progresifitas hukum pemilu mahkamah konstitusi

advertisement
RechtsVinding Online
MENJAGA PROGRESIFITAS HUKUM PEMILU*
Oleh:
Arfan Faiz Muhlizi, S.H.,M.H.**
Hukum tentang Pemilihan Umum
(Pemilu) di Indonesia telah berkembang
dengan sangat cepat. Perkembangan ini
tidak saja akibat makin agresifnya lembaga
legislasi tetapi juga karena sangat
progresifnya Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam melahirkan putusan terkait Pemilu.
Putusan-putusan MK tersebut secara garis
besar terdiri dari putusan tentang
perselisihan hasil Pemilu (PHPU) dan
putusan tentang pengujian undang-undang
(PUU). Dari rangkaian putusan yang
disistematisasi tersebut terlihat bahwa
telah lahir beberapa prinsip hukum baru
yang terkait Pemilu sebagai mekanisme
penting negara demokrasi konstitusional.
Prinsip baru ini lahir dari berbagai
terobosan hukum, baik menyangkut hukum
materiil maupun hukum formil dalam
penyelesaian sengketa Pemilu (Janedjri M.
Gaffar, 2013).
Prinsip baru tersebut menunjukkan
bahwa putusan MK terkait Pemilu sangat
diwarnai oleh beberapa karakter yang
menjadi penyangga utama hukum progresif,
yaitu: pertama, hukum adalah untuk
manusia dan bertujuan untuk kesejahteraan
dan kebahagiaan manusia sehingga
memandang hukum selalu dalam proses
menjadi (law in the making) sehingga harus
serta peka terhadap perubahan yang terjadi
di masyarakat, baik lokal, nasional maupun
global. Karakter ini terlihat dari putusan MK
mengembalikan hak pilih sebagai salah satu
hak asasi manusia para bekas anggota
organisasi terlarang PKI atau yang terlibat,
baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam G30S/PKI. Putusan MK
tersebut mengakhiri diskriminasi yang ada
sejak masa awal Orde Baru. Sebagai
putusan hukum, Putusan MK telah
diorientasikan
untuk
kepentingan
pemenuhan hak asasi manusia yang tidak
boleh didiskriminasi tanpa ada putusan
pengadilan. Begitu juga dengan putusan MK
yang menyatakan bahwa hak memilih dan
hak dipilih adalah hak yang dilindungi oleh
konstitusi, dan tidak dapat ditiadakan
karena alasan administratif, yaitu tidak
terdaftar di DPT. Putusan ini dibuat untuk
kepentingan pemenuhan hak memiilih dan
hak dipilih yang terancam karena persoalan
administratif.
Contoh
lain
yang
menunjukkan karakter bahwa hukum
adalah untuk manusia adalah putusan MK
yang menyatakan bahwa aturan hukum
tidak boleh merenggut hak seseorang
selamanya karena tindak pidana yang
pernah dilakukan orang tersebut. Putusan
ini dilandasi oleh argumentasi bahwa
larangan seseorang yang pernah dipidana
karena tindak pidana yang diancam
hukuman penjara lima tahun atau lebih,
bertentangan dengan prinsip persamaan di
hadapan hukum (equality before the law).
Karakter ini juga semakin kuat diperlihatkan
melalui putusan MK yang menyatakan
bahwa
pelaksanaan
Pilkada
dapat
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat,
dengan melegalisasi penggunakan sistem
noken di Papua dalam pelaksanaan
pemungutan suara.
Kedua, karekter hukum progresif yang
menolak mempertahankan status quo
RechtsVinding Online
dalam berhukum. Hal ini terlihat dari
putusan MK yang memberikan kesempatan
kepada mantan terpidana untuk menjadi
calon bagi jabatan-jabatan yang dipilih;
memberikan kesempatan kepada calon
perseorangan
dalam
Pemilukada;
mendiskualifikasi calon yang tidak jujur
terkait jati dirinya pernah dipidana dalam
perkara Pemilukada Kabupaten Bengkulu
Selatan;
serta
memberikan
sanksi
diskualifikasi karena pelanggaran yang
selain bersifat sistematis, terstruktur, dan
masif, juga dilakukan dengan cara teror dan
intimidasi yang melanggar hak rasa aman
warga Negara di Kabupaten Kotawaringin
Barat.
Ketiga, karakter hukum progresif yang
memberikan perhatian besar pada peranan
perilaku manusia dalam hukum. Hal ini
terlihat dari putusan MK mengenai
hubungan antara KPUD dan DPRD, sehingga
untuk penyelenggaraan Pemilukada yang
Jurdil, KPUD tidak boleh bertanggungjawab
kepada DPRD yang merupakan lembaga
politik. Kemudian terlihat juga dari putusan
MK yang menegaskan kewenangan Bawaslu
untuk mengangkat anggota Panwaslu.
Kewenangan tersebut tidak diberikan
kepada KPU, karena sangat berpotensi
melemahkan tugas Panwaslu itu sendiri.
Putusan MK lainnya yang menguatkan
karakter ini adalah putusan yang
menegaskan bahwa asas jujur dan adil
dalam Pemilu hanya dapat terwujud jika
penyelenggara
Pemilu
tidak
dapat
diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak
manapun sehingga penyelenggara Pemilu
tidak dapat diserahkan kepada pemerintah
atau partai politik, sebab berpotensi dan
rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh
berbagai kepentingan. (Janedjri M. Gaffar,
2013)
Dari karakter progresif ini kemudian
lahir prinsip baru dari putusan MK seperti:
Prinsip Kebenaran Materiil Mengatasi
Kebenaran Formil; Prinsip Keputusan dalam
Proses Demokrasi Dapat Dibatalkan
Pengadilan; Prinsip Perlindungan Hak
Konstitusional Warga Negara; Prinsip
Memerhatikan Perkembangan Masyarakat,
serta prinsip non diskriminasi.
Terdapat optimisme bahwa putusan
MK tersebut -beserta prinsip-prinsip hukum
yang lahir di dalamnya- merupakan
yurispridensi yang harus diikuti dalam
kehidupan bernegara. Hal ini karena
putusan MK tidak hanya mengikat pihakpihak yang berperkara, tetapi juga mengikat
semua orang (erga omnes). Optimisme
semacam ini sayangnya masih menghadapi
beberapa
tantangan
pada
level
implementasi. Sebagai contoh, untuk
putusan MK yang melegalisasi penggunakan
sistem noken di Papua dalam pelaksanaan
pemungutan suara ternyata tidak diikuti
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam
membuat regulasi teknisnya. KPU masih
menganggap bahwa noken papua dalam
konsepnya yang asli –yang telah diakui oleh
UNESCO sebagai Warisan Budaya Duniabelum memenuhi syarat teknis pelaksanaan
demokrasi. Putusan MK ini oleh KPU hanya
dianggap mengikat para pihak saja dalam
perkara tersebut. Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Papua mengaku telah mengeluarkan
petunjuk teknis (Juknis) Nomor 1 tahun
2013 tentang Juknis pemungutan suara
sistem Noken yang sering dilakukan
masyarakat di daerah Pegunungan Papua
sebagai suatu kearifan lokal dalam
Pemilihan Gubernur (Pilgub). Menurut KPU,
noken bisa digunakan jika memenuhi syarat
sesuai Juknis KPU Nomor 1 tahun 2013
tentang teknis penggunaan noken. Ada
beberapa syarat sesuai Juknis yakni, saat
RechtsVinding Online
pemungutan suara noken harus di
tancapkan, diikat pada sebatang kau atau
sesuai kebiasaan masyarakat setempat.
Tetapi harus noken harus di tancapkan di
area Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan
pemilih yang suaranya masuk ke noken
harus datang ke TPS, serta tidak bisa
diwakilkan guna memenuhi asas langsung.
Regulasi teknis yang dibuat KPU ini dapat
dianggap sebagai salah contoh tidak
ditaatinya putusan MK.
Hal
ini
menunjukkan
bahwa
keberadaan regulasi yang mengatur
kewenangan dan akibat hukum putusan
final Mahkamah Konstitusi, belum tentu
memiliki
implikasi
riil
terhadap
implementasi putusannya. Persoalan ini
disebabkan oleh dua hal. Pertama,
Mahkamah Konstitusi tidak memiliki unit
eksekutor yang bertugas menjamin
implementasi putusan final (special
enforcement agencies). Kedua, putusan
final sangat bergantung pada kesediaan
otoritas publik di luar Mahkamah Konstitusi
untuk menindaklanjuti putusan final
(Ahmad Syahrizal, 2007: 116).
Implementasi putusan Mahkamah
Konstitusi adalah tahap paling penting
dalam upaya mengkonkritkan konstitusi di
tengah masyarakat. Putusan yang dibuat
oleh Mahkamah Konstitusi perlu pula
disertai dengan perangkat “pengaman”
yang diarahkan kepada perorangan ataupun
institusi-institusi negara agar benar-benar
dapat diimplementasikan. Hal ini dilakukan
untuk memastikan bahwa implementasi
putusan Mahkamah Konstitusi tidak
dihadang oleh “kekuatan” lain dengan
alasan yang seolah-olah konstitusional.
Kondisi semacam ini perlu diantisipasi oleh
MK dan tidak lagi menganggap bahwa
putusan MK dengan “aman” berlaku
dengan sendirinya (self-executing) tanpa
memerlukan upaya paksa. Sebagaimana
dikatakan Satjipto Rahardjo kepastian
hukum tidak jatuh dari langit (Satjipto
Rahardjo, 2006). Oleh sebab itu, kepastian
hukum tidak jatuh bersamaan lahirnya
undang-undang beserta pasal-pasal dan
prosedurnya.
Kepastian
hukum
membutuhkan pengerahan tenaga dan
kekuatan. Sehingga, Satjipto Rahardjo yakin
bahwa kepastian hukum adalah suatu
usaha. Kalau memang demikian halnya
maka adalah tidak tepat bila ingin mencapai
karakteristik
putusan
final
yang
implementatif
hanya
mengandalkan
akseptabilitas normatif diktum Pasal 24C
ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini mendorong pemikiran bahwa
tugas peradilan konstitusi tidak sekadar
menyelenggarakan aktivitas interpretasi,
tetapi juga memikul tanggungjawab besar
agar
ketentuan-ketentuan
konstitusi
implementatif. Implementasi adalah fungsi
yang memerlukan tindakan kolaboratif dan
koordinatif
sehingga
proses
pengejewantahan kaidah-kaidah konstitusi
dalam kehidupan nyata tidak bisa
diwujudkan tanpa ada tindakan dan
kesepakatan kolektif dari institusi-institusi
dan aktor negara. Richard H. Fallon dalam
Implementation
the
Constitution
mengatakan: If we the Court central role as
implementing the Constitution, we can
better understand why the Justice
sometimes must compromise their own
view about what would be best in order to
achieve coherent, workable constitutional
doctrine (Richard H. Fallon, 2001: 37).
Dengan
demikian,
implementasi
kaidah-kaidah utama UUD NRI 1945 bukan
semata-mata tugas Mahkamah Konstitusi,
RechtsVinding Online
tetapi kewajiban yang harus diemban
secara kolektif oleh lembaga-lembaga
negara lain seperti MPR, DPR, DPD dan
Presiden maupun aktor negara lainnya
seperti KPU. Di samping itu semua harus
pula ada partisipasi aktif dari aktor-aktor
non-negara sehingga implementasi putusan
final Mahkamah Konstitusi memerlukan
tindakan kolaboratif dan kesadaran kolektif
yang melibatkan seluruh lembaga negara,
aktor negara dan aktor non-negara. Ini
harus ditopang oleh keyakinan kuat untuk
melahirkan
negara
demokrasi
konstitusional di bawah UUD NRI 1945.
* Tulisan ini adalah adopsi dari resensi penulis atas buku Janedri M Gaffar (Sekjen Mahkamah
Konstitusi) yang dimuat di Majalah Konstitusi terbitan Mahkamah Konstitusi No.85 Maret 2014.
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/Majalah
_77_Majalah%20Edisi%20Maret%202014%20.pdf
**Penulis adalah Analis Hukum di BPHN Kementerian Hukum dan HAM
Download