1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
“Ga usah ditambang besi, sini hidupnya sudah sejahtera ko mau
disejahterakan lagi. Sudah bisa nyekolahkan anak-anak dan mbangun
omah.”
Petikan wawancara di atas adalah salah satu aspirasi masyarakat
pesisir dari ribuan lainnya untuk menolak rencana penambangan pasir besi.
Berbagai upaya penolakan terhadap rencana penambangan dan pemrosesan
pasir besi telah dilakukan oleh Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Di
sela-sela hingar-bingar perlawanan masyarakat pesisir terhadap pemerintah
dan PT JMI terselib permasalahan pelik di dalam kehidupan sosial
masyarakat pesisir. Konflik vertikal menjalar menjadi konflik horisontal yang
menyebabkan disintegrasi sosial antarmasyarakat pesisir. Konflik horisontal
dimaknai oleh masyarakat pesisir sebagai ajang perlawanan terhadap rencana
penambangan pasir besi.
Meskipun demikian, tujuh tahun perjuangan masyarakat pesisir dalam
menolak rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi belum menuai
kepastian. Rencana penambangan pasir besi seolah-olah mengambang di
antara peluh petani pesisir dan kepentingan pemerintah. Sementara itu,
meskipun pada pertengahan tahun 2013 ini konflik terkesan mengalami
penurunan namun konflik bagaikan bara dalam sekam yang siap membakar
masyarakat
pesisir
untuk
melawan.
Dinamika
konflik
pasir
besi
berkepanjangan dan fluktuatif. Berikut ini rincian dinamika konflik pasir besi
1
dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 berdasarkan temuan penelitian
sebelumnya.
Tabel I
Dinamika Konflik Pasir Besi
No.
Tahun
Penyebab
1.
2006
ƒ Sosialisasi rencana
penambangan pasir
besi
pada
masyarakat pesisir
ƒ Pemberian
Kuasa
Penambangan oleh
Pemkab
Kulon
Progo pada PT JMI
ƒ Pembahasan naskah
Kontrak
Karya
Penambangan Pasir
Besi
ƒ Sosialisasi
pada
jajaran pemerintahan
ƒ Pendirian
pilot
proyek pasir besi
ƒ Penandatanganan
Kontrak Karya
Bentuk dan
Aktor
Eskalasi
ƒ Masyarakat
Konflik vertikal:
pesisir
penolakan
sosialisasi rencana ƒ Pemerintah
ƒ PT JMI
penambangan
pasir besi
ƒ Masyarakat
Konflik vertikal
pesisir
ƒ Unjuk rasa
ƒ Pendirian Posko ƒ PPLP
ƒ Pemerintah
PPLP
ƒ PT JMI
ƒ NGO
3.
2008
Konflik vertikal ƒ Masyarakat
pesisir
dan horisontal:
ƒ Unjuk
rasa ƒ PPLP
ƒ Pemerintah
PPLP ke UGM
ƒ PT JMI
ƒ Pembakaran
ƒ NGO
posko PPLP
ƒ Akademisi
ƒ Masyarakat
Konflik vertikal:
4.
2009 ƒ Pemasangan
pesisir
pasang
pengumuman dalam ƒ PPLP
ƒ PPLP
pengumuman
rangka AMDAL
ƒ Pemerintah
tolak AMDAL
ƒ Konsultasi publik di
Gedung Kaca dalam ƒ Bentrok PPLP ƒ PT JMI
dan Polisi saat ƒ NGO
rangka AMDAL
berunjuk rasa di ƒ Polisi
gedung Kaca
ƒ Masyarakat
5.
2010 ƒ RT RW propinsi dan Konflik vertikal
pesisir
dan horisontal:
Kab. KP bahwa
ƒ PPLP
ƒ Disintegrasi
wilayah pesisir
ƒ Pemerintah
masyarakat
sebagai wilayah
ƒ PT JMI
pesisir Desa
penambangan
ƒ NGO
Karangsewu
ƒ Pembentukan Tim
ƒ DPRD
ƒ PPLP tolak
Komisi Penilai
pembentukan
AMDAL
Tim Komisi
Penilai
AMDAL
Sumber: data hasil penelitian skripsi “Konflik Pasir Besi”
2.
2007
2
Pertengahan tahun 2006 merupakan awal dari perjalanan panjang
konflik pasir besi. Pemda Kabupaten Kulon Progo dan PT. JMI melakukan
sosialisasi rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Sontak
masyarakat pesisir menolaknya dengan tidak bersedia menghadiri acara
sosialisasi. Meskipun demikian, pemerintah tetap melaksanakan tahap demi
tahap rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Upaya pemerintah
tersebut diperkuat dengan ditandatanganinya Kontrak Karya Rencana
Penambangan Pasir Besi oleh Menteri ESDM atas nama Pemerintah RI dan
Presiden Komisaris serta Presiden Direktur PT JMI di Jakarta pada tanggal 4
November 2008. Berdasarkan naskah Kontrak Karya tersebut, areal konsesi
penambangan pasir besi seluas 2.987,79 hektar, meliputi Desa Banaran dan
Karangsewu di Kecamatan Galur, Garongan, dan Bugel di Kecamatan
Panjatan serta Karangwuni di Kecamatan Wates.
Gambar I
Peta Lokasi Rencana Penambangan
Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo
Sumber: Leaflet PT JMI
3
Merujuk pada wacana umum, konflik pasir besi muncul akibat
perbedaan kepentingan ekonomi atas pemanfaatan lahan pantai. Menurut
Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, lahan pantai memiliki potensi sumber
daya alam pasir besi yang berdaya jual tinggi. Dengan demikian, apabila pasir
besi tersebut ditambang dan diolah di Kabupaten Kulon Progo akan
mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dan menciptakan lapangan kerja
baru di sektor industri pengolahan. PAD yang besar akan mendorong
pembangunan Kabupaten Kulon Progo dan menciptakan multiplier effect.
Sebaliknya, demi kepentingan ekonomi pula masyarakat pesisir
selatan Kabupaten Kulon Progo menolak keras rencana penambangan dan
pemrosesan pasir besi. Penambangan pasir besi akan menggusur lahan
pertanian, sumber utama mata pencaharian masyarakat pesisir. Pengalaman
historis sejak tahun 1984 babat alas mengubah tanah pesisir yang tandus
menjadi lahan pertanian produktif semakin memperkuat tekad masyarakat
pesisir untuk mempertahankan lahan pantai. Selain itu, sebagian besar
masyarakat pesisir tidak mengakui kepemilikan Paku Alam atas lahan pantai.
Menurut mereka, lahan pantai adalah tanah merah, tanah negara, sehingga
sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, setelah lebih dari 20 tahun diolah oleh
masyarakat dapat menjadi milik perseorangan. Namun demikian, tidak ada
satu pun masyarakat pesisir yang memiliki sertifikat ataupun letter C atas
kepemilikan lahan pantai.
Namun demikian, konflik pasir besi tidak hanya disebabkan oleh
benturan kepentingan ekonomi atas pemanfaatan lahan pantai di antara
4
pemerintah dan masyarakat pesisir. Konflik muncul karena berbagai
persoalan baik di akar rumput maupun di tingkat elit. Kepemilikan tanah
pesisir oleh Paku Alam yang tidak dapat dipisahkan dari status keistimewaan
Yogyakarta merupakan salah satu bagian dari akar konflik pasir besi. Di
samping itu, pertarungan antarelit yang sarat dengan kepentingan
direpresentasikan menjadi konflik horisontal. Selain itu, konflik terjadi akibat
ketidakpastian (uncertainty) pada masyarakat pesisir atas keuntungan
(reward) dari adanya penambangan pasir besi.
Tesis ini merupakan penelitian lebih lanjut dari skripsi peneliti pada
tahun 2010 yang berjudul “Konflik Pasir Besi (Studi tentang Konflik
Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pesisir Pantai Selatan Kecamatan Galur,
Kabupaten Kulon Progo). Penelitian dilakukan di Pedukuhan III Bedoyo,
Pedukuhan IV Gupit serta Pedukuhan V dan VI Siliran, Desa Karangsewu,
Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo. Penelitian tersebut telah
melakukan pemetaan terhadap konflik pasir besi meliputi pro dan kontra
rencana penambangan pasir besi, dinamika konflik pasir besi, dan bentuk
konflik pasir besi. Temuan penelitian tersebut adalah konflik vertikal
menimbulkan konflik horizontal. Temuan tersebut menimbulkan pertanyaan,
bagaimanakah proses konflik horizontal terbentuk? Apakah semata-mata
akibat meluasnya konflik vertikal atau sengaja diciptakan? Sebab, bentuk
konflik horizontal berupa disintegrasi sosial masyarakat pesisir hanya terjadi
pada tataran antarkelompok masyarakat pro dan kontra serta pada tataran
kelembagaan. Sementara itu, pada tataran antarindividu tidak terjadi konflik.
5
Untuk itu, focus of interest pada tesis ini adalah konflik horizontal
antarmasyarakat pesisir. Tesis yang dibangun adalah bahwa konflik
horizontal yang dimanifestasikan menjadi disintegrasi sosial masyarakat
pesisir bukan konflik yang sebenarnya karena merupakan representasi konflik
vertikal di tingkat elit. Jadi, sebenarnya tidak terjadi konflik di dalam
kehidupan sosial masyarakat pesisir. Peristiwa-peristiwa disintegrasi sosial di
dalam kehidupan sosial masyarakat pesisir yang mengatasnamakan konflik
seperti penafikkan terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai agama hanya
terjadi antara kelompok pro dan kontra di dalam kelembagaan sosial.
Sedangkan pada tingkat hubungan sosial antarindividu tidak terjadi konflik.
Hal ini menunjukkan bahwa konflik horizontal yang terjadi bukanlah konflik
yang sebenarnya karena merupakan konstruksi dan representasi konflik
vertikal di tingkat elite.
Oleh karena itu, konstruksi konflik horisontal merupakan isu yang
menarik. Konflik horizontal terjadi antara masyarakat kontra yaitu mayoritas
masyarakat pesisir dengan masyarakat pro penambangan, minoritas
masyarakat pesisir. Sehingga muncullah pihak superordinat yang memiliki
masa serta otoritas dan pihak subordinat yang dibentuk oleh struktur konflik
itu sendiri. Keberadaan masyarakat pro rencana penambangan pasir besi
merupakan representasi dari pemerintah yang sengaja diciptakan. Sebagian
besar individu pro merupakan PNS atau orang-orang yang dekat dengan
pemerintah. Representasi pemerintah terhadap individu pro tersebut
menjadikan konflik pasir besi di dalam kehidupan masyarakat pesisir seolah-
6
olah konflik horizontal. Namun demikian, sebenarnya tetap merupakan
konflik vertikal seperti pada awal munculnya konflik. Fenomena tersebut
mendorong peneliti untuk mengetahui makna konflik antarmasyarakat pesisir.
Apakah mempunyai makna disintegratif atau bukan konflik yang sebenarnya,
karena konflik sengaja diciptakan?
Beberapa penelitian tentang konflik pasir besi di Kabupaten Kulon
Progo pernah dilakukan sebelumnya. Lusia (2008) melakukan analisis
tentang proses eskalapsi public disputes berupa studi kasus penambangan
pasir besi di Kabupaten Kulon Progo pada bulan Februari 2006 sampai Maret
2008. Frenky (2009) melaksanakan penelitian konflik pasir besi antara
masyarakat, perusahaan, dan Pemda. Selanjutnya, Sovya (2010) melakukan
penelitian tentang dinamika perlawanan PPLP Kulon Progo dalam merespon
relasi korporasi swasta dan negara. Yuli (2011) meneliti tentang penggunaan
perspektif pengkomunikasian kebijakan dalam menemukan akar konflik
kebijakan penambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo. Sementara itu,
Amin (2010) meneliti tentang peran pembinaan teritorian (Binter) Kodim
0731/KP dalam mengelola konflik. Dengan demikian, penelitian yang akan
dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan karena
tidak meneliti tema-tema yang pernah diteliti yakni dengan memfokuskan
penelitian pada makna disintegrasi sosial masyarakat pesisir akibat rencana
penambangan pasir besi.
7
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dirumuskan main question dan
subs question dalam penelitian ini.
a. The main question
Apakah makna konflik antarmasyarakat pesisir? Apakah mempunyai
makna disintegratif atau bukan konflik yang sebenarnya, karena konflik
sengaja diciptakan?
b. Subs question
1. Bagaimana konstruksi konflik antarmasyarakat pesisir?
2. Bagaimana realitas konflik di dalam kehidupan masyarakat pesisir?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Creswell (2010) menyatakan bahwa tujuan penelitian adalah
kumpulan pernyataan yang menjelaskan sasaran-sasaran, maksud-maksud,
atau gagasan-gagasan umum diadakannya suatu penelitian. Tujuan penelitian
ini yakni:
ƒ
Untuk memahami makna konflik antarmasyarakat pesisir.
ƒ
Untuk mengetahui konstruksi konflik antarmasyarakat pesisir.
ƒ
Untuk mengetahui realitas konflik di dalam kehidupan masyarakat
pesisir.
8
Manfaat dari hasil penelitian ini adalah:
ƒ
Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah selaku pembuat kebijakan
terkait rencana penambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo.
ƒ
Bermanfaat bagi pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan
Kesejahteraan yang berhubungan dengan konflik dan disintegrasi sosial.
9
D. Kerangka Teori
Konflik pasir besi muncul akibat dikotomi situasi sosial lahan pantai.
Pertama, lahan pantai adalah lahan pertanian produktif, penghidupan utama
mayoritas
masyarakat
pesisir.
Puluhan
tahun
masyarakat
pesisir
membudidayakan lahan pantai yang tandus sampai menjadi lahan pertanian
yang menghasilkan komoditas pertanian berdaya jual tinggi sperti saat ini.
Kedua, lahan pantai mengandung pasir besi berkualitas, bahan industrial yang
mempunyai daya jual tinggi. Maka dari itu, pemerintah pusat dan daerah
ingin menambang pasir besi untuk mengurangi ketergantungan ekspor bijih
besi dan meningkatkan perekonomian daerah Kabupaten Kulon Progo.
Perbedaan kepentingan pemanfaatan lahan pantai tersebut menuai konflik.
Sementara itu, bentuk konflik pasir besi adalah berupa konflik vertikal
dan konflik horizontal. Konflik horizontal muncul akibat meluasnya konflik
vertikal. Namun demikian, konflik horizontal di akar rumput hanya terjadi
dalam hubungan antarmasyarakat pro dan kontra serta di dalam kelembagaan
sosial. Konflik tidak terjadi di dalam hubungan antarindividu. Maka dari itu,
konflik horizontal adalah konflik semu akibat representasi konflik vertikal.
Representasi elit pro bertujuan untuk menciptakan situasi pro dan kontra di
dalam kehidupan masyarakat pesisir, sebagaimana konflik yang terjadi di
tingkat elit. Hal tersebut merupakan upaya elit pro penambangan untuk
mendapatkan persetujuan penambangan dari masyarakat pesisir karena pada
awalnya hampir semua masyarakat pesisir menolak rencana penambangan
dan pemrosesan pasir besi.
10
Oleh karena itu, teori Dramaturgi karya Erving Goffman digunakan
sebagai pijakan interpretasi dalam penelitian ini. Menurut Musta’in (2010),
dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia.
Dramaturgi dapat menjelaskan wujud panggung sandiwara representasi
konflik horizontal yang semu. Selain itu, dapat mengelaborasi aktor-aktor
yang terlibat di dalamnya. Aktor-aktor tersebut adalah para sutradara yang
merancang skenario sekaligus mengarahkan para pemain dalam pentas.
Definisi situasi yang direpresentasikan di dalam kehidupan sosial masyarakat
pesisir adalah konflik berupa pro dan kontra rencana penambangan dan
pemrosesan pasir besi. Aktor pro terdiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Kulon Progo PT. JMI berserta sekutunya yaitu Tim Delapan, dan Aliansi. Di
lain pihak, aktor kontra terdiri atas LSM, partai politik, dan akademisi yang
mengkoordinasikan PPLP.
Representasi diciptakan oleh para aktor konflik vertikal, aktor pro dan
aktor kontra, melalui tindakan sosial yaitu konstruksi konflik. Baik aktor pro
maupun aktor kontra mempunyai kekuasaan, kendali, dan kekuatan untuk
mencapai kepentingan yang saling berlawanan. Konfrontasi elit pro dan
kontra mengimplikasikan suatu masalah kekuasaan, masalah tentang
kenyataan yang saling bertentangan dan akan dipertahankan. Geertz (2000)
bahwa siklus-siklus istilah ini, dan istilah-istilah lain yang berhubungan
seperti kendali, perintah, kekuatan, dan penundukan, semuanya itu
mendefinisikan yang politis itu sebagai suatu wilayah tindakan sosial.
11
Konstruksi konflik dibangun melalui kerja sama (collaborative
manufacture) antarsesama aktor pro atau aktor kontra. Kerja sama tersebut
bertujuan untuk memproduksi definisi situasi dan identitas sosial. Pemda
Kabupaten Kulon Progo dan PT. JMI bekerjasama untuk menyukseskan
rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Hal tersebut juga dilakukan
oleh PT. JMI bersama sekutunya yaitu Tim Delapan dan Aliansi. Di lain
pihak, aktor kontra yang merupakan pihak eksternal terdiri dari LSM, partai
politik,
dan
akademisi,
menjalin
kerjasama
dengan
dan
untuk
mengkoordinasikan PPLP. Johnson (1986), salah satu hal dalam analisa
dramaturgi Goffman yang menarik perhatian adalah pengakuannya akan
banyaknya cara di mana orang bekerjasama dalam melindungi pelbagai
tuntutan satu sama lain berhubungan dengan kenyataan sosial yang sedang
mereka usahakan untuk dipentaskan atau identitas yang mereka coba
tampilkan. Untuk merepresentasikan kelompok pro penambangan di dalam
masyarakat pesisir, baik aktor pro maupun aktor kontra melakukan konstruksi
konflik dengan berbagai cara.
Kerja sama antaraktor berhasil menciptakan identitas sosial yaitu
masyarakat kontra penambangan di bawah koordinasi PPLP dan masyarakat
pro penambangan. Masyarakat pro dan masyarakat kontra adalah para pemain
yang sedang melakonkan peran representasi para aktor di tingkat elit.
Masyarakat kontra dan masyarakat pro dijadikan sebagai identitas sosial.
Identitas sosial tersebut muncul karena partisipasi, mobilisasi atau pemberian
stigma. Menurut Soekanto (1982), bahwa orang-orang yang telah diberi
12
stigma, akan mencari dan kemudian bergabung dengan orang-orang yang
nasibnya sama. Akibatnya, orang-orang yang merasa kontra bergabung
dengan sesama kontra, demikian pula sebaliknya. Situasi demikian
mengesahkan eksistensi masyarakat pro dan masyarakat kontra. Di sisi lain,
hubungan yang bersifat eksklusif tersebut menyebabkan perpecahan di dalam
masyarakat.
Selanjutnya, identitas sosial tersebut mendefinisikan situasi sosial pro
dan kontra penambangan di dalam kehidupan masyarakat pesisir. Bagaikan
drama, konflik pasir besi merupakan suatu situasi sosial yang sengaja
ditampilkan oleh para pemain di dalam setting yang sengaja diciptakan. Para
pemain melakukan tindakan-tindakan atau penampilan (routine). Poloma
(1994), bahwa routine adalah pola bertindak yang telah ditetapkan, terungkap
di saat melakukan suatu performance dan dapat diungkapkan atau
diketengahkan dalam kesempatan lain.
Johnson (1986), tujuan Goffman yang utama adalah untuk
menunjukkan pentingnya proses-proses di mana individu berusaha untuk
mementaskan suatu definisi situasi tertentu, dengan tekanan khusus yang
diberikan kepada usaha untuk memperoleh dukungan sosial bagi konsepdirinya, yang diproyeksikan si individu itu dalam interaksinya dengan orang
lain. Dengan demikian, masyarakat pro dan kontra berusaha untuk
memperoleh dukungan masyarakat lainnya untuk memperkuat kelompok pro
dan kelompok kontra. Soekanto (1982), persamaan antara interaksi rutin
dengan pertunjukan di panggung juga berlaku bagi peranan pihak lain, yang
13
merupakan unsur-unsur pendukung. Sesama pemeran akan saling membantu
supaya peran yang dimainkan sempurna. Sementara itu, Johnson (1986),
pelbagai peran sosial yang diterima secara umum ini dimengerti dan
diinternalisasikan oleh individu sebagai suatu bagian yang penting dari
konsep-diri yang mereka usahakan untuk memproyeksikannya pada orang
lain. Hal ini ditempuh dengan cara pengelolaan kesan, manajemen pengaruh,
performance team, dan mistifikasi.
Maka dari itu, pemain pro dan kontra mementaskan representasi
konflik vertikal sebagai konflik horizontal dalam suatu pertunjukkan
(performance). Konflik horisontal masyarakat pesisir merupakan front stage
baik bagi masyarakat pro maupun bagi masyarakat kontra penambangan yang
memainkan peran formalnya. Ritzer (2007), front stage adalah bagian
pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk
mendefinisikan situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Peran
formal masyarakat pro adalah atas skenario yang dibuat oleh pemerintah dan
PT. JMI. Sedangkan peran formal masyarakat kontra mengandung anasir
struktural dalam arti cenderung terlembagakan mewakili kepentingan PPLP
(Persatuan Petani Lahan Pantai) yang dikonstruksikan oleh LSM, partai
politik, dan akademisi.
Front stage dibagi menjadi personal front dan setting. Personal front
adalah alat-alat perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting berupa
bahasa verbal atau nonverbal. Personal front individu pro berupa bagaimana
cara ia menyikapi resistensi masyarakat kontra terhadapnya, dengan cara
14
diam atau melakukan perlawanan. Sebaliknya, personal front masyarakat
kontra berupa berbagai tindakan masyarakat kontra mengucilkan individu
pro. Untuk itu, kehidupan masyarakat pesisir adalah setting di mana
sandiwara konflik horisontal dipentaskan. Personal front meliputi penampilan
dan gaya. Penampilan terdiri atas berbagai jenis barang yang mengenalkan
status sosial aktor. Sementara itu, gaya merupakan peran yang diharapkan
aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu.
Di sisi lain, back stage merujuk pada tempat dan peristiwa yang
memungkinkannya mempersiapkan peran di front stage, di mana fakta
disembunyikan di depan atau berbagai tindakan informal mungkin timbul.
Bagi individu pro, back stage berupa sosialisasi rencana penambangan oleh
pemerintah dan rapat-rapat yang diselenggarakan oleh PT. JMI. Sedangkan
bagi masyarakat kontra, back stage berupa rapat-rapat koordinasi yang
diselenggarakan oleh PPLP dan Posko PPLP sebagai sarana konsentrasi
massa. Dengan demikian, melalui tempat dan peristiwa peran sosial dibentuk.
Baik individu pro maupun masyarakat kontra berusaha menyajikan
diri mereka sesuai apa yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di
panggung depan yaitu seolah-olah menciptakan konflik horizontal berupa
disintegrasi sosial di dalam masyarakat pesisir. Ketika masyarakat kontra dan
individu pro berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri
saling mengucilkan dan memusuhi yang dimaknai oleh orang lain sebagai
disintegrasi sosial. Upaya tersebut disebut sebagai pengelolaan kesan
(impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan untuk
15
memupuk kesan bahwa telah terjadi disintegrasi sosial pada masyarakat
pesisir akibat rencana penambangan pasir besi. Pada kenyataannya
disintegrasi sosial sengaja diciptakan sebagai representasi pemerintah di
dalam masyarakat pesisir.
Keduanya, masyarakat pro dan masyarakat kontra, juga merasa harus
menyembunyikan hal-hal tertentu. Hal ini disebabkan oleh, pertama, aktor
ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan rahasia. Kedua, aktor ingin
menyembunyikan kesalahan yang telah dilakukan saat persiapan pertunjukan.
Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukkan hasil akhir dan
menyembunyikan proses yang terlibat dalam menghasilkannya. Keempat,
aktor mungkin perlu menyembunyikan kerja kotor yang dilakukan untuk
membuat produk akhir dari penonton. Kelima, dalam melakukan pertunjukan
tertentu, aktor mungkin menyelipkan standar lain. Keenam, aktor mungkin
merasa perlu menyembunyikan penghinaan tertentu atau setuju dihina asalkan
perbuatannya dapat berlangsung terus.
Di samping itu, aktor menerapkan manajemen pengaruh yaitu teknik
yang digunakan aktor untuk mempertahankan kesan tertentu dalam
menghadapi masalah yang mungkin mereka hadapi dan metode yang mereka
pergunakan untuk mengatasi masalah. Aktor pro berusaha mengelola kesan
masyarakat umum atas pemerintah dan keuntungan jika penambangan
dilakukan. Sedangkan aktor kontra mewakili PPLP mengelola kesan
masyarakat bahwa penambangan merugikan petani lahan pantai dan akan
merusak lingkungan.
16
Semua pemain disebut sebagai tim pertunjukan (performance team)
yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh
para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan di front stage.
Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan
jalannya pertunjukkan, memilih pemain inti yang layak, melakukan
pertunjukan secermat dan seefisien mungkin, dan kalau perlu juga memilih
khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan memberi arahan
melalui isyarat nonverbal supaya pertunjukan berjalan mulus.
Pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada
kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia
tersembunyi bagi penonton yang memungkinkan kewibawaan tim tetap
terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya penonton juga dapat
dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan
sukses, penonton juga harus berpartisipasi untuk menjaga pertunjukan secara
keseluruhan berjalan lancar. Oleh karena itu, pemerintah sengaja melibatkan
masyarakat umum sebagai penonton dalam pertunjukan konflik pasir besi
melalui pemasangan papan AMDAL, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat di
wilayah kontrak karya sebagai Tim Penilai AMDAL serta membuka
masukan, saran, dan kritik seputar rencana penambangan untuk masyarakat
luas.
Lemahnya interaksi sosial masyarakat pesisir
sosial
menunjukkan
adanya
mistifikasi.
Aktor
akibat disintegrasi
sering
memistifikasi
pertunjukan dengan cara membatasi hubungan atau membangun jarak sosial
17
antara diri mereka sendiri dan penonton. Kelompok kontra menjaga jarak atau
mengucilkan
individu
pro.
Tindakan-tindakan
tersebut
menandakan
keterlibatan masyarakat kontra sebagai bagian dari PPLP yang menolak keras
rencana penambangan pasir besi. Hal ini juga menunjukkan sang aktor layak
dan berharga sebagai kelompok mayoritas. Melalui mistifikasi ini, kelompok
kontra memobilisasikan anggotanya untuk melakukan apa yang boleh dan
tidak boleh dilakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkontruksikan diri
sebagai kelompok kontra penambangan yang dapat diterima secara sosial.
18
Download