Ecogreen Vol. 2 No. 2, Oktober 2016 Halaman 79 – 88 ISSN 2407 - 9049 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT WANGI-WANGI DALAM PEMANFAATAN ZONA PASANG SURUT SECARA BERKELANJUTAN Local Wisdom Of Wangi - Wangi Community In Intertidal Zone For Sustainable Utilization 1 Sunarwan Asuhadi1, Nur Arafah2 Staf Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan (LPTK) Balitbang Kementerian Kelautan dan Perikanan Email : [email protected] 2 Dosen Fakultas Kehutanan dan IlmuLingkungan (FHIL) Universitas Halu Oleo Email : [email protected] ABSTRAK Sebagai aspek sosial daerah pesisir, pengetahuan lokal Masyarakat Wangi-Wangi mengenai penamaan area-area pasang surut dan pola pemanfaatannya dari waktu ke waktu perlu dikaji. Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab bagaimana pengetahuan lokal masyarakat WangiWangi mengklasifikasikan morfologi dasar perairan zona pasang surut, dan bagaimana pola pemanfaatannya. Penelitian dilakukan dengan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan untuk menemukan fakta dan mendeskripsikan morfologi dasar perairan zona pasang surut. Pemilihan responden untuk wawancara dilakukan dengan purposive sampling, teknik selanjutnya adalah dengan menggunakan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Wangi-Wangi memiliki kearifan lokal yang khas mengenai klasifikasi morfologi dasar perairan zona pasang surut dan pemanfaatannya. Dalam implementasinya ekoliterasi laut berbasis kearifan lokal tersebut dapat menjadi dasar untuk kepentingan rehabilitasi zona pasang surut dan rekonstruksi kelembagaannya. Dengan demikian, akan menjamin terlaksananya pemanfaatan zona pasang surut secara berkelanjutan. Kata kunci : Kearifan lokal, morfologi oseanik, zona pasang surut, Masyarakat Wangi-Wangi ABSTRACT This study aims to reveal local wisdom in Wangi-Wangi Communityabout intertidal areas and utilization patterns over time. This research was conducted in order to answer how local wisdom classify seabed morphology intertidal zone, and how patterns of utilization. The study was conducted by observation and interview. Observations conducted to find the facts and describe the morphology of the seabed intertidal zone. The selection of respondents for interviews were conducted with a purposive sampling, the next technique is to use the documentation. The results showed that WangiWangi Community have local knowledge which is typical of the seabed morphology classification intertidal zone and utilization. In the implementation ecoliteracy sea-based local wisdom can be the foundation to rehabilitate the intertidal zone and institutional reconstruction. Thus, it will guarantee the implementation of the utilization of intertidal zone in a sustainable manner. Keywords :Local wisdom, oceanic morphology, intertidal zone, Wangi-Wangi Community PENDAHULUAN Kearifan lokal merupakan tata nilai kehidupan yang terwarisi dari satu generasi ke generasi berikutnya yang berbentuk religi, budaya ataupun adat istiadat yang umumnya dalam bentuk lisan dalam suatu bentuk sistem sosial suatu masyarakat (Juniarta, et.al., 2013). Tiap-tiap masyarakat mempunyai kearifan lokal, kearifan tradisional, pengetahuan lokal (local expertice) atau kecerdasan lokal (local genius) dan kearifan asli pribumi (indigenous knowledge) yang berguna dalam kehidupan mereka (Nurman, et. al., 2012). Masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai kemampuan beradaptasi dengan memanfaatkan kondisi lingkungan yang terbatas dengan kearifan lokal (Arafah, 2010). Kemampuan adaptasi tersebut disebabkan Kearifan Lokal Masyarakat Wangi-Wangi - Sunarwan Asuhadi & Nur Arafah karena pulau-pulau kecil mempunyai karateristik yang khas secara fisik, ekologis, dan sosial-budaya dan ekonomi. Karakteristik lainnya adalah secara fisik: terpisah dari pulau besar; membentuk satu gugus pulau; lebih banyak dipengaruhi hidro-klimat laut; namun, rentan terhadap perubahan alam/manusia; substrat pulau tergantung pada kondisi dan proses geologi dan morfologi; kedalaman laut rata-rata antar pulau ditentukan kondisi georafis dan jarak pulau, dan dinamika oseanografi yang unik (DKP, 2007). Penelitian kearifan lokal yang telah dilakukan di Kabupaten Wakatobi menunjukkan bahwa kearifan lokal memiliki peran ekologis dan sosial, yakni secara kelembagaan relevan dengan nilai-nilai konservasi (Arafah, 2010; Arafah 2009), dan secara sosial dapat menjembatani berbagai kepentingan masyarakat (Udu, 2015). Kajian tentang kearifan lokal wilayah pesisir dan laut telah dilakukan oleh sejumlah peneliti, di antaranya Rohim (2009) dan Juniarta et. al., (2013) menyebutkan bahwa implementasi kearifan lokal adalah salah satu ruang partisipasi pembangunan berbasis masyarakat yang dapat menjadi salah satu model pembangunan berkelanjutan. Namun, kedua kajian tersebut lebih bersifat ritual. Kajian kearifan lokal terkait pesisir dan laut dilakukan oleh Ruddle (1991), menyimpulkan masyarakat nelayan memiliki pengetahuan kelautan lokal yang selaras dengan konsep pemanfaatan laut berkelanjutan. Senada dengan penelitian kearifan lokal di atas, Mellado, et al (2014) menyimpulkan bahwa kearifan lokal masyarakat tentang laut dapat diintegrasikan dengan kebijakan pengelolaan wilayah laut yang diterapkan saat ini. Namun penelitian tersebut tidak spesifik mendeskripsikan aspek fisik morfologi dasar perairan di areal pasang surut dan pola pemanfaatannya. Penelitian ini bertujuan mempelajari kearifan lokal masyarakat Wangi-Wangi dalam mengklasifikasikan morfologi dasar perairan zona pasang surut serta pola pemanfaatannya yang dapat menunjang keberlanjutan zona pasang surut. Penelitian ini dapat mendeskripsikan kearifan lokal yang sejalan dengan ilmu pengetahuan saat ini. Manfaat adalah menjadi rekomendasi kepada pihak 80 terkait untuk mengakomodasi gagasan kearifan lokal dalam implementasi kebijakan pembangunan wilayah pesisir, khususnya di area pasang surut di Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April 2015 sampai dengan Mei 2016, mewakili dua musim, yakni musim Barat dan Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan komunitas pada Masyarakat Waha, yang meliputi Desa Wapia-pia, Desa Waha, dan Koroe Onowa Kecamatan Wangi-Wangi (Gambar 1). Alasan pemilihan tempat penelitian ini, karena ekosistem di Desa Waha lebih kompleks, memiliki hampir semua jenis ekosistem pesisir dan laut di Wakatobi, yakni ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang, dan laut dalam. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Observasi dilakukan melalui pengamatan terhadap morfologi ekologi oseanik zona pasang surut, selain itu dilakukan dokumentasi dengan menggunakan kamera underwater, Nikon16 megapixels. Sedangkan wawancara dilakukan secara purposive (sengaja) sebanyak 30 orang, tokoh kunci yaitu tokoh masyarakat seperti para tokoh adat, agama, perangkat desa, dan masyarakat Waha yang berprofesi sebagai nelayan. Analisis data dilakukan secara deskripsi dengan pendekatan emik, yaitu penyajian data berdasarkan informasi dari nara sumber. Penyajian data disesuaikan dengan jenis data dan tujuan penggunaannya. HASIL DAN PEMBAHASAN Letak Wilayah Secara astronomis, Kabupaten Wakatobi terletak di bagian tenggara Pulau Sulawesi dan secara geografis, Wakatobi terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 5.000-6.250Lintang Selatan (sepanjang ± 160 km) dan membentang dari Barat ke Timur diantara 123.340-124.640 Bujur Timur (sepanjang ± 120 km) (BPS Kabupaten Wakatobi, 2014). Lokasi penelitian berada pada posisi koordinat: 5014’44.97” S- Ecogreen Vol. 2(2) Oktober 2016, Hal 79 - 88 5016’03.39” S dan 123031’00,90” E123032’40.69” E. Pulau Wangi-Wangi merupakan gugusan pulau karang yang sebagian besar (70%) memiliki topografi landai dengan ketinggian tempat berkisar 1-350 m di atas permukaan laut (dpl). Iklim di Kepulauan Wakatobi menurut Schmidt-Furgusson termasuk tipe C, dengan dua musim yaitu musim kemarau (musim timur: April – Agustus) dan musim hujan (musim barat: September – April) (Bappeda, 2007). Suhu udara rata-rata di Sulawesi Tenggara tahun 2009 berkisar antara 22,3°C sampai dengan 34,4°C. Kelembaban udara rata-rata bervariasi antara 71 persen sampai dengan 86 persen. Rata-rata kecepatan angin 4 knot/detik (BPS, 2015). Gambar 1. Peta Pulau Wangi-Wangi Zona Pengelolaan Pasang Surut Pengetahuan lokal masyarakat Waha tentang pembagian zona pasang surut diklasifikasikan menjadi tiga bagian penting sebagai berikut. A. Zona Topisa’a Nu Bhomba(Zona Sekitar Pantai) Zona sekitar pantai terletak di dekat pantai dan dicirikan oleh mayoritas biota non ikan, meliputi: 1. Yoa : batas antara daratan dan laut (pantai), ukuran bervariasi, lebar > 20 m, terbentuk dari pasir (putih), dengan ciri biota berupa mangrove (ikutan), kepiting pantai, kerang putih (kecil), spesies moluska; 2. Paka : batas antara daratan dan laut (tebing), ukuran bervariasi, lebar > 20 m, tinggi ~ 3 – 4 m, terbentuk dari batu gamping, dengan ciri biota berupa mangrove (ikutan), kepiting, kerang hitam, spesies moluska; 3. Namonamo : bagian dasar perairan zona pasang surut yang tidak kering pada saat air laut surut, jarak dari pantai ~ 15 m, umumnya terletak sebelum lamun (dari arah pantai), namun kadang juga ditemukan area zona tengah pasang surut, dan zona ujung pasang surut, ciri fisik berupa material pasir halus, dan ciri biota pada umumnya adalah ikan sebelah dan kepiting; dan 4. Nokoi : bagian dasar perairan zona pasang surut yang kering pada saat air laut surut, ciri fisik berupa pasir tebal yang berbentuk vertikal kearah laut, dengan ciri biota berupa kepiting dan ikan sebelah. B. Zona Tonga Nu Kente (Zona Tengah Pasang Surut) Zona tengah pasang surut terletak di pertengahan areal pasang surut, antara zona sekitar pantai dan zona ujung pasang surut, 81 Kearifan Lokal Masyarakat Wangi-Wangi - Sunarwan Asuhadi & Nur Arafah dengan ciri biota yang hampir sebanding antara ikan dan biota lainnya, meliputi: 1. Katokatobha : bagian dasar perairan zona pasang surut yang tidak kering pada saat air laut surut, letaknya pada umumnya setelah nokoi, luasannya kecil (10 m2 <), dikelilingi pasir juga sedikit batu karang; 2. Humu : areal dasar perairan yang pertama nampak saat air laut surut, dekat, luasan bervariasi,ciri fisik berupa batu besar tanpa padang lamun dan dikelilingi batu kecil dan berpasir, sedangkan ciri biotanya berupa Zoanthhus sp.; 3. Namo : bagian dasar perairan zona pasang surut yang tidak kering pada saat air laut surut, letaknya setelah humu (ke arah laut), ukuran bervariasi ≥ 10 m2, kadang memanjang (puluhan meter), berpasir dan berbatu kecil, longe (karang halus), dengan ciri biota seperti teripang, kepiting, dan ikan; dan 4. Kumbawo : bagian dasar perairan zona pasang surut kering pada saat air laut surut, lokasinya kering setelah humu, ukuran bervariasi searah dengan garis pantai, dengan ciri fisik berupa hard coral. Zona Yi Ndaro Nu Kente (Zona Ujung Pasang Surut) Zona ujung pasang surut terletak bersebelahan dengan zona laut dalam, dengan ciri biota yang dominan adalah ikan, meliputi: 1. Lata : bagian peralihan dari dasar perairan zona pasang surut yang kering pada saat air laut surut dengan blue hole/laguna (kolo dan ou), ciri fisiknya berbentuk landai dengan sedimen pasir atau berbatu, ditemukan sedikit karang, dengan ciri biota adalah ikan dan soft coral; 2. Lik : sisi bagian luar tebing yang mengarah ke pantai, yang pada umumnya tergenang air pada saat air laut surut, dengan ciri biota adalah ikan; 3. Fifi : bagian pinggir dari tebing di laut yang memisahkan perairan dangkal dengan perairan dalam (tubir laut); memanjang searah dengan garis pantai, didominasi hard coral dan ikan karang; 4. O : bagian lautan yang menjorok ke pantai, bentuk tertutup seperti cincin, saat air laut surut tidak ada tempat air keluar, disebut C. 82 juga kolam laut (blue hole), ukuran bervariasi dengan kedalaman sekitar 20 m, dikelilingi tebing-tebing batu, airnya berwarna biru, tebing-tebing tersebut kering dan muncul di permukaan laut saat air laut surut, dengan jenis ikan bervariasi, memiliki kemiripan biota laut dalam dan perairan demersal. Jenis biota berupa kima, soft coral dan hard coral, dlsb; 5. Kolo : mirip ou namun tidak berbentuk cincin, karena ada bagian kolo yang bersentuhan langsung dengan perairan laut dalam; dan 6. Nuko : Bagian ujung kolo yang berbatasan dengan perairan dalam, lokasinya merupakan bagian dari fifi, dengan ciri fisik adalah areal pertama pecahnya ombak dari lautan dalam. Ciri fisik dan biotanya sama dengan fifi. Zona pasang surut memiliki fungsi-fungsi ekologis yang dominan yaitu: (i) sebagai pemecah ombak (liku, fifi, nuko, humu, kumbawo, nokoi, yoa, dan paka); (ii) tempat perlindungan ikan dan biota lainnya (ou, kolo, namo, katokatobha, dan namonamo); dan (iii) tempat perkembangbiakan ikan dan biota lainnya (ou, kolo, namo, katokatobha, yoa, dan paka). Selain fungsi-fungsi ekologis tersebut, juga memiliki fungsi-fungsi sosial, meliputi: (i) layanan bahari, seperti perlindungan kapal dan alur bongkar muat kapal (kolo, ou, dan namo); (ii) common property right; hak kepemilikan dan pengelolaan bersamadan (iii) local marine festival; berupa kegiatan tangkap ikan dan biota lainnya secara ramai-ramai (hampir di semua areal pasang surut, pada saat air laut surut). Sedangkan fungsi-fungsi ekonomi zona pasang surut, meliputi: (i) mata pencaharian pokok; sebagian warga (nelayan) lokal memanfaatkan areal pasang surut sebagai aktivitas utamanya dalam mencari nafkah, (ii) penyangga mata pencaharian; sebagian warga memanfaatkan areal pasang surut sewaktu-waktu saja untuk mendukung kebutuhan pangan keluarga (hampir di semua areal pasang surut), dan (iii) bank ikan dan biota laut; areal pasang surut digunakan juga untuk areal budidaya perikanan, khususnya areal kolo dan ou (Gambar 4. Posisi kolo, ou, nuko, fifi, liku, dan lata). Ecogreen Vol. 2(2) Oktober 2016, Hal 79 - 88 Klasifikasi zona pasang surut berdasarkan kearifan lokal masyarakat Waha merupakan ekoliterasi laut yang ideal untuk menjaga keseimbangan ekosistem zona pasang surut, di mana saat ini masih eksis walaupun zona pasang surut mendapatkan tekanan ekologis yang sangat serius dari berbagai kegiatan, baik di darat maupun wilayah perairan. Tekanan Aktivitas tersebut telah menyebabkan adanya kecenderungan berubahnya muka relief zona perairan pesisir, berupa berkurangnya tutupan karang dan lamun, termasuk sedimentasi, abrasi dan erosi. Hasil Survey on Existing Community Based Climate Changes Activities in Kabupaten Wakatobi yang dilakukan oleh fasilitator masyarakat bekerjasama dengan JICA CDCS (2013), menyebutkan bahwa kondisi perairan demersal Kecamatan Wangi-Wangi, khususnya Desa Wapia-pia pada tahun 1960-1970-an, tinggi air laut di saat pasang mencapai 2 m, dan di saat surut, tinggi air laut sebatas lutut orang dewasa, tahun 1970-1990-an, tinggi air laut di saat pasang masih tetap ± 2 m, di saat air laut surut tinggi air laut sebatas betis orang dewasa, dan pada tahun 1992-2010-an, pada saat air laut pasang masih tetap 2 m dan di saat surut air laut sudah sebatas tumit orang dewasa. Pengukuran ketinggian air pasang dilakukan dari kumbawo dan pengukuran ketinggian air surut dilakukan dari namo. Struktur morfologi oseanik (Gambar 2) belum mendapatkan kajian yang memadai dari para peneliti sebelumnya. Informasi tersebut dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan terkait struktur zonasi areal pasang surut, dan dapat diperbandingkan dengan struktur zonasi oseanik yang telah dipopulerkan oleh sejumlah pihak. Wibowo (2005) membagi lingkungan perairan laut secara umum menjadi 2 (dua) bagian utama, yakni bagian air yang dikenal sebagai Pelagik (Pelagic), dan bagian dasar laut dikenal sebagai Bentik (Benthic). Pembagian zona bentik secara vertikal sebagai berikut: supra lithoral (merupakan dasar perairan yang selalu dalam keadaan basah karena adanya hempasan ombak yang datang/pergi), sub lithoral (merupakan daerah pasang surut sampai kedalaman ± 20 meter). Ini relevan dengan kedalaman zona pasang surut (terdalam) berdasarkan kearifan lokal masyarakat Wangi-Wangi di areal kolo dan ou, yakni ± 20 meter. Gambar 2. Morfologi Oseanik Zona Pasang Surut Klasifikasi Zona Pasang Surut Masyarakat Waha Areal pasang surut dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas penangkapan biota. Sejak dahulu masyarakat Waha telah memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam memanfaatkan zona pasang surut sesuai dengan karakteristik dasar perairannya (morfologi oseanik). Berdasarkan hasil penelusuran terhadap aktivitas masyarakat dalam memanfaatkan areal pasang surut ditemukan ada sebanyak 27 jenis kegiatan pemanfaatan, dengan tiga klasifikasi berdasarkan potensi dampaknya. Kategori pertama adalah kegiatan yang ‘tidak terkategori merusak’ sebanyak 13 jenis kegiatan, kategori kedua ‘tidak terkategori merusak dengan 83 Kearifan Lokal Masyarakat Wangi-Wangi - Sunarwan Asuhadi & Nur Arafah catatan’1 sebanyak 12 jenis kegiatan dan kategori ketiga ‘berpotensi merusak dengan catatan’2, sebanyak 2 jenis kegiatan. 1. Kategori pertama : ‘tidak terkategori merusak’, terdiri dari: Heponda : aktivitas pengambilan ponda/ kerang hitam (black mussel), lokasi kegiatan terletak di areal paka, sejajar dengan topisaa nu bhomba (areal pecahnya ombak di pantai); Hekiki ala : pengambilan jenis kerangkerangan yang ukurannya kecil berwarna seperti pasir habitatnya (kerang pasir putih), lokasi kegiatan terletak di areal yoa di topisaa nu bomba; Hekalekalepa : penangkapan ‘ikan sebelah’ (terabis) dengan cara 3 menggunakan alat bantu “pontu”. Pada aktivitas hekale-kalepa, tidak hanya kalepa yang ditemukan, biasanya juga ditemukan sejumlah biota lainnya seperti kepiting, lokasi kegiatan terletak di areal namonamo; Hetondatonda : aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan sampan dan dayung. Pada saat hetondatonda dilakukan digunakan tasi lengkap dengan mata kail dan umpannya, lokasi kegiatan terletak di semua areal pasang surut; Yuluyulu : kegiatan memancing ikan menggunakan sampan dengan alat tangkap tasi, mata kail, pemberat (besi), dan umpan, lokasi kegiatan didilakukan pada areal laut dengan kedalaman ±20 meter, dapat dilakukan saat pasang maupun surut, siang hari juga malam hari terang bulan, areal ou, kolo, maupun fifi; Cigi : kegiatan memancing ikan dengan menggunakan sampan dan alat tangkap berupa tasi dengan mata kail paling sedikit 10 mata kail yang diikatkan pada tasi, setiap mata kail tersebut diikatkan bulu manu (kain sutra atau bulu ayam) yang berfungsi sebagai umpan, di bagian ujung tasi (bawahnya) diikatkan 1 Tidak terkategori merusak, bila menghindari kerusakan karang dan lamun 2 Berpotensi merusak karang bila dosisnya berlebihan 3 Sejenis alat tusuk yang terbuat dari besi kawat yang diruncingkan di bagian ujungnya, lalu pada bagian ujungnya (~ 1 cm) dibuatkan tempat sangkut 84 pemberat, lokasi kegiatan terletak di areal ou, kolo, maupun fifi; Panapana : aktivitas ini merujuk pada penggunaan alat tangkap panah, berupa senjata yang gagangnya dibuat dari kayu berbentuk panjang, anak panah dibuat dari besi, lokasi kegiatan terletak di areal ou, kolo, dan fifi; Hekadhoa : aktivitas memancing ikan dengan menggunakan yo’o (bambu kecil yang kuat, lambunga) yang bentuknya melengkung, di bagian ujungnya diikatkan tasi dengan panjang ± 4 m, di bagian ujung tasi diikatkan kail dan diberi umpan, lokasi kegiatan terletak di areal namo; Hetabataba : kegiatan memancing ikan rengginandanmangla (mbulambula, bulabulawa) pada malam hari dan bulan tidak terlihat, lokasi kegiatan terletak di areal fifi dan di antara pasang dan surut dengan kedalaman air laut sebatas kepala ± 160 cm; Henu’nu’u : penangkapan cumi dengan menggunakan sampan dan alat tangkap tasi dan mata kail menyerupai udang, dapat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya matahari hingga malam hari dan sebelum terbit fajar, lokasi kegiatan terletak di areal nokoi; Hekabua : penangkapan ikan menggunakan tasi, mata kail dan umpan yang dilakukan di bibir pantai dengan cara membuang umpannya di areal berpasir atau padang lamun pada saat pasang dan / atau malam hari pada saat terang bulan, lokasi kegiatan terletak di areal namo; Hebhasinta : kegiatan memancing dengan menggunakan tasi dan mata kail dengan umpan yang berukuran besar. Cara memancing tersebut diperuntukkan untuk ikan-ikan besar dan dilakukan pada malam hari terang bulan, pada saat pasang, lokasi kegiatan terletak di semua areal pasang surut; dan Hetadhetadhe : aktivitas penangkapan ikan menyerupai hekabua yang dilakukan pada saat tinggi air seukuran 1 meter di lokasi namo, dengan menggunakan kayu Ecogreen Vol. 2(2) Oktober 2016, Hal 79 - 88 pancang, lokasi kegiatan terletak diareal namo. 2. Kategori kedua : ‘tidak terkategori merusak dengan catatan’4, yakni: Honingka : penangkapan ketepo (honingka)dengan menggunakan alat bantu untuk ‘singka’ atau mencungkil. Alat bantu yang digunakan biasanya menggunakan linggis. Sarang honingka berbentuk gundukan pasir putih di areal lamun, lokasi kegiatan terletak diareal nokoi; Tunga : aktivitas menangkap ikan/biota di areal pasang surut. Tunga meliputi hampir semua jenis biota yang berhasil ditangkap pada areal pasang surut, khususnya ketika air laut surut, meliputi ikan, kerang-kerangan, dlsb. Lokasi kegiatan terletak di semua areal pasang surut; Hekampepe : alat kampepe berbentuk menyerupai terompet yang dibuat biasanya dari anyaman bambu. Ikan yang ditangkap dengan menggunakan alat ini berukuran lebih kecil, lokasi kegiatan terletak di areal namo, dan katokatobha; Hesimbuku : aktivitas penangkapan biota gurita. Alat yang digunakan untuk melakukan penangkapan biota adalah alat pontu. Penangkapan gurita dilakukan biasanya pada saat air laut surut, lokasi kegiatan terletak di areal namo, dan katokatobha; Hesurabhi : pengambilan biota dilakukan malam hari saat air laut surut, dengan dibantu lampu penerangan. Alat tangkap selain wadah (tempat ikan dan biota lainnya), juga menggunakan peralatan: sarampa (tombak), simpada5, lokasi kegiatan terletak areal pasang surut; Hepolo : menangkap ikan dengan menggunakan polo (bubu). Alat tangkap ini dibuat dari anyaman bambu, ikan masuk melalui lubang jebakan (semua jenis ikan), lokasi kegiatan terletak di areal namo dan liku; 4 Tidak terkategori merusak, bila menghindari kerusakan karang dan lamun 5 Menyerupai parang, tetapi dibuat lebih ringan dan agak panjang, namun dibuattidak begitu tajam Hengontaho ura : aktivitas untuk menangkap lobster (ura) yang dijebak di sarangnyadi areal pasang surut. Aktivitas ini dipasang pada saat air pasang dan diperiksa pada saat air laut surut, lokasi kegiatan terletak diareal namo; Hejari : aktivitas menangkap ikan dengan menggunakan jaring, Areal berpasir, padang lamun, karang pada saat air laut menjelang surut. Juga dapat juga dilakukan di areal kolo dan ou; Hegansoganso : merujuk pada kata ganso yang berarti gancu, suatu alat yang terbuat dari logam (besi) yang diruncingkan ujungnya. Hegansoganso merupakan kegiatan penangkapan ikan di areal umbu nuko (ujung nuko), dan areal nuko. Hekulukulu; penangkapan ikan dengan menggunakan perangkap yang terbuat dari bambu menyerupai bubu, namun, berukuran lebih kecil, lokasi kegiatan terletak di areal namo dan katokatobha; Herafe : penangkapan ikan menggunakan tasi ± 5 meter, dibentangkan di dasar laut dan diikat pada batu besar dengan menggunakan tasi 1 jengkal, di bagian ujung tasi tersebut diberi mata kail dan umpan, lalu diikat pada tasi yang dibentangkan, lokasi kegiatan terletak di areal kumbawo; dan Honui : pengambilan honui (salah satu biota laut yang dapat ditangkap di area berpasir) saat air laut surut dengan menggunakan rotan yang sesuai dengan ukuran lubang atau sarang honui (ketepo yang berukuran lebih kecil), lokasi kegiatan terletak di areal padang lamun dan pasir lumpur. 3. Kategori ketiga ‘berpotensi merusak dengan catatan’6, Hetofole : kegiatan meracuni ikan di areal pasang surut, menggunakan akar kayu “tuba” (Derris elliptica). Ketika ikannya mabuk atau mati, sering juga ditangkap dengan menggunakan kampepe, lokasi kegiatan terletak di areal namo atau katokatobha; dan 6 Berpotensi merusak karang bila dosisnya berlebihan 85 Kearifan Lokal Masyarakat Wangi-Wangi - Sunarwan Asuhadi & Nur Arafah Hepandita : kegiatan meracuni ikan di areal pasang surut yang dapat dilakukan pada saat air laut pasang. Hepandita dinisbahkan pada kata pandita, suatu pohon yang memiliki buah seperti kelereng. Ikan target yang ditangkap (seperti ikan kakap, pogo, dan lainnya), lokasi kegiatan terletak di areal Ou dan kolo. Praktek pemanfaatan zona pasang surut dewasa ini, menunjukkan bahwa ada sejumlah kegiatan yang telah hilang, seperti hebhasinta, hekampepe, hengontaho ura, hekulukulu, herafe, hetofole, dan hepandita, baik karena alasan tidak lagi relevan maupun karena alasan sumberdaya yang dimanfaatkan semakin sulit ditemukan (hengontaho ura). Namun, aktivitas pemanfaatan zona pasang surut masih didominasi oleh perikanan skala kecil dan tradisional dengan teknologi rendah. Ini sejalan dengan kajian Wiyono, et.al., (2006) yang mengatakan bahwa hampir 90% lebih perikanan Indonesia didominasi oleh perikanan skala kecil, walaupun dalam skala nasional dan internasional, istilah perikanan skala kecil belum dianggap baku, namun, secara umum sepakat bahwa perikanan skala kecil adalah perikanan dengan tingkat teknologi rendah (Panayatou, 1982). Kondisi sarana penangkapan ikan yang terbatas tersebut menyebabkan ruang pemanfaatan sumberdaya ikan cenderung dilakukan di perairan pantai. Namun, meningkatnya kecenderungan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan yang tidak seimbang dengan ketersediaan sumberdaya ikan di perairan pantai menyebabkan kondisi perikanan pantai lebih sering ditangkap (overfishing) (Wiyono, 2009). Masyarakat Waha (sebagai masyarakat pesisir) memiliki sikap hidup dasar yang menganggap bahwa laut merupakan sumber daya untuk kelangsungan, pertumbuhan dan kesejahteraan masyarakat (Risnowati Martin dan Irmayanti Meliono, 2011). Namun, saat ini secara kelembagaan lokal mendapat gempuran dari kekuatan supralokal dan kekuatan yang luar biasa dahsyat (Hidayat dan Budisantoso, 2009). Gempuran kekuatan supralokal dan global yang menerpa masyarakat nelayan ditunjukkan dengan melekatnya atribut kemiskinan dan ketertinggalan pada 86 masyarakat nelayan (D. Conyer, 2008). Kekuatan yang dimaksud adalah globalisasi dan penyebaran kapitalisme telah memberikan tekanan kepada negara-negara non-industri untuk kepentingan ekonomi berkembang, yang kadang melebihi kapasitas mereka. Kearifan lokal masyarakat Waha mengalami de-ekoliterasi oleh karena kapasitas kelembagaan yang memiliki kewenangan dalam menerapkan kearifan lokal mengalami stagnasi sejak pemerintahan adat dibubarkan pemerintah pada tahun 1960 dan beralih ke sistem distrik (negara), oleh karena kontrol pemerintahan dalam masa transisi (19601970) tidak diikuti oleh penguatan organisasi sosial (Arafah, 2009). Kondisi inilah yang mengurangi tingkat kerekatan antara kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat dengan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, termasuk di dalam pengelolaan wilayah pesisir. Dalam konteks pengelolaan sumberdaya alam laut, kearifan lokal dan kelembagaannya tidak untuk diimplementasikan secara rigid dalam situasi kebijakan saat ini, tetapi hendaknya kearifan lokal tersebut dapat diadopsi dan diintegrasikan dengan kebijakan dan kelembagaan yang ada. Oleh karena kehilangan kearifan lokal dapat mengancam terkikisnya andil masyarakat di lingkungan laut mereka. Hal ini dapat merusak kesediaan masyarakat untuk terlibat dalam pengelolaan sumber daya secara berkelanjutan(Pilgrim, 2009). KESIMPULAN DAN SARAN Kearifan lokal masyarakat dalam pelestarian zona pasang surut bagi masyarakat Wangi-Wangi telah membangun kesadaran masyarakat dalam memanfaatkan dan mengelola zona pasang surut memberi kontribusi dalam mengurangi kerentanan wilayah pesisir. Zona pasang surut merupakan areal yang memiliki tingkat interaksi yang dinamis, sehingga menempatkan zona pasang surut sebagai lokasi ketergantungan sebagian besar masyarakat pesisir. Masyarakat dapat mengklasifikasi zona pengelolaan pasang surut berdasarkan pengalaman yang dilakukan secara turun temurun dan dimanfaatkan berkelanjutan. Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka disarankan agar pengelolaan dan pemanfaatan Ecogreen Vol. 2(2) Oktober 2016, Hal 79 - 88 zona pasang surut didukung oleh kebijakan. Dalam implementasinya ekoliterasi laut berbasis kearifan lokal tersebut dapat menjadi dasar untuk kepentingan rehabilitasi zona pasang surut dan rekonstruksi kelembagaannya. Dengan demikian, akan menjamin terlaksananya pemanfaatan zona pasang surut secara berkelanjutan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih kepada Kepala Loka Perekayasaan Teknologi Kelautan Wakatobi yang telah memberikan dukungan dan semangat dalam penyelesaian karya tulis ini, juga ucapan terima kasih kepada Saudara Hendrawanto atas bantuannya secara teknis sehingga penelitian dan penulisan karya tulis ini dapat terselesaikan. DAFTAR PUSTAKA Arafah, Nur. 2010. Kearifan Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Kaindea Di PulauPulau Kecil. AGRIPLUS, Volume 20 Nomor : 03 September 2010, ISSN 0854-0128 ____.2009. Kaindea: Adaptasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Hutan Di Pulau WangiWangi Kabupaten Wakatobi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Bappeda. 2007. Laporan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Wakatobi 2006-2011. Bappeda Kabupaten Wakatobi. WangiWangi Borrini, G., Feyerabend, et al., 2000. Comanagement of Natural Resources: Organising, Negotiating and Learningby-doing. GTZ and IUCN. Germany BPS. 2015. Kabupaten Wakatobi Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Wangi-Wangi Cullen, L. C. Natural Resource Dependence, Resource Use Patterns and Development ofEconomic Performance Criteria within a Small Island Community; PhD Thesis, University of Essex, 2007. DKP.2016. Direktori Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. http://www.ppkkp3k.kkp.go.id/direktoripulau/index.php/public_c/propinsi/74 (diakses 22 Mei 2016) ____. 2007. Petunjuk Teknis Perencanaan Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil. Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta http://www.ppk-kp3k.kkp.go.id/direktoripulau/index.php/public_c/propinsi/74 (Diakses 26 Mei 2016) JICA CDCCS. 2013. Survey on Existing Community Based Climate Changes Activities In Kabupaten Wakatobi Juniarta, H.P., Susilo, Edi, Primyastanto, M. 2013. Kajian Profil Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir Pulau Gili Kecamatan Sumberasih Kabupaten Probolinggo Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM Vol. 1 No. 1 Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7651/Kpts-II/2002 tentang Penetapan Kawasan Kepulauan Wakatobi dan Perairan Laut di Sekitarnya Seluas 1.390.000 (Satu Juta Tiga Ratus Sembilan Puluh Ribu) Hektar, Yang Terletak di Kabupaten Buton, Propinsi Sulawesi Tenggara Sebagai Taman Nasional Martin, R, dan Meliono, I. 18-19 Juli 2011. Ritual Petik Laut pada Masyarakat Nelayan Sendang Biru, Malang: Sebuah Telaah Budaya Bahari. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Disampaikan pada International Conference ICSSIS di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Kampus Depok Nugraheni, E dan Winata, A. 2002. Kearifan Tradisional Masyarakat Kasepuhan Halimun ditinjau dari Aspek Kelestarian Lingkungan. Pusat Studi Indonesia Lembaga Penelitian – Universitas Terbuka Nurman, dkk. 2014. Kearifan Lokal Masyarakat Talang Mamak Dalam Berladang. Program Studi Ilmu Lingkungan PPS Universitas Riau Panayatou, T. Management concepts for SmallScale Fisheries: Economic and Social Aspect. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 53pp Pilgrim, S. A Cross-Cultural Comparison of Local Ecological Knowledge; PhD 87 Kearifan Lokal Masyarakat Wangi-Wangi - Sunarwan Asuhadi & Nur Arafah Thesis,University of Essex: Colchester, 2006 Putra, S. 2003. Conflicts of Coastal Management in North Sulawesi. PhD Dissertation, TESAG. James Cook University, Townsville Pilgrim, S., 2009. Marine and coastal resource knowledge in the Wakatobi. Environmental Science, Engineering and Technology Series. Operation Wallacea.Townsville Reef Check Indonesia. 2007. Satu Dekade Pemantauan Reef Check: Kondisi dan Kecenderungan pada Terumbu Karang Indonesia. www.reefcheck.or.id [Diakses 1 April 2013] Ridwan, Nurma Ali. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal. Ibda’ Vol. 5 No. 1 Rohim, A.G., 2009. Tradisi Petik Laut dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Keberagamaan Masyarakat Nelayan Desa Pugerkulon Kecamatan Puger Kabupaten Jember. Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Yogyakarta Saad, S., 2003. Politik Hukum Perikanan. Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta 88 Sawitri, R danIskandar, S. 2012. Keragaman Jenis Burung Di Taman Nasional Kepulauan Wakatobi dan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. 9 No. 2 : 175-187, 2012 Udu, Sumiman, 2015. Tradisi Lisan BhantiBhanti Sebagai Media Komunikasi Kultural Dalam Masyarakat Wakatobi. Humaniora Volume 27 No. 1 Februari 2015 Halaman 53-66 White, T., W, dkk. 2013. Jenis-Jenis Ikan di Indonesia. Australian GovernmentAustralian Centre for International Agricultural Research Wibowo M.S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Wiyono E.S, Yamada S. Tanaka E and Kitakado T. 2006. Dynamics of Fishing Gear Allocation by Fishers in Small-Scale CoastalFisheries of Pelabuhan Ratu Bay. Indonesia. Fisheries Management and Ecology Vol. 13. Blackwell Publishing Ltd., London. Page 185-195 Wiyono, E.S, 2009. “Selektivitas Species” Alat Tangkap Garuk di Cirebon, Jawa Barat. Jurnal Bumi Lestari, Volume 9 No. 1, Februari 2009, hlm. 61-65