14 BAB II KAJIAN TEORI A. Otonomi Desa 1. Desa Secara etimologi kata desa berasal dari bahasa Sansekerta, deca yang berarti tanah air, tanah asal, atau tanah kelahiran. Dari perspektif geografis, desa atau village diartikan sebagai “a groups of hauses or shops in a country area, smaller than a town”. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan hak asal-usul dan adat istiadat yang diakui dalam Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Desa” menyatakan bahwa “Desa adalah sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa. Landasan pemikiran dalam mengenai Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat” (Widjaja, 2003: 3). Desa menurut UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengartikan Desa sebagai berikut : “Desa atau yang disebut nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 1 ayat 12). 14 15 Dalam pengertian Desa menurut Widjaja dan UU nomor 32 tahun 2004 di atas sangat jelas sekali bahwa Desa merupakan Self Community yaitu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa memiliki kewenangan untuk mengurus dan mengatur kepentingan masyarakatnya sesuai dengan kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat strategis sehingga memerlukan perhatian yang seimbang terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah. Karena dengan Otonomi Desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan perwujudan Otonomi Daerah. Desa memiliki wewenang sesuai yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa yakni: a. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa b. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/ kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa, yakni urusan pemerintahan yang secara langsung dapat meningkatkan pelayanan masyarakat. c. Tugas pembantuan dari pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota. d. Urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. Tujuan pembentukan desa adalah untuk meningkatkan kemampuan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna dan peningkatan perkembangan pelayanan dan terhadap kemajuan masyarakat pembangunan. sesuai dengan Dalam tingkat menciptakan pembangunan hingga di tingkat akar rumput, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk pembentukan desa yakni: Pertama, faktor penduduk, minimal 2500 jiwa atau 500 kepala keluarga, kedua, faktor luas 16 yang terjangkau dalam pelayanan dan pembinaan masyarakat, ketiga, faktor letak yang memiliki jaringan perhubungan atau komunikasi antar dusun, keempat, faktor sarana prasarana, tersedianya sarana perhubungan, pemasaran, sosial, produksi, dan sarana pemerintahan desa, kelima, faktor sosial budaya, adanya kerukunan hidup beragama dan kehidupan bermasyarakat dalam hubungan adat istiadat, keenam, faktor kehidupan masyarakat, yaitu tempat untuk keperluan mata pencaharian masyarakat. 2. Otonomi Luas, Nyata dan Bertanggungjawab Lahirnya reformasi kebijakan desentralisasi pertama kali melalui UndangUndang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, yang kemudian dilanjutkan dengan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dimaksudkan agar daerah mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat menurut prakarsanya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemberian kewenangan otonomi harus berdasarkan asas desentralisasi dan dilaksanakan dengan prinsip luas, nyata, dan bertanggungjawab (Hari Sabarno, 2007: 30). Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Pasal 7 huruf b juga memberikan gambaran dalam pelaksaan otonomi desa secara luas, nyata, bertanggungjawab, dimana di dalamnya disebutkan bahwa urusan 17 pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Pemerintah Kabupaten/Kota melakukan identifikasi, pembahasan, dan penetapan jenis-jenis kewenangan yang diserahkan pengaturannya kepada desa, seperti kewenangan dibidang pertanian, pertambangan energi, kehutanan dan perkebunan, perindustrian dan perdagangan, perkoperasian, ketenagakerjaan. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang lainnya (yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000). Disamping itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Menurut Hari Sabarno (2007: 31), pengertian luas dalam penyelenggaraan otonomi daerah merupakan keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup seluruh bidang pemerintahan yang dikecualikan pada bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, dan agama, serta kewenangan bidang lain. Kewenangan bidang lain tersebut meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan 18 sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konversi, dan standarisasi nasional. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Pemerintah daerah selain berperan melindungi masyarakat dan menyerap aspirasi masyarakat juga harus mampu mengelola berbagai kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepadanya. Dalam pengelolan kewenangan yang luas tersebut tetap dibatasi rambu penting dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam hal ini, otonomi bukanlah semata-mata menggunakan pendekatan administratif atau sekedar meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja saja, akan tetapi sekaligus pendekatan dalam dimensi politik. Dengan demikian, makna kewenangan dibidang pemerintahan yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat sejauh mungkin harus dapat dilayani secara dekat dan cepat. Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 19 3. Konsep Otonomi Desa Widjaja (2003: 165) menyatakan bahwa otonomi desa merupakan otonomi asli, bulat, dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Sebaliknya pemerintah berkewajiban menghormati otonomi asli yang dimiliki oleh desa tersebut. Sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak istimewa, desa dapat melakukan perbuatan hukum baik hukum publik maupun hukum perdata, memiliki kekayaan, harta benda serta dapat dituntut dan menuntut di muka pengadilan. Dengan dimulai dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian disempurnakan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan landasan kuat bagi desa dalam mewujudkan “Development Community” dimana desa tidak lagi sebagai level administrasi atau bawahan daerah tetapi sebaliknya sebagai “Independent Community” yaitu desa dan masyarakatnya berhak berbicara atas kepentingan masyarakat sendiri. Desa diberi kewenangan untuk mengatur desanya secara mandiri termasuk bidang sosial, politik dan ekonomi. Dengan adanya kemandirian ini diharapkan akan dapat meningkatkan partisipasi masyarakat desa dalam pembangunan sosial dan politik. Bagi desa, otonomi yang dimiliki berbeda dengan otonomi yang dimiliki oleh daerah propinsi maupun daerah kabupaten dan daerah kota. Otonomi yang dimiliki oleh desa adalah berdasarkan asal-usul dan adat istiadatnya, bukan berdasarkan penyerahan wewenang dari Pemerintah. Desa atau nama 20 lainnya, yang selanjutnya disebut desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Landasan pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokrasi, dan pemberdayaan masyarakat. Pengakuan otonomi di desa, Taliziduhu Ndraha (1997:12) menjelaskan sebagai berikut : a. Otonomi desa diklasifikasikan, diakui, dipenuhi, dipercaya dan dilindungi oleh pemerintah, sehingga ketergantungan masyarakat desa kepada “kemurahan hati” pemerintah dapat semakin berkurang. b. Posisi dan peran pemerintahan desa dipulihkan, dikembalikan seperti sediakala atau dikembangkan sehingga mampu mengantisipasi masa depan. Otonomi desa merupakan hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal-usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa tersebut. Urusan pemerintahan berdasarkan asal-usul desa, urusan yang menjadi wewenang pemerintahan Kabupaten atau Kota diserahkan pengaturannya kepada desa. Namun harus selalu diingat bahwa tiada hak tanpa kewajiban, tiada 21 kewenangan tanpa tanggungjawab dan tiada kebebasan tanpa batas. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan hak, kewenangan dan kebebasan dalam penyelenggaraan otonomi desa harus tetap menjunjung nilai-nilai tanggungjawab terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menekankan bahwa desa adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa dan negara Indonesia. Pelaksanaan hak, wewenang dan kebebasan otonomi desa menuntut tanggungjawab untuk memelihara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tanggungjawab untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang dilaksanakan dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku (Widjaja, 2003: 166). B. Akuntabilitas 1. Konsep dan Pengertian Akuntabilitas Miriam Budiarjo (1998: 78) mendefinisikan akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban pihak yang diberi kuasa mandat untuk memerintah kepada yang memberi mereka mandat. Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi. Sedangkan Lembaga Administrasi Negara menyimpulkan akuntabilitas sebagai kewajiban seseorang atau unit organisasi untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pengendalaian sumberdaya dan pelaksanaan kebijakan yang dipercayakan kepadanya dalam rangka 22 pencapaian tujuan yang telah ditetapkan melalui pertanggungjawaban secara periodik. Hughes dalam Joko Widodo (2001:147) menegaskan bahwa ”Government organitation are created by the public and to be accountability to if,” (organisasi pemerintah dibuat oleh publik, karenanya perlu mempertanggungjawabkannya kepada publik). Adanya pertanggungjawaban tersebut, disebabkan karena aparatur pemerintahan dibebani kewajiban untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan, dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Sebagai konsekuensi dari adanya asas Negara hukum, baik menurut konsep rule of law maupun rechtsstaat, atau democratische rechtsstaat, yaitu negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy), maka pemerintah harus memberikan pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi sikap, perilaku, dan tindakannya kepada rakyat, dalam kerangka menyelenggarakan, atau menjalankan fungsi pemerintahan. Bersamaan dengan itu, Indonesia sebagai Negara hukum di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan pada prinsip supremacy of law dan constitutionalism, yang pada hakikatnya bahwa dalam Negara hukum, hukum harus menjadi penentu segala-galanya sesuai dengan doktrin the rule of law. Dalam kerangka the rule of law, hukum harus diyakini adanya pengakuan, bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintahan (equality before the law) dan berlakunya asas legalitas dengan segala bentuknya dalam praktek (due proces law). 23 Akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diartikan sebagai kewajiban Pemerintah Daerah untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan dan pelaksanaan pemerintahan di daerah dalam rangka otonomi daerah untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang terukur baik dari segi kualitasnya maupun kuantitasnya. Pemerintah daerah sebagai pelaku pemerintahan harus bertanggungjawab terhadap apa yang telah dilakukannya terhadap masyarakat dalam rangka menjalankan tugas, wewenang, dan kewajiban Pemerintah Daerah (Hari Sabarno, 2007: 129). Sejalan dengan hal di atas, Hiskia dan Ambar (2011:71) menyatakan bahwa akuntabilitas merupakan perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Di dalam lingkungan birokrasi, akuntabilitas suatu instansi pemerintah merupakan suatu perwujudan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi instansi bersangkutan. Akuntabilitas sering disamakan dengan responsibilitas, pertanggungjawaban, tanggung gugat. Akuntabilitas salah satunya dapat dilihat sebagai faktor pendorong yang menimbulkan tekanan kepada aktoraktor terkait untuk bertanggung jawab atas ,pelayanan publik dan jaminan adanya kinerja pelayanan publik yang baik (Tri Ratnawati, 2006: 220). Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala 24 kegiatan, terutama dalam bidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi. Media pertanggungjawaban akuntabilitas tidak terbatas pada laporan pertanggungjawaban, akan tetapi juga mencakup aspek-aspek kemudahan pemberi mandat untuk mendapatkan informasi, baik langsung maupun tidak langsung secara lisan maupun tulisan, sehingga akuntabilitas dapat tumbuh pada lingkungan yang mengutamakan keterbukaan sebagai landasan pertanggungjawaban (Hiskia dan Ambar, 2011:71). Dalam hal penyelenggaraan pemerintah daerah, teknis pertanggungjawaban yang dilakukan Pemerintah Daerah kepada DPRD. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pertanggungjawaban yang dilakukan meliputi: Pertama, pertanggungjawaban akhir tahun anggaran, yakni pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang didasarkan pada penilaian program strategis yang dilaksanakan. Kedua, pertanggungjawaban akhir masa jabatan, yakni pertanggungjawaban pada akhir masa jabatan seorang Kepala Daerah yang menentukan apakah seseorang dapat dapat dicalonkan kembali atau tidak sebagai Kepala Daerah. Ketiga, pertanggungjawaban hal tertentu, hal ini berkaitan apabila terjadi dugaan pidana yang dilakukan Kepala Daerah sehingga menyebabkan terkikisnya kepercayaan publik secara luas. Hakikat dari bentuk pertanggungjawaban tersebut adalah untuk mengukur kinerja Pemerintah Daerah dalam suatu periode pemerintahan tertentu. Sistem akuntabilitas harus dilaksanakan secara jelas dan transparan dengan ukuranukuran tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 25 Dengan demikian, kinerja Pemerintah Daerah beserta output yang dihasilkan dalam pelaksanaan otonomi senantiasa dapat diukur untuk meningkatkan kinerja pemerintahan dari waktu ke waktu (Hari Sabarno, 2007:131). 2. Tipe Akuntabilitas Menurut Jabra dan Dwidevi sebagaimana yang dijelaskan oleh Sadu Wasistiono (2007: 50) mengemukakan adanya lima perspektif akuntabilitas yaitu: (1) akuntabilitas administratif, (2) akuntabilitas legal, (3) akuntabilitas politik, (4) akuntabilitas profesional, (5) akuntabilitas moral. Akuntabilitas administratif yaitu dimana di dalamnya terdapat pertanggungjawaban antara pejabat yang berwenang dengan unit bawahanya dalam hubungan hirarki yang jelas. Akuntabilitas yang ke dua yaitu akuntabilitas legal, akuntabilitas jenis ini merujuk pada domain publik dikaitkan dengan proses legislatif dan yudikatif. Bentuknya dapat berupa peninjauan kembali kebijakan yang telah diambil oleh pejabat publik maupun pembatalan suatu peraturan oleh institusi yudikatif. Ukuran akuntabilitas legal adalah peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam akuntabilitas politik, didalamnya terkait dengan adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamain adanya kepatuhan melaksanakan tanggungjawab administrasi dan legal . Akuntabilitas ini memusatkan pada tekanan demokratik yang dinyatakan oleh administrasi publik. 26 Dalam akuntabilitas profesional, di dalamnya berkaitan dengan pelaksanaan kinerja dan tindakan berdasarkan tolak ukur yang ditetapkan oleh orang profesi yang sejenis. Akuntabilitas ini lebih menekankan pada aspek kualitas kinerja dan tindakan. Sedangkan dalam akuntabilitas moral, berkaitan dengan tata nilai yang berlaku di kalagan masyarakat . Hal ini lebih banyak berbicara tentang baik atau buruknya suatu kinerja atau tindakan yang dilakukan oleh seseorang/badan hukum/pimpinan kolektif berdasarkan ukuran tata nilai yang berlaku setempat. Lebih lanjut, Hari Sabarno (2007: 131) menyatakan bahwa dalam pelaksanaanya terdapat dua jenis akuntabilitas, yaitu akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Akuntabilitas internal merupakan akuntabilitas yang dilaksanakan oleh bawahan terhadap atasan. Akuntabilitas secara internal sangat berkaitan erat dengan perencanaan program, pelaksanaan program, dan kontrol birokrasi. Sedangkan akuntabilitas eksternal sangat berbeda dengan akuntabilitas internal, hal ini disebabkan karena akuntabilitas eksternal bukan merupakan akuntabilitas dalam lingkup satu organisasi. Akuntabilitas eksternal merupakan pertanggungjawaban suatu badan atau lembaga kepada lembaga atau badan yang berada di luar struktur kelembagaannya. 3. Parameter Akuntabilitas Penyelenggaraan Pemerintahan Untuk menilai kinerja pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan harus dengan parameter dan tolak ukur yang pasti. Hal ini dimaksudkan agar kesinambungan pembangunan dan pelayanan publik dapat dikontrol dengan 27 kriteria yang terukur. Terdapat tiga aspek untuk menilai akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan, ketiga aspek tersebut adalah: (1) parameter kerja, (2) tolak ukur yang obkektif, (3) tata cara yang terukur. Parameter kenerja pemerintah harus dijadikan acuan untuk menilai apakah suatu program yang direncanakan berhasil atau tidak dan upaya untuk mengevaluasi kenerja pemerintahan yang telah dilaksanakan pada periode tersebut. Selanjutnya tolak ukur yang objektif merupakan syarat penting dalam menilai keberhasilan suatu program pemerintah. Hal ini terkait erat dengan penilaian suatu pertanggungjawaban. Oleh karena itu tolak ukur keberhasilan pemerintahan harus objektif dan jelas. Selain kedua aspek tersebut, masih diperlukan juga tata cara terukur untuk menilai kinerja pemerintah. Misalnya dalam penilaian laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah, harus dilakukan dengan metode yang sistematis dan terukur (Hari Sabarno, 2007: 132). Selain ketiga aspek di atas, standar pelayanan minimal juga termasuk dalam salah satu parameter dan tolak ukur penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan atau service merupakan kata kunci otonomi. Karena otonomi adalah milik masyarakat, yang dijalankan oleh pemerintah adalah akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat, hal ini dapat dilihat dari jenis dan kualitas pelayanan yang disediakan untuk masyarakat. Masyarakat memberikan legitimasi politik kepada wakil rakyat yang dipilih dalam pemilu untuk mengatur rakyat. Pengaturan rakyat diwujudkan dalam bentuk upaya 28 untuk mensejahterakan rakyat. Tingkat kesejahteraan akan terkait erat dengan tingkat pelayanan yang disediakan oleh pemerintah kepada rakyat. Menurut David Hulme dan Mark Turner dalam Tri Ratnawati (2006: 221), akuntabilitas memiliki beberapa instrumen pengukur seperti dalam tabel di bawah ini: Tabel 1 Instrumen Pengukur Akuntabilitas ENDS-To facilitate/enchance Legitimacy of decision makers MEANS-Tools Constitutions, electoral system for governments and decision-making bodies, bureaucratic system of representation, royal prerogative, legislation, letters of appointment, formal delegation of authority, standing orders. Moral conduct Societal values, concept of social justice and public interest; professional values; training/induction programs. Responsiveness Public participation and consultation, debates; advisory bodies, public meeting, freedom of speech. Openness Parliamentary question times, public information services, freedom of information laws; public hearings, annual reports. Optimal resource utilization Budgets, financial procedures, parliamentary public accounts committess, auditing, public enquiries and participation; formal planning systems. Improving efficiency and Information systems, value for money effectiveness audits, setting objectives and standards; program guidelines; appraisal, feedback from public. Berdasarkan tabel di atas akuntabilitas memiliki hubungan dengan beberapa masalah, antara lain masalah legitimasi, kualitas moral dan tingkah 29 laku elit, responsif dan sensitif atas aspirasi masyarakat luas, masalah keterbukaan atau transparansi, masalah penggunaan sumber-sumber secara optimal, dan masalah efisiensi dan efektivitas. Dari tabel di atas juga terlihat adanya instrumen atau cara untuk meningkatkan akuntabilitas, antara lain yaitu sistem pemilihan, pendelegasian wewenang, penerapan norma-norma sosial yang positif, profesionalisme, program-program pelatihan, partisipasi masyarakat, konsultasi, kebebasan informasi, dengar pendapat (public hearing), laporan tahunan, anggaran, auditing, sistem informasi, penerapan standar, petunjuk program, dan umpan balik dari masyarakat (Tri Ratnawati, 2006: 222). C. Pemerintahan Desa 1. Konsep Pemerintahan Desa Pemerintahan Desa merupakan bagian dari Pemerintahan Nasional yang penyelenggaraannya ditujukan pada pedesaan. Pemerintahan Desa adalah suatu proses dimana usaha-usaha masyarakat desa yang bersangkutan dipadukan dengan usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat (Maria Eni Surasih, 2002: 23). Sebelum lahirnya Undang-Undang No 22 Tahun 2009 tentang Pemerintah Daerah berlaku kebijakan Pemerintah Desa dengan Undang-Undang Pemerintah Desa No. 5 tahun 1979 yang menyatakan bahwa desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat huklum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah camat dan 30 berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rumusan tersebut memuat konsep hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, namun jugs disebutkan bahwa desa merupakan organisasi pemerintahan terendah di bawah camat. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menempatkan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan hak asal-usul desanya. UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dipandang terlalu liberal dan federalistik, sehingga dikhawatirkan dapat mengancam keutuhan NKRI. Pembagian kewenangan terlalu mutlak pada daerah membuat perimbangan kekuasaan antara pusat dan daerah tidak proporsional, sehingga kontrol pusat dan provinsi terhadap daerah hilang. Dihawatirkan UU ini rentan melahirkan konflik dan masalah di tengah masyarakat. Karena berbagi kelemahan tersebut, maka UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah diganti dengan berlakunya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam konteks otonomi desa terdapat perbedaan mendasar antara UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dengan UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Terdapat perubahan positif dalam UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan juga peraturan pelaksaannya yaitu PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang dapat mendorong peningkatan otonomi lokal dan desa, antara lain: 31 a. Ditentukannya pemilihan langsung bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam pasal 56 sampai 119. Model pemilihan langsung ini membawa banyak keuntungan terutama dalam kerangka demokratisasi, dimana aspirasi rakyat tidak mungkin lagi direduksi oleh kekuatan parpol. b. Pengaturan tentang kewenangan yang menurut pasal 206 jo. Pasal 7 PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, rasanya lebih komprehensif, karena implikasi yuridisnya juga diatur dalam pasal 10 ayat 3 dimana desa mempunyai hak menolak pelaksanaan tugas pembantuan yang tidak disertai dengan pembiayaan, prasarana, dan sarana serta sumber daya manusia. c. Dalam pengaturan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan bahwa daerah akan mendapatkan bagian (alokasi). Hal ini tentu berbeda dengan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menggunakan istilah bantuan keuangan. Bagian keuangan desa secara relativ pasti telah ditentukan dalam Pasal 68 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa, yaitu sebesar minimal 10% dari hasil bagi pajak daerah dan bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima kabupaten/kota. 2. Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pemerintah desa terdiri dari pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Pemerintah Desa yang dimaksud terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. Sesuai dengan PP Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa Pasal 32 29 dijelaskan bahwa Badan Permusyawaratan Desa adalah “lembaga yang merupakan perwujudan demokrasi dalam pentelenggaraan pemerintahan desa sebagai unsur penyelenggara pemerintah”. Anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat (PP Nomor 72 Tahun 2005, Pasal 29). Pemerintahan Desa menurut H.A.W. Widjaja dalam bukunya “Otonomi Desa” Pemerintahan Desa diartikan sebagai : “Penyelenggaraan Pemerintahan Desa merupakan subsistem dari sistem penyelenggaraan Pemerintah, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala Desa bertanggung jawab kepada Badan Permusyawaratan Desa dan menyampaikan laporan pelaksanaan tersebut kepada Bupati” (Widjaja, 2003: 3). Berdasar PP No 72 tahun 2005 pasal 30 tentang Desa dijelaskan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa terdiri dari Ketua Rukun Warga, pemangku adat, golongan profesi, pemuka agama, dan tokoh atau pemuka masyarakat lainnya. Sedangkan masa jabatan anggota Badan Permusyawaratan Desa adalah enam tahun dan dapat diangkat atau diusulkan kembali untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah ganjil, paling sedikit lima orang dan paling banyak sebelas orang dengan memperhatikan luas wilayah, jumlah penduduk, dan kemampuan keuangan desa. 33 3. Kewenangan Pemerintah Desa a. Kepala desa Kepala Desa mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 PP No 72 Tahun 2005 tentang Desa, Kepala Desa memiliki wewenang sebagai berikut: 1) Memimpin penyelenggaraan pemerintahan desa berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama BPD. 2) Mengajukan rancangan peraturan desa. 3) Menetapkan peraturan desa yang telah mendapat persetujuan bersama BPD. 4) Menyusun dan mengajukan rancangan peraturan desa mengenai APBDesa untuk dibahas dan ditetapkan bersama BPD. 5) Membina kehidupan masyarakat desa. 6) Membina perekonomian desa. 7) Mengkoordinasi pembangunan desa secara partisipatif. 8) Mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat menunjuk kuasa hukum untuk mewakilinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan. 9) Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan peraturan perundangundangan. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Kepala Desa mempunyai kewajiban berdasar ketentuan Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa, yaitu: 1) Memegang teguh dan mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 serta mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 3) Memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat. 4) Melaksanakan kehidupan demokrasi. 5) Melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih dan bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. 6) Menjalin hubungan kerja dengan seluruh mitra kerja pemerintahan desa. 7) Mentaati dan menegakkan seluruh peraturan perundang-undangan. 8) Menyelenggarakan administrasi pemerintahan desa yang baik. 34 9) Melaksanakan dan mempertanggungjawabkan pengelolaan keuangan desa. 10) Melaksanakan urusan yang menjadi kewenangan desa. 11) Mendamaikan perselisihan masyarakat desa. 12) Mengembangkan pendapatan masyarakat dan desa. 13) Membina, mengayomi dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat. 14) Memberdayakan masyarakat dan kelembagaan di desa. 15) Mengembangkan potensi sumber daya alam dan melestarikan lingkungan hidup. Di atas telah disebutkan bahwa tugas dari kepala desa adalah menyelenggarakan urusan pemerintahan, yang dimaksud dari urusan pemerintahan yaitu antara lain pengaturan kehidupan masyararakat sesuai kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa dan pembentukan lembaga kemasyarakatan. Kemudian tugas kepala desa dalam hal pembangunan yaitu antara lain pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan sarana prasarana fasilitas umum. Sedangkan tugas kemasyarakatan kepala desa yaitu meliputi pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial budaya masyarakat. Atas pelaksanaan tugas tersebut, kepala desa berkewajiban memberikan pertanggungjawaban berupa pembuatan laporan penyelenggaraan pemerintahan desa yang ditujukan kepada Bupati/Walikota, dan laporan pertanggungjawaban kepada BPD serta menginformasikan seluruh laporan penyelenggaraan pemerintahan kepada masyarakat. Di dalam laporan tersebut berisi laporan dari semua kegiatan desa berdasarkan kewenangan desa yang ada, serta tugas-tugas dan keuangan dari pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Laporan pertanggungjawaban atas tugas kepala desa ini dilakukan sebagai upaya untuk mewujudkan suatu akuntabiitas dalam 35 suatu pemerintahan desa serta sebagai upaya dalam perwujudan transparansi pemerintah terhadap masyarakat. b. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam ketentuan Pasal 36 Peraturan Pemerintah No 72 Tahun 2005 tentang Desa disebutkan bahwa anggota Badan Permusyawaratan Desa mempunyai hak sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) Mengajukan rancangan peraturan desa. Mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat. Memilih dan dipilih. Memperoleh tunjangan. Sedangkan kewajiban Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 37 PP No. 72 Tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut: 1) Mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan. 2) Melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. 3) Mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 4) Menyerap, menampung, menghimpun, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat, memproses pemilihan kepala desa, mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan. 5) Menghormati nilai-nilai sosial dan budaya dan adat istiadat masyarakat setempat, menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dalam lembaga kemasyarakatan. Wewenang Badan Permusyawaratan Desa berdasarkan ketentuan Pasal 34 PP No 72 tahun 2005 tentang Desa adalah sebagai berikut: 1) Membahas rancangan peraturan desa bersama kepala desa. 2) Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa dan peraturan kepala desa. 3) Mengusulkan pengankatan dan pemberhentian kepala desa. 36 4) Membentuk panitia pemilihan kepala desa, menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat. 5) Menyusun tata tertib Badan Permusyawaratan Desa. 6) Hak dari Badan Permusyawaratan Desa adalah : meminta keterangan kepada Pemerintah Desa, menyatakan pendapat. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai penanggungjawab utama dalam bidang pembangunan Kepala Desa dapat dibantu lembaga kemasyarakatan yang terdapat di desa. Sedangkan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, sekretaris desa, kepala seksi, dan kepala dusun berada di bawah serta bertanggungjawab kepada Kepala Desa, sedang kepala urusan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada sekretaris desa. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dalam Pasal 209 meyebutkan bahwa urusan pemerintah yang menjadi kewenangan desa adalah sebagai berikut : 1. Urusan pemerintah yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. 2. Urusan pemerintah yang menjadi kewenangan kabupaten atau kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. 3. Tugas pembantuan dari pemerintah, pemerintah provinsi, dan atau pemerintah kabupaten atau kota. 4. Urusan pemerintahan lainnya oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dititikberatkan pada proses penyelenggaraan Pemerintah Desa yang reponsif. Sehingga diharapkan terjadinya penyelenggaraan pemerintah yang mengedepankan pemerintah yang aspiratif dan bertanggungjawab demi kemajuan, kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Kinerja Badan Permusyawaratan Desa (BPD) diwujudkan dengan adanya pembentukan tata tertib BPD, pembuatan Perdes bersama dengan Pemerintah Desa, pengangkatan dan pemberhentian kepala 37 desa. Kinerja BPD dalam pelaksanaan otonomi desa bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat. D. Pemberdayaan Masyarakat 1. Konsep Pemberdayaan Masyarakat Pemberdayaan masyarakat adalah upaya meningkatkan kemampuan dan potensi yang dimiliki masyarakat, sehingga masyarakat dapat mewujudkan jati diri, harkat dan martabatnya secara maksimal untuk bertahan dan mengembangkan diri secara mandiri baik dibidang ekonomi, sosial, agama, dan budaya. Pemberdayaan masyarakat terutama di pedesaan tidak cukup hanya dengan upaya meningkatkan produktivitas, memberikan kesempatan usaha yang sama atau modal saja, tetapi harus diikuti pula dengan perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat, mendukung berkembangnya potensi masyarakat melalui peningkatan peran, produktivitas dan efisiensi (Widjaja, 2003:169). Kartasasmita (1996: 45), menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pebangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering and sustainable”. Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic need) atau meyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikiranya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep 38 pertumbuhan di masa lalu. Menurut Sumodiningrat (1999:32), pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk mendirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Dalam konsep pemberdayaan menurut Prijono dan Pranarka (1996: 55), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar memmpunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal. Sementara itu Vindyandika (2004: 36) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa sedarah dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal sebagai aliran postmodernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting, karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat. Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan 39 atau kemampuan, dan atau proses pemberian daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Sulistiyani, 2004: 7). Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan yang dikemukakan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya pemberdayaan adalah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau memberikan daya, kekuatan, atau kemampuan kepada individu masyarakat lemah agar dapat mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta masalah yang dihadapi dan sekaligus memilih alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki secara mandiri. Unsur-unsur pemberdayaan masyarakat pada umumnya adalah: (1) inklusi dan partisipasi; (2) akses pada informasi; (3) kapasitas organisasi lokal; dan (4) profesionalitas pelaku pemberdaya. Keempat elemen ini terkait satu sama lain dan saling mendukung. Inklusi berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan, sedangkan partisipasi berfokus pada bagaimana mereka diberdayakan dan peran apa yang mereka mainkan setelah mereka menjadi bagian dari kelompok yang yang diberdayakan. Unsur kedua, akses pada informasi, adalah aliran informasi yang tidak tersumbat antara masyarakat dengan masyarakat lain dan antara masyarakat dengan pemerintah. Informasi meliputi ilmu pengetahuan, program dan kinerja pemerintah, hak dan kewajiban dalam masyarakat, ketentuan tentang pelayanan umum, dan sebagainya. 40 Unsur ketiga adalah kapasitas organisasi lokal, merupakan kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama, mengorganisasikan perorangan dan kelompok-kelompok yang ada di dalamnya, memobilisasi sumber-sumber daya yang ada untuk menyelesaikan masalah bersama. Masyarakat yang organized lebih mampu membuat suaranya terdengar dan kebutuhannya terpenuhi. Sedangkan unsur yang terakhir, profesionalitas pelaku pemberdaya adalah kemampuan pelaku pemberdaya, yaitu aparat pemerintah atau LSM untuk mendengarkan, memahami, mendampingi dan melakukan tindakan yang diperluakan untuk melayani kepentingan masyarakat. Pelaku pemberdaya juga harus mampu mempertanggungjawabkan kebijakan dan tindakannya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat (www.unisosdem.com). Pemberdayaan merujuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis dan mencerminkan pertahapan kegiatan atau upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan berkemampuan menuju keberdayaan. Makna “memperoleh” daya, kekuatan atau kemampuan merujuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan, atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata “memperoleh” mengindikasikan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, masyarakat harus menyadari akan perlunya memperoleh daya tau kemampuan. Makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. Inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau 41 kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki kekuatan dan kemammpuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembanguan lainnya (http://p3b.bappenas.go.id). 2. Proses Pemberdayaan Masyarakat Proses pemberdayaan masyarakat mengandung dua kecenderungan. Pertama proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagai kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut dapat disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atu memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog (Pranarka, 1996: 45). Kartasasmita (1996: 23) menatakan bahwa proses pemberdayaan dapat dilakukan melalui tiga proses yaitu: pertama: menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada sumber daya manusia atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan adalah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi daya yang dimiliki oleh masyarakat (empo-wering), sehingga diperlukan langkah yang 42 lebih positif, selain dari iklim atau suasana. Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang kuat. Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan dapat menjadikan masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan. Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo, (1999: 16) menyebutkan ciri-ciri warga masyarakat berdaya yaitu: (1) mampu memahami diri dan potensinya, mampu merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan, (2) mampu mengarahkan dirinya sendiri, (3) memiliki kekuatan untuk berunding, (4) memiliki bargaining power yang memadai dalam melakukan kerjasama yang saling menguntungkan, dan (5) bertanggung jawab atas tindakannya. Tjokrowinoto (2001: 32) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses pemberdayaan, namun dalam implementasinya tidak semua yang direncanakan dapat berjalan dengan mulus dalam pelaksanaanya. Tak jarang ada kelompok-kelompok dalam komunitas yang melakukan penolakan terhadap “pembaharuan”ataupun inovasi yang muncul. Tjokrowinoto (2001: 34) menyatakan beberapa kendala (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial: 43 a. Berasal dari Kepribadian Individu; kesetabilan (Homeostatis), kebiasaan (Habit), seleksi ingatan dan persepsi (Selective Perception and Retention), ketergantungan (Depedence), super-ego, yang terlalu kuat, cenderung membuat seseorang tidak mau menerima pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self-Distrust). b. Berasal dari sistem sosial; kesepakatan terhadap norma tertentu (Comformity to Norms), yang “mengikat” sebagian anggta masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan, dan kepaduan sistem dan budaya (Systemic and Cultural Coherence), kelompok kepentingan (vested Interest), hal yang bersifat sakral (The Sacrosanct), dan penolakan terhadap orang luar (Rejection of Outsiders). 3. Tujuan Pemberdayaan Masyarakat Tujuan yang ingin dicapai dari pemberdayaan masyarakat adalah membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berfikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang dimiliki. Daya kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, dan afektif serta sumber daya lainnya yang bersifat fisik atau material. Pelaku pemberdayaan harus dapat berperan sebagai motivator, mediator, dan fasilitator yang baik. Pelaku 44 pemberdayaan tidak hanya dituntut untuk memperdaya pengetahuannya, melainkan mereka dituntut meningkatkan ketrampilannya dalam mendesain pemberdayaan. Bentuk-bentuk kemampuan yang relevan dengan kualitas pelaku pemberdayaan yakni: (1) kemampuan untuk melihat peluang-peluang yang ada, (2) kemampuan untuk mengambil keputusan dan langkah-langkah yang dianggap prioritas dengan mengacu pada visi, misi, dan tujuan yang mempunyai potensi memberikan input dan sumber bagi proses pembangunan, (4) kemampuan menjual inovasi dan memperluas wilayah penerimaan program-program yang diperuntukkan bagi kaum miskin, dan (5) kemampuan memainkan peranan sebagai fasilitator atau meningkatkan kemampuan masyarakat untuk tumbuh berkembang dengan kekuatan sendiri (Tjokrowinoto, 2001: 62). Proses belajar dalam rangka pemberdayaan masyarakat berlangsung secara bertahap, yaitu (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli, sehingga yang bersangkutan merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri, (2) tahap transformasi kemampuan berupa wawasan berfikir atau pengetahuan, kecakapan-ketrampilan agar dapat mengambil peran dalam pembangunan, dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan-ketrampilan sehingga terbentuk inisiatif, kreatif, dan kemampuan inovativ untuk mengantarkan pada kemandirian (Sulistiyani, 2004: 25). 45 Beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dalam memajukan masyarakat desa dalam pemberdayaan, diantaranya: a. Fasilitasi untuk meningkatkan pengetahuan dan informasi bagi masyarakat desa melalui kegiatan forum rembuk diskusi regular yang dilakukan secara keliling antar desa (rural rountable discussion) dengan pemahaman belajar dari pengalaman untuk menjadikan daur program pemberdayaan. b. Fasilitasi pemetaan partisipatif oleh masyarakat desa sebagai dasar penggalian kebutuhan, permasalahan, potensi sumber daya alam, dan masyarakat desa. c. Memfasilitasi penggalangan dan penggunaan sumber dana untuk skala kebutuhan prioritas dan perekonomian desa yang dituangkan dalam PerDes dan APBDes baik dari pemerintah desa, BPD dan masyarakat adalah mitra dan sekaligus agen perubahan yang mampu menyusun dan merencanakan APBDes yang akan dituangkan dalam Alokasi Dana Desa (ADD). d. Memfasilitasi dan menumbuhkan fasilitator dari desa itu sendiri sebagai agen perubahan dari dalam (PRA) yang memotivasi kegatan belajar dan karakteristik desa untuk menemukan pola ekonominya sendiri. e. Memfasilitasi kaum perempuan untuk lebih terlibat dalam berbagai kegiatan pemberdayaan dan perkembangan pedesaan. f. Membuat media warga sebagai sarana akuntabilitas dan transparansi dalam berkegiatan dan penggunaan anggaran desa. g. Memanfaatkan sumber potensi desa, mengelola secara berkesinambungan, dan ramah lingkungan. E. Penelitian yang Relevan Kajian penelitian yang relevan dengan peneliatian ini yaitu terdapat dalam Penelitian yang dilakukan oleh Amin Rahmanurrasjid tahun 2008 yang berjudul “Akuntabilitas dan Transparansi dalam Pertanggungjawaban Pemerintah Daerah untuk Mewujudkan Pemerintahan yang Baik di Daerah (Studi di Kabupaten Kebumen)”. Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa kebijakan desentralisasi dan implementasi otonomi daerah pada yang ada di Indonesia pada dasarnya menyangkut pengalihan kewenangan dan sumber daya dari pusat ke daerah-daerah. Dalam sistem pembagian 46 kekuasaan berlaku prinsip bahwa setiap kekuasaan harus dipertanggungjawabkan. Karena itu, setiap kekuasaan harus dipikirkan beban tanggungjawab bagi setiap penerima kekuasaan. Untuk terwujudnya pelaksanaan otonomi daerah sejalan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, bertanggungjawab serta mampu menjawab tuntutan perubahan secara efektif dan efisien sesuai dengan prinsip tata pemerintahan yang baik, maka Kepala Daerah wajib melaporkan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Laporan dimaksud dalam bentuk LPPD, LKPJ, dan Informasi LPPD. Bagi Pemerintah LPPD dapat dijadikan salah satu bahan evaluasi untuk keperluan pembinaan terhadap pemerintah daerah. F. Kerangka Berfikir Dalam pelaksanaan otonomi desa salah satu agenda pokok yang hendak dilaksanakan adalah suatu reformasi birokrasi. Saat ini setiap desa memiliki hak untuk memiliki kemandirian dalam memajukan masyarakatnya secara demokratis, baik dibidang politik, ekonomi, maupun budaya, memerlukan suatu birokrasi yang reformis, efisien, kreatif, inovatif, dan mampu menjawab tantangan dalam menghadapi ketidakpastian di masa kini dan akan datang. Dengan penerapan otonomi desa yang mengedepankan desentralisasi dan demokrasi, sangat besar harapan digantungkan agar pemerintahan desa dapat meningkatkan akuntabilitasnya dengan mempertanggungjawabkan hasil kerja mereka kepada masyarakat. Dalam salah satu prinsip pelaksanaan otonomi desa yaitu dilaksanakannya otonomi secara luas, nyata dan bertanggungjawab, tidak terkecuali dalam hal 47 pelimpahan kewenangan urusan pemerintahan, pemerintahan desa memiliki kewenangan untuk mengatur urusan pemerintahan yang dilimpahkan dari kabupaten/kota. Dalam pelaksanaan pemerintahan desa tersebut dituntut adanya suatu aspek tata pemerintahan yang baik (Good Governance), dimana salah satu karakteristik atau unsur utama dari Good Governance adalah akuntabilitas. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk tanggungjawab pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodik. Jadi, akuntabilitas pemerintahan sangat diperlukan sebagai penunjang penerapan otonomi desa agar dapat berjalan dengan baik. Desa yang otonom akan memberi ruang gerak yang luas pada perencanaan pembangunan yang merupakan kebutuhan nyata masyarakat dan tidak terbebani oleh program-program kerja dari berbagai instansi dan pemerintah. Setiap desa memiliki kondisi dan potensi yang khas, berbeda dengan desa lainnya, demikian pula aspirasi dan karakter masyarakatnya. Oleh sebab itu, pembangunan di desa memang sepatutnya lebih banyak ditentukan oleh masyarakat desa sendiri. Kedudukan pemerintah desa telah diberi kewenangan penuh untuk memberdayakan masyarakatnya dan tentu harus mempunyai kemampuan untuk mengurus rumah tangganya sendiri dengan lebih mengedepankan hak-hak masyarakat. Dengan demikian dapat terlihat jelas bahwa salah satu esensi dari penerapan otonomi desa diarahkan sebagai wahana untuk mewujudkan peran serta aktif masyarakat dalam pembangunan menuju masyarkat yang maju, 48 mandiri, sejahtera, dan berkeadilan. Dari esensi tersebut maka timbulah suatu kewajiban untuk melaksanakan pemberdayaan masyarakat dimana di dalamnya dicanangkan salah satu tujuan khusus yaitu meningkatkan partisipasi ,masyarakat dalam merencanakan proses pengambilan keputusan, implementasi, pemantauan dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunan. Dari uraian kerangka berfikir di atas, dapat digambarkan secara jelas dalam bagan di bawah ini: Bagan 1 Kerangka Berfikir Penelitian Otonomi Desa Akuntabilitas Pemerintahan Desa Pemberdayaan Masyarakat