1 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penyakit Diabetes

advertisement
1
HUBUNGAN ANTARA RIWAYAT NON INSULIN DEPENDENT DIABETES
MELLITUS (NIDDM) DENGAN TERBENTUKNYA OSTEOFIT PADA MARGO
ANTERIOR CORPUS VERTEBRA LUMBAL
Firman Adi Prasetyo, Lilavati Vijaganita,
Luh Putu Swastiyani Purnami, Weda Kusuma*
*Mahasiswa
I.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Solo
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Penyakit Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit tidak menular
yang mengalami peningkatan terus menerus dari tahun ke tahun. WHO
memprediksi kenaikan jumlah penderita Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta
pada tahun 2030. Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik, diperkirakan
jumlah penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun adalah sebesar 133
juta jiwa, dengan prevalensi DM pada daerah urban sebesar 14,7% dan daerah
rural sebesar 7,2 %. Pada tahun 2030 diperkirakan ada 12 juta penyandang
diabetes di daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (Soegondo et. al, 2006).
Efek kronik dari penyakit DM juga menjadi perhatian yang serius selain
dari segi epidemologi. Penyakit Diabetes Mellitus merupakan the great
imitator. Hal ini disebabkan penyakit DM mampu menyebabkan kerusakan
organ secara menyeluruh secara anatomis maupun fungsional (Lawrence,
2005). Komplikasi kronik dari penyakit DM menyebabkan kelainan pada
makrovaskular, mikrovaskular, gastrointestinal, genito urinari, dermatologi,
infeksi, katarak, glaukoma dan sistem muskulo skeletal (Harrison 2007, h.
2161; Smith L 2002, h. 30). Salah satu manifestasi yang sedang mutakhir
dalam penelitian komplikasi tersebut adalah pengaruh DM pada sistem
muskuloskeletal khususnya terbentuknya osteofit pada vertebra lumbal.
Osteofit pada vertebra lumbal terbentuk oleh adanya berbagai jenis
penyakit. Salah satunya adalah osteoarthritis pada vertebrae yang dikenal
dengan nama spondylosis (Grainger et al., 2001). Spondylosis tersebut
seringkali terjadi pada vertebrae lumbal (Grainger et al., 2001; Smith et al.,
2002), dan terbentuknya osteofit pada vertebrae lumbal tersebut seringkali
terjadi pada margo anterior dan lateral corpus vertebrae (Paul et al., 1998).
Berbagai penelitian biomolekular berupaya menemukan mekanisme
terbentuknya osteofit yang disebabkan karena DM. Telah diketahui bahwa
terbentuknya osteofit tidak terlepas terjadi karena degradasi kartilago (Sudoyo,
2007). Matriks metalloproteinase merupakan standar umum yang digunakan
untuk menilai adanya degradasi kartilago (Saad, 2006). Penelitian mutakhir
berupaya menghubungkan adanya mekanisme stress oksidatif terhadap
matriks kartilago yang disebabkan oleh berbagai mekanisme. Mekanisme
2
tersebut antara lain penambahan jalur polyol, terbentuknya Advance Glucose
End products (AGEs) dan aktifasi Protein Kinase C (Brownlee, 2004).
Berdasarkan berbagai fakta di atas, penulis tertarik untuk menilai
Hubungan antara Riwayat Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
dengan Terbentuknya Osteofit pada Margo Anterior Corpus Vertebra
Lumbal.
Perumusan Masalah
Adakah Hubungan antara Riwayat Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM) dengan Terbentuknya Osteofit pada Margo Anterior Corpus
Vertebra Lumbal ?
Tujuan Program
Untuk mengetahui apakah ada Hubungan antara Riwayat Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dengan Terbentuknya Osteofit pada
Margo Anterior Corpus Vertebra Lumbal.
Luaran yang Diharapkan
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pertimbangan diagnosis
komplikasi muskuloskeletal dalam upaya deteksi dini, kuratif, dan rehabilitatif
pada pasien Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Kegunaan Program
Penelitian ini dapat menjadi satu pertimbangan dalam diagnosa terbentuknya
Osteofit pada Margo Anterior Corpus Vertebra Lumbal dengan Riwayat Non
Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Patofisiologi dan Biomolekular Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM)
Konsentrasi glukosa yang berlebih menyebabkan penambahan aliran pada
jalur polyol. Jalur ini diperankan oleh enzim aldose reduktase. Enzim ini
mampu mengubah aldehid yang toksik menjadi alcohol inaktif. Pada
konsentrasi glukosa yang sangat tinggi. Glukosa ini akan diubah menjadi
sorbitol dan akhirnya menjadi fruktosa. Mekanisme ini membutuhkan donor
NADPH. Padahal NADPH juga diketahui berperan sebagai anti oksidan
melalui sistem glutation. Dengan demikian, konsentrasi glukosa tinggi
memperparah oksidatif stress yang terjadi pada sel (Brownlee, 2004).
Kadar glukosa yang tinggi juga mampu menyebabkan pembentukan AGEs
(Advance Glucose End products). Molekul ini membahayakan bagi sel
melalui tiga mekanisme. Pertama, terjadinya modifikasi protein pada bagian
atas sel endotel. Kedua, AGEs dapat migrasi ke luar sel dan memodifikasi
molekul yang ada pada matriks ekstraselular. Ketiga, AGEs dapat ke ruang
transvascular dan memodifikasi protein seperti albumin. Kemudian protein
termodifikasi tersebut mampu berikatan dengan reseptor AGEs. Hal ini
menstimuli adanya sitokin dan faktor pertumbuhan (Brownlee, 2004).
3
Proses glikasi ini dipercepat oleh adanya stress oksidatif dan juga oleh
peningkatan aldosa. Mekanisme ini akan mengakibatkan perubahan sifat dan
fungsi sel akibat adanya cross linked dengan protein yang terglikasi oleh
AGEs. Hal ini akan berdampak pada perubahan pengenalan oleh reseptor sel,
kemudian terjadi pengikatan dengan AGEs. Mekanisme inilah yang menjadi
dasar biomolekular kerusakan jaringan oleh karena Diabetes kronik
(Waspadji, 2008).
Struktur Diskus Intervertebralis dan Fisiologi
Diskus intervertebralis menyusun seperempat panjang kolumna
vertebralis. Daerah cervical dan lumbal mempunyai diskus intervertebralis
paling tebal. Setiap diskus terdiri dari annulus fibrosus (bagian tepi) dan
nucleus pulposus (bagian tengah). Anulus fibrosus terdiri atas jaringan
fibrokartilago. Jaringan tersebut mengandung serabut kolagen yang tersusun
secara konsentris. Serabut yang paling perifer melekat erat pada ligamentum
longitudinal anterius dan posterius kolumna vertebra (Snell, 2000).
Nucleus pulposus pada anak-anak dan remaja mengandung banyak air,
sedikit serabut kolagen, dan sedikit sel-sel tulang rawan. Dengan
bertambahnya umur, kandungan air dalam nucleus pulposus berkurang dan
digantikan jaringan fibrokartilago. Serabut kolagen annulus berdegenerasi
(Snell, 2000).
Kartilago persendian umumnya terdiri atas dua faktor yakni Proteoglikan
(PG) dan kolagen. Proteoglikan berfungsi kepadatan jaringan dan menahan
beban, sedangkan kolagen memperkuat ketegangan dan melawan adanya jejas.
selain itu, kartilago juga mengandung protease lisosom dan metalloproteinase.
Metaloproteinase tersebut terdiri atas stromelysin, collagenase, dan gelatinase
(Harrison et al., 2007).
Proses terbentuknya tulang pada kartilago dikenal dengan nama ossifikasi
endokondral. Hal ini menyebabkan pertumbuhan tulang secara memanjang.
Beberapa tulang dapat tumbuh di membran. Pusat ossifikasi pada vertebra
terletak pada 3 titik. Satu titik pada corpus vertebrae dan dua titik pada arkus
vertebrae. Titik pertumbuhan tersebut tapatnya berada diantara lempeng
epifise dan metafise. Daerah ini terdiri atas empat zona yakni zona istirahat,
zona proliferasi, zona hipertrofik dan zona kalsifikasi. Pada zona kalsifikasi
merupakan tempat terbentuknya osteoid yang berasal dari matriks kartilago.
Apabila osteoid ini telah terbentuk, maka zona ini akan digantikan oleh tulang
trabekular (Paul et al., 1998).
Gambaran Radiologis osteofit vertebra lumbal
Gambaran osteofit ditandai dengan adanya (Patel, 2007) :
1. Pembentukan osteofit yang berupa taji pada anterior corpus vertebra yang
berdekatan dan menyebabkan kompresi medula spinalis;
2. Penyempitan rongga diskus yang diakibatkan oleh adanya hilangnya kartilago;
3. Sklerosis dan osteofit pada sendi apofiseal intervertebra. Sebagian besar,
terbentuknya osteofit ini terjadi pada bagian ventral dan anterior dari corpus
vertebrae. Dan osteofit pada anterior corpus vertebrae seringkali terjadi pada
tulang vertebrae bagian cervical inferior dan bagian lumbale inferior (Paul et
al., 1998; Grainger et al., 2001).
4
Patogenesis Osteofit
Osteofit merupakan gambaran mendasar yang tampak secara radiologis
pada penyakit osteoarthritis. Perubahan struktural tersebut terjadi melalui
pembesaran, disorganisasi kondrosit di bagian superficial tulang rawan sendi,
dan perubahan matriks kartilagenosa. Kemudian menyebabkan fisura di
permukaan sendi hingga pada bagian subkondral tulang. Fenomena ini
mengakibatkan peningkatan tekanan di dalam tulang. Sehingga tulang
mengalami sklerosis dan membentuk tulang baru yang disebut osteofit
(Robbins et al., 2007).
Kondrosit berperan penting dalam mekanisme terbentuknya osteofit.
Sebagai respon terhadap stress mekanik dan induksi sitokin, kondrosit
mengeluarkan MMPs (Matriks MetalloProteinase) yang mendegradasi matriks
ekstrasellular. Hal ini mengakibatkan terbentuknya osteofit. Adanya osteofit
menyebabkan elastisitas kartilago berkurang (Vaccaro, 2005; Harrison et al.,
2007).
Degradasi kartilago dimulai dengan aktifasi Interleukin 1 (IL 1) yang
dihasilkan sel mononuclear. IL 1 menstimulasi MMPs yang kemudian berefek
pada degradasi kartilago. Hal ini diperparah melalui efek katabolik IL 1 yang
menginduksi terbentuknya PG. Selain itu, terbentuknya PG juga dipengaruhi
oleh Insuline-like growth factor-1 (IGF-1). Sintesis PG oleh kondrosit ini
kemudian dapat menghambat perbaikan matriks. Mekanisme biomolekular
degradasi kartilago tersebut dimulai dengan induksi mitogen activated protein
terhadap transkripsi kolagenase 3 (MMP-13). Induksi tersebut juga diperankan
oleh Nuclear factor kappa B (Nf k B). induksi ini menyebabkan terbentuknya
MMPs yang berefek pada degradasi kartilago (Harrison et al., 2007).
III. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini bersifat observational analitik dengan pendekatan cross
sectional.
2. Subyek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien di Bagian Radiologi dan Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi yang memenuhi kriteria inklusi dan
tidak memenuhi kriteria eksklusi. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah
pasien di bagian Radiologi dan Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Dr.
Moewardi, berusia 40-60 tahun, mempunyai riwayat Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM). Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah :
Pasien yang menderita trauma tulang punggung.
3. Teknik Sampling
Teknik sampel yang dipakai adalah purposive sampling. Besar sampel pada
penelitian diperoleh berdasarkan rumus (Budiarto, 2004) dengan
α = 0,1 %; Zα
= 1,64; p = 5 % dan L = 6% adalah sebesar 36 orang
4. Cara kerja
Riwayat NIDDM, dilihat melalui data rekam medik. Dan juga dilakukan
pemeriksaan GDP melalui darah kapiler :
a. Pasien telah melakukan puasa selama ± 8 jam;
5
b. Lakukan tindakan sterilisasi dengan alkohol swab pada jari tengah pasien;
c. Lakukan perlakuan perdarahan pada pasien melalui tusukan pada jari
tengah pasien dengan lanset;
d. Ambil alat pengukur Glukosa Darah Otomatis Gluco Dr yang telah
terpasang stik;
e. Alirkan pada alat pengukur gula darah otomatis;
f. Lihat hasilnya dalam waktu sepuluh detik.
Pemeriksaan foto polos Lumbo sakral AP (Holm T et al. 1992) :
a. Katakan kepada penderita untuk mengeluarkan napas;
b. Ekspose (40 mAs dan 90kV);
c. Katakan pada penderita untuk bernapas seperti biasa.
5. Identifikasi dan definisi operasional variabel penelitian
Variabel bebas
NIDDM adalah diabetes Mellitus tipe 2 yang diperoleh melalui
pemeriksaan GDP (Gula darah puasa) kapiler ≥ 100 mg/dl serta didukung
dengan tiga gejala khas DM yaitu poli uri, poli fagi, dan poli dipsi (Sudoyo,
2007). Skala data NIDDM adalah ordinal.
Variabel terikat
Osteofit adalah pembentukan tulang baru yang tampak pada
pemeriksaan foto polos tulang lumbosakral. Kriteria pembentukan osteofit
berdasarkan Weiner Grading System (Kasai et al., 2006) sebagai berikut :
a. Grade 0 : tidak ada osteofit
b. Grade 1 : ada osteofit dengan ukuran kecil
c. Grade 2 : ada osteofit dengan ukuran sedang
d. Grade 3 : ada osteofit dengan ukuran lebar
Pengamatan lebih fokus dilakukan pada Corpus Vertebra Lumbal 4 yaitu pada
L3-4 dan L4-5 (Ozturk et al, 2006).
6. Teknik Analisis Data Statistik
Analisa data statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Chi
Square χ2 untuk mengetahui hubungan antara Riwayat NIDDM dengan
Terbentuknya Osteofit.
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subjek penelitian ini adalah pasien yang melakukan pemeriksaan melalui
Foto Rontgen Polos Lumbo sakral AP pada bagian radiologi Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta. Kriteria inklusi pada penelitian ini yaitu berusia 40-60
tahun, mempunyai riwayat Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus
(NIDDM). Rentang usia yang digunakan berkisar antara umur 40-60 tahun.
Hal ini dikarenakan onset terjadinya sindrom metabolik Diabetes Mellitus tipe
2 dimulai pada umur 40 tahun ke atas (Lely, 2004). Kelompok umur ini
dibatasi hingga umur 60 tahun agar tidak terjadi positif palsu, yakni
terbentuknya osteofit bukan dikarenakan Riwayat Diabetes Mellitus Tipe 2
6
namun oleh penuaan. Umur 60 tahun merupakan onset terjadinya penuaan
pada manusia (Sudoyo, 2007).
Data terbentuknya Osteofit pada Margo Anterior Corpus Vertebra Lumbal
diperoleh melalui pembacaan Foto Rontgen Polos Lumbo sakral AP. Data
tersebut kemudian dibandingkan dengan Riwayat Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (NIDDM) penderita, sehingga diperoleh tabel 2x2.
Pembacaan foto rontgen difokuskan pada Corpus Vertebra Lumbal ke empat,
yaitu pada diskus intervertebralis VL3-4 dan VL4-5. Hal ini dikarenakan
prevalensi terbesar terbentuknya osteofit terjadi pada Vertebra Lumbal ke
empat (Ozturk et al, 2006).
Data Glukosa Darah diperoleh melalui pengukuran langsung. Jenis
pemeriksaan Glukosa Darah yang dilakukan adalah Gula Darah Puasa (GDP),
dengan rerata pasien telah mengalami puasa ± 8 jam (Soegondo S et. al.
2006). Hal ini dikarenakan pasien yang dilakukan pemeriksaan foto polos
BNO harus melakukan puasa minimal ± 8 jam. Kadar gula darah puasa
memberikan kesan paling baik tentang homeostasis secara menyeluruh
(Widmann, 1995).
Data yang diperoleh sejumlah 36 orang dengan perincian sebagai berikut
jumlah penderita NIDDM sebanyak 18 orang dan Non NIDDM sebanyak
18orang, sedangkan kelompok terbentuk osteofit sebanyak 21 orang dan tidak
terbentuk osteofit sebanyak 15 orang.
Tabel 1. Terbentuknya osteofit berdasar kelompok NIDDM
TABEL
OSTEOFIT
JUMLAH
2X2
+
12 (7,5)
6 (10,5)
18
NIDDM
+
Jumlah
3 (7,5)
15
15 (10,5)
18
21
36
Nilai expected count pada cross tabulation hasil uji Chi Square
memperlihatkan bahwa tidak terdapat cell yang memiliki expected count < 5,
dengan demikian tabel 1 memiliki kelayakan uji Chi Square. Hasil uji Chi
Square menunjukkan tingkat signifikansi sebesar 0,002 dimana signifikasi α
<0,05, sehingga Ho ditolak, yang artinya terbentuknya osteofit tergantung
pada Riwayat Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dimana Ho
adalah terbentuknya osteofit tidak tergantung pada Riwayat Non Insulin
Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Data terbentuknya osteofit pada Margo Anterior Corpus Vertebra
Lumbal diklasifikasikan berdasarkan Weiner Grading System yang terdiri dari
empat kelompok yaitu Kelompok I (grade 0: tidak ada osteofit) sebanyak 15
orang, Kelompok II (grade 1: ada osteofit dengan ukuran kecil) sebanyak 9
orang, Kelompok III (grade 2: ada osteofit dengan ukuran sedang) sebanyak 9
orang, Kelompok IV (grade 3: ada osteofit dengan ukuran besar) sebanyak 3
orang.
7
Gambar 1. Jumlah masing-masing Kelompok Osteofit berdasarkan
Klasifikasi Weiner Grading System.
Data Riwayat Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
dilakukan secara pengukuran langsung Gula Darah Puasa (GDP) melalui
darah kapiler. Berdasarkan Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Mellitus Tipe 2 di Indonesia Tahun 2006, mengklasifikasikan Gula Darah
Puasa menjadi tiga kelompok, yaitu Kelompok I (GDP vena < 100, GDS <
90), Kelompok II (GDP vena 100-125, GDS kapiler 90-199 ), Kelompok III
(GDP vena ≥ 126, GDS kapiler ≥ 200). Hasil Penelitian menunjukkan bahwa
Kelompok I sebanyak 11 orang, Kelompok II sebanyak 11 orang dan
Kelompok III sebanyak 7 orang.
Data kelompok terbentuknya osteofit berdasarkan kadar glukosa darah
puasa (GDP) menunjukkan peningkatan yang signifikan. Hal ini terlihat pada
gambar 2 yang memperlihatkan bahwa Kelompok I terbentuk osteofit
sebanyak 1 orang, Kelompok II terbentuk osteofit sebanyak 4 orang, dan
Kelompok III terbentuk osteofit sebanyak 15 orang.
Gambar 2. Jumlah terbentuknya osteofit berdasarkan Kelompok Kadar
Gula Darah
8
Penelitian ini lebih terfokus pada pengamatan Margo Anterior Corpus
Vertebra Lumbal ke empat. Osteofit pada tulang vertebra seringkali terbentuk
pada segmen lumbal (Grainger et al., 2001; Smith et al., 2002) khususnya
Lumbal ke empat (Ozturk et al, 2006) dan terbentuknya osteofit tersebut
seringkali terjadi pada margo anterior dan lateral (Paul et al., 1998).
Penelitian hubungan antara Riwayat Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) dengan terbentuknya osteofit pada Margo Anterior Corpus
Vertebra Lumbal terbukti signifikan. Hasil uji kebebasan Chi Square
menunjukkan signifikansi sebesar 0,002 dimana signifikansi α <0,05. Hal ini
berarti terbentuknya osteofit pada Margo Anterior Corpus Vertebra Lumbal
tergantung pada Riwayat Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM).
Klasifikasi Weiner Grading System merupakan klasifikasi osteoarthritis
pada vertebra lumbal berdasarkan jarak diskus intervertebralis, proses
eburnasi, terbentuknya gas dan osteofit (Horikawa H et al. 2006). Penelitian
ini hanya mengambil klasifikasi Weiner Grading System pada terbentuknya
osteofit.
I
II
III
IV
Gambar 3. Kelompok Osteofit berdasarkan Klasifikasi Weiner Grading System: (I)
Grade 0: tidak ada osteofit; (II) Grade 1: ada osteofit ukuran kecil; (III) Grade 2: ada
osteofit ukuran sedang dan (IV) Grade 3: ada osteofit ukuran besar.
Hubungan antara terbentuknya osteofit pada Margo Anterior Corpus
Vertebra Lumbal dengan NIDDM terlihat jelas melalui gambar 2 Pada gambar
tersebut, terlihat peningkatan jumlah terbentuknya osteofit yang sesuai dengan
kelompok GDP. Peningkatan ini terlihat maksimum pada Kelompok III (GDP
vena ≥ 126, GDS kapiler ≥ 200, terdiagnosa NIDDM). Hal ini dikarenakan
adanya mekanisme bio molekuler terbentuknya osteofit akibat kadar glukosa
darah yang meninggi.
Molekul AGEs (Advanced Glycation End products) merupakan inisiator
terjadinya berbagai manifestasi komplikasi penyakit Non Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (Brownlee, 2004), salah satunya adalah manifestasi
muskuloskeletal (Smith L et. al, 2002). Molekul ini mampu menginduksi
mitogen activated protein (MAP) dan NfkB (Nuclear factor kappa B),
sehingga mengekspresikan Matriks Metalloproteinase 13 (MMP 13) yang
9
berperan dalam degradasi kartilago (Pottie P et. al, 2006). Manifestasi klinis
adanya degradasi kartilago dapat dilihat melalui terbentuknya osteofit dengan
foto rontgen.
Penelitian ini hanya melihat manifestasi NIDDM terhadap spondylosis
melalui pengamatan klinis secara radiologis. Pengamatan ini dilihat melalui
parameter terbentuknya osteofit pada margo anterior corpus vertebra lumbal.
Penelitian lain tentang osteoarthritis sudah banyak dilakukan. Penelitian
tingkat bio molekuler telah mampu menjelaskan peran MMP 13 sebagai
indikator terjadinya degradasi kartilago (Saad L Et al 2006). Nah et. al telah
meneliti tentang pengaruh Advance Glycation End products (AGEs) terhadap
terbentuknya osteofit melalui peningkatan respon inflamasi berupa
peningkatan Prostaglandin E2 (PGE2) melalui jalur Mitogen Activated Protein
(MAP) dan peningkatan level Nitrit Oxide (NO) melalui jalur Nuclear Factor
kappa Beta (NFkB). Berdasarkan hal tersebut, penelitian hubungan antara
manifestasi NIDDM terhadap osteoarthritis perlu dilakukan penelitian secara
mendalam tingkat bio molekular, klinis dan komunitas.
V.
1.
2.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Ada Hubungan antara antara Riwayat Non Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (NIDDM) dengan Terbentuknya Osteofit pada Margo Anterior
Corpus Vertebra Lumbal.
Saran
Perlu dilakukan penelitian sama dengan rancangan penelitian cohort
retropektif dan prospektif
Perlu dilakukan penelitian multi variat yang menelusuri faktor utama
penyebab terbentuknya osteofit
VI. DAFTAR PUSTAKA
Arikunto S. 2002. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka
Cipta, p: 117.
Brownlee M 2004. Banting Lecture 2004 : The Pathobiology of Diabetic
Complications, A Unifying Mechanism. American Diabetes Association.
56:1616.
Budiarto E. 2004. Metodologi Penelitian Kedokteran. Jakarta: EGC.
Dorlan. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorlan. Jakarta: EGC.
Grainger et al. 2001. Diagnostic Radiology: A text Book of Medical Imaging. Edk 4.
London: Churcill Livingstone, p: 1322
Guyton et al. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. edk. 9. Jakarta : EGC, p: 1235.
Harrison T. R et al. 2007. Harrison’s Principal of Internal Medicine. Edk 16. New
York: Mc Graw Hill, p: 2038, 2155.
Holm T et al. 1992. Atlas Teknik Radiografi. trans. Sulistijaningsih dkk. Jakarta:
EGC.
10
Horikawa H et al. 2006. Prevalence of Osteoarthriti, Osteoporotic, Vertebral Fracture,
and Spondylolisthesis among the elderly in a Japanese Village. Journal of
Orthopaedic Surgery 2006;14(1):9-12
Isbagio H 1995. Masalah Nyeri Kejang Otot pada Penderita Penyakit Reumatik.
Cermin Dunia Kedokteran. 104: 24-31.
Kasai Y et al. 2009. Direction of formation of anterior lumbal vertebrae osteofit.
BMC Musculosceletal Dissorder. 10:4.
Lawrence G. 2005. Sindrom Metabolik merupakan Manifestasi dari Keadaan
Inflamasi. J Med Nus Vol. 46. No. 1 Januari-Maret 2005. pp: 48-57
Nah et. al. 2008. Effects of advanced glycation end prosucts on the expression of
COX-2, PGE2 dan NO in human osteoarthritic chondrocytes. Rheumatology
journal Vol. 47. pp: 425-431
Ozturk et al. 2006. Radiographic Changes in The Lumbar Spine in Former
Professional Football Players : A Comparative and Matched Controlled Study.
Europe Spine Journal (2008) 17:136–141
Patel P. 2007. Lecture Notes : Radiology. trans. Vidhia. Jakarta: Erlangga, p: 209.
Paul et al. 1998. Essential of Radiologic Imaging. Edk 7. Lippincott Williams &
Wilkins Publisher, p: 8, 10.
Pottie P et al. 2006. Obesity and Osteoarthriti: more complex than predicted. Annals
of the Rheumatic Disease.65: 1403-1405.
Robbins et al. 2007. Buku Ajar Patologi. trans. Brahm. Jakarta: EGC, p: 863.
Saad L Et al 2006. Hubungan antara kadar matriks metalloproteinase 3 (MMP-3)
cairan sinovia dengan gradasi radiografik pada osteoarthritis lutut..
Yogyakarta, Universitas Gajah Mada. Tesis.
Smith L et al. 2002. Musculosceletal manisfestation of Diabetes Mellitus. British
Medical journal . 37: 30-35.
Snell R. 2000. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edk. 6. Trans. Sugiharto
L. Jakarta: EGC, p: 888.
Soegondo S et. al. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
Tipe 2 di Indonesia 2006. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. pp: 7-9
Sudoyo A. dkk 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. jilid. 1-3. edk. 4. Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), p: 1858.
Uyanto S. 2006. Pedoman Analisa Data dengan SPSS. edk. 3. Yogyakarta: Graha
Ilmu, p: 164.
Vaccaro A. 2005. Orthopaedic Knowledge Update. American Academy of
Orthopaedic Surgeon, p: 224.
Waspadji S. 2008. Komplikasi Kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis
dan Strategi Pengelolaan. dalam : Sudoyo et.al. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III Ed. IV. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (PAPDI).
Widmann. 1995. Clinical Interpretation of Laboratory Tests. EGC. Jakarta. pp:128
Download