analisis terhadap perlindungan hukum konsumen listrik - USU-IR

advertisement
ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM
KONSUMEN LISTRIK: STUDI PADA PT. PLN RANTING
DEWANTARA DI KABUPATEN ACEH UTARA
TESIS
Oleh
SYUKRI
077011061/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
Syukri : Analis is T erhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik: Studi Pada PT. PLN Ranting
Dewantara Di Kabupaten Ac eh Utara, 2010.
ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM
KONSUMEN LISTRIK: STUDI PADA PT. PLN RANTING
DEWANTARA DI KABUPATEN ACEH UTARA
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
SYUKRI
077011061/MKn
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
1
Judul Tesis
: ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM
KONSUMEN LISTRIK: STUDI PADA PT. PLN
RANTING DEWANTARA DI KABUPATEN ACEH
UTARA
Nama Mahasiswa : Syukri
Nomor Pokok
: 077011061
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)
Ketua
(Prof.Dr.Suhaidi, SH, MH)
Anggota
Ketua Program Studi,
(Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN)
Tanggal lulus : 24 Agustus 2009
(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn)
Anggota
Direktur,
(Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc)
2
Telah diuji pada
Tanggal : 24 Agustus 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua
: Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum
Anggota
: 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH
2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn
3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum
3
ABSTRAK
Prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
Tentang Ketenagalistrikan, PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan wajib menyediakan tenaga listrik secara terus-menerus
(berkesinambungan) dengan mutu dan keandalan yang baik, juga wajib memberikan
pelayanan yang baik kepada pelanggan/konsumen listrik. Ternyata keadaan yang
ditemui sekarang berbeda jauh dengan apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang
ketenagalistrikan. Akibat krisis pasokan listrik yang dialami hampir di seluruh
pelosok tanah air, PT PLN tidak mampu menyediakan tenaga listrik secara terus
menerus kepada pelanggannya. Hal ini terbukti dengan seringnya pemadaman listrik
bergilir yang dilakukan PT. PLN kepada pelanggan/konsumen listrik. Pemadaman
listrik yang dilakukan PT PLN kepada pelanggan/konsumen listrik yang seringkali
tanpa pemberitahuan terlebih dahulu membawa dampak negatif terhadap
pelanggan/konsumennya. Masalah kerusakan alat-alat elektronik peralatan rumah
tangga para konsumen listrik adalah yang seringkali dikeluhkan terutama konsumen
listrik. Adanya ganti kerugian yang dijanjikan oleh undang-undang ketenagalistrikan
ternyata masih jauh dari yang diharapkan konsumen listrik. Keadaan ini terungkap
dari hasil wawamcara yang telah dilakukan terhadap (YLPK) dan Tim Advokasi
Konsumen Listrik (TAKOL) serta 30 (tiga puluh) orang konsumen listrik di Wilayah
Ranting Dewantara Kabupaten Aceh Utara.
Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi Wilayah PT. PLN Ranting
Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Penelitian dilakukan bersifat deskriptif analitis
dengan menggunakan metode pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan
Perundang-undangan. Alat pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen
dalam pedoman wawancara. Analisis dilakukan dengan metode deduktif yakni
berbanyak preminor mayor ke premis minor untuk menarik kesimpulan
Pembayaran kompensasi yang dilakukan oleh PT PLN kepada
konsumen/pelanggan listrik sebesar 10 apabila PT PLN melakukan
kesalahan/pelanggaran terhadap 3 (tiga) poin indicator yaitu Nomor 5,6 dan 12
sesuai dengan SK 114.12/36/03/2002 . Gugatan class acton dalam Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan tidak ada pengaturannya, yang ada
hanya dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999.
Gugatan class action bidang pelindungan konsumen di Pengadilan Negeri Banda
Aceh baru sekali diputuskan yakni pada tahun 2000 dan putusan ini juga tidak
berpihak kepada perlindungan konsumen melainkan berpihak kepada PT.PLN.
Kata kunci :
Perlindungan Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen Listrik
4
ABSTRACT
Principles existed based on main in Law Number 15 Year 1985 of Electrical
Power, PT. PLN as the only Electrical Power Trustee must continuously apply good
services to consumers besides best and reliable electric power supply. The real actual
fact is very contrary to electrical power ordinance/regulations. Decrease of electric
power supplies all over the country unable PT PLN to keep on suuplying consumers.
This is mostly proved by alternating electric power supplies disconnenction done by
PT. PLN. Uninformed electric power disconnection causes bad effects on consumers,
especially for electronic and household equipments. The compensation promised by
electrical power ordinance is unable to fulfill consumer’s wish. This is exposed by
reviewing the results of interview done toward related sides, namely, PT. PLN,
(YLPK), and also toward 30 consumers in Twig of Dewantara North Aceh Regency.
The study takes place in PT. PLN territory Twig of Dewantara North Aceh
Regency as the best selected location. The research is analytical-descriptive with
normative-jurisdistional
approach
method
besides
empiricaljurisdictional/sociological approach in order to support law research/normativejurisdictional. Data gathering tools derive from library research and field
research.The compensation promised by electrical power ordinance is only limited to
compensating payment for those who overpay and those who play pay less than their
required account.
To get the related compensation, consumers must be able to prove that PLN
has made mistakes/violation about 3 indicating points of Service Quality Level (TMP)
of 13 determined points, namely, 10 % compensation of subscription fee for violating
points 5, 6, dan 12. The conflict settlement commonly chosen by consumers
(personally) is by appointing Consumers Dispute Settlement Committee (BPSK)
which demands services by the way of concialition, mediation or arbitration, outside
of civil judgement. On the other hand, conflict involves a large nimber/group of
consumers (Class Action), the management of electric consumer’s right protection in
current electrical power ordinance is rarely found, primarily in which it is really
excluded. It only contains consumer’s obligation. In fact, Class Action has been
acknowledged for 6 years in Indonesia since year 2000, but there is no consumer’s
conflict settlement granted by Banda Aceh First Instance Courts judges through this
kind of accusation.
Key words :
Law Protection Dispute Settlement Electric Power Consumer
5
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmatNya maka penulisan tesis dengan judul “ANALISIS TERHADAP
PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN LISTRIK: Studi pada PT. PLN
Ranting DEWANTARA, KABUPATEN ACEH UTARA” Alhamdulillah dapat
diselesaikan.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi
untuk memperoleh gelar magister di bidang ilmu kenotariatan pada Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan,
pengarahan dan bantuan dari banyak pihak terutama dari team dosen pembimbing.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih, teristimewa kepada Bapak Prof. Dr.
Budiman Ginting, SH, MHum, selaku pembimbing utama, Bapak Prof. Dr.
Suhaidi, SH, MH, selaku pembimbing kedua dan Chairani Bustami, SH, SpN,
MKn, selaku pembimbing ketiga atas kesediannya memberikan bimbingan, petunjuk
dan saran-saran sejak awal penulisan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga terutama kepada :
1.
Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpAK, selaku Rektor Universitas
Sumatera Utara;
6
2.
Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara;
3.
Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, sebagai Ketua Program Studi
Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
4.
Dr. T. Keizerina Devi Anwar SH, CN, MHum, selaku sekretaris Program studi
Magister Kenotariatan serta sebagai Penguji;
5.
Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Penguji;
6.
Bapak-bapak dan Ibu-ibu guru besar dan staf pengajar pada Program Magister
Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara;
7.
Bapak Maimun Muhammad, Asisten Manager PT. PLN Lhokseumawe;
8.
Bapak H. Ali Basyah Manager PT. PLN Rayon Lhokseumawe;
9.
Bapak Zulfitri, Manager PT. PLN Ranting Dewantara Kabupaten Aceh Utara;
10.
Bapak Irwansyah an. Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe bagian tindak
pidana umum;
11.
Ibu Fahmiwati, SE, selaku Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen
YLPK;
12.
Istri tercinta Nurjani, A. Ma. Pd (Almh) yang senantiasa memberi motivasi agar
senantiasa selalu berusaha dan jangan pernah lupa berdoa dalam mencapai citacita dan selalu yakin bahwa apa yang menjadi kehendak Allah SWT adalah
yang terbaik bagi hambaNya, dan teramat kasih untuk anak-anakku tersayang
(Nur Aernini Putri, Nilam Suri Rahmayani, Dara Triani Putri dan Desi Aeriani
7
Putri), yang dengan perhatian dan dukungan kalian semua membuat ayah
senantiasa bersemangat untuk menyelesaikan sekolah ini;
13.
Ayahandaku tercinta H. Ilyas Ahmadi (Alm) yang sampai akhir hayatnya
senantiasa memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis agar penulis
dapat menjalani hidup ini sebaik-baik jalan yang telah ditentukan Allah SWT,
juga kepada Ibunda tercinta Hj. Rahmani (Almh) yang senantiasa memberikan
yang terbaik buat anak-anaknya yang membuat penulis yakin bahwa kasih ibu
memang sepanjang jalan adanya. Dan terima kasih yang tak dapat diucapkan
untuk keluarga besarku terutama yang senantiasa mendoakan penulis dari jauh
dengan doa tulus dan ikhlas kepada kakak-kakak dan adik.
14.
Semua pihak yang telah banyak membantu penulisan tesis ini, khususnya Abdul
Muthaleb Debora, Imelda sebagai pembanding dan suami Ibu Nina yang selama
ini selalu mendukung kami belajar bersama serta rekan-rekan seperjuangan
mahasiswa/i Magister Kenotariatan Group C Angkatan 2007 yang tidak dapat
penulis sebutkan namanya satu persatu.
Akhir kata, penulis sangat menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini
masih jauh dari memadai. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran
yang konstruktif dari rekan-rekan semua yang telah meluangkan waktu untuk
membaca tesis ini agar tesis ini dapat semakin mendekati kelayakan.
Medan, Juni 2009
Penulis
(SYUKRI)
8
RIWAYAT HIDUP
I.
Identitas Pribadi
Nama
: Syukri
Tempat/Tanggal Lahir : 12 Mei 1961
II.
Status
: Kawin
Alamat
: Komplek BTN PT AAF, Blok A, No. 5 Paloh Lada,
Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara.
Orang Tua
Nama Ayah
: H. Ilyas Ahmadi (Alm)
Nama Ibu
: Hj. Rahmani (Almh)
III. Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar (SD) Negeri No. 8 Lhokseumawe :
Tamat tahun 1975.
2. SMP Negeri Cunda
:
Tamat tahun 1979.
3. SMA Negeri Bireuen
:
Tamat tahun 1982.
4. S1 Universitas Malikussaleh Lhokseumawe
:
Tamat tahun 2006.
9
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK......................................................................................................
i
ABSTRACT.....................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN .........................................................................
1
A. Latar Belakang..........................................................................
1
B. Perumusan Masalah ..................................................................
14
C. Tujuan Penelitian ......................................................................
14
D. Manfaat Penelitian ....................................................................
15
E. Keaslian Penelitian ...................................................................
16
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ...................................................
16
1. Kerangka Teori ...................................................................
16
2. Konsepsi .............................................................................
19
G. Metode Penelitian .....................................................................
23
1. Spesifikasi Penelitian ..........................................................
23
2. Bahan Penelitian .................................................................
23
3. Metode Pengumpulan Data .................................................
24
4. Analisa Data .......................................................................
26
5. Jalannya Penelitian..............................................................
27
10
BAB II
BAB III
ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAKHAK KONSUMEN LISTRIK DITINJAU DARI UNDANGUNDANG NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG
KETENAGALISTRIKAN ...........................................................
29
A. Profil Perusahaan PT. PLN (Persero) ........................................
29
B. Pengaturan Hukum Tentang PT. PLN selaku Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan Serta Hak dan Kewajiban
Perusahaan................................................................................
33
C. Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pelanggan/Konsumen
Listrik Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
Tentang Ketenagalistrikan ........................................................
37
D. Pengaturan Tarif Dasar Listrik (TDL) Dalam Hubungannya
Dengan Perlindungan Hukum Konsumen Listrik ......................
41
E. Standar/Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) ...................................
47
F. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Konsumen Listrik
Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang
Ketenagalistrikan ......................................................................
52
UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN
LISTRIK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8
TAHUN 1999 ................................................................................
58
A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen .................
58
B. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
(UUPK) ....................................................................................
71
C. Upaya
Penyelesaian
Sengketa
Konsumen
Menurut
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen (UUPK) ..................................................................
76
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Diluar Peradilan Umum
(BPSK) ...............................................................................
79
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Peradilan
Umum .................................................................................
85
11
BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN
DALAM
PELAKSANAAN
PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN
LISTRIK DI RANTING DEWANTARA KABUPATEN
ACEH UTARA .............................................................................
90
A. Hambatan/Kendala dari Pelaku Usaha (PT.PLN) ......................
90
B. Hambatan/Kendala dari Pelanggan/Konsumen Listrik...............
96
C. Upaya Mengatasi Hambatan ..................................................... 101
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 103
A. Kesimpulan............................................................................... 103
B. Saran ........................................................................................ 105
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 107
12
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Judul
Halaman
1.
Daftar Pertanyaan Pejabat PT. PLN ..........................................
113
2.
Daftar Pertanyaan Kepada Ketua Yayasan Lembaga
Perlindungan Konsumen (YLPK) Banda Aceh..........................
115
Daftar Pertanyaan Pegawai Atau Pejabat Kantor Kejaksaan
Negeri Lhokseumawe ...............................................................
116
Daftar Pernyataan Para Konsumen Listrik Rumah Tangga .......
117
3.
4.
13
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hak dan perlindungan konsumen merupakan salah satu hal yang menarik
untuk dibahas, karena perlindungan terhadap konsumen sampai sekarang ini masih
banyak kasus yang timbul, banyak yang masih tidak terselesaikan dengan baik. Hal
ini juga makin diperparah dengan tidak bijaknya pemerintah dalam menyikapi
masalah perlindungan terhadap konsumen. Padahal kita dapat melihat bahwa
perlindungan terhadap konsumen sangatlah penting diberikan oleh pemerintah dan
pihak pelaku usaha.
Tindakan pelaku usaha dalam hal ini banyak menyebabkan kerugian bagi
pihak konsumen, masalah hak dan perlindungan konsumen maka kita diharapkan
dapat lebih memahami apa sebenarnya yang dikatakan dengan perlindungan terhadap
konsumen. Pihak konsumen selama ini masih ada yang tidak mengerti apa saja yang
menjadi hak mereka dan kewajiban yang harus mereka dapatkan pada suatu pelaku
usaha yang menjual jasa ataupun bentuk pelayanan lainnya. Dalam hal ini peran
pemerintah
dalam
memberikan
sanksi tegas
terhadap
pelaku
usaha
dan
memperhatikan hak dan kewajiban konsumen yang lebih besar, oleh karena itu
masalah perlindungan terhadap konsumen tidak saja menjadi tanggung jawab penjual
barang dan jasa tetapi merupakan tanggung jawab mutlak pemerintah, yang dalam hal
ini sebagai pemberi pelayanan terhadap publik.
14
Selama ini banyak konsumen yang merasa dirugikan akibat tidak jelasnya
perlindungan terhadap mereka, salah satu penyebab dikarenakan oleh lemahnya
hukum dan perlindungan terhadap konsumen, selain itu juga pihak konsumen yang
merasa dirugikan dengan pemadaman listrik setiap hari namun tidak pernah melapor
kepada pihak yang terkait atau pihak yang berwenang terhadap kerugian yang telah di
deritanya.
Setiap orang baik secara individu maupun berkelompok pada suatu saat pasti
menjadi konsumen dari suatu produk barang atau jasa tertentu. Namun demikian,
hubungan perdata antara pelaku usaha dan konsumen tidak selamanya akan
berlangsung harmonis dan saling menguntungkan. Karena konsumen sebagai pihak
yang dilayani, biasanya berada pada posisi lemah, maka pelaku usaha sebagai salah
satu badan usaha pelayanan jasa berpotensi atau berpeluang besar untuk wanprestasi
atau merugikan konsumennya dengan mudah.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah ditemukan
suatu sistem ketenagalistrikan yang berperan penting bagi perkembangan hidup dan
kehidupan masyarakat berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang
Ketenagalistrikan. Menanggapi perkembangan teknologi tersebut, Pemerintah
Indonesia telah menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan untuk memberi
rambu-rambu hukum secara tertulis kepada perorangan atau lembaga yang
berkepentingan dengan perlindungan konsumen tersebut, berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 57,
Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Indonesia, Peraturan
15
Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun
2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan
Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
Dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)
diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia. Istilah
“mengembangkan” yang digunakan di dalam Pasal 31 Undang-undang Perlindungan
Konsumen ini yang telah diatur dalam pasal lain, khususnya tentang pengaturan hak
dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, pengaturan larangan-larangan bagi
pelaku usaha di dalam menjalankan bisnisnya, pengaturan tanggung jawab pelaku
usaha dan pengaturan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen. 1
Satu hal penting yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya untuk mewujudkan
suatu pembangunan energi adalah daya yang dapat digunakan untuk melakukan
berbagai proses kegiatan meliputi energi listrik, mekanik dan panas. Keberadaan
energi listrik sebagai sarana penerangan bagi masyarakat, dan berfungsi menjadi
salah satu indikator untuk dapat dilaksanakannya pembangunan. Banyak aktifitas
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam meningkatkan
kesejahteraan mempergunakan energi listrik.
1
Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, hal 195.
16
Pentingnya energi listrik bagi masyarakat dapat ditunjukkan dengan besarnya
penggunaan listrik oleh masyarakat baik itu untuk konsumsi rumah tangga maupun
industri dan perdagangan dalam skala lokal maupun nasional. Tentunya hal ini akan
sangat mempengaruhi produksi barang maupun jasa. Hal lainnya yang tak kalah
penting sehubungan dangan fungsi listrik ini adalah adanya kemajuan teknologi
komunikasi maupun informatika yang turut memperluas ruang gerak arus transportasi
barang maupun jasa.
Mengingat arti penting listrik dalam kehidupan masyarakat dan pengusaha,
maka penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Negara yang pelaksanaannya dilakukan
oleh PT. PLN dan PT. PLN yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik
dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan di Indonesia.
Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup dalam jumlah
mutu dan keandalannya dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat merupakan
masalah
utama
yang
perlu
diperhatikan.
Karena
tujuan
pembangunan
ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berdasarkan Undangundang Dasar 1945, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh Pemerintah agar
terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar. 2
Pasokan listrik yang mencukupi, harga yang terjangkau adalah harapan
seluruh konsumen pelanggan listrik di Indonesia, namun kenyataannya sering sekali
2
Lihat penjelasan Umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan,
alinea ke 10.
17
konsumen menemui kenyataan bahwa arus listrik terpaksa naik dengan berbagai
alasan dan seringnya pemadaman arus listrik bergilir dengan berbagai alasan pula.
Fahmi Muchtar. Direktur PT. PLN Medan menyatakan bahwa Sumatera Utara
surplus listrik 125 MW tahun ini, sejumlah proyek pembangkit tenaga listrik
di Sumatera Utara akan rampung pada tahun 2009, diantaranya di Pelabuhan
Angin, Sicanang, Sibayak Karo dan Sipa Horas sehingga jumlahnya
diperkirakan mencapai 250 MW, Sumatera Utara akan surplus 125 MW, dan
menurut Fahmi, bertambahnya pasokan arus listrik diharapkan dapat
memenuhi kebutuhan listrik di daerah, baik kebutuhan listrik rumah tangga
maupun untuk industri, juga dapat membantu program Gubernur Sumatera
Utara dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Sumatera Utara.
PLN Medan sedang membangun sejumlah pembangkit tenaga listrik baru di
sejumlah daerah diantaranya di Nagan Raya Aceh yang berkapasitas 2x100
MW, dan di Pangkalan Susu 2x200 MW. 3
Selain seringnya pemadaman listrik yang dirasakan oleh masyarakat sebagai
konsumen adalah pembayaran rekening listrik yang tidak sesuai dengan pemakaian
konsumen dan sering sekali konsumen terpaksa membayar harga yang telah
ditentukan dalam tagihan rekening listrik walaupun kenyataannya pemakaian listrik
oleh konsumen tidak sebesar yang tercantum dalam tegihan tersebut. Dalam peraturan
perundang-undangan konsumen mendapat perlindungan secara hukum sejak
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen, sedikit banyak telah membuat lega masyarakat dan pelaku usaha yang
notabene adalah konsumen. Namun bagaimana perlindungan terhadap hak-hak dan
kewajiban konsumen listrik.
Tunggakan rekening listrik di Lhokseumawe mencapai Rp 7,4 Miliar, jumlah
tunggakan rekening listrik di PLN Rayon Lhokseumawe yang memiliki
pelanggan 36.168 itu hingga 1 Maret 2009 mencapai 7,4 Miliar. Namun mulai
sekarang bagi pelanggan yang menunggak bukan hanya dari instansi
3
Harian, Medan Bisnis, 8 Januari 2009, hal 1.
18
Pemerintah saja yang akan berhadapan dengan penegak hokum, tapi bagi
masyarakat umum dipastikan akan mendapat pemanggilan. Dalam hal ini
pihak Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.
Kepala PLN Rayon Lhokseumawe, Ali Basyah mengatakan dari total 7,4
miliar yang menunggak Rp 1,3 miliar diantaranya berasal dari instansi
Pemerintah daerah dan dari pelanggan umum mencapai Rp 6 miliar lebih.
“Jumlah tunggakan sekarang ini mencapai 150 persen dari omset perbulan
yang hanya sekitar Rp 4,9 Miliar.” Berdasarkan realita itu Ali Basyah,
pihaknya pun kembali meminta pihak Kejaksaan Negeri (Kejari)
Lhokseumawe membuat pelanggan memenuhi kewajibannya membayar
listrik. 4
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, konsumen mendapat
perlindungan secara hukum. Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sedikit banyak telah membuat lega
masyarakat yang notabene adalah konsumen. Namun sebagaimana perlindungan
terhadap hak-hak konsumen ketenagalistrikan. Masyarak Indonesia sebagai penerima
jasa pelayanan publik sering mengalami kesulitan akibat ketiadaan standar pelayanan
yang jelas. Masyarakat atau konsumen akan mudah secara sepihak dijatuhi sanksi jika
yang bersangkutan terlambat membayar kewajibannya, tetapi sebaliknya sanksi yang
sama tidak dapat diarahkan kepada pejabat tata usaha negara (baca aparat
BUMN/BUMD) yang terlambat merealisasikan pelayanannya kepada masyarakat.
Ketimpangan ini dapat terjadi disemua sector kehidupan. 5 Termasuk juga yang terjadi
pada pelayanan publik yang diberikan oleh PT. PLN. Hal-hal yang masih mewarnai
masalah kelistrikan yang dialami oleh masyarakat atau konsumen dapat ditemukan
antara lain :
4
Harian, Serambi Pase, tanggal 19 Maret 2009, hal 9.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Penerbit PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hal 173.
5
19
a) Kesalahan pencatatan tagihan rekening listrik;
b) Pemadaman listrik tanpa pemberitahuan;
c) Biaya Penyambungan baru;
d) Voltase listrik naik turun (berakibat rusaknya alat-alat elektronik/rumah
tangga);
e) Pembongkaran KWH meter/alat pembatas dan pengukur (dengan alasan
menunggak rekening listrik beberapa bulan, padahal baru beberapa hari
menyala, segel tidak ada);
f) Pembayaran rekening dikaitkan dengan pembayaran punggutan/retribusi. 6
g) Pemasangan jaringan baru tanpa memakai KWH.meter.
Dalam prinsip-prinsip yang dianut Undang-undang tentang Ketenagalistrikan,
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PT.PLN) wajib menyediakan tenaga
listrik secara terus menerus dengan mutu dan keadalan yang baik, juga wajib
memberikan
pelayanan
yang
sebaik-baiknya
kepada
masyarakat, 7
telah
mencerminkan adanya kewajiban memberikan perlindungan terhadap konsumen
listrik. Pelanggaran terhadap ini tentu ada konsekuensi hukumnya, kecuali terbukti
adanya keadaan mendesak diluar kemampuan manusia (force majeur) seperti bencana
alam atau gempa bumi yang tidak dapat dihindarkan.
6
Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 176.
7
Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang ketenagalistrikan jo Pasal
25 Peraturan Pemerintah Nomo 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik.
20
Konsekuensi hukumnya tidak hanya sekedar permintaan maaf, melainkan kalau
perlu pemberian ganti rugi kepada para pelanggan/konsumen akibat padamnya listrik.
Konsekuenssi ini wajar, mengingat bila konsumen diduga merugikan PT. PLN,
padahal belum tentu terbukti kebenarannya menurut hukum, konsumen terpaksa
membayar dugaan kerugian tersebut karena kepentingan agar listrik konsumen tidak
diputus. Terhentinya penyediaan tenaga listrik dalam batas-batas tertentu ternyata
dilindungi oleh undang-undang melalui standar mutu dan keandalan. Artinya harus
ada penetapan standar jumlah dan lama terhentinya penyediaan tenaga listrik karena
gangguan. Bila PT. PLN melanggar standar ini, terbuka peluang kecil untuk
mengajukan gugatan ganti rugi. 8
Lain halnya dengan penghentian listrik untuk sementara, tidak memberikan hak
bagi konsumen/pelanggan untuk menuntut ganti kerugian, asal dipenuhi salah satu
atau lebih persyaratan sebagai berikut :
1. Pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan, perluasan dan rehabilitasi instalasi
ketenegalistrikan.
2. Keadaan yang membahayakan keselamatan umum.
3. Atas perintah yang berwajib dan /atau Pengadilan. 9
Ternyata dimensi hukum padamnya aliran listrik tidak mengembirakan bagi
pelanggan/konsumen listrik terutama konsumen rumah tangga. Karena sampai
8
Op-Cit, hal.202 dan 203.
Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik.
9
21
sekarang, hak konsumen listrik untuk mendapatkan ganti kerugian dari PT. PLN
masih menjadi hiasan dari undang-undang ketenagalistrikan.
Namun demikian masih dijumpai peluang yang sangat kecil untuk mengajukan
gugatan ganti rugi kepada PT. PLN atas dasar perbuatan melawan hukum sesuai
dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo Pasal 25 ayat
(3) Butir d Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 dimana konsumen/pelanggan
dihadapkan pada beban pembuktian yang berat karena harus membuktikan dengan
unsur-unsur yaitu :
1. Perbuatan melawan hukum;
2. Kesalahan/kelalaian tergugat;
3. Kerugian yang dialami pelanggan/konsumen;
4. Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang
dialami konsumen.
Sebelum lahir Undang-undang perlindungan konsumen yaitu Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1999 (selanjutnya disingkat menjadi UUPK), pada tahun 1997,
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melalui lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Jakarta sebagai kuasa hukumnya telah melayangkan gugatan class action
10
kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dasar hukum YLKI melakukan
gugatan perbuatan melawan hukum kepada PT. PLN adalah :
10
Diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK yang memutuskan “Gugatan atas pelanggaran pelaku
usaha dapat dilakukan oleh….b) sekelompok konsumen yang mempuyai kepentingan yang sama”.
22
Pertama, Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
Tentang Ketenagalistrikan menyebutkan “Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum wajib memberikan
pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat”.
Kedua, Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun
1989 yaitu :Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik,
disebutkan bahwa:
(1) tenaga listrik sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 15 wajib disediakan listrik secara terus menerus;
(2) Penyediaan tenaga listrik hanya dapat dihentikan untuk
sementara jika memenuhi salah satu atau lebih dari
ketentuan di bawah ini :
a. diperlukan untuk melaksanakan
suatu pekerjaan
pemeliharaan, perluasan atau rehabilitasi instalasi
ketenagalistrikan;
b. terjadi gangguan pada instalasi ketenagalistrikan;
c. terjadi keadaan yang dianggap membahayakan
keselamatan umum;
d. atas perintah yang berwajib dan/atau pengadilan.;
(3) Pelaksanaan ketentuan ayat (2) huruf a terlebih dahulu
diberitahukan kepada masyarakat selambat-lambatnya 24
(dua puluh empat) jam sebelum penghentian penyediaan
tenaga listrik.
Ketiga, Pasal 26 ayat (2) huruf b, “Masyarakat yang telah mendapatkan
tenaga listrik mempunyai hak untuk mendapatkan tenaga listrik
secara terus menerus dengan mutu dan keadaan yang baik”
Keempat, Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b Peraturan Menteri Pertambangan dan
Energi Nomor 02 P/451/M. PE/1991 Tentang Hubungan
23
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan pemegang izin
usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum dan masyarakat
dinyatakan, dalam menyediakan tenaga listrik pengusaha wajib
melakukan hal-hal sebagai berikut:
(1) memberikan pelayanan yang baik;
(2) menyediakan tenaga listrik secara berkesinambungan dengan
mutu dan keandalan yang baik sebagaimana yang diatur dalam
Peraturan Menteri tentang persyaratan penyambungan Tenaga
Listrik. 11
Dasar hukum yang melandasi Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen
melakukan class action adalah :
1. Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970
Tentang Pokok- pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan
bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan
biaya ringan;
2. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970,
disebutkan bahwa dalam perkara perdata, Pengadilan
membantu pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, 12
Gugatan YLKI ini dikalahkan di Pengadilan oleh Majelis Hakim dengan
pertimbangan-pertimbangan :
a. Pengajuan gugatan class action dengan merunjuk pada Pasal 5 ayat
(2), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, bukan berarti hakim harus mengesampingkan
ketentuan-ketentuan tertulis yang ada, khususnya hukum acara,
11
Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, Cetakan kedua, Penerbit PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 1999, hal 87 dan 88
12
Ibid. hal 88
24
melainkan harus tetap berdasarkan pada ketentuan-ketentuan formal
maupun hukum materilnya;
b. Tidak ada pasal dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 yang
mengatur
hak
konsumen
listrik
mengajukan
gugatan
perwakilan/class action, belum adanya peraturan undang-undang
yang mengatur tentang perlindungan hak-hak konsumen;
c. Gugatan class action hanya berlaku untuk lingkungan hidup, sesuai
Pasal 37 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, itupun harus diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
d. Sistem Hukum di Indonesia tidak mengenal gugatan perwakilan
kelompok/class action karena ;
1). Indonesia menganut system hukum Eropa Continental yang sama
sekali tidak mengenal gugatan class action;
2). Sesuai Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang
Kejaksaan, jaksa sebagai Pengacara Negara bertindak mewakili
masyarakat umum dengan mendapatkan terlebih dahulu surat
kuasa khusus dari instansi yang diwakilinya;
3). Menurut Pasal 123 HIR, gugatan harus diajukan oleh orang yang
berkepentingan, bukan oleh orang lain sehingga gugatan class
action bertentangan dengan Pasal 123 HIR jo. Surat edaran
Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1959 tertanggal 29 Januari
1959. 13
Sebagai instansi dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum, YLKI telah
mencoba memperjuangkan kepentingan konsumen listrik melalui jalur hukum. 14
Terlepas dari persoalan kalah menang, putusan gugatan class action dari kasus diatas
semakin mempertegas tidak akomodatifnya sistem hukum di Indonesia dalam
menampung kepentingan konsumen.
13
Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan
Konsumen (UUPK). Teori dan Praktek Penegakan hukum, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003, hal 83 dan 84.
14
Ibid,, hal 89.
25
Lemahnya posisi konsumen jasa kelistrikan di Indonesia, adalah imbasan dari
atmosfir perlindungan konsumen di Indonesia yang juga masih lemah. Dari perspektif
perlindungan konsumen, agenda ke depan yang dapat dilakukan adalah :
Pertama, mengubah format politik ekonomi. Adalah suatu relita, terhadap
serangkaian kasus konsumen yang memakan korban massal, pemerintah
selalu memihak kepada produsen. Hal ini tidak lain cerminan dari format
politik ekonomi yang belum menempatkan kepentingan masyarakat banyak
(konsumen) sebagai basis kebijakan. Perlindungan terhadap konsumen
mensyarakatkan adanya pemihakan kepada yang lemah (konsumen). Dan
setiap keputusan yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak,
harus berorientasi kepada kepentingan publik.
Kedua,
adanya lembaga dalam struktur kekuasaan yang secara khusus
menangani perlindungan konsumen. Idealnya, perlindungan konsumen
dilakukan secara simultan dari dua arah. Dari arus bawah, ada lembaga
konsumen konsumen yang kuat dan tumbuh dari bawah, dan tersosialisasi
secara merata di masyarakat. Sementara dari atas, ditopang oleh struktur
kekuasaan, ada lembaga (instansi) yang secara khusus mengurus masalah
perlindungan konsumen. Semakin tinggi lembaga tersebut dalam struktur
kekuasaan, semakin besar power yang dimiliki. Kasus di Indonesia,
ditengah sengketa konsumen semakin banyak, beban lembaga konsumen
semakin berat, karena belum adanya instansi dalam struktur kekuasaan yang
mengurusi perlindungan konsumen. Sebagai perbandingan, di negara
tetangga Malaysia. Urusan perlindungan konsumen dalam struktur
kekuasaan, dijabat level Menteri. Yaitu Kementerian Perdagangan Dalam
Negeri dan Perlindungan Konsumen.
Ketiga, mendesak adanya undang-undang perlindungan konsumen. Salah satu
kendala dalam memperjuangkan hak-hak konsumen adalah, belum
adanya peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang
secara khusus mengatur masalah perlindungan konsumen. 15
Dengan keluarnya UUPK, maka membuka peluang untuk konsumen listrik
dalam menuntut hak mereka terhadap kerugian yang ditimbulkan dari kelalaian PT.
PLN. Dari keadaan inilah yang menarik perhatian dan mendorong penulis untuk
15
Op-Cit., 1999, hal. 90.
26
melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Terhadap Perlindungan Hukum
Konsumen Listrik : Studi pada PT. PLN Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh
Utara.”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik
ditinjau dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan ?
2. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen listrik dalam rangka
perlindungan atas hak terhadap ketidakpuasan pelayanan yang diberikan oleh PT.
PLN ?
3. Apa hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak
konsumen listrik Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara ?
C. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik
ditinjau dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistriakan.
27
2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen listrik dalam
rangka perlindungan atas hak terhadap ketidakpuasan pelayanan yang diberikan
oleh PT. PLN.
3. Untuk mengetahui apa hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan perlindungan
terhadap hak-hak konsumen listrik Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan praktis yaitu :
1. Secara teoritis untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan
ilmu hukum dalam hak dan kewajiban konsumen. Selain itu penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum
khususnya di bidang hak dan kewajiban konsumen.
2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini untuk memberikan masukan kepada aparat
penegak hukum dalam penerapan system peradilan pidana terhadap hak dan
kewajiban konsumen dalam mengambil beberapa tindakan untuk menanggulangi
perbuatan
melanggar
hukum
(onrechtmatige
daad)
sehingga
dapat
mengantisipikasi inplikasi tindakan perbuatan melawan hukum dalam memenuhi
hak dan kewajiban konsumen Pembangkit Listrik Negara, selanjutnya penelitian
ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan hak dan
kewajiban
konsumen
PT
PLN
dalam
mengambil
kebijakan/keputusan oleh pelanggan maupun PT. PLN.
beberapa
rangkaian
28
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi
dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya
pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan
judul “ Analisis Terhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik : Studi Pada PT.
PLN Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara “ belum pernah dilakukan dalam
pendekatan dan peremusan masalah yang sama, walaupun ada topik penelitian
tentang hak dan perlindungan konsumen namun jelas berbeda, jadi penelitian ini
adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan
terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara
ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan
dengan pendekatan dan peremusan dalam penelitian ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Sesuai dengan penelitian ini maka sifat penelitian adalah deskriptif analisis. 16
Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada metodologi, aktifitas
penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori. 17 Deskriptif
maksudnya penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan atau
16
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982 hal 50.
Ibnu Husni, 2005, Penelitian dalam Ilmu Hukum, (Online, http:/www Kamus Hukumonline.co.id/653 words.htm) diakses pada tanggal 1 April 2008.
17
29
memberi gambaran secara sistematis, faktual dan akurat. 18 Tentang aspek
perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik ditinjau dari Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 Tentang
Kebijakan Energi Nasional dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Menurut Sultan Remy Sjahdeini, Mengartikan perjanjian standar sebagai
perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh
pemakaiannya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang
untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang dilakukan hanya
beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat,
waktu dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang dijanjikan. 19
Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk
memberikan kemudahan
(Kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari
tujuan itu, Marian darus Badruzzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai
perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 20
Dalam ilmu hukum kita mengenal dua macam subyek hukum yaitu subyek
hukum pribadi (orang perorangan) dan subyek hukum berupa badan hukum. Terdapat
,masing-masing subyek hukum berlaku ketentuan hukum yang berbeda satu dengan
yang lainnya, meskipun dalam hal tersebut keduanya dapat diterapkan suatu aturan
18
Bambang Sanggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan kedua, Penerbit Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 36.
19
Sultan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1995, hal
66
20
Mariam Darus Badruzzaman, Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari perjanjian
baku (standar), Bina Cipta, 1986, hal 58 dalam Shindarta, 119.
30
yang berlaku umum. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) tidak
satupun pasal yang menyatakan bahwa perseroan adalah badan hukum, tetapi dalam
Undang-undang Perseroan terbatas dengan secara tegas dinyatakan bahwa perseroan
adalah badan hukum. 21 Ini berarti perseroan tersebut memenuhi syarat keilmuan
sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri
terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurus.
Dalam
Undang-undang
perlindungan
berasaskan
manfaat,
keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. 22
Dalam penelitian ini juga dipakai teori pengayoman oleh Soedirman Kartohadiprodjo
yang menyatakan bahwa salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat pengayoman
masyarakat. Hukum itu mengayomi anggota masyarakat dan melindungi manusia
secara aktif. Teori lain yang dipergunakan untuk menganalisis adalah teori
perlindungan oleh Telders, Vander Grinten dan Molengraaf, dimana teori ini
menyatakan bahwa suatu aturan atau norma-norma dapat dilanggar apabila suatu
kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh aturan atau norma itu
dilanggar.
Berdasarkan keadaan diatas ada beberapa teori hukum yang dapat
dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang akan dibahas pada penelitian
ini. Teori kedaulatan Negara yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George
21
Lihat Pasal 1, ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan
Terbatas.
22
Bab II, Pasal 2 UUPK Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen .
31
Jellinek. 23 Menurut teori Kedaulatan Negara, kekuasaan tertinggi ada pada Negara
dan Negara mengatur kehidupan anggota masyarakat. Negara yang berdaulat
melindungi anggota masyarakat. Dalam hal ini negara mengeluarkan peraturanperaturan yang berfungsi sebagai panduan seluruh warga negara Indonesia dan warga
negara asing yang memiliki kepentingan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan hukum dan ekonomi di Indonesia.
2. Konsepsi
Konsep adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, konsepsi
diterjemahkan sebagai uasaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang
konkrit, yang disebut juga dengan operasional definition. 24 Pentingnya definisi
operasional adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua
(dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 25 Oleh karena itu untuk menjawab
permasalah dalam penelitian ini harus definisikan beberapa konsep dasar, agar secara
operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, atau peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan
dunia teori dengan observasi, antara abstrasi dan realitas. 26 Konsep diartikan sebagai
kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus. 27
23
Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate
Governance, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas hukum Universitas Indonesia Press, 2002), hal
11.
24
Op- Cit, 1995, hal 10.
25
Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia, Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi PPs-USU Medan,2002, hal 35.
26
Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1996, hal 63
27
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Liberty, Yokyakarta, 2003, hal 3
32
Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk pengertian mengkomunikasikannya semata-mata kepada
pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah penafsiran, tetapi juga demi menuntun
peneliti sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan. 28
Ada beberapa hak dan kewajiban konsumen yang harus diperhatikan dalam
menjalankan dan memenuhi sebagai konsumen yaitu :
1. Hak Konsumen antara lain
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan/atau jasa;
b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang
dijanjikan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
28
Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999,
hal 107-108.
33
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya 29
2. Kewajiban Konsumen antara lain
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan kunsumen
secara patut.30
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah suatu perusahaan yang
bergerak Selaku Pemegang Kuasa ketenagalistrikan yang maksudnya yaitu
kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Uasaha Milik Negara
yang diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik
29
Bab III, Pasal 4, Undang-undang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 tahun 1999, Tentang
Hak Konsumen.
30
Pasal 5, Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Tentang
Kewajiban Konsumen.
34
untuk kepentingan umum, yang diberikan tugas untuk melakukan pekerjaan usaha
penunjang tenaga listrik. 31
Pengaturan tentang hak dari PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan dapat ditemui dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989
Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik yang menyatakan :
(1). Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam Penyediaan Tenaga
Listrik berhak untuk :
a. memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh
masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan
tenaga listrik;
b. mengambil tindakan atas pelanggaran perjanjian penyambungan
listrik oleh konsumen; dan
c. mengambil
tindakan penertiban atas pemakaian tenaga listrik
secara tidak sah.
(2). Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tidak bertanggung jawab atas
bahaya kesehatan, nyawa dan barang yang timbul karena penggunaan
tenaga listrik yang tidak sesuai dengan peruntukan atau salah dalam
pemanfaatan.
Sebagaimana yang kita lihat bahwa peraturan perundang-undangan yang
mengatur tentang Ketenagalistrikan telah memuat pengaturan hak dan kewajiban
yang berjalan sesuai parallel dan diharapkan pelaksanaan terhadap masyarakat
terutama pelanggan/konsumen sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh
Perundang-undangan di bidang Ketenagalistrikan.
31
Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan.
35
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis yakni
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma adalah hukum positif. Penelitian normative analisis menggunakan pendekatan
perundang-undangan (Statute approach) yang melakukan pengkajian peraturan
perundang-undangan dengan tema sentral penelitian tentang analisis terhadap
perlindungan hukum dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999.
Pendekatan kualitatif menurut Bogdan dan Taylor didefenisikan sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. 32
2. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang
terdiri atas peraturan perundangan-undangan yang di urut berdasarkan hierarki, antara
lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah KUH Perdata, Peraturan Perundangundangan Nomor 20, tentang Ketenagalistrikan. Undang-undang Nomor 15 Tahun
1985 tentang Ketenagalistrikan.dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. Tentang
Kebijakan Energi Nasional, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006. PT. PLN
Ranting Dewantara, Kabupaten Aceh Utara dipilih sebagai lokasi penelitian secara
32
Lexy J. Moleong,,
Bandung,1990, hal. 13.
Metodologi
Penelitian Kualitatif,
PT.
Remaja
Rosdakarya,
36
sengaja (purposive) didasarkan pada pertimbangan bahwa pada daerah tersebut telah
terpasang penerangan listrik untuk masyarakat di daerah Dewantara Kabupaten Aceh
Utara.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya, maka pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui cara :
(1) Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk mendapatkan data-data
sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah dan bahanbahan hukum lainnya yang terkaitan masalah penelitian ini.
(2) Studi lapangan (field research) dilakukan untuk mendapatkan data-data primer
dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan para responden dan
informan yang berkaitan dengan permasalahan ini. Pedoman wawancara untuk
mendapatkan data sekunder melalui metode penelitian lapangan (Field Research)
yang digunakan dengan struktur yang ketat dengan memfokuskan pertanyaanpertanyaan pada permasalahan yang diangkat, sehingga diupayakan agar
informasi yang didapat bersifat mendalam dan dapat membahas permasalahan
untuk memenuhi hal ini telah disusun dalam bentuk daftar pertanyaan terlebih
dahulu sebelum kelapangan.
Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan atau data-data hukum
sekunder berupa bahan-bahan hukum primer seperti Undang-undang Nomor 15
Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002
37
Tentang Ketenagalistrikan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait
langsung dengan permasalahan ini. Disamping itu juga diperoleh dari bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier yang ada dalam buku atau dalam bentuk lain
seperti hasil seminar, hasil penelitian dan bahan lain yang terkait dengan masalah
perlindungan konsumen khususnya terhadap hak-hak konsumen listrik.
Untuk menguatkan data sekunder yang penulis dapatkan dari penelitian
kepustakaan, maka dalam penelitian lapangan ini juga menggunakan metode
Wawancara diadakan dengan beberapa informasi, seperti :
a.. Pejabat PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan 3(tiga) orang
yaitu :
1) Manager PT. PLN Ranting Krueng Geukueh Dewantara;
2) Manager Rayon PT. PLN Lhokseumawe;
3) Asisten Manager PT. PLN Lhokseumawe;
b. Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) dan Tim Advokasi
Konsumen Listrik (TAKOL) kota Banda Aceh 1 orang
c. Atas nama Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, bagian Kepala Seksi Tindak
Pidana Umum 1 orang
d. Konsumen /pelanggan PT. PLN Ranting Dewantara 30 orang. Adalah konsumen
ketenagalistrikan (konsumen listrik Rumah Tangga) yang berada di wilayah
Ranting Dewantara Kabupaten Aceh Utara.
38
Responden/informan ditentukan secara purposive sampling 33, yaitu penarikan
sample dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. 34
Untuk menguatkan data sekunder melalui metode wawancara di lapangan,
metode wawancara dipergunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang
tidak dapat diperoleh lewat pengamatan 35. Teknik wawancara yang dilakukan adalah
melalui wawancara terstruktur (guided interview).
4. Analisa Data
Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data dan
analisa data. Analisa data pada penelitian hukum lazim dikerjakan melalui
pendekatan kuantatif dan/atau pendekatan kualitatif. 36 Pada penelitian terhadap
permasalahan ini, maka digunakan metode analisis normatif-kualitatif. Normatif,
karena penelitian bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum
positif.
33
P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta,
1991, hlm. 33, menyebutkan bahwa cara purposive sample diambil berdasarkan pertimbangan
subyektif peneliti, dimana persyaratan yang dibuat sebagai kriteria harus dipenuhi sebagai sample.
34
Ronny Hanitijo Soemitro, hal 51. Purporsive Sampling dilakukan dengan cara mengambil
subyek didasarkan pada tujuan tertentu, haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. harus didasrkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciriciri utama populasi.
b. subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling
banyak mengandung cirri-ciri papapopulasi.
c. penentuan karakteristik populasi ditentukan dengan teliti dalam studi pendahuluan.
35
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 59
36
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cetakan Kedua, Penerbit Sinar
Grafika, Jakarta, 1996, hal. 19
39
Analisis data dilakukan setelah terlebih dahulu diadakan pemeriksaan,
pengelompokan, pengolahan dan evaluasi, sehingga diketahui tingkat validitasnya.
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode berfikir dedukatif,
sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan
permasalahan.
5. Jalannya Penelitian
Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian data sekunder yang
diperoleh dari studi kepustakaan serta dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan
permasalahan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik. Selanjutnya
untuk menguatkan data sekunder yang telah didapatkan, maka diadakan studi
lapangan dengan melakukan wawancara terhadap para informan yang telah
ditetapkan/ditentukan, yaitu dengan melakukan wawancara terstruktur.
Pengumpulan data dilapangan dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat izin
tertulis untuk melakukan penelitian dari Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara dengan Nomor : 2073/H5.2.2/KRK/2009.
Pengumpulan data di lapangan yang dilakukan dengan wawancara, dilakukan
dengan mendatangi langsung para responden/informan. Wawancara yang dilakukan
terhadap informan tidak cukup hanya sekali, bisa beberapa kali sampai penulis
40
merasa yakin telah mendapatkan data yang cukup dan akurat. Wawancara mana
dilakukan terhadap informan yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bapak Zulfitri, Manager PT. PLN Ranting Dewantara;
2. Bapak Maimun Muhammad, Asisten Manager PT. PLN Lhokseumawe;
3. Bapak H. Ali Basyah , Manager Rayon PT. PLN Lhokseumawe;
4. Bapak Irwansyah, SH, An. Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe;
5. Ibu Fahmiwati, SE ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK)
kota Banda Aceh, dan
6. Para konsumen/pelanggan PT. PLN
41
BAB II
ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN
LISTRIK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1985
TENTANG KETENAGALISTRIKAN
A. Profil Perusahaan PT. PLN (Persero) 37
Sejarah ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, ketika
beberapa perusahaan Belanda mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan
sendiri. Pengusahaan tenaga listrik tersebut berkembang menjadi untuk kepentingan
umum, dimulai dengan perusahaan swasta Belanda yaitu NV. NIGM yang
memperluas usahanya dari hanya di bidang gas ke bidang tenaga listrik. Selama
Perang Dunia II berlangsung, perusahaan-perusahaan listrik tersebut dikuasai oleh
Jepang dan setelah Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, perusahaanperusahaan listrik tersebut direbut oleh pemuda-pemuda Indonesia pada bulan
September 1945 dan diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya
pada tanggal 27 Oktober 1945 Presiden Soekarno membentuk Jawatan Listrik dan
Gas, dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik hanya sebesar 157,5 MW saja.
Tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PLN
(Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) yang bergerak di bidang listrik,
gas dan kokas.
Tanggal 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan dan dibentuk 2 (dua)
Perusahaan Negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengelola tenaga
37
Brosur : PROFIL PERUSAHAAN PT. PLN (PERSERO), Listrik Untuk Kehidupan Yang
Lebih Baik, tanpa halaman.
42
listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang mengelola gas. Saat itu kapasitas
pembangkit tenaga listrik PLN sebesar 300 MW. Tahun 1972, Pemerintah Indonesia
menetapkan status Perusahaan Listrik Negara sebagai Perusahaan Umum Listrik
Negara. Tahun 1990 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17, PT. PLN ditetapkan
sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan.
Tahun 1992, Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan kepada sektor
swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan tenaga listrik. Sejalan dengan
kebijaksanaan di atas, pada bulan Juni tahun 1994 status PT. PLN dialihkan dari
Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).
Membaiknya perekonomian nasional merupakan tantangan bagi PT. PLN untuk
bangkit kembali setelah bertahun-tahun sebelumnya menghadapi krisis yang
berkepanjangan akibat krisis moneter. Sedang, lingkungan bisnis yang sarat dengan
kompetensi akan merupakan tantangan bagi PT. PLN sebagai perusahaan listrik
terbesar untuk tetap eksis.
Upaya untuk meningkatkan investasi sarana penyediaan tenaga listrik dan
pelayanan
kepada
pelanggan,
yang
merupakan
usaha
untuk
tetap
dapat
mempertahankan dan melaksanakan tanggung jawab PT. PLN dalam menjamin
kelangsungan penyediaan tenaga listrik bagi masyarakat akan terus ditingkatkan.
Upaya peningkatan kemampuan perusahaan tersebut diharapkan akan memberikan
nilai tambah bagi pelanggan, perusahaan dan pemegang saham.
Dalam menjalankan roda perusahaan supaya tetap eksis dalam bisnis
kelistrikan di Indonesia, maka PT. PLN terus berupaya dalam meningkatkan dan
43
mengembangkan Visi dan Misi perusahaan. Visi PT. PLN adalah: diakui sebagai
perusahaan kelas dunia yang bertumbuh berkembang, unggul dan terpercaya dengan
bertumpu kepada potensi insani.
Adapun yang menjadi Misi dari perusahaan listrik terbesar ini adalah:
1. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi
kepada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan pemegang saham.
2. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas
kehidupan masyarakat.
3. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi.
4. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan.
Selain memiliki Visi dan Misi perusahaan, PT. PLN juga menerapkan
nilai-nilai perusahaan dalam setiap kegiatan operasional perusahaan, yaitu:
“Saling percaya, Integritas, Peduli dan Pembelajar”.
a. Peka-tanggap terhadap kebutuhan pelanggan.senantiasa berusaha
untuk tetap memberikan pelayanan yang dapat memuaskan kebutuhan
pelanggan secara cepat, tepat dan sesuai.
b. Penghargaan pada harkat dan martabat manusia.menjunjung tinggi
dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta mengakui dan
melindungi hak-hak asasi dalam menjalankan bisnis.
c. Integritas.menjunjung
tinggi
nilai
obyektifitas dalam pengelolaan bisnis.
kejujuran,
integritas,
dan
44
d. Kualitas Produk untuk ditingkatkan secara terus menerus dan terukur
serta menjaga kualitas lingkungan dalam menjalankan perusahaan.
e. Peluang yang sama untuk memajukan seluas-luasnya kepada setiap
anggota perusahaan untuk berprestasi dan menduduki posisi sesuai
dengan kriteria dan kompetensi jabatan yang ditentukan.
f. Inovatif, bersedia berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan semua
anggota perusahaan, menumbuhkan rasa ingin tahu serta menghargai
ide dan karya inovatif.
g. Mengutamakan kepentingan perusahaan, konsisten untuk mencegah
terjadinya benturan kepentingan dan menjamin didalam setiap
keputusan yang diambil ditujukan guna kepentingan perusahaan.
h. Pemegang saham dalam mengambil keputusan bisnis akan berorientasi
pada upaya meningkatkan nilai inventasi pemegang saham.
Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik diharapkan
pertumbuhan listrik akan normal kembali. Prospek usaha PT. PLN pada dasar rumah
tangga maupun industri dan bisnis, merupakan peluang bisnis yang lebih besar karena
rasio electrifikasi dan konsumsi listrik perkapita masih rendah serta Indonesia sendiri
masih dalam tahap industrialisasi.
Pada akhir tahun 2009, daya terpasang pembangkit tenaga listrik PT. PLN
mencapai 850 MW yang baru, berkapasitas pembangkitan sesuai jenisnya adalah
sebagai berikut :
45
1. Pembangkit Listrik di pelabuhan Sicanang.....................................125 MW
2. Pembangkit Listrik di Sibayak Karo dan Sipa Horas......................125 MW
3. Pembangkit Listrik di Nagan Raya...........................................2 x 100 MW
4. Pembangkit Listrik di Pangkalan Susu……………..……….2 x 200 MW 38
B. Pengaturan Hukum Tentang PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan Serta Hak dan Kewajiban Perusahaan
Dalam ruang lingkup peraturan tentang ketenagalistrikan di Indonesia, yang
mengatur
tentang
keberadaan
PT.
PLN
selaku
Pemegang
Kuasa
Usaha
Ketenagalistrikan, dapat dibedakan yaitu peraturan perundang-undangan yang
mengatur dasar hukum perusahaan dan pengaturan perundang-undangan yang
mengatur di luar itu. Dasar hukum perusahaan, berdasarkan kepada :
1. Anggaran Dasar PT. PLN Tahun 1998;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 Tentang Pengalihan Bentuk
Perusahaan Umum ( Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan
Terbatas ( Persero);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 Tentang Perusahaan
Perseroan Terbatas (Persero) ;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 Tentang Pengalihan
kedudukan, Tugas;
5. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1998 Tentang Pengalihan Pembinaan
Terhadap Perusahaan Perseroan (Persero) yang sebahagian sahamnya
dimiliki oleh Negara Republik Indonesia kepada Menteri Negara
Perdayagunaan BUMN. 39
Selain dasar hukum perusahaan yang mengaturnya, terdapat peraturan
perundang-undangan diluar itu dalam bidang ketenagalistrikan di Indonesia yang
38
Harian Medan Bisnis, 8 Januari 2009, hal, 1
Brosur : PROFIL PERUSAHAAN PT. PLN (PERSERO), Listrik Untuk Kehidupan Yang
Lebih Baik, tanpa halaman.
39
46
menjadi acuan, selain dari peraturan dasar hukum perusahaan yang telah disebut
diatas, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 1 985 Tentang Ketenagalistrikan
(yang dinyatakan berlaku kembali setelah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002
Tentang ketenagalistrikan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah
Konstitusi) dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tantang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik.
PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan maksudnya adalah
kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha milik negara yang
diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik
untuk kepentingan umum, dan diberi tugas untuk melakukan pekerjaan usaha
penunjang tenaga listrik.
40
Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang
Ketenagalistrikan tidak ditemui pasal yang mengatur tentang hak dari Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PT. PLN), namun tentang kewajiban dari Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun
1985 tersebut. Pegaturan tentang kewajiban PT. PLN ditemui dalam Pasal 15
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, yang berbunyi :
(1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum wajib :
a. menyediakan tenaga listrik;
b. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat;
c. memperhatikan keselamatan kerja dan keselamatan umum.
40
Pasal 1, angka (5) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan.
47
(3) Ketentuan
tentang hubungan antara Pemegang
Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan
untuk kepentingan Umum dengan masyarakat yang menyangkut hak,
Kewajiban dan tanggung
jawab masing-masing diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik, menegaskan lebih lanjut kewajiban dari PT. PLN yaitu pada Pasal 15
ayat (1) berbunyi : tenaga listrik yang disediakan untuk kepentingan umum, wajib
diberikan dengan mutu dan keandalan yang baik.
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga
Listrik, pada Pasal 25 menegaskan lebih lanjut kewajiban dari PT. PLN yaitu :
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan tenaga
listrik wajib :
a. memberikan pelayanan yang baik;
b. menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan
keandalan yang baik;
c. memberikan perbaikan, apabila ada gangguan tenaga listrik;
d. bertanggung jawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap nyawa,
kesehatan, dan barang yang timbul karena kelalaian , dan
e. melakukan pengamanan instalasi ketenagalistrikan terhadap bahaya yang
mungkin timbul karena kelalaian.
Selain itu, dalam Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi
Nomor 114-12/39/600.2/2002 Tentang Indikator Mutu Pelayanan Penyediaan Tenaga
Listrik untuk Umum yang disediakan oleh PT. PLN (Persero), pada Pasal 1 ayat (1)
menegaskan bahwa PT. PLN wajib memenuhi pelayanan yang baik kepada
masyarakat umum dengan memperhatikan hal-hal berikut :
48
a. Hak dan kewajiban penerima pelayanan dan jadwal waktu pelayanan yang
baik diatur secara jelas;
b. Prosedur dan mekanisme pelayanan mudah dipahami, sederhana serta
diimpormasikan secara luas;
c. Pelayanan diberikan secara tertib dan teratur sesuai prosedur yang sudah
ditetapkan. Pengaturan tentang hak dari PT. PLN selaku Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan dapat dijumpai dalam Pasal 25 Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik, yang dinyatakan :
(1)
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan
tenaga listrik berhak untuk :
a. memeriksa
instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh
masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan
tenaga listrik;
b. mengambil tindakan atas pelanggaran perjanjian penyambungan
listrik oleh konsumen dan
c. mengambil tindakan penertiban atas pemakaian tenaga listrik
secara tidak sah.
(2). Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tidak bertanggung jawab
atas bahaya kesehatan, nyawa dan barang yang timbul karena
penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan peruntukannya
atau salah dalam pemanfaatan..
Sepintas kita melihat bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang ketenagalistrikan telah memuat pengaturan hak dan kewajiban yang berjalan
secara paralel, dan diharapkan pelaksanaannya terhadap masyarakat terutama
pelanggan/konsumen listrik sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh perundangundangan dibidang ketenagalistrikan.
49
C. Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pelanggan/Konsumen Listrik Menurut
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan
Kewajiban utama pelanggan PT. PLN adalah membayar rekening listrik tepat
waktu. Sebaliknya pelanggan PT. PLN berhak mendapatkan tenaga listrik secara
berkesinambungan dengan keadaan baik.Bahkan apabila terjadi gangguan, pelanggan
PT. PLN berhak mendapatkan pelayanan untuk perbaikan terhadap gangguan
penyediaan tenaga listrik atau penyimpangan atas mutu tenaga listrik yang
disalurkan. 41
Namun kondisi yang ditemui sekarang ini adalah bahwa pelanggan belum
mendapatkan pelayanan secara optimal, mungkin akibat kurangnya pengetahuan
masyarakat terhadap apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka sebagai konsumen
listrik dan apa pula hak dan kewajiban PT. PLN selaku produsen tenaga listrik. Selain
itu, belum terciptanya hubungan timbal balik yang serasi antara PT. PT. PLN dengan
pelanggan/konsumen listrik telah menyebabkan banyak informasi dari PT. PLN yang
sebenarnya layak untuk diketahui pelanggan, tidak sampai kepada pelanggan. Boleh
jadi, banyaknya keluhan pelanggan tentang pelayanan PT PLN lahir karena
pelanggan selama ini tidak mengetahui informasi mengenai pelayanan PT PLN.
Akibat ketidaktahuan pelanggan tersebut, tidak jarang dimanfaatkan oleh oknum
yang tidak bertanggungjawab. Tentu saja perbuatan ini tidak hanya merugikan
pelanggan, tetapi juga sangat merugikan PT. PLN.42
41
Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 51.
42
Ibid, hal 54
50
Tindakan-tindakan yang merugikan tersebut sebenarnya dapat dihindari oleh
para pihak, jika masing-masing pihak paham betul apa saja yang menjadi hak dan
kewajiban mereka masing-masing. Seyogyanya keserasian hubungan timbal balik
antara PT. PLN dengan pelanggan/konsumen listrik perlu lebih ditingkatkan. Untuk
itulah, alangkah bagusnya jika apa saja yang menjadi hak-hak dan kewajiban dari
pelanggan/konsumen listrik benar-benar diketahui dan dapat dimengerti oleh setiap
pelanggan/konsumen listrik itu sendiri. Undang-undang tentang Ketenagalistrikan
mengatur secara jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi masyarakat dan
pelanggan/konsumen listrk. Tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban serta
tanggung jawab para pihak diatur Peraturan Pemerintah yaitu sekarang ini berlaku
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga
Listrik 43.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tersebut, ditegaskan
bahwa apa saja yang menjadi Hak dan Kewajiban Masyarakat dalam Pemanfaatan
Tenaga Listrik yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 yang
tidak dirubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tetap berlaku, seperti
apa yang ditentukan dalam Pasal 26 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik.
43
Lihat ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang
Ketenagalistrikan. Bab IV Tentang Hubungan antara Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dengan Masyarakat dalam Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik.
51
Pasal 26
(1) Masyarakat di daerah usaha Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan
atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum
berhak mendapatkan tenaga listrik yang disediakan oleh Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan
untuk Kepentingan Umum yang bersangkutan;
(2) Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai hak untuk :
a. mendapat pelayanan yang baik;
b. mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan
keandalan yang baik;
c. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga
listrik.
(3)
Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai kewajiban :
a. Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul
akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b. Menjaga dan memelihara keamanan instalasi ketenagalistrikan;
c. Mengunakan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya.
(4)
Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik bertanggung jawab
karena kesalahannya mengakibatkan kerugian bagi Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan
untuk Kepentingan umum.
Pasal 28
Masyarakat yang memanfaatkan tenaga listrik wajib mentaati persyaratan
teknis di bidang ketenagalistrikan yang ditetapkan oleh Menteri.
Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.
P/451/M.PE/1991 tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dan Masyarakat
menegaskan juga apa yang menjadi hak dan kewajiban masyarakat dan pelanggan,
yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 yang berbunyi :
52
Pasal 4
(1) Masyarakat di daerah usaha Pengusaha, berhak mendapatkan tenaga listrik
yang disediakan Pengusaha setelah memenuhi persyaratan penyambungan
tenaga listrik;
(2) Pelanggan mempunyai hak untuk :
a. mendapatkan pelayanan yang baik;
b. mendapatkan tenaga listrik secara berkesinambungan dengan mutu
dan keandalan yang baik;
c. mendapatkan pelayanan untuk perbaikan terhadap gangguan
penyediaan tenaga listrik atau penyimpangan atas mutu tenaga listrik
yang disalurkan.
Pasal 5
(1) Kewajiban pelanggan adalah :
a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul
sebagai akibat pemanfaatan tenaga listrik;
b. menjaga dan memelihara keamanan Instalasi Pelanggan;
c. menjaga dan memelihara Alat Pembatas dan atau Alat Pengukur
Pengusaha yang terpasang pada bangunan atau persil pelanggan;
d. menjaga keamanan sambungan tenaga listrik yang berada pada
bangunan atau persil pelanggan;
e menggunakan tenaga listrik sesuai dengan peruntukkannya;
f. menaati persyaratan penyambungan tenaga listrik sebagaimana yang
diatur dalam Peraturan Menteri tentang Persyaratan Penyambungan
Tenaga Listrik;
g. memenuhi ketentuan Peraturan Instalasi Ketenagalistrikan yang
berlaku;
h. mengizinkan Pengusaha untuk melaksanakan haknya sebagaimana
termaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri ini.
(2) Pelanggan bertanggung jawab atas kesalahannya yang mengakibatkan
kerugian terhadap pengusaha;
(3) Pelanggan bertanggung jawab atas bahaya terhadap kesehatan, jiwa dan
barang yang timbul karena penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai
dengan peruntukannya atau salah pemanfaatannya.
53
Tenaga listrik yang disediakan untuk kepentingan umum, baik oleh Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan maupun oleh Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan
untuk Kepentingan Umum 44 harus diberikan dengan standar mutu dan keandalan
yang baik, yang ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi berdasarkan
persetujuan Dewan Standarisasi Nasional. Disamping itu, dalam rangka memberikan
perlindungan kepada pelanggan, maka instalasi ketenagalistrikan harus sesuai dengan
Standar Ketenagalistrikan Indonesia, karena tenaga listrik mempunyai resiko bahaya
yang cukup tinggi.
D. Pengaturan Tarif Dasar Listrik (TDL) Dalam Hubungannya Dengan
Perlindungan Hukum Konsumen Listrik
“Listrik untuk kehidupan lebih baik”, begitu semboyan PT. PLN yang sudah
tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Namun, ketika begitu gencarnya
semboyan tersebut dilecutkan oleh PT. PLN; disisi yang lain, begitu besar pula
problem yang melingkupi masalah ketenagalistrikan di Indonesia. Salah satunya,
adalah masalah krisis pasokan energi listrik. 45 Ratusan pembangkit tenaga listrik yang
terserak diberbagai pelosok tanah air tidak mampu lagi memasok kebutuhan listrik
masyarakat, yang kian hari menghubung tinggi.
44
Lihat ketentuan Pasal 1 huruf (d) yang mengatakan bahwa Pengusaha adalah Pemegang
Kuasa Usaha Ketenagalistrikan yang didirikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum termasuk Pemegang Izin Usaha
Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri yang menjual kelebihan tenaga listriknya kepada mas
yarakat.
45
Tulus Abadi dan Sudaryanto, Memahami Hak dan Kewajiban Anda sebagai Konsumen
Listrik, Cetakan Pertama. Pnerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi Masyarakat
Sipil untuk Perbaikan Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004, hal. 3.
54
Kondisi ketenagalistrikan di Indonesia, terutama sejak tahun 1996, memang
sangat memprihatinkan. Kenaikan Tarif Listrik (TDL) yang sudah mencapai di atas
100 %, terbukti belum mampu menyehatkan financial PT. PLN.46 Bagi konsumen,
besaran kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) terasa sudah sangat mencekik leher, di
tengah situasi kehidupan yang serba sulit sekarang ini.
Kenaikan TDL salah satunya disebabkan oleh kenaikan Bahan Bakar Minyak
(BBM), karena lebih dari 60 % mesin pembangkit listrik PT. PLN menggunakan
BBM (solar) 47. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap kenaikan Bahan
Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah akan dibarengi dengan kenaikan Tarif Dasar
Listrik (TDL) oleh PT. PLN. Namun demikian, pemerintah tetap memberikan jatah
subsidi untuk sektor ketenagalistrikan, khususnya untuk konsumen rumah tangga
dengan daya terpasang 450 Volt Ampere/VA, dengan pemakaian 60 kilowatt
hour/kWh. Jadi kalau konsumen rumah tangga 450 VA tetapi pemakaian lebih dari
60 kWh, maka sudah tidak berhak lagi mendapat subsidi. Tahun 2003, tidak kurang
dari 4 triliyun pemerintah memberikan subsidi untuk sektor listrik. 48
Ada beberapa variabel yang dapat mempengaruhi harga listrik, antara lain :
harga bahan bakar, harga pembelian listrik dari pihak ketiga, tingkat inflasi, suku
bunga dan perubahan nilai tukar rupiah valuta asing. 49
46
Ibid, hal 4.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri (Manager PT. PLN Ranting
Dewantara), pada tanggal 20 April 2009.
48
Op-Cit., 2004, hal. 19.
49
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri. (Manager PT. PLN Ranting
Dewantara), pada tanggal 20 April 2009.
47
55
Saat ini, sebenarnya kondisi ketenagalistrikan nasional dalam posisi “tidak
aman”. Dikarenakan, antara kebutuhan dan persediaan tidak seimbang. PT. PLN
sudah tidak lagi memasok tenaga listrik kepada konsumennya secara maksimal.
Buktinya adalah begitu seringnya pemadaman listrik yang dilakukan oleh PT. PLN
terhadap pelanggannya, kadangkala tanpa pemberitahuan/pengumuman terlebih
dahulu.
Sebenarnya masyarakat terutama konsumen listrik akan lebih mengerti situasi
keadaan PT. PLN jika saja PT. PLN bersikap terbuka dalam menyampaikan
informasi dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Kenaikan
Tarif Dasar Listrik (TDL) yang merupakan sumber utama pendanaan perusahaan/PT.
PLN sah-sah saja dinaikkan dengan berbagai alasan yang tepat asal saja PT. PLN
juga ikut menaikkan mutu pelayanannya kepada konsumennya.
Bagi konsumen, kenaikan TDL berarti menaikkan biaya hidup. Sementara,
pendapatan konsumen/masyarakat belum ada perubahan akibat krisis yang
berkepanjangan di negara ini dan sampai sekarang belum dapat dipulihkan. Yang
lebih memprihatinkan adalah, kenaikan TDL merupakan keputusan sepihak yang
tidak diikuti dengan peningkatan pelayanan yang lebih sepadan kepada masyarakat
konsumen/pelanggan listrik.
Namun bagaimanapun juga, kenaikan TDL dengan alasan apapun juga
terpaksa diterima konsumen. Adapun penepatan Tarif Dasar Listrik (TDL) bertujuan
antara lain :
56
1. Memenuhi kebutuhan pendapatan untuk investasi yang menjamin
tersedianya harga listrik yang efisien dan berkelanjutan;
2. Menjamin keadaan keuangan perusahaan peserta secara sehat dan wajar;
3. Dapat menstimulasikan penyempurnaan golongan dan struktur tarif,
sehingga untuk masing-masing mendekati nilai ekonominya;
4. Membuka peluang untuk dilakukan subsidi untuk golongan pelanggan
yang memenuhi syarat.
Dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 menetapkan bahwa
pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik. Pengaturan harga jual tenaga listrik ini
dituangkan melalui Keputusan Presiden (Kepres). Sekarang ini Kepres yang berlaku
yang mengatur harga jual tenaga listrik adalah Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 104 Tahun 2003 Tentang Harga Jual Tenaga Listrik Tahun 2004
Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik
Negara (selanjutnya ditulis Kepres Nomor 104 Tahun 2003).
TDL tahun 2004, yang dikukuhkan dengan Kepres Nomor 14 Tahun 2003,
”secara formal” sudah memperhatinkan kepentingan masyarakat. Tertuang dalam
amar putusannya yang berbunyi : dalam menetapkan harga jual tenaga listrik, PT.
PLN mempertimbangkan keadilan, kemampuan daya beli masyarakat. Dengan alasan
itu pula, berdasarkan Kepres Nomor 104 Tahun 2003 ini, pemerintah akhirnya untuk
sementara tidak menaikkan TDL.
Menurut Pasal 1 Kepres Nomor 104 Tahun 2003 ini, menyatakan bahwa
harga jual tenaga listrik yang disediakan oleh PT. PLN dinyatakan dalam Tarif Dasar
Listrik (TDL) tahun 2004 berdasarkan Golongan Tarif Dasar Listrik.
Pasal 2
57
Tarif Dasar Listrik ( TDL) Tahun 2004 sebagaimana yang dimaksud dalam
Pasal 1, terdiri atas :
a. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Pelayanan Sosial sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II;
b. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Rumah Tangga sebagaimana
tercantum dalam Lampiran III;
c. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Bisnis sebagaimana tercantum
dalam Lampiran IV;
d. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Industri sebagaimana tercantum
dalam Lampiran V;
e. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Kantor Pemerintah dan
Penerangan Jalan Umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI;
f. Tarif Dasar Listrik untuk Transaksi sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VII;
g. Tarif Dasar Listrik untuk Curah (bulk) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran VIII;
h. Tarif Dasar Listrik untuk Multiguna sebagaimana tercantum dalam
Lampiran IX.
Dari penggolongan Tarif Dasar Listrik (TDL) tersebut maka diketahui pula
penggolongan/pengelompokkan terhadap konsumen/pelanggan listrik di Indonesia
seperti tercantum dalam Pasal 2, Kepres Nomor 104 Tahun 2003. Konsumen listrik
58
rumah tangga adalah golongan pemakai TDL seperti yang tercantum dalam tabel di
atas.
Berdasarkan data dari PT. PLN Ranting Dewantara dari Tahun 2006 sampai
Tahun 2009 pelanggan kelompok rumah tangga menduduki peringkat pertama
dengan jumlah pelanggan masing-masing sebanyak 22 500 pelanggan. Dengan
demikian keunggulan pelanggan kelompok Rumah Tangga, kantor pemerintahan
bukan hanya dari segi kuantitas atau jumlahnya tetapi juga banyak penunggakkan
pembayaran kepada PT. PLN selama beberapa tahun terakhir.
Dalam berita di Media Masa”tunggakan rekening listrik di Lhokseumawe
mencapai Rp 7,4 Miliar, jumlah tunggakan rekening listrik di PT. PLN Rayon
Lhokseumawe yang memeliki pelanggan 36,168 itu hingga 1 Maret 2009
mencapai 7,4 Miliar,. Namun mulai sekarang bagi pelanggan yang
menunggak bukan hanya dari instansi Pemerintah saja yang akan berhadapan
dengan penegak hukum, tapi bagi masyarakat umum dipastikan akan
mendapat pemanggilan. Dalam hal ini pihak Kejaksaan Negeri Lhokseumawe.
Kepada PT. PLN Rayon Lhokkseumawe, Ali Basyah mengatakan dari total
7,4 Miliar yang menunggak RRp 1,3 Miliar diantaranya berasal dari instansi
Pemerintah daerah dan dari pelanggan umum mencapai 6 Miliar lebih 50
Peran serta Kepala Kejaksaan Negeri Lhoksemawe sebagai fasilitator karena
Kejaksaan Negeri adalah Jaksa Penuntut Negara sesuai dengan Pasal 27 Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 dalam menyelesaikan penunggakkan antara pihak PT
PLN Lhokseumawe dengan pelanggan umum dan Pemerintah Daerah. 51
Data tersebut menggambarkan dengan terang benderang bahwa pelanggan
kelompok Rumah Tangga merupakan pelanggan terbanyak, baik dalam kuantitas
50
Harian, Serambi Pase, tanggal 19 Maret 2009, hal 9.
Wawancara dengan Bapak Irwansyah, SH, a/n Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe,
seksi Tindak Pidana Umum, pada tanggal 28 Mei 2009.
51
59
maupun kualitas pembayaran. Ini semua berarti bahwa pelanggan kelompok Rumah
Tangga yang sebagian besar merupakan rakyat kecil ternyata telah memberikan
konstribusi pendapatan yang besar bagi PT. PLN. Jadi wajar saja jika PT. PLN
memberi sedikit penghargaan kepada pelanggan kelompok Rumah Tangga ini dengan
memberikan pelayanan yang memuaskan atau dengan kata lain menetapkan kepuasan
pelanggan/konsumen (Rumah Tangga) sebagai prioritas utama dalam pemberian
jasanya.
E. Standar/Tingkat Mutu Pelayanan (TMP)
Keluarnya Kepres Nomor 104 Tahun 2003 membawa sedikit perubahan bagi
konsumen listrik yaitu dengan adanya kewajiban bagi direksi PT. PLN untuk
meningkatkan dan mengumumkan standar mutu pelayanan bagi setiap/masingmasing unit pelayanan pada setiap awal triwulan Pasal 3 Ayat (1) Kepres Nomor 104
Tahun 2003. Selanjutnya dalam Pasal 3 Ayat (2) disebutkan bahwa apabila standar
mutu pelayanan pada suatu sistem kelistrikan khususnya yang berkaitan dengan lama
gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan baca meter tidak dapat dipenuhi,
yang bersangkutan, diperhitungkan dalam tagihan listrik bulan berikutnya.
Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 114-12/39/600.2/2002 (SK
LPE-DSM) Tentang Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) PT. PLN, yang meliputi 13
indikator dengan satuannya sebagai berikut :
60
1) tegangan tinggi di titik pemakaian, dalam Kv;
2) tegangan menegah di titik pemakaian, dalam Kv;
3) tegangan rendah di titik pemakaian, dalam Volt;
4) frekwensi di titik pemakaian, dalam Hz;
5) lama gangguan per pelanggan, dalam jam/pelanggan/bulan;
6) jumlah gangguan per pelanggan, dalam kali/pelanggan/bulan;
7) kecepatan pelayanan sambungan baru tegangan menegah (TM), dalam hari
kerja;
8) kecepatan pelayanan sambungan baru tegangan rendah (TR), dalam hari
kerja;
9) kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan menegah (TM), dalam hari
kerja;
10) kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan rendah (TR), dalam hari
kerja;
11) kecekapan menanggapi pengaduan pelanggan, dalam jam;
12) kesalahan pembacaan Kwh meter, dalam kali/pelanggan/triwulan;
13) waktu koreksi kesalahan rekening dalam hari kerja..
Bila diperhatikan, sedikit telah tampak adanya upaya-upaya pemerintah
berpihak kepada konsumen, yaitu dengan adanya standar pelayanan minimum yang
disebut (TMP)52. Dan telah pula ada punishment berupa pengurangan tagihan
52
Kv, singkatan dari Kilovolt, dan Hz, singkatan dari Hertz (satuan dalam energi listrik)
61
rekening listrik apabila ada pelanggaran terhadap TMP ke 5, 6 dan TMP 12. SK LPEDSM tersebut hanya menetapkan indicator yang berjumlah 13 item dan satuan,
sedangkan besarnya angka standar diserahkan kepada PT. PLN (Persero) untuk
menetapkan sendiri. Khususnya untuk . PT. PLN Cabang Lhokseumawe yang
membawahi 10 Ranting dan 1 Rayon atau unit pelayanan memberikan kewenangan
kepada masing-masing Ranting dan Rayon untuk menetapkan sendiri nilai TMP
sesuai dengan kemampuan pasokan listrik mereka masing-masing. 53
Mengenai punishment berupa pengurangan pembayaran listrik, hanya
diberlakukan pada tiga poin di atas, yakni : lama gangguan, jumlah gangguan dan
atau kesalahan baca meter. Menurut ketentuan yang berlaku, tindakan yang
merugikan konsumen berdasarkan SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor
114 Tahun 2002, konsumen berhak mendapatkan kompensasi (ganti rugi) sebesar 1%
(sepuluh persen) dari biaya beban. Namun informasi tersebut belum disampaikan
secara baik (disembunyikan), sehingga konsumen tidak mengerti adanya hak
tersebut.54 Selama ini memang TMP telah ditempel pada masing-masing kantor Unit
Pelayanan (UP) namun sayangnya tidak dibarengi dengan penjelasan atau keterangan
dari pihak PT. PLN tentang keberadaan TMP itu sendiri kepada konsumen listrik
53
Wawancara dengan Bapak Maimun Muhammad, Asisten Manager Pemasaran PT. PLN
Cabang Lhokseumawe, pada tanggal 25 Mei 2009.
54
Wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK, Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei 2009,
Posisi Konsumen Sangat Dilematis..
62
sehingga sebagian besar konsumen tidak mengerti dan tidak memahami hak-hak
mereka.
Menurut Tulus Abadi dan Gunarto, walaupun secara tertulis melalui SK LPEDSM telah ada tampak keinginan pemerintah memberikan perlindungan hukum
kepada konsumen listrik berupa pemberian ganti kerugian berbentuk pengurangan
tagihan rekening listrik, namun TMP tersebut memiliki beberapa kelemahan sebagai
berikut :
1. pemahaman tentang TMP yang harus dideklar, belum semuanya dipahami
oleh petugas PLN, dengan alasan bingung (mekanismenya seperti apa),
atau bahkan takut, kalau yang dideklar itu salah, lalu mendapat klaim dari
konsumen.
2. TMP tersebut, karena ditetapkan sendiri oleh PLN masing-masing
ranting/cabang dan tidak ada yang memverifikasi, cenderung sangat
rendah dan tidak berpihak kepada konsumen. Semata-mata lebih berpihak
kepada kepentingan PT. PLN. Sebagai contoh, pemadaman dalam satu
bulan biasanya 14 jam, angka itulah yang disampaikan kepada konsumen.
Dalam kenyataannya ternyata ada Unit Pelayanan (UP) yang berani
menetapkan angka 27 dalam satu bulan.
3. TMP yang dideklar oleh masing-masing kantor ranting atau cabang PT.
PLN bersifat konstan bahkan cenderung menurun dari triwulan ke
triwulan. Hal ini sangat tidak fair karena konsumen dipaksa PLN untuk
mau membayar kenaikan tarif, namun PLN tidak ada niat untuk
meningkatkan TMPnya.
4. dalam mengumumkan TMP kepada masyarakat masih setengah hati,
karena biasanya diumumkan dalam standar yang masih terlalu rendah dan
tidak diikuti dengan penjelasan apa itu sebenarnya makna TMP dan apa
yang bisa diperoleh oleh konsumen apabila PT. PLN tidak bisa memenuhi
standar kualitas pelayanan tersebut.
63
5. punishment yang seharusnya dikenakan kepada PT. PLN akibat tidak
dipenuhinya TMP (indikator tertentu) tidak atau belum disetting secara
otomatis. Sehingga ada kemungkinan PT. PLN cidera janji terhadap TMP
dan PT. PLN belum berusaha untuk mengenakan punishment tersebut.
6. semua wilayah PT. PLN melakukan kesalahan dalam melakukan
perhitungan kinerja TMP, misalnya banyaknya maksimum kesalahan
pencatat meter yang dideklarasikan dalam TMP untuk triwulan 1 (tw1)adalah 1 kali, kemudian dalam perhitungan kinerjanya ditulis 1 kali. Hal
ini menunjukan bahwa selama triwulan 1 (tw-1) terjadi kesalahan 1 kali
pembacaan meter yang terjadi pada seluruh pelanggan. 55
Walaupun banyak kelemahan-kelemahan yang dijumpai dalam pelaksanaan
TMP ini, namun sebenarnya bagi konsumen listrik telah cukup membawa angin segar
terhadap perlindungan hak mereka, tentu saja jika ketentuan tentang TMP betul-betul
dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di sinilah diperlukan kesadaran masing-masing
pihak, dimana PT. PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (tunggal)
dapat berbesar hati mengakui kekurang-kurangan atau kesalahan mereka dan di sisi
lain, konsumen listrik pada umumnya agar mau membela hak-hak mereka jika
dilanggar/diabaikan oleh PT. PLN, baik secara perorangan maupun secara bersamasama dengan konsumen listrik lain yang juga merasa dirugikan oleh PT.
PLN.
Dengan peningkatan kesadaran hukum konsumen terutama konsumen listrik
diharapkan dapat menjadi motivator bagi PT. PLN untuk dapat meningkatkan mutu
dan pelayanannya kepada seluruh pelanggan di masa datang.
55
Ariono Abdulkadir et al, Masalah Ketenagalistrikan di Indonesia (Kumpulan Artikel),
Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan
Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004.
64
F. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Konsumen Listrik Menurut
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan
Keberadaan tenaga listrik semakin hari semakin sangat penting. Karena
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta upaya mendorong
peningkatan kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari penyediaan tenaga listrik.
Sebagai penguasa tunggal bidang ketenagalistrikan, PLN semakin hari makin
dipusingkan oleh keterbatasan pasokan tenaga listrik kepada konsumennya,
sementara dari pihak konsumen terdapat peningkatan permintaan akan pasokan
tenaga listrik. Hal ini tidak akan menjadi problema jika saja keberadaan Undangundang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan (yang baru) tidak dicabut
dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalam undang-undang tersebut
merubah status PT. PLN yang semula sebagai Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan (monopoli) menjadi Pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik
(salah satu pemegang izin usaha dibidang ketenagalistrikan). Jadi dengan demikian
tanggungjawab dibidang ketenagalistrikan bukan hanya menjadi tanggungjawab PT.
PLN saja, tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak penyedia tenaga listrik.
Dengan dibatalkan berlakunya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002
Tentang Ketenagalistrikan secara otomat kita akan kembali memperlakukan Undangundang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan sebagai upaya menghindari
kevakuman hukum. Maka, keadaan ini membuat keadaan di bidang ketenagalistrikan
kembali ke titik hadir dan monopoli. 56 Sebagai perbandingan tabel 1 dibawah ini akan
56
Wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei 2009
65
memperlihatkan perbedaan antara Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 :
Tabel 1.
Perbedaan antara Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002
Isu Utama
UU No. 15 Tahun 1985
UU No. 20 Tahun 2002
Peranan Pemerintah Pengaturan pembuatan kebijakan Hanya sebagai
dan pelaku usaha
pembuatan kebijakan
Tidak ada badan pengatur
(Batur)
Fungsi pengaturan di
pindahkan ke badan
pengawas pasar
ketenagalistrikan
Pemerintah pusat bertanggung
jawab dan berwenang menyusun
RUKN
Pemerintah masih
menjalankan fungsi
pengaturan di wilayah
non Jamali (JawaMadura-Bali)
Peran Pemuda tidak ada
Pemuda bertanggung
jawab menyusun RUKD
dan memberikan
perijinan (pasal 5 ayat 1)
Sedangkan pemerintah
pusat menyusun RUKN
(pasal 5 ayat 2)
Tujuan sosial dan Bercampur, PLN mengamban
komersial
misi sosial dan misi komersial
Tidak ada dana khusus untuk
misi sosial
Fungsi komersial sosial
dan fungsi komersial
terpisah
Fungsi komersial di
pegang oleh PLN,
Sedangkan fungsi sosial
di pegang oleh
pemerintah
66
Lanjutan Tabel 1
Tersedia dana untuk
pembangunan sarana
ketenagalistrikan di
pedesaan (pasal 7)
Struktur industri
PLN adalah satu-satunya
pemegang kuasa usaha
ketenagalistrikan
PLN hanya salah satu
pemegang ijin usaha
penyediaan tenaga listrik
(IU PTL)
Monopoli
Diwajibkan untuk
kompetisi
Terintegrasi secara vertikal
PLN dipecah-pecah
menjadi unit usaha yang
terpisah (pasal 16)
Kompetisi
Listrik tidak dikompetisi
Listrik dikompetisikan,
dimulai dengan
kompetisi sisi
pembangkitan.
Tarif Pemerintah
Ditentukan oleh pemerintah
untuk semua wilayah
Untuk wilayah
kompetisi, tariff
ditentukan oleh
mekanisme pasar,
Dan untuk wilayah non
kompetisi oleh
pemerintah
Keterlibatan sector Tidak
jelas
swasta
walaupun mungkin
disebutkan, Lebih di perjelas dan
sangat mungkin.
Sumber : data primer
Keterangan :
RUKN : Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional.
RUKD : Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah
67
Tabel di atas memperlihatkan, sebenarnya demikian banyak segi positif dan
kemajuan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang
Ketenagalistrikan (UUKL) yang sempat berlaku tersebut. Namun menurut Tulus dan
Sudaryatmo, secara normatif terasa lebih lengkap di dalam memberikan perlindungan
terhadap konsumen listrik.
Beberapa Pasal di dalam UUKL yang berhubungan langsung dengan
kepentingan konsumen listrik antara lain :
1. Penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin
tersedianya tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik,
dan harga yang wajar untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan
ekonomi yang berkelanjutan (Pasal 3 ayat 1 UUKL);
2. Konsumen tenaga listrik mempunyai hak untuk :
a. mendapat pelayanan yang baik;
b. mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan
keandalan yang baik;
c. memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar;
d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga
listrik, dan
e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan
kesalahan dan/ atau kelalaian pengoperasian oleh Pemegang Izin
Usaha Penyedia Tenaga Listrik, sesuai dengan syarat-syarat Tenaga
Listrik yang diatur dalam Perjanjian jual-beli tenaga listrik (Pasal 34
ayat 1 UUKL). 57
Dalam
hal
tapak
tanah
konsumen
digunakan
untuk
kepentingan
ketenagalistrikan, maka konsumen si pemilik tapak tanah tersebut berhak untuk :
1) Untuk kepentingan umum, pihak yang berhak atas tapak tanah, bangunan
dan tanaman mengizinkan Pemegang Izin Usaha Penyedia
Ketenagalistrikan melaksanakan kewenangannya, dengan mendapatkan
ganti kerugian hak atas tapak tanah atau kompensasi (Pasal 35 ayat 1
UUKL);
57
Op-Cit, hal 36-37
68
2) Ganti kerugian hak atas tapak tanah adalah untuk tapak tanah yang
dipergunakan secara langsung oleh Pemegang Izin Usaha Penyedia
Tenaga Listrik, dan untuk bangunan dan tanaman diatas tapak tanah yang
dimaksud (Pasal 35 ayat 2 UUKL);
3) Kompensasi diberikan sebagai akibat dan berkurangnya nilai ekonomis
atas tanah, bangunan dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik
(Pasal 35 ayat 3 UUKL). 58
Melihat uraian pendapat Tulus Abadi dan Sudaryatmo yang menyatakan
bahwa UUKL lebih “lengkap” memberikan perlindungan terhadap konsumennya,
tidaklah berlebihan. Hal ini sangatlah berbeda dengan Undang-undang Nomor 15
Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan yang kembali berlaku di Republik ini.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tidak memberikan perlindungan yang lebih
kepada konsumennya. Walau demikian, perlindungan terhadap konsumen listrik ini
mendapat perhatian Pemerintah. Melalui SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi
Nomor 114 Tahun 2002 Tentang Deklarasi Tingkat Mutu (TMP) Tenaga Listrik yang
disediakan oleh PT. PLN, PT. PLN wajib dan
dipaksa
untuk
memberikan
kompensasi sebesar 10 % (sepuluh persen) dari biaya beban (abonemen), jika PT.
PLN melanggar 3 (tiga) indikator yang dideklarasikannya yaitu lamanya gangguan,
jumlah gangguan dan kesalahan baca meter (Kwh). Ironisnya, informasi dan
kebijakan yang seperti ini tidak banyak diketahui oleh konsumen listrik itu sendiri. 59
58
Ibid, hal 38..
Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 (tiga puluh) orang konsumen ketenagalistrikan
yang dipilih sebagai informasi pada tanggal 25, 27 dan 30 April 2009, 15 (lima belas) orang tidak
mengetahui adanya kompensasi pembayaran dari PT. PLN yang diatur melalui SK. LPE-DSM.
59
69
Sebagaimana dari wawancara dengan konsumen/pelanggan listrik yang berada
dibawah kekuasaan PT. PLN Ranting Dewantara pada umumnya konsumen tidak
mengetahui dengan adanya kompensasi pembayaran dengan kesalahan pencatatan
meteran atau kesalahan pembacaan KWH, lama gangguan dan jumlah gangguan dari
30 (tiga puluh) orang konsumen/pelanggan 15 (lima belas) orang konsumen yang
mengetahui.
70
BAB III
UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN LISTRIK DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999
A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen
Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer
“(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. 60 Mariam Darus
mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang dipergunakan
oleh kepustakaan Belanda, yaitu : “Semua individu yang mempergunakan barang dan
jasa secara konkrit dan riil”. 61 Sebelum munculnya UUPK (yang diberlakukan mulai
20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian
konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor
II/MPR/1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran
bidang perdagangan namun sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang
penjelasan pengertian konsumen itu sendiri.
Salah satu ketentuan normatif yang
memberikan definisi/pengertian
konsumen adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan pemerintah mulai 5
60
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Penerbit
Diadit Media, Jakarta, 2002, hal. 3. Mengutip pendapat A.S. Hornby (Gen.Ed), Oxford Advanve
Learner’s producer) person who uses goods.”
61
Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya
(Kumpulan Karangan), Alumni, Bandung, 1981, hal.48.
71
Maret 2000). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu
setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan
sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. 62
Hodius, pakar konsumen di Belanda, menyimpulkan, para ahli hukum pada
umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari
benda atau jasa; (uiteindedelijke gebruiker van goederen en diensten). 63
Di dalam undang-undang yang mengatur bidang Ketenagalistrikan, yaitu
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985, tidak dijumpai pengertian pengertian istilah
konsumen untuk pemakai jasa tenaga listrik. Dalam peraturan di bidang
ketenagalistrikan, yang dijumpai adalah istilah Pelanggan, yang dapat diartikan sama
dengan konsumen jasa ketenagalistrikan. Istilah Pelanggan ditemui dalam Peraturan
Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02 P/451/M.PE/1991 Tentang Hubungan
Pemegang
Kuasa
Usaha
Ketenagalistrikan
dan
Pemegang
Izin
Usaha
Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dengan Masyarakat, dalam Pasal 1
Huruf (f), yang mengatakan : Pemakai tenaga listrik adalah setiap orang atau Badan
Usaha atau Badan/Lembaga lainnya yang memakai tenaga listrik dari instansi
Pengusaha :
1. berdasarkan alas hak yang sah;
2. tanpa berdasarkan alas yang sah;
62
63
Op-Cit, 2006, hal. 2.
Ibid, hal, 3
72
huruf g : pelanggan adalah pemakai tenaga listrik sebagaimana termaksud dalam
huruf f angka (1).
Di dalam Pasal 1 Angka (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen
(UUPK) memberikan pengertian Konsumen sebagai berikut :
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.
Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen
antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk,
sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu
produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian
konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir.
Jika dilihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 1 Angka (2) UUPK tentang
pengertian konsumen berikut dengan penjelasannya, masih sangat jauh pengertian
konsumen dimaksud, jika kita bandingkan dengan pengertian pelanggan seperti yang
dimaksud dalam peraturan di bidang ketenagalistrikan. Sebenarnya pengertian
konsumen dalam bidang ketenagalistrikan di Indonesia, telah dimuat secara yuridis
normatif dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan,
yaitu dalam Pasal 1 Angka (5) yang berbunyi : “Konsumen adalah setiap orang atau
badan yang membeli tenaga listrik dari Pemegang Izin Usaha Penyediaan tenaga
listrik untuk digunakan sebagai pemanfaatan akhir dan tidak untuk diperdagangkan.”
Dari pengertian konsumen yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun
2002 Tentang Ketenagalistrikan telah memberikan batasan yang jelas tentang
konsumen bidang ketenagalistrikan. Namun karena undang-undang tersebut dicabut
73
dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15
Desember 2004, maka pengertian konsumen secara yuridis normatif dalam Undangundang Ketenagalistrikan tidak ditemui lagi.
Pengertian Konsumen Ketenagalistrikan sekarang ini dijumpai dalam
Keputusan
Direktur
Jenderal
Listrik
dan
Pemanfaatan
Energi
Nomor
1612/43/600.3/2003 tentang Tata cara Pengurangan Tagihan Listrik Akibat Tidak
Terpenuhinya Standar Mutu Pelayanan Pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT.
Perusahaan Listrik Negara Untuk Lama Gangguan, Jumlah Gangguan, dan atau
Kesalahan Pembacaan Kwh Meter, dimana Pasal 1 angka (1) menyatakan :
“Konsumen adalah setiap orang atau Badan Usaha atau Badan/Lembaga
lainnya sebagai pelanggan yang menggunakan tenaga listrik yang disediakan
oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara
berdasarkan perjanjian jual beli tenaga listrik”.
Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan
menampungnya dalam satu jenis perundang-undangan seperti Undang-undang
Perlindungan
Konsumen
(UUPK).
Hukum
perlindungan
konsumen
selalu
berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai cabang dan bidang hukum lain, karena
pada setiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat
sebagai “konsumen”. 64 Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan
64
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999, hal 1
74
konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan
tujuan pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Menurut Nurmardjito, pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan :
1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum;
2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan
seluruh pelaku usaha;
3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa;
4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang
menipu dan menyesatkan;
5. Memadukan penyelenggaraan,
pengembangan dan pengaturan
perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidangbidang lain. 65
Membahas masalah perlindungan hukum bagi konsumen Indonesia,
hendaknya terlebih dahulu dilihat kedalam peraturan perundang-undangan yang ada
di Indonesia, khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan
bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena mempunyai konsekuensi
tersendiri, antara lain mengenai lingkup materinya, sanksinya, peradilannya, karena
satu sama lain akan berkaitan dengan sistem hukum yang sebelumnya telah
dikembangkan melalui berbagai Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan
Menteri, yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat
Indonesia.
Sebelum keluarnya UUPK, perlindungan terhadap konsumen dituangkan
dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1993 melalui Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor II/MPR/1993, pada Bab IV,
65
Husni Syawali dan Neni Imaniati, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit CV. Mandar
Maju, Bandung 2000, hal 7.
75
Huruf F Butir 4a, yaitu : “Pembangunan perdagangan ditujukan untuk mempelancar
arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing,
meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat dan
pedagang, melindungi kepentingan konsumen…” 66
Komitmen melindungi kepentingan konsumen (konsumen akhir, bukan
pedagang) rupanya masih menjadi huruf-huruf mati dalam naskah GBHN 1993,
karena tidak jelas peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yang memang
ditujukan untuk itu. Ketidakjelasan itu bukan karena belum adanya pengkajian dan
penelitian norma-norma perlindungan konsumen macam apa yang sesuai dengan
situasi dan kondisi konsumen Indonesia. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Departemen Perindustrian
dan Perdagangan telah cukup sering melakukannya.
Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999 oleh
pemerintahan transisi (Kabinet Reformasi Pembangunan) Presiben BJ.
Habibie tampaknya diiringi dengan harapan terwujudnya wacana baru
hubungan konsumen dengan pelaku usaha (produsen, distributor, pengecer,
pengusaha/perusahaan dan sebagainya) dalam menyongsong millennium
baru. 67
Kritik dan berbagai keluhan dari berbagai pihak terhadap penegakan hukum
dan perlindungan hukum terhadap yang lemah masih menjadi referensi utama dalam
perumusan norma-norma perlindungan konsumen dalam undang-undang ini. Normanorma perlindungan konsumen dalam sistem UUPK sebagai “undang-undang
66
67
Op-Cit, 2003, hal 2.
Ibid, hal 20.
76
payung” menjadi acuan bagi norma-norma perlindungan konsumen lainnya diluar
UUPK. Adapun norma-norma perlindungan terhadap konsumen dalam UUPK dapat
kita jumpai dalam Pasal 1 Angka (1) Pengertian Perlindungan Konsumen, Pasal 2 dan
Pasal 3, Asas dan Tujuan, serta Pasal 18, Ketentuan Pencantuman Klausula Baku.
Pasal 1, angka (1)
“Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya
kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”.
Pasal 2
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan,
keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”.
Dalam Penjelasan
Pasal
2
mengatakan
:
“Perlindungan
konsumen
diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam
pembangunan nasional, yaitu :
1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan;
2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil;
3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiel dan
spiritual;
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan /atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan;
77
5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen
menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.”
Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan
substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu :
1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan
keselamatan konsumen;
2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan;
3. Asas kepastian hukum. 68
Pasal 3, Perlindungan konsuman bertujuan :
a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri;
b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari
ekses negative pemakaian barang dan /atau jasa;
c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam
berusaha;
f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha
produksi barang dan /atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan
konsumen.
68
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2005, hal 26.
78
Pasal 3 UUPK ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang
ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan
di bidang hukum perlindungan konsumen. 69
Adapun mengenai ketentuan pencantuman klausula baku sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 18 UUPK, memberikan andil terhadap perlindungan konsumen. Dalam
Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) UUPK ditegaskan bahwa adanya larangan-larangan ini
dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen serta dengan pelaku usaha
berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Di caci maki, dihujat dan dibenci, tetapi kita tetap membutuhkannya.
Begitulah keberadaan PT. PLN di negeri kita ini. 70 Kita sering mencaci-maki,
terlebih-lebih disaat lampu padam tanpa pemberitahuan sebelumnya (paling sering
dirasakan masyarakat di Aceh ), namun keadaan itu tetap (sampai sekarang) kita
alami. Betapa “menyedihkan” keadaan pelayanan PT. PLN terhadap konsumenya.
Tidak adanya alternatif pilihan membuat konsumen dipaksa mengkonsumsi
pelayanan dari lembaga milik negara ini. Walau kondisi ini merugikan dan dirasakan
tidak adil oleh konsumen, namun sayangnya, tidak banyak konsumen yang berani
mengadakan ‘perlawanan’ yang berarti, apalagi dalam bentuk gugatan (ligitasi).
Mayoritas konsumen memilih sikap “diam”. 71
69
70
Ibid, 2005, hal 34.
Hasil wawancara dengan Ibu Fahmiwati, ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei
2009.
71
Op-Cit., hlm. 50. mengutip pendapat Tulus Abadi, Bulan Pengaduan Konsumen Listrik :
Sebuah Tawaran.
79
Dengan pertimbangan-pertimbangan keadaan di atas, bahwa produk PT. PLN
masih begitu buruk dikonsumsi oleh konsumennya, dan disisi lain konsumen masih
bersikap ‘malas bertindak’ dalam membela haknya, maka Yayasan Lembaga
Perlindungan Konsumen (YLPK) Banda Aceh, melalui “Bulan Mandiri, Pengaduan
Konsumen Listrik” mencoba membantu permasalahan yang dihadapi oleh para
pihak. 72
Dari masa ke masa, permasalahan yang senantiasa mengikuti konsumen listrik
adalah masalah biaya yang sudah dibayar untuk penyambungan tenaga listrik, namun
tidak kunjung dipasang. Selain itu, kasus kesalahan pencatatan meteran yang
mengakibatkan “bengkaknya” rekening konsumen, termasuk yang paling sering
dialami oleh konsumen listrik, terutama di Ranting Dewantara, yaitu pemadaman
tanpa pemberitahuan yang bisa berakibat fatal pada barang elektronik milik
konsumen.
Kerusakan berbagai macam peralatan elektronik konsumen listrik serta
gangguan terhadap berbagai aktifitas karena pemadaman listrik tanpa pemberitahuan
membuat konsumen listrik merasa bahwa makin hari pelayanan yang diberikan PT.
PLN kepada konsumennya makin “buruk” yang sangat tidak sebanding dengan
kewajiban yang dipikul konsumen terhadap PLN, salah satunya tarif listrik (TDL)
yang semakin hari bertambah tinggi.
72
2009
Hasil wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei
80
Menurut Ketua YLPK, tujuan diadakannya konsiliasi konsumen Listrik
adalah :
a. Untuk menggugah kesadaran dan keberanian konsumen, bahwa hakhaknya masih banyak dilanggar oleh pemerintah (selaku regulator) dan
atau PT. PLN selaku pemberi jasa dibidang ketenagalistrikan. Konsumen
listrik jangan diam saja dan harus bisa mandiri;
b. Untuk memberdayakan konsumen agar mengerti hak dan kewajibannya
(serta berani melakukan perlawanan jika ada pelanggaran hak);
c. Untuk memberdayakan PT. PLN itu sendiri. Lewat kegiatan ini, PT. PLN
akan ‘dipaksa’ untuk berlatih mendengar keluh kesah konsumennya;
d. Menciptakan mekanisme pengaduan konsumen listrik yang lebih baku dan
aksesibel bagi konsumen listrik. Ini penting, karena sampai saat ini PT.
PLN belum mempunyai mekanisme komplain yang baku dan pro kepada
konsumen. Akses call center 123, acapkali hang jika konsumen
menghubunginya.
Belum signifikannya perlawanan konsumen akibat ketidakadilan PT. PLN
harus dilihat multi aspek :
1. percuma, melakukan perlawanan, karena biasanya tidak direspon dengan
baik atau malah didiamkan saja. Hanya akan membuang waktu, tenaga
dan tentu saja membunag uang;
81
2. konsumen tidak/belum mengerti bagaimana mekanisme komplain yang
sebenarnya, karena PT. PLN belum secara optimal membangun
“complaint mechanism” jika konsumen mengalami persoalan;
3. produk PT. PLN adalah produk yang monopolistic, sehingga tidak ada
pilihan lain sebagai tempat untuk membeli tenaga listrik, selain PT. PLN.
Ketiga persoalan diatas, melalui lembaga-lembaga perlindungan konsumen
akan coba diatasi dengan mencari penyelesaian yang sedapat mungkin memuaskan
kedua belah pihak. Beberapa kali YLPK mengadakan kegiatan mencari penyelesaian
terhadap permasalahan yang dihadapi oleh konsumen, dan terbukti dapat
menghasilkan penyelesaian sengketa yang win-win solution.
YLPK mengadakan konsiliasi kepada masyarakat di Banda Aceh, lewat
kegiatan Konsumen secara proaktif membantu konsumen terutama konsumen listrik.
Menjadi konsumen Mandiri mulai dari mengawal sampai memfasilitasi segala keluh
kesah dan persoalan ketenagalistrikan yang merugikan konsumen sampai ‘siap
tempur’ bersama konsumen memperjuangkan hak-haknya di pengadilan (melalui
gugatan class action). Tentu saja peluang ini seharusnya dimanfaatkan oleh
konsumen listrik dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Tapi kenyataannya tidak
semua konsumen listrik tahu dan bersedia berjuang untuk membela kepentingan
mereka yang tertindas.
Menurut Fahmiwati atau Ketua YLPK dalam konteks Konsiliasi Pelayanan
Komunikasi Konsumen Listrik, ada dua persyaratan utama keberhasilan program ini,
yaitu :
82
1. Adanya sikap terbuka dari PT. PLN (Persero) selaku Pemegang Kuasa
Usaha Ketenagalistrikan di Indonesia. Terbuka terhadap masukan,
kritikan, dan pengaduan, khususnya dari pelanggan. Konsumen/pelanggan
listrik adalah subyek yang mempunyai keinginan dan harapan akan adanya
perbaikan kualitas pelayanan dari PT. PLN. Hal ini hanya bisa dipahami
juka ada jalinan komunikasi yang baik kepada PT. PLN;
2. Adanya kemudahan akses bagi pelanggan berkomunikasi dengan PT.
PLN, untuk itu adanya keragaman medium sebagai sarana berkomunikasi
antara pelanggan dengan PT. PLN menjadi suatu keharusan.
Pemberdayaan Pengaduan Konsumen Mandiri sangat penting dilakukan
terutama bagi konsumen listrik. Dengan adanya konsiliasi Konsumen yang dibuka
dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali oleh Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen
(YLPK) besama-sama dengan LSM lokal, diharapkan bagi konsumen yang merasa
dirugikan oleh produsen/pelaku usaha dapat memperjuangkan hak-hak mereka.
Demikian juga bagi konsumen ketenagalistrikan, dengan adanya pengaduan
konsumen ini hendaknya dapat dipergunakan sebagai salah satu upaya dalam
menuntut hak-hak mereka kepada PT. PLN yang sampai saat ini masih sebagai
pemain tunggal dalam bidang ketenagalistrikan di Indonesia.
83
B. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
Pengaturan tentang hak dan kewajiban konsumen dijumpai dalam Pasal 4 dan
Pasal 5 UUPK. Hak konsumen diatur dalam Pasal 4, berbunyi :
“Hak konsumen adalah:
a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi
barang dan /atau jasa;
b. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan /atau jasa sesuai dengan
nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diinginkan;
c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan /atau jasa;
d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan /atau jasa
yang dipergunakan;
e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian
sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan /atau penggantian,
apabila barang dan /atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya;
i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
lainnya.”
Hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK lebih luas daripada hakhak dasar konsumen sebagaimana yang pertama kali dikemukakan oleh Presiden
Amerika Serikat Jhon. F. Kennedy di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962,
sebagaimana yang dikutip oleh Ahmadi Miru & Sutarman Yodo 73, yaitu terdiri atas :
a. hak memperoleh keamanan;
Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap
pemasaran barang dan /atau jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau
diri konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini, pemerintah mempunyai
73
Op-Cit, 2005, hal. 38 dan 39.
84
peranan dan tanggungjawab yang sangat penting. Berbagai bentuk peraturan
perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya,
sekalipun dibanding dengan meningkatnya produksi, karena pembangunan
ribuan jenis barang dan /atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga
keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang. 74
b. hak memilih;
Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan membeli atau
tidak membeli suatu produk barang dan /atau jasa yang dibutuhkannya.
c. hak mendapat informasi;
Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang lengkap
mengenai barang dan /atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung
maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan.
d. hak untuk didengar;
Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya
harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk
didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. 75
Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi
Manusia yang dicanagkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10
Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh
Organisasi
Konsumen
Sedunia
(Internasional
Organization
of
Consumers
Union/IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu :
74
Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika, FH.
UNIAR, 1992, hal. 49.
75
Ibid, hal. 50
85
a. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
b. hak untuk memperoleh ganti rugi;
c. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
d. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 76
Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau
EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut :
a. hak perlindungan kesehatan dan keamanan;
b. hak perlindungan kepentingan ekonomi;
c. hak mendapat ganti rugi;
d. hak atas penerangan;
e. hak untuk didengar.
Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak
tersebut, YLKI, misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu lagi hak sebagai
pelengkap hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik
dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen. 77
Memperhatikan hak-hak yang disebut di atas, maka secara keseluruhan pada
dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen yaitu :
a. hak atas keamanan dan keselamatan;
maksudnya untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam
penggunaan barang dan /atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen
dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi
suatu produk;
76
77
Op.Cit, 2005, hal. 2
Op-Cit, 2006, hal.20.
86
b. hak untuk memperoleh informasi;
hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi
yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu
bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat
karena informasi yang tidak memadai;
c. hak untuk memilih;
maksudnya adalah untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk
memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada
tekanan dari pihak luar.
Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif
pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara
monopoli suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (barang
atau jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan
berfungsi;
d. hak untuk didengar;
merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak
untuk menghindarkan diri dari kerugian, dapat berupa pertanyaan tentang
informasi yang kurang memadai, atau berupa pengaduan atas adanya kerugian
yang dialami akibat penggunaan suatu produk atau yang berupa
pertanyaan/pendapat tentang suatu kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan
dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara
diwakilkan, misalnya melalui YLKI;
e. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup;
merupakan hak yang sangat mendasar karena menyangkut hak untuk hidup.
Setiap konsumen berhak memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa)
untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama hak
atas pangan, sandang, papan serta hak-hak lainnya berupa memperoleh
pendidikan, kesehatan dan lain-lain;
f. hak untuk memperoleh ganti rugi;
maksudnya hak untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak
simbang) akibat penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan
konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur
tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (diluar pengadilan) maupun
yang diselesaikan melalui pengadilan;
g. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen;
hak ini penting agar konsumen dapat terhindar dari kerugian akibat
penggunaan produk dan konsumen dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam
memilih suatu produk yang dibutuhkannya;
87
h. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat;
hak ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk
memperoleh lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh
informasi tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor
5 Tahun 23 Tahun 1997;
i.
hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya;
hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat
permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen
dapat saja membayar harga suatu barang lebih tinggi daripada kegunaan atau
kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. Penegakan hak
konsumen ini didukung oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
j.
hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut;
hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah
dirugikan akibat penggunaan produk dengan melalui jalur hukum. 78
Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah
dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang
menjadi prinsip dasar, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmadi Miru
dalam disertasinya yang berjudul Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen di Indonesia, yaitu :
1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik
kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan;
2. hak untuk memperoleh barang dan jasa sesuai dengan harga yang wajar;
dan
3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan
yang dihadapi. 79
Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa
hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam UUPK, maka hal tersebut sangat
esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan
hukum bagi konsumen di Indonesia.
78
79
Op.Cit, 2005, hal. 40
Ibid. hal 47.
88
Selain daripada ketentuan yang mengatur tentang hak-hak konsumen di atas,
UUPK juga mengatur tentang apa saja yang menjadi kewajiban dari
konsumen, yang diatur dalam Pasal 5 , “Kewajiban konsumen adalah :
a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau
pemenfaatan barang dan /atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /atau
jasa;
c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen
secara patut.80
Adanya kewajiban-kewajiban yang diatur dalam UUPK adalah tepat, sebab
adanya kewajiban bagi konsumen dimaksudkan untuk mengimbangi adanya hak-hak
dari konsumen itu sendiri termasuk untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut.
C. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Nomor
8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)
Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara
para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada umumnya jika
ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul apabila
salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain
tidak merasa demikian.
Menurut Nasution, AZ. 81, sengketa konsumen adalah sengketa antara
konsumen dengan pelaku usaha (public atau privat) tentang produk konsumen, barang
80
81
Ibid, hal 47.
Op-Cit, 2002, hal 221.
89
/atau jasa konsumen tertentu. Sedangkan Sidharta82 menyatakan bahwa sengketa
konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen.
Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata
negara.
UUPK tidak memberikan batasan yang jelas tentang apakah yang dimaksud
dengan sengketa konsumen. Kata-kata “sengketa konsumen” dijumpai pada
beberapa bagian dari UUPK, yaitu :
1. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi
administrasi negara yang mempunyai menyelesaikan sengketa antara
pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK), Pasal 1 Butir 11 UUPK jo. Bab XI UUPK;
2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur
penyelesaian sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada
Bab ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu
Pasal 45 Ayat (2) dan Pasal 48 UUPK. 83
Pemahaman pengertian “sengketa konsumen” dalam kerangka UUPK dapat
kita lakukan dengan menggunakan metode penafsiran :
Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK. Berikut dikutipkan
batasan keduanya :“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan
/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan”. (Pasal 1 Butir 2 UUPK)
“Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik
yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”.
(Pasal 1 Butir 3 UUPK)
82
83
Op-Cit, 2006, hal 165.
Op-Cit, 2003, hal 12.,
90
Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pasal 1 Butir 11
UUPK mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”,
yaitu : sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha yang
dimaksud adalah :
1. setiap orang atau individu;
2. badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. 84
Selengkapnya Pasal 1 Butir 11 berbunyi : “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku
usaha dan konsumen”. Jadi sengketa sesama pelaku usaha adalah badan sengketa
konsumen, karena ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPK tidak dapat digunakan
untuk penyelesaian sengketa.
Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekuasaan.
Karena sejak awal, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen,
dimungkinkan menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan,
misalnya peradilan umum atau konsumen dapat memilih jalan penyelesaian di luar
pengadilan. Hal mana dipertegas oleh Pasal 45 Ayat (2) UUPK Tentang Penyelesaian
Sengketa, yang mengatakan : Penyelesaian Sengketa konsumen dapat ditempuh
melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak
yang bersengketa.
Menurut Pendapat Rachmadi Usman, Penyelesaian sengketa Pasal 6 Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai pilihan dalam Penyelesaian
84
Ibid, hal 20.
91
Sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa atau yang lazim
disebut dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau ADR. 85.
Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UUPK dengan
penjelasannya, maka dapat disimpulkan penyelesaian sengketa konsumen dapat
dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut :
a. Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan
konsumen) tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral.
Penyelesaian sengketa konsumen melalui cara-cara damai dapat mengacu pada
ketentuan Pasal 1851 sampai Pasal 1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengertian, syarat-syarat dan kekuatan
hukum dan mengikat perdamaian (dading);
b. Penyelesaian melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui
pengadilan mengacu kepada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku;
c. Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK).
Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus
diselesaikan. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan menempuh
salah satu dari ketiga cara penyelesaian yang ditawarkan oleh Pasal 45 Ayat (2) di
atas, sesuai keinginan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa sehingga dapat
menciptakan hubungan yang baik antara perusahaan/pelaku usaha dengan konsumen.
1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Di luar Peradilan Umum (BPSK)
Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka UUPK
memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum.
Pasal 45 Ayat (4) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa
85
Rahmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional,
Indonesia, Jakarta, 2002 hal 17.
Penerbit PT.Gramedia Widiasarana
92
konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika
upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang
lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian sengketa di pengadilan tetap dibuka
setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan.
Pasal 47 UUPK menyebutkan :
“Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk
mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan / atau jasa
mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak
akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen”
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Alternative Dispute Resolution
(ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara, yang dapat berupa : arbitrase, mediasi,
konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference, serta bentuk
lainnya. 86 Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK
dalam Pasal 52 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK, memberikan 3 (tiga) macam
cara penyelesaian sengketa, yaitu :
1. Mediasi
2. Arbitrase, dan
3. Konsiliasi.
Secara lengkap tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen (BPSK) menurut Pasal 52 UUPK, adalah :
86
Ibid, 2005, hal 233, mengutip pendapat Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai
Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 186.
93
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara
melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku;
d. melaporkan kepada penyidik umumapabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam
undang-undang ini;
e. menerima pengadaan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang
terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap
perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan /atau setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli,
atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang
tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan /atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna
penyelidikan dan /atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar
ketentuan undang-undang ini.
Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak hanya
bertugas menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan, tetapi juga melakukan
kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula
baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran yang
diduga dilakukan oleh pelaku usaha. Adapun keanggotaan dari BPSK terdiri dari 3
(tiga) unsur, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 49 Ayat (3) dan (4) UUPK,
yaitu :
a. Unsur pemerintah (3-5 orang),
b. Unsur konsumen (3-5 orang), dan
c. Unsur pelaku usaha (3-5 orang).
94
Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah tugas BPSK untuk
menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara-cara : mediasi, arbitrase dan
konsiliasi.
1. Mediasi
Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan,
ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, dimana Majelis BPSK
bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat.
Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga (a third
parly), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak
pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. 87
Setiap batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada
salah satu pihak.
Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para
pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga
hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya
tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat
secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya.
Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan
penyelesaian sengketa adalah : karena cara pendekatan penyelesaian
diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak
lagi menjadi beban yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi
87
Op-Cit ,2003, hal 23.
95
berarti penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia
(tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang
menang atau kalah, serta tidak emosional. 88
2. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para
pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputuskan oleh juru pisah yang
netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasarkan dalildalil dalam perkara tersebut.89
Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya
langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang
dikalahkan tidak mematuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat
meminta eksekusi ke pengadilan.
Menurut Rachmadi Usman, lembaga arbitrase memiliki kelebihan, antara lain
:
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan
administratif;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini
mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan
dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase;
e. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan
melalui tata cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat
dilaksanakan. 90
88
89
90
Op Cit, 2005, hal 257.
Op-Cit, 2002, hal 1.
Ibid, hal 4-5.
96
Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun akhir-akhir ini peran arbitrase
sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternative
penyelesaian sengketa yang lain, karena :
a. biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan
seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transportasi, dan akomodasi
arbiter, serta biaya saksi dan ahli;
b. penyelesaian yang lambat, walaupun banyak sengketa yang dapat diselesaikan
dalam waktu 60-90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan waktu
yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan pendapat
tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang diterapkan, maka
penyelesaiannya akan bertambah rumit. 91
3. Konsiliasi
Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dimana Majelis
BPSK bertugas sebagai perantara antara pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK
bersifat pasif.
Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalahmasalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif
dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options)
penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu
kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling
mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua
belah pihak. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase,
dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatannya
tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator
91
Op Cit, 2005, hal 250.
97
tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan para
pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa
tergantung pada kesukarelaan para pihak.
UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan setiap
sengketa konsumen (di luar pengadilan). UUPK tidak menentukan adanya pemisahan
tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator
sehingga setiap anggota dapat bertindak baik sebagai mediator, arbitrator ataupun
konsiliator. Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan BPSK tersebut, maka
penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti
kata bahwa setiap sengketa diusahakan penyelesaiannya melalui mediasi, jika gagal,
penyelesaian ditingkatkan melalui konsiliasi dan jika masih gagal juga barulah
penyelesaian melalui cara peradilan arbitrase.
2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Peradilan Umum
Pasal 45 Ayat (1) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang diragukan
dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan
sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di
lingkungan peradilan umum. Pasal 48 UUPK menentukan bahwa penyelesaian
sengketa konsumen melalui peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang
peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas.
Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang
dilakukan oleh pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 Ayat (1) UUPK, yaitu :
98
(1). a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama;
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,
yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi
tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah
melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan /atau instalansi terkait apabila barang dan /atau jasa yang
dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan
/atau korban yang tidak sedikit.
(2)
Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan
konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud
pada Ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf diajukan kepada peradilan umum.
Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 Ayat (1) UUPK maksudnya adalah :
a. bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris
yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 Ayat (1)
UUPK, penyeselesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga
yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam
UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum.
b. sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang
dimaksud huruf b, huruf c, dan huruf d Pasal 46 Ayat (1) UUPK, penyelesaian
sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui
pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat
ini.
99
Mengenai gugatan sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang
sama sebagaimana yang diatur huruf b Pasal 46 Ayat (1) UUPK, dalam Penjelasan
Pasal 46 Ayat (1) huruf b UUPK, ditegaskan bahwa :
“Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action.”
“Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benarbenar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum.”
Penuntutan penyelesaian sengketa konsumen dengan mengajukan gugatan
class action melalui peradilan umum telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang
mengatur class action ini di Indonesia. Tentu saja hal ini merupakan angin segar yang
diharapkan akan membawa perubahan terhadap perlindungan konsumen di Indonesia
khususnya perlindungan konsumen di bidang ketenagalistrikan. Gugatan class action
akan lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pelanggaran hukum yang
merugikan secara serentak atau sekaligus dan massal terhadap orang banyak. 92
Dimana gugatan ini dapat dimanfaatkan oleh konsumen ketenagalistrikan yang
merasa hak-haknya dirugikan oleh PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan di Indonesia, karena pemadaman listrik yang sporadic dan tanpa
pemberitahuan terlebih dahulu yang dapat mengakibatkan rusaknya berbagai
peralatan rumah tangga. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya
dimungkinkan apabila :
92
Lihat Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002, Tentang
Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Bagian Menimbang huruf C
100
a. para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar
pengadilan, atau
b. upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. 93
Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara baik
secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi negara, membawa
keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya. Antara lain
tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak yang menggugat. Keadaan ini
sebenarnya lebih banyak membawa kesulitan bagi konsumen jika berperkara di
peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam
penyelesaian sengketa di pengadilan adalah :
1.
2.
3.
4.
5.
penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat;
biaya perkara yang mahal;
pengadilan pada umumnya tidak responsif;
putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah;
kemampuan para hakim yang bersifat generalis. 94
Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui
pengadilan, yang termasuk banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya
waktu penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak mengharapkan
penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka.
Usaha-usaha penyelesaian sengketa konsumen secara cepat terhadap gugatan
atau tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen/pelaku usaha telah
93
94
Op-Cit, 2005, hal 234.
Ibid, hal 237.
101
diatur dalam UUPK yang memberikan kemungkinan setiap konsumen untuk
mengajukan penyelesaian sengketanya diluar pengadilan, yaitu melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang dalam undang-undang putusannya
dinyatakan final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding dan
kasasi dalam BPSK tersebut (Pasal 54 Ayat (3) UUPK). Namun ketentuan yang
menyatakan bahwa putusan BPSK adalah bersifat final dan mengikat ternyata
bertentangan dengan yang diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberikan
kesempatan pada para pihak yang bersengketa di BPSK untuk mengajukan keberatan
atas putusan BPSK yang telah diterima kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14
hari kerja setelah meneriam pemberitahuan putusan tersebut.
102
BAB IV
HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN
TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI RANTING
DEWANTARA KABUPATEN ACEH UTARA
A. Hambatan/Kendala dari Pelaku Usaha (PT. PLN)
Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan
Pasal 7 ayat (1) disebutkan : usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara
dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan Sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, PLN mendapat
tugas dari negara untuk menyediakan listrik di seluruh Indonesia. Dengan demikian
jika terjadi pemadaman atau kekurangan pasokan listrik, maka PLN lah yang paling
bertanggung jawab. 95
Memang berat amanat yang ditanggung PLN, sebagai satu-satunya
perusahaan
listrik
di
Indonesia
(monopoli),
PLN
diharuskan
secara
berkesinambungan menyediakan pasokan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan
yang bagi semua konsumennya. Mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik sangat
tergantung pada kapasitas pembangkit dan sistem jaringan yang beroperasi, di mana
kapasitas yang cukup diharapkan dapat menjamin kelangsungan pasokan listrik
95
Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2004, hal. 17.
103
kepada semua pelanggannya. Beberapa permasalahan terkait dengan penyediaan
pasokan tenaga listrik oleh PLN di tanah air, 96 antara lain :
1. Penempatan pembangkit yang kurang optimal;
2. Terpusatnya pembangkit di suatu tempat;
3. Kurangnya pemanfaatan sumber daya energi setempat;
4. Banyak kontrak jual beli Bahan Bakar Minyak (BBM) antara PLN
dengan Pertamina yang tidak adil. Misalnya kasus pembelian BBM di
Pontianak, dimana PLN membeli 100 (seratus) ton BBM kepada
Pertamina, namun hanya 90 (sembilan puluh) ton yang direalisasikan
kepada PLN. Sisanya 10 (sepuluh) ton ‘didiamkan’ begitu saja;
5. Beberapa
sistem
ketenagalistrikan
mengalami
kekurangan
pembangkitan dimana beban puncak lebih besar dari daya maupun
sistem, dan hampir semua sistem akan mengalami hal serupa bila unit
pembangkit terbesar keluar dari sistem;
6. Sistem pembangkitan untuk wilayah yang masih tradisional di
Sumatera Barat (Sumbar) dan Riau yang masih mengandalkan PLTD
(Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), kualitas energi listrik yang
diterima konsumen masih jauh di bawah standar yang berlaku (sekitar
150-180 volt) disebabkan jaringan distribusi yang sangat panjang.
96
Mai 2009
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23
104
Selain masalah yang dihadapi di atas berkenaan dengan permasalahan yang
dihadapi dalam penyediaan pasokan listrik dengan mutu dan keandalan yang baik
oleh PT. PLN kepada konsumennya, ternyata dalam penyediaan pasokan listrik yang
cukup kepada masyarakat/konsumennya PT. PLN juga menghadapi beberapa masalah
terkait penyediaan pasokan listrik ini, yaitu :
1. Perbandingan jumlah karyawan dengan pelanggan/konsumen yang dilayani,
sudah ideal atau belum;
2. Tingkat kebocoran/kehilangan/susut energi listrik yang dihasilkan PT. PLN, baik
secara tekhnis maupun non tekhnis.
Losses atau susut dalam industri ketenagalistrikan dikategorikan menjadi dua,
yakni tekhnis dan non tekhnis.
1. Susut tekhnis dapat terjadi dalam tahap pembangkitan, jaringan maupun
distribusi. Banyak faktor yang menyebabakan susut tekhnis antara lain umur
kabel listrik yang sudah tua, sambungan yang tidak sempurna dan lain-lain.
2. Susut non tekhnis, di lapangan dijumpai dalam bentuk illegal connection atau
pencurian listrik yang dilakukan konsumen, baik oleh konsumen listrik rumah
tangga, konsumen listrik industri, maupun penyambungan illegal untuk
keperluan penerangan jalan umum. 97
Dalam konteks kenaikan tarif listrik, tinggi rendahnya angka susut amatlah
penting. Karena hal ini terkait secara financial dengan biaya atau pendapatan yang
hilang dari PLN. Ranting Dewantara sekitar 60 % (enam puluh persen), namun pada
Mei tahun 2009 angka losses yang dialami PT. PLN meningkat secara senifikan 98
97
Ibid, hal 70
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri (Manager) PT. PLN Ranting
Dewantara, pada tanggal 18 Mei 2009
98
105
Setiap satu persen losses setara dengan kehilangan pendapatan sebesar Rp.
7.474.388.230 selama 3 (tiga) bulan yaitu Januari, Februari dan Maret 2009 .
Dengan berpatokan pada angka losses, maka tingkat losses PLN telah
mengakibatkan PT. PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp. 7,4 Milyar lebih.
Sebuah nilai nominal yang tidak kecil, yang setara dengan jumlah subsidi
yang diberikan pemerintah kepada PLN. 99
Dengan demikian jika PT. PLN dapat menekan angka losses sampai batas 10
% (sepuluh persen) akan ada peningkatan pendapatan bagi PT. PLN, sehingga dapat
berakibat kepada :
1. PT. PLN tidak perlu menaikkan harga jual/tarif dasar listrik kepada
konsumen, kalaupun terpaksa naik, besarannya tidak seperti kenaikan tarif
dasar listrik selama ini;
2. Pemerintah tidak perlu lagi memberikan subsidi kepada PT. PLN, sehingga
dana subsidi tersebut bisa dialokasikan ke sektor lain;
3. PT. PLN dapat melakukan investasi baru di bidang ketenagalistrikan,
khususnya penambahan jumlah pembangkit yang akan menambah jumlah
pasokan energi listrik, yang selanjutnya dapat meningkatkan cakupan
pelayanan kepada konsumennya.
Losses non tekhnis (pencurian) adalah fenomena khas Indonesia, sebab
jika bicara losses di beberapa negara, pengertiannya adalah losses tekhnis. Namun
tidak demikian di Indonesia. Untuk itu, cara menurunkan losses juga dengan cara
khas Indonesia, yakni :
99
Ibid , hal 71
106
1. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pencurian listrik;
2. Secara internal, PT. PLN harus melakukan pembersihan terhadap
oknum-oknum yang terlibat didalam berbagai kasus pencurian listrik;
3. Partisipasi masyarakat, karena hampir tidak mungkin PT. PLN dapat
melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan pencurian listrik;
4. Perlu adanya program bersama antara pemerintah, PT. PLN dan
lembaga konsumen dalam bentuk pendidikan konsumen, bahwa
pencurian listrik pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian
konsumen itu sendiri.. 100
Menurut data dari PT. PLN Ranting Dewantara 101 seringnya pemadaman
aliran listrik yang dialami oleh konsumen listrik adalah akibat krisis listrik. Di mana
pemadaman listrik terpaksa dilakukan disebabkan karena beberapa faktor, antara lain
1. Tidak adanya penambahan mesin pembangkit listrik yang baru sejak tahun 1995;
2. Tidak adanya keseimbangan antara supply nandmdemand (persediaan daya listrik
dengan permintaan konsumen baru) dengan pertumbuhan beban kemampuan
penyediaan listrik;
3. Seringnya dilakukan pemeliharaan dan perbaikan mesin pembangkit listrik;
4. Masalah tingginya harga BBM dan kelangkaan pasokan BBM;
5. Macetnya pembayaran rekening listrik oleh pelanggan/konsumen.
Adanya permasalahan lain yang juga dirasakan sebagai penghambat terhadap
perlindungan hak-hak konsumen listrik adalah kurangnya akses informasi dari PLN
terhadap konsumen. Dapat dikatakan bahwa PLN belum berhasil memberdayakan
konsumen, konsumen nyaris tidak merasakan apa yang dialami PLN. Misalnya
menyangkut pemadaman bergilir. Hal itu dilakukan karena adanya krisis pasokan
100
Ibid,, hal 73
Sumber berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri, Manager PT. PLN Ranting
Dewantara, pada tanggal 18 Mei 2009
101
107
energi listrik. Semestinya PLN menjelaskan secara jernih dan menyeluruh tentang
permasalahan konkrit yang dihadapinya, sehingga konsumen dapat merasakan
kesulitan yang dialami oleh PLN. Hal ini terkait dengan hak atas informasi
sebagaimana yang dijamin dalam UUPK.
Faktor dari konsumen itu sendiri sejauh mana tingkat pendidikan atau
pengetahuan karena masing-masing konsumen memiliki cirri disesuaikan dengan
latar belakang budaya, pendidikan dan pengaruh sosial. Perbedaan tingkat
pengetahuan berpengaruh pada cara konsumen merespons berbagai produk barang
dan jasa yang beredar dimasyarakat, ketika dihadapkan dengan banyak pilihan dari
harga sampai mutu serta cara penyampaian informasi yang sangat menarik tapi belum
tentu substansi dapat dipertanggungjawabkan dan konsumen lebih memilih diam dari
pada melapor kepada PT. PLN atau yang menangani perlindungan konsumen listrik.
Keterbatasan penyediaan pasokan arus listrik dari PT PLN kepada
konsumen/pelanggan dengan pemakaian lebih banyak sedangkan pasokan terbatas
atau tidak seimbang maka pemadaman listrik sering terjadi atau pemadaman bergilir
antara satu daerah dengan daerah yang lain dan penyediaan pasokan arus listrik untuk
wilayah Aceh bersumber dari Sumatra Utara.
Sebagian besar konsumen akan tetap membutuhkan listrik dari PT. PLN
walaupun setiap saat mati lampu. Hal tersebut sebenarnya membawa banyak manfaat
bagi konsumen dari pada menghidupkan genset dengan biaya dan resiko yang tinggi.
108
B. Hambatan/Kendala dari Pelanggan/Konsumen Listrik
Anggapan perusahaanlah yang dibutuhkan dan bukan perusahaan yang
membutuhkan pelanggan adalah anggapan yang keliru. Sebab sesungguhnya untuk
menjaga kesetiaan pelanggan, paradigma salah itu perlu ditinggalkan. Perusahaan
publik harus merasa bahwa ialah yang membutuhkan pelanggan, hingga akan muncul
sikap rendah hati dan siap melayani. Maka, jika saja perusahaan dapat memberikan
pelayanan yang baik dan memuaskan, pastilah pelanggan akan senang.
Dalam hal pemberian pelayanan kepada pelanggan/konsumen, maka
kondisinya secara faktual ada 3 kemungkinan alternatif yang dapat terjadi, yaitu :
1. bila pelayanan yang diberikan perusahaan mengecewakan pelanggan, alamat pasti
konsumen akan menceritakan pengalaman buruknya kepada orang lain;
2. kalau pelayanan yang diberikan itu baik, maka itu sesuatu yang wajar dan pantas,
sebab itu sudah merupakan kewajiban perusahaan. Manajemen pelayanan
seimbang
dan
sepadan
dengan
jumlah
pembayaran
yang
ditunaikan
pelanggannya, hingga kedua belah pihak sama-sama senang;
3. Kualitas pelayanan sama dengan harapan pelanggannya, lazimnya pelanggan
dengan senang hati akan menyebarluaskan pada orang lain bagaimana pelayanan
yang baik itu. Pada keadaan ini kadangkala pelanggan tidak mempersoalkan
besaran uang yang dikeluarkan, sebab pelanggan memperoleh kepuasan dari
pelayanan yang diberikan.
Selayaknyalah perusahaan publik seperti PT. PLN juga menerapkan prinsipprinsip
pelayanan
yang
mengutamakan
kepuasan
pelanggan.
Sebab
109
pelanggan/konsumen sudah membayar kewajiban secara tunai kepada PT. PLN
dengan demikian juga berhak mendapatkan apa yang menjadi hak-hak mereka.
Sekalipun tidak adanya pesaing berat PT. PLN dalam ketenagalistrikan di Indonesia
(Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan belum mengatur
tentang kompetensi bagi penyediaan tenaga listrik di Indonesia) bukan berarti PT.
PLN dapat semaunya mengabaikan pelanggan/konsumennya terutama pelanggan
listrik rumah tangga. Pelanggan inilah secara kuantitas dan kualitas lebih unggul dari
pelanggan PT. PLN lainnya. Jadi selayaknya PT. PLN memberikan perhatian dan
pelayanan yang lebih terhadap pelanggan golongan ini.
Menurut Paul Sutaryono, ada kiat-kiat tertentu yang dapat dilakukan PLN
untuk memuaskan pelanggannya, yaitu :
1. temu pelanggan (costumer gathering), saat ini sudah banyak perusahaan publik
yang menyelenggarakan aktivitas yang dinamakan pelanggan. Tidak perlu
menunggu pengaduan pelanggan muncul baru ada tindakan.PT PLN sudah
semestinya bertindak aktif menjemput keluhan pelanggan. Temu pelanggan akan
mempertemukan keluhan pelanggan dengan solusi yang tepat, cepat dan akurat.
Langkah proaktif sesungguhnya merupakan langkah tanggung jawab, dengan
demikian tidak ada lagi jurang antara PLN dengan pelanggannya;
2.
manajemen relasi pelanggan (customer relationship management). Temu
pelanggan tidak dapat disangkal sebagai salah satu langkah strategis untuk
mencapai relasi yang serasi, sejajar dan harmonis antara PLN dengan
pelanggannya. Karena relasi yang setara, seimbang dan harmonis semacam itu
akan menciptakan apa yang disebut jalinan pelanggan (customer bonding) yang
penuh manfaat;
3. kesetiaan pelanggan (consument loyality). Hal ini penting, mengingat selama ini
tidak ada pesaing berat dalam bisnis intinya, PLN tentu merasa di atas angin.
Karenanya PLN tidak lalu berpuas diri untuk kemudian melalaikan faktor
kesetiaan konsumennya. Sesungguhnya sasaran akhir dari kegiatan pemasaran
bukan lagi kepuasan pelanggan, tetapi terletak kepada kesetiaan pelanggan. 102
102
Op-Cit.,2004, hal 75-76.
110
Jika saja kepuasan pelanggan telah menjadi prioritas utama dalam pelayanan
PLN kepada pelanggannya, tentu saja tidak akan timbul berbagai complain dari
pelanggan/konsumennya.
Complain
konsumen
merupakan
wujud
dari rasa
ketidakpuasan yang dialami konsumen terhadap bentuk jasa dan pelayanan yang telah
diberikan,
yang
tentu
saja
jauh
dari
kata
memuaskan.
Untuk
itulah,
masyarakat/konsumen sangat berharap, setiap keluhan mereka mendapat tanggapan
dan tindakan yang layak dari PLN.
Dalam hubungan antara produsen/pelaku usaha dengan konsumen, banyak
hambatan-hambatan yang ditemui dalam mewujudkan keserasian dan keharmonisan
hubungan tersebut. Tidak terkecuali hubungan antara pelanggan/konsumen listrik
dengan PLN. Banyaknya hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan perlindungan
terhadap hak-hak konsumen, selain yang berasal dari PT. PLN juga terdapat dari
masyarakat/pelanggan/konsumen itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan konsumen lebih memilih sikap
‘diam’ daripada bersusah payah menegakkan hak-hak mereka yang tertindas oleh
pelaku usaha. Hal ini terbukti dari wawancara yang telah dilakukan terhadap
beberapa informan (konsumen listrik golongan rumah tangga). Dengan berbagai
alasan, ternyata anggapan mereka bahwa berjuang melawan perusahaan besar seperti
PLN adalah usaha yang membuang waktu, tenaga dan uang. Alasan inilah yang akan
dicoba dirubah oleh lembaga swadaya perlindungan konsumen.
Menurut data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan-informan
yang terkait dengan masalah ini, ternyata hambatan terbesar yang ditemui dalam
111
mewujudkan perlindungan terhadap konsumen listrik di kota Banda Aceh ini adalah
kurangnya kesadaran konsumen itu sendiri dalam memperjuangkan tegaknya hak-hak
mereka. Mereka lebih memilih ‘mendiamkan’ masalah daripada mencari masalah.
Hal ini salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan konsumen, jalan apa yang harus
ditempuh untuk menuntut hak-hak mereka yang diabaikan. Karena itu, di sini
dibutuhkan peran yang lebih aktif lagi dari setiap lembaga pemberdayaan
perlindungan konsumen yang ada di kota. Peran lembaga swadaya perlindungan
konsumen memang memiliki andil yang besar dalam memperjuangkan terwujudnya
perlindungan terhadap hak-hak konsumen listrik di kota Banda Aceh. Kepercayaan
diri (confidence) yang kuat, harus dimiliki oleh konsumen listrik, sehingga mereka
berani memperjuangkan hak-hak mereka tersebut ketika hak-hak itu dilanggar.
Peran aktif lembaga swadaya perlindungan konsumen memang sangat
diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya diri konsumen listrik terhadap hak-hak
mereka. Konsumen listrik yang didampingi oleh lembaga swadaya perlindungan
konsumen diharapkan mampu membela dan memperjuangkan hak-hak mereka yang
diabaikan dengan membuat pengaduan/laporan dan gugatan terhadap PLN, baik
melalui jalan penyelesaian di BPSK, maupun di pengadilan negeri melalui gugatan
class action. Kedua jalan penyelesaian yang ditempuh ini tidak dipungut bayaran dari
konsumen. 103
103
Berdasarkan wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal
23 Mei 2009.
112
Dengan peran aktif dari lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang ada
di kota Banda Aceh, diharapkan dapat meningkatakn pengetahuan dan kesadaran
hukum masyarakat/konsumen listrik, sehingga masyarakat/konsumen listrik yang
dirugikan oleh PT. PLN bersedia dan mampu memperjuangkan hak-hak mereka, baik
secara personal (perorangan) maupun bersama-sama dengan masyarakat/konsumen
listrik lainnya yang bernasib sama.
Faktor salah satunya pengaruh globalisasi yang menyebabkan konsumen
diberikan banyak pilihan, pelaku usaha semakin dipacu untuk mempruduksi
barang/jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan diminati oleh masyarakat namun
apakah sudah memperhatikan kualitas bahan produksi yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan, selain itu pelayanan kepada konsumen apakah juga sudah
optimal. Konnsumen senantiasa berada dalam posisi yang lemah dan dirugikkan.
Perlu ada aturan yang dapat menyembatani kepentingan pelaku usaha dan
kepentingan konsumen karena dua pihak tersebut bagai dua sisi mata uang yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lain, saling membutuhkan tidak mengambil keuntungan
kemudian dibiarkan merugi tidak ada bentuk pertanggungjawaban dan perlindungan
bagi pihak yang dirugikan dan di Kabupaten Aceh Utara belum terbentuk
lembaga/instansi dan perannya perlindungan konsumen antara lain
1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN);
2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM);
3. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau sejenisnya;.
4. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
113
C. Upaya Mengatasi Hambatan
Dalam mengatasi hambatan konsumen listrik harus memenuhi ketentuan
sebagai berikut :
1. Menyediakan tenaga listrik terus menerus/berkesenambungan dan memberikan
pelayanan sebaik-baiknya kepada konsumen serta memperhatikan keselamatan
kerja dan keselamatan umum. Peraturan pemerintah nomor 3 tahun 2005
ditegaskan yang menjadi hak dan kewajiban masyarakat dalam pemanfaatan
tenaga listrik yang diatur oleh peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1989 yang
tidak dirubah oleh peraturan pemerintah tetap berlaku, seperti apa yang ditentukan
dalam Pasal 26, Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1989 tentang penyediaan
dan pemanfaatan tenaga listrik :
Masyarakat didaerah Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang
Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang bersangkutan.
Masyarakat yang telah mendapat tanaga listrik mempunyai hak untuk :
a. Mendapat pelayanan yang baik;
b. Mendapat tanaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan
yang baik;
c. Mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik.
Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai kewajiban :
a. Melaksanakan mengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat
pemanfaatan tenaga listrik;
b. Menjaga dan memelihara keamanan instalasi ketenagalistrikan;
c. Menggunakan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya.
Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik bertanggung jawab karena
kesalahannya mengakibatkan kerugian bagi Pemegang Kuasa Usaha
Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk
Kepentingan umum.
114
2.
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan harus direvisi
sebab Undang-undang tersebut diatas tidak memihak kepada konsumen dan
posisi konsumen lemah.
3.
Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara harus berupaya membentuk wadah
hukum untuk perlindungan konsumen bila pihak pelaku usaha tidak memenuhi
kebutuhan konsumen dan konsumen dapat melapor ke Badan Perlindungan
Konsumen atau sejenisnya.
115
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Terhadap
Perlindungan Hukum Konsumen Listrik: Studi pada PT. PLN Ranting Dewantara,
Kabupaten Aceh Utara, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Secara struktural perlindungan konsumen listrik masih sangat lemah. Karena
Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tidak memuat
pengaturan tentang hak-hak konsumen listrik. Belum maksimalnya penegakan
hukum, serta belum melembaganya lembaga penyelesaian sengketa konsumen
listrik yang lebih akomodatif terhadap kepentingan konsumen, membuat atmosfir
perlindungan hukum konsumen listrik masih jauh dari memuaskan. Selain itu
kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki andil besar terhadap
kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) karena 60 % pembangkit tenaga listrik milik
PT. PLN menggunakan energi BBM (solar) sebagai pembangkit energi utamanya
sehingga mengakibatkan harga jual kepada konsumen listrik semakin tinggi, jauh
dari hak konsumen untuk mendapatkan listrik dengan harga yang wajar.
2. Dalam memperjuangkan hak-hak konsumen listrik yang diabaikan oleh PT. PLN,
maka konsumen listrik dapat mengambil langkah-langkah untuk membela hakhak mereka tersebut, dengan upaya-upaya sebagai berikut :
116
a. Membuat laporan/pengaduan (secara tertulis dan tidak tertulis) kepada
lembaga swadaya perlindungan konsumen yang ada di kota Banda Aceh
melalui Bulan Pengaduan Konsumen dan dibentuknya lembaga. *
b. Mengajukan permohonan (secara tertulis atau lisan) kepada Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Banda Aceh terhadap pelaku
usaha/PLN. Dimana sudah menjadi kewenangan dari Badan Penyelesaian
Sengketa Konsumen (BPSK) untuk menyelesaikan sengketa yang timbul
antara konsumen dan pelaku usaha. Cara penyelesaian yang dipilih dalam
meyelesaikan sengketa konsumen listrik biasanya adalah arbitase, namun
tidak tertutup kemungkinan melalui cara yang lainnya (mediasi).
c. Mengajukan gugatan class action
ke Pengadilan Negeri. Kenyataannya,
gugatan class action senantiasa mengalami kegagalan memperjuangkan
kepentingan konsumen listrik di pengadilan disebabkan karena sampai
sekarang hakim tidak berani melakukan terobosan hukum, dan terlampau
dominannya kekuasaan PT. PLN di bidang ketenagalistrikan (monopoli).
3. Hambatan/kendala yang ditemui dalam pelaksanaan perlindungan terhadap
hak-hak konsumen listrik, ada yang berasal dari pelaku usaha/PLN maupun
dari pelanggan/konsumennya.
a. Dari PT. PLN permasalah timbul antara lain karena keterbatasan
penyediaan pasokan energi listrik (krisis listrik), kurangnya informasi
*
Yang permanen, antara lain :
1. Wawancara dengan Ibu Fahmiwati Ketua YLPK Banda Aceh,. Pada tanggal 23 Mei 2009.
117
terhadap
pelanggan,
kurang
berpihaknya
peraturan
di
bidang
ketenagalistrikan terhadap kepentingan pelanggan /konsumen, dan lain
sebagainya.
b. Hambatan/kendala yang dihadapi oleh konsumen listrik antara lain adalah
kurangnya tingkat pengetahuan konsumen listrik terhadap perlindungan
hak-hak mereka yang dijamin oleh undang-undang serta kurangnya
informasi yang mereka terima tentang upaya penyelesaian sengketa yang
timbul dari pelanggaran yang dilakukan pihak PLN terhadap hak-hak
mereka tersebut. Disini, peran serta yang lebih besar dari lembaga
swadaya perlindungan konsumen sangat diharapkan agar konsumen dapat
menjadi lebih percaya diri (considence) dan mampu memperjuangkan
hak-hak mereka yang diabaikan.
B. Saran
1. Hendaknya pemerintah mengatur secara tegas dan lebih rinci tentang analisis
terhadap perlindungan Hukum konsumen listrik dalam Undang-undang
Ketenagalistrikan yang sedang dirancang sekarang ini. Dan diharapkan
secepatnya dapat selesai dan diberlakukan, untuk menggantikan Undang-undang
Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang kembali berlaku sekarang
ini,
menggantikan
Undang-undang
Ketenagalistrikan yang telah dicabut.
Nomor
20
Tahun
2002
tentang
118
2. Hendaknya konsumen listrik berani memperjuangkan kepentingan hak-hak
mereka yang dilanggar oleh PT. PLN. Kesadaran Pemerintah tentang
perlindungan hak-hak konsumen sudah menjadi kewajiban kita semua agar hakhak mereka yang dilindungi oleh undang-undang (UUPK) dapat dinikmati
sepenuhnya oleh konsumen (listrik) dengan cara memberikan penyuluhan dan
informasi, program-program pembelajaran konsumen dan peran aktif lembaga
swadaya perlindungan konsumen dalam memberikan bimbingan yang tepat
kepada masyarakat/konsumen (listrik). Penyelesaian sengketa konsumen yang
timbul dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen
(BPSK) maupun melalui Pengadilan Negeri. Namun yang terbaik penyelesaian
sengketa konsumen listrik ini adalah melalui cara arbitrase dan atau mediasi di
BPSK.
3. Hendaknya berbagai hambatan/kendala yang dihadapi PT. PLN sekarang ini
dapat segera diatasi, terutama masalah krisis listrik. Agar pemadaman listrik yang
sering dilakukan PT. PLN terhadap pelanggan/konsumennya tidak terulang
kembali. Dan konsumen listrik betul-betul dapat menikmati hak-hak mereka
terutama hak untuk mendapatkan listrik dengan mutu dan keandalan yang baik
secara terus-menerus dan berkesinambungan dengan harga yang wajar
sebagaimana yang dijanjikan oleh undang-undang Nomor 15 Tahun 1985
Tentang Ketenagalistrikan
119
DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis),
Chandra Pratama, Jakarta 1996
Ali, Chaidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1984
Badrulzaman, Mariam Darus, Pembentukan Hukum Nasional (Kumpulan Karangan),
Alumni Bandung 1981.
______________, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
Alumni, Bandung, 1983.
______________, Menuju Hukum Perikatan Nasional, FH-USU, Medan 1986.
______________, Perjanjian Kredit Bank, Alumni Bandung, 1991.
Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok-pokok Hukum Bisnis, Citra, Jakarta, 1996
Faisal, Sanafiah, Format-format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1999.
Fuady, Munir, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, Penerbit PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Halim, A. Ridwan, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta
1990.
Hantijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Istiqomah, 1982
HS, Salim, Penganta Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan II, Sinar Grafika
Offset, Jakarta, 2003.
______________, Perkembangan Hukum Jaminan Fidusia di Indonesia, Sinar
Grafika Offset, Jakarta, 2005
Joko, Subagyo P. Metode Penelitian Dalam Teory dan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, 1991
120
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, 1997.
K. Susilo, Zumrotin, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, Jakarta 1996.
Kamelo, Tan,. Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia, Suatu Tinjauan Putusan
Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi PPs-USU Medan,
2002
Kadir, Abdul dan Ariono, Masalah ketenagalistrikan di Indonesia (Kumpulan
Artikel), Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi
Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004.
Kristiyanti, Siwi Tri Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Sinar Grafika,
Jakarta, 2008.
Lubis M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar, Bandung, 1994.
Lubis, Muhammad Yamin, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung,
2008
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1990 & 1994 .
______________, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung,
1993
Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004.
______________, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta,
1988.
Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1993
Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Penerbit Diadit
Media, Cetakan Kedua, Jakarta, 2002
121
Projodikoro Wirjono, R, Asas-asas Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 2001.
______________, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung,
1991.
Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terjemahan),
Alimandan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1992.
Rasyidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum
Maju, 2003.
Sebagai
Suatu Sistem, Bandung, Mandar
Satrio J., Hukum Perikatan, Periatan Pada Umumnya, Alumni Bandung, 1993.
Supranto J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003.
Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang
Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir
Indonesia, Jakarta, 1997
Sunggono, Bambng, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1991.
Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit
Mandar Maju, Bandung, 2000. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Cetakan ke
Empat Intermasa, 1979
______________, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti , Bandung, 1995.
Sumitro, Ronny Hanitijo, Metodolog Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990.
Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999.Grasindo, Jakarta, 1999.
______________, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit PT.
Grasindo, Jakarta, 2000.
________________, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit PT. Gresindo,
Jakarta, 2006
Soekamto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1991.
122
______________, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982
______________, Peneitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Penerbit PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007
Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999.
______________, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit
Media, 2002.
Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Liberty, Yokyakarta, 2003
Sutarno, Aspek-aspek hukum perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2005
Subekti, R., Hukum Perjanjian, Cetakan ke Empat Intermasa, 1979
______________, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995
Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen da Instrumen-instrumen Hukumnya, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000.
______________, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang
Perlindungan Konsumen, (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003
Tulus, Abadi dan Sudaryatmo, Memahami Hak dan Kewajiban anda sebagai
Konsumen Listrik, Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan
Koalisi Masyarakat sipil untuk Perbaikan Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004.
Usman Rahmadi, Hukum Arbitrase Nasional, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia, Jakarta, 2002.
______________, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Cetakan Pertama, Jakarta,
Penerbit Djambatan, 2000.
______________, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008
Wilamarta, Misahardi, Hak Pemegangh Saham Minoritas Dan.Nasution Az, Hukum
Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Penerbit Diadit Media, Cetakan
Kedua, Jakarta, 2002
123
Wuisman JJ, M, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, FE. UI,
Jakatra, 1996.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2001.
2. PERUNDANG-UNDANGAN
BW / KUHPerdata. Cetakan. 20. Jakarta. Pradnya Paramita, 1986.
Peraturan Perundang-Undangan Nomor 15, Tahun 1985, Tentang Ketenagalistrikan.
Peraturan Pemerintah Nomor 10, Tahun 1989, Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik.
Peraturan Perundang-undangan, Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan
Konsumen.
Peraturan Perundang-Undangan Nomor 30, Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Peraturan Perundang-Undangan Nomor 20, Tahun 2002, Tentang Ketenagalistrikan.
Peraturan Pemerintah, Nomor 3, Tahun 2005, Tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989, Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan
Tenaga Listrik.
Peraturan Presiden Nomor 5, Tahun 2006, Tentang Kebijakan Energi Nasional.
Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHPerdata).
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2003 tentang Harga Jual
Tenaga Listrik Tahun 2004 Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan
(Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara,
Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/451/M.PE/1991 tentang
Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan Untuk Umum dengan
Masyarakat.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001
tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa
Konsumen.
124
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara
Gugatan Perwakilan Kelompok.
Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor : 11412/39/600.2/2002 tentang Indikator Mutu Pelayanan Penyediaan Tenaga
Listrik Untuk Umum Yang Disediakan Oleh PT. PLN (Persero).
Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 1612/43/600.3/2003 tentang Tata Cara Pengurangan Tagihan Listrik Akibat
Tidak Terpenuhinya Standar Mutu Pelayanan Pada Perusahaan Perseroan
(Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara Untuk Lama Gangguan, Jumlah
Gangguan, dan atau Kesalahan Pembacaan Kwh Meter.
3. Koran, Brosur, dan Internet
Harian, Medan Bisnis. Pada tanggal 08 Januari 2009.
Harian, Serambi Pase, NAD. Pada tanggal 19 Maret 2009.
Brosur : Profil Perusahaan PT. PLN, Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik.
Purwadi, Ari, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika,
FH UNAIR, 1992.
Henny Saida Flora, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli
Rumah Melalui Pengembang (Studi di Kota Medan), Tesis, Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005.
125
Daftar Pertayaan Pejabat PT. PLN
Pertayaan
1. Kenapa setiap hari PT. PLN sering mematikan lampu ?
2. Mengapa istrik dicabut/ atau diputuskan bila belum bayar ?
3. Dimana dapat ditemui pergolongan pemakaian konsumen listrik dan dimana
diatur serta berdasarkan apa penggolongannya ?
4. Undang-undang memberikan ganti kerugian kepada konsumen listrik, dalam
hal apa saja ganti kerugian tersebut diberikan, berbentuk apa dan dimana
ditemui pengaturan tentang ganti kerugian kepada konsumen listrik ?
5. Sudah berapa kali PT PLN mendapat Tuntutan/gugatan dari konsumen
meminta ganti kerugian ?
6. Kalau ada orang mau tuntut karena sering atau hampir setiap mati lampu
bagaimana ?
7. Pelayanan seperti apa yang diberikan PT. PLN pada konsumen ?
8. Apakah PT. PLN bersedia memberi ganti kerugian terhadap kerusakan
barang-barang electronik milik konsumen yang rusak akibat pemadaman
listrik secara sporadic yang dilakukan oleh PT.PLN ? dan apa syarat yang
harus dipenuhi atau syarat-syarat apa saja untuk mendapatkan ganti kerugian ?
9. Apa saja yang telah dilakukan PT. PLN terhadap tuntutan ganti kerugian
konsumen listrik secara massal yang diakibatkan pemadaman listrik yang
sering dilakukannya ?
126
10. Dalam setiap pemasangan baru sudah ada ketentuan atau syarat-syarat bila
konsumen tidak memenuhi kewajibannya ?
11. Apakah PT. PLN pernah mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri
terhadap konsumen yang belum melunasi atau penugakan, pencurian arus
listrik ?
12. Dimana saja ditemukan pengaturan tentang peraturan, hak konsumen listrik ?
13. Sengketa apa saja yang sering dihadapi, mengapa atau alasan-alasan sengketa
terjadi?
127
Daftar Pertayaan kepada Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan
Konsumen (YLPK) Banda Aceh
Pertayaan
1.
Sejak keluarnya UUPK, apakah Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen
(YLPK) sering menerima pengaduan dari konsumen listrik ?
2.
Apa saja yang menjadi keluhan para konsumen ?
3.
Menurut YLPK, bagaimanakah tanggapan konsumen listrik terhadap bentuk
pelayanan PLN yang mereka terima?
4.
Upaya apa saja yang telah diberikan YLPK terhadap keluhan/pengaduan
konsumen listrik?
5.
Bagaimanakah tanggapan konsumen listrik (rumah tangga) terhadap upaya-upaya
yang diberikan oleh YLPK?
6.
Apakah YLPK memunggut bayaran terhadap penanganan/penyelesaian keluhan
koonsumen listrik yang datang kepada anda?
7.
Kenapa di Banda Aceh belum terbentuk Lembaga Advokasi Penyelesaian
Sengketa (LAPS) dan BPKS?
128
Daftar pertayaan pegawai atau Pejabat Kantor Kejaksaan Negeri
Lhokseumawe
Pertayaan
1. Menurut bapak, selama ini sering ada pengaduan dari konsumen/Lembaga
Swadaya/Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Lhokseumawe? Baik dalam
bentuk laporan secara lisan maupun tulisan?
2. Sekarang sering kita baca dimedia masa, bahwa pelanggan/konsumen/Kantor
Pemerintah Daerah, dalam kata kutip “Menunggak pembayaran Rekening Listrik.
Bagaimana posisi bapak sebagai Jaksa Penuntut Negara?
129
Daftar Pertayaan Para Konsumen Listrik Rumah Tangga
Pertayaan
1. Apakah anda tahu apa saja yang menjadi kewajiban anda selaku konsumen
listrik? Apakah anda tahu juga apa saja hak-hak anda sebagai konsumen listrik?
2. Tahukah anda sebagai konsumen listrik salah satu hak anda adalah mendapat
kompensasi pembayaran dari PLN jika terkait tidak terpenuhinya 3 indikator
(TMP) yang diberikan PLN?
3. Apakah tempat kediaman anda seringkali mengalami pemadaman aliran listrik
oleh PLN?
4. Menurut anda bagimana pelayanan PLN terhadap konsumen listrik selama ini?
5. Adakah barang-barang dirumah anda yang mengalami kerusakan akibat
pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN?
6. Apakah anda ingin menuntut ganti kerugian kepada PLN akibat rusaknya barangbarang elektronik milik anda?
7. Jika ingin menuntut ganti kerugian kepada PLN, manakah yang anda sukai secara
perseorangan ataukah secara bersama-sama?
8. Menurut anda sudah puaskan pelayana PT. PLN ?
9. Selama ini, pernahkah diputuskan jaringan listrik untuk anda ?
10. Menurut saudara, dengan diputuskan jaringan listrik untuk konsumen/pelanggan,
sudah adilkah ?
Download