Laporan Akhir Penelitian HAK SEKSUAL PEREMPUAN DAN HIV/AIDS: Studi pada Perempuan Muda (15-24 tahun) di Tiga Kota di Jawa Barat Oleh: Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI Gedung C lantai 3 FISIP Telp/fax: 7863517 email: [email protected]; [email protected] Tim peneliti Ketua Anggota : Irwan M. Hidayana : Ida Ruwaida Noor Diana Pakasi 1 KATA PENGANTAR Penelitian ini merupakan bagian dari program Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang didasari oleh pemikiran bahwa penanggulangan epidemi HIV dan AIDS di Indonesia perlu ditunjang oleh data-data yang akurat, valid dan terpercaya agar perancangan kebijakan dan program menjadi lebih baik, efisien dan efektif. Kami berharap penelitian yang telah dilakukan ini dapat memenuhi tujuan tersebut. Namun kami pun sadar pasti masih ada sejumlah keterbatasan dalam penelitian ini baik dari segi metodologis, analisis, penyajian dan rekomendasi. Kami terbuka terhadap kritik, saran dan komentar terhadap laporan penelitian ini. Penelitian yang kami lakukan ini hanyalah bagian kecil dari spektrum persoalan HIV dan AIDS di Indonesia yang begitu luas dan kompleks. Kami meneliti tentang pemaknaan hak seksual dan resiko seksual pada perempuan muda (15-24 tahun) dalam konteks penanggulangan epidemi HIV di tiga kota di Jawa Barat yaitu Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya. Secara spesifik, penelitian ini berkaitan dengan program PMTCT (prevention mother-to-child transmission) yang salah satu pilarnya adalah pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif. Dalam pelaksanaan penelitian ini kami bekerja sama dengan berbagai pihak. Pertama, kami mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang diberikan oleh KPAN dan HCPI (HIV Cooperation Program for Indonesia) untuk melakukan penelitian ini dengan dana hibah serta masukan-masukan dalam pengembangan proposal dan penulisan laporan. Secara khusus, rasa terima kasih kami sampaikan kepada Mas Dede Oetomo dan Mas Danny Yatim selaku mentor; Prof. Budi Utomo dan Dr. Suriadi Gunawan sebagai penanggungjawab program penelitian KPANHCPI. Ucapan terima kasih yang tulus kami sampaikan kepada tim penelitian di lapangan: Mahacakri Sirindorn, Didah, dan Neng Ulya di Karawang; Maya, Intan Bangun Lestari, Dria Arfani dan Ani Nuraeni di Sukabumi; Endah Sulistyowati, Eva Patimah, Mira Lestari, Kiki Zakiyatusyahidah, dan Sri Wahyuni di Tasikmalaya. Demikian juga kepada Joko Kristiyanto, S.Sos dari Merkurius Foundation (Sukabumi), Bonan Sanggabuana, SH dari Badan Narkotika Kabupaten (Karawang), Rizal dari Mitra Citra Remaja dan Cecep dari Yakin (Tasikmalaya) yang telah memfasilitasi kegiatan penelitian maupun validasi penelitian, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kerjasama yang baik. Semoga kita bisa bekerja sama kembali di waktu yang mendatang. Terima kasih yang tak terhingga kami tujukan kepada para responden dan informan yang telah bersedia meluangkan waktu untuk diwawancarai di tengahtengah kesibukan mereka. Demikian juga kepada sejumlah individu yang tidak dapat kami sebut namanya satu per satu atas segala bantuannya selama kami melakukan penelitian di lapangan. Laporan penelitian ini mungkin mengandung kesalahan-kesalahan yang tidak kami sadari dan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab kami. Depok, 12 Februari 2010 Tim peneliti 2 Daftar isi Halaman Bab1 Pendahuluan 1.1. Latar belakang 1.2 Masalah penelitian 1.3. Tujuan penelitian 1.4. Jastifikasi 1.5. Metode penelitian 4 7 10 10 11 Bab 2 Ajang penelitian: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya 2.1. Karakteristik sosial budaya 2.2. Respon terhadap kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS 2.3. Karakteristik kelompok perempuan muda (15-24 tahun) 16 17 19 Bab 3 Gender dan membangun relasi dalam pergaulan 3.1. Remaja perempuan dan pubersitas 3.2. Remaja perempuan dan bebogohan (pacaran) 3.3. Remaja perempuan dan pernikahan 22 27 33 Bab 4 Pengetahuan kesehatan reproduksi dan resiko seksual 4.1. Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi 4.2. Pengetahuan tentang resiko seksual 37 45 Bab 5 Hak Seksual, negosiasi seksual dan resiko seksual 5.1. Persepsi tentang hak seksual 5.2. Persepsi tentang keperawanan 5.3. Negosiasi seksual dan resiko seksual 53 60 62 Bab 6 Kesimpulan dan rekomendasi 6.1. Kesimpulan 6.2. Rekomendasi 68 70 Referensi 73 3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Berdasarkan laporan UNAIDS, Indonesia termasuk salah satu negara di Asia yang pertumbuhan kasus HIV/AIDS yang relatif cepat. Dari laporan tentang kasus AIDS, pada tahun 2004 hanya 16 provinsi yang melaporkan adanya kasus AIDS. Di tahun 2007 laporan datang dari 32 provinsi. Jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan juga meningkat cukup tajam, yaitu dari 2.682 kasus pada tahun 2004, menjadi 11.141 kasus hingga akhir Desember 2007. 1 Departemen Kesehatan memperkirakan bahwa populasi yang rawan tertular HIV pada tahun 2006 sebesar 193.070 orang, dan diestimasikan sampai akhir 2007 di Indonesia terdapat 193.000 ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) 2 dengan sekitar 25% di antaranya adalah perempuan. 3 Grafik 1: Tren Total Kasus AIDS selama 10 Tahun terakhir 4 1 Source: Country report on the follow-up to the Declaration of Commitment on HIV/AIDS 2006-2007, p. 18 Dalam satu dekade terakhir angka HIV pada kelompok resiko tinggi (terutama pekerja seks dan penasun) meningkat tajam. Namun angka prevalensi pada sub-populasi perilaku beresiko telah melebihi 5 persen. Bahkan di Papua, HIV/AIDS telah masuk pada populasi umum (usia 15-49 tahun) dengan prevalensi 2,4 persen. Prevalensi HIV/AIDS pada penduduk usia 15-29 tahun diperkirakan masih di bawah 0,1 persen. 3 Berdasar hasil survei dan sejumlah kajian terhadap kelompok-kelompok rentan, diestimasikan 90.000 – 130.000 yang terinfeksi yang tahun 2002, 25% di antaranya adalah perempuan (Riono dan Jazant 2004:79). 4 Source: Country report, p. 18 2 4 Bila tidak ada peningkatan upaya penanggulangan yang berarti, maka pada tahun 2010 jumlah kasus AIDS diproyeksikan akan menjadi 400.000 orang dengan kematian 100.000 orang. Pada 2015 menjadi 1.000.000 orang dengan kematian 350.000 orang. Kebanyakan penularan terjadi pada sub populasi beresiko kepada isteri atau pasangan seksualnya. Pada akhir tahun 2015 diperkirakan akan terjadi penularan HIV secara kumulatif pada lebih dari 38.500 anak yang dilahirkan dari ibu yang HIV positif. Hal ini menunjukkan bahwa HIV dan AIDS telah menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Namun upaya penanggulangan yang telah dilakukan selama ini masih terkonsentrasi pada kelompok perilaku beresiko tinggi seperti pengguna napza suntik, pekerja seks, dan pelanggan seks. 5 Upaya pencegahan perlu diperluas, terutama untuk mencegah agar HIV tidak semakin menyebar pada masyarakat luas. Pendekatan yang berfokus pada “kelompok beresiko tinggi” juga riskan menciptakan stereotipe kelompok yang dianggap beresiko tinggi tsb. Lebih dari itu, pendekatan ini cenderung mengasumsikan kelompok lainnya – di luar kelompok beresiko tinggi -dalam kondisi ‘relatif aman’ atau ‘kurang beresiko’. Faktanya, perempuan adalah salah satu kelompok yang rentan “beresiko” terinfeksi, bukan hanya karena faktor biologis yang lebih rentan dari laki-laki. Namun, perempuan secara sosial dan kultural juga kurang berdaya untuk mempraktikkan metode seks yang aman dan nyaman untuk dirinya. Faktor ekonomi juga mengkondisikan kerentanan 6 perempuan. Berdasarkan berbagai penelitian, kelompok usia remaja merupakan usia yang paling rentan terinfeksi, yang kemudian dalam jangka waktu tertentu, perempuan remaja akan menjadi ibu hamil, yang kehamilannya dapat mengancam kelangsungan hidup janin/bayi. Deklarasi UNGASS telah memberikan perhatian khusus pada perempuan, remaja dan anak, khususnya anak perempuan, sebagai kelompok yang paling rentan. Deklarasi juga menegaskan bahwa kerentanan mereka hanya akan bisa direduksi melalui upaya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan (UN 2001). Seperti diketahui, kualitas hidup (derajat kesehatan) perempuan merupakan Berdasarkan Human Development Report (HDR) 2001 hingga HDR 2006, tingkat daya beli (purchasing power parity atau PPP) perempuan tidak mengalami peningkatan yang signifikan, dengan nilai berkisar pada angka US$ 2.000 setiap tahunnya. Sementara itu PPP laki-laki mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun, dengan nilai dua kali lipat lebih dibandingkan PPP perempuan. Indikator ini menunjukkan bahwa kesenjangan gender (gender gap) dalam PPP sangat tinggi. 6 5 salah satu penentu capaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM/HDI), juga Indeks Pembangunan Gender (IPG/GDI). Berdasarkan Indonesia Human Development Report : skor HDI 65.8 (2002, 111/117) meningkat jadi 71.1 (2004) menjadi 72.8 (2006). GDI 2002, nilai 59.2 (81/177), menjadi 65.1 (2005), kemudian menjadi 65.3 (2006). Data tersebut menunjukkan masih adanya kesenjangan gender yang terefleksi dari lebih rendahnya skor GDI dari HDI, meski harus diakui kondisinya membaik. Peningkatan IPM dan IPG, dimungkinkan jika setidaknya menfokuskan pada 3 komponen yakni : (1) angka melek huruf perempuan (2) angka partisipasi sekolah perempuan pada tingkat pendidikan primer, sekunder dan tersier dan (3) angka harapan hidup perempuan. Dalam konteks masyarakat plural seperti Indonesia, maka upaya penanggulangan HIV dan AIDS pada perempuan dan remaja perlu memperhatikan situasi dan konteks di mana mereka hidup karena mereka bukanlah kelompok homogen, melainkan sangat heterogen dilihat dari kelompok usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, geografi (kota, pulau, provinsi, dll.), latar belakang budaya, dan lain-lain. Oleh sebab itu, dimungkinkan adanya model pendekatan yang “locally and culturally sensitive” atas penanggulangan HIV-AIDS, khususnya pada kelompok perempuan dan anak/remaja perempuan. Mengingat dalam konteks desentralisasi, upaya pemberdayaan perempuan dan eliminasi ketimpangan atau kesenjangan gender diharapkan selayaknya juga mendapat prioritas. Melalui desentralisasi terbuka peluang struktural untuk terjadi peningkatan kapasitas, kebersamaan (equity) atau keadilan sosial serta memberi kewenangan termasuk perempuan, untuk mengatur dirinya (empowerment). pada masyarakat, 7 Dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (otoda) menghendaki adanya penguatan akar budaya lokal serta menumbuhkan partisipasi seluruh potensi masyarakat lokal, karena kebijakan ini berasumsi bahwa potensi kearifan lokal yang ada di masyarakat harus dibangkitkan. Kebijakan pembangunan di tingkat lokal sudah semestinya disesuaikan dengan situasi lokal dan memperhitungkan sumberdaya-sumberdaya lokal, serta sensitif terhadap isu-isu lokal baik ekonomi, budaya, politik dan sosial. Kebijakan desentralisasi mendukung keterlibatan aktif masyarakat untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat lokal dalam proses pembangunan politik, sosial, budaya dan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan pemberdayaan masyarakat, maka agenda program pemerintah dalam Propenas 2000-2004 adalah (1) Program Penguatan Organisasi Masyarakat ; (2) Program Pemberdayaan Masyarakat Miskin ; dan (3) Program Peningkatan keswadayaan masyarakat. Dikutip dari “Community Empowerment Program with Civil Society in Indonesia (CEP)”, diterbitkan atas kerjasama sekretariat PKPMBAPPENAS-JICA, 2004, hal; 7. 7 6 Kebijakan tersebut tidak hanya sensitif tapi juga partisipatif dan merupakan buah kerja sinergi antara pemerintah dan aktor non pemerintah. 8 Sejalan dengan itu, Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 telah merumuskan untuk merespon epidemi HIV dan AIDS, dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemudahan akses untuk semua, terutama pada delapan sasaran kunci; pemilihan prioritas program, sasaran dan wilayah; pelayanan komprehensif sedekat mungkin; peran pemerintah daerah dan KPA (Komite penanggulangan AIDS); serta kemitraan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga donor, dan masyarakat madani. 1.2. Masalah penelitian Dalam konteks pencegahan epidemi HIV/AIDS, penelitian ini terkait dengan upaya PMTCT (prevention mother-to-child transmission) atau pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak. Dalam PMTCT dikenal sebuah pendekatan continuum of care yang mencakup 4 prong 9 yaitu: Prong 1: pencegahan HIV pada perempuan usia reproduktif Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan HIV positif Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu seropositif kepada bayinya Prong 4: perawatan, dukungan dan pengobatan (CST) bagi ibu HIV positif yang baru melahirkan dan keluarganya. Penelitian ini berada dalam ranah Prong 1 yang menjangkau perempuan muda yang berusia 15-24 tahun sebagai bagian dari kelompok perempuan usia reproduktif. Penelitian mengenai kesehatan reproduksi remaja – khususnya perilaku seksual -sudah cukup sering dilakukan di beberapa wilayah di Indonesia sejak tahun 1980-an hingga awal dasawarsa abad 21 ini. Meskipun terdapat perbedaan dalam pendekatan, metode dan kerangka analisis namun secara umum penelitianpenelitian terdahulu memperlihatkan bahwa kaum remaja semakin toleran terhadap hubungan seks pranikah dan semakin terpapar dengan informasi yang terkait Sebagai informasi, menurut PBB, 1/3 dari penduduk dunia adalah penduduk miskin, dan 70% di antara mereka adalah perempuan. Untuk negara berkembang, disinyalir separuh penduduk miskin adalah perempuan. Sedangkan data di Indonesia, menurut BPS, tahun 1999 jumlah Gakin sekitar 7.87 juta, dan 0.96 juta dikepalai perempuan, yang 40% di antara mrereka berpendidikan rendah bahkan buta huruf. Oleh sebab itu, tidak salah jika Human Development Report, UNDP, tahun 1995 menyebutkan bahwa “Poverty has a women face”. (Jurnal Perempuan, no.42, 2005) 8 9 Lihat Pedoman Nasional Pencegahan HIV dari ibu ke anak tahun 2006. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. 7 seksualitas dari beragam media massa baik di perkotaan maupun di pedesaan (Arida, 2005; Hanum 1997; Indraswari 1999; Khisbiyah et.al 1997; Laksmiwati 1999; Saifuddin dan Hidayana 1999; Widjanarko 1999; Sarwono 1981). Namun kami menyadari sepenuhnya bahwa budaya remaja tidaklah homogen karena dipengaruhi oleh faktor gender, usia, status sosial ekonomi, geografi dan budaya. Penelitian ini tidak mengkaji tentang perilaku seksual perempuan muda, tetapi kepada konteks dan makna dari seksualitas dan resiko yang berhubungan dengan seks (sex-related risk). Lebih spesifik, studi ini akan mengkaji kesadaran akan hakhak seksual dan resiko seksual pada kelompok perempuan muda di kota menengah dan kota kecil, yang diharapkan bisa dijadikan dasar atau landasan pengembangan intervensi program di wilayah tersebut. Asumsi dasarnya adalah konstruksi seksualitas tidak bisa dilepaskan dengan konstruksi sosial budaya tentang laki-laki dan perempuan serta relasi gender, dan konstruksi ini berpengaruh pada kesehatan reproduksi dan kesehatan seksual perempuan dan laki-laki. Pengertian hak dan kesehatan seksual tertuang pada Pasal 96 Platform Aksi dari Konferensi Perempuan Sedunia di Beijing tahun 1995 yaitu: Hak-hak asasi perempuan mencakup hak untuk memiliki kontrol dan memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab atas masalah-masalah yang berhubungan dengan seksualitas mereka, termasuk kesehatan seksual dan reproduksi, bebas dari paksaan, diskriminasi, dan kekerasan. Hubungan yang setara antara perempuan dan laki-laki dalam masalah-masalah relasi seksual dan reproduksi, termasuk penghormatan sepenuhnya bagi integritas seseorang, mensyaratkan saling menghormati, persetujuan dan tanggung jawab bersama bagi perilaku seksual dan konsekuensi-konsekuensinya (dikutip dari Petchesky 2003: 38) Sekalipun istilah ‘hak seksual’ tidak digunakan secara eksplisit dalam Platform Aksi tersebut, namun penjabaran di atas menunjukkan unsur-unsur hak seksual bagi setiap orang. Dalam penelitian ini kesadaran terhadap hak-hak seksual 10 akan difokuskan pada hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan dan hak terlindung Hak seksual meliputi hak memiliki kontrol atas seksualitas, hak atas informasi tentang seksualitas, hak terlindung dari praktik yang membahayakan, hak terlindung dari paksaan, diskriminasi dan kekerasan, hak terlindung dari PMS dan HIV/AIDS, dan hak atas kepuasan seksual 10 8 dari PMS dan HIV/AIDS. Kedua hak tersebut terkait dengan persoalan kesehatan seksual yaitu seks aman dan seks tidak aman (safe and unsafe sex), seks yang diinginkan dan seks yang tidak diinginkan (wanted and unwanted sex) serta seks dengan kekerasan dan seks atas dasar konsensus (coercive and consensual sex). Kesehatan seksual di sini diartikan sebagai kehidupan seks yang memuaskan, bebas dari kekerasan, ketakutan dan rasa sakit, termasuk relasi seksual yang saling mengasihi. Persepsi terhadap resiko seksual – khususnya terhadap penularan PMS dan HIV – penting diketahui karena akan mempengaruhi praktik-praktik seksual perempuan muda. Konsep ‘resiko’ dalam konteks penanggulangan HIV/AIDS adalah konsep yang abstrak dan tidak mudah dipahami sehingga perlu diejawantahkan secara spesifik dalam penelitian ini. Penggunaan istilah ‘resiko’ dalam programprogram HIV/AIDS seringkali menjadi problematik. Istilah yang diterjemahkan dari bahasa Inggris tersebut acapkali tidak mudah dipahami oleh kelompok-kelompok yang menjadi sasaran intervensi program, terutama yang berpendidikan rendah. Tambahan pula, istilah ‘resiko’ secara implisit mempunyai konotasi yang cenderung negatif. Teori ‘sexual script’ atau ‘skenario seksual’ (Simon 1996) adalah sentral dalam penelitian ini. Teori ini menjelaskan bahwa penting untuk membedakan antara persepsi dan perilaku yang terkait dengan faktor situasional untuk memahami tindakan seksual. Ada tiga aspek yang harus dicermati yaitu skenario individu (makna individual sebagai hasil interpretasi terhadap skenario budaya), skenario antar-pribadi dan skenario budaya. Ketiga skenario ini saling berkelindan dalam situasi dan konteks sosial tertentu yang kemudian terwujud dalam tindakan seksual. Kami akan melihat bagaimana skenario-skenario tersebut dirumuskan dan digunakan dan bagaimana skenario tersebut terwujud dalam perilaku atau performance dalam ruang publik dan privat. Secara metodologis, ketertarikan pada kota menengah dan kecil ini lebih didasarkan pada anggapan bahwa skala kota tidak bisa menjadi dasar asumsi rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS. Oleh sebab itu signifikan dibahas tentang bagaimanakah inisiatif lokal dalam memanfaatkan sumberdaya luar maupun lokal? Hal ini menjadi pembelajaran penting untuk diungkap dan dipahami, termasuk perspektif gender dan perempuan yang melandasinya, utamanya menyangkut 9 bagaimana perempuan lokal memaknai hak-hak seksualnya, mengontrol seksualitasnya, dan menyuarakan kepentingan/kebutuhannya. Kajian ini menjadi penting dan strategis dalam konteks masyarakat Indonesia yang patriarkis, di mana skenario budaya perkawinannya, lebih dan melekatkan perempuan identitas lebih dituntut perempuan dengan mengedepankan status kewajiban- kewajibannya dibandingkan haknya. Ada tiga pertanyaan utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini: 1. Bagaimanakah pemaknaan hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS di kalangan perempuan muda serta sumber pengetahuannya? 2. Apa tantangan dan peluang dalam mengontrol dan menyuarakan hak-hak tersebut: baik pada level individual, antar-pribadi, dan komunitas? 3. Bagaimanakah strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan hak-hak seksualnya? 1.3. Tujuan penelitian 1. Mendapatkan gambaran akses perempuan akan informasi menyangkut hakhak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS 2. Mendapatkan pemahaman tentang pemaknaan remaja perempuan akan hak seksual dan resiko seksual terhadap PMS dan HIV/AIDS, termasuk sumber pengetahuannya 3. Memahami strategi perempuan dalam mengontrol dan menyuarakan hak seksualnya dan mengurangi resiko seksual. 1.4. Jastifikasi Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menghasilkan rekomendasi yang bersifat praktis dan terapan dengan maksud: 1. Perlunya mengembangkan Program Pendidikan Seksualitas yang responsif gender dan mampu memberdayakan perempuan; 2. Pengembangan program yang “locally and culturally sensitive” agar remaja perempuan dapat lebih terbuka berbicara tentang seks dan seksualitas 3. Memberikan bahan rancangan kampanye publik tentang hak-hak seksual perempuan, a.l: pemasaran sosial, pelatihan, ketrampilan dll. 10 4. Mengkondisikan iklim di masyarakat untuk lebih terbuka membincang isu hak seksual dan resiko seksual. 1.5. Metode Penelitian Pendekatan Penelitian Sejalan dengan pertanyaan dan tujuan penelitian yang lebih bersifat eksploratif, maka studi ini lebih dominan menggunakan pendekatan kualitatif. Pada dasarnya kajian ini bersifat ‘triangulasi” baik dari perspektif maupun metode pengumpulan data. Tim Peneliti berlatar belakang inter-disipliner (antropolog, sosiolog, hukum). Sedangkan data akan dijaring baik dengan metode/teknik kualitatif (wawancara mendalam/case study, diskusi kelompok terarah, dan pengamatan/observasi), juga metode kuantitatif (survei). Data kualitatif merupakan data utama penelitian ini, sedangkan data kuantitatif lebih merupakan data penunjang. Pemilihan Lokasi Penelitian Studi dilakukan di Jawa Barat yang usia kawin perempuan cenderung lebih rendah daripada wilayah lain, kecuali Jawa Timur. Jones (2001:68) menyatakan bahwa usia saat menikah perempuan desa di Jawa Barat adalah antara 15 sampai 18 tahun pada awal abad 20. Pola ini cukup stabil dan hanya sedikit meningkat (kurang dari 1 tahun) pada akhir tahun 60-an dan awal 70-an. Gadis yang menikah pada usia muda hidup dalam lingkungan yang patriarkal, akses terbatas kepada sumber-sumber daya, tidak punya otonomi dan tidak punya pengaruh dalam penentuan usia kawin. Nikah dini, nikah yang dijodohkan dan struktur keluarga menyumbang pada tingkat perceraian di wilayah ini. Jones, Asari dan Djuartika (1994: 395-396) mengungkapkan laju perceraian di Jawa Barat pada pertengahan tahun 60-an adalah 59 dari 100 perkawinan. Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976 menunjukkan seperempat dari seluruh perkawinan di Jawa Barat berakhir dengan perceraian dalam waktu 26 bulan. Pada akhir tahun 80-an tingkat perceraian tertinggi masih terpusat di Indramayu dan kabupaten sekitarnya (Jones 1997:100). Jones (2001) menyatakan bahwa usia nikah termuda ada pada dua kelompok populasi yaitu Jawa Barat dan Madura di Jawa Timur. Kepatuhan yang kuat pada ajaran Islam dan rendahnya pendidikan dianggap berkontribusi kepada fenomena nikah dini. 11 Adapun studi difokuskan di kota menengah, dengan anggapan bahwa skala kota tidak bisa menjadi dasar asumsi rendahnya tingkat penyebaran HIV/AIDS. Berdasarkan kriteria BPS mengenai kelas kota, Kota Kecil adalah kota dengan jumlah penduduk antara 20.000 sampai 100.000 jiwa, sedangkan Kota Sedang adalah kota dengan jumlah penduduk 100.000 sampai 500.000 jiwa dan Kota Besar berpenduduk 500.000 sampai 1 juta jiwa 11 . Untuk itu dipilih secara ‘purposive’ 3 kota, yakni: Karawang, Sukabumi dan Tasikmalaya, yang ketiganya termasuk 100 kabupaten/kota akselerasi program HIV/AIDS, dan menunjukkan AIDS yang kontras. jumlah kasus Penetapan kota studi juga dikaitkan dengan konteks sosial budaya, di mana wilayah utara Jawa Barat dianggap lebih ‘culturally loose’ dibandingkan wilayah tengah dan selatan sekalipun sama-sama berbudaya Sunda. Sukabumi termasuk wilayah tengah, khususnya Sukabumi Utara. Wilayah ini merupakan wilayah antara dua kota besar yakni: Jakarta dan Bandung. Sedangkan Tasikmalaya mewakili wilayah selatan, yang relatif kental dengan nilai-nilai religiusitas (ditandai dengan banyaknya pesantren) dan budaya Sunda yang ‘halus’. Di masing-masing kota penentuan lokasi penelitian didasarkan atas beberapa kriteria yaitu heterogenitas dari segi status sosial ekonomi, adanya penduduk asli dan pendatang (dari etnis yang berlainan) serta berada di pusat kota. Berdasarkan informasi dari mitra lokal, data statistik dan orientasi lapangan, maka ditentukanlah satu kelurahan di setiap kota. Di Karawang, kelurahan Nagasari, kecamatan Karawang Barat terpilih sebagai lokasi penelitian yang sebagian wilayahnya merupakan pusat perekonomian dan dikelilingi oleh pemukiman penduduk yang cukup padat. Setelah berdiskusi dengan pihak kelurahan setempat, secara purposif dipilih wilayah Babakan Cianjur (BBC) yaitu RW 28 dan 29 sebagai ajang penelitian. Kelurahan Kebonjati, kecamatan Cikole dipilih sebagai lokasi penelitian di kota Sukabumi karena berada di pusat kota, terdapat pusat perekonomian, dan dihuni oleh penduduk yang heterogen. Berdasarkan saran dari pihak kelurahan, maka dipilihlah RW 01, 08 dan 07 sebagai sasaran penelitian. Di kota Tasikmalaya, kelurahan Nagarawangi, kecamatan Cihideung dipilih sebagai lokasi penelitian dengan dua RW terpilih yaitu RW 05 dan 06. Lihat Widiantono, D.J dan Soepriadi, I. ‘Menakar Kinerja Kota-kota di Indonesia ‘ , Bulletin Penataan Ruang, edisi JanuariFebruari 2009 diakses dari http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=120 pada tanggal 17 November 2009 11 12 Proses Pengumpulan Data Penelitian lapangan dilakukan selama 30 hari kerja. Pada bulan Juli-Agustus 2009 penelitian dilakukan di Karawang, sedangkan bulan September-Oktober 2009 penelitian serentak di Sukabumi dan Tasikmalaya. Pengumpulan data di Sukabumi dan Tasikmalaya sempat terhenti 2 hari karena terjadinya gempa yang cukup besar di wilayah tersebut. Peneliti menyewa kamar di lingkungan RW yang menjadi lokasi penelitian di setiap kota dan tinggal selama sebulan. Dengan demikian peneliti dapat melakukan pengamatan langsung dan menjalin komunikasi yang baik dengan masyarakat sekitar, terutama dengan tokoh masyarakat dan kelompok perempuan muda sebagai sasaran penelitian. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah perempuan muda yang berusia 15 – 24 tahun, dengan memperhatikan latar belakang pendidikan, pekerjaan dan status marital. Untuk survei, populasinya adalah perempuan usia 15-24 tahun, baik belum menikah, menikah maupun janda; sekolah, lulus sekolah maupun putus sekolah; bekerja dan tidak bekerja. 1) Sampel dan survei Di tingkat RW, kerangka sampel dibuat berdasarkan KK yang ada di setiap RT. Peneliti dan asisten peneliti mendatangi setiap ketua RT di RW terpilih untuk mendapatkan kerangka sampel. Selanjutnya sampel ditarik secara stratifikasi non proporsional berdasarkan status perkawinan, selanjutnya responden dipilih secara acak sistematik untuk responden belum menikah dan sampling total untuk responden menikah. Sampling total bagi perempuan yang menikah dilakukan karena jumlahnya kurang dari 1/3 dari perempuan yang belum menikah di tiga wilayah penelitian (lihat bab 2). Jumlah sampel adalah 75 responden di setiap kota. Survei merupakan langkah pertama pengumpulan data dalam penelitian ini. Wawancara dengan kuesioner dilakukan oleh asisten peneliti dan pewawancara di bawah supervisi peneliti. Pewawancara melakukan uji coba wawancara terlebih dahulu sebelum turun ke lokasi penelitian untuk mewawancarai responden. Dalam sehari, pewawancara dibatasi mewawancarai maksimal 5 responden. Kuesioner hasil wawancara kemudian diserahkan kepada peneliti untuk diperiksa dan apabila ada kekurangan atau kesalahan maka pewawancara diminta memperbaikinya. Setiap hari pewawancara, asisten peneliti dan peneliti bertemu untuk mendiskusikan masalah-masalah yang ditemui di lapangan, misalnya 13 responden yang gagal ditemui, penolakan responden untuk wawancara, ketidakjelasan jawaban dalam kuesioner dll. 2) Diskusi kelompok terarah (FGD) Dua kelompok perempuan yaitu yang menikah/janda dan yang belum menikah menjadi peserta FGD secara terpisah. Diskusi kelompok terarah dilakukan terhadap kedua kelompok tersebut masing-masing dua kali. FGD pertama memfokuskan pada persepsi tentang gender, relasi pertemanan dan relasi pacaran. Sedangkan FGD yang kedua menyoroti pendapat peserta terhadap hak-hak seksual perempuan. Peserta FGD diidentifikasi dari responden survei berdasarkan observasi dari pewawancara. Beberapa sebelum FGD dilakukan, surat undangan disebarkan kepada calon peserta FGD dan kemudian dikonfirmasi oleh asisten peneliti melalui SMS atau telpon. FGD dilakukan di ruang kelas madrasah yang ada dalam lingkungan RW setempat. Rata-rata peserta pada setiap FGD adalah 6-8 orang. FGD juga dilakukan terhadap satu kelompok bapak (tokoh masyarakat) dan kelompok ibu (PKK) untuk mendapatkan informasi umum tentang konteks masyarakat setempat serta persepsi orangtua terhadap pergaulan sosial remaja dan kaum muda. 3) Wawancara mendalam Wawancara mendalam dilakukan terhadap pada 3 perempuan muda lajang, 3 perempuan muda menikah dan 3 perempuan janda. Namun realitas di lapangan memperlihatkan bahwa cukup sulit mendapat informan perempuan muda yang berstatus janda, sehingga hanya dapat dilakukan terhadap 1 atau 2 informan di setiap lokasi penelitian. Informan untuk wawancara mendalam diupayakan perempuan muda yang tidak masuk dalam sampel survei. Namun apabila ditemukan kasus unik dari responden survei – misalnya menikah usia dini atau pernah mengalami kekerasan atau hamil sebelum menikah – maka dipilih menjadi informan penelitian. Manajemen dan analisis data 1) Data kuantitatif Kuesioner yang telah terisi secara benar selanjutnya diberikan kepada operator data entry untuk diolah dengan SPSS versi 15.0. Sebelum data dimasukkan ke komputer, semua kuesioner difotokopi demi keamanan penyimpanan data. Selesai pemasukan data, kemudian dilakukan cleaning data berdasarkan tabel frekuensi dari 14 seluruh variabel. Selanjutnya data kuantitatif dianalisis secara univariat dan bivariat terhadap sejumlah variabel sebagai pendukung analisis data kualitatif. 2) Data kualitatif Seluruh rekaman wawancara mendalam dan FGD disimpan ke dalam komputer dan dipisahkan berdasarkan lokasi penelitian. Transkripsi wawancara mendalam dan FGD dilakukan secara verbatim meskipun terkadang terdapat kesulitan apabila informan berbicara atau menggunakan bahasa Sunda di tengah wawancara atau FGD. Kesulitan juga terjadi kalau suara informan terdistorsi oleh suara-suara lain seperti suara kendaraan bermotor, suara anak menangis dll. Selanjutnya peneliti membuat matriks untuk melakukan perbandingan antar kasus, khususnya antara perempuan yang belum menikah dan yang menikah, berdasarkan sejumlah tema tertentu yang muncul dari wawancara mendalam dan FGD. Analisis hasil wawancara mendalam dan FGD juga didukung dengan catatan lapangan peneliti ketika melakukan wawancara, termasuk di dalamnya observasi peneliti terhadap proses wawancara. Dalam rangka verifikasi data, hasil sementara penelitian ini telah dipresentasikan di hadapan sejumlah instansi terkait di wilayah penelitian. Tujuannya adalah mendapatkan masukan terhadap hasil penelitian agar dapat memperkaya penulisan laporan akhir dan rekomendasi. Di tiga kota tersebut beberapa instansi yang hadir adalah KPAD, Dinas Kesehatan, Dinas Pendidikan Nasional, Dinas Sosial, Badan Pemberdayaan Perempuan dan KB, Bidang Kesra Pemerintah Daerah, pihak kelurahan setempat, dan LSM yang bergerak dalam HIV/AIDS dan isu perempuan. Etika Penelitian Dalam konteks masyarakat Indonesia pada umumnya, isu hak seksual masih merupakan hal yang tabu dan sensitif, bahkan dikonotasikan sebagai gagasan yang radikal. Ini merupakan tantangan baik secara substansial maupun metodologis. Oleh sebab itu, pendekatan ke komunitas lebih mengusung isu kesehatan masyarakat, khususnya menyangkut kesehatan reproduksi remaja perempuan. Kemasan ini lebih mudah diterima dan lebih mudah mendapatkan ijin penelitian. Berkenaan dengan kesensitifan topik penelitian, maka adanya ‘informed consent’ dari sumber data menjadi prioritas. 15 BAB 2 AJANG PENELITIAN: KOTA KARAWANG, KOTA SUKABUMI DAN KOTA TASIKMALAYA 2.1. Karakteristik sosial budaya Secara umum, masyarakat Jawa Barat dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok yang berbeda yaitu masyarakat Banten di bagian barat, masyarakat Priangan yang hidup di dataran tinggi bagian selatan dan masyarakat pesisir di bagian pantai utara atau Pantura (Jones 2001:69-70). Secara budaya mereka adalah orang Sunda yang memiliki keragaman religiusitas, bahasa, seni, dan juga karakter atau watak. Masyarakat Priangan (Tasikmalaya, Garut, Bandung) merupakan pendukung kebudayaan Sunda yang dianggap ‘halus’, misalnya dari segi bahasa dan kesenian tradisional dengan warna Islam yang kental serta cenderung hirarkis dan ortodoks. Pada masa kolonial Belanda daerah Priangan menjadi tempat pelaksanaan Preangerstelsel yaitu perkebunan kopi yang dimulai tahun 1677. Itulah masa dimulainya integrasi sosial budaya masyarakat Priangan ke dalam ekonomi dan sistem nasional. Sukabumi yang sebenarnya berada cukup jauh dari jantung Priangan, juga terpengaruh oleh perkembangan sistem perkebunan ini. Sementara wilayah Banten (Serang, Cilegon, Pandeglang, Lebak) lebih didominasi oleh budaya Sunda yang lebih ‘kasar’ dengan wajah Islam yang konservatif. Lain lagi masyarakat pesisir Pantura (Karawang, Subang, Indramayu) menampilkan kultur Sunda yang telah bercampur dengan unsur budaya Jawa pesisir seperti Indramayu dan Cirebon. Masyarakat pesisir pun lebih bersikap egaliter dan terbuka serta ‘tidak benar-benar Islam’ apabila dibandingkan dengan Sunda Priangan dan Banten. Apabila mencermati pranata perkawinan, Jones (2001) menyatakan bahwa pada awal abad 20 usia saat menikah di kalangan gadis pedesaan di Jawa Barat adalah antara 15 dan 18 tahun. Pola ini cukup stabil dan hanya meningkat sedikit pada awal 1970-an. Perkawinan usia dini, perkawinan yang dijodohkan dan struktur keluarga menyumbang terjadinya perceraian yang cukup tinggi di Jawa Barat. Studi oleh Jones (1997) memperlihatkan bahwa pada pertengahan tahun 1960-an terjadi 59 perceraian untuk setiap 100 perkawinan yang menempatkan Jawa Barat sebagai 16 salah satu daerah dengan angka perceraian tertinggi di dunia bersama Kelantan (Malaysia). Survei Fertilitas Indonesia tahun 1976 mengungkapkan seperempat dari seluruh perkawinan di Jawa Barat berakhir dengan perceraian dalam waktu 26 bulan (Jones, Asari and Djuartika 1994: 395-396). Laju perceraian kemudian menurun pada tahun 1970-an dan Jones (1997) berpendapat bahwa ini terjadi karena meningkatnya usia nikah perempuan, meluasnya pendidikan dan meningkatnya kebebasan memilih pasangan sendiri. Perkembangan wilayah perkotaan yang pesat dalam dua dasawarsa terakhir di Jawa Barat tentu membawa banyak perubahan sosial budaya pada masyarakat Sunda. Dari segi pertumbuhan penduduk, Tasikmalaya, Sukabumi dan Karawang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tasikmalaya sudah dapat dikategorikan sebagai kota besar, sementara Sukabumi dan Karawang tergolong kota menengah. Transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat perkotaan dapat terlihat dari jenis mata pencaharian penduduknya yang semakin beragam, tingkat pendidikan yang meningkat, heterogenitas penduduk dari segi etnis dan mobilitas penduduk yang tinggi karena sarana transportasi yang memadai. Sebagai kota yang berkembang dari wilayah agraris, maka masih ada wilayah kota yang berupa sawah atau kebun yang secara perlahan-lahan beralih fungsi menjadi pemukiman atau tempat usaha (ruko, restoran dll). Lokasi penelitian secara purposif memang memilih wilayah yang paling berciri perkotaan sebagaimana diuraikan dalam bab 1. Kelurahan Nagasari (Karawang), kelurahan Kebonjati (Sukabumi) dan kelurahan Nagarawangi (Tasikmalaya) berada di pusat kota yang cukup ramai karena dekat dengan pasar dan pertokoan. Pemukiman penduduk di tiga kelurahan ini sebagian berada di antara gang-gang yang hanya dapat dilalui oleh sepeda motor. Sekalipun demikian, masih terdapat rumah-rumah yang memiliki halaman cukup lebar. Sebagian pemukiman lagi berada di tepi jalan yang dapat dilalui kendaraan roda empat. Karena berada di pusat kota, maka lokasi penelitian merupakan wilayah kota tua yang dihuni oleh penduduk asli dan sebagian pendatang yang sudah puluhan tahun menetap. Memang semakin banyak pendatang di wilayah ini terutama karena alasan pekerjaan. Karawang yang dikembangkan sebagai kawasan industri mendorong meningkatnya pendatang dari wilayah lain di Jawa Barat maupun propinsi lainnya. 17 2.2. Respon terhadap masalah kesehatan reproduksi dan HIV/AIDS Ketiga kota tersebut termasuk dalam program akselerasi penanggulangan HIV/AIDS di 100 kabupaten/kota yang dicanangkan oleh Departemen Kesehatan RI pada tahun 2005. Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) di tiga wilayah ini juga telah terbentuk, meskipun terdapat perbedaan dalam intensitas pelaksanaan tupoksinya. Secara nasional, propinsi Jawa Barat berada pada peringkat teratas dalam hal jumlah kumulatif kasus AIDS yang dilaporkan hingga Desember 2008 12 , diikuti oleh DKI Jakarta dan Jawa Timur. Untuk jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di tiga kota penelitian adalah sebagai berikut: Kota Tasikmalaya sebanyak 213 kasus 13 , Kota Sukabumi sebesar 234 kasus 14 (s/d Oktober 2009), dan Kabupaten Karawang sebanyak 171 kasus (s/d Desember 2008) 15 . Dalam kaitannya dengan program PMTCT sebanyak 23 bayi lahir dari ibu yang HIV positif di Sukabumi, dan ada belasan bayi di Karawang. Dari ketiga kota tersebut, baru kota Tasikmalaya yang telah mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS no.2/ 2008. Penanggulangan epidemi HIV/AIDS memang tidak pernah terlepas dari sejumlah isu yang seringkali kontroversial seperti pelacuran, kecanduan narkoba, perilaku seksual yang permisif, orientasi seksual dll. Selain itu KPAD memiliki peran koordinasi yang tidak mudah karena harus berhubungan dengan sejumlah instansi pemerintah dan non-pemerintah untuk secara sinergis menanggulangi epidemi yang lebih luas. Peranan LSM atau ornop menjadi penting dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS. Di tiga kota ini, sejumlah LSM telah berkecimpung dalam berbagai isu penanggulangan HIV/AIDS terutama menjangkau kelompok-kelompok yang dianggap beresiko tinggi dalam penularan PMS dan HIV/AIDS. Di Karawang misalnya Yayasan Pelita Ilmu telah hadir sejak tahun 1996 ketika ada bayi yang 12 Statistik Kasus HIV/AIDS Indonesia s/d Desember 2008 diakses dari www.aidsāina.org tanggal 22 November 2009 13 Pikiran Rakyat, 22 Mei 2009 13 Informasi dari Sekretaris KPA Kota Sukabumi, 9 November 2009 14 Republika Newsroom, 26 Februari 2009 18 dilahirkan oleh perempuan yang HIV positif, Yayasan Kita-kita yang mendampingi perempuan pekerja seks, Pantura Plus yang melakukan program harm reduction bagi penasun atau pun Himpunan Abiasa untuk kelompok gay dan LSL. Di Sukabumi dan Tasikmalaya ada Rumah Cemara yang mendampingi penasun, atau Srikandi Pasundan yang menjangkau kelompok waria. Ada pula yang bergerak dalam pendampingan perempuan pekerja seks. Di Sukabumi ada Merkurius Foundation yang melakukan pencegahan HIV/AIDS pada masyarakat umum. LSMLSM ini tidak hanya menjangkau kelompok resiko tinggi dan masyarakat luas tetapi juga melakukan advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendorong kebijakankebijakan dalam bidang HIV/AIDS misalnya ketersediaan ARV di rumah sakit, layanan metadhone di puskesmas, layanan PMTCT, layanan VCT gratis dll. Masalah HIV/AIDS tidak dapat dilepaskan dari masalah kesehatan reproduksi perempuan. PMS dan HIV/AIDS merupakan salah satu elemen dalam program kesehatan reproduksi yang perlu mendapatkan perhatian serius karena selama ini penanggulangan HIV/AIDS cenderung berjalan terpisah dari penanganan masalah kesehatan reproduksi dan juga sebaliknya. Program kesehatan reproduksi lebih menekankan kepada persoalan sekitar KIA dan KB dan kurang mengintegrasikan HIV/AIDS ke dalamnya. Sebagai contoh, dalam sebuah pertemuan dengan bidanbidan desa di Karawang nyata sekali pengetahuan dan pemahaman para bidan tentang PMS dan HIV/AIDS masih terbatas. Dalam kegiatan validasi hasil sementara penelitian di Sukabumi awal November 2009, seorang dokter puskesmas memberikan contoh ada seorang bidan di Cianjur yang terinfeksi HIV setelah ia menolong persalinan seorang ibu hamil yang HIV positif. Ini menunjukkan bahwa di kalangan tenaga kesehatan pun masih ada keterbatasan pemahaman tentang HIV/AIDS yang berimplikasi resiko penularan kepada tenaga kesehatan. Dalam konteks kebijakan di tingkat lokal, pemerintah daerah Kabupaten Tasikmalaya pada bulan Agustus 2009 menelurkan Perda Kesehatan Reproduksi yang bertujuan untuk pemberdayaan perempuan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. 16 2.3. Karakteristik responden 16 http://www.kabarindonesia.com/berita.php , 7 Agustus 2009, diakses pada tanggal 18 November 2009 19 Kajian di 3 (tiga) kota, berkenaan dengan latar belakang daerah asal (tempat lahir) menunjukkan bahwa kota Tasikmalaya merupakan wilayah yang cenderung homogen, mengingat sebagian besar responden (97,3%) mengaku dari Tasilkmalaya. Sementara di kota Karawang maupun Sukabumi, proporsi pendatang lebih besar karena yang mengaku dari kota tersebut 89,3%. Berdasarkan usia, kategori responden yang masih tergolong anak-anak (kurang dari 18 tahun) lebih menonjol di Sukabumi (56%) dibanding Karawang (42,7%) dan Tasikmalaya (33%). Meski demikian, di ketiga kota komposisi penduduk dengan usia muda (< 18 tahun) lebih menonjol. usia responden 60 Ciri masyarakat 40 meningkatnya 20 Temuan 0 <18 th Karawang pendidikan 18-20 Sukabumi masyarakat belum > 20 th di ketiga aspirasi lapangan dapat sebenarnya Tasikmalaya menyangkut responden 40 masih duduk di dilakukan bangsu sekolah/kuliah. Meski demikian, pola di ketiga kota relatif mencerminkan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya, yakni yang berpendidikan rendah dasarnya kondisi aspirasi Pendidikan 50 sedang/ pada kota, 15 hingga 24 tahun, sehingga sebagian penelitian adalah pendidikan. menunjukkan mengingat rentang usia responden antara ketika kota (tidak 30 20 10 0 SD/Sdrjt Karawang SLTA/Sdrjt Sukabumi Tasikmalaya tamat/tamat SD dan sederajat) masih relatif besar, sekitar 10%, sedangkan yang berpendidikan tinggi (akademi/PT/Universitas) masih kecil (kurang dari 10%), dan sebagian besar masuk kategori pendidikan menengah (SLTP/SLTA). Di kalangan responden yang sudah bekerja (Karawang 37,3%; Sukabumi 20%; dan Tasikmalaya 34,7%), ada temuan menarik menyangkut besaran pendapatan per bulan, jika diperbandingkan data antar kota. Sebagian besar 20 responden di Karawang (63%) mengaku berpendapatan diatas Rp. 1.000.000,-. Sedangkan di Sukabumi justru lebih banyak (60%) berpendapatan kurang dari Rp.500.000,-. Untuk Tasikmalaya, relatif berimbang antara yang berpendapatan kurang dari 500 ribu rupiah (50%) dengan mereka yang per bulannya kisaran pendapatannya 500 ribu hingga 1 juta rupiah (46,2%). Temuan ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari karakteristik pekerjaan yang digeluti. Untuk Karawang sebagian besar (57,1%) bekerja sebagai pegawai swasta, ada 3,6% PNS (Pegawai Negeri Sipil), dan 7,1 % sebagai guru. Selebihnya ada 10,7% sebagai buruh, dan 21,4% sebagai karyawan/pekerja toko. Kecenderungan ini berbeda dengan kota Sukabumi, yang mana justru sebagian besar 46,7% bekerja sebagai penjaga toko. Pekerjaan lain yang menonjol adalah guru (26,7%). Di Tasikmalaya mirip dengan Sukabumi di mana 33,3% bekerja sebagai penjaga toko, sedangkan yang menyebut dirinya sebagai karyawan/pekerja swasta mencapai 29,6%, dan PNS 7,4%. Dari karakteristik pekerjaan yang digeluti responden, setidaknya menunjukkan sebagian besar terserap di sektor pekerjaan yang cenderung ‘informal’ dan ini tidak terlepas dengan modal manusia (human capital)nya, khususnya tingkat pendidikan. Kecenderungan masih terbatasnya modalitas manusia juga tercermin dari aktivitas responden sekolah/kuliah. yang Sebagian berstatus di antara tidak bekerja, mereka dan berstatus sudah ibu tidak lagi rumahtangga, pengangguran, dan atau sedang mencari kerja, kalaupun beralasan membantu ibu di rumah. Ini menjadi fenomena umum di ketiga kota. 21 BAB 3 GENDER DAN MEMBANGUN RELASI DALAM PERGAULAN Salah satu ciri ‘urbanized society’ ditandai rasionalitas warga kotanya dalam cara pandang, sikap dan perilaku. Ciri lainnya adalah dari karakteristik demografis, termasuk usia menikah yang cenderung semakin meningkat, bahkan persentase warga kota yang melajang menunjukkan peningkatan. Bab ini menyajikan dan mendiskusikan pandangan perempuan muda tentang gender dan bagaimana mereka membangun relasi gender melalui pertemanan, pacaran, dan pernikahan. Mencermati konteks sosial dari relasi gender ini penting agar kita lebih memahami cara pandang dan perilaku perempuan muda terkait dengan hak seksual dan resiko seksual yang akan dibahas pada bab-bab berikutnya. 3.1. Remaja dan Pubersitas Hal ini juga tercermin di ketiga kota penelitian, yang mana temuan menunjukkan bahwa persentase yang menikah di bawah usia 25 tahun relatif kecil, yakni Karawang 25,3%, Sukabumi 22,7%, dan Tasikmalaya 26,7%. Pengamatan lapangan juga memperkuat indikasi sedikitnya jumlah perempuan yang tercatat sudah menikah pada rentang usia 15-24 tahun. Meski ada beberapa pihak yang menginformasikan adanya remaja perempuan yang sudah menikah, namun sebagian besar sumber cenderung membatasi informasi tentang realitas tersebut. Di sisi lain, remaja perempuan yang sudah menikahpun lebih bersikap menutup diri. Kondisi ini setidaknya menunjukkan adanya kontrol sosial atas usia menikah, khususnya pada kelompok perempuan. Yakni, adanya stigma pada perempuan yang menikah pada usia remaja (di bawah 20 tahun), utamanya menyangkut pendorong atau alasan menikah. Seorang ketua RW di Karawang memaparkan bahwa sebetulnya ada warganya (perempuan) yang nikah di bawah usia 20 tahun, namun mereka cenderung enggan membuka diri pada orang yang tak dikenal karena umumnya nikah di bawah tangan (nikah secara agama). Sepengetahuan ketua RW, hal ini disebabkan ada petugas KUA (‘modin’) yang hanya mau menikahkan jika calon mempelai perempuan berusia setidaknya 20 tahun, sesuai dengan aturan 22 yang ada. 17 Kalaupun tidak, yang dilakukan sebagian warganya adalah memanipulasi usia calon mempelai. Praktek nikah di usia muda juga bisa ditemui di wilayah lainnya, misalnya di Sukabumi, berdasarkan keterangan Pak Yayan, suami informan Anik, di lingkungan RW-nya banyak anak muda yang menikah karena si perempuan terlanjur hamil saat pacaran. Menurut Anik, warga pun sudah tidak terlalu kaget dengan adanya perempuan remaja yang hamil di luar nikah, dan juga tidak menganggapnya sebagai satu penyimpangan. Meski diakui, justru ada kecenderungan si remaja dan keluarganyalah yang terkadang merasa malu dan menutup diri, apalagi jika kehamilan tersebut dialami saat usia sekolah (SLTP ataupun SLTA). Terlepas masih adanya perkawinan usia muda bahkan dini, realitas sosial di ketiga kota menunjukkan bahwa kecenderungan nikah di usia muda relatif memudar, bahkan cenderung meruntuhkan anggapan tentang wilayah Jawa Barat yang dikenal dengan tradisi kawin dininya (lihat bab 2). Kecenderungan ini diperkuat dengan data usia responden (kelompok yang sudah menikah) dengan lama pernikahannya. Diagram 3.1. Data lama menikah responden di tiga kota penelitian Lama Nikah di Sukabumi 33,3 33,3 Sebagian besar responden menikah berusia di atas 21 tahun, sementara berdasar usia/lama perkawinannya belum mencapai 2 (dua) tahun, kecuali di Tasikmalaya. 17 Ketika akan dikonfirmasi pada Pak Modin/Petugas KUA, beliau tidak bersedia di wawancara atau memberikan data. 23 Data di Tasikmalaya menunjukkan bahwa responden yang usia perkawinannya sudah lebih dari 2 tahun mencapai 49%, sementara di Karawang hanya 26,3% dan Sukabumi 33,3%. Ini mengindikasikan bahwa di Tasikmalaya, usia nikah di Tasikmalaya lebih rendah/muda dibanding dua kota lainnya. Penelitian mutakhir dari Jones dan Gubhaju (2008) memperlihatkan bahwa meningkatnya usia kawin perempuan di Jawa Barat cukup signifikan dalam satu dasawarsa terakhir. Kedua peneliti tersebut menduga perubahan ini disebabkan oleh kuatnya pengaruh ‘kosmopolitanisasi’ pada populasi di sekitar Bandung dan Jakarta, serta efek dari migrasi di dalam provinsi Jawa Barat sendiri. Berkenaan dengan meningkatnya usia nikah di kalangan perempuan, untuk kasus Karawang ditengarai juga terkait dengan tradisi ‘patrilokal’, yakni setelah menikah status istri ikut di mana suami berdomisili. Meningkatnya usia nikah, khususnya di kalangan perempuan, tentu berimplikasi pada lebih panjangnya masa remaja, termasuk masa pergaulan muda mudi. Karenanya studi ini juga mencari tahu bagaimana pergaulan mereka di saat remaja atau pra nikah (premarital relations). Pertanyaan ini terlontar mengingat salah satu indikator pubertas adalah berkembangnya ketertarikan secara seksual, termasuk juga dorongan/hasrat seksual. Data kualitatif, baik wawancara mendalam maupun FGD, menunjukkan bahwa perempuan remaja umumnya mulai tertarik pada lawan jenis saat usia 12-13 tahun, atau saat duduk di Sekolah Dasar (kelas 6) maupun Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (kelas 1). Seperti yang pengalaman sejumlah informan berikut ini: Sinah mengaku mulai menyukai lawan jenis justru saat duduk di bangku sekolah dasar, dan bukan saat ia sudah puber atau haid. Biasanya Sinah mulai suka jika si anak laki-laki menyukainya lebih dulu, jadi ikut terbawa, begitu kata Sinah sambil mengenang masa kecilnya. Apalagi kalau ada teman yang ‘mencomblangin’ atau menjodohkan dirinya dengan anak laki-laki yang kebetulan ia suka, maka perasaannya akan ikut melambung karena senang dan deg-degan (22 tahun, Lajang, Tasikmalaya) “Umur eee...kelas 2-an deh, 2 SMP... Iya, udah mulai ada rasa gitu, kalo ketemu orangnya suka salting gitu. temen SMP, sekelas” (Gina, 16 tahun, lajang, Sukabumi) “Naksir kakak kelas waktu kelas 1 SMP. Awalnya ikut-ikutan teman bila melihat laki-laki itu senang, seperti fans bertemu idola, deg-degan, berharap dia kenal sama kita. Pura-pura duduk di sebelahnya, trus lama-lama jadi kenal dan jadi teman. Pura-pura tanya tentang upacara” (Nisa, 18 tahun, lajang, Karawang) 24 Dari pengalaman sejumlah informan, rasa tertarik pada lawan jenis merupakan tolak ukur peralihan masa anak ke masa remaja, atau pubersitas. Perkembangan secara psiko-sosial ini biasanya terjadi bersamaan atau seiring dengan perubahan secara fisik. Berdasar hasil survey ciri pubersitas secara fisik adalah: payudara membesar, tumbuh rambut di ketiak dan kelamin, menstruasi, dll. Berkenaan dengan reaksi responden atas pubertas fisik, sebagian responden menyikapi dengan rasa biasa saja, misalnya seperti yang dipaparkan Endah (17 tahun, belum menikah) di Karawang. Endah mulai menstruasi pada kelas 6 SD, saat itu teman-teman Endah sudah ada yang mengalami menstruasi lebih dulu, sehingga Endah tidak kaget lagi. Namun Endah merasa sangat canggung dengan kondisinya saat itu. Endah, yang saat itu masih tomboy sering kali diejek temannya karena jalannya yang mengangkang. Pengalaman yang sama juga dialami oleh Gina (16 tahun) di Tasikmalaya. . Gina pertama kali mendapat haid di usia 12 tahun, yakni kelas 6 SD. Perasaannya pada waktu itu biasa saja, tidak merasa kaget karena sedari awal dia telah diberi pengertian oleh ibunya bahwa sebagai seorang perempuan, kelak dia akan mendapatkan haid, Berbeda dengan Endah, ada juga remaja perempuan yang cemas bahkan takut dengan perubahan fisik yang terjadi pada dirinya, diantaranya remaja lajang baik Nisa di Karawang (18 tahun), maupun Cinta di Tasikmalaya, usia 19 tahun. “Nisa dapet menstruasi di kelas 2 SMP, 12 tahun. Kaget, nanya sama mama dan mama jelaskan kalo cewe pasti menstruasi, mama ajarkan pakainya. Meskipun sebelumnya di sekolah-sekolah ada promosi pembalut dan diajarkan cara pakainya. Tapi tetap aja kaget meski teman juga udah pada dapet. Teman-teman usia 9/10 tahun sudah pada mens” Cinta mendapat haid pertama kali saat kelas 2 SMP, kira-kira berusia 14 tahun kala itu. Perasaan Citra campur aduk antara takut dan bingung atas apa yang terjadi pada tubuhnya. Sementara Asih di Tasikmalaya cenderung tertutup, bahkan tidak memberikan informasi tentang awalnya menstruasinya pada ibunya arau keluarga terdekatnya. “Wah takut teh. Nah pas itu kan mau sholat Dzuhur, terus ke toilet, “Lho kok kayak gini? Apa ini?”, oh ternyata ini yang namanya haid, ini yang namanya 25 menstruasi gitukan. Nah waktu itu gak bilang-bilang, karena takut dibilang apa-apa, padahal gak apa-apa kan sebenarnya, hehe. Nah pas waktu itu tapi saya diem aja, tapi pas waktu sholat ditanya sama mama, udah shalat belum? Karena waktu itu masih dikontrol shalatnya sama mama. Ahg..itu diem aja, kan kalau bilang udah nah kan belum soalnya lagi haid. Tapi kalau bilang belum ntar ditanya lagi kenapa, jadi ya udah diem aja” (Asih, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya) Keberagaman reaksi atas perubahan fisik ini, pada dasarnya ditentukan oleh kesiapan remaja secara mental. Sejumlah informan yang mengaku tidak kaget atau biasa saja (misalnya Endah dan Gina), lebih dikarenakan sebelumnya sudah mempunyai pengetahuan/pemahaman tentang akan datangnya pubersitas fisik ini, khususnya menstruasi dan membesarnya payudara. Sumber informasi adalah ibu, juga saudara perempuan, dan teman. Sementara perempuan remaja seperti Gina maupun Nisa bereaksi cemas dan takut karena minim pengetahuan. Karenanya perubahan fisik yang dialaminya disampaikan kepada ibunya dan atau kakak perempuannya, ataupun orang yang dianggap dekat dan nyaman untuk berbagi. Bahkan ada remaja yang seperti Asih di Tasikmalaya, yang cenderung menutup diri, kalaupun pada akhirnya menginformasikan pada orang terdekat, lebih karena ketakutan bahkan ketahuan. Endah mengaku Ibunya telah memberitahukan padanya bahwa kelak setiap perempuan akan mengalami menstruasi. Ketika payudara Endah membesar Endah pun tidak sungkan untuk menanyakan kepada Ibunya mengenai kondisi payudaranya yang besar sebelah. Sekalipun demikian, sesungguhnya Endah tidak merasa dekat dengan Ibunya. Ia merasa hingga kini lebih dekat dengan bibinya, Ia lebih nyaman bercerita mengenai menstruasinya kepada bibinya bahkan Endah diajarkan bagaimana menggunakan pembalut oleh bibinya. (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang) Dalam kebingungannya, ia menceritakan hal tersebut pada sang bunda. Akhirnya Cinta merasa lega setelah sang bunda menjelaskan bahwa darah itu adalah darah haid dan ia akan mendapatkannya setiap bulan. (Cinta, 19 tahun, Tasikmalaya) Sementara berkenaan dengan pubersitas secara emosional/psiko-sosial, yang utama adalah mulai tumbuhnya ketertarikan pada orang lain/lawan jenis, lebih banyak responden menyampaikan atau berbagi pengalaman pada teman, sedang sebagian responden pada kakaknya. Ada juga yang mencurahkan perasaan dan pengalamannya menyangkut pacar dengan ibunya. Namun umumnya remaja perempuan lebih nyaman bercerita pada teman perempuan yang dianggap sebagai 26 sahabat dan teman curhat (curahan hati) mereka. Adapun topik yang dicurhatkan seputar masalah pacar, dan keluarga, juga sekolah/studi. Menyangkut curhat, lakilaki punya kecenderungan yang berbeda menurut Lis, informan FGD di Sukabumi, “..kalau laki-laki cenderung tidak suka curhat dan lebih cuek”. Ditambahkan oleh Rita bahwa laki lebih cuek dan tertutup. 3.2. Remaja dan bebogohan (pacaran) Berkenaan dengan pengalaman pacaran, pengakuan responden di Karawang menyangkut usia pertama pacaran menunjukkan bahwa sebagian besar (81,2%) mulai berpacaran pada usia kurang dari 17 tahun. Sedangkan yang mengaku pacaran ketika berusia 17–19 tahun hanya 13%, apalagi di atas usia 19 tahun, 5,8%. Kecenderungan pacaran di usia yang masih terkategori remaja juga terjadi di Sukabumi, bahkan lebih menonjol (94%). Sedangkan di Tasikmalaya, persentasenya lebih rendah bahkan dibanding Karawang, yakni hanya 75,8%, meski yang mengaku pacaran pertama kali pada usia lewat 19 tahun juga sedikit (3%). Desi pertama kali berpacaran pada usia 18 tahun, ketika dia bekerja di mall. Namun, pacarnya tersebut bukanlah temannya sesama pekerja di mall, melainkan dia berkenalan saat sedang main ke mall. Laki-laki tersebut berusia 24 tahun, tinggal di Bhayangkara, dan bekerja sebagai buruh di pabrik sepatu. Mereka saling berkenalan setelah beberapa kali bertemu di mall. Mereka awalnya berkenalan dan mengobrol saja layaknya teman, namun karena setiap hari laki-laki tersebut mengunjungi mall untuk PDKT dengan Desi, maka mereka pun akhirnya berpacaran. Desi menilai kepribadian laki-laki ini baik sehingga dia mau berpacaran dengannya walaupun baru beberapa minggu dikenalnya. Hubungan berpacaran mereka tidaklah lama, yakni hanya enam bulan saja karena Desi mengaku tidak mempunyai waktu untuk pacarnya itu karena setiap hari harus masuk kerja sehingga sang pacar pun akhirnya meninggalkannya (Desi, 20 tahun, lajang, Sukabumi) Anik mulai berpacaran pada saat usia 16 tahun, yakni kelas 1 SMU. Pada saat itu Anik berpacaran dengan teman sekelasnya. Selama berpacaran dengan teman sekelasnya itu, menurut Anik perasaannya sering malu karena pada waktu itu sering diejek atau dijahili dengan teman-teman lainnya di kelas. Namun, kelebihannya mempunyai pacar yang sekelas dengan dirinya adalah sering bertemu, bisa lebih sering mengobrol, curhat, membicarakan masalah pribadi, keluarga, dan juga pelajaran sekolah. Selain itu, dia juga senang karena setiap pulang ke sekolah selalu bersama dengan pacarnya tersebut. (Anik, 23 tahun, menikah, Sukabumi) 27 Sementara pengalaman Endah di Karawang justru mulai berpacaran di usia relatif belia. Pertama kali Endah berpacaran pada saat kelas 1 SMP. Didukung oleh teman-temannya, Endah pun menyatakan perasaannya (nembak) kepada Eka, anak laki-laki yang disukainya, di depan kelas. Ia mengaku saat itu salah tingkah sehingga saat teman-temannya mendorong Endah untuk mencium, Endah pun melakukannya, namun setelah itu Endah merasa sangat malu sehingga Endah langsung lari ke kelasnya. Pengalaman berpacaran pertama inilah yang pada akhirnya membuat Endah menjadi lebih feminin setelah Eka memutuskan Endah karena tidak menyukai sikap Endah yang terlalu tomboy. (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang) Temuan ini menegaskan bahwa bebogohan di saat usia remaja muda, belasan tahun, merupakan fenomena yang melekat pada kehidupan remaja. Bahkan jika ditanyakan aspirasi mereka tentang usia yang pantas bagi perempuan untuk mulai berpacaran, menunjukkan kesesuaian dengan pengalaman pribadi sebagian besar responden. Responden di Karawang (56%) berpendapat bahwa usia yang dianggap pantas bagi perempuan untuk berpacaran adalah sekitar 15-17 tahun. Hanya 18,7% yang berpendapat berusia kurang dari 15 tahun. Dari pengalaman responden di Karawang 81,7% mengaku berpacaran sebelum usia 17 tahun. Temuan di Karawang ini berkecenderungan sama dengan 2 (dua) kota lainnya, Sukabumi dan Tasikmalaya, yakni rata-rata usia pertama kali berpacaran adalah 1516 tahun. Hanya sebagian kecil yang berpacaran di bawah usia 15 tahun, karena memaknai atau menganggap masih anak-anak. Berikut data yang mencoba melihat pendapat tentang usia pantas berpacaran untuk perempuan dikaitkan dengan usia responden berpacaran untuk pertama kali. Tabel 3.2. Pendapat Responden tentang Usia Pantas Berpacaran berdasarkan usia responden saat pertama kali berpacaran Usia Saat Berpacaran Pertama kali (%) Usia perempuan Tasikmalaya Karawang Sukabumi yang pantas < 17 17-19 > 19 < 17 17-19 > 19 < 17 17-19 > 19 untuk berpacaran tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun < 15 tahun 18 23,2 28,6 - 15 – 17 tahun 62 57,1 - 62,5 33,3 50 52,4 50 - > 17 tahun 20 42,9 100 14,3 66,7 50 19,0 50 100 28 Tabel 3.2. setidaknya mengindikasikan bahwa ada konsistensi antara pendapat responden tentang usia pantas berpacaran bagi perempuan dengan pengalaman mereka sendiri. Berkenaan dengan kepantasan secara sosial perempuan berpacaran ini, data kualitatif memperkuat temuan survey, yang mana bagi remaja perempuan usia 15 tahun keatas, akan cenderung malu jika belum punya pacar. Rasa malu ini sudah mulai berkembang saat duduk di bangku SLTP, bahkan semakin menguat ketika di SLTA. Ini menjadi fenomena khas di ketiga kota. Salah satu informan FGD di Sukabumi, Dwi, siswi kelas 3 Sekolah Kejuruan menyatakan bahwa ketika duduk di bangku SD ia hanya sebatas naksir atau tertarik saja. Tapi ketika SLTP kelas 2, informan mengaku mulai berpacaran dengan kakak kelasnya, bahkan kemudian pernah dekat dengan siswa SLTA. Istilah “pacaran” di Sukabumi, sepengetahuan Anik (23 th, menikah) dikenal dengan bebogohan, namun di antara teman-temannya lebih menggunakan istilah bahasa Inggris, khususnya untuk panggilan pacar (baik laki-laki dan perempuan) yakni “someone special, my girl friend, atau my boyfriend”. Berdasar pengalaman informan, berpacaran dimulai setidaknya sejak ada ketertarikan seksual, umumnya terjadi di jenjang SLTP, khususnya saat duduk di kelas 2 (atau kini kelas 8). Kecenderungan ini seolah menjadi pola umum di Sukabumi, juga di Karawang. Sementara di Tasikmalaya, sedikit lebih lambat, namun tidak bisa dikategorikan berpola berbeda. Konsepsi pacaran menurut Indah, salah seorang informan di Sukabumi yang belum nikah adalah: “....pacaran itu lebih ke sikap, tingkah laku, kegemarannya dia, jadi pacaran hanya untuk mengenal lebih dekat” ”Ya hanya untuk senang-senang aja, karena kan masih SMA ya. Jadi kayaknya belum dari hati banget. Ya hanya merasa nyaman aja. Banyak kecocokan, tapi gak pengen terlalu jauhlah” (Anik, 23 tahun, nikah, Sukabumi) ”Kalo monyet-monyetan biasa aja yang penting jalan, terus gampang misalkan ada yang naksir terus terima aja. Kalo sudah terus biasa aja gitu. Kalo sekarang serius itu lebih penting, setia gitu” (Ratih, 21 tahun, lajang, Karawang) Jika dibandingkan pola pacaran pada perempuan, cenderung berbeda dengan laki-laki. Bagi sebagian informan, laki-laki berpacaran pertama kali pada 29 saat usia relatif lebih ‘dewasa’ dibanding dengan perempuan. Dari FGD teridentifikasi bahwa kalau untuk remaja laki-laki, menurut Indah (19 tahun, lajang) “Laki-laki gitu dech.... agak telat gitu untuk naksir, beda kaya cewek”. Sementara Veni, siswi SMKN bidang otomotif, menambahkan bahwa laki-laki kalau menaksir seseorang “Engga keliatan, lebih cuek”. Sedangkan Yeni, yang bekerja sebagai guru TK dan sedang kuliah di UT, melihat bahwa remaja pria kelas 3 SMP/SLTP juga sudah mulai pacaran. Pendapat informan ini tampaknya mendukung data survey, yaitu usia yang dianggap pantas bagi laki-laki berpacaran adalah 17 tahun ke atas (Karawang 76%; Sukabumi 71,2%; Tasikmalaya 84%). Gagasan ini setidaknya merefleksikan idealisasi yang berkembang pada remaja putri bahwa karakteristik pasangan/laki-laki dalam berpacaran, yakni lebih tua/dewasa. Hal ini juga tercermin ketika ditanyakan tentang usia yang pantas bagi laki-laki untuk menikah, yakni usia 25 tahun atau lebih (Karawang 84%; Sukabumi 76%; dan Tasikmalaya 89,3%). Di Sukabumi, menurut Yeni, informan yang berkuliah di UT sekaligus juga guru, jika perempuan sudah berusia 25 tahun ke atas, maka orangtua mulai resah. Mereka terus mencoba mengenalkan ke sejumlah pihak Namun dirinya mengaku tidak terlalu dipaksa untuk mencari jodoh. orangtua untuk cepat menikah. Informan lain, Dwi menegaskan bahwa yang penting harus ada ikhtiar, tapi tidak terlalu berlebihan. Pada kondisi tertentu, berkenaan dengan masalah pacar atau jodoh ini mereka akan berkeluh kesah pada pihak-pihak tertentu, misalnya teman, atau sahabat. Namun, ada kecenderungan perempuan Sukabumi lebih banyak menjaga citra berkenaan dengan dirinya, termasuk punya tidaknya pasangan. Hal ini tampaknya berlaku pada kelompok dewasa, karena untuk remaja memiliki pacar dianggap sebagai bagian dari eksistensi diri. Seperti paparan seorang informan berikut, “...Kalo untuk saat ini belum punya pacar, soalnya belum ada yang srek aja, tapi sebagian besar temen-temen di sekolah udah punya pacar bahkan ada yang lebih dari satu…”. Dengan demikian, pacaran dianggap sebagai ‘kebutuhan’, sesuai paparan sejumlah peserta FGD di Sukabumi berikut ini: “Soalnya sebagian orang banyak yang ngomongin, kalau tidak punya pacar dapat julukan ... istilah kerennya jomblo, ijo lumut, jomblo forever…” “Diledekin sama temen-temen sebagai “jomblo”, tapi kalo untuk saya sendiri sih enjoy aja…” 30 “Sama aja, tapi engga terlalu diolok-olok lebih menghargai dengan pura-pura engga tahu kalo lagi jomblo” “Ada beberapa yang bilang engga laku, toh kalo buat saya sih kalo emang udah ada jodohnya engga akan kemana. Soalnya Allah udah menentukan untuk kita. Tapi beda sama laki-laki kalo jomblo engga terlalu diekspose, beda banget kaya perempuan” Pada sebagian perempuan, masa pacaran ketika SMA merupakan masa untuk membangun hubungan jangka panjang yaitu pernikahan. Pada beberapa perempuan lajang yang bekerja, berpacaran merupakan upaya untuk mencari pasangan hidup yang akan menuju jenjang pelaminan. ”Dulu Neneng belum sayang, tapi akhirnya dijalani saja karena lama-lama bisa cinta juga. Sekarang sudah nyaman. Selama sama dia belum pernah selingkuh. Kenal dari adik, ke rumah, trus mama suka karena anaknya sopan. Karena keluarga suka bikin ortu bahagia ya udah dijalanin aja. Kenapa milih dia, awal-awal karena lagi jomblo aja. Temen-temen malah binggung karena jauh dari mantan-mantan sebelumnya. Sekarang gak ganteng. Pacar yang sekarang ramah kepada semua orang, tapi gak muna, tanggung jawab. Belum nikah udah bisa nafkahin” (Neneng, 18 tahun, lajang, Karawang). Peran pacar juga menarik diungkap, ketika keberadaannya diperbandingkan dengan peran sahabat. Menurut Dwi, ”....kalo ke pacar itu ada perasaan memiliki, tapi kalo ke sahabat engga ada perasaan lebih intinya kalo sama sahabat tidak ada rasa suka atau cinta”. Karenanya bagi Gina, penting untuk memiliki keduanya, “ kalo aku... sahabat cowo punya satu, tapi aku juga punya pacar”. Sementara informan lainnya juga melihat resiko dari punya sahabat laki-laki, yakni dicemburui pacar sahabat. Intan berkata, “....punya banyak temen/sahabat cowo resikonya pacar/cewe nya temen cowo aku malah jadi suka cemburu?”. Uniknya ada informan yang punya lebih banyak sahabat laki-laki dibanding perempuan, namun belum punya pacar. Di tengah arus berpacaran, ada sebagian remaja yang menolak berpacaran dalam konsepsi yang dikenal umum saat ini. Saya tidak setuju dengan adanya pacaran, karena bukan merupakan kegiatan yang manfaat sekalipun hal itu diberikan adanya naluri untuk saling menyukai (tapi bukan ke arah yang negatif), rasa suka itu memang ada (naluriah) tapi bagaimana kita menjaganya untuk seseorang yang sudah tepat dan diridoi oleh Allah (menurut ketentuan Allah wanita yang baik untuk lakilaki yang baik). Tapi untuk masalah kriteria saat ini sedang dalam proses 31 untuk pendekatan yang akan dikenalkan melalui guru ngaji. (Lani, 19 tahun, lajang, Sukabumi) Pandangan Lani ini, bisa dikatakan merupakan gagasan yang bersifat tidak umum, mengingat seolah ada anggapan sosial budaya yang berkembang di masyarakat bahwa pacaran itu merupakan sebuah hal yang wajar dan alamiah. Bahkan remaja yang tidak punya pacar ataupun tidak pernah pacaran distigma sebagai remaja yang ‘kurang pergaulan’, bahkan perempuan ‘jomblo’ (tidak laku). Ini penuturan Imah (20 tahun, menikah) di Karawang, “...pacaran di usia SMA sudah biasa, anak yang pada usia SMA belum pernah berpacaran biasanya dianggap kuper dan pada akhirnya bila ada yang “nembak” lebih baik diterima supaya punya pacar dan tidak dianggap kuper (kurang pergaulan)”. Anggapan ini mengindikasikan pacaran telah menjadi bagian dari tahapan siklus kehidupan manusia yang seolah harus dilewati. Selain berpacaran secara fisik, ada pula informan yang mempunyai pengalaman berkencan melalui dunia maya yaitu chatting. Berkenalan dan apabila merasa cocok berlanjut hingga saling curhat (curahan hati). Kencan dalam dunia maya tidak selalu dilanjutkan dengan kopdar atau kopi darat alias bertemu muka. Terkadang mereka mengalami ‘pelecehan’ seksual secara visual juga. Seorang informan, Desi (20 tahun, lajang) dari Sukabumi mengatakan “...di warnet gitu, ada itu mah apa ya, ah namanya juga dunia maya. Saya mah nggak dianggap ya kaya dunia maya gitu, e… kenapa ya kalo di dunia maya gitu kaya omes-omes gitu, otak mesum-mesum gitu. Curhat sih, sama….. sama ada yang suka mempertontonkan itu di kamera. Becandanya mah misalnya ngirim foto nih kita. Kita mah ngirim foto beneran kita, dia mah ah ngirim yang kaya jorok-jorok gitu dikirim...” Data kualitatif menunjukkan bahwa pola berpacaran di kalangan remaja di ketiga kota boleh dikatakan sudah permisif. Berikut cuplikan pengalaman Imah (20 tahun) di Karawang yang telah menikah dan memiliki dua anak. Sewaktu SMP, Imah pernah berpacaran dengan orang yang lebih dewasa (anak buah ayahnya), Ia pernah dicium hingga diraba sekwilda (sekitar wilayah dada). Pacarnya Imah ini sangat berani dan agresif. Imah biasanya menghindar karena takut bila sudah mulai ke arah yang lebih jauh. Imah mengaku pacaran dengan laki-laki ini tidak sampai berhubungan seks. Orang tua Imah melarangnya untuk berpacaran dengan laki-laki ini, akhirnya Imah memilih sembunyi-sembunyi kabur dari rumah tiap kali menemui pacarnya. 32 Imah bercerita kepada temannya mengenai aktivitas seksual yang dilakukannya, namun temannya bereaksi biasa aja karena ternyata teman Imah telah melakukan aktivitas yang lebih jauh dengan pacarnya. Ketika berpacaran dengan Asep, Imah juga pernah disuruh pegang alat kelamin oleh Asep, meskipun Imah takut namun Imah pada akhirnya melakukannya dengan benar-benar terpaksa karena ingin memuaskannya. Aktivitas seksual yang biasanya terjadi pada saat pacaran biasanya laki-laki itu yang memulai karena Imah malu untuk meminta lebih dulu. Sementara Endah (17 tahun, belum menikah) di Karawang mengaku telah 20 kali menjalani pacaran. Ketika pacaran di bangku SMP, ia hanya mengobrol, pegangan tangan, rangkulan, dan cium pipi. Pacar Endah pernah memintanya untuk ciuman bibir namun ia menolak dan langsung memutuskan hubungan. Informan mengaku pernah berciuman bibir, bahkan pernah dipaksa untuk memegang alat kelamin pacarnya. Pada awalnya ia tidak mau, namun setelah dibujuk barulah Endah mau meskipun terpaksa. Ia merasa ‘enjoy’ sebatas ciuman dan pegang-pegangan. Namun bila mulai merambah ke wilayah vagina, Endah menyatakan takut terbawa suasana, karena ia pernah “kecolongan”. Caranya untuk menolak adalah dengan memegang tangan pasangannya dan mengatakan tidak mau untuk berhubungan lebih jauh. Ia sendiri melihat anak-anak sekarang jauh lebih berani dibandingkan dengan generasinya. Menurutnya anak SD sekarang sudah mengetahui ML/making love atau senggama padahal Endah sendiri ketika SMP dulu masih takut untuk ciuman karena sepengetahuan dia saat itu ciuman bisa menyebabkan hamil. Bagi Endah, seks adalah berhubungan intim antara perempuan dan laki-laki. Seks merupakan kegiatan yang menyimpang dan tidak boleh dilakukan bila dilakukan oleh orang yang belum ada ikatan. 3.3. Remaja dan Pernikahan Berkenaan dengan gagasan ideal usia nikah perempuan, data menunjukkan bahwa usia ideal atau yang dianggap pantas adalah 20 tahun atau lebih (Karawang 89,3%; Sukabumi 92%; dan Tasikmalaya 89,3%). Data ini ditopang juga dengan harapan responden yang belum menikah, yang menargetkan akan menikah di usia setidaknya 20 tahun. Di Karawang usia yang menonjol sebagai target menikah adalah 24 tahun (23,6%), sedangkan di Sukabumi adalah 23 tahun (30,9%), demikian juga di Tasikmalaya, usia 23 tahun (37,7%). Namun jika dilihat berdasarkan usia menikah dari responden yang berstatus menikah, maka target usia 33 nikah perempuan ini relatif lebih tinggi karena kondisi nyata sebagian perempuan di Karawang (33,3%) menikah saat usia 21 tahun. Kondisi ini berbeda dengan dua kota lainnya, di mana menikah di bawah usia 20 tahun masih dominan (Sukabumi 50%; Tasiklmalaya 60,9%). Harapan atas usia nikah ini terkait dengan persepsi tentang kepantasan bagi laki maupun perempuan untuk punya anak. Jika perempuan sebagian besar responden menyatakan usia 22-23 tahun, bahkan di Tasikmalaya pada usia 25-an tahun. Sedangkan laki-laki dianggap pantas punya anak jika berusia 25-26 tahun, bahkan 27 tahun. Temuan survey menunjukkan bahwa pada kelompok responden yang sudah menikah, ternyata ada temuan yang mempertegas adanya pergeseran cara pandang tentang usia nikah pada perempuan perkotaan. Hal ini ditunjukkan dari besarnya persentase responden yang berpendapat usia pantas menikah adalah di atas 19 tahun, dan tampaknya sebagian besar dari mereka menikah pada usia yang dianggap pantas tersebut. Tabel 3.3. Pendapat Responden tentang Usia Pantas Menikah berdasarkan Usia Saat Nikah Usia perempuan yg pantas untuk Menikah Kurang dr 17 tahun 17 – 19 tahun Usia Saat Menikah (%) Tasikmalaya Karawang Sukabumi < 21 21-24 >24 < 21 21-24 >24 < 21 21-24 >24 tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun tahun 6,3 11,8 16,7 12,5 5,3 Lebih dari 19 tahun 88,2 100 100 100 83,3 (5) - 81,3 100 94,7 Meski survey tidak menjaring data usia suami saat menikah dengan responden, namun temuan kualitatif menunjukkan bahwa sebagian besar menikah dengan laki-laki yang lebih tua. Beberapa informan juga tidak mempunyai kriteria yang sulit tentang pasangan/calon suami, menurut mereka yang penting baik dan lebih dewasa. Realitas ini semakin menegaskan bahwa pasangan ideal adalah jika perempuan lebih muda usia dibanding laki-laki. Berkenaan dengan gagasan ini, dalam FGD terungkap bahwa hal ini memang selayaknya demikian karena masih berkembang gagasan budaya bahwa perempuan menikah lebih cepat lebih baik. Selain karena faktor prestise sosial, juga karena pemikiran perempuan dianggap lebih cepat tua, termasuk persoalan fertilitasnya. Sementara usia laki-laki, menurut 34 Yeni salah satu informan, “...cowo harus lebih tua usianya jadi lebih dewasa”. Kedewasaan ini ditandai dengan kematangan secara psikis (sebagai pelindung), sosial (kepala keluarga),ndan ekonomi (pencari nafkah). Menurut pengakuan sebagian informan pada dasarnya tidak ada kriteria usia yang secara eksplisit disyaratkan, juga oleh keluarga, tapi setidaknya: kelakuan baik (tidak suka nongkrong, mabuk); harus seagama; tidak suka ngerokok; “engga begitu banyak nuntut”. Konstruksi sosial budaya tentang laki dan perempuan tampaknya cukup melekat di masyarakat. Hal ini setidaknya terefleksi melalui data kualitatif, yang mana perbedaan laki dan perempuan secara biologis dianggap sebagai hal yang juga mendasari perbedaan secara biologis pada sejumlah hal, misalnya : - dari segi fisik laki-laki badannya lebih besar, perempuan lebih kecil. - perempuan sangat berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih menggunakan perasaan sedangkan laki-laki lebih menggunakan logika. - laki-laki lebih kuat dan besar badannya dibandingkan dengan perempuan, hanya kalau perempuan dari segi fisik ada bagian tubuh yang menonjol, seperti: payudara. Hasil FGD menunjukkan bahwa kegiatan laki-laki berbeda dengan perempuan, baik di rumah maupun di luar rumah. Kalau di rumah perempuan membantu ibu dalam mengurus adik, membersihkan rumah, menyiapkan makanan, dll. Sementara lakilaki lebih banyak bermain, paling mengantar ibu. “....kalau cowok lebih cuek dan susah di suruh, tapi kadang-kadang juga” (Lis, 16 tahun, lajang, Karawang) “..... anak cowok biasanya suka nganter ibu”. (Rita, 17 tahun, lajang, Karawang) Pernyataan ini setidaknya menyiratkan bahwa gagasan subyektif tentang laki dan perempuan, baik pada usia remaja maupun dewasa. Pada kelompok dewasa, perbedaan peran laki dan perempuan sangat ditandai dengan anggapan bahwa perempuan bertanggungjawab pada masalah rumahtangga dan anak, sedangkankan suami mencari nafkah. Hal ini tercermin dari sejumlah informan FGD yang menikah, karena menikah dan punya anak maka memutuskan berhenti bekerja. Kondisi ini banyak ditemui di Sukabumi, Karawang maupun Tasikmalaya. Salah satu alasan pokok yang dikemukakan adalah “..sibuk 35 urus anak”. Kesibukan ini akan terbantu jika responden/informan tinggal dengan keluarga besar, atau setidaknya ada yang membantu. Namun mengingat sebagian besar dari strata bawah, maka berhenti kerja menjadi pilihan meski dengan resiko pendapatan keluarga berkurang demi anak dan rumahtangga, juga suami. Berkenaan dengan jumlah anak maka teridentifikasi bahwa jumlah anak yang diharapkan responden rata-rata 2 (dua) orang. Kalaupun suami punya harapan yang berbeda tentang jumlah anak, maka sebagian responden di Karawang (37,3%) lebih akan mengikuti pendapat suami, dan uniknya ada 34,7% yang mencoba mempertahankan keinginan. Meski ada 26,6% yang bermaksud mengutarakan keinginan pada suami untuk kemudian mendiskusikannya. Temuan di Karawang ini juga ditemui di Tasikmalaya bahkan cenderung lebih menonjol kepatuhan istri pada suami, yakni mengikuti kemauan suami (41,3%), mempertahankan keinginan 21,3%, dan mengutarakan pada suami dan mendiskusikan mencapai 34,7%. Berbeda dengan Sukabumi, yang justru sebagian besar responden (41,4%) akan mengutarakan keinginan pada suami. Meski yang mengikuti pendapat suami juga cukup besar yakni 25,3%, dan ada 22,7% yang akan mempertahankan keinginannnya. Nampak bahwa kepatuhan pada suami lebih menonjol di Karawang dan Tasikmalaya, dibanding dengan Sukabumi. Meski demikian di ketiga kota, perempuan melibatkan suami dalam pengambilan keputusan. 36 BAB 4 PENGETAHUAN KESEHATAN REPRODUKSI DAN RESIKO SEKSUAL Pada bab ini akan diuraikan pengetahuan responden dan informan penelitian mengenai kesehatan reproduksi dan resiko seksual yang dihadapi oleh mereka. Pengetahuan perempuan muda tentang kesehatan resproduksi dan resiko seksual merupakan hal penting, mengingat meningkatnya penundaan usia pernikahan di kalangan perempuan muda yang menyebabkan lebih lamanya mereka menjalani masa aktif secara seksual sebelum pernikahan, seperti yang telah dipaparkan pada bab III. Sementara itu, informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual masih dianggap hanya relevan untuk perempuan yang telah menikah, misalnya pengetahuan tentang kontrasepsi. Hal tersebut diasumsikan berpengaruh terhadap akses perempuan muda untuk mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan resiko seksual. Dalam konteks tersebut, penelitian ini berusaha memotret pengetahuan perempuan muda di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Pada penelitian ini, pengetahuan kesehatan reproduksi mencakup pengetahuan mengenai pubertas khususnya menstruasi, metode dan alat kontrasepsi, dan perlindungan terhadap kehamilan yang tidak diinginkan. Pada bab ini selain uraian tentang pengetahuan kesehatan reproduksi dan persepsi terhadap resiko seksual, juga akan dipaparkan pengalaman responden seputar pubertas, khususnya mesntruasi serta kebutuhan informasi tentang kesehatan reproduksi berdasarkan pandangan responden penelitian. 4.1. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Berdasarkan hasil survei terhadap responden di ketiga kota, mayoritas responden (>75%) menyatakan usia menstruasi pertama kali berkisar antara 12-14 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden memasuki usia masa pubertas yang normal. Meskipun demikian, sebagian besar responden terkesan tidak siap untuk mengalami perubahan-perubahan fisik dan hormonal akibat pubertas. Hal tersebut ditunjukkan dari pendapat responden di ketiga kota yang sebagian besar merasa kaget (>50%) ketika pertama kali mengalami menstruasi. Untuk perubahan fisik lainnya seperti payudara yang membesar, jawaban yang 37 dikemukakan responden terbanyak di ketiga lokasi penelitian setelah biasa saja adalah kaget. Perasaan kaget yang dialami oleh mayoritas responden dapat merupakan refleksi dari kurangnya informasi yang diberikan pada remaja seputas pubertas, khususnya menstruasi. Kurangnya pengetahuan responden tentang menstruasi juga tercermin dari masih banyaknya mitos-mitos seputar menstruasi yang direproduksi dan diajarkan pada responden penelitian. Di Kota Sukabumi misalnya, ketika responden diminta untuk menyebutkan hal-hal yang tidak boleh dilakukan saat menstruasi, jawaban terbanyak (54%) adalah tidak boleh memakan nanas dan ketimun serta meminum air es. Kondisi yang sama juga ditemukan di Kota Tasikmalaya, mayoritas responden (55%) menjawab tidak boleh memakan makanan yang pedas, tidak boleh tidur siang karena darah menstruasi akan naik menuju mata, dan tidak boleh meminum air es. Orang tua atau saudara perempuan ketika mengajari atau menasehati responden dan informan penelitian ini mereproduksi mitos-mitos budaya seputar menstruasi yang tidak berkaitan dengan kesehatan reproduksi. Hal ini ditunjukkan oleh pemaparan beberapa informan berikut ini: “Ngga boleh minum air kelapa, ngga boleh melakukan seks” (Cinta, 19 tahun, lajang, Tasikmalaya) “Ngga boleh gunting kuku dan rambut, ngga boleh mandi lewat dari jam empat sore” (Rita, 16 tahun, lajang, Tasikmalaya) Karena kondisi Tasikmalaya yang merupakan kota santri, maka nasehat seputar mestruasi yang diberikan Ibu untuk anak peremuannya cenderung yang berkaitan dengan agama pula. Hal ini ditunjukkan melalui informan berikut: “Nggak boleh sholat, ngga boleh ngaji, ngga boleh pegang Quran, ngga boleh masuk masjid, karena nanti darahnya berceceran gimana (Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya) Hal yang serupa ditemukan di Sukabumi: Dilarang minum air es, keramas, gunting kuku, dan harus mengumpulkan rambut yang rontok untuk dibersihkan selesai haid (dengan mandi hadast besar) karena menurut orangtua dulu, rambut dan kuku dianggap ikut “kotor” jika si perempuan sedang haid, jadi harus disucikan (Gina, 16 tahun, lajang, Sukabumi) 38 Kondisi yang berbeda terjadi di Kota Karawang di mana mayoritas responden menjawab tidak boleh berhubungan seks saat menstruasi (44%). Akan tetapi, berdasarkan wawancara mendalam, larangan perilaku ketika menstruasi yang dominan adalah larangan yang bersifat mitos dan bahkan ada yang bersifat klenik, seperti yang diutarakan informan berikut ini: “Kalau lagi dapet ngga boleh minum es, karena nanti darahnya beku, kalau makan kacang, darahnya keluar banyak, jangan keluar malam kalau lagi dapet (mens), mengundang nanti diikutin setan, gak boleh lari-larian banyak bergerak karena nanti bocor” (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang) Hampir tidak ada responden yang menjawab pertanyaan tersebut dalam konteks kesehatan seperti tidak mengganti pembalut dalam jangka waktu yang lama. Mitosmitos tersebut cenderung untuk dipercaya oleh responden. Hal ini ditunjukkan dari jawaban responden yang mayoritas sering atau terkadang mematuhi mitos-mitos tersebut. Hal ini ditunjukkan dari jawaban responden yang mayoritas sering atau terkadang mematuhi mitos-mitos tersebut. Di Sukabumi, sebanyak 67% responden menjawab selalu dan terkadang mematuhi larangan-larangan yang diajarkan tersebut. Sementara di Tasikmalaya, 80% responden menjawab selalu dan terkadang mematuhi larangan-larangan tersebut. Hal yang sama juga diutarakan oleh para informan, meskipun mereka mengakui bahwa mereka tidak mengetahui alasan larangan atau anjuran ketika mereka menstruasi, namun beberapa informan berpendapat mereka cenderung untuk menuruti karena merupakan nasehat orang tua. Hal yang menarik terjadi di Karawang karena jawaban responden tentang larangan bervariasi antara larangan yang berupa mitos dan kesehatan reproduksi. Terkait dengan hal tersebut, maka jawaban frekuensi kepatuhan responden untuk mematuhi larangan dapat berupa kepatuhan terhadap larangan yang berupa mitos atau larangan yang berhubungan dengan kesehatan reproduksi. Berbagai mitos seputar menstruasi tersebut yang terus menerus direproduksi dan diyakini bahkan dijalani oleh informan dan responden penelitian ini merefleksikan skenario budaya (cultural script) dalam masyarakat kita tentang menstruasi yaitu cenderung dipandang patologis, sehingga banyak kekhawatiran terhadap darah menstruasi misalnya dapat dilihat dari pantangan makanan. Budaya 39 Islam juga mempengaruhi pandangan terhadap menstruasi, karena saat menstruasi perempuan dilarang untuk sholat dan berpuasa, maka pada masa tersebut perempuan dianggap rentan dekat setan atau mahluk gaib lainnya, sehingga perempuan dilarang keluar malam hari karena akan diikuti oleh setan. Darah menstruasi juga dianggap darah 'kotor' dan tubuh perempuan juga dianggap sedang tidak “suci” oleh karena itu perempuan tidak boleh membuang bagian tubuhnya (menggunting rambut dan kuku ) saat menstruasi. Hal ini terkait dengan budaya Islam yang menganggap manusia meninggal harus kembali pada Tuhan dalam keadaan telah disucikan. Meskipun sebagian besar usia menstruasi pertama responden adalah normal, namun banyak pula responden yang memiliki keluhan seputar menstruasi. Di Karawang, keluhan menstruasi yang paling menonjol adalah sakit/nyeri ketika menstruasi (95%) dan gatal di sekitar kelamin (47%). Di Sukabumi, responden paling banyak mengeluhkan sering dan jarang mengalami sakit/nyeri ketika menstruasi (91%), haid yang tidak teratur (63%), dan gatal di sekitar kelamin (47%). Sementara di Tasikmalaya, paling banyak responden mengeluhkan sering dan jarang merasakan sakit/nyeri ketika menstruasi (60%) dan haid tidak teratur (51%). Tabel 4.1 Keluhan Ketika Menstruasi di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya Jenis Keluhan Karawang (%) Sukabumi (%) Tasikmalaya (%) Sering Jarang Tidak Sering Jarang Tidak Sering Pernah Pernah Jarang Tidak Pernah Sakit/Nyeri 69 25 6 49 41 9 36 24 15 Haid tidak teratur 13 9 77 32 31 37 26 25 24 Masa Haid >14 hari 0 7 93 3 5 92 2 11 62 Keputihan berlebihan 9 13 77 15 21 64 6 32 37 Gatal sekitar kelamin 12 25 53 5 41 53 5 37 33 Berbagai permasalahan seputar menstruasi yang dihadapi oleh responden, juga permasalahan ketidaksiapan remaja memasuki usia pubertas seperti yang telah dikemukakan di atas, memunculkan pertanyaan tentang pernah/tidak perempuan 40 muda mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Berikut tabel berdasarkan hasil di ketiga kota penelitian. Table 4.2 Pernah/Tidak Mendapatkan Informasi Kesehatan Reproduksi di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya Kota Persentase (%) Pernah Tidak Pernah Karawang 45 55 Sukabumi 77 23 Tasikmalaya 65 35 Sebagian besar responden di Sukabumi dan Tasikmalaya menyatakan pernah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi (77% dan 65%), sedangkan di Karawang paling banyak responden menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan reproduksi (55%). Jika dilihat angka responden yang pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi relatif tinggi, dan mayoritas di ketiga kota didapat dari sekolah. Di Karawang, informasi kesehatan reproduksi yang didapat mayoritas responden berupa informasi tentang organ reproduksi (21%), seks dan HIV/AIDS (18%). Di Sukabumi, mayoritas responden menyatakan informasi yang didapat adalah tentang organ reproduksi (17%) dan menstruasi (14%), meskipun cukup banyak responden (29%) yang menyatakan lupa. Di Tasikmalaya, informasi yang diberikan pada masyoritas responden adalah informasi tentang organ reproduksi (32%) dan menstruasi (26%). Hal yang menarik adalah meskipun informasi seputar menstruasi diakui telah diberikan pada responden, namun berbasarkan pemaparan di atas ternyata masih banyak mitosmitos seputar menstruasi yang dipercaya oleh responden. Hal ini menunjukkan informasi kesehatan reproduksi yang telah didapat tersebut masih kurang memadai atau kurang efektif. Seperti yang telah dikemukakan di atas, masih terdapat anggapan bahwa informasi kesehatan reproduksi hanya relevan bagi mereka yang telah menikah, namun penelitian ini menunjukkan sebaliknya. Di Karawang, responden yang belum menikah ternyata sebagian besar menyatakan pernah mendapat informasi tentang 41 kesehatan reproduksi 84% dan hanya 16% yang menyatakan belum pernah. Sementara responedn yang telah menikah hanya 53% yang menyatakan pernah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi dan sebanya 47% menjawab tidak pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Di Tasikmalaya juga ditemukan hal yang sama bahwa responden yang belum menikah ternyata sebagian besar menyatakan pernah mendapat informasi tentang kesehatan reproduksi (65%) dan hanya 35% yang menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Sementara responden yang telah menikah hanya 50% yang menyatakan pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dan 50% lainnya menyatakan belum pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan di tingkat desa, seperti Pos Kesehatan Desa atau Puskesmas kurang aktif dalam memberikan informasi kesehatan reproduksi bagi para ibu muda. Hal yang senada dikemukakan dalam diskusi kelompok terfokus di Tasikmalaya pada kelompok ibu-ibu muda dan juga kelompok ibu-ibu tokoh masyarakat dan kader desa. Para partisipan diskusi menyatakan bahwa kegiatan yang masih aktif adalah penimbangan bayi dan pemberian imunisasi di Posyandu. Adanya pemberian informasi tentang kesehatan reproduksi dirasakan penting salah satu alasannya adalah fenomena pernikahan remaja. Adanya tren penundaan usia perkawinan menyebabkan pernikahan remaja (18 tahun atau kurang) saat ini dianggap sebagai permasalahan, karena remaja dianggap tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk hamil, bersalin, dan merawat anak. Hal ini menurut ibu-ibu tokoh masyarakat kontras dengan beberapa dekade lalu ketika sebagian besar perempuan menikah pada usia remaja dan tidak dianggap persoalan. 18 . Tidak adanya kegiatan tentang penyuluhan kesehatan reproduksi di tingkat desa, berdasarkan diskusi hasil temuan sementara di Kota Tasikmalaya karena kurangnya anggaran untuk kegiatan tersebut. Menurut pihak Bapeda, dinas dan masyarakat masih perlu diubah cara berpikirnya dalam menyusun program 18 Penelitian untuk disertasi yang berjudul ‘Pemahaman Keluarga tentang Kesehatan Reproduksi’ yang dilakukan oleh Ida Yustina di Karawang pada tahun 2002 memperlihatkan bahwa tingkat pemahaman keluarga tentang makna kesehatan reproduksi cenderung rendah. Tujuan dan manfaat kesehatan reproduksi bagi ibu, anak dan keluarga belum dipahami secara baik (http://gatra.com/2004-07-21/artikel-php diakses pada tanggal 17 November 2009). 42 pembangunan. Masyarakat perlu diajarkan agar tidak melulu mengusulkan program yang bersifat fisik semata, sehingga dalam musrenbang dapat muncul lebih banyak usulan berupa kegiatan seperti pemberian informasi kesehatan reproduksi bagi para ibu-ibu muda dan kegiatan lainnya untuk kepentingan kesehatan reproduksi perempuan. Penelitian ini juga berupaya melihat pernah/tidak responden mendapatkan informasi tentang kesehatan seksual. Hal ini dapat merupakan informasi mengenai pengetahuan perempuan muda tentang resiko seksual yang dihadapinya. Tabel 4.3 Pernah/Tidak Mendapatkan Informasi Kesehatan Seksual di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya Kota Persentase (%) Pernah Tidak Pernah Karawang 51 49 Sukabumi 68 32 Tasikmalaya 61 39 Berdasarkan survei di ketiga kota, mayoritas responden menyatakan pernah mendapatkan informasi tentang kesehatan seksual. Akan tetapi, berbeda dengan kesehatan reproduksi, sumber informasi kesehatan seksual bukanlah sekolah melainkan teman dan media massa di ketiga kota penelitian. Mayoritas informasi yang didapatkan responden di ketiga kota tentang kesehatan seksual adalah masalah hubungan seks dan bahayanya, di Karawang sebanyak 34% dan di Tasikmalaya 37%. Sementara di Sukabumi masalah hubungan seks dan bahayanya dinyatakan oleh 16%, dan paling banyak adalah tentang HIV/AIDS yaitu sebanyak 29%, sedangkan sebanyak 24% menyatakan lupa. Hal ini menunjukkan bahwa seks masih dipandang sebagai berbahaya dan mengancam masyarakat. Pandangan yang menekankan bahwa seks berbahaya menimbulkan persoalan antara lain semakin takut orang untuk membicarakan seks dan kompleksitas seksualitas akan semakin diingkari. 43 Jika dilihat berdasarkan status perkawinan, hal yang sama ditemukan seperti pada kesehatan reproduksi, bahwa status perkawinan tidak berperan dalam menentukan responden pernah/tidak mendapatkan informasi kesehatan seksual. Berdasarkan data, di Sukabumi, sebanyak 72% responden yang belum menikah menyatakan pernah mendapat informasi kesehatan seksual, dan hanya 28% yang menyatakan belum pernah. Responden yang telah menikah, sebanyak 59% menjawab pernah mendapat informasi kesehatan seksual dan sisanya 41% menyatakan belum pernah mendapat informasi tentang kesehatan seksual. Di Tasikmalaya juga ditemukan kesamaan yaitu responden yang belum menikah justru lebih banyak mendapatkan informasi kesehatan seksual yaitu sebanyak 70% dan hanya 30%. Pada responden yang sudah menikah hanya 35% yang menyatakan pernah mendapatkan informasi kesehatan seksual dan mayoritas lainnya (65%) justru menyatakan belum pernah mendapatkan informasi kesehatan seksual. Meskipun responden yang menyatakan mereka pernah mendapatkan informasi kesehatan reproduksi dan seksual relatif tinggi, namun mereka masih membutuhkan informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksual. Sebagian besar responden membutuhkan informasi tentang organ reproduksi dan cara menjaga kesehatan reproduksi. Jika ditelisik beradsarkan status perkawinan, informasi yang dibutuhkan antara responden yang belum menikah dengan yang telah menikah ternyata ditemukan kebutuhan yang berbeda. Di Sukabumi, responden yang telah menikah mayoritas membutuhkan informasi tentang kehamilan (35%) sementara responden yang belum menikah mayoritas membutuhkan informasi tentang menstruasi (37%). Sementara di Tasikmalaya ditemukan hal yang berbeda dengan di Sukabumi, responden yang telah menikah dan yang belum menikah mayoritas sama-sama membutuhkan informasi tentang kehamilan (15% pada responden yang telah menikah dan 19% pada mereka yang belum menikah) dan cara menjaga kesehatan reroduksi secara umum (35% pada responden yang telah menikah dan 22% pada mereka yang belum menikah). Pada diskusi kelompok terfokus kelompok perempuan belum menikah di Tasikmalaya, terungkap bahwa mereka membutuhkan informasi seputar seks. Para partisipan khawatir terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, lebih lanjut mereka merasakan kebingungan terhadap banyaknya mitosmitos seputar seks seperti perempuan yang sudah tidak perawan dapat terlihat dari 44 ciri-ciri fisiknya atau dari cara berjalan. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh informan di Karawang yang merasa kebingungan dengan resiko melakukan aktivitas seks, seperti yang diutarakannya berikut ini: “Deg-degan, nanya-nanya sama temen yang udah pernah: hamil ngga sih kalau ciuman? Ada penyakit HIV takut. Awalnya takut banget, takutnya dia tuh punya penyakit HIV, takutnya dia nularin gitu.” (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang) Ungkapan-ungkapan informan dan partisipan FGD di atas menunjukkan kecemasan remaja terhadap resiko perilaku seks yang dijalaninya. Seperti yang telah diuraikan pada Bab 3, remaja telah melakukan berbagai aktivitas seks dengan pacar mereka. Mereka sesungguhnya khawatir dengan resiko perilaku tersebut, namun tidak ada media untuk mengklarifikasi berbagai kekhawatiran yang dihadapi mereka. Melakukan aktivitas seksual merupakan hal yang dilarang bagi perempuan yang belum menikah di ketiga lokasi penelitian, oleh karena itu membicarakan aktivitas seksual pada orang tua ataupun guru sangatlah mereka hindari. Hal yang mengkhawatirkan adalah jika merujuk pada teman mereka, hampir seluruh informan memiliki teman atau sahabat yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dan beberapa kasus diakhiri dengan aborsi yang tidak aman, seperti yang diungkapkan berikut ini: “Ada teman, sahabat dekat banget, dia hamil udah digugurin sampe ikut nganteri dia (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang) “Teman yang hamil di luar nikah biasanya digugurin ke Banten udah berapa orang gitu, banyak kali, yang dinikahin ada tiga, yang digugurin banyak. Ada yang langsung diputusin sama pacarnya, akhirnya bunuh diri. Saya juga tahunya dia bunuh diri dari koran (Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya) 4.2. Pengetahuan tentang Resiko Seksual Dalam konteks fenomena gunung es kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman di kalangan remaja, penting untuk melihat pengetahuan perempuan usia muda tentang cara menghindari kehamilan. Dalam penelitian ini, berdasarkan hasil survei, ternyata mayoritas responden di ketiga kota menyatakan mereka mengetahui cara menghindari kehamilan yang tidak diinginkan. Responden yang menjawab mereka mengetahui cara menghindari kehamilan mayoritas berpendapat bahwa menggunakan alat kontrasepsi dan menghindari berhubungan 45 seks dapat menghidari kehamilan. Di Karawang alat kontrasepsi yang populer adalah kondom (17%), sementara di Sukabumi mayoritas responden menjawab pil dan suntik KB (17%), sedangkan di Tasikmalaya alat kontrasepsi yang paling banyak diketahui responden adalah pil, suntik, dan kondom (18%). Tabel 4.4 Pengetahuan Cara Menghindari Kehamilan di Karawang, Sukabumi, dan Tasikmalaya Kota Persentase (%) Tahu Tidak Tahu Karawang 95 5 Sukabumi 87 13 Tasikmalaya 95 5 Meskipun kondom relatif populer di kota lokasi penelitian, namun masih terdapat stigma tentang kondom. Pada diskusi kelompok perempuan yang telah menikah di Tasikmalaya, para partisipan berpendapat bahwa kondom tidak tepat digunakan pada seks dalam hubungan perkawinan, meskipun suami dicurigai memiliki penyakit menular seksual atau berselingkuh. Kondom dinilai akan mengurangi kenikmatan berhubungan seks dan lebih cocok untuk hubungan seks premarital. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, informan yang belum menikah menunjukkan kekhawatiran mereka mengenai resiko perilaku seksual yang dijalaninya. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, resiko seksual cenderung dipahami hanya relevan bagi perempuan belum menikah. Resiko seksual dalam pandangan informan adalah resiko seks pranikah. Oleh karena itu, pendapat informan tentang resiko umumnya adalah hamil di luar nikah, beserta akibatnya seperti dikucilkan dari lingkungan sosialnya seperti keluarga, tetangga, dan temantemannya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa informan berikut: “Hamil, nikah jadi terpaksa karena si cowok seolah-olah cuma dibutuhkan untuk tanggung jawab anak (dalam kandungan), jadi kalau udah lahir ya udah gitu, jadi single parent, banyak gitu kan” (Asih, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya) 46 “Mengecewakan orang tua, malu sama tetangga sama keluarga kalo sampe hamil, kehilangan kepercayaan dari orang tua” (Nisa, 18 tahun, lajang, Karawang) “Hamil, dijauhin sama teman-temannya, diusir dari keluarga di rumah” (Rita, 16 tahun, lajang, Tasikmalaya) “Kehilangan percaya diri, takut tidak diterima suami nantinya, bisa juga terjadi kehamilan, dan fisik akan berubah menjadi gendut jika hamil, kemudian juga bisa saja melakukan tindakan aborsi kalau pacar tidak mau bertanggungjawab” (Lisa, 16 tahun, lajang, Sukabumi) Karena kuatnya budaya bahwa seks harus dilakukan dalam institusi perkawinan, maka diskusi mengenai resiko seksual dalam lembaga perkawinan agak sulit dilakukan karena dianggap tidak relevan dan seks dalam institusi perkawinan merupakan ibadah dan “halal”. Dalam konteks masyarakat muslim, seperti di Tasikmalaya, hal ini disosialisasikan melalui oleh institusi agama. Seperti yang dikemukakan oleh informan berikut: “Agama bukannya jorok, tapi lengkap dikasih tau kayak begini-begini, ngga boleh begini-begini, seks itu penting ada suami halal” (Asih, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya) Selain itu, kuatnya pandangan agama bahwa seks hanya dapat dilakukan dalam institusi perkawinan maka resiko yang cenderung dimaknai informan adalah resiko mendapat sangsi sosial daripada resiko kesehatan reproduksi dan seksual. Dari ungkapan para informan di atas jelas terlihat bahwa kehamilan pranikah mengakibatkan rasa ‘malu’ dan ‘aib’ bagi keluarga yang dapat mempengaruhi sikap teman dan tetangga terhadap diri perempuan yang hamil tersebut. Dengan demikian resiko sosial dianggap menakutkan ketimbang resiko seksual itu sendiri. Akibatnya, pencegahan dari resiko yang utama juga lebih pada pertimbangan konsekuensi sosial dan agama, seperti: “Tetep ingat Ibu aja dan inget agama aja, nolak! Jadi jangan sampai berhubungan seks, (kalau berhubungan seks) pakai kondom, atau keluarin air mani di luar” (Neneng, 18 tahun, lajang, Karawang) Sementara itu, berdasarkan hasil survei, pengetahuan responden tentang penyakit-penyakit menular seksual tergolong rendah.. Hanya sedikit responden di ketiga kota umumnya dapat menjawab lebih dari satu penyakit menular seksual. Di 47 Karawang, penyakit menular seksual yang diketahui oleh mayoritas responden adalah HIV/AIDS yaitu sebanyak 56%. Tabel 4.5 Pengetahuan tentang Penyakit menular seksual di Karawang Penyakit menular seksual Persentase Sifilis 5,3 Gonore/kencing nanah 2,7 Keputihan 2,7 HIV/AIDS 56 Sifilis dan HIV/AIDS 6,7 Gonore/kencing nanah dan HIV/AIDS 12,0 Sifilis dan gonore/ kencing nanah/ raja singa 1,3 Tidak Tahu 13,3 Akan tetapi, hanya sebanyak 13% responden yang dapat menyebutkan lebih dari satu penyakit menular seksual dan sebanyak 13% lainnya menyatakan tidak tahu penyakit seksual. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan responden masih rendah tentang resiko seksual. Hal yang sama juga ditemukan di Sukabumi. Berikut tabel. Tabel 4.6 Pengetahuan tentang Penyakit menular seksual di Sukabumi Penyakit menular seksual Persentase Sifilis 1,3 Gonore/kencing nanah 4,0 Herpes 1,3 HIV/AIDS 58,6 Sifilis dan HIV/AIDS 4,0 48 Gonore/kencing nanah dan HIV/AIDS 5,3 Sifilis dan gonore/ kencing nanah/ raja singa 6,7 Sifilis, herpes, kutil kelamin dan kanker servix 2,7 Tidak Tahu 16 Berdasarkan hasil survei responden di Sukabumi, HIV/AIDS juga merupakan penyakit menular seksual yang paling banyak diketahui oleh responden (59%). Sementara, hanya 15% responden yang dapat menyebutkan lebih dari satu penyakit menular seksual dan sebesar 16% responden tidak dapat menyebutkan satu pun jenis penyakit menular seksual. Kondisi yang sama dengan Karawang dan Sukabumi juga ditemukan di Tasikmalaya. Tabel 4.7 Pengetahuan tentang Penyakit menular seksual di Tasikmalaya Penyakit menular seksual Persentase Sifilis 1,3 Gonore/kencing nanah 4,0 Keputihan 5,3 Kanker rahim 1,3 HIV/AIDS 38,7 Sifilis dan HIV/AIDS 5,3 Gonore/kencing nanah dan HIV/AIDS 2,7 Gonore/kencing nanah, homo, lesbi, HIV/AIDS dan impoten 1,3 Sifilis dan gonore/ kencing nanah/ raja singa 1,3 Gonore/kencing nanah dan keputihan 1,3 Sifilis, herpes, kutil kelkamin dan kanker servix 1,3 Gonore/kencing nanah dan hepatitis 2,7 49 Keputihan dan kanker rahim 1,3 Tidak tahu 32 Berdasarkan hasil survei di Tasikmalaya, sama halnya dengan kedua daerah sebelumnya, HIV/AIDS merupakan penyakit menular seksual yang paling populer di antara responden (39%). Sebanyak 17% responden dapat menyebutkan lebih dari satu jenis penyakit menular seksual, namun responden yang tidak mengetahui satu jenis pun penyakit menular seksual cukup besar dibanding kedua kota sebelumnya yaitu 32%. Dari ketiga lokasi penelitian, keseluruhannya menunjukkan bahwa pengetahuan responden tentang PMS masih kurang dan hal ini dapat berdampak pada resiko-resiko seksual yang dihadapi responden. Akan tetapi, survei dari ketiga daerah tersebut juga menunjukkan bahwa HIV/AIDS bukanlah penyakit yang asing bagi perempuan muda. Hal ini konsisten dengan pernyataan responden dari ketiga lokasi penelitian bahwa mereka (lebih dari 90%) pernah mendengar HIV/AIDS. Meskipun demikian, jika dilihat pengetahuan mereka tentang cara penularan HIV/AIDS, masih terdapat mitos-mitos yang keliru tentang cara penularan HIV/AIDS. Di Karawang, masih ada responden yang berpendapat bahwa berbicara dengan penderita (4%), berciuman (3%), dan menggunakan barang penderita (4%) dapat menularkan HIV/AIDS. Hal yang sama ditemukan di Sukabumi di mana ciuman (7%) dan menggunakan barang penderita (5%) masih diyakini dapat menularkan HIV/AIDS. Tidak berbeda dengan kedua kota, di Tasikmalaya, berbicara (1%), bersentuhan (3%), dan berciuman dengan penderita (3%) serta menggunakan barang penderita (3%) disebutkan dapat menularkan HIV/AIDS. Sejalan dengan hasil survei, pada wawancara mendalam para informan mengaku pernah mendengar HIV/AIDS dari media massa (MTV, majalah, koran) ataupun dari buku, teman, poster. Ada beberapa informan yang memiliki teman dan tetangga yang terinfeksi HIV, namun pengetahuan mereka masih minim tentang cara penularan HIV. Berikut informan: Taunya AIDS, kalo laki-laki suka “jajan” di luar jorok..jablay bekas orang terus dipake, ganti-ganti pasangan (Gina, 16 tahun, lajang, Sukabumi) 50 HIV pernah dengar, ada orang sini kena...mati karena HIV udah menikah punya anak, ternyata istrinya juga kena HIV...gak tau nularnya lewat apa (Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya) HIV tau tapi ngga banyak..tau dari TV. Kalau udah positif, sentuhan tangan juga bisa ketular (Tika, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya) Hal ini menunjukkan bahwa kampanye HIV/AIDS telah berhasil membuat istilah HIV/AIDS semakin populer, namun pengetahuan lebih lanjut tentang HIV/AIDS masih diperlukan seperti cara penularan atau gejala-gejalanya, sehingga perempuan muda menjadi lebih sadar untuk melakukan seks yang aman dan terhindar dari resiko seks. Penelitian ini juga melihat pada pengalaman responden seputar kesehatan seksual yang dapat berguna untuk memotret resiko seksual yang dialami responden. Berdasarkan hasil survei di ketiga lokasi penelitian, mayoritas responden memiliki keluhan kesehatan seksual/reproduksi. Di Karawang, responden yang pernah mengeluhkan kesehatan seksual/reproduksinya adalah sebanyak 64%. Keluhan terbanyak adalah keputihan (11%) dan keputihan yang disertai gatal pada kelamin (13%). Sebagian besar responden menyebutkan lebih dari satu gejala (35%) yang seluruhnya merupakan keputihan yang disertai gelaja lainnya. Di Sukabumi sebanyak 88% responden memiliki keluhan kesehatan seksual/reproduksi. Keluhan kesehatan yang menonjol di antara responden kota ini adalah keputihan yang disertai bau yang tidak enak, kemerahan dan gatal di sekitar kelamin (27%), 19% lainnya menjawab keputihan yang disertai gatal. Mayoritas responden juga memiliki lebih dari satu keluhan yang seluruhnya merupakan keputihan yang disertai gelaja lainnya (71%). Sementara di Tasikmalaya mayoritas juga pernah memiliki keluhan kesehatan seksual/reproduksi yaitu 78%. Mayoritas responden memiliki keluhan keputihan (21%) dan keputihan yang disertai bau yang tidak enak, kemerahan dan gatal di sekitar kelamin (21%). Seperti kedua kota lainnya, responden di Tasikmalaya juga memiliki lebih dari satu keluhan (50%) yang merupakan keputihan yang disertai gelaja lainnya. Meskipun mayoritas responden di tiga kota memiliki keluhan kesehatan seksual/reproduksi dan memiliki lebih dari satu gejala, namun kesadaran responden untuk mengobati gejala tersebut masih sangat rendah. Mayoritas responden di ketiga kota lebih memilih untuk mendiamkan/tidak mengobati atau mengobati sendiri 51 gejala gejala keputihan dan gejala lain yang menyertainya. Di Karawang, 40% responden memilih untuk mengobati sendiri dan 31% lainnya memilih mendiamkan saja gejala tersebut. Sementara di Sukabumi, sebanyak 76% memilih untuk mendiamkan gejala tersebut dan 20% lainnya memilih untuk melakukan pengobatan sendiri. Sedangkan di Tasikmalaya, sebanyak 78% menyatakan mendiamkan gejala keputihan dan gejala lain yang menyertainya dan 18% memilih untuk mengobati sendiri gelaja tersebut. Kesadaran yang masih rendah gejala keputihan dan gejala lain yang menyertainya yang dialami oleh perempuan muda dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang gejala penyakit menular seksual yang masih kurang. Sebanyak 48% responden di Karawang, dan sebanyak 53% responden di Sukabumi, serta sebanyak 69% menyatakan tidak mengetahui gejala terkena penyakit menular seksual. Besarnya jumlah responden yang tidak mengetahui gejala tertular merupakan hal yang ironi mengingat mayoritas informasi kesehatan seksual yang mereka terima adalah tentang masalah seks dan bahayanya. Penyampaian bahaya tentang hubungan seks lebih bersifat normatif, bahwa hubungan seks pra nikah bertentangan dengan agama. Seperti yang diungkapkan pada diskusi kelompok bapak-bapak tokoh masyarakat dan kelompok ibu-ibu tokoh masyarakat dan kader desa, solusi yang mengemuka adalah pemberian pendidikan agama untuk mencegah remaja melakukan hubungan seksual. Jika pendidikan seksualitas tidak berorientasi pada kesehatan seksual namun hanya berpendekatan normatif akan semakin menjauhkan pemahaman perempuan muda terhadap resiko seksual yang selanjutnya akan membuat perempuan muda semakin rentan terhadap penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. 52 BAB 5 HAK SEKSUAL, RESIKO SEKSUAL DAN NEGOSIASI SEKSUAL Bab ini menyajikan dan mendiskusikan beberapa tema yang muncul dari wawancara mendalam terkait dengan hak seksual, resiko seksual dan negosiasi seksual. Analisis dan interpretasi data diletakkan dalam konteks sosial budaya setempat sehingga kita dapat memahami cara pandang informan terhadap tematema yang dibahas. Dalam analisis ini kami tetap membandingkan antara perempuan yang belum nikah dan yang menikah untuk mendapatkan perbedaan dan persamaan di antara kasus-kasus yang ada. Secara spesifik, diskusi akan menyoroti sejauh mana perempuan muda menyadari resiko seksual yang mereka hadapi, bagaimana mereka mengurangi resiko tersebut, dan seberapa jauh mereka menyadari hak-hak seksual khususnya hak untuk terlindung dari diskriminasi, paksaan dan kekerasan serta hak terlindung dari PMS dan HIV/AIDS. Kedua hak seksual ini dilihat dalam konteks relasi sosial seperti pacaran dan perkawinan yang dialami oleh para informan. 5.1. Persepsi tentang hak seksual Dalam survey kami mengajukan sejumlah pernyataan tentang hak seksual perempuan untuk mengetahui pandangan responden apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Pernyataan pertama adalah ’Perempuan mempunyai hak untuk menolak aktivitas seksual dengan pasangannya’. Ada perbedaan jawaban antara perempuan yang menikah dan yang lajang di tiga kota penelitian. Pada tabel 5.1 terlihat bahwa lebih dari 70% responden yang menikah menyetujui pernyataan tersebut, sementara lebih dari 90% responden yang lajang menyepakatinya. Perbedaan ini amatlah mungkin disebabkan perbedaan pengalaman di antara keduanya. Perempuan yang menikah menghadapi realitas yang sesungguhnya yaitu relasi dengan suaminya. Tidak mudah bagi seorang perempuan untuk berkata ’tidak’ ketika suaminya menginginkan hubungan seksual. Norma gender yang umum disosialisasikan sejak kecil kepada perempuan adalah ia harus setia, taat dan melayani suami apabila telah menikah. Norma gender ini acapkali diperkuat dengan adanya interpretasi ajaran agama Islam yang 53 menempatkan istri sebagai subordinat suami. Bagi perempuan yang menikah, alasan paling sering diutarakan untuk menolak hubungan seksual dengan suami adalah menstruasi. Alasan lainnya adalah sedang tidak mood atau malas dan lelah bekerja. Sementara di kalangan perempuan lajang, alasan yang sering muncul adalah karena belum menikah, disusul takut hamil di luar nikah dan menjaga kehormatan diri. Hal yang menarik ialah ada sedikit responden yang menjawab bahwa menolak aktivitas seksual dengan pasangan adalah hak asasi perempuan. Tabel 5.1. Pendapat tentang ’Perempuan mempunyai hak untuk menolak aktivitas seksual dengan pasangannya’ berdasarkan status marital Status marital Karawang (%) Sukabumi (%) Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Lajang 94,6 5,4 91,2 1,8 100 0 Menikah 78,9 21,1 88,2 11,8 73,7 26,3 0 0 100 0 100 0 Janda Tasikmalaya (%) Pada perempuan lajang, menolak keinginan pacar untuk melakukan aktivitas seksual tertentu cukup sering terjadi. Ada informan yang tidak menyukai apabila sang pacar meraba atau menyentuh bagian tubuh seperti payudara atau alat kelamin bahkan menolak berciuman. Beberapa informan dalam wawancara mendalam mengungkapkan pengalamannya, Ya emang sih ciuman itu gak bikin hamil. Tapi kan dari ciuman itu nantinantinya jadi keterusan, apalagi kalau cowonya hyper yah, bisa-bisa nanti dia minta ML lagi, hiiii.... Tapi kalo yang sampe bener-bener, kan suka banyak tuh anak-anak di kelas yang cerita (udah dikiss) atau gimana gitu ya, belum apa ya, belum perlu lah kalo kayak gitu. Kita umurnya belum nyampe ke...ke jenjang yang sepantasnya gitu (Gina, 16 tahun, lajang, Sukabumi). Ya, awalnya sih cuek-cuek aja! Tapi kan namanya cowok playboy pasti banyak maunya! Ya udah bilangin aja kalo mau yang lebih ya udah tuh dateng aja ke tempat-tempat yang gak bener aja! Kalo mau gitu tinggal bayar segini terus puas! (Nisa, 18 tahun, lajang, Karawang) Pernyataan yang kedua tentang hak seksual yaitu ’Perempuan tidak sepatutnya mengutarakan keinginan/hasrat seksualnya’ agaknya masih disetujui 54 oleh lebih dari 60% perempuan muda baik yang lajang maupun yang menikah terutama di Karawang dan Sukabumi (lihat tabel 5.2). Persetujuan responden terhadap pernyataan ini menunjukkan bahwa norma budaya masih membatasi ekspresi seksual perempuan, meskipun dalam praktiknya belum tentu demikian. Alasan yang paling sering muncul dari responden yang menjawab ”YA” adalah malu/takut karena perempuan harus menjaga sikapnya dan takut dianggap sebagai perempuan nakal. Jawaban ini memperlihatkan bahwa perempuan dipandang kurang pantas untuk mengekspresikan keinginan seksualnya dan laki-lakilah yang harus mempunyai inisiatif dalam relasi seksual. Bagi responden di dua kota ini yang menjawab ’Tidak’, alasan yang diberikan adalah ’karena kebutuhan’ dan ’hak asasi perempuan’. Tabel 5.2. Pendapat tentang ’Perempuan tidak sepatutnya mengutarakan keinginan/hasrat seksualnya’ berdasarkan status marital Status marital Karawang (%) Sukabumi (%) Ya Tidak Ya Tidak Ya Tidak Lajang 64,3 33,9 64,9 35,1 37 63 Menikah 52,6 42,1 58,8 41,2 35 65 0 0 0 0 100 Janda 100 Tasikmalaya (%) Menarik untuk mencermati jawaban responden (lajang ataupun nikah) di Tasikmalaya yang lebih dari 60% tidak setuju dengan pernyataan di atas. Hal ini agak kontradiktif dengan asumsi ciri masyarakat Tasikmalaya yang bernuansa Islam yang kental dan hirarkis karena tradisi pesantren yang kuat. Alasan utama yang diungkapkan responden yang menjawab ’Tidak’ adalah ’karena kebutuhan’ dan ’hak asasi’. Mereka berpandangan bahwa wajar apabila perempuan mengungkapkan keinginan seksualnya. Namun dalam praktiknya, tidak mudah bagi perempuan untuk mewujudkannya karena banyak dari mereka masih berpikiran bahwa laki-lakilah yang harus berinisiatif. Hasil wawancara mendalam, terutama terhadap perempuan yang menikah, menunjukkan bahwa mereka cenderung untuk mengkomunikasikan hasrat seksualnya secara non verbal, melalui tingkah laku dan bahasa tubuh. Hal ini tidak terlepas dari pandangan perempuan pada umumnya yaitu seorang perempuan 55 lebih banyak memiliki kewajiban dari pada hak dalam kehidupan sehari-harinya. Sosialisasi sejak kecil dalam keluarga selalu mengajarkan perempuan untuk mematuhi beragam larangan yang berarti adalah kewajiban. Pernyataan selanjutnya adalah ’Jika perempuan mengalami kekerasan seksual, ia tidak perlu mengungkapkannya kepada orang lain’ yang ingin mengetahui apakah perempuan dapat menyuarakan pengalaman yang tidak mengenakkan. Tabel 5.3 di bawah memperlihatkan bahwa terdapat kontras yang cukup menonjol dari jawaban responden di Karawang apabila dibandingkan dengan jawaban responden di Sukabumi dan Tasikmalaya. Di Tasikmalaya sekitar 75% responden, baik lajang maupun menikah, menyetujui pernyataan tersebut. Di Sukabumi, 70% responden lajang setuju dengan pernyataan itu dan hampir 20% menyatakan tidak setuju. Sementara 47% responden yang menikah setuju dengan pernyataan tersebut, hampir berimbang dengan responden menikah yang tidak setuju yaitu 41%. Responden di Karawang cenderung tidak setuju terhadap pernyataan tersebut yaitu 40% untuk yang lajang dan 52% untuk yang menikah, sementara yang setuju hanya 18% responden lajang dan 36% responden menikah. Responden lajang yang bersikap ragu-ragu cukup besar yaitu 41%. Perbedaan jawaban responden di tiga kota memperlihatkan karakter budaya lokal. Responden di kota Tasikmalaya agaknya masih berpendapat bahwa perempuan tidak seharusnya menceritakan kehidupan seksualnya, apalagi jika mengalami kekerasan seksual, karena sama saja dengan membuka aib dan membuat malu keluarga. Kekerasan seksual adalah persoalan di ranah pribadi yang tidak dapat diceritakan kepada sembarang orang. Responden di Karawang memiliki sikap yang lebih terbuka dan lugas terhadap masalah kekerasan seksual. Wawancara kami terhadap beberapa orang Sunda yang bukan berasal dari Karawang mengungkapkan bahwa karakter urang Karawang memang straight to the point dan lebih ’kasar’ dibandingkan dengan orang Sunda Tasikmalaya atau Sukabumi. Observasi yang kami lakukan terhadap interaksi dalam keluarga di wilayah Babakan Cianjur, Karawang, juga menunjukkan karakter tersebut. Apabila ada perselisihan dalam keluarga, tidaklah selalu ditutupi dari pandangan orang luar. Tabel 5.3. Pendapat tentang ’Jika perempuan mengalami kekerasan seksual, ia tidak perlu mengungkapkan kepada orang lain’ berdasarkan status marital 56 Status marital Karawang (%) Sukabumi (%) Tasikmalaya (%) Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju Lajang 17,9 41,1 39,3 70,2 10,5 19,3 75,9 9,3 14,8 Menikah 36,8 10,5 52,6 47,1 11,8 41,2 75 5 15 0 0 0 100 0 0 100 0 0 Janda Pengalaman terhadap kekerasan memang tidak mudah diungkapkan. Pengalaman Imah (Karawang) yang cukup sering ditampar oleh suaminya bisa menjadi contoh. Imah tidak pernah bercerita kepada orangtuanya atau kerabat lain tentang perilaku suaminya itu, sekalipun ia merasa sakit hati. Bisa dibayangkan apabila yang dialami adalah kekerasan seksual lebih sulit diungkapkan kepada orang lain karena seksualitas dipandang sebagai ranah pribadi yang sensitif. Pernyataan yang terkait dengan resiko seksual adalah ’Agar terlindung dari penyakit menular seksual, perempuan harus meminta pasangannya untuk memakai kondom’ yang ingin mengetahui pendapat responden tentang negosiasi seksual. Jawaban responden yang lajang di tiga kota cenderung setuju (di atas 74%) dengan pernyataan tersebut, sekalipun kita harus cermat menafsirkan jawaban tersebut. Penelitian-penelitian terdahulu tentang seksualitas remaja membuktikan bahwa remaja jarang menggunakan kondom dalam hubungan seks pranikah sehingga seringkali mengakibatkan kehamilan yang tidak dikehendaki. Pengetahuan remaja perempuan tentang penyakit menular seksual pun masih terbatas, kecuali pengetahuan tentang HIV/AIDS yang cukup tinggi (lihat bab 4). Jadi jawaban responden yang lajang ini secara tersirat berhubungan dengan ancaman penularan HIV/AIDS. Tabel 5.4. Pendapat tentang ’Agar terlindung dari penyakit menular seksual perempuan harus meminta pasangannya untuk memakai kondom’ berdasarkan status marital Status marital Karawang (%) Sukabumi (%) Tasikmalaya (%) Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju 57 Lajang 76,8 10,7 5,4 80,7 8,8 10,5 74,1 1,9 22,2 Menikah 84,2 5,3 10,5 52,9 29,4 17,6 65 15 15 0 0 0 0 100 0 100 0 0 Janda Sementara terdapat perbedaan jawaban di antara responden yang menikah, khususnya di Karawang apabila dibandingkan dengan Sukabumi dan Tasikmalaya. Di Karawang 84% dari yang menikah setuju dengan pernyataan tersebut dan sekitar 10% tidak menyetujuinya. Di Sukabumi dan Tasikmalaya, masing-masing sekitar 53% dan 65% responden yang menikah menjawab setuju, sementara yang tidak setuju sebesar 17% dan 15%. Tingginya pendapat yang menyetujui pernyataan itu di kalangan responden di kelurahan Nagasari, Karawang, sangat mungkin berhubungan dengan tingkat keterpaparan (exposure) terhadap program penanggulangan HIV/AIDS yang lebih tinggi dibandingkan dengan responden di kelurahan Kebonjati dan Nagarawangi. Kehadiran LSM Pantura Plus di Karawang sudah cukup dikenal, di samping kesadaran penduduk setempat akan adanya ODHA yang bermukim dalam komunitas setempat. Agak berbeda dengan kelurahan Kebonjati di Sukabumi dan kelurahan Nagarawangi di Tasikmalaya yang warganya kurang terpapar informasi mengenai HIV/AIDS. Pernyataan terakhir dalam kuesioner adalah ’Jika perempuan setia pada pasangannya, tidak mungkin ia terkena penyakit menular seksual’ yang ingin mengetahui apakah perempuan merasa aman dan terlindungi apabila ia memiliki sikap setia kepada pasangannya. Pernyataan ini juga berkaitan dengan norma gender yang sering ditanamkan kepada perempuan sejak kecil yaitu agar patuh dan setia kepada suami apabila telah menikah. Pada tabel 5.5 terlihat bahwa responden di Karawang yang setuju dengan pernyataan tersebut hanya sekitar 30%, lebih banyak yang tidak setuju dan kurang setuju. Di Sukabumi, lebih dari 65% responden menyetujui pernyataan tersebut, sementara di Tasikmalaya responden yang menikah lebih banyak (65%) menyatakan setuju dibandingkan dengan responden yang lajang (40%). Tabel 5.5. Pendapat tentang ’Jika perempuan setia pada pasangannya, tidak mungkin ia terkena penyakit menular seksual’ berdasarkan status marital 58 Status marital Karawang (%) Sukabumi (%) Tasikmalaya (%) Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak Setuju Kurang Tidak setuju setuju setuju setuju setuju setuju Lajang 23,2 28,6 42,9 66,7 15,8 17,5 40,7 24,1 31,5 Menikah 31,6 21,1 47,4 76,5 23,5 0 65 15 20 0 0 0 100 0 0 0 100 0 Janda Responden di Sukabumi dan Tasikmalaya agaknya masih berpandangan bahwa seorang perempuan perlu menunjukkan kesetiaan terhadap pasangannya, khususnya dalam perkawinan. Institusi perkawinan masih dianggap sebagai ruang yang aman bagi perempuan karena mereka merasa terlindungi. Dalam wawancara mendalam dengan beberapa perempuan terungkap bahwa perkawinan adalah kewajiban setiap orang yang sedapat mungkin dipenuhi agar hidup menjadi lengkap. Karena perkawinan adalah perintah agama, maka logikanya kehidupan perkawinan adalah aman dan amanah. PMS tidak mungkin terjadi dalam perkawinan karena PMS lebih lekat kepada perilaku seks di luar pernikahan. Dalam konteks ini secara kultural responden dan informan memandang diri mereka adalah ’perempuan baik-baik’ yang tidak mungkin terkena PMS seperti halnya ’perempuan nakal’ atau ’bukan perempuan baik-baik’. Namun responden di Karawang mempunyai pandangan yang agak berbeda seperti terlihat dalam tabel 5.5 di atas. Perbedaan ini mungkin dapat dijelaskan dengan melihat pada konteks sosial masyarakat Karawang. Kabupaten Karawang adalah daerah industri yang menarik minat para pendatang atau migran dari wilayah lain di Jawa dan luar Jawa. Salah satu konsekuensi dari perkembangan industri adalah keberadaan prostitusi yang cukup merebak. Pemetaan yang dilakukan oleh FHI-ASA pada tahun 2006 memperlihatkan bahwa hampir di setiap kecamatan terdapat lokasi prostitusi, termasuk di kota Karawang sendiri 19 -- misalnya Sungai Buntu, Se-er, Betok Mati untuk menyebut beberapa tempat. Kehadiran industri pelacuran ini tentu disadari oleh masyarakat Karawang sehingga upaya penyebaran 19 Informasi didapatkan oleh salah satu anggota tim peneliti yang pernah melakukan penelitian di Karawang pada tahun 2007. 59 informasi tentang PMS dan HIV/AIDS tentu lebih gencar. PMS dan HIV/AIDS dalam konstruksi sosial masyarakat Indonesia selalu dilekatkan pada dunia pelacuran, khususnya perempuan pekerja seks (Kroeger 2000). 5.2. Persepsi tentang keperawanan Tema sentral lainnya yang muncul dalam wawancara mendalam adalah keperawanan perempuan. Persoalan keperawanan tidak semata persoalan harga diri atau martabat seorang perempuan tetapi juga persoalan yang seringkali dilematis dalam konteks relasi pacaran. Perempuan yang belum nikah, yang menikah atau pun janda tetap berpendapat bahwa keperawanan amat penting untuk dipertahankan karena menyangkut harga diri, kehormatan dan status perempuan serta keluarga. Pada aras individu, keputusan untuk menjaga keperawanan atau tidak tergantung pada sejumlah faktor yang kontekstual. “Iya kalau keperawanan itu kayanya hal yang paling penting ya untuk dijaga, karena kayanya kalau sudah nggak perawan sebelum nikah, laki-laki sudah nggak ada yang respect lagi sama kita.” (Eni, 23 tahun, nikah, Sukabumi). “Keperawanan itu penting karena anak gadis hanya punya itu. Laki-laki kan selalu egois karena ingin dapet istri yang masih perawan. Kalau kita tidak bisa menjaga maka kita akan dianggap ‘sampah’ (Isna, 19 tahun, nikah, Tasikmalaya). Kan bisa aja nih ya, kalo emang bisa, suaminya kalo nrimain, ya udah ditrimain. Tapi kalo misalnya suaminya nggak nrimain kasihan kan, gimana, dah nikah eh...langsung dicerai (Mutiara, 18 tahun, lajang, Sukabumi). Karena apa ya? Gini aja, cowok gak bener tukang mabok, tukang judi, bahkan tukang main jablay, trus dia married. Mana mau dia nikah sama jablay gak kan? Tapi dia mau kawin sama yang lebih baik kan? Iya kan? Iya? Mikirnya gitu aja. Kalo sama orang tua kan sering dibilangin kayak gitu kan ya, tukang mabok, main jablay (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang). Buat diri sendirinya, jadi ee...apa, kalo diri kita udah ternoda gitu, itu kan kita nganggap diri kita kotor atau gimana....jadi ada rasa bersalah gitu ya. Rasa berdosa kan dalam dirinya itu. Kalo buat kami, kan ada yang bilang e...jangan sampe nikah terus nggak virgin gitu (Gadis, 16 tahun, lajang, Sukabumi) Ya kan kata orang, kalau pas udah nikah, pas malem pertama itu gak seru..gak bahagia, nah kalau pas perawan itu mah bahagia kalau malam pertama (Cinta, 19 tahun, lajang, Tasikmalaya) 60 Ungkapan sejumlah informan yang lajang mengatakan bahwa keperawanan sangat penting untuk diperlihatkan kepada suami mereka kelak dan memang agama mengajarkan bahwa hubungan seks sebelum nikah dilarang. Mitos keperawanan yang ditandai adanya darah ketika pertama kali berhubungan seks masih dipercayai oleh para informan dalam penelitian ini. Pandangan masyarakat terhadap perempuan yang tidak perawan biasanya negatif karena dianggap ‘bukan perempuan baik-baik’ – disebut jablay atau perek. Pada masyarakat Tasikmalaya yang Islamnya lebih kental, perempuan yang tidak perawan sebelum menikah dikategorikan sebagai zina dan dosa. Laki-laki biasa menyebutnya ‘perawan bukan, janda bukan’. Persepsi subyek penelitian memperlihatkan skenario budaya (cultural script) tentang keperawanan mempengaruhi sikap dan perilaku mereka dalam berpacaran meskipun dalam beberapa kasus terasa lebih merupakan sesuatu yang normatif yang berbeda dengan praktik sesungguhnya. Konsepsi keperawanan hampir selalu dikaitkan dengan nasihat orangtua dan norma agama. Seorang anak perempuan harus bisa menjaga diri dalam pergaulan agar tidak mencoreng muka orangtuanya dan tidak melanggar ajaran agama. “Ya agama ada kan dilarang, agama trus orang tua, malu lah sama orang tua kita pacaran sampe gitu, kan malu-maluin orang tua. Kita kan dididik bener kan sama orang tua. Tapi kita mah harus kuat iman kalo pacaran mah. Apa lagikan cewek kan ngerangsang ya...” (Desi, 20 tahun, lajang, Sukabumi) “Iya, utamanya keluarga, jadi harus dikontrol anak gadis harus pulang jam segini. Kalau enggak ada di rumah jam segini dimarahin. Itu wajib tuh orang tua kayak gitu tuh. Mesti dicegah teh 20 , soalnya kalau enggak dicegah si anaknya mah keenakan” (Asih, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya) “Iya, kan gak boleh nanti kalo kita pacaran dah kita kasih semuanya, rugi dong. Iya kalo dia tanggung jawab tapi kalo cowoknya cari cewek lain rugi dong. Lagian itu kan bukan muhrimnya dilarang sama agama. Tapi kalo udah nikah kan udah ada ikatan. Jadi gak apa-apalah (Nisa, 18 tahun, lajang, Karawang) Aturan budaya memang cenderung untuk mengontrol anak perempuan lebih ketat dari pada anak laki-laki karena keperawanan selalu dilihat sebagai sesuatu yang suci yang perlu dipertahankan oleh anak perempuan. Ungkapan yang dilontarkan oleh seorang informan yaitu keperawanan adalah mahkota. 20 Teh berasal dari kata teteh (Sunda) yang artinya kakak perempuan, seperti sebutan mbak dalam bahasa Jawa. 61 5.3. Negosiasi seksual dan Resiko seksual Pada bab 4 telah diuraikan persepsi perempuan muda akan resiko seksual. Resiko seksual yang paling dikawatirkan adalah kehamilan sebelum nikah. Penelitian yang dilakukan Simon dan Paxton terhadap kaum dewasa muda (18-24 tahun) di Surabaya juga menunjukkan persepsi yang sama. Seks yang aman dipahami sebagai menghindari terjadinya kehamilan (2004:400). Di sini kita perlu mencermati keterkaitan antara resiko seksual dengan konsep malu. Dalam hampir semua wawancara mendalam yang kami lakukan, ketika diajukan pertanyaan apa pandangan mereka terhadap kehamilan pranikah maka hampir semua informan menjawab bahwa hal itu amat memalukan bagi perempuan dan keluarganya. ‘Malu’ sendiri memiliki makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Seseorang tidak berbicara atau mengutarakan pendapatnya dalam kelompok karena malu. Seorang anak enggan bertanya pada orang yang tidak dikenalnya karena malu. Anak perempuan diajarkan duduk yang rapi agar tidak tersingkap gaunnya karena malu apabila terlihat pakaian dalamnya. Ayah dan ibu tidak membicarakan tentang seks kepada anaknya karena malu. Di Indonesia, secara umum seksualitas dianggap ranah pribadi sehingga malu bagi seseorang apabila pengalaman atau kehidupan seksualnya diketahui orang lain, apalagi jika pengalaman seksual itu dianggap melanggar norma-norma sosial. Oleh karena itu sebagaimana telah disinggung juga dalam bab 4, bagi perempuan muda resiko biomedis seperti kehamilan pranikah atau tertular PMS tidak terlalu dikawatirkan karena mereka lebih kawatir akan resiko sosialnya yaitu malu, aib, menjadi bahan pergunjingan, diejek, dikucilkan dll. Jadi resiko seksual berada pada urutan kedua atau ketiga setelah resiko sosial yang akan mereka hadapi terkait dengan perilaku seksual mereka. Seperti yang diungkapkan oleh informan di bawah ini “Ya saya juga gimana kan udah kecelakaan. Saya juga malu gitu. Kalo ngidam mah udah aja menikah gitu. Kalo gak nikah ya... iya terpaksa gitu. Kan udah terlanjur ya gimana? kalo di sini kan maklum suka ngegosip gitu, kalo ngegosip suka ke mana-mana gitu jadi kalo ada yang gitu, gitu langsung menyebar” (Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya) Dalam relasi pacaran, sebagian besar informan bersikap tegas menolak apabila sang pacar menginginkan hubungan seksual. Perempuan lajang nampaknya mempunyai otonomi yang cukup besar untuk menjaga dirinya tidak melakukan seks 62 pranikah. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh pentingnya keperawanan, menghindari malu dan mencegah terjadinya kehamilan. “Gue kan orangnya gak ini-ini banget ya, tapi gue orang yang tipe-tipe cewek yang gampang nafsuan, tapi kalo udah kemana-mana gue gak bisa memberhentikan gitu, gue tipenya seperti itu. Tapi aku yang paling gak mau dilakuin banget gitu, kalo cowok dah ngeraba ke arah apa tuh namanya.....vagina. Pokoknya langsung nolak. Kenapa nolak? Karena kalo dia udah Nyampe ke situ, suka apa ya... semakin besar nafsunya. Terus ke bawa suasana kalo udah sampe situ!” (Endah, 17 tahun, lajang, Karawang). ”Ya gak tau, ngebet kali! Tapi jujur ya pas dia mau ngelamar gitu ada maksud lain, dia ngerayu gitu: „ kalo kamu bener-bener, mau gak kita pegang rahasia prinsip dulu“. Resti pikir itu gak mungkin lah, kenapa gak ngelamar aja! Memang dia waktu dulu lamarannya, ngelamar dulu gak langsung married!. Mau buktiin dulu perawan atau gak! Ya sudah mendingan putus aja. Lagian belum terlalu deket banget, masih agak jauh” (Rena, 21 tahun, lajang, Karawang). Pada beberapa kasus perempuan muda yang mempunyai pengalaman berhubungan seks sebelum nikah, tentu ada elemen lain yang mempengaruhi keputusan mereka tersebut. Dari wawancara elemen penting yang muncul yaitu cinta dan kepercayaan (trust). “Gak, saya mah sukanya sama bapaknya si Eneng” (Yayah, 24 tahun, janda, Tasikmalaya) “Iya.. pokoknya bilangnya mah dianya mau tanggung jawab. Alhamdulillah sih sampai sekarang, gak tau sih ke depannya mah (Cindy, 19 tahun, lajang, Tasikmalaya) Meskipun secara normatif mereka memandang keperawanan penting, namun ketika mereka percaya bahwa sang pacar akan bertanggung jawab atau mereka yakin bahwa relasi pacaran akan diikuti dengan pernikahan maka hubungan seks sebelum nikah bisa terjadi. Inilah yang dialami oleh Cindy (19 tahun) dari Tasikmalaya yang percaya akan ucapan Dedi, pacarnya, untuk menikahinya sehingga ia mengambil resiko berhubungan seksual sebelum nikah. Sementara Yayah meskipun ia mengaku agak terpaksa menuruti keinginan sang pacar untuk berhubungan seks namun ia begitu mencintai kekasihnya dan takut kalau sang pacar akan marah kalau dia menolaknya. Namun dalam urusan relasi seksual, tampaknya data menunjukkan temuan menarik yaitu perempuan yang menikah cenderung bersikap pasif. Berikut penuturan beberapa informan, 63 “Untuk hubungan intim.. gak sih teteh yang minta, gak sih,... gimana gitu yah.....kebanyakan sih suami. Saya gak mau terlalu ayo gimana gitu enggak. Udah tahu capek pulang kerja udah... adalah ya gairah sih, tapi melihat kondisi, kan kalau kadang suami capek juga udah gak papa, gak terlalu gimana, tapi suka barengan gairahnya...hehe...” (Asih, 22 tahun, menikah, Tasikmalaya) “Enggak..kan kebanyakannya kan perempuan itu malu yah. Kalau sama suami enggak..ngobrol cuman apa ya..tapi enggak pernah sih ngobrolngobrol seks gitu..” (Trisna, 22 tahun, nikah, Sukabumi) “Malu, paling ya kalau pas dia mau juga, udah saya tiduran terus dia tiduran di samping saya. Udah gitu terus ya gitu... paling saya cuman ngelus doang...” (Indah, 18 tahun, nikah, Tasikmalaya). Pengalaman Imah di Karawang juga menunjukkan bagaimana pasifnya istri dalam relasi seksual, apalagi Imah banyak mengalami tindakan kekerasan dari Agam, suaminya. Biasanya, setelah pertengkaran suaminya akan meminta maaf karena sudah bersikap kasar dan menyuruh Imah untuk membalas. Selain itu juga Agam biasanya akan memeluk dan bermesraan dengan Imah bahkan kadang-kadang minta berhubungan seks. Dalam situasi seperti ini, Imah biasanya mau tidak mau harus melayaninya, meskipun hatinya sangat kesal. Ima melakukan dengan terpaksa dari pada nantinya memicu konflik lagi. Pada kelompok yang sudah menikah, kalaupun ada yang mampu menolak, hanya sebagian kecil saja. Kecenderungan ini relatif berbeda dengan saat belum menikah, ketika otonomi atau keberdayaan perempuan untuk menolak lebih besar. Realitas ini tentunya tidak lepas dari skenario budaya yang menuntut perempuan apabila telah menikah untuk taat dan patuh kepada suaminya, selain norma maskulinitas yang berlaku yaitu lakilaki harus lebih aktif secara seksual. Dengan demikian negosiasi seksual antara istri dan suami hampir tidak terjadi, lagi-lagi karena kuatnya konsep ‘malu’ dalam ranah seksualitas terutama bagi perempuan seperti tercermin dalam kutipan di atas. Seperti telah diuraikan dalam bab 4, negosiasi seksual dalam perkawinan lebih didominasi oleh suami dan perempuan lebih banyak menggunakan bahasa nonverbal untuk mengungkapkan hasrat seksual atau pun keengganannya. Bagaimana dengan resiko seksual yang mereka hadapi sebagai perempuan? Resiko seksual acapkali baru menyentak kesadaran mereka ketika mengalami akibat dari hubungan seks premarital, misalnya mengalami kehamilan. Tidak 64 terlintas dalam pikiran mereka menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah terjadinya kehamilan atau terkena penyakit menular seksual. Kembali ke kasus Cindy di atas, suatu ketika Cindy hamil dan ia mengaku kalut, bingung dan takut. Apalagi saat itu ia masih duduk di kelas 3 SMA dan akan mengikuti ujian akhir. Cindy dan Dedi akhirnya memutuskan untuk menggugurkan kandungan karena kondisi Cindy yang masih bersekolah. Dari salah seorang teman yang pernah hamil, Cindy mengetahui obat-obatan yang kira-kira bisa digunakan untuk menggugurkan kandungan tanpa harus pergi ke dokter. Pertama-tama ia meminum campuran Bodrex dan Sprite, ditambah nanas. Namun tidak berhasil. Selanjutnya ia minum pil khusus datang bulan, seperti M kapsul dan pil Tuntas, si janin tetap bergeming. Selanjutnya “... sama pacar beli obat satu butirnya 50 ribu, tapi udah minum empat ngga keluar-keluar. Akhirnya dipijit. Alhamdulillah keluar..udah dua bulan (usia kandungan), pas dikeluarin sakit...bayar 500 ribu di paraji. Setelahnya berdarah tiga hari..pantang minum es dan makan jambu batu. Waktu itu pas kelas tiga pas tengah-tengah mau ujian” Akhirnya atas informasi seorang teman, Cindy dan Dedi mendatangi seorang ‘paraji’ atau dukun beranak di Taraju yang bisa membantu menggugurkan kandungan. Selama 2 jam ia menahan sakit luar biasa saat paraji memijat perutnya. Dedi tetap setia menunggu Cindy di sampingnya selama proses pengguguran berlangsung. Akhirnya janin sebesar ibu jari berhasil dikeluarkan oleh paraji. Cindy sempat diperlihatkan sesaat seperti apa rupa janin tersebut. Saat itu ia mengaku lega dan sedih bersamaan. Sampai saat inipun ia masih terbayang-bayang dan berpikir kalau nanti punya anak pasti bayangan anak pertama yang digugurkan akan tetap ada. Setelah peristiwa kehamilan itu Cindy tetap melakukan hubungan seksual dengan pacarnya, hanya sekarang ”Pakai kondom sekarang. Iya.. kan dia bilangnya kan pakai kondom aja sekarang..biar sehat..biar gak hamil” Kasus Cindy memperlihatkan bahwa sebagai perempuan muda ia menaruh kepercayaan kepada pacarnya karena ia yakin bahwa sang pacar akan bertanggung jawab dan akan menjadi suaminya. Bagaimana dengan resiko seksual terkait PMS dan HIV/AIDS? Agaknya persepsi perempuan baik yang lajang maupun yang menikah di tiga kota ini adalah 65 sama yaitu resiko seksual untuk tertular PMS dan HIV/AIDS sangatlah rendah. Pada bab 4 telah dibahas pengetahuan responden tentang HIV dan AIDS yang umumnya pernah mendengar dan sebagian mengetahui cara penularannya. Sementara pengetahuan tentang jenis-jenis PMS dapat dikatakan minim sekali. Namun pengetahuan tersebut sekedar sebagai pengetahuan yang statis yang tidak selalu berhubungan dengan perilaku sebenarnya. Persepsi perempuan muda ini menunjukkan bahwa konstruksi sosial tentang AIDS adalah penyakit yang berhubungan dengan perilaku seksual ‘menyimpang’ yang kerap disebut sebagai ‘seks bebas’. Konsepsi tentang HIV/AIDS ini terus menerus diproduksi dan direproduksi lewat berbagai wacana, terutama media massa. Informan wawancara mendalam sebagian besar mengetahui tentang HIV/AIDS dari media elektronik atau pun media cetak. Konstruksi sosial inilah yang kemudian menciptakan stigma dan diskriminasi terhadap orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA). “Ya itu harus mencegah jangan berhubungan terlalu bebas, pacaran sewajar-wajarnya” (Desi, 20 tahun, lajang, Sukabumi) “Apa sih, dari jarum suntik, kayak tranfusi darah, ditindik, terus segala macem yang menyangkut dengan darahlah kalo yang bisa menyebabkan. Sebisa mungkin kita memprotek diri kita sendiri. Jangan sampelah mau ikut-ikutan nindik gitu ya, atau apa... seks bebas. Jadi kan kitanya terlindungi. Jadi nggak mungkin kena AIDS” (Gadis, 16 tahun, lajang, Karawang) “Kalo yang suntikan gitu itu kan, berhubungan seks bebas gitu” (Winda, 19 tahun, nikah, Sukabumi) Berangkat dari konstruksi sosial AIDS yang demikian maka hubungan seksual yang dilakukan dalam lembaga perkawinan atau dilakukan dalam masa pacaran tidak beresiko terkena PMS dan HIV/AIDS karena tidak dipandang sebagai ‘seks bebas’. Berhubungan seksual sebelum menikah bukanlah keputusan individual tetapi harus dilihat dalam kerangka relasi interpersonal. Dalam bab 3 telah dijelaskan bahwa betapa penting bagi perempuan muda untuk having a relationship, memiliki relasi dengan seseorang, dalam konteks ini adalah berpacaran. Mereka membutuhkan seseorang yang bisa menjadi tempat curhat, tempat menumpahkan perasaan dan sekaligus mempertegas eksistensi dirinya dalam pergaulan. Bagi perempuan yang menikah, maka perkawinan dianggap tempat yang aman dan tidak beresiko sama sekali karena institusi perkawinan bernilai sakral. Amatlah sulit bagi perempuan 66 pada umumnya untuk berpikir bahwa ia akan tertular PMS atau HIV dalam ranah perkawinan. 67 BAB 6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan Dari paparan dan diskusi dalam bab-bab terdahulu, ada sejumlah kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini. Kesimpulan ini tidak dimaksudkan untuk melakukan generalisasi dari temuan-temuan penelitian seperti analisis statistik dengan tingkat signifikansi tertentu, tetapi lebih merupakan simpulan-simpulan yang berlaku pada konteks sosial budaya tertentu. Kami menekankan bahwa pandanganpandangan yang muncul dalam penelitian ini mempunyai signifikansi dalam konteks sosial yang kami teliti. Sebagai sebuah penelitian kualitatif maka aspek ruang dan waktu tidak dapat dikesampingkan yang berarti pula mempertimbangkan keragaman atau variasi dari fakta-fakta yang ada. Data kuantitatif, sebagaimana kami sampaikan sejak awal, merupakan data pendukung. Kami tidak hanya melihat pada persamaan tetapi juga perbedaan di antara para informan dengan latar belakang yang sama atau berbeda. Butir-butir kesimpulan penelitian ini adalah: 1) Remaja perempuan membangun relasi gender melalui pacaran pada usia yang lebih dini dari pada remaja laki-laki, yaitu saat duduk di bangku SMP. Bebogohan atau pacaran dianggap bagian dari identitas dan perwujudan eksistensi diri dalam pergaulan yang secara tersirat berkaitan dengan norma budaya bahwa perempuan menikah lebih cepat adalah lebih baik. Namun remaja bukanlah kelompok yang homogen karena ada pula remaja perempuan yang tidak menjalani proses berpacaran. 2) Dalam relasi pacaran, perempuan terlihat memiliki otonomi untuk menolak aktivitas seksual yang tidak diinginkannya. Penolakan ini berhubungan dengan persepsi tentang keperawanan dan ketakutan (fear) akan kehamilan pranikah karena keduanya bisa mengakibatkan resiko sosial yang merugikan. 3) Pengetahuan kesehatan reproduksi pada perempuan muda relatif rendah dan masih diselimuti oleh mitos-mitos seputar menstruasi, kehamilan, dan masa nifas. Keterbatasan ini disebabkan keluarga jarang membicarakan tentang masalah reproduksi dan seksual serta masih kurangnya sumber-sumber informasi di luar keluarga yang berorientasi pada kesehatan reproduksi dan 68 seksual. Butir kesimpulan ini bukanlah sesuatu yang baru karena beberapa penelitian terdahulu juga menyimpulkan hal yang mirip (Arida, 2005; Hanum 1997; Khisbiyah et.al 1997; Laksmiwati 1999; Widjanarko 1999). 4) Pengetahuan kesehatan seksual juga relatif terbatas dan kebanyakan informasi yang pernah mereka terima adalah tentang ’seks dan bahayanya’. Penggunaan istilah ini berimplikasi pada semakin takut orang membicarakan seks secara benar dan terbuka serta kompleksitas seksualitas remaja semakin diingkari (denial). Di sini kita melihat bahwa seksualitas cenderung dilihat dari aspek negatifnya semata. 5) Jika selama ini ada anggapan bahwa pelayanan dan informasi kesehatan reproduksi relevan bagi mereka yang sudah menikah, kami menemukan justru perempuan muda yang telah menikah paling terpinggirkan dari informasi kesehatan reproduksi dan seksual, terlebih mereka yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Pada remaja perempuan yang masih sekolah mereka mendapatkan melalui seminar atau penyuluhan meskipun insidental, sementara ibu-ibu yang terlibat aktif di posyandu (usia sekitar 30 tahun ke atas) bisa mendapat akses informasi yang lebih baik. 6) Pemaknaan hak seksual pada perempuan lajang terkait dengan skenario budaya (cultural script) tentang pentingnya keperawanan ‘demi suami’ dan menjadi ‘perempuan baik-baik’ yang sesungguhnya merupakan upaya untuk menghindari rasa ’malu’ dalam kehidupan sosial. 7) Pada perempuan nikah, pemaknaan hak seksual masih terbatas pada menyetujui atau menolak hubungan seks dengan suami dan masih kurangnya komunikasi seksual yang lebih terbuka. Perempuan relatif pasif dan lebih banyak berkomunikasi secara non-verbal dalam persoalan seksual. Ini pun merupakan konsekuensi dari penghindaran diri dari rasa ’malu’ karena perempuan dikonstruksikan untuk pasrah dalam ranah seksual. 8) Persepsi akan resiko seksual yang paling ‘melekat’ di kalangan perempuan lajang adalah kehamilan pranikah, bukan PMS atau HIV/AIDS. Resiko seksual yang dipahami cenderung merupakan resiko seks pranikah, sehingga pembahasan resiko seksual dianggap tidak relevan dalam konteks perkawinan. Bagi perempuan muda resiko sosial lebih mengkawatirkan dari pada resiko seksual itu sendiri. Hamil sebelum nikah atau tertular PMS atau 69 HIV/AIDS berarti malu, aib, kehilangan harga diri dan dosa, bukan persoalan kesehatan atau penyakit. 9) Strategi perempuan untuk mengurangi resiko seksual terjadi pada level individual, bukan pada level komunitas atau kelompok. Level individual di sini berarti terjadi dalam relasi interpersonal yang berdimensi gender di mana perempuan acapkali berada dalam posisi yang lebih lemah. 6.2. Rekomendasi Rekomendasi dari penelitian ini ada dua yaitu rekomendasi program dan rekomendasi penelitian. Kami tidak mengklaim bahwa rekomendasi ini bersifat definitif dan final karena pengguna laporan penelitian ini bisa saja mempunyai perspektif yang berbeda sehingga memikirkan rekomendasi yang berbeda pula. Untuk ranah program, rekomendasi kami akan terbatas pada pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual, khususnya intervensi pada aras interpersonal dan komunitas yaitu: 1) Pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual (KRS) yang berkesinambungan agar remaja perempuan dan laki-laki mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang baik. Secara insidental dan parsial program pendidikan KRS sudah ada di wilayah penelitian, baik yang dilakukan instansi pemerintah atau pun LSM. Tantangannya adalah bagaimana melakukan sinergi dan menjamin kesinambungannya yang menuntut peran aktif KPA di tingkat daerah. 2) Substansi dari pendidikan KRS perlu mengembangkan sikap positif terhadap seks itu sendiri. Hindarilah penggunaan ‘fear tactics’ seperti ‘seks dan bahayanya’ karena sekalipun perempuan (dan laki-laki) muda tahu akan ‘bahaya’ seks mereka tetap menerjangnya dan mengambil resiko. Melihat seksualitas secara positif berarti mengembangkan pandangan sosial yang lebih sehat seperti cinta, hasrat, reproduksi dan kenikmatan sebagai elemenelemen penting dalam seksualitas. 3) Perlunya memperhatikan variabel usia, status sosial ekonomi, status marital dan wilayah dari perempuan muda karena mereka bukanlah kelompok yang 70 homogen. Misalnya bagi mereka yang berstatus ekonomi rendah, maka basis pendidikan KRS yang tepat adalah sekolah menengah karena kebanyakan dari mereka akan masuk pasar kerja begitu lulus SMP atau SMA. Bagi wilayah yang faktor agamanya kental seperti Tasikmalaya, maka keterlibatan institusi keagamaan dan tokoh agama dalam pendidikan KRS tidak bisa diabaikan. 4) Pada tingkat komunitas, program KRS dapat dilakukan melalui program yang sudah ada seperti posyandu dan puskesmas atau organisasi sosial lain seperti karang taruna, kelompok pengajian dll. Program di tingkat komunitas tidak terbatas bagi kelompok perempuan tetapi yang lebih strategis adalah menyasar keluarga-keluarga. Pencegahan HIV di Indonesia masih dominan difokuskan pada tingkat individu dan bukan pada keluarga. Kami tidak mengatakan bahwa program yang memfokuskan pada keluarga tidak ada, namun masih sedikit sekali. 5) Secara spesifik, kelompok perempuan muda yang menikah perlu mendapat perhatian agar mereka terpapar informasi KRS karena mereka cenderung ‘terisolasi’. Mereka sibuk dengan urusan domestik, khususnya mengasuh anak yang masih kecil, sehingga ada kendala waktu untuk mengakses informasi. Posyandu dan PKK adalah program yang strategis yang dapat digunakan untuk menjangkau kelompok ini dalam pengembangan program PMTCT pada populasi umum. Ini sejalan dengan strategi nasional PMTCT yang mengintegrasikannya dengan layanan KIA-KB. 6) Kelompok perempuan muda membutuhkan peningkatan kapasitas dan keterampilan sosial untuk menghindari diri dari paksaan dan kekerasan (seksual dan non-seksual) dalam pacaran, perkawinan atau di tempat kerja. Program semacam ini penting untuk memberdayakan perempuan agar mereka lebih sadar akan hak-haknya sehingga mereka bisa menghindari unwanted sex, unsafe sex dan coercive sex. 7) Secara pedagogik, menjangkau kelompok perempuan muda penting untuk memperlakukan mereka sebagai ’perempuan muda’, bukan sebagai anakanak lagi. Tentu saja variasi usia penting untuk diperhatikan dalam intervensi program. Pesan-pesan tidak dapat disampaikan dengan gaya mendikte atau mengkuliahi. Kami setuju dengan pendekatan interpersonal melalui diskusi 71 kelompok kecil sehingga mereka lebih terbuka untuk bertanya dan mengkritisi norma-norma tradisional tentang gender dan seksualitas. Untuk ranah penelitian, rekomendasi kami adalah: 1) Kajian sejenis terhadap laki-laki muda tetap penting dilakukan agar diperoleh pemahaman tentang norma-norma gender dalam kelompok ini. Kajian tersebut penting karena kita mengetahui laki-laki muda memiliki perilaku risktaking yang menonjol dalam konteks KRS sehingga menempatkan mereka pada resiko penularan PMS dan HIV. 2) Kajian pada tingkat kebijakan lokal yang menyangkut alokasi dan prioritas program penanggulangan HIV/AIDS. Dalam konteks ini melihat peran KPAD mensinergikan berbagai instansi terkait dalam merancang kebijakan dan program yang berkesinambungan. 72 Referensi Arida, I.N.S. 2005. Seks dan Kehamilan Pranikah: Remaja Bali di Dua Dunia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada. Badan Perencanaan Daerah Kota Tasikmalaya. 2007. Indikator Gender Kota Tasikmalaya tahun 2007. Badan Pusat Statistik Kota Sukabumi. 2008. Kota Sukabumi dalam Angka tahun 2008. Sukabumi: BPS Kota Sukabumi. Badan Pusat Statistik Kabupaten Karawang. 2008. Karawang dalam Angka tahun 2007. Karawang: BPS Kabupaten Karawang. Beni, R. 2004. “Hambata Keluarga dalam upaya mencegah HIV/AIDS pada Remaja di Indonesia”, Warta Demografi, tahun 34 no.4: 22-31. Hanum, S.H. 1997. Perkawinan Usia Belia. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Horikoshi, H. 1987. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M. Indraswari. 1999. “Fenomena kawin muda dan aborsi: gambaran kasus” dalam S. Hasim (ed.) Menakar ‘Harga’ Perempuan: Eksplorasi lanjut atas Hak-hak Reproduksi Perempuan dalam Islam. Bandung: Penerbit Mizan. Jones, G.W. 1997. “Modernization and Divorce: Contrasting Trends in Islamic Southeast Asia and the West”, Population and Development Review 23(1): 95-114. Jones, G. W. 2001. ‘Which Indonesian Women Marry Youngest, and Why?’, Journal of Southeast Asian Studies 32 (1): 67-78. Jones, G.W. dan B. Gubhaju. 2008. Trends in Age at Marriage in the Provinces of Indonesia. Working Paper Series no. 105. Singapore: Asia Research Institute, National Unversity of Singapore. Jones, G.W., Asari, Y., and Djuartika, T. 1994. “Divorce in West Java”, Journal of Comparative Family Studies 25(3): 395-416 Khisbiyah, Y., Murdijana,D. dan Wijayanto. 1997. Kehamilan tak Dikehendaki di Kalangan Remaja. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Laksmiwati, I.A.A. 1999. Perubahan Perilaku Seks Remaja Bali. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Noerdin, E., et.al. 2005. Representasi Perempuan dalam kebijakan Publik di Era Otonomi Daerah. Jakarta: Women Research Institute. 73 Petchesky, R.P. 2003. Global Prescriptions, Gendering Health and Human Rights. London: Zed Books. Pikiran Rakyat, 22 Mei 2009 Saifuddin, A. F. dan Hidayana, I.M. 1999. Seksualitas Remaja. Jakarta: Sinar Harapan. Sarwono, S.W. 1981. Pergeseran Norma Perilaku Seksual Kaum Remaja: Sebuah Penelitian Terhadap Remaja Jakarta. Jakarta: C.V. Rajawali. Simon, S. dan S.J. Paxton. 2004. “Sexual risk attitudes and behaviours among young adult Indonesians”, Culture, Health and Sexuality 6 (5): 393-409 Simon, W. 1996. Postmodern Sexualities. New York: Routledge Sundaram, A. 2005. Modernization, Life Course and Marriage Timing in Indonesia. PhD thesis, University of Maryland, College Park. Tan, M.L., T.U.Batangan dan H.Cabado-Espanola. 2001. Love and Desire: Young Filipinos and Sexual Risks. Manila: University Center for Women’s Studies. Widjanarko, M. 1999. Seksualitas Remaja. Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta: Pusat Penelitan 74