ARTIKEL ILMIAH DALAM RANGKA REVITALISASI PUSAT PENELITIAN DAN PERANAN WANITA (P3W) UNIVERSITAS BENGKULU TAHUN 2010 JUDUL : TINGKAT PARTISIPASI PEREMPUAN PESISIR DALAM KEGIATAN PENAMBANGAN BATUBARA DAERAH ALIRAN SUNGAI DI KABUPATEN BENGKULU TENGAH SERTA PENGARUHNYA PADA PERUBAHAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA Oleh : Dra. Yayah Chanafiah, M.Hum. Ir. Merakati Handajaningsih, M.Sc. Berdasarkan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian: Nomor 2310/3007/H30.10/2010 Surat Keputusan Rektor: Nomor 5337/H30/PL/2010 Tanggal 3 Agustus 2010 PUSAT PENELITIAN DAN PERANAN WANITA (P3W) LEMBAGA PENELITIAN UNIVERSITAS BENGKULU DESEMBER, 2010 1 ARTIKEL ILMIAH Tingkat Partisipasi Perempuan Pesisir Dalam Kegiatan Penambangan Batubara Daerah Aliran Sungai di Kabupaten Bengkulu Tengah Serta Pengaruhnya Pada Perubahan Pengambilan Keputusan Dalam Keluarga *) Yayah Chanafiah, Merakati **) ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rumusan kebijakan/program pertambangan dalam perspektif gender, mengkaji kesenjangan perempuan sebagai buruh penambangan batubara limbah, mengetahui adakah perubahan tingkat pendapatan dan pemanfaatan pendapatan di dalam keluarga, serta melakukan studi kualitatif untuk mengetahui sebabsebab dan proses terjadinya kesejangan gender antara perempuan dan laki-laki. Metode yang digunakan adalah gender analisis pathway (GAP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumusan kebijakan dan program khususnya di pertambangan batubara sangat netral gender. Belum ada program, kegiatan yang memberikan pehatian serta keberpihakan pada kelompok perempuan. Posisi perempuan pada proses pengambilan keputusan di pertambangan tidak strategis, Kesenjangan ini menyebabkan terlembagakannya (institutionlized) bias gender dalam berbagai kebijakan. Sikap para pengelola dan pelaksana yang bias gender dan resisten terhadap kesetaraan itu, secara signifikan dan berkelanjutan akan berdampak pada bertahannya kesenjangan gender dalam waktu yang lama. Perubahan sistem kerja berpengaruh pada berbagai hal dalam kehidupan rumah tangga penambang perempuan. Pola relasi suami, istri dan anggota keluarga yang lain menjadi semakin terbuka, walaupun perempuan semakin terbebani dengan sistem pekerjaan itu, namun perempuan mulai dapat menampakkan kekuatan di bidang ekonomi dengan gaji/upah yang mereka peroleh, bahkan tidak jarang penghasilan inilah yang menjadi sumber utama bagi kelangsungan hidup keluarga. Sosialisasi peran gender yang ada dan menjadi bagian dari blue-print masyarakat, menjadikan perempuan dan laki-laki memaknai dirinya sedemikian rupa. Nilai kepantasan bagi seorang perempuan dan seorang laki-laki masih melekat kuat dalam benak masyarakat. Bias-bias gender banyak ditemui di lingkungan rumah tangga, keluarga, lingkungan kerja, bahkan masyarakat penambang batubara itu sendiri. Kata Kunci : partisipasi, perempuan, penambangan, DAS, relasi, gender Pendahuluan Gender merupakan perbedaan fungsi, peran, dan tanggungjawab laki-laki dan perempuan sebagai hasil konstruksi sosial yang dapat berubah atau diubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Pada umumnya Indonesia menganut budaya patriarkhi yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan yang dipimpin. Dalam perjalanannya budaya ini telah menempatkan laki-laki sebagai pemimpin dan perempuan disubordinasikan. Hal ini sangat merugikan kaum perempuan karena perempuan akan kehilangan kesempatan dalam memanfaatkan sumber daya alam, informasi dan teknologi, memberikan kontribusi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bahkan akan kehilangan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan. Oleh karena itu, penelitian tentang kebijakan yang berperspektif gender akan sangat bermanfaat bagi pemerintah dalam menentukan program-programnya karena kebijakan yang dibuat didasarkan pada informasi yang diperoleh dari hasil penelitian. Pada saat ini, salah satu topik yang mengemuka di Bengkulu dalam 2-3 tahun terakhir ini adalah adanya penambangan batubaralimbah dari aliran sungai (DAS), khususnya yang ada di Kabupaten Bengkulu Tengah hingga daerah Pantai Bengkulu di Kota Bengkulu. Beberapa perusahaan besar yang mengelola tambang batubara di Provinsi Bengkulu (tepatnya berada di wilayah administrasi Kabupaten Bengkulu Tengah) adalah P.T. Bukit Sunur, P.T. Danau Mas Hitam, dan P.T. Bukit Bara Utama. Batubara yang ditambang oleh masyarakat yang tinggal di daerah sekitar DAS ini terikut dalam arus sungai, terutama apabila di daerah hulu hujan lebat. Diduga bahan tambang ini berasal dari erosi bukit yang mengandung batubara yang ada di bagian hulu, dan yang merupakan pusat penambangan perusahaan swasta. Besar kemungkinan juga bahwa pecahan batubara yang larut dengan air sungai itu telah mengendap di sungai sepanjang Bukit Barisan dalam waktu cukup lama, sehingga menyebabkan pendangkalan sungai. Pada akhirnya, dengan disadarinya bahwa di dasar sungai sepanjang aliran sungai (DAS) Bukit Barisan terdapat endapan batubara yang kualitasnya cukup baik, maka kemudian dilakukan kegiatan penambangan. Awalnya tidak banyak masyarakat yang melakukan karena ketidaktahuan mereka, tetapi setelah banyak yang tahu dari omongomong kiri-kanan, di mana mereka melihat itu sebuah prospek yang menjanjikan (apalagi Gubernur meminta penambangan batubara limbah itu dikoordinir), maka berbondongbondong masyarakat melibatkan diri dalam kegiatan tersebut. Tidak laki-laki, tidak perempuan, tidak tua, tidak muda, mereka berlomba-lomba menjadi penambang. Dengan adanya aliran batubara di sungai ini banyak penduduk yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan, petani, atau pedagang kecil beralih profesi menjadi pekerja penambang. Mereka mengambil batubara yang ada di sungai atau pantai dengan cara manual dan berendam untuk jangka waktu yang cukup lama. Berdasarkan pengamatan peneliti, di waktu awal umumnya penambang batubara limbah ini adalah laki-laki, tetapi tidak lama kemudian para perempuan pun ikut melakukan kegiatan ini. Mengingat aliran sungai sepanjang Bukit Barisan banyak melalui wilayah administrasi Kabupaten Bengkulu Tengah, maka terlihat 3 jumlah perempuan yang terlibat pada aktivitas ini lebih banyak dijumpai di daerah tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah rumusan kebijakan dan program dari dinas pertambangan yang dilaksanakan di Bengkulu; 2. Kesenjangan gender apa saja yang dialami oleh perempuan dalam kegiatannya sebagai buruh upah penambangan batubara limbah; 3. Bagaimanakah perubahan tingkat pendapatan keluarga dan perubahan pemanfaatan pendapatan di dalam keluarga dari kegiatan penambangan 4. Faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan perempuan dan laki-laki dalam akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat dalam pekerjaan di penambangan batubara limbah. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui rumusan kebijakan dan program dinas pertambangan di Bengkulu dalam perspektif gender; 2. Mengkaji kesenjangan gender yang dialami oleh perempuan dalam kegiatannya sebagai buruh upah penambangan batubara limbah; 3. Mengetahui adakah perubahan tingkat pendapatan dan pemanfaatan pendapatan di dalam keluarga dari kegiatan penambangan batubara limbah; 4. Melakukan studi kualitatif tentang sebab-sebab terjadinya kesejangan gender lakilaki dan perempuan dalam memperoleh akses, kontrol, partisipasi, dan manfaat dalam pekerjaan di penambangan batubara limbah; 5. Mengembangkan alternatif kebijakan di bidang pertambangan batubara yang bewawasan gender di Provinsi Bengkulu. Pada hakikatnya banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi suatu kebijakan. Gow dan Morss dalam Turner dan Hulme (lihat Keban dalam Nurhaeni (2008: 37), mengemukakan berbagai hambatan implementasi kebijakan, antara lain: (1) hambatan politik, ekonomi, dan lingkungan; (2) kelemahan institusi; (3) ketidakmampuan SDM di bidang teknis dan administrasi; (4) kekurangan dalam bantuan teknis; (5) kurangnya desentralisasi dan partisipasi; (6) pengaturan waktu; (7) sistem informasi yang kurang mendukung; (8) perbedaan agenda tujuan antar aktor; (9) dukungan yang berkesinambungan. Metode Penelitian Data yang telah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan Metode GAP (Gender Analysis Pathway). Metode GAP adalah metode analisis untuk mengetahui kesenjangan gender dengan melihat aspek akses, peran, manfaat, dan kontrol yang diperoleh perempuan dan laki-laki dalam program-program pembangunan yang menjadi pokok bahasan, mulai dari aspek kebijakan sampai dengan monitoring dan evaluasi. Hasil Pembahasan Sebagian besar penduduk desa Penanding bermatapencaharian sebagai petani yaitu 80% dengan kegiatan berkebun kelapa sawit atau karet rakyat. Di samping memiliki kebun sebagian masyarakat juga memiliki areal sawah tadah hujan yang ditanami padi setahun sekali. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, akses dan partisipasi masyarakat Bengkulu, khususnya perempuan dalam ‘memanfaatkan’ limbah batubara meningkat sangat tinggi. Bahkan boleh disebut menjadi pekerjaan primadona. Saat ini, dengan keberadaan banyaknya batubara limbah yang mengalir di aliran sungai sepanjang Bukit Barisan, ternyata dapat mendatangkan pendapatan/tambahan untuk kebutuhan harian keluarga perempuan tersebut. Berdasarkan keterangan Kepala Desa Penanding, jumlah penambang yang bekerja di sepanjang aliran sungai Rindu Hati itu, tidak terdata oleh Kelurahan, karena sifat rekrutmen yang tidak seperti pekerjaan lainnya. Namun diperkirakan perempuan yang berpartisipasi dari desa Penanding pada umumnya + 25 orang. Perempuan-perempuan itu (tua-muda) bekerja mulai dari pukul 08.00 WIB di aliran sungai untuk menambang batubara limbah sampai + pukul 16.00 WIB. Selama rentang waktu itu mereka keluar masuk sungai untuk mengambil batubara limbah. Tidak jarang mereka harus berendam di air yang tingkat kedalamnnya sampai dada berjam-jam sehingga kulit tubuh mereka putih dan berkerut, terutama di jari tangan dan kaki. Batubara limbah yang menumpuk di dasar sungai itu mereka keruk, dikumpulkan/dinaikkan ke ‘gethek’ (sejenis sampan yang terbuat dari bambu), dan diayak/disaring dengan ayakan sederhana yang mereka buat sendiri untuk mendapatkan ukuran batubara yang sama. Selanjutnya, batubara limbah yang sudah diayak itu dimasukkan ke karung-karung kecil, diangkat/dipanggul oleh para penambang perempuan itu ke pinggir sungai. Di pinggir/atas sungai para mandor hanya duduk mengawasi para penambang itu sambil merokok, mendengarkan radio yang 5 mereka bawa, atau ber’sms’ ria. Tapi gaji mereka lebih besar. Bisa kita bayangkan betapa berat beban para perempuan itu, mengingat batubara yang ringan itu bertambah berat karena bercampur dengan air. Setelah di pinggir/atas sungai, batubara itu mereka masukkan ke karung-karung berukuran + 50 kg yang telah disediakan oleh para ‘toke’ batubara untuk kemudian diangkut ke atas truk. Truk-truk itu akan membawa ke pelabuhan Pulau Baai atau langsung dikirim ke Jakarta. Setiap hari mereka rata-rata berhasil mengumpulkan 3 sampai 4 karung. Tiap karung batubara limbah yang dikumpulkan diberi upah Rp 13.000,-. Upah para penambang itu dibayar mingguan, yakni pada hari pasaran. Dari hasil focus group discussion (FGD) yang peneliti lakukan dengan para penambang perempuan itu, seminggu tidak kurang mereka mendapatkan upah di atas Rp 300.000,-. Sebuah hasil kerja yang menjanjikan menurut mereka. Untuk saat ini pekerjaan yang sesungguhnya mempunyai resiko yang sangat tinggi, terutama yang menyangkut kesehatan reproduksi perempuan, sangat dinikmati masyarakat di sepanjang aliran sungai Bukit Barisan itu. Namun, resiko jangka panjangnya tidak/belum terpikirkan oleh mereka, terutama kesehatan kulit tangan dan kulit kaki. Padahal saat ini saja (masyarakat perempuan tersebut menjadi penambang batubara limbah mulai + tahun 2008) seringkali sudah mengeluhkan sakit kulit di kaki, seperti kudisan, kurap, nyeri persendian, dan keluhan lainnya. Pada waktu sakit itulah mereka tidak ke sungai, tetapi setelah sembuh mereka akan kembali melakukan aktivitas sebagai penambang batubara limbah. Untuk mengobati penyakitnya itu, para perempuan penambang harus membiayai sendiri, tidak ada bantuan atau kompensasi dari perusahaan atau yang mengupah mereka, karena pekerjaan yang mereka lakukan tidak diikat oleh suatu perjanjian ataupun ikatan kerja. Jadi para perempuan penambang itu hanyalah buruh lepas. Mereka bekerja, batubara terkumpul, upah dibayarkan. Pada kasus ini muncul persoalan, sebenarnya pekerjaan siapa yang membutuhkan keterampilan dan tenaga lebih besar, laki-laki atau perempuan? Mandor yang hanya mengawasi atau perempuan perkasa yang bertanggung jawab atas terkumpulnya batubara limbah di aliran sungai itu? Mungkin pertanyaan ini akan muncul jika kita selalu memisahkan pekerjaan yang pantas dan tidak pantas untuk laki-laki dan perempuan. Dari segi upah dan pola kerja, terlihat sangat jelas betapa beratnya pekerjaan perempuan penambang batubara limbah itu jika dibandingkan dengan pekerjaan pengawas atau mandor. Akan tetapi, upah perempuan penambang itu jauh rendah dari mandor atau pengawas, apalagi status mereka berbeda. Salah satu dari perempuan penambang yang peneliti temui ternyata bersuamikan seorang mandor atau pengawas penambangan batubara limbah tersebut. Tentu saja gaji/upah suaminya lebih besar dari istrinya yang hanya seorang penambang batubara, meskipun dilihat dari beban pekerjaannya lebih ringan dari istrinya. Ketika hal ini kita tanyakan kepada suami itu, jawabannya: “Kalau saya ditanya mengapa yang menjadi pengawas atau mandor batubara limbah ini semuanya laki-laki, karena pada dasarnya laki-laki kan sebagai kepala keluarga. Dia yang mencari nafkah buat istri dan anakya. Jadi wajar kalau gaji/upah mereka besar. Sedangkan kalau perempuan atau istri itu ikut nambang kan hanya untuk ngisi waktu, suka-suka mereka, paling untuk bantu-bantu nyukupin kebutuhan rumah tangga. Kalaupun ada sisanya, mereka bisa pakai untuk membeli sesuatu yang mereka sukai. Terserah mereka, uang-uang mereka. Jadi, meskipun pekerjaannya berat ya gak apa-apa” Sangat jelas terlihat bagaimana stereotipe yang dilekatkan pada istri atau perempuan penambang itu, bahkan bagaimana terjadinya proses deskilling terhadap kemampuan penambang perempuan tersebut. Siapakah yang disebut perempuan penambang batubara limbah? Bagaimana profil mereka? Apakah mereka perempuan-perempuan desa yang berpakaian lusuh dengan kain panjang, dan basah karena berendam di sungai, berkerudung/bertopi untuk melindungi kepalanya dari terik matahari sambil menggendong karung berisi batubara limbah dari sungai ke atas/pinggir sungai? Atau mereka yang harus selalu bangun dini hari untuk mempersiapkan kebutuhan keluarga sebelum mereka berangkat ke sungai untuk menambang? Apa pun bayangan yang ada di benak kita, yang jelas mereka adalah perempuan perkasa dengan segenap beban yang mereka pikul dibahu/dipundak. Setelah urusan domestik di rumah selesai, para perempuan penambang itu berjalan menyusuri jalan menuju sungai di tempat di mana ‘gethek/rakit’ mereka simpan (yang telah ditentukan oleh mandor/pengawas). Kadang-kadang air sungai itu berwarna lebih coklat dan ketinggiannya mencapai leher orang dewasa, tetapi tak jarang pula air itu surut karena tidak hujan beberapa hari atau musim kemarau. Maka mulai dari pagi terdengarlah celotehan suara para perempuan penambang itu, yang sesekali ditimpali suara penambang 7 laki-laki. Sekali pun demikian, mereka bekerja dengan, giat, tekun, meskipun sekilas terbayang keletihan yang luar biasa dari wajah-wajah mereka. Besar kemungkinan bayangan upah mingguan yang akan mereka terima membuat keletihan itu tidak dirasakan. Menjelang siang hari, sekitar pukul sebelas, mulailah mereka mengangkut batubara-batubara limbah yang sudah mereka ambil dari dasar sungai dan mereka tampung di ‘gethek/rakit’, memasukkannya ke dalam karung sedikit demi sedikit sesuai dengan kemampuannya karena harus mereka angkat lagi ke pinggir/atas sungai untuk dimasukkan ke karung besar (kapasitas 50 kilogram). Di sana sudah menunggu pengawas/mandor. Pengawas atau mandor, yang juga disebut ‘pengumpul’ akan menimbang karung-karung berisi batubara limbah yang dikumpulkan, di mana pada sore harinya akan diangkut ke atas truk oleh pemodal. Perempuan-perempuan ini, sebelum menjadi buruh upahan penambangan batubara limbah adalah ibu rumah tangga yang biasanya membantu suami di tanah pertanian yang tidak begitu luas. Sebenarnya, pilihan kerja lain bagi perempuan muda di desa Penanding adalah sebagai buruh perkebunan kelapa sawit atau kerja di pabrik karet bahkan ada yang mejadi TKW di luar negeri. Akan tetapi bagi ibu muda dan anak-anak, pekerjaan sebagai penambang batubara limbah ini menjadi pilihan utama. Menurut mereka, bekerja sebagai penambang batubara itu lebih fleksibel: waktunya dapat diatur, tugasnya dapat disambi. Selain itu, jarak rumah dan tempat kerja terjangkau sehingga suami-suami mereka mengijinkan untuk kerja, di samping mereka juga merasa lebih aman, serta temannya banyak. Mereka tidak akan mendapat kesempatan seperti itu jika memilih bekerja di kota atau di luar negeri. Konsep kehidupan rumah tangga petani tradisional di desa Penanding seperti sangat diresapi oleh perempuan buruh penambang batubara limbah ini. Apabila mengacu pendapat Suparlan (1986) bahwa dalam suatu rumah tangga biasanya selain suami, istri, dan anak-anak, kadang-kadang juga ada anggota keluarga yang lain. Tampaknya pendapat ini juga dijumpai pada rumah tangga di desa Penanding pada umumnya. Mereka hidup berdekatan dan berkelompok dengan saudara atau kerabat, dan yang paling banyak dijumpai adalah hidup berdekatan dengan orang tua. Jadi bila suatu saat diperlukan pengerahan tenaga kerja, kaum kerabat ini saling membantu. Di sisi lain kedekatan antarkerabat juga dimanfaatkan untuk menjaga anak-anak atau rumah mereka ketika mereka harus pergi atau bekerja di luar kota. Biasanya neneklah yang mempunyai peran besar dalam mengasuh cucu jika ibunya bekerja. Tidak mengherankan bahwa ada anak-anak yang lebih akrab dengan neneknya daripada dengan ibunya. Kadang-kadang suami juga bersedia membantu mencari air atau menjaga anak jika istri bekerja di dapur. Dengan demikian, rumah tangga petani tradisional yang untuk sementara berpindah ke buruh upahan penambangan sudah biasa mengerahkan seluruh sumber daya yang ada di keluarga untuk pekerjaan di pertanian atau dipertambangan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian di Asia dan di Indonesia bahwa perempuan, selain membantu mengerjakan sawah atau ladang, masih harus mengerjakan pekerjaan lain di rumah tangga. Keberadaan perempuan di pekerjaannya itu selalu diasosiasikan sebagai ‘membantu suami’ sehingga mereka diupah rendah, bahkan tidak jarang mereka tidak diupah karena upahnya sudah digabung dengan upah suaminya. Akibatnya, perempuan hanyalah dianggap sebagai tenaga kerja sekunder meski kenyataannya dia (perempuan itu) juga bekerja tak kalah beratnya dengan suami atau laki-laki. Ada beberapa alasan beralih kerjanya perempuan dari sektor pertanian atau ibu rumah tangga ke buruh penambangan batubara limbah di sepanjang aliran sungai itu. Di antaranya adanya daya tarik yang terdapat dalam kegiatan penambangan tersebut, yang menyangkut pola perekrutan dan sistem penggajian (upah). Pola perekrutan tenaga kerja tidak didasarkan pada jenis kelamin, tidak mensyaratkan pendidikan tertentu, dan kemampuan. Perekrutannya sangatlah mudah, dan hanya dilakukan oleh mandor. Yang menjadi kriteria utama bagi pekerjaan buruh penambang batubara limbah ini adalah: orang yang mau kerja keras. Tidak peduli laki-laki atau perempuan. Sementara itu, sistem pengupahan atau penggajian yang dibayarkan per mingguan itu didasarkan pada banyaknya (hitungan karung 50 kilogram) yang berhasil dikumpulkan setiap harinya. Para penambang itu tanpa ikatan apa pun, berstatus sebagai buruh harian lepas meskipun mereka bekerja sudah tahunan. Meskipun demikian, kondisi pekerjaan sebagai penambang batubara itu tetap menarik dan memacu perempuan desa dan ibu rumah tangga lainnya berbondong-bondong masuk sungai. Perubahan sistem kerja ini berpengaruh pada berbagai hal dalam kehidupan rumah tangga penambang perempuan. Pertama, pola relasi suami, istri dan anggota keluarga yang lain. Kedua, perempuan mulai dapat menampakkan kekuatan di bidang ekonomi dengan 9 gaji/ upah yang mereka peroleh, bahkan tidak jarang penghasilan inilah yang menjadi sumber utama bagi kelangsungan hidup keluarga. Perubahan tersebut menimbulkan konsekuensi yang harus ditanggung oleh perempuan baik sebagai istri, ibu, anak, maupun sebagai pekerja. Terkadang mereka bekerja sebagai penambang batubara limbah itu atas anjuran suami, karena sudah terbiasa bekerja bersama-sama di lahan pertanian mereka sebelumnya. Menurutnya kalau bekerja bersama-sama lebih nyaman dan bisa saling membantu. Hanya saja memang perempuan itu harus lebih pagi untuk menyiapkan sarapan dan segala sesuatunya sebelum mulai bekrja di sungai sampai sore. Fenomena penghasilan perempuan sebagai sumber utama bagi keluarga juga mewarnai pekerja perempuan penambang batubara limbah di Desa Penanding. Ada dua orang ibu setengah baya dengan lima dan tiga orang anak yang ditinggal suaminya meninggal karena sakit. Ia menjadi tulang punggung ekonomi keluarga dengan menjadi buruh penambang batubara tersebut. Dijumpai juga pekerja perempuan yang berstatus lajang. Dia harus menghidupi diri sendiri dan ibunya yang sudah menjada. Bahkan ada pula yang bekerja dengan motivasi agar dapat mengurangi kebergantungan ekonomi pada keluarga atau suami. Dengan berpenghasilan sendiri mereka merasa lebih bebas membelanjakan uang untuk kebutuhan pribadinya. Pendapatan buruh perempuan penambang batubara limbah itu tidak sama untuk setiap orang karena bergantung pada jumlah karung berisi batubara limbah yang mereka kumpulkan per hari. Dengan rata-rata jam kerja mulai pukul 08.00 sampai dengan pukul 16.00 WIB, mereka mendapat 3 sampai 4 karung setiap harinya, dengan upah per karung Rp 13.000,-. Ternyata menurut mereka, pendapatan yang dibayar tiap hari pasaran itu sangat membantu dalam menaikkan taraf hidup keluarga meski secara tidak langsung tidak kelihatan pengaruhnya pada kesejahteraan perempuan itu sendiri. Ketika ditanyakan bagaimana rasanya setelah memperoleh penghasilan sendiri, hampir semua subjek penelitian pada waktu FGD menjawab sangat senang dan enak karena sekarang dapat memberi uang saku kepada anak-anaknya tanpa minta lagi pada suami. Mereka juga ‘berani’ membeli barang pada tukang kredit yang berkeliling kampung. Sebenarnya, secara umum dapat dilihat betapa perempuan masih mau bertoleransi dalam menggunakan pendapatannya untuk keluarganya, jarang mereka berpikiran untuk kepentingan diri sendiri. Buruh perempuan yang berstatus lajang pun menggunakan uangnya untuk keluarganya. Kemandirian perempuan juga tercermin dari sikap mereka dalam kehidupan sosial. Mereka sudah mempunyai keberanian untuk menceritakan kepada tetangga tentang hasil yang diperoleh selama menjadi buruh penambang batubara. Masyarakat mulai memandang bahwa perempuan juga termasuk warga masyarakat yang produktif dan menghasilkan dan layak diikutsertakan dalam kegiatan sosial, seperti arisan atau yang lain karena mereka sudah mempunyai pendapatan sendiri. Dengan demikian, meskipun selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa pekerjaan di penambangan itu identik dengan laki-laki, ternyata dengan adanya batubara limbah di sepanjang aliran sungai Bukit Barisan yang kemudian dimanfaatkan oleh keduanya, perempuan dan laki-laki, sedikit membuka mata bahwa perempuan ternyata memiliki ‘keperkasaan’ yang luar biasa, meskipun sesungguhnya kondisi ini semakin melegitimasi ‘beban ganda’ pada diri perempuan. Blueprint yang selama ini ada tentang sosok perempuan dan sosok lelaki masih dijadikan nilai acuan untuk memandang status dan kedudukan perempuan dan laki-laki. Dijelaskan oleh Scott dalam Astuti (2002: 114) bahwa marginalisasi perempuan tumbuh dari kombinasi faktor sejarah, ekonomi, dan kebudayaan dalam arti luas, tidak hanya disebabkan oleh suatu sistem ekonomi poilitik tertentu. Berdasarkan pemahaman di atas, maka marginalisasi dapat terjadi pada berbagai kelompok masyarakat berdasarkan gender, etnis, dan kelas. Hal-hal yang sering dianggap sebagai isu gender dalam pekerjaan penambangan batubara limbah adalah : (1) Ketika perkembangan ekonomi meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemiskinan, ketidaksetaraan gender akan cenderung menurun. Di dalam rumahtangga-rumahtangga yang berpenghasilan rendah dipaksa menjatah pengeluaran untuk pendidikan, perawatan kesehatan, dan gizi di mana perempuan dan anak perempuan yang ‘dikorbankan’, karena merekalah yang menanggung sebagian besar beban. Oleh karena itu, ketika pendapatan rumah tangga bertambah, ketidaksetaraan gender dalam sumber daya manusia akan cenderung menurun. (2) Ketidakadilan dalam penerimaan upah pembayaran penambangan batubara limbah antara perempuan dan laki-laki, seperti sistem pengupahan penambangan batubara limbah tersebut dihitung berdasarkan jumlah karung yang diperoleh. Setiap karung (jenisnya sudah ditentukan oleh mandor/toke batubara), yakni karung kapasitas + 11 50 kg dihargai Rp 13.000,-. Ada kecenderungan laki-laki lebih cepat mengumpulkan dan lebih kuat mengangkatnya ke atas daratan sungai, sehingga waktu yang dibutuhkan perempuan penambang batubara limbah untuk mengumpulkan satu karung lebih lama dari laki-laki, termasuk waktu berendam di air sungai juga lebih lama. (3) Beban ganda yang dialami perempuan desa ini menjadi begitu berat. Namun, dengan keikhlasan luar biasa mereka menerima peran sosial dan ideologi gender yang sudah ada dan dilekatkan pada sosoknya sebagai perempuan, istri, dan ibu. (4) Pembagian kerja yang secara tradisional ditabukan untuk perempuan, sekarang sudah bukan tabu lagi. Yang muncul adalah pekerjaan harus diselesaikan, tidak ada spesialisasi pekerjaan ini untuk laki-laki, ini pekerjaan perempuan. Akan tetapi, untuk kondisi di penambangan ini terasa ‘kelewatan’, karena kebutuhan yang mendesak dan karena tidak adanya pilihan lain, perempuan ikut terlibat meski tampaknya hal ini berjalan sebagaimana mestinya. Kesimpulan (1) Rumusan kebijakan dan program pemerintah daerah, khususnya di pertambangan batubara sangat netral gender. Belum ada program, kegiatan yang memberikan pehatian serta keberpihakan pada kelompok rentan, khususnya perempuan. (2) Posisi SDM perempuan pada proses pengambilan keputusan di bidang pertambangan tidak strategis. Artinya, persentase perempuan pada tingkat pengambilan keputusan di bidang pertambangan sangat rendah, sehingga sangat banyak keputusan di bidang pertambangan yang terlewat dari kepentingan dan kebutuhan praktis perempuan. Kesenjangan ini menyebabkan terlembagakannya (institutionlized) bias gender dalam berbagai kebijakan di sistem pertambangan, terutama di wilayah pedesaan di sekitar lokasi perusahaan penambangan. Sikap para pengelola dan pelaksana yang bias gender dan resisten terhadap kesetaraan itu, secara signifikan dan berkelanjutan akan berdampak pada bertahannya kesenjangan gender dalam waktu yang lama. (3) Perubahan sistem kerja berpengaruh pada berbagai hal dalam kehidupan rumah tangga penambang perempuan. Pola relasi suami, istri dan anggota keluarga yang lain menjadi semakin terbuka, walaupun perempuan semakin terbebani dengan sistem pekerjaan itu. Tetapi perempuan mulai dapat menampakkan kekuatan di bidang ekonomi dengan gaji/upah yang mereka peroleh, bahkan tidak jarang penghasilan inilah yang menjadi sumber utama bagi kelangsungan hidup keluarga. (4) Sosialisasi peran gender yang selama ini ada dan menjadi bagian dari blue-print masyarakat, menjadikan perempuan dan laki-laki memaknai dirinya sedemikian rupa. Nilai kepantasan bagi seorang perempuan dan seorang laki-laki masih melekat kuat dalam benak masyarakat sehingga mereka menilai peran perempuan dan laki-laki berdasarkan nilai kepantasan tersebut. (5) Bias-bias gender banyak ditemui di lingkungan rumah tangga, keluarga, lingkungan kerja, bahkan masyarakat penambang batubara itu sendiri. Perilaku seseorang yang sudah terpola, yang menyangkut hak dan kewjiban dan berhubungan dengan status pada kelompok atau masyarakat tertentu pada situasi sosial yang khas, karena peran mempunyai sifat dinamis dan sering terikat dengan kekuasaan ataupun materi. 13 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, I. 2002. Metode Penelitian Berwawasan Gender. Bahan Penataran dan Lokakarya Metodologi Penelitian Gender Tahun 2002. Batu, Malang 16 -19 Juni 2002. Asian Development Bank. ... Daftar Periksa (Checklist) Gender. Pendidikan. ADB. Astuti, Tri Marhaeni P. 2002. Perempuan Perkasa di Tengah Hutan dalam STRI Jurnal Studi Wanita, Vol.1 No.2 Desember 2002. Jakarta: Pusat Kajian Wanita, Program Pasca-sarjana Universitas Indonesia. Badan Pusat Statistik. 2007. Persentase Angkatan Kerja Perempuan Bengkulu. BPS. http://webcache.googleusercontent.com. Download Agustus 2010. Bank Dunia. 2001. Rangkuman Pembangunan Berperspektif Gender, Melalui Kesetaraan Gender dalam Hak, Sumber Daya, dan Kebebasan Berpendapat. Jakarta : World Bank Office. Diterjemahkan dan disunting oleh Yayasan Jurnal Perempuan. Kementerian Pemberdayaan Perempuan. 2006. Implementasi PUG dalam Program/ Kegiatan Sektor Pertanian. Makalah disampaikan pada Pemantapan Focal Point PUG & Pokja PUG pada Dinas/Instansi/Kantor di Jajaran Pemerintah Kota Bengkulu. 5 September 2006. Ministry of Agriculture, Forestry and Fisheries. 2006. Gender Mainstreaming Policy and Strategy in Agriculture. Kingdom of Cambodia, Phnom Penh. Cambodia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. 2007. Penerapan Pendekatan Pemberdayaan dalam Implementasi Program Pertanian. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29(6): 8 – 10. Supiandi, Y. 2002. PengarusUtamaan Gender (Gender Meanstreaming). Kantor Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Penataran dan Lokakarya Penelitian Gender. Batu, Malang 16 – 19 Juni 2002. Suyatno. 2010. Gender Analysis Pathway (GAP) Alur Kerja Analisis Gender (AKAG). Modul 5. Download http://webcache.googleusercontent.com. Download Agustus 2010. Tim Relawan Perempuan Untuk Kemanusiaan. 2007. Tinjauan terhadap Keadilan Gender dalam Bidang Pertanian, Irigasi dan Perikanan. Laporan Penelitian. Download http://www.pathwaysofemployment.org/Pathways. Download Agustus 2010. Valentina, R. 2003. Perempuan, Lingkungan dan Globalisasi. Kompas 6 Oktober 2003. Dalam Institut Perempuan 9 Juni 2007. http://institutperempuan.blogspot.com /2007/6/perempuan-lingkungan-globalisasi.html. Wiasti, N.M. 200-. Gender, kesetaraan dan keadilan gender: Studi tentang pengetahuan dan sikap masyarakat Bali. Wijaya, H. R. 1994. Wanita dalam pembangunan hortikultura: Sumberdaya manusia yang terabaikan. Prosiding Simposium Hortikultura Nasional. Buku II. Malang, 8 – 9 November 1994. hal . 821 – 824. World Health Organization. 2007. Bulding Capacity for Integrating Gender Analysis and Actions in the Work of WHO. Report of a Regional Workshop. Greater, Noida, India, 22 – 24 August 2007. 15