BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah “Ga usah ditambang besi, sini hidupnya sudah sejahtera ko mau disejahterakan lagi. Sudah bisa nyekolahkan anak-anak dan mbangun omah.” Petikan wawancara di atas adalah salah satu aspirasi masyarakat pesisir dari ribuan lainnya untuk menolak rencana penambangan pasir besi. Berbagai upaya penolakan terhadap rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi telah dilakukan oleh Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP). Di sela-sela hingar-bingar perlawanan masyarakat pesisir terhadap pemerintah dan PT JMI terselib permasalahan pelik di dalam kehidupan sosial masyarakat pesisir. Konflik vertikal menjalar menjadi konflik horisontal yang menyebabkan disintegrasi sosial antarmasyarakat pesisir. Konflik horisontal dimaknai oleh masyarakat pesisir sebagai ajang perlawanan terhadap rencana penambangan pasir besi. Meskipun demikian, tujuh tahun perjuangan masyarakat pesisir dalam menolak rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi belum menuai kepastian. Rencana penambangan pasir besi seolah-olah mengambang di antara peluh petani pesisir dan kepentingan pemerintah. Sementara itu, meskipun pada pertengahan tahun 2013 ini konflik terkesan mengalami penurunan namun konflik bagaikan bara dalam sekam yang siap membakar masyarakat pesisir untuk melawan. Dinamika konflik pasir besi berkepanjangan dan fluktuatif. Berikut ini rincian dinamika konflik pasir besi 1 dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2010 berdasarkan temuan penelitian sebelumnya. Tabel I Dinamika Konflik Pasir Besi No. Tahun Penyebab 1. 2006 Sosialisasi rencana penambangan pasir besi pada masyarakat pesisir Pemberian Kuasa Penambangan oleh Pemkab Kulon Progo pada PT JMI Pembahasan naskah Kontrak Karya Penambangan Pasir Besi Sosialisasi pada jajaran pemerintahan Pendirian pilot proyek pasir besi Penandatanganan Kontrak Karya Bentuk dan Aktor Eskalasi Masyarakat Konflik vertikal: pesisir penolakan sosialisasi rencana Pemerintah PT JMI penambangan pasir besi Masyarakat Konflik vertikal pesisir Unjuk rasa Pendirian Posko PPLP Pemerintah PPLP PT JMI NGO 3. 2008 Konflik vertikal Masyarakat pesisir dan horisontal: Unjuk rasa PPLP Pemerintah PPLP ke UGM PT JMI Pembakaran NGO posko PPLP Akademisi Masyarakat Konflik vertikal: 4. 2009 Pemasangan pesisir pasang pengumuman dalam PPLP PPLP pengumuman rangka AMDAL Pemerintah tolak AMDAL Konsultasi publik di Gedung Kaca dalam Bentrok PPLP PT JMI dan Polisi saat NGO rangka AMDAL berunjuk rasa di Polisi gedung Kaca Masyarakat 5. 2010 RT RW propinsi dan Konflik vertikal pesisir dan horisontal: Kab. KP bahwa PPLP Disintegrasi wilayah pesisir Pemerintah masyarakat sebagai wilayah PT JMI pesisir Desa penambangan NGO Karangsewu Pembentukan Tim DPRD PPLP tolak Komisi Penilai pembentukan AMDAL Tim Komisi Penilai AMDAL Sumber: data hasil penelitian skripsi “Konflik Pasir Besi” 2. 2007 2 Pertengahan tahun 2006 merupakan awal dari perjalanan panjang konflik pasir besi. Pemda Kabupaten Kulon Progo dan PT. JMI melakukan sosialisasi rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Sontak masyarakat pesisir menolaknya dengan tidak bersedia menghadiri acara sosialisasi. Meskipun demikian, pemerintah tetap melaksanakan tahap demi tahap rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Upaya pemerintah tersebut diperkuat dengan ditandatanganinya Kontrak Karya Rencana Penambangan Pasir Besi oleh Menteri ESDM atas nama Pemerintah RI dan Presiden Komisaris serta Presiden Direktur PT JMI di Jakarta pada tanggal 4 November 2008. Berdasarkan naskah Kontrak Karya tersebut, areal konsesi penambangan pasir besi seluas 2.987,79 hektar, meliputi Desa Banaran dan Karangsewu di Kecamatan Galur, Garongan, dan Bugel di Kecamatan Panjatan serta Karangwuni di Kecamatan Wates. Gambar I Peta Lokasi Rencana Penambangan Pasir Besi di Kabupaten Kulon Progo Sumber: Leaflet PT JMI 3 Merujuk pada wacana umum, konflik pasir besi muncul akibat perbedaan kepentingan ekonomi atas pemanfaatan lahan pantai. Menurut Pemerintah Kabupaten Kulon Progo, lahan pantai memiliki potensi sumber daya alam pasir besi yang berdaya jual tinggi. Dengan demikian, apabila pasir besi tersebut ditambang dan diolah di Kabupaten Kulon Progo akan mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) dan menciptakan lapangan kerja baru di sektor industri pengolahan. PAD yang besar akan mendorong pembangunan Kabupaten Kulon Progo dan menciptakan multiplier effect. Sebaliknya, demi kepentingan ekonomi pula masyarakat pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo menolak keras rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Penambangan pasir besi akan menggusur lahan pertanian, sumber utama mata pencaharian masyarakat pesisir. Pengalaman historis sejak tahun 1984 babat alas mengubah tanah pesisir yang tandus menjadi lahan pertanian produktif semakin memperkuat tekad masyarakat pesisir untuk mempertahankan lahan pantai. Selain itu, sebagian besar masyarakat pesisir tidak mengakui kepemilikan Paku Alam atas lahan pantai. Menurut mereka, lahan pantai adalah tanah merah, tanah negara, sehingga sesuai dengan ketentuan dalam UUPA, setelah lebih dari 20 tahun diolah oleh masyarakat dapat menjadi milik perseorangan. Namun demikian, tidak ada satu pun masyarakat pesisir yang memiliki sertifikat ataupun letter C atas kepemilikan lahan pantai. Namun demikian, konflik pasir besi tidak hanya disebabkan oleh benturan kepentingan ekonomi atas pemanfaatan lahan pantai di antara 4 pemerintah dan masyarakat pesisir. Konflik muncul karena berbagai persoalan baik di akar rumput maupun di tingkat elit. Kepemilikan tanah pesisir oleh Paku Alam yang tidak dapat dipisahkan dari status keistimewaan Yogyakarta merupakan salah satu bagian dari akar konflik pasir besi. Di samping itu, pertarungan antarelit yang sarat dengan kepentingan direpresentasikan menjadi konflik horisontal. Selain itu, konflik terjadi akibat ketidakpastian (uncertainty) pada masyarakat pesisir atas keuntungan (reward) dari adanya penambangan pasir besi. Tesis ini merupakan penelitian lebih lanjut dari skripsi peneliti pada tahun 2010 yang berjudul “Konflik Pasir Besi (Studi tentang Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam di Pesisir Pantai Selatan Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo). Penelitian dilakukan di Pedukuhan III Bedoyo, Pedukuhan IV Gupit serta Pedukuhan V dan VI Siliran, Desa Karangsewu, Kecamatan Galur, Kabupaten Kulon Progo. Penelitian tersebut telah melakukan pemetaan terhadap konflik pasir besi meliputi pro dan kontra rencana penambangan pasir besi, dinamika konflik pasir besi, dan bentuk konflik pasir besi. Temuan penelitian tersebut adalah konflik vertikal menimbulkan konflik horizontal. Temuan tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah proses konflik horizontal terbentuk? Apakah semata-mata akibat meluasnya konflik vertikal atau sengaja diciptakan? Sebab, bentuk konflik horizontal berupa disintegrasi sosial masyarakat pesisir hanya terjadi pada tataran antarkelompok masyarakat pro dan kontra serta pada tataran kelembagaan. Sementara itu, pada tataran antarindividu tidak terjadi konflik. 5 Untuk itu, focus of interest pada tesis ini adalah konflik horizontal antarmasyarakat pesisir. Tesis yang dibangun adalah bahwa konflik horizontal yang dimanifestasikan menjadi disintegrasi sosial masyarakat pesisir bukan konflik yang sebenarnya karena merupakan representasi konflik vertikal di tingkat elit. Jadi, sebenarnya tidak terjadi konflik di dalam kehidupan sosial masyarakat pesisir. Peristiwa-peristiwa disintegrasi sosial di dalam kehidupan sosial masyarakat pesisir yang mengatasnamakan konflik seperti penafikkan terhadap norma-norma sosial dan nilai-nilai agama hanya terjadi antara kelompok pro dan kontra di dalam kelembagaan sosial. Sedangkan pada tingkat hubungan sosial antarindividu tidak terjadi konflik. Hal ini menunjukkan bahwa konflik horizontal yang terjadi bukanlah konflik yang sebenarnya karena merupakan konstruksi dan representasi konflik vertikal di tingkat elite. Oleh karena itu, konstruksi konflik horisontal merupakan isu yang menarik. Konflik horizontal terjadi antara masyarakat kontra yaitu mayoritas masyarakat pesisir dengan masyarakat pro penambangan, minoritas masyarakat pesisir. Sehingga muncullah pihak superordinat yang memiliki masa serta otoritas dan pihak subordinat yang dibentuk oleh struktur konflik itu sendiri. Keberadaan masyarakat pro rencana penambangan pasir besi merupakan representasi dari pemerintah yang sengaja diciptakan. Sebagian besar individu pro merupakan PNS atau orang-orang yang dekat dengan pemerintah. Representasi pemerintah terhadap individu pro tersebut menjadikan konflik pasir besi di dalam kehidupan masyarakat pesisir seolah- 6 olah konflik horizontal. Namun demikian, sebenarnya tetap merupakan konflik vertikal seperti pada awal munculnya konflik. Fenomena tersebut mendorong peneliti untuk mengetahui makna konflik antarmasyarakat pesisir. Apakah mempunyai makna disintegratif atau bukan konflik yang sebenarnya, karena konflik sengaja diciptakan? Beberapa penelitian tentang konflik pasir besi di Kabupaten Kulon Progo pernah dilakukan sebelumnya. Lusia (2008) melakukan analisis tentang proses eskalapsi public disputes berupa studi kasus penambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo pada bulan Februari 2006 sampai Maret 2008. Frenky (2009) melaksanakan penelitian konflik pasir besi antara masyarakat, perusahaan, dan Pemda. Selanjutnya, Sovya (2010) melakukan penelitian tentang dinamika perlawanan PPLP Kulon Progo dalam merespon relasi korporasi swasta dan negara. Yuli (2011) meneliti tentang penggunaan perspektif pengkomunikasian kebijakan dalam menemukan akar konflik kebijakan penambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo. Sementara itu, Amin (2010) meneliti tentang peran pembinaan teritorian (Binter) Kodim 0731/KP dalam mengelola konflik. Dengan demikian, penelitian yang akan dilakukan berbeda dengan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan karena tidak meneliti tema-tema yang pernah diteliti yakni dengan memfokuskan penelitian pada makna disintegrasi sosial masyarakat pesisir akibat rencana penambangan pasir besi. 7 B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dirumuskan main question dan subs question dalam penelitian ini. a. The main question Apakah makna konflik antarmasyarakat pesisir? Apakah mempunyai makna disintegratif atau bukan konflik yang sebenarnya, karena konflik sengaja diciptakan? b. Subs question 1. Bagaimana konstruksi konflik antarmasyarakat pesisir? 2. Bagaimana realitas konflik di dalam kehidupan masyarakat pesisir? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Creswell (2010) menyatakan bahwa tujuan penelitian adalah kumpulan pernyataan yang menjelaskan sasaran-sasaran, maksud-maksud, atau gagasan-gagasan umum diadakannya suatu penelitian. Tujuan penelitian ini yakni: Untuk memahami makna konflik antarmasyarakat pesisir. Untuk mengetahui konstruksi konflik antarmasyarakat pesisir. Untuk mengetahui realitas konflik di dalam kehidupan masyarakat pesisir. 8 Manfaat dari hasil penelitian ini adalah: Sebagai bahan masukan kepada Pemerintah selaku pembuat kebijakan terkait rencana penambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo. Bermanfaat bagi pengembangan ilmu Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang berhubungan dengan konflik dan disintegrasi sosial. 9 D. Kerangka Teori Konflik pasir besi muncul akibat dikotomi situasi sosial lahan pantai. Pertama, lahan pantai adalah lahan pertanian produktif, penghidupan utama mayoritas masyarakat pesisir. Puluhan tahun masyarakat pesisir membudidayakan lahan pantai yang tandus sampai menjadi lahan pertanian yang menghasilkan komoditas pertanian berdaya jual tinggi sperti saat ini. Kedua, lahan pantai mengandung pasir besi berkualitas, bahan industrial yang mempunyai daya jual tinggi. Maka dari itu, pemerintah pusat dan daerah ingin menambang pasir besi untuk mengurangi ketergantungan ekspor bijih besi dan meningkatkan perekonomian daerah Kabupaten Kulon Progo. Perbedaan kepentingan pemanfaatan lahan pantai tersebut menuai konflik. Sementara itu, bentuk konflik pasir besi adalah berupa konflik vertikal dan konflik horizontal. Konflik horizontal muncul akibat meluasnya konflik vertikal. Namun demikian, konflik horizontal di akar rumput hanya terjadi dalam hubungan antarmasyarakat pro dan kontra serta di dalam kelembagaan sosial. Konflik tidak terjadi di dalam hubungan antarindividu. Maka dari itu, konflik horizontal adalah konflik semu akibat representasi konflik vertikal. Representasi elit pro bertujuan untuk menciptakan situasi pro dan kontra di dalam kehidupan masyarakat pesisir, sebagaimana konflik yang terjadi di tingkat elit. Hal tersebut merupakan upaya elit pro penambangan untuk mendapatkan persetujuan penambangan dari masyarakat pesisir karena pada awalnya hampir semua masyarakat pesisir menolak rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. 10 Oleh karena itu, teori Dramaturgi karya Erving Goffman digunakan sebagai pijakan interpretasi dalam penelitian ini. Menurut Musta’in (2010), dramaturgi adalah sandiwara kehidupan yang disajikan oleh manusia. Dramaturgi dapat menjelaskan wujud panggung sandiwara representasi konflik horizontal yang semu. Selain itu, dapat mengelaborasi aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Aktor-aktor tersebut adalah para sutradara yang merancang skenario sekaligus mengarahkan para pemain dalam pentas. Definisi situasi yang direpresentasikan di dalam kehidupan sosial masyarakat pesisir adalah konflik berupa pro dan kontra rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Aktor pro terdiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo PT. JMI berserta sekutunya yaitu Tim Delapan, dan Aliansi. Di lain pihak, aktor kontra terdiri atas LSM, partai politik, dan akademisi yang mengkoordinasikan PPLP. Representasi diciptakan oleh para aktor konflik vertikal, aktor pro dan aktor kontra, melalui tindakan sosial yaitu konstruksi konflik. Baik aktor pro maupun aktor kontra mempunyai kekuasaan, kendali, dan kekuatan untuk mencapai kepentingan yang saling berlawanan. Konfrontasi elit pro dan kontra mengimplikasikan suatu masalah kekuasaan, masalah tentang kenyataan yang saling bertentangan dan akan dipertahankan. Geertz (2000) bahwa siklus-siklus istilah ini, dan istilah-istilah lain yang berhubungan seperti kendali, perintah, kekuatan, dan penundukan, semuanya itu mendefinisikan yang politis itu sebagai suatu wilayah tindakan sosial. 11 Konstruksi konflik dibangun melalui kerja sama (collaborative manufacture) antarsesama aktor pro atau aktor kontra. Kerja sama tersebut bertujuan untuk memproduksi definisi situasi dan identitas sosial. Pemda Kabupaten Kulon Progo dan PT. JMI bekerjasama untuk menyukseskan rencana penambangan dan pemrosesan pasir besi. Hal tersebut juga dilakukan oleh PT. JMI bersama sekutunya yaitu Tim Delapan dan Aliansi. Di lain pihak, aktor kontra yang merupakan pihak eksternal terdiri dari LSM, partai politik, dan akademisi, menjalin kerjasama dengan dan untuk mengkoordinasikan PPLP. Johnson (1986), salah satu hal dalam analisa dramaturgi Goffman yang menarik perhatian adalah pengakuannya akan banyaknya cara di mana orang bekerjasama dalam melindungi pelbagai tuntutan satu sama lain berhubungan dengan kenyataan sosial yang sedang mereka usahakan untuk dipentaskan atau identitas yang mereka coba tampilkan. Untuk merepresentasikan kelompok pro penambangan di dalam masyarakat pesisir, baik aktor pro maupun aktor kontra melakukan konstruksi konflik dengan berbagai cara. Kerja sama antaraktor berhasil menciptakan identitas sosial yaitu masyarakat kontra penambangan di bawah koordinasi PPLP dan masyarakat pro penambangan. Masyarakat pro dan masyarakat kontra adalah para pemain yang sedang melakonkan peran representasi para aktor di tingkat elit. Masyarakat kontra dan masyarakat pro dijadikan sebagai identitas sosial. Identitas sosial tersebut muncul karena partisipasi, mobilisasi atau pemberian stigma. Menurut Soekanto (1982), bahwa orang-orang yang telah diberi 12 stigma, akan mencari dan kemudian bergabung dengan orang-orang yang nasibnya sama. Akibatnya, orang-orang yang merasa kontra bergabung dengan sesama kontra, demikian pula sebaliknya. Situasi demikian mengesahkan eksistensi masyarakat pro dan masyarakat kontra. Di sisi lain, hubungan yang bersifat eksklusif tersebut menyebabkan perpecahan di dalam masyarakat. Selanjutnya, identitas sosial tersebut mendefinisikan situasi sosial pro dan kontra penambangan di dalam kehidupan masyarakat pesisir. Bagaikan drama, konflik pasir besi merupakan suatu situasi sosial yang sengaja ditampilkan oleh para pemain di dalam setting yang sengaja diciptakan. Para pemain melakukan tindakan-tindakan atau penampilan (routine). Poloma (1994), bahwa routine adalah pola bertindak yang telah ditetapkan, terungkap di saat melakukan suatu performance dan dapat diungkapkan atau diketengahkan dalam kesempatan lain. Johnson (1986), tujuan Goffman yang utama adalah untuk menunjukkan pentingnya proses-proses di mana individu berusaha untuk mementaskan suatu definisi situasi tertentu, dengan tekanan khusus yang diberikan kepada usaha untuk memperoleh dukungan sosial bagi konsepdirinya, yang diproyeksikan si individu itu dalam interaksinya dengan orang lain. Dengan demikian, masyarakat pro dan kontra berusaha untuk memperoleh dukungan masyarakat lainnya untuk memperkuat kelompok pro dan kelompok kontra. Soekanto (1982), persamaan antara interaksi rutin dengan pertunjukan di panggung juga berlaku bagi peranan pihak lain, yang 13 merupakan unsur-unsur pendukung. Sesama pemeran akan saling membantu supaya peran yang dimainkan sempurna. Sementara itu, Johnson (1986), pelbagai peran sosial yang diterima secara umum ini dimengerti dan diinternalisasikan oleh individu sebagai suatu bagian yang penting dari konsep-diri yang mereka usahakan untuk memproyeksikannya pada orang lain. Hal ini ditempuh dengan cara pengelolaan kesan, manajemen pengaruh, performance team, dan mistifikasi. Maka dari itu, pemain pro dan kontra mementaskan representasi konflik vertikal sebagai konflik horizontal dalam suatu pertunjukkan (performance). Konflik horisontal masyarakat pesisir merupakan front stage baik bagi masyarakat pro maupun bagi masyarakat kontra penambangan yang memainkan peran formalnya. Ritzer (2007), front stage adalah bagian pertunjukan yang umumnya berfungsi secara pasti dan umum untuk mendefinisikan situasi bagi orang yang menyaksikan pertunjukan. Peran formal masyarakat pro adalah atas skenario yang dibuat oleh pemerintah dan PT. JMI. Sedangkan peran formal masyarakat kontra mengandung anasir struktural dalam arti cenderung terlembagakan mewakili kepentingan PPLP (Persatuan Petani Lahan Pantai) yang dikonstruksikan oleh LSM, partai politik, dan akademisi. Front stage dibagi menjadi personal front dan setting. Personal front adalah alat-alat perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam setting berupa bahasa verbal atau nonverbal. Personal front individu pro berupa bagaimana cara ia menyikapi resistensi masyarakat kontra terhadapnya, dengan cara 14 diam atau melakukan perlawanan. Sebaliknya, personal front masyarakat kontra berupa berbagai tindakan masyarakat kontra mengucilkan individu pro. Untuk itu, kehidupan masyarakat pesisir adalah setting di mana sandiwara konflik horisontal dipentaskan. Personal front meliputi penampilan dan gaya. Penampilan terdiri atas berbagai jenis barang yang mengenalkan status sosial aktor. Sementara itu, gaya merupakan peran yang diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu. Di sisi lain, back stage merujuk pada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan peran di front stage, di mana fakta disembunyikan di depan atau berbagai tindakan informal mungkin timbul. Bagi individu pro, back stage berupa sosialisasi rencana penambangan oleh pemerintah dan rapat-rapat yang diselenggarakan oleh PT. JMI. Sedangkan bagi masyarakat kontra, back stage berupa rapat-rapat koordinasi yang diselenggarakan oleh PPLP dan Posko PPLP sebagai sarana konsentrasi massa. Dengan demikian, melalui tempat dan peristiwa peran sosial dibentuk. Baik individu pro maupun masyarakat kontra berusaha menyajikan diri mereka sesuai apa yang diidealisasikan dalam pertunjukan mereka di panggung depan yaitu seolah-olah menciptakan konflik horizontal berupa disintegrasi sosial di dalam masyarakat pesisir. Ketika masyarakat kontra dan individu pro berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri saling mengucilkan dan memusuhi yang dimaknai oleh orang lain sebagai disintegrasi sosial. Upaya tersebut disebut sebagai pengelolaan kesan (impression management), yaitu teknik-teknik yang digunakan untuk 15 memupuk kesan bahwa telah terjadi disintegrasi sosial pada masyarakat pesisir akibat rencana penambangan pasir besi. Pada kenyataannya disintegrasi sosial sengaja diciptakan sebagai representasi pemerintah di dalam masyarakat pesisir. Keduanya, masyarakat pro dan masyarakat kontra, juga merasa harus menyembunyikan hal-hal tertentu. Hal ini disebabkan oleh, pertama, aktor ingin menyembunyikan kesenangan-kesenangan rahasia. Kedua, aktor ingin menyembunyikan kesalahan yang telah dilakukan saat persiapan pertunjukan. Ketiga, aktor mungkin merasa perlu untuk menunjukkan hasil akhir dan menyembunyikan proses yang terlibat dalam menghasilkannya. Keempat, aktor mungkin perlu menyembunyikan kerja kotor yang dilakukan untuk membuat produk akhir dari penonton. Kelima, dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin menyelipkan standar lain. Keenam, aktor mungkin merasa perlu menyembunyikan penghinaan tertentu atau setuju dihina asalkan perbuatannya dapat berlangsung terus. Di samping itu, aktor menerapkan manajemen pengaruh yaitu teknik yang digunakan aktor untuk mempertahankan kesan tertentu dalam menghadapi masalah yang mungkin mereka hadapi dan metode yang mereka pergunakan untuk mengatasi masalah. Aktor pro berusaha mengelola kesan masyarakat umum atas pemerintah dan keuntungan jika penambangan dilakukan. Sedangkan aktor kontra mewakili PPLP mengelola kesan masyarakat bahwa penambangan merugikan petani lahan pantai dan akan merusak lingkungan. 16 Semua pemain disebut sebagai tim pertunjukan (performance team) yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota dalam menciptakan dan menjaga penampilan di front stage. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukkan, memilih pemain inti yang layak, melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin, dan kalau perlu juga memilih khalayak yang sesuai. Setiap anggota saling mendukung dan memberi arahan melalui isyarat nonverbal supaya pertunjukan berjalan mulus. Pertunjukan yang dibawakan suatu tim sangat bergantung pada kesetiaan setiap anggotanya. Setiap anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi penonton yang memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Dalam kerangka yang lebih luas, sebenarnya penonton juga dapat dianggap sebagai bagian dari tim pertunjukan. Artinya agar pertunjukan sukses, penonton juga harus berpartisipasi untuk menjaga pertunjukan secara keseluruhan berjalan lancar. Oleh karena itu, pemerintah sengaja melibatkan masyarakat umum sebagai penonton dalam pertunjukan konflik pasir besi melalui pemasangan papan AMDAL, melibatkan tokoh-tokoh masyarakat di wilayah kontrak karya sebagai Tim Penilai AMDAL serta membuka masukan, saran, dan kritik seputar rencana penambangan untuk masyarakat luas. Lemahnya interaksi sosial masyarakat pesisir sosial menunjukkan adanya mistifikasi. Aktor akibat disintegrasi sering memistifikasi pertunjukan dengan cara membatasi hubungan atau membangun jarak sosial 17 antara diri mereka sendiri dan penonton. Kelompok kontra menjaga jarak atau mengucilkan individu pro. Tindakan-tindakan tersebut menandakan keterlibatan masyarakat kontra sebagai bagian dari PPLP yang menolak keras rencana penambangan pasir besi. Hal ini juga menunjukkan sang aktor layak dan berharga sebagai kelompok mayoritas. Melalui mistifikasi ini, kelompok kontra memobilisasikan anggotanya untuk melakukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam rangka kerjasama untuk mengkontruksikan diri sebagai kelompok kontra penambangan yang dapat diterima secara sosial. 18