279 Pertumbuhan eksplan rumput laut ... (Petrus Rani Pong-Masak) PERTUMBUHAN EKSPLAN RUMPUT LAUT, Gracillaria verrucosa HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN TEBAR BERBEDA DI TAMBAK Petrus Rani Pong-Masak, Emma Suryati, Makmur, Brata Pantjara, dan Rachmansyah Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jln. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail : [email protected] ABSTRAK Budidaya rumput laut, Gracilaria verrucosa telah berkembang dengan pesat di Indonesia, sehingga harus didukung oleh ketersediaan bibit secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitas. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui teknik adaptasi dan tingkat kepadatan optimal tebar eksplan bibit hasil kultur jaringan di tambak. Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 1 petak tambak seluas 800 m2 di Teluk Awerange, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), perlakuan adalah kepadatan tebar awal eksplan bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan BPPBAP, yakni (A) 50 eksplan bibit per m2; (B) 100 eksplan bibit per m2; (C) 200 eksplan bibit per m2; (D) 300 eksplan bibit per m2. Peubah utama yang diamati adalah pertumbuhan, dan performansi fisik perkembangan eksplan. Peubah pendukung adalah kualitas perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan tebar awal eksplan bibit rumput laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan sebanyak 100 eksplan /m2 memberikan respon pertumbuhan terbaik untuk penebaran di tambak dibandingkan dengan kepadatan 50, 200, dan 300 eksplan / m2. Dengan demikian, kuantitas kebutuhan eksplan bibit hasil kultur jaringan untuk luasan tambak tertentu dapat ditentukan, misalnya 1 ha tambak diperlukan 1.000.000 eksplan bibit. KATA KUNCI: rumput laut, pertumbuhan, kultur jaringan, padat tebar, tambak PENDAHULUAN Rumput laut merupakan salah satu komoditas utama untuk pencapaian misi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadi penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia tahun 2015. Target produksi perikanan budidaya sebesar 353%, dimana rumput laut diharapkan terus mengalami peningkatan hingga mencapai 10.000.000 ton pada tahun 2014. Pencapaian program peningkatan produksi tersebut sangat diharapkan berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan produksi sangat didukung oleh pemanfaatan hasil olahan ekstrak jenis makroalga ini sebagai bahan dasar dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, maupun sebagai bahan pendukung dalam industri lain, seperti industri: kertas, tekstil, fotografi, semir sepatu, pasta gigir, pengalengan ikan/daging, dan pupuk (Sadhori, 1989; Wong dan Cheung, 2000; Akrim, 2002; Sulistijo, 1985). Kuantitas penggunaan ekstrak rumput laut yang terus meningkat menyebabkan produksi rumput laut semakin prospek sebagai komoditas budidaya, perdagangan, serta menjadi pionir dalam program pemberdayaan dan alternatif usaha bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui beberapa program KKP, usaha budidaya dan produksi rumput laut ditargetkan melibatkan keluarga pembudidaya sebanyak satu kepala keluarga dengan tiga anggota keluarga setiap luasan lahan satu hektar (Anonim, 2005). Hal tersebut dapat direalisasikan melalui optimalsasi potensi sumber daya untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan baik. Berdasarkan data yang ada jika didukung oleh semua aspek input budidaya, dimana luas areal yang telah dinyatakan sesuai untuk budidaya rumput laut adalah 1.110.900 hektar, sehingga dengan asumsi setiap hektar lahan dapat memproduksi rumput laut kering rata-rata 16 ton per tahun, maka produksi dapat mencapai 17.774.400 ton per tahun (Hikmayani & Purnomo, 2006). Untuk mencapai itu ditetapkan sasaran pengembangan areal budidaya seluas 1.510.500 ha untuk Eucheuma dan Gracilaria Seluas 10.500 ha (Nurdjana, 2006). Budidaya rumput laut K. alvarezii dan G. verrucosa di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan telah mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan untuk memenuhi permintaan akan bahan baku karaginan dan agar yang semakin tinggi. Walaupun demikan kendala dan masalah terus Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 280 dilaporkan terjadi pada tingkat pembudidaya, khususnya dalam penyediaan benih yang berkualitas. Penyediaan benih rumput laut dapat berasal dari alam, budidaya, dan perbenihan baik secara vegetatif maupun generatif (Parenrengi et al., 2007), namun penggunaan bibit yang berulang-ulang telah dikarakteristik menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan baik kualitas maupun kuantitas serta rentan terhadap penyakit. Salah satu upaya memperoleh bibit yang unggul telah dirintis oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) melalui teknologi kultur jaringan. Hasil kultur jaringan diharapkan memiliki keunggulan bagi pengembangan teknologi budidaya rumput laut G. verrucosa. Sampai saat ini, produk biologi hasil kultur jaringan kedua spesies tersebut telah dihasilkan namun masih sangat terbatas dan belum diperoleh data dan informasi tingkat keunggulan performan produksi bibit hasil kultur jaringan. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji performan dan kemampuan maksimal kepadatan untuk tumbuh dan berkembang di tambak. Dengan demikian tingkat kepadatan tebar eksplan yang dihasilkan dari laboratoriun dapat diadaptasikan kemudian didistribusikan kepada masyarakat pembudidaya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui teknik adaptasi dan tingkat kepadatan optimal tebar eksplan bibit hasil kultur jaringan di tambak. Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi jumlah kebutuhan bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan untuk setiap luas tambak serta informasi kemungkinan metode distribusi bibit hasil kultur jaringan yang lebih praktis. BAHAN DAN METODE Kegiatan adaptasi dan perbanyakan bibit rumput laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan dilakukan pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2010. Kegiatan dilaksanakan di Instalasi Keramba Jaring Apung BPPBAP di Teluk Awerange, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru dan perbanyakan pada salah satu petak tambak masyarakat lokal di Pesisir Teluk Awerange. Bibit yang disiapkan terdiri atas bibit hasil kultur jaringan produksi BPPBAP dan bibit yang berasal dari beberapa sentra budidaya rumput laut Gracilaria di Sulawesi Selatan. Tahapan penyediaan bibit hasil kultur jaringan diawali dengan produksi eksplan rumput laut yang mengacu dari penelitian BPPBAP pada penelitian sebelumnya, kemudian diaklimatisasi di tambak dan KJA yang selanjutnya digunakan untuk bahan percobaan dan pengembangan kebun bibit. Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 12 petak pengamatan segiempat berukuran 1 m2 sebagai wadah perlakuan yang diletakkan dalampetak tambak menggunakan patok-patok kayu dan waring hitam sebagai pembatas. Perlakuan yang diuji adalah kepadatan tebar eksplan bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan produksi BPPBAP yang berbeda, yaitu: (A) 50 eksplan bibit per m2; (B) 100 eksplan bibit per m2; (C) 200 eksplan bibit per m2; (D) 300 eksplan bibit per m2, dimana setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Seluruh petak percobaan dalam satu petak tambak yang digunakan tersebut dipersiapkan dengan proses yang sama, meliputi: perbaikan pematang, perbaikan pelataran, pemberantasan biota liar, pemupukan kemudian diisi air dengan ketinggian 60 cm di atas pelataran. Untuk meminimasi pertumbuhan kelekap dan lumut Gambar 1. Pengamatan pertumbuhan eksplan rumput laut dengan random sampling 281 Pertumbuhan eksplan rumput laut ... (Petrus Rani Pong-Masak) maka ke dalam setiap petak tambak ditebari gelondongan bandengan sebanyak 1500 ekor per luasan 500 m2. Pengamatan pertumbuhan bobot thalus rumput laut dipantau setiap 10 hari dengan melakukan penimbangan secara random sampling dengan menimbang 25 eksplan dalam setiap kotak pengamatan sebanyak 3 kali kemudian dihitung rataan untuk mengetahui bobot per individu eksplan. Panen dilakukan pada setiap petak pengamatan setelah 6 minggu pemeliharaan kemudian dilakukan penyebaran bibit ke tempat pemeliharaan yang lebih luas untuk perbanyakan dan produksi bibit. Sebagai data dukung dilakukan pengukuran kualitas air, meliputi: salinitas, DO, suhu, oksigen, dan pH dengan interval waktu 3 hari. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam RAL dengan bantuan perangkat lunak Statistic ver. 3,1 dilanjutkan dengan uji BNT HASIL DAN BAHASAN Nilai pertumbuhan spesifik rata-rata eksplan rumput laut hasil kultur jaringan yang dipelihara di tambak dapat dilihat pada Gambar 2. Tinggi rata-rata pertumbuhan mutlak rumput laut pada perlakuan padat tebar 50 eksplan/m2 dan perlakuan padat tebar 100 eksplan/m2 tidak berbeda dan keduanya berbeda terhadap perlakuan padat tebar 200 eksplan/m2 dan perlakuan padat tebar 300 eksplan/m2. Gambar 2. Laju pertumbuhan rumput laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan yang dipelihara pada kepadatan berbeda di Tambak Cahaya matahari adalah faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut. Pada kedalaman air dengan intensitas cahaya matahari yang sangat rendah, rumput laut tidak dapat hidup, karena tidak dapat melakukan fotosintesis. Banyaknya sinar matahari yang masuk ke dalam perairan berhubungan erat dengan tingkat kecerahan perairan tersebut. Faktor penting yang menyebabkan terjadinya laju pertumbuhan rumput laut adalah perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh rumput laut (Sugiarto, 1986 dalam Yusuf, 2004). Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thalus dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan. Namun demikian selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan yang harus diperhatikan seperti substrat perairan (Winarno, 1990). Arus cukup dapat membawa nutrient yang cukup pula dan sekaligus mencuci kotoran Rumput laut merupakan organisme yang memperoleh makanan (nutrients) melalui aliran air yang melewatinya. Gerakan air yang menempel pada thallus membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 282 suhu air yang besar. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20–28 0C. Besarnya kecepatan arus yang ideal antara 20–40 cm/detik (Ditjen Perikanan, 2006). Berdasarkan pernyataan Ditjen Perikanan (2006), nutrient dapat dimanfaatkan oleh rumput laut yang di bawa oleh arus. Pada perlakuan A pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan perlakuan B, C dan perlakuan D, ini disebabkan karena perlakuan A ditanam dengan kepadatan 50 eksplan bibit, dan ditebar pada bagian ujung sehingga nutrient yang ada dimanfaatkan sepenuhnya untuk tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmayasa (1988), bahwa pertumbuhan adalah proses perubahan panjang atau berat dari suatu organisme hidup selama selang waktu tertentu. Penambahan biomassa rumput laut sangat dipengaruhi oleh persaingan diantara tanaman dalam memperoleh makanan, ruang gerak dan cahaya matahari. Dari pernyataan di atas menunjukkan bahwa cahaya matahari menjadi faktor penting untuk pertumbuhan rumput laut seperti pada perlakuan A dengan kepadatan 50 eksplan bibit untuk berfotosintesis dengan baik begitu juga untuk zat hara, dan nutrien serta ruang gerak pada budidaya tersebut, sehingga perlakuan A dapat tumbuh dengan cepat dibandingkan dengan perlakuan B, C, dan D. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiarto et. al, (1987) dalam Amin et. al, (2005), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar antara 2%-3% per hari. Ini tergantung dari suplai sinar matahari, iklim, dan kondisi geogravis yang ada pada suatu perairan yang di ukur dengan pertumbuhan somatik yakni pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat dan panjang thalus rumput laut. Selain itu, semakin kurang jumlah kepadatan maka peluang berfotosintesis akan semakin mudah karena tidak saling menghalangi/ menutupi ruang gerak dibandingkan dengan kepadatan yang lebih tinggi. Demikian juga dengan kompetisi penggunaan tempat/ruang akan sangat berpengaruh dalam pemanfaataan nutrien, hal ini didukung oleh Indriani dan Sumiarsih, (1991) menyatakan bahwa pergerakan air akan membantu menyebarkan nutrien dalam air dan menyebabkan pengadukan air yang dapat mencegah kenaikan suhu yang tinggi. Bila gerakan air kurang maka endapan-endapan akan menutupi permukaan thalus tanaman sehingga menyebabkan kurangnya intensitas cahaya matahari yang diterima tanaman untuk melakukan fotosintesis dan menyebabkan adanya kompetisi dalam menyerap makanan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi rendah, karena nutrien merupakan unsur yang sangat penting bagi alga apabila kekurangan salah satu unsur nutrien dapat mengakibatkan alga tidak dapat tumbuh dengan baik. Unsur-unsur nutrien yang sangat penting bagi pertumbuhan alga adalah Nitrat dan Fosfat (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005). Selanjutnya dikatakan bahwa nitrat dianggap sebagai nutrien pembatas untuk pertumbuhan alga apabila jumlah kandungannya lebih sedikit dibanding dengan kandungan fosfat dalam perairan. Nitrat merupakan sumber nitrogen yang terbaik untuk pertumbuhan beberapa jenis alga laut. Nitrat tersebut diserap oleh alga laut kemudian diolah menjadi protein dan selanjutnya menjadi sumber makanan bagi organisme perairan. Kekurangan nitrat ditandai dengan pemudaran warna pada thallus alga merah dari warna hijau menjadi agak keputih-putihan. Selain Nitrat, Fosfat juga merupakan faktor nutrien utama bagi kebutuhan alga. Kekurangan unsur P dalam perairan dapat menyebabkan rendahnya produktivitas primer suatu perairan. Unsur P dalam perairan tidak dapat ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, tetapi dalam bentuk anorganik terlarut (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005). Alga juga menyimpan kandungan P yang diserapnya sebagai salah satu cara mempertahankan pertumbuhannya ketika tingkat konsentrasi nutrien rendah di perairan. Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air yakni suhu dan salinitas perairan diperoleh kisaran suhu 29-33°C dan salinitas 19-31 ppt. Suhu dan salinitas tersebut masih dalam kisaran yang dapat ditolerir dimana menurut DKP (2006) suhu air yang baik untuk budidaya rumput laut berkisar pada 27–30oC dengan fluktuasi harian maksimal 4oC. Sedangkan salinitas (kadar garam) perairan antara 28-35 ppt. Fardiaz, (1992) menambahkan bahwa peningkatan suhu tersebut mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4. Selain itu, untuk menjaga pertumbuhan dari rumput laut maka dilakukan pemeliharaan dan pengawasan setiap hari, dengan melakukan pengawasan pada kualitas air dan suhu air tambak. Penggantian air tambak dilakukan dua kali seminggu. pemeliharaan tanaman dilakukan dengan membersihkan tanaman yang tertimbun lumpur. 283 Pertumbuhan eksplan rumput laut ... (Petrus Rani Pong-Masak) Nilai pH yang didapatkan yaitu 7,5-8,31 menurut Aslan (1998) menyatakan bahwa G. verrucosa tumbuh baik pada kisaran pH 8–8,5. Sedangkan Sulistio (1996), mengemukakan bahwa nilai pH yang baik bagi pertumbuhan rumput laut berkisar 6–9. Nilai pH dapat menunjukkan kualitas perairan sebagai lingkungan hidup walaupun kualitas perairan itu tergantung pula dari berbagai faktor lainnya. Nilai DO yaitu 2,69- 4,14 mg/l. sesuai dengan pernyataan dari Afrianto dan Liviawati (1994) kandungan oksigen di dalam air untuk dapat mendukung kehidupan organisme air berkisar antara 4-8 mg/liter. Nilai pH dan DO yang baik maka organisme yang kita budidayakan dapat dikatakan berhasil sehingga dapat memudahkan kita dalam pengontrolan air yang merupakan media dalam proses budidaya khususnya pada tambak. Sebaliknya menurut (Kordi, 1997), yang menyatakan bahwa pada proses pemberantasan secara kimiawi, pemberantasan penyakit juga dapat dilakukan dengan memperbaiki kualitas air. Kualitas air yang buruk dapat menyebabkan organisme budidaya menjadi terganggu dan rumput laut perkembangannya menjadi terganggu. KESIMPULAN Dari hasil kegiatan penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa kepadatan tebar awal eksplan bibit rumput laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan sebanyak 100 eksplan/m 2 memberikan respon pertumbuhan terbaik untuk penebaran di tambak dibandingkan dengan kepadatan 50, 200, dan 300 eksplan per m2. Dengan demikian dapat ditentukan bahwa untuk penebaran awal bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan di tambak dibutuhkan sebanyak 1.000.000 eksplan hasil adaptasi. Bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan sebaiknya diadaptasi dengan kondisi pendekatan kualitas perairan tambak yang akan ditebari sehingga dapat langsung terkondisi pada saat ditebar. DAFTAR ACUAN Akrim, H. D. 2002. Pengembangan industri rumput laut di Indoesia, dalam Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Rumput Laut, Makassar 11 September 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, hal. 50- 74. Amini, S. Dan A. Parenrengi, 1993. Propagasi rumput laut Gracilaria verrucosa secara in vitro. Makalah disampaikan pada Simposium Perikanan I, di Jakarta, 12 hal. Amini, S. dan A. Parenrengi, 1994. Kultur jaringan rumput laut, Gracilaria verrucosa dengan variasi media conwy dalam menunjang agro-industri di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Bioteknologi Pertanian, 12 hal. Ask, E.I. dan R.V. Azanza, 2002. Advances in cultivation technology of commercial eucheumatoid species : a review with suggestions for future research. Aquaculture 206:257-277. Anggadirdja, J.T., 2005. Potensi Dan Prospek Industri Rumput Laut Nasional Yang Berkelanjutan. Workshop, Prospek Usaha Subsektor Perikanan Dan Kelautan Serta Potensi Pembiayaannya Oleh Perbankan Di Sul-Sel Dan Kawasan Timur Indanesia. Makassar 16 Februari 2005. 10 hal. Anggadiredja, J.T., 2007. Prospek Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Global, Makalah disampaikan pada Lokakarya Implementasi Program Berkelanjutan Sulawesi Selatan Menuju Sentra Rumput Laut Dunia, Makasar, 7 Mei 2007, 24 pp. Ditjen Perikanan Budidaya, 2004. Strategi pengembangan potensi rumput laut nasional untuk mendukung usaha pembudidayaan dan pengolahan hasil rumput laut. Makalah disampaikan pada Forum Rumput Laut Nasional di Mataram-NTB pada tanggal 29 Juni-1 Juli 2004. Fardiaz, S., 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Indriani, H. dan Emi Sumiarsih, 2003. Budidaya, Pengelohan dan Pemasaran Rumput Largo, D.B., F. Fukami, T. Nishijima, dan M. Ohno, 1995. Laboratory-induced development pf the iceice disease of the farmed red algae Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma denticulatum (Solieriaceae, Gigartinales, Rhodophyta). J.Appl. Phycol. (7):539-543. Mubarak, H., S. Ilyas, W. Ismail, I.S. Wahyuni, S.T. Hartati, E. Pratiwi, Z. Jangkaru dan R. Arifuddin, 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 93 pp. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011 284 Nurdjana, M.L. 2006. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia. Diseminasi teknologi dan temu bisnis rumput laut (hand out). Makassar, 12 September 2006. Badan Riset kelautan dan Perikanan. 35 Hlm. Parenrengi, A., Sulaeman, E. Suryati, dan A. Tenriulo, 2006. Karakterisasi genetik rumput laut Kappaphycus alvarezii yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur I (1): 1-11. Parenrengi, A., E. Suryati, dan Rachmansyah, 2007. Penyedian benih dalam menunjang kebun bibit dan budidaya rumput laut, Kappaphycus alvarezii. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional Riset Kelautan dan Perikanan, 7 Agustus 2007 di Jakarta, 12 pp. Sadhori, S.N. 1989. Budidaya Rumput Laut. Balai Pustaka. 110 hal. Sudjiharno, S. Akbar, Y. Puja, N. Runtuboy dan M. Meiyana, 2001. Teknologi Budidaya Rumput Lut (Kappaphycus alvarezii). Seri No:8. Balai Budidaya Laut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 42 hal. Sukmadinata, T., 2001. Peluang pemasaran rumput laut dan produk olahannya di pasar lokal dan ekspor. Laporan Forum Rumput Laut, Pusat Riset Pengelolahan Produk dan Sosial, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, hal 37-56. Sulistijo, 1985. Budidaya Rumput laut. LON. LIPI. Jakarta. hlm 23-24. Supit, D.S. 1999. Karakteristik Pertmbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut Eucheuma alvarezii (Doty) yang Berwarna Abu-abu. Coklat dan Hijau yang Ditanam di Coba Lambangan Pasir Pulau Pari . Skripsi Institut Pertanian Bogor. hlm 15-18. Wong K.H. And Cheung, 2000. Nutritional Evaluation of Some Subtropical ed and Green Seawssd : Part II – In Vitro Protein Digestibelity and Amino Acid Profiles of Protein Concentrates. Food Chemitry. 72:11-17.