analisis up take kandungan logam berat dari kompos lumpur water

advertisement
ANALISIS UP TAKE KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI
KOMPOS LUMPUR WATER TREATMENT PLANT OLEH
TANAMAN
ENHAR HAKIM
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
ABSTRAK
ENHAR HAKIM. Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos
Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman. Dibimbing oleh Dr. Satyanto K.
Saptomo, STP, MSi dan Allen Kurniawan, ST, MT.
Pemanfaatan lumpur hasil pengolahan sangat minim dan kurang
diperhatikan oleh banyak kalangan industri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air minum sebagai
media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat pada kompos yang
terserap pada tanaman, dan mendegradasi kandungan logam berat pada lumpur
dengan cara fitoremediasi. Metode yang digunakan adalah pemanfaatan kompos
WTP sebagai media tanam tanpa campuran tanah. Pada pengujian menggunakan
tiga macam kompos WTP yang berbeda-beda. Kompos 1 berasal dari WTP PT.
Krakatau Tirta Industri, Cilegon, Jawa Barat. Kompos 2 berasal dari WTP PDAM
Tirta Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Kompos 3 berasal dari WTP PDAM Tirta
Kahuripan, Cibinong Jawa Barat. Pada ketiga uji tanaman mengalami
pertumbuhan yang subur dan mengalami proses degradasi logam berat. Hasil
ketiga uji kandungan logam berat pada tanaman setelah panen menunjukkan nilai
di atas ambang batas SNI 7387 tahun 2009 tentang batas maksimum cemaran
logam berat dalam pangan. Tanaman dengan menggunakan kompos WTP tidak
aman untuk dikonsumsi. Pendegradasian logam berat pada saat dalam bentuk
lumpur WTP hingga tanaman dipanen mengalami penurunan nilai logam berat.
Hal ini menunjukkan kelayakan pemanfaatan lumpur WTP dengan cara
pengomposan dan pengaplikasian pada media tanam. Kompos WTP dapat
menyuburkan tanaman, tetapi tidak untuk tanaman pangan.
.
Kata kunci : lumpur, kompos, logam berat, degradasi, SNI 7387 tahun 2009
ABSTRACT
ENHAR HAKIM. Analysis Up Take Content Heavy Metal from Composting the
Sludge Water Treatment Plant by Plants. Supervised by Dr. Satyanto K.
Saptomo, STP, MSi and Allen Kurniawan, ST, MT.
Utilization of sludge processing results are very minimal and less noticed by
many among the industry. This research aims to identify the feasibility of compost
of sludge processing drinking water as a medium for planting, identifying the
presence of heavy metals content in the compost that is absorbed in plants, and
degrades the contents of heavy metals in sludge by means of fitoremediasi. The
method used is the utilization of compost as a medium for planting without WTP
mixed soil. On testing using three kinds of different compost WTP. Compost 1
comes from WTP PT. Krakatau Tirta Industry, Cilegon, West Java. Compost 2
comes from WTP PDAM Tirta Pakuan Bogor, West Java. Compost 3 comes from
WTP PDAM Tirta Kahuripan Cibinong, West Java. On the third having a lush
growth of vegetation and experience the process of degradation the heavy metals.
The results of the three trials heavy metal content in plants after harvest showed
values above the threshold limit of SNI 7387 in 2009 about The Limit of Heavy
Metal Contamination in Food. Composting plant using WTP is not safe for
consumption. Degradation of heavy metals in the form of mud at the WTP to
harvest heavy metals impaired. This demonstrates the feasibility of the utilization
of WTP sludge by composting and application of the growing media. Compost
WTP can fertilize the plants, but not for food crops.
Keywords: mud, compost, heavy metals, degradation, SNI 7387 in 2009.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk
kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan,
penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak
merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
ANALISIS UP TAKE KANDUNGAN LOGAM BERAT DARI
KOMPOS LUMPUR WATER TREATMENT PLANT OLEH
TANAMAN
ENHAR HAKIM
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Judul Skripsi
Nama mahasiswa
NIM
: Analisis Up Take Kandungan Logam Berat dari Kompos
Lumpur Water Treatment Plant oleh Tanaman.
: Enhar Hakim
: F44080052
Disetujui oleh,
Dr. Satyanto K. Saptomo, STP, MSi
Pembimbing I
Allen Kurniawan, ST, MT
Pembimbing II
Diketahui oleh,
Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, MAgr
Ketua Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan
Tanggal lulus:
PRAKATA
Alhamdulillahirobbil’alamin segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan laporan tugas akhir ini yang berjudul “Analisis Up Take
Kandungan Logam Berat dari Kompos Lumpur Water Treatment Plant oleh
Tanaman” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kompos Departemen
Teknik Sipil dan Lingkungan IPB, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor
Barat, Kota Bogor, dari bulan Maret 2012 hingga Desember 2012.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada
Dr. Satyanto K, Saptomo, STP, MSi selaku dosen pembimbing pertama penelitian
dan Allen Kurniawan, ST, MT selaku dosen pembimbing kedua penelitian.
Penulis juga mengucapkan rasa terima kasih atas do’a kedua orangtua dan temanteman dalam memberikan semangat. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Bogor, 4 Februari 2013
Enhar Hakim
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan
Manfaat
TUJUAN PUSTAKA
Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Sumber Lumpur
Karakteristik Fisik Lumpur
Karakteristik Kimia Lumpur
Karakteristik Biologi Lumpur
Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Pengomposan
Faktor Yang Mempengaruhi Pengomposan
Karakteristik Lumpur dan Mutu Kompos
Teknik Remediasi Tanah
Soil Venting
Soil Vapour Extraction (SVE)
Bioremediasi
Proses Fitoremediasi
Mekanisme Proses
Media Proses/Tanam
BAHAN DAN METODE
Tempat Dan Waktu
Alat Dan Bahan
Metode Pelaksanaan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lumpur
Proses Pengomposan
Karakteristik Pengomposan
Pengaruh Kandungan Logam Berat Terhadap Tanaman
SIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
viii
viii
x
1
2
2
2
3
3
3
4
4
11
11
12
12
17
17
18
18
19
21
23
25
28
28
28
28
31
31
33
37
40
50
50
50
52
55
59
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos 13
Tabel 2 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara
aerobik
16
Tabel 3 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan
tanamannya
22
Tabel 4 Kualitas lumpur sebelum pengomposan
31
Tabel 5 Karakteristik lumpur
32
Tabel 6 Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya
36
37
Tabel 6 Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan
Tabel 7 Perbandingan kualitas kompos WTP dengan SNI 19-7030-2004
38
Tabel 8 Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004
39
Tabel 9 Uji pertama pada tanaman kangkung
44
Tabel 10 Uji kedua pada tanaman kangkung dan cabe
45
Tabel 11 Uji ketiga lumpur pada kangkung dan rumput gajah mini
46
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Proses tranportasi Soil Vapour Extraction
Gambar 2 Alfalfa legum salah satu tumbuhan hyperaccumulator
Gambar 3 Diagram alir penelitian
Gambar 4 Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil
(kiri) dan kompos 2 (kanan)
Gambar 5 Tanaman kangkung uji kedua dengan kompos : A. Komersil, B.
kompos 1, dan C. kompos 2
Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan
menggunakan lumpur 2
19
27
30
44
45
48
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Kadar air uji ketiga
56
Lampiran 2 Kadar air uji kedua
56
Lampiran 3 Parameter yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam
setiap jenis air limbah industri
57
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perkembangan industri yang cukup pesat di Indonesia mengakibatkan
meningkatnya jumlah limbah, sehingga dapat menimbulkan permasalahan
lingkungan apabila tidak ditangani secara serius. Pemanfaatan lumpur hasil
pengolahan sangat minim dan kurang diperhatikan oleh banyak kalangan industri.
Hal ini dilakukan untuk meminimalisir biaya pengeluaran pengolahan lanjutan
untuk setiap proses produksi. Dampak negatif yang dilihat dalam jangka pendek
tidak terlalu berpengaruh terhadap lingkungan sekitar, karena hanya menghasilkan
tumbuhan liar. Namun dampak negatif dalam jangka panjang dapat mengganggu
karakteristik alamiah tanah.
Perusahaan air minum merupakan salah satu instansi yang menghasilkan
limbah berupa lumpur padat dan lumpur cair di setiap akhir proses produksi. Pada
umumnya lumpur cair dibuang langsung ke badan air seperti sungai, sedangkan
lumpur padat dibiarkan menumpuk pada suatu lahan. Instansi ini menghasilkan
produksi lumpur yang besar dari hasil sedimentasi air baku (sungai), sebagian
besar berupa bahan organik. Selain bahan organik, lumpur mengandung logam
berat dengan konsentrasi yang beragam. Logam berat seperti Cd, Pb, Hg, Cu, Cr,
dan Zn tidak dapat diuraikan oleh mikroorganisme. Logam-logam tersebut
dihasilkan oleh bahan kimia yang digunakan dalam proses penjernihan dan
sterilisasi air yang akan digunakan dalam proses pengolahan air baku. Pada
kegiatan domestik dan non domestik selain perusahaan air minum, logam tersebut
dapat berasal dari limbah bahan makanan, kegiatan rumah tangga, industri,
percetakan, pabrik kimia, tekstil, farmasi, dan lainnya yang kemungkinan berada
di sepanjang DAS (Daerah Aliran Sungai), ketika air baku tersebut digunakan
untuk proses pengolahan air bersih.
Mengingat lumpur tidak dimanfaatkan secara optimal, maka dampak negatif
yang dirasakan adalah timbulnya bau kurang sedap sebagai akibat dari reaksireaksi biokimia pada saat reduksi. Meningkatnya kuantitas lumpur di lingkungan
tanpa adanya pengolahan, menyebabkan beban lingkungan dalam mereduksi
lumpur semakin besar. Diperlukan cara untuk pemanfaatan lumpur lebih lanjut
ataupun cara untuk mereduksi kandungan logam berat yang ada pada lumpur
untuk tidak berpotensi mencemari lingkungan.
Fitoremediasi terhadap lumpur yang tidak digunakan juga dapat dijadikan
alternatif pemanfaatan lumpur tersebut. Analisis lebih lanjut diperlukan pada
pupuk kompos Water Treatment Plant (WTP) apabila menggunakan cara
fitoremediasi. Dari hasil uji laboratorium, lumpur WTP mengandung bahan
organik dan logam berat yang tinggi, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media
tanam. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kemungkinan logam berat
diserap oleh tanaman, sehingga toksisitas lumpur yang menghambat pertumbuhan
tanaman dapat direduksi. Atas dasar deskripsi di atas, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memanfaatkan lumpur hasil pengolahan dengan mengetahui
efektivitas pengomposan dan proses fitoremediasi untuk mereduksi kandungan
unsur logam berbahaya.
Pupuk kompos merupakan salah satu produk pemanfaatan lumpur hasil
pengolahan, dengan menggunakan biaya yang relatif rendah dan proses
pengomposan yang tidak terlalu lama. Selain itu, lumpur hasil pengolahan air
terkadang termasuk dalam kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), yang
keberadaannya belum diketahui, sehingga membutuhkan penanganan lanjutan
untuk mereduksi kandungan logam berat. Panduan pengelolaan limbah lumpur
disesuaikan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah dengan PP No. 18/1999
tentang pengolahan limbah B3.
Pupuk kompos WTP dapat digunakan sebagai media tanam, namun
diperlukan pengamatan terhadap penyebaran kandungan logam berat kompos
yang kemungkinan dapat diserap oleh tanaman. Oleh karena itu, pada penelitian
ini akan menganalisis kelayakan kompos WTP yang menjadi media tanam.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan alternatif pemanfaatan limbah
lumpur Water Treatment Plant (WTP) pada suatu industri dengan cara
pengomposan lumpur dan fitoremediasi dengan tanaman. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengidentifikasi kelayakan kompos dari lumpur pengolahan air
minum sebagai media tanam, mengidentifikasi adanya kandungan logam berat
pada kompos yang terserap pada tanaman, mendegradasi kandungan logam berat
pada lumpur dengan cara fitoremediasi.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kelayakan kompos
WTP sebagai media tanam dan cara pemanfaatan lumpur industri. Dengan
demikian informasi yang didapat dari penelitian ini diharapkan sebagai alternatif
untuk mereduksi pencemaran lingkungan
TINJAUAN PUSTAKA
Karakteristik Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Proses pengolahan air minum yang menggunakan air sungai sebagai bahan
baku menghasilkan produk utama berupa air bersih yang siap dikonsumsi. Selain
produk utama tersebut, dihasilkan juga limbah berupa lumpur. Limbah lumpur
dalam proses pengolahan ini merupakan hasil proses pengendapan
(presedimentasi dan sedimentasi) serta penyaringan (filtrasi). Dalam air sungai
biasanya terdapat padatan terlarut dan tersuspensi. Zat terlarut terdiri dari oksigen,
karbohidrat, basa, asam, senyawa mikroorganisme dan berbagai pencemar yang
bergantung pada lokasi, suhu, dan tekanan. Padatan tersuspensi dalam air sungai
diantaranya mengandung lumpur, sisa tanaman, dan limbah industri. Diantara zatzat tersebut ada yang dapat menyuburkan tanah atau dapat digunakan untuk
keperluan lain (Mahida 1992 dalam Yeni 2001).
Produksi lumpur per hari menurut Supriyanto (1993) dalam Halim (2003)
pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah. Lumpur akan selalu
diproduksi sebagai hasil dari pertumbuhan bakteri atau mikroorganisme pengurai
selama proses berlangsung. Karakteristik dari lumpur residu dihasilkan pada
dasarnya merupakan fungsi dari proses pengolahan, penambahan bahan kimia,
dan kuantitas air baku. Pengertian akan kuantitas lumpur, kandungan padatan, dan
sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan mendesain perangkat proses
yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Lumpur tersebut kemudian
dibentuk menjadi suatu produk yang disebut wet spray yang mengandung 2%
kadar kering. Dapat pula kandungan air dalam lumpur ditekan dengan alat filter
press atau belt press sehingga menghasilkan produk dengan kadar air 40%
(L’Hermite 1988 dalam Halim 2003).
Sumber Lumpur
Lumpur pengolahan air didefinisikan sebagai akumulasi padatan atau
endapan yang dikeluarkan dari bak sedimentasi (pengendapan) atau clarifier pada
instalasi pengolahan air maupun industri pada umumnya. Sumber utama residu
pengolahan air adalah lumpur koagulasi aluminium atau lumpur besi, lumpur
proses softening, dan pencucian balik filter. Lumpur mengandung konsentrasi
tinggi garam aluminium atau besi dengan campuran bahan organik dan anorganik
dan presipitat. Dahulu pengeringan akan lumpur koagulasi adalah tugas yang
sangat sulit dan pada akhirnya dibuang langsung ke sumber air seperti sungai atau
danau. Namun saat ini lumpur diolah untuk pembuangan akhir dan air backwash
dan clarifier dikembalikan ke fasilitas pengolahan untuk didaur ulang (Qasim et al
2000 dalam Kurniasih 2012).
Lumpur koagulasi diproduksi melalui proses flokulasi dan pengendapan
alami dari kekeruhan. Aluminium dan garam besi bereaksi dengan alkalinitas dan
membentuk endapan aluminium dan ferric hidroksida. Lumpur mengandung
hidroksida tersebut dan kekeruhan yang menyebabkan senyawa organik dan
anorganik. Walaupun nilai BOD dan COD kemungkinan tinggi, namun lumpur ini
tetap stabil dikarenakan tidak terdapat material organik yang mendorong
dekomposisi aktif atau mendukung kondisi anaerob. Hasilnya lumpur dapat
diakumulasikan pada bak sedimentasi selama beberapa hari dan bulan, dan
dibuang secara berkala (Kurniasih 2012).
Kuantitas padatan yang dihasilkan pada koagulasi bergantung pada total
padatan tersuspensi yang terkandung pada air, tipe, dan dosis koagulan, dan
efisiensi bak sedimentasi. Umumnya 60-90% dari padatan total dihilangkan pada
bak sedimentasi. Padatan yang tersisa dihilangkan pada proses filtrasi. Tidak
terdapat korelasi pasti antara kekeruhan dan total padatan tersuspensi. Rasio total
padatan tersuspensi dengan kekeruhan normalnya bervariasi dari 0.5-2. Total
padatan pada fasilitas koagulasi aluminium dapat bervariasi antara 8-210
kg/100m3 dari air baku yang diolah (Kurniasih 2012).
Karakteristik Fisik Lumpur
Karakteristik fisik lumpur merupakan hasil endapan dari air limbah suatu
industri. Karakteristik fisik air limbah industri meliputi bau, temperatur, warna,
kekeruhan dan kandungan zat padat. Zat padat ini terdiri dari materi yang dapat di
flotasi, materi yang dapat diendapkan dan materi koloid, dan materi terlarut. Sifat
fisik air limbah yang merupakan penentuan derajat kekotoran air limbah sangat
dipengaruhi oleh kandungan zat padat. Jumlah total endapan terdiri dari bendabenda yang mengendap, terlarut, dan tercampur. Air limbah yang partikel ukuran
besar memudahkan proses pengendapan, sedangkan apabila air limbah berisikan
partikel ukuran yang sangat kecil akan menyulitkan dalam proses pengendapan.
Besarnya endapan dinyatakan dalam mg/l air limbah. Hal ini sangat penting untuk
mengetahui derajat pengendapan dan jumlah endapan yang ada dalam badan air
(Gunawan 2006).
Salah satu sifat fisik yang digunakan dalam analisis kualitas air limbah yaitu
padatan tersuspensi (total suspended solid). Analisa zat padat dalam air sangat
penting bagi penentuan komponen-komponen air secara lengkap, dan untuk
perencanaan dan pengawasan dalam proses-proses pengolahan air buangan.
Padatan tersuspensi di dasar badan air akan mengganggu kehidupan didalam
badan air, dan akan mengalami dekomposisi yang dapat menurunkan kadar
oksigen di dalam air. Padatan dapat menyebabkan kekeruhan air, menyebabkan
penyimpangan sinar matahari, sehingga berpengaruh baik secara langsung
maupun tidak langsung terhadap organisme di badan air (Gunawan 2006).
Karakteristik Kimia Lumpur
Sifat kimia air limbah maupun lumpur yang merupakan bahan organik
terlarut dapat menghabiskan oksigen dalam limbah serta menimbulkan rasa dan
bau yang menyengat. Pada umumnya zat organik berisikan kombinasi karbon,
hidrogen, dan oksigen bersama-sama dengan nitrogen. Umumnya kandungan
bahan organik berisikan 40-60% protein dan 25-50% berupa karbohidrat. Semakin
banyak jumlah dan jenis bahan organik, hal ini akan mempersulit dalam
pengelolaan air limbah. Menurut Gunawan (2006), beberapa sifat kimia yang
digunakan sebagai parameter kualitas air, yaitu :
a. pH
pH adalah parameter untuk mengetahui intensitas tingkat keasaman atau
kebasaan dari suatu larutan yang dinyatakan dengan konsentrasi ion hidrogen
terlarut. Pada instalasi pengolahan air buangan secara biologi, pH harus dikontrol
supaya berada dalam rentang yang cocok untuk organisme tertentu yang
digunakan. Baku mutu pH berkisar pada rentang yang cukup besar di sekitar pH
netral, yaitu 6-9. Hal ini bukan berarti bahwa perubahan pH yang terjadi
sepanjang rentang tersebut sama sekali tidak berdampak terhadap mahluk hidup
dan lingkungan sekitar. pH merupakan faktor penting yang menentukan pola
distribusi biota akuatik. Karena itu perubahan pH yang terkecil dapat memberi
dampak besar terhadap toksisitas polutan seperti amonia. Dampak dari sejumlah
polutan dapat bervariasi, mulai dari tidak terdeteksi sampai sangat serius
tergantung pada pH.
b. Bichemical Oxygen Demand (BOD)
BOD adalah suatu analisis empiris yang mencoba mendekati secara global
proses-proses biologi yang benar-benar terjadi di dalam air. Angka BOD adalah
jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi)
hampir semua zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang
tersuspensi dalam air. Penentuan BOD diperlukan untuk menentukan beban
pencemaran akibat air buangan penduduk atau industri. Penguraian zat organisme
adalah peristiwa alamiah, bila suatu badan air dicemari oleh zat organis, bakeri
dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air selama proses oksidasi tersebut
yang dapat mengakibatkan kematian biota dalam air dan keadaan menjadi anaerob
dan dapat menimbulkan bau busuk pada air tersebut, semakin besar angka BOD
maka menunjukkan bahwa derajat pengotoran limbah adalah semakin besar.
Pemerikasaan BOD didasarkan atas reaksi oksidasi zat organik dan
anorganik dengan oksigen didalam air dan proses tersebut berlangsung karena
adanya bakteri aerob. Sebagai hasil oksidasi akan terbentuk CO₂, air, dan amonia.
Mikroorganisme pada awalnya menggunakan bahan organik secara cepat untuk
metabolisme serta pembentukan sel akan menyebabkan meningkatkan BOD
dalam 1-3 hari. Sesudah bahan organik dicerna, maka kebutuhan akan oksigen
akan turun.
Reaksi biologis pada tes BOD dilakukan pada temperatur inkubasi 20°C dan
dilakukan selama 5 hari. Mengingat dengan waktu tersebut sebanyak 60-70%
kebutuhan terbaik karbon dapat tercapai, sehingga mempunyai istilah BOD5.
Jumlah zat organis yang ada didalam air diukur melalui jumlah oksigen yang
dibutuhkan bakteri untuk mengoksidasi zat organis tersebut, kemudian indikasi
kandungan zat organik dapat ditentukan, makin banyak kebutuhan oksigen yang
dibutuhkan bakteri untuk menguraikannya, maka semakin tinggi nilai BOD.
c. Chemical Oxygen Demand (COD)
COD adalah jumlah oksigen yang diperlukan agar bahan buangan yang ada
didalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia. Angka COD merupakan
ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis yang secara alamiah dapat
dioksidasai melalui mikrobiologis menjadi CO₂, H₂O dan senyawa organik, dan
mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Jumlah oksigen
terhitung, jika komposisi zat organis terlarut telah diketahui dan dianggap semua
C, H, dan N habis teroksidasi menjadi CO₂, H₂O, dan NO3.
d. Dissolved Oxygen (DO)
Semua gas di udara dapat terlarut dalam air namun memiliki kelarutan yang
berbeda-beda. Oksigen termasuk gas yang sukar larut dalam air dan hanya dapat
terlarut karena perbedaan tekanan parsial air dan udara, bukan dengan reaksi
kimia. Kelarutan oksigen dalam air juga berbeda-beda terhadap temperatur,
berkisar antara 14.6 mg/l (0°C, 1 atm) – 7 mg/l (35°C, 1 atm). Dalam kondisi
kritis, jumlah maksimum oksigen yang dapat larut dalam air hanya 8 mg/l.
Kelarutan oksigen semakin rendah jika garam dalam air semakin tinggi.
DO adalah faktor yang menentukan apakah perubahan yang terjadi dalam
air limbah disebabkan oleh proses aerob atau anaerob. Organisme aerob
menggunakan oksigen bebas untuk mengoksidasi senyawa-senyawa organik dan
anorganik menghasilkan senyawa akhir yang tidak berbahaya. Organisme anaerob
mereduksi garam-garam anorganik seperti sulfat dan menghasilkan senyawa akhir
yang berbahaya. Karena jumlah organisme aerob dan anaerob di alam sama-sama
banyak, maka sangat penting untuk menjaga supaya tersedia oksigen dalam
jumlah yang cukup bagi organisme aerob dan kondisi yang tidak cocok bagi
organisme anaerob. Karena itu pemantauan DO perlu dilakukan terhadap badan
air penerima dan dalam proses biologi pengolahan air buangan domestik maupun
industri.
e. Phosphat
Semua air permukaan dapat mendukung pertumbuhan organisme akuatik
seperti plankton (zooplankton dan fitoplankton), ganggang, dan cyanobacteria.
Pertumbuhan tanaman dalam air dapat dibatasi oleh beberapa faktor seperti
cahaya dan karakteristik fisik air tersebut. Pada banyak kasus, faktor pembatas
tersebut adalah ketersediaan nutrisi anorganik terutama fosfat. Semakin banyak
nutrisi yang masuk dalam badan air, semakin besar pertumbuhan tanaman,
sehingga karakteristik biologi badan air dapat berubah
Buangan organik dalam air adalah sumber nutrisi yang penting bagi
tanaman karena dekomposisi materi organik akan menghasilkan fosfat, nitrat, dan
nutrisi lain yang dibutuhkan oleh tanaman. Buangan domestik banyak
mengandung fosfat yang berasal dari bubuk deterjen (air cucian). Akibat
perkembangan deterjen sintesis, kandungan fosfor anorganik dalam deterjen
berkisar antara 2-3 mg/l dan kandungan fosfor organik berkisar antara 0.5-1 mg/l.
Kandungan fosfor anorganik dalam limbah domestik saat ini diperkirakan
mencapai 2-3 kali lebih banyak daripada ketika deterjen sintesis belum digunakan
secara luas, kecuali jika pemerintah setempat membatasi penggunaan deterjen
berbahan dasar fosfat.
Organisme yang digunakan dalam proses pengolahan air buangan secara
biologi memerlukan sejumlah fosfor untuk reproduksi dan sintesa sel baru.
Namun limbah domestik mengandung fosfor dalam jumlah yang jauh lebih besar
dari yang dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut. Hal itu dapat dibuktikan
dengan besarnya kandungan fosfat dalam efluen pengolahan biologi air limbah.
f. Chlorine bebas
Chlorine biasa digunakan sebagai desinfektan pada proses pengolahan air,
baik minum maupun air buangan. Klorinasi bertujuan untuk menghilangkan
kandungan mikroba pathogen dalam air supaya konsumen terhindar dari penyakit
bawaan air. Walaupun mikroba pathogen dalam air telah banyak tersisihkan
selama proses pengolahan sebelumnya, namun masih mungkin tersisa sejumlah
mikroba pathogen terutama virus. Karena itu biasanya desinfeksi merupakan
proses terakhir pengolahan air.
Clorine digunakan dalam bentuk clorine bebas atau hipokrit. Selain bereaksi
dengan mikroba pathogen, clorine juga bereaksi dengan senyawa- senyawa lain
dalam air seperti amonia, besi, mangan, sulfide, dan beberapa senyawa organik.
Karena itu perlu ditambahkan clorine yang tersedia dalam jumlah cukup untuk
membunuh mikroba pathogen. Chlorine bereaksi dengan air hipoklorit dan asam
hipoklorit menurut reaksi berikut :
Cl2 + H₂O
HOCl + H+Cl
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses desinfeksi antara lain adalah
jumlah dan jenis mikroba pathogen yang ingin dihilangkan, jenis dan konsentrasi
desinfektan yang digunakan, temperatur air, waktu kontak, karakteristik fisik dan
kimia air yang akan diolah, pH, dan pencampuran. Dosis clorine seharusnya
disesuaikan dengan kebutuhan. Pemantauan konsentrasi chlorine di ujung bak
klorinasi perlu dilakukan secara teratur untuk meninjau efektivitas proses
klorinasi. Karakteristik air yang diolah dapat berubah-ubah seiring dengan
perubahan musim dan cuaca. Dari hasil pemantauan tersebut dapat diantisipasi
sumber-sumber kontaminasi.
g. Amonia (NH3N)
Amonia terdapat secara alami dalam berbagai konsentrasi pada air tanah, air
permukaan, dan air buangan. Amonia dapat berasal dari reduksi senyawa organik
yang mengandung nitrogen, deaminasi senyawa amina, hidrolisa urea, dan akibat
penggunaannya untuk deklorinasi dalam instalasi pengolahan air. Jumlah amonia
dalam air tanah relatif sedikit karena diserap oleh tanah. Amonia bersifat sangat
toksik terhadap banyak organisme, terutama ikan dan invertebrata, sedangkan
amonium (NH4) bersifat kurang toksik. Konsentrasi amonia dalam air tergantung
pada pH dan temperatur. Semakin tinggi pH dan temperatur, semakin tinggi juga
konsentrasi amonia. Konsentrasi amonia juga menentukan tingkat toksisitas
larutan. Nitrifikasi adalah proses oksidasi biologi amonia menjadi nitrat oleh
bakteri autotrof, dengan nitrit sebagai senyawa antara.
Karakteristik kimia air limbah industri terdiri dari dua bagian. Bagian
pertama yaitu zat organik terdiri dari karbohidrat, minyak lemak, protein, zat
organik yang dapat menimbulkan kanker dan mutasi, surfactant, senyawa organik
volatile, dan lain-lain. Karakteristik kimia untuk lumpur pada umumnya dibagi
menjadi dua bagian. Karakteristik kimia lumpur aluminium terkandung BOD5 30300 mg/l, COD 30-5000 mg/l, pH 6-8, dan total padatan 0.1-4%. Karakteristik
kimia lumpur besi terkandung BOD5 30-300 mg/l, COD 30-5000 mg/l , pH 7.48.5 mg/l, dan total padatan 0.25-3.5 % (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012).
Fraksi organik lumpur secara kimiawi dapat dirumuskan sebagai C₂H7O2N
atau perumusan yang lebih kompleks lagi sebagai C60H87O23N12P, sehingga
kandungan C53% dan rasio C/N empiris 4.3. Untuk basis fraksi anorganik yang
10% terdiri dari P2O5 (50%), SO3 (15%), Na2O (11%), CaO (9%), MgO (8%),
K2O (6%), dan Fe2O3 (1%) (Metcalf dan Eddy, 1991 dalam Halim 2003).
Karakteristik di lapangan untuk lumpur sangat bervariasi tergantung jenis industri,
tambahan bahan kimia selama proses pengolahan dan sistem dewatering dari
lumpur. Umumnya solid content dalam dewatered lumpur 20-40% atau
kandungan air 60-80%, sedangkan rasio C/N dengan bias biodegradable C sekitar
6-15%.
Parameter yang diukur dalam percobaaan ini dilakukan terhadap sifat-sifat
kimia media tanam. Parameter sifat kimia media tanaman yang dianalisis adalah
Al, Fe, Pb, Cd, Mn yang memungkinkan terkontaminasi ke dalam tanaman.
a. Unsur Aluminium (Al)
Aluminium (Al) sebenarnya merupakan racun bagi tanaman. Walaupun
demikian tanaman mempunyai daya ketenggangan tertentu terhadap aluminium.
Dalam keadaan tertentu tanaman dapat membatasi serapan aluminium, sehingga
terhindar dari keracunan aluminium. Tanaman dapat membentuk dinding tebal
pada akar rambut dengan ujung akar yang membengkak menyerupai kail
(Soepardi 1983).
Menurut Kocian (1995) dalam Nurlaela (2007) senyawa Aluminium terbagi
menjadi 3 bentuk yaitu mononuklear (Al3+), Aluminium kompleks, dan
Aluminium polinuklear. Endapan unsur Al(OH)3 terbentuk pada pH netral,
sedangkan Al(OH)4- terbentuk pada pH yang tinggi. Untuk pH yang rendah
(kurang dari 4) akan terbentuk Al (H2O)63+ atau dikenal dengan Al3+ yang
merupakan toksik paling berbahaya dalam bentuk Al bagi tumbuhan (Matsumoto
2000 dalam Nurlaela 2007).
Pengaruh Aluminium terhadap pertumbuhan tanaman antara lain
menurunkan penyerapan kation bivalen oleh akar terutama penyerapan Ca2+ dan
Mg2+, menghambat pembelahan sel-sel meristem akar, serta menurunkan
penyerapan SO42-, PO42-, dan Cl- (Nurlaela 2007). Kerusakan tanaman akibat
unsur Aluminium ini nampak dengan jelas pada akar. Akar menjadi tebal, pendek,
dan terhambat perpanjangannya (Delhaize et al 1993 dalam Nurlaela 2007).
Keracunan Al terutama terlihat pada ujung akar. Adanya Aluminium yang
berlebih dapat menyebabkan akar utama menjadi kerdil dan akar lateral terhambat
pertumbuhannya (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007).
Menurut Kochian (1995) dalam Nurlaela (2007), terdapat beberapa
mekanisme yang dilakukan oleh tanaman untuk mengatasi keracunan Aluminium
yaitu ekslusif Aluminium pada ujung akar, melepaskan ligan pengkelat
Aluminium seperti asam sitrat, oksalat, malat, dan meningkatkan pH rizosfer.
Tanaman toleran dan sensitif terhadap Aluminium, akan mengakumulasi
Aluminium pada tanah masam yang mengandung Aluminium (Samac DA dan
Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela 2007). Salah satu kriteria tanaman yang toleran
terhadap Al yaitu dapat mengurangi absorpsi dan translokasi Aluminium ke
bagian tajuk karena sebagian besar Al telah disimpan di vakuola sel akar
(Matsumono 2000 dalam Nurlaela 2007).
Upaya untuk mengatasi keracunan Aluminium antara lain dengan ameliorasi
menggunakan kapur, bahan organik atau dengan pemupukan tinggi. Pendekatan
ini memerlukan biaya tinggi dan terkadang sarana produksi tersebut tidak tersedia
pada saat dibutuhkan, sehingga sulit untuk diadopsi oleh para petani. Pilihan lain
adalah berupa penggunaan varietas yang tenggang. Untuk dapat memisahkan
tanaman yang bersifat tenggang atau peka diperlukan konsentrasi yang tepat dan
tolak ukur, serta kriteria yang digunakan (Syafrudin et al 2006). Beberapa
penelitian menggunakan panjang akar relatif dengan batas 50% dianggap
tenggang, seperti pada kedelai (Sopandie et al 2000 dalam Syafrudin et al 2006)
dan pada tanaman padi (Jagau 2001 dalam Syafrudin et al 2006).
b. Unsur Kadmium (Cd)
Kadmium adalah logam berat yang banyak digunakan dalam industri.
Kadmium (Cd) termasuk golongan IIB dalam tabel periodik dengan nomor atom
48, bobot atom 112.40, massa jenis 8.65 g/cm3, dan titik leleh 320.9°C. Unsur Cd
juga merupakan golongan logam beracun, tidak hanya untuk pertumbuhan
tanaman, tetapi juga bagi manusia dan hewan. Cd merupakan hara nonesensial
bagi tanaman, namun mempunyai afinitas yang tinggi terhadap gugus tiol (-SH)
dalam enzim dan protein. Oleh karena itu, keberadaan Cd akan mengganggu
aktvitas enzim, metabolisme, besi, dan menyebabkan klorosis pada daun (Alloway
1990 dalam Khatimah 2006)
Seperti logam–logam lainnya, Cd juga terkandung dalam batuan beku dan
sedimen. Kandungan total Cd dalam tanah kurang dari 8 ppm, sedangkan pada
tanah yang kaya akan logam, kandungan Cd tanah tersebut bisa mencapai 800
ppm. Unsur Cd di alam tidak pernah ditimbang tersendiri, selalu sebagai produk
sampingan logam lain, misalnya Zn (Leagreid et al 1999 dalam Khatimah 2006).
Unsur Cd dapat terlarut dalam tanah, diserap oleh permukaan organik maupun
anorganik, terikat kuat dalam mineral-mineral tanah, diendapkan oleh senyawasenyawa yang berada di dalam tanah, dan terkandung dalam bahan hidup. Faktorfaktor yang mengatur fase padat dan fase cair Cd dalam tanah sangat kompleks
yaitu dengan distribusi Cd yang merupakan dasar sehubungan dengan
ketersediaannya dalam tanaman (Lagereff 1972 dalam Khatimah 2006)
Unsur Cd dalam tanah dapat menjadi penyebab gangguan penyerapan unsur
hara oleh akar tanaman melalui interaksi kompetitif antagonis maupun sinergis
dengan ion hara mineral yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Unsur Cd
bersifat antagonis dengan Zn, tetapi bersifat sinergis dengan Fe dan Mn. Unsur Cd
dan Zn secara kimiawi hampir serupa, tetapi tingkat toksisitas Zn lebih rendah dan
merupakan unsur esensial bagi tanaman (Lepp 1981 dalam Khatimah 2006).
Unsur Cadmium bersifat tidak esensial dan beracun, bahkan tingkat
toksisitasnya menempati urutan kedua setelah raksa (Laws 1981 dalam Dewi
2010). Gejala awal keracunan Cadmium dapat berupa timbulnya warna kuning
pada gigi, gangguan penciuman, sampai yang lebih serius, yaitu emfisema dan
proteinuria yang sangat membahayakan manusia. Piorowski dan Coleman (1980)
dalam Dewi (2010) menyatakan keracunan Cadmium dapat berupa kerusakan
ginjal, kehilangan sel-sel darah merah, kerapuhan tulang dan tekanan darah tinggi.
Kandungan Cadmium yang masih diperbolehkan dalam komoditi konsumsi
menurut standar Departemen Kesehatan RI adalah sebesar 1.00 ppp.
c. Unsur Besi (Fe)
Zat besi penting bagi pembentukan hijau daun (khlorofil). Pembentuk zat
karbohidrat, lemak, protein dan enzim. Jadi jika terjadi kekurangan zat besi akan
menghambat pertumbuhan khlorofil. Jika dalam tanaman terjadi kekurangan
Mangan dan Kalium atau kelebihan sulfat akan mengakibatkan pergerakan Fe
terhambat dan Fe tidak sampai ke daun meskipun pengisapan Fe dalam tanah
berlangsung terus. Unsur Fe yang berlebih dalam jumlah tertentu dapat
mengakibatkan racun bagi tanaman.
d. Unsur Timah (Pb)
Timah termasuk golongan IVA dalam daftar berkala dengan bobot atom
207.19 dan nomor atom 82. Timah merupakan logam lunak berwarna abu-abu
kebiruan dengan massa jenis 11.434 g/cm3 dan titik leleh 1470°C. Timah
memiliki dua tingkat oksidasi stabil, yaitu Pb (II) dan Pb (IV), tetapi di alam
didominasi oleh Pb2+. Garam-garam Pb sedikit larut dalam air (klorida dan
bromida) atau hampir tidak terlarut sebagai karbonat dan hidroksida. Unsur Pb di
alam terdapat sebagai PbS (galena), PbSO4 (anglesite), PbCO3, dan Pb (OH)2
(Cotton dan Wilkinson 1989 dalam Khatimah 2006).
Menurut Bohn (1979) dalam Khatimah (2006) timah cenderung
terakumulasi dan tersedimentasi dalam tanah karena kelarutannya yang rendah
dan relatif bebas dari degradasi oleh mikroorganisme. Timah dalam tanah banyak
dijumpai dalam bentuk dapat dipertukarkan, dijerap, karbonat organik, sulfida,
dan hidrous oksida. Timah yang berasal dari udara sekitar dan ditambahkan ke
permukaan tanah tidak akan mengalami pergerakan ke bawah tanaman. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya timah yang dijerap pada permukaan mineral liat dan
koloid organik dan pembentukan kelat timbal oleh badan organik, sehingga
kelarutannya rendah.
Timah merupakan unsur yang tidak esensial baik untuk tanaman maupun
hewan. Timah selalu terikat kuat dengan bahan organik atau koloid terendapkan.
Hal ini membantu mengurangi penyerapan timah oleh tanaman. Mobilitas timah
dalam jaringan tanaman terjadi dalam bentuk ion dan kompleks-kompleks kelat.
Adanya logam berat dalam tanah dapat menyebabkan perubahan kapasitas tukar
kation (KTK) dan perubahan komposisi unsur hara (Buckman dan Brady 1969
dalam Khatimah 2006).
e. Unsur Mangan (Mn)
Mangan diserap tanaman untuk pembentukan zat protein dan vitamin
terutama vitamin C. Selain itu, Mn penting untuk dapat mempertahanakan kondisi
hijau daun pada daun yang tua. Fungsi Mangan yaitu sebagai enzim feroksidase
dan sebagai aktifator macam-macam enzim. Tersedia mangan bagi tanaman
tergantung pada pH tanah. Dimana pada pH rendah mangan akan banyak tersedia.
Kekurangan Mn dapat dilakukan dengan memberikan 1% MnSO4H₂O ,
sedangkan apabila kelebihan Mn dapat dilakukan dengan jalan menambahkan zat
fosfor dan kapur. Unsur Mn yang berlebihan dapat menyebabkan sifat racun bagi
tanaman.
Menurut Treshow (1970) dalam Taryana (1995) menerangkan bahwa pada
beberapa kasus nekrotik kecil terjadi berupa bintik-bintik yang terlihat pada
bagian antara tulang-tulang daun. Nekrotik adalah terjadinya sel mati sebelum
pada waktunya. Pada akhirnya tunas-tunas akan mati yang diikuti dengan
kematian tanaman muda. Walaupun keracunan Mn berbeda-beda untuk tiap
spesies tanaman, tetapi pada umumnya tepi-tepi daun akan mengkerut dan
pertumbuhan terhambat. Jika terjadi akumulasi Mn yang tinggi akan terjadi
klorotik (garis-garis kekuningan) hingga memutih.
Tanaman yang keracunan Mn menunjukkan gejala seperti pertumbuhan
lambat, adanya noda berwarna coklat kekuningan diantaranya urat daun, ujung
daun mengering pada saat tanaman berumur 8 MST (Minggu Setelah Tanam),
klorosis pada daun muda, pertumbuhan yang lambat, dan hasil produksi rendah
(Surachman 2010).
Karakteristik Biologis Lumpur
Karakteristik air limbah industri, yang merupakan mikroorganisme yang
terdapat dalam air limbah industri. Pemerikasaan air secara biologis sangat
penting dan dapat dilakukan terhadap semua jenis air, terutama dilakukan untuk
menentukan standar kualitas air. Mengingat bahwa air merupakan sumber
kehidupan utama bagi mahluk hidup. Pemeriksaan air secara mikrobiologis baik
secara kualitatif maupun secara kuantitatif dapat dipakai sebagai pengukuran
derajat pencemaran.
Di setiap badan air, baik air alam maupun air buangan terdapat bakteri atau
mikroorganisme. Bakteri merupakan kelompok mikroorganisme terpenting dalam
sistem penanganan limbah. Bakteri ada yang bersifat pathogen sehingga
merugikan dan ada yang bersifat non pathogen/menguntungkan. Bakteri pathogen
bermacam-macam bentuk dan jenisnya sehingga sulit dideteksi. Analisa
mikrobiologi untuk bakteri-bakteri tersebut maka diperlukan adanya indikator
organisme. Indikator organisme menunjukkan adanya pencemaran oleh tinja
manusia dan hewan sehingga mudah dideteksi. Dengan demikian apabila
indikator organisme tersebut ditemui dalam sampel air, berarti air tersebut
tercemar oleh tinja dan kemungkinan besar mengandung bakteri pathogen.
Analisa menggunakan indikator organisme adalah metode yang paling umum dan
dilaksanakan secara rutin.
Indikator organisme yang paling umum digunakan adalah bakteri coliform
khususnya Eschericia coli, karena jumlah bakteri ini sangat banyak dan memilki
ketahanan paling besar terhadap desinfektan, sehingga jika jenis coliform sudah
tidak ada setelah proses desinfeksi, maka diharapkan mikroorganisme lain juga
sudah mati. Efisiensi suatu proses pengolahan air buangan, tidak dapat
menghilangkan semua mikroba. Karena itu perlu dilakukan pemantauan terhadap
konsentrasi mikroba pathogen dalam badan air penerima, terutama pada air yang
digunakan untuk kegiatan domestik/rumah tangga. Air tidak boleh mengandung
bakteri-bakteri golongan coli melebihi batas-batas yang telah ditentukan yaitu 1
coli/100 ml air. Hal ini bertujuan untuk keselamatan lingkungan (Wardana 1999
dalam Gunawan 2006). Karakteristik lumpur secara biologis, mikroorganisme
tersebut terdiri dari group prokaryotik dan group eukaryotik. Komposisi dasar sel
terdiri dari sekitar 90% organik dan 10% anorganik dan produksi lumpur per hari
pada umumnya 10-50% dari beban COD limbah yang diolah (Supriyanto 1993
dalam Halim 2003).
Pemanfaatan Lumpur Hasil Pengolahan Air Minum
Lumpur selain dimanfaatkan menjadi sebuah pupuk kompos, juga dapat
digunakan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Pemanfaatan lumpur PT. Krakatau
Tirta Industri dijadikan bahan bangunan (batako) oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan Permukiman tahun 1997. Bahan bangunan seperti batako yang
dihasilkan dari lumpur kurang bagus atau mudah rapuh (Tim Peneliti
Pengembangan dan Permukiman PU 1994 dalam Yeni 2001). Namun tidak sedikit
lumpur dibiarkan menumpuk dan tidak dimanfaatkan secara optimal di berbagai
industri. Adanya banyak pertimbangan dari bagian manajemen perusahaan
misalnya, terkait waktu, dana, efisiensi pemanfaatan untuk sebuah lumpur sisa
pengolahan sebuah industri.
Pengomposan
Pengomposan (composting) didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dan
stabilitas dari bahan organik pada suhu termofili. Sebagain hasil produksi panas
secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk
padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak akan
menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug 1980 dalam Halim
2003).
Menurut Metcalf dan Eddy (1991), dalam pengomposan merupakan
biodegradasi dari bahan organik menjadi suatu produk yang stabil. Proses
pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu
baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri
pathogen. Selama proses pengomposan, suhu akan mencapai kisaran 50-70ºC,
sehingga bakteri pathogen dari lumpur akan mati.
Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), dalam proses
pengomposan terjadi perubahan-perubahan antara lain :
a. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak lilin menjadi CO₂ dan air.
b. Protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO₂
dan air.
c. Pengikatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama
Nitrogen disamping Phospat, Kalium dan lain- lain yang terlepas kembali bila
mikroorganisme itu mati.
d. Peruraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanaman.
Selama proses ada tiga tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu yang
diamati, yaitu mesofilik dan cooling (tahap pendinginan). Pada tahap awal
mesofilik suhu proses akan naik dari suhu lingkungan ke-40ºC dengan adanya
kapang dan bakteri pembentukan asam. Suhu proses akan terus meningkat ke
tahap termofilik antara 40-70ºC, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh
bakteri termofilik, actinomycetes dan termofilik kapang. Pada kisaran suhu
termofilik proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal.
Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktifitas dengan bakteri dan
kapang mesofilik. Selama tahap cooling, proses penguapan air dari mineral yang
telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilitas pH dan
penyempurnaan pembentukan asam humik (Metcalf dan Eddy 1991 dalam
Andhika 2003).
Faktor yang Mempengaruhi Pengomposan
Beberapa faktor yang sangat penting pengaruhnya pada proses
pengomposan antara lain rasio C/N, susunan bahan, kelembapan dan aerasi, suhu,
pH, kebutuhan oksigen, dan mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan
(Andhika 2003).
a. Rasio C/N
Proses pembuatan kompos tergantung pada kerja mikroorganisme yang
memerlukan sumber karbon untuk mendapatkan energi dan bahan bagi sel-sel
baru, bersama dengan pasokan N untuk protein sel. Rasio karbon nitrogen (C/N)
dalam campuran pertama berkisar antara 25-35. Jika rasio terlalu tinggi, maka
prosesnya akan memakan waktu lama sebelum cukup karbon dioksidasi menjadi
karbon dioksida, dan sebaiknya jika terlalu rendah, maka nitrogen yang
merupakan komponen pupuk penting dari kompos, akan dibebaskan sebagai
amonia. Apabila rasio C/N terlalu tinggi, maka dapat ditambahkan dengan bahan
nitrogen seperti kotoran ternak, sedangkan apabila terlalu rendah dapat pula
ditambahkan dengan bahan kaya karbon seperti jerami, sekam atau serbuk-serbuk
kayu (Dalzell et al 1987 dalam Halim 2003).
Tabel 12 Rasio C/N berbagai bahan baku yang dapat dibuat sebagai kompos
Jenis Bahan
Rasio C/N
Lumpur aktif
6
Lumpur yang belum dicerna
11
Pepolongan
19
Gulma hijau
13
Rumput-rumputan
20
Jerami
30-80
Serbuk gergaji busuk
208
Sumber : Haug 1980 dalam Halim 2003.
Pada pengomposan sejumlah amonium terbentuk dari perombakan protein
dan asam amino. Amonium yang terbentuk dapat mengalami tiga hal, yaitu
digunakan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak, sebagian hilang melalui
penguapan dan sebagian lagi diubah menjadi nitrit (Haug 1980 dalam Halim,
2003). Unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan sebagai sumber energi
untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian karbon (C) dan 1 bagian
nitrogen (N) atau rasio C/N = 30 dalam perbandingan berat. Tidak ada unsur
makro atau unsur tambahan lain yang ditemukan sebagai faktor penghambat pada
proses pengomposan lumpur (Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003).
Pada proses pengomposan optimum rasio C/N ideal adalah 20-40 dan rasio
yang terbaik adalah 30. Rasio merupakan faktor terpenting dalam pengomposan,
karena proses pengomposan tergantung pada kegiatan mikroba yang
membutuhkan karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel bersamaan
dengan nitrogen untuk pembentuk selnya. Besarnya rasio C/N tergantung pada
jenis bahan yang digunakan (CPIS 1992 dalam Andhika 2003).
b. Suhu Pengomposan
Mikroorganisme dalam melakukan proses dekomposisi menghasilkan panas.
Proses dekomposisi kompos pada umumnya mencapai suhu antara 32-60ºC. Suhu
di bawah 32ºC proses berlangsung lambat, sedangkan suhu diatas 60ºC
mikroorganisme tidak dapat bertahan. Suhu pada gundukan kompos tergantung
pada panas yang hilang pada aerasi proses pendinginan. Pada kondisi lingkungan
yang basah atau lembap, gundukan kompos dapat lebih besar untuk
meminimalkan kehilangan panas. Ketika pengomposan kehilangan banyak
nitrogen pada lingkungan kering atau panas, gundukan kompos diperkecil dan
pembalikan diperlukan untuk menyediakan oksigen. Kondisi optimum
pengomposan dari pencapaian suhu antara 55-65ºC (Richard 1996 dalam Halim
2003). Menurut Indriani (1999) dalam Halim (2003), bila suhu terlalu tinggi
mikroorganisme akan mati, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme
belum dapat bekerja atau dalam keadaan dorman. Aktivitas mikroorganisme pada
proses pengomposan tersebut juga menghasilkan panas sehingga untuk menjaga
suhu tetap optimal sering dilakukan pembalikan.
c. Susunan Bahan dan Ukuran partikel
Ukuran partikel bahan menentukan ukuran volume dan volume pori-pori
bahan. Jika ukuran partikel bertambah kecil, maka jumlah pori-pori bertambah.
Pori-pori kecil dapat menghambat pergerakan udara yang biasanya merupakan
masalah pada proses pengomposan. Ukuran partikel menentukan luas permukaan
dari suatu bahan. Makin halus suatu partikel, makin luas permukaan yang terbuka
terhadap kegiatan mikroorganisme (Halim 2003).
Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), sampai batas tertentu
semakin kecil ukuran potongan bahan, semakin cepat pula waktu pembusukannya.
Hal ini dikarenakan semakin banyak permukaan yang tersedia bagi bakteri untuk
menyerang dan menghancurkan meterial-material tersebut. Apabila perajangan
terlalu kecil, timbunan akan menjadi tersumbat dan tidak terkena udara.
d. Kelembapan dan Aerasi
Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme juga tergantung dari
kelembapan yang terdapat pada bahan tersebut (Haug 1980 dalam Halim 2003).
Menurut Academy of Science (1981) dalam Halim (2003), bahwa kadar air adalah
bagian penting dalam proses pengomposan dan membutuhkan kelembapan antara
50-70%. Kadar air yang optimum penting untuk memperoleh kompos yang
bermutu tinggi, karena semua mikroorganisme pada proses pengomposan
membutuhkan air untuk kelangsungan hidupnya. Air adalah bahan penting bagi
protoplasma sel yang berfungsi sebagai pelarut makanan. Kadar air di bawah 20%
mengakibatkan proses metabolisme terhambat dan berjalan lambat jika kadar air
di atas 70%.
Air diperlukan selama pengomposan untuk memelihara kelembapan yang
tepat bagi aktivitas mikroorganisme. Kadar air ideal pada pengomposan adalah
40-60%. Pada kadar air yang terlalu besar, bahan kompos menjadi lebih rapat dan
mengakibatkan pengurangan jumlah udara yang bersikulasi, sehingga
menghasilkan kondisi anaerobik. Apabila kadar air tidak mencukupi, suhu bahan
kompos menjadi lebih rendah, walapun suhu bahan pusat kompos tetap tinggi.
Kondisi tersebut mengakibatkan penambahan waktu penguraian. Jika kompos
terlalu basah, dapat ditambahkan beberapa material kering seperti potongan kayu
dan dedaunan. Hal ini dapat meningkatkan porositas agar air dan udara dapat
mengalir dengan baik (Richard 1996 dalam Halim 2003).
Penguraian senyawa organik sangat tergantung pada faktor kadar air. Batas
terendah dari aktifitas bakteri adalah antara 12-15%, meskipun sebenarnya kadar
air lebih kecil dari 40% merupakan batas dari kecepatan penguraian optimum.
Idealnya kadar air antara 50-60%. Jika kadar air dari campuran lebih besar dari
60%, maka integritas struktural yang baik juga tidak akan dicapai. Selama proses
pengomposan sebagian air akan teruapkan sehingga perlu dilakukan pengaturan
dengan penyemprotan, misalnya bersamaan dengan pembalikan pada proses
windrow, untuk menjaga kondisi kadar air yang optimum selama proses
pengomposan (Richard 1996 dalam Halim 2003). Windrow merupakan adalah
proses pembuatan kompos paling sederhana dan paling murah dengan hanya
menumpukkan bahan-bahan kompos pada suatu lahan.
Gundukan dari kompos juga memberikan pengaruh pada kadar air, pada
situasi kering, pembentukan cekungan bagian atas gundukan akan
memaksimalkan penyerapan air dan curahan hujan dapat menambah kandungan
air yang hilang sebagai uap. Apabila dalam keadaan basah, gundukan kompos
dibentuk naik supaya dapat meminimalkan absorpsi dengan menumpahkan air
(Richard 1996 dalam Halim 2003). Menurut Dalzell et al (1987) dalam Halim
(2003), proses pengomposan memperlukan udara yang cukup ke semua bagian
tumpukan kompos untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan
mengeluarkan karbon dioksida yang dihasilkan. Tidak adanya udara (kondisi
anaerobik) akan menimbulkan perkembangbiakan berbagai
macam
mikroorganisme yang menyebabkan keasaman dan pembusukan tumpukan yang
menimbulkan bau busuk.
e. Nilai pH Pengomposan
Menurut Murbandono (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan pH agar
tetap pada kondisi yang optimal perlu dilakukan, karena keasaman yang terlalu
rendah (pH tinggi) menyebabkan kenaikkan konstruksi oksigen yang
mengakibatkan hasil yang buruk terhadap lingkungan. Menurut CPIS (1992)
dalam Halim (2003), menambahkan pH yang terlalu tinggi juga menyebabkan
unsur nitrogen pada bahan kompos berubah menjadi amoniak, sebaliknya pada
kondisi asam (pH rendah) dapat menyebabkan matinya sebagian besar
mikroorganisme. Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Halim (2003), pengontrolan
pH dapat dilakukan dengan penambahan kotoran hewan, urea, atau pupuk
nitrogen untuk menurunkan pH, sedangkan pemberian kapur dan abu dapur untuk
menaikkan pH.
Kondisi pH optimum untuk pertumbuhan bakteri pada umumnya adalah
antara 6-7.5 dan 5.5-8 untuk fungi. Selama proses tumpukan, umumnya kondisi
pH bervariasi dan akan terkontrol dengan sendirinya. Kondisi pH awal yang
relatif tinggi, misalnya akibat penggunaan CaO pada lumpur, akan melarutkan
nitrogen dalam kompos dan selanjutnya akan diemisikan sebagai amoniak.
Tidaklah mudah untuk mengatur kondisi pH dalam tumpukan massa kompos
untuk pencapaian pertumbuhan biologis yang optimum. Pengaturan kondisi pH
belum ditemukan kontrol opresional yang efektif (Metcalf dan Eddy 1991 dalam
Andhika 2003).
f. Kebutuhan oksigen
Persyaratan konsentrasi optimum dari oksigen di dalam massa kompos
antara 5-15% volume. Peningkatan kandungan oksigen melewati 15%, misalnya
akibatnya pengaliran udara yang terlalu cepat atau terlalu sering dibalik akan
menurunkan suhu dari sistem. Pada Tabel 2 menjelaskan Faktor penting dalam
perencanaan proses pengomposan secara aerobik.
Tabel 13 Faktor penting dalam perencanaan proses pengomposan secara aerobik
Faktor
Keterangan
Jenis
Jenis untreated dan digested sludge keduanya dapat
lumpur
dikomposkan. Untreated sludge lebih berpotensi menimbulkan
masalah bau, terutama pada aplikasi windrow. Untreated sludge
lebih mempunyai ketersediaan energi, lebih mudah terdegradasi
dan mempunyai kebutuhan oksigen yang lebih tinggi.
Amendments Beberapa karakteristiknya, seperti kadar air, ukuran partikel, dan
dan bulking karbon tersedia sangat berperan terhadap proses dan kualitas
agents
produk akhir. Bahan-bahan tersebut harus mudah didapat dan
murah seperti : serpihan kayu, gergaji, jerami, sekam dan kulit
padi, recycled compost dan lain-lain.
Rasio C/N
Rasio C/N awal harus sekitar 25-30 perbandingan berat. Unsur
karbonnya harus mudah terdegradasi.
Volatile
solids
Dari campuran kompos harus >50%
Kandungan
udara
Setidaknya masih ada 50% oksigen yang berada dalam
kesetimbangan sistem, atau kandungan oksigen antara 5-10% di
semua bagian tumpukan untuk tercapainya hasil yang optimum
Dari campuran kompos antara 40-60%. Berkurangnya kadar air
akibat penguapan, terutama pada sistem windrow dapat
ditambahkan bersamaan dengan proses pembalikan
Kadar air
pH
Harus antara 6-9 kondisi pH yang relatif tinggi akan
meningkatkan emisi nitrogen sebagai amoniak
Suhu
Suhu optimum untuk stabilisasi 45-55°C. Pada kondisi terbaik,
suhu akan mencapai 50-55°C pada kondisi awal dan meningkat
ke 55-65°C saat periode pengomposan berlangsung. Suhu yang
terlalu tinggi akan menurunkan aktifitas kerja mikroba. Periode
selanjutnya temperatur akan menurun pada tahap cured process,
sekaligus untuk menurunkan kadar air
Mixing dan
turning
Untuk mencegah kekeringan, pengerasan, penggumpulan dan
aliran kontak udara yang tidak merata, material dalam tumpukan
proses harus diaduk dan dibalik secara terjadwal sesuai
kebutuhan.
Frekuensi
pembalikan
tergantung
sistem
pengomposan.
Logam berat Kandungan dalam lumpur dan kompos akhir harus dipantau
dan trace
secara teratur untuk menjamin kualitas produk akhirnya tidak
organics
melampaui ambang batas untuk aplikasi lebih lanjut.
Kondisi
lokasi
Beberapa faktor harus dipertimbangkan dalam penentuan lokasi,
termasuk ketersediaan lahan, akses, jarak terhadap sumber lumpur
dan bulking agent, penggunaan lahan sekitar, ketersediaan zona
penyangga, tenaga kerja, kondisi iklim.
Sumber : Metcalf dan Eddy 1991 dalam Andhika 2003.
Diperlukannya kandungan oksigen >5% untuk menjaga kestabilan kondisi
aerobik, meskipun pada kondisi konsentrasi oksigen di dalam tumpukan yang
hanya sekitar 0.5% tidak didapati adanya kondisi anaerobik (Metcalf dan Eddy
1991 dalam Andhika 2003).
g. Mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan
Mikororganisme yang biasa bekerja pada proses pengomposan adalah
bakteri, kapang, Actinomycetes, dan protozoa (Indriani 1999 dalam Halim 2003).
Menurut Hadiwiyoto (1983) dalam Halim (2003) pengomposan akan berjalan
lama apabila jumlah mikroorganisme perombak pada mulanya sedikit. Semakin
banyak jumlah mikroorganisme pada awal suatu proses, fase adaptasinya semakin
singkat. Untuk memperbanyak jumlah mikroorganisme pada awal pengomposan
dapat ditambahkan bibit berupa kotoran ternak atau limbah cair, karena baik
kotoran ternak atau limbah cair banyak mengandung bakteri perombak.
Karakteristik Lumpur dan Mutu Kompos
Karakteristik lumpur seperti pemahaman akan kuantitas hasil lumpur,
kandungan padatan, dan sifat padatan sangatlah penting untuk memilih dan
mendesain perangkat proses yang tepat (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012).
Pemanfaatan lumpur salah satunya dapat dijadikan pupuk kompos. Kandungan
organik yang baik pada lumpur dapat dimanfaatkan dengan proses pengomposan.
Dalam pembentukan kompos sendiri membutuhkan adanya kandungan unsur hara
yang sebagian ada pada lumpur WTP. Kompos dari lumpur WTP menurut hasil
analisis telah memiliki kandungan logam berat lebih sedikit dibandingkan logam
berat pada saat berupa lumpur, hal ini dikarenakan telah terdegradasi oleh
mikroorganisme dalam proses pengomposan.
Kandungan utama kompos merupakan bahan organik. Kompos mengandung
unsur hara seperti nitrogen, fosfat, kalium, dan magnesium. Kandungan unsur
hara kompos tidak tetap. Hal ini dipengaruhi oleh bahan yang dikomposkan, cara
pengomposan, dan cara penyimpanan (Anonim 1999 dalam Halim 2003).
Teknik Remediasi Tanah
Remediasi memiliki suatu arti yaitu perbaikan. Remediasi tanah adalah
pemulihan tanah yang terkontaminasi oleh zat-zat pencemar seperti logam berat
dan atau senyawa organik untuk mengembalikan fungsi tanah, sehingga dapat
dimanfaatkan kembali dan tidak menimbulkan masalah bagi lingkungan (Hakim
et al 2005). Teknologi pada umumnya dapat dilakukan dengan isolasi,
immobilisasi, reduksi toksisitas, pemisahan fisis dan ekstraksi. Teknologi secara
ekstraksi untuk remediasi tanah antara lain soil washing, phyrometallurgical, insitu, soil flushing dan elektrokinetic treatment (Cyntia 1997 dalam Hakim et al
2005).
Tujuan remediasi mencegah penyebaran kontaminasi pada tingkat yang
tidak diharapkan, mencegah pergerakan kontaminan, minimalisasi kontaminan
lebih lanjut hasil dari perlindian tanah atau NAPL (Non Aqueous Phase Liquid),
mengembalikan tanah ke penggunaan yang menguntungkan. LNAPL (Light Non
Aqueous Phase Liquid) adalah pemompaan cair ke permukaan dari serangkaian
sumur ekstraksi atau sambungan ekstraksi. DNAPL (Dense Non Aqueous Phase
liquid) adalah sumber pencemar kontinyu yang bermasalah. LNAPL dan DNAPL
dapat menimbulkan kontaminasi terlarut. LNAPL lebih mudah dilokalisir dan
dikurangi daripada DNAPL. Komposisi LNAPL lebih biodegradable sehingga
dapat diturunkan dengan aspirasi/pemompaan. DNAPL dilokalisir dahulu baru
kemudian diturunkan konsentrasinya (Soil ... 2012).
Soil Venting
Tanah ventilasi adalah teknologi yang menggunakan udara untuk
mengekstrak kontaminan volatile dari tanah yang terkontaminasi. Tanah ventilasi
(Soil venting) yang mencakup ekstraksi udara dan injeksi merupakan salah satu
metode utama yang digunakan di Amerika Serikat untuk menghilangkan VOC
(Volatile Organik Compounds) dari tak jenuh. Teknologi ini juga dikenal sebagai
tanah uap ekstraksi (Soil vapour extraction). Para Desainer harus memiliki ahli
geologi, hidrogeologi, ilmuwan tanah, ahli kimia untuk merancang suatu sistem
yang optimal. Sebuah pengetahuan dasar kimia juga diperlukan untuk
mengembangkan sampling kualitas dan rencana pemantauan. Teknologi ini tepat
guna dalam menghilangkan kontaminan organik berbahaya dari tanah bawah
permukaan (Soil ... 2012).
Banyak model tanah ventilasi mengasumsikan bahwa lokal partisi dari
kontaminan ke dalam berbagai tahapan yang diatur oleh kendala ekuilibrium
(Johnson et al 1990 dalam Lingineni dan Dhir 1995). Salah satu proses utama
yang mempengaruhi kinerja tanah. Sistem ventilasi adalah perpindahan masa dari
interfase kontaminan fraksi dalam kondisi aliran adveki, diciptakan oleh gradient
tekanan bawah permukaan. Teknologi ini telah diterima oleh banyak kalangan
selama dekade terakhir karena kebutuhan dari suatu in-situ, biaya efektif, metode
untuk mengatasi berbagai kontaminasi masalah yang diciptakan oleh kebocoran
bawah permukaan.
Soil Vapour Extraction (SVE)
Soil Vapour Extraction merupakan salah satu teknologi pengolahan air
tanah. Air sparging adalah stripping udara secara in-situ yang sederhana. Air
sparging berfungsi memompa udara untuk meningkatkan aktifitas degradasi pada
mikroba. Sistem SVE terdiri dari satu atau lebih sumur ekstraksi yang diputar di
zona tak jenuh, blower, dan sering juga di injeksi udara. Sumur-sumur injeksi diisi
udara dan compressor ke akuifer. Stripping udara ini digunakan untuk mentransfer
senyawa organik volatile (VOC) dari air tanah ke udara. Soil Vapor Extraction
atau ekstraksi uap tanah disertai air sparging digunakan untuk menangkap aliran
udara terkontaminasi. Ekstraksi uap tanah menggunakan serangkaian sumur
tersaring di zona tak jenuh untuk menangkap uap tanah (Soil ... 2012).
Faktor-faktor yang menetukan fase uap kontaminan dan transportasi Soil
Vapor Extraction di zona tak jenuh diantaranya:
a. Pencemaran transportasi dan penghapusan.
Mekanisme transportasi dan penghapusan termasuk adveksi penguapan,
desorpsi, biodegradasi, dan difusi. Pada Gambar 1 menggambarkan proses yang
terjadi dalam tanah terkontaminasi oleh VOC dan mekanisme penghapusan
kontaminan (USEPA 1991 dalam Soil ... 2012). Pada Gambar 1 dijelaskan VOC
ada di zona tak jenuh sebagai cairan fase residual tak berair (NAPL). NAPL
ditahan oleh beberapa kapiler antar partikel padat, seperti organik teradsorpsi yang
terkait dengan permukaan.
b. Pencemaran properti.
Sifat fisika dan kimia sangat mempengaruhi alur dan transportasi
kontaminan. Properti ini mempengaruhi distribusi kontaminan antara empat fase
pada tanah, seperti fase gas (uap), dilarutkan dalam pori-pori (fase air), teradsorpsi
pada permukaan partikel (fase padat), dan sebagai NAPL.
c. Sifat tanah.
Sifat fisik dan kimia kontaminan seperti media berpori dan karakteristik
cairan sangat mempengaruhi alur dan kontaminan dan transportasi. Berikut alur
kontaminan dan transportasi SVE dapar dilihat pada Gambar 1.
Sumber : Soil ... 2012.
Gambar 4 Proses tranportasi Soil Vapour Extraction
Bioremediasi
Bioremediasi merupakan penggunaan mikroorganisme yang telah dipilih
untuk ditumbuhkan pada polutan tertentu sebagai upaya untuk menurunkan kadar
polutan tersebut. Pada saat proses bioremediasi berlangsung, enzim-enzim yang
diproduksi oleh mikroorganisme memodifikasi struktur polutan beracun menjadi
tidak kompleks sehingga menjadi metabolit yang tidak beracun dan berbahaya.
Sehubungan dengan bioremediasi, Pemerintah Indonesia telah mempunyai payung
hukum yang mengatur standar baku kegiatan bioremediasi dalam mengatasi
permasalahan lingkungan akibat kegiatan pertambangan dan perminyakan serta
bentuk pencemaran lainnya (logam berat dan pestisida) melalui Kementerian
Lingkungan Hidup, Kep Men LH No.128 tahun 2003, tentang tatacara dan
persyaratan teknis dan pengelolaan limbah minyak bumi dan tanah terkontaminasi
oleh minyak bumi secara biologis (bioremediasi) yang juga mencantumkan bahwa
bioremediasi dilakukan dengan menggunakan mikroba lokal (Priadie 2012).
Pada dasarnya, pengolahan secara biologi dalam pengendalian pencemaran
air, termasuk upaya bioremediasi, dengan memanfaatkan bakteri bukan hal baru
namun telah memainkan peran sentral dalam pengolahan limbah konvensional
sejak tahun 1900-an (Mara, Duncan, and Horan 2003 dalam Priadie 2012). Saat
ini, bioremediasi telah berkembang pada pengolahan air limbah yang mengandung
senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida (Tortora
2010 dalam Priadie 2012), maupun nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat
pada perairan tergenang (Great Lakes Bio systems. Inc. Co 0rb-3.com dalam
Priadie 2012).
Teknik bioremediasi dapat dilaksanakan secara in-situ maupun cara exsitu. Teknik bioremediasi in-situ umumnya diaplikasikan pada lokasi tercemar
ringan, lokasi yang tidak dapat dipindahkan, atau karakteristik kontaminan yang
volatile. Bioremediasi ex-situ merupakan teknik bioremediasi dengan cara lahan
atau air yang terkontaminasi diangkat, kemudian diolah dan diproses pada lahan
khusus yang disiapkan untuk proses bioremediasi. Penanganan semacam ini lebih
aman terhadap lingkungan karena agen pendegradasi yang dipergunakan adalah
mikroba yang terurai secara alami (Budianto 2008 dalam Charlena 2010).
Bioremediasi secara ex-situ dapat dilakukan dengan teknik landfarming
dan bioslurry. Landfarming merupakan salah satu kategori jenis bioremediasi exsitu yang dapat mempersingkat waktu untuk pembersih lahan yang terkontaminasi
dibandingkan dengan cara fisika, kimia, dan biologi. Teknik landfarming ini
membutuhkan penggalian dan penempatan pada tumpukan-tumpukan. Tumpukantumpukan itu secara berkala dipindahkan untuk dicampurkan dan diatur
kelembapannya. Pengaturan pH tanah dan penambahan nutrisi dibutuhkan untuk
meningkatkan aktivitas biologi (Poon 1996 dalam Charlena 2010).
Menurut Garcia et al (2010) dalam Charlena (2010), teknik landfarming
merupakan metode yang seringkali dipilih untuk tanah yang terkontaminasi
hidrokarbon, karena relatif lebih murah, dan berpotensi berhasil. Bioremediasi
dengan teknik bioslurry menggunakan bioreaktor berupa bejana (container) atau
reaktor yang digunakan untuk perlakuan terhadap cairan atau bubur (slurry).
Slurry bioreaktor tidak hanya digunakan untuk mendegradasi limbah berbentuk
fase cairan dan slurry, namun dapat mendegradasi limbah padat/tanah.
Menurut Banerji (1997) dalam Charlena (2010), fase bioslurry dapat memiliki
tingkat kepadatan 10-40%. Slurry ini kemudian disimpan dalam bioreaktor.
Dalam bioreaktor slurry akan diberikan nutrisi dalam kondisi lingkungan yang
terkontrol agar mikroba dapat melakukan proses degradasi dengan baik. Selain
penambahan nutrisi, ke dalam reaktor diberikan suplai udara atau oksigen untuk
menjaga agar kondisi aerobik pada bioreaktor tetap terjaga. Pengadukan dilakukan
secara mekanik atau pneumatik. Keuntungan proses bioremediasi dengan
menggunakan slurry bioreaktor adalah mempercepat proses transfer massa antara
fase padat dan cair, kontrol lingkungan dapat berlangsung dengan baik, mudah
dalam memelihara tingkat penerimaan elektron dalam reaktor, dan berpotensi
dalam mencegah kontaminasi oleh mikroba pengganggu.
Landfarming dan slurry bioreaktor merupakan salah satu teknologi
bioremediasi yang terus berkembang hingga saat ini. Metode landfarming maupun
slurry bioreaktor dapat mereduksi dampak pencemaran limbah minyak bumi
karena bioremediasi merupakan metode alternatif yang aman dimana polutan
(hidrokarbon) dapat diuraikan oleh mikroba menjadi bahan yang tidak berbahaya
seperti CO2 dan H2O. Landfarming atau slurry bioreaktor memiliki keunggulan
dan kelemahan masing-masing. Untuk itu perlu dikaji metode yang lebih efektif
dalam menangani limbah minyak bumi. Seberapa efektif bioremediasi dalam
merombak hidrokarbon dari limbah minyak bumi pada fase slurry dan fase padat,
merupakan permasalahan yang perlu diketahui dan dikembangkan.
Proses Fitoremediasi
Fitoremedisasi dapat dilakukan secara in-situ (langsung di tempat terjadinya
pencemaran), maupun secara ex-situ atau menggunakan kolam buatan yang
merupakan bioreaktor besar untuk penanganan limbah. Tanaman dapat digunakan
secara langsung dalam bentuk alaminya lengkap terdiri bagian akar, batang, dan
daun maupun dalam bentuk kultur jaringan tanaman. Secara tradisional, tanaman
telah lama digunakan untuk proses penjernihan air. Mekanisme yang terjadi
adalah proses koagulasi menggunakan ekstrak tanaman yang bersifat koagulan.
Tanaman enceng gondok (Eichornia crassipes) telah lama digunakan untuk
pengolahan air limbah secara tradisional.
Konsep fitoremediasi lebih berkembang dengan aplikasi baru untuk
dekontaminasi tanah yang tercemar oleh senyawa-senyawa organik maupun
anorganik. Perkembangan yang pesat di bidang penelitian fitoremediasi tidak
lepas dari kemajuan di bidang biologi molekuler, rekayasa genetika dan teknologi
enzim. Fitoremediasi dapat dijadikan indikator adanya pencemaran air dan udara
(Pratomo 2004).
Adanya batasan konsentrasi polutan yang dapat ditolerir oleh tanaman.
Tanaman secara umum hanya dapat hidup pada limbah dengan BOD kurang dari
300 mg/l. Keuntungan dari teknik fitoremediasi antara lain adalah efisiensi biaya
untuk volume pencemar yang besar dan konsentrasi rendah, tidak membutuhkan
peralatan yang rumit dan pekerja spesialis, lebih ramah lingkungan dan lainnya
(Erakhumen 2007 dalam Abadi 2008).
Macam-macam logam berat dan unsur radioaktif dibersihkan oleh tanaman
melalui cara berikut ini :
a. Biodegradasi dalam rizosfer
Dalam proses ini, tanaman mengeluarkan senyawa organik dan enzim
melalui akar (eksudat akar), sehingga daerah rizosfer merupakan lingkungan yang
sangat baik untuk tempat tumbuhnya mikroba dalam tanah. Mikroba di daerah
rizosfer akan mempercepat proses biodegradasi kontaminan.
b. Fitostabilitasi
Dalam proses stabilisasi, berbagai senyawa yang dihasilkan oleh tanaman
dapat mengimobilisasi kontaminan, sehingga diubah menjadi senyawa yang stabil.
Tanaman mencegah migrasi polutan, dengan mengurangi runoff, erosi permukaan,
dan aliran air bawah tanah.
c. Fitoakumulasi (fitoekstraksi)
Akar tanaman dapat menyerap kontaminan bersamaan dengan penyerapan
nutrient dan air. Massa Kontaminan tidak dirombak, tetapi diendapkan di bagian
trubus dan daun tanaman. Metode ini digunakan terutama untuk menyerap limbah
yang mengandung logam berat.
Sebagai contoh aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan
tanamannya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 14 Aplikasi fitoremediasi untuk mengatasi berbagai polutan dan
tanamannya
Aplikasi
Media
Polutan
Jenis Tanaman
1. Fitovolatilisasi Tanah, air
Herbisida (atrazine,
Pohon
bawah tanah,
alachlor); aromatik
Phreatophyte
air lindi, dan
(BTEX); alifatik
(poplar, willow,
tempat
berklor (TCE);
cottonwood, dan
pengolahan air nutrien; limbah
aspen); rumput
limbah
amunisi (TNT dan
(rye, bermuda,
RDX)
sorghum, dan
fescue); legum
(clover, alfalfa, dan
cowpea)
2. Stimulasi
Tanah,
Organik (pestisida,
Penghasil fenolik
mikroba
sedimen dan aromatik, dan
(mulberry, apel,
tempat
polynuclear
osage, jeruk);
pengolahan air aromatik/PAH)
rumput (rye,
limbah
fescue, Bermuda);
tanaman air untuk
sedimen
3. Fitostabilisasi
Tanah
dan sedimen
4. Fitoekstraksi
Tanah, rawa, Logam (Pb, Cd, Zn,
dan sedimen
As, Cu, Cr, Se, U)
dengan pemberian
EDTA untuk Pb dan
Selenium
Bunga matahari ;
Indian Mustard;
Rape seed; Barle,
Hops; Crucifera;
tanaman
Serpentine; Nettle,
dandelion
5. Degradasi
Tanah,
air
bawah tanah,
air
lindi,
tempat
pengolahan air
limbah
Pohon
Phreatophyte
(poplar, willow,
cottonwood,aspen);
rumput (rye,
bermuda, sorghum,
fescue); legum
(clover, alfalfa,
cowpea)
Sumber : Zynda 2007.
Logam (Pb, Cd, Zn,
As, Cu, Cr, Se, U),
organik hidrofobik
(PAH, PCB, DDT,
dieldrin)
Herbisida (atrazine,
alachlor); aromatik
(BTEX); alifatik
berklor (TCE);
nutrien; limbah
amunisi (TNT, RDX)
Pohon
Phreatophyte
dengan transpirasi
tinggi (kontrol
hidrolis); rumput
pencegah erosi;
sistem perakaran
rapat untuk
menyerap
kontaminan.
d. Rizofiltrasi (sistem hidroponik untuk pembersihan air)
Rizofiltrasi prinsipnya sama dengan fitoakumulasi, tetapi tanaman yang
digunakan untuk membersihkan ditumbuhkan dalam media cair (sistem
hidroponik). Sistem ini dapat digunakan untuk mengolah air bawah tanah secara
ex-situ. Air bawah tanah dipompa ke permukaan untuk diolah menggunakan
tanaman. Sistem hidroponik memerlukan media cari buatan yang dikondisikan
seperti dalam tanah, misalnya diberi campuran pasir dan mineral perlit, atau
vermikulit. Setelah tanaman jenuh dengan kontaminan, kemudian dipanen dan
diproses.
e. Fitovolatilisasi
Dalam proses ini, tanaman menyerap air yang mengandung kontaminan
organik melalui akar, diangkut ke bagian daun, dan mengeluarkan kontaminan
yang sudah didetoksifikasi ke udara melalui daun.
f. Fitodegradasi
Kontaminan organik diserap ke dalam tanaman. Dalam proses metabolisme,
tanaman dapat merombak kontaminan yang sudah bersifat toksik.
g. Pengendalian hidrolisis
Tanaman yang berbentuk pohon, secara tidak langsung dapat membersihkan
lingkungan, dengan cara mengendalikan pergerakan air bawah tanah. Pohon
merupakan pompa alami, saat akar yang berada pada lapisan air bawah tanah
menyerap air dalam jumlah besar. Pohon poplar merupakan salah satu contoh
pohon yang dapat menyerap 30 galon air per hari. Pohon Cottonwood dapat
menyerap lebih dari 350 galon per hari.
Mekanisme Proses
Mekanisme kerja fitoremediasi mencakup proses fitoekstraksi, rhizofiltasi,
fitodegradasi, fitostabilitasi dan fitovolatilisasi (Kelly 1999 dalam Moenir 2010).
Fitoekstraksi adalah penyerapan logam berat oleh akar tanaman dan
mengakumulasikan logam berat tersebut ke bagian-bagian tanaman seperti akar,
batang, dan daun. Rhizofiltasi adalah pemanfaaan kemampuan akar tanaman
untuk menyerap, mengendapkan, mengakumulasikan logam berat dari aliran
limbah. Fitodegradasi adalah metabolisme logam berat di dalam jaringan tanaman
oleh enzim seperti dehalogenase dan oksigenase. Fitostabilitasi adalah
kemampuan tanaman tanaman dalam mengekskresikan (mengeluarkan) suatu
senyawa kimia tertentu untuk mengimobilisasi logam berat di daerah rizosfer
(perakaran), sedangkan Fitovolatilisasi terjadi ketika tanaman menyerap logam
berat dan melepaskannya ke udara lewat daun dan ada kalanya logam berat
mengalami degradasi terlebih dahulu sebelum dilepas lewat daun (Anonim 1999
dalam Moenir 2010).
Secara umum mekanisme penyerapan logam berat oleh tanaman
berlangsung secara aktif (active up take) dan penyerapan secara pasif (passive up
take).
1. Penyerapan logam berat secara aktif (active up take) oleh tanaman, meliputi
tiga proses yaitu:
a. Penyerapan logam berat oleh akar
b. Translokasi logam dari akar ke bagian-bagian tanaman yang lain
c. Lokalisasi/akumulasi logam berat tersebut pada bagian sel tertentu untuk
menjaga agar logam berat tidak menghambat metabolisme tanaman tersebut.
Proses ini tergantung pada energi yang berkandung dan sensitifitasnya
terhadap pH, suhu, kekuatan ikatan ionik dan cahaya. Penyerapan logam berat
oleh akar tanaman dapat terjadi apabila logam berat tersebut berada di sekitar akar
(rizosfer) dan untuk membawa logam berat masuk kedalam rizosfer rizosfer
terdapat beberapa faktor tergantung pada jenis tanamannya. (Suhendrayatna 2001
dalam Moenir 2010).
a. Faktor pH
Pada tanaman Thlaspi caerulescens, mobilisasi logam Zn dipacu oleh
terjadinya penurunan pH pada daerah perakaran sebesar 0.2-0.4 unit (MC.Grath
1999 dalam Moenir 2010).
b. Pembentukan reduktase spesifik logam
Digunakan untuk meningkatkan penyerapan logam berat, tanaman
membentuk suatu molekul reduktase di membran akarnya dan reduktase ini
berfungsi untuk mereduksi logam berat dan selanjutnya diangkut melalui kanal
khusus didalam membran akar dalam (Marschner dan Romheld 1994 dalam
Moenir 2010).
c. Ekstraksi zat khelat (zat pengikat)
Pada jenis rumput-rumputan dalam proses penyerapan logam berat dapat
ditingkatkan dengan pembentukan zat khelat (pengikat) yang dinamakan
phytosiderator. Molekul phytosiderator akan mengikat logam berat dan
membawanya ke dalam sel akar melalui transport aktif. Beberapa logam berat
yang dapat diikat oleh molekul phytosiderator seperti Cu, Zn dan Mn. (Gwozdz et
al 1997 dalam Moenir 2010). Translokasi logam dan akar ke bagian-bagian
tanaman yang lain dilakukan setelah logam berat masuk di dalam akar tanaman
untuk selanjutnya didistribusikan ke bagian-bagian tanaman yang lain (batang dan
daun) melalui jaringan pengangkut xylem dan floem.
Kemampuan pengangkutan dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan
bantuan zat khelat. Beberapa zat khelat yang dapat mengikat logam berat adalah
phytochelatin yang mengikat logam Se, histidin, mengikat logam Ni dan glutanion
mengikat Cd (MC.Grath 1999 dalam Moenir 2010). Lokalisasi/akumulasi logam
berat pada sel tanaman. Pada konsentrasi tertentu logam berat dapat meracuni
tanaman dan untuk mencegah terjadinya peracunan tersebut, tanaman mempunyai
mekanisme detoksifikasi, yaitu dengan cara melokalisasi/mengakumulasi logam
berat dalam jaringan tanaman tertentu dan berbeda antara satu tanaman dengan
tanaman lainnya, seperti untuk logam Cd di akar pada tanaman Silenedioica,
(Grant et al 1998 dalam Moenir 2010), logam Ni di lateks pada tanaman Serbetia
Acuminata (Collins 1999 dalam Moenir 2010).
2. Penyerapan logam berat secara pasif (passive up take) atau biosorpsi
Proses ini terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel dan proses
pengikatan ini dapat dilakukan dengan dua cara :
a. Pertukaran ion dimana ion monovalen dan divalent seperti ion Na, Mg, dan Ca
pada dinding sel digantikan dengan ion logam berat.
b. Formasi kompleks antara ion-ion logam berat dengan gugus fungsional seperti
korboksil, thil, fosfat, hidroksi yang berada di dinding sel.
Proses biosorpsi dapat berjalan lebih efektif pada pH tertentu dan kehadiran
ion-ion lainnya di media, dimana logam berat dapat diendapkan sebagai garam
yang tidak terlarut (Suhendrayatma 2001 dalam Onrizal 2005 dalam Moenir
2010).
Media Proses/Tanam
Tanah sebagai media tanam mempunyai kelemahan yaitu sifat fisiknya
cepat memadat karena sedikit bahan organik. Sifat ini berakibat terhadap
terbatasnya perkembangan akar sehingga bobot kering akar tanaman kecil
(Hendromono 1988 dalam Andhika 2003). Media tumbuh tanaman yang
diperdagangkan saat ini terdiri dari campuran bahan-bahan yang dapat
mendukung pertumbuhan tanaman misalnya sekam padi, serbuk gergaji, dan
gambut.
Pembuatan media campuran dilakukan untuk memperbaiki kondisi fisik dan
kimia pada daerah perakaran. Kondisi yang diharapkan dari media campuran
adalah menurunkan laju pemadatan, meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi,
kecukupan aerasi bagi perakaran, daya menahan air, dan KTK yang tinggi dalam
pembuatan media tumbuh, sifat fisik dan kimia harus diperhitungkan agar
tanaman tumbuh optimal. Sifat fisik dan kimia harus diperhitungkan agar tanaman
tumbuh optimal. Sifat fisik yang penting bagi tanaman adalah tekstur, struktur,
dan porositas, sedangkan sifat kimia yang penting adalah pH, daya hantar listrik
(DHL) dan kapasitas tukar kation (KTK). Sifat fisik berperan penting dalam
mempengaruhi infiltrasi, daya menahan air, dan pergerakan air serta aerasi media
tanam (Flegmann dan George 1975 dalam Andhika 2003).
Media tanam yang digunakan untuk pengaplikasian pengujian kompos
lumpur ini adalah tanaman yang tergolong dari hortikultura yang dapat digunakan
atau dikonsumsi masyarakat. Tanaman hortikultura yang dapat dimanfaatkan
daunnya seperti sawi,kangkung,atau bayam. Tanaman yang hortikultura yang
dapat dimanfaatkan buahnya seperti tomat dan cabai. Tanaman yang dapat
dimanfaatkan bagian akarnya seperti kentang, singkong, atau umbi-umbian. Hal
ini tidak lain untuk mengetahui sejauh mana kemungkinan kandungan logam
terserap oleh tanaman tersebut, sehingga hasil indentifikasi ini dapat bermanfaat
selain untuk bercocok tanam juga bermanfaat untuk pemanfaatan lumpur secara
optimal.
Tanaman berikut merupakan bagian dari tanaman vegetatif (akar, batang,
dan daun). Hal ini diperuntukan untuk dapat mengetahui kemungkinan kandungan
logam yang terserap tanaman secara lebih cepat. Analisis kandungan logam pada
tanaman serta kandungan unsur hara pada tanah juga harus diteliti lebih lanjut,
guna mengetahui adanya kandungan logam.
Beberapa jenis tanaman mempunyai kemampuan menyerap dan
mengkonsentrasikan logam berat dalam biomassanya dalam kadar yang tinggi
tanpa membahayakan kehidupan tanaman tersebut dan tanaman itu disebut
Hyperaccumulator. Hyperaccumulator adalah tanaman yang mempunyai
kemampuan untuk menyerap dan kemudian mengkonsentrasikan logam didalam
biomassanya dalam kadar yang luar biasa tinggi namun tidak mengganggu
kehidupannya. Menurut Baker (1999) dalam Eddy (2008), tanaman
hyperaccumulator dapat mengakumulasikan logam berat sampai 11% berat
kering, dan batas kadar logam yang terdapat dalam jaringan biomassa berbedabeda tergantung pada jenis tanamannya. Untuk logam Cd kadar tertinggi 0.01%
(100 mg/kg berat kering), logam Co, Cu, dan Pb kadar tertinggi adalah 0.1%
(1,000 mg/kg berat kering) dan untuk Zn dan Mn adalah 1% (10,000 mg/kg berat
kering).
Beberapa jenis tumbuhan mampu bekerja sebagai agen fitoremediasi, seperti
azolla, kiambang (Salvinia molesta), eceng gondok (Eichhornia crassipes),
kangkung air (Ipomea aquatic) serta beberapa jenis tumbuhan mangrove. Jenisjenis ini merupakan tumbuhan air yang banyak dijumpai di sungai, pantai, rawa
atau danau. Selain itu juga beberapa tumbuhan yang tumbuh di tanah juga mampu
berperan dalam fitoremediasi. Tumbuhan-tumbuhan ini memiliki kemampuan
yang disebut dengan hyperaccumulator, yaitu relatif tahan terhadap berbagai
macam bahan pencemar dan mampu mengakumulasikannya dalam jaringan
dengan jumlah yang cukup besar. Untuk itulah maka tumbuhan-tumbuhan ini
banyak dipilih sebagai objek penelitian fitoremediasi untuk lingkungan tercemar
logam berat seperti Pb (Eddy 2008).
Mekanisme biologi dari hyperaccumulator unsur logam pada dasarnya
meliputi proses-proses:
a. Interaksi rizosferik.
Dalam hal ini tumbuhan hiperaccumulator memiliki kemampuan untuk
melarutkan unsur logam pada rizosfer dan menyerap logam bahkan fraksi tanah
yang tidak mobile sekalipun sehingga menjadikan penyerapan logam pada
hyperaccumulator melebihi tumbuhan normal (McGrath et al 1997 dalam
Hidayati dan Saefudin 2003).
b. Proses penyerapan (up take)
Logam oleh akar pada hyperaccumulator lebih cepat dibandingkan
tumbuhan normal, terbukti dengan adanya konsentrasi logam yang tinggi pada
akarnya. Disamping itu akar hyperaccumulator memiliki daya selektifitas yang
tinggi terhadap unsur logam tertentu (lasat 1996 dalam Hidayati dan Saefudin
2003).
c. Sistem translokasi
Sistem translokasi unsur dari akar ke tajuk pada hyperaccumulator lebih
efisien dibandingkan tanaman normal. Hal ini dibuktikan oleh rasio tajuk/akar
konsentrasi logam hyperaccumulator yang nilainya lebih dari satu (Gabbrielli et al
1991 dalam Hidayati dan Saefudin 2003).
Pada Gambar 2, merupakan salah satu jenis tanaman Hyperaccumulator
yang biasa digunakan sebagai tanaman pendegradasi logam berat.
Gambar 5 Alfalfa legum salah satu tanaman hyperaccumulator
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kompos Departemen Teknik Sipil dan
Lingkungan IPB, Kelurahan Margajaya, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor.
Analisa kualitas kandungan logam kompos dilakukan di Balai Penelitian Tanah.
Penelitian berjalan sejak bulan Maret 2012 sampai dengan bulan Desember 2012.
Alat dan bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah peralatan untuk alat
bercocok tanam dalam pot seperti sendok sekop, pot, polybag, timbangan, alat
pengering (oven), dan peralatan laboratorium yang diperlukan untuk menganalisis
kandungan logam pada kompos dan tanaman.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lumpur yang
dihasilkan oleh WTP industri air minum, pupuk kompos komersil, pupuk kompos
dari lumpur WTP, bibit tanaman cabe dan kangkung. Lumpur yang digunakan
berasal dari tiga lokasi. Lokasi pertama, lumpur berasal dari WTP PT. Krakatau
Tirta Industri, Cilegon, Jawa Barat. Lokasi kedua, lumpur berasal dari PDAM
Tirta Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Lokasi ketiga lumpur berasal dari PDAM Tirta
Kahuripan, Cibinong, Jawa Barat.
Metode Pelaksanaan
Penelitian ini dilakukan dalam tiga kali pengujian proses fitoremediasi dan
analisis kandungan logam berat sebelum dan sesudah pemanenan
a. Analisis kandungan media tanam
Sebelum kompos dan lumpur siap dipakai, terlebih dahulu diteliti pada
laboratorium kandungan logam berat yang ada. Kandungan yang ada pada
kompos yang digunakan memenuhi kebutuhan tanaman seperti unsur C/N, N, P,
K, dan lain-lain.
b. Persiapan Media
Bahan campuran yang telah siap digunakan untuk media tanam berupa tanah
dan kompos hasil penelitian. Kemudian bahan-bahan tersebut dicampur sesuai
perlakuan dan diaduk hingga merata, lalu dimasukkan dalam polybag berukuran
15 x 20 cm.
c. Penanaman
Penanaman dilakukan dengan bibit yang telah disiap pakai. Dengan
pencampuran tanah serta kompos yang siap pakai maka bibit-bibit tersebut
ditanam pada masing-masing polybag yang telah tersedia. Tanaman yang tumbuh
kembang dengan baik dalam polybag, setelah 14 hari masa tanaman kemudian
dipindahkan ke dalam pot.
d. Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman yang dilakukan meliputi penyiraman, penyulaman,
penyiangan, pengendalian hama dan penyakit tanaman. Penyiraman dilakukan
setiap hari atau sesuai kebutuhan.
e. Pengamatan
Peubah yang diamati meliputi :
1. Tinggi tanaman, diukur menggunakan alat ukur dari permukaan media sampai
titik tumbuh tanaman. Pengukuran dilakukan setiap minggu dari umur 1 MST
(Minggu Setelah Tanam ) hingga 8 MST pada tanaman contoh
2. Jumlah cabang pertanaman. Pengamatan jumlah cabang dilakukan seminggu
sekali dan dilakukan pada cabang yang berwarna hijau, kuat dan sehat.
f. Analisis kandungan logam berat pada media tanam dan tanaman.
Setelah tanaman memenuhi syarat untuk dipanen, tanaman terlebih dahulu
dikeringkan dengan suhu 55°C sekitar 2-3 hari di dalam oven khusus, untuk
dihitung dari segi kadar basah dan kadar keringnya. Tanaman yang telah dikering
akan diteliti lebih lanjut di Laboratorium. Pengamatan lanjutan kandungan logam
dilakukan pada laboratorium Balai Penelitian Tanah, Bogor dengan
mengidentifikasi adanya kandungan logam berat yang terserap pada masingmasing media tanam. Kandungan logam berat yang akan diidentifikasi adalah Al,
Fe, Pb, Cd, dan Mn. Berikut diagram alir penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Berdasarkan Gambar 3, bagian awal penelitian mendirikan suatu tempat
persiapan media tanam berupa bangunan kecil beratap solartuff dan beralaskan
semen beukuran 4x3m. Kompos 1 merupakan data sekunder hasil penelitian
Wicaksono (2012). Kompos 2 dan 3 merupakan data sekunder hasil penelitian
Kurniasih (2012). Selain itu, data sekunder dari ketiga kompos hasil penelitian
sebelumnya akan dibandingkan dengan kompos komersil dalam penyerapan
logam berat pada media tanam.
Uji pertama dan uji kedua bertujuan untuk mengetahui kalayakan kompos
WTP pada tanaman dan mengidentifikasi kandungan logam berat pada kompos
WTP yang terserap oleh tanaman. Pada uji pertama dilakukan dengan
menggunakan kompos 2 dan kompos komersil pada tanaman kangkung. Pada uji
kedua dengan menggunakan kompos 1, kompos 2, dan kompos komersil. Uji
kedua ini dilakukan pada tanaman kangkung serta tanaman cabe.
Uji ketiga bertujuan untuk mengetahui penyerapan logam berat Lumpur
WTP dengan cara fitoremediasi. Uji ketiga dilakukan dengan menggunakan
kompos 3 pada pembibitan tanaman kangkung. Pembibitan dilanjutkan dengan
proses fitoremediasi menggunakan lumpur 2 (PDAM Tirta Pakuan, Bogor)
dengan menggunakan salah satu jenis tanaman Hyperaccumulator yaitu gajah
mini pada media pot. Tanaman kangkung setelah dilakukan pembibitan pada
polybag, kemudian dipindahkan pada media pot yang telah diberikan lumpur 2.
Pada proses fitoremediasi menggunakan media pot, serta tidak menggunakan
campuran kompos.
Persiapan Media Tanam
Identifikasi
Logam Berat Uji
Pertama
Kompos
2
Pembibitan
Kangkung
Pemeliharaan
Kangkung
Identifikasi Logam
Berat Uji Kedua
Kompos
1 dan 2
Pembibitan
Kangkung dan Cabe
Pemeliharaan
Kangkung dan Cabe
Perawatan
Perawatan
Data Kandungan
Kompos dan
Lumpur
Fitoremediasi
Lumpur Uji Ketiga
Kompos
3
Pembibitan
Kangkung
Lumpur 2
Pemeliharaan
Kangkung dan
Gajah Mini
Pemanenan
Pemanenan
Uji Kandungan
Logam Berat
Tanaman di
Laboratorium
Perawatan
Uji Kandungan
Logam Berat
Tanaman di
Laboratorium
Pemanenan
Uji Kandungan
Logam Berat
Tanaman dan
Lumpur di
Laboratorium
Gambar 6 Diagram alir penelitian
Pengamatan kandungan logam dilakukan pada laboratorium Balai Penelitian
Tanah (Bogor) dengan mengidentifikasi adanya kandungan logam berat yang
terserap pada masing-masing media tanam. Pada uji ketiga, setelah lumpur
menjadi media tanam dilakukan uji laboratorium kandungan logam berat.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Lumpur
Karakteristik lumpur perlu untuk diperhatikan, baik secara kuantitas yang
dihasilkan setiap proses, kandungan padatan, dan sifat padatan sebagai dasar
pemilihan dan desain perangkat proses (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012).
Tabel 4 di bawah ini merupakan kandungan logam hasil analisis Laboratorium
Tanah, Bogor.
Tabel 15 Kualitas lumpur sebelum pengomposan
No Parameter Satuan
Lumpur 1
1
N
%
0.39
2
C
%
3.36
3
C/N
*
4
P
%
2.1 x 10-4
5
K
%
93 x 10-4
6
Mg
%
*
7
Fe
%
2.92
8
Al
%
16.15
9
Mn
ppm
2044
10
Zn
ppm
*
11
Pb
ppm
1.52
Lumpur 2
0.09
1.1
12
0.45
0.1
0.14
3.39
9.22
1311
18
11
Lumpur 3
0.13
1.69
13
0.43
0.14
0.24
5.49
14.42
1418
39
29
Sumber : Wicaksono 2012 dan Kurniasih 2012.
Keterangan * : tidak dianalisis
Logam dari bermacam-macam lumpur pada Tabel 4, tidak hanya memiliki
kandungan logam berat yang dapat merusak tanaman, namun memiliki kandungan
organik yang dapat memenuhi pertumbuhan tanaman misalkan unsur N, C, C/N,
P, dan K, sedangkan logam yang dapat merusak tanaman antara lain Mg, Fe, Al,
Mn, Zn, dan Pb. Selain menghambat pertumbuhan, unsur tersebut dapat berakibat
racun bagi tanaman. Ketiga lumpur sebelum digunakan sebagai media tanaman,
proses pengomposan dilakukan terlebih dahulu dengan durasi selama 60 hari.
Lumpur 2 digunakan langsung sebagai media tanam dengan cara fitoremediasi.
Pada lumpur 2 terdapat nilai rasio C/N sebesar 12. Nilai ini lebih besar dari
SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah organik domestik,
dengan rasio C/N sebesar 10. C/N ini sangat baik untuk tanaman pada saat proses
metabolisme. Nilai logam berat pada lumpur 2 cukup rendah misalnya pada
parameter Mg 0.14 %, sedangkan pada SNI kompos nilai Mg 0.6 %. Lumpur 1
mempunyai nilai N, P, dan K berturut-turut sebesar 0.39 %, 2.1 x 10-4 %, dan 93 x
10-4 %. Nilai standar pada SNI kompos N, P, dan K berturut-turut senilai 0.40%,
0.10%, dan 0.2%. Parameter N,P, dan K pada lumpur 1 memiliki nilai yang baik
untuk membantu tanaman pada masa pertumbuhan. Kandungan logam pada
lumpur 1 memiliki nilai Al 16.15 %, nilai ini hampir mendekati batas maksimum
pada SNI kompos sebesar 2.20 %. Hal ini disebabkan PDAM 1 dominan
menggunakan aluminium untuk proses penjernihan air.
Pengomposan yang telah dilakukan oleh Wicaksono (2012) dan Kurniasih
(2012) kemudian dibandingkan dengan kompos komersil. Kompos komersil ini
diasumsikan memenuhi standar kualitas kompos, sehingga banyak beredar di
masyarakat. Kompos WTP menggunakan campuran jerami, kotoran kambing, dan
lumpur dengan perbandingan masing masing berturut-turut 1:1:1. Ketiga kompos
tersebut akan dilakukan pengujian terhadap tanaman kangkung dan cabe. Rumput
gajah mini menggunakan lumpur WTP dengan proses fitoremediasi pada uji
ketiga.
Tabel 16 Karakteristik lumpur
Karakteristik
Lumpur Aluminium
Lumpur
Besi
8-210, tipikal 48
1200-1520
10% konsentrasi dalam 2 hari di
sand beds
80
1200-1800
-
30-300
30-5000
6-8
0.1-4
30-300
30-5000
7.4-8.5
0.25-3.5
15-40
15-25
-
4.6-20.6
5.1-14.1
Fisik
Kuantitas, kg/1000m3
Densitas kering, kg/m3
Dewaterability
Kimia
BOD5 mg/L
COD, mg/L
pH
Total padatan, %
Karakteristik Padatan
AL2O5,5H2O, %
Fe, %
Organik, %
Volatiles, %
Sumber : Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012.
Berdasarkan Tabel 5, maka lumpur yang digunakan pada penelitian ini
merupakan jenis lumpur besi sebesar 4.6-20.6%, hal ini dapat terlihat pada Tabel
4 dengan nilai Fe berturut-turut pada lumpur 1, 2, dan 3 sebesar 2.92 %, 3.39%,
dan 5.49%. Pada prinsipnya Aluminium dan garam besi merupakan bahan kimia
utama yang digunakan untuk menghilangkan partikel koloid. Banyak instalasi
menggunakan kapur bersama dengan aluminium atau besi untuk mencapai
pelunakan parsial dan untuk meningkatkan koagulasi (Qasim et al 2000 dalam
Kurniasih 2012).
Polimer juga digunakan sebagai pembantu filter untuk meningkatkan
penghilangan partikel koloid pada proses koagulasi dan filtrasi. Activated carbon
juga sering digunakan untuk kontrol rasa dan bau. Setiap karakteristik lumpur
akan berbeda-beda dan kondisi ini perlu diperhitungkan untuk estimasi kuantitas
dan kualitas lumpur (Qasim et al 2000 dalam Kurniasih 2012). Pada karakteristik
lumpur juga terdapat sifat fisika, kimia, dan biologi lumpur. Sifat fisik lumpur
salah satunya padatan tersuspensi (total suspended solid). Sifat fisika pada lumpur
digunakan untuk analisa komponen-komponen lumpur keseluruhan dan sebagai
perencanaan dan pengawasan dalam proses-proses pengolahan lumpur. Padatan
yang tersuspensi di dasar air dapat mengganggu kehidupan pada badan air,
misalnya lumpur dalam bentuk cair. Padatan ini akan mengalami dekomposisi
yang dapat menurunkan kadar oksigen di dalam air, sehingga menyebabkan
tingkat kekeruhan air meningkat. Air yang keruh menimbulkan penyimpangan
sinar matahari, sehingga berpengaruh terhadap organisme air baik langsung
maupun tidak langsung (Gunawan 2006).
Karakteristik kimia lumpur diantaranya terdiri dari pH, BOD5, dan COD.
Pada unsur pH mempengaruhi pola distribusi biota akuatik, apabila lumpur cair
ini dibuang ke dalam air. Perubahan pH yang terkecil dapat memberikan dampak
besar terhadap toksisitas polutan seperti amonia. BOD5 (Biochemical Oxygen
demand) dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasi), hampir
semua zat organic terlarut dan sebagian zat-zat organik tersuspensi dalam air.
Penentuan BOD5 ini diperlukan untuk menentukan beban pencemaran akibat
lumpur. Penguraian zat organisme adalah peristiwa alamiah, apabila badan air
dicemari oleh zat organis. Bakteri dapat menghabiskan oksigen terlarut dalam air
selama proses oksidasi, sehingga kematian biota dalam air meningkat dan kondisi
air bersifat anaerob dapat menimbulkan bau busuk. Semakin besar konsentrasi
BOD, maka derajat pengotoran limbah semakin besar.
COD (Chemical Oxygen demand) adalah jumlah oksigen yang diperlukan
agar bahan buangan yang ada di dalam air dapat teroksidasi melalui reaksi kimia.
Angka COD ini merupakan ukuran bagi pencemaran lumpur oleh zat-zat organik
yang secara alamiah dapat dioksidasi melalui mikrobiologis menjadi CO 2, H2O,
senyawa organik, serta mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air.
Karakteristik kimia sangat mempengaruhi kelayakan lumpur untuk ditumpuk atau
dibuang ke perairan apabila tidak dimanfaatkan.
Karakteristik biologi diperlukan untuk menentukan standar kualitas lumpur.
Indikator organisme yang paling umum digunakan adalah bakteri coliform
khususnya Eschericia coli. Jumlah bakteri coliform sangat banyak dan memiliki
ketahanan paling besar terhadap desinfektan, sehingga jika bakteri coliform hilang
setelah proses desinfeksi, maka diharapkan mikroorganisme lain seperti group
prokaryotik dan group eukaryotik sudah mati. Komposisi dasar sel terdiri dari
sekitar 90% organik dan 10% anorganik (Supriyanto 1993 dalam Halim 2003).
Proses Pengomposan
Limbah lumpur sedimentasi dari WTP merupakan limbah padatan hasil
pengolahan air bersih yang mengandung logam-logam sisa koagulan seperti silika
dan alumina (tawas) yang digunakan saat proses koagulasi berlangsung.
Komposisi dasar lumpur salah satunya adalah mikroorganisme. Menurut Metcalf
dan Eddy (1991) dalam Wicaksono (2012), menyatakan bahwa komposisi dasar
sel yaitu 90% materi organik dan 10% material anorganik. Adanya kandungan
organik yang tinggi sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai kompos.
Proses pengomposan dimulai dengan melakukan pencampuran antara
lumpur, jerami, dan kotoran kandang pada suatu kotak berbahan balok dengan
dikondisikan terciptanya proses aerasi atau masuknya oksigen yang diperlukan
dalam proses aerob selama pengomposan berlangsung. Perbandingan jerami,
kotoran kambing, dan lumpur dengan perbandingan masing masing sebesar 1:1:1.
Pengomposan dilakukan dengan mencampur dan menumpuk ketiga bahan
tersebut ke dalam kotak kompos selama 60 hari. Setelah semua bahan tersebut
tercampur dan tertumpuk di dalam kotak tersebut, tumpukan bahan-bahan ini akan
mengalami proses dekomposisi secara aerob.
Mekanisme proses pengomposan secara umum berawal dari miroorganisme
yang mengambil air, oksigen dari udara dan makanan dari bahan organik. Bahan
organik ini akan dikonversi menjadi produk seperti CO2, H2O, sebagian humus
dan energi. Sebagian energi digunakan untuk pertumbuhan dan dibebaskan
menjadi panas. Kondisi tersebut mengakibatkan tumpukan bahan kompos
melewati tiga tahapan yang berkaitan dengan suhu pengamatan, yaitu tahap
penghangatan (mesophilic), suhu puncak (thermofilic), dan pendinginan (cooling)
(Dalzell et al 1987 dalam Wicaksono 2012)
Tiga tahapan dalam proses pengomposan sangat penting dalam menjaga
mutu kompos yang akan dihasilkan. Tahapan mesofilik merupakan fase awal yang
kaya akan energi, melimpah, dan mudah terdegradasi oleh jamur dan bakteri yang
umumnya disebut dekomposer (Insam et al 2009 dalam Kurniasih 2012). Pada
awalnya bakteri mesofilik dan jamur mendegradasi senyawa yang mudah larut
dan terdegradasi, seperti monosakarida, pati, dan lipid. Bakteri ini dapat
memproduksi asam organik, dan pH menurun hingga 5-5.5. Suhu mulai
meningkat secara spontan sebagai panas yang dilepaskan dari reaksi degradasi
eksotermis. Degradasi protein mengarah pada pelepasan ammonia dan pH
meningkat drastis 8-9. Fase ini berlangsung selama beberapa jam dan beberapa
hari (Rudnik 2008 dalam Kurniasih 2012). Fase mesofilik berlangsung pada suhu
25-40°C.
Tahapan termofilik berlangsung pada suhu 40-65°C. Suhu tinggi
memberikan keuntungan kompetitif untuk mikroorganisme termofilik untuk
mengalahkan mikroba mesofilik. Organisme mesofilik tidak aktif pada suhu tinggi
dan bersamaan dengan substrat yang mudah terdegradasi. Dekomposisi terus
berlangsung dengan cepat dan berakselerasi mencapai suhu sekitar 62°C. Pada
suhu 60°C, lebih dari 40% padatan terdegradasi dalam minggu pertama dan
hampir semuanya oleh bakteri (Insam et al 2009 dalam Kurniasih 2012).
Tahapan terakhir merupakan tahap pendinginan. Ketika aktivitas organisme
termofilik berhenti karena kehabisan substrat dan sumber karbon yang mudah
terdegradasi dikonsumsi, suhu mulai menurun. Setelah mendingin, kompos
menjadi stabil. Bakteri mesofilik dan fungi muncul kembali, serta diikuti dengan
fase pematangan. Namun sebagian besar spesiesnya berbeda dengan spesies pada
fase mesofilik awal. Proses biologi sekarang menjadi lambat, tetapi kompos
menjadi lebih humus dan lebih matang. Durasi fase ini tergantung pada komposisi
material organik dan efisiensi proses yang dapat ditentukan dari konsumsi oksigen
(Rudnik 2008 dalam Kurniasih 2012).
Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain rasio
C/N, susunan bahan dan ukuran partikel, aerasi dan kelembapan, suhu, serta nilai
pH. Rasio C/N merupakan salah satu faktor penting karena dalam proses
pengomposan bergantung pada kegiatan mikroorganisme yang membutuhkan
karbon sebagai sumber energi dan pembentuk sel. Menurut Metcalf dan Eddy
(1991) dalam Andhika (2003), unsur karbon dan nitrogen keduanya dibutuhkan
sebagai sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme, yaitu 30 bagian
karbon (C) dan 1 bagian nitrogen (N) atau rasio C/N = 30 dalam perbandingan
berat. Rasio C/N yang ideal adalah antara 25-35 sebagai perbandingan yang
paling ideal.
Unsur C/N dalam rasio tersebut dipandang sebagai biodegradable carbon.
Rasio C/N yang rendah atau kandungan unsur N yang tinggi akan meningkatkan
emisi nitrogen sebagai amoniak. Rasio C/N yang tinggi atau kandungan unsur N
yang relatif kurang akan menyebabkan proses pengomposan berlangsung lebih
lambat dan nitrogen menjadi faktor penghambat (growth-rate limiting factor).
Tidak ada unsur makro atau unsur tambahan lain yang ditemukan sebagai faktor
penghambat pada proses pengomposan lumpur (Metcalf dan Eddy 1991 dalam
Andhika 2003).
Menurut Indriani (1999) dalam (Andhika 2003), kompos mempunyai sifat
yang menguntungkan antara lain :
a. Memperbaiki struktur tanah berlempung sehingga menjadi ringan.
b. Memperbesar daya ikat tanah berpasir sehingga tanah tidak berderai.
c. Menambah daya ikat air pada tanah.
d. Memperbaiki drainase dan tata udara dalam tanah.
e. Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara.
f. Mengandung hara yang lengkap, walaupun jumlahnya sedikit.
g. Membantu proses pelapukan bahan mineral.
h. Memberi ketersediaan bahan makanan bagi mikroba.
i. Menurunkan aktifitas mikroorganisme yang merugikan.
Secara umum, proses pengomposan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan penggunaan oksigen
Berdasarkan penggunaan oksigen, pengomposan dibedakan ke dalam proses
aerobik dan proses anaerobik (Gaur 1983 dalam Andhika 2003). Proses aerobik
adalah pengomposan yang memerlukan oksigen. Reaksi yang terjadi selama
proses aerobik adalah sebagai berikut :
Gula [(CH2O)x]
Protein [N-organik]
Sulfur organik [S] + xO2
Fosfor organik
H3PO4
xCO2 + H2O + energi
NO3- + energi
SO2- + energi
Ca(H2PO4)2
Keseluruhan reaksi :
Aktifitas mikroorganisme
mikroorganisme
AktifitasAktifitas
mikroorganisme
Bahan organik
CO2 + H2O
nutrisi + humus + energi
Proses anaerobik adalah proses yang tidak memerlukan oksigen dan dapat
dilakukan dalam jangka waktu yang relatif cepat. Menurut CPIS (1992) dalam
Andhika (2003), proses tersebut dapat terjadi secara bersamaan dalam sebuah
tumpukan. Proses anaerobik terjadi pada bagian tumpukan yang tidak berongga
sementara proses aerobik aktif di bagian tumpukan yang memiliki oksigen yang
cukup.
Kekurangan proses anaerobik adalah timbulnya bau dari kompos karena
terbentuknya senyawa indol, skatol, merkaptan dan H2S, melalui reaksi sebagai
berikut :
Bakteri penghasil asam
(CH2O)x
xCH3COOH
methamonus
xCH3COOH
CH4 + CO2
N-organik
NH3
cahaya
2H2 + xCO2
(CH2O)x + S + H2O
2. Suhu proses
Berdasarkan perbedaan suhu proses, pengomposan diklasifikasikan menjadi
proses mesofilik dan termofilik. Pengomposan mesofilik dilakukan pada suhu 2030°C, sedangkan pengomposan termofilik dilakukan dengan menggunakan
kisaran suhu antara 45-65°C (LPPM-IPB 1994 dalam Andhika 2003).
3. Cara pembuatan
Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya, diperlihatkan
pada Tabel 17.
Tabel 6 Klasifikasi pengomposan berdasarkan cara pembuatannya
Klasifikasi
Metode
Sistem terbuka
Turned pile
Static pile : - penyedotan udara
- penghembusan udara
- ventilasi
- penghembusan udara dengan kontrol suhu
Sistem terbuka
Reaktor vertikal : - kontinyu
- tidak kontinyu
Reaktor horizontal : - material diam (statis)
- material bergerak
Sumber : De Bortoldi et al 1984 dalam Andhika 2003.
Pada kompos penelitian ini, menggunakan sistem terbuka static pile.
Metode ini di samping sederhana, juga tidak membutuhkan pembalikan atau
pengadukan secara berkala seperti proses pengomposan pada umumnya.
4. Kelangsungan proses
Berdasarkan kelangsungan proses, pengomposan dibedakan menjadi batch
dan berkelanjutan. Proses batch dilakukan dengan cara menumpuk bahan dan
dibiarkan menjadi kompos, sedangkan proses berkelanjutan dilakukan dengan
pemberian bahan secara terus-menerus untuk dikomposkan. Proses berkelanjutan
lebih rumit dan memerlukan teknologi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan
proses batch (LPPM-IPB 1994 dalam Andhika 2003). Pada penelitian ini, kompos
yang digunakan menerapkan proses batch.
Pada kompos WTP yang digunakan pada penelitian ini, menggunakan
pengomposan WTP dengan cara sistem terbuka static pile. Pipa pada tumpukan
kompos ini berfungsi untuk mengalirkan udara. Pengomposan WTP kompos 1
menggunakan kotak yang berbahan hebel dengan dimensi 150cm x 150cm x 70cm
(panjang x lebar x tinggi). Hebel yang digunakan berukuran 66.25cm x 7.5cm x
7cm (panjang x lebar x tinggi). Pengomposan WTP kompos 2 dan 3 menggunakan
dimensi 60cm x 20 x 7.5cm (panjang x lebar x tinggi).
Pengomposan dapat dipercepat dengan beberapa strategi. Secara umum
strategi untuk mempercepat proses pengomposan dengan memanipulasi kondisi
pengomposan dan menggunakan aktivator pengomposan. Memanipulasi kondisi
pengomposan dengan cara ukuran bahan dicacah sehingga memiliki ukuran yang
cukup kecil, bahan yang terlalu kering diberi tambahan air agar lembap, dan
bahan yang terlalu basah untuk dilakukan pengeringan terlebih dahulu. Hal ini
bertujuan mendapatkan rasio C/N yang optimal. Menggunakan aktivator
pengomposan dengan cara memanfaatkan organisme seperti cacing tanah, bakteri,
cendawan, dan lain-lain.
Beberapa kondisi yang optimal untuk dapat mempercepat proses
pengomposan padat terlihat dalam Tabel 7.
Tabel 18 Kondisi yang optimal untuk mempercepat proses pengomposan
Kondisi
Kondisi yang bisa diterima
Ideal
Rasio C/N
20 : 1 s/d 40 : 1
25-35 : 1
Kelembapan
40-65 %
45-62% berat
Konsentrasi oksigen tersedia
> 5%
> 10%
Ukuran partikel
1 inchi
bervariasi
Bulk density
1000 lbs/cu yd
1000 lbs/cu yd
pH
5.5-9.0
6.5-8.0
Suhu
43-66°C
54-60°C
Sumber : Ryak 1992.
Ketiga kompos penelitian ini telah melalui tahap-tahap pengomposan dengan
baik, sehingga menghasilkan unsur hara yang dapat menyuburkan tanaman. Data
kandungan ketiga kompos dapat dilihat pada Tabel 8. Data tersebut merupakan
data sekunder pada penelitian. Kandungan logam berat yang terdapat pada
kompos akan dianalisis seberapa besar yang terserap pada tanaman, apabila
kompos digunakan sebagai media tanam. Kompos yang digunakan sebagai media
tanam tidak dicampur dengan unsur tanah, hal ini dikarenakan tanah dapat
membantu penyerapan kandungan logam berat pada kompos WTP.
Penyerapan tanaman terhadap logam berat kompos WTP merupakan salah
satu kegiatan fitoremediasi, sehingga kandungan logam berat pada kompos WTP
akan menurun. Pada saat pengomposan lumpur WTP menjadi kompos WTP
merupakan proses yang dapat menurunkan kandungan logam berat, perbandingan
tersebut dapat dilihat pada Tabel 4 dimana kandungan logam berat sebelum
dilakukan pengomposan lebih besar daripada nilai kandungan logam berat setelah
dilakukan pengomposan pada Tabel 8.
Karakteristik Pengomposan
Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos
dari Sampah Organik Domestik digunakan sebagai acuan dasar penelitian ini.
Kompos komersil yang ada dipasaran diasumsikan menjadi kompos dengan syarat
SNI. Kompos komersil akan menjadi perbandingan bagi kompos WTP lainnya.
Tanaman akan dianalisis serapan logam berat dari kompos WTP. Berikut
kandungan kompos WTP dibandingkan SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi
Kompos dari Sampah Organik Domestik dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 19 Perbandingan kualitas kompos WTP dengan SNI 19-7030-2004
No. Parameter Satuan Kompos Kompos Kompos
SNI
SNI
1
2
3
(min) (max)
1 N
%
0.69
0.93
0.84
0.4
2
C- organik
%
26.01
12.46
10.28
9.8
32
3
C/N
-
-
13
12
10
20
4
P
%
0.35
0.39
0.51
0.1
-
5
K
%
0.25
0.52
0.72
0.2
-
6
Mg
%
0.3
0.82**
1.09**
-
0.6
7
Fe
%
1.26
1.57
1.3
-
2
8
Al
%
4.59**
6.71**
4.28**
-
2.2
9
Mn
%
0.05
0.16**
0.17**
-
0.1
10
Zn
ppm
*
28
31
-
500
11
Pb
ppm
ttd
ttd
ttd
-
150
11
Cd
mg/kg
*
17.493
10.754
-
3
Sumber : Wicaksono 2012 dan Kurniasih 2012.
Keterangan ttd : tidak terdeteksi, limit deteksi Pb :0.8 ppm
* : tidak dianalisis
** : tidak sesuai SNI
- : tidak ada
Parameter kompos 1 memilki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium berturutturut sebesar 0.69%, 0.35%, dan 0.25%. Nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium
tersebut mengalami penurunan dibandingkan pada saat masih menjadi lumpur
dengan nilai berturut turut-turut sebesar 0.39%, 2.1 x 10-4%, dan 93 x 10-4%.
Berdasarkan acuan SNI 19-7030-2004 tentang tentang Spesifikasi Kompos dari
Sampah Organik Domestik, tidak ada batas maksimal dari unsur Nitrogen,
Phospat, dan Kalium, sehingga kompos 1 termasuk kompos yang baik untuk
tanaman karena memiliki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium yang cukup besar
dibandingkan SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah
Organik Domestik. Unsur Nitrogen, Phospat, dan Kalium pada SNI 19-7030-2004
tidak memiliki batas maksimum, hanya batas minimum sebesar 0.4%, 0.1%, dan
0.2%.
Unsur Aluminium pada kompos 1 memiliki nilai sebesar 4.59%. Nilai
tersebut lebih besar dari nilai maksimum pada SNI sebesar 2.2%. Kandungan
unsur Mangan di dalam kompos 1 sebesar 0.05% lebih rendah dibandingkan nilai
maksimum pada SNI sebesar 0.1%. Unsur Fe pada kompos 1 memiliki nilai
sebesar 1.26%. Nilai tersebut tidak melebihi ambang batas SNI sebesar 2%.
Unsur logam seperti timah dan Kadmium pada kompos tidak dianalisis pada
kompos 1. Jadi secara keseluruhan, kompos 1 memiliki kandungan unsur yang
dibutuhkan tanaman sesuai dengan SNI 19-7030-2004 tentang tentang Spesifikasi
Kompos dari Sampah Organik Domestik, logam berat yang terkandung dalam
kompos 1 tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan.
Pada Tabel 9, merupakan kualitas kompos SNI 19-7030-2004 tentang
Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yang menjadi acuan
penelitian ini.
Tabel 20 Standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004
No
Parameter
Satuan
SNI 19-7030-2004
Minimal
Maksimal
1
Kadar Air
%
˚C
50
2
Temperatur
suhu air tanah
3
Warna
kehitaman
4
Bau
berbau tanah
5
Ukuran partikel
mm
0.55
25
6
Kemampuan ikat air
%
58
7
pH
6.80
7.49
8
Bahan asing
%
*
1.5
Unsur makro
9
Bahan organik
%
27
58
10 Nitrogen
%
0.40
11 Karbon
%
9.80
32
12 Phosfor (P205)
%
0.10
13 C/N –rasio
10
20
14 Kalium (k20)
%
0.20
*
Unsur mikro
15 Arsen
mg/kg
*
13
16 Cadmium
mg/kg
*
3
17 Cobal (co)
mg/kg
*
34
18 Chromium (Cr)
mg/kg
*
210
19 Tembaga (Cu)
mg/kg
*
100
20 Mercuri (Hg)
mg/kg
0.8
21 Nikel (Ni)
mg/kg
*
62
22 Timbal (Pb)
mg/kg
*
150
23 Selenium (Se)
mg/kg
*
2
24 Seng (Zn)
mg/kg
*
500
Unsur lain
25 Calsium
%
*
25.50
26 Magnesium (Mg)
%
*
0.60
27 Besi (Fe)
%
*
2.00
28 Aluminium(Al)
%
2.20
29 Mangan (Mn)
%
0.10
Bakteri
30 Fecal Coli
MPN/gr
1000
31 Salmonella sp.
MPN/4gr
3
Keterangan : * Nilainya besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum.
Parameter kompos 2 memiliki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium berturutturut sebesar 0.93%, 0.39%, dan 0.52%. Nilai Nitorgen, Phospat, dan Kalium
tersebut mengalami kenaikan dibandingkan pada saat masih menjadi lumpur
dengan nilai berturut-turut sebesar 0.09%, 0.45%, dan 0.1%. Nilai ini
menunjukkan bahwa kompos 2 memiliki unsur hara yang baik untuk pertumbuhan
tanaman, karena memiliki nilai unsur hara yang tinggi. Unsur Aluminium pada
kompos 2 memiliki nilai sebesar 6.71%. Nilai ini lebih besar dari nilai maksimum
SNI sebesar 2.2%. Kandungan unsur Mn pada kompos 2 sebesar 0.16 %, sehingga
nilai tersebut lebih besar dari nilai maksimum SNI sebesar 0.1%. Unsur-unsur lain
yaitu Fe dan Cd pada kompos 2 berturut-turut memiliki kandungan sebesar 1.57%
dan 17.493 mg/kg. Unsur Pb pada kompos 2 tidak terdeteksi. Kandungan Fe
berada di bawah standar yang ditetapkan SNI sebesar 2%. Kandungan Cd berada
di atas batas maksimum SNI 3 mg/kg. Unsur Pb dengan nilai analisis tidak
terdeteksi memiliki kemungkinan bahwa, kandungan Pb melebihi batas deteksi
yaitu sebesar 0.8 ppm atau kompos 2 tidak mengandung unsur Pb.
Parameter kompos 3 memiliki nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium berturutturut sebesar 0.84%, 0.51%, dan 0.72%. Nilai Nitrogen, Phospat, dan Kalium
tersebut mengalami penurunan apabila dibandingkan pada saat menjadi lumpur
dengan nilai berturut-turut sebesar 0.13%, 0.43%, dan 0.14%. Nilai ini
menunjukkan bahwa kompos 3 memiliki unsur hara yang baik untuk pertumbuhan
tanaman. Unsur Aluminium pada kompos 3 memiliki nilai sebesar 4,28% lebih
besar dari nilai maksimum SNI yang memiliki nilai 2.2%.
Kandungan unsur Mn pada kompos 3 sebesar 0.17%, sehingga nilai tersebut
lebih besar dari nilai maksimum SNI sebesar 0.1%. Unsur-unsur lain yaitu Fe
pada kompos 3 berturut-turut memiliki kandungan sebesar 1.3%. Kandungan Fe
berada di bawah standar yang ditetapkan SNI sebesar 2%. Pada kompos 3, unsur
Cd memiliki nilai sebesar 10.754 mg/kg lebih besar dari nilai maksimum SNI
yang memiliki nilai 3 mg/kg. Kandungan Pb kompos 3 tidak dapat terdeteksi
memiliki kemungkinan bahwa, kandungan Pb melebihi batas deteksi yaitu sebesar
0.8 ppm atau kompos 3 tidak mengandung unsur Pb.
Perubahan nilai ketiga kompos yang digunakan pada penelitian mengalami
peningkatan unsur hara seperti kandungan N, P, dan K berpotensi untuk
menyuburkan tanaman, sedangkan kandungan logam berat unsur Al, Fe, dan Mn
pada lumpur mengalami proses degradasi setelah proses pengomposan. Hal ini
dipengaruhi oleh bahan-bahan dalam proses pengomposan seperti jerami dan
kotoran kandang. Berdasarkan hasil perbandingan kompos WTP dengan Kompos
SNI 19-7030-2004 tentang spesifikasi kompos dari sampah organik domestik pada
Tabel 9, kandungan ketiga kompos yang digunakan pada penelitian dapat
berpotensi menyuburkan tanaman dan sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan.
Penggunaan kompos WTP sebagai pupuk organik bagi tanaman
memerlukan beberapa persyaratan yaitu ketersediaan unsur hara dan minimnya
kandungan logam berat yang berpotensi diserap oleh tanaman. Beberapa unsur
hara makro yang harus tersedia bagi tanaman yang dianalisis pada penelitian ini
adalah fosfor (P2O5), kalium (K2O), dan kapasitas tukar kation (KTK). Fosfor, N,
dan K merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Hakim
et al (1980) dalam Halim (2003), kekurangan unsur P dalam tanah dapat
menyebabkan pertumbuhan terhambat dan merosotnya hasil tanaman.
Pengaruh Kandungan Logam Berat Terhadap Tanaman
Kompos yang digunakan pada penelitian ini memiliki unsur kandungan C/N
yang cukup bagi tanaman. Hal ini dapat terlihat pada Tabel 8, nilai parameter tiap
kompos yang digunakan dapat berpengaruh baik untuk proses pertumbuhan
tanaman, dapat pula berpengaruh negatif pada pertumbuhan tanaman menjadi
bahan berbahaya, apabila tanaman dikonsumsi oleh masyarakat. Tanaman tersebut
tumbuh dengan baik, setelah dilakukan pembibitan pada polybag. Hal tersebut
dapat dilihat pada Gambar 4.
Berdasarkan pola penyebaran logam yang terkandung pada tiap tanaman, Al
diakumulasikan di tudung akar, meristem apikal dan daerah pemanjangan akar.
Akumulasi Al pada umumnya dijumpai pada epidermis dan korteks akar.
Perbedaan akumulasi Al berhubungan dengan perbedaan tingkat sensitivitas
tumbuhan (Matsumoto 2000 dalam Kurniasih 2012). Interaksi antara Al dengan
genotif hanya terjadi terhadap peubah panjang akar relatif (PAR), pertambahan
panjang akar relatif (PPAR), bobot akar relatif (BAR), dan bobot tajuk relatif
(BTR). Secara umum semakin tinggi konsentrasi Al, tingkat ketenggangan
tanaman berdasarkan nilai PAR semakin peka.
Kerusakan Al terutama terlihat pada ujung akar. Adanya Aluminium yang
berlebihan dapat menyebabkan akar utama menjadi kerdil dan akar lateral
terhambat pertumbuhannya (Samac DA dan Tesfaye M 2003 dalam Nurlaela
2007). Tanaman yang keracunan Al ditunjukkan dengan penurunan pertumbuhan
akar dan tajuk. Tajuk merupakan bagian atas tanaman yang terdiri dari cabang dan
ranting. Semakin tinggi konsentrasi Al, maka semakin tinggi penurunan
pertumbuhan akar maupun tajuk. Hal ini ditunjukkan pada Gambar 5, bahwa
tanaman kangkung terhambat dalam pertumbuhannya. Pada usia sekitar 60 hari
(masa panen), tanaman tersebut memiliki pertumbuhan yang cukup kerdil di
usianya.
Pada kompos 1, kompos 2, dan kompos 3 memiliki nilai Al berturut-turut
4.59%, 6.71%, dan 4.28%. Nilai Al pada ketiga kompos ini melebihi batas SNI
sebesar 2.2%. Pada Tabel 10 menunjukkan banyaknya penyerapan Al pada uji
kedua dengan menggunakan kompos 2 memiliki nilai sebesar 0.04 mg/kg atau
setara 4 x 10-6%. Secara visual, tanaman yang keracunan Al akan terhambat
pembelahan selnya terutama sel akar yang disebabkan oleh ikatan Al dengan
DNA dan menghentikan proses pembelahan sel meristem apikal (Polle dan
Konzak 1990 dalam Syarifuddin et al 2006). Tudung akar, meristem dan zona
pemanjangan akar paling peka terhadap keracunan Al, pada bagian ini Al
diakumulasikan lebih banyak (Delhaize dan Ryan 1995 dalam Syarifuddin et al
2006). Keracunan Al menyebabkan kadar P akar menurun, sehingga panjang akar
yang keracunan Al lebih pendek dibandingkan yang tidak keracunan Al
(Syarifudin 2002 dalam Syarifuddin et al 2006).
Kandungan Cd pada jaringan daun selain berasal dari serapan timbal yang
terdapat di tanah, juga berasal dari timbal yang tercemar ke udara. Menurut
Merian (1994) dalam Khatimah (2006) bahwa unsur Cd dan Pb pada tanaman
terdapat dalam jaringan akar dan daun, sedikit di batang dan konsentrasi terkecil
terdapat pada bunga dan buah. Tingginya akumulasi Cd pada akar dijelaskan
dengan pendapat Leep (1981) dalam Khatimah (2006) yang menyatakan bahwa
sebagian besar logam yang diserap dari tanah secara tepat berubah menjadi bentuk
tidak aktif melalui proses deposisi dalam akar, sehingga sukar dipindahkan ke
bagian lain tanaman. Logam-logam yang terserap oleh akar-akar rambut
mengalami proses pengikatan, inaktivasi, dan pengendapan.
Akumulasi Pb dan Cd di dalam jaringan tanaman dapat terjadi melalui
dua cara, yaitu penyerapan melalui akar dan melalui daun. Besar kecilnya
akumulasi Pb dan Cd pada tanaman buah relatif berbeda pada berbagai varietas.
Pada Tabel 8, nilai Pb dan Cd kompos 2 memiliki nilai sebesar ttd (tidak
terdeteksi) dan 17.493 mg/kg. Nilai Pb tidak terdeteksi menunjukkan beberapa
kemungkinan antara Pb tersebut melebih limit batas pengujian sampel atau
kompos tersebut tidak mengandung Pb. Nilai Cd kompos 2 pada Tabel 8 melebihi
baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. Unsur Pb memiliki kemampuan kelarutan yang rendah, cenderung
terakumulasi, dan tersedimentasi pada kompos WTP (Bohn 1979 dalam Khatimah
2006). Hal ini ditunjukkan pada Tabel 10, nilai Pb yang terserap pada tanaman
memiliki nilai sebesar 2.12 mg/kg.
Penyerapan Pb melalui ukuran stomata yang lebih besar (panjang 10
mikrometer dan lebar 2-7 mikrometer) daripada ukuran partikel Pb (kurang dari 4
mikrometer), memungkinkan Pb masuk ke dalam jaringan daun melalui stomata.
Unsur Pb dalam jaringan akan terjadi penumpukan sel jaringan pagar atau
jaringan akar terbentuk (Baker dan Allen 1978 dalam Dewi 2010). Unsur Pb dapat
mengganggu kesehatan dengan berbagai cara, diantaranya pengurangan sel-sel
darah merah, penurunan sintesis, dan penghambatan sintesis heme yang
menyebabkan anemia (Purdom 1980 dalam Dewi 2010). Menurut SNI 7387 tahun
2009, kandungan Pb yang diperbolehkan ada dalam sayuran <0.5 mg/kg. Hal ini
menujukkan nilai Pb pada Tabel 10 melebihi baku mutu logam Pb yang
diperbolehkan pada sayuran. Nilai Cd pada Tabel 10 memiliki nilai sebesar 0.61
mg/kg. Hal ini melebihi baku mutu yang telah ditetapkan SNI 7387 tahun 2009
tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan yaitu memiliki
nilai sebesar <0.2 mg/kg.
Tingkat serapan Pb dan Cd tidak hanya bergantung pada kandungan logam
dalam kompos WTP, tetapi juga dipengaruhi oleh jenis tanaman (varietas), pH
tanah, ketersediaan unsur-unsur hara, morfologi dan fisiologi tanaman,
kemampuan tanaman menyerap Pb dan Cd, serta umur tanaman tersebut. Semakin
lama umur tanaman, maka daya serap akan logam berat juga semakin besar.
Selain itu, faktor yang mempengaruhi lahan seperti banyaknya tanaman penutup
dan jenis tanaman di sekitar lahan tersebut juga mempengaruhi akumulasi Pb dan
Cd dalam tanaman (Darmono 1995 dalam Khatimah 2006).
Unsur utama Pb pada umumnya terdapat di udara dan berasal dari
kendaraan bermotor, industri, dan sumber yang memang ada secara alamiah.
Menurut Rustiawan (1994) dalam Dewi (2010), menyatakan 60-70% pencemaran
udara di perkotaaan berasal dari kendaraan bermotor, dan salah satunya adalah Pb.
Emisi alami juga melepaskan Pb terutama akibat erosi tanah dan aktivitas
vulkanik. Unsur Pb yang masuk ke udara, sebagian jatuh ke permukaan tanah dan
vegetasi, sebagian melayang-layang di udara dan masuk ke dalam tubuh manusia.
Hal ini dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung melalui rantai
pangan, sehingga dapat mempengaruhi kesehatannya.
Pada unsur Mn pada umumnya memiliki akumulasi tinggi apabila berada
pada tanah masam (Goenadi 1981 dalam Taryana 1995). Unsur pH dalam tanah
juga mempengaruhi unsur Mn, hal ini dikarenakan pH berperan penting dalam
proses oksidasi dan reduksi dalam tanah. Pada umumnya suasana oksidatif
didukung oleh pH tinggi, sedangkan suasana masam membantu terciptanya
reduktif. Pada proses reduktif Mn akan terurai menjadi Mn yang dapat
dipertukarkan (Hakim et al 1986 dalam Taryana 1995). Namun pada penelitian ini
uji pertama dan kedua tidak menggunakan tanah, hanya menggunakan kompos
sebagai media tanam. Pada uji ketiga menggunakan sebagian tanah yang terdapat
pada tanaman gajah mini.
Terdapatnya kandungan Cu, Mn, dan Zn yang terakumulasi pada bagian
dalam daun disebabkan karena ketiga unsur ini diperlukan dalam menyusun
klorofil dan membantu proses fotosintesis (Setyaamidjaya 1986 dalam Taryana
1995). Akumulasi Cu dan Zn dalam akar, batang, cabang, dan ranting serta buah
dan bunga disebabkan karena Cu dan Zn diperlukan dalam pembentukan dan
pengaturan enzim tanaman, bahkan persenyawaan-persenyawaan Zn mempunyai
fungsi pada pembentukan hormon tumbuhan (auxin) dan penting untuk
keseimbangan fisiologi, sedangkan terjadinya akumulasi Mn dalam akar, batang,
cabang, dan ranting karena Mn diperlukan dalam proses-proses desimilasi, yaitu
pernafasan ketika enzim-enzim yang mengatur proses ini mengandung Mn
(Taryana 1995). Khusus dalam buah, Mn digunakan untuk merangsang
perkecambahan dan merangsang pemasakan buah.
Tersebarnya berbagai unsur logam pada berbagai bagian morfologi tanaman
tanaman atau pohon erat kaitannya dengan mekanisme fisiologi tanaman. Untuk
mengurangi tingkat keracunan dari ion-ion toksik, maka tanaman akan melakukan
ameliorasi (penanggulangan) dengan jalan lokalisasi, yaitu menyebarkan ion-ion
toksik pada berbagai bagian morfologi sehingga akumulasinya tersebar. Pada
proses ameliorasi dapat memungkinkan organ-organ morfologi lebih toleran
terhadap ion toksik (Andani dan Purbayanti 1984 dalam Taryana 1995).
Unsur Mn banyak terakumulasi pada bagian daun. Penumpukan Mn dalam
daun berhubungan dengan mekanisme fisiologi tanaman untuk mengurangi
toksisitas Mn. Mn yang berlebihan akan dibuang dengan jalan menggugurkan
daun yang telah jenuh toksik. Umumnya daun-daun tua yang mempunyai
kandungan logam berat yang lebih besar dibandingkan daun muda atau pucuk.
Hilangnya suatu organ yang jenuh dengan toksik merupakan bentuk paling
sederhana dari eksresi (Andani dan Purbayanti 1984 dalam Taryana 1995).
Eksresi yang paling aktif juga terjadi paling tidak untuk garam. Garam secara aktif
ditarik dari xylem, kembali ke xylem parenkima, dan dikeluarkan dari akar-akar
kembali ke media (Yeo et al 1977 dalam Andani dan Purbayanti 1981 dalam
Taryana 1995).
Berdasarkan kandungan logam berat pada tanaman kangkung pada Tabel
10, beberapa kandungan logam Al, Cd, Fe, dan Pb tidak semuanya diserap oleh
tanaman. Pada Tabel 10 dilakukan pengulangan pengujian laboratorium sebanyak
tiga kali. Nilai kandungan logam tersebut telah mengalami pendegradasian oleh
tanaman, namun dibandingkan dari batas logam berat pada makanan menurut SNI
7387 tahun 2009 tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat pada Makanan
kategori sayuran, kadar Cd <0.2 mg/kg dan Pb <0.5 mg/kg, sedangkan nilai Cd
dan Pb pada uji pertama (Tabel 10) memiliki nilai sebesar 0.61 mg/kg dan 2.12
mg/kg. Pada hasil uji laboratorium Tabel 10 di atas, unsur Cd dan Pb melebihi
ambang batas aman makanan dan tidak layak untuk dikonsumsi.
Tabel 21 Uji pertama pada tanaman kangkung
No Contoh uji
Logam berat pada
tanaman setelah panen
(mg/kg)
Al
Cd
Fe
Pb
1 Kompos 2-1 0.04 0.56 0.46 2.12
2 Kompos 2-2 0.02 0.61 0.4 1.95
3 Kompos 2-3 0.05 0.42 0.38 2.07
4 Kompos
ttd 0.34 0.2 1.03
Komersil 1
5 Kompos
0.01 0.3 0.26 0.97
Komersil 2
6 Kompos
ttd 0.29 0.22 1.12
Komersil 3
Logam berat pada kompos
sebelum panen (%)
Al
6.71
6.71
6.71
Cd
17.49
17.49
17.49
Fe
1.57
1.57
1.57
Pb
ttd
ttd
ttd
< 2.2
<3
<2
< 0.015
< 2.2
<3
<2
< 0.015
< 2.2
<3
<2
< 0.015
Keterangan ttd : tidak terdeteksi
Penelitian kandungan logam berat yang bermula dalam bentuk lumpur,
proses pengomposan, pengujian kompos pada tanaman, sehingga dapat terlihat
kompos WTP ini berpotensi untuk menyuburkan tanaman serta belum tentu aman
untuk dikonsumsi. Hal ini dikarenakan kandungan logam berat yang berbeda pada
setiap industri. Perkembangan pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar 3
dan Gambar 4. Pertumbuhan kangkung dengan lumpur WTP sangat subur,
memiliki batang besar serta hijau dibandingkan menggunakan kompos komersil
(SNI), tetapi logam berat yang terkandung pada tanaman tidak layak untuk
dikonsumsi. Hal dikarenakan logam berat yang terkandung pada tanaman melebih
baku mutu yang telah ditetapkan oleh SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam Berat pada Makanan kategori sayuran.
Gambar 7. Pembibitan kangkung pada uji pertama dengan pupuk komersil (kiri)
dan kompos 2 (kanan)
Tabel 22 Uji kedua pada tanaman kangkung dan cabe
No Contoh uji
Logam berat tanaman
Logam berat kompos sebelum
setelah panen (mg/kg)
panen (%)
Al
Mn
Fe
Pb
Al
Mn
Fe
Pb
1 Kangkung 0.53 3.9 0.75 1.28 6.71
0.16 1.57
ttd
2-1
2 Kangkung 0.56 3.87 0.89 1,31 6.71
0.16 1.57
ttd
2-2
3 Kangkung 0.56 3.09 2.31
ttd
< 2.2 < 0.1 < 2
< 0.015
komersil 1
4 Kangkung 0.59 3.21 2.52
ttd
< 2.2 < 0.1 < 2
< 0.015
komersil 2
5 Kangkung 0.63 4.63 2.42
ttd
4.59
0.05 1.26
ttd
1-1
6 Kangkung 0.58 4.52 2.34
ttd
4.59
0.05 1.26
ttd
1-2
7 CABE 2-1 0.04 0.59 0.5 1.17 6,71
0.16 1.57
ttd
8 CABE 2-2 0.06 0.53 0.61 1.13 6,71
0.16 1.57
ttd
Keterangan ttd : tidak terdeteksi.
Nilai Mn pada Tabel 11, memiliki nilai sebesar 0.16 mg/kg dibandingkan
nilai Mn pada saat dalam bentuk kompos 2 (Tabel 8) memiliki nilai sebesar
0.16%. Nilai Mn pada kompos 2 melebih ambang batas Mn pada kompos SNI 197030-2004 yaitu dengan nilai sebesar 0.1%, sehingga perlu adanya penambahan
zat fosfor dan kapur menurunkan nilai Mn yang melebihi baku mutu pada kompos
WTP tersebut. Hal ini juga dapat berdampak pada pertumbuhan yang lambat,
adanya noda berwarna coklat kekuningan diantara urat daun, ujung daun
mengering pada saat tanaman berumur 8 MST (Minggu Setelah Tanam), dan
disertai pertumbuhan yang lambat. Hal ini terbukti pada Gambar 5, tanaman
mengalami pertumbuhan yang lambat diakibatkan nilai Mn yang melebihi baku
mutu kompos SNI 19-7030-2004.
Berdasarkan kandungan logam berat pada Tabel 11, terlihat beberapa nilai
logam Al, Mn, Fe, dan Pb tidak semua diserap tanaman. Pada Tabel 11 diatas,
dilakukan pengulangan pengujian laboratorium sebanyak dua kali. Kangkung 2-1
pada Tabel 11, memiliki arti tanaman kangkung dengan menggunakan kompos 2
(PDAM Bogor) dengan ulangan pertama pada uji laboratorium. Logam berat
tersebut telah mengalami proses degrasi pada proses media tanam, sehingga kadar
logam berat tersebut sebagian diserap pada tanaman dan didistribusikan ke
seluruh bagian tanaman, seperti akar, batang, maupun daun. Namun dibandingkan
dari batas logam berat pada makanan kategori sayuran menurut peraturan SNI
7387 tahun 2009, nilai Pb tidak boleh melebihi < 0.5 mg/kg. Pada pada Tabel 11
dengan Pb paling besar 1.31 mg/kg. Hal ini menunjukkan kadar tersebut masih
tinggi dan tidak layak untuk dikonsumsi. Unsur Mn pada kompos 2 pada uji kedua
ini, memiliki nilai 0.16% (dapat dilihat pada Tabel 8), dibandingkan nilai
maksimum Mn menurut SNI 19-7030-2004 memiliki nilai sebesar 0.1%.
A
B
C
Gambar 5 Tanaman kangkung uji kedua dengan kompos : A. Komersil,
B. Kompos 1, dan C. Kompos 2
Unsur Mn kompos 2 pada Tabel 11 melebihi batas mutu kompos SNI 197030-2004 dan melebihi batas logam berat pada makanan kategori sayuran
menurut peraturan SNI 7387 tahun 2009. Penanggulangan kelebihan unsur Mn
dapat diatasi dengan penambahan zat kapur atau kapur. Penambahan zat kapur
atau fosfor dapat dilakukan pada saat proses pengomposan atau pada saat proses
pengaplikasian kompos WTP pada media tanam.
Tabel 23. Uji ketiga lumpur pada kangkung dan rumput gajah
No
Contoh uji
logam berat setelah panen
(mg/kg)
Al
Cd
Fe
Pb
1 Kangkung lumpur 2-1
0.01
ttd
473
0.11
2 Kangkung lumpur 2-2
0.02
ttd
399
0.09
3 Rumput gajah lumpur 2-1
ttd
ttd
1782 0.25
4 Rumput gajah lumpur 2-2
ttd
ttd
1526 0.27
5 Lumpur kangkung 2-1
0.34 0.001
2318 1.15
6 Lumpur kangkung 2-2
0.36 0.001
2152
1.2
7 Lumpur gajah mini 2-1
0.13 0.001
2251 0.97
8 Lumpur gajah mini 2-2
0.11 0.001
2194 0.87
Keterangan ttd: tidak terdeteksi
Berdasarkan analisis ketiga pada Tabel 12, tanaman kangkung dan rumput
gajah mini hanya menggunakan lumpur WTP 2 sebagai media tanam. Uji ketiga
dilakukan dengan proses fitoremediasi. Kandungan unsur Pb tertinggi pada
kangkung memiliki nilai sebesar 0.11 mg/kg dibandingkan dengan rumput gajah
mini memiliki nilai Pb tertinggi sebesar 0.27 mg/kg. Unsur Pb pada uji ketiga
memiliki nilai lebih rendah dibandingkan SNI 7387 tahun 2009 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam Berat dalam pangan yang memiliki nilai < 0.5
mg/kg. Nilai Pb pada uji ketiga lebih rendah dibandingkan pada uji kedua dan
ketiga dengan menggunakan Lumpur yang telah dilakukan proses pengomposan.
Nilai Pb dalam bentuk lumpur sebelum pengujian ketiga memiliki nilai sebesar
1.52 ppm atau setara dengan 1.52 mg/kg (dapat dilihat pada Tabel 4), sedangkan
nilai Pb kompos 2 yang digunakan pada uji pertama dan kedua memiliki nilai
tidak terdeteksi (dapat dilihat pada Tabel 8) . Nilai Pb pada kompos 2 tidak
terdeteksi memiliki arti bahwa nilai tersebut melebih batas deteksi Pb. Nilai Pb
mengalami peningkatan setelah melakukan proses pengomposan. Meningkatnya
unsur Pb dipengaruhi faktor kandungan bahan pengomposan telah terkontaminasi
oleh unsur Pb seperti jerami atau kotoran kambing, sehingga melebih batas SNI
19-7030-2004.
Kandungan unsur Pb tertinggi pada lumpur kangkung memiliki nilai sebesar
1.2 mg/kg, dibandingkan dengan lumpur gajah mini Pb tertinggi memiliki nilai
sebesar 0.97 mg/kg. Pada Tabel 12, dilakukan pengulangan pengujian
laboratorium sebanyak dua kali. Kangkung lumpur 2-1 memiliki arti tanaman
kangkungan dengan menggunakan lumpur 2 (PDAM Bogor) dengan uji
laboratorium ulangan pertama. Logam berat Pb pada lumpur awal pengujian
memiliki nilai 1.52 mg/kg (dapat dilihat pada Tabel 4). Hal ini menunjukkan pada
uji ketiga dengan cara fitoremediasi dapat menurunkan unsur logam berat Pb.
Proses fitoremediasi pada uji ketiga dengan nilai terbesar Pb pada lumpur
1.52 mg/kg, serta kandungan logam berat dengan nilai terbesar pada kangkung 1.2
mg/kg memiliki daya serap logam berat pada tanaman ± 0.19 mg/kg. Penyerapan
logam berat secara pasif (passive up take) atau biosorpsi dapat terjadi di dalam
metobolisme tumbuhan. Logam berat mengikat dinding sel dan proses pengikatan
salah satunya dengan cara pertukaran ion monovalent dan divalent pada dinding
sel diganti dengan ion logam berat yang ada pada kompos WTP (Suhendrayatma
2001 dalam Onrizal 2005 dalam Moenir 2010).
Berdasarkan hasil pengujian pada Tabel 12, tanaman kangkung memiliki
nilai logam Pb lebih rendah dibandingkan dengan rumput gajah mini. Namun
pada nilai logam Pb pada lumpur kangkung lebih besar dibandingkan dengan
lumpur kangkung gajah mini. Hal ini menujukkan bahwa rumput gajah mini dapat
menyerap logam berat lebih besar dibandingkan tanaman kangkung. Terbukti dari
sisa logam Pb pada lumpur gajah mini memiliki nilai lebih rendah daripada sisa
logam Pb pada lumpur kangkung. Hal ini menujukkan tanaman
Hyperaccumulator dapat menyerap logam berat lebih besar daripada tanaman.
Pada uji ketiga menggunakan rumput gajah mini sebagai salah satu tanaman
hyperaccumulator menunjukkan penyerapan logam oleh akar lebih cepat
dibandingkan dengan tanaman kangkung, sistem translokasi unsur dari akar ke
tajuk lebih efisien, dan kemampuan untuk melarutkan unsur logam pada lumpur
melebih tanaman kangkung (Lasat 1996 dalam Hidayati dan Saefudin 2003). Hal
ini terbukti dari adanya konsentrasi logam Pb yang tinggi pada rumput gajah mini.
Menurut Eddy (2008), kangkung air (Ipomea aquatic) merupakan salah satu
tanaman hyperaccumulator. Tanaman ini memiliki kemampuan bertahan terhadap
berbagai macam bahan pencemar dan mampu mengakumulasikannya dalam
jaringan dengan jumlah yang cukup besar. Hal ini dapat terlihat pada uji kedua
dan ketiga, bahwa tanaman kangkung dapat tumbuh dengan subur dengan media
tanam berupa kompos maupun lumpur WTP. Kompos dan Lumpur WTP tersebut
masih mengandung logam berat yang melebih ambang batas SNI.
Tanaman hyperaccumulator mempunyai kemampuan menyerap, kemudian
mengkonsentrasikan logam berat pada kadar yang luar biasa tinggi namun tidak
mengganggu kehidupannya. Menurut Baker (1999) dalam Eddy (2008), tanaman
hyperaccumulator dapat mengakumulasi logam berat sampai 11% berat kering,
dan batas kadar logam yang terdapat dalam jaringan biomassa berbeda-beda
tergantung pada jenis tanamannya. Untuk logam Pb kadar tertinggi adalah 0.1%
(1,000 mg/kg berat kering). Pada penelitian ini terdapat beberapa satuan yang
digunakan untuk menghitung kadar logam berat seperti persen (%), mg/kg, dan
ppm. Pada dasarnya hasil analisa suatu uji dinyatakan sebagai mg/kg atau part per
million (ppm), dengan anggapan bahwa 1 liter air setara dengan 1 kilogram (kg),
maka ppm dapat dinyatakan sebagai berikut :
1 ppm = 1 mg/kg
= 1 mg/lt
= 1 gr/ton
= 0.0001%
Jadi dapat digunakan 1 ppm = 1x10-4
Gambar 6 Rumput gajah mini dan kangkung pada uji ketiga dengan
menggunakan lumpur 2
Pada Gambar 6, rumput gajah mini merupakan salah satu tanaman
hyperaccumulator dengan kemampuan mendegradasi logam berat yang ada pada
lumpur WTP. Dalam penelitian menggunakan rumput gajah mini dikarenakan,
tanaman ini dapat tumbuh pada media pot yang akan dibandingkan dengan
tanaman kangkung yang juga dapat tumbuh pada media pot. Rumput gajah mini
merupakan salah satu tanaman alternatif Hyperaccumulator yang dapat dengan
mudah digunakan oleh masyarakat sebagai rumput pekarangan rumah dan relatif
mudah dijumpai di kalangan masyarakat pada umumnya. Pada uji ketiga ini
fitoremediasi lumpur 2 pada rumput gajah mini akan dibandingkan dengan
fitoremediasi lumpur 2 pada kangkung. Hasil penelitian ketiga ini menunjukkan
kandungan logam berat pada lumpur banyak diserap oleh tanaman rumput gajah
mini dibandingkan tanaman kangkung.
Pada perlakuan ketiga pembibitan ini dilakukan di rumah kompos
Departemen Teknik Sipil, yang berupa saung beratapkan fiber solartuff dan
beralaskan semen. Berdimensi 3x4m ini dilakukan pembibitan cabe sebanyak 13
polybag dan kangkung sebanyak 15 polybag yang kemudian apabila tumbuh
dengan baik akan dipindah tempatkan pada pot. Saung berbahan solartuff
mengandung polycarbone digunakan selain untuk atap, bahan awet, lebih baik
dalam menyerap sinar matahari (UV Protection), dan berbahan ringan.
Berikut merupakan standar kualitas kompos menurut SNI 19-7030-2004
tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Dalam SNI ini
dijelaskan kematangan kompos ditunjukkan oleh hal-hal berikut :
a. C/N – rasio mempunyai nilai (10-20).
b. Suhu sesuai dengan suhu air tanah.
c. Berwarna kehitaman dan tekstur seperti tanah
d. Berbau tanah
Unsur mikro nilai nilai berdasarkan konsentrasi unsur-unsur mikro seperti
Cu,Mo, Zn dan juga berdasarkan logam berat yang terkandung pada lumpur yang
digunakan, tak lepas dari jerami, air, dan kotoran kambing misalnya, masing –
masing berpotensi menyumbang logam berat juga. Menurut Peraturan BPOM
tahun 2009, unsur Pb memiliki nilai <0.5 mg/kg dan SNI 7387 tahun 2009 tentang
Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan, kadar Hg memiliki nilai
<0.03 mg/kg dan unsur Cd memiliki nilai <0.2 mg/kg. Batas ini merupakan batas
maksimum yang terdapat pada buah, sayur (termasuk jamur, umbi, kacang
kedelai, dan lidah buaya), rumput laut, dan biji-bijian.
Mekanisme penyerapan logam berat Hg, Pb, dan Cd tidak berpengaruhi oleh
tingginya konsentrasi logam berat dalam makanan yang kita konsumsi. Jumlah
logam yang diserap oleh tubuh dari makanan tergantung pada , beberapa pilihan
makanan, keadaan kesehatan tubuh, Susunan genetik, dan kandungan vitamin
yang ada dalam makanan. Menurut Yannai dan Sach (1993) dalam Dewi (2010),
menyatakan beberapa faktor biologis, seperti umur, jenis kelamin, komposisi
makanan juga mempengaruhi ketersediaan logam berat secara biologis. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa makanan ternak dari jagung memiliki serat
kasar tinggi, sehingga penyerapan logam–logam menjadi rendah. Hal ini didukung
oleh Yunnai, et al (1978) dalam Dewi (2010), bahwa makanan berserat kandungan
fosfornya dalam bentuk fosfat tinggi, sehingga serapan Hg, Pb, dan Cd oleh tubuh
menjadi rendah.
Beracun atau kurang beracunnya suatu bahan pencemar tergantung pada
berbagai faktor, diantaranya takaran zat yang kontak atau masuk ke dalam tubuh
dan perlakuan sehari-hari, seperti budaya dan lingkungan kerjanya (Rustamadji
1991 dalam Dewi 2010). Logam berat yang masuk ke dalam tubuh melalui
makanan dan minuman akan dicerna di usus duabelas jari dan akan diangkut oleh
plasma (albumin). Albumin akan berasosiasi dengan protein yang akan diedarkan
ke bagian tubuh tertentu yang membutuhkan dan terakumulasi di hati, ginjal,
rambut, dan ujung kuku. Logam berat juga dapat dieksresikan melalui feses, urine
dan sisa pernafasan (Gibson dan Linder 1990 dalam Saeni 2010).
Pada saat beredar di dalam tubuh, logam berat mengalami beberapa
interaksi diantaranya dengan protein, enzim, membran sel, metabolit dan DNA.
Melihat pengaruh kerja logam berat yang begitu besar pada tubuh, maka
keberadaannya di dalam tubuh yang melebihi ambang batas sangat berbahaya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Pengomposan merupakan proses dekomposisi biologi dan stabilitas dari
bahan organik pada suhu termofili dengan hasil sampingan berupa padatan dalam
bentuk kompos. Proses fitoremediasi merupakan pemulihan air ataupun tanah
dengan memanfaatkan kemampuan akar tanaman dalam menyerap zat kontaminan
yang terkandung di dalamnya. Proses pengomposan dan fitoremediasi dalam
pengaplikasiannya berguna dalam memanfaatkan limbah lumpur Water Treatment
Plan (WTP) dari sebuah industri.
Penelitian ini menggunakan kompos 1 yang berasal dari PT. Karakatau Tirta
Industri, kompos 2 yang berasal dari PDAM Tirta Pakuan, dan kompos 3 yang
berasal dari PDAM Tirta Kahuripan. Dari hasil penelitian, kandungan logam berat
masih terdapat pada kompos WTP, walaupun tidak menghalangi pertumbuhan
tanaman. Logam berat Al pada kompos 1, kompos 2, dan kompos 3 memiliki nilai
berturut-turut 4.59%, 6.71%, dan 4.28%. Nilai Al setelah proses pengomposan ini
berada di atas baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari
Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 2.2%. Logam berat Mn pada kompos 2
dan kompos 3 memiliki nilai berturut-turut 0.16% dan 0.17%. Nilai Mn setelah
proses pengomposan ini berada di atas baku mutu SNI 19-7030-2004 tentang
Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik yaitu sebesar 0.1%. Logam
berat Cd pada kompos 2 dan kompos 3 memiliki nilai berturut-turut 17.49 mg/kg
dan 10.75 mg/kg. Nilai Cd setelah proses pengomposan ini berada di atas baku
mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik yaitu sebesar 3 mg/kg.
Konsentrasi logam berat kompos yang cukup dapat mempersubur tanaman,
sedangkan konsentrasi logam berat yang berlebih dapat merusak tanaman dan
berdampak keracunan. Unsur Pb pada uji pertama, uji kedua, dan ketiga memiliki
nilai berturut-turut sebesar 0.97-2.12 mg/kg, 1.13-1.31 mg/kg, dan 0.09-1.2
mg/kg. Nilai Pb ini di atas baku mutu SNI 7387 tentang Batas Maksimum
Cemaran Logam Berat dalam Pangan yaitu sebesar 0.5 mg/kg. Unsur Cd pada uji
pertama dan uji ketiga memiliki nilai berturut-turut sebesar 0.97-2.12 mg/kg dan
0.001 mg/kg. Pada uji pertama di atas ambang batas SNI 7387 tentang Batas
Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan yaitu sebesar 0.2 mg/kg,
sedangkan pada uji ketiga masih di bawah baku mutu. Konsentrasi Al, Fe, dan Mn
pada kompos 1, kompos 2, dan kompos 3 memiliki nilai berturut-turut sebesar
4.28-6.71%, 1.26-1.57%, dan 0.05-0.17%. Nilai Al, Fe, dan Mn ini di atas baku
mutu SNI 19-7030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik yaitu masing-masing sebesar 2.2%, 2%, dan 0.1%. Unsur Al, Fe, dan
Mn mempengaruhi proses metabolisme tanaman, sehingga tanaman mengalami
pertumbuhan yang lambat, akar kerdil, dan bentuk daun yang kekuning-kuningan.
Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa nilai reduksi logam berat lumpur
WTP terbesar diperoleh melalui pengomposan dan media tanam pada uji pertama
dan kedua. Proses degradasi logam berat lumpur WTP dengan cara fitoremediasi
pada uji ketiga juga dapat dilakukan, tetapi tidak semua tanaman dapat digunakan
dengan cara fitoremediasi dengan menggunakan lumpur. Mendegradasi logam
berat lumpur WTP dengan pengomposan dan media memiliki kekurangan, yaitu
membutuhkan rentang waktu yang lebih lama dibandingkan proses degradasi
lumpur WTP dengan cara fitoremediasi lumpur.
Saran
Uji kelayakan lumpur WTP pada media tanam perlu dilakukan analisis
kandungan lumpur. Hal ini perlu dilakukan karena lumpur yang dihasilkan oleh
tiap industri memiliki kandungan logam berat yang berbeda-beda. Kandungan
logam berat pada lumpur WTP yang memiliki nilai tinggi membutuhkan jenis
tanaman pendegradasi yang lebih peka.
Pada pengujian kelayakan lumpur WTP diharapkan tidak menggunakan
campuran tanah. Apabila terdapat campuran tanah, maka akan membantu
penyerapan logam berat dan unsur hara pada kompos WTP. Hal ini akan
berpengaruh terhadap kadar penyerapan logam berat pada tanaman. Penelitian
selanjutnya diharapkan dapat menggunakan beberapa jenis tanaman yang berbeda,
serta menggunakan rancangan percobaan pada setiap pengulangannya. Pada
pengembangan penelitian selanjutnya diharapkan pula melakukan uji kandungan
logam berat pada kompos WTP dan tanaman setelah masa panen. Pengembangan
penelitian untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang lebih jauh dapat dilakukan
dengan pengukuran penyerapan logam berat pada setiap fase pertumbuhan
tanaman seperti pada saat masa pembibitan tanaman, fase tanaman masih berusia
setengah masa panen, pada saat tanaman telah memasuki masa panen, dan pada
saat tanaman memasuki batas jenuh pertumbuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Abadi MI. 2008. Penyisihan Cs pada Perairan Tercemar Menggunakan Tanaman
Kiapu (Pistia stratiotes L) secara Rhizofiltrasi. [skripsi]. Bandung (ID):
Jurusan Teknik Lingkungan, Institut Teknologi Bandung.
Andhika NR. 2003. Pengomposan limbah Sludge Industri Kertas dengan Metode
Cina dan Pemanfaatannya sebagai Komponen Media Tanam Kacang
Panjang. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut
Pertanian Bogor.
Soil Vapor Extraction and Bioventing. 2012. Engineering Manual. Engineering
and Design. US Army Corps of Engineers.
Charlena. 2010. Bioremediasi Tanah Tercemar Limbah Minyak Berat
Menggunakan Konsorsium Bakteri. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Dewi KSP, Saeni MS. 2010. Tingkat Pencemaran Logam Berat (Hg, Pb, dan Cd)
di dalam Sayuran, Air Minum dan Rambut di Denpasar, Gianyar dan
Tabanan. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
Institut Pertanian Bogor.
Eddy S. 2008. Pemanfaatan teknik fitoremediasi pada lingkungan tercemar timbal.
Jurnal biologi: 1-8.
Gunawan Y. 2006. Peluang Penerapan Produksi Bersih pada Sistem Pengolahan
Air Limbah Domestik Waste Water Treatment Plant #48, Studi Kasus di
PT. Badak NGL Bontang. [tesis]. Semarang (ID): Jurusan Ilmu Lingkungan,
Universitas Diponegoro.
Hakim L, Sismanto, dan Siti F. 2005. Remediasi tanah terkontaminasi logam berat
krom (Cr) dengan teknik remediasi. Jurnal Logika 2 (2) : 18-30.
Halim A. 2003. Pemanfaatan Limbah Padat Sludge Industri Kertas untuk
Pembuatan Kompos sebagai Media Tanam Padi. [skripsi]. Bogor (ID):
Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Hidayati N, Saefudin. 2003. Potensi hipertoleransi dan serapan logam beberapa
jenis tumbuhan terhadap limbah pengolahan emas. Jurnal Laporan Teknik:
147-159.
Khatimah H. 2006. Perubahan Konsentrasi Timbal dan Kadmium Akibat
Perlakuan Pupuk Organik dalam Sistem Budidaya Sayuran Organik.
[skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Kimia, Institut Pertanian Bogor.
Kurniasih N. 2012. Pengomposan Lumpur Pengolahan Air dengan Limbah
Pertanian. [tesis]. Bogor (ID): Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan,
Institut Pertanian Bogor.
Lingineni S, Dhir VK. 1996. Controlling Transport Processes During NAPL
Removal by Soil venting. Los Angeles (UK). University of California.
Moenir M. 2010. Kajian fitoremediasi sebagai alternatif pemulihan tanah tercemar
logam berat. Jurnal Riset Teknologi Pencegahan dan Pencemaran Industri
1 (2) : 115-123.
Nurlaela. 2007. Distribusi dan Akumulasi Aluminium pada Akar Padi dalam
Kondisi Cekaman Aluminium pada Larutan Hara. [skripsi]. Bogor (ID):
Jurusan Biologi, Institut Pertanian Bogor.
Priadie B. 2012. Teknik bioremediasi sebagai alternatif dalam upaya pengendalian
pencemaran air. Jurnal Ilmu Lingkungan 10(1): 135-145.
Ryak R. 1992. On-farm Composting Handbook. Northeast Regional Agricultural
Engineering Service Pub. No. 54. Cooperative Extension Service. Ithaca,
N.Y. 1992 ; 186pp. A classic in on-form composting. Website:
www.nreas.org
Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jakarta (ID): PT Gramedia
Surachman D. 2010. Potensial Redoks (Eh) dan Kelarutan Fe dan Mn serta
Kaitannya dengan Pertumbuhan Padi pada Budidaya Sistem Konvensional
dan System of Rice Intensification. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Syafruddin, Sopandie D, dan Trikoesoemaningtyas. 2006. Ketenggangan genotipe
jagung (Zea mays L.) terhadap cekaman aluminium. Buletin Agronomi
Institut Pertanian Bogor 34 (1): 1-10.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2004. Standar Nasional Indonesia No. 197030-2004 tentang Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik.
Badan Standarisasi Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2009. Standar Nasional Indonesia 7387 : 2009
tentang Batas Maksimum Cemaran Logam Berat dalam Pangan. Badan
Standarisasi Nasional.
Taryana AT. 1995. Akumulasi Logam Berat (Cu, Mn, dan Zn) pada Jenis
Rhizophora stylosa Griff, di Hutan Tanaman Mangrove Cilacap BKPH
Rawa Timur, KPH Banyumas Barat Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah.
Bogor (ID): Jurusan Manajemen Hutan, Institut Pertanian Bogor.
Wicaksono AB. 2012. Pemanfaatan Limbah Lumpur Water Treatment Plant PT.
Krakatau Tirta Industri sebagai Bahan Baku Kompos. [skripsi]. Bogor (ID):
Jurusan Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor.
Yeni WP. 2001. Pemanfaatan Sludge Limbah Pengolahan Air Minum (SPAM)
sebagai Media Tanaman. [skripsi]. Bogor (ID): Jurusan Ilmu Tanah dan
Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor.
Zynda T. 2007. Phytoremediation, Technical Assistance for Browfields (TAB)
Program, Michigan (US).
http://cluin.org/PRODUCTS/CITGUIDE/Phyto.htm.
LAMPIRAN
Lampiran 1 Kadar air uji ketiga
Kadar Air Uji Ketiga
Jenis tanaman
wadah
Berat basah
kangkung 2-1
kangkung 2-2
Gajah mini 2-1
Gajah mini 2-2
93,1911
108,5377
96,6862
95,6233
97,7389
113,8224
98,2032
97,0418
Berat
kering
93,7942
109,1347
97,2069
96,0834
kadar air
(%)
86,74%
88,70%
65,68%
67,56%
Lampiran 2 Kadar air uji kedua
Jenis Tanaman
wadah
Berat basah
Cabe 2-1
Cabe 2-2
Kangkung komersil 1
kangkung komersil 2
Kangkung 1-1
Kangkung 1-2
kangkung 2-1
kangkung 2-2
103,0204
105,5768
107,0372
108,4567
100,4658
101,2689
96,7324
100,327
108,0204
110,1659
111,1296
111,4432
105,269
105,5988
101,1674
105,1843
Berat
kering
104,2921
106,9011
107,6088
108,8689
101,475
101,9719
97,2841
100,9612
kadar air
(%)
74,57%
71,14%
86,03%
86,20%
78,99%
83,76%
87,56%
86,94%
Lampiran 3 Parameter yang perlu diperhatikan dengan seksama dalam setiap jenis
air limbah industri
Minuman
Pengalengan
Pupuk
Kimia anorganik
Kimia organik
Dagang
Besi
Plastik
Kertas
Minyak
Baja
Tekstil
Harian
INDUSTRI
Kendaraan
Parameter
1
2
3
4
5
6
7
8
9
1
1
1
1
1
BOD5
x
COD
x
x
x
x
TOC
x
x
x
x
x
x
x
x
0
1
2
3
4
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
TOD
x
x
pH
x
Total solids
x
Suspended solids
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Settleable solids
x
Total
x
dissolved
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
solids
Volatile
suspended
x
solids
Minyak dan lemak
x
x
x
x
Logam berat
Kromium
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Nikel
x
Besi
x
x
Zeng
x
x
Arsen
x
x
x
x
x
x
x
Air raksa
x
x
x
x
x
x
x
Timbal (copper)
Timbal
x
x
x
x
Tin
x
Kadmium
x
x
Kalsium
x
Flourida
x
Sianida
x
x
x
x
Klorida
x
x
x
Sulfat
x
x
x
Amoniak
x
x
Sodium
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Silikat
x
Sulfit
x
Nitrat
x
x
Fosfor
x
Urea Anorganik
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Warna
x
Jumlah coli
x
Coli faeces
x
x
Bahan beracun
x
Temperatur
x
Kekeruhan
x
Buih
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Bau
x
x
x
x
Fenol
x
Klorinated benezoids
dan
x
x
x
x
x
x
x
x
x
x
Polinuklear
aromaties
Mercaptan/sulfida
x
x
x
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Rao-rao, Batusangkar, Sumatera Barat pada tanggal 29
November 1990. Penulis merupakan anak pertama dari lima bersaudara dari bapak
Yulhendri dan ibu Helniwati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di
SD Negeri I Bangselok pada tahun 2002, sekolah melanjutkan pendidikan tingkat
pertama di SLTP Negeri I Sumenep, Madura pada tahun 2005, sekolah menengah
atas di SMA Negeri I Sumenep, Madura pada tahun 2008. Pada tahun yang sama,
penulis diterima di IPB melalui jalur Beasiswa Utusan Daerah (BUD) Rokan Hilir
dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen teknik Sipil dan Lingkungan Institut
Pertanian Bogor pada tahun 2008.
Selama menjadi mahasiswa penulis aktif dalam berbagai organisasi. Pada
Tahun 2010 penulis menjadi Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Kelurga
Mahasiswa IPB serta pada tahun 2011 menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Teknik Sipil dan Lingkungan IPB.
D
Download