30 STUDI HUKUM ISLAM Oleh Ma’ruf (Dosen STAI An-Nur Lampung) Abstrak Proses Ijtihat dalam Islam bukan merupakan proses penetapan atau pembuatan hukum, melainkan , merupakan proses penetapan atau pembuatan hukum, melainkan merupakan pengungkapan hukum Allah Swt, terhadap suatu kejadian atau peristiwa, karena mujtahid tetap berpijak pada pringsip kitab suci yang diturunkan Allah dan sunah sebagai tradisi Nabi saw, karena itu mujtahid yang melakukan ijtihad tetap akan diberi pahala sekalipn ia salah dalam ijtihadnya. Dengan demikian hukum-hukum Allah akan tetap lestari dan berkembang sepanjang masa serta dapat diterapkan di segenap ruang dan waktu. Dimasa Nabi dan Sahabat, meskipun terdapat peluang untuk melakukan ijtihad bi Al-Ra’y, belum se pesat masa-masa sesudah itu, Hal ini karena belum banyak peristiwa hukum yang mereka hadapi. Kata Kunci : Ijtihat, hukum, Mujtahid Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 31 A. Pendahuluan Sebagaimana di ketahui, para ulama Islam sepakat bahwa Al-Qur’an dan Al-sunah merupakan sumber ajaran islam yang asasi. 8Al-Qur’an sebagai salah satu kitab suci mengandung pokok-pokok ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang mengatur tata kehidupan. Akan tetapi, kandungan Al-Qur’an tidak semuanya dapat dipahami oleh pemangkunya dengan baik. Oleh sebab itu, diperlukan keterangan yang memperjelas kandungan kitab suci, supaya dapat dipahami oleh segenap umat, sehingga mereka dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan al-syar’I yang diturunkan-Nya. untuk itu Nabi Saw. , berupaya dengan sesungguhnya untuk menjelaskan kandungan Al-Qur’an melalui ucapan, perbuatan, dan taqrir (ketetapan) nya. Ketika Nabi saw, wafat pada tahun 632 M beliau telah menyampaikana Al-Qur’an secara keseluruhan dan telah menjelaskan kandungan sesuai dengan kebutuhan umat pada masa itu. Dengan demikian cukuplah Al-Qur, an dan Sunah Nabisaw yang menjadi pegangan masyarakat menyangkut kehidupan keseharian mereka. 9Akan tetapi bagi masyarakat yang jauh dari Nabi saw tentu situasi demikian merupakan suatu hal yang menyulitkan. Untuk itu, Rasulullah saw, mengizinkan orang-orang yang mempunyai kemampuan ber ijtihat untuk melakukan ijtihat. Hal ini tergambar pada hadis yang diterima dari Mu’az ibnu jabal, yang menceritakan peristiwa ketika Ia di utus oleh Nabi ke yaman. Rasulullah bertanya kepada Mu’az dengna apa ia memecahkan suatu masalah jika ditemuanya, Mu’az menjawab dengan AlQur’an, jika tidak didapati dalam Al-Quran akan diselesaikanya berpedoman pada Al-Sunah dan jika tidak Sulaiaman Abdullah,Dinamika Qiyas dalam pembaharuan hukum islam (Jakarta,Pedoman Ilmu Jaya,1996)h,1 9 Ibid. 8 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 32 didapati dalam Al-Sunah, terakhir ia berkata “Aku akan berijtihat dengan ra’y (pikiran)ku”. Hadis ini memberi peluang kepada orang yang mempunyai kemampuan berijtihad untuk melakukan ijtihad bila menghadapi suatu problem yang tidak didapati jalan keluarnya di dalam Al-Qur’an dan al-Sunah, namun tetap berpijak atas dasar Al-Qur’an dan Al-Sunah. Proses Ijtihat dalam Islam bukan merupakan proses penetapan atau pembuatan hukum, melainkan , merupakan proses penetapan atau pembuatan hukum, melainkan merupakan pengungkapan hukum Allah Swt, terhadap suatu kejadian atau peristiwa, karena mujtahid tetap berpijak pada pringsip kitab suci yang diturunkan Allah dan sunah sebagai tradisi Nabi saw, karena itu mujtahid yang melakukan ijtihad tetap akan diberi pahala sekalipn ia salah dalam ijtihadnya. Dengan demikian hukum-hukum Allah akan tetap lestari dan berkembang sepanjang masa serta dapat diterapkan di segenap ruang dan waktu. Dimasa Nabi dan Sahabat, meskipun terdapat peluang untuk melakukan ijtihad bi Al-Ra’y, belum se pesat masa-masa sesudah itu, Hal ini mungkin karena belum banyak peristiwa hokum yang mereka hadapi. Setelah masa Nabi dan sahabat keadaan sudah jauh berbeda dengan masa sebelumnya. Dengan demikian tuntutan masyarakat terasa semakin menghendaki ditingkatkanya intensitas ijtihat. Tidak diragukan lagi bahwa pada masa Dinasti Muawiyah, Abasiyah dan beberapamasa sesudah itu, kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan peradapan pada umumnya telah mengalami perkembangan demikian pesat. Dalam situasi demikian, Ijtihad bil-Al-Ra’y memainkan peranan yang dominan. Para mujtahid berupaya seoptimal mungkin untuk membawa ide-ide dasar agama agar menjadi relevan dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat, sehingga kadang-kadang seakan-akan mencerminkan Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 33 aplikasi rasio yang sudah melampaui batas-batas yang digariskan oleh nas-nas keagamaan. Dilain pihak Ijtihad pribadi dengan memakai rasio yang terlalu bebas sering pula terseret pada subjektivisme. 10Melihat keadaan demikian wajar kalau aliran (Mazhab) Al-Ra’y yang berkembang di lembah Mesopotamia (Pusat pemerintahan Islam)dipertanyakan oleh sebagaian ulama dan bahkan membaw kontroversi dikalangan cendikiawan islam pada masa itu. Imam Abu Hanifah adalah seorang ulama yng dikenal paling banyak menggunakan rasio dalam ijtihad, disamping tetap memegang hadis. Beliau di pandang sebagai pendiri mazhab Hanafi yang paling banyak memakai rasio. Lain halnya dengan Imam Malik ibnu Anas dipandang sebagai pemuka Aliran (mazhab) ahli hadist. Al Mutawatta adalah karya monumental di bidang hadist Sementara itu Imam Syafi’i di tengan-tengah aliran kedua mazhab tersebut (ahl Al-Ra’y dan ahl al hadis) yang berguru dari imam Malik dan murid Abu Hanifah, yakni Al-Syaibani. Imam Syafi’I berupaya pula menyusun kerangka kajian hukum secara ilmiah, sehingga iapun dikenal sebagai”bapak jurisprudensi hukum Islam11. Diakui telah adanya metode-metode istinbat (penggalian)hukum yang digunakan pada masa itu, antara lain istihsan yang di popular di gunakan oleh Abu Hanifah dan Istilah yang di pakai oleh Imam Malik, yang keduanya membuka peluang berpikir liberal tanpa control. Ketika itulah Imam Syafi’I tampil mengemukakan metode ijtihadnya yang disebut Qiyas. 12 10.Ibid.h 4. 11.Coulsen,Noel J.Hukum Islam dalam Perspektif sejarah,terjemahan oleh Hamid Ahmad (Jakarta:P3M,1987),h 69 12 .Muhammad Abu Zahra,al-syafi’I Hayatuhu wa ‘Asruh ara’uhu wa Fighuh.(Kairo,Dar al-Fikr al-Arabi,1948),h 11 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 34 B. Pembahasan 1. PerkembanganFiqh Arti kata Fiqh menurut bahasa arab ialah paham atau pengertian. Sedangkan menurut istilah yaitu Ilmu untuk mengetahui hokum-hukum syara’yang pada perbuatan anggota diambil dari dalil-dalilnya yang tafsili (terinci)13. Dasar dalam pengambilan ilmu Fiqh adalah AlQur’an, Hadist(sunah), Ijma Mujtahidin, dan Qias Fiqih sesungguhnya adalah hasil istimbat dari dalil (bik Al-Qur’an maupun Sunah) yang dilakukan para mujtahid dengan ijtihatnya . Ijtihat tersebut merupakan sarana Istimbat dan mempunyai beberapa metode, yang tanda-tandanya di tunjukan oleh Al-Qur’an atau Sunah. 14 Istimbat Fiqih itu sendiri sesungguhnya telah dimulai sejak masa Rasulullah Saw, tetapi bebar-benar berstaus Fiqh hanya hasil ijtihad yang dilakukn shahabat setelah Rasulullah Saw, wafat. Keputusan yang diambil sendiri oleh Rasulullah saw, ketika menghadapi pertanyaan mendesak sedang wahyu (setelah ditunggu) belum turun, kedudukanya akan ditentukan oleh wahyu yang akan turun kemudian. Jika hasilya ternyata diakui oleh Wahyu maka kedudukanya ketika itu berubah menjadi penetapan wahyu. Demikian juga halnya dengan hasil ijtihad sahabat yang berada di tempat jauh dari Rasulullah saw. , kedudukanya ditetapkan oleh wahyu yang diturunkan kemudian atau oleh penetapan Rasul Allah. . Sejak wafatnya Rasulullah Saw, hingga masa lahirnya mujtahid fiqih belum ditulis tetapi kaidah –kaidahnya telah bersemi di dalam sanubari dan tertanam dalam pemikiran 13Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung.Sinarbaru algesindo.2007)h 12 14. Sulaiaman Abdullah,Dinamika Qiyas dalam pembaharuan hukum islam (Jakarta,Pedoman Ilmu Jaya,1996)h 8 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 35 mujtahid. Kaidah-kaidah itu selalu mereka jadikan pegangan dalam meng istinbatkan hokum tentang peristiwa yang muncul pada masanya. Karena belum di tulis maka ia tidak bias diajarkan dan dipelajari sebagai objek ilmiah, tetapi karena sudah dijadikan pegangan dalam melkukan setiap Istinbat maka ia merupakan seni (keterampilan)mujtahid. Perkembangan Fiqih sebagai pranata Ijtihat itu secara garis besar pada tahab ini dapat di bagi dalam Tiga periode : 1) Periode Sahabat Periode ini disebut fatwa dan penafsiran terhadap sumber hukum islam, karena dalam periode ini timbul masalah baru yang belum terjadi di masa Rasulullah Saw, sebagai akibatnya meluasnya wilayah islam keluar Jazirah Arab, sosial budaya dan struktur masyarakat mereka berbeda dengan Jazirah Arab. Untuk memberikan kejelasan hukum peristiwa baru itu, para sahabat yang melanjutkan kepemimpinan umat terpanggil untuk memberikan keputusan atau fatwa dengan menafsirkan Al-Qur’an dan Sunah. Yang dijadikan sumber hukum tetap Al-Qur’an dan Sunah. Apabila terdapat kejadian/peristiwa yang timbul itu tidak ditemui ketentun hukumnya secara jelas, mereka mengadakan musyawarah untuk membahasnya. Jika diperoleh kesepakatan pendapat tentang hukum peristiwa itu maka terjadilah ijmak sahabat. jika kesepakatan itu tidak di capai, maka mereka melakukan ijtihad baik dengan metode Al-Qiyas, Al-Istslah maupun sadd Al-Zari’ah15 yang ruang lingkupnya dibatasi pada peristiwa yang benar-benar terjadi, tidak menjangkau peristiwa yang belum terjadi. Ijmak sahabat hanya dapat berjalan di masa khalifah abu Bakar, sedangkan masa Khalifah Uamr Ibn Khatab sulit terwujud karena para 15 .Muhammad Khudari bek,Tarikh al-Tasyri alIslami(Surabaya,Maktabah Sa’ad Ibnu SulaimanNabhani,1965)h 115 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 36 sahabat banyak menyebar ke luar Jazirah Arab, seperti Mesir, Irak dan persia16. Para sahabat sanggub mengomentari ns-nas dalam upaya merealisir kemaslahatan umat dan sekaligus menjadi nara sumber yang dipercaya bagi umat Islam. Hal ini memungkinkan karena mereka cukup lama bergaul dengan Rasullulah Saw, dan menghafal Al-Qur’an dan Sunah darinya di samping mereka menyaksikan dan mengetahui sebab nuzul ayat dan sebab datangnya sunah. Dikalangan sahabat , banyak pula yang duduk sebagai anggota dewan pertimbanagn Rasulullah Saw. 17 Dimasa Khularfatur al-rasyidin banyak di bentuk institusi pengurusan kepentingan masyarakat seperti peradilan, pertahanan, keuangan dan kesejahteraan umum belum pernah terjadi di masa Rasulullah. Keputusan dan kebijaksanaan itu diaambil atas dasar Istislah untuk mewujutkan kemaslahatan. Apabila kemaslahatan tersebut memang menghendakim pengaturan, maka memeang menjadi kewajiban umat berusah menyusun peraturan yang bisa terealisir. 18Setelah berakhir masa khulafah al-rasyidin atau sahabat besar, pemerintah berada di tangan Bani Umayyah atau masa sahabat kecil. Kegiatan ijtihad berjalan seperti di masa khulah al-rasydin, walaupun peristiwa politik yang semakin menghangat di tandai oleh lahirnya golongan Khawarij, Syi’ah, dan jumhur berpengaruh besar terhadap masalah agama baik teologi maupun hukum. Metode ijtihad yang mereka pergunakan tidak berbeda dengan digunakan sahabat besar masa Kulafah al-rasyidin. Hanya saja terjadi perbedaan yang cukup tajam, diantara mereka diantara mereka banyak yang menggunakan metode Sulaiaman Abdullah,,h 10 Abd al-Wahab Khalaf,Al-Siyasah al-Syari’ah (Mesir.Dar alAnshar,1977) h 8 18 Ibid h 34 16 17 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 37 ijtihat bi al ray’i dengan kalangan yang menggunakan ijtihad terbatas pada pemahaman nas dengan metode kebahasaan. Perbedaan tersebut merupakan bibit timbulnya dua aliran :Al-Ra’yu dan al-Hadis. 2) Periode Tabi’in Keberadaan ahl Al-Ra’yu dan Ahl Al-Hadis semakain menonjol dan mempunyai pengaruh besar terhadap metode ijtihad. Ahl-Al-Ra’yi berpusat di Irak dengan tokohnya Ibrahim al-Nukha,i dan Ahl Hadis berpusat di hijaz dengan tokohnya Sa’ad ibn-Musayyib. 19Ijtihad semakin meluas karena bermunculan kejadiankejadian baru terutama di Irak yang telah berperadapan tinggi. Ijtihad kalangan Ulama Ahl Al-Hadis hanya dilakukan terhadap peristiwa yang benar-benar sudah terjadi, tidak memperoksikan masalah yang belum terjadilalu mencari hukumnya. Metode yang mereka pergunakan tidak keluar dari pemahaman (kebahasaan )nusus dan asar. Lain halnya Ahl- Ra’yi yang tidak membatasi Ijtihatnya pada pemahaman makna nusus dan asar tetapi telah menggunakan metode istishlah dan netode al-Qiyas, dengan patokan dan aturan yang jelas, tidak seperti masa sahabat. Mereka berijtihad tidak terbatas pada lingkup peristiwa yang sudah terjadi saja, melainkan meluas kepada peristiwa yang diasumsikan akan terjadi sehingga melahirkan Fikih iftiradi20 Kendatipun metode ijtihad mereka sudah jelas bentuknya dengan kaidahnya dan patokan yang jelas, namun baik metode ijtihad (usul Fikih) maupun hasil Ijtihadya (Fikih) belum di bukukan. Perbedaan pendapat diantara kalangan ahl hadis dengan Ahl- Ra’yi maupun sesama kalangan ahl-ra’yi sangat luas dibandingkan dengan perbedaan pendapat dikalangan sahabat. Pada Muhammad Khudari bek,Tarikh al-Tasyri alIslami(Surabaya,Maktabah Sa’ad Ibnu SulaimanNabhani,1965)h11 20 Ibid h 12. 19 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 38 periode ini, bermunculan para mujtahid baik dari kalangan ahl-hadist maupun kalangan ahl-ra’yi yang menjadi mufti di beberapa negeri Islam seperti:Madinah, Mekkah, Kufah, Basrah, Mesir, Yaman, dan lainya. Mereka memberi fatwa kepada penduduk dan meriwayatkan al-hadis dari Nabi Saw setiab penduduk bisa saja mendatangi para mufti untuk menanyakan berbagai masalah. 21 3) Periode Imam Mujtahid Masa ini terkenal dengan masa keemasan, karena neneri-negeri Islammencapapai kemajuan yang sangat pesat di segala bidang kehidupan umatnya. kususnya kehidupan ilmiah. Pada masa inilah lahir imam mujtahid dalam berbagai bidang ajaran islam, baik yang sudah di tinggalkan pengikutnya maupun yang masih berkembang saat ini. Mererka bertebaran di segenap Negeri Islam. Pada periode ini pula mulai dibukukan Al-Hadist, Fikih, Ushus Fikih dan lain-lain. Berbagai metode Ijtihat sudah dapat di bedakan oleh bentuk dan ciri khas yang jelas. Sejalan dengan itu, tata urut istinbat menjadi terang dan teorinya menjadi jelas, diungkapkan melalui lisan para mujtahid dengan ungkapan yang padadt dan singkat tetapi jelas dan lengkap. Imam abu Hanifah menetapkan urutan strata Istinbatnya pada A-qur’an kemudian Al-Sunah, Fatwa sahabat yang di ijmaki, setelah itu memilih pendapat terkuat diantara yang diselisihkan sahabat. ditemui pula bahwa abu hanifah menggunakan al-qiyas, istihsan dengan aturan yang jelas. Imam Maliki mempunyai pula sisti m ushul fikih yaitu terlebih dahulu berhujjah dengan Al-Qur’an kemudian dengan Al-Sunah setelah itu berpegang dengan amalulama Madinah. Imam Maliki 21Abdul Rauf,Al-Qur’an dan Ilmu Hukum,(Jakarta.Bulan Bintang 1970) h 152 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 39 memandang amal utama Madinah sebagai hujah lebih tinggi dari qiyas dan khabar ahad, karena dalam pandanganya amalan mereka berkedudukan sebagai riwayat dari Rasulullah Saw, sesudah itu Imam Malik berpegang dengan al-qiyas dan istislah dengan penerapan yang sangat luas yang membuatnya dikenal sebagai satusatunya Imam yang berpegang pada istislah walaupun sebenarnya para imam mujtahid lain berpegang juga padanya tetapi dengan nama lain. Baginya pendapat sahabat yang tergolong terkenal, bila sah sanadnya dn tak bertentangan dengan alhadis dan al-marfu’ di pegangnya sebagai hujah yang didahulukan dari qiyas, Dalam menerima al-hadis Imam Malik tidak mensyaratkan mashur seperti di syaratkan Abu Hanifah, sehingga Imam Malik menerima khabar ahad yang bertentangan dengan Qiyas. Imam Malik juga berpegangan dengan semua alhadis al-mursal di samping menggunakan al-istishan dalam banyak masalah. Di tengah tengah Aliran tersebut ahl Al-Ra’yu dan ahl al hadis tampilah imam Syafi’i yang pernah berguru pada Imam Malik dan Muritnya Abu Hanifah yakni Al-Syaukani. Pengalaman berguru pada kedua aliran tersebut memberi inspirasi kepada Imam Syaf’’i untuk memetik mangfaat positif darim keduanya. Yaitu Beliau berusaha keras dalam meletakkan dasar pengkajian hadis secara ilmiah sehingga diketahui mana yang benar-benar berasal dari Rasul Saw, mana yang palsu. Metode ijtihad Imam Syafi’i metode Qiyas. Sedangkan Imam Hambali menyusun mazhabnya berdasarkan 4 dasar yaitu Al-Qur’an Hadis, fatwa sahabat, hadis mursal atau lemah dan Qiyas. Qiyas merupakan jalan terakhir yang diambil bila tidak ada jalan lain. Imam Hambali sangat berhati-hati dalam melahirkan fatwa, sehingga menyebabkan lambatnya mazhab belai tersiar didaerah yang jauh, apalagi murid-muridnya pun Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 40 sangat hati-hati. 22Sejalan dengan bermunculan banyak mujtahid serta perkembangan ar-ray’u dengan luas maka bermunculan polemik perbedaan pendapat aantara kelompok al-hadis dengan Al-Ra’yu inklusif al-qiyas dan istisan di pihak lain . mulai itulah usul fikih memasuki tahab sebagai Ilmu. 2. Metode Istinbat Hukum. Metode Istinbat (Penggalian )hukum menurut para Ijtihat yang di gunakan Ulama dapat dibedakan jadi beberapa bagian : 1. Al-Istislah Al-Istislah secara harfiah berarti “mencari kemaslahatan”23Maksutnya mencari kamaslahatan apa yang terdapat dalam suatu keputusan Syar’i menetapkan Hukum suatu peristiwa lalu ditetapkan suatu peristiwa yang tidak disebutkan didalam nas, apabila terdapat suatu maslahat yang sama pada peristiwa yang disebut nas. Maslahat yang disebutkan tadi ada yang mansusah (disebutkan) dan ada pula yang mustanbata (digali dari apa yang tersirat)melalui Ijtihad. Selanjutnya ada yang dianggab masalahat pada manusia ada yang mu’tabarah (diakui Syar’i sebagai maslahat)ada pula yang mulghah (di tolak, tidak di akui sebagai maslahat). Maslaha yang mu’tabarah di sepakati ulama untuk di jadikan pegangan dan yang maslahah mulghah di sepakati pula tidak boleh dipegang dalam menggambil hukum. Sementara itu ada suatu maslhat yang tidak terdapat petunjuk nas tentang mu’tabarah atau mulghahnya, yang disebut oleh ulama ushul fikih maslahah mursalah (mursalah artinya lepas). Sulaiman Rasjid.Fiqh Islam (Bandung.Sinarbaru algesindo.2007)h 11 23 Sulaiaman Abdullah,Dinamika Qiyas dalam pembaharuan hukum islam (Jakarta,Pedoman Ilmu Jaya,1996)h 176 22 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 41 24Terhadap maslahat inilah para ulama Fikih berbeda pendapat tentang kebolehan di gunakan sebagai dalil hukum. Imam Syafi’i sendiri tidak menegaskan apakah Dia menggunakan mursalah atau tidak menggunakanya. pengertianya ialah Bahwa maslahah mursalah yang memang lepas sama sekali dari keterkaitan dengan nas, tidak boleh dipergunakan sebagai dalil hukum karena sama saja dengan istihsan yang tegas-tegas ditolak oleh Imam Syafi’i. Namun Imam Safi’i berpegang pada definisi maslahah mula’iamah menurutnya maslahah mula’imah masuk dalam jenis yang diakui Syar’i secara global tanpa dalil terterntu (al-nas al-khas), sedangkan Imam Malik maslahah mursalah istilah maliki dan pengikutnya bukan maslahah mursalah dalam pengertian Syafi’iayah, sedangkan maslahah mursalah menurut pengertian yang dikemukakan Syafi’i yaitu maslahah gharibah, sebenarnya sama pengertianya dengan ihtisan. Dalam kalangan hanafiah istilah maslahah mursalah juga tidak dikenal. Menurut Huhibah Imam Hanifah mendefinisikan dengan mursal mula’im yang diterima oleh Imam hanafi. 25 Jadi Apa yang disebut Muhibah Mursal mula’im adalah sama dengan maslahah mursalah imam Malik dan maslahah mula’imah safi’i. Dengan demikian jumhur hanafiah berpegang dengan mursal’mulaim yang menurut istilah imam Malik disebub maslahah mursalah Secara ringkas, bahwa maslaha mursalah Imam Malik dalam arti Maslahah Mulaaimah (Syafi’iah)mursal mula’im)hanafiah) dan Maslaha Mula’imah (Hanabilah)di pegang oleh keempat Imam mazhab suni. Berpegang Imam Syafi’i dengan maslaha mula’iamah di sebabkan masih merujuk pada jins maslahah yang diakui oleh syar’i dalam nas. Kendatipun demikian tak boleh 24 25 Ibid Ibid h 183 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 42 dikatakan Imam Syafi’i berpegang pada maslahah mursalah karena istilah maslahah mursalah itu mengaju pada maslahat yang tidak merujuk pada nas 2. Istihsan Menurut Imam Syafi’i Istihsan yaitu penetapan hukum berdasarkan keinginan mencari kemudahan tanpa rujukan dari nas atau keluar dari nas. Oleh sebab itu Imam Syafi’i menolak Istihsan. 26sedangkan menurut Imam Hanafiah Istihsan yaitu berpindahnya dari suatu dalil dikepada dalil lain karena suatu keadaan yang memperkuatnya. sedangkan menurut Malikiah Istihsan yaitu mengambil maslahah juz’iyah yang mereka tarjihkan(diunggunlkan) lalu di masukan pada Juz’iyah, dengan mengambil menurut tuntunan Qiyas ynag umum, selama tidak terdapat dalam nas, . Hanafiah membagi Istihsan dalam beberapa bentuk yaitu Ihtisan Al-Qiyas (berpindah dari Qiyas aljali/dalil yang kuat ke qiyas al-kahfi/dalil yang lemah, karena ada indikasi yang menuntunya), Ihtisan al-ijma (berpindah dari al-qiyas kepada ijtimak) Ihtisan al-sunah (berpindah dari al-qiyas ke al-sunah)dan ihtisan aldarurah (berpindah dari al-qiyas kehukum darurah)27 3. Al-Zari’ah Menurut bahasa ialah wasilah atau sarana. Menurut istilah ushul fiqih ialah suseatu yang menjadi jalan kepada perbuatan yang diharamkan atau di bolehkan, maka kedudukanya sama dengan perbuatan yang di tujunya. . 28Asas Zari’ah adalah melihat kepada perbuatan yang di tuju tanpa tergantung pada niat pelaku melainkan kepada hasil. Yang amat terkenal sebagai pemegang zari’ah adalah Imam malik aan tetapi menurut Ibid Shiddieqiy Al-Hasbi Pokok-pokok pegngan Imam-Imam mazhab dalam membina Hukum Islam(Jakarta,Bulan Bintang 1975) h 184 28 Ibid h 188 26 27 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 43 analisis Muhammad Abu zahra dan lain-lain seluruh mazhab memegang zari’ah sekalipun tidak menyebutnya dengan sarih. Mereka sama mengakui sebagi dasar yang di tetapkan secara sah, sekalipun berbeda dengan kadar penerapanya. Yang terbanyak menggunakan adalah Imam maliki, dan Imam Ahmad sedangkan yang sedikit menggunakanya adalah Imam Syafi’i dan Abu Hanifah. 4. Qiyas Al-Qiyas merupakan metode ijtihat dan sarana penggalian (Istinbat) hukum bagi peristiwa yang tidak di sebut secara tegas (sarih)dalam nas. Menurut Imam Syafi’i Qiyas itu adalah metode berpikir yang dipergunakan untuk mencari sesuatu (hukum peristiwa) yang sejalan dengan khabar yang sudah ada, baik Al-Qur’an maupun al-Sunah karena keduanya tentang kebenaran yang wajib dicari. 29Imam Syafi’i menjelaskan Qiyas adalah metode penalaran yang digunakan untuk mencari kejelasan hukum dari contoh-contoh serupa yang terdapat dalam alqu’an dan hadis, karena keduanya merupakan sumber kebenaran dan petunjuk pokok yang terpercaya. Sementara itu proses qiyas sekurang-kurangnya harus didasarkan pada dua hal yaitu pertama jika Allah dan Rasulnya telah mengharamkan sesuatu secara tersurat atau menghalalkan karena makna tertentu, kemudian kita dapatkan yang serupa dengan makna tersebut tidak ada nas kusus dalam Al-Qur’an atau sunah, maka kita memberi hukum haram atau halal berdasarkan fakta bahwa ia trmasuk dalam makna halal dan haram. kedua, dalam hal didapat dua kasus yang hampirsama maka alqiyas harus didasarkan atas kemiripan yang paling lengkap. 30Jadi Qiyas juga merupakan salah satu metode Istinbat dalam menentukan hukum fikih. 29 30 Imam Syafi’I,Al-Risalah,(Mesir,Dar al-Saqafah,1969) h 105 Ibid,h 209 Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 44 C. Kesimpulan Sejak wafatnya Rasulullah Saw, hingga masa lahirnya mujtahid fiqih belum ditulis tetapi kaidah kaidahnya telah bersemi di dalam sanubari dan tertanam dalam pemikiran mujtahid. Kaidah-kaidah itu selalu mereka jadikan pegangan dalam meng istinbatkan hokum tentang peristiwa yang muncul pada masanya. Karena belum di tulis maka ia tidak bias diajarkan dan dipelajari sebagai objek ilmiah, tetapi karena sudah dijadikan pegangan dalam melkukan setiap Istinbat maka ia merupakan seni (keterampilan)mujtahid. Perkembangan Fiqih sebagai pranata Ijtihat itu secara garis besar pada tahab ini dapat di bagi dalam Tiga periode yaitu Periode Sahabat, disebut periode fatwa dan penafsiran. Periode tabi’in lahirnya dua aliran ijtihad dan Periode Imam Mujtahid. Daftar Pustaka Abd al-Wahab Khalaf, Al-Siyasah al-Syari’ah Mesir. Dar alAnshar, 1977 Abdul Rauf, Al-Qur’an dan Ilmu Hukum, Jakarta. Bulan Bintang 1970 Coulsen, Noel J. Hukum Islam dalam Perspektif sejarah, terjemahan oleh Hamid Ahmad Jakarta:P3M, 1987 Imam Syafi’i, Al-Risalah, Mesir, Dar al-Saqafah, 1969 Muhammad Abu Zahra, al-syafi’I Hayatuhu wa ‘Asruh ara’uhu wa Fighuh. Kairo, Dar al-Fikr al-Arabi, 1948 Muhammad Khudari bek, Tarikh al-Tasyri al-Islami (Surabaya, Maktabah Sa’ad Ibnu Sulaiman Nabhani, 1965 H. Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam (Bandung. Sinarbaru algesindo. 2007 Sulaiaman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam pembaharuan hukum islam (Jakarta, Pedoman Ilmu Jaya, 1996) Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016 45 Shiddieqiy Al-Hasbi. Pokok-pokok pegngan Imam-Imam mazhab dalam membina Hukum Islam (Jakarta, Bulan Bintang 1975) Jurnal An-Nur, Vol. 3 No. 02 Juli Desember 2016