61 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik Kontestalasi Ruang Publik dan Demokrasi dalam Relasi Simbiosis Media dan Politik (Pembacaan kritis atas konstruksi Wacana Demokrasi dalam Ruang Publik) Oleh: Reza Amarta Prayoga S.Sos,. M.A Konstruk atas wacana dari suatu kontestelasi politik yang melihat relasi atas media dan kekuasaan dalam demokrasi partisipatif, ruang public dengan spirit kesadaran diskursif dialogisnya menjadi warna dalam perkembangan praktek demokrasi pasca reformasi. Pertarungan politik dalam ruang publik menjadi bagaimana cara menciptakan kanal-kanal demokrasi sebagai manifestasi atas representatif prilaku masyarakat untuk terlibat, berpartisipasi aktif, persuasi (meyakinkan) dan controlling atas wacana politis yang dikonstruk oleh media (dikuasai pemilik kapital dan segelintir elitis) sehingga mampu melakukan penciptaan opini, counter opini, pencitraan, kampanye negatif dan hitam serta pembunuhan karakter salah satu figur politis. Persoalan tersebut menjadi masalah media yang dikuasai oleh kapital elitis yang mampu menciptakan wacana sesuai keinginan owner media ditambah jika itu dibenturkan dengan perang media atas wacana politik. Kekuatan aspirasi publik mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan, yang secara otomatis dapat menjadi pressure atas para pemegang otoritas, partisipasi demokratis masyarakat melalui ruang publik mampu mendorong partisipasi seluruh warganegara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka secara komunikatif. Keywords : Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik I. Pendahuluan Di era perkembangan teknologi dan media kontemporer saat ini, perkembangan demokrasi yang dibalut dalam kanal-kanal publik layaknya media menjadi suatu arus yang cukup populis yang tentu menjadi perhatian dari para akademisi, pemerhati politik dan tentunya intelektual idealis layaknya mahasiswa untuk tetap berfokus pada obyek kajian kekuasaan yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Nietczhe dalam kerangka filasafatnya (Derbrix, 2012) yang menaruh perhatian pada prilaku manusia sebagai JMP Volume I Nomor I Juni 2014 62 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik mahluk sosial yang memiliki rasionalitas atas kehendak untuk berkuasa (will to power) kemudian kontruksi atas konteks tersebut dibalut melalui eloborasi kajian sosiologi dan ilmu politik yang secara harfiah melihat proses bagaimana memperoleh kekuasaan, mempertahankan, dan melaksanakan dan efek-efek penerapan kekuasaan melalui sebuah interaksi timbal-balik dari pengelolaan seni berkuasa (art) dalam rangka mempengaruhi tindak laku atau prilaku masyarakat untuk dapat mencapai tujuantujuan tertentu (dalam kerangka konsep atas politik adalah ideal bertujuan kebaikan bersama dalam ikatan formal negara). Negara, kebijaksanaan, alokasi kekuasaan, pengambilan keputusan dan kekuasaan (Budiardjo, 2006) merupakan konsep-konsep penting dalam politik. Pembacaan atas konteks dinamika politik yang berkembangan di Indonesia adalah manuver politik menjelang Pilpres 2014, pergulatan yang terjadi dalam lingkup memperoleh kekuasaan atas lembaga-lembaga politik layaknya partai politik dan perang wacana media yang cukup ampuh memberikan efek pilihan atau prilaku politis masyarakat. Pertarungan politik dalam ruang publik merupakan cara menciptakan kanal-kanal demokrasi sebagai manifestasi atas representatif prilaku masyarakat untuk terlibat, berpartisipasi aktif, persuasi (meyakinkan) dan controlling atas wacana politis yang dikonstruk oleh media (dikuasai pemilik kapital dan segelintir elitis) sehingga mampu melakukan penciptaan opini, counter opini, pencitraan, kampanye negatif dan hitam serta pembunuhan karakter salah satu figur politis. Ruang publik yang menciptakan kanal-kanal demokrasi partisipasi dalam bahasanya Habermas (Hardiman, 2010) sebagai sebuah ruang publik tanpa adanya dominasi, setiap orang bebas untuk beraspirasi tanpa adanya tekanan sistem (represi). Maka dari itu, tidak heran di era reformasi sekarang ruang publik mampu memberikan pengawasan atas pertarungan politik. Konsep ruang publik tetap menjadi tumpuan harapan untuk membela kebebasan individu dan pluralisme dalam masyarakat modern. Tetapi sebuah pandangan sedikit pesimis dari para pemikir eksistensialis, seperti Jean Paul Sartre dan Martin Heidegger, sangat mewaspadai segala yang berasal dari ‘publik’ sebagai kekuatan-kekuatan yang membuat manusia tidak otentik dengan dirinya sendiri, artinya jika berpijak dari pandangan ini atas publik maka dapat ditarik sebuah “benang merah” bahwa akan terdapat suatu kekuatan (secara spekulan JMP Volume I Nomor I Juni 2014 63 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik dikontekskan adalah media sebagai sebuah kekuatan) mampu meng-hipnotis atau mempengaruhi atas sikap atau prilaku masyarakat dalam proses nalar pilihan rasional politisnya sehingga bisa dapat dikatakan bahwa manusia akan secara dekontruktif hilang otoritasnya atas kuasa dirinya sendiri. Tentunya wacana pertarungan politik yang semakin berkembang atas dinamika masyarakat di era global ini membuat peran media sebagai sebuah corong dan kanal ruang publik kemudian bisa diberikan atau disematkan labeling terkooptasi (dilemahkan) oleh penguasa kapital atas media, sebuah pertanyaan mendasar yang dapat ditentukan adalah bagaimana dalam proses kontestelasi politik dalam kehidupan berdemokrasi pasca reformasi menjadi wacana yang selalu digiring atau dikontruksikan melalui relasi simbiosis media dan kekuasaan politik? Dalam membongkar atas wacana demikian perlu sebuah kajian kritis secara normatif atas perkembangan media dan politik di era demokrasi yang penuh euforia tanpa makna! II. PEMBAHASAN 1. Konstruksi Sosial “Telaah Media dalam Membangun Wacana” Media seringkali sebagai aktor yang turut mengkonstruksikan wacana, wacana yang yang dikonstruksikan media tidak terlepas dari kepentingan-kepentingan media dalam melihat wacana, kadangkala integritas, netralitas dan ketidakberpihakan media dalam mengkonstruksi wacana masih perlu dipertanyakan, karena media tidak pernah lepas dari kepentingan ekonomi dan pasar serta politik dalam mewacanakan sesuatu. Sering kali isu-isu yang diwacanakan oleh media tidak pernah sampai pada isu- isu di grass root, padahal jika isu yang diwacanakan media itu mengenai konflik lahan, protes dan kekisruhan penggusuran warga dari tanahnya oleh perusahaan dll sebenarnya banyak terjadi di seluruh penjuru tanah air yang tidak terekam media. Namun wacana-wacana menyangkut itu cenderung yang ditampilkan di permukaan adalah isu-isu wacana yang memiliki nilai kepentingan pasar dan ekonomi maupun politik. Seperti wacana-wacana yang di munculkan media pada kasus Mesuji, sebenarnya kejadian ini sudah berlangsung cukup lama, tetapi digemborkan kembali JMP Volume I Nomor I Juni 2014 64 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik setelah beredar video pemenggalan yang tersebar, kemudian media baru meliput dan mewacanakan itu sebagai big case atas penindasan dan pengambilan lahan oleh perusahaan kepada masyarakat. Wacana yang digulirkan masing-masing setiap media tentu berbeda, wacana yang dibangun Metro TV tentu berbeda dengan wacana yang dibangun oleh TV One, jelas panasnya wacana yang digulirkan oleh kedua media itu tidak sepanas oleh media-media lainnya seperti RCTI, SCTV, MNC Tv dan lain-lain. Kasus mesuji, kerusuhan PT. Freeport, dan Bima NTT telah menengelamkan isu- isu lain seperti kasus yang hampir sama yaitu Lumpur Lapindo Sidoarjo. Opini publik yang digiring melalui wacana yang digulirkan oleh media sebenarnya terkonstruksi dari kepentingan ekonomi seperti pemberitaan media yang lagi hangat-hangatnya menjadi trend-ing topik dan headline setiap media, karena ini adalah demi kepentingan permintaan pasar dan ekonomi untuk keberlanjutan media dalam menghidupi media itu sendiri, tetapi wacana yang digulirkan hanya sebatas “hangat-hangat taik ayam”, kalau sudah tidak hangat lagi maka wacana itu tidak digubris kembali. Berlanjut dengan wacana yang dikonstruksikan media, masih ingat dengan kejadian lumpur lapindo Sidoarjo, wacana ini sempat menjadi topik hangat dan digembar-gemborkan oleh Metro TV bahwa kejadian lumpur lapindo akibat dari kesalahan perusahaan yang muaranya mengkritik pemilik PT. Lapindo Sidoarjo yaitu Bakrie, lain lagi dengan wacana yang digulirkan oleh TV One, yang mewacanakan. Bahwa kejadian lumpur Sidoarjo murni dari kejadian alam bukan kesalahan manusia, hal ini dilakukan TV One untuk melindungi pemilik Tv One yang juga Bakrie, dari hal itu tampak bahwa wacana yang digulirkan media selalu dikonstruksikan melalui kepentingan ekonomi maupun politik. Selain itu, wacana yang dikonstruksikan media TVRI dengan TV-TV swasta lain tentu berbeda, TVRI selalu mewacanakan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan, jelas wacana yang dikonstruksikan oleh TVRI sebagai stasiun TV nasional dan milik pemerintah bersumber dari kepentingan politik untuk menjaga status-quonya pemerintah. Lain lagi dengan yang diwacanakan oleh media TV JMP Volume I Nomor I Juni 2014 65 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik dan cetak swasta yang selalu mengkritik dan mencari kesalahan pemerintah guna mengkonstruksi wacana kegagalan pemerintah kepada masyarakat. Namun, isu-isu yang diwacanakan oleh media seperti Mesuji, kerusuhan PT. Freeport, kerusuhan Bima NTT pastinya menjadi paling heboh ketimbang dengan kerusuhan pasir besi di Kulonprogo Yogyakarta, wacana yang dikonstruksikan tidak sepanas dengan tanggapan-tanggapan dari media besar nasional, selain itu sejalan dengan perjalanan waktu, wacana-wacana yang dikonstruksikan akan tenggelam dengan wacana-wacana tandingan sehingga media melakukan penggiringan opini publik kepada topik yang hangat berdasarkan kepentingan ekonomi maupun politik sehingga wacana-wacana yang panas sebelumnya menjadi terlupakan. 2. Manuver Politik Jelang 2014 Pemilu di Indonesia merupakan pesta demokrasi 5 tahunan, agenda procedural ini rutin di lakukan karena menyangkut kepada jalannya amanah demokrasi. Pemilu di tandai dengan adanya penyaluran suara untuk memilih pemimpin rakyat. Pemilu masih 2 tahun lagi, tetapi aroma persaingan politik antara parpol untuk mengusung calonnya masing-masing saat ini sangat ketat, agenda-agenda politik pun di lakukan dengan matang untuk menyakinkan pemilihnya di 2014 nanti. Manuver politik dari agenda setiap parpol menjadi ajang adu obral janji dan pencitraan demi suara di 2014. anuver politik dengan serang-menyerang argumentasi program menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan citra parpol, namun walau masih 2 tahun lagi tetapi aroma kental persaingan dari setiap parpol di Republik ini menunjukkan hal yang signifikan, mulai dengan pemilihan calon presiden dari partai, obral program dan janji, peningkatan citra, serta saling sikut-menyikut antar calon. Tapi itu-lah indikasi manuver politik yang dijalankan setiap parpol demi meraih kekuasaan atas 200 juta lebih rakyat Indonesia. Pencitraan politik masih menjadi andalan setiap parpol tidak terkecuali parpol baru. Gencarnya manuver itu tak pelak untuk menyakinkan kepada publik terhadap partai mana yang dapat menjadi andalan amanah di 2014. Namun sebagai pemilih, tentunya masyarakat tidak akan termakan hanya dari sebuah pencitraan. Masyarakat di JMP Volume I Nomor I Juni 2014 66 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik saat sekarang sudah cukup lebih cerdas dalam menggunakan hak suaranya nanti. Tetapi menjadi sebuah pertanyaan yang cukup mendasar, apakah masyarakat kita saat ini cukup kritis terhadap manuver politik menjelang 2014 nanti? Dan apa yang menjadi faktor penyebab parpol gencar melakukan manuver politik menjelang 2014? Tentunya pertanyaan ini harus menjadi pengangan untuk para pemilih yang cerdas, agar nantinya kita tidak terjebak dalam pusaran bualan politik, serta pastinya dapat memilih pemimpin yang tidak hanya mengandalkan citra tetapi kapasitas serta kapabilitas dalam memimpin negeri ini kedepannya. Tetap menjadi pertimbangan rakyat negeri ini adalah merindukan sosok kepemimpinan layaknya Soekarno dan Hatta, yang rela menjadi pemimpin untuk menderita demi rakyat ketimbang rakyat yang menderita demi pemimpin. 3. Banner Iklan Politik sebagai Sampah Visual Menjelang tahun politik pada 2014, hiruk pikuk perpolitikan memulai gairahnya, mulai dari caleg DPRD, DPR RI sampai calon orang nomor 1 (Satu) republik ini mulai ber-obral ria. Entah sampai kapan pesta demokrasi prosedural 5 tahunan ini bisa memberikan angin segar yang dapat memberikan pencerahan politik, ekonomi dan sosial, yang benar-benar bisa komprehensif menyelesaikan belenggu kompleksitas masalah di tanah air ini. Bukannya pesimistis tetapi ini realita bahwa sudah cukup “muak” dengan segala praktek politik “kotor” mulai suap-menyuap, politik transaksional, politik “dinasti”, politik KKN dan sebagainya, segala hal itu mulanya berawal dari politik yang kata teorinya demokrasi, tetapi praktiknya kepentingan kelompok dan golongan masih mendominasi serta memarginalkan kepentingan rakyat banyak. Namun itu semua merupakan bagian dari suatu proses dan dinamika demokrasi. Terlepas dari semua “kesuraman” perpolitikan beberapa tahun terakhir, setidaknya di tahun 2014 nanti bisa menjadikan pesta demokrasi yang mahal tersebut, memunculkan sosok legislator baik pusat dan daerah serta presiden yang dapat menjadi resolusi dari “kesuraman politik” saat ini. Sebelum memasuki tahun politik 2014 yang akan datang banyak cara yang dilakukan para caleg DPRD, DPR dan calon Presiden melakukan kampanye dengan para voters-nya. Mulai dengan cara JMP Volume I Nomor I Juni 2014 67 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik nampang di Banner di pinggir jalan, masuk iklan tv, dimuat di surat kabar, dan sebagainya. Ajang kampanye “mengobral ria” janji-janji manis politik berbalut jargon “ampuh” untuk bisa menarik simpati para voters. Bukan perkara yang murah untuk melakukan hal itu semua, butuh high cost political untuk bisa mengkontruksikan kepada voters bahwa calon yang akan dipilih pada 2014 nanti memang layak untuk dipilih. Salah satu media akan hal tersebut adalah dengan menampangkan diri para caleg pada Banner-banner besar dipinggir jalan. Tentunya ini tidak menjadi hal yang perlu diperkarakan sebatas masih dalam ruang lingkup aturan kampanye. Titik persoalan akan banner itu adalah ketika ruang publik “dianiaya” dengan bannerbanner yang menganggu eksistensi dari ruang publik itu sendiri. Hakikatnya ruang publik harus benar-benar ruang milik semua masyarakat dan tidak tertindas dari segala kepentingan yang bersifat mendominasi seperti banner produk yang serampangan, banner politik yang menganggu dan menjadi polusi visual serta berbagai banner iklan yang tata letaknya menganggu ruang publik. Tatanan sosial yang didasarkan atas ruang publik harus yang bebas dari segala bentuk dominasi (McCarthy, 2006). Telaah Kasuistik: Tugu Juang Jambi Tugu Juang Jambi sebagai perlambangan historis heroik para pejuang kemerdekaan, yang kemerdekaan akan ruang publiknya “dikeroyok” dan “dirampas” oleh banner-banner besar. Asal letak dan menutupi Ikon perjuangan. Mulai dari sisi kanan, kiri dan bagian tugu perjuangan tersebut nyaris tertutupi oleh banner besar. Masalahnya adalah Tugu Juang Jambi sebagai ruang publik sudah nyaris terlupa dan tertutupi oleh banner-banner tersebut, dan tentu hak publik sekali lagi “dirampas” oleh banner-banner tadi untuk bisa menikmati ruang publik yang memiliki syarat akan nilai historis perjuangan negeri Jambi. Banner yang berisi iklan komoditas, iklan layanan masyarakat sampai iklan politik pun ikut numpang narsis di depan Tugu Kebanggaan masyarakat Jambi, sampaisampai patung berbambu runcing sudah tidak tampak runcingnya lagi artinya lambang heroik itu nyaris tenggelam dalam lautan banner. Hal ini harus patut menjadi kajian dari para pihak terkait bahwa bukan hanya keuntungan pajak dari banner itu yang dijadikan JMP Volume I Nomor I Juni 2014 68 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik orientasi tetapi tata letak banner perlu diatur agar ruang publik seperti Tugu Juang Jambi tidak “dianiaya” dan tidak mengesampingkan hak publik untuk menikmati ruang bersejarah tersebut. Pesan moral akan hal ini adalah biarkan ruang publik menjadi milik publik bukan milik komoditas dagang atau partai politik tertentu. Kritis terhadap Banner Politik Banner, baliho dan spanduk yang berisi janji-janji manis serta wacana besar bagi para caleg untuk bisa dijadikan peraga kampanye tentu mengundang rasa antipati terhadap calon tersebut apalagi banner, baliho dan spanduk kampanye politik tersebut telah menganggu ruang publik, yang sejatinya ruang publik bukan hanya milik partai politik maupun bakal calon anggota legislatif. Patut disadari bahwa sebelum terpilih saja bakal calon legislatif sudah “menganiaya” kepentingan publik apalagi sudah terpilih nanti. Bukan saja menganggu visual dan keindahan kota tetapi sudah merampas ruang milik publik. Belum lagi isi-isi jargon kampanye politik yang hanya sebatas wacana besar berisi kata-kata mutiara yang didedikasi atas nama rakyat, berjuang untuk rakyat dan sebagainya tentu perlu dipertanyakan kembali konsistensinya akan jargon politik tersebut. Patut jadi kesadaran reflektif bagi kita bahwa banner iklan politik sebatas semangat narsisme yang menawarkan janji “manis” sebagai cara instan dan mujarab dalam mendongkrak popularitas caleg. Banner Politik senjata Kampanye bagi caleg “panik” Ketika membaca sebuah artikel dalam harian salah satu media nasional mengenai “Gaya Kampanye Caleg Panik” oleh Sumbo Tinarbuko yang menegasikan bahwasanya caleg yang beriklan politik melalui banner, baliho atau spanduk adalah gaya kampanye dari caleg panik yang mendongkrak popularitas secara instan dengan meniru cara selebritis mengerek popularitas lewat bantuan iklan dan media massa. Tabiat semacam itu, sejatinya menunjukkan kapasitas caleg, yang tidak memiliki kekuatan berbasis massa yang kuat pada tataran akar rumput. Lanjutnya, secara visual dalam iklan politik diawali visualisasi tebaran senyuman yang mengaku berpendidikan tinggi, berwibawa, ramah, santun, dan religius ditambah men”jiplak” gaya dan gestur dari JMP Volume I Nomor I Juni 2014 69 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik pemimpin yang sudah besar merupakan cara kampanye dari caleg “panik”. Caleg yang memposisikan dirinya bagaikan superhero pembela kebenaran, menolong si lemah dan si miskin selalu mendadani diri mereka sesempurna mungkin bagaikan ksatria. Namun, penulis berpendapat alangkah baiknya turun langsung menyapa masyarakat, berkomunikasi dengan cinta, berkerja dan berkarya nyata yang hasilnya bermanfaat bagi masyarakat luas. Bertindak aksi nyata yang dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat seperti kegiatan pemberdayaan masyarakat atau bakti sosial, tentunya simpati dan pilihan masyarakat akan mengalir dengan sendirinya sejalan dengan aksi nyata tersebut. Malah jika tetap mengandalkan kampanye dengan iklan politik, pastinya akan menimbulkan rasa enggan memilih. Perlu diingat Voters tentunya lebih cerdas dan rasional. Menutup dari rangkaian diatas, iklan politik dalam baliho, spanduk atau banner merupakan sebuah teror masif sampah visual yang mempengaruhi tata keindahan kota. Ungkapan yang sederhana adalah rusaklah hari-hari kota ku yang kian menjadi deretan sampah visual yang meniadakan keindahan secara seketika. Senyatanya Banner itu cukup menganggu secara visual, merusak ruang kota, memakan ruang hijau kota, dan ruang publik yang seharusnya milik publik malah teraniaya oleh deretan baliho, spanduk dan banner. 4. Dialogis Masyarakat dan PU Provinsi Jambi (Telaah Kasus Ruang Publik) Menanggapi blusukan – blusukan yang sering dilakukan oleh figur yang berpengaruh di Nusantara ini baik itu pemerintah dalam hal ini gubernur dan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah), pimpinan politik, dan sebagainya, terlepas hal yang dilakukan bertendensius “kepentingan politik pencitraan” namun perlu diapresiasi dan ditanggapi positif, karena ini berkaitan dengan tanggung jawab moral dan hakikat mereka sebagai pelayan masyarakat. Walaupun pendapat subyektif penulis ini akan menstimulan pro dan kontra, tetapi itulah dinamika dari value of democracy. Berangkat dari sebuah konsep State by Power of The people, tentu pemahaman yang terbesit adalah negara dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat sebagaimana tercetus dari pemimpin besar Abraham Lincoln, atau berpijak dengan pandangan The JMP Volume I Nomor I Juni 2014 70 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik Great Thinker dari Frankfrut school Jurgen Habermas1 dalam premisnya ruang publik dan tindakan komunikatif, mengisyaratkan dalam masyarakat mampu dan bisa berkomunikasi, menyatakan aspirasi, menyatakan keluh kesah dan menawarkan solusi kepada decision maker yaitu pemerintah selaku pemilik legalisasi kewenangan dalam menentukan arah dari seluruh kebijakan baik politik, sosial budaya dan ekonomi, tentunya hal-hal yang demikian harus disalurkan dalam sebuah ruang yang bebas dominasi, bebas penindasan dan pemaksaan (semisal konteks Pemerintah Otoriter). Hal inilah yang menunjukkan hakikat sebenarnya, dimana pemerintah, masyarakat dan Kaum intelektual dapat saling mengelaborasi pemikiran dan pandangannya agar mencapai sebuah resolusi yang benar-benar tepat sasaran dan menjawab dinamika persoalan yang berkembang di masyarakat. Jika premis dari pemikir besar tersebut dikontekstualisasikan dalam lokal maka tidak salah orang dulu selalu berkata “Duduk Sama Rendah, Berdiri Sama Tinggi”. Setiap persoalan tentu tidak akan selalu bisa memberikan solusi yang benarbenar komprehensif artinya menjawab persoalan dimasyarakat, karena itu kadangkala sebuah pandangan apatis yang selalu sering muncul dari pengkritik pemerintah yang tidak bertanggung jawab adalah apa yang dilakukan pemerintah selalu salah. Wacana ini muncul karena setiap masalah sering diselesaikan dengan kacamata pemerintah, ketika pemerintah berubah dengan semangat transparasinya dan selalu mengedepankan prinsip diskursif atau dialogis dua arah antara masyarakat dan pemerintah, selalu dikaitkan dengan pencitraan, padahal melalui semangat tersebut pemerintah ingin berubah atas apa yang menjadi labeling buruk selama ini, justru kita luput dengan prestasi dan kurang memberikan ruang untuk apresiasi atas apa yang telah pemerintah dan jajarannya lakukan. Respon tanggung jawab moral pemerintah dijalankan baik menurut kacamata penulis seperti salah satunya SKPD PU (Pekerjaan Umum) di Jambi. Setidaknya apa yang dilakukan oleh PU tersebut telah meng-antitesakan labeling yang melekat pada PU selama ini sebagai unit kerja “berlahan basah” dan “eksklusif”. Dengan 1 Jurgen Habermas adalah seorang filsuf dan sosiolog dari Jerman. Dia adalah generasi kedua dari madzhab Frankfurt. Jurgen habermas merupakan penerus dari Teori kritis yang ditawarkan oleh para pendahulunya yaitu Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert Marcuse (lihat dalam Teori Kritis Jurgen Habermas hal. 95). JMP Volume I Nomor I Juni 2014 71 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik semangat transparansi, PU selalu mengkomunikasikan dan berusaha asertif (terbuka) atas segala yang menjadi tanggung jawab moral mereka kepada masyarakat, dalam hal ini, Penggunaan anggaran dalam meningkatkan mutu pekerjaan umum. Membangun Kesadaran Diskursif Menanggapi atas cara yang dilakukan oleh PU dibawah kadis Ivan Wirata dengan melakukan diskusi terbuka dengan Kades, Tomas dan Masyarakat Jalan Lingkar Barat Kota Jambi, Rantau Rasau, Rantau Makmur dan baru-baru ini dialog dengan Kades se- jaluko yang diinisiai oleh Mahasiswa Posdaya KKN UNBARI (Universitas Batanghari). Menunjukkan bahwa PU sudah bisa “bergaung”2 dan menunjukkan kesadaran diskursif, karena melalui hal demikian akan bisa memberikan resolusi yang tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Padahal PU Provinsi dibawah langsung Gubernur Jambi HBA ingin mewujudkan dan mengimplementasikan jargon pembangunannya melalui Jambi Emas 2015. Jarang sekali SKPD baik di Provinsi dan Kota/Kabupaten melakukan secara sadar untuk turun lapangan secara langsung mengobservasi, dan mengumpulkan masalah dimasyarakat, tentunya dengan merasakan dan mendengarkan secara langsung dan mencari solusi serta masukan dari masyarakat untuk menjawab persoalan pembangunan secara general. Entah itu luput dari radar media atau tidak terekspose, seharusnya ini menjadi contoh yang baik bagaimana membangun kesadaran diskursif dengan mengedepankan pandangan dari masyarakat dan seluruh pihak terkait dalam mencapai titik terang penyelesaian masalah, karena setiap persoalan jawabannya ada dalam masyarakat itu sendiri. Elaborasi SKPD, Mahasiswa dan Masyarakat Elaborasi dengan berbagai stakeholder pembangunan, akan melahirkan sebuah kesadaran partisipatif yang meliputi sense of belonging, sense of responsibility dan sense of sustainability. Jika ini dilakukan secara konsisten dan komitmen pemerintah 2 Selama ini SKPD di Jambi kehilangan “Gaung” tak bersuara hanya makan gaji buta dan hanya menjalankan status quo fungsional. JMP Volume I Nomor I Juni 2014 72 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik yang asertif dan membuka ruang tindakan komunikatif melalui dialogis berbagai elemen, maka tak pelak masyarakat madani dapat termanifestasi di Provinsi Jambi, jika itu benar-benar dilakukan oleh seluruh SKPD di Provinsi, Kabupaten dan Kota. Labeling pemerintah yang cenderung menghindar dan alergi akan kritik, kelamaan akan tersurut seiring dengan kerja nyata dari berbagai SKPD dengan melibatkan pastisipasi aktif dari Mahasiswa, dan Masyarakat. Dengan elaborasi dari ketiga aktor itu, pemerintah dengan kebijakannya bisa jadi dikawal dalam pelaksanaannya oleh masyarakat dan mahasiswa sehingga transparansi bisa terwujud dan bisa tampak segala kekurangan untuk kedepannya diperbaiki lebih baik. Jika konsisten dengan hal demikian, Sense of Belonging masyarakat bisa berwujud, rasa memiliki itu ada, hilang seluruh pandangan yang terkonstruksi dalam masyarakat bahwa semisal jalan rusak, sudah tanggung jawab pemerintah untuk memperbaiki, padahal jalan tersebut adalah tanggung jawab bersama, sehingga rasa memiliki itu perlu ada dengan melibatkan partisipasi masyarakat melalui dialogis solutif. Sense of Responsibility, elaborasi ketiga aktor tersebut, juga akan mewujudkan rasa tanggung jawab seluruh lapisan struktur sosial untuk bersama-sama menjaga dengan rasa tanggung jawab bersama, sehingga pembangunan tidak mengalami kesia-siaan. Terakhir, Sense of Sustainability, rasa memelihara untuk keberlangsungan pembangunan baik fisik maupun non fisik, seluruh aktor-aktor tersebut terlibat secara aktif agar konsistensi pembangunan dapat berjalan. Partisipatif Bottom Up “Tindakan Komunikatif dua arah” Singkat kata, berpijak dari penawaran Habermas sebuah masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan bebas penguasaan. Dengan apa? Dengan komunikasi. Yaitu “komunikasi bebas penguasaan” (Hardiman, 2009). Suatu komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis (kepentingan individu dan kelompok). Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu komunikasi bersifat murni dan bebas dari dominasi ideologi? Yaitu komunikasi yang seimbang, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan diri dalam perbincangan dan mengemukakan persetujuanpersetujuan, penolakan-penolakan, keterangan-keterangan, penafsiran-penafsiran, JMP Volume I Nomor I Juni 2014 73 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik tetapi dengan tulus mengungkapkan perasaan-perasaan dengan sikap-sikap mereka tanpa pembatasan dari suatu kekuasaan. Komunikasi yang menghasilkan dengan konsensus-konsensus rasional yang dicapai oleh subyek-subyek yang berkompeten – ijma’–. Proses dialog itu ditempatkan dalam rangka proses menjadi dialog. Sebagai suatu arah umum, dialog itu mengerah pada suatu kebenaran sebagai konsensus. Lalu bagaimana mengetahui bahwa konsensus itu benar? Nabi SAW pernah bersabda ”Laa tajtami’uu ummati ‘ala al-khoto’, umatku tidak akan bersepakat dalam kesalahan. Tentunya perlu diapresiasi bagaimana PU Provinsi Jambi bisa menjalankan dialogis dengan masyarakat, insan pers, kaum profesional (Intelektual) dan LSM tentunya dalam rangka mencapai konsensus rasional untuk menjawab segala persoalan dimasyarakat Provinsi Jambi sesuai dengan kapasitas, kapabilitas dan kewenangan dari PU Provinsi Jambi. Maka, dengan mengedepankan tindakan komunikatif dua arah, secara harfiah partisipasi bottom up bisa dijalankan dengan duduk bersama, untuk mencapai konsensus. Terlepas hal yang dilakukan tersebut yang dianggap bertendesius kepentingan politik pencitraan oleh ”sekelompok apatis” namun perlu dilihat dari aspek positif konstruktif bahwa apa yang dilakukan oleh Dinas PU Provinsi Jambi sangat perlu diapresiasi dengan baik dan kiranya dapat ”ditiru” oleh SKPD lainnya demi terwujudnya percepatan Jambi Emas 2015 Gubernur HBA. 5. Wacana Akademik dibalut “Kepentingan Politisi” Berbicara ranah akademik tentu kita semua akan tertuju kepada “sarang” para idealis, tidak akan tersentuh politik praktis ataupun membangun wacana (discourse) politik kepentingan. Kampus sebagai arena intelektual harus dapat menempatkan posisi sebagai aktor atau agen perubahan atau agen pembangunan. Miris ketika kampus sebagai arena intelektual yang berfungsi sebagai penjembatan perjuangan mereka yang ter”subordinasi” malah menjadi arena pertarungan politik dalam konteks membangun pewacanaan (discourse) untuk meraih suara, bisa jadi ini suatu langkah brainwashing dalam arti mengkonstruksi pewacanaan politik untuk meraih simpati atau malah empati, hal ini tidak terlepas karena mahasiswa sebagai bagian dari akademik ikut terjerumus JMP Volume I Nomor I Juni 2014 74 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik dalam pusaran politik praktis dan sebagai sasaran pemilih pemula yang dapat dijadikan basis suara. Akademik secara hakikat harus jauh dari kepentingan politik praktis, ranah akademik bisa disebut sebagai white zone, dimana zona yang secara idealis dapat berpegang teguh dan tidak terkontaminasi dari berbagai kepentingan apapun termasuk politik. Fungsional akademik adalah sebagai katalisator konsep dan gagasan serta melakukan proses check and balance antara pemerintah dan masyarakat umum. Sasaran ranah akademik sebagai ruang untuk melakukan kampaye terselubung atau bisa dikatakan dalam balutan konteks akademik layaknya “seminar atau kuliah umum” yang sebagai suatu cara pengkamuflasean kepentingan politik, tentu harus dipertanyakan secara kritis apa wacana besar dibalik dari kuliah umum itu disampaikan, apalagi pemateri atau keynote speaker adalah salah satu petarung yang akan maju untuk meraih jabatan politik tertentu, pertanyaan ini harus menjadi landasan berpikir mahasiswa agar tidak mudah terpengaruh oleh berbagai intrik politik “bunglon” yang mampu berklamufase memberikan pencerahan akademik tetapi dibalut oleh kepentingan besar dibelakangnya semisal kampanye politik, hal ini tentu kontraproduktif dengan apa yang menjadi hakikat ranah akademik untuk terlepas dari berbagai kepentingan politik praktis. Mempertanyakan “Idealisme” Mahasiswa Ketika mahasiswa dijadikan kendaraan politik oleh penguasa tertentu, ini menjadi indikasi bahwasanya mahasiswa sudah tercemar oleh kepentingan politik praktis dari beberapa kelompok elite, hal ini harus menjadi “red sign” bagi para mahasiswa yang merupakan bagian dari unsur akademik untuk tetap berada dalam jalur sebagai agen perubahan dan pembangunan, serta memberikan pencerahan dalam konteks akademik kepada masyarakat. Seharusnya mahasiswa sebagai bagian dari ranah akademik tidak menjadi kendaraan dari kepentingan beberapa elite yang haus akan kekuasaan atau bisa menjadi salah satu lumbung suara nantinya. Netralitas dituntut kepada para pelaku akademik untuk tidak mudah terpengaruh oleh “janji manis” dari para elite politik. Kenyataan sudah mulai “muak” dengan janji-janji politis tanpa realisasi, bukti kerja JMP Volume I Nomor I Juni 2014 75 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik mereka yang haus akan kekuasaan selalu “mendompleng” program-program yang telah ditetapkan oleh pusat, berarti bukan inisiasi murni dari para pemimpin politik kebanyakan dan sekaligus bukan suatu prestasi yang harus dibanggakan. Justru hal yang demikian harus ditanggapi dengan kritis konstruktif, kadang kala sajian yang dipaparkan oleh elit politik masih terjebak pada angka-angka yang dalam salah satu pendekatan sosiologisnya adalah “Hiperreality” (Baudrillard, 2004) angka (sesuatu yang dilebih-lebih tanpa didasari realita sebenarnya), dan belum tentu visualisasi grafik atau angka yang disajikan sesuai dengan kenyataan empiris. Wacana pendomplengan program pusat yang dijadikan jargon ampuh dan “katanya” sebagai prestasi dari para pemimpin politis daerah. Inilah yang harus menjadi dasar kritis para mahasiswa untuk tidak hanya terbuai pada wacana-wacana yang dikonstruksikan oleh para penguasa serta selalu aktif sebagai pengawas sosial akan program pemerintah. Konstruksikan Wacana Bertendensius Politik (emperical subyektif observer) Ranah kampus merupakan sarang intelektual, berpijak pada konsep pembangunan, sebagai tempat lahirnya intelektual organik (Gramsci, 2013) dimana fungsionalnya adalah untuk berjuang dan mengabdikan bagi masyarakat luas terutama masyarakat terpinggirkan, dari pernyataan itu jelas mahasiswa dalam konteks salah satu agent of change harus menjunjung tinggi nilai emansipatoris dan berdiri tegak memperjuangkan mereka yang tertindas oleh kekuasaan yang totaliter. Posisi mahasiswa sebagai check and balance dari suatu kekuasaan. Namun menjadi miris ketika melihat kampus sudah dirambah masuk oleh kepentingan politik praktis, apalagi jika kampus (elite kampus) sudah sedikit bertendensius dan dekat akan preferensi kekuasaan politik, hal jelas mengingkari mandat kampus sebagai sarang intelektual kuat dengan idealisnya. Fenomena sekarang tentu kontrakproduktif dengan apa yang ada, kampus sebagai ranah white zone terjerumus dalam percaturan politik praktis. Mahasiswa sebagai agent of social change tidak menyadari bahwasanya mereka hanya sebagai tempat untuk membangun sebuah wacana politik kepentingan untuk meraih simpati, terlebih jika nilai popularitas dari seorang paling mempengaruhi menginternalisir kedalam diri. Hal ini harus menjadi lampu merah kepada para mahasiswa, untuk hati- JMP Volume I Nomor I Juni 2014 76 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik hati terhadap konstruksi wacana yang dibangun oleh segelintir elite yang bernaung dalam jabatan politis dan hanya “haus” akan kekuasaan. Mahasiswa dan kampus harus tetaplah sebagai penjembatan dan whistle blower untuk tetap berada sebagai agen pengkontrol sosial dalam konteks kekuasaan. Beberapa hari terakhir kampus sering dijadikan oleh segelintir penguasa baik skala lokal maupun nasional untuk membangun wacana figur politik, jika dengan sedikit nada “skeptis” kuliah umum atau sebagai pemateri sangat melekat dengan unsur-unsur konstruksi kepentingan politik wacana. Lihat saja, ketika Irman Gusman, tanpa angin dan petir datang sebagai keynotes speaker kuliah umum atau seminar di salah satu kampus besar. Content yang disampaikan dan materi memang layak dijadikan sebagai bahan pencerahan tetapi visualisasi yang muncul seolah-olah terselip pesan bahwasanya beliau akan menjadi RI1. Tentu hal demikian harus ditanggapi dengan kritis, maksud dan tujuan apa serta kepentingan besar apa yang melatarbelakangi, mereka datang dan memberi materi. Lain Irman Gusman, kali ini tidak mau ketinggalan adalah salah satu pemimpin muda potensial Zumi Zola, yang datang atas undangan salah satu BEM untuk menjadi pemateri, topik yang diangkatpun cukup menantang yaitu Dinamika Politik, materi yang disampaikan oleh beliau, tidak ada yang salah, saripati dari materinya adalah bagaimana pemuda harus menjadi pemimpin ideal, tonggak perubahan ada di pemuda. Secara penyampaian sangat mencerahkan dan menambah wawasan bagi penerima materi, namun ada satu yang sangat disayangkan adalah visualisasi pemuda lebih banyak menampilkan sisi Zumi Zola-nya dari pada pemuda secara umumnya, jika ingin mengambil contoh ambilah pemuda yang sudah memiliki kontribusi besar bagi perubahan bangsa ini, dari visual yang ditangkap banyak menampilkan sisi gambar Zumi Zola sebagai Bupati, sebagai pemimpin muda tentu konteks yang disampaikan memiliki korelasi yang kuat akan kepentingan membangun wacana politik. Sajian tadi tidak lepas layaknya tampilan hyperrealitas wacana yang menampilkan seolah-olah pemateri sosok yang humanis dan protagonis layaknya setting-an dalam setiap adegan film atau sinetron. Hal yang demikian, terang saja mengundang nada kritis dan pesimis terhadap visualisasi yang muncul seolah- JMP Volume I Nomor I Juni 2014 77 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik olah bertendesius akan kepentingan politik praktis, terlepas konstruksi wacana tersebut terdapat unsur sebagai kepala daerah atau menjadi BH 1 nantinya. Jelas terdapat maksud pesan kepentingan yang lebih besar lagi dari si pemateri. Sebuah catatan kritis refleksi, mahasiswa dan kampus harus lepas dari segala bentuk intrik dan kepentingan konstruksi wacana politik yang demikian, ingat kampus merupakan ranah pereproduksi intelektual organik (Gramci, 2013) dan idealis kritis konstruktif bukan sebagai hamba sahaya untuk pemimpin politik tertentu. 6. Politik Resiprokal Setelah melewati Pileg, kini masyarakat kita dihadapkan oleh salah satu kewajiban dari agenda politik massa 2014 yaitu Pilpres. Konstruksi wacana mewarnai proses menuju Indonesia Baru dan ini mulai dari “kegalauan” para caleg yang tidak terpilih, adanya markup atau pengelembungan suara, isu DPT siluman, hingga penghadapan caleg stress yang telah menghabiskan dana milyaran tetapi tidak terpilih. Hal itu merupakan sebuah konsekuensi dari demokrasi itu sendiri. Terlepas konstruksi wacana politik demikian, kita sebagai masyarakat penonton demokrasi harus kembali melihat pertarungan menuju kursi RI 1, berbagai manuver politik dari para capres dan cawapres mulai menghiasi pemberitaan di media massa. Kemunculan istilah poros atau kutub atau bisa dikatakan kubu untuk dapat bermitra koalisi dari para partai-partai besar dalam rangka memperoleh dukungan suara. Pemilihan partai untuk berkoalisi tidak boleh dilepaskan dari sebuah kepentingan, mulai dari basis massa, kesamaan ideologi dari partai, visi dan misi, serta yang tidak boleh dikesampingkan adalah suatu politik bagi-bagi kursi atau politik timbalbalik (resiprokal) (Field, 2010). Politik resiprokal lebih populis di media dengan kata politik transaksional. Perlu menjadi sebuah pertanyaan besar bahwa pendekatan yang dilakukan oleh salah satu partai untuk bermitra koalisi tentunya tidak bisa dilepaskan oleh adanya suatu komitmen awal dari koalisi yang dibangun, suatu kepentingan politik jikalau kita menggunakan istilah bahasa bumi adalah “kerbau jalak”, disini tersirat kepentingan yang saling menguntungkan antar aktor yang terlibat. JMP Volume I Nomor I Juni 2014 78 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik Koalisi partai yang dibangun tentunya juga menggunakan pendekatan kepentingan, disamping juga melihat untung-rugi dari hubungan bermitra koalisi pastinya ada suatu deal-deal politik yang dibangun dari komitmen koalisi. Dalam kacamata sosiologis, partai yang merupakan suatu manifestasi dari ikatan antarmanusia atau kelompok juga menjadi blok bangunan utama dari bangunan sosial yang lebih besar, yang dibangun berdasarkan kepatuhan kepada otoritas yang berasal dari prilaku dan ikatan sosial yang mengikat dan memiliki konsekuensi serta timbal balik dari hubungan sosial tersebut. Maka dapat diambil sebuah benang merah menurut penulis bahwasanya kepentingan partai yang lebih besar dari koalisi yang dibangun adalah kepentingan untung-rugi. Resiprokal atau Politik Timbal Balik Politik timbal-balik atau resiprokal dibangun dari sebuah teoritik Pilihan Rasional yaitu semua perilaku berasal dari individu atau kelompok (parpol) yang berusaha mengejar kepentingan mereka sendiri sebagai konsekuensi bentuk pertukaran dari interaksi. Mengejar kepentingan mereka sendiri perlu digarisbawahi bahwasanya termaktub sebuah pilihan rasional yaitu kepentingan untung-rugi yang dapat diperoleh dari ikatan atau koalisi yang dijadikan pilihan partai-partai untuk mendapat keuntungan timbal balik dari hubungan yang dibangun. Koalisi partai sejatinya merupakan hubungan antar kelompok yang sifat hubungannya tidak permanent atau hanya temporer (sementara), hal ini tidak terlepas dari sebuah asumsi bahwasanya ketika ikatan dari komitmen yang dibangun tidak sejalan lagi atau tidak memberikan keuntungan maka partai sebagai wujud kelompok sosial secara rasional bisa memilih keluar dari koalisi yang dibangun. Maka banyak kita lihat dari pemberitaan di media massa, bahwa partai-partai terlihat masih menggunakan cara wait and see atau menunggu dipersimpangan mana partai-partai yang memiliki potensi bisa diajak untuk dijadikan mitra koalisi strategis. Karena beberapa partai juga masih “galau” dalam menentukan partai mana yang tepat diajak untuk berkoalisi dan hal itu berdasar kepada sosok dan pengaruh tokoh kepemimpinan partai. JMP Volume I Nomor I Juni 2014 79 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik Selain ideologi, visi misi, sosok kepemimpinan partai sangat mempengaruhi dari komitmen koalisi yang akan dibangun. Sosok kepemimpinan dari suatu partai sangat menentukan kemana arah koalisi, apalagi koalisi partai berasal dari partai berbasis massa besar, pastinya ingin tokoh atau sosok kepemimpinannya dapat dijadikan tandem atau bisa jadi figur yang diprioritaskan untuk dapat duduk di kabinet yang akan dibangun dari partai yang mengajak berkoalisi. Hal ini menjadi sindikasi bahwasanya koalisi tidak akan terlepas dari resiprokal atau timbal balik politik dari hubungan koalisi, bisa jadi ini dapat dikatakan sebagai politik transaksional. Hal yang dilakukan oleh partai berkoalisi untuk bagi-bagi kursi, sah-sah saja sebagai bentuk umpan balik dari koalisi yang dibangun. Namun, perlu dipertegas bahwasanya koalisi yang nantinya akan dibangun harus memiliki komitmen moral yaitu sosok yang akan duduk atau memperoleh timbal-balik dari mitra koalisi tersebut memiliki kapasitas sebagai pemimpin, bukan dari kapasitas pemimpin yang ditunjuk nantinya berdasarkan balas budi atas kontribusi pemenangan nantinya. Sisi gelap Resiprokal Berbicara mengenai politik transaksional hampir sama saja dengan politik timbal balik yang sering disebut sebagai resiprokal. Selain memiliki sisi manfaat dari hubungan resiprokal untuk memperkuat hubungan sosial antar kelompok, ternyata resiprokal memiliki sisi gelap (Field, 2010 : 115) yaitu timbal-balik bertendesius kepada hubungan balas budi karena perasaan atau sebagai cara membalas bantuan yang pernah diterima, hal ini hampir sama dengan praktek nepotisme. Jika hal ini dibenturkan dengan konteks koalisi partai, maka sisi gelap dari politik resiprokal adalah adanya deal-deal politik tidak bertangung jawab, seperti bagi-bagi kursi kekuasaan di kabinet untuk partai koalisi dan pemenangan sekelompok orang dalam tender mega proyek. Tentu hal demikian tidak asing bagi masyarakat kita kadang kita merasa terutang budi yang harus berbalas tanpa mempertimbangkan aspek profesionalitas dan kapasitas. Budaya tolong-menolong di masyarakat kita turut menjadi pelumas dari hubungan sosial dalam konteks nepotisme sehingga kadangkala penunjukan seseorang pada suatu jabatan tertentu tidak lebih berdasarkan pada hal kapasitas dan JMP Volume I Nomor I Juni 2014 80 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik profesionalitas atau malah lebih kepada hal yang berkaitan dengan balas budi. Praktekpraktek demikian pastinya akan mewarnai kemitraan koalisi partai politik, deal-deal tertentu menjadi topik utama dari tujuan koalisi dibangun, hal ini berdasar pada bagibagi kekuasaan atas kontribusi yang telah dilakukan dari setiap partai untuk pemenangan, dan pastinya menjadi pertimbangan manfaat timbal balik atau resiprokal dari koalisi partai. Tentunya menarik untuk ditunggu sampai sejauh mana perkembangan koalisikoalisi partai untuk capres dan cawapres nantinya, dan kita sebagai masyarakat harus mengawal dan menjadi perhatian atas konsistensi pada hal-hal yang disampaikan para pimpinan partai yang berkoalisi, bahwasanya koalisi yang dibangun jauh dari hal-hal yang berkaitan dengan sebuah praktek politik resiprokal atau transaksional bagi-bagi kekuasaan dan lebih kepada komitmen moral untuk memajukan proses kematangan berdemokrasi dan mencari sosok atau figur pemimpin yang berkapasitas dapat memberikan warna perubahan menuju Indonesia baru yang kuat, mandiri secara ekonomi, politik, berbudaya, dan berdaulat serta mengedepankan kesejahteraan rakyat. III. Penutup Terlepas atas seluruh pembahasan secara normatif (pustaka) dan observasi kasuistik semuanya tidak terlepas dari unsur subjektivitas dan tidak bebas nilai. Tentunya konstruk atas wacana diatas pasti tidak lepas dari nilai-nilai yang dipengaruhi oleh bacaan dan perkembangan pemikiran dari penulis yang sudah barang tentu lebih dekat dengan aliran kritis. Konstruk atas wacana dari suatu kontestelasi politik yang melihat relasi atas media dan kekuasaan dalam demokrasi partisipatif, ruang public dengan spirit kesadaran diskursif dialogisnya menjadi warna dalam perkembangan praktek demokrasi pasca reformasi. Tentunya, Pertarungan politik dalam ruang publik menjadi bagaimana cara menciptakan kanal-kanal demokrasi sebagai manifestasi atas representatif prilaku masyarakat untuk terlibat, berpartisipasi aktif, persuasi (meyakinkan) dan controlling atas wacana politis yang dikonstruk oleh media (dikuasai pemilik kapital dan segelintir elitis) sehingga mampu melakukan penciptaan opini, counter opini, pencitraan, kampanye negatif dan hitam serta pembunuhan karakter salah satu figur politis. Persoalan tersebut JMP Volume I Nomor I Juni 2014 81 Konstelasi, Ruang Publik, Demokrasi, Relasi Simbiosis, Media dan Politik menjadi masalah media yang dikuasai oleh kapital elitis yang mampu menciptakan wacana sesuai keinginan owner media ditambah jika itu dibenturkan dengan perang media atas wacana politik. Menanggapi atas konstruk wacana oleh media atas pergulatan politis sudah menciptakan atau mampu membuat suatu gerakan dari kalangan masyarakat sebagai bentuk desakan politis lewat mobilisasi wacana politik publik mulai menjadi landskap sehari-hari kehidupan politik era reformasi yang lekat akan partisipasi demokratis atas ruang publik. Kekuatan aspirasi publik mampu mempengaruhi jalannya pemerintahan, yang secara otomatis dapat menjadi pressure atas para pemegang otoritas, partisipasi demokratis masyarakat melalui ruang publik mampu mendorong partisipasi seluruh warganegara untuk mengubah praktik-praktik sosio-politis mereka secara komunikatif. DAFTAR PUSTAKA Baudrillard, Jean P. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Field, John. 2010. Modal Sosial. Yogyakarta : Kreasi Wacana. Gramci, Antonio. 2013. Prison notebooks : catatan-catatan dari penjara. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hardiman, F Budi. 2009. Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta : Kanisius. -------------------. 2010. Ruang Publik: Melacak Partisipasi Demokrasi dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta : Kanisius. McCarthy, Thomas. 2006. Teori Kritis Jurgen Habermas. Yogyakarta : Kreasi Wacana. JMP Volume I Nomor I Juni 2014