BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN, KERUGIAN

advertisement
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG KEJAKSAAN,
KERUGIAN KEUANGAN NEGARA,
DAN TINDAK PIDANA KORUPSI
2.1. Pengertian, Tugas dan Wewenang Kejaksaan
a. Pengertian Kejaksaan
Pengertian mengenai Kejaksaan menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yakni :
(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam undang – undang
ini disebut Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang menjalankan
kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan
undang-undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak
terpisahkan.
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia Pasal 2 tersebut khususnya pada ayat (2) dan (3) ditentukan
bahwa dalam ayat (2) yang dimaksud dengan secara merdeka adalah dalam
menjalankan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
Ayat (3) yang dimaksud dengan Kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan
yakni satu landasan dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya di bidang penuntutan
yang bertujuan memelihara kesatuan kebijakan di bidang penuntutan sehingga dapat
menampilkan ciri khas yang menyatu dalam tata pikir, tata laku dan tata kerja
1
Kejaksaan, oleh karena itu kegiatan penuntutan di Pengadilan oleh Kejaksaan tidak
akan berhenti hanya karena Jaksa yang semula bertugas berhalangan. Dengan
demikian tugas penuntutan oleh Kejaksaan akan tetap berlangsung sekalipun
dilakukan oleh Jaksa lainnya sebagai pengganti.
Pelaksanaan kekuasan negara tersebut sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 3
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri.
Kejaksaan Agung berkedudukan di ibukota negara republik Indonesia dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kekuasaan negara republik Indonesia, Kejaksaan Tinggi
berkedudukan di ibukota Provinsi dan Daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi,
Kejaksaan Negeri berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota yang daerah hukumnya
meliputi daerah Kabupaten/Kota.
Pengertian dari Jaksa, Penuntut umum, Penuntutan, dan Jabatan fungsional
Jaksa menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia yakni :
1. Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang
lain berdasarkan undang-undang.
2. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh UndangUndang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
3. Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh Hakim di sidang Pengadilan.
2
4. Jabatan Fungsional Jaksa adalah jabatan yang bersifat keahlian teknis
dalam organisasi Kejaksaan yang karena fungsinya memungkinkan
kelancaran pelaksanaan tugas Kejaksaan.
b. Tugas dan Wewenang Kejaksaan
Kejaksaan sebagai lembaga yang berwenang dalam penegakan hukum di
Indonesia sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 16 tahun
2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dipimpin oleh Jaksa Agung yang
diangkat oleh Presiden dan menjadi penanggung jawab tertinggi Kejaksaan yang
mengendalikan pelaksanaan tugas dan wewenang Kejaksaan. Jaksa Agung sebagai
pimpinan dari Kejaksaan dibantu oleh Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa
Agung Muda. Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur
pimpinan Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda merupakan unsur pembantu pimpinan.
Secara umum, tugas dan wewenang Kejaksaan meliputi di bidang pidana, di
bidang perdata dan tata usaha negara serta dalam bidang ketertiban dan ketentraman
umum berdasarkan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Kejaksaan Republik Indonesia ditentukan :
(1) Di bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang :
a. Melakukan penuntutan;
b. Melaksanakan penetapan Hakim dan Putusan Pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap;
c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana
bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;
d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
undang-undang;
e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang
dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
3
(2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus
dapat bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas
nama negara atau pemerintah.
(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut
meyelenggarakan kegiatan:
a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;
c. Pengawasan peredaran barang cetakan;
d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
Negara;
e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;
f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.
2.2. Kerugian Keuangan Negara
a. Pengertian Keuangan Negara
Pengertian dari Keuangan Negara diatur dalam Undang-Undang Dasar
maupun Undang-Undang tertentu mengenai Keuangan Negara. Keuangan Negara
sangat memegang peranan penting serta selalu terkait dalam menunjang tugas dari
pemerintah untuk mewujudkan tujuan Negara. Tujuan Negara dijelaskan sebagaimana
dalam Alenia Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni Melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Pengertian mengenai Keuangan Negara juga diatur dalam Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang merumuskan
bahwa Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang
4
dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut.
Keuangan Negara dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara memiliki substansi yang dapat ditinjau dalam arti luas
maupun dalam arti sempit. Keuangan negara dalam arti luas meliputi hak dan
kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk barang milik Negara
yang tidak tercakup dalam anggaran Negara. Sementara itu, Keuangan Negara dalam
arti sempit hanya terbatas pada hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk barang milik Negara yang tercantum dalam anggaran Negara untuk
tahun yang bersangkutan. Tujuan diadakannya pemisahan secara tegas substansi
keuangan negara dalam arti luas dengan substansi keuangan negara dalam arti sempit
agar ada keseragaman pemahaman.1
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga
mengatur mengenai pengertian Keuangan Negara yang dijelaskan bahwa Keuangan
Negara adalah seluruh kekayaan negara, dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan atau
yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan negara dan
segala hak dan kewajiban yang timbul karena :
1. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat
lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;
2. Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan
Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum,
1
Muhammad Djafar Saidi, 2013, Hukum Keuangan Negara, RajaGrafindo Persada,
Jakarta, Hal. 11.
5
dan Perusahaan yang menyertakan Modal Pihak Ketiga berdasarkan
Perjanjian dengan Negara.
Secara substansial dari kedua pengertian mengenai Keuangan Negara yang
ada di dalam kedua Undang-Undang tersebut pada hakekatnya sama dan dapat
dipakai serta saling melengkapi yang membedakan hanya pendekatan pengaturannya
saja. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara pendekatan
pada pengaturan keuangan negara dari aspek objek, lingkup dan luas, sedangkan
Penjelasan alenia ke 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang
Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengatur
Keuangan Negara dari aspek wilayah penguasaan pengelolaan keuangan negara. Tapi
jika dilihat secara substansial content keduanya sama, hanya pendekatan melihat
pengelolaannya yang berbeda.2
b. Pengertian dan Penentuan Kerugian Keuangan Negara
Setelah diketahui mengenai pengertian Keuangan Negara, maka perlu
diketahui mengenai pengertian Kerugian. Kamus Besar Bahasa Indonesia
mendefinisikan kata rugi, kerugian dan merugikan : kata rugi (1) adalah kurang dari
harga beli atau modalnya (2) kurang dari modal (3) tidak mendapatkan manfaat, tidak
memperoleh sesuatu yang berguna, kerugian adalah menanggung atau menderita rugi,
2
Hernold Ferry, 2014, Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi, Thafa
Media, Yogyakarta, Hal. 11.
6
sedangkan kata merugikan adalah mendatangkan rugi kepada, sengaja menjual lebih
rendah dari harga pokok .3
Rumusan Kerugian Keuangan Negara apabila dikaitkan dengan pengertian
rugi sebagai asal dari kata kerugian yang mengacu pada rumusan penjelasan alenia ke
3 menurut Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka :
1. Kekurangan kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau
yang tidak dipisahkan, termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam
penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga
negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, akibat perbuatan sengaja
melawan hukum;
2. Kekurangan kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau
yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan
negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena berada dalam
penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik
Negara/Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan
Perusahaan yang menyertakan Modal Negara, atau Perusahaan yang
menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara,
akibat perbuatan melawan hukum.4
Memperhatikan rumusan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, maka Kerugian Keuangan Negara
dapat berbentuk :
a. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah (dapat berupa uang,
barang) yang seharusnya tidak dikeluarkan;
b. Pengeluaran suatu sumber/kekayaan negara/daerah lebih besar dari yang
seharusnya menurut kriteria yang berlaku;
3
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, Pusat Bahasa Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, Hal. 1186
4
Hernold Ferry, Op.cit, Hal. 15.
7
c. Hilangnya sumber/kekayaan negara/daerah yang seharusnya diterima
(termasuk diantaranya penerimaan dengan uang palsu, fiktif);
d. Penerimaan sumber/kekayaan negara/daerah lebih kecil/rendah dari yang
seharusnya diterima (termasuk penerimaan barang rusak, kualitas tidak
sesuai);
e. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang seharusnya tidak ada;
f. Timbulnya suatu kewajiban negara/daerah yang lebih besar dari yang
seharusnya;
g. Hilangnya suatu hak negara/daerah yang seharusnya dimiliki/diterima
menurut aturan yang berlaku;
h. Hak negara/daerah yang diterima lebih kecil dari yang seharusnya
diterima. 5
Kerugian Keuangan Negara dapat terjadi pada dua tahap, yaitu pada tahap
dana akan masuk pada kas negara dan pada tahap dana akan keluar dari kas negara.
Pada tahap dana yang akan masuk ke kas negara, Kerugian bisa terjadi melalui
konspirasi pajak, konspirasi denda, konspirasi Pengembalian Kerugian Negara dan
penyelundupan. Pada tahap dana yang akan keluar dari kas negara, Kerugian terjadi
akibat mark up, korupsi, pelaksanaan kegiatan yang tidak sesuai dengan program.6
Pengaturan dari Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
terdapat dalam rumusan Pasal 2 ayat (1) dan 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dan salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam mengungkap terjadinya
tindak pidana korupsi adalah dapat merugikan Kerugian Keuangan Negara atau
Perekonomian Negara. Pasal 2 ditentukan rumusan sebagai berikut :
5
Eddy Mulyadi Soepardi, 2009, Memahami Kerugian Keuangan Negara sebagai Salah
Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi, Makalah pada ceramah ilmiah pada Fakultas Hukum Universitas
Pakuan Bogor, Tanggal 24 Januari.
6
Jawade Hafidz Arsyad, 2013, Korupsi dalam Perspektif HAN, Sinar Grafika, Jakarta,
Hal. 174.
8
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara
dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3 ditentukan rumusan sebagai berikut :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit
Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”
Penjelasan dari Pasal 2 ayat (1) disebutkan kata Dapat sebelum frasa
merugikan Keuangan Negara atau ekonomi negara menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan
dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya
akibat. Selama ada bukti-bukti kuat yang berpotensi adanya kerugian keuangan
negara walaupun sekecil apapun maka dapat dipidana berdasarkan delik formil.
Rumusan delik sebagaimana yang dijelaskan di dalam Pasal 2
ayat (1)
merupakan salah satu bagian dari rumusan delik sebagaimana yang ada di dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan merupakan rumusan-rumusan
yang disebut delik yang telah selesai dilakukan oleh pelaku yang sebenarnya.
9
Delik sebagaimana dimaksud tersebut dapat dibagi ke dalam delik formil dan
delik materiil. Adapun pengertian dari delik formil atau formeel delict itu adalah delik
yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang dilarang dan diancam
dengan hukuman oleh undang-undang. Sedangkan delik materiil atau materiel delict
itu adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.7
Pengertian lain mengenai frasa Dapat tersebut juga dikemukakan Mahkamah
Konstitusi dalam Keputusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006 tanggal 24 juli 2006,
pertimbangan hukumnya menyatakan bahwa kata Dapat sebelum frasa “Kerugian
Keuangan Negara dan Perekonomian harus dibuktikan dan dapat dihitung” terlebih
dahulu, selanjutnya disebutkan: hal demikian ditafsirkan bahwa unsur Kerugian
Negara harus dibuktikan dan harus dapat dihitung, meskipun sebagai perkiraan atau
meskipun belum terjadi. Kesimpulan demikian harus ditentukan oleh seorang ahli
dibidangnya.8
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyebutkan yang dimaksud dengan secara
melawan hukum dalam Pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti
formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur
dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap
tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial
dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.
7
PAF Lamintang, 2013, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia,Cet. Ke V Citra Aditya
Bakti, Bandung, Hal. 213.
8
Hernold Ferry, Op.cit, Hal.22.
10
Adanya kata maupun dalam penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengikuti 2 (dua) ajaran sifat
melawan hukum secara alternatif, yaitu :
a. Ajaran sifat melawan hukum formil, atau
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil.9
Roeslan Saleh mengemukakan:
“Menurut ajaran melawan hukum, yang disebut melawan hukum materiil
tidaklah hanya sekedar bertentangan dengan hukum tertulis, tetapi juga
bertentangan dengan hukum tidak tertulis. Sebaliknya, ajaran melawan
hukum formil berpendapat bahwa melawan hukum adalah bertentangan
dengan hukum tertulis saja. Jadi menurut ajaran materiil, disamping
memenuhi syarat-syarat formil, yaitu memenuhi unsur yang disebut dalam
rumusan delik, perbuatan harus benar-benar dirasakan masyarakat sebagai
tidak boleh atau tidak patut.”10
Kepustakaan hukum pidana terdapat 2 (dua) fungsi dari ajaran sifat melawan
hukum materiil, yaitu :
a. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif, yaitu
suatu perbuatan, meskipun oleh peraturan perundang-undangan tidak
ditentukan sebagai melawan hukum, tetapi jika menurut penilaian
masyarakat perbuatan tersebut bersifat melawan hukum, perbuatan yang
dimaksud tetap merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum;
b. Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif, yaitu
suatu perbuatan, meskipun menurut peraturan perundang-undangan
merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tetapi jika menurut
penilaian masyarakat perbuatan tersebut tidak bersifat melawan hukum,
perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang tidak bersifat melawan
hukum.11
9
R.Wiyono, 2009, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Sinar Grafika, Jakarta, Hal. 32.
10
Ibid.
11
Ibid, Hal. 32-33.
11
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam
Pasal 2 ayat (1) mencakup perbuatan yang tidak sesuai dengan rasa keadilan atau
norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, meskipun perbuatan tersebut tidak
diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka dapat diketahui bahwa ajaran sifat
melawan hukum materiil yang diikuti oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi mengikuti ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang
positif.
Dianut ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan dalam Penjelasan
umum agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan Keuangan
Negara dan Perekonomian Negara yang semakin canggih dan rumit.
Unsur memperkaya terdapat dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Yang dimaksud dengan memperkaya adalah
perbuatan yang dilakukan untuk menjadi lebih kaya (lagi) dan perbuatan ini sudah
tentu dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara, misalnya : menjual atau
12
membeli, menandatangani kontrak, memindahbukukan dalam bank, dengan syarat
tentunya dilakukan secara melawan hukum.12
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dalam Penjelasan Pasal 3 hanya disebutkan bahwa kata dapat dalam
ketentuan tersebut diartikan sama dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1).
Pelaku dari Tindak Pidana Korupsi yang terdapat dalam Pasal 3 ditentukan
setiap orang, sehingga seolah-olah setiap orang dapat melakukan Tindak Pidana
Korupsi yang terdapat dalam Pasal 3. Tetapi, dalam Pasal 3 tersebut ditentukan
bahwa pelaku tindak pidana korupsi yang dimaksud harus memangku suatu jabatan
atau kedudukan. Oleh karena yang dapat memangku suatu jabatan atau kedudukan
hanya orang perseorangan maka tindak pidana korupsi yang terdapat dalam Pasal 3
hanya dapat dilakukan oleh orang perseorangan, sedang korporasi tidak dapat
melakukan tindak pidana korupsi tersebut.13
Ketentuan Pasal 2 (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. UndangUndang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
ditentukan
unsur
memperkaya,
maka
dalam
Pasal
3
ditentukan
Unsur
menguntungkan. Yang dimaksud dengan menguntungkan adalah sama artinya dengan
12
13
Ibid, Hal. 40.
Ibid, Hal. 45.
13
mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran,
terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya.14
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga ditentukan unsur
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada karena jabatan atau
kedudukan. Yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan tersebut adalah menggunakan
kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan
yang dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan lain dari
maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana tersebut.15
Terdapat unsur jabatan atau kedudukan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terdapat suatu perbedaan karena diantara kedua kata tersebut
terdapat kata penyambung atau.
Jabatan sebagaimana terdapat dalam unsur Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi hanya dipergunakan untuk Pegawai Negeri sebagai pelaku
tindak pidana korupsi yang memangku suatu jabatan, baik jabatan struktural maupun
jabatan fungsional.16
14
Ibid, Hal. 46.
Ibid.
16
Ibid, Hal. 51.
15
14
Kedudukan dalam rumusan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dapat dipergunakan untuk pelaku tindak pidana korupsi sebagai berikut:
a. Pegawai Negeri sebagai pelaku tindak pidana korupsi yang tidak
memangku jabatan tertentu, baik jabatan struktural maupun jabatan
fungsional.
b. Pelaku tindak pidana korupsi yang bukan Pegawai Negeri atau
Perseorangan Swasta yang mempunyai fungsi dalam suatu korporasi.17
Diberikan rumusan mengenai Pelaku Tindak Pidana Korupsi
yang harus
memangku suatu jabatan atau kedudukan yang terdapat dalam rumusan Pasal 3
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo.Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka dapat ditegaskan :
a. Bahwa yang dapat melakukan Tindak Pidana Korupsi dengan cara
“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana” yang ada
karena “jabatan atau kedudukan” adalah Pegawai Negeri.
b. Sedangkan pelaku Tindak Pidana Korupsi yang “bukan Pegawai Negeri
atau Perseorangan Swasta” hanya dapat melakukan Tindak Pidana
Korupsi dengan cara “menyalahgunakan kewenangan atau sarana” yang
ada karena “kedudukan” saja.18
Penentuan adanya Kerugian Keuangan Negara yang dipakai bukti dalam
pemenuhan unsur Kerugian Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditentukan dalam penjelasan Pasal 32
disebutkan bahwa Yang dimaksud dengan secara nyata telah ada Kerugian Keuangan
17
18
Ibid, Hal. 52.
Ibid, Hal. 52.
15
Negara adalah Kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil
temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Unsur penting dalam melakukan penghitungan Kerugian Keuangan Negara
dalam Tindak Pidana Korupsi yakni kewenangan dalam mengakses dan mendapatkan
data untuk meminta dokumen keuangan negara yang diatur oleh undang-undang
dalam proses pemeriksaan keuangan negara.19
Hal tersebut sebagaimana dimuat
dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang ditentukan:
Dalam melaksanakan tugas pemeriksaan, pemeriksa dapat:
a. Meminta dokumen yang wajib disampaikan oleh pejabat atau pihak lain
yang berkaitan dengan pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara;
b. Mengakses semua data yang disimpan di berbagai media, aset, lokasi, dan
segala jenis barang atau dokumen dalam penguasaan atau kendali dari
identitas yang menjadi obyek pemeriksaan atau identitas lain yang
dipandang perlu dalam pelaksanaan tugas pemeriksaannya;
c. Melakukan penyegelan tempat penyimpanan uang, barang, dan dokumen
pengelolaan keuangan negara;
d. Meminta keterangan kepada seseorang;
e. Memotret, merekam dan/atau mengambil sampel sebagai alat bantu
pemeriksaan.
Unsur penting lainnya yang memperkuat kewenangan pemeriksa dalam
melakukan penghitungan Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
yakni unsur wajib diberikan data, dokumen atau informasi yang berhubungan dengan
keuangan negara oleh setiap orang atau pengelola Keuangan Negara berkaitan dengan
kepentingan pemeriksaan keuangan yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
19
Hernold Ferry, Op.cit, Hal.54.
16
(adanya pemaksaan oleh undang-undang
dengan hukuman penjara atau sanksi
denda),20 sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15
tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan
Negara :
“Setiap orang yang dengan sengaja tidak menjalankan kewajiban
menyerahkan dokumen dan/atau menolak memberikan keterangan yang
diperlukan untuk kepentingan kelancaran pemeriksaan pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam penentuan adanya Kerugian
Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi diperkuat sebagaimana dijelaskan
dalam Pasal 23 E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa
Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara
diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
Ketentuan tersebut tegas menentukan bahwa Badan yang berwenang dalam
menentukan adanya unsur Kerugian Keuangan Negara dalam Tindak Pidana Korupsi
harus Badan yang bebas dan mandiri yakni Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana
yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Dipastikan bahwa Kerugian Keuangan Negara telah terjadi dalam salah satu
unsur Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dalam pasal 2 dan 3 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
20
Hernold Ferry, Op.cit, Hal. 55.
17
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka dapat ditentukan tuntutan uang
pengganti dan harus diselesaikan oleh pihak yang terbukti bersalah.
Pidana tambahan berupa uang pengganti tersebut diatur sebagaimana dalam
Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disebutkan bahwa :
(1) Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :
a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;
b. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
d. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh
atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
(2) Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk
membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b,
maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman
maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undangundang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan
pengadilan.
Uang pengganti dalam Pengembalian Kerugian Keuangan Negara dalam
Tindak Pidana Korupsi merupakan sejumlah uang yang harus dibayarkan oleh
terdakwa yang terbukti secara sah dan meyakinkan Merugikan Keuangan Negara
18
menurut hukum berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Dipastikan adanya Kerugian Keuangan Negara juga bertujuan sebagai salah
satu acuan bagi Jaksa untuk melakukan Penuntutan mengenai berat atau ringannya
hukuman yang perlu dijatuhkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan pertimbangan bagi hakim dalam
menetapkan keputusannya.
2.3. Tindak Pidana Korupsi
a. Pengertian Tindak Pidana
Pembentuk undang-undang telah menggunakan perkataan strafbaarfeit untuk
menyebutkan apa yang dikenal sebagai Tindak Pidana di dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana tanpa memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang
sebenarnya dimaksud dengan strafbaarfeit tersebut.
Perkataan feit itu sendiri dalam bahasa belanda berarti sebagaian dari suatu
kenyataan, sedangkan strafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah
perkataan strafbaarfeit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum, yang sudah barang tentu tidak tepat, oleh karena kelak yang
akan kita ketahui bahwa yang dapat dihukum itu sebenarnya adalah manusia sebagai
pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun tindakan.21
21
PAF Lamintang, Op.cit, Hal. 181.
19
Tidak diberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan
perkataan strafbaarfeit maka timbul berbagai doktrin tentang apa yang dimaksud
dengan strafbaarfeit. Hazewinkel-Suringa telah membuat suatu rumusan yang bersifat
umum dari strafbaarfeit sebagai suatu perilaku manusia yang pada suatu saat tertentu
telah ditolak dalam sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku
yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang
bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
22
Van Hamel mengatakan strafbaarfeit
itu suatu kelakuan seseorang yang dirumuskan dalam Undang-undang, bersifat
melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.23
Menurut Moeljatno dan Ruslan Saleh mengemukakan istilah strafbaarfeit
adalah sebuah perbuatan pidana karena menurut beliau cakupan perbuatan lebih luas
dibandingkan dengan tindak pidana, karena tindak menunjukkan pada hal yang
abstrak seperti perbuatan, tetapi hanya menyatakan keadaan yang kongkrit.24
Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan
unsur-unsur objektif.
Unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau
yang berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
22
PAF Lamintang, Op.cit, Hal. 181-182.
Chairul Huda, 2011, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, Hal.27.
24
Ibid, Hal. 78.
23
20
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak
pidana itu adalah:25
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) KUHP;
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di
dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan
dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang
misalnya terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340
KUHP;
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam
rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan
keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si
pelaku itu harus dilakukan.26 Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya “Keadaan sebagai seseorang pegawai
negeri” di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
“keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas”
di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab
dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.27
Tindak Pidana di Indonesia terbagi atas dua jenis yakni Tindak Pidana Umum
dan Tindak Pidana Khusus. Tindak Pidana Umum merupakan Tindak Pidana yang
dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaimana diatur dalam
Buku ke II dan Buku ke III KUHP.
25
PAF Lamintang, Op.cit Hal. 193-194.
PAF Lamintang, Op.cit, Hal. 193.
27
PAF Lamintang, Op.cit, Hal. 194.
26
21
Tindak Pidana Khusus merupakan ketentuan mengenai Tindak Pidana yang
diatur di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan sebagai landasan berlakunya
sebagaimana dalam Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Landasan dari berlakunya Tindak Pidana Khusus di Indonesia Pasal 103 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana ditentukan sebagai berikut :
Ketentuan dari delapan bab yang pertama dari Buku ini berlaku juga
terhadap perbuatan yang dapat dihukum menurut peraturan undang-undang
lain, kecuali kalau ada undang-undang (Wet) tindakan Umum pemerintahan
Algemene van bestuur) atau ordonnansi menentukan peraturan lain.28
Diadakan ketentuan dari pasal ini, berarti bahwa ketentuan-ketentuan yang
termaksud dalam Bab IX dari buku I KUHP (Pasal 86 sampai 102) hanya berlaku
untuk menerangkan hal-hal yang tersebut dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana ini saja, sedangkan ketentuan yang termuat dalam Bab I sampai Bab VIII
(Pasal 1 sampai 85) selain untuk menerangkan hal-hal yang ada di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, berlaku pula untuk menerangkan ketentuan pidana
yang ada di luar dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Semakin berkembangnya kriminalitas di Indonesia mendorong lahirnya
berbagai macam Undang-Undang mengenai Tindak Pidana Khusus yang menjadi
pelengkap dari hukum pidana yang telah diatur di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana.
Pengaturan terhadap Tindak Pidana Khusus bertujuan untuk mengisi
kekosongan hukum yang tidak tercakup pengaturannya dalam KUHP, namun dengan
28
R.Soesilo, 1976, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan Penjelasan, Politeia,
Bogor, Hal. 91.
22
pengertian bahwa pengaturan itu masih tetap dan berada dalam batas-batas yang
diperkenankan oleh hukum pidana formil dan materiil.29 Dengan kata lain, penerapan
ketentuan pidana khusus di mungkinkan berdasarkan asas Lex specialis derogat legi
generalis yang mengisyaratkan bahwa ketentuan yang bersifat khusus akan lebih
diutamakan daripada ketentuan yang bersifat lebih umum.30
b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Menurut Fockema Andreae kata korupsi berasal dari bahasa Latin corruptio
atau corruptus (Webster Student Dictionary: 1960). Selanjutnya disebutkan bahwa
corruption itu berasal pula dari kata asal corrumpere, suatu kata Latin yang lebih
tua.31
Bahasa latin tersebut turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitu
corruption, corrupt; Prancis, yaitu corruption; dan Belanda, yaitu corruptie
(korruptie). Kita dapat memberanikan diri bahwa dari bahasa Belanda inilah kata itu
turun ke bahasa Indonesia, yaitu korupsi.
Secara harfiah, korupsi ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.32
Definisi korupsi dalam kamus lengkap Webster’s Third New Internasional
Dictionary adalah ajakan (dari seorang pejabat politik) dengan pertimbanganpertimbangan yang tidak semestinya (misalnya suap) untuk melakukan pelanggaran
29
Aziz Syamsudin, Op.cit, Hal. 11.
Aziz Syamsudin, Loc.cit.
31
Andi Hamzah, Op.cit, Hal. 4.
32
Andi Hamzah, Op.cit, Hal. 5
30
23
tugas.33 Definisi lain korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari tugas-tugas
resmi sebuah jabatan negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut
pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri), atau melanggar aturan-aturan
pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.34
Korupsi dapat diartikan memungut uang bagi layanan yang sudah seharusnya
diberikan atau menggunakan wewenang untuk mencapai tujuan yang tidak sah.
Korupsi adalah tidak melaksanakan tugas karena lalai atau sengaja.35
Secara umum, korupsi dipahami sebagai suatu tindakan pejabat publik yang
menyelewengkan kewenangan untuk kepentingan pribadi, keluarga, kroni, dan
kelompok yang mengakibatkan kerugian negara. Selain itu, korupsi dapat
didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan
pribadi. Korupsi mencakup perilaku pejabat-pejabat sektor publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan
melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan mereka, dengan
menyalahgunakan kekuasaan yang dipercayakan pada mereka.36
Lubis dan Scott dalam pandangannya tentang korupsi disebutkan bahwa
dalam arti hukum, korupsi adalah tingkah laku yang menguntungkan
kepentingan diri sendiri dengan merugikan orang lain, oleh para pejabat
pemerintah yang langsung melanggar batas-batas hukum atas tingkah laku
tersebut, sedangkan menurut norma-norma pemerintah dapat dianggap
korupsi apabila hukum dilanggar atau tidak dalam bisnis tindakan tersebut
adalah tercela.37
33
Jawade Hafidz Arsyad, Op.cit, Hal. 4.
Jawade Hafidz Arsyad, Loc.cit
35
Jawade Hafidz Arsyad, Op.cit, Hal. 5.
36
Jawade Hafidz Arsyad, Loc.cit
37
Jawade Hafidz Arsyad, Op.cit, Hal. 6.
34
24
Pengertian korupsi dimuat dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 28
Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih, dan bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme. Pasal 1 butir 3 dimuat pengertian korupsi sebagai berikut:
“Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana
korupsi”.
Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat pengertian korupsi sebagai berikut:
“Penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan, dsb)
untuk keuntungan pribadi atau orang lain”.38
Berdasarkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam Pasal 2
dan Pasal 3 terkait kerugian keuangan negara mendefinisikan korupsi sebagai berikut:
1. Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum, melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
2. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan atau perekonomian negara.
Korupsi terjadi di setiap lapisan masyarakat, tidak saja pejabat yang duduk di
pemerintahan, tetapi di setiap kelas dalam masyarakat tidak lepas dari apa yang
dinamakan dengan korupsi. Klasifikasi Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang
terjadi di dalam masyarakat secara garis besar dapat digolongkan sebagai berikut:
1. Kelas Bawah adalah KKN yang dilakukan secara kecil-kecilan, namun
berdampak luas karena menyangkut ujung tombak dari pelaksanaan
birokrasi. KKN pada tingkat ini dilakukan, pada dasarnya adalah untuk
38
Leden Marpaung, 2009, Tindak Pidana Korupsi: Pemberantasan dan Pencegahan,
Djambatan, Jakarta, Hal. 11.
25
sekadar bertahan hidup, baik bagi lembaga ujung tombak birokrasi itu
sendiri maupun kehidupan awaknya. Hal ini dilakukan pada umumnya
dengan mempersulit pelayanan yang seharusnya dapat dipermudah.
Berbagai penyebab dari meluasnya KKN semacam ini, yang utama dan
strategis adalah karena kecilnya gaji dan kurangnya sarana untuk dapat
melakukan fungsinya secara wajar, namun kemudian berubah menjadi
semacam kenikmatan yang kecenderungannya harus dipertahankan oleh
yang bersangkutan.
2. Kelas menengah adalah KKN yang dilakukan oleh pegawai negeri dan
awak birokrasi lainnya, dengan mempergunakan kekuasaan atau
kewenangan yang ada padanya, karena kedudukannya yang strategis,
walaupun tidak memegang kunci kebijakan. KKN pada tingkat ini, tidak
lagi untuk sekadar bertahan hidup, namun sudah untuk mempertahankan
posisi dan menambah kekayaan. Hal ini sudah berkaitan erat dengan upaya
melakukan link dengan penentu kebijakan pemosisian sumber daya
manusia pada tiap lembaga. Hal ini terjadi mulai dari tahapan rekruitmen
sampai dengan keputusan penentuan jabatan (posisi, jenisnya, lamanya,
dan sebagainya).
3. Kelas atas adalah KKN yang dilakukan oleh para penentu kebijaksanaan,
yang dalam pelaksanaannya bekerja sama dengan para konglomerat atau
para pelaku bisnis multinasional, dengan cara-cara yang sukar untuk di
deteksi, karena hasil-hasil KKN semacam ini, biasanya telah
mengakomodasi hukum dan perundang-undangan, di samping pergerakan
finansial sebagai hasil keuntungan KKN semacam ini, telah memanfaatkan
rekening bank internasional sebagai sarana mobilitas dana hasil KKN.39
Dilihat dari klasifikasi diatas, dapat dipahami bahwa masalah KKN di
Indonesia merupakan problem yang terjadi pada semua tingkat lapisan masyarakat.
Pada tingkat yang lebih bawah menjadi masalah besar karena kuantitas pelaku yang
besar, sedangkan pada tingkat yang lebih atas menjadi masalah besar karena kuantitas
pelibatan dana yang besar.
Berdasarkan tujuan yang mendorong orang melakukan korupsi, pada
pokoknya korupsi dapat dibagi menjadi dua, yakni sebagai berikut:
1. Korupsi Politis
39
Jawade Hafidz Arsyad, Op.cit, Hal. 22-23.
26
Korupsi politis merupakan penyelewengan kekuasaan yang lebih
mengarah ke permainan-permainan politis yang kotor, Nepotisme,
Klientelisme, penyalahgunaan pemungutan suara, dan sebagainya. Arnold
A. Rogow dan Harold D Lasswell menyebut para pejabat yang melakukan
korupsi politis sebagai game politician (politisi pendapatan). Latar
belakang psikologis yang mendorong korupsi politis adalah keinginankeinginan untuk mendapat pengakuan dari orang lain, keinginan untuk
dituakan, dan dianggap sebagai pemimpin oleh sebanyak mungkin orang.
Maka deprivasi (perasaan kehilangan atau kekurangan) yang dialami oleh
pejabat-pejabat itu terutama berkaitan dengan nilai-nilai perbedaan
(different values), yaitu perasaan bahwa dirinya berbeda dari orang lain,
merasa diri sendiri lebih pintar atau lebih besar dari orang-orang lain,
sehingga pantas untuk memperoleh pengakuan, penghormatan, dan
kekuasaan yang besar atas orang-orang tersebut.
2. Korupsi Material
Korupsi material kebanyakan berbentuk manipulasi, penyuapan,
penggelapan, dan sebagainya. Korupsi material didorong oleh keinginan
untuk memperoleh kenyamanan hidup, kekayaan, dan kemudahan dalam
segala aspek. Jadi, deprivasi yang dialami oleh pejabat-pejabat yang
melakukan korupsi material terutama menyangkut nilai-nilai kesejahteraan
(welfare values), sehingga korupsi yang dilakukan kebanyakan
ditunjukkan untuk memperoleh keuntungan material yang sebanyakbanyaknya.40
H. Baharuddin Lopa, mengemukakan:
“Tindak Pidana Korupsi adalah suatu tindak pidana yang dengan penyuapan
manipulasi dan perbuatan-perbuatan melawan hukum yang merugikan atau
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, merugikan
kesejahteraan atau kepentingan rakyat/umum. Perbuatan yang merugikan
keuangan atau perekonomian negara adalah korupsi dibidang materil,
sedangkan korupsi dibidang politik dapat terwujud berupa memanipulasi
pemungutan suara dengan cara penyuapan, intimidasi paksaan dan atau
campur tangan yang mempengaruhi kebebasan memilih komersiliasi
pemungutan suara pada lembaga legislatif atau pada keputusan yang bersifat
administratif dibidang pelaksanaan pemerintah.”41
Adapun mengenai kausa atau sebab orang melakukan korupsi menurut Andi
Hamzah, diantaranya sebagai berikut:
40
Jawade Hafidz Arsyad, Op.cit, Hal. 26.
http://sitimaryamnia.com/2012/02/pengertian-tindak-pidana-korupsi.html, diakses pada
tanggal 30 Maret 2015.
41
27
1. Kurangnya Gaji atau Pendapatan Pegawai Negeri dibandingkan dengan
kebutuhan yang makin hari makin meningkat;
Kurangnya gaji atau pendapatan pegawai negeri di Indonesia, B.
Soedarso menyatakan “Pada umumnya orang menghubung-hubungkan
tumbuh suburnya korupsi sebab yang paling gampang dihubungkan
misalnya kurangnya gaji pejabat-pejabat, buruknya ekonomi, mental
pejabat yang kurang baik, administrasi dan manajemen yang kacau yang
menghasilkan adanya prosedur yang berliku-liku dan sebagainya.
2. Latar Belakang Kebudayaan atau Kultur Indonesia yang merupakan
sumber atau sebab meluasnya korupsi;
Korupsi itu terjadi berulang-ulang karena telah menjadi suatu
kebiasaan dalam masyarakat untuk mempermudah dalam mendapatkan
pelayanan dari pemerintah, dan sebaliknya pejabat pemerintah
menggunakan kesempatan itu untuk memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya. Jadi, hal ini terkait dengan perilaku dari anggota
masyarakat dan pejabat pemerintah yang korup, karena dalam
kenyataannya masih ada masyarakat yang tidak mau melakukan korupsi.
3. Manajemen yang kurang baik dan kontrol yang kurang efektif dan efisien;
Korupsi terjadi bila ada niat dan kesempatan. Apabila manajemen
terkontrol dengan baik, maka keluar masuknya aliran dana dapat
terdeteksi. Namun demikian, tidak dapat menyalahkan manajemen begitu
saja, moral yang ada pada diri manusialah yang dapat membentengi
seseorang daru setiap perbuatan tercela.
4. Modernisasi.
Huntington menulis sebagai berikut, “Korupsi terdapat dalam
masyarakat, tetapi korupsi lebih umum dalam masyarakat yang satu
daripada yang lain, dan dalam masyarakat yang sedang tumbuh korupsi
lebih umum dalam suatu periode yang satu dari yang lain. Bukti-bukti dari
sana-sini menunjukkan bahwa luas perkembangan korupsi berkaitan
dengan modernisasi sosial dan ekonomi yang cepat”.
Penyebab modernsasi yang mengembangbiakkan korupsi dapat
disingkat dari jawaban Hutington berikut ini:
a. Modernisasi membawa perubahan pada nilai dasar atas
masyarakat;
b. Modernisasi juga ikut mengembangkan korupsi karena
modernisasi membuka sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan
baru. Hubungan sumber-sumber ini dengan kehidupan politik tidak
diatur oleh norma tradisional yang terpenting dalam masyarakat,
sedangkan norma-norma baru dalam hal ini belum dapat diterima
oleh golongan berpengaruh dalam masyarakat;
c. Modernisasi merangsang korupsi karena perubahan-perubahan
yang diakibatkannya dalam bidang kegiatan sistem politik.
Modernisasi terutama di negara-negara yang memulai modernisasi
28
lebih kemudian, memperbesar kekuasaan pemerintah dan melipat
gandakan kegiatan-kegiatan yang diatur oleh peraturan-peraturan
pemerintah.42
Korupsi memang sudah membudaya dalam masyarakat, dimulai dari korupsi
kecil-kecilan
sampai
korupsi
besar-besaran.
Permasalahan
utama
adalah
meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan, kemakmuran, dan teknologi.
Semakin maju pembangunan suatu bangsa, semakin meningkat pula kebutuhan dan
mendorong orang untuk melakukan korupsi.
Pembangunan yang dilakukan selama ini, ternyata tidak membawa
kesejahteraan pada rakyat kecil, tetapi kebanyakan dinikmati oleh koruptor yang
notabene adalah pejabat negara. Persoalan korupsi yang sekarang terjadi telah
menjadi gurita dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Hal tersebut telah membawa
dampak kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan, serta buruknya
pelayanan publik. Akibat dari korupsi, penderitaan selalu dialami oleh masyarakat,
terutama yang berada di bawah garis kemiskinan.
Akibat yang ditimbulkan oleh korupsi sangat luas, bukan saja dari aspek
prinsip hidup suatu bangsa, namun juga dapat menimbulkan kerugian bagi negara
serta masyarakat. Kekhawatiran terhadap dampak yang ditimbulkan oleh korupsi
sangat berasalan oleh karena korupsi telah menjalar keseluruh lapisan masyarakat
baik dari golongan menengah kebawah hingga menengah keatas termasuk juga
pejabat pemerintahan (pejabat negara) yang seharusnya menjadi figur panutan
masyarakat.
42
Jawade Hafidz Arsyad, Op.cit, Hal. 11-16.
29
Download