[REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] Perihal : Replik Penggugat dalam Perkara Perdata Nomor 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] Antara TEGUH SUGIHARTO, SE -------------------------------------------------------------------------- PENGGUGAT Melawan I. SOEKARWO (GUBERNUR JAWA TIMUR) ------------------------------------------------- TERGUGAT I II. ABDUSSHOMAD BUCHORI (KETUA MUI JAWA TIMUR) ------------------------------ TERGUGAT II III. SAHAL MAHFUDZ (KETUA UMUM MUI) -------------------------------------------------- TERGUGAT III IV. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (PRESIDEN RI) --------------------------------------- TERGUGAT IV Jakarta, 8 September 2013 Kepada yang terhormat Majelis Hakim Pemeriksa Perkara Perdata Nomor: 168/ Pdt. G/ 2013/ PN.Jkt.Pst Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat di JAKARTA Dengan hormat, Bahwa terhadap EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I tertanggal 24 September 2013 yang diterima PENGGUGAT pada tanggal 2 Oktober 2013 dalam Perkara Perdata No: 168/ Pdt.G/ 2013/ PN.Jkt.Pst, maka bersama ini perkenankanlah PENGGUGAT menyampaikan repliknya sebagai berikut: DALAM EKSEPSI: 1. Bahwa, PENGGUGAT tetap pada dalil-dalil sebagaimana dikemukakan PENGGUGAT dalam GUGATAN dan dengan tegas menolak seluruh EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT III kecuali yang diakui secara tegas oleh PENGGUGAT. 2. Bahwa benar PENGGUGAT juga telah mengajukan permohonan keberatan Hak Uji Materiel terhadap Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Aliran Sesat di Jawa Timur kepada Mahkamah Agung RI dengan Halaman 1 dari 7 [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] register perkara nomor 20P/HUM/Th.2003 atas dasar pokok perkara bahwa materi yang diatur bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Permohonan Hak Uji Materi berbeda dengan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Dalam gugatan Perbuatan Melawan Hukum jika PENGGUGAT membuktikan bahwa Peraturan Gubernur dimaksudkan melanggar ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi adalah sekadar membuktikan bahwa Gubernur telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum yang merugikan PENGGUGAT. Hal ini sesuai dengan Yurisprudensi “Hal perbuatan melanggar hukum oleh Penguasa, harus dinilai dengan Undang--undang dan Peraturan-peraturan formil yang berlaku dan selain itu dengan kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh Penguasa.” [Putusan Mahkamah Agung tanggal 20-1-1971 No. 838K/Sip/1970]. Juga sesuai dengan Yurisprudensi “Berdasarkan Yurisprudensi, perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat Negara tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Negeri / Umum” [Putusan Mahkamah Agung tanggal 31-10-1974 No. 981K/Sip/1972]. PENGGUGAT dalam surat gugatan sama sekali tidak memohon kepada Pengadilan Negeri untuk menguji Peraturan Gubernur a quo terhadap peraturan perundangan yang lebih tinggi yang merupakan kewenangan Mahkamah Agung RI. 3. Bahwa yang menjadi dasar atau dalil gugatan perbuatan melawan hukum terhadap TERGUGAT I adalah berbeda dengan dasar permohonan Hak Uji Materiel a quo. Peraturan Gubernur aquo selain bersifat pengaturan juga melakukan penetapan sebagaimana tersebut di Pasal 5 (2) Kegiatan keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikategorikan sebagai aliran sesat apabila memenuhi kriteria dan pertimbangan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk agama Islam dan untuk agama lain dari majelis agama yang bersangkutan. TERGUGAT I secara tidak langsung telah menetapkan kesesatan ajaran Islam mazhab Syi’ah (nabok nyilih tangan: memukul dengan meminjam tangan pihak lain –MUI- yang tidak memiliki kualitas) karena saat Peraturan Gubernur a quo ditetapkan pada tanggal 23 Juli 2012, Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur telah terlebih dahulu menetapkan Keputusan Fatwa a quo yang menyatakan Islam mazhab Syi’ah sesat dan menyesatkan pada tanggal 21 Januari 2012. Oleh karenanya dapat dikatakan Peraturan Gubernur a quo memiliki tujuan tersirat menguatkan pokok fatwa a quo. 4. Bahwa, TERGUGAT I mengakui dalam EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I Dalam Pokok Perkara Angka 10 (halaman 9) bahwa “, sedangkan menyangkut agama dan/atau berkaitan dengan agama atau menilai terhadap kegiatan keagamaan bukan menjadi kewenangan TERGUGAT I”. Bahwa menggantungkan penetapan terjadinya penyimpangan (kesesatan suatu ajaran) pada Majelis Ulama Indonesia merupakan suatu Causa Yang Tidak Legal (Halal) dan bersifat melawan hukum yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang Halaman 2 dari 7 [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] lebih tinggi yang berlaku yaitu UU No. 1/PNPS Tahun 1965 yang dengan tegas menyatakan bahwa pihak yang memiliki kewenangan menetapkan suatu kegiatan keagamaan sebagai menyimpang merupakan kewenangan Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri yang wajib ditetapkan dalam Keputusan Bersama dan sama sekali bukan kewenangan TERGUGAT I baik secara langsung maupun tidak langsung juga bukan merupakan kewenangan Majelis Ulama Indonesia. Dengan demikian dapat diajukan permohonan putusan bahwa TERGUGAT I telah melakukan perbuatan perbuatan melawan hukum dan Peraturan Gubernur dimaksudkan dapat dimintakan putusan BATAL DEMI HUKUM yang keduanya merupakan kewenangan Pengadilan Negeri / Umum. 5. Bahwa adalah tidak lazim juga melanggar asas kepastian hukum menggantungkan penetapan pada lembaga yang sifatnya privat (MUI) namun akan memiliki konsekuensi mengikat publik. Bahkan organisasi Majelis Ulama Indonesia adalah suatu lembaga yang tidak berstatus sebagai badan hukum atau bisa disebut sebagai sekadar paguyuban (tempat/wadah ngobrol para pengurusnya yang melakukan klaim sepihak sebagai mewakili umat Islam dan seterusnya yang mana juga tidak jelas tentang keanggotaannya karena Anggaran Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga-nya sama sekali tidak terdapat klausul yang mengatur masalah keanggotaan). Suatu hal tertentu sebagai syarat sahnya perikatan juga telah dilanggar, yaitu penetapan kesesatan yang digantungkan pada kriteria dan pertimbangan lembaga lainnya menjadikan “suatu hal tertentu” menjadi kabur. Dengan demikian Peraturan Gubernur a quo dapat dimintakan putusan BATAL DEMI HUKUM (Null and Void) yang merupakan kewenangan Pengadilan Negeri. 6. Bahwa “pernyataan sesat” baik secara langsung maupun digantungkan pada kriteria dan pertimbangan lembaga lain adalah melanggar norma kepatutan dan ketertiban umum. Pernyataan sesat yang dilakukan negara adalah suatu stempel yang merusak harmoni kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Negara yang wajib menjaga ketertiban umum justru menciderainya dengan penguatan “pernyataan sesat” pihak ketiga (MUI) yang tidak memiliki kualitas. Negara wajib melindungi segenap bangsa dan tumpah darah Indonesia. Pembenaran dan penguatan pernyataan sesat yang dilakukan oleh suatu paguyuban bernama Majelis Ulama Indonesia bahkan dapat diklasifikasikan sebagai suatu penghinaan dan suatu perbuatan tidak menyenangkan, suatu causa yang tidak legal (halal). Terlebih TERGUGAT I menetapkan Peraturan Gubernur a quo dalam keadaan mengetahui Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur telah menetapkan Keputusan Fatwa a quo maka dapat dikatakan sedari mula TERGUGAT I Halaman 3 dari 7 [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] bermaksud menguatkan pokok fatwa a quo yang menetapkan Islam mazhab Syi’ah sebagai sesat dan menyesatkan. 7. Bahwa, PENGGUGAT menolak dalil Exceptio Litispendentia yang didalilkan TERGUGAT I yang didalilkan bahwa untuk menjaga agar tidak terjadi 2 (dua) putusan yang saling bertentangan/ tumpang tindih dan untuk menghormati berlangsungnya pemeriksaan oleh Mahkamah Agung RI. Dalil kekhawatiran ini tidak akan terjadi karena putusan yang dimintakan adalah berbeda dan sesuai kewenangan masing-masing. Mahkamah Agung RI dalam putusannya akan menyatakan bahwa Peraturan Perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya. [Pasal 6 ayat (2) Perma No. 1 Tahun 2011]. Sedangkan putusan Pengadilan Negeri adalah pernyataan BATAL DEMI HUKUM (Null and Void). Jika Peraturan Gubernur dimaksudkan dinyatakan BATAL DEMI HUKUM maka otomatis segala hal berkaitan adalah dianggap tidak pernah ada termasuk tetapi tidak terbatas Permohonan HUM dan putusan Mahkamah Agung RI terhadap permohonan HUM dimaksudkan. Dengan demikian kekhawatiran TERGUGAT I adalah mengada-ada. Dan pelaksanaan proses peradilan sesuai kewenangannya masing-masing tidak dapat diartikan sebagai tidak menghormati proses peradilan yang sedang dilakukan. 8. Bahwa, Peraturan Gubernur Nomor 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan Alisan Sesat di Jawa Timur Pasal 1 butir 3 menyebutkan Masyarakat adalah masyarakat yang berada dalam wilayah Provinsi Jawa Timur. PENGGUGAT beserta anak dan istri sedikit-dikitnya satu tahun sekali berada dalam wilayah Provinsi Jawa Timur mengantarkan istri dan anak pulang kampung ke Pulau Madura di wilayah Provinsi Jawa Timur. Peraturan Gubernur dimaksudkan bermaksud mengikat setiap pihak yang memasuki dan berada dalam wilayah geografis Provinsi Jawa Timur. Adalah melanggar syarat hal tertentu karena Peraturan Gubernur a quo mengatur dan menetapkan suatu perkara yang tidak spesifik bersifat kejadian atau keadaan lokal. Tidak jelas apakah jika setengah kaki berada di wilayah Provinsi Jawa Timur dan setengah kaki lain beserta setengah badan yang lain berada di wilayah Provinsi Jawa Tengah apakah akan dinyatakan bahwa Pergub dimaksudkan berlaku pada setengah badan? Apakah jika seorang penganut Islam mazhab Syi’ah berada dalam wilayah Provinsi Jawa Timur seseorang adalah sesat dan menyesatkan tetapi ketika berada di luar wilayah Provinsi Jawa Timur dinyatakan tidak sesat dan menyesatkan? Halaman 4 dari 7 [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] 9. Bahwa, berdasar uraian di angka 8 di atas jelas PENGGUGAT memiliki standing to sue karena jelas PENGGUGAT memiliki hubungan hukum dan terdapat kepentingan hukum yang nyata dan memenuhi persyaratan formil untuk dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara dan diputus oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini. 10. Bahwa dengan demikian, dalil-dalil dari TERGUGAT I dalam Eksepsi dan Jawaban Pertama sepantasnya untuk dikesampingkan atau dinyatakan tidak berdasar secara hukum. II DALAM POKOK PERKARA 1. Bahwa, dalil-dalil replik terhadap eksepsi dan jawaban pertama TERGUGAT I bagian I DALAM EKSEPSI yang dikemukakan tersebut di atas, dianggap terulang kembali dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan replik pokok perkara ini. 2. Bahwa, PENGGUGAT tetap pada dalil-dalil sebagaimana dikemukakan PENGGUGAT dalam GUGATAN, dan menolak dan menyangkal seluruh dalil yang yang dikemukakan TERGUGAT I dalam Eksepsi dan Jawaban Pertama TERGUGAT I, kecuali yang secara tegas diakui kebenarannya oleh PENGGUGAT. 3. Bahwa, bahkan judul dari Peraturan Gubernur No. 55 Tahun 2012 tentang Pembinaan Kegiatan Keagamaan dan Pengawasan ALIRAN SESAT di Jawa Timur adalah suatu bentuk penghinaan pada yang akan terkena dampaknya dan merupakan suatu perbuatan tidak menyenangkan yang dilakukan secara melawan hukum. Terlebih Peraturan Gubernur dimaksudkan ditetapkan dalam situasi dan kondisi yanng tengah memanas akibat adanya insiden Penyerangan Syiah Sampang dan ditetapkan dalam keadaan TERGUGAT I mengetahui bahwa TERGUGAT II (Abdusshomad Buchori – Ketua MUI Jawa Timur) telah menetapkan Keputusan Fatwa MUI Prop. Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/2012 tentang KESESATAN AJARAN SYI’AH. Maka hal ini bertentangan (contradictio in terminis) dengan segala dalil TERGUGAT I tentang memelihara ketentraman dan ketertiban umum, penjaminan hak dan kebebasan beragama dan beribadah dan klaim-klaim sejenis. Bagaimana bisa TERGUGAT I mengklaim telah melaksanakan tugas dan pemeliharaan kerukunan umat beragama namun pada saat bersamaan menguatkan putusan bahwa Islam Mazhab Syi’ah sesat yang diterbitkan oleh suatu organisasi privat seperti Majelis Ulama Indonesia. Bukankah tindakan serampangan TERGUGAT I menetapkan Peraturan Gubernur dimaksudkan justru bertentangan dengan klaim menjaga ketenteraman dan bahkan Halaman 5 dari 7 [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] menimbulkan ancaman keselamatan dan gangguan ketenangan hidup bagi pihak yang distigma sesat oleh negara? 4. Bahwa, TERGUGAT I dalam Eksepsi dan Jawaban Pertama Tergugat I di halaman 11 angka 16 mengingkari kewenangan yang diberikan Undang-undang kepadanya patut diduga untuk menghindar dari pertanggungjawaban akibat tidak dijalankannya kewajiban yang ditetapkan undang-undang kepadanya. Bagian penjelasan Pasal 15 UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat dengan terang menjelaskan bahwa TERGUGAT I memiliki kewenangan membekukan dan atau membubarkan suatu ormas di wilayahnya. 5. Bahwa, TERGUGAT I menetapkan Peraturan Gubernur a quo yang dapat dipandang sebagai menguatkan Keputusan Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur No. Kep-01/SKF-MUI/JTM/I/2012 yang menetapkan Kesesatan Ajaran Syi’ah telah menimbulkan gangguan terhadap ketenangan hidup PENGGUGAT yang menganut Islam menurut mazhab (ajaran / sudut pandang / paradigma) Syi’ah. Menyematkan label SESAT pada warga negara adalah melanggar norma kepatutan dan peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian gugatan PENGGUGAT memiliki dasar yang kuat dan terang benderang. III DALAM PETITUM Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka PENGGUGAT mohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara perdata Nomor 168/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst untuk memeriksa dan memutus perkara ini dengan putusan sebagai berikut: DALAM EKSEPSI 1. Menyatakan menolak Eksepsi TERGUGAT II; 2. Menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara perdata Nomor 168/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Pst; 3. Memerintahkan para pihak untuk melanjutkan pemeriksaan pokok perkara. DALAM POKOK PERKARA Menyatakan mengabulkan gugatan untuk seluruhnya sebagaimana rinciannya telah dimohonkan dalam gugatan dengan perubahan sebagaimana dikemukakan dalam Replik atas Eksepsi dan Jawaban Pertama TERGUGAT II. Halaman 6 dari 7 [REPLIK ATAS EKSEPSI DAN JAWABAN PERTAMA TERGUGAT I] Demikian Replik disampaikan atas Eksepsi dan Jawaban Pertama TERGUGAT I. Hormat saya, PENGGUGAT TEGUH SUGIHARTO, SE Halaman 7 dari 7