ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN LISTRIK: STUDI PADA PT. PLN RANTING DEWANTARA DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS Oleh SYUKRI 077011061/MKn SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Syukri : Analis is T erhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik: Studi Pada PT. PLN Ranting Dewantara Di Kabupaten Ac eh Utara, 2010. ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN LISTRIK: STUDI PADA PT. PLN RANTING DEWANTARA DI KABUPATEN ACEH UTARA TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Oleh SYUKRI 077011061/MKn SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 1 Judul Tesis : ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN LISTRIK: STUDI PADA PT. PLN RANTING DEWANTARA DI KABUPATEN ACEH UTARA Nama Mahasiswa : Syukri Nomor Pokok : 077011061 Program Studi : Kenotariatan Menyetujui Komisi Pembimbing (Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) Ketua (Prof.Dr.Suhaidi, SH, MH) Anggota Ketua Program Studi, (Prof.Dr.Muhammad Yamin, SH,MS,CN) Tanggal lulus : 24 Agustus 2009 (Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) Anggota Direktur, (Prof.Dr.Ir.T.Chairun Nisa B, MSc) 2 Telah diuji pada Tanggal : 24 Agustus 2009 PANITIA PENGUJI TESIS Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum Anggota : 1. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 2. Chairani Bustami, SH, SpN, MKn 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum 3 ABSTRAK Prinsip-prinsip yang dianut dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan, PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan wajib menyediakan tenaga listrik secara terus-menerus (berkesinambungan) dengan mutu dan keandalan yang baik, juga wajib memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan/konsumen listrik. Ternyata keadaan yang ditemui sekarang berbeda jauh dengan apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang ketenagalistrikan. Akibat krisis pasokan listrik yang dialami hampir di seluruh pelosok tanah air, PT PLN tidak mampu menyediakan tenaga listrik secara terus menerus kepada pelanggannya. Hal ini terbukti dengan seringnya pemadaman listrik bergilir yang dilakukan PT. PLN kepada pelanggan/konsumen listrik. Pemadaman listrik yang dilakukan PT PLN kepada pelanggan/konsumen listrik yang seringkali tanpa pemberitahuan terlebih dahulu membawa dampak negatif terhadap pelanggan/konsumennya. Masalah kerusakan alat-alat elektronik peralatan rumah tangga para konsumen listrik adalah yang seringkali dikeluhkan terutama konsumen listrik. Adanya ganti kerugian yang dijanjikan oleh undang-undang ketenagalistrikan ternyata masih jauh dari yang diharapkan konsumen listrik. Keadaan ini terungkap dari hasil wawamcara yang telah dilakukan terhadap (YLPK) dan Tim Advokasi Konsumen Listrik (TAKOL) serta 30 (tiga puluh) orang konsumen listrik di Wilayah Ranting Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Penelitian dilakukan dengan mengambil lokasi Wilayah PT. PLN Ranting Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Penelitian dilakukan bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan metode pendekatan yang dilakukan yaitu pendekatan Perundang-undangan. Alat pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen dalam pedoman wawancara. Analisis dilakukan dengan metode deduktif yakni berbanyak preminor mayor ke premis minor untuk menarik kesimpulan Pembayaran kompensasi yang dilakukan oleh PT PLN kepada konsumen/pelanggan listrik sebesar 10 apabila PT PLN melakukan kesalahan/pelanggaran terhadap 3 (tiga) poin indicator yaitu Nomor 5,6 dan 12 sesuai dengan SK 114.12/36/03/2002 . Gugatan class acton dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan tidak ada pengaturannya, yang ada hanya dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999. Gugatan class action bidang pelindungan konsumen di Pengadilan Negeri Banda Aceh baru sekali diputuskan yakni pada tahun 2000 dan putusan ini juga tidak berpihak kepada perlindungan konsumen melainkan berpihak kepada PT.PLN. Kata kunci : Perlindungan Hukum Penyelesaian Sengketa Konsumen Listrik 4 ABSTRACT Principles existed based on main in Law Number 15 Year 1985 of Electrical Power, PT. PLN as the only Electrical Power Trustee must continuously apply good services to consumers besides best and reliable electric power supply. The real actual fact is very contrary to electrical power ordinance/regulations. Decrease of electric power supplies all over the country unable PT PLN to keep on suuplying consumers. This is mostly proved by alternating electric power supplies disconnenction done by PT. PLN. Uninformed electric power disconnection causes bad effects on consumers, especially for electronic and household equipments. The compensation promised by electrical power ordinance is unable to fulfill consumer’s wish. This is exposed by reviewing the results of interview done toward related sides, namely, PT. PLN, (YLPK), and also toward 30 consumers in Twig of Dewantara North Aceh Regency. The study takes place in PT. PLN territory Twig of Dewantara North Aceh Regency as the best selected location. The research is analytical-descriptive with normative-jurisdistional approach method besides empiricaljurisdictional/sociological approach in order to support law research/normativejurisdictional. Data gathering tools derive from library research and field research.The compensation promised by electrical power ordinance is only limited to compensating payment for those who overpay and those who play pay less than their required account. To get the related compensation, consumers must be able to prove that PLN has made mistakes/violation about 3 indicating points of Service Quality Level (TMP) of 13 determined points, namely, 10 % compensation of subscription fee for violating points 5, 6, dan 12. The conflict settlement commonly chosen by consumers (personally) is by appointing Consumers Dispute Settlement Committee (BPSK) which demands services by the way of concialition, mediation or arbitration, outside of civil judgement. On the other hand, conflict involves a large nimber/group of consumers (Class Action), the management of electric consumer’s right protection in current electrical power ordinance is rarely found, primarily in which it is really excluded. It only contains consumer’s obligation. In fact, Class Action has been acknowledged for 6 years in Indonesia since year 2000, but there is no consumer’s conflict settlement granted by Banda Aceh First Instance Courts judges through this kind of accusation. Key words : Law Protection Dispute Settlement Electric Power Consumer 5 KATA PENGANTAR Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmatNya maka penulisan tesis dengan judul “ANALISIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM KONSUMEN LISTRIK: Studi pada PT. PLN Ranting DEWANTARA, KABUPATEN ACEH UTARA” Alhamdulillah dapat diselesaikan. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh gelar magister di bidang ilmu kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. Dalam penulisan tesis ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan dan bantuan dari banyak pihak terutama dari team dosen pembimbing. Penulis mengucapkan banyak terima kasih, teristimewa kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum, selaku pembimbing utama, Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku pembimbing kedua dan Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, selaku pembimbing ketiga atas kesediannya memberikan bimbingan, petunjuk dan saran-saran sejak awal penulisan proposal hingga selesainya penulisan tesis ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan juga terutama kepada : 1. Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpAK, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara; 6 2. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 3. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, sebagai Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 4. Dr. T. Keizerina Devi Anwar SH, CN, MHum, selaku sekretaris Program studi Magister Kenotariatan serta sebagai Penguji; 5. Notaris Syafnil Gani, SH, MHum, selaku Penguji; 6. Bapak-bapak dan Ibu-ibu guru besar dan staf pengajar pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara; 7. Bapak Maimun Muhammad, Asisten Manager PT. PLN Lhokseumawe; 8. Bapak H. Ali Basyah Manager PT. PLN Rayon Lhokseumawe; 9. Bapak Zulfitri, Manager PT. PLN Ranting Dewantara Kabupaten Aceh Utara; 10. Bapak Irwansyah an. Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe bagian tindak pidana umum; 11. Ibu Fahmiwati, SE, selaku Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen YLPK; 12. Istri tercinta Nurjani, A. Ma. Pd (Almh) yang senantiasa memberi motivasi agar senantiasa selalu berusaha dan jangan pernah lupa berdoa dalam mencapai citacita dan selalu yakin bahwa apa yang menjadi kehendak Allah SWT adalah yang terbaik bagi hambaNya, dan teramat kasih untuk anak-anakku tersayang (Nur Aernini Putri, Nilam Suri Rahmayani, Dara Triani Putri dan Desi Aeriani 7 Putri), yang dengan perhatian dan dukungan kalian semua membuat ayah senantiasa bersemangat untuk menyelesaikan sekolah ini; 13. Ayahandaku tercinta H. Ilyas Ahmadi (Alm) yang sampai akhir hayatnya senantiasa memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis agar penulis dapat menjalani hidup ini sebaik-baik jalan yang telah ditentukan Allah SWT, juga kepada Ibunda tercinta Hj. Rahmani (Almh) yang senantiasa memberikan yang terbaik buat anak-anaknya yang membuat penulis yakin bahwa kasih ibu memang sepanjang jalan adanya. Dan terima kasih yang tak dapat diucapkan untuk keluarga besarku terutama yang senantiasa mendoakan penulis dari jauh dengan doa tulus dan ikhlas kepada kakak-kakak dan adik. 14. Semua pihak yang telah banyak membantu penulisan tesis ini, khususnya Abdul Muthaleb Debora, Imelda sebagai pembanding dan suami Ibu Nina yang selama ini selalu mendukung kami belajar bersama serta rekan-rekan seperjuangan mahasiswa/i Magister Kenotariatan Group C Angkatan 2007 yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu. Akhir kata, penulis sangat menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari memadai. Untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari rekan-rekan semua yang telah meluangkan waktu untuk membaca tesis ini agar tesis ini dapat semakin mendekati kelayakan. Medan, Juni 2009 Penulis (SYUKRI) 8 RIWAYAT HIDUP I. Identitas Pribadi Nama : Syukri Tempat/Tanggal Lahir : 12 Mei 1961 II. Status : Kawin Alamat : Komplek BTN PT AAF, Blok A, No. 5 Paloh Lada, Kecamatan Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Orang Tua Nama Ayah : H. Ilyas Ahmadi (Alm) Nama Ibu : Hj. Rahmani (Almh) III. Riwayat Pendidikan 1. Sekolah Dasar (SD) Negeri No. 8 Lhokseumawe : Tamat tahun 1975. 2. SMP Negeri Cunda : Tamat tahun 1979. 3. SMA Negeri Bireuen : Tamat tahun 1982. 4. S1 Universitas Malikussaleh Lhokseumawe : Tamat tahun 2006. 9 DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK...................................................................................................... i ABSTRACT..................................................................................................... ii KATA PENGANTAR .................................................................................... iii RIWAYAT HIDUP ....................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1 A. Latar Belakang.......................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .................................................................. 14 C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 14 D. Manfaat Penelitian .................................................................... 15 E. Keaslian Penelitian ................................................................... 16 F. Kerangka Teori dan Konsepsi ................................................... 16 1. Kerangka Teori ................................................................... 16 2. Konsepsi ............................................................................. 19 G. Metode Penelitian ..................................................................... 23 1. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 23 2. Bahan Penelitian ................................................................. 23 3. Metode Pengumpulan Data ................................................. 24 4. Analisa Data ....................................................................... 26 5. Jalannya Penelitian.............................................................. 27 10 BAB II BAB III ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAKHAK KONSUMEN LISTRIK DITINJAU DARI UNDANGUNDANG NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN ........................................................... 29 A. Profil Perusahaan PT. PLN (Persero) ........................................ 29 B. Pengaturan Hukum Tentang PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan Serta Hak dan Kewajiban Perusahaan................................................................................ 33 C. Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pelanggan/Konsumen Listrik Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan ........................................................ 37 D. Pengaturan Tarif Dasar Listrik (TDL) Dalam Hubungannya Dengan Perlindungan Hukum Konsumen Listrik ...................... 41 E. Standar/Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) ................................... 47 F. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Konsumen Listrik Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan ...................................................................... 52 UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN LISTRIK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 ................................................................................ 58 A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen ................. 58 B. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) .................................................................................... 71 C. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) .................................................................. 76 1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Diluar Peradilan Umum (BPSK) ............................................................................... 79 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Peradilan Umum ................................................................................. 85 11 BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI RANTING DEWANTARA KABUPATEN ACEH UTARA ............................................................................. 90 A. Hambatan/Kendala dari Pelaku Usaha (PT.PLN) ...................... 90 B. Hambatan/Kendala dari Pelanggan/Konsumen Listrik............... 96 C. Upaya Mengatasi Hambatan ..................................................... 101 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 103 A. Kesimpulan............................................................................... 103 B. Saran ........................................................................................ 105 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 107 12 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Judul Halaman 1. Daftar Pertanyaan Pejabat PT. PLN .......................................... 113 2. Daftar Pertanyaan Kepada Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Banda Aceh.......................... 115 Daftar Pertanyaan Pegawai Atau Pejabat Kantor Kejaksaan Negeri Lhokseumawe ............................................................... 116 Daftar Pernyataan Para Konsumen Listrik Rumah Tangga ....... 117 3. 4. 13 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hak dan perlindungan konsumen merupakan salah satu hal yang menarik untuk dibahas, karena perlindungan terhadap konsumen sampai sekarang ini masih banyak kasus yang timbul, banyak yang masih tidak terselesaikan dengan baik. Hal ini juga makin diperparah dengan tidak bijaknya pemerintah dalam menyikapi masalah perlindungan terhadap konsumen. Padahal kita dapat melihat bahwa perlindungan terhadap konsumen sangatlah penting diberikan oleh pemerintah dan pihak pelaku usaha. Tindakan pelaku usaha dalam hal ini banyak menyebabkan kerugian bagi pihak konsumen, masalah hak dan perlindungan konsumen maka kita diharapkan dapat lebih memahami apa sebenarnya yang dikatakan dengan perlindungan terhadap konsumen. Pihak konsumen selama ini masih ada yang tidak mengerti apa saja yang menjadi hak mereka dan kewajiban yang harus mereka dapatkan pada suatu pelaku usaha yang menjual jasa ataupun bentuk pelayanan lainnya. Dalam hal ini peran pemerintah dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku usaha dan memperhatikan hak dan kewajiban konsumen yang lebih besar, oleh karena itu masalah perlindungan terhadap konsumen tidak saja menjadi tanggung jawab penjual barang dan jasa tetapi merupakan tanggung jawab mutlak pemerintah, yang dalam hal ini sebagai pemberi pelayanan terhadap publik. 14 Selama ini banyak konsumen yang merasa dirugikan akibat tidak jelasnya perlindungan terhadap mereka, salah satu penyebab dikarenakan oleh lemahnya hukum dan perlindungan terhadap konsumen, selain itu juga pihak konsumen yang merasa dirugikan dengan pemadaman listrik setiap hari namun tidak pernah melapor kepada pihak yang terkait atau pihak yang berwenang terhadap kerugian yang telah di deritanya. Setiap orang baik secara individu maupun berkelompok pada suatu saat pasti menjadi konsumen dari suatu produk barang atau jasa tertentu. Namun demikian, hubungan perdata antara pelaku usaha dan konsumen tidak selamanya akan berlangsung harmonis dan saling menguntungkan. Karena konsumen sebagai pihak yang dilayani, biasanya berada pada posisi lemah, maka pelaku usaha sebagai salah satu badan usaha pelayanan jasa berpotensi atau berpeluang besar untuk wanprestasi atau merugikan konsumennya dengan mudah. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah ditemukan suatu sistem ketenagalistrikan yang berperan penting bagi perkembangan hidup dan kehidupan masyarakat berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan. Menanggapi perkembangan teknologi tersebut, Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan untuk memberi rambu-rambu hukum secara tertulis kepada perorangan atau lembaga yang berkepentingan dengan perlindungan konsumen tersebut, berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 57, Tahun 2001 Tentang Badan Perlindungan Konsumen Indonesia, Peraturan 15 Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen, Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 Tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat dan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. Dapat diketahui bahwa Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia. Istilah “mengembangkan” yang digunakan di dalam Pasal 31 Undang-undang Perlindungan Konsumen ini yang telah diatur dalam pasal lain, khususnya tentang pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, pengaturan larangan-larangan bagi pelaku usaha di dalam menjalankan bisnisnya, pengaturan tanggung jawab pelaku usaha dan pengaturan penyelesaian sengketa perlindungan konsumen. 1 Satu hal penting yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya untuk mewujudkan suatu pembangunan energi adalah daya yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai proses kegiatan meliputi energi listrik, mekanik dan panas. Keberadaan energi listrik sebagai sarana penerangan bagi masyarakat, dan berfungsi menjadi salah satu indikator untuk dapat dilaksanakannya pembangunan. Banyak aktifitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya di dalam meningkatkan kesejahteraan mempergunakan energi listrik. 1 Ahmadi Miru & Sutarman Yudo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 195. 16 Pentingnya energi listrik bagi masyarakat dapat ditunjukkan dengan besarnya penggunaan listrik oleh masyarakat baik itu untuk konsumsi rumah tangga maupun industri dan perdagangan dalam skala lokal maupun nasional. Tentunya hal ini akan sangat mempengaruhi produksi barang maupun jasa. Hal lainnya yang tak kalah penting sehubungan dangan fungsi listrik ini adalah adanya kemajuan teknologi komunikasi maupun informatika yang turut memperluas ruang gerak arus transportasi barang maupun jasa. Mengingat arti penting listrik dalam kehidupan masyarakat dan pengusaha, maka penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh Negara yang pelaksanaannya dilakukan oleh PT. PLN dan PT. PLN yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan di Indonesia. Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup dalam jumlah mutu dan keandalannya dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan. Karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat berdasarkan Undangundang Dasar 1945, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh Pemerintah agar terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar. 2 Pasokan listrik yang mencukupi, harga yang terjangkau adalah harapan seluruh konsumen pelanggan listrik di Indonesia, namun kenyataannya sering sekali 2 Lihat penjelasan Umum Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan, alinea ke 10. 17 konsumen menemui kenyataan bahwa arus listrik terpaksa naik dengan berbagai alasan dan seringnya pemadaman arus listrik bergilir dengan berbagai alasan pula. Fahmi Muchtar. Direktur PT. PLN Medan menyatakan bahwa Sumatera Utara surplus listrik 125 MW tahun ini, sejumlah proyek pembangkit tenaga listrik di Sumatera Utara akan rampung pada tahun 2009, diantaranya di Pelabuhan Angin, Sicanang, Sibayak Karo dan Sipa Horas sehingga jumlahnya diperkirakan mencapai 250 MW, Sumatera Utara akan surplus 125 MW, dan menurut Fahmi, bertambahnya pasokan arus listrik diharapkan dapat memenuhi kebutuhan listrik di daerah, baik kebutuhan listrik rumah tangga maupun untuk industri, juga dapat membantu program Gubernur Sumatera Utara dalam meningkatkan pertumbuhan perekonomian di Sumatera Utara. PLN Medan sedang membangun sejumlah pembangkit tenaga listrik baru di sejumlah daerah diantaranya di Nagan Raya Aceh yang berkapasitas 2x100 MW, dan di Pangkalan Susu 2x200 MW. 3 Selain seringnya pemadaman listrik yang dirasakan oleh masyarakat sebagai konsumen adalah pembayaran rekening listrik yang tidak sesuai dengan pemakaian konsumen dan sering sekali konsumen terpaksa membayar harga yang telah ditentukan dalam tagihan rekening listrik walaupun kenyataannya pemakaian listrik oleh konsumen tidak sebesar yang tercantum dalam tegihan tersebut. Dalam peraturan perundang-undangan konsumen mendapat perlindungan secara hukum sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, sedikit banyak telah membuat lega masyarakat dan pelaku usaha yang notabene adalah konsumen. Namun bagaimana perlindungan terhadap hak-hak dan kewajiban konsumen listrik. Tunggakan rekening listrik di Lhokseumawe mencapai Rp 7,4 Miliar, jumlah tunggakan rekening listrik di PLN Rayon Lhokseumawe yang memiliki pelanggan 36.168 itu hingga 1 Maret 2009 mencapai 7,4 Miliar. Namun mulai sekarang bagi pelanggan yang menunggak bukan hanya dari instansi 3 Harian, Medan Bisnis, 8 Januari 2009, hal 1. 18 Pemerintah saja yang akan berhadapan dengan penegak hokum, tapi bagi masyarakat umum dipastikan akan mendapat pemanggilan. Dalam hal ini pihak Kejaksaan Negeri Lhokseumawe. Kepala PLN Rayon Lhokseumawe, Ali Basyah mengatakan dari total 7,4 miliar yang menunggak Rp 1,3 miliar diantaranya berasal dari instansi Pemerintah daerah dan dari pelanggan umum mencapai Rp 6 miliar lebih. “Jumlah tunggakan sekarang ini mencapai 150 persen dari omset perbulan yang hanya sekitar Rp 4,9 Miliar.” Berdasarkan realita itu Ali Basyah, pihaknya pun kembali meminta pihak Kejaksaan Negeri (Kejari) Lhokseumawe membuat pelanggan memenuhi kewajibannya membayar listrik. 4 Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, konsumen mendapat perlindungan secara hukum. Sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, sedikit banyak telah membuat lega masyarakat yang notabene adalah konsumen. Namun sebagaimana perlindungan terhadap hak-hak konsumen ketenagalistrikan. Masyarak Indonesia sebagai penerima jasa pelayanan publik sering mengalami kesulitan akibat ketiadaan standar pelayanan yang jelas. Masyarakat atau konsumen akan mudah secara sepihak dijatuhi sanksi jika yang bersangkutan terlambat membayar kewajibannya, tetapi sebaliknya sanksi yang sama tidak dapat diarahkan kepada pejabat tata usaha negara (baca aparat BUMN/BUMD) yang terlambat merealisasikan pelayanannya kepada masyarakat. Ketimpangan ini dapat terjadi disemua sector kehidupan. 5 Termasuk juga yang terjadi pada pelayanan publik yang diberikan oleh PT. PLN. Hal-hal yang masih mewarnai masalah kelistrikan yang dialami oleh masyarakat atau konsumen dapat ditemukan antara lain : 4 Harian, Serambi Pase, tanggal 19 Maret 2009, hal 9. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2006, hal 173. 5 19 a) Kesalahan pencatatan tagihan rekening listrik; b) Pemadaman listrik tanpa pemberitahuan; c) Biaya Penyambungan baru; d) Voltase listrik naik turun (berakibat rusaknya alat-alat elektronik/rumah tangga); e) Pembongkaran KWH meter/alat pembatas dan pengukur (dengan alasan menunggak rekening listrik beberapa bulan, padahal baru beberapa hari menyala, segel tidak ada); f) Pembayaran rekening dikaitkan dengan pembayaran punggutan/retribusi. 6 g) Pemasangan jaringan baru tanpa memakai KWH.meter. Dalam prinsip-prinsip yang dianut Undang-undang tentang Ketenagalistrikan, Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PT.PLN) wajib menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keadalan yang baik, juga wajib memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat, 7 telah mencerminkan adanya kewajiban memberikan perlindungan terhadap konsumen listrik. Pelanggaran terhadap ini tentu ada konsekuensi hukumnya, kecuali terbukti adanya keadaan mendesak diluar kemampuan manusia (force majeur) seperti bencana alam atau gempa bumi yang tidak dapat dihindarkan. 6 Yusuf Shofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 176. 7 Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang ketenagalistrikan jo Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomo 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. 20 Konsekuensi hukumnya tidak hanya sekedar permintaan maaf, melainkan kalau perlu pemberian ganti rugi kepada para pelanggan/konsumen akibat padamnya listrik. Konsekuenssi ini wajar, mengingat bila konsumen diduga merugikan PT. PLN, padahal belum tentu terbukti kebenarannya menurut hukum, konsumen terpaksa membayar dugaan kerugian tersebut karena kepentingan agar listrik konsumen tidak diputus. Terhentinya penyediaan tenaga listrik dalam batas-batas tertentu ternyata dilindungi oleh undang-undang melalui standar mutu dan keandalan. Artinya harus ada penetapan standar jumlah dan lama terhentinya penyediaan tenaga listrik karena gangguan. Bila PT. PLN melanggar standar ini, terbuka peluang kecil untuk mengajukan gugatan ganti rugi. 8 Lain halnya dengan penghentian listrik untuk sementara, tidak memberikan hak bagi konsumen/pelanggan untuk menuntut ganti kerugian, asal dipenuhi salah satu atau lebih persyaratan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan pekerjaan pemeliharaan, perluasan dan rehabilitasi instalasi ketenegalistrikan. 2. Keadaan yang membahayakan keselamatan umum. 3. Atas perintah yang berwajib dan /atau Pengadilan. 9 Ternyata dimensi hukum padamnya aliran listrik tidak mengembirakan bagi pelanggan/konsumen listrik terutama konsumen rumah tangga. Karena sampai 8 Op-Cit, hal.202 dan 203. Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. 9 21 sekarang, hak konsumen listrik untuk mendapatkan ganti kerugian dari PT. PLN masih menjadi hiasan dari undang-undang ketenagalistrikan. Namun demikian masih dijumpai peluang yang sangat kecil untuk mengajukan gugatan ganti rugi kepada PT. PLN atas dasar perbuatan melawan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata jo Pasal 25 ayat (3) Butir d Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 dimana konsumen/pelanggan dihadapkan pada beban pembuktian yang berat karena harus membuktikan dengan unsur-unsur yaitu : 1. Perbuatan melawan hukum; 2. Kesalahan/kelalaian tergugat; 3. Kerugian yang dialami pelanggan/konsumen; 4. Hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang dialami konsumen. Sebelum lahir Undang-undang perlindungan konsumen yaitu Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (selanjutnya disingkat menjadi UUPK), pada tahun 1997, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) melalui lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta sebagai kuasa hukumnya telah melayangkan gugatan class action 10 kepada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Dasar hukum YLKI melakukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada PT. PLN adalah : 10 Diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UUPK yang memutuskan “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh….b) sekelompok konsumen yang mempuyai kepentingan yang sama”. 22 Pertama, Pasal 16 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan menyebutkan “Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan umum wajib memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat”. Kedua, Pasal 16 ayat (1), (2) dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 yaitu :Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, disebutkan bahwa: (1) tenaga listrik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 wajib disediakan listrik secara terus menerus; (2) Penyediaan tenaga listrik hanya dapat dihentikan untuk sementara jika memenuhi salah satu atau lebih dari ketentuan di bawah ini : a. diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan pemeliharaan, perluasan atau rehabilitasi instalasi ketenagalistrikan; b. terjadi gangguan pada instalasi ketenagalistrikan; c. terjadi keadaan yang dianggap membahayakan keselamatan umum; d. atas perintah yang berwajib dan/atau pengadilan.; (3) Pelaksanaan ketentuan ayat (2) huruf a terlebih dahulu diberitahukan kepada masyarakat selambat-lambatnya 24 (dua puluh empat) jam sebelum penghentian penyediaan tenaga listrik. Ketiga, Pasal 26 ayat (2) huruf b, “Masyarakat yang telah mendapatkan tenaga listrik mempunyai hak untuk mendapatkan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keadaan yang baik” Keempat, Pasal 3 ayat (1) huruf a dan b Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02 P/451/M. PE/1991 Tentang Hubungan 23 Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan pemegang izin usaha ketenagalistrikan untuk kepentingan umum dan masyarakat dinyatakan, dalam menyediakan tenaga listrik pengusaha wajib melakukan hal-hal sebagai berikut: (1) memberikan pelayanan yang baik; (2) menyediakan tenaga listrik secara berkesinambungan dengan mutu dan keandalan yang baik sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri tentang persyaratan penyambungan Tenaga Listrik. 11 Dasar hukum yang melandasi Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen melakukan class action adalah : 1. Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Pokok- pokok Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan; 2. Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, disebutkan bahwa dalam perkara perdata, Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, 12 Gugatan YLKI ini dikalahkan di Pengadilan oleh Majelis Hakim dengan pertimbangan-pertimbangan : a. Pengajuan gugatan class action dengan merunjuk pada Pasal 5 ayat (2), Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, bukan berarti hakim harus mengesampingkan ketentuan-ketentuan tertulis yang ada, khususnya hukum acara, 11 Sudaryatmo, Hukum & Advokasi Konsumen, Cetakan kedua, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal 87 dan 88 12 Ibid. hal 88 24 melainkan harus tetap berdasarkan pada ketentuan-ketentuan formal maupun hukum materilnya; b. Tidak ada pasal dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 yang mengatur hak konsumen listrik mengajukan gugatan perwakilan/class action, belum adanya peraturan undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hak-hak konsumen; c. Gugatan class action hanya berlaku untuk lingkungan hidup, sesuai Pasal 37 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, itupun harus diatur dengan Peraturan Pemerintah; d. Sistem Hukum di Indonesia tidak mengenal gugatan perwakilan kelompok/class action karena ; 1). Indonesia menganut system hukum Eropa Continental yang sama sekali tidak mengenal gugatan class action; 2). Sesuai Pasal 27 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, jaksa sebagai Pengacara Negara bertindak mewakili masyarakat umum dengan mendapatkan terlebih dahulu surat kuasa khusus dari instansi yang diwakilinya; 3). Menurut Pasal 123 HIR, gugatan harus diajukan oleh orang yang berkepentingan, bukan oleh orang lain sehingga gugatan class action bertentangan dengan Pasal 123 HIR jo. Surat edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1959 tertanggal 29 Januari 1959. 13 Sebagai instansi dari suatu negara yang berdasarkan atas hukum, YLKI telah mencoba memperjuangkan kepentingan konsumen listrik melalui jalur hukum. 14 Terlepas dari persoalan kalah menang, putusan gugatan class action dari kasus diatas semakin mempertegas tidak akomodatifnya sistem hukum di Indonesia dalam menampung kepentingan konsumen. 13 Yusuf Shofie, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Teori dan Praktek Penegakan hukum, Cetakan Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal 83 dan 84. 14 Ibid,, hal 89. 25 Lemahnya posisi konsumen jasa kelistrikan di Indonesia, adalah imbasan dari atmosfir perlindungan konsumen di Indonesia yang juga masih lemah. Dari perspektif perlindungan konsumen, agenda ke depan yang dapat dilakukan adalah : Pertama, mengubah format politik ekonomi. Adalah suatu relita, terhadap serangkaian kasus konsumen yang memakan korban massal, pemerintah selalu memihak kepada produsen. Hal ini tidak lain cerminan dari format politik ekonomi yang belum menempatkan kepentingan masyarakat banyak (konsumen) sebagai basis kebijakan. Perlindungan terhadap konsumen mensyarakatkan adanya pemihakan kepada yang lemah (konsumen). Dan setiap keputusan yang menyangkut kepentingan hajat hidup orang banyak, harus berorientasi kepada kepentingan publik. Kedua, adanya lembaga dalam struktur kekuasaan yang secara khusus menangani perlindungan konsumen. Idealnya, perlindungan konsumen dilakukan secara simultan dari dua arah. Dari arus bawah, ada lembaga konsumen konsumen yang kuat dan tumbuh dari bawah, dan tersosialisasi secara merata di masyarakat. Sementara dari atas, ditopang oleh struktur kekuasaan, ada lembaga (instansi) yang secara khusus mengurus masalah perlindungan konsumen. Semakin tinggi lembaga tersebut dalam struktur kekuasaan, semakin besar power yang dimiliki. Kasus di Indonesia, ditengah sengketa konsumen semakin banyak, beban lembaga konsumen semakin berat, karena belum adanya instansi dalam struktur kekuasaan yang mengurusi perlindungan konsumen. Sebagai perbandingan, di negara tetangga Malaysia. Urusan perlindungan konsumen dalam struktur kekuasaan, dijabat level Menteri. Yaitu Kementerian Perdagangan Dalam Negeri dan Perlindungan Konsumen. Ketiga, mendesak adanya undang-undang perlindungan konsumen. Salah satu kendala dalam memperjuangkan hak-hak konsumen adalah, belum adanya peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang yang secara khusus mengatur masalah perlindungan konsumen. 15 Dengan keluarnya UUPK, maka membuka peluang untuk konsumen listrik dalam menuntut hak mereka terhadap kerugian yang ditimbulkan dari kelalaian PT. PLN. Dari keadaan inilah yang menarik perhatian dan mendorong penulis untuk 15 Op-Cit., 1999, hal. 90. 26 melakukan penelitian dengan judul “ Analisis Terhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik : Studi pada PT. PLN Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik ditinjau dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan ? 2. Bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen listrik dalam rangka perlindungan atas hak terhadap ketidakpuasan pelayanan yang diberikan oleh PT. PLN ? 3. Apa hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak konsumen listrik Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara ? C. Tujuan Penelitian Berkaitan dengan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik ditinjau dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistriakan. 27 2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan oleh konsumen listrik dalam rangka perlindungan atas hak terhadap ketidakpuasan pelayanan yang diberikan oleh PT. PLN. 3. Untuk mengetahui apa hambatan yang terdapat dalam pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak konsumen listrik Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara. D. Manfaat Penelitian Manfaat dari hasil penelitian dapat dilihat secara teoritis dan praktis yaitu : 1. Secara teoritis untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum dalam hak dan kewajiban konsumen. Selain itu penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi penyempurnaan pranata hukum khususnya di bidang hak dan kewajiban konsumen. 2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini untuk memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam penerapan system peradilan pidana terhadap hak dan kewajiban konsumen dalam mengambil beberapa tindakan untuk menanggulangi perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga dapat mengantisipikasi inplikasi tindakan perbuatan melawan hukum dalam memenuhi hak dan kewajiban konsumen Pembangkit Listrik Negara, selanjutnya penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang terkait dengan hak dan kewajiban konsumen PT PLN dalam mengambil kebijakan/keputusan oleh pelanggan maupun PT. PLN. beberapa rangkaian 28 E. Keaslian Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan di lingkungan Universitas Sumatera Utara khususnya pada Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan judul “ Analisis Terhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik : Studi Pada PT. PLN Ranting Dewantara di Kabupaten Aceh Utara “ belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan peremusan masalah yang sama, walaupun ada topik penelitian tentang hak dan perlindungan konsumen namun jelas berbeda, jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yang jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan peremusan dalam penelitian ini. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Sesuai dengan penelitian ini maka sifat penelitian adalah deskriptif analisis. 16 Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain tergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial juga sangat ditentukan oleh teori. 17 Deskriptif maksudnya penelitian ini pada umumnya bertujuan untuk mendeskripsikan atau 16 Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982 hal 50. Ibnu Husni, 2005, Penelitian dalam Ilmu Hukum, (Online, http:/www Kamus Hukumonline.co.id/653 words.htm) diakses pada tanggal 1 April 2008. 17 29 memberi gambaran secara sistematis, faktual dan akurat. 18 Tentang aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik ditinjau dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Kebijakan Energi Nasional dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Menurut Sultan Remy Sjahdeini, Mengartikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang hampir seluruh klausula-klausulanya dibakukan oleh pemakaiannya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Adapun yang dilakukan hanya beberapa hal, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal yang spesifik dari obyek yang dijanjikan. 19 Tujuan dibuatnya perjanjian standar untuk memberikan kemudahan (Kepraktisan) bagi para pihak yang bersangkutan. Oleh karena itu, bertolak dari tujuan itu, Marian darus Badruzzaman lalu mendefinisikan perjanjian standar sebagai perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. 20 Dalam ilmu hukum kita mengenal dua macam subyek hukum yaitu subyek hukum pribadi (orang perorangan) dan subyek hukum berupa badan hukum. Terdapat ,masing-masing subyek hukum berlaku ketentuan hukum yang berbeda satu dengan yang lainnya, meskipun dalam hal tersebut keduanya dapat diterapkan suatu aturan 18 Bambang Sanggono, Metodologi Penelitian Hukum, Cetakan kedua, Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 36. 19 Sultan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1995, hal 66 20 Mariam Darus Badruzzaman, Perlindungan terhadap Konsumen dilihat dari perjanjian baku (standar), Bina Cipta, 1986, hal 58 dalam Shindarta, 119. 30 yang berlaku umum. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) tidak satupun pasal yang menyatakan bahwa perseroan adalah badan hukum, tetapi dalam Undang-undang Perseroan terbatas dengan secara tegas dinyatakan bahwa perseroan adalah badan hukum. 21 Ini berarti perseroan tersebut memenuhi syarat keilmuan sebagai pendukung kewajiban dan hak, antara lain memiliki harta kekayaan sendiri terpisah dari harta kekayaan pendiri atau pengurus. Dalam Undang-undang perlindungan berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum. 22 Dalam penelitian ini juga dipakai teori pengayoman oleh Soedirman Kartohadiprodjo yang menyatakan bahwa salah satu fungsi hukum adalah sebagai alat pengayoman masyarakat. Hukum itu mengayomi anggota masyarakat dan melindungi manusia secara aktif. Teori lain yang dipergunakan untuk menganalisis adalah teori perlindungan oleh Telders, Vander Grinten dan Molengraaf, dimana teori ini menyatakan bahwa suatu aturan atau norma-norma dapat dilanggar apabila suatu kepentingan yang dimaksudkan untuk dilindungi oleh aturan atau norma itu dilanggar. Berdasarkan keadaan diatas ada beberapa teori hukum yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini. Teori kedaulatan Negara yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George 21 Lihat Pasal 1, ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007, Tentang Perseroan Terbatas. 22 Bab II, Pasal 2 UUPK Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen . 31 Jellinek. 23 Menurut teori Kedaulatan Negara, kekuasaan tertinggi ada pada Negara dan Negara mengatur kehidupan anggota masyarakat. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakat. Dalam hal ini negara mengeluarkan peraturanperaturan yang berfungsi sebagai panduan seluruh warga negara Indonesia dan warga negara asing yang memiliki kepentingan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan hukum dan ekonomi di Indonesia. 2. Konsepsi Konsep adalah salah satu bagian yang terpenting dari teori, konsepsi diterjemahkan sebagai uasaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut juga dengan operasional definition. 24 Pentingnya definisi operasional adalah untuk menghindari perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai. 25 Oleh karena itu untuk menjawab permasalah dalam penelitian ini harus definisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, atau peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dengan observasi, antara abstrasi dan realitas. 26 Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus. 27 23 Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Rangka Good Corporate Governance, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas hukum Universitas Indonesia Press, 2002), hal 11. 24 Op- Cit, 1995, hal 10. 25 Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia, Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi PPs-USU Medan,2002, hal 35. 26 Soejono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1996, hal 63 27 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Liberty, Yokyakarta, 2003, hal 3 32 Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk pengertian mengkomunikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah penafsiran, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan. 28 Ada beberapa hak dan kewajiban konsumen yang harus diperhatikan dalam menjalankan dan memenuhi sebagai konsumen yaitu : 1. Hak Konsumen antara lain a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; 28 Sanafiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hal 107-108. 33 f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya 29 2. Kewajiban Konsumen antara lain a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikat baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan kunsumen secara patut.30 PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) adalah suatu perusahaan yang bergerak Selaku Pemegang Kuasa ketenagalistrikan yang maksudnya yaitu kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Badan Uasaha Milik Negara yang diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik 29 Bab III, Pasal 4, Undang-undang Perlindungan Konsumen, Nomor 8 tahun 1999, Tentang Hak Konsumen. 30 Pasal 5, Undang-undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Kewajiban Konsumen. 34 untuk kepentingan umum, yang diberikan tugas untuk melakukan pekerjaan usaha penunjang tenaga listrik. 31 Pengaturan tentang hak dari PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dapat ditemui dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik yang menyatakan : (1). Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam Penyediaan Tenaga Listrik berhak untuk : a. memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan tenaga listrik; b. mengambil tindakan atas pelanggaran perjanjian penyambungan listrik oleh konsumen; dan c. mengambil tindakan penertiban atas pemakaian tenaga listrik secara tidak sah. (2). Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tidak bertanggung jawab atas bahaya kesehatan, nyawa dan barang yang timbul karena penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan peruntukan atau salah dalam pemanfaatan. Sebagaimana yang kita lihat bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Ketenagalistrikan telah memuat pengaturan hak dan kewajiban yang berjalan sesuai parallel dan diharapkan pelaksanaan terhadap masyarakat terutama pelanggan/konsumen sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh Perundang-undangan di bidang Ketenagalistrikan. 31 Pasal 1 angka 5 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan. 35 G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analisis yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma adalah hukum positif. Penelitian normative analisis menggunakan pendekatan perundang-undangan (Statute approach) yang melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan dengan tema sentral penelitian tentang analisis terhadap perlindungan hukum dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. Pendekatan kualitatif menurut Bogdan dan Taylor didefenisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. 32 2. Bahan Penelitian Bahan penelitian yang digunakan adalah bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundangan-undangan yang di urut berdasarkan hierarki, antara lain yang digunakan dalam penelitian ini adalah KUH Perdata, Peraturan Perundangundangan Nomor 20, tentang Ketenagalistrikan. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan.dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999. Tentang Kebijakan Energi Nasional, Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006. PT. PLN Ranting Dewantara, Kabupaten Aceh Utara dipilih sebagai lokasi penelitian secara 32 Lexy J. Moleong,, Bandung,1990, hal. 13. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, 36 sengaja (purposive) didasarkan pada pertimbangan bahwa pada daerah tersebut telah terpasang penerangan listrik untuk masyarakat di daerah Dewantara Kabupaten Aceh Utara. 3. Metode Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang obyektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, maka pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui cara : (1) Studi kepustakaan (library research) dilakukan untuk mendapatkan data-data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku, makalah dan bahanbahan hukum lainnya yang terkaitan masalah penelitian ini. (2) Studi lapangan (field research) dilakukan untuk mendapatkan data-data primer dengan cara melakukan wawancara secara langsung dengan para responden dan informan yang berkaitan dengan permasalahan ini. Pedoman wawancara untuk mendapatkan data sekunder melalui metode penelitian lapangan (Field Research) yang digunakan dengan struktur yang ketat dengan memfokuskan pertanyaanpertanyaan pada permasalahan yang diangkat, sehingga diupayakan agar informasi yang didapat bersifat mendalam dan dapat membahas permasalahan untuk memenuhi hal ini telah disusun dalam bentuk daftar pertanyaan terlebih dahulu sebelum kelapangan. Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan atau data-data hukum sekunder berupa bahan-bahan hukum primer seperti Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 37 Tentang Ketenagalistrikan dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen serta peraturan perundang-undangan lain yang terkait langsung dengan permasalahan ini. Disamping itu juga diperoleh dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang ada dalam buku atau dalam bentuk lain seperti hasil seminar, hasil penelitian dan bahan lain yang terkait dengan masalah perlindungan konsumen khususnya terhadap hak-hak konsumen listrik. Untuk menguatkan data sekunder yang penulis dapatkan dari penelitian kepustakaan, maka dalam penelitian lapangan ini juga menggunakan metode Wawancara diadakan dengan beberapa informasi, seperti : a.. Pejabat PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan 3(tiga) orang yaitu : 1) Manager PT. PLN Ranting Krueng Geukueh Dewantara; 2) Manager Rayon PT. PLN Lhokseumawe; 3) Asisten Manager PT. PLN Lhokseumawe; b. Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) dan Tim Advokasi Konsumen Listrik (TAKOL) kota Banda Aceh 1 orang c. Atas nama Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, bagian Kepala Seksi Tindak Pidana Umum 1 orang d. Konsumen /pelanggan PT. PLN Ranting Dewantara 30 orang. Adalah konsumen ketenagalistrikan (konsumen listrik Rumah Tangga) yang berada di wilayah Ranting Dewantara Kabupaten Aceh Utara. 38 Responden/informan ditentukan secara purposive sampling 33, yaitu penarikan sample dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu. 34 Untuk menguatkan data sekunder melalui metode wawancara di lapangan, metode wawancara dipergunakan untuk memperoleh informasi tentang hal-hal yang tidak dapat diperoleh lewat pengamatan 35. Teknik wawancara yang dilakukan adalah melalui wawancara terstruktur (guided interview). 4. Analisa Data Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah pengolahan data dan analisa data. Analisa data pada penelitian hukum lazim dikerjakan melalui pendekatan kuantatif dan/atau pendekatan kualitatif. 36 Pada penelitian terhadap permasalahan ini, maka digunakan metode analisis normatif-kualitatif. Normatif, karena penelitian bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai hukum positif. 33 P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hlm. 33, menyebutkan bahwa cara purposive sample diambil berdasarkan pertimbangan subyektif peneliti, dimana persyaratan yang dibuat sebagai kriteria harus dipenuhi sebagai sample. 34 Ronny Hanitijo Soemitro, hal 51. Purporsive Sampling dilakukan dengan cara mengambil subyek didasarkan pada tujuan tertentu, haruslah dipenuhi persyaratan sebagai berikut : a. harus didasrkan pada ciri-ciri, sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciriciri utama populasi. b. subyek yang diambil sebagai sampel harus benar-benar merupakan subyek yang paling banyak mengandung cirri-ciri papapopulasi. c. penentuan karakteristik populasi ditentukan dengan teliti dalam studi pendahuluan. 35 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 59 36 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Cetakan Kedua, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 19 39 Analisis data dilakukan setelah terlebih dahulu diadakan pemeriksaan, pengelompokan, pengolahan dan evaluasi, sehingga diketahui tingkat validitasnya. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode berfikir dedukatif, sehingga diharapkan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang sesuai dengan permasalahan. 5. Jalannya Penelitian Langkah pertama yang dilakukan adalah penelitian data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan serta dari berbagai dokumen yang berkaitan dengan permasalahan perlindungan hukum terhadap hak-hak konsumen listrik. Selanjutnya untuk menguatkan data sekunder yang telah didapatkan, maka diadakan studi lapangan dengan melakukan wawancara terhadap para informan yang telah ditetapkan/ditentukan, yaitu dengan melakukan wawancara terstruktur. Pengumpulan data dilapangan dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat izin tertulis untuk melakukan penelitian dari Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dengan Nomor : 2073/H5.2.2/KRK/2009. Pengumpulan data di lapangan yang dilakukan dengan wawancara, dilakukan dengan mendatangi langsung para responden/informan. Wawancara yang dilakukan terhadap informan tidak cukup hanya sekali, bisa beberapa kali sampai penulis 40 merasa yakin telah mendapatkan data yang cukup dan akurat. Wawancara mana dilakukan terhadap informan yang ditetapkan dalam penelitian ini, yaitu : 1. Bapak Zulfitri, Manager PT. PLN Ranting Dewantara; 2. Bapak Maimun Muhammad, Asisten Manager PT. PLN Lhokseumawe; 3. Bapak H. Ali Basyah , Manager Rayon PT. PLN Lhokseumawe; 4. Bapak Irwansyah, SH, An. Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe; 5. Ibu Fahmiwati, SE ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) kota Banda Aceh, dan 6. Para konsumen/pelanggan PT. PLN 41 BAB II ASPEK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 1985 TENTANG KETENAGALISTRIKAN A. Profil Perusahaan PT. PLN (Persero) 37 Sejarah ketenagalistrikan di Indonesia dimulai pada akhir abad ke-19, ketika beberapa perusahaan Belanda mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri. Pengusahaan tenaga listrik tersebut berkembang menjadi untuk kepentingan umum, dimulai dengan perusahaan swasta Belanda yaitu NV. NIGM yang memperluas usahanya dari hanya di bidang gas ke bidang tenaga listrik. Selama Perang Dunia II berlangsung, perusahaan-perusahaan listrik tersebut dikuasai oleh Jepang dan setelah Kemerdekaan Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945, perusahaanperusahaan listrik tersebut direbut oleh pemuda-pemuda Indonesia pada bulan September 1945 dan diserahkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Selanjutnya pada tanggal 27 Oktober 1945 Presiden Soekarno membentuk Jawatan Listrik dan Gas, dengan kapasitas pembangkit tenaga listrik hanya sebesar 157,5 MW saja. Tanggal 1 Januari 1961, Jawatan Listrik dan Gas diubah menjadi BPU-PLN (Badan Pimpinan Umum Perusahaan Listrik Negara) yang bergerak di bidang listrik, gas dan kokas. Tanggal 1 Januari 1965, BPU-PLN dibubarkan dan dibentuk 2 (dua) Perusahaan Negara yaitu Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang mengelola tenaga 37 Brosur : PROFIL PERUSAHAAN PT. PLN (PERSERO), Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik, tanpa halaman. 42 listrik dan Perusahaan Gas Negara (PGN) yang mengelola gas. Saat itu kapasitas pembangkit tenaga listrik PLN sebesar 300 MW. Tahun 1972, Pemerintah Indonesia menetapkan status Perusahaan Listrik Negara sebagai Perusahaan Umum Listrik Negara. Tahun 1990 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17, PT. PLN ditetapkan sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan. Tahun 1992, Pemerintah Indonesia memberikan kesempatan kepada sektor swasta untuk bergerak dalam bisnis penyediaan tenaga listrik. Sejalan dengan kebijaksanaan di atas, pada bulan Juni tahun 1994 status PT. PLN dialihkan dari Perusahaan Umum menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Membaiknya perekonomian nasional merupakan tantangan bagi PT. PLN untuk bangkit kembali setelah bertahun-tahun sebelumnya menghadapi krisis yang berkepanjangan akibat krisis moneter. Sedang, lingkungan bisnis yang sarat dengan kompetensi akan merupakan tantangan bagi PT. PLN sebagai perusahaan listrik terbesar untuk tetap eksis. Upaya untuk meningkatkan investasi sarana penyediaan tenaga listrik dan pelayanan kepada pelanggan, yang merupakan usaha untuk tetap dapat mempertahankan dan melaksanakan tanggung jawab PT. PLN dalam menjamin kelangsungan penyediaan tenaga listrik bagi masyarakat akan terus ditingkatkan. Upaya peningkatan kemampuan perusahaan tersebut diharapkan akan memberikan nilai tambah bagi pelanggan, perusahaan dan pemegang saham. Dalam menjalankan roda perusahaan supaya tetap eksis dalam bisnis kelistrikan di Indonesia, maka PT. PLN terus berupaya dalam meningkatkan dan 43 mengembangkan Visi dan Misi perusahaan. Visi PT. PLN adalah: diakui sebagai perusahaan kelas dunia yang bertumbuh berkembang, unggul dan terpercaya dengan bertumpu kepada potensi insani. Adapun yang menjadi Misi dari perusahaan listrik terbesar ini adalah: 1. Menjalankan bisnis kelistrikan dan bidang lain yang terkait, berorientasi kepada kepuasan pelanggan, anggota perusahaan dan pemegang saham. 2. Menjadikan tenaga listrik sebagai media untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. 3. Mengupayakan agar tenaga listrik menjadi pendorong kegiatan ekonomi. 4. Menjalankan kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan. Selain memiliki Visi dan Misi perusahaan, PT. PLN juga menerapkan nilai-nilai perusahaan dalam setiap kegiatan operasional perusahaan, yaitu: “Saling percaya, Integritas, Peduli dan Pembelajar”. a. Peka-tanggap terhadap kebutuhan pelanggan.senantiasa berusaha untuk tetap memberikan pelayanan yang dapat memuaskan kebutuhan pelanggan secara cepat, tepat dan sesuai. b. Penghargaan pada harkat dan martabat manusia.menjunjung tinggi dengan segala kelebihan dan kekurangannya, serta mengakui dan melindungi hak-hak asasi dalam menjalankan bisnis. c. Integritas.menjunjung tinggi nilai obyektifitas dalam pengelolaan bisnis. kejujuran, integritas, dan 44 d. Kualitas Produk untuk ditingkatkan secara terus menerus dan terukur serta menjaga kualitas lingkungan dalam menjalankan perusahaan. e. Peluang yang sama untuk memajukan seluas-luasnya kepada setiap anggota perusahaan untuk berprestasi dan menduduki posisi sesuai dengan kriteria dan kompetensi jabatan yang ditentukan. f. Inovatif, bersedia berbagi pengetahuan dan pengalaman dengan semua anggota perusahaan, menumbuhkan rasa ingin tahu serta menghargai ide dan karya inovatif. g. Mengutamakan kepentingan perusahaan, konsisten untuk mencegah terjadinya benturan kepentingan dan menjamin didalam setiap keputusan yang diambil ditujukan guna kepentingan perusahaan. h. Pemegang saham dalam mengambil keputusan bisnis akan berorientasi pada upaya meningkatkan nilai inventasi pemegang saham. Sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang membaik diharapkan pertumbuhan listrik akan normal kembali. Prospek usaha PT. PLN pada dasar rumah tangga maupun industri dan bisnis, merupakan peluang bisnis yang lebih besar karena rasio electrifikasi dan konsumsi listrik perkapita masih rendah serta Indonesia sendiri masih dalam tahap industrialisasi. Pada akhir tahun 2009, daya terpasang pembangkit tenaga listrik PT. PLN mencapai 850 MW yang baru, berkapasitas pembangkitan sesuai jenisnya adalah sebagai berikut : 45 1. Pembangkit Listrik di pelabuhan Sicanang.....................................125 MW 2. Pembangkit Listrik di Sibayak Karo dan Sipa Horas......................125 MW 3. Pembangkit Listrik di Nagan Raya...........................................2 x 100 MW 4. Pembangkit Listrik di Pangkalan Susu……………..……….2 x 200 MW 38 B. Pengaturan Hukum Tentang PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan Serta Hak dan Kewajiban Perusahaan Dalam ruang lingkup peraturan tentang ketenagalistrikan di Indonesia, yang mengatur tentang keberadaan PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, dapat dibedakan yaitu peraturan perundang-undangan yang mengatur dasar hukum perusahaan dan pengaturan perundang-undangan yang mengatur di luar itu. Dasar hukum perusahaan, berdasarkan kepada : 1. Anggaran Dasar PT. PLN Tahun 1998; 2. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1994 Tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum ( Perum) Listrik Negara menjadi Perusahaan Perseroan Terbatas ( Persero); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 Tentang Perusahaan Perseroan Terbatas (Persero) ; 4. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1998 Tentang Pengalihan kedudukan, Tugas; 5. Instruksi Presiden Nomor 15 Tahun 1998 Tentang Pengalihan Pembinaan Terhadap Perusahaan Perseroan (Persero) yang sebahagian sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia kepada Menteri Negara Perdayagunaan BUMN. 39 Selain dasar hukum perusahaan yang mengaturnya, terdapat peraturan perundang-undangan diluar itu dalam bidang ketenagalistrikan di Indonesia yang 38 Harian Medan Bisnis, 8 Januari 2009, hal, 1 Brosur : PROFIL PERUSAHAAN PT. PLN (PERSERO), Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik, tanpa halaman. 39 46 menjadi acuan, selain dari peraturan dasar hukum perusahaan yang telah disebut diatas, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 1 985 Tentang Ketenagalistrikan (yang dinyatakan berlaku kembali setelah Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang ketenagalistrikan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi) dan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 tantang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan maksudnya adalah kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha milik negara yang diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, dan diberi tugas untuk melakukan pekerjaan usaha penunjang tenaga listrik. 40 Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan tidak ditemui pasal yang mengatur tentang hak dari Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PT. PLN), namun tentang kewajiban dari Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan ini diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tersebut. Pegaturan tentang kewajiban PT. PLN ditemui dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan, yang berbunyi : (1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum wajib : a. menyediakan tenaga listrik; b. memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada masyarakat; c. memperhatikan keselamatan kerja dan keselamatan umum. 40 Pasal 1, angka (5) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan. 47 (3) Ketentuan tentang hubungan antara Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan Umum dengan masyarakat yang menyangkut hak, Kewajiban dan tanggung jawab masing-masing diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, menegaskan lebih lanjut kewajiban dari PT. PLN yaitu pada Pasal 15 ayat (1) berbunyi : tenaga listrik yang disediakan untuk kepentingan umum, wajib diberikan dengan mutu dan keandalan yang baik. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, pada Pasal 25 menegaskan lebih lanjut kewajiban dari PT. PLN yaitu : Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan tenaga listrik wajib : a. memberikan pelayanan yang baik; b. menyediakan tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; c. memberikan perbaikan, apabila ada gangguan tenaga listrik; d. bertanggung jawab atas segala kerugian atau bahaya terhadap nyawa, kesehatan, dan barang yang timbul karena kelalaian , dan e. melakukan pengamanan instalasi ketenagalistrikan terhadap bahaya yang mungkin timbul karena kelalaian. Selain itu, dalam Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 114-12/39/600.2/2002 Tentang Indikator Mutu Pelayanan Penyediaan Tenaga Listrik untuk Umum yang disediakan oleh PT. PLN (Persero), pada Pasal 1 ayat (1) menegaskan bahwa PT. PLN wajib memenuhi pelayanan yang baik kepada masyarakat umum dengan memperhatikan hal-hal berikut : 48 a. Hak dan kewajiban penerima pelayanan dan jadwal waktu pelayanan yang baik diatur secara jelas; b. Prosedur dan mekanisme pelayanan mudah dipahami, sederhana serta diimpormasikan secara luas; c. Pelayanan diberikan secara tertib dan teratur sesuai prosedur yang sudah ditetapkan. Pengaturan tentang hak dari PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dapat dijumpai dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik, yang dinyatakan : (1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dalam menyediakan tenaga listrik berhak untuk : a. memeriksa instalasi ketenagalistrikan yang diperlukan oleh masyarakat, baik sebelum maupun sesudah mendapat sambungan tenaga listrik; b. mengambil tindakan atas pelanggaran perjanjian penyambungan listrik oleh konsumen dan c. mengambil tindakan penertiban atas pemakaian tenaga listrik secara tidak sah. (2). Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum tidak bertanggung jawab atas bahaya kesehatan, nyawa dan barang yang timbul karena penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau salah dalam pemanfaatan.. Sepintas kita melihat bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ketenagalistrikan telah memuat pengaturan hak dan kewajiban yang berjalan secara paralel, dan diharapkan pelaksanaannya terhadap masyarakat terutama pelanggan/konsumen listrik sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh perundangundangan dibidang ketenagalistrikan. 49 C. Hak dan Kewajiban Masyarakat, Pelanggan/Konsumen Listrik Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan Kewajiban utama pelanggan PT. PLN adalah membayar rekening listrik tepat waktu. Sebaliknya pelanggan PT. PLN berhak mendapatkan tenaga listrik secara berkesinambungan dengan keadaan baik.Bahkan apabila terjadi gangguan, pelanggan PT. PLN berhak mendapatkan pelayanan untuk perbaikan terhadap gangguan penyediaan tenaga listrik atau penyimpangan atas mutu tenaga listrik yang disalurkan. 41 Namun kondisi yang ditemui sekarang ini adalah bahwa pelanggan belum mendapatkan pelayanan secara optimal, mungkin akibat kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap apa yang menjadi hak dan kewajiban mereka sebagai konsumen listrik dan apa pula hak dan kewajiban PT. PLN selaku produsen tenaga listrik. Selain itu, belum terciptanya hubungan timbal balik yang serasi antara PT. PT. PLN dengan pelanggan/konsumen listrik telah menyebabkan banyak informasi dari PT. PLN yang sebenarnya layak untuk diketahui pelanggan, tidak sampai kepada pelanggan. Boleh jadi, banyaknya keluhan pelanggan tentang pelayanan PT PLN lahir karena pelanggan selama ini tidak mengetahui informasi mengenai pelayanan PT PLN. Akibat ketidaktahuan pelanggan tersebut, tidak jarang dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab. Tentu saja perbuatan ini tidak hanya merugikan pelanggan, tetapi juga sangat merugikan PT. PLN.42 41 Sudaryatmo, Masalah Perlindungan Konsumen di Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 51. 42 Ibid, hal 54 50 Tindakan-tindakan yang merugikan tersebut sebenarnya dapat dihindari oleh para pihak, jika masing-masing pihak paham betul apa saja yang menjadi hak dan kewajiban mereka masing-masing. Seyogyanya keserasian hubungan timbal balik antara PT. PLN dengan pelanggan/konsumen listrik perlu lebih ditingkatkan. Untuk itulah, alangkah bagusnya jika apa saja yang menjadi hak-hak dan kewajiban dari pelanggan/konsumen listrik benar-benar diketahui dan dapat dimengerti oleh setiap pelanggan/konsumen listrik itu sendiri. Undang-undang tentang Ketenagalistrikan mengatur secara jelas apa saja yang menjadi hak dan kewajiban bagi masyarakat dan pelanggan/konsumen listrk. Tentang apa saja yang menjadi hak dan kewajiban serta tanggung jawab para pihak diatur Peraturan Pemerintah yaitu sekarang ini berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik 43. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tersebut, ditegaskan bahwa apa saja yang menjadi Hak dan Kewajiban Masyarakat dalam Pemanfaatan Tenaga Listrik yang diatur oleh Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 yang tidak dirubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2005 tetap berlaku, seperti apa yang ditentukan dalam Pasal 26 dan Pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989 Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. 43 Lihat ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan. Bab IV Tentang Hubungan antara Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dengan Masyarakat dalam Usaha Penyediaan Tenaga Listrik. 51 Pasal 26 (1) Masyarakat di daerah usaha Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum berhak mendapatkan tenaga listrik yang disediakan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang bersangkutan; (2) Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai hak untuk : a. mendapat pelayanan yang baik; b. mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; c. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik. (3) Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai kewajiban : a. Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik; b. Menjaga dan memelihara keamanan instalasi ketenagalistrikan; c. Mengunakan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya. (4) Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik bertanggung jawab karena kesalahannya mengakibatkan kerugian bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan umum. Pasal 28 Masyarakat yang memanfaatkan tenaga listrik wajib mentaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan yang ditetapkan oleh Menteri. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02. P/451/M.PE/1991 tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dan Masyarakat menegaskan juga apa yang menjadi hak dan kewajiban masyarakat dan pelanggan, yang diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 yang berbunyi : 52 Pasal 4 (1) Masyarakat di daerah usaha Pengusaha, berhak mendapatkan tenaga listrik yang disediakan Pengusaha setelah memenuhi persyaratan penyambungan tenaga listrik; (2) Pelanggan mempunyai hak untuk : a. mendapatkan pelayanan yang baik; b. mendapatkan tenaga listrik secara berkesinambungan dengan mutu dan keandalan yang baik; c. mendapatkan pelayanan untuk perbaikan terhadap gangguan penyediaan tenaga listrik atau penyimpangan atas mutu tenaga listrik yang disalurkan. Pasal 5 (1) Kewajiban pelanggan adalah : a. melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul sebagai akibat pemanfaatan tenaga listrik; b. menjaga dan memelihara keamanan Instalasi Pelanggan; c. menjaga dan memelihara Alat Pembatas dan atau Alat Pengukur Pengusaha yang terpasang pada bangunan atau persil pelanggan; d. menjaga keamanan sambungan tenaga listrik yang berada pada bangunan atau persil pelanggan; e menggunakan tenaga listrik sesuai dengan peruntukkannya; f. menaati persyaratan penyambungan tenaga listrik sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri tentang Persyaratan Penyambungan Tenaga Listrik; g. memenuhi ketentuan Peraturan Instalasi Ketenagalistrikan yang berlaku; h. mengizinkan Pengusaha untuk melaksanakan haknya sebagaimana termaksud dalam Pasal 2 Peraturan Menteri ini. (2) Pelanggan bertanggung jawab atas kesalahannya yang mengakibatkan kerugian terhadap pengusaha; (3) Pelanggan bertanggung jawab atas bahaya terhadap kesehatan, jiwa dan barang yang timbul karena penggunaan tenaga listrik yang tidak sesuai dengan peruntukannya atau salah pemanfaatannya. 53 Tenaga listrik yang disediakan untuk kepentingan umum, baik oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan maupun oleh Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum 44 harus diberikan dengan standar mutu dan keandalan yang baik, yang ditetapkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi berdasarkan persetujuan Dewan Standarisasi Nasional. Disamping itu, dalam rangka memberikan perlindungan kepada pelanggan, maka instalasi ketenagalistrikan harus sesuai dengan Standar Ketenagalistrikan Indonesia, karena tenaga listrik mempunyai resiko bahaya yang cukup tinggi. D. Pengaturan Tarif Dasar Listrik (TDL) Dalam Hubungannya Dengan Perlindungan Hukum Konsumen Listrik “Listrik untuk kehidupan lebih baik”, begitu semboyan PT. PLN yang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Namun, ketika begitu gencarnya semboyan tersebut dilecutkan oleh PT. PLN; disisi yang lain, begitu besar pula problem yang melingkupi masalah ketenagalistrikan di Indonesia. Salah satunya, adalah masalah krisis pasokan energi listrik. 45 Ratusan pembangkit tenaga listrik yang terserak diberbagai pelosok tanah air tidak mampu lagi memasok kebutuhan listrik masyarakat, yang kian hari menghubung tinggi. 44 Lihat ketentuan Pasal 1 huruf (d) yang mengatakan bahwa Pengusaha adalah Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan yang didirikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum termasuk Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri yang menjual kelebihan tenaga listriknya kepada mas yarakat. 45 Tulus Abadi dan Sudaryanto, Memahami Hak dan Kewajiban Anda sebagai Konsumen Listrik, Cetakan Pertama. Pnerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004, hal. 3. 54 Kondisi ketenagalistrikan di Indonesia, terutama sejak tahun 1996, memang sangat memprihatinkan. Kenaikan Tarif Listrik (TDL) yang sudah mencapai di atas 100 %, terbukti belum mampu menyehatkan financial PT. PLN.46 Bagi konsumen, besaran kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) terasa sudah sangat mencekik leher, di tengah situasi kehidupan yang serba sulit sekarang ini. Kenaikan TDL salah satunya disebabkan oleh kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), karena lebih dari 60 % mesin pembangkit listrik PT. PLN menggunakan BBM (solar) 47. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa setiap kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) oleh pemerintah akan dibarengi dengan kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) oleh PT. PLN. Namun demikian, pemerintah tetap memberikan jatah subsidi untuk sektor ketenagalistrikan, khususnya untuk konsumen rumah tangga dengan daya terpasang 450 Volt Ampere/VA, dengan pemakaian 60 kilowatt hour/kWh. Jadi kalau konsumen rumah tangga 450 VA tetapi pemakaian lebih dari 60 kWh, maka sudah tidak berhak lagi mendapat subsidi. Tahun 2003, tidak kurang dari 4 triliyun pemerintah memberikan subsidi untuk sektor listrik. 48 Ada beberapa variabel yang dapat mempengaruhi harga listrik, antara lain : harga bahan bakar, harga pembelian listrik dari pihak ketiga, tingkat inflasi, suku bunga dan perubahan nilai tukar rupiah valuta asing. 49 46 Ibid, hal 4. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri (Manager PT. PLN Ranting Dewantara), pada tanggal 20 April 2009. 48 Op-Cit., 2004, hal. 19. 49 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri. (Manager PT. PLN Ranting Dewantara), pada tanggal 20 April 2009. 47 55 Saat ini, sebenarnya kondisi ketenagalistrikan nasional dalam posisi “tidak aman”. Dikarenakan, antara kebutuhan dan persediaan tidak seimbang. PT. PLN sudah tidak lagi memasok tenaga listrik kepada konsumennya secara maksimal. Buktinya adalah begitu seringnya pemadaman listrik yang dilakukan oleh PT. PLN terhadap pelanggannya, kadangkala tanpa pemberitahuan/pengumuman terlebih dahulu. Sebenarnya masyarakat terutama konsumen listrik akan lebih mengerti situasi keadaan PT. PLN jika saja PT. PLN bersikap terbuka dalam menyampaikan informasi dan memberikan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen. Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) yang merupakan sumber utama pendanaan perusahaan/PT. PLN sah-sah saja dinaikkan dengan berbagai alasan yang tepat asal saja PT. PLN juga ikut menaikkan mutu pelayanannya kepada konsumennya. Bagi konsumen, kenaikan TDL berarti menaikkan biaya hidup. Sementara, pendapatan konsumen/masyarakat belum ada perubahan akibat krisis yang berkepanjangan di negara ini dan sampai sekarang belum dapat dipulihkan. Yang lebih memprihatinkan adalah, kenaikan TDL merupakan keputusan sepihak yang tidak diikuti dengan peningkatan pelayanan yang lebih sepadan kepada masyarakat konsumen/pelanggan listrik. Namun bagaimanapun juga, kenaikan TDL dengan alasan apapun juga terpaksa diterima konsumen. Adapun penepatan Tarif Dasar Listrik (TDL) bertujuan antara lain : 56 1. Memenuhi kebutuhan pendapatan untuk investasi yang menjamin tersedianya harga listrik yang efisien dan berkelanjutan; 2. Menjamin keadaan keuangan perusahaan peserta secara sehat dan wajar; 3. Dapat menstimulasikan penyempurnaan golongan dan struktur tarif, sehingga untuk masing-masing mendekati nilai ekonominya; 4. Membuka peluang untuk dilakukan subsidi untuk golongan pelanggan yang memenuhi syarat. Dalam Pasal 16 Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 menetapkan bahwa pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik. Pengaturan harga jual tenaga listrik ini dituangkan melalui Keputusan Presiden (Kepres). Sekarang ini Kepres yang berlaku yang mengatur harga jual tenaga listrik adalah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2003 Tentang Harga Jual Tenaga Listrik Tahun 2004 Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara (selanjutnya ditulis Kepres Nomor 104 Tahun 2003). TDL tahun 2004, yang dikukuhkan dengan Kepres Nomor 14 Tahun 2003, ”secara formal” sudah memperhatinkan kepentingan masyarakat. Tertuang dalam amar putusannya yang berbunyi : dalam menetapkan harga jual tenaga listrik, PT. PLN mempertimbangkan keadilan, kemampuan daya beli masyarakat. Dengan alasan itu pula, berdasarkan Kepres Nomor 104 Tahun 2003 ini, pemerintah akhirnya untuk sementara tidak menaikkan TDL. Menurut Pasal 1 Kepres Nomor 104 Tahun 2003 ini, menyatakan bahwa harga jual tenaga listrik yang disediakan oleh PT. PLN dinyatakan dalam Tarif Dasar Listrik (TDL) tahun 2004 berdasarkan Golongan Tarif Dasar Listrik. Pasal 2 57 Tarif Dasar Listrik ( TDL) Tahun 2004 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1, terdiri atas : a. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Pelayanan Sosial sebagaimana tercantum dalam Lampiran II; b. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Rumah Tangga sebagaimana tercantum dalam Lampiran III; c. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Bisnis sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV; d. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Industri sebagaimana tercantum dalam Lampiran V; e. Tarif Dasar Listrik untuk keperluan Kantor Pemerintah dan Penerangan Jalan Umum sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI; f. Tarif Dasar Listrik untuk Transaksi sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII; g. Tarif Dasar Listrik untuk Curah (bulk) sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII; h. Tarif Dasar Listrik untuk Multiguna sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX. Dari penggolongan Tarif Dasar Listrik (TDL) tersebut maka diketahui pula penggolongan/pengelompokkan terhadap konsumen/pelanggan listrik di Indonesia seperti tercantum dalam Pasal 2, Kepres Nomor 104 Tahun 2003. Konsumen listrik 58 rumah tangga adalah golongan pemakai TDL seperti yang tercantum dalam tabel di atas. Berdasarkan data dari PT. PLN Ranting Dewantara dari Tahun 2006 sampai Tahun 2009 pelanggan kelompok rumah tangga menduduki peringkat pertama dengan jumlah pelanggan masing-masing sebanyak 22 500 pelanggan. Dengan demikian keunggulan pelanggan kelompok Rumah Tangga, kantor pemerintahan bukan hanya dari segi kuantitas atau jumlahnya tetapi juga banyak penunggakkan pembayaran kepada PT. PLN selama beberapa tahun terakhir. Dalam berita di Media Masa”tunggakan rekening listrik di Lhokseumawe mencapai Rp 7,4 Miliar, jumlah tunggakan rekening listrik di PT. PLN Rayon Lhokseumawe yang memeliki pelanggan 36,168 itu hingga 1 Maret 2009 mencapai 7,4 Miliar,. Namun mulai sekarang bagi pelanggan yang menunggak bukan hanya dari instansi Pemerintah saja yang akan berhadapan dengan penegak hukum, tapi bagi masyarakat umum dipastikan akan mendapat pemanggilan. Dalam hal ini pihak Kejaksaan Negeri Lhokseumawe. Kepada PT. PLN Rayon Lhokkseumawe, Ali Basyah mengatakan dari total 7,4 Miliar yang menunggak RRp 1,3 Miliar diantaranya berasal dari instansi Pemerintah daerah dan dari pelanggan umum mencapai 6 Miliar lebih 50 Peran serta Kepala Kejaksaan Negeri Lhoksemawe sebagai fasilitator karena Kejaksaan Negeri adalah Jaksa Penuntut Negara sesuai dengan Pasal 27 Undangundang Nomor 5 Tahun 1991 dalam menyelesaikan penunggakkan antara pihak PT PLN Lhokseumawe dengan pelanggan umum dan Pemerintah Daerah. 51 Data tersebut menggambarkan dengan terang benderang bahwa pelanggan kelompok Rumah Tangga merupakan pelanggan terbanyak, baik dalam kuantitas 50 Harian, Serambi Pase, tanggal 19 Maret 2009, hal 9. Wawancara dengan Bapak Irwansyah, SH, a/n Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, seksi Tindak Pidana Umum, pada tanggal 28 Mei 2009. 51 59 maupun kualitas pembayaran. Ini semua berarti bahwa pelanggan kelompok Rumah Tangga yang sebagian besar merupakan rakyat kecil ternyata telah memberikan konstribusi pendapatan yang besar bagi PT. PLN. Jadi wajar saja jika PT. PLN memberi sedikit penghargaan kepada pelanggan kelompok Rumah Tangga ini dengan memberikan pelayanan yang memuaskan atau dengan kata lain menetapkan kepuasan pelanggan/konsumen (Rumah Tangga) sebagai prioritas utama dalam pemberian jasanya. E. Standar/Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) Keluarnya Kepres Nomor 104 Tahun 2003 membawa sedikit perubahan bagi konsumen listrik yaitu dengan adanya kewajiban bagi direksi PT. PLN untuk meningkatkan dan mengumumkan standar mutu pelayanan bagi setiap/masingmasing unit pelayanan pada setiap awal triwulan Pasal 3 Ayat (1) Kepres Nomor 104 Tahun 2003. Selanjutnya dalam Pasal 3 Ayat (2) disebutkan bahwa apabila standar mutu pelayanan pada suatu sistem kelistrikan khususnya yang berkaitan dengan lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan baca meter tidak dapat dipenuhi, yang bersangkutan, diperhitungkan dalam tagihan listrik bulan berikutnya. Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Nomor 114-12/39/600.2/2002 (SK LPE-DSM) Tentang Tingkat Mutu Pelayanan (TMP) PT. PLN, yang meliputi 13 indikator dengan satuannya sebagai berikut : 60 1) tegangan tinggi di titik pemakaian, dalam Kv; 2) tegangan menegah di titik pemakaian, dalam Kv; 3) tegangan rendah di titik pemakaian, dalam Volt; 4) frekwensi di titik pemakaian, dalam Hz; 5) lama gangguan per pelanggan, dalam jam/pelanggan/bulan; 6) jumlah gangguan per pelanggan, dalam kali/pelanggan/bulan; 7) kecepatan pelayanan sambungan baru tegangan menegah (TM), dalam hari kerja; 8) kecepatan pelayanan sambungan baru tegangan rendah (TR), dalam hari kerja; 9) kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan menegah (TM), dalam hari kerja; 10) kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan rendah (TR), dalam hari kerja; 11) kecekapan menanggapi pengaduan pelanggan, dalam jam; 12) kesalahan pembacaan Kwh meter, dalam kali/pelanggan/triwulan; 13) waktu koreksi kesalahan rekening dalam hari kerja.. Bila diperhatikan, sedikit telah tampak adanya upaya-upaya pemerintah berpihak kepada konsumen, yaitu dengan adanya standar pelayanan minimum yang disebut (TMP)52. Dan telah pula ada punishment berupa pengurangan tagihan 52 Kv, singkatan dari Kilovolt, dan Hz, singkatan dari Hertz (satuan dalam energi listrik) 61 rekening listrik apabila ada pelanggaran terhadap TMP ke 5, 6 dan TMP 12. SK LPEDSM tersebut hanya menetapkan indicator yang berjumlah 13 item dan satuan, sedangkan besarnya angka standar diserahkan kepada PT. PLN (Persero) untuk menetapkan sendiri. Khususnya untuk . PT. PLN Cabang Lhokseumawe yang membawahi 10 Ranting dan 1 Rayon atau unit pelayanan memberikan kewenangan kepada masing-masing Ranting dan Rayon untuk menetapkan sendiri nilai TMP sesuai dengan kemampuan pasokan listrik mereka masing-masing. 53 Mengenai punishment berupa pengurangan pembayaran listrik, hanya diberlakukan pada tiga poin di atas, yakni : lama gangguan, jumlah gangguan dan atau kesalahan baca meter. Menurut ketentuan yang berlaku, tindakan yang merugikan konsumen berdasarkan SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 114 Tahun 2002, konsumen berhak mendapatkan kompensasi (ganti rugi) sebesar 1% (sepuluh persen) dari biaya beban. Namun informasi tersebut belum disampaikan secara baik (disembunyikan), sehingga konsumen tidak mengerti adanya hak tersebut.54 Selama ini memang TMP telah ditempel pada masing-masing kantor Unit Pelayanan (UP) namun sayangnya tidak dibarengi dengan penjelasan atau keterangan dari pihak PT. PLN tentang keberadaan TMP itu sendiri kepada konsumen listrik 53 Wawancara dengan Bapak Maimun Muhammad, Asisten Manager Pemasaran PT. PLN Cabang Lhokseumawe, pada tanggal 25 Mei 2009. 54 Wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK, Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei 2009, Posisi Konsumen Sangat Dilematis.. 62 sehingga sebagian besar konsumen tidak mengerti dan tidak memahami hak-hak mereka. Menurut Tulus Abadi dan Gunarto, walaupun secara tertulis melalui SK LPEDSM telah ada tampak keinginan pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada konsumen listrik berupa pemberian ganti kerugian berbentuk pengurangan tagihan rekening listrik, namun TMP tersebut memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut : 1. pemahaman tentang TMP yang harus dideklar, belum semuanya dipahami oleh petugas PLN, dengan alasan bingung (mekanismenya seperti apa), atau bahkan takut, kalau yang dideklar itu salah, lalu mendapat klaim dari konsumen. 2. TMP tersebut, karena ditetapkan sendiri oleh PLN masing-masing ranting/cabang dan tidak ada yang memverifikasi, cenderung sangat rendah dan tidak berpihak kepada konsumen. Semata-mata lebih berpihak kepada kepentingan PT. PLN. Sebagai contoh, pemadaman dalam satu bulan biasanya 14 jam, angka itulah yang disampaikan kepada konsumen. Dalam kenyataannya ternyata ada Unit Pelayanan (UP) yang berani menetapkan angka 27 dalam satu bulan. 3. TMP yang dideklar oleh masing-masing kantor ranting atau cabang PT. PLN bersifat konstan bahkan cenderung menurun dari triwulan ke triwulan. Hal ini sangat tidak fair karena konsumen dipaksa PLN untuk mau membayar kenaikan tarif, namun PLN tidak ada niat untuk meningkatkan TMPnya. 4. dalam mengumumkan TMP kepada masyarakat masih setengah hati, karena biasanya diumumkan dalam standar yang masih terlalu rendah dan tidak diikuti dengan penjelasan apa itu sebenarnya makna TMP dan apa yang bisa diperoleh oleh konsumen apabila PT. PLN tidak bisa memenuhi standar kualitas pelayanan tersebut. 63 5. punishment yang seharusnya dikenakan kepada PT. PLN akibat tidak dipenuhinya TMP (indikator tertentu) tidak atau belum disetting secara otomatis. Sehingga ada kemungkinan PT. PLN cidera janji terhadap TMP dan PT. PLN belum berusaha untuk mengenakan punishment tersebut. 6. semua wilayah PT. PLN melakukan kesalahan dalam melakukan perhitungan kinerja TMP, misalnya banyaknya maksimum kesalahan pencatat meter yang dideklarasikan dalam TMP untuk triwulan 1 (tw1)adalah 1 kali, kemudian dalam perhitungan kinerjanya ditulis 1 kali. Hal ini menunjukan bahwa selama triwulan 1 (tw-1) terjadi kesalahan 1 kali pembacaan meter yang terjadi pada seluruh pelanggan. 55 Walaupun banyak kelemahan-kelemahan yang dijumpai dalam pelaksanaan TMP ini, namun sebenarnya bagi konsumen listrik telah cukup membawa angin segar terhadap perlindungan hak mereka, tentu saja jika ketentuan tentang TMP betul-betul dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Di sinilah diperlukan kesadaran masing-masing pihak, dimana PT. PLN sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (tunggal) dapat berbesar hati mengakui kekurang-kurangan atau kesalahan mereka dan di sisi lain, konsumen listrik pada umumnya agar mau membela hak-hak mereka jika dilanggar/diabaikan oleh PT. PLN, baik secara perorangan maupun secara bersamasama dengan konsumen listrik lain yang juga merasa dirugikan oleh PT. PLN. Dengan peningkatan kesadaran hukum konsumen terutama konsumen listrik diharapkan dapat menjadi motivator bagi PT. PLN untuk dapat meningkatkan mutu dan pelayanannya kepada seluruh pelanggan di masa datang. 55 Ariono Abdulkadir et al, Masalah Ketenagalistrikan di Indonesia (Kumpulan Artikel), Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004. 64 F. Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Konsumen Listrik Menurut Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan Keberadaan tenaga listrik semakin hari semakin sangat penting. Karena peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat serta upaya mendorong peningkatan kegiatan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari penyediaan tenaga listrik. Sebagai penguasa tunggal bidang ketenagalistrikan, PLN semakin hari makin dipusingkan oleh keterbatasan pasokan tenaga listrik kepada konsumennya, sementara dari pihak konsumen terdapat peningkatan permintaan akan pasokan tenaga listrik. Hal ini tidak akan menjadi problema jika saja keberadaan Undangundang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan (yang baru) tidak dicabut dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dalam undang-undang tersebut merubah status PT. PLN yang semula sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (monopoli) menjadi Pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik (salah satu pemegang izin usaha dibidang ketenagalistrikan). Jadi dengan demikian tanggungjawab dibidang ketenagalistrikan bukan hanya menjadi tanggungjawab PT. PLN saja, tetapi menjadi tanggungjawab semua pihak penyedia tenaga listrik. Dengan dibatalkan berlakunya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan secara otomat kita akan kembali memperlakukan Undangundang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan sebagai upaya menghindari kevakuman hukum. Maka, keadaan ini membuat keadaan di bidang ketenagalistrikan kembali ke titik hadir dan monopoli. 56 Sebagai perbandingan tabel 1 dibawah ini akan 56 Wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei 2009 65 memperlihatkan perbedaan antara Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 : Tabel 1. Perbedaan antara Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Isu Utama UU No. 15 Tahun 1985 UU No. 20 Tahun 2002 Peranan Pemerintah Pengaturan pembuatan kebijakan Hanya sebagai dan pelaku usaha pembuatan kebijakan Tidak ada badan pengatur (Batur) Fungsi pengaturan di pindahkan ke badan pengawas pasar ketenagalistrikan Pemerintah pusat bertanggung jawab dan berwenang menyusun RUKN Pemerintah masih menjalankan fungsi pengaturan di wilayah non Jamali (JawaMadura-Bali) Peran Pemuda tidak ada Pemuda bertanggung jawab menyusun RUKD dan memberikan perijinan (pasal 5 ayat 1) Sedangkan pemerintah pusat menyusun RUKN (pasal 5 ayat 2) Tujuan sosial dan Bercampur, PLN mengamban komersial misi sosial dan misi komersial Tidak ada dana khusus untuk misi sosial Fungsi komersial sosial dan fungsi komersial terpisah Fungsi komersial di pegang oleh PLN, Sedangkan fungsi sosial di pegang oleh pemerintah 66 Lanjutan Tabel 1 Tersedia dana untuk pembangunan sarana ketenagalistrikan di pedesaan (pasal 7) Struktur industri PLN adalah satu-satunya pemegang kuasa usaha ketenagalistrikan PLN hanya salah satu pemegang ijin usaha penyediaan tenaga listrik (IU PTL) Monopoli Diwajibkan untuk kompetisi Terintegrasi secara vertikal PLN dipecah-pecah menjadi unit usaha yang terpisah (pasal 16) Kompetisi Listrik tidak dikompetisi Listrik dikompetisikan, dimulai dengan kompetisi sisi pembangkitan. Tarif Pemerintah Ditentukan oleh pemerintah untuk semua wilayah Untuk wilayah kompetisi, tariff ditentukan oleh mekanisme pasar, Dan untuk wilayah non kompetisi oleh pemerintah Keterlibatan sector Tidak jelas swasta walaupun mungkin disebutkan, Lebih di perjelas dan sangat mungkin. Sumber : data primer Keterangan : RUKN : Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional. RUKD : Rencana Umum Ketenagalistrikan Daerah 67 Tabel di atas memperlihatkan, sebenarnya demikian banyak segi positif dan kemajuan yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan (UUKL) yang sempat berlaku tersebut. Namun menurut Tulus dan Sudaryatmo, secara normatif terasa lebih lengkap di dalam memberikan perlindungan terhadap konsumen listrik. Beberapa Pasal di dalam UUKL yang berhubungan langsung dengan kepentingan konsumen listrik antara lain : 1. Penyelenggaraan usaha ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin tersedianya tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan (Pasal 3 ayat 1 UUKL); 2. Konsumen tenaga listrik mempunyai hak untuk : a. mendapat pelayanan yang baik; b. mendapat tenaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; c. memperoleh tenaga listrik dengan harga yang wajar; d. mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik, dan e. mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan kesalahan dan/ atau kelalaian pengoperasian oleh Pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik, sesuai dengan syarat-syarat Tenaga Listrik yang diatur dalam Perjanjian jual-beli tenaga listrik (Pasal 34 ayat 1 UUKL). 57 Dalam hal tapak tanah konsumen digunakan untuk kepentingan ketenagalistrikan, maka konsumen si pemilik tapak tanah tersebut berhak untuk : 1) Untuk kepentingan umum, pihak yang berhak atas tapak tanah, bangunan dan tanaman mengizinkan Pemegang Izin Usaha Penyedia Ketenagalistrikan melaksanakan kewenangannya, dengan mendapatkan ganti kerugian hak atas tapak tanah atau kompensasi (Pasal 35 ayat 1 UUKL); 57 Op-Cit, hal 36-37 68 2) Ganti kerugian hak atas tapak tanah adalah untuk tapak tanah yang dipergunakan secara langsung oleh Pemegang Izin Usaha Penyedia Tenaga Listrik, dan untuk bangunan dan tanaman diatas tapak tanah yang dimaksud (Pasal 35 ayat 2 UUKL); 3) Kompensasi diberikan sebagai akibat dan berkurangnya nilai ekonomis atas tanah, bangunan dan tanaman yang dilintasi transmisi tenaga listrik (Pasal 35 ayat 3 UUKL). 58 Melihat uraian pendapat Tulus Abadi dan Sudaryatmo yang menyatakan bahwa UUKL lebih “lengkap” memberikan perlindungan terhadap konsumennya, tidaklah berlebihan. Hal ini sangatlah berbeda dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan yang kembali berlaku di Republik ini. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tidak memberikan perlindungan yang lebih kepada konsumennya. Walau demikian, perlindungan terhadap konsumen listrik ini mendapat perhatian Pemerintah. Melalui SK Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 114 Tahun 2002 Tentang Deklarasi Tingkat Mutu (TMP) Tenaga Listrik yang disediakan oleh PT. PLN, PT. PLN wajib dan dipaksa untuk memberikan kompensasi sebesar 10 % (sepuluh persen) dari biaya beban (abonemen), jika PT. PLN melanggar 3 (tiga) indikator yang dideklarasikannya yaitu lamanya gangguan, jumlah gangguan dan kesalahan baca meter (Kwh). Ironisnya, informasi dan kebijakan yang seperti ini tidak banyak diketahui oleh konsumen listrik itu sendiri. 59 58 Ibid, hal 38.. Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 (tiga puluh) orang konsumen ketenagalistrikan yang dipilih sebagai informasi pada tanggal 25, 27 dan 30 April 2009, 15 (lima belas) orang tidak mengetahui adanya kompensasi pembayaran dari PT. PLN yang diatur melalui SK. LPE-DSM. 59 69 Sebagaimana dari wawancara dengan konsumen/pelanggan listrik yang berada dibawah kekuasaan PT. PLN Ranting Dewantara pada umumnya konsumen tidak mengetahui dengan adanya kompensasi pembayaran dengan kesalahan pencatatan meteran atau kesalahan pembacaan KWH, lama gangguan dan jumlah gangguan dari 30 (tiga puluh) orang konsumen/pelanggan 15 (lima belas) orang konsumen yang mengetahui. 70 BAB III UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN LISTRIK DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 A. Pengertian Konsumen dan Perlindungan Konsumen Istilah konsumen berasal dan alih bahasa dari kata consumer (InggrisAmerika), atau consument/konsument (Belanda), secara harfiah arti kata consumer “(lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang. 60 Mariam Darus mendefinisikan konsumen dengan cara mengambil alih pengertian yang dipergunakan oleh kepustakaan Belanda, yaitu : “Semua individu yang mempergunakan barang dan jasa secara konkrit dan riil”. 61 Sebelum munculnya UUPK (yang diberlakukan mulai 20 April 2000), hanya sedikit pengertian normatif yang tegas tentang pengertian konsumen dalam hukum positif di Indonesia. Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan/TAP MPR Nomor II/MPR/1993 disebutkan kata konsumen dalam rangka membicarakan tentang sasaran bidang perdagangan namun sama sekali tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang penjelasan pengertian konsumen itu sendiri. Salah satu ketentuan normatif yang memberikan definisi/pengertian konsumen adalah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (diberlakukan pemerintah mulai 5 60 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2002, hal. 3. Mengutip pendapat A.S. Hornby (Gen.Ed), Oxford Advanve Learner’s producer) person who uses goods.” 61 Mariam Darus Badrulzaman, Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan Karangan), Alumni, Bandung, 1981, hal.48. 71 Maret 2000). Undang-undang ini memuat suatu definisi tentang konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan orang lain. 62 Hodius, pakar konsumen di Belanda, menyimpulkan, para ahli hukum pada umumnya sepakat mengartikan konsumen sebagai pemakai produksi terakhir dari benda atau jasa; (uiteindedelijke gebruiker van goederen en diensten). 63 Di dalam undang-undang yang mengatur bidang Ketenagalistrikan, yaitu Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985, tidak dijumpai pengertian pengertian istilah konsumen untuk pemakai jasa tenaga listrik. Dalam peraturan di bidang ketenagalistrikan, yang dijumpai adalah istilah Pelanggan, yang dapat diartikan sama dengan konsumen jasa ketenagalistrikan. Istilah Pelanggan ditemui dalam Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02 P/451/M.PE/1991 Tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum dengan Masyarakat, dalam Pasal 1 Huruf (f), yang mengatakan : Pemakai tenaga listrik adalah setiap orang atau Badan Usaha atau Badan/Lembaga lainnya yang memakai tenaga listrik dari instansi Pengusaha : 1. berdasarkan alas hak yang sah; 2. tanpa berdasarkan alas yang sah; 62 63 Op-Cit, 2006, hal. 2. Ibid, hal, 3 72 huruf g : pelanggan adalah pemakai tenaga listrik sebagaimana termaksud dalam huruf f angka (1). Di dalam Pasal 1 Angka (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberikan pengertian Konsumen sebagai berikut : “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam undang-undang ini adalah konsumen akhir. Jika dilihat defenisi yang diberikan oleh Pasal 1 Angka (2) UUPK tentang pengertian konsumen berikut dengan penjelasannya, masih sangat jauh pengertian konsumen dimaksud, jika kita bandingkan dengan pengertian pelanggan seperti yang dimaksud dalam peraturan di bidang ketenagalistrikan. Sebenarnya pengertian konsumen dalam bidang ketenagalistrikan di Indonesia, telah dimuat secara yuridis normatif dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan, yaitu dalam Pasal 1 Angka (5) yang berbunyi : “Konsumen adalah setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari Pemegang Izin Usaha Penyediaan tenaga listrik untuk digunakan sebagai pemanfaatan akhir dan tidak untuk diperdagangkan.” Dari pengertian konsumen yang diberikan oleh Undang-undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang Ketenagalistrikan telah memberikan batasan yang jelas tentang konsumen bidang ketenagalistrikan. Namun karena undang-undang tersebut dicabut 73 dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Desember 2004, maka pengertian konsumen secara yuridis normatif dalam Undangundang Ketenagalistrikan tidak ditemui lagi. Pengertian Konsumen Ketenagalistrikan sekarang ini dijumpai dalam Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 1612/43/600.3/2003 tentang Tata cara Pengurangan Tagihan Listrik Akibat Tidak Terpenuhinya Standar Mutu Pelayanan Pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara Untuk Lama Gangguan, Jumlah Gangguan, dan atau Kesalahan Pembacaan Kwh Meter, dimana Pasal 1 angka (1) menyatakan : “Konsumen adalah setiap orang atau Badan Usaha atau Badan/Lembaga lainnya sebagai pelanggan yang menggunakan tenaga listrik yang disediakan oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara berdasarkan perjanjian jual beli tenaga listrik”. Ruang lingkup hukum perlindungan konsumen sulit dibatasi hanya dengan menampungnya dalam satu jenis perundang-undangan seperti Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK). Hukum perlindungan konsumen selalu berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai cabang dan bidang hukum lain, karena pada setiap bidang dan cabang hukum itu senantiasa terdapat pihak yang berpredikat sebagai “konsumen”. 64 Keperluan adanya hukum untuk memberikan perlindungan 64 Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999, hal 1 74 konsumen Indonesia merupakan suatu hal yang tidak dapat dielakkan, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional kita, yaitu pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Menurut Nurmardjito, pengaturan perlindungan konsumen dilakukan dengan : 1. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum; 2. Melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha; 3. Meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa; 4. Memberikan perlindungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan; 5. Memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidangbidang lain. 65 Membahas masalah perlindungan hukum bagi konsumen Indonesia, hendaknya terlebih dahulu dilihat kedalam peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya peraturan atau keputusan yang memberikan perlindungan bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan karena mempunyai konsekuensi tersendiri, antara lain mengenai lingkup materinya, sanksinya, peradilannya, karena satu sama lain akan berkaitan dengan sistem hukum yang sebelumnya telah dikembangkan melalui berbagai Undang-undang, Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, yang pada dasarnya bertujuan untuk memberikan perlindungan bagi rakyat Indonesia. Sebelum keluarnya UUPK, perlindungan terhadap konsumen dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1993 melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR) Nomor II/MPR/1993, pada Bab IV, 65 Husni Syawali dan Neni Imaniati, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit CV. Mandar Maju, Bandung 2000, hal 7. 75 Huruf F Butir 4a, yaitu : “Pembangunan perdagangan ditujukan untuk mempelancar arus barang dan jasa dalam rangka menunjang peningkatan produksi dan daya saing, meningkatkan pendapatan produsen terutama produsen hasil pertanian rakyat dan pedagang, melindungi kepentingan konsumen…” 66 Komitmen melindungi kepentingan konsumen (konsumen akhir, bukan pedagang) rupanya masih menjadi huruf-huruf mati dalam naskah GBHN 1993, karena tidak jelas peraturan perundang-undangan pelaksanaannya yang memang ditujukan untuk itu. Ketidakjelasan itu bukan karena belum adanya pengkajian dan penelitian norma-norma perlindungan konsumen macam apa yang sesuai dengan situasi dan kondisi konsumen Indonesia. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), dan Departemen Perindustrian dan Perdagangan telah cukup sering melakukannya. Diundangkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) pada tanggal 20 April 1999 oleh pemerintahan transisi (Kabinet Reformasi Pembangunan) Presiben BJ. Habibie tampaknya diiringi dengan harapan terwujudnya wacana baru hubungan konsumen dengan pelaku usaha (produsen, distributor, pengecer, pengusaha/perusahaan dan sebagainya) dalam menyongsong millennium baru. 67 Kritik dan berbagai keluhan dari berbagai pihak terhadap penegakan hukum dan perlindungan hukum terhadap yang lemah masih menjadi referensi utama dalam perumusan norma-norma perlindungan konsumen dalam undang-undang ini. Normanorma perlindungan konsumen dalam sistem UUPK sebagai “undang-undang 66 67 Op-Cit, 2003, hal 2. Ibid, hal 20. 76 payung” menjadi acuan bagi norma-norma perlindungan konsumen lainnya diluar UUPK. Adapun norma-norma perlindungan terhadap konsumen dalam UUPK dapat kita jumpai dalam Pasal 1 Angka (1) Pengertian Perlindungan Konsumen, Pasal 2 dan Pasal 3, Asas dan Tujuan, serta Pasal 18, Ketentuan Pencantuman Klausula Baku. Pasal 1, angka (1) “Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Pasal 2 “Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”. Dalam Penjelasan Pasal 2 mengatakan : “Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan; 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil; 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiel dan spiritual; 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan /atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; 77 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.” Kelima asas yang disebutkan dalam pasal tersebut, bila diperhatikan substansinya, dapat dibagi menjadi 3 (tiga) asas yaitu : 1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen; 2. Asas keadilan yang didalamnya meliputi asas keseimbangan; 3. Asas kepastian hukum. 68 Pasal 3, Perlindungan konsuman bertujuan : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negative pemakaian barang dan /atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan /atau jasa, kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan konsumen. 68 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 26. 78 Pasal 3 UUPK ini, merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 sebelumnya, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. 69 Adapun mengenai ketentuan pencantuman klausula baku sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 UUPK, memberikan andil terhadap perlindungan konsumen. Dalam Penjelasan Pasal 18 Ayat (1) UUPK ditegaskan bahwa adanya larangan-larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen serta dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Di caci maki, dihujat dan dibenci, tetapi kita tetap membutuhkannya. Begitulah keberadaan PT. PLN di negeri kita ini. 70 Kita sering mencaci-maki, terlebih-lebih disaat lampu padam tanpa pemberitahuan sebelumnya (paling sering dirasakan masyarakat di Aceh ), namun keadaan itu tetap (sampai sekarang) kita alami. Betapa “menyedihkan” keadaan pelayanan PT. PLN terhadap konsumenya. Tidak adanya alternatif pilihan membuat konsumen dipaksa mengkonsumsi pelayanan dari lembaga milik negara ini. Walau kondisi ini merugikan dan dirasakan tidak adil oleh konsumen, namun sayangnya, tidak banyak konsumen yang berani mengadakan ‘perlawanan’ yang berarti, apalagi dalam bentuk gugatan (ligitasi). Mayoritas konsumen memilih sikap “diam”. 71 69 70 Ibid, 2005, hal 34. Hasil wawancara dengan Ibu Fahmiwati, ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei 2009. 71 Op-Cit., hlm. 50. mengutip pendapat Tulus Abadi, Bulan Pengaduan Konsumen Listrik : Sebuah Tawaran. 79 Dengan pertimbangan-pertimbangan keadaan di atas, bahwa produk PT. PLN masih begitu buruk dikonsumsi oleh konsumennya, dan disisi lain konsumen masih bersikap ‘malas bertindak’ dalam membela haknya, maka Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Banda Aceh, melalui “Bulan Mandiri, Pengaduan Konsumen Listrik” mencoba membantu permasalahan yang dihadapi oleh para pihak. 72 Dari masa ke masa, permasalahan yang senantiasa mengikuti konsumen listrik adalah masalah biaya yang sudah dibayar untuk penyambungan tenaga listrik, namun tidak kunjung dipasang. Selain itu, kasus kesalahan pencatatan meteran yang mengakibatkan “bengkaknya” rekening konsumen, termasuk yang paling sering dialami oleh konsumen listrik, terutama di Ranting Dewantara, yaitu pemadaman tanpa pemberitahuan yang bisa berakibat fatal pada barang elektronik milik konsumen. Kerusakan berbagai macam peralatan elektronik konsumen listrik serta gangguan terhadap berbagai aktifitas karena pemadaman listrik tanpa pemberitahuan membuat konsumen listrik merasa bahwa makin hari pelayanan yang diberikan PT. PLN kepada konsumennya makin “buruk” yang sangat tidak sebanding dengan kewajiban yang dipikul konsumen terhadap PLN, salah satunya tarif listrik (TDL) yang semakin hari bertambah tinggi. 72 2009 Hasil wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei 80 Menurut Ketua YLPK, tujuan diadakannya konsiliasi konsumen Listrik adalah : a. Untuk menggugah kesadaran dan keberanian konsumen, bahwa hakhaknya masih banyak dilanggar oleh pemerintah (selaku regulator) dan atau PT. PLN selaku pemberi jasa dibidang ketenagalistrikan. Konsumen listrik jangan diam saja dan harus bisa mandiri; b. Untuk memberdayakan konsumen agar mengerti hak dan kewajibannya (serta berani melakukan perlawanan jika ada pelanggaran hak); c. Untuk memberdayakan PT. PLN itu sendiri. Lewat kegiatan ini, PT. PLN akan ‘dipaksa’ untuk berlatih mendengar keluh kesah konsumennya; d. Menciptakan mekanisme pengaduan konsumen listrik yang lebih baku dan aksesibel bagi konsumen listrik. Ini penting, karena sampai saat ini PT. PLN belum mempunyai mekanisme komplain yang baku dan pro kepada konsumen. Akses call center 123, acapkali hang jika konsumen menghubunginya. Belum signifikannya perlawanan konsumen akibat ketidakadilan PT. PLN harus dilihat multi aspek : 1. percuma, melakukan perlawanan, karena biasanya tidak direspon dengan baik atau malah didiamkan saja. Hanya akan membuang waktu, tenaga dan tentu saja membunag uang; 81 2. konsumen tidak/belum mengerti bagaimana mekanisme komplain yang sebenarnya, karena PT. PLN belum secara optimal membangun “complaint mechanism” jika konsumen mengalami persoalan; 3. produk PT. PLN adalah produk yang monopolistic, sehingga tidak ada pilihan lain sebagai tempat untuk membeli tenaga listrik, selain PT. PLN. Ketiga persoalan diatas, melalui lembaga-lembaga perlindungan konsumen akan coba diatasi dengan mencari penyelesaian yang sedapat mungkin memuaskan kedua belah pihak. Beberapa kali YLPK mengadakan kegiatan mencari penyelesaian terhadap permasalahan yang dihadapi oleh konsumen, dan terbukti dapat menghasilkan penyelesaian sengketa yang win-win solution. YLPK mengadakan konsiliasi kepada masyarakat di Banda Aceh, lewat kegiatan Konsumen secara proaktif membantu konsumen terutama konsumen listrik. Menjadi konsumen Mandiri mulai dari mengawal sampai memfasilitasi segala keluh kesah dan persoalan ketenagalistrikan yang merugikan konsumen sampai ‘siap tempur’ bersama konsumen memperjuangkan hak-haknya di pengadilan (melalui gugatan class action). Tentu saja peluang ini seharusnya dimanfaatkan oleh konsumen listrik dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Tapi kenyataannya tidak semua konsumen listrik tahu dan bersedia berjuang untuk membela kepentingan mereka yang tertindas. Menurut Fahmiwati atau Ketua YLPK dalam konteks Konsiliasi Pelayanan Komunikasi Konsumen Listrik, ada dua persyaratan utama keberhasilan program ini, yaitu : 82 1. Adanya sikap terbuka dari PT. PLN (Persero) selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan di Indonesia. Terbuka terhadap masukan, kritikan, dan pengaduan, khususnya dari pelanggan. Konsumen/pelanggan listrik adalah subyek yang mempunyai keinginan dan harapan akan adanya perbaikan kualitas pelayanan dari PT. PLN. Hal ini hanya bisa dipahami juka ada jalinan komunikasi yang baik kepada PT. PLN; 2. Adanya kemudahan akses bagi pelanggan berkomunikasi dengan PT. PLN, untuk itu adanya keragaman medium sebagai sarana berkomunikasi antara pelanggan dengan PT. PLN menjadi suatu keharusan. Pemberdayaan Pengaduan Konsumen Mandiri sangat penting dilakukan terutama bagi konsumen listrik. Dengan adanya konsiliasi Konsumen yang dibuka dalam waktu 3 (tiga) bulan sekali oleh Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) besama-sama dengan LSM lokal, diharapkan bagi konsumen yang merasa dirugikan oleh produsen/pelaku usaha dapat memperjuangkan hak-hak mereka. Demikian juga bagi konsumen ketenagalistrikan, dengan adanya pengaduan konsumen ini hendaknya dapat dipergunakan sebagai salah satu upaya dalam menuntut hak-hak mereka kepada PT. PLN yang sampai saat ini masih sebagai pemain tunggal dalam bidang ketenagalistrikan di Indonesia. 83 B. Hak dan Kewajiban Konsumen Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Pengaturan tentang hak dan kewajiban konsumen dijumpai dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UUPK. Hak konsumen diatur dalam Pasal 4, berbunyi : “Hak konsumen adalah: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan /atau jasa; b. hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan /atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang diinginkan; c. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan /atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan /atau jasa yang dipergunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan /atau penggantian, apabila barang dan /atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.” Hak-hak konsumen yang diatur dalam Pasal 4 UUPK lebih luas daripada hakhak dasar konsumen sebagaimana yang pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat Jhon. F. Kennedy di depan Kongres pada tanggal 15 Maret 1962, sebagaimana yang dikutip oleh Ahmadi Miru & Sutarman Yodo 73, yaitu terdiri atas : a. hak memperoleh keamanan; Aspek ini terutama ditujukan pada perlindungan konsumen terhadap pemasaran barang dan /atau jasa yang membahayakan keselamatan jiwa atau diri konsumen. Dalam rangka penggunaan hal ini, pemerintah mempunyai 73 Op-Cit, 2005, hal. 38 dan 39. 84 peranan dan tanggungjawab yang sangat penting. Berbagai bentuk peraturan perundang-undangan harus ada dan telah dibentuk untuk penanggulangannya, sekalipun dibanding dengan meningkatnya produksi, karena pembangunan ribuan jenis barang dan /atau jasa dirasakan peraturan untuk menjaga keselamatan dan keamanan tersebut masih kurang. 74 b. hak memilih; Hak ini bagi konsumen sebenarnya ditujukan pada apakah ia akan membeli atau tidak membeli suatu produk barang dan /atau jasa yang dibutuhkannya. c. hak mendapat informasi; Hak yang sangat fundamental bagi konsumen tentang informasi yang lengkap mengenai barang dan /atau jasa yang akan dibelinya, baik secara langsung maupun secara umum melalui media komunikasi agar tidak menyesatkan. d. hak untuk didengar; Hak ini dimaksudkan untuk menjamin kepada konsumen bahwa kepentingannya harus diperhatikan dan tercermin dalam pola kebijaksanaan pemerintah termasuk didalamnya turut didengar dalam pembentukan kebijaksanaan tersebut. 75 Keempat hak tersebut merupakan bagian dari Deklarasi Hak-hak Asasi Manusia yang dicanagkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, masing-masing pada Pasal 3, 8, 19, 21 dan Pasal 26, yang oleh Organisasi Konsumen Sedunia (Internasional Organization of Consumers Union/IOCU) ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya, yaitu : 74 Ari Purwadi, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika, FH. UNIAR, 1992, hal. 49. 75 Ibid, hal. 50 85 a. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; b. hak untuk memperoleh ganti rugi; c. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; d. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. 76 Disamping itu, Masyarakat Eropa (Europese Ekonomische Gemeenschap atau EEG) juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut : a. hak perlindungan kesehatan dan keamanan; b. hak perlindungan kepentingan ekonomi; c. hak mendapat ganti rugi; d. hak atas penerangan; e. hak untuk didengar. Namun tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, YLKI, misalnya, memutuskan untuk menambahkan satu lagi hak sebagai pelengkap hak dasar konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga keseluruhannya dikenal sebagai panca hak konsumen. 77 Memperhatikan hak-hak yang disebut di atas, maka secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 (sepuluh) macam hak konsumen yaitu : a. hak atas keamanan dan keselamatan; maksudnya untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang dan /atau jasa yang diperolehnya, sehingga konsumen dapat terhindar dari kerugian (fisik maupun psikis) apabila mengonsumsi suatu produk; 76 77 Op.Cit, 2005, hal. 2 Op-Cit, 2006, hal.20. 86 b. hak untuk memperoleh informasi; hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai; c. hak untuk memilih; maksudnya adalah untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar. Hak memilih yang dimiliki oleh konsumen ini hanya ada jika ada alternatif pilihan dari jenis produk tertentu, karena jika suatu produk dikuasai secara monopoli suatu produsen atau dengan kata lain tidak ada pilihan lain (barang atau jasa), maka dengan sendirinya hak untuk memilih ini tidak akan berfungsi; d. hak untuk didengar; merupakan hak dari konsumen agar tidak dirugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian, dapat berupa pertanyaan tentang informasi yang kurang memadai, atau berupa pengaduan atas adanya kerugian yang dialami akibat penggunaan suatu produk atau yang berupa pertanyaan/pendapat tentang suatu kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan konsumen. Hak ini dapat disampaikan baik secara diwakilkan, misalnya melalui YLKI; e. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup; merupakan hak yang sangat mendasar karena menyangkut hak untuk hidup. Setiap konsumen berhak memperoleh kebutuhan dasar (barang atau jasa) untuk mempertahankan hidupnya (secara layak). Hak-hak ini terutama hak atas pangan, sandang, papan serta hak-hak lainnya berupa memperoleh pendidikan, kesehatan dan lain-lain; f. hak untuk memperoleh ganti rugi; maksudnya hak untuk memulihkan keadaan yang telah menjadi rusak (tidak simbang) akibat penggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen. Untuk merealisasikan hak ini tentu saja harus melalui prosedur tertentu, baik yang diselesaikan secara damai (diluar pengadilan) maupun yang diselesaikan melalui pengadilan; g. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen; hak ini penting agar konsumen dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk dan konsumen dapat menjadi lebih kritis dan teliti dalam memilih suatu produk yang dibutuhkannya; 87 h. hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat; hak ini sangat penting bagi setiap konsumen dan lingkungan. Hak untuk memperoleh lingkungan bersih dan sehat serta hak untuk memperoleh informasi tentang lingkungan ini diatur dalam Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 23 Tahun 1997; i. hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang diberikannya; hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar. Karena dalam keadaan tertentu konsumen dapat saja membayar harga suatu barang lebih tinggi daripada kegunaan atau kualitas dan kuantitas barang atau jasa yang diperolehnya. Penegakan hak konsumen ini didukung oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. j. hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut; hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk dengan melalui jalur hukum. 78 Bagaimanapun ragamnya rumusan hak-hak konsumen yang telah dikemukakan, namun secara garis besar dapat dibagi dalam tiga hak yang menjadi prinsip dasar, sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmadi Miru dalam disertasinya yang berjudul Prinsip-prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen di Indonesia, yaitu : 1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan; 2. hak untuk memperoleh barang dan jasa sesuai dengan harga yang wajar; dan 3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi. 79 Oleh karena ketiga hak/prinsip dasar tersebut merupakan himpunan beberapa hak konsumen sebagaimana yang diatur dalam UUPK, maka hal tersebut sangat esensial bagi konsumen, sehingga dapat dijadikan/merupakan prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia. 78 79 Op.Cit, 2005, hal. 40 Ibid. hal 47. 88 Selain daripada ketentuan yang mengatur tentang hak-hak konsumen di atas, UUPK juga mengatur tentang apa saja yang menjadi kewajiban dari konsumen, yang diatur dalam Pasal 5 , “Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemenfaatan barang dan /atau jasa demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang telah disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.80 Adanya kewajiban-kewajiban yang diatur dalam UUPK adalah tepat, sebab adanya kewajiban bagi konsumen dimaksudkan untuk mengimbangi adanya hak-hak dari konsumen itu sendiri termasuk untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut. C. Upaya Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) Terjadinya sengketa akibat adanya perbedaan pandangan atau pendapat antara para pihak tertentu mengenai hal tertentu. Itulah pendapat orang pada umumnya jika ditanya akan apa yang dimaksud dengan sengketa. Sengketa akan timbul apabila salah satu pihak merasa dirugikan hak-haknya oleh pihak lain, sedangkan pihak lain tidak merasa demikian. Menurut Nasution, AZ. 81, sengketa konsumen adalah sengketa antara konsumen dengan pelaku usaha (public atau privat) tentang produk konsumen, barang 80 81 Ibid, hal 47. Op-Cit, 2002, hal 221. 89 /atau jasa konsumen tertentu. Sedangkan Sidharta82 menyatakan bahwa sengketa konsumen adalah sengketa berkenaan dengan pelanggaran hak-hak konsumen. Lingkupnya mencakup semua segi hukum, baik keperdataan, pidana maupun tata negara. UUPK tidak memberikan batasan yang jelas tentang apakah yang dimaksud dengan sengketa konsumen. Kata-kata “sengketa konsumen” dijumpai pada beberapa bagian dari UUPK, yaitu : 1. Penyebutan sengketa konsumen sebagai bagian dari sebutan institusi administrasi negara yang mempunyai menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen, dalam hal ini Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Pasal 1 Butir 11 UUPK jo. Bab XI UUPK; 2. Penyebutan sengketa konsumen menyangkut tata cara atau prosedur penyelesaian sengketa terdapat pada Bab X Penyelesaian Sengketa. Pada Bab ini digunakan penyebutan sengketa konsumen secara konsisten, yaitu Pasal 45 Ayat (2) dan Pasal 48 UUPK. 83 Pemahaman pengertian “sengketa konsumen” dalam kerangka UUPK dapat kita lakukan dengan menggunakan metode penafsiran : Pertama, batasan konsumen dan pelaku usaha menurut UUPK. Berikut dikutipkan batasan keduanya :“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan /atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. (Pasal 1 Butir 2 UUPK) “Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi”. (Pasal 1 Butir 3 UUPK) 82 83 Op-Cit, 2006, hal 165. Op-Cit, 2003, hal 12., 90 Kedua, batasan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pasal 1 Butir 11 UUPK mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “sengketa konsumen”, yaitu : sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha yang dimaksud adalah : 1. setiap orang atau individu; 2. badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum. 84 Selengkapnya Pasal 1 Butir 11 berbunyi : “Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen”. Jadi sengketa sesama pelaku usaha adalah badan sengketa konsumen, karena ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPK tidak dapat digunakan untuk penyelesaian sengketa. Menurut UUPK, penyelesaian sengketa konsumen memiliki kekuasaan. Karena sejak awal, para pihak yang berselisih, khususnya dari pihak konsumen, dimungkinkan menyelesaikan sengketa itu mengikuti beberapa lingkungan peradilan, misalnya peradilan umum atau konsumen dapat memilih jalan penyelesaian di luar pengadilan. Hal mana dipertegas oleh Pasal 45 Ayat (2) UUPK Tentang Penyelesaian Sengketa, yang mengatakan : Penyelesaian Sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Menurut Pendapat Rachmadi Usman, Penyelesaian sengketa Pasal 6 Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur mengenai pilihan dalam Penyelesaian 84 Ibid, hal 20. 91 Sengketa melalui cara musyawarah para pihak yang bersengketa atau yang lazim disebut dengan istilah Alternative Dispute Resolution atau ADR. 85. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Pasal 45 ayat (2) UUPK dengan penjelasannya, maka dapat disimpulkan penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut : a. Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral. Penyelesaian sengketa konsumen melalui cara-cara damai dapat mengacu pada ketentuan Pasal 1851 sampai Pasal 1864 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengertian, syarat-syarat dan kekuatan hukum dan mengikat perdamaian (dading); b. Penyelesaian melalui pengadilan. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu kepada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku; c. Penyelesaian di luar pengadilan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Sebagaimana sengketa hukum pada umumnya, sengketa konsumen harus diselesaikan. Penyelesaian sengketa konsumen dapat dilakukan dengan menempuh salah satu dari ketiga cara penyelesaian yang ditawarkan oleh Pasal 45 Ayat (2) di atas, sesuai keinginan dan kesepakatan para pihak yang bersengketa sehingga dapat menciptakan hubungan yang baik antara perusahaan/pelaku usaha dengan konsumen. 1. Penyelesaian Sengketa Konsumen Di luar Peradilan Umum (BPSK) Untuk mengatasi berlikunya proses pengadilan di peradilan umum, maka UUPK memberikan solusi untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar peradilan umum. Pasal 45 Ayat (4) UUPK menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa 85 Rahmadi Usman, Hukum Arbitrase Nasional, Indonesia, Jakarta, 2002 hal 17. Penerbit PT.Gramedia Widiasarana 92 konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang lain yang bersengketa. Ini berarti, penyelesaian sengketa di pengadilan tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Pasal 47 UUPK menyebutkan : “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan / atau jasa mengenai tindakan tertentu untuk “menjamin” tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita konsumen” Penyelesaian sengketa di luar pengadilan Alternative Dispute Resolution (ADR) dapat ditempuh dengan berbagai cara, yang dapat berupa : arbitrase, mediasi, konsiliasi, minitrial, summary jury trial, settlement conference, serta bentuk lainnya. 86 Dari sekian banyak cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan, UUPK dalam Pasal 52 Tentang Tugas dan Wewenang BPSK, memberikan 3 (tiga) macam cara penyelesaian sengketa, yaitu : 1. Mediasi 2. Arbitrase, dan 3. Konsiliasi. Secara lengkap tugas dan wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menurut Pasal 52 UUPK, adalah : 86 Ibid, 2005, hal 233, mengutip pendapat Yahya Harahap, Beberapa Tinjauan mengenai Sistem Peradilan dan Penyelesaian Sengketa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hal 186. 93 a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen; c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; d. melaporkan kepada penyidik umumapabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam undang-undang ini; e. menerima pengadaan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan /atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap undang-undang ini; i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana yang dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; j. mendapatkan, meneliti dan /atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan /atau pemeriksaan; k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; m. menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undang-undang ini. Memperhatikan ketentuan di atas, dapat diketahui bahwa BPSK tidak hanya bertugas menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan, tetapi juga melakukan kegiatan berupa pemberian konsultasi, pengawasan terhadap pencantuman klausula baku, dan sebagai tempat pengaduan dari konsumen tentang adanya pelanggaran yang diduga dilakukan oleh pelaku usaha. Adapun keanggotaan dari BPSK terdiri dari 3 (tiga) unsur, seperti yang telah ditentukan dalam Pasal 49 Ayat (3) dan (4) UUPK, yaitu : a. Unsur pemerintah (3-5 orang), b. Unsur konsumen (3-5 orang), dan c. Unsur pelaku usaha (3-5 orang). 94 Adapun yang menjadi pembahasan di sini adalah tugas BPSK untuk menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara-cara : mediasi, arbitrase dan konsiliasi. 1. Mediasi Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak, dimana Majelis BPSK bersifat aktif sebagai pemerantara dan atau penasehat. Pada dasarnya mediasi adalah suatu proses di mana pihak ketiga (a third parly), suatu pihak luar yang netral (a neutral outsider) terhadap sengketa, mengajak pihak yang bersengketa pada suatu penyelesaian sengketa yang telah disepakati. 87 Setiap batasan tersebut, mediator berada di tengah-tengah dan tidak memihak pada salah satu pihak. Peran mediator sangat terbatas, yaitu pada hakekatnya hanya menolong para pihak untuk mencari jalan keluar dari persengketaan yang mereka hadapi sehingga hasil penyelesaian terletak sepenuhnya pada kesepakatan para pihak dan kekuatannya tidak secara mutlak mengakhiri sengketa secara final, serta tidak pula mengikat secara mutlak tapi tergantung pada itikad baik untuk mematuhinya. Keuntungan yang didapat jika menggunakan mediasi sebagai jalan penyelesaian sengketa adalah : karena cara pendekatan penyelesaian diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi maka pembuktian tidak lagi menjadi beban yang memberatkan para pihak, menggunakan cara mediasi 87 Op-Cit ,2003, hal 23. 95 berarti penyelesaian sengketa cepat terwujud, biaya murah, bersifat rahasia (tidak terbuka untuk umum seperti di pengadilan), tidak ada pihak yang menang atau kalah, serta tidak emosional. 88 2. Arbitrase Arbitrase adalah suatu proses yang mudah atau simple yang dipilih oleh para pihak secara sukarela yang ingin agar perkaranya diputuskan oleh juru pisah yang netral sesuai dengan pilihan mereka di mana keputusan mereka berdasarkan dalildalil dalam perkara tersebut.89 Kelebihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase ini karena putusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase memiliki kekuatan eksekutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak mematuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pengadilan. Menurut Rachmadi Usman, lembaga arbitrase memiliki kelebihan, antara lain : a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena prosedural dan administratif; c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut mereka diyakini mempunyai pengetahuan, pengalaman, serta latar belakang yang relevan dengan masalah yang disengketakan, disamping jujur dan adil; d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya termasuk proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; e. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak dengan melalui tata cara (prosedur) yang sederhana dan langsung dapat dilaksanakan. 90 88 89 90 Op Cit, 2005, hal 257. Op-Cit, 2002, hal 1. Ibid, hal 4-5. 96 Walaupun arbitrase memiliki kelebihan, namun akhir-akhir ini peran arbitrase sebagai cara penyelesaian sengketa di luar pengadilan digeser oleh alternative penyelesaian sengketa yang lain, karena : a. biaya mahal, karena terdapat beberapa komponen biaya yang harus dikeluarkan seperti biaya administrasi, honor arbiter, biaya transportasi, dan akomodasi arbiter, serta biaya saksi dan ahli; b. penyelesaian yang lambat, walaupun banyak sengketa yang dapat diselesaikan dalam waktu 60-90 hari, namun banyak juga sengketa yang memakan waktu yang panjang bahkan bertahun-tahun, apalagi jika ada perbedaan pendapat tentang penunjukan arbitrase serta hukum yang diterapkan, maka penyelesaiannya akan bertambah rumit. 91 3. Konsiliasi Cara ini ditempuh atas inisiatif salah satu pihak atau para pihak dimana Majelis BPSK bertugas sebagai perantara antara pihak yang bersengketa dan Majelis BPSK bersifat pasif. Dalam konsiliasi, seorang konsiliator akan mengklarifikasikan masalahmasalah yang terjadi dan bergabung di tengah-tengah para pihak, tetapi kurang aktif dibandingkan dengan seorang mediator dalam menawarkan pilihan-pilihan (options) penyelesaian suatu sengketa. Konsiliasi menyatakan secara tidak langsung suatu kebersamaan para pihak dimana pada akhirnya kepentingan-kepentingan yang saling mendekat dan selanjutnya dapat dicapai suatu penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. Penyelesaian sengketa ini memiliki banyak kesamaan dengan arbitrase, dan juga menyerahkan kepada pihak ketiga untuk memberikan pendapatannya tentang sengketa yang disampaikan para pihak. Namun pendapat dari konsiliator 91 Op Cit, 2005, hal 250. 97 tersebut tidak mengikat sebagaimana mengikatnya putusan arbitrase. Keterikatan para pihak terhadap pendapat dari konsiliator menyebabkan penyelesaian sengketa tergantung pada kesukarelaan para pihak. UUPK menyerahkan wewenang kepada BPSK untuk menyelesaikan setiap sengketa konsumen (di luar pengadilan). UUPK tidak menentukan adanya pemisahan tugas anggota BPSK yang bertindak sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator sehingga setiap anggota dapat bertindak baik sebagai mediator, arbitrator ataupun konsiliator. Oleh karena tidak adanya pemisahan keanggotaan BPSK tersebut, maka penyelesaian sengketa konsumen sebaiknya diselesaikan secara berjenjang, dalam arti kata bahwa setiap sengketa diusahakan penyelesaiannya melalui mediasi, jika gagal, penyelesaian ditingkatkan melalui konsiliasi dan jika masih gagal juga barulah penyelesaian melalui cara peradilan arbitrase. 2. Penyelesaian Sengketa Konsumen Melalui Peradilan Umum Pasal 45 Ayat (1) UUPK menyatakan bahwa setiap konsumen yang diragukan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Pasal 48 UUPK menentukan bahwa penyelesaian sengketa konsumen melalui peradilan umum mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. Adapun yang berhak melakukan gugatan terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha diatur dalam Pasal 46 Ayat (1) UUPK, yaitu : 98 (1). a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan; b. sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu yang berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya; d. pemerintah dan /atau instalansi terkait apabila barang dan /atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan /atau korban yang tidak sedikit. (2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud pada Ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf diajukan kepada peradilan umum. Pengaturan yang diberikan oleh Pasal 46 Ayat (1) UUPK maksudnya adalah : a. bahwa secara personal (gugatan seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan) sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a Pasal 46 Ayat (1) UUPK, penyeselesaian sengketa konsumen dapat dilakukan melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa konsumen yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang ditentukan dalam UUPK atau melalui peradilan di lingkungan peradilan umum. b. sedangkan gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana yang dimaksud huruf b, huruf c, dan huruf d Pasal 46 Ayat (1) UUPK, penyelesaian sengketa konsumen diajukan melalui peradilan umum. Penyelesaian melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku saat ini. 99 Mengenai gugatan sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama sebagaimana yang diatur huruf b Pasal 46 Ayat (1) UUPK, dalam Penjelasan Pasal 46 Ayat (1) huruf b UUPK, ditegaskan bahwa : “Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau Class Action.” “Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benarbenar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum.” Penuntutan penyelesaian sengketa konsumen dengan mengajukan gugatan class action melalui peradilan umum telah dibolehkan sejak keluarnya UUPK yang mengatur class action ini di Indonesia. Tentu saja hal ini merupakan angin segar yang diharapkan akan membawa perubahan terhadap perlindungan konsumen di Indonesia khususnya perlindungan konsumen di bidang ketenagalistrikan. Gugatan class action akan lebih efektif dan efisien dalam menyelesaikan pelanggaran hukum yang merugikan secara serentak atau sekaligus dan massal terhadap orang banyak. 92 Dimana gugatan ini dapat dimanfaatkan oleh konsumen ketenagalistrikan yang merasa hak-haknya dirugikan oleh PT. PLN selaku Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan di Indonesia, karena pemadaman listrik yang sporadic dan tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang dapat mengakibatkan rusaknya berbagai peralatan rumah tangga. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya dimungkinkan apabila : 92 Lihat Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002, Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Bagian Menimbang huruf C 100 a. para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, atau b. upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. 93 Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan hukum acara baik secara perdata, pidana maupun melalui hukum administrasi negara, membawa keuntungan dan kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya. Antara lain tentang beban pembuktian dan biaya pada pihak yang menggugat. Keadaan ini sebenarnya lebih banyak membawa kesulitan bagi konsumen jika berperkara di peradilan umum. Adapun kendala yang dihadapi konsumen dan pelaku usaha dalam penyelesaian sengketa di pengadilan adalah : 1. 2. 3. 4. 5. penyelesaian sengketa melalui pengadilan sangat lambat; biaya perkara yang mahal; pengadilan pada umumnya tidak responsif; putusan pengadilan tidak menyelesaikan masalah; kemampuan para hakim yang bersifat generalis. 94 Diantara sekian banyak kelemahan dalam penyelesaian sengketa melalui pengadilan, yang termasuk banyak dikeluhkan para pencari keadilan adalah lamanya waktu penyelesaian perkara, karena pada umumnya para pihak mengharapkan penyelesaian yang cepat terhadap perkara mereka. Usaha-usaha penyelesaian sengketa konsumen secara cepat terhadap gugatan atau tuntutan ganti kerugian oleh konsumen terhadap produsen/pelaku usaha telah 93 94 Op-Cit, 2005, hal 234. Ibid, hal 237. 101 diatur dalam UUPK yang memberikan kemungkinan setiap konsumen untuk mengajukan penyelesaian sengketanya diluar pengadilan, yaitu melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), yang dalam undang-undang putusannya dinyatakan final dan mengikat, sehingga tidak dikenal lagi upaya hukum banding dan kasasi dalam BPSK tersebut (Pasal 54 Ayat (3) UUPK). Namun ketentuan yang menyatakan bahwa putusan BPSK adalah bersifat final dan mengikat ternyata bertentangan dengan yang diatur dalam Pasal 56 Ayat (2) UUPK yang memberikan kesempatan pada para pihak yang bersengketa di BPSK untuk mengajukan keberatan atas putusan BPSK yang telah diterima kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 hari kerja setelah meneriam pemberitahuan putusan tersebut. 102 BAB IV HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN PERLINDUNGAN TERHADAP HAK-HAK KONSUMEN LISTRIK DI RANTING DEWANTARA KABUPATEN ACEH UTARA A. Hambatan/Kendala dari Pelaku Usaha (PT. PLN) Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan Pasal 7 ayat (1) disebutkan : usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan Sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan, PLN mendapat tugas dari negara untuk menyediakan listrik di seluruh Indonesia. Dengan demikian jika terjadi pemadaman atau kekurangan pasokan listrik, maka PLN lah yang paling bertanggung jawab. 95 Memang berat amanat yang ditanggung PLN, sebagai satu-satunya perusahaan listrik di Indonesia (monopoli), PLN diharuskan secara berkesinambungan menyediakan pasokan tenaga listrik dengan mutu dan keandalan yang bagi semua konsumennya. Mutu dan keandalan penyediaan tenaga listrik sangat tergantung pada kapasitas pembangkit dan sistem jaringan yang beroperasi, di mana kapasitas yang cukup diharapkan dapat menjamin kelangsungan pasokan listrik 95 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 17. 103 kepada semua pelanggannya. Beberapa permasalahan terkait dengan penyediaan pasokan tenaga listrik oleh PLN di tanah air, 96 antara lain : 1. Penempatan pembangkit yang kurang optimal; 2. Terpusatnya pembangkit di suatu tempat; 3. Kurangnya pemanfaatan sumber daya energi setempat; 4. Banyak kontrak jual beli Bahan Bakar Minyak (BBM) antara PLN dengan Pertamina yang tidak adil. Misalnya kasus pembelian BBM di Pontianak, dimana PLN membeli 100 (seratus) ton BBM kepada Pertamina, namun hanya 90 (sembilan puluh) ton yang direalisasikan kepada PLN. Sisanya 10 (sepuluh) ton ‘didiamkan’ begitu saja; 5. Beberapa sistem ketenagalistrikan mengalami kekurangan pembangkitan dimana beban puncak lebih besar dari daya maupun sistem, dan hampir semua sistem akan mengalami hal serupa bila unit pembangkit terbesar keluar dari sistem; 6. Sistem pembangkitan untuk wilayah yang masih tradisional di Sumatera Barat (Sumbar) dan Riau yang masih mengandalkan PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel), kualitas energi listrik yang diterima konsumen masih jauh di bawah standar yang berlaku (sekitar 150-180 volt) disebabkan jaringan distribusi yang sangat panjang. 96 Mai 2009 Berdasarkan wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 104 Selain masalah yang dihadapi di atas berkenaan dengan permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan pasokan listrik dengan mutu dan keandalan yang baik oleh PT. PLN kepada konsumennya, ternyata dalam penyediaan pasokan listrik yang cukup kepada masyarakat/konsumennya PT. PLN juga menghadapi beberapa masalah terkait penyediaan pasokan listrik ini, yaitu : 1. Perbandingan jumlah karyawan dengan pelanggan/konsumen yang dilayani, sudah ideal atau belum; 2. Tingkat kebocoran/kehilangan/susut energi listrik yang dihasilkan PT. PLN, baik secara tekhnis maupun non tekhnis. Losses atau susut dalam industri ketenagalistrikan dikategorikan menjadi dua, yakni tekhnis dan non tekhnis. 1. Susut tekhnis dapat terjadi dalam tahap pembangkitan, jaringan maupun distribusi. Banyak faktor yang menyebabakan susut tekhnis antara lain umur kabel listrik yang sudah tua, sambungan yang tidak sempurna dan lain-lain. 2. Susut non tekhnis, di lapangan dijumpai dalam bentuk illegal connection atau pencurian listrik yang dilakukan konsumen, baik oleh konsumen listrik rumah tangga, konsumen listrik industri, maupun penyambungan illegal untuk keperluan penerangan jalan umum. 97 Dalam konteks kenaikan tarif listrik, tinggi rendahnya angka susut amatlah penting. Karena hal ini terkait secara financial dengan biaya atau pendapatan yang hilang dari PLN. Ranting Dewantara sekitar 60 % (enam puluh persen), namun pada Mei tahun 2009 angka losses yang dialami PT. PLN meningkat secara senifikan 98 97 Ibid, hal 70 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri (Manager) PT. PLN Ranting Dewantara, pada tanggal 18 Mei 2009 98 105 Setiap satu persen losses setara dengan kehilangan pendapatan sebesar Rp. 7.474.388.230 selama 3 (tiga) bulan yaitu Januari, Februari dan Maret 2009 . Dengan berpatokan pada angka losses, maka tingkat losses PLN telah mengakibatkan PT. PLN kehilangan pendapatan sebesar Rp. 7,4 Milyar lebih. Sebuah nilai nominal yang tidak kecil, yang setara dengan jumlah subsidi yang diberikan pemerintah kepada PLN. 99 Dengan demikian jika PT. PLN dapat menekan angka losses sampai batas 10 % (sepuluh persen) akan ada peningkatan pendapatan bagi PT. PLN, sehingga dapat berakibat kepada : 1. PT. PLN tidak perlu menaikkan harga jual/tarif dasar listrik kepada konsumen, kalaupun terpaksa naik, besarannya tidak seperti kenaikan tarif dasar listrik selama ini; 2. Pemerintah tidak perlu lagi memberikan subsidi kepada PT. PLN, sehingga dana subsidi tersebut bisa dialokasikan ke sektor lain; 3. PT. PLN dapat melakukan investasi baru di bidang ketenagalistrikan, khususnya penambahan jumlah pembangkit yang akan menambah jumlah pasokan energi listrik, yang selanjutnya dapat meningkatkan cakupan pelayanan kepada konsumennya. Losses non tekhnis (pencurian) adalah fenomena khas Indonesia, sebab jika bicara losses di beberapa negara, pengertiannya adalah losses tekhnis. Namun tidak demikian di Indonesia. Untuk itu, cara menurunkan losses juga dengan cara khas Indonesia, yakni : 99 Ibid , hal 71 106 1. Penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku pencurian listrik; 2. Secara internal, PT. PLN harus melakukan pembersihan terhadap oknum-oknum yang terlibat didalam berbagai kasus pencurian listrik; 3. Partisipasi masyarakat, karena hampir tidak mungkin PT. PLN dapat melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan pencurian listrik; 4. Perlu adanya program bersama antara pemerintah, PT. PLN dan lembaga konsumen dalam bentuk pendidikan konsumen, bahwa pencurian listrik pada akhirnya akan mengakibatkan kerugian konsumen itu sendiri.. 100 Menurut data dari PT. PLN Ranting Dewantara 101 seringnya pemadaman aliran listrik yang dialami oleh konsumen listrik adalah akibat krisis listrik. Di mana pemadaman listrik terpaksa dilakukan disebabkan karena beberapa faktor, antara lain 1. Tidak adanya penambahan mesin pembangkit listrik yang baru sejak tahun 1995; 2. Tidak adanya keseimbangan antara supply nandmdemand (persediaan daya listrik dengan permintaan konsumen baru) dengan pertumbuhan beban kemampuan penyediaan listrik; 3. Seringnya dilakukan pemeliharaan dan perbaikan mesin pembangkit listrik; 4. Masalah tingginya harga BBM dan kelangkaan pasokan BBM; 5. Macetnya pembayaran rekening listrik oleh pelanggan/konsumen. Adanya permasalahan lain yang juga dirasakan sebagai penghambat terhadap perlindungan hak-hak konsumen listrik adalah kurangnya akses informasi dari PLN terhadap konsumen. Dapat dikatakan bahwa PLN belum berhasil memberdayakan konsumen, konsumen nyaris tidak merasakan apa yang dialami PLN. Misalnya menyangkut pemadaman bergilir. Hal itu dilakukan karena adanya krisis pasokan 100 Ibid,, hal 73 Sumber berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Zulfitri, Manager PT. PLN Ranting Dewantara, pada tanggal 18 Mei 2009 101 107 energi listrik. Semestinya PLN menjelaskan secara jernih dan menyeluruh tentang permasalahan konkrit yang dihadapinya, sehingga konsumen dapat merasakan kesulitan yang dialami oleh PLN. Hal ini terkait dengan hak atas informasi sebagaimana yang dijamin dalam UUPK. Faktor dari konsumen itu sendiri sejauh mana tingkat pendidikan atau pengetahuan karena masing-masing konsumen memiliki cirri disesuaikan dengan latar belakang budaya, pendidikan dan pengaruh sosial. Perbedaan tingkat pengetahuan berpengaruh pada cara konsumen merespons berbagai produk barang dan jasa yang beredar dimasyarakat, ketika dihadapkan dengan banyak pilihan dari harga sampai mutu serta cara penyampaian informasi yang sangat menarik tapi belum tentu substansi dapat dipertanggungjawabkan dan konsumen lebih memilih diam dari pada melapor kepada PT. PLN atau yang menangani perlindungan konsumen listrik. Keterbatasan penyediaan pasokan arus listrik dari PT PLN kepada konsumen/pelanggan dengan pemakaian lebih banyak sedangkan pasokan terbatas atau tidak seimbang maka pemadaman listrik sering terjadi atau pemadaman bergilir antara satu daerah dengan daerah yang lain dan penyediaan pasokan arus listrik untuk wilayah Aceh bersumber dari Sumatra Utara. Sebagian besar konsumen akan tetap membutuhkan listrik dari PT. PLN walaupun setiap saat mati lampu. Hal tersebut sebenarnya membawa banyak manfaat bagi konsumen dari pada menghidupkan genset dengan biaya dan resiko yang tinggi. 108 B. Hambatan/Kendala dari Pelanggan/Konsumen Listrik Anggapan perusahaanlah yang dibutuhkan dan bukan perusahaan yang membutuhkan pelanggan adalah anggapan yang keliru. Sebab sesungguhnya untuk menjaga kesetiaan pelanggan, paradigma salah itu perlu ditinggalkan. Perusahaan publik harus merasa bahwa ialah yang membutuhkan pelanggan, hingga akan muncul sikap rendah hati dan siap melayani. Maka, jika saja perusahaan dapat memberikan pelayanan yang baik dan memuaskan, pastilah pelanggan akan senang. Dalam hal pemberian pelayanan kepada pelanggan/konsumen, maka kondisinya secara faktual ada 3 kemungkinan alternatif yang dapat terjadi, yaitu : 1. bila pelayanan yang diberikan perusahaan mengecewakan pelanggan, alamat pasti konsumen akan menceritakan pengalaman buruknya kepada orang lain; 2. kalau pelayanan yang diberikan itu baik, maka itu sesuatu yang wajar dan pantas, sebab itu sudah merupakan kewajiban perusahaan. Manajemen pelayanan seimbang dan sepadan dengan jumlah pembayaran yang ditunaikan pelanggannya, hingga kedua belah pihak sama-sama senang; 3. Kualitas pelayanan sama dengan harapan pelanggannya, lazimnya pelanggan dengan senang hati akan menyebarluaskan pada orang lain bagaimana pelayanan yang baik itu. Pada keadaan ini kadangkala pelanggan tidak mempersoalkan besaran uang yang dikeluarkan, sebab pelanggan memperoleh kepuasan dari pelayanan yang diberikan. Selayaknyalah perusahaan publik seperti PT. PLN juga menerapkan prinsipprinsip pelayanan yang mengutamakan kepuasan pelanggan. Sebab 109 pelanggan/konsumen sudah membayar kewajiban secara tunai kepada PT. PLN dengan demikian juga berhak mendapatkan apa yang menjadi hak-hak mereka. Sekalipun tidak adanya pesaing berat PT. PLN dalam ketenagalistrikan di Indonesia (Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan belum mengatur tentang kompetensi bagi penyediaan tenaga listrik di Indonesia) bukan berarti PT. PLN dapat semaunya mengabaikan pelanggan/konsumennya terutama pelanggan listrik rumah tangga. Pelanggan inilah secara kuantitas dan kualitas lebih unggul dari pelanggan PT. PLN lainnya. Jadi selayaknya PT. PLN memberikan perhatian dan pelayanan yang lebih terhadap pelanggan golongan ini. Menurut Paul Sutaryono, ada kiat-kiat tertentu yang dapat dilakukan PLN untuk memuaskan pelanggannya, yaitu : 1. temu pelanggan (costumer gathering), saat ini sudah banyak perusahaan publik yang menyelenggarakan aktivitas yang dinamakan pelanggan. Tidak perlu menunggu pengaduan pelanggan muncul baru ada tindakan.PT PLN sudah semestinya bertindak aktif menjemput keluhan pelanggan. Temu pelanggan akan mempertemukan keluhan pelanggan dengan solusi yang tepat, cepat dan akurat. Langkah proaktif sesungguhnya merupakan langkah tanggung jawab, dengan demikian tidak ada lagi jurang antara PLN dengan pelanggannya; 2. manajemen relasi pelanggan (customer relationship management). Temu pelanggan tidak dapat disangkal sebagai salah satu langkah strategis untuk mencapai relasi yang serasi, sejajar dan harmonis antara PLN dengan pelanggannya. Karena relasi yang setara, seimbang dan harmonis semacam itu akan menciptakan apa yang disebut jalinan pelanggan (customer bonding) yang penuh manfaat; 3. kesetiaan pelanggan (consument loyality). Hal ini penting, mengingat selama ini tidak ada pesaing berat dalam bisnis intinya, PLN tentu merasa di atas angin. Karenanya PLN tidak lalu berpuas diri untuk kemudian melalaikan faktor kesetiaan konsumennya. Sesungguhnya sasaran akhir dari kegiatan pemasaran bukan lagi kepuasan pelanggan, tetapi terletak kepada kesetiaan pelanggan. 102 102 Op-Cit.,2004, hal 75-76. 110 Jika saja kepuasan pelanggan telah menjadi prioritas utama dalam pelayanan PLN kepada pelanggannya, tentu saja tidak akan timbul berbagai complain dari pelanggan/konsumennya. Complain konsumen merupakan wujud dari rasa ketidakpuasan yang dialami konsumen terhadap bentuk jasa dan pelayanan yang telah diberikan, yang tentu saja jauh dari kata memuaskan. Untuk itulah, masyarakat/konsumen sangat berharap, setiap keluhan mereka mendapat tanggapan dan tindakan yang layak dari PLN. Dalam hubungan antara produsen/pelaku usaha dengan konsumen, banyak hambatan-hambatan yang ditemui dalam mewujudkan keserasian dan keharmonisan hubungan tersebut. Tidak terkecuali hubungan antara pelanggan/konsumen listrik dengan PLN. Banyaknya hambatan yang ditemui dalam pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak konsumen, selain yang berasal dari PT. PLN juga terdapat dari masyarakat/pelanggan/konsumen itu sendiri. Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan konsumen lebih memilih sikap ‘diam’ daripada bersusah payah menegakkan hak-hak mereka yang tertindas oleh pelaku usaha. Hal ini terbukti dari wawancara yang telah dilakukan terhadap beberapa informan (konsumen listrik golongan rumah tangga). Dengan berbagai alasan, ternyata anggapan mereka bahwa berjuang melawan perusahaan besar seperti PLN adalah usaha yang membuang waktu, tenaga dan uang. Alasan inilah yang akan dicoba dirubah oleh lembaga swadaya perlindungan konsumen. Menurut data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan informan-informan yang terkait dengan masalah ini, ternyata hambatan terbesar yang ditemui dalam 111 mewujudkan perlindungan terhadap konsumen listrik di kota Banda Aceh ini adalah kurangnya kesadaran konsumen itu sendiri dalam memperjuangkan tegaknya hak-hak mereka. Mereka lebih memilih ‘mendiamkan’ masalah daripada mencari masalah. Hal ini salah satu penyebabnya adalah ketidaktahuan konsumen, jalan apa yang harus ditempuh untuk menuntut hak-hak mereka yang diabaikan. Karena itu, di sini dibutuhkan peran yang lebih aktif lagi dari setiap lembaga pemberdayaan perlindungan konsumen yang ada di kota. Peran lembaga swadaya perlindungan konsumen memang memiliki andil yang besar dalam memperjuangkan terwujudnya perlindungan terhadap hak-hak konsumen listrik di kota Banda Aceh. Kepercayaan diri (confidence) yang kuat, harus dimiliki oleh konsumen listrik, sehingga mereka berani memperjuangkan hak-hak mereka tersebut ketika hak-hak itu dilanggar. Peran aktif lembaga swadaya perlindungan konsumen memang sangat diperlukan untuk menumbuhkan rasa percaya diri konsumen listrik terhadap hak-hak mereka. Konsumen listrik yang didampingi oleh lembaga swadaya perlindungan konsumen diharapkan mampu membela dan memperjuangkan hak-hak mereka yang diabaikan dengan membuat pengaduan/laporan dan gugatan terhadap PLN, baik melalui jalan penyelesaian di BPSK, maupun di pengadilan negeri melalui gugatan class action. Kedua jalan penyelesaian yang ditempuh ini tidak dipungut bayaran dari konsumen. 103 103 Berdasarkan wawancara dengan Ibu Fahmiwati, Ketua YLPK Banda Aceh, pada tanggal 23 Mei 2009. 112 Dengan peran aktif dari lembaga-lembaga perlindungan konsumen yang ada di kota Banda Aceh, diharapkan dapat meningkatakn pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat/konsumen listrik, sehingga masyarakat/konsumen listrik yang dirugikan oleh PT. PLN bersedia dan mampu memperjuangkan hak-hak mereka, baik secara personal (perorangan) maupun bersama-sama dengan masyarakat/konsumen listrik lainnya yang bernasib sama. Faktor salah satunya pengaruh globalisasi yang menyebabkan konsumen diberikan banyak pilihan, pelaku usaha semakin dipacu untuk mempruduksi barang/jasa yang sesuai dengan kebutuhan dan diminati oleh masyarakat namun apakah sudah memperhatikan kualitas bahan produksi yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, selain itu pelayanan kepada konsumen apakah juga sudah optimal. Konnsumen senantiasa berada dalam posisi yang lemah dan dirugikkan. Perlu ada aturan yang dapat menyembatani kepentingan pelaku usaha dan kepentingan konsumen karena dua pihak tersebut bagai dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, saling membutuhkan tidak mengambil keuntungan kemudian dibiarkan merugi tidak ada bentuk pertanggungjawaban dan perlindungan bagi pihak yang dirugikan dan di Kabupaten Aceh Utara belum terbentuk lembaga/instansi dan perannya perlindungan konsumen antara lain 1. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN); 2. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM); 3. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) atau sejenisnya;. 4. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). 113 C. Upaya Mengatasi Hambatan Dalam mengatasi hambatan konsumen listrik harus memenuhi ketentuan sebagai berikut : 1. Menyediakan tenaga listrik terus menerus/berkesenambungan dan memberikan pelayanan sebaik-baiknya kepada konsumen serta memperhatikan keselamatan kerja dan keselamatan umum. Peraturan pemerintah nomor 3 tahun 2005 ditegaskan yang menjadi hak dan kewajiban masyarakat dalam pemanfaatan tenaga listrik yang diatur oleh peraturan pemerintah nomor 10 tahun 1989 yang tidak dirubah oleh peraturan pemerintah tetap berlaku, seperti apa yang ditentukan dalam Pasal 26, Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1989 tentang penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik : Masyarakat didaerah Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum yang bersangkutan. Masyarakat yang telah mendapat tanaga listrik mempunyai hak untuk : a. Mendapat pelayanan yang baik; b. Mendapat tanaga listrik secara terus menerus dengan mutu dan keandalan yang baik; c. Mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga listrik. Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik mempunyai kewajiban : a. Melaksanakan mengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat pemanfaatan tenaga listrik; b. Menjaga dan memelihara keamanan instalasi ketenagalistrikan; c. Menggunakan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya. Masyarakat yang telah mendapat tenaga listrik bertanggung jawab karena kesalahannya mengakibatkan kerugian bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan umum. 114 2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan harus direvisi sebab Undang-undang tersebut diatas tidak memihak kepada konsumen dan posisi konsumen lemah. 3. Pemerintah daerah Kabupaten Aceh Utara harus berupaya membentuk wadah hukum untuk perlindungan konsumen bila pihak pelaku usaha tidak memenuhi kebutuhan konsumen dan konsumen dapat melapor ke Badan Perlindungan Konsumen atau sejenisnya. 115 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Analisis Terhadap Perlindungan Hukum Konsumen Listrik: Studi pada PT. PLN Ranting Dewantara, Kabupaten Aceh Utara, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Secara struktural perlindungan konsumen listrik masih sangat lemah. Karena Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan tidak memuat pengaturan tentang hak-hak konsumen listrik. Belum maksimalnya penegakan hukum, serta belum melembaganya lembaga penyelesaian sengketa konsumen listrik yang lebih akomodatif terhadap kepentingan konsumen, membuat atmosfir perlindungan hukum konsumen listrik masih jauh dari memuaskan. Selain itu kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang memiliki andil besar terhadap kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) karena 60 % pembangkit tenaga listrik milik PT. PLN menggunakan energi BBM (solar) sebagai pembangkit energi utamanya sehingga mengakibatkan harga jual kepada konsumen listrik semakin tinggi, jauh dari hak konsumen untuk mendapatkan listrik dengan harga yang wajar. 2. Dalam memperjuangkan hak-hak konsumen listrik yang diabaikan oleh PT. PLN, maka konsumen listrik dapat mengambil langkah-langkah untuk membela hakhak mereka tersebut, dengan upaya-upaya sebagai berikut : 116 a. Membuat laporan/pengaduan (secara tertulis dan tidak tertulis) kepada lembaga swadaya perlindungan konsumen yang ada di kota Banda Aceh melalui Bulan Pengaduan Konsumen dan dibentuknya lembaga. * b. Mengajukan permohonan (secara tertulis atau lisan) kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kota Banda Aceh terhadap pelaku usaha/PLN. Dimana sudah menjadi kewenangan dari Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk menyelesaikan sengketa yang timbul antara konsumen dan pelaku usaha. Cara penyelesaian yang dipilih dalam meyelesaikan sengketa konsumen listrik biasanya adalah arbitase, namun tidak tertutup kemungkinan melalui cara yang lainnya (mediasi). c. Mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri. Kenyataannya, gugatan class action senantiasa mengalami kegagalan memperjuangkan kepentingan konsumen listrik di pengadilan disebabkan karena sampai sekarang hakim tidak berani melakukan terobosan hukum, dan terlampau dominannya kekuasaan PT. PLN di bidang ketenagalistrikan (monopoli). 3. Hambatan/kendala yang ditemui dalam pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak konsumen listrik, ada yang berasal dari pelaku usaha/PLN maupun dari pelanggan/konsumennya. a. Dari PT. PLN permasalah timbul antara lain karena keterbatasan penyediaan pasokan energi listrik (krisis listrik), kurangnya informasi * Yang permanen, antara lain : 1. Wawancara dengan Ibu Fahmiwati Ketua YLPK Banda Aceh,. Pada tanggal 23 Mei 2009. 117 terhadap pelanggan, kurang berpihaknya peraturan di bidang ketenagalistrikan terhadap kepentingan pelanggan /konsumen, dan lain sebagainya. b. Hambatan/kendala yang dihadapi oleh konsumen listrik antara lain adalah kurangnya tingkat pengetahuan konsumen listrik terhadap perlindungan hak-hak mereka yang dijamin oleh undang-undang serta kurangnya informasi yang mereka terima tentang upaya penyelesaian sengketa yang timbul dari pelanggaran yang dilakukan pihak PLN terhadap hak-hak mereka tersebut. Disini, peran serta yang lebih besar dari lembaga swadaya perlindungan konsumen sangat diharapkan agar konsumen dapat menjadi lebih percaya diri (considence) dan mampu memperjuangkan hak-hak mereka yang diabaikan. B. Saran 1. Hendaknya pemerintah mengatur secara tegas dan lebih rinci tentang analisis terhadap perlindungan Hukum konsumen listrik dalam Undang-undang Ketenagalistrikan yang sedang dirancang sekarang ini. Dan diharapkan secepatnya dapat selesai dan diberlakukan, untuk menggantikan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan yang kembali berlaku sekarang ini, menggantikan Undang-undang Ketenagalistrikan yang telah dicabut. Nomor 20 Tahun 2002 tentang 118 2. Hendaknya konsumen listrik berani memperjuangkan kepentingan hak-hak mereka yang dilanggar oleh PT. PLN. Kesadaran Pemerintah tentang perlindungan hak-hak konsumen sudah menjadi kewajiban kita semua agar hakhak mereka yang dilindungi oleh undang-undang (UUPK) dapat dinikmati sepenuhnya oleh konsumen (listrik) dengan cara memberikan penyuluhan dan informasi, program-program pembelajaran konsumen dan peran aktif lembaga swadaya perlindungan konsumen dalam memberikan bimbingan yang tepat kepada masyarakat/konsumen (listrik). Penyelesaian sengketa konsumen yang timbul dapat diselesaikan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun melalui Pengadilan Negeri. Namun yang terbaik penyelesaian sengketa konsumen listrik ini adalah melalui cara arbitrase dan atau mediasi di BPSK. 3. Hendaknya berbagai hambatan/kendala yang dihadapi PT. PLN sekarang ini dapat segera diatasi, terutama masalah krisis listrik. Agar pemadaman listrik yang sering dilakukan PT. PLN terhadap pelanggan/konsumennya tidak terulang kembali. Dan konsumen listrik betul-betul dapat menikmati hak-hak mereka terutama hak untuk mendapatkan listrik dengan mutu dan keandalan yang baik secara terus-menerus dan berkesinambungan dengan harga yang wajar sebagaimana yang dijanjikan oleh undang-undang Nomor 15 Tahun 1985 Tentang Ketenagalistrikan 119 DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Ali, Ahmad, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Chandra Pratama, Jakarta 1996 Ali, Chaidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1984 Badrulzaman, Mariam Darus, Pembentukan Hukum Nasional (Kumpulan Karangan), Alumni Bandung 1981. ______________, KUH Perdata Buku III, Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Alumni, Bandung, 1983. ______________, Menuju Hukum Perikatan Nasional, FH-USU, Medan 1986. ______________, Perjanjian Kredit Bank, Alumni Bandung, 1991. Dahlan dan Sanusi Bintang, Pokok-pokok Hukum Bisnis, Citra, Jakarta, 1996 Faisal, Sanafiah, Format-format Penelitian Sosial, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999. Fuady, Munir, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku Keempat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Halim, A. Ridwan, Hukum Perdata Dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta 1990. Hantijo, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta Istiqomah, 1982 HS, Salim, Penganta Hukum Perdata Tertulis (BW), Cetakan II, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2003. ______________, Perkembangan Hukum Jaminan Fidusia di Indonesia, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2005 Joko, Subagyo P. Metode Penelitian Dalam Teory dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 120 Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. K. Susilo, Zumrotin, Penyambung Lidah Konsumen, Puspa Swara, Jakarta 1996. Kamelo, Tan,. Perkembangan Lembaga Jaminan Fidusia, Suatu Tinjauan Putusan Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi PPs-USU Medan, 2002 Kadir, Abdul dan Ariono, Masalah ketenagalistrikan di Indonesia (Kumpulan Artikel), Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perbaikan Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004. Kristiyanti, Siwi Tri Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Lubis M. Solly, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar, Bandung, 1994. Lubis, Muhammad Yamin, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, 2008 Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1990 & 1994 . ______________, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993 Miru, Ahmadi & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004. ______________, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988. Muhammad, Abdul Kadir, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993 Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Penerbit Diadit Media, Cetakan Kedua, Jakarta, 2002 121 Projodikoro Wirjono, R, Asas-asas Hukum Perjanjian, Alumni Bandung, 2001. ______________, Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu, Sumur, Bandung, 1991. Ritzer, George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (terjemahan), Alimandan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1992. Rasyidi, Lili dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Maju, 2003. Sebagai Suatu Sistem, Bandung, Mandar Satrio J., Hukum Perikatan, Periatan Pada Umumnya, Alumni Bandung, 1993. Supranto J, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Sjahdeni, Sutan Remy, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1997 Sunggono, Bambng, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1991. Syawali, Husni dan Neni Sri Imaniyati, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2000. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Cetakan ke Empat Intermasa, 1979 ______________, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti , Bandung, 1995. Sumitro, Ronny Hanitijo, Metodolog Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990. Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1999.Grasindo, Jakarta, 1999. ______________, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit PT. Grasindo, Jakarta, 2000. ________________, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Penerbit PT. Gresindo, Jakarta, 2006 Soekamto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, 1991. 122 ______________, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982 ______________, Peneitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007 Sudaryatmo, Hukum dan Advokasi Konsumen, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. ______________, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kedua, Penerbit Diadit Media, 2002. Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian, Liberty, Yokyakarta, 2003 Sutarno, Aspek-aspek hukum perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2005 Subekti, R., Hukum Perjanjian, Cetakan ke Empat Intermasa, 1979 ______________, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995 Shofie, Yusuf, Perlindungan Konsumen da Instrumen-instrumen Hukumnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. ______________, Penyelesaian Sengketa Konsumen Menurut Undang-undang Perlindungan Konsumen, (UUPK) Teori dan Praktek Penegakan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003 Tulus, Abadi dan Sudaryatmo, Memahami Hak dan Kewajiban anda sebagai Konsumen Listrik, Penerbit Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan Koalisi Masyarakat sipil untuk Perbaikan Pelayanan Listrik, Jakarta, 2004. Usman Rahmadi, Hukum Arbitrase Nasional, Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 2002. ______________, Hukum Ekonomi dalam Dinamika, Cetakan Pertama, Jakarta, Penerbit Djambatan, 2000. ______________, Hukum Jaminan Keperdataan, Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Wilamarta, Misahardi, Hak Pemegangh Saham Minoritas Dan.Nasution Az, Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar), Penerbit Diadit Media, Cetakan Kedua, Jakarta, 2002 123 Wuisman JJ, M, dalam M. Hisyam, Penelitian Ilmu-ilmu Sosial, Asas-asas, FE. UI, Jakatra, 1996. Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. 2. PERUNDANG-UNDANGAN BW / KUHPerdata. Cetakan. 20. Jakarta. Pradnya Paramita, 1986. Peraturan Perundang-Undangan Nomor 15, Tahun 1985, Tentang Ketenagalistrikan. Peraturan Pemerintah Nomor 10, Tahun 1989, Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. Peraturan Perundang-undangan, Nomor 8 Tahun 1999, Tentang Perlindungan Konsumen. Peraturan Perundang-Undangan Nomor 30, Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Peraturan Perundang-Undangan Nomor 20, Tahun 2002, Tentang Ketenagalistrikan. Peraturan Pemerintah, Nomor 3, Tahun 2005, Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1989, Tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik. Peraturan Presiden Nomor 5, Tahun 2006, Tentang Kebijakan Energi Nasional. Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata (KUHPerdata). Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 104 Tahun 2003 tentang Harga Jual Tenaga Listrik Tahun 2004 Yang Disediakan Oleh Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara, Peraturan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 02.P/451/M.PE/1991 tentang Hubungan Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan Untuk Umum dengan Masyarakat. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 tentang Pelaksanaan Tugas dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen. 124 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor : 11412/39/600.2/2002 tentang Indikator Mutu Pelayanan Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Umum Yang Disediakan Oleh PT. PLN (Persero). Keputusan Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Nomor 1612/43/600.3/2003 tentang Tata Cara Pengurangan Tagihan Listrik Akibat Tidak Terpenuhinya Standar Mutu Pelayanan Pada Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perusahaan Listrik Negara Untuk Lama Gangguan, Jumlah Gangguan, dan atau Kesalahan Pembacaan Kwh Meter. 3. Koran, Brosur, dan Internet Harian, Medan Bisnis. Pada tanggal 08 Januari 2009. Harian, Serambi Pase, NAD. Pada tanggal 19 Maret 2009. Brosur : Profil Perusahaan PT. PLN, Listrik Untuk Kehidupan Yang Lebih Baik. Purwadi, Ari, Aspek Hukum Perdata Pada Perlindungan Konsumen, Majalah Yudika, FH UNAIR, 1992. Henny Saida Flora, Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Dalam Jual Beli Rumah Melalui Pengembang (Studi di Kota Medan), Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2005. 125 Daftar Pertayaan Pejabat PT. PLN Pertayaan 1. Kenapa setiap hari PT. PLN sering mematikan lampu ? 2. Mengapa istrik dicabut/ atau diputuskan bila belum bayar ? 3. Dimana dapat ditemui pergolongan pemakaian konsumen listrik dan dimana diatur serta berdasarkan apa penggolongannya ? 4. Undang-undang memberikan ganti kerugian kepada konsumen listrik, dalam hal apa saja ganti kerugian tersebut diberikan, berbentuk apa dan dimana ditemui pengaturan tentang ganti kerugian kepada konsumen listrik ? 5. Sudah berapa kali PT PLN mendapat Tuntutan/gugatan dari konsumen meminta ganti kerugian ? 6. Kalau ada orang mau tuntut karena sering atau hampir setiap mati lampu bagaimana ? 7. Pelayanan seperti apa yang diberikan PT. PLN pada konsumen ? 8. Apakah PT. PLN bersedia memberi ganti kerugian terhadap kerusakan barang-barang electronik milik konsumen yang rusak akibat pemadaman listrik secara sporadic yang dilakukan oleh PT.PLN ? dan apa syarat yang harus dipenuhi atau syarat-syarat apa saja untuk mendapatkan ganti kerugian ? 9. Apa saja yang telah dilakukan PT. PLN terhadap tuntutan ganti kerugian konsumen listrik secara massal yang diakibatkan pemadaman listrik yang sering dilakukannya ? 126 10. Dalam setiap pemasangan baru sudah ada ketentuan atau syarat-syarat bila konsumen tidak memenuhi kewajibannya ? 11. Apakah PT. PLN pernah mengajukan gugatan pada Pengadilan Negeri terhadap konsumen yang belum melunasi atau penugakan, pencurian arus listrik ? 12. Dimana saja ditemukan pengaturan tentang peraturan, hak konsumen listrik ? 13. Sengketa apa saja yang sering dihadapi, mengapa atau alasan-alasan sengketa terjadi? 127 Daftar Pertayaan kepada Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) Banda Aceh Pertayaan 1. Sejak keluarnya UUPK, apakah Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen (YLPK) sering menerima pengaduan dari konsumen listrik ? 2. Apa saja yang menjadi keluhan para konsumen ? 3. Menurut YLPK, bagaimanakah tanggapan konsumen listrik terhadap bentuk pelayanan PLN yang mereka terima? 4. Upaya apa saja yang telah diberikan YLPK terhadap keluhan/pengaduan konsumen listrik? 5. Bagaimanakah tanggapan konsumen listrik (rumah tangga) terhadap upaya-upaya yang diberikan oleh YLPK? 6. Apakah YLPK memunggut bayaran terhadap penanganan/penyelesaian keluhan koonsumen listrik yang datang kepada anda? 7. Kenapa di Banda Aceh belum terbentuk Lembaga Advokasi Penyelesaian Sengketa (LAPS) dan BPKS? 128 Daftar pertayaan pegawai atau Pejabat Kantor Kejaksaan Negeri Lhokseumawe Pertayaan 1. Menurut bapak, selama ini sering ada pengaduan dari konsumen/Lembaga Swadaya/Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia di Lhokseumawe? Baik dalam bentuk laporan secara lisan maupun tulisan? 2. Sekarang sering kita baca dimedia masa, bahwa pelanggan/konsumen/Kantor Pemerintah Daerah, dalam kata kutip “Menunggak pembayaran Rekening Listrik. Bagaimana posisi bapak sebagai Jaksa Penuntut Negara? 129 Daftar Pertayaan Para Konsumen Listrik Rumah Tangga Pertayaan 1. Apakah anda tahu apa saja yang menjadi kewajiban anda selaku konsumen listrik? Apakah anda tahu juga apa saja hak-hak anda sebagai konsumen listrik? 2. Tahukah anda sebagai konsumen listrik salah satu hak anda adalah mendapat kompensasi pembayaran dari PLN jika terkait tidak terpenuhinya 3 indikator (TMP) yang diberikan PLN? 3. Apakah tempat kediaman anda seringkali mengalami pemadaman aliran listrik oleh PLN? 4. Menurut anda bagimana pelayanan PLN terhadap konsumen listrik selama ini? 5. Adakah barang-barang dirumah anda yang mengalami kerusakan akibat pemadaman listrik yang dilakukan oleh PLN? 6. Apakah anda ingin menuntut ganti kerugian kepada PLN akibat rusaknya barangbarang elektronik milik anda? 7. Jika ingin menuntut ganti kerugian kepada PLN, manakah yang anda sukai secara perseorangan ataukah secara bersama-sama? 8. Menurut anda sudah puaskan pelayana PT. PLN ? 9. Selama ini, pernahkah diputuskan jaringan listrik untuk anda ? 10. Menurut saudara, dengan diputuskan jaringan listrik untuk konsumen/pelanggan, sudah adilkah ?