prosiding seminar nasional himpunan kimia indonesia 2009

advertisement
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
HIMPUNAN KIMIA INDONESIA
2009
ISSN : 2086-4310
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan
Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka
Mendukung Riset dan Industri”
19 Desember 2009
Gedung Widya Graha Lt.1 - LIPI
Penyelenggara :
LIPI
HKI
Sponsor :
Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
ISSN : 2086 – 4310 PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
HIMPUNAN KIMIA INDONESIA (HKI)
2009
Tema :
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan
Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka
Mendukung Riset dan Industri”
19 Desember 2009
Gedung Widya Graha Lantai 1
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Gatot Subroto No. 10 JAKARTA
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 i Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia (2009 : Jakarta)
Prosiding Seminar Seminar Nasional Himpunan Kimia Indonesia 2009
Jakarta, 19 Desember 2009
Gedung Widya Graha Lt. 1 LIPI
255 hlm.
ISSN : 2086 – 4310
Tema : “Regulasi
Pengadaan dan Penggunaan
Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka Mendukung Riset dan
Industri”
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 ii Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL
HIMPUNAN KIMIA INDONESIA (HKI) 2009
Tema :
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan
Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka Mendukung Riset
dan Industri”
PENYUNTING
Dr. Silvester Tursiloadi
Dr. Muhammad Hanafi
Dr. Agus Haryono
Muhamad A. Martoprawiro, PhD
Dr. Abdul Mutalib
Nandang Sutiana
19 Desember 2009
Gedung Widya Graha Lantai 1
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Gatot Subroto No. 10 JAKARTA
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 iii Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SEMINAR NASIONAL & KONGRES HKI 2009
Dalam suatu negara, hasil pengembangan teknologi mampu meningkatkan daya
saing industrinya secara signifikan. Pemerintah dan para penggiat industri
berupaya terus-menerus meningkatkan level of knowledge teknologi yang mereka
miliki untuk lebih unggul dalam persaingan di era global dewasa ini. Oleh karena
itu penguasaan teknologi terkini untuk dapat dikaitkan dan diselaraskan dalam
industri nasional merupakan suatu keniscayaan. Masuk ke dalam abad 21,
perubahan paradigma telah terjadi dalam memandang teknologi itu sendiri,
dimana sifat-sifat dan kinerja material selama ini sudah dapat direkayasa
sedemikian rupa sehingga menjadi lebih efektif, efisien dan berdaya guna. Dalam
gilirannya, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kimia tentu
perlu dukungan sumber daya manusia yang handal dan bahan kimia yang lengkap
dan mencukupi.
Kita menyadari bahwa banyak bahan kimia untuk pengembangan dan pendidikan
iptek bidang kimia maupun untuk menjalankan roda industri kimia mulai dari
skala kecil, menengah, dan besar merupakan bahan yang berbahaya baik untuk
kesehatan maupun keamanan dan keselamatan. Dewasa ini untuk mendapatkan
dan menggunakan bahan kimia tertentu tidak semudah seperti 20 tahun yang lalu.
Misalnya, kalium permanganat, asetat anhidirida, dan seterusnya (yang dewasa ini
dikategorikan sebagai prekursor untuk pembuatan bahan narkotik) atau logam
natrium, senyawa fosfin, dan seterusnya (dikategorikan sebagai bahan peledak)
sesungguhnya sudah umum digunakan untuk praktikum kimia mahasiswa tingkat
awal atau sebagai pereaksi dalam penelitian kimia maupun industri kimia. Kita
menyaksikan bahwa regulasi berkaitan dengan pengadaan dan penggunaan bahan
kimia tersebut dalam implementasinya berlaku umum, tanpa kecuali apakah untuk
industri maupun untuk pengembangan dan pendidikan iptek. Tentu pembatasan
yang terlalu kaku dan tidak seragam dari masing-masing regulator, terutama untuk
pengembangan dan pendidikan iptek berkaitan dengan penggunaan bahan kimia,
sangat berpengaruh terhadap pencapaian level of knowledge teknologi lebih
unggul yang kita canangkan. Hal lain yang menarik untuk disimak adalah uji halal
dan haram bahan kimia, terutama sebagai bahan baku industri makanan,
minuman, dan obat yang masuk kedalam tubuh manusia. Patut diapresiasi usaha
keras dan gigih MUI melalui LPPOM-MUI dalam melakukan uji ini. Namun
demikian, begitu banyaknya jumlah contoh yang harus diuji dalam waktu relatif
cepat, sudah seharusnya potensi yang tersebar di Nusantara, terutama di fasilitas
laboratorium kimia yang dimiliki berbagai universitas di daerah, bisa memberikan
kontribusi dalam masalah ini.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 iv Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
DAFTAR ISI
Hal
Pendahuluan ……………………………………………………
iv
Daftar isi ………………………………………………………
v
Sambutan Ketua Panitia …………………………………………
vi
Sambutan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
………….…………………………………………………………
vii
Sambutan Ketua Himpunan Kimia Indonesia ……………………
ix
Daftar Pembicara …………………………………………………
x
Waktu, Tempat dan Jadwal Acara ……………………………….. xi
Penyaji Poster …………..…………………………………………
1
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 v Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SAMBUTAN KETUA PANITIA
SEMINAR & KONGRES HKI 2009
Segala puji bagi Tuhan semesta alam, kami tim panitia seminar dan kongres HKI
2009 merasa bersyukur telah diberikan kesempatan untuk menjadi host
penyelanggara seminar dan kongres HKI di tahun 2009 ini. Kami mengucapkan
banyak terima kasih kepada para pemakalah poster yang telah mengirimkan
karya-karyanya, LIPI sebagai penyedia tempat seminar dan kongres, para sponsor
yang telah mendukung kegiatan seminar dan kongres ini dan juga para peserta
yang ikut membantu terlaksananya kegiatan ini.
Penyelenggaraan Seminar dan Kongress Himpunan Kimia Indonesia 2009 yang
bertema “Regulasi Pengadaan dan Penggunaaan Bahan Kimia Berbahaya dalam
Rangka Mendukung Riset dan Industri” merupakan salah satu dari program
Himpunan Kimia Indonesia. Dengan seminar dan kongres HKI ini, diharapkan
bisa menjadi ajang tukar informasi dan knowledge sharing antara para ilmuwan,
pihak akademik dan pihak industri yang mana ilmu dan informasi pengetahuan
yang diperoleh dapat digunakan untuk membangun sinergi dan kolaborasi di
dunia riset dan industri serta mendukung kepentingan nasional di bidang
pengadaan dan penggunaan bahan kimia berbahaya.
Akhirnya, semoga seminar dan kongres ini bisa berjalan dengan lancar dan atas
nama panitia pelaksana, kami mengucapkan selamat mengikuti seminar dan
kongres HKI 2009 ini dan kami memohon maaf bila ada kekurangan dalam
penyelenggaraannya.
Jakarta, 19 Desember 2009
Dr. Silvester Tursiloadi
Ketua Panitia Seminar dan Kongres HKI 2009
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 vi Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SAMBUTAN KEPALA LEMBAGA ILMU
PENGETAHUAN INDONESIA
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Kepada Yth.
Menteri Riset dan Teknologi RI
Deputi Bidang Peng. SIPTEKNAS - KNRT
Dirjen IKAH – Deperin
Deputi Badan POM
Inspektur OPCW Periode 1999-2009
Koordinator Forum Ketua-Ketua Jurusan Kimia se-Indonesia
Para peserta Seminar Nasional dan Kongres HKI
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas
terselenggaranya Seminar Nasional dan Kongres Himpunan Kimia Indonesia
tahun 2009.
Para hadirin yang kami hormati,
Bahan kimia merupakan suatu bahan baku yang sangat penting dalam penggunaan
baik pada industri maupun pada laboratoirum untuk penelitian. Dari sekian
banyak bahan kimia yang digunakan adalah suatu keniscayaan penggunaan bahan
kimia berbahaya yang dipakai baik pada industri maupun dalam laboratorium.
Bahan kimia berbahaya termasuk bahan berbahaya dan beracun (B3) yang harus
diatur baik dalam pengadaannya maupun penggunaannya. Selain itu perlu pula
dipikirkan tentang penanganan baik dalam pengadaannya, transportasinya,
penyimpanannya maupun dalam pengolahan limbah bahan kimia berbahaya ini.
Ada 9 kelas bahan kimia berbahaya dari bahan-bahan yang mudah meledak, gasgas yang mudah menyala, cairan yang mudah menyala, padatan yang mudah
menyala, zat-zat pengoksida termasuk peroksida organik, zat-zat beracun,
penyebab iritasi dan rasa sakit, bahan-bahan radioaktif, bahan-bahan korosif dan
bahan-bahan kimia berbahaya lainnya. Semua bahan kimia berbahaya tersebut
kita gunakan sehari-hari baik disadari maupun tidak kita sadari.
Untuk itu sangat diperlukan regulasi atau aturan mengenai bahan kimia berbahaya
ini serta keikut sertaan berbagai pihak baik pemerintah, industri, peneliti dan
akademisi dalam memikirkan masalah bahan kimia berbahaya ini. Seminar
Nasional yang akan diselenggarakan ini sangat tepat dengan mengangkat tema
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 vii Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka
Mendukung Riset dan Industri”. Semoga kegiatan Seminar Nasional dan Kongres
Himpunan Kimia Indonesia Tahun 2009 ini menelurkan rekomendasi dalam
regulasi dan kemudahan pengadaan, penggunaan serta pengelolaan bahan kimia
berbahaya baik sebelum maupun sesudah dipergunakan dalam industri dan
penelitian.
Akhirnya kami mengucapkan selamat mengikuti Seminar Nasional dan Kongres
HKI 2009 ini, kita berharap memeproleh pengetahuan dan pengalaman serta dapat
memberikan masukan yang bermanfaat kepada berbagai pihak sesuai
keperluannya termasuk kepada pemerintah, asosiasi dan pelaku bisnis industri,
juga kepada kalangan akadamis dan riset.
Jakarta, 19 Desember 2009
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 viii Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SAMBUTAN KETUA HKI
Puji syukur kepada Tuhan semesta alam atas dapat terselenggaranya Seminar
Nasional dan Kongres Himpunan Kimia Indonesia tahun 2009.
Tema Seminar Nasional dan Kongres HKI 2009 adalah “Regulasi Pengadaan dan
Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka Mendukung Riset dan
Industri”, adapun poin-poin yang akan dibahas dalam kegiatan ini adalah:
1. Regulasi pengadaan dan penggunaan bahan kimia berbahaya.
2. Kebutuhan bahan kimia berbahaya untuk meningkatkan level of
knowledge dalam pengembangan dan pendidikan IPTEK unggul nasional.
3. Kajian litbang penanganan bahan kimia berbahaya di industri, lembaga
penelitian, dan perguruan tinggi.
4. Kegiatan Litbang di Lembaga Penelitian , Perguruan Tinggi dan Industri.
Tujuan dari kegiatan Seminar Nasional dan Kongres Himpunan Kimia Indonesia
Tahun 2009 ini adalah untuk mendapatkan keseragaman regulasi dan rekomendasi
kemudahan pengadaan dan penggunaan bahan kimia berbahaya untuk
mempercepat peningkatan level of knowledge dalam pengembangan dan
pendidikan IPTEK unggul nasional.
Akhirnya kami mengucapkan selamat mengikuti Seminar Nasional dan Kongres
HKI 2009 ini, kita berharap memperoleh pengetahuan dan pengalaman serta dapat
memberikan masukan yang bermanfaat kepada berbagai pihak sesuai
keperluannya termasuk kepada pemerintah, asosiasi dan pelaku bisnis industri,
juga kepada kalangan akademis dan riset.
Jakarta, 19 Desember 2009
Dr. Muhammad Saleh
Ketua Himpunan Kimia Indonesia
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 ix Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
DAFTAR PEMBICARA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Menteri Negara Riset dan Teknologi
Dirjen IKAH
Deputi Badan POM
Deputi KLH / B3
PT. Sucofindo
LIPI (Inspektur OPCW Periode 1999-2009)
Deputi Bidang Peng. SIPTEKNAS
Koordinator Forum Ketua-Ketua Jurusan Kimia se-Indonesia
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 x Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
WAKTU, TEMPAT DAN JADWAL ACARA
Seminar ini diselenggarakan pada:
Hari / tanggal
Tempat
: Sabtu / 19 Desember 2009
: Gedung Widya Graha Lantai 1
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Jl. Gatot Subroto No. 10 Jakarta
SUSUNAN ACARA
19 DESEMBER 2009
Waktu
08.30 – 09.00
09.00 – 09.10
09.10 – 09.40
09.40 – 10.10
10.10 – 10.40
10.40 – 11.10
11.10 – 11.40
11.40 – 13.00
13.00 – 13.30
13.30 – 14.00
14.00 – 14.30
14.30 – 15.15
14.45 – 16.30
Acara
Registrasi
Pembukaan oleh Ketua LIPI
Materi 1 : Menteri Ristek (Dep. Bid. Riptek)
Materi 2 : Dirjen IKAH
Materi 3 : LIPI (Inspektur OPCW (Organization for the
Prohibition of Chemical Weapons)
Materi 4 : Deputi Bidang Pengembangan SIPTEKNAS
Diskusi
ISHOMA
Materi 5: PT. SUCOFINDO
Materi 6: Koordinator Forum Ketua Jurusan Kimia SeIndonesia
Materi 7: Dr. M. Sokolowski
Cofee Break
Kongres HKI 2009 & Diskusi
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 xi Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SEMINAR NASIONAL DAN KONGRES
HIMPUNAN KIMIA INDONESIA 2009
Tema :
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan
Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka
Mendukung Riset dan Industri”
sponsor oleh :
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 xii Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SEMINAR NASIONAL DAN KONGRES
HIMPUNAN KIMIA INDONESIA 2009
Tema :
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan
Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka
Mendukung Riset dan Industri”
Penyaji poster
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 1 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
PENGARUH
PENGURANGAN KONSENTRASI GULA
TERHADAP PERBANYAKAN JAHE MERAH (ZINGIBER
OFFICINALE ROSC.) SECARA IN VITRO
Betalini Widhi Hapsari*, Deritha Elffy Rantau dan Tri Muji Ermayanti
* Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
Jalan Raya Bogor Km 46 Cibinong, 16911
ABSTRAK
Jahe merah (Zingiber officinale Rosc.) merupakan salah satu kultivar jahe
yang sering digunakan sebagai obat tradisional. Jahe merah terbukti mengandung
minyak esensial yang lebih tinggi dibandingkan kultivar jahe lainnya. Tanaman
ini juga menghasilkan oleoresin, gingerols dan shogaols. Jahe umumnya
berkembang biak secara vegetatif melalui akar rimpang. Akar jahe merupakan
bagian yang dikonsumsi sehingga diperlukan ketersediaan bibit yang
berkelanjutan. Masalah ini dapat diatasi dengan metoda kultur jaringan untuk
memproduksi bibit tanamanan dalam jumlah besar dan bebas dari penyakit.
Metode kultur jaringan diperlukan untuk menghasilkan bibit secara massal, untuk
itu perlu dilakukan penelitian untuk menghasilkan protokol propagasi tanaman
jahe merah secara cepat dan murah. Medium yang murah untuk kultur jaringan
jahe merah salah satunya dapat diperoleh dengan memodifikasi konsentrasi gula
dan jenis gula yang digunakan untuk medium. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui efek konsentrasi dan jenis gula terhadap pertumbuhan
kultur jahe merah. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perbanyakan
jahe merah secara in vitro dapat dilakukan pada medium cair MS (Murashige dan
Skoog) tanpa penambahan zat pengatur tumbuh. Penelitian ini mencoba
mengurangi konsentrasi gula pada media cair tanpa zat pengatur tumbuh dengan
menggunakan tabung kaca bertutup selotip bening. Konsentrasi gula yang
dicobakan adalah 5, 10 dan 20 g/l. Sebagai perlakuan kontrol digunakan sukrosa
murni dengan konsentrasi yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah tunas tertinggi dihasilkan oleh medium dengan penambahan gula pasir 20
g/l pada minggu ke-8 yaitu sebesar 5,67. Jumlah akar tertinggi dihasilkan oleh
medium dengan penambahan gula pasir 20 g/l pada minggu ke-8 yaitu sebesar
8,33. Kesimpulannya bahwa medium MS dengan penambahan gula pasir 20 g/l
pada minggu ke-8 merupakan media terbaik untuk perbanyakan jahe merah secara
in vitro. Walaupun terdapat variasi kandungan klorofil dan jumlah stomata,
aklimatisasi dari ketiga perlakuan konsentrasi gula tidak menunjukkan perbedaan
daya tumbuh di lapangan. Semua planlet yang diaklimatisasi dapat tumbuh di
lapangan.
Kata Kunci : Jahe Merah (Zingiber officinale Rosc.), in vitro, perbanyakan
tunas, kosentrasi gula
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 31 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
PENDAHULUAN
Jahe (Zingiber officinale Rosc.)
merupakan salah satu tanaman yang
banyak dipergunakan sebagai bahan
tanaman rempah dan obat-obatan. Sifat
khas jahe disebabkan adanya minyak
atsiri dan oleoresin jahe. Aroma harum
jahe disebabkan oleh minyak atsiri,
sedangkan oleoresinnya menyebabkan
rasa pedas. Kandungan minyak atsiri
dalam jahe kering sekitar 1 – 3 persen.
Komponen utama minyak atsiri jahe
yang menyebabkan bau harum adalah
zingiberen dan zingiberol. Oleoresin
jahe banyak mengandung komponen
pembentuk rasa pedas yang tidak
menguap. Komponen dalam oleoresin
jahe terdiri atas gingerol dan zingiberen,
shagaol, minyak atsiri dan resin,
sedangkan pemberi rasa pedas dalam
jahe yang utama adalah zingerol. Selain
kandungan tersebut, rimpang jahe juga
mengandung pati dan asam organik
(Sutarto, et. al. 2003). Hal-hal tersebut
membuat rimpang tanaman jahe
memiliki nilai ekonomis tinggi.
Semakin luasnya penggunaan
tanaman jahe baik sebagai bahan
makanan, minuman, kosmetika ataupun
dalam
bentuk
minyak
atsiri
menyebabkan permintaan akan jahe,
khususnya jahe merah terus meningkat.
Jahe merah ini berbeda dari jahe biasa
yang banyak digunakan sebagai rempahrempah maupun jahe gajah atau emprit
karena kandungan minyak atsiri dan
oleoresin pada jahe merah lebih tinggi
dibandingkan dengan kandungannya
pada jahe jenis lainnya (Tim Lentera,
2002). Permintaan jahe meningkat
sejalan
dengan
meningkatnya
perkembangan industri obat tradisional
dan industri lainnya yang berbahan baku
jahe.
Berdasarkan data katalog BPS
2009, jahe sebagai urutan pertama pada
produksi tanaman obat-obatan tahun
2005, 2006 dan 2007 yaitu sebesar
125,857 ton, 177,138 ton, dan 178,503
ton. Berdasarkan keanekaragamannya,
ada 3 klon (kultivar) jahe yang
dibudidayakan di Indonesia yaitu jahe
merah dikenal dengan nama jahe sunti,
jahe putih kecil dikenal dengan nama
jahe emprit, jahe putih besar dikenal
dengan nama jahe gajah (Sumatra), jahe
ganyong (Kuningan), dan jahe kapur
(Jawa Timur) atau jahe badak (Jawa
Barat). Ketiga klon (kultivar) jahe
tersebut mempunyai karakteristik yang
berbeda-beda baik dalam kandungan
minyak atsiri, kandungan air, serat,
bentuk dan warna rimpang. Variasi ini
diduga berhubungan dengan keadaan
tanah, iklim, dan cara budidayanya
(Rostiana et. al., 1991).
Secara umum jahe merah (Z.
officinale var Sunti) mempunyai
karakteristik
rimpang
pendek,
merunjung hingga membulat, pemukaan
luar berwarna ungu kemerahan, rimpang
berukuran kecil, berserat kasar dan
mempunyai kandungan minyak atsiri
2.58-3.90%. Produksi rimpang jahe
merah, yang ditanam di lapang berturutturut berkisar 8-15 ton/ha, pada umur
panen 8-10 bulan (Rostiana et al, 1991;
Rugayah, 1994).
Jahe umumnya berkembang
biak secara vegetatif melalui akar
rimpang. Akar jahe merupakan bagian
yang dikonsumsi sehingga diperlukan
ketersediaan bibit yang berkelanjutan.
Kendala yang dihadapi di lapangan
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 32 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
adalah sulitnya mendapatkan bibit
tanaman jahe yang bersifat unggul dan
bebas dari penyakit, khususnya penyakit
yang disebabkan oleh fusarium dan
pseudomonas. Masalah ini dapat diatasi
dengan metoda kultur jaringan untuk
memproduksi bibit tanaman dalam
jumlah besar dan bebas dari penyakit
(Mariska & Syahid, 1992; Sharma &
Singh, 1997). Metode kultur jaringan
juga diperlukan untuk menghasilkan
bibit secara massal, untuk itu perlu
dilakukan
penelitian
untuk
menghasilkan
protokol
propagasi
tanaman jahe merah secara cepat dan
murah. Media yang murah untuk kultur
jaringan jahe merah salah satunya dapat
diperoleh
dengan
mengurangi
konsentrasi dan jenis gula yang
ditambahkan dalam media. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh konsentrasi dan jenis gula
terhadap pertumbuhan kultur jahe
merah. Hasil penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa perbanyakan jahe
merah secara in vitro dapat dilakukan
pada media cair MS (Murashige dan
Skoog) tanpa penambahan zat pengatur
tumbuh (Ermayanti et al, 2009).
METODE PENELITIAN
Rimpang jahe merah yang
dipergunakan dalam penelitian ini
diperoleh dari daerah Bogor dan
sekitarnya. Inisiasi tunas dari mata tunas
rimpang dilakukan pada media MS
(Murashige & Skoog, 1962) padat
(dengan penambahan agar 8 g/l) tanpa
penambahan zat pengatur tumbuh
(ZPT). Mata tunas yang telah
disterilisasi dengan perlakuan fungisida
dan natrium hipoklorit, ditanam pada
media
padat
kemudian
kultur
diinkubasikan di dalam ruang kultur
yang mempunyai suhu antara 26-27oC.
Kultur diberi penyinaran dengan lampu
TL secara terus menerus. Intensitas
cahaya yang dipergunakan antara 10001300 lux. Multiplikasi tunas dilakukan
dengan cara memindahkan bonggol
planlet yang telah dibuang daunnya pada
media MS cair tanpa ZPT. Kultur
dengan media padat dipelihara di atas
rak kultur sedangkan kultur dengan
media cair dipelihara di atas shaker
dengan kecepatan rotasi sekitar 90 rpm.
Kultur diinkubasikan di dalam ruang
kultur dengan kondisi yang sama dengan
inisiasi tunas.
Untuk perlakuan konsentrasi
gula in vitro, media MS cair yang
mengandung sukrosa sebanyak 20 g/l
dipergunakan sebagai perlakuan kontrol.
Pengurangan sukrosa dan gula pasir
dilakukan dengan konsentrasi masingmasing 0, 10 dan 20 g/l. Bonggol
batang dari tunas in vitro dipisahkan
daunnya dan ditanam pada media
perlakuan. Setiap botol ditanam 1
eksplan pada setiap botol kultur dan
setiap perlakuan diulang 6 kali.
Pengamatan pertumbuhan dilakukan
setiap 2 minggu (selama 8 minggu)
dengan menghitung jumlah tunas
majemuk dan jumlah akar yang
terbentuk.
Pengamatan klorofil dilakukan
untuk mendapatkan gambaran umum
kemampuan tanaman tumbuh pada tahap
aklimatisasi. Analisis klorofil dilakukan
dengan menggunakan metode Meeks
(1974). Daun segar sebanyak 0.1 g
diambil dari tanaman yang tumbuh di
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 33 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
lapangan (rumah kaca atau lath-house)
dan tunas tanaman in vitro lalu
dipotong-potong menjadi berukuran
kecil, kemudian diekstrak dengan cara
digerus pada mortar yang ditambahkan
10 ml etanol 95% hingga larut. Ekstrak
kemudian dimasukkan dalam tabung
reaksi dan diputar dengan vortex selama
20 menit. Selanjutnya cairan dipisahkan
dari
endapannya
dan
diukur
absorbansinya dengan menggunakan
spektrofotometer
pada
panjang
gelombang
663 dan 645 nm.
Perhitungan klorofil-a (mg/g berat daun)
= (12.7 x A663)-(2.69 x A645 x 10-1),
sedangkan klorofil-b = (22.9 x A645)(4.68 x A663 x 10-1). Total klorofil =
(8.02 x A663) + (20.2 x A645 x 10-1).
Pengamatan jumlah stomata dilakukan
dengan melakukan sayatan epidermis
daun bagian atas dan bawah kemudian
dihitung julah stomatanya dengan
menggunakan mikroskop cahaya dengan
perbesaran 200 kali (Olympus seri CX
41, Jepang).
Aklimatisasi dilakukan dengan
cara memindahkan planlet pada polibag
yang berisi campuran tanah, kompos dan
pasir (1 : 1 : 1) serta sedikit sekam.
Masing-masing polibag ditanami satu
planlet dan disungkup dengan plastik
hingga terbentuk daun baru, kemudian
sungkup dibuka. Polibag ditempatkan
pada tempat yang teduh. Setelah
terbentuk
daun
baru,
tanaman
dipindahkan
ke
rumah
kaca.
Pengamatan dilakukan terhadap jumlah
tanaman yang hidup hingga mampu
membentuk daun-daun baru. HASIL DAN PEMBAHASAN
Beberapa jenis gula yang dapat
digunakan sebagai sumber energi dalam
kultur jaringan adalah sukrosa, glukosa
dan fruktosa. Gula yang umum
digunakan adalah sukrosa, karena gula
ini
banyak
disintesis
dan
ditransportasikan secara alami dalam
tanaman, serta relatif mudah didapat dan
murah harganya (Pierik, 1987). Dalam
penelitian biasanya digunakan gula
dalam bentuk sukrosa murni, tetapi pada
kultur jaringan tanaman penggunaan
sukrosa dapat pula diganti oleh gula
dapur (gula pasir) yang lebih murah
harganya. Kekurangan gula akan
menyebabkan
pertumbuhan
dan
perkembangan tanaman tidak normal.
Jika konsentrasi gula meningkat maka
pertumbuhan
dan
perkembangan
tanaman akan meningkat, tetapi akan
menurun kembali pada konsentrasi gula
tinggi (Pierik, 1987).
Berdasarkan pengamatan secara
visual dari kultur jahe merah yang
berumur 8 minggu (Gambar 1), terlihat
bahwa kultur jahe merah dengan
perlakuan 20 g/l gula memiliki jumlah
daun yang lebih banyak dan lebih segar
dibandingkan kultur jahe merah kontrol
(20
g/l
sukrosa).
Gambar
1
menunjukkan
bahwa
semakin
berkurangnya konsentrasi gula dan
sukrosa, maka jumlah tunas, akar dan
daun yang terbentuk akan semakin
berkurang. Kultur jahe merah yang
menggunakan gula pasir sebagai sumber
karbon terlihat lebih segar apabila
dibandingkan dengan kultur yang
menggunakan sukrosa sebagai sumber
karbon. Gambar 1 juga menunjukkan
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 34 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
bahwa gula maupun sukrosa merupakan
elemen yang sangat penting bagi
pertumbuhan kultur jahe merah. Gula
dan sukrosa merupakan satu-satunya
sumber karbon pada kultur yang bersifat
heterotrof, sehingga apabila konsentrasi
gula/sukrosa berkurang maka berakibat
langsung terhadap pertumbuhan kultur
jahe merah. Gambar 1 memperlihatkan
bahwa dengan berkurangnya sumber
karbon (sukrosa dan gula) maka
pertumbuhan kultur semakin terhambat.
Hal ini dapat dimungkinkan karena pada
kultur tidak terdapat sumber karbon lain
yang dapat menyokong pertumbuhan
kultur. Kandungan CO2 dari udara yang
terdapat pada botol kultur kurang
mencukupi untuk pertumbuhan kultur
jahe merah.
Penelitian
Sastra
(2003)
menunjukkan
adanya
peningkatan
pertumbuhan dengan meningkatnya
konsentrasi sukrosa pada tanaman jahe.
Pertumbuhan
dan
perkembangan
ekaplan memerlukan kesesuaian tekanan
osmosa pada tanaman yang dipengaruhi
oleh
jumlah
gula.
Sebaliknya
peningkatan
konsentrasi
sukrosa
menghasilkan penurunan pertumbuhan
jumlah daun. Hal ini menunjukkan
peningkatan pertumbuhan tunas akan
menekan dominansi apikal sehingga
jumlah daun menurun. Fenomena
tersebut seperti terjadi pada perlakuan
zat pengatur tumbuh sitokinin yang
memacu pertumbuhan tunas tetapi
menekan dominansi apikal (Arteca,
1996).
MS + 20 g Sukrosa
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 MS + 20 g Gula
35 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
MS + 10 g Sukrosa
MS + 10 g Gula
MS + 5 g Sukrosa
MS + 5 g Gula
Gambar 1. Kultur jahe merah umur 8 minggu pada media MS cair dengan konsentrasi
sukrosa atau gula sebanyak 20, 10 dan 5 g/l.
Jumlah tunas dan akar dari
kultur jahe merah dihitung dan disajikan
pada Tabel 1 yang menggambarkan
kisaran jumlah tunas dan akar dari tiap
media perlakuan dari umur 2 sampai
dengan 8 minggu. Kisaran jumlah tunas
dan akar bervariasi, jumlah tunas
maupun akar meningkat seiring dengan
meningkatnya konsentrasi gula dan
umur kultur. Tabel 1 menunjukkan
bahwa tunas majemuk masih terbentuk
hingga minggu ke-8. Gula dapat
menggantikan sukrosa, terlihat bahwa
pembentukan tunas majemuk dan akar
tidak berbeda. Konsentrasi gula atau
sukrosa dapat dikurangi dari 20 menjadi
10 g/l, dengan penurunan pembentukan
tunas majemuk dan perakaran yang
tidak berbeda nyata. Setelah kultur
berumur
8
minggu,
dilakukan
aklimatisasi. Data ini berkaitan dengan
kemampuan tumbuh planlet pada tahap
aklimatisasi dan pertumbuhannya di
lapangan.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 36 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Tabel 1. Kisaran jumlah tunas dan akar jahe merah umur 2 sampai 8 minggu yang
dikulturkan pada media MS cair dengan konsentrasi sukrosa dan gula 20, 10
dan 5 g/l
Umur 2 Minggu
Umur 4 Minggu
Umur 6 Minggu
Umur 8 Minggu
Jumlah
Tunas
Jumlah
Akar
Jumlah
Tunas
Jumlah
Akar
Jumlah
Tunas
Jumlah
Akar
Jumlah
Tunas
Jumlah
Akar
20
0–5
0–2
1–6
0–3
2–6
2 – 12
2–8
2 – 12
10
0–3
0–1
0–3
0–2
2–4
0–5
2–6
1–7
5
0–1
0–1
1–3
0–1
1–3
0–1
2–6
0–1
20
1–3
0–1
1–3
0–4
2–5
1 – 10
2–8
1 – 13
10
0–1
0–2
1–2
1–2
1–2
1–2
1–5
1–2
5
0–1
0
0–3
0
1–3
0–2
2–4
0–2
Sumber
Karbon
(g/l)
Sukrosa
Gula
Rata-rata penambahan tunas
majemuk dan akar dari percobaan
pengurangan
konsentrasi
gula
dibandingkan dengan sukrosa disajikan
pada Gambar 2 yang memperlihatkan
bahwa pengurangan konsentrasi gula
atau sukrosa menurunkan pembentukan
tunas majemuk maupun pembentukan
akar, namun penggantian sukrosa
dengan gula tidak menampakkan
perbedaan yang nyata. Dengan demikian
pada kultur jahe merah, gula dapat
digunakan untuk menggantikan sukrosa.
Gambar 2 dapat dijadikan pertimbangan
untuk produksi bbit jahe merah secara in
vitro dengan pengurangan biaya yaitu
penggunaan media cair, penggantian
sukrosa dengan gula dan pengurangan
konsentrasi sumber karbon (baik gula
maupun sukrosa). Gambar 2 juga
menunjukkan
bahwa
rata-rata
pembentukan tunas majemuk dan akar
lebih lambat pada media yang
mengalami pengurangan konsentrasi
sukrosa maupun gula. Penggunaan gula
10 dan 5 g/l menunjukkan perbedaan
yang nyata dalam pembentukan tunas
majemuk dan akar. Hal ini berbeda
dengan pengurangan konsentrasi yang
sama untuk
sukrosa. Penurunan
konsentrasi sukrosa menjadi 5 g/l
menurunkan
pembentukan
tunas
majemuk lebih nyata dibandingkan
penggunaan sukrosa 10 g/l (Gambar 2.).
Hal yang sedikit berbeda terjadi pada
pembentukan
akar.
Pengurangan
konsentrasi sumber karbon dari 10
menjadi 5 g/l baik gula maupun sukrosa
memberikan perbedaan yang signifikan
dimana pembentukan akar berkurang
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 37 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
cukup drastis. Pengurangan konsentrasi
gula dari 20 menjadi 10 g/l
menyebabkan
pembentukan
majemuk menurun.
tunas
Gambar 2. Rata-rata pembentukan akar dan tunas kultur jahe merah berumur 2 – 8
minggu pada media MS cair dengan pengurangan konsentrasi sukrosa dan
gula.
Perhitungan jumlah klorofil
pada
percobaan
ini
dapat
menggambarkan tingkat fotosintesis dari
tiap
perlakuan
media.
Secara
keseluruhan terlihat bahwa pengurangan
konsentrasi sumber karbon (gula
maupun sukrosa) menurunkan jumlah
kloforil total (Gambar 3). Klorofil total
tertinggi dihasilkan dari perlakuan gula
sebesar 20 g/l. Penggunaan gula sebagai
pengganti sukrosa juga mempengaruhi
jumlah klorofil total. Dari gambar 3
terlihat bahwa klorofil total yang dihasil
dari gula lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan sukrosa meskipun
perbedaanya
tidak
signifikan.
Pengurangan konsentrasi sumber karbon
berpengaruh secara signifikan terhadap
penurunan jumlah kloforil total.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 38 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Gambar 3. Rata-rata jumlah klorofil kultur jahe merah dengan pengurangan konsentrasi
gula dan sukrosa.
Selain
perhitungan
jumlah
klorofil total, pengamatan jumlah
stomata juga dapat menjadi parameter
pembanding dalam menggambarkan laju
fotosintesis kultur jahe merah dari tiap
perlakuan. Dari gambar 4 terlihat bahwa
jumlah stomata sebanding dengan
jumlah klorofil. Jumlah stomata juga
dapat menggambarkan laju fotosintesis
kultur karena stomata merupakan tempat
terjadi pertukaran gas dalam proses
fotosintesis. Dari gambar 4 juga terlihat
bahwa jumlah stomata terbanyak
diperoleh pada kultur jahe merah dengan
penambahan gula sebanyak 20 g/l.
Gambar 4. Rata-rata jumlah stomata pada daun dari kultur jahe per bidang pandang
pada perbesaran 200 kali.
Masalah yang terjadi pada
perbanyakan jahe melalui kultur
jaringan adalah pertumbuhan tanaman
secara in vivo yang berasal dari bibit in
vitro menghasilkan rimpang berukuran
kecil (Abbas, 1994; Mariska dan Syahid,
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 39 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
1992). Gunawan (1995) menyatakan
bahwa pada beberapa jenis tanaman hal
tersebut berhubungan dengan kualitas
planlet
yang
dihasilkan
pada
perbanyakan in vitro seperti ukuran akar
yang kecil dan kondisi fisiologisnya.
Perbaikan kualitas planlet dapat
ditingkatkan dengan penggunaan unsur
hara, sukrosa dan sitokinin (Hidayat dan
Asandhi, 1991; Abbas, 1994). Hal ini
juga didukung oleh hasil penelitian
Sutarto,
et.
al.
(2003)
yang
menunjukkan penggunaan media dasar
MS memberikan hasil yang jauh lebih
baik
jika
dibandingkan
dengan
penggunaan media dasar substitusi
(pupuk pelengkap). Sukrosa berperan
sebagai sumber energi yang diperlukan
bagi pertumbuhan tanaman. Namun
pada dosis tinggi akan menyebabkan
perubahan tekanan osmosa sehingga
dapat menekan pertumbuhan tanaman.
Gula berperan dalam meningkatkan
tekanan somosa dalam media kultur
(Sastra, 2005).
Pada penelitian ini, setelah
kultur dari perlakuan berumur 8 minggu,
planlet
jahe
merah
kemudian
diaklimatisasi dengan menggunakan
media campuran antara tanah, pasir,
pupuk kandang dan sekam. Perlakuan
konsentrasi gula dan sukrosa tidak
berbeda nyata terhadap persentase
tanaman layu. Hal ini mengindikasikan
bahwa sukrosa sebagai sumber energi
masih diperlukan tanaman jahe pada
saat aklimatisasi. Pada konsentasi yang
sangat rendah ataupun tinggi akan
menyebabkan kelayuan atau mati. Hasil
kultur pada konsentrasi gula atau
sukrosa 10 – 20 g/l menghasilkan
eksplan yang dapat diaklimatisasi, tetapi
pada konsentrasi gula/sukrosa 5 g/l,
eksplan yang dihasilkan berukuran kecil
dan relatif tidak berakar sehingga tidak
dapat diaklimatisasi. Sukrosa sangat
diperlukan
tanaman
pada
saat
aklimatisasi, karena tanaman belum
aktif
melakukan
sintesis
energi
(fotosintesis) sendiri, sehingga tanaman
memerlukan cadangan energi yang lebih
banyak
untuk
mempertahankan
hidupnya.
Beberapa helai daun pada
awalnya terlihat sedikit kering pada
bagian pinggirnya, tetapi daun-daun
yang rusak tersebut adalah daun lama,
dan setelahnya terlihat pertumbuhan
daun baru yang baik. Bila pertumbuhan
sudah baik, planlet tersebut siap
dipindahkan ke lapangan. Daya tumbuh
tanaman di lapangan sangat dipengaruhi
oleh
ketegaran
tanaman
dan
pertumbuhan akar. Eksplan yang
memiliki ketegaran dan akar yang baik
dapat diaklimatisasi, sedangkan eksplan
yang belum siap untuk diaklimatisasi
dapat disubkultur kembali sebagai
sumber eksplan in vitro.
KESIMPULAN
Media MS yang ditambahkan 20
g/l gula merupakan media terbaik untuk
perbanyakan jahe merah. Pada media
ini, baik tunas, akar, kandungan klorofil,
serta jumlah stomata menunjukkan
bahwa penambahan gula biasa sebesar
20 g/l lebih baik jika dibandingkan
dengan penambahan sukrosa dengan
konsentrasi
yang
sama.
Untuk
perbanyakan jahe merah secara in vitro,
konsentrasi gula yang menunjukkan
pertumbuhan dan perkembangan yang
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 40 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
baik masih dapat dikurangi hingga 10
g/l, tetapi bila digunakan hanya 5 g/l
pertumbuhannya menjadi sangat lambat
ataupun tidak berkembang. Walaupun
terdapat variasi kandungan klorofil dan
jumlah
stomata,
planlet
yang
diklimatisasi memiliki daya tumbuh
yang baik di lapangan.
Ucapan Terima kasih
Ucapan terima kasih ditujukan
kepada Erwin Al Hafiizh, S.T.P, Andri
Fadillah Martin, M.Si., Rudiyanto, S.P.,
Evan Maulana dan Lutvinda Ismanjani
yang telah membantu dalam penelitian
ini. Penelitian ini didanai oleh Program
Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI
Tahun 2009 dengan no surat perjanjian
17/SU/SP/Insf-Dikti/VI/09 tertanggal 6
Mei 2009, kerjasama antara LIPI dengan
Dikti.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, 1994. Pengaruh Bentuk Fisik
Media dan Konsentrasi BAP
pada Kultur In Vitro terhadap
Pertumbuhan
dan
Produksi
Rimpang Muda Jahe Badak (..) di
Lapang. Skripsi Jur. Budidaya
Pertanian. Fakultas Pertanian.
IPB. Bogor. 66 hlm.
Arteca, R.N. 1996. Plant Growth
Substances:
Principles
and
Applications. Chapman and Hall.
New York. 322p.
BPS. 2009. Perkembangan beberapa
indikator Utama Sosial-Ekonomi
Indonesia.
Katalog
BPS
3101015, Maret 2009. BPS,
Jakarta – Indonesia.
Ermayanti, TM, Hafiizh M & Hapsari
BW. 2009. Kultur jaringan jahe
merah (Zingiber officinale Rosc.)
pada media sederhana sebagai
upaya konservasi secara in vitro.
Jurnal Hayati in press.
Gunawan, L.W. 1992. Teknik Kultur
Jaringan
Tanaman.
Pusat
Antar
Universitas IPB.
Mariska, I. dan S. F. Syahid. 1992.
Perbanyakan Vegetatif melalui
Kultur Jaringan pada Tanaman
Jahe. Buletin balitri, 4 : 1 – 5.
Meeks JC. 1974. Chlorophyl. Dalam :
Algal
Physiology
and
Biochemistry. Steward (Ed.).
University of California Press.
California. Hal : 161-175.
Murashige T. & Skoog F. 1962. A
Revised Medium for Rapid
Growth and Bioassays with
Tobacco
Tissue
Cultures.
Physiol. Plant. 15 : 473-497.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of
Higher Plants. Martinus Nijhoff Publ.
London.
Rostiana O, Abdullah A, Taryono dan
Hadad, E.A. 1991. Jenis – Jenis
Tanaman Jahe. Edisi Khusus
Littro VII (I) : 7-10.
Rugayah. 1994. Status Taksonomi Jahe
Putih
dan
Jahe
Merah.
Floribunda Puslitbang Biologi,
LIPI I. (14) : 53-55.
Sastra, D.R. 2005. Multiplikasi In Vitro
Tanaman
Jahe
(Zingiber
officinale Rosc. var. amarun)
pada Berbagai Level Sukrosa.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 41 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Jurnal Agrotropika X (1) : 9 –
14.
Varietas gajah. Bul. Agron. (31)
(1) 1 – 7.
Sharma, T. R. dan B. M. Singh. 1997.
High
Frequency
In-Vitro
Multiplication of Disease-Free
Zingiber officinale Rosc.. Plant
Cell Report. 17 : 68 – 72.
Sutrisno Koswara. Jahe, Rimpang
dengan
Sejuta
Khasiat.
www.Ebookpangan.com.
Diunduh tanggal 1 Desember
2009.
Sutarto, I., Nana Supriatna, Yuliasti.
2003.
Penggunaan
Media
Alternatif pada Kultur In Vitro
(Zingiber
officinale
Rosc.)
Tim Lentera. 2002. Khasiat dan Manfaat
Jahe Merah si Rimpang Ajaib.
Agro Media Pustaka. Jakarta. 88
hlm.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 42 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK METANOL
BERBAGAI BAGIAN TUMBUHAN JOMBANG (Taraxacum
officinale Weber ex F.H. Wigg)
Tri Muji Ermayanti1, Nina Artanti2 dan Andini Sundowo2
1
Pusat Penelitian Bioteknologi – LIPI, Jl. Raya Bogor Km 46, Cibinong 16911
2
Pusat Penelitian Kimia – LIPI, Kawasan PUSPIPTEK Serpong 15314
ABSTRAK
Taraxacum officinale Weber ex F.H. Wigg (famili Compositae) yang di
Indonesia dikenal dengan nama Jombang merupakan tanaman berkhasiat obat
berupa herba yang tumbuh di dataran tinggi. Penelitian terhadap tanaman
Taraxacum officinale relatif masih terbatas, walaupun secara tradisional tanaman
ini telah dimanfaatkan sebagai penyembuh berbagai penyakit seperti radang,
darah tinggi, hepatitis, diabetes, kanker dan lain sebagainya. Salah satu penyebab
terjadinya penyakit degeneratif seperti diabetes adalah karena adanya radikal
bebas yang berlebihan dalam tubuh. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat
menangkal terbentuknya radikal bebas tersebut. Pada penelitian ini dilakukan uji
aktivitas antiokidan dengan metode DPPH free radical scavenging activity dari
berbagai bagian tumbuhan T. officinale yang diekstrak dengan pelarut metanol.
Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya variasi dalam aktivitas antioksidan
berbagai ekstrak tersebut di samping itu berat ekstrak yang diperoleh serta pola
kromatogram dari hasil analisa KLT juga bervariasi. Hal ini menunjukkan
kemungkinan adanya perbedaan jenis atau konsentrasi kandungan kimia
tergantung pada jenis bagian tumbuhan dan juga kondisi atau usia tumbuhan.
Kata kunci : Taraxacum officinale, Jombang, antioksidan, DPPH. .
PENDAHULUAN
Tanaman Taraxacum officinale
Weber
ex
F.H.
Wigg
(famili
Compositae) termasuk jenis tanaman
obat berupa herba yang tumbuh di
berbagai tempat di dataran tinggi
(Anomin, 1999). Tanaman ini berasal
dari Eropa, tersebar di Amerika, Canada,
Afrika Selatan, Australia, New Zealand,
India, China hingga ke Asia Tenggara
termasuk Indonesia. Tanaman yang di
Indonesia
disebut
dengan
nama
Jombang, tumbuh di Cipanas (Jawa
Barat), Tawangmangu (Jawa Tengah)
dan di beberapa tempat di dataran tinggi
Sumatra Utara. Beberapa penelitian
melaporkan bahwa akar tumbuhan genus
Taraxacum
berkhasiat
sebagai
antihepatitis, daunnya sebagai diuretik
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 212 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
(Schutz et al., 2006). Tumbuhan ini juga
telah diteliti sebagai antitumor dan
antivirus. Ekstrak etanol dari tumbuhan
T. officinale ini diketahui menpunyai
aktivitas
sebagai
antiangiogenik,
antiinflamasi dan antinosiseptif (Jeon et
al., 2008). Akar, daun dan bunganya
mengandung
seskuiterpen
lakton
(taraxacin dan tetrahydroridentin B)
terpenoid dan sterol (betaamirin,
taraxasterol,
taraxerol,
sitosterin,
stigmasterin,
cycloartenol,
betasitosterol dan phytosterin). Selain itu
telah diketahui bahwa tumbuhan ini juga
mengandung vitamin A, vitamin C,
tanin,
alkaloid,
pektin,
inulin,
polisakarida, beta-karoten, potasium,
dan flavonoid apigenin (Kemper, 1999;
de Padua et al., 1999). Tanaman ini juga
dapat dikonsumsi sebagai sayur karena
kandungan vitamin dan polisakarida
yang tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk melakukan uji aktivitas antiokidan
dengan metode DPPH free radical
scavenging activity dari berbagai bagian
tumbuhan T. officinale yang diekstrak
dengan pelarut metanol.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan tanaman berupa akar,
daun, dari tanaman yang belum
berbunga dan akar, daun, bunga dan
tangkai bunga tanaman berbunga
dikumpulkan dari daerah tempat
tumbuhnya di Pengalengan dan PuncakCipanas, Jawa Barat. Setelah dipisahkan
dari bagian-bagian tanamannya, sampel
dikeringanginkan selama beberapa hari
hingga kering.
Sampel Taraxacum officinale
(5-10 g) diekstrak dengan metanol
secara maserasi didiamkan semalam,
disaring dan larutan ekstrak metanol
menggunakan rotary evaporator. Proses
ekstraksi dengan etanol dilakukan
sebanyak 3-4 kali pengulangan sampai
diperoleh ekstrak yang berwarna bening.
Ekstrak yang diperoleh digunakan untuk
uji antioksidan dan dianalisa dengan thin
layer
chromatograpy
(TLC)
menggunakan eluen Hexan : Etilasetat
(7:3). Diagram ekstraksi ditampilkan
pada Gambar 1.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 213 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Sampel kering + Metanol 50 – 200 ml
Ekstrak sampai bening Ekstrak encer Residu Evaporasi Ekstrak pekat Uji Antioksidan DPPH
TLC Eluen Hexan : Etilasetat (7:3) Gambar 1. Diagram ekstraksi dengan metanol dari sampel bagian tumbuhan Taraxacum
officinale
Setelah dilakukan ekstraksi metanol,
sampel dianalisis lebh lanjut untuk
aktivitasnya sebagai antioksidan. Uji
aktivitas antioksidan dilakukan dengan
menggunakan metode ”DPPH free
radical scavenging effect”
dimana
DPPH
(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
berfungsi sebagai radikal bebas yang
direaksikan dengan ekstrak yang diduga
mempunyai
akttivitas
sebagai
antioksidan, diharapkan terjadi proses
penangkapan hydrogen dari ekstrak oleh
DPPH (berwarna ungu) sehingga
terbentuk
senyawa
1,1-difenil-2pikrilhidrazin
(berwarna
kuning).
Kemudian aktivitas antioksidan diukur
dengan spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 519 nm (Hu and
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 214 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Kitts, 2003). Sebagai kontrol positif
digunakan quersetin yang merupakan
senyawa flavonoid. Cara penghitungan
inhibisi (%) adalah sebagai berikut :
% Inhibisi = Abs. Blanko – Abs. Sampel x 100%
Abs. Blanko
Abs. = absorbansi
Perhitungan IC50 menggunakan regresi
dengan % Inhibisi sebagai sumbu Y dan
konsentrasi sebagai sumbu X, dimana
IC50 adalah konsentrasi sampel (X) yang
memberikan
inhibisi/kemampuan
meredam radikal bebas sebesar 50%
(Y).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambar 2 menunjukkan profil
TLC yang dilihat di bawah sinar UV
maupun disemprot dengan asam sulfat.
Hasil yang diperolehkan menunjukkan
bagian
tanaman
yang
sama
menunjukkan pola spot yang relatif
sama seperti terlihat pada sampel daun
no 12-13 (Gambar 2B). Walaupun
demikian ada pula spot yang tidak selalu
mucul sekalipun pada bagian tanaman
yang sama misalnya spot dekat batas
atas yang muncul pada sampel akar no
4, 6 dan 16 tetapi tidak muncul pada
sampel akar no 5, 7 dan 15 (Gambar
2A). Selain itu terlihat pula adanya spot
yang muncul diberbagai bagian tanaman
seperti spot yang muncul dekat batas
atas Gambar 2B. Munculnya spot yang
berbeda menunjukkan bahwa bagian
tanaman yang berbeda memiliki jenis
kandungan kimia yang berbeda,
sedangkan adanya spot yang muncul
pada
semua
bagian
tanaman
menunjukkan adanya senyawa kimia
yang sama yang terkandung pada semua
bagian tanaman.
Spot yang tidak
muncul pada bagian tanaman yang sama
menunjukkan kemungkinan bahwa
kandungan kimia tersebut keberadaan
atau
konsentrasi
kandungannya
tergantung pada kondisi pertumbuhan
tanaman, umur tanaman atau sebagai
akibat respon dari pengaruh eksternal.
Untuk konfirmasi metabolit sekunder
yang dikandungnya perlu dilakukan
analisis lanjutan.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 215 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
A B Gambar 2.
Profil TLC A. hasil visualisasi dengan sinar ultra violet dan B setelah
disemprot dengan larutan asamsulfat 10% dalam methanol
Keterangan : dari baris kiri ke kanan
PENGALENGAN
1.
Daun tidak berbunga
2.
Daun tidak berbunga dan
besar
3.
Daun berbunga
4.
Akar berbunga (berjamur)
PUNCAK-CIPANAS
10.
Daun (1a)
11.
Daun (1b)
5.
14.
12.
13.
Akar berbunga
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 Daun (2)
Daun
berbunga
Bunga (2)
tidak
216 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
6.
7.
8.
9.
Akar berbunga besar
15.
Akar
tidak
berbunga 16.
(berjamur)
Tangkai bunga
Tangkai bunga besar
Bagian tumbuhan dan lokasi
tempat tumbuh Taraxacum officinale
menghasilkan hasil ekstrak metanol dan
aktivitas antioksidan yang bervariasi.
Tabel 1 menunjukkan bahwa lokasi dan
kondisi tumbuh yang berbeda antara
Pengalengan dan Puncak-Cipanas di
Jawa Barat juga menghasilkan berat
ekstrak dan aktivitas antioksidan yang
berbeda. Ekstrak metanol bagian
tumbuhan
yang
berasal
dari
Pengalengan menunjukkan bahwa akar
dari tanaman yang tidak berbunga
(dengan kondisi sampel dalam keadaan
sedikit berjamur) mempunyai aktivitas
antioksidan yang tertinggi, sedangkan
sampel dari Puncak-Cipanas yang
mempunyai aktivitas tertinggi juga
ditunjukkan oleh sampel dari akar
tumbuhan. Dengan informasi ini
pengembangan tanaman lebih lanjut
dapat dilakukan misalnya dengan
pemanfaatkan bioteknologi yaitu kultur
akar untuk menghasilkan senyawa
metabolit sekunder secara in vitro.
Akar
Akar
berbunga
tidak
dikandung oleh bagian tumbuhan
dengan umur dan kondisi tumbuh
(lingkungan tumbuh) yang berbeda. Hal
ini memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk mengetahui konsentrasi senyawa
aktif yang dikandung oleh tumbuhan ini
dengan umur, dan kondisi tumbuh yang
berbeda. Hasil penelitian pada tanaman
mengkudu juga menunjukkan bahwa
bagian
tumbuhan
yang
berbeda
mempunyai aktivitas yang berbeda
(sebagai contoh adalah aktivitas
antioksidatif), senyawa polar dan nonpolar menunjukkan aktivitas yang
berbeda pula (Jin et al., 2002).
Ekstrak metanol daun (sampel
1b) yang berasal dari tumbuhan yang
hidup
di
Puncak-Cipanas
juga
menunjukkan aktivitas antioksidan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan
sampel daun maupun sampel akar
lainnya baik pada tempat tumbuh yang
sama maupun berbeda (Pengalengan).
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
kemungkinan
terdapat
variasi
konsentrasi metabolit sekunder yang
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 217 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Beberapa
informasi
pendukung
diperlukan untuk dapat mengetahui
dengan lebih rinci tentang perbedaan
aktivitas senyawa aktif tumbuhan ini
sebagai antoiksidan. Kondisi lingkungan
yang berbeda antara Puncak-Cipanas
maupun Pengalengan harus diketahui.
Walaupun ketinggian tempat kedua
lokasi ini tidak berbeda (sekitar 1700 m
dpl), keadaan tanah, tempat tumbuh dan
kondisi pertumbuhan serta umur
tumbuhan
sangat
menentukan
kandungan dan konsentrasi senyawa
metabolit sekunder yang dikandung
tanaman ini. Selain itu genetik tanaman
juga kemungkina berbeda sehingga hal
ini menentukan pulan keadaan senyawa
aktif yang dikandungnya.
Tabel 1. Berat sampel ; berat ekstrak dan nilai IC50 dari berbagai bagian tanaman
Taraxacum officinale yang berasal dari daerah Pangelangan dan Puncak – Cipanas, Jawa
Barat
PENGALENGAN
Nama sampel
Berat sampel
(g)
Berat ekstrak
(g)
Aktivitas
antioksidan
(IC50 dlm µg/ml)
Daun tidak berbunga
10
0,8369
168
Daun tidak berbunga dan besar
10
1,6231
203
Daun berbunga
10
0,7782
136
Akar berbunga (berjamur)
10
1,3530
129
Akar berbunga
10
2,3391
130
Akar berbunga besar
5
0,5806
164
Akar tidak berbunga
(berjamur)
10
0,6400
73
Tangkai bunga
5
0,5320
334
Tangkai bunga besar
5
0,4973
178
10
0,1881
232
0,9399
67
PUNCAK-CIPANAS
Daun (1a)
Daun (1b)
Daun (2)
10
1,3173
230
Daun tidak berbunga
5
0,4979
289
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 218 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Bunga (2)
5
0,6610
225
Akar
10
0,9984
47
Akar tidak berbunga
5
0,1981
191
Hasil penelitian ini berguna
untuk penelitian lanjutan antara lain
yaitu sebagai informasi apabila akan
dikembangkan lebih lanjut untuk
mengembangbiakkan tanaman sebagai
bahan baku produksi senyawa obat
tertentu yang potensial dari tanaman ini.
Bioteknologi dapat diaplikasikan untuk
mengembangkan tanaman ini melalui
kultur jaringan karena informasi
mendasar tentang khasiat tanaman ini
dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan
sumber tanaman yang tepat untuk diteliti
lebih lanjut. Genus tanaman ini juga
telah diteliti tentang perbanyakannya
melalui kultur jaringan (Bowes, 1970;
Booth & Satchuthananthavale, 1974)
dan aplikasi boteknologi lainnya melalui
transformasi
genetika
untuk
mengingkatkan konsentrasi metabolit
sekundernya (Lee et al., 2002; Bae et
al., 2005).
KESIMPULAN
Bagian vegetatif dan generatif
tanaman
Taraxacum
officinale
mengandung aktivitas antioksidan yang
berbeda. Tempat tumbuh, lingkungan
dan umur tumbuhan juga mempengaruhi
hasil
uji
antioksidan
yang
mencerminkan bahwa konsentrasi zat
aktif tumbuhan juga bervariasi.
Ucapan Terima Kasih
Ucapan terima kasih disampaikan
kepada Erwin Al Hafiizh, Deritha Elffy
Rantau, SP., Andri Fadillah Martin,
S.Si., M.Si., Rudiyanto, SP., Evan
Maulana dan Lutvinda Ismanjani yang
telah membantu dalam penelitian ini.
Penelitian ini didanai oleh Program
Insentif Ristek menurut SK MenristekRI No. 97M/Kp/XI/2007 untuk kegiatan
tahun
2008
dan
SK
No.
194/M/Kp/X/2008 untuk kegiatan tahun
2009.
Daftar Pustaka
Anonim, 1999. Monograph Taraxacum
officinale. Alternative Medicine
Review. 4 (2) : 112-114.
Bae, T.W., H.R. Park, Y.S. Kwak, H.Y.
Lee
&
S.B.
Ryu.
2005.
Agrobacterium tumefaciens-mediated
transformation of medicinal plant
Taraxacum platycarpum. Plant Cell,
Tissue and Organ Culture. 80 : 5157.
Booth, A. & R. Satchuthananthavale.
1974. regeneration in root cutting of
Taraxacum officinale. II. Effects of
exogenous hormones on root
segments and root callus cultures.
New Phytology. 73 : 453-460.
Bowes,
B.G.
1970.
Preliminary
observation on organogenesis in
Taraxacum officinale tissue cultures.
Protoplasma 71 : 197-202.
de Padua, L.S., N. Bunyapraphatsara &
R.H.M.J. Lemmens. 1999. Plant
Resources of South East Asia.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 219 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Medicinal and Poisonous Plants 1.
475-479.
Kemper,
K.J.
1999.
Dandelion
(Taraxacum officinales). Longwood
Herbal
Task
Force
:
http:///www.mcp.edu/herbal/default.h
tm. Revised Nopember 1, 1999.
Hu, C. & D.D. Kitts. 2003. Journal of
Agricultural and Food Chemistry 51:
301-310.
Lee, M-H., E-S Yoon, S-J. Jung, K-H.
Bae, J-W Seo & Y-E. Choi. 2002.
Plant regeneration and effect of auxin
and cytokinin on adventitious shoot
formation from seedling explant of
Taraxacum platycarpum. Korean
Journal of Plant Biotechnology. 29 :
111-115.
Jeon, H-J., H-J. Kung, H-J. Jung, Y-S.
Kang, C-J. Lim, Y-M. Kim & E-H.
Park.
2008.
Anti-inflammatory
activity of Taraxacum officinale.
Journal of Ethnopharmacology. 115 :
82-88.
Jin, Z.M., A. Abdul-Hamid & A.
Osman. 2002. Antioxidative activity
from extract of Mengkudu (Morinda
citrifolia L.) root, fruit dan leaf. Food
Chemistry. 78 : 227-231.
Schutz, K., R. Carle & A. Schieber.
2006. Taraxacum-A review on its
phytochemical and pharmacological
profile.
Journal
of
Ethnopharmacology. 107 : 313-323.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 220 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
IDENTIFIKASI SENYAWA KIMIA FRAKSI III KAPANG
ENDOFIT A 18.2 DARI TANAMAN MENGKUDU
(Morinda citrifolia L.)
Trisanti Anindyawati
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
Jl. Raya Bogor Km. 46 Cibinong 16911
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian terhadap kapang endofit sebagai penghasil metabolit sekunder telah
banyak dikembangkan. Kapang endofit merupakan kapang yang tumbuh dan
bersimbiosis mutualisma dalam jaringan tanaman, salah satunya pada tanaman
mengukudu (Morinda citrifolia L). Kapang endofit A 18.2 yang diisolasi dari
tanaman Mengkudu diketahui berpotensi dalam menghasilkan senyawa metabolit
sekunder, yaitu senyawa antimibroba. Kultivasi kapang endofit A 18.2 dilakukan
pada media) Potato Dextrose Broth (PDB selama 12 hari masa inkubasi dengan
sistim agitasi. Proses ekstraksi menggunakan pelarut etil asetat. Hasil fraksinasi
kolom menunjukkan adanya 5 fraksi aktif. Fraksi III yang merupakan fraksi
paling aktif dalam menghasilkan senyawa antimikroba selanjutnya dimurnikan
lagi dengan KLT preparatif dan diidentifikasi menggunakan GC-MS. Hasil yang
diperoleh menunjukkan adanya senyawa utama yang teridentifikasi sebagai 5,6Dihydropyran-2-one, 5-acetoxy-6-(1,2-epoxypropyl)- (73,89%).
Kata kunci: Mengkudu, kapang endofit, identifikasi senyawa kimia
PENDAHULUAN
Pemanfaatan
sumber
daya
hayati terutama tanaman obat-obatan
dengan cara mengeksplorasi bagian
tanaman telah banyak dilakukan. Seiring
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan, pemanfaatan mikroba
endofit yang hidup di dalam jaringan
tanaman
dilakukan
untuk
mempertahankan kelestarian tanaman
tersebut. Mikroba endofit adalah
mikroba yang hidup dan bersimbiosis
dengan tanaman inangnya (1). Sejauh
ini, penelitian yang dilakukan terhadap
endofit dari tanaman menunjukkan
adanya peluang untuk menjadikan
keanekaragaman yang amat berguna
untuk menghasilkan metabolit sekunder
seperti enzim-enzim perombak, zat
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 221 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
pengatur tumbuh tanaman, zat antifungi,
antibakteri
dan antibiotik yang
bermanfaat terhadap bidang industri,
pertanian dan farmasi (2,3). Hubungan
antara mikroba endofit dan tanaman
inang terjadi karena kontribusi bahan
kimia yang dihasilkan oleh mikroba
yang memiliki berbagai jenis senyawa
bioaktif (4).
Tanaman mengkudu atau pace
(Morinda citrifolia L.) merupakan
tanaman obat yang banyak tersebar di
daerah tropis dan buahnya telah lama
dikenal sebagai obat penurun kolesterol,
tekanan darah tinggi, gula darah,
arthritis, anterosklerosis dan sebagainya
dengan jalan merebus buah tersebut
yang kemudian diminum (5). Selain
buahnya, bagian lain seperti daun, akar
dan rantingnya juga berkhasiat untuk
meningkatkan ketahanan tubuh, sakit
kepala, anti tumor, anti kanker, anti
imflamasi dan antibakteri (6). Jadi
hampir semua bagian dari tanaman
tersebut dapat dimanfaatkan. Kandungan
zat yang terdapat pada mengkudu antara
lain morinda diol dan morindone. Buah
dari tanaman ini dapat diperoleh
sepanjang tahun, sehingga kapan saja
bila kita ingin mendapatkannya selalu
tersedia.
Pada penelitian ini isolasi
ekstrak kapang endofit A 18.2 dilakukan
dengan menggunakan pelarut etil asetat.
Ekstrak yang menghasilkan senyawa
antimikroba
diidentifikasi
dengan
menggunakan KLT preparatif yang
dilanjutkan dengan GC-MS untuk
mengetahui jenis senyawa yang
dihasilkan oleh kapang tersebut. Adapun
tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi
senyawa
yang
dihasilkan oleh kapang endofit A 18.2
dari tanaman mengkudu.
BAHAN DAN CARA KERJA
Mikroba dan proses fermentasi kapang
endofit A 18.2
Kapang endofit A 18.2 yang diisolasi
dari tanaman Mengkudu diperoleh dari
Kebun Raya Bogor. Kapang tersebut
ditumbuhkan pada media Potato
Dextrose Agar (PDA). Setelah tumbuh
baik pada kondisi fase konstan, kapang
tersebut dipindahkan pada media
fermentasi yaitu media cair Potato
Dextrose Broth (PDB) yang telah
disterilkan. Proses fermentasi dilakukan
pada suhu kamar (27oC) selama 12 hari
dengan sistim agitasi. Setelah itu
dipisahkan antara biomasa dan filtrat.
Proses ekstraksi
Filtrat yang diperoleh kemudian
ditambahkan pelarut etil asetat dengan
perbandingan 1:1, dikocok hingga
homogen dengan menggunakan shaker
selama kurang lebih 2 jam dan
dipisahkan dengan menggunakan labu
pisah. Setelah itu didiamkan agar terjadi
pemisahan antara fase etil asetat dan
fase air. Proses ini dilakukan sebanyak 3
kali agar kandungan senyawa yang
dihasilkan dapat terekstrak dengan
sempurna.
Masing-masing
ekstrak
kemudian digabungkan dan dipekatkan
dengan rotavapor.
Identifikasi
senyawa
dengan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Ekstrak pekat yang diperoleh kemudian
ditotolkan pada lempeng KLT silika 60
(Merck) untuk mengetahui adanya spot
yang mengindikasikan ada tidaknya
senyawa yang terkandung. Eluen yang
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 222 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
digunakan adalah n-heksan-etil asetat
(1:1). Bercak yang timbul pada lempeng
diamati dengan menggunakan UV pada
panjang gelombang 254 nm dan 366 nm
kemudian
lempeng
disemprot
menggunakan larutan serium sulfat 1%.
Pemisahan
kolom
dengan
kromatografi
Setelah diketahui adanya senyawa yang
terkandung dalam ekstrak, maka
dilakukan pemisahan dari senyawa
tersebut
dengan
menggunakan
kromatografi kolom (23x1,5 cm).
Ekstrak dimasukkan ke dalam kolom
silika dan dialirkan menggunakan
pelarut n-heksan : etil asetat pada
berbagai konsentrasi. Masing-masing
fraksi ditampung dan ditotolkan pada
lempeng
KLT.
Senyawa
yang
mempunyai
Rf
sama
kemudian
digabungkan dan diuapkan. Fraksi yang
dipilih kemudian dilanjutkan dengan
KLT preparatif guna mendapatkan
senyawa yang lebih murni untuk
selanjutnya
diidentifikasi
dengan
kromatografi
gas
spektrofotometri
massa (GC-MS).
Identifikasi
senyawa
dengan
kromatografi gas spektrofotometri
massa (GC-MS)
Analisis dilakukan menggunakan GCMS Agilent Technologies GC System
6890N dengan Mass Selective Detector
5973 Inert. Fraksi hasil pemisahan
kolom kromatografi (Fraksi III) diinjeksi
sebanyak 5 l. Temperatur oven yang
digunakan 70oC dengan rata-rata
kenaikan 15oC/ menit sampai mencapai
final 290oC. Temperatur kolom 300oC
dengan laju alir 1 ml/ menit. Kolom
yang digunakan HP5MS dengan ukuran
0,25mmx30mx0,25 m.
Komponen
kimia yang ada diidentifikasi dengan
menggunakan database Willey7n.1 dan
Nisto5a.L.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola pertumbuhan kapang endofit A
18.2
Kapang endofit A 18.2 yang diisolasi
dari tanaman mengkudu, ditumbuhkan
pada media PDB dan diamati
pertumbuhan sel mikrobanya sesuai
dengan pola pertumbuhan yang dimulai
dari fase adaptasi dimana mikroba mulai
beradaptasi
dengan
media
yang
digunakan. Setelah itu terjadi fase
pembiakan cepat (fase logaritma) yang
merupakan proses pertumbuhan mikroba
tersebut untuk menghasilkan metabolit
primer. Pertumbuhan berlanjut ke fase
konstan atau fase stasioner yang akan
menghasilkan metabolit sekunder dan
setelah itu terjadi fase kematian (7).
Kapang endofit A 18.2 menghasilkan
metabolit sekunder pada fermentasi hari
ke-12, yaitu pada fase konstan. Hal ini
terlihat dengan adanya peningkatan
populasi/ berat biomasa. Sebelum
mencapai
fase kematian, terjadi
penurunan populasi dimana jumlah sel
yang hidup hampir sama dengan sel
yang mati yang diakibatkan karena
jumlah nutrisi mulai habis. Setelah
proses fermentasi berakhir, media
disaring untuk memisahkan biomasa dan
filtrat.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 223 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Fermentasi dan
endofit A 18.2
ekstraksi
kapang
Setelah pola pertumbuhan kapang
endofit A 18.2 diketahui, diharapkan
senyawa metabolit sekunder dapat
dihasilkan oleh kapang tersebut secara
ekstraseluler. Kondisi media selama
proses fermentasi seperti pH media,
suhu, aerasi dan nutrisi yang cukup
untuk pertumbuhan termasuk bahanbahan organik seperti karbon, nitrogen
dan mineral sangat mendukung dalam
terbentuknya metabolit sekunder (8).
Untuk mengetahui potensi mikroba
dalam menghasilkan senyawa metabolit
sekunder, perlu dilakukan skrining.
Senyawa metabolit sekunder yang
paling
dikenal
adalah
senyawa
antibiotik.
Proses
pembentukan
antibiotik penisillin terjadi karena
akumulasi sumber karbon, nitogen,
mineral dan prekursor (9). Selanjutnya
proses ekstraksi dilakukan dengan cara
menambahkan pelarut etil asetat ke
dalam filtrat. Proses ekstraksi dilakukan
sebanyak tiga kali agar senyawa aktif
yang diinginkan dapat terekstrak dengan
sempurna. Hasil ekstraksi berupa
ekstrak fase etil asetat dan ekstrak fase
air masing-masing dipekatkan untuk
mendapatkan ekstrak pekat.
Analisis senyawa dengan KLT dan
kromatografi kolom
Hasil uji KLT terhadap ekstrak kapang
endofit A 18.2 pada fase etil asetat
menunjukkan bahwa adanya senyawa
aktif yang terkandung dalam ekstrak
tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan
terdeteksinya bercak berflourensi yang
terlihat dibawah sinar UV pada panjang
gelombang 254 nm dan 366 nm.
Selanjutnya, lempeng disemprot dengan
larutan serium sulfat sampai terlihat
bercak yang jelas. Kromatografi adalah
suatu cara pemisahan senyawa dalam
suatu campuran berdasarkan berat
molekulnya. Setelah terdeteksi adanya
senyawa, proses pemisahan dilanjutkan
dengan menggunakan kromatografi
kolom. Dari hasil kromatografi kolom,
didapatkan 5 fraksi aktif, yaitu fraksi I,
II, III, IV dan V. Setelah dilakukan uji
terhadap aktivitas antimikroba, ternyata
semua fraksi berpotensi sebagai
penghasil senyawa antimikroba dan
fraksi III menunjukkan aktivitas yang
terbaik (10). Oleh karena itu, fraksi III
dimurnikan lagi dengan KLT preparatif.
Hasil yang diperoleh menunjukkan
bahwa terdapat satu bercak tunggal
(Gambar 1).
Gambar 1. Hasil KLT preparatif fraksi
III
Identifikasi senyawa kapang endofit A
18.2 dengan GC-MS
Hasil identifikasi kapang endofit A 18.2
dengan GC-MS menunjukkan bahwa
terdapat 5 senyawa, yaitu 5,6Dihydropyran-2-one, 5-acetoxy-6-(1,2epoxypropyl)- (1), Dibutyl phthalate (2),
2-Propenoic
acid
(3),
1,2Benzenedicarboxylic acid (4) dan
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 224 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
Squalene (5). Komponen yang dominan
adalah 5,6-Dihydropyran-2-one, 5acetoxy-6-(1,2-epoxypropyl)dengan
persen area sebesar 73,89%. Hasil
kromatogram fraksi III dapat dilihat
pada Gambar 2, sedangkan fragmentasi
dan bobot molekulnya dapat dilihat pada
Tabel 1.
1 4
5
2
3
Gambar 2. Kromatogram fraksi III pada GC-MS
Tabel 1. Identifikasi fraksi III menggunakan GC-MS
No
Waktu
BM
Fragmentasi (m/z)
retensi
(menit)
1.
8.50
98
27,33,43,49,55,63,71,78,84,91,97,
105,113,120,127,133,139,145,152,170,177,
183,193,200,208
2.
11.10
278
41,56,76,91,104,121,132,149,167,178,193,
205,223,278
3.
12.39
290
29,41,55,65,77,90,103,118,133,147,161,191,
290
4.
14.48
279
10,29,43,57,71,93,113,132,149,167
5.
16.05
410
27,41,55,69,95,121,137,161,175,191,205,
231,245,259,273,299,327,341,367,395,410
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 Perkiraan seyawa
menurut Wiley7n.1
%
area
5,6-Dihydropyran-2one, 5-acetoxy-6(1,2-epoxypropyl)Dibutyl phthalate
73.89
2-Propenoic acid
0.66
1,2Benzenedicarboxylic
acid
Squalene
3.96
225 1.63
4.11
Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dilakukan terhadap kapang endofit A
18.2 dengan menggunakan pelarut etil
asetat, diperoleh 5 fraksi aktif, yaitu
fraksi I, II, III, IV dan V. Senyawa yang
terdapat pada fraksi III adalah 5,6Dihydropyran-2-one, 5-acetoxy-6-(1,2epoxypropyl)- (1), Dibutyl phthalate (2),
2-Propenoic
acid
(3),
1,2Benzenedicarboxylic acid (4) dan
Squalene (5). Komponen yang dominan
adalah 5,6-Dihydropyran-2-one, 5acetoxy-6-(1,2-epoxypropyl)dengan
persen area sebesar 73,89%.
DAFTAR PUSTAKA
Petrini, O.1991. Fungal Endophytes of
Tree Leaves in Andrew, J. and S.
Hirano
(editors).
Microbial
Ecology of Leaves. 179-197.
Springer-Verlag, New York.
Kumala,
S.,
Syarmalina,
A.R.
Handayani. 2006. Isolasi dan Uji
Antimikroba Substansi Bioaktif
Mikroba
Endofit
Ranting
Tanaman Johar (Cassia siamea
Lamk.). Jurnal Ilmu Kefarmasian
Indonesia, Vol 4(1), 8-14.
Petrini, O., Sieber, T.N., Toti, L., and
Viret,O. Ecology, Metabolite
Production
and
Substrate
Utilization in Endophytic Fungi.
Natural Toxin 1, 185-196.
Strobel, G.A., W.M. Hess, E.J Ford,
R.S. Sidhu and X. Yang. 1996.
Taxol from Fungal Endophytes
and the Issue of Biodiversity.
Journal
of
Industrial
Microbiology17: 417-423.
Sekarindah, T dan H. Rozaline. 2006.
Terapi
Buah
dan
Sayur.
Puspaswara, 16-17.
Kumala, S. and E.B. Siswanto. 2007.
Isolation and Screening of
Endophytic
Microbes
from
Morinda citrifolia and Their
Ability to Produce Antimicrobial
Substances.
Microbiology
Indonesia, Vol. 1(3), 145-148.
Schlegel, H. G. 1986. Growth of
Microorganisms.
General
Microbiology. Cambridge Univ.
Six Edition. p. 194-197.
Melliawati, R dan Harni. 2009. Senyawa
Antibakteri
Escherichia
coli
ATCC 35218 dan Staphylococcus
aureus ATCC 25923 dari Kapang
Endofit Taman Nasional Gunung
Halimun. Jurnal Nutur Indonesia
12(1), 21-27.
Madigan, M.T., J.M. Martinko and J.
Parker. 1997. Growth and Product
Formation in Industrial Processes.
Brock Biology of Microorganisms.
Prentice Hall International. p.
430-447.
Anindyawati, T. 2009. Uji Aktivitas
Senyawa Antimikroba Kapang
Endofit A 18.2 dari Tanaman
Mengkudu (Morinda citrifolia L.)
Menggunakan Pelarut Etil Asetat.
Disampaikan
pada
Seminar
Jaringan
Kerjasama
Kimia
Indonesia.
Yogyakarta
6
Desember 2009. In press.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Sdr. Henni Afriani dan
Bustanussalam atas bantuannya
dalam penelitian ini.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 226 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SEMINAR NASIONAL DAN KONGRES
HIMPUNAN KIMIA INDONESIA 2009
Tema :
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan
Bahan Kimia Berbahaya dalam Rangka
Mendukung Riset dan Industri”
Peserta Seminar
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 239 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
PESERTA SEMINAR NASIONAL & KONGRES
HKI 2009
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Nama
Ismunandar,Prof.
Zulhadjri, Mr
Atiek Rostika
Abraham Mariwy
Sri Redjeki, M.Si,Dra.
Rahman Sarwono
Djaenudin, ST,. MT
Athiya Mahmud Hanna, S.Si.
Muhamad Nasir, Dr. Eng.
Drs. Syahril Ahmad
Niken Widiyanti
Dr.Retno Dwi Suyanti MSi
Matheis F.J.D.P. Tanasale, S.Si.,
M.Si.
Dra.Kusmiati,MSi
Djumhawan R. Permana
Dra. Ni Wayan Sri Agustini
Dr. Agus Haryono
Dewi Sondari, M.Si
Tri Muji Ermayanti
ARINA HAQQO HIDAYAH
Betalini Widhi Hapsari, S.P., M.Si.
Nurahmi Handayani
Foliatini, M.Si
retno jumiati
Drs. Suheryanto, MSi
Dr. Ahmad Hanafi Setiawan, M.Si
Dr. Nikmans Hattu
mey liana wulandari
Yogi Hermawan
Sudiyarmanto, ST
Nursiah La Nafie
La Ode Ahmad Nur Ramadhan,
S.Si,.M.Si
CHANDRA RISDIAN, S.Si
Institusi / Universitas
Jurusan Teknik Kimia ITB
Jurusan Teknik Kimia ITB
Jurusan Teknik Kimia ITB
Kimia/Kimia Anorganik F-MIPA ITB Bandung
Akademi Kimia Analasis Bogor
PPKimia - LIPI
PPKimia - LIPI
Institut Teknologi Bandung
PPKimia - LIPI
PPKimia - LIPI
UNJ
Kimia FMIPA UNIMED
Jurusan Kimia FMIPA Universitas Pattimura
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
PPKimia - LIPI
PPKimia - LIPI
Pusat Penelitian Bioteknologi-LIPI
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
P2 Bioteknologi - LIPI
ITB
Akademi Kimia Analasis Bogor
UNJ
Jurusan Kimia FMIPA UNSRI Palembang
PPKimia - LIPI
Jur.Kimia FMIPA Univ. Pattimura
ITB
PPKimia - LIPI
PPKimia - LIPI
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
UNHAS
Universitas Haluoleo
PPKimia - LIPI
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 240 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
34
35
36
37
38
39
40
41
Trisanti Anindyawati
Yulianti Sampora
Joko Waluyo
Deden Saprudin, S.Si, M.Si
Lik Anah
M. Ghozali
Yoki Yulizar
Eni Suryani
P2 Bioteknologi - LIPI
PPKimia - LIPI
PPKimia - LIPI
Departemen Kimia FMIPA IPB
PPKimia - LIPI
PPKimia - LIPI
Universitas Indonesia
PPKimia - LIPI
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 241 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
SUSUNAN PANITIA
PENGARAH
: 1. Ketua HKI Pusat Periode 2005-2009
2. Kepala LIPI
3. Dirjen Perindustrian
4. Dr. L. Broto SK. (P2K-LIPI)
5. Dr. Muhamad Abdulkadir M. (Kimia-ITB)
6. Dr. Abdul Mutalib (P2RR-BATAN)
PENANGGUNG JAWAB
: Ketua HKI Pusat Periode 2005-2009
PENYELENGGARA :
Ketua
Wakil Ketua
: Dr. Silvester Tursiloadi
: Dr. Muhammad Hanafi
Sekretaris
Wakil Sekretaris
Bendahara
Wakil Bendahara
: Anastasia Fitria Devi, ST.
P2K – LIPI
: Fauzan Aulia, A.Md
P2K – LIPI
: Dra. Teti Sri Bagiawati, MSc. PT Batek
: Ana Harlina, SH.
P2K – LIPI
• Seksi Dana:
1. Drs. Rozyan Yazid
2. Dr. Muhammad Hanafi
3. Dra. Wayan Redyatning, MSc.
• Seksi Acara:
o Koordinator Workshop :
1. Dyah Styarini, S.Si.
2. Andreas, S.Si
3. Dr. Muhayatun
o Koordinator Seminar :
1. Dr. Eng. Agus Haryono
2. Dr. Jarnuji G.
o
P2K – LIPI
P2K – LIPI
Koordinator Kongres :
1. Drs. Rozyan Yazid
2. Dr. M. Sayad
• Seksi Persidangan/Makalah:
1. SN. Aisyiyah Jenie, M.Si
2. Ir. Nina Artanti, M.Sc
3. Robert RW., ST.
4. Sabar PS., ST.
5. M. Ghozali, ST.
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 PUSPIPTEK
P2K – LIPI
PT Batuwaris
P2K – LIPI
P2K – LIPI
PTNBR-BATAN
P2K – LIPI
Kimia– UI
PUSPIPTEK
PKTN-BATAN
P2K – LIPI
P2K – LIPI
P2K – LIPI
P2K – LIPI
P2K – LIPI
242 Seminar Nasional & Kongres HKI 2009
“Regulasi Pengadaan dan Penggunaan Bahan Kimia Berbahaya
dalam Rangka Mendukung Riset dan Industri"
• Seksi Konsumsi
:
1. Sylvia Santoso
2. Entin Kartini
P2K – LIPI
P2K – LIPI
:
1. Yulianti Sampora
2. Yogi Hermawan
3. Riyanto H. N
P2K – LIPI
P2K – LIPI
P2K – LIPI
• Seksi Dokumentasi dan Perlengkapan :
1. Nandang Sutiana
2. Moh. Muslih
3. Irfan Budi Mulya
P2K – LIPI
P2K – LIPI
P2K – LIPI
• Seksi Registrasi
Gedung Widya Graha Lt.1 LIPI , 19 Desember 2009 243 
Download