Relevankah Memperingati Sumpah Pemuda

advertisement
Relevankah Memperingati Sumpah Pemuda?
Gumilar R. Somantri
Hampir delapan windu lalu, pada tanggal 28 Oktober 1928, para elit pemuda dari
berbagai daerah dan suku berikrar: berbangsa, berbahasa, dan bernegara satu yaitu
Indonesia. Sumpah Pemuda merupakan komitmen moral yang secara cerdas
mengakui bahwa nationhood telah terbentuk. Ia pun dapat dipandang sebagai tekad
politik untuk dibangunnya statehood. Pada saat Sumpah Pemuda didengungkan,
“bangsa” Indonesia disatukan oleh identitas dan sentimen yang sama. Yaitu, anti
penjajahan dan imperialisme Barat.
Kemudian di era Soekarno, kita memasuki masyarakat pasca penjajahan (post
colonial society). Sumpah pemuda pada era ini setiap tahun diperingati di tengah
demokrasi dan masyarakat madani lemah, serta ekonomi pasar yang tidak
berkembang. Namun, warga masyarakat masih dapat dengan jernih menghayati
komitmen moral dan tekad politik untuk maju bersama sebagai bangsa merdeka.
Pada era berikutnya, kita memasuki era peralihan di rejim Soeharto. Pada masa ini
Sumpah Pemuda diperingati dalam tatanan masyarakat yang telah mengalami
liberalisasi ekonomi. Namun, demokrasi dan masyarakat madani terpasung dan tidak
berdaya. Sehingga, Sumpah Pemuda diperingati sebagai ritual yang berlangsung
ditengah sumpah serapah sementara daerah yang terpinggirkan secara ekonomi, sosial
dan politik. Mereka tidak menangkap khidmat peringatan Sumpah Pemuda ditengah
luka pelanggaran hak asasi manusia yang telah membiasa, keadilan sosial ekonomi
dikesampingkan, politik bias kepentingan penguasa. Bahkan, pada masa ini Sumpah
Pemuda telah menjadi dogma instrumentalis agar kawasan dan warga negara yang
tertindas bungkam atas nama ikrar para pemuda.
Pada awal abad 21 ini kita memasuki era yang dinamakan sebagai “the end of post
colonial society”, akhir dari pasca penjajahan. Sumpah Pemuda diperingati ditengah
bangsa Indonesia berbenah meletakan fondasi orientasi berbangsa dan berbegara yang
“baru”. Fondasi ini dibangun oleh tiga pilar yang diharapkan mampu membawa
bangsa pada kemakmuran di abad ke-21 ini. Pilar tersebut adalah: (1) membangun
demokrasi pada landasan nilai universal, (2) pembangunan masyarakat madani, dan
(3) partisipasi kreatif dalam sistem ekonomi pasar.
Namun, secara empiris kita melihat banyak kenyataan yang belum memuaskan.
Upaya demokratisasi berlangsung masih pada struktur dan sistem lama sehingga
berlangsung secara perlahan. Masyarakat madani pun belum berkembang sebagai
dampak masih dipeliharanya nilai-nilai feodalistik. Kiprah kita dalam arena luas
ekonomi global pun ditandai oleh ketidaksiapan yang merisaukan. Sementara itu
persoalan bangsa berupa ancaman disintegrasi belum juga kunjung reda.
Dalam konteks di atas Sumpah Pemuda dapat diperingati dengan dua kutub ekstrim
penghayatan: pesimis dan optimis. Kalangan pertama melihat Peringatan Sumpah
Pemuda sebagai hal yang tidak bermakna lagi. Mereka beranggapan Sumpah Pemuda
sebagai peristiwa sejarah yang mengikat kita semua sebagai suatu bangsa. Namun,
ikatan tersebut dipertanyakan manfaat, bahkan keabsahannya. Kalangan kedua
melihat peringatan hari Sumpah Pemuda dengan optimisme dan rasionalitas. Mereka
beranggapan peringatan hari Sumpah Pemuda merupakan momentum yang tepat
untuk melakukan perenungan kembali atas hikmah peristiwa sejarah di atas dalam
konteks kekinian. Mereka dengan jernih berargumentasi bahwa kemelut bangsa saat
ini lahir bukan karena Sumpah Pemuda. Justeru peristiwa sejarah itu merupakan guru
bijak jaman, yang penting untuk kita simak bersama dan dijadikan bekal memperbaiki
keadaan. Semoga sebagian besar bangsa Indonesia memperingati Sumpah Pemuda
dengan optimisme.
Download