Riwayat Penulis - Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama)

advertisement
Riwayat Penulis
P
erhatian Dr. Andriansyah., M.Si., pada dunia pendidikan
tampaknya memang tidak main-main. Sebelum benarbenar terjun sebagai pendidik, pria kelahiran Jakarta,
01 Oktober 1971 ini sempat aktif di berbagai organisasi, di
antaranya menjadi Sekretaris Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 1992-1993, sebagai Ketua Umum Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof.
Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 1993-1994, Ketua Bidang I
SMPT Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) tahun 1994-1995.
Suami dari seorang dokter bernama Eva Mardhiati dan ayah dua puteri Ghifari
Azhar Fadiyah dan Ghifari Zahra Mutmainnah ini bahkan juga sempat aktif di berbagai
organisasi seperti Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Provinsi Banten 20002004, Sekjen Gabungan Pengusaha Muda Islam Tahun 2003 – sekarang, menjadi Sekretaris Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Wilayah DKI Jakarta.
Andriansyah yang berhasil meraih S-1 Program Studi Ilmu Administrasi Negara,
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) lulus tahun 1995 dan S-2 Magister Ilmu Administrasi Program Pascasarjana Universitas Prof.
Dr. Moestopo (Beragama) lulus tahun 2002 ini pernah menjadi Tenaga Ahli Lembaga
Studi Pembangunan (LSP) Tahun 1997-2005, Direktur Eksekutif Lembaga Pengembangan Sosial Ekonomi Masyarakat (LPSEM) 1998-2005, Praktisi Program Keluarga Harapan (PKH) pada Kementerian Sosial RI tahun 2014-sekarang, dan menjadi Tim penilai
pekerja sosial (PSM) berpretasi tingkat nasional di Kementerian Sosial RI tahun 2012sekarang.
Pria yang sudah menulis buku Administrasi Pemerintahan Daerah dalam Analisa,
Kepemimpinan Visioner Kepala Daerah, dan Manajemen Transportasi dalam Kajian dan
Teori ini sekarang adalah Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof.
Dr. Moestopo (Beragama) Tahun 1998 hingga sekarang, pernah menjabat Kasubag Kemahasiswaan FISIP UPDM (B) tahun 2004-2005, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama)
Tahun 2005-2006, memangku jabatan Wakil Dekan Bidang Administrasi dan keuangan
Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu politik Universitas Prof. Dr. Meostopo (Beragama) tahun
2006 – sekarang, hingga akhirnya menjadi Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan
Alumni Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama) tahun 2012-2016.
PENERBIT
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama
Manajemen Materiil
KontemporeR
I
Cetakan Pertama Diterbitkan oleh
Alamat
Telepon
Fax
Editor
Design Sampul
Layout
2016
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Prof. Dr. Moestopo Beragama
: Jln. Hang Lekir I, No. 8,
Senayan, Jakarta Pusat, 10270
: (021) 7220269, 7252682
: (021) 7252682
: Dr. Eva Mardhiati
: Resta. Jumena
: Resta. Jumena
No. ISBN
: 978-6029-00636-0
Manajemen Materiil
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau keseluruhan isi buku
Tanpa izin dari penerbit
Manajemen Materiil
II
U
Kata Pengantar
ntuk dapat mengelola aset dengan baik, diperlukan kemampuan menguasai berbagai disiplin ilmu dengan baik seperti, ekonomi, akuntansi,
teknik, computer, dan manajemen. Disiplin-disiplin ilmu ini kemudian
diracik sedemikian rupa sehingga menjadi satu ilmu yang dikenal dengan
manajemen materiil. Manajemen atas aset negara yang benar meliputi pembuatan prakiraan dan perencanaan, penilaian kondisi, pengelompokan, dan
penggolongan sesuai dengan kriteria masing-masing aset.
Buku Manajemen Materiil Kontemporer lebih banyak berdasarkan pandangan tentang materiil yang mengarah kepada pengelolaan aset negara atau
barang milik negara (BMN), meski sebenarnya ketiga istilah tersebut memiliki
landasan sendiri-sendiri. Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal
33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara
termasuk di dalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar
memberi kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan
seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air, dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya.
Materiil atau Kekayaan Negara ditinjau dari lingkupnya dapat diartikan
sebagai keseluruhan harta negara, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai,
baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan yang tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kekayaan yang dimiliki
negara adalah kekayaan di mana melekat hak milik negara (domein privat).
Domein privat ini merupakan hak untuk ‘memiliki’ suatu barang atau jasa. Kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan
dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD
1945.
Saya berharap, buku ini bisa menambah pengetahuan kita tentang materiil
dengan pengelolaan dan manajemen yang bertanggungjawab, semata-mata
untuk kemakmuran masyarakat Indonesia dan menciptakan good governance.
Penulis
Dr. Andriansyah., M.Si.
III
Manajemen Materiil
Manajemen
Materiil
Manajemen Materiil
KontemporeR
KontemporeR
Manajemen Materiil
IV
Daftar ISI
BAB I
TENTANG MANAJEMEN
Penjelasan tentang Manajemen
Era Manajemen Ilmiah
Era Manusia Sosial
Era Modern
Manajemen Ilmiah
Pendekatan Kuantitatif
Fungsi Manajemen
Pengertian dan Definisi Manajemen menurut Para Ahli
Pengertian Manajemen Materiil
01
01
02
04
05
05
06
07
09
09
BAB II
MANAJEMEN BARANG/ASET MILIK NEGARA
Sekilas tentang Aset Negara
Manajemen Aset Negara
Strategi Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Pengertian BMN
Pengertian Manajemen Materiil dan Keuangan
Administrasi Materiil dan Keuangan
Sistem Administrasi Materiil
Sistem Administrasi Keuangan
14
14
15
18
19
22
23
24
25
BAB III
STRATEGI PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
Babak Baru Pengelolaan BMN
Roadmap Strategic Assets Management
Penertiban Barang Milik Negara/Daerah
Kurangnya Tingkat Akurasi Nilai Aset yang Dikelola
Ketidakjelasan Status Aset yang Dikelola
Penggunaan BMN untuk Mendukung Tugas Pokok/Fungsi Pemerintah
Kurang Optimalnya Pemanfaatan dan Pemindahtanganan BMN
Meminimalisasi Terjadinya Kerugian Negara sebagai Akibat dari
Pengelolaan BMN
BMN Berupa Tanah dan Bangunan
V
Manajemen Materiil
29
29
29
31
33
33
34
34
35
36
Pengelolaan Barang Milik Daerah
Strategi Optimalisasi Pengelolaan Barang Milik Negara Meliputi
Identifikasi dan Inventarisasi Nilai dan Potensi Aset Daerah
Adanya Sistem Informasi Manajemen Aset Daerah
Pengawasan dan Pengendalian Pemanfaatan Aset
Strategi Pengelolaan BMN Lainnya
36
37
37
37
37
40
PENGELOLAAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
YANG BERSTATUS SEBAGAI BMN
Pemanfaatan
Pemindahtanganan
Penilaian
41
43
43
44
PENTINGNYA PENGELOLAAN KEKAYAAN NEGARA
45
BAB IV
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA
Tahapan Pengelolaan Barang Milik Negara
Landasan Hukum Pengelolaan Barang Milik Negara
47
47
47
PENGATURAN ASET NEGARA DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pengertian Aset Negara
Tata Kelola Aset Negara (Tanah)
Pengelolaan Aset Negara yang Profesional dan Modern
51
51
54
69
EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG ASET NEGARA
Analisis dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Aset Negara
Analisis dan Evaluasi Kebijakan Praktik Penatausahaan
Pemindahtanganan
Penatausahaan
Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan Aset Negara
Analisis dan Evaluasi Pengelolaan Aset Daerah
Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)
Pemanfaatan BMD
Struktur dan Komposisi Aset Negara
(Khususnya Aset Tetap Berupa Tanah)
70
75
75
83
83
84
90
91
93
98
Manajemen Materiil
VI
BAB V
PENTINGNYA PENGHAPUSAN DAN TATA CARA LELANG BMN
Latar Belakang Penghapusan Barang Milik Negara
Persyaratan Agar BMN Dapat Dihapuskan
100
100
100
TATA CARA PENJUALAN/LELANG BMN
Pertimbangan Penjualan BMN
Barang Milik Negara yang Dapat Dijual
Ketentuan dalam Pelaksanaan Penjualan/Lelang
Subjek Pelaksanaan Penjualan
Tata Cara Penjualan Tanah/Bangunan
Tata Cara Penjualan Bangunan yang Harus Dihapuskan
Tata Cara Penjualan/Lelang BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan
103
106
106
106
106
108
109
110
DAFTAR PUSTAKA
112
VII
Manajemen Materiil
BAB I
TENTANG MANAJEMEN
Penjelasan tentang Manajemen
K
ata Manajemen berasal dari bahasa Perancis kuno managemen yang
memiliki arti ‘seni melaksanakan dan mengatur’. Kata manajemen mungkin berasal dari bahasa Italia (1561) maneggiare yang berarti ‘mengendalikan’, terutama dalam konteks mengendalikan kuda yang berasal dari bahasa
latin manus yang berarti tangan. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari
bahasa Inggris menjadi management yang memiliki arti seni melaksanakan
dan mengatur.
Pendapat lain menyebutkan, Manajemen berasal dari bahasa inggris yaitu
manage, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan yaitu mengendalikan atau
mengelola. Sedangkan, definisi manajemen adalah suatu seni mengarahkan
orang lain untuk mencapai tujuan utama dalam suatu organisasi melalui proses
perencanaan (Planning), pengorganisasian (Organizing), dan mengelola (Controlling) sumber daya manusia dengan cara efektif dan efisien.
Manajemen merupakan seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain.
Definisi Mary Parker Follet ini berarti bahwa seorang manajer bertugas mengatur dan mengarahkan orang lain untuk mencapai tujuan organisasi. Sementara, Ricky W. Griffin mendefinisikan manajemen sebagai sebuah proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, dan pengontrolan sumber daya
untuk mencapai sasaran secara efektif dan efesien. Efektif berarti bahwa tujuan
dapat dicapai sesuai dengan perencanaan, sementara efisien berarti bahwa tugas yang ada dilaksanakan secara benar, terorganisir, dan sesuai dengan jadwal.
Banyak kesulitan yang terjadi dalam melacak sejarah manajemen, namun
diketahui bahwa ilmu manajemen telah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Hal
ini dibuktikan dengan adanya piramida di Mesir. Piramida tersebut dibangun
oleh lebih dari 100 ribu orang selama 20 tahun. Piramida Giza tak akan berhasil dibangun jika tidak ada seseorang -tanpa memedulikan apa sebutan untuk
manajer ketika itu- yang merencanakan apa yang harus dilakukan, mengorganisir manusia serta bahan bakunya, memimpin dan mengarahkan para pekerja,
dan menegakkan pengendalian tertentu guna menjamin bahwa segala sesuatunya dikerjakan sesuai rencana.
Praktik-praktik manajemen lainnya dapat disaksikan selama tahun 1400-an
di kota Venesia, Itali yang ketika itu menjadi pusat perekonomian dan perdaManajemen Materiil
1
gangan. Penduduk Venesia mengembangkan bentuk awal perusahaan bisnis
dan melakukan banyak kegiatan yang lazim terjadi di organisasi modern saat
ini. Sebagai contoh, di gudang senjata Venesia, kapal perang diluncurkan sepanjang kanal, pada tiap-tiap perhentian, bahan baku dan tali layar ditambahkan
ke kapal tersebut. Hal ini mirip dengan model lini perakitan yang dikembangkan oleh Henry Ford untuk merakit mobil-mobilnya. Selain lini perakitan, orang
Venesia memiliki sistem penyimpanan dan pergudangan untuk memantau
isinya, manajemen sumber daya manusia untuk mengelola angkatan kerja, dan
sistem akuntansi untuk melacak pendapatan dan biaya. Daniel Wren membagi evolusi pemikiran manajemen dalam empat fase, yaitu pemikiran awal, era
manajemen sains, era manusia sosial, dan era modern.
Sebelum abad ke-20, terjadi dua peristiwa penting dalam ilmu manajemen.
Peristiwa pertama terjadi pada tahun 1776, ketika Adam Smith menerbitkan
sebuah doktrin ekonomi klasik, The Wealth of Nation. Dalam bukunya itu, ia
mengemukakan keunggulan ekonomis yang akan diperoleh organisasi dari
pembagian kerja (division of labour), yaitu perincian pekerjaan ke dalam tugastugas yang spesifik dan berulang. Dengan menggunakan industri pabrik peniti
sebagai contoh, Smith mengatakan bahwa dengan sepuluh orang - masingmasing melakukan pekerjaan khusus- perusahaan peniti dapat menghasilkan
kurang lebih 48.000 peniti dalam sehari. Akan tetapi, jika setiap orang bekerja sendiri menyelesaikan tiap-tiap bagian pekerjaan, sudah sangat hebat bila
mereka mampu menghasilkan dua puluh peniti sehari. Smith menyimpulkan
bahwa pembagian kerja dapat meningkatkan produktivitas dengan :
1. Meningkatnya keterampilan dan kecekatan tiap-tiap pekerja
2. Menghemat waktu yang terbuang dalam pergantian tugas
3. Menciptakan mesin dan penemuan lain yang dapat menghemat tenaga
kerja
Peristiwa penting kedua yang memengaruhi perkembangan ilmu manajemen adalah Revolusi Industri di Inggris. Revolusi Industri menandai dimulainya penggunaan mesin, menggantikan tenaga manusia yang berakibat pada
pindahnya kegiatan produksi dari rumah-rumah menuju tempat khusus yang
disebut ‘pabrik’. Perpindahan ini mengakibatkan manajer-manajer ketika itu
membutuhkan teori yang dapat membantu mereka meramalkan permintaan, memastikan cukupnya persediaan bahan baku, memberikan tugas kepada bawahan, mengarahkan kegiatan sehari-hari, dan lain-lain, sehingga ilmu
manajamen mulai dikembangkan oleh para ahli.
Era Manajemen Ilmiah
Era ini ditandai dengan berkembangnya ilmu manajemen dari kalangan
insinyur - seperti Henry Towne, Frederick Winslow Taylor, Frederick A. Halsey,
Manajemen Materiil
2
dan Harrington Emerson. Manajemen ilmiah dipopulerkan oleh Frederick Winslow Taylor dalam bukunya, Principles of Scientific Management, pada tahun
1911. Taylor mendeskripsikan manajemen ilmiah sebagai ‘penggunaan metode
ilmiah untuk menentukan cara terbaik dalam menyelesaikan suatu pekerjaan’.
Beberapa penulis seperti Stephen Robbins menganggap tahun terbitnya buku
ini sebagai tahun lahirnya teori manajemen modern.
Perkembangan manajemen ilmiah juga didorong oleh munculnya pemikiran
baru dari Henry Gantt dan keluarga Gilberth. Henry Gantt yang pernah bekerja
bersama Taylor di Midvale Steel Company, menggagas ide bahwa seharusnya
seorang mandor mampu memberi pendidikan kepada karyawannya untuk
bersifat rajin (industrious ) dan kooperatif. Ia juga mendesain sebuah grafik untuk membantu manajemen yang disebut sebagai Gantt Chart yang digunakan
untuk merancang dan mengontrol pekerjaan. Sementara itu, pasangan suami
istri Frank dan Lillian Gilbreth berhasil menciptakan micromotion, sebuah alat
yang dapat mencatat setiap gerakan yang dilakukan oleh pekerja dan lamanya
waktu yang dihabiskan untuk melakukan setiap gerakan tersebut. Alat ini digunakan untuk menciptakan sistem produksi yang lebih efesien.
Era ini juga ditandai dengan hadirnya teori administratif, yaitu teori mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh para manajer dan bagaimana cara
membentuk praktik manajemen yang baik. Pada awal abad ke-20, seorang
industriawan Prancis bernama Henry Fayol mengajukan gagasan lima fungsi
utama manajemen: merancang, mengorganisasi, memerintah, mengoordinasi,
dan mengendalikan. Gagasan Fayol itu kemudian mulai digunakan sebagai
kerangka kerja buku ajar ilmu manajemen pada pertengahan tahun 1950, dan
terus berlangsung hingga sekarang. Selain itu, Henry Fayol juga mengagas 14
Prinsip Manajemen yang merupakan dasar-dasar dan nilai yang menjadi inti
dari keberhasilan sebuah manajemen.
Sumbangan penting lainnya datang dari ahli sosiologi Jerman, Max Weber. Weber menggambarkan suatu tipe ideal organisasi yang disebut sebagai
birokrasi -bentuk organisasi yang dicirikan oleh pembagian kerja, hirarki yang
didefinisikan dengan jelas, peraturan dan ketetapan yang rinci, dan sejumlah
hubungan yang impersonal. Namun, Weber menyadari bahwa bentuk ‘birokrasi yang ideal’ itu tidak ada dalam realita. Dia menggambarkan tipe organisasi
tersebut dengan maksud menjadikannya sebagai landasan untuk berteori tentang bagaimana pekerjaan dapat dilakukan dalam kelompok besar. Teorinya
tersebut menjadi contoh desain struktural bagi banyak organisasi besar sekarang ini.
Perkembangan selanjutnya terjadi pada tahun 1940-an ketika Patrick BlackManajemen Materiil
3
ett melahirkan ilmu riset operasi yang merupakan kombinasi dari teori statistika dengan teori mikroekonomi. Riset operasi, sering dikenal dengan ‘manajemen sains’, mencoba pendekatan sains untuk menyelesaikan masalah dalam
manajemen, khususnya di bidang logistik dan operasi. Pada tahun 1946, Peter
F. Drucker -sering disebut sebagai Bapak Ilmu Manajemen- menerbitkan salah
satu buku paling awal tentang manajemen terapan: Konsep Korporasi (Concept
of the Corporation). Buku ini muncul atas ide Alfred Sloan (chairman dari General Motors) yang menugaskan penelitian tentang organisasi.
Era Manusia Sosial
Era manusia sosial ditandai dengan lahirnya mahzab perilaku (behavioral
school) dalam pemikiran manajemen pada akhir era manajemen sains. Mahzab
perilaku tidak mendapatkan pengakuan luas sampai tahun 1930-an. Katalis
utama dari kelahiran mahzab perilaku adalah serangkaian studi penelitian yang
dikenal sebagai eksperimen Hawthorne. Eksperimen Hawthorne dilakukan
pada tahun 1920-an hingga 1930-an di Pabrik Hawthorne milik Western Electric
Company Works di Cicero, Illenois. Kajian ini awalnya bertujuan mempelajari
pengaruh berbagai macam tingkat penerangan lampu terhadap produktivitas
kerja. Hasil kajian mengindikasikan bahwa ternyata insentif seperti jabatan,
lama jam kerja, periode istirahat, maupun upah lebih sedikit pengaruhnya terhadap output pekerja dibandingkan dengan tekanan kelompok, penerimaan
kelompok, serta rasa aman yang menyertainya. Peneliti menyimpulkan bahwa
norma-norma sosial atau standar kelompok merupakan penentu utama perilaku kerja individu.
Kontribusi lainnya datang dari Mary Parker Follet. Follet (1868–1933) yang
mendapatkan pendidikan di bidang filosofi dan ilmu politik menjadi terkenal
setelah menerbitkan buku berjudul Creative Experience pada tahun 1924. Follet mengajukan suatu filosifi bisnis yang mengutamakan integrasi sebagai cara
untuk mengurangi konflik tanpa kompromi atau dominasi. Follet juga percaya
bahwa tugas seorang pemimpin adalah untuk menentukan tujuan organisasi
dan mengintegrasikannya dengan tujuan individu dan tujuan kelompok. Dengan kata lain, ia berpikir bahwa organisasi harus didasarkan pada etika kelompok daripada individualisme. Dengan demikian, manajer dan karyawan seharusnya memandang diri mereka sebagai mitra, bukan lawan.
Pada tahun 1938, Chester Barnard (1886–1961) menulis buku berjudul The
Functions of the Executive yang menggambarkan sebuah teori organisasi dalam rangka untuk merangsang orang lain memeriksa sifat sistem koperasi.
Melihat perbedaan antara motif pribadi dan organisasi, Barnard menjelaskan
dikotonomi ‘efektif-efisien’. Menurut Barnard, efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan, dan efisiensi adalah sejauh mana motif-motif individu dapat ter4
Manajemen Materiil
puaskan. Dia memandang organisasi formal sebagai sistem terpadu yang menjadikan kerjasama, tujuan bersama, dan komunikasi sebagai elemen universal,
sementara itu pada organisasi informal, komunikasi, kekompakan, dan pemeliharaan perasaan harga diri lebih diutamakan. Barnard juga mengembangkan
teori ‘penerimaan otoritas’ yang didasarkan pada gagasan bahwa atasan hanya
memiliki kewenangan jika bawahan menerima otoritasnya.
Era Modern
Era modern ditandai dengan hadirnya konsep manajemen kualitas total (total quality management-TQM) pada abad ke-20 yang diperkenalkan oleh beberapa guru manajemen, yang paling terkenal di antaranya W. Edwards Deming
(1900–1993) and Joseph Juran (lahir 1904). Deming, orang Amerika, dianggap
sebagai Bapak Kontrol Kualitas di Jepang. Deming berpendapat bahwa kebanyakan permasalahan dalam kualitas bukan berasal dari kesalahan pekerja, melainkan sistemnya. Ia menekankan pentingnya meningatkan kualitas dengan
mengajukan teori lima langkah reaksi berantai. Ia berpendapat bila kualitas dapat ditingkatkan dengan :
1. Biaya akan berkurang karena berkurangnya biaya perbaikan, sedikitnya
kesalahan, minimnya penundaan, dan pemanfaatan yang lebih baik
atas waktu dan material
2. Produktivitas meningkat
3. Pangsa pasar meningkat karena peningkatan kualitas dan penurunan
harga
4. Profitabilitas perusahaan peningkat sehingga dapat bertahan dalam
bisnis
5. Jumlah pekerjaan meningkat
Deming mengembangkan 14 poin rencana untuk meringkas pengajarannya tentang peningkatan kualitas. Kontribusi kedua datang dari Joseph Juran.
Ia menyatakan bahwa 80 persen cacat disebabkan karena faktor-faktor yang
sebenarnya dapat dikontrol oleh manajemen. Dari teorinya, ia mengembangkan trilogi manajemen yang memasukkan perencanaan, kontrol, dan peningkatan kualitas. Juran mengusulkan manajemen untuk memilih satu area yang
mengalami kontrol kualitas yang buruk. Area tersebut kemudian dianalisis, kemudian dibuat solusi, dan diimplementasikan.
Manajemen Ilmiah
Manajemen ilmiah kemudian dikembangkan lebih jauh oleh pasangan
suami-isteri Frank dan Lillian Gilbreth. Keluarga Gilbreth berhasil menciptakan
micromotion yang dapat mencatat setiap gerakan yang dilakukan oleh pekerja
dan lamanya waktu yang dihabiskan untuk melakukan setiap gerakan tersebut.
Gerakan sia-sia yang luput dari pengamatan mata telanjang dapat diidentifikaManajemen Materiil
5
si dengan alat tersebut, untuk kemudian dihilangkan. Keluarga Gilbreth juga
menyusun skema klasifikasi untuk memberi nama tujuh belas gerakan tangan
dasar (seperti mencari, menggenggam, memegang) yang mereka sebut Therbligs (dari nama keluarga mereka, Gilbreth, yang dieja terbalik dengan huruf
th tetap). Skema tersebut memungkinkan keluarga Gilbreth menganalisis cara
yang lebih tepat dari unsur-unsur setiap gerakan tangan pekerja.
Skema itu mereka dapatkan dari pengamatan mereka terhadap cara penyusunan batu bata. Sebelumnya, Frank yang bekerja sebagai kontraktor bangunan menemukan bahwa seorang pekerja melakukan 18 gerakan untuk memasang batu bata untuk eksterior dan 18 gerakan juga untuk interior. Melalui
penelitian, ia menghilangkan gerakan-gerakan yang tidak perlu sehingga gerakan yang diperlukan untuk memasang batu bata eksterior berkurang dari 18
gerakan menjadi 5 gerakan. Sementara untuk batu bata interior, ia mengurangi
secara drastis dari 18 gerakan hingga menjadi 2 gerakan saja. Dengan menggunakan teknik-teknik Gilbreth, tukang baku dapat lebih produktif dan berkurang
kelelahannya di penghujung hari.
Pendekatan Kuantitatif
Pendekatan kuantitatif adalah penggunaan sejumlah teknik kuantitatif
–seperti statistik, model optimasi, model informasi, atau simulasi komputeruntuk membantu manajemen mengambil keputusan. Sebagai contoh, pemrograman linear digunakan para manajer untuk membantu mengambil kebijakan
pengalokasian sumber daya; analisis jalur kritis (Critical Path Analysis) dapat digunakan untuk membuat penjadwalan kerja yang lebih efesien; model kuantitas pesanan ekonomi (economic order quantity model) membantu manajer
menentukan tingkat persediaan optimum, dan lain-lain.
Pengembangan kuantitatif muncul dari pengembangan solusi matematika dan statistik terhadap masalah militer selama Perang Dunia II. Setelah
perang berakhir, teknik-teknik matematika dan statistika yang digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan militer itu diterapkan di sektor bisnis.
Pelopornya adalah sekelompok perwira militer yang dijuluki Whiz Kids. Para
perwira yang bergabung dengan Ford Motor Company pada pertengahan
1940-an ini menggunakan metode statistik dan model kuantitatif untuk memperbaiki pengambilan keputusan di Ford.
Ada 6 macam teori manajamen di antaranya:
1. Aliran Klasik - Aliran ini mendefinisikan manajemen sesuai dengan
fungsi-fungsi manajemennya. Perhatian dan kemampuan manajemen
dibutuhkan pada penerapan fungsi-fungsi tersebut.
2. Aliran Perilaku - Aliran ini sering disebut juga aliran manajemen
6
Manajemen Materiil
hubungan manusia. Aliran ini memusatkan kajiannya pada aspek
manusia dan perlunya manajemen memahami manusia.
3. Aliran Manajemen Ilmiah - Aliran ini menggunakan matematika dan ilmu
statistika untuk mengembangkan teorinya. Menurut aliran ini,
pendekatan kuantitatif merupakan sarana utama dan sangat berguna
untuk menjelaskan masalah manajemen.
4. Aliran Analisis Sistem - Aliran ini memfokuskan pemikiran pada masalah
yang berhubungan dengan bidang lain untuk mengembangkan teorinya.
5. Aliran Manajemen Berdasarkan Hasil - Aliran manajemen berdasarkan
hasil diperkenalkan pertama kali oleh Peter Drucker pada awal
1950-an. Aliran ini memfokuskan pada pemikiran hasil-hasil yang
dicapai bukannya pada interaksi kegiatan karyawan.
6. Aliran Manajemen Mutu - Aliran manajemen mutu memfokuskan
pemikiran pada usaha-usaha untuk mencapai kepuasan pelanggan
atau konsumen.
Fungsi Manajemen
Fungsi manajemen adalah elemen-elemen dasar yang akan selalu ada dan
melekat di dalam proses manajemen yang akan dijadikan acuan oleh manajer
dalam melaksanakan kegiatan untuk mencapai tujuan. Fungsi manajemen pertama kali diperkenalkan oleh seorang industrialis Perancis bernama Henry Fayol
pada awal abad ke-20. Ketika itu, Fayol menyebutkan lima fungsi manajemen,
yaitu merancang, mengorganisir, memerintah, mengordinasi, dan mengendalikan. Namun saat ini, kelima fungsi tersebut telah diringkas menjadi tiga, yaitu:
1. Perencanaan (planning) - adalah memikirkan apa yang akan dikerjakan
dengan sumber yang dimiliki. Perencanaan dilakukan untuk menentukan tujuan perusahaan secara keseluruhan dan cara terbaik untuk memenuhi tujuan
itu. Manajer mengevaluasi berbagai rencana alternatif sebelum mengambil tindakan dan kemudian melihat apakah rencana yang dipilih cocok dan dapat digunakan untuk memenuhi tujuan perusahaan. Perencanaan merupakan proses
terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan, fungsifungsi lainnya tak dapat berjalan.
2. Pengorganisasian (organizing) - dilakukan dengan tujuan membagi
suatu kegiatan besar menjadi kegiatan-kegiatan yang lebih kecil. Pengorganisasian mempermudah manajer dalam melakukan pengawasan dan menentukan orang yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas yang telah dibagi-bagi
tersebut. Pengorganisasian dapat dilakukan dengan cara menentukan tugas
apa yang harus dikerjakan, siapa yang harus mengerjakannya, bagaimana tugas-tugas tersebut dikelompokkan, siapa yang bertanggung jawab atas tugas
tersebut, dan pada tingkatan mana keputusan harus diambil.
3. Pengarahan (directing) - adalah suatu tindakan untuk mengusahakan
Manajemen Materiil
7
agar semua anggota kelompok berusaha untuk mencapai sasaran sesuai dengan perencanaan manajerial dan usaha.
Untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan diperlukan alat-alat sarana
(tools). Tools merupakan syarat suatu usaha untuk mencapai hasil yang ditetapkan. Tools tersebut dikenal dengan 6M, yaitu men, money, materials, machines,
method, dan markets. Berikut penjelasannya :
1. Man merujuk pada sumber daya manusia yang dimiliki oleh organisasi.
Dalam manajemen, faktor manusia adalah yang paling menentukan. Manusia
yang membuat tujuan dan manusia pula yang melakukan proses untuk mencapai tujuan. Tanpa ada manusia tidak ada proses kerja, sebab pada dasarnya manusia adalah makhluk kerja. Oleh karena itu, manajemen timbul karena adanya
orang-orang yang berkerja sama untuk mencapai tujuan.
2. Money atau Uang merupakan salah satu unsur yang tidak dapat diabaikan. Uang merupakan alat tukar dan alat pengukur nilai. Besar-kecilnya hasil
kegiatan dapat diukur dari jumlah uang yang beredar dalam perusahaan. Oleh
karena itu uang merupakan alat (tools) yang penting untuk mencapai tujuan
karena segala sesuatu harus diperhitungkan secara rasional. Hal ini akan berhubungan dengan berapa uang yang harus disediakan untuk membiayai gaji
tenaga kerja, alat-alat yang dibutuhkan dan harus dibeli serta berapa hasil yang
akan dicapai dari suatu organisasi.
3. Material terdiri dari bahan setengah jadi (raw material) dan bahan jadi.
Dalam dunia usaha untuk mencapai hasil yang lebih baik, selain manusia yang
ahli dalam bidangnya juga harus dapat menggunakan bahan/materi-materi
sebagai salah satu sarana. Sebab materi dan manusia tidak dapat dipisahkan,
tanpa materi tidak akan tercapai hasil yang dikehendaki.
4. Machine atau Mesin digunakan untuk memberi kemudahan atau menghasilkan keuntungan yang lebih besar serta menciptakan efesiensi kerja.
5. Metode adalah suatu tata cara kerja yang memperlancar jalannya
pekerjaan manajer. Sebuah metode daat dinyatakan sebagai penetapan cara
pelaksanaan kerja suatu tugas dengan memberikan berbagai pertimbanganpertimbangan kepada sasaran, fasilitas-fasilitas yang tersedia dan penggunaan
waktu, serta uang dan kegiatan usaha. Perlu diingat meskipun metode baik, sedangkan orang yang melaksanakannya tidak mengerti atau tidak mempunyai
pengalaman maka hasilnya tidak akan memuaskan. Dengan demikian, peranan
utama dalam manajemen tetap manusianya sendiri.
6. Market atau pasar adalah tempat di mana organisasi menyebarluaskan
(memasarkan) produknya. Memasarkan produk sudah barang tentu sangat
8
Manajemen Materiil
penting sebab bila barang yang diproduksi tidak laku, maka proses produksi
barang akan berhenti. Artinya, proses kerja tidak akan berlangsung. Oleh sebab
itu, penguasaan pasar dalam arti menyebarkan hasil produksi merupakan faktor menentukan dalam perusahaan. Agar pasar dapat dikuasai maka kualitas
dan harga barang harus sesuai dengan selera konsumen dan daya beli (kemampuan) konsumen.
Pengertian dan Definisi Manajemen menurut Para Ahli
1. Manajemen adalah adalah suatu proses yang berbeda terdiri dari
planning, organizing, actuating, dan controlling yang dilakukan untuk
mencapai tujuan yang ditentukan dengan menggunakan manusia
dan sumber daya lainnya (George R. Terry, 1997).
2. Manajemen adalah suatu seni yang produktif yang didasarkan pada
suatu pemahaman ilmu, ilmu dan seni tidaklah bertentangan,
namun masing masing saling melengkapi (Koontz)
3. Ilmu Manajemen merupakan proses dalam membuat suatu
perencanaan, pengorganisisasian, pengendalian serta memimpin
berbagai usaha dari anggota entitas atau organisasi dan juga
mempergunakan semua sumber daya yang dimiliki untuk mencapai
tujuan yang ditetapkan (Stoner)
4. Manajemen sebagai sebuah rangkaian tindakan tindakan yang dilakukan
oleh para anggota organisasi dalam upaya mencapai sasaran
organisasi. prosess merupakan suatu rangkaian aktivitas yang
dijalankan dengan sistematis (Wilson)
5. Manajemen adalah sebuah seni dalam mencapai tujuan yang diinginkan
yang dilaksanakan dengan usaha orang yang lain (Lawrance A Appley)
6. Manajemen sebagai suatu seni, tiap tiap pekerjaan bisa diselesaikan
dengan orang lain (Mary Parker F)
Pengertian Manajemen Materiil
Secara semantik atau menurut kamus, materiil adalah segala sesuatu yang
bersifat kebendaan. Istilah ini berasal dari bahasa Belanda. Sedangkan pengertian materiil secara umum adalah seluruh barang-barang milik/kekayaan negara baik yang berwujud tahan lama (inventaris) maupun yang berwujud pakai
habis yang satuan-satuannya dapat diukur, ditimbang dan dihitung terkecuali
surat-surat berharga dan uang. Istilah materiil masih banyak digunakan di ketentaraan/kepolisian kadang-kadang juga digunakan istilah logistik.
Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara
mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk
di dalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besarnya
Manajemen Materiil
9
kemakmuran rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi
kewenangan kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh
kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara (domein privat).
Sejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah Pusat telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar
dan menyeluruh yang termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara.
Hal ini dimulai dengan lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggungjawab Keuangan Negara yang telah menjadikan
lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara.
Dasar pemikiran diterbitkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam
alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai
bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam
suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 perlu
dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara merupakan payung hukum tertinggi di bidang administrasi keuangan
negara. Pengertian keuangan negara berdasarkan objeknya meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan
dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, barang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang milik negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara telah
mengamanatkan untuk mengatur pedoman teknis dan administrasi dalam
10
Manajemen Materiil
suatu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah.
Materiil atau Kekayaan Negara ditinjau dari lingkupnya dapat diartikan
sebagai keseluruhan harta negara, baik yang dimiliki maupun yang dikuasai,
baik yang dipisahkan maupun yang tidak dipisahkan yang tujuan akhir pengelolaannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kekayaan yang dimiliki
negara adalah kekayaan di mana melekat hak milik negara (domain privat). Domain privat ini merupakan hak untuk ‘memiliki’ suatu barang atau jasa. Kekayaan yang dimiliki oleh negara, terdiri dari kekayaan negara yang dipisahkan
dan kekayaan negara yang tidak dipisahkan yang bersumber dari pasal 23 UUD
1945. Kekayaan negara yang dipisahkan dapat berupa investasi pemerintah
pada BUMN dan investasi pemerintah lainnya. Sedangkan kekayaan negara
yang tidak dipisahkan berupa Barang Milik Negara/Daerah yang merupakan keseluruhan barang yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Daerah atau perolehan lainnya yang sah.
Pengaturan kekayaan negara dalam domein privat yang mengacu pada
Pasal 23 UUD 1945, selama ini diatur dalam berbagai undang-undang yang
mengatur mengenai perbendaharaan Negara dan keuangan negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
Jawab Keuangan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang
Badan Pemeriksa Keuangan dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang
Perbendaharaan Negara.
Kekayaan yang dikuasai negara adalah kekayaan di mana melekat mandat
hukum atau kewenangan negara untuk mengelola dan mempergunakan kekayaan tersebut bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat (domein publik). Domein
publik adalah hak untuk ‘menguasai’ suatu kekayaan yang diberikan oleh UUD
1945 kepada negara untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat (pasal 33 ayat (3) UUD 1945). Berdasarkan hak menguasai tersebut, UUD
1945 memberikan kewenangan kepada negara untuk ‘mengatur’ pengelolaan
kekayaan negara agar kekayaan negara itu dapat dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat. Hak mengatur ini merupakan hak publik, sehingga
hak tersebut bersifat ekslusif, artinya hak ini hanya dapat dimiliki oleh negara
dan tidak dapat dimiliki oleh pihak-pihak lain.
Di dalam pengertian negara menguasai kekayaan, terkandung maksud agar
penggunaannya dapat diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,
pemerataan dan kesinambungan manfaat untuk sebesar-besar kemakmuran
Manajemen Materiil
11
rakyat. Ketentuan mengenai pengelolaan Barang Milik Negara diatur secara
singkat dalam Undang-Undang 1 Nomor Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara dan pengaturan yang lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Selain UndangUndang 1 Nomor Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mengenai
pengelolaan keuangan negara diatur pada beberapa undang-undang yaitu
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Saat ini, pengelolaan kekayaan negara dalam domein privat termasuk ruang lingkup keuangan negara, sehingga kekayaan negara harus dilihat dari
perspektif yuridis keuangan Negara. Pemahaman tentang keuangan negara
mempunyai keterkaitan dengan konsepsi hukum administrasi negara, karena
perencanaan atas anggaran negara merupakan bagian dari “tugas penyelenggaraan kepentingan umum (public service).
Dengan adanya reformasi ekonomi, maka saat ini pengelolaan kekayaan
negara telah menjadi bagian yang sangat penting dalam pengelolaan ekonomi
Indonesia. Tujuan dari optimalisasi pengelolaan kekayaan negara menurut Doli
D. Siregar adalah sebagai berikut:
1. Menciptakan transparansi dan kejelasan arah dari kebijakan pemerintah
tentang pengelolaan harta kekayaan negara yang sangat berguna
sebagai arahan dalam pemanfaatan maupun pengelolaannya
2. Menciptakan sinergi dan keterpaduan gerak antara pengelolaan harta
kekayaan negara dan berbagai kebijakan dan program pemerintah
terutama dalam rangka mendukung program penyehatan
perekonomian nasional
3. Meningkatkan pendayagunaan dan sistem operasi pengawasan dalam
penguasaan dan pemanfaatan harta kekayaan negara dengan tujuan
untuk mengarahkan, mengendalikan dan mengamankan pengelolaan
harta kekayaan negara demi tercapainya pemerataan kemakmuran
rakyat
4. Menciptakan sistem dan mekanisme pengelolaan harta kekayaan negara
yang terpadu, efisien dan efektif serta memiliki kewenangan dan
otoritas yang jelas.
Sementara manfaat yang bisa dirasakan dari pengelolaan kekayaan negara
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui nilai terkini dan nilai potensi serta lokasi harta kekayaan
negara yang sangat bermanfaat dalam rangka mendukung
penguatan struktur ekonomi nasional
2. Mempermudah pengendalian, efisiensi pemanfaatan dan optimalisasi
pemanfaatan harta kekayaan Negara
12
Manajemen Materiil
3. Mendukung dan mendorong peningkatan kemampuan manajemen dan
bisnis bagi institusi yang menguasai dan mengeloa harta
kekayaan Negara
4. Mendukung dan mendorong peningkatan kemampuan manajemen dan
bisnis bagi institusi yang menguasai dan mengelola harta kekayaan
negara dalam rangka mengoptimalkan manfaat dan potensi yang ada
----o0o----
Manajemen Materiil
13
BAB II
MANAJEMEN BARANG/ASET MILIK NEGARA
Sekilas tentang Aset Negara
Manajemen Aset atau Asset Management dalam pikiran sebagian orang
mungkin berkisar pada segala sesuatu yang berhubungan dengan portfolio, investasi, atau keuangan. Akan tetapi, sesungguhnya manejemen aset lebih luas
dari hal-hal tersebut di atas. Aset merupakan hal yang sangat fundamental bagi
perseorangan ataupun organisasi yang memilikinya, karena aset merupakan
bagian yang penting dalam pencapaian tujuan dari pemilik aset, di mana aset
terletak di dalam bagian dari proses yang membantu dalam pencapaian tujuan
sebelum nantinya menjadi output yang diharapkan (goals).
Berbicara kata ‘aset’ berarti berbicara kekayaan atau harta yang nantinya
diharapkan menghadirkan benefit bagi pemiliknya. Pemiliknya bisa siapa saja.
Bisa pribadi, perusahaan, daerah atau bahkan negara. Aset pribadi bisa berarti
kendaraan, tempat tinggal, tabungan, relasi bahkan kepribadian. Aset perusahaan bisa berarti pabrik, karyawan, sistem manajemen, supplier dan pasar atau
pelanggan. Sedangkan aset daerah atau negara bisa juga berarti sumber daya
alam, ekonomi, dan sosial yang dimiliki oleh daerah atau negara t4ersebut. Ini
bisa berarti dimiliki oleh daerah atau negara sebagai institusi resmi atau dimiliki
oleh rakyat suatu daerah atau negara.
Untuk dapat mengelola aset dengan baik, diperlukan kemampuan menguasai berbagai disiplin ilmu dengan baik seperti, ekonomi, akuntansi, teknik, computer, dan manajemen. Disiplin-disiplin ilmu ini kemudian diracik sedemikian
rupa sehingga menjadi satu ilmu yang dikenal dengan manajemen aset. Manajemen atas aset yang benar meliputi pembuatan prakiraan dan perencanaan
aset, penilaian kondisi aset, pengelompokan dan penggolongan sesuai dengan
kriteria masing-masing aset.
14
Manajemen aset didefinisikan sebagai sebuah proses pengelolaan aset (kekayaan) baik berwujud dan tidak berwujud yang memiliki nilai ekonomis, nilai
komersial, dan nilai tukar, serta mampu mendorong tercapainya tujuan. Melalui
proses management planning, organizing, leading dan controlling bertujuan
mendapat keuntungan dan mengurangi biaya (cost) secara efisien dan efektif.
Dalam pengelolaan suatu kekayaan diperlukan ilmu manajemen yang khusus
dan spesifik mengelola kekayaan (asset). Banyak aset yang tidak maksimal
dalam pemanfaatannya, sangat diperlukan kompetensi pengelola aset atau
manajer aset. Realita di lapangan menunjukkan banyak kasus yang sebenarnya
dimulai dari salah kelola dan salah urus masalah aset, sehingga berdampak
kerugian yang tidak sedikit.
14
Manajemen Materiil
Manajemen Aset Negara
Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk di dalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi kewenangan
kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara
(domein privat).
Sejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah pusat telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar
dan menyeluruh yang termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara.
Hal ini dimulai dengan lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara yang telah menjadikan
lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara.
Dasar pemikiran diterbitkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adalah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam
alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai
bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam
suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 perlu
dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh karena itu lebih penting lagi, negara hendaknya punya itikad kuat untuk mengusahakan bagaimana dalam anak negeri dapat memetakan untuk selanjutnya lebih mampu memanfaatkan aset-asetnya dan tidak serta merta hanya puas menjadi bawahan dari pihak-pihak luar negeri. Indonesia cukup kaya
dengan aset alam maupun jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang besar
menjanjikan pasar yang besar baik dari pasar customer maupun pasar tenaga
kerja.
Manajemen Materiil
15
15
Namun seringkali sumber daya besar yang kita miliki menjadi mentah karena pikiran kita sendiri yang kurang percaya diri. Kita merasa, untuk sukses haruslah dengan dan pada perusahaan asing. Sedangkan perusahaan lokal kualitasnya tidak sebanding dengan perusahaan asing. Perusahaan lokal milik anak
negeri cenderung kalah bersaing karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan
modal. Sebuah alasan klasik yang menyebabkan kita menundukkan pandangan di hadapan korporasi-korporasi asing.
Sebenarnya mindset bahwa aset ilmu pengetahuan dan modal kita terbatas
sehingga harus selalu tergantung dengan asing tentu perlu dievaluasi kembali.
Banyak anak negeri yang sudah berpengalaman di perusahaan-perusahaan
luar negeri bahkan ada yang telah mampu memimpin di sana. Sudah waktunya
kita pikirkan bagaimana bukan ‘kita’ yang bekerja pada “mereka” tetapi ‘merekalah’ yang bekerja pada ‘kita’.
Begitu pula tentang permodalan. Dalam ilmu dan praktek manajemen, apabila pengelolaan aset dapat dilakukan dengan baik, didukung oleh visi dan
sistem manajemen yang prima, yang terjadi bukan kita yang mencari modal,
tetapi justru para pemodal (investor) yang akan berlomba-lomba menawarkan
modalnya untuk kita kelola. Begitu pula, apabila pengelolaan dapat dilakukan
dengan baik, maka pekerja dari luar negeri (baca : pegawai) tentu akan mau
bekerja di perusahaan made in Indonesia dengan gaji yang pantas.
Terbitnya Peraturan Pemerintah No.27 tahun 2014 yang mencabut PP No.06
tahun 2006 jo PP 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Negara/Daerah
yang ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri Keuangan No.78 tahun 2014
tentang tata cara pelaksanaan Pengeloaan Barang Milik Negara di Kementerian/Lembaga dan Permendagri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pengelolaan
Barang Milik Daerah yang ruang lingkupnya mulai dari Perencanaan kebutuhan sampai dengan Pelaporan sesungguhnya sudah dapat memberikan guide/
petunjuk pelaksanaan yang cukup memadai. Bagaimana strategi optimalisasi
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang nantinya akan menjadi aset agar
menjadi lebih tertib, transparant dan akuntabel.
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang baik tentunya akan memudahkan penatausahaan aset negara/daerah dan merupakan sumberdaya
penting bagi pemerintah sebagai penopang utama pendapatan negara dan
pendapatan asli daerah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk dapat mengelola aset secara memadai dan akurat. Dalam hal pengelolaan aset,
pemerintah harus menggunakan pertimbangan aspek perencanaan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penerimaan, penyimpanan dan penyaluran,
penggunaan, penatausahaan, pemanfaatan atau penggunaan, pengamanan
16
16
Manajemen Materiil
dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, pembinaan,
pengawasan dan pengendalian, pembiayaan dan tuntutan ganti rugi agar aset
daerah mampu memberikan kontribusi optimal bagi pemerintah.
Contoh kasus, musibah bendungan Situgintung, Ciputat yang menelan
korban 100 orang tewas dan 100 orang lainnya hilang. Musibah tersebut tidak
hanya menelan korban jiwa namun juga kerugian material yang tidak sedikit
akibat sapuan banjir bandang. Lalu apa hubungannya manajemen aset dengan
kejadian di atas? Hubungannya adalah kalau saja bendungan Situgintung yang
menjadi aset daerah dikelola (dipelihara dan diaudit) dengan baik, kecil kemungkinan bobolnya tanggul Situgintung terjadi dan kerugian yang dideritapun dapat diminimalisasi. Kalau bendungan/tanggul di Jakarta dan sekitarnya
menjadi aset daerah dan dipelihara dengan baik, kejadian situgintung-situgintung lainnya tidak akan terulang.
Kalau saja semua pihak, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
mau bersungguh-sungguh melaksanakan modernisasi manajemen aset, maka
seharusnya aset pemerintah dan daerah bisa memberikan nilai tambah bagi
semua pihak termasuk masyarakat sebagai stakeholder. Kita juga dapat belajar
dari pengalaman kerjasama antara PT. PAM Jaya dengan Mitra Swasta hampir
seluruh aset yang dimiliki PAM JAYA diserahkelolakan kepada mitra swastanya
tanpa dikenakan biaya apapun. Artinya, pihak swasta menggunakan berbagai
aset yang dimiliki oleh PAM JAYA (sebagian besar adalah aset produksi dan distribusi) tanpa membayar biaya atas penggunaan aset tersebut. Perjanjian ini
tentu sangat tidak menguntungkan bagi PT. PAM Jaya dan Pemerintah. Lebih
parahnya, pada titik tertentu, masyarakat pengguna air dibebankan atas pembelian aset yang dilakukan pihak swasta.
Selain memanfaatkan aset yang sudah ada, mitra swasta juga melakukan
pengadaan aset baru yang terdiri atas aset bergerak baru dan aset tidak bergerak baru yang hak miliknya ada pada mitra swasta, namun beban pembiayaannya secara penuh dikompensasikan secara finansial kepada harga tarif kemahalan yang terus dibayar oleh pengguna air. Sebenarnya masalah di atas adalah
cuplikan kecil dari buruknya manajemen aset dari pemerintah kita. Sebagaimana diketahui bahwa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) tahun 2006
s/d 2008 oleh Badan Pemeriksa Keuangan dinyatakan disclaimer/tidak memberikan pendapat apapun.
LKPP merupakan rapor pemerintah dalam mempertanggungjawabkan
amanat yang dipercayakan rakyat, utamanya yang terkait dengan penggunaan
anggaran/dana publik, juga kepada stakeholder lainnya (lembaga donor, dunia
usaha, dan lain-lain). Salah satu catatan yang diberikan BPK terhadap pemerinManajemen Materiil
17
17
tah terkait masalah ini adalah buruknya manajemen aset oleh pemerintah.
Strategi Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
Beberapa isu penting terkait lingkup aset negara/daerah dimulai dengan
kegiatan perencanaan dan penganggaran. Sering dianggarkan sesuatu yang
tidak dibutuhkan di tingkat bawah (Satuan Kerja). Tahap pengadaan yang rawan
dengan korupsi sehingga banyak aparat yang enggan jadi pejabat pengadaan
atau Unit Layanan Pengadaan (ULP). Tahap Pemeliharaan alokasinya cukup
selalu incremental meskipun aset yang sudah tidak berfungsi atau hilang, hal
ini karena dalam penghapusan dan pemindahtanganan aset-aset pemerintah
tidak ditatausahakan dengan tertib. Demikian juga ketika pembukuan aset dalam perpektif dalam jurnal akuntasi bisa berubah fungsi, maka pembenahan
manajemen aset mutlak diperlukan.
Sebelum masuk ke proses manajemen aset, di dalam melaksanakan pencatatan, inventarisasi dan revaluasi asset harus ada strategi manajemen aset
agar koordinasi antara program dan pelaksanaan dapat terkoordinasi dengan
baik. Istilah Strategic Asset Management atau SAM digunakan untuk menggambarkan sebuah siklus pengelolaan aset, yaitu mulai dari proses perencanaan dan diakhiri dengan pertanggungjawaban/pelaporan aset. Keberhasilan
SAM seringkali dikaitkan dengan keberhasilan menghemat anggaran sebagai
dampak dari keberhasilan mengintegrasikan proses perencanaan dan pengelolaan aset.
Pada dasarnya, manajemen asset di Indonesia telah memiliki dasar hukum
yang jelas yaitu UUNo.1/2004 tentang Perbendaharaan Negara yang ditindaklanjuti PP No.27/2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pasal
85 menyebutkan agar dilakukan inventarisasi atas BMN/D (barang milik negara/daerah), khusus berupa tanah dan/atau bangunan yang berada di kementerian/lembaga minimal sekali dalam 5 tahun. Sedangkan untuk selain tanah
dan/atau bangunan hal itu merupakan kewenangan dan menjadi domain/
tanggungjawab masing-masing Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna
Barang.
Oleh sebab itu, Pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku BUN (Pengelola Barang), menginstruksikan kepada Dirjen Kekayaan Negara, sebagai unit
organisasi yang vital dalam pengelolaan BMN, agar menjadi garda terdepan
mewujudkan best practices tata kelola barang milik/kekayaan negara dengan
langkah pencatatan, inventarisasi dan revaluasi aset/kekayaan Negara yang diharapkan akan mampu memperbaiki/menyempurnakan administrasi pengelolaan BMN yang ada saat ini.
18
Manajemen Materiil
Inventarisasi seluruh barang milik negara yang tersebar di seluruh pelosok
Indonesia mutlak harus dilakukan agar terpotret secara jelas nilai aset/kekayan
negara yang saat ini berada di penguasaan masing-masing kementerian/lembaga negara. Selanjutnya setelah itu dilakukan tahap penilaian ulang (revaluasi) aset/kekayaan negara, khususnya yang berupa tanah dan/atau bangunan
oleh Pengelola Barang guna mendapatkan nilai wajar atas aset tetap tersebut.
Inventarisasi dan reevaluasi barang milik negara/daerah merupakan bagian tak
terpisahkan dari proses manajemen aset negara itu sendiri,
Dari 87 entitas di Kementerian/Lembaga namun masih 65 Kementerian/
Lembaga yang mendapatkan opini BPK dengan catatan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada tahun 2013. Yang patut digarisbawahi adalah kementerian/
lembaga ini sebagian besar adalah kementerian lembaga baru dibentuk yang
asset atau BMN-nya secara kuantitas tidak terlalu besar. Hal ini tentu saja mempermudah dalam pengelolaan dan penatausahaan atas aset atau BMN/D yang
mereka miliki. Perjalanan untuk menciptakan manajemen aset yang modern
memang masih memerlukan waktu yang panjang, akan tetapi tidak mustahil
untuk dilakukan apabila semua unsur yang telah disebut di atas mau melaksanakan apa yang menjadi tanggungjawab masing-masing dengan amanah
dan komitmen yang tinggi.
Bagaimanapun juga barang/kekayaan milik negara harus dikelola oleh SDM
yang profesional dan handal, karena hal tersebut menjadi kebutuhan yang vital dan strategis pada masing-masing kementerian/lembaga negara. Penataan
pengelolaan barang milik negara/daerah yang sesuai dengan semangat good
governance tersebut, saat ini menjadi momentum yang tepat karena mendapat dukungan politik dari pemerintah. Pentingnya inventarisasi dan revaluasi
aset/kekayaan negara yang ada saat ini sebagai bagian dari penyempurnaan
manajemen aset negara secara keseluruhan.
Tuntutan penerapan good governance dalam manajemen aset/kekayaan
negara/daerah saat ini sudah tidak dapat ditunda-tunda lagi. Tentunya hal tersebut akan membuka cakrawala kita bersama tentang urgensi dan pentingnya
kegiatan inventarisasi dan reevaluasi BMN/D itu, sehingga dapat diharapkan
mampu meningkatkan status opini LKPP yang semula masih disclaimer menjadi unqualifiedopiniona atau Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Sudah saatnya
kita berubah menjadi negara yang mampu menerapkan fungsi penganggaran
sebagaimana yang telah ditetapkan menurut peraturan yang telah dibuat agar
akuntabilitas keuangan pemerintah dapat dipertanggungjawabkan.
Pengertian BMN
Menurut Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN,
Manajemen Materiil
19
sebagaimana yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun
2008, Barang Milik Negara (BMN) adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Dalam
PMK No.29/PMK.06/2010 tentang kodifikasi barang, Barang Milik Negara dirinci
menjadi Persediaan, Tanah, Mesin dan Peralatan, Gedung dan Bangunan, Jalan,
Jaringan dan Irigasi, Aset Tetap Lainnya, Konstruksi Dalam Pengerjaan, serta
Aset tidak Berwujud. Contoh dari aset tidak berwujud adalah aset tetap dalam
bentuk software komputer dan hasil kajian.
International Accounting Standard Committee (IASC) mendefinisikan aset
sebagai suatu sumber daya yang dikendalikan oleh suatu entitas sebagai hasil kejadian masa lalu yang mana manfaat ekonomis masa depan diharapkan
didapatkan oleh perusahaan. Sedangkan Kerangka konseptual Akuntansi Pemerintah (Lampiran II PP No. 24 tahun 2005) mendefinisikan aset lebih luas lagi,
yaitu sebagai sumber daya ekonomi yang dikuasai dan atau dimiliki oleh suatu
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari padanya diperoleh
manfaat ekonomi baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat, dan dapat
diukur dalam satuan uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber daya yang
dipelihara karena alasan sejarah dan budaya.
Lalu, apa perbedaan aset dengan sumber daya? Dari wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, sumber daya didefinisikan sebagai suatu nilai potensi
yang dimiliki oleh suatu materi atau unsur tertentu dalam kehidupan. Sumber
daya tidak selalu bersifat fisik, tetapi juga non-fisik (intangible). Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, sumber daya adalah :
1. Faktor produksi yang terdiri atas tanah, tenaga kerja, dan modal yang
dipakai dalam kegiatan ekonomi untuk menghasilkan barang jasa,
serta mendistribusikannya;
2. Bahan atau keadaan yang dapat digunakan manusia untuk memenuhi
keperluan hidupnya;
3. Segala sesuatu, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud yang
digunakan untuk mencapai hasil, misal peralatan, sediaan, waktu,
dan tenaga.
Menurut Undang- undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1982 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, sumber daya merupakan unsur lingkungan hidup yang terdiri atas sumber daya manusia, sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, dan sumber daya buatan.
Dengan demikian, semua sumber, baik manusia, materi maupun energi yang
secara nyata dan potensial dapat di gunakan untuk meningkatkan kesejahteraan manusia disebut sumber daya (Manan, 1978). Karena manusia tidak/sukar
20
Manajemen Materiil
diukur dengan satuan uang, maka sumber daya manusia tidak masuk ke dalam
definisi aset menurut Kerangka konseptual Akuntansi Pemerintah (Lampiran II
PP No. 24 tahun 2005).
Dengan demikian, yang termasuk ke dalam pengertian aset milik negara
adalah uang, surat-surat berharga, barang-barang yang bersifat kebendaan,
dan aset tidak berwujud, serta sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi masyarakat umum dan sumber daya yang dipelihara
karena alasan sejarah dan budaya. Dari ketiga pengertian di atas, kita dapat
mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Ruang lingkup sumber daya lebih luas daripada aset
2. Ruang lingkup aset lebih luas daripada materiil dan Barang Milik Negara
3. Materiil dan Barang Milik Negara merupakan bagian dari aset negara
4. Pengertian BMN lebih luas dari pengertian materill karena di dalam
Barang Milik Negara termasuk aset tidak berwujud, sedangkan materiil
hanya yang berwujud saja.
5. Barang Milik Negara sama dengan aset dikurangi monetary items
(pos-pos yang bersifat keuangan, yaitu uang dan surat-surat berharga
milik negara)
Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan demokrasi
yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang serasi
antara pusat dan daerah serta antar-daerah. Keadaan tersebut hanya akan tercapai apabila daerah dapat mengelola pemerintahannya dengan di antaranya
adalah Administrasi Keuangan. Sistem pengelolaan Keuangan yang baik akan
memberikan manfaat pada efektivitas pelayanan publik dengan pemberian
pelayanan yang tepat sasaran, meningkatkan mutu pelayanan publik, biaya
pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi dan penghematan dalam
penggunaan resources, alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan meningkatkan public costs awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggungjawaban publik.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi yang sekarang ini dinikmati pemeirntah daerah Kabupaten dan Kota, memberikan jalan bagi pemerintah
daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah. Kemunculan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah
melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru tersebut
berupa tuntutan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada pemerintah daerah untuk membuat laporan keuangan dan transManajemen Materiil
21
paransi informasi anggaran kepada publik.
Pengertian Manajemen Materiil dan Keuangan
Istilah perbekalan juga biasa disebut dengan beberapa istilah seperti logistik, barang, material, peralatan, perlengkapan dan sarana prasarana. Oleh
karena itu, manajemen perbekalan pun lazim disebut dengan beberapa istilah
seperti manajemen logistik, administrasi perbekalan, manajemen barang, administrasi barang, manajemen material ataupun administrasi material.
Administrasi materiil adalah barang-barang milik/kekayaan negara. Barangbarang milik/kekayaan negara adalah semua barang-barang milik/kekayaan
negara yang berasal/dibeli dengan dana yang bersumber untuk seluruhnya
ataupun sebagian dari anggaran belanja negara yang berada di bawah pengurusan dan penguasaan departemen-departemen, lembaga-lembaga negara,
lembaga-lembaga pemerintahan non-departemen serta unit-unit dalam lingkungannya yang terdapat baik di dalam maupun di luar negeri, barang milik/
kekayaan negara tersebut tidak termasuk kekayaan Negara yang telah dipishkan (kekayaan Perum dan Persero) dan barang-barang/kekayaan daerah otonom sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: KEP-225/
MK/V/4/1971, pasal 1. Administrasi material/perbekalan diartikan sebagai
usaha pelayanan dalam bidang material dan fasilitas kerja lainnya bagi personil
dalam satuan kerja di lingkungan suatu organisasi guna meningkatkan efisiensi
dan efektivitas kerja.
Sementara, Administrasi Keuangan adalah kegiatan yang berkenaan dengan
pencatatan, penggolongan, pengolahan, penyimpanan, pengarsipan terhadap
seluruh kekayaan negara termasuk di dalamnya hak dan kewajiban yang timbul
karenanya baik kekayaan itu berada dalam pengelolaan bank-bank pemerintah, yayasan-yayasan pemerintah, dengan status hokum publik ataupun privat,
badan-badan usaha negara dan badan-badan usaha lainnya di mana pemerintah mempunyai kepentingan khusus serta terikat dalam perjanjian dengan
penyertaan pemerintah ataupun penunjukkan pemerintah.
Administrasi keuangan terdiri dari serangkaian langkah-langkah di mana
dana-dana disediakan bagi pejabat-pejabat tertentu di bawah prosedur-prosedur yang akan menjamin sah dan berdaya-gunanya pemakaian dana-dana itu.
Bagian utama ialah menyusun anggaran belanja, pembukuan, pemeriksaan
pembukuan, pembelian, dan persediaan. Dalam upaya menentukan dan menetapkan kebutuhan perbekalan/materil, ada beberapa faktor yang harus senantiasa diperhatikan dan dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut:
1. Faktor Fungsional - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya
22
Manajemen Materiil
dipertimbangkan bahwa dengan keberadaan perbekalan tersebut akan memperlancar proses pelaksanaan pekerjaan dan akan mempengaruhi hasil kerja
(output), baik berkaitan dengan kuantitas maupun kualitas output sesuai dengan fungsi jenis perbekalan tersebut.
2. Faktor Biaya dan Manfaat - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya dipertimbangkan bahwa dengan sejumlah pengeluaran biaya tertentu,
organisasi haruslah paling tidak memperoleh manfaat yang sepadan dengan
sejumlah biaya yang telah dikeluarkan tersebut. Sehubungan dengan hal ini,
tentu tidak boleh mengabaikan kualitas barang yang dibutuhkan, sumber barang yang harus dapat dipertanggungjawabkan, dan jangka waktu atau umur
pemakaian barang yang paling menguntungkan.
3. Faktor Anggaran - Dalam pangadaan perbekalan harus senantiasa mempertimbangkan ketersediaan anggaran dalam organisasi. Dengan memperhatikan faktor ini, maka akan dapat disusun skala prioritas kebutuhan perbekalan
maupun berbagai macam alternatif jenis dan spesifikasi barang maupun caracara pengadaan logistik dengan tidak meninggalkan pertimbangan efektivitas
dan efisiensi.
4. Faktor Keamanan dan Kewibawaan (Prestise) - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya dipertimbangkan pejabat pemakai perbekalan
tersebut untuk mendukung dan menjamin keamanan sesuatu yang berkaitan
dengan jabatannya dan kewibawaan, baik bagi pejabat yang bersangkutan
maupun bagi lembaga, baik dilihat dari publik internal maupun publik eksternal organisasi.
5. Faktor Standarisasi dan Normalisasi - Dalam penentuan kebutuhan perbekalan hendaknya dipertimbangkan adanya standardisasi dan normalisasi
yang ditetapkan organisasi. Standardisasi merupakan pembakuan mengenai
jenis, ukuran, dan mutu suatu perlengkapan. Sementara normalisasi merupakan pembuatan ukuran-ukuran yang normal berdasarkan standar yang telah
ditetapkan.
Administrasi Materiil dan Keuangan
Ada beberapa alternatif bagi suatu organisasi untuk memilih dan menentukan sistem pengadaan perbekalan. Sistem pengadaan perbekalan tersebut
meliputi sistem sentralisasi, sistem desentralisasi dan sistem campuran dan
Pembahasan Administrasi Keuangan dikelompokkan ke dalam 5 pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan ketatalaksanaan keuangan, pendekatan
keuangan negara, pendekatan administrasi negara termasuk administrasi pembangunan, pendekatan sejarah perkembangan sistem anggaran, pendekatan
Manajemen Materiil
23
organisasi sebagai sistem terbuka.
Sistem Administrasi Materiil
Sistem Sentrasisasi - Sistem sentralisasi dalam pengadaan perbekalan merupakan cara pengadaan perbekalan di mana kewenangan dalam pengadaan
perbekalan bagi seluruh unit kerja dalam organisasi diberikan pada satu unit
kerja tertentu sehingga segala macam pengadaan perbekalan dalam organisasi hanya dilayani oleh satu unit kerja/bagian tertentu tersebut. Pengadaan
perbekalan dengan menggunakan sistem ini memiliki beberapa kelebihan, di
antaranya:
a. Dapat mengurangi harga per satuan karena biasanya dengan
menerapkan sistem sentralisasi ini pengadaan/pembelian dilakukan
dalam partai besar sehingga organisasi/perusahaan (sebagai pembeli)
diberikan potongan oleh penjual (pemasok).
b. Dapat mereduksi (mengurangi) biaya tambahan (overhead cost),
sehingga akan mendukung efisiensi.
c. Dapat mendukung program standarisasi dan sistem pertukaran
perbekalan antarbagian.
Adapun kekurangan-kekurangan dari pengadaan sistem sentralisasi ini adalah sebagai berikut:
a. Kebutuhan yang mendesak dari suatu unit tertentu dimungkinkan tidak
dapat cepat dilayani dan dipenuhi karena bagian pembelian masih menunggu daftar kebutuhan perbekalan dari unit-unit kerja yang lain ataupun karena
prosedur pengajuan maupun distribusi penyampaian perbekalan yang berlikuliku/birokratis sehingga hal ini tentunya akan dapat mempengaruhi tingkat
efektifitas dan efisiensi kerja unit-unit kerja dan organisasi secara keseluruhan.
b. Pemenuhan permintaan kebutuhan perbekalan pada unit-unit kerja sebagai pengguna (user) dimungkinkan tidak sesuai dengan kebutuhan, terutama
berkaitan dengan spesifikasi barangnya maupun waktunya, karena bagian perbekalan khususnya bagian pengadaan perbekalan tidak mengetahui persis kebutuhan masing-masing unit kerja.
Sistem Desentralisasi – Sistem desentralisasi yaitu sistem pengadaan perbekalan, di mana kewenangan pengadaan perbekalan diserahkan pada masing-msing unit kerja. Beberapa kelebihan dari penggunaan sistem desentralisasi ini yaitu sebagai berikut:
Kebutuhan atas perbekalan dari masing-masing unit kerja akan cepat dapat
dipenuhi sesuai dengan kebutuhan.
Menjamin ketepatan pembelian perbekalan karena masing-masing unit
kerja mengetahui persis akan spesifikasi kebutuhan perbekalannya.
24
Manajemen Materiil
Adapun kekurangan sistem ini yaitu:
a. Ada kecederungan masing-masing unit kerja untuk memiliki perbekalan (barang-barang) baru, padahal perbekalan yang ada masih berdaya guna
sehingga hal ini akan menimbulkan tertumpuknya barang-barang yang tidak
diperlukan di beberapa bagian.
b. Terdapatnya bermacam-macam perbekalan yang berbeda-beda bentuknya, ukuran, dan tipenya sehingga hal ini jelas tidak mendukung program
standardisasi dan normalisasi, sekaligus tidak mendukung kemungkinan pertukaran perbekalan antar bagian/unit kerja dalam suatu organisasi.
c. Biaya per satuan barang relatif lebih besar, karena pembelian dengan
sistem ini tentunya dalam partai yang lebih kecil bila dibandingkan apabila
menggunakan sistem sentralisasi sehingga otomatis jumlah potongan yang
diberikan penjual juga relatif lebih kecil.
d. Biaya tambahan (overhead cost) relatif lebih besar bila dibandingkan apabila menggunakan sistem sentralisasi.
Sistem Campuran - Sistem campuran merupakan sistem atau cara pengadaan perbekalan dengan mengkombinasikan antara sistem sentralisasi dan
desentralisasi. Pertimbangan penggunaan sistem campuran ini selain menjamin ketepatan dalam pemenuhan kebutuhan perbekalan dari setiap unit kerja
khususnya kebutuhan perbekalan yang sifatnya spesifik sesuai dengan tugas
operasional unit kerja tersebut, juga untuk mendukung program standardisasi
dan normalisasi organisasi. Dengan demikian, apabila perbekalan dibutuhkan
oleh seluruh unit kerja atau beberapa unit kerja, pengadaan perbekalan dilakukan dengan sistem sentralisasi, sedangkan apabila kebutuhan perbekalan
bersifat khusus untuk suatu unit kerja, pengadaan perbekalan dilakukan dengan sistem desentralisasi.Ada beberapa alternatif bagi suatu organisasi untuk
memilih dan menentukan sistem pengadaan perbekalan. Sistem pengadaan
perbekalan tersebut meliputi sistem sentralisasi, sistem desentralisasi dan
sistem campuran.
Sistem Administrasi Keuangan
Pendekatan Ketatalaksanaan keuangan - Dengan pendekatan ketetatalaksanaan keuangan (financial management), maka pembahasan administrasi
keuangan mencakup fungsi perencanaan keuangan, ketatalaksanaan penggunaan dana, penyediaan atau penggunaan dana yang diperlukan. Menurut
Robert W. Johnson, fungsi ketatalaksanaan adalah perencanaan keuangan
(financial planning), pengambilan keputusan alokasi dana di antara berbagai
kemungkinan investasi pada aktiva (managing assets), menarik dana dari
luar (raising funds), dan penanganan masalah-masalah khusus (meeting special problems).
Manajemen Materiil
25
Hakekat perencanaan adalah analisa, baik analisa intern maupun ekstern,
baik jangka pendek, sedang maupun jangka panjang sebagai landasan untuk menyususn serangkaian tindakan pada masa mendatang dalam usaha
mencapai tujuan tertentu. Perencanaan keuangan mencakup proyeksi terhadap aliran kas (cash flows) serta proyeksi terhadap kebutuhan investasi
pada masa mendatang (capital budgeting). Perencanaan atas aliran masuk
dan keluar dari kas dan proses pengambilan keputusan terhadap alokasi
dana di antara berbagai kemungkinan merupakan dua fungsi ketatalaksanaan keuangan yang erat hubungannya.
Jika aliran keluar dari kas melebihi aliran masuk ke kas sebagaimana
yang diperkirakan akan terjadi pada masa mendatang dan saldo kas tidak
mencukupi untuk menyerap kekurangan, maka perlu diperoleh atau ditarik
dana dari luar melalui berbagai bentuk dan kemungkinan pemilihan dan
pinjaman yang ada.
Pendekatan Keuangan Negara - Bila administrasi keuangan ditinjau dari
sudut pendekatan keuangan negara, maka pembahasan mencakup keuangan
badan hukum publik, baik keuangan negara maupun keuangan badan hukum
publik yang lebih rendah. Pembahasan biasanya lebih ditekankan pada segisegi yang berkaitan dengan pengeluaran negara, pendapatan negara, perpajakan, hutang negara dan anggaran negara.
Pendekatan Administrasi Negara (public administration) - Dari sudut administrasi negara, ada dua segi yang berkaitan dengan administrasi keuangan
(Dimock dan Dimock).
1. Pertama, merupakan bidang keuangan yang luas, meliputi fungsi
perhitungan dan pemungutan pajak, pemeliharaan dana, hutang negara
dan administrasi hutang negara.
2. Kedua, merupakan bagian dari administrasi negara, sebagaimana
ditinjau melalui sudut pandangan pimpinan administrasi dan mereka
yang mempunyai perhatian terhadap apa yang dilakukannya.
Administrasi keuangan terdiri dari serangkaian langkah di mana dana
disediakan untuk pejabat-pejabat tertentu menurut prosedur-prosedur yang
dapat menjamin pertanggungjawaban yang sah dan menjamin apa daya
guna penggunaan dana tersebut. Bagian utamanya adalah anggaran belanja,
pembukuan, pembelian dan persediaan. Anggaran belanja adalah perkiraan
pengeluaran dan penerimaan yang seimbang untuk suatu waktu tertentu.
Di bawah wewenang pimpinan administrasi, anggaran belanja itu merupakan catatan pelaksanaan pekerjaan pada masa lalu, suatu metode penga26
Manajemen Materiil
wasan pada waktu ini dan proyeksi melalui rencana-rencana untuk masa yang
akan datang. Daya yang ada pada pemerintah terutama berasal dari pemungutan pajak, pinjaman-pinjaman serta pendapatan lain yang bukan berasal dari
pajak. Administrasi keuangan menyangkut lima segi kebijaksanaan nasional
yang terpisah-pisah (Allen D. Manvel dalam Abdullah,1982: 6) yaitu:
1. Kebijaksanaan ekonomi, menyangkut hubungan antara pengeluaran
pemerintah dan semua pendapatan lainnya.
2. Kebijaksanaan utang (bagaimana pemerintah mengadakan dan
membayar kembali utang-utang
3. Kebijaksanaan pendapatan (menentukan besarnya secara relatif dari
berbagai sumber penerimaan serta persoalan pajak-pajak yang harus
dikenakan)
4. Kebijaksanaan pengeluaran
5. Kebijaksanaan pelaksanaan
Perumusan kebijaksanaan fiskal mempertimbangkan pengaruh dari administrasi keuangan pemerintah terhadap keseluruhan pola tingkah laku
kehidupan ekonomi bangsa. Bukan semata-mata penemuan sumber penerimaan untuk memenuhi kebutuhan pengeluaran tetapi juga pada masalahmasalah perpajakan, hubungan pengeluaran pemerintah pada perekonomian,
sehingga bisa dimengerti peranan dan pengaturan pemerintah dalam bidang
perekonomian nasional. Masalah kebijaksanaan fiskal demikian penting dalam
rangka memberikan kerangka-dasar untuk proses anggaran.
Nilai yang sangat penting dan menekan keseluruhan proses anggaran adalah pertanggungjawaban (accountability). Maksud utama dari pertanggungjawaban keuangan adalah untuk menjamin pertanggungjawaban demokratis
kepada rakyat. Aparatur negara mempunyai dua bentuk pertanggung jawaban,
yaitu pertanggungjawaban keuangan dan pertanggungjawaban pengambilan keputusan yang bijak dan jujur dalam bidang keuangan. Terjaminnya kejujuran dalam pemerintahan dapat dilakukan dengan membagi kekuasaan
diantara berbagai aparatur negara (otorisator, ordonator, bendaharawan).
Pendekatan Sejarah Perkembangan Sistem Anggaran - Ditinjau dari sudut
sejarah perkembangan sistem anggaran, maka administrasi keuangan telah
berkembang dari Administrasi Keuangan Tradisional (yang berorientasi pada
pengawasan) yang telah dikembangkan (di Amerika Serikat) sejak tahun 1789
ke arah Administrasi Keuangan Hasil Karya (Performance Financial Administration) pada tahun 1949 (berorientasi pada ketatalaksanaan). Perkembangan
selanjutnya terjadi dari Administrasi Keuangan Hasil Karya ke arah system Administrasi Keuangan Terpadu (Integrated Financial Administration) yang berorientasi pada perencanaan dan atau tujuan-tujuan yang hendak dicapai. Robert
Manajemen Materiil
27
Anthony memperkenalkan tiga proses administrasi berbeda yaitu : perencanaan strategis, pengawasan ketatalaksanaan dan pengawasan operasional.
Gagasan ini berpengaruh pada tokoh-tokoh yang memperkembangkan
SIPPA.
Organisasi sebagai Sistem Terbuka - Organisasi keuangan, yang ada dalam
batas-batas dan kendala-kendala lingkungan luar, mencakup lima unsur pokok
yang saling berhubungan dan pengaruh mempengaruhi. Infut dari luar – diubah – disajikan kepada lingkungan luar (sebagai sebuah sistem terbuka).
Organisasi keuangan terdiri atas lima unsur, di antaranya :
1. Unsur tujuan dan nilai (diperoleh dari lingkungan sosial budaya)
2. Unsur teknis (spesialisasi pengetahuan, kecakapan, dan ketrampilan
yang diperlukan untuk menjalankan fungsi-fungsi organisasi keuangan
3. Unsur psikososial (menunjukkan hubungan sosial vertikal maupun
horisontal – faktor motivasional)
4. Unsur struktural (menunjukkan cara-cara melakukan spesialisasi
dan koordinasi – struktur organisasi, struktur wewenang,
struktur program, struktur perencanaan, prosedur-proedur
keuangan, dan lain-lain)
5. Unsur yang mencakup keseluruhan unsur dari OK baik dengan
lingkungan khusus maupun lingkungan umum
Dari sudut pendekatan organisasi sebagai sistem terbuka dan terpadu, administrasi keuangan hanya merupakan salah satu bagian saja dari organisasi
keuangan. Sedangkan organisasi keuangan termasuk sebagai salah satu unsur
dalam lingkungan umum yang mencakup lingkungan budaya, teknologi, pendidikan, politik,fisik, perundang-undangan, demografi, ekonomi, dan lingkungan sosial.
28
Manajemen Materiil
BAB III
STRATEGI PENGELOLAAN
BARANG MILIK NEGARA/DAERAH
Babak Baru Pengelolaan BMN
Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara
telah memunculkan optimisme baru, best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan ke depannya.
Pengelolaan aset negara yang profesional dan modern dengan mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat/stake-holder.
Tahun 2006 merupakan babak baru dalam sejarah pengelolaan kekayaan
negara Republik Indonesia pada umumnya dan pengelolaan Barang Milik
Negara (BMN) khususnya karena pada tahun 2006 tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/
Daerah sebagai kelanjutan dari 3 (tiga) paket undang-undang yang telah lahir
sebelumnya yaitu Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab
Keuangan Negara, telah dibentuk pula satu unit organisasi setingkat eselon I
di lingkungan Kementerian Keuangan yang mempunyai tugas dan fungsi (tusi)
melakukan pengelolaan kekayaan negarayakni Direktorat Jenderal Kekayaan
Negara (DJKN).
Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1
Ayat (1) dan Ayat (2) PP No.6/2006 adalah tidak sekedar administratif semata,
tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana
meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset. Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan,
pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan,
penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut
merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks
yang lebih luas (keuangan negara).
Roadmap Strategic Assets Management
Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sebagai satu-satunya unit pengelola kekayaan negara diharapkan mampu menjadi instansi yang mencanangkan efisiensi pengelolaan kekayaan negara. Pada tahun 2008 yang lalu, telah
Manajemen Materiil
29
dibuat Roadmap Strategic Assets Management oleh DJKN dengan tujuan akhir
yang ingin dicapai adalah terciptanya Strategic Assets Management (SAM) dengan ultimate goal-nya, aset negara sebagai indikator penting dalam pelaksanaan anggaran yang efektif. Sesuai Roadmap yang pernah dibuat pada tahun
2007, DJKN meletakkan fondasi untuk melengkapi atribut organisasi dan memulai penertiban BMN. Selanjutnya, di tahun 2008-2009, DJKN melakukan lanjutan penertiban BMN, penyempurnaan Sistem Pengendalian Internal dan tata
kelola pengelolaan aset, dan penatausahaan yang andal dan akuntabel.
Essensi dari SAM tersebut adalah adanya mindset bahwa untuk mengelola kekayaan negara dengan benar, DJKN harus mempunyai atribut organisasi
yang lengkap dan berkualitas, bank data pengelolaan dan penatausahaan BMN
berikut permasalahannya, serta kesadaran bahwa aset negara adalah indikator
penting dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
yang efektif, efisien, dan akuntabel.
Pada tahun 2010 dan tahun selanjutnya dalam Roadmap Strategic Assets
Management tersebut, DJKN berupaya untuk melakukan integrasi perencanaan
dan penganggaran aset negara dan optimalisasi pengelolaan aset negara (the
highest and the best use). Sampai pada tahun 2012, integrasi perencanaan anggaran dan perencanaan BMN belum dapat dilaksanakan, penatausahaan BMN
masih terdapat masalah, dan penyempurnaan peraturan serta tindak lanjut
temuan BPK RI masih harus diselesaikan, sehingga Roadmap Strategic Assets
Management yang pernah dibuat perlu dilakukan penyesuaian. Pada Roadmap
Strategic Assets Management yang telah disesuaikan ini, dipertajam menjadi 3
periode sebagai berikut:
Sejak tahun 2007 diterbitkan peraturan-peraturan antara lain Peraturan Men-
30
Manajemen Materiil
teri Keuangan (PMK) Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tatacara Penggunaan,
Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtangan Barang Milik Negara, PMK
Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan Barang Milik Negara, PMK
Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Kodifikasi Barang Milik Negara sebagaimana
telah diubah dengan PMK Nomor 29/PMK.06/2010 dan lain-lain. Pada tahun
2008 diterbitkan PP Nomor 38 Tahun 2008 yang merupakan Perubahan atas PP
Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Penertiban Barang Milik Negara/Daerah
Dalam satu tahun setelah lahirnya Direktorat Jenderal Kekayaan Negara
(DJKN) adalah periode yang menuntut DJKN mencurahkan segenap tenaga
dan pikirannya dalam membantu K/L dalam melaksanakan penertiban BMN
melalui Inventarisasi dan Penilaian (IP) BMN. Ada 4 (empat) tujuan utama penertiban BMN, yaitu :
1. Melakukan pemutakhiran pembukuan BMN pada Sistem Informasi
Manajemen Akuntansi Keuangan BMN (SIMAK BMN)
2. Mewujudkan penatausahaan BMN di seluruh satuan kerja (satker)
instansi Pemerintah Pusat
3. Menyajikan koreksi nilai aset tetap neraca awal 2004 pada Laporan
Keuangan K/L
4. Melakukan tindak lanjut penatausahaan dan pengelolaan BMN yang
tertib dan optimal
Termasuk dalam objek penertiban BMN saat itu adalah aset yang dikuasai
K/L termasuk yang berada pada satker Badan Layanan Umum (BLU), aset yang
berasal dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (DK/TP), aset yang berasal dari Bantuan Pemerintah Yang Belum ditentukan Statusnya (BPYBDS), aset
eks BPPN, aset bekas milik Asing/ Cina, aset eks Kepabeanan/Bea Cukai, aset
Bank Dalam Likuidasi (BDL), aset eks Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), barang rampasan, benda cagar budaya/benda berharga asal Muatan Kapal yang
Tenggelam (BMKT), dan aset lain yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai BMN.
Inventarisasi menjadi icon DJKN bermula dengan terbitnya Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007 tentang Penertiban BMN yang memberikan tanggung jawab kepada Pengelola Barang untuk menyusun pedoman pelaksanaan
IP BMN dan pelaporannya dengan mempercepat tercapainya IP BMN yang dilakukan oleh K/L secara tertib, efektif, efesien, dan akuntabel. Meski demikian,
sebetulnya dalam pasal 6 ayat (2) huruf l, Peraturan Pemerintah (PP) 6 Tahun
2006, disebutkan bahwa K/L sebagai pengguna BMN berwenang dan bertanggung jawab melakukan pencatatan dan inventarisasi BMN yang berada dalam
penguasaannya.
Manajemen Materiil
31
Dalam rangka melaksanakan penertiban BMN, pada tingkat pusat, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2007
tentang Tim Penertiban BMN dengan masa tugas selama 17 (tujuh belas) bulan
terhitung sejak tanggal 1 Agustus 2007 s.d. 31 Desember 2008. Tim yang tugas
utamanya melakukan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi BMN ini kemudian
diperpanjang lagi dengan Keppres Nomor 13 Tahun 2009. Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi, DJKN
melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait seperti BPK, Direktorat
Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (APK) dan Direktorat Sistem Perbendaharaan (DSP) pada Direktorat Jenderal Perbendaharaan, serta Komite Standar
Akuntansi Pemerintah (KSAP).
Arah penertiban BMN (inventarisasi dan penilaian) adalah bagaimana pengelolaan aset negara di setiap pengguna barang menjadi lebih akuntabel dan
transparan, sehingga aset-aset negara mampu dioptimalkan penggunaan dan
pemanfaatannya untuk menunjang fungsi pelayanan kepada masyarakat/
stake-holder. Pengelolaan aset negara memberikan acuan bahwa aset negara
harus digunakan semaksimal mungkin mendukung kelancaran tupoksi pelayanan, dan dimungkinkannya fungsi budgeter dalam pemanfaatan aset untuk memberikan kontribusi penerimaan bagi negara. Penanganan aset negara
yang mengikuti kaidah-kaidah tata kelola yang baik/good governance akan
menjadi salah satu modal dasar yang penting dalam penyusunan LKPP yang
akuntabel.
Adapun subjek penertiban BMN yaitu:
1. BMN yang belum dicatat atau disertifikasi atau digunakan/
dimanfaatkan
2. BMN yang bersumber dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan
3. BMN yang berasal dari Kekayaan Negara Lainnya (KLN)
4. Barang Pemerintah yang Belum Ditetapkan Statusnya (BPYBDS)
Penertiban BMN diharapkan mampu memberikan gambaran kondisi sekarang berapa besar nilai seluruh aset negara, baik itu yang bersumber dari APBN
maupun dari sumber perolehan lainnya yang sah. Ketersediaan database BMN
yang komprehensif dan akurat pun dapat segera terwujud. Database BMN akan
memainkan peran yang strategis dalam setiap pengambilan keputusan perencanaan kebutuhan barang nasional oleh Pengelola Barang dan usulan alokasi
penganggarannya dalam APBN.
Akan terjadi hubungan sinergis antara perencana anggaran (Direktorat
Jenderal Anggaran) dengan pengelola barang (Direktorat Jenderal Kekayaan
32
Manajemen Materiil
Negara) untuk duduk satu meja merumuskan dan menentukan besaran rencana kebutuhan barang milik negara secara nasional dalam tahun anggaran,
sehingga anggaran belanja modal fisik tersebut dapat lebih dipertanggungjawabkan dan benar-benar mencerminkan kebutuhan barang /aset yang nyata
sesuai kondisi di lapangan dan mampu menciptakan anggaran belanja modal
yang efektif, efisien, dan tepat sasaran. Tidak hanya bersifat incremental.
Permasalahan dalam pengelolaan aset beserta action yang dapat dilakukan
untuk masing-masing identifikasi masalah menurut tim pengelola aset pada
kementrian dalam negeri:
Kurangnya tingkat akurasi nilai aset yang dikelola
Tertib pencatatan harus dimulai sejak dari tahap pengadaan. Pada tahap
pengadaan mengenai detail spesifikasi dari aset harus dirinci dengan dengan
jelas, baik untuk aset tidak bergerak maupun untuk aset tidak bergerak. Masih
banyak kelemahan dalam hal ini, antara lain terdapat kesalahan penulisan
spesifikasi ataupun ukuran kuantitas pada kontrak, padahal ini menjadi sangat
kruisal dan berpengaruh untuk proses selanjutnya.
Kementerian/Lembaga selaku pemilik dan pengelola barang milik negara
tidak tertib dalam masalah penilaian pencatatan barang milik Negara. Terdapat
peraturan khusus yang mengatur dalam hal pencatatan dan rekonsiliasi barang
milik Negara, yaitu PMK No. 102/05.PMK/2009 Tentang Tata Cara Rekonsiliasi
Barang Milik Negara. Pentingnya penilaian dan rekonsiliasi ini adalah agar dapat diketahui nilai wajar sesungguhnya dari nilai aset. Pihak pengelola barang
milik Negara sering menganggap remeh mengenai penilaian dan rekonsiliasi.
Padahal dengan rekonsiliasi dapat diketahui nilai kesesuaian nilai aset dengan
nilai wajar.
Dengan demikian dapat diketahui apakah aset tersebut perlu dilakukan
penilaian ulang atau tidak. Dan yang penting adalah mengenai rekonsiliasi ini
menjadi salah satu komponen yang menjadi obyek pemeriksaan dari instansi
pemeriksa (Inspektorat, BPKP, BPK-RI). Apabila tidak terdapat kesesuaian mengenai rekonsiliasi dengan Dirjen Kekayaan Negara, maka hal ini dapat diangkat
menjadi temuan. Adanya temuan instansi pemeriksa ini akan bermuara pada
penilain Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga.
Ketidakjelasan status aset yang dikelola
Hal ini bisa menjadi masalah yaitu ketika aset pusat yang berada di daerah
tidak segera dilakukan penghibahan. Pemerintah daerah, ketika akan melakukan penganggaran untuk pemeliharaan aset pusat tersebut, tidak bisa dilakukan begitu saja, dikarenakan aset terebut adalah aset pusat maka untuk
Manajemen Materiil
33 33
anggaran pemeliharaan tidak bisa diambilkan dari daerah. Apabila anggaran
pemeliharaan ini diambilkan dari pusat, di tingkat pusat tidak terdapat alokasi
untuk pemeliharaan.
Hal ini yang menyebabkan banyak aset pusat di daerah banyak mengalami
kerusakan meskipun umur pakainya masih sedikit, karena kurangnya pemeliharaan. Oleh karena itu, sejak dilakukan penganggaran terhadap rencana pengadaan barang milik Negara, perlu disiapkan pula mekanisme hibah/penyerahan ke daerah agar tidak terjadi permasalahan di belakang, yang akan bermuara
pada opini instansi pemeriksa atas laporan keuangan kementerian lembaga.
Mekanisme hibah ini akan menjadikan jelas mengenai status aset (barang milik
Negara/daerah) apakah menjadi milik pusat atau daerah, sehingga alokasi untuk anggaran pemeliharaan dapat diyakini akuntabilitasnya.
Hal penting yang perlu mendapat perhatian adalah masih rendahnya nilai
tawar dari instansi pemerintah dalam hal ketika terjadi tukar guling atas aset,
terutama aset tidak bergerak. Seperti kita ketahui bersama, banyak aset-aset
pemerintah berupa aset tidak bergerak yang menyusut atau bahkan lenyap begitu saja ketika terjadi tukar guling dengan pihak instansi lain ataupun pihak
swasta. Dalam hal ini terdapat indikasi adanya tindakan korupsi atau suap dari
pengelola ataupun pemangku jabatan pada kementerian, lembaga, instansi
daerah. Hal lain adalah lemahnya tindakan/pengetahuan hukum dari pengelola aset mengenai tekhnis tukar guling aset.
Tukar guling aset adalah hal yang rumit, karena hal ini berkaitan dengan
taksiran nilai dan kuantitas. Selain itu untuk aset tidak bergerak juga berkaitan
dengan lembaga lain yang berkompeten, yaitu Badan Pertanahan Nasional.
Diperlukan kecakapan dari pihak seumber daya manusia pengelola aset, agar
tidak terjadi kerugian dalam hal tukar guling ini.
Penggunaan BMN untuk mendukung tugas pokok/fungsi pemerintah
kurang optimal
Hal ini sering terjadi untuk aset-aset yang dianggarkan di pemerintah pusat
namun penggunaan untuk di daerah dengan melalui mekanisme dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan urusan bersama. Misalnya untuk aset-aset bergerak yang membutuhkan jaringan listrik ataupun jaringan internet, di dalam
perencanaan seharusnya sudah bisa dipetakan apakah aset yang dianggarkan
tersebut bisa digunakan di daerah.
Kurang optimalnya pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN dalam
rangka menghasilkan pendapatan Negara
Perlu adanya peningkatan kemampuan tekhnis dari user ataupun pengelola
34
Manajemen Materiil
aset agar dapat mengoperasikan aset sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi kinerja pemerintahan. Hal ini sering terjadi untuk aset berupa aset
bergerak klasifikasi aset tak berwujud, berupa aplikasi computer. Pemerintah
mempunyai banyak aset berupa aset tak berwujud, yang mempunyai fungsi
guna sebagai tools dalam menunjang kinerja pemenrintahan, namun aset ini
sering tidak didayagunakan dengan baik karena rendahnya kualitas sumber
daya manusia, ataupun kurang bagusnya pengelolaan sumber daya manusia
itu sendiri.
Hal ini sering terjadi di daerah. Instansi daerah, sering tidak memperhatikan
kekhususan keterampilan dari sumber daya manusia dalam hal penempatan
pada wilayah kerja. Ataupun sdm yang menguasai mengenai aset tak berwujud
tersebut ditempatkan pada tempat lain yang tidak berhubungan sama sekali
dengan aset tersebut. Sering terjadi tidak tertibnya dalam hal penguasaan aset,
terutama untuk aset dalam penguasaan pejabat yang purna tugas, ataupun
aset yang digunakan oleh pihak ketiga. Hal ini dikarenakan kurang tegasnya
dari pihak pengelola aset untuk menarik kembali aset yang telah selesai dalam
masa pakai.
Meminimalisasi terjadinya kerugian Negara sebagai akibat dari pengelolaan BMN
Banyak terdapat aset-aset yang mempunyai masa pakai masih sedikit, namun yang banyak mengalamai kerusakan ataupun tidak dapat digunakan. Poin
satu, tidak berfungsinya aset-aset yang masa pakai masih sedikit ini sebagai
akibat dari kurangnya pemeliharaan dari aset. Apabila hal ini terjadi pada aset
tidak bergerak seperti gedung, apabila gedung rubuh tidak hanya terdapat
kerugian materiil namun juga kerugian jiwa.
Kurang tertibnya dari mekanisme inventarisasi barang milik negara baik di
tingkat pusat ataupun daerah. Pentingnya inventarisasi harus dilakukan agar
diketahui secara jelas nilai aset/kekayan negara yang saat ini berada di penguasaan kementerian/lembaga ataupun instansi daerah. Banyak aset-aset di
tingkat pusat ataupun di daerah yang tidak diketahui keberadaanya, dan hal ini
sudah menjadi temuan bagi instansi pemeriksa BPK-RI.
Permasalahan ini dikarenakan tidak tertibnya pengelola barang pada kementerian atau lembaga dan instansi daerah. Hal yang dapat dilakukan adalah menempatkan SDM yang mempunyai kapabilitas yang memadai dalam hal
pengelolaan barang milik Negara/daerah, serta meningkatkan kapasitas SDM
dengan memberikan kediklatan pengelola barang.
Manajemen Materiil
35
BMN Berupa Tanah dan Bangunan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN mengamanatkan agar BMN berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah
Republik Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, kami mengambil langkah-langkah konkret, terukur, dan inovatif untuk mempercepat pelaksanaan sertifikasi
BMN berupa tanah, yang selanjutnya disebut kebijakan sertifikasi aset yang dalam penyelesaiannya selalu berkoordinasi dengan BPN.
Untuk menunjang tugas pengidentifikasian BMN berupa tanah sebagai pendukung proses sertifikasi yang dianggarkan secara On Top pada DIPA BPN, sejak
bulan Januari 2012 telah diimplementasikan aplikasi Sistem Informasi Manajemen Pendataan Tanah pemerintah (SIMANTAP). SIMANTAP sekarang ini telah
digunakan oleh semua satker. Melalui SIMANTAP ini akan diperoleh informasi
mengenai data tanah yang sudah bersertifikat maupun yang belum, lokasi/
letak, luas serta penggunaannya. Adapun pengamanan yang dapat dilakukan
terhadap barang milik negara/daerah adalah :
1. Barang milik negara/ daerah berupa tanah harus disertifikatkan atas
nama Pemerintah Republik Indonesia/ pemerintah daerah yang
bersangkutan
2. Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan
bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/
pemerintah daerah yang bersangkutan
3. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi
dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang
4. Barang milik daerah selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi
dengan bukti kepemilikan atas nama pemerintah daerah yan
bersangkutan
Tanah dan/atau bangunan yang tidak digunakan dalam menyelanggarakan
tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga (selanjutnya disebut BMN idle) dan
telah diserahkan kepada Pengelola Barang, selanjutnya akan didayagunakan
untuk penyelenggaraan pemerintahan negara. Hasil pelaksanaan Inventarisasi
dan Penilaian (IP) menggambarkan bahwa terdapat Satuan Kerja (Satker) yang
masih menyewa ruang kerja kepada pihak ketiga namun terdapat juga Satker
yang memiliki tanah dan/atau bangunan yang berlebih dan tidak digunakan.
Untuk hal ini, Pengelola Barang harus menempatkan posisinya untuk mengalokasikan BMN idle kepada K/L yang membutuhkan dan meminta BMN yang
tidak digunakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi dari Pengguna Barang.
36
Manajemen Materiil
Pengelolaan Barang Milik Daerah
Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010) sasaran strategis yang harus dicapai dalam kebijakan pengelolaan aset/barang milik daerah antara lain:
1. Terwujudnya ketertiban administrasi mengenai kekayaan daerah
2. Terciptanya efisiensi dan efektivitas penggunaan aset daerah
3. Pengamanan aset daerah
4. Tersedianya data/informasi yang akurat mengenai jumlah kekayaan
daerah
Strategi optimalisasi pengelolaan barang milik daerah meliputi :
Identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi aset daerah
Pemerintah daerah perlu mengetahui jumlah dan nilai kekayaan daerah
yang dimiliknya, baik yang saat ini dikuasai maupun yang masih berupa potensi
yang belum dikuasai atau dimanfaatkan. Untuk itu pemerintah daerah perlu
melakukan identifikasi dan inventarisasi nilai dan potensi aset daerah. Kegiatan
identifikasi dan inventarisasi dimaksudkan untuk memperoleh informasi yang
akurat, lengkap dan mutakhir mengenai kekayaan daerah yang dimiliki atau dikuasai oleh pemerintah daerah. Identifikasi dan inventarisasi aset daerah tersebut penting untuk pembuatan Neraca Kekayaan Daerah yang akan dilaporkan
kepada masyarakat. Untuk dapat melakukan identifikasi dan inventarisasi aset
daerah secara lebih objektif dan dapat diandalkan, pemerintah daerah perlu
memanfaatkan profesi auditor atau jasa penilai yang independen.
Adanya sistem informasi manajemen aset daerah
Untuk mendukung pengelolaan aset daerah secara efisien dan efektif serta
menciptakan transparansi kebijakan pengelolaan aset daerah, maka pemerintah daerah perlu memiliki atau mengembangkan sistem informasi manajemen yang komprehensif dan handal sebagai alat untuk pengambilan keputusan. Sistem informasi manajemen aset daerah juga berisi data base aset yang
dimiliki daerah. Sistem tersebut bermanfaat untuk menghasil laporan pertanggungjawaban. Selain itu, sistem informasi tersebut juga bermanfaat untuk
dasar pengambilan keputusan mengenai kebutuhan pengadaan barang dan
estimasi kebutuhan belanja (modal) dalam penyusunan APBD.
Pengawasan dan pengendalian pemanfaatan aset
Pemanfaatan aset daerah harus diawasi dan dikendalikan secara ketat agar
tidak terjadi salah urus (miss management), kehilangan dan tidak termanfaatkan. Untuk meningkatkan fungsi pengawasan tersebut, peran auditor internal
sangat penting. Melibatkan berbagai profesi atau keahlian yang terkait seperti
auditor internal dan appraisal (penilai)
Pertambahan aset daerah dari tahun ke tahun perlu didata dan dinilai oleh
Manajemen Materiil
37
penilai yang independen. Peran profesi penilai secara efektif dalam pengelolaan aset daerah antara lain:
a. Identifikasi dan inventarisasi aset daerah
b. Memberi informasi mengenai status hukum harta daerah
c. Penilaian harta kekayaan daerah baik yang berwujud maupun yang tidak
berwujud
d. Analisis investasi dan set-up investasi/pembiayaan
e. Pemberian jasa konsultasi manajemen aset daerah
Sholeh dan Rochmansjah (2010) menyatakan pelaksanaan pengelolaan
aset/barang milik daerah harus memenuhi prinsip akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik yang harus dipenuhi paling tidak meliputi:
1. Akuntabilitas kejujuran dan akuntabilitas hukum
(accountability for probity and legality)
2. Akuntabilitas proses (process accountability)
3. Akuntabilitas kebijakan (policy accountability)
Akuntabilitas kejujuran terkait dengan penghindaran penyalahgunaan jabatan (abuse of power) oleh pejabat dalam penggunaan dan pemanfaatan kekayaan daerah, sedangkan akuntabilitas hukum terkait dengan jaminan adanya
kepatuhan terhadap hukum dan peraturan lain yang berlaku. Akuntabilitas hukum juga dapat diartikan bahwa kekayaan daerah harus memiliki status hukum
yang jelas agar pihak tertentu tidak dapat menyalahgunakan atau mengklaim
kekayaan daerah tersebut.
Akuntabilitas proses terkait dengan dipatuhinya prosedur yang digunakan
dalam melaksanakan pengelolaan kekayaan daerah. Untuk itu perlu kecukupan sistem informasi akuntansi, sistem informasi manajemen dan prosedur administrasi. Hal ini penting untuk mewujudkan akuntabilitas kebijakan pengelolaan aset daerah baik secara vertikal maupun secara horisontal. Akuntabilitas
kebijakan terkait dengan pertanggungjawaban pemerintah daerah terhadap
DPRD dan masyarakat luas atas kebijakan-kebijakan perencanaan, pengadaan,
pendistribusian penggunaan atau pemanfaatan kekayaan daerah, pemeliharaan sampai pada penghapusan barang milik daerah.
Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010) agar pelaksanaan pengelolaan
aset daerah dapat dilakukan dengan baik dan benar sehingga dapat dicapai
efektivitas dan efisiensi pengelolaan aset daerah hendaknya berpegangan teguh pada azas-azas sebagai berikut :
1. Azas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
dibidang pengelolaan barang milik daerah yang dilaksanakan oleh kuasa peng38
Manajemen Materiil
guna barang, pengguna barang, pengelola barang dan kepala daerah sesuai
fungsi, wewenang dan tanggung jawab masing-masing
2. Azas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundang-undangan
3. Azas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi
yang benar
4. Azas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang
diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pemerintahan secara optimal
5. Azas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat
6. Azas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan
neraca Pemerintah Daerah.
Subagya (1995) menyatakan untuk menghindarkan pemborosan perlu diadakan pembatasan-pembatasan kebutuhan terhadap perlengkapan dan peralatan. Kebutuhan harus ditentukan secara tepat terutama mengenai tipe dan
spesifikasinya. Disamping itu ditentukan pula sumber dan jumlah dari perlengkapan dan peralatan yang akan dibeli, hal ini perlu dilakukan untuk menentukan cara yang akan dilaksanakan dalam pembelian tersebut. Perencanaan
proses pengadaan/pembelian sejak dari awal sampai kepada barang diterima
ditempat harus telah disusun dan tergambar dengan jelas, baik tahap demi tahap dari kegiatannya sendiri maupun jadwal waktu secara tepat.
Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Nomor 17 Tahun 2007, penilaian
barang milik daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah
daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik daerah. Penetapan
nilai barang milik daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah daerah
dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintah (SAP).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 menyatakan bahwa
penghapusan barang milik daerah meliputi penghapusan dari daftar barang
pengguna dan/atau kuasa pengguna dan penghapusan dari daftar barang miManajemen Materiil
39
lik daerah. Penghapusan barang milik daerah dilakukan dalam hal barang milik
daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna dan/atau
kuasa pengguna dan sudah beralih kepemilikannya, terjadi pemusnahan atau
karena sebab-sebab lain.
Penghapusan dilaksanakan dengan keputusan pengelola atas nama Kepala
Daerah untuk barang milik daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna dan/atau kuasa pengguna dan dengan Keputusan Kepala
Daerah untuk barang milik daerah yang sudah beralih kepemilikannya, terjadi
pemusnahan atau karena sebab-sebab lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 Tahun 2007 barang milik daerah yang dihapus dan masih
mempunyai nilai ekonomis, dapat dilakukan melalui pelelangan umum/pelelangan terbatas; dan/atau disumbangkan atau dihibahkan kepada pihak lain.
Bentuk-bentuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan
barang milik daerah meliputi penjualan, tukar menukar, hibah, dan penyertaan
modal pemerintah daerah.
Menurut Sholeh dan Rochmansjah (2010), untuk menjamin kelancaran penyelenggaraan dan menjamin tertib administrasi pengelolaan barang milik
daerah secara efisien dan efektif maka diperlukan fungsi berikut ini:
1. Pembinaan, yaitu usaha atau kegiatan melalui pemberian pedoman,
bimbingan, pelatihan, dan supervisi
2. Pengawasan, yaitu usaha atau kegiatan untuk mengetahui dan menilai
kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksanaan tugas dan/atau
kegiatan dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku
3. Pengendalian, yaitu usaha atau kegiatan untuk menjamin dan
mengarahkan agar pekerjaan yang dilaksanakan berjalan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan.
Strategi Pengelolaan BMN Lainnya
Integrasi sistem pengelolaan BMN dan sistem anggaran merupakan amanat
PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan BMN/D, PP Nomor 90 Tahun 2010
tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKAKL), dan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 73 Tahun 2011 tentang Pembangunan Bangunan Gedung Negara. Integrasi tersebut diperlukan sebagai upaya
pencapaian pengelolaan keuangan negara yang lebih efektif, efisien, dan optimal. Agar dalam implementasinya sesuai dengan tujuan tersebut, koordinasi
antara DJKN dengan instansi terkait seperti DJA, DJPB, dan K/L menjadi elemen
keberhasilan penerapan perencanaan kebutuhan BMN. Di samping itu, sistem
aplikasi, sumber daya manusia, basis data BMN existing yang valid menjadi faktor penting yang harus dipersiapkan secara matang.
40
Manajemen Materiil
Dalam rapat pimpinan DJKN awal tahun 2012 tercetus wacana untuk mengadakan kegiatan pemberian penghargaan kepada K/L yang dinilai memiliki
kinerja yang baik dalam pengelolaan BMN. Kegiatan tersebut selain sebagai
sebuah bentuk evaluasi dan apresiasi atas kinerja K/L, juga merupakan salah
satu upaya memotivasi K/L untuk selalu menyelenggarakan pengelolaan BMN
secara optimal dengan mengedepankan tertib administrasi, tertib fisik, dan
tertib hukum.
Untuk penatausahaan dan pengelolaan BMN pada Kanwil DJKN atau KPKNL,
diharapkan ke depan dapat berubah ke arah digital atau elektronik (electronic
asset management atau e-BMN). Konkritnya, e-BMN tersebut harus dapat membantu dalam kegiatan pelaksanaan pengelolaan BMN mulai dari perencanaan,
pengelolaan hingga rekonsiliasi data BMN mulai level kuasa pengguna barang
hingga pengguna barang.
PENGELOLAAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
YANG BERSTATUS SEBAGAI BMN
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 100 Tahun 2008 Tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Departemen Keuangan memberikan tugas kepada DJKN antara
lain untuk melaksanakan penyiapan rumusan kebijakan dan standardisasi, penyusunan sistem dan prosedur, dan tindak lanjut keputusan perubahan status
kekayaan negara lain-lain, penatausahaan dan penyusunan daftar, pemberian
bimbingan teknis, perencanaan, pemantauan, pengawasan, dan evaluasi atas
pelaksanaan pengelolaan kekayaan negara lain-lain sebagai akibat adanya ketentuan, penetapan atau pengalihan aset sebagai kekayaan negara yang dikelola Menteri Keuangan antara lain kekayaan negara yang berasal dari hak atas
kekayaan intelektual (HKI).
Berdasarkan WTO, dalam perundingan Persetujuan Umum tentang Tarif dan
Perdagangan (General Agreement on Tariff and Trade/GATT) telah disepakati
mengenai norma-norma dan standar perlindungan HKI yang meliputi :
a. Hak Cipta dan hak-hak lain yang terkait
b. Merek dagang
c. Indikasi Geografis
d. Desain Produk Industri
e. Paten, termasuk Perlindungan Varietas tanaman
f. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
g. Perlindungan Terhadap Informasi yang dirahasiakan
h. Pengendalian Praktek-praktek Persaingan Curang dalam perjanjian
Lisensi
Menurut Budi Agus Riswandi, Dosen Tetap Fakultas Hukum UII & Direktur
Manajemen Materiil
41
Eksekutif Pusat Hak Kekayaan Intelektual FH UII, saat ini ada sebuah fenomena
yang menarik untuk dicermati, yaitu kecenderungan pembangunan ekonomi bangsa yang berbasis pada pengetahuan (economy based knowledge).
Pembangunan ekonomi yang berbasis pengetahuan pada dasarnya merupakan bentuk pembangunan ekonomi yang kini banyak diterapkan oleh negaranegara maju. Maka, tidaklah mengherankan model ekonomi berbasis kepada
pengetahuan ini banyak diminati oleh negara-negara di dunia.
Ada beberapa kelebihan yang dapat diidentinfikasi, sehingga ketertarikan
negara terhadap pengembangan ekonomi ini sangat tinggi. Salah satu model
pembangunan ekonomi yang berbasis pada pengetahuan, yakni berupa penerapan sistem HKI. Fakta menunjukan bahwa banyaknya jumlah paten yang
dihasilkan dalam sebuah negara akan berbanding lurus dengan kemajuan
teknologi dan ekonomi di negara tersebut Bila melihat trend saat ini HKI merupakan alat yang ampuh untuk perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
suatu bangsa (a powerful tool for economic development).
Hak Kekayaan Intelektual merupakan bagian dari kekayaan negara yang tidak
berwujud. Berdasarkan pendapat para ahli, potensi HKI ini merupakan potensi
yang sangat besar yang selama ini belum tergali oleh Bangsa Indonesia. Trend
yang ada pada saat ini di negara-negara maju pada umumnya cenderung telah
memanfaatkan HKI dengan baik, karena potensi HKI tidak akan pernah habis
dibandingkan dengan potensi alam. Hak Kekayaan Intelektual yang pertama
kali harus mendapatkan perhatian dari DJKN adalah paten, karena berkaitan
langsung dengan penelitian yang dibiayai oleh pemerintah melalui APBN.
Pada umumnya paten dikelola oleh lembaga penelitian dan pengembangan,
dan mencakup berbagai jenis variasi dari mulai paten mesin yang dimiliki LIPI
hingga paten terhadap varietas benih padi yang dimiliki oleh Kementerian Pertanian. Pada saat ini pengelolaan HKI dalam bentuk administrasi berada pada
Kementerian Hukum dan HAM sedangkan pengelolaan Hak Kekayaan Intelektual pada perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan telah
diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional
Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
diserahkan ke masing-masing lembaga penelitian dan pengembangan dalam
suatu wadah yang dinamakan sentra HKI.
Namun, aturan-aturan pengelolaan HKI yang berstatus barang milik negara
yang diatur dalam undang-undang ini ternyata belum dapat terimplementasi
dan dipatuhi, sehingga pengelolaan HKI masih dilaksanakan sendiri-sendiri dan
diserahkan ke masing-masing institusi lembaga penelitian dan pengembagan.
Penataan dan pengelolaan kekayaan Negara yang baik sangat dibutuhkan oleh
42
Manajemen Materiil
Negara Indonesia pada saat ini, dan harus mencakup kekayaan yang berwujud
maupun tidak berwujud. Terminologi pengaturan kekayaan negara khususnya
Barang Milik Negara yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008 pada umumnya
mencakup pengaturan untuk barang berwujud baik berupa benda tidak bergerak yaitu tanah/bangunan, maupun benda bergerak yang pembeliannya dibiayai dari APBN, sehingga menurut pendapat Penulis PP 6 Tahun 2006 belum
cukup dijadikan dasar untuk melakukan pengelolaan barang yang tidak berwujud khususnya HKI.
Aturan dalam PP 6 Tahun 2006 yang tidak dapat diterapkan dalam pengaturan HKI adalah sebagai berikut:
Pemanfaatan
Istilah pemanfaatan yang berlaku dalam aturan HKI sama dengan kegiatan
komersialisasi HKI, atau kegiatan untuk memberikan nilai ekonomi HKI yang
tentunya berdampak pada masukan terhadap HKI yang dikomersialisasikan.
Pada HKI yang berstatus BMN tentunya sudah dapat dipastikan bahwa hasil
komersialisasi tersebut sepenuhnya harus masuk ke kas negara. Namun, dalam Undang-undang Paten telah diatur bahwa peneliti mempunyai hak atas
hasil HKI yang telah dikomersialisasikan. Disharmonisasi aturan ini harus dapat
ditengahi dalam aturan HKI nanti karena insentif bagi seorang peneliti merupakan daya rangsang untuk senantiasa melakukan inovasi.
Jika insentif tidak diatur secara tegas akan menimbulkan moral hazard bagi
para peneliti seperti illegal licensing dan illegal spin off. LIPI menghendaki agar
insentif harus mempunyai ruang gerak yang lebih leluasa, dana penelitian dan
dana riset hendaknya mempunyai porsi yang lebih besar jika Indonesia ingin
menjadi membangun negara berbasis ilmu pengetahuan. Dari permasalahan
tersebut, diharapkan agar Kementerian Keuangan dalam hal ini Dirjen Kekayaan Negara dapat melakukan harmonisasi peraturan pengelolaan HKI yang
berstatus BMN dengan aturan yang berlaku di bidang HKI.
Pemindahtanganan
Bentuk-bentuk pemindahtanganan yang diatur dalam PP 6 Tahun 2006
adalah penjualan, tukar menukar, hibah dan penyertaan modal pemerintah.
Pemindahtanganan merupakan perbuatan hukum mengalihkan kepemilikan
dari suatu barang. Paten atau pemilikan paten dapat beralih atau dialihkan baik
seluruhnya maupun sebagian yang diatur dalam Pasal 66 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001. Pengalihan paten bisa disebabkan oleh pewarisan, hibah,
wasiat, perjanjian tertulis atau sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan peManajemen Materiil
43
rundang-undangan.
Pengalihan paten harus disertai dokumen asli paten berikut hal lain yang
berkaitan dengan paten tersebut, serta harus dicatat dan diumumkan, mengingat paten merupakan hak milik yang diberikan oleh Negara sehingga pemakaian, pemanfaatan atau penggunaannya dibatasi dengan kurun waktu tertentu
yaitu 20 tahun. Sebagai hak milik, pengalihan paten hanya dapat dilakukan oleh
inventor atau oleh yang berhak atas invensi tersebut kepada perorangan atau
badan hukum. Dalam pengalihan paten, yang beralih adalah hak ekonominya
saja, sedangkan hak moral tetap melekat pada Inventornya. Hak moral ini tetap
mengikuti Inventor sampai kapanpun walapun patennya sudah berakhir.
Di samping objek hak tersebut, yang perlu juga diperhatikan oleh pembuat
undang-undang adalah tentang hak monopoli yang dimiliki oleh penemu untuk melaksanakan atau mendayagunakan hasil temuannya tersebut, sehingga
atas dasar hak istimewa tersebut, orang lain dilarang untuk mendayagunakan
hasil penemuannya, terkecuali atas izinnya, atau penemu sendiri melaksanakan
hasil penemuannya. Izin ini dinamakan lisensi. Lisensi merupakan alat dasar dalam perdagangan HKI.
Terhadap paten yang merupakan barang milik negara harus dicarikan formulasi siapakah yang menjadi pemegang lisensi atas HKI tersebut, apakah
akan disamakan dengan ketentuan yang berlaku dalam BMN yang berwujud,
dimana dalam ketentuan yang berlaku saat ini setiap perbuatan hukum seperti pemanfaatan dan pemindahtanganan harus selalu mendapatkan izin dari
Pengelola Barang dalam hal ini adalah Menteri Keuangan, ataukah mengikuti
aturan yang berlaku dalam HKI.
Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti dimana pekerja dibiayai oleh pemerintah dari dana APBN serta melakukan penelitian dengan
menggunakan semua fasilitas negara, maka jelas berdasarkan Pasal 12 Undangundang Paten, yang memiliki paten adalah pihak yang memberikan pekerjaan
tersebut artinya adalah pemerintah. Pemerintah dalam hal ini merupakan Kementerian/Lembaga yang aktif dalam penelitian-penelitian yang dibiayai dari
APBN. Berdasarkan hal tersebut seharusnya DJKN juga memperhatikan aturan
tentang lisensi jika HKI akan dimanfaatkan yang telah diatur dalam Undangundang Paten ini.
Penilaian
Mekanisme penilaian barang milik negara telah ditetapkan dalam suatu peraturan menteri keuangan tentang penilaian barang milik negara berupa tanah
dan atau bangunan, namun untuk HKI belum diatur secara jelas. LIPI mengh44
Manajemen Materiil
adapi kendala ketika Badan Pemeriksa Keuangan melakukan pemeriksaan terhadap laporan keuangan mereka, karena terdapat perbedaan persepsi tentang
unsur-unsur yang dipertimbangkan dalam meperoleh nilai.
Berdasarkan pendapat BPK nilai HKI meliputi biaya riset, biaya yang dikeluarkan oleh peneliti, dan biaya komersialisasi, sedangkan LIPI berpendapat bahwa
nilai dibentuk berdasarkan pendekatan harga pasar, modal dan ekonomi. Nilai
HKI sangat penting artinya untuk menentukan harga komersialisasi sebuah HKI,
sehingga LIPI mendorong agar Kementerian Keuangan segera menetapkan
standardisasi aturan nilai dari suatu HKI.
Berdasarkan hal tersebut tidak pelak lagi, maka kebutuhan Indonesia akan
adanya aturan pengelolaan atau manajemen aset yang baik merupakan hal
yang mutlak harus dilaksanakan dan mencakup seluruh harta kekayaan negara
baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
PENTINGNYA PENGELOLAAN
KEKAYAAN NEGARA
Dalam rangka mewujudkan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia khususnya pada preamble, Pasal 23, dan Pasal 33, Negara mengemban tugas untuk melakukan pengelolaan kekayaan negara termasuk didalamnya kekayaan daerah dalam rangka mewujudkan sebesar-besar kemakmuran
rakyat. Untuk pelaksanaannya, Undang-undang Dasar memberi kewenangan
kepada negara untuk menguasai dan mempergunakan seluruh kekayaan negara yang bersumber dari bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Kekayaan Negara mencakup dua pengertian yaitu kekayaan yang dimiliki oleh pemerintah (domein public) dan kekayaan yang dikuasai oleh Negara
(domein privat).
Sejak reformasi keuangan Negara bergulir pada awal tahun 2003, Pemerintah Pusat telah membangun komitmen yang kuat untuk memenuhi prinsip tata
kelola pemerintahan yang baik (good governance) melalui pengelolaan keuangan yang sehat dan modern. Lingkup perubahan yang terjadi sangat mendasar
dan menyeluruh yang termasuk di dalamnya adalah pengelolaan aset Negara.
Hal ini dimulai dengan lahirnya 3 (tiga) paket Undang-undang Bidang Keuangan Negara yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang
Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pemeriksaan
Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara yang telah menjadikan
lokomotif bagi perubahan paradigma manajemen aset negara.
Dasar pemikiran diterbitkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 adaManajemen Materiil
45
lah dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam
alinea IV Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dengan dibentuknya pemerintahan negara yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai
bidang. Pembentukan pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan
kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang yang perlu dikelola dalam
suatu sistem keuangan negara. Pengelolaan keuangan negara sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 perlu
dilaksanakan secara profesional, terbuka, dan bertanggungjawab untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Adapun Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan
Negara merupakan payung hukum tertinggi di bidang administrasi keuangan
negara. Pengertian keuangan negara berdasarkan objeknya meliputi semua
hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan
dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara
yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, barang, maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan
hak dan kewajiban tersebut.
Dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan investasi dan barang milik negara, Undang-undang Perbendaharaan Negara telah
mengamanatkan untuk mengatur pedoman teknis dan administrasi dalam
suatu Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah.
o0o
46
Manajemen Materiil
BAB IV
PENGELOLAAN BARANG MILIK NEGARA
Tahapan Pengelolaan Barang Milik Negara
Pengelolaan barang milik negara/daerah meliputi:
1. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran
2. Pengadaan
3. Penggunaan
4. Pemanfaatan Pengamanan dan pemeliharaan
5. Penilaian
6. Penghapusan
7. Pemindahtanganan
8. Penatausahaan
9. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
Landasan Hukum Pengelolaan Barang Milik Negara
Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor
20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4609); Permenkeu
Nomor: 29/PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/pmk.06/2007 tentang Tata cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang
Milik Negara Kepmenkeu Nomor 271/KMK.06/2011 tentang pedoman pelaksanaan tindak lanjut hasil penertiban BMN pada Kementerian Negara/Lembaga
Perpres No 54 Tahun 2010 Tentang Barang dan jasa Peraturan Bersama Menteri
Keuangan Dan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor:
186/PMK.06/2009 |Nomor: 24 Tahun 2009 Tentang Pensertipikatan Barang Milik
Negara Berupa Tanah Perdirjen KN Nomor PER-07/KN/2009 tentang Tata Cara
Rekonsiliasi BMN
Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran. - Perencanaan kebutuhan barang milik negara/daerah disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah setelah memperhatikan
ketersediaan barang milik negara/daerah yang ada. Perencanaan kebutuhan
barang milik negara/daerah berpedoman pada standar barang, standar kebutuhan, dan standar harga. Standar barang dan standar kebutuhan ditetapkan
oleh pengelola barang setelah berkoordinasi dengan instansi atau dinas teknis
terkait.
Pengadaan - Pengadaan barang milik negara/daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif, transparan dan terbuka, bersaing, adil/tidak
Manajemen Materiil
47
diskriminatif dan akuntabel.
Penggunaan - Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagaiberikut:
a. Barang milik negara oleh pengelola barang
b. Barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota
Penetapan status penggunaan - Penetapan status penggunaan barang milik negara sebagaimana dimaksud dilakukan dengan tata cara sebagai berikut :
a. Pengguna barang melaporkan barang milik negara yang diterimanya
kepada pengelola barang disertai dengan usul penggunaan
b. Pengelola barang meneliti laporan tersebut dan menetapkan status
penggunaan barang milik negara dimaksud.
c. Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/
satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan.
Penggunaan - Barang milik negara/daerah dapat ditetapkan status penggunaannya untuk penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi kementerian negara/
lembaga/satuan kerja perangkat daerah, untuk dioperasikan oleh pihak lain dalam rangka menjalankan pelayanan umum sesuai tugas pokok dan fungsi kementerian negara/lembaga/satuan kerjaperangkat daerah yang bersangkutan.
Pemanfaatan - Bentuk-bentuk pemanfaatan barang milik negara/daerah
berupa :
a. Sewa
b. Pinjam pakai
c. Kerjasama pemanfaatan
d. Bangun guna serah dan bangun serah guna
Penyewaan - Penyewaan barang milik negara/daerah dilaksanakan dengan
bentuk :
a. Penyewaan barang milik negara atas tanah dan/atau bangunan yang
sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada pengelola barang;
kepada gubernur/bupati/walikota
b. Penyewaan atas sebagian tanah dan/atau bangunan yang masih
digunakan oleh pengguna barang
c. Penyewaan atas barang milik negara/daerah selain tanah dan/atau
bangunan.
48
Manajemen Materiil
Pemanfaatan Penyewaan – Pemanfaatan Barang Milik Negara diselenggarakan dalam bentuk :
a. Barang milik negara/daerah dapat disewakan kepada pihak lain
sepanjang menguntungkan negara/daerah
b. Jangka waktu penyewaan barang milik negara/daerah paling lama lima
tahun dan dapat diperpanjang
c. Penetapan formula besaran tarif sewa dilakukan dengan ketentuan
sebagai berikut, barang milik negara oleh pengelola barang dan
barang milik daerah oleh gubernur/bupati/walikota.
d. Penyewaan dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian sewa-menyewa,
yang sekurang-kurangnya memuat : Pihak-pihak yang terikat dalam
perjanjian, jenis, luas atau jumlah barang, besaran sewa, dan jangka
waktu, tanggungjawab penyewa atas biaya operasional dan
pemeliharaan selama jangka waktu penyewaan, persyaratan lain
yang dianggap perlu.
e. Hasil penyewaan merupakan penerimaan negara/daerah dan seluruhnya
wajib disetorkan ke rekening kas umum negara/daerah.
Pinjam Pakai – Pinjam pakai Barang Milik Negara dilakukan dalam bentuk :
a. Pinjam pakai barang milik negara/daerah dilaksanakan antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah atau antar
pemerintah daerah
b. Jangka waktu pinjam pakai barang milik negara/daerah paling lama
dua tahun dan dapat diperpanjang
c. Pinjam pakai dilaksanakan berdasarkan surat perjanjian yang
sekurang - kurangnya memuat, pihak-pihak yang terikat dalam
perjanjian, jenis, luas atau jumlah barang yang dipinjamkan, dan
jangka waktu, tanggungjawab peminjam atas biaya operasional dan
pemeliharaan selama jangka waktu peminjaman, persyaratan lain
yang dianggap perlu
Kerjasama Pemanfaatan - Kerjasama pemanfaatan barang milik negara/
daerah dilaksanakan dengan bentuk :
a. Kerjasama pemanfaatan barang milik negara atas tanah dan/atau
bangunan yang sudah diserahkan oleh pengguna barang kepada
pengelola barang
b. Kerjasama pemanfaatan atas sebagian tanah dan/atau bangunan
yang masih digunakan oleh pengguna barang
c. Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah selain tanah
dan/atau bangunan.
d. Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara dilaksanakan oleh
pengelola barang.
Manajemen Materiil
49
e. Kerjasama pemanfaatan atas barang milik negara/daerah dilaksanakan
oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang.
Pengamanan dan Pemeliharaan - Pengelolaan barang, pengguna barang
dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan barang milik
negara/daerah yang berada dalam penguasaannya. Pengamanan barang milik negara/daerah meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan
pengamanan hukum.
1. Barang milik negara/daerah berupa tanah harus disertifikatkan
atas nama Pemerintah Republik Indonesia/pemerintah daerah
yang bersangkutan.
2. Barang milik negara/daerah berupa bangunan harus dilengkapi dengan
bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/
pemerintah daerah yang bersangkutan.
3. Barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan harus dilengkapi
dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang. Pemeliharaan : Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggungjawab atas pemeliharaan barang milik negara/daerah yang ada di bawah penguasaannya. Pemeliharaan sebagaimana berpedoman pada Daftar Kebutuhan Pemeliharaan
Barang (DKPB). Biaya pemeliharaan barang milik negara/daerah dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah.
Penilaian - Penilaian barang milik negara/daerah dilakukan dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah. Sedangkan Penetapan nilai barang milik
negara/daerah dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah
dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP).
1. Penilaian barang milik negara berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang
ditetapkan oleh pengelola barang.
2. Hasil penilaian barang milik negara/daerah ditetapkan oleh, pengelola
barang untuk barang milik Negara, gubernur/bupati/walikota untuk barang
milik daerah.
Penghapusan - Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi:
a. Penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna
b. Penghapusan dari daftar barang milik negara/daerah.
c. Penghapusan barang milik negara/daerah dilakukan dalam hal barang
milik negara/daerah dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan
pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang
d. Pelaksanaan atas penghapusan selanjutnya dilaporkan kepada pengelola
50
Manajemen Materiil
barang
e. Penghapusan dilakukan dengan penerbitan surat keputusan
penghapusan dari, Pengguna barang setelah mendapat persetujuan
dari pengelola barang untuk barang milik negara, pengguna barang
setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atas usu
pengelola barang untuk barang milik daerah.
Pembinaan, Pengawasan, dan Pengendalian – Pembinaan, Pengawasan,
dan Pengendalian diselenggarakan dalam bentuk :
1. Pengguna barang melakukan pemantauan dan penertiban terhadap
penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan,
pemeliharaan, dan pengamanan barang milik negara/daerah yan
berada di bawah penguasaannya
2. Pelaksanaan pemantauan dan penertiban untuk kantor/satuan kerja
dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang
3. Kuasa pengguna barang dan pengguna barang dapat meminta aparat
pengawas fungsional untuk melakukan audit tindak lanjut hasil
pemantauan dan penertiban
4. Kuasa pengguna barang dan pengguna barang menindaklanjuti hasil
audit
Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian juga meliputi :
a. Pengelola barang berwenang untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan
barang milik negara/daerah, dalam rangka penertiban penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah sesuai ketentuan
yang berlaku
b. Pengelola barang dapat meminta aparat pengawas fungsional untuk
melakukan audit atas pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan, dan pemindahtanganan barang milik negara/daerah
c. Hasil audit disampaikan kepada pengelola barang untuk ditindaklanjuti
sesuai ketentuan perundang-undangan.
PENGATURAN ASET NEGARA DALAM PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Pengertian Aset Negara
Aset Berdasarkan perspektif ilmu ekonomi mendefinisikan aset negara secara komprehensif, di antaranya, Sprague yang menyatakan aset yang dimiliki
perusahaan harus memiliki nilai dan perusahaan dapat menikmati/memanfaatkan nilai tersebut. Paton mendefinisikan aset sebagai kekayaan baik dalam
Manajemen Materiil
51
bentuk fisik atau bentuk lainnya yang memiliki nilai bagi suatu entitas. Sementara itu, Vatter lebih merinci lagi dengan meninjau aset dari sisi manfaat yang
dihasilkan dengan mendefinisikan aktiva sebagai manfaat ekonomi masa yang
akan datang dalam bentuk potensi jasa yang dapat diubah, ditukar, atau disimpan. Dalam perkembangan dewasa ini beberapa lembaga perekonomian juga
memberikan definisi mengenai aset yang disesuaikan dengan perkembangan
ilmu pengetahuan.
Sementara itu, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) juga memberikan definisi aset
sebagai manfaat ekonomi masa depan yang terwujud dalam aset, yang potensi
aset tersebut memberikan sumbangan, baik langsung maupun tidak, arus kas
dan setara kas kepada perusahaan. Sejalan dengan itu, Financial Accounting
Standard Board pada 1980 mendefinisikan aset sebagai manfaat ekonomi yang
mungkin terjadi pada masa mendatang yang diperoleh atau dikendalikan oleh
suatu entitas tertentu sebagai akibat transaksi atau peristiwa masa lalu.
Definisi aset menurut Standar Akuntansi Pemerintahan lebih luas dan komprehensif, yaitu sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat
ekonomi dan/atau sosial di masa depan yang diharapkan dapat diperoleh, baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,
termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa
bagi masyarakat umum dan sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah
dan budaya.
Banyaknya definisi mengenai aset tersebut menunjukan tidak jauh berbeda
satu sama lainnya. Dengan demikian, dapat dirumuskan karakteristik umum
aset sebagai berikut :
1. Adanya karakteristik manfaat pada masa mendatang
2. Adanya pengorbanan ekonomi untuk memperoleh asset
3. Berkaitan dengan entitas tertentu
4. Menunjukkan proses akuntansi
5. Berkaitan dengan dimensi waktu
6. Berkaitan dengan karakteristik keterukuran
Dengan mendasarkan pada karakteristik aset tersebut, pengakuan aset
menurut IAI pada 2007 adalah berikut ini:
1. Aset diakui dalam neraca, kalau besar kemungkinan manfaat ekonominya
di masa depan diperoleh perusahaan dan aset tersebut mempunyai nilai atau
biaya yang dapat diukur dengan andal
2. Aset tidak diakui dalam neraca, kalau pengeluaran telah terjadi dan manfaat ekonominya dipandang tidak mungkin mengalir setelah periode akuntansi
Manajemen Materiil
52
berjalan. Sebagai alternatif transaksi semacam ini menimbulkan pengakuan beban dalam laporan laba rugi
Dalam konteks peraturan perundang-undangan, definisi aset terdapat dalam RUU tentang Perampasan Aset. Dalam RUU tersebut Eddy Mulyadi Soepardi dalam ceramah ilmiahnya disalah satu universitas di Indonesia yang berjudul
Memahami Kerugian Keuangan Negara Sebagai Salah Satu Unsur Tindak Pidana Korupsi aset adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak,
baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai
ekonomis, sedangkan hukum positif yang sekarang berlaku tidak menggunakan istilah ‘aset’, tetapi menggunakan istilah barang atau kekayaan. PP Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, misalnya, menggunakan istilah ‘barang’ untuk Barang Milik Negara.
Pengertian Negara atau batasan negara menurut hukum positif dalam penelitian ini ditujukan pada Pemerintah Republik Indonesia, dalam arti yang
lebih spesifik adalah kementerian negara/lembaga. Pengertian lembaga adalah
sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 6 ayat (2) huruf b UU Nomor 17
Tahun 2003, yaitu lembaga negara dan lembaga pemerintah non kementerian
negara.
Aset Negara PP Nomor 6 Tahun 2006, yang menggunakan istilah barang
negara untuk aset negara mendefinisikan barang milik negara (BMN), yaitu semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Mendasarkan pada definisi tersebut, aset negara yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah sebagaimana diatur dalam PP Nomor 6
Tahun 2006, yaitu semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud, dan yang mempunyai nilai ekonomis,
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah.
BMN dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 mendasarkan pada UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Adapun yang dimaksud BMN sesuai dengan Pasal 1 butir 10 UU Nomor 1 Tahun 2004 adalah semua barang
yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya
yang sah. BMN dimaksud dapat berada di semua tempat, tidak terbatas hanya
yang ada pada kementerian/lembaga, tetapi juga yang berada pada BUMN
dan BHMN atau bentuk-bentuk kelembagaan lainnya yang belum ditetapkan
statusnya menjadi aset negara yang dipisahkan. Sementara itu, terhadap BMN
yang statusnya sudah ditetapkan menjadi kekayaan negara yang dipisahkan
diatur secara terpisah dari ketentuan ini.
Untuk barang-barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN dapat
Manajemen Materiil
53
lebih mudah identifikasinya sebagai bagian dari BMN. Sementara itu, untuk barang-barang yang berasal dari perolehan yang sah perlu adanya batasan yang
lebih jelas, mana yang termasuk sebagai BMN. Dalam hal ini, batasan pengertian barang-barang yang berasal dari perolehan yang sah adalah barang-barang yang menurut ketentuan perundang-undangan, ketetapan pengadilan,
dan/atau perikatan yang sah ditetapkan sebagai Barang Milik Negara.
Jenis Aset Negara Menurut Pasal 2 PP Nomor 6 Tahun 2006, aset negara terdiri atas dua jenis, yaitu barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/
APBD dan barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang meliputi:
1. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis
2. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/ kontrak
3. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang
4. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tata Kelola Aset Negara (Tanah)
Pengaturan aset negara (tanah) Sebagaimana diuraikan sebelumnya, aset
negara ada dua kelompok, yaitu kelompok pertama adalah aset negara yang dikuasai negara (bersifat publik), dalam hal ini negara bertindak sebagai penguasa, sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada lembaga yang berwenang.
Misalnya, dalam hal tanah, lembaga yang berwenang adalah Badan Pertanahan
Nasional (BPN). Jika aset mengenai hasil hutan, diserahkan pada Kementerian
Kehutanan, sedangkan mengenai hasil laut, diserahkan kepada Kementerian
Kelautan.
Aset yang dikuasai negara bersumber pada Pasal 33 UUD 1945 yang menyatakan, bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat.
Di samping itu, ada aset yang dikuasai negara, dan ada juga aset yang dimiliki
Pemerintah. Aset negara yang dimiliki Pemerintah dibagi dua, yaitu aset yang
tidak dipisahkan dan aset yang dipisahkan. Aset yang dipisahkan atau yang disebut Barang Milik Negara/Daerah adalah barang yang diperoleh/dibeli atas beban APBN/APBD dan barang yang berasal dari perolehan lain yang sah meliputi
barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, diperoleh sebagai
pelaksanaan perjanjian/kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Pengeloaan aset negara yang tidak dipisahkan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
54
Manajemen Materiil
pelaksanaannya diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Selain aset negara yang tidak dipisahkan tersebut,
ada aset negara yang dipisahkan, yang disebut investasi pemerintah, terdiri dari
penyertaan modal pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara/Daerah (BUMN/
BUMD), perseroan terbatas lainnya, dan badan hukum milik pemerintah lainnya.
Landasan hukum pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan adalah UU
Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik
Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 yang pelaksanaannya diatur dalam peratuan
pemerintah mengenai pengelolaan investasi pemerintah sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 41 ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2004. Pergantian pemerintahan pada era reformasi 1998 ikut mempengaruhi kebijakan pemerintah di
bidang pertanahan demi mewujudkan prinsip tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance). Hal tersebut sangat mendesak mengingat sudah sejak
lama terjadi penguasaan atas tanah aset negara oleh pihak yang tidak bertanggungjawab.
Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada, usaha untuk melindungi aset negara (tanah) dari penguasaan pengguna yang tidak berhak,
misalnya UU yang menjadi bahasan dalam kajian ini yaitu UU Nomor Prp 51
Tahun 1960. Pasal 1 huruf (a) UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 mengatur, “tanah
ialah (a) tanah yang langsung dikuasai oleh negara; (b) tanah yang tidak termasuk huruf a yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh 17 perseorangan atau
badan hukum.”
Adapun maksud tanah pada butir a dan pada butir b tersebut adalah tanah yang langsung dikuasai oleh negara atau tanah yang belum dihaki dengan
hak-hak perseorangan. Selain itu juga disebut dengan tanah negara dalam arti
luas, yaitu tanah yang belum diberikan hak sebagaimana diatur dalam Pasal 28,
37, 41, 47 dan 49 UU Nomor 5 Tahun 19 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria.
Para ahli membedakan tanah negara menjadi tiga, yaitu:
1. Tanah negara yang dikuasai langsung oleh negara, dalam pengertian hak
menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang mempunyai kewenangan, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut, menentukan dan
mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air
dan ruang angkasa, menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum
Manajemen Materiil
55
antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air
dan ruang angkasa.
2. Tanah negara yang dimiliki oleh pemerintah yaitu tanah-tanah yang diperoleh pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan nasionalisasi, pemberian,
penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah dan berdasarkan
akta-akta peralihan hak. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Edisi 2008,
Cetakan kedua belas (Jakarta: Djambatan, 2008, hal.271) B.F. Sihombing, Evolusi
Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Cetakan Kedua (Jakarta:
Penerbit Djambatan, 2005, hal.79-80).
3. Tanah negara yang tidak dimiliki atau dikuasai oleh masyarakat, badan
hukum swasta dan badan keagamaan atau badan sosial serta tanah-tanah yang
dimiliki oleh perwakilan negara asing.
Jika dilihat dari status penguasaannya, tanah negara masih dibagi menjadi :
1. Tanah wakaf
2. Tanah hak pengelolaan
3. Tanah hak ulayat
4. Tanah hak kaum
5. Tanah hak kawasan hutan
6. Tanah lainnya yang tidak termasuk lima klasifikasi itu, yang penguasaannya ada pada BPN
Tanah negara mempunyai dua pengertian, yaitu :
1. Tanah negara dalam arti luas adalah tanah yang dikuasai BPN dan
penguasaannya ada pada Kepala BPN
2. Tanah negara dalam arti sempit adalah tanah yang dikuasai oleh
kementerian dan lembaga dengan hak pakai yang merupakanaset/
bagian dari aset negara dan penguasaannya ada pada Menteri Keuangan.
Sebelum lahirnya UU Nomor 51 Prp Tahun 1960, telah ada berbagai peraturan lain yang sejenis mengatur penguasaan dan pendudukan tanah secara
illegal, di antaranya UU Darurat Nomor 8 Tahun 1954 tentang Penyelesaian
Soal Pemakaian Tanah Perkebunan oleh Rakyat, yang kemudian diubah dan
ditambah menjadi UU Darurat Nomor 1 Tahun 1956 yang berlaku bagi tanahtanah perkebunan, dan peraturan sejenis lainnya. Jika dilihat dari keberadaan
peraturan yang pernah ada sebelum lahirnya UU Nomor 51 Prp Tahun 1960,
banyak penguasaan tanah tanpa hak, sehingga untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang mungkin muncul, diperlukan suatu tata kelola aset
negara berupa tanah dalam bentuk yang dapat dipertanggungjawabkan dan
mengikuti perkembangan zaman serta dilakukan dan ditangani oleh BPN. Hal
ini berarti ada kejelasan mengenai lembaga yang bertanggungjawab, sistem
15I bid., hal. 272 19 pengadministrasiannya yang jelas dan mudah dipahami,
56
Manajemen Materiil
tata cara pelaporan sebagai pertanggungjawabannya serta dengan mengikuti
ketentuan peraturan yang ada.
Lembaga dan pejabat pengelola aset negara (tanah). Tanah merupakan
bagian dari aset yang dikuasai negara berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
yang mengatur, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran
rakyat.” Dengan demikian, pemegang kekuasaan tertinggi adalah bangsa Indonesia dalam suatu organisasi yang disebut negara. Sebagai perwujudan kebijakan negara dalam hal pengelolaan tanah sebagaimana diamanatkan Pasal 33
UUD 1945, negara menerbitkan UUPA menjadi pijakan hukum bagi penyelenggaraan kebijakan pengelolaan tanah, di mana hak menguasai negara melahirkan kewenangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 5
Tahun 1960, yaitu:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai
bumi, air dan ruang angkasa.
Bahwa untuk melaksanakan ketentuan tersebut, negara telah mengeluarkan
peraturan bagi lembaga yang bertugas mengatur dan mengelola aset negara
berupa tanah demi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu
Perpres Nomor 10 Tahun 2006 tentang 20 Badan Pertanahan Nasional. Ketiga
fungsi utama tersebut di atas, yang harus dijalankan oleh negara diberikan kepada BPN sebagai lembaga pemerintah yang berwenang untuk menangani
pertanahan. Namun, pada kenyataannya hingga saat ini kelembagaan pertanahan belumlah optimal, antara lain dapat dilihat dari pengelolaan tanah yang
ditangani oleh lebih dari satu lembaga, tetapi tidak terkoordinasi dengan baik.
Pengelolaan administrasi tanah selama ini ditangani oleh Kementerian Kehutanan untuk tanah hutan dan BPN untuk tanah non hutan.16 Di samping
itu, dalam hal pengelolaan tanah, BPN juga bekerja sama dengan Kementerian
Keuangan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 huruf (i) Peraturan Presiden
Nomor 10 Tahun 2006. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pasal 1
Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 menyatakan BPN adalah Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang berada di bawah dan bertanggungjawab
kepada presiden, dan dipimpin oleh seorang Kepala.
Dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, Kepala BPN dibantu oleh
Manajemen Materiil
57
Sekretaris Utama dan 5 (lima) Deputi serta Inspektur Utama. Kelima Deputi tersebut masing-masing adalah Deputi Bidang Survei, Pengukuran, dan Pemetaan,
Deputi Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah, Deputi Bidang Pengaturan
dan Penataan Pertanahan, Deputi Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan masyarakat, Deputi Bidang Pengkajian dan penanganan Sengketa
dan Konflik Pertanahan.
Selanjutnya, menurut Pasal 2, Badan Pertanahan Nasional bertugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional
dan sektoral, dengan demikian lembaga Badan Pertanahan Nasional Adrian
Sutedi, Tinjauan Hukum Pertanahan, Cetakan Pertama, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2009, hal.11) merupakan organisasi tertinggi yang berwenang untuk
melakukan penatausahaan tanah di seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 3 yang menyatakan BPN menyelenggarakan fungsi:
a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan
b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan
c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan
d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan
e. Penyelenggaraan survey, pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan
f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian
hukum
g. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah
h. Pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan
wilayah-wilayah khusus
i. Penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik
negara/daerah bekerjasama dengan Kementerian Keuangan
j. Pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah
k. Kerjasama dengan lembaga-lembaga lain
l. Penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program
di bidang pertanahan
m. Pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan
n. Pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik
di bidang pertanahan
o. Pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan
p. Penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan
q. Pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang
pertanahan
r. Pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan
s. Pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang
pertanahan
58
Manajemen Materiil
t. Pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau
badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
u. Fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan
yang berlaku
Mengingat BPN melaksanakan tugas pengelolaan secara nasional, regional
dan sektoral, Badan Pertanahan Nasional membentuk Kantor Wilayah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 Perpres Nomor 10 Tahun 2006. Untuk mendukung pelaksanaan tugas, BPN juga
membutuhkan keterlibatan masyarakat, sehingga diperbolehkan mengangkat
paling banyak tiga (3) orang staf khusus untuk membantu Kepala BPN dan bertugas memberikan saran dan pertimbangan. Staf khusus dapat berasal dari pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri dan bertugas paling lama sama
dengan jabatan Kepala BPN.
Selanjutnya, dalam rangka pengelolaan tanah negara BPN bekerjasama
dengan instansi lain sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 huruf (i), yaitu ”penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah
bekerjasama dengan Departemen Keuangan. Menteri Keuangan/Kementerian Keuangan Kementerian Keuangan adalah kementerian yang membidangi
urusan keuangan yang dipimpin oleh seorang Menteri. Keberadaan Kementerian Keuangan dalam pengeloaan tanah dilandasi oleh beberapa peraturan di
antaranya adalah UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004, dan PP
Nomor 6 Tahun 2006.
Penjelasan umum PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan, Menteri Keuangan selaku bendahara umum negara adalah pengelola barang milik negara.
Pengertian pengelola barang menurut Pasal 3 PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah
Pejabat yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan
pedoman serta melakukan pengelolaan barang milik negara/daerah. Dengan
demikian, pengelola berkaitan erat dengan orang/pejabat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2006. Kepala Daerah/Pemerintah
Daerah Rujukan peraturan perundang-undangan mengenai lembaga/ pejabat
pengelola aset negara (tanah) adalah UU Nomor 1 Tahun 2004 dan PP Nomor
6 Tahun 2006. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) PP Nomor 6 Tahun 2006, gubernur/bupati/walikota adalah pemegang kekuasaan pengelolaan barang milik daerah. Sementara itu, pejabat pengelola barang milik daerah sebagaimana
diatur dalam Pasal 5 (3) PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah ”sekretaris daerah adalah pengelola barang milik daerah.”
Pejabat Pembuat Akta Tanah. Di samping pejabat pemerintah yang telah
Manajemen Materiil
59
disebutkan sebelumnya, ada pejabat lain yang turut serta melakukan kegiatan pengelolaan aset negara (tanah), yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
PPAT adalah pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat aktaakta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah
atau hak milik atas satuan rumah susun. Selain itu, ada yang disebut PPAT sementara dan PPAT khusus. PPAT sementara adalah pejabat pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT. Di sisi lain, PPAT khusus
adalah pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT tertentu
khusus dalam rangka pelaksanaan program atau tugas pemerintah tertentu.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan tanah, maka fungsi PPAT umum adalah membuat akta pemindahan hak atas tanah, pembebanan hak atas tanah
dan akta lain yang diatur dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan membantu kepala kantor pertanahan dalam melaksanakan pendaftaran tanah, dengan membuat akta yang akan dijadikan dasar pendaftaran
perubahan dalam pendaftaran Tanah. PPAT wajib menyimpan dan memelihara
kumpulan dokumen, yang biasa disebut Protokol PPAT, yang terdiri dari daftar
akta, akta asli, warkah pendukung akta, arsip laporan, agenda, dan surat-surat
lainnya.
Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah, PP
No. 37 Tahun 1998, pasal 1. Achmad Chomzah, Hukum Agraria (Pertanahan Indonesia, Jilid 2, (Jakarta: Prestasi Pustaka karya, 2004),hal. 67. Warkah adalah
dokumen yang merupakan alat pembuktian data fisik dan data yuridis bidang
tanah yang telah dipergunakan sebagai dasar pendaftaran tanah (Permen
Agraria/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan PP No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1) 7. Pengelolaan aset negara
(tanah) Pengelolaan pertanahan meliputi tanah hak dan tanah negara.
Tanah hak yang dikuasai oleh perseorangan maupun badan hukum dengan
hak-hak atas tanah yang disebut dalam Pasal 16 UUPA, yaitu hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha dan hak pakai. Sementara itu, tanah negara, menurut Pasal 1 PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah adalah tanah
yang dikuasai langsung oleh negara yang tidak dipunyai dengan sesuatu hak
atas tanah. Demi tertib administrasi, aset negara (tanah) perlu dilakukan pengurusan secara administratif dengan tujuan untuk memudahkan bagi pemilik
atau pengguna hak tanah tersebut, sehingga dapat mengurangi konflik yang
mungkin terjadi di kemudian hari.
Pengertian pengelolaan menurut Pasal 3 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006
60
Manajemen Materiil
adalah suatu kegiatan yang meliputi:
a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran
b. Pengadaan
c. Penggunaan
d. Pemanfaatan
e. Pengamanan dan pemeliharaan
f. Penilaian
g. Penghapusan
h. Pemindahtanganan
i. Penatausahaan
j. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Penatausahaan adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi dan pengelolaan. Inventarisasi adalah kegiatan pendataan, pencatatan dan penghapusan. Pengelolaan dimaksud adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh Kementerian Keuangan terhadap barang milik negara (BMN).
Pengertian pengelolaan BMN, sejalan dengan tugas dan fungsi BPN, yang sejak berlakunya UUPA menjadi lembaga yang mengurus segala sesuatu mengenai pertanahan. Kegiatan pengelolaan dilakukan sebagaimana diatur dalam
PP Nomor 24 Tahun 1997. Pelaksanaan dari Pasal 19 UU Nomor 5 Tahun 1960
yang menginstruksikan kepada pemerintah, agar seluruh wilayah Indonesia
diadakan pendaftaran tanah, yang bersifat rechts kadaster, bertujuan untuk
menjamin kepastian hak atas tanah yang penyelenggaraan tugas dibebankan
kepada jawatan pendaftaran tanah dengan berpedoman pada PP Nomor 10
Tahun 1961 (sekarang PP Nomor 24 Tahun 1997).
Menurut Pasal 1 (1) PP Nomor 24 Tahun 1997, “Pendaftaran tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan,
dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta
dan daftar, mengenai bidangbidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,
termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang
sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”.
Pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dan pemeliharaan data pendaftaran tanah (Pasal 11). Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendafataran
secara sistematik dan pendafataran tanah secara sporadis. Pendaftaran tanah
secara sistematik dilaksanakan atas prakarsa Badan Pertanahan Nasional yang
didasarkan atas suatu rencana kerja jangka panjang dan rencana tahunan yang
berkesinambungan, sedangkan pendaftaran tanah secara sporadis dilaksanaManajemen Materiil
61
kan atas permintaan pihak yang berkepentingan, yaitu pihak yang berhak atas
obyek pendaftaran tanah yang bersangkutan.
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi:
1. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 huruf c UU Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
2. Penyajian data fisik dan data yuridis, kegiatan penatausahaan pendafataran pengumpulan dan pengolahan data phisik, kegiatan ini mencakup pengukuran dan pemetaan, pembuatan peta dasar pendaftaran, penetapan batas-batas bidang tanah, pengukuran dan pemetaan bidang-bidang tanah dan
pembuatan peta pendaftaran, pembuatan daftar tanah serta membuat surat
ukur
3. Pembuktian hak dan pembukuannya, kegiatan ini mencakup pembuktian
hak baru, pembuktian hak lama, dan pembukuan hak
4. Penerbitan sertifikat, sertifikat diterbitkan untuk kepentingan pemegang
hak. Sertifikat juga merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
bukti yang diselenggarakan oleh Kantor Pertanahan, ke dalam daftar umum
yang terdiri dari peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama.
5. Penyimpanan daftar umum dan dokumen, dokumen-dokumen yang
merupakan alat pembuktian yang telah digunakan sebagai dasar pendaftaran,
diberi tanda pengenal dan disimpan di kantor pertanahan atau di tempat lain
yang ditetapkan oleh menteri, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari daftar umum. Secara bertahap data pendaftaran tanah disimpan dan disajikan
dengan menggunakan peralatan elektronik dan microfilm.
Selain pendaftaran tanah, kegiatan pengelolaan lainnya adalah pemeliharaan dan pendaftaran tanah. Pemeliharaan dan pendaftaran tanah dilakukan
jika terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar, misalnya :
a. Pemindahan hak yang disebabkan oleh telah terjadinya jual-beli,
tukar menukar, hibah dan lain-lain
b. Pemindahan hak dengan lelang
c. Pemindahan hak karena pewarisan
d. Pemindahan hak karena penggabungan atau peleburan perseroan
dan koperasi
e. Jika terjadi pembebanan hak (hak tanggungan, hak guna bangunan,
dan sebagainya
62
62
Manajemen Materiil
Di samping perubahan hak, maka perlu dilakukan pemeliharaan dan pendaftaran tanah jika terjadi perubahan data-data lainnya, yaitu :
a. Jika ada perpanjangan jangka waktu hak atas tanah
b. Jika terjadi pemecahan, pemisahan dan penggabungan bidang tanah
c. Jika ada pembagian hak bersama (rumah susun)
d. Jika atas suatu pembebanan hak telah berakhir (hapusnya hak atas tanah
dan hak milik rumah susun)
e. Jika terjadi peralihan dan penghapusan hak tanggungan
f. Jika ada pemberitahuan putusan atau penetapan pengadilan
g. Jika pemegang hak berganti nama. Kegiatan pemeliharaan juga terjadi
dalam hal ada permohonan dari pemegang hak atas tanah untuk diterbitkannya sertifikat baru sebagai pengganti sertifikat yang rusak atau hilang, dan alasan lainnya.
Tata cara pengelolaan aset negara (tanah) yang menjadi tanggungjawab Kementerian Keuangan sebagai pengelola BMN/D meliputi :
a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran. Perencanaan dimaksud disusun dalam rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan
kerja pemerintah daerah dengan memperhatikan kebutuhan BMN dan berpedoman pada standard barang, standard kebutuhan dan standard harga yang
ditetapkan oleh pengelola barang, setelah berkoordinasi dengan instansi atau
dinas teknis terkait
b. Pengadaan, dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip efisien, efektif,
transparan dan terbuka, adil/tidak diskriminatif dan akuntabel, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundangundangan
c. Penggunaan, status penggunaan BMN ditetapkan oleh pengelola barang.
Penetapan dilakukan dengan cara sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1),
dimana pengguna barang melaporkan BMN yang diterimanya kepada pengelola barang disertai usul penggunaan, dan kemudian pengelola barang meneliti
laporan tesebut dan menetapkan status penggunaannya. Penetapan status
penggunaan tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan ketentuan bahwa
tanah dan/atau bangunan tersebut diperlukan untuk kepentingan penyelenggaraan tupoksi pengguna barang atau kuasa pengguna barang. Jika tanah dan/
atau bangunan tidak digunakan lagi, maka wajib diserahkan kembali kepada
pengelola barang.
d. Pengamanan dan pemeliharaan, yang dimaksud dengan pengamanan
adalah pengamanan terhadap BMN/D yang ada dalam penguasaan pengguna
barang (menteri/pimpinan lembaga selaku 30 pimpinan kementerian negara/
lembaga), yang meliputi pengamanan administrasi, pengamanan fisik, dan
Manajemen Materiil
63
63
pengamanan hukum. (Pasal 32). Sedangkan kegiatan pemeliharaan barang
adalah daftar hasil pemeliharaan yang dibuat oleh pengguna barang dan/atau
kuasa pengguna barang, yang dibuat dalam satu tahun anggaran dan wajib
dilaporkan kepada pengguna barang secara berkala.
e. Pemanfaatan, pemanfaatan BMN tanah dilaksanakan oleh pengelola barang. Bentuk pemanfaatan dapat berupa sewa, pinjam pakai, kejasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna. Tindak lanjut pengelolaan
terhadap tanah dan/atau bangunan yang telah diserahkan kembali tersebut
meliputi: ditetapkan penggunaannya untuk penyelenggaraan tupoksi instansi
pemerintah lainnya, dimanfaatkan dalam rangka optimalisasi BMN, dan dipindahtangankan.
f. Penilaian, penilaian barang dilakukan menurut Standar Akutansi Pemerintahan (SAP) dan dibuat dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/
daerah, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D. Penilaian terhadap BMN
berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang dan
dapat melibatkan penilai independen.
g. Penghapusan, kegiatan penghapusan BMN meliputi: penghapusan
dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna, penghapusan dari
daftar BMN/D, dan dilakukan jika BMN/D sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang. Penghapusan wajib
dilakukan dengan penerbitan Surat Keputusan Penghapusan (SKP) dari pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola dan SKP dari pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atas
usul pengelola barang untuk BMD. Pelaksanaan penghapusaan wajib dilaporkan kepada pengelola barang. h) Pemindahtanganan, bentuk-bentuk pemindahtanganan dapat berupa: (a) penjualan, (b) tukar-menukar, (c) hibah, dan (d)
penyertaan modal pemerintah pusat/daerah. Pemindatangan tidak memerlukan persetujuan DPR jika tanah: sudah tidak sesuai dengan tata ruang wilayah
atau penataan kota, diperuntukkan 31 untuk pegawai negeri, diperuntukkan
bagi kepentingan umum, dikuasai negara berdasarkan keputusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan/atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan. Selanjutnya, pemindatanganan BMN tanah senilai
diatas Rp.10.000.000.000 (sepuluh milyar) dilakukan oleh pengelola barang setelah mendapat persetujuan presiden, jika nilai tanah sepuluh milyar ke bawah,
maka cukup dilakukan oleh pengelola barang
h. Penatausahaan, kegiatan penatausahaan meliputi pembukuan, inventarisasi dan pelaporan. Pembukuan dimaksud adalah tindakan kuasa pengguna
64
Manajemen Materiil
barang/pengguna untuk mendaftarkan dan mencatatkan BMN/D berupa tanah
dan/atau bangunan ke dalam Daftar Kuasa Pengguna (DBKP)/Daftar Pengguna
(DBP) menurut penggolongan dan kodifikasi barang, dan kemudian menyimpan dokumen kepemilikan tanah/bangunan yang berada dalam pengelolaannya. Dalam hal inventarisasi, pengguna barang melakukan inventarisasi BMN/D
minimal sekali dalam lima tahun, untuk kemudian dilaporkan kepada pengelola barang selambatlambatnya tiga bulan setelah selesai inventarisasi. Untuk pelaporan, maka pengelola barang harus menyusun Laporan BMN/D beruapa tanah dan/atau bangunan semesteran dan tahunan. Hasil dari laporan dimaksud
akan digunakan sebagai bahan penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah.
i. Pembinaan, pengawasan dan pengendalian. Pembinaan pengeloaan BMN
dilakukan oleh Menteri Keuangan, dan BMD dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri. Tugas pengguna barang adalah melakukan pemantauan terhadap penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pemeliharaan dan
pengamanan BMN/D yang berada dalam penguasaannya.
Kewenangan untuk melakukan pemantauan dan investigasi atas pelaksaaan
penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan BMN/D ada pada pengelola
barang, dan sebagai tindak lanjut, maka pengelola barang dapat minta aparat
pengawas fungsional untuk melakukan audit terhadap pelaksanaan penggunaan, pemanfaatan dan pemindahtanganan BMN/D. Pelaporan aset negara
(tanah) Tanah-tanah Negara dalam arti sempit harus dibedakan dengan tanahtanah yang dikuasai oleh kementerian dan lembaga pemerintah non departemen lainnya dengan hak pakai, yang merupakan aset atau sebagian kekayaan
negara, yang penguasaannya ada pada Menteri Keuangan.
Sedangkan penguasaan tanah-tanah negara dalam arti publik sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 UUPA ada pada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional.24 Pasal 1 (26) PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah menyatakan bahwa menteri/pimpinan lembaga adalah pejabat yang bertanggungjawab atas penggunaan barang kementerian negara/ lembaga yang bersangkutan. Pertanggungjawaban pada
umumnya disampaikan dalam bentuk laporan. Laporan merupakan bagian dari
kegiatan penatausahaan yang dihasilkan dari proses inventarisasi dan pembukuan. Ketentuan mengenai pelaporan penggunaan BMN/D diatur dalam Pasal
71 PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Laporan dibuat oleh kuasa pengguna barang, pengguna barang dan pengelola barang. Laporan dibuat baik di tingkat pemerintah daerah maupun di
tingkat pemerintah pusat dan dibuat B.F.Sihombing, Evolusi Kebijakan Pertanahan Dalam Hukum Tanah Indonesia, Cetakan kedua, (Jakarta: PT Toko Gunung
Manajemen Materiil
65
Agung, Tbk, 2005, hal.79). 33 secara berkala berupa laporan semesteran dan
laporan tahunan. Kuasa pengguna, pengguna dan pengelola BMN/D adalah
pejabat yang bertanggungjawab menyusun dan menyampaikan baik Laporan
Barang Pengguna Semesteran (LBPS) maupun Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) terhadap barang yang berada dalam penguasaannya.
Kuasa pengguna barang adalah kepala satuan kerja atau pejabat yang ditunjuk oleh pengguna barang. Pengguna barang adalah pejabat pemegang
kewenangan penggunaan BMN/D, sedangkan pengelola adalah pejabat yang
berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman
serta melakukan pengelolaan BMN/D. Pada tingkat pemerintah pusat, menteri/pimpinan lembaga selaku pimpinan kementerian negara/lembaga adalah
pengguna barang milik negara, sedangkan pada tingkat pemerintah daerah,
kepala satuan kerja perangkat daerah adalah pengguna barang milik daerah.
Kuasa pengguna barang menyampaikan laporan yang dibuatnya kepada pengguna barang, sedangkan pengguna barang menyampaikan laporan yang disusunnya kepada pengelola barang.
Di samping harus menyusun Laporan Barang Milik Negara/Daerah (LBMN/D)
berupa tanah dan/atau bangunan, maka pengelola barang juga harus menghimpun LBPS dan LBPT yang dilaporkan oleh pengguna BMN/D dan juga laporan
yang disusun olehnya, yang selanjutnya akan digunakan sebagai bahan penyusunan neraca pemerintah pusat/daerah. Jangka waktu pelaporan, menurut
ketentuan Pasal 69 (3), jangka waktu pelaporan hasil inventarisasi BMN/D adalah tiga bulan setelah selesai inventarisasi. Inventarisasi BMN/D berupa tanah
dan/atau bangunan dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam lima tahun.
Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 dikaitkan dengan Regulasi Pengelolaan Aset Negara (Tanah). Obyek tanah yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 51 Prp Tahun 1960 adalah meliputi tanah yang ada di seluruh wilayah
Republik Indonesia, baik itu merupakan tanah negara maupun tanah yang telah dilekati Hak-hak atas tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh badan hukum
maupun perorangan. UU Nomor 17 Tahun 2003 tidak menyebutkan secara
spesifik tentang tanah, melainkan menyebut tentang kekayaan negara/daerah
yang dikelola sendiri oleh pihak lain yang dapat berupa uang, piutang, barang,
serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang. UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan pada penyebutan barang
yang dapat diukur dalam satuan uang dan dalam beberapa pasalnya menyebutkan tentang tanah.
PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah
telah dengan jelas menyebutkan di berbagai pasalnya dan membedakan antara
66
Manajemen Materiil
BMN/D berupa tanah dan berupa bukan tanah. Definisi mengenai BMN/D yang
dikemukakan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/D atau dari perolehan yang sah. Dari kata
dibeli dan diperoleh kiranya dapat dikatakan bahwa obyek tanah yang diatur
oleh UU ini hanya tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh Kementerian/Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang merupakan kekayaan negara yang tidak
dipisahkan dan bukan meliputi tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam UU Nomor 51 Prp Tahun 1960.
Sehubungan dengan kegiatan pengelolaan, maka tindakan pelarangan dalam UU Nomor 51 Prp Tahun 1960 dapat dikategorikan sebagai tindakan pengawasan dan pengendalian dalam rangka pengeloaan barang milik negara sebagaimana diatur dalam UU Nomor 35 Tahun 2003, UU Nomor 1 Tahun 2004
dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006, mengingat Perpu tersebut
menghendaki adanya suatu tindakan atas pendudukan illegal, yaitu tindakan
pelarangan, pengosongan dan bahkan pemberian sanksi pidana. Perpu ini
menghendaki adanya pemakaian aset negara berupa tanah yang teratur, badan
hukum atau perorangan dapat menggunakan tanah hanya jika mereka berhak,
yang tentunya diikuti oleh bukti-bukti yang mendukung hak-hak pendudukan,
penggunaan maupun pemanfaatan atas tanah.
Mengenai pejabat yang berwenang dalam pengelolaan tanah, maka Perpu
inipun sejalan dengan apa yang diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang melibatkan pemerintah pusat
dan daerah, maka Perpu menghendaki keterlibatan pemerintah pusat (Menteri Agraria) maupun pemerintah daerah (dalam hal ini Bupati/Walikota/Kepala
Daerah, untuk Daerah Tingkat I, Gubernur dan Penguasa Darurat Sipil Daerah,
Penguasa Darurat Militer Daerah dan Penguasa Perang Daerah untuk daerahdaerah yang dalam keadaan dengan tingkatan darurat sipil, darurat militer dan
keadaan perang untuk melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap
pendudukan illegal atas tanah sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 ayat (1)
dan Pasal 5 berikut: Pasal 3 (1): Penguasa Daerah dapat mengambil tindakantindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah yang bukan perkebunan dan
bukan hutan tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah, yang ada di daerahnya masingmasing pada suatu waktu. Pasal 5 (2): Dengan tidak mengurangi
berlakunya ketentuan dalam ayat (1) pasal ini, maka Menteri Agraria dengan
mendengar Menteri Pertanian, dapat pula mengambil tindakan-tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanah-tanah perkebunan dan hutan tanpa izin
yang berhak atau kuasanya yang sah, yang dimulai sejak tanggal 12 Juni 1954.
Dilihat dari hal-hal yang telah diuraikan diatas, maka intisari pengaturan
pelaksanaan pengelolaan aset negara (tanah) dalam Perpu Nomor 51 Tahun
Manajemen Materiil
67
1960 sangat tidak memadai dan belum mengikuti perkembangan jaman. Pengaturan pengelolaan aset negara (tanah) lebih memadai diatur dalam: Perpres
Nomor 10 Tahun 2006 Tentang adannya Pertanahan Nasional serta peraturan
lain yang mengikutinya, UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1Tahun 2004 dan
PP Nomor 6 Tahun 2006.
Peraturan Perundang-Undangan Berkaitan dengan masalah aset negara.
Pasal 33 UUD 1945 secara jelas menyatakan bahwa cabang-cabang produksi
yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak seperti
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara. Pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tentang aset negara ini,
diatur dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut : 1. UU Nomor
17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 1 angka 1 UU tersebut
di atas menyatakan bahwa: Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Hasil Perubahan Keempat UUD 1945. 37 Lebih lanjut dalam penjelasannya
telah menyebutkan bahwa pengertian dan ruang lingkup keuangan negara
melalui pendekatan yang digunakan dalam merumuskan keuangan negara
adalah dari sisi obyek, subyek, proses, dan tujuan26 2. UU Nomor 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara. Pasal 1 angka 1 UU tentang Perbendaharaan
Negara ini menyatakan bahwa perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang
dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Dengan definisi tersebut
jelas bahwa UU tentang perbendaharaan negara telah memberikan landasan
hukum di bidang administrasi keuangan negara.
PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara /aset negara yang
ditandai dengan dikeluarkannya PP Nomor 6 Tahun 2006 yang merupakan peraturan turunan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah
memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan aset negara yang lebih 26Dari sisi obyek yang dimaksud dengan keuangan
Negara meliputi semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa
uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara berhubung
dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subyek yang dimaksud dengan keuangan negara meliputi seluruh
68
Manajemen Materiil
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan
lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan
Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan
pengambilan keputusan sampai dengan pertanggungjawaban. Dari sisi tujuan,
Keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum
yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan obyek sebagaimana
tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahaan Negara, tertib,
akuntabel, dan transparan ke depannya.
Pengelolaan Aset Negara yang Profesional dan Modern
Pengelolaan aset negara yang profesional dan modern dengan
mengedepankan good governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan pengelolaan keuangan negara dari masyarakat /stakeholder. Pengelolaan aset negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal
1 ayat (1) dan ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan
bagaimana meningkatkan efisiensi, efektivitas dan menciptakan nilai tambah
dalam mengelola aset.
Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan,
pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan,
penatausahaan, pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut
merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks
yang lebih luas (keuangan negara).
Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan pengelolaan Barang Milik Negara (BMN). Permasalahan
tersebut antara lain, terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundangundangan di bidang BMN, antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003, UU Nomor 1
Tahun 2004, UU Nomor 6 Tahun 2006, dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara dan Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodifikasi Barang Milik Negara.
Namun, pada dasarnya terdapat ciri yang menonjol dari produk-produk
hukum tersebut yaitu meletakkan landasan hukum dalam bidang administrasi
keuangan negara dan melakukan pemisahan secara tegas antara pemegang
Manajemen Materiil
69
kewenangan administratif dan pemegang kewenangan perbendaharaan. Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya otonomi daerah serta
bergulirnya perubahan struktur kabinet yang memunculkan penghapusan
suatu kementerian di satu sisi dan pendirian kementerian pada sisi yang lain
membawa implikasi adanya mutasi
EVALUASI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG ASET NEGARA
Analisis dan Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Aset Negara
Analisis dam evaluasi kebijakan pengelolaan aser negara meliputi benda
tidak bergerak dan benda bergerak. Sebelum tahun 2006, pengelolaan BMN
belum dilaksanakan dengan baik, negara kita belum memiliki sistem pengelolaan BMN yang reliable, yang bisa dipertanggungjawabkan dengan baik, transparan, dan akuntabel. Pemanfaatan BMN dari penatausahaan yang kurang baik
itu berujung pada pemanfaatan BMN yang masih belum akuntabel dan belum
transparan. Hal ini terlihat dari temuan BPK yang terkait penatausahaan dan
pemanfaatan aset negara cukup banyak.
Dalam LKPP 2004 dan neraca 2004, untuk neraca aset belum disajikan dengan nilai wajar, dilihat bahwa belum tertib secara fisik, belum tertib secara administrasi, belum tertib secara hukum. Perubahan paradigma pengelolaan aset
negara terjadi setelah terbitnya undang-undang di bidang keuangan negara,
yaitu dari UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta UU Nomor 15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Guna mendukung pengelolaan BMN yang lebih baik telah diterbitkan PP
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolan Barang Milik Negara/Daerah (BMN/D)
sebagai peraturan pelaksanaan UU dimaksud yang memberikan kewenangan kepada Menteri Keuangan selain menjadi Bendahara Umum Negara juga
menjadi Pengelola BMN. Dengan perubahan paradigma dimaksud, kebijakan
pemerintah bahwa Menteri Keuangan adalah Pengelola barang dan Menteri/
Pimpinan Lembaga adalah Pengguna barang. Pengelola barang adalah pejabat
yang berwenang dan bertanggungjawab menetapkan kebijakan dan pedoman
serta melakukan pengelolaan barang milik negara/daerah. Pengguna barang
adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan BMN/D.
Dengan demikian pelaksana pengelolaan adalah Pengelola barang dan
Pengguna barang. Kebijakan mengenai aset negara khususnya BMN yang dituangkan dalam UU di bidang keuangan negara dan PP mengenai pengelolaan
BMN dilaksanakan dengan berbagai Peraturan Menteri Keuangan (PMK), sehingga peraturan terkait pengelolaan aset negara khususnya BMN yaitu:
70
Manajemen Materiil
1. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
3. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintahan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008
5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.05/2007 tentang Bagan
Akun Standar
6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/PMK.06/2007 tentang
Penggolongan dan KodIfikasi Barang Milik Negara
7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang
Penatausahaan Barang Milik Negara
8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2007 tentang Sistem
Akuntansi dan Pelaporan Pemerintah Pusat
9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.05/2009 tentang Tatacara
Rekonsiliasi BMN dalam rangka Penyusunan Laporan Keuangan
Pemerintah Pusat
10. Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor 51/PB/2008
tentang Pedoman Penyusunan Laporan Keuangan Kementerian
Negara/ Lembaga
11. Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor 07/KN/2009 tentang Tatacara Rekonsiliasi Data Barang Milik Negara dalam rangka Penyusunan
Laporan Barang Milik Negara dan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat; Pasal 1
angka 10 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Pasal
1 PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan bahwa BMN adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang
sah.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006, barang yang berasal
dari perolehan lainnya yang sah meliputi :
a. Barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis
b. Barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak
c. Barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang
d. Barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2006, aset negara berupa
BMN jenisnya sangat banyak, di antaranya barang dari hasil pembelian APBN,
barang eks Kontrak Kerjasama Hasil di bidang migas, barang eks Badan Penyehatan Perbankan, barang rampasan berdasarkan putusan pengadilan, dan lainnya. Sistem pengelolaan barang milik negara Pengelolaan BMN sebagaimana
Manajemen Materiil
71
diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 dimaksud meliputi kegiatan :
a. Perencanaan kebutuhan
b. Penganggaran
c. Pengadaan
d. Penggunaan
e. Pemanfaatan
f. Pengamanan dan pemeliharaan
g. Penilaian
h. Penghapusan
i. Pemindahtanganan
j. Penatausahaan
k. Pengawasan dan pengendalian
Lingkup pengelolaan BMN tersebut merupakan siklus logistik yang sebagaimana diamanatkan dalam penjelasan Pasal 49 ayat 6 UU Nomor 1 Tahun
2004, yang antara lain didasarkan pada pertimbangan siklus perbendaharaan.
Pokok-pokok pengaturan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 yang perlu diperhatikan yaitu:
1. Penggunaan-penggunaan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pengguna barang dalam mengelola dan menatausahakan BMN/D yang sesuai dengan
tugas pokok dan fungsi instansi yang bersangkutan. Status penggunaan barang ditetapkan dengan ketentuan sebagai berikut: a. barang milik negara oleh
pengelola barang; b. barang milik daerah oleh Gubernur/Bupati/Walikota
2. Pengamanan dan pemeliharaan Pengelola barang, pengguna barang
dan/atau kuasa pengguna barang wajib melakukan pengamanan BMN/D yang
berada dalam penguasaannya. Pengamanan BMN/D pada ayat (1) meliputi:
pengamanan administrasi, pengamanan fisik, pengamanan hukum. BMN/D
berupa tanah harus disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/
pemerintah daerah yang bersangkutan. BMN/D berupa bangunan harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama Pemerintah Republik Indonesia/
pemerintah daerah yang bersangkutan. BMN selain tanah dan/atau bangunan
harus dilengkapi dengan bukti kepemilikan atas nama pengguna barang. Bukti
kepemilikan BMN/D wajib disimpan dengan tertib dan aman. Penyimpanan
bukti kepemilikan BMN berupa tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh pengelola barang. Penyimpanan bukti kepemilikan BMN selain tanah dan /atau
bangunan dilakukan oleh pengguna barang/kuasa pengguna barang. Penyimpanan bukti kepemilikan BMD dilakukan oleh pengelola barang. Pengguna barang dan/atau kuasa pengguna barang bertanggung jawab atas pemeliharaan
BMN/D yang ada di bawah penguasaannya. Biaya pemeliharaan BMN/D dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah. Kuasa peng72
Manajemen Materiil
guna barang wajib membuat daftar hasil pemeliharaan barang yang berada
dalam kewenangannya dan melaporkan /menyampaikan daftar hasil pemeliharaan barang tersebut kepada pengguna barang secara berkala.
3. Penilaian-penilaian BMN/D dilakukan dalam rangka penyusunan neraca
pemerintah pusat/daerah, pemanfaatan, dan pemindahtanganan BMN/D.
Penetapan nilai BMN/D dalam rangka penyusunan neraca pemerintah pusat/
daerah dilakukan dengan berpedoman pada Standar Akuntansi Pemerintahan
(SAP). Penilaian BMN berupa tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh
pengelola barang. Penilaian BMN/D berupa tanah dan/atau bangunan dalam
rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota, dan dapat melibatkan penilai independen
yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati/Walikota. Penilaian BMN/D dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan
NJOP. Hasil penilaian BMN/D ditetapkan oleh: Pengelola barang untuk BMN,
Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik daerah (BMD).Penilaian barang
milik negara selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau
pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh pengguna barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan oleh pengguna barang. Penilaian BMD selain tanah dan/atau bangunan dalam rangka pemanfaatan atau pemindahtanganan dilakukan oleh tim yang ditetapkan oleh
pengelola barang, dan dapat melibatkan penilai independen yang ditetapkan
pengelola barang.Penilaian BMN/D dilaksanakan untuk mendapatkan nilai wajar. Hasil penilaian BMN/D ditetapkan oleh: Pengguna barang untuk barang
milik Negara, Pengelola barang untuk barang milik daerah. Pengelolaan atas
barang milik negara (BMN) yang baik menjadi keharusan dalam rangka keakuratan dan keandalan penyajian data BMN dalam Neraca Pemerintah Pusat pada
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP).
4. Pemanfaatan yang berarti pendayagunaan BMN/D yang tidak dipergunakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi kementerian/lembaga/satuan
kerja perangkat daerah (SKPD), dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan, dan bangun serah guna/bangun guna serah dengan tidak mengubah status kepemilikan. Bentuk-bentuk pemanfaatan BMN/D berupa: sewa,
pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah
guna. Mengenai rumah dinas, dengan inventarisasi dan penilaian dilakukan
pemetaan terhadap pemanfaatan rumah dinas, secara umum dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu pemanfaatan rumah dinas sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan pemanfaatan rumah dinas yang tidak mengikuti aturan/
ketentuan yang berlaku. Pada kondisi kedua banyak ditemukan pemanfaatan
Manajemen Materiil
73
rumah dinas oleh pihak yang tidak berhak.
5. Penghapusan-penghapusan adalah tindakan menghapus BMN/D dari
daftar barang dengan menerbitkan surat keputusan dari pejabat yang berwenang untuk membebaskan pengguna dan/atau kuasa pengguna barang
dan/atau pengelola barang dari tanggungjawab administrasi dan fisik atas
barang yang berada dalam penguasaannya. Penghapusan BMN/D meliputi:
penghapusan dari daftar barang pengguna dan/atau kuasa pengguna, penghapusan dari daftar BMN/D. Penghapusan BMN/D, dilakukan dalam hal BMN/D
dimaksud sudah tidak berada dalam penguasaan pengguna barang dan/atau
kuasa pengguna barang; Penghapusan dengan penerbitan surat keputusan
penghapusan dari: pengguna barang setelah mendapat persetujuan dari pengelola barang untuk BMN, pengguna barang setelah mendapat persetujuan gubernur/bupati/walikota atas usul pengelola barang untuk BMD. Penghapusan
BMN/D dari daftar BMN/D dilakukan dalam hal BMN/D dimaksud sudah beralih
pemilikannya, terjadi pemusnahan atau sebab lain. Penghapusan dilakukan
dengan penerbitan surat keputusan penghapusan dari: pengelola barang untuk BMN, pengelola barang setelah mendapat persetujuan Gubernur/Bupati /
Walikota untuk barang milik daerah. Penghapusan BMN/D dengan tindak lanjut
pemusnahan dilakukan apabila BMN/D dimaksud: tidak dapat digunakan, tidak
dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan; alasan lain sesuai ketentuan perundang-undangan. Pemusnahan dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola barang untuk BMN atau pengguna barang dengan surat keputusan dari pengelola barang setelah mendapat
persetujuan Gubernur/Bupati/Walikota untuk barang milik daerah.
6. Pemindahtanganan-pemindahtanganan adalah pengalihan kepemilikan
BMN/D sebagai tindak lanjut dari penghapusan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah. Bentuk-bentuk
pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan BMN/D meliputi:
penjualan, tukar menukar, hibah, penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.
7. Penatausahaan Mengacu pada Pasal 1 butir 20 PP Nomor 6 Tahun 2006,
penatausahaan BMN adalah rangkaian kegiatan yang meliputi pembukuan, inventarisasi, dan pelaporan BMN sesuai dengan ketentuan yang berlaku. BMN
yang telah diperoleh tersebut harus dicatat dan dilaporkan sesuai dengan
asas-asas pengelolaan BMN, yaitu fungsional, kepastian hukum, transparansi,
efisiensi, akuntabilitas dan kepastian nilai. Penatausahaan BMN bertujuan untuk mewujudkan tertib administrasi dan mendukung tertib pengelolaan BMN
yang meliputi penatausahaan pada Pengguna/Kuasa Pengguna barang dan
Pengelola barang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN. Output utama pena74
Manajemen Materiil
tausahaan adalah terbitnya Laporan Barang Milik Negara (LBMN) sebagai media pertanggungjawaban pengelolaan BMN yang dilakukan oleh pengguna/
pengelola barang dalam suatu periode tertentu, yang dapat digunakan sebagai sumber informasi dalam pengambilan keputusan masa depan (prediction
value) terkait BMN. LBMN juga merupakan bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat yang menjadi bagian dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat
(LKPP). Oleh karena itu, kebijakan akuntansi BMN mengacu pada PP Nomor 24
Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan, yang merupakan prinsipprinsip dasar pengakuan, pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi
keuangan pemerintah yang berlaku umum. Kebijakan Pemerintah mengenai
pengelolaan aset negara yang meliputi benda tak bergerak dan benda bergerak telah tertuang dalam UU di bidang keuangan negara yaitu Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara serta Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dan PP
Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Analisis dan Evaluasi Kebijakan Praktik Penatausahaan
Analisis dan evaluasi kebijakan praktik penatausahaan, penilaian, penggunaan, pemeliharaan, pemanfaatan, penghapusan dan pemindahtanganan
aset negara, benda Tak bergerak, dan benda bergerak. Mengingat besarnya kewenangan dan tanggungjawab Menteri Keuangan dalam melakukan pengelolaan BMN dimaksud, maka di Kementerian Keuangan telah dibentuk satu unit
eselon I yang khusus menangani pengelolaan kekayaan/aset negara termasuk
BMN yaitu Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) berdasarkan Peraturan
Presiden Nomor 66 tahun 2006 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian RI.
Kegiatan Penertiban BMN menuntaskan inventarisasi dan penilaian BMN di
seluruh Kementerian Negara dan Lembaga (K/L) adalah kegiatan yang menjadi
prioritas bagi DJKN pada awal-awal berdirinya direktorat jenderal ini. Pemerintah juga berdasarkan Keppres 17 Tahun 2007 membentuk Tim Penertiban BMN
untuk melakukan inventarisasi dan penilaian atas aset negara berupa BMN pada
Kementerian dan Lembaga, yang diperpanjang oleh Presiden dengan menerbitkan Keppres 13 Tahun 2009, di mana batas waktu Penertiban BMN diperpanjang yang semula berlaku mulai tanggal 1 Agustus 2008 dan berakhir sampai
dengan 31 Desember 2008, menjadi berakhir sampai dengan 31 Maret 2010.
Tim diketuai oleh Menteri Keuangan dan sebagai wakilnya adalah Menteri
Sekretaris Negara, anggotanya terdiri dari Jaksa Agung, Menteri Hukum dan
HAM, Menteri Negara BUMN, Menteri Pertahanan, Sekretaris Kabinet, Kepala
Manajemen Materiil
75
BPKP dan Kapolri, sedangkan Sekretaris dijabat oleh Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Kementerian Keuangan. Tim Penertiban BMN mempunyai tugas
merumuskan kebijakan dan strategi percepatan inventarisasi; mengkoordinasikan pelaksanaan inventarisasi, penilaian dan sertifikasi BMN di K/L; melakukan
monitoring terhadap pelaksanaan inventarisasi, penilaian dan sertifikasi BMN
yang dilakukan oleh K/L; dan menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan dalam rangka pengamanan BMN yang berada penguasaan K/L.
Dalam menjalankan tugasnya, tim dibantu oleh satuan tugas (satgas) yang
keanggotaannya, susunan organisasi, tugas dan alat kerjanya ditetapkan oleh
Menteri Keuangan selaku Ketua Tim. Tugas satgas adalah 51 melakukan identifikasi permasalahan, inventarisasi dan evaluasi BMN, penyesuaian laporan K/L,
sertifikasi dan pembangunan database BMN. Pelaksanan tugas Tim dilakukan
oleh DJKN. Saat ini DJKN, sedang meletakkan pondasi sebagai aset manager
pemerintah, dengan membangun perhatian dan kesadaran (awareness) dari
setiap K/L agar dapat melaksanakan optimalisasi aset atau lebih dikenal dengan The Highest and Best Use of Asset.
Setelah optimalisasi BMN ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan,
maka penganggaran aset yang efisien dan efektif dapat diwujudkan dalam
waktu yang tidak terlalu lama. Penertiban BMN yang dilakukan DJKN sesuai
amanat PP 6 Tahun 2006 dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu:
Tertib administrasi. Setelah Inventarisasi dan Penilaian, setiap K/L harus menindaklanjuti hasil Inventarisasi dan Penilaian dengan rekonsiliasi secara berjenjang sesuai PMK nomor 102/PMK.06/2009 tentang Tata Cara Rekonsiliasi BMN
Dalam Rangka Penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat, yakni : rekonsiliasi internal K/L antara unit akuntansi Barang/SIMAK BMN dan unit akuntansi
keuangan/SAK, rekonsiliasi antara K/L dan DJKN selaku Pengelola barang, dan
rekonsiliasi pada Bendahara Umum Negara (BUN) antara DJKN dengan Ditjen
Perbendaharaan.
1. Tertib hukum. Terkait dengan tertib hukum, DJKN sudah menerbitkan
aturan terkait dengan sertifikasi BMN. DJKN telah mengadakan sosialisasi
terkait dengan terbitnya Peraturan Bersama Menteri Keuangan Nomor 186/
PMK.06/2009 dan Kepala BPN Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pensertifikatan
Barang Milik Negara Berupa Tanah. Dengan diadakannya sosialisasi ini, diharapkan seluruh K/L mempunyai kesamaan persepsi tentang makna dan urgensi
pensertifikatan BMN berupa tanah dalam rangka pengamanan aset sehingga
dapat terwujud tertib hukum dalam pengelolaan BMN.
2. Tertib fisik Setelah dua tertib tersebut dapat dilaksanakan maka dilaksanakan tertib terakhir yaitu tertib fisik. Penertiban BMN didefinisikan sebagai
kegiatan pengumpulan data BMN meliputi jenis, jumlah, nilai, berikut per76
Manajemen Materiil
masalahan dalam penggunaan, pemanfaatan, pemindahtanganan, penatausahaan, pengamanan, dan pemeliharaaan BMN serta tindak lanjut dalam rangka
mewujudkan pengelolaan yang tertib dan akuntabel, baik secara administratif,
teknis maupun hukum.
Jadi tujuan utama penertiban BMN adalah menginventarisasi dan mengamankan seluruh BMN pada K/L yang belum terinventarisasi dengan baik sesuai
peraturan perundang-undangan, menyajikan nilai koreksi BMN pada laporan
keuangan K/L per 31 Desember 2007 dan melakukan sertifikasi BMN atas nama
Pemerintah Republik Indonesia. Adapun obyek inventarisasi dan penilaian adalah seluruh BMN yang diperoleh sampai dengan 31 Desember 2007, meliputi:
BMN yang belum dicatat atau disertifikasi atau digunakan/dimanfaatkan, BMN
yang bersumber dari Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, BMN yang
berasal dari kekayaan negara lain-lain (KNL), Barang Pemerintah Yang Belum
Ditetapkan Statusnya (BPYBDS) dan aset lain yang berdasarkan peraturan perundangan ditetapkan sebagai BMN.
Output yang diharapkan dari penertiban BMN ditinjau dari aspek administratif, yuridis dan teknis sebagai berikut: aspek administratif, database BMN
yang lengkap dan handal, dan nilai aset yang wajar dan akuntabel, aspek yuridis, kejelasan status hukum BMN dan hasil inventarisasi dan penilaian BMN
menjadi dasar pensertifikatan BMN yang belum bersertifikat, aspek teknis, perencanaan aset secara terintegrasi dengan mengutamakan pengadaan melalui
optimalisasi aset idle, penggunaan BMN oleh K/L sesuai kebutuhan, penerimaan
negara dari pemanfaatan aset dan peningkatan pelayanan bagi masyarakat (digunakan untuk kepentingan umum).
Dengan output ini diharapkan dapat mencapai tujuan akhir penertiban
BMN yang terangkum dalam 3T, yaitu tertib administrasi, tertib hukum dan tertib fisik. Penertiban BMN yang dilakukan oleh DJKN, ditemukan kendala antara
lain :
a. Jumlah satuan kerja (satker) instansi vertikal yang banyak serta SKPD
yang berubah-ubah
b. Jumlah satker yang menjadi target penertiban BMN lebih dari 20 ribu
satker yang di dalamnya juga memuat SKPD yang menguasai BMN
yang berasal dari dana DK/TP
c. Lokasi satker yang tersebar di pulau-pulau
d. Lokasi satker tersebar di wilayah/pulau yang sulit untuk dilalui,
sehingga menimbulkan kesulitan tersendiri bagi pelaksanaan
penertiban BMN
e. Tidak semua satker membuat SABMN. Penertiban BMN, seyogyanya dapat
dilakukan lebih cepat dan tepat apabila lebih dari 20 ribu satker yang menjadi
Manajemen Materiil
77
target penertiban BMN mengaplikasikan Sistem Informasi Manajemen Akuntansi BMN 54 (SIMAK-BMN (dh. SABMN)).
Walaupun pemerintah sudah membuat LKPP sejak tahun 2004, akan tetapi
masih ditemukan sebagian besar satker tidak melaksanakan penatausahaan
menggunakan SIMAK-BMN.
1. BMN properti khusus Pada beberapa kasus, khususnya BMN milik Kementerian Pekerjaan Umum yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti bendungan,
jalan dan jembatan sulit untuk diberikan nilai wajarnya. Pendekatan yang paling tepat untuk memberikan nilai wajar pada BMN properti khusus ini adalah
pendekatan biaya (Cost Approach), karena tidak mungkin dilakukan dengan
pendekatan data pasar (Market Data Approach).
2. BMN dari dana Dekonsentrasi/Tugas Pembantuan (DK/TP) BMN yang berasal dana DK/TP pada umumnya belum ditatausahakan sesuai dengan ketentuan. Terdapat SKPD yang menerima dana DK/TP lebih dari satu eselon pada
satu K/L. Terdapat SKPD yang sifatnya on/off, dengan kata lain boleh jadi tahun
lalu menerima dana DK/TP akan tetapi tahun berikutnya tidak lagi menerima
atau sebaliknya.
3. BMN milik Departemen Pertahanan Departemen Pertahanan memiliki
struktur Pengelola Anggaran/Barang yang berbeda dengan K/L yang lain. Apabila di K/L lain terdapat satker/Kuasa Pengguna barang (KPB), maka di Kementerian Pertahanan kantor-kantor instansi vertikal/markas komando bukan sebagai KPB, melainkan seperti subsatker yang memiliki aplikasi penatausahaan
BMN sendiri yang berbeda dari yang berlaku pada K/L lain. Dari 74 K/L tersebut,
71 K/L telah selesai dilakukan Inventarisasi dan Penilaian pada seluruh satkernya.
Sedangkan terdapat 3 K/L yang progresnya belum mencapai 100% karena
terdapat beberapa kendala terkait penyelesaian inventarisasi dan penilaian
antara lain karena :
1. Terdapat satker yang dalam pelaksanaan inventarisasi dan penilaian satker dimaksud terdapat kekuranglengkapan data pendukung yang dibutuhkan
oleh Tim Penertiban
2. Pelaksanaan inventarisasi dan penilaian pada satker yang ternyata dilaksanakan oleh pihak ketiga (outsourcing) sehingga memerlukan beberapa penyesuaian untuk dapat memenuhi standard dan ketentuan yang dipersyaratkan oleh Kementerian Keuangan
3. Terdapat 1.140 satker/subsatker dari 1.565 satker/subsatker yang telah
78
Manajemen Materiil
dilaksanakan inventarisasi dan penilaian, akan tetapi karena dilakukan perubahan sistem pengkodean barang pada Sistem Informasi Manajemen Keuangan
(SIMAK) Pengguna barang yang bersangkutan, mengakibatkan diperlukannya
waktu dan upaya tambahan bagi Tim Penertiban Inventarisasi dan Penilaian untuk menyesuaikan dengan sistem yang ada pada SIMAK-BMN.
Selanjutnya hasil inventarisasi dan penilaian BMN tersebut dijadikan sebagai
dasar koreksi atas nilai BMN yang telah disajikan pada Neraca Awal Pemerintah
per 31 Desember 2004. Hasil pelaksanaan inventarisasi dan penilaian atas BMN
yang dilakukan oleh Tim Penertiban bersama-sama dengan K/L menunjukkan
bahwa dari total 22.619 satker yang menjadi target inventarisasi dan penilaian, sebanyak 22.506 satker telah dilakukan inventarisasi dan penilaian atau
98,4% dengan total nilai koreksi sebesar Rp409.274.152.965.644 sampai dengan tanggal 31 Maret 2010, yang sebelumnya Rp 363.735.295.478.025 menjadi
Rp 773.009.448.443.669 (Laporan Intern Penertiban BMN 6 Mei 2010).
Penertiban BMN ini akhirnya membuahkan hasil. Pada tanggal 1 Juni 2009,
BPK mengumumkan opini terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP)
tahun 2009, yaitu Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Suatu opini di bawah opini terbaik Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Dari sisi aset tetap, penertiban BMN
ini memberi andil dalam perbaikan opini BPK. Sebagaimana dikutip dari Siaran
Pers BPK tanggal 1 Juni 2009, ”Dalam tahun 2009 pemerintah telah melakukan
perbaikan, berupa inventarisasi dan penilaian atas aset tetap yang diperoleh
sebelum tahun 2005 yang telah mencapai 98%.” Dengan peningkatan opini ini,
berarti LKPP lebih bisa dipertanggungjawabkan (lebih akuntabel).
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2004, LKPP Tahun 2005, dan
LKPP Tahun 2006, terdapat beberapa temuan yang terkait dengan Barang Milik
Negara (BMN), antara lain:
1. BMN yang disajikan pada neraca belum dapat diyakini kewajarannya
2. Aset Tetap K/L belum disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan
3. Prosedur pencatatan dan pelaporan BMN tidak dilakukan sesuai dengan
sistem akuntansi yang telah ditetapkan
4. Sistem pengendalian intern pengelolaan atas BMN masih lemah.
Penertiban BMN menghasilkan input bagi pembuatan database Kekayaan
Negara. Untuk keperluan APBN, sesuai amanat PP 6 Tahun 2006, maka Pengelola barang berkepentingan untuk mengintegrasikan perencanaan kebutuhan
aset dan penganggarannya (Integrated Asset Planning and Budgeting). Dengan
kata lain fungsi perencanaan, penganggaran, pengelolaan, dan pertanggungjawaban aset adalah sebuah siklus yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan
Manajemen Materiil
79
BMN. Untuk itu DJKN selaku Pengelola barang perlu membuat standar kebutuhan barang yang diperlukan oleh K/L dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Dalam membuat Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL)
ke depan, tidak hanya memperhitungkan berapa anggaran yang dibutuhkan
oleh K/L, akan tetapi juga memperhitungkan berapa BMN yang dibutuhkan
oleh K/L.
Dengan terintegrasinya perencanaan aset dan anggaran, diharapkan optimalisasi, efisiensi dan efektivitas pembiayaan APBN dapat segera terwujud.
Dari penertiban BMN dan praktek pengelolaan BMN yang dilaksanakan DJKN,
ditemui berbagai kendala dan masalah, sebagai berikut: Masalah/Kendala Dalam Proses Pengelolaan BMN No Pengelolaan Masalah/Kendala 1 Penggunaan
Adanya perbedaan penafsiran maupun kendala di lapangan dalam melakukan penetapan status penggunaan mengingat sebagaimana PMK Nomor 96/
PMK.06/2007 Pasal 4 ayat (1) yang menyebutkan bahwa “Penggunaan BMN
untuk menjalankan tugas pokok dan fungsi dilakukan berdasarkan penetapan
status penggunaan oleh Pengelola barang”.
Hal yang menjadi permasalahan atau pertanyaan adalah:
1. Apakah ketentuan penetapan status penggunaan tersebut berlaku bagi
seluruh BMN, baik yang diperoleh sebelum adanya PMK tersebut maupun setelahnya dan bagaimana status hukum terhadap BMN yang belum ditetapkan
status penggunaannya
2. Apabila harus ditetapkan status penggunaan terhadap seluruh BMN,
apakah hal tersebut tidak memperpanjang birokrasi mengingat pada dasarnya
setiap tahun DJKN membuat LBMN yang telah diaudit serta menjadi bagian
dari LKPP
3. Terhadap BMN berupa tanah sebagaimana lampiran I PMK tersebut, dalam hal penetapan status penggunaannya dipersyaratkan telah bersertifikat an.
Pemerintah RI, hal tersebut menjadi kendala tersendiri mengingat untuk saat
ini hampir seluruh BMN berupa tanah belum memenuhi persyaratan tersebut.
Pemeliharaan Dari hasil penertiban BMN diketahui beberapa hal berikut
terkait pemeliharaan BMN:
1. Adanya indikasi biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan BMN tidak
tepat sasaran mengingat terdapat BMN dengan kondisi rusak berat juga diajukan untuk memperoleh biaya pemeliharaan. Sedangkan di sisi lain KPPN tidak
melakukan pengecekan kondisi fisik terhadap BMN yang diajukan untuk memperoleh biaya pemeliharaan
80
Manajemen Materiil
2. Perlunya kajian lebih lanjut terkait besaran biaya pemeliharaan BMN
yang lebih sesuai, mengingat banyak keluhan biaya yang ada tidak mencukupi
khususnya untuk biaya pemeliharaan kendaraan bermotor dan gedung/bangunan
Pemanfaatan Pemanfaatan BMN terdiri dari sewa, pinjam pakai, kerjasama
pemanfaatan dan BGS/BSG Permasalahan terkait sewa: Terkait penentuan nilai
sewa sebagaimana diatur dalam Lampiran II A PMK-96/PMK.06/2007 terdapat
permasalahan dalam pelaksanaannya. Seringkali nilai sewa yang dihasilkan dari
penghitungan menggunakan rumus sewa tersebut tidak sesuai dengan kondisi
di lapangan (kadang terlalu tinggi atau terlalu rendah), sebagai contoh penghitungan sewa tanah/bangunan untuk mesin ATM atau papan reklame/baliho
bila menggunakan ketentuan tersebut maka dihitung hanya berdasarkan luas
tanah dan/atau bangunan yang disewa (misal: 2x2 meter) sehingga menghasilkan nilai yang terlalu kecil dibanding nilai pasar.
Belum ada pengaturan terhadap sewa BMN yang terjadi secara insidentil/
tidak sepanjang tahun, misal sewa terhadap gedung serba guna untuk kegiatan dengan waktu terbatas. Permasalahan terkait kerjasama pemanfaatan (KSP):
Diusulkan untuk kajian lebih lanjut terkait tatacara KSP sebagaimana lampiran
IV PMK dimaksud sehingga tidak terjadi multitafsir serta menjadi kendala dalam pelaksanaannya, sebagai contoh aturan mengenai pembagian keuntungan
yang 59 wajib dibayar setiap tanggal 31 Maret tahun berikutnya, belum diatur
mengenai apabila pihak ketiga belum memperoleh keuntungan; Belum adanya
petunjuk yang jelas terkait penetapan kontribusi tetap dan pembagian keuntungan dalam PMK Nomor 96/PMK.06/2007 maupun dalam aturan penilaian
BMN.
Penghapusan. Terdapat perbedaan penafsiran terkait alur pelaksanaan
penghapusan yang disebabkan adanya perbedaan pengaturan antara PP Nomor 6 Tahun 2006 dengan PMK Nomor 96/PMK.06/2007. Sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 45 PP Nomor 6 Tahun 2006 yang dapat diartikan bahwa pemindahtanganan merupakan tindak lanjut atas penghapusan BMN, sedangkan
pada Pasal 9 ayat (4) PMK Nomor 96/PMK.06/2007 menyebutkan bahwa penghapusan BMN dilakukan dalam hal beralih kepemilikannya, dimusnahkan atau
sebabsebab lainnya.
Pemindahtanganan. Pemindahtanganan meliputi penjualan, tukarmenukar,
hibah. Permasalahan penjualan: Terkait Pasal 13 ayat (1) pada PMK Nomor 96/
PMK.06/2007 yang menyebutkan bahwa penilaian terhadap BMN selain tanah
dan bangunan oleh tim dilakukan untuk mendapatkan nilai tertinggi diantara
Manajemen Materiil
81
nilai pasar, nilai buku dikurangi penyusutan dan nilai yang ditetapkan oleh instansi yang berwenang. Hal tersebut menimbulkan kesulitan dalam penerapannya, karena sebagaimana diketahui bahwa kegiatan penilaian suatu barang
adalah untuk memperoleh nilai wajar atas barang tersebut. Permasalahan terjadi apabila nilai yang dihasilkan dari kegiatan penilaian lebih rendah dari salah
satu atau kedua nilai lainnya.
Permasalahan tukar- menukar: Dalam PMK Nomor 96/PMK.06/2007 pelaksanaan tukar-menukar dilaksanakan dengan melalui tender dengan minimal
lima peserta, dalam prakteknya hal ini banyak mengalami kendala terkait jumlah peserta tersebut. Untuk itu sebaiknya perlu 60 dilakukan pengkajian terkait
kemungkinan pemilihan mitra tukar menukar tidak harus melalui tender. Permasalahan Penggunaan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pasal 39 ayat (3) PP Nomor 6 Tahun 2006 menyebutkan bahwa penilaian BMN/D dilaksanakan untuk
mendapatkan nilai wajar, dengan estimasi terendah menggunakan NJOP.
Hal ini menjadi kontradiktif mengingat di satu sisi penilaian dilakukan untuk
memperoleh nilai wajar atas suatu BMN, namun di sisi lain “dibatasi” dengan
adanya NJOP tersebut. Dalam praktek pengelolaan BMN hal tersebut menjadi
kendala terutama dalam hal apabila terjadi hasil penilaian lebih kecil dibanding
NJOP. Sumber: Direktorat BMN II DJKN Kementerian Keuangan Khusus praktek
pengelolaan BMN berupa tanah yang dilaksanakan DJKN, ditemui berbagai kendala dan masalah, sebagai berikut: Masalah/Kendala Dalam Proses Pengelolaan
BMN Berupa Tanah/Bangunan No Pengelolaan Masalah/Kendala 1 Penggunaan
Hampir tidak ada K/L yang mengusulkan penetapan status penggunaan tanah.
Penyebabnya antara lain:
1. Kekurang pedulian K/L terhadap hal ini karena tidak ada sanksi yang memadai bagi K/L yang tidak mematuhi.
2. Terkendala oleh proses sertifikasi tanah. Dalam Undang-undang Nomor
1Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan PP Nomor 6 Tahun 2006 diatur bahwa BMN berupa tanah disertifikatkan atas nama Pemerintah Republik
Indonesia. Pada kenyataannya hal ini tidak dapat dilaksanakan karena Badan
Pertanahan Nasional (BPN) tidak bersedia menerbitkan sertifikat atas nama Pemerintah Republik Indonesia. Berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Keuangan dan Kepala BPN Nomor 186/PMK.06/2009 disebutkan Sertifikat Tanah akan
diterbitkan “atas nama Pemerintah Republik Indonesia cq Kementerian/ Lembaga…” Tahun 2010 belum dialokasikan dana untuk sertifikasi.
Pemeliharaan. Biaya pemeliharaan BMN boros, karena: Dalam kegiatan IP
diketahui terdapat cukup banyak BMN berupa tanah yang tidak dimanfaatkan
(idle). BMN idle tetap harus dijaga dan dipelihara. Dengan demikian, biaya pe82
Manajemen Materiil
meliharaan secara keseluruhan menjadi lebih besar dibanding jika BMN tersebut dimanfaatkan. Banyak orang mengeluhkan mutu sarana prasarana umum
seperti jalan, jembatan, dan sebagainya. Persoalan ini dapat diduga disebabkan
oleh:
1. Biaya pemeliharaan kurang
2. Biaya cukup tapi pemeliharaan tidak benar
3. Pemanfaatan
4. Tatacara tender untuk pemilihan mitra, KSP, BGS/BSG
5. Tatacara perhitungan kompensasi pada KSP, BGS/BSG
6. Pengaturan tarif sewa tunggal. Tarif demikian tidak kondusif untuk
menunjang penyelenggaraan tugas fungsi K/L karena mitra sewa
tidak selalu profit oriented
7. Adanya peraturan yang hanya berlaku bagi Kementerian tertentu. Contoh
PMK Nomor 23/PMK.06/2010. d. Di dalam PMK 96/2007 diatur bahwa kewenangan penghitungan nilai aset yang merupakan sebagian tanah/bangunan dan
selain tanah/bangunan yang disewakan dan nilai sewa dilakukan oleh Tim K/L
belum mempunyai Tenaga Penilai bersertifikat. Seringkali nilai yang diajukan
oelh pengguna dalam usul pemanfaatan terlalu rendah.
Penghapusan Tidak diatur pembongkaran mendahului ijin. Sementara itu,
hal ini sering segera dilakukan. Contoh: karena bencana alam atau peristiwa
kecelakaan, bangunan menjadi rusak berat dan membahayakan keselamatan.
Seharusnya bangunan yang demikian dapat langsung dibongkar setelah diperiksa dan dikeluarkan surat keterangan dari instansi kompeten (Dinas Pekerjaan
Umum).
Pemindahtanganan
a. Peraturan tidak secara rinci mengatur tatacara pemilihan mitra
b. Keharusan tender untuk tukar menukar. Sementara tidak semuanya
dapat dilakukan dengan tender. Contoh, tukar-menukar tanah
berbatasan, tukarmenukar untuk mendapat akses jalan, tukarmenukar
karena sungai pindah/dipindahkan
c. Tidak ada tata cara tukar-menukar untuk menyatukan BMN
Penatausahaan
a. Terdapat cukup banyak BMN yang sesuai peraturan perundangan harus
memiliki dokumen kepemilikan tidak didukung dokumen kepemilikan
b. Dokumen terkait BMN tidak lengkap
c. Tidak ada ruang penyimpanan dokumen
d. Belum ada peraturan tentang Tatacara Pengelolaan Dokumen BMN.
Sumber Direktorat BMN I DJKN Kementerian Keuangan Kendala-kendala yang
ditemukan dalam praktek pengelolaan aset negara/BMN dimaksud akan diatasi
Manajemen Materiil
83
dengan suatu rencana strategis dan pembuatan peraturan-peraturan terkait
untuk meluruskan semua kegiatan pengelolaan sesuai dengan jiwa PP Nomor
6 Tahun 2006.
Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan Aset Negara
Analisis dan Evaluasi atas Akuntabilitas Pengelolaan Aset Negara Pada tahun
anggaran 2008 Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia kembali tidak
menyatakan pendapat (disclaimer) 27atas 27 Opini merupakan pernyataan
profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan
dalam laporan keuangan yang didasarkan pada kriteria,
a. Kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan
b. Kecukupan pengungkapan (adequate disclosures)
c. Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
d. Efektivitas sistem pengendalian intern.
Terdapat 4 (empat) jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa, yakni :
1. Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion)
2. Opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion)
3. Opini tidak wajar (adversed opinion)
4. Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion)
Penjelasan atas setiap jenis opini adalah sebagai berikut:
1. Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), opini wajar tanpa
pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material. Dengan
kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan
keuangan dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Ini adalah
opini yang dinyatakan dalam bentuk baku Laporan Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan.
2. Opini wajar dengan pengecualian (qualified opinion), opini wajar dengan pengecualian menyatakan bahwa laporan keuangan telah disajikan dan
diungkapkan secara wajar dan cukup, dalam semua hal yang material, kecuali
untuk dampak hal-hal yang berhubungan dengan yang dikecualikan. Dengan
kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan
keuangan ”yang tidak dikecualikan dalam opini pemeriksa” dapat digunakan
oleh para pengguna laporan keuangan.
3. Opini tidak wajar (adversed opinion), opini tidak wajar menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara wajar dan cukup,
dalam semua hal yang material. Dengan kata lain, informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh
84
Manajemen Materiil
para pengguna laporan keuangan.
4. Pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion), pernyataan
menolak memberikan opini menyatakan bahwa laporan keuangan tidak dapat
diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan. Dengan kata lain, pemeriksa
tidak dapat memberikan keyakinan bahwa laporan keuangan bebas dari salah
saji material.
Dengan demikian, Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2008.
Ini berarti, selama lima tahun berturut-turut, 2004 - 2008, BPK telah memberikan disclaimer of opinion atas LKPP. Opini atas LKPP yang terus menerus buruk
seperti ini menggambarkan bahwa perbaikan sistem keuangan negara belum
terjadi secara menyeluruh pada semua Departemen/Lembaga Negara. Salah
satu penyebabnya adalah karena belum adanya kesungguhan dan upaya yang
mendasar, petunjuk maupun program terpadu dari pemerintah. Terdapat sembilan kelompok permasalahan yang ditemukan BPK, berkaitan dengan pemberian opini disclaimer pada LKPP 2008, yaitu:
1. Belum adanya sinkronisasi UU Keuangan Negara Tahun 2003-2004 dengan UU Perpajakan dan UU PNBP ataupun ketidakpatuhan terhadap perundang-undangan yang berlaku.
2. Masih adanya berbagai jenis pungutan yang tidak memiliki dasar hukum
dan dikelola di luar mekanisme APBN. Terdapat pungutan sekitar Rp731 miliar
oleh 11 kementerian/lembaga negara yang tidak ada dasar hukumnya.
3. Belum adanya keterpaduan antara Sistem Akuntansi Umum (SAU) yang
diselenggarakan oleh Departemen Keuangan dan Sistem Akuntansi Instansi
(SAI) yang diselenggarakan departemen/lembaga sehingga masih ada selisih
antara keduanya. Dilaporkan adanya penerimaan perpajakan Rp3,43 triliun
yang belum dapat direkonsiliasikan. informasi keuangan yang disajikan dan diungkapkan dalam laporan keuangan tidak dapat digunakan oleh para pengguna laporan keuangan. Dengan pertimbangan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur serta harapan akuntabilitas dan transparansi publik,
SPKN mengakui bahwa tingkatan kualitas kewajaran penyajian Laporan Keuangan adalah. Opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion), opini wajar
dengan pengecualian (qualified opinion), opini tidak wajar (adversed opinion),
pernyataan menolak memberikan opini (disclaimer of opinion).
4. Rekening liar belum terintegrasi dan terekonsiliasi dalam suatu Treasury
Single Account. Kesalahan pembukuan masih terjadi, seperti kesalahan pembebanan pengakuan pendapatan PBB Migas dan Panas Bumi atas Kontraktor
Kontrak Kerja Sama Rp5,33 triliun.
Manajemen Materiil
85
5. Inventarisasi aset negara di berbagai instansi pemerintahan berjalan sangat lambat dan penilaiannya belum seragam
6. Belum ada program untuk menyatukan sistem teknologi informasi pemerintah.
7. Belum ada program yang mendasar untuk meningkatkan jumlah sumber
daya manusia pemerintah dalam bidang pembukuan dan akuntansi.
8. Belum ada program mendasar untuk memberdayakan Inspektur Jenderal/Satuan Pengendalian Intern dan Bawasda dalam peningkatan mutu penyusunan laporan keuangan maupun pemberantasan korupsi
9. Peranan BPKP tetap tidak jelas dalam pembangunan sistem akuntansi
pemerintah maupun dalam pemberdayaan pengawas internal pemerintah. Perubahan paradigma baru pengelolaan barang milik negara/aset negara yang
ditandai dengan keluarkannya PP Nomor. 6 Tahun 2006 yang merupakan peraturan turunan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, telah
memunculkan optimisme baru best practices dalam penataan dan pengelolaan
aset negara yang lebih tertib, akuntabel, dan transparan kedepannya. Pengelolaan aset negara yang professional dan modern dengan mengedepankan good
governance di satu sisi diharapkan akan mampu meningkatkan kepercayaan
pengelolaan keuangan negara dari masyarakat/stake-holder. Pengelolaan aset
negara dalam pengertian yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2)
PP Nomor 6 Tahun 2006 adalah tidak sekedar administratif semata, tetapi lebih
maju berfikir dalam menangani aset negara, dengan bagaimana meningkatkan
efisiensi, efektifitas dan menciptakan nilai tambah dalam mengelola aset.
Oleh karena itu, lingkup pengelolaan aset negara mencakup perencanaan kebutuhan dan penganggaran; pengadaan; penggunaan; pemanfaatan;
pengamanan dan pemeliharaan; penilaian; penghapusan; pemindahtanganan;
penatausahaan; pembinaan, pengawasan, dan pengendalian. Proses tersebut
merupakan siklus logistik yang lebih terinci yang didasarkan pada pertimbangan perlunya penyesuaian terhadap siklus perbendaharaan dalam konteks
yang lebih luas (keuangan negara).
Dewasa ini muncul banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
berkaitan dengan pengelolaan BMN. Permasalahan-permasalahan tersebut
antara lain yaitu terdapat perubahan dari beberapa peraturan perundangundangan di bidang BMN, antara lain UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, PP Nomor 6
Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/ Daerah, PMK Nomor 20/
86
Manajemen Materiil
PMK.06/2007 tentang Penatausahaan BMN, dan PMK Nomor 96/PMK.06/2007
tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindahtanganan BMN. Namun, pada dasarnya terdapat ciri yang menonjol
dari produk-produk hukum tersebut yaitu meletakkan landasan hukum dalam
bidang administrasi keuangan negara dan melakukan pemisahan secara tegas
antara pemegang kewenangan administratif dan pemegang kewenangan perbendaharaan.
Selain itu, sejalan dengan kebijakan nasional yaitu adanya otonomi daerah
serta bergulirnya perubahan struktur kabinet yang memunculkan penghapusan suatu kementerian di satu sisi dan pendirian kementerian pada sisi yang lain
membawa implikasi adanya mutasi BMN. Pengendalian intern atas pengelolaan
aset Negara. Walaupun sudah banyak kebijakan tentang sistem dan prosedur
yang diterbitkan untuk mencegah penyalahgunaan asset negara, namun tampaknya hal itu masih belum cukup. Aset tetap negara merupakan salah satu
sektor yang paling strategis dalam pengelolaan keuangan negara. Pada umumnya nilai aset tetap negara paling besar dibandingkan akun lain pada laporan
keuangan. Selain itu, keberadaannya sangat mempengaruhi kelancaran roda
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu, manajemen aset negara tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sistem Pengendalian Intern (SPI) atas pengelolaan aset tetap negara harus
handal untuk mencegah penyimpangan yang dapat merugikan negara. PP Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) telah menetapkan definisi yang tegas tentang aset. Dalam Kerangka Konseptual Akuntansi
Pemerintahan paragraf 60 (a) dan 61 diuraikan dengan jelas tentang definisi
aset, yaitu bahwa: “Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau
dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana
manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh,
baik oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan
uang, termasuk sumber daya non keuangan yang diperlukan untuk penyediaan
jasa bagi masyarakat umum dan sumbersumber daya yang dipelihara karena
alasan sejarah dan budaya.”
Berdasarkan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan (paragraf 60),
sesuatu harus memiliki nilai agar dapat dikategorikan sebagai aset. Nilai dari
suatu aset harus diukur dan dinyatakan dalam satuan moneter (yakni rupiah),
sehingga aset tersebut dapat diakui (recognized) dalam laporan keuangan. Di
Indonesia, manajemen aset diungkapkan dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, yang menyebutkan:
1. Pengelolaan BMN/D dilaksanakan berdasarkan asas fungsional, kepastian
hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian
Manajemen Materiil
87
nilai
2. Pengelolaan BMN/D meliputi: perencanaan kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pengamanan dan pemeliharaan,
penilaian, penghapusan, pemindahtanganan, penatausahaan, pembinaan,
pengawasan dan pengendalian. Tujuan dan sasaran dari manajemen aset adalah untuk mencapai kecocokan/kesesuaian sebaik mungkin antara keberadaan
aset dengan strategi entitas (organisasi) secara efektif dan efisien. Hal ini mencakup seluruh siklus hidup aset sejak perencanaan dan penganggaran hingga
pembinaan, pengawasan dan pengendalian serta pengaturan risiko dan biaya
yang terkait selama siklus hidup aset.
Maraknya kasus korupsi terkait aset tetap negara menunjukkan sistem pengendalian internnya masih lemah. Untuk itu setiap instansi pemerintah harus
membangun sistem pengendalian intern (SPI) yang andal, hingga mampu
mencegah terjadinya penyimpangan atau hambatan dalam pencapaian tujuan
entitas. Seluruh komponen SPI pemerintah berdasarkan PP Nomor 60 Tahun
2008, yaitu lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas pengendalian,
informasi dan komunikasi serta monitoring atas pengelolaan aset negara harus
dibangun secara memadai.
Sebagai pondasi bagi seluruh proses pengelolaan aset negara yang baik,
setiap instansi pemerintah harus menciptakan dan memelihara lingkungan dalam organisasi (lingkungan pengendalian) yang mendorong perilaku (behavior) positif dan manajemen yang sehat. Utamanya adalah mendorong tersedianya seluruh pengelola aset negara yang memiliki kesadaran (awareness) yang
kuat tentang pentingnya penegakan sistem pengendalian intern. Penciptaan
ini dilakukan melalui penegakan integritas dan nilai-nilai etika oleh seluruh pegawai, komitmen terhadap kompetensi setiap komponen organisasi, adanya
kepemimpinan yang kondusif, tersusunnya struktur organisasi yang mendukung strategi pencapaian tujuan, adanya pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat, kebijakan yang sehat dalam pembinaan sumber daya
manusia, adanya peran APIP yang efektif dan hubungan kerja yang baik antar
instansi.
Selain adanya lingkungan pengendalian yang kondusif, setiap instansi pemerintah perlu melakukan penilaian risiko yang dapat menghambat pencapaian tujuan instansi. Dengan memperhatikan siklus hidup dan tujuan manajemen aset negara, risiko yang dapat diidentifikasikan dalam pengelolaan aset
negara, antara lain :
a. Perencanaan dan penganggaran; Rencana pengadaan barang yang tidak
mendukung strategi entitas/instansi dan anggaran pengadaan aset
tidak realistis (terlalu besar/kecil).
88
Manajemen Materiil
b. Pengadaan; Pengadaan aset yang terlalu mahal (inefisiensi)/mark up dan
spesifikasi aset yang diperoleh tidak sesuai kebutuhan
c. Penggunaan; Aset tidak dapat digunakan, biaya operasional terlalu tinggi
d. Pemanfaatan; Pengadaan aset tidak bermanfaat, aset dimanfaatkan oleh
yang tidak berhak dan kerjasama pemanfaatan aset negara merugikan
negara
e. Pengamanan dan pemeliharaan; Aset negara mengalami kerusakan,
masa guna aset lebih rendah dari standar yang berlaku
f. Penilaian, Aset tidak dapat diukur nilainya, nilai aset overstated atau
understated
g. Penghapusan; Aset masih bermanfaat tapi sudah dihapuskan
h. Pemindahtanganan; Pelepasan aset dengan harga terlalu rendah
i. Penatausahaan dan pelaporan; Laporan aset tidak sinkron dengan
laporan keuangan
j. Pengawasan, pembinaan dan pengendalian; Terjadi kegagalan dalam
mitigasi risiko dan kegagalan mencegah penyimpangan.
Selanjutnya, risiko-risiko harus dimitigasi dan dicegah. Jika tidak, risikorisiko tersebut dapat membawa konsekuensi yang sangat berat bagi setiap
instansi yaitu timbulnya kerugian negara, bahkan tuntutan pidana korupsi terhadap pengelolanya. Mitigasi risiko dilakukan melalui aktivitas pengendalian
yang terintegrasi. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah Sistem Pengendalian Intern (SPI) harus dibangun pada suatu titik yang optimal. SPI yang terlalu
longgar akan meningkatkan probabilitas timbulnya risiko penyimpangan atau
kegagalan. Sebaliknya, SPI yang terlalu ketat akan membuat proses bisnis menjadi lambat dan mahal. Membangun SPI tetap harus memperhatikan cost and
benefit.
Oleh karena itu, risiko-risiko yang ada harus dinilai dan diranking. Proses ini
pada umumnya menggunakan dua parameter, yaitu semakin besar kemungkinan timbulnya dan semakin besar dampaknya. Semakin tinggi nilai parameter
tersebut, maka risiko tersebut semakin tinggi dan harus diprioritaskan untuk
dicegah. Pemerintah telah menerbitkan beberapa kebijakan untuk memastikan
berkurangnya risiko yang telah diidentifikasikan. Materi peraturan-peraturan
tersebut mencakup proses reviu kinerja atas pengelolaan aset negara, pembinaan sumber daya manusia, pengendalian fisik atas aset, penetapan dan reviu
atas indikator dan ukuran kinerja, pemisahan fungsi, otorisasi atas transaksi dan
kejadian penting, pencatatan yang akurat dan tepat waktu, pembatasan akses
atas sumber daya dan pencatatannya, akuntabilitas terhadap sumber daya dan
pencatatannya serta dokumentasi yang baik atas SPI serta transaksi dan kejadian penting.
Manajemen Materiil
89
Garis besar kebijakan tentang pengelolaan aset negara diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah. Untuk tingkat daerah, peraturan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pengelolaan Barang Daerah. Ketentuan-ketentuan di atas mengatur secara normatif pengelolaan aset negara
dari proses perencanaan kebutuhan hingga pelaporan dan pengawasannya.
Aktivitas Pengendalian tersebut disusun agar seluruh proses manajemen aset
dapat berjalan berdasarkan asas fungsional, kepastian hukum, transparansi dan
keterbukaan, efisiensi, akuntabilitas, dan kepastian nilai.
Visi pengelolaan aset negara ke depan adalah menjadi the best state asset management on the world. Tidak sekedar bersifat teknis administratif semata, melainkan sudah bergeser ke arah bagaimana berpikir layaknya seorang
manajer aset yang harus mampu merumuskan kebutuhan barang milik negara
secara nasional dengan akurat dan pasti, serta meningkatkan faedah dan nilai
dari aset negara tersebut. Tantangan untuk mewujudkan visi tersebut tidaklah
ringan, perlu kerja keras dari semua pihak mengingat problematika di seputar
pengelolaan aset negara sekarang ini begitu kompleks. Oleh karena itu, pengelolaan aset negara harus ditangani oleh SDM yang profesional dan handal,
dan mengerti tata peraturan perundangan yang mengatur aset negara.
Penertiban BMN pada kementerian/lembaga negara yang sekarang lagi berjalan harus dijadikan momentum bersama untuk menginventarisir dan menata
kembali aset negara yang selama ini masih belum tertangani dengan baik, agar
penggunaan dan pemanfaatan aset negara sesuai dengan peruntukannya,
serta mampu memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Analisis dan Evaluasi Pengelolaan Aset Daerah
Analisis dan evaluasi pengelolaan aset daerah. Salah satu dasar pemikiran
diterbitkannya undang-undang otonomi daerah adalah agar masing-masing
daerah dapat mengatur dan berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta
masyarakat dan juga diharapkan dapat meningkatkan daya saing serta memberdayakan sumber kehidupan yang terdapat di masing-masing daerah untuk
kemakmuran masyarakat.
Namun demikian, ada pembatasan otonomi yang diberikan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 UU Nomor 32 Tahun 2004 menyatakan diantaranya:
90
Manajemen Materiil
1. Pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang
ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah
2. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan
3. Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi: (a) politik luar negeri, (b) pertanahan, (c)
keamanan, (d) yustisi, (e) moneter dan fiskal nasional, dan (f ) agama.
Dalam kaitannya dengan tanah, maka tindakan pendaftaran tanah harus
tetap melibatkan Badan Pertanahan Nasional dan kantor perwakilannya di
daerah. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengadministrasian tanah memerlukan
biaya yang tinggi dan membebani pemerintah daerah, mengingat anggaran
yang disediakan jauh dari cukup. Walaupun menurut UUPA bahwa pendaftaran
tanah adalah merupakan kewajiban negara, akan tetapi ketersediaan keuangan
negara tidak mencukupi sehingga tidak dapat melakukan pendaftaran tanah
secara sistimatik (pendaftaran tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara
serentak yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang belum didaftar
dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan).
Oleh karena terbatasnya anggaran, maka kegiatan pendaftaran tanah hanya
dapat dilakukan secara sporadik (pendafataran tanah untuk pertama kali secara
individual), yang berdampak pada banyaknya tanah terlantar. Tanah merupakan
salah satu aset pemerintah daerah yang wajib dikelola dengan baik dan benar
guna mendapatkan manfaat yang dapat menaikkan Pendapatan Asli Daerah.
Pengelolaan Barang Milik Daerah (BMD)
Pengelolaan BMD adalah rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang
milik daerah yang ruang lingkupnya meliputi:
a. Perencanaan kebutuhan dan penganggaran
b. Pengadaan
c. Penerimaan, penyimpanan dan penyaluran
d. Penggunaan
e. Penatausahaan
f. Pemanfaatan
g. Pengamanan dan pemeliharaan
h. Penilaian
i. Penghapusan
Manajemen Materiil
91
j. Pemindahtanganan
k. Pembinaan, pengawasan, dan pengendalian
l. Pembiayaan tuntutan ganti rugi, demikian menurut bunyi Pasal 4 ayat 2
Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Barang Milik Daerah.
Selanjutnya, Pasal 2 menyatakan bahwa Pengelolaan BMD sebagai bagian
dari pengelolaan keuangan daerah yang dilaksanakan secara terpisah dari pengelolaan BMN. Pasal 3 mengatur mengenai sumber BMN, yang berasal dari :
1. Barang yang dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah,
2. Barang yang berasal dari perolehan lainnya yang sah, yang meliputi, barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau sejenis, barang yang diperoleh
sebagai pelaksanaan perjanjian/kontrak, barang yang diperoleh berdasarkan
ketentuan undang-undang, atau barang yang diperoleh berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Untuk mengelola aset daerah, maka harus ada pengelola, yang dalam peraturan dimaksud adalah Pejabat Pengelola BMN, yaitu Kepala Daerah sebagai
Pemegang kekuasaan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut, Kepala Daerah
dibantu oleh Sekretaris Daerah sebagai Pengelola, Kepala Biro/Bagian Perlengkapan/Pembantu Pengelola barang, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD)- Kepala Unit Kerja sebagai Pengguna/Kuasa Pengguna, Penyimpan Barang yang bertugas menerima, menyimpan dan menyalurkan BMD dan Pengurus Barang yang bertugas mengurus barang dalam pemakaian. Sesuai dengan karakter dan kondisi wilayahnya, tiap-tiap daerah memiliki sumber daya
yang berbeda yang dapat dioptimalkan pendayagunaanya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Macam aset daerah tersebut diantaranya adalah:
tanah, gedung/bangunan, kendaraan, alat-alat berat, kolam ikan, pasar-pasar
tradisional dan sebagainya.
Fokus pembahasan pada sesi ini adalah BMD yang berupa tanah. Untuk
mengetahui secara pasti keberadaan aset daerah berupa tanah, maka perlu
dilakukan pendataan administratif dan fisik secara terus-menerus serta berkesinambungan, yang dalam peraturan dimaksud disebut sebagai kegiatan penatausahaan. Penatausahaan BMD meliputi :
1. Pembukuan, yaitu kegiatan pelaksanaan dan pencatatan BMD dalam
Daftar Barang Pengguna (DBP) dan Daftar Barang Kuasa Pengguna
(DBKP)
2. Inventarisasi, yaitu kegiatan untuk melakukan pendataan, pencatatan,
dan pelaksanaan pelaporan BMD dalam unit pemakaian
92
Manajemen Materiil
3. Pelaporan, adalah kegiatan sebagai tindak lanjut inventarisasi dan
bentuk suatu pertanggungjawaban dalam format yang telah ditetapkan
oleh Undang-undang.
Pemanfaatan BMD
Pemanfaatan adalah pendayagunaan BMD yang tidak dipergunakan sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Jika BMD
digunakan oleh pihak ketiga dengan cara yang benar yang bertujuan menguntungkan daerah, maka kerjasama dengan pihak ketiga dapat ditempuh dalam
empat (4) bentuk sebagaimana Pasal 32 dengan tujuan untuk mendapatkan
hasil yang maksimal, guna mendukung kelancaran tugas kedinasan dan memberikan layanan kepada masyarakat. Bentuk pemanfaatan yang pertama adalah
sewa yaitu pemanfaatan BMD oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan
menerima imbalan uang. Penyewaan tanah dan/atau bangunan dilakukan oleh
pengelola setelah mendapat persetujuan dari Kepala Daerah, akan tetapi untuk tanah dan/atau bangunan yang masih digunakan oleh pengguna barang,
dilaksanakan oleh pengguna barang setelah mendapat persetujuan pengelola
barang. Jangka waktu sewa adalah 5 tahun dan dapat diperpanjang.
Tata cara sewa wajib dituangkan dalam surat perjanjian sewa, dengan memuat sekurang-kurangnya, pihak-pihak terkait dalam perjanjian, luas, jangka
waktu dan besaran sewa, tanggungjawab penyewa atas biaya operasional
dan pemeliharaan, persyaratan lain yang dianggap perlu. Besaran formula tarif
sewa ditentukan oleh gubernur, bupati/walikota, dan hasil dari sewa tersebut
disetor ke rekening kas daerah. Sewa tidak mengubah status kepemilikan.
Bentuk pemanfaatan yang kedua adalah pinjam pakai, dilaksanakan untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintah daerah dalam jangka waktu tertentu
dan tidak menerima imbalan, dan jika jangka waktu telah berakhir, maka wajib
diserahkan kembali kepada pengelola barang. Jangka waktu pinjam pakai adalah 2 tahun dan dapat diperpanjang, dituangkan dalam surat perjanjian yang
sekurangkurangnya memuat: pihak-pihak terkait dalam perjanjian, jenis, luas
atau jumlah barang yang dipinjamkan dan jangka waktunya, tanggungjawab
peminjam atas biaya operasional dan pemeliharaan selama jangka watu peminjaman, persyaratan lain yang dianggap perlu dan biaya pemeliharaan yang
ditanggung oleh peminjam.
Bentuk pemanfaatan yang ketiga adalah kerjasama pemanfaatan, dilaksanakan dalam rangka mengoptimalkan daya guna dan hasil guna BMD serta meningkatkan penerimaan/pendapatan daerah. Dilaksanakan dalam jangka waktu
maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang. Kerjasama Pemanfaatan wajib dituangkan dalam perjanjian Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) dan hasilnya disetor ke rekening kas daerah. Bangun Guna Serah (BGS) dan Bangun Serah Guna
Manajemen Materiil
93
(BSG), IMB untuk BSG/BGS harus atas nama pemerintah daerah. Penetapan mitra BSG/BGS dilaksanakan melalui tender dengan mengikut sertakan sekurangkurangnya 3 peserta. Jangka waktu BSG/ BGS adalah 30 tahun.
Hasil dari pelaksanaan BSG/BGS ditetapkan penggunaannya oleh pengelola
barang untuk penyelenggaraan tupoksi. Biaya persiapan dan pelaksanaan BGS/
BSG tidak dapat dibebankan pada APBD. Pemanfaatan dalam bentuk-bentuk
tersebut di atas adalah tidak mengubah status kepemilikan, dan bertujuan
menguntungkan daerah guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Pemanfaatan BMD berupa tanah dan/atau bangunan dilaksanakan oleh pengelola
setelah mendapat persetujuan kepala daerah. Pengamanan BMD. Pengamanan
BMD merupakan kegiatan/ tindakan pengendalian dan penertiban dalam upaya pengurusan BMD secara phisik, administratif maupun tindakan hukum agar
BMD dapat dimanfaatkan secara optimal serta terhindar dari penyerobotan,
pengambilalihan dan klaim pihak lain.
Pengamanan administrasi untuk barang tidak bergerak dapat berupa pembukuan, inventarisasi dan pelaporan. Pengamanan fisik dapat dilakukan dengan pemagaran, pemasangan tanda pemilikan dan penjagaan. Sedangkan
pengamanan hukum dapat dilakukan dengan cara pendaftaran tanah untuk
mendapat bukti kepemilikan yang sah, dan jika terjadi pelanggaran atau penyalahgunaan, maka perlu penerapan hukum sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Pemeliharaan BMD. Definisi pemeliharaan BMD adalah kegiatan atau
tindakan agar semua barang selalu dalam kondisi baik dan siap digunakan secara berdaya guna dan berhasil guna. Sasarannya adalah semua barang inventaris yang tercatat dalam buku inventaris.
Penyelenggaraan pemeliharaan dapat berupa pemeliharaan: ringan, sedang
dan berat. Pemeliharaan ringan: pemeliharaan yang dilakukan sehari-hari oleh
unit pemakai/pengurus barang tanpa membebani anggaran. Pemeliharaan Sedang: pemeliharaaan dan perawatan yang dilakukan secara berkala oleh tenaga
terlatih yang mengakibatkan pembebanan anggaran, misalnya: pembayaran
PBB secara rutin setiap tahun. Pemeliharaan Berat pelaksanaannya tidak dapat
diduga dan memerlukan angggaran besar pula, dalam hal tanah, maka untuk
mengambil alih tanah yang diduduki/diserobot oleh pihak lain memerlukan
biaya yang tinggi.
Tuntutan ganti rugi dikenakan terhadap pihak-pihak yang menyebabkan
timbulnya kerugian negara/daerah dengan memberikan sanksi hukum seusai
dengan perbuatannya. Tuntutan ganti rugi tidak didasarkan pada persangkaan,
tetapi dengan fakta dan data yang jelas. Landasan hukum untuk melaksanakan
Pengelolaan BMN diantaranya adalah sebagai berikut:
94
Manajemen Materiil
1. UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
2. PP Nomor 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntasi Pemerintahan
3. PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan daerah
4. PP Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan barang milik daerah jo
PP Nomor 38 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas PP
Nomor 6 Tahun 2006
5. Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pedoman dan tata cara Pengadaan
barang dan jasa
6. Kepmendagri Nomor 12 tahun 2003 tentang Pedoman Penilaian Barang
Daerah
7. Kepmendagri Nomor 153 tahun 2004 tentang Pedoman Pengelolaan
barang Daerah yang dipisahkan
8. Kepmendagri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah
9. PerMendagri Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis
Pengelolaan Barang Milik Daerah dan lain-lain yang berkaitan
Jika melihat dan menyimak peraturan yang ada, sepertinya semua hal tentang pengelolaan aset daerah sudah tertata rapi dari dulu hingga hilir dan
tampaknya sudah dimengerti dan dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Hal
tersebut dapat dilihat dari hampir semua website pemerintahan daerah yang
menampilkan Bagan Pengelolaan Aset Daerah lengkap dengan visi, misi,
strategi dan program kegiatan pengelolaan yang memadai. Akan tetapi dalam
kenyataannya masih terjadi banyak masalah terutama mengenai pengelolaan
aset daerah berupa tanah. Mengenai masalah pengelolaan aset daerah berupa
tanah, perlu diteliti lebih seksama faktor penyebabnya, apakah peraturan yang
ada belum cukup, atau sumber daya manusianya yang belum mampu melaksanakan kegiatan pengelolaan, atau barangkali faktor lain, seperti minimnya
anggaran yang tersedia.
Masalah krusial terutama adalah dalam hal pengadministrasian dan pemanfaatan aset daerah berupa tanah, yang tercermin dengan seringnya terjadi
berita tentang permasalahan aset pemerintah daerah yang berupa tanah di
berbagai media cetak maupun elektronik, misalnya: adanya sertifikat ganda,
penyerobotan, pendudukan illegal, aset hilang, dan lain-lain. Perbaikan dalam
waktu dekat.
Setelah melihat uraian tersebut di atas, sebetulnya kegiatan pengelolaan
BMD sebagaimana dinyatakan dalam Permendagri Nomor 17 tahun 2007
mempunyai kegiatan yang lengkap, dan tetap memiliki nuansa seperti manajemen aset pada umumnya, yang juga mencakup perencanaan, pengadaan, pengendalian, pengamanan dan seterusnya. Jika berbicara mengenai manjemen
Manajemen Materiil
95
aset, maka tidak terlepas dari manajemen keuangan dan sangat terkait dengan
administrasi pembangunan daerah, baik dari segi nilai aset, pemanfaatannya,
pencatatannya dalam neraca tahunan daerah yang akan menjadi prioritas dalam pembangunan.
Apabila peraturan sudah baik tetapi masih terdapat masalah, maka perlu
diperhatikan sumberdaya manusianya karena tampaknya pengelolaan aset
daerah yang begitu 80 besar dan bervariasi memerlukan keahlian tersendiri,
dan barangkali kemampuan tersebut belum dimiliki oleh pemerintah daerah.
Untuk itu maka perlu ada pembenahan secara berkesinambungan dalam beberapa aspek sebagai berikut:
Sumber Daya Manusia - Sebaik dan sesempurna apapun peraturan perundang-undangan yang telah dibuat, efektivitasnya akan kembali kepada kemampuan dan kesiapan sumber daya manusia di dalam penerapannya. Dalam kaitannya dengan aset daerah berupa tanah, maka dituntut sumber daya
manusia sebagai pengelola yang berkemampuan khusus, dari aparat penegak
hukum dibutuhkan kewibawaan dan ketegasan dalam menegakkan hukum
agar peraturan yang ada menjadi efektif. Dengan demikian dapat diminimalisir
terjadinya penyalahgunaan aset daerah. Bagi pemerintah daerah kiranya harus
peka terhadap kondisi sumber daya manusia yang dimilikinya dan oleh karena
itu perlu untuk meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya secara
lebih profesional sehingga dapat menyelesaikan tugas-tugasnya dengan lebih
cepat, efektif dan efisien.
1. Anggaran - Mengingat terbatasnya keuangan negara, diharapkan masing-masing pemerintah daerah dapat mengoptimalkan pendayagunaan dan
pemanfaatan aset daerah yang berasal dari luar APBD atau pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah, sehingga mempunyai sumber
keuangan yang memadai dan dapat digunakan untuk mendaftarkan aset tanah
dan sekaligus memelihara, memanfaatkan dan mengamankannya. Lebih lanjut
perlu ada perubahan dalam hal sistem penganggaran agar apa yang direncanakan harus betul-betul merupakan kebutuhan yang diperlukan daerah sehingga
anggaran dapat dimanfaatkan secara efektif dan bukan sebaliknya.
2.Evaluasi - Pemerintah daerah perlu secara berkala untuk mengadakan
evaluasi terhadap kinerja aparatnya dan program kerja yang telah ditetapkannya. Dalam kaitannya dengan aset tanah, perlu dicermati adanya sertifikat ganda karena telah terjadi penyerobotan oleh pihak lain yang disebabkan tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah yang sah, tanah yang hilang karena
tidak ada inventarisasi dan tidak diberi papan petunjuk atau sulit menentukan
batas-batas tanah, atau pendudukan illegal yang terlalu lama didiamkan, yang
semuanya diakibatkan oleh karena tidak dilakukan pengelolaan dengan baik.
96
Manajemen Materiil
Perbaikan pada Masa mendatang. Agar peraturan yang belum memadai
dapat diperbaiki dan dapat diterapkan dengan maksimal, maka perlu mengkaji hasil evaluasi peraturan dan permasalahan serta hasil kinerja sebelumnya
untuk dijadikan dasar membuat perbaikan regulasi dan perbaikan dalam pengelolaan di masa mendatang. Untuk itu perlu kiranya mempraktekkan dengan
mengadopsi apa yang dikemukakan oleh pakar manajemen aset Doli D. Siregar
yang disunting oleh Hemat Dwi Nuryanto, yang menyatakan bahwa manajemen aset merupakan salah satu profesi atau keahlian yang belum sepenuhnya berkembang di lingkungan pemerintahan maupun di satuan kerja atau
instansi. Manajemen aset mempunyai lima tahapan kerja yang satu sama lain
saling terkait, yaitu: Hemat Dwi Nuryanto, Mengatasi Rabun Dekat Aset Daerah,
Artikel: September 2008
1. Inventarisasi aset, meliputi inventarisasi fisik dan yuridis. Aspek fisik meliputi bentuk, luas, lokasi, alamat dan lain-lain. Aspek yuridis meliputi status
penguasaan, masalah legal yang dimiliki, batas akhir penguasaan dan lain-lain.
Pada tahap ini harus dilakukan pendataan, kodifikasi atau labeling, pengelompokan dan pembukuan
2. Legal audit. Ruang lingkup kerja manajemen aset yang berupa inventarisasi status penguasaan aset, sistem dan prosedur penguasaan atau pengalihan
aset, identifikasi dan solusi masalah legal
3. Penilaian aset. Proses kerja untuk melakukan penilaian aset yang dikuasai,
yang pada umumnya dikerjakan oleh konsultan Hasil penilaian dapt dimanfaatkan untuk mengetahui nilai kekayaan dan informasi untuk penetapan harga
bagi aset yang ingin dijual
4. Optimalisasi Aset. Proses kerja manajemen aset yang bertujuan untuk
mengoptimalkan aset dimaksud. Dalam tahapan ini aset-aset diidentifikasi dan
dikelompokkan atas aset yang memiliki potensi dan yang tidak
5. Pengembangan Sistem Informasi Manajemen Aset, Sebagai wahana untuk pengawasan dan pengendalian aset diupayakan transparansi dalam pengelolaan aset dapat terjamin, sehingga setiap penanganan terhadap suatu aset
bisa termonitor dengan baik
Tahapan-tahapan tersebut di atas telah sejalan dengan apa yang dikemukakan dalam Permendagri Nomor 17 tahun 2007 yang menyatakan bahwa pengelolaan BMN dilaksanakan berdasarkan asasasas sebagai berikut:
a. Asas fungsional, yaitu pengambilan keputusan dan pemecahan masalah
Manajemen Materiil
97
di bidang pengelolaan BMN yang dilaksanakan oleh kuasa pengguna barang,
pengguna barang, pengelola barang dan Kepala Daerah sesuai fungsi, wewenang dan tanggungjawab masing-masing.
b. Asas kepastian hukum, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus dilaksanakan berdasarkan hukum dan peraturan perundangpundangan
c. Asas transparansi, yaitu penyelenggaraan pengelolaan barang milik daerah harus transparan terhadap hak masyarakat dalam memperoleh informasi
yang benar
d. Asas efisiensi, yaitu pengelolaan barang milik daerah diarahkan agar barang milik daerah digunakan sesuai batasan-batasan standar kebutuhan yang
diperlukan dalam rangka menunjang penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
pemerintahan secara optimal
e. Asas akuntabilitas, yaitu setiap kegiatan pengelolaan barang milik daerah
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat
f. Asas kepastian nilai, yaitu pengelolaan barang milik daerah harus didukung oleh adanya ketepatan jumlah dan nilai barang dalam rangka optimalisasi
pemanfaatan dan pemindahtanganan barang milik daerah serta penyusunan
neraca Pemerintah Daerah.
Pada butir (c), Asas transparansi perlu pembenahan lebih lanjut yaitu dengan ditambah dukungan adanya informasi yang dapat diakses masyarakat secara elektronik dan hal tersebut perlu waktu dan anggaran yang tidak sedikit
serta sumber daya manusia yang kapabel.
Struktur dan Komposisi Aset Negara
(Khususnya Aset Tetap Berupa Tanah)
Struktur dan Komposisi Aset Negara pada LBMN TA 2009 (audited) Terkait
dengan kegiatan pengelolaan BMN tersebut, dalam PP Nomor 6 Tahun 2006 telah ditetapkan bahwa Menteri Keuangan cq. Direktur Jenderal Kekayaan Negara
selaku Pengelola barang diharuskan secara periodik menyusun Laporan Barang
Milik Negara Tahunan (LBMNT) dan Laporan Barang Milik Negara Semesteran
(LBMNS). Laporan Barang Milik Negara (LBMN) dimaksud merupakan gabungan dari data seluruh BMN yang dihimpun berdasarkan data yang disampaikan
oleh Kementerian Negara/Lembaga (K/L) selaku Pengguna barang.
Pasal 71 PP Nomor 6 Tahun 2006 menyatakan bahwa Pengelola barang harus
menyusun LBMN berdasarkan hasil penghimpunan Laporan Barang Pengguna
98
Manajemen Materiil
Semesteran (LBPS) dan Laporan Barang Pengguna Tahunan (LBPT) dari Pengguna barang. Selanjutnya, dalam Pasal 72 diatur bahwa LBMN dimaksud digunakan sebagai bahan untuk menyusun neraca pemerintah pusat. Berdasarkan
LBMN, BMN diklasifikasikan ke dalam 9 (sembilan) golongan barang, yaitu barang bergerak, barang tidak bergerak, hewan, ikan dan tanaman, persediaan,
konstruksi dalam pengerjaan, aset tak berwujud, dua golongan yang masih belum ditetapkan, dan Lain-lain.
Masing-masing golongan barang tersebut terbagi atas bidang barang, yang
kemudian terbagi lagi atas kelompok barang. Kelompok barang terbagi atas
sub kelompok barang yang kemudian terbagi lagi atas subsub kelompok barang. LBMNT TA 2009 (audited) disusun berdasarkan data BMN yang dihimpun
dari LBPT pada 80 (delapan puluh) pengguna barang, yang terdiri atas LBPT TA
2009 (audited) dari 70 (tujuh puluh) K/L, LBPT TA 2009 (unaudited) dari 3 K/L dan
6 pengguna barang lainnya, yakni : Departemen Keuangan, Badan Pertanahan
Nasional, Departemen Pekerjaan Umum, Bagian Anggaran Pembiayaan dan
Perhitungan, LPPTVRI, LPP-RRI, Badan Pengusahaan Kawasan Sabang, Otorita
Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, dan Otorita Asahan, dan LBPT TA
2008 dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi NAD–Nias yang masa tugasnya
telah berakhir pada tanggal 16 April 2009, sehingga nilai yang disajikan dalam
LBMN adalah LBPT terakhir yang disampaikan ke DJKN.
LBPT tersebut di atas dihimpun oleh masing-masing pengguna barang berdasarkan jenjang pelaporan, yaitu jenjang struktural di bawahnya seperti eselon I, kantor wilayah, dan satuan kerja, termasuk satuan kerja Badan Layanan
Umum (BLU), dan satuan kerja dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. LBMNT TA 2009 (audited) ini disusun dari LBPT (audited) yang dihasilkan melalui
aplikasi SIMAKBMN, kecuali untuk Departemen Pertahanan dan Otorita Asahan
yang sampai saat ini masih menggunakan aplikasi yang berbeda dan belum
mengimplementasikan aplikasi SIMAK BMN.
Manajemen Materiil
99
BAB V
PENTINGNYA PENGHAPUSAN
DAN TATA CARA LELANG BMN
Latar Belakang Penghapusan Barang Milik Negara
Prosedur penghapusan Barang Milik Negara (BMN) seringkali dipandang rumit dan memakan waktu lama. Dipandang rumit karena banyak persyaratan
yang dipenuhi agar dapat disetujuinya penghapusan suatu Barang Milik Negara. Penghapusan BMN apa saja yang dapat diusulkan untuk dihapus serta apa
saja persyaratan yang harus dipenuhi. Terdapat kondisi yang melatarbelakangi
penghapusan BMN, di antaranya :
1. BMN yang sesuai dengan peraturan harus diserahkan kepada pengelolan
barang yaitu Tanah dan bangunan idle
2. Pengalihan Status Penggunaan dari pengguna barang
(Kementerian/Lembaga) yang menatausahakan BMN ke pengguna
barang (Kementerian/Lembaga) lain
3. Pemindahtanganan
4. Pemusnahan
5. Keputusan Pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap
6. Sebab-sebab lain
Uraian berikut menjelaskan kondisi-kondisi yang melatarbelakangi penghapusan BMN. Seperti, BMN harus diserahkan kepada Pengelola Barang. Sesuai dengan PMK 250/PMK.06/2011 tentang tatacara Pengelolaan BMN yang
Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian
Negara/Lembaga, pasal 2 mengatakan bahwa Pengguna Barang wajib menyerahkan BMN idle pada Kementerian/Lembaga unit kerja Pengguna Pengguna
Barang yang bersangkutan kepada Pengelola Barang. Berdasarkan PMK 250/
PMK.06/2011, pasal 3 ayat 1, BMN idle adalah : (a) BMN yang sedang tidak digunakan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi Kementerian/Lembaga; atau
(b). BMN yang digunakan tetapi tidak sesuai dengan tugas dan fungsi Kementerian/ Lembaga.
Selanjutnya pada pasal 3 ayat 2, BMN tidak termasuk dalam kriteria BMN
idle apabila: (a). BMN telah direncanakan untuk digunakan oleh Kementerian/
Lembaga yang bersangkutan sebelum berakhirnya tahun ketiga; atau (b). BMN
telah direncanakan untuk dimanfaatkan sebelum berakhirnya tahun kedua, terhitung sejak BMN tersebut terindikasi sebagai BMN idle. Prosedur penyerahan
BMN idle tersebut diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara nomor Per-5/KN/2012 tentang Prosedur Kerja dan Bentuk Surat
100
100
Manajemen Materiil
Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara yang Tidak Digunakan Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga.
Dengan diserahkannya BMN berupa tanah dan/atau bangunan ke Pengelola Barang, BMN tersebut harus dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna
dan Daftar Barang Pengguna, karena BMN ini sudah berpindah ke Pengelola
Barang dan akan dicatat sebagai BMN di pembukuan Pengelola Barang. Pengalihan Status Penggunaan. BMN yang status penggunaannya berada pada
satu Pengguna Barang dapat dialihstatuskan ke Pengguna Barang lainnya
dengan mengikuti prosedur yang diatur dalam Lampiran I PMK Nomor: 3 96/
PMK.06/2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtanganan Barang Milik Negara. BMN ini harus dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna yang
menatausahakan BMN (yang mengalihsatuskan), karena BMN ini nantinya akan
dicatat di Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna (Kementerian/Lembaga) yang menerima BMN tersebut.
Pemindahtanganan BMN merupakan pengalihan kepemilikan BMN sebagai
tindak lanjut dari penghapusan BMN dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan, atau disertakan sebagai modal pemerintah. Jika suatu BMN dijual, maka
BMN tersebut akan diserahkan kepada pembeli BMN setelah pembeli menyetorkan harga BMN yang bersangkutan tersebut ke Kas Negara. Penjualan BMN
ini umumnya dilakukan secara lelang. BMN juga dapat dilakukan tukar menukar melalui prosedur tertentu.
Terdapat sedikit perbedaan prosedur tukar menukar BMN berupa tanah
dan/atau Bangunan dengan prosedur tukar menukar BMN selain tanah dan/
atau bangunan. Namun BMN baik itu tanah dan atau bangunan maupun selain
tanah dan/atau bangunan baru diserahkan kepada mitra tukar menukar setelah mitra tukar menukar telah melaksanakan kewajibannya yaitu menyediakan BMN pengganti dan jika nilai barang pengganti nilainya lebih rendah dari
BMN yang diserahkan maka mitra tukar menukar harus menyetor uang ke kas
Negara atas kekurangannya.
BMN dapat pula dihibahkan ke Pemerintah Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan dihibahkannya BMN ke penerima
hibah maka BMN tersebut harus dihapuskan dari Daftar Barang di Kuasa Pengguna Barang (Satuan Kerja), Daftar Barang di Pengguna Barang serta catatan
yang ada pada Pengelola Barang. BMN juga dapat digunakan sebagai penyertaan modal pemerintah pada Badan Usaha Milik Negara. Dalam hal ini penyertaan modal pemerintah ini hakekatnya merupakan pengalihan kepemilikan
BMN yang semula merupakan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan menjadi
Manajemen Materiil
101
101
kekayaan Negara yang dipisahkan untuk diperhitungkan sebagai modal/saham
Negara pada BUMN, BUMD atau Badan Hukum lainnya yang dimiliki Negara.
Jika BMN dijadikan penyertaan modal pemerintah, maka terjadi perpindahan
kepemikian BMN tersebut ke BUMN/BUMD atau lembaga lainnya, oleh karena
itu BMN yang bersangkutan harus dikeluarkan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna, Daftar Barang Pengguna serta catatan atas barang tersebut di Pengelola
melalui proses penghapusan BMN. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa
jika BMN dipindahtangankan melalui penjualan atau tukar menukar atau hibah
atau penyertaan modal, maka barang tersebut sudah pindah kepemilikannya
ke pihak lain sehingga harus dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna
dan Daftar Barang Pengguna serta Daftar Barang Milik Negara (yang dibuat
oleh Pengelola Barang).
Harus dimusnahkan, karena tidak dapat digunakan, tidak dapat dimanfaatkan, dan tidak dapat dipindahtangankan, serta karena alasan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Jika BMN dimusnahkan maka secara fisik
barang tersebut dari ada menjadi tidak ada, oleh karena itu harus dilakukan
penghapusan BMN tersebut dari Daftar Barang Kuasa Pengguna, Daftar Barang
Pengguna serta Daftar Barang Milik Negara yang ada di instansi Pengelola Barang. Kemudian, adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan sudah tidak ada upaya hukum lainnya atau penghapusan
untuk menjalankan ketentuan undang-undang. Terakhir, karena sebab-sebab
lain, BMN harus dihapuskan karena sebab-sebab lain seperti hilang, kecurian,
terbakar, susut, menguap, mencair, terkena bencana alam, mati untuk tanaman
dan hewan. BMN dapat hilang atau terbakar. Jika terdapat BMN yang hilang
atau terbakar tentu ada kerugian Negara, sehingga di samping BMN tersebut
perlu dihapus, atas kerugian Negara tersebut mungkin akan ada proses tuntutan ganti rugi. Jika ada BMN hilang maka BMN yang semula ada sekarang menjadi tidak ada sehingga terjadi ketidaksesuaian antara catatan dengan fisiknya
sehingga perlu dihapuskan dari Daftar Barang Kuasa Pengguna, Daftar Barang
Pengguna dan Daftar Barang Milik Negara yang ada di catatan Pengelola. BMN
mungkin habis terbakar, sehingga BMN tersebut secara fisik musnah oleh karena itu perlu dihapuskan.
Demikian juga jika ada BMN yang menguap atau menyusut (terutama untuk persediaan), jumlah yang menguap/menyusut tersebut juga harus dikeluarkan dari catatan/daftar melalui proses penghapusan BMN. Banyak BMN yang
hilang atau rusak berat karena bencana, BMN tersebut harus segera dihapuskan. Jika ada BMN berupa hewan atau tanaman yang mati, BMN tersebut juga
harus dikeluarkan dari catatan/Daftar Barang Kuasa Pengguna dan Daftar Barang Pengguna serta Daftar Barang Milik Negara yang ada di catatan pengelola
102
102
Manajemen Materiil
melalui proses penghapusan.
Persyaratan Agar BMN Dapat Dihapuskan
Untuk dapat dihapuskan, BMN selain tanah dan bangunan harus memenuhi
persyaratan teknis, ekonomis atau barang hilang, atau dalam kondisi kekurangan perbendaharaan atau kerugian karena kematian hewan atau tanaman.
1. Secara fisik BMN tersebut tidak dapat digunakan lebih menguntungkan
bagi Negara 5 karena rusak, dan tidak ekonomis apabila diperbaiki
2. BMN juga tidak dapat digunakan karena modernisasi
3. Barang telah melampaui batas waktu kegunaannya/kadaluarsa
4. BMN mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan,
seperti terkikis, aus, dan lain-lain sejenisnya
5. Berkurang barang dalam timbangan/ukuran disebabkan penggunaan/
susut dalam penyimpanan/pengangkutan. jika barang dihapus, karena
biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih besar daripada
manfaat yang diperoleh. Disarikan dari PMK no 96/PMK.06/2007
Secara teknis BMN selain tanah dan/atau bangunan dapat dihapuskan
manakala secara fisik BMN tersebut tidak dapat digunakan karena rusak, dan
tidak ekonomis apabila diperbaiki. Suatu BMN juga dapat dihapus manakala
tidak dapat digunakan karena modernisasi dan karena kadaluarsa. BMN seperti
obat memilki masa pemakaian dan jika sudah kedaluarsa, BMN tersebut harus
dihapuskan. BMN seperti pita cukai misalnya, jika terjadi kebijakan penggantian
pita cukai yang lama dengan yang baru, tentu persediaan pita cukai yang lama
harus dihapuskan. Di samping itu BMN dapat mengalami perubahan dalam
spesifikasi karena penggunaan, seperti terkikis, aus, dan lain-lain sebagainya.
BMN juga dapat berkurang dalam timbangan/ukuran disebabkan penggunaan/susut dalam penyimpanan/pengangkutan. Persediaan tertentu dapat dengan mudah terjadi pengurangan secara fisik. Jika terjadi pengurangan
maka perlu dihapuskan. Persyaratan ekonomis yang harus dipenuhi adalah lebih menguntungkan bagi Negara jika barang dihapus, karena biaya operasional
dan pemeliharaan barang tersebut lebih besar daripada manfaat yang diperoleh. Khusus untuk kendaraan dinas operasional, PMK 96/PMK.06.2007 mengatur bahwa kendaraan bermotor dinas operasional hanya dapat dihapuskan
apabila telah berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun terhitung mulai
tanggal, bulan, tahun perolehannya untuk perolehan dalam kondisi baru.
Sedangkan jika perolehan bukan kondisi baru, 10 (tahun) terhitung mulai
tanggal, bulan, tahun pembuatannya. Di samping itu penghapusan BMN tersebut tidak akan mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian/
lembaga yang bersangkutan. Kendaraan bermotor operasional juga dapat
Manajemen Materiil
103
103
dihapus apabila kendaraan bermotor tersebut hilang atau rusak berat akibat
kecelakaan atau force majeure dengan kondisi paling tinggi 30 % (tiga puluh
persen) berdasarkan keterangan instansi yang kompetent, dalam hal ini adalah
Dinas Perhubungan.
Untuk penghapusan BMN berupa kendaraan bermotor pada perwakilan Pemerintah RI di luar negeri, persyaratannya mengikuti ketentuan Negara setempat. Misalkan suatu Negara menetapkan bahwa 6 kendaraan bermotor hanya
boleh digunakan selama 5 tahun, tentu penghapusan BMN berupa kendaraan
bermotor yang dimiliki Perwakilan RI di Negara tersebut harus mengikuti persyaratan tersebut. Setelah kendaraan tersebut tidak dibolehkan digunakan
maka kendaraan tersebut harus segera dihapuskan. Secara teknis penghapusan
BMN kendaraan yang dikuasai Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri
diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.06/2010 Tentang
Tata cara Penghapusan BMN pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri BMN selain tanah dan/atau bangunan juga dapat dihapus jika BMN tersebut
hilang.
Dalam kondisi kekurangan perbendaharaan atau kerugian karena kematian
hewan atau tanaman. Jika ada BMN yang hilang maka dilakukan penelitian/pemeriksaan untuk mengetahui apakah ada tuntutan ganti rugi. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pasal 59 ayat 1 mengatakan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai
dengan ketentuan perundangundangan yang berlaku. Selanjutnya pada pasal
59 ayat 2 dikatakan bahwa Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau
pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan
negara, wajib mengganti kerugian tersebut.
Masih pada pasal 59 ayat (3) dikatakan bahwa setiap pimpinan kementerian
negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa dalam kementerian/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun. BMN berupa tanaman dan hewan jika mati
tentu harus segera dihapuskan dari daftar barang. b. Persyaratan Penghapusan
BMN berupa Tanah dan/atau Bangunan Menurut PMK nomor 96/PMK.06/2007,
lampiran VI angka II.2, BMN berupa tanah dan bangunan untuk dapat dihapus
harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Barang dalam kondisi rusak berat karena bencana alam atau karena
sebab lain di luar kemampuan manusia (force majeure)
2. Lokasi barang jadi tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang
Manajemen Materiil
104
(RUTR) karena adanya perubahan tata ruang kota
3. Sudah tidak memenuhi kebutuhan organisasi karena perkembangan
tugas
4. Penyatuan lokasi barang dengan barang lain milik Negara dalam
rangka efisiensi
5. Pertimbangan dalam rangka pelaksanaan rencana strategis pertahanan
Tanah dan/atau bangunan dapat mengalami kondisi rusak berat karena sebab lain di luar kemampuan manusia seperti karena adanya bencana alam. Hal
ini pernah terjadi atas BMN di tanah air. Untuk tertib administrasi BMN dengan
kondisi seperti ini harus dihapuskan segera dengan mengikuti peraturan yang
berlaku. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.06/2006 tentang Tata
Cara Penghapusan Barang Milik Negeri Akibat Gempa Bumi di Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu contoh
landasan hukum penghapusan BMN karena terkena Bencana alam di luar kemampuan manusia.
Tata ruang diatur dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang. Selanjutnya undang undang ini dilaksanakan oleh daerah
dengan menyusun rencana tata ruang wilayah. Jika suatu peraturan daerah
mengenai rencana tata ruang wilayah diberlakukan dan suatu BMN berupa tanah dan atau bangunan menempati suatu lokasi yang tidak sesuai dengan peruntukannya, maka BMN tersebut dapat dihapuskan dengan tindak lanjut yang
tepat misalkan dengan pemindahtangan. Jika ada beberapa BMN berupa tanah
dan atau bangunan yang tidak dalam satu lokasi, dalam rangka efisiensi, BMN
tersebut dapat disatukan.
Konsekuensinya dari beberapa BMN tersebut harus dihapuskan dengan tindak lanjut dipindahtangankan. BMN juga dapat dipindahtangankan dengan
pertimbangan dalam rangka rencana strategis pertahanan. Konsekuensinya,
BMN tersebut harus dihapuskan. Daftar Pustaka Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pemerintah Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah
Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.
Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2008
merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah Pemerintah Republik Indonesia,
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 120/PMK.06/2007 tentang Penatausahaan
BMN Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/
PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah
Manajemen Materiil
105
Pusat. Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 97/
PMK.06/2007 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN Pemerintah Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan dan Pemindahtangan Barang Milik Negara.
Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/
PMK.06/2010 tentang Penggolongan dan Kodefikasi BMN Pemerintah Republik
Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.06/2010 Tentang Tata
cara Penghapusan BMN pada Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71/PMK.06/2006 tentang Tata Cara Penghapusan Barang Milik Negeri Akibat Gempa Bumi di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.06/2007 tentang Rekonsiliasi BMN Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.05/2008
tentang Tata Cara Rekonsiliasi Barang Milik Negara Dalam Rangka Penyusunan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. PMK 250/PMK.06/2011 tentang tata cara
Pengelolaan BMN yang tidak digunakan untuk menyelenggarakan tugas dan
fungsi kementerian/lembaga Kementerian Keuangan RI, Peraturan Direktur
Jenderal Kekayaan Negara nomor Per-5/KN/2012 tentang Prosedur Kerja dan
Bentuk Surat Dalam Pengelolaan Barang Milik Negara yang Tidak Digunakan
Untuk Menyelenggarakan Tugas dan Fungsi Kementerian/Lembaga.
Kementerian Keuangan RI, Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara
Nomor: Per-07/KN/2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rekonsiliasi Data Barang Milik Negara Dalam Rangka Penyusunan Laporan Barang Milik Negara dan
Laporan Keuangan Pemerintah Pusat.
TATA CARA PENJUALAN/LELANG BMN
Pertimbangan Penjualan BMN
1. Dalam rangka optimalisasi Barang Milik Negara (BMN) yang berlebih
atau idle
2. Karena secara ekonomis lebih menguntungkan bagi negara
3. Sebagai pelaksanaan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
Barang Milik Negara yang Dapat Dijual
1. Tanah dan/atau bangunan – Mencakup yang berada pada pengelola
barang dan yang status penggunaannya ada pada Pengguna Barang
2. Selain tanah dan/atau bangunan
Ketentuan dalam Pelaksanaan Penjualan/Lelang
1.Pelaksanaan penjualan BMN tidak boleh mengganggu pelaksanaan tugas
106
Manajemen Materiil
106
pokok dan fungsi penyelenggaraan pemerintah
2. Penjualan BMN dilaksanakan dengan cara: Melalui lelang dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku dan tanpa melalui lelang
3. Barang Milik Negara yang bersifat khusus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : rumah Negara golongan III yang dijual
kepada penghuninya dan kendaraan dinas perorangan pejabat negara yang
dijual kepada pejabat negara
4. Barang Milik Negara lainnya ditetapkan lebih lanjut oleh Pengelola Barang berdasarkan pertimbangan yang diberikan oleh Pengguna Barang dan instansi teknis terkait yaitu, berupa tanah dan/atau bangunan yang akan digunakan untuk kepentingan umum, jika dijual secara lelang akan merusak tata niaga
berdasarkan pertimbangan dari instansi yang berwenang, dan berupa tanah
yang merupakan tanah kavling yang meurut perencanaan awal pengadaannya
digunakan umtuk pembangunan perumahan pegawai negeri sebagaimana
tercantum dalam dokumen penganggaran
5. Tindak lanjut penjualan BMN yang tidak laku dijual secara lelang, dilakukan pemindahtanganan dalam bentuk lainnya, dalam hal tidak dapat dipindahtangankan dalam bentuk lain BMN dimaksud dimusnahkan, dan pemusnahan dilakukan setelah mendapat persetujuan Pengelola Barang
6. Persyaratan untuk dapat dilakukannya penjualan BMN selain tanah dan/
atau bangunan adalah sebagai berikut, memenuhi pesyaratan teknis, secara
fisik barang tidak dapat digunakan karena rusak, dan tidak ekonomis apabila
diperbaiki, secara teknis barang tidak dapat digunakan lagi akibat modernisasi,
barang mengalami perubahan dalam spesifikasi karena penggunaan, seperti
terkikis, aus dan lain-lain sejenisnya, berkurangnya barang dalam timbangan/
ukuran disebabkan penggunaan/susut dalam penyimpanan/pengangkutan
7. Memenuhi persyaratan ekonomis, secara ekonomis lebih menguntungkan bagi Negara apabila barang dijual karena biaya operasional dan pemeliharaan barang lebih besar daripada manfaat yang diperoleh
8. Penjualan BMN berupa kendaraan bermotor dinas operasional diatur
dengan ketentuan sebagai berikut, kendaraan dinas operasional hanya dapat
dijual apabila telah berusia sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun : terhitung
mulai tanggal, bulan, tahun perolehannya, untuk perolehan dalam kondisi
baru; terhitung mulai tanggal, bulan, tahun pembuatannya, untuk perolehan
selain tersebut pada point di atas, sebagaimana tercatat sebagai Barang Milik
Negara dan tidak akan menggangu penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi
107
Manajemen Materiil
107
unit kerja. Penjualan kendaraan bermotor dapat dilakukan apabila kendaraan
bermotor tersebut hilang, atau rusak berat akibat kecelakaan atau force majeure dengan kondisi paling tinggi 30% berdasarkan keterangan instansi yang
bekompeten
9.Persyaratan untuk dapat dilakukan penjualan BMN berupa tanah dan/atau
bangunan adalah sebagai berikut : lokasi tanah dan/atau bangunan menjadi
tidak sesuai dengan RUTR disebabkan perubahan tata ruang kota, lokasi dan/
atau luas tanah dan/atau bangunan tidak emungkinkan untuk diguanakan
dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi, tanah dan/atau bangunan yang
menurut awal perencanaan pengadaannya diperuntukan bagi pembangunan
perumahan pegawai negeri
10. Penjualan BMN berupa tanah kavling yang menurut awal perencanaan
pengadaannya digunakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri
dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut, pengajuan usul penjualan disertai dengan dokumen penganggaran yang menyatakan bahwa tanah tersebut
akan diguanakan untuk pembangunan perumahan pegawai negeri dan penjualan dan pengalihan kepemilikan dilaksanakan langsung kepada masingmasing pegawai negeri
Subjek Pelaksanaan Penjualan
1. Pengelola Barang untuk tanah dan/atau bangunan, kecuali, untuk bangunan yang harus dihapuskan karena anggaran untuk bangunan pengganti
sudah disediakan dalam dokumen penganggaran, dan untuk penjualan tanah
dan/atau bangunan yang merupakan kategori rumah negara golongan III
2. Pengguna Barang setelah mendapat persetujuan Pengelola barang untuk tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas dan barang Milik
Negara selain tanah dan/atau bangunan
Tata Cara Penjualan Tanah/Bangunan
1. Pengelola Barang membuat perencanaan penjualan BMN berupa tanah
dan/atau bangunan yang memuat antara lain lokasi, jangka waktu
penjualan dan pertimbangan dari aspek teknis dan ekonomis
2. Pengelola Barang menetapkan tanah dan/atau bangunan yang akan
dijual berdasarkan perencanaan tersebut dalam butir 1) atau
permintaan pihak lain
3. Pengelola Barang membentuk Tim yang anggotanya terdiri dari unsur
Pengelola Barang dan/atau Pengguna Barang yang menyerahkan
barang yang akan dijual, serta instansi teknis yang berkompeten
dengan tugas
108
Manajemen Materiil
108
4. Pengelola Barang menugaskan penilai untuk melakukan perhitungan
nilai tanah dan/atau bangunan yang akan dijual
5. Penilai menyampaikan laporan hasil penilaian kepada Pengelola Barang
melalui Tim
6. Tim menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada Pengelola
Barang, dilampiri berita acara penelitian dan laporan penilaian
7. Berdasarkan laporan Tim, Pengelola Barang menyetujui atau tidaknya
usulan penjualan tersebut
8. Dalam hal usulan penjualan tidak disetujui, Pengelola Barang
Pemberitahukan kepada pihak yang mengajukan usulan disertai
alasannya
9. Dalam hal usulan penjualan disetujui Pengelola Barang menerbitkan
surat penetapan nilai BMN yang akan dijual
10. Dalam hal penjualan tanah dan/atau bangunan tersebut memerlukan
persetujuan DPR, Pengelola Barang terlebih dahulu mengajukan
permohonan persetujuan penjualan kepada DPR
11. Dalam hal penjualan tanah dan/atau bangunan tidak memerlukan
DPR tetapi hasil penilaiannya di atas Rp. 10.000.000.000,(sepuluh milyar), maka Pengelola Barang terlebih dahulu mengajukan
permohonan persetujuan penjualan kepada Presiden
12. Dalam hal penjualan dilakukan secara lelang, pelaksanaannya
mengikuti ketentuan yang berlaku dan serah terima barang
dilaksanakan setelah pembeli menyelesaikan kewajibannya yang
dituangkan alam berita acara serah terima barang
13. Hasil penjualan BMN harus disetor ke rekening kas umum Negara
14. Berdasarkan berita acara serah terima tersebut pada butir 12, Pengelola
Barang menghapuskan barang dimaksud dari Daftar BMN dengan
menerbitkan keputusan penghapusan barang
Tata Cara Penjualan Bangunan yang Harus Dihapuskan
1. Pengguna Barang membentuk Tim internal untuk melakukan persiapan
pengusulan penjualan bangunan yang bangunan penggantinya sudah tersedia anggarannya dalam dokumen penganggaran dengan tugas, menyiapkan
dokumen anggaran beserta kelengkapannya, melakukan penelitian data administrasi bangunan, antara lain tahun pembuatan, konstruksi, luas, dan status
kepemilikan serta nilai perolehan bangunan, menyampaikan laporan hasil penelitian data administrasi dan fisik kepada Pengguna Barang.
2.Pengguna Barang mengajukan permintaan persetujuan atas penjualan
bangunan kepada Pengelola Barang dengan disertai, fotocopi dokumen penganggaran bangunan pengganti dari bangunan yang diusulkan dijual, data administrasi bangunan, antara lain tahun pembuatan, konstruksi, luas dan status
109
Manajemen Materiil
109
kepemilikan serta nilai bangunan, nilai bangunan yang akan dijual dan instansi
yang teknis kompeten
3. Pengelola Barang melakukan penelitian atas permohonan penjualan
bangunan dimaksud, dengan tahapan sebagai berikut, melakukan penelitian
kelayakan alas an dan pertimbangan permohonan penjualan, melakukan penelitian data administrasi bangunan antara lain tahun pembuatan, konstruksi,
luas, dan status kepemilikan, apabila diperlukan, melakukan penelitian fisik atas
bangunan yang akan dijual dengan mencocokkan data administrasi yang ada
termasuk melakukan penilaian
4. Dalam hal nilai bangunan tersebut diatas Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh
miliar rupiah), pengelola barang terlebih dahulu mengajukan permohonan
persetujuan penjualan bangunan dimaksud kepada Presiden, apabila usulan
penjualan tersebut disetujui, Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan
pemindahtanganan yang berupa penjualan kepada Pengguna Barang, yang
sekurang-kurangnya memuat objek penjualan dan nilai limit terendah penjualan bangunan dimaksud, tindak lanjut atas persetujuan pemindahtanganan
yang berupa penjualan dilaksanakan mengikuti ketentuan penghapusan karena pemindahtanganan BMN tentang Tata Cara Penghapusan
Tata Cara Penjualan/Lelang BMN Selain Tanah dan/atau Bangunan
1. Pengguna Barang membentuk Tim internal yang bertugas untuk melakukan penelitian data administrasi dan fisik serta menyiapkan hal-hal yang bersifat
teknis; Dalam hal diperlukan, Tim dapt melibatkan penilai atau instansi terkait
yang berkompeten untuk melakukan penilaian Barang Milik Negara tersebut
2. Tim menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugas kepada Pengguna
Barang, dilampiri berita acara penelitian dan penilaian
3. Berdasarkan laporan Tim tersebut Pengguna Barang mengajukan usul
penjualankepada Pengelola Barang dengan disertai dengan penjelasan dan
pertimbangan penjualan dan data administrasi antara lain mengenai tahun
perolehan spesifikasi/identitas teknis, surat penetapan status penggunaan,
bukti kepemilikan dan nilai perolehan dan nilai limit terendah penjualan
4. Pengelola Barang melakukan penelitian atas permohonan penjualan BMN
dimaksud, dengan tahapan sebagai berikut, melakukan penelitian kelayakan
alasan dan pertimbangan permohonan penjualan, terutama dalam kaitannya
dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam penjualan BMN, melakukan penelitian data administrasi, apabila diperlukan melakukan penelitian fisik
untuk mencocokkan data administrasi yang ada, termasuk melakukan penila110
Manajemen Materiil
110
ian
5. Berdasarkan penelitian atas usulan penjualan dimaksud, Pengelola Barang menetukan disetujui atau tidaknya usulan penjualan BMN dimaksud
6. Dalam hal nilai perolehan BMN tersebut di atas Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar rupiah), Pengelola Barang terlebih dahulu mengajukan permohonan
persetujuan kepada Presiden atau DPR sesuai batas kewenangannya
7. Pengelola Barang menerbitkan surat persetujuan pemindahtanganan
yang berupa penjualan BMN dimaksud, yang sekurang-kurangnya memuat,
data objek penjualan meliputi tahun perolehan, spesifikasi/identitas teknis,
bukti kepemilikan, jenis, jumlah dan nilai perolehan dan nilai limit terendah
penjualan dan kewajiban Pengguna Barang untuk melaporkan pelaksanaan
penjualan kepada Pengelola Barang
8. Tindak lanjut atas persetujuan pemindahtanganan yang berupa penjualan dilaksanakan mengikuti ketentuan penghapusan karena pemindahtanganan BMN pada Peraturan Menteri Keuangan.
----o0o----
111
Manajemen Materiil
111
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1. H Sukadarto, Drs, SH, MM, Manajemen Materiil, LAN Jakarta, 2001
2. Ernst & Young, International Generally Accepted Accounting Principle
2008, Wiley, London. 2007
3. PPAKP, Modul Manajemen Aset, 2012
4. Suparmoko. 2000. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek. Yogyakarta
: BPFG
5. Purwanto, Yadi. 2001. Manajemen Keuangan Pemerintah. Jakarta :
PT. Cendekia Informatika
6. Ulum, Ihyaul. 2004. Akuntansi Sektor Publik.Yogyakarta : UMM PRESS
7. Van Fleet, James K. 1973. Manajemen Keuangan. Jakarta : Mitra Usaha
8. J. Fred Weston & Thomas E. Copeland. 1995. Manajemen Keuangan
Edisi Revisi Jilid I. Jakarta : Bina rupa Aksara
9. Arifin P Soeria Atmadja. 1996. Kapita Selekta Keuangan Negara.
Jakarta : Untar
10. Bastian Indra. 2001. Akuntansi Sektor Publik di Indonesia.
Yogyakarta : BPFE UGM
11. Lembaga Administrasi Negara. 1997. Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia, Jilid II / Edisi Ketiga Hal 53.Jakarta :
PT Toko Gunung Agung
12. Musgrave, Richard A. 1993. Keuangan Negara dalam Teori dan Praktek.
Jakarta : Erlangga
13. Hadiyanto, Era Baru Kebijakan Fiskal, Pemikiran, Konsep Dan
Implementasi, Edisi 2
14. Hadiyanto, Politik Hukum Tentang BUMN Persero Dikaitkan Dengan
Kepastian Hukum Dalam Pengelolaan BUMN Persero Berdasarkan
Undang Undang Perseroan Terbatas
UNDANG-UNDANG DAN PP
1. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Barang Milik Daerah
2. Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2008 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Barang Milik Daerah
3. Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 2005 tentang Standar Akuntansi
Pemerintah
4. Pemerintah Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara
5. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
112
Manajemen Materiil
6. Pemerintah Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tangung Jawab
Keuangan Negara
7. Pemerintah Republik Indonesia, 2014. Peraturan Pemerintah Nomor
27 tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara mencabut
Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 jo PP 38 tahun 2008
8. Peraturan Republik Indonesia, 2014.Peraturan Menteri Keuangan
No.78 tahun 2014 tentang tata cara pelaksanaan Pengeloaan Barang
Milik Negara di Kementerian/Lembaga
9. Pemerintah Republik Indonesia, 2006. Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah
10. Pemerintah Republik Indonesia, 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah
11. Pemerintah Republik Indonesia, 2011. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Daerah
12. Pemerintah Republik Indonesia, 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Pedoman Pengelolaan
Barang Milik Daerah
13. UU 5/1962 tentang Perusahaan Daerah
14. UU 17/2003 tentang Keuangan Negara
15. UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah
16. PP 58/2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
17. Permendagri 13/2006
18. Indonesia, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 tahun 2003
Tentang Keuangan Negara, Penjelasan Umum alinea 1
19. Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan
20. Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
21. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 jo Peraturan pemerintah
No. 38 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara
22. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.06/2007 trntang Tata Cara
Pelaksanaan Penggunaan, Pemanfaatan, Penghapusan, dan
Pemindatanganan Barang Milik Negara
MAKALAH
Pentingnya Penghapusan Barang Milik Negara oleh Margono Widyaiswara –
Pusdiklat Kekayaan Negara dan Perimbangan Keuangan Badan Pendidikan dan
Pelatihan Keuangan Kementerian Keuangan Republik Indonesia
Manajemen Materiil
113
BLOG/WEBSITE
1. http://www.wikipedia.com
2. http://www.solopos.com
3. http://www.beritadewan.com
4. http://nasional.kompas.com/read/2013/02/19/16554229/Mantan.
Direktur.Merpati.Divonis.Bebas
5. http://www.jurnalparlemen.com/view/6685/uu-kekayaan-negara
digugat-bpk-yakin-menang.html
6. https://investasidaerah.wordpress.com
7. http://nasional.kompas.com/read/2013/02/19/16554229/Mantan.
Direktur.Merpati.Divonis.Bebas
8. http://www.jurnalparlemen.com/view/6685/uu-kekayaan-negaradigugat-bpk-yakin-menang.html
9. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5226742f9a51b/asetbumn-bagian-kekayaan-negara
10. http://artikelrande.blogspot.com/2010/07/manajemen-keuangan.html
11. internet,http://pusatbahasa.depdiknas.go.id/kbbi/index.php
----o0o----
114
Manajemen Materiil
Download