Laporan Penelitian - Komisi Penanggulangan AIDS

advertisement
Laporan Akhir Penelitian
HAK SEKSUAL PEREMPUAN DAN HIV/AIDS:
Studi pada Perempuan Muda (15-24 tahun)
di Tiga Kota di Jawa Barat
Oleh:
Pusat Kajian Gender dan Seksualitas
FISIP UI
Gedung C lantai 3 FISIP
Telp/fax: 7863517
email: [email protected]; [email protected]
Tim peneliti
Ketua
Anggota
: Irwan M. Hidayana
: Ida Ruwaida Noor
Diana Pakasi
1
KATA PENGANTAR
Penelitian ini merupakan bagian dari program Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional (KPAN) yang didasari oleh pemikiran bahwa penanggulangan epidemi HIV
dan AIDS di Indonesia perlu ditunjang oleh data-data yang akurat, valid dan
terpercaya agar perancangan kebijakan dan program menjadi lebih baik, efisien dan
efektif. Kami berharap penelitian yang telah dilakukan ini dapat memenuhi tujuan
tersebut. Namun kami pun sadar pasti masih ada sejumlah keterbatasan dalam
penelitian ini baik dari segi metodologis, analisis, penyajian dan rekomendasi. Kami
terbuka terhadap kritik, saran dan komentar terhadap laporan penelitian ini.
Penelitian yang kami lakukan ini hanyalah bagian kecil dari spektrum
persoalan HIV dan AIDS di Indonesia yang begitu luas dan kompleks. Kami meneliti
tentang pemaknaan hak seksual dan resiko seksual pada perempuan muda (15-24
tahun) dalam konteks penanggulangan epidemi HIV di tiga kota di Jawa Barat yaitu
Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Secara spesifik, penelitian ini berkaitan
dengan program PMTCT (prevention mother-to-child transmission) yang salah satu
pilarnya adalah pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif.
Dalam pelaksanaan penelitian ini kami bekerja sama dengan berbagai pihak.
Pertama, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh
KPAN dan HCPI (HIV Cooperation Program for Indonesia) untuk melakukan
penelitian ini dengan dana hibah serta masukan-masukan dalam pengembangan
proposal dan penulisan laporan. Secara khusus, rasa terima kasih kami sampaikan
kepada Mas Dede Oetomo dan Mas Danny Yatim selaku mentor; Prof. Budi Utomo
dan Dr. Suriadi Gunawan sebagai penanggungjawab program penelitian KPANHCPI.
Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada tim penelitian di
lapangan: Mahacakri Sirindorn, Didah, dan Neng Ulya di Karawang; Maya, Intan
Bangun Lestari, Dria Arfani dan Ani Nuraeni di Sukabumi; Endah Sulistyowati, Eva
Patimah, Mira Lestari, Kiki Zakiyatusyahidah, dan Sri Wahyuni di Tasikmalaya.
Demikian juga kepada Joko Kristiyanto, S.Sos dari Merkurius Foundation
(Sukabumi), Bonan Sanggabuana, SH dari Badan Narkotika Kabupaten (Karawang),
Rizal dari Mitra Citra Remaja dan Cecep dari Yakin (Tasikmalaya) yang telah
memfasilitasi kegiatan penelitian maupun validasi penelitian, kami mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerjasama yang baik. Semoga kita bisa
bekerja sama kembali di waktu yang mendatang.
Terima kasih yang tak terhingga kami tujukan kepada para responden dan
informan yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai di tengahtengah kesibukan mereka. Demikian juga kepada sejumlah individu yang tidak dapat
kami sebut namanya satu per satu atas segala bantuannya selama kami melakukan
penelitian di lapangan.
Laporan penelitian ini mungkin mengandung kesalahan-kesalahan yang tidak
kami sadari dan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami.
Depok, 12 Februari 2010
Tim peneliti
2
Daftar isi
Halaman
Bab1 Pendahuluan
1.1. Latar belakang
1.2 Masalah penelitian
1.3. Tujuan penelitian
1.4. Jastifikasi
1.5. Metode penelitian
4
7
10
10
11
Bab 2 Ajang penelitian: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya
2.1. Karakteristik sosial budaya
2.2. Respon terhadap kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS
2.3. Karakteristik kelompok perempuan muda (15-24 tahun)
16
17
19
Bab 3 Gender dan membangun relasi dalam pergaulan
3.1. Remaja perempuan dan pubersitas
3.2. Remaja perempuan dan bebogohan (pacaran)
3.3. Remaja perempuan dan pernikahan
22
27
33
Bab 4 Pengetahuan kesehatan reproduksi dan resiko seksual
4.1. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi
4.2. Pengetahuan tentang resiko seksual
37
45
Bab 5 Hak Seksual, negosiasi seksual dan resiko seksual
5.1. Persepsi tentang hak seksual
5.2. Persepsi tentang keperawanan
5.3. Negosiasi seksual dan resiko seksual
53
60
62
Bab 6 Kesimpulan dan rekomendasi
6.1. Kesimpulan
6.2. Rekomendasi
68
70
Referensi
73
3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Berdasarkan laporan UNAIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia
yang pertumbuhan kasus HIV/AIDS yang relatif cepat. Dari laporan tentang kasus
AIDS, pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus AIDS. Di
tahun 2007 laporan datang dari 32 provinsi. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang
dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada tahun 2004,
menjadi 11.141 kasus hingga akhir Desember
2007. 1 Departemen Kesehatan
memperkirakan bahwa populasi yang rawan tertular HIV pada tahun 2006 sebesar
193.070 orang, dan diestimasikan sampai akhir 2007 di Indonesia terdapat 193.000
ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) 2 dengan sekitar 25% di antaranya adalah
perempuan.
3
Grafik 1: Tren Total Kasus AIDS selama 10 Tahun terakhir 4
1
Source: Country report on the follow-up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS 2006-2007, p. 18
Dalam satu dekade terakhir angka HIV pada kelompok resiko tinggi (terutama pekerja seks dan penasun) meningkat
tajam. Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan di Papua, HIV/AIDS
telah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4 persen. Prevalensi HIV/AIDS pada penduduk
usia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen.
3 Berdasar hasil survei dan sejumlah kajian terhadap kelompok-kelompok rentan, diestimasikan 90.000 – 130.000 yang
terinfeksi yang tahun 2002, 25% di antaranya adalah perempuan (Riono dan Jazant 2004:79).
4 Source: Country report, p. 18
2
4
Bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada tahun
2010 jumlah kasus AIDS diproyeksikan akan menjadi 400.000 orang dengan
kematian 100.000 orang. Pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian
350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi pada sub populasi beresiko kepada
isteri atau pasangan seksualnya. Pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan terjadi
penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu
yang HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa HIV dan AIDS telah menjadi ancaman
serius bagi bangsa Indonesia.
Namun upaya penanggulangan yang telah dilakukan selama ini masih
terkonsentrasi pada kelompok perilaku beresiko tinggi seperti pengguna napza
suntik, pekerja seks, dan pelanggan seks. 5 Upaya pencegahan perlu diperluas,
terutama untuk mencegah agar HIV tidak semakin menyebar pada masyarakat luas.
Pendekatan yang berfokus pada “kelompok beresiko tinggi” juga riskan menciptakan
stereotipe kelompok yang dianggap beresiko tinggi tsb. Lebih dari itu, pendekatan ini
cenderung mengasumsikan kelompok lainnya – di luar kelompok beresiko tinggi -dalam kondisi ‘relatif aman’ atau ‘kurang beresiko’. Faktanya, perempuan adalah
salah satu kelompok yang rentan “beresiko” terinfeksi, bukan hanya karena faktor
biologis yang lebih rentan dari laki-laki. Namun,
perempuan secara sosial dan
kultural juga kurang berdaya untuk mempraktikkan metode seks yang aman dan
nyaman
untuk
dirinya.
Faktor
ekonomi
juga
mengkondisikan
kerentanan
6
perempuan. Berdasarkan berbagai penelitian, kelompok usia remaja merupakan
usia yang paling rentan terinfeksi, yang kemudian dalam jangka waktu tertentu,
perempuan remaja akan menjadi ibu hamil, yang kehamilannya dapat mengancam
kelangsungan hidup janin/bayi.
Deklarasi UNGASS telah memberikan perhatian khusus pada perempuan,
remaja dan anak, khususnya anak perempuan, sebagai kelompok yang paling
rentan. Deklarasi juga menegaskan bahwa kerentanan mereka hanya akan bisa
direduksi melalui upaya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (UN
2001). Seperti diketahui, kualitas hidup (derajat kesehatan) perempuan merupakan
Berdasarkan Human Development Report (HDR) 2001 hingga HDR 2006, tingkat daya beli (purchasing power parity atau
PPP) perempuan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, dengan nilai berkisar pada angka US$ 2.000 setiap
tahunnya. Sementara itu PPP laki-laki mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, dengan nilai dua kali
lipat lebih dibandingkan PPP perempuan. Indikator ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) dalam PPP
sangat tinggi.
6
5
salah satu penentu capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI), juga Indeks
Pembangunan Gender (IPG/GDI). Berdasarkan Indonesia Human Development
Report : skor HDI 65.8 (2002, 111/117) meningkat jadi 71.1 (2004) menjadi 72.8
(2006). GDI 2002, nilai 59.2 (81/177), menjadi 65.1 (2005), kemudian menjadi 65.3
(2006).
Data tersebut menunjukkan masih adanya kesenjangan gender yang
terefleksi dari lebih rendahnya skor GDI dari HDI, meski harus diakui kondisinya
membaik. Peningkatan IPM dan IPG, dimungkinkan jika setidaknya menfokuskan
pada 3 komponen yakni : (1) angka melek huruf perempuan (2) angka partisipasi
sekolah perempuan pada tingkat pendidikan primer, sekunder dan tersier dan (3)
angka harapan hidup perempuan.
Dalam
konteks
masyarakat
plural
seperti
Indonesia,
maka
upaya
penanggulangan HIV dan AIDS pada perempuan dan remaja perlu memperhatikan
situasi dan konteks di mana mereka hidup karena mereka bukanlah kelompok
homogen, melainkan sangat heterogen dilihat dari kelompok usia, jenis kelamin,
status sosial ekonomi, geografi (kota, pulau, provinsi, dll.), latar belakang budaya,
dan lain-lain. Oleh sebab itu, dimungkinkan adanya model pendekatan yang “locally
and culturally sensitive” atas penanggulangan HIV-AIDS, khususnya pada kelompok
perempuan dan anak/remaja perempuan. Mengingat dalam konteks desentralisasi,
upaya pemberdayaan perempuan dan eliminasi ketimpangan atau kesenjangan
gender diharapkan selayaknya juga mendapat prioritas. Melalui desentralisasi
terbuka peluang struktural untuk terjadi peningkatan kapasitas, kebersamaan
(equity) atau keadilan sosial serta memberi kewenangan
termasuk perempuan, untuk mengatur dirinya (empowerment).
pada masyarakat,
7
Dalam konteks ini,
kebijakan otonomi daerah (otoda) menghendaki adanya penguatan akar budaya
lokal serta
menumbuhkan partisipasi seluruh potensi masyarakat lokal, karena
kebijakan ini berasumsi bahwa potensi kearifan lokal yang ada di masyarakat harus
dibangkitkan.
Kebijakan
pembangunan
di
tingkat
lokal
sudah
semestinya
disesuaikan dengan situasi lokal dan memperhitungkan sumberdaya-sumberdaya
lokal, serta sensitif terhadap isu-isu lokal baik ekonomi, budaya, politik dan sosial.
Kebijakan desentralisasi mendukung keterlibatan aktif masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat lokal
dalam proses pembangunan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat,
maka agenda program pemerintah dalam Propenas 2000-2004 adalah (1) Program Penguatan Organisasi Masyarakat ; (2)
Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin ; dan (3) Program Peningkatan keswadayaan masyarakat. Dikutip dari
“Community Empowerment Program with Civil Society in Indonesia (CEP)”, diterbitkan atas kerjasama sekretariat PKPMBAPPENAS-JICA, 2004, hal; 7.
7
6
Kebijakan tersebut tidak hanya sensitif tapi juga partisipatif dan merupakan buah
kerja sinergi antara pemerintah dan aktor non pemerintah. 8
Sejalan dengan itu,
Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 telah
merumuskan untuk merespon epidemi HIV dan AIDS, dengan mengedepankan
prinsip-prinsip kemudahan akses untuk semua, terutama pada delapan sasaran
kunci; pemilihan prioritas program, sasaran dan wilayah; pelayanan komprehensif
sedekat mungkin; peran pemerintah daerah dan KPA (Komite penanggulangan
AIDS); serta kemitraan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga
donor, dan masyarakat madani.
1.2. Masalah penelitian
Dalam konteks pencegahan epidemi HIV/AIDS, penelitian ini terkait dengan
upaya
PMTCT
(prevention
mother-to-child
transmission)
atau
pencegahan
penularan HIV dari ibu ke anak. Dalam PMTCT dikenal sebuah pendekatan
continuum of care yang mencakup 4 prong 9 yaitu:
Prong 1: pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif
Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan HIV positif
Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu seropositif kepada bayinya
Prong 4: perawatan, dukungan dan pengobatan (CST) bagi ibu HIV positif yang baru
melahirkan dan keluarganya.
Penelitian ini berada dalam ranah Prong 1 yang menjangkau perempuan muda yang
berusia 15-24 tahun sebagai bagian dari kelompok perempuan usia reproduktif.
Penelitian mengenai kesehatan reproduksi remaja – khususnya perilaku seksual -sudah cukup sering dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia sejak tahun 1980-an
hingga awal dasawarsa abad 21 ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam
pendekatan, metode dan kerangka analisis namun secara umum penelitianpenelitian terdahulu memperlihatkan bahwa kaum remaja semakin toleran terhadap
hubungan seks pranikah dan semakin terpapar dengan informasi yang terkait
Sebagai informasi, menurut PBB, 1/3 dari penduduk dunia adalah penduduk miskin, dan 70% di antara mereka adalah
perempuan. Untuk negara berkembang, disinyalir separuh penduduk miskin adalah perempuan. Sedangkan data di
Indonesia, menurut BPS, tahun 1999 jumlah Gakin sekitar 7.87 juta, dan 0.96 juta dikepalai perempuan, yang 40% di
antara mrereka berpendidikan rendah bahkan buta huruf. Oleh sebab itu, tidak salah jika Human Development Report,
UNDP, tahun 1995 menyebutkan bahwa “Poverty has a women face”. (Jurnal Perempuan, no.42, 2005)
8
9
Lihat Pedoman Nasional Pencegahan HIV dari ibu ke anak tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
7
seksualitas dari beragam media massa baik di perkotaan maupun di pedesaan
(Arida, 2005; Hanum 1997; Indraswari 1999; Khisbiyah et.al 1997; Laksmiwati 1999;
Saifuddin dan Hidayana 1999; Widjanarko 1999; Sarwono 1981). Namun kami
menyadari sepenuhnya bahwa budaya remaja tidaklah homogen karena dipengaruhi
oleh faktor gender, usia, status sosial ekonomi, geografi dan budaya.
Penelitian ini tidak mengkaji tentang perilaku seksual perempuan muda, tetapi
kepada konteks dan makna dari seksualitas dan resiko yang berhubungan dengan
seks (sex-related risk). Lebih spesifik, studi ini akan mengkaji kesadaran akan hakhak seksual dan resiko seksual pada kelompok perempuan muda di kota
menengah dan kota kecil, yang diharapkan bisa dijadikan dasar atau landasan
pengembangan intervensi program di wilayah tersebut. Asumsi dasarnya adalah
konstruksi seksualitas tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi sosial budaya
tentang laki-laki dan perempuan serta relasi gender, dan konstruksi ini berpengaruh
pada kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual
perempuan dan laki-laki.
Pengertian hak dan kesehatan seksual tertuang pada Pasal 96 Platform Aksi dari
Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing tahun 1995 yaitu:
Hak-hak asasi perempuan mencakup hak untuk memiliki kontrol dan
memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas masalah-masalah
yang berhubungan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan seksual
dan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan. Hubungan
yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam masalah-masalah relasi
seksual dan reproduksi, termasuk penghormatan sepenuhnya bagi integritas
seseorang, mensyaratkan saling menghormati, persetujuan dan tanggung
jawab bersama bagi perilaku seksual dan konsekuensi-konsekuensinya
(dikutip dari Petchesky 2003: 38)
Sekalipun istilah ‘hak seksual’ tidak digunakan secara eksplisit dalam Platform Aksi
tersebut, namun penjabaran di atas menunjukkan unsur-unsur hak seksual bagi
setiap orang.
Dalam penelitian ini kesadaran terhadap hak-hak seksual 10 akan difokuskan
pada hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan dan hak terlindung
Hak seksual meliputi hak memiliki kontrol atas seksualitas, hak atas informasi tentang seksualitas, hak terlindung dari
praktik yang membahayakan, hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan, hak terlindung dari PMS dan
HIV/AIDS, dan hak atas kepuasan seksual
10
8
dari PMS dan HIV/AIDS. Kedua hak tersebut terkait dengan persoalan kesehatan
seksual yaitu seks aman dan seks tidak aman (safe and unsafe sex), seks yang
diinginkan dan seks yang tidak diinginkan (wanted and unwanted sex) serta seks
dengan kekerasan dan seks atas dasar konsensus (coercive and consensual sex).
Kesehatan seksual di sini diartikan sebagai kehidupan seks yang memuaskan,
bebas dari kekerasan, ketakutan dan rasa sakit, termasuk relasi seksual yang saling
mengasihi.
Persepsi terhadap resiko seksual – khususnya terhadap penularan PMS dan
HIV – penting diketahui karena akan mempengaruhi praktik-praktik seksual
perempuan muda. Konsep ‘resiko’ dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS adalah
konsep yang abstrak dan tidak mudah dipahami sehingga perlu diejawantahkan
secara spesifik dalam penelitian ini. Penggunaan istilah ‘resiko’ dalam programprogram HIV/AIDS seringkali menjadi problematik. Istilah yang diterjemahkan dari
bahasa Inggris tersebut acapkali tidak mudah dipahami oleh kelompok-kelompok
yang menjadi sasaran intervensi program, terutama yang berpendidikan rendah.
Tambahan pula, istilah ‘resiko’ secara implisit mempunyai konotasi yang cenderung
negatif.
Teori ‘sexual script’ atau ‘skenario seksual’ (Simon 1996) adalah sentral
dalam penelitian ini. Teori ini menjelaskan bahwa penting untuk membedakan antara
persepsi dan perilaku yang terkait dengan faktor situasional untuk memahami
tindakan seksual. Ada tiga aspek yang harus dicermati yaitu skenario individu
(makna individual sebagai hasil interpretasi terhadap skenario budaya), skenario
antar-pribadi dan skenario budaya. Ketiga skenario ini saling berkelindan dalam
situasi dan konteks sosial tertentu yang kemudian terwujud dalam tindakan seksual.
Kami akan melihat bagaimana skenario-skenario tersebut dirumuskan dan
digunakan dan bagaimana skenario tersebut terwujud dalam perilaku atau
performance dalam ruang publik dan privat.
Secara metodologis, ketertarikan pada kota menengah dan kecil ini lebih
didasarkan pada anggapan bahwa skala kota tidak bisa menjadi dasar asumsi
rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS. Oleh sebab itu signifikan dibahas tentang
bagaimanakah inisiatif lokal dalam memanfaatkan sumberdaya luar maupun lokal?
Hal ini menjadi pembelajaran penting untuk diungkap dan dipahami, termasuk
perspektif gender dan perempuan
yang melandasinya, utamanya menyangkut
9
bagaimana
perempuan
lokal
memaknai
hak-hak
seksualnya,
mengontrol
seksualitasnya, dan menyuarakan kepentingan/kebutuhannya. Kajian ini menjadi
penting dan strategis dalam konteks masyarakat Indonesia yang patriarkis, di mana
skenario
budaya
perkawinannya,
lebih
dan
melekatkan
perempuan
identitas
lebih
dituntut
perempuan
dengan
mengedepankan
status
kewajiban-
kewajibannya dibandingkan haknya. Ada tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab
melalui penelitian ini:
1. Bagaimanakah pemaknaan hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS
dan HIV/AIDS di kalangan perempuan muda serta sumber pengetahuannya?
2. Apa tantangan dan peluang dalam mengontrol dan menyuarakan hak-hak
tersebut: baik pada level individual, antar-pribadi, dan komunitas?
3. Bagaimanakah strategi
perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan
hak-hak seksualnya?
1.3. Tujuan penelitian
1. Mendapatkan gambaran akses perempuan akan informasi menyangkut hakhak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS
2. Mendapatkan pemahaman tentang pemaknaan remaja perempuan akan hak
seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS, termasuk sumber
pengetahuannya
3. Memahami strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan hak
seksualnya dan mengurangi resiko seksual.
1.4. Jastifikasi
Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan rekomendasi yang
bersifat praktis dan terapan dengan maksud:
1. Perlunya mengembangkan Program Pendidikan Seksualitas yang responsif
gender dan mampu memberdayakan perempuan;
2. Pengembangan program yang “locally and culturally sensitive” agar remaja
perempuan dapat lebih terbuka berbicara tentang seks dan seksualitas
3. Memberikan bahan rancangan kampanye publik tentang hak-hak seksual
perempuan, a.l: pemasaran sosial, pelatihan, ketrampilan dll.
10
4. Mengkondisikan iklim di masyarakat untuk lebih terbuka membincang isu hak
seksual dan resiko seksual.
1.5. Metode Penelitian
Pendekatan Penelitian
Sejalan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian yang lebih bersifat eksploratif,
maka studi ini lebih dominan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada dasarnya
kajian ini bersifat ‘triangulasi” baik dari perspektif maupun metode pengumpulan
data. Tim Peneliti berlatar belakang inter-disipliner (antropolog, sosiolog, hukum).
Sedangkan data akan dijaring baik dengan metode/teknik kualitatif (wawancara
mendalam/case study, diskusi kelompok terarah, dan pengamatan/observasi), juga
metode kuantitatif (survei).
Data kualitatif merupakan data utama penelitian ini,
sedangkan data kuantitatif lebih merupakan data penunjang.
Pemilihan Lokasi Penelitian
Studi dilakukan di Jawa Barat yang usia kawin perempuan cenderung lebih
rendah daripada wilayah lain, kecuali Jawa Timur. Jones (2001:68) menyatakan
bahwa usia saat menikah perempuan desa di Jawa Barat adalah antara 15 sampai
18 tahun pada awal abad 20. Pola ini cukup stabil dan hanya sedikit meningkat
(kurang dari 1 tahun) pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Gadis yang menikah
pada usia muda hidup dalam lingkungan yang patriarkal, akses terbatas kepada
sumber-sumber daya, tidak punya otonomi dan tidak punya pengaruh dalam
penentuan usia kawin. Nikah dini, nikah yang dijodohkan dan struktur keluarga
menyumbang pada tingkat perceraian di wilayah ini. Jones, Asari dan Djuartika
(1994: 395-396) mengungkapkan laju perceraian di Jawa Barat pada pertengahan
tahun 60-an adalah 59 dari 100 perkawinan. Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976
menunjukkan seperempat dari seluruh perkawinan di Jawa Barat berakhir dengan
perceraian dalam waktu 26 bulan. Pada akhir tahun 80-an tingkat perceraian
tertinggi masih terpusat di Indramayu dan kabupaten sekitarnya (Jones 1997:100).
Jones (2001) menyatakan bahwa usia nikah termuda ada pada dua kelompok
populasi yaitu Jawa Barat dan Madura di Jawa Timur. Kepatuhan yang kuat pada
ajaran Islam dan rendahnya pendidikan dianggap berkontribusi kepada fenomena
nikah dini.
11
Adapun studi difokuskan di kota menengah, dengan anggapan bahwa skala
kota tidak bisa menjadi dasar asumsi rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS.
Berdasarkan kriteria BPS mengenai kelas kota, Kota Kecil adalah kota dengan
jumlah penduduk antara 20.000 sampai 100.000 jiwa, sedangkan Kota Sedang
adalah kota dengan jumlah penduduk 100.000 sampai 500.000 jiwa dan Kota Besar
berpenduduk 500.000 sampai 1 juta jiwa 11 . Untuk itu dipilih secara ‘purposive’ 3
kota, yakni: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya, yang ketiganya termasuk 100
kabupaten/kota akselerasi program HIV/AIDS, dan menunjukkan
AIDS yang kontras.
jumlah kasus
Penetapan kota studi juga dikaitkan dengan konteks sosial
budaya, di mana wilayah utara Jawa Barat dianggap lebih ‘culturally loose’
dibandingkan wilayah tengah dan selatan sekalipun sama-sama berbudaya Sunda.
Sukabumi termasuk wilayah tengah, khususnya Sukabumi Utara. Wilayah ini
merupakan wilayah antara dua kota besar yakni: Jakarta dan Bandung. Sedangkan
Tasikmalaya mewakili wilayah selatan, yang relatif kental dengan nilai-nilai
religiusitas (ditandai dengan banyaknya pesantren) dan budaya Sunda yang ‘halus’.
Di masing-masing kota penentuan lokasi penelitian didasarkan atas beberapa
kriteria yaitu heterogenitas dari segi status sosial ekonomi, adanya penduduk asli
dan pendatang (dari etnis yang berlainan) serta berada di pusat kota. Berdasarkan
informasi dari mitra lokal, data statistik dan orientasi lapangan, maka ditentukanlah
satu kelurahan di setiap kota. Di Karawang, kelurahan Nagasari, kecamatan
Karawang Barat terpilih sebagai lokasi penelitian yang sebagian wilayahnya
merupakan pusat perekonomian dan dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang
cukup padat. Setelah berdiskusi dengan pihak kelurahan setempat, secara purposif
dipilih wilayah Babakan Cianjur (BBC) yaitu RW 28 dan 29 sebagai ajang penelitian.
Kelurahan Kebonjati, kecamatan Cikole dipilih sebagai lokasi penelitian di kota
Sukabumi karena berada di pusat kota, terdapat pusat perekonomian, dan dihuni
oleh penduduk yang heterogen. Berdasarkan saran dari pihak kelurahan, maka
dipilihlah RW 01, 08 dan 07 sebagai sasaran penelitian.
Di kota Tasikmalaya,
kelurahan Nagarawangi, kecamatan Cihideung dipilih sebagai lokasi penelitian
dengan dua RW terpilih yaitu RW 05 dan 06.
Lihat Widiantono, D.J dan Soepriadi, I. ‘Menakar Kinerja Kota-kota di Indonesia ‘ , Bulletin Penataan Ruang, edisi JanuariFebruari 2009 diakses dari http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120 pada tanggal 17 November 2009
11
12
Proses Pengumpulan Data
Penelitian lapangan dilakukan selama 30 hari kerja. Pada bulan Juli-Agustus
2009 penelitian dilakukan di Karawang, sedangkan bulan September-Oktober 2009
penelitian serentak di Sukabumi dan Tasikmalaya. Pengumpulan data di Sukabumi
dan Tasikmalaya sempat terhenti 2 hari karena terjadinya gempa yang cukup besar
di wilayah tersebut. Peneliti menyewa kamar di lingkungan RW yang menjadi lokasi
penelitian di setiap kota dan tinggal selama sebulan. Dengan demikian peneliti dapat
melakukan pengamatan langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan
masyarakat sekitar, terutama dengan tokoh masyarakat dan kelompok perempuan
muda sebagai sasaran penelitian.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah perempuan muda yang berusia
15 – 24 tahun, dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, pekerjaan dan
status marital. Untuk survei, populasinya adalah perempuan usia 15-24 tahun, baik
belum menikah, menikah maupun janda; sekolah, lulus sekolah maupun putus
sekolah; bekerja dan tidak bekerja.
1) Sampel dan survei
Di tingkat RW, kerangka sampel dibuat berdasarkan KK yang ada di setiap
RT. Peneliti dan asisten peneliti mendatangi setiap ketua RT di RW terpilih untuk
mendapatkan kerangka sampel. Selanjutnya sampel ditarik secara stratifikasi non
proporsional berdasarkan status perkawinan, selanjutnya responden dipilih secara
acak sistematik untuk responden belum menikah dan sampling total untuk
responden menikah. Sampling total bagi perempuan yang menikah dilakukan karena
jumlahnya kurang dari 1/3 dari perempuan yang belum menikah di tiga wilayah
penelitian (lihat bab 2). Jumlah sampel adalah 75 responden di setiap kota. Survei
merupakan langkah pertama pengumpulan data dalam penelitian ini.
Wawancara
dengan
kuesioner
dilakukan
oleh
asisten
peneliti
dan
pewawancara di bawah supervisi peneliti. Pewawancara melakukan uji coba
wawancara terlebih dahulu sebelum turun ke lokasi penelitian untuk mewawancarai
responden. Dalam sehari, pewawancara dibatasi mewawancarai maksimal 5
responden. Kuesioner hasil wawancara kemudian diserahkan kepada peneliti untuk
diperiksa dan apabila ada kekurangan atau kesalahan maka pewawancara diminta
memperbaikinya. Setiap hari pewawancara, asisten peneliti dan peneliti bertemu
untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui di lapangan, misalnya
13
responden
yang
gagal
ditemui,
penolakan
responden
untuk
wawancara,
ketidakjelasan jawaban dalam kuesioner dll.
2) Diskusi kelompok terarah (FGD)
Dua kelompok perempuan yaitu yang menikah/janda dan yang belum
menikah menjadi peserta FGD secara terpisah. Diskusi kelompok terarah dilakukan
terhadap kedua kelompok tersebut masing-masing dua kali. FGD pertama
memfokuskan pada persepsi tentang gender, relasi pertemanan dan relasi pacaran.
Sedangkan FGD yang kedua menyoroti pendapat peserta terhadap hak-hak seksual
perempuan. Peserta FGD diidentifikasi dari responden survei berdasarkan observasi
dari pewawancara. Beberapa sebelum FGD dilakukan, surat undangan disebarkan
kepada calon peserta FGD dan kemudian dikonfirmasi oleh asisten peneliti melalui
SMS atau telpon. FGD dilakukan di ruang kelas madrasah yang ada dalam
lingkungan RW setempat. Rata-rata peserta pada setiap FGD adalah 6-8 orang.
FGD juga dilakukan terhadap satu kelompok bapak (tokoh masyarakat) dan
kelompok ibu (PKK) untuk mendapatkan informasi umum tentang konteks
masyarakat setempat serta persepsi orangtua terhadap pergaulan sosial remaja dan
kaum muda.
3) Wawancara mendalam
Wawancara mendalam dilakukan terhadap pada 3 perempuan muda lajang, 3
perempuan muda menikah dan 3 perempuan janda. Namun realitas di lapangan
memperlihatkan bahwa cukup sulit mendapat informan perempuan muda yang
berstatus janda, sehingga hanya dapat dilakukan terhadap 1 atau 2 informan di
setiap lokasi penelitian. Informan untuk wawancara mendalam diupayakan
perempuan muda yang tidak masuk dalam sampel survei. Namun apabila ditemukan
kasus unik dari responden survei – misalnya menikah usia dini atau pernah
mengalami kekerasan atau hamil sebelum menikah – maka dipilih menjadi informan
penelitian.
Manajemen dan analisis data
1) Data kuantitatif
Kuesioner yang telah terisi secara benar selanjutnya diberikan kepada operator
data entry untuk diolah dengan SPSS versi 15.0. Sebelum data dimasukkan ke
komputer, semua kuesioner difotokopi demi keamanan penyimpanan data. Selesai
pemasukan data, kemudian dilakukan cleaning data berdasarkan tabel frekuensi dari
14
seluruh variabel. Selanjutnya data kuantitatif dianalisis secara univariat dan bivariat
terhadap sejumlah variabel sebagai pendukung analisis data kualitatif.
2) Data kualitatif
Seluruh rekaman wawancara mendalam dan FGD disimpan ke dalam komputer
dan dipisahkan berdasarkan lokasi penelitian. Transkripsi wawancara mendalam
dan FGD dilakukan secara verbatim meskipun terkadang terdapat kesulitan apabila
informan berbicara atau menggunakan bahasa Sunda di tengah wawancara atau
FGD. Kesulitan juga terjadi kalau suara informan terdistorsi oleh suara-suara lain
seperti suara kendaraan bermotor, suara anak menangis dll. Selanjutnya peneliti
membuat matriks untuk melakukan perbandingan antar kasus, khususnya antara
perempuan yang belum menikah dan yang menikah, berdasarkan sejumlah tema
tertentu yang muncul dari wawancara mendalam dan FGD. Analisis hasil wawancara
mendalam dan FGD juga didukung dengan catatan lapangan peneliti ketika
melakukan wawancara, termasuk di dalamnya observasi peneliti terhadap proses
wawancara.
Dalam
rangka
verifikasi
data,
hasil
sementara
penelitian
ini
telah
dipresentasikan di hadapan sejumlah instansi terkait di wilayah penelitian.
Tujuannya adalah mendapatkan masukan terhadap hasil penelitian agar dapat
memperkaya penulisan laporan akhir dan rekomendasi. Di tiga kota tersebut
beberapa instansi yang hadir adalah KPAD, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan
Nasional, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, Bidang Kesra
Pemerintah Daerah, pihak kelurahan setempat, dan LSM yang bergerak dalam
HIV/AIDS dan isu perempuan.
Etika Penelitian
Dalam konteks masyarakat Indonesia pada umumnya, isu hak seksual masih
merupakan hal yang tabu dan sensitif, bahkan dikonotasikan sebagai gagasan yang
radikal. Ini merupakan tantangan baik secara substansial maupun metodologis. Oleh
sebab itu, pendekatan ke komunitas lebih mengusung isu kesehatan masyarakat,
khususnya menyangkut kesehatan reproduksi remaja perempuan. Kemasan ini
lebih mudah diterima dan lebih mudah mendapatkan ijin penelitian. Berkenaan
dengan kesensitifan topik penelitian, maka adanya ‘informed consent’ dari sumber
data menjadi prioritas.
15
BAB 2
AJANG PENELITIAN:
KOTA KARAWANG, KOTA SUKABUMI DAN KOTA TASIKMALAYA
2.1. Karakteristik sosial budaya
Secara umum, masyarakat Jawa Barat dapat digolongkan ke dalam 3
kelompok yang berbeda yaitu masyarakat Banten di bagian barat, masyarakat
Priangan yang hidup di dataran tinggi bagian selatan dan masyarakat pesisir di
bagian pantai utara atau Pantura (Jones 2001:69-70). Secara budaya mereka
adalah orang Sunda yang memiliki keragaman religiusitas, bahasa, seni, dan juga
karakter atau watak. Masyarakat Priangan (Tasikmalaya, Garut, Bandung)
merupakan pendukung kebudayaan Sunda yang dianggap ‘halus’, misalnya dari
segi bahasa dan kesenian tradisional dengan warna Islam yang kental serta
cenderung hirarkis dan ortodoks. Pada masa kolonial Belanda daerah Priangan
menjadi tempat pelaksanaan Preangerstelsel yaitu perkebunan kopi yang dimulai
tahun 1677. Itulah masa dimulainya integrasi sosial budaya masyarakat Priangan ke
dalam ekonomi dan sistem nasional. Sukabumi yang sebenarnya berada cukup jauh
dari jantung Priangan, juga terpengaruh oleh perkembangan sistem perkebunan ini.
Sementara wilayah Banten (Serang, Cilegon, Pandeglang, Lebak) lebih didominasi
oleh budaya Sunda yang lebih ‘kasar’ dengan wajah Islam yang konservatif. Lain
lagi masyarakat pesisir Pantura (Karawang, Subang, Indramayu) menampilkan
kultur Sunda yang telah bercampur dengan unsur budaya Jawa pesisir seperti
Indramayu dan Cirebon. Masyarakat pesisir pun lebih bersikap egaliter dan terbuka
serta ‘tidak benar-benar Islam’ apabila dibandingkan dengan Sunda Priangan dan
Banten.
Apabila mencermati pranata perkawinan, Jones (2001) menyatakan bahwa
pada awal abad 20 usia saat menikah di kalangan gadis pedesaan di Jawa Barat
adalah antara 15 dan 18 tahun. Pola ini cukup stabil dan hanya meningkat sedikit
pada awal 1970-an. Perkawinan usia dini, perkawinan yang dijodohkan dan struktur
keluarga menyumbang terjadinya perceraian yang cukup tinggi di Jawa Barat. Studi
oleh Jones (1997) memperlihatkan bahwa pada pertengahan tahun 1960-an terjadi
59 perceraian untuk setiap 100 perkawinan yang menempatkan Jawa Barat sebagai
16
salah satu daerah dengan angka perceraian tertinggi di dunia bersama Kelantan
(Malaysia). Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976 mengungkapkan seperempat dari
seluruh perkawinan di Jawa Barat berakhir dengan perceraian dalam waktu 26 bulan
(Jones, Asari and Djuartika 1994: 395-396). Laju perceraian kemudian menurun
pada tahun 1970-an dan Jones (1997) berpendapat bahwa ini terjadi karena
meningkatnya usia nikah perempuan, meluasnya pendidikan dan meningkatnya
kebebasan memilih pasangan sendiri.
Perkembangan wilayah perkotaan yang pesat dalam dua dasawarsa terakhir
di Jawa Barat tentu membawa banyak perubahan sosial budaya pada masyarakat
Sunda. Dari segi pertumbuhan penduduk, Tasikmalaya, Sukabumi dan Karawang
mengalami
peningkatan
dari
tahun
ke
tahun.
Tasikmalaya
sudah
dapat
dikategorikan sebagai kota besar, sementara Sukabumi dan Karawang tergolong
kota menengah. Transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat perkotaan
dapat terlihat dari jenis mata pencaharian penduduknya yang semakin beragam,
tingkat pendidikan yang meningkat, heterogenitas penduduk dari segi etnis dan
mobilitas penduduk yang tinggi karena sarana transportasi yang memadai.
Sebagai kota yang berkembang dari wilayah agraris, maka masih ada wilayah
kota yang berupa sawah atau kebun yang secara perlahan-lahan beralih fungsi
menjadi pemukiman atau tempat usaha (ruko, restoran dll). Lokasi penelitian secara
purposif memang memilih wilayah yang paling berciri perkotaan sebagaimana
diuraikan dalam bab 1. Kelurahan Nagasari (Karawang), kelurahan Kebonjati
(Sukabumi) dan kelurahan Nagarawangi (Tasikmalaya) berada di pusat kota yang
cukup ramai karena dekat dengan pasar dan pertokoan. Pemukiman penduduk di
tiga kelurahan ini sebagian berada di antara gang-gang yang hanya dapat dilalui
oleh sepeda motor. Sekalipun demikian, masih terdapat rumah-rumah yang memiliki
halaman cukup lebar. Sebagian pemukiman lagi berada di tepi jalan yang dapat
dilalui kendaraan roda empat. Karena berada di pusat kota, maka lokasi penelitian
merupakan wilayah kota tua yang dihuni oleh penduduk asli dan sebagian
pendatang yang sudah puluhan tahun menetap. Memang semakin banyak
pendatang di wilayah ini terutama karena alasan pekerjaan. Karawang yang
dikembangkan sebagai kawasan industri mendorong meningkatnya pendatang dari
wilayah lain di Jawa Barat maupun propinsi lainnya.
17
2.2. Respon terhadap masalah kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS
Ketiga kota tersebut termasuk dalam program akselerasi penanggulangan
HIV/AIDS di 100 kabupaten/kota yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI
pada tahun 2005. Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tiga wilayah ini
juga telah terbentuk, meskipun terdapat perbedaan dalam intensitas pelaksanaan
tupoksinya. Secara nasional, propinsi Jawa Barat berada pada peringkat teratas
dalam hal jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan hingga Desember 2008 12 ,
diikuti oleh DKI Jakarta dan Jawa Timur. Untuk jumlah kasus HIV/AIDS yang
dilaporkan di tiga kota penelitian adalah sebagai berikut: Kota Tasikmalaya
sebanyak 213 kasus 13 , Kota Sukabumi sebesar 234 kasus 14 (s/d Oktober 2009),
dan Kabupaten Karawang sebanyak 171 kasus (s/d Desember 2008) 15 . Dalam
kaitannya dengan program PMTCT sebanyak 23 bayi lahir dari ibu yang HIV positif
di Sukabumi, dan ada belasan bayi di Karawang.
Dari ketiga kota tersebut, baru kota Tasikmalaya yang telah mengeluarkan
Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS no.2/
2008. Penanggulangan epidemi HIV/AIDS memang tidak pernah terlepas dari
sejumlah isu yang seringkali kontroversial seperti pelacuran, kecanduan narkoba,
perilaku seksual yang permisif, orientasi seksual dll. Selain itu KPAD memiliki peran
koordinasi yang tidak mudah karena harus berhubungan dengan sejumlah instansi
pemerintah dan non-pemerintah untuk secara sinergis menanggulangi epidemi yang
lebih luas.
Peranan LSM atau ornop menjadi penting dalam upaya penanggulangan
HIV/AIDS. Di tiga kota ini, sejumlah LSM telah berkecimpung dalam berbagai isu
penanggulangan
HIV/AIDS
terutama
menjangkau
kelompok-kelompok
yang
dianggap beresiko tinggi dalam penularan PMS dan HIV/AIDS. Di Karawang
misalnya Yayasan Pelita Ilmu telah hadir sejak tahun 1996 ketika ada bayi yang
12
Statistik Kasus HIV/AIDS Indonesia s/d Desember 2008 diakses dari www.aidsā€ina.org tanggal 22 November 2009 13
Pikiran Rakyat, 22 Mei 2009 13 Informasi dari Sekretaris KPA Kota Sukabumi, 9 November 2009 14 Republika Newsroom, 26 Februari 2009 18
dilahirkan oleh perempuan yang HIV positif, Yayasan Kita-kita yang mendampingi
perempuan pekerja seks, Pantura Plus yang melakukan program harm reduction
bagi penasun atau pun Himpunan Abiasa untuk kelompok gay dan LSL. Di
Sukabumi dan Tasikmalaya ada Rumah Cemara yang mendampingi penasun, atau
Srikandi Pasundan yang menjangkau kelompok waria. Ada pula yang bergerak
dalam pendampingan perempuan pekerja seks. Di Sukabumi ada Merkurius
Foundation yang melakukan pencegahan HIV/AIDS pada masyarakat umum. LSMLSM ini tidak hanya menjangkau kelompok resiko tinggi dan masyarakat luas tetapi
juga melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendorong kebijakankebijakan dalam bidang HIV/AIDS misalnya ketersediaan ARV di rumah sakit,
layanan metadhone di puskesmas, layanan PMTCT, layanan VCT gratis dll.
Masalah HIV/AIDS tidak dapat dilepaskan dari masalah kesehatan reproduksi
perempuan. PMS dan HIV/AIDS merupakan salah satu elemen dalam program
kesehatan reproduksi yang perlu mendapatkan perhatian serius karena selama ini
penanggulangan HIV/AIDS cenderung berjalan terpisah dari penanganan masalah
kesehatan reproduksi dan juga sebaliknya. Program kesehatan reproduksi lebih
menekankan kepada persoalan sekitar KIA dan KB dan kurang mengintegrasikan
HIV/AIDS ke dalamnya. Sebagai contoh, dalam sebuah pertemuan dengan bidanbidan desa di Karawang nyata sekali pengetahuan dan pemahaman para bidan
tentang PMS dan HIV/AIDS masih terbatas. Dalam kegiatan validasi hasil sementara
penelitian di Sukabumi awal November 2009, seorang dokter puskesmas
memberikan contoh ada seorang bidan di Cianjur yang terinfeksi HIV setelah ia
menolong persalinan seorang ibu hamil yang HIV positif. Ini menunjukkan bahwa di
kalangan tenaga kesehatan pun masih ada keterbatasan pemahaman tentang
HIV/AIDS yang berimplikasi resiko penularan kepada tenaga kesehatan. Dalam
konteks kebijakan di tingkat lokal, pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya pada
bulan Agustus 2009 menelurkan Perda Kesehatan Reproduksi yang bertujuan untuk
pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. 16
2.3. Karakteristik responden
16
http://www.kabarindonesia.com/berita.php , 7 Agustus 2009, diakses pada tanggal 18 November 2009 19
Kajian di 3 (tiga) kota, berkenaan dengan latar belakang daerah asal (tempat
lahir) menunjukkan bahwa kota Tasikmalaya merupakan wilayah yang cenderung
homogen, mengingat sebagian besar responden (97,3%)
mengaku dari
Tasilkmalaya. Sementara di kota Karawang maupun Sukabumi, proporsi pendatang
lebih besar karena yang mengaku dari kota tersebut 89,3%.
Berdasarkan usia,
kategori responden yang masih tergolong anak-anak (kurang dari 18 tahun) lebih
menonjol di Sukabumi (56%) dibanding Karawang (42,7%) dan Tasikmalaya (33%).
Meski demikian, di ketiga kota komposisi penduduk dengan usia muda (< 18 tahun)
lebih menonjol.
usia responden
60
Ciri
masyarakat
40
meningkatnya
20
Temuan
0
<18 th
Karawang
pendidikan
18-20
Sukabumi
masyarakat
belum
> 20 th
di
ketiga
aspirasi
lapangan
dapat
sebenarnya
Tasikmalaya
menyangkut
responden
40
masih
duduk
di
dilakukan
bangsu
sekolah/kuliah. Meski demikian, pola di
ketiga kota relatif mencerminkan kondisi
masyarakat Indonesia pada umumnya, yakni
yang
berpendidikan
rendah
dasarnya
kondisi
aspirasi
Pendidikan
50
sedang/
pada
kota,
15 hingga 24 tahun, sehingga sebagian
penelitian
adalah
pendidikan.
menunjukkan
mengingat rentang usia responden antara
ketika
kota
(tidak
30
20
10
0
SD/Sdrjt
Karawang
SLTA/Sdrjt
Sukabumi
Tasikmalaya
tamat/tamat SD dan sederajat) masih relatif
besar, sekitar 10%, sedangkan yang berpendidikan tinggi (akademi/PT/Universitas)
masih kecil (kurang dari 10%), dan sebagian besar masuk kategori pendidikan
menengah (SLTP/SLTA).
Di kalangan responden yang sudah bekerja (Karawang 37,3%; Sukabumi
20%; dan Tasikmalaya 34,7%), ada temuan menarik menyangkut besaran
pendapatan per bulan, jika diperbandingkan data antar kota. Sebagian besar
20
responden di Karawang (63%) mengaku berpendapatan diatas Rp. 1.000.000,-.
Sedangkan di Sukabumi justru lebih banyak (60%) berpendapatan kurang dari
Rp.500.000,-. Untuk
Tasikmalaya, relatif berimbang antara yang berpendapatan
kurang dari 500 ribu rupiah (50%) dengan mereka yang per bulannya kisaran
pendapatannya 500 ribu hingga 1 juta rupiah (46,2%). Temuan ini tentunya tidak
bisa dilepaskan dari karakteristik pekerjaan yang digeluti. Untuk Karawang sebagian
besar (57,1%) bekerja sebagai pegawai swasta, ada 3,6% PNS (Pegawai Negeri
Sipil), dan 7,1 % sebagai guru. Selebihnya ada 10,7% sebagai buruh, dan 21,4%
sebagai karyawan/pekerja toko.
Kecenderungan ini berbeda dengan kota
Sukabumi, yang mana justru sebagian besar 46,7% bekerja sebagai penjaga toko.
Pekerjaan lain yang menonjol adalah guru (26,7%). Di Tasikmalaya mirip dengan
Sukabumi di mana 33,3% bekerja sebagai penjaga toko, sedangkan yang menyebut
dirinya sebagai karyawan/pekerja swasta mencapai 29,6%, dan PNS 7,4%. Dari
karakteristik pekerjaan yang digeluti responden, setidaknya menunjukkan sebagian
besar terserap di sektor pekerjaan yang cenderung ‘informal’ dan ini tidak terlepas
dengan modal manusia (human capital)nya, khususnya tingkat pendidikan.
Kecenderungan masih terbatasnya modalitas manusia juga tercermin dari
aktivitas
responden
sekolah/kuliah.
yang
Sebagian
berstatus
di
antara
tidak
bekerja,
mereka
dan
berstatus
sudah
ibu
tidak
lagi
rumahtangga,
pengangguran, dan atau sedang mencari kerja, kalaupun beralasan membantu ibu
di rumah. Ini menjadi fenomena umum di ketiga kota.
21
BAB 3
GENDER DAN MEMBANGUN RELASI DALAM PERGAULAN
Salah satu ciri ‘urbanized society’ ditandai rasionalitas warga kotanya dalam
cara pandang, sikap dan perilaku. Ciri lainnya adalah dari karakteristik demografis,
termasuk usia menikah yang cenderung semakin meningkat, bahkan persentase
warga kota yang melajang menunjukkan peningkatan. Bab ini menyajikan dan
mendiskusikan pandangan perempuan muda tentang gender dan bagaimana
mereka membangun relasi gender melalui pertemanan, pacaran, dan pernikahan.
Mencermati konteks sosial dari relasi gender ini penting agar kita lebih memahami
cara pandang dan perilaku perempuan muda terkait dengan hak seksual dan resiko
seksual yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya.
3.1. Remaja dan Pubersitas
Hal ini juga tercermin di ketiga kota penelitian, yang mana temuan
menunjukkan bahwa persentase yang menikah di bawah usia 25 tahun relatif kecil,
yakni Karawang 25,3%, Sukabumi 22,7%, dan Tasikmalaya 26,7%. Pengamatan
lapangan juga memperkuat indikasi sedikitnya jumlah perempuan yang tercatat
sudah menikah pada rentang usia 15-24 tahun. Meski ada beberapa pihak yang
menginformasikan adanya remaja perempuan yang sudah menikah, namun
sebagian besar sumber cenderung membatasi informasi tentang realitas tersebut. Di
sisi lain, remaja perempuan yang sudah menikahpun lebih bersikap menutup diri.
Kondisi ini setidaknya menunjukkan adanya kontrol sosial atas usia menikah,
khususnya pada kelompok perempuan. Yakni, adanya stigma pada perempuan yang
menikah pada usia remaja (di bawah 20 tahun), utamanya menyangkut pendorong
atau alasan menikah. Seorang ketua RW di Karawang memaparkan bahwa
sebetulnya ada warganya (perempuan) yang nikah di bawah usia 20 tahun, namun
mereka cenderung enggan membuka diri pada orang yang tak dikenal karena
umumnya nikah di bawah tangan (nikah secara agama). Sepengetahuan ketua RW,
hal ini disebabkan ada petugas KUA (‘modin’) yang hanya mau menikahkan jika
calon mempelai perempuan berusia setidaknya 20 tahun, sesuai dengan aturan
22
yang
ada. 17
Kalaupun
tidak,
yang
dilakukan
sebagian
warganya
adalah
memanipulasi usia calon mempelai. Praktek nikah di usia muda juga bisa ditemui di
wilayah lainnya, misalnya di Sukabumi, berdasarkan keterangan Pak Yayan, suami
informan Anik, di lingkungan RW-nya banyak anak muda yang menikah karena si
perempuan terlanjur hamil saat pacaran. Menurut Anik, warga pun sudah tidak
terlalu kaget dengan adanya perempuan remaja yang hamil di luar nikah, dan juga
tidak menganggapnya sebagai satu penyimpangan. Meski diakui, justru ada
kecenderungan si remaja dan keluarganyalah yang terkadang merasa malu dan
menutup diri, apalagi jika
kehamilan tersebut dialami saat usia sekolah (SLTP
ataupun SLTA).
Terlepas masih adanya perkawinan usia muda bahkan dini, realitas sosial di
ketiga kota
menunjukkan bahwa
kecenderungan nikah di usia muda relatif
memudar, bahkan cenderung meruntuhkan anggapan tentang wilayah Jawa Barat
yang dikenal dengan tradisi kawin dininya (lihat bab 2). Kecenderungan ini diperkuat
dengan data usia responden (kelompok yang sudah menikah) dengan lama
pernikahannya.
Diagram 3.1. Data lama menikah responden di tiga kota penelitian
Lama Nikah di Sukabumi
33,3
33,3
Sebagian besar responden menikah berusia di atas 21 tahun, sementara berdasar
usia/lama perkawinannya belum mencapai 2 (dua) tahun, kecuali di Tasikmalaya.
17
Ketika akan dikonfirmasi pada Pak Modin/Petugas KUA, beliau tidak bersedia di
wawancara atau memberikan data.
23
Data di Tasikmalaya menunjukkan bahwa responden yang usia perkawinannya
sudah lebih dari 2 tahun mencapai 49%, sementara di Karawang hanya 26,3% dan
Sukabumi 33,3%.
Ini mengindikasikan bahwa di Tasikmalaya, usia nikah di
Tasikmalaya lebih rendah/muda dibanding dua kota lainnya. Penelitian mutakhir dari
Jones dan Gubhaju (2008) memperlihatkan bahwa meningkatnya usia kawin
perempuan di Jawa Barat cukup signifikan dalam satu dasawarsa terakhir. Kedua
peneliti tersebut menduga perubahan ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh
‘kosmopolitanisasi’ pada populasi di sekitar Bandung dan Jakarta, serta efek dari
migrasi di dalam provinsi Jawa Barat sendiri. Berkenaan dengan meningkatnya usia
nikah di kalangan perempuan, untuk kasus Karawang ditengarai juga terkait dengan
tradisi ‘patrilokal’, yakni setelah menikah status istri ikut di mana suami berdomisili.
Meningkatnya usia nikah, khususnya di kalangan perempuan, tentu
berimplikasi pada lebih panjangnya masa remaja, termasuk masa pergaulan muda
mudi. Karenanya studi ini juga mencari tahu bagaimana pergaulan mereka di saat
remaja atau pra nikah (premarital relations).
Pertanyaan ini terlontar mengingat
salah satu indikator pubertas adalah berkembangnya ketertarikan secara seksual,
termasuk juga dorongan/hasrat seksual. Data kualitatif, baik wawancara mendalam
maupun FGD, menunjukkan bahwa perempuan remaja umumnya mulai tertarik pada
lawan jenis saat usia 12-13 tahun, atau saat duduk di Sekolah Dasar (kelas 6)
maupun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (kelas 1). Seperti yang pengalaman
sejumlah informan berikut ini:
Sinah mengaku mulai menyukai lawan jenis justru saat duduk di bangku
sekolah dasar, dan bukan saat ia sudah puber atau haid. Biasanya Sinah
mulai suka jika si anak laki-laki menyukainya lebih dulu, jadi ikut terbawa,
begitu kata Sinah sambil mengenang masa kecilnya. Apalagi kalau ada
teman yang ‘mencomblangin’ atau menjodohkan dirinya dengan anak laki-laki
yang kebetulan ia suka, maka perasaannya akan ikut melambung karena
senang dan deg-degan (22 tahun, Lajang, Tasikmalaya)
“Umur eee...kelas 2-an deh, 2 SMP... Iya, udah mulai ada rasa gitu, kalo
ketemu orangnya suka salting gitu. temen SMP, sekelas” (Gina, 16 tahun,
lajang, Sukabumi)
“Naksir kakak kelas waktu kelas 1 SMP. Awalnya ikut-ikutan teman bila
melihat laki-laki itu senang, seperti fans bertemu idola, deg-degan, berharap
dia kenal sama kita. Pura-pura duduk di sebelahnya, trus lama-lama jadi
kenal dan jadi teman. Pura-pura tanya tentang upacara” (Nisa, 18 tahun,
lajang, Karawang)
24
Dari pengalaman sejumlah informan,
rasa tertarik pada lawan jenis
merupakan tolak ukur peralihan masa anak ke masa remaja, atau pubersitas.
Perkembangan secara psiko-sosial ini biasanya terjadi
bersamaan atau seiring
dengan perubahan secara fisik. Berdasar hasil survey ciri pubersitas secara fisik
adalah: payudara membesar, tumbuh rambut di ketiak dan kelamin, menstruasi, dll.
Berkenaan dengan reaksi responden atas pubertas fisik, sebagian responden
menyikapi dengan rasa biasa saja, misalnya seperti yang dipaparkan Endah (17
tahun, belum menikah) di Karawang.
Endah mulai menstruasi pada kelas 6 SD, saat itu teman-teman Endah sudah
ada yang mengalami menstruasi lebih dulu, sehingga Endah tidak kaget lagi.
Namun Endah merasa sangat canggung dengan kondisinya saat itu. Endah,
yang saat itu masih tomboy sering kali diejek temannya karena jalannya yang
mengangkang.
Pengalaman yang sama juga dialami oleh Gina (16 tahun) di Tasikmalaya. .
Gina pertama kali mendapat haid di usia 12 tahun, yakni kelas 6 SD.
Perasaannya pada waktu itu biasa saja, tidak merasa kaget karena sedari
awal dia telah diberi pengertian oleh ibunya bahwa sebagai seorang
perempuan, kelak dia akan mendapatkan haid,
Berbeda dengan Endah, ada juga remaja perempuan yang cemas bahkan takut
dengan perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, diantaranya remaja lajang baik
Nisa di Karawang (18 tahun), maupun Cinta di Tasikmalaya, usia 19 tahun.
“Nisa dapet menstruasi di kelas 2 SMP, 12 tahun. Kaget, nanya sama mama
dan mama jelaskan kalo cewe pasti menstruasi, mama ajarkan pakainya.
Meskipun sebelumnya di sekolah-sekolah ada promosi pembalut dan
diajarkan cara pakainya. Tapi tetap aja kaget meski teman juga udah pada
dapet. Teman-teman usia 9/10 tahun sudah pada mens”
Cinta mendapat haid pertama kali saat kelas 2 SMP, kira-kira berusia 14
tahun kala itu. Perasaan Citra campur aduk antara takut dan bingung atas
apa yang terjadi pada tubuhnya.
Sementara Asih di Tasikmalaya cenderung tertutup, bahkan tidak memberikan
informasi tentang awalnya menstruasinya pada ibunya arau keluarga terdekatnya.
“Wah takut teh. Nah pas itu kan mau sholat Dzuhur, terus ke toilet, “Lho kok
kayak gini? Apa ini?”, oh ternyata ini yang namanya haid, ini yang namanya
25
menstruasi gitukan. Nah waktu itu gak bilang-bilang, karena takut dibilang
apa-apa, padahal gak apa-apa kan sebenarnya, hehe. Nah pas waktu itu tapi
saya diem aja, tapi pas waktu sholat ditanya sama mama, udah shalat
belum? Karena waktu itu masih dikontrol shalatnya sama mama. Ahg..itu
diem aja, kan kalau bilang udah nah kan belum soalnya lagi haid. Tapi kalau
bilang belum ntar ditanya lagi kenapa, jadi ya udah diem aja” (Asih, 22 tahun,
menikah, Tasikmalaya)
Keberagaman reaksi atas perubahan fisik ini, pada dasarnya ditentukan oleh
kesiapan remaja secara mental. Sejumlah informan yang mengaku tidak kaget atau
biasa saja (misalnya Endah dan Gina), lebih dikarenakan sebelumnya sudah
mempunyai pengetahuan/pemahaman tentang akan datangnya pubersitas fisik ini,
khususnya menstruasi dan membesarnya payudara. Sumber informasi adalah ibu,
juga saudara perempuan, dan teman. Sementara perempuan remaja seperti Gina
maupun Nisa bereaksi cemas dan takut karena minim pengetahuan. Karenanya
perubahan fisik yang dialaminya disampaikan kepada ibunya dan atau kakak
perempuannya, ataupun orang yang dianggap dekat dan nyaman untuk berbagi.
Bahkan ada remaja yang seperti Asih di Tasikmalaya, yang cenderung menutup diri,
kalaupun pada akhirnya menginformasikan pada orang terdekat, lebih karena
ketakutan bahkan ketahuan.
Endah mengaku Ibunya telah memberitahukan padanya bahwa kelak setiap
perempuan akan mengalami menstruasi. Ketika payudara Endah membesar
Endah pun tidak sungkan untuk menanyakan kepada Ibunya mengenai
kondisi payudaranya yang besar sebelah. Sekalipun demikian, sesungguhnya
Endah tidak merasa dekat dengan Ibunya. Ia merasa hingga kini lebih dekat
dengan bibinya, Ia lebih nyaman bercerita mengenai menstruasinya kepada
bibinya bahkan Endah diajarkan bagaimana menggunakan pembalut oleh
bibinya. (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)
Dalam kebingungannya, ia menceritakan hal tersebut pada sang bunda.
Akhirnya Cinta merasa lega setelah sang bunda menjelaskan bahwa darah itu
adalah darah haid dan ia akan mendapatkannya setiap bulan. (Cinta, 19
tahun, Tasikmalaya)
Sementara berkenaan dengan pubersitas secara emosional/psiko-sosial, yang
utama adalah mulai tumbuhnya ketertarikan pada orang lain/lawan jenis, lebih
banyak responden menyampaikan atau berbagi pengalaman pada teman, sedang
sebagian responden pada kakaknya. Ada juga yang mencurahkan perasaan dan
pengalamannya menyangkut
pacar dengan ibunya. Namun umumnya remaja
perempuan lebih nyaman bercerita pada teman perempuan yang dianggap sebagai
26
sahabat dan teman curhat (curahan hati) mereka. Adapun topik yang dicurhatkan
seputar masalah pacar, dan keluarga, juga sekolah/studi. Menyangkut curhat, lakilaki punya kecenderungan yang berbeda menurut Lis, informan FGD di Sukabumi,
“..kalau laki-laki cenderung tidak suka curhat dan lebih cuek”. Ditambahkan oleh Rita
bahwa laki lebih cuek dan tertutup.
3.2. Remaja dan bebogohan (pacaran)
Berkenaan dengan pengalaman pacaran, pengakuan responden di Karawang
menyangkut usia pertama pacaran menunjukkan bahwa sebagian besar (81,2%)
mulai berpacaran pada usia kurang dari 17 tahun. Sedangkan yang mengaku
pacaran ketika berusia 17–19 tahun hanya 13%, apalagi di atas usia 19 tahun,
5,8%. Kecenderungan pacaran di usia yang masih terkategori remaja juga terjadi di
Sukabumi,
bahkan
lebih
menonjol
(94%).
Sedangkan
di
Tasikmalaya,
persentasenya lebih rendah bahkan dibanding Karawang, yakni hanya 75,8%, meski
yang mengaku pacaran pertama kali pada usia lewat 19 tahun juga sedikit (3%).
Desi pertama kali berpacaran pada usia 18 tahun, ketika dia bekerja di mall.
Namun, pacarnya tersebut bukanlah temannya sesama pekerja di mall,
melainkan dia berkenalan saat sedang main ke mall. Laki-laki tersebut
berusia 24 tahun, tinggal di Bhayangkara, dan bekerja sebagai buruh di
pabrik sepatu. Mereka saling berkenalan setelah beberapa kali bertemu di
mall. Mereka awalnya berkenalan dan mengobrol saja layaknya teman,
namun karena setiap hari laki-laki tersebut mengunjungi mall untuk PDKT
dengan Desi, maka mereka pun akhirnya berpacaran. Desi menilai
kepribadian laki-laki ini baik sehingga dia mau berpacaran dengannya
walaupun baru beberapa minggu dikenalnya. Hubungan berpacaran mereka
tidaklah lama, yakni hanya enam bulan saja karena Desi mengaku tidak
mempunyai waktu untuk pacarnya itu karena setiap hari harus masuk kerja
sehingga sang pacar pun akhirnya meninggalkannya (Desi, 20 tahun, lajang,
Sukabumi)
Anik mulai berpacaran pada saat usia 16 tahun, yakni kelas 1 SMU. Pada
saat itu Anik berpacaran dengan teman sekelasnya. Selama berpacaran
dengan teman sekelasnya itu, menurut Anik perasaannya sering malu karena
pada waktu itu sering diejek atau dijahili dengan teman-teman lainnya di
kelas. Namun, kelebihannya mempunyai pacar yang sekelas dengan dirinya
adalah sering bertemu, bisa lebih sering mengobrol, curhat, membicarakan
masalah pribadi, keluarga, dan juga pelajaran sekolah. Selain itu, dia juga
senang karena setiap pulang ke sekolah selalu bersama dengan pacarnya
tersebut. (Anik, 23 tahun, menikah, Sukabumi)
27
Sementara pengalaman Endah di Karawang justru mulai berpacaran di usia relatif
belia.
Pertama kali Endah berpacaran pada saat kelas 1 SMP. Didukung oleh
teman-temannya, Endah pun menyatakan perasaannya (nembak) kepada
Eka, anak laki-laki yang disukainya, di depan kelas. Ia mengaku saat itu salah
tingkah sehingga saat teman-temannya mendorong Endah untuk mencium,
Endah pun melakukannya, namun setelah itu Endah merasa sangat malu
sehingga Endah langsung lari ke kelasnya. Pengalaman berpacaran pertama
inilah yang pada akhirnya membuat Endah menjadi lebih feminin setelah Eka
memutuskan Endah karena tidak menyukai sikap Endah yang terlalu tomboy.
(Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)
Temuan ini menegaskan bahwa bebogohan di saat usia remaja muda,
belasan tahun, merupakan fenomena yang melekat pada kehidupan remaja. Bahkan
jika ditanyakan aspirasi mereka tentang usia yang pantas bagi perempuan untuk
mulai berpacaran, menunjukkan kesesuaian dengan pengalaman pribadi sebagian
besar responden. Responden di Karawang (56%) berpendapat bahwa usia yang
dianggap pantas bagi perempuan untuk berpacaran adalah sekitar 15-17 tahun.
Hanya 18,7% yang berpendapat berusia kurang dari 15 tahun. Dari pengalaman
responden di Karawang
81,7% mengaku berpacaran sebelum usia 17 tahun.
Temuan di Karawang ini berkecenderungan sama dengan 2 (dua) kota lainnya,
Sukabumi dan Tasikmalaya, yakni rata-rata usia pertama kali berpacaran adalah 1516 tahun. Hanya sebagian kecil yang berpacaran di bawah usia 15 tahun, karena
memaknai atau menganggap masih anak-anak. Berikut data yang mencoba melihat
pendapat tentang usia pantas berpacaran untuk perempuan dikaitkan dengan usia
responden berpacaran untuk pertama kali.
Tabel 3.2. Pendapat Responden tentang Usia Pantas Berpacaran
berdasarkan usia responden saat pertama kali berpacaran
Usia Saat Berpacaran Pertama kali (%)
Usia perempuan
Tasikmalaya
Karawang
Sukabumi
yang pantas
< 17 17-19 > 19 < 17
17-19
> 19
< 17
17-19
> 19
untuk berpacaran tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
tahun tahun
< 15 tahun
18
23,2
28,6
-
15 – 17 tahun
62
57,1
-
62,5
33,3
50
52,4
50
-
> 17 tahun
20
42,9
100
14,3
66,7
50
19,0
50
100
28
Tabel 3.2. setidaknya mengindikasikan bahwa ada konsistensi antara
pendapat
responden tentang usia pantas berpacaran bagi perempuan dengan pengalaman
mereka sendiri.
Berkenaan dengan kepantasan secara sosial perempuan
berpacaran ini, data kualitatif memperkuat temuan survey, yang mana bagi remaja
perempuan usia 15 tahun keatas, akan cenderung malu jika belum punya pacar.
Rasa malu ini sudah mulai berkembang saat duduk di bangku SLTP, bahkan
semakin menguat ketika di SLTA. Ini menjadi fenomena khas di ketiga kota. Salah
satu informan FGD di Sukabumi, Dwi, siswi kelas 3 Sekolah Kejuruan menyatakan
bahwa ketika duduk di bangku SD ia hanya sebatas naksir atau tertarik saja. Tapi
ketika SLTP kelas 2, informan mengaku mulai berpacaran dengan kakak kelasnya,
bahkan kemudian pernah dekat dengan siswa SLTA. Istilah “pacaran” di Sukabumi,
sepengetahuan Anik (23 th, menikah) dikenal dengan bebogohan, namun di antara
teman-temannya lebih menggunakan istilah bahasa Inggris, khususnya untuk
panggilan pacar (baik laki-laki dan perempuan) yakni “someone special, my girl
friend, atau my boyfriend”.
Berdasar pengalaman informan, berpacaran dimulai setidaknya sejak ada
ketertarikan seksual, umumnya terjadi di jenjang SLTP, khususnya saat duduk di
kelas 2 (atau kini kelas 8). Kecenderungan ini seolah menjadi pola umum di
Sukabumi, juga di Karawang. Sementara di Tasikmalaya, sedikit lebih lambat,
namun tidak bisa dikategorikan berpola berbeda. Konsepsi pacaran menurut Indah,
salah seorang informan di Sukabumi yang belum nikah adalah:
“....pacaran itu lebih ke sikap, tingkah laku, kegemarannya dia, jadi pacaran
hanya untuk mengenal lebih dekat”
”Ya hanya untuk senang-senang aja, karena kan masih SMA ya. Jadi
kayaknya belum dari hati banget. Ya hanya merasa nyaman aja. Banyak
kecocokan, tapi gak pengen terlalu jauhlah” (Anik, 23 tahun, nikah, Sukabumi)
”Kalo monyet-monyetan biasa aja yang penting jalan, terus gampang
misalkan ada yang naksir terus terima aja. Kalo sudah terus biasa aja gitu.
Kalo sekarang serius itu lebih penting, setia gitu” (Ratih, 21 tahun, lajang,
Karawang)
Jika dibandingkan pola pacaran pada perempuan,
cenderung berbeda
dengan laki-laki. Bagi sebagian informan, laki-laki berpacaran pertama kali pada
29
saat usia relatif lebih ‘dewasa’ dibanding dengan perempuan. Dari FGD
teridentifikasi bahwa kalau untuk remaja laki-laki, menurut Indah (19 tahun, lajang)
“Laki-laki gitu dech.... agak telat gitu untuk naksir, beda kaya cewek”. Sementara
Veni, siswi SMKN bidang otomotif, menambahkan bahwa laki-laki kalau menaksir
seseorang “Engga keliatan, lebih cuek”. Sedangkan Yeni, yang bekerja sebagai
guru TK dan sedang kuliah di UT, melihat bahwa remaja pria kelas 3 SMP/SLTP
juga sudah mulai pacaran. Pendapat informan ini tampaknya mendukung data
survey, yaitu usia yang dianggap pantas bagi laki-laki berpacaran adalah 17 tahun
ke atas (Karawang 76%; Sukabumi 71,2%; Tasikmalaya 84%). Gagasan ini
setidaknya merefleksikan idealisasi yang berkembang pada remaja putri bahwa
karakteristik pasangan/laki-laki dalam berpacaran, yakni lebih tua/dewasa. Hal ini
juga tercermin ketika ditanyakan tentang usia yang pantas bagi laki-laki untuk
menikah, yakni
usia 25 tahun atau lebih (Karawang 84%; Sukabumi 76%; dan
Tasikmalaya 89,3%).
Di Sukabumi, menurut Yeni, informan yang berkuliah di UT sekaligus juga
guru, jika perempuan sudah berusia 25 tahun ke atas, maka orangtua mulai resah.
Mereka terus mencoba mengenalkan ke sejumlah pihak
Namun dirinya mengaku tidak terlalu dipaksa
untuk mencari jodoh.
orangtua untuk cepat menikah.
Informan lain, Dwi menegaskan bahwa yang penting harus ada ikhtiar, tapi tidak
terlalu berlebihan. Pada kondisi tertentu, berkenaan dengan masalah pacar atau
jodoh ini mereka akan berkeluh kesah pada pihak-pihak tertentu, misalnya teman,
atau sahabat. Namun, ada kecenderungan perempuan Sukabumi lebih banyak
menjaga citra berkenaan dengan dirinya, termasuk punya tidaknya pasangan. Hal ini
tampaknya berlaku pada kelompok dewasa, karena untuk remaja memiliki pacar
dianggap sebagai bagian dari eksistensi diri. Seperti paparan seorang informan
berikut, “...Kalo untuk saat ini belum punya pacar, soalnya belum ada yang srek aja,
tapi sebagian besar temen-temen di sekolah udah punya pacar bahkan ada yang
lebih dari satu…”. Dengan demikian, pacaran dianggap sebagai ‘kebutuhan’, sesuai
paparan sejumlah peserta FGD di Sukabumi berikut ini:
“Soalnya sebagian orang banyak yang ngomongin, kalau tidak punya pacar
dapat julukan ... istilah kerennya jomblo, ijo lumut, jomblo forever…”
“Diledekin sama temen-temen sebagai “jomblo”, tapi kalo untuk saya sendiri
sih enjoy aja…”
30
“Sama aja, tapi engga terlalu diolok-olok lebih menghargai dengan pura-pura
engga tahu kalo lagi jomblo”
“Ada beberapa yang bilang engga laku, toh kalo buat saya sih kalo emang
udah ada jodohnya engga akan kemana. Soalnya Allah udah menentukan
untuk kita. Tapi beda sama laki-laki kalo jomblo engga terlalu diekspose, beda
banget kaya perempuan”
Pada sebagian perempuan, masa pacaran ketika SMA merupakan masa untuk
membangun
hubungan
jangka
panjang
yaitu
pernikahan.
Pada
beberapa
perempuan lajang yang bekerja, berpacaran merupakan upaya untuk mencari
pasangan hidup yang akan menuju jenjang pelaminan.
”Dulu Neneng belum sayang, tapi akhirnya dijalani saja karena lama-lama
bisa cinta juga. Sekarang sudah nyaman. Selama sama dia belum pernah
selingkuh. Kenal dari adik, ke rumah, trus mama suka karena anaknya sopan.
Karena keluarga suka bikin ortu bahagia ya udah dijalanin aja. Kenapa milih
dia, awal-awal karena lagi jomblo aja. Temen-temen malah binggung karena
jauh dari mantan-mantan sebelumnya. Sekarang gak ganteng. Pacar yang
sekarang ramah kepada semua orang, tapi gak muna, tanggung jawab.
Belum nikah udah bisa nafkahin” (Neneng, 18 tahun, lajang, Karawang).
Peran pacar juga menarik diungkap, ketika keberadaannya diperbandingkan
dengan peran sahabat. Menurut Dwi, ”....kalo ke pacar itu ada perasaan memiliki,
tapi kalo ke sahabat engga ada perasaan lebih intinya kalo sama sahabat tidak ada
rasa suka atau cinta”. Karenanya bagi Gina, penting untuk memiliki keduanya, “ kalo
aku... sahabat cowo punya satu, tapi aku juga punya pacar”. Sementara informan
lainnya juga melihat resiko dari punya sahabat laki-laki, yakni dicemburui pacar
sahabat.
Intan
berkata,
“....punya
banyak
temen/sahabat
cowo
resikonya
pacar/cewe nya temen cowo aku malah jadi suka cemburu?”. Uniknya ada informan
yang punya lebih banyak sahabat laki-laki dibanding perempuan, namun belum
punya pacar.
Di tengah arus berpacaran, ada sebagian remaja yang menolak
berpacaran dalam konsepsi yang dikenal umum saat ini.
Saya tidak setuju dengan adanya pacaran, karena bukan merupakan
kegiatan yang manfaat sekalipun hal itu diberikan adanya naluri untuk saling
menyukai (tapi bukan ke arah yang negatif), rasa suka itu memang ada
(naluriah) tapi bagaimana kita menjaganya untuk seseorang yang sudah tepat
dan diridoi oleh Allah (menurut ketentuan Allah wanita yang baik untuk lakilaki yang baik). Tapi untuk masalah kriteria saat ini sedang dalam proses
31
untuk pendekatan yang akan dikenalkan melalui guru ngaji. (Lani, 19 tahun,
lajang, Sukabumi)
Pandangan Lani ini, bisa dikatakan merupakan gagasan yang bersifat tidak umum,
mengingat seolah ada anggapan sosial budaya yang berkembang di masyarakat
bahwa pacaran itu merupakan sebuah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan remaja
yang tidak punya pacar ataupun tidak pernah pacaran distigma sebagai remaja yang
‘kurang pergaulan’, bahkan perempuan ‘jomblo’ (tidak laku). Ini penuturan Imah (20
tahun, menikah) di Karawang, “...pacaran di usia SMA sudah biasa, anak yang pada
usia SMA belum pernah berpacaran biasanya dianggap kuper dan pada akhirnya
bila ada yang “nembak” lebih baik diterima supaya punya pacar dan tidak dianggap
kuper (kurang pergaulan)”. Anggapan ini mengindikasikan pacaran telah menjadi
bagian dari tahapan siklus kehidupan manusia yang seolah harus dilewati.
Selain berpacaran secara fisik, ada pula informan yang mempunyai
pengalaman berkencan melalui dunia maya yaitu chatting. Berkenalan dan apabila
merasa cocok berlanjut hingga saling curhat (curahan hati). Kencan dalam dunia
maya tidak selalu dilanjutkan dengan kopdar atau kopi darat alias bertemu muka.
Terkadang mereka mengalami ‘pelecehan’ seksual secara visual juga. Seorang
informan, Desi (20 tahun, lajang) dari Sukabumi mengatakan
“...di warnet gitu, ada itu mah apa ya, ah namanya juga dunia maya. Saya
mah nggak dianggap ya kaya dunia maya gitu, e… kenapa ya kalo di dunia
maya gitu kaya omes-omes gitu, otak mesum-mesum gitu. Curhat sih,
sama….. sama ada yang suka mempertontonkan itu di kamera. Becandanya
mah misalnya ngirim foto nih kita. Kita mah ngirim foto beneran kita, dia mah
ah ngirim yang kaya jorok-jorok gitu dikirim...”
Data kualitatif menunjukkan bahwa pola berpacaran di kalangan remaja di
ketiga kota boleh dikatakan sudah permisif. Berikut cuplikan pengalaman Imah (20
tahun) di Karawang yang telah menikah dan memiliki dua anak.
Sewaktu SMP, Imah pernah berpacaran dengan orang yang lebih dewasa
(anak buah ayahnya), Ia pernah dicium hingga diraba sekwilda (sekitar
wilayah dada). Pacarnya Imah ini sangat berani dan agresif. Imah biasanya
menghindar karena takut bila sudah mulai ke arah yang lebih jauh. Imah
mengaku pacaran dengan laki-laki ini tidak sampai berhubungan seks. Orang
tua Imah melarangnya untuk berpacaran dengan laki-laki ini, akhirnya Imah
memilih sembunyi-sembunyi kabur dari rumah tiap kali menemui pacarnya.
32
Imah bercerita kepada temannya mengenai aktivitas seksual yang
dilakukannya, namun temannya bereaksi biasa aja karena ternyata teman
Imah telah melakukan aktivitas yang lebih jauh dengan pacarnya. Ketika
berpacaran dengan Asep, Imah juga pernah disuruh pegang alat kelamin oleh
Asep, meskipun Imah takut namun Imah pada akhirnya melakukannya
dengan benar-benar terpaksa karena ingin memuaskannya. Aktivitas seksual
yang biasanya terjadi pada saat pacaran biasanya laki-laki itu yang memulai
karena Imah malu untuk meminta lebih dulu.
Sementara Endah (17 tahun, belum menikah) di Karawang mengaku telah 20 kali
menjalani pacaran. Ketika pacaran di bangku SMP, ia hanya mengobrol, pegangan
tangan, rangkulan, dan cium pipi. Pacar Endah pernah memintanya untuk ciuman
bibir namun ia menolak dan langsung memutuskan hubungan. Informan mengaku
pernah berciuman bibir, bahkan
pernah dipaksa untuk memegang alat kelamin
pacarnya. Pada awalnya ia tidak mau, namun setelah dibujuk barulah Endah mau
meskipun terpaksa. Ia merasa ‘enjoy’ sebatas ciuman dan pegang-pegangan.
Namun bila mulai merambah ke wilayah vagina, Endah menyatakan takut terbawa
suasana, karena ia pernah “kecolongan”. Caranya untuk menolak adalah dengan
memegang tangan pasangannya dan mengatakan tidak mau untuk berhubungan
lebih jauh. Ia sendiri melihat anak-anak sekarang jauh lebih berani dibandingkan
dengan generasinya. Menurutnya anak SD sekarang sudah mengetahui ML/making
love atau senggama padahal Endah sendiri ketika SMP dulu masih takut untuk
ciuman karena sepengetahuan dia saat itu ciuman bisa menyebabkan hamil. Bagi
Endah, seks
adalah berhubungan intim antara perempuan dan laki-laki.
Seks
merupakan kegiatan yang menyimpang dan tidak boleh dilakukan bila dilakukan oleh
orang yang belum ada ikatan.
3.3. Remaja dan Pernikahan
Berkenaan dengan gagasan ideal usia nikah perempuan, data menunjukkan
bahwa usia ideal atau yang dianggap pantas adalah 20 tahun atau lebih (Karawang
89,3%; Sukabumi 92%; dan Tasikmalaya 89,3%). Data ini ditopang juga dengan
harapan responden yang belum menikah, yang menargetkan akan menikah di usia
setidaknya 20 tahun.
Di Karawang usia yang menonjol sebagai target menikah
adalah 24 tahun (23,6%), sedangkan di Sukabumi adalah 23 tahun (30,9%),
demikian juga di Tasikmalaya, usia 23 tahun (37,7%). Namun jika dilihat
berdasarkan usia menikah dari responden yang berstatus menikah, maka target usia
33
nikah perempuan ini relatif lebih tinggi karena kondisi nyata sebagian perempuan di
Karawang (33,3%) menikah saat usia 21 tahun. Kondisi ini berbeda dengan dua kota
lainnya, di mana menikah di bawah usia 20 tahun masih dominan (Sukabumi 50%;
Tasiklmalaya 60,9%). Harapan atas usia nikah ini terkait dengan persepsi tentang
kepantasan bagi laki maupun perempuan untuk punya anak. Jika perempuan
sebagian besar responden menyatakan usia 22-23 tahun, bahkan di Tasikmalaya
pada usia 25-an tahun. Sedangkan laki-laki dianggap pantas punya anak jika
berusia 25-26 tahun, bahkan 27 tahun. Temuan survey menunjukkan bahwa pada
kelompok responden yang sudah menikah, ternyata ada temuan yang mempertegas
adanya pergeseran cara pandang tentang usia nikah pada perempuan perkotaan.
Hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase responden yang berpendapat usia
pantas menikah adalah di atas 19 tahun, dan tampaknya sebagian besar dari
mereka menikah pada usia yang dianggap pantas tersebut.
Tabel 3.3. Pendapat Responden tentang
Usia Pantas Menikah berdasarkan Usia Saat Nikah
Usia perempuan yg
pantas untuk
Menikah
Kurang dr 17 tahun
17 – 19 tahun
Usia Saat Menikah (%)
Tasikmalaya
Karawang
Sukabumi
< 21
21-24 >24
< 21
21-24 >24
< 21 21-24 >24
tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun
6,3
11,8
16,7
12,5
5,3
Lebih dari 19 tahun
88,2
100
100
100
83,3 (5)
-
81,3
100
94,7
Meski survey tidak menjaring data usia suami saat menikah dengan
responden, namun temuan kualitatif menunjukkan bahwa sebagian besar menikah
dengan laki-laki yang lebih tua. Beberapa informan juga tidak mempunyai kriteria
yang sulit tentang pasangan/calon suami, menurut mereka yang penting baik dan
lebih dewasa. Realitas ini semakin menegaskan bahwa pasangan ideal adalah jika
perempuan lebih muda usia dibanding laki-laki. Berkenaan dengan gagasan ini,
dalam FGD terungkap bahwa hal ini memang selayaknya demikian karena masih
berkembang gagasan budaya bahwa perempuan menikah lebih cepat lebih baik.
Selain karena faktor prestise sosial, juga karena pemikiran perempuan dianggap
lebih cepat tua, termasuk persoalan fertilitasnya. Sementara usia laki-laki, menurut
34
Yeni salah satu informan, “...cowo harus lebih tua usianya jadi lebih dewasa”.
Kedewasaan ini ditandai dengan kematangan secara psikis (sebagai pelindung),
sosial (kepala keluarga),ndan ekonomi (pencari nafkah). Menurut pengakuan
sebagian informan pada dasarnya tidak ada kriteria usia yang secara eksplisit
disyaratkan, juga oleh keluarga, tapi setidaknya: kelakuan baik (tidak suka
nongkrong, mabuk); harus seagama; tidak suka ngerokok; “engga begitu banyak
nuntut”.
Konstruksi sosial budaya tentang laki dan perempuan tampaknya cukup
melekat di masyarakat. Hal ini setidaknya terefleksi melalui data kualitatif, yang
mana perbedaan laki dan perempuan secara biologis dianggap sebagai hal yang
juga mendasari perbedaan secara biologis pada sejumlah hal, misalnya :
-
dari segi fisik laki-laki badannya lebih besar, perempuan lebih kecil.
-
perempuan sangat berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih menggunakan
perasaan sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika.
-
laki-laki lebih kuat dan besar badannya dibandingkan dengan perempuan,
hanya kalau perempuan dari segi fisik ada bagian tubuh yang menonjol,
seperti: payudara.
Hasil FGD menunjukkan bahwa kegiatan laki-laki berbeda dengan perempuan, baik
di rumah maupun di luar rumah. Kalau di rumah perempuan membantu ibu dalam
mengurus adik, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dll. Sementara lakilaki lebih banyak bermain, paling mengantar ibu.
“....kalau cowok lebih cuek dan susah di suruh, tapi kadang-kadang juga” (Lis,
16 tahun, lajang, Karawang)
“..... anak cowok biasanya suka nganter ibu”. (Rita, 17 tahun, lajang, Karawang)
Pernyataan ini setidaknya menyiratkan bahwa gagasan subyektif tentang laki dan
perempuan, baik pada usia remaja maupun dewasa.
Pada kelompok dewasa, perbedaan
peran laki dan perempuan sangat
ditandai dengan anggapan bahwa perempuan bertanggungjawab pada masalah
rumahtangga dan anak, sedangkankan suami mencari nafkah. Hal ini tercermin dari
sejumlah informan FGD yang menikah,
karena menikah dan punya anak maka
memutuskan berhenti bekerja. Kondisi ini banyak ditemui di Sukabumi, Karawang
maupun Tasikmalaya. Salah satu alasan pokok yang dikemukakan adalah “..sibuk
35
urus anak”. Kesibukan ini akan terbantu jika responden/informan tinggal dengan
keluarga besar, atau setidaknya ada yang membantu. Namun mengingat sebagian
besar dari strata bawah, maka berhenti kerja menjadi pilihan meski dengan resiko
pendapatan keluarga berkurang demi anak dan rumahtangga, juga suami.
Berkenaan dengan jumlah anak maka teridentifikasi bahwa jumlah anak yang
diharapkan responden rata-rata 2 (dua) orang.
Kalaupun suami punya harapan
yang berbeda tentang jumlah anak, maka sebagian responden di Karawang (37,3%)
lebih akan mengikuti pendapat suami, dan uniknya ada 34,7% yang mencoba
mempertahankan keinginan. Meski ada 26,6% yang bermaksud mengutarakan
keinginan pada suami untuk kemudian mendiskusikannya. Temuan di Karawang ini
juga ditemui di Tasikmalaya bahkan cenderung lebih menonjol kepatuhan istri pada
suami, yakni
mengikuti kemauan suami (41,3%), mempertahankan keinginan
21,3%, dan mengutarakan pada suami dan mendiskusikan mencapai 34,7%.
Berbeda dengan Sukabumi, yang justru sebagian besar responden (41,4%) akan
mengutarakan keinginan pada suami. Meski yang mengikuti pendapat suami juga
cukup besar yakni 25,3%, dan ada 22,7% yang akan mempertahankan
keinginannnya. Nampak bahwa kepatuhan pada suami lebih menonjol di Karawang
dan Tasikmalaya, dibanding dengan Sukabumi.
Meski demikian di ketiga kota,
perempuan melibatkan suami dalam pengambilan keputusan.
36
BAB 4
PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN RESIKO SEKSUAL
Pada bab ini akan diuraikan pengetahuan responden dan informan penelitian
mengenai kesehatan reproduksi dan resiko seksual yang dihadapi oleh mereka.
Pengetahuan perempuan muda tentang kesehatan resproduksi dan resiko seksual
merupakan hal penting, mengingat meningkatnya penundaan usia pernikahan di
kalangan perempuan muda yang menyebabkan lebih lamanya mereka menjalani
masa aktif secara seksual sebelum pernikahan, seperti yang telah dipaparkan pada
bab III. Sementara itu, informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual masih
dianggap hanya relevan untuk perempuan yang telah menikah, misalnya
pengetahuan tentang kontrasepsi. Hal tersebut diasumsikan berpengaruh terhadap
akses perempuan muda untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi
dan resiko seksual. Dalam konteks tersebut, penelitian ini berusaha memotret
pengetahuan perempuan muda di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya tentang
kesehatan reproduksi dan seksual. Pada penelitian ini, pengetahuan kesehatan
reproduksi mencakup pengetahuan mengenai pubertas khususnya menstruasi,
metode dan alat kontrasepsi, dan perlindungan terhadap kehamilan yang tidak
diinginkan. Pada bab ini selain uraian tentang pengetahuan kesehatan reproduksi
dan persepsi terhadap resiko seksual, juga akan dipaparkan pengalaman responden
seputar pubertas, khususnya mesntruasi serta kebutuhan informasi tentang
kesehatan reproduksi berdasarkan pandangan responden penelitian.
4.1. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi
Berdasarkan hasil survei terhadap responden di ketiga kota, mayoritas
responden (>75%) menyatakan usia menstruasi pertama kali berkisar antara 12-14
tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memasuki usia masa
pubertas yang normal. Meskipun demikian, sebagian besar responden terkesan
tidak siap untuk mengalami perubahan-perubahan fisik dan hormonal akibat
pubertas. Hal tersebut ditunjukkan dari pendapat responden di ketiga kota yang
sebagian besar merasa kaget (>50%) ketika pertama kali mengalami menstruasi.
Untuk perubahan fisik lainnya seperti payudara yang membesar, jawaban yang
37
dikemukakan responden terbanyak di ketiga lokasi penelitian setelah biasa saja
adalah kaget. Perasaan kaget yang dialami oleh mayoritas responden dapat
merupakan refleksi dari kurangnya informasi yang diberikan pada remaja seputas
pubertas, khususnya menstruasi.
Kurangnya pengetahuan responden tentang menstruasi juga tercermin dari
masih banyaknya mitos-mitos seputar menstruasi yang direproduksi dan diajarkan
pada responden penelitian. Di Kota Sukabumi misalnya, ketika responden diminta
untuk menyebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat menstruasi, jawaban
terbanyak (54%) adalah tidak boleh memakan nanas dan ketimun serta meminum
air es.
Kondisi yang sama juga ditemukan di Kota Tasikmalaya, mayoritas
responden (55%) menjawab tidak boleh memakan makanan yang pedas, tidak boleh
tidur siang karena darah menstruasi akan naik menuju mata, dan tidak boleh
meminum air es. Orang tua atau saudara perempuan ketika mengajari atau
menasehati responden dan informan penelitian ini mereproduksi mitos-mitos budaya
seputar menstruasi yang tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Hal ini
ditunjukkan oleh pemaparan beberapa informan berikut ini:
“Ngga boleh minum air kelapa, ngga boleh melakukan seks” (Cinta, 19 tahun,
lajang, Tasikmalaya)
“Ngga boleh gunting kuku dan rambut, ngga boleh mandi lewat dari jam
empat sore” (Rita, 16 tahun, lajang, Tasikmalaya)
Karena kondisi Tasikmalaya yang merupakan kota santri, maka nasehat
seputar mestruasi yang diberikan Ibu untuk anak peremuannya cenderung yang
berkaitan dengan agama pula. Hal ini ditunjukkan melalui informan berikut:
“Nggak boleh sholat, ngga boleh ngaji, ngga boleh pegang Quran, ngga boleh
masuk masjid, karena nanti darahnya berceceran gimana (Yayah, 24 tahun,
janda, Tasikmalaya)
Hal yang serupa ditemukan di Sukabumi:
Dilarang minum air es, keramas, gunting kuku, dan harus mengumpulkan
rambut yang rontok untuk dibersihkan selesai haid (dengan mandi hadast
besar) karena menurut orangtua dulu, rambut dan kuku dianggap ikut “kotor”
jika si perempuan sedang haid, jadi harus disucikan (Gina, 16 tahun, lajang,
Sukabumi)
38
Kondisi yang berbeda terjadi di Kota Karawang di mana mayoritas responden
menjawab tidak boleh berhubungan seks saat menstruasi (44%). Akan tetapi,
berdasarkan wawancara mendalam, larangan perilaku ketika menstruasi yang
dominan adalah larangan yang bersifat mitos dan bahkan ada yang bersifat klenik,
seperti yang diutarakan informan berikut ini:
“Kalau lagi dapet ngga boleh minum es, karena nanti darahnya beku, kalau
makan kacang, darahnya keluar banyak, jangan keluar malam kalau lagi
dapet (mens), mengundang nanti diikutin setan, gak boleh lari-larian banyak
bergerak karena nanti bocor” (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)
Hampir tidak ada responden yang menjawab pertanyaan tersebut dalam konteks
kesehatan seperti tidak mengganti pembalut dalam jangka waktu yang lama. Mitosmitos tersebut cenderung untuk dipercaya oleh responden. Hal ini ditunjukkan dari
jawaban responden yang mayoritas sering atau terkadang mematuhi mitos-mitos
tersebut. Hal ini ditunjukkan dari jawaban responden yang mayoritas sering atau
terkadang mematuhi mitos-mitos tersebut. Di Sukabumi, sebanyak 67% responden
menjawab selalu dan terkadang mematuhi larangan-larangan yang diajarkan
tersebut. Sementara di Tasikmalaya, 80% responden menjawab selalu dan
terkadang mematuhi larangan-larangan tersebut. Hal yang sama juga diutarakan
oleh para informan, meskipun mereka mengakui bahwa mereka tidak mengetahui
alasan larangan atau anjuran ketika mereka menstruasi, namun beberapa informan
berpendapat mereka cenderung untuk menuruti karena merupakan nasehat orang
tua.
Hal yang menarik terjadi di Karawang karena jawaban responden tentang
larangan bervariasi antara larangan yang berupa mitos dan kesehatan reproduksi.
Terkait dengan hal tersebut, maka jawaban frekuensi kepatuhan responden untuk
mematuhi larangan dapat berupa kepatuhan terhadap larangan yang berupa mitos
atau larangan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi.
Berbagai
mitos
seputar
menstruasi
tersebut
yang
terus
menerus
direproduksi dan diyakini bahkan dijalani oleh informan dan responden penelitian ini
merefleksikan skenario budaya (cultural script) dalam masyarakat kita tentang
menstruasi yaitu cenderung dipandang patologis, sehingga banyak kekhawatiran
terhadap darah menstruasi misalnya dapat dilihat dari pantangan makanan. Budaya
39
Islam juga mempengaruhi pandangan terhadap menstruasi, karena saat menstruasi
perempuan dilarang untuk sholat dan berpuasa, maka pada masa tersebut
perempuan dianggap rentan dekat setan atau mahluk gaib lainnya, sehingga
perempuan dilarang keluar malam hari karena akan diikuti oleh setan. Darah
menstruasi juga dianggap darah 'kotor' dan tubuh perempuan juga dianggap sedang
tidak “suci” oleh karena itu perempuan tidak boleh membuang bagian tubuhnya
(menggunting rambut dan kuku ) saat menstruasi. Hal ini terkait dengan budaya
Islam yang menganggap manusia meninggal harus kembali pada Tuhan dalam
keadaan telah disucikan.
Meskipun sebagian besar usia menstruasi pertama responden adalah normal,
namun banyak pula responden yang memiliki keluhan seputar menstruasi. Di
Karawang, keluhan menstruasi yang paling menonjol adalah sakit/nyeri ketika
menstruasi (95%) dan gatal di sekitar kelamin (47%). Di Sukabumi, responden
paling banyak mengeluhkan sering dan jarang mengalami sakit/nyeri ketika
menstruasi (91%), haid yang tidak teratur (63%), dan gatal di sekitar kelamin (47%).
Sementara di Tasikmalaya, paling banyak responden mengeluhkan sering dan
jarang merasakan sakit/nyeri ketika menstruasi (60%) dan haid tidak teratur (51%).
Tabel 4.1 Keluhan Ketika Menstruasi di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya
Jenis
Keluhan
Karawang (%)
Sukabumi (%)
Tasikmalaya (%)
Sering
Jarang
Tidak Sering Jarang Tidak Sering
Pernah
Pernah
Jarang
Tidak
Pernah
Sakit/Nyeri
69
25
6
49
41
9
36
24
15
Haid tidak
teratur
13
9
77
32
31
37
26
25
24
Masa Haid
>14 hari
0
7
93
3
5
92
2
11
62
Keputihan
berlebihan
9
13
77
15
21
64
6
32
37
Gatal sekitar
kelamin
12
25
53
5
41
53
5
37
33
Berbagai permasalahan seputar menstruasi yang dihadapi oleh responden,
juga permasalahan ketidaksiapan remaja memasuki usia pubertas seperti yang telah
dikemukakan di atas, memunculkan pertanyaan tentang pernah/tidak perempuan
40
muda mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Berikut
tabel berdasarkan hasil di ketiga kota penelitian.
Table 4.2 Pernah/Tidak Mendapatkan Informasi Kesehatan Reproduksi
di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya
Kota
Persentase (%)
Pernah
Tidak
Pernah
Karawang
45
55
Sukabumi
77
23
Tasikmalaya
65
35
Sebagian besar responden di Sukabumi dan Tasikmalaya menyatakan
pernah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi (77% dan 65%),
sedangkan di Karawang paling banyak responden menyatakan tidak pernah
mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi (55%). Jika dilihat angka
responden yang pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi relatif tinggi,
dan mayoritas di ketiga kota didapat dari sekolah. Di Karawang, informasi kesehatan
reproduksi yang didapat mayoritas responden
berupa informasi tentang organ
reproduksi (21%), seks dan HIV/AIDS (18%). Di Sukabumi, mayoritas responden
menyatakan informasi yang didapat adalah tentang organ reproduksi (17%) dan
menstruasi (14%), meskipun cukup banyak responden (29%) yang menyatakan
lupa. Di Tasikmalaya, informasi yang diberikan pada masyoritas responden adalah
informasi tentang organ reproduksi (32%) dan menstruasi (26%). Hal yang menarik
adalah meskipun informasi seputar menstruasi diakui telah diberikan pada
responden, namun berbasarkan pemaparan di atas ternyata masih banyak mitosmitos seputar menstruasi yang dipercaya oleh responden. Hal ini menunjukkan
informasi kesehatan reproduksi yang telah didapat tersebut masih kurang memadai
atau kurang efektif.
Seperti yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat anggapan bahwa
informasi kesehatan reproduksi hanya relevan bagi mereka yang telah menikah,
namun penelitian ini menunjukkan sebaliknya. Di Karawang, responden yang belum
menikah ternyata sebagian besar menyatakan pernah mendapat informasi tentang
41
kesehatan reproduksi 84% dan hanya 16% yang menyatakan belum pernah.
Sementara responedn yang telah menikah hanya 53% yang menyatakan pernah
mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi dan sebanya 47% menjawab
tidak pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Di Tasikmalaya juga
ditemukan hal yang sama bahwa responden yang belum menikah ternyata sebagian
besar menyatakan pernah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi (65%)
dan hanya 35% yang menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi kesehatan
reproduksi. Sementara responden yang telah menikah hanya 50% yang menyatakan
pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dan 50% lainnya menyatakan
belum pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Hal ini menunjukkan
bahwa pelayanan kesehatan di tingkat desa, seperti Pos Kesehatan Desa atau
Puskesmas kurang aktif dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi bagi
para ibu muda. Hal yang senada dikemukakan dalam diskusi kelompok terfokus di
Tasikmalaya pada kelompok ibu-ibu
muda dan juga kelompok ibu-ibu tokoh
masyarakat dan kader desa. Para partisipan diskusi menyatakan bahwa kegiatan
yang masih aktif adalah penimbangan bayi dan pemberian imunisasi di Posyandu.
Adanya pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi dirasakan penting salah
satu alasannya adalah fenomena pernikahan remaja. Adanya tren penundaan usia
perkawinan menyebabkan pernikahan remaja (18 tahun atau kurang) saat ini
dianggap
sebagai
permasalahan,
karena
remaja
dianggap
tidak
memiliki
pengetahuan yang cukup untuk hamil, bersalin, dan merawat anak. Hal ini menurut
ibu-ibu tokoh masyarakat kontras dengan beberapa dekade lalu ketika sebagian
besar perempuan menikah pada usia remaja dan tidak dianggap persoalan.
18
.
Tidak adanya kegiatan tentang penyuluhan kesehatan reproduksi di tingkat
desa, berdasarkan diskusi hasil temuan sementara di Kota Tasikmalaya karena
kurangnya anggaran untuk kegiatan tersebut. Menurut pihak Bapeda, dinas dan
masyarakat masih perlu diubah cara berpikirnya dalam menyusun program
18 Penelitian untuk disertasi yang berjudul ‘Pemahaman Keluarga tentang Kesehatan
Reproduksi’ yang dilakukan oleh Ida Yustina di Karawang pada tahun 2002
memperlihatkan bahwa tingkat pemahaman keluarga tentang makna kesehatan reproduksi
cenderung rendah. Tujuan dan manfaat kesehatan reproduksi bagi ibu, anak dan keluarga
belum dipahami secara baik (http://gatra.com/2004-07-21/artikel-php diakses pada tanggal 17
November 2009).
42
pembangunan. Masyarakat perlu diajarkan agar tidak melulu mengusulkan program
yang bersifat fisik semata, sehingga dalam musrenbang dapat muncul lebih banyak
usulan berupa kegiatan seperti pemberian informasi kesehatan reproduksi bagi para
ibu-ibu muda dan kegiatan lainnya untuk kepentingan kesehatan reproduksi
perempuan.
Penelitian ini juga berupaya melihat pernah/tidak responden mendapatkan
informasi tentang kesehatan seksual. Hal ini dapat merupakan informasi mengenai
pengetahuan perempuan muda tentang resiko seksual yang dihadapinya.
Tabel 4.3 Pernah/Tidak Mendapatkan Informasi Kesehatan Seksual
di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya
Kota
Persentase (%)
Pernah
Tidak
Pernah
Karawang
51
49
Sukabumi
68
32
Tasikmalaya
61
39
Berdasarkan survei di ketiga kota, mayoritas responden menyatakan pernah
mendapatkan informasi tentang kesehatan seksual. Akan tetapi, berbeda dengan
kesehatan reproduksi, sumber informasi kesehatan seksual bukanlah sekolah
melainkan teman dan media massa di ketiga kota penelitian. Mayoritas informasi
yang didapatkan responden di ketiga kota tentang kesehatan seksual adalah
masalah hubungan seks dan bahayanya, di Karawang sebanyak 34% dan di
Tasikmalaya 37%. Sementara di Sukabumi masalah hubungan seks dan bahayanya
dinyatakan oleh 16%, dan paling banyak adalah tentang HIV/AIDS yaitu sebanyak
29%, sedangkan sebanyak 24% menyatakan lupa. Hal ini menunjukkan bahwa seks
masih dipandang sebagai berbahaya dan mengancam masyarakat. Pandangan
yang menekankan bahwa seks berbahaya menimbulkan persoalan antara lain
semakin takut orang untuk membicarakan seks dan kompleksitas seksualitas akan
semakin diingkari.
43
Jika dilihat berdasarkan status perkawinan, hal yang sama ditemukan seperti
pada kesehatan reproduksi, bahwa status perkawinan tidak berperan dalam
menentukan responden pernah/tidak mendapatkan informasi kesehatan seksual.
Berdasarkan data, di Sukabumi, sebanyak 72% responden yang belum menikah
menyatakan pernah mendapat informasi kesehatan seksual, dan hanya 28% yang
menyatakan belum pernah. Responden yang telah menikah, sebanyak 59%
menjawab pernah mendapat informasi kesehatan seksual dan sisanya 41%
menyatakan belum pernah mendapat informasi tentang kesehatan seksual. Di
Tasikmalaya juga ditemukan kesamaan yaitu responden yang belum menikah justru
lebih banyak mendapatkan informasi kesehatan seksual yaitu sebanyak 70% dan
hanya 30%. Pada responden yang sudah menikah hanya 35% yang menyatakan
pernah mendapatkan informasi kesehatan seksual dan mayoritas lainnya (65%)
justru menyatakan belum pernah mendapatkan informasi kesehatan seksual.
Meskipun responden yang menyatakan mereka pernah mendapatkan
informasi kesehatan reproduksi dan seksual relatif tinggi, namun mereka masih
membutuhkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Sebagian besar
responden membutuhkan informasi tentang organ reproduksi dan cara menjaga
kesehatan reproduksi. Jika ditelisik beradsarkan status perkawinan, informasi yang
dibutuhkan antara responden yang belum menikah dengan yang telah menikah
ternyata ditemukan kebutuhan yang berbeda. Di Sukabumi, responden yang telah
menikah mayoritas membutuhkan informasi tentang kehamilan (35%) sementara
responden yang belum menikah mayoritas membutuhkan informasi tentang
menstruasi (37%). Sementara di Tasikmalaya ditemukan hal yang berbeda dengan
di Sukabumi, responden yang telah menikah dan yang belum menikah mayoritas
sama-sama membutuhkan informasi tentang kehamilan (15% pada responden yang
telah menikah dan 19% pada mereka yang belum menikah) dan cara menjaga
kesehatan reroduksi secara umum (35% pada responden yang telah menikah dan
22% pada mereka yang belum menikah). Pada diskusi kelompok terfokus kelompok
perempuan belum menikah di Tasikmalaya, terungkap bahwa mereka membutuhkan
informasi seputar seks. Para partisipan khawatir terhadap kehamilan yang tidak
diinginkan, lebih lanjut mereka merasakan kebingungan terhadap banyaknya mitosmitos seputar seks seperti perempuan yang sudah tidak perawan dapat terlihat dari
44
ciri-ciri fisiknya
atau dari cara berjalan. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh
informan di Karawang yang merasa kebingungan dengan resiko melakukan aktivitas
seks, seperti yang diutarakannya berikut ini:
“Deg-degan, nanya-nanya sama temen yang udah pernah: hamil ngga sih
kalau ciuman? Ada penyakit HIV takut. Awalnya takut banget, takutnya dia tuh
punya penyakit HIV, takutnya dia nularin gitu.” (Endah, 17 tahun, lajang,
Karawang)
Ungkapan-ungkapan informan dan partisipan FGD di atas menunjukkan
kecemasan remaja terhadap resiko perilaku seks yang dijalaninya. Seperti yang
telah diuraikan pada Bab 3, remaja telah melakukan berbagai aktivitas seks dengan
pacar mereka. Mereka sesungguhnya khawatir dengan resiko perilaku tersebut,
namun tidak ada media untuk mengklarifikasi berbagai kekhawatiran yang dihadapi
mereka. Melakukan aktivitas seksual merupakan hal yang dilarang bagi perempuan
yang belum menikah di ketiga lokasi penelitian, oleh karena itu membicarakan
aktivitas seksual pada orang tua ataupun guru sangatlah mereka hindari. Hal yang
mengkhawatirkan adalah jika merujuk pada teman mereka, hampir seluruh informan
memiliki teman atau sahabat yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dan
beberapa kasus diakhiri dengan aborsi yang tidak aman, seperti yang diungkapkan
berikut ini:
“Ada teman, sahabat dekat banget, dia hamil udah digugurin sampe ikut
nganteri dia (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang)
“Teman yang hamil di luar nikah biasanya digugurin ke Banten udah berapa
orang gitu, banyak kali, yang dinikahin ada tiga, yang digugurin banyak. Ada
yang langsung diputusin sama pacarnya, akhirnya bunuh diri. Saya juga
tahunya dia bunuh diri dari koran (Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya)
4.2. Pengetahuan tentang Resiko Seksual
Dalam konteks fenomena gunung es kehamilan yang tidak diinginkan dan
aborsi yang tidak aman di kalangan remaja, penting untuk melihat pengetahuan
perempuan usia muda tentang cara menghindari kehamilan. Dalam penelitian ini,
berdasarkan hasil survei, ternyata mayoritas responden di ketiga kota menyatakan
mereka mengetahui cara menghindari kehamilan yang tidak diinginkan. Responden
yang menjawab mereka mengetahui cara menghindari kehamilan mayoritas
berpendapat bahwa menggunakan alat kontrasepsi dan menghindari berhubungan
45
seks dapat menghidari kehamilan. Di Karawang alat kontrasepsi yang populer
adalah kondom (17%), sementara di Sukabumi mayoritas responden menjawab pil
dan suntik KB (17%), sedangkan di Tasikmalaya alat kontrasepsi yang paling
banyak diketahui responden adalah pil, suntik, dan kondom (18%).
Tabel 4.4 Pengetahuan Cara Menghindari Kehamilan
di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya
Kota
Persentase (%)
Tahu
Tidak Tahu
Karawang
95
5
Sukabumi
87
13
Tasikmalaya
95
5
Meskipun kondom relatif populer di kota lokasi penelitian, namun masih
terdapat stigma tentang kondom. Pada diskusi kelompok perempuan yang telah
menikah di Tasikmalaya, para partisipan berpendapat bahwa kondom tidak tepat
digunakan pada seks dalam hubungan perkawinan, meskipun suami dicurigai
memiliki penyakit menular seksual atau berselingkuh. Kondom dinilai akan
mengurangi kenikmatan berhubungan seks dan lebih cocok untuk hubungan seks
premarital.
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, informan yang belum menikah
menunjukkan kekhawatiran mereka mengenai resiko perilaku seksual yang
dijalaninya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, resiko seksual cenderung
dipahami hanya relevan bagi perempuan belum menikah. Resiko seksual dalam
pandangan informan adalah resiko seks pranikah. Oleh karena itu, pendapat
informan tentang resiko umumnya adalah hamil di luar nikah, beserta akibatnya
seperti dikucilkan dari lingkungan sosialnya seperti keluarga, tetangga, dan temantemannya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa informan berikut:
“Hamil, nikah jadi terpaksa karena si cowok seolah-olah cuma dibutuhkan
untuk tanggung jawab anak (dalam kandungan), jadi kalau udah lahir ya udah
gitu, jadi single parent, banyak gitu kan” (Asih, 22 tahun, menikah,
Tasikmalaya)
46
“Mengecewakan orang tua, malu sama tetangga sama keluarga kalo sampe
hamil, kehilangan kepercayaan dari orang tua” (Nisa, 18 tahun, lajang,
Karawang)
“Hamil, dijauhin sama teman-temannya, diusir dari keluarga di rumah” (Rita,
16 tahun, lajang, Tasikmalaya)
“Kehilangan percaya diri, takut tidak diterima suami nantinya, bisa juga terjadi
kehamilan, dan fisik akan berubah menjadi gendut jika hamil, kemudian juga
bisa saja melakukan tindakan aborsi kalau pacar tidak mau
bertanggungjawab” (Lisa, 16 tahun, lajang, Sukabumi)
Karena kuatnya budaya bahwa seks harus dilakukan dalam institusi
perkawinan, maka diskusi mengenai resiko seksual dalam lembaga perkawinan
agak sulit dilakukan karena dianggap tidak relevan dan seks dalam institusi
perkawinan merupakan ibadah dan “halal”. Dalam konteks masyarakat muslim,
seperti di Tasikmalaya, hal ini disosialisasikan melalui oleh institusi agama. Seperti
yang dikemukakan oleh informan berikut:
“Agama bukannya jorok, tapi lengkap dikasih tau kayak begini-begini, ngga
boleh begini-begini, seks itu penting ada suami halal” (Asih, 22 tahun,
menikah, Tasikmalaya)
Selain itu, kuatnya pandangan agama bahwa seks hanya dapat dilakukan
dalam institusi perkawinan maka resiko yang cenderung dimaknai informan adalah
resiko mendapat sangsi sosial daripada resiko kesehatan reproduksi dan seksual.
Dari ungkapan para informan di atas jelas terlihat bahwa kehamilan pranikah
mengakibatkan rasa ‘malu’ dan ‘aib’ bagi keluarga yang dapat mempengaruhi sikap
teman dan tetangga terhadap diri perempuan yang hamil tersebut. Dengan demikian
resiko sosial dianggap menakutkan ketimbang resiko seksual itu sendiri. Akibatnya,
pencegahan dari resiko yang utama juga lebih pada pertimbangan konsekuensi
sosial dan agama, seperti:
“Tetep ingat Ibu aja dan inget agama aja, nolak! Jadi jangan sampai
berhubungan seks, (kalau berhubungan seks) pakai kondom, atau keluarin
air mani di luar” (Neneng, 18 tahun, lajang, Karawang)
Sementara itu, berdasarkan hasil survei, pengetahuan responden tentang
penyakit-penyakit menular seksual tergolong rendah.. Hanya sedikit responden di
ketiga kota umumnya dapat menjawab lebih dari satu penyakit menular seksual. Di
47
Karawang, penyakit menular seksual yang diketahui oleh mayoritas responden
adalah HIV/AIDS yaitu sebanyak 56%.
Tabel 4.5 Pengetahuan tentang Penyakit menular seksual di Karawang
Penyakit menular seksual
Persentase
Sifilis
5,3
Gonore/kencing nanah
2,7
Keputihan
2,7
HIV/AIDS
56
Sifilis dan HIV/AIDS
6,7
Gonore/kencing nanah dan HIV/AIDS
12,0
Sifilis dan gonore/ kencing nanah/ raja singa
1,3
Tidak Tahu
13,3
Akan tetapi, hanya sebanyak 13% responden yang dapat menyebutkan lebih dari
satu penyakit menular seksual dan sebanyak 13% lainnya menyatakan tidak tahu
penyakit seksual. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden masih
rendah tentang resiko seksual. Hal yang sama juga ditemukan di Sukabumi. Berikut
tabel.
Tabel 4.6 Pengetahuan tentang Penyakit menular seksual di Sukabumi
Penyakit menular seksual
Persentase
Sifilis
1,3
Gonore/kencing nanah
4,0
Herpes
1,3
HIV/AIDS
58,6
Sifilis dan HIV/AIDS
4,0
48
Gonore/kencing nanah dan HIV/AIDS
5,3
Sifilis dan gonore/ kencing nanah/ raja singa
6,7
Sifilis, herpes, kutil kelamin dan kanker servix
2,7
Tidak Tahu
16
Berdasarkan hasil survei responden di Sukabumi, HIV/AIDS juga merupakan
penyakit menular seksual yang paling banyak diketahui oleh responden (59%).
Sementara, hanya 15% responden yang dapat menyebutkan lebih dari satu penyakit
menular seksual dan sebesar 16% responden tidak dapat menyebutkan satu pun
jenis penyakit menular seksual. Kondisi yang sama dengan Karawang dan
Sukabumi juga ditemukan di Tasikmalaya.
Tabel 4.7 Pengetahuan tentang Penyakit menular seksual di Tasikmalaya
Penyakit menular seksual
Persentase
Sifilis
1,3
Gonore/kencing nanah
4,0
Keputihan
5,3
Kanker rahim
1,3
HIV/AIDS
38,7
Sifilis dan HIV/AIDS
5,3
Gonore/kencing nanah dan HIV/AIDS
2,7
Gonore/kencing nanah, homo, lesbi, HIV/AIDS dan
impoten
1,3
Sifilis dan gonore/ kencing nanah/ raja singa
1,3
Gonore/kencing nanah dan keputihan
1,3
Sifilis, herpes, kutil kelkamin dan kanker servix
1,3
Gonore/kencing nanah dan hepatitis
2,7
49
Keputihan dan kanker rahim
1,3
Tidak tahu
32
Berdasarkan hasil survei di Tasikmalaya, sama halnya dengan kedua daerah
sebelumnya, HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual yang paling populer di
antara responden (39%). Sebanyak 17% responden dapat menyebutkan lebih dari
satu jenis penyakit menular seksual, namun responden yang tidak mengetahui satu
jenis pun penyakit menular seksual cukup besar dibanding kedua kota sebelumnya
yaitu 32%.
Dari
ketiga
lokasi
penelitian,
keseluruhannya
menunjukkan
bahwa
pengetahuan responden tentang PMS masih kurang dan hal ini dapat berdampak
pada resiko-resiko seksual yang dihadapi responden. Akan tetapi, survei dari ketiga
daerah tersebut juga menunjukkan bahwa HIV/AIDS bukanlah penyakit yang asing
bagi perempuan muda. Hal ini konsisten dengan pernyataan responden dari ketiga
lokasi penelitian bahwa mereka (lebih dari 90%) pernah mendengar HIV/AIDS.
Meskipun demikian, jika dilihat pengetahuan mereka tentang cara penularan
HIV/AIDS, masih terdapat mitos-mitos yang keliru tentang cara penularan HIV/AIDS.
Di Karawang, masih ada responden yang berpendapat bahwa berbicara dengan
penderita (4%), berciuman (3%), dan menggunakan barang penderita (4%) dapat
menularkan HIV/AIDS. Hal yang sama ditemukan di Sukabumi di mana ciuman (7%)
dan menggunakan barang penderita (5%) masih diyakini dapat menularkan
HIV/AIDS. Tidak berbeda dengan kedua kota, di Tasikmalaya, berbicara
(1%),
bersentuhan (3%), dan berciuman dengan penderita (3%) serta menggunakan
barang penderita (3%) disebutkan dapat menularkan HIV/AIDS.
Sejalan dengan hasil survei, pada wawancara mendalam para informan
mengaku pernah mendengar HIV/AIDS dari media massa (MTV, majalah, koran)
ataupun dari buku, teman, poster. Ada beberapa informan yang memiliki teman dan
tetangga yang terinfeksi HIV, namun pengetahuan mereka masih minim tentang
cara penularan HIV. Berikut informan:
Taunya AIDS, kalo laki-laki suka “jajan” di luar jorok..jablay bekas orang terus
dipake, ganti-ganti pasangan (Gina, 16 tahun, lajang, Sukabumi)
50
HIV pernah dengar, ada orang sini kena...mati karena HIV udah menikah
punya anak, ternyata istrinya juga kena HIV...gak tau nularnya lewat apa
(Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya)
HIV tau tapi ngga banyak..tau dari TV. Kalau udah positif, sentuhan tangan
juga bisa ketular (Tika, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya)
Hal ini menunjukkan bahwa kampanye HIV/AIDS telah berhasil membuat
istilah HIV/AIDS semakin populer, namun pengetahuan lebih lanjut tentang
HIV/AIDS masih diperlukan seperti cara penularan atau gejala-gejalanya, sehingga
perempuan muda menjadi lebih sadar untuk melakukan seks yang aman dan
terhindar dari resiko seks.
Penelitian ini juga melihat pada pengalaman responden seputar kesehatan
seksual yang dapat berguna untuk memotret resiko seksual yang dialami responden.
Berdasarkan hasil survei di ketiga lokasi penelitian, mayoritas responden memiliki
keluhan kesehatan seksual/reproduksi. Di Karawang, responden yang pernah
mengeluhkan kesehatan seksual/reproduksinya adalah sebanyak 64%. Keluhan
terbanyak adalah keputihan (11%) dan keputihan yang disertai gatal pada kelamin
(13%). Sebagian besar responden menyebutkan lebih dari satu gejala (35%) yang
seluruhnya merupakan keputihan yang disertai gelaja lainnya. Di Sukabumi
sebanyak 88% responden memiliki keluhan kesehatan seksual/reproduksi. Keluhan
kesehatan yang menonjol di antara responden kota ini adalah keputihan yang
disertai bau yang tidak enak, kemerahan dan gatal di sekitar kelamin (27%), 19%
lainnya menjawab keputihan yang disertai gatal. Mayoritas responden juga memiliki
lebih dari satu keluhan yang seluruhnya merupakan keputihan yang disertai gelaja
lainnya (71%). Sementara di Tasikmalaya mayoritas juga pernah memiliki keluhan
kesehatan seksual/reproduksi yaitu 78%. Mayoritas responden memiliki keluhan
keputihan (21%) dan keputihan yang disertai bau yang tidak enak, kemerahan dan
gatal di sekitar kelamin (21%). Seperti kedua kota lainnya, responden di
Tasikmalaya juga memiliki lebih dari satu keluhan (50%) yang merupakan keputihan
yang disertai gelaja lainnya.
Meskipun mayoritas responden di tiga kota memiliki keluhan kesehatan
seksual/reproduksi dan memiliki lebih dari satu gejala, namun kesadaran responden
untuk mengobati gejala tersebut masih sangat rendah. Mayoritas responden di
ketiga kota lebih memilih untuk mendiamkan/tidak mengobati atau mengobati sendiri
51
gejala gejala keputihan dan gejala lain yang menyertainya. Di Karawang, 40%
responden memilih untuk mengobati sendiri dan 31% lainnya memilih mendiamkan
saja gejala tersebut. Sementara di Sukabumi, sebanyak 76% memilih untuk
mendiamkan gejala tersebut dan 20% lainnya memilih untuk melakukan pengobatan
sendiri. Sedangkan di Tasikmalaya, sebanyak 78% menyatakan mendiamkan gejala
keputihan dan gejala lain yang menyertainya dan 18% memilih untuk mengobati
sendiri gelaja tersebut. Kesadaran yang masih rendah gejala keputihan dan gejala
lain yang menyertainya yang dialami oleh perempuan muda dapat disebabkan oleh
kurangnya pengetahuan tentang gejala penyakit menular seksual yang masih
kurang. Sebanyak 48% responden di Karawang, dan sebanyak 53% responden di
Sukabumi, serta sebanyak 69% menyatakan tidak mengetahui gejala terkena
penyakit menular seksual.
Besarnya jumlah responden yang tidak mengetahui gejala tertular merupakan
hal yang ironi mengingat mayoritas informasi kesehatan seksual yang mereka terima
adalah tentang masalah seks dan bahayanya. Penyampaian bahaya tentang
hubungan seks lebih bersifat normatif, bahwa hubungan seks pra nikah
bertentangan dengan agama. Seperti yang diungkapkan pada diskusi kelompok
bapak-bapak tokoh masyarakat dan kelompok ibu-ibu tokoh masyarakat dan kader
desa, solusi yang mengemuka adalah pemberian pendidikan agama untuk
mencegah remaja melakukan hubungan seksual. Jika pendidikan seksualitas tidak
berorientasi pada kesehatan seksual namun hanya berpendekatan normatif akan
semakin menjauhkan pemahaman perempuan muda terhadap resiko seksual yang
selanjutnya akan membuat perempuan muda semakin rentan terhadap penyakit
menular seksual dan HIV/AIDS.
52
BAB 5
HAK SEKSUAL, RESIKO SEKSUAL DAN NEGOSIASI SEKSUAL
Bab ini menyajikan dan mendiskusikan beberapa tema yang muncul dari
wawancara mendalam terkait dengan hak seksual, resiko seksual dan negosiasi
seksual. Analisis dan interpretasi data diletakkan dalam konteks sosial budaya
setempat sehingga kita dapat memahami cara pandang informan terhadap tematema yang dibahas. Dalam analisis ini kami tetap membandingkan antara
perempuan yang belum nikah dan yang menikah untuk mendapatkan perbedaan
dan persamaan di antara kasus-kasus yang ada.
Secara spesifik, diskusi akan menyoroti sejauh mana perempuan muda
menyadari resiko seksual yang mereka hadapi, bagaimana mereka mengurangi
resiko tersebut, dan seberapa jauh mereka menyadari hak-hak seksual khususnya
hak untuk terlindung dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan serta hak terlindung
dari PMS dan HIV/AIDS. Kedua hak seksual ini dilihat dalam konteks relasi sosial
seperti pacaran dan perkawinan yang dialami oleh para informan.
5.1. Persepsi tentang hak seksual
Dalam survey kami mengajukan sejumlah pernyataan tentang hak seksual
perempuan untuk mengetahui pandangan responden apakah mereka setuju atau
tidak setuju terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Pernyataan pertama adalah
’Perempuan mempunyai hak untuk menolak aktivitas seksual dengan pasangannya’.
Ada perbedaan jawaban antara perempuan yang menikah dan yang lajang di tiga
kota penelitian. Pada tabel 5.1 terlihat bahwa lebih dari 70% responden yang
menikah menyetujui pernyataan tersebut, sementara lebih dari 90% responden yang
lajang menyepakatinya. Perbedaan ini amatlah mungkin disebabkan perbedaan
pengalaman di antara keduanya. Perempuan yang menikah menghadapi realitas
yang sesungguhnya yaitu relasi dengan suaminya. Tidak mudah bagi seorang
perempuan untuk berkata ’tidak’ ketika suaminya menginginkan hubungan seksual.
Norma gender yang umum disosialisasikan sejak kecil kepada perempuan adalah ia
harus setia, taat dan melayani suami apabila telah menikah. Norma gender ini
acapkali diperkuat dengan adanya interpretasi ajaran agama Islam yang
53
menempatkan istri sebagai subordinat suami. Bagi perempuan yang menikah,
alasan paling sering diutarakan untuk menolak hubungan seksual dengan suami
adalah menstruasi. Alasan lainnya adalah sedang tidak mood atau malas dan lelah
bekerja. Sementara di kalangan perempuan lajang, alasan yang sering muncul
adalah karena belum menikah, disusul takut hamil di luar nikah dan menjaga
kehormatan diri. Hal yang menarik ialah ada sedikit responden yang menjawab
bahwa menolak aktivitas seksual dengan pasangan adalah hak asasi perempuan.
Tabel 5.1. Pendapat tentang ’Perempuan mempunyai hak untuk menolak
aktivitas seksual dengan pasangannya’ berdasarkan status marital
Status
marital
Karawang (%)
Sukabumi (%)
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Lajang
94,6
5,4
91,2
1,8
100
0
Menikah
78,9
21,1
88,2
11,8
73,7
26,3
0
0
100
0
100
0
Janda
Tasikmalaya (%)
Pada perempuan lajang, menolak keinginan pacar untuk melakukan aktivitas
seksual tertentu cukup sering terjadi. Ada informan yang tidak menyukai apabila
sang pacar meraba atau menyentuh bagian tubuh seperti payudara atau alat
kelamin bahkan menolak berciuman. Beberapa informan dalam wawancara
mendalam mengungkapkan pengalamannya,
Ya emang sih ciuman itu gak bikin hamil. Tapi kan dari ciuman itu nantinantinya jadi keterusan, apalagi kalau cowonya hyper yah, bisa-bisa nanti dia
minta ML lagi, hiiii.... Tapi kalo yang sampe bener-bener, kan suka banyak tuh
anak-anak di kelas yang cerita (udah dikiss) atau gimana gitu ya, belum apa
ya, belum perlu lah kalo kayak gitu. Kita umurnya belum nyampe ke...ke
jenjang yang sepantasnya gitu (Gina, 16 tahun, lajang, Sukabumi).
Ya, awalnya sih cuek-cuek aja! Tapi kan namanya cowok playboy pasti
banyak maunya! Ya udah bilangin aja kalo mau yang lebih ya udah tuh
dateng aja ke tempat-tempat yang gak bener aja! Kalo mau gitu tinggal bayar
segini terus puas! (Nisa, 18 tahun, lajang, Karawang)
Pernyataan yang kedua tentang hak seksual yaitu ’Perempuan tidak
sepatutnya mengutarakan keinginan/hasrat seksualnya’ agaknya masih disetujui
54
oleh lebih dari 60% perempuan muda baik yang lajang maupun yang menikah
terutama di Karawang dan Sukabumi (lihat tabel 5.2). Persetujuan responden
terhadap pernyataan ini menunjukkan bahwa norma budaya masih membatasi
ekspresi seksual perempuan, meskipun dalam praktiknya belum tentu demikian.
Alasan yang paling sering muncul dari
responden yang menjawab ”YA” adalah
malu/takut karena perempuan harus menjaga sikapnya dan takut dianggap sebagai
perempuan nakal. Jawaban ini memperlihatkan bahwa perempuan dipandang
kurang pantas untuk mengekspresikan keinginan seksualnya dan laki-lakilah yang
harus mempunyai inisiatif dalam relasi seksual. Bagi responden di dua kota ini yang
menjawab ’Tidak’, alasan yang diberikan adalah ’karena kebutuhan’ dan ’hak asasi
perempuan’.
Tabel 5.2. Pendapat tentang ’Perempuan tidak sepatutnya mengutarakan
keinginan/hasrat seksualnya’ berdasarkan status marital
Status
marital
Karawang (%)
Sukabumi (%)
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Ya
Tidak
Lajang
64,3
33,9
64,9
35,1
37
63
Menikah
52,6
42,1
58,8
41,2
35
65
0
0
0
0
100
Janda
100
Tasikmalaya (%)
Menarik untuk mencermati jawaban responden (lajang ataupun nikah) di
Tasikmalaya yang lebih dari 60% tidak setuju dengan pernyataan di atas. Hal ini
agak kontradiktif dengan asumsi ciri masyarakat Tasikmalaya yang bernuansa Islam
yang kental dan hirarkis karena tradisi pesantren yang kuat. Alasan utama yang
diungkapkan responden yang menjawab ’Tidak’ adalah ’karena kebutuhan’ dan ’hak
asasi’. Mereka berpandangan bahwa wajar apabila perempuan mengungkapkan
keinginan seksualnya. Namun dalam praktiknya, tidak mudah bagi perempuan untuk
mewujudkannya karena banyak dari mereka masih berpikiran bahwa laki-lakilah
yang harus berinisiatif. Hasil wawancara mendalam, terutama terhadap perempuan
yang menikah, menunjukkan bahwa mereka cenderung untuk mengkomunikasikan
hasrat seksualnya secara non verbal, melalui tingkah laku dan bahasa tubuh. Hal ini
tidak terlepas dari pandangan perempuan pada umumnya yaitu seorang perempuan
55
lebih banyak memiliki kewajiban dari pada hak dalam kehidupan sehari-harinya.
Sosialisasi sejak kecil dalam keluarga selalu mengajarkan perempuan untuk
mematuhi beragam larangan yang berarti adalah kewajiban.
Pernyataan selanjutnya adalah ’Jika perempuan mengalami kekerasan
seksual, ia tidak perlu mengungkapkannya kepada orang lain’ yang ingin
mengetahui apakah perempuan dapat menyuarakan pengalaman yang tidak
mengenakkan. Tabel 5.3 di bawah memperlihatkan bahwa terdapat kontras yang
cukup menonjol dari jawaban responden di Karawang apabila dibandingkan dengan
jawaban responden di Sukabumi dan Tasikmalaya. Di Tasikmalaya sekitar 75%
responden, baik lajang maupun menikah, menyetujui pernyataan tersebut. Di
Sukabumi, 70% responden lajang setuju dengan pernyataan itu dan hampir 20%
menyatakan tidak setuju. Sementara 47% responden yang menikah setuju dengan
pernyataan tersebut, hampir berimbang dengan responden menikah yang tidak
setuju yaitu 41%. Responden di Karawang cenderung tidak setuju terhadap
pernyataan tersebut yaitu 40% untuk yang lajang dan 52% untuk yang menikah,
sementara yang setuju hanya 18% responden lajang dan 36% responden menikah.
Responden lajang yang bersikap ragu-ragu cukup besar yaitu 41%. Perbedaan
jawaban responden di tiga kota memperlihatkan karakter budaya lokal. Responden
di kota Tasikmalaya agaknya masih berpendapat bahwa perempuan tidak
seharusnya menceritakan kehidupan seksualnya, apalagi jika mengalami kekerasan
seksual, karena sama saja dengan membuka aib dan membuat malu keluarga.
Kekerasan seksual adalah persoalan di ranah pribadi yang tidak dapat diceritakan
kepada sembarang orang. Responden di Karawang memiliki sikap yang lebih
terbuka dan lugas terhadap masalah kekerasan seksual. Wawancara kami terhadap
beberapa orang Sunda yang bukan berasal dari Karawang mengungkapkan bahwa
karakter urang Karawang memang straight to the point dan lebih ’kasar’
dibandingkan dengan orang Sunda Tasikmalaya atau Sukabumi. Observasi yang
kami lakukan terhadap interaksi dalam keluarga di wilayah Babakan Cianjur,
Karawang, juga menunjukkan karakter tersebut. Apabila ada perselisihan dalam
keluarga, tidaklah selalu ditutupi dari pandangan orang luar.
Tabel 5.3. Pendapat tentang ’Jika perempuan mengalami kekerasan seksual, ia
tidak perlu mengungkapkan kepada orang lain’ berdasarkan status marital
56
Status
marital
Karawang (%)
Sukabumi (%)
Tasikmalaya (%)
Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak
setuju setuju
setuju setuju
setuju setuju
Lajang
17,9
41,1
39,3
70,2
10,5
19,3
75,9
9,3
14,8
Menikah
36,8
10,5
52,6
47,1
11,8
41,2
75
5
15
0
0
0
100
0
0
100
0
0
Janda
Pengalaman terhadap kekerasan memang tidak mudah diungkapkan.
Pengalaman Imah (Karawang) yang cukup sering ditampar oleh suaminya bisa
menjadi contoh. Imah tidak pernah bercerita kepada orangtuanya atau kerabat lain
tentang perilaku suaminya itu, sekalipun ia merasa sakit hati. Bisa dibayangkan
apabila yang dialami adalah kekerasan seksual lebih sulit diungkapkan kepada
orang lain karena seksualitas dipandang sebagai ranah pribadi yang sensitif.
Pernyataan yang terkait dengan resiko seksual adalah ’Agar terlindung dari
penyakit menular seksual, perempuan harus meminta pasangannya untuk memakai
kondom’ yang ingin mengetahui pendapat responden tentang negosiasi seksual.
Jawaban responden yang lajang di tiga kota cenderung setuju (di atas 74%) dengan
pernyataan tersebut, sekalipun kita harus cermat menafsirkan jawaban tersebut.
Penelitian-penelitian terdahulu tentang seksualitas remaja membuktikan bahwa
remaja jarang menggunakan kondom dalam hubungan seks pranikah sehingga
seringkali mengakibatkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Pengetahuan remaja
perempuan tentang penyakit menular seksual pun masih terbatas, kecuali
pengetahuan tentang HIV/AIDS yang cukup tinggi (lihat bab 4). Jadi jawaban
responden yang lajang ini secara tersirat berhubungan dengan ancaman penularan
HIV/AIDS.
Tabel 5.4. Pendapat tentang ’Agar terlindung dari penyakit menular seksual
perempuan harus meminta pasangannya untuk memakai kondom’
berdasarkan status marital
Status
marital
Karawang (%)
Sukabumi (%)
Tasikmalaya (%)
Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak
setuju setuju
setuju setuju
setuju setuju
57
Lajang
76,8
10,7
5,4
80,7
8,8
10,5
74,1
1,9
22,2
Menikah
84,2
5,3
10,5
52,9
29,4
17,6
65
15
15
0
0
0
0
100
0
100
0
0
Janda
Sementara terdapat perbedaan jawaban di antara responden yang menikah,
khususnya di Karawang apabila dibandingkan dengan Sukabumi dan Tasikmalaya.
Di Karawang 84% dari yang menikah setuju dengan pernyataan tersebut dan sekitar
10% tidak menyetujuinya. Di Sukabumi dan Tasikmalaya, masing-masing sekitar
53% dan 65% responden yang menikah menjawab setuju, sementara yang tidak
setuju sebesar 17% dan 15%. Tingginya pendapat yang menyetujui pernyataan itu
di kalangan responden di kelurahan Nagasari, Karawang, sangat mungkin
berhubungan
dengan
tingkat
keterpaparan
(exposure)
terhadap
program
penanggulangan HIV/AIDS yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden di
kelurahan Kebonjati dan Nagarawangi. Kehadiran LSM Pantura Plus di Karawang
sudah cukup dikenal, di samping kesadaran penduduk setempat akan adanya
ODHA yang bermukim dalam komunitas setempat. Agak berbeda dengan kelurahan
Kebonjati di Sukabumi dan kelurahan Nagarawangi di Tasikmalaya yang warganya
kurang terpapar informasi mengenai HIV/AIDS.
Pernyataan terakhir dalam kuesioner adalah ’Jika perempuan setia pada
pasangannya, tidak mungkin ia terkena penyakit menular seksual’ yang ingin
mengetahui apakah perempuan merasa aman dan terlindungi apabila ia memiliki
sikap setia kepada pasangannya. Pernyataan ini juga berkaitan dengan norma
gender yang sering ditanamkan kepada perempuan sejak kecil yaitu agar patuh dan
setia kepada suami apabila telah menikah. Pada tabel 5.5 terlihat bahwa responden
di Karawang yang setuju dengan pernyataan tersebut hanya sekitar 30%, lebih
banyak yang tidak setuju dan kurang setuju. Di Sukabumi, lebih dari 65% responden
menyetujui pernyataan tersebut, sementara di Tasikmalaya responden yang
menikah lebih banyak (65%) menyatakan setuju dibandingkan dengan responden
yang lajang (40%).
Tabel 5.5. Pendapat tentang ’Jika perempuan setia pada pasangannya, tidak
mungkin ia terkena penyakit menular seksual’ berdasarkan status marital
58
Status
marital
Karawang (%)
Sukabumi (%)
Tasikmalaya (%)
Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak
setuju setuju
setuju setuju
setuju setuju
Lajang
23,2
28,6
42,9
66,7
15,8
17,5
40,7
24,1
31,5
Menikah
31,6
21,1
47,4
76,5
23,5
0
65
15
20
0
0
0
100
0
0
0
100
0
Janda
Responden di Sukabumi dan Tasikmalaya agaknya masih berpandangan
bahwa seorang perempuan perlu menunjukkan kesetiaan terhadap pasangannya,
khususnya dalam perkawinan. Institusi perkawinan masih dianggap sebagai ruang
yang aman bagi perempuan karena mereka merasa terlindungi. Dalam wawancara
mendalam dengan beberapa perempuan terungkap bahwa perkawinan adalah
kewajiban setiap orang
yang sedapat mungkin dipenuhi agar hidup menjadi
lengkap. Karena perkawinan adalah perintah agama, maka logikanya kehidupan
perkawinan adalah aman dan amanah. PMS tidak mungkin terjadi dalam perkawinan
karena PMS lebih lekat kepada perilaku seks di luar pernikahan. Dalam konteks ini
secara kultural responden dan informan memandang diri mereka adalah ’perempuan
baik-baik’ yang tidak mungkin terkena PMS seperti halnya ’perempuan nakal’ atau
’bukan perempuan baik-baik’.
Namun responden di Karawang mempunyai pandangan yang agak berbeda
seperti terlihat dalam tabel 5.5 di atas. Perbedaan ini mungkin dapat dijelaskan
dengan melihat pada konteks sosial masyarakat Karawang. Kabupaten Karawang
adalah daerah industri yang menarik minat para pendatang atau migran dari wilayah
lain di Jawa dan luar Jawa. Salah satu konsekuensi dari perkembangan industri
adalah keberadaan prostitusi yang cukup merebak. Pemetaan yang dilakukan oleh
FHI-ASA pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa hampir di setiap kecamatan
terdapat lokasi prostitusi, termasuk di kota Karawang sendiri 19 -- misalnya Sungai
Buntu, Se-er, Betok Mati untuk menyebut beberapa tempat. Kehadiran industri
pelacuran ini tentu disadari oleh masyarakat Karawang sehingga upaya penyebaran
19
Informasi didapatkan oleh salah satu anggota tim peneliti yang pernah melakukan penelitian di Karawang pada tahun 2007. 59
informasi tentang PMS dan HIV/AIDS tentu lebih gencar. PMS dan HIV/AIDS dalam
konstruksi sosial masyarakat Indonesia selalu dilekatkan pada dunia pelacuran,
khususnya perempuan pekerja seks (Kroeger 2000).
5.2. Persepsi tentang keperawanan
Tema sentral lainnya yang muncul dalam wawancara mendalam adalah
keperawanan perempuan. Persoalan keperawanan tidak semata persoalan harga
diri atau martabat seorang perempuan tetapi juga persoalan yang seringkali
dilematis dalam konteks relasi pacaran. Perempuan yang belum nikah, yang
menikah atau pun janda tetap berpendapat bahwa keperawanan amat penting untuk
dipertahankan karena menyangkut harga diri, kehormatan dan status perempuan
serta keluarga. Pada aras individu, keputusan untuk menjaga keperawanan atau
tidak tergantung pada sejumlah faktor yang kontekstual.
“Iya kalau keperawanan itu kayanya hal yang paling penting ya untuk dijaga,
karena kayanya kalau sudah nggak perawan sebelum nikah, laki-laki sudah
nggak ada yang respect lagi sama kita.” (Eni, 23 tahun, nikah, Sukabumi).
“Keperawanan itu penting karena anak gadis hanya punya itu. Laki-laki kan
selalu egois karena ingin dapet istri yang masih perawan. Kalau kita tidak bisa
menjaga maka kita akan dianggap ‘sampah’ (Isna, 19 tahun, nikah,
Tasikmalaya).
Kan bisa aja nih ya, kalo emang bisa, suaminya kalo nrimain, ya udah
ditrimain. Tapi kalo misalnya suaminya nggak nrimain kasihan kan, gimana,
dah nikah eh...langsung dicerai (Mutiara, 18 tahun, lajang, Sukabumi).
Karena apa ya? Gini aja, cowok gak bener tukang mabok, tukang judi,
bahkan tukang main jablay, trus dia married. Mana mau dia nikah sama jablay
gak kan? Tapi dia mau kawin sama yang lebih baik kan? Iya kan? Iya?
Mikirnya gitu aja. Kalo sama orang tua kan sering dibilangin kayak gitu kan
ya, tukang mabok, main jablay (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang).
Buat diri sendirinya, jadi ee...apa, kalo diri kita udah ternoda gitu, itu kan kita
nganggap diri kita kotor atau gimana....jadi ada rasa bersalah gitu ya. Rasa
berdosa kan dalam dirinya itu. Kalo buat kami, kan ada yang bilang e...jangan
sampe nikah terus nggak virgin gitu (Gadis, 16 tahun, lajang, Sukabumi)
Ya kan kata orang, kalau pas udah nikah, pas malem pertama itu gak
seru..gak bahagia, nah kalau pas perawan itu mah bahagia kalau malam
pertama (Cinta, 19 tahun, lajang, Tasikmalaya)
60
Ungkapan sejumlah informan yang lajang mengatakan bahwa keperawanan sangat
penting untuk diperlihatkan kepada suami mereka kelak dan memang agama
mengajarkan bahwa hubungan seks sebelum nikah dilarang. Mitos keperawanan
yang ditandai adanya darah ketika pertama kali berhubungan seks masih dipercayai
oleh para informan dalam penelitian ini. Pandangan masyarakat terhadap
perempuan yang tidak perawan biasanya negatif karena dianggap ‘bukan
perempuan baik-baik’ – disebut jablay atau perek. Pada masyarakat Tasikmalaya
yang Islamnya lebih kental, perempuan yang tidak perawan sebelum menikah
dikategorikan sebagai zina dan dosa. Laki-laki biasa menyebutnya ‘perawan bukan,
janda bukan’. Persepsi subyek penelitian memperlihatkan skenario budaya (cultural
script) tentang keperawanan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam
berpacaran meskipun dalam beberapa kasus terasa lebih merupakan sesuatu yang
normatif yang berbeda dengan praktik sesungguhnya.
Konsepsi keperawanan hampir selalu dikaitkan dengan nasihat orangtua dan
norma agama. Seorang anak perempuan harus bisa menjaga diri dalam pergaulan
agar tidak mencoreng muka orangtuanya dan tidak melanggar ajaran agama.
“Ya agama ada kan dilarang, agama trus orang tua, malu lah sama orang tua
kita pacaran sampe gitu, kan malu-maluin orang tua. Kita kan dididik bener
kan sama orang tua. Tapi kita mah harus kuat iman kalo pacaran mah. Apa
lagikan cewek kan ngerangsang ya...” (Desi, 20 tahun, lajang, Sukabumi)
“Iya, utamanya keluarga, jadi harus dikontrol anak gadis harus pulang jam
segini. Kalau enggak ada di rumah jam segini dimarahin. Itu wajib tuh orang
tua kayak gitu tuh. Mesti dicegah teh 20 , soalnya kalau enggak dicegah si
anaknya mah keenakan” (Asih, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya)
“Iya, kan gak boleh nanti kalo kita pacaran dah kita kasih semuanya, rugi
dong. Iya kalo dia tanggung jawab tapi kalo cowoknya cari cewek lain rugi
dong. Lagian itu kan bukan muhrimnya dilarang sama agama. Tapi kalo udah
nikah kan udah ada ikatan. Jadi gak apa-apalah (Nisa, 18 tahun, lajang,
Karawang)
Aturan budaya memang cenderung untuk mengontrol anak perempuan lebih ketat
dari pada anak laki-laki karena keperawanan selalu dilihat sebagai sesuatu yang
suci yang perlu dipertahankan oleh anak perempuan. Ungkapan yang dilontarkan
oleh seorang informan yaitu keperawanan adalah mahkota.
20
Teh berasal dari kata teteh (Sunda) yang artinya kakak perempuan, seperti sebutan mbak dalam bahasa Jawa. 61
5.3. Negosiasi seksual dan Resiko seksual
Pada bab 4 telah diuraikan persepsi perempuan muda akan resiko seksual.
Resiko seksual yang paling dikawatirkan adalah kehamilan sebelum nikah.
Penelitian yang dilakukan Simon dan Paxton terhadap kaum dewasa muda (18-24
tahun) di Surabaya juga menunjukkan persepsi yang sama. Seks yang aman
dipahami sebagai menghindari terjadinya kehamilan (2004:400). Di sini kita perlu
mencermati keterkaitan antara resiko seksual dengan konsep malu. Dalam hampir
semua wawancara mendalam yang kami lakukan, ketika diajukan pertanyaan apa
pandangan mereka terhadap kehamilan pranikah maka hampir semua informan
menjawab bahwa hal itu amat memalukan bagi perempuan dan keluarganya. ‘Malu’
sendiri memiliki makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Seseorang tidak
berbicara atau mengutarakan pendapatnya dalam kelompok karena malu. Seorang
anak enggan bertanya pada orang yang tidak dikenalnya karena malu. Anak
perempuan diajarkan duduk yang rapi agar tidak tersingkap gaunnya karena malu
apabila terlihat pakaian dalamnya. Ayah dan ibu tidak membicarakan tentang seks
kepada anaknya karena malu. Di Indonesia, secara umum seksualitas dianggap
ranah pribadi sehingga malu bagi seseorang apabila pengalaman atau kehidupan
seksualnya diketahui orang lain, apalagi jika pengalaman seksual itu dianggap
melanggar norma-norma sosial. Oleh karena itu sebagaimana telah disinggung juga
dalam bab 4, bagi perempuan muda resiko biomedis seperti kehamilan pranikah
atau tertular PMS tidak terlalu dikawatirkan karena mereka lebih kawatir akan resiko
sosialnya yaitu malu, aib, menjadi bahan pergunjingan, diejek, dikucilkan dll. Jadi
resiko seksual berada pada urutan kedua atau ketiga setelah resiko sosial yang
akan mereka hadapi terkait dengan perilaku seksual mereka. Seperti yang
diungkapkan oleh informan di bawah ini
“Ya saya juga gimana kan udah kecelakaan. Saya juga malu gitu. Kalo
ngidam mah udah aja menikah gitu. Kalo gak nikah ya... iya terpaksa gitu.
Kan udah terlanjur ya gimana? kalo di sini kan maklum suka ngegosip gitu,
kalo ngegosip suka ke mana-mana gitu jadi kalo ada yang gitu, gitu langsung
menyebar” (Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya)
Dalam relasi pacaran, sebagian besar informan bersikap tegas menolak
apabila sang pacar menginginkan hubungan seksual. Perempuan lajang nampaknya
mempunyai otonomi yang cukup besar untuk menjaga dirinya tidak melakukan seks
62
pranikah. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pentingnya keperawanan,
menghindari malu dan mencegah terjadinya kehamilan.
“Gue kan orangnya gak ini-ini banget ya, tapi gue orang yang tipe-tipe cewek
yang gampang nafsuan, tapi kalo udah kemana-mana gue gak bisa
memberhentikan gitu, gue tipenya seperti itu. Tapi aku yang paling gak mau
dilakuin banget gitu, kalo cowok dah ngeraba ke arah apa tuh
namanya.....vagina. Pokoknya langsung nolak. Kenapa nolak? Karena kalo
dia udah Nyampe ke situ, suka apa ya... semakin besar nafsunya. Terus ke
bawa suasana kalo udah sampe situ!” (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang).
”Ya gak tau, ngebet kali! Tapi jujur ya pas dia mau ngelamar gitu ada maksud
lain, dia ngerayu gitu: „ kalo kamu bener-bener, mau gak kita pegang rahasia
prinsip dulu“. Resti pikir itu gak mungkin lah, kenapa gak ngelamar aja!
Memang dia waktu dulu lamarannya, ngelamar dulu gak langsung married!.
Mau buktiin dulu perawan atau gak! Ya sudah mendingan putus aja. Lagian
belum terlalu deket banget, masih agak jauh” (Rena, 21 tahun, lajang,
Karawang).
Pada
beberapa
kasus
perempuan
muda
yang
mempunyai
pengalaman
berhubungan seks sebelum nikah, tentu ada elemen lain yang mempengaruhi
keputusan mereka tersebut. Dari wawancara elemen penting yang muncul yaitu
cinta dan kepercayaan (trust).
“Gak, saya mah sukanya sama bapaknya si Eneng” (Yayah, 24 tahun, janda,
Tasikmalaya)
“Iya.. pokoknya bilangnya mah dianya mau tanggung jawab. Alhamdulillah sih
sampai sekarang, gak tau sih ke depannya mah (Cindy, 19 tahun, lajang,
Tasikmalaya)
Meskipun secara normatif mereka memandang keperawanan penting, namun ketika
mereka percaya bahwa sang pacar akan bertanggung jawab atau mereka yakin
bahwa relasi pacaran akan diikuti dengan pernikahan maka hubungan seks sebelum
nikah bisa terjadi. Inilah yang dialami oleh Cindy (19 tahun) dari Tasikmalaya yang
percaya akan ucapan Dedi, pacarnya, untuk menikahinya sehingga ia mengambil
resiko berhubungan seksual sebelum nikah. Sementara Yayah meskipun ia
mengaku agak terpaksa menuruti keinginan sang pacar untuk berhubungan seks
namun ia begitu mencintai kekasihnya dan takut kalau sang pacar akan marah kalau
dia menolaknya.
Namun dalam urusan relasi seksual, tampaknya data menunjukkan temuan
menarik yaitu perempuan yang menikah cenderung bersikap pasif. Berikut
penuturan beberapa informan,
63
“Untuk hubungan intim.. gak sih teteh yang minta, gak sih,... gimana gitu
yah.....kebanyakan sih suami. Saya gak mau terlalu ayo gimana gitu enggak.
Udah tahu capek pulang kerja udah... adalah ya gairah sih, tapi melihat
kondisi, kan kalau kadang suami capek juga udah gak papa, gak terlalu
gimana, tapi suka barengan gairahnya...hehe...” (Asih, 22 tahun, menikah,
Tasikmalaya)
“Enggak..kan kebanyakannya kan perempuan itu malu yah. Kalau sama
suami enggak..ngobrol cuman apa ya..tapi enggak pernah sih ngobrolngobrol seks gitu..” (Trisna, 22 tahun, nikah, Sukabumi)
“Malu, paling ya kalau pas dia mau juga, udah saya tiduran terus dia tiduran
di samping saya. Udah gitu terus ya gitu... paling saya cuman ngelus
doang...” (Indah, 18 tahun, nikah, Tasikmalaya).
Pengalaman Imah di Karawang juga menunjukkan bagaimana pasifnya istri dalam
relasi seksual, apalagi Imah banyak mengalami tindakan kekerasan dari Agam,
suaminya. Biasanya, setelah pertengkaran suaminya akan meminta maaf karena
sudah bersikap kasar dan menyuruh Imah untuk membalas. Selain itu juga Agam
biasanya akan memeluk dan bermesraan dengan Imah bahkan kadang-kadang
minta berhubungan seks. Dalam situasi seperti ini, Imah biasanya mau tidak mau
harus melayaninya, meskipun hatinya sangat kesal. Ima melakukan dengan
terpaksa dari pada nantinya memicu konflik lagi. Pada kelompok yang sudah
menikah, kalaupun ada yang mampu menolak, hanya sebagian kecil saja.
Kecenderungan ini relatif berbeda dengan saat belum menikah, ketika otonomi atau
keberdayaan perempuan untuk menolak lebih besar.
Realitas ini tentunya tidak
lepas dari skenario budaya yang menuntut perempuan apabila telah menikah untuk
taat dan patuh kepada suaminya, selain norma maskulinitas yang berlaku yaitu lakilaki harus lebih aktif secara seksual. Dengan demikian negosiasi seksual antara istri
dan suami hampir tidak terjadi, lagi-lagi karena kuatnya konsep ‘malu’ dalam ranah
seksualitas terutama bagi perempuan seperti tercermin dalam kutipan di atas.
Seperti telah diuraikan dalam bab 4, negosiasi seksual dalam perkawinan lebih
didominasi oleh suami dan perempuan lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal untuk mengungkapkan hasrat seksual atau pun keengganannya.
Bagaimana dengan resiko seksual yang mereka hadapi sebagai perempuan?
Resiko seksual acapkali baru menyentak kesadaran mereka ketika mengalami
akibat dari hubungan seks premarital, misalnya mengalami kehamilan. Tidak
64
terlintas dalam pikiran mereka menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah
terjadinya kehamilan atau terkena penyakit menular seksual. Kembali ke kasus
Cindy di atas, suatu ketika Cindy hamil dan ia mengaku kalut, bingung dan takut.
Apalagi saat itu ia masih duduk di kelas 3 SMA dan akan mengikuti ujian akhir.
Cindy dan Dedi akhirnya memutuskan untuk menggugurkan kandungan karena
kondisi Cindy yang masih bersekolah. Dari salah seorang teman yang pernah hamil,
Cindy mengetahui obat-obatan yang kira-kira bisa digunakan untuk menggugurkan
kandungan tanpa harus pergi ke dokter. Pertama-tama ia meminum campuran
Bodrex dan Sprite, ditambah nanas. Namun tidak berhasil. Selanjutnya ia minum pil
khusus datang bulan, seperti M kapsul dan pil Tuntas, si janin tetap bergeming.
Selanjutnya
“... sama pacar beli obat satu butirnya 50 ribu, tapi udah minum empat ngga
keluar-keluar. Akhirnya dipijit. Alhamdulillah keluar..udah dua bulan (usia
kandungan), pas dikeluarin sakit...bayar 500 ribu di paraji. Setelahnya
berdarah tiga hari..pantang minum es dan makan jambu batu. Waktu itu pas
kelas tiga pas tengah-tengah mau ujian”
Akhirnya atas informasi seorang teman, Cindy dan Dedi mendatangi seorang ‘paraji’
atau dukun beranak di Taraju yang bisa membantu menggugurkan kandungan.
Selama 2 jam ia menahan sakit luar biasa saat paraji memijat perutnya. Dedi tetap
setia menunggu Cindy di sampingnya selama proses pengguguran berlangsung.
Akhirnya janin sebesar ibu jari berhasil dikeluarkan oleh paraji. Cindy sempat
diperlihatkan sesaat seperti apa rupa janin tersebut. Saat itu ia mengaku lega dan
sedih bersamaan. Sampai saat inipun ia masih terbayang-bayang dan berpikir kalau
nanti punya anak pasti bayangan anak pertama yang digugurkan akan tetap ada.
Setelah peristiwa kehamilan itu Cindy tetap melakukan hubungan seksual dengan
pacarnya, hanya sekarang
”Pakai kondom sekarang. Iya.. kan dia bilangnya kan pakai kondom aja
sekarang..biar sehat..biar gak hamil”
Kasus Cindy memperlihatkan bahwa sebagai perempuan muda ia menaruh
kepercayaan kepada pacarnya karena ia yakin bahwa sang pacar akan bertanggung
jawab dan akan menjadi suaminya.
Bagaimana dengan resiko seksual terkait PMS dan HIV/AIDS? Agaknya
persepsi perempuan baik yang lajang maupun yang menikah di tiga kota ini adalah
65
sama yaitu resiko seksual untuk tertular PMS dan HIV/AIDS sangatlah rendah. Pada
bab 4 telah dibahas pengetahuan responden tentang HIV dan AIDS yang umumnya
pernah mendengar dan sebagian mengetahui cara penularannya. Sementara
pengetahuan tentang jenis-jenis PMS dapat dikatakan minim sekali. Namun
pengetahuan tersebut sekedar sebagai pengetahuan yang statis yang tidak selalu
berhubungan dengan perilaku sebenarnya. Persepsi perempuan muda ini
menunjukkan bahwa konstruksi sosial tentang AIDS adalah penyakit yang
berhubungan dengan perilaku seksual ‘menyimpang’ yang kerap disebut sebagai
‘seks bebas’. Konsepsi tentang HIV/AIDS ini terus menerus diproduksi dan
direproduksi lewat berbagai wacana, terutama media massa. Informan wawancara
mendalam sebagian besar mengetahui tentang HIV/AIDS dari media elektronik atau
pun media cetak. Konstruksi sosial inilah yang kemudian menciptakan stigma dan
diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).
“Ya itu harus mencegah jangan berhubungan terlalu bebas, pacaran
sewajar-wajarnya” (Desi, 20 tahun, lajang, Sukabumi) “Apa sih, dari jarum suntik, kayak tranfusi darah, ditindik, terus segala macem
yang menyangkut dengan darahlah kalo yang bisa menyebabkan. Sebisa
mungkin kita memprotek diri kita sendiri. Jangan sampelah mau ikut-ikutan
nindik gitu ya, atau apa... seks bebas. Jadi kan kitanya terlindungi. Jadi nggak
mungkin kena AIDS” (Gadis, 16 tahun, lajang, Karawang)
“Kalo yang suntikan gitu itu kan, berhubungan seks bebas gitu” (Winda, 19
tahun, nikah, Sukabumi)
Berangkat dari konstruksi sosial AIDS yang demikian maka hubungan seksual yang
dilakukan dalam lembaga perkawinan atau dilakukan dalam masa pacaran tidak
beresiko terkena PMS dan HIV/AIDS karena tidak dipandang sebagai ‘seks bebas’.
Berhubungan seksual sebelum menikah bukanlah keputusan individual tetapi harus
dilihat dalam kerangka relasi interpersonal. Dalam bab 3 telah dijelaskan bahwa
betapa penting bagi perempuan muda untuk having a relationship, memiliki relasi
dengan seseorang, dalam konteks ini adalah berpacaran. Mereka membutuhkan
seseorang yang bisa menjadi tempat curhat, tempat menumpahkan perasaan dan
sekaligus mempertegas eksistensi dirinya dalam pergaulan. Bagi perempuan yang
menikah, maka perkawinan dianggap tempat yang aman dan tidak beresiko sama
sekali karena institusi perkawinan bernilai sakral. Amatlah sulit bagi perempuan
66
pada umumnya untuk berpikir bahwa ia akan tertular PMS atau HIV dalam ranah
perkawinan.
67
BAB 6
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1. Kesimpulan
Dari paparan dan diskusi dalam bab-bab terdahulu, ada sejumlah kesimpulan
yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini. Kesimpulan ini tidak dimaksudkan untuk
melakukan generalisasi dari temuan-temuan penelitian seperti analisis statistik
dengan tingkat signifikansi tertentu, tetapi lebih merupakan simpulan-simpulan yang
berlaku pada konteks sosial budaya tertentu. Kami menekankan bahwa pandanganpandangan yang muncul dalam penelitian ini mempunyai signifikansi dalam konteks
sosial yang kami teliti. Sebagai sebuah penelitian kualitatif maka aspek ruang dan
waktu tidak dapat dikesampingkan yang berarti pula mempertimbangkan keragaman
atau variasi dari fakta-fakta yang ada. Data kuantitatif, sebagaimana kami
sampaikan sejak awal, merupakan data pendukung. Kami tidak hanya melihat pada
persamaan tetapi juga perbedaan di antara para informan dengan latar belakang
yang sama atau berbeda. Butir-butir kesimpulan penelitian ini adalah:
1) Remaja perempuan membangun relasi gender melalui pacaran pada usia
yang lebih dini dari pada remaja laki-laki, yaitu saat duduk di bangku SMP.
Bebogohan atau pacaran dianggap bagian dari identitas dan perwujudan
eksistensi diri dalam pergaulan yang secara tersirat berkaitan dengan norma
budaya bahwa perempuan menikah lebih cepat adalah lebih baik. Namun
remaja bukanlah kelompok yang homogen karena ada pula remaja
perempuan yang tidak menjalani proses berpacaran.
2) Dalam relasi pacaran, perempuan terlihat memiliki otonomi untuk menolak
aktivitas seksual yang tidak diinginkannya. Penolakan ini berhubungan
dengan persepsi tentang keperawanan dan ketakutan (fear) akan kehamilan
pranikah karena keduanya bisa mengakibatkan resiko sosial yang merugikan.
3) Pengetahuan kesehatan reproduksi pada perempuan muda relatif rendah dan
masih diselimuti oleh mitos-mitos seputar menstruasi, kehamilan, dan masa
nifas. Keterbatasan ini disebabkan keluarga jarang membicarakan tentang
masalah reproduksi dan seksual serta masih kurangnya sumber-sumber
informasi di luar keluarga yang berorientasi pada kesehatan reproduksi dan
68
seksual. Butir kesimpulan ini bukanlah sesuatu yang baru karena beberapa
penelitian terdahulu juga menyimpulkan hal yang mirip (Arida, 2005; Hanum
1997; Khisbiyah et.al 1997; Laksmiwati 1999; Widjanarko 1999).
4) Pengetahuan kesehatan seksual juga relatif terbatas dan kebanyakan
informasi yang pernah mereka terima adalah tentang ’seks dan bahayanya’.
Penggunaan istilah ini berimplikasi pada semakin takut orang membicarakan
seks secara benar dan terbuka serta kompleksitas seksualitas remaja
semakin diingkari (denial). Di sini kita melihat bahwa seksualitas cenderung
dilihat dari aspek negatifnya semata.
5) Jika selama ini ada anggapan bahwa pelayanan dan informasi kesehatan
reproduksi relevan bagi mereka yang sudah menikah, kami menemukan
justru perempuan muda yang telah menikah paling terpinggirkan dari
informasi kesehatan reproduksi dan seksual, terlebih mereka yang mengalami
kehamilan yang tidak diinginkan. Pada remaja perempuan yang masih
sekolah mereka mendapatkan melalui seminar atau penyuluhan meskipun
insidental, sementara ibu-ibu yang terlibat aktif di posyandu (usia sekitar 30
tahun ke atas) bisa mendapat akses informasi yang lebih baik.
6) Pemaknaan hak seksual pada perempuan lajang terkait dengan skenario
budaya (cultural script) tentang pentingnya keperawanan ‘demi suami’ dan
menjadi ‘perempuan baik-baik’ yang sesungguhnya merupakan upaya untuk
menghindari rasa ’malu’ dalam kehidupan sosial.
7) Pada perempuan nikah, pemaknaan hak seksual masih terbatas pada
menyetujui atau menolak hubungan seks dengan suami dan masih kurangnya
komunikasi seksual yang lebih terbuka. Perempuan relatif pasif dan lebih
banyak berkomunikasi secara non-verbal dalam persoalan seksual. Ini pun
merupakan konsekuensi dari penghindaran diri dari rasa ’malu’ karena
perempuan dikonstruksikan untuk pasrah dalam ranah seksual.
8) Persepsi akan resiko seksual yang paling ‘melekat’ di kalangan perempuan
lajang adalah kehamilan pranikah, bukan PMS atau HIV/AIDS. Resiko
seksual yang dipahami cenderung merupakan resiko seks pranikah, sehingga
pembahasan
resiko
seksual
dianggap
tidak
relevan
dalam
konteks
perkawinan. Bagi perempuan muda resiko sosial lebih mengkawatirkan dari
pada resiko seksual itu sendiri. Hamil sebelum nikah atau tertular PMS atau
69
HIV/AIDS berarti malu, aib, kehilangan harga diri dan dosa, bukan persoalan
kesehatan atau penyakit.
9) Strategi perempuan untuk mengurangi resiko seksual terjadi pada level
individual, bukan pada level komunitas atau kelompok. Level individual di sini
berarti terjadi dalam relasi interpersonal yang berdimensi gender di mana
perempuan acapkali berada dalam posisi yang lebih lemah.
6.2. Rekomendasi
Rekomendasi dari penelitian ini ada dua yaitu rekomendasi program dan
rekomendasi penelitian. Kami tidak mengklaim bahwa rekomendasi ini bersifat
definitif dan final karena pengguna laporan penelitian ini bisa saja mempunyai
perspektif yang berbeda sehingga memikirkan rekomendasi yang berbeda pula.
Untuk ranah program, rekomendasi kami akan terbatas pada pendidikan kesehatan
reproduksi dan seksual, khususnya intervensi pada aras interpersonal dan
komunitas yaitu:
1) Pendidikan
kesehatan
reproduksi
dan
seksual
(KRS)
yang
berkesinambungan agar remaja perempuan dan laki-laki mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan yang baik. Secara insidental dan parsial
program pendidikan KRS sudah ada di wilayah penelitian, baik yang
dilakukan instansi pemerintah atau pun LSM. Tantangannya adalah
bagaimana melakukan sinergi dan menjamin kesinambungannya yang
menuntut peran aktif KPA di tingkat daerah.
2) Substansi dari pendidikan KRS perlu mengembangkan sikap positif terhadap
seks itu sendiri. Hindarilah penggunaan ‘fear tactics’ seperti ‘seks dan
bahayanya’ karena sekalipun perempuan (dan laki-laki) muda tahu akan
‘bahaya’ seks mereka tetap menerjangnya dan mengambil resiko. Melihat
seksualitas secara positif berarti mengembangkan pandangan sosial yang
lebih sehat seperti cinta, hasrat, reproduksi dan kenikmatan sebagai elemenelemen penting dalam seksualitas.
3) Perlunya memperhatikan variabel usia, status sosial ekonomi, status marital
dan wilayah dari perempuan muda karena mereka bukanlah kelompok yang
70
homogen. Misalnya bagi mereka yang berstatus ekonomi rendah, maka basis
pendidikan KRS yang tepat adalah sekolah menengah karena kebanyakan
dari mereka akan masuk pasar kerja begitu lulus SMP atau SMA. Bagi
wilayah yang faktor agamanya kental seperti Tasikmalaya, maka keterlibatan
institusi keagamaan dan tokoh agama dalam pendidikan KRS tidak bisa
diabaikan.
4) Pada tingkat komunitas, program KRS dapat dilakukan melalui program yang
sudah ada seperti posyandu dan puskesmas atau organisasi sosial lain
seperti karang taruna, kelompok pengajian dll. Program di tingkat komunitas
tidak terbatas bagi kelompok perempuan tetapi yang lebih strategis adalah
menyasar keluarga-keluarga. Pencegahan HIV di Indonesia masih dominan
difokuskan pada tingkat individu dan bukan pada keluarga. Kami tidak
mengatakan bahwa program yang memfokuskan pada keluarga tidak ada,
namun masih sedikit sekali.
5) Secara spesifik, kelompok perempuan muda yang menikah perlu mendapat
perhatian agar mereka terpapar informasi KRS karena mereka cenderung
‘terisolasi’. Mereka sibuk dengan urusan domestik, khususnya mengasuh
anak yang masih kecil, sehingga ada kendala waktu untuk mengakses
informasi. Posyandu dan PKK adalah program yang strategis yang dapat
digunakan untuk menjangkau kelompok ini dalam pengembangan program
PMTCT pada populasi umum. Ini sejalan dengan strategi nasional PMTCT
yang mengintegrasikannya dengan layanan KIA-KB.
6) Kelompok perempuan muda membutuhkan peningkatan kapasitas dan
keterampilan sosial untuk menghindari diri dari paksaan dan kekerasan
(seksual dan non-seksual) dalam pacaran, perkawinan atau di tempat kerja.
Program semacam ini penting untuk memberdayakan perempuan agar
mereka lebih sadar akan hak-haknya sehingga mereka bisa menghindari
unwanted sex, unsafe sex dan coercive sex.
7) Secara pedagogik, menjangkau kelompok perempuan muda penting untuk
memperlakukan mereka sebagai ’perempuan muda’, bukan sebagai anakanak lagi. Tentu saja variasi usia penting untuk diperhatikan dalam intervensi
program. Pesan-pesan tidak dapat disampaikan dengan gaya mendikte atau
mengkuliahi. Kami setuju dengan pendekatan interpersonal melalui diskusi
71
kelompok kecil sehingga mereka lebih terbuka untuk bertanya dan mengkritisi
norma-norma tradisional tentang gender dan seksualitas.
Untuk ranah penelitian, rekomendasi kami adalah:
1) Kajian sejenis terhadap laki-laki muda tetap penting dilakukan agar diperoleh
pemahaman tentang norma-norma gender dalam kelompok ini. Kajian
tersebut penting karena kita mengetahui laki-laki muda memiliki perilaku risktaking yang menonjol dalam konteks KRS sehingga menempatkan mereka
pada resiko penularan PMS dan HIV.
2) Kajian pada tingkat kebijakan lokal yang menyangkut alokasi dan prioritas
program penanggulangan HIV/AIDS. Dalam konteks ini melihat peran KPAD
mensinergikan berbagai instansi terkait dalam merancang kebijakan dan
program yang berkesinambungan.
72
Referensi
Arida, I.N.S. 2005. Seks dan Kehamilan Pranikah: Remaja Bali di Dua Dunia.
Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah
Mada.
Badan Perencanaan Daerah Kota Tasikmalaya. 2007. Indikator Gender Kota
Tasikmalaya tahun 2007.
Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2008. Kota Sukabumi dalam Angka tahun
2008. Sukabumi: BPS Kota Sukabumi.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 2008. Karawang dalam Angka tahun
2007. Karawang: BPS Kabupaten Karawang.
Beni, R. 2004. “Hambata Keluarga dalam upaya mencegah HIV/AIDS pada Remaja
di Indonesia”, Warta Demografi, tahun 34 no.4: 22-31.
Hanum, S.H. 1997. Perkawinan Usia Belia. Yogyakarta: Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Horikoshi, H. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M.
Indraswari. 1999. “Fenomena kawin muda dan aborsi: gambaran kasus” dalam S.
Hasim (ed.) Menakar ‘Harga’ Perempuan: Eksplorasi lanjut atas Hak-hak Reproduksi
Perempuan dalam Islam. Bandung: Penerbit Mizan.
Jones, G.W. 1997. “Modernization and Divorce: Contrasting Trends in Islamic
Southeast Asia and the West”, Population and Development Review 23(1): 95-114.
Jones, G. W. 2001. ‘Which Indonesian Women Marry Youngest, and Why?’, Journal
of Southeast Asian Studies 32 (1): 67-78.
Jones, G.W. dan B. Gubhaju. 2008. Trends in Age at Marriage in the Provinces of
Indonesia. Working Paper Series no. 105. Singapore: Asia Research Institute,
National Unversity of Singapore.
Jones, G.W., Asari, Y., and Djuartika, T. 1994. “Divorce in West Java”, Journal of
Comparative Family Studies 25(3): 395-416
Khisbiyah, Y., Murdijana,D. dan Wijayanto. 1997. Kehamilan tak Dikehendaki di
Kalangan Remaja. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah
Mada.
Laksmiwati, I.A.A. 1999. Perubahan Perilaku Seks Remaja Bali. Yogyakarta: Pusat
Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Noerdin, E., et.al. 2005. Representasi Perempuan dalam kebijakan Publik di Era
Otonomi Daerah. Jakarta: Women Research Institute.
73
Petchesky, R.P. 2003. Global Prescriptions, Gendering Health and Human Rights.
London: Zed Books.
Pikiran Rakyat, 22 Mei 2009
Saifuddin, A. F. dan Hidayana, I.M. 1999. Seksualitas Remaja. Jakarta: Sinar
Harapan.
Sarwono, S.W. 1981. Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Sebuah
Penelitian Terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: C.V. Rajawali.
Simon, S. dan S.J. Paxton. 2004. “Sexual risk attitudes and behaviours among
young adult Indonesians”, Culture, Health and Sexuality 6 (5): 393-409
Simon, W. 1996. Postmodern Sexualities. New York: Routledge
Sundaram, A. 2005. Modernization, Life Course and Marriage Timing in Indonesia.
PhD thesis, University of Maryland, College Park.
Tan, M.L., T.U.Batangan dan H.Cabado-Espanola. 2001. Love and Desire: Young
Filipinos and Sexual Risks. Manila: University Center for Women’s Studies.
Widjanarko, M. 1999. Seksualitas Remaja.
Kependudukan Universitas Gadjah Mada.
Yogyakarta:
Pusat
Penelitan
74
Download