279 Pertumbuhan eksplan rumput laut - BPPBAP-Maros

advertisement
279
Pertumbuhan eksplan rumput laut ... (Petrus Rani Pong-Masak)
PERTUMBUHAN EKSPLAN RUMPUT LAUT, Gracillaria verrucosa
HASIL KULTUR JARINGAN DENGAN KEPADATAN TEBAR BERBEDA DI TAMBAK
Petrus Rani Pong-Masak, Emma Suryati, Makmur, Brata Pantjara, dan Rachmansyah
Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau
Jln. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Budidaya rumput laut, Gracilaria verrucosa telah berkembang dengan pesat di Indonesia, sehingga harus
didukung oleh ketersediaan bibit secara kuantitas, kualitas, dan kontinuitas. Tujuan dari penelitian ini
adalah mengetahui teknik adaptasi dan tingkat kepadatan optimal tebar eksplan bibit hasil kultur jaringan
di tambak. Kegiatan penelitian dilaksanakan dalam 1 petak tambak seluas 800 m2 di Teluk Awerange,
Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Penelitian dirancang dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL), perlakuan
adalah kepadatan tebar awal eksplan bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan BPPBAP, yakni (A) 50 eksplan bibit
per m2; (B) 100 eksplan bibit per m2; (C) 200 eksplan bibit per m2; (D) 300 eksplan bibit per m2. Peubah utama
yang diamati adalah pertumbuhan, dan performansi fisik perkembangan eksplan. Peubah pendukung
adalah kualitas perairan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepadatan tebar awal eksplan bibit rumput
laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan sebanyak 100 eksplan /m2 memberikan respon pertumbuhan terbaik
untuk penebaran di tambak dibandingkan dengan kepadatan 50, 200, dan 300 eksplan / m2. Dengan
demikian, kuantitas kebutuhan eksplan bibit hasil kultur jaringan untuk luasan tambak tertentu dapat
ditentukan, misalnya 1 ha tambak diperlukan 1.000.000 eksplan bibit.
KATA KUNCI:
rumput laut, pertumbuhan, kultur jaringan, padat tebar, tambak
PENDAHULUAN
Rumput laut merupakan salah satu komoditas utama untuk pencapaian misi Kementerian Kelautan
dan Perikanan (KKP) menjadi penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia tahun 2015.
Target produksi perikanan budidaya sebesar 353%, dimana rumput laut diharapkan terus mengalami
peningkatan hingga mencapai 10.000.000 ton pada tahun 2014. Pencapaian program peningkatan
produksi tersebut sangat diharapkan berperan penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Peningkatan produksi sangat didukung oleh pemanfaatan hasil olahan ekstrak jenis makroalga ini
sebagai bahan dasar dalam industri makanan, kosmetik, farmasi, maupun sebagai bahan pendukung
dalam industri lain, seperti industri: kertas, tekstil, fotografi, semir sepatu, pasta gigir, pengalengan
ikan/daging, dan pupuk (Sadhori, 1989; Wong dan Cheung, 2000; Akrim, 2002; Sulistijo, 1985).
Kuantitas penggunaan ekstrak rumput laut yang terus meningkat menyebabkan produksi rumput
laut semakin prospek sebagai komoditas budidaya, perdagangan, serta menjadi pionir dalam program pemberdayaan dan alternatif usaha bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Melalui
beberapa program KKP, usaha budidaya dan produksi rumput laut ditargetkan melibatkan keluarga
pembudidaya sebanyak satu kepala keluarga dengan tiga anggota keluarga setiap luasan lahan satu
hektar (Anonim, 2005). Hal tersebut dapat direalisasikan melalui optimalsasi potensi sumber daya
untuk budidaya rumput laut dilakukan dengan baik. Berdasarkan data yang ada jika didukung oleh
semua aspek input budidaya, dimana luas areal yang telah dinyatakan sesuai untuk budidaya rumput
laut adalah 1.110.900 hektar, sehingga dengan asumsi setiap hektar lahan dapat memproduksi rumput
laut kering rata-rata 16 ton per tahun, maka produksi dapat mencapai 17.774.400 ton per tahun
(Hikmayani & Purnomo, 2006). Untuk mencapai itu ditetapkan sasaran pengembangan areal budidaya
seluas 1.510.500 ha untuk Eucheuma dan Gracilaria Seluas 10.500 ha (Nurdjana, 2006).
Budidaya rumput laut K. alvarezii dan G. verrucosa di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan
telah mengalami perkembangan yang sangat menggembirakan untuk memenuhi permintaan akan
bahan baku karaginan dan agar yang semakin tinggi. Walaupun demikan kendala dan masalah terus
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
280
dilaporkan terjadi pada tingkat pembudidaya, khususnya dalam penyediaan benih yang berkualitas.
Penyediaan benih rumput laut dapat berasal dari alam, budidaya, dan perbenihan baik secara vegetatif
maupun generatif (Parenrengi et al., 2007), namun penggunaan bibit yang berulang-ulang telah
dikarakteristik menjadi salah satu penyebab terjadinya penurunan baik kualitas maupun kuantitas
serta rentan terhadap penyakit.
Salah satu upaya memperoleh bibit yang unggul telah dirintis oleh Balai Penelitian dan
Pengembangan Budidaya Air Payau (BPPBAP) melalui teknologi kultur jaringan. Hasil kultur jaringan
diharapkan memiliki keunggulan bagi pengembangan teknologi budidaya rumput laut G. verrucosa.
Sampai saat ini, produk biologi hasil kultur jaringan kedua spesies tersebut telah dihasilkan namun
masih sangat terbatas dan belum diperoleh data dan informasi tingkat keunggulan performan produksi
bibit hasil kultur jaringan. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji performan dan kemampuan maksimal
kepadatan untuk tumbuh dan berkembang di tambak. Dengan demikian tingkat kepadatan tebar
eksplan yang dihasilkan dari laboratoriun dapat diadaptasikan kemudian didistribusikan kepada
masyarakat pembudidaya.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui teknik adaptasi dan tingkat kepadatan optimal
tebar eksplan bibit hasil kultur jaringan di tambak. Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi
jumlah kebutuhan bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan untuk setiap luas tambak serta informasi
kemungkinan metode distribusi bibit hasil kultur jaringan yang lebih praktis.
BAHAN DAN METODE
Kegiatan adaptasi dan perbanyakan bibit rumput laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan dilakukan
pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus 2010. Kegiatan dilaksanakan di Instalasi Keramba
Jaring Apung BPPBAP di Teluk Awerange, Kecamatan Mallusetasi, Kabupaten Barru dan perbanyakan
pada salah satu petak tambak masyarakat lokal di Pesisir Teluk Awerange. Bibit yang disiapkan terdiri
atas bibit hasil kultur jaringan produksi BPPBAP dan bibit yang berasal dari beberapa sentra budidaya
rumput laut Gracilaria di Sulawesi Selatan. Tahapan penyediaan bibit hasil kultur jaringan diawali
dengan produksi eksplan rumput laut yang mengacu dari penelitian BPPBAP pada penelitian
sebelumnya, kemudian diaklimatisasi di tambak dan KJA yang selanjutnya digunakan untuk bahan
percobaan dan pengembangan kebun bibit.
Penelitian disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 12 petak
pengamatan segiempat berukuran 1 m2 sebagai wadah perlakuan yang diletakkan dalampetak tambak
menggunakan patok-patok kayu dan waring hitam sebagai pembatas. Perlakuan yang diuji adalah
kepadatan tebar eksplan bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan produksi BPPBAP yang berbeda, yaitu:
(A) 50 eksplan bibit per m2; (B) 100 eksplan bibit per m2; (C) 200 eksplan bibit per m2; (D) 300 eksplan
bibit per m2, dimana setiap perlakuan dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali. Seluruh petak percobaan
dalam satu petak tambak yang digunakan tersebut dipersiapkan dengan proses yang sama, meliputi:
perbaikan pematang, perbaikan pelataran, pemberantasan biota liar, pemupukan kemudian diisi air
dengan ketinggian 60 cm di atas pelataran. Untuk meminimasi pertumbuhan kelekap dan lumut
Gambar 1. Pengamatan pertumbuhan eksplan rumput laut dengan random sampling
281
Pertumbuhan eksplan rumput laut ... (Petrus Rani Pong-Masak)
maka ke dalam setiap petak tambak ditebari gelondongan bandengan sebanyak 1500 ekor per luasan
500 m2.
Pengamatan pertumbuhan bobot thalus rumput laut dipantau setiap 10 hari dengan melakukan
penimbangan secara random sampling dengan menimbang 25 eksplan dalam setiap kotak pengamatan
sebanyak 3 kali kemudian dihitung rataan untuk mengetahui bobot per individu eksplan. Panen
dilakukan pada setiap petak pengamatan setelah 6 minggu pemeliharaan kemudian dilakukan
penyebaran bibit ke tempat pemeliharaan yang lebih luas untuk perbanyakan dan produksi bibit.
Sebagai data dukung dilakukan pengukuran kualitas air, meliputi: salinitas, DO, suhu, oksigen, dan
pH dengan interval waktu 3 hari.
Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam RAL dengan bantuan perangkat lunak Statistic ver. 3,1
dilanjutkan dengan uji BNT
HASIL DAN BAHASAN
Nilai pertumbuhan spesifik rata-rata eksplan rumput laut hasil kultur jaringan yang dipelihara di
tambak dapat dilihat pada Gambar 2. Tinggi rata-rata pertumbuhan mutlak rumput laut pada
perlakuan padat tebar 50 eksplan/m2 dan perlakuan padat tebar 100 eksplan/m2 tidak berbeda dan
keduanya berbeda terhadap perlakuan padat tebar 200 eksplan/m2 dan perlakuan padat tebar 300
eksplan/m2.
Gambar 2. Laju pertumbuhan rumput laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan
yang dipelihara pada kepadatan berbeda di Tambak
Cahaya matahari adalah faktor utama yang sangat dibutuhkan oleh rumput laut. Pada kedalaman
air dengan intensitas cahaya matahari yang sangat rendah, rumput laut tidak dapat hidup, karena
tidak dapat melakukan fotosintesis. Banyaknya sinar matahari yang masuk ke dalam perairan
berhubungan erat dengan tingkat kecerahan perairan tersebut. Faktor penting yang menyebabkan
terjadinya laju pertumbuhan rumput laut adalah perbedaan intensitas cahaya yang diterima oleh
rumput laut (Sugiarto, 1986 dalam Yusuf, 2004).
Pertumbuhan adalah perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang
dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor
internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian thalus
dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain keadaan fisik dan kimiawi perairan.
Namun demikian selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan
pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan
yang harus diperhatikan seperti substrat perairan (Winarno, 1990).
Arus cukup dapat membawa nutrient yang cukup pula dan sekaligus mencuci kotoran Rumput
laut merupakan organisme yang memperoleh makanan (nutrients) melalui aliran air yang melewatinya.
Gerakan air yang menempel pada thallus membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
282
suhu air yang besar. Suhu yang baik untuk pertumbuhan rumput laut berkisar 20–28 0C. Besarnya
kecepatan arus yang ideal antara 20–40 cm/detik (Ditjen Perikanan, 2006).
Berdasarkan pernyataan Ditjen Perikanan (2006), nutrient dapat dimanfaatkan oleh rumput laut
yang di bawa oleh arus. Pada perlakuan A pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan
perlakuan B, C dan perlakuan D, ini disebabkan karena perlakuan A ditanam dengan kepadatan 50
eksplan bibit, dan ditebar pada bagian ujung sehingga nutrient yang ada dimanfaatkan sepenuhnya
untuk tumbuh dengan baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Darmayasa (1988), bahwa pertumbuhan
adalah proses perubahan panjang atau berat dari suatu organisme hidup selama selang waktu tertentu.
Penambahan biomassa rumput laut sangat dipengaruhi oleh persaingan diantara tanaman dalam
memperoleh makanan, ruang gerak dan cahaya matahari. Dari pernyataan di atas menunjukkan
bahwa cahaya matahari menjadi faktor penting untuk pertumbuhan rumput laut seperti pada
perlakuan A dengan kepadatan 50 eksplan bibit untuk berfotosintesis dengan baik begitu juga untuk
zat hara, dan nutrien serta ruang gerak pada budidaya tersebut, sehingga perlakuan A dapat tumbuh
dengan cepat dibandingkan dengan perlakuan B, C, dan D. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sugiarto
et. al, (1987) dalam Amin et. al, (2005), menyatakan bahwa laju pertumbuhan rumput laut berkisar
antara 2%-3% per hari. Ini tergantung dari suplai sinar matahari, iklim, dan kondisi geogravis yang
ada pada suatu perairan yang di ukur dengan pertumbuhan somatik yakni pertumbuhan yang diukur
berdasarkan pertambahan berat dan panjang thalus rumput laut. Selain itu, semakin kurang jumlah
kepadatan maka peluang berfotosintesis akan semakin mudah karena tidak saling menghalangi/
menutupi ruang gerak dibandingkan dengan kepadatan yang lebih tinggi.
Demikian juga dengan kompetisi penggunaan tempat/ruang akan sangat berpengaruh dalam
pemanfaataan nutrien, hal ini didukung oleh Indriani dan Sumiarsih, (1991) menyatakan bahwa
pergerakan air akan membantu menyebarkan nutrien dalam air dan menyebabkan pengadukan air
yang dapat mencegah kenaikan suhu yang tinggi. Bila gerakan air kurang maka endapan-endapan
akan menutupi permukaan thalus tanaman sehingga menyebabkan kurangnya intensitas cahaya
matahari yang diterima tanaman untuk melakukan fotosintesis dan menyebabkan adanya kompetisi
dalam menyerap makanan sehingga pertumbuhan tanaman menjadi rendah, karena nutrien
merupakan unsur yang sangat penting bagi alga apabila kekurangan salah satu unsur nutrien dapat
mengakibatkan alga tidak dapat tumbuh dengan baik. Unsur-unsur nutrien yang sangat penting
bagi pertumbuhan alga adalah Nitrat dan Fosfat (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005). Selanjutnya
dikatakan bahwa nitrat dianggap sebagai nutrien pembatas untuk pertumbuhan alga apabila jumlah
kandungannya lebih sedikit dibanding dengan kandungan fosfat dalam perairan. Nitrat merupakan
sumber nitrogen yang terbaik untuk pertumbuhan beberapa jenis alga laut. Nitrat tersebut diserap
oleh alga laut kemudian diolah menjadi protein dan selanjutnya menjadi sumber makanan bagi
organisme perairan. Kekurangan nitrat ditandai dengan pemudaran warna pada thallus alga merah
dari warna hijau menjadi agak keputih-putihan. Selain Nitrat, Fosfat juga merupakan faktor nutrien
utama bagi kebutuhan alga. Kekurangan unsur P dalam perairan dapat menyebabkan rendahnya
produktivitas primer suatu perairan. Unsur P dalam perairan tidak dapat ditemukan dalam bentuk
bebas sebagai elemen, tetapi dalam bentuk anorganik terlarut (Gumolili, 1999 dalam Supit, 2005).
Alga juga menyimpan kandungan P yang diserapnya sebagai salah satu cara mempertahankan
pertumbuhannya ketika tingkat konsentrasi nutrien rendah di perairan.
Berdasarkan hasil pengukuran kualitas air yakni suhu dan salinitas perairan diperoleh kisaran
suhu 29-33°C dan salinitas 19-31 ppt. Suhu dan salinitas tersebut masih dalam kisaran yang dapat
ditolerir dimana menurut DKP (2006) suhu air yang baik untuk budidaya rumput laut berkisar pada
27–30oC dengan fluktuasi harian maksimal 4oC. Sedangkan salinitas (kadar garam) perairan antara
28-35 ppt. Fardiaz, (1992) menambahkan bahwa peningkatan suhu tersebut mengakibatkan
peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu, peningkatan suhu juga
menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4. Selain itu, untuk
menjaga pertumbuhan dari rumput laut maka dilakukan pemeliharaan dan pengawasan setiap hari,
dengan melakukan pengawasan pada kualitas air dan suhu air tambak. Penggantian air tambak
dilakukan dua kali seminggu. pemeliharaan tanaman dilakukan dengan membersihkan tanaman
yang tertimbun lumpur.
283
Pertumbuhan eksplan rumput laut ... (Petrus Rani Pong-Masak)
Nilai pH yang didapatkan yaitu 7,5-8,31 menurut Aslan (1998) menyatakan bahwa G. verrucosa
tumbuh baik pada kisaran pH 8–8,5. Sedangkan Sulistio (1996), mengemukakan bahwa nilai pH
yang baik bagi pertumbuhan rumput laut berkisar 6–9. Nilai pH dapat menunjukkan kualitas perairan
sebagai lingkungan hidup walaupun kualitas perairan itu tergantung pula dari berbagai faktor lainnya.
Nilai DO yaitu 2,69- 4,14 mg/l. sesuai dengan pernyataan dari Afrianto dan Liviawati (1994)
kandungan oksigen di dalam air untuk dapat mendukung kehidupan organisme air berkisar antara
4-8 mg/liter.
Nilai pH dan DO yang baik maka organisme yang kita budidayakan dapat dikatakan berhasil
sehingga dapat memudahkan kita dalam pengontrolan air yang merupakan media dalam proses
budidaya khususnya pada tambak. Sebaliknya menurut (Kordi, 1997), yang menyatakan bahwa pada
proses pemberantasan secara kimiawi, pemberantasan penyakit juga dapat dilakukan dengan
memperbaiki kualitas air. Kualitas air yang buruk dapat menyebabkan organisme budidaya menjadi
terganggu dan rumput laut perkembangannya menjadi terganggu.
KESIMPULAN
Dari hasil kegiatan penelitian ini dapat disimpulkan, bahwa kepadatan tebar awal eksplan bibit
rumput laut, G. verrucosa hasil kultur jaringan sebanyak 100 eksplan/m 2 memberikan respon
pertumbuhan terbaik untuk penebaran di tambak dibandingkan dengan kepadatan 50, 200, dan 300
eksplan per m2. Dengan demikian dapat ditentukan bahwa untuk penebaran awal bibit G. verrucosa
hasil kultur jaringan di tambak dibutuhkan sebanyak 1.000.000 eksplan hasil adaptasi.
Bibit G. verrucosa hasil kultur jaringan sebaiknya diadaptasi dengan kondisi pendekatan kualitas
perairan tambak yang akan ditebari sehingga dapat langsung terkondisi pada saat ditebar.
DAFTAR ACUAN
Akrim, H. D. 2002. Pengembangan industri rumput laut di Indoesia, dalam Diseminasi Teknologi dan
Temu Bisnis Rumput Laut, Makassar 11 September 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.
Departemen Kelautan dan Perikanan, hal. 50- 74.
Amini, S. Dan A. Parenrengi, 1993. Propagasi rumput laut Gracilaria verrucosa secara in vitro. Makalah
disampaikan pada Simposium Perikanan I, di Jakarta, 12 hal.
Amini, S. dan A. Parenrengi, 1994. Kultur jaringan rumput laut, Gracilaria verrucosa dengan variasi
media conwy dalam menunjang agro-industri di Sulawesi Selatan. Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Bioteknologi Pertanian, 12 hal.
Ask, E.I. dan R.V. Azanza, 2002. Advances in cultivation technology of commercial eucheumatoid species : a
review with suggestions for future research. Aquaculture 206:257-277.
Anggadirdja, J.T., 2005. Potensi Dan Prospek Industri Rumput Laut Nasional Yang Berkelanjutan.
Workshop, Prospek Usaha Subsektor Perikanan Dan Kelautan Serta Potensi Pembiayaannya Oleh
Perbankan Di Sul-Sel Dan Kawasan Timur Indanesia. Makassar 16 Februari 2005. 10 hal.
Anggadiredja, J.T., 2007. Prospek Pasar Rumput Laut Indonesia di Pasar Global, Makalah disampaikan
pada Lokakarya Implementasi Program Berkelanjutan Sulawesi Selatan Menuju Sentra Rumput
Laut Dunia, Makasar, 7 Mei 2007, 24 pp.
Ditjen Perikanan Budidaya, 2004. Strategi pengembangan potensi rumput laut nasional untuk
mendukung usaha pembudidayaan dan pengolahan hasil rumput laut. Makalah disampaikan pada
Forum Rumput Laut Nasional di Mataram-NTB pada tanggal 29 Juni-1 Juli 2004.
Fardiaz, S., 1995. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta.
Indriani, H. dan Emi Sumiarsih, 2003. Budidaya, Pengelohan dan Pemasaran
Rumput
Largo, D.B., F. Fukami, T. Nishijima, dan M. Ohno, 1995. Laboratory-induced development pf the iceice disease of the farmed red algae Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma denticulatum (Solieriaceae,
Gigartinales, Rhodophyta). J.Appl. Phycol. (7):539-543.
Mubarak, H., S. Ilyas, W. Ismail, I.S. Wahyuni, S.T. Hartati, E. Pratiwi, Z. Jangkaru dan
R. Arifuddin,
1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 93 pp.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
284
Nurdjana, M.L. 2006. Pengembangan budidaya rumput laut di Indonesia. Diseminasi teknologi dan
temu bisnis rumput laut (hand out). Makassar, 12 September 2006. Badan Riset kelautan dan
Perikanan. 35 Hlm.
Parenrengi, A., Sulaeman, E. Suryati, dan A. Tenriulo, 2006. Karakterisasi genetik rumput laut
Kappaphycus alvarezii yang dibudidayakan di Sulawesi Selatan. Jurnal Riset Akuakultur I (1): 1-11.
Parenrengi, A., E. Suryati, dan Rachmansyah, 2007. Penyedian benih dalam menunjang kebun bibit
dan budidaya rumput laut, Kappaphycus alvarezii. Makalah disampaikan pada Simposium Nasional
Riset Kelautan dan Perikanan, 7 Agustus 2007 di Jakarta, 12 pp.
Sadhori, S.N. 1989. Budidaya Rumput Laut. Balai Pustaka. 110 hal.
Sudjiharno, S. Akbar, Y. Puja, N. Runtuboy dan M. Meiyana, 2001. Teknologi Budidaya Rumput Lut
(Kappaphycus alvarezii). Seri No:8. Balai Budidaya Laut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 42
hal.
Sukmadinata, T., 2001. Peluang pemasaran rumput laut dan produk olahannya di pasar lokal dan
ekspor. Laporan Forum Rumput Laut, Pusat Riset Pengelolahan Produk dan Sosial, Badan Riset
Kelautan dan Perikanan, hal 37-56.
Sulistijo, 1985. Budidaya Rumput laut. LON. LIPI. Jakarta. hlm 23-24.
Supit, D.S. 1999. Karakteristik Pertmbuhan dan Kandungan Karagenan Rumput Laut Eucheuma alvarezii
(Doty) yang Berwarna Abu-abu. Coklat dan Hijau yang Ditanam di Coba Lambangan Pasir Pulau
Pari . Skripsi Institut Pertanian Bogor. hlm 15-18.
Wong K.H. And Cheung, 2000. Nutritional Evaluation of Some Subtropical ed and Green Seawssd :
Part II – In Vitro Protein Digestibelity and Amino Acid Profiles of Protein Concentrates. Food Chemitry.
72:11-17.
Download