9 TINJAUAN PUSTAKA Kemiskinan Kemiskinan pada hakekatnya merupakan persoalan klasik yang telah ada sejak umat manusia ada. Kemiskinan merupakan persoalan kompleks dan tampaknya akan terus menjadi persoalan aktual dari masa ke masa. Meskipun sampai saat ini belum ditemukan suatu rumusan maupun formula penanganan kemiskinan yang dianggap paling jitu dan sempurna, penemu-kenalan konsep dan strategi penanganan kemiskinan harus terus menerus diupayakan (Suharto, 1997). Kemiskinan merupakan masalah sosial laten yang senantiasa hadir di tengah-tengah masyarakat, khususnya di negara-negara berkembang. Kemiskinan senantiasa menarik perhatian berbagai kalangan, baik para akademisi maupun para praktisi. Berbagai teori, konsep dan pendekatan pun terus menerus dikembangkan untuk menyibak tirai dan mungkin “misteri” mengenai kemiskinan ini. Dalam konteks masyarakat Indonesia, masalah kemiskinan juga merupakan masalah sosial yang senantiasa relevan untuk dikaji secara terus menerus. Ini bukan saja karena masalah kemiskinan telah ada sejak lama, melainkan pula karena masalah ini masih hadir di tengah-tengah kita dan bahkan kini gejalanya semakin meningkat sejalan dengan krisis multidimensional yang masih dihadapi oleh bangsa Indonesia. Meskipun pembahasan kemiskinan pernah mengalami tahap kejenuhan sejak pertengahan 1980-an, upaya pengentasan kemiskinan kini semakin mendesak kembali untuk dikaji ulang. Beberapa alasan yang mendasari pendapat ini antara lain adalah: Pertama, konsep kemiskinan masih didominasi oleh perspektif tunggal, yakni “kemiskinan pendapatan” atau “income-poverty” (Chambers, 1997). Pendekatan ini banyak dikritik oleh para pakar ilmu sosial sebagai pendekatan yang kurang bisa menggambarkan potret kemiskinan secara lengkap. Kemiskinan seakanakan hanyalah masalah ekonomi yang ditunjukkan oleh rendahnya pendapatan seseorang atau keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kedua, jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa menunjukkan angka yang tinggi, baik secara absolut maupun relatif, di pedesaan maupun perkotaan Meskipun Indonesia pernah dicatat sebagai salah satu negara berkembang yang 10 sukses dalam mengentaskan kemiskinan, ternyata masalah kemiskinan kembali menjadi isu sentral di Tanah Air karena bukan saja jumlahnya yang kembali meningkat, melainkan dimensinya pun semakin kompleks seiring dengan menurunnya kualitas hidup masyarakaat akibat terpaan krisis ekonomi sejak tahun 1997. Ketiga, kemiskinan mempunyai dampak negatif yang bersifat menyebar (multiplier effects) terhadap tatanan kemasyarakatan secara menyeluruh. Berbagai peristiwa konflik di Tanah Air yang terjadi sepanjang krisis ekonomi, misalnya, menunjukkan bahwa ternyata persoalan kemiskinan bukanlah sematamata mempengaruhi ketahanan ekonomi yang ditampilkan oleh rendahnya daya beli masyarakat, melainkan pula mempengaruhi ketahanan sosial masyarakat dan ketahanan nasional (Suharto, 1997). Sadar bahwa isu kemiskinan merupakan masalah laten yang senantiasa aktual, pengkajian konsep kemiskinan merupakan upaya positif guna menghasilkan pendekatan dan strategi yang tepat dalam menanggulangi masalah krusial yang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini. Kemiskinan disepakati sebagai masalah yang bersifat sosial ekonomi, tetapi penyebab dan cara mengatasinya terkait dengan ideologi yang melandasinya. Untuk memahami ideologi tersebut ada tiga pandangan pemikiran yaitu konservatisme, liberalisme, dan radikalisme (Swasono, 1987). Penganut masing–masing pandangan memiliki cara yang berbeda dalam menjelaskan kemiskinan. Kaum konservatif memandang bahwa kemiskinan bermula dari karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa wiraswasta, fatalis, dan tidak ada hasrat untuk berprestasi. Menurut Oscar Lewis (1983), orang–orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya kemiskinan sendiri yang mencakup karakteristik psikologis, sosial dan ekonomi. Kaum liberal memandang bahwa manusia sebagai mahluk yang baik tetapi sangat dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistic and situational adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang yang sempit. Kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka menekankan peranan struktur ekonomi, politik dan sosial, dan memandang bahwa manusia adalah mahluk yang kooperatif. Guna menjelaskan lebih lanjut mengenai faktor–faktor yang mempengaruhi terhadap kemiskinan antara lain : (1) Faktor personal, dan (2) faktor situasional. 11 Faktor Personal Lewin (Blanchard, et al.1996) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi faktor personal dan faktor situasional. Faktor persanal antara lain : motif, kebutuhan yang direfleksikan dalam sikap, kemampuan, sikap, kemampuan, perasaan, kepercayaan, kepribadian, sistem nilai kecenderungan untuk bertindak (Barata, 2003; Thoha, 1996). Hipocrates-Galenus terdapat empat tipologi kepribadian, yaitu : dan Menurut (1) kepribadian sanguinis, (2) kepribadian koleris, (3) kepribadian melankolis, dan (4) kepribadian plegmatis. Faktor personal juga terkait dengan aspek psikologis (Mashoed, 2004). Menurut teori Freud (Suryabrata, 2001), struktur kepribadian terdiri dari: (1) Das Es (the id), yaitu aspek biologis, terkait dengan alam bawah sadar/tidak sadar (kesadaran magis); (2) Das Ich (the ego), yaitu aspek psikologis, terkait dengan alam prasadar (kesadaran naif); dan (3) Das uber ich (the super ego), yaitu aspek sosiologis, terkait dengan alam sadar (kesadaran kritis). Kesadaran magis dan kesadaran naif terkait dengan perspektif berpikir masyarakat di era pramodern dan modern, sedangkan perspektif berpikir masyarakat post modern cenderung berada pada kesadaran kritis (Maksum dan Ruhendi, 2004). Faktor Situasional Faktor situasional adalah lingkungan yang berhubungan dengan faktor pribadi yang mempengaruhi perilaku antara lain: kondisi sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan alam/tataruang. merupakan persoalan kemiskinan yang situasional. melanda setiap Menurut Faktor Mubyarto situasional (1998), kemiskinan berasumsi individu/sekelompok masyarakat bahwa lebih diakibatkan oleh faktor yang berasal dari luar individu/sekelompok masyarakat tersebut. Dengan kalimat lain, penyebab kemiskinan terkait dengan faktor kultural, struktural, dan alamiah (Kartasasmita, 1996; Bappenas, 2002) Paradigma penanggulangan kemiskinan pada saat ini adalah bahwa kebijakan atau program anti kemiskinan akan dapat berhasil apabila “kaum miskin menjadi aktor utama dalam perang melawan kemiskinan.” Untuk membantu kaum miskin keluar dari lingkaran kemiskinan dibutuhkan kepedulian, komitmen, kebijaksanaan, organisasi, dan program yang tepat. Diperlukan pula sikap yang tidak memperlakukan orang miskin sebagai obyek, tetapi sebagai 12 subyek. “Orang miskin bukan orang yang tidak memiliki apa-apa, melainkan orang yang memiliki sesuatu, walaupun serba seadanya” (Mubyarto: 2001). Ukuran Kemiskinan Beragam alternatif ukuran garis kemiskinan yang diajukan H.Esmara (Sajogyo, 1996 : 1) yang hanya menggunakan ukuan “di bawah rata-rata”, yaitu angka: (a) konsumsi beras (kg per orang), (b) konsumsi 9 bahan pokok, (c) pengeluaran rumah tangga (Rp/orang), dan (d) konsumsi kalori dan protein/orang/hari (secara terpisah) dengan membedakan nilai rata-rata menurut Jawa dan lain daerah, dan desa dan kota. Sajogyo (1996:2-3) merinci garis kemiskinan dengan ciri-ciri: (a) spesifikasi atas tiga garis kemiskinan yang mencakup konsepsi “nilai ambang kecukupan pangan” (food threshold); dan (b) menghubungkan tingkat pengeluaran rumah tangga dengan ukuran kecukupan pangan (kalori dan protein). Penjelasan dari ciri-ciri di atas adalah sebagai berikut: garis kemiskinan ciri pertama dinyatakan dalam Rp/bulan, dalam bentuk “ekuivalen nilai tukar beras” (kg/orang/bulan) agar dapat saling dibandingkan nilai tukar antar daerah dan antar-jaman, sesuai dengan harga beras setempat. Ciri yang kedua, memakai data tingkat pengeluaran rumah tangga dinilai lebih tepat karena: (a) dalam survei data ini dapat lebih tepat dilaporkan dibandingkan dengan angka “penghasilan”; (b) sudah mencakup penghasilan bukan uang, pemakaian tabungan masa lalu, pinjaman, pemberian barang modal yang “dimakan,” mekanisme transfer penghasilan di lingkungan masyarakat tersebut; (c) data dari BPS, mulai banyak tersedia (sampel besar). Dan lebih baik lagi jika mencakup data selama minimal satu tahun penuh. Menurut Nugroho (1995), Karena ukuran–ukuran obyektif kemiskinan sangat bervariasi, maka perlu hati–hati dan juga bersifat kritis terhadap penggunaan dan pemilihan alat ukur tesebut. Selain ukuran–ukuran yang diajukan itu banyak mendapat kritik tajam karena hanya bersifat ekonomi semata-mata. Pada kenyataannya kebutuhan manusia sangat bervariasi sehingga setiap upaya penentuan garis kemiskinan yang direduksi dalam soalsoal ekonomi tidak akan mewakili persoalan kemiskinan yang sebenarnya. 13 Kebutuhan manusia sangat beraneka ragam yang juga berkaitan dengan dimensi-dimensi politis, kebudayaan dan sosial, sehingga setiap upaya menentukan garis batas kemiskinan obyektif seyogyanya juga mengacu pada multidimensionalitas tersebut. Karena sifat multidimensional tersebut maka kemiskinan tidak hanya berurusan dengan kesejahteraan sosial (social well–being). Untuk mengejar seberapa jauh seseorang memerlukan kesejahteraan materi dapat diukur secara kuantitatif dan obyektif seperti dalam mengukur kemiskinan absolut yaitu ditunjukkan dengan angka rupiah. Namun untuk memahami besar nya kesejahteraan sosial yang harus dipenuhi seseorang ukurannya menjadi sangat relatif dan kualitatif, Menurut Ellis (Nugroho, 1995), dalam butir ini yang dipersoalkan bukan besarnya ukuran kemiskinan tetapi macam dimensi – dimensi yang terkait dalam gejala kemiskinan tersebut antara lain: Pertama, yang paling jelas bahwa kemiskinan berdimensi ekonomi atau material. Dimensi ini menjelma dalam berbagai kebutuhan dasar manusia yang sifatnya material, yaitu seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Dimensi ini dapat diukur dalam rupiah meskipun harganya akan selalu berubah-ubah setiap tahunnya tergantung tingkat inflasi itu sendiri. Kedua, kemiskinan berdimensi sosial budaya. Ukuran kuantitatif kurang dapat digunakan untuk memahami dimensi ini sehingga ukuran sangat bersifat kualitatif. Lapisan yang secara ekonomis miskin akan berbentuk kantong-kantong kebudayaan yang disebut budaya kemiskinan demi kelangsungan hidup. Budaya kemiskinan ini dapat ditunjukkan dengan terlembaganya nilai-nilai seperti apatis, apolitis, fatalistik, ketidakberdayaan dan lain-lain. Untuk itu, serangan terhadap kemiskinan sama artinya pula dengan pengikisan budaya ini. Apabila budaya ini tidak dihilangkan maka kemiskinan ekonomi juga sulit ditanggulangi. Ketiga, Kemiskinan berdimensi struktural atau politik sama artinya orang yang mengalami kemiskinan ekonomi pada hakekatnya karena mengalami kemiskinan struktural dan politik. Kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana untuk terlibat dalam proses politik, tidak memiliki kekuatan politik, sehingga menduduki struktur sosial yang paling bawah. Ada asumsi yang menegaskan bahwa orang yang miskin secara struktural atau politis akan berakibat pula miskin dalam material (ekonomi). Untuk itu langkah 14 pengentasan kemiskinan apabila ingin efektif juga harus mengatasi hambatanhambatan yang sifatnya struktural dan politis. Dimensi kemiskinan ini pada hakekatnya merupakan gambaran bahwa kemiskinan bukan hanya dalam artian ekonomi, tetapi memperhatikan prioritas, namun bersamaan dengan itu seyogyanya juga mengejar target mengatasi kemiskinan non-ekonomi. Ini sejalan dengan pergeseran strategi pembangunan nasional, bahwa yang dikejar bukan semata-mata pertumbuhan ekonomi tetapi juga pembangunan kualitas manusia seutuhnya (sosial, budaya dan politik). Pemahaman terhadap inti dari masalah kemiskinan itu dari pandangan kelompok miskin itu sendiri masih kurang. Di kalangan pakar ilmu sosial yang berusaha memahami hakekat kemiskinan dari sudut pandang orang miskin itu sendiri adalah Robert Chambers, seorang ahli pembangunan pedesaan berkebangsaan Inggris. Sesudah melakukan penelitian di kalangan orang miskin di beberapa Negara Asia Selatan dan Afrika, Chambers menyimpulkan bahwa inti dari masalah kemiskinan terletak pada sesuatu yang disebut sebagai deprivation trap atau jebakan kekurangan (Chambers, 1983). Selanjutnya dikatakan bahwa deprivation trap itu terdiri dari lima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin. Kelima ketidakberuntungan yang melilit kehidupan keluarga miskin itu adalah : (1) Kemiskinan itu sendiri, (2) Kelemahan fisik, (3) Keterasingan, (4) Kerentanan, dan (5) Ketidakberdayaan. Lima ketidakberuntungan itu saling berkait satu sama lain sehingga merupakan deprivation trap ini. Dari lima jenis ketidakberuntungan ini, Chambers menganjurkan agar dua jenis ketidakberuntungan yang dihadapi keluarga miskin diperhatikan, yaitu: (1) Kerentanan, dan (2) Ketidakberdayaan. Hal ini disebabkan dua jenis ketidakberuntungan itu sering menjadi sebab keluarga miskin menjadi lebih miskin. Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan dari keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu untuk menghadapi suatu darurat seperti datangnya bencana alam atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga tersebut. Kerentanan ini sering menimbulkan poverty rackets atau “roda penggerak kemiskinan” yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda berharga sehingga keluarga itu semakin dalam memasuki lembah kemiskinan. 15 Ketidakberdayaan keluarga miskin tercermin dalam kasus yakni elit dari komunitas dengan sengaja memfungsikan diri sebagai jaring yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan bagi orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin juga dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu oleh orang yang mempunyai kekuasaan baik dalam bidang politik dan ekonomi, dan lemahnya keluarga miskin to bargaining. Ketidakberdayaan keluarga miskin inipun dapat menjadikan keluarga miskin secara cepat menjadi lebih miskin. Ada satu masalah yang belum dijelaskan oleh Chambers yakni mengapa deprivation trap muncul ?. Adakah faktor eksternal yang menyebabkan timbulnya deprivation trap itu ?. Di sinilah pentingnya penggabungan studi tentang kebijaksanaan pembangunan pemerintah dan peranannya dalam menciptakan deprivation trap di kalangan keluarga miskin. Dimensi Kemiskinan Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002 : 3). Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4). Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Menurut SMERU (Suharto dkk, 2004), secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2002). 16 Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Menurut Friedman (Suharto, dkk.,2004:6), basis kekuasaan sosial meliputi: (a) modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan), (b) sumber keuangan (pekerjaan, kredit), (c) organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial), (d) jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa, (e) pengetahuan dan keterampilan, dan (f) informasi yang berguna untuk kemajuan hidup. Kemiskinan merupakan fenomena yang sangat kompleks (Suharto, dkk, 2004). David Cox (2004:1-6) membagi kemiskinan kedalam beberapa dimensi: (a) Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan pengalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Di negara-negara berkembang seringkali orang yang miskin semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi. (b) Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan). (c) Kemiskinan sosial: Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan kelompok minoritas. (d) Kemiskinan konsekuensial: Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan, dan tingginya jumlah penduduk. Menurut SMERU (Suharto, 2004), kemiskinan memiliki berbagai dimensi: (1) Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan). (2) Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi). (3) Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga). (4) Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal. (5) Rendahnya kualitas sumberdaya manusia dan keterbatasan sumber alam. (6) Tidak dilibatkannya dalam kegiatan sosial masyarakat. 17 (7) Tidak adanya akses terhadap lapangan kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan. (8) Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental. (9) Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, wanita korban tindak kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil). Kemiskinan di Perkotaan Masalah kemiskinan di perkotaan disebabkan kedudukan kota-kota dalam masyarakat negara tersusun dalam jaringan yang bertingkat-tingkat dan merupakan pusat-pusat penguasaan atau pendominasian bagi pengaturan kesejahteraan, kehidupan masyarakat Negara. Sistem pendominasian yang berpusat di kota-kota bukan hanya melibatkan aspek–aspek ekonomi, sosial dan komunikasi, dan kebudayaan, namun dalam kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat manapun di dunia ini, manusia cenderung untuk berorientasi ke kota atau dengan kata lain bahwa orang desalah yang berorientasi ke kota dan bukan orang kota yang berorientasi ke desa (Suparlan, 1995). Karena adanya orientasi pada kota, kota cenderung untuk tumbuh terus dan menjadi semakin kompleks karena kota mempunyai potensi atau kemampuan untuk menampung pendatangpendatang baru dari pedesaan atau kota-kota dan tempat-tempat lainnya. Adams (Suparlan, 1995) mengemukakan bahwa penambahan jumlah penduduk yang pesat dan tidak disertai dengan pesatnya peningkatan kemajuan ekonomi, telah menyebabkan tumbuhnya kemiskinan. Beban yang terlalu berat untuk dipikul di daerah pedesaan, yang alternatif-alternatifnya untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan ekonomi guna menyambung hidup amat terbatas, telah menyebabkan adanya penyerbuan-penyerbuan ke kota secara besarbesaran oleh penduduk desa untuk mencari nafkah dan hidup di kota. Kemampuan atau potensi kota untuk menampung pendatang-pendatang baru untuk dapat hidup dalam wilayahnya karena corak sistem ekonomi di daerah perkotaan yang lebih menekankan pada pekerjaan-pekerjaan dalam bidang industri saja dan produksi barang jadi atau setengah jadi. Walaupun alternative-alternatif untuk memperoleh pekerjaan lebih terbuka di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan, namun kemiskinan di perkotaan tetap ada atau laten karena potensi-potensi yang ada (lingkungan fisik dan alam, 18 sistem sosial, dan kebudayaan), tidak atau belum dapat dimanfaatkan untuk menciptakan alternatif-alternatif baru atau tidak dapat memberikan nafkah yang cukup memadai bagi sebagian besar para warganya. Kebudayaan yang ada dalam masyarakat perkotaan kemungkinan-kemungkinan tersebut bagi tidak mendorong pengembangan tingkat untuk adanya pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya yang secara obyektif dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi dan sosial pada warga masyarakatnya (Suparlan, 1995). Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan adalah sebuah kata yang bersifat emotif dan menarik bagi beberapa orang. Istilah pemberdayaan mengandung suatu kekuatan yang diyakini oleh sebagian orang mampu mengubah kondisi menjadi lebih baik. Orang tertarik kepadanya karena tampaknya menawarkan sesuatu yang pada saat sekarang tidak ada tetapi mampu mengubah kehidupannya. Kata ini mengandung ide bahwa orang berada dalam pengendalian diri sendiri dan lingkungan mereka, yang memperluas kemampuan dan wawasan dan mengevaluasi diri sendiri sampai pada tingkat prestasi dan kepuasan yang lebih besar. Akhir-akhir ini, istilah pemberdayaan sering digunakan sebagai terjemahan dari kata empowerment. Berdasarkan penelitian kepustakaan, terdapat beberapa definisi pemberdayaan baik dalam arti yang sempit maupun dalam arti yang luas. Terhadap pengertian konsep pemberdayaan tersebut, terjadi tindakan saling korektif dengan upaya mencari definisi pemberdayaan yang lebih aplikatif dan dapat diterima secara umum. Pemberdayaan menunjukkan dimensi proses dan dimensi hasil (outcome) pada subyek yang diberdayakan. Dimensi proses dari pemberdayaan merupakan berbagai upaya yang dilakukan terhadap subyek yang diberdayakan. Dimensi hasil menunjukkan sejauhmana tingkat keberdayaan dari subyek tersebut. Pemberdayaan pada hakekatnya merupakan upaya yang dilakukan, kelompok, atau komunitas lokal kurang mampu agar memiliki kemampuan, kekuatan, pengaruh, kontrol, penguasaan dan akses yang lebih besar terhadap sumberdaya sehingga meningkatkan kualitas kehidupannya secara mandiri. 19 Guna memperjelas dan memaknai konsep pemberdayaan ini dapat dilihat dari beberapa sumber yang ada pada Tabel 1. Tabel 1. Beberapa Definisi tentang Konsep Pemberdayaan No. Sumber Definisi 1. Dharmawan (2002) 2. Bookman (1988: 4) 3. Freire (1992) 4. Soemodiningrat (1999) 5. Molyneux (1986 : 280 ) 6. Moeljarto dalam Prijono dan Pranarka (1996) 7. Jim Ife (1995) dan Morgen Pemberdayaan adalah suatu proses pemenuhan energi yang cukup, sehingga masyarakat mampu untuk mengembangkan kemampuannya, memperoleh bargaining power yang lebih besar, membuat keputusan mereka sendiri, dan memperoleh akses yang lebih mudah terhadap sumber daya dalam rangka menuju kehidupan yang lebih baik Pemberdayaan sebagai konsep yang mengacu pada usaha usaha menumbuhkan keinginan pada seseorang untuk mengaktualisasikan diri, melakukan mobilitas ke atas, serta memberikan pengalaman psikologis yang membuat seseorang merasa berdaya. Konsep pemberdayaan sebagai metode yang mengubah persepsi sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya. Pemberdayaan masyarakat mempunyai arti meningkatkan kemampuan atau meningkatkan kemandirian masyarakat. Pemberdayaan masyarakat bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat tetapi juga pranatapranata sosialnya. Empowerment is a capacity in thought and action to address the condition and position of marginalization Pemberdayaan merupakan proses pematahan atau breakdown dari hubungan atau relasi antara subyek dengan obyek. Proses ini mementingkan adanya “pengakuan” subyek akan “kemampuan” atau “daya” (power) yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya mengalirnya daya (flow of power) dari subyek ke obyek Pemberdayaan mengacu kepada kata “empowerment”, yang berarti memberi daya, memberi “power” (kuasa), kekuatan, kepada pihak yang kurang berdaya. Segala potensi yang dimiliki oleh pihak yang kurang berdaya itu ditumbuhkan, diaktifkan, dikembangkan sehingga mereka memiliki kekuatan untuk membangun dirinya. Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat menekankan kemandirian masyarakat itu sebagai suatu system yang mampu mengorganisir dirinya 20 Dari beberapa konsep pemberdayaan yang telah disampaikan di atas, menurut penulis bahwa konsep pemberdayaan adalah sebuah proses yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan di dalam menumbuhkan dan mengembangkan kekuatan dan kekuasaan (power) bagi individu maupun kelompok sehingga tercipta kemandirian individu dan kelompok tersebut di dalam berprakarsa dan mengornisir dirinya dan kelompoknya serta terlibat secara langsung guna memecahkan permasalahan dirinya, keluarga, serta kelompoknya sehingga tercipta kondisi yang lebih baik. Menurut Ife (1995), dalam membicarakan konsep pemberdayaan, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan dua konsep sentral, yaitu konsep daya (power) dan konsep ketimpangan (disadvantage). Pengertian pemberdayaan yang terkait dengan konsep daya dapat ditelusuri dari beberapa perspektif, yaitu perspektif pluralis, elitis, strukturalis dan post-strukturalis: (1) Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif pluralis adalah suatu proses untuk mendorong kelompok-kelompok masyarakat dan individu yang kurang beruntung untuk bersaing secara lebih efektif dengan kepentingan-kepentingan lain dengan jalan menolong mereka untuk belajar, dan menggunakan keahlian dalam melobi, menggunakan media yang berhubungan dengan tindakan politik, dan memahami bagaimana bekerjanya system. (2) Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif elitis adalah suatu upaya untuk bergabung dan mempengaruhi para elitis, membentuk aliansi dengan elitis, melakukan konfrontasi dan mencari perubahan pada elitis. Masyarakat menjadi tak berdaya adanya power dan control yang besar sekali dari para elitis terhadap media, pendidikan, partai politik, kebijakan publik, birokrasi, parlemen, dan sebagainya. (3) Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif strukturalis adalah suatu agenda yang lebih menantang dan dapat dicapai apabila bentuk-bentuk ketimpangan struktural dieliminir. Masyarakat tak berdaya suatu bentuk atruktur dominant yang menindas masyarakat, seperti masalah kelas, gender, ras atau etnik. (4) Pemberdayaan masyarakat ditinjau dari perspektif post-strukturalis adalah suatu proses yang menantang dan mengubah diskursus. Pemberdayaan lebih ditekankan pertama-tama pada aspek intelektualitas ketimbang 21 aktivitas aksi pemberdayaan masyarakat adalah upaya pengembangan pengertian terhadap pengembangan pemikiran baru, analitis, dan pendidikan dari pada suatu usaha aksi. Demikian juga menurut Payne (Hikmat, 2001), bahwa pemberdayaan memerlukan partisipasi aktif dalam langkah-langkah, identifikasi kebutuhan, identifikasi pilihan atau strategis, keputusan atau pilihan tindakan, mobilisasi sumber daya, serta tindakan itu sendiri, secara menyeluruh dengan intervensi minimal pihak luar komunitas. Pemberdayaan dan patisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya, sehingga pada proses ini, akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang lebih berpusat pada rakyat. Pengertian pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata “empowering” yaitu “aktualisasi potensi masyarakat.” Jadi pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan masyarakat miskin adalah penekanan pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai sistem yang mengorganisasi diri mereka sendiri. Dalam rangka pembangunan nasional upaya pembangunan masyarakat dapat dilihat dari sudut pandang: Pertama, penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan masyarakat untuk berkembang; kedua, peningkatan kemampuan masyarakat dalam membangun dirinya melalui berbagai bantuan dana, pelatihan, pembangunan sarana dan prasarana baik fisik maupun sosial, serta pengembangan kelembagaan di daerah; dan ketiga, perlindungan melalui pemilihan kepada kaum yang lemah untuk menciptakan kemitraan yang saling menguntungkan dan mencegah persaingan yang tidak seimbang (Soemodiningrat ,1999). Konsep Kelompok Kelompok merupakan kumpulan manusia yang berinteraksi satu sama lain untuk suatu tujuan tertentu. Haiman (1950 : 76) mendefinisikan kelompok sebagai “dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan psikologis eksplisit satu dengan yang lain.” Cartwright dan Zander (1968 : 46) mengartikan kelompok sebagai “kumpulan individu yang mempunyai hubungan satu dengan yang lain yang membuat mereka saling bergantung (interdependent) pada tingkat yang nyata.” 22 Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1997 : 174) menyebut kelompok adalah “kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja bersama satu dengan lainnya secara teratur untuk mencapai satu atau lebih tujuan bersama.” Pada kelompok yang sebenarnya, anggota bergantung satu sama lain untuk mengejar tujuan itu untuk suatu periode waktu. Lau dan Shai (1992:121) mengaitkan kelompok dengan aspek identitasnya. Keduanya menyebut kelompok sebagai sebuah “ himpunan tiga orang atau lebih yang dapat mengidentifikasikan diri atau diidentifikasi oleh yang lain sebagai kelompok.” Dari perspektif perilaku keorganisasian, kelompok mereka definisikan sebagai kumpulan individu yang (1) mempunyai hubungan saling bergantung yang nyata satu sama lain, (2) memandang dirinya sebagai sebuah kelompok dan membedakan anggota dengan bukan anggota, (3) identitas kelompok diakui oleh bukan anggota, (4) sebagai anggota kelompok bertindak sendiri atau bersama mempunyai hubungan saling bergantung dengan kelompk yang lain, dan (5) peran-peran dalam kelompok merupakan fungsi harapan mereka sendiri, orang lain dalam kelompok, serta bukan anggota kelompok. Beberapa pandangan menekankan tidak semua kumpulan manusia adalah kelompok. Cartwright dan Zander (1968) mengemukakan: “adalah tidak benar bahwa setiap kumpulan manusia merupakan suatu kelompok.” Suatu kumpulan orang hanya layak disebut sebagai kelompok bila mereka berhubungan satu dengan yang lainnya dengan pola yang jelas. Mardikanto (1993: 185) menyebut kelompok berbeda dengan kerumunan. Anggota kelompok memiliki interaksi kuat satu sama lain. Pada kerumunan, orang-orang secara fisik tampak bersatu, namun sebenarnya tidak ada hubungan atau interaksi antar individu yang ada di tempat itu. Kesamaan antar individu juga dinilai belum memadai untuk menjadi batasan kelompok. Catright dan Zander (1968:46) menyebut bahwa kesamaan atau ketidaksamaan bukan kriteria untuk menetapkan orang-orang berada dalam kelompok yang sama atau berbeda. Seorang suami, istri, serta bayinya merupakan sebuah kelompok alami yang sangat kuat. Padahal antar ketiganya memiliki sedikit kesamaan dibandingkan dengan kesamaan suami dengan lakilaki yang lain, istri dengan perempuan yang lain, bayi dengan bayi yang lain. Kelompok yang kuat dan terorganisasi baik, jauh dari homogen serta berisikan beragam sub-kelompok dan individu yang berbeda. 23 Keberadaan kelompok terkait dengan harapan orang untuk memenuhi kebutuhan tak dapat dilakukannya sendiri (Haiman, 1950:79; dan Ruben,1988:338). Haiman menyebut alasan utama keberadaan kelompok adalah bahwa setiap anggota percaya bahwa dia akan dapat memenuhi sebagian kebutuhannya yang tak dapat ia penuhi sendiri dengan cara berkolaborasi dengan orang lain. Seseorang akan tetap berada dalam kelompok sepanjang ia masih percaya bahwa menjadi bagian dari kelomkpok tetap lebih menguntungkan disbanding meninggalkannya. Berdasar kebutuhan tersebut, Haiman (1950:79) membagi kelompok menjadi “kelompok belajar” dan “kelompok bertindak.” Kelompok belajar adalah yang terbentuk berdasar kebutuhan untuk berbagi gagasan dan perasaan, dan juga untuk mendapat pengertian lebih dari orang-orang lain, sedangkan kelompok bertindak adalah kelompok yang berdasar kebutuhan untuk bekerja sama dalam membuat keputusan maupun kerja yang tak ditangani sendiri. “Kita memerlukan kelompok untuk memenuhi banyak aspirasi serta kebutuhan psikologis, personal, maupun sosial” (Ruben,1988:338). Kelompok dibentuk guna menyelesaikan tugas seperti menorganisasikan acara, membangun rumah, dan melaksanakan program masyarakat. Kelompok juga dibentuk untuk orientasi personal dan sosial. Klub social, kelompok diskusi masuk dalam kategori ini. Kebanyakan kelompok disebut mempunyai kombinasi kedua orientasi tersebut. Meskipun kelompok dibentuk untuk memenuhi kebutuhan, namun tujuan kelompok sering tak dinyatakan secara jelas. Ruben (1988:340) menyebut bahwa pada kebanyakan kelompok kecil, tujuan muncul secara alami untuk menjawab kebutuhan individu seperti kesetia-kawanan (Companionship) atau penyelesaian tugas. Pada kelompok kecil itu, tujuan biasanya tak dinyatakan secara tegas, anggota bahkan tidak dapat mengemukakan tujuan itu secara pasti. Hal serupa dikemukakan oleh Krueger (1994:14) yang menyebut tujuan kelompok terkadang jelas, tetapi lebih sering samar-samar. Ketidakjelasan itu terjadi karena dua hal. Pertama karena pemahaman atau penerimaan anggota terhadap tujuan tersebut yang berbeda-beda. Kedua, tujuan itu berubah karena waktu. 24 Krueger (1994) menyebut bahwa kerancuan mengenai kelompok tak hanya menyangkut tujuan, melainkan juga proses dari interaksi kolektif. Berkaitan dengan proses interaksi dalam kelompok, Ruben (1988:341) menekankan pada aspek jaringan komunikasi dalam kelompok. Pada jaringan tersebut, sebagian orang berada pada titik pusat jaringan, sebagian lagi berada pada di peripheral. Terkadang ada juga anggota yang terisolasi dari yang lain dalam jaringan. Pola jaringan tersebut berubah seiring perjalanan waktu. Jaringan komunikasi tersebut adalah serupa dengan dipergunakan oleh Rogers dan Kincaid (1981) dalam konteks difusi inovasi. Kelompok akan berkembang melalui tahapan tertentu. Pada kelompok yang berorientasi tugas, tahapan tersebut adalah: (1) fase orientasi, (2) fase konflik, (3) fase kebangkitan (emergence); serta (4) fase reinforcement. Fase pertama ditandai dengan pernyataan awal perundang-undangan, serta pembentukan keterkaitan (linkage) berhubungan dengan tugas. Bagitu kelompok berlanjut, pernyataan dengan sudut pandang berbeda akan mengalami polarisasi. Secara berangsur individu dan sub-kelompok yang berbeda pandangan tersebut akan melakukan akomodasi satu sama lain. Bersama dengan perkembangan penyelesaian tugas, kerjasama antar individu dalam jaringan akan meningkat. Setiap orang akan dituntut untuk aktif dalam tim, dalam hal tersebut dapat memberi akibat positif meupun negative bagi individu serta kelompok (Ruben, 1988:343). Tahapan pengembangan kelompok juga dikemukakan Schemerhorn et al. (1997:178-9). Tahapan tersebut adalah pembentukan, pembadaian (storming), penormaan, penyelenggaraan (performing), dan istirahat (adjourning). Perhatian awal tertuju pada masuknya anggota ke dalam kelompok. Kebutuhan individu dan kemampuan kelompok untuk memenuhinya menjadi perhatian utama. Setelah tahap tersebut terlampaui, kelompok akan masuk pada tahap tekanan dan emosi tinggi di antara anggotanya. Pada tahap ini, setiap individu mulai mengenal karakter individu lain. Konflik acap terjadi pada tahap ini. Pada tahap berikutnya kelompok mengalami integrasi. Harmoni dikedepankan, pandangan minoritas akan tersisih. Keadaan ini menjadi pondasi bagi tahap kematangan kelompok. Pada tahap ini, kelompok akan terorganisasi dan mampu menangani tugas-tugas yang kompleks. Setelah menyelesaikan 25 tugasnya, maka kelompokpun memasuki fase istirahat (Schemerhorn, Hunt, dan Osborn, 1997:178-9). Ruben (1988:343) menyebut bahwa proses perkembangan tersebut relative sama pada setiap kelompok tugas. Namun kelompok tidak hanya berorientasi tugas. Kelompok dapat dikategorikan melalui berbagai pendekatan. Diantaranya adalah kelompok sosial dan tugas; formal dan informal; interaksim koaksi, dan cointeraction; primer dan sekunder; serta peguyuban (gemeinschaft) dan patembayan (geselschaft) (Mardikanto, 1993 186-8) Hal yang banyak dikaitkan dengan kelompok adalah dinamika kelompok. Menurut Cartwright dan Zander (1968:7), dinamika kelompok mengandung tiga makna. Pertama, sebagai ideologi politis menyangkut cara kelompok diorganisasikan atau dikelola. Kedua, terkait dengan tehnik seperti observasi dan umpan balik dalam proses kelompok, atau mengenai keputusan kelompok. Ketiga, menyangkut kondisi alamiah kelompok, hukum-hukum yang berlaku dalam pengembangan kelompok, interaksi antar anggota dan sebagainya. Adapun unsure dinamika kelompok adalah tujuan kelompok, struktur kelompok, fungsi-tugas, pembinaan dan pemeliharaan, kekompakan kelompok, suasana kelompok, tekanan kelompok, efektivitas kelompok, serta agenda tersembunyi. Kirst-Ashman (2000-231) mengemukakan tujuh aspek dinamika kelompok, yakni komunikasi, interaksi antar individu, norma, peran, kekompakan kelompok, kekuasaan dan status, serta kepemimpinan. Hughes, Kroehler, dan Vander Zanden (2002:103-10) mengaitkan dinamika kelompok dengan ukuran kelompok, kepemimpinan, kemalasan sosial (social loafing), dilema sosial, pikiran kelompok (group think), serta persesuaian (conformity). Dinamika kelompok bukan satu-satunya pendekatan dalam pengkajian kelompok. Bertrand (1972:44) menyebut bahwa kelompok merupakan satuan sistem sosial yang paling kecil. Maka kajian terhadap kelompok dapat dilakukan melalui pendekatan sistem sosial. Pendekatan Kelompok Membantu mengatasi keluarga miskin khususnya di kota besar pada dasarnya sering menggunakan pendekatan ekonomi, antara lain memberikan bantuan modal kepada keluarga miskin tersebut. Pemberian bantuan modal selama ini tanpa diikuti oleh adanya pengembangan kapasitas (capacity building) 26 dari keluarga miskin tersebut, baik secara individu (anggota keluarga miskin) maupun keluarga sebagai sebuah kelompok. Adanya bantuan modal dalam bentuk charity hanya akan menciptakan ketergantungan dari keluarga miskin tersebut terhadap pihak-pihak yang memberikan bantuan modal tersebut baik pihak pemerintah maupun pihak swasta. Meskipun selama ini sering diberlakukan melalui metode bantuan bergulir, ternyata pemahaman keluarga miskin terhadap system bergulir ternyata tidak menjadikan keluarga miskin tersebut semakin berdaya. Kebanyakan bantuan yang diberikan secara bergulir tersebut, dihabiskan untuk kebutuhan konsumtif. Keluarga miskin tersebut belum memiliki kemampuan mengelola modal serta belum memiliki jaringan kerja dalam rangka memperluas pangsa pasar untuk menambah modal. Salah satu model yang perlu untuk dilakukan didalam memberdayakan keluarga miskin di kota besar yaitu melalui pendekatan kelompok. Pendekatan kelompok pada dasarnya didasarkan kepada asumsi bahwa setiap keluarga pada dasarnya berkelompok antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, baik berdasarkan kedaerahan (etnosentris), berdasarkan kelompok kerja, berdasarkan kepentingan dan kebutuhan, berdasarkan ikatan agama, serta berdasarkan ikatan-ikatan lainnya. Keberadaan kelompok-kelompok tersebut pada dasarnya sangat potensial untuk dikembangkan dan dikelola. Pengembangan dan pengelolaan kelompok tersebut didasarkan manajemen kelompok dan spirit kebersamaan untuk membesarkan kelompok tersebut. Kekuatan yang ada dalam kelompok tersebut, pada dasarnya merupakan “social capital” (modal sosial) yang perlu dikembangkan dalam kelompok-kelompok pada keluarga miskin tersebut. Melalui kerja sama, interaksi, kebersamaan serta dinamika kelompok yang ada dalam kelompok tersebut akan semakin memudahkan bagi anggota kelompok untuk mengembangkan rencana, perluasan jaringan, serta perluasan kesempatan untuk meningkatkan usaha memperolah keuntungan yang lebih banyak. Melalui pendekatan kelompok, pada dasarnya di dalamnya terdapat pendidikan, pemberdayaan dan kemandirian anggota kelompok sesuai dengan substansi yang ada dalam disiplin penyuluhan. Penekanan dalam pendekatan kelompok tersebut adalah bagaimana kelompok yang di dalamnya terdiri dari 27 keluarga miskin tersebut mampu mampu mengorganisir dirinya untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang mereka hadapi selama ini. Mengutip pendapat Whitaker (1989), beberapa hal yang terkait dengan menggunakan kelompok untuk membantu masyarakat antara lain: Pertama, Orientasi pengambilan keputusan untuk bekerja melalui kelompok , dengan maksud : (1) pentingnya keputusan dan pembagian tugas ketika perencanaan kelompok dan pembentukan kelompok; dan (2) mengetahui karakter dari kelompok sebagai media untuk membantu anggota kelompoknya. Bagi keluarga miskin sebagai anggota kelompok bekerja melalui kelompok akan melatih keluarga miskin tersebut untuk mengambil keputusan yang dianggap baik, khususnya terkait dengan bagaimana meningkatkan pendapatan dan penghasilan keluarga. Keputusan yang diambil secara bersama itu didasarkan atas tanggung jawab bersama untuk saling membantu di antara anggota kelompok itu sendiri. Misalnya saja terkait dengan jenis pekerjaan yang mampu meningkatkan taraf hidup anggota kelompok tersebut. Setelah keputusan tersebut dibuat, maka anggota kelompok tersebut diajarkan untuk melakukan pembagian tugas masing-masing guna mencapai tujuan dari kelompok itu sendiri. Selain itu, setiap anggota kelompok dapat memahami dan menyosialisasikan karakter kelompok yang akan dibangun bersama tersebut. Karakter kelompok tersebut, merupakan sebuah “glue” (pengikat) di antara anggota kelompok tersebut. Melalui pemahaman dan komitmen yang kuat terhadap karakter kelompok tersebut menjadikan anggota kelompok tersebut untuk selalu mempertahankan karakter kelompok yang dibangun tersebut. Kedua, membangun dinamika kelompok, mulai dari saling mendengar antar anggota, menguatkan kelompok, menyelesaikan masalah dan membangun kekuatan kelompok itu sendiri. Kelompok dari keluarga miskin tersebut pada dasarnya memiliki dinamika kelompok sendiri. Idealnya dalam kelompok tersebut anggota kelompok mengembangkan nilai demokratisasi, mulai dari saling menyampaikan ide dan gagasan dalam kelompok, menyelesaikan masalah kelompok secara musyawarah, serta membangun kekuatan kelompok sesuai dengan potensi masing–masing anggota kelompok untuk membangun kelompok menjadi lebih profesional. 28 Ketiga, Membuat keputusan tentang pekerjaan yang akan dilakukan pada masa yang akan datang guna memperluas pengalaman. Dalam konteks membantu keluarga miskin melalui pendekatan kelompok tersebut, adanya pengalaman yang telah dilakukan oleh anggota kelompok di dalam bekerja sama tersebut, maka pada tahap selanjutnya ketika anggota kelompok merasa saling membutuhkan terhadap kelompok yang dibentuk tersebut, maka kelompok akan selalu mencoba membuat keputusan yang akan dilakukan pada masa selanjutnya melalui kegiatan-kegiatan yang bermanfaat bagi anggota kelompok mapun pada kelompok itu sendirinya. Dengan demikian melalui pendekatan kelompok, pada dasarnya akan memberikan pembelajaran dan pendidikan kepada anggota kelompok untuk selalui terlibat secara langsung, bekerja sama, berpartisipasi, belajar bersama di dalam menyelesaikan permasalahan kemiskinan yang dihadapi bersama. Melalui penyelesaian terhadap masalah kemiskinan secara bersama tersebut diharapkan dapat memberikan kesejahteraan yang labih baik bagi keluarga miskin di kota besar tersebut. Dinamika Kelompok Cartwright dan Zander (1968) menyatakan bahwa “ Group dynamics is a field of inquiry dedicatd to advancing kenowledge about the nature of groups, the laws of their development, and their interrelations with individuals, other groups and larger institutions. ” Berdasarkan konsep di atas, pada dasarnya dinamika kelompok merupakan sebuah kondisi yang menggambarkan tentang keadaan kelompok, perkembangan kelompok tersebut, hubungan individu dalam kelompok tersebut serta hubungan dengan kelompok lain dalam konteks yang lebih luas. Artinya, bahwa dalam dinamika kelompok mengkaji semua aspek yang berkaitan dengan kelompok tersebut, baik aspek yang bersifat internal dalam kelompok maupun aspek eksternal dari kelompok tersebut, aspek individu dalam kelompok maupun aspek dari kelompok itu sendiri. Cartwright dan Zander (1968 : 23) menyatakan bahwa terdapat beberapa asumsi dasar mengenai dinamika kelompok antara lain: (1) Bahwa keberadaan kelompok tidak bisa dihindari dan berada dimana-mana. Artinya bahwa dalam komunitas manusia pasti akan membentuk kelompok- 29 kelompok baik kelompok dalam ukuran besar maupun dalam ukuran kecil. Di sisi lain setiap manusia pasti akan berhadapan dan berurusan dengan kelompok, karena kelompok dapat mengatur setiap kebutuhan dan kepentingan dari setiap individu; (2) Setiap kelompok akan mampu memobilisasi kekuatan yang mampu memberikan efek yang sangat penting bagi setiap individu. Setiap individu akan selalu mengidentifikasikan dengan kelompoknya, baik dalam keluarganya, pekerjaannya, lingkungan sosial dan sebagainya. Melalui kelompok, setiap individu akan meningkatkan kapasitas dan kualitas individunya agar dapat berkembang menjadi lebih baik. (3) Setiap kelompok juga menciptakan sebuah konsekuensi yang baik maupun yang jelek. Kompleksitas yang ada dalam setiap kelompok tentunya memiliki konsekuensi terhadap hal-hal yang baik, tetapi di sisi lain juga membawa konsekuensi yang jelek. Misalnya saja dalam kelompok terdapat adanya interaksi, integrasi, konflik dan sebagainya. Melalui kepemimpinan dan koordinasi yang baik, kelompok tersebut mampu meminimalisasi hal-hal yang jelek dan memaksimalkan hal-hal yang pisitif. (4) Melalui adanya pengertian yang baik dari dinamika kelompok membawa konsekuensi yang layak menjadikan kelompok tersebut menjadi lebih baik (kondusif). Melalui pengertian tentang dinamika kelompok , setiap kelompok memberikan pelayanan yang baik kepada anggotanya, selain itu melalui pengetahuan juga akan mampu merubah perilaku manusia bahkan lembagalembaga sosial. Artinya bahwa kelompok memiliki kekuatan yang luar biasa untuk merubah perilaku individu bahkan perilaku masyarakat (komunitas). Perkembangan setiap kelompok yang dimulai dan didasari oleh beberapa asumsi di atas semakin menempatkan kelompok tersebut memiliki pengaruh yang besar terhadap setiap orang; memberikan pengaruh terhadap setiap individu serta kelompok itu sendiri bahkan terhadap masyarakat yang lebih luas. Kelompok dibentuk untuk mempermudah anggota-anggota mencapai sebagian hal-hal yang dibutuhkan dan/atau dinginkan. Dengan kesadaran semacam itu setiap anggota menginginkan dan akan berusaha agar kelompoknya dapat benar-benar efektif dalam menjalankan fungsinya, dengan meningkatkan mutu interaksi/kerjasamanya dalam memanfaatkan segala potensi yang ada pada anggota dan lingkungannya untuk mencapai tujuan kelompok. 30 Dinamika kelompok adalah suatu keadaan suatu kelompok dapat menguraikan, mengenali kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam situasi kelompok yang dapat membuka perilaku kelompok dan anggota-anggotanya. Dinamika kelompok merupakan tingkat kegiatan dan tingkat keefektifan kelompok dalam rangka mencapai tujuannya (Slamet, 2006). Slamet (2006) menyatakan bahwa dalam psikologi sosial ada disebutkan kelompok mempunyai perilaku, demikian juga anggotanya yang dipengaruhi oleh sembilan faktor/unsur. Faktor ini berfungsi sebagai sumber energi bagi kelompok yang bersangkutan. Adanya keyakinan yang sama akan menghasilkan kelompok yang dinamis. Unsur-unsur tersebut antara lain: (1) Tujuan Kelompok (2) Struktur Kelompok (3) Fungsi Tugas (4) Pembinaan dan Pengembangan Kelompok (5) Kekompakan Kelompok (6) Suasana Kelompok (7) Ketegangan Kelompok (8) Kefektifan Kelompok (9) Maksud Tersembunyi Konsep dan Unsur Dinamika Kelompok Mengapa pendekatan kelompok dipandang sebagai cara yang efektif dalam berbagai upaya pemberdayaan?. Setiap kelompok, baik yang sengaja dibentuk maupun yang terjadi secara spontan memiliki dinamika tertentu. Dinamika kelompok menggambarkan kekuatan-kekuatan dalam situasi kelompok yang menentukan perilaku kelompok dan anggota-anggotanya (Jenkins, 1961). Kekuatan-kekuatan tersebut berasal dari : adanya interaksi antara anggota kelompok, hubungan inter-personal, struktur kelompok dan komunikasi, yang terjadi karena terdapat tujuan tertentu yang hendak dicapai. Suatu kelompok memiliki dinamika yang tinggi jika kelompok efektif dalam mencapai tujuannya (Etzioni, 1980). Proses yang terjadi dalam kelompok adalah kegiatan-kegiatan yang diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah diputuskan bersama (Sofer,1972). 31 Dapatkah pengertian yang lebih baik tentang kelompok menolong kita agar kegiatan penyuluhan dalam kelompok dapat lebih baik?. Terdapat dua pengertian yaitu: (1) Kita mengerti lebih baik tentang sifat dan kondisi kelompok tertentu; dan (2) Kita dapat lebih baik menilai dan memilih tehnik yang tepat dalam penyuluhan kelompok, sehingga tujuan kelompok tercapai secara efektif. Tumbuh dan berkembangnya cara-cara kemunikasi dalam kelompok dipengaruhi oleh tiga factor berikut, yaitu: (1) Unsur kepemimpinan kelompok, (2) Tingkat produktivitas dan keeratan kelompok, dan (3) Proses-proses interaksi yang terjadi antar anggota (Leagens, 1961). Ciri-ciri kepemimpinan dalam kelompok dapat dipelajari menggunakan model kepemimpinan Contingency dari Fiedler seperti dikemukakan oleh Hersey dan Blanchard (1978). Menurut model tersebut terdapat tiga peubah utama yang menentukan keadaan tertentu yang cocok bagi kepemimpinan seseorang yaitu: (1) Hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota, (2) Struktur tugas yang diberikan: umumnya tugas-tugas dalam kelompok tidak berstruktur, dan (3) Kekuasaan yang berkaitan dengan kedudukannya sebagai pemimpin. Menurut Broom dan Selznick (1968), jika kelompok berfungsi dengan baik, maka terdapat beberapa proses yang dapat diamati, yaitu: (1) Interaksi positif antara para anggota dengan pemimpin, (2) Adanya kegiatan-kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama, (3) Terdapat pembagian dan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab, (4) Terdapat fungsi pemeliharaan kepemimpinan dan pendelegasian kegiatan, dan (5) Ada penilaian terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan. Namun ada kalanya terjadi jaringan komunikasi yang terbatas pada klik-klik tertentu dalam kelompok (Rogers dan Kincaid, 1982). Tingkat dinamika kelompok dipengaruhi oleh beberapa unsur yang selalu ada dalam sistem sosial lain. Unsur-unsur ini dapat digunakan untuk mengevaluasi dinamika kelompok dalam sudut ilmu Sosiologi (Loomis, 1960), yang terdiri dari: tujuan, kepercayaan atau pengetahuan, sentimen, norma, peranan, status, sanksi, kekuasaan, jenjang sosial, fasilitas dan tegangan. Tergantung dari kepekatan dari masing-masing unsur, maka seseorang dapat menilai tingkat dinamika sesuatu kelompok. 32 Pendekatan pemberdayaan masyarakat melalui kelompok akan memberikan hasil positif jika perencana dan pengantar pembaruan atau agen pembaruan mendalami ciri-ciri kelompok (Lippitt,1961), yang terdiri dari: (1) Latar belakang kelompok: perilaku peserta dipengaruhi oleh lingkungan mental dan perasaan masing-masing anggota kelompok. (2) Pola partisipasi kelompok (3) Pola komunikasi antar anggota-anggota dalam kelompok: apakah ada anggota yang cenderung dominan. (4) Kessatuan kelompok (5) Iklim atau suasana dalam kelompok: apakah antara para anggota terdapat kesediaan untuk membagi pengalaman dan perasaan. (6) Adanya sub-kelompok (7) Adanya baku tertentu dalam kelompok (8) Prosedur kelompok. Cartwright dan Zander (1956) menunjukkan peranan fungsi kelompok kaitannya dengan pencapaian tujuan kelompok, yang terdiri dari: (1) Fungsi yang berkaitan dengan penggerak kelompok (2) Yang berkaitan dengan fungsi pemeliharaan kelompok (3) Fungsi yang berkenaan dengan pencapaian tujuan-tujuan pribadi dalam kelompok Kekuatan kelompok agar para anggota menerima tujuan kelompok dan menampilkan fungsi-fungsi kelompok, amat tergantung dari sejauh mana para anggota tertarik menduduki keanggotaan dalam kelompok. Kedua penulis tersebut mengemukakan empat proposisi mengenai kelompok yang dipandang menguntungkan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, yaitu: (1) Bahwa kelompok-kelompok dalam masyarakat memang ada (2) Bahwa adanya kelompok-kelompok tersebut tidak dapat dihindarkan dan ada dimana-mana (3) Bahwa kelompok dapat menggerakkan kekuatan-kekuatan tertentu yang dapat mempengaruhi para anggota, baik kea rah positif maupun negatif. (4) Bahwa dengan melalui pendalaman pengetahuan mengenai dinamika kelompok, terdapat kemungkinan untuk memaksimalkan nilai-nilai positif sesuatu kelompok. 33 Komunikasi antar Kelompok Komunikasi mutlak harus terjadi, yang utama sekali adalah komunikasi antar kelompok di dalam sistem sosial. Menurut Slamet (2006), sesuai dengan teori kelompok, orang berkelompok untuk bisa bekerja sama mencapai tujuan yang dibutuhkan, tidak bisa dicapai sendiri, melainkan melalui kerjasama, baik internal dalam kelompok maupun antar kelompok. Jadi terdapat suatu kerjasama dan kerjasama semacam itu memerlukan prasyarat berupa komunikasi. Komunikasi dalam hal ini bisa dengan kata-kata, isyarat, tertulis. Kalau tidak ada komunikasi, maka tidak adakan terjadi interaksi. Di dalam usaha pembinaan kelompok, sistem komunikasi antar kelompok harus senantiasa diperhatikan dan diperbaiki. Apabila terputus , kehidupan kelompok akan terganggu. Hubungan Penyuluhan dengan Kemiskinan Penyuluhan adalah proses pendidikan , yaitu para penyuluh mendatangi pelaku pembangunan, perorangan atau kelompok, di domisili atau tempat bekerja, melalui berbagai metode penyuluhan (Azis, 1992). Menurut Slamet (1995), penyuluhan pertanian adalah industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (non-formal) dan informasi pertanian kepada pihak-pihak lain yang memerlukan. Menurut Leagan (Kamath, 1961), sasaran penyuluhan adalah meningkatnya perilaku petani atau pihak lain yang mengikuti penyuluhan, yaitu meningkatnya hierarkhi kawasan koginitif, afektif, dan psikomotorik dalam menerima dan menggunakan ide baru usahatani dan usaha lainnya. Peningkatan perilaku ini diikuti dengan meningkatnya produktivitas usahataninya dan usaha lainnya (Benor dan Harrison, 1977). Untuk mencapai sasaran perubahan tersebut diperlukan proses penyuluhan yang memperhatikan pendekatan penyuluhan dengan menerapkan pendekatan penyuluhan pembangunan (Wardoyo, 1992). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Penyuluhan Pembangunan di Indonesia yaitu komponen konsep penyuluhan pertanian dan bidang lain untuk mempercepat pencapaian tujuan pembangunan pertanian dan bidang lainnya. Beberapa pendekatan antara lain: (1) pendekatan umum, (2) pendekatan komuditas, (3) pendekatan latihan dan kunjungan (laku), (4) pendekatan 34 partisipatif, (5) pendektaan proyek, dan (6) pendekatan sistem usaha tani. Kesemuanya termasuk ke dalam pendekatan kelompok. Pendekatan dari bawah (bottom up) dan pendekatan dari atas (top down). Slamet (1992) mengemukakan bahwa pembangunan tidak hanya mencakup pendekatan top down, tetapi juga bottom up, keduanya menuntut partisipasi aktif dari rakyat banyak dan energo ekstra untuk mempelajari hal-hal baru yang dibawa oleh pembangunan. Profil kemiskinan dan pola perilaku yang mempengaruhinya akan menentukan pendekatan penyuluhan untuk membantu menanggulanginya, penelusuran terhadap kemiskinan dan pendekatan penyuluhan untuk membantu menanggulangi sebagaimana terlihat pada Gambar 1 . KEMISKINAN 1. 2. KONDISI: PERILAKU STRUKTUR EKONOMI 3. KARAKTERISTIK TINGKAT PENDAPATAN PENGUBAHAN PERILAKU, DIIKUTI PERBAIKAN STRUKTUR EKONOMI TINGKAT PEMENUHAN KEBUTUHAN HIDUP PROFIL KEMISKINAN PENDEKATAN PENYULUHAN Gambar 1: Profil Kemiskinan dan Pendekatan penyuluhan (Marzuki, 1997) Pendekatan penyuluhan sebagaimana dikemukakan Carl Rogers (Winkle, 1978:115), yaitu pendekatan penyuluhan non directive yakni pendekatan yang berorientasi pada klien atau sasaran, yang bersumber pada keyakinan tentang manusia, bahwa manusia berhak menentukan haluan hidupnya sendiri, manusia memiliki daya yang kuat untuk mengembangkan diri, manusia bertanggungjawab atas tindakannya sendiri, dan manusia bertindak atas pendangan-pandangan subyektif terhadap dirinya sendiri (konsep diri) dan 35 terhadap dunia sekitar. Pendekatan ini cocok digunakan untuk sasaran atau klien yang memiliki kemampuan yang tinggi dalam berfikir, bertindak, maupun saran agar mereka membuat keputusan dan bertindak dengan baik. Pendekatan eclective menurut Winkle (1978:119) merupakan penggabungan dari dua pendekatan tersebut. Penggunaan pendekatan ini adalah menurut kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi bagi penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Gambaran model pendekatan penyuluhan untuk mambantu menanggulangi kemiskinannya, dirancang sesuai dengan kondisi profil kemiskinan, pola perilaku dan faktor-faktor penyebabnya. Model pendekatan penyuluhan menggambarkan : (1) Arah perubahan sasaran, perubahan dari kategori kurang berkembang ke cukup berkembang dan ke arah berkembang, perubahan dari cukup berkembang ke berkembang, dan dari berkembang agar tetap dan lebih berkembang lagi; (2) Materi, yaitu aspek-aspek yang harus diubah agar dapat mencapai sasaran yaitu mencakup komponen perilakunya baik pengetahuan, sikap dan keterampilan kerjanya, aspirasi kerjanya, kemampuan adaptasi kerjanya, aktivitas kerja, dan aktivitas pemasarannya; (3) Metode, tehnik mengubahnya, dan media; dan (4) Peran penyuluhnya. Konsep Keluarga Keluarga merupakan pranata sosial yang sangat penting bagi kehidupan sosial di Negara manapun. Betapa tidak, selama ini sebagian besar masyarakat banyak menghabiskan waktunya dalam sehari bersama keluarga dibandingkan dengan aktivitas lain seperti di tempat kerja atau sekolah. Keluarga dalam hal ini merupakan wadah mulai sejak dini masyarakat dikondisikan dan dipersiapkan untuk kelak dapat melakukan peranan-peranannya pada masa yang akan datang. Terkait dengan peran keluarga, seperti yang ditulis Goode dalam bukunya “World Revolution and Family Patterns (1970 :46), bahwa dalam era perubahan global seperti sekarang, struktur keluarga dalam masyarakat juga mengalami perubahan menjadi bentuk conjugal, yaitu keluarga menjadi semakin mandiri melakukan peran-perannya lebih terlepas dari hubungan kerabat-kerabat luas baik dari pihak suami maupun pihak istri. Secara ekonomi, keluarga conjugal itu 36 berdiri sendiri, tempat tinggal juga secara tersendiri, tidak bersatu dengan keluarga luas. Secara psikologis, satuan kecil ini menjadi semakin berdirikari. Ini berarti juga bahwa hubungan emosional diantara suami istri menjadi lebih sentral dalam kehidupan keluarga yang memang menyababkan hubungan mereka mencaji akrab. Akan tetapi, kemungkinan keluarga pecah dan retak juga lebih besar karena yang mengikatnya hanya suami istri saja, sedangkan dalam keluarga tradisional masih ada anggota keluarga luas yang mengikat keluarga kecil. Dalam konteks Indonesia, keluarga menjadi basis terpenting dalam perkembangan kehidupan manusia. Keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental tempat terbentuknya kepribadian yang mewarnai kehidupan manusia. Persemaian nilai-nilai agama, kemanusiaan, kebangsaan, keadilan sosial dan nilai-nilai moral secara praktis akan berproses dan ditentukan oleh keluarga. Keluarga merupakan pranata social pertama dan utama yang mengemban fungsi strategis dalam membekali nilai-nilai kehidupan bagi anak manusia yang tengah tumbuh dan berkembang untuk mencari makna dalam perjalanan hidupnya. Keluarga diidentikkan sebagai tempat atau lembaga pengasuhan yang paling dapat memberi kasih sayang, kegiatan menyusui, afektif dan ekonomis. Di dalam keluargalah kali pertama anak-anak manusia mendapat pengalaman dini langsung yang akan digunakan sebagai bekal hidupnya dikemudian hari melalui latihan fisik, social, mental, emosional dan spiritual. Karena anak ketika baru lahir tidak memiliki tata cara dan kebiasaan (budaya) yang begitu saja terjadi sendiri secara turun temurun dari satu generasi ke generasi lain. Oleh karena itu harus dikondisikan ke dalam suatu hubungan kebergantungan antara anak dengan agen lain (orang tua dan anggota keluarga lain) dan lingkungan yang mendukungnya baik dalam keluarga atau lingkungan yang lebih luas (masyarakat), selain faktor genetik berperan pula (Zanden : 1986) Perlu diingat bahwa keluarga merupakan suatu sistem yang terdiri atas elemen-elemen yang saling terkait antara satu dengan lainnya dan memiliki hubungan yang kuat. Oleh karena itu, untuk mewujudkan satu fungsi tertentu bukan yang bersifat alami saja melainkan juga adanya berbagai faktor atau kekuatan yang ada di sekitar keluarga, seperti nilai-nilai, norma dan tingkah laku serta faktor-faktor lain yang ada di masyarakat, sehingga di sini keluarga dapat 37 dinilai juga sebagai sub-sistem dalam masyarakat (unit terkecil dalam masyarakat) yang saling berinteraksi dengan sub sistem lainnya yang ada dalam masyarakat, seperti sistem agama, ekonomi, politik dan pendidikan, untuk mempertahankan fungsinya dalam memelihara keseimbangan social dalam masyarakat. Fungsi Keluarga Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami-istri dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga adalah tempat yang penting, tempat bagi anak memperoleh dasar dalam membentuk kemampuannya agar kelak menjadi orang yang berhasil dalam masyarakat (Depsos, 2003 : 23). Selanjutnya dijelaskan bahwa ada tiga elemen utama dalam struktur internal keluarga, yaitu: (1) Status sosial, dimana dalam keluarga inti distrukturkan oleh tiga struktur utama, yaitu bapak/suami, ibu/istri dan anak-anak. Sehingga keberadaan status sosial menjadi penting karena dapat memberikan identitas kepada individu serta memberikan rasa memiliki, karena ia merupakan bagian dari sistem tersebut, (2) Peran sosial, yang menggambarkan peran dari masing-masing individu atau kelompok menurut status sosialnya, dan (3) Norma sosial, yaitu standar tingkah laku berupa sebuah peraturan yang menggambarkan sebaiknya seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosial (Depsos, 2003 : 20). Bila dilihat menurut fungsinya, keluarga salah satunya berperan dalam melaksanakan proses sosialisasi. Zanden (1986) menyatakan bahwa fungsi keluarga adalah sebagai wahana terjadinya sosialisasi antara individu dengan warga yang lebih besar. Sama halnya yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah RI No.21 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan keluarga sejahtera, salah satu fungsi dari delapan yang ada adalah sosialisasi dan pendidikan, yaitu fungsi yang memberikan peran kepada keluarga untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam kehidupannya. Secara umum terdapat upaya sosialisasi nilai terhadap anggota keluarga dari kepala keluarga yang memiliki wewenang untuk mentransfernya. Bentuk 38 sosialisasi dan transfer nilai dalam lingkungan internal keluarga bisa bermacammacam diantaranya: (1) Keluarga yang relatif memiliki keteraturan dalam bersikap akan merusaha mengembangkan sikap social yang baik dan kebiasaan berprilaku kepada anggota keluarga. (2) Akan terbentuk pola hubungan antar anggota keluarga berbentuk penyesuaian nilai sebagai dasar bagi hubungan sosial dan interaksi sosial yang lebih luas. (3) Adanya interaksi internal yang dapat melahirkan ikatan keluarga yang akrab dan hangat, sehingga anak akan memperoleh pengertian tentang hak, kewajiban, tanggung jawab yang diharapkan. (4) Penyelaman terhadap kejadian sehari-hari yang berupa peristiwa-peristiwa yang menyenangkan, menyedihkan, penolakan, belas kasihan dan prustasi akan berpengaruh terhadap sikap mental anggota keluarga (anak) menjadi lebih berpikir dewasa karena belajar dari pengalaman yang ada (reinforcement) (Blood:1972). Adanya hubungan dan interaksi yang erat antara kepala keluarga dan anggota keluarga tersebut akan memperkuat kesiapan keluarga dalam menghadapi perubahan lingkungan yang lebih besar. Sehingga kebutuhan fisik, intelektual, emosional dan kebutuhan moral anggota keluarga harus dapat terpenuhi dengan baik oleh keluarganya sebagai prasyarat untuk bekal beradaptasi dengan lingkungan luarnya. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak sangat dipengaruhi oleh berfungsinya keluarga. Keluarga baik keluarga batih/inti maupun keluarga besar mempunyai fungsi dan kedudukan dalam keluarga. Fungsi-fungsi keluarga secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut (Depsos, 2003 : 25) : (1) Fungsi Reproduksi Fungsi reproduksi mencakup kegiatan melanjutkan keturunan secara terencana, sehingga menunjang terciptanya kesinambungan dan kesejahteraan sosial keluarga. (2) Fungsi Afeksi Fungsi afeksi meliputi kegiatan untuk menumbuhkembangkan hubungan sosial dan kejiwaan yang diwarisi kasih sayang, ketentraman dan kedekatan. 39 (3) Fungsi Perlindungan Yaitu menghindarkan anggota keluarga dari situasi atau tindakan yang dapat membahayakan atau menghambat kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. (4) Fungsi Pendidikan Mencakup kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemampuan maupun sikap dan perilaku anggota-anggota keluarga guna mendukung proses penciptaan kehidupan dan penghidupan keluarga yang sejahtera. (5) Fungsi Keagamaan Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan hubungan anggota keluarga dengan Tuhan Yang Maha Esa. sehingga keluarga dapat menjadi wahana persemaian nilai-nilai keagamaan, guna membangun jiwa anggota keluarga yang beriman dan bertaqwa. (6) Fungsi Sosial Budaya Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk melestarikan dan mengembangkan nilainilai sosial budaya, guna memperkaya khasanah budaya, maupun integrasi sosial bangsa dalam rangka menciptakan kesejahteraan sosial keluarga. (7) Fungsi Sosialisasi Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk menanam dan mengembangkan nilainilai sosial/kebersamaan bagi anggota keluarga guna menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Melalui sosialisasi yang dilakukan keluarga, anak dapat mempelajari tentang bagaimana berpikir, berbicara, dan mengikuti adap istiadat/kebiasaan, perilaku dan nilainilai di dalam masyarakat dimana dia berada. (8) Fungsi Pengembangan Lingkungan Yaitu kegiatan yang ditujukan untuk memberdayakan anggota keluarga guna melestarikan, memberdayakan dan meningkatkan daya dukung lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan social dalam rangka mencipta keserasian antara kehidupan alam dan manusia. (9) Fungsi Ekonomi Yaitu kegiatan mencari nafkah, merencanakan, meningkatkan pemeliharaan dan mendistribusikan penghasilan keluarga guna meningkatkan dan melangsungkan kesejahteraan keluarga. 40 (10) Fungsi Rekreatif Yaitu kegiatan mengisi waktu senggang secara positif guna terciptanya suasana santai diantara keluarga, sebagai upaya untuk mengoptimalkan pendayagunaan energi fisik dan psikis, menghilangkan ketegangan; dan (11) Fungsi Kontrol Sosial Yaitu menghindarkan anggota keluarga dari perilaku menyimpang serta membantu mengatasinya guna menciptakan suasana kehidupan keluarga dan masyarakat yang tertib, aman dan tentram. (Depsos, 2003 :25). Dengan asumsi apabila keluarga dapat melaksanakan fungsi-fungsi pokok di atas, maka keluarga berserta anggota akan terbebas dari potensi gangguan pertumbuhan fisik, intelektual, sosial, emosional atau moralnya. Keluarga semacam ini membutuhkan pertolongan dari pihak lain. Konsep Sumber Daya Keluarga Keluarga sebagai satuan organisasi terkecil yang menghimpun manusia dalam tatanan masyarakat, juga merupakan basis kegiatan ekonomi. Keluarga juga menghimpun sumber daya materi/alam dan sumber daya waktu. Sehingga dapat dikatakan bahwa sumber daya keluarga merupakan gabungan antara sumber daya manusia dan sumber daya materi (Guhardja, 1993 : 1). Sumber daya keluarga ini digunakan untuk mencapai tujuan keluarga, melalui proses pengelolaan yang dilakukan dalam suatu rumah tangga. Sumber daya keluarga tidak hanya terdapat di dalam keluarga sendiri (internal) tetapi juga yang berada di berbagai lingkungan sekitarnya yaitu lingkungan dimana keluarga itu berada (Guhardja, 1993 : 3). Sumber daya adalah alat atau bahan yang tersedia dan diketahui potensinya untuk memenuhi keinginan. Terdapat 3 (tiga) asumsi dasar mempelajari sumber daya keluarga yaitu: (1). Sumber daya keluarga tidak hanya terdapat di dalam keluarga sendiri tetapi juga terdapat di berbagai lingkungan sekitar keluarga. (2). Kondisi dari sumber daya merupakan elemen dari sistem yang dapat mendorong atau menghambat pencapaian tujuan keluarga. (3). Perubahan salah satu sumber daya akan berpengaruh pada sumber daya lainnya dalam sistem keluarga (Juniarti, 2008 : 3) 41 Sumber daya keluarga pada dasarnya memiliki nilai dan fungsi bagi keluarga itu sendiri. Bahkan dalam beberapa hal, sumber daya keluarga tersebut memiliki nilai ekonomi yang sangat menguntungkan terhadap keluarga. Berdasarkan nilai ekonomi terdapat beberapa jenis sumber daya antara lain: (1) Sumber daya ekonomi (Home economics) yaitu sumber daya yang dapat dipertukarkan dan diukur bukan hanya untuk tujuan konsumsi tetapi untuk proses produksi dan distribusi.(lahan, tenaga kerja, modal, keterampilan & segala sesuatu yang ada di dalam dan diluar kelauarga yang bermanfaat; (2) Sumber daya non ekonomi : jumlahnya relatif terbatas, tidak dapat dipertahankan, sulit diukur (Friedman, 1995). Lebih lanjut Juniarti (2008 : 4 – 5) mengatakan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi sumber daya keluarga yaitu: (1). Kompleksitas kehidupan keluarga. Kehidupan keluarga yang sangat kompleks memerlukan gaya manajemen yang berbeda daripada keluarga yang memiliki masalah tidak terlalu kompleks. (2). Stabilitas/ketidakstabilan keluarga. Keluarga yang stabil cenderung dapat melakukan manajemen sumber daya keluarga dengan lebih baik karena semua anggota keluarga dapat difokuskan untuk melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan. (3). Peran dan Perubahan Keluarga. Manajemen sumber daya keluarga juga dipengaruhi oleh peran masing-masing anggota keluarga di masyarakat dan juga oleh perubahan dalam keluarga, misalnya adanya keluarga yang meninggal atau baru lahir. (4). Teknologi. Dengan teknologi yang sudah semakin canggih, keluarga dapat melakukan manajemen sumber dayanya dengan lebih terarah. Keempat faktor di atas sangat menentukan terhadap perkembangan dari sebuah keluarga. Kekuatan sebuah keluarga memerlukan adanya perhatian keluarga terhadap keempat faktor tersebut. Selain keempat faktor di atas kekuatan keluarga ditentukan oleh pengelolaan sumber daya yang ada dalam keluarga. Sumber daya yang terdapat dalam keluarga, yaitu (1) Kekuatan fisik dan psikososial setiap anggota, (2) Kemampuan keuangan, (3) Fasilitas fisik, dan (4) Adanya dukungan dari kelompok yang lain (Ali, 2006: 71) Menurut Guhardja (1993:19), berdasarkan tinjauan dari asal/letak sumber daya, maka sumber daya keluarga dibagi menjadi dua, yaitu sumber daya 42 lingkungan mikro atau internal dan sumber daya lingkungan makro atau eksternal. (1) Sumber daya lingkungan mikro/internal. Sumber daya lingkungan mikro/internal adalah sumber daya yang ada pada suatu individu dan keluarga baik fisik maupun non fisik. Sumber daya internal keluarga antara lain: jumlah dan susunan keluarga; tingkat pendidikan/pengetahuan dan keterampilan; tingkat pendapatan; luas, status dan mutu lahan; keadaan gizi dan kesehatan; ketersediaan waktu luang; tata nilai/agama dan hubungan dengan keluarga lain. (2) Sumber daya lingkungan makro/eksternal. Sumber daya lingkungan makro/eksternal adalah sumber daya yang ada pada lingkungan yang lebih luas dan pada masyarakat luas, baik fisik maupun non fisik. Adapun sumber daya eksternal keluarga meliputi: keadaa/sanitasi lingkungan pemukiman, potensi sumber daya alam, kesempatan berusaha/bekerja, tata nilai masyarakat, fasiilitas pendidikan, ekonomi dan fasilitas lain di lingkungan pemukiman. Berdasarkan kedua sumber tersebut baik internal maupun eksternal menunjukkan bahwa dalam keluarga tidak bisa dilepaskan dari sumber daya fisik maupun fisik yang sangat menentukan terhadap daya tahan keluarga. Konsep Lingkungan Sosial Sebagai mahluk sosial, manusia tidak pernah bisa hidup seorang diri. Di manapun, manusia senantiasa memerlukan kerja sama dengan orang lain. Manusia membentuk pengelompokan sosial (social grouping) diantara sesama dalam upayanya mempertahankan hidup dan mengembangkan kehidupan. Kemudia dalam kehidupan bersamanya itu manusia memerlukan pula adanya organisasi, yaitu suatu jaringan interaksi sosial antar sesama untuk menjamin ketertiban sosial. Interaksi-interaksi sosial itulah yang kemudian melahirkan sesuatu yang dinamakan lingkungan sosial. Lingkungan sosial tersebut sebagai tempat berlangsungnya bermacam-macam interaksi sosial antara anggota atau kelompok masyarakat beserta pranatanya dengan simbol dan nilai serta norma yang sudah mapan, serta terkait dengan lingkungan alam (ekosistemnya dan lingkungan binaan/buatan (tata ruang) (Purba , 2005 : 1). Definisi lingkungan sosial ini adalah definisi yang dibuat dengan mempertimbangkan keterkaitan 43 antara seluruh komponen yang terdapat dalam lingkungan hidup; bukan sematamata interaksi sosial an sich beserta pranata, simbol, nilai dan normanya saja tetapi juga kaitannya dengan unsur-unsur lingkungan hidup lainnya, alam dan lingkungan buatan. Manusia memerlukan lingkungan sosial yang serasi demi kelangsungan hidupnya. Lingkungan sosial yang serasi itu bukan hanya dibutuhkan oleh orang perorang melainkan juga oleh orang di dalam kelompoknya. Untuk mewujudkan lingkungan sosial yang serasi itu diperlukan lagi kerja sama kolektif diantara sesama anggota. Kerja sama itu dimaksudkan untuk membuat dan melaksanakan aturan-aturan yang disepakati bersama oleh warga sebagai mekanisme pengendalian perilaku sosial. Aturan-aturan itu, seringkali terwujud dalam bentuk pranata atau norma-norma sosial yang harus dipatuhi oleh setiap anggota kelompok (norma hukum). Secara teoritis pemahaman mengenai lingkungan sosial dapat diartikan sebagai upaya atau serangkaian tindakan untuk perencanaan, pelaksanaan, pengendalian/pengawasan, dan evaluasi yang bersifat kemunikatif dengan mempertimbangkan: (1) ketahanan sosial (daya dukung dan daya tampung sosial setempat); (2) keadaan ekosistemnya; (3) tata ruangnya; (4) kualitas sosial setempat (kualitas objektif dan subjektif); (5) sumber daya sosial (potensi) dan keterbatasan (pantangan) yang bersifat kemasyarakatan (yang tampak dalam wujud pranata, pengetahuan lingkungan, dan etika lingkungannya); dan (6) kesesuaian dengan azas, tujuan dan sasaran pengelolaan lingkungan hidup (Purba, 2005 : 14). Dalam rangka memahami lingkungan sosial, sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan, maka titik berat perhatian adalah pada kesinambungan dari interaksi-interaksi di dalam lingkungan sosial itu sendiri dengan lingkungan-lingkungan yang lain. Terkait dengan kesinambungan lingkungan sosial maka setidaknya terdapat enam komponen atau ruang lingkup lingkungan sosial yang perlu diperhatikan. Keenam komponen tersebut ialah: addanya pengelompokan sosial (social grouping), media sosial (social media), pranata sosial (social institution), pengendalian sosial (social control), penataan sosial (social alignment), dan kebutuhan sosial (social needs) (Boedhisantoso, 1997). 44 Lingkungan Sosial Perkotaan Di Indonesia, kota ditentukan secara politiko-administratif, seperti kota metropolitan/ibukota Jakarta, ibukota popinsi, ibukota kabupaten. Kota atau daerah perkotaan dapat didefinisikan sebagai sebuah komunitas yang relatif luas, dihuni secara pada oleh penduduk yang beraneka ragam dari segi pekerjaan, pendidikan, dan gaya hidup. Di sini jaringan komunikasi sangat kompleks dan intensif, dan bangunan bangunannya banyak terbuat dari batu yang tahan lama, tinggi dan besar. Kemudian, di kota juga terdapat banyak spesialis yang bekerja penuh pada berbagai kegiatan non-pertanian (Marzali, 1978). Munculnya kota adalah karena adanya kegiatan sosial dan ekonomi tertentu yang memerlukan penduduk, bangunan, dan mesin-mesin untuk berkonsentrasi pada suatu daerah yang relatif kecil. Beberapa ciri-ciri lingkungan sosial perkotaan menurut Sorokin dan Zimmerman (Purba, 2005 : 62) adalah sebagai berikut: (a) Dilihat dari pekerjaan, bahwa pekerjaan masyarakat perkotaan cenderung mengarahkan orang kepada spesialisasi. Masing-masing orang hanya mendalami pekerjaannya sendiri, sedangkan untuk keperluan lain, dia tergantung kepada bantuan jasa orang lain. (b) Lingkungan alam perkotaan memunculkan masalah yang berhubungan lingkungan fisik seperti kepadatan penduduk, kumuh, bising, polusi udara dan sebagainya, yang ditimbulkan karena kurang terencana dan kirang terkontrolnya perkembangan lingkungan kota. (c) Besaran komunitas perkotaan mengikuti tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Jumlah jiwa per unit wilayah dan jumlah keluarga per unit rumah adalah berkorelasi secara positif dengan lingkungan perkotaan. (d) Dilihat dari heteregonitas dan homogenitas penduduk menunjukkan bahwa penduduk perkotaan adalah sangat heterogen. Kehidupan urban berkorelasi secara positif dengan heteregonitas penduduk. (e) Dilihat dari mobilitas sosial menunjukkan bahwa perkotaan memiliki tingkat mobilitas yang tinggi. 45 Konsep Kesejahteraan Keluarga Istilah kesejahteraan menurut tim perumus indikator sosial dalam Amiyatsih (1986) didefinisikan sebagai “ringkasan dari serangkaian data statistik social yang diturunkan dan disusun untuk menggambarkan suatu keadaan atau kecenderungan keadaan-keadaan sosial yang menjadi pokok perhatian atau usaha pembangunan masyarakat. Definisi di atas, membedakan antara statistik sosial dan indikator sosial yang diturunkan dari data statistik sosial. Indikator sosial biasanya merupakan kumpulan data yang lebih sedikit dan dapat dianggap sebagai petunjuk singkat pembangunan sosial.” Kesejahteraan keluarga adalah upaya keluarga untuk dapat memenuhi kebutuhan fisik, psikologi, sosial dan kerohanian (Anonymous, 2003). Sumarti (1999) mendefinisikan kesejahteraan merupakan kondisi relatif yang dibentuk masyarakat melalui interaksi sosial. Pendefinisian kesejahteraan tersebut didasarkan pada stratifikasi sosial dalam masyarakat. Ketika suatu golongan menempati posisi dominan dalam mesyarakat maka definisi kesejahteraan lebih berorientasi pada golongan status tersebut. Misalnya golongan priyayi dan wong cilik. Golongan priyayi berorientasi pada kraton dan sebagai pusat tradisi besar Jawa, golongan wong cilik berorientasi pada desa sebagai tradisi lokal. Lee dan Hanna (1990) mendefinisikan kesejahteraan sebagai total dari net worth (manfaat yang benar-benar diperoleh) dan human capital wealth (kesejahteraan sumber daya manusia). Manfaat yang diperoleh merupakan nilai atas asset yang dimiliki dikurang pengeluaran (liabilitas). Sedangkan kesejahteraan SDM (human capital income) yang ada saat ini, atau dihitung dari nilai pendapatan non asset. Sajogyo (1984) mendefinisikan kesejahteraan keluarga sebagai penjabaran delapan jalur pemerataan dalam Trilogi Pembangunan sejak Repelita III yaitu: (1) peluang berusaha, (2) peluang bekerja, (3) tingkat pendapatan, (4) tingkat pangan, sandang, perumahan, (5) tingkat pendidikan dan kesehatan, (6) peran serta, (7) pemerataan antar daerah, desa/kota, dan (8) kesamaan dalam hukum. Grant (1978) dan Morris (1982) (Budiman, 1996) mengukur tingkat kesejahteraan dengan membuat indeks (suatu ukuran ringkas yang merupakan 46 gabungan dari beberapa indikator), seperti Indeks Mutu Hidup Fisik (Physical Quality of life Index/PQLI) adalah suatu indeks pengukuran yang terdiri dari tiga unsur yaitu: (1) rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun, (2) rata-rata jumlah kematian bayi, dan (3) rata-rata persentase buta dan melek aksara. Menurut Syarief dan Hartoyo (1993), faktor kesejahteraan keluarga dipengaruhi oleh: (1) Faktor Ekonomi Adanya kemiskinan yang dialami oleh keluarga akan menghambat upaya peningkatan pengembangan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga, yang pada gilirannya akan menghambat upaya peningkatan kesejahteraan keluarga. Masalah kemiskinan saling berkaitan dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia sebagai salah satu faktor produksi. Strategi pembangunan ekonomi yang tidak semata-mata ditujukan untuk mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mampu menciptakan kondisi yang baik dalam mengatasi masalah kemiskinan. (2) Faktor Budaya Kualitas kesejahteraan keluarga ditandai oleh adanya kemantapan budaya yang dicerminkan dengan penghayatan dan pengalaman nilai-nilai luhur budaya bangsa. Kemantapan budaya ini dimaksudkan untuk menetralisir akibat dari adanya pengaruh budaya luar. Adanya kemantapan budaya diharapkan akan mampu memperkokoh keluarga dalam melaksanakan fungsinya. (3) Faktor Teknologi Peningkatan kesejahteraan keluarga juga harus didukung oleh pengembangan teknologi. Keberadaaan teknologi dalam proses produksi diakui telah mampu meningkatkan kapasitas dan efisiensi produksi. Penguasaan dan teknologi ini berkaitan dengan tingkat pendidikan dan pemilikan modal. (4) Faktor Keamanan Keberhasilan pelaksanaan pembangunan dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat ditentukan pula oleh adanya stabilitas keamanan yang terjamin. Hal ini dimaksudkan agar program-program pembangunan 47 dapat dilaksanakan dengan baik dan hasil-hasilnya bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. (5) Faktor Kehidupan Agama Kesejahteraan keluarga akan menyangkut masalah kesejahteraan spiritual, sperti ketakwaan. Oleh karenanya, program peningkatan kesejahteraan keluarga harus didukung oleh kehidupan beragama yang baik. Setiap keluarga diberi hak untuk dapat mempelajari dan menjalankan syariat agamanya masing-masing dengan tanpa memaksakan agama yang satu kepada agama yang lainnya. Sehingga pemahaman keagamaan dan pelaksanaan syariat akan mampu meningkatkan kesejahteraan sppiritualnya. (6) Faktor Kepastian Hukum Peningkatan kesejahteraan keluarga juga menuntut adanya jaminan atau kepastian hukum. Sebagai contoh: suatu keluarga akan mampu mengusahakan lahannya dengan baik, kalau kepastian akan hak milik lahan tersebut terjamin. Kepastian hukum atas berlakunya peraturan upah minimum yang diterima oleh pekerja pabrik hal ini akan memperbesar kemungkinan pekerja atau keluarga dapat meningkatkan kesejahteraannya. Dalam perkembangan selanjutnya, BPS (2003) menggunakan berbagai indikator untuk menentukan kesejahteraan rakyat antara lain: (1) kependudukan, (2) kesehatan dan gizi, (3) pendidikan, (4) ketenagakerjaan, (5) taraf dan pola konsumsi, (6) perumahan dan lingkungan, dan (7) sosial budaya. Pengaruh pertumbuhan penduduk diantaranya terlihat pada komposisi, usia, dan distribusi penduduk. Semakin rendah proporsi penduduk usia tidak produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas), semakin rendah angka beban ketergantungan, sehingga memberi kesempatan usia produktif untuk meningkatkan kualitas personalnya, sedangkan jumlah penduduk yang besar merupakan sumber daya, tetapi kemudia akan menjadi beban jika mutunya rendah, sementara itu, distribusi penduduk yang merata akan sangat meringankan beban di wilayah yang ditemaptinya, Konsentrasi penduduk secara dahsyat pada salah satu wilayah akan menimbulkan banyak masalah seperti: pengangguran, pelacuran, perampokan dan lain-lain karena ketidakmampuan mengkases pekerjaan yang layak. Tingkat kesejahteraan masyarakat, juga terlihat dari angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Artinya, menurunnya angka kematian bayi dan 48 meningkatnya angka harapan hidup mengindikasikan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Angka kematian bayi dan angka harapan hidup dapat dilihat dari efektivitas masyarakat berobat ke berbagai sarana dan prasarana kesehatan yang ada maupun efektivitas pelayanan medis terhadap ibu hamil dan keluarga yang sakit. Tingkat pendidikan masyarakat juga sebagai salah satu indikator kesejahteraan rakyat. Ukuran yang sangat mendasar adalah kemampuan baca tulis penduduk dewasa. Selain itu, rata-rata lama sekolah penduduk juga menjadi indikator kesejahteraan rakyat Tingkat partisipasi angkatan kerja (usia 15-64 tahun) adalah proporsi penduduk usia kerja yang termasuk ke dalam angkatan kerja, yakni mereka yang bekerja dan mencari pekerjaan. Pekerjaan merupakan salah satu aspek penting dalam mencapai kepuasan individu dan memenuhi perekonomian rumahtangga dan kesejahteraan keluarga. Taraf dan pola konsumsi masyarakat juga dijadikan indikasi untuk melihat tingkat kemiskinan keluarga. Berbagai indikator yang digunakan untuk mengetahui taraf dan pola konsumsi adalah (1) tingkat pendapatan, dan (2) pengeluaran pangan dan non pangan. Penduduk miskin ditafsirkan sebagai penduduk yang pendapatannya (didekati dengan pengeluaran) lebih kecil dari pendapatan yang dibutuhkan untuk hidup secara layak. Kebutuhan tersebut diterjemahkan sebagai jumlah rupiah yang dapat memenuhi kebutuhan konsumsi makanan setara 2100 kalori sehari, perumahan, pakaian, kesehatan, dan pendidikan. Jumlah rupiah tersebut kemudian dijadikan sebagai standar kemiskinan. Selain itu, pengeluaran rumah tangga juga dijadikan salah satu indikator untuk melihat tingkat kesejahteraan. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk makanan ke pengeluaran bukan makanan. Perumahan dan lingkungan, juga dijadikan sebagai indikator kesejahteraan rakyat. Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumahtangga yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum, fasilitas tempat buang air besar rumah tangga dan juga tempat penampungan kotoran akhir. Indikator terakhir adalah faktor sosial budaya. Sosial budaya merupakan salah satu aspek kesejahteraan yang memiliki cakupan yang amat luas. Semakin banyak 49 seseorang memanfaatkan waktu luang untuk melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan kesejahteraan semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak semata-mata dipakai untuk mencari nafkah, tetapi juga digunakan untuk wisata, nonton TV, mendengar radio dan lain-lain. Saragih et al. (1993) mengukur indikator kemiskinan berdasarkan keluarga yang tidak memiliki mata pencaharian atau memiliki mata pencaharian dengan penghasilan rendah, kondisi rumah dan lingkungan fisik tidak memenuhi syarat kesehatan, pendidikan terbatas. Studi yang dilakukan oleh Salim dalam Soemarjan (1984) mengemukakan bahwa ada lima karakteristik membuat munculnya kemiskinan adalah (1) penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor produksi, (2) tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, (3) tingkat pendidikan pada umumnya yang rendah, (4) tidak mempunyai fasilitas, dan (5) mereka berusaha dalam usaha yang relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang mamadai. Konsep Kepemimpinan Kepemimpinan, menurut Siagian (1988; 24), diartikan sebagai: kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi perilaku orang lain, terutama bawahannya, untuk berpikir an bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan organisasi. Dalam pengertian di atas terdapat tuntutan kemampuan serta tuntutan normatif yang harus diperankan oleh seorang pimpinan dalam melaksanakan kegiatan organisasi. Peranan kepemimpinan dalam organisasi merupakan suatu yang vital, karena dengan adanya fungsi kepemimpinan yang baik akan dapat menggerakkan dan mempengaruhi setiap elemen dalam organisasi, baik elemen yang terkait dengan manusia atau elemen fisik yang ada dalam organisasi. Pentingnya peranan kepemimpinan dalam organisasi, menurut Sastrodiningrat (1998 : 3), sesuai dengan fungsinya antara lain: (1) Mengisi kekurangan-kekrangan yang terdapat dalam pola dan struktur organisasi. 50 (2) Mengalami dan melakukan penyesuaian-penyesuaian akibat perubahan yang terus menerus mengenai situasi, kondisi dan lingkungan di segala aspek. (3) Mengadakan penyempurnaan-penyempurnaan sebagai akibat dinamika dan perkembangan organisasi intern. (4) Melakukan pengisian yang disebabkan perubahan (keluar masuk) sumber daya manusia dalam organisasi. Oleh karena itu, peran pimpinan dalam organisasi menempati posisi yang sangat penting. Hal ini bertujuan agar suatu organisasi itu dapat terorganisir secara baik melalui fungsi-fungsi manajemen yang efektif. Perannya peran pimpinan di dalam menjalankan fungsi manajemen ditunjukkan karena pimpinan memiliki daya kemampuan mempengaruhi dan menggerakkan segala sumber daya yang ada dalam organisasi tersebut baik yang sifatnya fisik maupun sumber daya manusianya. Pada tahun 1938, Bernard (Gannon,1979:202) pernah mengajukan konsep baru tentang kepemimpinan, yaitu “leadership is the ability of superior to influence the behavior of subordinates and persuade them to follow a particular course of action.” Dalam pandangan ini tersirat bahwa di dalam kepemimpinan tersebut terdapat kemampuan untuk dapat memotivasi para bawahan untuk lebih proaktif melalui segala bentuk pendekatan yang harus dilakukan. Konsep lain tentang kepemimpinan dikemukakan oleh Filley & House (1969:39) bahwa “leadership (kepemimpinan) merupakan proses seseorang berusaha menggunakan pengaruh kemasyrakatannya terhadap para anggota kelompok (organisasi).” Jadi pemimpin adalah seseorang dengan daya kekuatannya terhadap orang lain dalam melakukan kewenangannya untuk tujuan mempengaruhi perilaku mereka. Hal tersebut lebih dipertegas oleh pendapat Sastrodiningrat (1998:17) yang menyatakan bahwa pada hakikatnya kepemimpinannya adalah: (1) Kemampuan mempengaruhi perilaku orang lain, apakah dia pegawai bawahan, rekan sekerja atau atasan. (2) Adanya pengikut yang dapat dipengaruhi baik oleh ajakan, anjuran, bujukan, sugesti, perintah, saran atau bentuk lainnya. (3) Adanya tujuan yang hendak dicapai. 51 Dari beberapa konsep yang dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa terdapat tiga unsur penting yang ada dalam konsep kepemimpinan antara lain: personal ability (kemampuan personal), influence (pengaruh) dan kekuaan bawahan atai followership (kepengikutan). Konsep Motivasi Seseorang mencari apa dari sebuah pekerjaan, mengapa dan untuk apa, kapan dan dimana, dan bagaimana ia bekerja senantiasa. Ahli psikologi meneropongnya dari aspek motivasi dan perilaku. Perilaku seseorang yang kemudian yang diekspresikan dalam tindakan/perbuatannya ditentukan oleh dorongan yang berasal dari dalam diri orang tersebut. Dorongan itulah yang memotivasi seseorang untuk melakukan sesuatu dengan suatu tujuan terttnu pula. Dorongan yang memotivasi seseorang melakukan suatu tindakan tertentu tidak selamanya dsadari oleh orang yang bersangkutan (Sahlan, 2002: 13-20). Menurut Schiffman dan Kanuk (1992), individu merupakan kesatuan yang terdapat pada manusia untukmelakukan sesuatu tindakan dikenal dengan nama motivasi. Tindakan yang dilakukan disebabkan adanya tegangan yang diakibatkan oleh belum terpenuhinya suatu kebutuhan. Menurut Padmowihardjo (1994:135), motivasi berasal dari dua kata, yaitu motif dan aksi (action). Motif berarti dorongan dan asi berarti usaha, sehingga motivasi merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat dan melakukan tindakan. Setiap tindakan manusia pasti memilikimotif atau dorongan. Menurut Handoko (1995:9), motif sebagai salah satu alasan atau dorongan yang menyebabkan seseorang berbuat sesuatu atau melakukan suatu tindakan. Motif terdiri dari dua unsur pokok, yaitu unsur dorongan dan unsur tujuan yang ingin dicapai. Proses interaksi antar kedua unsur ini (unsur dorongan dan unsur tujuan) dalam diri seseorang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal sehingga menimbulkan motivasi untuk melakukan sesuatu. Menurut Padmowihardjo (1999:135), selain dengan kebutuhan , motivasi juga berhubungan dengan drive. Drive adalah suatu perubahan dalam struktur seseorang yang menjadi dasar organis dari perubahan energi, yang disebut motivasi. Timbulnya motivasi karena terjadinya perubahan-perubahan neurofisiologis. Selain itu motivasi berhubungan dengan minat (interest) dan 52 keinginan (want). Minat dapat diartikan sebagai sifat hati nurani yang timbul dengan sendirinya dan memiliki daya dorong. Keinginan adalah sifat hati nurani karena orang meminati sesuatu dan mendorong terbentuknya motif untuk berbuat untuk mewujudkannya. Motif seseorang akan bangkit jika ada minat, sedangkan minat sendiri dapat bangkit karena ada perhatian/kesadaran akan kebutuhan, dari kesadaran akan timbul keinginan dan karena ada keinginan akan timbul motif untuk mencoba danmelakukan sesuatu tindakan. Karakteristik Individu Menurut Mardikanto (1993:213), karakteristik individu ialah sifat-sifat yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek kehidupan, antara lain : umur, jenis kelamin, posisi, jabatan, status sosial dan agama. Combs (1985: 15), meyatakan bahwa karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, bangsa, agama dan sebagainya. Sedangkan karakteristik demografik meliputi: umur, pendidikan dan penghasilan. Karakteristik adalah sesuatu yang mempunyai sifat khas sesuai perwatakan tertentu. Gonzalez (Jahi, 1998:21) menyatakan bahwa karakteristik demografik orang dewasa seperti umur, jenis kelamin status perkawinan, penghasilan dan pekerjaan. Slamet (2003:16) menyebutkan bahwa umur , pendidikan, status sosial ekonomi, pola hubungan dan sikap merupakan faktor-faktor individu yang mempengaruhi proses difusi inovasi. Usia Usia berkaitan dengan pengalaman belajar, kemampuan dan kematangan. Padmowiharjo (1994:36), Gesel (Salkind,1985:56) dan Purwanto (1991:56) menyatakan bahwa usia berkaitan erat dengan kematangan seseorang; terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan dengan usia yakni mekanisme belajar dan kematangan otak, organ seksual, dan otot organ tertentu dan akumulasi pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar yang lain. Usia dapat menjadi tanda dari suatu perkembangan. Usia terkait dengan tugas pengembangan, proses belajar, kelangsungan hidup serta berbagai aspek yang melatar belakanginya (Havighurst, 1974:2). 53 Menurut Schemerhorn, et al., (1997:43), usia seseorang berhubungan dengan kemampuan dan kemauan belajar dan fleksibilitas. Banyak orang beranggapan bahwa usia tua berhubungan dengan kepikunan. Hal ini berbeda dengan pada masing-masing individu. Schemerhorn berkesimpulan bahwa usia tidak ada hubungannya dengan kinerja seseorang dalam hal ini orang yang lebih tua tidak lebih umproduktif daripada orang muda, meskipun demikian orang yang sudah tua lebih banyak tidak dapat menghindari absen daripada orang yang lebih muda. Selanjutnya Szilagyi dan Wallace (1990:72) menyatakan beberapa pola perilaku mengalami perubahan ketika manusia tumbuh dewasa sebagai akibat dari proses sosialisasi. Sedangkan beberapa potensi untuk mempelajari keterampilan tertentu dipengaruhi oleh usia. Pendidikan Formal Menurut Gilley dan Eggland (1989:32) konsep behavior dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi pengembangan sumber daya manusia, orientasi ini menekankan pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk tujuan meningkatkan produktivitas manusia. Menurut Schemerhorn, et al.,(1997:134) pendidikan dan pelatihan merupakan proses seseorang dalam memperoleh kompetensi dan kepercayaan dirinya yang mempengaruhi perilakunya. Seperti dikemukakan oleh konsutan manajemen Tom Peters dalam Schemerhorn, et al.,(1997:134) bahwa (1) pendidikan adalah kunci menuju sukses dan (2) pendidikan tidak berhenti ketika memperoleh sertifikat. Pendidikan Non Formal Pendidikan non formal adalah pendidikan yang dilakukan secara terencana di luar sekolah formal. Kegiatan penyuluhan adalah suatu sistem pendidikan luar sekolah (non formal) yang bertujuan mempengaruhi individu dan keluarganya agar mengubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan, yang untuk memperbaiki mutu hidupnya. Perubahan perilaku tersebut dapat berupa: (1) bertambahnya perbendaharaan informasi yang berguna bagi individu, (2) tumbuhnya keterampilan, kemampuan dan kebiasaan baru yang bertambah 54 baik, dan (3) timbulnya sikap mental dan motivasi yang lebih kuat sesuai dengan yang dikehendaki (Slamet, 2003:20). Carnevale dan Golstein (Gilley dan Eggland, 1989:32) menekankan bahwa persentase terbesar dari pembelajaran dilaksanakan secara informal melalui konsultasi dengan peer, dalam kelompok kerja, melalui coaching dan mentoring serta melalui kesempatan networking. Menurut Siagian (1996:182), pendidikan non formal khususnya dalam bentuk pelatihan merupakan usaha untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan produktivitas kerja seseorang. Menurut Dahama (Halim dan Ali, 1997:135), pelatihan membantu seseorang untuk menjadi terampil dan berkualitas dalam pekerjaan. Menurut Manulang (1996:100), pelatihan sebagai pendidikan non formal merupakan usaha untuk mengembangkan kecakapan atau menambah keahlian adan efisiensi kerja seseorang. Konsep Strategi Strategi didefinisikan sebagai suatu tindakan yang bersifat “incremental” (senantiasa meningkat), terus menerus dan dilakukan berdasarkan sudut pandang tentang apa yang diharapkan oleh para perlaku di masa depan (Prahat,1995). Rangkuti (2000), memastikan bahwa strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian perencanaan strategis adalah perencanaan yang terintegrasi (menyatu, menyeluruh dan terpadu), hampir selalu dimulai dengan pertanyaan “apa yang dapat terjadi”, bukan mulai dengan “apa yang terjadi.” Pada prinsipnya strategi dapat dikelompokkan berdasarkan tiga tipe strategi, Rangkuti (2000),yaitu (1) strategi manajemen, (2) strategi investasi, dan (3) strategi bisnis. Strategi manajemen meliputi strategi secara makro. Strategi investasi merupakan kegiatan yang berorientasi pada investasi. Strategi bisnis sering juga disebut strategi fungsional, karena berorientasi pada fungsi-fungsi manajemen. Formulasi strategi atau biasa disebut dengan perencanaan strategis merupakan proses penyusunan perencanaan jangka panjang, karena itu lebih banyak menggunakan proses analisis. Tujuannya adalah untuk menyusun strategi sehingga sesuai dengan misi sasaran serta kebijakan lembaga. 55 Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan Menurut Mc Nicholas (1977), strategi adalah “ suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya suatu organisasi untuk mencapai sasarannya melalui hubungannya yang efektif dengan lingkungan dalam kondisi yang paling menguntungkan.” Hax dan Majluf (1991) menguraikan pengertian strategi secara terinci, yaitu (1) suatu pola keputusan yang konsisten, menyatu dan integral, (2) menentukan dan menampilkan tujuan/sasaran jangka panjang, program aksi, dan prioritas sumberdaya, (3) menyeleksi bidang yang akan digeluti, (4) mencoba mendapatkan keuntungan yang mampu bertahan lama dengan memberikan respon yang tepat terhadap peluang dan ancaman dari lingkungan eksternal dan kekuatan, serta kelemahannya, dan (5) melibatkan semua tingkatan hierarkhi dari organisasi. Kooten (1991) mengemukaan bahwa ada beberapa tipe strategi, antara lain: (1) coorporate strategy (strategi organisasi), (2) program strategy (strategi program), (3) resource support strategy (strategi pendukung sumber daya), dan (4) institutional strategy (strategi kelembagaan). Mengacu pada keempat tipe strategi tersebut, maka dalam penelitian ini lebih menekankan kepada strategi program khususnya program pemberdayaan kelompok. Dalam kaitan dengan penanggulangan kemiskinan, Bappenas (2005) telah menetapkan lima strategi nasional penanggulangan kemiskinan (SNPK) , yaitu: (1) Perluasan kesempatan, yaitu untuk menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik dan sosial yang memungkinkan masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan. (2) Pemberdayaan kelembagaan masyarakat, yaitu untuk memperkuat kelembagaan sosial, ekonomi, politik, budaya, dan memperluas partisipasi masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan keputusan kebijakan public yang menjamin penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar. 56 (3) Peningkatan kapasitas, yaitu untuk mengembangkan kemampuan dasar dan kemampuan berusaha miskin, baik laki-laki maupun perempuan agar dapat memanfaatkan perkembangan lingkungan. (4) Perlindungan sosial, yaitu untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok yang rentan (perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru, baik laki-laki maupun permpuan yang disebabkan oleh : bencana alam, dampak negatif krisis ekonomi dan konflik sosial. (5) Penataan kemitraan global, yaitu untuk mengembangkan dan menataulang hubungan dan kerjasama internasional guna mendukung pelaksanaan keempat strategi tersebut. Selaras dengan strategi tersebut, Carner dan Korten (1983) mengemukakan lima strategi penanggulangan masyarakat miskin, yaitu : (1) a runemurative strategy, (2) food and nutrition strategy, (3) natural resources management strategy, (4) a human resources development strategy, dan (5) a balanced regional development strategy.