lebih tinggi, kita dapat memahami bahwa
Tanistik adalah seni hidup (the art of live) yang meliputi seni berpikir dan seni
bertindak. Berpikir meliputi semua hal yang berkaitan dengan aktivitas pikiran,
demikian pula bertindak yang semua berkaitan dengan gerak sebagian/semua
anggota badan. Lalu apakah seni itu? Seni selalu identik dengan keindahan bentuk,
keserasian warna, keseimbangan posisi, kebidjkan tindakan, kecerdasan berpikir dan
kemandirian (percaya diri) tingkat tinggi. Menariknya, tak ada aturan khusus dalam
seni hingga seni pun dapat mengkritisi dirinya sendiri.
2. Melihat Tanpa Menilai
Apa susahnya melihat tanpa menilai? Apa susahnya menilai tanpa
menggunakan penilaian baik-buruk dan/ salah-benar? Demikianlah pertanyaan
sederhana yang begitu sulit dijawab pasalnya secara tidak sadar manusia selalu saja
menggunakan penilaiannya.
Seorang wanita muda tiba-tiba melintas, berkaos ketat dan celana Levis-nya
terlihat kekecilan, mata-mata pria yang melihat pasti mulutnya berkomentar. Siapa
yang tertarik akan berkomentar positif sementara sebaliknya, siapa yang merasa
jeleh akan berkomentar sebaliknya. Atau bila kata-kata tidak sempat diucapkan pasti
penilaiannya terekam dalam memori otaknya. Itulah yang saya maksud dengan
penilaian. Demikian mudahnya manusia menilai orang lain dan demikian mudahnya
manusia mencibir ataupun menjilat orang lain, semua itu didasari atas sebuah hal:
penilaian. Pada dasarnya setiap penilaian hanya memiliki dua implikasi: tinggi (baik,
benar, menarik) dan rendah (buruk, salah, jelek) dan anehnya ituah model penilaian
yang kerap dimanfaatkan manusia dalam bersosialisasi dengan manusia lain, kepada
atasannya menjilat sementara kepada bawahannya menekan.
Lalu bagaimana dengan penilaian obyektif? Menurut hemat saya, penilaian
objektif hanya ada dalam teori yang sulit terbuktikan. Penilaian para saintis yang
akhir-akhir ini sulit pula dipertanggungjawabkan, terlebih setelah temuan
menggemparkan atas teori Kuantum dan teori Relativitas dalam fisika modern.
Sementara dalam ilmu-ilmu (sains) yang lain kecenderungan yang sama belum
nampak jelasnya hingga keyakinan mengenai kebenaran objektif pun masih
dipertahankan. Menurut Positivisme Logis bahwa kebenaran objektif disebut pula
dengan kebenaran ilmiah, yakni suatu kebenaran yang didasarkan atas penelitian
ilmiah (empiris-logis). Pendirian saintifik tersebut akhirnya digunakan pula dalam
dunia (ilmu pengetahuan) sosial untuk membaca gejala-gejala sosial. Akhirnya ilmu
sosial pun tidaklah berbeda dengan sains, atau disebut pula sains sosial. Anda dapat
menjumpai hal tersebut dalam Sosiologi, Anthropologi, Kedokteran maupun
Psikologi klasik. Penilaian-penilaian saintifik semacam itu bagaikan sebatang
magnet yang memiliki dua kutub: positif dan negatif. Penilaian tersebut diyakini
lebih praktis, jelas dan ilmiah; itulah sebelah sisi positifnya namun demikian
penilaian tersebut pada dasarnya memperlakukan manusia hanya sebagai objek
(benda mati), bukan sebagai makhluk hidup yang bereksistensi. Pastinya
eksistensialitas manusia sangatlah bersifat personal (subjektif), antara seorang
dengan lainnya sudah tentu berbeda dan luput bila disamakan.
Lain halnya dengan pendekatan Fenomenologi yang telah dikembangkan oleh
Immanuel Kant, Hegel, Friedrich Nietzsche, Edmund Husserl, Martin Heidegger,
Karl Jasper, Albert Camus, Maurice-Merlau Ponty dan kawan-kawan, fenomenologi
merupakan jawaban atas kegelisahan mereka terhadap Positivisme. Sebagaimana
penuturan Kant bahwa pengetahuan manusia tidak dapat dilepaskan dari fenomena
(realitas yang terindera) sementara untuk noumena (realitas yang tak terindera)
sebaiknya manusia tutup mulut karena bila tetap memaksakan diri, hanya akan
menemukan omong kosong. Hingga pemikir-pemikir sesudahnya sepakat bahwa
fenomenologi dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan baru untuk memahami gejala
sosial, sedikit lebih realistis daripada positivisme. Sesekali fenomenologi memang
diklaim sebagai pendekatan yang unreal, tatkala mendekati agama misalnya,
fenomenologi tidak berkepentingan terhadap realitas abstrak maupun realitas
konkret secara langsung. Fenomenologi senantiasa menjaga jarak terhadap objekobjek yang terindera, dengan hati-hati fenomenologi tidak mengambil
kesimpulannya sebelum relitas tersebut mengungkapkan dirinya. Aneh memang,
fenomenologi selalu menempatkan dirinya sebagai proses untuk menjembatani
kutub positif dan kutub negatif, suatu proses terus-menerus tanpa hasil akhir.
Sangatlah mustahil bagi manusia bila tidak menilai, hingga diam tanpa katakata lebih sulit dilakukan daripada menggosipkan banyak hal. Manusia akan
merasakan gatal bila mulutnya terus mengatup sementara isi kepalanya tenang tidak
untuk menilai sesuatu. Manusia akan lebih tersiksa dalam kesepian sehingga terus
berusaha mencari kawan sebanyak mungkin. Namun bukan berarti kawanan antar
manusia tidak menarik hanya saja kawanan yang melestarikan tingkah-tingkah
sokmoralis menjadi kawanan kemunafikan. Kawanan alias perkumpulan manusia
kerap membangun suatu mainstream tertentu untuk kebutuhan eksistensial atau
sekedar untuk mengikat anggota-anggotanya. Namun demikian, tak dapat
dipungkiri, hal tersebut memiliki efek moral yang justeru menutup kemungkinan
bagi mainstream lain. Kebebasan berpikir setidaknya dapat dimaknai ketika
seseorang bebas menentukan pilihan masing-masing, bukan takluk atau mengekor
terhadap pikiran orang lain. Dan lucunya, trend mengikuti pendapat orang lain
hanya didasarkan atas pertimbangan eksistensial; seseorang rela tunduk di bawah
tangan orang lain hanya karena takut dikucilkan dari suatu komunitas.
Ketika hal tersebut semakin menggejala dan ditambah adanya persaingan
antar komunitas akhirnya konflik moral pun berlangsung. Seseorang, atas nama
suatu komunitas, harus merendahkan kelompok lain dengan dalih-dalih moral
sebagai mortirnya. Hal ini nampak sangat memalukan karena sangat merugikan bagi
pertumbukan toleransi antar sesama. Lebih jelasnya pluralisme hanya menjadi
tema-tema seminar yang terus dibicarakan dalam suatu komunitas tertentu dan
secara tegas melakukan pelarangan terhadap orang lain yang hendak berpartisipasi
dalam seminar tersebut. Sistem semacam itulah yang kerap bermunculan akhirakhir ini. Beberapa hari belakangan di UGM terselenggaralah sarasehan mengenai
Pancasila, namun apakah nilai-nilai Pancasila telah diberlakukan dalam seminar
tersebut? Saya memaklumi bila sarasehan tersebut memang disikapi sebagai proses
untuk mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila secara lebih matang, namun sampai
kapan proses tersebut terus dipelajari? Menunggu-nunggu hari esok, setiap orang
selalu menunggu-nunggu hari esok, hanya menunggu-nunggu tanpa berpikir
sebaliknya bahwa hari esok tak mungkin berlangsung tanpa keputusan untuk
menggumulinya hari ini.
Melihat tanpa menilai, ketika memutuskan untuk menyematkan tema ini saya
merasakan keraguan untuk menempatkan diri pada sudut pandang semacam apa.
Meskipun wacana tersebut hanyalah deskripsi namun saya tidaklah memungkiri
bahwa wacana tersebut sedang diarahkan menuju suatu sudut pandang tertentu.
Dan ketika dengan sudut pandang tersebut, saya melakukan kajian terhadap kasuskasus tertentu, sama artinya dengan menegaskan bahwa seseorang tidaklah mungkin
melihat sesuatu tanpa menilainya. Dalam hal ini saya mengingatkan pembaca
mengenai dua hal penilaian. (1) Menilai objek (objek material). Ketika seseorang
mengungkapkan kembali tentang sarasehan yang telah diikutinya menggunakan
sudut pandangnya sendiri, itulah penilaian, bersifat arbitrer. Klaim tersebut
terlontar atas suatu pertimbangan bahwa sesuatu yang telah terjadi, biar
bagaimanapun, tidak mungkin terulang kembali. Artinya sehebat apapun koreksi
kita terhadapnya, tidak lain hanyalah koreksi yang –nyaris— sia-sia alias tak
berguna. Sedikit lebih berguna bila koreksi atau penilaian tersebut dijadikan
pedoman untuk event mendatang. (2) Menilai penilaian (objek formal). Selain
menilai objek material (objek kajian) kita dapat pula menilai penilaian kita sendiri.
Artinya seseorang dapat melakukan kajian kritis (perenungan) terhadap pola
pikirnya sendiri, setelah ataupun sebelum dirinya menilai suatu objek tertentu.
Inilah satu garis tegas yang membedakan antara merenung dan melamun,
perenungan berarti mengkaji secara kritis terhadap keputusan-keputusan diri
sendiri sementara lamunan diidentikkan dengan mimpi alias cita-cita. Dengan kata
lain perenungan berkaitan dengan masa lalu, sekarang dan mendatang sedangkan
melamun murni tentang masa depan. Meski secara fisik pekerjaan merenung dan
melamun sangat sulit dibedakan, tanpa menginterogasi kita tak dapat memutuskan
apakah seseorang sedang merenung ataukah melamun.
Sehubungan dengan kategorisasi di atas, istilah “melihat tanpa menilai” dapat
dipisahkan dalam kategori kedua. “Melihat tanpa menilai” setidaknya dapat
mencegah kita dari keputusan arbitrer menilai suatu objek tertentu, terlebih menilai
orang lain. Sebelum kita memutuskan melakukan penilaian terhadap seseorang,
terlebih dahulu selesai dengan menilai diri sendiri. Inilah kehati-hatian etis yang
sedang ditekankan dan menjadi tema sentral dalam bahasan ini. Menilai penilaian
diri sendiri akan menghindarkan seseorang dari tuduhan sokmoralis. Secara
konseptual kemunafikan dapat dihindari dengan mengakui diri sendiri sebagai
munafik, namun solusi etis sama sekali tidaklah demikian.
“Melihat tanpa menilai” secara total, itulah solusi etis yang memungkinkan.
Etika tidak pernah mengajarkan seseorang untuk menutup mata dari realitas, tidak
juga mengajarkan seseorang untuk diam tanpa berbuat sesuatu. Etika mengajarkan
seseorang supaya kritis terhadap pola pikir yang mendasari tindakannya. Etika
mengajak kita merenungi sebelum dan sesudah melakukan tindakan tertentu.
Sementara terhadap tindakan yang sedang kita lakukan, etika tak berani ikut
campur. Etika memberi kesempatan setiap manusia untuk melakukan tindakannya
dengan mantap, tanpa terganggu pertimbangan-pertimbangan tertentu. Bukankah
manusia harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan moral?
Tentu oleh karena kemunculan pertimbangan itu menuntut manusia
mempertimbangkan setiap perbuatannya, tepatnya pertimbangan ketika akan
melakukan perbuatan tertentu.
Kemunculan etika dengan hati-hati dimaksudkan supaya tidak menjadi
belenggu bagi manusia namun tidak juga supaya diremehkan. Bukankah manusia
terbelenggu oleh nilai-nilai dalam kehidupan? Bagi orang-orang tertentu nilai etik
menjadi pertimbangan utama dan tak bisa ditoleransi sementara bagi yang lain
malah sengaja mempermainkan nilai-nilai etik, karena terbelenggu oleh nilai yang
lain. Namun demikian setiap orang memiliki kecenderungan memberlakukan nilainilai etik meski dengan mainstream yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Sebagaimana yang telah disebutkan, meskipun berbeda, manusia memberlakukan
nilai-nilai etik berdasarkan kesepakatan komunitasnya karena bagi yang melanggar
harus menelan sanksinya. Nilai etik suatu komunitas itulah yang kemudian disebut
sebagai tata tertib, aturan main, unggah-ungguh, sopan-santun dan sebagainya.
Sebagian orang memang merasakan belenggu yang dipasang oleh nilai-nilai
etik, namun bagi mereka terikat dalam suatu komunitas harus rela menerima
belenggu tersebut sebagai “resiko pekerjaan”. Sementara orang-orang yang lebih
ekstrem akan tampil sebagai pemberontak moral, sengaja ataupun tidak sengaja
menyebarkan pengaruhnya terhadap orang lain. Manusia dengan gejolak muda,
mereka itulah makhluk-makhluk yang senantiasa mencari jati diri, mendobrak
kemapanan etik tertentu –padahal demi kemapanannya yang lain.
Berbeda sekali dengan orang tua yang telah mengalami banyak kehidupan, ia
dapat menerima kenyataan dengan lapang dada tanpa menganggap dirinya lebih
pandai daripada orang lain. Sementara itu ia tetap tersenyum dan dengan tenang
melanjutkan aktivitasnya sebagai manusia pada umumnya. Secara pribadi saya
sepakat bahwa orang-orang tersebut telah mendapat pencerahan etik dan otomatis
menjadi tauladan dalam pendidikan etik. Pendidikan etik memang tidak dapat
disampaikan melalui teori panjang, kecuali bila didahului oleh keteladanan dari
orang-orang yang telah mengalami pencerahan. Artinya kita tak perlu membuangbuang waktu dan tenaga untuk mempelajari moral bila guru kita hanyalah
sekelompok manusia sokmoralis.
3. Toleransi dan Keterbukaan
Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang terdapat dalam lambang negara kita
memiliki implikasi logis tertentu: toleransi. Kaki-kakinya berdiri di atas pondasi
pluralisme sementara kedua tangannya berpegangan pada “Ketuhanan Yang Maha
Esa”. Perbedaan dalam pluralisme hendaknya diartikan sebagai entitas-entitas
eksistensial dan memiliki keunikan masing-masing, justeru ketika perbedaanperbedaan disikapi dengan pencampuradukkan tentu semakin menegasikan adanya
pluralitas karena pencampuradukkan merupakan upaya penyatuan kembali dalam
polanya yang lain. Sementara pluralitas sama-sekali bukanlah penyatuan bentuk
melainkan sebaliknya, menghargai perbedaan-perbedaan dalam selaga bentuk.
Itulah toleransi, sifat/sikap menghargai perbedaan (WJS. Peorwadarminta,
1984: 1084) dengan tetap mempertahankan eksistensi diri sendiri. Hal ini berbeda
sekali dengan mempertahankan eksistensi dengan cara menolak perbedaan yang
datang dari orang lain. Pandangan terakhir inilah yang dulu pernah diberlakukan
oleh Adolf Hitler hingga sebagai konsekuensinya manusia di luar Ras Aria harus
dibumihanguskan karena dinilai tidak memenuhi standard. Pandangan etis
semacam itu tidak hanya arbitrer namun juga merugikan orang lain –bukan karena
pola pikirnya, melainkan— karena aplikasinya. Aneh bin ajaib, sejarah mencatat
ribuan nyawa terpaksa harus menjadi korban hanya karena persoalan sepele: tidak
memenuhi kualifikasi.
Selain itu, sebagai implikasi atas sikap “melihat tanpa menilai”, satu tingkat di
atas toleransi ialah open minded alias keterbukaan. Istilah open minded melulu ada
dalam kosa kata Inggris, berarti ‘membuka pikiran’. Istilah tersebut ketika ditranslit
dalam Bahasa Indonesia menjadi keterbukaan, meski sebetulnya antara open
minded dan keterbukaan memiliki makna yang tidak selaras. Keterbukaan memiliki
makna lebih luas dibandingkan open minded, keterbukaan dapat berarti terbuka
dalam berbagai hal. Meskipun demikian bukan berarti open minded tak dapat
disandingkan dengan keterbukaan, justeru demikian open minded mengalami
perubahan makna. Bukankah keputusan manusia, termasuk keterbukaan selalu
diawali dari pikirannya?
Keterbukaan dinilai selangkah lebih maju karena di samping menghargai juga
membuka diri dan menerima kritik-saran dari entitas yang berbeda. Kita bukan
hanya bersedia membuka diri terhadap perbedaan melainkan juga menerima kritik
dan saran yang datang dari entitas yang berbeda, untuk menyempurnakan eksistensi
kita sendiri. Sikap keterbukaan menandakan bahwa seseorang mudah beradaptasi
dengan lingkungan baru dan memiliki pendirian yang teguh tanpa merasa ketakutan
dipengaruhi orang lain. Sikap keterbukaan mensyaratkan seseorang harus rela
kehilangan sebagian miliknya dan menerima sesuatu yang baru. Namun demikian,
sebagai konsekuensi ekstrem keterbukaan dapat mengancam keutuhan eksistensi
seseorang bila tidak dibarengi kecerdasan bersosial. Artinya seseorang tetap harus
selektif sebelum ia memutuskan untuk membuka dirinya, padahal seleksi
merupakan bagian dari penilaian. Tak dapat dipungkiri bahwa seseorang menilai
dengan cara menyeleksi, atau setidaknya seleksi dilakukan untuk menilai sesuatu.
Jangan menilai semua hal secara moral, itulah ajakan supaya manusia
menyadari bahwa dirinya bukanlah seorang moralis. Manusia adalah manusia,
sementara moral hanyalah sebuah aspek dari realitas hidup, tentu aneh bila satu
aspek itulah yang mendominasi kehidupan seseorang. Manusia setidaknya dapat
meyakinkan diri bahwa dirinya manusia, eksistensi manusia sebagai manusia bukan
sebagai yang lain. Dengan begitu, seseorang akan mengahargai kemantapan hati
supaya tidak terombang-ambing gelombang keadaan. Keterbukaan menerima diri
apa adanya, itulah keterbukaan yang paling mendasar. Setelah seseorang dapat
menerima dirinya sendiri, dengan mudah ia menerima kehadiran pihak lain, dengan
apa adanya pula.
Keterbukaan dapat menghilangkan sekat-sekat karena basa-basi, kepurapuraan alias saring curiga. Sekat-sekat itulah yang telah menjumudkan hubungan
sosial kita selama ini sehingga tidak berkembang. Seolah hubungan yang selama ini
kita jalin tidaklah sungguh-sungguh karena tidak dilandasi keterbukaan, tetapi
kecurigaan. Atau bila telah berhasil dalam keterbukaan, keterbukaan kita masih
berjarak. “Kepada isteri sendiri saja curiga, bagaimana mungkin kehidupan rumah
tangga akan nyaman,” itulah analogi yang mendekati. Hubungan sosial kita laksana
hubungan suami-isteri yang tak lagi ada jarak di antara keduanya.
Hubungan apakah yang dapat kita tangkap antara toleransi, keterbukaan dan
“melihat tanpa menilai”? Barangkali –dalam wacana ini— toleransi dan keterbukaan
memang tidak dapat hubungan akan tetapi tolerani dan keterbukaan dapat
menentukan sikap seseorang ketika “melihat tanpa menilai”. Toleransi, sebagaimana
yang telah disinggung di atas, sikap menghargai perbedaan dengan tidak menilainya
secara arbitrer, perbedaan tersebut dianggap sebagai eksistensi lain yang
menguatkan eksistensi dirinya. Sesama eksistensi yang berbeda dapat hidup
berdampingan tanpa yang satu harus mengganggu yang lain, baik dalam ucapan
maupun perbuatan. Meskipun saling menghargai namun di antaranya keduanya
terdapat jarak sebagai demarkasi eksistensi masing-masing. Berbeda sekali dengan
keterbukaan yang tidak ada jarak di antara keduanya namun demikian bukan berati
pencampuradukan. Pencampuradukan terjadi ketika salah satu atau kedua pihak
tidak memiliki pendirian yang jelas mengenai dirinya sehingga eksport-impor
pendirian pun tak terelakkan lagi. Dalam keterbukaan masing-masing pihak
dimaknai sebagai eksistensi yang memiliki kelebihan dan kekurangan, keduanya
saling menguatkan dengan cara take and give atas apa yang mereka miliki dan
dibutuhkan oleh yang lain. Dengan kata lain, setelah kita menerima masukan dari
pihak lain bukan berarti harus menelannya mentah-mentah tapi mengolahnya
kembali supaya sesuai dengan kondisi kita sendiri. Berdasarkan kedua sikap itulah
“melihat tanpa menilai” menjadi mungkin dimaknai, bahkan lebih menarik
perhatian.
Melihat orang lain tanpa menilainya dengan salah-benar dan/ baik-buruk,
sama artinya dengan melihat orang lain tanpa menyeleksinya dengan nilai-nilai
moral. Lalu bagaimanakah seseorang dapat melaksanakan pendirian tersebut?
Toleransi dan open minded, setidaknya itulah jawaban tapi jangan pernah berharap
dapat menemukan cara bagaimana bertoleransi dan beropen minded. Toleransi dan
open minded bukanlah metode alias cara melainkan tujuan, untuk mencapai tujuaan
toleransi dan open minded seseorang berhak mengembangkan caranya masingmasing. Justeru ketika toleransi dan open minded dijadikan sebagai cara baku maka
toleransi dan open minded akan kehilangan eksistensinya.
4. Tanistik Sebagai Etika?
Etika sebagai sistem pengetahuan, berkembang dari barat lalu menyebar ke
seluruh belahan dunia. Sebagaiman informasi dalam bab sebelumnya, etika barat
tersebar dalam beberapa aliran, yaitu: etika hedonisme (Aristippon dan Epicuros)
etika eudaimonia (Aristoteles), etika deontologi (Immanuel Kant), dan etika
nihilisme (Friedrich Nietzsche). Sementara etika yang berkembang di belahan timur
terdapat etika Hinddu, etika Tao, etika Islam dan etika Jawa. Masing-masing sistem
nilai tersebut memiliki penekanan berbeda yang menjadi ciri khasnya masingmasing. Etika barat berpihak pada rasionalitas sementara etika timur menekankan
harmonisasi hidup. Menurut Alasdair Macyntire, berdasar kutipan Amin Abdullah,
pada hakikatnya etika modern tidaklah melulu bersangkut-paut tentang baik-buruk
(normativitas), etika menyangkut pula bidang kehidupan yang lebih luas,
menyangkut analisis-konseptual hubungan dinamis antara manusia sebagai subjek
dengan rasio serta dorongan subjektivitasnya (Amin Abdullah, 2004: 293). Analisiskonseptual yang disinggung oleh Macyntire tersebut merujuk pada Immanuel Kant,
seorang tokoh besar bidang etika modern. Etika Kant kenal sebagai etika kewajiban
karena membatasi etika sebagai kewajiban yang tidak dapat didasari pada
pertimbangan subjektif yang bijaksana, etika harus memuat nilai-nilai mutlak (Franz
Magnis-Suseno, 2001: 221). Menurut lain pendapat, etika Kant disebut metafisika
moral, pasalnya nilai-nilai mutlak tersebut transendental (metafisika).
Berdasarkan devinisi di atas, di manakah posisi tanistik sebagai sistem nilai?
Singkatnya, dapatkah tanistik disebut sebagai etika? Inilah pertanyaan penting yang
hendak kita diskusikan bersama. Ketika tanistik dipahami sebagai penilaian amoral
jelaslah bahwa tanistik bukan etika. Namun sebaliknya jika tanistik dipahami
sebagai moralitas, masuk dalam kategori etika apakah tanistik itu? Menurut saya
pantas dimasukkan dalam kategori etika eudaimonisme, pasalnya ‘bidjak’ telah
menjadi tujuan utamanya. Lalu apakah ‘bijak’ sama dengan ‘bidjak’? Pada dasarnya
kedua istilah tersebut memiliki makna yang berdekatan, sehingga tanistik pantas
disebut etika eudaimonisme atau etika kebijaksanaan.
Menurut Aristoteles, manusia dapat mencapai kebijaksanaan dengan cara
mendayagunakan fungsi akalnya dengan baik, pasalnya hanya manusia yang
mendayagunakan rasionya dengan benarlah yang berbudi baik. Dengan berbudi baik
maka manusia dapat mencapai kebijaksanaan. Itulah rumusan bijak menurut
Aristoteles, sayangnya ‘bijak’ sendiri tidaklah bijak bila dirumuskan itulah rumusan
dasar tanistik. Sama halnya dengan ‘bebas’ menjadi tidak bebas ketika menemukan
definisinya? Menurut Russel, istilah terakhir itu tidaklah berarti karena mengandung
antinomi, akan tetapi kita hanya ingin menegaskan bahwa ‘kebebasan’ pun tetap
harus dibatasi supaya menjaganya tetap bebas. Demikian pun ‘bidjak’, tetap harus
dirumuskan supaya kita mudah mengenalinya sebagai ‘bidjak’. Kalau tidak, apa
bedanya istilah ‘bidjak’ dengan ‘kadjib’?
Sementara ketika etika didevinisikan mengikuti rumusan Kant, masih
dapatkah tanistik disebut etika? Sistem etika yang menempatkan manusia sebagai
subjek yang aktif, kreatif dan otonom sangat dikedepankan oleh Kant, dengan tidak
mengesampingkan pengalaman religius. Uraian Kant mengenai the antinomy of
practical reason menjadi landasan kuat bagi kehidupan agamis, terutama ketika
menghadapi keputusasaan (Amin Abdullah, 2004: 293). Secara khusus tanistik tidak
memberi penjelasan serinci Kant, tentu sangatlah berlebihan bila tanistik
dipaksakan harus mengikuti kaidah Kant. Tanistik mengakui manusia sebagai subjek
yang aktif, kreatif dan otonom namun tanistik tidak mengenal antinomi. Tanistik
tidak mengenal antinomi karena tanistik sendiri lahir dari antinomi. Ups,.. ini
hanyalah lelucon! Mempertahankan perbedaan antara keduanya tentu lebih
mengasyikkan daripada menyampuradukkan keduanya, perbedaan itulah yang
hendak disikapi oleh tanistik. Tanistik lebih menekankan bertanya daripada
merumuskan, berbeda dengan Kant yang sedikit bertanya dan banyak merumuskan.
Mengingat kemunculan paham etika yang bermacam-macam, ke manakah
tanistik berkiblat? Tanistik mendekatkan dirinya kepada etika timur yang
menekankan harmonisasi kehidupan, keputusan tanistik untuk tidak menilai sesuatu
secara moral mengimplikasikan bahwa tanistik hendak menghindari konflik yang
selama ini terjadi. Sepintas, tanistik memang nampak seperti pengecut yang hendak
melarikan diri. Ke manakah tempat pelarian tanistik bila hidup manusia tak pernah
keluar dari dunia?
Tanistik merumuskan dirinya melalui analisis sejauh manakah manusia
memiliki dirinya sendiri. Sepintas manusia selalu mengharapkan dirinya memiliki
kemandirian, dengan demikian dapat menjadi subjek. Padahal seseorang yang
memiliki ruang privat ialah seseorang yang merasa kesepian dalam kesendirian.
Apakah kemandirian identik dengan ruang privat?, keduanya berbeda namun
berhubungan. Kemandirian berhubungan dengan privatisasi dan apakah privatisasi
eksistensial? Seseorang yang memiliki dirinya menandakan kepemilikan ekistensial
sementara eksistensi manusia dilihat secara universal dalam jaring-jaring
kehidupan, bukan secara terpisah-pisah. Eksistensi yang ditinjau secara atomik
(eksistensi atomis) sama artinya dengan eksistensi yang tidak memiliki pengaruh
kehidupan. Eksistensi yang tidak memiliki eksistensi adalah bukan eksistensi,
setidaknya eksistensi yang tidak eksistensial. Ketika kemandirian ditandai dengan
menutup diri dari kehidupan sosial, pastilah bukan eksistensi. Akan tetapi jika
kemandirian dimaknai secara sosial-spiritual, itulah eksistensi yang sedang kita
diskusikan.
Pada bab sebelumnya kita telah membatasi bahwa pembicaraan etika sejauh
berkaitan dengan hubungan sosial, artiya, etika tidak ikut campur dalam urusan
privat. Batasan tersebut sayangnya, menemui jalan buntu ketika bersentuhan
dengan persoalan pahala-dosa dalam etika Islam, sebagai persoalan pribadi yang
tidak sepenuhnya pribadi. Konteks kepribadian setiap muslim selalu berkaitan
dengan eksistensi Tuhan, artinya tiada ruang pribadi bagi mereka. Seseorang yang
memiliki kepribadiannya secara penuh, pastilah memiliki ruang pribadi yang jauh
dari pantauan etika. Sayangnya, ruang privat hanyalah realitas semu. Seseorang
tidaklah sungguh-sungguh memiliki ruang privat karena selalu terikat dengan
lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan metafisik.
Sejauh ini saya menyepakati bahwa Etika merupakan kajian yang memiliki
cakupan sangat luas, seluas dimensi kehidupan manusia. Dengan alasan ini pula
Etika (dengan “E” besar) bukanlah sebuah cabang Aksiologi yang menjadi cabang
umum Ilmu Filsafat. Semua ilmu pengetahuan adalah rumusan-rumusan etika,
pasalnya suatu sistem kajian yang tidak berimplikasi terhadap kehidupan manusia
secara konkret, hanyalah kajian ilmu yang semu alias tidak bermakna. Makna atau
tidaknya sebuah kajian ilmu bukan ditentukan oleh metodologinya melainkan
seberapa besarkah berimplikasi terhadap kehidupan manusia. Manusialah yang
menggagas ilmu pengetahaun dan manusia pulalah yang akan menikmati hasilnya,
demikianlah secara praktis ilmu pengetahuan dirumuskan. Etika menjadi kajian
mendasar bukan hanya karena fungsinya melainkan juga letaknya yang paling
setrategis, yakni menyangkut semua aspek kehidupan manusia. Para pemikir
semenjak zaman Yunani hingga sekarang telah menempatkan Etika sebagai cabang
kajian Aksiologi, hal tersebut dikarenakan mereka hanya melihat etika dari sebuah
sisi dengan melupakan sisi yang lainnya. Namun jika mereka bersedia naik sedikit
lagi, pastilah dari tangga yang lebih tinggi itu aspek-aspek etika yang lain dapat lebih
jelas menampak.
Ilmu pengetahuan ibarat manusia dengan anggota tubuhya. Etika adalah jiwa
yang menghidupi, bergerak teratur laksana darah yang dipompa jantung melalui
nadi-nadi. Metafisika ialah badan, sedangkan sains alam menjadi kaki dan ilmu
sosial tangannya. Sementara kepala ilmu pengetahuan ialah epistemologi. Sains
alam, ketika terjun ke tengah masyarakat setelah melakukan penelitian ilmiahnya,
harus mendapat persetujuan kepala (otak) supaya digerakkan oleh tangan.
Begitupun sebaliknya kaki-kaki tak dapat bergerak sebelum kepala menurunkan
perintah. Darah yang menggerakan harmoni dari kepala, tangan, badan dan kaki
adalah seni (the art of live).
Jika seseorang meletakkan metafisika sebagai kepala maka sulitlah ia
bergerak selain bergerak dalam diam alias gerak di tempat. Ketika Anda meletakkan
sains alam sebagi tangan dan ilmu sosial sebagai kaki, pastilah posisi berdiri Anda
sangat labil, berdiri dalam ketidakpastian sama artinya dengan tidak berdiri.
Sementara tangan-tangan sains alam bersifat normatif alias kaku. Lebih tepat bila
epistemologi menjadi kepala, pasalnya epistemologi dapat memahami semua
aspirasi anggota-anggotanya. Meskipun secara fisik otak sebagai pengendali semua
anggota tubuh namun bukan otaklah yang menggerakkannya, melainkan jiwa. Jiwa
merupakan kesadaran manusia, ketika kesadaran menghilang maka lelaplah tidur
seseorang. Bahkan ketika darahnya mengering, maka jadilah mayat. Manusia tidak
dapat disebut manusia setelah menjadi mayat. Demikian ilmu pengetahuan, tanpa
etika ilmu pengetahuan tidak dapat menjadi ilmu pengetahuan.
Setelah ilmu pengetahuan dianalogikan dengan seonggok manusia, maka
tanistik sebagai etika telah menempati posisinya. Etika yang menjadi kesadaran ilmu
pengetahuan bukanah etika normatif yang hanya mengenal baik-buruk dan/ salahbenar. Sesuai dengan analogi manusia di atas, kajian salah-benar dan/ baik-buruk
pastilah menjadi kajian epistemologi. Tentunya kita tak perlu melakukan
pembedahan sedemikian sadis terhadap ilmu pengetahuan yang telah mapan, hanya
untuk meletakkan tanistik menjadi salah satu bagiannya. Meskipun tanistik tak
dapat diakui sebagai bagian ilmu pengetahuan pun tidak menjadikan tanistik
kehilangan eksistensi apalagi maknanya.
Harmonisasi, itulah nilai-nilai etik yang akhir-akhir ini dikembangkan oleh
banyak ilmuwan. Sebutlah nama Arne Naes, mengusulkan wacana etika
ekosentrisme, menginginkan supaya manusia memandang lingkungannya sebagai
bagian dari dirinya. Begitupun wacana filsafat organisme yang dimunculkan oleh
Alfred North Whitehead, sebuah rumusan filsafat bernada harmonik. Selanjutnya
Fritjof Capra dan Michel Talbot, keduanya telah berkerja keras untuk mendamaikan
fisika modern dengan mistisisme, hingga melahirkan istilah fisika baru (the new
physics). Tanistik hanyalah bagian lain dari wacana-wacana yang sedang
berkembang akhir-akhir ini (back to nature) hanya berbeda asumsi.
Menurut kacamata tanistik, pokok persoalan yang telah memporakporandakan kehidupan manusia ialah oposisi biner. Selama mainstream manusia
masih menggunakan oposisi biner, selama itu pula ijtihad-ijtihad ilmu pengetahuan
tidaklah berarti bahkan terkesan mengada-ada. Bagaimana kita dapat menyelesaikan
bila akar masalahnya terus dibiarkan berkembang, bahkan kita turut
mengembangkannya? Paradoks semacam itulah yang hendak ditengarai oleh
tanistik, tanistik melibatkan diri dalam perhelatan ilmu pengetahuan namun dengan
caranya yang lain: terlibat dengan tidak melibatkan diri. Tentu berbeda sekali
dengan sekedar berpura-pura terlibat.
Oposisi biner adalah darah yang terus dipompa oleh jantung etika, mengalir
teratur secara merata ke seluruh bagian ilmu pengetahuan. Oposisi biner, yang
disimbolkan dengan logika, rasanya sulit sekali dihilangkan dari pikiran manusia.
oposisi biner terlanjur telah mengakar kuat, mengokohkan pondasi ilmu
pengetahuan. Seandainya oposisi biner dihilangkan, atau sekedar dimodifikasi maka
seluruh bangunan ilmu pengetahuan pastilah runtuh, hal tersebut pastilah tidak
dikehendaki oleh banyak orang. Jika pondasi ilmu pengetahuan hendak diubah,
seperti apakah bentuk barunya? Kalau hanya sekedar anti-oposisi biner pastilah
mudah namun sulitlah menentukan basis nilai sekokoh oposisi biner. Kekokohan
oposisi biner sebagai basis nilai memang telah teruji hingga kini, karena
diasumsikan tak ada nilai lain yang sebanding. Namun itu hanyalah cara pandang
para sarjana pemuji status-quo, berbeda sekali dengan cara pandang
postmodernisme. Sayangnya postmodernisme hanyalah alat, sekedar bulldozer yang
dipakai untuk menghacurkan.
Download