Faisal C SDH Vol.3 No.1 IDENTIFIKASI TELUR CACING ASCARIS LUMBRICOIDES PADA SPESIMEN TINJA SISWA SD ISLAM 03 SALAFIAH SINGOSARI KABUPATEN MALANG Oleh Faisal Analis Kesehatan Akademi Analis Kesehatan Malang PENDAHULUAN Latar Belakang Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) pada akhir abad lalu mengatakan bahwa terdapat sekitar 17 juta penderita penyakit infeksi setiap tahun dan sekitar 50.000 orang yang meninggal setiap harinya. Pada hal penyakit infeksi yang menyerang masyarakat ini adalah penyakit yang sudah ada teknik dan upaya pencegahannya. Keaadan yang tidak menguntungkan ini terutama terjadi di negara-negara yang berkembang (Sandjaja, 2007). Infeksi cacing usus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Dikatakan pula bahwa masyarakat pedesaan atau daerah perkotaan yang sangat padat dan kumuh merupakan sasaran yang mudah terkena infeksi cacing (Rosmaliah, 2001). Manusia terinfeksi dengan tertelannya air, makanan, atau tanah yang terkontaminasi oleh telur fertil (Ugwu et al, 2008). Tingginya prevalensi terjadinya askariasis di pengaruhi juga oleh pertumbuhan telur yang sesuai dengan lingkungan, tingginya jumlah telur yang diproduksi parasit dan kondisi sosial ekonomi masyarakat miskin yang memfasilitasi penyebarannya. Transmisi ini diperkuat oleh fakta bahwa orang bisa asymptomatically terinfeksi (David, 2008). Kejadian luar biasa mengenai Ascaris lumbricoides di Jawa Timur pada tahun 2008, tepatnya di SDN Kemiri 3, desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember. Pada saat itu terjadi banjir bandang yang menyebabkan bertambah buruknya kondidsi sosial ekonomi, kebersihan dan sanitasi lingkungan, serta penyebaran penyakit. Dari 60 sapel terdapat 50 sampel positif mengandung cacing usus. Telur Ascaris lumbricoides dengan presentase tertinggi (60,96%), Entrobius vermicularis (17,04%) dan cacing tambang (16,0%) dan siswa laki-laki lebih banyak yang terinfeksi dari pada siswa perempuan (Firdaus, 2008). Manusia merupakan hospes definitif beberapa nematoda usus (cacing perut), yang dapat mengakibatkan masalah kesehatan bagi masyarakat. Diantara cacing perut terdapat sejumlah species yang dapat ditularkan melalui tanah (soil transmitted helminthes). Salah satu cacing tersebut adalah cacing gelang (Ascaris Lumbricoides). Cacing ini banyak diketemukan di daerah tropis seperti di Indonesia. Pada umumnya telur cacing bertahan pada tanah yang lembab, tumbuh menjadi telur yang infektif dan siap untuk masuk ke tubuh manusia yang merupakan hospes defenitifnya (Sutanto, 2008). Disamping itu gangguan dapat disebabkan oleh karena larva yang masuk ke paru-paru sehingga dapat menyebabkan perdarahan pada dinding alveolus yang disebut sindroma Loeffler. Gangguan yang disebabkan oleh cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gangguan usus ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, dirae dan konstipasi. Pada infeksi berat, terutama pada anakanak dapat terjadi gangguan penyerapan makanan (malabsorbtion). Keadaan yang serius, bila cacing mengumpul dalam usus sehingga terjadi penyumbatan pada usus (Ileus, 2009). Penularan cacing tidak hanya berkaitan dengan cuaca,suhu, dan kelembapan udara saja, tetapi juga berkaitan dengan pengetahuan serta kesadaran masyarakat tentang sanitasi, kebiasaan penggunaan tinja sebagai pupuk tanaman menyebabkan semaikn luasnya pencemaran tanah dan tanaman pangan tertentu. Demikan juga dengan pola kehidupan masyarakat. Misalnya, kebiasaan memakan ikan,daging, dan sayuran yang masih mentah atau setengah matang. Apabila dalam makanan tersebut terdapat telur atau larva cacing, maka terjadilah siklus cacing untuk menimbulkan infeksi pada manusia (Entjang, 2003). Anak-anak sering memegang tanah yang telah tercemar telur Ascaris lumbricoides dan tidak mencuci tangan atau kurang bersih tangannya, kemudian tanpa sengaja makan telur akan masuk dalam saluran pencernaan dan telur akan menetas menjadi larva pada usus. Larva akan menembus usus masuk kedalam pembuluh darah. Telur akan beredar mengikuti sistem peredaran darah yakni, hati, jantung, dan kemudian paru-paru. Pada paru-paru larva akan merusak alveolus dan maduk dalam bronkeolus, bronkus, trakea, kemudian dilaring. Ia akan tertelankembali masuk saluran cerna. Setibanya diusus larva akan menjadi cacing dewasa. Cacing dewasa akan menetap di usus dan kemudian berkopulasi dan bertelur, telur ini pada ahirnya akan keluar bersama tinja (Firdaus, 2008). Tinjauan Pustaka Pengertian Cacing Ascaris lumbricoides Soil Transmitted Helminth adalah golongan cacing Nematoda usus yang penularannya terjadi melalui tanah, karena cacing ini memerlukan tanah untuk pertumbuhan telurnya menjadi bentuk infektif (tanah sebagai hospes perantara). Ada 5 spesies terpenting bagi manusia yaitu : Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercoralis dan Trichiris trichiura (Emiliana ,2001). Ascaris lumbricoides yaitu nematoda kedua yang paling banyak menginfeksi manusia. Ascaris telah dikenal pada masa Romawi sebagai Lumbricus teres dan telah menginfeksi manusia selama ribuan tahun. Jenis ini banyak terdapat di daerah yang beriklim panas dan lembab, tetapi juga dapat hidup di daerah beriklim sedang (Benvie, 2009). Manusia merupakan satu-satunya hospes difinitif Ascaris lumbricoides. Penyakit yang disebabkan disebut Askariasis. Cacing ini merupakan cacing bulat besar yang bersarang dalam usus halus. Tetapi pada keadaan luar biasa, seperti demam, iritasi karena obat, anastesia dan manipulasi usus pada pembedahan, cacing mungkin bermigrasi ketempat-tempat ektotropik dan menyebabkan penyakit yang gawat. Karena parasit ini terdapat di seluruh dunia, maka bersifat kosmopolitan. Penyebaran terutama berada didaerah tropis yang tingkat kelembabannya tinggi. (Emiliana,2001). Manusia adalah salah satu hospes definitif Ascaris lumbricoides yang dapat menginfeksi cacing ini karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang terkontaminasi telur cacing yang telah berkembang atau berembrio. Cacing dewasa hidup dalam lumen usus halus. Satu ekor cacing betina dapat memproduksi kira-kira 200.000 telur/hari, yang dikeluarkan bersama feses. Telur tidak subur dapat ditemukan namun tidak infektif. Telur subur berembrio akan infektif sesudah 18 hari sampai beberapa minggu, dapat bertahan di lingkungan dengan kondisi optimum yaitu lembab dan hangat. Sesudah telur infektif tertelan, larva menetas, menginfasi mukosa usus dan di angkut melalui portal, kemudian ke sistem sirkulasi sampai ke paru-paru. Selanjutnya larva matang di paru-paru (10-14 hari), melakukan penetrasi kedinding alveolar, naik ke batang bronkus sampai ketenggorok dan tertelan. Masuk ke usus halus, dan selanjutnya berkembang sampai menjadi cacing dewasa. Dibutuhkan waktu antara 2-3 bulan sejak telur infektif tertelan sampai cacing betina dewasa menghasilkan telur. Cacing dewasa dapat hidup antara 1-2 tahun (Muslim, 2009). Marfologi Ascaris lumbricoides Cacing Ascaris lumbricoides merupakan cacing terbesar diantara golongan nematoda. Cacing betina dewasa mempunyai bentuk tubuh posterior yang membulat ( conical ), berwarna putih kemerah-merahan dan mempunyai ekor lurus tidak melengkung. Cacing betina dewasa mempunyai panjang 22-35 cm dan memiliki lebar 3-6 mm, sementara cacing jantan dewasa mempunyai ukuran lebih kecil dengan panjangnya 12-13 cm dan lebarnya 2-4 mm, juga mempunyai warna yang sama dengan cacing betina tetapi mempunyai ekor yang melengkung kearah ventral. Kepalanya mempunyai tiga bibir pada ujung anterior ( bagian depan ) dan mempunyai gigi-gigi kecil atau dentikel pada pinggirnya, bibirnya dapat ditutup atau dipanjangkan untuk memasukkan makanan ( Soedarto, 1995 ). Pada potongan melintang cacing mempunyai kutikulum tebal yang berdampingan dengan hypodermis dan menonjol ke dalam rongga badan sebagai korda lateral. Sel otot somatic besar dan panjang yang terletak di hypodermis, alat reproduksi dan saluran pencernaan mengapung di dalam rongga badan. Cacing jantan mempunyai dua buah speculum yang dapat keluar dari kloaka dan pada cacing betina, vulva terbuka pada perbatasan sepertiga badan anterior dan tengah, bagian ini lebih kecil dan di kenal sebagai cincin kopulasi ( Syamsu, 2008 ). Manifestasi Klinis Ascaris lumbricoides Perjalanan larva melalui hati dan paru-paru biasanya tidak menimbulkan gejala,tetapi dalam jumlah besar dapat menimbulkan gejala pneuminitis. Ketika larva menembus jaringan paru masuk ke alveoli, dapat terjadi kerusakan pada epitel bronkhial. Dengan terjadi reinfeksi dan migrasi dapat menimbulkan obstruksi usus, masuk ke dalam saluran empedu, saluran pankreas, hati, rongga peritonium atau tempat-tempat kecil lain. Larva dalam jumlah sedikitpun dapat menimbulkan reaksi yang hebat. Reaksi jaringan dapat terjadi di sekitar larva dalam hati, paru-paru, disertai infiltrasi eosinofil, makrofag, dan sel epiteloid. Keadaan ini disebut sebagai pnemonitis ascaris yang disertai reaksi alergi seperti dispnea, batuk kering atau batuk produktif, mengi atau bronkhi kasar, demam C, dan eosinofilia yang bersifat sementara. Foto torax menunjukkan39,9-40,0 ilfiltrat yang menghilang dalam tiga minggu. Keadaan ini disebut sindroma Loeffler (Benvie, 2009). Gejala ascariasis sering ditemukan seperti dibawah ini (Benvie, 2009): a. Reaksi terhadap larva migran Sewaktu larva bermigrasi menembus dinding intestinum dan alveolus terjadi perdarahan kecilkecil. Penderita akan demam, batuk-batuk, dan kadang-kadang terjadi hemoptysis. b. Reaksi terhadap cacing dewasa Gejala berupa nyeri perut biasa didaerah epigastrium atau daerah umbilicus,perut buncit, muntah dan kadang-kadang obsitipasi (Entjang, 2003). Diagnosa Laboratorium Ascaris lumbricoides Pada fasemigrasi dapat ditemukan larva dalam sputum atau bilas lambung, sedangkan pada fase intestinal dapt ditemukan telur dan cacing dewasa di feses. Pemeriksaan laboraturium secara mikroskopis dilakukan dengan memeriksa sediaan basah secara langsung atau dengan sedimen konsentrasi. Cacing dewasa dapat ditemukan pada pemberian antelminthik atau keluar sendirinya melalui mulut (muntahan) atau feses. Pada pemeriksaan laboraturium perlu memperhatikan bahwa telur yang tidak dibuahi sedian metode konsentrasi flotasi dengan ZnSO4 dapat mengapung karena berat molekul pelarutnya lebih besar. Pada sediaan basah (ditambah iodium), telur tampak menyerupai kotoran (artefak), sedangkan pada pewarnaan permanen (eosin) kadang telur sulit diidentifikasi karena bentuknya menjadi asimetris. Telur dapat dieramkan dalam formalin 0,5% pada erlenmeyer, kemudian ditutup dengan kapas. Telur berkembang menjadi larva dalam waktu 2-3 minggu ( Muslim, 2009). Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosa adalah dengan pemeriksaan X ray dengan barium, yang memberikan kesan tubulair defect (Sandjaja,2007). Epidemiologi Ascaris lumbricoides Pada umumnya frekuensi tertinggi penyakit ini diderita oleh anak-anak usia 5-10 tahun, sedangkan pada orang dewasa frekuensinya rendah. Hal ini disebabkan oleh karena kesadaran anak-anak akan kebersihan dan kesehatan masih rendah ataupun mereka tidak berpikir sampai ke tahap itu. Sehingga anak-anak lebih mudah diinfeksi oleh larva Ascaris lumbricoides misalnya melalui makanan, ataupun infeksi melalui kulit akibat kontak langsung dengan tanah yang mengandung telur Ascaris lumbricodes. Pada setiap 5 gram tanah dijumpai 360 telur, dalam debu dapat dijumpai telur Ascaris lumbricoides dalam setiap gram debu rumah dapat ditemukan 31 butir telur. Serangga sering pula disebut sebagai sumber penularan (Syamsu, 2008). Di pedesaan kasus ini lebih tinggi prevalensinya, hal ini terjadi karena buruknya sistem sanitasi lingkungan di pedesaan, tidak adanya jamban sehingga tinja manusia tidak terisolasi dengan demikian larva cacing mudah menyebar. Hal ini juga terjadi pada golongan masyarakat yang memiliki tingkat sosial ekonomi yang rendah, sehingga memiliki kebiasaan membuang hajat ( defekasi ) di tanah, yang kemudian tanah akan terkontaminasi dengan telur cacing yang infektif dan larva cacing yang seterusnya akan terjadi reinfeksi secara terus menerus pada daerah endemic ( Brown, 1983 ). Sumber penularan yang paling sering adalah sayuran. Ada kepustakaan yang mengatakan bahwa rata-rata ditemukan 1,44 telur per specimen sayur atau 42,8% sayuran mengandung telur Ascaris lumbricoides. Lebih jauh dikatakan bahwa 23,1% dari telur yang ditemukan merupakan telur yang berembrio yang infeksius ( Sandjaja, 2007 ). Pencegahan Ascaris lumbricoides Berdasarkan pada siklus hidup dan sifat telur cacing ini, maka upaya pencegahan dapat dilakukan sebagai berikut ( Syamsu, 2007 ): 1. Memberi penyuluhan tentang sanitasi lingkungan. 2. Melakukan usaha aktif dan preventif untuk dapat mematahkan siklus hidup cacing misalnya memakai jamban. 3. Tidak mengunakan tinja sebagai pupuk tanaman. Sebelum melakukan persiapan makan dan hendak makan, tangan dicuci terlebih dahulu dengan mengunakan sabun. 4. Bagi yang mengkonsumsi sayuran segar ( mentah ) sebagai lalapan, hendaklah dicuci bersih dan disiram lagi dengan air hangat. 5. Mengadakan pengobatan massal setiap 6 bulan sekali di daerah endemic ataupun daerah yang rawan terhadap penyakit ascariasis. Pengobatan Ascaris lumbricoides Sebaiknya semua kasus yang positif diobati, tanpa melihat beratnya infeksi karena jumlah cacing yang sedikitpun dapat menyebabkan migrasi dengan akibat yang mernbahayakan (Zamn, 1988). Beberapa bahan kemoterapi efektif terhadap askariasis, walaupun demikian tidak ada obat yang berguna selama fase paru-paru dari infeksi. Pengobatan anak, terutama mereka dengan infeksi berat, harus dilakukan dengan pendekatan hati-hati (Adel, 1992). Ada beberapa jenis obat yang dapat dipakai, yaitu: 1. Mebendazol Merupakan anthelmintik dengan spektrum luas, sangat berguna untuk infeksi campura merupakan obat alternatif terpilih untuk askariasis setelah pirantel pamoat (Sukarno 1995 and Siswandoao 1995). Mebendasol menyebabkan kerusakan struktur subselular dan juga menghambat ambilan glukosa secara irreversibel sehingga terjadi pengosongan glikogen pada cacing. Cacing akan mati perlahan-lahan dan hasil terapi yang memuaskan akan terlihat sesudah tiga hari pemberian obat. Obat ini juga menimbulkan sterilitas pada telur Ascaris lumbricodes sehingga telur ini gagal menjadi larva, tetapi larva yang sudah matang tidak dapat dipengaruhi oleh mebendazol. Dosis pada anak dan dewasa, yaitu 2 X 100 mg sehari selama 3 hari berturut-turut. Bila perlu pengobatan ulang dapat diberikan 3 minggu kemudian (Sukarno, 1995). 2. Piperazin Obat ini menyebabkan poralisis otot cacing sehingga ototnya menjadi lemas dan mudah dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah pemberian obat. Dosis dewasa pada askariasis adalah 3,5 mg sekali sehari, sedangkan pada anak 75 mg/kg berat badan (maksimum 3,5 mg) sekali sehari. Obat ini di berikan 2 hari berturut-turut (Sukarno, 1995). 3. Pirantel Pamoat. Dosis tunggal 10 mg/Kg berat badan adalah selektif menyembuhkan kasus lebih dari 90%. Gejala sampingan, bila ada adalah ringan dan obat ini biasanya diterima ( “welltorelated”). Obat ini mempunyai keunggulan karena efektif terhadap cacing Entrobius vermikularis dan cacing Necator americanus. Obat berspektrum luas ini berguna di daerah endemic di mana infeksi multiple berbagai cacing Nematoda merupakan hal yang biasa ( Syamsu, 2008 ). 4. Levamisol Hidroklorida. Obat ini merupakan obat anti-askaris yang paling efektif yang menyebabkan kelumpuhan cacing dengan cepat. Obat ini diberikan dalam dosis tunggal yaitu 150 mg untuk dewasa dan 50 mg untuk orang dengan berat badan <10 kg. efek samping lebih banyak daripada pirantel pamoat dan mebendazol (Syamsu, 2008 ). Desa Singosari terleak di Kecamatan Singosari, Kota Malang. Kondisi lingkungan di Sekolah Dasar ( SD) tersebut cukup memprihatinkan, di mana halaman sekolah sebagian besar masih berupa tanah. Halaman sekolah berbatasan langsung dengan ladang yang tidak terawat dan seringkali terjadi kebanjiran ketika hujan turun. Berdasarkan observasi, pada waktu istirahat banyak siswa yang bermain dengan tanah, bahkan makan dan minum tanpa cuci tangan terlebih dahulu. Disamping itu pada saat berolah raga para siswa banyak yang melepas sepatu sehingga beraktifitas tanpa menggunakan alas kaki. Perilaku tersebut merupakan faktor resiko yang memungkinkan siswa tersebut terinfeksi kecacingan. Berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi seperti diuraikan di atas peneliti ingin melakukan identifikasi parasit pada sekolah SD Islam 03 Salafiyah Singosari, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang. Dikarenakan kurangnya perhatian masyarakat sekitar dalam menjaga kebersihan dan sanitasi lingkungan, anak usia sekolah merupakan frekuensi terbanyak yang menderita cacingan, yang dapat menyebabkan timbulnya gangguan gizi, anemia, dan gangguan pertumbuhan yang akhirnya akan berpengaruh tingkat kecerdasan anak. Penelitian ini di harapkan dapatkan memberikan informasi mengenai tingkat infeksi cacing usus melalui pemeriksaan tinja sehingga dapat menjadi acuan untuk bahan diskusi dalam bidang parasitologi (Firdaus, 2008). Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah a. Apakah terdapat telur cacing Ascaris lumbricoides pada kelas I samapai kelas III SD 03 Salafiyah Singosari, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang ? b. Berapakah jumlah siswa yang negatif atau positif terinfeksi telur cacing Ascaris lumbricoides ? Tujuan dari penelitian ini untuk membuktikan adanya telur cacing Ascaris lumbricoides pada kelas I sampai kelas III SD 03 Salafiyah Singosari, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang dan Membuktikan adanya siswa yang negatif dan positif terinfeksi telur cacing Ascaris lumbricoides. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini bersifat deskriptif yaitu bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing usus Ascaris lumbricoides pada sampel tinja siswa kelas 1- 3 di SD Islam 03 Salafiah Singosari dan selanjutnya sampel akan dilakukan pemeriksaan laboratorium secara mikroskopis dengan menggunakan metode Stoll. Populasi dalam penelitian ini adalah semua sampel tinja dari siswa kelas 1- kelas 3 di SD Islam 03 Salafiyah, Desa Kelampok, Kec. Singosari, Kab. Malang. Sampel pada penelitian ini adalah beberapa spesimen tinja dari siswa kelas 1 sampai kelas 3. Sedangkan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik probability sample, dengan jenis simple random sampling, yaitu teknik yang secara acak sederhana, jumlah sampel ditentukan sebanyak 35 anak. Variabel Penelitian antara lain 1. Variabel Bebas adalah identifikasi telur cacing Ascaris lumbricoides. 2. Variabel Terikat adalah jumlah telur Ascaris lumbricoides yang ditemukan pada sampel tinja 3. Variabel Control adalah ditemukannya parasit lain pada sampel tinja . Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara sebagai berikut: a. Peneliti memberikan tempat atau wadah menampung tinja kepada siswa yang bersedia menjadi respoden b. Pengambilan sampel tinja pada siswa berlangsung selama beberapa hari. c. Peneliti mencatat keterangan atau identitas dari sampel yang telah diperoleh. d. Sampel dibawa ke Lab.Parasitologi D III Analis Kesehatan Malang untuk diteliti. e. Sampel tinja diperiksa dengan menggunakan metode cara Stoll. Pengolahan data apabila terdapat 1 atau lebih telur cacing pada masing-masing sampel tinja pada siswa kelas 1 sampai kelas 3 sekolah dasar maka sampel tersebut dikategorikan positif. Dan apabila tidak terdapat 1 saja telur cacing pada sampel tinja maka sampel tersebut dikategorikan negatif. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel Hasil Penelitian Data dari hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel serta presentase dalam bentuk diagram batang guna mempermudah pembacaan hasil akhir dari penelitian yang telah dilakukan. Tabel 1. Data Siswa Positif Telur Ascaris lumbricoides dari Siswa Kelas I sampai Kelas III No Nama Usia Kelas Keterangan Hasil 1 Siswa B 7 Tahun I 1, telur infeksius 2 Siswa C 7 Tahun I 1, telur decorticated 3 Siswa F 7 Tahun I 1, telur fertil 4 Siswa H 6 Tahun I 1, telur infeksius 5 Siswa Q 7 Tahun II 1, telur fertil 6 7 Siswa V Siswa AB 8 Tahun 9 Tahun III III 2, telur infeksius 1, telur unfertil Tabel 1. Diatas merupakan data siswa positif terinfeksi Ascaris lumbricoides dari kelas I sampai kelas III yang disajikan dalam bentuk tabel. Dari data diatas dapat dicari rata-rata jumlah siswa yang negatif dan positif telur Ascaris lumbricoides melaliu rumus mean ( nilai rata-rata ) sebagai berikut: ( Ali, 2010 ). Mean (X) = x N Rata-rata jumlah siswa yang positif terinfeksi telur Ascaris lumbricoides: Mean (X) = x = 7 = 0, 23 30 30 Rata-rata jumlah siswa yang negatif (tidak terinfeksi telur Ascaris lumbricoides): Mean (X) = x = 23 = 0, 77 30 30 Jadi melalui rumus mean diatas (rata-rata) diatas dapat diketahui berapa rata-rata siswa yang positif terinfeksi Ascaris lumbricoides, yaitu 0,23 siswa sedangkan siswa yang negatif atau tidak ditemukan telur cacing Ascaris lumbricoides pada sampel tinja adalah 0,77 siswa. Tabel 2. Jumlah telur Ascaris lumbricoides yang Teridentifikasi dari Siswa Sampai Kelas III Nama Siswa Jumlah Jumlah Sampel Kelas X2 yang Positif Telur Kelas Kelas I I Siswa B Siswa C Siswa F Siswa H Siswa Q 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 III Siswa V Siswa AB 1 2 1 4 10 JUMLAH 7 X X2 n =30 =8 =10 II 10 10 Dari tabel 2. dapat diketahui jumlah telur yang yang teridentifikasi sebanyak 8 telur. Pada kelas I ditemukan 4 telur, yaitu masing-masing 1 telur pada sampel tinja Siswa B, 1 telur pada sampel tinja Siswa C, 1 telur pada sampel tinja Siswa F dan 1 telur pada sampel tinja Siswa H. Sedangkan pada kelas II ditemukan 1 telur pada sampel tinja Siswa Q dan siswa kelas III ditemukan telur Ascaris lumbricoides pada masing-masing sampel yaitu, 2 telur pada sampel tinja Siswa V dan 1 telur pada sampel tinja Siswa AB. Dari data tabel 1.2. diatas dapat dicari berapa rata-rata jumlah telur yang berhasil ditemukan atau teridentifikasi pada masing-masing sampel tinja penderita menggunakan rumus varians dan standar deviasi, yaitu: Rumus Varians : (:Ali, 2010) Varians (S²) = ∑X²−(∑X)² n n-1 Rumus standar devisiasi: (Ali, 2010) SD = √S² Melaluis rumus tersebut dapat dicari rata-rata dari jumlah telur yang ditemukan yaitu : Varians (S²) = ∑X²−(∑X)² n n-1 S² = 10−(8)² 30 30−1 = 10−64 30 30−1 = 10−2,13 29 S² = 0, 27 SD = √S² = √0,27 = 0,51 Rata-rata (X) jumlah telur yang teridentifikasi : X = ∑X n = 8 30 = 0, 26 Jadi variansnya adalah 0, 27 dan standar devisiasi adalah 0, 51 Rata-rata jumlah telur yang teridentifikasi adalah 0, 26 telur Jadi rata-rata jumlah telur yang teridentifikas adalah berkisar antara X ± SD = 0,27 ± 0,51 telur. Maksudnya yaitu 0,27 – 0,15= 0,12 telur sampai 0,27 + 0,15 = 0,42 telur. Jadi rata-rata jumlah telur yang teridentifikasi dari masing-masing sampel adalah 0,12 sampai 0,42 telur. Persentase Dalam mencari persentase dari siswa yang negatif dan positif dapat digunakan rumus proporsi sebagai berikut ini : (Ali, 2010) Proporsi = xK Dimana: X=Angka kejadian tertentu X+Y=Jumlah kejadian seluruhnya K=Konstanta(100%) Dari rumus diatas dapat kita cari berapa persentase siswa yang negatif dan positif ascariasis dari semua kelas I sampai kelas III. Siswa yang positif = xK = Siswa yang negatif = x 100% = 0,23 x 100% = 23% xK = x 100% = 0,76 x 100% = 77% Jadi siswa yang positif terinfeksi Ascaris lumbricoides adalah 23% dan siswa yang negatif atau tidak terinfeksi sebesar 77% dari 30 siswa. Melalui rumus proporsi yang sama dapat dicari pula berapa persentase dari siswa yang positif dan negatif dari masing-masing kelas I, II dan III yaitu : Kelas I Siswa yang positif = xK = x 100% = 0,4 x 100% = 40% Siswa yang negatif = xK = x 100% = 0,6 x 100% = 60% Jadi jumlah siswa yang positif terinfeksiAscaris lumbricoides dari kelas I adalah 40% dan yang negatif sebesar 60%. Kelas II Siswa yang positif Siswa yang negatif = = xK = x 100% = 0,1 x 100% = 10% = x 100% = 0,9 x 100% = 90% xK Jadi jumlah siswa yang positif terinfeksiAscaris lumbricoides dari kelas II adalah 10% dan yang negatif sebesar 90%. Kelas III Siswa yang positif Siswa yang negatif = = xK = x 100% = 0,2 x 100% = 20% = x 100% = 0,8 x 100% = 80% xK Jadi jumlah siswa yang positif terinfeksi Ascaris lumbricoids dari kelas II adalah 20% dan yang negatif sebesar 80%. ajian dalam Bentuk Diagram Dari hasil penelitian tentang berapa jumlah siswa yang positif terinfeksi telur Ascaris lumbricoides dan negatif (tidak terinfeksi telur Ascaris lumbricoides) dari siswa kelas I sampai kelas III SD 03 Salafiyah Singosari, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang dapat disajikan dalam bentuk diagram batang sebagai berikut : Persentase dari siswa yang positif (terinfeksi telur Ascaris lumbricoides) dan negatif (tidak terinfeksi telur Ascaris lumbricoides) mulai kelas I sampai kelas III SD Salafiyah 03 Singosari, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang disajikan dalm bentuk diagram sebagai berikut: Sedangkan hasil persentase dari jumlah siswa yang positif dan negatif terinfeksi Ascaris lmbricoides dari keseluruhan sampel yang diambil digambarkan dalam bentuk diagram batang seperti dibawah ini: KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan data-data dari hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa ; 1. Siswa dengan positif telur Ascaris lumbricoides dari kelas I sampai kelas III ada 7 siswa, dengan rata-rata 23%. Dan siswa yang negatif tidak terdapat telur Ascaris lumbricoides ada 23 siswa, dengan rata-rata 77% dari total seluruh sampel sebanyak 30 siswa. 2. Persentase siswa yang negatif dan positif terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides dari masing – masing kelas, yaitu pada kelas I siswa positif telur Ascaris lumbricoides ada 4 siswa, prosentase 40% dan 6 siswa yang negatif, prosentase 60% dari jumlah total siswa kelas I adalah 10 siswa. Kelas II siswa positif telur Ascaris lumbricoides ada 1 siswa, prosentase 10% dan 9 siswa yang negatif, prosentase 90% dari jumlah total siswa kelas II adalah 10 siswa Sedangkan dari hasil perhitungan, persentase siswa kelas III yang positif Ascariasis 2 siswa adalah 20% dan yang negatif sebesar 8 siswa dengan prosentase 80% dari jumlah total 10 siswa. 3. Besarnya kasus infeksi Ascaris lumbricoides berhubungan erat dengan keadaan sanitasi suatu lingkungan baik. Apabila keadaan sanitasi suatu lingkungan baik, maka frekuaensi dari infeksi Ascaris lumbricoides semakin kecil. Saran Saran yang disampaikan dalam penelitian ini hendaknya petugas kesehatan melakukan penyuluhan untuk motivasi masyarakat dalam hal menjaga sanitasi lingkungan. Diharapkan bagi semua siswa untuk dapat menerapkan pola hidup bersih dimanapun berada, terutama bagi siswa yang positif terinfeksi Ascaris lumbricoides. DARTAR PUSTAKA Ali, Z, 2010. Pengantar Metode Statistik Untuk Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media. Brown, HW, 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Gramedia. Jakarta. Entjang, Indan, 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi untuk Akademi Keperawatan dan Sekolah Tenaga Kesehatan Yang Sederajat. Citra Aditya Bakti, Bandung. Firdaus, A, 2008. Identifikasi Telur Cacing Usus Melalui Pemeriksaan tinja Pada Siswa SDN Kemiri 3 Desa Kemiri, Kecamatan Panti, Kabupaten Jember. Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jember. Jember. Haryanti, E, 1993. Helminthologi Kedokteran. Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran USU. Medan. Ilham, 2009. Ascaris Telur-.http;//lemontea. Blogdetik.com. 09 Januari 2012. Muslim, Mohamad, 2009. Parasitologi Untuk Keperawatan. EGC. Jaklarta. Moersintowarti, B, 1992. Pengaruh Cacingan Pada Tumbuh Kembang Anak. Makalah Disampaikan Pada Pertemuan Ilmiah Penanggulangan Cacingan. Fakultas Kedokteran Unair. Surabaya. Notoatmojo, Soekidjo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Rineka Cipta. Jakarta. Onggowaluyo, Samidjo, 2002. Parasitologi Medik I Heminthologi. EGC. Jakarta. Roitt, I, 2000. Imunologi, Essential Immunology. Edisi 8,w idyaMedika. Jakarta. Rohma, M, 2012. Identifikasi Telur cacing Ascaris lumbricoides Pada Siswa SDN 01 Ngajum. Akademi Analis Kesehatan Malang. Malang. Sandjaja, Bernadus, 2007. Helminthologi Kedokteran. Edisi Buku II. Jakarta. Silva, at all, 2003. Trends In Parasitologi-, http:// www. Sabin.org/data-source. 09 Januari 2012. Sodyc, 2010. Ascaris lumbricoides-htt://sodiyxacun blogspot com. 13 Januari 2012. Soedarto,1995. Helminthologi Kedokteran. Edisi ke 2. EGC. Jakarta. Suhariah, Ismid, et all, 2000, Buku Penuntun Praktikum Parasitologi Kedokteran. Edisi cetak ulang. Jakarta. Syamsu, y, 2008. Ascariasis Respon IgE dan Upaya Penanggulangannya. Program Studi Imunologi, Program Pasa Sajana Universitas Airlangga. Surabaya