PENAPISAN AWAL SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK KERANG HIJAU (Perna viridis) Oleh: Feri Pebrian C34104015 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi Penapisan Awal Senyawa Antibakteri dari Ekstrak Kerang Hijau (Perna viridis) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2010 Feri Pebrian NRP C34104015 RINGKASAN FERI PEBRIAN. C34104015. Penapisan Awal Senyawa Antibakteri dari Ekstrak Kerang Hijau (Perna viridis). Dibawah bimbingan : ELLA SALAMAH dan AGOES M. JACOEB Kerang hijau memiliki suatu komponen bioaktif yang berperan sangat penting. Komponen bioaktif ini merupakan salah satu hasil dari metabolit sekunder. Diduga salah satu aktifitas biologis dari komponen bioaktif yang dihasilkan oleh kerang hijau ini adalah sebagai senyawa antibakteri. Senyawa antibakteri adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengekstrak komponen aktif dari kerang hijau (Perna viridis) melalui metode ekstraksi bertingkat dengan pelarut non polar, semi polar dan polar. Mengetahui aktivitas antibakteri dari kerang hijau yang diuji dengan menggunakan dua bakteri uji yaitu bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli, serta mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak kerang hijau dengan menggunakan analisis fitokimia. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap yaitu penelitian tahap satu yang meliputi analisis proksimat, ekstraksi senyawa bioaktif, uji pendahuluan aktivitas antibakteri pada konsentrasi ekstrak kerang hijau 5 % dan uji aktifitas antibakteri serta penelitian tahap kedua yang meliputi uji kandungan fitokimia. Pada proses ekstraksi senyawa bioaktif metode yang digunakan adalah metode ekstraksi bertingkat (Quinn 1988 dalam Jamaluddin 2005) dengan menggunakan 3 macam pelarut yang berbeda yaitu heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Kerang hijau memiliki kadar air sebesar 78,86 %, kadar abu sebesar 3,60 %, kadar protein sebesar 11,84 % kadar lemak sebesar 0,70 % serta kadar karbohidrat sebesar 4,70 %. Rendemen ekstrak kerang hijau dengan pelarut heksana adalah 0,001 %, ekstrak dengan pelarut etil asetat sebesar 0,037 % dan ekstrak dengan pelarut metanol sebesar 0,208 %. Pada uji pendahuluan aktivitas antibakteri dengan konsentrasi ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat sebesar 5 % menunjukkan hasil bahwa ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat mampu menghambat pertumbuhan E. coli dengan diameter zona hambat sebesar 1 mm dan menghambat pertumbuhan S. aureus dengan diameter zona hambat sebesar 3 mm, sedangkan ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol tidak menunjukkan penghambatan pada kedua bakteri uji. Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak dengan konsentrasi 3,5 %, 5 %, 6,5 %, dan 8 %. Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak kerang hijau pada pelarut etil asetat menunjukan nilai yang positif pada konsentrasi 5 %, 6,5 %, dan 8 % pada kedua bakteri uji yaitu S.aureus dan E.coli, Sedangkan pada uji aktivitas antibakteri pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol tidak menunjukan hasil yang positif. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa senyawa antibakteri yang terdapat pada kerang hijau diduga bersifat semi polar karena larut dalam pelarut etil asetat. Analisis fitokimia terhadap ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat menunjukkan hasil positif terhadap senyawa alkaloid dan steroid, tetapi menunjukkan hasil negatif terhadap senyawa flavonoid. PENAPISAN AWAL SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK KERANG HIJAU (Perna viridis) Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh: Feri Pebrian C34104015 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 Judul Skripsi : PENAPISAN AWAL SENYAWA ANTIBAKTERI DARI EKSTRAK KERANG HIJAU (Perna viridis) Nama : Feri Pebrian NRP : C34104015 Menyetujui, Pembimbing I Pembimbing II Dra. Ella Salamah, M.Si NIP. 19530629 198803 2 001 Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb Dipl.-Biol NIP. 19591127 198601 1 005 Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002 Tanggal lulus : KATA PENGANTAR Puja dan puji penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT atas segenap limpahan karunia dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah SAW. Penyusunan skripsi yang berjudul “Penapisan Awal Senyawa Antibakteri dari Ekstrak Kerang Hijau (Perna viridis)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu baik moral maupun material dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya kepada: 1. Ibu Dra. Ella Salamah, MSi dan bapak Dr.Ir. Agoes M. Jacoeb Dipl.-Biol selaku komisi pembimbing atas segala saran, kritik, arahan dan motivasi. 2. Ir. Anna C. Erungan, M.S dan Dr.Ir. Sri purwaningsih, M.S selaku dosen penguji yang telah memberikan banyak saran dan nasehat untuk perbaikan skripsi ini. 3. Seluruh staf dan dosen pengajar Departemen Teknologi Hasil Perairan atas segala arahan dan bimbingan. 4. Bu Ema, Mbak Ica, Mas Zacky dan Mas Ipul atas bantuan dan bimbingannya selama ini. 5. Kedua orang tua, Bapak Ahmad Semba dan Ibu Marsih atas segala perhatiannya, kasih sayang, pengorbanan, doa dan jerih payah yang tidak terbalas. 6. Adikku, Nurmala atas do’a dan perhatiannya. 7. Gank Lab “ Erlangga, An’im, Anang, Nuzul, Fuad 42, Tomi’40” 8. Teman-teman, Erlangga (laler), Andi patria (Bojong), Dhias (black), Tyas (sait), Opick, tomy 41, tummy 40, Fahmi N, An’im, Anang, ubit, marglory, Ferry H D, Rudi Agung (Bobi), Ika, Eka, serta kepada seluruh teman-teman THP 41, atas ikatan pertemanan serta persahabatan yang sudah terjalin. 9. Seluruh civitas THP (40, 41, 42, 43, 44, dan 45) dan semua penghuni perikanan terima kasih atas persahabatannya. Kesempurnaan skripsi ini tidak terlepas dari segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya. Bogor, Januari 2010 Feri Pebrian RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 17 Februari 1986. Penulis adalah anak pertama dari 2 bersaudara dari bapak Ahmad Semba dan ibu Marsih. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri (SDN) Jati Jaya kecamatan Parung kabupaten Bogor pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 5 Sumbawa, NTB, lulus pada tahun 2001, serta melanjutkan pendidikan formal di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Sumbawa dan lulus pada tahun 2004. Penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2004 dan diterima sebagai mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Selama menjalani pendidikan akademik penulis pernah mengikuti beberapa kegiatan, diantaranya panitia acara Gemar Makan Ikan (GMI) dan panitia orientasi mahasiswa baru Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan di bidang kesehatan. Dalam bidang akademik penulis juga merupakan asisten pada matakuliah Teknologi Penanganan Hasil Perairan. Penulis melakukan penelitian dengan judul Penapisan Awal Senyawa Antibakteri dari Ekstrak Kerang Hijau (Perna viridis), untuk menyelesaikan studi di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii 1. PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Tujuan ............................................................................................... 2 2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3 2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kerang Hijau (Perna viridis) .................... 3 2.2 Senyawa Antibakteri ........................................................................ 4 2.3 Ekstraksi Senyawa Bioaktif ............................................................... 6 2.4 Bakteri Uji ........................................................................................ 8 2.4.1 Escherichia coli ....................................................................... 9 2.4.2 Staphylococcus aureus............................................................. 11 2.5 Analisis Fitokimia ............................................................................. 2.5.1 Alkaloid ................................................................................. 2.5.2 Steroid/ Triterpenoid .............................................................. 2.5.3 Flavonoid ................................................................................ 13 13 14 15 2.6 Kloramfenikol ................................................................................... 16 3. METODOLOGI ........................................................................................ 18 3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 18 3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 18 3.3 Metode Kerja ..................................................................................... 3.3.1 Penelitian tahap satu ................................................................... 3.3.1.1 Analisis proksimat ......................................................... 3.3.1.2 Ekstraksi senyawa bioaktif (modifikasi Quinn 1988 dalam jamaluddin 2005)................................................ 3.3.1.3 Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak kasar kerang hijau (Perna viridis) (modifikasi Noer & Nurhayati 2006)..... 3.3.2 Penelitian tahap dua ................................................................... 3.3.2.1 Analisis fitokimia ........................................................... 18 19 19 21 23 27 27 4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 28 4.1 Komponen Kimia Kerang Hijau ......................................................... 28 4.2 Komponen Bioaktif ............................................................................. 29 4.3 Aktivitas Antibakteri ........................................................................... 33 4.3.1 Aktivitas antibakteri pada uji pendahuluan ................................ 33 4.3.2 Aktivitas antibakteri dengan berbagai konsentrasi ekstrak ......... 34 4.4 Hasil uji Fitokimia............................................................................... 37 5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 40 5.1 Kesimpulan ......................................................................................... 40 5.2 Saran .................................................................................................... 40 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 41 LAMPIRAN ................................................................................................... 45 DAFTAR TABEL Halaman 1 Sifat fisik beberapa pelarut organik ............................................................. 7 2 Perbandingan analisis proksimat kerang hijau dengan kerang pada umumnya ............................................................................................ 28 3 Berat ekstrak kasar kerang hijau (Perna viridis)........................................... 30 4 Aktivitas antibakteri ekstrak hijau pada konsentrasi 5% ............................... 33 5 Aktivitas antibakteri ekstrak kerang hijau pada berbagai konsentrasi dengan bakteri uji E.coli ......................................................................................... 35 6 Aktivitas antibakteri ekstrak kerang hijau pada berbagai konsentrasi dengan bakteri uji S.aureus ...................................................................................... 35 7 Hasil identifikasi kandungan fitokimia kerang hijau pada pelarut ekstrak etil asetat ..................................................................................................... 38 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerang hijau (Perna viridis)...................................................................... 3 2 Penampang sel bakteri Escherichia coli .................................................... 10 3 Bakteri Staphylococcus aureus .................................................................. 12 4 Strukur beberapa alkaloid .......................................................................... 14 5 Struktur steroid ......................................................................................... 15 6 Struktur umum flavonoid .......................................................................... 15 7 Struktur kloramfenikol .............................................................................. 16 8 Tahapan proses ekstraksi (modifikasi Quinn 1988 diacu dalam Jamaluddin 2005) ..................................................................................... 22 9 Tahapan uji penapisan awal antibakteri (modifikasi Noer & Nurhayati 2006) ........................................................................... 25 10 Tahapan uji aktivitas antibakteri pada berbagai konsentrasi ekstrak (modifikasi Darusman et al 1994) ............................................................. 26 12 Ekstrak kerang hijau.................................................................................. 31 13 Histogram rendemen masing-masing ekstrak kerang hijau ........................ 32 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Rendemen daging kerang hijau ................................................................. 46 2 Ekstraksi kerang hijau (Perna viridis) ....................................................... 47 3 Perhitungan rendemen ekstrak kerang hijau (Perna viridis) ....................... 48 4 Gambar zona hambat pada uji aktifitas antibakteri ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat .................................................................. 49 5 Gambar zona hambat pada uji aktifitas antibakteri ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol .................................................................... 49 6 Gambar hasil uji fitokimia ......................................................................... 50 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sekitar 17.508 pulau, panjang garis pantai kurang lebih 81.000 km memiliki luas wilayah laut 5,8 juta km2 dengan dugaan potensi perikanan sebesar 6,1 juta ton per tahun. Tingkat pemanfaatan potensi ini diduga telah mencapai sekitar 60 % (DKP 2006). Indonesia memiliki potensi di bidang perikanan yang sangat besar. Salah satu komiditi yang menjadi primadona saat ini adalah kerang yang merupakan golongan dari filum mollusca. Kerang memiliki jenis yang bermacam-macam, salah satunya yang sangat terkenal yaitu kerang hijau (Perna viridis). Perna viridis memiliki panjang antara 80 mm sampai dengan 165 mm. Memiliki Periostrakum yang lembut dan berwarna hijau gelap kemudian terus menjadi coklat hingga ke ujung (umbo). Kerang hijau yang masih muda berwarna hijau terang dan menjadi lebih gelap setelah dewasa. Bagian dalam kerang itu mempunyai warna yang biru cemerlang. Kerang tersebut menghasilkan bysus untuk membantunya menempel pada substrat. Komoditas ini sangat diminati di pasar ekspor. Kerang hijau memiliki nilai gizi yang cukup tinggi bila dibandingkan makanan lainnya. Budidaya kerang hijau dapat dilakukan dengan menggunakan 4 macam metoda yaitu: metoda tancap (post method), rakit apung (raft method), rakit tancap/rak (rack method) dan tali rentang (long line method) (Anonim 2008a). Kerang hijau biasanya dimanfaatkan sebagai bahan konsumsi. Tidak hanya itu, budidaya kerang hijau ini juga mempunyai hasil ikutan yang lain, misalnya cangkang yang memiliki warna cukup indah itu dapat digunakan sebagai bahan hiasan dan kerajinan rumah tangga. Daging kerang hijau dapat pula diolah menjadi grit sebagai bahan pakan ternak unggas. Banyaknya permintaan ekspor kerang hijau disebabkan oleh nilai gizi dari kerang hijau yang tinggi. Dagingnya mengandung beberapa mineral seperti kalsium, fosfor, besi, yodium, thiamin, riboflavin, niasin, asam panthothenat, pyridoxine, biotin, B-12 dan asam folic (Anonim 2008 a). Kerang hijau memiliki rendemen daging sekitar 30 %. Meskipun daging kerang hijau hanya sekitar 30 % dari bobot keseluruhan (daging dan cangkang), tetapi dalam 100 gr daging kerang hijau mengandung 100 kalori yang tentunya sangat bermanfaat untuk ketahanan tubuh manusia. Pada daging kerang hijau terdapat zat yang dapat membantu meningkatkan kerja organ hati dalam tubuh manusia. Ekstrak daging kerang hijau bermanfaat sebagai anti rematik dan arhtritis (penyakit radang sendi). Daging kerang hijau dapat juga digunakan sebagai alternatif pengganti tepung ikan (Anonim 2008a). Berdasarkan penelitian Annamalai et al. (2007) menunjukan hasil bahwa pada ekstrak daging kerang hijau terdapat senyawa bioaktif yang berperan sebagai senyawa antibakteri. Antibakteri adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antimikroba sebagai substansi dapat berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami (Brock dan Madigan 2003). Senyawa antibakteri merupakan salah satu senyawa antimikroba yang didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Pelczar dan Chan 1988) 1.2. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengekstrak komponen aktif dari kerang hijau (Perna viridis) melalui metode ekstraksi bertingkat dengan pelarut non polar, semi polar dan polar. 2) Menguji aktivitas antibakteri dari kerang hijau dengan menggunakan dua bakteri uji yaitu bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. 3) Mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat pada ekstrak kerang hijau dengan menggunakan analisis fitokimia. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Deskripsi Kerang Hijau Kerang hijau (Perna viridis) merupakan salah satu jenis sumber daya laut yang memiliki nilai ekonomis penting. Kerang ini tergolong dalam filum Mollusca. Berikut ini adalah klasifikasi kerang hijau (Perna viridis) berdasarkan NIMPIS (2002): Kingdom : Animalia Filum : Mollusca Kelas : Bivalvia Sub kelas : Pteriomorphia Ordo : Mytiloida Famili : Mytilidae Genus : Perna Spesies : Perna viridis Perna viridis memiliki panjang antara 80 mm sampai 165 mm. Memiliki periostrakum yang lembut dan berwarna hijau gelap kemudian terus menjadi coklat ke arah ujung (umbo). Kerang hijau yang masih muda berwarna hijau terang dan menjadi lebih gelap setelah dewasa. Bagian dalam kerang ini mempunyai warna yang biru cemerlang. Kerang tersebut menghasilkan bysus untuk membantunya menempel pada substrat. Gambar 1. Kerang hijau (Perna viridis) Sumber: Anonim (1997) Kerang hijau yang masih hidup, memiliki cangkang yang berada dalam keaadan tertutup rapat, atau akan tertutup rapat bila terkena sentuhan, sedangkan pada kerang yang telah mati dan sedang mengalami proses kemunduran mutu, cangkang kerang hijau akan sedikit terbuka atau menganga, dan bau yang segar akan berganti menjadi bau busuk (Asikin 1982). Daging Kerang hijau sangat lunak dan berair. Daging yang segar umumnya berwarna putih mengkilap. Kerang hijau memiliki suatu alat, seperti serabut, yang digunakan untuk melekatkan dirinya pada benda-benda keras yang disebut byssus (Asikin 1982). Kerang hijau memiliki alat kelamin yang terpisah dan melakukan pembuahan eksternal. Perkembangan alat kelamin dari kerang hijau itu dipengaruhi oleh temperatur. Larva kerang hijau tinggal di dalam kolom air selama 10-12 hari sebelum mengalami perubahan bentuk. Juvenil berubah menjadi dewasa ketika mencapai ukuran 15-30 mm, dalam jangka waktu 2-3 bulan (NIMPIS 2002). Menurut Lee (1985) pertumbuhan kerang hijau dibutuhkan suhu sekitar 30 0C, pH sekitar 7,60-8,20, salinitas berkisar antara 29-36 ppm, kedalaman sekitar 5,0-5,6 m, serta kecerahan berkisar antara 260-400 cm. Pertumbuhan dipengaruhi oleh ketersediaan makanan, temperatur, pergerakan air,dan usia kerang. Pembuatan jaring dapat mencegah masuknya pemangsa-pemangsa. Kerang dewasa itu dapat hidup diatas 2-3 tahun. Kerang hijau itu bersifat filter feeder yang memakan fitoplankton, zooplankton dan materi suspensi organik (NIMPIS 2002). 2.2. Senyawa Antibakteri Antibakteri adalah senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Antimikroba sebagai substansi dapat berupa senyawa kimia sintetik atau produk alami (Brock dan Madigan 2003). Senyawa antibakteri merupakan salah satu senyawa antimikroba yang didefinisikan sebagai senyawa biologis atau kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dan aktivitas bakteri (Pelczar dan Chan 1986). Berdasarkan aktivitasnya, senyawa antibakteri dapat dibedakan atas senyawa yang bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) seperti penisilin, basitrasin, neomisin dan senyawa yang bersifat bakteristatik (menghambat pertumuhan bakteri) seperti tetrasiklin, kloramfenikol (Pelczar dan Chan 1988). Mekanisme senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan mikroba dibagi menjadi beberapa cara, yaitu (1) mengubah permeabilitas membran sehingga dengan rusaknya membran akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan sel atau matinya sel, (2) menyebabkan terjadinya denaturasi protein, (3) menghambat kerja enzim di dalam sel sehingga mengakibatkan terganggunya metabolisme/matinya sel (Davidson dan Branen 1993 dan Madigan et al. 2004), (4) merusak dinding sel mikroorganisme sehingga menyebabkan terjadinya lisis (Madigan et al. 2004). Senyawa antibakteri dalam menghambat pertumbuhan bakteri dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain (1) konsentrasi zat antibakteri, (2) waktu penyimpanan, (3) suhu lingkungan, (4) sifat-sifat mikroba yang meliputi jenis, umur, konsentrasi, dan keadaan mikroba (Frazier dan Westhoff 1978). Berikut ini adalah Ciri-ciri antibakteri yang baik diantaranya adalah (Pelczar dan Chan 2005): 1) mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri; 2) substansi itu harus dapat larut dalam air atau pelarut-pelarut lain sampai taraf yang dipelukan; 3) perubahan yang terjadi pada substansi itu bila dibiarkan beberapa lama harus seminimal mungkin dan tidak boleh mengakibatkan hilangnya sifat antimikrobialnya dengan nyata; 4) tidak bersifat racun bagi manusia atau hewan lain; 5) komposisinya harus seragam sehingga bahan aktifnya selalu terdapat pada setiap aplikasi; 6) tidak bergabung dengan bahan organik, banyak disinfektan bergabung dengan protein atau bahan organik lain apabila disinfektan semacam itu digunakan di dalam keadaan yang banyak mengandung bahan organik, maka sebagian besar dari disinfektan tersebut akan menjadi aktif; 7) aktifitas antimikrobial pada suhu kamar atau pada suhu tubuh; 8) kemampuan untuk menembus; 9) tersedia dan biayanya murah; Antimikroba sebagai substansi dapat berupa senyawa sintetik atau produk alami. Antimikroba sintetik diperoleh dengan membuat suatu senyawa yang sifatnya mirip dengan aslinya yang dibuat secara besar-besaran, seperti penisilin, cephalosporin, glikopeptida, tetrasiklin, kloramfenikol, aminoglokosida, sulfonamida. Pemakaian antimikroba sintetik diketahui cukup berbahaya karena dapat meningkatkan resistensi bakteri terhadap zat antibakteri tersebut. Penyebab terjadinya resistensi mikroba, antara lain: (1) tidak adanya struktur bakteri yang menjadi sasaran antibiotik, (2) bakteri tersebut mungkin bersifat impermeabel terhadap antibiotik, dan (3) bakteri tersebut mampu mengubah antibiotik menjadi bentuk inaktif (Brock dan Madigan 2003). Antimikroba alami umumnya berasal dari tanaman, hewan, maupun organisme dengan melakukan proses pengekstrakan misalnya pada kerang. Zat yang digunakan sebagai antibakteri harus mempunyai beberapa kriteria antara lain tidak bersifat racun, ekonomis, tidak merubah flavor, citarasa, dan aroma makanan jika digunakan dalam bahan pangan, tidak mengalami penurunan aktivitas selama proses penyimpanan, tidak menyebabkan galur resisten dan sebaiknya membunuh dibandingkan menghambat pertumbuhan mikroba (Frazier dan Westhoff 1978). 2.3. Ekstraksi Senyawa Bioaktif Ekstraksi adalah proses penarikan kandungan kimia yang dapat larut dalam pelarut cair sehingga terpisah dari bahan yang tidak larut. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap proses ekstraksi antara lain: lama ekstraksi, suhu, dan jenis pelarut yang digunakan. Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam suatu bahan akan mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Departemen Kesehatan 2000 dalam Adolf 2006). Berdasarkan jenis pelarutnya ekstraksi dengan menggunakan pelarut dibedakan menjadi 2 yaitu: aqueous phase dan organic phase. Cara aqueous phase dilakukan dengan menggunakan air, sedangkan organic phase dilakukan dengan menggunakan pelarut organik. Prinsip metode ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada waktu tertentu, kemudian diikuti dengan pemisahan bahan yang akan di ekstrak. Metode pemisahan dengan refluks pelarut organik ini pada dasarnya adalah ekstraksi pada suhu cukup tinggi (60–70 dengan pengadukan yang dilakukan o C) dan dilengkapi dengan kondensor (Adawiyah 1998). Secara umum ekstraksi bertingkat dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut non polar, semi polar dan polar. Dengan demikian akan diperoleh ekstrak awal (crude ekstrak) yang mengandung berturut-turut senyawa non polar, semi polar dan polar (Hostettmann et al. 1997). Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan dalam setiap pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen tertentu maka ekstraksi dilakukan menggunakan suatu pelarut secara selektif yang dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan terlarut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Adawiyah 1998). Sifat fisik beberapa pelarut organik dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sifat fisik beberapa pelarut organik Pelarut Heksana Kloroform Etil asetat Metanol Air Konstanta Dielektrik Indeks Polaritas 2,0 4,8 6,0 33 80 0,0 3,4 4,3 6,6 9,0 sumber : Anonim (2006); Godfrey dan Norman (1972) dalam Kustanti 2008 Sifat penting yang harus diperhatikan dalam ekstraksi adalah kepolaran senyawa dilihat dari gugus polarnya. Senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar lebih mudah larut dalam pelarut non polar. Derajat polaritas tergantung pada tetapan dielektrik, makin besar tetapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut (Sudarmadji et al. 2007). Proses ekstraksi terdiri dari beberapa tahap yaitu penghancuran bahan, penimbangan, perendaman dengan pelarut, penyaringan dan tahap pemisahan. Penghancuran bahan ini bertujuan agar dapat mempermudah pengadukan dan kontak bahan dengan pelarutnya pada saat proses perendaman. Pada proses perendaman pelarut yang digunakan adalah pelarut non polar, semi polar dan polar. Proses perendaman tersebut dinamakan maserasi. Prinsip pelarutan yang dipakai pada metode ini adalah like dissolve like yang artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar sedangkan pelarut non polar akan melarutkan senyawa nonpolar (Khopkar 1990). 2.4. Bakteri Uji Bakteri adalah sel prokariot yang khas, bersifat uniseluler dan tidak mengandung struktur yang terbatasi membran di dalam sitoplasmanya. Umumnya bakteri memiliki diameter antara 0,5–2,5 mikron (Pelczar dan Chan 2005). Sel prokariot tidak mempunyai nukleus sejati, komponen genetiknya yaitu DNA (deoxyribonukleic acid) disimpan di dalam suatu organ nukleus, yaitu kromosom, dan pada sel prokariot berbentuk seperti benang yang tidak dikelilingi oleh membran, DNA tersebut sangat panjang dibandingkan ukuran selnya (Fardiaz 1992). Berdasarkan perbedaan komposisi dan dinding selnya, bakteri dibedakan menjadi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Bakteri Gram positif mempunyai struktur dinding sel tebal (15-80 nm) dan berlapis tunggal, dengan komposisi dinding sel terdiri dari lipid, peptidoglikan dan asam teikoat. Bakteri Gram positif rentan terhadap penisilin, namun lebih resisten terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan 2005). Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal yang relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Sedangkan bakteri Gram negatif lebih resisten terhadap senyawa anti bakteri karena struktur dinding sel bakteri Gram negatif terdiri dari tiga lapis dan lebih kompleks, yaitu terdiri dari lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Pelczar dan Chan 2005). Pada bakteri Gram negatif, struktur dinding selnya berlapis tiga dengan ketebalan yang tipis (10 – 15 nm). Komposisi dinding sel terdiri dari lipid dan peptidoglikan yang berada di dalam lapisan kaku sebelah dalam dengan jumlah sekitar 10 % dari berat kering. Kandungan lipid pada bakteri Gram negatif cukup tinggi yaitu 11-22 %. Bakeri Gram negatif ini umumnya kurang rentan terhadap penisilin dan kurang rentan terhadap gangguan fisik (Pelczar dan Chan 2005). Beberapa mikroorganisme menghasilkan zat beracun yang dikenal sebagai toksin. Toksin yang dihasilkan mikroorganisme mungkin disekresikan ke medium disekitanya (eksotoksin) atau disimpan di dalam selnya (endotoksin) sebagai bagian dari sel tersebut. Banyak mikroorganisme terutama bakteri Gram negatif, tidak mengekskresikan toksin terlarut dari sel utuh lagi hidup, tetapi menghasilkan endotoksin yang dilepaskan hanya bila selnya hancur. Dibandingkan dengan eksotoksin, endotoksin relatif lebih stabil terhadap panas tidak membentuk toksoid dan kurang toksik (Dwidjoseputro 1978). 2.4.1. Escherichia coli Escherichia coli (E.coli) termasuk kedalam famili Enterobacteriaceae. Bakteri ini merupakan bakteri Gram negatif, berbentuk batang, mempunyai ukuran diameter 0,3-1 µm, bersifat anaerob fakultatif, katalase positif dan non motil, mempunyai flagela periterikat (Fadiaz 1992). Lebih dari 95 % komponen sel dari E.coli terdiri dari makronukleus. Jumlah protein mendekati 52 % dan asam nukleat 19 % dari berat kering. Sekitar 3 % dari berat kering terdiri dari komponen organik yang berat molekulnya kecil serta garam (Greenwood et al. 1995). Bakteri ini terdapat dalam bentuk tunggal, berpasangan, dan dalam rantai pendek, biasanya tidak berkapsul, tidak berspora, motil atau tidak motil, aerobik, seringkali menyebabkan infeksi (Hadioetomo 1982). E. coli merupakan penghuni normal saluran pencernaan (coliform fecal) manusia dan hewan, maka digunakan secara luas sebagai bioindikator pencemaran lingkungan. Bakteri ini juga mengakibatkan banyak infeksi pada saluran pencernaan makanan (enterik) manusia dan hewan (Pelczar dan Chan 1986). Penampang sel bakteri E.coli dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2. Penampang sel bakteri Escherichia coli Sumber: Anonim (2008 e) Escherichia coli disebut juga koliform fekal karena ditemukan pada saluran usus hewan dan manusia. Bakteri ini sering digunakan sebagai indikator kontaminasi kotoran. Kontaminasi bakteri ini pada makanan biasanya berasal dari kontaminasi air yang digunakan. Dosis yang dapat menimbulkan gejala infeksi E.coli pada makanan berkisar antara 108 - 109 sel (Fardiaz 1992). E. coli merupakan bagian dari mikrobiota normal saluran pencernaan, telah terbukti bahwa galur-galur tertentu mampu menyebabkan gastroenteritis taraf sedang sampai parah pada manusia. Escherichia coli merupakan organisme indikator yang dipakai dalam analisis air untuk menguji adanya pencemeran oleh tinja, pemindahan sebarannya tidak melalui air, melainkan melalui kegiatan tangan ke mulut atau dengan pemindahan pasif lewat makanan atau minuman. Escherichia coli tidak berbahaya dalam usus tetapi bila memasuki kantung kemih dapat menyebabkan sistitis (suatu peradangan pada selaput lendir kantung kemih) (Hadioetomo 1982). Bahan makanan yang sering terkontaminasi oleh E. coli antara lain daging ayam, daging sapi, daging babi, ikan dan makanan hasil laut lainnya, telur dan produk olahannya, sayuran, buah-buahan, sari buah serta minuman seperti susu (Fardiaz 1992). E. coli merupakan penyebab utama meningitis pada bayi yang baru lahir dan juga penyebab infeksi tractus urinarius pada manusia yang dirawat di rumah sakit (nosocomial infection) (Greeenwood et al. 1995). Bakteri E. coli tergolong sebagai bakteri patogen yang sering ditemukan pada produk pangan dengan bahaya sedang dan penyebarannya cepat (ICMSF 1986 dalam Fardiaz 2000). Escherichia coli mengandung enterotoksin dan dapat menyebabkan penyakit diare. Sebagian besar E. coli menyebabkan infeksi saluran kencing, keracunan darah dan radang selaput (Fardiaz 1989). Kisaran suhu pertumbuhan E. coli adalah antara 10-40 oC dengan suhu optimum 37 o C. Kisaran pH antara 4-9 dengan nilai pH optimum untuk pertumbuhan adalah 7-7,5 dan pH minimum untuk pertumbuhan E.coli adalah 4,5. Nilai aw minimal untuk pertumbuhan adalah 0,96 (Fardiaz 1989). 2.4.2. Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus tergolong bakteri Gram positif bersifat anaerob fakultatif. Bakteri ini berbentuk bulat tunggal, berpasangan atau bergerombol dengan diameter 0,5-1,5 µm, tidak berkapsul dan berspora, dan non motil. Bakteri ini bersifat kemoorganotropik dengan tipe metabolisme fermentatif dan respiratif. Bakteri ini dapat tumbuh pada konsentrasi NaCl 10 % dan suhu optimum antara 35-37 oC dan pH 6-7, akan tetapi pada suhu 6,7-45,5 oC serta pH 4,0-9,8 bakteri ini masih dapat tumbuh dan berkembang biak. Staphylococcus aureus umumnya sensitif terhadap antibiotik β-laktam, tetrasiklin, dan kloramfenikol, tetapi resistan terhadap polimiksin (Pelczar dan Chan 2005). Staphylococcus aureus dapat menyebabkan penyakit pneumonia, keracunan makanan, yaitu dengan cara mengeluarkan enterotoksin yang bersifat tahan panas. Penyakit penemonia biasanya diinfeksikan melalui udara, dan keracunan makanan melalui kontaminasi manusia dan lingkungan yang tercemar (Greenwood et al. 1995). Morfologi S. aureus disajikan pada Gambar 3. Gambar 3. Bakteri Staphylococcus aureus Sumber: Dyer (2008) S. aureus dapat dijumpai pada kulit, selaput lendir, bisul-bisul dan luka-luka. Bakteri ini sering ditemukan pada produk pangan dengan bahaya sedang dan penyebarannya terbatas. Ciri-ciri khusus S. aureus penyebab adalah memproduksi enterotoksin yang stabil terhadap pemanasan hingga 100 oC selama beberapa menit, memproduksi toksin epidermolitik yang menyebabkan kulit melepuh dan menghasilkan Toxic Shock Syndrome Toxin (TSST 1) yang menyebabkan kerusakan pada jaringan (Greenwood et al. 1995). Menurut Pelczar & Chan (2005) infeksi Staphylococcus aureus dipengaruhi oleh : 1) resistensi terhadap fagositosis, resistensi ini pada protein dan bahan kapsul; 2) kemampuan mengatasi sifat antibakterial dalam sel fagosit (intracelular survival). S. aureus mempunyai kemampuan anti bakterial seluler; 3) resistensi terhadap faktor antibakterial dalam serum yang ditengahi oleh koagulasi; 4) penyebaran infeksi dipermudah dengan adanya enzim hialuronidase. Staphylococcus aureus menghasilkan koagulase, dijumpai pada selaput hidung, kulit, kantung rambut, dapat menyebabkan keracunan makanan, serta komplikasi pada influensa. Peracunan makanan yang umum terjadi karena termakannya toksin yang dihasilkan oleh galur-galur toksigenik S. aureus yang tumbuh pada makanan tercemar. Pada umunya gejala-gejala mual, pusing, muntah, dan diare muncul 2 sampai 6 jam setelah makan makanan tercemar itu (Hadioetomo 1982). 2.5. Analisis Fitokimia Analisis fitokimia adalah analisis yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh mahluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah dan fungsi biologinya. Alasan melakukan analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditujukan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). 2.5.1. Alkaloid Alkaloid pada umumnya mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sitem siklik. Alkaloid biasanya tanpa warna, seringkali bersifat tropis aktif , kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang berupa cairan (misal nikotina pada suhu kamar). Alkaloid merupakan turunan yang paling umum dari asam amino. Secara kimia, alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Secara klasik, alkaloid dipisahkan dari tumbuhan lainnya sebagai garamnya dan sering diisolasi sebagai kristal hidroklorida atau pikrat (Harborne pada Gambar 4. 1987). Struktur dari beberapa alkaloid disajikan Gambar 4. Strukur beberapa alkaloid Sumber: Anonim (2008) 2.5.2. Steroid / Triterpenoid Terpenoid terdiri atas beberapa golongan, yaitu monoterpena dan seskuiterpena yang mudah menguap seperti minyak astiri (C10 dan C15), diterpena (C20), tirtepenoid dan sterol (C30) dan pigmen karotenoid (C40). Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari 6 satuan isoprena dan merupakan turunan skualena (C30 asiklik) (Dixon 2007). Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang-kurangnya empat senyawa, yaitu triterpenoid, steroid, saponin, dan glikosida jantung. Triterpena tertentu terkenal karena rasanya, terutama kepahitannya. Senyawa triterpenoid yang terdapat pada tumbuhan tingkat tinggi adalah fitosterol yang terdiri dari sitosterol, stigmasterol, dan kaempsterol (Harborne 1987). Steroid merupakan golongan senyawa triterpenoid. Senyawa ini dapat diklasifikasikan menjadi steroid dengan atom karbon tidak lebih dari 21, seperti sterol, sapogenin, glikosida jantung, dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dua triterpena, yaitu lanosterol dan sikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Struktur salah satu jenis triterpenoid (steroid) dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Struktur steroid Sumber: Anonim (2008) 2.5.3. Flavonoid Flavonoid adalah suatu senyawa fenol yang terbesar yang ditemukan di alam. Flavonoid memiliki kerangka dasar karbon yang terdiri dari 15 atom karbon (C), dinama dua cincin benzen (C6) terikat pada suatu rantai propana (C3) sehingga membentuk susunan C6-C3-C6 (Lenny 2006). Menurut strukturnya, semua flavonoid merupakan turunan senyawa induk flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan Primula. Flavonoid terutama berupa senyawa yang larut dalam air. Senyawa ini dapat diekstraksi dengan etanol 70 % dan tetap ada dalam lapisan air setelah ekstrak ini dikocok dengan eter minyak bumi. Flavonoid ini berupa senyawa fenol, oleh karena itu warnanya berubah bila ditambah basa atau amoniak (Harborne 1987). Flavonoid mengandung sistem aromatik yang terkonjugasi, oleh karena itu menunjukkan pita serapan pada daerah spektrum UV dan spektrum tampak. Flavonoid terdapat dalam tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan aglikon flavonoid. Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mulamula didasarkan pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Terdapat sepuluh kelas flavonoid yaitu antosianin, proantosianidin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavanol, khalkon, auron, flavonon dan isoflavon (Harborne 1987). Struktur umum flavonoid disajikan pada Gambar 6. Gambar 6. Struktur umum flavonoid Sumber: Anonim (2008) 2.6. Kloramfenikol Kloramfenikol yang disebut juga chloromycetin merupakan antimikroba bakteriostatik yang efektif menghambat pertumbuhan mikroorganisme pada spektrum yang luas, baik bakteri Gram positif maupun bakteri Gram negatif. Zat ini masih digunakan secara luas oleh negara-negara dengan pendapatan rendah karena harganya yang murah dan aktivitasnya yang stabil, tetapi negara-negara maju telah melarang penggunaan kloramfenikol sebagai antibiotik karena dapat menyebabkan efek negatif pada kesehatan, yaitu timbulnya penyakit anemia aplastik (Syah et al. 2005). Cara kerja kloramfenikol dalam menghambat pertumbuhan bakteri adalah dengan menghambat aktivitas peptidil transferase dari ribosom bakteri dan mengganggu pembentukan ikatan peptida. Kloramfenikol merupakan senyawa yang efektif menembus seluruh jaringan dalam tubuh, termasuk mata, syaraf dan otak (Syah et al. 2005). Gambar 7 menunjukkan struktur kloramfenikol. Gambar 7. Struktur kloramfenikol. Sumber: Anonim (2008) Kloramfenikol merupakan antibiotik aminoglikosida, yaitu antibiotik bakteriostatik yang tidak membunuh bakteri melainkan hanya menghambat sintesa protein yang sangat diperlukan dalam perbanyakan dan pembelahan sel bakteri. Kloramfenikol merupakan antibiotik yang paling stabil. Zat ini juga cepat dan hampir sempurna diabsorpsi oleh saluran pencernaan (Fardiaz 1992). Darmowandowo dan Kaspan (2009) dalam artikelnya menyebutkan bahwa dosis kloramfenikol yang biasa digunakan adalah 50 mg/kg/hari yang dibagi menjadi empat kali pemberian. Dosis yang biasa diberikan pada laki-laki dewasa ±750 mg yang terbagi menjadi tiga hingga empat kali dalam sehari, dosis tersebut akan menjadi dua kali lipat pada kondisi yang parah. Dosis yang diberikan pada anak-anak, bayi prematur atau bayi yang baru lahir adalah setengah dari dosis yang diberikan pada manusia dewasa, hal ini dikarenakan anak-anak, bayi prematur atau bayi yang baru lahir belum mampu mencerna obat-obatan dengan efektif. 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2008 sampai bulan Januari 2009 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku, Laboratourium Mikrobiologi Hasil Perairan, Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dan Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan pada persiapan sampel antara lain cool box, pisau, talenan, timbangan digital, dan kertas label. Alat-alat untuk ekstraksi sampel antara lain timbangan digital, gelas ukur, labu erlenmeyer, sudip kaca, kertas label, corong kaca, nilon mess, pipet tetes, kertas saring whatman, aluminium foil, dan kapas steril. Alat-alat untuk evaporasi ekstrak antara lain vacuum rotary evaporator, dan botol steril. Alat-alat untuk uji aktivitas antibakteri antara lain tabung reaksi, rak tabung reaksi, pipet tetes, pipet volumetrik, bulp, autoklaf, jarum ose, bunsen, inkubator, vorteks, cawan petri, dan paper disc. Bahan yang digunakan sebagai sampel adalah kerang hijau (Perna viridis). Bahan yang dibutuhkan selama transportasi sampel dari tempat pelelangan ikan hingga laboratorium adalah es curai dan air. Bahan untuk ekstraksi antara lain pelarut teknis (n-heksana, etil asetat dan metanol). Bahan untuk analisis fitokimia antara lain kloroform, metanol, kloroform-amoniak, H2SO4 2M, ragen Degendorf, reagen Mayer, reagen Wagner, NaOH 10%, H2SO4 pekat, etanol, eter, pereaksi Lieberman Buchard, aquades, FeCl3 1%. Sedangkan bahan untuk uji aktivitas antibakteri adalah kloramfenikol sebagai antibakteri standar, bakteri uji (Escherichia coli dan Staphylococcus aureus), media NB (Nutrient Broth), media Mueller Hinton Agar (MHA), korek api, spiritus, dan alkohol 70%. 3.3. Metode Kerja Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap satu yaitu analisis proksimat (analisis kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan karbohidrat), ekstraksi senyawa bioaktif dan uji aktivitas antibakteri dari ekstrak kasar kerang hijau, sedangkan tahap dua, yaitu analisis fitokimia. 3.3.1. Penelitian tahap satu 3.3.1.1.Analisis proksimat Analisis proksimat ini dilakukan untuk mengetahui kandungan gizi dari kerang hijau. Pengujian yang dilakukan antara lain adalah analisis kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat (by difference) a. Analisis kadar air (AOAC 1995) Cawan kosong yang digunakan dikeringkan dalam oven selama 15 menit atau sampai diperoleh berat tetap, kemudian didinginkan dalam desikator selama 30 menit dan ditimbang. Sampel kira-kira sebanyak 5 gram ditimbang dan diletakkan dalam cawan kemudian dipanaskan dalam oven selama 24 jam pada suhu 105 0C. Cawan kemudian didinginkan dalam dasikator dan setelah dingin ditimbang kembali. Persentase kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: % Kadar air B1 - B2 100% B Keterangan : B = Berat sampel (gram) B1 = Berat (sampel + cawan) sebelum dikeringkan B2 = Berat (sampel + cawan) setelah dikeringkan b. Analisis kadar abu (AOAC 1995) Pengukuran kadar abu ditentukan dengan alat tanur. Cawan porselin dipanaskan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 5 gram sampel dimasukkan dalam cawan porselin lalu dibakar sampai tidak berasap lagi lalu diabukan dalam tanur suhu 600 0C sampai berwarna putih (semua sampel menjadi abu) dan berat konstan. Hasil pembakaran tersebut kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Perhitungan kadar abu adalah sebagai berikut: % Kadar abu Berat abu (g) 100% Berat sampel (g) c. Analisis kadar protein (AOAC 1995) Sampel ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam labu kjeldal. Setelah itu ditambahkan 10 ml H2SO4 dan pelet kjeldal kemudian sampel didihkan dalam ruang asam sampai cairan jernih. Larutan jernih ini lalu dipindahkan ke dalam labu ukur 100 ml. Labu kjeldal dibilas dengan aquades (1-2 ml) kemudian air bilasan dimasukkan ke dalam labu ukur, kemudian diencerkan dengan aquades hingga 100 ml. Sampel yang telah diencerkan dengan aquades dipipet sebanyak 10 ml dan dimasukkan dalam alat destilasi, kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit NaOH 40% sebanyak 10 ml. Ujung tabung kondensor alat destilasi harus terendam dalam erlenmeyer yang berisi larutan asam borat (H3BO3) 4%. Dilakukan pemanasan alat destilasi hingga larutan asam borat yang semula berwarna merah muda menjadi berwarna kehijau-hijauan. Selang kondensor kemudian dibilas dengan beberapa ml aquades untuk menghindari kemungkinan adanya nitrogen yang menempel pada selang. Setelah itu Erlenmeyer berisi larutan asam borat (H3BO3) yang telah menangkap nitrogen dari sampel, dititrasi dengan HCl 0,1 N hingga terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Titrasi juga dilakukan terhadap larutan blanko. %N (ml sampel - ml HCl blanko) N HCl 14,007 100% Berat sampel % Protein % N 6,25 d. Analisis kadar lemak (AOAC 1995) Metode yang digunakan dalam analisis lemak adalah metode ekstraksi soxhlet. Sampel sebanyak 5 gram dibungkus dengan kertas saring, setelah itu kertas saring yang berisi contoh tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya dan labu lemak diletakkan dibawahnya. Pelarut hexana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama minimal 5 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam labu lemak berwarna jernih. Pelarut yang ada dalam labu lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi kemudian dipanaskan di dalam oven pada suhu 105 0C hingga mencapai berat tetap dan setelah itu didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan berat lemak dapat diketahui. % Kadar lemak Berat lemak (g) 100% Berat sampel (g) e. Analisis kadar karbohidrat (AOAC 1995) Analisis kadar karbohidrat dilakukan secara by different, yaitu dengan menggunakan rumus: Kadar karbohidra t 100% - K.lemak - K.protein - K.air - K.abu 3.3.1.2. Ekstraksi senyawa Jamaluddin 2005) bioaktif (modifikasi Quinn 1988 dalam Tahapan proses ekstraksi kerang hijau meliputi penghancuran sampel, maserasi, penyaringan dan evaporasi. Metode yang digunakan dalam pembuatan ekstrak senyawa bioaktif dari kerang hijau (Perna viridis) adalah metode ekstraksi bertingkat yang telah dimodifikasi. Sebelumnya kerang dipisahkan dari cangkangnya, dicuci dan dicacah. Sampel yang telah dihancurkan kemudian ditimbang sebanyak 200 gram dan dimasukkan dalam erlenmeyer kemudian dimaserasi dengan pelarut sebanyak 400 ml (perbandingan 1:2 (w/v)). Pelarut yang digunakan secara berturut-turut yaitu n-hexana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Pertama, sampel dimaserasi dengan n-hexana selama 24 jam pada suhu ruang. Hasil maserasi disaring menggunakan nilon mess sebagai saringan kasar, selanjutnya penyaringan dengan corong kaca dan kertas saring whatman untuk memisahkan filtrat dengan residu I. Residu I kemudian dimaserasi dengan pelarut etil asetat selama 24 jam, disaring sehingga diperoleh filtrat etil asetat dan residu II. Residu II selanjutnya dimaserasi dengan pelarut metanol selama 24 jam, disaring sehingga diperoleh filtrat metanol dan residu III. Filtrat n-hexana, etil asetat dan metanol yang diperoleh disimpan dalam refrigerator selanjutnya dievaporasi dengan menggunakan vacuum rotary evaporator pada suhu 30 0C, sehingga diperoleh ekstrak kasar n-hexana, etil asetat dan metanol. Ekstrak yang diperoleh dimasukkan dalam botol steril untuk mencegah kontaminasi kemudian disimpan dalam freezer. Tahapan proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 8. Kerang hijau Pemisahan dari cangkang Pencucian Pencacahan Penimbangan maserasi dengan heksana (24 jam) Penyaringan Filtrat heksana Residu I Evaporasi maserasi dengan etil asetat (24 jam) Penyaringan Crude extract heksana Filtrat heksana Residu I Evaporasi maserasi dengan metanol (24 jam) Crude extract etil asetat Penyaringan Filtrat heksana Residu III Evaporasi Crude extract Metanol Gambar 8. Tahapan proses ekstraksi (modifikasi Quinn 1988 diacu dalam Jamaluddin 2005) 3.3.1.3.Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak kasar kerang hijau (Perna viridis) (modifikasi Noer & Nurhayati 2006) Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap ekstrak kerang hijau (Perna viridis). Uji ini meliputi persiapan media cair, persiapan media padat dan prosedur uji aktivitas antibakteri. Bakteri uji yang digunakan adalah Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Pengujian aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan kertas cakram (paper disc). a) Persiapan media cair Penyegaran bakteri uji, yaitu E. coli dan S. aureus dilakukan pada media nutrient broth. Media nutrient broth dibuat dari 2,6 gram media NB bubuk yang dilarutkan dalam aquades hingga volume 200 ml, selanjutnya dipanaskan hingga mendidih. NB dipipet sebanyak 9 ml ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan alumunium foil. Sebelum digunakan, media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Setelah itu media didinginkan di tempat yang steril pada suhu ruang. b) Persiapan suspensi bakteri Sebanyak 1 ose bakteri uji dimasukkan ke dalam media cair yang telah dingin secara aseptik. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37 0C selama 18 jam. c) Persiapan media padat Media padat yang digunakan untuk pengujian aktivitas antibakteri adalah media Mueller Hinton Agar (MHA). MHA dibuat dari 12,16 gram media MHA bubuk yang dilarutkan dengan aquades hingga volume 320 ml, selanjutnya dipanaskan hingga mendidih. Larutan dipipet 20 ml, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan masing-masing tabung ditutup menggunakan kapas dan alumunium foil steril. Sebelum digunakan, media disterilisasi dengan autoklaf pada suhu 121 0C selama 15 menit. Media didiamkan pada suhu ruang sampai agar membeku. Setelah membeku, media disimpan dalam refrigerator. d) Uji pendahuluan aktivitas antibakteri (modifikasi Noer & Nurhayati 2006) Sebanyak 20 ml media MHA dalam keadaan cair, ditambah dengan 20 µl bakteri uji yang telah diukur Optical Density (OD) pada λ= 600 nm. (OD masing-masing bakteri uji antara lain 0,788 untuk bakteri E.coli dan 0,723 untuk bakteri S. Aureus). Agar yang telah ditambah dengan bakteri uji dihomogenkan dengan vorteks, kemudian segera dituangkan ke dalam cawan petri steril dan digoyangkan membentuk angka delapan agar bakteri lebih menyebar secara merata. Media agar tersebut didiamkan pada suhu ruang selama 15 menit atau sampai agar membeku. Ekstrak kerang hijau yang digunakan adalah ekstrak n-hexana, etil asetat, dan metanol. Dalam penentuan aktivitas antibakteri pada berbagai konsentrasi, setiap paper disc diberi ekstrak sebanyak 20 µl dengan konsentrasi 5 % (5 mg ekstrak yang dilarutkan dalam 1 ml metanol). Setelah seluruh pelarut ekstrak pada paper disc menguap, masing-masing paper disc diletakkan dalam cawan petri yang telah berisi agar dan bakteri, kemudian cawan petri disimpan dalam inkubator dengan posisi terbalik pada suhu 37 0C selama 18-20 jam. Aktivitas antibakteri dapat dilihat dengan mengamati zona hambatan yang terbentuk disekeliling paper disc. Antibakteri dikatakan positif apabila terbentuk zona hambatan berupa zona bening disekeliling paper disc dan antibakteri negatif ditandai dengan tidak terbentuknya zona bening. Metode uji penapisan awal senyawa antibakteri dapat dilihat pada Gambar 9. e) Prosedur pengujian aktivitas antibakteri pada berbagai konsentrasi ekstrak (modifikasi Darusman et al. 1994) Media MHA sebanyak 20 ml dalam keadaan cair ditambahkan dengan 20 µl bakteri uji yang telah diukur Optical Density (OD)nya pada λ= 600 nm, (OD masing-masing bakteri uji antara lain 0,797 untuk bakteri E. coli dan 0,748 untuk bakteri S. Aureus) kemudian divorteks sebentar agar homogen dan segera dituangkan ke dalam cawan petri steril lalu digoyangkan membentuk angka 8 agar bakteri menyebar secara merata. Media tersebut didiamkan pada suhu ruang selama beberapa saar agar membeku. Ekstrak kerang hijau yang digunakan merupakan ekstrak yang memiliki aktivitas paling baik pada pengujian awal. Dalam penetuan aktivitas antibakteri pada berbagai konsentrasi ekstrak, setiap paper disc diberi ekstrak dengan konsentrasi 3,5 mg/ml, 5 mg/ml, 6,5 mg/ml, dan 8 mg/ml (modifikasi Darusman et al. 1994) sebanyak 20 µl. Paper disc dibiarkan sampai mengering atau pelarutnya menguap, kemudian masing-masing paper disc diletakkan dalam cawan petri berisi agar dan bakteri yang telah membeku, kemudian disimpan kedalam inkubator dalam keadaan terbalik selama 18-20 jam pada suhu 37 0 C. Metode uji aktivitas antibakteri pada berbagai konsentrasi ekstrak dapat dilihat pada Gambar 10. Kemudian dilakukan pengamatan dan pengukuran zona bening yang terbentuk. Bakteri uji Penginokulasian bakteri 20 µl dalam 20 ml media MHA Penghomogenan dengan vorteks Penuangan agar ke dalam cawan petri steril Pendinginan selama 15 menit atau sampai agar membeku Pemberian 20 µl ekstrak pada paper disc dengan konsentrasi 5 mg/ml Peletakkan paper disc ke dalam cawan yang telah berisi bakteri uji Inkubasi pada suhu 37 0C selama 18-20 jam dalam posisi terbalik Zona bening Pengamatan dan pengukuran zona bening Gambar 9. Tahapan uji penapisan Noer & Nurhayati 2006 ) awal antibakteri (modifikasi Bakteri uji Penginokulasian bakteri (20 µl) dalam 20 ml media agar Penghomogenan dengan vorteks Penuangan agar ke dalam cawan petri steril Pendinginan selama 15 menit atau sampai agar membeku Pemberian paper disc ekstrak 20 µl dengan konsentrasi, 3,5 mg/ml, 5 mg/ml, 6,5 mg/ml, 8 mg/ml Peletakkan paper disc kedalam cawan yang telah berisi bakteri uji Inkubasi pada suhu 37 0C selama 18-20 jam dalam posisi terbalik Zona bening Pengamatan dan pengukuran zona bening Gambar 10. Tahapan uji aktivitas antibakteri pada berbagai konsentrasi ekstrak (modifikasi Darusman et al 1994) f) Pengukuran zona hambat Aktivitas antibakteri dinyatakan positif apabila terbentuk zona hambat berupa zona bening disekeliling paper disc dan aktivitas antibakteri dinyatakan negatif apabila tidak terbentuk zona bening. hambat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Diameter zona Zona hambat A - B Keterangan : A = Diameter zona hambat yang terbentuk (mm) B = Diameter kertas cakram (mm) 3.3.1. Penelitian tahap dua 3.3.2.1. Analisis fitokimia Identifikasi senyawa kimia yang berperan sebagai antibakteri dalam kerang hijau (Perna viridis) dilakukan terhadap senyawa-senyawa sebagai berikut (Harborne 1987): a) Alkaloid Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu pereaksi Dragendorff, Meyer dan Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila pereaksi Meyer terbentuk endapan putih kekuningan, endapan coklat dengan pereaksi Wagner dan endapan merah sampai jingga dengan pereaksi Dragendorff. b) Steroid/Triterpenoid Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering. Ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif. c) Fenol/Flavonoid Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran asam klorida 37 % dan etanol 95 % dengan volume sama) dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah, kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komponen Kimia Kerang Hijau Kerang hijau yang digunakan pada penelitian ini diambil dari pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara pada bulan September 2008. Analisis proksimat yang dilakukan pada kerang hijau meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan kadar karbohidrat. Hasil analisis proksimat kerang hijau dan data pembanding kerang pada umumnya ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2 . Perbandingan analisis proksimat kerang hijau dengan kerang pada umumnya Komponen Air Abu Protein Lemak Karbohidrat Kadar (%) * Kadar (%) ** Kerang hijau sampel Kerang 78,86 3,6 11,84 0,7 4,7 85 2,3 8,0 1,1 3,6 * Hasil penelitian ** Poedjiadi (1994) Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa kadar air kerang hijau contoh adalah 78,86 %. Nilai tersebut lebih rendah apabila dibandingkan dengan kadar air kerang secara umum yaitu sebesar 85 %. Analisis kadar abu kerang hijau contoh menunjukkan hasil sebesar 3,6 % dimana nilai tersebut lebih tinggi apabila dibandingkan dengan kadar abu kerang secara umum menurut Poedjiadi (1994) yaitu sebesar 2,3 %. Kadar abu yang tinggi ini diduga karena banyaknya mineralmineral yang terkandung dalam kerang hijau tersebut. Mineral-mineral tersebut bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan. Apabila lingkungan (habitat) kerang hijau tersebut bersih maka kandungan mineral yang tinggi tersebut berasal dari mineral yang bersifat menguntungkan, sedangkan apabila habitat kerang hijau ini adalah lingkungan perairan yang tercemar maka mineral-mineral yang terkandung dalam daging kerang hijau ini merupakan limbah-limbah cemaran. Kadar protein kerang hijau sampel adalah 11,84 %, nilai ini menunjukan bahwa kadar protein kerang hijau lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein kerang pada umumnya yaitu sebesar 8,0 %. Kadar lemak kerang pada umumnya, yaitu 1,1 % (Poedjiadi 1994), sedangkan kadar lemak kerang hijau contoh yang diperoleh adalah lebih rendah, yaitu sebesar 0,70 %. Perbedaan kadar proksimat kerang hijau contoh dengan kerang pada umumnya diduga karena terjadinya perbedaan waktu dan lokasi pengambilan contoh, serta umur kerang tersebut. Berdasarkan perhitungan, kerang hijau memiliki rendemen sebesar 17,43 %. Nilai ini diperoleh melalui perbandingan berat daging kerang hijau setelah proses preparasi dengan berat awal kerang hijau sebelum proses preparasi. Berat total awal kerang hijau contoh sebelum proses preparasi yaitu sebesar 3 kg sedangkan berat daging kerang hijau setelah proses preparasi yaitu sebesar 523 gram. Perhitungan daging rendemen kerang hijau dapat dilihat pada Lampiran 1. 4.2. Komponen Bioaktif Metode ekstraksi yang digunakan pada penelitian ini adalah metode ekstraksi bertingkat menurut Darusman et al. (1994), yaitu dengan merendam sampel pada pelarut atau disebut juga maserasi. Proses maserasi dilakukan selama 24 jam dengan cara merendam sampel dalam pelarut dengan perbandingan 1:2. Prinsip pelarutan yang dipakai pada metode ini adalah like dissolve like yang artinya pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar dan pelarut polar akan melarutkan senyawa polar. Pada saat perendaman sampel dalam pelarut dilakukan pengadukan sebanyak beberapa kali. Pengadukan ini bertujuan untuk meningkatkan tumbukan antara partikel bahan yang diekstraksi dengan pelarut sehingga komponen bioaktif yang keluar dari jaringan dan larut dalam pelarut juga semakin meningkat. Apabila tumbukan antar partikel yang terjadi semakin banyak, maka semakin banyak pula senyawa bioaktif yang terikat pada pelarut ekstrak. Pelarut yang digunakan dalam ekstaksi ini berturut-turut adalah heksana (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Ekstraksi dengan pelarut heksana dilakukan pada awal proses dengan tujuan memisahkan lipid dari bahan sehingga tidak menghalangi keluarnya senyawa bioaktif pada ekstraksi dengan pelarut-pelarut berikutnya. Proses ekstraksi selanjutnya digunakan pelarut etil asetat untuk mengekstrak senyawa semi polar dan terakhir pelarut metanol untuk mengekstrak senyawa polar. Tahap selanjutnya, yaitu tahap pemisahan yang terdiri dari penyaringan dan evaporasi. Penyaringan dilakukan untuk memisahkan sampel kerang hijau dari pelarut yang telah mengandung bahan aktif. Tahap evaporasi dilakukan dalam penguap putar hampa (vacuum rotary evaporator) pada suhu yang tidak terlalu tinggi (30-40) oC. Penggunaan suhu evaporator vakum yang tidak terlalu tinggi ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kerusakan senyawa bioaktif (Harborne 1987). Hasil ekstraksi kerang hijau dengan tiga jenis pelarut menghasilkan ekstrak dari pelarut heksana, etil asetat dan metanol dan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Berat ekstrak kasar kerang hijau (Perna viridis) Heksana Berat awal Sampel (gr) 400 Berat ekstrak (mg) 2,5 Etil asetat 400 146 Metanol 400 833,33 Jenis pelarut Ekstrak kerang hijau yang dihasilkan pada proses ekstraksi ini berupa pasta kental yang berwarna kuning kecoklatan sampai warna coklat tua. Gambar ekstrak kerang hijau yang terbentuk disajikan pada Gambar 11. Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa ekstrak kerang hijau tertinggi dihasilkan dari pelarut polar yaitu metanol sebesar 833,33 mg dan ekstrak terkecil diperoleh dari pelarut non polar yaitu heksana sebesar 2,50 mg. Pelarut metanol dapat menghasilkan rendemen paling besar diduga karena kemampuan metanol dalam mengikat komponen-komponen polar dari kerang hijau lebih baik daripada pelarut etil asetat dan heksana. Pelarut metanol mempunyai berat molekul yang rendah sehingga memudahkan pembentukan ikatan hidrogen dan air pada jaringan sampel, sehingga banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan seluruh golongan metabolit sekunder (Hart 1987 dan Lenny 2006). Ekstrak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan pelarut heksana memiliki nilai yang rendah disebabkan heksana merupakan pelarut non polar yang biasa digunakan untuk memisahkan lipid dari bahan. Dilihat dari Tabel 2. nilai kandungan lemak pada kerang hijau ini sangat rendah sehingga hasil ekstraksi dengan heksana menghasilkan ekstrak yang sangat sedikit. Tingkat keragaman dari senyawa bioaktif yang dihasilkan dipengaruhi oleh perbedaan jenis, selain itu pengaruh luar seperti kadar garam (salinitas), intensitas cahaya, arus dan kompetisi dengan organisme lain (Murniasih 2005). A B C Gambar 11. Ekstrak kerang hijau. Keterangan: A = Ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol B = Ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat C = Ekstrak kerang hijau dengan pelarut heksana Rendemen hasil ekstraksi dari sampel kerang hijau dengan pelarut heksana, etil asetat dan metanol dapat dilihat pada Gambar 12. Rendemen merupakan perbandingan antara bobot ekstrak yang dihasilkan dengan bobot awal sampel yang digunakan dan dinyatakan dalam persen (%). Nilai rendemen untuk masing-masing ekstrak heksana, etil asetat, dan metanol adalah sebesar 0,001%, 0,037%, dan 0,208%. Ekstrak kerang hijau dengan perlarut metanol (polar) memiliki nilai rendemen tertinggi. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menyatakan bahwa pelarut metanol memiliki berat molekul yang rendah sehingga memudahkan pembentukan ikatan hidrogen dan air pada jaringan sampel (Hart 1987), sehingga pelarut metanol banyak digunakan dalam proses isolasi senyawa organik bahan alam karena dapat melarutkan seluruh senyawa golongan metabolit sekunder (Lenny 2006). 0.25 0,25 0,208 % Rendemen (%) 0.20 0,20 0.15 0,15 0.10 0,10 0,037 % 0.05 0,05 0,001 % 0.000 heksana etilasetat metanol Pelarut Ekstrak Gambar 12. Histogram rendemen masing-masing ekstrak kerang hijau Jumlah ekstrak kerang hijau yang diperoleh dari hasil penelitian ini sangat sedikit, karena waktu ekstraksi juga diduga berpengaruh terhadap jumlah ekstrak kerang hijau yang dihasilkan. Hasil penelitian Ayuningrat (2009) menunjukan bahwa perbedaan waktu perendaman yaitu 24 jam, 48 jam dan 32 jam pada proses ekstraksi tidak menunjukan hasil yang berbeda nyata. Pada penelitian ini ekstraksi kerang hijau dilakukan selama 24 jam. Perbandingan pelarut dengan bahan pada penelitian ini adalah 1:2 (w/v) hal ini bertujan agar semua sampel kerang hijau yang akan diekstrak teremdan semua oleh pelarut ekstrak yang digunakan. Selain itu ukuran partikel sampel juga menentukan jumlah senyawa aktif yang terekstrak. Semakin halus ukuran partikel diduga dapat meningkatkan jumlah senyawa aktif yang terekstrak dari sampel tersebut. Dugaan tersebut diperkuat oleh pustaka yang menyatakan bahwa hasil ekstraksi yang diperoleh tergantung pada beberapa faktor, yaitu kondisi alamiah senyawa, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi ekstraksi, lama ekstraksi dan perbandingan jumlah pelarut dengan jumlah sampel (Houghton & Raman 1988). 4.3. Aktivitas Antibakteri 4.3.1 Aktivitas antibakteri pada uji pendahuluan Ekstrak metanol, etil asetat, dan ekstrak heksana yang diekstrak dari kerang hijau selanjutnya diuji aktivitasnya sebagai senyawa antibakteri terhadap dua jenis bakteri patogen yaitu S. aureus (OD = 0,748) yang mewakili bakteri Gram positif dan E. coli (OD = 0,788) yang mewakili bakteri Gram negatif. Lalitha (2004) menjelaskan bahwa interval OD (Optical Density) bakteri yang digunakan pada uji antibakteri adalah 0,6-0,8. Davis dan Strout (1971) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa Ketentuan kekuatan senyawa antibakteri sebagai berikut, daerah hambat 20 mm atau lebih memiliki aktivitas antibakteri sangat kuat, daerah hambat 10-20 mm memiliki aktivitas antibakteri kuat, daerah hambat 5-10 mm memiliki aktivitas antibakteri sedang dan daerah hambat kurang dari 5 mm memiliki aktivitas antibakteri rendah Hasil pengujian aktivitas antibakteri ekstrak kerang hijau dengan konsentrasi ekstrak 5 % disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Aktivitas antibakteri ekstrak kerang hijau pada konsentrasi 5% Diameter zona hambat (mm) Jenis pelarut E. coli S. aureus Ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat 1 Ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol - 3 - Kontrol (kloramfenikol) 25 31 Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol tidak menunjukkan aktivitas penghambatan baik pada pertumbuhan E. coli maupun S. aureus, sedangkan ekstrak dengan pelarut etil asetat memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dengan diameter zona hambat sebesar 1 mm dan bakteri S. aureus dengan diameter zona hambat sebesar 3 mm. Dari hasil tersebut komponen biokatif dari ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat dapat digolongkan kedalam golongan senyawa antibakteri dengan daya hambat rendah. Menurut Davis dan Strout (1971) senyawa antibakteri yang memiliki zona hambat kurang dari 5 mm digolongkan kedalam senyawa antibakteri yang memiliki daya hambat yang rendah. Hal ini diduga karena konsentrasi ekstrak yang digunakan terlalu rendah sehingga tidak menunjukkan aktivitas antibakteri. Hasil positif uji antibakteri didapat pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat dan pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol memiliki hasil yang negatif pada konsentrasi 5 %. Hal ini menunjukkan dugaan bahwa komponen aktif pada kerang hijau yang berpotensi sebagai senyawa antibakteri bersifat semi polar karena terlarut pada pelarut etil asetat yang bersifat semi polar. Dugaan ini didukung oleh pustaka yang menyatakan bahwa senyawa polar lebih mudah larut dalam pelarut polar, senyawa semi polar mudah larut pada pelarut semi polar dan senyawa non polar lebih larut dalam pelarut non polar (Sudarmadji et al. 2007). Uji aktivitas antibakteri tidak dilakukan pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut heksana. Perendaman dengan pelarut heksana digunakan untuk memisahkan lemak yang terdapat pada bahan terlebih dahulu, sehingga tidak mengganggu atau menghalangi keluarnya bahan aktif pada proses ekstraksi dengan pelarut-pelarut selanjutnya. Hal ini diperkuat oleh pustaka yang menyatakan bahwa pelarut heksana biasanya digunakan untuk melarutkan lilin, lemak dan minyak dari bahan (Harborne 1987). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Annamalai et al. (2007) bahwa uji aktivitas antibakteri dari ekstrak kerang hijau dengan pelarut heksana tidak menunjukan hasil yang positif. Kloramfenikol sebagai kontrol positif mampu menghasilkan zona hambat sebesar 25 mm pada bakteri E.coli, dan 31 mm pada bekteri S.aureus pada konsentrasi kloramfenikol 5 %. Berdasarkan zona hambat yang terbentuk kloramfenikol tergolong zat antibakteri yang memiliki daya hambat yang kuat. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Davis dan Strout (1971) yang menyatakan bahwa senyawa antibakteri yang memiliki zona hambat 20 mm atau lebih tergolong dalam senyawa antibakteri dengan daya hambat yang sangat kuat. 4.3.2. Aktivitas antibakteri pada berbagai konsentrasi ekstrak Uji aktivitas antibakteri dari ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat dan metanol dilakukan berasarkan uji pendahuluan antibakteri ekstrak kerang hijau. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 3,5 %, 5 %, 6,5 %, dan 8 % (modifikasi Darussman et al. 1994). Uji aktivitas dilakukan pada 15 ml media MHA menggunakan paper disk yang telah ditetesi 20 µl ekstrak dengan konsentrasi masing-masing adalah, 3,5 %, 5 % , 6,5 % dan 8 % terhadap dua bakteri uji, yaitu Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Ukuran masingmasing zona hambat yang terbentuk dapat dilihat pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Aktivitas antibakteri ekstrak kerang hijau pada berbagai konsentrasi dengan bakteri uji E. coli Konsentrasi ekstrak Ekstrak kerang hijau 3,5 % 5% 6,5 % 8% Etil asetat - 1 2 4 Metanol - - - 0,5 21 25 27 31 kloramfenikol Tabel 6. Aktivitas antibakteri ekstrak kerang hijau pada berbagai konsentrasi dengan bakteri uji S. aureus Konsentrasi ekstrak Ekstrak kerang hijau 3,5 % 5% 6,5 % 8% Etil asetat - 3 4 6 Metanol - - - 0,5 27 31 36 42 kloramfenikol Berdasarkan Tabel 5 dan Tabel 6 dapat diketahui bahwa ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat mampu menghambat pertumbuhan bakteri E. coli dan bakteri S. aureus pada konsentrasi 5 %, 6,5 % dan 8 %, Sedangkan pada konsentrai 3,5 % tidak menunjukan hasil yang positif. Hasil uji aktivitas yang didapat menunjukan bahwa aktivitas antibakteri dari ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat memiliki daya hambat yang lemah (kurang dari 5 mm) dalam menghambat pertumbuhan E.coli (Tabel 5) pada semua konsentrasi. Untuk bakteri S.aureus pengujian pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 3,5 %, 5 %, dan 6,5 % memiliki daya hambat yang lemah (kurang dari 5 mm). Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 8 % mampu menghambat pertumbuhan bakteri dengan zona hambat sebesar 6 mm pada bekteri uji S.aureus. Berdasarkan zona hambat yang terbentuk ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi 8 % dapat digolongkan kedalam senyawa antibakteri yang memiliki aktivitas penghambatan yang sedang. Hal ini sesuia dengan pernyataan Davis dan Strout (1971) yang menyatakan bahwa aktivitas antibakteri dengan daerah hambat 5-10 mm memiliki aktivitas antibakteri sedang. Ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol tidak menunjukkan aktivitas penghambatan pada pertumbuhan bakteri E. coli dan S. aureus pada konsentrasi 3,5 %, 5 %, dan 6,5 % tetapi menunjukkan aktivitas lemah (kurang dari 5 mm) pada konsentrasi 8 % dengan diameter zona hambat sebesar 0,5 mm. Hal tersebut diduga karena komponen aktif yang berpotensi sebagai antibakteri yang terlarut dalam pelarut metanol lebih rendah apabila dibandingkan dengan komponen antibakteri yang terlarut pada etil asetat sehingga kemampuan penghambatan ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol lebih rendah. Diameter zona hambat yang dihasilkan ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat dan ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol pada bakteri E. coli selalu lebih kecil apabila dibandingkan dengan diameter zona hambat bakteri S. aureus. Kondisi tersebut diduga karena E. coli merupakan bakteri Gram negatif yang lebih tahan terhadap senyawa antibakteri apabila dibandingkan dengan S. aureus. Bakteri Gram positif cenderung lebih sensitif terhadap komponen antibakteri. Hal ini disebabkan oleh struktur dinding sel bakteri Gram positif berlapis tunggal yang relatif lebih sederhana sehingga memudahkan senyawa antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja. Bakteri Gram negatif lebih resisten terhadap senyawa anti bakteri karena struktur dinding sel bakteri Gram negatif terdiri dari tiga lapis dan lebih kompleks, yaitu terdiri dari lapisan luar yang berupa lipoprotein, lapisan tengah yang berupa lipopolisakarida dan lapisan dalam berupa peptidoglikan (Pelczar dan Chan 2005). Alakomi et al. (2000) dalam Adolf (2006) juga menjelaskan bahwa S. aureus merupakan bakteri Gram positif yang memiliki 40 lapisan peptidoglikan dan merupakan 50 % dari bahan dinding sel. Bakteri E. coli adalah bakteri Gram negatif yang memiliki 1-2 lapisan peptidoglikan dan merupakan 5-10 % dari bahan dinding sel tetapi bakteri Gram negatif memiliki lapisan tambahan pada dinding sel yang disebut membran luar terdiri dari lapisan lipopolisakarida yang berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak diperlukan sel, sehingga bakteri Gram negatif lebih resisten terhadap adanya senyawa asing, seperti senyawa antibakteri, karena terlebih dulu ditahan oleh membran luar yang berupa lipopolisakarida. Daya hambat yang dihasilkan ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat lebih besar daripada daya hambat yang dihasilkan oleh ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol. Berdasarkan pustaka etil asetat merupakan pelarut semi polar yang mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid dan alkaloid sedangkan pelarut metanol mampu mengekstrak alkaloid kuartener dan komponen fenolik lainnya (Harborne 1987). Darusman et al. (1994) menjelaskan bahwa beberapa komponen yang berpotensi sebagai senyawa antibakteri antara lain senyawa alkaloid, terpenoid dan flavonoid. Zona hambat yang dihasilkan oleh kloramfenikol, baik pada bakteri E. coli maupun S. aureus, jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan zona hambat yang dihasilkan oleh ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol dan ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat. Hal ini sesuai dengan pustaka yang menjelaskan bahwa kloramfenikol mampu menghambat pertumbuhan bakteri dalam spektrum yang luas dalam konsentrasi rendah (Syah et al. 2005). 4.4. Hasil Uji Fitokimia Uji fitokimia adalah analisa yang mencakup pada aneka ragam senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh mahluk hidup, yaitu mengenai struktur kimianya, biosintesisnya, perubahan serta metabolismenya, penyebarannya secara alamiah, dan fungsi biologinya. Alasan dilakukannya analisis fitokimia adalah untuk menentukan ciri senyawa yang terdapat pada suatu bahan yang mempunyai efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleh ekstrak kasar bila diuji dengan sistem biologi (Harborne 1987). Uji fitokimia dapat digunakan untuk menganalisa sruktur kimia suatu bahan, biosintesis, perubahan metabolisme, dan fungsi biologi dari suatu bahan yang sedang dianalisis (Harborne 1987). Uji analisis fitokimia ini dilakukan pada sampel ekstrak yang memiliki daya hambat yang paling baik yaitu pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat pada konentrasi 8%. Adapun hasil analisis fitokimia dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil identifikasi kandungan fitokimia kerang hijau pada pelarut ekstrak etil asetat Uji Fitokimia a. Alkaloid - Wagner - Meyer - Dragendorf b. Steroid/Triterpenoid c. Flavonoid Hasil Tanda (+) (+) (+) (+) Terbentuk endapan coklat Terdapat endapan putih Terdapat endapan jingga Larutan berwarna hijau Tidak terbentuk warna kuning pada lapisan amil alkohol (-) Hasil uji fitokimia terhadap ekstrak kerang hijau yang mempunyai aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa kerang hijau mengandung senyawa kimia berupa alkaloid dan steroid/triterpenoid. Kandungan senyawa alkaloid ini ditandai dengan terbentuknya endapan coklat setelah ditambah pereaksi Wagner, terbentuknya endapan putih setelah di tambah pereaksi Meyer dan terbentuk endapan jingga setelah ditambah pereaksi Dregendorf. Kandungan senyawa steroid pada ekstrak kerang hijau ini ditandai dengan terbentuknya warna hijau pada ekstrak yang diuji. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid, senyawa ini dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987). Steroid telah banyak dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, seperti sebagai bahan terapeutik yaitu bahan untuk pengobatan suatu penyakit (Pelczar dan Chan 1988). Yunus (1998) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa steroid dapat digunakan sebagai obat antiinflamasi pada penderita asma, sebagai senyawa mampu memerangi kolesterol jahat dalam tubuh dan bermanfaat sebagai afrodisiaka. Uji flavonoid terhadap ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat menunjukkan hasil negatif karena lapisan amil alkohol tidak menunjukkan adanya perubahan warna kuning atau jingga. Flavonoid merupakan senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai faktor pertahanan alam, seperti mencegah serangan bakteri, yang ditemukan pada sebagian besar tumbuhan. terdapat pada semua tumbuhan berpembuluh (Harborne 1987). Flavonoid Sabir (2005) menjelaskan bahwa flavonoid memiliki aktivitas menghambat pertumbuhan bakteri secara in vitro. Bryan (1982) menjelaskan bahwa senyawa flavonoid memiliki kemampuan menghambat pertumbuhan bakteri dengan beberapa mekanisme yang berbeda, antara lain flavonoid menyebabkan terjadinya kerusakan permeabilitas dinding bakteri, mikrosom dan lisosom sebagai hasil interaksi antara flavonoid dengan DNA bakteri. Mirzoeva et al. (1997) dalam penelitiannya berpendapat bahwa flavonoid mampu melepaskan energi transduksi terhadap membran sitoplasma bakteri, selain itu juga menghambat motilitas bakteri. Mekanisme yang berbeda dikemukakan oleh Di Carlo et al. (1999) dan Estrela et al. (1995) dalam Sabir (2005) yang menyatakan bahwa gugus hidroksil yang terdapat pada struktur senyawa flavonoid menyebabkan perubahan komponen organik dan transpor nutrisi yang akhirnya akan mengakibatkan timbulnya efek toksik terhadap bakteri. 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Kerang hijau memiliki kadar air sebesar 78,86 %, kadar abu sebesar 3,60 %, kadar protein sebesar 11,84 % kadar lemak sebesar 0,70 % serta kadar karbohidrat sebesar 4,70 %. Kerang hijau termasuk organisme yang memiliki kadar protein tinggi dan kadar lemak rendah. Rendemen ekstrak kerang hijau dengan pelarut heksana 0,001 %, ekstrak dengan pelarut etil asetat sebesar 0,037 % dan ekstrak dengan pelarut metanol sebesar 0,208 %. Pada uji pendahuluan aktivitas antibakteri dengan konsentrasi ekstrak 5 % menunjukkan hasil bahwa ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat mampu menghambat pertumbuhan E. coli dengan diameter zona hambat sebesar 1 mm dan menghambat pertumbuhan S. aureus dengan diameter zona hambat sebesar 3 mm, sedangkan ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol tidak menunjukkan penghambatan pada kedua bakteri uji. Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak dengan konsentrasi 3,5 %, 5 %, 6,5 %, dan 8 %. Uji aktivitas antibakteri pada ekstrak kerang hijau pada pelarut etil asetat menunjukan nilai yang positif pada konsentrasi 5 %, 6,5 %, dan 8 % pada kedua bakteri uji yaitu S.aureus dan E.coli dan aktivitas antibakteri terbaik ditunjukkan pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat pada konsentrasi 8 %, sedangkan uji aktivitas antibakteri pada ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol tidak menunjukan hasil yang positif. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa senyawa antibakteri yang terdapat pada kerang hijau diduga bersifat semi polar karena larut dalam pelarut etil asetat. Analisis fitokimia terhadap ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat menunjukkan hasil bahwa ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat diduga mengandung senyawa golongan alkaloid dan steroid. 5.2. Saran Saran yang dapat diberikan berdasarkan penelitian ini adalah: perlu diadakan penyimpanan hasil uji aktivitas antibakteri untuk mengetahui jenis dan sifat senyawa antibakteri tersebut, serta perlu dilakukan pemisahan dan pemurnian masing-masing komponen dari ekstrak etil asetat kerang hijau. DAFTAR PUSTAKA Adawiyah DR, Sarastani D, Fardiaz D. 2001. Kajian Aktivitas Antioksidan Biji Buah Atung (Parinarium glaberimum hassk). Bogor: Fateta, IPB Adolf JN. 2006. Kajian mekanisme antibakteri ekstrak andaliman (Zanthozylum acanthopodium DC) terhadap bakteri patogen pangan [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Annamalai N, Anburaj R, Jayalakshmi S, Thavasi R. 2007. Antibacterial activities of green mussel (Perna viridis) and Edible oyster (Crassostrea madrasensis). Research Journal of Microbiology 2 (12): 978 – 982. [Anonim]. 1997. Perna Viridis (Linnaeus,1758). http://www.wikipedia.org/perna_viridis [18 Oktober 2008]. ________. 2008a. Si hijau yang makin mempesona. .http://www.artikel-dkp.go.id [18 Oktober 2008] ________. 2008 b. Alkaloid. http:// www.bluelight.ru/vb/showthread.php=201397 [22 Agustus 2009] ________. 2008c. A Review of potential health benefits of flavonoids. http://www.lurj.org/article.php/vol3n2/flavonoids.xml [22 Agustus 2009] ________. 2008d. Steroid. http://www.mesomorphosis.com/images/steroidstructure [22 Agustus 2009] ________. 2008e. Escherichia http://www.theleucadiablog.com/2006_02_01_archive.html 2009] [22 coli. Agustus AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Assosiation of Official Analytical of Chemist. Arlington, USA: Published by The Assosiation of Official Analytical of Chemist Inc. Asikin. 1982. Kerang Hijau. Jakarta: PT.Penebar Swadaya Aryanti D. 2007. Penapisan awal senyawa aktif antioksidan dari spons asal pulau Panggang, kepulauan Seribu, Jakarta. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Ayuningrat E. 2009. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing Taiwan(Anandonta woodiana lea.) sebagai senyawa antioksidan. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Bell SM. 1984. Antibiotic sensitivity testing by CDS methods. Di dalam: Clinical Microbiology UP Date Programme. N. Hertwig (ed). New South Wales: The Price Wales Hospital. Bryan LE. 1982. Bacterial Resistence and Susceptibility to Chemotherapeutic Agens. Cambrige: Cambrige University Press Brock TD, Madigan MT. 2003. Biology of Microorganism. Ed ke-8. USA: Prentice Hall International. Darmowandowo W, Kaspan MF. 2009. http://www.pediatrik.com/isi03.php [29 juni 2009] Demam Tifoid. Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1994. Ekstraksi komponen bioaktif sebagai bahan obat dari karang-karangan, bunga karang, dan ganggang di Perairan Pulau Pari Kepulauan Seribu (Tahap II: Fraksinasi dan Bioassay). Seminar Nasional Hasil-Hasil Penelitian; Jakarta, Januari 1994. Jakarta: DIKTI-Depdikbud. hlm 18-29. Davidson PM, Branen LA. 1993. Antimicrobial in Food. New York: Marcell Dekker, Inc. Davis WW, Strout TR. 1971. Disc plate method of microbiological antibiotic assay. Applied Microbiology 22:666-670. Dixon P. 2007. Steroids the truth about http://www.globalchange.com?steroid.htm [28 Agustus 2009] [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan. http://www.dkp.go.id/ [29 juni 2009] 2006. Perikanan steroid. Tangkap. Dwidjoseputro. 1978. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Surabaya: Penerbit Djambatan. Dyer SD. 2008. Infection Desease Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)."http://www.netwellness.org/healthtopics/infectiousdisease/mrsa.c fm" \t "_top" www.netwellness.org/.../mrsa.cfm [29 November 2008]. Fardiaz S. 1989. Mikrobiologi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. . 1992. Mikrobiologi Pangan I. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. . 2000. Riset Mikrobiologi Pangan untuk Peningkatan Keamanan Pangan di Indonesia. Bogor: Srikandi Foundation for Food Safety. Fessenden RJ, Fessenden JS. 1997. Dasar-Dasar Kimia Organik. Maun S, Anas K, Sally TS, penerjemah; Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari Fundamental of Organic Chemistry. Frazier WC, Westhoff DC. 1978. Food Microbiology. New Delhi: Mc.Graw Hill Publisher Co.Limited. Greenwood D, Slack RCB. Peutherer JF. 1995. Medical Microbiology. Ed ke-14. Hongkong: Priced Books Scheme. Hadioetomo RS. 1982. Dasar–Dasar Mikrobiologi II. Bogor: Departemen Botani, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Hans A. 2004. Transplantasi spons Laut Aaptos aaptos (Porifera: Demospongiae) pertumbuhan, sintasan, perkembangan gamet dan bioaktivitas antibakteri ekstrak kasar dan fraksinya. [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Padmawinata K, Soediro I, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hart H. 1987. Kimia Organik. Suatu Kuliah Singkat. S. Achmadi, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Organic Chemistry. Hostettmann K, Wolfender JL, Ridrigue ZS. 1997. Rapid detection and subsequent isolation of bioactive constituens of crude plant extract. Planta Med, m 63:2-10. Houghton PJ dan Raman A. 1988. Laboratory Handbook for Fractination of Natural Extract: Methods of Extraction and Sample Clean-up. London: Chapman dan Hall Ltd. Jamaluddin D. 2005. Studi awal kandungan steroid dan uji aktivitas antibakteri ikan laut dalam (Satyrichthys welchi) dari perairan selatan Jawa. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Khopkar SM. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta : UI Press Kustanti E. 2008. Kajian awal senyawa anti bakteri beberapa spesies ikan laut dalam dari perairan barat Sumatra dan selatan Jawa. [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Lalitha. 2004. Manual an Antimicrobial Suspectibility Testing. India: Indian Association of Medical Microbiologist. Lee SY. 1985. The population dynamics of the green mussel (Perna viridis) in Victoria Harbour, Hongkong. Asian Marine Biology, 2:107-118. Lenny S. 2006. Isolasi dan Uji Bioaktivitas Kandungan Kimia Utama Puding Merah dengan Metode Uji Brine Shrimp. Medan:USU repository. Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2004. Brock Biology Of Microorganisms. Ed ke-9. USA: Prentice Hall International. Mirzoeva OK, Grishanin RN, Calder PC. 1997. Antimicrobial action of propolis and some of its components: the effects on growth, membrane potential, and motility of bacteria. Microbiol Res 152:239-46. Murniasih T. 2005. Substansi kimia untuk pertahanan diri dari hewan laut tak bertulang belakang. Oseana 30(2): 19-27 [NIMPIS] National Introduced Marine Pest Information System. 2002. Asian Green mussel. http://www.marine.csiro.au/perna_viridis/nimpis [30 oktober 2009] Noer IS, Nurhayati L. 2006. Bioaktivitas Ulva reticulata forsskal asal Gili Kondo Lombok Timur terhadap bakteri. Biotika 5(1): 45-60. Pelczar MJJr, Chan ECS. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi 1. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari Elements of Microbiology. Pelczar MJJr, Chan ECS. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Hadioetomo RS, Imas T, Tjitrosomo SS, Angka SL, penerjemah; Jakarta: UI Pr. Terjemahan dari Elements of Microbiology. Pelczar MJJr, Chan ECS. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta: UI Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta: UI Press. Sabir A. 2005. Aktivitas antibakteri flavonoid propolis Trigona sp terhadap bakteri Streptococcus mutans (in vitro). Majalah Kedokteran Gigi (Dent J) 38:135-141. Schlegel HG, Schmidt K. 1994. Mikrobiologi Umum. Baskara T, penerjemah. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Sudarmadji S, Haryono B, Suhardi. 2007. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Liberty. Syah D, Utama S, Mahrus Z, Fauzan F, Siahaan R, Oktavia O, Supriyadi S, Kartawijaya W. 2005. Manfaat dan Bahaya Bahan Tambahan Pangan. Bogor. Yunus F. 1998. Manfaat Kortikosteroid pada Asma Bronkial. Cermin Dunia Kedokteran 121:10-15. LAMPIRAN Lampiran 1. Rendemen daging kerang hijau Berat awal total kerang hijau Berat kerang setelah proses preparasi % Rendemen = Berat kerang setelah proses preparasi x 100% Berat awal total kerang hijau = = 17,43% : 3 kg : 523 gram 532 gram x 100% 3000 gram Lampiran 2. Ekstraksi kerang hijau (Perna viridis) Maserasi dengan pelarut heksana Maserasi dengan pelarut etil asetat Maserasi dengan pelarut metanol Lampiran 3. Perhitungan rendemen ekstrak kerang hijau (Perna viridis) Berat awal daging kerang hijau Berat ekstrak heksana setelah evaporasi Berat ekstrak etil asetat setelah evaporasi Berat ekstrak heksana setelah evaporasi A. = 400 g = 400.000 mg = 2,5 mg = 146 mg = 833,3 mg Rendemen ekstrak kerang hijau dengan pelarut heksana % Rendemen = = , Berat setelah kerang setelah proses evaporasi x 100% Berat awal total kerang hijau x 100% . = 0,000625% 0,001% B. Rendemen ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat % Rendemen = = Berat setelah kerang setelah proses evaporasi x 100% Berat awal total kerang hijau x 100% . = 0,0365 % 0,037% C. Rendemen ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol % Rendemen = = , . = 0,208% Berat setelah kerang setelah proses evaporasi x 100% Berat awal total kerang hijau x 100% Lampiran 4. Gambar zona hambat pada uji aktifitas antibakteri ekstrak kerang hijau dengan pelarut etil asetat E.coli S. aureus Lampiran 5. Gambar zona hambat pada uji aktifitas antibakteri ekstrak kerang hijau dengan pelarut metanol E.coli S. aureus Lampiran 6. Gambar hasil uji fitokimia A. Alkaloid B. Steroid C. Flavonoid